Upload
buinguyet
View
234
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
649
KRITIK WACANA SYARI’ATISASI DI RUANG PUBLIK:
(Mengajukan Pancasila sebagai Epistemologi Hukum Islam
Kontemporer di Indonesia)
Syahbudi
Studying the shifting dynamics of religious life in a fast-paced world of
global change will require the best of a new generation of scholars, alert to
emerging ways of thinking, acting and connecting across religious and
cultural traditions and astute in their analysis of what is going on. Creating
pluralistic societies in the Indonesia, will require the energies of citizens
who participate in the forms of public life, political life and civic bridge-
building that make diverse societies work.
(Diana L. Eck, 2007: 773)
A. Latar Belakang Masalah
Problem utama yang dihadapi umat Islam bermuara pada dua sisi. Pertama,
berhadapan dengan cepatnya perubahan kehidupan sosial-budaya, dan perkembangan sains di
sisi yang lain. Misalnya, Penolakan terhadap kehadiran agama Ahmadiyyah dan Syi’ah di
Indonesia. Beberapa pihak menganggapnya sebagai perongrongan atau penistaan terhadap
agama-agama yang sudah mapan. Belum lagi, kekerasan yang menimpa kelompok-kelompok
yang dikategorikan sebagai aliran kepercayaan. Poin penting yang saya maksud dari kasus
tersebut adalah penentuan salah dan benar, baik dan buruk pemahaman dan tindakan
seseorang dalam menginterpretasikan Tuhan dan agamanya, ditentukan oleh orang lain dan
mengabaikan perasaan personal serta dialog secara kultural.
Contoh lainnya adalah kemajuan teknologi komunikasi yang memunculkan
perdebatan Tuhan dan Agama di berbagai situs website. Teknologi kumunikasi yang hampir
tanpa jeda atau ruang pembatas, telah meningkatkan arah pemahaman keagamaan yang tidak
liner lagi sebagaimama era mesin ketik. Teknologi dengan segala perangkatnya menjadikan
manusia dalam satu arena yang terbuka. Momen ini menjelaskan, membincangkan Tuhan dan
Agama bukan lagi hanya di masjid atau pengajian juga bukan lagi otoritas atau monopoli
orang tertentu. Kehadiran teknologi telah memberikan ruang (space) bagi siapa saja untuk
menafsirkan Tuhan dan Agama. Pada akhirnya, dinamika sosial budaya serta kemajuan sains
telah menciptakan kontestasi penafsiran tentang Tuhan dan Agama, benar dan salah, baik dan
buruk dalam satu perspektif.
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
650
Contoh berikutnya yang dapat memperkuat argumentasi problem pertama diatas
adalah penolakan beberapa tokoh agama terhadap putusan Mahkamah Konstitusi (MK)
tentang status anak yang lahir di luar pernikahan legal menurut negara dan agama.216
Pendekatan sains sangat meyakinkan, bahwa status biologis yang paling tepat, bisa
dilakukan lewat uji tes DNA (Deoxyribo Nucleic Acid). Sulit bagi sebagian orang yang
bergelut di bidang sains, menghakimi status hukum dan biologis seorang anak dengan
menggunakan uji kualitatif-interpretatif melalui kitab-kitab kuning.
Salah satu amar putusan Mahkamah Konstitusi berbunyi:
“Pasal 43 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1974 Nomor 1, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 3019) yang menyatakan, “Anak yang dilahirkan di
luar perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga
ibunya”, bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945 sepanjang dimaknai menghilangkan hubungan perdata dengan laki-laki
yang dapat dibuktikan berdasarkan ilmu pengetahuan dan teknologi dan/atau alat bukti
lain menurut hukum ternyata mempunyai hubungan darah sebagai ayahnya;”217
Secara tegas dan lugas, MK telah menggunakan epistemologi sains dalam
memutuskan status biologis seorang anak. Konsekuensi dari putusan ini adalah terkait
dengan hukum kewarisan, perkawinan dan hubungan perdata lainnya antara anak dan
kedua orang tuanya, terutama hubungan dengan ayah biologisnya. Menurut saya,
pemutusan hubungan anak dan ayah menyebabkan terjadinya streotype hukum terhadap
anak yang lahir dari hasil perzinahan. Konteks pemutusan hubungan tersebut, bagi saya,
semata-mata hanyalah persoalan sosiologis saja. Setidaknya memberikan efek jera bagi
pelakunya. Dalam pandangan yang lebih luas, kenyataan ini dapat saja menjadi
persoalan yang dapat melanggar hak-hak asasi seorang anak.
Problem utama yang kedua adalah, pembaharuan ranah penalaran kritis (baca:
epistemologi) di tengah pusaran modernitas dan globalisasi. Ruang publik adalah ruang
yang terbuka bagi terjadinya tarik menarik perebutan wacana. Dinamika kehidupan
politik, agama dan sosial budaya tumbuh dan berkembang secara bersamaan dan saling
mempengaruhi. Sebut saja kriteria masalah-masalah yang menyebabkan kelahiran
beberapa fatwa serta perda (peraturan daerah) yang menempelkan label syari’ah.218
Kelahiran Islam di berbagai tempat tentu saja mempertimbangkan aspek dinamika
216 Kasus ini bermula pada gugatan yang dilakukan oleh Machica Mokhtar yang mengajukan judicial review
ke Mahkamah Konstitusi terkait status anak yang lahir dari pernikahan sirrinya dengan Moerdiono. 217 http://www.mahkamahkonstitusi.go.id/putusan/putusan_sidang_ diakses tanggal 10 Oktober 2012. 218 Sebenarnya, istilah perda syari’ah tidak dikenal dalam peraturan perundang-undangan di Indonesia.
Makna yang dapat dipahami dari istilah tersebut adalah dominasi semangat aturan-aturan syari’ah (baca: hukum Islam) yang menjiwai materi dan ruh peraturan tersebut. Bandingkan dengan
http://www.mui-bukittinggi.org/index.php?option=com_content&view=article&id=58:kontroversi-seputar-perda-syariah&catid=35:artikel&Itemid=54. Diakses tanggal 5 Oktober 2012
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
651
perkembangan epistemologinya. Jika hukum tidak mungkin lahir diruang hampa, maka
epistemologi hukumnya juga harus senantiasa berobah.219
Sementara itu, pada aspek yang lain, jika agama merupakan urusan
pemerintahan pusat, maka kehadiran perda syari’ah dapat menciptakan otonomi
kebijakan yang terkotak-kotak tentang implementasi ajaran-ajaran syari’ah. 220
Mengingat konteks perpindahan manusia antar satu daerah dengan daerah lain yang
sangat dinamis, maka hal tersebut sangat rawan menimbulkan kesalahpahaman.
