37
Bidang Unggulan : Budaya dan Pariwisata Kode/Nama Bidang Ilmu : 426/Teknik Arsitektur LAPORAN HASIL PENELITIAN HIBAH UNGGULAN PROGRAM STUDI TATA RUANG DESA PINGGAN, KECAMATAN KINTAMANI, BANGLI: Sebuah Kajian Keruangan Desa Bali Aga Tim Pengusul : 1. Ir. Ida Bagus Gde Primayatna, M.Erg 0010126110 2. Ir. I Made Suarya , MT 0015105602 3. Dr. Ir. Ida Ayu Armeli, MSi 0031085202 4. I Nyoman Widya Paramadhyaksa, ST, MT, Ph.D 0011097401 JURUSAN ARSITEKTUR FAKULTAS TEKNIK UNIVERSITAS UDAYANA NOPEMBER 2016

LAPORAN HASIL PENELITIAN HIBAH UNGGULAN PROGRAM …

  • Upload
    others

  • View
    13

  • Download
    0

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: LAPORAN HASIL PENELITIAN HIBAH UNGGULAN PROGRAM …

Bidang Unggulan : Budaya dan Pariwisata Kode/Nama Bidang Ilmu : 426/Teknik Arsitektur

LAPORAN HASIL PENELITIAN HIBAH UNGGULAN PROGRAM STUDI

TATA RUANG DESA PINGGAN, KECAMATAN KINTAMANI, BANGLI: Sebuah Kajian Keruangan Desa Bali Aga

Tim Pengusul :

1. Ir. Ida Bagus Gde Primayatna, M.Erg 0010126110 2. Ir. I Made Suarya , MT 0015105602 3. Dr. Ir. Ida Ayu Armeli, MSi 0031085202 4. I Nyoman Widya Paramadhyaksa, ST, MT, Ph.D 0011097401

JURUSAN ARSITEKTUR FAKULTAS TEKNIK

UNIVERSITAS UDAYANA NOPEMBER 2016

Page 2: LAPORAN HASIL PENELITIAN HIBAH UNGGULAN PROGRAM …
Page 3: LAPORAN HASIL PENELITIAN HIBAH UNGGULAN PROGRAM …

iii

DAFTAR ISI

Halaman Pengesahan ....................................................................................................... ii DAFTAR ISI ................................................................................................................... iii RINGKASAN ................................................................................................................. 1 BAB I PENDAHULUAN ......................................................................................... 2 1.1 Latar Belakang ........................................................................................ 2 1.2 Tujuan Khusus ........................................................................................ 3 1.3 Urgensi Penelitian ................................................................................... 3 BAB II TINJAUAN PUSTAKA ............................................................................... 4 2.1 Ruang Sakral dan Profan ......................................................................... 4 2.2 Ruang Abstrak ......................................................................................... 4 2.3 Animisme dan Dinamisme ...................................................................... 5 2.4 Masyarakat Bali Aga ............................................................................... 5 2.5 Pola Desa Tradisional Bali Aga .............................................................. 5 BAB III METODE PENELITIAN .............................................................................. 7 3.1 Materi Penelitian ..................................................................................... 7 3.2 Lokasi Penelitian ..................................................................................... 7 3.3 Informan Penelitian................................................................................. 10 3.4 Metode Penelitian.................................................................................... 10 3.5 Instrumen Penelitian dan Alat Bantu Penelitian ..................................... 12 BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN ……............................................................ 13 4.1 Gambaran Singkat tentang Desa Pinggan................................................ 13 4.2 Pola Desa dan Tata Zonasi Desa Pinggan ............................................... 13 4.3 Arah Sakral-Profan sebagai Orientasi Desa Pinggan ………………….. 17 4.4 Konsepsi Tata Ruang Pekarangan Antartetangga ……………………... 19 4.5 Konsepsi Tata Ruang Pekarangan Rumah Tinggal ……………………. 22 4.6 Pura Puncak Penulisan sebagai Orientasi Sakral Desa Pinggan ………. 24 4.7 Pura Dalem Balingkang sebagai Pura Bersejarah Desa Pinggan ……… 28 BAB V PENUTUP 33 5.1 Simpulan ………………………………………………………………. 33 5.2 Saran …………………………………………………………………… 33 DAFTAR PUSTAKA ...................................................................................................... 34

LAMPIRAN ....................................................................................................................

34

JUSTIFIKASI PENGGUNAAN BIAYA ....................................................................... 35

Page 4: LAPORAN HASIL PENELITIAN HIBAH UNGGULAN PROGRAM …

1

RINGKASAN

Desa Pinggan merupakan sebuah desa peninggalan masa Bali Aga yang berada dalam wilayah Kecamatan Kintamani, Kabupaten Bangli. Desa ini secara garis besarnya menganut pola tata keruangan desa selayaknya gambaran tata ruang desa pegunungan dari periode Bali Kuno, yaitu memiliki sebuah ruas jalan utama desa yang membujur di tengah desa. Sebagai sebuah Bali Aga yang berlokasi di daerah perbukitan Kintamani, desa ini juga memuat catatan sejarah panjang yang berkaitan erat dengan kedatangan kaum pedagang Cina yang akhirnya menetap di kawasan ini. Arah orientasi desa yang tidak mutlak mengacu ke arah sumbu timur-barat maupun utara-selatan memberi bukti awal bahwa desa beriklim dingin ini memuat konsep pola desa yang spesifik. Pada bagain lainnya, di beberapa bagian desa juga terdapat beberapa zona yang disakralkan warga setempat. Karakteristik desa yang semacam inilah yang selanjutnya mendorong lahirnya suatu gagasan untuk melaksanakan sebuah kajian keruangan yang mendalam tentang landasan konsepsual tata ruang Desa Pinggan. Penelitian ini termasuk dalam kelompok penelitian kualitatif yang berdasar pada telaah data lapangan, konsep, dan wawancara. Penelitian ini membuahkan temuan: (1) Desa Pinggan menganut pola desa linear yang mengikuti kontur daerah perbukitan di wilayah Kintamani; (2) Area permukiman terdapat di tengah desa mengikuti jalan utama desa yang berada di tengah desa. Desa Pinggan juga menganut pola orientasi ulu-teben yang membagi desa atas arah sakral dan profane; (3) Konsep arah ulu-teben seperti ini terimplikasi pada tata ruang dan tata bangunan; (4) Pola orientasi Desa Pinggan tidak terpengaruh secara langsung oleh adanya pengaruh kultur Tiongkok kuno di daerah ini. Kata kunci: Desa Pinggan, pola desa, ulu-teben, orientasi, sakral-profan.

Page 5: LAPORAN HASIL PENELITIAN HIBAH UNGGULAN PROGRAM …

2

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Desa Pinggan merupakan sebuah desa peninggalan masa Bali Aga yang berada dalam

wilayah Kecamatan Kintamani, Kabupaten Bangli. Desa ini secara garis besarnya menganut

pola tata keruangan desa selayaknya gambaran tata ruang desa pegunungan dari periode Bali

Kuno, yaitu memiliki sebuah ruas jalan utama desa yang membujur di tengah desa. Pinggan

agaknya tergolong desa yang menganut pola desa yang sesuai dengan karakter lahan

lokasinya. Sebagai sebuah Bali Aga yang berlokasi di daerah perbukitan Kintamani, desa ini

juga memuat catatan sejarah panjang yang berkaitan erat dengan kedatangan kaum pedagang

Cina yang akhirnya menetap di kawasan ini.

Di dalam wilayah desa yang berpanorama indah ini terdapat sebuah kompleks bangunan

pura kuno yang bernama Pura Dalem Balingkang, tempat pemuliaan Permaisuri keturunan

Cina pada masa lalu, Kang Cing Wie. Arah orientasi desa yang tidak mutlak mengacu ke arah

sumbu timur-barat (kangin-kauh) maupun utara-selatan (kaja-kelod), selayaknya orientasi

desa-desa di Bali dataran pada umumnya. Hal ini sekaligus memberi bukti awal bahwa desa

beriklim dingin ini memuat konsep pola desa yang spesifik. Pada bagain lainnya, di beberapa

bagian desa juga terdapat beberapa zona yang disakralkan warga setempat. Hal ini juga

memberi bukti tentang adanya suatu konsep atau paham keruangan yang khusus yang berlatar

pada sistem kepercayaan lokal yang mungkin saja berlatar dari sinkretisasi kultur Bali-Cina

yang dibawa leluhur penduduk desa itu sejak ratusan tahun yang lalu.

Karakteristik desa yang semacam inilah yang selanjutnya mendorong lahirnya suatu

gagasan untuk melaksanakan sebuah kajian keruangan yang mendalam tentang landasan

konsepsual tata ruang Desa Pinggan. Penelitian yang dijalankan ini tergolong dalam

kelompok penelitian kualitatif yang lebih banyak berdasar pada hasil telaah data observasi

lapangan, penalaran konsep, dan hasil wawancara dengan para narasumber. Dalam upaya

memperkaya wawasan kajian, dijalankan juga teknik pengumpulan data kepustakaan

terhadap penelitian-penelitian keruangan yang berkenaan dengan pola-pola desa Bali Aga

yang berlokasi di Kintamani dan derah-daerah lainnya. Penelitian ini pada bagian akhirnya

menghasilkan temuan dalam bidang ilmu kearsitekturan yang berkenaan dengan gambaran

konsepsi yang melatarbelakangi perwujudan tata ruang Desa Pinggan, baik dalam skala

makro, meso, maupun mikro.

Page 6: LAPORAN HASIL PENELITIAN HIBAH UNGGULAN PROGRAM …

3

1.2 Tujuan Khusus

Penelitian ini memuat beberapa tujuan khusus yang dapat dikemukakan sebagai berikut.

1. Menginventarisir dan menelusuri gambaran sejarah, latar konsepsi, dan makna

keruangan yang termuat dalam perwujudan tata ruang Desa Pinggan.

