52
KULTUR PAKAN ALAMI (Tubifex sp, Daphnia sp, dan Artemia salina) Laporan ini diajukan untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah Budidaya Pakan Alami Disusun oleh: ROSMINI Bidang peminatan: BUDIDAYA PERAIRAN Kelompok: 5 (lima) PENDIDIKAN PROGRAM D4 AGRIBISNIS PERTANIAN PENGELOLAAN SUMBER DAYA PERIKANAN DAN KELAUTAN VEDCA CIANJUR

KULTUR PAKAN ALAMI

Embed Size (px)

DESCRIPTION

Penetasan merupakan perubahan intracapsular ( tempat yang terbatas ) ke fase kehidupan, hal ini penting dalam perubahan – perubahan morfologi hewan. Penetasan merupakan saat terakhir masa pengeraman sebagai hasil beberapa proses sehingga embrio keluar dari cangkangnya. Penetasan terjadi karena kerja mekanik dan kerja enzimatik. Kerja mekanik disebabkan embrio sering mengubah posisinya karena kekurangan ruang dalam cangkangnya atau karena embrio lebih panjang dari lingkungannya dalam cangkang. Kerja en zimatik merupakan enzim atau unsur kimia yang disebut chorion dikeluarkan oleh kelenjar endodermal didaerah parink embrio. Gabungan kerja mekanik dan kerja enzimatik menyebabkan telur ikan menetas.Faktor luar yang yang berpengaruh terhadap penetasan telur ikan adalah suhu, oksigen terlarut,pH, salinitas dan intensitas cahaya. Proses penetasan umumnya berlangsung lebih cepat pada suhu yang lebih tinggi karena pada suhu yang tinggi proses metabolismo berjalan lebih cepat sehingga perkembangan embrio akan lebih cepat yang berakibat lanjut pada pergerakan embrio dalam cangkang yang lebih intensif. Namur demikian, suhu yang terlalu tinggi atau berubah mendadak dapat menghambat proses penetasan dapat menyebabkan kematian embrio dan kegagalan penetasan. Suhu yang baik untuk penetasan ikan 27 – 30oC.

Citation preview

Page 1: KULTUR PAKAN ALAMI

KULTUR PAKAN ALAMI

(Tubifex sp, Daphnia sp, dan Artemia salina)

Laporan ini diajukan untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah Budidaya

Pakan Alami

Disusun oleh: ROSMINI

Bidang peminatan: BUDIDAYA PERAIRAN

Kelompok: 5 (lima)

PENDIDIKAN PROGRAM D4 AGRIBISNIS PERTANIAN PENGELOLAAN

SUMBER DAYA PERIKANAN DAN KELAUTAN

VEDCA CIANJUR

2007/2008

Page 2: KULTUR PAKAN ALAMI

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur senantiasa penulis panjatkan kehadirat Allah SWT karena atas rahmat

dan karuniaNyalah penulis dapat menyelesaikan laporan ini tepat pada waktunya.

Laporan dengan judul “Kultur Pakan Alami (tubifex sp,daphnia sp, dan artemia salina)”

diajukan untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah Budidaya Pakan Alami.

Dalam menyelesaikan laporan ini, banyak menemukan hambatan, tetapi berkat dukungan

pihak-pihak yang telah membantu, penulis dapat menghadapinya. Penulis mengucapkan

terima kasih yang sebesar-besarnya kepada:

1. Ibu Ir. Gusrina,M.Si. selaku dosen mata kuliah Budidaya Pakan Alami.

2. Bapak Bagus Budi Setiawan selaku pembimbing praktikum.

3. Orang tua penulis yang senantiasa memberikan dukungan moril maupun materil.

4. Pihak-pihak lain yang turut membantu.

Dalam penulisan laporan ini penulis telah mencurahkan segenap kemampuan secara

maksimal. Namun sebagai manusia tentu ada kehilafan maka dari itu penulis

mengucapkan mohon maaf yang sebesar-besarnya. Semoga laporan ini bermanfaat bagi

penulis khususnya dan para pembaca pada umumnya. Saran dan kritik yang membangun

sangat saya harapkan demi tewujudnya tugas yang lebih sempurna. Atas perhatiannya

penulis mengucapkan terima kasih.

Cianjur, Desember 2007

Penulis

Page 3: KULTUR PAKAN ALAMI

DAFTAR ISI

DAFTAR ISI ………………………………………….. i

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar belakang ………………………………………….. 1

1.2 Tujuan ………………………………………….. 1

BAB II KAJIAN PUSTAKA

2.1 Kajian tubifex sp ………………………………………….. 2

2.2 Ciri Biologi tubifex sp …………………………………………. 2

BAB III METODOLOGI

3.1 Waktu dan tempat …………………………………………. 4

3.2 Alat dan bahan …………………………………………. 4

3.3 Langkah Kerja …………………………………………. 4

3.4 Analisa data …………………………………………. 5

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Hasil …………………………………………. 6

4.2 Pembahasan …………………………………………. 6

BAB V PENUTUP

5.1 Kesimpulan …………………………………………. 9

5.2 Saran …………………………………………. 9

DAFTAR PUSTAKA

Page 4: KULTUR PAKAN ALAMI

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar belakang

Salah satu kendala dari usaha budidaya ikan adalah ketersediaan pakan. Semakin

berkembangnya usaha budidaya maka jumlah pakan yang dibutuhkan akan semakin

banyak. Biaya pakan adalah biaya terbesar yang dikeluarkan dari total biaya produksi

suatu usaha budidaya ikan. Salah satu bentuk pakan yang diberikan adalah pakan alami.

Salah satu makanan alami yang disukai ikan terutama ikan hias adalah Tubifer sp.

Tubifex sp sering disebut sebagai cacing rambut karena bentuk dan ukurannya seperti

rambut dengan warna tubuh kemerah-merahan (Anonimous, 2003). Substrat tempat

hidup Tubifex sp adalah endapan organik dan makanannya didapat dari bahan yang kaya

bakteri dan terjadi pengkayaan bahan organik dengan konsentrasi oksigen hampir nol

(Hellawel, 1986).

Saat ini budidaya Tubifex sp untuk makanan alami masih belum banyak dilakukan.

Umumnya masyarakat mendapatkan Tubifex sp dengan cara mengambil langsung dari

sungai yang mengandung buangan organik tinggi terutama sungai yang menjadi daerah

buangan limbah pabrik. Penggunaan Tubifex sp dalam budidaya akan menunjang

perbaikan warna yang merupakan hal terpenting di dalam budidaya ikan hias.

Jika ditinjau dari segi ekonomi pemberian tubifex sp sebagai pakan ikan terutama ikan

hias turut mengurangi biaya produksi. Selain biaya pengkulturannya yang relative murah

dan sederhana juga dapat memenuhi nutrisi yang dibutuhkan oleh ikan.

