35
BAB I PENDAHULUAN Herpes zoster adalah radang kulit akut dan setempat ditandai adanya rasa nyeri radikuler unilateral serta timbulnya lesi vesikuler yang terbatas pada dermatom yang dipersarafi serabut spinal maupun ganglion serabut saraf sensorik dari nervus kranialis. Infeksi ini merupakan reaktivasi virus varisela zoster dari infeksi endogen yang menetap dalam bentuk laten setelah infeksi primer oleh virus . 1 Herpes zoster terjadi secara sporadis sepanjang tahun tanpa prevalensi musiman. Terjadinya herpes zoster tidak tergantung pada prevalensi varisela, dan tidak ada bukti yang meyakinkan bahwa herpes zoster dapat diperoleh oleh kontak dengan orang lain dengan varisela atau herpes. Sebaliknya, kejadian herpes zoster ditentukan oleh faktor- faktor yang mempengaruhi hubungan host-virus. 2 Salah satu faktor risiko yang kuat adalah usia lebih tua. 2,3,4 Ada peningkatan insidens dari zoster pada anak – anak normal yang terkena chicken pox ketika berusia kurang dari 2 tahun. 5 Faktor resiko utama adalah disfungsi imun selular. Pasien imunosupresif memiliki resiko 20 sampai 100 kali lebih besar dari herpes zoster daripada individu imunokompeten pada usia yang sama. 2 Immunosupresif kondisi yang berhubungan dengan risiko tinggi dari herpes zoster 1

LAPKAS

Embed Size (px)

DESCRIPTION

mk

Citation preview

BAB I

PENDAHULUAN

Herpes zoster adalah radang kulit akut dan setempat ditandai adanya rasa nyeri radikuler unilateral serta timbulnya lesi vesikuler yang terbatas pada dermatom yang dipersarafi serabut spinal maupun ganglion serabut saraf sensorik dari nervus kranialis. Infeksi ini merupakan reaktivasi virus varisela zoster dari infeksi endogen yang menetap dalam bentuk laten setelah infeksi primer oleh virus . 1

Herpes zoster terjadi secara sporadis sepanjang tahun tanpa prevalensi musiman. Terjadinya herpes zoster tidak tergantung pada prevalensi varisela, dan tidak ada bukti yang meyakinkan bahwa herpes zoster dapat diperoleh oleh kontak dengan orang lain dengan varisela atau herpes. Sebaliknya, kejadian herpes zoster ditentukan oleh faktor-faktor yang mempengaruhi hubungan host-virus.2 Salah satu faktor risiko yang kuat adalah usia lebih tua.2,3,4 Ada peningkatan insidens dari zoster pada anak anak normal yang terkena chicken pox ketika berusia kurang dari 2 tahun.5 Faktor resiko utama adalah disfungsi imun selular. Pasien imunosupresif memiliki resiko 20 sampai 100 kali lebih besar dari herpes zoster daripada individu imunokompeten pada usia yang sama.2 Immunosupresif kondisi yang berhubungan dengan risiko tinggi dari herpes zoster termasuk human immunodeficiency virus (HIV), transplantasi sumsum tulang, leukimia dan limfoma, penggunaan kemoterapi pada kanker, dan penggunaan kortikosteroid.2

Pasien dengan herpes zoster kurang menular dibandingkan pasien dengan varisela. Virus dapat diisolasi dari vesikel dan pustula pada herpes zoster tanpa komplikasi sampai 7 hari setelah munculnya ruam, dan untuk waktu yang lebih lama pada individu immunocompromised. Pasien dengan zoster tanpa komplikasi dermatomal muncul untuk menyebarkan infeksi melalui kontak langsung dengan lesi mereka.2 Pasien dengan herpes zoster dapat disebarluaskan, di samping itu, menularkan infeksi pada aerosol, sehingga tindakan pencegahan udara, serta pencegahan kontak diperlukan untuk pasien tersebut.6

Manifestasi dari herpes zoster biasanya ditandai dengan rasa sakit yang sangat dan pruritus selama beberapa hari sebelum mengembangkan karakteristik erupsi kulit dari vesikel berkelompok pada dasar yang eritematosa.

