The Concept of Infamy In Roman LawPerspektif Akuntansi Volume 1
Nomor 1 (Oktober 2018), hal. 01-19
ISSN: 2623-0194(Print), 2623-0186(Online) Copyright© The
Authors(s). All Rights Reserved
Fakultas Ekonomika dan Bisnis, Universitas Kristen Satya
Wacana
DOI: https://doi.org/10.24246/persi.v1i1.p1-19
http://ejournal.uksw.edu/persi
Relevan?
Ayu Fina Karimatussofiah Fakultas Ekonomika dan Bisnis, Universitas
Kristen Satya Wacana Ari Budi Kristanto1 Fakultas Ekonomika dan
Bisnis, Universitas Kristen Satya Wacana
Received 21/03/2018 Accepted 05/07/2018
Abstract. This research aims to analyze whether net income or
comprehensive income contain higher relative value relevance.
Implementation of comprehensive income report have been obligated
by PSAK 1 revision 2009 as the IFRS on PSAK Indonesia since 2012,
particularly about the disclosure of the other comprehensive income
on the company’s income statement. This study uses secondary data
taken from companies’ annual financial statement for the period of
2011 until 2016. The population are manufacturi companies, which
are listed on Indonesian Stock Exchange for the period 2011-2016.
This research uses 50 companies sorted by some criteria: companies
that report their financial statement for all years, and companies
that provide required data in this study. The result shows that
both net income and comprehensive income are positively influence
the stock price. It means that both of net income and comprehensive
income contain relative value relevance, out of the control
variables provide (Return on Equity, Book Value per Share, and
Company size). Another result is the relative value relevance of
comprehensive income is higher than relative value relevance of net
income.
Keywords: Relative value relevance, IFRS adoption, net income,
comprehensive income, stock price
1
[email protected]
Abstrak. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis apakah
relevansi nilai relatif laba komprehensif lebih besar dari
relevansi nilai relatif laba bersih. Pelaporan laba komprehensif
diatur dalam PSAK 1 revisi 2009 sebagai konsekuensi penerapan IFRS
ke dalam PSAK. Penelitian ini menggunakan data sekunder yang
bersumber dari laporan keuangan tahunan perusahaan selama tahun
2011- 2016. Sampel penelitian dipilih dengan menggunakan kriteria
khusus, yaitu perusahaan yang melaporkan laporan keuangannya secara
lengkap setiap 31 Desember, serta perusahaan yang menyediakan data
lain yang dibutuhkan dalam penelitian. Populasi penelitian ini
adalah perusahaan dalam industri manufaktur di Bursa Efek Indonesia
pada tahun 2011-2016, dengan sampel sebanyak 50 perusahaan. Hasil
dari penelitian ini menunjukkan baik laba bersih maupun laba
komprehensif memiliki pengaruh positif dan signifikan terhadap
harga saham perusahaan, sehingga keduanya memiliki relevansi nilai
relatif di luar variabel kontrol (Return on Equity, Book Value per
Share, dan ukuran perusahaan). Hasil lainya adalah relevansi nilai
relatif laba komprehensif lebih besar dari relevansi nilai relatif
laba bersih.
Kata kunci: Relevansi nilai relatif, konvergensi IFRS, laba bersih,
laba komprehensif, harga saham
Pendahuluan
menunjukkan kondisi keuangannya selama periode waktu tertentu
kepada
pemangku kepentingan dalam rangka pengambilan keputusan. Salah
satu
upaya memastikan relevansi laporan keuangan dalam pengambilan
keputusan
adalah pelaporan berbasis standar yang berkualitas (Syagata &
Daljono, 2014).
Salah satu informasi utama dalam pelaporan keuangan yaitu laba.
Angka laba
yang dilaporkan dalam laporan laba rugi merepresentasikan
pencapaian
kinerja perusahaan dalam periode waktu tertentu. Angka laba penting
bagi
berbagai pengguna laporan keuangan baik itu investor, kreditur,
pemerintah
maupun pihak lain yang berkepentingan dengan perusahaan untuk
mampu
menilai kinerja. Laporan laba rugi dapat bermanfaat untuk melakukan
evaluasi
kinerja historis, dasar prediksi kinerja kemudian, serta menilai
risiko
diperolehnya kas bersih di kemudian hari.
Bagi investor, laporan laba rugi memberikan informasi mengenai laba
bersih
yang diperhatikan investor untuk menilai kemampuan menghasilkan
laba per
lembar saham. Melalui angka laba, investor mampu memiliki gambaran
tentang
kinerja. Perusahaan dengan kinerja tinggi (angka laba tinggi) dapat
menarik
minat investor untuk membeli saham perusahaan.
Sejak dilakukannya konvergensi International Financial Reporting
Standards
(IFRS) pada masa 2008-2011 di Indonesia, Pernyataan Standar
Akuntansi
3
beberapa perkembangan. Salah satunya adalah dengan diberlakukannya
PSAK
1 Revisi 2009 dengan perubahannya yang siginifikan yaitu
munculnya
kewajiban membuat Laporan Laba Rugi Komprehensif sebagai pelengkap
dari
Laporan Laba Rugi. Namun pada tahun 2013 peraturan tersebut
kembali
direvisi oleh Ikatan Akuntan Indonesia (IAI), Laporan Laba Rugi
Komprehensif
direvisi menjadi Laporan Laba Rugi dan Penghasilan Komprehensif
Lain. Selain
perubahan nama, terdapat pembaruan susunan laporan dengan
membedakan
pos/akun yang akan direklasifikasikan ke laporan laba rugi dengan
yang tidak
akan dilaporkan sebagai laba rugi. Hal tersebut mengakibatkan
munculnya pos
laba komprehensif yang dapat dijadikan sebagai pertimbangan baru
bagi para
pengguna laporan keuangan.
komprehensif diperoleh dari laba bersih setelah dipengaruhi oleh
pos-pos
penghasilan dan beban yang tidak tercatat dalam laporan laba rugi.
Pos-pos
tersebut tidak ada hubungannya dengan kegiatan operasi normal
perusahaan,
sehingga memberikan informasi yang lebih wajar terkait laba
perusahaan.
Penelitian terdahulu yang dilakukan oleh Lin, Martinez, Wang dan
Yang (2016)
serta Khan, Bradbury dan Courtenay (2017) menyatakan bahwa investor
saat
ini lebih menghargai informasi dalam laporan laba rugi
komprehensif.
