Upload
ristaniatauhid
View
32
Download
1
Embed Size (px)
DESCRIPTION
case peb
Citation preview
I. IDENTIFIKASI
Nama : Ny. Y
Umur : 30 tahun
Alamat : Sei Baung
Agama : Islam
Status : Menikah
Pekerjaan : Ibu rumah tangga
MRS : 13 Juni 2012
II. ANAMNESIS (Autoanamnesis, 13 Juni 2012,pukul 04.00 wib)
Keluhan Utama : Mau melahirkan dengan darah tinggi
Riwayat Perjalanan Penyakit :
± 1 hari SMRS os mengeluh perut mulas yang menjalar ke pinggang, R/
keluar darah lendir (+), R/ keluar air-air (-), os lalu ke bidan dan diketahui sudah
pembukaan 4 dan disertai darah tinggi. R/ darah tinggi sebelum hamil (-), R/ darah
tinggi pada kehamilan sebelumnya (-), R/ darah tinggi pada hamil ini (+) sejak awal
kehamilan. R/ pandangan mata kabur (-), R/ sakit kepala hebat (-), R/ mual muntah
(-), R/ kejang (-).
± 6 jam SMRS os mengeluh perut mulas yang menjalar ke pinggang yang
semakin lama semakin sering, R/ keluar darah lendir (+), R/ keluar air-air (+), pada
pemeriksaan dalam diketahui tetap pembukaan 4cm.Os juga diketahui dengan darah
tinggi.R/ pandangan mata kabur (-), R/ sakit kepala hebat (-), R/ mual muntah (-),
R/ kejang (-). Os lalu dirujuk ke RS H.Abdul Manap.
1
Riwayat Obstetri: G2P1A0
No.Tempat
bersalinTahun
Kehamila
n
Jenis
Persalinan
Keadaan Anak
Lahir NifasLain-
lainKelamin Berat
Bidan 2009 Aterm Spontan Laki-laki2800
gram
Riwayat Kehamilan Lalu:
Preeklampsi-eklampsia/hiperemesis (-)
Perdarahan post partum (-)
Penyakit-penyakit lain (DM (-), jantung (-), riwayat operasi sebelumnya (-))
Riwayat Kehamilan Sekarang
Haid : teratur, siklus 28 hari
Lamanya : 5 hari
Banyaknya : 2 kali ganti pembalut dalam sehari
HPHT : ( pasien lupa)
Tanggal Taksiran Persalinan : -
Nafsu makan : baik
Miksi : normal
Defekasi : normal
Gerakan anak mulai dirasakan : 5 bulan yang lalu
Periksa hamil : kontrol kehamilan ke Bidan
Riwayat Persalinan
Dikirim oleh : Bidan
His mulai sejak tanggal : 12 Juni 2012 jam: 16.00 WIB
Darah lendir sejak tanggal : 12 Juni 2012 jam: 20.00 WIB
Rasa mengendan sejak tanggal : 12 Juni 2012 jam: 20.10 WIB
Ketuban belum/sudah pecah sejak tanggal : 12 Juni 2012 jam: 20.10 WIB
2
III. PEMERIKSAAN FISIK
A. Status Present
Keadaan Umum : Sedang
Kesadaran : Compos mentis
Berat Badan : 60 kg
Tinggi Badan : 152 cm
Anemia/Ikterus : -/-
Gizi : Sedang
Payudara : Hiperpigmentasi (+/+)
Jantung : Murmur (-), gallop (-)
Paru : Vesikuler (+) Normal, wheezing (-), Ronkhi (-)
Tekanan Darah : 160/100 mmHg
Nadi : 77 x/menit
Pernafasan : 21 x/menit
Suhu : 36,5o C
Hati/limfa : Sulit dinilai
Edema : (+/+)
Varises : (-/-)
Refleks : fisiologis (+), patologis (-)
Hb (Sahli) : 11,3 gr/%
Urin : Protein ++
Leukosit : 14.200
3
B. STATUS OBSTETRI
Pemeriksaan Luar (13 Juni 2012 Pukul 05.00)
Fundus uteri : 2 jari dibawah proc. Xypoideus (37 cm)
Detik jantung janin : 130x/ menit, teratur
Letak janin : memanjang, punggung kanan
Terbawah : kepala
Penurunan : 3/5
His tiap : 3x dalam 10 detik
Lamanya : 30 detik
Kualitas : sedang
Taksiran BB : 3800 gram
Pemeriksaan Dalam
Portio :
Konsistensi : lunak
Posisi : medial
Pendataran : 100%
Pembukaan : 4 cm
Ketuban : +
Terbawah : kepala
Penurunan : H II+
Penunjuk : UUK kanan depan
Pemeriksaan panggul
Promontorium : tak teraba
KD : > 13 cm
KV : > 11,5 cm
Lin innom : teraba 1/3 - 1/3
Sakrum : konkaf
Spina ischiadika : tidak menonjol
4
Arkus pubika : > 90˚
Dinding samping : lurus
Kesan panggul : luas
Indeks gestosis :
- edema : 1
- proteinuria : 2
- TD sistolik : 1
- TD diastolik : 1
Total = 5
IV. DIAGNOSA
G2P1A0 hamil aterm inpartu kala I fase laten janin tunggal hidup presentasi kepala
dengan PEB.