Gejala prodormal biasanya nyeri, disestesia, parestesia, nyeri tekan intermiten atau terus menerus, nyeri dapat dangkal atau dalam terlokalisir, beberapa dermatom atau difus.1 Nyeri prodormal tidak lazim terjadi pada penderita imunokompeten kurang dari usia 30 tahun, tetapi muncul pada penderita mayoritas diatas usia 60 tahun.4 Nyeri prodormal : lamanya kira kira 2 3 hari, namun dapat lebih lama.5

Tujuan dari pengobatan adalah menekan inflamasi, nyeri dan infeksi.7 Pengobatan zoster akut mempercepat penyembuhan, mengkontrol sakit, dan mengurangi resiko komplikasi. Obat yang biasa digunakan ialah asiklovir dan modifikasinya.7

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Definisi

Herpes zoster merupakan sebuah manifestasi oleh reaktivasi virus Varisela-zoster laten dari saraf pusat dorsal atau kranial. Virus varicella zoster bertanggung jawab untuk dua infeksi klinis utama pada manusia yaitu varisela atau chickenpox (cacar air) dan Herpes zoster. Varisela merupakan infeksi primer yang terjadi pertama kali pada individu yang berkontak dengan virus varicella zoster. Virus varisela zoster dapat mengalami reaktivasi, menyebabkan infeksi rekuren yang dikenal dengan nama Herpes zoster atau Shingles. Pada usia di bawah 45 tahun, insidens herpes zoster adalah 1 dari 1000, semakin meningkat pada usia lebih tua.3

B. Patogenesis

Herpes zoster disebabkan oleh reaktivasi virus varicella zoster yang laten di dalam ganglion posterior atau ganglion intrakranial. Virus dibawa ke tepi ganglion spinal atau ganglion trigeminal, kemudian menjadi laten. Varicella zoster merupakan virus rantai ganda DNA, anggota famili virus herpes yang tergolong virus neuropatik atau neurodermatotropik. Reaktivasi virus varicella zoster dapat dipicu oleh berbagai faktor seperti pembedahan, penyinaran, lanjut usia, dan keadaan tubuh yang lemah meliputi malnutrisi, seseorang yang sedang dalam pengobatan imunosupresan jangka panjang, atau menderita penyakit sistemik. Jika virus ini menyerang ganglion anterior, maka menimbulkan gejala gangguan motorik.3,4

Gambar Patogenesis infeksi herpes zoster (Sumber: medscape.com)

C. Gambaran Klinis

Lesi herpes zoster dapat mengenai seluruh kulit tubuh maupun membran mukosa. Herpes zoster biasanya diawali dengan gejala-gejala prodromal selama 2-4 hari, yaitu sistemik (demam, pusing, malaise), dan lokal (nyeri otot-tulang, gatal, pegal). Setelah itu akan timbul eritema yang berubah menjadi vesikel berkelompok dengan dasar kulit yang edema dan eritematosa. Vesikel tersebut berisi cairan jernih, kemudian menjadi keruh, dapat menjadi pustul dan krusta. Jika mengandung darah disebut sebagai herpes zoster hemoragik. Jika disertai dengan ulkus dengan sikatriks, menandakan infeksi sekunder.4

Masa tunas dari virus ini sekitar 7-12 hari, masa aktif berupa lesi baru yang tetap timbul, berlangsung seminggu, dan masa resolusi berlangsung 1-2 minggu. Selain gejala kulit, kelenjar getah bening regional juga dapat membesar. Penyakit ini lokalisasinya unilateral dan dermatomal sesuai persarafan. Saraf yang paling sering terkena adalah nervus trigeminal, fasialis, otikus, C3, T3, T5, L1, dan L2. Jika terkena saraf tepi jarang timbul kelainan motorik, sedangkan pada saraf pusat sering dapat timbul gangguan motorik akibat struktur anatomisnya. Gejala khas lainnya adalah hipestesi pada daerah yang terkena.4,5

Gambar. 1 Gambaran klinis herpes zoster (Sumber: Fitzpatrick)

D. Dermatom

Dermatom adalah area kulit yang dipersarafi terutama oleh satu saraf spinalis. Masing masing saraf menyampaikan rangsangan dari kulit yang dipersarafinya ke otak. Dermatom pada dada dan perut seperti tumpukan cakram yang dipersarafi oleh saraf spinal yang berbeda, sedangkan sepanjang lengan dan kaki, dermatom berjalan secara longitudinal sepanjang anggota badan.

