3
KONTRA DENGAN PELARANGAN NIKAH BEDA AGAMA DI INDONESIA UU Pernikahan, yaitu Pasal 2 ayat (1) UU No 1 Tahun 1974. UU yang berbunyi "Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing- masing agamanya dan kepercayaan itu". Melihat pasal diatas dapat disimpulkan bahwa pasal tersebut hanya menyebabkan ketidakpastian hukum bagi yang akan melakukan perkawinan beda agama di Indonesia. dengan semakin tingginya mobilitas warga negara Indonesia yang terdiri dari beragam agama dan kepercayaan, UU Pasal 2 ayat 1 No 1/1974 ini akan memperbanyak warga yang status hukum perkawinannya tidak mempunyai kepastian. imbasnya masyarakat Indonesia yang hendak melangsungkan pernikahan beda agama justru menghindari pasal tersebut dengan cara penyelundupan hukum, yaitu dengan menggunakan modus pernikahan di luar negeri atau juga penikahan secara adat atau yang paling menyita perhatian publik adalah pernikahan antara asmirandah dan jonas rivano yaitu jonas rivano mengaku masuk islam untuk kemudian menikah dengan asmirandah namun setelah berlangsungnya akad nikah tidak lama kemudia jonas rivano keluar dari islam dan berganti agamanya yang terdahulu ia bahkan mengaku bahwa ia hanya pura-pura masuk islam akibatnya perkawinannyapun batal. Banyak orang yang mendalilkan norma Pasal 2 ayat (1) UUP telah memaksa setiap warga negara untuk mematuhi hukum dari masing- masing agama dan kepercayaan. Termasuk dalam hal perkawinan. Menurutnya hak beragama adalah hak yang paling privat, pelaksanaannya tidak dapat dipaksakan, dan termasuk salah satu hak yang tak bisa dicabut dalam keadaan apapun ( non-derogable right ). Norma UUP telah menyebabkan setiap warga negara tidak punya opsi melaksanakan atau tidak melaksanakan aturan agama pada saat melangsungkan perkawinan. Jika tidak berdasarkan agama, perkawinan bisa dianggap tidak sah. Mematuhi aturan agama adalah

Kontra Pernikahan Beda Agama

Embed Size (px)

DESCRIPTION

kontra dengan uu perkawinan

Citation preview

KONTRA DENGAN PELARANGAN NIKAH BEDA AGAMA DI INDONESIA

UU Pernikahan, yaitu Pasal 2 ayat (1)UU No 1 Tahun 1974.UU yang berbunyi "Perkawinan adalah sah, apabiladilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaanitu". Melihat pasal diatas dapat disimpulkan bahwa pasal tersebut hanya menyebabkanketidakpastian hukum bagi yangakan melakukan perkawinan bedaagama di Indonesia.dengan semakin tingginya mobilitas warga negara Indonesia yang terdiri dari beragam agama dan kepercayaan, UU Pasal 2 ayat 1 No 1/1974 ini akan memperbanyak warga yang status hukum perkawinannya tidak mempunyai kepastian. imbasnya masyarakat Indonesia yang hendak melangsungkan pernikahan beda agama justru menghindari pasal tersebut dengan cara penyelundupan hukum, yaitu dengan menggunakan modus pernikahan di luar negeri atau juga penikahan secara adat atau yang paling menyita perhatian publik adalah pernikahan antara asmirandah dan jonas rivano yaitu jonas rivano mengaku masuk islam untuk kemudian menikah dengan asmirandah namun setelah berlangsungnya akad nikah tidak lama kemudia jonas rivano keluar dari islam dan berganti agamanya yang terdahulu ia bahkan mengaku bahwa ia hanya pura-pura masuk islam akibatnya perkawinannyapun batal.Banyak orang yang mendalilkan norma Pasal 2 ayat (1) UUP telah memaksa setiap warga negara untuk mematuhi hukum dari masing-masing agama dan kepercayaan. Termasuk dalam hal perkawinan. Menurutnya hak beragama adalah hak yang paling privat, pelaksanaannya tidak dapat dipaksakan, dan termasuk salah satu hak yang tak bisa dicabut dalam keadaan apapun (non-derogable right).Norma UUP telah menyebabkan setiap warga negara tidak punya opsi melaksanakan atau tidak melaksanakan aturan agama pada saat melangsungkan perkawinan. Jika tidak berdasarkan agama, perkawinan bisa dianggap tidak sah. Mematuhi aturan agama adalah urusan pribadi seseorang dengan Tuhan, sehingga dalam hal perkawinan pun seharusnya diperlakukan demikian. Kalau kita kawin mau sesama agama ya silahkan, kalau beda agama jangan dilarang juga dong.Peneliti dari Human Right Watch (HRW), AndreasHarsono, mengatakan, Pasal 2 ayat 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan mengakibatkan diskriminasi terhadap pasangan beda agama. Ia melihat pasal tersebut telah membuat warga yang ingin menikah beda agama harus mengorbankan agama dan kepercayaannya demi mendapat status hukum yang sah.