1.2 Tujuan

Adapun tujuan dari praktikum ini adalah sebagai berikut:

Memberikan informasi tentang budidaya tubifex sp secara teorotis

Menginformasikan teknik budidaya tubifex sp yang tepat dan sesuai dengan

kebutuhan larva

Memantau pertumbuhan tubifex sp

Sebagai bekal mahasiwa untuk menjadi seorang aquakulturis dan berwirausaha

Page 5: KULTUR PAKAN ALAMI

BAB II

KAJIAN PUSTAKA

2.1 Kajian tubifex sp

Tubifex sp sering disebut sebagai cacing rambut karena bentuk dan ukurannya seperti

rambut dengan warna tubuh kemerah-merahan (Anonimous, 2003). Substrat tempat

hidup Tubifex sp adalah endapan

organik dan makanannya didapat dari bahan yang kaya bakteri dan terjadi pengkayaan

bahan organik dengan konsentrasi oksigen hampir nol (Hellawel, 1986).

Tubifex sp tumbuh dengan media campuran kotoran ayam dan lumpur kolam. Kotoran

ayam adlah limbah yang mudah diperoleh dan apabila tidak ditangani dengan baik maka

dari segi sanitasi akan mempengaruhi kesehatan ternak dan produksinya. Kotoran ayam

juga mengandung partikel organik dan bakteri yang menjadi makanan bagi Tubifex sp

(Brinkhurst dan Cook, 1974).

2.2 Ciri Biologi Tubifex sp

Cacing rambut diklasifikan sebagai berikut:

Phylum : Annelida

Kelas : Oligochaeta

Ordo/bangsa : Haplotaxida

Famili/suku : Tubificidae

Genus/marga : Tubifex

Spesies/jenis : Tubifex sp

Ciri-ciri cacing rambut:

Panjang tubuh 10-20 mm, yang terdiri dari 30-60 segmen

Warna tubuh merah kecoklatan

Mempunyai dinding tubuh yang cukup tebal terdiri dari dua lapis otot yang

membujur dan melingkar sepanjang tubuhnya

Setiap segmen pada bagian punggung dan perut keluar seta dan ujung seta

bercabang dua tanpa rambut

Reproduksi dan pertumbuhan

Page 6: KULTUR PAKAN ALAMI

Perkembangbiakan terjadi dengan cara pemutusan ruas dan pembuahan sendiri

(hermaphrodite)

Telur cacing rambut terdapat didalam kokon yaitu suatu bangunan yang berbentuk

bulat panjang 1 mm dan diameter 0,7 mm

Kokon dibentuk oleh kelenjar epidermis dari salah satu segmen tubuhnya yang

disebut klitellum

Telur didalam kokon akan berkembang menjadi morula kemudian embrio yang

bersegmen 3 sampai beberapa segmen

Setelah 10-12 hari embrio akan meninggalkan kokon

Induk cacing rambut menghasilkan kokon setelah berumur 40-45 hari

Habitat

Hidup didasar yang berlumpur dengan kepala yang menghadap ke dalam substrat

untuk menghisap makanan

Menyukai daerah yang beraliran air dan tercemar bahan organic, semakin banyak

bahan organic didalam perairan maka akan semakin meningkat populasinya

Kedalaman substrat berkisar antara 2-12 cm, 4 cm sebanyak 42 %, 4-8 cm

sebanyak 32 %, 8-12 cm sebanyak 18 %. Pada kedalaman 2 cm dijumpai tubifex

berukuran juvenile sedangkan ukuran dewasa dijumpai pada kedalaman 4 cm

Hidup pada perairan yang mengandung pasir 41,4 %, tanah halus 46 %, dan

lempung 11,3 %

Pertumbuhan yang optimal diperoleh pada media yang banyak mengandung

bahan organic yaitu campuran kotoran ayam 50 % dan Lumpur kolam 50 %

dengan debit air 930 ml/menit

Makanan

Detritus

Partikel-partikel kecil hasil perombakan bakteri

Ganggang berfilamen dan diatom

Kualitas air

Suhu : 25 – 30 ºC

pH : 7 – 9

oksigen terlarut : 2,5 – 7 ppm

Page 7: KULTUR PAKAN ALAMI

BAB III

METODOLOGI

3.1 Waktu dan tempat

Penelitian ini dimulai dari tanggal 30 oktober 2007 sampai dengan 19 desember, di

departemen perikanan Vedca Cianjur.

3.2 Alat dan bahan

Alat:

Bak kayu

Plastic

Selang

Cawan Petri

Jarum pentul

Mangkuk

Bahan:

Bibit tubifex

Pupuk kandang

3.3 Langkah kerja

a. Buatlah bak atau wadah tubifex dari kayu yang dilapisi plastic yang berbentuk

persegi panjang

b. Isilah bak tersebut dengan Lumpur + kotoran ayam + air dengan perbandingan 4:

4 : 2 dari tinggi bak 10 cm

c. Hitunglah kualitas airnya meliputi suhu, pH, dan debit air minimal seminggu

sekali

d. Tebarlah bibit tubifex ke dalam media setelah media dibuat kurang lebih

seminggu

e. Pantau perkembangan tubifex setiap hari

f. Hitunglah kualitas airnya serta atur debit airnya supaya arusnya tidak terlalu cepat

g. Lakukanlah pemupukan susulan 2 minggu setelah bibit ditebar

Page 8: KULTUR PAKAN ALAMI

3.4 Analisa Data

Luas Wadah : panjang X lebar 36 X 22 792 cm2 0,0792 m2

Media kultur ( tinggi wadah 10 cm) 4 : 4 : 2 Lumpur : kotoran ayam : air

Tebar bibit: Luas wadah X dosis 0,08 X 2 gr 0,16 gr Bibit yang ditebar sebanyak 39 ekor

Pengambilan sample pertumbuhan:

Contoh: setiap 10 hari sekali sample diambil dari 5 titik menghasilkan data =

2:1,5:1,5:1:1, jadi rata-rata pertumbuhannya adalah?

Jumlah rata-rata= jumlah seluruh data/banyaknya data

= 7/5

= 1,4 cm

Page 9: KULTUR PAKAN ALAMI

BAB IVHASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Hasil

TANGGAL KEGIATAN SUHU pH DEBIT AIR30 oktober 2007 Pembuatan

bak/wadah tubifek ─ ─ ─

1 november 2007 Pengisian bak dengan Lumpur + pupuk kandang + air dengan perbandingan 4:4:2 dari tinggi bak

─ ─ ─

5 november 2007 Menghitung debit air

─ ─ 850 ml/menit

6 november 2007 Penebaran bibit tubifex sp sebanyak 39 ekor atau 0,16 gr.

