Upload
lexuyen
View
303
Download
1
Embed Size (px)
Citation preview
i
KONSEPSI MASYARAKAT MADANI
DALAM MANIFESTO PERJUANGAN GERINDRA
(Studi Kasus Tahun 2008 – 2014)
DISERTASI
Oleh: Abu Khaer
NIM: 12.03.00.1.09.01.0021
Promotor:
Prof. Dr. Andi Faisal Bakti, MA
Prof. Dr. H. M. Bambang Pranowo, MA
KONSENTRASI PEMIKIRAN ISLAM
SEKOLAH PASCASARJANA
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
2014 M/1436 H
ii
iii
ABSTRAK
Disertasi ini menghasilkan kesimpulan bahwa kecenderungan
menguat dan melemahnya ranah privat, publik, negara, dan ekonomi
bagi demokratisasi dapat menyebabkan ketidakseimbangan dalam
politik suatu negara. Temuan penulis bahwa Gerindra telah
bersumbangsih untuk membentuk peradaban Indonesia yang madani
dalam kancah politik praktisnya di Republik Indonesia ini. Partai
politik di Indonesia sudah melewati proses pendewasaan demokratisasi
dalam rangka mencapai masyarakat yang madani. Paradigma politik di
Indonesia tidak bisa dipisahkan dari faktor pengawasan dan
keseimbangan (checks and balances) di semua ranah masyarakat
madani, baik itu privat, publik, ekonomi (pasar), maupun negara.
Kesimpulan tersebut berbeda dengan paradigma politik
cendekiawan seperti Antonio Gramsci (1999) dan Alexis de
Tocqueville (1945), yang berpendapat bahwa gerakan masyarakat
madani harus berada di luar dan berhadap-hadapan dengan negara.
Penelitian disertasi ini memperkuat pendapat Thomas Janoski (1998)
dan John Keane (1998). Mereka menyatakan bahwa terdapat berbagai
ruang bagi pengembangan masyarakat madani dengan cara
berdiskursus atau beroposisi antara unsur ranah masyarakat madani.
Masyarakat madani tidak saja dilihat sebagai suatu organisasi, akan
tetapi dilihat sebagai tujuan yang ingin dicapai secara bersama, baik
dalam ruang privat, publik, pasar, maupun negara.
Dalam penelitian ini pendekatan yang dilakukan adalah melalui
pendekatan kualitatif. Artinya data yang dikumpulkan bukan berupa
angka-angka, melainkan data tersebut berasal dari dokumen-dokumen
resmi Gerindra, baik berupa buku, dokumen audio, visual, audio visual
dan lain-lain. Untuk mendukung sumber utama tersebut, penulis juga
melakukan observasi dan wawancara dengan pihak terkait, yaitu
Pengurus DPP Gerindra. Dengan demikian, yang menjadi tujuan dari
penelitian kualitatif ini adalah ingin menggambarkan realitas empirik di
balik fenomena secara mendalam, runut, dan rinci. Oleh karena itu,
penggunaan pendekatan kualitatif dalam penelitian ini adalah dengan
mencocokkan antara realitas empirik dengan idealitas dalam bentuk
teori yang berlaku dengan menggunakkan metode diskriptif.
Kata Kunci: Masyarakat Madani, partai politik, privat, publik, negara,
pasar.
iv
v
Abstract
This dissertation leads to the conclusion that the inferiority and
superiority of a sphere for democratization can cause an imbalance in
the politics of a country. The findings of the authors that the Great
Indonesia Movement (Gerindra) has contribute substantially to shaping
the civil Indonesian civilization in practical politics in the Republic of
Indonesia. Political parties in Indonesia have passed the maturing
process of democratization in order to achieve the civil society.
Political paradigm in Indonesia can not be separated from control and
balance factor (checks and balances) in all aspects of civil society, be it
private, public, economic (market), as well as the state.
The conclusion is different from the political paradigm scholars
such as Antonio Gramsci (1999) and Alexis de Tocqueville (1945),
who argued that civil society should be outside and face to face with
the state. This dissertation research confirms what Thomas Janoski
(1998) and John Keane (1998). They stated that there are a variety of
spaces for the development of civil society by means of synergy or
opposition to the state. Civil society is not only seen as an organization,
but seen as a goal to be achieved together, both in raah private, public,
markets, and countries.
In this study, the approach taken is through a qualitative
approach. This means that the data collected is not the form of
numbers, but the data derived from official documents Gerindra, either
in the form of books, documents, audio, visual, audio-visual and others.
To support the main source, the authors also make observations and
interviews with stakeholders, namely the Board DPP Gerindra. Thus,
the goal of this qualitative study was to describe the empirical reality
behind the phenomenon in depth, trace, and detailed. Therefore, the use
of a qualitative approach in this research is to match the empirical
reality with the prevailing theory with menggunakkan descriptive
method.
Key Words: Civil society, political parties, private, public, state,
market.
vi
vii
ملخصهذا البحث أن الشعور بالنقص و تفوق اجملال لتحقيق الدميقراطية ميكن أن هذف
و النتيجة اليت توصل إليها الباحث أن . يسبب االختالالت يف السياسات اليت تنتهجها الدولةيساهم يف تشكيل حضارة إندونيسيا ( arenireG)غريندرا - عظيمة اندونيسيا احلركة حزب
.يسيااملدنية يف العملية بإندونوقد ذهبت األحزاب السياسية يف إندونيسيا خالل عملية النضج الدميقراطية من أجل
ال ميكن فصل النموذج السياسي اإلندونيسي من عوامل السيطرة و التوازن . حتقيق جمتمع املدين يف مجيع جوانب اجملتمع املدين، سواء كان من القطاع اخلاص أو اجلمهور أو( الضوابط والتوازنات)
.أو فضال عن الدولة( السوق)االقتصادي ( 9111)و خيتلف ذلك االستنتاج بالنموذج السياسي للعلماء مثل أنطونيو غرامشي
، واليت يرى أن حركة اجملتمع املدين جتب أن تكون خارجا و (9191)وأليكسيس دي توكفيل وجون كني ( 9119)ويعزز أو يتأكد هذا البحث رأي توماس جنوسكي. وجها لوجه مع الدولة
أو التآزر عن طريق املدين اجملتمع لتنمية املساحات من هناك جمموعة متنوعة ويرون أن(. 9119)ال ينظر اجملتمع املدين منظمة أو تنظيما فقط، ولكن ينظر إليه على أنه اهلدف املراد . الدولة معارضة
. ، و الدولةحتقيقه يف وقت واحد، إما يف اخلاصة والعامة، والسوق و االقتصادوهذا يعين أن البيانات . و املنهج الذي استخدمه الباحث يف هذا البحث هو املنهج النوعي
، سواء كانت كتبا (arenireG)اجملموعة ليست أرقاما، ولكن مشتقة من وثائق حزب غريدندرا الباحث رىوأجلدعم املصدر الرئيسي، . أو الوثائق الصوتية والبصرية والسمعية والبصرية وغريها
غريندرا لحزبل اجمللس االستشاري إدارة وهي، مع األطراف املعنية واملقابالت املالحظات(arenireG .)وراء عملي واقع لوصف النوعي هو هذا البحث من، كان اهلدف و على هذا
وبذلك، استخدام املنهج النوعي يف هذا البحث هو وسيلة .ومفصلة مستمرا هذه الظاهرة عميقا و .اراة بني الواقع العملي و نظريات السائدة باستخدام املنهج الوصفيمب
.السوق الدولة،، والعامة ,اخلاصة، واألحزاب السياسية، اجملتمع املدين :كلمات البحث
viii
ix
SURAT PERNYATAAN
Yang bertanda tangan di bawah ini:
Nama : Abu Khaer
NIM : 12.03.00.1.09.01.0021
Konsentrasi : Pemikiran Islam
Dengan ini menyatakan bahwa disertasi yang berjudul:
“Konsepsi Masyarakat Madani dalam Manifesto Perjuangan Gerindra
(Studi Kasus Tahun 2008 – 2014),” adalah karya asli saya, kecuali
kutipan-kutipan yang disebutkan sumbernya. Apabila terdapat
kesalahan dan kekeliruan di dalamnya, sepenuhnya menjadi tanggung
jawab saya yang dapat berakibat pada pembatalan gelar kesarjanaan
saya.
Demikian surat pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya dan tanpa
paksaan dari siapapun.
Jakarta, 12 Desember 2014
Abu Khaer
x
xi
SURAT PERSETUJUAN PROMOTOR
Disertasi dengan judul, “Konsepsi Masyarakat Madani dalam
Manifesto Perjuangan Partai Politik Gerindra (Studi Kasus Tahun 2008
– 2014),” yang telah ditulis oleh:
Nama : Abu Khaer
NIM : 12.03.00.1.09.01.0021
Konsentrasi : Pemikiran Islam
Telah dinyatakan lulus pada Ujian Pendahuluan yang diselenggarakan
pada hari Kamis, 27 November 2014.
Disertasi ini telah diperbaiki sesuai saran dan komentar para penguji
sehingga disetujui untuk diajukan ke Ujian Promosi.
Jakarta, 22 Desember 2014.
Promotor I
Prof. Dr. Andi Faisal Bakti, MA
xii
xiii
SURAT PERSETUJUAN PROMOTOR
Disertasi dengan judul, “Konsepsi Masyarakat Madani dalam
Manifesto Perjuangan Partai Politik Gerindra (Studi Kasus Tahun 2008
– 2014),” yang telah ditulis oleh:
Nama : Abu Khaer
NIM : 12.03.00.1.09.01.0021
Konsentrasi : Pemikiran Islam
Telah dinyatakan lulus pada Ujian Pendahuluan yang diselenggarakan
pada hari Kamis, 27 November 2014.
Disertasi ini telah diperbaiki sesuai saran dan komentar para penguji
sehingga disetujui untuk diajukan ke Ujian Promosi.
Jakarta, 22 Desember 2014.
Promotor II
Prof. Dr. H. M. Bambang Pranowo, MA
xiv
xv
SURAT PERSETUJUAN HASIL UJIAN PENDAHULUAN
Disertasi dengan judul, “Konsepsi Masyarakat Madani dalam
Manifesto Perjuangan Partai Politik Gerindra (Studi Kasus Tahun 2008
– 2014),” yang telah ditulis oleh:
Nama : Abu Khaer
NIM : 12.03.00.1.09.01.0021
Konsentrasi : Pemikiran Islam
Telah dinyatakan lulus pada Ujian Pendahuluan yang diselenggarakan
pada hari Kamis, 27 November 2014.
Disertasi ini telah diperbaiki sesuai saran dan komentar para penguji
sehingga disetujui untuk diajukan ke Ujian Promosi.
Jakarta, Desember 2014
TIM PENGUJI
1. Prof. Dr. Azyumardi Azra, MA
(Ketua Sidang/merangkap Penguji) (....................................)
2. Prof. Dr. Azyumardi Azra, MA
(Penguji I) (....................................)
3. Prof. Dr. Jamhari, MA
(Penguji 2) (....................................)
4. Prof. Dr. Soedijarto, MA
(Penguji 3) (....................................)
5. Prof. Dr. Andi Faisal Bakti, MA
(Pembimbing 1/merangkap Penguji) (....................................)
6. Prof. Dr. H. M. Bambang Pranowo, MA
(Pembimbing 2/merangkap Penguji) (....................................)
xvi
xvii
KATA PENGANTAR
Puji beserta syukur dipersembahkan kehadirat Allah SWT., atas
limpahan rahmat dan nikmat yang telah diberikan-Nya, sehingga
penulis mampu menyelesaikan disertasi ini. Shalawat dan salam
semoga senatiasa tercurah kepada junjungan dan suri tauladan kita,
Nabi Muhammad SAW., keluarganya, dan para sahabatnya, serta para
pengikutnya.
Penulisan disertasi ini merupakan salah satu syarat untuk meraih
gelar Doktor (S3) dalam bidang Pemikiran Islam di Sekolah
Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Dalam menyelesaikan
disertasi ini, penulis tentu mendapatkan hambatan, tantangan, dan
rintangan, namun berkat pertolongan Allah Swt., dan dukungan serta
motivasi dari berbagai pihak, akhirnya segala hambatan itu bisa
dilewati, sehingga disertasi ini bisa diselesaikan.
Selama penulisan disertasi ini, penulis merasa banyak sekali
mendapatkan bimbingan, bantuan serta motivasi dari berbagai pihak,
maka dengan ini penulis mengucapkan rasa hormat dan terima kasih
yang setinggi-tingginya kepada:
1. Bapak Prof. Dr. Komaruddin Hidayat, MA, Rektor UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta.
2. Bapak Prof. Dr. Azyumardi Azra, MA, Direktur Sekolah
pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, beserta seluruh
deputi di lingkungan Sekolah Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta.
3. Bapak Prof. Dr. Andi Faisal Bakti, MA, sebagai promotor telah
memberikan bantuan tidak hanya moril, akan tetapi juga materil
kepada penulis. Penulis, di saat menemui hambatan moril dan
materil dengan murah hati beliau men-support penulis. Hampir tiap
bimbingan, penulis selalu diberi uang saku yang cukup besar dan
dengan leluasa penulis bisa memanfaatkan perpustakaan pribadi
beliau di Kantor C3-Huria Ciputat.
4. Bapak Prof. Dr. Bambang Pranowo, MA, sebagai promotor dengan
penuh kesabaran dan ketelatenan membimbing penulis. Dan
membuka wawasan pada penulis, jika di Nusantara ini banyak
sekali kearifan lokal yang bisa dijadikan landasan bagi
pembentukan masyarakat madani.
5. Kepada segenap dosen yang selama ini telah memberikan tetesan
ilmu dari samudra ilmu yang begitu luas kepada penulis.
xviii
6. Terima kasih kepada BMT. Huriya, Andi Faisal Bakti Foundations,
dan C3-Hurriya yang telah sudi men-sponsori biaya untuk Ujian
Tertutup dan Terbuka Disertasi ini. Tanpa dukungannya, bisa
dipastikan entah kapan disertasi ini bisa diujikan.
7. Terima kasih kepada DPP-Gerindra, terutama Bapak Suhardi,
selaku Ketua Umum; Bapak Permadi dan Bapak Fadli Zon yang
dengan penuh keakraban, keterbukaan, kerakyatan, menyediakan
waktu untuk penulis wawancarai. Tak lupa pula penulis ucapkan
terima kasih kepada Badan Komunikasi-Gerindra yang dengan
penuh perhatian memberikan bantuan dokumen-dokumen dan cerita
”Urusan Dapur” tentang Gerindra yang tidak dipublikasikan.
8. Penulis juga ucapan terima kasih kepada (alm.) ayahanda Masna
dan Ibunda Maimunah. Juga kepada ayahanda Abdul Aziz dan
Ibunda Rukti. Berkat do’a dan dukungannya, sehingga penulis
dapat menyelesaikan penelitian ini.
9. Penulis juga ucapkan terima kasih kepada Isteri Nur Aini dan
ananda Ahmad Rikou Feliza yang selama empat tahun berturut-
turut hidup tidak normal berjauh-jauhan dipisahkan ruang-waktu.
Terlebih, penulis belum bisa secara kontinyu memberikan nafkah
lahir dan bathin. Semoga keikhlasan Isteri dan Ananda dibalas
Allah dengan berlimpah Barakah.
10. Terima kasih kepada kakanda Sajidin-Khayati, Khalimi-Maryati,
Maftukhin-Sa’adah, Ahmad Fathoni-Jurmiyati, Fatkhuddin Abbas-
Mba Ani, dan Adinda Nursidin-Mu’awanah yang selalu memberi
dukungan moril-spirituil kepada penulis.
11. Terima kasih juga kepada seluruh keluarga besar Bani Sittina di
Bondowoso yang selalu memberikan dukungan kepada penulis.
12. Tak lupa, penulis juga sampaikan rasa terima kasih kepada teman-
teman Kos, Zamzami, Fatkhul Mubin, Ahmad Affandi, dan Solihin,
yang selalu membuatkan Kopi panas mantap dan rokok yang selalu
mengebul.
13. Semua pihak yang telah membantu penulis, yang tidak bisa
disebutkan namanya satu persatu.
Tiada gading yang tidak retak, saran dan dukungan yang
konstruktif sangat penulis harapkan.
Jakarta, November 2014 M
Abu Khaer
xix
TRANSLITERASI
A. KONSONAN
q = ق z = ز ‘ = ء
k = ك s = س A = ب
l = ل sh = ش T = ت
m = م ṣ = ص Th = ث
n = ن ḍ = ض J = ج
w = و ṭ = ط ḥ = ح
ه ẓ = ظ Kh = خ
ة
=
=
h
h, t
y = ي ‘ = ع D = د
lā = ال gh = غ Dh = ذ
-al = ال f = ف R = ر
xx
B. VOKAL PENDEK C. VOKAL PANJANG
= A آ = ā, ‘ā
= I ي = ī
ۥ = U و = ū
xxi
DAFTAR ISI
Abstrak ...................................................................................... iii
Surat Pernyataan ...................................................................... ix
Surat Persetujuan Promotor I .................................................. xi
Surat Persetujuan Promotor II ............................................... xiii
Surat Persetujuan Hasil Ujian Pendahuluan .......................... xv
Kata Pengantar ......................................................................... xvii
Pedoman Transliterasi .............................................................. xix
Daftar Isi .................................................................................... xxi
Daftar Tabel .............................................................................. xxiii
Daftar Gambar ......................................................................... xxv
Daftar Grafik ............................................................................ xxvii Daftar Singkatan dan Akronim.................................................................... xxix
BAB I PENDAHULUAN .................................................... 1
A. Latar Belakang Masalah ...................................... 1
B. Rumusan Masalah ............................................... 11
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ............................ 12
D. KajianTerdahulu yang Relevan ........................... 13
E. Metodologi Penelitian ......................................... 17
F. Landasan Teori..................................................... 21
G. Sistematika Penulisan ......................................... 23
BAB II DISKURSUS CIVIL SOCIETY, MASYARAKAT
MADANI, DAN PARTAI POLITIK 25
A. Paradigma Politik Civil Society: ......................... 28
1. Civil Society Vis a Vis Negara ...................... 31
2. Civil Society Mitra Negara ............................ 36
B. Masyarakat Madani dalam Peradaban Islam ....... 52
C. Peran Partai Politik dalam Peeradaban Demokrasi .... 68
D. Masyarakat Madani dan Partai Politik
dalam Bingkai Pancasila ...................................... 77
BAB III GENEALOGI PEMBENTUKAN DAN MANIFESTO
PERJUANGAN GERINDRA ................................. 83
A. Gerindra sebagai Organisasi Sosial ..................... 83
1. Keluarga Besar Soemitro Djojohadikusumo ...... 86
2. Tokoh Aktivis Organisasi Sosial/LSM ......... 133
xxii
3. Tokoh Intelektual .......................................... 140
B. Proses Berdirinya Gerindra .................................. 153
C. Gerindra Memasuki Wilayah Politik Praktis ....... 157
D. Manifesto Perjuangan Gerindra ........................... 159
E. Kritik Konsepsi Ruang Privat .............................. 171
BAB IV KONSEPSI RUANG PUBLIK DAN KENEGARAAN 181
A. Kiprah dalam Kegiatan Sosial ............................. 181
1. Organisasi Sayap ........................................... 181
2. Partai Politik yang Bergabung ...................... 192
B. Dinamika Perjuangan di Kancah Negara ............. 201
1. Organisasi Sayap ........................................... 202
2. Partai Politik yang Bergabung ...................... 209
C. Kritik Perjuangan di Publik dan Kenegaraan ....... 213
BAB V KONSEPSI EKONOMI KERAKYATAN . .............. 225
A. Pancasila dan UUD 1945 sebagai
Landasan Ekonomi Kerakyatan ........................... 226
B. Paradoks Ekonomi Kerakyatan Indonesia ........... 247
C. Strategi Pembangunan Nasional .......................... 263
1. Strategi Dorongan Besar ............................... 264
2. Strategi Pokok: Membangun Landasan ........ 265
3. Strategi Utama .............................................. 265
4. Strategi Pendukung ....................................... 266
5. Strategi Implementasi ................................... 266
D. Kritik Perjuangan dalam Ekonomi....................... 272
BAB VI PENUTUP ............................................................... 279
A. Kesimpulan ........................................................ 279
B. Implikasi ............................................................ 281
Daftar Pustaka ......................................................................... 283
Glosarium ................................................................................ 305
Indeks ......................................................................................... 309
Lembar Wawancara ................................................................. 318
Lampiran ................................................................................... 319
Biodata ....................................................................................... 325
xxiii
DAFTAR TABEL
Tabel 3.1. Tipologi Perspektif Budaya Politik Familisme 170
Tabel 5.1. Peran Negara dalam Ekonomi .................................... 238
Tabel 5.2. Negara Berdasarkan Luas Wilayah dan Lahan
Dapat Ditanami Pertanian dan Kehutanan .................. 248
Tabel 5.3. Perbandingan Nilai Tambah Petani Beberapa
Negara Tahun 1980 - 2008 ......................................... 249
Tabel 5.4. Negara Eksportir Perikanan Utama di Dunia ............. 252
Tabel 5.5. Kebocoran dan Kehilangan Kekayaan Negara ........... 268
xxiv
xxv
DAFTAR GAMBAR
Gambar 1.1. Empat Ranah Masyarakat Madani T. Janoski ........ 22
Gambar 2.1. Relasi Empat Ranah Pembentuk Civil Society ....... 42
Gambar 2.2. Relasi Civil Society dan Parpol ............................... 43
xxvi
xxvii
DAFTAR GRAFIK
Grafik 5.1. Perbandingan Panjang Pantai dan Produksi
Perikanan Tangkap Negara Produsen
Perikanan Utama di Dunia ........................................ 251
Grafik 5.2. Indeks Pembangunan Manusia Menurut
Provinsi Tahun 2004 dan 2011 ................................ 255
Grafik 5.3. Indeks Pembangunan Gender
Menurut Provinsi Tahun 2004 dan 2011 .................. 256
xxviii
xxix
Daftar Singkatan dan Akronim
ACRO: Asian Conference on Religion and Peace
AD/ART: Anggaran Dasar/Anggaran Rumah Tangga
AD/ART: Anggaran Dasar/Anggaran Rumah Tangga
ADB: Asian Development Bank (ADB),
Akmil: Akademi Militer
Ampera: Amanat Penderitaan Rakyat
APBN: Anggaran Pendapatan Belanja Negara
APPSI: Asosiasi Pedagang Pasar Seluruh Indonesia
Bakom: Badan Komunikasi
BBM: Bahan Bakar Minyak
BHP: Badan Hukum Pendidikan
BKPM: Badan Koordinasi Penanaman Modal
BLT: Bantuan Langsung Tunai
BPK: Badan Pemeriksa Keuangan
BPKN: Badan Perlindungan Konsumen Nasional
BP-KNIP: Badan Pekerja Komite Nasional Indonesia Pusat
BPUPKI: Badan Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia
BSN: Badan Standar Nasional
BUMN: Bada Usaha Milik Negara
CPDS: Center for Policy Development Studies
DKI: Daerah Khusus Ibu Kota
DKI: Daerah Khusus Ibukota
DKP: Dewan Kehormatan Militer
DPAS: Dewan Pertimbangan Agung Sementara
DPP: Dewan Pimpinan Pusat
DPR: Dewan Perakilan Rakyat
FAO: Food Agriculture Organization
FDI: Forum Dialog Indonesia
FPI: Front Pembela Islam
GAM: Gerakan Aceh Merdeka
Gema Sadhana: Gerakan Masyarakat Sanathana Dharma Nusantara
Gemira: Gerakan Muslim Indonesia Raya
Gerindra: Gerakan Indonesia Raya
GNB: Gerakan Non Blok
Golkar: Golongan Karya
GPI: Gerakan Pemuda Islam
xxx
GWU: George Washington University
HAM: Hak Asasi Manusia
Hanura: Hati Nurani Rakyat
Hipmi: Himpunan Pengusaha Muda Indonesia
HKTI: Himpunan Kerukunan Tani Indonesia
ICMI: Ikatan Cendikiawan Muslim Indonesia
ICN: Indonesia Christian Network
ICW: Indonesia Corruption Watch
IMF: International Monetery Fund
IP: Indische Partij
IPG: Indeks Pembangunan Gender
IPM: Indeks Pembangunan Manusia
IPS: Institute for Policy Studies
ISAFIS: Indonesian Student Association for International Studies
Kadin: Kamar Dagang dan Industri
KAPPI: Kesatuan Aksi Pemuda Pelajar Indonesia
Kesira: Kesehatan Indonesia Raya
Kira: Kristen Indonesia Raya
KISDI: Komite Indonesia untuk Dunia Islam
KLH: Kementerian Lingkungan Hidup
KNPI: Komite Nasioal Pemuda Indonesia
Kombes: Komisaris Besar
Komnas: Komisi Nasional
Kopassus: Komando Pasukan Khusus
KPK: Komisi Pemberantasan Korupsi
KPPU: Komisi Pengawasan Persaingan Usaha
KPU: Komisi Pemilihan Umum
KTNA: Kontak Tani Nelayan Andalan
LIMA: Lingkar Madani Indonesia
LSI: Lembaga Survei Indonesia
LSM: Lembaga Swadaya Masyarakat
Mapala: Mahasiswa Pencinta Alam
Mayjend: Mayor Jenderal
MK: Mahkamah Konstitusi
MPR: Majelis Permusyawaratan Rakyat
Nas-Dem: Nasional-Demokrat
NGO’s: Non-Government Organisation’s
NU: Nahdlatul Ulama
Ormas: Organisasi Masyarakat
P2HP: Pemasaran dan Pengolahan Hasil Pertanian
xxxi
P4: Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila
PAN: Partai Amanat Nasional
Parindra: Partai Indonesia Raya
Parpol: Partai Politik
PBB: Partai Bulan Bintang
PBR: Partai Bintang Reformasi
PD: Partai Demokrat
PDI-P: Partai Demokrasi Indonesia-Perjuangan
Pemilu: Pemilihan Umum
Perbindo: Perhimpunan Bambu Indonesia
Pilpres: Pemilihan Presiden
Pira: Perempuan Indonesia Raya
PKB: Partai Kebangkitan Bangsa
PKI: Partai Komunis Indonesia
PKNU: Partai Kebangkitan Nasional Ulama
PKS: Partai Keadilan Sejahtera
PLN: Perusahaan Listrik Negara
PMTI: Persatuan Madrasah-madrasah Tarbiyah Islamiyah
PNB: Pendapatan Nasional Bruto
PNI: Partai Nasionalis Indonesia
Polri: Polisi Republik Indonesia
PPNUI: Partai Persatuan Nahdlatul Ummah Indonesia
PPP: Partai Persatuan Pembangunan PRRI/Permesta: Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia/Perjuangan Rakyat Semesta
PSI: Partai Sosialis Indonesia
QLF: The Quebec Liberation Front
RPI: Republik Persatuan Indonesia
RSCM: Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo
RUU-BPJS: Rancangan Undang Undang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial
SAMAK: Solidaritas Masyarakat Anti-Korupsi
SARA: Suku, Agama, Ras dan Antar golongan
SBY: Soesilo Bambang Yudhoyono
SD: Sekolah Dasar
SK: Surat Keputusan
SKPD: Satuan Kerja Pemerintahan Daerah
SMA: Sekolah Menengah Atas
SMP: Sekolah Menengah Pertama
SSS: Soegeng Sarjadi Syndicate
SU-MPR: Sidang Umum-Majelis Permusyawaratan Rakyat
TBO: Tenaga Bantu Operasi
xxxii
Tidar: Tunas Indonesia Raya
TII: Transparency International Indonesia
TNI-AD: Tentara Nasional Indonesia-Angkatan Darat
TPGF: Tim Gabungan Pencari Fakta
UI: Universitas Indonesia
UKM: Usaha Kecil dan Menengah
UNDP: United Nations Development Programme
USINDO: The United States-Indonesia Society
UU: Undang-undang
UUD: Undang-undang Dasar
Walhi: Wahana Lingkungan Indonesia
WHO: World Health Organization
YAD: Yayasan Arsari Djojohadikusumo
YKHD: Yayasan Keluarga Hashim Djojohadikusumo
YLBHI: Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Partai politik sebagai salah satu pilar demokrasi hampir
sepenuhnya disepakati oleh cendekiawan politik. Namun, partai politik
sebagai salah satu bagian dari masyarakat madani, masih diperdebatkan
kiprahnya. Paradigma politik masyarakat madani kaum Hegelian dan
Marxis, seperti de Tocqueville1 dan Gramsci
2 mempunyai pandangan
bahwa lembaga politik bukan merupakan bagian dari masyarakat
madani dalam membangun demokrasi bersama dengan organisasi sosial
masyarakat lainnya. Paradigma masyarakat madani Max Weber,3 EE.
Schattscheider,4 John Keane, Thomas Janoski, dan beberapa
cendekiawan masyarakat madani Indonesia5 berbeda pandangan dengan
yang disebut pertama. Paradigma yang disebut terakhir, menyatakan
bahwa apapun bentuk dari suatu perkumpulan masyarakat yang
berkembang, tak terkecuali partai politik, bisa bekerja sama dengan
1Lihat pembahasan yang relevan dalam Alexis de Tocqueville, Democracy in
America, jilid 1 dan 2 (terj.) Henry Reeve (Pennsylvania: the Pennsylvania State
University, Electronic Classics Series, 2002); lihat juga Vahid Amani Zoeram, Lee
Yok Fee, Mohammad Agus Yusoff, dan Fakhreddin Soltani, “Democracy in de
Tocqueville Theory and New Islamic Movements,” International Journal of Asian
Social Science, Vol. 2, (2012): 2220-2223. 2Lihat Antonio Gramsci, Selections from the Prison Notebooks of Antonio
Gramsci (terj.) Quentin Hoare dan Geoffrey Nowell Smith (London: ElecBook,
1999); Tent Brown, “Gramsci and Hegemony,” Links International Journal of
Socialist Renewal, http://links.org.au/node/1260, diakses tanggal 24 Februari 2013. 3Max Weber sebagaimana dikutip oleh Ivan Doherty berpendapat bahwa partai
politik merupakan anak kandung demokrasi, lihat Ivan Doherty “Democracy out of
Balance: Civil Society Can’t Replace Political Parties,” Policy Review, April dan Mei
Vol. 3. (2001): 25. 4Lihat SC. Stokes, “Political Parties and Democracy,” Annual Review Political
Scences, Vol. 2 (1999): 243-267. 5Lihat Azyumardi Azra, “Politik Lokal dan Pembelajaran Politik,” dalam Andy
Ramses M dan La Bakry (ed.), Pemerintahan Daerah di Indonesia (Jakarta: MIPI,
2009), 31-33; Andi Faisal Bakti, “Communication and Violence: Communicating
Human Integrity Caharactersitics is Necessary for Horizontal Conflict Resolution In
Indonesia,” Identity, Culture, and Politics Vol. 9, No. 1, Juli (2008); Andi Faisal
Bakti, “Islam and Modernity: Nurcholish Madjid Interpretation of Civil Society,
Pluralism, Secularism and Democracy,” Asian Journal of Social Sciences, Brill,
Leiden, Vol 33, No. 3. November, (2005).
2
negara untuk membentuk suatu masyarakat madani yang demokratis.6
Dengan memfokuskan kajian pada manifesto perjuangan partai politik
Gerakan Indonesia Raya (Gerindra), penulis mendukung pendapat
cendekiawan masyarakat madani kedua dan berupaya untuk
menemukan rancang-bangun demokrasi7 untuk membentuk masyarakat
madani oleh suatu partai politik.
Terlepas dari asumsi pendapat cendekiawan yang mendukung
maupun kontra, mengenai hubungan antara partai politik dan
masyarakat madani, penulis mendasarkan argumennya pada studi yang
dilakukan oleh beberapa cendekiawan terhadap proses demokratisasi
Republik Indonesia yang mendukung bahwa partai politik merupakan
bagian dari masyarakat madani. Menariknya, temuan sementara
penulis, menyiratkan bahwa manifesto perjuangan politik partai
Gerindra mendukung ide-ide demokrasi dan aplikasinya bertujuan agar
terbentuk masyarakat madani di Indonesia. Namun ada beberapa
variabel yang diduga menjadi kendala tumbuhnya budaya demokrasi di
Gerindra sebagai syarat utama bangunan masyarakat madani, yaitu
atribut Gerindra sebagai partai politik dan sosok militer Prabowo
Subianto sebagai Dewan Pembina Gerindra.
Alexis de Tocqueville dalam bukunya Democracy in America
menggambarkan hukum alam sistem kepartaian dengan mengambil
kasus Amerika. Ia berpendapat bahwa demokrasi a la Amerika Serikat
dengan sistem kepartaiannya, lebih cenderung menawarkan sebuah
sistem politik pemerintahan yang menggambarkan ‘kediktatoran’ dan
6Azyumardi Azra, “Civil Society and Democratization in Indonesia: The
Transition Under President Wahid and Beyond,” dalam David C. Shack dan Wayne
Hudson, Civil Society In Asia (Law, Ethic and Governance) (Hampshire, Inggris dan
Burlington, USA: Ashgate Publishing Company, 2003), 75; Neera Chandhoke, “The
Civil and the Political in Civil Society,” dalam C.M. Elliot (ed.), Civil Society and
Democracy: a Reader (Oxford: Oxford University Press, 2003), 255; Andi Faisal
Bakti dkk, Literasi Politik dan Konsolidasi Demokrasi (Ciputat: Churia Press, 2012),
4-6. 7M. Steven Fish, dalam paper-nya “Islam and Authoritarianism,” menjelaskan
bahwa sebuah negara disebut demokratis bila secara teratur melakukan pemilu untuk
memilih legislatif dan eksekutif. Begitu juga, kebijakan publik dirumuskan secara
terbuka dengan melibatkan partisipasi masyarakat. M. Steven Fish, “Islam and
Authoritarianism,” World Politics, Volume 55, Number 1, Oktober (2002), 4-5. Lihat
juga review artikel tersebut oleh Ali Munhanif, “M. Steven Fish: “Islam dan
Otoritarianisme,” Review Paper Yayasan Abad Demokrasi, Edisi 030, Oktober
(2011), 2-3. Prasyarat tersebut telah berjalan di negeri Indonesia, sehingga menurut
penulis konsep civil society atau masyarakat madani bisa dan sudah berjalan di negeri
ini.
3
‘tirani’ mayoritas ketimbang proses demokratisasi. Golongan minoritas,
baik itu terdiri dari individu, organisasi masyarakat, atau partai politik,
tidak akan ikut ambil bagian yang signifikan, karena semuanya telah
ditentukan oleh kelompok mayoritas yang menentukan pemilihan
umum.8
Alexis de Tocqueville lebih lanjut menjelaskan bahwa kelompok
mayoritas, melalui kemenangan pemilihan umum, menyisihkan untuk
dirinya semua hak menentukan kebijakan politik, melalui institusi
kepresidenan yang amat kuat.9 Dalam hal ini, partai politik itu
sebenarnya tidak lebih daripada kendaraan politik bagi sekelompok
elite yang berkuasa atau berniat meraih atau melanggengkan
kekuasaan.10
Partai politik hanya difungsikan sebagai alat bagi
segelintir orang yang bisa meraih suara mayoritas rakyat, untuk
memaksakan berlakunya kebijakan-kebijakan publik tertentu. Namun
demikian, potensi kediktatoran dan tirani mayoritas bukan hanya
didominasi oleh partai politik semata. Antonio Gramsci11
mengingatkan
bahwa hegemoni dilakukan bukan saja oleh kelas penguasa, ia juga bisa
diberlakukan oleh kelompok-kelompok sosial, dengan beragam
coraknya, apakah mereka yang berhaluan progresif, regresif, reformis,
dan sebagainya demi meraih kekuasaan untuk memimpin, bagaimana
mereka memperluas kekuasaan mereka dan mempertahankannya.
Gerindra -sebagai salah satu bagian dari kontestan partai politik di
pemilu- jika menurut pendapat Bob Sugeng Hadiwinata, termasuk
dalam kategori political society (masyarakat politik) bukan bagian dari
civil society (masyarakat madani). Kategori yang disebut pertama,
berambisi untuk memperebutkan kekuasaan politik melalui berbagai
cara, sedangkan kategori yang disebut kemudian, hanya berpretensi
8Alexis de Tocqueville, Democracy in America, jilid 1, 264-280; lihat juga
Vahid Amani Zoeram, Lee Yok Fee, Mohammad Agus Yusoff, dan Fakhreddin
Soltani, “Democracy in de Tocqueville Theory and New Islamic Movements,” 2220-
2223; Nurcholish Madjid, “Opini Proklamasi: ABRI dan Masa Depan Demokrasi
Indonesia, Mukadimah: ABRI dan Demokrasi,” Majalah Tempo, Edisi 27/01 –
31/Agutus, (1996). 9Alexis de Tocqueville, Democracy in America, jilid 1, 264-280; Nurcholish
Madjid, “Opini Proklamasi: ABRI dan Masa Depan Demokrasi Indonesia,” Majalah
Tempo, Edisi 27/01 – 31/Ags, (1996). 10
Vahid Amani Zoeram, Lee Yok Fee, Mohammad Agus Yusoff, dan
Fakhreddin Soltani, “Democracy in de Tocqueville Theory and New Islamic
Movements,” 223-224. 11
Lihat Tent Brown, “Gramsci and Hegemony,” inks International Journal of
Socialist Renewal, http://links.org.au/node/1260, (diakses tanggal 24 Februari 2013).
4
untuk melakukan kontrol terhadap pemerintah tanpa harus ikut
memperebutkan kekuasaan.12
Pandangan Hadiwinata di atas senada dengan pendapat Sir
Azyumardi Azra dan Andi Faisal Bakti13
yang menguraikan lebih lanjut
bahwa pandangan tersebut seirama dengan pernyataan para
cendekiawan Hegelian dan Marxsis seperti Ernest Gellner, Hannah
Arendt, Jurgen Habermas, David Ost, Andre Arato, Fernando Cardoso.
Di Indonesia, pandangan ini diwakili oleh Muhammad Hikam AS,
mantan Menristek era Presiden Abdurrahman Wahid.14
Mereka
berpandangan bahwa secara keseluruhan tatanan politik terdiri atas
Negara di satu pihak Vis a Vis organisasi civil society di pihak lain. Ide
organisasi civil society merupakan ide sebagian masyarakat yang
memiliki kehidupan sendiri yang jauh berbeda dengan negara, dan yang
sebagian besar memiliki otonomi sendiri. Organisasi civil society
terletak di luar batas keluarga, klan dan kewilayahan. Dalam artian ini,
organisasi civil society terpisah dari negara.
Namun demikian, keberadaan partai politik (parpol) juga
merupakan salah satu komponen dalam kehidupan politik modern yang
demokratis. Max Weber, sebagaimana dikutip oleh Ivan Doherty,15
menyatakan bahwa political parties as ‘children democracy,’ partai
politik adalah ‘anak kandung’ demokrasi. Bahkan menurut SC. Stoces,
Schattschneider berpendapat bahwa keberadaan partai politiklah yang
sebetulnya menentukan demokrasi, “political parties created
democracy,” dan modern democracy is unthinkable save in terms of the
parties, demokrasi modern tak mungkin terjaga kecuali dalam terma
kepartaian.16
Pakar tata negara Jimly Asshiddiqie memperkuat pendapat di atas
dengan pernyataannya bahwa keberadaan suatu partai politik
merupakan pilar yang sangat penting untuk diperkuat derajat
12
Lihat Bob Sugeng Hadiwinata, “Civil Society: Pembangun dan Sekaligus
Perusak Demokrasi,” Jurnal Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Volume 9, Nomor 1, Juli
(2005), 8. 13
Azyumardi Azra, “Civil Society and Democratization in Indonesia,…,” 75;
Andi Faisal Bakti dkk, Literasi Politik dan Konsolidasi Demokrasi, 7. 14
Azyumardi Azra, “Civil Society and Democratization in Indonesia……,”76;
Andi Faisal Bakti dkk, Literasi Politik dan Konsolidasi Demokrasi, 4-5. 15
Ivan Doherty, “Democracy Out of Balance: Civil Society Can’t Replace
Political Parties,” 25. 16
SC. Stokes, “Political Parties and Democracy,” 243; Jimly Asshiddiqie,
“Dinamika Partai Politik dan Demokrasi,”
http://jimly.com/pemikiran/makalah?page=7> (diakses tanggal 24 Februari 2013).
5
pelembagaannya (the degree of institutionalization) dalam setiap sistem
politik yang demokratis. Bahkan sebagai suatu organisasi, keberadaan
parpol bertujuan untuk mengaktifkan dan memobilisasi rakyat,
mewakili kepentingan tertentu, memberikan jalan kompromi bagi
pendapat yang saling bersaing, serta menyediakan sarana suksesi
kepemimpinan politik secara absah dan damai. Ia tidak hanya sebagai
instrumen demokrasi tapi sekaligus mengusung tujuan yang lebih luas
yakni memastikan kedaulatan rakyat atas hak-hak dasarnya, baik itu
hak sipil politik maupun ekonomi dan sosial mereka.17
Dalam konteks masyarakat madani di Indonesia, pandangan
pejoratif terhadap peran partai politik di atas, dikritik oleh Dawam
Rahardjo dan Nurcholish Madjid. Menurut kedua cendekiawan ini, civil
society merupakan “mitra” negara yang bisa mencegah birokrasi
menyeleweng dari tugas dan hakekatnya sebagai abdi negara.
Masyarakat yang tergabung dalam beragam bentuk organisasi,
termasuk suatu partai politik, bisa menjadi representasi dan kristalisasi
kekuatan di luar negara, yang menjadi mitra bagi negara. Hal ini,
menjadikan organisasi civil society sebagai kekuatan pengimbang
sekaligus kontrol, yang membatasi dan memungkinkan negara tetap
berjalan sesuai dengan hakikatnya. Dalam hal ini, keterlibatan partai
politik sebagai bagian dari organisasi civil society menjadi kekuatan
yang efektif untuk mencegah hegemoni negara. Selain itu, dengan
organisasi masyarakat madani menjadi indikasi ada wilayah-wilayah
yang bisa digarap entitas mandiri di luar negara. Dengan demikian,
segala energi, prakarsa, aktivitas dalam kehidupan masyarakat tidak
terkonsentrasi dan tersentralisasi hanya pada negara semata-mata.18
Selain itu, Nurcholish Madjid cendekiawan pendiri Paramadina,
meniscayakan organisasi masyarakat madani dipersyaratkan dengan
17
Jimly Asshiddiqie, “Dinamika Partai Politik dan Demokrasi,”
http://jimly.com/pemikiran/makalah?page=7> (diakses tanggal 24 Februari 2013). 18
M. Dawam Rahardjo, “Masyarakat Madani di Indonesia: Sebuah Penjajakan
Awal,” dalam Jurnal Pemikiran Islam Paramadina, Vol. 1, No. 2, (1999), 7-32;
Nurcholish Madjid, Cita-cita Politik Islam Era Reformasi (Jakarta: Paramadina,
1999), 145; lihat juga Martin van Bruinessen, "Post-Suharto Muslim engagements
with civil society and democracy,” Makalah yang dipresentasikan pada Third
International Conference and Workshop “Indonesia in Transition,” organised by the
KNAW and Labsosio, Universitas Indonesia, August 24-28, Universitas Indonesia,
Depok (2003); Gordon Gauchat, “Politicization of Science in the Public Sphere: A
Study of Public Trust in the United States, 1974 to 2010,” American Sociological
Review, Vol. 77 No.2 (2012), 170-171; Azyumardi Azra, “Civil Society and
Democratization in Indonesia,.…,” 76.
6
adanya partai politik sebagai bagian ruang publik (public sphere) yang
di ruang tersebut warga masyarakat dapat dengan leluasa melakukan
aktivitas sosial, politik dan ekonominya, tanpa didominasi oleh
sekelompok kecil orang.19
Di dalam ranah publik ini, warga masyarakat
akan memiliki akses yang luas kepada lembaga-lembaga, baik lembaga
negara seperti birokrasi, lembaga perwakilan dan peradilan, maupun
lembaga non-negara seperti partai politik, lembaga keagamaan, gilda,
perserikatan, federasi, Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) dan
kelompok kepentingan lainnya.
Di dalam ranah publik itu pula terjadi diskursus yang intensif
tentang segala hal yang terjadi dalam negara, sehingga pemerintah dan
lembaga-lembaga negara memiliki tingkat akuntabilitas yang cukup
tinggi. Di samping itu, kebijakan publik juga melibatkan masyarakat
yang luas, melalui diskusi-diskusi publik yang intensif dilakukan.
Bahkan, Azra berkesimpulan karena tidak mempunyai public sphere
berupa partai politik-lah konsep-konsep masyarakat madani Nurcholish
Madjid kurang begitu ‘membumi’ jika dibandingkan dengan
Abdurrahman Wahid. Oposisi yang dibangun oleh Nurcholish Madjid
merupakan oposisi soliter.20
Sebagai sesama pendekar masyarakat
madani Indonesia, Abdurrahman Wahid lebih berperan karena selain
aktif berkecimpung dalam agen-agen civil society, seperti Lembaga
Sosial Masyarakat (LSM) Forum Demokrasi (ForDem) dan organisasi
keagamaan Nahdlatul Ulama (NU), juga merupakan deklarator partai
politik, yaitu Partai Kebangkitan Bangsa (PKB).21
Menurut Abdurrahman Wahid, demokratisasi harus dimulai dari
perbedayaan politik rakyat. Dalam proses ini semua unsur masyarakat
harus dilibatkan tanpa mengenal golongan manapun. Terpenting,
masyarakat haruslah memulai untuk berdemokrasi dan inilah hakikat
dari sebuah demokratisasi. Kiprah Abdurrahman Wahid dalam
membumikan dan membangun masyarakat madani diikuti jejaknya oleh
Prabowo Subianto, sang lokomotif dan komandan tertinggi partai
politik Gerindra.22
Prabowo di samping berperan sebagai aktor oposisi
19Nurcholish Madjid, Cita-cita Politik Islam Era Reformasi, 145.
20Azyumardi Azra, “Oposisi Cak Nur: Oposisi Soliter,” 384-385.
21Lihat Kikue Hamayotsu, “Bringing Clientelism and Institutions Back in: The
Rise and Fall of Religious Parties in Indonesia’s Electoral Democracy,” dalam Dirk
Tomsa dan Andreas Ufen (ed.), Party Politics in Southeast Asia: Clientelism and
Electoral Competition in Indonesia, Thailand, and Philippines (New York:
Routledge, 2013), 125. 22
Lihat http://news.okezone.com/read/2009/12/30/337/289643/redirect, (diakses
tanggal 17 Januari 2013).
7
birokrasi juga berperan dalam wadah partai politik. Dalam kedua
kapasitasnya tersebut, Prabowo menurut Abdurrahman Wahid
merupakan sosok yang dianggap betul-betul perhatian ke rakyat.
Prabowo sungguh-sungguh mengenal masalah ekonomi kerakyatan
seperti pemberdayaan pertanian.23
Apresiasi Abdurrahman Wahid tersebut bukan merupakan sesuatu
yang mengada-ada. Penguatan sektor ekonomi (strong
market/ekonomi) rakyat atau ekonomi kerakyatan merupakan salah satu
pondasi dari tiga pondasi yang menopang bagi tegaknya masyarakat
madani. Dua poin lainnya dari dasar pondasi, menurut Azra,
berdasarkan Konferensi Dunia tentang World Forum on Democracy di
Warsawa, Polandia, pada tanggal 24-27 Juni 2002 adalah kuatnya
negara (strong state) dan kuatnya masyarakat sipil (strong civil
society).24
Sementara itu, dalam nomenklatur Islam di saat membicarakan
demokrasi dikenal beberapa prinsip yang merupakan bentuk dasar dari
praktek demokratisasi yang dilakukan Rasulullah Saw. Menurut ‘Abd
al-Ḥamīd Ismaīl al-Anṣarī dan Zakaria ’Abd al-Mun’īm Ibrahīm, hal
tersebut tercermin dalam memimpin masyarakat seperti tertuang dalam
Piagam Madinah. Serta tercermin pula dalam pengangkatan para
Khulafā al-Rashidīn dan praktik kepemimpinan mereka. Prinsip-prinsip
tersebut, yaitu: shūrā, musawa, ’adālah, amānah, mas’uliyah dan
ḥurriyah.25
Firman Allah tentang shūrā, sebagai mekanisme
pengambilan keputusan dengan mengikutsertakan pihak-pihak yang
berkepentingan dalam urusan bersama, baik secara langsung maupun
tidak langsung melalui perwakilan, menurut Yusuf Qardhawī dan
Nurcholish Madjid terjabarkan dalam dalam surat Ali Imrān ayat 159
yaitu:26
23
Lihathttp://beta.politik.vivanews.com/news/read/52332-
gus_dur_puji_prabowo__cela_capres_yang_lain, (diakses tanggal 17 Januari 2013). 24
Lihat Azyumardi Azra, Reposisi Hubungan Agama dan Negara: Merajut
Kerukunan Antarumat (Jakarta: Kompas, 2002), 70; Azyumardi Azra, Malam Seribu
Bulan: Renungan-renungan 30 Hari Ramadan (Jakarta: Erlangga, 2005), 115-120. 25
Lihat ‘Abd al-Ḥamīd Ismaīl al-Anṣarī, al-Shūrā wa atharuha fī al-
Dimaqrāṭiyya (Qahirā: al-Maṭba’ah al-Salāfiyyah, 1980 M/1400 H), 4-5. Lihat juga
Zakaria ’Abd al-Mun’īm Ibrahīm, Niẓām al-Shura fī al-Islām wa Niẓām al-
Dimaqrāṭiyyah al Mu’aṣirāh (Qahirā, Ttp.1985), 13; Andi Faisal Bakti dkk, Literasi
Politik dan Konsolidasi Demokrasi, 3. 26
Nurcholish Madjid, Membangun Oposisi Menjaga Momentum Demokrasisasi,
(Jakarta, Voice Center Indonesia, 2000), 18; Yusūf Qardhawī, Fiqh al-Daulah fī al-
Islām (Qahirā: Dār al-Ṣurūq, 2005), 133.