2. Menemukan pola tradisi keruangan yang berlaku di zona tertentu di Desa Pinggan.

3. Melakukan kajian komparatif antara wujud dan karakter tata ruang Desa Pinggan

sebagai desa Bali Kuno dengan pola tata ruang yang berlaku di desa-desa tradisional

dari masa Bali Pertengahan.

4. Menghasilkan produk penelitian berupa draft materi ajar tentang tata ruang desa

tradisional Bali yang berkarakter Bali Aga di Kintamani.

5. Menghasilkan satu artikel yang terpublikasikan di sebuah jurnal nasional non-

akreditasi.

1.3 Urgensi Penelitian

Penelitian ini layak untuk segera dilaksanakan atas dasar beberapa pertimbangan:

1. Penelitian yang bertujuan menginventarisasi pengetahuan keruangan masa lalu

Penelitian ini pada intinya juga bertujuan untuk menggali serta menemukan kembali

latar konsepsual serta nilai keruangan yang termuat pada zona-zona di sebuah desa

yang berlatar kultur Bali-Cina yang eksis sejak masa Bali Kuno.

2. Penelitian ini memuat materi dan fokus kajian yang orisinal

Penelitian tentang konsepsi tata ruang Desa Pinggan ini belum pernah dijalankan

secara komprehensif oleh peneliti lain.

3. Penelitian untuk pengembangan imu pengetahuan

Hasil akhir penelitian ini memperkaya ilmu pengetahuan berkenaan karakteristik

keruangan di desa yang berlatar kebudayaan Bali Kuno.

4. Penelitian ini sejalan dengan kebijakan Universitas Udayana

Penelitian ini sejalan dengan kebijakan pengembangan ilmu pengetahuan di

Universitas Udayana yang pada intinya berupaya menjadikan Universitas Udayana

sebagai sebuah perguruan tinggi negeri yang berperan aktif dalam upaya

mengembangkan dan melestarikan budaya tradisional Bali.

Page 7: LAPORAN HASIL PENELITIAN HIBAH UNGGULAN PROGRAM …

4

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

Beberapa teori yang digunakan dalam menjalankan penelitian ini, antara lain (1) teori

ruang sakral dan ruang profan; (2) teori ruang abstrak; (3) pandangan animisme dan

dinamisme; (4) konsep masyarakat Bali Aga; serta (5) konsep tata pola desa tradisional Bali

Aga.

2.1 Ruang Sakral dan Profan

Eliade mendefinisikan ruang sakral sebagai ruang “nyata” yang dikelilingi oleh adanya

suatu area medan tidak berwujud. Ruang sakral tersebut pada umumnya dijadikan sebagai

arah orientasi untuk ruang lainnya. Manusia yang menghuni wilayah dunia tengah (midland)

berada di antara area dunia luar yang cenderung “tidak terkendali”, sedangkan area dunia

dalam digambarkan berkarakter sakral. Kedua jenis ruang ini pada umumnya memiliki

tingkatan kualitas kesucian yang selalu diperbaharui dengan berbagai rangkaian prosesi ritual

yang bersifat sakral. Kegiatan ritual ini mengambil suatu area atau tempat yang terdapat

dalam area ruang sakral ini, dan merupakan cara tunggal agar dapat berpartisipasi dalam area

wilayah kosmos yang sakral agar dapat “membersihkan” kembali area dunia profan (2002:

14). Ruang berkarakter sakral berciri lebih kokoh dan bermakna, sementara ruang lainnya

yang bersifat profan cenderung kacau serta tanpa makna. Manusia tradisional lazimnya tidak

mampu hidup secara nyaman dalam suasana alam yang profan, karena manusia tradisional

lazimnya tidak mampu mengorientasikan dirinya secara mandiri.

2.2 Ruang Abstrak

Pada dasarnya ruang merupakan sesuatu yang bersifat abstrak serta tidak terbatas.

Ketidakterbatasannya itu bersifat 3 dimensional dari suatu ruang universal yang ada di luar

jangkauan nalar pandangan manusia dengan delimitasi keruangan yang dimilikinya. Para

pengakaji ruang menyadari bahwa arsitektur adalah suatu manifestasi intelektual dari sifat

ruang yang abstrak itu. Ruang juga tidak bersifat konkret, tidak plastis, dan tidak kubis.

Ruang bersifat abstrak, menyebar, dan melarut dalam wujud bidang-bidang tidak wadaqi.

(Ronald, 2008: 261).

Page 8: LAPORAN HASIL PENELITIAN HIBAH UNGGULAN PROGRAM …

5

2.3 Animisme dan Dinamisme

Animisme adalah pandangan kepercayaan kelompok masyarakat tertentu terhadap

keberadaan kekuatan yang diwariskan oleh nenek moyang maupun leluhurnya. Pandangan ini

selanjutnya melahirkan adanya berbagai tradisi di masyarakat tradisional mengenai konsep

pemujaan serta kepercayaan tentang adanya kekuatan abstrak dari nenek moyang. Pandangan

dinamisme adalah suatu wujud kepercayaan yang berkenaan dengan adanya “mana” atau

kekuatan abstrak yang dipercaya dapat diperoleh manusia satu dari manusia lainnya, dari

binatang, dan dari tumbuh-tumbuhan, bahkan sebuah benda mati sekalipun. Pandangan ini

selanjutnya melahirkan berbagai tradisi dan ritual pemuliaan terhadap benda-beda sakral,

batu besar, serta tempat-tempat bernilai sakral lainnya di sekitar area permukiman dan di

alam (Anonim, 1984: 7). Teori ini relevan dipergunakan untuk mengkaji zona-zona di lokasi

penelitian yang memuat materi atau objek-objek yang bermuatan animisme dan dinamisme.

2.4 Masyarakat Bali Aga

Terdapat dua macam pendapat yang telah dikemukakan oleh dua sarjana tentang

masyarakat Bali Aga yang kiranya relevan digunakan dengan penelitian ini.

1. Masyarakat Bali Aga adalah masyarakat Bali mula (‘Bali asli’) yang masih

memegang kuat adat istiadat serta tradisi animisme dan dinamisme secara secara

turun temurun (Prayitno, 2003). Masyarakat ini lazimnya bertahan hidup di wilayah

pegunungan, seperti di daerah Desa Sukawana, Sembiran, Kintamani, dan Tenganan.

2. Masyarakat Bali Aga lazimnya sangat kurang memperoleh pengaruh kultur Hindu

Jawa Majapahit. (Suwidja dan Purna, 1991: 198). Komunitas Bali Aga juga tidak

mengenal sistem pembagian strata sosial masyarakat. Adapun orang Hindu dari Jawa

Timur yang datang ke Bali pascamasa kejatuhan Majapahit dikenal dengan nama

Triwangsa. Kaum ini terdiri dari golongan Brahmana, Ksatriya, dan Waisia (Shastri,

1963: 94). Komunitas kaum “pendatang” ini dikenal juga dengan istilah kaum Bali

Arya yang disebut menghuni wilayah permukiman dataran Pulau Bali.

2.5 Pola Desa Tradisional Bali Aga

Pola desa tradisional ciri masyarakat Bali Aga di daerah pegunungan lazimnya

berorientasi ke arah posisi puncak gunung, keberadaan lintasan-lintasan jalan pembentuk pola

lingkungan disesuaikan dengan karakter transis lokasi serta kemiringan lereng-lereng yang

terbentuk secara alami. Desa Sukawana, di wilayah Kintamani, Bangli serta beberapa desa di

daerah pegunungan berlereng berorientasi ke arah punggung bukit; ke arah yang lebih tinggi

Page 9: LAPORAN HASIL PENELITIAN HIBAH UNGGULAN PROGRAM …

6

di zona-zona masing-masing; maupun ke puncak tertinggi yang sebagai arah orientasi

permukiman sekitarnya secara bersama. Tempat suci komunal serta tempat suci pemujaan di

masing-masing rumah keluarga berada di bagian yang tertinggi dan berorientasi ke arah

orientasi sakral bersama. Lokasi yang memiliki karakter lahan berlereng ke beberapa penjuru

memposisikan orientasi bangunan suci tidak mutlak ke arah kaja dan kangin (Anonim, 1986:

13-14). Pola desa tradisional milik masyarakat Bali Aga lazimnya mengambil pola sumbu

aksis yang linear dengan ruang plaza berada di tengah permukiman.

Gambar 2.1 Peta Pola Desa Bali Aga

Page 10: LAPORAN HASIL PENELITIAN HIBAH UNGGULAN PROGRAM …

7

BAB III METODE PENELITIAN

Penelitian tentang konsep tata pola Desa Pinggan ini termasuk sebuah penelitian

kualitatif. Pada bagian berikut dipaparkan aspek-aspek yang berkenaan dengan gambaran

metode penelitian ini, yaitu sebagai berikut: (1) materi penelitian; (2) informan penelitian; (3)

metode penelitian; dan (4) instrumen penelitian.

3.1 Materi Penelitian

Materi penelitian yang diajukan ini adalah berupa tata ruang, zona-zona, dan pola desa

yang terdapat dalam area wilayah Desa Pinggan, Kecamatan Kintamani, Bangli. Materi-

materi penelitian tersebut secara umum dapat dikelompokkan sebagai: (a) pola desa; (b) tata

zonasi desa; (c) bangunan-bangunan utama desa; (d) tata jalan utama desa; (e) hierarkhi tata

ruang; (f) posisi bangunan pura; dan (g) orientasi desa.

3.2 Lokasi Penelitian

Penelitian yang diajukan ini mengambil lokasi di wilayah Desa Pinggan, Kecamatan

Kintamani, Kabupaten Bangli. Gambaran lokasi desa ini dapat dilihat pada peta berikut.