Misalnya perda syari’ah di Bogor yang melarang perempuan keluar tanpa ditemani
muhrimnya diatas jam 22.00 WIB.221 Perda ini mendapat penentangan dari berbagai
kalangan masyarakat, mengingat dinamika sosial-ekonomi kehidupan masyarakat kota
yang sangat tinggi. Demikian juga peraturan daerah yang mewajibkan memakai jilbab
di luar rumah. Contoh lain dan mirip dengan kehadiran perda syari’ah adalah
munculnya beberapa ormas keagamaan yang bergerak tanpa sebuah dukungan
epistemologi yang mapan. Asumsi ini diperkuat dengan ketidakteguhan isu-isu yang
diperjuangkan. Penghancuran tempat-tempat judi, minuman keras hingga pelacuran,
lebih pada tindakan sporadik dan insidentil, bahkan caranya dianggap model dakwah
Islami yang tidak berubah dari tahun ke tahun. Misalnya hanya dibulan ramadhan saja,
sementara dibulan lainnya tidak terjadi. Atau di tempat lain dilakukan sweeping,
sementara tempat lain tetap aman dan dibiarkan.
Dari penjelasan singkat di atas, masing-masing pada kasus pertama dan kedua,
menunjukkan adanya problem epistemologi dalam memahami relasi agama (baca:
Islam) di tengah masyarakat modern saat ini khususnya di Negara Indonesia yang
menganut Pancasila sebagai dasar negara. Menjamurnya wacana syari’ah 222 dalam
berbagai bidang kehidupan sosial, budaya, politik dan ekonomi serta hukum, juga
memberikan gembaran yang jelas: pertama, belum adanya epistemologi yang bisa
dijadikan parameter, sehingga gerak syari’ah diruang publik tidak mengarah pada
otoritarianisme. Kedua; berbagai kasus yang disebutkan pada latar belakang masalah
serta implikasinya dengan wacana syari’ah merupakan satu keinginan oleh sekelompok
pihak untuk menegaskan identitas agamanya diruang publik. Disinilah awal kontestasi
wacana di ruang publik dimulai.223
219 Kaidah fiqh menyebutnya: األحكام بتغیر األزمانالینكر تغیر 220 Lihat Arskal Salim dan Azyumardi Azra (Etd.), Shari’a and Politics in Modern Indonesia,
(Singapore: ISAS, 2003), h. 1-15. 221 Bahkan Perda dibeberapa daerah sudah masuk pada wilayah yang sangat personal. Misalnya Perda
Kab. Banjar No. 8/2005 tentang Jum’at Khusyu’. 222 Moch. Nur Ichwan, “The Politics of Shari’atization: Central Govermental and Regional Discourses
of Shari’a Implementation in Aceh”, dalam R. Michael Feener dan Mark E. Cammack (Edt.), Islamic Law in Contemporary Indonesia; Ideas and Institutions, (Harvard: Harvard University Press, 2007), h. 193-215.
223 Contoh tentang ini tergambar ketika KPPS (Komite Persiapan Penegakan Syari’at Islam) di Makassar, Sulawesi Selatan berniat untuk memformalkan syari’at Islam di Sulawesi Selatan. Lihat Ahmad Faisal, Rekonstruksi Syari’at Islam (Kajian tentang Pandangan Ulama terhadap Gagasan
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
652
B. Pentingnya Membaca Ulang Maqasyid Syari’ah
Term maqashid merujuk pada purpose, objective, principle, intent, goal, dan
telos (Yunani), finalité (Prancis) atau Zweck (Jerman). Dalam epistemologi hukum
Islam, maqashid sudah menjadi pusat bagi penalaran kritis produk-produk hukum
lainnya, sekalipun dengan ekspresi yang berbeda-beda. 224 Maqashid bisa bermakna
menuju suatu arah, tujuan, tengah-tengah, adil atau tidak melampaui batas.225 Menurut
Ibn ‘Asyur, maqashid syari’ah adalah:
“Makna-makna dan hikmah-hikmah yang diperhatikan dan dipelihara oleh
syari’ dalam setiap bentuk penentuan hukum-Nya. Hal ini tidak hanya berlaku
pada jenis-jenis hukum tertentu sehingga masuklah dalam cakupannya segala
sifat, tujuan umum dan makna syari’ah yang terkandung dalam hukum serta
masuk pula di dalamnya makna-makna hukum yang tidak diperhatikan secara
keseluruhan tetapi dijaga dalam banyak bentuk hukum.” 226
Untuk itu, inti maqashid syari’ah adalah bagaimana menjaga kepentingan pembuat
hukum dapat terpenuhi tanpa mengabaikan kepentingan manusia sendiri. Bukan terletak
pada jenis tindakannya, tetapi lebih pada kualitas tindakan. Secara tegas dapat
disampaikan, bahwa kepentingan penerapan hukum Islam dengan memperhatikan
tujuan hukum (baca: maqashid syari’ah) sudah menjadi keharusan jaman. Tanpa itu,
maka hukum Islam dalam konteks yang lebih luas seperti pada wilayah politik, ekonomi
serta sosial budaya akan hampa dan kehilangan elan vitalnya.
Ada beberapa karakter maqashid dalam lingkaran epistemologi tradisional,
misalnya: (1) Ruang lingkupnya hanya membicarakan satu bidang saja, yaitu hukum
Islam. Bahkan yang lebih spesifik lagi, bertumpu pada wacana fiqh. Artinya, maqashid
tradisional lebih menyukai mendeduksinya dari studi fiqh dan tidak merujuk langsung
pada teks atau sumber asli. (2) Perhatiannya tertuju pada kepentingan individual, kurang
bersinggungan dengan persoalan keluarga, sosial dan kemanusiaan. Apalagi terkait
dengan perhatian keadilan dan kebebasan dalam konteks global.227
Pada era modern dan postmodern, epistemologi maqashid sejatinya
membuka ruang lingkup yang lebih besar lagi, memperhitungkan dan
Penegakan Syari’at Islam oleh KPPS di Sulawesi Selatan), (Disertasi, UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, 2004), tidak diterbitkan.
224 Abd al-Malik al-Juwaini (w. 1185 M) menggunakan istilah maqashid dan al-masalih al-‘ammah. Abu Hamid al-Ghazali (w. 1111 M), Fakhruddin al-Razi (w.1209 M) serta al-Amidi (w. 1234 M) menyebutnya al-masalih al-mursalah. Najm al-Din al-Tufi (w. 1316 M) menyebutnya al-maslahah. Sementara al-Qarafi (w. 1868 M) menghubungkan maslahah dan maqashid sebagai satu kesatuan yang utuh. Jasser Auda, Maqashid al-Shariah as Philosophy of Islamic Law, (London, IIIT, 2008), h. 2.
