Lapkas Kardiologi Ibu Suwaibah

Embed Size (px)

DESCRIPTION

Cardiology

Citation preview

BAB I PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang Gagal jantung merupakan suatu kondisi yang telah diketahui selama berabad-abad namun penelitian epidemiologi sulit dilakukan karena tidak adanya definisi tunggal kondisi ini. Gagal jantung merupakan suatu kondisi patofisiologi, dimana terdapat kegagalan jantung memompa darah yang sesuai dengan kebutuhan jaringan tubuh. Suatu definisi objektif yang sederhana untuk menentukan batasan gagal jantung kronik hampir tidak mungkin dibuat karena tidak terdapat nilai batas yang tegas mengenai disfungsi ventrikel. Menurut Paul Wood (1958), gagal jantung adalah suatu sindroma dimana disfungsi jantung berhubungan dengan penurunan toleransi latihan, insidensi aritmia yang tinggi, dan penurunan harapan hidup.1 Guna kepentingan praktis, gagal jantung kronik didefinisikan sebagai sindrom klinik yang kompleks yang disertai keluhan gagal jantung berupa sesak nafas, fatigue, baik dalam keadaan istirahat atau latihan, edema, dan tanda-tanda objektif adanya disfungsi jantung dalam keadaan istirahat. Sekitar 3-20% populasi mengalami gagal jantung, dan prevalensinya meningkat seiring pertambahan usia, yaitu 100 per 1000 orang pada usia di atas 65 tahun, dan angka ini akan meningkat karena peningkatan usia populasi dan perbaikan ketahanan hidup setelah infark miokard akut. Di Inggris, sekitar 100.000 pasien dirawat di rumah sakit setiap tahun untuk gagal jantung.2 Di Eropa, kejadian gagal jantung berkisar 0,4-2% dan meningkat pada usia yang lebih lanjut, dengan rata-rata umur 74 tahun. Prognosis dari gagal jantung akam jelek bila etiologi tidak dapat diperbaiki. Seperdua dari pasien gagal jantung akan meninggal dalam 4 tahun sejak diagnosis ditegakkan, dan pada keadaan gagal jantung berat lebih dari 50% akan meninggal dalam tahun pertama.1 Menurut ESC (European Society Of Cardiology), sekurang-kurangnya 15 juta penderita gagal jantung di 51 negara Eropa. Prevalensi gagal jantung asimptomatik sekitar 4% dari jumlah populasi. Prevalensi gagal jantung pada usia lebih tua (70-80 tahun ) juga lebih tinggi sekitar 10-20%. Berdasarkan penelitian yang dilakukan

1

diberbagai tempat di Indonesia, penyakit katup jantung menduduki urutan ke-2 setelah penyakit jantung koroner dari seluruh jenis penyebab penyakit jantung.3 Penyakit katup jantung merupakan suatu keadaan dimana terjadi gangguan fungsi katup yang dapat mempengaruhi fungsi jantung seutuhnya. Berbagai macam kelainan katup dapat terjadi namun yang akan dibahas adalah mengenai mitral stenosis, aorta regurgitasi, dan trikuspid regurgitasi. Mitral stenosis merupakan suatu keadaan dimana terjadi gangguan aliran darah pada tingkat katup mitral oleh karena adanya perubahan pada struktur daun katup mitral , yang menyebabkan gangguan pembukaan sehingga timbul gangguan pengisian ventrikel kiri saat diastol. Stenosis mitral merupakan penyebab utama terjadinya gagal jantung kongestif di negara-negara berkembang. Di Amerika Serikat, prevalensi dari stenosis mitral telah menurun seiring dengan penurunan insidensi demam rematik. Pemberian antibiotik seperti penisilin pada streptococcal pharyngitis turut berperan pada penurunan insidensi ini. Dari pola etiologi penyakit jantung di poliklinik Rumah Sakit Mohammad Hoesin Palembang selama 5 tahun (19901994) didapatkan angka 13,94% dengan penyakit katup jantung.2 Atrial fibrilasi merupakan aritmia yang paling sering dijumpai dalam praktek seharihari dan paling sering menjadi penyebab seorang harus mengalami perawatan di rumah sakit. Walaupun bukan merupakan keadaan yang mengancam jiwa secara langsung, tetapi atrial fibrilasi berhubungan dengan peningkatan angka morbiditas dan mortalitas. Di Amerika Serikat diperkirakan terdapat 2,2 juta pasien AF dan setiap tahun ditemukan 160.000 kasus baru. Pada populasi umum prevalensi AF terdapat diameter 1-2% dan meningkat dengan bertambahnya umur. Pada umur di bawah 50 tahun prevalensi AF kurang dari 1% dan meningkat menjadi lebih dari 9% pada usia 80 tahun. Lebih banyak dijumpai pada laki-laki dibandingkan wanita, walaupun terdapat kepustakaan yang mengatakan tidak terdapat perbedaan jenis kelamin.3

2

1.2. Tujuan Penulisan Tujuan penulisan referat ini adalah untuk mempelajari dan mengetahui definisi, patofisiologi, gejala klinis, diagnosis, pemeriksaan penunjang, pengobatan, dan prognosis gagal jantung yang disebabkan oleh penyakit katup jantung . Selain itu penulisan referat ini juga bertujuan untuk memenuhi tugas kepaniteraan klinik di Departemen Kardiologi dan Kedokteran Vaskuler RS Haji Adam Malik Medan.