"Di Indonesia, UU Perkawinan mengandung pasal di mana orang dibikin sulit bila hendak menikah dengan (pasangan) yang beda agama. Mereka yang ingin nikah beda agama harus mengalah dengan mengikuti agama pasangannya. Diskriminasi bukan?"

Andreas menyebutkan, salah satu prinsip dasar dalam perkawinan adalah kerelaan dari kedua orang yang terlibat dalam pernikahan. Hal ini, kata dia, sudah ditegaskan dalam Internation Covent on Civil and Political Rights.Namun, di Indonesia, Andreas melihat UU Perkawinan justru mengandung pasal yang mempersulit orang yang ingin nikah beda agama karena harus mengorbankan agama dan kepercayaan yang dianut. "Artinya, unsurfree and consentdilanggar oleh UU Perkawinan,"

Secara keseluruhan, pernikahan beda agama ini adalah sebuah hal yang unik mengingat bangsa kita majemuk. Menurut saya semua agama itu baik dan mengajarkan hal yang benar. Islam menyarankan agar umatnya menikah dengan memprioritaskan kriteria agama, kecantikan, kekayaan dan keturunan. Nabi menganjurkan memilih agamanya, artinya orang yang bermoral. Agama dalam arti nilai-nilai yang baik. Jadi semua agama itu sebenarnya baik kan. Kenapa harus dipermasalahkan lagi hanya karena perbedaan cara beribadah. Yah semua itu kembali pada kesepakatan pasangan dan keluarga besarnya. Karena klo kita menikah berarti siap menikah juga dengan keluarga pasangan yang memiliki pemikiran dan sudut pandang yang berbeda-beda.\Cak Nur berpendapat bahwa pernikahan dengan perbedaan agama adalah diperbolehkan. Lebih lanjut lagi ia mengatakan tidak ada nash yang melarag secarasharih.Pada dasarnya dasar hukum yang menjadi sumber adalah sama dengan ulama, akan tetapi yang menjadi perbedaannya ialah Cak Nur lebih menafsirkan dengan gaya pemikiran kontektual, sehingga secara tidak langsung tafsir tersebut mengarah pada tafsir liberal. Cak Nur menafsirkan kata musyrik dalam QS al-Baqarah : 221 adalah bukan Yahudi dan Nasrani melainkan orang-orang musyrik Arab yang tidak memiliki kitab suci (penyembah Berhala).Sebagaimana pendapatnya yang menolak bahwa kaum non-muslim sebagai musyrik ditolak dengan alasan.Pertama,dalam ayat-ayat al-Quran antara term musyrik dan ahl kitab dengan menggunakan kata penghubung waw yang dalam bahasa arab disebut athaf. Sehingga ini berarti berbeba dengan sebelumnya. Maka, berbeda menjadi berbeda antara musyrik dan ahl kitab.Kedua,larangan menikahi musyrik, karena dikhawatikan laki-laki/perempuan musyrik tersebut nantinya akan memerangi Islam dan ini yang terjadi dalam situasi ketegangan antara kaum Muslim dengan kaum Musyrik Arab.Ketiga,dasar hukum diperbolehkannya menikah dengan perbedaan agama berlandaskan QS. al-Maidah [5] : 5. Selain itu, Cak Nur pula memberikan argumen tentang adanya sahabat nabi yang menikahi perempuan Yahudi dan Nasrani yaitu Hudzayfah dan Talhah.Pandangan Cak Nur tidak berhenti disitu, Ia pula meninjau permaslahan ini dari sudut pandang Hak Asasi Manusa (HAM) yang akan di bahas selanjutnya.