17
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id 649 KRITIK WACANA SYARI’ATISASI DI RUANG PUBLIK: (Mengajukan Pancasila sebagai Epistemologi Hukum Islam Kontemporer di Indonesia) Syahbudi Studying the shifting dynamics of religious life in a fast-paced world of global change will require the best of a new generation of scholars, alert to emerging ways of thinking, acting and connecting across religious and cultural traditions and astute in their analysis of what is going on. Creating pluralistic societies in the Indonesia, will require the energies of citizens who participate in the forms of public life, political life and civic bridge- building that make diverse societies work. (Diana L. Eck, 2007: 773) A. Latar Belakang Masalah Problem utama yang dihadapi umat Islam bermuara pada dua sisi. Pertama, berhadapan dengan cepatnya perubahan kehidupan sosial-budaya, dan perkembangan sains di sisi yang lain. Misalnya, Penolakan terhadap kehadiran agama Ahmadiyyah dan Syi’ah di Indonesia. Beberapa pihak menganggapnya sebagai perongrongan atau penistaan terhadap agama-agama yang sudah mapan. Belum lagi, kekerasan yang menimpa kelompok-kelompok yang dikategorikan sebagai aliran kepercayaan. Poin penting yang saya maksud dari kasus tersebut adalah penentuan salah dan benar, baik dan buruk pemahaman dan tindakan seseorang dalam menginterpretasikan Tuhan dan agamanya, ditentukan oleh orang lain dan mengabaikan perasaan personal serta dialog secara kultural. Contoh lainnya adalah kemajuan teknologi komunikasi yang memunculkan perdebatan Tuhan dan Agama di berbagai situs website. Teknologi kumunikasi yang hampir tanpa jeda atau ruang pembatas, telah meningkatkan arah pemahaman keagamaan yang tidak liner lagi sebagaimama era mesin ketik. Teknologi dengan segala perangkatnya menjadikan manusia dalam satu arena yang terbuka. Momen ini menjelaskan, membincangkan Tuhan dan Agama bukan lagi hanya di masjid atau pengajian juga bukan lagi otoritas atau monopoli orang tertentu. Kehadiran teknologi telah memberikan ruang (space) bagi siapa saja untuk menafsirkan Tuhan dan Agama. Pada akhirnya, dinamika sosial budaya serta kemajuan sains telah menciptakan kontestasi penafsiran tentang Tuhan dan Agama, benar dan salah, baik dan buruk dalam satu perspektif.

KRITIK WACANA SYARI’ATISASI DI RUANG PUBLIK: … · Contoh lainnya adalah kemajuan teknologi komunikasi yang ... politik, agama dan sosial budaya tumbuh dan berkembang secara bersamaan

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: KRITIK WACANA SYARI’ATISASI DI RUANG PUBLIK: … · Contoh lainnya adalah kemajuan teknologi komunikasi yang ... politik, agama dan sosial budaya tumbuh dan berkembang secara bersamaan

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

649

KRITIK WACANA SYARI’ATISASI DI RUANG PUBLIK:

(Mengajukan Pancasila sebagai Epistemologi Hukum Islam

Kontemporer di Indonesia)

Syahbudi

Studying the shifting dynamics of religious life in a fast-paced world of

global change will require the best of a new generation of scholars, alert to

emerging ways of thinking, acting and connecting across religious and

cultural traditions and astute in their analysis of what is going on. Creating

pluralistic societies in the Indonesia, will require the energies of citizens

who participate in the forms of public life, political life and civic bridge-

building that make diverse societies work.

(Diana L. Eck, 2007: 773)

A. Latar Belakang Masalah

Problem utama yang dihadapi umat Islam bermuara pada dua sisi. Pertama,

berhadapan dengan cepatnya perubahan kehidupan sosial-budaya, dan perkembangan sains di

sisi yang lain. Misalnya, Penolakan terhadap kehadiran agama Ahmadiyyah dan Syi’ah di

Indonesia. Beberapa pihak menganggapnya sebagai perongrongan atau penistaan terhadap

agama-agama yang sudah mapan. Belum lagi, kekerasan yang menimpa kelompok-kelompok

yang dikategorikan sebagai aliran kepercayaan. Poin penting yang saya maksud dari kasus

tersebut adalah penentuan salah dan benar, baik dan buruk pemahaman dan tindakan

seseorang dalam menginterpretasikan Tuhan dan agamanya, ditentukan oleh orang lain dan

mengabaikan perasaan personal serta dialog secara kultural.

Contoh lainnya adalah kemajuan teknologi komunikasi yang memunculkan

perdebatan Tuhan dan Agama di berbagai situs website. Teknologi kumunikasi yang hampir

tanpa jeda atau ruang pembatas, telah meningkatkan arah pemahaman keagamaan yang tidak

liner lagi sebagaimama era mesin ketik. Teknologi dengan segala perangkatnya menjadikan

manusia dalam satu arena yang terbuka. Momen ini menjelaskan, membincangkan Tuhan dan

Agama bukan lagi hanya di masjid atau pengajian juga bukan lagi otoritas atau monopoli

orang tertentu. Kehadiran teknologi telah memberikan ruang (space) bagi siapa saja untuk

menafsirkan Tuhan dan Agama. Pada akhirnya, dinamika sosial budaya serta kemajuan sains

telah menciptakan kontestasi penafsiran tentang Tuhan dan Agama, benar dan salah, baik dan

buruk dalam satu perspektif.

Page 2: KRITIK WACANA SYARI’ATISASI DI RUANG PUBLIK: … · Contoh lainnya adalah kemajuan teknologi komunikasi yang ... politik, agama dan sosial budaya tumbuh dan berkembang secara bersamaan

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

650

Contoh berikutnya yang dapat memperkuat argumentasi problem pertama diatas

adalah penolakan beberapa tokoh agama terhadap putusan Mahkamah Konstitusi (MK)

tentang status anak yang lahir di luar pernikahan legal menurut negara dan agama.216

Pendekatan sains sangat meyakinkan, bahwa status biologis yang paling tepat, bisa

dilakukan lewat uji tes DNA (Deoxyribo Nucleic Acid). Sulit bagi sebagian orang yang

bergelut di bidang sains, menghakimi status hukum dan biologis seorang anak dengan

menggunakan uji kualitatif-interpretatif melalui kitab-kitab kuning.

Salah satu amar putusan Mahkamah Konstitusi berbunyi:

“Pasal 43 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan

(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1974 Nomor 1, Tambahan Lembaran

Negara Republik Indonesia Nomor 3019) yang menyatakan, “Anak yang dilahirkan di

luar perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga

ibunya”, bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia

Tahun 1945 sepanjang dimaknai menghilangkan hubungan perdata dengan laki-laki

yang dapat dibuktikan berdasarkan ilmu pengetahuan dan teknologi dan/atau alat bukti

lain menurut hukum ternyata mempunyai hubungan darah sebagai ayahnya;”217

Secara tegas dan lugas, MK telah menggunakan epistemologi sains dalam

memutuskan status biologis seorang anak. Konsekuensi dari putusan ini adalah terkait

dengan hukum kewarisan, perkawinan dan hubungan perdata lainnya antara anak dan

kedua orang tuanya, terutama hubungan dengan ayah biologisnya. Menurut saya,

pemutusan hubungan anak dan ayah menyebabkan terjadinya streotype hukum terhadap

anak yang lahir dari hasil perzinahan. Konteks pemutusan hubungan tersebut, bagi saya,

semata-mata hanyalah persoalan sosiologis saja. Setidaknya memberikan efek jera bagi

pelakunya. Dalam pandangan yang lebih luas, kenyataan ini dapat saja menjadi

persoalan yang dapat melanggar hak-hak asasi seorang anak.