225 Ahmad bin Muhammad bin ‘Ali al-Fayumi al-Muqri, Al-Mishbah al-Munir fi Gharib al-Syarh al-Kabir li al-Rafi’i, (Beirut: Maktabah Lubnan, 1987), h. 192.
226 Ibn ‘Asyur, Maqashid al-Syari’ah al-Islamiyyah, edt. al-Tahir al-Mesawi (Kuala Lumpur: al-Fajr, 1999), h. 246, 405
227 Ibid.,: 4
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
653
Agama Sains
Ilmu-Ilmu
Sosial
Kemanusiaan
Kontemporer
memperhatikan dinamika sains, ilmu-ilmu sosial, nilai nilai kemanusiaan
kontemporer serta perkembangan agama sendiri. 228
Jasser Auda mengakui bahwa kemajuan besar dalam sains sering menjadi garda
terdepan untuk perubahan besar dalam paradigma filosofis termasuk mempengaruhi
filosofi tentang agama. 229 Auda menawarkan pendekatan sistem sebagai sebuah
pendekatan yang holistik, dimana setiap entitas berkaitan erat dengan seluruh sistem
yang terdiri dari sejumlah sub sistem dan bukan sekedar kausalitas saja.230 Teori sistem
menyajikan jalan tengah dengan mengusulkan korelasi (correlation) sebagai sifat
hubungan antara sistem dan dunia, yaitu, kesadaran mental kita tentang dunia luar
dalam pengertian sistem berkorelasi dengan apa yang ada.231 Menurut teori ini, sistem
tidak selalu mengidentifikasi hal-hal yang ada di dunia nyata tetapi lebih merupakan
cara mengorganisasi pikiran kita tentang dunia nyata.232 Dengan demikian, sistem akan
menjadi satu kesatuan. Karena setiap pemahaman apa yang kita sebut realitas,
merupakan masalah kognisi.233
Dengan demikian, definisi umum dari sistem adalah seperangkat unit interaksi
atau elemen-elemen yang membentuk suatu keseluruhan yang utuh dimaksudkan untuk
melakukan beberapa fungsi. Analisis sistematik biasanya melibatkan identifikasi unit-
unit, elemen-elemen atau berbagai sub sistem, serta bagaimana unit-unit ini saling
terkait (interrelated) dan terpadu (integrated) dalam proses atau fungsi. Mengungkap
keterkaitan ini akan mengungkapkan seluruh sistem yang dianalisis melampaui
pandangan atomistik dan statis tentang analisis dekomposisional.
228 Mohammad al-Tahir Ibn Ashur, Ibn Ashur, Treaties on Maqasyid al-Syari’ah, (London, IIIT:
2006), h. 2. 229 Jasser Auda, Maqashid al-Shariah…: 27. 230 Ibid., h. 28-29. 231 Robert Flood dan Ewart Carson, Dealing with Complexity: An Introduction to the Theory and
Application of System Science, vol. 2, (New York dan London: Plenum Press, 1993),h. 247. 232 Ini mirip dengan istilah imajinasi kreatifnya Ian Borbour, bahwa selalu saja ada hubungan dan
interaksi realitas dan kognisi. Ian G. Barbour, Issues in Science and Religion, (New York: Harper Torchbook, 1996), h. 162-174.
233 Gianni Vattimo, “The age of Interpretation”, dalam Richard Rortry & Gianni Vattimo, The Future of Religion, (New York, Columbia University Press, 2005), h. 45-49.
Maqashid
Syari’ah
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
654
C. Epistemologi Hukum Islam dan Ruang Publik
Ruang publik (public sphere, inggris) atau Offentlichkeit (Jerman) merupakan
sebuah konsep yang akhir-akhir ini popular dalam ilmu-ilmu sosial, teori demokrasi dan
diskursus politis pada umumnya. 234 Kata “publik” berasal dari bahasa Latin, yaitu
Publicus. Yang jika merujuk pada masyarakat Romawi kuno, publicus memiliki dua
arti: (1) milik rakyat sebagai satuan politis atau milik Negara. (2) sesuai dengan rakyat
sebagai seluruh penduduk atau umum.
Menurut Hannah Arendt (1906-1975) 235 , ruang publik juga sebagai ruang
“penampakan” (Erschenungsraum) yaitu suatu ruang penampakan terjadi di tempat-
tempat orang-orang saling berinteraksi dengan bertindak dan berbicara; ruang itulah
yang menjadi dasar semua pendirian dan bentuk negara…ruang itu ada secara potensial
pada setiap himpunan orang, memang hanya secara potensial; ia tidak niscaya
diaktualisasikan di dalam himpunan itu dan juga tidak dipastikan untuk selamanya atau
untuk waktu tertentu.236 Selanjutnya Arendt, mengidentifikasi perbedaan ruang publik
dan ruang privat:
Privat Realmn (oikos) Public Realm (polis)
Ruangnya Houshold (family) Political Realm
Hukum Dasarnya Wants + needs, law of
necessity, the driving forces is
life itself.
Freedom
Cara mengaturnya Force + violence Speech (logos); Persuasion
Relasi antar
Manusianya
Inequality Equality (isonomia)
Hampir semua cakupan diskursus tentang kepublikan sangat tergantung pada konsep
kultural tentang manusia, keyakinan-keyakinan dasariah dan struktur yang diciptakan
untuk mengatur kesejahteraan umum berikut ideologi-ideologi yang mengagitasi sikap
dan perilaku tertentu yang diharapkan. Untuk itu, pembicaraan tentang agama manapun
juga dalam konteks kepublikan tidak akan dapat menyingkirkan dimensi sosial yang
selalu koheren pada agama. Artinya, agama pun tidak bebas nilai, karena memang
diperuntukkan bagi kehidupan manusia.
234 F. Budi Hardiman (edt.), Ruang Publik; Melacak Partisipasi Demokrastis dari Polis sampai
Cyberspace, (Yogyakarta: Pustaka Filsafat, 2010), h. 1. Buku ini sangat representatif sebagai pijakan awal untuk memahami makna ruang publik, dan konstruksi teoretik yang dibangun dalam penulisan makalah ini juga terinspirasi oleh buku tersebut.
235 Hannah Arendt, “The Public and The Private Realm”, dalam The Portable Hannah Arendt, Peter Baehr (edt.), (Pinguin Books), h. 185-185.
236 Ibid.,
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
655
Menurut Immanuel Kant, pembicaraan tentang publik berkaitan erat dengan
masalah moral (imperative batin) dengan hukum (norma lahiriah) dalam ranah politik
praktis. Kalau moral secara hakiki ditentukan oleh kapasitas individu menentukan diri
sendiri lewat tindakan pribadinya, efektifitas hukum terjadi sebaliknya yaitu berkat
kekuasaan institusi atau badan otoritatif yang berwenang. Tetapi keberlakuan
objektivitas keduanya hanya bisa diterima, bila baik moral maupun hukum terbuka pada
diskursus intersubyektif.