Gambar 3.1 Lokasi Desa Pinggan

Desa Pinggan

Page 11: LAPORAN HASIL PENELITIAN HIBAH UNGGULAN PROGRAM …

8

sumber: Fatmawati, 2005

Gambar 3.2 Peta Desa Pinggan

Page 12: LAPORAN HASIL PENELITIAN HIBAH UNGGULAN PROGRAM …

9

Dalam peta Desa Pinggan yang diperlihatkan pada halaman sebelumnya terlihat adanya

gambaran persebaran beberapa zona dan bangunan permukiman utama Desa Pinggan. Pada

peta tersebut juga terlihat arah orientasi tata ruang desa yang tidak tidak tepat menyumbu

utara-selatan.

Berikut bagian ini diperlihatkan foto-foto gambaran kondisi eksisting wilayah Desa

Pinggan berdasarkan hasil grand tour pada tanggal 5 dan 10 Maret 2016.

Gambar 3.3 Jalan Utama Menuju

Desa Pinggan Gambar 3.4 Jalan Utama dalam

Wilayah Inti Desa Gambar 3.5 Gang di antara Rumah

Penduduk

Gambar 3.6 Bangunan Rumah

Tradisional Desa Pinggan Gambar 3.7 Bangunan Rumah

Tradisional Desa Pinggan Gambar 3.8 Bangunan Rumah

Tradisional Desa Pinggan

Gambar 3.9 Bangunan Rumah

Tradisional Desa Pinggan Gambar 3.10 Bangunan Rumah

Tradisional Desa Pinggan Gambar 3.11

Jalan Utama Desa Pinggan

Page 13: LAPORAN HASIL PENELITIAN HIBAH UNGGULAN PROGRAM …

10

Gambar 3.12 Candi Bentar

Pura Puseh lan Desa Pinggan Gambar 3.13

Tebing di Tepi Desa Pinggan Gambar 3.14 Ketua Peneliti saat

Grand Tour ke Desa Pinggan

3.3 Informan Penelitian

Informan penelitian merupakan subjek penelitian yang diwawancarai dan dimintai

keterangan tentang topik penelitian ini. Para informan dipilih serta ditetapkan atas

kompetensi pemahaman informasi yang dimilikinya tentang materi maupun fokus penelitian

yang diajukan ini. Para informan yang dipilih dan ditetapkan sebagai narasumber penelitian

ini memiliki posisi antara lain sebagai: (a) pemuka adat Desa Pinggan; (b) pemuka agama

Desa Pinggan; dan (c) para tetua desa.

3.4 Metode Penelitian

Penelitian yang diajukan ini secara umum dijalankan berdasarkan beberapa tahapan

penelitian sebagai berikut.

a. Tahap Pengumpulan Data Awal

Dalam tahap pengumpulan data awal, anggota tim peneliti melakukan grand tour yang

telah dilakukan pada tanggal 5 dan 11 Maret 2016, dalam area penelitian ini. Tim juga telah

melakukan beberapa wawancara dengan para narasumber secara langsung di lokasi ini.

Kegiatan grand tour yang telah dilakukan ini menghasilkan informasi awal tentang gambaran

tentang topik, materi, serta materi permasalahan penelitian yang layak dijadikan sebagai

materi fokus kajian penelitian ini. Materi penelitian ini ditetapkan terfokus pada kajian

tentang latar konsepsual yang mandasari tata ruang dan zonasi desa Pinggan yang bercorak

Bali Aga itu.

Page 14: LAPORAN HASIL PENELITIAN HIBAH UNGGULAN PROGRAM …

11

b. Tahap Pengumpulan Data Lanjutan

Sedianya, tahap pengumpulan data lanjutan dijalankan adanya pascapengumuman resmi

dari pihak LPPM UNUD tentang persetujuan adanya pembiayaan untuk kegiatan penelitian

ini. Pada tahap pengumpulan data lanjutan ini, tim peneliti menjalankan tiga tipe cara

pengumpulan data berdasarkan karakter data yang disasar. Gambaran tahapan ini dapat

diperlihatkan pada tabel berikut ini.

No. Kegiatan Data/hasil target capaian Durasi

1. Pengumpulan data lapangan

• Data fisik tata ruang wilayah desa • Tata zonasi, lokasi, dan orientasi desa • Peta jalan desa • Kuantitas dan persebaran bangunan utama desa • Gambaran aktivitas warga desa

tiga bulan

2. Pengumpulan data secara oral/ wawancara

• Tradisi dan sejarah kegiatan ritual desa • Kepercayaan-kepercayaan warga desa • Orientasi ritual warga desa tiga bulan

3. Pengumpulan data instansional

• Data kependudukan Desa Pinggan • Data sosial-budaya dan ekonomi desa sebulan

c. Tahap Analisis

Tahap analisis data pada dasarnya dijalankan dalam beberapa macam teknik kajian,

seperti (1) analisis tipo-morfologi dari wujud zonasi dan bangunan desa; (2) analisis orientasi

desa; (3) analisis sejarah; (4) analisis konsepsi; dan (4) analisis secara rasionalis dengan

menggunakan berbagai macam teori dan atau konsep keruangan yang berkaitan dengan fokus

kajian ini. Kegiatan ini diperkirakan rampung dijalankan dalam 4x30 hari. Pada tabel berikut

diperlihatkan gambaran kegiatan-kegiatan analisis penelitian dalam penelitian ini.

No. Kegiatan Objek studi/penjelasan Target hasil

1. Analisis tipomorfologi dan orientasi

Wujud bangunan, lokasi, tata jalan, dan orientasi zonasi dan bangunan utama desa

Tipologi dan orientasi bangunan dan zona desa

2. Analisis sejarah dan konsep

Sejarah dan konsep masing-masing bangunan utama desa Gambaran

perkembangan perwujudan objek dan tradisi ritualnya

Konsep dan prosesi kegiatan ritual warga di zona-zona sakral desa Gambaran tradisi ritual di objek amatan pada masa lalunya

3. Analisis rasionalis

Telaah berkenaan konsep, orientasi, sejarah tata ruang dan pola desa berdasarkan teori keruangan secara umum dan konsep-konsep lokal

Korelasi antara objek studi dan teori/konsep lokal

Page 15: LAPORAN HASIL PENELITIAN HIBAH UNGGULAN PROGRAM …

12

d. Tahap Sintesis

Sintesis data dalam studi ini dijalankan dengan tujuan utama kegiatan untuk menemukan

relasi antarelemen keruangan yang terangkum dalam tahap analisis data yang telah

dijalankan. Hasil kajian dalam tahap ini belum dapat digambarkan secara pasti. Hal ini

mengingat tahap pengumpulan data dan hasil analisis data hingga saat ini belum dijalankan.

Tahap sintesis data juga dapat diartikan sebagai suatu upaya pendialogan semua komponen

yang diperoleh dari hasil analisis dalam tahap sebelumnya. Dalam tahap ini juga digunakan

beberapa macam konsep dan teori keruangan umum dan lokal yang relevan sebagai pedoman

kajian. Tahap sintesis ini berlangsung selama dua bulan kalender saja.

e. Tahap Penyimpulan

Tahap penyimpulan hasil penelitian merupakan tahap paling akhir dari semua rangkaian

penelitian ini. Tahap ini berlangsung relatif singkat, yaitu tidak lebih dari satu bulan kalender.

3.5 Instrumen Penelitian dan Alat Bantu Penelitian

Instrumen utama dalam penelitian kualitatif semacam penelitian ini tentunya instrumen

manusia yang tidak lain adalah semua anggota tim peneliti ini sendiri. Semua tim peneliti ini

secara bersama-sama bertugas sebagai pengumpul data, pengamat, katalisator, serta analisator

bagi semua data yang sejalan dengan tujuan kegiatan penelitian ini. Di samping instrumen

utama penelitian, masih terdapat pula beberapa macam alat bantu penelitian yang digunakan

oleh anggota tim peneliti dalam menjalankan penelitian ini, yaitu:

(a) Tiga unit komputer jinjing (laptop) dan dua unit komputer tablet sebagai alat

penyimpan data, rekaman hasil analisis, maupun sebagai saranan untuk penyusunan

materi laporan tahap-tahap kegiatan penelitian. Komputer tablet juga memiliki fungsi

lain, yaitu sebagai suatu alat perekam gambar, audio, dan video pada saat tim

melakukan observasi atau wawancara.

(b) Satu unit pencetak dengan tinta berwarna untuk mencetak semua laporan penelitian

dan materi focus study bagi tim peneliti.

(c) Dua unit kamera digital yang berfungsi untuk merekam gambar objek diam di

lapangan.

(e) Peralatan tulis untuk mendukung kegiatan pencatatan dan sketsa data secara manual.

Page 16: LAPORAN HASIL PENELITIAN HIBAH UNGGULAN PROGRAM …

13

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

Pada bagian berikut ini dipaparkan tentang gambaran hasil penelitian yang telah

dijalankan.

4.1 Gambaran Singkat tentang Desa Pinggan Desa Pinggan di Kecamatan Kintamani merupakan salah satu desa Bali Aga, dengan

kekayaan sejarah yang dimiliki, antara lain keberadaan Pura Dalem Balingkang, yang

merupakan pura Hindu tertua di Bali sebagai bekas pusat kerajaan Puri Dalem Balingkang.

Desa ini terletak di ketinggian di atas 1.400 m dari permukaan laut dan Desa Pinggan berada

pada daerah dataran tinggi dengan kondisi topografi tanah yang memiliki kemiringan yang

cukup ke arah selatan. Desa Pinggan memiliki iklim pegunungan dengan musim hujan antara

bulan Januari-Maret dan November-Desember. Curah hujan tertinggi antara bulan Desember-

Januaru dengan intensitas curah hujan mencapai 200-300 mm/ tahun.