Dermatom sangat bermanfaat dalam bidang neurologi untuk menemukan tempat kerusakan saraf saraf spinalis. Virus yang menginfeksi saraf tulang belakang seperti infeksi herpes zoster (shingles), dapat mengungkapkan sumbernya dengan muncul sebagai lesi pada dermatom tertentu.6

Gambar.2 Gambaran dermatom sensorik tubuh manusia (Sumber: Duus6)

E. Komplikasi

Postherpetic neuralgia

Postherpetic neuralgia merupakan komplikasi herpes zoster yang paling sering terjadi. Postherpetic neuralgia terjadi sekitar 10-15 % pasien herpes zoster dan merusak saraf trigeminal. Resiko komplikasi meningkat sejalan dengan usia.

Postherpetic neuralgia didefenisikan sebagai gejala sensoris, biasanya sakit dan mati rasa. Rasa nyeri akan menetap setelah penyakit tersebut sembuh dan dapat terjadi sebagai akibat penyembuhan yang tidak baik pada penderita usia lanjut. Nyeri ini merupakan nyeri neuropatik yang dapat berlangsung lama bahkan menetap setelah erupsi akut herpes zoster menghilang.4,7

Gambar. 3 Jaras sensorik nyeri (Sumber: Fitzpatrick)

Postherpetic neuralgia merupakan suatu bentuk nyeri neuropatik yang muncul oleh karena penyakit atau luka pada sistem saraf pusat atau tepi, nyeri menetap dialami lebih dari 3 bulan setelah penyembuhan herpes zoster. Penyebab paling umum timbulnya peningkatan virus ialah penurunan sel imunitas yang terkait dengan pertambahan umur. Berkurangnya imunitas di kaitkan dengan beberapa penyakit berbahaya seperti limfoma, kemoterapi atau radioterapi, infeksi HIV, dan penggunaan obat immunesuppressan setelah operasi transplantasi organ atau untuk manajemen penyakit (seperti kortikoteroid) juga menjadi faktor risiko.8,9

Postherpetic neuralgia dapat diklasifikasikan menjadi neuralgia herpetik akut (30 hari setelah timbulnya ruam pada kulit), neuralgia herpetik subakut (30-120 hari setelah timbulnya ruam pada kulit), dan postherpetic neuralgia (di defenisikan sebagai rasa sakit yang terjadi setidaknya 120 hari setelah timbulnya ruam pada kulit).9

Postherpetic neuralgia memiliki patofisiologi yang berbeda dengan nyeri herpes zoster akut, dapat berhubungan dengan erupsi akut herpes zoster yang disebabkan oleh replikasi jumlah virus varicella zoster yang besar dalam ganglia yang ditemukan selama masa laten. Oleh karena itu, mengakibatkan inflamasi atau kerusakan pada serabut syaraf sensoris yang berkelanjutan, hilang dan rusaknya serabut-serabut syaraf atau impuls abnormal, serabutsaraf berdiameter besar yang berfungsi sebagai inhibitor hilang atau rusak dan mengalami kerusakan terparah. Akibatnya, impuls nyeri ke medulla spinalis meningkat sehingga pasien merasa nyeri yang hebat.5,8

Herpes Zoster Oftalmikus

Herpes zoster oftalmikus disebabkan oleh infeksi cabang pertama nervus trigeminus sehingga manifestasinya pada mata, selain itu juga memengaruhi cabang kedua dan ketiga. Jika cabang nasosiliar bagian luar terlibat, dengan vesikel pada ujung dan tepi hidung (Hutchinsons sign), maka keterlibatan mata dapat jelas terlihat. Vesikel pada margo palpebra juga harus diperhatikan. Kelainan pada mata yang sering terjadi adalah uveitis dan keratitis, akan tetapi dapat pula terjadi glaukoma, neuritis optik, ensefalitis, hemiplegia, dan nekrosis retina akut.4,5

Gambar.4 Gambaran klinis herpes zoster oftalmikus (Sumber: Fitzpatrick)

F. Diagnosis

Penegakan diagnosis herpes zoster umumnya didasari gambaran klinis.5 Komponen utama dalam penegakan diagnosis adalah terdapatnya :

1. Gejala prodromal berupa nyeri,

2. Distribusi yang khas dermatomal,

3. Vesikel berkelompok, atau dalam beberapa kasus ditemukan papul,

4. Beberapa kelompok lesi mengisi dermatom, terutama dimana terdapat nervus sensorik,

5. Tidak ada riwayat ruam serupa pada distribusi yang sama (menyingkirkan herpes simpleks zosteriformis),

6. Nyeri dan allodinia (nyeri yang timbul dengan stimulus yang secara normal tidak menimbulkan nyeri) pada daerah ruam.10