3

BAB II PEMBAHASAN2.1. Gagal Jantung Kongestif

Definisi Gagal jantung adalah satu gejala klinis pada pasien mengalami kelainan struktur atau fungsi jantung yang disebabkan oleh kelainan bawaan atau acquired heart disease sehingga jantung tidak mampu untuk memompakan darah dalam jumlah yang memadai untuk memenuhi kebutuhan metabolit tubuh (forward failure) atau kemampuan tersebut hanya dapat terjadi dengan tekanan pengisian jantung yang tinggi (backward failure) atau kedua-duanya.4,5 Gagal jantung adalah sindroma klinis (sekumpulan tanda dan gejala), ditandai oleh sesak nafas dan fatik (saat istirahat dan saat beraktivitas) yang disebabkan oleh kelainan struktur atau fungsi jantung. Gagal jantung kongestif atau Congestive Heart Failure (CHF) adalah suatu kondisi dimana fungsi hati sebagai suatu pompa tidak adekuat untuk mengirimkan darah kaya oksigen ke seluruh tubuh.6 Gagal jantung kongestif adalah ketidakmampuan jantung untuk mempertahankan curah jantung (cardiac output = CO) dalam memenuhi kebutuhan metabolisme tubuh. Penurunan stroke volume mengakibatkan volume darah yang efektif berkurang dan disebabkan oleh (1) kegagalan kontraksi ventrikel (impaired ventricular contractility) , (2) Kegagalan pengisian ventrikel( impaired ventricular filling) (3) peningkatan afterload.7 Untuk mempertahankan fungsi sirkulasi yang adekuat maka di dalam tubuh terjadi suatu refleks homeostasis atau mekanisme kompensasi melalui perubahanperubahan neurohumoral, dilatasi ventrikel dan aktivasi sistem simpatis.

Epidemiologi

4

Secara epidemiologi, 1% dari orang berusia diatas 50 tahun akan menderita gagal jantung, sekitar 5% dari usia 75 tahun keatas dan 25% dari usia 85 tahun keatas akan menderita gagal jantung.Lebih dari 3 juta orang akan menderita CHF, dan lebih dari 400.000 penderita baru muncul setiap tahunnya. Angka prevalensi kejadian CHF adalah 1-2%. Prevalensi terjadinya CHF lebih tinggi pada pria dibandingkan wanita pada pasien berusia 40-75 tahun. Tidak ada perbedaan angka kejadian CHF pada pasien berusia diatas 75 tahun. Prevalensi gagal jantung asimptomatik sekitar 4% dari jumlah populasi. Prevalensi gagal jantung pada usia lebih tua (70-80 tahun ) juga lebih tinggi sekitar 1020%. Pada Negara tertentu mortality gagal jantung telah menurun dengan terapi yang moden. Kira-kira 50% penderita gagal jantung meninggal setelah 4 tahun dan 40% pasien yang masuk rumah sakit dengan gagal jantung meninggal atau kambuh dalam setahun.8 Klasifikasi Gagal jantung merupakan suatu keadaan dimana fungsi pompa jantung menjadi berkurang dan tidak adekuat. Akibatnya, darah menjadi kurang efisien pada sistem sirkulasi mengakibatkan peninggian tekanan pada pembuluh darah dan mendorong cairan pada pembuluh darah masuk ke jaringan tubuh.

Gagal jantung kiri akibat kelemahan ventrikel, meningkatkan tekanan vena

pulmonalis dan paru. Jika terjadi gagal jantung kiri, cairan akan terkumpul pada paruparu (edema pulmonal). Adanya cairan berlebihan pada paru (kongesti) akan menyebabkan proses pernafasan yang terganggu ketika proses inspirasi. Gejala klinis yang dapat timbul berupa dyspneu deffort, ortopnea, dyspneu nocturnal paroxismal, mudah lelah, batuk, pembesaran jantung, irama derap, ventricular heaving, suara jantung tambahan S3 dan S4, pernafasan cheyne stokes, takikardi, pulsus alternans, ronki dan kongesti vena pulmonalis. Gagal jantung kanan terjadi kalau kelainannya melemahkan ventrikel kanan

seperti pada hipertensi pulmonal primer/ sekunder, tromboemboli paru kronik sehingga terjadi kongesti vena sistemik yang menyebabkan edema perifer, hepatomegali, dan distensi vena jugularis.

5

Pada gagal jantung kongestif terjadi manifestasi gabungan gagal jantung kiri dan

kanan. New York Heart Association (NYHA) membuat klasifikasi fungsional dalam 4 kelas, yaitu: 1. Kelas I, bila pasien dapat melakukan aktivitas berat tanpa keluhan. 2. Kelas II, bila pasien tidak dapat melakukan aktivitas lebih berat dari aktivitas sehari-hari tanpa keluhan. 3. Kelas III, bila pasien tidak dapat melakukan aktivitas sehari-hari tanpa keluhan. 4. Kelas IV, bila pasien sama sekali tidak dapat melakukan aktivitas apapun dan harus tirah baring. CHF pada umumnya diklasifikasikan menjadi gagal jantung sistolik dan diastolik.Gagal jantung sistolik adalah ketidakmampuan kontraksi jantung memompa sehingga curah jantung menurun dan menyebabkan kelemahan, fatik, kemampuan aktivitas fisik menurun dan gejala hipoperfusi lainnya.Gagal jantung diastolik adalah gangguan relaksasi dan gangguan pengisian ventrikel.Pada gagal jantung diastolik, fraksi ejeksi lebih dari 50%.6 Etiologi Penyebab gagal jantung kiri: Systolic dysfunction(a) kegagalan kontraktilitas- miokard infark,transient miokard ischemia, volume

overload ( mitral regurgitasi dan aortic regurgitasi) dan dilatasi kardiomiopati. (b) Peningkatan afterload aortic stenosis dan hipertensi Diastolic dysfunction(a) Kegagalan relaksasi ventrikular LVH, hypertrophic cardiomyopathy, restrictive

cardiomyopathy, transient myocardiac ischemia.