Hukum dan moral sifatnya rasional. Sebab hanya apa yang rasional harus bisa
juga dipertanggung jawabkan secara terbuka dalam suatu diskursus “publik-
intersubjektif” tadi. Kepublikan dan rasionalitas berkorelasi secara hakiki. Maka suatu
moral yang bersifat rahasia atau suatu hukum yang hanya berlaku dibawah meja tidak
bisa ditampung dalam pemikiran Kant. Keduanya membutuhkan kepublikan untuk
mendapatkan pendasaran rasionalnya. Maka, apa yang kebal terhadap pengujian terbuka
tidak bisa dinilai sebagai rasional, moral maupun legal. Karena kepublikan disini
berfungsi sebagai kriterium yang membatasi, Kant menyebut prinsip ini “negative”,
maksudnya: ”ia hanya berfungsi untuk mengenali-melalui bantuannya- apa yang tidak
benar terhadap orang lain. Inilah yang dimaksud oleh Kant kepublikan sebagai sebuah
idea atau cara befikir.
Lebih lanjut, Kant juga menjelaskan tentang Kepublikan sebagai institusi.
Secara tegas Kant mengatakan, bahwa hukum kepublikan adalah semua tindakan yang
terkait dengan hak orang lain, yang maksimnya tidak sejalan dengan kepublikan, adalah
tidak benar. Rumusan ini menyatakan bahwa kepublikan merupakan prasyarat niscaya
bagi hukum. Apa yang dinilai tidak mencukupi berdasarkan kriterium kepublikan, tidak
mungkin bisa menjadi hukum. “Sebab jika suatu tujuannya hanya dapat tercapai melalui
kepublikan, maka maksim yang bersangkutan pasti sesuai dengan tujuan bersama, yakni
kebahagiaan.237 Richard Rortry menyebut ruang publik sebagai tempat untuk berbicara
mengenai masalah-masalah yang berkaitan dengan keadilan dan solidaritas sosial.238
Sementara itu menurut Habermas239, ruang publik merupakan asosiasi-asosiasi
demokratis yang baginya esensial, karena melalui itu masyarakat sipil bisa membatasi
dan mengarahkan otoritas Negara dan penetrasi ekonomi. Dalam bahasa Habermas,
ruang publik ini meliputi konsep ruang, tempat-tempat sosial dimana makna dan ide
dipertukarkan, juga berarti sebuah tubuh kolektif yang tersusun dari publik itu sendiri.
Habermas memberikan empat syarat untuk munculnya ruang publik; pertama, status
orang tidak dipersoalkan. 240 Kedua, bahan yang didiskusikan adalah apa-apa yang
237 Howard Williams, Kant’s Political Philosophy (New York: St. Martin’s Press, 1983), h. 108. 238 Richard Rortry, Contigency, Irony and solidarity, (Cambrdige, Cambridge University, 1989), h. 26 239 Jurgen Habermas, The Structural Tranformation oh the Public Sphere: an Inquiry into a Category
of Burgeois Society, (Massachusetts: MIT Press, 1989), h. 30. 240 Jurgen habermas, “The Public sphere”, dalam C. Mukerji & M. Schodson (edt.), Rethinking
Popular Culture: Contemporary Perspektives in Cultural Studies, (Berkeley: University of California Press, 1991), h. 398.
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
656
belum dipertanyakan sebelumnya baik Negara maupun masyarakat. Ketiga, keputusan
yang diambil didasarkan pada diskusi rasional. Keempat, publik yang dimaksud bersifat
inklusif (tidak eksklusif).241
Secara umum gambaran tentang ruang publik demokratis adalah ruang publik
yang di dalamnya semua anggota masyarakat memiliki kehendak untuk
berkomunikasi. 242 Dalam komunikasi ini gagasan-gagasan yang dirumuskan dalam
bahasa religius diperhatikan dengan sungguh dan didiskusikan secara kritis sebagai
berpotensi memiliki isi kognitif. Kendati berbeda pandangan hidup dan agama, semua
warga masyarakat adalah anggota yang setara dalam melaksanakan aktivitas politik.
Potensi konflik yang ada karena adanya perbedaan pada tataran kognitif berkaitan
dengan perbedaan pandangan hidup antara mereka yang berbeda agama, pada tataran
sosial dapat diminimalkan dengan berlakunya prinsip kebebasan beragama dan suara
hati.
Apa yang disebut kebenaran lebih merupakan sesuatu yang dirumuskan, dan
bukan sesuatu yang sudah ada di sana serta siap untuk direngkuh untuk diketahui. Di
dalam ruang publik, konsep kebenaran tidak lagi merupakan sesuatu yang berada di luar
waktu dan bersifat universal, tetapi lebih merupakan sebagai “tentara metafor-metafor
yang terus bergerak (mobile army of metaphors). Artinya, upaya kita untuk
merumuskan kebenaran yang berlaku untuk semua manusia dan untuk semua konteks
haruslah ditinggalkan.243 Semua warga masyarakat –baik yang beragama ataupun tidak-
harus menerima prinsip, bahwa Negara dan pemerintah bersikap netral dalam hal
pandangan hidup (weltanschauung) yang menentukan antara lain tentang apa yang baik
dan buruk. “Kekosongan yang ditingalkan akibat sikap netral terhadap pandangan hidup
dan agama itu harus diisi oleh undang-undang yang demokratis”. Agama dituntut
melepaskan klaim sebagai satu-satunya memiliki otoritas untuk menafsirkan dan
menentukan cara hidup mana yang legitim.
Menurut Abdullah Ahmed An-Na’im, kehadiran ruang publik harus didukung
oleh kehadiran nalar publik (public reason). Kata “publik” menurut An-Na’im mengacu
kepada kebutuhan agar alasan-alasan yang melandasi kebijakan dan perundang-
undangan itu dikemukakan secara publik dan juga bahwa proses penalaran atas masalah
tersebut terbuka bagi, dan dapat diakses oleh semua warga Negara. Maka nalar publik
adalah bahwa alasan, maksud dan tujuan kebijakan publik atau perundang-undangan
harus didasarkan pada pemikiran yang didalamnya warga pada umumnya bisa
menerima atau menolak, dan membuat usulan tandingan melalui debat publik tanpa
ketakutan dituduh kafir atau murtad. Nalar dan penalaran publik, dan bukan keyakinan
dan motivasi mayoritas ataupun minoritas, karena sekalipun Muslim sebagai mayoritas,
241Jurgen Habermas, The Structural Tranformation oh the Public Sphere… Ibid., 242 Lihat Reza A. A., Wattimena, Melampaui Negara Hukum Klasik, (Yohyakarta, Kanisius, 2007), h.