Pemeriksaan laboratorium direkomendasikan bila lesi atipikal seperti lesi rekuren, dermatom yang terlibat multipel, lesi tampak krusta kronis atau nodul verukosa dan bila lesi pada area sakral sehingga diragukan patogennya virus varisela zoster atau herpes simpleks. Pemeriksaan laboratorium yang dapat dilakukan adalah PCR yang berguna pada lesi krusta, imunoflouresensi direk dari spesimen lesi vesikular, dan kultur virus yang tidak efektif karena membutuhkan waktu 1-2 minggu.1,10

Gambar. 5 Pemeriksaan Tzanck, dengan pewarnaan wright terlihat sel giant multinuklear; sedangkan pada imunofluoresensi direk pendaran warna hijau mengindikasikan terdapatnya antigen virus varisela zoster1

G. Diagnosis Banding4

1. Herpes simpleks (bersinonim dengan cold sore, herpes febrilis, herpes labialis, herpes gladiatorium, scrum pox, herpes genitalis)11

Penyebabnya satu golongan (famili Herpesviridae). Umumnya infeksi awal HHV asimptomatik kecuali pada virus golongan VZV yang simptomatik berupa varicella. HHV akan laten di neuron atau sel limfoid, mengalami reaktivasi jika sisstem imun tidak adekuat. Infeksi herpes simpleks umumnya melalui kontak langsung kulit dan mukosa, jarang yang menyebar melalui aerosol. Untuk herpes simpleks sendiri (HSV), bentuknya pada umumnya atipik berbentuk plakat eritematosa, maupun erosi kecil.

Herpes primer umumnya asimptomatik atau gejala yang tidak khas, berupa vesikel serta limfadenopati regional. Gejala prodromal berupa demam, sakit kepala, malaise, dan mialgia yang terjadi 3-4 hari setelah lesi timbul, membaik dalam 3-4 hari kemudian.

Virus HSV diklasifikasikan secara biologis menjadi HSV-1 yang sering ditemukan di wajah dan bibir serta jarang di mukosa; serta HSV-2 yang sering bermanifestasi sebagai gingivostomatitis, vulvovaginitis, uretritis dan cenderung ditransmisikan secara seksual. Erupsi yang berbentuk zosteriform dapat terjadi pada HSV zosteriform yang pada umumnya jarang terjadi.

H. Tatalaksana

Tujuan penatalaksanaan herpes zoster adalah mempercepat proses penyembuhan, mengurangi keparahan dan durasi nyeri akut dan kronik, serta mengurangi risiko komplikasi.1,5 Untuk terapi simtomatik terhadap keluhan nyeri dapat diberikan analgetik golongan NSAID seperti asam mefenamat 3 x 500mg per hari, indometasin 3 x 25 mg per hari, atau ibuprofen 3 x 400 mg per hari.12 Kemudian untuk infeksi sekunder dapat diberikan antibiotik.4 Sedangkan pemberian antiviral sistemik direkomendasikan untuk pasien berikut13:

1. Infeksi menyerang bagian kepala dan leher, terutama mata (herpes zoster oftalmikus). Bila tidak diterapi dengan baik, pasien dapat mengalami keratitis yang akan menyebabkan penurunan tajam penglihatan dan komplikasi ocular lainnya

2. Pasien berusia lebih dari 50 tahun

3. Herpes zoster diseminata (dermatom yang terlibat multipel) direkomendasikan pemberian antiviral intravena

4. Pasien yag imunokompromais seperti koinfeksi HIV, pasien kemoterapi, dan pasca transplantasi organ atau bone marrow. Pada pasien HIV, terapi dilanjutkan hingga seluruh krusta hilang untuk mengurangi risiko relaps.

5. Pasien dengan dermatitis atopik berat.

Obat antiviral yang dapat diberikan adalah asiklovir atau modifikasinya, seperti valasiklovir, famsiklovir, pensiklovir. Obat antiviral terbukti efektif bila diberikan pada tiga hari pertama sejak munculnya lesi, efektivitas pemberian di atas 3 hari sejauh ini belum diketahui.13 Dosis asiklovir adalah 5 x 800mg per hari dan umumnya diberikan selama 7-10 hari. Sediaan asiklovir pada umumnya adalah tablet 200 mg dan tablet 400 mg. Pilihan antiviral lainnya adalah valasiklovir 3 x 1000mg per hari, famsiklovir atau pensiklovir 3 x 250 mg per hari, ketiganya memiliki waktu paruh lebih panjang dari asiklovir.4,10 Obat diberikan terus bila lesi masih tetap timbul dan dihentikan 2 hari setelah lesi baru tidak timbul lagi.4