V. TINDAKAN
Stabilisasi 1-3 jam
Inj. Mg2SO4 40% 8 gram boka/boki dilanjutkan inj. Mg2SO4 40% 4 gram
boka atau boki tiap 6 jam.
Lab : DR, UR, KD
IVFD RL gtt xx/menit
kateter menetap, catat input dan output
antihipertensi : nifedipin 3x10 mg
R/ tindakan SC setelah stabilisasi.
Konsul PDL dan mata
Evaluasi sesuai satgas gestosis
Follow Up
5
( 14 Juni 2013 )
Keluhan : Post SC hari pertama
Status present :
KU : sedang
Sense : CM
TD : 120/80 mmHg
Nadi : 80 x/menit
RR : 20 x/menit
T : 36,5˚C
Status obstetrik :
Pemeriksaan Luar :
Tifut 2 jari dibawah pusat, kontraksi baik, lokia (+) rubra, vulva tenang
Diagnosa : P2A0 postpartum spontan neonatus hidup laki-laki 3800 gram,54 cm,
APGAR score 7/10, FTAGA
Terapi :
Mobilisasi dini
ASI on demand
IVFD RL
Ketorolac amp 2x1
Cefotaxim amp 2x1
Transamin amp 3x1
Alinamin amp 3x1
Metronidazole 3x1
Follow Up
( 15 Juni 2012 )
6
Keluhan : Post SC hari kedua
Status present :
KU : sedang
Sense : CM
TD : 120/80 mmHg
Nadi : 80 x/menit
RR : 20 x/menit
T : 36,5˚C
Status obstetrik :
Pemeriksaan Luar :
Tifut 2 jari dibawah pusat, kontraksi baik, lokia (+) rubra, vulva tenang
Diagnosa : P2A0 postpartum spontan neonatus hidup laki-laki 3800 gram,
Panjang 54 cm, APGAR score 7/10, FTAGA
Terapi :
Mobilisasi dini
ASI on demand
Asam Mefenamat tab 3x 1
Ciprofloxaxin tab 2x1
Metronidazole tab 3x1
Prenatin tab 1x1
Follow Up
16 Juni 2012 pasien pulang
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
7
Telah diketahui bahwa tiga penyebab utama kematian ibu dalam bidang
obstetri adalah pendarahan 45%, infeksi 15%, dan hipertensi dalam kehamilan
(preeklampsia) 13%. Sisanya terbagi atas penyebab partus macet, abortus yang tidak
aman, dan penyebab tidak langsung lainnya (SKRT, 1995).
Pre-eklampsia merupakan kumpulan gejala yang sering terjadi pada periode
kehamilan. Penyakit ini ditandai dengan adanya hipertensi, edema, dan proteinuria
yang timbul karena kehamilan.
Dalam proses perkembangannya kehamilan dapat disertai hipertensi.