Jenis tanah di Desa Pinggan adalah tanah regosol cokelat kelabu yang merupakan jenis

tanah vulkanik berupa pasir, debu, kerikil, dan batu hasil letusan gunung berapi dengan luas

areal 1560 Ha. Dengan kondisi tanah yang demikian, jenis tanaman yang dapat tumbuh di

Desa Pinggan adalah:

a. Tanaman musiman : jagung, tomat, bawang, kol, sayur buah jepang, dan aneka sayur-sayuran lainnya.

b. Tanaman buah-buahan : jeruk.

c. Tanaman jangka panjang : jeruk.

Jenis tanaman yang paling dominan di daerah Desa Pinggan adalah jeruk. Sebagian besar

penduduk Desa Pinggan adalah petani jeruk dengan pola penanaman yang ditunjang oleh

kesuburan tanah yang cukup baik, sehingga penjualan buah jeruk merupakan penghasilan

tetap bagi penduduk Desa Pinggan. Tanaman lain yang tumbuh di desa ini adalah tanaman

bambu sebagai bahan utama dalam pembuatan rumah tradisional, sedangkan hewan yang

biasa dipelihara oleh penduduk adalah:

a. Ternak Sapi: 150 ekor

b. Ternak Babi: 200 ekor

c. Ternak Ayam: 500 ekor

Page 17: LAPORAN HASIL PENELITIAN HIBAH UNGGULAN PROGRAM …

14

Air merupakan masalah yang cukup sulit di Desa Pinggan, karena minimnya sumber-

sumber mata air di dekat desa. Penyedaan air bersih hanya berasal dari sumur, kran umum,

dan sebuah mata air di sekitar Pura Dalem Balingkang yang berupa bak penampungan

perembasan air dari tebing yang digunakan untuk kebutuhan sehari-hari. Pembangunan

perpipaan untuk saluran air PDAM telah dilakukan di beberapa tempat dengan dibangun

kran-kran umum untuk pengambilan air, namun kran-kran ini hanya berfungsi beberapa

minggu dari waktu pemasangannya dan sampai saat ini tidak berfungsi lagi. Permohonan

untuk perbaikan telah diusulkan ke pihak terkait, namun sempai saat ini belum ada usaha

untuk memperbaiki.

Secara konsepsional, fisik lingkungan Desa Pinggan memakai pola linier dengan arah

memanjang dari timur laut ke barat daya (menurut kiblat utara-selatan). Orientasi desa

mengarah ke Hulu/barat daya (Gunung Penulisan) dan Teben/timur laut (laut). Jalan utama

desa memanjang pada arah timur laut ke barat daya merupakan core yang tidak hanya

berfungsi sebagai sirkulasi umum, namun sekaligus berfungsi sebagai plaza atau ruang

terbuka yang mengikat hubungan antara jalan setapak/gang/pedestrian yang menuju ke setiap

pekarangan rumah. Core merupakan pusat orientasi ruang dan orientasi gerak penduduk di

dalam setiap kegiatan. Degan posisi desa pada daerah yang bertransis dan kemiringan yang

cukup tajam dari arah utara ke selatan, Desa Pinggan mengambil konsep Ulu Teben, sebagai

bentuk pembagian ruang/wilayah desa dapat dibedakan sebagai berikut:

1. Zona Hulu (bagian barat daya permukiman), ditempatkan fasilitas kegiatan spiritual desa,

yaitu Pura Desa dan Pura Puseh.

2. Zona Antara (bagian tengah), merupakan areal hunian dengan bangunan rumah tinggal

dan fasilitas pelayanan umum seperti balai masyarakat, pura Dadya/keluarga, sekolah,

dan lapangan voli.

3. Zona Teben, merupakan zone nista yang menduduki bagian terendah yang digunakan

sebagai areal perkuburan/setra dan pura Prajapati serta perkebunan.

Pola desa yang muncul di sini merupakan pola linier (linier pattern) yang mengacu pada

arah orientasi ulu-teben, pada daerah ulu merupakan kawasan suci, dan pada daerah teben

merupakan kawasan nista, serta diperuntukan untuk daerah kuburan. Jalan utama desa yang

memanjang dari arah utara ke selatan merupakan “core” yang tidak hanya berfungsi sebagai

sirkulasi umum, tetapi juga sebagai “plaza” dan ruang terbuka yang mampu meningkatkan

hubungan antargang/jalan setapak/pedestrian yang menuju ke setiap pekarangan. Core juga

Page 18: LAPORAN HASIL PENELITIAN HIBAH UNGGULAN PROGRAM …

15

berfungsi sebagai pusat orientasi ruang public pada saat pelaksanaan upacara adat (ritual

ceremony). Jalan-jalan dan gang-gang desa merupakan arah orientasi dari masing-masing

pekarangan.

Lintasan-lintasan jalan terbentuk dari pola lingkungan yang disesuaikan dengan kondisi

desa dan transis tapak. Pekarangan hanya berfungsi sebagai tempat tinggal untuk

mengadakan upacara dan berhubungan dengan keluarga. Dalam upaya memenuhi kebutuhan

hidup mereka mengolah kebun di luar desa (rumah tinggal pokok). Keterbatasan lahan dan

keinginan untuk dekat dengan jalan utama menyebabkan terjadi pengembangan perumahan

ke arah luanan/ulu, namun tetap mempertahankan tidak membangun di luanan area pura,

khususnya di Pura Puseh dan Bale Agung).

4.2 Pola Desa dan Tata Zonasi Desa Pinggan Desa Pinggan menganut pola desa linear yang mengikuti kontur daerah perbukitan yang

menjadi lokasi tempatnya berada. Area permukiman berada di zona inti desa yang berada di

area sekitar jalan utama desa yang membentang secara menyerong dari arah barat daya ke

arah timur laut itu. Area terluar desa diisi dengan area perkebunan penduduk yang berada di

area lereng pegunungan Desa Pinggan. Pada gambar berikut ini diperlihatkan gambar peta

Desa Pinggan sebagai hasil survey dan pemetaaan yang dilakukan pada Juni-Agustus 2016.

Page 19: LAPORAN HASIL PENELITIAN HIBAH UNGGULAN PROGRAM …

16

Page 20: LAPORAN HASIL PENELITIAN HIBAH UNGGULAN PROGRAM …

17

4.3 Arah Sakral-Profan sebagai Orientasi Desa Pinggan

Desa Pinggan ini dapat digolongkan sebagai Desa Bali Aga yang juga menganut pola ulu

teben. Pola ini membagi zonasi wilayah desa atas zona kepala (ulu) yang bernilai sakral dan

zona kaki (teben) desa yang bernilai profan. Pola desa mengikuti aturan yang memposisikan

arah lokasi Pura Puncak Penulisan yang berada di arah barat daya desa sebagai orientasi arah

sakral desa. Arah barat daya bagi komunitas masyarakat tradisional Desa Pinggan diposisikan

sebagai arah kaja (arah paling sakral) bagi tata ruang desa secara keseluruhan. Adapun

sebagai dampak dari penetapan arah barat daya sebagai arah kaja atau arah yang paling

disakralkan tersebut, maka terjadi suatu aturan pemutaran arah mata angin terkait arah sakral-

profan sebesar 135˚ ke arah kiri. Pemutaran ini berdampak pada perubahan seluruh arah mata

angin di desa ini.

Pada bagian berikut ini dipaparkan tentang pola arah orientasi yang berlaku di Desa

Pinggan.

1. Arah kaja Desa Pinggan mengacu ke arah posisi Pura Pucak Penulisan yang berada di

arah barat daya Desa Pinggan. Arah ini menjadi arah paling sakral bagi tata ruang Desa

Pinggan.

2. Arah kelod diposisikan beroposisi dengan arah kaja (arah Pura Pucak Penulisan), yaitu ke

arah timur laut. Pada ujung timur laut desa terdapat area setra adat (kuburan desa).

3. Arah kangin dan kauh masing-masing disetarakan sebagai arah barat laut dan tenggara.

Wilayah Desa Pinggan berada dalam gugusan desa-desa di wilayah Kintamani, Bangli

yang dikitari barisan Pegunungan Melekeh (baca: Bukit Mêlêkêh). Pegunungan ini

membentang dari wilayah Desa Trunyan, Desa Kedisan, Desa Buahan, Desa Songgan, dan

Desa Pinggan. Barisan pegunungan ini membentuk suatu rangkaian cincin pegunungan yang

melewati kelima desa Bali Aga itu.

Desa Pinggan memiliki area dataran yang difungsikan sebagai wilayah permukiman

penduduk. Adapun daerah lereng perbukitan desa difungsikan sebagai area perladangan dan

perkebunan milik penduduk. Perhatikan gambar berikut ini.

Page 21: LAPORAN HASIL PENELITIAN HIBAH UNGGULAN PROGRAM …

18

Page 22: LAPORAN HASIL PENELITIAN HIBAH UNGGULAN PROGRAM …

19

4.4 Konsepsi Tata Ruang Pekarangan Antartetangga

Area pekarangan antartetangga tidak dibatasi dengan tembok masif selayaknya

permukiman tradisional Bali di daerah dataran pada umumnya. Pekarangan-pekarangan

tersebut ditata berjejer dari jalan utama desa dengan hanya dibatasi beberapa elemen penanda

batas area pekarangan seperti peninggian tanah pekarangan, perbedaan elemen penutup

permukaan tanah pekarangan, dan elemen batu penanda batas pekarangan (lihat gambar 4.7).

Lazimnya, batas-batas pekarangan tersebut terdapat di antara bangunan-bangunan yang

dimiliki suatu keluarga dengan keluarga lain yang menjadi tetangganya.

Pekarangan-pekarangan rumah pada umumnya dijejer (satu lérét) tidak berdasarkan

adanya hubungan kekeluargaan. Rumah-rumah yang bertetangga bukan menunjukkan bahwa

antara kedua pemilik rumah memiliki hubungan keluarga secara langsung. Konsep semacam

ini disebutkan sudah berlaku secara turun temurun (Suarsana, 2016).