Untuk pengobatan topikal, pada lesi vesikular dapat diberikan bedak kalamin atau -zinc untuk pencegahan pecahnya vesikel. Bila vesikel sudah pecah dapat diberikan antibiotik topical untuk mencegah infeksi sekunder. Bila lesi bersifat erosif dan basah dapat dilakukan kompres terbuka.4,12

Sebagai edukasi pasien diingatkan untuk menjaga kebersihan lesi agar tidak terjadi infeksi sekunder. Edukasi larangan menggaruk karena garukan dapat menyebabkan lesi lebih sulit untuk sembuh atau terbentuk skar jaringan parut, serta berisiko terjadi infeksi sekunder. Selanjutnya pasien tetap dianjurkan mandi, mandi dapat meredakan gatal. Untuk mengurangi gatal dapat pula menggunakan losio kalamin. Untuk menjaga lesi dari kontak dengan pakaian dapat digunakan dressing yang steril, non-oklusif, dan non-adherent.14

Pasien dengan komplikasi neuralgia postherpetic dapat diberikan terapi kombinasi atau tunggal dengan pilihan sebagai berikut14:

1. Antidepresan trisiklik seperti amitriptilin dengan dosis 10-25 mg per hari pada malam hari;

2. Gabapentin bila pemberian antidepresan tidak berhasil. Dosis gabapentin 100-300mg per hari;

3. Penambahan opiat kerja pendek, bila nyeri tidak tertangani dengan gabapentin atau antidepresan trisiklik saja;

4. Kapsaicin topical pada kulit yang intak (lesi telah sembuh), pemberiannya dapat menimbulkan sensasi terbakar; dan

5. Lidocaine patch 5% jangka pendek.

Pada herpes zoster otikus (sindroma Ramsay Hunt) diindikasikan pemberian kortikosteroid. Kortikosteroid oral diberikan sedini mungkin untuk mencegah paralisis dari nervus kranialis VII. Dosis prednisone 3 x 20 mg per hari, kemudian perlu dilakukan tapering off setelah satu minggu. Pemberiannya dikombinasikan dengan obat antiviral untuk mencegah fibrosis ganglion karena kortikosteroid menekan imunitas. Namun perlu diingat kontraindikasi relatif atau absolut kortikosteroid seperti diabetes mellitus.14 Pada komplikasi seperti ini, rujukan kepada spesialis terkait sangat dianjurkan.

BAB III

LAPORAN KASUS

I. IDENTITAS PASIEN

Nama : Tn. Bambang Sugeng

Umur : 71 tahun

Jenis Kelamin: Laki-Laki

Alamat : Villa Muka Kuning Blok A6 No. 32.B

Pekerjaan: Petani

Suku Bangsa: Indonesia

Agama: Islam

Status: Menikah

Tanggal Periksa: 07 Januari 2015

II. ANAMNESA (AUTOANAMNESA)

A. Keluhan Utama

Terdapat bintil-bintil berisi cairan pada sekitar dada sebelah kiri yang menjalar ke sekitar ketiak sampai punggung kiri.

B. Riwayat Penyakit Sekarang

Pasien datang ke Poliklinik Kulit dan Kelamin RSUD Embung Fatimah dengan keluhan sejak 2 hari SMRS pasien mengeluhkan timbul bintil-bintil pada sekitar dada sebelah kiri yang menjalar ke sekitar ketiak sampai pungguh sebelah kiri, sejak 4 hari SMRS bintil-bintil muncul pada perut bagian bawah sebelah kiri, bintil-bintil tersebut tampak kemerahan dan saling melekat satu sama lain yang semula hanya sedikit kemudian bertambah banyak dan bertambah besar. Bintil-bintil tersebut timbul mendadak.

Selain keluhan tersebut, pasien juga mengeluhkan rasa nyeri dan panas pada bagian dada dan punggung tersebut. Nyeri seperti di tusuk dan panas seperti di bakar. Sejak 7 hari SMRS pasien juga mengeluhkan panas badan dan seluruh tubuh terasa nyeri, selain itu juga pasien mengeluh nafsu makan berkurang semenjak itu.