Hipertensi yang terjadi dalam kehamilan bisa tanpa gejala-gejala klinis lainnya atau
dengan gejala klinis yang dapat mengancam nyawa ibu hamil. Menurut Report on
The National High Blood Pressure Education ProgramWorking Group on High Blood
Pressure in Pregnancy (AJOG Vol 183, 5. July 2000), hipertensi dalam kehamilan
diklasifikasi sebagai berikut:2
1. Hipertensi Gestasional
Pada kehamilan dijumpai tekanan darah ≥ 140/90 mmHg, tanpa disertai
proteinuria dan biasanya tekanan darah akan kembali normal sebelum 12 minggu
pasca-persalinan.
2. Preeklampsia
Apabila dijumpai tekanan darah ≥ 140/90 mmHg setelah kehamilan 20
minggu disertai dengan proteinuria ≥ 300 mg/24 jam atau pemeriksaan dengan
dipstick ≥ 1 +.
3. Eklampsia
Ditemukan kejang-kejang pada penderita preeklampsia, dapat disertai koma.
4. Hipertensi Kronik
Dari sebelum hamil, atau sebelum kehamilan 20 minggu, ditemukan tekanan
darah ≥ 140/90 mmHg dan tidak menghilang setelah 12 minggu pascapersalinan.
8
5. Hipertensi Kronis dengan Super Imposed Preeklampsia
Pada wanita hamil dengan hipertensi kronis, muncul proteinuria ≥ 300 mg/24
jam setelah kehamilan 20 minggu, dapat disertai gejala dan tanda preeklampsia
lainnya.
Hipertensi pada pasien dengan pre-eklampsia biasanya timbul lebih dulu
daripada tanda-tanda lain.Untuk menegakkan diagnosis pre-eklampsia, kenaikan
tekanan sistolik harus 30 mmHg atau lebih di atas tekanan yang biasanya ditemukan,
atau mencapai 140 mmHg atau lebih. Sedangkan tekanan diastolik naik 15 mmHg
atau lebih, atau mencapai 90 mmHg atau lebih. Penentuan tekanan darah dilakukan
minimal 2 kali dengan jarak waktu 6 jam pada keadaan istirahat.
Edema adalah penimbunan cairan secara umum dan berlebihan dalam jaringan
tubuh, dan biasanya dapat diketahui dari kenaikan berat badan serta pembengkakan
kaki, jari tangan, dan muka. Edema pretibial yang ringan sering ditemukan pada
kehamilan biasa, sehingga tidak seberapa berarti untuk penentuan diagnosis pre-
eklampsi. Kenaikan berat badan ½ kg setiap minggu dalam kehamilan masih dapat
dianggap normal, tetapi bila kenaikan mencapai 1 kg seminggu beberapa kali
menimbulkan kewaspadaan terhadap timbulnya pre-eklampsia.
Protein urin 24 jam merupakan standar emas untuk pengukuran proteinuria
pada hipertensi kehamilan. Proteinuria berarti konsentrasi protein dalam urine
melebihi 0,3 g/liter/ 24 jam atau pemeriksaan kualitatif menunjukkan 1 atau 2+ atau 1
g/liter atau lebih dalam urine yang dikeluarkan dengan kateter atau midstream yang
diambil minimal 2 kali dengan jarak waktu 6 jam. Biasanya proteinuria timbul lebih
lambat daripada hipertensi dan kenaikan berat badan, karena itu harus dianggap
sebagai tanda yang cukup serius.
Sampai sekarang penyebab preeklampsia dan eklampsia masih menjadi tanda tanya,
penyakit ini masih disebut disease of theory (Chesley, 1978), beberapa faktor risiko
pada penyakit ini antara lain adalah:
9
Nullipara, terutama usia ≤ 20 tahun, dan kehamilan yang langsung terjadi
setelah perkawinan (Robillard P. Y., 1994).
Riwayat pernah menderita preeklampsia dan eklampsia pada kehamilan
terdahulu.
Adanya riwayat penderita preeklampsia dan eklampsia dalam keluarga.
Kehamilan ganda, diabetes mellitus, hydrops foetalis, mola hidatidosa, dan
anti phospolipid antibodies, infeksi saluran kemih.
Riwayat penderita hipertensi dan penyakit ginjal.
Multipara dengan umur lebih dari 35 tahun.