─ ─ ─

13 november 2007

Menghitung kualitas air

31ºc 8 1025 ml/menit

20 november 2007

Pemupukan susulan sebanyak 9% atau satu gelas aqua dan menghitung kualitas air

30ºc 8 728 ml/menit

27 november 2007

Pemupukan susulan sebanyak 9 %

30ºc 8 728 ml/menit

19 desember 2007 Panen tubifex dab hasilnya 5,06 gr atau 2377 ekor

30ºc 8 728 ml/menit

Page 10: KULTUR PAKAN ALAMI

Grafik pertumbuhan tubifex selama 4 minggu

4.2 Pembahasan

Kecepatan arus atau aliran pada tempat hidup merupakan salah satu faktor yang

mengontrol kehidupan organisme sungai selain tanaman air dan oksigen terlarut.

Kecepatan arus secara langsung maupun tidak langsung sangat penting pada perairan

mengalir karena kecepatan arus akan menentukan macam dan jumlah endapan atau tipe

dasar sungai (Mulyanto, 1992).

Hasil penelitian pendahuluan menunjukkan bahwa aliran air yang tidak mematikan dan

merusak substrat adalah aliran air dengan kecepatan antara 300 ml/menit sampai dengan

600 ml/menit. Hal ini dapat diketahui karena dengan kecepatan aliran air tersebut,

substrat sebagai media tempat hidup dari Tubifex sp yang tidak mengalami kerusakan.

Selain itu pada kecepatan aliran air tersebut jumlah populasi Tubifex sp yang terhitung

adalah paling maksimal.

Berdasarkan penelitian tersebut dapat kita bandingkan dengan penelitian yang saya

lakukan yang mengalami penurunan populasi tubifex serta terjadinya kerusakan media

sehingga populasinya tidak maksimal. Hal ini dapat dianalisa karena debit air media

tubifex yang kita budidayakan mencapai 1025 ml/menit sehingga melebihi batas normal.

Pengamatan pertumbuhan yang dialkukan selama penelitian adalah dengan melakukan

perhitungan petambahan panjang individu yang dilakukan 10 hari sekali dalam populasi.

Hal ini sesuai dengan yang dikatakan oleh Effendi (1997) dimana pertumbuhan adalah

pertambahan ukuran panjang dan berat dalam suatu waktu. Pertumbuhan yang diukur

pada populasi termasuk Tubifex sp diekspresikan dalam pertambahan jumlah individu.

Page 11: KULTUR PAKAN ALAMI

Arus air yang optimum juga mempengaruhi pertumbuhan tubifex sp karena arus air

sebesar itu cukup untuk memberi pasokan oksigen yang besar bagi kehidupan Tubifex sp

tanpa merusak substrat dasarnya. Menurut Susanto (1988) aliran air ini berguna selain

untuk menambah oksigen, menjaga kesejukan juga untuk membuang sisa-sisa kotoran

yang Ditambahkan oleh Mulyanto (1992) bahwa dengan tingkatan aliran tertentu

diperlukan untuk memelihara substrat breeding organisme sungai sehingga cocok untuk

melakukan reproduksi.

Tubifex sp hidup baik pada kombinasi substrat kotoran ayam dengan lumpur kolam

karena kotoran ayam mengandung bahan organik tinggi yang dipergunakan sebagai

makanan sedangkan media lumpur dalam substrat diperlukan untuk melekat. Komposisi

media pada penelitian yang saya lakukan memiliki hasil yang sama dengan yang

dilakukan oleh Chumaidi (1984) pada campuran 50% kotoran ayam dan 50% lumpur

kolam memberikan pertumbuhan yang baik bagi cacing ini. Hasil yang baik tersebut

dikarenakan kotoran ayam mengandung sisa-sisa makanan yang tidak dicerna, sekresi-

sekresi perencanaan, bakteri, garam anorganik dan hasil dekomposisi (Fantenot, 1979)

dengan demikian diperlukan oksigen terlarut yang mencukup agar kandungan amoniak

tidak terlalu tinggi sehingga tidak sampai menghambat pertumbuhan populasi Tubifex sp.

Kecepatan debit air juga menentukan kadar oksigen terlarut. Pada suatu budiadaya,

konsentrasi oksigen terlarut perlu dijaga agar tetap tinggi karena sangat penting bagi

keberhasilan hidup suatu organisme (Alabaster, 1984) selain itu kadar oksigen terlarut

apabila lebih dari 2 mg/ml dapat menghambat nafsu makan dan reproduksi pada Tubifex

sp (McCall dan Fisher, dalam Mariam dan Pandian, 1984). Berdasarkan penelitian para

aquakuluturis debit air yang lebih dari 525 ml/menit dapat meningkatkan suplai oksigen

terlarut. Sehingga dengan debit air tubifex yang saya budidayakan yang mencapai 1025

ml/menit dapat meningkatkan suplai oksigen tetapi dapat merusak media tubifex.

Selama percobaan saya melakukan pemupukan susulan untuk mencegah terjadinya

pengurangan bahan-bahan organic yang menjadi supali makanan bagi tubifex zp.

Page 12: KULTUR PAKAN ALAMI

BAB V

PENUTUP

5.1 Kesimpulan

Terdapat perbedaan yang nyata antar arus air yang berbeda dengan pertumbuhan populasi

Tubifex sp. Kecepatan aliran air kurang dari 900 ml/ menit merupakan arus yang baik

untuk mendapatkan populasi Tubifex sp secara maksimal.Debit air yang mencapai 1025

dapat menyebabkan penurunan populasi tubifex serta terjadinya kerusakan media

sehingga populasinya tidak maksimal. Kecepatan debit air juga menentukan kadar

oksigen terlarut. Pada suatu budidaya, konsentrasi oksigen terlarut perlu dijaga agar tetap

tinggi karena sangat penting bagi keberhasilan hidup suatu organisme (Alabaster, 1984)

selain itu kadar oksigen terlarut apabila lebih dari 2 mg/ml dapat menghambat nafsu

makan dan reproduksi pada Tubifex sp (McCall dan Fisher, dalam Mariam dan Pandian,

1984).

5.Saran

1. Untuk mencapai populasi maksimal maka pengontrolan debit air harus dilakukan

setiap hari

2. Mengontrol dan menjaga kualitas air supaya seimbang

3. Melakukan pemupukan susulan sebagai penyediaan nutrisi tubifex sp

Page 13: KULTUR PAKAN ALAMI

DAFTAR PUSTAKA

Anonimous, 2003. A sludge Worm Tubifex, tubifex. http://www.marlin.oc.uk/

Brinkhurst, R.O. dan Cook, A.G., 1974. Aquatic Earthworm (Anelida = Oligochaeta)

Effendi, I., 1997. Biologi Perikanan. Yayasan Pustaka Nusantara. Yogyakarta

Chumaidi, 1984. Penelitian Teknik Kultur Tubifex.

Fantenot. 1979. Alternative in Animal Wastes Utililization Introductory Comment.

Mulyanto, 1992. Manajemen Perairan, Universitas Brawijaya, Malang.