Problem utama yang kedua adalah, pembaharuan ranah penalaran kritis (baca:

epistemologi) di tengah pusaran modernitas dan globalisasi. Ruang publik adalah ruang

yang terbuka bagi terjadinya tarik menarik perebutan wacana. Dinamika kehidupan

politik, agama dan sosial budaya tumbuh dan berkembang secara bersamaan dan saling

mempengaruhi. Sebut saja kriteria masalah-masalah yang menyebabkan kelahiran

beberapa fatwa serta perda (peraturan daerah) yang menempelkan label syari’ah.218

Kelahiran Islam di berbagai tempat tentu saja mempertimbangkan aspek dinamika

216 Kasus ini bermula pada gugatan yang dilakukan oleh Machica Mokhtar yang mengajukan judicial review

ke Mahkamah Konstitusi terkait status anak yang lahir dari pernikahan sirrinya dengan Moerdiono. 217 http://www.mahkamahkonstitusi.go.id/putusan/putusan_sidang_ diakses tanggal 10 Oktober 2012. 218 Sebenarnya, istilah perda syari’ah tidak dikenal dalam peraturan perundang-undangan di Indonesia.

Makna yang dapat dipahami dari istilah tersebut adalah dominasi semangat aturan-aturan syari’ah (baca: hukum Islam) yang menjiwai materi dan ruh peraturan tersebut. Bandingkan dengan

http://www.mui-bukittinggi.org/index.php?option=com_content&view=article&id=58:kontroversi-seputar-perda-syariah&catid=35:artikel&Itemid=54. Diakses tanggal 5 Oktober 2012

Page 3: KRITIK WACANA SYARI’ATISASI DI RUANG PUBLIK: … · Contoh lainnya adalah kemajuan teknologi komunikasi yang ... politik, agama dan sosial budaya tumbuh dan berkembang secara bersamaan

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

651

perkembangan epistemologinya. Jika hukum tidak mungkin lahir diruang hampa, maka

epistemologi hukumnya juga harus senantiasa berobah.219

Sementara itu, pada aspek yang lain, jika agama merupakan urusan

pemerintahan pusat, maka kehadiran perda syari’ah dapat menciptakan otonomi

kebijakan yang terkotak-kotak tentang implementasi ajaran-ajaran syari’ah. 220

Mengingat konteks perpindahan manusia antar satu daerah dengan daerah lain yang

sangat dinamis, maka hal tersebut sangat rawan menimbulkan kesalahpahaman.

Misalnya perda syari’ah di Bogor yang melarang perempuan keluar tanpa ditemani

muhrimnya diatas jam 22.00 WIB.221 Perda ini mendapat penentangan dari berbagai

kalangan masyarakat, mengingat dinamika sosial-ekonomi kehidupan masyarakat kota

yang sangat tinggi. Demikian juga peraturan daerah yang mewajibkan memakai jilbab

di luar rumah. Contoh lain dan mirip dengan kehadiran perda syari’ah adalah

munculnya beberapa ormas keagamaan yang bergerak tanpa sebuah dukungan

epistemologi yang mapan. Asumsi ini diperkuat dengan ketidakteguhan isu-isu yang

diperjuangkan. Penghancuran tempat-tempat judi, minuman keras hingga pelacuran,

lebih pada tindakan sporadik dan insidentil, bahkan caranya dianggap model dakwah

Islami yang tidak berubah dari tahun ke tahun. Misalnya hanya dibulan ramadhan saja,

sementara dibulan lainnya tidak terjadi. Atau di tempat lain dilakukan sweeping,

sementara tempat lain tetap aman dan dibiarkan.

Dari penjelasan singkat di atas, masing-masing pada kasus pertama dan kedua,

menunjukkan adanya problem epistemologi dalam memahami relasi agama (baca:

Islam) di tengah masyarakat modern saat ini khususnya di Negara Indonesia yang

menganut Pancasila sebagai dasar negara. Menjamurnya wacana syari’ah 222 dalam

berbagai bidang kehidupan sosial, budaya, politik dan ekonomi serta hukum, juga

memberikan gembaran yang jelas: pertama, belum adanya epistemologi yang bisa

dijadikan parameter, sehingga gerak syari’ah diruang publik tidak mengarah pada

otoritarianisme. Kedua; berbagai kasus yang disebutkan pada latar belakang masalah

serta implikasinya dengan wacana syari’ah merupakan satu keinginan oleh sekelompok

pihak untuk menegaskan identitas agamanya diruang publik. Disinilah awal kontestasi

wacana di ruang publik dimulai.223

219 Kaidah fiqh menyebutnya: األحكام بتغیر األزمانالینكر تغیر 220 Lihat Arskal Salim dan Azyumardi Azra (Etd.), Shari’a and Politics in Modern Indonesia,

(Singapore: ISAS, 2003), h. 1-15. 221 Bahkan Perda dibeberapa daerah sudah masuk pada wilayah yang sangat personal. Misalnya Perda

Kab. Banjar No. 8/2005 tentang Jum’at Khusyu’. 222 Moch. Nur Ichwan, “The Politics of Shari’atization: Central Govermental and Regional Discourses

of Shari’a Implementation in Aceh”, dalam R. Michael Feener dan Mark E. Cammack (Edt.), Islamic Law in Contemporary Indonesia; Ideas and Institutions, (Harvard: Harvard University Press, 2007), h. 193-215.

223 Contoh tentang ini tergambar ketika KPPS (Komite Persiapan Penegakan Syari’at Islam) di Makassar, Sulawesi Selatan berniat untuk memformalkan syari’at Islam di Sulawesi Selatan. Lihat Ahmad Faisal, Rekonstruksi Syari’at Islam (Kajian tentang Pandangan Ulama terhadap Gagasan

Page 4: KRITIK WACANA SYARI’ATISASI DI RUANG PUBLIK: … · Contoh lainnya adalah kemajuan teknologi komunikasi yang ... politik, agama dan sosial budaya tumbuh dan berkembang secara bersamaan

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

652

B. Pentingnya Membaca Ulang Maqasyid Syari’ah

Term maqashid merujuk pada purpose, objective, principle, intent, goal, dan

telos (Yunani), finalité (Prancis) atau Zweck (Jerman). Dalam epistemologi hukum

Islam, maqashid sudah menjadi pusat bagi penalaran kritis produk-produk hukum

lainnya, sekalipun dengan ekspresi yang berbeda-beda. 224 Maqashid bisa bermakna

menuju suatu arah, tujuan, tengah-tengah, adil atau tidak melampaui batas.225 Menurut

Ibn ‘Asyur, maqashid syari’ah adalah:

“Makna-makna dan hikmah-hikmah yang diperhatikan dan dipelihara oleh

syari’ dalam setiap bentuk penentuan hukum-Nya. Hal ini tidak hanya berlaku

pada jenis-jenis hukum tertentu sehingga masuklah dalam cakupannya segala

sifat, tujuan umum dan makna syari’ah yang terkandung dalam hukum serta

masuk pula di dalamnya makna-makna hukum yang tidak diperhatikan secara

keseluruhan tetapi dijaga dalam banyak bentuk hukum.” 226

Untuk itu, inti maqashid syari’ah adalah bagaimana menjaga kepentingan pembuat

hukum dapat terpenuhi tanpa mengabaikan kepentingan manusia sendiri. Bukan terletak

pada jenis tindakannya, tetapi lebih pada kualitas tindakan. Secara tegas dapat

disampaikan, bahwa kepentingan penerapan hukum Islam dengan memperhatikan

tujuan hukum (baca: maqashid syari’ah) sudah menjadi keharusan jaman. Tanpa itu,

maka hukum Islam dalam konteks yang lebih luas seperti pada wilayah politik, ekonomi

serta sosial budaya akan hampa dan kehilangan elan vitalnya.