PATOGENESIS PRE-EKLAMPSIA
Pada saat ini ada 4 hipotesa yang mendasari patogenesa dari preeklampsia
(Dekker G. A., Sibai B. M., 1998) sebagai berikut:2
1. Iskemia Plasenta
Peningkatan deportasi sel tropoblast yang akan menyebabkan kegagalan
invasi ke arteri sperialis dan akan menyebabkan iskemi pada plasenta.
2. Mal Adaptasi Imun
Terjadinya mal adaptasi imun dapat menyebabkan dangkalnya invasi sel
tropoblast pada arteri spiralis. Dan terjadinya disfungsi endothel dipicu oleh
pembentukan sitokin, enzim proteolitik, dan radikal bebas.
3. Genetic Inprenting
Terjadinya preeklampsia dan eklampsia mungkin didasarkan pada gen resesif
tunggal atau gen dominan dengan penetrasi yang tidak sempurna. Penetrasi
mungkin tergantung pada genotip janin.
4. Perbandingan Very Low Density Lipoprotein (VLDL) dan Toxicity
Preventing Activity (TxPA)
Sebagai kompensasi untuk peningkatan energi selama kehamilan, asam lemak
non-esterifikasi akan dimobilisasi. Pada wanita hamil dengan kadar albumin yang
rendah, pengangkatan kelebihan asam lemak non-esterifikasi dari jaringan lemak ke
10
dalam hepar akan menurunkan aktivitas antitoksik albumin sampai pada titik di mana
VLDL terekspresikan. Jika kadar VLDL melebihi TxPA maka efek toksik dari VLDL
akan muncul.
Dalam perjalanannya keempat faktor di atas tidak berdiri sendiri, tetapi
kadang saling berkaitan dengan titik temunya pada invasi tropoblast dan terjadinya
iskemia plasenta.
Menurut Jaffe dkk. (1995) pada preeklampsia ada dua tahap perubahan yang
mendasari patogenesanya. Tahap pertama adalah: hipoksia plasenta yang terjadi
karena berkurangnya aliran darah dalam arteri spiralis. Hal ini terjadi karena
kegagalan invasi sel tropoblast pada dinding arteri spiralis pada awal kehamilan dan
awal trimester kedua kehamilan sehingga arteri spiralis tidak dapat melebar dengan
sempurna dengan akibat penurunan aliran darah dalam ruangan intervilus diplasenta
sehingga terjadilah hipoksia plasenta.
Hipoksia plasenta yang berkelanjutan ini akan membebaskan zat-zat toksis
seperti sitokin, radikal bebas dalam bentuk lipid peroksidase dalam sirkulasi darah
ibu, dan akan menyebabkan terjadinya oxidatif stress yaitu suatu keadaan di mana
radikal bebas jumlahnya lebih dominan dibandingkan antioksidan (Robert J. M.,
2004).
Oxidatif stress pada tahap berikutnya bersama dengan zat toksis yang beredar
dapat merangsang terjadinya kerusakan pada sel endothel pembuluh darah yang
disebut disfungsi endothel yang dapat terjadi pada seluruh permukaan endothel
pembuluh darah pada organ-organ penderita preeklampsia.
Pada disfungsi endothel terjadi ketidakseimbangan produksi zat-zat yang
bertindak sebagai vasodilator seperti prostasiklin dan nitrat oksida, dibandingkan
dengan vasokonstriktor seperti endothelium I, tromboxan, dan angiotensin II
sehingga akan terjadi vasokonstriksi yang luas dan terjadilah hipertensi.
Peningkatan kadar lipid peroksidase juga akan mengaktifkan sistem koagulasi,
sehingga terjadi agregasi trombosit dan pembentukan thrombus.
11
Secara keseluruhan setelah terjadi disfungsi endothel di dalam tubuh penderita
preeklampsia jika prosesnya berlanjut dapat terjadi disfungsi dan kegagalan organ
seperti:
Pada ginjal: hiperuricemia, proteinuria, dan gagal ginjal.
Penyempitan pembuluh darah sistemik ditandai dengan hipertensi.
Perubahan permeabilitas pembuluh darah ditandai dengan oedema paru dan
oedema menyeluruh.
Pada darah dapat terjadi trombositopenia dan coagulopathi.
Pada hepar dapat terjadi pendarahan dan gangguan fungsi hati.