Page 14: KULTUR PAKAN ALAMI

DAFTAR ISI

DAFTAR ISI ………………………………………….. i

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar belakang ………………………………………….. 1

1.2 Tujuan ………………………………………….. 1

BAB II KAJIAN PUSTAKA

2.1 Kajian daphnia sp ………………………………………….. 2

BAB III METODOLOGI

3.1 Waktu dan tempat …………………………………………. 5

3.2 Alat dan bahan ………………………………………… 5

3.3 Langkah Kerja …………………………………………. 5

3.4 Analisa data …………………………………………. 6

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Hasil …………………………………………. 7

4.2 Pembahasan …………………………………………. 8

BAB V PENUTUP

5.1 Kesimpulan …………………………………………. 10

5.2 Saran …………………………………………. 10

DAFTAR PUSTAKA

Page 15: KULTUR PAKAN ALAMI

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar belakang

.Makanan merupakan factor penting bagi pertumbuhan. Factor ini sangat berperan dalam

dalam pertumbuhan individu ikan. Sedangkan untuk merangsang pertumbuhan ikan yang

optimal diperlukan jumlah dan mutu makanan yang tersedia dalam keadaan cukup serta

sesuai.

Dewasa ini salah satu factor yang mnyebabkan tgginya angka kematian ikan disebabkan

kurangnya suplai pakan yang cocok dan bergizi. Makanan yang cocok untuk ikan saat ini

ialah makanan alami. Makanan alami adlah makanan yang gratis yang bisa dicari dialam ,

misalnya di perairan umum ataupun dengan mengkulturnya sendiri.

Makanan alami bisa biasanya berupa binatang renik seperti cacing-cacingan, larva

serangga, dan udang renik. Ukurannya bermacam-macam sehingga dapat diberikan

sesuai dengan ukuran tubuh dan umur ikan yang bersangkutan. Masalah yang timbul

ialah kita sebagai peternak ikan tidak bisa mengandalkan makanan alami buruan,

sehingga kita harus membelinya. Hal inilah yang menyebabkan bertambahnya biaya

produksi ikan. Tetapi jika kita mamp mengkultur makanan alami sudah tentu dapat

mengurangi biaya produksi ikan.

Salah satu cara termudah dalam mengkultur makanan alami yaitu dengan memanfaatkan

kolam di sekitar kita untuk memenuhi persediaan pakan alami baik untuk ikan yang kita

budidayakan maupun untuk dijual ke pasaran. Tetpi sebelum kita mengkulturnya kita

harus mengetahui jenis-jenis pakan alami dan kelebihannya masing-masing. Salah satu

pakan alami yang sudah banyak dikultur para aquakulturis yaitu daphia atau udang renik.

1.2 Tujuan

Adapun tujuan dari praktikum ini adalah sebagai berikut:

Memberikan informasi tentang budidaya daphnia sp secara teorotis

Menginformasikan teknik budidaya daphnia sp yang tepat dan sesuai dengan

kebutuhan larva

Memantau pertumbuhan daphnia

Sebagai bekal mahasiwa untuk menjadi seorang aquakulturis dan berwirausaha

Page 16: KULTUR PAKAN ALAMI

BAB II

KAJIAN PUSTAKA

2.1 kajian tentang Kutu Air ( Daphnia sp)

Kutu air diklasifikan sebagai berikut:

Phylum : arthropoda

Kelas : crustaceae

subkelas : branciopoda

divisi : oligo branciopoda

Ordo : cladocera

Famili : daphnidae

Genus : dapnia

Spesies :daphnia sp

Daphnia seringkali dikenal sebagai kutu air karena kemiripan bentuk dan cara

bergeraknya yang menyerupai seekor kutu (Gambar 1) . Pada kenyataannya Daphnia

termasuk dalam golongan udang-udangan dan tidak ada hubungannya dengan kutu secara

taxonomi. Daphnia merupakan udang-udangan renik air tawar dari golongan

Brachiopoda. Mereka boleh dikatakan masih saudara dengan Artemia. Meskipun

gerakannya tampak "meloncat" seperti seekor kutu sebenarnya binatang ini berenang

dengan menggunakan "kakinya" (sering disebut sebagai antena), bahkan dengan berbagai

gaya yang berbeda. Apabila anda menjumpai hewan renik yang meloncat di permukaan

air, boleh dipastikan itu bukanlah Daphnia melainkan Cyclops (www. O-fish.com)

Gambar 1

Daphnia betina dengan telur yang di kandungnya nia

(www.O-fish.com)

Page 17: KULTUR PAKAN ALAMI

Daphnia merupakan sumber pakan bagi ikan kecil, burayak dan juga hewan kecil lainnya.

Kandungan proteinnya bisa mencapai lebih dari 70% kadar bahan kering. Secara

umum, dapat dikatakan terdiri dari 95% air, 4% protein, 0.54 % lemak, 0.67 %

karbohidrat dan 0.15 % abu. Kepopulerannya sebagai pakan ikan selain karena

kandungan gizinya serta ukurannya, adalah juga karena “kemudahannya”

dibudidayakan sehingga dapat tersedia dalam jumlah mencukupi, 17umpur setiap saat

Siklus hidup daphnia sp

Daphnia merupakan udang-udangan yang telah beradaptasi pada kehidupan badan

perairan yang secara 17umpur1717 mengalami kekeringan. Oleh karena itu, dalam

perkembangbiakannya (seperti halnya Artemia) dapat dihasilkan telur berupa kista

maupun anak yang “dilahirkan”. Telur berupa kista ini dapat bertahan sedemikian rupa

terhadap kekeringan dan dapat tertiup 17umpur kemana-mana, sehingga tidak

mengherankan kalau tiba-tiba dalam genangan air disekitar rumah kita ditemukan

Daphnia. 

Dalam keadaan normal, dimana kualitas air sesuai dan jumlah pakan cukup terdia

Daphnia akan manghasilkan keturunannya tanpa kawin

(aseksual/parternogenesis). Dalam kondisi demikian 17umpur semua Daphnia yang ada

adalah betina. Telur yang tidak dibuahi ini berkembang sedemikian rupa dalam kantung

telur di tubuh induk, kemudian berubah menjadi larva. Seekor Daphnia betina bisa

menghasilkan larva setiap 2 atau 3 hari sekali. Dalam waktu 60 hari seekor betina bisa

menghasilkan 13 milyar keturunan, yang semuanya betina. Tentu saja tidak semua

jumlah ini bisa sukses hidup hingga dewasa, keseimbangan alam telah mengaturnya

sedemikian rupa dengan diciptakannya berbagai musuh alami Daphnia untuk

mengendalikan populasi mereka. Daphnia muda mempunyai bentuk mirip dengan bentuk

dewasanya tetapi belum dilengkapi dengan “17umpur17” yang panjang.