Sinarto dan Christiawan (2014) membuktikan bahwa nilai relevansi
laba
komprehensif lebih tinggi dibandingkan laba bersih. Hal ini
mengindikasikan
adanya hasil yang sejalan dengan penelitian-penelitian terkait
laba
komprehensif lainnya, seperti penelitian Lin, Martinez dan Wang
(2016),
Devalle (2012), serta Kanagaretnam, Mathieu dan Shehata (2009)
yang
menyatakan bahwa laba komprehensif lebih relevan dalam
pertimbangan
investor dibandingkan dengan laba bersih. Penelitian serupa belum
terlalu
banyak dilaksanakan di Indonesia, antara lain penelitian Sinarto
dan
Christiawan (2014) serta Yudiman, Ahmar dan Darmansyah
(2017).
Penelitian sebelumnya masih memiliki keterbatasan, dengan hanya
fokus pada
50 perusahaan paling besar nilai kapitalisasi pasar serta nilai
perdagangan
sahamnya (Sinarto & Christiawan, 2014). Hal ini menjadi
motivasi untuk diteliti
kembali dengan cakupan sampel yang lebih luas. Penelitian Yudiman,
Ahmar
dan Darmansyah (2017) juga menarik untuk dikembangkan.
Penelitian
tersebut memodelkan variabel Net Income (NI) dan Comprehensive
Income (CI)
bersama-sama sebagai variabel bebas. Model ini memiliki risiko bias
karena CI
sendiri antara lain terbentuk dari komponen NI. Penelitian kali ini
mencoba
membandingkan relevansi NI dan CI melalui model yang terpisah,
sehingga
diharapkan dapat membantu memperbandingkan relevansi nilai
masing-
4
masing secara relatif. Penelitian kali ini menggunakan periode yang
lebih
panjang dibandingkan penelitian yang sebelumnya, yaitu selama tahun
2011-
2016 ketika pasar sudah semakin terbiasa dengan format pelaporan
yang baru,
sehingga evaluasi dalam jangka yang lebih panjang akan
menghasilkan
kesimpulan yang lebih stabil selama tahun 2011-2016.
Penelitian ini akan membahas mengenai pokok yang lebih memiliki
relevansi
nilai antara laba bersih dengan laba komprehensif pada periode
setelah
pengimplementasian IFRS ke dalam PSAK. Penelitian ini dilakukan
pada
perusahaan yang termasuk dalam industri manufaktur di Bursa efek
Indonesia
(BEI) yang memiliki karakteristik yang cukup beragam dan beperan
penting
bagi perekonomian. Penelitian ini bertujuan untuk meneliti apakah
relevansi
nilai relatif laba komprehensif lebih besar dari relevansi nilai
relatif laba bersih
setelah periode penerapan lanjut IFRS di Indonesia. Hasil
penelitian ini
diharapkan dapat bermanfaat, khususnya bagi investor untuk mampu
memilih
informasi akuntansi mana yang lebih relevan dalam penilaian
perusahaan. Bagi
akuntan, hasil penelitian ini dapat menjadi salah satu masukan
dalam evaluasi
relevansi informasi akuntansi. Penelitian ini juga diharapkan juga
bermanfaat
sebagai referensi penelitian.
diantisipasi dengan menyediakan lebih banyak sinyal informasi
(Marlinah,
2014). Asimetri informasi dalam pasar terjadi karena manajemen
memiliki
informasi yang lebih lengkap dibandingkan dengan pihak lain.
Permasalahan
asimetri informasi tersebut dikurangi melalui sinyal berupa
informasi dalam
laporan keuangan yang disajikan manajemen (Conelly, Certo, Ireland,
&
Reutzel, 2011). Laporan keuangan yang diterbitkan perusahaan
seharusnya
mengandung informasi yang relevan, andal dan juga merupakan
informasi yang
dianggap penting oleh investor guna mengevaluasi risiko investasi
pada
perusahaan (Marlinah, 2014).
Teori sinyal menjelaskan apabila suatu perusahaan menyampaikan
informasi
keuangan ke pasar modal, maka pasar akan bereaksi atau memberikan
respon
terhadap informasi tersebut sebagai sinyal yang berpengaruh
terhadap nilai
suatu perusahaan. Semakin relevan dan transparan suatu informasi
yang
dipublikasikan, maka diharapkan akan semakin kuat respon pasar
terhadap
saham perusahaan.
Informasi akuntansi yang relevan dapat dipakai investor untuk
menentukan
harga pasar saham (Kabir & Laswad, 2011). Selain itu Kargin
(2013) juga
menyatakan hal yang sama bahwa informasi dalam laporan
keuangan
dikatakan relevan jika dapat digunakan sebagai dasar prediksi
nilai
perusahaan. Dengan kata lain, relevansi nilai atas informasi
akuntansi
didefinisikan sebagai kakteristik pelaporan keuangan yang
mensyaratkan
bahwa informasi keuangan yang disajikan harus dapat mengubah
keputusan
pengguna. Pengujian relevansi nilai informasi akuntansi antara
laba
komprehensif dengan laba bersih pada penelitian ini menggunakan
konsep
analisis nilai relatif. Nilai relatif merupakan nilai yang
membandingkan variabel
satu yang berdiri sendiri, dengan variabel lainnya, variabel yang
satu bisa lebih
dari, kurang dari, atau sama-sama memiliki relevansi nilai
(Nugraheni, 2010).
Misalnya, laba komprehensif lebih relevan dibandingkan dengan laba
bersih
atau sebaliknya. Konsep analisis nilai relatif menguji dua variabel
independen
secara terpisah, dengan melihat apakah kedua variabel independen
tersebut
mampu memengaruhi variabel dependennya secara individual.
Laba Bersih dan Laba Komprehensif
Setiap perusahaan melakukan kegiatan operasionalnya guna memperoleh
laba.
Secara umum, laba dipahami sebagai selisih dari pendapatan atas
biaya-
biayanya dalam periode tertentu (Rejeki & Warastuti, 2012).
Laba dijadikan
sebagai indikator kinerja manajemen dalam mengelola sumberdaya
yang
diamanatkan kepada mereka, serta dapat digunakan untuk melihat
prospek
perusahaan. Setelah periode konvergensi IFRS, ukuran utama dari
kinerja
terdiri dari dua indikator yaitu laba bersih dan laba komprehensif.