8
Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu berlaku lemah-lembut terhadap
mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka
menjauhkan diri dari sekelilingmu. Karena itu ma'afkanlah mereka, mohonkanlah
ampun bagi mereka, dan bermusyawaratlah dengan mereka dalam urusan itu.
Kemudian apabila kamu telah membulatkan tekad, maka bertawakallah kepada Allah.
Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakkal kepada-Nya (QS. Ali
Imran: 159).
Qardhawī dan Nurcholish Madjid menafsirkan ayat di atas, bahwa
nilai shūrā dapat membawa warga bangsa menuju terbentuknya civil
society (masyarakat madani), yaitu masyarakat yang menjunjung tinggi
nilai-nilai keadilan, kebebasan, persamaan, toleransi, menghormati hak-
hak individu dan musyawarah untuk kemaslahatan bersama. Sistem
demokrasi sendiri meskipun tak memiliki kebenaran yang absolut sebab
terdapat beberapa kekurangan, akan tetapi memiliki nilai lebih dan
beberapa keunggulan. Demokrasi telah terbukti mengantarkan pada
terbentuknya suatu tatanan kehidupan berbangsa dan bernegara yang
menghasilkan kebijakan baik, masyarakat adil, berpihak kepada
kepentingan mayoritas, menghargai kebebasan dan hak-hak individu.27
Di Indonesia, bangunan masyarakat madani sampai tahun 2014 ini,
proses transisi menuju demokrasi telah melalui masa 17 tahun sejak
tahun 1998 saat keruntuhan rezim otoriter Presiden Soeharto dan
pemilu yang demokratis di tahun1999. Era kepemimpinan BJ. Habibie
sebagai Presiden RI ke-3 selama 1,4 tahun dan 2 bulan menjadi Wakil
Presiden RI ke-7 membukan pandora gerakan demokrasi bangsa yang
selama 32 tahun dikekang.28
Pintu kebebasan dan demokrasi di
Indonesia secara perlahan mulai terbuka.
Sejak Pemilihan Umum pasca reformasi sejak tahun 1999 sampai
dengan Pemilihan Umum tahun 2009 telah banyak dinamika yang
dihadapi dalam melaksanakan amanat demokrasi di Negara Kesatuan
27
Nurcholish Madjid, Membangun Oposisi Menjaga Momentum Demokrasisasi,
19; Yusūf Qardhawī, Fiqh al-Daulah fī al-Islām, 133. 28
Azyumardi Azra, Reposisi Hubungan Agama dan Negara: Merajut Kerukunan
Antarumat, 14-15.
9
Republik Indonesia ini. Salah satu yang paling berbeda dibandingkan
dengan penerapan sistem demokrasi otoriter pada masa rezim orde baru
adalah dengan munculnya berbagai macam partai politik peserta pemilu
yang setiap saat jumlahnya selalu bertambah.29
Pada pemilu tahun
2009, partai politik peserta pemilu mencapai jumlah yang paling
banyak dibandingkan dengan pemilu sebelumnya, yaitu sebanyak 38
parpol ditambah 6 partai politik lokal di Nangroe Aceh Darussalam. Di
Pemilu tahun 2014, berdasarkan Keputusan KPU Nomor 05/Kpts/KPU/
Tahun 2013 dan Berita Acara Rekapitulasi Hasil Verifikasi Faktual
Partai Politik KPU Nomor: 5/BA/I/2013, sepuluh jumlah parpol yang
memenuhi syarat sebagai peserta Pemilu dari 34 jumlah partai yang
telah diverifikasi KPU. Sepuluh partai tersebut secara berurut adalah:
Partai Amanat Nasional (PAN), Partai Demokrasi Indonesia-
Perjuangan (PDI-P), Partai Demokrat (PD), Gerakan Indonesia Raya
(Gerindra), Golongan Karya (Golkar), Hati Nurani Rakyat (Hanura),
Partai Keadilan Sejahtera (PKS), Partai Kebangkitan Bangsa (PKB),
Nasional-Demokrat (Nas-Dem) dan Partai Persatuan Pembangunan.30
Pada pemilu 2009 yang lalu, ada satu partai politik baru yang
dianggap cukup fantastis mendulang sukses dalam kancah perpolitikan
di Indonesia.31
Partai politik ini adalah Partai Gerakan Indonesia Raya
(Gerindra). Didirikan oleh beberapa aktivis lembaga sosial masyarakat
dan dipersembahkan bagi Prabowo Subianto, seorang militer mantan
Jenderal Komando Pasukan Khusus (Kopassus) TNI-AD di era Orde
Baru. Meskipun ia disinyalir ikut bertanggung jawab atas kasus-kasus
pelanggaran HAM berdalih subversif seperti penculikan dan
penghilangan aktivis, sebagai mantan militer dan seorang pengusaha
minyak yang go international, keluasan relasi dan kemampuan
finansialnya ikut membantu mengembangkan dan mendulang suara
dukungan rakyat Partai Gerindra dengan pesat. Bahkan, Prabowo,
sebagai mantan militer yang secara notabene berlawanan dan dilawan
29
Pada masa Habibie, 140 partai politik siap mengikuti proses pemilu 1999.
Setelah mengalami seleksi oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU), 48 parpol berhak
untuk mengikuti pemilu. Azyumardi Azra, Reposisi Hubungan Agama dan Negara:
Merajut Kerukunan Antarumat, 60. 30
Lampiran Keputusan KPU Nomor 05/Kpts/KPU/ Tahun 2013 dan Lampiran
Berita Acara Rekapitulasi Hasil Verifikasi Faktual Partai Politik KPU Nomor:
5/BA/I/2013. 31
Saiful Mujani and R. William Liddle, “Personalities, parties, and voters,”
Journal of Democracy, Volume 21, Number 2 April (2010), 36-38.
10
oleh para aktivis civil society, dalam berbagai bursa lembaga survei,32
merupakan salah-satu calon presiden yang diprediksi cukup tinggi
mendapat suara dukungan rakyat untuk memimpin Indonesia ini.
Pada pemilu pertamanya, partai politik Gerindra berhasil
menduduki posisi ke-8 dengan meraup 4.5% suara dan mendapatkan 30
kursi di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR).33
Namun, dengan belum
terpilihnya mantan calon wakil presiden pada pemilu 2009 dan calon
presiden 2014 dari partai politik ini, Prabowo, Partai Gerindra pun lagi-
lagi mengukuhkan diri menjadi partai politik oposisi. Partai Gerindra
dalam jargonnya adalah partai politik yang menggambarkan dirinya
sebagai partai yang membela kaum marginal, kaum miskin, dan kaum
pedesaan. Hal tersebut dapat dilihat dari visi Partai Gerindra untuk
Indonesia yang berbunyi: “Menjadi partai politik yang mampu
menciptakan kesejahteraan masyarakat, keadilan sosial, dan tatanan
politik negara yang melandaskan diri pada nilai-nilai nasionalisme dan
religiusitas dalam wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia.”34
Mencuatnya popularitas dan kepercayaan publik terhadap partai
Gerindra sesuai hasil survei yang dilakukan lembaga survei Indonesia
(LSI), dinilai oleh Direktur Eksekutif Lingkar Madani Indonesia
(LIMA) Ray Rangkuti,35
sebagai bentuk kekecewaan masyarakat
terhadap partai-partai politik yang menikmati kekuasaan yang tak
kunjung menawarkan perubahan nyata. Masyarakat mulai tidak percaya
dengan para politisi partai lama yang tidak bisa diandalkan. Alasan
32
Tempo memberitakan bahwa dari Survei yang dilakukan lembaga survei
Soegeng Sarjadi Syndicate, Prabowo meraih suara terbanyak dengan suara 25,8
persen. Megawati Soekarnoputri menempati posisi kedua dengan suara 22,4 persen
dan Jusuf Kalla 14,9 persen. Sedangkan Ketua Umum Golkar, Aburizal Bakrie yang
telah resmi diusung partai untuk menjadi capres hanya menempati urutan keempat
dengan suara 10,6 persen. Lihat
http://www.tempo.co/read/news/2012/06/06/078408692/Survei-Membuktikan-
Prabowo-Unggul-Calon-Presiden. berdasarkan survei yang dilakukan Lembaga Survei
Indonesia (LSI) pada bulan Februari 2012 dengan memberikan 18 alternatif nama
calon Presiden, Prabowo menduduki peringkat kedua dengan perolehan 12, 8 persen
di bawah Megawati yang memperoleh suara 27,6 persen. Lihat LSI, Mencari Capres
2014, Pengetahuan, Sikap, Tindakan Elektoral Calon Pemilih, (Jakarta: LSI, 2012),
16. 33
Lihat Saiful Mujani and R. William Liddle, “Personalities, parties, and
voters,” 16. 34
Gerindra, Manifesto Perjuangan Partai Gerindra (Jakarta: DPP Gerindra,
2011). 35
http://kampus.okezone.com/topic/read/4091/49/, diakses tanggal 28 Januari
2013).
11
berikutnya, diakibatkan oleh slogan-slogan yang dicantumkan partai
Gerindra cukup menyentuh perasaan publik.
Berdasarkan latar belakang di atas, ilmu sosial di Indonesia masih
kurang dalam hal kajian dan analisa tentang peran partai politik dan elit
politik dalam wacana masyarakat madani, sehinggga kajian tentang
perspektif peran parpol dan elite politik menjadi langka. Padahal
persoalan yang bersifat politis dan elitis di masyarakat semakin banyak.
Dengan mengetahui biografi wacana partai politik dan para elite
politiknya, kita bisa membaca perilaku dan kerja elit dalam panggung
politik. Oleh karena itu, penulis merasa tertarik untuk ikut
bersumbangsih dengan mengangkat tema penelitian disertasi dengan
tema “Konsepsi Masyarakat Madani dalam Manifesto Perjuangan
Gerindra: Studi Kasus Tahun 2008-2014.”
B. Perumusan Masalah
Berdasarkan pemaparan di atas, maka rumusan dalam penulisan
disertasi ini dibagi ke dalam beberapa sub bagian, yaitu:
1. Identifikasi Masalah
Cakupan penelitian terhadap masyarakat madani dan partai politik
secara komprehensif sangat luas karena ia bisa ditinjau dari berbagai
aspek kehidupan dan keilmuwan. Oleh karena itu, masalah penelitian
ini diidentifikasikan pada aspek konsepsi masyarakat madani yang
diusung oleh manifesto perjuangan partai politik Gerindra. Alasan
penulis, karena manifesto perjuangan partai politik Gerindra merupakan
cara seluruh komponen Gerindra untuk membumikan cita-cita
bersamanya untuk mewujudkan realitas kehidupan yang madani di
Indonesia ini. Di dalamnya dipaparkan konsep dan aktualitas mengenai
hak dan kewajiban, norma, dan tata nilai yang harus dipahami dan
dilaksanakan Gerindra dalam rangka menjalin kehidupan yang
demokratis dan harmonis antar sesama komponen masyarakat sebagai
bagian dari rakyat Indonesia.
2. Pembatasan Masalah
Penelitian ini akan dibatasi hanya pada konsep masyarakat madani
yang dimanifestokan oleh partai politik Gerindra. Tahun kajian yang
diteliti-pun dibatasi hanya dari tahun 2008 sampai tahun 2014. Tahun
2008 dipilih karena tahun itulah didirikan dan tahun 2009, secara
perdana meskipun partai gurem, Gerindra telah mengikuti Pemilu dan
mampu mengantarkan kadernya dalam bursa calon wakil presiden
12
2009, walau belum berhasil. Tahun 2014 menjadi batasan penelitian,
karena, menurut penulis, tahun ini Gerindra menjadi peserta Pemilu
yang paling fenomenal. Meskipun belum juga mampu menduduki
pimpinan teratas pemerintahan, namun telah mampu mengusung kader
terbaiknya menjadi Calon Presiden di bursa Pemilu Presiden tahun
2014 ini. Menariknya lagi, Gerindra menjadi pemimpin Koalisi Merah
Putih (KMP) dengan beranggotakan partai-partai besar dan ‘senior’
yang banyak makan asam-garam perpolitikan di Indonesia seperti
Golkar, PPP, PAN, PKS, dan PBB.36
3. Rumusan Penelitian
Atas dasar pemikiran di atas, masalah penelitian dapat dirumuskan
melalui pertanyaan besar: “Bagaimanakah rancang-bangun konsepsi
masyarakat madani dalam manifesto perjuangan partai Gerindra?
Pernyataan tersebut diperinci lagi dalam rumusan minor:
a. Bagaimanakah upaya parpol Gerindra dalam membangun
masyarakat madani di wilayah privat?
b. Bagaimana pula hal tersebut teraplikasikan dalam ruang publik?
c. Lalu seperti apakah potret perjuangan masyarakat madani terbangun
dalam proses kenegaraan Indonesia?
d. Terakhir, apa implikasinya dalam bidang perekonomian bangsa?
C. Tujuan dan manfaat Penelitian
Tujuan umum dari penelitian disertasi ini adalah untuk menjelaskan
konsepsi masyarakat madani dalam manifesto perjuangan Gerindra.
Adapun tujuan khususnya adalah:
a. Untuk mengetahui latar belakang konsepsi masyarakat madani
dalam manifesto perjuangan Gerindra.
b. Untuk menggambarkan upaya parpol Gerindra dalam membangun
masyarakat madani dalam ranah privat.
c. Untuk menjelaskan bagaimana masyarakat madani teraplikasikan
dalam ranah publik oleh Parpol Gerindra.
36
Koalisi Merah-Putih (KMP) dideklarasikan pada hari Selasa, 11-11-2014. Acara
syukuran pembentukannya, selain dihadiri Prabowo Subianto, juga dihadiri Ketua
Umum Partai Golkar Aburizal Bakrie, Ketua Umum Partai Persatuan Pembangunan
Suryadharma Ali, Ketua Umum Partai Amanat Nasional Hatta Rajasa, Presiden Partai
Keadilan Sejahtera Anis Matta, dan Ketua Dewan Majelis Pertimbangan Partai
Amanat Nasional Amien Rais. Lihat Icha Rastika, “Koalisi Merah Putih Kuasai
Parlemen, Ini Niat Prabowo,” http://nasional.kompas.com/read/2014/10/10/, diakses
tanggal 5 Desember 2014.
13
d. Untuk memotret perjuangan masyarakat madani yang terbangun
dalam ranah negara yang dilakukan Gerindra.
e. Untuk menemukan apa implikasinya dalam ranah ekonomi
terhadap perjuangan masyarakat madani parpol Gerindra.
Penelitian ini secara teoritis akademis bermanfaat untuk menambah
khazanah ilmiah keilmuwan pemikiran Islam, khususnya dalam
pengembangan masyarakat madani melalui partai politik. Secara praktis
hasil penelitian ini dapat memberikan sumbangan kepada pemerintah
untuk mengambil kebijakan dan mengaplikasikan khazanah masyarakat
madani dalam menciptakan kesejahteraan dan kesentausaan di
Nusantara ini. Penelitian ini juga dapat bermanfaat bagi para peneliti
untuk menjadi bahan kajian atau pemikiran lebih lanjut terhadap konsep
masyarakat madani yang beraneka ragam macam varian dan para
pelakunya. Penelitian ini bisa dijadikan sebagai rujukan oleh para
peneliti lain dalam melakukan studi-studi lanjutan, tentunya di luar
masalah yang menjadi fokus studi ini.
D. Kajian Terdahulu yang Relevan
Tulisan tentang masyarakat madani dan partai politik bukan langka,
bahkan bisa dikatakan sangat banyak. Dalam hal kaitannya dengan
masyarakat madani, Sependek pengetahuan dan penelusuran penulis,
Andi Faisal Bakti37
melalui karyanya Majelis Azzikra New Approach to
Dakwah for Civil Society in Indonesia; Azyumardi Azra, Civil Society
and Democratization in Indonesia: The Transition Under President
Wahid and Beyond;38 M. Dawam Rahardjo,
39 Masyarakat Madani di
Indonesia: Sebuah Penjajakan Awal; M. AS. Hikam,40
Wacana
Intelektual tentang Civil Society di Indonesia; Olaf Schumann,41
Dilema Islam Kontemporer: Antara Masyarakat Madani dan Negara
37
Andi Faisal Bakti, “Majelis Azzikra New Approach to Dakwah for Civil
Society in Indonesia,” Mimbar Agama dan Budaya, VoL. 23, No. 1, (2006), 14-24. 38
Azyumardi Azra, “Civil Society and Democratization in Indonesia: The
Transition Under President Wahid and Beyond,” dalam David C. Shack dan Wayne
Hudson, Civil Society In Asia (Law, Ethic and Governance) (Hampshire, Inggris dan
Burlington, USA: Ashgate Publishing Company, 2003). 39
M. Dawam Rahardjo, “Masyarakat Madani di Indonesia: Sebuah Penjajakan
Awal,” dalam Jurnal Pemikiran Islam Paramadina, Vol. 1, No. 2, (1999), 7-32. 40
M. AS. Hikam, “Wacana Intelektual tentang Civil Society di Indonesia,” Jurnal
Pemikiran Islam Paramadina, Vol. 1, No. 2, (1999), 33-47. 41
Olaf Schumann, “Dilema Islam Kontemporer: Antara Masyarakat Madani dan
Negara Islam,” Jurnal Pemikiran Islam Paramadina, Vol. 1, No. 2, (1999), 48-75.
14
Islam; dan Bahtiar Effendi,42
Wawasan al-Qur’an tentang Masyarakat
Madani: Menuju Terbentuknya Negara-Bangsa yang Modern,
membahas aktor masyarakat madani yang dilakukan oleh individu,
organisasi-organisasi sosial, dan keagamaan di Indonesia. Cendekiawan
masyarakat madani tersebut, kecuali Hikam, sepakat berpendapat
bahwa masyarakat madani bisa dilakukan oleh aneka ragam organisasi
sosial, politik, dan keagamaan. Namun keduanya juga tidak secara
khusus membahas tentang masyarakat madani yang dibangun oleh
suatu aktor partai politik.
Karya ilmiah dari partai politik yang membahas tentang masyarakat
madani telah ditulis oleh Partai Keadilan Sejahtera.43
Buku yang
menjadi blueprint partai ini bertema Memperjuangkan Masyarakat
Madani: Falsafah Dasar dan Platform Kebijakan Pembangunan PK
Sejahtera. Azra menjelaskan buku ini secara komprehensif membahas
berbagai subjek, sejak dari paradigma PKS; kondisi nasional dan
permasalahan bangsa dalam bidang politik, ekonomi, sosial budaya;
lingkungan strategis dan Indonesia yang dicitacitakan, sampai pada
platform PKS untuk mengatasi berbagai masalah tersebut menuju
Indonesia yang dicita-citakan. Tidak banyak parpol yang memiliki
platform yang selengkap dan serinci platform PKS. Meski dalam segi-
segi tertentu, tidak banyak pembahasan tentang ‘bagaimana’ cara dan
langkah sistematis mewujudkan platform tersebut.44
Perbedaannya
dengan penulis adalah pada pokok bahasan masyarakat madani. Penulis
mendasarkan pembahasannya bersandarkan pada teori Thomas Janoski,
yang terfokuskan pada empat ruang, yaitu privat, publik, negara, dan
pasar/ekonomi.
Karya ilmiah disertasi yang mengangkat tema tersebut di antaranya
adalah Nasor45
dengan karya ilmiah disertasi bertema, Komunikasi
Persuasif Nabi Muhammad SAW dalam Mewujudkan Masyarakat
Madani. Disertasi ini secara spesifik membahas dakwah Nabi
Muhammad secara persuasif dengan metode musyawarah diutamakan
42
Bahtiar Effendi, “Wawasan al-Qur’an tentang Masyarakat Madani: Menuju
Terbentuknya Negara-Bangsa yang Modern,” Jurnal Pemikiran Islam Paramadina,
Vol. 1, No. 2, (1999),76-87. 43
Partai Keadilan Sejahtera, Memperjuangkan Masyarakat Madani: Falsafah
Dasar dan Platform Kebijakan Pembangunan PK Sejahtera (Jakarta: PKS, 2008). 44
Azyumardi Azra, “Negara Madani adalah Cita-cita PKS,” Opini Republika, 24
April (2008). 45
Nasor, “Komunikasi Persuasif Nabi Muhammad SAW dalam Mewujudkan
Masyarakat Madani,” Disertasi, SPS UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, (2007).
15
untuk mewujudkan masyarakat yang ideal di kota Madinah. Sayangnya,
disertasi dakwah ini hanya menfokuskan penelitiannya pada
komunikasi persuasif Nabi Muhammad sebagai personal tidak juga
membahas bagaimana misalnya paradigma masyarakat madani fraksi-
fraksi politik masyarakat (su’ubiyyah) yang berkembang ketika itu.
Mucholih Jimun, dengan disertasi Civil Society dan Demokratisasi
di Indonesia: Studi Pemikiran Politik al-Farabi.46 Penelitian ini
mendeskripsikan dan menganalisis pemikiran-pemikiran sosial-politik
al-Farabi, terutama yang berkaitan dengan teori civil society dan
demokrasi yang dikemukakan dalam berbagai karyanya, terutama
dalam kitab Arā' Ahl al-Madīnah al-Faḍīlah dan Kitab al-Siyāsah al-
Madāniyyāh. Temuan penelitian ini antara lain adalah, bahwa di antara
pemikiran politik al-Farabi yang sejalan dengan upaya demokratisasi
dan pembangunan civil society di Indonesia adalah: (1) konsepnya
mengenai cita-cita pembentukan masyarakat demokratis, (2)
gambarannya tentang kondisi negatif masyarakat demokratis
merupakan wujud masyarakat transisi menuju demokratisasi, (3)
pandangannya tentang keberadaan pemimpin ideal yang menjadi motor
demokratisasi dan pembangunan civil society, (4) pemikirannya tentang
syarat-syarat bagi seorang pemimpin yang ideal, dan (5) strateginya
dalam pembangunan civil society. Adapun di antara pemikiran politik
al-Farabi yang berbeda dengan proses demokratisasi dan pembangunan
civil society di Indonesia, adalah: (1) klasifikasi masyarakat demokratis
sebagai masyarakat tidak beradab (berkonotasi negatif), dan (2)
pembatasan hak kepemimpinan kepada individu dalam strata tertinggi
dalam masyarakat. Disertasi ini juga tidak mendedahkan bagaimana
konsep masyarakat madani dapat diterapkan oleh suatu organisasi
politik.
Faisal Ibrahim,47
Perkembangan Civil Society di Negara-Negara
Arab (Proses Demokratisasi di Mesir, Suriah dan Kuwait). Penelitian
ini menjelaskan bahwa bagi Negara-negara Arab, istilah masyarakat
madani pertama kali dipopulerkan pada tahun 70-an oleh Burhān
Ghaliyyūn, seorang sosiolog asal Suriah. Kemudian tahun 80-an,
mendapat perhatian yang sangat besar dari berbagai kalangan baik
46
Mucholih Jimun, “Civil Society dan Demokratisasi di Indonesia: Studi
Pemikiran Politik Al- Farabi,” Disertasi, Program Politik dan Hubungan Internasional
di Timur Tengah UI, (2007). 47
Faisal Ibrahim, “Perkembangan Civil Society di Negara-Negara Arab (Proses
Demokratisasi di Mesir, Suriah dan Kuwait),” Disertasi, Program Politik dan
Hubungan Internasional di Timur Tengah UI, (2007).
16
politisi, intelektual, akademisi, aktivis maupun birokrat dari kalangan
pemerintah. Masyarakat madani di negara-negara Arab (Mesir, Suriah
dan Kuwait) berkembang melalui dua faktor utama; pengaruh arus
golobalisasi, dan sosial budaya dan sistem politik bangsa Arab yang
bersifat diktator dan monarkhi. Baik di Mesir, Suriah dan Kuwait
perkembangan masyarakat madani secara drastis berlangsung sejak
tahun 80-an, dan dipahami sebagai kerangka demokrasi. Singkatnya,
perkembangan masyarakat madani di negara-negara Arab dapat
dikategorikan sebagai fase melampaui gelombang pertama menuju
gelombang kedua, dimana proporsionalisasi pola masyarakat madani
dalam fase ini sedang diupayakan legalitasnya dalam masyarakat Arab
dan Timur Tengah. Meskipun ada yang mengklaim, bahwa masyarakat
madani dan demokratisasi di Timur Tengah adalah naif. Lagi-lagi
kajian inipun tidak menjelaskan bagaimana peran suatu partai politik
dalam pergulatan wacana masyarakat madani di Timur Tengah.
Untuk kajian tentang partai politik, lagi-lagi sepanjang pengetahuan
dan penelusuran penulis, Makrum Kholil48
menulis karya ilmiah
disertasi dengan tema Politik Islam Golkar pada Masa Pemerintahan
Orde Baru. Penulis disertasi ini melihat dinamika politik Islam pada
masa Orde Baru tidak terlepas dari kiprah partai Golongan Karya
(Golkar) sebagai partai yang tidak mengusung ideologi Islam.
Menariknya, kajian Khalil justru melihat lahirnya beberapa aturan
perundang-undangan yang Islami melalui dukungan Golkar sebagai
pemilik suara mayoritas dalam legislatif. Kajian ini tidak menjelaskan
bagaimana masyarakat madani dalam paradigma politik Golkar. Alaidin Koto
49 dalam karyanya Pemikiran Politik Persatuan
Tarbiyah Islamiyah 1945-1970. Desertasi ini menjelaskan tentang
pemikiran politik Perti yang merupakan kepanjangan dari Persatuan
Tarbiyah Islam. Namun tak semua orang mengetahui sejarah, paham
keagamaan dan pemikiran politik Perti secara komplit. Perti sejatinya,
bukanlah sebuah partai politik secara utuh seperti yang dipahami
kebanyakan orang selama ini. Awalnya, hanya sebuah Persatuan
Madrasah-Madrasah Tarbiyah Islamiyah (PMTI). Persatuan lembaga-
lembaga pendidikan Islam yang dikelola oleh ulama "kaum Tua"
Minangkabau pada waktu itu. Alasan mendasar berdirinya Perti, untuk
memperlancar usaha dalam hal mempertahankan dan mengembangkan
48
Makrum Kholil, “Politik Islam Golkar pada Masa Pemerintahan Orde Baru,”
Disertasi, SPS UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, (2008). 49
Alaidin Koto, “Pemikiran Politik Persatuan Tarbiyah Islamiyah 1945-1970,”
Disertasi, SPS UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, (1996).
17
mazhab Syafi’i dan ahl al-sunnah wal al-jamā’ah di Minangkabau.
Sama seperti kajian Kholil, Koto-pun tidak menjelaskan tentang
bagaimana paradigma masyarakat madani dalam rancang-bangun Perti.
Karya-karya ilmiah di atas, meskipun juga sama-sama mengkaji
tentang masyarakat madani dan partai politik, akan tetapi belum ada
yang secara spesifik membahas bagaimana konsepsi masyarakat
madani yang diusung oleh partai politik, kecuali Azra tentang
pembahasan PKS dengan kesimpulan sebagai “religious-based civil
society.” Sehingga, apa yang akan penulis kaji, bukan merupakan
pengulangan tema atas kajian-kajian tentang masyarakat madani
ataupun paradigma masyarakat madani suatu partai politik nasionalis,
semisal Gerindra, dengan kesimpulan “nationalis-based civil society.”
E. Metode Penelitian
Bagian ini akan menguraikan tentang perangkat-perangkat
penelitian mulai dari lokasi dan objek penelitian, tipe dan dasar
penelitian, teknik pengumpulan data, sumber data serta analisa data
yang sangat membantu dalam kelangsungan penelitian ini.
1. Lokasi dan Objek Penelitian Lokasi Penelitian dilakukan di kota Jakarta, alasan penulis memilih
kota Jakarta sebagai lokasi penelitian karena kota Jakarta merupakan
Ibu Kota Negara Indonesia yang dapat menjadi representasi dari semua
provinsi lain yang ada di Indonesia. Adapun yang menjadi objek
penelitian adalah partai Gerindra (DPP Gerindra) yang merupakan basis
dari semua cabang Gerindra.
2. Tipe dan Dasar Penelitian
Tipe penelitian yang dipergunakan adalah tipe penelitian deskriptif
analisis, yaitu penelitian yang digunakan untuk menggambarkan secara
rinci mengenai objek penelitian serta menganalisa fenomena-fenomena
politik yang menggambarkan proses pembentukan masyarakat madani
yang terjadi sedari proses pemilu 2008 yang berkaitan dengan mulai
eksisnya partai Gerindra dalam kancah pertarungan politik di Indonesia.
Dasar penelitian adalah kualitatif untuk mendapatkan data yang
lebih akurat mengenai fenomena-fenomena politik yang
menggambarkan proses pembentukan masyarakat madani yang terjadi
sedari pelaksanaan pemilu 2009 sehubungan dengan eksistensi partai
Gerindra dalam kancah politik. Penelitian kualitatif mengacu kepada
18
berbagai cara pengumpulan data yang berbeda, yang meliputi penelitian
lapangan, observasi partisipan, dan wawancara mendalam.50
3. Penentuan Informan
Penelitian ini adalah mengenai eksistensi Partai Gerindra pada
kancah politik di Indonesia di mana fokus penelitiannya ditujukan
untuk mengetahui rancang-bangun dari manifesto dan implementasi
masyarakat madani yang diupayakannya. Adapun informan pada
penelitian ini adalah kader dan pengurus pusat Partai Gerindra yang
berkaitan dengan fokus dari penelitian ini. Penentuan informan ini
dengan menggunakan metode purposive yaitu suatu penentuan
informan berdasarkan tujuan atau pertimbangan tertentu. Adapun yang
menjadi informan dalam penelitian ini diupayakan sebisa mungkin
merupakan pejabat teras pengurus partai Gerindra.
4. Teknik Pengumpulan Data Adapun teknik pengumpulan data yang akan digunakan pada
penelitian ini adalah sebagai berikut:
a. Studi Pustaka dan Dokumen
Pada studi pustaka, penulis melakukan pengumpulan data yang
berhubungan dengan penelitian, yaitu membaca sumber-sumber
literatur mengenai partai Gerindra, khususnya yang mengenai
masyarakat madani melalui jurnal, buku-buku ilmiah, majalah, surat
kabar, internet, dan informasi tertulis lainnya. Teknik ini digunakan
untuk menunjang data primer atau data utama yang diperoleh dari
dokumen-dokumen resmi partai Gerindra. Teknik ini sangat membantu
penulis dalam menelusuri pembahasan melalui kajian yang telah ada
sehingga dengan mudah penulis mengaitkan antar informasi tersebut.
b. Observasi
Observasi dilakukan dengan mendatangi kantor Dewan Pimpinan
Pusat Gerindra di bilangan Ragunan Jakarta Selatan. Penulis juga
mendatangi Fraksi Gerindra yang berada di lantai 17 Gedung wakil
rakyat DPR/MPR-RI yang dijaga super-ketat bagi rakyat untuk
mengunjungi wakilnya. Selain itu, penulis juga melakukan observasi ke
Badan Komunikasi Partai Gerindra, sebagai pusat propaganda
50
Bruce a. Chadwick H, Metode Penelitian Ilmu Pengetahuan Sosial.
(Semarang: IKIP Press, 1983), 234.
19
informasi dan teknologi partai ini. Penulis juga mendatangi Fadli Zon
library, yang menjadi kantor bagi pengelolaan Bakom Gerindra. Untuk
mendapatkan gambaran yang jelas, penulis juga beberapa kali
mengikuti secara langsung kegiatan-kegiatan Prabowo, baik ketika
kampanye maupun semi kampanye. Dengan tujuan untuk mendapatkan
data yang lebih akurat, meskipun selalu gagal untuk bisa wawancara,
penulis juga telah observasi ke kediaman Prabowo di Desa
Bojongkoneng Bukit Hambalang Bogor Jawa Barat maupun ke kantor
Tidar Kerinci Jl. Jend Gatot Subroto Kav 71-73 Menara Bidakara Lt 10
Jakarta, yang menurut Permadi, merupakan tempat berkantor dan
singgah sehari-hari Prabowo selama berada di Jakarta.
c. Wawancara Mendalam
Wawancara mendalam yang dilakukan oleh penulis yaitu
melakukan percakapan langsung dengan pengurus dan kader Partai
Gerindra dan beberapa pengamat politik dan masyarakat madani.
Wawancara dilakukan dengan mengajukan beberapa pertanyaan yang
sebelumnnya telah disusun oleh penulis sebagai acuan dan sifatnya
tidak mengikat sehingga banyak pertanyaan baru yang muncul pada
saat wawancara terkait dengan eksistensi partai politik Gerindra.
Penulis telah melayangkan surat permohonan surat resmi, sms, telepon,
dan mengikuti acara Prabowo Subianto dan Hashim Djojohadikusumo
secara langsung maupun lewat orang-orang terdekat atau kantornya,
namun tidak ada izin dan respon balik untuk wawancara. Adapun dari
kalangan internal partai politik Gerindra, penulis telah melakukan
wawancara di antaranya dengan:
1) Almarhum Suhardi (2013), selaku Ketua Umum Gerindra.
2) Permadi (2013), selaku Anggota Dewan Penasehat Gerindra.
3) Fadli Zon (2013), selaku Wakil Ketua Umum Bidang Politik,
Hukum dan Keamanan, juga sebagai juru bicara Gerindra.
Untuk mendapat informasi yang berimbang, penulis juga
melakukan wawancara dengan mantan pendiri dan anggota Gerindra,
Fami Fachruddin (2013) dan M. Harris Indra (2014). Sebelumnya,
mereka menjabat sebagai Ketua Bidang Pertahanan dan Ketua Bidang
Ilmu Pengetahuan dan Teknologi DPP Gerindra. Selain keduanya,
penulis telah menghubungi Muchdi Pr. (2014), dan Halida Hatta (2014)
selaku mantan pendiri Gerindra. Namun, keduanya tidak bersedia
diwawancarai lebih lanjut perihal Gerindra dan menyarankan cukup
diwakili oleh pernyataan Fadli Zon saja. Untuk lebih obyektif lagi,
penulis melakukan wawancara dengan anggota aktif DPP Gerindra dan
20
para aktivis Badan Komunikasi Gerindra yang bermarkas di Bendungan
Hilir-Tanah Abang, Jakarta Pusat, namun karena alasan tertentu,
namanya penulis rahasiakan.
Dengan pakar politik dan masyarakat madani, penulis telah
melakukan wawancara langsung dengan Syukron Kamil. Selain itu
lewat media jejaring sosial, penulis telah melakukan tanya jawab secara
online dan offline dengan beberapa cendekiawan, mereka di antaranya
adalah:
1) Thomas Janoski (2014)
2) Martin van Bruinessen (2014)
3) Jimly Asshiddiqie (2013)
4) Fachry Ali (2014), dan
5) Ahmad Basho (2013).
5. Jenis Data
a. Data Primer
Data primer dilakukan dengan mengkaji manifesto perjuangan
Gerindra yang telah tertuang dalam buku dan Manifesto Perjuangan
Gerindra dan Membangun Kembali Indonesia Raya: Haluan Baru
Menuju Kemakmuran. Selain itu, data primer juga didapatkan dari
berbagai dokumen resmi yang dikeluarkan oleh Gerindra, baik berupa
audio, visual ataupun audio-visual. Untuk memperkuat, penulis juga
dukung data melalui teknik wawancara. Data yang diperoleh langsung
dari informan melalui wawancara secara terbuka sesuai dengan yang
dibutuhkan dalam penelitian ini. Penulis melakukan wawancara dengan
Informan dengan menggunakan pedoman wawancara. Informan yang
dipilih adalah orang yang dianggap representatif untuk mewakili partai
Gerindra.
b. Data Sekunder
Data sekunder diperoleh melalui studi pustaka, yaitu melalui kajian
buku-buku, jurnal, dan literatur yang relevan dengan objek yang diteliti.
Dalam hal ini penulis memakai buku-buku dan jurnal tentang partai
politik khususnya berkaitan dengan pemilihan umum. Penulis juga
menggunakan situs-situs internet untuk memperoleh data yang
berhubungan dengan objek penelitian. Data ini berfungsi sebagai
pelengkap dari data primer di atas.
21
6. Teknik Analisis Data
Data dan informasi yang telah dikumpulkan kemudian diolah dan
dianalisa secara kualitatif. Karena objek kajiannya adalah partai politik
yang selalu mengalami perubahan (dinamis), yang sulit diukur dengan
menggunakan angka-angka maka penelitian ini membutuhkan analisa
yang lebih mendalam dari sekedar penelitian kuantitatif yang sangat
bergantung pada kuantifikasi data.
Penelitian ini mencoba memahami pemikiran dan upaya yang
dilakukan partai Gerindra untuk membangun masyarakat yang madani.
Analisa ini bertujuan agar temuan-temuan dari kasus-kasus yang terjadi
dapat dikaji lebih mendalam dan fenomena yang ada dapat
digambarkan secara terperinci, sehingga apa yang menjadi pertanyaan
dalam penelitian ini nantinya bisa terjawab dengan maksimal.
F. Landasan Teori
Landasan teori penelitian ini menggunakan teori civil society dari
Thomas Janoski (1998).51
Ia berparadigma bahwa civil society dapat
dipahami dari diskursus di antara empat ruang, yaitu: privat, publik,
negara, dan pasar. Di keempat ruang tersebut proses demokratisasi
secara harmonis dan sinergis diperjuangkan. Sehubungan dengan partai politik, ketika diwawancarai oleh penulis,
Thomas Janoski berpendapat:
Political parties are part of the public sphere when they are contending for
office, making proposals about the future of society, and organizing a following.
However, when they become part of the government, they are not a part of the
public sphere, especially the president or prime minister.52
51
Thomas Janoski, Citizenship and Civil Society, 12; lihat juga Andi Faisal Bakti,
“Women in the West and in Indonesia: How Can Islam Contribute to Social
Development?” Journal Pemikiran Islam, Vol. 1 No. 1, September, Ternate,
Indonesia, (2010), 2-20; Andi Faisal Bakti, “Communication and Violence:
Communicating Human Integrity caharactersitics is necessary for Horizontal Conflict
resolution In Indonesia,” Identity, Culture, and Politics Vol. 9, No. 1 (July 2008);
Andi Faisal Bakti, “Islam and Modernity: Nurcholish Madjid Interpretation of Civil
Society, Pluralism, Secularism and Democracy,” Asian Journal of Social Sciences,
Brill, Leiden, Vol 33, No. 3 (November, 2005); Andi Faisal Bakti, “Paramadina and
its Approach to Culture and Communication: An Engagement in Civil Society,”
Archipel, Paris, 68 (December, 2004); Andi Faisal Bakti, “Paramadina,” Bulletin of
the International Institute for Asian Studies (IIAS), Leiden/Amsterdam June (2004). 52
Wawancara penulis via academia.edu dengan Thomas Janoski pada tanggal 25
September 2014.
22
Menurut Janoski, suatu organisasi semisal partai politik, menjadi bagian
dari ruang publik (civil society) ketika mereka memperjuangkan kepentingan
publik, membuat rancangan tentang masa depan masyarakat, dan
mengorganisasi pengikutnya. Namun, ketika mereka telah menjadi bagian dari
suatu kekuasaan (pemerintahan), mereka bukan lagi menjadi bagian dari
organisasi dalam ruang publik, terutama ketika menjadi presiden atau perdana
menteri.
Dalam skema, pendapat Janoski adalah berikut ini:
Gambar.1.1.
Empat Ranah Masyarakat Madani Thomas Janoski
Sumber: Thomas Janoski (1998).
Dari gambaran di atas, maka suatu partai politik bisa menjadi
bagian dari masyarakat madani, jika ia berada di luar dan bukan
menjadi bagian dari suatu pemerintahan yang sedang berkuasa. Dalam
hal ini proses demokratisasi menjadi tujuan semua unsur-unsur
organisasi masyarakat madani, termasuk partai politik. Namun, suatu
23
organisasi partai politik bukan menjadi bagian dari masyarakat madani
jika ia menjadi bagian dari suatu pemerintahan yang sedang berkuasa.
G. Sistematika Pembahasan
Dalam bab pertama, penulis mengemukakan latar belakang
perdebatan akademik tentang bisa atau tidaknya suatu partai politik
dalam mewujudkan masyarakat madani. Pembahasan dilanjutkan
dengan munculnya partai politik baru Gerindra yang mampu bersaing
dan mendapat kepercayaan rakyat dalam pemilu yang dilaksanakan
pada tahun 2009. Fenomena keberhasilan partai Gerindra dan Partai
Demokrat yang kedua-duanya dipimpin oleh mantan seorang militer
mematahkan paradigma politik yang menyatakan bahwa demokrasi
sebagai basis bangunan masyarakat madani tidak akan bisa bersanding
dengan militer apalagi dengan suatu partai politik. Oleh karenanya,
fenomena tersebut begitu menarik bagi penulis untuk menemukan
bagaimana masyarakat madani dari manifesto perjuangan partai politik
Gerindra. Kemudian pembahasan diidentifikasikan dan dirumuskan dan
ditujukan hanya pada bagaimana manifesto dan implementasi tentang
masyarakat madani yang dibangun oleh partai Gerindra. Kemudian
penulis juga menyajikan kajian-kajian pustaka terdahulu yang
membahas seputar tema masyarakat madani dan partai politik dengan
tujuan agar tidak terjadi pengulangan tema dan menjadi ciri khas
tersendiri dari penelitian ini. Sebagai landasan teori, penulis mengacu
pada pendapat Thomas Janoski dalam menganalisa manifesto Gerindra.
Sebagai pisau analisa dalam penelitian ini, penulis juga paparkan
metode penelitian yang dipakai dalam meneliti topik bahasan ini.
Dalam bab kedua, penulis lebih dalam menjelaskan perdebatan
akademik seputar diskursus masyarakat madani dengan partai politik.
Konsepsi masyarakat madani vis a vis negara menyatakan bahwa
lembaga politik bukan merupakan bagian dan tidak akan mampu
membangun masyarakat madani. Paradigma masyarakat madani
sebagai mitra negara mengkritisi pandangan pertama. Menurut mereka,
apapun bentuk dari suatu perkumpulan masyarakat, tak terkecuali partai
politik, bisa bekerja sama dengan Negara untuk membentuk suatu
masyarakat yang berperadaban. Pembahasan dipertajam dengan
mengetengahkan bagaimana tentang konsep partai politik. Apa saja
dimensi persamaan dan perbedaan, kelebihan dan kekurangan, antara
paradigma masyarakat madani dan partai politik. Selanjutnya,
bagaimana masyarakat madani dan partai politik dalam bingkai
24
Pancasila. Dengan demikian, diharapkan pembahasan penelitian ini
akan semakin jelas.
Bab ketiga merupakan bab pembuka kajian inti bersama dengan
dua bab berikutnya. Tema penelitian disertasi ini dalam subjudul
perjuangan genealogi sejarah dan konsepsi ruang privat-fungsional
partai Gerindra. Bab ini untuk bertujuan untuk mengetahui bagaimana
perjuangan individu-individu yang tergabung dalam partai politik
gerindra dalam membangun masyarakat madani. Pembahasannya
meliputi sejarah perjalanan pelopor Gerindra, Prabowo Subianto.
Kemudian, bagaimana keluarga Prabowo subianto dalam kancah politik
dan sosial. Dalam hal ini pembahasan difokuskan pada Hashim
Djojohadikusumo, seorang pengusaha yang juga adik kandung
Prabowo. Selain itu, dipaparkan bagaimana kiprah Fadli Zon sebagai
wakil dari aktivis pergerakan masyarakat madani. pembahasan ditutup
dengan mengetengahkan kiprah Suhardi sebagai representatif dari
kalangan intelektual. Kajian akan ditutup dengan meringkaskan isi
manifesto perjuangan partai Gerindra.
Bab keempat, Bab inti kedua mencoba menjawab pertanyaan,
bagaimanakah konsepsi masyarakat madani terwujudkan dalam ranah
publik dan negara oleh parpol Gerindra? Lebih jauh, apa upaya parpol
Gerindra dalam membangun masyarakat madani dalam ranah publik?
Bagaimana pula hal tersebut teraplikasikan dalam ranah negara?.
Bab kelima, penulis paparkan manifesto masyarakat madani
Gerindra dalam ranah pasar atau ekonomi. Bab ini menjelaskan
bagaimana upaya Gerindra dalam mewujudkan kesejahteraan ekonomi
kerakyatan yang berlandaskan Pancasila dan UUD 1945.
Bab keenam merupakan penutup, penulis akan kemukakan
kesimpulan tentang temuan penulis terhadap kosepsi manifesto
masyarakat madani partai Gerindra sedari tahun 2008 sampai dengan
tahun 2014. Paparan hasil penelitian penulis akhiri dengan implikasi
lanjutan atas penelitian ini.
25
BAB II
DISKURSUS CIVIL SOCIETY, MASYARAKAT MADANI,
DAN PARTAI POLITIK
Masyarakat madani dan partai politik merupakan wadah dari bentuk
pelembagaan sebagai wujud ekspresi ide-ide, pikiran-pikiran,
pandangan, dan keyakinan bebas dalam masyarakat demokratis. Di
samping keduanya, bentuk ekspresi lainnya terjelma juga dalam wujud
kebebasan pers, kebebasan berkumpul, ataupun kebebasan berserikat
melalui organisasi-organisasi lain, seperti lembaga swadaya masyarakat
(LSM), organisasi-organisasi kemasyarakatan (ormas), organisasi non
pemerintah (NGO’s), dan lain sebagainya. 1 Namun, dalam
perkembangannya, semua bentuk ekspresi tersebut, kecuali partai
politik, digolongkan dalam masyarakat madani (civil society).
Sedangkan partai politik bukan merupakan bagian dari masyarakat
madani, karena ia merupakan bagian dari masyarakat politik (political
society).2
Kalau masyarakat madani diyakini sebagai agen-agen
perubahan menuju kehidupan yang sejahtera dan berperadaban, tidak
demikian halnya dengan partai politik. Partai politik dianggap tidak
lebih daripada kendaraan politik bagi sekelompok elite yang berkuasa
atau berniat memuaskan keinginan kekuasaannya sendiri. Partai politik
hanyalah berfungsi sebagai alat bagi segelintir orang yang kebetulan
beruntung yang berhasil memenangkan suara rakyat yang mudah
1
Jimly Asshiddiqie, “Dinamika Partai Politik dan Demokrasi,”
http://jimly.com/pemikiran/makalah?page=7> pada 15 Desember 2013, diakses
tanggal 23 Januari 2014; L. David Brown dan Archana Kalegaonkar, ”Addressing
Civil Society’s Challenges: Support Organizations as Emerging Institutions,” Institute
for Development Report (IDR) Reports, Volume 15, Number 2, (1999), 1-2; Carlo
Ruzza, “The International Protection Regime for Minorities, the Aftermath of the
2008 Financial Crisis and the EU: New Challenges for Non-State Actors,”
International Journal on Minority and Group Rights 18 (2011), 219–220; Marvin B.
Becker, “an Essay on the Vicissitudes of Civil Society with Special Reference to
Scotland in the Eighteenth Century,” Indiana Law Journal, Volume 72, Issue 2
Article 8 (1997), 462; Carmen Malena dan Volkhart Finn Heinrich, “Can We Measure
Civil Society? a Proposed Methodology for International Comparative Research,”
Development in Practice, Volume 17, Number 3, June (2007), 339; Civicus,
“State of Civil Society 2013: Creating an Enabling Environment,” Civicus: World
Alliance for Citizen Participation (2013), 10. 2
Carmen Malena dan Volkhart Finn Heinrich, “Can We Measure Civil
Society?....,” 340; Civicus, “State of Civil Society 2013....,” 10.
26
dikelabui, untuk memaksakan berlakunya kebijakan-kebijakan publik
tertentu ketimbang menyejahterakan rakyat semesta.
Pertanyaan yang muncul atas penjelasan di atas, bagaimanakah
sebenarnya watak dasar civil society, masyarakat madani dan partai
politik? Mengapa meskipun sama-sama ‘anak kandung’ demokrasi,
namun dikonsepsikan bertentangan, bahkan bermusuhan? Atau apakah
malah justru mereka sebenarnya saling bekerja-sama mewujudkan
harmoni menuju mengabdi pada ‘ibu’ demokratisasi? Menjawab
pertanyaan tersebut, penulis bersandar pada pendekatan Thomas
Janoski (1998)3 dan juga sosiologi-politik yang dikembangkan oleh
Lipset dan Rokkan (1987).4 Mereka berpendapat bahwa munculnya
organisasi masyarakat dengan beragam bentuknya mendahului
munculnya partai politik dan sistem kepartaian. Dengan demikian,
kajian tentang masyarakat madani mendahului kajian tentang partai
politik.
A. Paradigma Politik Civil Society
Dalam tradisi ilmu politik sampai era tahun 80an, menurut Jamhari,
konsep civil society merupakan kata ‘misterius’ dan bukan merupakan
suatu konsep yang penting. Wacana politik Barat mengenal civil society
tak lebih hanya sebagai catatan-catatan kaki (footnote), bukan
merupakan bagian inti dari diskusi tentang ilmu politik. Baru pada
penghujung akhir tahun 1980an dan awal tahun 1990an, wacana
tersebut menjadi marak dalam belantika dunia politik hingga
dipenghujung tahun 2014 ini.5
Seiring dengan makin populernya
wacana tersebut, paradigma tentang civil society-pun semakin
berkembang dan semakin kompleks. Dalam paradigma sosiologi, civil
society dibatasi hanya berkenaan dengan ruang dan masalah publik,
3Lihat Thomas Janoski, Citizenship and Civil Society: A Framework of Rights
and Obligations in Liberal, Traditional, and Social Democratic Regimes (Cambridge:
Cambridge University Press, 1998). 4Seymour M. Lipset dan Stein Rokkan, Cleavage Structures, Party System, and
Voter Alignments (New York: Free Press, 1987). Lihat juga Jacob Beilasiak,
“Substance and Process in the Development of Party Systems in East Central
Europe,” Communist and Post-Communist Studies, 30, No. 1 (1997), 23-44; Herbert
Kitschelt, dkk., “Citizen, Politicans, and Party Certilization: Political Representation,
and State-Failure in Post-Industrial Democracies,” Europe Journal of Political
Research Vol. 37 (2000), 149; Kuskridho Ambardi, Mengungkap Politik Kartel: Studi
tentang Sistem Kepartaian di Indonesia Era Reformasi (Jakarta: Gramedia, 2009), 23. 5
Jamhari, “Book Review, Civil Society di Masyarakat Muslim: Pengalaman
Indonesia,” Studia Islamika, Vol. 7, No. 2, (2000), 167-168.