Apabila kondisi lingkungan hidup tidak memungkinkan dan cadangan pakan menjadi

sangat berkurang, beberapa Daphnia akan memproduksi telur berjenis kelamin

jantan. Kehadiran jantan ini diperlukan untuk membuahi telur, yang selanjutnya akan

berubah menjadi telur tidur (kista/aphippa). Seekor jantan bisa membuahi ratusan betina

dalam suatu periode. Telur hasil pembuahan ini mempunyai cangkang tebal dan

Page 18: KULTUR PAKAN ALAMI

dilindungi dengan mekanisme pertahanan terhadap kondisi buruk sedemikian rupa. Telur

tersebut dapat bertahan dalam 18umpur, dalam es, atau bahkan kekeringan. Telur ini bisa

bertahan selama lebih dari 20 tahun dan menetas setelah menemukan kondisi yang

sesuai. Selanjutnya mereka hidup dan berkembang biak secara aseksual. Dan begitu

seterusnya. Gambar 2 menunjukkan ilustrasi siklus hidup Daphnia seperti diuraikan

diatas

Gambar 2 menunjukan siklus hidup daphnia sp

(www.O-fish.com)

Page 19: KULTUR PAKAN ALAMI

BAB III

METODOLOGI

3.1 Waktu dan tempat

Penelitian ini dimulai dari tanggal 20 november 2007 sampai dengan 19 desember 2007,

di departemen perikanan Vedca Cianjur.

3.2 Alat dan bahan

Alat:

Fiberglas

Cawan Petri

Gelas ukur

Sendok

Timbangan

Kantong plastic

Tali raffia

Seser

Ember gayung

Bahan :

Bibit dahnia sp

Pupuk kandang

Jerami

3.3 Langkah kerja

Siapkanlah wadah atau fiberglas kultur daphnia

Bersihkanlah fiberglas serta amati apabila terjadi kebocoran dan isi dengan air

sesuai dengan volume yang diinginkan

Hitung volume air dalam fiberglas

Masukkan pupuk kandang sesuai dengan dosis yang telah ditentukan dalam

kantong plastic dan gantung dipermukaan air dalam fiberglas

Masukkan jerami untuk menambah nutrient daphnia sp

Biarkan selama seminggu

Tentukan padat tebar dan inokulasi bibit dapnia sp

Control parameter airnya (pH, suhu,DO) setaip hari

Page 20: KULTUR PAKAN ALAMI

Lakukan pemupukan susulan jika air terlihat agak bening

Hitung populasi tubifex setiap 2 hari sekali

Lakukan pemanena jika daphnia sp telah mencapai populasi maksimal

3.4 Analisa data

Volume wadah (fiberglas)

Dikethui:

r = 25 cm

t = 45 cm

V = ח X r2 X t

= 3,14 X (25)2 X 45

= 88,3 L

= 0,0883 m3

Kebutuhan pupuk (PK)

PK= dosis X volume wadah (m3)

= 1500 gr X 0,0883

= 132,45 gr

Padat tebar (PT)

PT = V wadah X dosis tebar

= 88 (dibulatkan) X 30

= 1766

Menghitung populasi daphnia sp

Contoh:

Prediksi minggu pertama

4 hari = 1766 X 29 = 51214

2 hari = 1766 X 29 = 51214

1 hari = tetap

Jadi jumlah populasi minggu pertama = 51214+51214+1766 (induk)= 104.191

Hasil praktek minggu pertama

4 hari= 384 X 88 = 33792

2 hari = 483 X88 = 42504

1 hari = tetap, jadi jumlah populasi minggu 1 = 33792+42504=76296.

Page 21: KULTUR PAKAN ALAMI

BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Hasil

Table 1 menunjukan populasi daphnia sp selama 3 minggu

Tanggal Waktu (hari) Prediksi Hasil praktek

Minggu pertama Minggu pertama Minggu pertama Minggu pertama

2 desember 2007 4 hari 51214 33792

4 desember 2007 2 hari 51214 42504

5 desember 2007 1 hari Tetap tetap

Jumlah minggu

pertama

104194 76269

Minggu kedua Minggu kedua Minggu kedua Minggu kedua

9 desember 2007 4 hari 36960

11 desmber 2007 2 hari 34760

12 desember 2007 1 hari tetap tetap

Jumlah minggu

kedua

71720

Minggu ketiga Minggu ketiga Minggu ketiga Minggu ketiga

16 desember 2007 4 hari 35288

18 desember 2007 2 hari 28160

19 desember 2007 1 hari tetap Tetap

Jumlah minggu

ketiga

63448

Page 22: KULTUR PAKAN ALAMI

Grafik diatas menunjukan populasi daphnia selama tiga minggu.

4.2 Pembahasan

Daphnia dapat dibudidayakan dikolam (outdoor) atau dalam wadah tetentu yang

ditempatkan di dalam rumah (indoor).  Budidaya daphnia dapat dilakukan di sebarang

wadah, selama wadah tersebut tidak mengandung bahan-bahan yang tidak disukai

Daphnia.    Untuk wadah kecil direkomendasikan  untuk memilih wadah  dangkal. 

Apabila anda ingin menggunakan wadah lebih tinggi, pilihlah wadah dengan luas

permukaan lebih besar. 

Daphnia adalah filter feeder, oleh karena itu anda perlu menyiapkan pakan yang sesuai. 

Algae bersel tunggal, bakteri, dan protozoa adalah salah satu pilihan.   Tapi anda juga

bisa memberikan pilihan lain, filter feeder boleh dikatakan bukan termasuk pemilih

makanan, mereka akan menyaring apa saja selama itu merupakan suatu pertikel organik. 

Oleh karena itu,  anda bisa menyiapkan pertikel organik lain yang cocok untuk

pertumbuhan binatang tersebut, diantaranya adalah yang  mengandung protein  cukup. 

Pemberian pakan cukup dilakukan hingga kultur tampak berkabut,  jangan diberikan

belebihan. Karena kelebihan pakan akan berkibat fatal bagi kultur anda.    Apabila kultur

anda "sehat" maka dalam waktu beberapa jam kabut pakan tersebut akan menghilang. 

Anda boleh menambahkan kembali pakan, apabila air kultur sudah menjelang jernih

kembali.

Pada umumnya kultur sudah akan berkembang setelah 2-3 hari. Dan anda bisa

memanennya setelah itu.  Kultur disarankan diletakan ditempat yang tidak terkena sinar

matahari langsung. Pemberian pencahayaan selama 24 jam terus menerus diketahui dapat

memicu perkembangan yang baik. 

