55
1 BAB I PENDAHULUAN Bab ini menguraikan tentang hal yang melatar-belakangi pengambilan judul penelitian, rumusan masalah, serta tujuan penelitian, dan manfaat penelitian. Di dalam bab ini diungkapkan hal-hal yang menjadi alasan judul ini dipilih untuk penelitian. 1.1 Latar Belakang Pencapaian kemajuan kebudayaan suatu bangsa tidak dapat dilepaskan dari peninggalan budaya dan sejarah bangsa sehingga mampu menjadi simbol identitas keberadaban. Pengalihan kewenangan pemeliharaan dan pelestarian kebudayaan pasca diberlakukannya otonomi daerah telah mengakibatkan beragamnya kualitas pemeliharaan kekayaan budaya bangsa, seperti situs, candi, museum dan taman budaya. Dengan demikian, upaya untuk meningkatkan kualitas pengelolaan kekayaan budaya menjadi suatu keniscayaan sehingga simbol identitas keberadaban dapat dialih-generasikan secara berkesinambungan. Terkait dengan hal tersebut, pemberdayaan seluruh komponen yang terlibat dalam pengelolaan kekayaan budaya menjadi suatu hal yang tidak dapat dikesampingkan dan mutlak untuk dilakukan. Perhatian dunia internasional terhadap keberadaan situs-situs bernilai sejarah dan budaya tinggi telah mulai terlihat nyata. Sebagai salah satu bukti yaitu The World Cultural Heritage UNESCO telah menetapkan tiga situs di Bali sebagai nominator Warisan Budaya Dunia (WBD) yakni Daerah Aliran Sungai

Konservasi Pura Maospahit Denpasar Menuju Pelestarian Pusaka

  • Upload
    buiminh

  • View
    284

  • Download
    22

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: Konservasi Pura Maospahit Denpasar Menuju Pelestarian Pusaka

1

BAB I

PENDAHULUAN

Bab ini menguraikan tentang hal yang melatar-belakangi pengambilan

judul penelitian, rumusan masalah, serta tujuan penelitian, dan manfaat penelitian.

Di dalam bab ini diungkapkan hal-hal yang menjadi alasan judul ini dipilih untuk

penelitian.

1.1 Latar Belakang

Pencapaian kemajuan kebudayaan suatu bangsa tidak dapat dilepaskan

dari peninggalan budaya dan sejarah bangsa sehingga mampu menjadi simbol

identitas keberadaban. Pengalihan kewenangan pemeliharaan dan pelestarian

kebudayaan pasca diberlakukannya otonomi daerah telah mengakibatkan

beragamnya kualitas pemeliharaan kekayaan budaya bangsa, seperti situs, candi,

museum dan taman budaya. Dengan demikian, upaya untuk meningkatkan

kualitas pengelolaan kekayaan budaya menjadi suatu keniscayaan sehingga

simbol identitas keberadaban dapat dialih-generasikan secara berkesinambungan.

Terkait dengan hal tersebut, pemberdayaan seluruh komponen yang terlibat dalam

pengelolaan kekayaan budaya menjadi suatu hal yang tidak dapat dikesampingkan

dan mutlak untuk dilakukan.

Perhatian dunia internasional terhadap keberadaan situs-situs bernilai

sejarah dan budaya tinggi telah mulai terlihat nyata. Sebagai salah satu bukti yaitu

The World Cultural Heritage UNESCO telah menetapkan tiga situs di Bali

sebagai nominator Warisan Budaya Dunia (WBD) yakni Daerah Aliran Sungai

Page 2: Konservasi Pura Maospahit Denpasar Menuju Pelestarian Pusaka

2

(DAS) Pakerisan (Gianyar), persawahan Jatiluwih (Tabanan), dan Pura Taman

Ayun di Mengwi, Badung (http://www.indoforum.org, 3 Desember 2008). Apa

yang sudah dilakukan UNESCO tersebut menunjukkan komitmennya terhadap

situs-situs penting yang menjadi cikal bakal lahirnya suatu peradaban. Namun hal

tersebut akan mustahil untuk dilakukan apabila tidak didukung oleh partisipasi

dari masyarakat serta pemerintah dalam perwujudannya. Perhatian dari salah satu

organisasi dunia tersebut hendaknya diapresiasi demi kemajuan peradaban

Indonesia umumnya dan Bali khususnya.

Arsitektur sebagai bagian dari sebuah peradaban bukan hanya perwujudan

sesuatu dalam bentuk fisik. Namun di dalamnya terkandung pula nilai-nilai luhur

yang menjiwai setiap bentuknya. Suatu karya arsitektur mempunyai spirit yang

mencerminkan adanya idealisme dan kreativitas yang dimiliki sang arsitek.

Perubahan jaman yang terjadi tentunya melahirkan suatu karya arsitektur yang

berkembang dari masa ke masa. Setiap masa memiliki keterkaitan antara yang

satu dengan yang lain; masa lampau, masa sekarang, dan masa yang akan datang.

Keterkaitannya sangat erat karena ketiga masa tersebut saling berkesinambungan

membentuk mata rantai peradaban. Suatu karya arsitektur tentunya menjadi tanda

adanya sesuatu pada jaman tersebut.

Contoh hasil karya arsitektur yang menjadi peninggalan suatu jaman

adalah benda cagar budaya sebagai salah satu bagian dalam warisan budaya.

Keberadaan warisan budaya ini patut untuk dijaga dan dilestarikan, namun

seringkali perhatian yang didapat dari pihak yang berwenang kurang optimal.

Penanganan yang dilakukan hanya sebatas di awal obyek tersebut ditetapkan

Page 3: Konservasi Pura Maospahit Denpasar Menuju Pelestarian Pusaka

3

sebagai cagar budaya, padahal warisan budaya merupakan kekayaan budaya

(cultural capital) yang mempunyai nilai penting bagi pemahaman dan

pengembangan sejarah, ilmu pengetahuan, dan kebudayaan dalam rangka

memupuk kepribadian masyarakat dan bangsa. Dapat juga diartikan sebagai harta

pusaka budaya dari masa lampau yang digunakan untuk kehidupan masyarakat

sekarang dan kemudian diwariskan untuk generasi mendatang secara

berkesinambungan (Wardi, 2008: 243).

Pemerintah sebagai pihak yang berwenang sesungguhnya telah berusaha

melakukan perlindungan terhadap cagar budaya dengan mengeluarkan Undang-

undang Nomor 5 Tahun 1992. Secara teori, ini cukup kuat keberadaannya sebagai

pelindung cagar budaya terhadap ancaman kerusakan, namun kenyataan justru

memperlihatkan kerusakan dan hilangnya banyak cagar budaya semakin parah.

Meskipun Undang-undang tersebut juga telah menyebutkan batasan, hak,

kewajiban, dan hukuman bagi orang yang melanggar, namun sampai sekarang

realita menunjukkan masih banyak benda cagar budaya yang hilang atau rusak

(http://setyodh.multiply.com/, 9 Januari 2011).

Pada Pasal 26 Undang-undang Nomor 5 Tahun 1992 disebutkan:

“barangsiapa dengan sengaja merusak benda cagar budaya dan situs serta lingkungannya atau membawa, memindahkan, mengambil, mengubah bentuk dan/atau warna, memugar, atau memisahkan benda cagar budaya tanpa izin dari Pemerintah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 ayat (1) dan ayat (2) dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya 10 (sepuluh) tahun dan/atau denda setinggi-tingginya Rp 100.000.000,00 (seratus juta rupiah)”.

Sanksi yang diajukan dalam Undang-undang Nomor 5 Tahun 1992 tersebut cukup

jelas dan tegas, namun banyak kasus yang melanggar Undang-undang tersebut

tapi tidak ada penyelesaian yang jelas.

Page 4: Konservasi Pura Maospahit Denpasar Menuju Pelestarian Pusaka

4

Selain itu, ada pula pendapat lain yang menguatkan kenyataan ini dan

dikemukakan oleh Eko Budihardjo (Konservasi Pusaka Budaya, 11 Mei 2010),

yaitu sangat banyak bangunan-bangunan kuno bersejarah di segenap pelosok

tanah air dibongkar untuk memberi tempat bagi pembangunan yang modern, late

modern, new modern, post modern yang sering tidak kontekstual dan tidak

berkarakter. Dalam era kekinian, terlihat kecenderungan bahwa para pemegang

kebijakan sepertinya tidak memperhatikan keberadaan pusaka budaya di daerah

masing-masing.

Perhatian para pemegang kebijakan terlalu tercurah pada pembangunan

ekonomi dan sarana prasarana fisik yang berkaitan dengan peningkatan

Pendapatan Asli Daerah (PAD). Undang-undang Benda Cagar Budaya yang

disahkan tahun 1992, belum banyak dipahami atau dijadikan acuan dalam proses

penataan ruang dan pembangunan daerah. Informasi yang perlu disebarkan ke

berbagai pihak, bahwa konservasi pusaka budaya tidak hanya penting sebagai

salah satu upaya menjaga lambang peradaban, cerminan jati diri (identitas)

bangsa, menciptakan rasa kebanggaan (civic pride) namun juga berpotensi untuk

menumbuhkan geliat perekonomian yang bertumpu pada budaya.

Bali sebagai salah satu daerah di Indonesia yang kaya akan karya

arsitektur peninggalan masa lampau (dalam hal ini pura/tempat persembahyangan)

sebenarnya telah memiliki Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala (BP3) yang

juga mewilayahi Nusa Tenggara Barat dan Nusa Tenggara Timur. Balai

Pelestarian Peninggalan Purbakala (BP3) ini berada di bawah naungan

Departemen Kebudayaan dan Pariwisata Direktorat Jenderal Sejarah dan

Page 5: Konservasi Pura Maospahit Denpasar Menuju Pelestarian Pusaka

5

Purbakala. Tugas pokoknya adalah melaksanakan pemeliharaan, perlindungan,

pemugaran, pendokumentasian, bimbingan, dan penyuluhan mengenai

peninggalan sejarah dan purbakala beserta situs-situsnya. Namun tidak dapat

dipungkiri kalau tugas ini belum berjalan secara maksimal dan tidak semua situs

warisan budaya mendapat perhatian yang baik. Padahal perhatian inilah yang

dibutuhkan untuk menjaga keberlangsungan keberadaan situs-situs penting

(terutama yang sudah ditetapkan sebagai benda cagar budaya) ini di masa yang

akan datang.

Pura merupakan salah satu hasil karya arsitektur yang masuk ke dalam

kategori warisan budaya (cultural heritage) dalam bentuk living monument yang

keberadaannya dalam jumlah besar terdapat di Bali. Cukup banyak diantaranya

yang menjadi benda cagar budaya. Sebagai contoh adalah Pura Puseh dan Pura

Desa Batuan Gianyar. Oleh karena itu, sebutan Bali sebagai Pulau Seribu Pura,

bukanlah sesuatu yang berlebihan.

Berdasarkan perhitungan sederhana, jumlah desa pakraman, sebutan untuk

desa adat di Bali, yang terdapat di Pemerintah Daerah Bali tercatat sejumlah 1433

dan masih ada sekitar 17 desa pakraman yang belum tercatat. Jika dijumlahkan

akan menghasilkan 1450 desa pakraman. Dengan jumlah desa pakraman

sebanyak itu, maka setidaknya Bali memiliki 4350 pura, karena setiap desa

pakraman wajib memiliki pura kahyangan tiga yang terdiri atas: pura desa, pura

puseh, dan pura dalem. Jumlah ini akan bertambah dengan pura di setiap banjar

adat, pura keluarga, pura swagina, pura penyiwian, pura dang kahyangan, pura

kahyangan jagat, dan pura lainnya (Meganada, 2008: 47).

Page 6: Konservasi Pura Maospahit Denpasar Menuju Pelestarian Pusaka

6

Berdasarkan keterangan dalam Laporan Kerusakan Candi Rebah di Pura

Maospahit Gerenceng, oleh Suaka Peninggalan Sejarah dan Purbakala Bali 1983,

salah satu pura yang menjadi bagian dari warisan arsitektur masa lampau yang

hingga kini masih kokoh berdiri dan bahkan menjadi salah satu cagar budaya

nasional di Kota Denpasar adalah Pura Maospahit yang terletak di Jalan Sutomo,

Br. Gerenceng-Denpasar. Dalam salah satu bagian laporan tersebut dinyatakan

bahwa Pura Maospahit adalah cagar budaya nasional yang berciri kuno dan

menampakkan pengaruh gaya arsitektur dari masa Kerajaan Majapahit (Jawa

Timur) dari sekitar abad 13-15 Masehi.

Nama Maospahit mengingatkan pada nama Kerajaan Majapahit. Pura ini

berstatus sebagai kahyangan jagat, artinya pura umum, tempat persembahyangan

umat Hindu tanpa memandang soroh/klan. Pura ini juga memiliki pangemong,

penanggung jawab utama, dari pihak Puri Pemecutan sebagai tanda hubungan

antara pihak raja dan pihak masyarakat pada waktu itu yang diwariskan secara

turun-temurun hingga kini. Ciri kuno pada pura ini dapat dilihat dari beberapa

langgam bangunannya antara lain candi bentar, candi kurung, Gedong Maospahit,

dan Gedong Majapahit.