27
yang berada di luar ruang masalah privat dan negara dan wataknya-pun
harus vis a vis dengan kedua ruang tersebut. Paradigma antropologi
berbeda lagi, civil society tidak saja berkenaan dengan ruang publik,
namun ia juga meliputi masalah privat, ekonomi, dan juga negara.
Wataknya tidak harus berseberangan dengan atau beroposisi dengan
negara, akan tetapi bisa juga saling bermitra antar domain-domain
tersebut dalam membangun suatu pemerintahan yang demokratis secara
bersama-sama. Lalu, bagaimanakah sejarahnya kedua paradigma
tersebut? Pembahasan di bawah ini akan menjelaskan kedua paradigma
civil society tersebut. Namun, sebelum menjelaskan lebih lanjut dua
paradigma tentang civil society, dinamika pemaknaan tentangnya akan
dikemukakan terlebih dahulu. Hal ini menjadi penting untuk
memudahkan pemahaman terhadap dua paradigma yang berkembang
tentangnya.
Sejarah politik Eropa sebelum abad ke-18 mencatat terdapat
berbagai macam istilah yang berpadanan dengan civil society. Menurut
World Health Organization (WHO), kata civil society berakar pada kata
'civics', yang berasal dari kata Latin 'civis', yang berarti warga negara.
Peradaban ketatabahasaan Romawi dan Yunani mengenalnya dengan
kalimat political society, masyarakat politik. Selain itu, tradisi politik
Yunani juga mengenal istilah “politike koinona” yang dipopulerkan
oleh Aristoteles (384 SM–322 SM).6 Turunannya, dalam bahasa Latin
disebut ‘societas civilis,’ yang mula-mula dipakai oleh Cicero (106
SM-43 SM), seorang orator, politisi, dan filosof Roma. Kebudayaan
Prancis mengistilahkannya dengan societe civile, dan burgerliche
Gesellchaft dalam bahasa Jerman. Bahkan di Nusantara-pun, menurut
Antropolog Indonesia Bambang Pranowo, embrio dari masyarakat
madani telah ada dengan istilah manunggaling kawula ing gusti.7
Britannica Online Encyclopedia mendefinisikan civil society
dengan, “dense network of groups, communities, networks, and ties that
stand between the individual and the modern state,” suatu jaringan
yang erat antar kelompok, komunitas, jejaring, dan hubungan yang
berdiri antara individu dan negara modern.”8 Cohen dan Arato lebih
6WHO, “Understanding Civil Society: Issues for WHO,” Discussion Paper Civil
Society Initiative: External Relations and Governing Bodies, No. 2, CSI/2002/DP2,
February (2002), 4. 7Lihat detail tentang pembahasan manunggaling kawulo gusti versi politik dalam
Bambang Pranowo, Memahami Islam Jawa (Tangerang: Pustaka Alvabet, 2009). 8
http://global.britannica.com/EBchecked/topic/1916880/civil-society, diakses
tanggal 10 Januari (2013).
28
rinci mendefinisikannya sebagai suatu kondisi kehidupan masyarakat
modern yang berlandaskan di atas prinsip-prinsip egaliterianisme dan
inklusivisme universal. Ia merupakan sebuah bentuk pengalaman dalam
mengartikulasikan kepentingan politik dan dalam pengambilan
keputusan kolektif. Hal tersebut sangat penting dalam pembentukan
dan pengembangan demokrasi, “modern civil-society is based on
egalitarian principles and universal inclution, experience in
articulating the political will and in collective decision making is
crucial to the reproduction of democracy.“9
Lembaga aliansi
internasional untuk partisipasi masyarakat sipil, Civicus, mewakili
mayoritas pakar dalam bidang ini lebih spesifik mendefinisikan
masyarakat madani sebagai, “the arena, outside of the family, the state,
and the market, which is created by individual and collective actions,
organisations and institutions to advance shared interests,”10
arena di
luar keluarga, negara, dan pasar yang dibuat oleh aksi individu dan
kolektif, berbagai organisasi atau institusi untuk menyalurkan
kepentingannya. Definisi terakhir inilah yang menghadapkan
masyarakat madani merupakan oposisi dari negara, bahkan harus
berhadap-hadapan dengan negara.
1. Civil Society vis a vis Negara
Secara konseptual, gagasan civil society, terutama setelah
pertengahan abad 18, biasanya diletakkan pada posisi yang saling
berhadapan dengan negara. Mengutip Sir Azra, Andi Faisal Bakti, dan
beberapa pemikir yang menempatkan masyarakat madani secara
berhadapan dengan negara adalah Adam Ferguson (1723 – 1816),
Hegel (1770-1831), dan Marx (1818 –1883) dan Engels (1820 – 1895),
dan sebagainya.11
Pandangan ini berprinsip bahwa suatu gerakan-
9
Jean L. Kohen, and Andrew Arato, Civil Society and Political Theory
(Cambridge: The MIT Press, 1992), 19. 10
Carmen Malena dan Volkhart Finn Heinrich, “Can we measure civil
society?....,” 340; Civicus, “State of Civil Society 2013....,” 10; Marvin B. Becker,
“An Essay on the Vicissitudes of Civil Society with Special Reference to Scotland in
the Eighteenth Century,” 47; Byaruhanga Julius, “Civil Society Contributions in EU’s
Democratic Governance,” Makalah Konfrensi Internasional Democratic Governance
and Civil Society, University of Osnabrueck, Germany (2013), 3-4. 11
Azyumardi Azra, “Civil Society and Democratization in Indonesia: The
Transition Under President Wahid and Beyond,” dalam David C. Shack dan Wayne
Hudson, Civil Society In Asia (Law, Ethic and Governance) (Hampshire, Inggris dan
Burlington, USA: Ashgate Publishing Company, 2003), 75; Andi Faisal Bakti,
“Paramadina and its Approach to Culture and Communication: an Engagement in
29
gerakan prodemokrasi hampir diidentikkan dengan oposisi terhadap
pemerintah. Dengan mengutip pendapat Guiseppe Di Palma, bahkan
Azra menegaskan bahwa paradigma ini berkeyakinan suatu gerakan
baru dapat disebut prodemokrasi apabila selalu berseberangan secara
jelas dengan rezim penguasa yang mapan. Masyarakat sipil adalah
musuh utama otokrasi, kediktatoran, dan bentuk-bentuk lain kekuasaan
yang sewenang-wenang.12
Secara historis, pada tahun 1767 wacana dan terma berdemokrasi
civil society secara utuh dipopulerkan oleh Adam Ferguson (1723-
1816). Karya Adam Ferguson “An Essay on the History of Civil
Society,”13
merupakan satu titik asal penggunaan ungkapan civil
society. Ferguson menekankan civil society pada sebuah tata susila
(civility) sebagai konsekuensi dari sebuah peradaban. Pemahamannya
ini digunakan sebagai istilah politik untuk menggambarkan sebuah
pemerintahan yang membedakan dari despotisme oriental (oriental
despotism). Dalam konotasi ekonomi, civil society dilawankan dengan
masyarakat Barbar yang tidak mengakui hak milik.14
Perubahan sosial
akibat revolusi industri ketika itu memunculkan kapitalisme serta
mencoloknya perbedaan antara publik dan individu. Meskipun civil
society dikonsepsikan berada di luar negara, Ferguson menghendaki
publik memiliki spirit juang bersama untuk menghalangi dan
mengawasi munculnya kembali pemerintahan yang despotisme. Karena
dalam kerangka civil society solidaritas sosial antar warga negara dan
aparatus negara secara alamiah tumbuh dengan disirami oleh sentimen
moral dan sikap saling mengawasi serta saling mengimbangi (checks
and balances).
Kemudian pada tahun 1792, muncul pula pendapat Thomas Paine
(1737-1803).15
Dalam paradigmanya, civil society dikonsepsikan
Civil Society,”, 317-318; Andi Faisal Bakti dkk, Literasi Politik dan Konsolidasi
Demokrasi (Ciputat: Churia Press, 2012), 4-6. 12
Azyumardi Azra, Menuju Masyarakat Madani: Gagasan, Fakta, dan
Tantangan (Bandung: Remaja Rosdakarya, 1999), 6; lihat juga Guiseppe Di Palma,
“Legitimation from the Top to Civil Society,” World Politics, 44, Oktober (1991): 49. 13
Secara detail karya Adam Ferguson di atas bisa dibaca secara online pada
http://www.constitution.org/af/civil.htm, diakses tanggal 10 Januari 2014. 14
M. Dawam Raharjo, “Masyarakat Madani Di Indonesia: Sebuah Penjajakan
Awal,” 26. 15
Lihat kumpulan Tulisan Thomas Paine yang telah dikumpulkan dan diedit oleh
Philip S. Foner (ed.), the Complete Writings of Thomas Paine: with a Biographical
Essay, and Notes and Introductions Presenting the Historical Background of Paine's
Writings (New York: The Citadel Press, 1945), 136.
30
sebagai kelompok masyarakat yang memiliki posisi berada
berseberangan secara diametral dengan negara. Bahkan, dianggapnya
sebagai antitesa dari negara. Dengan demikian, maka peranan negara
dalam menjalankan roda pemerintahan harus dibatasi sampai sekecil-
kecilnya. dan ia merupakan perwujudan dari delegasi kekuasaan yang
diberikan oleh masyarakat demi terciptanya kesejahteraan umum.
Dengan demikian, maka masyarakat madani menurut Paine ini adalah
ruang dimana warga dapat mengembangkan kepribadian dan memberi
peluang bagi pemuasan kepentingannya secara bebas dan tanpa
paksaan. Paine mengidealkan terciptanya suatu ruang gerak yang
menjadi domain masyarakat, dimana interpensi negara di dalamnya
merupakan aktivitas yang tidak sah dan tidak dibenarkan. Oleh
karenanya, maka masyarakat madani harus lebih kuat dan mampu
mengontrol negara demi kebutuhannya.16
Paradigma civil society Ferguson dan Paine mulai memberi tekanan
lain terhadap makna civil society dengan negara. Civil society dan
negara dipahami sebagai dua buah entitas yang berbeda, sejalan dengan
proses pembentukan sosial dan perubahan-perubahan struktur politik
sebagai akibat pencerahan (enlightment/aufklarung) dan revolusi
industri. Keduanya diposisikan dalam posisi yang diametral.
Masyarakat sipil bahkan dinilai sebagai anti tesis terhadap negara, ia
harus lebih kuat untuk mengontrol negara demi kepentingannya.17
Pemahaman Ferguson dan Paine dipertegas oleh Filosof Jerman
Georg Wilhelm Friedrich Hegel (1770-1831). Menurutnya civil society
tidak dapat dibiarkan tanpa terkontrol. Ia justru memerlukan berbagai
macam aturan dan pembatasan melalui kontrol hukum, administrasi dan
politik.18
Lebih lanjut, Hegel membedakan masyarakat politik (political
society/the state) dan masyarakat sipil (civil society). Hegel19
acapkali
disinyalir sebagai orang pertama kali yang secara tegas membedakan
konsep ‘negara’ dan civil society.20
Konsekuensinya, negara bukan lagi
menjadi rekan malah lawan secara diametral vis a vis dengan
16
Gregory Claeys, Thomas Paine, Social and political thought (Wellington:
Unwin Hyman, tth), 1-2. 17
Philip S. Foner (ed.), the Complete Writings of Thomas Paine, 136. 18
David Peddle, “Hegel's Political Ideal: Civil Society, History and Sittlichkeit,”
Animus 5 (2000): 117-121. 19
A.S. Sassoon, “Civil Society,” dalam T. Bottmore, dkk. (ed.) A Dictionary of
Marxist Thought (Cambridge: Harvard University Press, 1983), 126-128. 20
Chris Hann, “Political Society and Civil Anthropology,” dalam Chris Hann dan
Elizabeth Dunn, Civil Society: Challenging Western Models (London dan New york:
Routledge, 1996), 4.
31
masyarakat. Dalam paradigma politik Hegel, civil society berbeda
dengan negara. Konsep yang disebut pertama, merupakan suatu
wilayah, ruang, atau ranah (sphere) perantara di antara wilayah
keluarga dan wilayah negara. Menurutnya, kali pertama sejarahnya,
civil society terbentuk dari upaya kaum kapital borjuis yang banyak
tercipta di Eropa abad ke-17 M yang berupaya melepaskan diri dari
tradisi kungkungan kekuasaan negara maupun keluarga feodal.
Pengejawantahan dari upaya tersebut menciptakan tatanan sosial baru
yang dicirikan oleh berbagai persaingan di sektor ekonomi. Kompetisi
ekonomi ini terlihat dalam bentuk kerja, produksi, pertukaran jasa dan
barang, serta perolehan harta. Ranah sosial yang independen dari
negara demikian inilah yang oleh Hegel disebut civil society atau
burgerliche Gesellchaft. Hegel lebih lanjut menjelaskan bahwa karena
eksistensi civil society terbentuk dari arena persaingan ekonomi, yang
inhern didalam dirinya mengandung potensi perpecahan, mau tak mau
ia butuh campur-tangan negara. Negara dalam wujudnya sebagai
kekuasaan politik yang mengurus kepentingan umum, harus
mengontrol civil society agar tidak mengalami disintegrasi.21
Hegel mengatakan bahwa struktur sosial terbagi atas 3 (tiga) entitas,
yakni keluarga, civil society, dan negara. Keluarga merupakan ruang
sosialisasi pribadi sebagai anggota masyarakat yang bercirikan
keharmonisan. Civil society merupakan ranah bagi berlangsungnya
percaturan berbagai kepentingan individu dan kelompok-kelompok
masyarakat, terutama dalam dimensi ekonomi. Sementara negara
merupakan representasi ide universal yang bertugas melindungi
kepentingan politik warganya dan berhak penuh untuk intervensi
terhadap civil society. Oleh karenanya, maka intervensi negara terhadap
wilayah masyarakat bukanlah tindakan illegitimate, karena negara
sekali lagi merupakan pemilik ide universal dan hanya pada tataran
negara politik bisa berlangsung murni serta utuh. Selain itu, masyarakat
madani pada kenyataannya tidak mampu mengatasi kelemahannya
sendiri serta tidak mampu mempertahankan keberadaannya bila tanpa
keteraturan politik dan ketertundukan pada intuisi yang lebih tinggi,
yakni negara.22
21
David Peddle, “Hegel's Political Ideal: Civil Society, History and Sittlichkeit,”
119; Bachtiar Alam, “Antropologi dan Civil Society: Pendekatan Teori Kebudayaan,”
Jurnal Antropologi Indonesia, vol. XXIII, no. 60, (1999), 195. 22
David Peddle, “Hegel's Political Ideal: Civil Society, History and Sittlichkeit,”
120; Bachtiar Alam, “Antropologi dan Civil Society: Pendekatan Teori Kebudayaan,”
196.
32
Karl Marx melanjutkan dialektika pemikiran Hegel tentang civil
society dalam mengembangkan teorinya tentang masyarakat borjuasi
kapitalis. Senada dengan ekonom Adam Smith, Marx mengidentifikasi
civil society berhubungan dengan dimensi ekonomi, terutama pasar
(market).23
Sebagaimana pandangan filsafatnya, dia juga melihat civil
society dari perspektif determinisme ekonomi bahwa modus produksi
kehidupan material-lah yang menjadi basis kehidupan sosial dan politik
manusia pada umumnya. Civil society juga dilihat sebagai bentukan
sosial (social formation) masyarakat borjuis tempat negara menjadi alat
dari kepentingan-kepentingan kelas para kapitalis. Civil society sebagai
tempat para anggotanya dengan bebas dapat mengejar keuntungan
ekonomi, dikritik oleh Marx sebagai suatu ‘kamuflase’ dari monopoli
sarana produksi oleh kaum borjuis yang mengeksploitasi kaum proletar.
Dengan demikian, civil society bagi Marx hanyalah merupakan fase
transisi yang masih tetap mengandung kontradiksi-kontradiksi
hubungan ekonomi masyarakat kapitalis, yang pada akhirnya pasti akan
hancur dari dalam karena terjadi tranformasi total menuju masyarakat
sosialis.24
Melihat paradigma idealis Hegel ataupun materialis Marx di atas,
menempatkan civil society sebagai suatu ranah sosial yang berhadap-
hadapan atau beroposisi dengan negara, dan sangat menonjolkan peran
civil society sebagai ajang persaingan kepentingan ekonomi kelas
kapitalis.25
Adapun menurut Alexis de Tocqueville (1805-1859), civil society
menekankan penguatan organisasi-organisasi independen dalam
masyarakat dan pencangkokan budaya sivik (civic culture) untuk
membangun jiwa demokrasi.26
Menurut Dawam Rahardjo, pada
pokoknya ada empat jenis organisasi yang disebut civil society oleh de
Tocqueville, yakni organisasi keagamaan yang berpusat di gereja,
organisasi masyarakat yang bersifat lokal dalam lingkungan
23
Chris Hann, “Political Society and Civil Anthropology,” 4. 24
Antony Giddens, Capitalism and Modern Social Theory: an Analysis of
Writings of Marx, Durkheim, and Max Weber, (London: Cambridge University Press,
1971), 55. 25
Chris Hann, “Political Society and Civil Anthropology,” 4. 26
Muhammad AS. Hikam, “Wacana Intelektual Tentang Civil Society di
Indonesia,” 40.
33
bertetangga, perkumpulan atau kelompok-kelompok persaudaraan dan
organisasi yang bersangkutan dengan kewarganegaraan.27
Masih menurut Dawam, bagi Tocqueville, organisasi-organisasi
yang disebutnya sebagai organisasi sukarela (volunteer organization)
yang berdiri atau dibentuk di atas asas suka sama suka di antara
anggota-anggota masyarakat itu penting artinya, karena hal itu
merupakan sumber demokrasi. Lewat asosiasi itulah rakyat melakukan
partisipasi politik. Organisasi seperti itu menjalankan fungsi kontrol
terhadap pemerintah, melakukan mobilitas sumber daya dan
menjalankan berbagai kegiatan dari dan untuk masyarakat yang dalam
masyarakat-masyarakat lain mungkin dijalankan oleh pemerintah atau
negara. Dengan perkataan lain, mereka melakukan pelayanan terhadap
masyarakat secara swadaya. Tocqueville sebenarnya juga menyebut
kedudukannya sebagai "lembaga antara" yang menghubungkan warga
negara dengan pemerintah. Sekalipun hal itu penting artinya, namun
yang menyebabkan lembaga ini berdiri atas dasar haknya sendiri adalah
bahwa lembaga-lembaga ini mengekspresikan nilai-nilai bangsa
(nation's values). Dalam mengekspresikan nilai-nilai itu, lembaga-
lembaga ini memeliharanya baik-baik dengan memberikan kesempatan
kepada masyarakat sendiri untuk mengujinya kembali, membentuknya
lagi dan menerapkannya. Ia mengakui bahwa organisasi masyarakat
memiliki sumbangan penting terhadap kesehatan budaya suatu
bangsa.28
Pendapat Tocqueville ini kemudian diperkuat oleh Hannah Arendt
(1975) dan Jurgen Habermas (1929) dengan konsep ”a free public
sphere,” sebuah wilayah di mana masyarakat sebagai warga negara
memiliki akses penuh terhadap setiap kegiatan publik. Penciptaan
ruang publik, bagi Arendt merupakan prasyarat terciptanya civil society
dan demokratisasi. Hal senada diungkapkan Ernest Gellner (1925-
27
Alexis de Tocqueville, Democracy in America, jilid 1 dan 2 (terj.) Henry
Reeve (Pennsylvania: the Pennsylvania State University, Electronic Classics Series,
2002), 270-272. Dawam Rahardjo, “Tiga Dasar Teori tentang LSM,” dalam Opini
Harian Umum Republika, 9 November (1994); secara online tulisan ini dapat dibaca
pada http://www.library.ohiou.edu/indopubs/1994/11/10/0015.html, diakses tanggal
20 Januari 2014. 28
Alexis de Tocqueville, Democracy in America, jilid 1 dan 2 (terj.) Henry
Reeve (Pennsylvania: the Pennsylvania State University, Electronic Classics Series,
2002), 270-272. Dawam Rahardjo, “Tiga Dasar Teori tentang LSM,” dalam Opini
Harian Umum Republika, 9 November (1994); secara online tulisan ini dapat dibaca
pada http://www.library.ohiou.edu/indopubs/1994/11/10/0015.html, diakses tanggal
20 Januari 2014.
34
1995) yang memandang perlunya ruang dan kebebasan publik.
Menurutnya civil society adalah seperangkat institusi non pemerintah
yang cukup kuat untuk mengimbangi negara dan mencegah timbulnya
tirani kekuasaan.29
Pemikir sosial dari Itali Antonio Gramsci (1891-1937) menganalisis
civil society dengan menggunakan konsep hegemoni kultural mengritik
determinisme ekonomi Marx.30
Hegemoni kultural tersebut diproduksi
oleh kalangan gereja, media massa, dan lembaga pendidikan.31
Menurut
Gramsci, suatu kelas sosial mempertahankan dominasinya bukan
sekedar dengan menguasai modus produksi, melainkan dengan
mengembangkan ‘hegemoni’, yaitu suatu tatanan ide dan moral yang
dapat menarik ‘kesepakatan aktif’ (active consent) dari kelas-kelas
sosial yang didominasinya. Dengan kata lain, konsep hegemoni ini
menolak adanya manifestasi langsung kepentingan-kepentingan
ekonomi kelas penguasa di dalam kehidupan politik maupun
kebudayaan masyarakat bersangkutan. Tak pelak lagi, revisi demikian
mempunyai implikasi yang sangat jauh bagi pengkajian ideologi dan
kebudayaan, karena konsep hegemoni praktis membebaskan konsep
civil society dari perspektif determinisme ekonomi. Dengan demikian,
konsep hegemoni juga memberi arti ‘positif’ bagi konsep civil society.
Menurut Gramsci, ajang pembentukan hegemoni justru terletak di
wilayah civil society dan bukan di wilayah negara.32
Gramsci berpendapat bahwa untuk mempertahankan kekuasaannya,
kelas sosial yang dominan mau tidak mau harus bernegosiasi dan
membuat kompromi-kompromi dengan kelompok-kelompok sosial
lainnya di dalam arena civil society. Karena itu, di dalam pemikiran
Gramsci, di antara negara dan civil society senantiasa terdapat suatu
29
Ahmad Fathan Aniq, “Menimbang Civil Society dan Masyarakat Madani;
Antara Mitos dan Realitas,” Majalah Afkar PCI NU-Mesir, Edisi XLVI Bulan Juni
(2008), 23. 30
Lihat Antonio Gramsci, Selections from the Prison Notebooks of Antonio
Gramsci (terj.) Quentin Hoare dan Geoffrey Nowell Smith (London: ElecBook,
1999); N. Bobbio, “Gramsci and the Concept of Civil Society,” dalam J. Keane (ed.)
Civil Society and the State (London: Verso, 1988), 73–79; A.S. Sassoon, “Civil
Society,” dalam T. Bottmore, dkk. (ed.) A Dictionary of Marxist Thought, Cambridge:
Harvard University Press, 1983). 31
M. Dawam Raharjo, “Masyarakat Madani Di Indonesia: Sebuah Penjajakan
Awal,” 26. 32
Antonio Gramsci, Selections from the Prison Notebooks of Antonio Gramsci,
222; Bachtiar Alam, “Antropologi dan Civil Society: Pendekatan Teori Kebudayaan,”
195-196.
35
hubungan timbal-balik. Kelas sosial yang dominan melalui negara
mencoba mengooptasi kelompok-kelompok lain dalam civil society.
Sebaliknya, kelompok-kelompok sosial tersebut pun mencoba
memaksa negara untuk berkompromi dan menerima tuntutan-
tuntutannya. Sementara Antonio Gramsci tidak memahami masyarakat
madani sebagai relasi produksi, tetapi lebih pada sisi ideologis. Bila
Marx menempatkan masyarakat madani pada basis material, maka
Gramsci meletakkan pada superstruktur, berdampingan dengan negara
yang ia sebut sebagai political society. Masyarakat madani merupakan
aparat hegemoni mengembangkan hegemoni untuk membentuk
konsensus dalam masyarakat. Pemahaman Gramsci memberikan
tekanan pada kekuatan cendekiawan yang merupakan aktor utama
dalam proses perubahan sosial dan politik. Gramsci dengan demikian
melihat adanya sifat kemandirian dan politis pada masyarakat madani,
sekalipun pada instansi terakhir ia juga amat dipengaruhi oleh basis
material (ekonomi).33
Di Indonesia, ahli ilmu politik Muhammad Hikam melihat civil
society secara eklektif sebagai wilayah kehidupan sosial yang
menjamin berlangsungnya tindakan dan refleksi mandiri, tidak
terkungkung oleh kondisi kehidupan material, tidak terserap di dalam
jaringan-jaringan kelembagaan politik resmi, serta mengandung
transaksi komunikasi yang bebas oleh warga masyarakat.34
Dari tinjauan beberapa pemikiran tentang civil society oleh para ahli
ilmu sosial abad ini, jelas terlihat seutas benang merah yang
menghubungkan pebedaan-perbedaan mereka, yaitu: bahwa civil
society mempunyai kemandirian terhadap negara, tetapi di antara
keduanya terdapat hubungan timbal balik, dan bahwa civil society
merupakan arena sosial yang mengandung kepentingan-kepentingan
berbeda, namun memungkinkan terjadinya negosiasi terus-menerus
secara bebas.
33
Lihat Antonio Gramsci, Selections from the Prison Notebooks of Antonio
Gramsci, 264-265; Tent Brown, “Gramsci and Hegemony,” Links International
Journal of Socialist Renewal, http://links.org.au/node/1260, diakses tanggal 24
Februari 2013; Bachtiar Alam, “Antropologi dan Civil Society: Pendekatan Teori
Kebudayaan,” 196. 34
Muhammad AS. Hikam, Demokrasi dan Civil Society (Jakarta: LP3ES, 1990),
3.
36
2. Civil Society sebagai Mitra Negara
Konsepsi masyarakat madani Yunani dari Aristoteles tentang polis
(kota) biasanya dijadikan embrio pertama pembentukan civil society.35
Intinya, menurut Keane (1988)36
terma itu bermakna warga negara ikut
terlibat aktif dalam kehidupan politik negara dengan berpartisipasi
dalam membentuk lembaga negara dan kebijakan-kebijakannya. Pada
masa itu, seorang anggota civil society atau masyarakat kota, dengan
sendirinya juga berarti warga dari negara (citizen) setempat. Civil
society sebagai ‘anak kandung’ demokrasi37
sampai dengan abad ke-18,
disamakan dengan negara (the state), yakni sekelompok masyarakat
yang mendominasi seluruh kelompok lain. Konsepsi societies civilies
Cicero merupakan sebuah komunitas warga yang mendominasi
komunitas yang lain. Terma yang dikedepankan oleh Cicero ini lebih
menekankan pada konsep negara kota (city-state), yakni untuk
menggambarkan kerajaan, kota, dan bentuk korporasi lainnya, sebagai
kesatuan yang terorganisasi.
Paradigma civil society vis a vis negara, dikritik oleh EE.
Schattscheider (1942),38
John Keane (1988), dan AR. Norton (1995)
Menurut paradigma ini berargumentasi bahwa civil society tidak harus
berhadapan vis a vis dengan negara, bahkan ia seharusnya bisa bekerja
sama dengan negara. Bentuk apapun dari suatu perkumpulan
masyarakat, bisa bekerja sama dengan Negara untuk membentuk suatu
good governance (pemerintahan yang baik).39
35
International Encyclopedia of the Social & Behavioral Sciences, entri
pembahasan “Civil Society/Public Sphere: History of the Concept,” Elsevier Science
Ltd, (2001), 1897. 36
J. Keane, “Despotism and Democracy: The Origins and Development of the
Distinction between Civil Society and the State 1750-1850,” dalam J. Keane (ed.)
Civil Society and the State (London: Verso, 1988), 35–36. 37
Ivan Doherty “Democracy Out of Balance: Civil Society Can’t Replace
Political Parties,” Policy Review, April dan Mei (2001), 25 38
SC. Stokes, “Political Parties and Democracy,” dalam Annual Review Political
Scences, Vol. 2 (1999), 243-267. 39
Azyumardi Azra, “Civil Society and Democratization in Indonesia: The
Transition Under President Wahid and Beyond,” dalam David C. Shack dan Wayne
Hudson, Civil Society In Asia (Law, Ethic and Governance) (Hampshire, Inggris dan
Burlington, USA: Ashgate Publishing Company, 2003), 75; Neera Chandhoke, “The
Civil and the Political in Civil Society,” dalam C.M. Elliot (ed.), Civil Society and
Democracy: a Reader (Oxford: Oxford University Press, 2003), 255; Andi Faisal
Bakti dkk, Literasi Politik dan Konsolidasi Demokrasi (Ciputat: Churia Press, 2012),
4-6.
37
Menurut Schattscheider, civil society menjadi mitra negara dalam
puncaknya berbentuk sebagai partai politik.40
Partai politik mempunyai
posisi (status) dan peranan (role) yang sangat penting dalam setiap
sistem demokrasi. Partai memainkan peran penghubung yang sangat
strategis antara proses-proses pemerintahan dengan warga negara.
Bahkan banyak yang berpendapat bahwa partai politiklah yang
sebetulnya menentukan demokrasi, seperti dikatakan oleh
Schattscheider, “Political parties created democracy.” Karena itu,
partai merupakan pilar yang sangat penting untuk diperkuat derajat
pelembagaannya (the degree of institutionalization) dalam setiap sistem
politik yang demokratis. Bahkan, oleh Schattscheider dikatakan pula,
“Modern democracy is unthinkable save in terms of the parties.”41
Sependapat dengan Schattscheider, John Keane,42
melihat civil
society sebagai arena sosial yang mengandung kebebasan (freedom),
perserikatan sukarela (voluntary association), keragaman hubungan
manusia, jati diri, serta nilai-nilai, yang terpisah dari kekuasaan politik
negara dan pemerintah. Bagi Keane dan para ahli ilmu sosial lainnya
yang berhaluan liberal, berbagai macam kekuasaan dalam civil society
tidak bersumber dari satu hal, seperti penguasaan sarana produksi,
tetapi dari berbagai macam faktor yang sangat beragam dan heterogen.
Oleh sebab itu, Keane melihat hubungan setara antara negara dan civil
society itu mengandung penyaluran kekuasaan ke aneka macam
wilayah publik yang terdapat di dalam dan di antara negara dan civil
society.43
Menurut Keane, sebagaimana yang dikutip oleh Azra, demokrasi
bukanlah musuh bebuyutan ataupun teman-kental kekuasaan negara.
Demokrasi menghendaki pemerintah untuk memerintah masyarakat
sipil secara tidak berlebihan ataupun terlalu sedikit. Sementara itu,
40
David Adamany, “The Political Science of E. E. Schattschneider: A Review
Essay,” dalam The American Political Science Review, Vol. 66, No. 4 (Dec., 1972),
1322. 41
SC. Stokes, “Political Parties and Democracy,” 245. Lihat pula Jimly
Asshiddiqie, “Dinamika Partai Politik dan Demokrasi,”
http://jimly.com/pemikiran/makalah?page=7> pada 15 Desember 2013. 42
J. Keane, “Despotism and Democracy: The Origins and Development of the
Distinction between Civil Society and the State 1750-1850,” dalam J. Keane (ed.)
Civil Society and the State (London: Verso, 1998), 35–72. 43
J. Keane (ed.), Democracy and Civil Society (London: Verso, 1998), xiii;
Bachtiar Alam, “Antropologi dan Civil Society: Pendekatan Teori Kebudayaan,” 196.
38
tatanan yang lebih demokratis tidak bisa dibangun melalui kekuasaan
negara. Ia juga tidak bisa diciptakan tanpa kekuasaan negara.44
Norton mendukung pendapat paradigma civil society Keane.
Baginya, sangat naif untuk berpandangan atau mengharapkan civil
society akan menumbangkan pemerintah. Sebaliknya, penghadapan
antara pemerintah dan civil society harus lebih berbentuk kerja sama
ketimbang konflik dan perebutan kekuasaan.45
Pemerintah tetap
merupakan faktor yang krusial bagi demokratisasi dan pembaruan
(reformasi) politik, yang merupakan agenda bagi berbagai gerakan dan
kelompok dalam masyarakat. Reformasi politik itu penting untuk
menjamin stabilitas; bukan stabilitas yang statis, tapi stabilitas yang
dinamis.
Para pakar politik, ketika menjelaskan tentang civil society sebagai
sebuah konsep, mereka lebih berkecenderungan mengacu pada ranah
publik (public sphere) per se, vis a vis ranah negara (state sphere).
Meskipun ranah privat (private sphere) dan ranah pasar (market
sphere) juga merupakan pilar-pilar kunci dalam civil society. Thomas
Janoski (1998)46
menjelaskan bahwa civil society dapat dipahami dari
diskursus di antara empat ruang, yaitu: negara, publik, pasar, dan privat
dan pengejawantahannya dalam membangun kemanusiaan,
persaudaraan, dan kesejahteraan.
Bagi Janoski, civil society merupakan representasi dari sebuah
ruang publik yang dinamis dan responsif terhadap negara. Ruang publik
terdiri dari berbagai organisasi sosial (voluntary organization) dan
ruang pasar terdiri atas perusahaan milik pribadi ataupun patungan.
Meskipun Janoski memasukkan ruang privat dan keluarga dalam
44
Azyumardi Azra, Menuju Masyarakat Madani: Gagasan, Fakta, dan
Tantangan, 6. 45
Azyumardi Azra, Menuju Masyarakat Madani: Gagasan, Fakta, dan
Tantangan, 6-7. 46
Thomas Janoski, Citizenship and Civil Society, 12; lihat juga Andi Faisal Bakti,
“Women in the West and in Indonesia: How Can Islam Contribute to Social
Development?” Journal Pemikiran Islam, Vol. 1 No. 1, September, Ternate,
Indonesia, (2010), 2-20; Andi Faisal Bakti, “Communication and Violence:
Communicating Human Integrity caharactersitics is necessary for Horizontal Conflict
resolution In Indonesia,” Identity, Culture, and Politics Vol. 9, No. 1 (July 2008);
Andi Faisal Bakti, “Islam and Modernity: Nurcholish Madjid Interpretation of Civil
Society, Pluralism, Secularism and Democracy,” Asian Journal of Social Sciences,
Brill, Leiden, Vol 33, No. 3 (November, 2005); Andi Faisal Bakti, “Paramadina and
its Approach to Culture and Communication: An Engagement in Civil Society,”
Archipel, Paris, 68 (December, 2004); Andi Faisal Bakti, “Paramadina,” Bulletin of
the International Institute for Asian Studies (IIAS), Leiden/Amsterdam June (2004).
39
konsepsinya, ia tidak menjelaskan lebih jauh apa dan bagaimana ruang
privat tersebut. Meskipun demikian, dari penjelasan Cohen dan Arato
bisa diketahui tentangnya. Ruang privat itu ditujukan untuk kehidupan
secara pribadi, pandangan atau prinsip pribadi, dan jejaringnya. Dengan
demikian, dibutuhkan untuk mengkombinasikan keempat ruang
tersebut. Satu sisi mencakup paradigma teori dari Gramsci dan
Habermas yang berkecenderungan dengan pembahasan ruang publik.47
Di sisi yang lain, dilengkapi dengan paradigma Cohen dan Arato yang
berfokus pada ruang privat.
Pada pokoknya, menurut pandangan kelompok ini, gerakan civil
society merupakan ‘mitra’ negara dalam mengelola pemerintahan. Azra
menyimpulkannya paradigma ini dengan penjelasan,48
Masyarakat madani (civil society) lebih dari sekedar gerakan-gerakan
prodemokrasi. Ia juga mengacu ke kehidupan masyarakat yang berkualitas dan
bertamadun (civility). Sivilitas meniscayakan toleransi, yakni kesediaan individu-
individu untuk menerima berbagai pandangan politik dan sikap sosial yang
berbeda. Itu berarti, tidak ada satu pihak manapun, termasuk pemerintah dan
gerakan-gerakan prodemokrasi, yang berhak memaksakan aspirasi dan
kemauannya sendiri, apakah dengan bentuk kooptasi, regimentasi, apalagi dengan
huru-hara yang pada gilirannya hanya menimbulkan lawlessness dan social cost
yang sering amat mahal.
Sebab itu, seluruh masyarakat, -terutama gerakan, kelompok, dan individu-
individu independen yang concerned dan commited pada demokratisasi dan
masyarakat madani,- seyogyanya mengambil strategi yang lebih subtil, lebih
halus, lebih bertamadun; bukan mengambil jalan konfrontasi langsung yang tidak
mustahil akan mengorbankan aktor-aktor masyarakat madani itu sendiri.
Pendapat Azra di atas senada dengan Robert W. Hefner dengan
civil Islam-nya. Civil Islam adalah politik Islam yang berangkat dari
penerimaan atau keterbukaan terhadap demokrasi, kesamarataan,
47
Adi Suryadi Culla, Rekonstruksi Civil Society: Wacana dan Aksi Ornop di
Indonesia (Jakarta: LP3ES, 2006), 18; Thania Paffenholz dan Christoph Spurk, “Civil
Society, Civic Engagement, and Peacebuilding,” Social Development Papers Conflict
Prevention and Reconstruction, Paper The World Bank No. 36/October (2006), 2;
Robert W. Cox, “Civil Society at the Turn of the Millenium: Prospects for an
Alternative World Order,” Review of International Studies, Vol. 25, No. 1 (Jan.,
1999), 3-4; European Commission, “The Roots of Democracy and Sustainable
Development: Europe's Engagement with Civil Society in External Relations,”
Communication from the Commission to the European Parliament, The Council, The
European Economic and Social Committee and The Committee Of The Regions,
Brussels, 12.9.2012, COM (2012), 3. 48
Azyumardi Azra, Menuju Masyarakat Madani: Gagasan, Fakta, dan
Tantangan, 7.
40
nasionalisme yang sehat dan demokratis.49 Dawam Rahardjo juga
menjelaskan bahwa tidak tepat untuk mempertentangkan dan
memperhadapkan civil society dengan pemerintah dan negara. Jika
pemerintah kurang berfungsi, maka tentu akan tampil civil society.
Barangkali dari sinilah timbul sikap kritis terhadap peranan pemerintah.
Karena civil society berusaha mencari yang kurang untuk diisi. Soalnya
tergantung dari sikap pemerintah sendiri tentang peranan civil society
ini. Di negara yang memiliki tradisi pemikiran Tocquevillian,
pemerintah justru mendorong dan memberikan iklim terhadap
perkembangan civil society, walaupun dengan risiko menumbuhkan
suatu kekuatan pengimbang ini memang dibutuhkan dalam mekanisme
demokrasi. Sebagai penengah, civil society kerap kali memang
menyuarakan kepentingan masyarakat kepada pemerintah. Di sinilah,
kerap kali lembaga yang di Indonesia disebut Lembaga Swadaya
Masyarakat (LSM) itu, harus bersikap kritis. Tetapi, LSM ada kalanya
harus memberi penjelasan kepada masyarakat tentang kebijaksanaan
pemerintah agar tidak terjadi konflik. Karena itu maka LSM tidak
selalu bisa dipandang sebagai kekuatan oposisi berhadapan dengam
pemerintah, yaitu sebagai agen pembangunan. Dalam kerangka
pembangunan dan perubahan sosial ini LSM sebenarnya juga
merupakan mitra pemerintah. 50
Dawam berkesimpulan, “dengan demikian, maka civil society
adalah sebuah kekuatan tersendiri dalam model tiga sektor (three sector
model), yang terdiri dari pemerintah sebagai sektor pertama, dunia
usaha sebagai sektor kedua dan lembaga voluntir sebagai sektor ketiga.
Sebagai sektor ketiga, LSM berkedudukan sebagai lembaga penengah
yang menengahi pemerintah dan warga negara. Kerap kali, LSM
memang harus bersikap kritis terhadap pemerintah, tetapi adakalnya
LSM bertindak pula sebagai penjelas kebijaksanaan pemerintah. Sikap
kritis itu hendaknya dipahami, karena LSM itu memang tumbuh
sebagai kekuatan pengimbang, baik terhadap pemerintah maupun
49
Ulil Abshar Abdalla, “Wawancara Robert W. Hefner: Masyarakat Indonesia
Haus Demokrasi,”
http://islamlib.com/?site=1&aid=711&cat=content&title=wawancara, diakses 12 Juni
2013. 50
Dawam Rahardjo, “Tiga Dasar Teori tentang LSM,” dalam Opini Harian
Umum Republika, 9 November (1994); secara online tulisan ini dapat dibaca pada
http://www.library.ohiou.edu/indopubs/1994/11/10/0015.html, diakses tanggal 20
Januari 2014; M. Dawam Raharjo, “Masyarakat Madani Di Indonesia: Sebuah
Penjajakan Awal,” 10.
41
swasta. Kekuatan pengimbang ini diperlukan agar mekanisme
demokrasi dapat bekerja. Selain itu harus diingat pula bahwa LSM
tidak mesti dapat dinilai sebagai kekuatan oposan, karena LSM adalah
dua mitra pemerintah dalam pembangunan.”51
Berdasarkan skema di atas, Janoski merangkum perdebatan di atas
dengan membagi masyarakat madani dalam dua hal, yaitu sebagai
organisasi dan sebagai tujuan. Masyarakat madani sebagai organisasi,
apapun bentuknya, ia berada di luar pemerintahan secara bersama-sama
mengawasi jalannya pemerintahan suatu negara. Namun ketika, suatu
organisasi tersebut berada di dalam dan menjadi bagian dari kekuasaan,
maka ia bukan lagi dinamakan sebagai organisasi masyarakat madani.
Karena walau bagaimanapun, yang dinamakan organisasi masyarakat
madani, lumrahnya berada di luar pemerintahan.52
a. Civil Society sebagai Organisasi
Janoski berpendapat civil society dimaknai sebagai kumpulan
masyarakat yang berhadapan dengan negara merupakan paradigma
masyarakat madani sebagai organisasi. Namun baginya, batasan
organisasi masyarakat madani tidak seketat itu. Jika harus mengikuti
paradigma Smithian, maka banyak dari organisasi masyarakat yang
teranulir, bukan merupakan bagian dari civil society. Padahal banyak
terdapat organisasi-organisasi masyarakat yang bercirikan dengan ke-
swa-an dan begitu banyak kiprahnya bagi kesejahteraan masyarakat.53
Paradigma masyarakat madani sebagai organisasi menurut Janoski
adalah relasi yang harmonis antara berbagai ranah yang terdapat dalam
suatu negara. Jika digambarkan, maka relasi harmonis tersebut adalah:
51
Dawam Rahardjo, “Tiga Dasar Teori tentang LSM,” dalam Opini Harian
Umum Republika, 9 November (1994). 52
Wawancara penulis via academia.edu dengan Thomas Janoski pada tanggal 25
September 2014. 53
Thomas Janoski, Citizenship and Civil Society..., 13.
42
Gambar. 2.1
Relasi Empat Ranah Pembentuk Civil Society
Sumber: Muhammad Affan (2008).
Relasi civil society dan partai politik menurut pendapat Aditya
Perdana, dalam konteks relasi pembuatan kebijakan publik, civil society
dan partai politik dalam contoh kasus di Indonesia mulai terbangun
hubungan yang saling menghargai, menghormati dan memahami
keberadaan akan perannya dalam kehidupan politik. Meski awalnya
kalangan civil society menganggap bahwa para politisi di lembaga
legislatif tidak mampu menghasilkan produk perundangan yang
substansial, namun belakangan kalangan civil society menyadari bahwa
keterbatasan peran dan aktivitasnya dalam mempengaruhi proses
pembuatan kebijakan tidak akan berarti tanpa kehadiran partai politik
yang mengisi lembaga legislatif. Sebaliknya, partai politik juga
memahami bahwa salah satu tugas civil society adalah memberi
masukan yang konstruktif dalam proses tersebut. Namun demikian,
hubungan ini tidaklah mudah dicapai karena proses politik yang penuh
State
Bureaucracy
Rule of Law
Political
Society
(Based on legal-rational institutions and organizing
principles)
Civil
Society Economic
Society
Family and
Friendship Networks
(Consisting of concrete
organizations and groups of
people)
43
negosiasi adalah penghalang utama bagi terciptanya hubungan yang
kondusif.54
Aditya menggambarkan relasi tersebut:
Gambar. 2.2
Relasi Civil Society dan Partai Politik
Sumber: Aditya Perdana (2009).
Jika relasinya berjarak jauh (1), dalam skala Indonesia, misalnya,
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), merupakan sebuah organisasi
nasional di Indonesia yang bergerak dalam bidang anti korupsi
tereliminasi dari organisasi masyarakat madani. KPK dalam
terminologi Janoski termasuk public welfare state, organisasi
54
Aditya Perdana, “Civil Society dan Partai Politik dalam Demokratisasi di
Indonesia,” Makalah pada Seminar Internasional ke-10 “Representasi Kepentingan
Rakyat pada Pemilu Legislatif 2009”, yang diselenggarakan oleh Yayasan Percik,
Salatiga – Jawa Tengah, pada tanggal 28 – 30 Juli (2009), 2.
44
kesejahteraan publik yang digagas negara.55
Tugas KPK sebagaimana
diatur dalam Pasal 6 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 (UU
KPK), diamanati 5 (lima) tugas oleh negara, yaitu: a) koordinasi
dengan instansi yang berwenang melakukan pemberantasan tindak
pidana korupsi; b) supervisi terhadap instansi yang berwenang
melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi; c) melakukan
penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan terhadap tindak pidana
korupsi; d) melakukan tindakan-tindakan pencegahan tindak pidana
korupsi; dan e) melakukan monitor terhadap penyelenggaraan
pemerintahan negara.56
Meskipun sederet tugas mulia KPK, karena
polarisasi yang begitu ketat, KPK bukan organisasi masyarakat madani.
Mengikuti batasan Adam Smith, KPK, karena tidak memiliki
kemandirian (self regulating) dari segi ekonomi.57
KPK sepenuhnya
dibiayai dan justru digagas oleh legislatif yang kemudian disetujui oleh
pemerintah. Ia merupakan bagian dari birokrat negara, sejajar dengan
Badan Pemeriksa Keuangan atau Kejaksaan. Transparency
International Indonesia (TII), Indonesia Corruption Watch (ICW),
Solidaritas Masyarakat Anti-Korupsi (SAMAK), dalam pandangan
Smithian, lebih tepat dimaknai organisasi masyarakat madani, karena
organisasi itu nir-politik dan nir-negara.
Public welfare state Janoski, juga terdapat dalam bidang pendidikan
(edukasi). Dengan demikian, mahasiswa dan dosen yang terorganisasi
dalam perguruan tinggi negeri, juga teranulir dari bagian organisasi
civil society sebagaimana KPK. Perguruan tinggi negeri menjadi salah
satu bagian dari negara. Dosen perguruan tinggi negeri merupakan
pegawai negeri sipil.58
Oleh karenanya, dosen negeri sebagai bagian
55
Gagasan pembentukan KPK diawali oleh TAP MPR No. 11 Tahun 1998
tentang pemerintahan yang bersih dari korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN).
Menindaklanjuti amanat itu, DPR dan pemerintah kemudian membuat UU No. 31
Tahun 1999 tentang tindak pidana korupsi. KPK, Menyalakan Lilin Di Tengah
Kegelapan (Jakarta: KPK, 2004), 5. 56
Febri Diansyah, Emerson Yuntho, Donal Fariz, Laporan Penelitian: Penguatan
Pemberantasan Korupsi melalui Fungsi Koordinasi dan Supervisi Komisi
Pemberantasan Korupsi (KPK) (Jakarta: Indonesia Corruption Watch, 2011), 8. 57
Lihat Neera Chandoke, The State and Civil Society: Exploration in Political
Theory (New Delhi: Sage Publications, 1995) dan edisi terjemahannya, Benturan
Negara dan Masyarakat Sipil (Yogyakarta: Istawa dan Wacana, 1995), 132-135; Adi
Suryadi Culla, Rekonstruksi Civil Society, 46. 58
Sesuai UU No. 43 Tahun 1999 tentang Pokok-Pokok Kepegawaian, pegawai
negeri adalah “setiap warga negara Republik Indonesia yang telah memenuhi syarat
yang ditentukan, diangkat oleh pejabat yang berwenang dan diserahi tugas dalam
suatu jabatan negeri, atau diserahi tugas negara lainnya, dan digaji berdasarkan
45
dari negara karena diserahi tugas dalam suatu jabatan oleh negara
dalam bidang pendidikan. Tri Dharma perguruan tinggi yang salah
satunya adalah pengabdian pada masyarakat yang wajib dilaksanakan
seluruh civitas akademika dalam operasionalisasinya,59
tetap tidak
menjadikannya sebagai bagian dari masyarakat madani, jika mengikuti
secara tegas paradigma Smithian.