6

(b) Okstruksi pengisian ventrikel kiri mitral stenosis dan pericardiac constriction

atau tamponade. Penyebab gagal jantung kanan :(a) Penyakit jantung gagal jantung kiri, katub pulmonal stenosis, infark ventrikel

kanan(b) Penyakit parenkim pulmonal COPD, instertial lung disease( eg. Sarcoidosis),

adult respiratory distress syndrome, infeksi paru yang kronik dan bronchietasis.(c) Penyakit vaskular pulmonal pulmonary embolism dan primary pulmonary

hipertensi.9 Patofisiologi Gagal jantung kongestif dapat dilihat sebagai suatu kelainan yang progresif, dapat terjadi dari kumpulan suatu kejadian dengan hasil akhir kerusakan fungsi miosit jantung atau gangguan kemampuan kontraksi miokard. Beberapa mekanisme kompensatorik diaktifkan untuk mengatasi turunnya fungsi jantung sebagai pompa, di antaranya sistem adrenergik, renin angiotensin ataupun sitokin. Dalam waktu pendek beberapa mekanisme ini dapat mengembalikan fungsi kardiovaskuler dalam batas normal, menghasilkan pasien asimptomatik. Meskipun demikian, jika tidak terdeteksi dan berjalan seiring waktu akan menyebabkan kerusakan ventrikel dengan suatu keadaan remodeling sehingga akan menimbulkan gagal jantung yang simptomatik. Tubuh memiliki beberapa mekanisme kompensasi untuk mengatasi gagal jantung seperti (1) mekanisme Frank-Starling, (2) neurohormonal (3) ventricular hipertrofi dan remodeling Penurunan stroke volume akan meningkatkan end sistolic volume (ESV) sehingga volume dalam ventrikel kiri meningkat. Peningkatan volume ini akan meregang ventrikel kiri sehingga otot jantung akan berkontraksi dengan lebih kuat untuk meningkatkan stroke volume (Frank-Starling mechanism) dan cardiac output untuk memenuhi kebutuhan metabolik tubuh. Mekanisme kompensasi ini mempunyai batasnya. Pada kasus gagal jantung dengan penurunan kontraktilitas yang berat, ventrikel tidak mampu memompa semua darah sehingga end diastolic volume (EDV) meningkat dan tekanan

7

ventrikel kiri juga meningkat dimana tekanan yang ini akan transmisi ke atrium kiri, vena pulmonal dan kapiler pulmonal dan ini akan menyebabkan edema paru. Penurunan cardiac output akan merangsang sistem simpatis sehingga

meningkatkan kontraksi jantung sehingga stroke volume meningkat dan cardiac output meningkat. Penurunan cardiac output juga merangsang renin angiotensin sistem dan merangsang vasokonstriksi vena dan menyebabkan venous return meningkat (preload increase) dan akhirnya stroke volume meningkat dan cardiac output tercapai. Penurunan cardiac output juga meningkatkan ADH dan merangsang retensi garam dan air untuk memenuhi stroke volume dan cardiac output. Hormon aldosterone juga meningkat untuk meningkatkan retensi garam dan cairan untuk meningkatkan venous return tubuh. Tetapi stimulasi neurohormonal yang kronik akan menyebabkan efek yang tidak diinginkan seperti edema. Peningkatan beban jantung juga akan meningkatkan wall stress menyebabkan dilatasi ventrikel kiri dan peningkatan tekanan sistolic untuk mengatasi afterload yang meningkat. Maka otot ventrikel akan menebal sebagai kompensasi untuk menurunkan wall stress namun peningkatan stiffness dinding hipertrofi menyebabkan tekanan diastolik ventrikular yang tinggi dimana tekanan ini akan ditransmisi ke atrium kiri, vaskular pulmonal. Chronic volume overload seperti pada mitral regurgitasi atau aorta regurgitasi akan merangsang miosit memanjang. Maka radius chamber ventrikel meningkat dan dinamakan eccentric hipertrofi. Chronic pressure overload seperti hipertensi atau aorta stenosis akan merangsang miosit menebal yang dinamakan concentric hypertrophy. Hipertrofi dan remodeling ini membantu untuk menurunkan wall stress tetapi pada waktu yang lama, fungsi ventrikel akan menurun dan dilatasi ventrikel akan terjadi. Apabila ini terjadi, beban hemodinamik pada otot jantung akan menurunkan fungsi jantung sehingga gejala gagal jantung yang progresif akan timbul.10

