Upload
others
View
21
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
i
LAPORAN AKHIR
HIBAH UNGGULAN UDAYANA
UNIVERSITAS UDAYANA
INDUSTRIALISASI KERAJINAN SENI KRIYA
DI DESA MAS GIANYAR
Nama Peneliti Utama dan Anggota
Ketua: Dr. Ni Wayan Sukarini, M. Hum. (0009015901)
Anggota: 1. Prof. Dr. Ni Luh Sutjiati Beratha, M.A. (0017095905)
2. Dr. Drs. I Made Rajeg, M. Hum. (0019105807)
Dibiayai oleh
DIPA PNBP Universitas Udayana TA - 2017
Sesuai dengan Surat Perjanjian Penugasan Pelaksanaan Penelitian
Nomor: 1208/UN14.2.1.II/LT/2017, tanggal 28 Agustus 2017
FAKULTAS ILMU BUDAYA
UNIVERSITAS UDAYANA
NOPEMBER 2017
Bidang Unggulan: Sosial Budaya
Kode/Nama Bidang Ilmu: 613/Humaniora
ii
iii
RINGKASAN
Tujuan penelitian ini untuk mengetahui perkembangan kerajinan seni kriya yang
sebelumnya oleh perajin dibuat dengan menggunakan keterampilan tangan serta memiliki
nilai estetika yang tinggi. Seiring dengan perkembangan teknologi dan permintaan pasar
industrialisasi terhadap seni kriya tidak dapat dihindari sehingga pengrjaannya tidak lagi
menggunakan keterampilan tangan, namun dibantu dengan mesin dan diproduksi secara
massal. Target khusus yang hendak dicapai dalam penelitian ini adalah gagasan baru
terkait dengan pemertahanan identitas kebudayaan Bali melalui produk seni kriya yang
mengalami proses industrialisasi dan memiliki daya saing tinggi di pasar pariwisata.
Metode yang digunakan untuk mencapai tujuan dan target ini adalah metode penelitian
kualitatif yang mencakup teknik pengamatan terlibat dan wawancara mendalam serta
analisis data secara deskriptif, holistik, dan interpretatif. Dengan demikian diharapkan
diperoleh pemahaman yang mendalam tentang seni kriya yang mengalami dinamika dari
aslinya sebagai akibat dari industrialisasi di tengah perkembangan pariwisata.
Kata Kunci: seni kriya, industrialisasi, pariwisata.
iv
KATA PENGANTAR
Puji syukur kami panjatkan ke hadapan Ida Sang Hyang Widi Wasa, Tuhan Yang
Maha Kuasa karena berkat rakhmatNya penelitian ini dapat diselesaikan sesuai dengan
jadwal yang ditentukan. Penelitian dengan judul Industrialisasi Seni Kerajinan Di Desa
Mas Gianyar memanfaatkan pendanaan yang bersumber dari DANA PNBP
UNIVERSITAS UDAYANA tahun anggaran 2017. Pada kesempatan yang baik ini kami
dari tim peneliti menyampaikan ucapan terima kasih kepada berbagai pihak yang telah
membantu dari segi pendanaan, pemikiran, tenaga, waktu, dan juga motivasi sehingga
penelitian ini tidak menemui kendala yang berarti. Ucapan terima kasih disampaikan
kepada:
1. Ibu Rektor Universitas Udayana;
2. Bapak Ketua Lembaga Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat
Universitas Udayana;
3. Ibu Dekan Fakultas Ilmu Budaya Universitas Udayana;
4. Bapak Kepala Desa Mas, Kecamatan Ubud, Kabupaten Gianyar I Wayan
Gede Darmayuda;
5. Para informan dalam hal ini Bapak Ketut Dharma Eka Putra Siadja;
6. Seluruh staff dan karyawan-karyawati perusahaan kerajinan CV Dharma
Siadja.
Kami dari tim peneliti menyadari bahwa hasil penelitian dalam wujud laporan
akhir ini masih banyak memiliki kekurangan dan kelemahan dikarenakan oleh waktu
yang terbatas serta kemampuan tim peneliti yang perlu terus ditingkatkan dalam
menggali, menelaah dan menganalisis data yang diperoleh di lapangan untuk
v
mendapatkan hasil penelitian yang lebih baik di kemudian hari. Kami dari tim peneliti
tentu berharap bahwa laporan akhir penelitian ini dapat berkontribusi dan memiliki
manfaat bagi masyarakat dan khususnya bagi masyarakat di Desa Mas, Lembaga
Penelitian, dan tim peneliti sendiri.
Denpasar, Nopember 2017
a.n Tim Peneliti
Dr. Dra. Ni Wayan Sukarini, M.Hum.
NIP 195901091984 03 2 001
vi
DAFTAR ISI
Halaman
HALAMAN PENGESAHAN ii
RINGKASAN iii
KATA PENGANTAR iv
DAFTAR ISI vi
DAFTAR DIAGRAM viii
DAFTAR TABEL ix
DAFTAR FOTO x
LAMPIRAN-LAMPIRAN xi
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang dan Masalah
1.2 Tujuan Penelitian
1.3 Urgensi Penelitian
BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, DAN KERANGKA TEORI
2.1 Kajian Pustaka
2.2 Konsep
2.2.1 Seni Kerajinan
2.2.2 Industrialisasi
2.3 Kerangka Teori
BAB III METODE PENELITIAN
3.1 Lokasi Penelitian
3.2 Metode dan Teknik Pemerolehan Data
3.3 Metode dan Teknik Analisis Data
3.4 Metode dan Teknik Penyajian Hasil Analisis
1
1
5
6
7
7
14
14
16
18
20
20
21
22
24
vii
BAB IV GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN
4.1 Sejarah Desa Mas
4.2 Lokasi Desa Mas
4.3 Penduduk dan Demografi
4.4 Kehidupan Sosial Budaya dan Ekonomi
4.5 Deskripsi Pemilik Usaha
BAB V INDUSTRIALISASI SENI KRIYA DI DESA MAS, GIANYAR
DAN FAKTOR-FAKTOR PENYEBABNYA
5.1 Faktor Eksternal
5.1.1 Proses Produksi melalui Industrialisasi
5.1.2 Distribusi Produksi
5.1.3 Konsumen
5.2 Faktor Internal
BAB VI SIMPULAN
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN-LAMPIRAN
Lampiran 1 Publikasi
25
25
26
28
31
33
43
45
46
51
53
54
59
viii
DAFTAR DIAGRAM
Nomor Judul Halaman
Diagram 1 Komponen-Komponen Analisis Data Model Interaktif 23
ix
DAFTAR TABEL
Nomor Judul Halaman
Tabel 1 Jumlah Penduduk Berdasarkan Umur 28
Tabel 2 Jumlah Penduduk Berdasarkan Jenis Kelamin 29
x
DAFTAR FOTO
Nomor Judul Halaman
Foto 4.1 Wawancara dengan pemilik usaha 41
Foto 4.2 Wawancara dengan staf perusahaan 41
Foto 4,3 Aktivitas mengamplas patung 42
Foto 4.4 Aktifitas memotong bahan baku kaca 42
Foto 4.5 Aktifitas mengisi bahan pada pola 42
Foto 5.1 Produksi hiasan ruangan 44
Foto 5.2 Produksi patung jerapah 44
Foto 5.3 Jenis-jenis patung 44
Foto 5.4 Berbagai jenis seni kriya 44
Foto 5.5 Bongkahan akar pohon 45
Foto 5.6 Aquarium kecil hasil perpaduan bongkahan kayu dan kaca 45
Foto 5.7 Terracotta 47
Foto 5.8 Jenis-jenis patung yang masih dalam proses 48
Foto 5.9 Jenis-jenis hiasan dinding 49
Foto 5.10 Hiasan dinding ukiran karawang 49
Foto 5.11 Hiasan dinding flora cat warna 50
Foto 5.12 Bahan baku MDF 51
Foto 5.13 Patung jerapah yang sudah finishing 55
Foto 5.14 Patung kucing yang sudah finishing 56
Foto 5.15 Hiasan dinding musim gugur 57
xi
LAMPIRAN-LAMPIRAN
Lampiran 1: artikel yang akan dipublikasikan di Jurnal Mudra
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang dan Masalah
Jenis kepariwisataan yang dikembangkan di Bali adalah pariwisata budaya yang
dijiwai oleh Agama Hindu, seperti tertuang dalam Perda Nomor 2 Tahun 2012.
Pariwisata Budaya maksudnya adalah pariwisata dalam perkembangan dan
pengembangannya menggunakan kebudayaan Daerah Bali yang berlandaskan Agama
Hindu dan merupakan bagian dari kebudayaan nasional. Pengembangan kepariwisataan
di Bali diharapkan agar terjalinnya hubungan yang serasi, selaras, dan seimbang antara
pariwisata dan kebudayaan. Tujuan pengembangan pariwisata budaya adalah untuk
memperkenalkan, mendayagunakan, melestarikan, dan meningkatkan mutu objek dan
daya tarik wisata, mempertahankan norma-norma dan nilai-nilai kebudayaan, agama dan
kehidupan alam Bali yang berwawasan lingkungan hidup, mencegah dan meniadakan
pengaruh-pengaruh negatif yang dapat ditimbulkan oleh kegiatan pariwisata (Ardika,
2008).
Kepariwisataan di Bali yang berkembang begitu pesat membuka peluang bagi
masyarakat Bali untuk berkarya dalam rangka menunjang sektor industri kecil maupun
industri rumah tangga. Industri merupakan suatu kegiatan untuk memproses dan
membuat barang dengan menggunakan sarana dan peralatan. Berkembangnya industri
kerajinan di Bali sebagai unit ekonomi membuka lapangan kerja baru bagi mereka yang
merasa jenuh bekerja di sektor non industri. Industri kerajinan sangat mendukung
2
kepariwisataan dalam prioritas pembangunan daerah Bali. Akan tetapi, pengembangan
Pariwisata Budaya di Bali tidak sepenuhnya sesuai dengan amanat Perda Nomor 2 Tahun
2012. Hal ini dapat dipahami dari adanya industrialisasi pada produk seni kriya. Bukti
ini sesuai dengan pendapat Burns dan Holden (1995:112—113) bahwa pariwisata dapat
memunculkan proses industrialisasi terhadap budaya masyarakat lokal. Budaya yang
dianggap sebagai daya tarik wisata dapat dikonsumsi oleh wisatawan baik secara
langsung maupun tidak langsung. Fenomena seperti ini telah terjadi di Bali, dan
menunjukkan bahwa Budaya Bali khususnya yang berupa barang-barang kerajinan telah
dijadikan komoditas atau mengalami proses industrialisasi untuk dikonsumsi oleh
wisatawan sehingga menimbulkan kesan komersialisasi, bahkan memungkinkan
terjadinya penurunan kualitas.
Kegiatan dalam industri kerajinan ini dapat mengubah barang-barang secara
mekanis yaitu membuat produk baru sesuai dengan pesanan (made to order), sebagai
komoditas wisatawan. Di Bali, terdapat industri kerajianan tangan yang sangat beragam,
misalnya industri pembuatan kerajinan barang-barang anyaman, kerajinan perak dan
emas, kerajinan ukiran kayu, dan lain-lain. Desa-desa yang ada di Bali khususnya yang
terdapat di Kabupaten Gianyar sudah sangat terkenal dengan seni kerajinannya dengan
ciri khasnya dari masing-masing desa, misalnya Desa Tegallalang terkenal dengan seni
patungnya, Ubud dengan seni lukis dan ukiran kayunya, Celuk seni kerajinan emas dan
peraknya. Hasil kerajinan dari desa-desa tersebut memiliki kekhasan tersendiri, seperti
patung burung garuda merupakan hasil produksi Desa Tegallalang, Ubud dengan patung
lumba-lumba, lukisan, dan perhiasan yang terbuat dari emas ataupun perak berukir adalah
produk khas dari Desa Celuk, Gianyar. Barang-barang kerajianan ini dibuat untuk dijual
3
atau diekspor ke manca negara. Di samping itu, dewasa ini ada pula wisatawan yang
memesan (made to order) barang-barang kerajinan tersebut. Dari hasil pengamatan
tampaknya bahwa ada industrialisasi yang terjadi pada barang-barang kerajinan yang
diproduksi oleh desa-desa tersebut, terutama barang-barang kerajinan yang dibeli melalui
pesanan (made to order). Dengan kata lain barang-barang kerajinan made to order telah
mengalami proses industrialisasi.
Studi yang dilakukan oleh Graburn menunjukkan bahwa sejak tahun 1959 patung-
patung manusia dari suku Indian Inuit telah diciptakan untuk dijual dan diekspor. Lebih
lanjut Graburn mengatakan bahwa patung-patung yang dipesan oleh para wisatawan akan
mengalami industrialisasi karena disesuaikan dengan selera pemesan. Menurut Graburn,
sejak tahun 1980–1990, hasil karya seniman Inuit (suku bangsa Indian di Kanada
Selatan) mendapat pengaruh yang kuat dari budaya barat melalui pariwisata, televisi, dan
media lainnya. Para seniman Inuit mulai menghasilkan komposisi yang kompleks dari
hasil kerajinannya. Ini bertujuan untuk memperkenalkan hasil kerajinan yang bersifat
non Inuit karena isu sosial. Tujuan utamanya adalah agar industri kerajinannya bisa
berhasil. Keberhasilannya dapat ditunjukkan oleh siapa pembelinya (dari negara mana
saja pembelinya). Fenomena serupa juga terjadi pada desa-desa yang memproduksi seni
kerajianan di Bali saat ini.