Pura lain umumnya memiliki pembagian berdasarkan tri mandala, tiga

areal/pelataran, namun pura ini memiliki pembagian berdasarkan catur mandala,

yaitu dari Barat ke Timur; jaba sisi (halaman terluar), jaba tengah (halaman

peralihan antara halaman terluar dengan halaman utama), jeroan (halaman utama),

dan halaman akhir paling timur yang juga merupakan letak dari sebuah bangunan

unik bernama bale kembar. Bale kembar ini terdiri atas dua bale yang saling

Page 7: Konservasi Pura Maospahit Denpasar Menuju Pelestarian Pusaka

7

berhadapan, satu sebagai pemujaan terhadap leluhur di Kerajaan

Majapahit/menghadap ke Barat dan satu bale lagi untuk memuja betara di

Gunung Agung/menghadap ke Timur.

Sebagai salah satu cagar budaya yang telah ditetapkan oleh pemerintah,

perlakuan terhadap pura ini untuk menjaga keberlangsungannya kurang maksimal.

Tidak ada penanganan yang bersifat periodik/berkala terhadap pura ini.

Kebersihan yang kurang, material pura yang mulai lapuk dimakan usia, potensi

dan keunikan pura yang tidak diketahui secara optimal, dan tidak maksimalnya

buku tamu bagi kunjungan wisatawan merupakan contoh permasalahan di pura

ini. Perhatian dari pihak yang berwenang hanya didapat manakala kerusakan

sudah sangat fatal. Seperti contoh pada tahun 1983 pada saat perbaikan atas

kerusakan Candi Rebah.

Seringkali perhatian didapat saat sesuatu mulai rusak/hilang, bukankah

menjaga dan merawat sesungguhnya lebih baik daripada menunggu sesuatu itu

rusak untuk kemudian memperbaikinya? Apalagi dalam hal ini yang dibicarakan

adalah sebuah pura/tempat suci. Namun keinginan ini hanya menjadi harapan

semata dan terhenti sebatas wacana bagi para pangempon, keluarga juru pelihara

yang bertanggung jawab terhadap keberadaan pura. Sesungguhnya mereka sudah

sering melakukan pengaduan pada pihak BP3 Bali namun tidak mendapat

tanggapan serius. Selain itu keterbatasan sumber daya/tenaga ahli dan sumber

dana jelas menjadi suatu permasalahan yang perlu dipecahkan bersama

(wawancara awal dengan Jero Mangku, pemuka agama, Pura Maospahit, 16

Desember 2009).

Page 8: Konservasi Pura Maospahit Denpasar Menuju Pelestarian Pusaka

8

Apabila perhatian telah didapat dan wajah pura telah membaik, ini cukup

mendukung program pemerintah Kota Denpasar mewujudkan Denpasar sebagai

Kota Kreatif Berbasis Budaya Unggulan. Apalagi untuk Kota Denpasar, sasaran

pembangunan kebudayaan untuk mewujudkan Denpasar menjadi seperti itu telah

dijabarkan dengan empat kebijakan utama, yaitu (Pemerintah Kota Denpasar,

2010: 28):

1. Melestarikan, mengembangkan kesenian Bali, serta memberdayakan sekaa sanggar kesenian, seniman, dan budayawan;

2. Melestarikan dan memberdayakan lembaga-lembaga tradisional; 3. Melestarikan nilai-nilai peninggalan budaya, sejarah, kepahlawanan,

dan potensi warisan budaya yang hidup di masyarakat; 4. Menyelamatkan, mengkaji, merawat, mendokumentasikan, dan

mengembangkan naskah budaya Bali.

Letaknya yang strategis di dekat pusat Kota Denpasar yang sudah

ditetapkan pemerintah sebagai kawasan warisan/bersejarah (Kawasan Heritage)

serta keunikan potensinya melalui arsitektur bangunan yang dipengaruhi masa

kejayaan Majapahit, disertai tradisi upacara yang telah turun-temurun dilakukan

pada Pura Maospahit ini juga menjadi suatu daya tarik mengapa pura ini layak

untuk dijadikan sebagai topik penelitian.

Pura sebagai tempat persembahyangan yang juga sebagai living monument

memerlukan penanganan yang serius karena keberadaannya akan terus dipakai

sebagai media perantara penghubung antara manusia dengan Tuhan. Meskipun

ada pula pura lainnya yang memiliki nama sama dan berlokasi di Tonja, namun

Pura Maospahit Gerenceng ini terlihat memiliki masalah yang lebih penting untuk

dipecahkan. Masalah itu adalah pengelolaan yang baik untuk memperpanjang

usianya mengingat keadaannya kini yang cenderung kurang terawat.

Page 9: Konservasi Pura Maospahit Denpasar Menuju Pelestarian Pusaka

9

Pura Maospahit sebagai salah satu warisan budaya berupa cagar budaya

sudah pantas untuk mendapat perhatian dilihat dari permasalahan yang

mengiringinya. Dengan cara melestarikan, menyelamatkan, mengkaji, merawat,

dan mendokumentasikannya dengan baik. Tidak hanya dari sisi fisiknya sebagai

warisan budaya berwujud/ragawi (tangible heritage), tetapi juga dari sisi nilai-

nilai yang terkandung sebagai warisan budaya tak berwujud/tak ragawi (intangible

heritage).

Misalnya terkait dengan peristiwa dan tradisi penting yang terjadi,

kegiatan dan hubungan pelaku di dalamnya (wujud fisik bangunan dengan

lingkungan sekitarnya), serta signifikansi budaya yang ada agar kelak mampu

mendukung program Pemerintah Kota Denpasar. Pangemong, pangempon, dan

masyarakat sekitarnya juga bisa mendapat imbas/pengaruh yang positif dari usaha

pelestarian terhadap pura ini. Berdasarkan latar belakang itulah Pura Maospahit

ini layak untuk segera dilestarikan sebaik mungkin dengan mengidentifikasi

keadaannya, mengkaji signifikansi budayanya, dan menetapkan aplikasi

konservasinya.

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian pada latar belakang diatas, dapat dirumuskan

permasalahan yang dalam penelitian ini terbagi menjadi dua bagian yaitu rumusan

masalah utama dan rumusan masalah pendukung. Permasalahan utama dalam

penelitian ini adalah: Bagaimana cara melestarikan warisan budaya ragawi dan tak

ragawi pada Pura Maospahit Denpasar dalam konteks manajemen konservasi.

Page 10: Konservasi Pura Maospahit Denpasar Menuju Pelestarian Pusaka

10

Dari permasalahan utama tersebut dapat dirumuskan beberapa permasalahan

pendukung, antara lain:

a. Bagaimana karakteristik fisik Pura Maospahit Denpasar?

b. Sejauhmana signifikansi dan potensi dari Pura Maospahit Denpasar

yang perlu dipertahankan dan dilestarikan?

c. Bagaimana aplikasi yang telah dilakukan oleh berbagai pihak untuk

melakukan pelestarian di Pura Maospahit Denpasar, baik dari segi

warisan budaya ragawi maupun tak ragawi?

1.3 Tujuan Penelitian

Secara garis besar, tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini dapat

dibagi menjadi dua, tujuan umum dan tujuan khusus antara lain:

a. Tujuan Umum

Penelitian ini memiliki tujuan umum untuk memahami bagaimana proses

pelestarian warisan budaya ragawi dan tak ragawi pada Pura Maospahit Denpasar

dalam konteks pengelolaan/manajemen konservasi.

b. Tujuan Khusus

Selain tujuan umum yang telah diuraikan di atas, penelitian ini juga

memiliki tujuan khusus, yaitu: (1) mengidentifikasi karakteristik fisik Pura

Maospahit Denpasar, baik dari segi pusaka budaya maupun pusaka alam, (2)

memahami dan mengetahui signifikansi dan potensi budaya dari keberadaan Pura

Maospahit Denpasar yang perlu dipertahankan dan dilestarikan, dan (3)

mempelajari, memahami, dan mengetahui aplikasi yang telah dilakukan oleh

Page 11: Konservasi Pura Maospahit Denpasar Menuju Pelestarian Pusaka

11

berbagai pihak untuk melakukan pelestarian di Pura Maospahit Denpasar, baik

dari segi warisan budaya ragawi maupun tak ragawi.

1.4 Manfaat Penelitian

Manfaat dari penelitian ini dapat dibagi menjadi dua, yaitu manfaat

akademis dan manfaat praktis.

a. Manfaat akademis: untuk memberikan sumbangan kepada ilmu pengetahuan

serta menambah referensi pustaka bagi penelitian selanjutnya. Terutama

terkait dengan ilmu konservasi menyangkut pelestarian dan pengelolaan.

b. Manfaat praktis: diharapkan dapat memberikan pengetahuan mengenai

konservasi dan pentingnya pemahaman terhadap nilai budaya dan warisan

leluhur yang adiluhung kepada praktisi, pengamat, serta masyarakat umum

sehingga dapat menjadi suatu pertimbangan selanjutnya dalam melaksanakan

kegiatan konservasi. Juga untuk menambah arsip tentang Pura Maospahit

Denpasar sehingga selanjutnya dapat berguna bagi semua pihak yang

berkepentingan terhadapnya.

Page 12: Konservasi Pura Maospahit Denpasar Menuju Pelestarian Pusaka

12

BAB II

KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN TEORI,

DAN MODEL PENELITIAN

Bab ini terdiri atas empat komponen yaitu kajian pustaka yang

mengemukakan tentang penelitian-penelitian terdahulu yang terkait dengan

penelitian yang akan dilakukan. Kedua, berupa konsep yang mengemukakan

acuan-acuan yang dapat digunakan dalam memecahkan masalah dan penyamaan

persepsi terhadap maksud yang ingin dicapai, Ketiga, berupa tinjauan terhadap

landasan teori yang ada, dan keempat berupa model penelitian yang menjabarkan

keseluruhan pelaksanaan penelitian.

2.1 Kajian Pustaka

Dalam Laporan Pemugaran Peninggalan Sejarah dan Purbakala Bali dan

Nusa Tenggara Barat yang diterbitkan oleh Departemen Pendidikan dan

Kebudayaan Direktorat Jenderal Kebudayaan (1982: 10) dijelaskan tentang karakter

dan keadaan Pura Maospahit Tonja dari segi lokasi dan lingkungan, struktur pura,

bangunan-bangunan yang ada dalam kompleks pura, panyungsung, masyarakat yang

bertanggung jawab terhadap pura, pelaksanaan pemugaran yang dilakukan pada saat

itu, dan sarana dana serta tenaga yang digunakan dalam pemugaran pura tersebut

pada waktu itu. Disebutkan pula bahwa candi/prasada yang ada pada pura ini

memiliki bagian-bagian seperti kaki, badan, dan atap candi yang menyerupai candi-

candi di Jawa Timur. Namun dalam laporan ini tidak dimuat secara pasti sejarah

berdirinya pura dan keterkaitannya dengan pura lain yang memiliki nama sama.

Page 13: Konservasi Pura Maospahit Denpasar Menuju Pelestarian Pusaka

13

Pada laporan penelitian lainnya, yaitu Laporan Kerusakan Candi Rebah di

Pura Maospahit-Gerenceng-Denpasar oleh Sepur Seriarsa, dan kawan-kawan (1983:

9) disebutkan hanya mengenai perbaikan yang pernah dilakukan pada pura itu, yaitu

pada tahun 1966 memugar candi bentar dan palinggih Gedong Raras Maospahit,

kemudian tahun 1987 memugar kori agung, yaitu pintu masuk dari halaman tengah

menuju halaman dalam. Selain itu juga memuat sedikit sejarah mengenai pura ini

yang lebih terfokus pada pembangunan Gedong Raras Majapahit, bukan mengenai

keseluruhan pura serta kemungkinan adanya pengaruh arsitektur bergaya Majapahit

pada abad 14-15.

Adri (1991: 37) dalam laporan penelitiannya dengan judul Hubungan Antara

Pura di Bali dengan Candi di Jawa Timur mengungkapkan beberapa contoh candi di

Jawa Timur yang diperkirakan menginspirasi atau mempunyai hubungan dengan

pura di Bali dalam konsepsinya maupun arsitektur serta reliefnya. Beberapa dari

candi tersebut antara lain Candi Jago yang pada beberapa bagiannya terdapat relief

yang sangat serupa dengan bangunan yang terdapat pada pura di Bali, yaitu: bale

agung, piyasan, bale pelik, selain itu gapura Candi Jago juga mirip dengan candi

bentar pada pura di Bali. Candi Jawi yang mempunyai bangunan serupa gedong,

yaitu pasimpangan, tempat singgah, maupun palinggih, bangunan suci untuk

pemujaan, pada pura di Bali. Candi Penataran yang susunannya sangat dekat dengan

denah pura di Bali yaitu terbagi atas tiga halaman secara horisontal. Bagian atau

halaman yang paling suci terletak pada bagian paling belakang Utara-Timur (kaja-

kangin), yang di Bali disebut jeroan. Candi Tigawangi yang memuat relief

Sudamala, erat kaitannya dengan upacara penglukatan, pembersihan dengan air suci,

Page 14: Konservasi Pura Maospahit Denpasar Menuju Pelestarian Pusaka

14

di Bali, selain itu juga terdapat relief bangunan yang serupa dengan gedong

palinggih Dewi Durga pada beberapa Pura Dalem di Bali. Candi Waringin Lawang

yang bentuknya persis sama dengan candi bentar di Bali, berbahan batu bata yang

umumnya juga dipakai sebagai bahan pokok candi bentar di Bali. Candi Bajang

Ratu yang sama dengan candi kurung atau kori agung pada pura di Bali. Relief

Trowulan yang terdapat pahatan serupa candi bentar, meru, prasada, gedong

palinggih, bale pelik, piyasan, apit lawang, dan bale agung. Terakhir adalah

keberadaan Candi Penanggungan yang berasal dari masa Majapahit akhir (abad ke

14 dan abad ke 15, pada masa pemerintahan Vikramavardhana). Menunjukkan

persamaan dengan Pura Besakih dilihat dari tata letak, konsep dasar, altar sesaji yang

berjajar tiga, maupun orientasi pemujaannya yang mengarah ke gunung. Tidak ada

yang secara langsung menyinggung tentang keberadaan Pura Maospahit dan

kaitannya dengan candi-candi di Jawa Timur pada laporan penelitian ini.