Ada beberapa karakter maqashid dalam lingkaran epistemologi tradisional,

misalnya: (1) Ruang lingkupnya hanya membicarakan satu bidang saja, yaitu hukum

Islam. Bahkan yang lebih spesifik lagi, bertumpu pada wacana fiqh. Artinya, maqashid

tradisional lebih menyukai mendeduksinya dari studi fiqh dan tidak merujuk langsung

pada teks atau sumber asli. (2) Perhatiannya tertuju pada kepentingan individual, kurang

bersinggungan dengan persoalan keluarga, sosial dan kemanusiaan. Apalagi terkait

dengan perhatian keadilan dan kebebasan dalam konteks global.227

Pada era modern dan postmodern, epistemologi maqashid sejatinya

membuka ruang lingkup yang lebih besar lagi, memperhitungkan dan

Penegakan Syari’at Islam oleh KPPS di Sulawesi Selatan), (Disertasi, UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, 2004), tidak diterbitkan.

224 Abd al-Malik al-Juwaini (w. 1185 M) menggunakan istilah maqashid dan al-masalih al-‘ammah. Abu Hamid al-Ghazali (w. 1111 M), Fakhruddin al-Razi (w.1209 M) serta al-Amidi (w. 1234 M) menyebutnya al-masalih al-mursalah. Najm al-Din al-Tufi (w. 1316 M) menyebutnya al-maslahah. Sementara al-Qarafi (w. 1868 M) menghubungkan maslahah dan maqashid sebagai satu kesatuan yang utuh. Jasser Auda, Maqashid al-Shariah as Philosophy of Islamic Law, (London, IIIT, 2008), h. 2.

225 Ahmad bin Muhammad bin ‘Ali al-Fayumi al-Muqri, Al-Mishbah al-Munir fi Gharib al-Syarh al-Kabir li al-Rafi’i, (Beirut: Maktabah Lubnan, 1987), h. 192.

226 Ibn ‘Asyur, Maqashid al-Syari’ah al-Islamiyyah, edt. al-Tahir al-Mesawi (Kuala Lumpur: al-Fajr, 1999), h. 246, 405

227 Ibid.,: 4

Page 5: KRITIK WACANA SYARI’ATISASI DI RUANG PUBLIK: … · Contoh lainnya adalah kemajuan teknologi komunikasi yang ... politik, agama dan sosial budaya tumbuh dan berkembang secara bersamaan

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

653

Agama Sains

Ilmu-Ilmu

Sosial

Kemanusiaan

Kontemporer

memperhatikan dinamika sains, ilmu-ilmu sosial, nilai nilai kemanusiaan

kontemporer serta perkembangan agama sendiri. 228

Jasser Auda mengakui bahwa kemajuan besar dalam sains sering menjadi garda

terdepan untuk perubahan besar dalam paradigma filosofis termasuk mempengaruhi

filosofi tentang agama. 229 Auda menawarkan pendekatan sistem sebagai sebuah

pendekatan yang holistik, dimana setiap entitas berkaitan erat dengan seluruh sistem

yang terdiri dari sejumlah sub sistem dan bukan sekedar kausalitas saja.230 Teori sistem

menyajikan jalan tengah dengan mengusulkan korelasi (correlation) sebagai sifat

hubungan antara sistem dan dunia, yaitu, kesadaran mental kita tentang dunia luar

dalam pengertian sistem berkorelasi dengan apa yang ada.231 Menurut teori ini, sistem

tidak selalu mengidentifikasi hal-hal yang ada di dunia nyata tetapi lebih merupakan

cara mengorganisasi pikiran kita tentang dunia nyata.232 Dengan demikian, sistem akan

menjadi satu kesatuan. Karena setiap pemahaman apa yang kita sebut realitas,

merupakan masalah kognisi.233

Dengan demikian, definisi umum dari sistem adalah seperangkat unit interaksi

atau elemen-elemen yang membentuk suatu keseluruhan yang utuh dimaksudkan untuk

melakukan beberapa fungsi. Analisis sistematik biasanya melibatkan identifikasi unit-

unit, elemen-elemen atau berbagai sub sistem, serta bagaimana unit-unit ini saling

terkait (interrelated) dan terpadu (integrated) dalam proses atau fungsi. Mengungkap

keterkaitan ini akan mengungkapkan seluruh sistem yang dianalisis melampaui

pandangan atomistik dan statis tentang analisis dekomposisional.

228 Mohammad al-Tahir Ibn Ashur, Ibn Ashur, Treaties on Maqasyid al-Syari’ah, (London, IIIT:

2006), h. 2. 229 Jasser Auda, Maqashid al-Shariah…: 27. 230 Ibid., h. 28-29. 231 Robert Flood dan Ewart Carson, Dealing with Complexity: An Introduction to the Theory and

Application of System Science, vol. 2, (New York dan London: Plenum Press, 1993),h. 247. 232 Ini mirip dengan istilah imajinasi kreatifnya Ian Borbour, bahwa selalu saja ada hubungan dan

interaksi realitas dan kognisi. Ian G. Barbour, Issues in Science and Religion, (New York: Harper Torchbook, 1996), h. 162-174.

233 Gianni Vattimo, “The age of Interpretation”, dalam Richard Rortry & Gianni Vattimo, The Future of Religion, (New York, Columbia University Press, 2005), h. 45-49.

Maqashid

Syari’ah

Page 6: KRITIK WACANA SYARI’ATISASI DI RUANG PUBLIK: … · Contoh lainnya adalah kemajuan teknologi komunikasi yang ... politik, agama dan sosial budaya tumbuh dan berkembang secara bersamaan

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

654

C. Epistemologi Hukum Islam dan Ruang Publik

Ruang publik (public sphere, inggris) atau Offentlichkeit (Jerman) merupakan

sebuah konsep yang akhir-akhir ini popular dalam ilmu-ilmu sosial, teori demokrasi dan

diskursus politis pada umumnya. 234 Kata “publik” berasal dari bahasa Latin, yaitu

Publicus. Yang jika merujuk pada masyarakat Romawi kuno, publicus memiliki dua

arti: (1) milik rakyat sebagai satuan politis atau milik Negara. (2) sesuai dengan rakyat

sebagai seluruh penduduk atau umum.

Menurut Hannah Arendt (1906-1975) 235 , ruang publik juga sebagai ruang

“penampakan” (Erschenungsraum) yaitu suatu ruang penampakan terjadi di tempat-

tempat orang-orang saling berinteraksi dengan bertindak dan berbicara; ruang itulah

yang menjadi dasar semua pendirian dan bentuk negara…ruang itu ada secara potensial

pada setiap himpunan orang, memang hanya secara potensial; ia tidak niscaya

diaktualisasikan di dalam himpunan itu dan juga tidak dipastikan untuk selamanya atau

untuk waktu tertentu.236 Selanjutnya Arendt, mengidentifikasi perbedaan ruang publik

dan ruang privat:

Privat Realmn (oikos) Public Realm (polis)

Ruangnya Houshold (family) Political Realm

Hukum Dasarnya Wants + needs, law of

necessity, the driving forces is

life itself.