Pola desa ditandai dengan adanya jalan utama desa (margi ageng) selebar 5-6 meter yang

membelah wilayah desa dari arah ulu ke teben desa. Di tepi margi ageng terdapat rumah-

rumah tradisional yang berjejer dari tepi margi ageng yang berkontur datar hingga ke daerah

tepian desa yang bertopografi berlereng. Masing-masing pekarangan rumah akan dibatasi

dengan gang-gang (rurung) yang berada di daerah ulu dan teben pekarangan rumah tinggal

masing-masing keluarga.

Apabila ada kematian dalam suatu keluarga yang menghuni suatu pekarangan rumah

tinggal tradisional Desa Pinggan, maka rumah-rumah yang berada di sekitarnya pun akan

terkena dampak kesebelan seperti layaknya kesebelan yang dialami oleh keluarga inti yang

berduka. Selama Kesebelan tersebut berlangsung secara bervariasi sesuai kedekatan

hubungan sosial suatu anggota keluarga dengan si mati. Selama kesebelan, seseorang tidak

diperkenankan ke pura atau tempat suci lainnya, tidak diperkenankan melakukan atau

mengikuti upacara ritual dalam skala apa pun sampai batas waktu tertentu sesuai yang

ditentukan oleh adat setempat. Pada bagian berikut ini diperlihatkan pola aturan lama

kesebelan yang berlaku terhadap keluarga-keluarga yang berada di sekitar si mati (cf.

Suarsana, 2016; Sarsana, 2016).

1. Seluruh anggota keluarga yang tinggal sepekarangan rumah adat yang memiliki anggota

Page 23: LAPORAN HASIL PENELITIAN HIBAH UNGGULAN PROGRAM …

20

keluarga meninggal akan terkena kesebelan selama 42 hari.

2. Seluruh anggota keluarga yang tinggal bersebelahan langsung (satu lérét) dengan

pekarangan rumah adat yang memiliki anggota keluarga meninggal akan terkena

kesebelan selama 12 hari.

3. Seluruh warga Desa Pinggan akan mengalami kesebelan selama 3 hari jika ada warga

desa meninggal.

Gambar 4.3 Pola Rumah Satu Lérét

Page 24: LAPORAN HASIL PENELITIAN HIBAH UNGGULAN PROGRAM …

21

Gambar 4.4 Sanggah Penegtegan Gambar 4.5 Bale Saka Nem

Gambar 4.6 Perabotan di Tepi Bale Saka Roras Gambar 4.7 Elemen Pembatas pada Lantai

Gambar 4.8 Lesung Batu di Halaman Rumah Gambar 4.9 Pintu Pekarangan Rumah

Page 25: LAPORAN HASIL PENELITIAN HIBAH UNGGULAN PROGRAM …

22

4.5 Konsepsi Tata Ruang Pekarangan Rumah Tinggal

Berdasarkan hasil oberservasi lapangan yang telah dijalankan, diperoleh gambaran

bahwa pekarangan rumah tradisional di Desa Pinggan untuk satu keluarga adalah tersusun

dari tata ruang dan bangunan tradisional sebagai berikut.

1. Pola dan orientasi pekarangan rumah tinggal

Pola pekarangan rumah tinggal di Desa Pinggan juga menganut pola ulu-teben. Daerah

ulu ditetapkam berada di daerah paling barat daya tapak (arah kaja) sesuai dengan arah

posisi keberadaan Pura Puncak Penulisan yang memang berada di daerah barat daya Desa

Pinggan. Dalam petak pekarangan rumah tinggal secara berturut-turut terdapat area

tempat suci (sanggah) di daerah ulu pekarangan; bangunan bale saka roras; natah (inner

open space); bale saka nem; pagedongan; dan pintu masuk pekarangan yang ditempatkan

di daerah teben pekarangan.

2. Tempat suci rumah tinggal

Tempat suci pekarangan rumah dikenal dengan nama Sanggah Penegtegan. Dalam

kompleks bangunan suci ini lazimnya minimum terdapat bangunan pelinggih leluhur dan

penunggun karang. Dalam perkembangan selanjutnya sudah ada beberapa keluarga yang

membangun bangunan padmasari atau padmasana dalam area tempat sucinya ini.

Kompleks bangunan ini berada di zona paling ulu dari pekarangan rumah tinggal

tradisional Desa Pinggan, terlingkupi oleh tembok pembatas penyengker setinggi leher

manusia dewasa. Pintu area sanggah berada menghadap ke arah kelod (timur laut).

3. Bangunan Bale Saka Roras

Bangunan ini berwujud bale bertiang saka sejumlah 12 (Bali: roras) dan berdinding

gedeg. Pada umumnya bangunan ini difungsikan sebagai bangunan rumah tinggal, tempat

tidur, dan merangkap dapur (paon). Bangunan ini merupakan bangunan paling utama

untuk kelompok bangunan rumah tinggal di pekarangan rumah tradisional Desa Pinggan.

Bangunan Bale Saka Roras berada di area sebelah timur laut atau di zona teben dari

sanggah. Dalam bangunan ini seluruh anggota keluarga akan tidur dengan arah orientasi

ulu-teben desa yang sesuai dengan arah barat daya-timur laut. Posisi kepala di arahkan ke

arah kaja (barat daya), adapun posisi kaki ditempatkan ke arah kelod (timur laut).

4. Bangunan Bale Saka Nem.

Bangunan ini difungsikan sebagai bangunan tempat jenazah dan bangunan untuk

kegiatan upacara. Bangunan ini merupakan bangunan bale yang bertiang saka berjumlah

enam batang (Bali: nem). Bangunan ini difungsikan sebagai bangunan kegiatan adat,

Page 26: LAPORAN HASIL PENELITIAN HIBAH UNGGULAN PROGRAM …

23

bangunan kematian, dan bangunan untuk tempat sesajen upacara keluarga.

5. Bangunan suci pelinggih kembar

Pada area natah ada kalanya akan dijumpai bangunan pelinggih kembar yang sengaja

dibangun oleh pemilik rumah yang pernah memiliki atau dikaruniai anak kembar. Pada

masa sekarang, bangunan pelinggih kembar masih tetap terpelihara dan rutin diupacarai

di tengah natah rumah yang memiliki atau pernah memiliki anak kembar tersebut (lihat

gambar 4.11 dan 4.13).

6. Bangunan pagedogan atau kandang untuk hewan piaraan.

Pada daerah sekitar pintu masuk pekarangan terdapat area kandang piaraan yang disebut

dengan nama Pagedongan. Area padegongan ini akan dipilah menjadi tiga petak area

secara berurutan dari daerah ulu ke teben, yaitu untuk hewan kuda, sapi, dan yang paling

teben untuk hewan babi piaraan pemilik rumah. Konsep penempatan hewan secara

berurutan seperti itu adalah berdasar pada konsep bahwa di antara ketiga jenis hewan

tersebut, kuda dimaknai sebagai hewan tunggangan yang berkarakter paling bersih. Sapi

sebagai hewan potong memiliki tingkat kebersihan kedua. Adapun babi sebagai hewan

potong dikenal sebagai binatang piaraan yang paling kotor. Hasil wawancara dan

observasi juga mengindikasikan bahwa ada pertimbangan sisi kesehatan dan sanitasi

lingkungan berdasar kearifan lokal yang sudah mentradisi dalam penataan posisi kandang

ketiga jenis binatang tersebut. Semakin ke daerah hulu, maka semakin bersih jenis hewan

yang ditempatkan.

Gambar 4.10 Denah Rumah Tinggal Gambar 4.11 Posisi Pelinggih Kembar

Page 27: LAPORAN HASIL PENELITIAN HIBAH UNGGULAN PROGRAM …

24

Gambar 12 Bale Saka Roras Gambar 13 Pelinggih Kembar

4.6 Pura Puncak Penulisan sebagai Orientasi Sakral Desa Pinggan

Membicarakan tentang Pola Desa Pinggan, sudah sewajarnya jika dikaji juga tentang

Pura Puncak Penulisan yang menjadi orientasi sakral Desa Pinggan dan desa-desa lain di

sekitarnya.

Lokasi Pura Puncak Penulisan berada di atas ketinggian Gunung Batur dan Danau Batur.

Berada pada letak ketinggian tertentu serta disuguhi pemandangan yang menarik dengan

suasana alam yang sejuk, dan asri. Pura yang merupakan peninggalan bercorak Bali asli ini

memiliki nilai agama, budaya dan sejarah yang tinggi. Pura Puncak Penulisan terdiri dari 5

buah komplek pura, yaitu Pura Dana, Pura Taman Dana, Pura Ratu Penyarikan, Puri Daha

dan Pura Panarajon.

Pura Puncak Penulisan keberadaannya di atas bukit dengan ketinggian 1.745 meter di

atas permukaan laut (dpl). Pura ini sering juga disebut dengan Pura Tegeh atau Pura Pamojan.

Fungsinya ialah sebagai tempat untuk melakukan pemujaan terhadap Dewa Siwa yang

merupakan manifestasi dari Tuhan Yang Maha Kuasa. Di dalamnya banyak terdapat benda-

benda peninggalan masa Megalitikum sampai dengan masuknya peradaban Hindu ke Bali.

Pura ini memiliki nilai historis yang tinggi dan beberapa keunikan yang membuatnya berbeda

dengan pura lainnya sehingga banyak orang yang ingin mengunjunginya. Bentuk bangunan

pura ini menerapkan dua konsep, yakni; konsep pertama diambil dari masa prasejarah

ditinjau dari struktur bangunan yang bertingkat, dan konsep kedua berupa pembangunan pura

yang mencapai 7 tingkat dengan tingkat pertama dan kedua dihubungkan dengan tangga.