Manifestasi klinis

8

Gagal jantung kongestif akan menyebabkan meningkatnya volume intravaskuler, kongestif jaringan akibat tekanan arteri dan vena meningkat. Edema paru terjadi akibat peningkatan tekanan vena pulmolalis sehingga cairan mengalir dari kapiler paru ke alveoli, yang dimanifestasikan dengan batuk dan napas pendek. Edema perifer umum dan penambahan berat badan akibat tekanan sistemik. Turunnya curah jantung akibat darah tidak dapat mencapai jaringan dan organ. Tekanan perfusi ginjal menurun mengakibatkan pelepasan renin dari ginjal,yang pada gilirannya akan menyebabkan sekresi aldosteron, retensi natrium dan cairan serta peningkatan volume intravaskuler.11 Tanda dan gejala : Dispnea, akibat penimbunan cairan dalam alveoli yang mengganggu pertukaran gas, dapat terjadi saat istirahat atau dicetuskan oleh gerakan yang minimal atau sedang, ortopnea , kesulitan bernapas saat berbaring, paroximal nokturnal dispnea (terjadi bila pasien sebelumnya duduk lama dengan posisi kaki dan tangan dibawah, pergi berbaring ke tempat tidur), batuk, bisa batuk kering dan basah yang menghasilkan sputum berbusa dalam jumlah banyak kadang disertai banyak darah. mudah lelah akibat cairan jantung yang kurang, yang menghambat cairan dari sirkulasi normal dan oksigen serta menurunnya pembuanggan sisa hasil katabolisme, kegelisahan akibat gangguan oksigenasi jaringan, stress akibat kesakitan bernapas, dan pengetahuan bahwa jantung tidak berfungsi dengan baik, edema ekstremitas bawah atau edema dependen, hepatomegali dan nyeri tekan pada kuadran kanan batas abdomen, anoreksia dan mual terjadi akibat pembesaran vena dan status vena didalam rongga abdomen, nokturia, rasa ingin kencing pada malam hari, terjadi karena perfusi renal didukung oleh posisi penderita pada saat berbaring, Lemah akibat menurunnya curah jantung, gangguan sirkulasi dan pembuanggan produk sampah katabolisme yang tidak adekuat dari jaringan, palpitasi ( jamtung berdebar-debar), pusing & pingsan karenaPenurunan aliran darah karena denyut atau irama jantung yang abnormal atau karena kemampuan memompa yang buruk, bisa menyebabkan pusing dan pingsan.12

Pemeriksaan Penunjang

9

Elektokardiografi tidak dapat digunakan untuk mengukur anatomi LVH tetapi hanya merefleksikan perubahan elektrik (atrial dan ventrikular aritmia) sebagai faktor sekunder dalam mengamati perubahan anatomi. Hasil pemeriksaan EKG tidak spesifik menunjukkan adanya gagal jantung. Foto thorax dapat membantu dalam mendiagnosis gagal jantung. Kardiomegali biasanya ditunjukkan dengan adanya peningkatan cardiothoracic ratio / CTR (lebih besar dari 0,5) pada tampilan posterior anterior. Pada pemeriksaan ini tidak dapat menentukan gagal jantung pada disfungsi sistolik karena ukuran bisa terlihat normal. Pada saat ini terdapat metoda baru yang mempu menentukan gagal jantung yaitu pemeriksaan laboratorium BNP ( Brain Natriuretic Peptide) dan NT- pro BNP (N Terminal protein BNP). Protein NT-proBNP merupakan penanda sensitif untuk fungsi jantung. Menurut situs web Endolab Selandia Baru, kadar NT-proBNP orang sehat di bawah 40 pmol/L. Peningkatan kadar NT-proBNP di atas 220 pmol/L menunjukkan adanya gangguan fungsi jantung dalam tahap dini yang perlu pemeriksaan lebih lanjut. Tes NT-proBNP mampu mendeteksi gagal jantung tahap dini yang belum terdeteksi dengan pemeriksaan elektrokardiografi. Hal ini memungkinkan dokter membedakan gagal jantung dengan gangguan pada paru yang memiliki gejala serupa, sehingga pengobatan lebih terarah. Kadar NT proBNP yang berkorelasi dalam darah itu bisa digunakan untuk mengidentifikasi pasien gagal jantung yang perlu pengobatan intensif serta memantau pasien risiko tinggi. Di sisi lain, kadar NT-proBNP bisa turun jika penderita minum obat, sehingga pemeriksaan rutin NT-proBNP bisa digunakan untuk mengetahui kemajuan pengobatan.13 Kriteria diagnosis Kriteria Framingham: Diagnosis gagal jantung kongestif ditegakkan bila terdapat paling sedikit satu kriteria mayor dan dua kriteria minor. 14 Kriteria mayor Paroksismal nocturnal dispnea Distensi vena-vena leher Peningkatan tekanan vena jugularis