97-150. 243 Richard Rortry, Contigency, Irony and Solidarity, h. 28-29.
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
657
mereka tidak lantas bersepakat terhadap kebijakan dan perundang-undangan mana yang
serta merta cocok dengan keyakinan Islam mereka.244
Ada ruang publik yang sifatnya informal/umum dimana masyarakatnya harus
tetap diperkenankan mengungkapkan gagasan-gagasannya dalam bahasa religius
masing-masing yang khas. “Mereka harus diperkenankan untuk juga megungkapkan
keyakinan-keyakinan mereka serta beragumentasi dengan menggunakan bahasa religius,
bila mereka tidak mampu menggungkapkannya dalam bahasa sekular. Dari pihak yang
tidak beragama diharapkan kerjasama dalam bentuk upaya untuk mengerti apa yang
diungkapkan dalam bahsa religius tersebut. Adapun dalam ruang publik yang resmi,
yang berlaku hanyalah argumentasi yang berdasarkan akal budi, yang dapat dimengerti
semua pihak, entah beragama atau tidak. Yang berlaku hanyalah argumentasi yang
bercorak sekular. Pembatasan itu tidak akan dialami oleh pihak yang hanya dapat
mengungkapkan diri dalam bahasa religius sebagai sesuatu yang mengorbankan
identitasnya, karena ia sudah dapat mengungkapkan gagasannya pada tataran ruang
publik umum/informal. Demikian pula pembatasan itu tidak mengasingkannya dari
proses politik secara keseluruhan. Karena sudah mengungkapkan gagasannya dalam
bahasa religius pada tataran ruang publik informal dan dalam kepercayaan akan
kemampuan rekan warga untuk menerjemahkan gagasannya dalam bahasa sekular, ia
tetap dapat memandang dirinya sebagai yang turut serta dalam proses pembuatan
hukum, meskipun yang berlaku dalam proses itu hanyalah argumentasi yang bercorak
sekular.
Untuk itu menurut Habermas, berbagai pihak beragama dituntut kesediaan
belajar untuk menemukan posisi epistemis yang dihadapkan pada tiga tantangan:
pertama, warga beragama harus menentukan posisi epistemis yang tepat, berhadapan
dengan kenyataan plural agama serta berbagai pandangan hidup. Itu bisa dikatakan
berhasil, bila warga beragama secara sadar mampu menunjukkan keterkaitan padangan-
pandangan religusnya dengan pandangan dari agama dan keyakinan lain tanpa
mengorbankan klaim/keyakinan tentang kebenaran agama/keyakinannya sendiri.
Kedua, warga beragama harus menemukan posisi epistemis yang tepat berhadapan
dengan otoritas ilmu pengetahuan. Proses belajar dalam hal ini dapat dikatakan berhasil,
bila mereka mampu merumuskan hubungan antara isi dogmatis agamanya dengan
pengetahuan sekular sedemikian rupa, sehingga tidak terjadi pertentangan antara hasil
kemajuan ilmu pengetahuan dengan pandangan berdasarkan iman mengenai hal yang
bersangkutan. Ketiga, warga beragama harus memiliki sikap yang tepat terhadap
prinsip, bahwa yang berlaku dalam dunia politik adalah “argumen-argumen yang
sekular”, berdasarkan akal budi dan dapat dimengerti oleh semua pihak. Proses belajar
dalam hal ini berhasil, bila mereka mampu “mengintegrasikan prinsip egaliter
244 Abdullah Ahmed An-Na’im, Islam dan Negara Sekular; Menegosiasikan Masa Depan Syari’ah,
(Jakarta: Mizan, 2007), h. 22-23.
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
658
kesetaraan masing-masing individu serta prinsip moral universal ke dalam konteks
doktrin agamanya yang menyeluruh.245
Habermas menekankan bahwa proses belajar tidak boleh terjadi semata-mata
karena dari luar, melainkan harus lahir dari dinamika di dalam agama itu sendiri dan
tidak bertentangan dengan identitasnya. Kerjasama kooperatif tidak dapat diharapkan
dari mereka yang melihat tradisi religius dan kelompok agama sebagai sesuatu yang
berasal dari masa lalu saja, sebagai yang tidak akan bertahan berhadapan dengan gerak
modernisasi di bidang budaya dan kemasyarakatan. Habermas menyebut proses belajar
ini sebagai “berfikir postmetafisik”.246 Untuk itu, ada tiga lapis tantangan epistemis bagi
komunitas orang beragama: Pertama, kesadaran religius harus menghadapi disonansi
kognitif yang lahir dari perjumpaan dengan agama dan kepercayaan lain, termasuk
mereka yang tidak memiliki kepercayaan religius sama sekali. Kedua, komunitas
keagamaan juga harus belajar menyesuaikan diri dengan otoritas sains sebagai
pemegang monopoli pengetahuan sekular. Dan, ketiga, komunitas keagamaan juga
harus setuju pada premis-premis dasar negara konstitusional yang dilandaskan pada
moralitas non-religius.247 Pada sisi lain, kalangan sekular diminta untuk menghormati
keberadaan dan peran kaum beragama dengan sungguh-sungguh,248 sebagai bagian dari
warga negara yang sederajat dan hak-haknya perlu dijaga, dihormati dan dipenuhi.
Tanpa penghormatan yang tulus itu, maka akan sulit juga menuntut partisipasi politis
kaum beragama di dalam menjaga tatanan demokratis konstitusional.
Kesadaran baru -Habermas menyebutnya sebagai “pemikiran pasca-metafisika”
(postmetaphysical thinking) yang “agnostik, tetapi tidak reduksionistis” 249 berusaha
mengembalikan dialog itu, yang selama ini terputus karena pengaruh saintisme dan
pandangan dunia naturalistisnya. Dan dialog ini tertuju pada dua arah: sebagai kritik
terhadap rasa percaya diri kaum sekularis yang menganggap agama sebaiknya dibuang
saja, dan filsafat dilebur sepenuhnya ke dalam sains; maupun penegasan batas-batas
(boundaries) yang membedakan (bukan memisahkan) antara iman dengan pengetahuan.
245 Jurgen Habermas, “Religion in der Offentlichkeit. Kognitive Voraussertzungen fur den
offentlichen Vernunftgebrauch religioser und sakuler Burger”, dalam Zwischen Naturalismus und Religion. Philosophische Aufsatze, (Frankfurt Main: Suhrkamp Verlag, 2005), h. 143.
246 Ibid., 247 Jürgen Habermas, “Religion in the Public Sphere: Cognitive Presuppositions for the ‘Public Use of
Reason’ by Religious and Secular Citizens”, dalam, Between Naturalism and Religion, op.cit., h. 114 – 147, khususnya h. 137 dstnya.