Page 23: KULTUR PAKAN ALAMI

Tetapi berdasarkan hasil praktek yang kami lakukan setiap minggunya populasi daphnia

sp cenderung mengalami penurunan hal ini disebabkan karena:

Penempatan wadah diluar ruangan sehingga pada saat hujan tiba, airnya meluap

dan sebagian daphnia terbawa arus air hujan

Pemberian nutrient yang berlebihan sehingga nutrient (jerami dan pupuk

kandang) tersebut terdekomposisi menjadi racun

Air budidaya terlalu berwarna hitam pekat

Pencahayaan yang kurang karena tertutup pohon-pohonan liar

Page 24: KULTUR PAKAN ALAMI

BAB V

PENUTUP

5.1 Kesimpulan

Daphnia hidup pada selang suhu 18-24°C   Selang  suhu ini merupakan selang  suhu

optimal bagi pertumbuhan dan perkembangan  Daphnia.  Diluar selang tersebut,  Daphnia

akan cenderung dorman.   Daphnia membutuhkan pH sedikit alkalin yaitu antara 6.7

sampai 9.2.  Seperti halnya mahluk akuatik lainnya pH  tinggi dan kandungan amonia

tinggi dapat bersifat mematikan bagi Daphnia, oleh karena itu  tingkat amonia perlu

dijaga dengan baik dalam suatu sistem budidaya mereka.  Seluruh spesies Daphnia

diketahui sangat sensitif terhadap ion-ion logam, seperti Mn, Zn, dan CU,  dan bahan

racun terlarut lain seperti pestisida, bahan pemutih, dan deterjen.

Tetapi berdasarkan hasil praktek yang kami lakukan setiap minggunya populasi daphnia

sp cenderung mengalami penurunan hal ini disebabkan karena:

Penempatan wadah diluar ruangan sehingga pada saat hujan tiba, airnya meluap

dan sebagian daphnia terbawa arus air hujan

Pemberian nutrient yang berlebihan sehingga nutrient (jerami dan pupuk

kandang) tersebut terdekomposisi menjadi racun

Air budidaya terlalu berwarna hitam pekat

Pencahayaan yang kurang karena tertutup pohon-pohonan liar

5.2 Saran

Untuk memacu pertumbuhan daphnia sebaiknya ditambahkan nutrient tambahan

tetapi jangan berlebihan karena dapat mematikan

Sebaiknya parameter air dikontrol setiap hari

Wadah budidaya sebaiknya ditempat yang mendapatkan pencahayaan yang baik

Page 25: KULTUR PAKAN ALAMI

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar belakang

Salah satu kendala dari usaha budidaya ikan adalah ketersediaan pakan. Semakin

berkembangnya usaha budidaya maka jumlah pakan yang dibutuhkan akan semakin

banyak. Biaya pakan adalah biaya terbesar yang dikeluarkan dari total biaya produksi

suatu usaha budidaya ikan. Salah satu bentuk pakan yang diberikan adalah pakan alami.

Salah satu makanan alami yang disukai ikan terutama ikan hias adalah Artemia salina.

Artemia (Artemia salina) merupakan pakan bagi larva udang dan ikan yang banyak

digunakan oleh perusahaan-perusahaan pembenihan udang dan ikan (hatchery). Artemia

merupakan jenis crustaceae tingkat rendah dari phylum arthropoda yang memiliki

kandungan nutrisi cukup tinggi seperti karbohidrat, lemak, protein dan asam-asam amino.

Benih ikan dan udang pada stadium awal mempunyai saluran pencernaan yang masih

sangat sederhana sehingga memerlukan nutrisi pakan jasad renik yang mengandung nilai

gizi tinggi. Nauplius artemia mempunyai kandungan protein hingga 63 % dari berat

keringnya. Selain itu artemia sangat baik untuk pakan ikan hias karena banyak

mengandung pigmen warna yang diperlukan untuk variasi dan kecerahan warna pada

ikan hias agar lebih menarik (Majalah Demersal)

Artemia dapat hidup di perairan yang bersalinitas tinggi antara 60 - 300 ppt dan

mempunyai toleransi tinggi terhadap oksigen dalam air. Oleh karena itu artemia ini

sangat potensial untuk dibudidayakan di tambak- tambak tambak yang bersalinitas tinggi

di Indonesia. Budidaya artemia mempunyai prospek yang sangat cerah untuk

dikembangkan. Baik kista maupun biomasanya dapat diolah menjadi produk kering yang

memiliki ekonomis tinggi guna mendukung usaha budidaya udang dan ikan. Budidaya

artemia relatif sederhana serta murah, sehingga tidak menuntut ketrampilan khusus dan

modal besar bagi pembudidayanya.

1.2 Tujuan

Adapun tujuan dari praktikum ini adalah sebagai berikut:

Memberikan informasi tentang penetasan kista artemia salina secara teorotis

Menginformasikan teknik penetasan artemia salina yang tepat dan sesuai dengan

kebutuhan larva

Page 26: KULTUR PAKAN ALAMI

Sebagai bekal mahasiwa untuk menjadi seorang aquakulturis dan berwirausaha

Memberikan informasi tentang penetasan kista artemia salina dengan metode tan

dekapsulasi

Page 27: KULTUR PAKAN ALAMI

BAB II

KAJIAN PUSTAKA

2.1 Kajian tentang artemia salina

Artemia merupakan kelompok udang-udangan dari phylum Arthopoda. Mereka

berkerabat dekat dengan zooplankton lain seperti copepode dan daphnia (kutu

air). Artemia hidup di danau-danau garam (berair asin) yang ada di seluruh dunia. Udang

ini toleran terhadap selang salinitas yang sangat luas, mulai dari nyaris tawar hingga

jenuh garam. Secara alamiah salinitas danau dimana mereka hidup sangat bervariasi,

tergantung pada jumlah hujan dan penguapan yang terjadi. Apabila kadar garam kurang

dari 6 % telur artemia akan tenggelam sehingga telur tidak bisa menetas, hal ini biasanya

terjadi apabila air tawar banyak masuk kedalam danau dimusim penghujan. Sedangkan

apabila kadar garam lebih dari 25% telur akan tetap berada dalam kondisi tersuspensi,

sehingga dapat menetas dengan normal (www.O-fish.com)

1

Gambar 1

Artemia salina

Kista tertua artemia pernah ditemukan oleh suatu perusahan pemboran yang bekerja

disekitar Danau "Salt Great". Kista tersebut diduga berusia sekitar lebih dari 10000 tahun

(berdasarkan metoda "carbon dating"). Setelah diuji, ternyata kista-kista tersebut masih

bisa menetas walaupun usianya telah lebih dari 10000 tahun

Siklus Hidup

Siklus hidup artemia bisa dimulai dari saat menetasnya kista atau telur. Setelah 15 - 20

jam pada suhu 25°C kista akan menetas manjadi embrio. Dalam waktu beberapa jam

embrio ini masih akan tetap menempel pada kulit kista. Pada fase ini embrio akan

menyelesaikan perkembangannya kemudian berubah menjadi naupli yang sudah akan

bisa berenang bebas. Pada awalnya naupli akan berwarna orange kecoklatan akibat masih

mengandung kuning telur. Artemia yang baru menetas tidak akan makan, karena mulut

dan anusnya belum terbentuk dengan sempurna. Setelah 12 jam menetas mereka akan

ganti kulit dan memasuki tahap larva kedua. Dalam fase ini mereka akan mulai makan,

Page 28: KULTUR PAKAN ALAMI

dengan pakan berupa mikro alga, bakteri, dan detritus organik lainnya. Pada dasarnya

mereka tidak akan peduli (tidak pemilih) jenis pakan yang dikonsumsinya selama bahan

tersebut tersedia diair dengan ukuran yang sesuai. Naupli akan berganti kulit sebanyak 15

kali sebelum menjadi dewasa dalam waktu 8 hari. Artemia dewasa rata-rata berukuran

sekitar 8 mm, meskipun demikian pada kondisi yang tepat mereka dapat mencapai

ukuran sampai dengan 20 mm. Pada kondisi demikian biomasnya akan mencapi 500 kali

dibandingakan biomas pada fase naupli.