Freedom

Cara mengaturnya Force + violence Speech (logos); Persuasion

Relasi antar

Manusianya

Inequality Equality (isonomia)

Hampir semua cakupan diskursus tentang kepublikan sangat tergantung pada konsep

kultural tentang manusia, keyakinan-keyakinan dasariah dan struktur yang diciptakan

untuk mengatur kesejahteraan umum berikut ideologi-ideologi yang mengagitasi sikap

dan perilaku tertentu yang diharapkan. Untuk itu, pembicaraan tentang agama manapun

juga dalam konteks kepublikan tidak akan dapat menyingkirkan dimensi sosial yang

selalu koheren pada agama. Artinya, agama pun tidak bebas nilai, karena memang

diperuntukkan bagi kehidupan manusia.

234 F. Budi Hardiman (edt.), Ruang Publik; Melacak Partisipasi Demokrastis dari Polis sampai

Cyberspace, (Yogyakarta: Pustaka Filsafat, 2010), h. 1. Buku ini sangat representatif sebagai pijakan awal untuk memahami makna ruang publik, dan konstruksi teoretik yang dibangun dalam penulisan makalah ini juga terinspirasi oleh buku tersebut.

235 Hannah Arendt, “The Public and The Private Realm”, dalam The Portable Hannah Arendt, Peter Baehr (edt.), (Pinguin Books), h. 185-185.

236 Ibid.,

Page 7: KRITIK WACANA SYARI’ATISASI DI RUANG PUBLIK: … · Contoh lainnya adalah kemajuan teknologi komunikasi yang ... politik, agama dan sosial budaya tumbuh dan berkembang secara bersamaan

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

655

Menurut Immanuel Kant, pembicaraan tentang publik berkaitan erat dengan

masalah moral (imperative batin) dengan hukum (norma lahiriah) dalam ranah politik

praktis. Kalau moral secara hakiki ditentukan oleh kapasitas individu menentukan diri

sendiri lewat tindakan pribadinya, efektifitas hukum terjadi sebaliknya yaitu berkat

kekuasaan institusi atau badan otoritatif yang berwenang. Tetapi keberlakuan

objektivitas keduanya hanya bisa diterima, bila baik moral maupun hukum terbuka pada

diskursus intersubyektif.

Hukum dan moral sifatnya rasional. Sebab hanya apa yang rasional harus bisa

juga dipertanggung jawabkan secara terbuka dalam suatu diskursus “publik-

intersubjektif” tadi. Kepublikan dan rasionalitas berkorelasi secara hakiki. Maka suatu

moral yang bersifat rahasia atau suatu hukum yang hanya berlaku dibawah meja tidak

bisa ditampung dalam pemikiran Kant. Keduanya membutuhkan kepublikan untuk

mendapatkan pendasaran rasionalnya. Maka, apa yang kebal terhadap pengujian terbuka

tidak bisa dinilai sebagai rasional, moral maupun legal. Karena kepublikan disini

berfungsi sebagai kriterium yang membatasi, Kant menyebut prinsip ini “negative”,

maksudnya: ”ia hanya berfungsi untuk mengenali-melalui bantuannya- apa yang tidak

benar terhadap orang lain. Inilah yang dimaksud oleh Kant kepublikan sebagai sebuah

idea atau cara befikir.

Lebih lanjut, Kant juga menjelaskan tentang Kepublikan sebagai institusi.

Secara tegas Kant mengatakan, bahwa hukum kepublikan adalah semua tindakan yang

terkait dengan hak orang lain, yang maksimnya tidak sejalan dengan kepublikan, adalah

tidak benar. Rumusan ini menyatakan bahwa kepublikan merupakan prasyarat niscaya

bagi hukum. Apa yang dinilai tidak mencukupi berdasarkan kriterium kepublikan, tidak

mungkin bisa menjadi hukum. “Sebab jika suatu tujuannya hanya dapat tercapai melalui

kepublikan, maka maksim yang bersangkutan pasti sesuai dengan tujuan bersama, yakni

kebahagiaan.237 Richard Rortry menyebut ruang publik sebagai tempat untuk berbicara

mengenai masalah-masalah yang berkaitan dengan keadilan dan solidaritas sosial.238

Sementara itu menurut Habermas239, ruang publik merupakan asosiasi-asosiasi

demokratis yang baginya esensial, karena melalui itu masyarakat sipil bisa membatasi

dan mengarahkan otoritas Negara dan penetrasi ekonomi. Dalam bahasa Habermas,

ruang publik ini meliputi konsep ruang, tempat-tempat sosial dimana makna dan ide

dipertukarkan, juga berarti sebuah tubuh kolektif yang tersusun dari publik itu sendiri.

Habermas memberikan empat syarat untuk munculnya ruang publik; pertama, status

orang tidak dipersoalkan. 240 Kedua, bahan yang didiskusikan adalah apa-apa yang

237 Howard Williams, Kant’s Political Philosophy (New York: St. Martin’s Press, 1983), h. 108. 238 Richard Rortry, Contigency, Irony and solidarity, (Cambrdige, Cambridge University, 1989), h. 26 239 Jurgen Habermas, The Structural Tranformation oh the Public Sphere: an Inquiry into a Category

of Burgeois Society, (Massachusetts: MIT Press, 1989), h. 30. 240 Jurgen habermas, “The Public sphere”, dalam C. Mukerji & M. Schodson (edt.), Rethinking

Popular Culture: Contemporary Perspektives in Cultural Studies, (Berkeley: University of California Press, 1991), h. 398.

Page 8: KRITIK WACANA SYARI’ATISASI DI RUANG PUBLIK: … · Contoh lainnya adalah kemajuan teknologi komunikasi yang ... politik, agama dan sosial budaya tumbuh dan berkembang secara bersamaan

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

656

belum dipertanyakan sebelumnya baik Negara maupun masyarakat. Ketiga, keputusan

yang diambil didasarkan pada diskusi rasional. Keempat, publik yang dimaksud bersifat

inklusif (tidak eksklusif).241

Secara umum gambaran tentang ruang publik demokratis adalah ruang publik

yang di dalamnya semua anggota masyarakat memiliki kehendak untuk

berkomunikasi. 242 Dalam komunikasi ini gagasan-gagasan yang dirumuskan dalam

bahasa religius diperhatikan dengan sungguh dan didiskusikan secara kritis sebagai

berpotensi memiliki isi kognitif. Kendati berbeda pandangan hidup dan agama, semua

warga masyarakat adalah anggota yang setara dalam melaksanakan aktivitas politik.

Potensi konflik yang ada karena adanya perbedaan pada tataran kognitif berkaitan

dengan perbedaan pandangan hidup antara mereka yang berbeda agama, pada tataran

sosial dapat diminimalkan dengan berlakunya prinsip kebebasan beragama dan suara

hati.

Apa yang disebut kebenaran lebih merupakan sesuatu yang dirumuskan, dan

bukan sesuatu yang sudah ada di sana serta siap untuk direngkuh untuk diketahui. Di

dalam ruang publik, konsep kebenaran tidak lagi merupakan sesuatu yang berada di luar

waktu dan bersifat universal, tetapi lebih merupakan sebagai “tentara metafor-metafor

yang terus bergerak (mobile army of metaphors). Artinya, upaya kita untuk

merumuskan kebenaran yang berlaku untuk semua manusia dan untuk semua konteks

haruslah ditinggalkan.243 Semua warga masyarakat –baik yang beragama ataupun tidak-

harus menerima prinsip, bahwa Negara dan pemerintah bersikap netral dalam hal

pandangan hidup (weltanschauung) yang menentukan antara lain tentang apa yang baik

dan buruk. “Kekosongan yang ditingalkan akibat sikap netral terhadap pandangan hidup

dan agama itu harus diisi oleh undang-undang yang demokratis”. Agama dituntut

melepaskan klaim sebagai satu-satunya memiliki otoritas untuk menafsirkan dan

menentukan cara hidup mana yang legitim.