Pada tingkat ke-3 terdapat Pura Dana dan Pura Taman Dana, ditingkat ke-4 terdapat Pura

Ratu Penyarikan, sedangkan ditingkat ke-6 terdapat Pura Ratu Dahatua, dan terakhir di

puncak ke-7 terdapat Pura Pelinggih tempat pemujaan Pengaruman, Piyasan dan Gedong

sebagai tempat menyimpan benda-benda purbakala. Berdasarkan pada peninggalan yang ada,

Page 28: LAPORAN HASIL PENELITIAN HIBAH UNGGULAN PROGRAM …

25

pura ini diperkirakan mulai dibangun pada tahun 300 M (zaman perunggu) dan dilanjutkan

pada abad ke-10 sampai berakhirnya kekuasaan Majapahit tahun 1343 M. Sebagian besar

mata pencaharian penduduk sekitar pura ini adalah sebagai petani.

Nama asli dari Pura Puncak Penulisan, yakni Pura Tegeh Kahuripan Penulisan, disebut

Pura Puncak Penulisan dikarenakan letak geografisnya yang tertinggi di Bali. Pura ini berada

di Banjar Kuta Dalem, Desa Sukawana, Kecamatan Kintamani, Kabupaten Bangli.

Penempatan areal mandala pada Pura Tegeh Kahuripan, terdiri dari beberapa bagian. Pada

areal madya mandala terdapat 2 buah pura, yakni Pura Ratu Gede Penyarikan yang

difungsikan sebagai tempat untuk meminta izin memasuki areal utama mandala yang terletak

pada sebelah kanan dan Pura Dêtua yang difungsikan sebagai tempat penyimpanan sarana

upakara yang diletakkan pada sebelah kiri. Pada areal utama mandala terdapat 2 pelinggih

utama berupa Gedong Puser Tasik dan Gedong Cemeng. Gedong tersebut digunakan untuk

menyimpan arca-arca yang dikeramatkan. Pada salah satu pelinggih utama terdapat sumur

yang dipergunakan sebagai sumber tirta. Adapun pemucuk dari Pura Tegeh Kahuripan ini

yaitu Desa Sukawana, dan Bebanon disungsung oleh Desa Kintamani.

Pura Puncak Penulisan merupakan pura tertua di dataran pulau Dewata, yang

diperkirakan sudah terbangun sejak zaman Megalitikum. Pura ini disebutkan sebagai pura

orang Bali Asli/Mula/Age. Selain disebut sebagai Pura Tegeh Koripan, Pura Puncak

Penulisan juga disebut dengan Pura Pamojan (panah raja), dan disebut juga sebagai Pura Ukir

Padelengan yang diartikan bukit tempat memandang pada zaman dahulu. Pada zamannya

tempat ini dijadikan sebagai tempat menjalankan yoga semadi para raja.

Pada puncak purnama kapat (sasih kapat), terkenang akan sejarah lama Pura Pucak

Penulisan. Pada kisah terdahulu, diceritakan dua bukit dalam satu kawasan puncak yang

diberi nama Bukit Datwa dan Pucak. Bukit Datwa membentang ke Munduk Lampah dan

Bukit Pucak membentang kemunduk lantang yang dianggap tulang punggung pulau Bali

(Catur Dharma Klawasan). Peradaban prasejarah Bukit Datwa dianggap sebagai tempat

hunian aktivitas orang yang dirajakan sebagai kepala suku di wilayah Kedatuan pada

seputaran wilayah kaldera Wintang Ranu (bintang danau) yaitu semua wilayah di Kecamatan

Kintamani sampai ke batas Kuta Desa Blantih yang merupakan satu Kedatuan. Pada zaman

dulu, Bukit Datwa merupakan tempat tinggal penguasa wilayah, sedangkan Pucak (Pucak

Penulisan) merupakan tempat pemujaan batu besar yang dianggap sebagai tempat duduknya

Bapak Akasa. Pura Pucak Penulisan merupakan pura yang bercorak asli Bali Age atau Bali

Mula. Hal tersebut dikarenakan bentuknya tidak seperti pura Bali pada umumnya. Oleh

karena itulah, Pura Pucak Penulisan dinyatakan sebagai “asli” Bali. Usia pura ini belum dapat

Page 29: LAPORAN HASIL PENELITIAN HIBAH UNGGULAN PROGRAM …

26

ditelusuri secara pasti, sehingga memang bernilai bagi budaya, agama, dan sejarah Bali. Pada

zaman dahulu pura ini digunakan untuk bersemedi para raja disekitarnya sekaligus sebagai

representasi sebuah kehidupan yang teguh (Tegeh Kahuripan).

Dari sistem penempatan bangunannya, sebagian besar pura menghadap ke arah selatan,

kecuali pura utama yang menghadap ke arah barat yang mengadopsikan dua konsep. Konsep

pertama, merefleksikan bangunan pada masa megalitik yang nampak pada wujud bangunan

teras piramida bertingkat (Konsep Gunung Suci). Konsep kedua berupa konsep Sapta Loka

yang ditinjau dari bentuk bangunan pura yang bertingkat tujuh dimana setiap tingkat (teras)

dihubungkan dengan tangga.

Pada tingkat ketiga (Swah Loka) terdapat dua palinggih kecil yang disebut Pura Dana dan

Pura Taman Dana. Pada tingkat selanjutnya (Maya Loka) dapat ditemukan Pura Ratu

Penyarikan (di sebelah Timur jalan): sementara, pemujaan keluarga Dadya Bujangga dapat

ditemukan di sebelah Barat. Pada tingkat keenam (Tapa Loka) terdapat Pura Ratu Daha Tua.

Di tingkat ketujuh (Sunya Loka) yang merupakan puncak Pura Penulisan terdapat bangunan

pelinggih Pangaruman, Piyasan, serta Gedong yang berfungsi sebagai tempat menyimpan

benda-benda peninggalan purbakala.

Pura ini diperkirakan dibangun pada tahun 300 M (zaman perunggu) kemudian

dilanjutkan pada abad ke-10 hingga tahun 1343 M (mendekati masa berakhirnya kekuasaan

Majapahit). Dugaan tersebut didasarkan pada temuan artefak dan benda-benda purbakala di

kompleks pura yang mengundang banyak peneliti, ilmuwan, dan sejarawan untuk

menelitinya. Dr WF Sturterheim menggambarkan dalam bukunya yang berjudul Oudheden

Van Bali I-II 1929-1930 bahwa artifak dan benda purbakala yang ditemukan di kompleks

pura tersebut adalah berasal dari era Kerajaan Bali Kuno. Keyakinan ini juga didasarkan pada

adanya temuan berupa beberapa prasasti yang memiliki hubungan dengan tata perikehidupan

Bali pada masa itu, yaitu sebuah prasasti yang berangka tahun 999 Saka (1077 M) dan tahun

1352 Saka (1436 M). Penemuan figur arca lelaki dan perempuan yang di bagian belakangnya

memuat juga prasasti sebagai pratista (pelinggih roh suci) dari tokoh Raja Udayana

Warmadewa dengan Gunapriyadarmapatni pada akhirnya juga memperkuat simpulan

tersebut. Sang raja yang ini berkuasa di kerajaan Bali pada tahun 911-933 Saka ini. Arca lain

yang berada di belakangnya, yaitu satu sosok arca wanita dalam sikap berdiri juga memuat

nama Bhatari Mandul yang ditafsirkan sebagai Pratista dari jiwa Permaisuri Raja Anak

Wungsu yang memang tak berputera itu.

Penemuan lain yang mendukung dugaan bahwa Pura Pucak Penulisan merupakan pura

peninggalan bali kuno adalah penemuan sepasang arca setinggi 92 cm, bermahkota , dan

Page 30: LAPORAN HASIL PENELITIAN HIBAH UNGGULAN PROGRAM …

27

mengenakan anting berbentuk pilinan rambut. Arca yang ditemukan pada tahun 1922 oleh

Tim Peneliti Fakultas Sastra Unud itu memuat prasasti bertahun 933 Saka (1026 M) yang

dipahat oleh Mpu Bga Anatah. Ada pula arca wanita berdiri yang terbuat dari batu padas

setinggi 154 cm. Pada bagian belakang sandaran arca terpahat huruf Kadiri Kuadarat

bertuliskan Batari Mandul dan angka tahun 999 Saka (1077 M). Prasasti ini dikategorikan

masuk pada periode Bali Kuno (abad ke-11).

Selain dari pada itu, ditemukan pula sebuah arca yang diperkirakan berasal dari masa

Bali Madya (abad ke-13) berupa arca laki-laki berdiri dengan sikap tangan kanan dijulurkan

ke bawah sejajar badan dan tangan kiri ditekuk ke depan. Temuan lain dari masa Bali Madya

adalah arca perwujudan Dewa Brahma, dengan atribut Empat Muka, atau Caturmuka. Di

bagian paling atas Pura Puncak Panulisan, ditemukan juga arca Dewa Ganesa yang bercirikan

berkepala gajah, berbadan manusia, dan bertangan empat yang juga dikategorikan dalam

masa Bali Madya.

Selain arca tersebut di atas, pura ini menyimpan banyak lingga berpasangan dan ratusan

lingga tak berpasangan dengan bentuknya berbeda-beda. Lingga tersebut merupakan

perwujudan Dewa Siwa. Terdapat pula batu berhiaskan Bulan dan Matahari yang dianggap

sebagai sebuah perwujudan Bhatara Brahma, miniatur candi sebagai simbol gunung tempat

bersemayamnya para Dewa, dan lain sebagainya.

Dengan sejumlah artefak kuno peninggalan zaman prasejarah hingga masa pengaruh

Hindu, pura ini serupa situs Megalitikum yang kini berfungsi utama sebagai tempat ibadah.

Fungsi lain yang menambah daftar keunikan pura yang layak disambangi ini adalah sebagai

tempat tujuan wisata dan juga area penelitian para ilmuan atau pun sejarawan yang tertarik

mengungkap sejarah dibalik keberadaan pura tempat diadakannya upacara “Pengurip Jagad

Bali Kabeh”. Upacara ini adalah upacara yang diadakan setiap 700 tahun sekali dengan salah

satu ritual utamanya adalah Kebo Roras, yaitu prosesi menanam kerbau sebanyak 12 ekor

tepat di tengah-tengah halaman Pura Puncak Penulisan.

