Upload
others
View
13
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
Bidang Unggulan : Budaya dan Pariwisata Kode/Nama Bidang Ilmu : 426/Teknik Arsitektur
LAPORAN HASIL PENELITIAN HIBAH UNGGULAN PROGRAM STUDI
TATA RUANG DESA PINGGAN, KECAMATAN KINTAMANI, BANGLI: Sebuah Kajian Keruangan Desa Bali Aga
Tim Pengusul :
1. Ir. Ida Bagus Gde Primayatna, M.Erg 0010126110 2. Ir. I Made Suarya , MT 0015105602 3. Dr. Ir. Ida Ayu Armeli, MSi 0031085202 4. I Nyoman Widya Paramadhyaksa, ST, MT, Ph.D 0011097401
JURUSAN ARSITEKTUR FAKULTAS TEKNIK
UNIVERSITAS UDAYANA NOPEMBER 2016
iii
DAFTAR ISI
Halaman Pengesahan ....................................................................................................... ii DAFTAR ISI ................................................................................................................... iii RINGKASAN ................................................................................................................. 1 BAB I PENDAHULUAN ......................................................................................... 2 1.1 Latar Belakang ........................................................................................ 2 1.2 Tujuan Khusus ........................................................................................ 3 1.3 Urgensi Penelitian ................................................................................... 3 BAB II TINJAUAN PUSTAKA ............................................................................... 4 2.1 Ruang Sakral dan Profan ......................................................................... 4 2.2 Ruang Abstrak ......................................................................................... 4 2.3 Animisme dan Dinamisme ...................................................................... 5 2.4 Masyarakat Bali Aga ............................................................................... 5 2.5 Pola Desa Tradisional Bali Aga .............................................................. 5 BAB III METODE PENELITIAN .............................................................................. 7 3.1 Materi Penelitian ..................................................................................... 7 3.2 Lokasi Penelitian ..................................................................................... 7 3.3 Informan Penelitian................................................................................. 10 3.4 Metode Penelitian.................................................................................... 10 3.5 Instrumen Penelitian dan Alat Bantu Penelitian ..................................... 12 BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN ……............................................................ 13 4.1 Gambaran Singkat tentang Desa Pinggan................................................ 13 4.2 Pola Desa dan Tata Zonasi Desa Pinggan ............................................... 13 4.3 Arah Sakral-Profan sebagai Orientasi Desa Pinggan ………………….. 17 4.4 Konsepsi Tata Ruang Pekarangan Antartetangga ……………………... 19 4.5 Konsepsi Tata Ruang Pekarangan Rumah Tinggal ……………………. 22 4.6 Pura Puncak Penulisan sebagai Orientasi Sakral Desa Pinggan ………. 24 4.7 Pura Dalem Balingkang sebagai Pura Bersejarah Desa Pinggan ……… 28 BAB V PENUTUP 33 5.1 Simpulan ………………………………………………………………. 33 5.2 Saran …………………………………………………………………… 33 DAFTAR PUSTAKA ...................................................................................................... 34
LAMPIRAN ....................................................................................................................
34
JUSTIFIKASI PENGGUNAAN BIAYA ....................................................................... 35
1
RINGKASAN
Desa Pinggan merupakan sebuah desa peninggalan masa Bali Aga yang berada dalam wilayah Kecamatan Kintamani, Kabupaten Bangli. Desa ini secara garis besarnya menganut pola tata keruangan desa selayaknya gambaran tata ruang desa pegunungan dari periode Bali Kuno, yaitu memiliki sebuah ruas jalan utama desa yang membujur di tengah desa. Sebagai sebuah Bali Aga yang berlokasi di daerah perbukitan Kintamani, desa ini juga memuat catatan sejarah panjang yang berkaitan erat dengan kedatangan kaum pedagang Cina yang akhirnya menetap di kawasan ini. Arah orientasi desa yang tidak mutlak mengacu ke arah sumbu timur-barat maupun utara-selatan memberi bukti awal bahwa desa beriklim dingin ini memuat konsep pola desa yang spesifik. Pada bagain lainnya, di beberapa bagian desa juga terdapat beberapa zona yang disakralkan warga setempat. Karakteristik desa yang semacam inilah yang selanjutnya mendorong lahirnya suatu gagasan untuk melaksanakan sebuah kajian keruangan yang mendalam tentang landasan konsepsual tata ruang Desa Pinggan. Penelitian ini termasuk dalam kelompok penelitian kualitatif yang berdasar pada telaah data lapangan, konsep, dan wawancara. Penelitian ini membuahkan temuan: (1) Desa Pinggan menganut pola desa linear yang mengikuti kontur daerah perbukitan di wilayah Kintamani; (2) Area permukiman terdapat di tengah desa mengikuti jalan utama desa yang berada di tengah desa. Desa Pinggan juga menganut pola orientasi ulu-teben yang membagi desa atas arah sakral dan profane; (3) Konsep arah ulu-teben seperti ini terimplikasi pada tata ruang dan tata bangunan; (4) Pola orientasi Desa Pinggan tidak terpengaruh secara langsung oleh adanya pengaruh kultur Tiongkok kuno di daerah ini. Kata kunci: Desa Pinggan, pola desa, ulu-teben, orientasi, sakral-profan.
2
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Desa Pinggan merupakan sebuah desa peninggalan masa Bali Aga yang berada dalam
wilayah Kecamatan Kintamani, Kabupaten Bangli. Desa ini secara garis besarnya menganut
pola tata keruangan desa selayaknya gambaran tata ruang desa pegunungan dari periode Bali
Kuno, yaitu memiliki sebuah ruas jalan utama desa yang membujur di tengah desa. Pinggan
agaknya tergolong desa yang menganut pola desa yang sesuai dengan karakter lahan
lokasinya. Sebagai sebuah Bali Aga yang berlokasi di daerah perbukitan Kintamani, desa ini
juga memuat catatan sejarah panjang yang berkaitan erat dengan kedatangan kaum pedagang
Cina yang akhirnya menetap di kawasan ini.
Di dalam wilayah desa yang berpanorama indah ini terdapat sebuah kompleks bangunan
pura kuno yang bernama Pura Dalem Balingkang, tempat pemuliaan Permaisuri keturunan
Cina pada masa lalu, Kang Cing Wie. Arah orientasi desa yang tidak mutlak mengacu ke arah
sumbu timur-barat (kangin-kauh) maupun utara-selatan (kaja-kelod), selayaknya orientasi
desa-desa di Bali dataran pada umumnya. Hal ini sekaligus memberi bukti awal bahwa desa
beriklim dingin ini memuat konsep pola desa yang spesifik. Pada bagain lainnya, di beberapa
bagian desa juga terdapat beberapa zona yang disakralkan warga setempat. Hal ini juga
memberi bukti tentang adanya suatu konsep atau paham keruangan yang khusus yang berlatar
pada sistem kepercayaan lokal yang mungkin saja berlatar dari sinkretisasi kultur Bali-Cina
yang dibawa leluhur penduduk desa itu sejak ratusan tahun yang lalu.
Karakteristik desa yang semacam inilah yang selanjutnya mendorong lahirnya suatu
gagasan untuk melaksanakan sebuah kajian keruangan yang mendalam tentang landasan
konsepsual tata ruang Desa Pinggan. Penelitian yang dijalankan ini tergolong dalam
kelompok penelitian kualitatif yang lebih banyak berdasar pada hasil telaah data observasi
lapangan, penalaran konsep, dan hasil wawancara dengan para narasumber. Dalam upaya
memperkaya wawasan kajian, dijalankan juga teknik pengumpulan data kepustakaan
terhadap penelitian-penelitian keruangan yang berkenaan dengan pola-pola desa Bali Aga
yang berlokasi di Kintamani dan derah-daerah lainnya. Penelitian ini pada bagian akhirnya
menghasilkan temuan dalam bidang ilmu kearsitekturan yang berkenaan dengan gambaran
konsepsi yang melatarbelakangi perwujudan tata ruang Desa Pinggan, baik dalam skala
makro, meso, maupun mikro.
3
1.2 Tujuan Khusus
Penelitian ini memuat beberapa tujuan khusus yang dapat dikemukakan sebagai berikut.
1. Menginventarisir dan menelusuri gambaran sejarah, latar konsepsi, dan makna
keruangan yang termuat dalam perwujudan tata ruang Desa Pinggan.
2. Menemukan pola tradisi keruangan yang berlaku di zona tertentu di Desa Pinggan.
3. Melakukan kajian komparatif antara wujud dan karakter tata ruang Desa Pinggan
sebagai desa Bali Kuno dengan pola tata ruang yang berlaku di desa-desa tradisional
dari masa Bali Pertengahan.
4. Menghasilkan produk penelitian berupa draft materi ajar tentang tata ruang desa
tradisional Bali yang berkarakter Bali Aga di Kintamani.
5. Menghasilkan satu artikel yang terpublikasikan di sebuah jurnal nasional non-
akreditasi.
1.3 Urgensi Penelitian
Penelitian ini layak untuk segera dilaksanakan atas dasar beberapa pertimbangan:
1. Penelitian yang bertujuan menginventarisasi pengetahuan keruangan masa lalu
Penelitian ini pada intinya juga bertujuan untuk menggali serta menemukan kembali
latar konsepsual serta nilai keruangan yang termuat pada zona-zona di sebuah desa
yang berlatar kultur Bali-Cina yang eksis sejak masa Bali Kuno.