Laba bersih
diartikan sebagai penambahan manfaat ekonomi perusahaan selama
periode
akuntansi berupa kenaikan aset, atau penurunan liabilitas yang
mengakibatkan
peningkatan ekuitas selain dari setoran penanam modal (Godfrey,
Hodgson,
Tarca, & Scott, 2010).
komprehensif diperoleh dengan menggabungkan nilai laba rugi bersih
dengan
penghasilan komprehensif lain. Informasi pendapatan komprehensif
lain
semakin penting, seiring dengan semakin kompleksnya bisnis. Oleh
karena itu,
terdapat pokok lain yang harus dimasukkan dalam laporan laba rugi
dan
penghasilan komprehensif lain guna memperoleh nilai laba
komprehensif yang
representatif, antara lain; laba-rugi aktuaria atas program pensiun
manfaat
pasti, laba rugi revaluasi investasi, laba-rugi lindung-nilai,
perubahan surplus
revaluasi, laba-rugi translasi mata uang, serta penyesuaian
reklasifikasi dan
pokok yang material yang membutuhkan pengungkapan terpisah
seperti
6
2012).
International Accounting Standards Board (IASB), yang mencakup
standar
akuntansi serta standar pelaporan keuangan secara global (Bragg,
2012).
Setelah mulai diberlakukannya secara internasional pada tahun 2001,
IFRS
mulai berkembang di berbagai negara karena mensyaratkan
pengungkapan
informasi yang lebih luas, sehingga penguna laporan keuangan
dapat
menharapkan informasi yang relevan. Indonesia sendiri mulai
melakukan
adopsi IFRS ke dalam PSAK sejak tahun 2008-2012 melalui beberapa
tahap.
Penerapan IFRS ke dalam PSAK dilakukan dengan mengeliminasi
perbedaan
diantara keduanya. Konvergensi IFRS yang dilakukan di Indonesia
berperan
penting dalam mendukung daya saing perusahaan nasional secara
global agar
dapat menarik investor, serta dalam rangka untuk menyamaratakan
standar
secara global agar lebih mudah untuk diperbandingkan. Terdapat
perbedaan
yang cukup signifikan antara PSAK dan IFRS, PSAK sebelumnya mengacu
pada
Generally Accepted Accounting Principles (GAAP)Amerika yang
bersifat rule
based sedangkan IFRS bersifat principle based yang mengatur hal-hal
prinsip
saja sehingga lebih bersifat fleksibel.
Pada dasarnya dengan IFRS, pengungkapan disyaratkan menjadi lebih
luas dan
lebih banyak (Kartikahadi, Sinaga, Syamsul, & Siregar, 2012),
sehingga
pengungkapan ini dapat membantu pengguna laporan keuangan
dalam
memperoleh informasi yang memadai. Konvergensi IFRS juga
mampu
mengakibatkan semakin kuatnya relevansi nilai informasi akuntansi
akibat
penggunaan nilai wajar, dengan pos/akun dalam laporan keuangan
dapat
menggambarkan keadaan riil dari ekonomi perusahaan dan mampu
mempermudah investor dalam keputusan investasinya.
Penelitian-penelitian terdahulu terkait relevansi nilai informasi
akuntansi
setelah konvergensi IFRS memberikan hasil bahwa terdapat
peningkatan
relevansi nilai informasi akuntansi setelah konvergensi IFRS.
Tresnaningsih
dan Suprihatin (2013) menemukan bahwa relevansi nilai laba
meningkat
selama tahap lanjut penerapan IFRS. Syagata dan Daljono (2014)
membuktikan
bahwa relevansi nilai informasi akuntansi berbeda antara periode
sebelum dan
sesudah dilakukannya konvergensi IFRS. Penelitian yang dilakukan
oleh
Kristanto (2015) juga memberikan hasil bahwa relevansi nilai
informasi
akuntansi meningkat pasca adanya konvergensi IFRS.
7
Dengan diimplementasikannya PSAK 1 (Revisi 2009) pasca konvergensi
IFRS,
ukuran utama kinerja perusahaan menjadi dua, yaitu laba bersih dan
laba
komprehensif. Laba komprehensif merepresentasikan kinerja
perusahaan
setelah digabungkan dengan laba komprehensif lain. Laba atau
rugi
komprehensif lain merupakan elemen yang berada di luar kendali
manajemen
serta tidak hanya merepresentasikan kinerja operasional perusahaan.
Di sisi
lain, laba bersih juga merupakan indikator kinerja suatu
perusahaan.
Laba bersih masih menjadi salah satu ukuran utama dalam
mengevaluasi
kinerja perusahaan dan lebih merefleksikan informasi terkait
dengan
pengambilan keputusan investor. Laba bersih yang merupakan
perwujudan
kegiatan operasional perusahaan selama satu periode yang merangkum
semua
kegiatan perusahaan kemudian dituangkan dalam laporan keuagan
mengakibatkan angka laba bersih menjadi perhatian khusus bagi
para
pengguna laporan keuangan.
Penelitian terdahulu membuktikan bahwa laba bersih memiliki
relevansi nilai.
Seperti penelitian yang dilakukan oleh Jaweher dan Mounira (2013),
serta Tsuji
(2013) yang menemukan bahwa laba bersih memiliki hubungan yang
kuat
dengan harga atau return saham. Penelitian Syagata dan Daljono
(2014) yang
dilakukan di Indonesia juga menunjukkan bahwa laba bersih
memiliki
pengaruh yang positif diatas variabel lain yang digunakan dalam
penelitian
terhadap harga saham. Berdasarkan pemikiran tersebut maka
dirumuskan
hipotesis:
Berbeda dengan laba bersih, pengungkapan laba komprehensif yang
meliputi
seluruh perubahan pada akiva bersih perusahaan dan membuat
manajer
mempertimbangkan tidak hanya faktor operasi internal, namun juga
faktor
eksternal yang mempengaruhi nilai perusahaan membuat laba
komprehensif
meningkatkan kualitas pelaporan keuangan serta menyediakan
informasi yang
lebih baik. Laba yang diukur secara komprehensif diharapkan
akan
merefleksikan kinerja secara lebih baik. Penyajian laba rugi
komprehensif
diharapkan dapat mempengaruhi pengambilan keputusan keuangan
informasi
tersebut berhubungan dengan perubahan kemampuan ekonomi
secara
menyeluruh dan dapat mencerminkan nilai wajar perusahaan. Informasi
yang
relevan inilah yang akan bermanfaat dalam pengambilan
keputusan.