Begitu juga halnya dengan partai politik. Martin van Bruinessen
menjelaskan bahwa umumnya, organisasi civil society atau masyarakat
madani secara umum, lumrahnya diketatkan untuk tidak menampung
partai politik sebagai bagian darinya.60
Organisasi masyarakat madani
itu harus nir-politik dan nir-negara. Pengetatan ini, menurut Syafiq
Hasyim, Deputi Direktur International Center for Islam and Pluralism
(ICIP), memiliki pengaruh pada polarisasi yang tajam antara mereka
yang menyebutkan diri sebagai kelompok civil society dan mereka yang
menjadi bagian political society dan economic society. Civil society
yang termasuk dalam kategori Gramscian, semisal organisasi-
organisasi keagamaan seperti Muhammadiyah, Nahdlatul Ulama (NU)
dan Lembaga Swadaya Masyarakat, semisal Yayasan Lembaga
Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), Wahana Lingkungan Indonesia
(Walhi), Setara, dan lain-lain. Political society diperuntukkan bagi
beraneka ragam jenis dan aliran partai politik, baik yang gurem maupun
yang besar. Sedangkan economic society diperuntukkan bagi eksistensi
organisasi-organisasi bisnis yang mencari profit, semisal Kamar
Dagang dan Industri (Kadin), Himpunan Pengusaha Muda Indonesia
(Hipmi), dan yang semacamnya.61
Lebih lanjut, Hasyim juga
menjelaskan bahwa di dalam organisasi civil society masih ada
polarisasi lagi, yaitu organisasi civil society negatif dan positif. Civil
society yang pertama berkecenderungan anti-negara mengikuti
pemikiran Karl Marx. Civil society yang kedua berkecenderungan tidak
anti terhadap negara dan aliran ini mengikuti paradigma Hegelian. Ia
berkesimpulan, bila diamati secara jernih, sebenarnya polarisasi itu
peraturan perundang-undangan yang berlaku.” Lihat Undang-Undang Republik
Indonesia Nomor 43 Tahun 1999 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 8
Tahun 1974 Tentang Pokok-pokok Kepegawaian. 59
Lihat Penjelasan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 5 Tahun
1980 Tentang Pokok-pokok Organisasi Universitas/Institut Negeri. 60
Wawancara penulis dengan Martin van Bruinessen via academia.edu pada
Kamis, 11 September 2014. 61
Syafiq Hasyim, "Civil Society" dan Godaan Pemilu Presiden,” Opini Kompas, 7
Mei (2004), 6: Syafiq Hasyim, “Diskursus Intelektual, Civil Society dan Politik:
Potret Lima Tahun Terakhir NU,” Tashwirul Afkar, Vol. 3, No. 16 (2004), 12-13.
46
muncul dari cara mereka memandang dan menyikapi negara dan
politik.62
Menurut penulis, Janoski lebih jernih lagi mengamati bahwa
polarisasi itu karena paradigma civil society lebih diartikan oleh aktivis
dalam bentuknya sebagai organisasi.63
Bagi Janoski, meskipun ada polarisasi, hal itu tidak berarti sebagai
pemisahan dan pemutusan hubungan di antara agen-agen perubahan di
masyarakat secara ketat, tetapi lebih dimaksudkan sebagai pembagian
peran dan wilayah kerja di antara organisasi-organisasi pegiat
masyarakat madani.64
Namun, dalam konteks umum, polarisasi itu,
terutama oleh aktivis-aktivis, ghalib-nya dimaknai sebagai pemisahan
dan pemutusan hubungan (total disconnection) di antara mereka dengan
negara. Hal ini dilakukan dengan alasan untuk menjaga kemurnian dan
kebersihan perjuangan mereka. Kelompok civil society menganggap,
perjuangan kelompok political society terlalu sarat dengan muatan
kepentingan kelompok, ideologi, dan kekuasaan (partisan).65
Menyikapi polaritas tersebut, Hasyim menjelaskan bahwa sikap
nonpartisan dan netralitas dari organisasi ‘murni’ masyarakat madani
amat sulit dipertahankan. Organisasi-organisasi yang mengidentikkan
diri sebagai bagian utama gerakan civil society, dalam
perkembangannya justru bertindak selayaknya partai politik, tergoda
untuk memburu kekuasaan, semisal dengan ramai-ramai mendukung
salah satu calon presiden yang secara nota bene diusung oleh salah satu
partai politik. Bahkan, manuver politik mereka bisa dikatakan sama.
Untuk enggan menyatakan malah melebihi manuver yang dilakukan
political society itu sendiri.66
Contohnya, Hasyim Muzadi pada Pemilu
2004, sebagai Ketua Umum NU ketika itu, yang termasuk bagian
organisasi civil society, tergoda maju menjadi calon wakil presiden
yang dicalonkan PDI.67
Pemilu tahun 2014, Said Aqil Siraj, meski
dalam kapasitasnya sebagai pemimpin NU bersikap netral dengan
membebaskan warga NU untuk memilih siapa saja sebagai calon
presiden, namun secara terang-terangan, sebagai pribadi, ia malah
62
Lihat Theda Scopol, “Advocate without Members: The Recent Transformation
of American Life,” dalam Morris P Fiorina, Civic Engagement in American
Democracy (New York: Brookings Institution Press, 1999), 461-509. 63
Thomas Janoski, Citizenship and Civil Society..., 13. 64
Thomas Janoski, Citizenship and Civil Society..., 14. 65
Syafiq Hasyim, "Civil Society" dan Godaan Pemilu Presiden,” 6. 66
Syafiq Hasyim, “Diskursus Intelektual, Civil Society dan Politik: ....,” 13. 67
Syafiq Hasyim, "Civil Society" dan Godaan Pemilu Presiden,” 6.
47
menjadi bintang iklan yang mendukung salah satu kandidat capres.68
Bahkan Amin Rais, mantan Ketua Umum organisasi masyarakat
madani Muhammadiyah, bermanuver politik dengan menyatakan
bahwa pemilihan presiden sama dengan situasi Jihad Perang Badar,
hanya karena mendukung salah satu calon presiden.69
NU dan
Muhammadiyah, elit pemimpinnya tergoda untuk membawa hal
primordial, yakni agama, dalam konteks pemilihan presiden yang
berada dalam ranah politik.
Penulis sepakat dengan Hasyim, ada beberapa hal yang
menyebabkan civil society di Indonesia tergoda untuk terlibat urusan
politik praktis yang menjadi domain dari masyarakat politik berupa
partai politik. Pertama, ada anggapan di kalangan mereka bahwa civil
society bukan merupakan tujuan perjuangan mereka (maqāshid), tetapi
sebagai alat untuk meraih tujuan (wasail). Karena hanya sebagai alat,
fungsi alat itu bisa diubah-ubah kapan saja sesuai kepentingan tujuan.
Kedua, tradisi yang lemah di kalangan mereka, terutama elitenya, untuk
melakukan pilihan lapangan perjuangan bagi umatnya. Melihat
kenyataan yang ada, politik praktis (kekuasaan) masih dianggap
sebagai medan perjuangan tertinggi dalam hidup berbangsa dan
bernegara. Ketiga, ketidakpercayaan elite political society sendiri
bahwa partai politik mereka mampu menggaet simpati rakyat dengan
mencalonkan orang dari dalam.70
Menurut Azra, organisasi civil society dalam bentuk ormas besar seperti Muhammadiyah dan NU sampai saat ini menjadi kunci utama
dalam menyukseskan agenda-agenda gerakan civil society di
Indonesia.71
Namun, menurut Hasyim, dukungan politik yang
dilakukan para elit tokoh-tokohnya terhadap salah satu capres dan
cawapres tidak bisa dikatakan sebagai di luar kerja politik praktis.
Puncak politik praktis adalah memperebutkan jabatan kepemimpinan
nasional. Itu merupakan domain dari masyarakat politik, bukan
organisasi masyarakat madani. Apa yang dilakukan Muhammadiyah
68
Sandro Gatra, “Said Aqil Dukung Prabowo,”
http://nasional.kompas.com/read/2014/05/16/0911536/Said.Aqil.Dukung.Prabowo,
diakses 1 September 2014. 69
Pribadi Wicaksono, “Alwi Shihab Kritik Perang Badar Amien Rais,”
http://pemilu.tempo.co/read/news/2014/06/06/269583088/Alwi-Shihab-Kritik-
Analogi-Perang-Badar-Amien-Rais, diakses 1 September 2014. 70
Syafiq Hasyim, "Civil Society" dan Godaan Pemilu Presiden,” 6. 71
Azyumardi Azra, Menuju Masyarakat Madani: Gagasan, Fakta, dan
Tantangan, 146-148.
48
dan apa yang dilakukan NU di atas, juga oleh sebagian organisasi
masyarakat madani lainnya, adalah upaya untuk menjadi bagian dari
masyarakat politik dengan ikut andil meraih kuasa politik. Bagi
Muhammadiyah dukungan Amien Rais terhadap salah satu calon
presiden tahun 2014 adalah peristiwa politik yang aneh di mana
ketahanan organisasi yang sudah berpuluh-puluh tahun dijaga, akhirnya
jebol karena orientasi kekuasaan politik. Bagi NU, dukungan Siradj
terhadap salah satu capres lebih aneh lagi karena organisasi ini secara
resmi tidak berpolitik (khiṭṭtah), dan menyalahi keputusan Muktamar
NU Kediri 1999 di mana warga NU diamanatkan mendukung partai
yang secara historis memiliki kedekatan dengan NU.72
Berdasarkan fakta semakin menipisnya polaritas antara masyarakat
madani dan masyarakat politik di atas, menurut penulis, apa yang
dikemukakan oleh Janoski di muka menjadi relevan. Telah terjadi
tumpang tindih dalam mensikapi batasan organisasi masyarakat
madani. Secara ideal, mudah untuk memberi batasan bahwa organisasi
masyarakat madani hanya terdiri dari kumpulan sosial suatu warga
yang berada di luar ranah negara dan ranah ekonomi, terlebih ranah
privat. Namun, secara fakta di lapangan, banyak organisasi yang
seharusnya menjadi bagian dari organisasi masyarakat madani, karena
polaritas yang ketat, menjadi tereliminasi. Dengan demikian, batasan
polaritas organisasi untuk dikatakan sebagai masyarakat madani perlu
diperluas lagi. Sekat-sekat yang menjadi penghalang antar organisasi
yang sama tujuan, entah datang dari ranah privat, publik, negara,
maupun ekonomi, harus diperlonggar.73
Pernyataan Janoski senada
dengan Keane, berbagai macam asosiasional civil society tidak
bersumber dari satu hal, tetapi dari berbagai macam faktor yang sangat
beragam dan heterogen. Oleh sebab itu, sebagaimana telah dijelaskan di
atas, Keane lebih melihat hubungan kemitraan antara negara dan
organisasi civil society ketimbang saling berhadapan. Bagi Janoski dan
Keane, aneka macam organisasi civil society terdapat di dalam dan di
antara negara dan civil society.74
Dari manapun berasalnya organisasi
masyarakat madani, dengan catatan tujuannya adalah memainkan peran
penyeimbang (balancing power) terhadap kekuasaan negara, maka ia
termasuk dalam kategori organisasi masyarakat madani.
72
Syafiq Hasyim, "Civil Society" dan Godaan Pemilu Presiden,” 6. 73
Thomas Janoski, Citizenship and Civil Society..., 14. 74
J. Keane (ed.), Democracy and Civil Society (London: Verso, 1998), xiii;
Bachtiar Alam, “Antropologi dan Civil Society: Pendekatan Teori Kebudayaan,” 196.
49
b. Civil Society sebagai Tujuan Civil society sebagai tujuan, dalam pandangan Janoski, merupakan
kerja sama antara keempat komponen masyarakat madani dalam
kebijakan-kebijakan negara. Ranah privat, publik, dan ekonomi, harus
mengkritisi jalannya roda pemerintahan suatu negara dari berbagai
aspeknya. Sependapat dengan Janoski, Aditya Perdana berpendapat
bahwa antara masyarakat politik dan masyarakat madani bisa secara
harmonis bersama-sama menggapai tujuan bersama.75
Pendapat Aditya
Perdana senada dengan Andi Faisal Bakti tentang pendewasaan partai
politik di Indonesia. Keduanya menyatakan bahwa dalam konteks relasi
pembuatan kebijakan publik, civil society dan partai politik di Indonesia
mulai terbangun hubungan yang saling menghargai, menghormati dan
memahami keberadaan akan perannya dalam kehidupan politik.76
Meski awalnya kalangan civil society menganggap bahwa para
politisi di lembaga legislatif tidak mampu menghasilkan produk
perundangan yang substansial, namun belakangan kalangan civil
society menyadari bahwa keterbatasan peran dan aktivitasnya dalam
mempengaruhi proses pembuatan kebijakan tidak akan berarti tanpa
kehadiran partai politik yang mengisi lembaga legislatif. Sebaliknya,
partai politik juga memahami bahwa salah satu tugas civil society
adalah memberi masukan yang konstruktif dalam proses tersebut.
Namun demikian, hubungan ini tidaklah mudah dicapai karena proses
politik yang penuh negosiasi adalah penghalang utama bagi terciptanya
hubungan yang kondusif.77
Aditya Perdana menambahkan bahwa keterbatasan ruang dan peran
yang dimiliki oleh aktor civil society dalam mendesakkan agenda-
agenda perubahan yang lebih berorientasi kepentingan rakyat, telah
merubah pola gerakan yang diinginkan oleh para aktivis gerakan sosial.
Awalnya gerakan ekstraparlemen adalah sebuah pilihan yang
dilakukan oleh para aktor civil society. Namun belakangan, para aktor
civil society menyadari bahwa salah satu ketidakefektifan gerakan ini
dikarenakan keterbatasan yang dimiliki oleh civil society, yaitu hanya
menjadi kelompok penekan bukan kelompok penentu dalam lembaga
75
Aditya Perdana, “Civil Society dan Partai Politik dalam Demokratisasi di
Indonesia,” 2. 76
Aditya Perdana, “Civil Society dan Partai Politik dalam Demokratisasi di
Indonesia,” 3; wawancara penulis dengan Andi Faisal Bakti, di Town House Cilandak
Tengah, 6 September 2014. 77
Aditya Perdana, “Civil Society dan Partai Politik dalam Demokratisasi di
Indonesia,” 4.
50
legislatif. Oleh karenanya, beberapa aktor civil society merasa ada
kebutuhan yang mendesak untuk menjadi bagian di dalam lembaga
legislatif. Artinya, perubahan peran dari civil society dengan fokus
sebagai penekan menjadi peran kelompok yang menentukan dalam
proses kebijakan, yaitu partai politik. Maka, dalam dua pemilu terakhir
(2004, 2009 (juga 2014: penulis), terdapat banyak nama aktor civil
society yang ikut bertarung dalam pemilu legislatif nasional (DPR dan
DPD) ataupun DPRD. Dalam konteks itu, para aktor civil society yang
ikut serta dalam pemilu DPR dan DPRD telah berpindah menjadi aktor
partai politik. Salah satu masalah mendasar yang dihadapi dalam
pelembagaan politik di Indonesia adalah penguatan akan lembaga-
lembaga itu sendiri, terutama di kalangan civil society dan partai
politik. Partai politik di Indonesia masih lemah dalam konteks
penguatan kelembagaan secara internal dan juga kapasitas dalam
proses pembuatan kebijakan publik. Sementara itu, civil society pun
juga lemah dalam membangun kekuatan politik yang signifikan, baik di
tingkat nasional ataupun di tingkat lokal.78
Pendapat di atas, ditilik dari pendapat Chandhoke, kembali ke akar
peradaban masyarakat madani pada masa Yunani Kuno. Di zaman itu,
organisasi civil society dan negara berasal dari definisi yang sama,
yakni koinomia politike (masyarakat politik) dimana setiap manusia,
entah sebagai pribadi, keluarga, organisasi sosial dan ekonomi, atau
birokrat negara, dikenal sebagai zoon politicon (makhluk politik).79
Mereka termasuk dalam bagian masyarakat madani karena memiliki
tujuan yang sama dalam usaha untuk berkontribusi terhadap
kepentingan publik. Dalam negara yang sedang mengalami transisi
demokrasi, kehadiran keluarga, masyarakat ekonomi, partai politik dan
civil society merupakan bagian yang tidak bisa dipisahkan dalam proses
pemantapan demokratisasi. Linz dan Stepan, sebagaimana yang dikutip
oleh Aditya Perdana, menyatakan bahwa kehadiran civil society dan
partai politik adalah bagian yang penting untuk menciptakan
konsolidasi demokrasi. Selain itu, juga kehadiran birokrasi yang efektif,
kehadiran masyarakat ekonomi yang juga kondusif dan taatnya aturan
terhadap hukum secara bersama-sama. Kehadiran civil society yang
dijamin kebebasannya bertujuan untuk menopang bagi
keberlangsungan partai politik, terutama untuk menghasilkan
78
Aditya Perdana, “Civil Society dan Partai Politik dalam Demokratisasi di
Indonesia,” 2-3. 79
Neera Chandhoke, Benturan Negara dan Masyarakat Sipil, 115.
51
kebijakan-kebijakan yang berpihak kepada masyarakat. Tugas civil
society adalah menghasilkan gagasan-gagasan yang konstruktif dalam
pembangunan dan juga memonitor aparat negara serta kelompok-
kelompok ekonomi. Sementara itu, tugas partai politik adalah
menghasilkan dan membentuk konstitusi dan aturan-aturan perundang-
undangan, mengontrol aparat birokrasi dan juga menghasilkan produk-
produk kerangka kebijakan bagi semua pihak, termasuk kelompok
ekonomi, kelompok publik, dan kelompok private.80
Dalam kerangka masyarakat madani sebagai tujuan, menurut
penulis, lebih fleksibel untuk proses demokratisasi. Penulis mendukung
pendapat Chandoke dan Janoski. Dalam penilaian Chandoke, sebagai
nilai dalam konsepsi masyarakat madani harus memiliki beberapa
karakter, di antaranya: a) adanya partisipasi politik,
pertanggungjawaban negara dan publisitas dari politik; b) sebagai
sebuah institusi, civil society ada pada asosiasi, forum-forum
representatif, kebebasan pers, dan asosiasi-asosiasi sosial, baik
keluarga, ormas, partai politik, masyarakat ekonomi, dan lain
sebagainya; 3) perlindungan dari civil society adalah berhubungan
dengan hak-hak individual dan umum; 4) anggota civil society adalah
semua individu yang dilindungi oleh hukum.81
Berdasarkan paparan di atas, sebagaimana yang akan dikaji lebih
dalam pada bab-bab berikutnya, masyarakat madani yang akan
dijadikan acuan kerangka penelitian ini adalah masyarakat madani
sebagai tujuan bukan sebagai organisasi. Penggunaan kata civil society
disepadankan dengan masyarakat madani. Meskipun, menurut penulis,
sebagaimana yang akan diuraikan berikut ini, terma masyarakat madani
lebih luas cakupannya dari civil society. Karena, sesuai dengan spirit
Pancasila, terlebih lagi dengan ajaran Islam, masyarakat madani yang
tumbuh dan berkembang di Indonesia, harus berlandaskan atas
Ketuhanan yang Maha Esa. Civil society dalam hal ideologi, ia bebas
nilai. Masyarakat atheis-pun, dalam paradigma ini , dengan catatan ia
berbentuk organisasi masyarakat mandiri pengontrol negara dan
bertujuan mensejahterakan rakyat dengan berdemokratisasi, maka layak
menjadi bagiannya. Tidak demikian halnya dengan masyarakat madani.
Kelompok masyarakat itu, selain persyaratan sebagai civil society, juga
harus berlandaskan atas asas ketuhanan.
80
Aditya Perdana, “Civil Society dan Partai Politik dalam Demokratisasi di
Indonesia,” 5. 81
Neera Chandhoke, Benturan Negara dan Masyarakat Sipil, 116-117.
52
B. Masyarakat Madani dalam Peradaban Dunia Islam
Masyarakat madani terbentuk dari gabungan kata “masyarakat”
dan “madani.” Kedua kata tersebut, sama-sama merupakan kata serapan
dari bahasa Arab yang telah dibakukan ke dalam kosa kata bahasa
Indonesia. Oleh karenanya, agar mudah memahami konsep ini, maka
akan di paparkan pengertian kedua kata tersebut.
Kamus Besar Bahasa Indonesia mendefinisikan kata masyarakat
dengan arti, “sejumlah manusia dalam arti seluas-luasnya dan terikat
oleh suatu kebudayaan yang mereka anggap sama.82
Kata masyarakat
sendiri, berasal dari bahasa Arab, yaitu akar katanya terdiri dari
huruf sh (ش), ra (ر), dan kaf (ك). Dari akar kata itu terbentuk kata-
kata seperti, shirk, sharīkat, dan shirkah-sharikah. Kata pertama,
menurut Kamus al-Munawwir berarti bersekutu. Kata kedua
memiliki makna perserikatan, perkumpulan, perhimpunan, golongan
atau kumpulan.83
Sedangkan kata ketiga menurut Kamus al-Maurid,
bermakna company, corporation, firm, business, partnership, dan
assosiation.84
Dalam kamus al-Munjid dikatakan bahwa al-sharīkat
adalah “85”اإلختالط yang berarti bercampur.
Selain kata tersebut, istilah masyarakat dalam bahasa Arab, juga
biasa disebut dengan al-mujtama’.86
Kamus al-Maurid mengartikan
mujtama’ dengan makna مجاعة الناس. Kata ini bermakna society,
human society, dan community. 87 Lebih spesifik, Louis Ma’luf
mendefinisikan arti al-mujtama’ adalah جمازا على مجاعة من الناس خاضعني
82
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa
Indonesia (Jakarta: Balai Pustaka, 1989), 564. 83
Ahmad Warson al-Munawwir, Kamus al-Munawwir (Surabaya: Pustaka
Progressif, 1997), 715. Lihat juga Mahmud Yunus, Kamus Arab Indonesia
(Jakarta: Hidakarya Agung, 1992), 196. 84
Rūhī al-Ba’albakī, al-Maurid Qāmūs ‘Arabī-inkalījī, Modern Arabic-English
Dictionary (Bairūt: Dār al-‘Ilm lī al-Malayīn, 1995), 668. 85
Luwis Ma’lūf, al-Munjid fī al-Lugah wa al-‘A’lām (Bairūt: Dār al-
Mashriq, 1977), 384. 86
Asad M. AlKalili, Kamus Indonesia Arab (Jakarta: Bulan Bintang,
1993), 338. Lihat juga Mahmud Yunus, Kamus Arab Indonesia, 91. 87
Rūhī al-Ba’albakī, al-Maurid Qāmūs ‘Arabī-inkalījī, Modern Arabic-English
Dictionary, 977.
53
, لقوانني ونظم عامة 88 suatu kumpulan dari sejumlah manusia yang
tunduk pada undang-undang dan peraturan umum yang berlaku).
Kata mujtama’ dalam hal ini sepadan dengan Oxforddictionaries
dalam kata society dan community. Community menurut kamus
Oxforddictionaries berasal dari bahasa Prancis kuna comunete,
Latin-nya communitas, dari kata communis. Kata ini memiliki
pengertian “a group of people living together and practising common
ownership,” sekelompok orang yang hidup secara bersama dan
menjalankan kepemilikan bersama.89
Sedangkan, kata society memiliki
makna, “the community of people living in a particular country or
region and having shared customs, laws, and organizations, suatu
komunitas manusia yang tinggal di suatu negara atau wilayah tertentu
dan memiliki kebiasaan saling berbagi kewajiban, hukum, dan
organisasi.90
Secara terminologi, menurut penelusuran M. Quraish Shihab
atas ayat-ayat al-Qur’an, disimpulkan bahwa masyarakat adalah
kumpulan sekian banyak individu kecil atau besar yang terikat oleh
satuan, adat, ritus atau hukum, dan hidup bersama.91
Dalam al-
Qur’an terdapat beberapa kata yang digunakan untuk menunjuk kepada
masyarakat atau kumpulan manusia. Antara lain: qawm, ummah, sha'b,
dan qabīlah. Ali Nurdin menambahkan delapan term masyarakat selain
itu, seperti firqah, ṭāifah, ḥizb, fauj, ungkapan yang diawali dengan ahl,
ungkapan yang diawali dengan ālu, al-nās, dan asbāṭ.92
Terma-terma
itu, oleh al-Quran disifati dengan sifat-sifat tertentu, seperti al-mala',
al-mustakbirūn, al-mustadh'afūn, al-muslimūn, al-mu’minūn, al-
mushrikūn, ahl al-Kitāb, dan lain-lain.93
Quraish Shihab dan Dawam
Rahardjo berkesimpulan dari sekian banyak terma masyarakat yang
88
Luwis Ma’lūf, al-Munjid fī al-Lugah wa al-‘A’lām, 902. 89
Lihat entri community,
http://www.oxforddictionaries.com/definition/english/community, diakses 11
September 2014. 90
Lihat entri society,
http://www.oxforddictionaries.com/definition/english/society, diakses 11 September
2014. 91
M. Quraish Shihab, Wawasan al-Qur’an: Tafsir Mandhu’i atas Pelbagai
Persoalan Umat (Bandung: Mizan, 1998), 319. 92
Ali Nurdin, Qur’anic Society: Menelusuri Konsep Masyarakat Ideal dalam al-
Qur’an (Jakarta: Erlangga, 2006), ix-x. 93
Quraish Shihab, Wawasan al-Qur’an ...., 319; Ali Nurdin, Qur’anic
Society: ...., 98.
54
digunakan dalam al-Qur’an, kata ummah yang telah di-Indonesia-kan
menjadi umat, lebih dekat dengan pengertian masyarakat tersebut.94
Kata ummah jamaknya adalah umam berakar dari huruf hamzah (أ)-
mim (م), dan mim (م).95
Dalam bahasa Arab kata ini memiliki makna
dasar asal, tempat kembali, kelompok, agama, masa dan tujuan.96
Di
antara derivasi dari kata itu menjadi umm (ibu) dan imam (pemimpin).
Kata umm mengandung pengertian “kelompok manusia yang
berhimpun karena didorong oleh ikatan-ikatan: a) persamaan sifat,
kepentingan, dan cita-cita; b) agama; c) wilayah tertentu; dan waktu
tertentu.97
Berdasarkan Lisān al-‘Arab kata ummat di antara
pengertiannya adalah: a) al-jamā’ah, suatu golongan manusia; b) setiap
generasi manusia yang disandarkan kepada seorang Nabi, seperti umat
Nabi Ibrahim; 3) setiap generasi manusia adalah umat yang satu dan
bertujuan menempuh jalan yang lurus.98
Abdullāh Yūsuf ‘Alī
menerjemahkan kata ummah dengan people (individu orang),
community (kelompok), juga nation (bangsa).99
Ali Syari’ati memperinci lagi bahwa kata ummah memiliki empat
ciri pokok, yaitu ikhtiar, gerak, tujuan, dan kemajuan. Kesemuanya itu
dikomandoi oleh seorang pemimpin. Dalam definisinya, umat adalah
kumpulan orang yang semua individunya sepakat dalam tujuan yang
sama dan masing-masing membantu agar bergerak ke arah tujuan yang
sama dan diharapkan atas dasar kepemimpinan yang sama.100
Menurut
penulis, ikhtiar, gerak, tujuan, dan kemajuan itu menuju kepada
ummatan wāḥidah (umat yang satu), ummatan wasaṭan (umat adil),
ummatan muqtaṣidah (umat yang moderat), untuk menuju peradaban
yang khairu ummah (umat terbaik) dan baldatun ṭayyibah wa Rabbun
Ghafūr (negara yang sejahtera dan mendapat ampunan oleh Sang
94
M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah Pesan, Kesan dan Keserasian al-
Qur’an,volume 2 (Jakarta: Lentera Hati, 2005), 84-85; M. Dawam Rahardjo,
Ensiklopedi al-Qur’an; Tafsir Sosial Berdasarkan Konsep-konsep Kunci
(Jakarta: Paramadina, 1996), 487. 95
Kata ummah terdapat dalam al-Qur’an berjumlah 64 kali dengan
berbagai derivasinya. Lihat Muḥammad Fu’ad ‘Abd. al-Bāqī, al-Mu’jam al-
Mufahras lī Alfāzh al-Qur’ān al-Karīm (Bairūt: Dār al-Fikr, 1992), 102-103. 96
Ibn Fāris, Mu’jam al-Maqāyīs fī al-Lughah (Bairūt: Dār al-Fikr, 1994), 45. 97
Ibrāhīm Anis, al-Mu’jam al-Wasit, Jilid I (Bairūt: Dār al-Fikr, t.th), 27. 98
Ibn Manzūr, Lisān al-‘Arab (Bairūt: Dār al-Fikr, t.th), 26-28. 99
Abdullāh Yūsuf ‘Alī, the Meaning of the Holy Qur’an (Maryland: Amana
Corporation, 1992), 85, 154-155, 303. 100
Ali Syari’ati, Ummah dan Imamah: Suatu Tinjauan Sosiologis (Pustaka
Hidayah, Bandung, 1995), 23-25.
55
Pemelihara).101
Tujuan masyarakat madani dalam Islam tidak hanya
sekedar berhenti dalam tataran baldatun ṭayyibah (negara yang
sejahtera), namun harus wa Rabbun Ghafūr, bersama ridha dan
ampunan dari Allah Yang Maha Esa.
Kata madani, berakar kata masdar (kata benda) dari rangkaian
huruf dal (د), ya (ي) dan nun (ن) dari fi’il madi (kata kerja) dāna
.(دان)102
Kata tersebut berderivasi di antaranya dalam bentuk kata
dain (mengambil utang) dan dīn (beragama, tunduk, dan pasrah).
Harun Nasution dan Nurcholish Madjid sepakat term dīn
disepadankan dengan agama, undang-undang atau hukum. Dalam
Bahasa Arab, kata tersebut juga berarti menguasai, menundukkan,
patuh, hutang, balasan dan kebiasaan.103
Dīn adalah ikatan-ikatan yang
harus dipegang dan dipatuhi manusia. Antara makna kedua pola ini
(utang dan agama) terdapat hubungan yang erat. Utang adalah
sesuatu yang harus dibayar, dan agama pada hakekatnya adalah
tanggung jawab yang harus ditunaikan umat manusia dalam wujud
pengabdiannya kepada Sang Pencipta. Selain itu, derivasi kata itu
juga menjadi kata Madīnah sebagai ism makān yang merupakan
perubahan dari kata Madyan yang dalam al-Qur’an disebut sebagai
kota tempat tinggal Nabi Syu’aib.104
Dari kata madyan dan madīnah
melalui penyesuaian fonem terbentuklah kata madani sebagai nisbah
dari kata madīnah, yakni kota ideal yang dibangun oleh Nabi saw.
Sehingga, dapat dikatakan secara esensial kehidupan madani
101
Lihat uraian tentang pemaknaan kata tersebut dalam Ali Nurdin, Qur’anic
Society: ...., 100-115. 102
Berdasarkan i’lal, kata dāna berasal dari kata kerja dayana, yadīnu ini
berat diucapkan (tsiqal) dan janggal didengar. Karena itu, dengan tidak
mengubah makna, kata kerja asal itu diubah berdasarkan kaedah isytiqāq
dengan jalan mengganti huruf yā (‘ain) fi’il madhi-nya dengan huruf alīf dan
memberi sukun pada huruf dal (fā) fi’il mudhari’-nya dengan baris kasrah.
Dengan demikian, fi’il (kata kerja) dayana, yadīnu menjadi dāna, yadīnu.
Lihat al-Sayyid Aḥmad al-Hashimī, Jawāhir al-Balāgah fī al-Ma’ānī wa al-
Bayān wa al-Badī’ī (Mesir: Dār al-Fikr, 1991), 7; Ahmad Warson al-
Munawwir, Kamus al-Munawwir, 437-438. 103
Harun Nasution, Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya, Jilid I, (Jakarta:
Penerbit Universitas Indonesia, 1985), 10; Nurcholis Madjid et.al., Fikih Lintas
Agama (Jakarta: Yayasan Wakaf Paramadina bekerjasama dengan The Asia
Foundation, 2004), 45. Lihat juga Abd. Muin Salim, “Elaborasi Bahasa Politik
Islam dalam al-Qur’an” Al-Huda; Jurnal Kajian Ilmu-ilmu Islam, Jakarta:
Vol. 1 No. 2, (2002), 8. 104
Lihat QS. al-Qaṣaṣ/28: 22.
56
ditandai dengan adanya supremasi hukum dalam kehidupan dan
tatanan masyarakat.105
Syed Muhammad Naquib al-Attas, merangkumkan pengertian
tersebut menjadi empat makna utama yaitu, a) keberhutangan; b)
ketundukan; c) kekuatan hukum; d) kehendak hati atau kecenderungan
alamiah. Secara detail al-Attas menjelaskan bahwa fakta bahwa
seseorang yang berhutang ada di bawah kewajiban (dāin).106
Seseorang
yang berhutang di bawah kewajiban secara alamiah melibatkan
pengadilan (al-dainūnah) dan kesaksian (idānah), jika berperkara.
Kasus tersebut hanya mungkin dipraktekkan dalam masyarakat
terorganisir yang terlibat dalam kehidupan niaga di kota dan kota besar.
Sebuah kota atau kota besar (madīnah), memiliki hakim, pengatur, atau
pengelola (dayyān). Jadi hanya dengan menghadirkan berbagai ragam
penggunaan kata kerja dāna, bisa dilihat eksistensi sebuah gambaran
kehidupan yang beradab; lengkap dengan kehidupan sosial, hukum,
tatanan, keadilan, dan otoritas. Hal tersebut menurut al-Attas, secara
konseptual setidaknya terhubung secara intim dengan kata kerja lain
maddana yang berarti membangun atau mendirikan kota, beradab,
memperbaiki dan memanusiakan. Darinya diturunkan istilah lain, yaitu
tamadūn, yang memiliki arti peradaban dan perbaikan kebudayaan
sosial.107
Nurcholish Madjid, pelopor masyarakat madani, lebih luas lagi
mendedahkan kata maddana dan tamaddūn. Menurutnya, perkataan
madīnah dari segi etimologis, berasal dari akar kata yang sama dengan
perkataan madanīyah, yang artinya peradaban (civilization). Secara
harfiah, kata madīnah adalah tempat peradaban atau suatu lingkungan
hidup yang beradab, yang dicirikan dengan kesopanan (civility) dan
tidak liar. Dalam bahasa Arab, padanan istilah madanīyah ialah
ḥaḍārah (حضارة) pengertian asalnya adalah pola hidup menetap di
suatu tempat (sedentary). Pengertian ini amat erat kaitannya dengan
105
Uraian lebih lanjut, lihat Abd. Muin Salim, “Implementasi Manajemen
Rabbani menuju Masyarakat Madani,” Makalah Seminar Nasional IAIN
Alaudin, Ujung Pandang (1999), 4. 106
Syed Muhammad Naquib al-Attas, Prolegomena to the Metaphysics of Islam:
Exposition of the Fundamental Elements of the Worldview of Islam (Kuala Lumpur:
ISTAC, 1995), 41-44. 107
Syed Muhammad Naquib al-Attas, Prolegomena to the Metaphysics of
Islam...., 43-44.
57
istilah thaqāfah (ثقافة), suatu padanan dalam bahasa Arab untuk budaya
(culture).108
Menurut Cak Nur, selain sebagai budaya, kata tersebut
sesungguhnya juga “mengisyaratkan pola kehidupan yang menetap di
suatu tempat tertentu. Sebab peradaban dan kebudayaan, dalam arti
idealnya, dapat diwujudkan hanya melalui pola kehidupan sosial yang
menetap (sedentary), tidak berpindah-pindah, seperti dalam pola
kehidupan kaum nomad. Oleh karena itu, konsep madanīyah tersebut
akan menjadi lebih tajam pengertiannya, jika diletakkan dalam konteks
pola kehidupan yang umum terdapat di Jazirah Arabia saat itu, yaitu
pola kehidupan badāwah, bādiyah atau badw, yang mengandung
makna pola kehidupan berpindah-pindah, nomad, dan tidak teratur,
khususnya pola kehidupan gurun pasir. Bahkan, sesungguhnya istilah
itu mengisyaratkan pola kehidupan primitif (tingkat permulaan),
sebagaimana ditunjuk oleh etimologi istilah badāwah itu. Orang yang
berpola kehidupan berpindah-pindah, tidak teratur, dan kasar disebut
orang badāwī atau badawī. Kata tersebut, menurut Nurcholish Madjid
dipinjam dalam bahasa Inggris menjadi bedouin, sebagai lawan dari
mereka yang disebut kaum ḥaḍarī atau madanī.”109
Menurut Hamid Fahmy Zarkasi, Islam yang diturunkan sebagai
dīn, sejatinya telah memiliki konsep seminalnya sebagai peradaban.
Sebab kata dīn itu sendiri telah membawa makna keberhutangan,
susunan kekuasaan, struktur hukum, dan kecenderungan manusia untuk
membentuk masyarakat yang mentaati hukum dan mencari pemerintah
yang adil.110
Artinya dalam istilah dīn itu tersembunyi suatu sistem
kehidupan. Oleh sebab itu ketika dīn (agama) Allah yang bernama
Islam itu telah disempurnakan dan dilaksanakan di suatu tempat, maka
tempat itu diberi nama Madīnah.111
Dari akar kata dīn dan Madīnah ini
lalu dibentuk akar kata baru madana, yang berarti membangun,
mendirikan kota, memajukan, memurnikan dan memartabatkan.112
Dari
akar kata madana lahir kata benda tamaddun yang secara literal berarti
peradaban (civilization) yang berarti juga kota berlandaskan
108
Budhy Munawar-Rachman, Ensiklopedi Nurcholis Madjid, Edisi Digital Jilid
III M-P (Jakarta: Democracy Project, 2012), 1745. 109
Budhy Munawar-Rachman, Ensiklopedi Nurcholis Madjid, 1745-1746. 110
Syed Naquib al-Attas, Islam, Religion and Morality, dalam Prolegomena to the
Metaphysics of Islam (Kuala Lumpur: ISTAC, 1995), 43-44. 111
Sebelumnya kota Madinah dikenal dengan nama Yathrib. 112
Ibn Manżūr. Lisān al-‘Arab, jilid 13, (Beirut: Dār al-Jayl & Dār Lisān al-'Arab,
1988), 402
58
kebudayaan (city base culture) atau kebudayaan kota (culture of the
city). Di kalangan penulis Arab, perkataan tamaddun digunakan untuk
pertama kalinya oleh Jurji Zaydan dalam sebuah judul buku Tārīkh al-
Tamaddun al-Islāmī (Sejarah Peradaban Islam), terbit 1902-1906.
Sejak itu perkataan Tamaddun digunakan secara luas dikalangan umat
Islam. Di dunia Melayu tamaddun digunakan untuk pengertian
peradaban. Di Iran orang dengan sedikit berbeda menggunakan istilah
tamaddon dan madaniyat. Namun di Turkey orang dengan
menggunakan akar madīnah atau madana atau madaniyyah
menggunakan istilah medeniyet dan medeniyeti. Orang-orang Arab
sendiri pada masa sekarang ini menggunakan kata ḥadārah untuk
peradaban, namun kata tersebut tidak banyak diterima umat Islam non-
Arab yang kebanyakan lebih menyukai istilah tamaddun. Di anak
benua Indo-Pakistan tamaddun digunakan hanya untuk pengertian
kultur, sedangkan peradaban menggunakan istilah tahdhīb.113
Berdasarkan hasil telaahan Syukron Kamil, masyarakat madani
dalam perkembangannya dikenal dengan istilah al-mujtama al-
madanī ( ع املدىناجملتم ).114
Sementara itu, secara konseptual, menurut
Dawam Rahardjo, yang membawa pertama kali istilah masyarakat
madani di Indonesia adalah Anwar Ibrahim yang saat itu menjabat
sebagai Menteri Keuangan dan Asisten Perdana Menteri Malaysia,
menyampaikan pidatonya pada Simposium Nasional pada Festival
Istiqlal 1995. Masyarakat madani adalah masyarakat yang bermoral,
masyarakat yang menjamin keseimbangan antara kebebasan perorangan
dengan kestabilan masyarakat, masyarakat yang mampu mendorong
daya usaha dan inisiatif individu.115
Lebih lanjut, menurut Anwar
Ibrahim, masyarakat madani harus berlandaskan kepada masyarakat
yang berilmu, yang mendorong pembangunan dan kemajuan
berlandaskan akhlak dan nilai etika. Pencapaiannya adalah dengan
pelaksanaan ekonomi kerakyatan dan budaya masyarakat. Ungkapan
113
Hamid Fahmy Zarkasi, “Membangun Kembali Peradaban Islam Secara
Sinergis, Simultan, dan Konsisten,” Makalah Insida, Gontor, 22 Februari (2007), 2-3. 114
Sukron Kamil, Pemikiran Politik Islam Tematik, 125. Juga wawancara penulis
dengan Sukron Kamil di Kampus Psikologi, 23 Mei 2014. 115
M. Dawam Raharjo, “Masyarakat Madani Di Indonesia: Sebuah Penjajakan
Awal,” 23.
59
al-mujtama’ madanī, dipopulerkan oleh ulama dan reformis Mesir
Sheikh Muhammad Abduh116
dan kemudian Naquib al-Attas.117
Nurcholish Madjid menjelaskan pada hakikatnya masyarakat
madani adalah reformasi total terhadap masyarakat tak kenal hukum
(lawless), dan terhadap supremasi kekuasaan pribadi seorang penguasa
seperti yang selama ini menjadi pengertian umum tentang negara.118
Oleh karena itu, menurutnya Bahtiar Effendy, civil society dengan enak
dicarikan padanannya dalam kosa-kata Melayu masyarakat madani.119
Bahkan Effendy menambahkan, justru salah-kaprah jika
menterjemahkan civil society dengan masyarakat sipil meski secara
verbatin semata hal itu dibenarkan. Landasan inilah yang oleh penulis
dalam kajian ini untuk lebih memakai istilah masyarakat madani di
bandingkan degan memakai istilah civil society.
Dalam ulasan Nurcholish Madjid, Rasulullah Muhammad di kota
Madinah membangun masyarakat madani yang keadilan, keterbukaan,
dan demokratis, dengan landasan paling pokok yaitu takwa kepada
Allah dan taat kepada ajaran-Nya. Takwa kepada Allah dalam arti
semangat Ketuhanan Yang Maha Esa sebagaimana yang menjiwai
Pancasila. Peristilahan tersebut dalam Kitab Suci al-Qur’an disebut
semangat rabbāniyah,120
Tidak wajar bagi seseorang manusia yang Allah berikan kepadanya al-Kitab,
hikmah dan kenabian, lalu Dia berkata kepada manusia: "Hendaklah kamu menjadi
penyembah-penyembahku bukan penyembah Allah." Akan tetapi (dia berkata):
"Hendaklah kamu menjadi orang-orang rabbānī (orang yang sempurna ilmu dan
116
Anwar Ibrahim, “Akhlak, Ilmu & Etika Asas Masyarakat Madani,” dalam
http://anwaribrahimblog.com/?s=masyarakat+madani, diakses tanggal 1Februari
2014. 117
Adi Suryadi Culla, Rekonstruksi Civil Society....., 37. 118
Nurcholish Madjid, Cita-cita Politik Islam Era reformasi (Jakarta: Paramadina,
1999), 164. 119
Bahtiar Effendy, “Wawasan Al-Qur’an Tentang Masyarakat Madani,” Jurnal
Pemikiran Islam Paramadina, Vol I, No. 2, (1999), 76. 120
Nurcholish Madjid, Cita-cita Politik Islam Era reformasi, 167.
60
takwanya kepada Allah Swt.), karena kamu selalu mengajarkan Al kitab dan
disebabkan kamu tetap mempelajarinya. (QS. Ali Imran/3: 79).
Selain bercirikan masyarakat rabbāniyyah (orang yang sempurna
ilmu dan takwanya kepada Allah Swt.), juga bercirikan ribbiyyah.
Dalam al-Qur’an ayat tersebut dijelaskan:
Dan berapa banyaknya Nabi yang berperang bersama-sama mereka sejumlah
besar dari pengikut (nya) yang bertakwa. Mereka tidak menjadi lemah karena
bencana yang menimpa mereka di jalan Allah, dan tidak lesu dan tidak (pula)
menyerah (kepada musuh). Allah menyukai orang-orang yang sabar. (QS. Ali
Imran/3: 146).
Menurut Nurcholish Madjid, rabbaniyah dan ribbiyah merupakan
ḥablun min Allāh, tali hubungan dengan Allah, dimensi vertikal hidup
manusia, salah satu jaminan untuk manusia agar tidak jatuh hina dan
nista. Semangat Rabbāniyyah atau ribbiyyah itu, jika cukup tulus dan
sejati, akan memancar dalam semangat perikemanusiaan, yaitu
semangat insaniyah, atau bashariyah, dimensi horisontal hidup
manusia, ḥablun min al-nās. Kemudian pada urutannya, semangat
perikemanusiian itu sendiri memancar dalam berbagai bentuk
hubungan pergaulan manusia yang penuh budi luhur. Masyarakat
berbudi luhur atau berakhlak mulia itulah, masyarakat berperadaban,
masyarakat madani. Masyarakat Madani yang dibangun Nabi itu, oleh
Robert N. Bellah, sebagaimana dikutip Nurcholish Madjid, disebut
sebagai masyarakat yang untuk zaman dan tempatnya sangat modern,
bahkan terlalu modern, sehingga setelah nabi sendiri wafat tidak
bertahan lama. Timur tengah dan umat manusia saat itu belum siap
dengan prasarana sosial yang diperlukan untuk menopang suatu tatanan
sosial yang modern seperti dirintis Nabi.121
Nurcholish Madjid merealisasikan prototype masyarakat madani
dengan membentuk organisasi Paramadina. Menurut penjelasan Andi
Faisal Bakti,122
Parama berasal dari bahasa Latin, akar kata dari kata
121
Nurcholish Madjid, Cita-cita Politik Islam Era reformasi, 168-169. 122
Andi Faisal Bakti, “Daarut Tauhiid: New Approach to Dakwah for Peace in
Indonesia,” Jurnal Kajian Dakwah dan Komunikasi, Vol 8, No. 1, Juni (2006): 1-29;
“Majelis Az-Zikra: New Approach to Dakwah for Civil Society in
61
bahasa Inggris, prime, yang memiliki makna utama atau inti. Kata dina
diambil dari dua kosa kata bahasa Arab dīn-nā, yang berarti agama kita.
Dengan dimikian, penggunaan istilah “paramadina” secara simbolik
menunjukkan maksud dan tujuan organisasi tersebut, yakni menggali
kembali dan mengembangkan pengertian yang benar tentang inti utama
ajaran agama yang kita anut. Inti ajaran agama tersebut diyakini
sebagai ajaran hidup kemanusiaan dan universal berdasarkan prinsip
pokok Ketuhanan Yang Maha Esa sebagaimana yang disampaikan oleh
para Nabi dan Rasul yang telah diutus oleh Allah kepada setiap umat.
Nabiyullāh dan Rasūlullāh terakhir, Muhammad Saw., dalam
kepemimpinannya di Madinah memberikan suri tauladan bagaimana
mewujudkan kehidupan dengan semangat ketauhidan. Spirit religiusitas
tersebut berkesinambungan secara harmonis dengan tatanan sosial dan
politik yang berasaskan paham kemajemukan (pluralis) dan yang serba
meliputi (inklusif) aspek-aspek kehidupan. Madinah menjadi blue print
komunitas kehidupan sosial dan bernegara secara modern, di samping
menjadi tipe nasionalisme partisipatoris egaliter (madani).123
Penyetaraan ini juga menunjukkan bahwa di satu sisi Islam berpotensi
untuk diinterpretasi ulang sesuai dengan perkembangan zaman, dan di
sisi lain, masyarakat Madinah merupakan proto-type masyarakat ideal
produk Islam yang bisa dipersandingkan dengan konsep civil society.
Dengan demikian, konsep masyarakat madani menggambarkan bentuk
dialog antara Islam dengan modernitas.
Uniknya, kalangan cendekiawan tradisionalis NU (Nahdlatul
Ulama) lebih memilih tetap tidak menterjemahkan dan menyepadankan
terma civil society dengan terma masyarakat madani. Untuk terma
demokrasi, kalangan tradisionalis ini tidak keberatan disepadankan
dengan terma musyawarah. Namun untuk civil society, kemungkinan
karena yang menggagas adalah intelektual-intelektual ICMI dan
Muhammadiyah, mereka menolak penggunaan istilah masyarakat
madani dengan berlindung pada gramatika Arab dari derivasi kata
madani. Sukron Kamil secara lebih implisit menjelaskan bahwa
Indonesia,” Mimbar Agama dan Budaya, Vol. 23, No. 1 Juni, (2006):14-24; Andi
Faisal Bakti, “Islam and Modernity: Nurcholish Madjid Interpretation of Civil
Society, Pluralism, Secularism and Democracy.” Asian Journal of Social Sciences,
Brill, Leiden, Vol 33, No. 3, November (2005): 486-505. 123
Nurcholish Madjid, “Mewujudkan Masyarakat Madani di Era Reformasi,”
Titik Temu Jurnal Peradaban, Vol. 2, No. 2, Januari – Juni (2009), 14; Andi Faisal
Bakti, “Paramadina and its Approach to Culture and Communication: an Engagement
in Civil Society,” Archipel Vol. 68, Paris (2004), 319.
62
perbedaan itu karena perbedaan cara pandang terhadap Islam dan juga
kepentingan sosial.124
Sahal Mahfudz lebih menyukai menggunakan terma masyarakat
mutamaddun dari pada masyarakat madani.125
Hikam menambahkan
bahwa contoh sosial kota Madinah yang dijadikan landasan pemikiran
kaum masyarakat madani dianggap kurang mencerminkan relevansi
dengan Indonesia. Ia berargumentasi:
“Saya pernah terlibat dalam perdebatan dengan tokoh-tokoh pendukung
gagasan “masyarakat madani.” Mengenai itu, M. Dawam Rahardjo dan
Nurcholish Madjid (Cak Nur) masih menekankan visi yang partikularistik, yakni
bahwa Islam itu merupakan alternatif visi atas civil society. Padahal, sebuah visi
tidak harus berupa alternatif, tetapi yang ditekankan seharusnya adalah
bagaimana bisa bersama-sama dengan yang lain. Namun Cak Nur mengatakan
bahwa Islam itu harus menjadi landasan values bagi masyarakat Indonesia,
seperti Yahudi dan Kristen, yang menjadi landasan bagi masyarakat Barat.