2. Penelitian ini memuat materi dan fokus kajian yang orisinal
Penelitian tentang konsepsi tata ruang Desa Pinggan ini belum pernah dijalankan
secara komprehensif oleh peneliti lain.
3. Penelitian untuk pengembangan imu pengetahuan
Hasil akhir penelitian ini memperkaya ilmu pengetahuan berkenaan karakteristik
keruangan di desa yang berlatar kebudayaan Bali Kuno.
4. Penelitian ini sejalan dengan kebijakan Universitas Udayana
Penelitian ini sejalan dengan kebijakan pengembangan ilmu pengetahuan di
Universitas Udayana yang pada intinya berupaya menjadikan Universitas Udayana
sebagai sebuah perguruan tinggi negeri yang berperan aktif dalam upaya
mengembangkan dan melestarikan budaya tradisional Bali.
4
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
Beberapa teori yang digunakan dalam menjalankan penelitian ini, antara lain (1) teori
ruang sakral dan ruang profan; (2) teori ruang abstrak; (3) pandangan animisme dan
dinamisme; (4) konsep masyarakat Bali Aga; serta (5) konsep tata pola desa tradisional Bali
Aga.
2.1 Ruang Sakral dan Profan
Eliade mendefinisikan ruang sakral sebagai ruang “nyata” yang dikelilingi oleh adanya
suatu area medan tidak berwujud. Ruang sakral tersebut pada umumnya dijadikan sebagai
arah orientasi untuk ruang lainnya. Manusia yang menghuni wilayah dunia tengah (midland)
berada di antara area dunia luar yang cenderung “tidak terkendali”, sedangkan area dunia
dalam digambarkan berkarakter sakral. Kedua jenis ruang ini pada umumnya memiliki
tingkatan kualitas kesucian yang selalu diperbaharui dengan berbagai rangkaian prosesi ritual
yang bersifat sakral. Kegiatan ritual ini mengambil suatu area atau tempat yang terdapat
dalam area ruang sakral ini, dan merupakan cara tunggal agar dapat berpartisipasi dalam area
wilayah kosmos yang sakral agar dapat “membersihkan” kembali area dunia profan (2002:
14). Ruang berkarakter sakral berciri lebih kokoh dan bermakna, sementara ruang lainnya
yang bersifat profan cenderung kacau serta tanpa makna. Manusia tradisional lazimnya tidak
mampu hidup secara nyaman dalam suasana alam yang profan, karena manusia tradisional
lazimnya tidak mampu mengorientasikan dirinya secara mandiri.
2.2 Ruang Abstrak
Pada dasarnya ruang merupakan sesuatu yang bersifat abstrak serta tidak terbatas.
Ketidakterbatasannya itu bersifat 3 dimensional dari suatu ruang universal yang ada di luar
jangkauan nalar pandangan manusia dengan delimitasi keruangan yang dimilikinya. Para
pengakaji ruang menyadari bahwa arsitektur adalah suatu manifestasi intelektual dari sifat
ruang yang abstrak itu. Ruang juga tidak bersifat konkret, tidak plastis, dan tidak kubis.
Ruang bersifat abstrak, menyebar, dan melarut dalam wujud bidang-bidang tidak wadaqi.
(Ronald, 2008: 261).
5
2.3 Animisme dan Dinamisme
Animisme adalah pandangan kepercayaan kelompok masyarakat tertentu terhadap
keberadaan kekuatan yang diwariskan oleh nenek moyang maupun leluhurnya. Pandangan ini
selanjutnya melahirkan adanya berbagai tradisi di masyarakat tradisional mengenai konsep
pemujaan serta kepercayaan tentang adanya kekuatan abstrak dari nenek moyang. Pandangan
dinamisme adalah suatu wujud kepercayaan yang berkenaan dengan adanya “mana” atau
kekuatan abstrak yang dipercaya dapat diperoleh manusia satu dari manusia lainnya, dari
binatang, dan dari tumbuh-tumbuhan, bahkan sebuah benda mati sekalipun. Pandangan ini
selanjutnya melahirkan berbagai tradisi dan ritual pemuliaan terhadap benda-beda sakral,
batu besar, serta tempat-tempat bernilai sakral lainnya di sekitar area permukiman dan di
alam (Anonim, 1984: 7). Teori ini relevan dipergunakan untuk mengkaji zona-zona di lokasi
penelitian yang memuat materi atau objek-objek yang bermuatan animisme dan dinamisme.
2.4 Masyarakat Bali Aga
Terdapat dua macam pendapat yang telah dikemukakan oleh dua sarjana tentang
masyarakat Bali Aga yang kiranya relevan digunakan dengan penelitian ini.
1. Masyarakat Bali Aga adalah masyarakat Bali mula (‘Bali asli’) yang masih
memegang kuat adat istiadat serta tradisi animisme dan dinamisme secara secara
turun temurun (Prayitno, 2003). Masyarakat ini lazimnya bertahan hidup di wilayah
pegunungan, seperti di daerah Desa Sukawana, Sembiran, Kintamani, dan Tenganan.
2. Masyarakat Bali Aga lazimnya sangat kurang memperoleh pengaruh kultur Hindu
Jawa Majapahit. (Suwidja dan Purna, 1991: 198). Komunitas Bali Aga juga tidak
mengenal sistem pembagian strata sosial masyarakat. Adapun orang Hindu dari Jawa
Timur yang datang ke Bali pascamasa kejatuhan Majapahit dikenal dengan nama
Triwangsa. Kaum ini terdiri dari golongan Brahmana, Ksatriya, dan Waisia (Shastri,
1963: 94). Komunitas kaum “pendatang” ini dikenal juga dengan istilah kaum Bali
Arya yang disebut menghuni wilayah permukiman dataran Pulau Bali.
2.5 Pola Desa Tradisional Bali Aga
Pola desa tradisional ciri masyarakat Bali Aga di daerah pegunungan lazimnya
berorientasi ke arah posisi puncak gunung, keberadaan lintasan-lintasan jalan pembentuk pola
lingkungan disesuaikan dengan karakter transis lokasi serta kemiringan lereng-lereng yang
terbentuk secara alami. Desa Sukawana, di wilayah Kintamani, Bangli serta beberapa desa di
daerah pegunungan berlereng berorientasi ke arah punggung bukit; ke arah yang lebih tinggi
6
di zona-zona masing-masing; maupun ke puncak tertinggi yang sebagai arah orientasi
permukiman sekitarnya secara bersama. Tempat suci komunal serta tempat suci pemujaan di
masing-masing rumah keluarga berada di bagian yang tertinggi dan berorientasi ke arah
orientasi sakral bersama. Lokasi yang memiliki karakter lahan berlereng ke beberapa penjuru
memposisikan orientasi bangunan suci tidak mutlak ke arah kaja dan kangin (Anonim, 1986:
13-14). Pola desa tradisional milik masyarakat Bali Aga lazimnya mengambil pola sumbu
aksis yang linear dengan ruang plaza berada di tengah permukiman.
Gambar 2.1 Peta Pola Desa Bali Aga
7
BAB III METODE PENELITIAN
Penelitian tentang konsep tata pola Desa Pinggan ini termasuk sebuah penelitian
kualitatif. Pada bagian berikut dipaparkan aspek-aspek yang berkenaan dengan gambaran
metode penelitian ini, yaitu sebagai berikut: (1) materi penelitian; (2) informan penelitian; (3)
metode penelitian; dan (4) instrumen penelitian.
3.1 Materi Penelitian
Materi penelitian yang diajukan ini adalah berupa tata ruang, zona-zona, dan pola desa
yang terdapat dalam area wilayah Desa Pinggan, Kecamatan Kintamani, Bangli. Materi-
materi penelitian tersebut secara umum dapat dikelompokkan sebagai: (a) pola desa; (b) tata
zonasi desa; (c) bangunan-bangunan utama desa; (d) tata jalan utama desa; (e) hierarkhi tata
ruang; (f) posisi bangunan pura; dan (g) orientasi desa.
3.2 Lokasi Penelitian
Penelitian yang diajukan ini mengambil lokasi di wilayah Desa Pinggan, Kecamatan
Kintamani, Kabupaten Bangli. Gambaran lokasi desa ini dapat dilihat pada peta berikut.
Gambar 3.1 Lokasi Desa Pinggan
Desa Pinggan
8
sumber: Fatmawati, 2005
Gambar 3.2 Peta Desa Pinggan
9
Dalam peta Desa Pinggan yang diperlihatkan pada halaman sebelumnya terlihat adanya
gambaran persebaran beberapa zona dan bangunan permukiman utama Desa Pinggan. Pada
peta tersebut juga terlihat arah orientasi tata ruang desa yang tidak tidak tepat menyumbu
utara-selatan.
Berikut bagian ini diperlihatkan foto-foto gambaran kondisi eksisting wilayah Desa
Pinggan berdasarkan hasil grand tour pada tanggal 5 dan 10 Maret 2016.