Menurut Ryan (2005), industri pariwisata menyediakan produk yang berbeda
untuk segmen pasar yang berbeda pula. Sebagai akibatnya, para perajin cenderung
memanipulasi produksinya dengan mengikuti keinginan wisatawan sebagai pemesan
dengan tujuan untuk memperoleh penghasilan yang lebih banyak (dari barang-barangnya
yang bisa terjual) agar bisa menyambung hidupnya.
4
Ardika, (2007:13) menulis dalam sebuah artikel tentang Tinggalan Arkeologi dan
Era Globalisasi, menyatakan bahwa telah terjadi beberapa perubahan sejak 10.000 tahun
yang lalu yang dinamakan perubahan Gelombang pertama di mana terjadi revolusi
pertanian, yaitu terjadinya perubahan dan transisi dari masyarakat yang sistem mata
pencahariannya berburu dan meramu ke sistem bercocok tanam (agraris). Perubahan ke
dua (Gelombang ke dua) terjadi pada 300 tahun yang lalu di mana periode ini diawali
dengan revolusi industri yang terjadi di Eropa, Amerika, Pasifik, dan termasuk juga
Indonesia. Pada Gelombang ke tiga kebudayaan global telah merambah semua Negara di
dunia sehingga di era global ini isu tentang kebudayaan, agama, etnik, gender, dan cara
hidup menjadi lebih penting dari isu tentang konflik ekonomi yang terjadi pada masa
industri. Di samping itu, adanya penolakan terhadap keseragaman (counter trend) yang
ditimbulkan oleh kebudayaan global sehingga muncul hasrat untuk mempertahankan
keunikan budaya sendiri. Dalam hal ini menurut Ardika, tinggalan arkeologi sebagai
warisan masa lalu akan tetap menjadi sumber inspirasi dan daya tarik untuk wisatawan.
Pariwisata juga memberi dampak positif dan negatif terhadap tinggalan arkeologi. Era
globalisasi cenderung menimbulkan homoginitas kebudayaan, akan tetapi keunikan dan
keaslian kebudayaan lokal atau nasional masih perlu dipertahankan termasuk tinggalan
arkeologi. Oleh sebab itu, keberagaman dalam konteks budaya global yang perlu
dikembangkan. Fenomena itu terjadi pada budaya Bali khususnya terhadap seni kriya.
Sejauh ini belum ditemukan kajian yang mendalam tentang industrialisasi yang
terjadi terhadap hasil seni kriya akibat selera pasar (pemesan). Oleh sebab itu, penelitian
untuk mengetahui implikasi industrialisasi terhadap seni kriya perlu dilaksanakan.
Industrialisasi yang terjadi terhadap barang-barang seni kriya karena keinginan pemesan
5
perlu mendapat perhatian. Oleh sebab itu, penelitian yang mendalam tentang hal ini
perlu dilaksanakan. Berdasarkan latar belakang di atas, rumusan masalah penelitian ini
adalah sebagai berikut.
1. Jenis seni kriya apa sajakah yang mengalami dinamika dari aslinya sebagai akibat
dari industrialisasi?
2. Aspek apa sajakah dari seni kriya yang mengalami dinamika atau perubahan
akibat dari industrialisasi?
3. Apakah implikasi industrialisasi seni kriya terhadap produk yang dihasilkan?
1.2 Tujuan Penelitian
Secara umum penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan industrialisasi yang
terjadi pada seni kriya. Pada tataran teori, penelitian ini akan menawarkan sebuah model
analisis dengan menerapkan teori globalisasi yang selaras dengan objek kajian penelitian
ini sehingga dapat terungkap secara jelas dan tepat hasil penelitian ini.
Secara khusus tujuan penelitian ini adalah:
1. Mengidentifikasi jenis-jenis seni kriya yang mengalami industrialisasi.
2. Mendeskripsikan bentuk-bentuk seni kriya yang mengalami industrialisasi dari
aslinya.
3. Menjelaskan implikasi industrialisasi seni kriya terhadap produk yang dihasilkan.
6
1.3 Urgensi Penelitian
Penelitian ini akan memberikan kontribusi bagi para perajin, pemerhati, pakar,
peneliti di bidang pariwisata. Hasil penelitian ini akan bermanfaat bagi mereka yang
ingin mengetahui jenis seni kriya yang mengalami industrialisasi khususnya yang dibeli
wisatawan dengan cara memesan terlebih dahulu (made to order). Dengan mengetahui
jenis-jenis kerajinan yang mengalami perubahan bentuk, penyebab terjadinya
industrialisasi atau pemicu industrialisasi. Para pakar atau pemerhati kepariwisataan dan
ahli kebudayaan/kerajinan akan memperoleh pengetahuan dan pandangan baru tentang
industrialisasi kerajianan Bali.
Di samping itu, penelitian ini akan berkontribusi juga bagi para pembuat
kebijakan dalam memahami kekhasan yang dinginkan/dimiliki oleh pembeli yang
memiliki latar belakang budaya yang berbeda. Hal ini terkait dengan pandangan bahwa
telah terjadi proses saling mempengaruhi antara budaya satu dengan yang lainnya, dan
kondisi seperti ini tampaknya sulit untuk dihindari.
7
BAB II
KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, DAN KERANGKA TEORI
2.1 Kajian Pustaka
Ada lima artikel yang terkait langsung dengan penelitian ini yang akan dikaji
sebagai berikut. Graburn (2000) telah melaksanakan studi tentang patung Inuit yang
dituangkan dalam artikelnya berjudul ‘The Nelson Graburn and the Aesthetics of Inuit
Sculpture’ sejak tahun 1959. Studi tersebut menunjukkan bahwa patung-patung manusia
dari suku Inuit diciptakan untuk dijual dan diekspor. Lebih lanjut Graburn mengatakan
bahwa patung-patung yang dipesan oleh para wisatawan mengalami industrialisasi karena
disesuaikan dengan selera pasar yaitu siapa pemesannya, dan dari negara mana mereka
berasal. Menurut Graburn, sejak tahun 1980 – 1990, hasil karya seniman Inuit (suku
bangsa di Kanada Selatan) mendapat pengaruh yang kuat dari budaya barat melalui
pariwisata, televisi, dan media lainnya. Para perajin Inuit mulai menciptakan komposisi
yang kompleks dari hasil kerajinannya. Ini bertujuan untuk memperkenalkan hasil
kerajinan yang bersifat non Inuit sebagai akibat dari isu sosial. Tujuan utama dari
terjadinya industrialisasi adalah agar hasil kerajinannya bisa terjual dengan cepat.
Keberhasilannya dapat ditunjukkan dengan menyebutkan siapa-siapa saja pembeli hasil
kerajinan non Inuit.
Ryan (2005), menulis pada sebuah artikel yang berjudul ‘Who Manages
Indigenous Tourism Product – Aspiration and Legitimization’. Artikel tersebut
menyatakan bahwa industri pariwisata selalu menyediakan produk yang berbeda karena
segmen pasar yang berbeda pula. Fenomena seperti ini mengakibatkan terjadinya
8
industrialisasi terhadap produk yang dijual oleh para perajin, sehingga para perajin sering
memanipulasi produknya karena harus mengikuti keinginan pasar, yaitu wisatawan
sebagai pemesan. Keadaan seperti ini bertujuan untuk memperoleh keuntungan dari
barang-barang kerajinan yang laku terjual, untuk menyambung hidup mereka yang hanya
memperoleh pendapatan dari sektor pariwisata sehingga industrialisasi pada barang-
barang hasil kerajinan yang diproduksi akan dilaksanakan.
Ardika (2008), dalam sebuah tulisannya dengan judul Pariwisata dan
Industrialisasi Kebudayaan Bali menyatakan bahwa pariwisata dapat menimbulkan
proses industrialisasi terhadap budaya masyarakat lokal karena budaya dianggap sebagai
objek yang memiliki daya tarik sehingga dikonsumsi oleh wisatawan, yang selanjutnya
mengalami proses komersialisasi. Kenyataan seperti ini baik secara langsung maupun
tidak langsung akan menurunkan kualitas kebudayaan Bali.
Lebih lanjut Ardika (2008) menyatakan bahwa dalam dunia kepariwisataan
merupakan sesuatu yang tidak dapat dihindari. Sadar ataupun tidak sadar pariwisata dan
industri telah mengubah makna kebudayaan Bali. Watson dan Kopachevsky (1994), juga
berpendapat bahwa industrialisasi seni kriya sudah merambah ke seluruh sektor
pariwisata serta sistem kapitalis pada umumnya seperti yang diungkapkan oleh Britton
(1991). Ardika (2008) mencontohkan pertunjukan tari Barong yang ada di Desa
Batubulan telah mengalami industrialisasi budaya Bali karena memiliki ciri-ciri sebagai
berikut: (1) pengemasannya (packaging) terkait dengan durasi waktu sekitar satu jam, (2)
penggunaan barong tiruan (simulacra), dan (3) upacara pada saat pertunjukan dibuat
sangat sederhana. Pertunjukan tari Barong untuk wisatawan dipromosikan melalui
9
pemasaran (marketing) oleh berbagai komponen industri pariwisata (Pitana, 2006: 266—
267).
Untuk menghindari dan meminimalisir adanya proses industrialisasi,
komersialisasi, konsumerisme, dan degradasi kebudayaan Bali dalam kaitannya dengan
pengembangan pariwisata budaya di daerah Bali, Ardika (2008) mengusulkan: (1)
peningkatan kesadaran masyarakat Bali untuk menggali kearifan lokal untuk
mempertahankan nilai-nilai keagamaan dan estetika kebudayaan Bali, (2) perlu dibuat
peraturan dalam bentuk Perda sebagai payung hukum yang harus dipedomani untuk
melindungi, melestarikan, dan mencegah proses industrialisasi kebudayaan Bali,
khususnya yang memiliki kaitan dengan daya tarik wisata, (3) pemberian informasi
kepada wisatawan atau pihak-pihak terkait dengan industri pariwisata tentang nilai-nilai
religiusitas dan estetika kebudayaan Bali, dan (4) para perajin atau seniman untuk
mematenkan hasil karyanya, atau mendaftarkan hak ciptanya agar terhindar dari peniruan
atau pemalsuan. Tulisan ini memiliki kaitan yang sangat erat dengan penelitian yang
akan dilaksanakan karena adanya langkah-langkah yang harus dilakukan untuk terhindar
dari proses industrialisasi kebudayaan Bali.
Ardika dkk. (2012) telah mengadakan penelitian yang berjudul Pengembangan
Pariwisata Budaya Bernuansa Ekonomi Kreatif yang Berkeadilan dan Berkelanjutan di
Bali. Untuk mengembangkan pariwisata budaya yang berkelanjutan di Desa Tenganan
Pegringsingan dan Sidemen harus berdasarkan aneka modal (capital), yaitu modal
budaya, sosial, dan ekonomi sehingga usaha itu bisa maju dan berkelanjutan. Jenis usaha
yang dikembangkan di kedua desa tersebut adalah tenun ikat dan seni prasi, dan khusus
di Desa Sidemen mulai berkembang fasilitas pariwisata berupa penginapan/vila dan
10
restoran. Ada dua kendala yang dihadapi dalam mengembangkan pariwisata budaya baik
yang bersifat internal maupun eksternal. Secara internal, perajin merasakan keterbatasan
dalam jumlah modal uang dan tenaga kerja (tukang tenun, pendesain motif untuk kain
tenun dan/atau pelukis prasi. Di samping itu, keterbatasan kemampuan instansi terkait
untuk melakukan pembinaan para perajin.
Ada bererapa hal menarik yang dapat dipahami dari hasil penelitian tersebut,
yakni telah terjadi industrialisasi dalam rangka pengembangan industri kreatif baik untuk
kerajinan tenun ikat maupun seni melukis prasi pada kedua desa tersebut. Pembuatan
kain geringsing merupakan warisan budaya masyarakat Tenganan Pegringsingan yang
sejak zaman kolonial (Ramsayer, 1983:17) hingga saat ini dapat memberi kesejahteraan
untuk masyarakat setempat. Saat ini, permintaan akan kain geringsing semakin
meningkat sehingga terjadi inovasi dalam pewarnaan, dan motif baru. Inovasi atau
perubahan yang terjadi karena adanya penenun sewaan yang berasal dari Desa Sidemen
sebagai akibat dari meningkatnya permintaan terhadap produksi kerajinan tenun
gringsing di Tenganan Pegringsingan.
Di sisi lain, motif lubeng kain gringsing yang dibuat di desa Tenganan saat ini
diaplikasikan pada kain tenun ikat endek di desa Sidemen. Bukti ini menunjukkan bahwa
telah terjadi pertukaran motif dan sistem pewarnaan antara kain geringsing dan kain
endek sebagai akibat dari adanya penenun sewaan yang berasal dari luar desa Tenganan
Pegringsingan, khususnya dari Desa Sidemen. Fenomena ini terjadi mungkin sebagai
strategi untuk memenuhi selera konsumen atau pasar, sehingga penenun terpaksa
membuat motif baru dengan tujuan agar produknya bisa terjual.