Pasien tidak mengeluhkan adanya keluhan kulit di bagian lain, tidak mengeluhkan gangguan penglihatan dan pendengaran, tidak terdapat kelemahan untuk menggerakkan kaki. Pasien mengatakan mandi dua kali sehari, menggunakan sabun.

Pasien mengatakan belum pernah berobat sebelumnya, hanya menggunakan salep yang dibelinya di apotik, tetapi lupa nama obatnya dan tidak ada perubahan.

C. Riwayat Penyakit Dahulu

Pasien menyangkal pernah menderita cacar air, riwayat penyakit kulit lainnya disangkal.

D. Riwayat Penyakit Keluarga

Pasien mengatakan dalam keluarga tidak ada yang memiliki keluhan yang sama dengan pasien

E. Riwayat Pengobatan

Pasien mengatakan belum pernah berobat sebelumnya, hanya menggunakan salep yang dibelinya di apotik, tetapi lupa nama obatnya.

F. Riwayat Alergi

Pasien mengatakan tidak ada alergi obat maupun alergi makanan.

III. PEMERIKSAAN FISIK

A. Status Generalis

Keadaan Umum: Tampak Sakit Sedang

Kesadaran: Compos Mentis

Tanda-tanda vital

- Tekanan Darah: Dalam Batas Normal

- Nadi : Dalam Batas Normal

- Respirasi: Dalam Batas Normal

- Suhu: Dalam Batas Normal

Kepala: Dalam Batas Normal

Leher: Dalam Batas Normal

Thorax : Dalam Batas Normal

Abdomen: Dalam Batas Normal

Extemitas: Dalam Batas Normal

B. Status Dermatologis

Lokalisasi

Regio Thorax Anteroposterior sinistra, Linea axillaris anterior sisnistra dan Linea mid axillaris sinistra

Efloresensi

Pada regio thorax antero-posterior sinistra di linea axillaris dan linea mid axillaris tampak vesikel multipel bergerombol yang tersebar secara dermatomal (unilateral), dengan ukuran milier, terletak di atas kulit yang eritematosa. Pada palpasi teraba kulit yang hangat, vesikel teraba lunak berisi cairan berwarna jernih dengan permukaan yang licin letaknya setinggi Vertebrae Thorax III sampai Thorax VI

Gambaran Ruam

IV. RESUME

Pasien Laki-laki Usia 71 Tahun datang dengan keluhan sejak 2 hari SMRS pasien mengeluhkan timbul bintil-bintil pada sekitar dada sebelah kiri yang menjalar ke sekitar ketiak sampai pungguh sebelah kiri, bintil-bintil tersebut tampak kemerahan dan saling melekat satu sama lain yang semula hanya sedikit kemudian bertambah banyak dan bertambah besar. Sejak 7 hari SMRS pasien juga mengeluhkan panas badan dan seluruh tubuh terasa nyeri, selain itu juga pasien mengeluh nafsu makan berkurang semenjak itu.

Pada pemeriksaan dermatologis yaitu pada regio thorax antero-posterior sinistra di linea axillaris dan linea mid axillaris tampak vesikel multipel bergerombol yang tersebar secara dermatomal (unilateral), dengan ukuran milier, terletak di atas kulit yang eritematosa. Pada palpasi teraba kulit yang hangat, vesikel teraba lunak berisi cairan berwarna jernih dengan permukaan yang licin letaknya setinggi Vertebrae Thorax III sampai Thorax VI

V. DIAGNOSIS BANDING

1. Herpes Zoster Thorakalis

2. Herpes Simplex

3. Varisela

VI. DIAGNOSIS KERJA

Herpes Zoster Thorakalis

VII. USULAN PEMERIKSAAN

Pemeriksaan Tzanck

VIII. PENGOBATAN

a. Umum

Istirahat Cukup (Bed rest)

Usahakan agar lesi tidak terkena air

Tidak menggaruk-garuk lesi bila gatal

b. Medikamentosa

Topikal

Antibiotik Cream : Mupirocin cream 10 gram 2x1

Kompres dengan Nacl 0,9 %, 2 x 15 menit

Oral

Antiviral : Asiklovir 5 x 800 mg / hari selama 7 hari

Analgetik: Asam Mefenamat 3 x 500 mg

Roborantia: Vitamin B Kompleks

IX. PROGNOSIS

Qua ad Vitam: ad Bonam

Qua ad Fungtionam: ad Bonam

Qua ad Sanationam: ad Bonam

BAB IV

PEMBAHASAN

Pasien Laki-laki Usia 71 Tahun datang dengan keluhan sejak 2 hari SMRS pasien mengeluhkan timbul bintil-bintil pada sekitar dada sebelah kiri yang menjalar ke sekitar ketiak sampai pungguh sebelah kiri, bintil-bintil tersebut tampak kemerahan dan saling melekat satu sama lain yang semula hanya sedikit kemudian bertambah banyak dan bertambah besar, tidak terdapat lokasi lain timbulnya kelainan kulit yang serupa.