Gambar 3.3 Jalan Utama Menuju
Desa Pinggan Gambar 3.4 Jalan Utama dalam
Wilayah Inti Desa Gambar 3.5 Gang di antara Rumah
Penduduk
Gambar 3.6 Bangunan Rumah
Tradisional Desa Pinggan Gambar 3.7 Bangunan Rumah
Tradisional Desa Pinggan Gambar 3.8 Bangunan Rumah
Tradisional Desa Pinggan
Gambar 3.9 Bangunan Rumah
Tradisional Desa Pinggan Gambar 3.10 Bangunan Rumah
Tradisional Desa Pinggan Gambar 3.11
Jalan Utama Desa Pinggan
10
Gambar 3.12 Candi Bentar
Pura Puseh lan Desa Pinggan Gambar 3.13
Tebing di Tepi Desa Pinggan Gambar 3.14 Ketua Peneliti saat
Grand Tour ke Desa Pinggan
3.3 Informan Penelitian
Informan penelitian merupakan subjek penelitian yang diwawancarai dan dimintai
keterangan tentang topik penelitian ini. Para informan dipilih serta ditetapkan atas
kompetensi pemahaman informasi yang dimilikinya tentang materi maupun fokus penelitian
yang diajukan ini. Para informan yang dipilih dan ditetapkan sebagai narasumber penelitian
ini memiliki posisi antara lain sebagai: (a) pemuka adat Desa Pinggan; (b) pemuka agama
Desa Pinggan; dan (c) para tetua desa.
3.4 Metode Penelitian
Penelitian yang diajukan ini secara umum dijalankan berdasarkan beberapa tahapan
penelitian sebagai berikut.
a. Tahap Pengumpulan Data Awal
Dalam tahap pengumpulan data awal, anggota tim peneliti melakukan grand tour yang
telah dilakukan pada tanggal 5 dan 11 Maret 2016, dalam area penelitian ini. Tim juga telah
melakukan beberapa wawancara dengan para narasumber secara langsung di lokasi ini.
Kegiatan grand tour yang telah dilakukan ini menghasilkan informasi awal tentang gambaran
tentang topik, materi, serta materi permasalahan penelitian yang layak dijadikan sebagai
materi fokus kajian penelitian ini. Materi penelitian ini ditetapkan terfokus pada kajian
tentang latar konsepsual yang mandasari tata ruang dan zonasi desa Pinggan yang bercorak
Bali Aga itu.
11
b. Tahap Pengumpulan Data Lanjutan
Sedianya, tahap pengumpulan data lanjutan dijalankan adanya pascapengumuman resmi
dari pihak LPPM UNUD tentang persetujuan adanya pembiayaan untuk kegiatan penelitian
ini. Pada tahap pengumpulan data lanjutan ini, tim peneliti menjalankan tiga tipe cara
pengumpulan data berdasarkan karakter data yang disasar. Gambaran tahapan ini dapat
diperlihatkan pada tabel berikut ini.
No. Kegiatan Data/hasil target capaian Durasi
1. Pengumpulan data lapangan
• Data fisik tata ruang wilayah desa • Tata zonasi, lokasi, dan orientasi desa • Peta jalan desa • Kuantitas dan persebaran bangunan utama desa • Gambaran aktivitas warga desa
tiga bulan
2. Pengumpulan data secara oral/ wawancara
• Tradisi dan sejarah kegiatan ritual desa • Kepercayaan-kepercayaan warga desa • Orientasi ritual warga desa tiga bulan
3. Pengumpulan data instansional
• Data kependudukan Desa Pinggan • Data sosial-budaya dan ekonomi desa sebulan
c. Tahap Analisis
Tahap analisis data pada dasarnya dijalankan dalam beberapa macam teknik kajian,
seperti (1) analisis tipo-morfologi dari wujud zonasi dan bangunan desa; (2) analisis orientasi
desa; (3) analisis sejarah; (4) analisis konsepsi; dan (4) analisis secara rasionalis dengan
menggunakan berbagai macam teori dan atau konsep keruangan yang berkaitan dengan fokus
kajian ini. Kegiatan ini diperkirakan rampung dijalankan dalam 4x30 hari. Pada tabel berikut
diperlihatkan gambaran kegiatan-kegiatan analisis penelitian dalam penelitian ini.
No. Kegiatan Objek studi/penjelasan Target hasil
1. Analisis tipomorfologi dan orientasi
Wujud bangunan, lokasi, tata jalan, dan orientasi zonasi dan bangunan utama desa
Tipologi dan orientasi bangunan dan zona desa
2. Analisis sejarah dan konsep
Sejarah dan konsep masing-masing bangunan utama desa Gambaran
perkembangan perwujudan objek dan tradisi ritualnya
Konsep dan prosesi kegiatan ritual warga di zona-zona sakral desa Gambaran tradisi ritual di objek amatan pada masa lalunya
3. Analisis rasionalis
Telaah berkenaan konsep, orientasi, sejarah tata ruang dan pola desa berdasarkan teori keruangan secara umum dan konsep-konsep lokal
Korelasi antara objek studi dan teori/konsep lokal
12
d. Tahap Sintesis
Sintesis data dalam studi ini dijalankan dengan tujuan utama kegiatan untuk menemukan
relasi antarelemen keruangan yang terangkum dalam tahap analisis data yang telah
dijalankan. Hasil kajian dalam tahap ini belum dapat digambarkan secara pasti. Hal ini
mengingat tahap pengumpulan data dan hasil analisis data hingga saat ini belum dijalankan.
Tahap sintesis data juga dapat diartikan sebagai suatu upaya pendialogan semua komponen
yang diperoleh dari hasil analisis dalam tahap sebelumnya. Dalam tahap ini juga digunakan
beberapa macam konsep dan teori keruangan umum dan lokal yang relevan sebagai pedoman
kajian. Tahap sintesis ini berlangsung selama dua bulan kalender saja.
e. Tahap Penyimpulan
Tahap penyimpulan hasil penelitian merupakan tahap paling akhir dari semua rangkaian
penelitian ini. Tahap ini berlangsung relatif singkat, yaitu tidak lebih dari satu bulan kalender.
3.5 Instrumen Penelitian dan Alat Bantu Penelitian
Instrumen utama dalam penelitian kualitatif semacam penelitian ini tentunya instrumen
manusia yang tidak lain adalah semua anggota tim peneliti ini sendiri. Semua tim peneliti ini
secara bersama-sama bertugas sebagai pengumpul data, pengamat, katalisator, serta analisator
bagi semua data yang sejalan dengan tujuan kegiatan penelitian ini. Di samping instrumen
utama penelitian, masih terdapat pula beberapa macam alat bantu penelitian yang digunakan
oleh anggota tim peneliti dalam menjalankan penelitian ini, yaitu:
(a) Tiga unit komputer jinjing (laptop) dan dua unit komputer tablet sebagai alat
penyimpan data, rekaman hasil analisis, maupun sebagai saranan untuk penyusunan
materi laporan tahap-tahap kegiatan penelitian. Komputer tablet juga memiliki fungsi
lain, yaitu sebagai suatu alat perekam gambar, audio, dan video pada saat tim
melakukan observasi atau wawancara.
(b) Satu unit pencetak dengan tinta berwarna untuk mencetak semua laporan penelitian
dan materi focus study bagi tim peneliti.
(c) Dua unit kamera digital yang berfungsi untuk merekam gambar objek diam di
lapangan.
(e) Peralatan tulis untuk mendukung kegiatan pencatatan dan sketsa data secara manual.
13
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN
Pada bagian berikut ini dipaparkan tentang gambaran hasil penelitian yang telah
dijalankan.
4.1 Gambaran Singkat tentang Desa Pinggan Desa Pinggan di Kecamatan Kintamani merupakan salah satu desa Bali Aga, dengan
kekayaan sejarah yang dimiliki, antara lain keberadaan Pura Dalem Balingkang, yang
merupakan pura Hindu tertua di Bali sebagai bekas pusat kerajaan Puri Dalem Balingkang.
Desa ini terletak di ketinggian di atas 1.400 m dari permukaan laut dan Desa Pinggan berada
pada daerah dataran tinggi dengan kondisi topografi tanah yang memiliki kemiringan yang
cukup ke arah selatan. Desa Pinggan memiliki iklim pegunungan dengan musim hujan antara
bulan Januari-Maret dan November-Desember. Curah hujan tertinggi antara bulan Desember-
Januaru dengan intensitas curah hujan mencapai 200-300 mm/ tahun.
Jenis tanah di Desa Pinggan adalah tanah regosol cokelat kelabu yang merupakan jenis
tanah vulkanik berupa pasir, debu, kerikil, dan batu hasil letusan gunung berapi dengan luas
areal 1560 Ha. Dengan kondisi tanah yang demikian, jenis tanaman yang dapat tumbuh di
Desa Pinggan adalah:
a. Tanaman musiman : jagung, tomat, bawang, kol, sayur buah jepang, dan aneka sayur-sayuran lainnya.
b. Tanaman buah-buahan : jeruk.
c. Tanaman jangka panjang : jeruk.