Karini (1993: 18) dalam Perbandingan Pola Hias Candi Bentar dan Candi

Kurung di Pura Maospahit Gerenceng Dengan Pola Hias Candi Bentar dan Candi

Kurung di Pura Uluwatu (Suatu Kajian Arkeologi) mengemukakan tentang struktur

dan rupa dari candi bentar dan candi kurung di Pura Maospahit Gerenceng dan Pura

Uluwatu. Mengenai Pura Maospahit, yang dijelaskan adalah tidak keseluruhan pura

tetapi fokus pada candi bentar dan candi kurung sesuai dengan judul penelitian ini,

penjabarannya cukup detail karena membahas bahan dan filosofi yang terkandung

dalam pembuatan candi bentar dan candi kurung. Memang ada sedikit penjelasan

awal mengenai tata letak bangunan pada Pura Maospahit Gerenceng, tetapi tidak

mendetail menceritakan perletakan setiap bangunan di dalam pura.

Page 15: Konservasi Pura Maospahit Denpasar Menuju Pelestarian Pusaka

15

Keempat penelitian di atas belum ada yang secara spesifik membahas

keseluruhan Pura Maospahit Denpasar. Pembahasan yang dilakukan sebelumnya

hanya membahas garis besar tanpa penjelasan dan dokumentasi detail. Dalam

penelitian ini, akan dilakukan kajian mengenai upaya dan usaha pelestarian yang

pernah dan berpotensi dilakukan terhadap pura demi keberlangsungannya di masa

mendatang dengan rumusan masalah dan berupaya menyingkap fakta-fakta yang

belum tersampaikan selama ini.

No Judul Penelitian Peneliti Hasil Penelitian Kontribusi Terhadap Penelitian Yang Diambil

1. Laporan Pemugaran Peninggalan Sejarah dan Purbakala Bali dan Nusa Tenggara Barat.

Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Direktorat Jenderal Kebudayaan (1982)

Penjelasan Pura Maospahit Tonja dan keterkaitan antara candi/prasada pada pura ini yang mirip bagian-bagian seperti kaki, badan, dan atap candi-candi di Jawa Timur.

Kesamaan karakter dan penamaan antara bahan bangunan yang digunakan pada kedua pura, baik yang di Tonja maupun di Gerenceng.

2. Laporan Kerusakan Candi Rebah di Pura Maospahit- Gerenceng- Denpasar

Sepur Seriarsa, dan kawan-kawan (1983)

Perbaikan yang pernah dilakukan pada pura itu, tahun 1966 memugar candi bentar dan palinggih Gedong Maospahit, kemudian tahun 1987 memugar kori agung.

Studi pendahuluan sebagai data awal dan pelengkap untuk memulai penelitian dan mengetahui perbaikan yang pernah didokumentasikan.

3. Hubungan Antara Pura di Bali dengan Candi di Jawa Timur

Ida Ayu Putu Adri (1991)

Beberapa contoh candi di Jawa Timur yang diperkirakan menginspirasi atau mempunyai hubungan dengan pura di Bali dalam konsepsinya maupun arsitektur serta reliefnya.

Beberapa bagiannya memiliki kemiripan dalam hal bahan dan asal muasal wujud arsitektur pura.

Tabel 2.1 Hasil Penelitian Terdahulu

Page 16: Konservasi Pura Maospahit Denpasar Menuju Pelestarian Pusaka

16

4. Perbandingan Pola Hias Candi Bentar dan Candi Kurung di Pura Maospahit Gerenceng Dengan Pola Hias Candi Bentar dan Candi Kurung di Pura Uluwatu (Suatu Kajian Arkeologi)

Ni Made Oka Karini (1993)

Struktur dan filosofi perwujudan candi bentar dan candi kurung Pura Maospahit Gerenceng serta sedikit mengenai perletakan bangunan di dalam Pura Maospahit Gerenceng.

Perletakan tata bangunan dan penamaan dari palinggih-palinggih yang ada.

2.2 Konsep

Konsep dalam usulan penelitian ini memaparkan sekilas tentang pura

dalam arsitektur tradisional Bali (mengingat obyek penelitian adalah pura),

sedangkan pengertian judul penelitian dibuat untuk menyamakan persepsi agar

maksud yang ingin dicapai dapat diketahui karena telah berada dalam satu koridor

pemikiran.

2.2.1 Konsep Parhyangan (tempat pemujaan) dalam Arsitektur Tradisional Bali.

Arsitektur pura adalah suatu ungkapan baru yang kemudian populer karena

adanya pendidikan formal khususnya di Bali. Kemunculannya dikarenakan

mengglobalnya transformasi budaya dunia. Arsitek dalam praktek profesinya

menghasilkan karya arsitektur yang menampilkan: sosok (figure), wujud (shape),

bentuk (form), ruang (space), dan fungsi (function). Namun sesungguhnya pura

itu dirancang oleh undagi/wundagi, sebutan untuk ”arsitek” bangunan tradisional

Bali. Dengan demikian, seorang undagi dituntut untuk mampu menguasai

keundagiannya secara lahir batin (Meganada, 2008: 49). Pura bukanlah tempat

abadi para Dewa, melainkan hanya sebagai pasimpangan (tempat singgah).

Page 17: Konservasi Pura Maospahit Denpasar Menuju Pelestarian Pusaka

17

Disamping sebagai pasimpangan para Dewa, pura juga merupakan tempat

pertemuan para Dewa dengan umatNya (Rata, 1991: 78).

Pengelompokan Pura di Bali, dapat didasarkan atas beberapa hal yaitu: (1)

falsafah dasar pengelompokan pura di Bali, yang dapat digolongkan menjadi (a)

Tattwa Agama Hindu, (b) Prabawa Sang Hyang Widhi Wasa dan atau atma sidha

dewata yang dipuja di pura tersebut, dan (c) panyiwi pura tersebut, jagat, dan

warga (klan); (2) pengelompokan berdasarkan fungsi, yang dapat digolongkan

menjadi (a) sebagai pura kahyangan jagat, yaitu pura yang berfungsi sebagai

tempat suci untuk memuja Tuhan dalam segala manifestasiNya, (b) sebagai pura

kawitan, yaitu pura yang berfungsi sebagai tempat suci untuk memuja roh leluhur,

dan (3) pengelompokan berdasarkan karakteristik, terdiri atas (a) pura kahyangan

jagat, seperti padma bhuwana, pura sad kahyangan, pura catur loka pala, pura

kahyangan tiga jagat, pura rwa bhineda, dan pura jagat lainnya, (b) pura

kahyangan desa, yang di-sungsung oleh seluruh masyarakat desa pakraman, (c)

pura swagina (pura fungsional), (d) pura kawitan, yaitu pura yang panyiwi-nya

ditentukan oleh ikatan ”wit” atau leluhur berdasarkan garis kelahiran, seperti

sanggah/merajan, Ibu, panti, dadia, batur, penataran, dalem, padharman, dan

sejenisnya, dan (e) palinggih penyawangan yang terdapat di kantor-kantor,

sekolah-sekolah, dan sejenis dengan itu dapat dikelompokkan ke dalam pura

jagat/umum.

Jenis-jenis bangunan pura di Bali dapat digolongkan menjadi tiga yaitu:

(1) meru, bangunan yang denahnya berbentuk segi empat terbuat dari struktur

rangka kayu dengan atap yang bertingkat mulai dari tingkat 1, 3, 5, 7, 9, dan 11.

Page 18: Konservasi Pura Maospahit Denpasar Menuju Pelestarian Pusaka

18

Pada setiap tingkatnya didukung oleh struktur yang disebut titimamah ke arah

horisontal, dan terdapat struktur yang disebut beti berupa tiang ke arah vertikal

yang terletak di tengah ruangan meru. Berfungsi sebagai struktur penguat dan

simbol penghubung dunia nyata dan tidak nyata. Fungsi meru menurut konsep

Mpu Kuturan adalah tempat untuk memuja Tuhan dan juga roh suci leluhur, (2)

padmasana, berasal dari kata padma dan asana. Padma berarti bunga teratai, dan

asana berarti tempat duduk. Dengan demikian padmasana artinya tahta dari

bunga teratai (Meganada, 2008: 61). Diciptakan oleh Dang Hyang Nirartha yang

mengalami perkembangan dari waktu ke waktu. Struktur bangunannya masif

dengan dasar persegi menggunakan hiasan ornamen binatang seperti kura-kura

(bedawang nala), naga (naga ananta bhoga, naga basuki, dan naga taksaka),

gajah (karang gajah), kala (karang tapel), burung (karang manuk, karang goak,

garuda, dan angsa), serta tumbuh-tumbuhan, dan (3) gedong, yang pada prinsip

tapak dasarnya adalah persegi atau persegi panjang. Berfungsi untuk menstanakan

manifestasi Tuhan dan sebagai tempat menyimpan sesuatu yang disakralkan

seperti pelawatan, pretima, pusaka, sehingga disebut gedong simpen, gedong

parerepan, gedong agung, gedong sari, dan lainnya. Ciri suatu bangunan

palinggih disebut gedong adalah adanya dinding penutup ruangan yang memiliki

pintu. Bentuk bangunannya berdinding masif langsung sebagai pemikul, rangka

atap kayu, dengan atap ijuk.

2.2.2 Pengertian Benda Cagar Budaya dan Warisan Budaya

Menurut Undang-undang Nomor 5 Tahun 1992 Pasal 1, benda cagar

budaya adalah benda buatan manusia, bergerak atau tidak bergerak yang berupa

Page 19: Konservasi Pura Maospahit Denpasar Menuju Pelestarian Pusaka

19

kesatuan atau kelompok, atau bagian-bagiannya atau sisa-sisanya, yang berumur

sekurang-kurangnya 50 (lima puluh) tahun, atau mewakili masa gaya yang khas

dan masa gaya sekurang-kurangnya 50 (tahun), serta dianggap mempunyai nilai

penting bagi sejarah, ilmu pengetahuan, dan kebudayaan; benda alam yang

dianggap mempunyai nilai penting bagi sejarah, ilmu pengetahuan, dan

kebudayaan. Pada pasal 3 PP No 10 Tahun 1993 tentang pelaksanaan Undang-

undang Nomor 5 Tahun 1992 tentang Benda Cagar Budaya ditegaskan secara

lebih rinci, yaitu: Benda Cagar Budaya karena (a) nilainya yang sangat penting

bagi ilmu sejarah dan kebudayaan bangsa Indonesia, dan (b) sifatnya yang

memberikan corak khas dan unik; jumlah dan jenisnya sangat terbatas dan langka;

berdasarkan ketentuan Undang-undang Nomor 5 Tahun 1992 tentang Benda

Cagar Budaya dinyatakan menjadi milik negara.

Warisan budaya menurut Young dalam Wardi (2008: 244) adalah

keseluruhan hasil budaya dari perilaku belajar atau berpola dari kelompok

masyarakat tertentu yang diwarisi dari generasi sebelumnya dan kemudian

ditambahkan (dimodifikasi), selanjutnya diwariskan ke generasi berikutnya.

Warisan budaya dapat berwujud tangible culture (candi, prasada, bangunan pura,

masjid, gereja, wihara/klenteng, goa hunian/pertapaan, patung, tekstil, alat musik,

dan sebagainya), intangible culture berupa institusi sosial, subak, banjar, desa

adat, pamaksan/pangemong pura, ritual, dan sebagainya. Serta abstract culture

(sistem nilai, sistem norma, hukum adat, filsafat, ideologi, dan sebagainya).

Dalam hal ini Pura Maospahit Denpasar masuk dalam kategori warisan

budaya berwujud tangible culture. Dalam usulan penelitian ini, meskipun

Page 20: Konservasi Pura Maospahit Denpasar Menuju Pelestarian Pusaka

20

obyeknya berwujud tangible culture tetapi dalam melakukan penelitian di

dalamnya juga dilakukan pendekatan secara intangible dalam artian mengungkap

hal-hal yang tak terlihat dalam wujud fisik, dalam hal ini yaitu terkait dengan

peristiwa dan tradisi penting yang terjadi dalam pura serta kegiatan dan hubungan

pelaku di dalamnya (wujud fisik bangunan dengan lingkungan sekitarnya).

2.2.3 Pengertian Pusaka Budaya

Pusaka budaya adalah hasil cipta, rasa, karsa, dan karya yang istimewa

dari lebih 500 suku bangsa di Indonesia, secara sendiri-sendiri, sebagai kesatuan

bangsa Indonesia, dan dalam interaksinya dengan budaya lain sepanjang sejarah

keberadaannya. Pusaka budaya mencakup pusaka berwujud (ragawi) dan pusaka

tidak berwujud (tak ragawi). Dalam pusaka budaya ini bisa dilihat sebagai folklor.