Pada susunan syaraf pusat dan mata dapat menyebabkan kejang, kebutaan,
pelepasan retina, dan pendarahan.
Pada plasenta dapat menyebabkan gangguan pertumbuhan janin, hipoksia
janin, dan solusio plasenta.
PEMBAGIAN PRE-EKLAMPSIA
Pre-eklampsia dibagi sebagai berikut:2,3
1. Disebut preeklampsia ringan jika ditemukan:
- Tekanan darah ≥ 140/90 mmHg, tetapi kurang dari 160/110 mmHg
- Proteinuria ≥ 300 mg/24 jam, atau pemeriksaan dipstick ≥ 1 + c
2. Ditegakkan diagnosa preeklampsia berat jika ditemukan tanda dan gejala sebagai
berikut (Sibai B. M., 2003):
- Tekanan darah pasien dalam keadaan istirahat: sistolik ≥ 160 mmHg dan
diastolik ≥ 110 mmHg
- Proteinuria ≥ 5 gr/24 jam atau dipstick ≥ 2 +
- Oligourie < 500 ml/24 jam
- Serum kreatinin meningkat
- Oedema paru atau cyanosis
3. Dan disebut impending eklampsia apabila pada penderita ditemukan keluhan
seperti (Lipstein, 2003):
- Nyeri epigastrium
12
- Nyeri kepala frontal, scotoma, dan pandangan kabur (gangguan susunan syaraf
pusat)
- Gangguan fungsi hepar dengan meningkatnya alanine atau aspartate amino
transferase
- Tanda-tanda hemolisis dan micro angiopatik
- Trombositopenia < 100.000/mm3
- Munculnya komplikasi sindroma HELLP
4. Dan disebut eklampsia jika pada penderita preeklampsia berat dijumpai kejang
klonik dan tonik dapat disertai adanya koma.
DIAGNOSIS
Pada umumnya diagnosis pre-eklampsi didasarkan atas adanya 2 dari trias
utama: hipertensi, oedema, dan proteinuria. Diagnosis diferensial pre-eklampsia
dengan penyakit hipertensi menahun atau penyakit ginjal tidak jarang menimbulkan
kesukaran.
Tabel 1. Uji diagnostik pre-eklampsia3
1. Uji diagnostik dasar
Pengukuran tekanan darah
Analisis protein dalam urine
Pemeriksaan oedema
Pengukuran tinggi fundus uteri
Pemeriksaan funduskopik
2. Uji laboratorium dasar
Evaluasi hematologik (hematokrit, jumlah trombosit, morfologi
eritrosit pada sediaan apus darah)
Pemeriksaan fungsi hati (bilirubin, protein serum, aspartat
aminotransferase, dan sebagainya)
Pemeriksaan fungsi ginjal (ureum dan kreatinin)
13
3. Uji untuk meramalkan hipertensi
Roll-over test
Pemberian infus angiotensin II
PENGELOLAAN
Penanganan penderita preeklampsia dan eklampsia yang definitif adalah
segera melahirkan bayi dan seluruh hasil konsepsi, tetapi dalam penatalaksanaannya
kita harus mempertimbangkan keadaan ibu dan janinnya, antara lain umur kehamilan,
proses perjalanan penyakit, dan seberapa jauh keterlibatan organ (Sibai B. M., 2005).
Tujuan penatalaksanaan preeklampsia dan eklampsia adalah:
- Melahirkan bayi yang cukup bulan dan dapat hidup di luar, di samping itu
mencegah komplikasi yang dapat terjadi pada ibu.
- Mencegah terjadinya kejang/eklampsia yang akan memperburuk keadaan ibu hamil.
Pada dasarnya pada pengelolaan preeklampsia berat, kita sedapat mungkin
harus berusaha mempertahankan kehamilan sampai aterm. Pada kehamilan aterm
persalinan pervaginam adalah yang terbaik bila dibandingkan dengan seksio sesarea.
Jika perjalanan penyakitnya memburuk dan dijumpai tanda-tanda impending
eklampsia, kehamilan harus segera diakhiri tanpa memandang umur kehamilan. Di
samping itu pemeriksaan terhadap kesejahteraan janin harus dilakukan secara ketat.