Jenis tanaman yang paling dominan di daerah Desa Pinggan adalah jeruk. Sebagian besar
penduduk Desa Pinggan adalah petani jeruk dengan pola penanaman yang ditunjang oleh
kesuburan tanah yang cukup baik, sehingga penjualan buah jeruk merupakan penghasilan
tetap bagi penduduk Desa Pinggan. Tanaman lain yang tumbuh di desa ini adalah tanaman
bambu sebagai bahan utama dalam pembuatan rumah tradisional, sedangkan hewan yang
biasa dipelihara oleh penduduk adalah:
a. Ternak Sapi: 150 ekor
b. Ternak Babi: 200 ekor
c. Ternak Ayam: 500 ekor
14
Air merupakan masalah yang cukup sulit di Desa Pinggan, karena minimnya sumber-
sumber mata air di dekat desa. Penyedaan air bersih hanya berasal dari sumur, kran umum,
dan sebuah mata air di sekitar Pura Dalem Balingkang yang berupa bak penampungan
perembasan air dari tebing yang digunakan untuk kebutuhan sehari-hari. Pembangunan
perpipaan untuk saluran air PDAM telah dilakukan di beberapa tempat dengan dibangun
kran-kran umum untuk pengambilan air, namun kran-kran ini hanya berfungsi beberapa
minggu dari waktu pemasangannya dan sampai saat ini tidak berfungsi lagi. Permohonan
untuk perbaikan telah diusulkan ke pihak terkait, namun sempai saat ini belum ada usaha
untuk memperbaiki.
Secara konsepsional, fisik lingkungan Desa Pinggan memakai pola linier dengan arah
memanjang dari timur laut ke barat daya (menurut kiblat utara-selatan). Orientasi desa
mengarah ke Hulu/barat daya (Gunung Penulisan) dan Teben/timur laut (laut). Jalan utama
desa memanjang pada arah timur laut ke barat daya merupakan core yang tidak hanya
berfungsi sebagai sirkulasi umum, namun sekaligus berfungsi sebagai plaza atau ruang
terbuka yang mengikat hubungan antara jalan setapak/gang/pedestrian yang menuju ke setiap
pekarangan rumah. Core merupakan pusat orientasi ruang dan orientasi gerak penduduk di
dalam setiap kegiatan. Degan posisi desa pada daerah yang bertransis dan kemiringan yang
cukup tajam dari arah utara ke selatan, Desa Pinggan mengambil konsep Ulu Teben, sebagai
bentuk pembagian ruang/wilayah desa dapat dibedakan sebagai berikut:
1. Zona Hulu (bagian barat daya permukiman), ditempatkan fasilitas kegiatan spiritual desa,
yaitu Pura Desa dan Pura Puseh.
2. Zona Antara (bagian tengah), merupakan areal hunian dengan bangunan rumah tinggal
dan fasilitas pelayanan umum seperti balai masyarakat, pura Dadya/keluarga, sekolah,
dan lapangan voli.
3. Zona Teben, merupakan zone nista yang menduduki bagian terendah yang digunakan
sebagai areal perkuburan/setra dan pura Prajapati serta perkebunan.
Pola desa yang muncul di sini merupakan pola linier (linier pattern) yang mengacu pada
arah orientasi ulu-teben, pada daerah ulu merupakan kawasan suci, dan pada daerah teben
merupakan kawasan nista, serta diperuntukan untuk daerah kuburan. Jalan utama desa yang
memanjang dari arah utara ke selatan merupakan “core” yang tidak hanya berfungsi sebagai
sirkulasi umum, tetapi juga sebagai “plaza” dan ruang terbuka yang mampu meningkatkan
hubungan antargang/jalan setapak/pedestrian yang menuju ke setiap pekarangan. Core juga
15
berfungsi sebagai pusat orientasi ruang public pada saat pelaksanaan upacara adat (ritual
ceremony). Jalan-jalan dan gang-gang desa merupakan arah orientasi dari masing-masing
pekarangan.
Lintasan-lintasan jalan terbentuk dari pola lingkungan yang disesuaikan dengan kondisi
desa dan transis tapak. Pekarangan hanya berfungsi sebagai tempat tinggal untuk
mengadakan upacara dan berhubungan dengan keluarga. Dalam upaya memenuhi kebutuhan
hidup mereka mengolah kebun di luar desa (rumah tinggal pokok). Keterbatasan lahan dan
keinginan untuk dekat dengan jalan utama menyebabkan terjadi pengembangan perumahan
ke arah luanan/ulu, namun tetap mempertahankan tidak membangun di luanan area pura,
khususnya di Pura Puseh dan Bale Agung).
4.2 Pola Desa dan Tata Zonasi Desa Pinggan Desa Pinggan menganut pola desa linear yang mengikuti kontur daerah perbukitan yang
menjadi lokasi tempatnya berada. Area permukiman berada di zona inti desa yang berada di
area sekitar jalan utama desa yang membentang secara menyerong dari arah barat daya ke
arah timur laut itu. Area terluar desa diisi dengan area perkebunan penduduk yang berada di
area lereng pegunungan Desa Pinggan. Pada gambar berikut ini diperlihatkan gambar peta
Desa Pinggan sebagai hasil survey dan pemetaaan yang dilakukan pada Juni-Agustus 2016.
16
17
4.3 Arah Sakral-Profan sebagai Orientasi Desa Pinggan
Desa Pinggan ini dapat digolongkan sebagai Desa Bali Aga yang juga menganut pola ulu
teben. Pola ini membagi zonasi wilayah desa atas zona kepala (ulu) yang bernilai sakral dan
zona kaki (teben) desa yang bernilai profan. Pola desa mengikuti aturan yang memposisikan
arah lokasi Pura Puncak Penulisan yang berada di arah barat daya desa sebagai orientasi arah
sakral desa. Arah barat daya bagi komunitas masyarakat tradisional Desa Pinggan diposisikan
sebagai arah kaja (arah paling sakral) bagi tata ruang desa secara keseluruhan. Adapun
sebagai dampak dari penetapan arah barat daya sebagai arah kaja atau arah yang paling
disakralkan tersebut, maka terjadi suatu aturan pemutaran arah mata angin terkait arah sakral-
profan sebesar 135˚ ke arah kiri. Pemutaran ini berdampak pada perubahan seluruh arah mata
angin di desa ini.
Pada bagian berikut ini dipaparkan tentang pola arah orientasi yang berlaku di Desa
Pinggan.
1. Arah kaja Desa Pinggan mengacu ke arah posisi Pura Pucak Penulisan yang berada di
arah barat daya Desa Pinggan. Arah ini menjadi arah paling sakral bagi tata ruang Desa
Pinggan.
2. Arah kelod diposisikan beroposisi dengan arah kaja (arah Pura Pucak Penulisan), yaitu ke
arah timur laut. Pada ujung timur laut desa terdapat area setra adat (kuburan desa).
3. Arah kangin dan kauh masing-masing disetarakan sebagai arah barat laut dan tenggara.
Wilayah Desa Pinggan berada dalam gugusan desa-desa di wilayah Kintamani, Bangli
yang dikitari barisan Pegunungan Melekeh (baca: Bukit Mêlêkêh). Pegunungan ini
membentang dari wilayah Desa Trunyan, Desa Kedisan, Desa Buahan, Desa Songgan, dan
Desa Pinggan. Barisan pegunungan ini membentuk suatu rangkaian cincin pegunungan yang
melewati kelima desa Bali Aga itu.
Desa Pinggan memiliki area dataran yang difungsikan sebagai wilayah permukiman
penduduk. Adapun daerah lereng perbukitan desa difungsikan sebagai area perladangan dan
perkebunan milik penduduk. Perhatikan gambar berikut ini.
18
19
4.4 Konsepsi Tata Ruang Pekarangan Antartetangga
Area pekarangan antartetangga tidak dibatasi dengan tembok masif selayaknya
permukiman tradisional Bali di daerah dataran pada umumnya. Pekarangan-pekarangan
tersebut ditata berjejer dari jalan utama desa dengan hanya dibatasi beberapa elemen penanda
batas area pekarangan seperti peninggian tanah pekarangan, perbedaan elemen penutup
permukaan tanah pekarangan, dan elemen batu penanda batas pekarangan (lihat gambar 4.7).
Lazimnya, batas-batas pekarangan tersebut terdapat di antara bangunan-bangunan yang
dimiliki suatu keluarga dengan keluarga lain yang menjadi tetangganya.
Pekarangan-pekarangan rumah pada umumnya dijejer (satu lérét) tidak berdasarkan
adanya hubungan kekeluargaan. Rumah-rumah yang bertetangga bukan menunjukkan bahwa
antara kedua pemilik rumah memiliki hubungan keluarga secara langsung. Konsep semacam
ini disebutkan sudah berlaku secara turun temurun (Suarsana, 2016).
Pola desa ditandai dengan adanya jalan utama desa (margi ageng) selebar 5-6 meter yang
membelah wilayah desa dari arah ulu ke teben desa. Di tepi margi ageng terdapat rumah-
rumah tradisional yang berjejer dari tepi margi ageng yang berkontur datar hingga ke daerah
tepian desa yang bertopografi berlereng. Masing-masing pekarangan rumah akan dibatasi
dengan gang-gang (rurung) yang berada di daerah ulu dan teben pekarangan rumah tinggal
masing-masing keluarga.
Apabila ada kematian dalam suatu keluarga yang menghuni suatu pekarangan rumah
tinggal tradisional Desa Pinggan, maka rumah-rumah yang berada di sekitarnya pun akan
terkena dampak kesebelan seperti layaknya kesebelan yang dialami oleh keluarga inti yang
berduka. Selama Kesebelan tersebut berlangsung secara bervariasi sesuai kedekatan
hubungan sosial suatu anggota keluarga dengan si mati. Selama kesebelan, seseorang tidak
diperkenankan ke pura atau tempat suci lainnya, tidak diperkenankan melakukan atau
mengikuti upacara ritual dalam skala apa pun sampai batas waktu tertentu sesuai yang
ditentukan oleh adat setempat. Pada bagian berikut ini diperlihatkan pola aturan lama
kesebelan yang berlaku terhadap keluarga-keluarga yang berada di sekitar si mati (cf.