Menurut Abdullah Ahmed An-Na’im, kehadiran ruang publik harus didukung

oleh kehadiran nalar publik (public reason). Kata “publik” menurut An-Na’im mengacu

kepada kebutuhan agar alasan-alasan yang melandasi kebijakan dan perundang-

undangan itu dikemukakan secara publik dan juga bahwa proses penalaran atas masalah

tersebut terbuka bagi, dan dapat diakses oleh semua warga Negara. Maka nalar publik

adalah bahwa alasan, maksud dan tujuan kebijakan publik atau perundang-undangan

harus didasarkan pada pemikiran yang didalamnya warga pada umumnya bisa

menerima atau menolak, dan membuat usulan tandingan melalui debat publik tanpa

ketakutan dituduh kafir atau murtad. Nalar dan penalaran publik, dan bukan keyakinan

dan motivasi mayoritas ataupun minoritas, karena sekalipun Muslim sebagai mayoritas,

241Jurgen Habermas, The Structural Tranformation oh the Public Sphere… Ibid., 242 Lihat Reza A. A., Wattimena, Melampaui Negara Hukum Klasik, (Yohyakarta, Kanisius, 2007), h.

97-150. 243 Richard Rortry, Contigency, Irony and Solidarity, h. 28-29.

Page 9: KRITIK WACANA SYARI’ATISASI DI RUANG PUBLIK: … · Contoh lainnya adalah kemajuan teknologi komunikasi yang ... politik, agama dan sosial budaya tumbuh dan berkembang secara bersamaan

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

657

mereka tidak lantas bersepakat terhadap kebijakan dan perundang-undangan mana yang

serta merta cocok dengan keyakinan Islam mereka.244

Ada ruang publik yang sifatnya informal/umum dimana masyarakatnya harus

tetap diperkenankan mengungkapkan gagasan-gagasannya dalam bahasa religius

masing-masing yang khas. “Mereka harus diperkenankan untuk juga megungkapkan

keyakinan-keyakinan mereka serta beragumentasi dengan menggunakan bahasa religius,

bila mereka tidak mampu menggungkapkannya dalam bahasa sekular. Dari pihak yang

tidak beragama diharapkan kerjasama dalam bentuk upaya untuk mengerti apa yang

diungkapkan dalam bahsa religius tersebut. Adapun dalam ruang publik yang resmi,

yang berlaku hanyalah argumentasi yang berdasarkan akal budi, yang dapat dimengerti

semua pihak, entah beragama atau tidak. Yang berlaku hanyalah argumentasi yang

bercorak sekular. Pembatasan itu tidak akan dialami oleh pihak yang hanya dapat

mengungkapkan diri dalam bahasa religius sebagai sesuatu yang mengorbankan

identitasnya, karena ia sudah dapat mengungkapkan gagasannya pada tataran ruang

publik umum/informal. Demikian pula pembatasan itu tidak mengasingkannya dari

proses politik secara keseluruhan. Karena sudah mengungkapkan gagasannya dalam

bahasa religius pada tataran ruang publik informal dan dalam kepercayaan akan

kemampuan rekan warga untuk menerjemahkan gagasannya dalam bahasa sekular, ia

tetap dapat memandang dirinya sebagai yang turut serta dalam proses pembuatan

hukum, meskipun yang berlaku dalam proses itu hanyalah argumentasi yang bercorak

sekular.

Untuk itu menurut Habermas, berbagai pihak beragama dituntut kesediaan

belajar untuk menemukan posisi epistemis yang dihadapkan pada tiga tantangan:

pertama, warga beragama harus menentukan posisi epistemis yang tepat, berhadapan

dengan kenyataan plural agama serta berbagai pandangan hidup. Itu bisa dikatakan

berhasil, bila warga beragama secara sadar mampu menunjukkan keterkaitan padangan-

pandangan religusnya dengan pandangan dari agama dan keyakinan lain tanpa

mengorbankan klaim/keyakinan tentang kebenaran agama/keyakinannya sendiri.

Kedua, warga beragama harus menemukan posisi epistemis yang tepat berhadapan

dengan otoritas ilmu pengetahuan. Proses belajar dalam hal ini dapat dikatakan berhasil,

bila mereka mampu merumuskan hubungan antara isi dogmatis agamanya dengan

pengetahuan sekular sedemikian rupa, sehingga tidak terjadi pertentangan antara hasil

kemajuan ilmu pengetahuan dengan pandangan berdasarkan iman mengenai hal yang

bersangkutan. Ketiga, warga beragama harus memiliki sikap yang tepat terhadap

prinsip, bahwa yang berlaku dalam dunia politik adalah “argumen-argumen yang

sekular”, berdasarkan akal budi dan dapat dimengerti oleh semua pihak. Proses belajar

dalam hal ini berhasil, bila mereka mampu “mengintegrasikan prinsip egaliter

244 Abdullah Ahmed An-Na’im, Islam dan Negara Sekular; Menegosiasikan Masa Depan Syari’ah,

(Jakarta: Mizan, 2007), h. 22-23.

Page 10: KRITIK WACANA SYARI’ATISASI DI RUANG PUBLIK: … · Contoh lainnya adalah kemajuan teknologi komunikasi yang ... politik, agama dan sosial budaya tumbuh dan berkembang secara bersamaan

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

658

kesetaraan masing-masing individu serta prinsip moral universal ke dalam konteks

doktrin agamanya yang menyeluruh.245

Habermas menekankan bahwa proses belajar tidak boleh terjadi semata-mata

karena dari luar, melainkan harus lahir dari dinamika di dalam agama itu sendiri dan

tidak bertentangan dengan identitasnya. Kerjasama kooperatif tidak dapat diharapkan

dari mereka yang melihat tradisi religius dan kelompok agama sebagai sesuatu yang

berasal dari masa lalu saja, sebagai yang tidak akan bertahan berhadapan dengan gerak

modernisasi di bidang budaya dan kemasyarakatan. Habermas menyebut proses belajar

ini sebagai “berfikir postmetafisik”.246 Untuk itu, ada tiga lapis tantangan epistemis bagi

komunitas orang beragama: Pertama, kesadaran religius harus menghadapi disonansi

kognitif yang lahir dari perjumpaan dengan agama dan kepercayaan lain, termasuk

mereka yang tidak memiliki kepercayaan religius sama sekali. Kedua, komunitas

keagamaan juga harus belajar menyesuaikan diri dengan otoritas sains sebagai

pemegang monopoli pengetahuan sekular. Dan, ketiga, komunitas keagamaan juga

harus setuju pada premis-premis dasar negara konstitusional yang dilandaskan pada

moralitas non-religius.247 Pada sisi lain, kalangan sekular diminta untuk menghormati

keberadaan dan peran kaum beragama dengan sungguh-sungguh,248 sebagai bagian dari

warga negara yang sederajat dan hak-haknya perlu dijaga, dihormati dan dipenuhi.

Tanpa penghormatan yang tulus itu, maka akan sulit juga menuntut partisipasi politis

kaum beragama di dalam menjaga tatanan demokratis konstitusional.

Kesadaran baru -Habermas menyebutnya sebagai “pemikiran pasca-metafisika”

(postmetaphysical thinking) yang “agnostik, tetapi tidak reduksionistis” 249 berusaha

mengembalikan dialog itu, yang selama ini terputus karena pengaruh saintisme dan

pandangan dunia naturalistisnya. Dan dialog ini tertuju pada dua arah: sebagai kritik

terhadap rasa percaya diri kaum sekularis yang menganggap agama sebaiknya dibuang

saja, dan filsafat dilebur sepenuhnya ke dalam sains; maupun penegasan batas-batas

(boundaries) yang membedakan (bukan memisahkan) antara iman dengan pengetahuan.