Penelitian terdahulu telah dilakukan untuk menguji relevansi nilai
laba rugi
komprehensif. Seperti penelitian yang dilakukan oleh Lin, Martinez
dan Wang
(2016) serta Kanagaretnam, Mathieu dan Shehata (2009) yang
menemukan
8
bahwa investor secara khusus saat ini lebih menghargai informasi
laba rugi
komprehensif. Berdasarkan pemikiran tersebut maka dirumuskan
hipotesis:
H2: Laba komprehensif memiliki relevansi nilai relatif.
Penelitian-penelitian terdahulu yang telah membahas mengenai
relevansi nilai
informasi akuntansi berkaitan dengan penerapan IFRS di Indonesia
pada
umumnya dilakukan selama proses awal implementasi, sehingga dampak
dari
konvergensi belum begitu dirasakan. Seperti penelitian Sinarto
dan
Christiawan (2014) yang menemukan bahwa relevansi nilai laba
komprehensif
lebih tinggi dibandingkan dengan laba bersih. Penelitian-penelitian
tersebut
dilakukan pada tahap awal implementasi IFRS, bias jadi pasar bisa
jadi terbiasa
dengan format pelaporan yang baru. Fenomena ini menjadi menarik
karena
saat ini penerapan IFRS sudah semakin berkembang.
Penelitian ini berusaha untuk membuktikan bahwa relevansi nilai
relatif laba
komprehensif lebih besar dari relevansi nilai relatif laba bersih
selama tahap
lanjut penerapan IFRS ke dalam PSAK tahun 2011-2016. Laba
rugi
komprehensif memiliki pos-pos pelaporan yang tidak hanya
memperlihatkan
kinerja perusahaan secara operasional seperti halnya laba bersih,
namun juga
terdapat pos-pos lain diluar kendali manajemen yang memiliki
relevansi nilai
(Khan, Bradbury, & Courtenay, 2017). Beberapa penelitian telah
menunjukkan
adanya hubungan yang lebih kuat antara pengungkapan komponen
pendapatan komprehensif lain dan total laba komprehensif dengan
harga atau
return saham dibandingkan dengan laba bersih (Devalle, 2012),
serta
Kanagaretnam, Mathieu dan Shehata (2009). Maka berdasarkan
pemikiran
tersebut dirumuskan hipotesis:
H3: Relevansi nilai relatif laba komprehensif lebih besar dari
relevansi nilai
relatif laba bersih.
pemilihan sampel menggunakan teknik purposive sampling, yang
menggunakan kriteria-kriteria sebagai berikut: (i) menyediakan data
laporan
keuangan lengkap per 31 Desember, (ii) terdaftar secara
berturut-turut di BEI
tahun 2011-2016, (iii) tersedia data harga saham pada 31 Desember
tiap
tahunnya secara lengkap.
Berdasarkan kriteria diatas maka diperoleh sampel sebanyak 50
perusahaan
(300 firm years dalam 5 tahun). Informasi selengkapnya tersaji
dalam Tabel 1.
9
Tabel 1. Hasil Seleksi Kriteria Sampel Keterangan Jumlah
Perusahaan manufaktur terdaftar pada Tahun 2011 130 Tahun 2012 132
Tahun 2013 136 Tahun 2014 141 Tahun 2015 143 Tahun 2016 144 Jumlah
data firmyear tahun 2011-2016 826 Data firmyear yang tidak lengkap
selama 6 tahun -430 Data firmyear yang memiliki nilai ekstrem -96
Data firmyear secara lengkap tersaji selama 6 tahun dikurangi nilai
ekstrim
300
Data dan Sumber Data
Data sekunder dalam penelitian ini bersumber dari laporan keuangan
tahunan
perusahaan di industri manufaktur yang terdaftar di BEI selama
tahun 2011-
2016 yang diperoleh dari laman Bursa Efek Indonesia
(www.idx.co.id). Angka
laba bersih dan laba komprehensif diambil dari laporan laba rugi
dan
penghasilan komprehensif lain setiap tahunnya dan variabel harga
saham
menggunakan harga penutupan saham pada bulan Desember setiap
tahun.
Operasionalisasi Variabel Penelitian
Penelitian ini menggunakan variabel relevansi nilai informasi
akuntansi.
Relevansi nilai informasi diindikasikan sebagai explanatory power
dari
informasi akuntansi terhadap nilai perusahaan yang digambarkan
dengan
harga saham atau return saham. Kekuatan penjelas ini diperoleh dari
pengujian
regresi dengan variabel bebas (laba bersih atau laba komprehensif)
terhadap
harga saham (variabel terikat). Relevansi nilai diestimasikan oleh
koefisien
variabel (β), yang menjelaskan tentang seberapa besar koefisien X
mampu
memengaruhi koefisien Y di luar pengaruh dari variabel-variabel
lain dari
fungsi regresi.
1. Harga Saham (variabel terikat)
Harga saham merepresentasikan harga pasar dari ekuitas
perusahaan
(Kristanto, 2015). Dengan demikian, efektivitas ukuran kinerja
dapat
dibuktikan melalui nilai pasar. Data harga saham yang digunakan
dalam
diperoleh dari harga penutupan setiap tanggal 31 Desember pada
tahun t.
10
Laba bersih merepresentasikan kenaikan manfaat ekonomi yang
diperoleh
dari kegiatan operasional perusahaan. Angka laba bersih dalam
penelitian
ini diambil dari laporan laba rugi dan penghasilan komprehensif
lain pada
laporan keuangan perusahaan per tanggal 31 Desember tahun t.
3. Laba Komprehensif (variabel independen)
Laba komprehensif adalah total penghasilan bersih perusahaan
setelah
digabungkan dengan penghasilan komprehensif lain (Bragg, 2012).
Angka
laba komprehensif dalam penelitian ini dihitung dari laba bersih
yang
sudah digabungkan dengan komponen penghasilan komprehensif lain
yang
tidak termasuk dalam kegiatan operasional perusahaan, dan
dipisahkan
dari entitas pemilik. Sama halnya dengan laba bersih, angka
laba
komprehensif juga diperoleh dari laporan laba rugi dan
penghasilan
komprehensif lain pada laporan keuangan perusahaan per tanggal
31
Desember.