Dengan timbulnya lesi seperti ini, perlu dipikirkan terjadinya kelainan kulit yang manifestasinya merupakan bintil-bintil disertai dengan nyeri. Dengan melihat lesi, Pada pemeriksaan dermatologis Pada regio thorax antero-posterior sinistra di linea axillaris dan linea mid axillaris tampak vesikel multipel bergerombol yang tersebar secara dermatomal (unilateral), dengan ukuran milier, terletak di atas kulit yang eritematosa. Pada palpasi teraba kulit yang hangat, vesikel teraba lunak berisi cairan berwarna jernih dengan permukaan yang licin letaknya setinggi Vertebrae Thorax III sampai Thorax VI

Lesi yang terlihat cukup karakteristik untuk herpes zoster, yang mana timbul gejala kulit yang unilateral, bersifat dermatomal sesuai dengan persarafan. Pada pasien ditanyakan pula apakah terdapat kelemahan pada tungkai tersebut, namun pasien menyangkal kelemahan motorik. Dengan demikian keterlibatan elemen motorik pada persarafan ini tidak ada. Lesi yang timbul juga khas berupa vesikel yang berkelompok, dengan dasar berupa kulit yang eritematosa (kemerahan). Keseluruhan penampakan kulit maupun gejala subjektif berupa nyeri sangat menyokong ke arah herpes zoster, mengingat penyakit ini memiliki perjalanan berupa masa tunas 7-12 hari, dengan timbulnya lesi dalam 1 minggu berikutnya, kemudian masa penyembuhan sendiri selama 1-2 minggu berikutnya. Pada pasien ini, keterlibatan dermatomal yang terlibat adalah V.T.III sampai T.VI.

Pada reaktivasi herpes zoster, perlu ditanyakan gejala prodromal. Gejala prodromal yaitu pasien mengeluhkan panas badan dan seluruh tubuh terasa nyeri, selain itu juga pasien mengeluh nafsu makan berkurang semenjak itu.

Setelah yakin bahwa terjadi reaktivasi herpes zoster, perlu dipikirkan mengapa terjadi reaktivasi. Pada literatur11 dikatakan bahwa tidak jelas sebetulnya pemicu reaktivasi, namun herpes zoster dapat terjadi akibat penurunan fungsi sistem imun, seperti yang ditemui pada seorang berusia di atas 50 tahun. Usulan pemeriksaan dengan test Tzanck digunakan untuk melakukan pemeriksaan terhadap sel-sel yang berasal dari vesikel atau bulla pada herpes zoster ataupun varisella.

Pasien kemudian diberikan pengobatan, berupa edukasi dan medikamentosa. Lenting yang timbul jangan digaruk sebab dapat menimbulkan infeksi sekunder. Pasien perlu diedukasi bahwa pada orang yang belum pernah mengalami cacar air, dapat terjadi penyebaran virus VZV ke pejamu lain, yang dapat menimbulkan varicela pada orang lain. Terapi medikamentosa yaitu dengan kompres Nacl 0,9 %, kompres dilakukan 2x selama 15 menit supaya lesi menjadi kering, melunakan krusta dan meringankan keluhan pasien, selain itu diberikan topikal cream yaitu antibiotik golongan mupirocin untuk mencegah infeksi sekunder akibat lesi, terapi oral asiklovir 5 x 800 mg terapi ini dapat diberikan secara efektif maksimal 72 jam setelah lesi terakhir muncul, yang pada pasien ini masih terpenuhi (onset hari ke-4). Di atas 72 jam, pemberian asiklovir dikatakan tidak efektif lagi. Perlu diingat pula bahwa konsumsi obat harus teratur, termasuk jam-jamnya, sebab pemberian asiklovir sebanyak 5 hari dalam sehari. Asiklovir diberikan selama tujuh hari.