245 Jurgen Habermas, “Religion in der Offentlichkeit. Kognitive Voraussertzungen fur den

offentlichen Vernunftgebrauch religioser und sakuler Burger”, dalam Zwischen Naturalismus und Religion. Philosophische Aufsatze, (Frankfurt Main: Suhrkamp Verlag, 2005), h. 143.

246 Ibid., 247 Jürgen Habermas, “Religion in the Public Sphere: Cognitive Presuppositions for the ‘Public Use of

Reason’ by Religious and Secular Citizens”, dalam, Between Naturalism and Religion, op.cit., h. 114 – 147, khususnya h. 137 dstnya.

248 Ibid., 138. 249 Ibid., 140.

Page 11: KRITIK WACANA SYARI’ATISASI DI RUANG PUBLIK: … · Contoh lainnya adalah kemajuan teknologi komunikasi yang ... politik, agama dan sosial budaya tumbuh dan berkembang secara bersamaan

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

659

D. Maqashid Syari’ah: dari Fiqh Ideologi ke Fiqh Geografis

Proses syari’atisasi tidak bisa dilepaskan dari problem penalaran hukum, baik

sumber maupun aplikasinya dalam suatu ruang dan waktu. Fakta dinamika kehidupan

sosial dengan fakta nash senantiasa saling tarik menarik untuk menemukan satu titik

yang ulama muslim menyebutnya dengan kemaslahatan. Misalnya terkait konsep

kelompok minoritas. Secara geografis, wilayah penyebaran umat Islam sudah tidak

terpusat di satu titik lagi dengan jumlah mayoritas. Secara politik, umat Islam juga tidak

seluruhnya berada pada satu sistem pemerintahan yang tunggal (baca: khilafah). Oleh

karenanya, konsep maqashid syari’ah juga mengalami penyesuaian implikasi

metodologis. Inilah yang disebut oleh Ahmad Imam Mawardi dengan pergeseran dari

fiqh ideologis ke fiqh geografis.250 Melalui pergeseran ini konsep fiqh Aqalliyyat yang

ditawarkan Ahmad Imam merupakan sebuah fiqh yang dirancang untuk masyarakat

minoritas muslim yang berada di kawasan dunia Barat yang memiliki perbedaan bentuk

dan materi dengan fiqh yang dirancang oleh dan untuk masyarakat di Negara-negara

Timur Tengah. 251 Pernyataan Ahmad tersebut menguatkan landasan epistemologis

bahwa proses syari’atisasi tidak mungkin melepaskan diri dari zamannya. Hanya saja,

Ahmad tidak sampai mengkaji lebih jauh kaitan antara maqashid syari’ah dengan

konsep ideologi sebuah negara.

Ahmad Rofiq juga memberikan catatan yang menarik tentang kritiknya terhadap

metodologi formulasi fiqh di Indonesia yang dilakukan lembaga sosial keagamaan

seperti Muhammadiyah dan Nahdhatul Ulama di Indonesia. Baik metode Tarjih maupun

Talfiq, menurut Rofiq, hanya sebatas penekanan upaya realisasi maslahat dengan

mengeliminasi unsur-unsur gharar, riba dan maisir yang dapat merugikan kepentingan

umat, namun belum menunjukkan sebuah epistemologi yang utuh.252 Saya berpendapat,

pergeseran dari konsep ideologis ke geografis, menyebutnya dengan pergeseran dari

ruang privat ke ruang publik. Fiqh yang selama ini berada pada batas-batas konsepsi

dunia muslim dan otoritas tertentu bergeser menjadi kesepakatan musyawarah dengan

dukungan berbagai disiplin ilmu. Misalnya konsep kafir zimmi dan harbi yang tidak

mungkin dipertahankan lagi. Konsep jizyah (pajak non muslim) dan fai (harta rampasan

perang) juga sama halnya.

Ruang publik yang saya maksudkan adalah ruang dimana seluruh masyarakat

Indonesia bersepakat tentang hidup dan kehidupannya secara bersama-sama dalam satu

ikatan wilayah dan ideologi Negara. Jika, bangsa Indonesia sudah bersepakat bahwa

Pancasila merupakan ideologi kehidupan berbangsa dan bernegara, maka ruang

250 Ahmad Imam Mawardi, Fiqh Minoritas; Fiqh al-Aqlliyyat dan Evolusi Maqashid al-Syari’ah dari

Konsep ke Pendekatan, (Yogyakarta: LKIS, 2010), h. 269. 251 Ibid., h. 272. 252 Ahmad Rofiq, “Kritik Metodologi Formulasi Fiqh Indonesia”, dalam Epistemologi Syara’;

Mencari Format Baru Fiqh Indonesia, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2000), h. 107-111.

Page 12: KRITIK WACANA SYARI’ATISASI DI RUANG PUBLIK: … · Contoh lainnya adalah kemajuan teknologi komunikasi yang ... politik, agama dan sosial budaya tumbuh dan berkembang secara bersamaan

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

660

publiknya adalah Pancasila. Artinya, memahami ruang publik Indonesia tidak bisa

mengabaikan Pancasila.

E. Pancasila sebagai Maqashid Syari’ah

Menguti pendapatnya Munawir Sadzali: “Bersyukurlah kaum Muslimin

Indonesia bahwa bangsa Indonesia telah menentukan Pancasila sebagai satu-satunya

asas dan landasan bagi kehidupan kenegaraannya…Negara Indonesia yang berdasarkan

Pancasila bukanlah Negara sekuler…Karena Pemerintah secara langsung ikut serta

dalam pemupukan kesejahteraan para warganya dan dalam pengamanan kerukunan

antara agama”.253

Sekali lagi perlu ditegaskan, menyebut maqashid syari’ah maka di dalamnya

terkandung makna proses penerapan hukum Islam (baca: syari’atisasi). Namun, tidak

semua syari’atisasi menerapkan konsep maqashid syari’ah. Hidup di tengah masyarakat

yang pluralistik seperti agama, suku dan ras, telah menempatkan kehadiran Pancasila

sebagai pemersatu. Pancasila tidak hanya sebagai dasar negara, tetapi juga cara pandang

(worldview) seluruh warganya. Mengajukan Pancasila sebagai dasar maqashid syari’ah

adalah sebagai upaya untuk meluruskan semangat kontekstualisasi hukum Islam di

Indonesia. Upaya ini juga sebagai jalan untuk menjembatani berkembanganya

epistemologi tradisional yang setidaknya memberikan trauma sejarah yang panjang.

Mengutip pendapat Soediman Kartohadiprojo, bahwa disajikannya Pancasila sebagai

hasil filsafat, seperti halnya buah-buahan yang diberikan lalu dimakan dengan

keyakinan bahwa dengan buah-buahan itu sesuatu penyakit dapat diberantas, jadi

sebagai obat, maka buah-buahan tadi adalah obat juga. Menurutnya, pancasila adalah

filsafat karena Pancasila merupakan jiwa bangsa Indonesia.254

Pancasila memang bukan agama formal seperti agama tradisional yang ada,

karena memang kelahiran Pancasila berbeda. Pancasila lahir dari kesepakatan politik

untuk hidup bersama dalam sebuah wilayah Indonesia. Oleh karenanya, kelahiran

Pancasila secara tidak langsung memaksa setiap anak bangsa ini untuk menjadikannya

sebagai landasan dalam memahami berbagai hal tentang masalah kebangsaan dan

keIndonesiaan.255 Membenturkannya dengan konsep agama bukanlah hal yang tepat.