Kendati demikian, bagi saya Islam hanyalah salah satu dari sekian banyak value
system. Saya lebih sepakat dengan Gus Dur bahwa Islam di Indonesia itu bersifat
komplementer. Dan ini jelas berbeda dari Cak Nur yang melihat Islam sebagai
dominant ideology. Sementara itu, Dawam lebih parah lagi. Ia betul-betul
mengarah pada “Islamisasi” civil society. Hal-hal semacam ini tidak perlu
dikomentari, karena sangat partikularistik, walaupun masih menyinggung civil
society. Malah Dawam sendiri mengatakan bahwa “masyarakat madani” bukan
civil society. Dan itu dengan sendirinya sudah clear.126
Abdul Mun’im D.Z, sebagaimana pendapat Mahfudz dan Hikam
juga menolak penggunaan kata masyarakat madani dengan alasan:
“Sejak awal kalangan NU menolak istilah yang merujuk zaman Madinah itu.
Sebab, zaman itu tidaklah seideal seperti yang dimitoskan, sebagaimana kritik
yang disampaikan Said Agil Siradj. Kalangan NU memandang negara Indonesia
harus dibangun berdasarkan pengalaman modern saat ini, tidak harus merujuk ke
zaman Islam klasik.”127
124
Sukron Kamil, Pemikiran Politik Islam Tematik: Agama dan Negara,
Demokrasi, Civil Society, Syari’ah dan HAM, Fundamentlisme, dan Antikorupsi
(Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2013), 135. 125
Andi Faisal Bakti, Andi Faisal Bakti, “Paramadina and its Approach to
Culture and Communication: an Engagement in Civil Society,” 318. 126
Muhammad A.S. Hikam, “Pengantar (1) Nahdatul Ulama, Civil Society, dan
Proyek Pencerahan,” dalam Ahmad Baso, Civil Society versus Masyarakat Madani,
11. 127
Dikutip dari Ahmad Baso, Civil Society versus Masyarakat Madani, 250-251.
63
Ahmad Baso menilai Madinah di masa Nabi yang dijadikan rujukan
kaum modernis dalam membentuk masyarakat madani, kurang ideal
untuk menumbukan civil society. Karena, disana ada satu kelompok
yang merasa superior dan yang lain dianggap inferior. Hal ini sangat
jelas ketika Nabi Saw mengatakan “al-a’immatu min quraisy”. Alam
pikiran masyarakat saat itu mengatakan Quraisy adalah suku kelas satu
sehingga mempunyai hak istimewa yang tidak dimiliki suku lain, yaitu
hak untuk menjadi pemimpin. Hal-hal inilah yang lepas dari
pengamatan kaum modernis ketika membaca kitab-kitab Ibn Hisham,
Ibn Qutaybah, al-Thabari, al-Maqrizi atau Ibn Khaldun. Maka, dengan
mengambil contoh kewargaan Madinah, ada kekhawatiran sistem
masyarakat madani yang akhirnya mengendalikan negara, akan
dikuasai oleh ideologi kelompok tertentu dan menafikan kelompok lain.
Masyarakat madani meniscayakan negara yang dikuasai oleh suatu
paham agama tertentu, jelas ini berbeda dengan prinsip civil society
yang mencita-citakan persamaan (egalitarianism).128
Menurut penulis, keberatan Kalangan NU, dengan kukuh memakai
terma civil society justru malah terjebak sendiri dengan argumen
penolakan terhadap kelompok masyarakat madani. Alih-alih
memperadabkan masyarakat Indonesia, mereka kembali berkubang ke
civil society yang berdimensi individualisme, dan sekulerisme
ketimbang minimal pendukung pemikiran Gusdurian yang terkenal
dengan pribumisasi keislaman. Sebagaimana dikutip oleh Cahyadi,
Wernerngin Jaeger (1954) mengingatkan bahwa visi budaya (paideia)
kemanusiaan yang menjadi spirit demokrasi dan civil society sejak
zaman Romawi dan Yunani, masa tengah “medieval age,” (abad ke-14-
15) hingga zaman masa modern di atas, adalah visi renascentia
romanitatis, kelahiran kembali ajaran kemanusiaan orang-orang
Romawi kuna. Visi yang membedakan mana homo-humanus sebagai
“subyek diri” dan homo-barbarus sebagai objek “the others.”129
Pendapat Jaeger senada dengan kritikan civil society oleh Ehrenberg
(1996).130
Menurutnya, dalam tradisi Romawi Kuna hingga zaman
128
Lihat lebih detail dalam Ahmad Baso, Civil Society versus Masyarakat
Madani: Arkeologi Pemikiran “Civil Society” dalam Islam Indonesia (Bandung:
Pustaka Hidayah, 1999) 129
Lihat Werner Jaeger, Paideia: The Ideals of Greek Culture, Vol. 1 Archaic
Greece: The Mind of Athens (terj) Gilbert Highet (Oxford: Basil Blackwell, 1954), 3-
14. 130
Lihat John Ehrenberg, Civil Society: the Critical History of an Idea (New
York dan London: New York University Press, 1999), 3.
64
renaisance, “the others” adalah orang asing. Makhluk asing itu
makhluk yang berada di luar hubungan darah (etnos) dalam sebuah
bangsa, dan karena itu sah untuk dibinatangkan (barbar). Dalam tradisi
Romawi kuno, “the others” adalah homo barbarus. Para bangsawan
adalah homo humanus (manusia humanis) atau dalam tradisi Yunani
adalah makhluk rasional (zoon logon ekhon).131
Lebih jauh, uniknya lagi, Frans Magnis Suseno, Romo Katolik,
menolak kesekuleran civil society di atas. Ia-pun mendobrak ‘tembok
maha sempit,’ pakem dan claim batasan sejarah civil society tersebut.
Beliau tidak keberatan dengan dan memakai istilah masyarakat madani.
Ia juga memperluas batasan cakrawala masyarakat madani dapat
dirunut pada tradisi religiusitas Ibrahimiyyah, sebagai Bapak
Monoteistik. Ibrahim memproklamirkan kekeliruan laku-praktek
keagamaan dan praktek sosial yang berlaku di tanah kelahirannya,
bukan dengan wahyu semata, akan tetapi terdahulu dengan ke-swa-
mandiriannya menjadi oposisi dan mitra negara.132
Ia menyimpulkan:
Diperlukan keruntuhan tatanan feodal Abad Pertengahan dan pandangan
dunianya yang hirarkis, baru pandangan tentang manusia yang egalitarian itu
dapat menjadi operasional secara politis. Akan tetapi sangat pentinglah asal-usul
religius dan filosofis itu diingat. Jadi paham dasar martabat manusia, kesamaan
hakiki semua orang dalam martabat itu, dan oleh karena itu perlunya kekuasaan
politik memiliki legitimasi rasional bukanlah sesuatu yang secara spesifik
“Barat.” Paham-paham itu berasal dalam sebuah lingkungan yang sekurang-
kurangnya merangkum seluruh dunia Yahudi, Kristen, dan Islam. Maka (semisal)
cita-cita demokratis bukanlah semuanya merupakan anak pemikiran pencerahan
akal budi. Pandangan dasar tentang apa itu manusia jauh lebih luas daripada apa
yang diperlihatkan oleh wajah Barat...... Yang memberikan wajah khas Barat....
adalah kenyataan bahwa dasar-dasar filosofisnya baru menjadi operasional secara
sosial dan politik sesudah munculnya masyarakat pasca-tradisional yang karena
alasan-alasan yang tidak perlu saya masuki di sini secara historis terjadi dalam
apa yang kita sebut “Barat.”133
131
Bandingkan juga dengan Edward Said, Orientalisme (terj.) Asep Hikmat
(Bandung: Pustaka, 1996), 74-75. 132
Frans Magnis Suseno, “Demokrasi: Tantangan Universal,” dalam M. Nasir
Tamara dan Elza Peldi Taher, Agama dan Dialog antar Peradaban (Jakarta:
Paramadina, 1996), 129-130. Lihat pula entri “Civilization, Concept and History of,”
dalam International Encyclopedia of the Social & Behavioral Sciences, (Tp; Elsevier
Science Ltd., 2001), 1903. 133
Frans Magnis Suseno, “Demokrasi: Tantangan Universal,” dalam M. Nasir
Tamara dan Elza Peldi Taher (ed.) Agama dan Dialog Antar Peradaban (Jakarta:
Paramadina, 1996), 130.
65
Meskipun demikian, pendapat kalangan NU di atas, sebagaimana
disinyalir oleh Effendi, ada benarnya, karena sampai saat ini seringkali
Islam dipandang sebagai sesuatu yang berlawanan dengan kehidupan
masyarakat madani. Paling tidak, sulit untuk menemukan negara
Muslim dalam praktik yang mengembangkan kehidupan masyarakat
madani.134
Namun bukan berarti juga menjadi apatis untuk dapat
membentuk masyarakat yang madani sebagaimana yang pernah
diterapkan Rasulullah. Untuk membumikan Islam di Indonesia
sebagaimana yang dikehendaki Gus Dur, seharusnya yang dipilih
adalah terma jumbuhing kawulo-gusti.
Menurut Bambang Pranowo, ungkapan Jawa di atas merupakan
kearifan lokal masyarakat madani yang khas bangsa Indonesia,
semakna dengan manunggaling kawulo ing gusti. Dalam khazanah
tasawuf, konsep itu umum dikenal sebagai bersatunya hamba dengan
Penciptanya. Namun, lebih luas konsep itu juga bisa dipakai untuk
khazanah politik. Adagium itu dalam hal ini bermakna bersatunya
antara rakyat dengan negara. Gusti, bagi manusia Jawa, tidak hanya
bermakna Tuhan, ia juga bermakna kepala pemerintahan.135
Dalam
bahasa pedalangan dikatakan “gung binathara bau dhendha
nyakrawati,” Raja yang memiliki pribadi agung, suci berwibawa,
bijaksana, menjaga keadilan dan menegakkan hukum dianggap sebagai
wakil Tuhan di bumi. Dalam konsep kekuasaan Jawa tersebut,
pemberian kekuasaan yang besar kepada raja diimbangi dengan
ketentuan bahwa raja harus bijaksana. Seorang raja harus bersifat
“berbudi bawa leksana, ambeg adil para marta,” meluap budi luhur
mulia dan sifat adilnya terhadap sesama. Selain itu, tugas raja adalah
“anjaga tata titi tentreming praja”, yakni menjaga keteraturan dan
ketentraman hidup rakyat demi tercapainya suasana “karta tuwin
raharja,” aman dan sejahtera.136
Menurut penulis, menariknya lagi, kata madani, dalam bahasa jawa
bermakna menyamai, sepadan, sederajat, selevel dan setingkat.
Sehingga, dalam konsep politik, karena domainnya adalah relasi antara
rakyat dan negara, maka tentu saja yang dimaksud dengan masyarakat
134
Bachtiar Effendi, “Wawasan Al-Qur’an Tentang Masyarakat Madani,” 78. 135
Bambang Pranowo, “Islam and Social Change,” dalam Mata Kuliah SPs UIN
Jakarta, 4 November, 2013. 136
HAR. Tilaar, “In Search of New Paradigms in Educational anagement and
Leadership Based on Indigenous Culture: The Indonesian Case,” dalam HAR. Tilaar,
Beberapa Agenda Reformasi Pendidikan Nasional dalam Perspektif Abad 21
(Magelang: Tera, 1998), 196.
66
madani versi jawa adalah masyarakat yang sederajat, sepadan, dengan
negara dalam mengelola pemerintahan yang baik (good governance).
Dalam cerita Dewa Ruci, kesentausaan yang diraih oleh sang Bima
sebagai gusti bukanlah ketika ia telah mensejahterakan dirinya. Akan
tetapi ketika ia mampu menyatukan diri dengan rakyatnya bersama
membangun negara yang adil dan makmur.137
Dengan demikian, berdasarkan paparan di atas, dapat disimpulkan
bahwa masyarakat madani merupakan padanan dari civil society.
Masyarakat madani bersama dengan negara, bahu-membahu
mengawasi jalannya roda pemerintahan secara demokratis. Secara
konseptual, civil society dalam garis besarnya terbagi menjadi dua
kelompok utama. Pertama, civil society vis a vis negara. Paradigma ini
mendasarkan pandangan berada di luar pemerintahan dan menjadi
oposisi yang kritis terhadap kebijakan negara. Partai politik oleh
kelompok ini dianggap sejajar dengan negara dan sebagai bagian dari
political society (masyarakat politik), bukan bagian dari civil society.
Kedua, civil society sebagai mitra negara. Menurut mereka, apapun
bentuk dari suatu perkumpulan masyarakat, tak terkecuali partai politik,
bisa bekerja sama dengan Negara untuk membentuk suatu masyarakat
yang civil society. Meskipun sama, masyarakat madani memiliki
kekhasan tersendiri dibanding civil society. Religiusitas, satu hal yang
membedakan antara masyarakat madani dan civil society.
Pemerintah Republik Indonesia di bawah pemimpin BJ. Habibie
(21 Mei 1998 – 20 Oktober 1999) secara legal konstitusional
mengukuhkan penggunaan istilah masyarakat madani sebagai
prakondisi menuju demokratisasi Indonesia. Hal tersebut tertuang
melalui Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 198 Tahun
1998 Tentang pembentukan Tim Nasional Reformasi Menuju
Masyarakat Madani. Tujuannya merumuskan rekomendasi
kebijaksanaan antisipatif untuk mempersiapkan berbagai aspek
kehidupan bangsa dan negara.138
Tim tersebut diberi tugas untuk
membahas masalah-masalah pokok yang harus disiapkan untuk
membangun masyarakat madani Indonesia, yaitu di antaranya: Pertama,
menghimpun tentang transformasi ekonomi, politik , hukum, sosial dan
137
Lihat Hamid Nasuhi, Serat Dewa Ruci: Tasawuf Jawa Yasadipura I (Jakarta:
Ushul Press, Lembaga Peningkatan dan Jaminan Mutu, dan UIN Jakarta Press, 2009). 138
Lihat Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 198 Tahun 1998
Tentang Pembentukan Tim Nasional Reformasi Menuju Masyarakat Madani yang
ditetapkan di Jakarta pada tanggal 7 Desember 1998 oleh Presiden Republik
Indonesia, Bacharuddin Jusuf Habibie.
67
budaya serta pemikiran dampak globalisasi terhadap berbagai aspek
kehidupan bangsa. Kedua, merumuskan rekomendasi serta pemikiran
tentang upaya untuk mendorong transformasi bangsa menuju
masyarakat madani. Tim Nasional tersebut terbagi kedalam tujuh
kelompok, yaitu: Kelompok Reformasi Ekonomi; Kelompok Reformasi
Tekno Industri; Kelompok Reformasi Politik; Kelompok Reformasi
Kelembagaan; Kelompok Reformasi Sosial Budaya; Kelompok
Reformasi Hukum dan Perundang-Undangan; Kelompok Reformasi
Pendidikan dan Pengembangan Sumber Daya Manusia.139
Secara konseptual, menurut Dawam Rahardjo, yang membawa
pertama kali istilah masyarakat madani di Indonesia adalah Anwar
Ibrahim yang saat itu menjabat sebagai Menteri Keuangan dan Asisten
Perdana Menteri Malaysia, menyampaikan pidatonya pada Simposium
Nasional pada Festival Istiqlal 1995. Masyarakat madani adalah
masyarakat yang bermoral, masyarakat yang menjamin keseimbangan
antara kebebasan perorangan dengan kestabilan masyarakat,
masyarakat yang mampu mendorong daya usaha dan inisiatif
individu.140
Lebih lanjut, menurut Anwar Ibrahim, masyarakat madani
tidak bisa dipisahkan dengan akar kata dīn dalam konsep Madinah dan
tamadun. Masyarakat madani harus berlandaskan kepada masyarakat
yang berilmu, yang mendorong pembangunan dan kemajuan
berlandaskan akhlak dan nilai etika. Pencapaiannya adalah dengan
pelaksanaan ekonomi kerakyatan dan budaya masyarakat. Masyarakat
madani sepadan dengan ungkapan mujtama’ madani, yang pernah
dipopulerkan oleh ulama dan reformis Mesir Sheikh Muhammad
Abduh.141
Istilah inipun terbilang baru, Naquib al-Attas, seorang ahli
sejarah dan peradaban Islam, yang mula-mula mencetuskannya. Kata
“madani” pada masyarakat madani dipadankan dengan kata hadlari,
139
Menurut penulis, Habibie menggunakan terma masyarakat madani merupakan
pengaruh dari anggota-anggota Tim Nasional yang mayoritas adalah anggota Ikatan
Cendekiawan Muslim se-Indonesia (ICMI). Misalnya, Nurcholis Madjid, Bachtiar
Effendi, Malik Fadjar, Adi Sasono, Marwah Daud Ibrahim, Jimly Asshiddiqie, dan
lain-lain. lihat Lampiran Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 18 Tahun 1999
tentang Susunan Tim Reformasi Menuju Masyarakat Madani. 140
M. Dawam Raharjo, “Masyarakat Madani Di Indonesia: Sebuah Penjajakan
Awal,” 23. 141
Anwar Ibrahim, “Akhlak, Ilmu & Etika Asas Masyarakat Madani,” dalam
http://anwaribrahimblog.com/?s=masyarakat+madani, diakses tanggal 1Februari
2014.
68
tsaqafi atau tamaddun dalam bahasa Arab yang mana mengacu pada
hal-hal yang ideal dalam kehidupan.142
Menurut Schattscheider, masyarakat madani menjadi mitra negara
dalam puncaknya berbentuk sebagai partai politik.143
Partai politik
mempunyai posisi (status) dan peranan (role) yang sangat penting
dalam setiap sistem demokrasi. Partai memainkan peran penghubung
yang sangat strategis antara proses-proses pemerintahan dengan warga
negara. Bahkan banyak yang berpendapat bahwa partai politiklah yang
sebetulnya menentukan demokrasi, seperti dikatakan oleh
Schattscheider, “Political parties created democracy.” Karena itu,
partai merupakan pilar yang sangat penting untuk diperkuat derajat
pelembagaannya (the degree of institutionalization) dalam setiap sistem
politik yang demokratis. Bahkan, oleh Schattscheider dikatakan pula,
“Modern democracy is unthinkable save in terms of the parties.”144
C. Peran Partai Politik dalam Membangun Peradaban Demokrasi
Partai politik sebagaimana masyarakat madani merupakan salah
satu bentuk perwujudan kebebasan berserikat sebagai salah satu
prasyarat berjalannya demokrasi. Kebebasan berserikat lahir dari
kecenderungan dasar manusia untuk hidup bermasyarakat dan
berorganisasi baik secara formal maupun informal. Kecenderungan
demikian itu merupakan suatu keniscayaan (organizational
imperatives).145
Kecenderungan bermasyarakat yang pada prinsipnya
adalah kehidupan berorganisasi timbul untuk memenuhi kebutuhan dan
kepentingan-kepentingan yang sama dari individu-individu serta untuk
mencapai tujuan bersama berdasarkan persamaan pikiran dan hati
142
Adi Suryadi Culla, Rekonstruksi Civil Society....., 37. 143
David Adamany, “The Political Science of E. E. Schattschneider: A Review
Essay,” The American Political Science Review, Vol. 66, No. 4 (Dec., 1972), 1322. 144
SC. Stokes, “Political Parties and Democracy,” 245. Lihat pula Jimly
Asshiddiqie, “Dinamika Partai Politik dan Demokrasi,”
http://jimly.com/pemikiran/makalah?page=7> pada 15 Desember 2013, diakses
tanggal 23 Januari 2014. 145
Jimly Asshiddiqie, Kemerdekaan Berserikat, Pembubaran Partai Politik, dan
Mahkamah Konstitusi (Jakarta: Konstitusi Press, 2005), 44; Anies R Baswedan,
“Political Islam in Indonesia: Present and Future Trajectory,” Asian Survey, 44,
(2004), 669-670; Michael Buehler dan Paige Tan, “Party-Candidate Relationships in
Indonesian Local Politics: A Case Study of the 2005 Regional Elections in Gowa,
South Sulawesi Province,” Indonesia, Vol. 84, (2007), 41-42.
69
nurani.146
Organisasi partai politik dibentuk oleh warga negara untuk
memperjuangkan kepentingan politik. Membentuk suatu organisasi
adalah salah satu wujud dari adanya kebebasan berserikat. Kebebasan
tersebut dipandang merupakan salah satu hak asasi yang fundamental
dan melekat pada manusia sebagai makhluk sosial. Kebebasan
berserikat terkait erat dengan hak atas kemerdekaan pikiran dan hati
nurani, serta kebebasan berekspresi.
Jimly Asshiddiqie dari sisi etimologis menjelaskan bahwa kata
partai berasal dari akar kata part yang berarti bagian atau golongan.
Kata partai menunjuk pada golongan sebagai pengelompokan
masyarakat berdasarkan kesamaan tertentu seperti tujuan, ideologi,
agama, bahkan kepentingan. Pengelompokan itu bentuknya adalah
organisasi secara umum, yang dapat dibedakan menurut wilayah
aktivistasnya, seperti organisasi kemasyarakatan, organisasi
keagamaan, organisasi kepemudaan, serta organisasi politik. Dalam
perkembangannya, kata partai lebih banyak diasosiasikan untuk
organisasi politik, yaitu organisasi masyarakat yang bergerak di bidang
politik.147
Beberapa ahli memberikan konsep tentang partai politik secara
berbeda-beda, namun memiliki elemen-elemen yang hampir sama.
MacIver menyatakan “We may define a political party as an
association organized in support of some principle or policy which by
constitutional means it endavour to make the determinant of
government.”148
Sedangkan Miriam Budiardjo mendefinisikannya
sebagai “Suatu kelompok yang terorganisir yang anggota-anggotanya
mempunyai orientasi, nilai-nilai dan cita-cita yang sama. Tujuan
kelompok ini ialah untuk memperoleh kekuasaan politik dan merebut
kekuasaan politik dengan cara konstutisional untuk melaksanakan
146
Kecenderungan berorganisasi ini menjadi salah satu bagian dari teori
perjanjian sosial yang dikemukakan baik oleh John Locke maupun J.J. Rousseu.
Lihat, George H. Sabine, a History of Political Theory, Third Edition, (New York-
Chicago-San Fransisco-Toronto-London; Holt Rinehart And Winston, 1961), 517-
541, 575-596. Sedangkan pentingnya kebebasan nurani (Freedom of Concience) bagi
harkat manusia dan kemanusiaan dikemukakan oleh Nurcholish Madjid dalam tulisan
berjudul “Kebebasan Nurani (Freedom of Concience) dan Kemanusiaan Universal
sebagai Pangkal Demokrasi, Hak Asasi dan Keadilan,” dalam Elza Peldi Taher (ed.),
Demokratisasi Politik, Budaya Dan Ekonomi; Pengalaman Indonesia Masa Orde
Baru (Jakarta; Paramadina, 1994), 123-144. 147
Jimly Asshiddiqie, Kemerdekaan Berserikat, 45. 148
R.M. MacIver, The Modern State, First Edition (London: Oxford University
Press, 1955), 398.
70
kebijaksanaan-kebijaksanan mereka.149
Definisi tersebut senada dengan
pendapat R.H Soltau yang mendedahkan bahwa partai politik adalah,
“A group of citizens more or les organized, who act as a political unit
and who, by the use of their voting power, aim to control the goverment
and carry out their general policies,”150
sekelompok warga negara yang
sedikit banyak terorganisir, yang bertindak sebagai suatu kesatuan
politik dan dengan memanfaatkan kekuasaannya untuk memilih,
bertujuan menguasai pemerintah dan melaksanakan kebijaksanaan
umum mereka.
Pemerintah Indonesia melalui Undang-undang No. 2 Tahun 2011
Tentang Partai Politik menjaskan bahwa “partai politik adalah
organisasi yang bersifat nasional dan dibentuk oleh sekelompok warga
negara Indonesia secara sukarela atas dasar kesamaan kehendak dan
cita-cita untuk memperjuangkan dan membela kepentingan politik
anggota, masyarakat, bangsa dan negara, serta memelihara keutuhan
Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Pancasila dan
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.”151
Dengan demikian, partai politik dapat dipahami dalam arti luas dan
dalam arti sempit. Dalam arti luas, partai sama dengan masyarakat
madani merupakan penggolongan masyarakat dalam organisasi secara
umum yang tidak terbatas pada organisasi politik. Sedangkan dalam arti
sempit, partai adalah partai politik, yaitu organisasi masyarakat yang
bergerak di bidang politik (political society).
Perkembangan politik menunjukkan adanya tiga komponen sebagai
deskripsi kata ‘partai’, yaitu partai dalam pemerintahan, partai sebagai
organisasi (politisi profesional), dan partai sebagai kelompok
pemilih.152
Namun dalam paradigmatik politik, partai politik lebih
dititikberatkan berfungsi sebagai sebuah organisasi atau institusi,
khususnya aspek perantara (mediasi) antara kepentingan rakyat dan
negara. Keberadaan dan perkembangan organisasi partai politik
didasari oleh dua kondisi, yaitu penerimaan terhadap kekuatan yang
plural dalam masyarakat dan pentingnya perwakilan politik dalam
149
Miriam Budiarjo, Dasar-dasar Ilmu Politik (Jakarta: Gramedia, 2004), 160. 150
Miriam Budiarjo, Dasar-dasar Ilmu Politik, 160. 151
Lihat UU No. 2 Tahun 2011 Tentang Partai Politik, Pasal 1. 152
Mengutip Muchamad Ali Syafa’at, partai terdiri atas tiga elemen, yaitu party-
in-electorate, the party organization, dan the party-in-government. Lihat Muchamad
Ali Syafa’at, “Pembubaran Partai Politik Di Indonesia (Analisis Pengaturan Hukum
dan Praktik Pembubaran Partai Politik 1959 – 2004),” Disertasi, Fakultas Hukum
Universitas Indonesia (2009), 56.
71
penyelenggaraan pemerintahan. Aspirasi rakyat yang berbeda-beda
merupakan legitimasi untuk mengorganisir diri agar semuanya dapat
terwakili.153
Dari perspektif sejarah, embrio partai politik telah ada dalam kurun
masa negara-kota Romawi pada masa pemerintahan Raja Tarquin (616
SM – 509 SM). Dalam kerajaan tersebut, kelompok masyarakat
terbelah menjadi dua kelompok; patricians yang merupakan kaum
aristokrat, dan plebeians yang merupakan kaum pengusaha dan kelas
menengah, yang selanjutnya menjadi pionir dari fraksi-fraksi politik
dalam kerajaan tersebut.154 Pada masa itu pula, forum rakyat di balai
kota diadakan untuk mendengarkan tanggapan rakyat terhadap kinerja
pemerintah kerajaan. Dengan kata lain, hal ini merupakan suatu
representasi dari partisipasi politik secara langsung dan nyata oleh
rakyat yang disebut demokrasi langsung. Namun dalam
perkembangannya, wilayah negara yang luas dan banyaknya penduduk
di dalamnya, membuat demokrasi secara langsung tidak mungkin
dipraktekkan. Isu yang timbul dalam dunia politik pun makin luas dan
kompleks, sehingga mustahil bagi tiap warga negara untuk selalu
berkecimpung di dalamnya dan turut menyelesaikan masalah yang ada.
Untuk itu, diperlukan pembagian kerja yang meliputi berbagai bidang.
Rakyat memberi wewenang pada perwakilan mereka untuk membuat
kebijakan yang nantinya berdampak pada diri mereka sendiri. Pada
perkembangannya, politisi cenderung bergabung dengan partai politik.
Partai politik muncul sebagai organisasi yang mampu berkoordinasi
dengan anggotanya, melintasi batas daerah, di dalam majelis maupun
lembaga eksekutif. Inilah demokrasi representatif.
Dalam perkembangan partai politik berikutnya, di Inggris sejak
akhir abad 17 telah terdapat dua faksi utama embrio dari partai politik
modern, yaitu yang disebut Whigs dan Tories.155
Kaum Whigs dari
153
Studi tentang perkembangan partai politik dan model-modelnya dibahas secara
menyeluruh dari aspek politik dalam Maurice Duverger, Political Parties (London:
Metheun & Co., 1964). 154
E. P. Thompson, “Patrician Society, Plebeian Culture,” Journal of Social
History, Vol. 7, No. 4 (summer, 1974), 382-405; CD. Barnett, “The Roman gens’
influence on loci of power in the Early Republic,” Macquarie Matrix: Vol.2.1,
Agustus (2012), 2-3; Karl-J. Hölkeskamp, “Conquest, Competition and Consensus:
Roman Expansion in Italy and the Rise of the "Nobilitas," Historia: Zeitschrift für
Alte Geschichte, Vol. 42, No. 1 (1993), 12-39. 155
David Stasavage, “Partisan Politics and Public Debt: the Importance of the
‘Whig Supremacy’ for Britain’s Financial Revolution,” European Review of
Economic History, XX (2007), 123-126; Wesley Allen Riddle, “Culture and Politics:
72
awalnya adalah kelompok yang anti-monarki tetapi sekaligus
mendukung raja Georg I, sementara kaum Tories adalah penganut
monarki murni tapi sangat keras menolak raja yang berkuasa saat itu,
karena sang raja sangat tergantung pada parlemen.156
Partai Whig
adalah pendukung Revolusi yang menyokong protestanisme dengan
menghalangi seorang Katholik menjadi raja atau ratu Inggris. Oleh
sebab itu Partai Whig mendukung sepenuhnya Dinasti Hanover yang
berasal dari Jerman karena beragama Protestan. Sebaliknya Partai Tory
pada masa awal Dinasti Hanover terpecah menjadi dua golongan, yaitu
golongan yang bersedia menerima Dinasti Hanover dan golongan yang
menginginkan kelanjutan Dinasti Stuart. Namun nama Tories dan
Whigs dalam perpolitikan Inggris berkembang sehingga tidak lagi
mewakili arti awal dari istilah tersebut. Tories dan Whigs juga pernah
dipakai untuk membedakan dua kelompok yang memiliki orientasi
berbeda dalam hal kebijakan terhadap wilayah-wilayah koloni Inggris.
Kelompok yang mendukung campur tangan yang besar dalam politik
di koloni-koloni Inggris menyebut diri sebagai the Whigs. Sedangkan
yang mempertahankan otoritas dan pretensi kerajaan serta hak-hak
Gubernur Jenderal, terpaksa menerima sebutan Tories.’157
Dalam perkembangannya, anggota Tories biasanya adalah kaum
pemilik tanah (bangsawan pemilik tanah), sedangkan pedagang dan
pengusaha kaya (kaum kapitalis) biasanya berafiliasi dengan politisi
Whigs. Pada awal abad 19 kedua faksi ini menjadi partai politik massa
yang diorganisasikan di semua level struktur sosial. Tories menjadi
Partai Konservatif dan Whigs menjadi Partai Liberal. Kedua partai ini
The American Whig Review, 1845-1852,” Humanitas, Volume VIII, No. 1, (1995),
46-48. Uniknya, menurut Robert B. Baowollo kata Whig adalah
suatu ungkapan dari dialek Skotalandia yang berarti penggiring ternak
(Dover), sementara tory adalah ungkapan di kalangan masyarakat Irlandia
yang artinya maling atau pencuri. Kristalisasi whig dan tory sebagai
political oponents mempunya rujukan pada konflik agama saat itu. Kaum Whigs dan
pendukung mereka adalah para pengikut Presbiterian yang fanatik dari Skotlandia
yang merangkul kelompok protestan. Sementara para
pembangkang yang setia pada Paus, yang kemudian di Irlandia dikenal
dengan nama Whiteboys, adalah kaum Tories. Lihat Robert B. Baowollo
“Robinocracy: Demokrasi dan Korupsi,” dalam
http://www.library.ohiou.edu/indopubs/2001/08/08/0006.html, diakses tanggal 10
Maret 2014. 156
Wirjono Prodjodikoro Asas-Asas Ilmu Negara dan Politik, (Bandung: PT.
Eresco Jakarta, 1981), 104-105. 157
Muchamad Ali Syafa’at, “Pembubaran Partai Politik Di Indonesia,” 56.
73
menjadi partai utama hingga pascaperang dunia I.158
Sedangkan Partai
Buruh pada awalnya merupakan suatu faksi dalam Partai Liberal yang
memperjuangkan kepentingan kelas buruh. Partai Buruh menjadi partai
utama (major party) pada saat mendekati perang dunia I. Partai ini
menjadikan sosialisme sebagai prinsip umum organisasinya.159
Amerika Serikat sebagai negara ‘anak kandung’ Inggris, dalam
sejarahnya partai politik sama sekali tidak terpikirkan pada saat
pembuatan konstitusi. Bahkan, para pendiri bangsa itu memandang
partai politik dengan penuh kecurigaan. Salah satu prinsip argumentasi
James Madison menerima konstitusi adalah bahwa sistem federalisme
dan pemisahan kekuasaan akan mencegah setiap faksi dapat
mengontrol aparat dan pemerintahan nasional. Faksi dalam hal ini
adalah partai politik dan kelompok kepentingan.160
Namun demikian,
keberadaan faksi-faksi itu sendiri telah ada pada saat pembentukan
konstitusi dan diakui sebagai hal yang tidak dapat dihindari sebagai
konsekuensi kebebasan yang esensial bagi kehidupan politik. Untuk
alasan ini, para pemimpin nasional mengecam faksi politik dan oleh
karena itu tidak membuat ketentuan mengenai partai-partai politik.
Perdebatan mengenai aspek-aspek tersebut mewarnai pemerintahan
awal negara baru tersebut.161
Sekitar tahun 1790-an, timbul konflik antara beberapa partai
pertama Amerika. Partai Federalis yang dipimpin Alexander Hamilton
dan partai Republik (juga disebut Demokrat-Republik) yang dipimpin
Thomas Jefferson, merupakan partai politik pertama di dunia Barat.
Tidak seperti kelompok politik longgar dalam Dewan Rakyat Inggris
atau di koloni Amerika sebelum revolusi, kedua partai ini memiliki
program partai yang masuk akal serta mendasar, pengikut yang relatif
stabil dan organisasi yang berkesinambungan.162
158
Wirjono Prodjodikoro Asas-Asas Ilmu Negara dan Politik, 104-105. 159
Muchamad Ali Syafa’at, “Pembubaran Partai Politik Di Indonesia....,” 57. 160
MacIver, the Modern State, 397. Madison mendefinisikan faksi sebagai “a
number of citizens, whether amounting to majority or minority of the whole, who are
united and actuated by some common impulse of passion, or of interest, adverse to the
rights of other citizens, or to the permanent and aggregate interest of the
community.” Lihat Muchamad Ali Syafa’at, “Pembubaran Partai Politik Di
Indonesia....,” 57. 161
Biro Program Informasi Internasional, Departemen Luar Negeri AS, Garis
Besar Sejarah Amerika Serikat, Edisi Bahasa Indonesia (terj.) Michelle Anugrah (ttp:
Biro Program Informasi Internasional, Departemen Luar Negeri AS, 2005), 87. 162
Biro Program Informasi Internasional, Departemen Luar Negeri AS, Garis
Besar Sejarah Amerika Serikat, 88.
74
Federalis terutama mewakili kepentingan perdagangan dan
manufaktur, yang mereka pandang sebagai kekuatan kemajuan di
dunia. Mereka percaya hal ini dapat ditingkatkan hanya dengan
pemerintahan pusat yang kuat yang mampu menghasilkan reputasi
kepercayaan publik yang mapan dan mata uang yang stabil. Walau
terang-terangan tidak mempercayai radikalisme laten orang
kebanyakan, mereka tetap memiliki daya tarik bagi para pekerja dan
produsen. Dukungan terkuat politik mereka terletak di negara bagian
New England. Mereka memandang Inggris sebagai contoh yang perlu
ditiru Amerika Serikat dalam segala hal. Oleh karena itu, mereka
mendukung hubungan baik dengan negara induk.163
Partai Republik yang dipimpin Thomas Jefferson lebih
mengutamakan kepentingan dan nilai pertanian. Mereka tidak
mempercayai para bankir, hampir tidak memedulikan bidang niaga dan
manufaktur, serta percaya bahwa kebebasan dan demokrasi dapat
berkembang dengan sangat baik di masyarakat pedesaan yang terdiri
atas para petani swasembada. Mereka nyaris tidak membutuhkan
pemerintah pusat yang kuat. Sesungguhnya, mereka cenderung
menganggap pemerintah sebagai sumber tekanan potensial. Oleh
karena itu, mereka lebih menyukai hak negara bagian. Posisi mereka
paling kuat di wilayah Selatan. Dalam perkembangannya, partai politik
di Amerika Serikat telah menjalankan peran besar dalam agregasi
kepentingan politik di semua wilayah. Partai-partai tersebut telah
menyediakan kendaraan bagi pilihan publik dan perubahan politik
secara damai. Rakyat Amerika telah belajar menggunakan partai politik
sebagai pengganti revolusi untuk melakukan perubahan dan mengontrol
pemerintah. Sistem yang dibangun memungkinkan partai politik yang
sedang berkuasa keluar dari pemerintahan dan partai politik yang
berada di luar kekuasaan (the outs) mengambil giliran menjadi partai
politik yang berkuasa (the ins).164
Dalam nomenklatur Islam, biasanya padanan kata partai dalam
bahasa Arab sering di sebut sebagai ”hizb” jamaknya “Ahzab” yang
berarti, "suatu jamaah yang memiliki kegigihan dan power” atau “setiap
kaum yang memiliki pekerjaan dan keinginan
163
Biro Program Informasi Internasional, Departemen Luar Negeri AS, Garis
Besar Sejarah Amerika Serikat, 88. 164
Biro Program Informasi Internasional, Departemen Luar Negeri AS, Garis
Besar Sejarah Amerika Serikat, 89.
75
beranekaragam.”165
Secara historis partai politik lahir dari sistem
demokrasi. Dalam menyikapinya, sebagaimana dalam menyikapi
demokrasi, para ulama Muslim terdapat pro dan kontra terhadap partai
politik. Ada yang berpendapat bahwa mendirikan dan masuk partai
politik itu haram hukumnya secara mutlak, hal ini di karenakan bahwa
sistem demokrasi adalah sistem jahiliyah dan barang impor dari Barat
yang otomatais atribut-atribut dan apapun yang berkenaan denganya
adalah haram hukumnya, terlebih lagi lagi bahwa persoalan ini tidak
pernah didapati pada sejarah umat Islam.166
Di pihak lain, ada yang
berpendapat bahwa mendirikan partai dan masuk partai itu tidaklah di
larang karena walau bagaimanapun demokrasi sudah menjadi realita
bersama, sedangkan untuk menegakkan khilafah tidak bisa langsung
diraih sekaligus mengingat begitu dominannya sistem demokrasi ini. Di
sisi lain, sistem demokrasi merupakan sistem yang paling layak bagi
dakwah Islam di banding sistem-sistem yang lainya, seperti monarki
tirani dan lain-lain. Karena di dalam sistem demokrasi ada jaminan
kebebasan pendapat dan berdakwah, walaupun kasus partai tidak di
jumpai pada masa Nabi dan kurun sesudahnya ini bukan berarti hal ini
terlarang sama sekali mengingat ini bukan masalah ushul ini adalah
masalah furu` yang mana dapat berkembang sedemikian pesatnya pada
setiap masa yang mengharuskan usaha ijtihadi dalam menyelesaikan.167
Jika partai politik di Inggris dan Amerika terbentuk bersamaan
dengan perkembangan dan pertumbuhan sistem demokrasi, maka di
negara-negara jajahan partai politik dibentuk pada awalnya sebagai
sarana pergerakan nasional. Partai-partai tersebut dapat duduk dalam
dewan perwakilan ataupun menolaknya seperti yang terjadi di India dan
Indonesia sebelum kemerdekaan.168
165
Shauqi Dha’īf, al-Mu’jam al-Wasīṭ (Qahira: Maktabah Shurauq al-Dauliyyah,
2011), 170. 166
‘Abd al-Azīz ibn Baz, ‘Abd al-Razaq Afifī, ‘Abdullah ibn Ghudayyan, dan
‘Abdullah ibn Ḥasan ibn Qu’ūd memfatwakan haramnya partai politik bagi umat
Islam. lihat Khalīd al-Juraisī, al-Fatawā al-Shar’iyyah fī al-Masā’il al-‘Aṣriyyah min
Fatawā Ulamā’ al-Balad al-Ḥaram: Fatwa no 1674 (7/10/1397) (Riyadh: Lajnah
Da`imah lī al-Ifta’, 1397); lihat juga Muḥammad ibn Ṣalīḥ al-‘Utsaimīn, al-Ṣahwah
Islāmiyyah Dhawābiṭ wa Taujihāt (Riyadh: Madar al-Waṭan, 1431), 154. 167
Muhammad Natsir, Islam sebagai Landasan Negara (Bandung: Pimpinan
Fraksi Masyumi dalam Konstituante, 1957), 38. Lihat juga dalam Masykuri Abdillah,
Demokrasi Di Persimpangan Makna, 73. 168
Miriam Budiardjo, Dasar-dasar Ilmu Politik, 160; Partai pergerakan
kemerdekaan di India misalnya adalah Partai Kongres. Sedangkan di Indonesia,
banyak partai telah didirikan sebelum kemerdekaan sebagai alat pergerakan nasional
76
Keberadaan partai politik di Indonesia dapat dilacak sejak masa
penjajahan Belanda. Pada masa itu sudah mulai berkembang kekuatan-
kekuatan politik dalam tahap pengelompokan yang diikuti dengan
polarisasi, ekspansi, dan pelembagaan. Partai politik di Indonesia lahir
bersamaan dengan tumbuhnya gerakan kebangsaan yang menandai era
kebangkitan nasional. Berbagai organisasi modern muncul sebagai
wadah pergerakan nasional untuk mencapai kemerdekaan. Walaupun
pada awalnya berbagai organisasi tidak secara tegas menamakan diri
sebagai partai politik, namun memiliki program-program dan aktivitas
politik.169
Bahkan menurut Yusril Ihza Mahendra, berdasarkan fakta-fakta
historis, munculnya partai-partai politik masa pascakemerdekaan jelas
bahwa beberapa partai telah berdiri jauh sebelum dikeluarkannya
Maklumat Pemerintah yang ditandatangani Wakil Presiden Mohammad
Hatta, atas saran Badan Pekerja Komite Nasional Indonesia Pusat (BP-
KNIP) pada tanggal 3 November 1945. Maklumat itu menegaskan
bahwa pemerintah “menyukai timbulnya partai-partai politik, karena
dengan adanya partai-partai itulah dapat dipimpin kejalan yang teratur
segala aliran paham yang ada di masyarakat.” Namun, Maklumat
Pemerintah itu bukanlah penyebab berdirinya partai-partai. Maklumat
itu adalah ‘pengesahan’ terhadap partai-partai yang telah berdiri.170
Kehadiran partai politik dalam sejarah politik Indonesia modern
dimulai pada permulaan abad ke-20. Sejalan dengan berbagai kebijakan
baru pemerintah Hindia-Belanda yang banyak dipengaruhi oleh politik
etis, berbagai asosiasi yang bercorak etnis, kebudayaan, dan keagamaan
bermunculan sejak tahun 1905. Partai-partai politik bermunculan
setelah Gubernur Jenderal Idenburg memberikan keleluasaan kepada
Sarekat Islam bergerak secara lokal, karena ia mengira organisasi ini
tidak akan terlibat dalam aktivitas politik praktis. Partai-partai lain juga
bermunculan dalam kurun 1910 sampai dengan 1930, seperti Indische
Partij, ISDV, Partai Nasionalis Indonesia (PNI) yang didirikan oleh
Soekarno pada tahun 1927.171
mencapai kemerdekaan seperti SI, PNI, PSI, Partindo, dan lain-lain. Lihat juga Deliar
Noer, Gerakan Modern Islam di Indonesia 1900 – 1942 (Jakarta: LP3ES), 114-115. 169
Muchamad Ali Syafa’at, “Pembubaran Partai Politik Di Indonesia.....,” 57. 170
Yusril Ihza Mahendra, Dinamika Tata Negara Indonesia: Kompilasi Aktual
Masalah Konstitusi Dewan Perwakilan dan Sistem Kepartaian (Jakarta: Gema Insani
Press, 1996), 181. 171
Yusril Ihza Mahendra, Dinamika Tata Negara Indonesia, 177-178.
77
Sepanjang empat dasawarsa abad ke-20, partai-partai politik
memberikan kontribusi yang besar dalam menumbuhkan semangat
nasionalisme Indonesia, kendatipun partai-partai itu tumbuh dan
berkembang berdasarkan ideologi politik yang berbeda-beda. Sarekat
Islam, Pergerakan Penyadar, dan Partai Islam Indonesia adalah partai-
partai dengan ideologi politik Islam. PNI dan Partai Indonesia Raya
(Parindra) berideologi nasionalisme. Sedangkan Partij Komunis Hindia
(PKI) berideologi sosialisme. Perbedaan ideologi antarpartai kerap
menjadi pangkal pertikaian di antara pemimpin pergerakan politik pada
masa penjajahan Belanda. Perbedaan strategi dalam berjuang mencapai
kemerdekaan, seperti antara kelompok kooperasi dan non-kooperasi
juga menjadi sumber pertikaian. Meskipun memiliki visi politik yang
berbeda-beda, partai-partai itu sama-sama berjuang untuk kemerdekaan
Indonesia. Mereka berusaha sekuat tenaga agar rakyat mengerti politik
dan memiliki kesadaran bahwa mereka sebagai bangsa yang terjajah
harus berjuang mencapai kemerdekaan.172
Partai-partai itu juga telah mendorong tumbuhnya perdebatan-
perdebatan intelektual dikalangan para pemimpinnya. Rakyat belajar
dari perdebatan-perdebatan intelektual dan pidato-pidato rapat umum
partai-partai politik masa itu. Partai-partai yang menghimpun massa
dalam jumlah banyak itu telah melahirkan pemimpin-pemimpin politik
dan masyarakat dari bawah. Hubungan antara pemimpin dan pengikut
menjadi erat. Pemimpin-pemimpin partai tersebut, bersama pemimpin-
pemimpin organisasi sosial dan keagamaan membawa Indonesia pada
kemerdekaan pada tahun 1945.
D. Masyarakat Madani dan Partai Politik dalam Bingkai
Pancasila
Berdasarkan sila-sila Pancasila, terutama sila ke-2 dan ke-4, maka
Sumber Hukum Negara Indonesia secara tersurat dan tersirat
mengakomodasi terbentuknya masyarakat madani dan partai politik.
Pancasila mendorong pemerintahan yang demokratis dan melindungi
hak-hak asasi manusia. Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia
dapat diwujudkan bila negara berhasil mencerdaskan kehidupan bangsa
serta mengembangkan pemerintahan yang demokratis dan melindungi
hak hak asasi manusia. Sungguhpun demikian, sila pertama “Ketuhanan
Yang Maha Esa,” merupakan asas yang paling fundamental bagi
segenap cita bangsa Indonesia. Masyarakat madani dan partai politik
172
Yusril Ihza Mahendra, Dinamika Tata Negara Indonesia, 178.
78
yang tidak mengindahkan kaidah berketuhanan, secara prinsipil
bertentangan dengan konstitusi bangsa. Berdiri dan kokohnya sebuah
negara sangat dipengaruhi oleh landasan yang kuat. Pada sidang
BPUPKI 1 Juni 1945, Soekarno mengajukan lima pilar kebangsaan
yang ideal bagi Indonesia atau lebih dikenal dengan Pancasila yaitu: (1)
kebangsaan Indonesia, (2) internasionalisme atau perikemanusiaan, (3)
mufakat atau demokrasi, (4) kesejahteraan sosial, dan (5) Ketuhanan
yang berkebudayaan.173
Bung Karno melanjutkan, jika kelima pilar tersebut diciutkan,
maka menjadilah tiga dasar (Tri Sila). Dua sila pertama, kebangsaan
dan perikemanusiaan, setelah diperas, maka jadilah socio-nasionalisme.
Sebelum mengajukan rumusan kedua, Bung Karno menjelaskan bahwa
demokrasi yang akan digunakan bukan produk Barat, melainkan
politiek-economische democratie, yaitu politieke-democratie dengan
sociale rechtvaardigheid atau demokrasi dengan kesejahteraan. Hasil
perasannya dinamakan socio-democratie. Pilar terakhir adalah
ketuhanan yang berkebudayaan. Berkaitan dengan pilar terakhir ini,
Bung Karno menjelaskan bahwa segenap rakyat hendaknya ini
bertuhan secara kebudayaan, ketuhanan yang berbudi pekerti yang
luhur, ketuhanan yang hormat-menghormati satu sama lain. Dan,
hendaknya negara Indonesia adalah negara yang bertuhan.174
Menurut Bung Karno, bahkan meringkaskan lagi, “jika Anda
(peserta sidang) tidak senang menggunakan angka lima atau tiga, maka
seluruh sila-sila itu dapat disimpul lagi menjadi satu (Eka Sila), yakni
Gotong-royong. Inilah pilar utama dalam kehidupan berbangsa dan
bernegara. Gotong royong adalah pembanting tulang bersama,
pemerasan keringat bersama, perjuangan bantu-membantu bersama.
Amal semua buat semua kepentingan, keringat semua buat kebahagiaan
semua. Singkatnya, semua buat semua dan Indonesia buat Indonesia.175
173
Setneg-RI, Risalah Sidang Badan Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan
Indonesia (BPUPKI) – Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) 28 Mei
1945 – 22 Agustus 1945 (Jakarta: Setneg-RI, 1995), 71-80. Lihat juga Abd. Rahman
Hamid, “Pilar Kebangsaan Menurut Abdul Qahhar Mudzakkar; Perspektif Ideologis,”
dalam Andi Faisal Bakti dan Salehuddin Yasin (ed.), Abdul Qahhar Mudzakkar:
Ketegaran Seorang Pejuang Bangsa, Ditinjau dari Berbagai Aspek (Ciputat: C3-
Huria Press-Qamus Institute, 2014), 4-5. 174
Setneg-RI, Risalah Sidang Badan Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan
Indonesia (BPUPKI), 82. 175
Setneg-RI, Risalah Sidang Badan Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan
Indonesia (BPUPKI), 82.