Pada zaman prasejarah, Pucak Tegeh sudah menjadi tempat yang disucikan secara

spiritual pada peradaban orang Bali Mula sebagai landasan keyakinan bahwa gunung

merupakan bentuk tempat suci untuk memuja roh leluhur yang telah disucikan. Empat

puncak yang disucikan yaitu Puncak Panarajon tempat Mpu Panarajon, Puncak Penulisan

tempat tiga Bikcu, Puncak Datwa tempat Ratu Datwa dan yang paling tinggi disebut Puncak

Tegeh yang belakangan dikenal Tegeh Koripan tempat memuja roh leluhur raja yang telah

disucikan. Dari ketinggian 1745 m dari permukaan air laut, Pura Pucak Tegeh sudah menjadi

tempat pemujaan dari zaman Megalithikum sampai zaman sejarah dijelaskan pada Prasasti

Page 31: LAPORAN HASIL PENELITIAN HIBAH UNGGULAN PROGRAM …

28

Sukawana tahun 804 caka ditulis perkenan Raja bagi Biksu Ciwa Kangsita, Ciwa Nirmala

dan Ciwa Prajnauntuk mendirikan tempat suci dan sastra di bukit Kintamani. Dari ketiga

Biksuyang beralihan Ciwa sudah bisa dipastikan di Pucak Tegeh dijadikan tempat suci untuk

memuja Dewa Ciwa yang merupakan Raja Dewa seperti di India. Sehingga banyak bukti

artepak Ciwa dalam bentuk lingga, Brahma Bhaga dan Ciwa Bhaga serta berkembang lingga

kembar dan beberapa meniatur candi sebagai bentuk pemujaan Ciwa dari abad ke IX sampai

saat ini.

Dalam upaya memuliakan roh para raja dibuktikan dengan arca sejoli Raja Udayana

dengan permaisurinya, dibelakang arca tertulis angka tahun 1017 I caka, yang dikeluarkan

pada zaman Raja Anak Wungsu sebagai wujud pemujaan kepada orang tuanya.

Perkembangan berikutnya di abad XI sampai abad XIII terwujud arca-arca mulai tokoh

masyarakat termasuk juga raja seperti arca Batari Mandul dan arca raja Bali terakhir yang

berangka tahun 1254 caka dengan upacara persumpahan yang dimuliakan oleh Kraman Desa

Sukawana dengan gelar Asta Sura Ratna Bumi Banten.

4.7 Pura Dalem Balingkang sebagai Pura Bersejarah Desa Pinggan

Eksistensi Desa Pinggan sebagai salah satu desa yang menjadi gugusan desa-desa

bercorak Bali Aga di Kintamani juga berkaitan dengan keberadaan Pura Dalem Balingkang

yang bernilai sejarah tinggi tersebut. Pada bagian berikut ini dipaparkan tentang gambaran

sejarah Pura Dalem Balingkang tersebut.

Diceritakan bahwa pada zaman dahulu pulau Bali belum dihuni seorang manusia pun.

Pulau Bali masih merupakan hutan belantara, serta amat angker kelihatannya. Tersebutlah

waktu itu di pulau Jawa ada seoarang Resi Markandya yang bersemayam di Gunung Raung.

Beliau adalah seorang pendeta yang telah terkenal dan ahli mengenai tata keagamaan serta

ilmu-ilmu lainnya. Pada waktu beliau sedang bertapa di atas puncak Gunung Raung,

memusatkan pikiran menghadap ke arah sebelah timur, suasana terang benderang dengan

cahaya yang gemerlapan. Oleh karena perasaan beliau telah terketuk ingin mengetahui dari

mana serta sinar apa yang muncul dengan gemerlap tersebut, maka beliau pun bersiap-siap

hendak mencari sinar itu.

Pada hari yang telah ditetapkan dengan diiringi 800 prajurit yang tegap-tegap,

berangkatlah beliau meninggalkan Gunung Raung, kearah timur menuju sinar yang beliau

lihat. Perjalanan rombongan beliau cukup berat dan jauh, namun demikian sedikit pun

mereka tidak merasa letih, lesu yang dialaminya. Akhirnya tidak lama kemudian merekapun

tiba pada salah satu desa yang sekarang dikenal dengan Desa Bantiran di wilayah Pupuan.

Page 32: LAPORAN HASIL PENELITIAN HIBAH UNGGULAN PROGRAM …

29

Dari desa ini tampak pula sinar benderang yang mereka cari masih jauh di ufuk timur.

Mereka berhenti sejenak melepaskan lelah karena jauhnya perjalanan yang ditempuh.

Akhirnya ketika segala keletihan dirasakan telah pulih kembali, dengan penuh semangat

mereka melanjutkan perjalanannya. Tidak lama kemudian merekapun sampai di hutan

belantara yang mendirikan bulu roma dengan keangkerannya. Suatu keanehan telah terjadi

sebab ketika mereka menghadap ke timur untuk mencari sinar itu, sinar tersebut tidak ada

lagi. Dan pada arah sebelah timur gelap gulita. Pada waktu itu beliau berkata dalam hatinya

“Benarkah dari hutan ini datangnya sinar yang aku cari, pastilah tempat ini bersih dan suci”.

Itulah sebabnya timbul hasrat Resi Markandya untuk mendirikan desa di tempat ini. Beliau

memerintahkan seluruh rakyatnya untuk merombak pohon yang ada di hutan itu. Tetapi

belum beberapa potong dapat ditebangnya, tiba-tiba terjadi petaka yang menimpa rakyat

beliau. Banyak di antara rakyatnya menggigil, menggeliat-geliat disamping menemui ajalnya.

Ada pun yang menyebabkan kejadian di atas tidak lain karena di hutan tersebut dihuni oleh

para setan, jin serta mahluk halus lainnya. Para penghuni ini tidak tega melihat hutan tempat

tinggalnya dirabas manusia.

Menyadari kejadian yang menimpa rakyatnya lalu Resi Markandya berkata “Hai

rakyatku semua, berhentilah membabat hutan, sungguh malang nasib kita. Korban telah

bergelimpangan. Mari kita kembali ke Jawa, memohon bantuan agar tercapai segala

kehendak kita untuk mendirikan desa di hutan ini”. Ketika mendengar sabda Resi

Markandya, merekapun menghentikan merabas hutan sambil berkemas ke Gunung Raung

untuk menjemput bala bantuan dari Jawa. Di Jawa telah dipersiapkan bala bantuan yang akan

merampungkan tugas-tugas di Bali kelak. Tatkala hari yang dicanangkan tiba, Resi

Markandya beserta rombongan kembali ke Bali untuk melanjutkan rencananya. Namun

sebelum rombongan mulai merabas hutan tersebut beliau memusatkan pikirannya, mohon

perlindungan semoga rencana beliau dapat terlaksana tanpa hambatan. Beliau menghaturkan

lelabaan (sajian khusus untuk para bhuta) agar para Bhuta tidak mengganggu para rakyatnya.

Berkat ketekunan dan perlindungan Hyang Kuasa, hutan tersebut berhasil dirabas dengan

selamat. Oleh karena tempat ini pada mulanya berasal dari hutan dengan pepohonan yang

amat besar maka beliau menamakan tempat ini Desa Taro yang berasal dari kata Taro (kayu).

Entah beberapa tahun berlalu sepeninggal Resi Markandya, rakyat merasakan betapa sunyi

ditinggalkan Maharesi. Dengan perasaan terharu banyak diantara mereka berpindah, mencari

tempat menurut kata hati mereka masing-masing. Ada yang menuju ke Besakih, Batur,

Lempuyang, serta ada yang menetap di Panarajon.

Page 33: LAPORAN HASIL PENELITIAN HIBAH UNGGULAN PROGRAM …

30

Kini marilah kita ceritakan rakyat beliau yang menetap di Panarajon. Dijelaskan bahwa

oleh karena telah lama menetap disana namun belum juga ada pemuka ataupun seseorang raja

yang dapat dijadikan pemimpinnya. Mereka sepakat untuk memohon kepada Ida Sang Hyang

Widhi agar ada seseorang yang dinobatkan sebagai pimpinan dan pengayom rakyat. Dengan

tekad bulat dan keluar dari hati nuraninya. Diutuslah beberapa penduduk menghadap ke

Jambudwipa memohon kehadapan Ida Betara agar terkabul segala kehendaknya. Paduka Ida

Betara tidaklah menolak permohonan rakyat Bali yang memohon dihadapannya. Beliau

berkenan memenuhi permintaan mereka dan oleh Paduka Betara ditunjuklah putra beliau

yang bernama Jayapangus agar turun ke Bali untuk mengayomi rakyat Panerajon.

Jayapangus memerintah di Panerajon dengan bijaksana. Seluruh rakyat bakti kepada

beliau sebab baginda dalam perintahnya selalu bersikap adil serta mengutamakan

kepentingan rakyat demi kesejahteraan Negara yang dipimpinnya. Tersebutlah pada suatu

hari seorang Tionghoa bernama I Subandar berasal dari Cina, pemeluk agama Bhuda yang

taat, berkelana di kerajaan Panarajon. Tionghoa ini mengembara disertai seorang putrinya

yang bernama Kang Cing We. Putri Cina ini amat cantik. Kulitnya kuning langsat, tubuhnya

semampai serta jalannya menggoyahkan hati yang melihatnya. I Subandar menjalankan tipu

dayanya agar mereka diperkenankan menetap disana. Dengan segala upayanya mereka

berusaha menarik perhatian Jayapangus. I Subandar berhasrat agar raja memperistri putri

tunggalnya. Akhirnya oleh karena sehari-hari paduka raja bergaul dengan putri cina ini,

bagindapun terpengaruh oleh kecantikan putri I Subandar. Hati baginda runtuh terkena panah

asmara Kang Cing We. Baginda tidak dapat melepaskan Kang Cing We dari kalbunya.