Agama dan Pancasila pada dasarnya dua hal yang secara interrelated saling bersinergi.

Ruang publik, sebagaimana saya tegaskan sebelumnya, adalah ruang dimana Pancasila

dijiwai dan dilaksanakan. Memahami Islam Indonesia tidak dapat meninggalkan

pemahaman terhadap Pancasila. Ada lima konsep dasar Pancasila: (1) Ketuhanan Yang

253 Munawir Sadzali, Peranan Ummat Islam dalam Pembangunan Nasional, (Jakarta: Departemen

Agama, 1985), h. 62-66. 254 Sunoto, Mengenal Filsafat Pancasila, seri I (Yogyakarta: UII, 1981), h. 48. Lihat juga P. Hardono

Hadi, Hakikat dan Muatan Filsafat Pancasila, (Yogyakarta: Kanisius, 1994), h. 35. 255 Lihat Kuntowijoyo, Identitas Politik Umat Islam, (Bandung: Mizan, 1997), h. 80-83.

Page 13: KRITIK WACANA SYARI’ATISASI DI RUANG PUBLIK: … · Contoh lainnya adalah kemajuan teknologi komunikasi yang ... politik, agama dan sosial budaya tumbuh dan berkembang secara bersamaan

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

661

Maha Esa. (2) Kemanusiaan yang adil dan beradab. (3) Persatuan Indonesia. (4)

Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat/kebijaksanaan dalam permusyawaratan dan

perwakilan. (5) Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.

Lima konsep dasar tersebut bisa dijadikan sumber penalaran hukum dalam

penerapan syari’atisasi di Indonesia. Dengan pertimbangan tersebut maka proses

syari’atisasi akan memperkuat eksistensi Pancasila sebagai jati diri bangsa Indonesia

yang mengandung ciri-ciri: (1) Pancasila sebagai Kepribadian Bangsa Indonesia. (2)

Pancasila sebagai Identitas diri bangsa Indonesia. (3) Pancasila sebagai keuinikan

bangsa Indonesia. (4) Pancasila sebagai moral bangsa Indonesia.256

Kuntowijoyo menawarkan konsep objektivikasi dalam memasyarakatkan

Pancasila. Objektivikasi yang dimaksud adalah membumikan nilai-nilai Agama tanpa

pemeluk agama lain menganggap tindakan tersebut berasal agama tertentu, tetapi

sesuatu yang natural (alamiah) saja. 257 Oleh karenanya, Kontowijoyo menegaskan

bahwa Pancasila tidak dipahami sekedar pemahaman teologi tertutup, bahwa nilai-nilai

Pancasila tidak bertentangan dengan Islam. Pendekatannya harus lebih ilmiah, sehingga

Pancasila menjadi terbuka. Ringkasnya, Pancasila dan Islam jangan dihadapkan pada

wilayah teologi. Misalnya, sekedar menyamakan semangat gotong-royong dan tolong

menolong dengan sila ke empat. Baik Islam maupun Pancasila harus bertemu pada titik

ilmiah, terbuka, rasional dan objektif.258

Contoh objektivikasi yang dimaksud Kuntowijoyo bisa di contohkan dengan

fatwa keharaman membayar pajak yang direkomendasikan pada musyawarah nasional

Nahdhatul ulama di Cirebon tahun 2012. Keluarnya fatwa tersebut hendaknya tidak saja

di sadari oleh umat Islam. Namun, seluruh umat beragama selain Islam. Karena pajak

berbeda dengan zakat, maka nilai-nilai Pancasila harus dikedepankan dengan

seperangkat alasan-alasan ilmiah, sehingga tidak menimbulkan kecurigaan dari pemeluk

agama lainnya.

Kelemahan analisis maqashid syari’ah tradisional adalah senantiasa melepaskan

diri dari dinamika perkembangan idiologi sebuah negara. Akibatnya, interpretasi nash

dalam menerapkan maqashid syari’ah sering terjebak pada dominasi dan monopoli

pemahaman segelintir pihak dan mengabaikan realitas sebuah Negara bangsa.259 Untuk

mengurai kebekuan nalar kritis maqashid syari’ah yang sudah ada, Jasser Auda

menawarkan enam fitur maqashid sebagai landasan epistemologi hukum Islam. Enam

fitur yang dimaksud adalah: (1) Cognitive Nature. (2) Wholeness. (3) Openness. (4)

256 Pembicaraan tentang ini diulas lebih dalam oleh M. Abdul Karim, Menggali Muatan Pancasila

dalam Perspektif Islam, (Yogyakarta: Surya Raya, 2004), h. 28-42. 257 Kuntowijoyo, Identitas Politik….h. 65. 258 Ibid., h. 90. 259 Penjelasan lebih dalam tentang ini lihat Khaled M. Abou Fadl, Speaking in God’s Name (Oxford:

Oneworld Publications, 2003).

Page 14: KRITIK WACANA SYARI’ATISASI DI RUANG PUBLIK: … · Contoh lainnya adalah kemajuan teknologi komunikasi yang ... politik, agama dan sosial budaya tumbuh dan berkembang secara bersamaan

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

662

Interrelated Hierarchy. (5). Multi-Dimensionality, dan (6) Purposefulness of the system

of Islamic Law.260

Jasser Auda melalui enam fitur tersebut ingin membuka kembali fresh ijtihad

dikalangan umat Islam. Hanya saja, ulasan yang disampaikan sangat umum dan

terkesan mengabaikan idiologi politik sebuah Negara. Makalah ini berupaya untuk

menjembatani enam fitur tersebut dengan konteks idiologi politik Negara Indonesia,

yaitu Pancasila. Kelima sila yang ada dari Pancasila tidak diposisikan antara satu

dengan yang lainnya lebih tinggi dan lebih utama. Sila pertama tentang ketuhanan tidak

lebih utama dari sila ke lima tentang keadilan. Antara satu sila dengan sila lainnya

saling terkait dan menjembatani. Mengedepan wacana Pancasila sebagai dasar

perdebatan akan membuka ruang-ruang bagi terjadinya dialog antar berbagai elemen

masyarakat secara terbuka. Kalaupun ada yang sepakat dan tidak sepakat terhadap

sebuah putusan, keduanya tidak mengatasnamakan agama yang dapat menggiring

kepada sentimen SARA. Secara umum, posisi Pancasila diantara enam fitur Jasser Auda

adalah sebagai berikut:

Terobosan Pancasila adalah cara yang paling tepat untuk menempatkan peran negara di

dalam kehidupan warganya yang majemuk. Tujuannya adalah untuk menghilangkan

adanya kesan dominasi satu idiologi agama tertentu dengan agama lainnya. Pancasila

menjadi jembatan keadaban pembangunan tata hukum, tata sosial dan tata budaya

Indonesia yang paling genuin.

Konsep maqashid syari’ah konteks Indonesia adalah dengan menjadikan nilai-

nilai Pancasila tentang ketuhanan, kemanusiaan, persatuan, musyawarah dan keadilan

sebagai landasan epistemologis penetapan sebuah hukum. Pancasila memang tidak

mengatur secara tehnis tentang sholat, puasa, warisan, pernikahan atau haji. Namun,

260 Jasser Auda, Maqashid al-Shariah…Ibid., h. 45-55.

Purposefulness

Multi-

Dimensionality

Interrelated

Hierarchy

Wholeness

Cognitive

Nature

Openness

Page 15: KRITIK WACANA SYARI’ATISASI DI RUANG PUBLIK: … · Contoh lainnya adalah kemajuan teknologi komunikasi yang ... politik, agama dan sosial budaya tumbuh dan berkembang secara bersamaan

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

663

Pancasila bisa memberikan pertimbangan terhadap hal-hal yang terkait dengan tata

pergaulan sosial kemasyarakatan.