Folk sinonim dengan kata kolektif (collectivity). Menurut Alan Dundes,

folk adalah sekelompok orang yang memiliki ciri-ciri pengenal fisik, sosial, dan

kebudayaan, sehingga dapat dibedakan dari kelompok-kelompok lainnya. Ciri-ciri

pengenal itu antara lain dapat berwujud: warna kulit, bentuk rambut, mata

pencaharian, bahasa, taraf pendidikan, dan agama yang sama. Namun yang lebih

penting lagi adalah bahwa mereka telah memiliki suatu tradisi, yakni kebudayaan

yang telah mereka warisi turun temurun, sedikitnya dua generasi, yang dapat

mereka akui sebagai milik bersama. Disamping itu, yang paling penting adalah

bahwa mereka sadar akan identitas kelompok mereka sendiri. Sedangkan arti dari

istilah lore, ialah sebagian kebudayaan tersebut diwariskan secara turun temurun

secara lisan atau melalui suatu contoh yang disertai dengan gerak isyarat atau alat

pembantu pengingat/mnemonic device (Danandjaja, 1986: 1-2).

Page 21: Konservasi Pura Maospahit Denpasar Menuju Pelestarian Pusaka

21

Pusaka saujana adalah gabungan pusaka alam dan pusaka budaya dalam

kesatuan ruang dan waktu. Pusaka saujana dikenal dengan pemahaman baru yaitu

cultural landscape (saujana budaya), yakni menitikberatkan pada keterkaitan

antara budaya dan alam dan merupakan fenomena kompleks dengan identitas

yang berwujud dan tidak berwujud. Pusaka dari masa lalu jangan dibiarkan

sebagai benda tak berguna yang harus disingkirkan di sudut ruang yang kotor dan

gelap. Pusaka masa lalu harus dibawa ke dalam kehidupan masa kini, dan menjadi

bagian yang bermakna dalam kehidupan itu.

Sesuatu yang sangat bernilai itu harus dapat dinikmati oleh masyarakat

dan dipahami perannya sebagai bekal pengembangan kehidupan ke depan. Pusaka

yang tidak mempunyai makna dan manfaat bagi kehidupan masa kini dan masa

depan akan dilupakan dan ditinggalkan oleh masyarakatnya. Karena itu dalam

upaya pelestarian aset dari masa lalu maka perlu dipahami dinamika kehidupan

masa kini dan kerangka budaya yang menyeluruh. Maksud dari pemahaman

kerangka pembangunan budaya yang menyeluruh itu agar dapat menempatkan

upaya pelestarian sebagai bagian yang bermanfaat. Pelestarian adalah upaya

pengelolaan pusaka melalui kegiatan penelitian, perencanaan, perlindungan,

pemeliharaan, pemanfaatan, dan pengawasan. Pelestarian bisa juga mencakup

pengembangan secara selektif untuk menjaga kesinambungan, keserasian, dan

daya dukungnya dalam menjawab dinamika zaman.

2.2.4 Pengertian Signifikansi Budaya

Suatu benda/situs dalam prosesnya menjadi suatu obyek konservasi tentunya

telah melalui suatu proses terlebih dahulu dalam penentuannya. Ada suatu kriteria

Page 22: Konservasi Pura Maospahit Denpasar Menuju Pelestarian Pusaka

22

yang dipakai dalam menentukan bagaimana suatu benda/situs layak menjadi obyek

konservasi. Kriteria sebuah benda/situs dijadikan sebuah obyek konservasi

tergantung dari signifikansi yang dimiliki. Signifikansi sebuah benda/situs dapat

dinilai berdasarkan tiga tolok ukur yaitu nilai sejarah yang terkandung/

melatarbelakangi obyek (misalnya proses pembangunan dan cerita yang terjadi

seiring usianya), kondisi fisik/arsitektural yang mencakup keunikan dan kejamakan

(sesuatu yang tidak dimiliki oleh benda/tempat lain), serta pada tradisi (budaya) yang

berlaku dan dijalankan pada sebuah obyek/situs yang mungkin saja berbeda dengan

tempat lain (Heuken, 2000: iii-viii).

Signifikansi budaya menurut Piagam Burra 1999 artinya adalah nilai estetis,

historis, ilmiah, sosial, atau spiritual untuk generasi dahulu, kini, dan masa yang

akan datang. Signifikansi budaya ini tersirat dalam tempat, bahan, tata letak, fungsi,

asosiasi, makna, rekaman, tempat-tempat terkait, dan obyek-obyek terkait. Bahan

artinya seluruh material fisik sebuah tempat, termasuk komponen, perbaikan, isi, dan

obyek-obyek. Tata letak artinya kawasan yang mengitari sebuah tempat yang dapat

mencakup jangkauan visual. Fungsi dalam hal ini mencakup pemanfaatan sebuah

tempat, termasuk kegiatan yang bisa dilakukan di tempat tersebut. Asosiasi artinya

ikatan khusus yang eksis antara orang dan sebuah tempat, asosiasi mencakup nilai

sosial spiritual dan tanggung jawab budaya pada sebuah tempat. Makna menyatakan

bagaimana sebuah tempat mengartikan, mengindikasikan, membangkitkan atau

mengekspresikan sesuatu. Makna biasanya berhubungan dengan aspek kasat mata

seperti sifat-sifat simbolik dan memori. Tempat terkait artinya sebuah tempat yang

memberi kontribusi pada signifikansi budaya tempat yang lain.

Page 23: Konservasi Pura Maospahit Denpasar Menuju Pelestarian Pusaka

23

Apabila signifikansi budaya sebuah tempat tidak tampak jelas, maka harus

dijelaskan melalui interpretasi. Interpretasi berarti meningkatkan pemahaman dan

kecintaan, juga kelayakan secara budaya. Signifikansi budaya sebuah tempat dan

hal-hal lain yang berpengaruh terhadap masa depannya paling baik dipahami melalui

serangkaian tahap pengumpulan dan analisis informasi sebelum membuat keputusan.

Hal pertama adalah memahami signifikansi budayanya, kemudian membuat

kebijakan, dan akhirnya mengelola tempat tersebut sesuai dengan kebijakan yang

telah ditetapkan. Pembuatan kebijakan juga harus mempertimbangkan faktor-faktor

lain yang berpengaruh terhadap masa depan sebuah tempat. Seperti kebutuhan

pemilik, sumber daya, keterbatasan eksternal, dan kondisi fisik tempat tersebut. Jadi

seluruh tahapan sebaiknya dipertimbangkan dan dipikirkan secara matang terlebih

dahulu sebelum mengambil keputusan.

Untuk menyamakan persepsi antara penulis dengan pembaca terkait

penelitian ini, maka penelitian ini dimaksudkan untuk menginventarisir nilai

signifikan yang dimiliki oleh obyek. Dalam hal ini Pura Maospahit Denpasar dan

usaha pelestarian serta pengelolaan yang pernah dan telah dilakukan sebelumnya

di pura ini baik oleh pihak yang berwenang yaitu pemerintah melalui Balai

Pelestarian Peninggalan Purbakala Bali maupun yang dilakukan oleh pihak

pangemong/pangempon/masyarakat yang diberikan tanggung jawab dan

kepercayaan memelihara/mengelola keberlangsungan pura. Selain itu juga

melakukan pendataan terhadap kondisi fisik bangunan, usaha dan penerapan/

aplikasi konservasi serta menemukan/mengusulkan usaha pengelolaan yang sesuai

untuk kondisi terkini dari Pura Maospahit Denpasar sehingga ke depannya

Page 24: Konservasi Pura Maospahit Denpasar Menuju Pelestarian Pusaka

24

menjadi sesuai dengan kapasitasnya sebagai benda cagar budaya terkait dengan

konteks pusaka budaya.

2.3 Landasan Teori

Landasan teori digunakan sebagai alat serta acuan dalam mengupas

permasalahan yang muncul dalam penelitian ini dan dipakai dalam penulisan

laporan penelitian ini. Sejauh ini teori yang dianggap relevan dan memiliki

kesesuaian dengan penelitian yang akan dilakukan adalah teori konservasi, teori

pemugaran warisan budaya, dan teori warisan budaya tak ragawi.

2.3.1 Teori Konservasi

Ada banyak penjabaran dari teori konservasi terutama yang berasal dari

luar Indonesia dan dalam pelaksanaannya belum tentu tepat diterapkan di

Indonesia umumnya dan Bali pada khususnya. Namun dalam penelitian ini akan

diambil beberapa hal yang dianggap memiliki keterkaitan dan bisa dijadikan tolok

ukur dalam melakukan aktivitas konservasi terutama terkait dengan keberadaan

suatu situs cagar budaya berupa pura.

2.3.1.1 Pengertian

Konservasi merupakan istilah induk dari semua kegiatan pelestarian sesuai

dengan kesepakatan internasional yang telah dirumuskan dalam Piagam Burra

tahun 1981 (Sidharta dan Budihardjo, 1989: 10). Dalam Piagam Burra yang

lengkapnya bernama Icomos Charter for the Conservation of Places of Cultural

Significance (The Burra Charter), termuat definisi:

Conservation means all the processes of looking after a place so as to retain its cultural significance. It includes maintenance and may according circumstance include preservation, restoration, reconstruction

Page 25: Konservasi Pura Maospahit Denpasar Menuju Pelestarian Pusaka

25

and adaption and will be commonly a combination of more than one of these. Atau dengan kata lain:

Konservasi berarti semua proses untuk memelihara suatu tempat dengan sedemikian rupa untuk menjaga makna kulturalnya. Di dalamnya termasuk memelihara sesuai dengan keadaannya meliputi preservasi, restorasi, rekonstruksi dan adaptasi dan bisa juga berupa kombinasi dari beberapa hal tersebut. Konservasi berarti memelihara dan melindungi tempat-tempat yang

berharga, agar tidak hancur atau berubah sampai batas-batas yang wajar.

Menekankan pada penggunaan kembali bangunan lama, agar tidak terlantar.

Apakah dengan menghidupkan kembali fungsi lama, ataukah dengan mengubah

fungsi bangunan lama dengan fungsi baru yang dibutuhkan. Upaya perlindungan

terhadap benda-benda cagar budaya yang dilakukan secara langsung dengan cara

membersihkan, memelihara, memperbaiki, baik secara fisik maupun kimia secara

langsung dari pengaruh berbagai faktor lingkungan yang merusak. Perlindungan

benda-benda (dalam hal ini benda-benda peninggalan sejarah dan purbakala) dari

kerusakan yang diakibatkan oleh alam, kimiawi dan mikro organisme.

2.3.1.2 Fungsi Konservasi

Fungsi konservasi bila ditinjau dari segi bentuk peninggalan purbakala atau

arkeologi adalah tidak berbeda jauh dari fungsi peninggalan purbakala lain pada

umumnya, yaitu seperti dikemukan oleh Ardana (1983: 14), sebagai berikut:

a) Sebagai bukti dan sumber sejarah peninggalan bangsa di masa lalu yang

sangat penting, baik bagi generasi sekarang maupun bagi generasi yang

akan datang. Sejarah bangsa Indonesia telah membuktikan bahwa kejayaan

di masa lalu adalah suatu hasil sejarah yang telah berlangsung lama.

Page 26: Konservasi Pura Maospahit Denpasar Menuju Pelestarian Pusaka

26

b) Sebagai sarana pendidikan seumur hidup, terutama bagi generasi muda

yang akan memimpin bangsa di kemudian hari. Untuk dapat maju ke depan

bersama bangsa-bangsa lainnya di dunia, maka generasi muda sangat perlu

secara bersungguh-sungguh mempelajari kepribadian bangsanya sendiri

melalui sejarah, supaya tidak mudah terpengaruh oleh berbagai macam

pengaruh internasional yang bertentangan dengan kepribadian bangsa

sendiri.

c) Sebagai sarana pendidikan nasional, karena itu kepada masyarakat luas

diharapkan, bahwa dengan mempelajari kekunoan akan dapat

meningkatkan apresiasi, kebanggaan dan tanggungjawab kepada

kebudayaan nusantara. Dengan demikian, ketahanan kebudayaan bangsa

akan menjadi semakin kuat di tengah-tengah pergaulan internasional yang

semakin kompleks dengan ilmu pengetahuan dan teknologi yang sangat

maju.

d) Sebagai land mark, yang dikemukakan oleh Budihardjo (1997) adalah

fungsi penting lainnya. Kehadiran bangunan kuno yang merupakan warisan

budaya dalam bentuk artefak itu memberikan apa yang disebut: "a sense of

history" atau land mark yang akrab. Sejalan dengan hilangnya warisan

budaya itu, maka penduduk kota akan semakin mudah merasa terasing,

tidak berakar, bagaikan tercerabut asal muasal komunitasnya.

e) Fungsi tambahan lainnya yang diberikan, adalah sebagai menu jiwa.

Suasana, atmosfir, kesan dan rasa yang ditimbulkan oleh suatu kawasan

bersejarah merupakan menu bagi jiwa setiap masyarakat yang beradab.

Page 27: Konservasi Pura Maospahit Denpasar Menuju Pelestarian Pusaka

27

Kecintaan terhadap bangunan kuno seyogyanya ditumbuhkan lebih

daripada kecintaan terhadap benda antik, karena bangunan kuno masih bisa

dimanfaatkan dan dihidupkan kembali, sedangkan benda antik hanya

memukau untuk dilihat saja.