Hasrat untuk mengawininya makin menyala, gejolak hatinya tidak dapat dibendung.

Melihat kejadian ini Mpu Ciwagandu penasehat baginda tidak tega hatinya dan

memberanikan diri menghadap paduka raja seraya berkata “wahai paduka junjungan hamba,

apakah sebabnya paduka bersikap demikian hendak memperistri putri Cina itu? Tidakkah

paduka menyadari bahwa paduka adalah seorang raja agung yang bertanggung jawab

terhadap negara beserta seluruh rakyat Panerajon? Paduka adalah seorang penganut Hindu

yang saleh serta menjadi panutan sekalian. Tidakkah paduka mengetahui bahwa I Subandar

beserta putrinya penganut Bhuda yang taat pula? Bagaimana jadinya pandangan rakyat

terhadap paduka. Apabila paduka tidak keberatan urungkanlah niat baginda. Janganlah

paduka terpancing tipu daya I Subandar Cina tersebut. Ketika mendengar ucapan Mpu

Ciwagandu demikian, muka baginda merah padam, tersinggung serta alisnya mengkerut

menahan murkanya sambil bersabda. “Hai Mpu Ciwagandu, benar segala tutur katamu itu.

Aku telah mempertimbangkan segala keputusanku sebijaksana mungkin. Hatiku telah bersatu

Page 34: LAPORAN HASIL PENELITIAN HIBAH UNGGULAN PROGRAM …

31

dengannya. Tidak kuasa aku berpisah dengannya. Kendati bagaimanapun ayahanda kelak

akan aku hadapi dengan segala kekuatan yang ada pada diriku. Aku tidak akan merubah

keputusanku semula. Janganlah Mpu menghalangi maksudku ini.

Mendengar jawaban paduka begitu Mpu Ciwagandu sangat kesal dan kecewa, seba apa

yang disampaikan kepadanya tidak diindahkan paduka raja. Mpu Ciwagandu dengan

perasaan luluh mohon diri serta tidak berkenan lagi sebagai penasihat kerajaan Panarajon.

Raja Jayapangus kemudian melangsungkan perkawinannya sesuai dengan tata cara yang

berlaku pada masa itu.

Oleh karena sudah terpenuhi kehendak I Subandar dan anaknya telah diperistri Raja

Jayapangus, I Subandar kemudian memberikan bekal sejumlah dua kepeng kepada anaknya

serta memohon di hadapan baginda raja. “Wahai paduka raja junjungan Negara Panarajon

yang hamba hormati, kini paduka telah berkenan menyalamatkan dan menjadikan anak

hamba permaisuri yang selalu akan mendampingi tuanku. Semoga tuanku tetap berkenan

memenuhi permintaan hamba. Hamba mohon agar tuanku menyampaikan kepada seluruh

rakyat yang ada di bawah kekuasaan tuan, mulai saat ini sampai seterusnya apabila ada bayi

yang lahir ataupun meninggal harus mempergunakan uang kepeng pada upacara yang

dilaksanakan sebagai pertanda kasih tuanku kepada kami”. Paduka raja Jayapangus dengan

bangga dan patuh memenuhi permintaan I Subandar Cina tersebut. Konon itulah sebabnya

sampai saat ini pada upacara keagamaan di Bali, baik upacara Pitra Yadnya, Dewa Yadnya

ataupun upacara lainnya, uang kepeng tidak pernah dilupakan sebagai pelengkap sajian yang

akan dipersembahkan.

Diceritakan, Mpu Ciwagandu amat murka terhadap tindakan Jayapangus yang tidak

berhasil dicegahnya. Mpu Ciwagandu kemudian melakukan tapa yoga dengan tekunnya

memohon kehadapan para Dewata agar turun hujan lebat selama satu bulan tujuh hari yang

dapat menghancurkan kerajaan Jayapangus. Berkat ketekunannya dan keahlian beliau, maka

benarlah tidak berapa lama akhirnya turun hujan disertai halilintar. Air bah melanda Negara

Panerajon sehingga porak poranda seluruh isi istana. Hancur berantakan tidak dapat dibangun

lagi. Rakyat beliau kacau balau tidak tahu apa yang harus dilakukan untuk menghindari

kejadian diatas. Melihat kejadian ini Jayapangus amatlah sedih sehingga baginda dengan

diiringi rakyatnya mengungsi ke daerah yang bernama Jong Les. Hutan lebat di Jong Les

dirabas untuk dijadikan Puri.

Selanjutnya setelah Raja Jayapangus berhasil mendirikan istana barunya, istana tersebut

diberi nama “Balingkang”. Adapun sebabnya disebut demikian oleh karena Jayapangus

adalah seorang “Bali” sedangkan kata “Kang” diambil dari singkatan nama permaisurinya

Page 35: LAPORAN HASIL PENELITIAN HIBAH UNGGULAN PROGRAM …

32

(Kang Cing We). Nama ini juga merupakan perlambang betapa besar cinta kasih Jayapangus

(Dalem Bali) kepada istrinya. Mengingat musibah yang telah menimpa kerajaan baginda di

Panerajon dahulu, maka untuk menjaga keamanan Negara Balingkang serta menghindari

kemungkinan serangan musuh dari luar, baginda menempatkan prajurit yang tangguh pada

keempat penjuru batas wilayah kerajaannya. Itulah sebabnya apabila kita pergi kekecamatan

Kintamani kita akan menemukan sejenis tari - tarian tradisional yaitu tarian baris pelengkap

upacara antara lain Katekok Jago, Baris Goak, Baris Jangkang Karang dan Baris Cina yang

merupakan simbolis prajurit Jayapangus di masa lalu. Demikian pula apabila kita pergi ke

Pura Balingkang, tidak jauh dari pura itu kita akan menemukan beberapa desa antara lain Si-

A-Kin, Ping-gan dan sebagainya.

Page 36: LAPORAN HASIL PENELITIAN HIBAH UNGGULAN PROGRAM …

33

BAB V PENUTUP

5.1 Simpulan

Pada bagian berikut ini dapat dipaparkan tentang gambaran simpulan sementara dari

hasil penelitian yang telah dilakukan.

1. Desa Pinggan menganut pola desa linear yang mengikuti kontur daerah perbukitan di

wilayah Kintamani, Bangli.

2. Area permukiman terdapat di tengah desa mengikuti jalan utama desa yang berada di

tengah desa. Adapun area luarnya yang berupa area perladangan dan perkebunan berada

di daerah lereng perbukitan desa.

3. Desa Pinggan juga menganut pola orientasi ulu-teben yang membagi desa atas arah

sakral dan profan. Arah sakral atau arah kaja mengacu ke arah lokasi Pura Pucak

Penulisan yang berada di barat daya desa. Adapun arah timur laut dimaknai sebagai arah

teben yang bernilai profan.

4. Konsep arah ulu-teben seperti ini terimplikasi pada tata ruang dan tata bangunan sebagai

berikut.

a. Arah orientasi sakral-profan desa secara keseluruhan.

b. Arah oreintasi sakral profan dalam pekarangan rumah tinggal.

c. Posisi tipe-tipe bangunan dalam pekarangan rumah tinggal.

d. Arah orientasi tidur masyarakat tradisional Desa Pinggan di desanya.

5. Pola orientasi Desa Pinggan tidak terpengaruh secara langsung oleh adanya pengaruh

kultur Tiongkok kuno di daerah ini.

5.2 Saran

Hasil akhir kajian ini menunjukkan bahwa Desa Pinggan menganut pola desa linier khas

desa pegunungan yang bercorak kultur Bali Aga. Ada beberapa desa lain di sekitar Pinggan

yang menganut akar kultur serupa, yaitu Desa Trunyan, Desa Kedisan, Desa Buahan, dan

Desa Songgan. Desa-desa tersebut sangat layak untuk dijadikan sebagai bahan kajian

keruangan pada masa mendatang, baik keruangan yang berskala mikro, meso, maupun

makro.

Page 37: LAPORAN HASIL PENELITIAN HIBAH UNGGULAN PROGRAM …

34

DAFTAR PUSTAKA

Anonim, 1984. Sejarah Pendidikan Daerah Bali. Denpasar: Proyek Inventarisasi dan Dokumentasi Kebudayaan Daerah. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Proyek Inventarisasi dan Dokumentasi Kebudayaan Daerah.

Anonim. 1986. Arsitektur Tradisional Daerah Bali. Denpasar: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.

Eliade, Mircea. 2002. Sakral dan Profan. Nuwanto (Terj.). Yogyakarta: Fajar Pustaka Baru Fatmawati, Shova Ika. 2005. Penataan Desa Adat Pinggan dengan Pendekatan Konservasi.

Denpasar: Program Studi Arsitektur, Fakultas Teknik, Universitas Udayana. Prayitno, Arohman, H. 2003. Etika Kemajemukan: Solusi Strategis Merenda Kebersamaan

dalam Bingkai Masyarakat Majemuk. Jakarta: Penerbit Universitas Trisakti. Ronald, Arya. 2008. Kekayaan & Kelenturan Arsitektur. Yogyakarta: Muhammadiyah

University Press. Shastri, Narendra Dev Pandit. 1963. Sejarah Bali Dwipa. Denpasar: Bhuvana Saraswati. Suwidja, Ida Bagus Mayun dan Purna, I Made. Rsi-Sasana-Catur-Yuga. Denpasar: Proyek

Penelitian dan Pengkajian Kebudayaan Nusantara. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Direktorat Jenderal kebudayaan, Direktorat Sejarah dan Nilai Tradisional, Proyek Penelitian dan Pengkajian Kebudayaan Nusantara.

Informan: 1. Nyoman Sarsana (45 tahun). Alamat: Desa Pinggan, Kecamatan Kintamani, Bangli.

2. Gede Suarsana (48 tahun). Alamat: Desa Pinggan, Kecamatan Kintamani, Bangli.