Variabel Kontrol
Penelitian ini menggunakan tiga variabel kontrol yaitu; ROE (Return
on Equity),
nilai buku ekuitas per lembar saham (BVPS), serta ukuran
perusahaan.
Variabel-variabel tersebut telah terbukti dalam penelitian
terdahulu mampu
untuk mempengaruhi harga saham.
ROE menunjukkan kemampuan menghasilkan laba bersih dari ekuitas
yang
dimiliki oleh perusahaan yang dihitung dengan menggunakan
formula
sebagai berikut:
2. Nilai Buku Ekuitas per Lembar Saham (BVPS)
BVPS adalah jumlah aset bersih yang dimiliki pemegang saham untuk
tiap
lembar saham perusahaan (Tresnaningsih & Suprihatin, 2013)
yang
dihitung dengan menggunakan formula sebagai berikut:
=
3. Ukuran Perusahaan
kekayaan (aset) perusahaan. Besar kecilnya aset milik perusahaan
dapat
dijadikan salah satu indikator ukuran perusahaan (Syagata &
Daljono,
2014). Ukuran (size) perusahaan akan diproksikan dengan
logaritma
natural total aset perusahaan di akhir tahun.
11
Model yang dikembangkan untuk menguji seberapa besar relevansi
nilai relatif
laba bersih dan laba komprehensif terhadap harga saham perusahaan
adalah
model regresi linier berganda. Untuk menguji H1, H2, dan H3,
berikut adalah
model yang dikembangkan:
Model 1: Pit = αt+β1NIit+β2ROEit+β3BVPSit+β4 lnSizeit + et
.........................................1
Model 2: Pit = αt+β1CIit+β2ROEit+β3BVPSit+β4 lnSizeit +
et...........................................2
Pit = Harga saham penutupan perusahaan i pada bulan Desember tahun
t
αt = Konstanta
NIit = Laba bersih perusahaan i pada tahun t
CIit = Laba komprehensif perusahaan i pada tahun t
ROEit = Variabel kontrol Return on Equity perusahaan i pada tahun
t
BVPSit = Variabel kontrol nilai buku ekuitas per lembar saham
perusahaan i
tahun t
logaritma natural total aset perusahaan i pada akhir tahun t
et = Error
Pengujian Hipotesis 1 melalui Model 1 dibuktikan dengan melihat
apakah nilai
β1 siginifikan atau tidak. Sama halnya dengan Model 2 yang
digunakan untuk
menguji hipotesis 2 yang dibuktikan dengan melihat apakah nilai β1
signifikan
atau tidak. Sedangkan untuk menguji hipotesis 3 akan dibandingkan
mana yang
lebih besar antara β1 pada Model 1 dengan β1 yang ada pada Model 2
untuk
menilai mana yang memiliki pengaruh lebih besar terhadap variabel
dependen
harga saham. Jika β1 pada Model 2 lebih besar daripada β1 pada
Model 1, maka
terbukti secara empiris bahwa relevansi nlai relatif laba
komprehensif lebih
besar dibandingkan dengan relavansi nilai relatif laba bersih, dan
begitu pula
sebaliknya.
Sebelum diolah, data terlebih dahulu harus lolos dari uji asumsi
klasik, yaitu;
uji normalitas, autokorelasi, multikolinearitas, dan
heteroskedastisitas. Setelah
data dinyatakan bebas dari uji asumsi klasik, uji selanjutnya yang
dilakukan
yaitu uji hipotesis dengan menggunakan uji signifikansi parsial
(uji t) dari
kedua model yang ada, uji koefisien determinasi (R2) dan uji
keofisien variabel
(β).
12
Berdasarkan statistik deskriptif, penelitian ini menggunakan
sampel
perusahaan dengan ragam yang bervariasi, baik dari sisi nilai
pasar, kinerja
maupun ukuran perusahaan. Sampel penelitian terdiri dari perusahaan
dengan
harga saham sangat rendah hingga sangat tinggi, dengan rata-rata Rp
2.304
dengan variasi yang beragam, ditandai dari standar deviasi Rp
16.008. Begitu
pula dengan profil kinerja, laba bersih (NI) serta laba
komprehensif (CI),
maupun ukuran perusahaan, yang menunjukkan adanya keragaman
data.
Tabel 2. Statistik Deskriptif
NI (Rp) -
994.406.551.920 2.804.370.000.000 146.535.374.344
335.821.172.338
ROE -1,24116 1,43533 0,1028047 0,22467583 BVPS (Rp) -5.115 47.740
1.918 5.926
Size (Rp) 7.125.801.000 19.763.133.000.000 2.462.882.108.316
3.574.146.419.843
Keterangan P = Harga saham 31 Desember; NI = laba/rugi bersih tahun
berjalan; CI = laba rugi komprehensif; ROE = laba bersih yang
dihasilkan dari ekuitas perusahaan; BVPS = aset bersih pemilik
setiap lembar saham; Size = ukuran perusahaan berdasarkan
asset
Sumber: Data sekunder diolah
Persamaan regresi dalam penelitian ini sudah bebas dari masalah
normalitas,
autokorelasi, multikolinearitas, dan heteroskedastisitas. Grafik
P-P Plot
menggambarkan sebaran data residual kedua persamaan model regresi
sejajar
atau berada di sekitar garis diagonal, sehingga membuktikan bahwa
model
lolos uji normalitas. Uji autokorelasi untuk setiap model
menggunakan uji
Durbin Watson, menunjukkan bahwa skor Durbin Watson Model 1
sebesar
1,895 dan Model 2 sebesar 1,960. Setelah dibandingkan dengan batas
atas (du)
dan batas bawah (dl), disimpulkan bahwa kedua model lolos uji
autokorelasi.
Skor VIF lebih kecil dari 10 untuk semua variabel dalam kedua
model, sehingga
disimpulkan bahwa lulus uji multikolinearitas. Uji
heteroskedastisitas dengan
menggunakan uji Glejser menunjukkan nilai signifikansi data
residual semua
variabel lebih dari α = 1% (0,01), sehingga disimpulkan bahwa kedua
model
penelitian lolos uji heteroskedastisitas.