79
Menurut Yudi Latif, Bung Karno meletakkan pilar ketuhanan pada
urutan terakhir mendapat banyak kritik dari kalangan Muslim dalam
sidang BPUPKI.176
Uniknya, Abdul Qahhar Mudzakkar menempatkan
ketuhanan pada posisi utama, kemudian dua pilar lainnya, yakni
keadilan sosial dan demokrasi sejati sesudahnya. Peletakan pilar
ketuhanan tersebut mencerminkan cara pandang dan falsafah yang
dianut oleh kedua tokoh itu. Bagi Bung Karno, urutan tersebut bukan
menunjukkan prioritas, tetapi urutan-urutan kebiasaan saja. Pemikiran
itu juga dijelaskan oleh Roeslan Abdoelgani pada sidang Dewan
Konstituante, bahwa penempatan urutan itu hanyalah mengikuti
sistematika penjelasan saja. Bahkan menurutnya, urutan penyebutan itu
hendaknya diartikan sebagai sesuatu yang mengunci empat pilar
lainnya. Tetapi, dalam pandangan Qahhar, ketuhanan seharusnya
diletakkan pada pilar pertama dalam Negara Kebangsaan Beragama.177
Meskipun demikian, karena pemikiran Bung Karno lebih awal dari
gagasan Qahhar dan telah diterima sebagai ideologi bangsa sejak 1945,
sehingga pemikiran itu banyak dikaji dan disosialisasikan kepada
khalayak. Sebaliknya, gagasan Qahhar, yang tidak diterima sebagai
ideologi bangsa, tidak banyak diketahui oleh publik, bahkan hampir
dilupakan dalam sejarah Indonesia. Tiga pilar kebangsaan dalam
pandangan Qahhar, yaitu: Ketuhanan, Keadilan Sosial, dan Demokrasi
Sejati.178
Dalam konteks Indonesia, menurut Azyumardi Azra, tidak hanya
demokrasi, hak asasi manusia, dan masyarakat madani saja yang
menjadi syarat untuk terwujudnya Indonesia berkeadaban, tetapi juga
Pancasila yang merupakan dasar negara Indonesia, ideologi Indonesia,
identitas Indonesia, dan cita-cita Indonesia. Sehingga dengan demikian,
perwujudan nilai-nilai Pancasila merupakan syarat mutlak untuk
memajukan Indonesia yang berkeadaban. Pancasila secara alami lahir
dari kepribadian bangsa Indonesia sendiri. Nilai-nilai yang terkandung
dalam tiap butir sila Pancasila merupakan cerminan jati diri bangsa
yang sudah melekat pada tiap sanubari warga Indonesia. Namun,
seiring berjalannya waktu, Pancasila belum dapat diterapkan secara
maksimal, baik oleh kalangan masyarakat madani maupun partai
176
Yudi Latif, Negara Paripurna: Historisitas, Rasionalitas, dan Aktualitas
Pancasila (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2011), 75. 177
Abd. Rahman Hamid, “Pilar Kebangsaan Menurut Abdul Qahhar
Mudzakkar...., 5. 178
Abd. Rahman Hamid, “Pilar Kebangsaan Menurut Abdul Qahhar
Mudzakkar...., 5-17.
80
politik. Padahal jika dikaji lebih lanjut, Pancasila dapat membawa
negara Indonesia menjadi negara yang jauh lebih maju dari kondisinya
sekarang. Bahkan menurut Azra, seharusnya, Pancasila yang menjadi
civil religion dalam sistem demokrasi di Indonesia.179
Pancasila sebagai civil religion rakyat indonesia, meski belum
sepenuhnya dihayati dan diamalkan, telah terbukti dalam meredam
berbagai kemelut intoleransi politik dan demokrasi yang terjadi di
Indonesia jika dibandingkan dengan negara-negara di dunia.
Azyumardi membandingkan kondisi Indonesia dengan kondisi di
negara lainnya, terutama Timur Tengah. Menurutnya, sektarianisme
yang terjadi di Timur Tengah cenderung meningkat setiap akhir pekan.
Kondisi ini terlihat lebih buruk daripada Indonesia, padahal Indonesia
memiliki realitas kemajemukan yang jauh lebih kompleks
dibandingkan dengan negara apa pun. Sehingga menurut Azra,
“Indonesia menjadi satu-satunya harapan dunia atas kompabilitas atau
kesesuaian hubungan Islam dengan demokrasi. Sebelumnya, dunia
berharap pada Turki. Namun berita tentang Turki beberapa waktu
belakangan justru menggambarkan otoritarianisme pemerintah Turki.”
Ia-pun menambahkan, “Indonesia masih bisa menjadi contoh
kemajemukan agama bagi negara-negara lainnya,” di seluruh penjuru
muka bumi ini.
Oleh karena itu, untuk mewujudkan Indonesia yang memiliki
kesesuaian antara agama dan demokrasi berdasarkan Pancasila, ada
empat hal yang menurut Azyumardi perlu dilakukan, sebagaimana
dikutip oleh satuharapan.com, yaitu pertama, perlu memperkuat
multikulturalisme. Kedua, harus memperkuat religious based civil
society (masyarakat madani berbasis agama) karena civil society
semacam ini sudah ada bahkan sejak sebelum kemerdekaan Indonesia,
dan sifatnya cukup inklusif. Menurut Azyumardi, religious based civil
society di Indonesia memiliki peran yang penting dalam menjaga
kohesivitas di masyarakat. Sebab itu, setiap religious based society
sepatutnya bersikap kritis, vokal, dan tidak mudah terprovokasi pada
kepentingan politik tertentu. Hal ketiga yang menurutnya perlu
dilakukan adalah penegakan public civility atau keadaban publik.
179
Equivalent Pangasi, “Azyumardi Azra: Jangan Kapok Jadi Orang Indonesia!,”
Ungkapan tersebut disampaikan Azyumardi dalam talk show “Intoleransi dalam
Kehidupan Politik, Sebuah Realitas di Indonesia” yang dilaksanakan
satuharapan.com pada Kamis (3/4) di Gedung Sinar Kasih, Jakarta Timur. Lihat versi
online di http://www.satuharapan.com/read-detail/read/azyumardi-azra-jangan-kapok-
jadi-orang-indonesia, diakses tanggal 2 Mei 2014.
81
Sekarang makin banyak orang yang tidak malu untuk melakukan hal
yang salah dan ini jelas berbahaya. Azyumardi melanjutkan bahwa hal
keempat yang juga vital untuk dilakukan adalah penegakan hukum.
Melihat longgarnya pelaksanaan hukum di negeri Indonesia ini, jangan-
jangan rakyat justru terlalu toleran pada pelanggar hukum. Oleh karena
itu, pemulihan kredibilitas aparat penegak hukum adalah hal yang
sangat penting.”180
Masyarakat madani dan partai politik memiliki peran sebagai
sambungan paling penting antara rakyat dan negara dengan proses
pembentukan peradaban pemerintahan yang baik dan bersih.
Keberadaan masyarakat madani diperlukan sebagai kekuatan pengawas
dan penyeimbang (chek and balances) kekuatan negara dalam hal
menjalankan roda pemerintahan. Masyarakat madani Pancasilais yang
bermoral, sadar hukum dan beradab mampu mewakili masyarakat
umum atau rakyat dalam memperjuangkan kepentingan bersama
kepada pemerintahan. Disamping itu, masyarakat madani akan mampu
menekan pemerintah bila kebijakannya bertentangan dengan
masyarakat umum. Sebaliknya, masyarakat madani akan menyokong
pemerintahan yang berupaya memenuhi kebutuhan masyarakat umum.
Di samping itu, keberadaan partai diharapkan mampu mengagregasi
beraneka macam kepentingan rakyat menjadi suatu input bagi
pembutan kebijakan publik. Maka dari itu, demokrasi yang berdasarkan
Pancasila mengindikasikan mekanisme kompetisi antar partai di dalam
proses politik melalui parlemen agar fungsi agregasi kepentingan dapat
berjalan. Kompetisi antar partai di sisi lain juga berguna untuk
mengawasi akuntabilitas pemerintahan yang berjalan. Namun,
kompetisi yang dimaksud tetap berada pada satu kerangka kerjasama
untuk membentuk sistem pemerintahan yang kuat.
180
Equivalent Pangasi, “Azyumardi Azra: Jangan Kapok Jadi Orang Indonesia!,”
Ungkapan tersebut disampaikan Azyumardi dalam “Talk Show: Intoleransi dalam
Kehidupan Politik, Sebuah Realitas di Indonesia” yang dilaksanakan
satuharapan.com pada Kamis (3/4) di Gedung Sinar Kasih, Jakarta Timur. Lihat versi
online di http://www.satuharapan.com/read-detail/read/azyumardi-azra-jangan-kapok-
jadi-orang-indonesia, diakses tanggal 2 Mei 2014.
82
83
BAB III
GENEALOGI PEMBENTUKAN DAN MANIFESTO
PERJUANGAN GERINDRA
Pada bab sebelumnya, sekilas telah dibahas bahwa Lipset dan
Rokkan (1987) berpendapat partai politik itu merupakan perkembangan
dari organisasi masyarakat.1 Begitupun dengan Gerindra, sebagai partai
politik, ia tidak berdiri langsung menjadi sebuah partai. Gerindra secara
evolusionis dan bertahap mengukuhkan dirinya menjadi sebuah partai
politik. Tahapan-tahapan sebagaimana yang akan diuraikan di bawah
ini juga sekaligus sebagai koreksi atas publikasi resmi sejarah Gerindra
versi aparatus internal Gerindra sendiri. Dalam berbagai publikasi, baik
cetak maupun elektronik, Gerindra memperkenalkan diri sebagai partai
politik baru tanpa melalui tahapan-tahapan yang matang. Padahal,
rencana pembentukan partai politik itu jauh-jauh hari dan tahun telah
dipersiapkan pembentukannya.
A. Gerindra Sebagai Organisasi Sosial
Untuk menguraikan subbab ini, penulis mengangkat nama-nama
aktor tokoh Gerindra berlandaskan pada paradigma kerangka sosiologi-
meso teori strukturasi dari Antony Gidden untuk menjelaskan struktur
organisasi sosial Gerindra. Strukturasi merupakan teori jalan tengah
untuk mengakomodasi dominasi struktur atau kekuatan sosial
(strukturalisme) dengan pelaku tindakan/agen (subyektivisme). 2
1Seymour M. Lipset dan Stein Rokkan, Cleavage Structures, Party System, and
Voter Alignments (New York: Free Press, 1987). Lihat juga Jacob Beilasiak,
―Substance and Process in the Development of Party Systems in East Central
Europe,‖ dalam Communist and Post-Communist Studies, 30, No. 1 (1997), 23-44;
Herbert Kitschelt, dkk., ―Citizen, Politicans, and Party Certilization: Political
Representation, and State-Failure in Post-Industrial Democracies,‖ dalam Europe
Journal of Political Research 37 (2000), 149; Kuskridho Ambardi, Mengungkap
Politik Kartel: Studi tentang Sistem Kepartaian di Indonesia Era Reformasi (Jakarta:
Gramedia, 2009), 23. 2Frank den Hond, F. Kees Boersma, Leonie Heres, Eelke H.J. Kroes, dan Emmie
van Oirschot, ―Giddens à la Carte? Appraising empirical applications of Structuration
Theory in management and organization studies,‖ Journal of Political Power, Vol. 5,
No. 2, Agustus (2012), 239-264; Jonathan H. Turner, ‖Review Essay: The Theory
Structuration,‖ American Journal of Sociology, Vol. 91, No. 4, Januari (1986), 969-
970; Margaret S. Archer, ―Morphogenesis versus Structuration: On Combining
84
Strukturalisme menekankan pada dominasi peran struktur di dalam
kehidupan sosial dan menjadi kekuatan sosial yang mampu
mencengkram dan mengendalikan individu-individu secara penuh.
Subyektivisme lebih menekankan pada peran dan tindakan individu
aktif yang bebas sebagai faktor dominan dalam suatu tatanan kehidupan
sosial, karena individu bertindak sebagai agen. Teori ini beranggapan
bahwa antara agen dan struktur memiliki peran yang sama dan
signifikan di dalam realitas sosial. Dengan demikian, Gerindra tidak
bisa dilepaskan dari individu-individu anggotanya, begitupun
sebaliknya. Anggota per individu tidak bisa lepas dari organisasi yang
menaunginya.
Pokok pembicaraan bab ini ialah menganalisa dan mengkritisi
konsepsi masyarakat madani dari manifesto partai politik Gerindra
dalam tinjauan segi kekuatan dan kelemahannya. Tetapi, meskipun
pembicaraan ini menyangkut penilaian kritis terhadap manifeso, namun
kritik itu an sich tidaklah menjadi tujuannya. Pembahasan ini bertolak
pada usaha untuk mengenali segi-segi positif manifesto suatu partai
politik dan mencari jalan bagaimana mengembangkannya agar dapat
menjadi suatu sumbangan kepada tantangan demokratisasi pada masa
kini. Juga dengan sendirinya, kajian ini berusaha mengenali segi-segi
negatifnya, serta sedapat mungkin menemukan jalan untuk menghindari
atau menghilangkannya. Dengan suatu kenyataan, partai politik
Gerindra dari pertama kali berdiri tahun 2008 sampai dengan 2014 ini,
setidak-tidaknya telah, sedang, dan akan ikut mewarnai dinamika
bernegara di bumi nusantara ini. Selama rentang waktu enam tahun,
akan dipotret, betapapun kecilnya, sumbangsihnya dalam mewujudkan
tatanan masyarakat madani di Bumi Pertiwi ini.
Gerindra terbentuk dari tokoh-tokoh individu, lembaga swadaya
masyarakat, juga unsur birokrat. Dalam bahasa Herbert Feith, tokoh-
tokoh tersebut adalah ―kaum cendekiawan yang tidak terikat.‖ 3
Adapun
dari unsur individu, terdiri dari kumpulan pribadi-pribadi4
dengan
Structure and Action,‖ The British Journal of Sociology, Vol. 33, No. 4-Desember,
(1982), 455-483. 3Herbert Feith dan Lance Castles (ed.), Indonesian Political Thinking 1945 –
1965 (Ithaca dan London: Cornell University Press, 1970), karya ini telah
diterjemahkan dalam bahasa Indonesia, Herbert Feith dan Lance Castles (ed.),
Pemikiran Politik Indonesia 1945 – 1965 (terj.) Min Yubhaar (Jakarta: LP3ES, 1988),
x-xlv. 4Prabowo Subianto, ―Kita Harus Merebut Hati Rakyat,‖ Gema Indonesia Raya,
Edisi 14/Tahun II/Juni, (2012), 1; Prabowo Subianto, ―Gerindra Berjuang untuk Masa
Depan Indonesia,‖ Gema Indonesia Raya, Edisi 10/Tahun II/Februari, (2012), 1;
85
beraneka ragam latar belakang mulai dari kalangan petani, buruh,
nelayan, aktivis sosial, akademisi, agamawan, pengusaha, polisi, hingga
militer.5 Prabowo Subianto, Muchdi PR., Mayjend Haryadi Darmawan,
Kombes (Pur) Alfons Loe Mau, merupakan nama-nama dari kalangan
militer yang ikut bergabung dengan Gerindra. Dalam ranah pengusaha,
selain Prabowo juga tercatat ada Hasyim adik prabowo sendiri, seorang
bisnismen dan kolektor benda-benda purbakala. Dikalangan aktivis,
terdaftar nama-nama semisal Fadli Zon, Ahmad Muzani, Pius
Lustrilanang, dan M. Zastrouw. Kalangan akademisi yang ikut gabung
dalam Gerindra juga banyak, sebut saja misalnya Suhardi, ilmuwan
pertanian; Burhanuddin Abdullah, Mantan Gubernur Bank Indonesia.
Dari kalangan artis, setidaknya tercatat nama Jamal Mirdad dan Rachel
Maryam.6
Karena keterbatasan kemampuan penelitian penulis, tidak semua
tokoh-tokoh Partai Gerindra akan dipaparkan kiprahnya. Penulis akan
memaparkan tokoh-tokoh yang penulis anggap mewakili
kecenderungan bidang aktivitasnya saja. Prabowo Subianto penulis
anggap merupakan pribadi paling sentral dalam ketokohan di Gerindra.
Ia adalah arsitek dan masinis paling utama yang membawa gerbong
lokomotif Gerindra. Selanjutnya, Hashim Djojohadikusumo, adik
Prabowo sekaligus wakil pengusaha yang merupakan sederetan tokoh
pemegang kunci utama setelah Prabowo dalam kiprah Gerindra. Kiprah
dari Prabowo dan Hashim mewakili kiprah Keluarga Besar Soemitro
Djojohadikusumo. Suhardi selain sebagai Ketua Umum Gerindra, ia
mewakili tokoh akademisi dan masyarakat. Dari kalangan aktivis
Lembaga Sosial Masyarakat, Fadli Zon penulis pilih karena ia adalah
juru bicara yang mewakili suara Gerindra. Keempat tokoh sentral ini
setidak-tidaknya diharapkan mampu memberikan gambaran dan
mewakili sejumlah pribadi-pribadi yang tergabung dalam Gerindra. 7
Prabowo Subianto, ―Perubahan Dimulai Dari Pemimpin yang Amanah,‖ Gema
Indonesia Raya, Edisi 19/Tahun II/November, (2012), 1. 5
Wawancara penulis dengan Suhardi, Ketua Umum Gerindra dan Permadi,
anggota Dewan Pembina, di DPP Gerindra Ragunan Jakarta, Jum‘at, 23 Agustus
2013. 6
DPP Partai Gerindra, ―Susunan Dewan Pengurus Pusat,‖
www.partaigerindra.or.id, diakses tanggal 12 Oktober 2013. Wawancara dengan Fami
Fachrudin, di Kantor PT. Natuna Energy Indonesia, Menara Palma 7th Floor Unit
701, JL.HR.Rasuna Said Blok X2 Kav.6, Kuningan, Jakarta Selatan, tanggal 10 Juli
2014. 7
DPP Partai Gerindra, Tanya Jawab Seputar Partai Gerindra: Gerakan
Indonesia Raya (Jakarta: Bakom-DPP Gerindra, 2009), 3; DPP Partai Gerindra,
86
Selain hal di atas, kajian bab ini juga didasarkan pada catatan
tertulis yang dapat dikumpulkan dari karya-karya tulis yang
dikeluarkan oleh Gerindra mengenai tokoh-tokoh figur, organisasi
sayap kanan, ataupun gerakan partai politik Gerindra itu sendiri.
Sebagai penunjang, dokumen-dokumen, tulisan-tulisan ilmiah, Koran,
majalah, website, dan lain-lain mengenai pokok pembicaraan bab ini
penulis juga pakai sebagai bahan analisis.
1. Keluarga Besar Soemitro Djojohadikusumo
Sentral, bahkan ‗ruh‘ dari partai politik Gerindra berada pada diri
individu kakak-adik Prabowo Subianto dan Hashim Djojohadikusumo
dari keluarga besar Soemitro Djojohadikusumo. Dalam berbagai
kapasitasnya, kedua sosok inilah yang menjadi lokus utama dan mampu
menarik orang-orang untuk bergabung dengan berbagai aktivitasnya,
termasuk bergabung dengan partai politik besutannya, Gerindra. Oleh
karenanya, dari kalangan keluarga ini pembahasan hanya membahas
peran kedua tokoh tersebut.
a. Prabowo Subianto: Tokoh Sentral Gerindra
Penulis telah berusaha maksimal untuk bisa wawancara langsung
dengan Prabowo. Surat permohonan, telepon, sms, email, fb, twitter,
web, dan lain-lain untuk bisa wawancara secara resmi telah penulis
tempuh, baik melalui Kantor DPP Gerindra, Kantor Fraksi Gerindra di
DPR-RI, kantor PT. Kiani Kertas, maupun melalui orang-orang
terdekat dengan tokoh-tokoh kunci Gerindra, namun sampai penelitian
ini ditulis, belum atau tidak mendapatkan respon. Penulis juga pernah
mendatangi rumah kediamannya di Desa Bojongkoneng, Hambalang,
Bogor Jawa Barat dan mengikuti acara Kampanye resmi dan semi
resmi Gerindra yang menghadirkan pembicara utama Prabowo, baik
atas nama pribadi maupun atas nama Gerindra, lagi-lagi penulis
kesulitan untuk meminta izin wawancara. Berdasarkan informasi dari
Permadi, Suhardi, dan Basuki Tjahaya Purnama, sebagai pengurus
teras-pun kesulitan untuk berdialog dan berjumpa dengan orang nomor
satu Gerindra ini. Oleh karena itu, dengan tidak adanya sebagian data
yang diperlukan, tentunya mengurangi input kepada penulis untuk
memberikan fakta-fakta yang menunjang setiap analisisnya. Menyadari
hal ini, penulis mencoba memberikan gambaran sependek data yang
Manifesto Perjuangan Partai Gerindra: Gerakan Indonesia Raya (Jakarta: Bakom-
DPP Gerindra, 2008), 5.
87
bisa didapatkan dan menghindari spekulasi lebih jauh yang ―kurang
perlu.‖
1) Latar Belakang Keluarga dan Pendidikan Letjend (Purn). Prabowo Subianto lahir di Jakarta pada tanggal 15
Oktober 1951, merupakan mantan militer, pebisnis, dan Dewan
Pembina dan Ketua Umum Partai politik Gerindra.8 Penggalan tersebut
menggambarkan karirnya yang ―erratic‖ (berubah-ubah). Seseorang
bisa saja dalam satu saat sekaligus menjadi hal-hal tersebut, tetapi
semua ini hanyalah menjadi salah satu bagian dari kepribadian
Prabowo yang utuh. Karir Prabowo yang erratic itu dimulai sejak awal
kehidupan menjejakkan kakinya kembali ke tanah air setelah tumbuh
dan besar hidup berpindah-pindah di luar negeri.
Prabowo lahir di era, meminjam istilah Dhakidae, ―manusia-
manusia (Indonesia) baru,‖ yaitu generasi yang terlahir dan tumbuh
dewasa setelah Kemerdekaan Republik Indonesia tahun 1945. Generasi
ini dicirikan dengan kondisi antara lain: ―mereka bukan orang yang
takjub melihat kaki langit baru, yang terkagum-kagum kepada Barat
model Sutan Takdir Alisjahbana; mereka bukan ―pemuda bambu
runcing;‖ mereka adalah generasi yang dididik dalam optimisme
setelah penyerahan kedaulatan, dalam mitos-mitos tentang
kemerdekaan dan harapan besar terhadap ―kejayaan Indonesia di masa
depan;‖ mereka adalah generasi yang dibius oleh semangat ―progresif-
revolusioner‖ model Soekarno; tetapi terutama generasi inilah yang
mengalami kehancuran cita-cita itu semuanya, demoralisasi dalam
segala bidang, kehancuran kepercayaan kepada generasi-generasi yang
terdahulu.......sejak lahirnya, merekalah yang dilingkupi oleh dunia
yang paradoksal.‖9
Prabowo lahir dari keluarga birokrat dan pejuang kemerdekaan
Indonesia. Kakeknya,10
Margono Djojohadikoesoemo (1978) adalah
8Lihat daftar riwayat hidup Calon Presiden 2014 yang dikeluarkan secara resmi
oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU) di
http://www.kpu.go.id/koleksigambar/daftar_rwyt_hdp_prabowo.pdf, diakses pada
tanggal 20 Mei 2014. 9Dhaniel Dhakidae, ―Sang Demonstran‖, dalam dalam Soe Hok Gie, Catatan
Seorang Demonstran (Jakarta: LP3ES, 1989), 12. 10
Peter Carey, seorang profesor dari Oxford yang ahli mengenai Perang
Diponegoro, menghubungkan Prabowo dengan masa lalu keluarganya. Menurut
Carey, Prabowo adalah keturunan Raden Tumenggung Kertanegara atau yang dikenal
juga dengan nama Raden Tumenggung Banyakwide. Kertanegara atau Banyakwide
88
pendiri Bank Negara Indonesia, anggota Badan Penyelidik Usaha
Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) dan mantan ketua Dewan
Pertimbangan Agung Sementara (DPAS) era Soekarno-Hatta.11
Margono juga adalah orang tua dari ―Begawan Ekonomi Indonesia,‖
Soemitro Djojohadikusumo, dan juga ayah dari dua pemuda yang gugur
dalam peristiwa Pertempuran Lengkong: Kapten Anumerta Soebianto
Djojohadikusumo dan Taruna Soejono Djojohadikusumo.12
Dari
silsilahnya tampak bahwa Prabowo memiliki darah biru elit pejuang-
pejuang bangsa Indonesia.13
Dari silsilah ini pula dapat dipahami jika
jiwa nasionalisme dan patriotisme telah tertanam dalam sosok
Prabowo. Perjuangan membela Republik Indonesia dari keluarga
menginspirasi Prabowo untuk ikut berjuang membangun bangsa ini.
Meskipun demikian, Soemitro Djojohadikusumo, ayah Prabowo,
termasuk tokoh Indonesia yang kontroversial, dan kini gelaran itupun
melekat pada Prabowo. Selain dikenal sebagai ―Begawan Ekonomi
Indonesia,‖ dan atau ―Begawan Pejuang,‖14
Soemitro dikenal pula
sebagai salah satu arsitek ―Mafia Berkeley,‖15
yang disinyalir oleh
Rizal Ramli, ekonom Indonesia, telah menyebabkan semakin
ini adalah salah seorang pembantu Diponegoro. Lihat,
http://www.youtube.com/watch?v=0aSRCkGSkxo&feature=kp, diakses 20 Juni 2014. 11
Femi Adi Soempeno, Prabowo Dari Cijantung Bergerak ke Istana
(Yogyakarta: Galangpress, 2009), 107. 12
Pramoedya Ananta Toer, Koesalah Soebagyo Toer, dan Ediati Kamil, Kronik
Revolusi Indonesia Bagian II (1946) (Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia, 1999),
37. 13
Apabila ditelusuri lebih jauh lagi, konon, Prabowo adalah keturunan dari
Adipati Mrapat, bupati Kadipaten Banyumas pertama yang salah satu kakek buyutnya
adalah Panglima Laskar Diponegoro untuk wilayah Gowong (Kedu), atau yang lebih
dikenal dengan nama Raden Tumenggung Kertanegara III. 14
Begawan Pejuang julukan yang diberikan oleh Aristides Katoppo, dkk. Lihat
Aristides Katoppo, dkk., Sumitro Djojohadikusumo: Jejak Perlawanan Begawan
Pejuang (Jakarta: Sinar Harapan, 2000). 15
Mafia Berkeley sebutan bagi ―Team Istimewa‖ di pemerintahan Indonesia Era
Rezim Soeharto yang terdiri atas menteri-menteri yang menguasai bidang
perekonomian. Para ahli ekonomi dan sarjana lulusan Universitas Callifornia tersebut
berfungsi sebagai kelompok yang duduk dalam dewan penguasa pemerintahan yang
bertujuan memuluskan perusahaan-perusahaan Amerika untuk mengeksploitasi
sumber daya ekonomi Indonesia. Lihat David Ransom, ―The Berkeley Mafia and the
Indonesian Massacre,‖ Ramparts Magazine, Oktober (1970): 27-29. Karya ini telah
diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia, David Ransom, Mafia Berkeley dan
Pembunuhan Massal Di Indonesia (terj.) Koalisi Anti Utang (KAU) (Jakarta: Koalisi
Anti Utang (KAU), 2006), 23-24.
89
melemahnya perekonomian Indonesia.16
Bahkan, Soemitro sendiri
ketika diwawancarai oleh Tim wartawan Tempo, Setiyardi, Wicaksono,
dan Hermien Y. Kleden pada tahun 1999 mengakui bahwa ia telah
bekerja sama dengan CIA (Central Intellegence Agency) atau Dinas
Rahasia Amerika untuk menjatuhkan pemerintahan Soekarno yang pro-
sosialis.17
Soemitro menjelaskan bahwa George Kahin, profesor dari
Universitas Cornell-Amerika, malah mengatakan bahwa dirinya adalah
orang CIA. Ia membantah jika dirinya disebut sebagai agen CIA,
namun ia membenarkan ada kontak antara dirinya dengan CIA, bahkan
dengan intelijen Korea dan intelijen Prancis. Soemitro tidak menampik
berita tentang bantuan CIA dalam membantu mendesain pola gerakan
Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia/Perjuangan Rakyat
Semesta (PRRI/Permesta) melawan pemerintahan Soekarno.18
Semua
kejadian tersebut ia anggap sebagai bentuk perjuangan perlawanan dan
upaya koreksi terhadap tirani dan ketidakadilan pemerintahan pusat
ketika itu, bukan sebagai pemberontakan yang ingin memisahkan diri
dari Republik Indonesia.
Bagi Soemitro, meski gabung dengan PRRI, namun ia sangat tidak
setuju dengan gagasan pendirian Republik Persatuan Indonesia (RPI),
karena perjuangannya bukan untuk menggantikan atau mendirikan
negara baru tetapi untuk menggulingkan dan mengganti pemerintahan
Soekarno.19
Oleh karenya, ia bersama-sama tokoh-tokoh cendekiawan
menggalang gerakan bawah tanah dan mengeluarkan manifesto
perjuangan mengkritisi pemerintahan ketika itu. Menurut Soemitro,
setelah kemerdekaan tercapai, kenyataan menunjukkan bahwa bangsa
ini masih jauh dari tujuan. Soemitro dan kawan-kawan melihat dengan
16
Lihat ulasan mengenai hal ini dalam Didin Abidin Masud dan Edy Mulyadi,
Rizal Ramli, Lokomotif Perubahan: Langkah Strategis dan Kebijakan Terobosan
2000 – 2001 (Jakarta: Cipta Citra Persada, 2008). 17
Lihat juga keterlibatan CIA dalam eksploitasi sumber daya alam Indonesia
dalam Lisa Pease, ―JFK, Indonesia, CIA & Freeport Sulphur,‖
http://www.realhistoryarchives.com/collections/hidden/freeport-indonesia.htm,
diakses tanggal 10 Desember 2014. 18
Setiyardi, Wicaksono, dan Hermien Y. Kleden, ―Prof. Soemitro
Djojohadikusumo Menjawab: Wawancara,‖
http://tentangps.blogspot.com/2009/09/prof-sumitro-djojohadikusumo-
menjawab.html, diakses tanggal 12 Desember 2014. Lihat juga Tim Tempo, ―Patah
Arah Kawan Seiring,‖ Edisi Senin, 9 Maret (2009). 19
Daniel Dhakidae, ‖Soe Hok Gie: Sang Demonstran,‖ 41. Erros Djarot, dkk,
Prabowo Sang Kontroversi: Kisah Penculikan, Isu Kudeta, dan Tumbangnya Seorang
Bintang (Jakarta: Mediakita, 2007), 174.
90
penuh kecemasan bahwa pimpinan negara dan pemerintahan Soekarno
telah membawa bangsa dan negara Indonesia kepada keadaan yang
menguatirkan. Dengan diterapkannya sistem Demokrasi Terpimpin,
diktator perseorangan dan golongan yang berkuasa bukan lagi
merupakan bahaya di ambang pintu, tetapi telah menjadi suatu
kenyataan. Cara-cara kebijaksanaan negara dan pemerintahan bukan
saja bertentangan dengan asas-asas kerakyatan dan hikmah
musyawarah, bahkan menindas dan otoriter. Pimpinan negara dan
pemerintahan kala itu, dianggapnya bukannya menjadi saluran
pengabdi rakyat, malahan sebaliknya menjadi penindas dan pemeras
rakyat sendiri. Istilah ―Demokrasi Terpimpin‖ dipakai sebagai topeng
belaka justeru untuk menindas dan menumpaskan asas-asas demokrasi
sendiri. Oleh karenanya, bagi Pak Cum, demikian Soemitro, tokoh
Partai Sosialis Indonesia, biasa dipanggil kawan-kawan dekatnya,
menghimbau kepada segenap penerus bangsa untuk bangkit
menggalang kekuatan dan bertindak menyelamatkan bangsa dan negara
Indonesia dari jurang malapetaka.20
Manifesto perjuangan masyarakat madani Pak Cum di atas, selaras
dengan pernyataan Janoski dan Mannheim bahwa masyarakat madani
dipahami sebagai lingkungan masyarakat yang berada di antara urusan
pribadi dan hubungan politik negara. Sebagai, konsekuensinya,
komponen masyarakat sipil tidak hanya terdiri atas berbagai kelompok,
akan tetapi juga individu sebagaimana Soemitro. Entah individual
maupun kelompok, mereka terlibat dalam kegiatan mencermati,
meneliti, menilai, menjelaskan, dan mengkritisi kebijakan pemerintah,
dan mendesak pemerintah agar melakukan perubahan dalam kebijakan-
kebijakan yang menyejahterakan rakyat pada umumnya. Sebagai
bagian dari masyarakat, Pak Cum merupakan sosok apa yang disebut
oleh Karl Mannheim sebagai ‗intelektual yang bebas dari kepentingan
kelas‘21
atau dalam bahasa Uhlin adalah ‗intelektual individual‘ juga
‗pembangkang elit.‘22
20
Daniel Dhakidae, ‖Soe Hok Gie: Sang Demonstran,‖ 41-42. 21
Karl Mannheim, Ideologi dan Utopia: Menyingkap Kaitan Pikiran dan Politik
(Yogyakarta: Kanisius, 1991); Karl Mannheim, ―The Sociology of Intellectuals
Theory,‖ Culture and Society 10(3) (1993), 69–80; Syed Farid Alatas, ―Islam, Ilmu-
Ilmu Sosial, dan Masyarakat Sipil,‖ Antropologi Indonesia 66, (2001), 13. 22
Anders Uhlin, Indonesia and the “Third Wave of Democratization:” The
Indonesian Pro-Democracy Movement in a Changing World (London: Curzon Press,
1997), 94 dan 99.
91
Sepak-terjang dan pro-kontra kehidupan Pak Cum, terlebih lagi
keluarga besarnya, dalam kerangka Janoski, merupakan bagian dari,
―people‟s private lives disclosed in the media and courts,‖ kehidupan
privat seseorang yang telah menjadi pemberitaan media dan
pengadilan. Hal itu merupakan suatu ranah yang tidak bisa lagi hanya
diklaim sebagai wilayah privat, karena sudah menjadi pemberitaan
publik dan berhubungan dengan publik. Individu-individu yang
tergabung dalam ‗gerakan bawah tanah‘ yang dikomandoi Pak Cum
memperjuangkan kepentingan khalayak publik ketika itu.23
Selain itu, masih dalam kerangka masyarakat madani ataupun civil
society, apa yang diperjuangkan oleh Soemitro dengan manifesto di
atas merupakan suatu bentuk kritik terhadap rezim pemerintahan yang
sah.24
Secara individual maupun melalui kelompok gerakan bawah
tanah yang diarsitekinya, menurut penulis, tidak berlebihan jika pantas
disebut sebagai salah satu pejuang masyarakat madani.25
Ia berani
melakukan kritik dan menanggung resiko dengan berontak terhadap
rezim pemerintahan yang dinilai otoriter dan tidak adil ketika itu.
Menurut Janoski dan Bakti, perjuangan individu termasuk dalam salah
satu kategori ranah masyarakat madani.26
Soemitro, baik secara
23
Thomas Janoski, Citizenship and Civil Society: A Framework of Rights and
Obligations in Liberal, Traditional, and Social Democratic Regimes (Cambridge:
Cambridge University Press, 1998), 12. 24
Carlo Ruzza, ―The International Protection Regime for Minorities, the
Aftermath of the 2008 Financial Crisis and the E: New Challenges for Non-State
Actors,‖ International Journal on Minority and Group Rights 18 (2011), 223-224; V.
Della Sala, ‗Political Myth, Mythology and the European Union,‖ Journal of Common
Market Studies Vol. 48 (2010), 5-6; P. Cullen, ―The Platform of European Social
NGOs: ideology, division and coalition,‖ Journal of Political Ideologies 15 (2010),
320-321; C. Ruzza, ―Populism and euroscepticism: Towards uncivil society?,‖ Policy
and Society 28 (2009), 89-90. 25
Hal tersebut penulis sematkan mengikuti putusan Dewan Dekan-dekan
Universitas Erasmus Rottedam Belanda memutuskan untuk memberi gelar Doktor
Honoris Causa kepada Pak Cum dengan tiga dasar pertimbangan. Pertama,
menunjukkan kepiawaiannya selaku ilmuwan yang aktif menulis puluhan karangan
ilmiah dan buku ilmu pengetahuan. Kedua, berhasil memadukan kesarjanaannya
dengan kenegarawanan dan kediplomatannya dalam pembaktian diri secara aktif
membangun ekonomi dan politik negaranya. Ketiga, senantiasa menyuarakan hati
nuraninya dengan murni dan konsekuen sehingga pendapatnya didengar dan dihargai
masyarakat. Lihat Emil Salim, Kembali Ke Jalan Lurus: Esai-esai 1966 – 99 (Jakarta:
AlvaBet, 2000), 43-45. 26
Thomas Janoski, Citizenship and Civil Society, 13; lihat juga Andi Faisal Bakti,
―Women in the West and in Indonesia: How Can Islam Contribute to Social
Development?‖ dalam Journal Pemikiran Islam, Vol. 1 No. 1, September, Ternate,
92
individual maupun secara kelompok berupaya untuk membangun dan
menegakkan perdaban Indonesia yang merdeka, makmur, dan sejahtera.
Perjuangan Pa Cum kala itu, menurut penulis, sesuai dengan tuntunan
falsafah Pancasila terutama sila kedua, ‗Kemanusiaan yang adil dan
beradab,‘ dan juga sila kelima, ‗Keadilan sosial bagi seluruh rakyat
Indonesia.‘
Pemerintah RI ketika itu dinilai hanya mementingkan kepentingan
pusat dan mengabaikan daerah-daerah. Bagi Pak Cum, Pemimpin RI
ketika itu telah keluar dari jalur perjuangan penegakkan Pancasila.27
Dalam kritiknya, ia menyatakan pemerintah sebagai, ―diktator
perseorangan dan golongan yang berkuasa bukan lagi merupakan
bahaya di ambang pintu, tetapi telah menjadi suatu kenyataan. Cara-
cara kebijaksanaan negara dan pemerintahan bukan saja bertentangan
dengan asas-asas kerakyatan dan hikmah musyawarah, bahkan
menindas dan memperkosanya. Pimpinan negara dan pemerintahan
sekarang bukannya menjadi saluran pengabdi rakyat, malahan
sebaliknya menjadi penindas dan pemeras rakyat sendiri.‖28
Oleh
karenanya, ia bangkit berjuang melakukan perlawanan terhadap
pemerintahan, bukan bermaksud malah mendirikan negara tandingan.
Pak Cum memiliki jiwa nasionalisme dan patriotisme yang tinggi.
Jiwa patriotisme dan nasionalisme, juga jiwa memberontak dan
kontroversi, yang melekat dalam diri Soemitro dan keluarga besarnya,
ditanamkan ke generasi berikutnya, terutama Prabowo. Sehingga
tidaklah mengherankan ketika berbagai aktivitas Prabowo bersamaan
dengan jiwa berontak dan kontroversinya, di ranah pendidikan, sosial,
politik atau kemasyarakatan, umumnya, simbol-simbol nasionalisme
juga beserta pro-kontranya itu selalu hadir, bahkan pada atribut yang
melekat di tubuhnya, dari perkataan hingga sikapnya.29
Terlepas dari kontroversial dan jiwa berontak Prabowo, Joseph
Bradley menjelaskan bahwa dalam konsep civil society atau masyarakat
Indonesia, (2010), 2-20; Andi Faisal Bakti, ―Communication and Violence:
Communicating Human Integrity caharactersitics is necessary for Horizontal Conflict
resolution In Indonesia,”dalam Identity, Culture, and Politics Vol. 9, No. 1 (July
2008); Andi Faisal Bakti, ―Islam and Modernity: Nurcholish Madjid Interpretation of
Civil Society, Pluralism, Secularism and Democracy,‖ dalam Asian Journal of Social
Sciences, Brill, Leiden, Vol 33, No. 3 (November, 2005). 27
Floriberta Aning S. (ed.), 100 Tokoh yang Mengubah Indonesia: Biografi
Singkat Seratus Tokoh yang Berpengaruh dalam Sejarah Indonesia di Abad 20
(Yogyakarta: Narasi, 2007), 220. 28
Daniel Dhakidae, ‖Soe Hok Gie: Sang Demonstran,‖ 43. 29
Femi Adi Soempeno, Prabowo Dari Cijantung Bergerak ke Istana, 108.
93
madani, patriotisme tidak selalu berhubungan dengan keberanian para
pahlawan bangsa, atau bahkan mengharuskan gugur di medan perang
dengan segala bentuknya untuk ibu pertiwi. Patriotisme bisa lahir dari
orang-orang biasa dan dari kejadian-kejadian biasa. Setiap bangsa
membutuhkan pahlawan dan perbuatan heroik. Setiap bangsa
memerlukan patriot dan patriotisme. Kebutuhan tadi bisa jadi untuk
kepentingan suatu bangsa demi memelihara identitas kebangsaannya,
atau mempertahankan kesatuan teritorial, atau semata-mata untuk
menumbuhkan ikatan emosional untuk memelihara kepentingan
bersama. Namun demikian, bisa juga hal tersebut kebutuhan yang
dihidupkan oleh penguasa untuk mempertahankan kekuasaannya di atas
emosi dan kehausan rakyat untuk mempunyai dan melegendakan
patriot dan patriotisme.30
Berdasarkan hal tersebut, kontroversi tentang
Pribadi Prabowo dalam rekam jejaknya kehidupannya, walaupun
semangatnya, meminjam perkataan Pak Cum terhadap anaknya ini,
terkesan ‗arogan dan temperamental,‘ penulis lebih cenderung
berpendapat bahwa Prabowo juga memiliki juga jiwa nasionalisme dan
patriotisme yang cukup tinggi terhadap bangsa ini.
Prabowo menapaki sekolah formalnya sedari tingkat dasar sampai
menengah atas berpindah-pindah di luar negeri.31
Karena ayahnya
merupakan mantan Menteri Keuangan era Soekarno yang menjadi
pelarian karena tak lagi sepaham dengan presiden pertama Indonesia
itu. Saat itu Soemitro menjadi anggota Partai Sosialis Indonesia (PSI)
pimpinan Sjahrir yang kemudian mendukung PRRI/Permesta.32
Di
tingkat sekolah dasar, ia menimba ilmu pada SD di Victoria Institution,
Kuala Lumpur Malaysia dari tahun 1960 sampai dengan 1963. SMP di
30
Joseph Bradley, Voluntary Associations in Tsarist Russia: Science, Patriotism,
and Civil Society (Harvard: President and Fellow of Harvard College, 2009), 128. 31
Demi keamanan, Soemitro bersama keluarganya tak mau tinggal di suatu
negara lebih dari dua tahun. Mulai dari Singapura, Hongkong, Kuala Lumpur, Zurich-
Swiss, London, kemudian pindah ke Bangkok. Majalah Intisari, Juli (2000). 32
Soemitro bergabung dengan PRRI karena dari timbulnya kesadaran bahwa
pusat selalu mengabaikan daerah, misalnya kontrol devisa, di mana selama ini devisa
selalu dihabiskan di Jakarta, sampai friksi antara Bung Karno dan PSI serta makin
dekatnya tokoh PKI D.N. Aidit dengan Bung Karno. Ini juga yang menimbulkan
perlawanan daerah-daerah sesuatu yang sedang berlangsung sekarang. Lihat RO
Tambunan "Wawancara Prof. Sumitro Djojohadikusumo: Jika lima tahun lalu Pak
Harto mundur, kondisi Indonesia tidak akan seburuk sekarang," Majalah Tempo,
Edisi 10 Juni (1998) atau lihat
www.library.ohiou.edu/indopubs/1998/06/13/0035.html, diaskses tanggal 12
Desember 2014.
94
International School, Zurich, Swiss dari tahun 1963 sampai dengan
1964. SMA di tempuh di Amercan School, London Inggris dari tahun
1964 sampai dengan 1967. Selepas itu, Harvard University Cambrige
Amerika Serikat menerima Prabowo untuk kuliah di sana. Namun
karena berbagai pertimbangan keluarga; Prabowo mengurungkan
niatnya masuk Universitas Harvard dan Prabowo menolak kuliah
George Washington University (GWU) melalui secarik surat resmi
bertanggal 26 Maret 1968.33
Ia lebih memilih Akademi di Akademi
Militer Nasional, Magelang dari tahun 1970 sampai dengan 1974.
Semenjak kecil, Prabowo ditanamkan watak menyintai tanah air
dan patriotisme yang mendalam dalam dirinya. Pengalamannya yang
tumbuh besar di Eropa, di tengah bangsa kulit putih pada tahun 1950 –
1960-an, sebagai anak bangsa Indonesia selalu merasa diejek dan
dipandang sebagai manusia inferior. Ketika di SMA, ia pernah
mempunyai guru yang selalu sinis menghadapi murid-murid berwarna,
apalagi yang berasal dari negara yang dianggap miskin. Dari kecil ia
telah bertekad bahwa suatu waktu kelak harus ikut berpartisipasi
membangun negara agar bangsa Indonesia tidak terus miskin dan
dimiskinkan, tidak terus dipandang inferior, melainkan menjadi bangsa
yang sejajar, kuat, makmur, dan rakyat hidup dengan baik.34
Karakter nasionalisme Prabowo, semenjak kecil ditempa oleh
kehidupan yang bernuansa liberalis di luar negeri. Nasionalisme
Prabowo remaja, meminjam pendapat Durkheim, menjadi ‗agama baru‘
baginya. Sosiolog kenamaan Emile Durkheim berhipotesa bahwa
nasionalisme dan patriotisme yang ditanamkan pada jiwa seseorang
dapat menjadi ‖agama baru‖ dalam masyarakat modern, karena mampu
menjadi integrator masyarakat majemuk tatkala hubungan-hubungan
sosial semakin terasa longgar dan sangat berbau materialis.35
Sementara
itu, Ernest Gellner dalam bukunya Nations and Nationalism (1983)
antara lain menuliskan bahwa nasionalisme melahirkan bangsa,
sementara demokrasi melahirkan negara dan pemerintahan, maka
nasionalisme bersama demokrasi melahirkan negara-bangsa (nation
33
Lihat lampiran surat penerimaan Prabowo sebagai murid di George Washington
University (GWU), Amerika. 34
Prabowo Subianto, et. al., Membangun Kembali Indonesia Raya: Haluan Baru
Menuju Kemakmuran (Jakarta: Institut Garuda Nusantara, 2012), xi. 35
Rogers Brubaker, ―Ethnicity, Race, and Nationalism,‖ Annual Review of
Sociology, Vol. 35, (2009), 21-42; Issam Aburaiya, ―Islamism, Nationalism, and
Western Modernity: The Case of Iran and Palestine,‖ International Journal of
Politics, Culture, and Society, Vol. 22 (1), (2009), 57-68.
95
state). Namun demokrasi bukan hanya sebagai alat tetapi sekaligus
merupakan tujuan dari negara bangsa itu sendiri, yaitu mewujudkan
masyarakat adil makmur material – spiritual bagi seluruh warga
bangsa.36
Patriotisme Prabowo, juga tertanam semenjak kecil hingga
remaja agar kelak bisa bersumbangsih mewujudkan masyarakat adil
makmur, sejahtera, lahir dan batin bagi seluruh rakyat Indonesia.
Melalui cerita-cerita heroik saat di meja makan, keluarga Soemitro
menyemai jiwa patriotisme pada anak-anaknya, tak terkecuali Prabowo.
Di situ diceritakan tentang kebesaran peradaban Sriwijaya, Majapahit,
Mataram, Demak dan kerajaan-kerajaan lainnya. Kisah tersebut
mengajarkan Prabowo bahwa Negara Indonesia memiliki peradaban
yang luhur, bukan merupakan bangsa budak, bukan pula bangsa yang
patut di jajah. Selain itu, sejarah perjuangan Jenderal Soedirman dan
perjuangan para Pahlawan Nasional, seperti Gadjah Mada, Sultan
Agung, Pangeran Diponegoro, Sultan Hasanuddin, Teuku Umar,
Untung Suropati, dan lainnya juga tertanam dalam diri prabowo. Hal
tersebut mengajarkan bahwa bangsa Indonesia memiliki generasi
penerus yang gagah berani dan berhasil mengusir penjajah dan
mengharumkan nama bangsa.37
Perjuangan untuk membangun
peradaban bangsa yang gemilang dan minimal sejajar dengan bangsa-
bangsa maju lainnya yang kelak kemudian dirumuskan oleh Prabowo
melalui Gerindra sebagai ruh dari Manifesto perjuangan politik
praktisnya.38
Prabowo kecil telah tertanam kesadaran nasionalisme bahwa
sejarah bangsa-bangsa di Nusantara adalah juga sejarah membangun
persatuan dalam menghadapi penjajahan asing.39
Sebagai sebuah
peradaban, masyarakat Nusantara sudah memiliki norma-norma
kearifan lokal masyarakat madani yang mandiri, yaitu gotong-royong
dan terbuka pada pengaruh luar yang tidak eksploitatif. Interaksi antar
kerajaan-kerajaan Nusantara sendiri semakin dipertajam melalui
36
Brendan O‘leary, ―On the Nature of Nationalism: An Appraisal of Ernest
Gellner‘s Writings on Nationalism,‖ B.J.Pol.S., Cambridge University Press, Vol. 27,
(1997), 191–193; Andreas Wimme, A Swiss Anomaly? A Relational Account of
National Boundary-Making,‖ Nations and Nationalism, Vol. 17 (4), (2011), 718–720. 37
Prabowo Subianto, et. al., Membangun Kembali Indonesia Raya, ix. 38
lihat Gerindra, Manifesto Perjuangan Partai Gerakan Indonesia Raya (Jakarta:
Bakom-Gerindra, 2014), 3. 39
Prabowo Subianto, et. al., Membangun Kembali Indonesia Raya, 2-3; Masykuri
Abdillah, Demokrasi Di Persimpangan Makna: Respons Intelektual Muslim
Indonesia Terhadap Konsep Demokrasi (1966 – 1993) (Yogyakarta: Tiara Wacana,
2009), 27-29.