11
Di samping adanya pertukaran motif dan pewarnaan yang terjadi pada desa
Tenganan Pegringsingan dan Sidemen dalam produk kain tenun, pertukaran modal
budaya yang lain terjadi pula pada seni melukis dan menulis di atas daun lontar yang
dikenal dengan seni prasi. Seni prasi pada awalnya berkembang di desa Sidemen,
kemudian dijual ke Desa Tenganan Pegringsingan. Prasi yang dibuat di Desa Sidemen
mengambil cerita dari mitos Ramayana atau Maha Barata yang ditulis/digambar pada
daun lontar. Seperti yang telah disampaikan di atas, bahwa karena permintaan dan
kebutuhan yang meningkat, masyarakat di desa Tenganan Pegringsingan juga membuat
prasi. Akan tetapi, perajin prasi di desa Tenganan Pegringsingan mengembangkan
bukan saja gambar pada prasi tersebut diambil dari cerita Ramayana dan Maha Barata,
tetapi motif baru seperti peta pulau Bali, kalender, dan kartu nama yang digambar pada
prasi tersebut. Dua contoh di atas menunjukkan munculnya industrialisasi karena faktor
ekonomi, yaitu adanya keinginan perajin pada kedua desa tersebut untuk mencari
keuntungan sebanyak-banyaknya untuk menopang hidup dengan menciptakan atau
mengadakan perubahan terhadap komoditas yang sangat laku terjual atau sesuai dengan
selera pasar. Fenomena seperti ini dapat terjadi pada produk seni kriya saat ini melalui
mekanisme made to order.
Sutjiati Beratha dkk (2015) jenis kerajianan Bali yang mengalami dinamika dari
aslinya sebagai akibat dari pesanan (made to order) dan mengalami proses komodifikasi
adalah seni kerajinan patung yang terdiri atas: patung garuda, patung gajah, patung
jerapah. Di samping itu, ada juga cermin, panil, perhiasan, dan lukisan. Aspek-aspek
seni kerajinan Bali yang mengalami perubahan akibat dari pesanan (made to order)
adalah bentuk, bahan, ukuran, pewarnaan. Pada awalnya patung seperti patung garuda
12
sebagai hiasan bangunan tradisional Bali, sebagai hiasan bale saka roras atau bale sake
kutus, hiasan di pura-pura, dan bale gede. Patung garuda dianggap memiliki nilai
filosofis sehingga saat itu belum menjadi produk untuk diperdagangkan (non komoditas).
Akan tetapi, sejak tahun 1980 an masyarakat mulai giat bekerja dan berlomba-lomba
membuat berbagai bentuk patung garuda untuk dikomersialkan. Hal serupa juga terjadi
pada jenis patung-patung lain, panil dan perhiasan yang mengalami perubahan bentuk
dan diproduksi secara massal. Patung garuda, patung gajah, patung jerapah, panil dan
cermin pada awalnya terbuat dari kayu nangka, kayu jati, kayu cempaka, kayu waru,
kayu suwar, namun saat ini bahan patung-patung, cermin, dan panil adalah kayu waru,
albesia, dan plywood atau MDF karena kayu-kayu tersebut sangat lunak sehingga mudah
untuk dibentuk. Sedangkan untuk perhiasan, Desa Celuk sejak dahulu sangat terkenal
karena industri kerajinan emas dan perak, akan tetapi saat ini sudah berubah, perhiasan
yang dipesan melalui made to order untuk produksi massal terbuat dari kuningan dan
alpaka, namun tetap dilapisi baik emas maupun perak. Para perajin juga mengubah
teknologi yang mereka biasa gunakan, pada awalnya mereka menggunakan tangan dan
saat ini menggunakan mesin dengan sistem cetak (casting). Ukuran dan pewarnaan
untuk semua jenis seni kriya dari penelitian ini mengalami perubahan, warna-warna yang
pada mulanya mengambil warna alami, dan sekarang diganti dengan zat-zat pewarna
pabrik.
Para seniman Bali melakukan perubahan ataupun komodifikasi terhadap produk
kerajianan sebagai akibat dari pesanan (made to order) karena dua faktor yaitu faktor
eksternal dan faktor internal. Faktor eksternal disebabkan oleh made to order pesanan
dari kosumen yang umumnya mengikuti selera pasar. Di samping itu, adanya pola
13
produksi, dan pengaruh pariwisata. Sedangkan untuk faktor internal, para perajin di Desa
Kedisan, Ubud, dan Celuk menggunakan imajinasinya untuk berinovasi secara kreatif
agar tercipta desain-desain baru dari patung-patung, panil, cermin, dan perhiasan yang
diproduksi oleh perajin di ke tiga desa tersebut. Mereka tampaknya selalu mengikuti
selera pasar sehingga produk mereka sangat disukai oleh konsumen sehingga mereka
memproduksi produknya secara massal. Di samping itu, para perajin ingin mengubah
kehidupan sosial ekonomi mereka dan mereka memproduksi seni kerajinan kriya menjadi
komoditas yang mudah dijual di pasar dengan harga murah.
Kajian pustaka di atas menunjukkan bahwa penelitian tentang industrialisasi seni
kriya di desa Mas, Gianyar belum pernah dilakukan. Hasil penelitian ini dapat
menjelaskan bahwa telah terjadi industrialisasi terhadap seni kriya karena kebutuhan
pasar, yaitu permintaan atas cendera mata yang semakin meningkat, sehingga diproduksi
secara massal dengan menggunakan teknologi moderen seperti peralatan mesin. Luaran
dari penelitian ini selain berupa laporan penelitian, juga artikel ilmiah yang akan
dipublikasikan di jurnal terakreditasi secara nasional.
14
2.2 Konsep
Secara umum konsep dapat diartikan sebagai suatu representasi abstrak dan
umum tentang sesuatu. Sifatnya yang abstrak dan umum sehingga merupakan suatu hal
yang bersifat mental. Representasi sesuatu itu terjadi dalam pikiran. Sebuah konsep
mempunyai rujukan pada kenyataan. Penelitian ini menerapkan dua konsep yaitu konsep
seni kerajinan atau seni kriya dan konsep industrialisasi seperti diuraikan berikut ini.
2.2.1 Seni Kerajinan atau Seni Kriya
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia Kriya diartikan sebagai pekerjaan
(kerajinan tangan). Dalam bahasa Inggris disebut Craft yang berarti energi atau kekuatan,
maksudnya adalah suatu keterampilan dalam mengerjakan atau membuat sesuatu yang
digunakan sebagai wadah.
Secara umum, pengertian seni kriya adalah sebuah karya seni yang dibuat dengan
menggunakan keterampilan tangan (hand skill) dan memperhatikan segi fungsional
(kebutuhan fisik) dan keindahan (kebutuhan emosional). Karya seni kriya dikategorikan
sebagai karya seni rupa terapan nusantara. Dalam perkembangannya, karya seni kriya
identik dengan seni kerajinan karena terlihat dari cara pembuatan Karya Seni Kriya
dengan menggunakan tangan (hand made).
Seni Kerajinan telah ada sejak zaman Prasejarah dilihat dari benda-benda temuan
sejak zaman Batu Muda (Neolitikum) yang mana manusia sudah mulai tinggal menetap.
Benda karya seni kriya tersebut adalah tembikar di mana tembikar terbuat dari tanah liat
dan digu embikar di zaman Neolitikum menjadi sebuah hiasan sebagai lambang atua
15
simbol kehidupan spritual. Di periode selanjutnya, seni kriya berkembang baik dalam
aspek fungsi, peningkatan kualitas bahan, bentuk dan corak hiasannya. Awalnya benda
tersebut berbentuk sederhana, dalam perkembangannya menjadi bentuk macam-macam
dan rumit yang disertai hiasan yang membuat banyak variasi dan detailnya.
Seni kerajinan adalah cabang seni yang menekankan pada keterampilan tanggan
lebih tinggi dalam proses pengerjaannya. Seni kerajinan atau lebih sering disebut dengan
seni kriya berasal dari kata ‘Kr’ dalam bahasa sansekerta, ‘Kr’ ini memiliki arti
mengerjakan. Dari kata tersebutlah muncul kata karya, kriya dan juga kerja. Seni
kerajinan atau seni kriya ini dianggap sebagai seni yang unik dan berkualitas tinggi
karena dikerjakan oleh craftmanship yang tinggi. Hingga kini seni kerajinan terus
berkembang dengan pesat dan munculnya berbagai karya baru. Seni kerajinan tumbuh
atas desakan kebutuhan praktis dengan menggunakan bahan-bahan yang tersedia
berdasarkan pengalaman yang diperoleh disetiap harinya. Sentuhan bahan pewarna yang
biasanya mirip dengan warna alami dibuat dari komponen bahan baku sehingga
menciptakan sebuah keindahan dengan nilai seni tinggi. Perkembangan terknologi
membawa pengaruh positif terhadap perkembangan seni kerajinan. Sehingga munculnya
berbagai kerajinan tangan, maupun anyaman dengan kombinasi menarik yang mampu
membuat karya seni tersebut memiliki nilai jual tinggi.
Secara garis besar, fungsi seni kriya ada tiga yaitu (1) sebagai hiasan (dekorasi).
Banyak hasil produk dari seni kriya digunakan untuk benda pajangan. Seni kriya tersebut
lebih mengutamakan keindahan dari pada fungsinya sehingga seni kriya jenis ini
mengalami berbagai pengembangan. Contohnya hiasan dinding, karya seni ukir, patung,
16
cinderamata dan lain sebagainya; (2) sebagai benda terapan (siap pakai). Seni kriya ini
lebih mengutamakan fungsinya sebagai benda yang siap pakai, nyaman, namun tidak
menghilangkan unsur keindahannya. Contohnya senjata, furnitur, keramik dan lain
sebagainya; (3) benda mainan, yaitu seni kriya sebagai alat permainan yang biasanya
dengan bentuk sederhana dan bahan yang mudah didapatkan dan dikerjakan, dengan
harga yang relatif murah. Contohnya adalah boneka, kipas kertas, congklak, dan lain-lain.
Bentuk karya seni kriya nusantara sangat beragam dan juga bahan alam yang
digunakan dan dari berbagai karya tersebut ada yang masih mempertahankan
keanekaragaman hiasan tradisional dan ada juga yang telah mengembangkannya karena
tuntutan pasar. Jenis-jenis seni kriya ditentukan pada bahan dan teknik yang digunakan.
Berdasarkan bahan yang digunakan ada seni kriya kayu, kulit, tekstil, batu, logam, dan
keramik. Berdasarkan teknik pengerjaannya ada seni kriya pahat atau ukir, tenun,
anyaman, batik, dan bordir.
2.2.2 Industrialisasi
Industri mempunyai dua pengertian yaitu pengertian secara luas dan pengertian
secara sempit. Dalam pengertian secara luas, industri mencakup semua usaha dan
kegiatan di bidang ekonomi yang bersifat produktif. Sedangkan pengertian secara sempit,
industri atau industri pengolahan adalah suatu kegiatan yang mengubah suatu barang
dasar secara mekanis, kimia, atau dengan tangan sehingga menjadi barang setengah jadi
atau barang jadi. Dalam hal ini termasuk kegiatan jasa industri dan pekerja perakitan
(assembling). Dalam istilah ekonomi, industri mempunyai dua pengertian. Pertama,
industri merupakan himpunan perusahaan-perusahaan sejenis, contoh industri kertas
17
berarti himpunan perusahaan-perusahaan penghasil kertas. Kedua, industri adalah sektor
ekonomi yang di dalamnya terdapat kegiatan produktif yang mengolah barang mentah
menjadi barang setengah jadi atau barang jadi (Dumairy, 1996).
Industrialisasi adalah suatu proses perubahan sosial ekonomi yang mengubah
sistem pencaharian masyarakat agraris menjadi masyarakat industri. Industrialisasi juga
bisa diartikan sebagai suatu keadaan di mana masyarakat berfokus pada ekonomi yang
meliputi pekerjaan yang semakin beragam (spesialisasi), gaji, dan penghasilan yang
semakin tinggi. Industrialisasi adalah bagian dari proses modernisasi di mana perubahan
sosial dan perkembangan ekonomi erat hubungannya dengan inovasi teknologi.
Dalam industrialisasi ada perubahan filosofi manusia di mana manusia mengubah
pandangan lingkungan sosialnya menjadi lebih kepada rasionalitas (tindakan didasarkan
atas pertimbangan, efisiensi, dan perhitungan, tidak lagi mengacu kepada moral, emosi,
kebiasaan atau tradisi). Menurut para peniliti ada faktor yang menjadi acuan modernisasi
industri dan pengembangan perusahaan. Mulai dari lingkungan politik dan hukum yang
menguntungkan untuk dunia industri dan perdagangan, bisa juga dengan sumber daya
alam yang beragam dan melimpah, dan juga sumber daya manusia yang cenderung
rendah biaya, memiliki kemampuan dan bisa beradaptasi dengan pekerjaannya.