Model 1 memiliki nilai R2 sebesar 39,9%, yang berarti bahwa
pengaruh variabel
bebas di Model 1 terhadap harga saham adalah sebesar 39,9%,
sedangkan
sisanya sebesar 60,1% dipengaruhi oleh faktor lain serta
variabel-variabel lain
di luar model ini. Berdasarkan Tabel 3, dapat dimaknai bahwa laba
bersih
13
secara individual berpengaruh positif dan signifikan terhadap harga
saham.
Artinya, variabel laba bersih secara relatif terhadap variabel lain
yaitu ROE,
BVPS, dan Size, memiliki kemampuan untuk mempengaruhi harga
saham.
Tabel 3. Hasil Pengujian Statistik Model 1
Variabel Koefisien Variabel
(β) t Sig. R2
NI 0,321 4,842 0,000*
0,399 ROE 1,421 3,170 0,002* BVPS 0,124 4,871 0,000* Size 0,128
1,396 0,164
Model 2
Variabel Variabel
(β) t Sig. R2
CI 0,353 6,019 0,000*
0,430 ROE 1,626 4,143 0,001* BVPS 0,130 5,154 0,000* Size 0,077
0,876 0,382
Keterangan: P = Harga saham 31 Desember; NI = laba/rugi bersih
tahun berjalan; CI = laba rugi komprehensif; ROE = laba bersih yang
dihasilkan dari ekuitas perusahaan; BVPS = aset bersih pemilik
setiap lembar saham; Size = ukuran perusahaan berdasarkan aset.
*Signifikan pada α = 1%
Berdasarkan Tabel 3, nilai R2 pada Model 2 adalah sebesar 43%,
mempunyai
arti bahwa pengaruh variabel bebas pada Model 2 terhadap harga
saham
adalah sebesar 43%, sedangkan sisanya sebesar 57% dipengaruhi oleh
faktor
lain di luar model. Selanjutnya dapat disimpulkan juga bahwa
variabel laba
komprehensif secara individual berpengaruh positif dan signifikan
terhadap
harga saham. Artinya, variabel laba komprehensif secara relatif
terhadap
variabel lain yaitu ROE, BVPS, dan Size, memiliki kemampuan
untuk
mempengaruhi harga saham.
Berdasarkan Tabel 3, bukti menunjukkan bahwa baik variabel laba
bersih
maupun laba komprehensif sama-sama memiliki pengaruh positif
dan
signifikan secara relatif terhadap harga saham dengan melihat nilai
signifikansi
(Sig.) dari keduanya sebesar 0,000 yang lebih kecil dari α 0,01
(1%). Adapun
besarnya pengaruh laba bersih terhadap harga saham adalah sebesar
0,321
atau 32,1% sedangkan besarnya pengaruh laba komprehensif terhadap
harga
saham adalah sebesar 0,353 atau 35,3%. Artinya, setiap terdapat
kenaikan laba
bersih sebesar Rp1 maka harga saham akan naik sebesar Rp 0,321 dan
setiap
terdapat kenaikan laba komprehensif sebesar Rp1 maka harga saham
akan naik
sebsesar Rp 0,353. Hal ini berarti laba komprehensif memiliki
pengaruh yang
lebih kuat daripada laba bersih.
14
Pembahasan
Relevansi Nilai Relatif Laba Bersih
Hasil regresi pada Model 1 menunjukkan bahwa Hipotesis 1 dalam
penelitian
ini didukung oleh data penelitian karena variabel laba bersih
berpengaruh
siginifikan dengan arah positif terhadap harga saham. Artinya
semakin tinggi
laba bersih tahun berjalan, maka harga saham juga semakin tinggi.
Sebaliknya
bila laba bersih yang dilaporkan semakin kecil atau bahkan merugi
akan
menyebabkan harga saham turun. Hal ini menunjukkan bahwa nilai laba
bersih
yang dilaporkan oleh perusahaan dalam laporan keuangan mampu
mempengaruhi pengambilan keputusan investor dalam menilai
perusahaan.
Laba bersih sering dianggap sebagai ukuran terpenting atas
kesuksesan atau
kegegalan suatu perusahaan. Hasil dari penelitian ini juga
memberikan bukti
bahwa informasi laba bersih secara individu mampu memberikan
pengaruh
signifikan terhadap harga saham. Ketika terdapat banyak informasi
seperti
ROE, BVPS, dan Size, informasi laba bersih masih diperhatikan dan
relevan
dalam pengambilan keputusan.
Sejalan dengan hal tersebut, laba bersih masih menjadi ukuran utama
dan
perhatian khusus investor dalam menilai perusahaan. Hal ini
dikarenakan
harga saham juga dipengaruhi oleh kinerja keuangan suatu
perusahaan. Laba
bersih mempengaruhi minat investor untuk menanamkan investasi
dalam
suatu perusahaan, karena jika laba tinggi, maka pembagian dividen
juga
cenderung meningkat sehingga investor akan lebih berminat untuk
melakukan
investasi. Syagata dan Daljono (2014) dalam penelitiannya juga
membuktikan
bahwa laba bersih masih memiliki relevansi nilai relatif di luar
variabel nilai
buku ekuitas dan ukuran perusahaan. Meskipun terdapat informasi
lain dalam
laporan keuangan, namun laba bersih masih relevan bagi pengguna
laporan
keuangan dalam membuat keputusan.
Relevansi Nilai Relatif Laba Komprehensif
Hasil regresi pada Model 2 menunjukkan bahwa Hipotesis 2 dalam
penelitian
ini didukung oleh data penelitian karena variabel laba
komprehensif
berpengaruh siginifikan dengan arah positif terhadap harga saham.
Artinya
semakin tinggi nilai laba rugi komprehensif maka harga saham juga
semakin
tinggi. Sebaliknya bila laba komprehensif yang dilaporkan semakin
kecil atau
bahkan merugi akan menyebabkan harga saham turun. Hal ini
menunjukkan
bahwa nilai laba komprehesif yang dilaporkan oleh perusahaan dalam
laporan
keuangan mampu mempengaruhi pengambilan keputusan investor
dalam
menilai perusahaan.
kualitas pelaporan keuangan dan menyediakan informasi yang lebih
baik
dengan mengkategorikan komponen laba dalam cara yang dianggap
bernilai
oleh investor. Hasil dari penelitian ini juga memberikan bukti
bahwa informasi
laba komprehensif secara individu mampu memberikan pengaruh
signifikan
terhadap harga saham. Ketika terdapat banyak informasi seperti ROE,
BVPS,
dan Size, informasi laba komprehensif masih diperhatikan dan
relevan dalam
pengambilan keputusan.
Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian lain yang telah
dilakukan
sebelumnya seperti Kanagaretnam, Mathieu dan Shehata (2009) serta
Lin,
Martinez dan Wang, (2016) pada perusahaan di Bursa Efek di
Kanada.
Penelitian-penelitian tersebut menyatakan bahwa pelaporan laba
rugi
komprehensif semakin relevansi. Laba rugi komprehensif semakin
mampu
mengindikasikan seluruh perubahan ekuitas kecuali yang terkait
dengan
pemilik, membuat laba komprehensif berhubungan sangat erat dengan
harga
saham dan semakin menjadi perhatian utama investor.
Selain itu hasil penelitian ini juga mendukung pemberlakuan PSAK 1
Revisi
2009 yang mensyaratkan penyajian laba rugi komprehensif. Informasi
laba rugi
komprehensif yang menganut konsep all-inclusive income mampu
memberikan informasi yang menyeluruh dan bermanfaat.
Relevansi Nilai Relatif Laba Komprehensif dan Laba Bersih
Hasil pengujian regresi yang telah dilakukan pada Model 1 dan Model
2
menunjukkan bahwa Hipotesis 3 didukung oleh data penelitian
karena
koefisien variabel laba komprehensif pada Model 2 memiliki nilai
yang lebih
besar dari koefisien variabel laba bersih pada Model 1. Artinya
secara relatif
variabel laba komprehensif memiliki pengaruh yang lebih besar
terhadap harga
saham dibandingkan dengan variabel laba bersih. Hal ini menunjukkan
bahwa
nilai laba komprehesif yang dilaporkan oleh perusahaan dalam
laporan
keuangan lebih mampu mempengaruhi pengambilan keputusan investor
dalam
menilai perusahaan dibandingkan dengan laba bersih.
Hasil ini sejalan dengan penelitian-penelitian terkait laba
komprehensif yang
dilakukan di Indonesia seperti penelitian Sinarto dan Christiawan
(2014) yang
menggunakan sampel penelitian perusahaan terdaftar di BEI tahun
2011-2013.
Penelitian tersebut menunjukkan bahwa pada tahap awal implementasi
IFRS,
pasar masih belum terbiasa dengan format pelaporan yang baru
sehingga
evaluasi dalam jangka yang pendek belum mampu menghasilkan
keputusan
yang stabil dan investor masih menggunakan laba bersih sebagai
acuan utama
dalam menilai kinerja perusahaan.
mampu menyediakan informasi yang menyeluruh dan bermanfaat
bagi
pengguna laporan keuangan. Laba komprehensif sebagai all-inclusive
income
memiliki makna bahwa unsur pendapatan yang berada di dalam
laba
komprehensif mengandung semua informasi mengenai kinerja
perusahaan
baik itu secara internal (kegiatan operasional) maupun secara
eksternal
(kinerja perusahaan yang tidak bisa dikendalikan oleh manajeman),
sehingga
investor saat ini lebih bereaksi terhadap informasi laba
komprehensif dalam
membantu proses pengambilan keputusannya.
Namun di sisi lain penelitian ini sejalan dengan
penelitian-penelitian yang
dilakukan di luar negeri seperti Kanagaretnam, Mathieu dan Shehata
(2009)
serta Lin, Martinez dan Wang (2016) yang menggunakan perusahaan
tercatat
di Bursa Efek Kanada, dan Devalle (2012) yang menggunakan
perusahaan yang
tercatat di Bursa Efek di Eropa. Penelitian-penelitian tersebut
membuktikan
bahwa laba komprehensif memiliki relevansi nilai yang lebih besar
dari laba
bersih. Hasil tersebut dapat diperoleh karena penelitian-penelitian
tersebut
dilakukan di Amerika dan Eropa. Amerika mulai menerapkan IFRS
pertama kali
pada tahun 2001 dan Eropa pada tahun 2005 (Tresnaningsih &
Suprihatin,
2013) sehingga pasar Amerika dan Eropa sudah terbiasa dengan
format
pelaporan yang baru sesuai IAS 1 dan investor terbukti lebih
menghargai
informasi dalam laba komprehensif dibandingkan dengan laba
bersih.
Simpulan
Hasil penelitian ini adalah baik laba bersih maupun laba
komprehensif
berpengaruh secara positif dan signifikan terhadap harga saham.
Selain itu,
terdapat perbedaan antara pengaruh laba bersih dan laba
komprehensif
terhadap harga saham. Berdasarkan uji yang sudah dilakukan pada
kedua
model dapat disimpulkan bahwa laba bersih memiliki relevansi nilai
relatif di
luar variabel ROE, BVPS, dan ukuran perusahaan. Laba komprehensif
memiliki
relevansi nilai relatif di luar variabel ROE, BVPS, dan ukuran
perusahaan serta
relevansi nilai relatif laba komprehensif lebih besar dari
relevansi nilai relatif
laba bersih. Dengan demikian laba komprehensif dapat menjadi ukuran
utama
dibandingkan laba bersih dalam mengevaluasi kinerja perusahaan
dalam
jangka panjang dan lebih merefleksikan informasi terkait dengan
pengambilan
keputusan investor. Hal ini membuktikan bahwa konsep all-inclusive
income
dalam laba rugi komprehensif mampu memastikan adanya informasi
yang
menyeluruh dan bermanfaat.
telah dilakukan di luar negeri seperti penelitian Kanagaretnam,
Mathieu dan
17
Shehata (2009), Lin, Martinez dan Wang (2016) serta Devalle (2012)
yang
membuktikan bahwa dalam kondisi penerapan IFRS yang sudah
stabil,
informasi laba komprehensif lebih dihargai daripada informasi laba
bersih.
Hasil penelitian ini tidak sejalan dengan penelitian Sinarto dan
Christiawan
(2014) yang membuktikan bahwa pengaruh laba bersih terhadap harga
saham
lebih besar daripada pengaruh laba komprehensif terhadap harga
saham di
masa awal konvergensi IFRS di Indonesia.