Dengan mensosialisasikan fungsi penting tersebut secara luas dan terbuka,

kiranya akan dapat mengubah asumsi masyarakat bahwa bangunan dan kawasan

yang memiliki nilai arti kesejarahan atau pun nilai seni arsitektur, pada dasarnya

harus dilihat sebagai obyek cagar budaya. Karena obyek cagar budaya merupakan

kekayaan budaya bangsa yang penting artinya bagi pemahaman dan pengembangan

sejarah ilmu pengetahuan dan kebudayaan itu sendiri.

2.3.1.3 Ruang Lingkup

Seringkali terdengar pembicaraan/pembahasan atau termuat tulisan tentang

konservasi dalam berbagai media, dan obyeknya terkadang alam (konservasi

dalam bentuk hutan lindung, taman hutan raya, kebun raya dan sejenisnya) dan

juga perlindungan terhadap hewan langka yang dikombinasikan dengan hutan

seperti Taman Nasional Bali Barat, Taman Nasional Ujung Kulon (Banten) dan

sebagainya.

Pada umumnya, dalam suatu lingkungan kota, obyek dan lingkup

konservasi digolongkan ke dalam beberapa luasan (Kevin Lynch dalam Sidharta,

1989: 11) yaitu: satuan areal, satuan pandangan/visual/landscape dan satuan fisik.

Adapun penjabarannya sebagai berikut:

a. Satuan areal: adalah suatu wilayah di kota, berupa sub kota, atau bahkan

kota itu sendiri secara keseluruhan sebagai suatu sistem kehidupan.

Page 28: Konservasi Pura Maospahit Denpasar Menuju Pelestarian Pusaka

28

Keadaan seperti ini bisa terjadi pada suatu kota yang mempunyai ciri-ciri

atau nilai yang khas.

b. Satuan pandangan/visual/landscape: adalah suatu satuan berupa aspek

visual, yang dapat memberi bayangan mental atau image yang khas

tentang suatu lingkungan kota. Image ini mempunyai arti dan peran yang

penting bagi suatu kota. Ada lima hal atau unsur pokok penting di sini,

yaitu : (1) jalur (path), (2) tepian (edges), (3) kawasan (district), (4)

pemusatan (node), dan (5) landmark. Dengan melihat kelima unsur

tersebut, dapat diartikan bahwa termasuk juga jaringan rute bersejarah atau

jalur angkutan tradisional.

c. Satuan fisik: adalah satuan yang berwujud bangunan, kelompok atau

deretan bangunan-bangunan, rangkaian bangunan yang membentuk ruang

umum atau dinding jalan, apabila dikehendaki lebih jauh hal ini bisa

diperinci sampai kepada unsur-unsur bangunan, baik unsur fungsional,

struktur atau estetis ornamental. Sedangkan secara umum, bentuk

konservasi meliputi kota dan desa, distrik, lingkungan perumahan, garis

cakrawala wajah jalan dan bangunan.

2.3.1.4 Pendekatan dalam Konservasi

Ada banyak penjabaran mengenai definisi serta istilah-istilah lain dan

perluasan tindakan konservasi yang pada intinya memiliki pengertian yang kurang

lebih sama, salah satunya adalah (Adishakti dalam Pranajaya dkk, 2010: 60) yang

menyebutkan restorasi (dalam konteks yang lebih luas) ialah kegiatan

mengembalikan bentukan fisik suatu tempat kepada kondisi sebelumnya, dengan

Page 29: Konservasi Pura Maospahit Denpasar Menuju Pelestarian Pusaka

29

menghilangkan tambahan-tambahan atau merakit kembali komponen existing tanpa

menggunakan material baru. Restorasi (dalam konteks terbatas) ialah kegiatan

pemugaran untuk mengembalikan bangunan dan lingkungan cagar budaya semirip

mungkin ke bentuk asalnya berdasarkan data pendukung tentang bentuk arsitektur

dan struktur pada keadaan asal tersebut dan agar persyaratan teknis bangunan

terpenuhi.

Preservasi (dalam konteks yang luas) ialah kegiatan pemeliharaan bentukan

fisik suatu tempat dalam kondisi existing dan memperlambat bentukan fisik tersebut

dari proses kerusakan, sedangkan preservasi (dalam konteks yang terbatas) ialah

bagian dari perawatan dan pemeliharaan yang intinya adalah mempertahankan

keadaan sekarang dari bangunan dan lingkungan cagar budaya agar keandalan

kelaikan fungsinya terjaga baik. Konservasi (dalam konteks yang luas) ialah semua

proses pengelolaan suatu tempat hingga terjaga signifikansi budayanya. Hal ini

termasuk pemeliharaan dan mungkin (karena kondisinya) termasuk tindakan

preservasi, restorasi, rekonstruksi, konsolidasi serta revitalisasi. Biasanya kegiatan

ini merupakan kombinasi dari beberapa tindakan tersebut, sedangkan konservasi

(dalam konteks terbatas) dari bangunan dan lingkungan ialah upaya perbaikan dalam

rangka pemugaran yang menitikberatkan pada pembersihan dan pengawasan bahan

yang digunakan sebagai konstruksi bangunan, agar persyaratan teknis bangunan

terpenuhi.

Rekonstruksi adalah kegiatan pemugaran untuk membangun kembali dan

memperbaiki bangunan dan lingkungan yang hancur akibat bencana alam, bencana

lainnya, rusak akibat terbengkalai atau keharusan pindah lokasi karena salah satu

Page 30: Konservasi Pura Maospahit Denpasar Menuju Pelestarian Pusaka

30

sebab yang darurat, dengan menggunakan bahan yang tersisa atau terselamatkan,

dengan penambahan bahan bangunan baru dan menjadikan bangunan tersebut laik

fungsi dan memenuhi persyaratan teknis. Konsolidasi ialah kegiatan pemugaran

yang menitikberatkan pada pekerjaan memperkuat, memperkokoh struktur yang

rusak atau melemah secara umum agar persyaratan teknis bangunan terpenuhi dan

bangunan tetap laik fungsi. Konsolidasi bangunan dapat juga disebut dengan istilah

stabilisasi kalau bagian struktur yang rusak atau melemah bersifat membahayakan

terhadap kekuatan struktur.

Revitalisasi ialah pemugaran yang bersasaran untuk mendapatkan nilai

tambah yang optimal secara ekonomi, sosial dan budaya dalam pemanfaatan

bangunan dan lingkungan cagar budaya dan dapat sebagai bagian dari revitalisasi

kawasan kota lama untuk mencegah hilangnya aset-aset kota yang bernilai sejarah

karena kawasan tersebut mengalami penurunan produktivitas. Pemugaran adalah

kegiatan memperbaiki atau memulihkan kembali bangunan gedung dan lingkungan

cagar budaya ke bentuk aslinya dan dapat mencakup pekerjaan perbaikan struktur

yang bisa dipertanggungjawabkan dari segi arkeologis, historis dan teknis. Kegiatan

pemulihan arsitektur bangunan gedung dan lingkungan cagar budaya yang

disamping perbaikan kondisi fisiknya juga demi pemanfaatannya secara fungsional

yang memenuhi persyaratan keandalan bangunan.

Selain itu, disebutkan juga dalam sumber lain batasan pengertian tentang

istilah-istilah dasar dalam konservasi. Salah satunya seperti yang disepakati dalam

Piagam Burra, yang menjelaskan bahwa konservasi adalah segenap proses

pengelolaan suatu tempat agar makna kultural yang dikandungnya terpelihara

Page 31: Konservasi Pura Maospahit Denpasar Menuju Pelestarian Pusaka

31

dengan baik. Konservasi dapat meliputi seluruh kegiatan pemeliharaan serta sesuai

dengan situasi dan kondisi setempat. Secara keseluruhan mencakup preservasi,

restorasi, rekonstruksi, adaptasi, dan revitalisasi. Preservasi adalah pelestarian suatu

tempat persis seperti keadaan aslinya saat ditemukan tanpa adanya upaya perubahan.

Upaya yang dilakukan adalah upaya mencegah kehancuran.

Restorasi/rehabilitasi adalah mengembalikan suatu tempat pada keadaaan

semula dengan menghilangkan tambahan-tambahan dan memasang komponen

semula tanpa menggunakan bahan baru. Rekonstruksi adalah mengembalikan suatu

tempat semirip mungkin dengan keadaan semula, dengan cara menggunakan bahan

lama maupun bahan baru (bisa dikombinasikan). Adaptasi/revitalisasi adalah

mengubah tempat supaya dapat digunakan untuk fungsi yang lebih sesuai (tidak

menuntut perubahan drastis, atau hanya memerlukan sedikit dampak minimal), dan

demolisi adalah penghancuran atau perombakan suatu bangunan yang sudah rusak

atau membahayakan.

Ketika konservasi ini akan dilaksanakan sebaiknya diawali dengan suatu

strategi yang mengacu pada pelestarian warisan budaya, sehingga konservasi yang

akan dilakukan menjadi tepat guna dan tidak dilakukan sekedarnya saja (Salain,

2003: 42), seperti signifikansi yang diperoleh dari penilaian ”assessment” suatu

obyek dalam suatu konteks apakah menyangkut sejarah, keindahan, pengetahuan,

kebudayaan, maupun harganya. Kemudian tenaga ahli yang dimaksudkan sebagai

suatu strategi tentang bagaimana kesiapan sekaligus meningkatkan keahlian

sumber daya manusia yang ada dan yang akan diadakan. Setelah itu pengelolaan

site, sebagai hal yang sangat penting dalam upaya pelestarian. Menyangkut

Page 32: Konservasi Pura Maospahit Denpasar Menuju Pelestarian Pusaka

32

kepemilikan, pendanaan, pengoperasian, pengenalan, dan sebagainya. Lain dari

itu adalah penelitian sebagai kegiatan terstruktur yang dilakukan terus menerus

terhadap warisan arsitektur yang memiliki signifikansi tinggi.

Strategi lainnya adalah pencatatan melalui pengadaan sekaligus pemetaan

sampai dengan pendokumentasian hal-hal yang sangat rinci dari suatu detail

bangunan atau ruang. Kemasan hasil penelitian ini disertai dengan ramalan atas

temuan lapangan atau kemungkinan perubahan karena pemekaran suatu wilayah

oleh berbagai fungsi dalam suatu rekomendasi disajikan dalam MIS (Management

Information System), dan peningkatan kepedulian yang dilakukan melalui

berbagai upaya menumbuhkan kesadaran akan pentingnya penyelamatan warisan

budaya arsitektur, tidak hanya kepada para ahli tetapi juga kepada seluruh

masyarakat sebagai pelaku budaya melalui berbagai informasi. Penyampaian

informasi inilah yang perlu diperhatikan. Bagaimana caranya agar informasi yang

benar disampaikan oleh pihak yang benar dengan cara yang benar pula.

2.3.1.5 Motivasi dalam Melakukan Konservasi.

Melakukan kegiatan konservasi memerlukan dukungan motivasi yang

kuat, supaya arah yang akan dituju dalam konservasi dapat dicapai dengan tepat

sasaran. Motivasi juga diperlukan, mengingat bahwa kegiatan konservasi akan

menghadapi tantangan atau kendala yang kompleks. Dengan motivasi yang jelas

dan kuat, diharapkan setiap tantangan dapat diatasi. Pada umumnya, ada beberapa

motivasi yang melandasi kegiatan konservasi, yaitu :

a. Motivasi untuk mempertahankan warisan budaya atau warisan sejarah.

Motivasi ini didasari oleh keinginan untuk menghargai warisan budaya

Page 33: Konservasi Pura Maospahit Denpasar Menuju Pelestarian Pusaka

33

atau sejarah, karena budaya dan atau sejarah mengandung bahan-bahan

pelajaran yang sangat berharga. Nilai-nilai tersebut tidak hanya dari

segi fisiknya, tetapi spirit dari segi non fisik juga mengandung nilai

yang sangat mulia. Dari segi fisik akan dapat dipelajari nilai-nilai

arsitektur yang meliputi fungsi, struktur dan estetika melalui

perwujudan bentuknya. Dari segi non fisik dapat dipelajari banyak hal,

mulai dari semangat saat proses pembangunan dilakukan, peristiwa-

peristiwa penting yang terjadi sampai dengan nilai filosofis dari obyek

tersebut.

b. Motivasi untuk menjamin terwujudnya variasi dalam bentuk-bentuk

arsitektur kota dan lingkungan. Suatu lingkungan dengan bentuk-

bentuk yang monoton akan terlihat membosankan, karena kurang

dinamis. Oleh karena itu, maka pelestarian terhadap obyek-obyek yang

spesifik akan memberikan variasi visual yang dinamis.

c. Motivasi ekonomis, yang bermakna ganda. Di satu sisi pelestarian

akan menyebabkan nilai obyek itu akan meningkat karena terpelihara.

Di sisi lain, obyek yang dikonservasi akan memiliki nilai komersial

yang menjadi sumber pendapatan bagi banyak pihak.

d. Motivasi simbolis, dimana bangunan-bangunan merupakan gambaran

fisik tentang identitas suatu lingkungan. Bangunan fisik yang

fungsinya tidak lagi seperti semula (pada saat dibangun) tetapi kini

masih terpelihara akan menjadi simbol bahwa di lokasi tersebut pernah

tercatat sebagai tempat yang sangat penting.