Industrialisasi dalam pengertian lain adalah proses ekonomi yang mencakup
seluruh sektor ekonomi yang memiliki hubungan atau keterkaitan antara yang satu
dengan lainnya dengan indusrti pengolahan. Artinya industrialisasi bertujuan
meningkatkan nilai tambah seluruh sektor ekonomi dengan industri pengolahan sebagai
18
leading sektor, maksudnya adalah dengan adanya perkembangan industri maka akan
memacu dan mengangkat pembangunan sektor-sektor lainnya (Arsyad, 2004).
2.3 Kerangka Teori
Menurut Robertson (1992), globalisasi adalah suatu proses yang dapat
menghasilkan dunia tunggal di mana seluruh masyarakat di dunia saling bergantung
dalam beberapa aspek kehidupan, seperti politik, ekonomi, dan budaya. Jhamtani (2001)
menyatakan bahwa proses globalisasi berakar dari pemikiran dan kemauan Negara Barat
(yang telah berkembang) kemudian berkembang luas ke negara-negara yang sedang
berkembang. Globalisasi berkaitan dengan westernisasi karena paradigma Barat dianggap
bersifat global dan universal, tetapi negara-negara timur yang masih dianggap bersifat
lokal dan cenderung primitif. Dari penjelasan ini, tampaknya globalisasi identik dengan
westernisasi, dan atau pasar bebas. Menarik untuk dikemukakan di sini bahwa
penyeragaman bisa terjadi sebagai akibat dari dominannya cara berpikir secara Barat.
Misalnya, cara masyarakat meniru gaya hidup, dan sistem berpikir yang berorientasi
Barat, sehingga berdampak pada gaya hidup dan sistem berpikir Timur mulai
ditinggalkan. Bukti ini menunjukkan bahwa budaya Barat menjadi lebih dominan
dibandingkan dengan budaya Timur.
Teori yang mendasari penelitian ini adalah teori globalisasi. Menurut
Appadurai (1993:296), arus kebudayaan global (global cultural flow) dapat dimengerti
melalui hubungan antara lima komponen yang menjadi ciri-ciri kebudayaan global. Ke
lima komponen tersebut adalah: (1) ethnoscapes, (2) technoscapes, (3) mediascapes, (4)
finanscapes, dan (5) ideoscapes. Kelima komponen tersebut dalam penelitian ini
19
sekaligus dijadikan parameter untuk menentukan kebudayaan global, karena analisis
penelitian ini akan meliputi: Ethnoscapes, yaitu perpindahan penduduk atau orang dari
suatu negara ke negara lain. Sebagai contoh wisatawan, imigran, pengungsi, tenaga kerja
yang merupakan ciri dari kebudayaan global. Technoscapes atau sering pula disebut
dengan arus teknologi yang mengalir begitu cepat ke semua negara. Mediascapes adalah
penyebaran informasi melalui media ke semua belahan dunia. Finanscapes merupakan
aspek finansial yang tampaknya agak sulit untuk diprediksi di era globalisasi. Ideoscapes
mengacu kepada komponen yang memiliki kaitan dengan masalah politik, seperti
demokrasi, kedaulatan, kesejahteraan, hak, kebebasan.
Melalui kelima parameter di atas industrialisasi yang terjadi pada seni kriya bisa
diteliti, karena dapat terjadi pada sistem produksi yang meliputi bahan, bentuk, ukuran,
dan warna, dan lain-lain. Oleh sebab itu, globalisasi dapat melibatkan pasar kapitalis dan
relasi sosial, serta aliran komoditas yang melampaui batas-batas nasional menuju
masyarakat global. Dengan melihat kondisi seperti ini, teori globalisasi seperti yang
diuraikan di atas sangat tepat untuk diterapkan pada penelitian ini karena akan mampu
memecahkan ke tiga permasalahan penelitian ini.
20
BAB III
METODE PENELITIAN
3.1 Lokasi Penelitian
Lokasi penelitian ini di desa yang menghasilkan barang kerajinan yang ada di
Kabupaten Daerah Tingkat II Gianyar, Bali, yaitu Desa Mas yang masuk dalam
Kecamatan Ubud. Desa tersebut dipilih sebagai lokasi penelitian karena kerajinan
membuat ukiran dan patung dari kayu, kerajinan emas dan perak merupakan aktivitas
sebagian anggota masyarakat sebagai mata pencaharian untuk kelangsungan hidup.
Dengan demikian di desa tersebut berkembang industri besar, sedang, kecil atau industri
rumah tangga.
Industri kerajinan di Desa Mas menjadi industri budaya yang mengalami
perkembangan sangat pesat sejak tiga dasa warsa terakhir ini. Industrialisasi tersebut
disebabkan oleh adanya pembeli barang-barang kerajinan yang dijual itu dengan cara
memesan atau made to order dalam jumlah banyak sehingga harus diproduksi secara
massal. Penjualan barang kerajinan seperti ini mengikuti selera pembeli yang umumnya
adalah wisatawan manca negara. Oleh sebab itu, originalitas atau kekhasan kerajinan
yang pembuatannya menggunakan keterampilan tangan akan mengalami perubahan
karena menggunakan mesin. Kondisi seperti ini sudah berlangsung dalam kurun waktu
yang relatif lama berkenaan dengan alasan-alasan yang telah disebutkan di atas yang
salah satunya adalah jumlah permintaan yang besar.
21
3.2 Metode dan Teknik Pemerolehan Data
Metode yang digunakan untuk memperoleh data pada penelitian ini adalah
pengamatan langsung (participant observation), wawancara mendalam, dan studi
dokumentasi. Informan yang dipilih sebagai narasumber atau pemberi informasi dalam
penelitian ini adalah beragam, meliputi kaum laki-laki dan perempuan yang
memproduksi seni kriya. Keberagaman ini dimaksudkan, selain untuk memperoleh data
dan fakta yang banyak dan bermutu, juga agar diperoleh informasi penting untuk
dianalisis. Pemilihan informan dilakukan dengan teknik purposif, yakni dengan memilih
para perajin, dan pengusaha kerajinan. Selanjutnya, dengan memposisikan para perajin
tersebut sebagai informan kunci maka dilakukan teknik menggelinding (snowball).
Artinya, dari informan informan kunci digali identitas informan lain yang dibutuhkan
dalam penelitian ini. Para informan kunci itulah yang memberikan informasi tentang
jenis-jenis barang kerajian yang dipesan, bentuk-bentuk yang berubah dan penyebab
terjadinya industrialisasi yang selanjutnya juga memberikan informasi mengenai calon
informan lainnya. Teknik wawancara dan observasi juga digunakan dalam penelitian ini.
Namun jenis wawancara dalam hal ini adalah wawancara mendalam, terutama
wawancara mengenai pengalaman individu yang biasanya disebut sebagai metode
penggunaan data pengalaman individu (individual life history) atau dokumen manusia
(human document) (Koentjaraningrat, 1989:158). Teknik wawancara ini dilengkapi juga
dengan wawancara mendalam biasa (bukan life history). Hal-hal yang diamati atau
diobservasi adalah situasi sosial di kediaman informan, termasuk orang-orang yang
terlibat dalam situasi tersebut lengkap dengan peranannya masing-masing.
22
3.3 Metode dan Teknik Analisis Data
Analisis data/informasi dilakukan dengan analisis interpretatif yang dirangkaikan
dengan pendekatan emik dan etik, sehingga kemungkinan adanya masalah dengan
informan yang telah melakukan sesuatu tetapi tidak mampu menginformasikan maknanya
sebagaimana dikatakan oleh Brian Fay (2004) dapat dihindari. Proses analisis ini sejalan
dengan proses wawancara dan pengamatan, artinya analisis dilakukan secara bergantian
dengan wawancara dan pengamatan dalam satu paket waktu. Setiap informasi penting
yang diperoleh dari informan langsung dianalisis untuk membentuk hipotesis-hipotesis
kecil yang kemudian digunakan untuk mengajukan pertanyaan berikutnya. Dengan
demikian teknik analisis dan wawancara tersebut mengacu kepada apa yang disebut
dengan istilah go hand-in-hand (Taylor dan Bogdan, 1984:128).
Data yang terkumpul dalam penelitian ini sebagian besar berwujud data kualitatif.
Data ini dianalisis dengan melakukan berbagai tahapan kegiatan, yakni reduksi data,
menyajikan, menafsirkan, dan menarik simpulan (Miles dan Huberman, 1992; Hikmat,
2000 ). Hal ini dapat dilihat pada diagram 1 berikut.
23
Diagram 1
Komponen-Komponen Analisis Data Model Interaktif
Sumber : Miles dan Huberman (1992 : 20)
Berdasarkan diagram 1 dapat dikemukakan bahwa reduksi data meliputi berbagai
kegiatan, yakni penyeleksian, pemokusan, simplifikasi, pengkodean, penggolongan,
pembuatan pola, foto dokumentasi untuk situasi atau kondisi yang memiliki makna
subyektif, kutipan wawancara yang memiliki makna subyektif, dan catatan reflektif.
Penyajian data dan penafsiran berkaitan dengan penyusunan teks naratif dalam kesatuan
bentuk, keteraturan, pola-pola, penjelasan, konfigurasi, alur sebab akibat, dan proposisi.
Sedangkan penarikan kesimpulan atau verifikasi antara lain mencakup hal-hal yang
hakiki, makna subyektif, temuan konsep, dan proses universal. Kesemuanya ini tidak
terlepas dari masalah yang ditelaah. Kegiatan pengumpulan data, reduksi data, penarikan
simpulan dan penyajian data, merupakan rangkaian kegiatan yang terkait dan bisa
Pengumpulan
Data
Penyajian
Data
Reduksi
Data
Menarik
Kesimpulan/Verifikasi
24
berlangsung secara ulang-alik, sampai mendapatkan hasil penelitian akhir, yakni
etnografi yang bersifat holistik dan sarat makna, dalam konteks pemberian jawaban
terhadap masalah yang dikaji dalam penelitian ini.
3.4 Metode dan Teknik Penyajian Hasil Analisis
Tahapan penting lainnya adalah bagaimana menyajikan temuan penelitian agar
mudah dipahami oleh pembaca. Penelitian ini menyajikan hasil analisis data melalui
kombinasi dari dua metode, yaitu metode formal dan informal.
Metode formal diwujudkan melalui penggunaan tanda-tanda dan lambang
termasuk tabel dan gambar. Dengan metode formal, penyajian hasil analisis data menjadi
lebih ringkas, padat agar pembaca lebih mudah memahami hasil penelitian ini.
Penyajian informal direalisasi dalam bentuk kata-kata dan kalimat, termasuk
penggunaan istilah teknis. Penggunaan kata-kata yang bermakna ganda dihindari sejauh
mungkin agar penjelasannya mudah dipahami dan semua ini disajikan tanpa
mengabaikan kaidah-kaidah penulisan akademik.
25
BAB IV
GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN
Bab empat penelitian ini memberikan gambaran tentang 5 hal yang teridi atas:
Sejarah Desa Mas, Lokasi, Penduduk dan Demografi, Kehidupan Sosial Budaya dan
Ekonomi Desa Mas, serta Deskripsi Pemilik Usaha yang sekaligus digunakan sebagai
informan.
4.1 Sejarah Desa Mas
Menurut beberapa sumber seperti Sulinggih, Pemangku dan tokoh-tokoh
masyarakat Desa Mas belum ditemukan bukti yang pasti tentang terbentuknya Desa Mas.
Diperkirakan perkembangan Desa Mas mulai berkisar antara abad ke 13 dan ke 14. Pada
zaman Kerajaan Bedahulu sekitar abad ke 13 yang dipimpin oleh seorang raja yang
bernama Sri aji Astra sura Bumi Banten dengan gelar Sri Tapolang atau Sri Gajah
Waktra, merupakan seorang raja yang terkenal dengan keangkuhan dan kezalimannya
karena kesaktiannya, serta didukung oleh kehandalan semua menteri dan para patihnya
seperti Pasung Grigis, Basur dan lain sebagainya. Mendengar Kerajaan Bedahulu di Bali
demikian keadaannya, maka Sri Aji Gemet Raja Majapahit II alias Sri Jaya Negara putra
dari Sri Arsa Wijaya (Prabu Kertha Rajasa Jaya Wardana) mengutus Gajah Mada untuk
menyerang Bali yang didampingi oleh panglima perang Arya Damar dan beberapa arya
lainnya. Dalam pertempuran yang sangat sengit akhirnya Kerajaan Bedahulu kalah.
Beberapa lama kemudian terdengarlah seorang Brahmana dari Majapahit datang
ke Bali, yang tidak betah lagi tinggal di Jawa karena masih kuatnya keinginan untuk
mempertahankan agama Hindu yang terdesak oleh Agama Islam. Beliau tersebut sebagai
26
Pedanda Sakti Wawu Rauh atau dengan nama lain Dang Hyang Nirarta atau Dang hyang
Dwi Jendra. Setelah beliau sampai di Bali bersama rombongannya dengan aneka ragam
pengalaman maka sampailah beliau di Desa Mas (Tegal Tajun) atas undangan Mas
Willis. Selama Pedanda Sakti Wawu Rauh berada di Desa Mas beliau banyak
memberikan pengetahuan di bidang agama, sosial, seni budaya dan lain sebagainya
kepada Mas Willis. Setelah Mas willis menguasai semua ilmu pengetahuan yang
diberikan maka Pedanda Sakti Wawu Rauh melaksanakan proses Pediksaan/Dwijati
terhadap Mas Willis yang diberi gelar Pangeran Manik Mas. Sebagai bukti untuk
menghormati beliau Pangeran Manik Mas membuat Pasraman/Geria dengan segala
perlengkapannya untuk Pedanda Sakti Wawu Rauh. Demikian pula Pedanda Sakti Wawu
Rauh untuk memperingati kesungguhan kejadian ini beliau membuktikan dengan
menancapkan Tongkat Tangi/Pohon Tangi yang masih hidup sampai saat ini yang
terletak di Jaba Tengah Pura Taman Pule.