10

Ronki basah basal Kardiomegali Edema paru akut Gallop bunyi jantung III Refluks hepatojugular positif Kriteria minor Edema ekstremitas Batuk malam Sesak pada aktivitas Hepatomegali Efusi pleura Kapasitas vital berkurang 1/3 dari normal Takikardia (>120 denyut/menit) Mayor atau minor Penurunan BB 4,5 kg dalam 5 hari pengobatan 15 Penatalaksanaan Terdapat tiga aspek yang penting dalam menanggulangi Gagal jantung : pengobatan terhadap Gagal jantung, pengobatan terhadap penyakit yang mendasari dan pengobatan terhadap faktor pencetus. Termasuk dalam pengobatan medikamentosa yaitu mengurangi retensi cairan dan garam, meningkatkan kontraktilitas dan mengurangi beban jantung. Pengobatan umum meliputi istirahat, pengaturan suhu dan kelembaban, oksigen, pemberian cairan dan diet. Selain itu, penatalaksanaa gagal jantung juga berupa: Medikamentosa : Obat inotropik (digitalis, obat inotropik intravena), Vasodilator : (arteriolar dilator : hidralazin), (venodilator : nitrat, nitrogliserin), (mixed dilator : prazosin, kaptopril, nitroprusid) Diuretik Pengobatan disritmia 11

Gagal jantung dengan disfungsi sistolik Pada umumnya obat-obatan yang efektif mengatasi gagal jantung menunjukkan manfaat untuk mengatasi disfungsi sistolik. Gangguan fungsi sistolik ventrikel kiri hampir selalu disertai adanya aktivitas sistem neuro-endokrin, karena itu salah satu obat pilihan utama adalah ACE Inhibitor. ACE Inhibitor, disamping dapat mengatasi gangguan neurohumoral pada gagal jantung, dapat juga memperbaiki toleransi kerja fisik yang tampak jelas sesudah 3-6 bulan pengobatan. Dari golongan ACE-I, Captopril merupakan obat pilihan karena tidak menyebabkan hipotensi berkepanjangan dan tidak terlalu banyak mengganggu faal ginjal pada kasus gagal jantung. Kontraindikasinya adalah disfungsi ginjal berat dan bila ada stenosis bilateral arteri renalis. Diuretika, bertujuan mengatasi retensi cairan sehingga mengurangi beban volume sirkulasi yang menghambat kerja jantung. Yang paling banyak dipakai untuk terapi gagal jantung kongestif dari golongan ini adalah Furosemid. Pada usia lanjut seringkali sudah ada penurunan faal ginjal dimana furosemid kurang efektif dan pada keadaan ini dapat ditambahkan metolazone. Pada pemberian diuretika harus diawasi kadar kalium darah karena diuresis akibat furosemid selalu disertai keluarnya kalium. Pada keadaan hipokalsemia mudah terjadi gangguan irama jantung. Obat-obatan inotropik, seperti digoksin diberikan pada kasus gagal jantung untuk memperbaiki kontraksi ventrikel. Dosis digoksin juga harus disesuaikan dengn besarnya clearance kreatinin pasien. Obat-obat inotropik positif lainnya adalah dopamine (5-10 Ugr/kg/min) yang dipakai bila tekanan darah kurang dari 90 mmHg. Bila tekanan darah sudah diatas 90 mmHg dapat ditambahkan dobutamin (5-20 Ugr/kg/min). Bila tekanan darah sudah diatas 110 mmHg, dosis dopamin dan dobutamin diturunkan bertahap sampai dihentikan. Spironolakton, dipakai sebagai terapi gagal jantung kongestif dengan fraksi ejeksi yang rendah, bila walau sudah diterapi dengan diuretik, ACE-I dan digoksin tidak

12

menunjukkan perbaikan. Dosis 25 mg/hari dan ini terbukti menurunkan angka mortalitas gagal jantung sebanyak 25%. Gagal jantung dengan disfungsi diastolik Pada usia lanjut lebih sering terdapat gagal jantung dengan disfungsi diastolik. Untuk mengatasi gagal jantung diastolik dapat dengan cara: Memperbaiki sirkulasi koroner dalam mengatasi iskemia miokard (pada kasus PJK) Pengendalian tekanan darah pada hipertensi untuk mencegah hipertrofi miokard ventrikel kiri dalam jangka panjang. Pengobatan agresif terhadap penyakit komorbid terutama yang memperberat beban sirkulasi darah, seperti anemia, gangguan faal ginjal dan beberapa penyakit metabolik seperti Diabetes Mellitus. Upaya memperbaiki gangguan irama jantung agar terpelihara fungsi sistolik atrium dalam rangka pengisian diastolik ventrikel. Obat-obat yang digunakan antara lain: 1. Beta bloker, untuk mengatasi takikardia dan memperbaiki pengisian ventrikel. 2. Diuretika, untuk gagal jantung disertai oedem paru akibat disfungsi diastolik. Bila tanda oedem paru sudah hilang, maka pemberian diuretika harus hati-hati agar jangan sampai terjadi hipovolemia dimana pengisian ventrikel berkurang sehingga curah jantung dan tekanan darah menurun.16

Prognosis Secara umum, mortality rate untuk pasien gagal jantung yang dirawat inap adalah 5-20% sementara penderita yang di luar rumah sakit adalah 20% pada akhir tahun pertama setelah diagnosa ditegakkan dan setinggi 50% pada 5 tahun pertama post diagnosis. Walaupun terdapat perbaikan peningkatan pengobatan. mortality rate Setiap pasien yang rehospitalization mempunyai sebanyak 20-30%.

Cardiopulmonal stress testing merupakan cara yang efektif untuk menilai survival rate pasien untuk tahun ke depan dan indikasi transplantasi jantung. Pasien dengan NYHA IV,

13

ACC/AHA stage D mempunyai mortality yang melebihi 50% mortality pada tahun pertama post diagnose. Gagal jantung yang disebabkan oleh myocard infark akut mempunyai inpatient mortality rate 20-40%; mortality rate mendekati 80% pada pasien yang menderita hipotensi( eg.cardiogenic shock).172.2.