Page 34: Konservasi Pura Maospahit Denpasar Menuju Pelestarian Pusaka

34

Dari semua kemungkinan motivasi tersebut memang semuanya saling

terkait, yang satu mendukung yang lainnya tergantung dari jenis obyeknya.

Masalah yang biasanya dihadapi adalah bagaimana membangkitkan motivasi

pihak-pihak untuk dapat bekerja sama dalam upaya pelestarian. Konservasi

sebagai upaya pelestarian, perlindungan dan sejenisnya bertujuan untuk menjaga

atau menciptakan suatu keadaan dimana obyek yang dikonservasi dapat tampil

dengan makna kulturalnya.

Dengan demikian maka warisan karya yang adiluhung tersebut mampu

memberikan manfaat yang dapat dipetik dari berbagai aspek. Manfaat yang paling

nyata adalah sebagai catatan sejarah masa lalu, dimana para leluhur telah berhasil

mewariskan sesuatu yang bernilai tinggi. Sedangkan manfaat praktisnya bagi

masyarakat adalah sebagai obyek untuk dikunjungi (kegiatan rekreasi). Sebagai

obyek rekreasi yang keberadaan fisiknya terus terpelihara akan memberikan efek

berlipat bagi manfaat-manfaat berikutnya. Namun dalam hal ini mengingat obyek

yang akan dikonservasi adalah sebuah pura, maka kegiatan rekreasi yang tepat

dilakukan disini adalah rekreasi spiritual.

Pelestarian dalam lingkup bangunan dan lingkungan adalah semua proses

untuk memelihara bangunan atau lingkungan sedemikian rupa sehingga makna

kulturalnya yang berupa nilai keindahan, sejarah, keilmuan atau nilai sosial untuk

generasi lampau, masa kini, dan masa yang akan datang akan dapat terpelihara.

Pelestarian dipahami juga sebagai suatu upaya untuk melindungi/menjaga

bangunan, monumen dan lingkungan dari kerusakan dan mencegah adanya proses

kerusakan. Konservasi juga merupakan upaya untuk memelihara suatu tempat

Page 35: Konservasi Pura Maospahit Denpasar Menuju Pelestarian Pusaka

35

yang dilakukan sedemikian rupa sehingga makna dari tempat tersebut dapat

dipertahankan.

Kata pelestarian sudah dikenal umum baik di kalangan akademis, birokrat,

dan masyarakat luas. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia menurunkan tiga arti

untuk kata “lestari”: (1) seperti keadaan semula; (2) tidak berubah; (3) kekal.

Ketiga arti kata ini mungkin masih tepat digunakan dalam pemahaman terhadap

produksi budaya bersifat fisik/berwujud (tangible) seperti benda cagar budaya.

Akan tetapi produk budaya yang bersifat non fisik/tak berwujud (intangible)

seperti dalam bentuk seni dan tradisi (yang lebih menekankan dalam bentuk ide,

konsep, norma) ketiga arti tersebut sangat berlawanan dengan sifat seni dan tradisi

yang hidup. Bila arti kata lestari itu diterapkan kepada pelestarian seni maupun

tradisi, maka kebudayaan suatu masyarakat akan berhenti di tengah jalan begitu

saja, tidak hidup sejajar dengan perkembangan budayanya. Sebab kesenian

maupun tradisi apapun tidak ada yang tidak mengalami perubahan.

Kamus Besar Bahasa Indonesia juga menurunkan tiga kata “melestarikan”

yaitu: (1) menjadikan (membiarkan) tetap tidak berubah: (2) membiarkan tetap

seperti keadaan semula: (3) mempertahankan kelangsungan (hidupnya). Arti yang

pertama dan kedua menghentikan kreativitas seni, maupun tradisi. Sedangkan arti

yang ketiga masih dapat ditafsirkan bagaimana kreativitas seni maupun tradisi

berkiprah untuk melangsungkan hidup.

Bagi masyarakat yang mengartikan pelestarian sebagai usaha dalam

membuat sesuatu tidak berubah, seperti keadaan semula, mungkin produk budaya

harus seperti keadaan semula. Peninggalan budaya nenek moyang yang berupa

Page 36: Konservasi Pura Maospahit Denpasar Menuju Pelestarian Pusaka

36

fisik (Benda Cagar Budaya) sajalah yang cocok diperlakukan seperti itu. Misalnya

candi, pura, puri, rumah adat, keris, peralatan dari perunggu, atau emas dan perak

dan lain sebagainya. Tetapi tidak untuk tari, sastra, musik, tata-cara, upacara dan

lain sebagainya. Golongan yang kedua ini ada yang memang harus dijaga

kelestariannya sedapat mungkin, tetap digunakan sebagai bahan baku karya seni

baru. Artinya pelestarian yang dimaksudkan dalam hal ini adalah membuat

sesuatu berkelanjutan.

2.3.1.6 Proses Konservasi

Arsitektur masa lampau seyogyanya tidak dilihat sebagai benda mati yang

tidak berguna lagi, melainkan sebagai bagian yang tidak terpisah dari sejarah

perkembangan arsitektur suatu kawasan. Membongkar bangunan bersejarah dengan

semena-mena, sama artinya dengan menghapus bukti sejarah dalam arti fisik dan

visual. Untuk menjaga kelestarian obyek cagar budaya (kawasan dan bangunan

kuno/bersejarah), perlu langkah-langkah pengaturan bagi penguasaan, pemanfaatan

dan pengawasannya. Karena peraturan dan Undang-undang memang merupakan alat

kontrol bagi upaya pelestarian cagar budaya, namun tak dapat disangkal bahwa

masyarakat selaku penerima tak dapat sepenuhnya take it for granted (menerima

selaku kebenaran).

Landasan hukum dalam mewujudkan pelaksanaan upaya-upaya pelestarian

tersebut di atas sebenarnya sudah ada sejak jaman pemerintahan kolonial Hindia

Belanda yang dikenal dengan Monumenten Ordonantie No. 19 tahun 1931,

kemudian menjadi Monumenten Ordonantie Stbl tahun 1934 (Staatsblad tahun 1934

No. 515). Setelah jaman kemerdekaan pemerintah Republik Indonesia telah

Page 37: Konservasi Pura Maospahit Denpasar Menuju Pelestarian Pusaka

37

menyusun dan menerbitkan Undang-undang Nomor 5 Tahun 1992, tentang Benda

Cagar Budaya sebagai pengganti Monumenten Ordonantie. Selain Monumenten

Ordonantie Stbl tahun 1934 tersebut dan himpunan peraturan yang terkait dengan

Undang-Undang tentang Benda Cagar Budaya di atas, landasan hukum lain yang

dapat dijadikan pedoman pelaksanaan (Harastoeti, 1999: 23), adalah: a) Peraturan

Pemerintah Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 1993 tentang Pelaksanaan

Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1992 tentang Benda Cagar Budaya; b) Keputusan

menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia Nomor 087/P/1993 tentang

Pendaftaran Benda Cagar Budaya; c) Keputusan Menteri Pendidikan dan

Kebudayaan Republik Indonesia Nomor 062/U/1995 tentang Pemilikan,

Penguasaan, Pengalihan, dan Penghapusan Benda Cagar Budaya; d) Keputusan

Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia Nomor 063/U/1995

tentang Perlindungan dan Pemeliharaan Benda Cagar Budaya; dan, e) Keputusan

Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia Nomor 064/U/1995

tentang Penelitian dan Penetapan Benda Cagar Budaya atau Situs.

Untuk menghindari keterlanjuran yang lebih jauh, maka perlu dilakukan

langkah-langkah sebagai berikut: Pertama, sistem mekanisme dan prosedur

pelestarian bangunan harus disusun dalam bentuk aturan pelaksanaan. Dengan

demikian, peralihan peraturan pemilikan, perlakuan (pemeliharaan, perbaikan dan

penambahan, serta pembongkaran), dan penggunaan bangunan mempunyai

pedoman yang jelas; dan kedua, publikasi peraturan perlu dilaksanakan secara

meluas, bila perlu dengan pemasangan plakat yang menyatakan bahwa bangunan

bersangkutan termasuk dalam obyek cagar budaya dengan kategori tertentu.

Page 38: Konservasi Pura Maospahit Denpasar Menuju Pelestarian Pusaka

38

Masyarakat dan setiap pihak yang mungkin terlibat dalam pembangunan, harus

dijamin mengetahui semua bangunan yang harus dilestarikan.

Sebagaimana umumnya kegiatan yang menyangkut perlakuan terhadap

bangunan, diperlukan proses sedemikian rupa sehingga tujuan yang ingin dicapai

dapat ditempuh dengan benar. Dalam seluruh rangkaian kegiatan konservasi,

proses-proses penting yang harus dilakukan adalah sebagai berikut:

a) Inventarisasi/pengumpulan data: data yang dikumpulkan tidak hanya

berupa data fisik berupa bangunan yang wujudnya sudah terlihat,

melainkan juga sangat penting adalah data non fisik berupa bukti-bukti

atau catatan sejarah tentang obyek. Data ini sangat penting karena akan

menjadi bahan penilaian kelayakan obyek untuk dilakukan kegiatan

konservasi. Pengumpulan data dimulai dengan survey terhadap dokumen

berupa surat-surat, laporan-laporan, sketsa-sketsa, foto-foto, peta-peta, dan

kemudian survey-survey terhadap kondisi fisik, nilai-nilai fisik, dan bila

perlu boleh dilakukan penggalian-penggalian atau pembongkaran guna

memperoleh data yang diperlukan sebagai komponen dasar untuk

menyusun kebijaksanaan dan membuat perencanaan. Sesudah itu

dilakukan observasi dan wawancara di lapangan kepada semua pihak yang

terkait. Keadaan semula harus direkam terlebih dahulu secara lengkap dan

dianalisa, agar dapat disusun secara sistematis arti penting obyek tersebut,

sampai dengan inventarisasi kelompok-kelompok bukti fisik dan

menyusun urutan-urutan prioritas sesuai dengan artinya, kelangkaannya,

kualitas dan sebagainya.

Page 39: Konservasi Pura Maospahit Denpasar Menuju Pelestarian Pusaka

39

b) Penyusunan/pengolahan data dan analisis: pada tahap ini akan dilakukan

pengolahan/penyusunan data secara sistematis untuk selanjutnya dilakukan

analisis terhadap setiap obyek konservasi. Dari seluruh data yang

diperoleh dilakukan kategorisasi atau klasifikasi jenis-jenis bangunan atau

lingkungan yang diteliti, mulai dari skala yang paling luas/umum sampai

kepada skala yang paling kecil/mikro. Dari klasifikasi tersebut diperoleh

pengelompokan lingkungan bersejarah, taman/ruang terbuka dan arsitektur

kuno yang semuanya memerlukan perhatian maksimal.

c) Pengkajian Makna Kultural: pada tahap ini dilakukan pengkajian makna

kultural dengan tolok ukur estetika, kejamakan, kelangkaan, peranan

sejarah, pengaruh terhadap lingkungan dan keistimewaan. Tidak tertutup

pula kemungkinan untuk penggunaan tolok ukur lain seperti misalnya

nilai-nilai sosial, nilai-nilai ilmiah, nilai komersial dan sebagainya.

d) Penentuan Prioritas dan Peringkat: dari hasil pengkajian makna kultural,

dengan menggunakan pembobotan akan diperoleh prioritas dan peringkat

dari setiap obyek penelitian. Hasil inilah yang akan dapat digunakan

sebagai dasar untuk merumuskan kebijakan konservasi dan strategi untuk

implementasinya (tahap kelima dan keenam). Dalam kebijakan itu nanti

akan ada alternatif kebijakan meliputi konservasi, preservasi, restorasi/

rekonstruksi, adaptasi/revitalisasi, dan demolisi/penghancuran.

Sesudah keempat tahapan tersebut diatas dilakukan, maka langkah

berikutnya adalah menyusun program dan perencanaan dan program pembiayaan

dan pelaksanaan di lapangan.

Page 40: Konservasi Pura Maospahit Denpasar Menuju Pelestarian Pusaka

40

2.3.1.7 Hal-hal lain Terkait Aktivitas Konservasi

Usaha pelestarian terhadap sebuah bangunan warisan budaya tidak dapat

dipisahkan dari lingkungan pendukungnya termasuk lansekap. Sebenarnya harus

diakui, kerusakan atau lebih parah lagi musnahnya bangunan tua dan lansekap

bersejarah bukan semata-mata karena disebabkan keterbatasan pengelola kota

secara administratif dan regulasi. Penyebab lain adalah adanya perbedaan aspirasi

dan kepedulian masyarakat akan hakikat pelestarian warisan budaya berupa

bangunan tua yang menjadikan bangunan konservasi tidak dihargai maknanya.

Pada sisi lain, regulasi dan ketidak-pahaman terhadap masalah yang dihadapi

pemilik bangunan terhadap tuntutan ekonomi tidak hanya menyebabkan

disorientasi pembangunan fisik, tetapi juga penolakan untuk dilakukan konservasi.

Dalam hal ini peran arsitek sangat penting untuk menjamin terpeliharanya

bangunan dan kemampuan untuk membuka wawasan fungsi-fungsi baru.