4.2 Lokasi Desa Mas
Secara geografis Desa Mas terletak pada 80 36’30” LS dan 115
0 21’05”BT.
Sedangkan topografis sumber daya alam Desa Mas seperti tersebut di atas berupa
hamparan lahan dataran dengan komposisi dan luas sawah 246 ha, tegalan 194,99 ha,
pekarangan 220,03 ha, kolam 3,26 ha, kuburan 3,26 ha dan lainnya 32,86 ha. Dengan
luas 7,04km2 Desa Mas secara administratif merupakan wilayah Kecamatan Ubud,
Kabupaten Gianyar, Provinsi Bali dengan batas-batas wilayah:
27
Di sebelah Utara : Desa peliatan dan kelurahan Ubud
Di sebelah Barat : Desa Lodtunduh dan Desa Singakerta
Di sebelah Selatan : Desa Batuan Kaler
Di sebelah Timur : Desa Kemenuh
Desa Mas sebagai daerah tropis mengenal adanya dua musim yaitu musim
kemarau dan musim hujan. Secara umum di Desa mas musim hujan lebih panjang dari
pada musim kemarau dengan demikian kebutuhan akan air untuk pengairan di sawah
akan mencukupi. Ditambah lagi dengan adanya aliran sungai yang ada di Desa Mas
sehingga untuk keperluan air pertanian Desa Mas tidak pernah kekurangan. Jadi dengan
adanya sumber air tersebut membuat bentangan lahan Desa Mas menjadi subur sehingga
sangat potensial bagi usaha pertanian.
Desa Mas terdiri atas 12 banjar dinas yakni Banjar Dinas Nyuhkuning,
Pengosekan Kaja, Pengosekan Klod, Batanancak, Tegalbingin, Juga, Tarukan, Kawan,
Bangkilesan, Abianseka, Satria, dan Banjar Dinas Kumbuh di mana ke 12 banjar dinas
tersebut sampai saat ini terjalin sangat erat dan selalu mengutamakan musyawarah
sebagai dasar untuk mengambil keputusan. Dalam konteks Desa Pakraman Desa Mas
mewilayahi 4 Desa Pakraman yaitu Desa Pakraman Mas, Desa Pakraman Nyuhkuning,
Desa Pakraman Pengosekan, dan Desa Pakraman Abianseka.
28
4.3 Penduduk dan Demografi
Berdasarkan hasil registrasi penduduk tahun 2010 dan 2011 jumlah penduduk di
Desa Mas berturut-turut menunjukkan angka 11.257 orang dan 11.387 orang. Secara
umum berdasarkan perbandingan jumlah keseluruhan penduduk dengan luas wilayah
7,04 km2 sebagai daya dukung adalah sebanyak 1.599 jiwa/km
2 (thaun 2010) dan pada
tahun 2011 rasio tersebut menjadi 1.617 jiwa/km2. Populasi penduduk di Desa Mas
memiliki kepadatan yang cukup tinggi.
Tabel 1. Jumlah Penduduk Berdasarkan Umur
NO INDIKATOR JUMLAH
TAHUN 2010 TAHUN 2011
1 Umur 0-12 bulan 130 orang 141 orang
2 Umur > 1-<5 tahun 674 orang 677 orang
3 Umur >5-<7 tahun 579 orang 594 orang
4 Umur >7-<15 tahun 2.158 orang 2.225 orang
5 Umur >15-56 tahun 6.345 orang 6.361 orang
6 Umur >56 tahun 1.371 orang 1.389 orang
Sumber: Profil Pembangunan Desa Mas 2012
29
Tabel 2. Jumlah Penduduk Berdasarkan Jenis Kelamin
NO INDIKATOR JUMLAH
TAHUN 2010 TAHUN 2011
1 Jumlah penduduk 11.257 orang 11.387 orang
2 Jumlah laki-laki 5.621 orang 5.716 orang
3 Jumlah perempuan 5.636 orang 5.671 orang
4 Jumlah kepala keluarga 2.334 KK 2.374 KK
Sumber: Profil Pembangunan Desa Mas 2012
Pada subsektor pendidikan terlihat bahwa semua anak-anak usia sekolah telah
mendapatkan pendidikan sesuai dengan tingkat umurnya. Jumlah buta aksara yang ada di
Desa Mas secara bertahap dari tahun ke tahun telah mengalami penurunan. Dalam rangka
memberikan kesempatan seluas-luasnya kepada masyarakat untuk menuntut ilmu melalui
proses pendidikan formal secara umum di Desa Mas telah terdapat sarana dan prasarana
pendidikan formal atau sekolah sebagai berikut:
a. Taman Kanak-kanak
b. Sekolah Dasar
c. Sekolah Menengah Pertama
d. Sekolah Menengah Kejuruan
30
Dalam rangka mempersiapkan sarana pendidikan yang layak pakai dalam hal ini
pembangunan dan pemeliharaan fisik sekolah adalah merupakan sinergi dari berbagai
sumber dana bila diklasifikasikan dapat disajikan sebagai berikut:
1. Bantuan Pemerintah Daerah
2. Yayasan Kencana Kertha Budaya (milik Desa Mas)
3. Donator/Pengusaha/Masyarakat
4. Komite sekolah
5. Program Pengembangan Kecamatan (PPK/PNPM)
Dilihat dari sisi yang lain sampai akhir tahun 2011 posisi tingkat pendidikan yang
dicapai oleh masyarakat Desa Mas adalah sebagai berikut:
- Tamat Sekolah Dasar berjumlah 1.504 orang (13,20%)
- Tamat SMP dan sederajat 1.568 orang (13,77%)
- Tamat SLTA dan sederajat 4.097 orang (35,97%)
- Tamat Diploma berjumlah 397 orang (3,48%)
- Tamat Sarjana (S1, S2, S3) berjumlah 504 orang (4,42%)
Penanganan masalah kemiskinan selama ini didasarkan atas asumsi bahwa
kemiskinan merupakan fenomena atau gejala rendahnya kesejahteraan social dan
kurangnya penguasaan sumber daya seperti halnya di Desa Mas kemiskinan penduduk
dihitung dari tingkat kesejahteraan keluarga. Berdasarkan hasil pendataan tahun 2010 dan
2011 jumlah Rumah Tangga Miskin yang ada di Desa Mas pada tahun 2010 adalah 66KK
dan tahun 2011 sebanyak 66 KK dari seluruh KK yang ada di Desa Mas. Persentase KK
31
Miskin (RTM) yang ada di Desa Mas sebanyak 2,82% pada tahun 2010 dan 2,78% di
thaun 2011.
4.4 Kehidupan Sosial Budaya dan Ekonomi
Indikator kesehatan yang telah dicapai oleh masyarakat Desa Mas untuk
mengetahuinya dapat dilihat dari persentase bayi meninggal, cakupan imunisasi, kegiatan
posyandu, kuantitas dan kualitas sarana kesehatan, jumlah rumah tangga yang
memanfaatkan air bersih, jamban keluarga, dan pemakaian kontrasepsi.
Untuk mencapai lingkungan sehat di samping pelaksanaan kegiatan kebersihan di
masing-masing rumah tangga dan tempat-tempat lainnya melalui kegiatan gotong royong
yang dilaksanakan secara berkala sekali dalam sebulan desa Mas juga melaksanakan
pengelolaan sampah domestic dengan menyediakan alat angkutan sampah berupa 2 buah
truk untuk mengangkut sampah rumah tangga sampai ke TPA Kabupaten Gianyar yang
dilaksanakan setiap hari. Adapun sarana angkutan sampah ini merupakan hasil kerja sama
dengan Ohchi-Cho Jepang dan Program PMPN-Mandiri Pedesaan th 2011. Kegiatan ini
dirasakan sangat bermanfaat oleh masyarakat.
Tingkat kemakmuran masyarakat sangat tergantung dari tingkat perkonomian
masyarakat itu sendiri, hal ini dapat dilihat dari sejauh mana kebutuhan hidup masyarakat
itu sudah terpenuhi baik itu kebutuhan yang bersifat primer maupun yang bersifat
sekunder. Dilihat dari tingkat usia kerja (usia 15 – 56 th) di Desa Mas pada th 2010
terdapat 10 orang yang tidak bekerja dengan persentase pengangguran sebesar 0,16 %
dari jumlah penduduk usia kerja 6.345 jiwa. Sedangkan th 2011 terdapat 10 orang yang
tidak bekerja sehingga persentase pengangguran sebesar 0,15% dari jumlah penduduk
32
usia kerja 6.361 jiwa. Dapat disimpulkan terjadinya penurunan jumlah pengangguran
sebesar 0,01% dari tahun sebelumnya.
Keamanan dan ketertiban Desa Mas tahun 2010 dan 2011 termasuk aman. Pada
tahun itu tidak terjadi tindakan kekerasan seperti pencurian, penodongan, perampokan,
dan bentrok antar warga desa. Hal tersebut disebabkan adanya system keamanan yang
telah dilaksanakan secara terpadu dan terorganisasi, sehingga memberikan rasa aman
bagi masyarakat Desa Mas. Kerjasama masyarakat Desa Mas dengan aparat keamanan
terjalin erat sehingga semua aktifitas yang diperkirakan akan menimbulkan masalah yang
meresahkan masyarakat dapat dicegah sedini mungkin. Frekuensi penganiayaan dan
pembunuhan tidak pernah terjadi di Desa Mas. Hal tersebut terkait dengan sifat dan
dinamika masyarakat Desa Mas yang selalu mengutamakan musyawarah dalam
mengambil sikap untuk kepentingan bersama. Sangkepan banjar dilaksanakan secara
rutin di setiap banjar sekali dalam satu bulan pada hari-hari tertentu. Pesamuhan banjar
jadwalnya tidak tentu setiap bulannya. Pesamuhan bisa dilaksanakan secara mendadak
untuk memecahkan masalah-masalah yang penting.
Dalam pemerintahan bila dilihat dari segi aparat cukup lengkap di antaranya
Perbekel dibantu oleh Sekretaris Desa dan Kepala Urusan secara lengkap sehingga
pelayanan masyarakat dapat dilaksanakan dengan baik. Di samping itu perbekel dalam
melaksanakan tugasnya dibantu oleh keberadaan BPD, LKMD dengan formasi yang telah
terisi lengkap. Dan untuk menunjang administrasi di samping telah dilengkapi dengan
sarana yang cukup canggih berupa 4 unit computer dan administrasi yang wajib
dilaksanakan telah dilengkapi dengan buku-buku sesuai dengan Peraturan Menteri Dalam
Negeri Nomor 37 Tahun 2007.
33
Lembaga Kemasyarakatan adalah salah satu variabel yang dapat membantu
memperlancar kegiatan pembangunan di desa sehingga keberadaan dan kontribusinya
terhadap pembangunan desa sangat diharapkan melalui pelaksanaan program-program
yang disusun dan dilaksanakan. Di Desa Mas keberadaan Lembaga Kemasyarakatan
cukup mendapatkan perhatian Pemerintah Desa Mas dalam mendorong majunya
pembangunan desa. Sampai tahun 2011 di Desa Mas terdapat 149 Lembaga
Kemasyarakatan dan semuanya masih melaksanakan kegiatan sesuai dengan programnya
yang telah disusun. Kalau dilihat keterlibatan warga masyarakat Desa Mas rata-rata setiap
tahunnya 82,72% dari jumlah penduduk Desa Mas aktif dalam lembaganya masing-
masing.
Dalam pemberdayaan dan kesejahteraan keluarga program pembangunan dan
pemberdayaan masyarakat tidak bisa terlepas dari peran serta kaum perempuan, lebih-
lebih dikaitkan dengan pemberdayaan perempuan melalui kesetaraan gender. Sudah
merupakan suatu kewajiban bagi pemerintahan desa untuk selalu meningkatkan peran
serta kaum perempuan pada setiap kegiatan yang dilaksanakan di desa melalui berbagai
program dan kegiatan organisasi PKK.
4.5 Deskripsi Pemilik Usaha
CV. DHARMA SIADJA berlokasi di Jl. Raya Mas No.123, MAS, Ubud,
Kabupaten Gianyar, Bali 80571. Jl. Raya Mas No.123, MAS, Ubud, Kabupaten Gianyar,
Bali 80571. Perjalanan membangun kerajaan bisnis adalah Ketut Dharma Eka Putra
Siadja yang tercatat sebagai salah satu pebisnis eksportir properti yang sangat sukses di
Bali. Beliau sukses dengan membesarkan usaha keluarganya sebagai generasi ketiga.