96
hubungan perdagangan.40
Hubungan ini kian lancar karena semakin
terintegrasinya kepentingan ekonomi, politik dan budaya di Nusantara,
meskipun proses integrasi ini bisa disertai penaklukan. Sejarah
mencatat adanya kemajuan-kemajuan dari proses integrasi itu seperti
konsep Bhinneka Tunggal Ika dan terbentuknya bahasa pergaulan
terutama di dunia dagang di Nusantara yang menjadi cikal bakal bahasa
persatuan Indonesia.
Prabowo banyak belajar prinsip-prinsip kehidupan dari ayahnya,
Soemitro Djojohadikusumo menasehatinya dengan kalimat bijak:
‗Smile in the face of adversity, be contemptuous of danger, undaunted
in defeat, magnanimous in victory,‘ tersenyumlah dalam menghadapi
kemalangan, beranilah menantang bahaya, tegarlah dalam kekalahan,
dan selalu rendah hati akan kemenangan.‖ Pribadi yang keras dan
penuh disiplin buah dari didikan ayahnya dalam mendidik keempat
anaknya. Putri tertua, Biantiningsih, istri mantan Gubernur Bank
Indonesia, J. Soedrajat Djiwandono, sampai memiliki dua gelar
kesarjanaan. Begitu juga Marjani Ekowati, putri kedua yang menikah
dengan orang Prancis. Lalu si bungsu Hashim Sujono menjadi
pengusaha sukses.41
Di Eropa, selain Prabowo muda tumbuh dengan lebih cepat
matang dan telah mulai mengenal wacana politik tanah airnya, juga
telah tertanam watak keras dan ambisius, termasuk soal cita-cita
menyelesaikan masalah di negeri tanah kelahirannya. Hal tersebut,
sebagaimana yang diceritakan oleh aktivis dari Universitas Indonesia
(UI) dan teman dekat Prabowo, Soe Hok Gie, ketika ia telah kembali ke
tanah air.42
Dalam catatan hariannya, 25 Mei 1969, Hok Gie menulis
kesannya terhadap Prabowo: ―Bagi saya Prabowo adalah seorang
pemuda (atau kanak-kanak) yang kehilangan horison
romantiknya........... Ia cepat menangkap persoalan-persoalan dengan
40
Nurcholish Madjid, Cita-cita Politik Islam Era reformasi (Jakarta: Paramadina,
1999), 164; PB-IKA PMII, Manifesto Khittah Kedaulatan Indonesia: Pokok-pokok
Pikiran Munas Ke-5 IKA-PMII (Jakarta: PB. IKA-PMII, 2013), 6. 41
http://www.tokohindonesia.com/biografi/article/285-ensiklopedi/4174-
begawan-ekonomi-indonesia, diakses tanggal 20 Juni 2014. 42
Soe Hok Gie, lahir di Jakarta, 17 Desember 1942 – meninggal di Gunung
Semeru, 16 Desember 1969 pada umur 26 tahun. Ia adalah salah seorang aktivis dan
mahasiswa Fakultas Sastra Universitas Indonesia Jurusan Sejarah tahun 1962–1969.
Ia seorang anak muda yang berpendirian yang teguh dalam memegang prinsipnya dan
rajin mendokumentasikan perjalanan hidupnya dalam buku harian. Buku hariannya
kemudian diterbitkan dengan judul ―Catatan Seorang Demonstran‖ (1983).
97
cerdas tapi naif. Mungkin kalau ia berdiam 2-3 tahun dan hidup dalam
dunia yang nyata, ia akan berubah.‖43
Apa yang dinyatakan oleh Gie tentang watak prabowo di atas,
senada dengan kesan yang didapati oleh Lee Kuan Yew, Mantan
Presiden Singapura, ketika menyinggung tentang karakter Prabowo
hingga masa modern ini. Dalam karyanya From Third World to First -
The Singapore Story (1965-2000),44
Lee menuliskan kesannya yang
lebih mendalam tentang Prabowo. Dalam memoarnya, Lee Kuan Yew
mengutip pendapat Soeharto bahwa sosok Prabowo merupakan pribadi
yang ―cerdas dan ambisius tetapi impulsif dan gegabah.‖ Berikut
kutipan dari halaman tersebut: ―The most grievous error of all was his
balancing act in appointing General Wiranto as chief of the armed
forces while promoting his son-in-law Prabowo Subianto to be
liutenant-general and chief of Kostrad (the Strategic Forces). He knew
that Prabowo was bright and ambitious, but impetuous and rash,
Kesalahan yang paling menyedihkan dari semua adalah tindakan
menyeimbangkan dalam menunjuk Jenderal Wiranto sebagai kepala
angkatan bersenjata sekaligus mempromosikan menantunya Prabowo
Subianto menjadi Letnan Jenderal dan kepala Kostrad (Angkatan
Strategis). Dia tahu bahwa Prabowo adalah cerdas dan ambisius, tapi
tidak sabar dan gegabah.‖45
Lee secara pribadi mengutarakan opininya mengenai kepribadian
Prabowo. Menurut pendapatnya, ―He was quick but inappropriate in
his outspokenness.‖ Kata quick menurut Longman Dictionary of
Contemporary English memiliki banyak makna jika jika dikaitkan
dengan karakter seseorang. Pertama, bermakna ―cekatan‖ (moving or
doing something fast). Kedua, ―pandai‖ karena mampu belajar dan
memahami dengan cepat (able to learn and understand things fast).
Ketiga, quick juga bisa dimaknai ―cepat naik darah‖, misalnya, have a
quick temper, yang artinya, to get angry very easily.46
Ketiga watak itu
menurut Lee telah menjadi karakter Prabowo. Bahkan Lee
43
Soe Hok Gie, Catatan Seorang Demonstran (Jakarta: LP3ES, 1989), 314. 44
Lee Kuan Yew, From Third World to First - The Singapore Story (1965-2000):
Singapore and The Asian Economic Boom (New York: HarperCollins Publishers,
2000), 316. 45
Lee Kuan Yew, From Third World to First, 316; Fami Fachrudin, di Kantor PT.
Natuna Energy Indonesia, Menara Palma 7th Floor Unit 701, JL.HR.Rasuna Said
Blok X2 Kav.6, Kuningan, Jakarta Selatan, tanggal 10 Juli 2014. 46
http://www.ldoceonline.com/search/?search_str=quick, diakses tanggal 20 Juni
2014.
98
menambahkan satu watak lagi dengan menuliskan:”I said Prabowo had
a reckless streak in him.” Menurut Oxforddictionaries, kata reckless
dapat diterjemahkan sebagai ―tanpa berpikir atau peduli atau
mempertimbangkan konsekuensi sebuah tindakan,‖ (without thinking
or caring about the consequences of an action).47
Berbeda dengan Lee, sebagaimana dikutip dari Huffington Post,
Stanley A Weiss, pendiri lembaga Business Executives for National
Security di Washington, Amerika Serikat, lebih berkeyakinan bahwa
Prabowo cenderung memiliki watak yang cerdas dan memiliki potensi
untuk menjadi seorang pemimpin.48
Selain itu, menurutnya, Prabowo
itu memiliki watak, ―tough, decisive, insightful, and highly idealistic
about Indonesia and its future, tangguh, tegas, berwawasan, dan sangat
idealis tentang Indonesia dan masa depannya.‖49
Bahkan, Weiss
meyakini bahwa Prabowo mampu memimpin Indonesia layaknya Lee
Kuan Yew menahkodai Singapura.
Kecerdasan dan potensi kepemimpinan Prabowo ditunjang dan
diperluas wawasannya oleh karena selain aktif dikegiatan sekolah juga
mempunyai hobi membaca buku-buku. Selain bahasa Inggris, ia
menguasai bahasa Prancis, Jerman, dan Belanda. Sehingga wajar saja ia
gemar membaca buku-buku militer dan politik semisal karya George
Mc Turnan Kahin dan karya Leo Tolstoy.50
Selain itu, Prabowo juga
diketahui mengagumi tokoh-tokoh perlawanan, seperti Che Guevara
dan Yasser Arafat. Tidak ketinggalan, gerakan antikolonialisme Mesir
yang dipimpin oleh Gamal Abdul Nasser juga sangat dikagumi
Prabowo. Mungkin, inilah yang menjadi penyebab mengapa selama ini
Prabowo selain berwatak keras, juga tumbuh menjadi pemuda yang
cerdas dan berani berdebat.51
Lulus sekolah menengah atas, American
School in London, pada 1967, Prabowo Subianto, terinspirasi ingin
berkiprah memperbaiki keadaan tanah kelahirannya. Ia ingin
meneruskan perjuangan Ayah, kakek, paman-paman dan keluarganya
dan menggebu-gebu ingin memperbaiki negerinya. Pulang ke tanah air,
47
http://www.oxforddictionaries.com/definition/english/reckless, diakses tanggal
20 Juni 2014. 48
Lihat Stanley A Weiss, ―Prabowo Could Be Indonesia's Lee Kuan Yew,‖dalam
http://www.huffingtonpost.com/stanley-weiss/prabowo-could-be-
indonesi_b_3936498.html, diakses tanggal 20 Februari 2014. 49
Lihat Stanley A Weiss, ―The Betrayal at the Heart of Prabowo‘s Challenge,‖
dalam http://www.huffingtonpost.com/stanley-weiss/the-betrayal-at-the-
heart_b_5627496.html, diakses tanggal 20 Februari 2014. 50
Femi Adi Soempeno, Prabowo Dari Cijantung Bergerak ke Istana, 108. 51
http://prabowosubianto.info/riwayat-prabowo, diakses tanggal 20 Juni 2014.
99
sang ayah meminta putranya berkeliling Jawa, untuk mengenal lebih
nyata dan secara langsung negeri yang ditinggalkannya selama satu
dekade itu.
Selepas SMA, Prabowo kembali ke Indonesia. Sebelum memasuki
Akademi Militer, mulai aktif membangun jaringan dengan aktivis
sosial dan pergerakan-pergerakan mahasiswa Indonesia. Ia banyak
dibantu oleh kedudukan dan kolega-kolega ayahnya, Soemitro, yang
ketika itu menjabat sebagai Menteri Perindustrian dan Perdagangan RI
ke-7 atau juga dalam kapasitasnya sebagai Guru Besar dan Dekan
Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia. Dengan memanfaatkan
jejaring sosial yang telah dibangun ayahnya, Prabowo dengan mudah
diterima dan bergaul dengan berbagai kalangan aktivis di Indonesia.52
Bersama Shoe Giok Hie, Prabowo mempelopori pembentukan
Korps Lembaga Pembangunan, yang terinspirasi oleh Korps
Perdamaian, Peace Corps,53
kumpulan relawan sosial asal Amerika
Serikat yang digagas Senator John F. Kennedy pada 1961. Dalam
lembaga ini tercatat pula Wimar Witoelar, Kuntoro Mangkusubroto,
dan Sarwono Kusumaatmadja. Prabowo mengumpulkan teman-
temannya, putra-putri para eks anggota Partai Sosialis Indonesia yang
tumbuh bersamanya di luar negeri, untuk berdiskusi dengan para
ekonom dan turun ke desa-desa membantu perekonomian warga. Emil
Salim, yang ketika itu dosen Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia,
pernah mereka mintai saran dan sumbangsihnya terhadap lembaga ini.
Hidupnya sebagai aktivis berhenti ketika dia memutuskan masuk
Akademi Militer Nasional di Magelang, Jawa Tengah, pada 1970).54
Sikap kerjasama dan gotong royong yang telah dibangun Korps
Lembaga Pembangunan dilandasi oleh penghormatan atas kedaulatan,
kemandirian, dan persamaan hak dalam mengerjakan dan menuntaskan
sebuah pekerjaan. Korps tersebut lahir dari semangat untuk
memperbaiki keadaan. Kondisi yang paradoks antara Indonesia yang
kaya dan rakyatnya yang miskin. Negeri yang berlimpah sumber daya
alam, tapi rakyatnya masih jauh dari kemakmuran. Hal tersebut bisa
terjadi tak lain dan tak bukan karena dua faktor. Pertama, haluan negara
masih tak jelas. Kedua, masalah kepemimpinan, masalah elit bangsa
yang tak berpihak lagi pada rakyat. Bahkan ada pengkhianatan elit
terhadap rakyat. Para pendiri bangsa dengan jelas menggariskan bahwa
52
Daniel Dhakidae, ‖Soe Hok Gie: Sang Demonstran,‖ 41-43. 53
Soe Hok Gie, Catatan Seorang Demonstran , 308. 54
Tempo, ―Sepotong Mimpi Anak Pelarian,‖ Majalah Tempo No. 19/XXXVIII,
29 Juni (2009).
100
tujuan negara Indonesia adalah melindungi segenap bangsa dan seluruh
tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum,
mencerdaskan kehidupan bangsa dan menciptakan dunia yang damai.
Melindungi segenap bangsa tentu bukan sekedar perlindungan fisik dari
agresi militer atau penjajahan konvensional. Perlindungan yang lebih
substansial adalah proteksi seutuhnya: bebas dari kemiskinan,
kebodohan dan ketidakpastian. Korps ingin rakyat cukup pangan,
sandang dan papan. Korps ingin rakyat menjadi cerdas dan mampu
bersaing dalam percaturan global. Korps ingin manusia Indonesia
mencicipi kemakmuran yang diolah dari kekayaan alam, dari pertanian
dan industri, serta dari inisiatif dan kreativitas.55
Meskipun kegiatan Korps ini lumpuh karena masalah internal
yang terjadi di dalamnya. Prabowo telah ikut mengobarkan semangat
nasionalis dengan meneruskan karakter luhur bangsa yang, meminjam
bahasa Nurcholish Madjid, disebut dengan ‗masyarakat paguyuban‘
sebagai cikal-bakal masyarakat madani Indonesia.56
Emil Salim,
sebagai ketua Gerakan Masyarakat Madani, mengatakan bahwa nilai-
nilai masyarakat madani jauh telah tertanam dan tumbuh dalam
masyarakat Indonesia. Wujud masyarakat madani telah
terimplementasikan dalam bentuk masyarakat paguyuban yang
dominan di masa lalu. Masyarakat paguyuban yang dipimpin Prabowo
merupakan kelompok masyarakat yang memiliki ciri hidup bergotong-
royong, berkedudukan sama, dan mengatur kehidupan bersama dengan
cara musyawarah. Lebih jauh, Emil Salim menyatakan bahwa substansi
masyarakat madani telah lama ada dalam etika sosial politik
masyarakat Indonesia yang berkembang dalam kultur masyarakat
Indonesia.57
Semangat egaliterianisme dan budaya sosial politik yang
mengedepankan mekanisme musyawarah dalam penyelenggaraan
kehidupan sosial dan politik merupakan budaya masyarakat Indonesia
yang menonjol. Dalam perspektif civil society mekanisme musyawarah
dalam menyelesaikan masalah merupakan salah satu prosedur
demokrasi yang substantif.58
Semangat inilah tersimpul dalam usul
55
Wawancara dengan Suhardi di Kantor Pusat DPP Gerindra, Ragunan tanggal
13-06-2013. 56
Nurcholish Madjid, Islam Kemodernan dan Keindonesiaan (Bandung: Mizan
Media Utama, 2008), 96-97. 57
Emil Salim, ―Agenda Bangsa,‖ Makalah untuk Pertemuan Hukum oleh BPHN,
Bali, 15 Juli (2003), 3. 58
Gurpreet Mahajan, ―Civil Society, State and Democracy,‖ Economic and
Political Weekly, Vol. 34, No. 49, Dec. 4-10, (1999), 3472-3473; G. Ajay and G.
101
Bung Karno membangun negara gotong royong dan konsep Bung Hatta
membangun negara pengurus sebagai pengganti negara penguasa.59
Beberapa bulan setelah kegiatan Korps Lembaga Pembangunan
vakum, Prabowo mempunyai ide untuk mengumpulkan anak-anak
mantan petinggi PSI yang telah pindah ke luar negeri karena diburu
aparat keamanan. Kemudian, direalisasikanlah idenya itu untuk
kemudian berdiskusi dengan para ekonom dan turun ke desa-desa. Niat
Prabowo untuk membangun jaringan dengan para aktivis pergerakan
kemudian berhenti mana kala ia memutuskan untuk masuk di akademi
militer.60
Tahun 1970 Prabowo mulai meniti karir Militer di Akademi
Militer (Akmil) Magelang. Sponsor utama untuk pendidikan di
Akademi Militer datang dari Jendral Sutopo Juwono. Di akademi ini,
Prabowo kerap menjadi bulan-bulanan teman-teman seangkatannya
karena bahasa Indonesianya masih terbata-bata.61
. Ia saat menjadi
Taruna Akademi militer juga adalah anak seorang menteri. Ayahnya,
Soemitro Djojohadikusumo adalah salah satu menteri di Kabinet
Presiden Soeharto ketika itu. Namun, menurut Glenny Kairupan, teman
seangkatan Prabowo ―Ketika masuk di Akmil, Prabowo mengikuti
semua pendidikan dan latihan yang cukup keras tanpa ada
keistimewaan.‖62
Bahkan, meskipun anak dari orang yang dekat dengan
pemimpin kekuasaan saat itu, Prabowo di Akmil pernah tidak naik
kelas. Menurut Fadli Zon dan salah satu penasehat timses Jokowi, TB
Hasanudin, mengungkapkan bahwa Prabowo pernah tinggal kelas
karena alasan indisipliner, yakni pergi ke Jakarta. Sementara para
taruna hanya diperbolehkan pergi di sekitar Yogyakarta saja. Saat itu,
Vijay, ―Civil Society, State and Social Movements,‖ Economic and Political Weekly,
Vol. 35, No. 12, Maret, 18-24, (2000), 1035-1036; Wahabuddin Raíees, ―Democracy
and democratization in contemporary Muslim societies: A theoretical analysis,‖
Intellectual DIscourse, Vol. 20:1 (2012), 129-131; Carlo Ruzza, ―The International
Protection Regime for Minorities, the Aftermath of the 2008 Financial Crisis and the
EU: New Challenges for Non-State Actors, ―International Journal on Minority and
Group Rights, Vol. 18 (2011). 222–223; Roberto Belloni, ―Society and Peacebuilding
in Bosnia and Herzegovina,‖ Journal of Peace Research, Vol. 38, No. 2, Mar, (2011),
164-165. 59
Emil Salim, ―Agenda Bangsa,‖ 3. 60
Tempo, ―Sepotong Mimpi Anak Pelarian,‖ Majalah Tempo No. 19/XXXVIII,
29 Juni (2009). 61
Femi Adi Soempeno, Prabowo Dari Cijantung Bergerak ke Istana, 110. 62
http://pemilu.okezone.com/read/2014/06/24/567/1003636/prabowo-di-mata-
rekan-seangkatan, diakses tanggal 29 Juni 2014.
102
TB Hasanudin sendiri merupakan adik kelas dari Prabowo, yang karena
kasus indisipliner tersebut akhirnya menjadi teman satu kelas.63
Seharusnya, Prabowo lulus akademi tahun 1973, setingkat dengan
Soesilo Bambang Yudhoyono, mantan Presiden RI dua periode sampai
tahun 2014 ini.64
Ketidaknaikan kelas Prabowo di Akmil membawa berkah
tersendiri. Selain berkawan dengan Soesilo Bambang Yudhoyono, ia
juga membangun jejaring sosial dengan berteman dengan alumnus
Akmil Angkatan 73,65
di antaranya Agus Suyitno,66
Saurip Kadi,67
Endang Suwarya,68
Agus Wirahadikusumah,69
Cornel Simbolon,70
dan
Judi Magio Jusuf.71
Prabowo lulus Akabri di tahun 74 bersama 434
lulusan Akmil lainnya.72
Teman seangkatan Prabowo Subianto di
Akademi Militer, di antaranya adalah Ruhiyan,73
Glenny Kairupan, Tri
Tamtomo74
Ryamizard Ryacudu,75
Cornel Simbolon,76
Agus Suyitno,77
dan Sjafrie Syamsudin.78
63
http://politik.kompasiana.com/2014/07/04/prabowo-tinggal-kelas-di-akabri-
gebukin-sby-atau-indisipliner-662484.html, diakses tanggal 29 Juni 2014. 64
http://pemilu.okezone.com/read/2014/06/24/567/1003636/prabowo-di-mata-
rekan-seangkatan, diakses tanggal 29 Juni 2014. 65
Nama lengkap lulusan Akmil Magelang Angkatan tahun 1973 lihat
http://www.library.ohiou.edu/indopubs/2001/08/27/0009.html, dan profile serta
jenjang karirnya dapat dilihat di https://yuniarpw.wordpress.com/category/akademi-
militer/akmil-1973/, 66
Mantan Panglima Daerah Militer IV/Diponegoro. 67
Mantan Asisten teritorial Mabes TNI-AD. 68
Mantan Kepala Staff Umum TNI-AD. 69
Mantan Panglima Komando Cadangan Strategis Angkatan Darat – Jakarta dan
Mantan Komandan Sekolah Staf dan Komando TNI – Bandung. 70
Mantan Wakasad. 71
Mantan Asisten Pengamanan Kasad. 72
Lihat nama-nama lengkap lulusan Akmil tahun 1974 dalam
http://www.library.ohiou.edu/indopubs/2001/08/27/0010.html,
http://www.akmil.ac.id/27.php, dan
https://yuniarpw.wordpress.com/category/akademi-militer/akmil-1974/, diakses
tanggal 20 Juni 2014. Lihat juga Jurnal Indonesia terbitan Cornell University No 63,
April (1997). 73
http://www.merdeka.com/politik/kiprah-jenderal-seangkatan-prabowo-di-
pilpres-2014.html, diakses tanggal 20 Juni 2014. 74
saat ini menjabat sebagai Anggota DPR RI Komisi I yang membidangi
Pertahanan, Luar Negeri, dan Informasi periode 2009-2014. Dia merangkap sebagai
Wakil Koordinator Pokja Luar Negeri dan Intelejen. 75
Mantan Kepala Staf Angkatan Darat dari tahun 2002 hingga 2005.
103
Melalui pendidikan di akademi militer, Prabowo mendedikasikan
baktinya kepada negara sebagai seorang prajurit. Ia ingin menjadi
seorang panglima yang handal, memimpin Tentara Nasional Indonesia
untuk menjaga kemerdekaan, kedaulatan, kehormatan, dan kebesaran
bangsa Indonesia. Ada semacam kontrak dalam hatinya bahwa ia siap
mati untuk negara asalkan negaranya menjadi semakin berdaulat,
makmur, jaya, dan maju menjadi negara yang gemah ripah loh jenawi,
toto-tertib, toto tentrem kerto raharjo.79
Glenny juga mengisahkan bahwa ketika di Akmil Prabowo masih
menjadi kutu buku dan jumlah koleksi bukunya lebih banyak dibanding
yang ada di perpustakaan Akmil. Prabowo juga menguasai empat
bahasa asing, yakni Inggris, Belanda, Jerman dan Perancis. Karena
kemampuan bahasanya inilah dia sering menjadi penerjemah jika ada
tamu asing berkunjung ke Akmil.80
Prabowo menamatkan pendidikannya di Akmil tahun 1974.
Dengan pangkat Letnan Dua, pada tahun 1976 ia diangkat menjadi
Komandan Peleton Grup I Komandan Pasukan Sandi-Yudha
(Kopasandha, kini Kopassus). Tahun 1977-1980 naik menjadi
Komandan Kompi Grup I, Kompi Nanggala 28-Kopassus. Karirnya
terus naik kelas. Pada tahun 1980, ia menjadi Perwira Operasi di Grup I
sampai tahun 1983. Di tahun 1983, ia menikah dengan anak keempat
Presiden ketika itu, Soeharto, yaitu Siti Hedijati Harijadi (Titiek).
Prabowo kemudian menjadi bagian dari ‗the First Family‟ di Indonesia.
Sejak itu, Prabowo dikenal sebagai menantu kesayangan Soeharto.
Pernikahan itu pula yang kemudian disebut-sebut sebagai pemicu
kenaikan pangkat Prabowo yang mulus hingga mencapai pangkat
Letnan Jenderal dan menduduki posisi Panglima Komando Strategis
Angkatan Darat (Pangkostrad).81
Di militer, nama Prabowo melejit dan
di militer pula nama Prabowo meredup.
76
Wakil Kepala Staf Angkatan Darat (Wakasad) pada tahun 2007. Sebelumnya,
dia menjabat sebagai Kodiklatad dan Pangdam IV/Diponegoro. Ketua Dewan
Pimpinan Pusat Partai Demokrat Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan. 77
Pernah menjabat sebagai Komandan Pusat Teritorial AD, Panglima Daerah
Militer IX Udayana, dan Panglima Daerah Militer IV Diponegoro. 78
http://www.library.ohiou.edu/indopubs/1998/02/28/0132.html, diakses tanggal
29 Juni 2014. 79
Prabowo Subianto, et. al., Membangun Kembali Indonesia Raya, xi. 80
http://pemilu.okezone.com/read/2014/06/24/567/1003636/prabowo-di-mata-
rekan-seangkatan, diakses tanggal 29 Juni 2014. 81
Femi Adi Soempeno, Prabowo Dari Cijantung Bergerak ke Istana, 110-111.
104
Selepas karirnya meredup di militer, tahun 1998, Prabowo ditawari
untuk tinggal di Yordania oleh Pangeran Abdullāh ibn Ḥussain, Putera
Mahkota Yordania ketika itu. Pangeran Abdullāh adalah teman
seangkatan Prabowo ketika menempuh pendidikan infanteri di Amerika
Serikat dan latihan antiteror di Jerman Barat. Selama tinggal di negeri
yang berjulukan ‗Philadelphia abadi‘ tersebut, resminya, Prabowo
mengatakan merintis bisnis keluarganya di bidang perdagangan umum
dan bisnis perminyakan. Untuk kegiatan bisnisnya tersebut, Prabowo
telah melapor ke Pangab dan Kassospol-ABRI ketika itu. Tanggal 12
Desember 1998, koran harian al-Ra‟i terbitan Amman Yordania
mewartakan penganugerahan status warga negara kehormatan Yordania
melalui dekrit Raja Ḥussain kepada Prabowo. Selain ke Yordania,
Prabowo juga pernah bertempat tinggal di Jerman. Selama di negara
ini, Prabowo tercatat beberapa kali memberi ceramah di sebuah sekolah
komando angkatan bersenjata Jerman dan tak kelihatan aktifitas
bisnisnya.82
Uniknya, Prabowo, selain membangun kekuatannya di TNI
Angkatan Darat dan berbisnis, ia juga ikut aktif berperan serta dalam
berbagai organisasi sosial dan keagamaan ‗revivalis‘. Prabowo ikut
membesarkan Komite Indonesia untuk Dunia Islam (KISDI) pimpinan
Ahmad Sumargono dan Front Pembela Islam (FPI) pimpinan Habib
Rizieq Shihab. Di KISDI, Prabowo menjalin hubungan dengan aktivis-
aktivis Islam semisal Hussein Umar, Cholil Ridwan, Adian Husaini,
Fami Fachruddin, dan Aru Syeif Assad. KISDI adalah organisasi Islam
yang sangat vokal saat itu, yang didirikan oleh tokoh Islam M. Natsir.83
Dalam berbagai pertemuan dengan aktivis-aktivis Islam saat itu,
Prabowo menjelaskan tentang kondisi ekonomi Indonesia yang tidak
adil. Dimana orang-orang ‗non pribumi‘ lebih banyak menguasai
ekonomi Indonesia. Uniknya lagi, karena akrabnya dengan tokoh-tokoh
pergerakan Islam, ketika Prabowo ceramah di markas Kopassus
Cijantung pada Januari 1998, di depan puluhan tokoh-tokoh Islam dan
ribuan umat Islam, ia bercerita tentang para pahlawan kemerdekaan
yang merebut Indonesia dari tangan penjajah Belanda
mengumandangkan gema takbir dengan penuh bersemangat. Tentu hal
ini merupakan kejadian luar biasa. Karena ‗belum pernah‘ dalam
82
Femi Adi Soempeno, Prabowo Dari Cijantung Bergerak ke Istana, 177-189. 83
Tokoh-tokoh Kisdi kemudian merupakan tokoh-tokoh pendiri Partai Bulan-
Bintang (PBB). Wawancara dengan Fami Fachrudin, di Kantor PT. Natuna Energy
Indonesia, Menara Palma 7th Floor Unit 701, JL.HR.Rasuna Said Blok X2 Kav.6,
Kuningan, Jakarta Selatan, tanggal 10 Juli 2014.
105
sejarah militer Indonesia setelah kemerdekaan, ucapan Allahu Akbar
diucapkan di markas elit militer. Meski sebelum kemerdekaan 17
Agustus 1945, para pejuang Islam biasa meneriakkan kata itu untuk
mengobarkan semangat dalam berjuang.84
Prabowo juga aktif sebagai anggota Ikatan Cendikiawan Muslim
Indonesia (ICMI) Prabowo juga bersama Hartono mendirikan Center
for Policy Development Studies (CPDS). CPDS berdiri di awal tahun
1990-an, dengan orietasi menjadi lembaga pemikiran strategis
kebijakan politik dan sosial.85
Di lembaga ini sering berkumpul,
berdialog, dan berdiskusi kalangan sipil dan militer. Dari kalangan
militer seperti Syarwan Hamid, Mulkis Anwar, dan Robik Mukav,
Mayjen TNI Fachrul Razi, dan Brigjen TNI Kivlan Zen. Dari kalangan
sipil, terdapat figur-figur tokoh-tokoh pergerakan nasional semisal Afan
Gaffar, Lukman Harun, Jimly Asshiddiqie, Amran Nasution, Fadli Zon,
Fachry Ali, Bachtiar Effendi, Salim Said, Amir Santoso, Nazaruddin
Syamsudin, Din Syamsuddin, Fadel Muhammad, dan Karni Ilyas.86
Setelah CPDS, Prabowo juga mensponsori berdirinya Institute for
Policy Studies (IPS), yag di pimpin oleh Fadli Zon. IPS adalah sebuah
organisasi sosial yang otonom dengan berdedikasi dalam
mempromosikan kualitas demokrasi di Indonesia. IPS juga merupakan
komunitas intelektual dari berbagai lintas keahlian dan bidang. IPS
memfasilitasi dan menyelenggarakan forum dialog atas isu-isu nasional
dan internasional terkait dengan kepentingan nasional Indonesia. Selain
itu aktivitasnya adalah membantu merumuskan perencanaan kebijakan-
kebijakan di Indonesia.87
84
Nuim Hidayat, ―Prabowo Sahabat Islam,‖ Suara Islam, Edisi : 182, 7-22
Sya'ban 1435/6-20 Juni (2014). Fami Fachrudin, di Kantor PT. Natuna Energy
Indonesia, Menara Palma 7th Floor Unit 701, JL.HR.Rasuna Said Blok X2 Kav.6,
Kuningan, Jakarta Selatan, tanggal 10 Juli 2014. 85
Fami Fachrudin, di Kantor PT. Natuna Energy Indonesia, Menara Palma 7th
Floor Unit 701, JL.HR.Rasuna Said Blok X2 Kav.6, Kuningan, Jakarta Selatan,
tanggal 10 Juli 2014. 86
Hermawan Sulistiyo, ―Greens in Rainbow: Ethnoreligious Issues and The
Indonesian Armed Forces,‖ dalam Robert W. Hefner (ed.), The Politic of
Multikulturalism: Pluralism and Multiculturalism in Malaysia, Singapore, and
Indonesia (Hawai‘i: University of Hawai‘i Press-The Ford Foundation, 2001), 299;
Robert W. Hefner, Civil Islam: Muslim and Democratization in Indonesia (New
Jersey: Princeton University Press, 2000), 172. 87
Fami Fachrudin, di Kantor PT. Natuna Energy Indonesia, Menara Palma 7th
Floor Unit 701, JL.HR.Rasuna Said Blok X2 Kav.6, Kuningan, Jakarta Selatan,
tanggal 10 Juli 2014.
106
Salah satu prestasi dan bukti perjuangan Prabowo dalam membela
dan berbakti kepada negara di antaranya, yaitu saat menjadi pimpinan
Kopassus dalam Operasi Pembebasan Sandera Mapenduma pada 1996.
Saat itu, 12 peneliti disekap oleh Organisasi Papua Merdeka (OPM).
Operasi ini berhasil menyelamatkan nyawa 10 dari 12 peneliti
Ekspedisi Lorentz ‗95 yang disekap oleh Organisasi Papua Merdeka.
Lima orang yang disandera adalah peneliti biologi asal Indonesia,
sedangkan tujuh sandera lainnya adalah peneliti dari Inggris, Belanda
dan Jerman.88
Prestasi lainnya adalah ketika pada tanggal 26 April 1997, Tim
Nasional Indonesia ke Puncak Everest berhasil mengibarkan bendera
Merah-Putih di puncak tertinggi dunia setelah mendaki melalui jalur
selatan Nepal. Tim yang terdiri dari anggota Kopassus, Wanadri, FPTI,
dan Mapala UI ini diprakarsai oleh Komandan Jendral Kopassus,
Mayor Jendral TNI Prabowo Subianto. Ekspedisi dimulai pada tanggal
12 Maret 1997 dari Phakding, Nepal. Ia tidak rela Malaysia mendahului
mengibarkan bendera kebangsaannya. Ia juga tidak rela bangsa
Indonesia, sebagai bangsa 200 juta jiwa, harus kalah dengan bangsa
lain di kawasan Asia. Karena mencapai puncak tertinggi di dunia sudah
menjadi salah satu tonggak ukuran prestasi suatu bangsa" tulis Prabowo
dalam buku 'Di Puncak Himalaya Merah Putih Kukibarkan'.
Keberhasilan ekspedisi ini menjadikan Indonesia negara pertama dari
kawasan tropis, sekaligus juga negara di Asia Tenggara pertama yang
mencatat sukses menggapai puncak Everest.89
Berikut adalah daftar jabatan yang Prabowo saat mengabdi sebagai
prajurit TNI: Komandan Peleton Para Komando Group-1 Kopassandha
(1976); Komandan Kompi Para Komando Group-1 Kopassandha
(1977); Wakil Komandan Detasemen–81 Kopassus (1983-1985); Wakil
Komandan Batalyon Infanteri Lintas Udara 328 Kostrad (1985-1987);
Komandan Batalyon Infanteri Lintas Udara 328 Kostrad (1987-1991);
Kepala Staf Brigade Infanteri Lintas Udara 17 Kostrad (1991-1993);
Komandan Group-3/Pusat Pendidikan Pasukan Khusus (1993-1994);
Wakil Komandan Komando Pasukan Khusus (1994); Komandan
Komando Pasukan Khusus (1995-1996); Komandan Jenderal Komando
Pasukan Khusus (1996-1998); Panglima Komando Cadangan Strategi
TNI Angkatan Darat (1998); Komandan Sekolah Staf Dan Komando
88
http://selamatkanindonesia.com/Prabowo.html diakses pada tanggal 20 Mei
2014. 89
Femi Adi Soempeno, Prabowo Dari Cijantung Bergerak ke Istana, 116.
107
ABRI (1998).90
Prestasi lainnya ketika berkarir di militer di antaranya
adalah: Para Komando (1975); Jump Master (1977); Perwira Penyelidik
(1977); Free Fall (1981); Counter Terorist Course Gsg-9 Germany
(1981); Special Forces Officer Course, Ft. Benning U.S.A. (1981).
Adapun daftar penghargaan militer Prabowo antara lain: Bintang
Kartika Eka Paksi Nararya; Satya Lencana Kesetiaan XVI Tahun;
Satya Lencana Seroja Ulangan–III; Satya Lencana Raksaka Dharma;
Satya Lencana Dwija Sistha; Satya Lencana Wira Karya; The First
Class The Padin Medal Ops Honor dari Pemerintah Kamboja; Bintang
Yudha Dharma Nararya.91
2) Isu Kudeta, Pengadilan Militer, dan Pelanggaran HAM
Sejarah mencatat, karier 24 tahun dalam dinas militer tidak sekadar
mengantarkan Prabowo menjadi jenderal berbintang tiga. Ia pun
menjadi bintang paling bersinar (rissing stars) di jajaran militer
Indonesia. Saat itu, Prabowo merupakan jenderal termuda yang meraih
tiga bintang tersemat dipundak hanya pada usia 46 tahun. Dikalangan
militer, ia juga dikenal cerdas dan berpengaruh, seiring dengan
penempatannya sebagai penyandang tongkat komando di pos-pos
strategis TNI AD. Sejarah juga mencatat, justru karena kiprahnya di
militer, Prabowo merupakan tokoh kontroversial dengan mendapat
stigma negatif sebagai pelanggar hak asasi manusia, juga pernah
diisukan akan kudeta.
a) Isu Kudeta 22 Mei 1998
Isu Prabowo pernah akan mengadakan kudeta menjadi terhembus
di publik dan populer dari sebuah pidato mantan Presiden BJ. Habibie92
tahun 1998 dan catatan memoar Sintong Panjaitan.93
Dalam sebuah
pidato di depan peserta Forum Editor Asia-Jerman II di Istana
90
Femi Adi Soempeno, Prabowo Dari Cijantung Bergerak ke Istana, 109. 91
http://selamatkanindonesia.com/Prabowo.html diakses pada tanggal 20 Mei
2014. 92
Lihat detailnya dalam BJ. Habibie. Lihat BJ. Habibie, Detik-detik yang
Menentukan: Jalan Panjang Indonesia Menuju Demokrasi (Jakarta: THC Mandiri,
2006), 80-85; Hendro Subroto, Sintong Panjaitan, Perjalanan Seorang Prajurit Para
Komando (Jakarta: Kompas Media Nusantara, 2009), 10-13. 93
Sintong Panjaitan adalah mantan Pasukan Pengamanan Presiden (Paspampres)
dan mantan Asisten Bj Habibie untuk Bidang Sistem Senjata di Badan Pengkajian dan
Penerapan Teknologi (BPPT), Badan Pengelola Industri Strategis (BPIS), dan Menteri
Riset dan Teknologi (Menristek). BJ. Habibie. Lihat BJ. Habibie, Detik-detik yang
Menentukan, 97.
108
Merdeka, Habibie membeberkan soal ‗kudeta‘ yang dilakukan oleh
Prabowo.94
Hal tersebut diulang dalam buku catatan perjalanannya
selama menjabat sebagai Presiden Republik Indonesia. Menurutnya,
sekitar pukul 9.00 WIB, ia pulang dari jalan Kuningan-Jakarta menuju
Istana Merdeka. Sesampainya di sana, telah menunggu Panglima ABRI
(Pangab) yang ketika itu dijabat oleh Wiranto memohon untuk
diperkenankan memberikan laporan situasi di lapangan secara empat
mata. Di ruang kerja Presiden, Wiranto melaporkan bahwa pasukan
Kostrad dari luar Jakarta telah bergerak dan terkonsentrasi di kediaman
Pribadi Presiden di bilangan Kuningan dan Istana Merdeka. Atas
laporan dari orang yang dipercayai memiliki perilaku keagamaan, etika,
moral, dan kejujuran yang tinggi tersebut, Habibie berkesimpulan
Panglima Komando Strategis Angkatan Darat (Pangkostrad) Prabowo
Subianto bergerak sendiri tanpa sepengetahuan dan koordinasi Pangab.
Hal itu bertentangan dengan petunjuknya kepada Pangab untuk
pergerakan militer harus melalui persetujuan dirinya dan Pangab saja.
Selain itu, hal tersebut bertentangan dengan Saptamarga dan Sumpah
Prajurit. Mengantisipasi hal-hal yang tidak diinginkan ia
memberhentikan dan mengganti dengan segera Pangkostrad.95
Catatan Habibie di atas, sama dengan catatan kesaksian Sintong
Panjaitan. Ia ketika itu sebagai ‗Perangkat Keamanan Presiden‘
(Pasukan Pengawal Presiden/Paspasmpres),96
mencatat dalam buku
memoarnya bahwa ―dimungkinkan,‖ saat tanggal 22 Mei 1998 dan
seterusnya Prabowo dan pasukannya untuk melakukan ‗kudeta.‘
Meskipun menurut Sintong sendiri, sejauh saat itu, tidak terbukti bahwa
Prabowo akan melakukan kudeta. Namun banyak bukti-bukti yang
mengarah Prabowo memungkinkan melakukan kudeta. Menurut
analisis Sintong, pada tanggal tersebut, di pagi hari, Wiranto
melaporkan kepada BJ. Habibie selaku Presiden ketika itu bahwa telah
terjadi pergerakan pasukan Kostrad dari luar Jakarta menuju Jakarta
dan juga terdapat konsentrasi besar pasukan Kostrad di Patra Jasa
Kuningan di sekitar kediaman BJ. Habibie. Dua bukti itu semua
berjalan tanpa sepengetahuan Wiranto selaku Panglima ABRI. Selain
itu, ditambah dengan karena Prabowo memiliki 11.000 orang pasukan
yang 90 persen di antaranya berada di Jakarta. Atas alasan-alasan
94
Femi Adi Soempeno, Prabowo Dari Cijantung Bergerak ke Istana, 143. 95
BJ. Habibie. Lihat BJ. Habibie, Detik-detik yang Menentukan, 82-83, dan 100. 96
Istilah tersebut memakai bahasa BJ. Habibie. Lihat BJ. Habibie, Detik-detik
yang Menentukan, 85.
109
tersebut, Sintong menafsirkan dengan berat adanya kemungkinan lain
bahwa Prabowo bisa saja melakukan kudeta.97
Isu ‗kudeta‘ tersebut dibantah oleh Prabowo Subianto. Prabowo
mengisahkan bahwa selain sebagai tokoh idola, ia-pun punya hubungan
yang cukup dekat dengan Habibie. Karena kedekatannya tersebut,
Prabowo menceritakan Habibie pernah berkata langsung kepada dirinya
bahwa, ―Prabowo, kapan pun kamu ragu, temui saya setiap waktu dan
jangan berpikir tentang protokol.‖ Prabowo menyatakan bahwa isu
‗kudeta‘ itu keliru. Pergerakan dan konsentrasi pasukan Kostrad bukan
untuk kudeta, namun untuk mengamankan tempat-tempat strategis
sesuai dengan prosedur tetap pembagian tugas dari jajaran ABRI di
bawah koordinasi Panglima Komando Operasi untuk mengamankan
Jakarta. Dalam pembagian tugas itu, ditetapkan bahwa pasukan Kostrad
bertanggung jawab untuk mengawasi sejumlah lokasi strategis, semisal
menjaga rumah presiden dan wakil presiden. Sementara Korps Marinir
bertanggung jawab menjaga semua kedutaan besar.98
Soebagyo H.S., selaku Kepala Staff Angkatan Darat (KSAD) juga
menegaskan bahwa tidak pernah ada perintah pasukan TNI-AD
mengepung istana dan kediaman presiden. Semua pergerakan pasukan
TNI-AD ketika itu atas sepengetahuannya sebagai Pimpinan Angkatan
Darat. Ia mendapatkan semua laporan lengkap penggunaan pasukan
Kostrad, Kopassus, Kodam Jaya dan seluruh satuan TNI-AD. Dan tidak
ada satu laporan-pun tentang soal kudeta dan pengepungan tempat
tersebut. Pernyataan tersebut juga didukung oleh Panglima Daerah
Militer Jakarta Raya (Pangdam Jaya) dan Panglima Komando Operasi
Jaya (Pangkoops Jaya) ketika itu, yaitu Sjafrie Sjamsoeddin. Ia
menegaskan bahwa tidak ada kemungkinan bagi Prabowo melakukan
kudeta terhadap Habibie. Koops Jaya yang meminta tambahan
kekuatan pasukan di antaranya dari Kostrad ke Mabes-ABRI.99
Menurut penulis, berdasarkan fakta-fakta di atas, Prabowo ketika
itu, sependapat dengan Soebagyo H.S., kecil kemungkinan memiliki
niat untuk melakukan kudeta. Namun, ia memiliki ambisi yang sangat
besar untuk menjadi seperti Jenderal Soedirman, tokoh idolanya,
97
Hendro Subroto, Sintong Panjaitan, Perjalanan Seorang Prajurit Para
Komando (Jakarta: Kompas Media Nusantara, 2009), 11. 98
Femi Adi Soempeno, Prabowo Dari Cijantung Bergerak ke Istana, 150-151. 99
Kostrad mengirimkan bantuan untuk mendukung Koops Jaya dengan
mengirimkan pasukan yang ada di Divisi Infanteri I Kostrad-Jawa Barat, Divisi
Infanteri II Malang, dan Brigade III Kostrad Makassar. Femi Adi Soempeno,
Prabowo Dari Cijantung Bergerak ke Istana, 151-152.
110
sebagai Panglima Angkatan Bersenjata Republik Indonesia yang
membawahi semua angkatan bersenjata. Sebagai bagian dari Keluarga
‗Cendana‘ yang memiliki kedekatan khusus dengan Presiden Habibie
saat itu, dengan menempatkan pasukannya di pos-pos strategis, ia ingin
mendapatkan reward dengan dipilih menjadi Panglima ABRI ketika ia
mengumumkan susunan jajaran Kabinet barunya, pengganti Wiranto.
Karena Wiranto dianggap gagal sebagai Panglima ABRI untuk menjaga
keamanan negeri ini ketika itu.100
Benar, Prabowo kecewa dikemudian hari karena tidak melakukan
kudeta. Namun, ketika itu ia tidak berniat untuk melakukan kudeta. Ia
hanya menunjukkan pamer ‗kekuatan‘ militernya menunjukkan
loyalitas dan kesetiaannya kepada negara dan dengan menjaga
keamanan hal-hal yang berhubungan RI-1. Dengan harapan, hal-hal itu
dapat pujian dan balasan dari Habibie. Meskipun, ia sendiri
mengatakan sudah menyadari dari sejarah, jika seorang pemimpin
turun, semua yang dekat dengan pemimpin itu juga akan turun. ―Saya
punya intuisi saya akan diganti, tetapi itu biasa saja,‖ ….. ―Saya
menjunjung tinggi konstitusi dan saya tidak mengeluh atas keputusan
presiden (untuk mundur malam itu juga dari jabatan Panglima
Kostrad).‖101
Alih-alih mendapatkan itu, karena kenaifan dan
kepolosannya, ia justru dituduh akan melakukan ‗kudeta,‘ justeru oleh
Habibie sendiri. Habibie dekat dan hormat dengan Prabowo, namun
kekacauan dan sangat labilnya situasi negara, ia lebih memilih
menetapkan kembali Wiranto sebagai Pangab. Menurutnya, karena
peran ABRI sangat menentukan, maka dalam keadaan negara yang
sangat labil, pilihan Pangab dan Menhankam jikalau tidak tepat, dapat
mengganggu stabilitas politik. Oleh karenanya, ia tidak mau mengambil
resiko sedikitpun yang dapat berdampak negatif dalam
mempertahankan Republik Indonesia.102
100
Mengenai kondisi kekacauan dan kegentingan situasi negeri ini lihat isi
lengkap pernyataan pers Menhankam/Pangab Wiranto, Senin, tanggal 18 Mei 1998,
pukul 19.50 WIB. Lihat BJ. Habibie. Lihat BJ. Habibie, Detik-detik yang
Menentukan, 17-18. 101
Admin, ―Rekam Jejak: Prabowo Tidak Ada Niat Kudeta Habibie,‖
http://www.mediaprabowo.com/prabowo-tidak-ada-niat-kudeta-habibie/, diakses
tanggal 15 Desember 2014. 102
BJ. Habibie, Detik-detik yang Menentukan, 75.
111
b) Isu Pelanggaran HAM
Sebagaimana sekilas telah dijelaskan sekilas, pada tanggal 7
Desember 1975, Indonesia resmi melakukan Operasi Militer dengan
Nama Operasi Seroja, di Timor Timur. Indonesia menggabungkan
Timor Timur karena sebagian rakyat Timor Timur ingin bersatu dengan
Indonesia atas alasan etnik dan sejarah. Dalam pendapat Kontras dan
Aboeprijadi Santoso, operasi ini telah melanggar hak asasi mausia
karena telah banyak menghilangkan nyawa rakyat sipil.103
Sebaliknya,
bagi Tamalia Alisjahbana, wartawati BBC World Service dan mantan
Direktur Eksekutif Gedung Arsip Nasional, justru Prabowo ketika itu
sedang mengemban tugas negara, melalui militer ia bisa berkontribusi
kepada bangsa ini dengan berjuang untuk kekuatan dan dengan
kekuatan ia bisa melakukan hal-hal baik. Bahkan, Prabowo malah
penyelamat rakyat Timor-Timur dari perang saudara berkepanjangan
dan berhasil menyelamatkan beberapa orang Kraras yang ditahan dan
akan dibunuh Gerakan Frente Revolucioniria de Timor-Leste
Independente (Fretilin).104
Menurut catatan van Klinken, profesor sejarah Asia Tenggara di
University of Amsterdam, Prabowo yang ketika itu berpangkat Letnan
pertama kali pada tahun 1977 – 1978 di bawah Komandon Batalion
Yonif 744, Mayor Yunus Yosfiah. Ia terlibat dalam pembunuhan
pimpinan Gerakan Pengacau Keamanan Fretilin bagi Negara Indonesia
103
Lihat http://www.kontras.org/kamisan/data%20pelanggaran%20HAM.pdf;
lihat ulasan dari jurnalis kawakan Radio Netherland, Aboeprijadi Santoso, ―What ever
happened in Kraras, Timor Leste, ‗Pak Prabowo? ―,The Jakarta Post, 20 Desember
2013. http://www.thejakartapost.com/news/2013/12/20/what-ever-happened-kraras-
timor-leste-pak-prabowo.html, diakses tanggal 10 Agustus 2014. Ada juga isu
pelanggaran HAM yang ditimpakan ke Prabowo, yaitu Operasi Militer untuk
membebaskan para peneliti yang dijadikan tawanan Operasi Papua Merdeka (OPM).