Suarsana, 2016; Sarsana, 2016).
1. Seluruh anggota keluarga yang tinggal sepekarangan rumah adat yang memiliki anggota
20
keluarga meninggal akan terkena kesebelan selama 42 hari.
2. Seluruh anggota keluarga yang tinggal bersebelahan langsung (satu lérét) dengan
pekarangan rumah adat yang memiliki anggota keluarga meninggal akan terkena
kesebelan selama 12 hari.
3. Seluruh warga Desa Pinggan akan mengalami kesebelan selama 3 hari jika ada warga
desa meninggal.
Gambar 4.3 Pola Rumah Satu Lérét
21
Gambar 4.4 Sanggah Penegtegan Gambar 4.5 Bale Saka Nem
Gambar 4.6 Perabotan di Tepi Bale Saka Roras Gambar 4.7 Elemen Pembatas pada Lantai
Gambar 4.8 Lesung Batu di Halaman Rumah Gambar 4.9 Pintu Pekarangan Rumah
22
4.5 Konsepsi Tata Ruang Pekarangan Rumah Tinggal
Berdasarkan hasil oberservasi lapangan yang telah dijalankan, diperoleh gambaran
bahwa pekarangan rumah tradisional di Desa Pinggan untuk satu keluarga adalah tersusun
dari tata ruang dan bangunan tradisional sebagai berikut.
1. Pola dan orientasi pekarangan rumah tinggal
Pola pekarangan rumah tinggal di Desa Pinggan juga menganut pola ulu-teben. Daerah
ulu ditetapkam berada di daerah paling barat daya tapak (arah kaja) sesuai dengan arah
posisi keberadaan Pura Puncak Penulisan yang memang berada di daerah barat daya Desa
Pinggan. Dalam petak pekarangan rumah tinggal secara berturut-turut terdapat area
tempat suci (sanggah) di daerah ulu pekarangan; bangunan bale saka roras; natah (inner
open space); bale saka nem; pagedongan; dan pintu masuk pekarangan yang ditempatkan
di daerah teben pekarangan.
2. Tempat suci rumah tinggal
Tempat suci pekarangan rumah dikenal dengan nama Sanggah Penegtegan. Dalam
kompleks bangunan suci ini lazimnya minimum terdapat bangunan pelinggih leluhur dan
penunggun karang. Dalam perkembangan selanjutnya sudah ada beberapa keluarga yang
membangun bangunan padmasari atau padmasana dalam area tempat sucinya ini.
Kompleks bangunan ini berada di zona paling ulu dari pekarangan rumah tinggal
tradisional Desa Pinggan, terlingkupi oleh tembok pembatas penyengker setinggi leher
manusia dewasa. Pintu area sanggah berada menghadap ke arah kelod (timur laut).
3. Bangunan Bale Saka Roras
Bangunan ini berwujud bale bertiang saka sejumlah 12 (Bali: roras) dan berdinding
gedeg. Pada umumnya bangunan ini difungsikan sebagai bangunan rumah tinggal, tempat
tidur, dan merangkap dapur (paon). Bangunan ini merupakan bangunan paling utama
untuk kelompok bangunan rumah tinggal di pekarangan rumah tradisional Desa Pinggan.
Bangunan Bale Saka Roras berada di area sebelah timur laut atau di zona teben dari
sanggah. Dalam bangunan ini seluruh anggota keluarga akan tidur dengan arah orientasi
ulu-teben desa yang sesuai dengan arah barat daya-timur laut. Posisi kepala di arahkan ke
arah kaja (barat daya), adapun posisi kaki ditempatkan ke arah kelod (timur laut).
4. Bangunan Bale Saka Nem.
Bangunan ini difungsikan sebagai bangunan tempat jenazah dan bangunan untuk
kegiatan upacara. Bangunan ini merupakan bangunan bale yang bertiang saka berjumlah
enam batang (Bali: nem). Bangunan ini difungsikan sebagai bangunan kegiatan adat,
23
bangunan kematian, dan bangunan untuk tempat sesajen upacara keluarga.
5. Bangunan suci pelinggih kembar
Pada area natah ada kalanya akan dijumpai bangunan pelinggih kembar yang sengaja
dibangun oleh pemilik rumah yang pernah memiliki atau dikaruniai anak kembar. Pada
masa sekarang, bangunan pelinggih kembar masih tetap terpelihara dan rutin diupacarai
di tengah natah rumah yang memiliki atau pernah memiliki anak kembar tersebut (lihat
gambar 4.11 dan 4.13).
6. Bangunan pagedogan atau kandang untuk hewan piaraan.
Pada daerah sekitar pintu masuk pekarangan terdapat area kandang piaraan yang disebut
dengan nama Pagedongan. Area padegongan ini akan dipilah menjadi tiga petak area
secara berurutan dari daerah ulu ke teben, yaitu untuk hewan kuda, sapi, dan yang paling
teben untuk hewan babi piaraan pemilik rumah. Konsep penempatan hewan secara
berurutan seperti itu adalah berdasar pada konsep bahwa di antara ketiga jenis hewan
tersebut, kuda dimaknai sebagai hewan tunggangan yang berkarakter paling bersih. Sapi
sebagai hewan potong memiliki tingkat kebersihan kedua. Adapun babi sebagai hewan
potong dikenal sebagai binatang piaraan yang paling kotor. Hasil wawancara dan
observasi juga mengindikasikan bahwa ada pertimbangan sisi kesehatan dan sanitasi
lingkungan berdasar kearifan lokal yang sudah mentradisi dalam penataan posisi kandang
ketiga jenis binatang tersebut. Semakin ke daerah hulu, maka semakin bersih jenis hewan
yang ditempatkan.
Gambar 4.10 Denah Rumah Tinggal Gambar 4.11 Posisi Pelinggih Kembar
24
Gambar 12 Bale Saka Roras Gambar 13 Pelinggih Kembar
4.6 Pura Puncak Penulisan sebagai Orientasi Sakral Desa Pinggan
Membicarakan tentang Pola Desa Pinggan, sudah sewajarnya jika dikaji juga tentang
Pura Puncak Penulisan yang menjadi orientasi sakral Desa Pinggan dan desa-desa lain di
sekitarnya.
Lokasi Pura Puncak Penulisan berada di atas ketinggian Gunung Batur dan Danau Batur.
Berada pada letak ketinggian tertentu serta disuguhi pemandangan yang menarik dengan
suasana alam yang sejuk, dan asri. Pura yang merupakan peninggalan bercorak Bali asli ini
memiliki nilai agama, budaya dan sejarah yang tinggi. Pura Puncak Penulisan terdiri dari 5
buah komplek pura, yaitu Pura Dana, Pura Taman Dana, Pura Ratu Penyarikan, Puri Daha
dan Pura Panarajon.
Pura Puncak Penulisan keberadaannya di atas bukit dengan ketinggian 1.745 meter di
atas permukaan laut (dpl). Pura ini sering juga disebut dengan Pura Tegeh atau Pura Pamojan.
Fungsinya ialah sebagai tempat untuk melakukan pemujaan terhadap Dewa Siwa yang
merupakan manifestasi dari Tuhan Yang Maha Kuasa. Di dalamnya banyak terdapat benda-
benda peninggalan masa Megalitikum sampai dengan masuknya peradaban Hindu ke Bali.
Pura ini memiliki nilai historis yang tinggi dan beberapa keunikan yang membuatnya berbeda
dengan pura lainnya sehingga banyak orang yang ingin mengunjunginya. Bentuk bangunan
pura ini menerapkan dua konsep, yakni; konsep pertama diambil dari masa prasejarah
ditinjau dari struktur bangunan yang bertingkat, dan konsep kedua berupa pembangunan pura
yang mencapai 7 tingkat dengan tingkat pertama dan kedua dihubungkan dengan tangga.
Pada tingkat ke-3 terdapat Pura Dana dan Pura Taman Dana, ditingkat ke-4 terdapat Pura
Ratu Penyarikan, sedangkan ditingkat ke-6 terdapat Pura Ratu Dahatua, dan terakhir di
puncak ke-7 terdapat Pura Pelinggih tempat pemujaan Pengaruman, Piyasan dan Gedong
sebagai tempat menyimpan benda-benda purbakala. Berdasarkan pada peninggalan yang ada,
25
pura ini diperkirakan mulai dibangun pada tahun 300 M (zaman perunggu) dan dilanjutkan
pada abad ke-10 sampai berakhirnya kekuasaan Majapahit tahun 1343 M. Sebagian besar
mata pencaharian penduduk sekitar pura ini adalah sebagai petani.
Nama asli dari Pura Puncak Penulisan, yakni Pura Tegeh Kahuripan Penulisan, disebut
Pura Puncak Penulisan dikarenakan letak geografisnya yang tertinggi di Bali. Pura ini berada
di Banjar Kuta Dalem, Desa Sukawana, Kecamatan Kintamani, Kabupaten Bangli.