Hal yang dapat disarankan dari hasil penelitian ini khususnya bagi
investor
yaitu sebaiknya ketika ingin membuat keputusan investasi atas dasar
angka
laba, dapat menggunakan laba komprehensif untuk penilaian
kinerja
perusahan dalam jangka yang lebih panjang. Hal ini dikarenakan
laba
komprehensif tidak hanya memperhatikan aspek internal perusahaan
yaitu
operasional saja, namun juga memperhitungkan aspek lain yang berada
di luar
kendali manajemen.
Keterbatasan yang ada dalam penelitian ini adalah hanya
digunakannya price
model untuk mengindikasikan relevansi nilai, dan belum diuji apakah
temuan
yang dihasilkan dari penelitian ini konsisten jika menggunakan
return model,
sehingga belum teruji konsistensi relevansi informasi laba bersih
dan laba
komprehensif jika diukur dengan metode yang berbeda.
Penelitian ini tidak menguji secara spesifik komponen
pendapatan
komprehensif lain apakah yang paling berpengaruh terhadap harga
saham
karena hanya menguji relevansi total laba komprehensif saja. Dengan
melihat
keterbatasan-keterbatasan yang ada pada penelitian ini maka
sebaiknya pada
penelitian selanjutnya dapat menggunakan model yang lain yaitu
return model
serta mampu meneliti pada komponen laba komprehensif lain apa
yang
berpengaruh terhadap return saham.
Daftar Pustaka
Bragg, S. M. (2012). Panduan IFRS. Jakarta: Indeks. Conelly, B.,
Certo, S., Ireland, R., & Reutzel, C. (2011). Signaling Theory:
A Review and
Assessment. Journal of Management, 37(1), 39-67.
doi:10.1177/0149206310388419
Devalle, A. (2012). Value Relevance of Accounting Data and
Financial Crisis in Europe:
an Empirical Analysis. International Journal of Accounting and
Financial
Reporting, 2(2), 201.
doi:https://doi.org/10.5296/ijafr.v2i2.2527
Godfrey, J., Hodgson, A., Tarca, A., & Scott. (2010).
Accounting Theory (7 ed.). Australia:
John Willey & Sons Australia Ltd.
Jaweher, B., & Mounira, B. (2013). Quality of Net Income vs.
Total Comprehensive
Income in the Context of IAS/IFRS Regulation. International Journal
of Finance
& Accounting Studies, 1(2), 17.
doi:10.7575/aiac.ijfas.v.1n.2p.17
18
Kabir, M., & Laswad, F. (2011). Properties of net income and
total comprehensive
income: New Zealand evidence. Accounting Research Journal, 24(3),
268-289.
doi:10.1108/10309611111187000
Kanagaretnam, K., Mathieu, R., & Shehata, M. (2009). Usefulnes
of Comprehensive
Reporting in Canada. Journal Accounting Public Policy, 28(4),
349-365.
doi:https://doi.org/10.1016/j.jaccpubpol.2009.06.004
Kargin, S. (2013). The Impact of IFRS on The Value Relevance of
Accounting
Inofrmation: Evidence from Turkish Firm. International Journal of
Economics
and Finance, 5(4), 71.
doi:http://dx.doi.org/10.5539/ijef.v5n4p71
Kartikahadi, H., Sinaga, R., Syamsul, M., & Siregar, S. (2012).
Akuntansi Keuangan
Berdasar SAK Berbasis IFRS. Jakarta: Salemba Empat.
Khan, S., Bradbury, M. E., & Courtenay, S. (2017). Value
Relevance of Comprehensive
Income. Australian Accounting Review, 1.
doi:https://doi.org/10.1111/auar.12181
Kristanto, A. (2015). Does IFRS Convergence Promote the Value
Relevance of
Accounting Information? Jurnal Ekonomi dan Bisnis, 18(1),
19-40.
doi:https://doi.org/10.24914/jeb.v18i1.259
Lin, S., Martinez, D., Wang, C., & Yang, Y.-w. (2016). Is Other
Comprehensive Income
Reported in the Income Statement More Value Relevant? Journal of
Accounting,
Auditing & Finance, 1-23.
doi:https://doi.org/10.1177/0148558X16670779
Marlinah, A. (2014). Pengaruh Kebijakan Modal Kerja dan Faktor
Lainnya terhadap
Profitabilitas Perusahaan Manufaktur. Jurnal Bisnis dan Akuntansi,
16(2), 103.
Nugraheni, B. (2010). Volatilitas Relevansi Nilai Incremental laba
dan Nilai Buku. Jurnal
Dinamika Akuntansi, 2(2), 83-91.
doi:https://doi.org/10.15294/jda.v2i2.1931
Rejeki, T., & Warastuti, Y. (2012). Pengaruh Perubahan Laba
Bersih, Perubahan Laba
Komprehensif, dan Perubahan Tingkat Obligasi terhadap Return Saham.
Jurnal
Akuntansi Bisnis, XI(21), 1.
Sinarto, R., & Christiawan, J. (2014). Pengaruh Penerapan IFRS
terhadap Relevansi Nilai
Laba Laporan Keuangan. Tax & Accounting Review, 4(1), 43.
Syagata, G. S., & Daljono. (2014). Analisis Komparasi Relevansi
Nilai Informasi
Akuntansi Sebelum dan Sesudah Konvergensi IFRS di Indonesia.
Diponegoro
Journal of Accounting, 3(3), 1. Diambil kembali dari
https://ejournal3.undip.ac.id/index.php/accounting/article/view/6078
Tresnaningsih, E., & Suprihatin, S. (2013). Dampak Konvergensi
IFRS terhadap Nilai
Relevan Informasi Akuntansi. Jurnal Akuntansi dan Keuangan
Indonesia, 10(2),
171-183.
Tsuji, C. (2013). Comprehensive Income and Stocl Return: Evidence
from the Toyo
Stock Exchange. Journal of Management and Sustainability, 3(3),
142.
doi:10.5539/jms.v3n3p142
19
Yudiman, A., Ahmar, N., & Darmansyah. (2017). Relevansi Nilai
Net Income,
Comprehensive Income dan Other Comprehensive Income Pada
Perusahaan
Manufaktur. Jurnal Ilmiah Profesional Indonesia, 1(1), 1. Retrieved
from
http://sumateraresearch.org/ojs/index.php/jipi/article/view/8