Biometri janin, biophisical profile janin harus dievaluasi 2 x seminggu, bila keadaan
janin memburuk terminasi kehamilan harus segera dilakukan, tergantung dari
keadaan janinnya apakah persalinan dapat dilakukan pervaginam atau perabdominal.
Pada kehamilan preterm ≤ 34 minggu yang akan dilakukan terminasi
pemberian kortikosteroid seperti dexamethasone atau betamethasone untuk
pematangan paru harus dilakukan.
Pada penderita preeklampsia berat obat-obat yang dapat diberi untuk memperbaiki
keadaan ibu dan janinnya adalah:
1. Magnesium sulfat
14
2. Anti hipertensi
3. Kortikosteroid: dexamethasone atau betamethasone untuk pematangan paru
EKLAMPSIA
Penderita preeklampsia berat yang tidak mendapat penanganan yang memadai
atau terlambat mendapat pertolongan bisa mendapat serangan kejang-kejang yang
disebut eklampsia. Eklampsia sering terjadi pada kehamilan nullipara, kehamilan
kembar, kehamilan mola, dan hipertensi dengan penyakit ginjal (Ramin K. D., 1999).
Lebih kurang 75% penderita eklampsia terjadi antepartum dan 25% sisanya terjadi
pasca-melahirkan.
Eklampsia biasanya terjadi akibat oedema otak yang luas, yang terjadi akibat
peningkatan tekanan darah yang mendadak dan tinggi yang akan menyebabkan
kegagalan autoregulasi aliran darah. Sebelum serangan kejang pada eklampsia
biasanya didahului oleh kumpulan gejala impending eklampsia yang dapat berupa:
nyeri kepala, mata kabur, mual, muntah, dan nyeri epigastrium.
Diperhitungkan eklampsia menyebabkan 50.000 kematian maternal di seluruh
dunia (Ramin K. D., 1999) dalam satu tahun, di samping itu kematian janin dalam
kandungan dan kematian neonatal mencapai angka 34/1000. Pada penanganan
penderita eklampsia kita harus bertindak lebih aktif. Stabilisasi keadaan ibu,
pembebasan jalan nafas, sirkulasi udara, dan stabilisasi sirkulasi darah harus segera
dilakukan, terutama bila dijumpai hipoksemia dan acidemia. Kehamilan harus segera
diakhiri tanpa memandang umur kehamilan dan keadaan janin setelah stabilisasi
keadaan ibu tercapai.
Gambaran klinik penderita eklampsia biasanya lebih berat dan dapat disertai
berbagai komplikasi seperti: koma, oedema paru, gagal ginjal, solusio plasenta,
gangguan pertumbuhan janin, dan kematian janin. Oleh karena itu penanganan
penderita eklampsia harus komprehensif dan melibatkan berbagai disiplin ilmu.
SYNDROMA HELLP
15
Diperkenalkan oleh Luis Weinstein tahun 1982, merupakan satu kumpulan
gejala multisistem pada penderita preeklampsia berat yang ditandai dengan adanya:
hemolisis, peningkatan kadar enzim hati dan penurunan jumlah trombosit. Sindroma
HELLP dapat terjadi antara 2–12% pada penderita preeklampsia berat. Bisa terjadi
antepartum pada 69% kasus dan sisanya pada 31% kasus terjadi pasca-persalinan.
Kriteria diagnosis sindroma HELLP ditegakkan berdasarkan hasil
pemeriksaan laboratorium. Disebut sindroma HELLP komplit bila dijumpai SGOT >
70 iu/l, LDH > 600 iu/l, bilirubin > 1,2 mg/dl, trombosit < 100.000/mm3, dan disebut
sindroma HELLP parsial jika hanya ditemukan perubahan pada salah satu atau lebih,
tetapi tidak semua dari parameter di atas (Audibert, dkk., 1996).