Wawancara dengan Jayanti, 2009 menyebutkan bahwa dalam aktivitas

konservasi, ada beberapa prisip dalam melakukan teknik konservasi yaitu:

Pertama, conserve as found, yaitu struktur dan bangunan sebaiknya dikonservasi

sesuai dengan saat ditemukan; Kedua, minimal intervention, yaitu perubahan

dibuat dengan seminimal mungkin dengan teknik yang dipakai sudah teruji

kemampuannya; Ketiga, like-for like repairs, yaitu material yang diganti

sebisanya serupa dengan material asli, misalnya kayu diganti dengan kayu, tetapi

dalam hal ini stabilitas struktur harus juga menjadi pertimbangan, bisa jadi kayu

diganti dengan baja; Keempat, repairs should be reversible, yaitu perbaikan

didesain sehingga ke depan bisa dikembalikan lagi/diulang/dihilangkan, dan

Page 41: Konservasi Pura Maospahit Denpasar Menuju Pelestarian Pusaka

41

aktivitas ini yang paling sulit; dan Kelima, repairs should be sympathetic, yaitu

perbaikan harus sesuai dengan karakter struktur/bangunan, dalam hal ini tidak

harus terlihat kuno dan tidak harus meniru bentuk orisinil.

Dengan mengetahui dan memahami teori konservasi yang telah diketahui

sebelumnya, maka akan dapat ditentukan strategi konservasi apa yang pantas dan

tepat diterapkan pada Pura Maospahit sesuai dengan keadaannya sehingga

penanganan yang nantinya dilakukan dapat tepat sasaran.

2.3.2 Teori Pemugaran Warisan Budaya

Bangunan kuno sebagai benda cagar budaya tidak bergerak umumnya

dibuat dari beberapa jenis bahan seperti batu, kayu, bata dan lain-lain. Bangunan

kuno dapat dikelompokkan atas dasar bahan yang dipakai misalnya bangunan

batu, bangunan kayu, bangunan bata dan lainnya. Bangunan batu misalnya candi

dan benteng. Bangunan kayu misalnya rumah tradisional dan masjid serta

bangunan bata seperti candi dan pura, di Bali ditemukan beberapa bangunan bata

yang pada umumnya masih difungsikan oleh masyarakat sebagai tempat pemujaan

bagi umat Hindu.

Seperti halnya dengan bangunan kuno yang lainnya, bangunan bata yang

ditemukan di Bali komponen strukturnya tidak lengkap. Sebagai bangunan living

monument di Bali, maka aspek pemanfaatannya menuntut agar bangunan tersebut

dapat dipugar kembali pada bentuk aslinya secara lengkap. Keutuhan bangunan

ini berkaitan erat dengan persyaratan upacara ritual yang dilaksanakan sehingga

bangunan dapat difungsikan lagi seperti fungsinya yang semula. Hal ini belum

sepenuhnya sesuai dengan prinsip-prinsip keaslian dalam pemugaran yang

Page 42: Konservasi Pura Maospahit Denpasar Menuju Pelestarian Pusaka

42

meliputi keaslian bentuk, bahan, tata letak dan teknik pengerjaan. Inilah yang

merupakan permasalahan pokok yang dihadapi pada pemugaran bangunan living

monument termasuk pemugaran bangunan bata di Bali. Untuk mengatasi

permasalahan tersebut perlu dilakukan pendekatan aspek sosial lain terutama

aspek religius, aspek budaya, aspek estetika dan aspek lainnya. Pendekatan yang

dilakukan harus dapat mengakomodasikan tuntutan aspek pemanfaatan, tanpa

bertentangan dengan prinsip-prinsip pemugaran sesuai dengan peraturan dan

perundang-undangan yang ada dan harus dijabarkan secara lebih terinci agar dapat

dijadikan pedoman atau acuan dalam pelaksanaan pemugaran khususnya

bangunan living monument.

Pemugaran bangunan peninggalan sejarah dan purbakala adalah

serangkaian kegiatan yang bertujuan untuk melestarikan keutuhan bangunan

Cagar Budaya sebagai sebuah monumen sekaligus data sejarah (pasal 15 Undang-

Undang Nomor 5 Tahun 1992 Tentang Benda Cagar Budaya), menyelamatkan

warisan budaya bangsa, serta mengembangkan dan membangkitkan kembali

gairah kebudayaan nasional untuk dapat dijadikan sumber inspirasi daya cipta

kehidupan bangsa dan sekaligus menjadi tumpuan kesadaran, kesatuan, serta

ketahanan nasional yang mantap dalam rangka memupuk, membina dan

mengembangkan kepribadian bangsa.

Kegiatan pemugaran terhadap benda cagar budaya disesuaikan dengan

prinsip pelestarian yang mencakup keaslian bentuk, tata letak, bahan, teknologi,

warna, serta nilai sejarah dan pengamanannya. Pemugaran sebagai bagian dari

pelestarian benda cagar budaya merupakan kegiatan yang bertujuan untuk

Page 43: Konservasi Pura Maospahit Denpasar Menuju Pelestarian Pusaka

43

mengembalikan keaslian bentuk benda cagar budaya dan memperkuat strukturnya

apabila diperlukan dan harus dapat dipertanggungjawabkan dari segi arkelogis,

historis, dan teknis. Kegiatan pemugaran tersebut meliputi pemulihan arsitektur

dan perbaikan struktur, menurut Rena (dalam http://www.purbakalabali.com/, 9

Januari 2011).

2.3.3 Teori Warisan Budaya Tak Ragawi

Menurut Purna (dalam http://www.purbakalabali.com/, 8 juni 2010),

Warisan Budaya Tak Benda/Tak Berwujud/Tak Ragawi (Intangible Heritage)

wujudnya antara lain: tradisi dan ekspresi lisan, bahasa, seni pertunjukan, adat

istiadat masyarakat, ritual, perayaan-perayaan, pengetahuan dan kebiasaan

perilaku mengenai alam semesta, kemahiran kerajinan tradisional, dan naskah

kuno. Sistem warisan budaya ini diwariskan dari generasi ke generasi, secara terus

menerus, diciptakan kembali oleh berbagai komunitas dan kelompok sebagai

tanggapan mereka terhadap lingkungannya, interaksi mereka dengan alam, serta

sejarahnya dan memberikan mereka makna jati diri dan keberlanjutan untuk

memajukan penghormatan keanekaragaman budaya dan kreatifitas manusia.

a. Memahami Konsep Tradisi dalam Pelestarian Warisan Budaya Tak Ragawi

Tradisi sering dikaitkan dengan kuno, ataupun bersifat sebagai warisan

nenek moyang. Pada intinya masyarakat senantiasa didukung oleh tradisi, namun

tradisi itu bukanlah sesuatu yang statis. Hal-hal yang harus diperhatikan adalah:

1. Waktu/masa: arti yang paling mendasar dari kata tradisi, yang berasal dari

kata traditium adalah sesuatu yang diberikan atau diteruskan dari masa

lalu ke masa kini. Dari arti dasar ini dapat dipermasalahkan selanjutnya,

Page 44: Konservasi Pura Maospahit Denpasar Menuju Pelestarian Pusaka

44

seberapa panjangkah waktu/masa yang menjadi satuan untuk melihat

penerusan tradisi tersebut. Ternyata panjangnya waktu/masa ini relatif.

Satuan masa itu bisa sangat panjang seperti misalnya suatu zaman yang

ditandai oleh sistem kepercayaan atau sistem sosial yang berbeda.

2. Batas wilayah cakupan: tradisi itu disamping dapat dibahas dari sudut

panjangnya rentang waktu yang diliputinya, juga dapat dilihat dari segi

batas-batas wilayah cakupnya. Suatu tradisi dapat dilihat mempunyai pusat

tertentu, dan dari pusat itulah tradisi tersebut memancarkan sesuatu,

selama proses pemancaran itu dapat terjadi penganekaragaman variasi.

Semakin ke pinggir semakin banyak perbedaan dengan apa yang terdapat

di pusat tradisi. Dalam hal ini perlu diperhatikan bahwa jarak antara hal ini

perlu diperhatikan bahwa jarak antara pusat dan pinggir itu tidak selalu

ditentukan oleh geografis, melainkan juga oleh tingkat sarana komunikasi

antara keduanya, baik dalam hal kecepatannya maupun ketepatannya. Di

kawasan pinggiran terdapat kemungkinan untuk membaurnya ciri-ciri

berbatasan pinggiran. Pembauran antar tradisi di kawasan pinggir (dari dua

tradisi berdampingan) itu cenderung bersifat evolusionistik dan tanpa

dorongan niat-niat pembaruan secara sadar.

3. Pertemuan tradisi dan pusat tradisi: masuknya suatu pertemuan dua tradisi

biasanya terlihat dengan jelas sebagai suatu perbedaan. Apa yang berasal

dari luar diterima sebagai suatu warisan baru yang tiba-tiba datang.

Masuknya tradisi baru itu mempunyai tiga kemungkinan akibat; (a) yang

baru itu menjadi satu khasanah tambahan di samping yang lama; (b) yang

Page 45: Konservasi Pura Maospahit Denpasar Menuju Pelestarian Pusaka

45

baru itu memberi pengaruh ringan kepada tradisi setempat yang telah

mengakar, tanpa mengubah citra dasar tradisi setempat itu; dan (c) tradisi

baru berpengaruh cukup kuat terhadap tradisi lama dalam bidang yang

sama, sehingga menjadi suatu bentuk baru.

4. Perubahan: suatu hal yang perlu disadari dalam melihat masalah tradisi ini

adalah kenyataan bahwa sesungguhnya dalam rangka perjalanan suatu

tradisi senantiasa terjadi perubahan internal. Kalau perubahan itu masih

dirasakan berada dalam batas-batas toleransi, maka orang merasa atau

beranggapan bahwa tradisi yang ini seharusnya membuka mata untuk

mengakui bahwa memelihara tradisi, atau memelihara warisan budaya

bangsa pada khususnya, tidak harus berarti membekukannya.

b. Memahami Konsep Sejarah dalam Pelestarian Warisan Budaya Tak Ragawi

Dalam memahami sejarah bangsa tercakup dua pengertian di dalamnya

yaitu masa lampau dan rekontruksi tentang masa lampau. Masa lampau hanya

terdapat dalam ingatan orang-orang (ingatan kolektif) yang pernah mengalaminya.

Kenyataan ini baru bisa diketahui oleh orang lain apabila diungkapkan kembali

dengan adanya komunikasi dan dokumentasi yang menjadi kisah atau gambaran

tentang peristiwa masa lampau. Proses ini disebut rekontruksi sejarah atau dalam

ilmu sejarah disebut dengan historiografi.

Dalam pengelolaan pelestarian sejarah, bukan sejarahnya maupun

peristiwanya yang harus dilestarikan. Melainkan nilai-nilai sejarah yang terdapat

dalam peristiwa tersebut. Peristiwa sejarah cukup sekali terjadi, akan tetapi nilai-

nilai dari peristiwa tersebut akan hidup sepanjang jaman. Hal ini sangat

Page 46: Konservasi Pura Maospahit Denpasar Menuju Pelestarian Pusaka

46

dipengaruhi oleh umat manusia sebagai cermin hidup. Dalam pengelolaan

pelestarian yang sifatnya tak berwujud maka yang diharapkan adalah

menghasilkan: a) kualitas produk budaya (bukan kuantitas produk budaya); b)

konsep-konsep, nilai-nilai, norma-norma; c) pencitraan suatu pemikiran dari suatu

masyarakat pendukung kebudayaan yang bersangkutan; dan d) untuk

menghasilkan pengelolaan pelestarian yang optimal tentu didasari oleh kajian.

2.4 Model Penelitian

Penelitian ini diangkat beranjak dari pemikiran akan adanya permasalahan

yang mendasar tentang keberadaan obyek. Masalah itu adalah mengenai

identifikasi terhadap wujud fisik (tangible) dan non fisik (intangible), serta

strategi konservasi yang digunakan di Pura Maospahit Denpasar untuk

melestarikannya. Tahap awal dari penelitian adalah merumuskan permasalahan

yang ada dengan mengacu kepada latar-belakang yang telah dikelompokkan ke

dalam dua faktor penyebab, yakni faktor internal dan faktor eksternal.

Data awal diperoleh dari pengumpulan data berupa beberapa buku (metode

studi literatur). Setelah diadakan pengumpulan data, maka mulai ditelusuri kondisi

fisik dan non fisik dengan metode wawancara dan observasi berupa foto, sketsa,

dan gambar. Setelah itu dilakukan tahap analisis terhadap signifikansi obyek serta

pengelolaan yang telah dilakukan. Hasil akhir yang diharapkan dari penelitian ini

adalah menghasilkan rekomendasi yang tepat untuk kondisi terkini obyek

penelitian sesuai dengan permasalahan yang mengiringinya.

Page 47: Konservasi Pura Maospahit Denpasar Menuju Pelestarian Pusaka

47

MODEL PENELITIAN

- Karakteristik fisik Pura Maospahit?- Sejauhmana signifikansi dan potensi

budaya yang perlu dilestarikan?- Aplikasi/usaha melakukan pelestarian

(ragawi dan tak ragawi)?

--

-

Eksternal: Status pura sebagai kahyangan jagat serta ditetapkan sebagai

cagar budaya (UU No 5 Th.1992)

Internal: Arsitektural, tradisi, dan upacara pada pura Maospahit Denpasar

Konservasi Pura Maospahit Denpasar Menuju Pelestarian Pusaka Budaya

Identifikasi Signifikansi dan Aplikasinya

Aplikasi pelestarian?

Signifikansi dan potensi budaya? Karakteristik fisik?