34
Bakat kepemimpinan dan kewirausahaan Ketut Siadja telah muncul sejak masa
kecilnya. Pria yang lahir di Ubud, 30 Oktober 1968 ini, mengenyam bangku pendidikan
sekolah dasar di SD 3 Saraswati. Saat di sekolah dasar, Ketut Siadja telah mampu
mengkoordinir teman-temannya menabung untuk membeli baju seragam sepak bola atau
sekedar baju baru di hari Raya Galungan. Barangkali, ini merupakan tanda alam sebagai
bakat kewirausahaan dalam diri Ketut Siadja.
Setelah lulus SD, Ketut Siadja melanjutkan pendidikan ke SMPN 1 Denpasar
hingga tamat tahun 1984, dan langsung meneruskan pendidikan ke SMAN 1 Denpasar
dan mengenal Luh Putri Dewi Sinthayani yang kemudian menjadi isterinya. Setelah lulus
SMA, Ketut Siadja melanjutkan pendidikan beliau ke luar negeri tepatnya ke kota
Melbourne di benua Australia untuk lebih fokus pada jurusan ekonomi yang telah
menjadi minatnya.
Memulai bisnis dengan bermodalkan uang tabungannya, Ketut Siadja mengawali
usahanya dengan membuka pameran di stand kerajinan tangan di Bali Galeria Nusa Dua,
Bali pada tahun 1993, disusul dengan pameran – pameran lainnya, seperti di Bali Beach
Hotel dan Galeria Kuta serta kembali membuka tiga (3) stand pameran di area Bali Nusa
Dua. Ketut Siadja juga membantu Fa Siadja milik orang tuanya yang saat itu memiliki
dua (2) divisi, yakni divisi retail yang dikelola ibunda beliau dan divisi ekspor yang
ditangani oleh ayahanda beliau. Pada waktu tersebutlah Ketut Siadja mulai belajar dan
terjun langsung mengurus segala hal yang berhubungan dengan pabrik kerajinan, dari
proses awal hingga produk dikirim ke pembeli di luar negeri. Jumlah peminat dan
pembeli yang relatif tetap membuat Ketut Siadja merasa perlu menjemput bola di kancah
35
internasional serta melakukan pemetaan pasar ekspor dan sekaligus mengenal lebih
dalam para kompetitornya dengan melakukan tur promo bisnis ke negara-negara yang
ada di belahan benua Amerika dan Eropa.
Atas dasar pemikiran tersebut, Ketut Siadja membangun sebuah gedung sekaligus
pabrik berbadan usaha CV. Dharma Siadja, yang bergerak khusus di bidang ekspor yang
telah beroperasi sejak tahun 1998. Belum berlangsung lama membangun dan
membesarkan bisnis ekspornya, Ketut Siadja harus kehilangan sosok panutan yang
menuntunnya tumbuh sampai saat itu. Tahun 1999, sang ayah, Wayan Siadja, meninggal
dunia. Namun, hal itu tidak membuat Ketut Siadja patah semangat dan mundur.
Sebaliknya beliau merasa bangga dan semakin termotivasi karena selama hidup, ayahnya
telah berhasil mendidik dan menyelesaikan dharma hidupnya untuk mengarahkan
anaknya ke arah kesuksesan. Saat ini tongkat komando telah benar-benar digenggam oleh
Ketut Siadja sebagai generasi ketiga yang harus berkembang dan berkibar kea rah yang
lebih baik dan lebih maju dari dua generasi sebelumnya. Dengan tata kelola atau
manajemen yang professional dan kiprah promosi yang terarah, ditambah bakat Ketut
Siadja menangkap selera serta peluang pasar, menjadikan CV. Dharma Siadja mampu
menembus pencapaian gemilang yang belum pernah dicapai oleh generasi – generasi
sebelumnya. Untuk mendukung proses produksi, Ketut Siadja melakukan ekspansi
dengan membangun pabrik–pabrik baru di Desa Lod Tunduh dan Desa Tengkulak, Ubud,
serta di Yogyakarta yang didirikan tahun 2004.
36
Pencapain yang gemilang ini menjadikan Ketut Siadja tercatat sebagai wirausaha
muda yang memimpin dengan tidak dibayang-bayangi oleh sistem konvensional dan
berhasil memberikan bukti kesuksesan kepada para pendahulunya. Ketut Siadja memiliki
cara dan strategi tersendiri untuk mengikuti zaman dan bertahan untuk tetap berdiri.
Beliau membuktikan bahwa setiap generasi menghadapi persaingan dan situasi pasar
yang berbeda-beda, dan keberhasilan tersebut diperoleh dari kemampuan dan kesediaan
penggeraknya untuk tetap belajar serta menjadi lebih baik dari waktu ke waktu.
Kekokohan pilar-pilar bisnis yang dibangun oleh Ketut Siadja terbukti kuat
menghadapi berbagai goncangan. Hal ini dapat dilihat saat pabrik utamanya habis
terbakar beserta seluruh peralatan, bahan baku, dan puluhan kontainer siap kirim pada
tahun 2006. Sebulan kemudian, pabrik dan gudangnya yang berlokasi di Yogyakarta rata
dengan tanah karena diguncang gempa. Musibah ini tentu memberikan kerugian yang
cukup besar bagi Ketut Siadja. Namun ditengah keterpurukannya ini, Ketut Siadja
mampu bangkit dan kembali berdiri kokoh untuk tetap meneruskan usahanya.
Setelah bencana tahun 2006 tersebut, Ketut Siadja memetik buah manis usahanya
di tahun 2007. Terbukti dengan meledaknya pesanan dan ekspor yang melebihi kuota
yang pernah dicapai sebelumnya. Kini, kerajaan usahanya merupakan salah satu pasar
yang merajai pasar ekspor di Indonesia.
Ketut Siadja tidak hanya aktif di bidang bisnis ekspornya sendiri akan tetapi juga
aktif sebagai Ketua Umum ASEPHI Bali dan beberapa organisasi lain, seperti: Wakil
Ketua Umum KADIN Bali (2010 – 2015), Wakil Ketua Umum APINDO Bali (2012 –
37
2017), Ketua Umum PBSI Gianyar (2009 – 2017), serta aktif sebagai pengurus di
beberapa tempat ibadah umat Hindu dalam hal ini pura.
Seperti telah disebutkan diatas, bahwasanya Ketut Siadja memiliki teknik dan
strateginya sendiri untuk menghadapi dan mengikuti perkembangan zaman, terutama di
bidang bisnis ekportir. Ditambah, Ketut Siadja mampu menangkap dan mempelajari
selera dan peluang pasar yang sedang trendi. Trend pasar merupakan salah satu strategi
penting bagi Ketut Siadja dalam mengembangkan pasarnya di kancah internasional.
Ketut Siadja menjelaskan bahwa dirinya banyak memproduksi terra-cotta
(terakota, barang – barang gerabah yang diambil dari Lombok) pada tahun 2000 – 2005.
Dalam kurun waktu satu tahun, CV. Dharma Siadja mampu mengirim hingga satu juta
buah kerajinan terra-cotta, dari ukuran paling kecil sampai ukuran terbesar khususnya
yang berbentuk gentong. Kemudian tahun 2005 – 2006, Ketut Siadja menegaskan lebih
banyak memproduksi vas – vas yang berukuran besar yang beliau ambil dari Yogyakarta.
Ketut Siadja mengatakan bahwa dirinya bisa mengambil barang dari mana saja, semasih
dapat diproduksi secara massal, serta kualitas dan kuantitas bisa dijaga.
Sebagai contoh, kerajinan vas yang diambil dari Yogyakarta, proses finishing-nya
tetap dilakukan di Bali, atau diatasinya dengan mengirimkan tenaga finishing dari Bali ke
Yogyakarta. Kemudian produk yang sudah siap akan dikirim langsung dari Yogyakarta
ke Pelabuhan Tanjung Perak untuk diekspor ke Negara tujuan. Hal ini dilakukan untuk
mengurangi pengeluaran yang diakibatkan dari biaya/ongkos angkut kerajinan –
kerajinan tersebut. Dan juga, Ketut Siadja membatasi pesanan produknya mulai dari
jumlah minimum yaitu 50 buah. Untuk pemasaran di dalam negeri sendiri, Ketut Siadja
38
hanya menjual produknya ke Vinoti Living dengan prosentase kurang dari 0,5% dari total
omzet perusahaannya.
Untuk saat ini, Ketut Siadja lebih banyak memproduksi wall decoration (hiasan
dinding) karena trend pasar yang sedang banyak diminati saat ini adalah hiasan dinding.
Hiasan dinding ini banyak dipajang di ruang tamu, ruang keluarga, dan bahkan kamar
mandi. Ketut Siadja memfokuskan pasarnya pada importir, serta toko – toko besar di luar
negeri, tetapi tidak menargetkan hotel – hotel dan toko – toko yang bersekala kecil.
Untuk pemesan dari hotel dan atau toko – toko kecil dengan jumlah pemesanan kecil,
Ketut Siadja menyarankan agar mereka membeli produknya dari importir yang sudah
membeli barangnya dalam jumlah besar.
Dalam hal kualitas produk dibandingkan dengan produk – produk lokal lain yang
serupa yang ada di Bali, produk – produk ekspor CV. Dharma Siadja memang benar
memiliki kualitas yang berbeda, unik, dan hanya ada satu desain (bukan desain salinan
dari produk lain). Ketut Siadja mengatakan bahwa CV. Dharma Siadja memiliki tim
desain yang khusus mendesain produk – produknya sehingga dapat membedakan dari
produk – produk lainnya. Tim desainnya ini akan mendesain sebuah produk dengan
“baju” yang berbeda dari produk lain yang sudah ada. “Baju” yang beliau maksud adalah
pewarnaan yang dapat membedakan produknya dengan produk-produk dari Tegallalang
dan daerah lain di Bali. Ketut Siadja menegaskan bahwa dalam persaingan pasar, bentuk
produk boleh sama, tetapi kualitas dan warna harus berbeda, sehingga memberikan ciri
khas tersendiri untuk produk tertentu. Ketut Siadja menentukan bahwa salah satu teknik
dan gaya pewarnaan produknya sesuai dengan musim atau trend yang sedang terjadi di
39
negara tujuan. Perbedaan musim atau trend akan menentukan perbedaan warna, bahkan
bentuk dari produk Ketut Siadja.
Selain pewarnaan, MDF (Medium-Density Fibreboard) merupakan salah satu
jenis bahan baku yang digunakan dalam produksi produk CV. Dharma Siadja. MDF
adalah papan material yang terbuat dari kombinasi serat kayu dan serbuk kayu yang
dipadatkan dalam tekanan dan temperatur suhu yang tinggi dengan bantuan mesin dalam
prosesnya. Seperti halnya plywood, MDF banyak dipakai untuk rangka furniture/ mebel.
Perlu untuk diketahui bahwa MDF merupakan bahan baku yang memiliki tingkatan jenis
yang berbeda – beda, antara lain: F1, F2, dan seterusnya. Namun, hasil penampilan
produk dengan menggunakan MDF jenis F1, F2, atau jenis yang lainnya akan nampak
sama saja. Perbedaan terlihat ketika uji laboratorium dari sebuah produk apakah produk
tersebut menggunakan MDF jenis F1, F2, atau jenis lainnya. Untuk hal ini, Ketut Siadja
akan berpatokan pada permintaan pemesan. Apabila pemesan memintanya untuk
menggunakan MDF jenis F1, maka beliau tentu akan menggunakan bahan baku yang
diminta untuk menghindari ganti rugi dan menjaga kepercayaan pemesan dan konsumen.
Ketut Siadja menegaskan bahwa satu hal yang membedakan satu jenis MDF dengan jenis
MDF lain adalah kandungan kimianya. Beliau berasumsi, barangkali tingkat keamanan
jenis MDF F1 dan MDF F2 berbeda, yang juga mempengaruhi harga bahan baku
tersebut.
40
Dalam hal penamaan produk, Ketut Siadja merelakan produknya dinamai oleh
pemesan atau konsumennya. Beliau tidak terlalu memikirkan hal tersebut. Beliau
mengatakan bahwa ada pemesannya yang memberikan produknya dengan nama diawali
dengan kata “Dharma” dan ditambahkan kata lain.
Ketut Siadja menambahkan bahwa beliau bertemu dengan calon pemesan atau
pembelinya di pameran yang beliau adakan secara rutin setahun sekali di Eropa dan
Jakarta, atau calon pemesan dan pembeli biasanya datang langsung ke galerinya di Ubud,
Bali pada bulan April dan atau Oktober setiap tahunnya.
Pameran, menurut Ketut Siadja, sangatlah penting untuk mendongkrak promosi
dan eksistensi di bidang bisnis tersebut. Kata beliau, berpartisipasi di dalam sebuah
pameran adalah penting, namun tetap harus jeli dalam memilih pasar serta disesuaikan
dengan kategori produk dan pasar itu sendiri. Oleh karena itu, Ketut Siadja lebih memilih
untuk memamerkan produknya di negara-negara Amerika atau Eropa, di mana kebutuhan
primer dan sekunder orang – orangnya sudah terpenuhi dengan baik, sehingga kebutuhan
tersiernya dapat terpenuhi dengan produk – produk yang Ketut Siadja tawarkan.