Mitral Stenosis18,20

Definisi Mitral stenosis merupakan suatu keadaan di mana terjadi gangguan aliran darah dari atrium kiri ke ventrikel kiri melalui katup mitral oleh karena obstruksi pada level katup mitral. Kelainan struktur mitral ini menyebabkan gangguan pembukaan sehingga timbul gangguan pengisian ventrikel kiri pada saat diastol

Etiologi Penyebab tersering adalah endokarditis reumatika, akibat reaksi yang progresif dari demam reumatik oleh infeksi streptokokus. Penyebab lain walaupun jarang dapat juga disebabkan oleh mitral stenosis kongenital, deformitas parasut mitral, vegetasi dari sistemic lupus erythematosus (SLE), deposit amiloid, serta kalsifikasi annulus maupun daun katup pada usia lanjut akibat proses degeneratif. Dari pasien dengan penyakit katup jantung ini 60 % dengan riwayat demam reumatik, sisanya menyangkal. Selain itu, 50 % dengan karditis remumatik akut tidak berlanjut sebagai penyakit katup secara klinik, kemungkinan hal ini disebabkan karena pengenalan dini dan terapi antibiotik yang adekuat. Patogenesis Pada mitral stenosis akibat demam reumatik akan terjadi proses peradangan (valvulitis) dan pembentukan nodul tipis di sepanjang garis penutupan katup. Proses ini

14

akan menimbulkan fibrosis dan penebalan daun katup, kalsifikasi, fusi komisura, fusi serta pemendekan korda atau kombinasi dari proses tersebut. Keadaan ini akan menimbulkan distorsi dari aparatus mitral yang normal, mengecilnya area katup mitral menjadi seperti bentuk mulut ikan (fish mouth) atau lubang kancing (button hole) Fusi dari komisura akan menimbulkan penyempitan dari orifisium primer, sedangkan fusi korda mengakibatkan penyempitan dari orifisium sekunder. Pada endokarditis reumatika, daun katup dan korda akan mengalami sikatriks dan kontraktur bersamaan dengan pemendekan korda sehingga menimbulkan penarikan daun katup menjadi bentuk funnel shaped. Kalsifikasi biasanya terjadi pada usia lanjut dan biasanya lebih sering pada perempuan dibanding pria. Proses perubahan patologi sampai terjadinya gejala klinis (periode laten) biasanya memakan waktu bertahun tahun (10 20 tahun). Patofisiologi Pada keadaan normal area katup mitral mempunyai ukuran 4-6 cm2. Bila area orifisium katup ini berkurang sampai 2 cm2, maka diperlukan upaya aktif aktif atrium kiri berupa peningkatan tekanan atrium kiri agar aliran transmitral yang normal tetap terjadi. Stenosis mitral kritis terjadi bila pembukaan katup berkurang hingga menjadi 1 cm2. Pada tahap ini, dibutuhkan suatu tekanan atrium kiri sebesar 25 mmHg untuk mempertahankan cardiac output yang normal. Berdasarkan luasnya area katup mitral, derajat stenosis mitral dibagi menjadi minimal (> 2,5 cm2), ringan (1,4 2,5 cm2), sedang (1 1,4 cm2), berat (< 1 cm2). Gradien transmitral merupakan hall mark mitral stenosis selain luasnya area katup mitral. Gradien dapat terjadi akibat aliran besar melalui katup normal, atau aliran normal pada katup sempit. Sebagai akibatnya kenaikan tekanan atrium kiri akan diteruskan ke vena pulmonalis dam seterusnya mengakibatkan kongesti paru serta keluhan sesak (exertional dyspnea). Bila dilihat dari lama waktu pengisian dan besarnya pengisian, gejala akan muncul bila waktu pengisian menjadi pendek dan aliran transmitral besar, sehingga terjadi peningkatan tekanan atrium kiri walaupun area belum terlalu sempit (1,5 cm2). Pada mitral stenosis ringan, gejala yang muncul biasanya dicetuskan oleh faktor yang