Gambar 2

Siklus hidup artemia salina

(www.O-fish.com)

Dalam tingkat salinitas rendah dan dengan pakan yang optimal, betina Artemia bisa

mengahasilkan naupli sebanyak 75 ekor perhari. Selama masa hidupnya (sekitar 50 hari)

mereka bisa memproduksi naupli rata-rata sebanyak 10 -11 kali. Dalam kondisi super

ideal, Artemia dewasa bisa hidup selama 3 bulan dan memproduksi nauplii atau kista

sebanyak 300 ekor(butir) per 4 hari. Kista akan terbentuk apabila lingkungannya berubah

menjadi sangat salin dan bahan pakana sangat kurang dengan fluktuasi oksigen sangat

tinggi antara siang dan malam hari. 

Artemia dewasa toleran terhadap selang suhu -18 hingga 40 ° C. Sedangkan tempertur

optimal untuk penetasan kista dan pertubuhan adalah 25 - 30 ° C. Meskipun demikian hal

Page 29: KULTUR PAKAN ALAMI

ini akan ditentukan oleh strain masing-masing. Artemia menghendaki kadar salinitas

antara 30 - 35 ppt, dan mereka dapat hidup dalam air tawar salama 5 jam sebelum

akhirnya mati.

Variable lain yang penting adalah pH, cahaya dan oksigen. pH dengan selang 8-9

merupakan selang yang paling baik, sedangkan pH di bawah 5 atau lebih tinggi dari 10

dapat membunuh Artemia. Cahaya minimal diperlukan dalam proses penetasan dan akan

sangat menguntungkan bagi pertumbuhan mereka. Lampu standar grow-lite sudah cukup

untuk keperluan hidup Artemia. Kadar oksigen harus dijaga dengan baik untuk

pertumbuhan Artemia. Dengan suplai oksigen yang baik, Artemia akan berwarna kuning

atau merah jambu. Warna ini bisa berubah menjadi kehijauan apabila mereka banyak

mengkonsumsi mikro algae. Pada kondisi yang ideal seperti ini, Artemia akan tumbuh

dan beranak-pinak dengan cepat. Sehingga suplai Artemia untuk ikan yang kita pelihara

bisa terus berlanjut secara kontinyu. Apabila kadar oksigen dalam air rendah, dan air

banyak mengandung bahan organik, atau apabila salintas meningkat, artemia akan

memakan bakteria, detritus, dan sel-sel kamir (yeast). Pada kondisi demikian mereka

akan memproduksi hemoglobin sehingga tampak berwarna merah atau orange. Apabila

keadaan ini terus berlanjut mereka akan mulai memproduksi kista.

Penetasan kista artemia salina

Kista artemia dapat ditetaskan secara optimal, apabila sarat-sarat yang diperlukannya

dapat dipenuhi. Beberapa syarat tersebut adalah:

Salinitas antara 20-30 ppt (parts per thousand) atau 1-2 sendok teh garam per liter

air tawar. Untuk buffer *bisa ditambahkan magnesium sulfate (20 % konsentrasi)

atau 1/2 sendok teh per liter air.

Suhu air 26 - 28 °C.

Disarankan untuk memberikan sinar selama penetasan untuk merangsang proses.

Aerasi yang cukup; untuk menjaga oksigen terlarut sekitar 3 ppm

pH 8.0 atau lebih, apabila pH drop dibawah 7.0 dapat ditambahkan soda kue

untuk menaikkan pH.

Kepadatan sekitar 2 gram per liter.

Sebelumnya dapat dilakukan proses dekapsulisasi untuk melunakan cangkang.

Page 30: KULTUR PAKAN ALAMI

Dekapsulisasi dapat meningkatkan peresentase keberhasilan sampai dengan 10%.

Penetasan dapat dilakukan pada semua jenis wadah.. Untuk mempermudah "pemanenan"

penetasan bisa dilakukan dalam akuarium berbentuk prisma terbalik (Sumber : Majalah

Demersal )

Page 31: KULTUR PAKAN ALAMI

BAB III

METODOLOGI

3.1 Waktu dan tempat penelitian

Penelitian ini dilakukan pada pukul 22.00 WIB tanggal 18 desember 2007 sampai dengan

pukul 15.00 WIB tanggal 19 desember 2007 di departemen perikanan vedca.

3.2 Alat dan bahan

Alat :

Botol aqua 1 liter

Selang aerasi

Blower

Timbangan digital

Lap atau sikat

Pisau

Bahan:

Cysta

Garam

3.3 Langkah kerja

Siapkan alat dan bahan.

Potong aqua gelas bagian bawahnya dan pasang selang aerasi pada tutup botolnya

Page 32: KULTUR PAKAN ALAMI

Semprot botol aqua dengan air tawar, lalu sikat dan laplah dengan

deterjen.

Bilas dengan air tawar..

Isi botol aqua dengan air tawar sebanyak 1 liter

Timbanglah garam sebanyak yang diperlukan untuk membuat air dengan kadar

garam 30 ppt (30 g garam per liter air).

Tempatkan botol di rak dan beri Aerasi yang kuat agar garam tercampur merata

Masukkanlah Artemia kebotol aqua penetasan yang sudah diaerasi

Diamkanlah selama 18 jam

Perhatikanlah warna media penetasan, jika sudah terjadi perubahan warna dari

coklat muda ke oranye maka Artemia sudah menetas

3.4 Analisa Data

Penentuan padat tebar (PT)

PT= 5 gr/L

Sample = 16,6 mg= 1790 butir, jadi dalam 5 gr terdapat 53915 butir.

Penetuan kepadatan (PK)

Sample 2 ml terdapat 32 individu, jadi dalam 1 liter tingkat kepatannya 16000 butir/liter.

Page 33: KULTUR PAKAN ALAMI

4.2 Pembahasan

Artemia dapat ditetaskan dalam wadah berbagai volume dan volume minimal satu liter.