Berikut adalah beberapa foto atau gambar saat tim peneliti turun ke lapangan
untuk mencari data. Pertama-tama yang dilakukan oleh tim adalah bertemu dengan
pemilik usaha yaitu Bapak Ketut Dharma Eka Putra Siadja untuk berbincang-bincang
dengan beliau mengenai keberadaan usaha yang beliau rintis. Setelah selesai
mewawancarai beliau tim peneliti menuju ke bengkel kerja atau workshop beliau yang
berada di Desa Lodtunduh. Di tempat workshop tim peneliti diterima oleh salah seorang
staf senior CV Dharma Siadja. Staf senior ini memberikan informasi detail tentang
41
seluruh kegiatan dan proses yang dilakukan mulai dari persiapan bahan baku sampai
produk kerajinan siap dikirim. Akan tetapi ada juga produk kerajinan yang diterima
dalam bentuk setengah jadi dan proses finishingnya dilakukan di workshop tersebut.
Gambar 4.1: wawancara tim peneliti dengan pengusaha
Bapak Ketut Dharma Eka Putra Siadja
Gambar 4.2: wawancara dengan staf CV Dharma Siadja
42
Gambar-gambar atau foto-foto berikut adalah aktifitas di tempat workshop
Gambar 4.3: para pekerja sedang melakukan Gambar 4.4: pekerja wanita sedang
Pengamplasan patung jerapah memotong kaca
Gambar 4.5: seorang pekerja sedang melakukan penambahan bahan pada pola
produk kerajianan berupa hiasan dinding
43
BAB V
INDUSTRIALISASI SENI KRIYA DI DESA MAS, GIANYAR
DAN FAKTOR-FAKTOR PENYEBABNYA
Bab lima penelitian ini menguraikan terjadinya industrialisasi kerajinan seni kriya
di Desa Mas, khususnya yang dilakukan pada CV. DHARMA SIADJA yang berlokasi di
Jl. Raya Mas No.123, MAS, Ubud, Kabupaten Gianyar, Bali 80571.
Industri pariwisata di Bali pada jaman moderen ini telah menjadikan sejumlah
budaya masyarakat lokal sebagai produk atau komoditas seni kriya yang dapat
dikonsumsi oleh wisatawan, baik wisatawan lokal, nusantara, maupun wisatawan manca
negara. Produk seni kriya ini memiliki nilai estetika dan nilai sosial budaya yang mampu
memberikan kepuasan batin kepada konsumen di satu sisi dan memberikan keuntungan
ekonomi bagi para perajin seni tersebut di sisi lainnya. Kepuasan pada pihak konsumen
menimbulkan adanya aktivitas industri kerajinan pada industri pariwisata. Permintaan
wisatawan atau konsumen barang-barang kerajinan tersebut meningkat seiring dengan
memungkinkannya konsumen membeli barang melalui pesanan (made to order). Pesanan
ini berimplikasi pada produksi produk seni kriya yang meningkat pula melalui
industrialisasi.
Industrialisasi adalah proses produksi seni kriya yang kreatif dan inovatif dalam
rangka memenuhi keinginan pasar, mendukung pendapat Ardika (2008) yang
menyebutkan bahwa terdapat dua faktor utama terjadinya proses industrialisasi, yaitu
faktor eksternal dan internal. Bab ini menguraikan faktor-faktor penyebab industrialisasi
seni kerajinan di Desa Mas Gianyar yang terdiri atas dua faktor yaitu faktor eksternal dan
44
faktor internal yang dijelaskan secara lebih detil dan berikut adalah sejumlah foto yang
terekam saat tim melakukan penelitian.
Gambar 5.1: produksi hiasan ruangan Gambar 5.2: produksi patung jerapah
Gambar 5.3: jenis-jenis patung Gambar 5.4: berbagai jenis seni kriya
45
Gambar 5.5: bongkahan akar pohon Gambar 5.6: aquarium kecil hasil
perpaduan bongkahan kayu dan kaca
5.1 Faktor Eksternal
Pariwisata berimplikasi postitif terhadap perekonomian masyarakat, salah satunya
ialah bahwa pariwisata mendorong meningkatnya ekspor barang-barang kerajinan hasil
industri seni kriya. Ekspor ini didukung juga oleh produksi seni kriya yang kreatif dan
inovatif serta mengarah pada produk budaya massal. Budaya massal ini disebut juga
budaya popular yang diproduksi secara massal dengan wujud yang kreatif dan inovatif
untuk memenuhi konsumsi massal berdasarkan ideologi pasar. Pasar yang dimaksud ialah
konsumen, baik konsumen dalam negeri maupun luar negeri yang tertarik dengan produk
yang dipasarkan melalui pameran-pameran yang dilakukan.
46
5.1.1 Proses Produksi melalui Industrialisasi
Berkembangnya industri seni kriya tidak lepas dari perkembangan pariwisata
yang begitu pesat di Bali. Peranan masyarakat sebagai sumber daya manusia serta peran
pihak swasta sebagai pengusaha yang mewadahi aktivitas industri pariwisata, utamanya
terkait dengan distribusi hasil produksi.
Salah seorang perajin sekaligus pengusaha, Ketut Siadja, yang diwawancarai
menyatakan bahwa usaha produksi seni kriya yang digeluti diawali dengan ikut
membantu badan usaha milik orang tuanya yang saat itu memiliki dua divisi, yakni divisi
ritel dan divisi ekspor. Dari pengalaman membantu usaha tersebut dibangunlah pabrik
berbadan usaha CV Dharma Siadja, yang bergerak khusus di bidang ekspor dan telah
beroperasi sejak tahun 1998. Sejak saat itu, dia mulai belajar dan terjun mengurus segala
hal yang berhubungan dengan pabrik kerajinan, dari proses awal hingga produk dikirim
ke pembeli di luar negeri. Untuk mendukung proses produksi, dilakukan ekspansi dengan
membangun pabrik–pabrik baru di Desa Lod Tunduh dan Desa Tengkulak, Ubud, serta di
Yogyakarta yang didirikan pada tahun 2004. Dengan semangat kapitalisme, kerajinan
terracotta, vas-vas, dan hiasan dinding telah diproduksi menjadi komoditas produk yang
disesuaikan dengan selera pasar. Proses produksi ini didukung oleh kemampuan
kreativitas kelompok desain miliknya untuk berinovasi dalam menciptakan desain-desain
baru yang didukung dengan kemajuan teknologi.
Produksi bahan mentah terracotta (barang–barang gerabah) dilakukan di Lombok
periode tahun 2000 – 2005, kemudian penyelarasan akhir dilakukan di workshop
‘bengkel kerja’ miliknya. Dalam satu tahun, CV Dharma Siadja mampu mengirim hingga
satu juta buah kerajinan terracotta, dari ukuran paling kecil sampai berbentuk gentong.
47
Kemudian, periode tahun 2005–2006, usahanya lebih banyak memproduksi vas–vas yang
berukuran besar yang diambil dari Yogyakarta. Kerajinan vas yang diambil di
Yogyakarta, proses penyelarasan akhirnya juga dilakukan di Bali, atau dengan mengirim
tenaga penyelaras akhir dari Bali ke Yogyakarta. Kemudian, produk yang sudah siap,
dikirim langsung dari Yogyakarta ke Pelabuhan Tanjung Perak untuk diekspor ke luar
negeri. Untuk hal tersebut, Ketut Siadja membatasi pesanan produknya menjadi
minimum 50 buah. Dijelaskan pula bahwa usaha yang dipimpinnya bisa memperoleh dan
mengambil barang dari mana saja semasih dapat diproduksi secara massal, serta kualitas
dan kuantitas bisa dijaga.
Gambar 5.7: terracotta
48
Gambar 5.8: jenis-jenis patung yang masih dalam proses
Untuk saat ini, Ketut Siadja lebih banyak memproduksi hiasan dinding (wall
decoration) karena kecenderungan atau trend pasar saat ini adalah hiasan dinding. Hiasan
dinding ini banyak dipajang di ruang tamu, ruang keluarga, dan bahkan kamar mandi.
Hiasan dinding yang diproduksi terdiri atas berbagai berbentuk di antaranya ada yang
berbentuk bulat dan persegi. Hiasan atau relief yang terdapat pada hiasan dinding ada
berbagai macam seperti relief flora dan fauna namun ada juga kecenderungannya
disesuaikan dengan musim yang sedang berlangsung dari negara si pemesan. Hiasan-
hiasan dinding tersebut ada yang berupa lukisan, ukiran dan juga cermin yang dibingkai
dengan ukiran.
49
Gambar 5.9: jenis-jenis hiasan dinding
Gambar 5.10: hiasan dinding ukiran karawang
50
Gambar 5.11: hiasan dinding flora cat warna
Selain pewarnaan, MDF (Medium-Density Fibreboard) merupakan salah satu
jenis bahan baku yang digunakan dalam produksi produk CV Dharma Siadja. MDF
adalah papan material yang tersusun dari kombinasi serat kayu dan serbuk kayu yang
dipadatkan dalam tekanan dan suhu yang tinggi dengan bantuan resin dalam prosesnya.
Seperti halnya plywood, MDF banyak dipakai untuk rangka mebel atau furniture. Perlu
diketahui bahwa MDF merupakan bahan baku yang memiliki jenis yang berbeda–beda,
antara lain: F1, F2, dan seterusnya. Namun, hasil penampilan produk dengan
menggunakan MDF jenis F1, F2, atau jenis yang lainnya tampak sama saja.
Perbedaannya terlihat ketika diadakan uji laboratorium dari sebuah produk apakah
produk tersebut memakai MDF jenis F1, F2, atau jenis lainnya. Untuk hal ini, Ketut
Siadja berpatokan pada permintaan pemesan. Jika pemesan memintanya untuk memakai
MDF jenis F1, maka produk dibuat memakai bahan baku yang diminta untuk
menghindari terjadinya ganti rugi dan menjaga kepercayaan pemesan dan konsumen.
Ketut Siadja menegaskan bahwa satu hal yang membedakan satu jenis MDF dengan jenis
51
MDF lain adalah kandungan kimianya. Beliau berasumsi bahwa tingkat keamanan jenis
MDF F1 dan MDF F2 berbeda, sehingga dapat mempengaruhi harga bahan baku tersebut
Gambar 5.12: bahan baku MDF
Untuk penamaan produk, Ketut Siadja merelakan produknya dinamai oleh
pemesan atau konsumennya karena beliau tidak terlalu menghiraukan hal tersebut. Juga
dikatakan bahwa ada pemesannya yang memberikan produknya dengan nama yang
diawali kata “Dharma” dan ditambahkan dengan kata lain.
5.1.2 Distribusi Produksi
Seperti telah disebutkan pada pembahasan sebelumnya, bahwa produk kerajinan
cindera mata atau komoditas yang dihasilkan industri seni kriya merupakan salah satu
pendukung komponen pariwisata. Adapun komponen terkait ialah pasar, dalam hal ini
adalah konsumen dan pemasaran. Pemasaran suatu produk dalam pariwisata disebut juga
distribusi yang meliputi saluran, yaitu suatu media bagaimana komoditas atau produk
diinformasikan dan didistribusikan kepada pasar-konsumen (Danesi, 2010:2).
52
Perajin dan pengusaha Ketut Siadja mempromosikan usahanya dengan membuka
pameran di stand kerajinan tangan di Bali Galeria Nusa Dua, Bali pada tahun 1993,
disusul dengan pameran – pameran lainnya, seperti di Bali Beach Hotel dan Galeria Kuta
serta kembali membuka tiga ruang pameran di area Bali Nusa Dua. Kemudian, sistem
jemput bola dan pemetaan pasar ekspor di kancah internasional dilakukan untuk
meningkatkan jumlah peminat dan pembeli yang sebelumnya relatif tetap. Sistem lain
yang dilakukan untuk mengenal kompetitornya adalah dengan melakukan tur promo
bisnis ke Amerika dan Eropa. Ditambahkan bahwa pertemuan dengan calon pemesan
atau pembelinya dilakukan di pameran yang diadakan secara rutin setahun sekali di Eropa
dan Jakarta, atau calon pemesan dan pembeli biasanya datang langsung ke galerinya di
Ubud, Bali pada bulan April dan atau Oktober setiap tahunnya. Untuk pemasaran dalam
negeri sendiri, Ketut Siadja hanya menjual produknya ke Vinoti Living dengan
persentase kurang dari 0,5% dari total omzet perusahaannya.
Pemasaran produk dengan mengadakan ataupun mengikuti pameran, menurut
Ketut Siadja sangatlah penting untuk meningkatkan promosi dan eksistensi di bidang
bisnis tersebut. Menurutnya, berpartisipasi di dalam sebuah pameran sangat penting
dilakukan. Namun, dia harus tetap jeli dalam memilih pasar serta disesuaikan dengan
kategori produk dan pasar itu sendiri. Oleh karena itu, Ketut Siadja lebih memilih untuk
memamerkan produknya di Amerika atau Eropa, di mana kebutuhan primer dan sekunder
masyarakatnya sudah terpenuhi dengan baik, sehingga kebutuhan tersiernya dapat
terpenuhi dengan membeli produk–produk yang ditawarkan oleh Ketut Siadja.