Penempatan areal mandala pada Pura Tegeh Kahuripan, terdiri dari beberapa bagian. Pada
areal madya mandala terdapat 2 buah pura, yakni Pura Ratu Gede Penyarikan yang
difungsikan sebagai tempat untuk meminta izin memasuki areal utama mandala yang terletak
pada sebelah kanan dan Pura Dêtua yang difungsikan sebagai tempat penyimpanan sarana
upakara yang diletakkan pada sebelah kiri. Pada areal utama mandala terdapat 2 pelinggih
utama berupa Gedong Puser Tasik dan Gedong Cemeng. Gedong tersebut digunakan untuk
menyimpan arca-arca yang dikeramatkan. Pada salah satu pelinggih utama terdapat sumur
yang dipergunakan sebagai sumber tirta. Adapun pemucuk dari Pura Tegeh Kahuripan ini
yaitu Desa Sukawana, dan Bebanon disungsung oleh Desa Kintamani.
Pura Puncak Penulisan merupakan pura tertua di dataran pulau Dewata, yang
diperkirakan sudah terbangun sejak zaman Megalitikum. Pura ini disebutkan sebagai pura
orang Bali Asli/Mula/Age. Selain disebut sebagai Pura Tegeh Koripan, Pura Puncak
Penulisan juga disebut dengan Pura Pamojan (panah raja), dan disebut juga sebagai Pura Ukir
Padelengan yang diartikan bukit tempat memandang pada zaman dahulu. Pada zamannya
tempat ini dijadikan sebagai tempat menjalankan yoga semadi para raja.
Pada puncak purnama kapat (sasih kapat), terkenang akan sejarah lama Pura Pucak
Penulisan. Pada kisah terdahulu, diceritakan dua bukit dalam satu kawasan puncak yang
diberi nama Bukit Datwa dan Pucak. Bukit Datwa membentang ke Munduk Lampah dan
Bukit Pucak membentang kemunduk lantang yang dianggap tulang punggung pulau Bali
(Catur Dharma Klawasan). Peradaban prasejarah Bukit Datwa dianggap sebagai tempat
hunian aktivitas orang yang dirajakan sebagai kepala suku di wilayah Kedatuan pada
seputaran wilayah kaldera Wintang Ranu (bintang danau) yaitu semua wilayah di Kecamatan
Kintamani sampai ke batas Kuta Desa Blantih yang merupakan satu Kedatuan. Pada zaman
dulu, Bukit Datwa merupakan tempat tinggal penguasa wilayah, sedangkan Pucak (Pucak
Penulisan) merupakan tempat pemujaan batu besar yang dianggap sebagai tempat duduknya
Bapak Akasa. Pura Pucak Penulisan merupakan pura yang bercorak asli Bali Age atau Bali
Mula. Hal tersebut dikarenakan bentuknya tidak seperti pura Bali pada umumnya. Oleh
karena itulah, Pura Pucak Penulisan dinyatakan sebagai “asli” Bali. Usia pura ini belum dapat
26
ditelusuri secara pasti, sehingga memang bernilai bagi budaya, agama, dan sejarah Bali. Pada
zaman dahulu pura ini digunakan untuk bersemedi para raja disekitarnya sekaligus sebagai
representasi sebuah kehidupan yang teguh (Tegeh Kahuripan).
Dari sistem penempatan bangunannya, sebagian besar pura menghadap ke arah selatan,
kecuali pura utama yang menghadap ke arah barat yang mengadopsikan dua konsep. Konsep
pertama, merefleksikan bangunan pada masa megalitik yang nampak pada wujud bangunan
teras piramida bertingkat (Konsep Gunung Suci). Konsep kedua berupa konsep Sapta Loka
yang ditinjau dari bentuk bangunan pura yang bertingkat tujuh dimana setiap tingkat (teras)
dihubungkan dengan tangga.
Pada tingkat ketiga (Swah Loka) terdapat dua palinggih kecil yang disebut Pura Dana dan
Pura Taman Dana. Pada tingkat selanjutnya (Maya Loka) dapat ditemukan Pura Ratu
Penyarikan (di sebelah Timur jalan): sementara, pemujaan keluarga Dadya Bujangga dapat
ditemukan di sebelah Barat. Pada tingkat keenam (Tapa Loka) terdapat Pura Ratu Daha Tua.
Di tingkat ketujuh (Sunya Loka) yang merupakan puncak Pura Penulisan terdapat bangunan
pelinggih Pangaruman, Piyasan, serta Gedong yang berfungsi sebagai tempat menyimpan
benda-benda peninggalan purbakala.
Pura ini diperkirakan dibangun pada tahun 300 M (zaman perunggu) kemudian
dilanjutkan pada abad ke-10 hingga tahun 1343 M (mendekati masa berakhirnya kekuasaan
Majapahit). Dugaan tersebut didasarkan pada temuan artefak dan benda-benda purbakala di
kompleks pura yang mengundang banyak peneliti, ilmuwan, dan sejarawan untuk
menelitinya. Dr WF Sturterheim menggambarkan dalam bukunya yang berjudul Oudheden
Van Bali I-II 1929-1930 bahwa artifak dan benda purbakala yang ditemukan di kompleks
pura tersebut adalah berasal dari era Kerajaan Bali Kuno. Keyakinan ini juga didasarkan pada
adanya temuan berupa beberapa prasasti yang memiliki hubungan dengan tata perikehidupan
Bali pada masa itu, yaitu sebuah prasasti yang berangka tahun 999 Saka (1077 M) dan tahun
1352 Saka (1436 M). Penemuan figur arca lelaki dan perempuan yang di bagian belakangnya
memuat juga prasasti sebagai pratista (pelinggih roh suci) dari tokoh Raja Udayana
Warmadewa dengan Gunapriyadarmapatni pada akhirnya juga memperkuat simpulan
tersebut. Sang raja yang ini berkuasa di kerajaan Bali pada tahun 911-933 Saka ini. Arca lain
yang berada di belakangnya, yaitu satu sosok arca wanita dalam sikap berdiri juga memuat
nama Bhatari Mandul yang ditafsirkan sebagai Pratista dari jiwa Permaisuri Raja Anak
Wungsu yang memang tak berputera itu.
Penemuan lain yang mendukung dugaan bahwa Pura Pucak Penulisan merupakan pura
peninggalan bali kuno adalah penemuan sepasang arca setinggi 92 cm, bermahkota , dan
27
mengenakan anting berbentuk pilinan rambut. Arca yang ditemukan pada tahun 1922 oleh
Tim Peneliti Fakultas Sastra Unud itu memuat prasasti bertahun 933 Saka (1026 M) yang
dipahat oleh Mpu Bga Anatah. Ada pula arca wanita berdiri yang terbuat dari batu padas
setinggi 154 cm. Pada bagian belakang sandaran arca terpahat huruf Kadiri Kuadarat
bertuliskan Batari Mandul dan angka tahun 999 Saka (1077 M). Prasasti ini dikategorikan
masuk pada periode Bali Kuno (abad ke-11).
Selain dari pada itu, ditemukan pula sebuah arca yang diperkirakan berasal dari masa
Bali Madya (abad ke-13) berupa arca laki-laki berdiri dengan sikap tangan kanan dijulurkan
ke bawah sejajar badan dan tangan kiri ditekuk ke depan. Temuan lain dari masa Bali Madya
adalah arca perwujudan Dewa Brahma, dengan atribut Empat Muka, atau Caturmuka. Di
bagian paling atas Pura Puncak Panulisan, ditemukan juga arca Dewa Ganesa yang bercirikan
berkepala gajah, berbadan manusia, dan bertangan empat yang juga dikategorikan dalam
masa Bali Madya.
Selain arca tersebut di atas, pura ini menyimpan banyak lingga berpasangan dan ratusan
lingga tak berpasangan dengan bentuknya berbeda-beda. Lingga tersebut merupakan
perwujudan Dewa Siwa. Terdapat pula batu berhiaskan Bulan dan Matahari yang dianggap
sebagai sebuah perwujudan Bhatara Brahma, miniatur candi sebagai simbol gunung tempat
bersemayamnya para Dewa, dan lain sebagainya.
Dengan sejumlah artefak kuno peninggalan zaman prasejarah hingga masa pengaruh
Hindu, pura ini serupa situs Megalitikum yang kini berfungsi utama sebagai tempat ibadah.
Fungsi lain yang menambah daftar keunikan pura yang layak disambangi ini adalah sebagai
tempat tujuan wisata dan juga area penelitian para ilmuan atau pun sejarawan yang tertarik
mengungkap sejarah dibalik keberadaan pura tempat diadakannya upacara “Pengurip Jagad
Bali Kabeh”. Upacara ini adalah upacara yang diadakan setiap 700 tahun sekali dengan salah
satu ritual utamanya adalah Kebo Roras, yaitu prosesi menanam kerbau sebanyak 12 ekor
tepat di tengah-tengah halaman Pura Puncak Penulisan.