Untuk nyeri yang timbul pada pasien diberikan asam mefenamat 3x500 mg sebagai analgesik. Pasien kemudian dianjurkan untuk kontrol selama 7 hari kemudian kepada dokter, untuk melihat perbaikan pada pasien. Berdasarkan anamnesa, faktor-faktor yang mendukung timbulnya herpes zoster pada pasien ini yaitu awalnya terjadi panas badan dan nyeri badan, kemudian timbul suatu gelembung gelembung (vesikel) pada hari ke empat sejak keluhan muncul dengan disertai rasa nyeri dan panas, selain itu juga diberikan vitamin B kompleks sebagai neurotropik.

Adapun diagnosis banding pada kasus ini adalah Herpes simplex yaitu Gejala Efloresensi pada Herpes Zoster sama dengan Efloresensi pada Herpes simpleks ditandai dengan erupsi berupa vesikel yang bergerombol, di atas dasar kulit yang kemerahan. Sebelum timbul vesikel, biasanya didahului oleh rasa gatal atau seperti terbakar yang terlokalisasi, dan kemerahan pada daerah kulit. Namun, yang membedakannya dengan herpes simpleks yaitu Lesi yang disebabkan herpes simpleks tipe 1 biasanya ditemukan pada bibir, rongga mulut, tenggorokan, dan jari tangan. Lokalisasi penyakit yang disebabkan oleh herpes simpleks tipe 2 umumnya adalah di bawah pusat, terutama di sekitar alat genitalia eksterna. Sedangkan Herpes Zoster bisa di semua tempat, paling sering pada Servikal IV dan Lumbal II. 7 Selain Herpes simplex diagnonis banding lainnya yaitu Varisela dimana gejala klinis berupa papul eritematosa yang dalam waktu beberapa jam berubah menjadi vesikel. Bentuk vesikel ini seperti tetesan embun (tear drops). Vesikel akan berubah menjadi pustul dan kemudian menjadi krusta. Lesi menyebar secara sentrifugal dari badan ke muka dan ekstremitas.7 Prognosis penyakit pada pasien ini adalah baik yaitu tidak ditemukan keterlibatan sistem saraf motorik dan tidak ditemukan tanda-tanda resiko terjadinya komplikasi. 1.7

DAFTAR PUSTAKA

1. Handoko RP, Djuanda A, Hamzah M. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. Ed.4. Jakarta: FKUI; 2005.

2. Wolff K, Goldsmith LA, Katz SI, Gilchrest BA, Paller AS, Leffel DJ. Varicella and Herpes Zoster. In :Fitzpatrick. Dermatology in General Medicine. 7 thed. New York : McGraw Hill Company.2008.p. 1885-1898.

3. Marks James G Jr, Miller Jeffrey. Herpes Zoster. In: J Lookingbill and Marks Principles of Dermatology. 4th ed. Philadelphia : Elseiver Saunders. 2006 .p.145-148.

4. Habif P.Thomas. Warts, Herpes Simplex, and Other Viral Infection. In :Clinical Dermatology. 5 thed. United States of America : Elseiver Saunders. 2010.p. 479 490

5. Mandal BK, dkk. Lecture Notes :Penyakit Infeksi.6th ed. Jakarta : Erlangga Medical Series. 2008 : 115 119

6. Habif, T.P. Viral Infection. In :Skin Disease Diagnosis and Treatment. 3rd ed. Philadelphia : Elseiver Saunders. 2011 .p. 235 -239

7. Siregar, RS. Atlas Berwarna Saripati Penyakit Kulit. Edisi 2. EGC. Jakarta. 2009.

8. Schalock C.P, Hsu T.S, Arndt, K.A. Viral Infection of the Skin. In :Lippincotts Primary Care Dermatology. Philadelphia : Walter Kluwer Health. 2011 .p. 148 -151.

9. Daili SF, B Indriatmi W. Infeksi Virus Herpes. Jakarta : Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. 2002.

10. Indrarini, Soepardiman L. Penatalaksaan Infeksi Virus Varisela-Zoster pada Bayi dan Anak. Media Dermato-Venereologica Indonesiana. Volume 27. Jakarta: Perdoski, 2000; 65s-71s.

11. . Andrews. Viral Diseases. Diseases of the Skin. Clinical Dermatology. 9th Edition. Philadelphia: WB Saunders Company, 2000; 486-491.

12. Wilmana PF. Antivirus dan Interferon. Farmakologi dan Terapi. Edisi Ke-4. Jakarta: Bagian Farmakologi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 1995; 617.

1