53
5.1.3 Konsumen
Dalam industri pariwisata komponen yang paling menentukan adalah pasar-
konsumen, yang memiliki keterkaitan dengan komponen lainnya seperti pihak swasta
dalam hal ini pengusaha di bidang industri pariwisata seperti pengelola hotel, restauran,
dan pengusaha di bidang industri cinderamata. Produksi seni kriya yang inovatif dan
kreatif selalu disesuaikan dengan desain-desain yang laku di pasaran, dalam arti bahwa
desain-desain yang diminati oleh konsumen (yaitu wisatawan lokal, domestik, dan
wisatawan manca negara). Konsumen-wisatawan melakukan perjalanan wisata di
samping untuk menikmati keindahan objek wisata secara langsung tetapi juga menikmati
objek yang diproduksi dalam bentuk cinderamata sebagai komoditas. Cinderamata yang
laku di pasaran ialah replika objek wisata itu sendiri dan produk cinderamata yang telah
diproduksi dengan desain kreatif dan inovatif sesuai selera pasar. Konsumen, dalam hal
ini, wisatawan telah menentukan sejak awal untuk membeli cinderamata yang telah
ditawarkan melalui berbagai media oleh perajin dan pengusaha di bidang seni kriya.
Produk yang dibeli dimanfaatkan semata-mata sebagai cinderamata atau dibeli dan juga
dipesan dalam jumlah banyak untuk keperluan bisnis di negaranya.
Konsumen dapat membeli produk secara langsung dan tidak langsung. Secara
langsung artinya konsumen yang membeli produk seni kriya dengan datang langsung ke
tempat industri kerajinan patung tersebut diproduksi dan pembeliannya bisa secara eceran
(retail), dan bisa dalam jumlah besar atau partai. Pemesanan secara tidak langsung
dilakukan oleh konsumen pada saat para pengusaha dan perajin melakukan pameran
54
dagang, trade fair, baik di dalam maupun di luar negeri, melalui pemesanan atau made to
order.
Ketut Siadja memfokuskan pasarnya pada importir dan toko–toko besar di luar
negeri. Mitra dagang perusahaan yang berasal dari Eropa dan Amerika berharap agar
produk yang mereka pesan melalui made to order secara tidak langsung memiliki kualitas
yang baik walaupun selalu dipesan dalam jumlah banyak. Untuk memenuhi harapan
konsumen, pihak industri atau perusahaan harus sanggup bekerja keras agar tercipta
produk-produk yang sesuai selera mereka baik dari aspek kreativitas maupun aspek
inovasi. Untuk konsumen yang memesan dari hotel dan atau toko–toko kecil dengan
jumlah pemesanan yang kecil disarankan agar mereka membeli produknya dari importir
yang sudah membeli produknya sebelumnya.
5.2 Faktor Internal
Perkembangan pariwisata di Bali yang begitu pesat tidak dapat dipungkiri telah
memberikan pengaruh terhadap budaya masyarakat lokal dan berkembang ke arah
budaya yang kreatif dan inovatif. Dinamika ke arah paradigma baru tersebut adalah
pendorong utama para perajin untuk berimajinasi menciptakan produk-produk yang
diminati di pasaran dalam rangka mewujudkan tingkat kesejahteraan yang lebih baik.
Faktor ekonomi ini dilakukan melalui produksi seni kriya yang memiliki nilai ekonomi
tinggi, yaitu tidak saja memproduksi produk yang diminati di pasaran tetapi juga
memproduksi produk dengan jumlah yang cukup tinggi. Agar memperoleh manfaat
ekonomi yang sesuai, perajin dan pengusaha, Ketut Siadja, menentukan jumlah
pemesanan produksi minimum 50 buah. Diapun memiliki teknik dan strateginya sendiri
55
untuk menghadapi dan mengikuti perkembangan zaman, terutama di bidang bisnis
ekportir. Dia mampu menangkap dan mempelajari selera dan peluang pasar yang sedang
trendy. Trend pasar inilah sebagai salah satu strategi penting dalam mengembangkan
pasarnya di kancah internasional. Misalnya, trend pasar yang diminati juga saat ini ialah
seni patung jerapah yang diproduksi dengan desain kreatif dan pewarnaan yang berbeda
dengan seni patung jerapah hasil produksi perajin lain.
Gambar 5.13: patung jerapah yang sudah finishing
56
Gambar 5.14: patung kucing yang sudah finishing
Kreativitas menciptakan seni kriya dengan paradigma baru merupakan respon dari
keinginan pasar yang menghendaki adanya seni kriya inovatif namun tetap memiliki nilai
seni budaya masyarakat lokal yang dipadukan dengan seni dan keindahan budaya alam
dan masyarakat konsumen. Produksi seni kriya dengan paradigma inovasi baru ini, oleh
perajin dan pengusaha Ketut Siadja dilakukan dengan membentuk kelompok desain yang
khusus mendesain produk–produknya sehingga dengan mudah dapat dibedakan dari
desain produk–produk perajin dan pengusaha lainnya. Kelompok desainnya ini
mendesain sebuah produk dengan “baju” yang berbeda dari produk lain yang sudah ada.
“Baju” yang dimaksud adalah pewarnaan yang dapat membedakan produknya dengan
57
produk dari daerah lain di Bali. Ditegaskan pula bahwa dalam persaingan pasar, bentuk
produk boleh sama, tetapi kualitas dan warna harus berbeda, sehingga hal itu memberikan
ciri khas tersendiri untuk produk tertentu. Misalnya gaya pewarnaan produknya
disesuaikan dengan musim di negara tujuan karena perbedaan musim menentukan
perbedaan warna seperti yang dapat dilihat pada gambar di bawah ini.
Gambar 5.14: hiasan dinding musim gugur
Faktor internal lain yang mendorong terjadinya industrialisasi seni kriya ialah
kemampuan kreativitas perajin untuk bereksplorasi secara kreatif dan inovatif. Eksplorasi
kreatif adalah suatu kreativitas untuk memproduksi kreasi-kreasi baru sebuah karya seni
melalui inovasi-inovasi. Mereka menyampaikan dalam wawancara bahwa produksi
dengan kreasi dan inovasi baru mencakup inovasi produksi yang dulunya memproduksi
58
terra-cotta (terakota, barang-barang gerabah yang diambil dari Pulau Lombok) dari
ukuran kecil sampai ukuran besar berbentuk gentong ‘gerabah’ dalam periode tahun
2000-2005. Dengan teknik manajemen yang professional dan kiprah promosi yang
terarah, ditambah dengan bakat Ketut Siadja menangkap selera serta peluang pasar,
menjadikan CV Dharma Siadja mampu menembus pencapaian gemilang yang belum
pernah dicapai oleh generasi–generasi sebelumnya. Hal ini dibuktikan dalam satu tahun
mampu menjual sampai satu juta buah kerajinan terra-cotta. Kemudian pada periode
tahun 2005-2006 beralih ke produksi vas-vas berukuran besar. Walapun bahan baku
kerajinan tersebut diperoleh dari luar Bali, seperti Pulau Lombok dan Yogyakarta,
hasilnya memiliki kualitas terjamin dan dapat diproduksi secara massal. Hal ini
dibuktikan dengan meledaknya pesanan dan ekspor yang melebihi kuota yang pernah
dicapai sebelumnya. Saat ini perusahaannya merupakan salah satu usaha industri yang
merajai pasar ekspor di Indonesia.
59
BAB VI
SIMPULAN
Berdasarkan uraian di atas ada sejumlah hal yang dapat digunakan sebagai
simpulan seperti berikut ini:
Simpulan yang dapat diambil berdasarkan pembahasan di atas adalah bahwa para
perajin seni kriya di Bali melakukan industrialisasi produk seni kriya dari jumlah
minimum 50 buah sampai partai besar karena dua faktor, yaitu faktor eksternal dan faktor
internal. Faktor eksternal disebabkan oleh permintaan pasar atau pesanan dari konsumen
(made to order). Di samping itu industrialisasi seni kriya ini dipandang sebagai respon
postitif terhadap perkembangan pariwisata, sehingga berdampak pula pada adanya pola
produksi seni kriya yang kreatif dan inovatif sesuai dengan selera pasar, baik dari segi
bahan, bentuk, ukuran, dan pewarnaan. Faktor lainnya adalah media promosi yang terus
menerus dilakukan melalui pameran-pameran dagang dan industri baik berskala lokal,
nasional, dan internasional. Dengan demikian, distribusi informasi terkait produk dan
distribusi hasil produksi dapat tersalurkan dengan baik. Media distribusi ini juga tidak
terlepas dari peranan organisasi KADIN yang mewadahi semua aktivitas dagang dan
industri di bidang pariwisata. Sedangkan faktor internal mencakup paradigma baru
perajin dan pengusaha untuk berkreasi dan berinovasi. Dinamika paradigma ini dilakukan
dengan membentuk kelompok desain yang kreatif dan inovatif yang melibatkan
imajinasinya sehingga menghasilkan produk dengan desain-desain baru sesuai trend
pasar dan diminati di pasaran. Kreativitas dan inovasi pada bentuk, bahan, ukuran, dan
pewarnaan yang dilakukan oleh perajin dan pengusaha dalam produksi seni kriya
60
bertujuan unuk memperoleh manfaat ekonomi yang lebih tinggi sehingga mampu
mensejahterakan sumber daya manusia yang berperan serta dalam proses produksi
tersebut.
Uraian di atas mencerminkan bahwa industrialisasi seni kriya yang kreatif dan
inovatif mengekspresikan hubungan timbal balik sebagai respon positif terhadap
dinamika pariwisata di satu sisi dan sebagai salah satu komponen pariwisata yang saling
terkait dengan komponen lainnya seperti pasar dan konsumen, pihak swasta atau
pengusaha, dan sumber daya manusia yang kreatif dapat mendukung keberlanjutan
pariwisata di sisi lainnya. Sehingga dalam era global ini, industrialisasi seni kriya
berimplikasi terhadap hasil produksi budaya populer yang menggambarkan perpaduan
antara budaya lokal dan budaya global. Namun demikian, produk ini tetap
mengekspresikan identitas budaya lokal yang dinamis yang mengikuti perkembangan
teknologi.
61
DAFTAR PUSTAKA
Ardika, I Wayan. 2008. ‘Pariwisata dan Komodifikasi Kebudayaan Bali’ dalam Pusaka
Budaya dan Nilai-nilai Religiusitas, ( I Ketut Setiawan ed.) 1 – 9. Denpasar:
Fakultas Sastra, Unud.
Ardika, I Wayan, dkk. 2012. Pengembangan Pariwisata Budaya Bernuansa Ekonomi
Kreatif
yang Berkeadilan dan Berkelanjutan di Bali. Laporan Penelitian. Denpasar:
Universitas Udayana.
Barker, C. 2005, ‘Cultural Studies Teori dan Praktik’ dalam For a Critique of the
Political
Economy of the Sign (Jean Baudrillard ed.). Yogyakarta: PT Benteng Pustaka.
Fairclough, N. 1995. Discourse and Social Change. Cambridge: Policy Press.
Moleong, L. J. 2000. Metode Penelitian Kualitatif. Bandung: PT Remaja Rosda Karya.
Piliang, Y. A. 1999. Hiper-Realitas dan Kebudayaan. Yogyakarta: LkiS
Rai Sukmawati, Ni Made. 2011. Komodifikasi Kerajinan Seni Patung Kayu di Desa
Mas, Kecamatan Ubud, Kabupaten Gianyar. Tesis pada Program Studi Magister
(S2) Kajian Pariwisata. Denpasar: Universitas Udayana.
Richards. 1996. Cultural Tourism in Europe. London: Cab International.
Ryan, C. 2005. ‘Who Manages Indigenous Tourism Product – Aspiration and
Legitimization’? Indigenous Tourism: The commodificatiom and Management of
Culture (Chris Ryan dan Michelle Aicken, ed.). Oxford: Elsevier.
Sida Arsa, I Ketut dan I Nyoman Laba. 2014. Inovasi Kerajinan Perhiasan Melalui
Pemanfaatan Limbah Kuningan di Desa Celuk, Sukawati, Gianyar, Bali. Laporan
Tahunan Penelitin Hibah Bersaing. Denpasar: Institut Seni Indonesia Denpasar.
Sutjiati Beratha, Ni Luh, Ni Wayan Sukarini, I Made Rajeg. 2015. Implikasi Made to
Order dalam Autentisitas Kerajinan Bali. Laporan Penelitian. Denpasar:
Universitas Udayana.
Sutjiati Beratha, Ni Luh, Ni Wayan Sukarini, I Made Rajeg. 2016. Hibridisasi
Kerajinan Bali di Era Global. Laporan Penelitian. Denpasar: Universitas
Udayana.
Thomas. 1992. The Arts and Their Interrelation. New York: USA Press.
62
Tunis, Roslyn and Nelson Graburn. 2000. ‘The Nelson Graburn and the Aesthetics of
Inuit Sculpture’. Curatorial Notes at the Phoebe A. Hearst Museum of
Anthropology, Berkeley, California October 2000 through September 2001.
Turner, B. S. 1992. Max Weber: From History to Modernity. London: Routledge.
Udiana, Nindhia Pemayun, Tjokorda. 2009. Komodifikasi Patung Garuda di Banjar
Pakudui Desa Kedisan: Sebuah Kajian Budaya.