Sedangkan Martin (1991), hanya mengelompokkan sindroma HELLP
berdasarkan jumlah trombosit, yaitu:
kelas I jika jumlah trombosit ≤ 50.000/mm3
kelas II jika jumlah trombosit > 50.000/mm3 - ≤ 100.000/mm3
kelas III jika jumlah trombosit > 100.000/mm3 - ≤ 150.000/mm3
Pada umumnya penanganan penderita sindroma HELLP lebih sulit bila
dibandingkan dengan penanganan penderita preeklampsia berat, karena pada
penderita sindroma HELLP umumnya telah terjadi multiorgan disfungsi. Prioritas
utama penanganannya adalah stabilisasi kondisi ibu terutama terhadap tekanan darah,
keseimbangan cairan, dan gangguan pembekuan darah. Kontrol terhadap tekanan
darah yang tinggi perlu segera dilakukan terutama bila dijumpai tanda-tanda
iritabilitas syaraf pusat dan kegagalan ginjal. Seperti penanganan preeklampsia,
pemberian magnesium sulfat masih merupakan pilihan utama. Transfusi darah dan
pemberian trombosit harus diperhitungkan untuk memberantas anemia, atau jika
ditemui kadar trombosit ≤ 50.000/mm3. Pemberian kortikosteroid dapat
dipertimbangkan terutama untuk pematangan paru, meningkatkan kadar trombosit
dan memperbaiki fungsi hepar. Terminasi kehamilan harus segera dilakukan, tanpa
memandang usia kehamilan terutama setelah stabilitas keadaan ibu tercapai.
16
Pemberian kortikosteroid pasca-persalinan dapat diulangi dengan tujuan untuk
mempercepat perbaikan laboratorium dan keadaan penderita (Martin J. N., dkk.,
1997).
BAB III
ANALISIS KASUS
Seorang wanita berusia 30 tahun datang dengan keluhan utama ingin
melahirkan . Dari anamnesis didapatkan bahwa pasien dirujuk oleh bidan dengan
riwayat ± 8 jam SMRS perut mulas yang menjalar ke pinggang yang semakin lama
semakin sering, R/ keluar darah lendir (+), R/ keluar air-air (+), pada pemeriksaan
17
dalam diketahui tetap pembukaan 4cm.Os juga diketahui dengan darah tinggi.R/
pandangan mata kabur (-), R/ sakit kepala hebat (-), R/ mual muntah (-), R/ kejang (-).
Pada pemeriksaan fisik didapatkan kesadaran kompos mentis, nadi 77
kali/menit, pernafasan 21 kali/menit, suhu 36,5ºC. Pada pemeriksaan obstetri
didapatkan fundus uteri 2 jari dibawah proc.xypoideus. DJJ (+) 130x/menit.
Penurunan 3/5, his 3x dalam 10 menit lamanya 30 detik tiap kali his, pembukaan 4
cm, penurunan HII+, Penunjuk UUK kanan depan. Dari hasil pemeriksaan
laboratorium didapatkan adanya protein urin ++ dan leukositosis (leukosit=
14200/mm2) .
Berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang, diagnosis
penderita ini adalah G2P1A0 hamil aterm dengan PEB kala I fase laten janin tunggal
hidup presentasi kepala. Maka penatalaksanaan pada penderita ini adalah dengan
pemberian oksigenasi dengan O2 nasal 2 liter/menit, IVFD RL gtt xx/menit,
Stabilisasi 1-3 jam, Inj. Mg2SO4 40% 8 gram boka/boki dilanjutkan inj. Mg2SO4
40% 4 gram boka atau boki tiap 6 jam, antihipertensi : nifedipin 3x10 mg, Cefotaxim
2x1mg, kateter menetap, catat input dan output, Konsul PDL dan mata, Evaluasi
sesuai satgas gestosis, R/ tindakan SC setelah stabilisasi.
Prognosis penderita ini baik quo ad vitam dan quo ad functionam adalah
dubia.
DAFTAR PUSTAKA
1. Preeclampsia (Toxemia of Pregnancy) Article by Matthew Warden, MD.htm
www.emedicine.com/med
2. Roeshadi, Haryono. Upaya Menurunkan Angka Kesakitan dan Angka
Kematian Ibu Pada Penderita Preeklampsia dan Eklampsia.
18
http://www.usu.ac.id/id/files/pidato/ppgb/2006/ppgb_2006_r_haryono_roesha
di.pdf
3. Rachimhadhi, Trijatmo. Pre-eklampsia dan Eklampsia. Dalam Ilmu
Kebidanan Edisi 2. Jakarta : Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo,
1999.
19