F. Kesimpulan

Pengajuan fiqh yang mengakomodasi semangat lokal ke Indonesiaan telah mulai

dirintis oleh beberapa tokoh muslim, seperti Hasbi Ash-Shiddiqie, Hazairin, Sahal

Mahfudz, dsb. Semuanya menyadari bahwa konsep syari’ah Indonesia tidaklah

sebagaimana yang berkembang di dunia Arab atau dunia Islam lainnya. Hanya saja,

upaya yang cermat untuk mendialogkannya dengan idiologi Negara, belum terlihat

secara utuh. Penalaran hukum biasanya berpusat pada pembacaan teks-teks Islam (Al-

qur’an, hadis serta pendapat-pendapat ulama) kemudian menariknya ke dalam konteks

kekinian. Hanya saja, model penalaran yang demikian, mencampuradukkan persoalan

privat dan publik. Akibatnya, tidak hanya memunculkan kecurigaan dari paham agama

lain bahkan dari pemeluk agama lain juga, tetapi dapat menyulut penolakan yang

berujung konflik kekerasan.

Indonesia adalah Negara bangsa yang menyepakati Pancasila sebagai dasar

idiologi Negara. Artinya, kepublikan Indonesia adalah Pancasila. Maka maqashid

syari’ah untuk keIndonesiaan adalah Pancasila. Dapat divisualisasikan sebagai berikut:

Penerapannya kelima sila tersebut tidak dengan metode structured hirarcy tetapi

interrelated hierarchy. Saling berkaitan dan melengkapi bukan meniadakan atau

mengutamakan sebagaian atas lainnya, sebagaimana konsep tradisional tentang

dharuriyat, hajiyyat dan tahsiniyyat.

Oleh karenanya, epistemologi hukum Islam di Indonesia membuka perspektif

baru keterlibatan ilmu-ilmu sosial seperti filsafat dan humaniora serta sains dalam

metodologi hukum Islam. Implikasinya adalah, hukum Islam tidak mungkin lagi

menutup diri dari ruang publik yang di dalamnya terdapat berbagai macam kebutuhan

Kemanusiaan

yang Adil dan

Beradab

Ketuhanan Yang

Maha Esa

Kerakyatan yang dipimpin

oleh Hikat/Kebijaksanaan

dalam Permusyawaratan dan

Perwakilan

Persatuan

Indonesia

Keadilan Sosial

bagi Seluruh

Rakyat Indonesia

KEMASLAHATAN

RUANG PUBLIK

Page 16: KRITIK WACANA SYARI’ATISASI DI RUANG PUBLIK: … · Contoh lainnya adalah kemajuan teknologi komunikasi yang ... politik, agama dan sosial budaya tumbuh dan berkembang secara bersamaan

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

664

analisis. Ijma’ atau fatwa harus melibatkan banyak unsur didalamnya. Implikasinya,

keduanya bukan monopoli orang yang beragama Islam saja, karena ijma’ dan fatwa

hanyalah instrumen bukan metode penafsiran. Karena, kekuatan bukti hukum bukan

terletak pada identitas agama penafsirnya, namun, pada kehadiran bukti yang sebanyak-

banyaknya. Melalui Pancasila, saya tegaskan, adalah cara yang tepat untuk mengetahui

maksud hukum-hukum Tuhan dalam konteks kehidupan berbangsa dan bernegara di

Indonesia.

Wallahu’alam bi al-Shawab

DAFTAR PUSTAKA

Ahmad Imam Mawardi, Fiqh Minoritas; Fiqh al-Aqlliyyat dan Evolusi Maqashid al-

Syari’ah dari Konsep ke Pendekatan, Yogyakarta: LKIS, 2010

Al-Eini, Bar al-Din, ‘Umdah al-Qari Syarh Shahih al-Bukhari, Beirut: Dar Ihya al-

Turast al-‘Arabi

Asad, Talal, Formations of the Secular: Christianity, Islam, Modernity, Stanford,

California: Stanford University Press, 2003

Auda, Jasser, Maqashid al-Shariah as Philosophy of Islamic Law, London, IIIT, 2008

Barbour, Ian G., Issues in Science and Religion, New York: Harper Torchbook, 1996

El-Fadl, Khaled Abou, Speaking in God’s Name, Oxford, Oneworld Publications, 2003

Feener, R. Michael dan Mark E. Cammack (Edt.), Islamic Law in Contemporary

Indonesia; Ideas and Institutions, Harvard: Harvard University Press, 2007

Flood, Robert dan Ewart Carson, Dealing with Complexity: An Introduction to the

Theory and Application of System Science, vol. 2, New York dan London:

Plenum Press, 1993

Habermas, Jurgen, “Religion in der Offentlichkeit. Kognitive Voraussertzungen fur den

offentlichen Vernunftgebrauch religioser und sakuler Burger”, dalam Zwischen

Naturalismus und Religion, Philosophische Aufsatze, (Frankfurt am Main:

Suhrkamp Verlag, 2005

Habermas, Jurgen, The Structural Tranformation oh the Public Sphere: an Inquiry into

a Category of Burgeois Society, Massachusetts: MIT Press, 1989

Hadi, P. Hardono, Hakikat dan Muatan Filsafat Pancasila, Yogyakarta: Kanisius, 1994

Page 17: KRITIK WACANA SYARI’ATISASI DI RUANG PUBLIK: … · Contoh lainnya adalah kemajuan teknologi komunikasi yang ... politik, agama dan sosial budaya tumbuh dan berkembang secara bersamaan

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

665

Hardiman, F. Budi (edt.), Ruang Publik; Melacak Partisipasi Demokrastis dari Polis

sampai Cyberspace, Yogyakarta: Pustaka Filsafat, 2010

Ibn Ashur, Mohammad al-Tahir, Ibn Ashur, Treaties on Maqasyid al-Syari’ah, London,

IIIT: 2006

Karim, M. Abdul, Menggali Muatan Pancasila dalam Perspektif Islam, Yogyakarta:

Surya Raya, 2004

Kuntowijoyo, Identitas Politik Umat Islam, Bandung: Mizan, 1997

Nashr, Sayyed Hosein, Science and Civilization in Islam, Cambridge, Mass: 1968

An-Na’im, Abdullah Ahmed, Islam dan Negara Sekular; Menegosiasikan Masa Depan

Syari’ah, Jakarta: Mizan, 2007

Rofiq, Ahmad, “Kritik Metodologi Formulasi Fiqh Indonesia”, dalam Epistemologi

Syara’; Mencari Format Baru Fiqh Indonesia, Yogyakarta: Pustaka Pelajar,

2000

Sadzali, Munawir, Peranan Ummat Islam dalam Pembangunan Nasional, Jakarta:

Departemen Agama, 1985

Saeed, Abdullah, Islamic Tought: An Introduction, London, New York: Routledge,

2006

Salim, Arskal dan Azyumardi Azra (Etd.), Shari’a and Politics in Modern Indonesia,

Singapore: ISAS, 2003

Sunoto, Mengenal Filsafat Pancasila, seri I, Yogyakarta: UII, 1981

Vattimo, Gianni, “The age of Interpretation”, dalam Richard Rortry & Gianni Vattimo,

The Future of Religion, New York, Columbia University Press, 2005