248 Ibid., 138. 249 Ibid., 140.
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
659
D. Maqashid Syari’ah: dari Fiqh Ideologi ke Fiqh Geografis
Proses syari’atisasi tidak bisa dilepaskan dari problem penalaran hukum, baik
sumber maupun aplikasinya dalam suatu ruang dan waktu. Fakta dinamika kehidupan
sosial dengan fakta nash senantiasa saling tarik menarik untuk menemukan satu titik
yang ulama muslim menyebutnya dengan kemaslahatan. Misalnya terkait konsep
kelompok minoritas. Secara geografis, wilayah penyebaran umat Islam sudah tidak
terpusat di satu titik lagi dengan jumlah mayoritas. Secara politik, umat Islam juga tidak
seluruhnya berada pada satu sistem pemerintahan yang tunggal (baca: khilafah). Oleh
karenanya, konsep maqashid syari’ah juga mengalami penyesuaian implikasi
metodologis. Inilah yang disebut oleh Ahmad Imam Mawardi dengan pergeseran dari
fiqh ideologis ke fiqh geografis.250 Melalui pergeseran ini konsep fiqh Aqalliyyat yang
ditawarkan Ahmad Imam merupakan sebuah fiqh yang dirancang untuk masyarakat
minoritas muslim yang berada di kawasan dunia Barat yang memiliki perbedaan bentuk
dan materi dengan fiqh yang dirancang oleh dan untuk masyarakat di Negara-negara
Timur Tengah. 251 Pernyataan Ahmad tersebut menguatkan landasan epistemologis
bahwa proses syari’atisasi tidak mungkin melepaskan diri dari zamannya. Hanya saja,
Ahmad tidak sampai mengkaji lebih jauh kaitan antara maqashid syari’ah dengan
konsep ideologi sebuah negara.
Ahmad Rofiq juga memberikan catatan yang menarik tentang kritiknya terhadap
metodologi formulasi fiqh di Indonesia yang dilakukan lembaga sosial keagamaan
seperti Muhammadiyah dan Nahdhatul Ulama di Indonesia. Baik metode Tarjih maupun
Talfiq, menurut Rofiq, hanya sebatas penekanan upaya realisasi maslahat dengan
mengeliminasi unsur-unsur gharar, riba dan maisir yang dapat merugikan kepentingan
umat, namun belum menunjukkan sebuah epistemologi yang utuh.252 Saya berpendapat,
pergeseran dari konsep ideologis ke geografis, menyebutnya dengan pergeseran dari
ruang privat ke ruang publik. Fiqh yang selama ini berada pada batas-batas konsepsi
dunia muslim dan otoritas tertentu bergeser menjadi kesepakatan musyawarah dengan
dukungan berbagai disiplin ilmu. Misalnya konsep kafir zimmi dan harbi yang tidak
mungkin dipertahankan lagi. Konsep jizyah (pajak non muslim) dan fai (harta rampasan
perang) juga sama halnya.
Ruang publik yang saya maksudkan adalah ruang dimana seluruh masyarakat
Indonesia bersepakat tentang hidup dan kehidupannya secara bersama-sama dalam satu
ikatan wilayah dan ideologi Negara. Jika, bangsa Indonesia sudah bersepakat bahwa
Pancasila merupakan ideologi kehidupan berbangsa dan bernegara, maka ruang
250 Ahmad Imam Mawardi, Fiqh Minoritas; Fiqh al-Aqlliyyat dan Evolusi Maqashid al-Syari’ah dari
Konsep ke Pendekatan, (Yogyakarta: LKIS, 2010), h. 269. 251 Ibid., h. 272. 252 Ahmad Rofiq, “Kritik Metodologi Formulasi Fiqh Indonesia”, dalam Epistemologi Syara’;
Mencari Format Baru Fiqh Indonesia, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2000), h. 107-111.
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
660
publiknya adalah Pancasila. Artinya, memahami ruang publik Indonesia tidak bisa
mengabaikan Pancasila.
E. Pancasila sebagai Maqashid Syari’ah
Menguti pendapatnya Munawir Sadzali: “Bersyukurlah kaum Muslimin
Indonesia bahwa bangsa Indonesia telah menentukan Pancasila sebagai satu-satunya
asas dan landasan bagi kehidupan kenegaraannya…Negara Indonesia yang berdasarkan
Pancasila bukanlah Negara sekuler…Karena Pemerintah secara langsung ikut serta
dalam pemupukan kesejahteraan para warganya dan dalam pengamanan kerukunan
antara agama”.253
Sekali lagi perlu ditegaskan, menyebut maqashid syari’ah maka di dalamnya
terkandung makna proses penerapan hukum Islam (baca: syari’atisasi). Namun, tidak
semua syari’atisasi menerapkan konsep maqashid syari’ah. Hidup di tengah masyarakat
yang pluralistik seperti agama, suku dan ras, telah menempatkan kehadiran Pancasila
sebagai pemersatu. Pancasila tidak hanya sebagai dasar negara, tetapi juga cara pandang
(worldview) seluruh warganya. Mengajukan Pancasila sebagai dasar maqashid syari’ah
adalah sebagai upaya untuk meluruskan semangat kontekstualisasi hukum Islam di
Indonesia. Upaya ini juga sebagai jalan untuk menjembatani berkembanganya
epistemologi tradisional yang setidaknya memberikan trauma sejarah yang panjang.
Mengutip pendapat Soediman Kartohadiprojo, bahwa disajikannya Pancasila sebagai
hasil filsafat, seperti halnya buah-buahan yang diberikan lalu dimakan dengan
keyakinan bahwa dengan buah-buahan itu sesuatu penyakit dapat diberantas, jadi
sebagai obat, maka buah-buahan tadi adalah obat juga. Menurutnya, pancasila adalah
filsafat karena Pancasila merupakan jiwa bangsa Indonesia.254
Pancasila memang bukan agama formal seperti agama tradisional yang ada,
karena memang kelahiran Pancasila berbeda. Pancasila lahir dari kesepakatan politik
untuk hidup bersama dalam sebuah wilayah Indonesia. Oleh karenanya, kelahiran
Pancasila secara tidak langsung memaksa setiap anak bangsa ini untuk menjadikannya
sebagai landasan dalam memahami berbagai hal tentang masalah kebangsaan dan
keIndonesiaan.255 Membenturkannya dengan konsep agama bukanlah hal yang tepat.
Agama dan Pancasila pada dasarnya dua hal yang secara interrelated saling bersinergi.