15

meningkatkan kecepatan aliran atau curah jantung, atau menurunnya periode pengisian diastol, yang meningkatkan tekanan atrium kiri, dengan bertambah sempitnya area mitral maka tekanan atrium kiri akan meningkat dengan progresi keluhan. Apabila area mital < 1 cm2 yang berupa stenosis mitral berat maka akan terjadi limitasi dalam aktifitas. Hipertensi pulmonal merupakan komplikasi yang sering terjadi. Pada awalnya hipertensi pulmonal terjadi secra pasif akibat kenaikan tekanan atrium kiri. Demikian pula terjadi perubahan pada vaskular paru berupa vasokonstriksi. Kenaikan resistensi arteriolar paru ini sebenarnya merupakan mekanisme adaptif untuk melindungi paru kongesti. Dengan meningktanya hipertensi pulmonal ini menyebabkan kenaikan tekanan dan volume akhir diastol, trikuspid regurgitasi, pulmonal sekunder gagal jantung kanan, dan kongesti sistemik. Manifestasi Klinis Biasanya keluhan utama berupa sesak nafas dan kelelahan. Pada stenosis mitral yang bermakna dapat mengalami dyspnea deffort, paroxysmal nocturnal dyspnea, orthopnea serta edema paru. Hal ini dicetuskan oleh keadaan meningkatnya aliran darah melalui mitral atau menurunnya waktu pengisian diastol. Aritmia atrial berupa atrial fibrilasi juga merupakan kejadian yang sering terjadi pada mitral stenosis yaitu 30 40 %. Kejadian ini sering terjadi pada umur yang lebih lanjut atau distensi atrium yang mencolok akan merubah sifat elektrofisiologi dari atrium kiri . Atrial fibrilasi yang tidak dikontrol akan menimbulkan keluhan sesak atau kongesti yang lebih berat, karena hilangnya peran kontraksi atrium dalam pengisian ventrikel serta memendeknya waktu pengisian diastol, yang selanjutnya akan menimbulkan gradien transmitral dan kenaikan tekanan atrium kiri. Kadang pasien mengeluhkan terjadinya hemoptisis yang disebabkan oleh terjadinya apopleksi pulmonal akibat rupturnya vena bronkial yang melebar. Manifestasi klinis dapat juga berupa komplikasi mitral stenosis seperti tromboemboli. Diagnosis19 Pemeriksaan fisik Temuan klasik pada stenosis mitral adalah opening snap dan diastolic rumble pada daerah mitral. S1 mengeras oleh karena pengisian yang lama membuat tekanan

16

ventrikel kiri meningkat dan menutup katup sebelum katup itu kembali ke posisinya. Di apeks, rumble diastolik dapat teraba sebagai thrill. Pada keadaan dimana katup mengalami kalsifikasi dan kaku maka penutupan katup mitral tidak menimbulkan S1 yang keras. Bising diastol pada mitral stenosis dapat menjadi halus oleh karena obesitas, PPOM, atau edema paru. Pemeriksaan Foto Toraks Gambaran klasik dari foto toraks adalah pembesaran atrium kiri pembesaran arteri pulmonalis. Ekokardiografi Doopler Dengan ekokardiografi dapat dilakukan evaluasi struktur katup, pliabilitas dari daun katup, ukuran dari area katup dengan planimetri, struktur dari aparatus subvalvular, juga dapat ditentukan fungsi ventrikel. Penatalaksanaan20 Prinsip Umum Mitral stenosis merupakan kelainan mekanik, oleh karena itu obat bersifat suportif atau simtomatik terhadap gangguan fungsional jantung, atau pencegahan terhadap infeksi. Obat obatan seperti antibiotik golongan penisillin, eritromisin, sulfa, sefalosporin digunakan untuk demam rematik. Obat obtan initropik negatif seperti bloker atau Ca channel bloker dapat bermanfaat pada pasien dengan irama sinus yang memberi keluhan peningkatan frekuensi jantung. Restriksi garam atau pemberian diuretik secara intermitten bermanfaat jika terdapat bukti adanya kongesti vaskular paru. Pada keadaan atrial fibrilasi, pemakaian digitalis merupakan indikasi, dapat dikombinasikan dengan bloker dan Ca channel bloker untuk mengontrol frekuensi jantung. Antikoagulan warfarin dipakai pada mitral stenosis dengan atrial fibrilasi atau irama sinus dengan kecenderungan pembentukan trombus untuk mencegah fenomena tromboemboli. Selain itu ada juga valvotomi mitral perkutan dengan balon dan intervensi bedah, reparasi, atau ganti katup. serta

17

Gambar 1. Algoritme pada pasien stenosis mitral (Bonow R, et al. ACC/AHA Task Force Report on guidline for valvular heart disease)

Gambar 2 Algoritme pada pasien stenosis mitral dengan gejala klasifikasi II (Bonow R, et al. ACC/AHA Task Force Report on guidline for valvular heart disease)

18

Gambar 3 Algoritme pada pasien stenosis mitral dengan gejala klasifikasi III-IV (Bonow R, et al. ACC/AHA Task Force Report on guidline for valvular heart disease).

Prognosis Angka 10 tahun survival pada mitral stenosis yang tidak diobati berkisar 50 60 %, Bila tidak disertai keluhan atau minimal angka meningkat 80 %. Apabila timbul atrium fibrilasi prognosisnya kurang baik (25 %) dibanding dengan irama sinus (46 %) . 2.3. Atrial Fibrilasi Definisi Atrial fibrilasi (AF atau A-fib) adalah aritmia jantung (irama jantung abnormal) yang paling umum, dan melibatkan dua kamar atas (atrium) dari jantung . Atrial fibrilasi merupakan getatan dari otot-otot jantung atrium, bukan kontraksi terkoordinasi. Hal ini sering dapat diidentifikasi dengan mengambil pols dan mengamati bahwa denyut jantung tidak terjadi secara berkala. Namun, indikator kuat AF adalah tidak adanya gelombang P