Bentuk wadah penetasan yang ideal adalah berbentuk bulat dengan ujung bawahnya

berbentuk corong. Hal ini dikarenakan jika diaerasi tidak ditemukan titik mati, yaitu suatu

titik dimana Artemia akan mengendap dan tidak teraduk secara merata. Artemia yang

tidak teraduk pada umumnya kurang baik derajat penetasannya, atau walaupun menetas

membutuhkan waktu yang lebih lama. Wadah dicuci bersih dan disanitasi. Media yang

digunakan untuk penetasan dapat berupa air laut atau air laut buatan. Untuk air laut

buatan dapat dibuat dengan mencampur garam tidak beriodium sebanyak 25-30 g per liter

air tawar.

Penetasan Artemia merupakan bagian yang penting dalam mempersiapkan naupli sebagai

pakan alami. Hal yang perlu diperhatikan dalam penetasan Artemia adalah suhu, kadar

garam, kepadatan cyste, cahaya dan aerasi. Dalam menetaskan, kepadatan Artemia

sebaiknya tidak lebih dari 2 g/l untuk skala besar dan dapat mencapai 5 g/l untuk skala

kecil. Artemia harus teraduk secara sempurna pada air laut atau air dengan kadar garam

25-30 ppt dan bersuhu 28-30oC. Umumnya dengan kondisi yang demikian Artemia akan

menetas dalam waktu 16-18 jam. Secara kasat mata perubahan warna dari coklat muda ke

oranye menunjukkan bahwa Artemia telah menetas.

Kista menetas menjadi Artemia stadia nauplius. Setelah menetas sempurna, secara visual

dapat terlihat terjadinya perubahan warna dari coklat muda menjadi oranye. Hal yang

penting yang perlu diperhatikan dalam pemanenan nauplius Artemia adalah jangan

sampai tercampur antara Artemia dan cangkang. Hal ini perlu dihindari mengingat

cangkang Artemia tersebut mengandung bahan organik yang dapat menjadi substrat

perkembangbiakan bakteri. Setelah 18 jam dimasukan dalam bak penetasan maka

pengecekan apakah Artemia dalam wadah penetasan sudah menetas atau belum.

Pengecekan dilakukan dengan cara mematikan aerasi. Sesaat setelah aerasi dimatikan,

jika secara kasat mata keseluruhan naupliussudah berenang bebas maka pemanenan dapat

Page 34: KULTUR PAKAN ALAMI

dilakukan dan aerasi tetap dimatikan. Jika sebagian besar nauplius masih terbungkus

membran dan belum berenang bebas maka aerasi dihidupkan kembali. Selanjutnya 1 atau

2 jam kemudian dilakukan pengecekan ulang.

Langkah awal pemanenan Artemia yaitu dengan mematikan aerasi serta menutup bagian

atas wadah dengan bahan yang tidak tembus cahaya. Hal ini dilakukan dengan tujuan

memisahkan antara nauplius dan cangkang Artemia. Cangkang Artemia akan

mengambang dan berkumpul di permukaan air. Nauplius Artemia akan berenang menuju

ke arah cahaya. Karena bagian bawah wadah tranparan dan ditembus cahaya maka

nauplius Artemia akan berkumpul di dasar wadah penetasan. Oleh karena itu pada saat

pemanenan nauplius, sebaiknya bagian dasar wadah disinari lampu dari arah samping.

Selain nauplius, didasar wadah juga akan terkumpul kista yang tidak menetas. Aerasi

tetap dimatikan selama 10 menit. Setelah semua cangkang berkumpul di atas

permukaan air dan terpisah dengan nauplius yang berada di dasar wadahmaka pemanenan

dapat dilakukan dengan cara membuka kran pada dasar wadah (jika ada) atau dengan

cara menyipon dasar. Sebelum kran dibuka atau disipon, ujung kran atau selang kecil

dibungkus saringan yang berukuran 125 mikron dan dibawah saringan disimpan wadah

agar nauplius Artemia tetap berada dalam media air. Setelah semua nauplius terpanen,

kran ditutup atau penyiponan dihentikan. Pada saat pemanenan hindarilah terbawanya

cangkang. Artemia yang tersaring kemudian dibilas dengan air laut bersih dan siap

diberikan ke larva ikan atau udang. Selanjutnya air dan cangkang yang tersisa di wadah

penetasan dibuang dan dibersihkan.

Page 35: KULTUR PAKAN ALAMI

BAB V

PENUTUP

5.1 Kesimpulan

Artemia sp. merupakan salah satu jenis pakan alami dari golongan udang¬ udangan yang

paling banyak digunakan baik di balai benih skala besar maupun skala kecil. Untuk

mendukung kegiatan budidaya ikan maupun udang maka ketersediaan Artemia sp.sebagai

pakan alami harus kontinyu. Keunggulan Artemia sp. adalah mudah ditangani, mudah

beradaptasi dalam berbagai lingkungan, filter feeder, dapat tumbuh dalam kepadatan

tinggi dan nilai kandungan nutrisi yang dapat diperbanyak dengan metode pengkayaan.

Proses penetasan terdiri dari beberapa tahapan yang membutuhkan waktu sekitar 18-24

jam.

a. Proses penyerapan air

b. Pemecahan dinding cyste oleh embrio

c. Embrio terlihat jelas masih diselimuti membran

d. Menetas dimana nauplius berenang bebas

Beberapa hal yang harus diperhatikan dalam menetaskan cysteArtemia adalah:

Aerasi

Suhu

Kadar garam

Kepadatan cyste

Cahaya

5.2 Saran

Hati–hati pada saat melakukan pemanenan, cangkang diusahakan tidak terbawa,

kalaupun terbawa diusahakan seminimal mungkin.

Pengaerasian harus dilakukan secara continue.

Diperlukan ketelitan dalam melakukan praktek

Untuk menambahnkan nutrient, sebaiknya diberikan ragi makanan

Page 36: KULTUR PAKAN ALAMI

DAFTAR PUSTAKA

Lavens, P. and P. Sorgeloos. 1996. Manual on the production and used of live food for

aquaculture. FAO Fisheries Technical Paper 361.

WWW.O-FISH.COM

Page 37: KULTUR PAKAN ALAMI

DAFTAR ISI

DAFTAR ISI ………………………………………….. i

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar belakang ………………………………………….. 1

1.2 Tujuan ………………………………………….. 1

BAB II KAJIAN PUSTAKA

2.1 Kajian artemia salina ………………………………………….. 3

BAB III METODOLOGI

3.1 Waktu dan tempat …………………………………………. 6

3.2 Alat dan bahan ………………………………………… 6

3.3 Langkah Kerja …………………………………………. 6

3.4 Analisa data …………………………………………. 7

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Hasil …………………………………………. 8

4.2 Pembahasan …………………………………………. 9

BAB V PENUTUP

5.1 Kesimpulan …………………………………………. 10

5.2 Saran …………………………………………. 10

DAFTAR PUSTAKA