Pada zaman prasejarah, Pucak Tegeh sudah menjadi tempat yang disucikan secara
spiritual pada peradaban orang Bali Mula sebagai landasan keyakinan bahwa gunung
merupakan bentuk tempat suci untuk memuja roh leluhur yang telah disucikan. Empat
puncak yang disucikan yaitu Puncak Panarajon tempat Mpu Panarajon, Puncak Penulisan
tempat tiga Bikcu, Puncak Datwa tempat Ratu Datwa dan yang paling tinggi disebut Puncak
Tegeh yang belakangan dikenal Tegeh Koripan tempat memuja roh leluhur raja yang telah
disucikan. Dari ketinggian 1745 m dari permukaan air laut, Pura Pucak Tegeh sudah menjadi
tempat pemujaan dari zaman Megalithikum sampai zaman sejarah dijelaskan pada Prasasti
28
Sukawana tahun 804 caka ditulis perkenan Raja bagi Biksu Ciwa Kangsita, Ciwa Nirmala
dan Ciwa Prajnauntuk mendirikan tempat suci dan sastra di bukit Kintamani. Dari ketiga
Biksuyang beralihan Ciwa sudah bisa dipastikan di Pucak Tegeh dijadikan tempat suci untuk
memuja Dewa Ciwa yang merupakan Raja Dewa seperti di India. Sehingga banyak bukti
artepak Ciwa dalam bentuk lingga, Brahma Bhaga dan Ciwa Bhaga serta berkembang lingga
kembar dan beberapa meniatur candi sebagai bentuk pemujaan Ciwa dari abad ke IX sampai
saat ini.
Dalam upaya memuliakan roh para raja dibuktikan dengan arca sejoli Raja Udayana
dengan permaisurinya, dibelakang arca tertulis angka tahun 1017 I caka, yang dikeluarkan
pada zaman Raja Anak Wungsu sebagai wujud pemujaan kepada orang tuanya.
Perkembangan berikutnya di abad XI sampai abad XIII terwujud arca-arca mulai tokoh
masyarakat termasuk juga raja seperti arca Batari Mandul dan arca raja Bali terakhir yang
berangka tahun 1254 caka dengan upacara persumpahan yang dimuliakan oleh Kraman Desa
Sukawana dengan gelar Asta Sura Ratna Bumi Banten.
4.7 Pura Dalem Balingkang sebagai Pura Bersejarah Desa Pinggan
Eksistensi Desa Pinggan sebagai salah satu desa yang menjadi gugusan desa-desa
bercorak Bali Aga di Kintamani juga berkaitan dengan keberadaan Pura Dalem Balingkang
yang bernilai sejarah tinggi tersebut. Pada bagian berikut ini dipaparkan tentang gambaran
sejarah Pura Dalem Balingkang tersebut.
Diceritakan bahwa pada zaman dahulu pulau Bali belum dihuni seorang manusia pun.
Pulau Bali masih merupakan hutan belantara, serta amat angker kelihatannya. Tersebutlah
waktu itu di pulau Jawa ada seoarang Resi Markandya yang bersemayam di Gunung Raung.
Beliau adalah seorang pendeta yang telah terkenal dan ahli mengenai tata keagamaan serta
ilmu-ilmu lainnya. Pada waktu beliau sedang bertapa di atas puncak Gunung Raung,
memusatkan pikiran menghadap ke arah sebelah timur, suasana terang benderang dengan
cahaya yang gemerlapan. Oleh karena perasaan beliau telah terketuk ingin mengetahui dari
mana serta sinar apa yang muncul dengan gemerlap tersebut, maka beliau pun bersiap-siap
hendak mencari sinar itu.
Pada hari yang telah ditetapkan dengan diiringi 800 prajurit yang tegap-tegap,
berangkatlah beliau meninggalkan Gunung Raung, kearah timur menuju sinar yang beliau
lihat. Perjalanan rombongan beliau cukup berat dan jauh, namun demikian sedikit pun
mereka tidak merasa letih, lesu yang dialaminya. Akhirnya tidak lama kemudian merekapun
tiba pada salah satu desa yang sekarang dikenal dengan Desa Bantiran di wilayah Pupuan.
29
Dari desa ini tampak pula sinar benderang yang mereka cari masih jauh di ufuk timur.
Mereka berhenti sejenak melepaskan lelah karena jauhnya perjalanan yang ditempuh.
Akhirnya ketika segala keletihan dirasakan telah pulih kembali, dengan penuh semangat
mereka melanjutkan perjalanannya. Tidak lama kemudian merekapun sampai di hutan
belantara yang mendirikan bulu roma dengan keangkerannya. Suatu keanehan telah terjadi
sebab ketika mereka menghadap ke timur untuk mencari sinar itu, sinar tersebut tidak ada
lagi. Dan pada arah sebelah timur gelap gulita. Pada waktu itu beliau berkata dalam hatinya
“Benarkah dari hutan ini datangnya sinar yang aku cari, pastilah tempat ini bersih dan suci”.
Itulah sebabnya timbul hasrat Resi Markandya untuk mendirikan desa di tempat ini. Beliau
memerintahkan seluruh rakyatnya untuk merombak pohon yang ada di hutan itu. Tetapi
belum beberapa potong dapat ditebangnya, tiba-tiba terjadi petaka yang menimpa rakyat
beliau. Banyak di antara rakyatnya menggigil, menggeliat-geliat disamping menemui ajalnya.
Ada pun yang menyebabkan kejadian di atas tidak lain karena di hutan tersebut dihuni oleh
para setan, jin serta mahluk halus lainnya. Para penghuni ini tidak tega melihat hutan tempat
tinggalnya dirabas manusia.
Menyadari kejadian yang menimpa rakyatnya lalu Resi Markandya berkata “Hai
rakyatku semua, berhentilah membabat hutan, sungguh malang nasib kita. Korban telah
bergelimpangan. Mari kita kembali ke Jawa, memohon bantuan agar tercapai segala
kehendak kita untuk mendirikan desa di hutan ini”. Ketika mendengar sabda Resi
Markandya, merekapun menghentikan merabas hutan sambil berkemas ke Gunung Raung
untuk menjemput bala bantuan dari Jawa. Di Jawa telah dipersiapkan bala bantuan yang akan
merampungkan tugas-tugas di Bali kelak. Tatkala hari yang dicanangkan tiba, Resi
Markandya beserta rombongan kembali ke Bali untuk melanjutkan rencananya. Namun
sebelum rombongan mulai merabas hutan tersebut beliau memusatkan pikirannya, mohon
perlindungan semoga rencana beliau dapat terlaksana tanpa hambatan. Beliau menghaturkan
lelabaan (sajian khusus untuk para bhuta) agar para Bhuta tidak mengganggu para rakyatnya.
Berkat ketekunan dan perlindungan Hyang Kuasa, hutan tersebut berhasil dirabas dengan
selamat. Oleh karena tempat ini pada mulanya berasal dari hutan dengan pepohonan yang
amat besar maka beliau menamakan tempat ini Desa Taro yang berasal dari kata Taro (kayu).
Entah beberapa tahun berlalu sepeninggal Resi Markandya, rakyat merasakan betapa sunyi
ditinggalkan Maharesi. Dengan perasaan terharu banyak diantara mereka berpindah, mencari
tempat menurut kata hati mereka masing-masing. Ada yang menuju ke Besakih, Batur,
Lempuyang, serta ada yang menetap di Panarajon.
30
Kini marilah kita ceritakan rakyat beliau yang menetap di Panarajon. Dijelaskan bahwa
oleh karena telah lama menetap disana namun belum juga ada pemuka ataupun seseorang raja
yang dapat dijadikan pemimpinnya. Mereka sepakat untuk memohon kepada Ida Sang Hyang
Widhi agar ada seseorang yang dinobatkan sebagai pimpinan dan pengayom rakyat. Dengan
tekad bulat dan keluar dari hati nuraninya. Diutuslah beberapa penduduk menghadap ke
Jambudwipa memohon kehadapan Ida Betara agar terkabul segala kehendaknya. Paduka Ida
Betara tidaklah menolak permohonan rakyat Bali yang memohon dihadapannya. Beliau
berkenan memenuhi permintaan mereka dan oleh Paduka Betara ditunjuklah putra beliau
yang bernama Jayapangus agar turun ke Bali untuk mengayomi rakyat Panerajon.
Jayapangus memerintah di Panerajon dengan bijaksana. Seluruh rakyat bakti kepada
beliau sebab baginda dalam perintahnya selalu bersikap adil serta mengutamakan
kepentingan rakyat demi kesejahteraan Negara yang dipimpinnya. Tersebutlah pada suatu
hari seorang Tionghoa bernama I Subandar berasal dari Cina, pemeluk agama Bhuda yang
taat, berkelana di kerajaan Panarajon. Tionghoa ini mengembara disertai seorang putrinya
yang bernama Kang Cing We. Putri Cina ini amat cantik. Kulitnya kuning langsat, tubuhnya
semampai serta jalannya menggoyahkan hati yang melihatnya. I Subandar menjalankan tipu
dayanya agar mereka diperkenankan menetap disana. Dengan segala upayanya mereka
berusaha menarik perhatian Jayapangus. I Subandar berhasrat agar raja memperistri putri
tunggalnya. Akhirnya oleh karena sehari-hari paduka raja bergaul dengan putri cina ini,
bagindapun terpengaruh oleh kecantikan putri I Subandar. Hati baginda runtuh terkena panah
asmara Kang Cing We. Baginda tidak dapat melepaskan Kang Cing We dari kalbunya.
Hasrat untuk mengawininya makin menyala, gejolak hatinya tidak dapat dibendung.