Ruang publik, sebagaimana saya tegaskan sebelumnya, adalah ruang dimana Pancasila
dijiwai dan dilaksanakan. Memahami Islam Indonesia tidak dapat meninggalkan
pemahaman terhadap Pancasila. Ada lima konsep dasar Pancasila: (1) Ketuhanan Yang
253 Munawir Sadzali, Peranan Ummat Islam dalam Pembangunan Nasional, (Jakarta: Departemen
Agama, 1985), h. 62-66. 254 Sunoto, Mengenal Filsafat Pancasila, seri I (Yogyakarta: UII, 1981), h. 48. Lihat juga P. Hardono
Hadi, Hakikat dan Muatan Filsafat Pancasila, (Yogyakarta: Kanisius, 1994), h. 35. 255 Lihat Kuntowijoyo, Identitas Politik Umat Islam, (Bandung: Mizan, 1997), h. 80-83.
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
661
Maha Esa. (2) Kemanusiaan yang adil dan beradab. (3) Persatuan Indonesia. (4)
Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat/kebijaksanaan dalam permusyawaratan dan
perwakilan. (5) Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Lima konsep dasar tersebut bisa dijadikan sumber penalaran hukum dalam
penerapan syari’atisasi di Indonesia. Dengan pertimbangan tersebut maka proses
syari’atisasi akan memperkuat eksistensi Pancasila sebagai jati diri bangsa Indonesia
yang mengandung ciri-ciri: (1) Pancasila sebagai Kepribadian Bangsa Indonesia. (2)
Pancasila sebagai Identitas diri bangsa Indonesia. (3) Pancasila sebagai keuinikan
bangsa Indonesia. (4) Pancasila sebagai moral bangsa Indonesia.256
Kuntowijoyo menawarkan konsep objektivikasi dalam memasyarakatkan
Pancasila. Objektivikasi yang dimaksud adalah membumikan nilai-nilai Agama tanpa
pemeluk agama lain menganggap tindakan tersebut berasal agama tertentu, tetapi
sesuatu yang natural (alamiah) saja. 257 Oleh karenanya, Kontowijoyo menegaskan
bahwa Pancasila tidak dipahami sekedar pemahaman teologi tertutup, bahwa nilai-nilai
Pancasila tidak bertentangan dengan Islam. Pendekatannya harus lebih ilmiah, sehingga
Pancasila menjadi terbuka. Ringkasnya, Pancasila dan Islam jangan dihadapkan pada
wilayah teologi. Misalnya, sekedar menyamakan semangat gotong-royong dan tolong
menolong dengan sila ke empat. Baik Islam maupun Pancasila harus bertemu pada titik
ilmiah, terbuka, rasional dan objektif.258
Contoh objektivikasi yang dimaksud Kuntowijoyo bisa di contohkan dengan
fatwa keharaman membayar pajak yang direkomendasikan pada musyawarah nasional
Nahdhatul ulama di Cirebon tahun 2012. Keluarnya fatwa tersebut hendaknya tidak saja
di sadari oleh umat Islam. Namun, seluruh umat beragama selain Islam. Karena pajak
berbeda dengan zakat, maka nilai-nilai Pancasila harus dikedepankan dengan
seperangkat alasan-alasan ilmiah, sehingga tidak menimbulkan kecurigaan dari pemeluk
agama lainnya.
Kelemahan analisis maqashid syari’ah tradisional adalah senantiasa melepaskan
diri dari dinamika perkembangan idiologi sebuah negara. Akibatnya, interpretasi nash
dalam menerapkan maqashid syari’ah sering terjebak pada dominasi dan monopoli
pemahaman segelintir pihak dan mengabaikan realitas sebuah Negara bangsa.259 Untuk
mengurai kebekuan nalar kritis maqashid syari’ah yang sudah ada, Jasser Auda
menawarkan enam fitur maqashid sebagai landasan epistemologi hukum Islam. Enam
fitur yang dimaksud adalah: (1) Cognitive Nature. (2) Wholeness. (3) Openness. (4)
256 Pembicaraan tentang ini diulas lebih dalam oleh M. Abdul Karim, Menggali Muatan Pancasila
dalam Perspektif Islam, (Yogyakarta: Surya Raya, 2004), h. 28-42. 257 Kuntowijoyo, Identitas Politik….h. 65. 258 Ibid., h. 90. 259 Penjelasan lebih dalam tentang ini lihat Khaled M. Abou Fadl, Speaking in God’s Name (Oxford:
Oneworld Publications, 2003).
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
662
Interrelated Hierarchy. (5). Multi-Dimensionality, dan (6) Purposefulness of the system
of Islamic Law.260
Jasser Auda melalui enam fitur tersebut ingin membuka kembali fresh ijtihad
dikalangan umat Islam. Hanya saja, ulasan yang disampaikan sangat umum dan
terkesan mengabaikan idiologi politik sebuah Negara. Makalah ini berupaya untuk
menjembatani enam fitur tersebut dengan konteks idiologi politik Negara Indonesia,
yaitu Pancasila. Kelima sila yang ada dari Pancasila tidak diposisikan antara satu
dengan yang lainnya lebih tinggi dan lebih utama. Sila pertama tentang ketuhanan tidak
lebih utama dari sila ke lima tentang keadilan. Antara satu sila dengan sila lainnya
saling terkait dan menjembatani. Mengedepan wacana Pancasila sebagai dasar
perdebatan akan membuka ruang-ruang bagi terjadinya dialog antar berbagai elemen
masyarakat secara terbuka. Kalaupun ada yang sepakat dan tidak sepakat terhadap
sebuah putusan, keduanya tidak mengatasnamakan agama yang dapat menggiring
kepada sentimen SARA. Secara umum, posisi Pancasila diantara enam fitur Jasser Auda
adalah sebagai berikut:
Terobosan Pancasila adalah cara yang paling tepat untuk menempatkan peran negara di
dalam kehidupan warganya yang majemuk. Tujuannya adalah untuk menghilangkan
adanya kesan dominasi satu idiologi agama tertentu dengan agama lainnya. Pancasila
menjadi jembatan keadaban pembangunan tata hukum, tata sosial dan tata budaya
Indonesia yang paling genuin.
Konsep maqashid syari’ah konteks Indonesia adalah dengan menjadikan nilai-
nilai Pancasila tentang ketuhanan, kemanusiaan, persatuan, musyawarah dan keadilan
sebagai landasan epistemologis penetapan sebuah hukum. Pancasila memang tidak
mengatur secara tehnis tentang sholat, puasa, warisan, pernikahan atau haji. Namun,
260 Jasser Auda, Maqashid al-Shariah…Ibid., h. 45-55.
Purposefulness
Multi-
Dimensionality
Interrelated
Hierarchy
Wholeness
Cognitive
Nature
Openness
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
663
Pancasila bisa memberikan pertimbangan terhadap hal-hal yang terkait dengan tata
pergaulan sosial kemasyarakatan.