19

pada elektrokardiogram (ECG atau EKG), yang biasanya hadir ketika ada kontraksi atrium terkoordinasi pada awal setiap denyut jantung.21 Etiologi 21,22 Atrial fibrilasi mempunyai hubungan yang bermakna dengan kelainan struktural akibat penyakit jaantung. Diketahui bahwa sekitar 25% pasien AF juga menderita penyakit jantung koroner. Selain itu hubungan antara AF dengan penyakit katup jantung telah lama ketahui. Penyakit katup reumatik meningkatkan kemungkinan terjadinya AF dan mempunyai resiko empat kali lipat untuk terjadinya komplikasi tromboemboli. AF juga dapat timbul sehubungan dengan penyakit sistemik non kardiak. Misalnya pada hipertensi sistemik ditemukan 45% dan diabetes melitus 10% dari pasien AF. Demikian pula pada beberapa penyakit paru obstruktif kronik dan emboli paru. Penyakit Jantung yang berhubungan dengan AF : o PJK o Kardiomiopati Dilatasi o Kardiomiopati Hipertropik o Penyakit Katup Jantung; reumatik maupun non-reumatik o Aritmia Jantung; atrial takikardi, atrial fluter, AVNRT, sindrom WPW, sick sinus syndrome o Perikarditis Penyakit di luar Jantung yang berhubungan dengan AF : o Hipertensi Sistemik o Diabetes Melitus o Hipertiroidisme o Penyakit Paru: PPOK, Hipertensi Pulmonal Primer, Emboli Paru Akut o Neurogenik Klasifikasi Atrial Fibrilasi22 1. AF Paroksimal; bila terjadi kurang dari 7 hari. Kembali ke irama sinus secara spontan dalam 24 jam.

20

2. 3.

AF Persisten; bila AF menetap lebih dari 48 jam tetapi kurang dari 7 hari. AF Kronik atau Permanen; bila AF berlangsung lebih dari 7 hari. Biasanya

Di perlukan kardioversi untuk mengembalikan ke irama sinus. dengan kardioversi pun sulit sekali untuk mengembalikan ke irama sinus. Penatalaksanaan22 Kardioversi Pengembalian ke irama sinus pada AF akan mengurangi gejala, memperbaiki hemodinamik, meningkatkan kemampuan latihan, mencegah tromboemboli, mencegah kardiomiopati, mencegah remodeling elektroanatomi dan memperbaiki fungsi atrium. Kardioversi dapat dilakukan secara elektrik atau farmakologis. Kardioversi Farmakologis paling efektif bila dilakukan dalam 7 hari setelah terjadinya AF. Klasifikasi obat anti aritmia dan obat-obat yang dianjurkan adalah : Tipe IA : disopirsamid, prokainamid, kuinidin Tipe IB : lidokain, meksiletin Tipe IC : flekainid, moricizin, propafenon Tipe II : penyekat beta (propanolol) Tipe III : amiodaron, bretilium, dofetilid, ibutilid, sotalol Tipe IV : antagonis kalsium (verapamil, diltiazem)

21

BAB 3 LAPORAN KASUS Nama pasien Umur Seks Pekerjaan Agama Alamat Hari / Tanggal Keluhan utama Anamnese : Suwaibah : 34 tahun : Perempuan : Ibu Rumah Tangga : Islam : Jl Sudirman LR Petua Langga K : 26 Mei 2011 : Sesak nafas : Hal ini dialami OS 9 tahun ini dan memberat dalam 1 minggu ini. Sesak bahkan memberat dalam waktu 9 tahun ini. Sesak tidak berhubungan dengan waktu,sesak timbul terus menerus tanpa mengenal waktu. Sesak yang dialami OS juga tidak ada hubungan dengan aktivitas,sesak juga timbul saat istirahat. Apabila OS terasa sesak OS biasanya duduk dengan kaki tergantung untuk mengurangkan sesak yang dialami. Selain itu, sesak yang dialami OS menyebabkan OS terbangun malam hari. Sesak nafas mulai dirasakan OS setelah melahirkan anak ke-2. Anak kedua OS dilahirkan secara spontan dengan bidan. OS juga mengalami riwayat jantung berdebar selama 9 tahun ini.Jantung berdebar biasanya bersamaan dengan serangan sesak nafas. Riwayat nyeri dada (-).Riwayat nyeri sendi berpindah disangkal OS. Riwayat kaki bengkak (+),riwayat tekanan darah tinggi(+) dengan tensi tertinggi yang pernah dialami OS adalah 180/-, riwayat sakit gula tidak jelas, riwayat kolesterol tinggi tidak jelas.Riwayat keluarga yang mengalami sakit jantung (-).

22

OS merupakan pasien kiriman Prof T.Bahri Sp.JP(K) dengan diagnosa penyakit jantung katup.Selama 9 tahun ini OS sudah berobat dengan beliau di Medan dan OS rutin minum obat dan kontrol teratur sebulan sekali. Oleh karena sesak nafas memberat,OS dirawat di RS Malahayati selama 3hari, dan oleh karena OS merasakan ada perubahan sedikit,OS kembali ke praktek Prof Bahri dan dirujuk ke RSHAM untuk penatalaksanaan yang lebih lanjut. OS merupakan pasien baru RSHAM saat di IGD dengan keluhan sesak nafas (+).

Faktor Risiko PJK : riwayat hipertensi,riwayat obstetri RPT RPO Status Presens : KU: berat Kesadaran : CM TD : 110/70 mmHg Edema : (+) HR: 70 x/menit, irreguler Pucat : (+) RR: 28 x/menit Ortopnu : (+) Dispnu : (+) Pemeriksaan Fisik : Kepala : simetris, conj. palp. inf. pucat (-), sklera ikterik (-) Leher : JVP R +4 cm HO Dinding Toraks : Inspeksi Palpasi Perkusi Batas Jantung : Atas Kanan Kiri : Simetris Fusiformis : SF ka