Melihat kejadian ini Mpu Ciwagandu penasehat baginda tidak tega hatinya dan
memberanikan diri menghadap paduka raja seraya berkata “wahai paduka junjungan hamba,
apakah sebabnya paduka bersikap demikian hendak memperistri putri Cina itu? Tidakkah
paduka menyadari bahwa paduka adalah seorang raja agung yang bertanggung jawab
terhadap negara beserta seluruh rakyat Panerajon? Paduka adalah seorang penganut Hindu
yang saleh serta menjadi panutan sekalian. Tidakkah paduka mengetahui bahwa I Subandar
beserta putrinya penganut Bhuda yang taat pula? Bagaimana jadinya pandangan rakyat
terhadap paduka. Apabila paduka tidak keberatan urungkanlah niat baginda. Janganlah
paduka terpancing tipu daya I Subandar Cina tersebut. Ketika mendengar ucapan Mpu
Ciwagandu demikian, muka baginda merah padam, tersinggung serta alisnya mengkerut
menahan murkanya sambil bersabda. “Hai Mpu Ciwagandu, benar segala tutur katamu itu.
Aku telah mempertimbangkan segala keputusanku sebijaksana mungkin. Hatiku telah bersatu
31
dengannya. Tidak kuasa aku berpisah dengannya. Kendati bagaimanapun ayahanda kelak
akan aku hadapi dengan segala kekuatan yang ada pada diriku. Aku tidak akan merubah
keputusanku semula. Janganlah Mpu menghalangi maksudku ini.
Mendengar jawaban paduka begitu Mpu Ciwagandu sangat kesal dan kecewa, seba apa
yang disampaikan kepadanya tidak diindahkan paduka raja. Mpu Ciwagandu dengan
perasaan luluh mohon diri serta tidak berkenan lagi sebagai penasihat kerajaan Panarajon.
Raja Jayapangus kemudian melangsungkan perkawinannya sesuai dengan tata cara yang
berlaku pada masa itu.
Oleh karena sudah terpenuhi kehendak I Subandar dan anaknya telah diperistri Raja
Jayapangus, I Subandar kemudian memberikan bekal sejumlah dua kepeng kepada anaknya
serta memohon di hadapan baginda raja. “Wahai paduka raja junjungan Negara Panarajon
yang hamba hormati, kini paduka telah berkenan menyalamatkan dan menjadikan anak
hamba permaisuri yang selalu akan mendampingi tuanku. Semoga tuanku tetap berkenan
memenuhi permintaan hamba. Hamba mohon agar tuanku menyampaikan kepada seluruh
rakyat yang ada di bawah kekuasaan tuan, mulai saat ini sampai seterusnya apabila ada bayi
yang lahir ataupun meninggal harus mempergunakan uang kepeng pada upacara yang
dilaksanakan sebagai pertanda kasih tuanku kepada kami”. Paduka raja Jayapangus dengan
bangga dan patuh memenuhi permintaan I Subandar Cina tersebut. Konon itulah sebabnya
sampai saat ini pada upacara keagamaan di Bali, baik upacara Pitra Yadnya, Dewa Yadnya
ataupun upacara lainnya, uang kepeng tidak pernah dilupakan sebagai pelengkap sajian yang
akan dipersembahkan.
Diceritakan, Mpu Ciwagandu amat murka terhadap tindakan Jayapangus yang tidak
berhasil dicegahnya. Mpu Ciwagandu kemudian melakukan tapa yoga dengan tekunnya
memohon kehadapan para Dewata agar turun hujan lebat selama satu bulan tujuh hari yang
dapat menghancurkan kerajaan Jayapangus. Berkat ketekunannya dan keahlian beliau, maka
benarlah tidak berapa lama akhirnya turun hujan disertai halilintar. Air bah melanda Negara
Panerajon sehingga porak poranda seluruh isi istana. Hancur berantakan tidak dapat dibangun
lagi. Rakyat beliau kacau balau tidak tahu apa yang harus dilakukan untuk menghindari
kejadian diatas. Melihat kejadian ini Jayapangus amatlah sedih sehingga baginda dengan
diiringi rakyatnya mengungsi ke daerah yang bernama Jong Les. Hutan lebat di Jong Les
dirabas untuk dijadikan Puri.
Selanjutnya setelah Raja Jayapangus berhasil mendirikan istana barunya, istana tersebut
diberi nama “Balingkang”. Adapun sebabnya disebut demikian oleh karena Jayapangus
adalah seorang “Bali” sedangkan kata “Kang” diambil dari singkatan nama permaisurinya
32
(Kang Cing We). Nama ini juga merupakan perlambang betapa besar cinta kasih Jayapangus
(Dalem Bali) kepada istrinya. Mengingat musibah yang telah menimpa kerajaan baginda di
Panerajon dahulu, maka untuk menjaga keamanan Negara Balingkang serta menghindari
kemungkinan serangan musuh dari luar, baginda menempatkan prajurit yang tangguh pada
keempat penjuru batas wilayah kerajaannya. Itulah sebabnya apabila kita pergi kekecamatan
Kintamani kita akan menemukan sejenis tari - tarian tradisional yaitu tarian baris pelengkap
upacara antara lain Katekok Jago, Baris Goak, Baris Jangkang Karang dan Baris Cina yang
merupakan simbolis prajurit Jayapangus di masa lalu. Demikian pula apabila kita pergi ke
Pura Balingkang, tidak jauh dari pura itu kita akan menemukan beberapa desa antara lain Si-
A-Kin, Ping-gan dan sebagainya.
33
BAB V PENUTUP
5.1 Simpulan
Pada bagian berikut ini dapat dipaparkan tentang gambaran simpulan sementara dari
hasil penelitian yang telah dilakukan.
1. Desa Pinggan menganut pola desa linear yang mengikuti kontur daerah perbukitan di
wilayah Kintamani, Bangli.
2. Area permukiman terdapat di tengah desa mengikuti jalan utama desa yang berada di
tengah desa. Adapun area luarnya yang berupa area perladangan dan perkebunan berada
di daerah lereng perbukitan desa.
3. Desa Pinggan juga menganut pola orientasi ulu-teben yang membagi desa atas arah
sakral dan profan. Arah sakral atau arah kaja mengacu ke arah lokasi Pura Pucak
Penulisan yang berada di barat daya desa. Adapun arah timur laut dimaknai sebagai arah
teben yang bernilai profan.
4. Konsep arah ulu-teben seperti ini terimplikasi pada tata ruang dan tata bangunan sebagai
berikut.
a. Arah orientasi sakral-profan desa secara keseluruhan.
b. Arah oreintasi sakral profan dalam pekarangan rumah tinggal.
c. Posisi tipe-tipe bangunan dalam pekarangan rumah tinggal.
d. Arah orientasi tidur masyarakat tradisional Desa Pinggan di desanya.
5. Pola orientasi Desa Pinggan tidak terpengaruh secara langsung oleh adanya pengaruh
kultur Tiongkok kuno di daerah ini.
5.2 Saran
Hasil akhir kajian ini menunjukkan bahwa Desa Pinggan menganut pola desa linier khas
desa pegunungan yang bercorak kultur Bali Aga. Ada beberapa desa lain di sekitar Pinggan
yang menganut akar kultur serupa, yaitu Desa Trunyan, Desa Kedisan, Desa Buahan, dan
Desa Songgan. Desa-desa tersebut sangat layak untuk dijadikan sebagai bahan kajian
keruangan pada masa mendatang, baik keruangan yang berskala mikro, meso, maupun
makro.
34
DAFTAR PUSTAKA
Anonim, 1984. Sejarah Pendidikan Daerah Bali. Denpasar: Proyek Inventarisasi dan Dokumentasi Kebudayaan Daerah. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Proyek Inventarisasi dan Dokumentasi Kebudayaan Daerah.
Anonim. 1986. Arsitektur Tradisional Daerah Bali. Denpasar: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
Eliade, Mircea. 2002. Sakral dan Profan. Nuwanto (Terj.). Yogyakarta: Fajar Pustaka Baru Fatmawati, Shova Ika. 2005. Penataan Desa Adat Pinggan dengan Pendekatan Konservasi.
Denpasar: Program Studi Arsitektur, Fakultas Teknik, Universitas Udayana. Prayitno, Arohman, H. 2003. Etika Kemajemukan: Solusi Strategis Merenda Kebersamaan
dalam Bingkai Masyarakat Majemuk. Jakarta: Penerbit Universitas Trisakti. Ronald, Arya. 2008. Kekayaan & Kelenturan Arsitektur. Yogyakarta: Muhammadiyah
University Press. Shastri, Narendra Dev Pandit. 1963. Sejarah Bali Dwipa. Denpasar: Bhuvana Saraswati. Suwidja, Ida Bagus Mayun dan Purna, I Made. Rsi-Sasana-Catur-Yuga. Denpasar: Proyek
Penelitian dan Pengkajian Kebudayaan Nusantara. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Direktorat Jenderal kebudayaan, Direktorat Sejarah dan Nilai Tradisional, Proyek Penelitian dan Pengkajian Kebudayaan Nusantara.
Informan: 1. Nyoman Sarsana (45 tahun). Alamat: Desa Pinggan, Kecamatan Kintamani, Bangli.
2. Gede Suarsana (48 tahun). Alamat: Desa Pinggan, Kecamatan Kintamani, Bangli.