Rekomendasi

- Teori Signifikansi Budaya - Teori Strategi Konservasi - Teori Intangible

Page 48: Konservasi Pura Maospahit Denpasar Menuju Pelestarian Pusaka

48

BAB III

METODE PENELITIAN

Bab ini menguraikan tentang pendekatan penelitian, lokasi penelitian, jenis

dan sumber data yang digunakan, instrumen penelitian, metode dan teknik

pengumpulan data, metode dan teknik analisis data, serta metode dan teknik

penyajian hasil analisis data.

3.1 Pendekatan Penelitian

Penelitian ini pada hakekatnya merupakan sebuah studi tentang

Konservasi Pura Maospahit Denpasar Menuju Pelestarian Pusaka Budaya:

Identifikasi Signifikansi dan Aplikasinya. Penelitian ini menggunakan pendekatan

analisa historis dan partisipatoris yaitu melibatkan semua pihak yang berkompeten

pada obyek (stakeholders). Berdasarkan rumusan masalah, penelitian ini

dirancang sebagai sebuah penelitian menggunakan pendekatan penulisan dan

penyajian analisa secara kualitatif dan rumusan masalah dalam hal ini memakai

rumusan masalah deskriptif dan assosiatif yaitu rumusan masalah yang memandu

peneliti untuk mengeksplorasi atau memotret situasi sosial yang akan diteliti

secara menyeluruh dan mendalam serta mengkonstruksi hubungan antara situasi

sosial atau domain satu dengan yang lain.

Peneliti kualitatif dituntut dapat menggali data berdasarkan apa yang

diucapkan, dirasakan, dan dilakukan oleh partisipan atau sumber data. Peneliti

kualitatif harus bersifat “perspektif emic” artinya memperoleh data bukan

“sebagaimana seharusnya”, bukan berdasarkan apa yang dipikirkan oleh peneliti,

Page 49: Konservasi Pura Maospahit Denpasar Menuju Pelestarian Pusaka

49

tetapi berdasarkan sebagaimana adanya yang terjadi di lapangan, yang dialami,

dirasakan, dan dipikirkan oleh partisipan/sumber data (Sugiyono, 2010: 213).

Pendekatan penelitian yang dilakukan ini melalui beberapa tahapan, yakni

diawali dengan mengumpulkan data mengenai keadaan langsung dan suasana

sekitar Pura Maospahit sebagai kasus studi/obyek penelitian, data yang

dikumpulkan bisa berupa dokumentasi lama atau baru, hasil wawancara terhadap

beberapa narasumber dan ahli, memastikan lokasi penelitian, menentukan

instrumen penelitian, menentukan metode yang dipergunakan mencakup

observasi, wawancara dan studi dokumentasi. Selanjutnya, tahapan menganalisis

data yang sudah terkumpul kemudian diwujudkan dalam bentuk tesis.

3.2 Lokasi Penelitian

Pura Maospahit ini merupakan salah satu cagar budaya yang dimiliki oleh

Kota Denpasar, sebuah ibukota Propinsi Bali yang sekaligus sebagai pusat

pemerintahan, pendidikan, dan perekonomian. Kota Denpasar terletak di antara

08° 35" 31'-08° 44" 49' lintang selatan dan 115° 10" 23'-115° 16" 27' bujur timur,

yang berbatasan dengan: di sebelah utara Kabupaten Badung, di sebelah timur

Kabupaten Gianyar, di sebelah selatan Selat Badung dan di sebelah barat

Kabupaten Badung (http://www.denpasarkota.go.id/, 30 Agustus 2010). Lokasi

tepatnya dari pura ini adalah di Jalan Sutomo wilayah Banjar Gerenceng, Desa

Pemecutan Kaja, Kecamatan Denpasar Utara. Sekitar 950 meter ke barat dari titik

nol (pusat Kota Denpasar). Pura ini terletak tidak jauh dari Kawasan Jalan Gajah

Mada, Puri Jro Kuta, Puri Pemecutan, dan Bale Banjar Gerenceng.

Page 50: Konservasi Pura Maospahit Denpasar Menuju Pelestarian Pusaka

50

Puri Jro Kuta

Pura Maospahit

Bale Banjar Gerenceng

Kawasan Jalan Gajah Mada

Puri Pemecutan

Lapangan Puputan Badung

Gambar 3.1 Lokasi Pura Maospahit dan Posisinya di Antara Obyek Penting Lain di Kota Denpasar

Sketsa dan gambar: www.google.com, pencarian tanggal 27 Agustus 2010

Page 51: Konservasi Pura Maospahit Denpasar Menuju Pelestarian Pusaka

51

3.3 Jenis dan Sumber Data

Sumber data utama dalam penelitian kualitatif ialah pernyataan, kalimat

demi kalimat dan tindakan, selebihnya adalah data tambahan seperti dokumen dan

lain-lain. Data kualitatif adalah data yang tidak bernilai numeral atau nilainya

bukan angka, biasanya berbentuk kata, kalimat, skema, atau gambar (Kusmayadi

dan Sugiarto, 2000: 80). Berkaitan dengan penelitian ini, data kualitatif berupa

informasi mengenai konsep bangunan tradisional Bali khususnya bangunan

parhyangan yang bisa berupa data fisik maupun non fisik, gambaran umum

wilayah penelitian/data demografi, informasi tata ruang wilayah/masterplan/re-

gulasi, gambaran umum Pura Maospahit serta dokumentasi yang terlacak

mengenainya, dan teori-teori konservasi serta manajemen konservasi atau konsep

tangible maupun intangible sebuah obyek.

Untuk sumber data dalam penelitian ini, terdiri atas data primer dan data

sekunder. Data primer diperoleh dari sumber pertama, yaitu informasi narasumber

terhadap keadaan pada Pura Maospahit. Hal ini dilakukan melalui prosedur dan

teknik pengambilan data berupa wawancara terhadap pangempon pura,

pangemong pura, masyarakat sekitar sebagai panyungsung pura, arkeolog maupun

sejarahwan, warga desa yang berkompeten, dan arsitek/undagi.

Wawancara tersebut terkait dengan obyek yaitu Pura Maospahit. Misalnya

sejauh mana pihak pangempon/pangemong/dinas terkait memiliki keberadaan

dokumentasi lama, kapan saja pemugaran dilakukan, bagaimana

perubahan/penambahan bangunan baru, bagaimana pemeliharaan dan pengelolaan

pura, dan lain sebagainya serta teknik observasi langsung baik pengamatan,

Page 52: Konservasi Pura Maospahit Denpasar Menuju Pelestarian Pusaka

52

pengukuran, pendokumentasian serta penggambaran berupa sketsa-sketsa bentuk

fisik bangunan di lapangan. Data sekunder dipilih melalui sumber tidak langsung,

berupa literatur yang terkait dengan fokus penelitian, dokumen, dan laporan

penelitian baik cetak maupun elektronik.

3.4 Instrumen Penelitian

Dalam penelitian kualitatif, instrumen yang dipakai dalam pengumpulan

data lebih banyak bergantung pada peneliti sebagai alat pengumpulan data. Hal ini

disebabkan oleh sulitnya mengkhususkan secara tepat pada apa yang akan diteliti.

Orang/manusia sebagai instrumen penelitian dapat memutuskan sendiri seperti

apa penelitian yang akan dilakukannya. Orang/manusia tersebut dapat menilai

keadaan dan dapat mengambil keputusan (Moleong, 1988: 19). Namun setelah

fokus penelitian menjadi jelas, maka kemungkinan akan dikembangkan instrumen

penelitian sederhana yang diharapkan dapat melengkapi data dan

membandingkannya dengan data yang telah ditemukan melalui observasi dan

wawancara. Peneliti akan terjun ke lapangan sendiri, baik pada grand tour

question, tahap focused and selection, melakukan pengumpulan data, analisis dan

membuat kesimpulan (Sugiyono, 2010: 224).

3.5 Metode dan Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data dalam penelitian ini akan menggunakan teknik

pengumpulan data yang bersifat kualitatif. Pengumpulan data dilakukan oleh

peneliti secara langsung di lokasi penelitian melalui beberapa teknik, yaitu

observasi/pengamatan langsung, wawancara, kepustakaan, dan dokumentasi.

Page 53: Konservasi Pura Maospahit Denpasar Menuju Pelestarian Pusaka

53

3.5.1 Observasi berupa pengamatan, pengukuran, dan pemotretan

Observasi dilakukan dengan pengamatan secara langsung pada obyek

yaitu Pura Maospahit. Observasi dalam hal ini dilakukan dengan observasi

partisipasi pasif dimana peneliti datang di tempat kegiatan yang diamati tetapi

tidak ikut terlibat dalam kegiatan tersebut. Obyek penelitian yang diobservasi

menurut Spradley dalam Sugiyono (2010: 229) terdiri atas tiga komponen yaitu:

(1) place, atau tempat dimana interaksi dalam situasi sosial sedang berlangsung,

(2) actor, pelaku atau orang-orang yang sedang memainkan peran/melakukan

kegiatan, dan (3) activity, atau kegiatan yang dilakukan oleh aktor dalam situasi

sosial yang sedang berlangsung. Fokus pengamatan yaitu melihat keadaan obyek

secara langsung. Instrumen yang digunakan dalam pengamatan yaitu catatan-

catatan. Observasi ini juga dibantu dengan penggunaan alat rekam berupa kamera

dan sketsa langsung keadaan di lapangan. Pengukuran hanya akan dilakukan

terhadap bentuk dasar dari setiap bangunan dan total areal keseluruhan pura.

3.5.2 Interview atau Wawancara

Tujuan dari wawancara adalah menambah informasi mengenai keadaan

dan perubahan pada obyek yang telah dilakukan. Dalam penelitian ini wawancara

dilakukan terhadap pangempon pura, pangemong pura, masyarakat sekitar sebagai

panyungsung pura, arkeolog maupun sejarahwan, warga desa yang berkompeten,

dan arsitek/undagi. Jenis wawancara yang digunakan adalah wawancara tidak

berstruktur karena pertanyaan yang akan muncul nantinya akan disesuaikan

dengan keadaan langsung di lapangan. Pembuatan sketsa juga hendaknya sesuai

dengan keadaan berdasarkan hasil wawancara dan pengamatan langsung.

Page 54: Konservasi Pura Maospahit Denpasar Menuju Pelestarian Pusaka

54

3.5.3 Kepustakaan dan Dokumentasi

Kepustakaan adalah data yang diperoleh melalui studi literatur, yaitu

berupa bahan-bahan yang telah diterbitkan baik secara rutin maupun berkala.

Sedangkan metode dokumenter adalah data berupa bahan dokumen, namun

berbeda dengan literatur, dokumen adalah informasi yang disimpan atau

didokumentasikan sebagai bahan dokumenter, misalnya autobiografi, kliping,

dokumen pemerintah atau swasta, film, dan lain-lain. Pengumpulan data

kepustakaan dan dokumentasi dilakukan dengan mengumpulkan literatur dan

dokumen-dokumen yang terkait dengan judul penelitian, berkaitan dengan hal itu

mengingat Pura Maospahit merupakan cagar budaya, maka literatur dan dokumen

lebih terfokus berdasarkan sumber Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala Bali

(BP3 Bali).

3.6 Metode dan Teknik Analisis Data

Analisis data dalam penelitian kualitatif dilakukan sejak sebelum

memasuki lapangan, di lapangan, dan setelah selesai di lapangan. Analisis data

dilakukan secara deskriptif kualitatif dengan menguraikan dan menjelaskan sifat

atau karakteristik data yang sebenarnya yang terdapat saat ini. Data yang

dideskripsikan adalah data yang diperoleh dari hasil pengumpulan data dengan

pengamatan, wawancara, dan studi kepustakaan yang ditranskripsikan dalam

bentuk tulisan. Dalam analisis kualitatif, menurut Miles dan Hubermen dalam

Sugiyono (2010: 246) terdapat tiga alur kegiatan yang terjadi secara bersamaan

yaitu reduksi data, penyajian, dan penarikan simpulan/verifikasi. Reduksi data

merupakan bagian dari proses analisis data dan diartikan sebagai proses

Page 55: Konservasi Pura Maospahit Denpasar Menuju Pelestarian Pusaka

55

pemilihan, memusatkan perhatian pada penyederhanaan, pengabstrakan, dan

transportasi data awal yang muncul dari catatan-catatan tertulis di lapangan.

Reduksi data dalam penulisan laporan ini dimulai dari mereduksi data baik

data primer lapangan hasil observasi lapangan dan wawancara untuk dipilah

sesuai dengan permasalahan yang diajukan dan data sekunder yang diperoleh dari

literatur dan dokumentasi dari instansi terkait.

3.7 Metode dan Teknik Penyajian Hasil Analisis Data

Penyajian data adalah sekumpulan informasi yang dapat memberikan

kemungkinan adanya penarikan kesimpulan dan pengambilan tindakan. Penyajian

informasi dilakukan dalam bentuk teks naratif terlebih dahulu. Selanjutnya, hasil

teks naratif tersebut diringkas dalam bentuk tabel dan sketsa yang diperkuat

dengan foto-foto untuk memperlihatkan keadaan obyek.

Penarikan simpulan merupakan satu bagian dari satu kegiatan konfigurasi

yang utuh. Penarikan simpulan dilakukan berdasarkan analisis yang cermat dan

mendalam terhadap data yang diperoleh. Simpulan yang didapat seyogyanya

mampu memberikan jawaban atas beberapa pertanyaan yang telah dikemukakan

dalam rumusan permasalahan penelitian ini.