F. Kesimpulan
Pengajuan fiqh yang mengakomodasi semangat lokal ke Indonesiaan telah mulai
dirintis oleh beberapa tokoh muslim, seperti Hasbi Ash-Shiddiqie, Hazairin, Sahal
Mahfudz, dsb. Semuanya menyadari bahwa konsep syari’ah Indonesia tidaklah
sebagaimana yang berkembang di dunia Arab atau dunia Islam lainnya. Hanya saja,
upaya yang cermat untuk mendialogkannya dengan idiologi Negara, belum terlihat
secara utuh. Penalaran hukum biasanya berpusat pada pembacaan teks-teks Islam (Al-
qur’an, hadis serta pendapat-pendapat ulama) kemudian menariknya ke dalam konteks
kekinian. Hanya saja, model penalaran yang demikian, mencampuradukkan persoalan
privat dan publik. Akibatnya, tidak hanya memunculkan kecurigaan dari paham agama
lain bahkan dari pemeluk agama lain juga, tetapi dapat menyulut penolakan yang
berujung konflik kekerasan.
Indonesia adalah Negara bangsa yang menyepakati Pancasila sebagai dasar
idiologi Negara. Artinya, kepublikan Indonesia adalah Pancasila. Maka maqashid
syari’ah untuk keIndonesiaan adalah Pancasila. Dapat divisualisasikan sebagai berikut:
Penerapannya kelima sila tersebut tidak dengan metode structured hirarcy tetapi
interrelated hierarchy. Saling berkaitan dan melengkapi bukan meniadakan atau
mengutamakan sebagaian atas lainnya, sebagaimana konsep tradisional tentang
dharuriyat, hajiyyat dan tahsiniyyat.
Oleh karenanya, epistemologi hukum Islam di Indonesia membuka perspektif
baru keterlibatan ilmu-ilmu sosial seperti filsafat dan humaniora serta sains dalam
metodologi hukum Islam. Implikasinya adalah, hukum Islam tidak mungkin lagi
menutup diri dari ruang publik yang di dalamnya terdapat berbagai macam kebutuhan
Kemanusiaan
yang Adil dan
Beradab
Ketuhanan Yang
Maha Esa
Kerakyatan yang dipimpin
oleh Hikat/Kebijaksanaan
dalam Permusyawaratan dan
Perwakilan
Persatuan
Indonesia
Keadilan Sosial
bagi Seluruh
Rakyat Indonesia
KEMASLAHATAN
RUANG PUBLIK
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
664
analisis. Ijma’ atau fatwa harus melibatkan banyak unsur didalamnya. Implikasinya,
keduanya bukan monopoli orang yang beragama Islam saja, karena ijma’ dan fatwa
hanyalah instrumen bukan metode penafsiran. Karena, kekuatan bukti hukum bukan
terletak pada identitas agama penafsirnya, namun, pada kehadiran bukti yang sebanyak-
banyaknya. Melalui Pancasila, saya tegaskan, adalah cara yang tepat untuk mengetahui
maksud hukum-hukum Tuhan dalam konteks kehidupan berbangsa dan bernegara di
Indonesia.
Wallahu’alam bi al-Shawab
DAFTAR PUSTAKA
Ahmad Imam Mawardi, Fiqh Minoritas; Fiqh al-Aqlliyyat dan Evolusi Maqashid al-
Syari’ah dari Konsep ke Pendekatan, Yogyakarta: LKIS, 2010
Al-Eini, Bar al-Din, ‘Umdah al-Qari Syarh Shahih al-Bukhari, Beirut: Dar Ihya al-
Turast al-‘Arabi
Asad, Talal, Formations of the Secular: Christianity, Islam, Modernity, Stanford,
California: Stanford University Press, 2003
Auda, Jasser, Maqashid al-Shariah as Philosophy of Islamic Law, London, IIIT, 2008
Barbour, Ian G., Issues in Science and Religion, New York: Harper Torchbook, 1996
El-Fadl, Khaled Abou, Speaking in God’s Name, Oxford, Oneworld Publications, 2003
Feener, R. Michael dan Mark E. Cammack (Edt.), Islamic Law in Contemporary
Indonesia; Ideas and Institutions, Harvard: Harvard University Press, 2007
Flood, Robert dan Ewart Carson, Dealing with Complexity: An Introduction to the
Theory and Application of System Science, vol. 2, New York dan London:
Plenum Press, 1993
Habermas, Jurgen, “Religion in der Offentlichkeit. Kognitive Voraussertzungen fur den
offentlichen Vernunftgebrauch religioser und sakuler Burger”, dalam Zwischen
Naturalismus und Religion, Philosophische Aufsatze, (Frankfurt am Main:
Suhrkamp Verlag, 2005
Habermas, Jurgen, The Structural Tranformation oh the Public Sphere: an Inquiry into
a Category of Burgeois Society, Massachusetts: MIT Press, 1989
Hadi, P. Hardono, Hakikat dan Muatan Filsafat Pancasila, Yogyakarta: Kanisius, 1994
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
665
Hardiman, F. Budi (edt.), Ruang Publik; Melacak Partisipasi Demokrastis dari Polis
sampai Cyberspace, Yogyakarta: Pustaka Filsafat, 2010
Ibn Ashur, Mohammad al-Tahir, Ibn Ashur, Treaties on Maqasyid al-Syari’ah, London,
IIIT: 2006
Karim, M. Abdul, Menggali Muatan Pancasila dalam Perspektif Islam, Yogyakarta:
Surya Raya, 2004
Kuntowijoyo, Identitas Politik Umat Islam, Bandung: Mizan, 1997
Nashr, Sayyed Hosein, Science and Civilization in Islam, Cambridge, Mass: 1968
An-Na’im, Abdullah Ahmed, Islam dan Negara Sekular; Menegosiasikan Masa Depan
Syari’ah, Jakarta: Mizan, 2007
Rofiq, Ahmad, “Kritik Metodologi Formulasi Fiqh Indonesia”, dalam Epistemologi
Syara’; Mencari Format Baru Fiqh Indonesia, Yogyakarta: Pustaka Pelajar,
2000
Sadzali, Munawir, Peranan Ummat Islam dalam Pembangunan Nasional, Jakarta:
Departemen Agama, 1985
Saeed, Abdullah, Islamic Tought: An Introduction, London, New York: Routledge,
2006
Salim, Arskal dan Azyumardi Azra (Etd.), Shari’a and Politics in Modern Indonesia,
Singapore: ISAS, 2003
Sunoto, Mengenal Filsafat Pancasila, seri I, Yogyakarta: UII, 1981
Vattimo, Gianni, “The age of Interpretation”, dalam Richard Rortry & Gianni Vattimo,
The Future of Religion, New York, Columbia University Press, 2005