Lihat Edmund McWilliams, ―Prabowo and Papua,‖ West Papua Report January
2013, http://etan.org/issues/wpapua/2013/1301wpap.htm, diakses tanggal 10 Agustus
2014. Bandingkan dengan pernyataan, alm. Munir, sebagai pendiri Kontras yang
justru belum memvonis Prabowo sebagai pelanggar HAM. Ia berpendapat, masalah
pelanggaran HAM Prabowo menunggu keputusan pengadilan, karena hal itu sudah
merupakan isu yang telah dipolitisir demi kepentingan pihak-pihak tertentu. Lihat
http://www.youtube.com/watch?v=0bZsKVZSTRw, diakses tanggal 10 Agustus
2014. 104
Lihat Tamalia Alisjahbana, ―What Really Happened in Kraras?,‖ Opini
http://www.thejakartapost.com/news/2014/01/21/what-really-happened-kraras.html,
diakses tanggal 10 Agustus 2014.
112
dan pahlawan perlawanan bagi Timor Leste, Nicolau Lobato.105
Tim
Nanggala 28 yang dipimpin oleh Prabowo dalam operasi militer
tersebut berhasil menewaskan banyak anggota Fretilin, termasuk
Nicolau Lobato yang terbunuh dengan luka tembak di perut. Untuk
keberhasilannya tersebut, Prabowo melejit nama dan karirnya di
militer. Selang lima tahun, pada 1983 Prabowo yang sudah naik
pangkat kemiliterannya menjadi Kapten dikirim kembali membawa
pasukan Satuan Penanggulangan Teror 81 Komando Pasukan Khusus.
Kali ini yang menjadi Komandannya adalah Mayor Luhut Pandjaitan.
Dia memimpin langsung kelompok di dalamnya, yang disebut
Chandraca 8.106
Masih menurut van Klinken, kemungkinan besar ia
membawa satuan ini ke Timor Leste pada bulan Maret atau April
1983.107
Ia menyebut misi itu dengan nama sandi Bravo dan nama sandi
radio untukya adalah ―08.‖ Sedangkan ―09‖ dipakai oleh
Komandannya. Nama sandi 08 tetap dipertahankan hingga kini ia
mencalonkan diri sebagai Calon Presiden 2014-2019.
Prabowo untuk menghalau dan menghancurkan gerakan separatis
tersebut membentuk pertahanan sipil yang diambil dari penduduk sipil
setempat. Pelibatan penduduk sipil lokal oleh TNI dalam operasi militer
dimulai dengan menjadikan mereka sebagai Tenaga Bantu Operasi
(TBO). Mereka membantu pasukan TNI dalam soal logistik, tinggal
secara berkelompok dalam unit-unit kecil, dan ikut dalam operasi resmi
TNI. Para TBO yang ikut berjuang tersebut, kemudian diangkat
menjadi Hansip (Pertahanan Sipil) di daerahnya masing-masing. Di
Timor Timur sendiri, mereka ini dikenal dengan sebutan mauhu (mata-
mata) di kalangan penduduk lokal atau ‗panah Koramil‘ di kalangan
TNI. Disebut sebagai panah, karena merekalah yang berada di garis
depan dalam operasi.108
Disamping menjadi ‗panah‘ dalam operasi,
mereka pulalah orang yang kerap dimintai tolong untuk melakukan
interogasi kalau ada gerilyawan yang tertangkap karena mereka bisa
berbahasa lokal. Prabowo sendiri mengakui keberadaan milisi-milisi
105
Lihat http://www.insideindonesia.org/current-edition/prabowo-and-human-
rights, lihat juga versi cetak Inside Indonesia No. 116: Apr-Jun (2014). 106
Tempo, ―Bobol, Penjaga Gawang Fretilin,‖ Rubrik Nasional Majalah Tempo,
Edisi 39/22 (1997), 30. 107
Lihat http://www.insideindonesia.org/current-edition/prabowo-and-human-
rights, lihat juga versi cetak Inside Indonesia No. 116: Apr-Jun (2014). 108
Soal Hansip dan milisi-milisi sipil di Aceh maupun di Timor Timur dibahas
oleh Matt Davies, Indonesia‟s War over Aceh: Last Stand on Mecca‟s Porch
(London: Taylor & Francis, 2006), 169-170.
113
sipil dalam bentuk Hansip. Dia pernah berkata pada jurnalis asing,
‗Filsafat saya adalah: tentara rakyat (people‟s army). Rakyat harus
berada di pihak kita.‘109
Pengakuan Prabowo yang lebih jelas tampak
dalam satu konferensi tentang gerakan separatis yang diadakan di
Jakarta pada 21 April 2001.110
―Tentu ada ekses, pelanggaran-
pelanggaran, ada kerusakan-kerusakan dalam disiplin, ada kerusakan
dalam tata cara yang benar menghadapi musuh, namun, saya tahu
bahwa ini bukan bagian dari doktrin kami.‖ Dia melanjutkan bahwa
semua itu bukan kebijakan resmi, ―Di dalam doktrin kami sudah
dinyatakan dengan jelas bahwa kami adalah tentara rakyat dan dengan
demikian seluruh dasar keberhasilan militer Indonesia harus
bersandarkan pada dukungan rakyat.‖111
Dugaan pelanggaran HAM oleh Prabowo di Timor Leste telah
banyak ditulis, baik oleh banyak aktivis maupun organisasi Ham di
dalam dan luar negeri. Semisal, Garry van Klinken menulis tentang isu
pelanggaran Prabowo di Timor Timur.112
Douglas Kammen,113
juga
menulis tentang hal yang sama dengan van Klinken. Lembaga sosial
masyarakat Indonesia, semisal Kontras dan Imparsial-pun menulis dan
menyuarakan tentang pelanggaran HAM. Bahkan Amerika, yang
menghendaki Indonesia menggabungkan Timor-Timur, menjadi
provinsi, justru malah mencekal para petinggi militer yang terlibat
dengan Operasi Seroja, termasuk Prabowo. Prabowo dicekal di
Amerika karena terkena Undang-undang Leahy Law. Leahy Law adalah
peraturan yang melarang pemerintah memberi pelatihan kepada
angkatan bersenjata sebuah negara yang melanggar hak asasi manusia,
109
Gerry van Klinken, ―Prabowo and human rights,‖ Inside Indonesia No. 116:
Apr-Jun (2014). 110
Lihat laporan New Straits Times, ―Prabowo Admits Army excesses Former
army commander embrances Gusmaou,‖ Edisi 22 April (2001), 11. 111
AFP, ―Prabowo Salutes, Hugs Xanana Gusmao,‖
http://www.etan.org/et2001b/april/15-21/20prabo.htm, diakses tanggal 10 Agustus
2014. 112
Salah satu yang terbaru adalah dari Gerry van Klinken, ―Prabowo and human
rights,‖ dalam Inside Indonesia No. 116: Apr-Jun (2014). 113
Douglas Kammen, ―A Tape Recorder and a Wink? Transcript of the May 29,
1983, Meeting between Governor Carrascalão and Xanana Gusmão,‖ Indonesia, No.
87 (April), 2009.
114
kecuali bila ada upaya pemerintah negara yang bersangkutan untuk
membawa perwira dan prajurit yang bersalah ke pengadilan.114
Untuk peristiwa di Kraras, Prabowo menjawab tuduhan itu secara
tertulis melalui The Jakarta Post dengan mengatakannya sebagai
serangan terhadap karir militer dan terhadap dirinya, ―yang berupa
tuduhan tidak berdasar, sindiran, dan laporan pihak ketiga – yang tidak
pernah dibuktikan baik oleh PBB maupun oleh pemerintah Timor Leste
sendiri.‖115
Lebih lanjut, Bowo berargumen jika ia memang bersalah
dalam pembantaian tersebut, dan segala peristiwa yang serupa,
bagaimana bisa ia diterima, bahkan berfoto bersama dalam pertemuan
dan perbincangan dengan mantan presiden Timor Leste, Xanana
Gusmao, pada 20 April 2011, Lere Anan Timur pada 21 November
2008, dan Mari Alkatiri, pada 20 Juni 2013 lalu. Apakah Xanana dan
pejuang Timor Leste tersebut, yang dulu merupakan musuh dan
pengacau keamanan bagi negara ini, mau berteman dengan seorang
perwira Indonesia yang konon bertanggung jawab atas aksi kriminal
terhadap penduduk? Prabowo berkali-kali menegaskan bahwa ia tidak
berada di sekitar tempat peristiwa ―Pembantaian Kraras‖ yang terjadi di
Viqueque pada 8 Agustus, 1983 tersebut. Bahkan, Prabowo juga
menantang siapa saja yang benar-benar bisa membuktikan bahwa
dirinya memang bersalah dan memberi perintah untuk menyiksa dan
membunuh rakyat Timor Leste ketika itu. Menurutnya, fakta hukum
internasional-pun, semisal PBB dan pihak berwenang Timor Leste
belum pernah menggugat dirinya atas fitnah tuduhan pelanggaran hak
asasi manusia di Bumi Lorosae itu. Prabowo berkeyakinan bahwa
tuduan atas beberapa kasus pelanggaran hak asasi manusia‖ dan
―situasi yang berujung kepada kekerasan, tidak jelas asal usulnya.116
Fakta ketidakterlibatan Prabowo akan peristiwa pelanggaran hak
asasi manusia di Kraras di dukung oleh Jose Manuel Tesoro. Ia dalam
114
http://www.washingtonpost.com/wp-
dyn/content/article/2010/03/02/AR2010030204053.html, diakses tanggal 13 Januari
2014. 115
Balasan oleh Prabowo ditulis dengan bahasa Inggris yang sangat bagus dan
tertata amat rapi, seakan dikerjakan oleh seorang pengacara Amerika atau Inggris
untuk mementahkan sebuah dakwaan. Lihat, Prabowo Subianto, ―Letter to the editor:
Prabowo clarifies‖ The Jakarta Post, 27 Desember (2013).
http://www.thejakartapost.com/news/2013/12/27/letter-editor-prabowo-clarifies.html,
diakses tanggal 10 Agustus 2014. 116
Prabowo Subianto, ―Letter to the editor: Prabowo clarifies‖ The Jakarta Post,
27 Desember (2013). http://www.thejakartapost.com/news/2013/12/27/letter-editor-
prabowo-clarifies.html, diakses tanggal 10 Agustus 2014.
115
sebuah artikel investigasi yang dipublikasikan dalam Asiaweek edisi 13
Maret tahun 2000, membuat pernyataan seberapa jauh Prabowo terlibat
dalam peristiwa itu. Untuk mengumpulkan fakta terhadap tuduhan itu,
Asiaweek telah menghubungi empat organisasi masyarakat berbeda
yang memang fokus mengamati kegiatan militer. Yaitu, Tapol di
London, Solidamor di Jakarta, Yayasan HAK yang berpusat di Dili,
dan East Timor Action Network (Etan) di New York. Tesoro bersama
timnya meminta laporan dari saksi, naskah dari komunikasi yang
tersadap, dan laporan yang bocor, ataupun apa saja yang bisa
membuktikan laporan ini, tetapi tidak satu pun bukti ditemukan bahwa
Prabowo terlibat apalagi bertanggung jawab terhadap kasus tersebut.117
Menanggapi atas tuduhan pelanggaran itu, penulis selogika dengan
Prabowo. Prabowo menjelaskan bahwa selama tugas di militer, justru
di dalam banyak peristiwa, ia malah berjuang untuk melindungi
pemberontak Falintil yang dipenjara oleh Tentara Republik Indonesia
(TNI), dan rakyat Timor Leste yang juga memberontak, di dalam
situasi yang tidak jelas, di mana TNI terjebak dalam perang saudara
yang tidak memiliki batasan, dan semua orang bisa menjadi teman juga
musuh. Argumen itu diperkuat oleh Locatelli, tokoh agama masyarakat
Kraras. Ia berpendapat bahwa kejadian Kraras dilakukan oleh pasukan
lain, bukan pasukan pimpinan Prabowo. Bahkan, setelah kejadian
terjadi, Prabowo dianggap berhasil menyelamatkan beberapa orang
Kraras yang ditahan oleh pasukan lain dan akan dibunuh. Untuk jasa
Prabowo itu, mereka mengadakan upacara kecil, sebagai ungkapan
tanda terima kasih. Prabowo dianggap pahlawan oleh sebagian
masyarakat Kraras, karena dianggap menyelamatkan banyak warga.118
c) Isu Penculikan Aktivis Reformasi
Selain pelanggaran hak asasi manusia di atas, Prabowo juga
dituduh oleh aktivis dan lembaga sosial masyarakat bertanggung jawab
terhadap kasus penculikan para aktivis reformasi. Gerakan Melawan
Lupa119
menduga keras bahwa Prabowo merupakan salah satu sosok
117
Prabowo Subianto, ―Letter to the editor: Prabowo clarifies‖ The Jakarta Post,
27 Desember (2013). http://www.thejakartapost.com/news/2013/12/27/letter-editor-
prabowo-clarifies.html, diakses tanggal 10 Agustus 2014. 118
Erros Djarot, dkk, Prabowo Sang Kontroversi, 22-23. 119
LSM ini terdiri dari gabungan beberapa lembaga swadaya masyarakat seperti
Imparsial, KontraS, YLBHI, Elsam, ICW, HRWG, Politik Rakyat, LBH Jakarta, LBH
Pers, Institute Demokrasi, KASUM, JSKK, IKOHI, Ridep Institute, KRHN, LBH
Masyarakat, Perempuan Mahardika, LBH Surabaya, AJI Indonesia, PUSHAM-UII
116
yang harus dimintai pertanggungjawaban, bahkan bertanggungjawab
atas penculikan para aktivis pro-demokrasi saat reformasi 1998. Sebab,
ketika itu dalam kapasitasnya sebagai Danjen Kopassus, atasan Tim
Mawar, Prabowo tidak bisa lepas dari tanggung jawab komando.
Tuduhan itu diperkuat oleh Executive Summary laporan Komnas HAM
yang menyebutkan dari keterangan saksi, yakni sebagian orang yang
diculik dan telah dikembalikan, bahwa mereka bertemu dengan
sebagian besar 13 korban yang kini masih hilang di Pos Kotis markas
Kopassus Cijantung. Saat itu Prabowo adalah Danjen Kopassus.120
Selain itu, Prabowo Subianto juga tidak bisa lepas dari tanggungjawab
komando atas kejahatan itu. Hal itu mencakup penyiksaan,
penghilangan orang secara paksa, penganiayaan, dan perampasan
kemerdekaan sebagaimana tercantum dalam Exutive Summary Komnas
HAM. Dikembalikannya 9 orang aktivis yang diculik, tidak serta-merta
membuat kejahatan itu hapus.
Menanggapi tuduhan tersebut, Fadli Zon, sebagai juru bicara
Prabowo, ketika wawancara dengan penulis maupun pernyataan di
media massa mengatakan terkait peristiwa hilangnya para aktivis oleh
tim Mawar, yang merupakan bawahan Prabowo di Kopassus TNI AD,
Prabowo sudah menjalani proses hukum hingga tuntas di Mahkamah
Militer. Kasus penculikan ini menyeret 11 anggota Tim Mawar ke
pengadilan Mahkamah Milter Jakarta pada bulan April 1999, lima
orang bawahan Prabowo dipecat dan dipenjara. Sedangkan lima orang
lainnya hanya dipenjara tanpa dipecat. Dewan Kehormatan Perwira
juga telah memberikan rekomendasi kepada Pimpinan ABRI untuk
menjatuhkan hukuman terhadap mantan Danjen Kopassus Letjen TNI
(Purn) Prabowo Subianto berupa pengakhiran masa dinas TNI (pensiun
dini). Fadli mengatakan bahwa kasus itu, yang disebut sebagai orang
hilang, pernah diadili melalui Mahkamah Militer, pelakunya telah
mendapat hukuman dengan dipecat dan dihukum penjara. Tanggung
jawab terhadap oprasi Tim Mawar sudah selesai secara hukum.
Prabowo mengambil alih tangung jawab karena sebagai pimpinan, yang
terjadi karena dilakukan anak buahnya.121
Yogyakarta, INFID, Aliran Batang Bungo-Jambi [ABB-Jambi], PIAR NTT, Forum
Pemerhati Aspirasi Rakyat Kota Kupang, Freepublik NTT, SETARA Institute. 120
http://www.imparsial.org/id/2010/komnas-ham-dan-kejaksaan-agung-segera-
temukan-13-orang-hilang-dengan-memanggil-prabowo-subianto-dan-kivlan-
zein.html, diakses tanggal 9 Januari 2014. 121
Wawancara dengan Fadli Zon, di Kantor Bakom-Gerindra, Jl. Limboto
Bendungan Hilir, tanggal 5-9-2013.
117
Fadli menambahkan argumennya bahwa untuk lebih jernih melihat
apakah Prabowo itu menculik atau justru bertugas menjaga keamanan
dan keutuhan NKRI perlu ditilik dari latar belakang kejadian tersebut.
Sebagaimana yang diceritakan Prabowo kepada beberapa media dan
Fadli Zon ketika diwawancarai penulis, latar belakang penyeretan nama
Prabowo di kasus penculikan berawal dari peledakan bom di rumah
susun Tanah Tinggi, Jakarta Pusat yang diduga dirakit oleh ‗oknum‘
mahasiswa untuk menggagalkan SU MPR ketika itu. Prabowo bersama
Kopassus diperintah ―Panglima Tertinggi‖ TNI untuk mengamankan
situasi tersebut. Lagi-lagi, sebagai seorang prajurit, ia hanya sekedar
menjalankan perintah atasan.122
Menanggapi isu pelanggaran Ham dan kasus penculika di atas,
Prabowo menegaskan dirinya berpegangan bahwa HAM yang paling
dasar bagi warga negara adalah hak untuk hidup. Tugas utama
pemerintah sebagaimana mandat Pancasila dan Undang-undang Dasar
1945 adalah melindungi segenap dan seluruh rakyat Indonesia.
Pemerintah harus melindungi segenap tumpah darah dari segala
ancaman, apakah dari luar atau dalam negeri. Sebagai seorang warga
negara Indoesia, ia dalam kapasitasnya sebagai prajurit TNI merupakan
bagian dari abdi negara yang ditugaskan pemerintah untuk menjaga
keamanan dan ketertiban oleh pemerintah. Ia selama puluhan tahun
menjadi bagian dari abdi negara yang bertugas membela kemerdekaan,
kedaulatan dan HAM warga negara.123
Prabowo menegaskan, mengenai dugaan pelanggaran HAM yang
selama ini dituduhkan kepadanya sewaktu menjadi petinggi TNI,
adalah semata dirinya selaku petugas negara berusaha mencegah
kelompok-kelompok radikal ataupun kelompok-kelompok yang
mengancam keselamatan warga negara. Ia dengan lugas menyatakan
telah sekian puluh tahun ia mengabdi kepada ibu pertiwi dengan
menjadi petugas yang membela kemerdekaan, kedaulatan dan hak asasi
manusia, mencegah kelompok-kelompok radikal ataupun kelompok-
kelompok yang menggunakan kekerasan, mengancam keselamatan
hidup orang yang tidak bersalah.124
Bagi Prabowo, dirinya selaku prajurit pembela negara mengambil
'tindakan' melindungi segenap tumpah darah saat berhadapan dengan
122
Wawancara dengan Fadli Zon, di Kantor Bakom-Gerindra, Jl. Limboto
Bendungan Hilir, tanggal 5-9-2013. 123
Wawancara dengan Fadli Zon, di Kantor Bakom-Gerindra, Jl. Limboto
Bendungan Hilir, tanggal 5-9-2013. 124
Femi Adi Soempeno, Prabowo Dari Cijantung Bergerak ke Istana, 109.
118
kelompok-kelompok yang merakit bom, yang ingin menimbulkan huru
hara, serta kelompok yang mengancam kehidupan bangsa dan negara
dan bangsa. Sebab, mereka merupakan ancaman terhadap HAM
tersebut. Prabowo dengan tegas mengatakan, hanya pimpinan atau
atasan lah yang memberi penilaian manakala seorang prajurit telah
melaksanakan tugas negara dengan sebaik-baiknya seperti itu.
Prabowo mencontohkan penegakan hukum dan hak asasi manusia di
negara Singapura. Menurutnya, pemerintah Singapura memberlakukan
hukuman mati bagi warga yang diketahui memegang bom, tapi tidak
melaporkan ke aparat negara. Warga sipil yang memegang senjata dan
tidak melaporkan kepemikikannya kepada pihak yang berwenang sudah
dikenai sangsi hukuman mati. Apalagi jika ia terbukti merakit dan
menyebarkan atau memperdagankannya.125
Terlepas dari kontroversi di atas, menurut penulis, Prabowo telah
mengaku bersalah dan telah bertanggung jawab atas perbuatannya
berkaitan dengan ‗pengamanan‘ para aktivis reformasi sebagaimana
yang dinyatakan oleh Tim Gabungan Pencari Fakta (TPGF) yang
dipimpin Marzuki Darusman dari Komnas HAM.126
Dalam hal ini,
penulis mendukung konsepsi dan perjuagan dari kalangan aktivis
reformasi dan lembaga sosial masyarakat pegiat penegakkan hak asasi
manusia dan demokrasi. Siapapun yang menghilangkan secara paksa,
menculik, menahan warga negara Indonesia yang memperjuangkan
hak-haknya merupakan suatu pelaggaran, termasuk apa yang dilakukan
oleh Prabowo dan harus dikenakan sangsi. Sebagai anggota TNI,
Prabowo merupakan bagian dari pemerintah yang melakukan
penyelenggaraan negara di bidang pertahanan-keamanan. Jadi setiap
tindakan TNI menyangkut penyelenggaraan negara harus diawasi oleh
publik sebagai bentuk pertanggung jawaban.
Prajurit TNI Prabowo sudah bersikap ksatria dengan secara terbuka
mengaku dan bertanggung jawab pada sidang Dewan Kehormatan
125
Wawancara dengan Fadli Zon, di Kantor Bakom-Gerindra, Jl. Limboto
Bendungan Hilir, tanggal 5-9-2013. 126
Bunyi rekomendasi TPGF itu adalah ―.....Dalam kasus penculikan, Letjen
Prabowo dan semua pihak yang terlibat harus dibawa ke Pengadilan Militer.
Demikian juga dalam kasus Trisakti, perlu dilakukan berbagai tindakan lanjutan yang
sungguh-sungguh untuk mengungkapkan peristiwa penembakan mahasiswa.‖ Lihat
Komnas Perempuan, Seri Dokumen Kunci: Temuan Tim Gabungan Pencari Fakta
Peristiwa Kerusuhan Mei 1998 (Jakarta: Komnas Perempuan-New Zealand Official
Development Assistance, 2006), 20 dan 29.
119
Perwira (DKP)127
atas kesalahan yang dilakukan anak buahnya. Secara
formal, ia telah menerima hukuman tersebut dengan ‗dipensiun-
dinikan‘ oleh Presiden BJ Habibie128
ketika itu dari militer yang
dicintai dan telah mendarah-daging dalam kehidupanya. Secara
psikologis, ia pun telah menerima hukumannya. Prabowo merupakan
satu-satunya perwira tinggi TNI yang dihukum oleh instansinya sendiri.
Bagi Prabowo, ―tidak ada prajurit yang salah, yang salah adalah
komandannya,‖ ‖Keberanian untuk menghadapi segala tantangan akan
selalu diuji, dan ujian itulah yang akan menentukan apakah kita berdiri
tegak dan teguh penuh kehormatan, atau tidak.‖129 DKP sendiri telah
memberikan keputusan bahwa Prabowo dianggap menyalahgunakan
wewenang, melanggar prosedur, pengabaian sistem operasi, dan tidak
disiplin hukum di lingkungan ABRI. Hasil sidang DKP ini memberikan
rekomendasi kepada Presiden (BJ Habibie) untuk memberhentikan
Letjend Prabowo Subianto dari dinas aktif militer yang di umumkan
pada tanggal 24 Agustus 1998. Penggalan Surat Keputusan tersebut
adalah:130
Memutuskan:
Menetapkan: Terhitung mulai akhir bulan November 1998,
memberhentikan dengan hormat dari dinas Keprajuritan
Angkatan Bersenjata Republik Indonesia dengan hak
pensiun Pati tersebut di bawah ini
Nama: PRABOWO SUBIANTO
Pangkat: LETNAN JENDERAL TNI
NRP: 27082
Dengan ucapan terima kasih atas jasa-jasanya yang telah
disumbangkan selama menjalankan tugas terhadap
Negara dan Bangsa selaku Prajurit Angkatan Bersenjata
Republik Indonesia.
127
DKP adalah sebuah instrumen ekstrajuridisial yang tugas utamanya adalah
menyelidiki ada tidaknya pelanggaran kode etik perwira TNI. Di lingkup ABRI, kode
etik itu dikenal dengan nama Budi Bhakti Wira Utama. Panglima ABRI Jendral TNI
Wiranto membentuk Dewan Kehormatan Perwira (DKP) pada tanggal 3 Agustus
1998. Tim ini diketuai oleh Jenderal TNI Subagyo HS selaku KSAD, kemudian wakil
ketua terdiri dari Letjen TNI Fachrul Razi (Kasum ABRI) dan Letjen TNI Yusuf
Kartanegara (Irjen Dephankam). Kemudian anggota terdiri dari Letjen TNI Soesilo
Bambang Yudhoyono (Kassospol ABRI), Letjen TNI Agum Gumelar (Gubernur
Lemhanas), Letjen TNI Djamiri Chaniago (Pangkostrad) dan Laksdya TNI Achmad
Sutjipto (DanjenAkabri). Lihat Erros Djarot, dkk, Prabowo Sang Kontroversi, 53. 128
Lihat Erros Djarot, dkk, Prabowo Sang Kontroversi, 54. 129
Amran Nasution, ―Karier Seorang Prajurit,‖ dalam Majalah GATRA, No.
19/IV, 28 Maret (1998). 130
Surat Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor. 62/ABRI/1998.
120
Uniknya, SK Presiden Republik sangat diametral bertentangan
dengan surat rekomendasi dari DKP. DKP memutuskan bahwa secara
kode etik tindakan Prabowo dianggap merugikan kehormatan
Kopassus, TNI-AD, ABRI, Bangsa dan Negara, disarankan dijatuhkan
hukuman administratif berupa diberhentikan dari dinas keprajuritan.
Sedangkan dalam SK Presiden dicantumkan bahwa Prabowo Subianto
diberhentikan dari dinas keprajuritan, masih berhak mendapat pensiun.
itupun disertai dengan ucapan terima kasih atas jasa jasanya yang telah
disumbangkan selama menjalankan tugas terhadap negara dan bangsa
selaku Prajurit Angkatan Bersenjata Republik Indonesia. Dalam
pandangan RI-1 ketika itu, justru Prabowo dianggap berjasa karena
menjalankan tugas negara dan bangsa dalam kapasitasnya sebagai
prajurit ABRI sebagai alat pertahanan dan keamanan rakyat semesta.
Dengan kata lain, Prabowo oleh Presiden RI yang secara kultural
adalah Panglima Tertinggi bagi para prajurit TNI dianggap memiliki
integritas dan selalu memegang teguh Sapta Marga yang di antaranya
adalah memegang teguh disiplin, patuh dan taat kepada pimpinan serta
menjunjung tinggi sikap serta kehormatan prajurit.131
Selain itu,
Prabowo juga dianggap sama sekali tidak pernah mengingkari Sumpah
Prajurit, yang di antaranya adalah taat kepada atasan dengan tidak
membantah perintah atau putusan dan memegang segala rahasia tentara
sekeras-kerasnya. Apa yang dilakukan Prabowo semuanya dianggap
sebagai perjuangan untuk membela negara.132
131
Secara lengkap isi Sapta Marga TNI adalah: ―1. Kami Warga Negara Kesatuan
Republik Indonesia yang bersendikan Pancasila; 2. Kami Patriot Indonesia,
pendukung serta pembela Ideologi Negara yang bertanggung jawab dan tidak
mengenal menyerah; 3. Kami Kesatria Indonesia, yang bertakwa kepada Tuhan Yang
Maha Esa, serta membela kejujuran, kebenaran dan keadilan; 4. Kami Prajurit Tentara
Nasional Indonesia, adalah Bhayangkari Negara dan Bangsa Indonesia; 5. Kami
Prajurit Tentara Nasional Indonesia, memegang teguh disiplin, patuh dan taat kepada
pimpinan serta menjunjung tinggi sikap dan kehormatan Prajurit; 6. Kami Prajurit
Tentara Nasional Indonesia, mengutamakan keperwiraan di dalam melaksanakan
tugas, serta senantiasa siap sedia berbakti kepada Negara dan Bangsa; dan 7. Kami
Prajurit Tentara Nasional Indonesia, setia dan menepati janji serta Sumpah Prajurit.‖
Lihat http://www.tni.mil.id/pages-5-sapta-marga.html, diakses tanggal 22 Juni 2014. 132
Sumpah Prajurit adalah, ―Demi Allah saya bersumpah/berjanji: 1. Bahwa saya
akan setia kepada Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila
dan Undang-Undang Dasar 1945; 2. Bahwa saya akan tunduk kepada hukum dan
memegang teguh disiplin keprajuritan; 3. Bahwa saya taat kepada atasan dengan tidak
membantah perintah atau putusan; 4. Bahwa saya akan menjalankan segala kewajiban
dengan penuh rasa tanggung jawab kepada Tentara dan Negara Kesatuan Republik
Indonesia; 5. Bahwa saya akan memegang segala rahasia Tentara sekeras-kerasnya.‖
121
Dalam konteks bela negara, tugas ini tidak hanya dibebankan
kepada TNI dan Polri, akan tetapi tiap warga negara Indonesia terikat
dengan Pasal 30 UUD 1945.133
Dalam Pasal Pasal 30 (ayat 1) hasil
amandemen disebutkan, ‖Tiap-tiap warga negara berhak dan wajib ikut
serta dalam usaha-usaha pertahanan negara.‖ Mengacu ayat 1 Pasal ini,
semua warga negara Indonesia tanpa kecuali berhak dan wajib dalam
usaha pembelaan terhadap negara. Semua komponen bangsa harus
merasa terpanggil untuk memiliki loyalitas terhadap negaranya. Pada
ayat berikutnya (ayat 2) disebutkan, usaha pertahanan dan keamanan
negara dilaksanakan melalui sistem pertahanan dan keamanan rakyat
semesta oleh TNI dan Polri sebagai kekuatan utama dan rakyat sebagai
kekuatan pendukung. Ayat ini merupakan lanjutan, lebih memperinci
pelaksanaan bela negara melalui pelaksanaan sistem pertahanan dan
keamanan rakyat semesta. Bila diteruskan, pada ayat 5 antara lain
disebutkan bahwa susunan dan kedudukan TNI-Polri, hubungan TNI-
Polri di dalam menjalankan tugasnya, dan syarat-syarat keikutsertaan
warga negara dalam usaha pertahanan negara diatur dengan undang-
undang. Pengaturan seperti tercantum pada ayat 5 Pasal tersebut
dimaksudkan lebih memperjelas mekanisme upaya bela negara yang
dilakukan warga negara termasuk unsur-unsur yang ada di dalamnya.
Berdasarkan hal di atas, tidak berlebihan jika Janoski memasukkan
unsur militer ke dalam salah satu aktor dari masyarakat madani.134
Dalam konteks masyarakat madani Indonesia, menurut analisa
International Crisis Group (ICG) dan Komisi Untuk Orang Hilang dan
Korban Tindak Kekerasan (KontraS), sejak jatuhnya Orde Baru
Soeharto di bulan Mei tahun 1998, pengaruh politik militer mengalami
penurunan yang drastis. Militer tidak lagi memiliki pengaruh politik
yang dominan terhadap pemerintahan, dan pada saat ini tidak berada
dalam posisi meraih kembali kekuasaan politik. Akan tetapi,
konsolidasi penuh demokrasi menuntut dimusnahkannya, atau
setidaknya diorientasi kembali jaringan teritorial, disipilkannya badan-
badan intelijen dalam negeri, dibenahinya keuangan militer, serta
Lihat http://www.tniad.mil.id/index.php/sample-page-2/kode-etik/sumpah-prajurit/,
diakses tanggal 22 Juni 2014. 133
Lihat http://www.humanrights.asia/countries/indonesia/laws/uud1945, diakses
tanggal 22 Juni 2014. 134
Thomas Janoski, Citizenship and Civil Society, 12.
122
dibentuknya persatuan dan disiplin militer. Selain itu dituntut pula
terbentuknya doktrin yang jelas-jelas mendukung supremasi sipil.135
Masih menurut analisa ICG dan KontraS, proses pengendalian
militer Indonesia telah dimulai sejak pemerintahan Presiden Habibie:
jumlah wakil militer pada legislatif tingkat nasional dan daerah
dikurangi, perwira yang masih aktif tidak diperbolehkan untuk dipilih
atau ditunjuk menjadi pejabat pemerintahan sipil, militer menganut
posisi netral terhadap seluruh partai politik, dan polisi dipisahkan dari
angkatan bersenjata. Kendali sipil atas pemerintahan dikonsolidasi oleh
Presiden Abdurrahman Wahid setelah ia terpilih pada Oktober 1999.
Saat yang menentukan adalah pada bulan Februari 2000 ketika ia secara
efektif memecat Jenderal Wiranto dari Kabinetnya setelah Wiranto
disebut-sebut sebagai salah seorang yang bertanggung jawab atas
pelanggaran hak asasi manusia di Timor Timur di tahun 1999.
Bahwasanya presiden telah menegakkan kewenangannya terbukti
dengan tiadanya reaksi dari pihak militer ketika ‗orang-kuat‘ militer
dari masa hanya empat bulan berselang dipaksa keluar dari
pemerintahan. Pada bulan-bulan awal di masa kepresidenan
Abdurrahman pimpinan militer secara resmi melepaskan doktrin
Dwifungsi yang telah memimpin keterlibatan politik mereka selama
masa Soeharto.136
Dalam hal ini, KontraS menggarisbawahi pentingnya
prinsip-prinsip demokrasi dalam mendorong perbaikan kelembagaan
tersebut. Lebih jauh, juga diharapkan agar para pembuat kebijakan
dapat melanjutkan perbaikan militer sebagai prioritas dari Agenda
demokratisasi untuk mewujudkan sistem dan tatanan ketatanegaraan
yang lebih demokratis.
b. Hashim dan Keluarga Soemitro Djodjohadikusumo
Hashim Djojohadikusumo dan Keluarga Besar Soemitro
Djojohadikusumo tidak bisa dipisahkan dari Gerindra. Bersama
kakaknya, Prabowo Subianto, dia salah satu pendiri dan kunci partai
ini. Di Gerindra, Hashim dalam kepengurusan berperan sebagai Dewan
Pembina, sedangkan Prabowo menjadi ketua Dewan
135
International Crisis Group, ―Indonesia: Mengendalikan Militer,‖ ICG Asia
Report, No. 9, 5 September (2000), ii; Komisi Untuk Orang Hilang dan Korban
Tindak Kekerasan (Kontras), Politik Militer dalam Transisi Demokrasi Indonesia:
Catatan KontraS Paska Perubahan Rezim 1998 (Jakarta: KontraS, 2005), 6-7. 136
International Crisis Group, ―Indonesia: Mengendalikan Militer,‖ ICG Asia
Report, No. 9, 5 September (2000), ii; Komisi Untuk Orang Hilang dan Korban
Tindak Kekerasan (Kontras), Politik Militer dalam Transisi Demokrasi Indonesia, 6.
123
Pembina.137
Hashim adalah orang kedua terpenting di Gerindra setelah
Prabowo. Bukan rahasia umum kalau Hashim yang menjadi
penyandang dana utama kegiatan politik Prabowo. Dia juga menjadi
juru bicara terpercaya Prabowo, terutama ke kalangan pebisnis
internasional dan pemerintah negara-negara asing. Karena negara-
negara Barat masih belum bisa sepenuhnya menerima Prabowo akibat
pelanggaran HAM di masa lalunya,138
Hashim-lah yang berbicara atas
nama Prabowo. Pada kunjungannya ke AS tahun 2013, Hashim
berbicara mewakili partainya—dalam artian mewakili Prabowo—
dalam menyampaikan visinya tentang ekonomi Indonesia di depan
lembaga Indonesia-AS yang sangat berpengaruh, USINDO (The United
States-Indonesia Society).139
Selain Hashim, peran dan kiprah Keluarga Besar Soemitro
Djodjohadikusumo juga sangat kuat di Gerindra. Dalam jajaran
kepengurusan pusat, di Dewan Penasehat Pusat duduk Sudradjad
Djiwandono, mantan Gubernur BI pada masa Orde Baru yang juga ipar
Prabowo. Di Dewan Pertimbangan Gerindra, selain Prabowo (ketua)
dan Hashim (anggota), ada juga Ny. Bianti Djiwandono (kakak), Ny.
Maryani Djojohadikusumo (adik Prabowo); dan Thomas A. Muliatna
Djiwandono, MA (keponakan, anak dari Sudradjad dan Bianti). Selain
itu ada juga Edhy Prabowo, yang disebut-sebut sebagai anak angkat
Prabowo.140
Di dalam susunan pengurus ada Aryo Setyaki
Djojohadikusumo yang menjabat sebagai Wakil Sekretaris Jendral.
Aryo juga menjabat sebagai Ketua Tidar (Tunas Indonesia Raya),
Gerindra. Nama Thomas A. Muliatna Djiwandono, kembali muncul
dalam susunan pengurus sebagai Bendahara Partai. Disamping itu ada
Rahayu Saraswati Djojohadikusumo (Kepala Departemen Peningkatan
Perfilman Nasional) dan Budi Satrio Djiwandono (Ketua Bidang
Investasi dan Pasar Modal). Mengingat peran penting Hashim dan
keluarga besar Soemitro Djojohadikusumo di dalam Gerindra, maka
137
Tempo, ―Digenggam Ketua Dewan Pembina,‖ Tempo, Edisi Senin 23 Juni
2014. 138
http://www.washingtonpost.com/wp-
dyn/content/article/2010/03/02/AR2010030204053.html, diakses tanggal 13 Januari
2014. 139
Di dalam struktur USINDO, Hashim Djojohadikusumo duduk sebagai anggota
dewan penasehat. Lihat http://www.usindo.org/about/advisors, diakses tanggal 14
Agustus 2014. 140
Hayat Fakhrurozi, ―Lebih Dekat Dengan Edhy Prabowo: ―Perjuangan untuk
Kesejahteraan Rakyat,‖ Majalah Garuda, Edisi Desember (2011).
124
tidak berlebihan jika keluarga ini memilih ikut berkiprah membangun
negeri dengan berperan di dalam susunan kepengurusan Gerindra. Meski Hashim telah sukses menjadi pengusaha, bahkan termasuk
salah bisnisman terkaya di Indonesia versi majalah Forbes,141
tak lantas
membuatnya lupa untuk ikut memperbaiki kondisi negerinya.
Sebagaimana kakaknya, Prabowo, berkat didikan kedua orang tuanya
juga telah tertanam darah nasionalisme dan patriotisme yang mengalir
begitu deras dalam hidupnya. Di samping tetap mengelola bisnis, ia pun
terjun langsung ke dunia politik. Di samping itu, ikut andil membangun
dan mengharumkan bangsa melalui berbagai kegiatan olahraga dan aksi
sosial serta gerakan buruh, tani dan nelayan, bahkan pengembangan
pelestarian hutan dan satwa. Semangat mengharumkan nama bangsa
didedikasikannya dengan menjadi Ketua Umum Pengurus Besar
Persatuan Catur Seluruh Indonesia (PB. Percasi),142
Semangat
keberpihakannya pada rakyat kecil terus dikobarkan lewat gerakan
ekonomi kerakyatan dengan mendirikan Yayasan Arsari
Djojohadikusumo dan Yayasan Wadah. Yayasan Arsari
Djojohadikusumo (YAD) adalah sebuah lembaga sosial. Yayasan ini
membantu kegiatan pendidikan, sosial, kebudayaan, dan kesenian.
Yayasan Wadah diperuntukan bagi pemberdayaan perempuan dan
kegiatan kesetaraan gender. Dikelola secara professional, yayasan
tersebut telah berhasil membantu banyak kaum miskin di Indonesia.143
Yayasan Arsari Djojohadikusumo berdiri tahun 2006. Lembaga ini
merupakan yayasan pribadi keluarga Hashim Djojohadikusumo. Pada
awal berdirinya, namanya adalah Yayasan Keluarga Hashim
Djojohadikusumo (YKHD). Pada 20 Oktober 2009, YKHD diubah
menjadi Yayasan Arsari Djojohadikusumo. Arsari adalah akronim dari
ketiga anak-anak Hashim dari perkawinannya dengan Anie Haryati,
141
Versi Forbes, hashim masuk dalam 50 orang terkaya di Indonesia dengan
menempati posisi ke-42. Lihat http://www.forbes.com/profile/hashim-
djojohadikusumo/, diakses tanggal 14 Agustus 2014. 142
http://percasi-ntt.blogspot.com/2010/07/hashim-djojohadikusumo-ketua-
umum-pb.html, diakses tanggal 14 Agustus 2014. 143
Yayasan Arsari Djojohadikusumo berdiri tahun 2006. Lembaga ini merupakan
yayasan pribadi keluarga Hashim Djojohadikusumo. Pada awal berdirinya, namanya
adalah Yayasan Keluarga Hashim Djojohadikusumo (YKHD). Pada 20 Oktober 2009,
YKHD diubah menjadi Yayasan Arsari Djojohadikusumo. Lihat
http://www.wadahfoundation.or.id/?page_id=1658&lang=id, diakses tanggal 23
Agustus 2014.
125
yaitu Aryo Setyaki,144
Rahayu Saraswati (Sara),145
dan Siti Indrawati
(Indra). Keluarga Hashim duduk dalam kepengurusan Yayasan.
Istrinya, Anie Haryati duduk sebagai Pembina YAD. Sementara
Hashim menjadi ketua yayasan. Anak-anak Hashim, Aryo dan Sara,
duduk sebagai dewan pengawas bersama Siswanto Sudomo. Yayasan
ini bergerak di bidang pendidikan, kesehatan, sosial, pelestarian alam,
budaya dan sejarah.146
Dari data-data yang dikumpulkan, terungkap bahwa YAD tidak saja
memberikan beasiswa kepada anak-anak miskin, tetapi juga kepada
para mahasiswa dan dosen yang hendak meneruskan studi di dalam
maupun di luar negeri. Satu hal yang jarang dilakukan oleh filantropis
di Indonesia, tetapi sudah jamak di luar negeri, adalah memberikan
penghargaan dan peningkatan kesejahteraan bagi para pendidik. YAD
memberikan insentif kepada para guru dan dosen. Bahkan, untuk kasus
Peter Carey, diundang untuk mengajar di Fakultas Ilmu Pengetahuan
Budaya Universitas Indonesia, dengan standar gaji internasional,
semuanya dibiayai oleh YAD. Selain itu, yayasan ini juga memberikan
perhatian khusus kepada bidang-bidang studi ‗kering‘ seperti sejarah,
arkeologi/paleoantropologi, sastra nusantara/sastra Jawa, dan sastra
Indonesia. Selain memberikan perhatian kepada pengajar dan
mahasiswa, YAD diketahui juga memberikan fasilitas penunjang
seperti gedung,147
laboratorium,148
serta prasarana penunjang seperti
144
Nama lengkapnya adalah Aryo Puspito Setyaki Djojohadikusumo. Dia baru
saja terpilih menjadi anggota DPR-RI 2014-2019 dari partai Gerindra. Aryo mewakili
DKI Jakarta Dapil III (Jakarta Barat, Jakarta Utara, dan Kepulauan Seribu). Lihat
http://news.detik.com/pemilu2014/read/2014/04/23/163739/2563425/1562/meski-
keponakan-prabowo-aryo-djojohadikusumo-tak-seenaknya-pilih-komisi, diakses
tanggal 14 Agustus 2014. 145
Sama seperti kakaknya, Rahayu Saraswati Djojohadikusumo juga akan
menjabat sebagai seabgai anggota DPR-RI dari partai Gerindra. Dia akan mewakili
daerah pemilihan Jawa Tengah IV yang meliputi Kabupaten Sragen, Karanganyar,
dan Wonogiri. Lihat
http://www.republika.co.id/berita/nasional/politik/14/04/30/n4tut2-keponakan-
prabowo-lolos-ke-senayan, diakses tanggal 14 Agustus 2014. 146
Lihat, http://indjuri.com/yad/?page_id=16, diakses tanggal 14 Agustus 2014. 147
Fakultas Ilmu-ilmu Budaya (FIB) UGM misalnya mendapat sebuah gedung
berlantai empat senilai Rp 13,5 milyar. Gedung itu diberi nama kakeknya Hashim,
RM Margono Djojohadikusumo. Lihat
http://edukasi.kompas.com/read/2009/12/11/17105466/Wow.Hashim.Djojohadikusum
o.Hibahkan.Rp.13.5.Miliar.ke.UGM, diakses tanggal 14 Agustus 2014. 148
Dalam sebuah dokumen YAD, misalnya disebutkan adanya pembangunan
Laboratorium Biosafety Level III (BSL 3), di Institute of Human Virology and Biology
126
komputer ataupun laptop. YAD juga peduli dengan memperhatikan
kesenian. Tercatat, lembaga ini ikut bersumbangsih memugar Museum
Radya Pustaka Solo, salah satu museum pusat kebudayaan Jawa. Tidak
hanya itu, YAD juga ikut berpartisipasi memugar makam raja-raja
Mataram di Imogiri, dan merestorasi lukisan karya maestro Raden
Saleh, ‗Penangkapan Pangeran Diponegoro‘ dan ‗Harimau Minum.‘149
Sementara itu Wadah Titian Harapan adalah sebuah yayasan di
Jakarta yang didirikan oleh perempuan untuk perempuan dan
keluarganya. Lembaga ini memfokuskan pada isu dan pemberdayaan
gender. Anie H. Djojohadikusumo, isteri Hashim merupakan
Keetuanya. Yayasan ini didirikan untuk membawa harapan dengan
membantu kaum perempuan menolong diri mereka sendiri dalam
upaya membentuk masa depan yang lebih baik bagi keluarga mereka.
Yayasan Wadah didirikan pada tahun 2007 sebagai perluasan dari
Yayasan Arsari Djojohadikusumo. Wadah didirikan dengan tujuan
khusus untuk memenuhi kebutuhan kaum perempuan dalam
keikutsertaan mereka di berbagai kegiatan sosial, pendidikan,
kemasyarakatan dan budaya. Wadah merupakan akronim untuk Wanita
dan Harapan, atau ―Perempuan dan Harapan. Wadah bergerak di
tingkat akar rumput, mendukung kaum perempuan Indonesia dengan
menawarkan kesempatan untuk mengatur kehidupan mereka lebih dari
sekedar mempertahankan kelangsungan hidup keluarga, tetapi sebagai
upaya membebaskan diri mereka dari lingkaran buta huruf dan
kemiskinan. Dukungan Wadah juga meliputi berbagai upaya
untuk pelestarian seni dan seniman tradisional yang semakin
langka agar karya seni dan kerajinan mereka dapat terus hidup dan
lestari.150
Dedikasi sosial Hashim dalam peran serta membangun bangsa telah
diakui dan mendapat penghargaan dari Pemerintah Indonesia di bawah
kepemimpinan Soesilo Bambang Yudhoyono. Wakil Presiden
Boediono memberikan penghargaan kepada para tokoh perintis
lingkungan hidup pada Hari Lingkungan Hidup pada Kamis 5 Juni
2014. Ada puluhan pemerintah daerah, individu, dan kelompok yang
diberi penghargaan olehnya atas nama Pemerintah. Salah satu di
Center of the University of Indonesia (IHVCB-UI) sebesar US$ 500,000 untuk
pengadaan fasilitasnya dan US$ 15,000 per bulan untuk biaya operasional. 149
http://www.tempo.co/read/news/2013/09/27/114517216/Dua-Lukisan-Raden-
Saleh-Selesai-Direstorasi, diakses tanggal 14 Agustus 2014. 150
http://www.wadahfoundation.or.id/wp-content/uploads/Profile2.pdf, diakses
tanggal 14 Agustus 2014.
127
antaranya berasal dari kelompok pengusaha, yaitu adik kandung
Prabowo Subianto, Hashim Djojohadikusumo. Ia dinilai oleh
Kementerian Lingkungan Hidup (KLH) cukup berjasa dalam menjaga
pelestarian lingkungan hidup dan sumber daya alam. Tidar Kerinci
Agung, merupakan perusahaan perkebunan sawit yang dikelolanya
memiliki komitmen untuk menjaga area hutan yang ada di kawasan
perkebunan. Perusahannya mendapat hak untuk menebang hutan dan
ditanami kelapa sawit. Tapi ia memutuskan untuk tetap
melestarikannya. Karena di hutan tersebut banyak terdapat pohon-
pohon langka dan Pohon besar, pohon raksasa, seperti pohon beringin,
pohon damar, trembesi dan ada ratusan jenis pohon lain yang masih
terdapat di situ. Ia juga membuat persemaian pohon-pohon langka
tersebut di situ. Sementara perkebunan sawitnya, ada di sekitar hutan
itu. Di tengah kebunnya ia telah berupaya untuk lestarikan hutan. Selain
itu, di kawasan hutan tersebut Hashim juga mengaku sedang
membangun penangkaran 7 ekor harimau. Selain pohon tua dan langka,
dia area hutan juuga dibuatkan penangkaran untuk satwa langka seperti
harimau Sumatra, beruang, rusa, landak, trenggiling, kijang, tapir, dan
kancil. Ia prihatin hewan langka, seperti harimau mau punah karena
kehilangan habibat tempat tinggalnya ataupun di buru manusia untuk
diambil kulit dan dagingnya.151
Putra bungsu ‘Begawan ekonomi Indonesia,‘ ini tak sekedar
mewarisi kepiawaian sang ayah dan kakeknya dalam berbisnis.
Sebagaimana Prabowo, rasa nasionalisme yang ditanamkan sang ayah,
mengantarkannya untuk terjun ke dunia politik praktis. Hal ini
dibuktikan dengan keikutsertaannya dalam membentuk partai politik
Gerakan Indonesia Raya (Gerindra) bersama sang kakak, Prabowo
Subianto. Keterlibatannya langsung di pentas politik praktis, bukan
sekedar latah atau ikut-ikutan sang kakak ataupun euforia politik pasca
reformasi berjalan. Bagi pria yang menimba ilmu politik dan ekonomi
di Panoma College, Claremont, California, Amerika Serikat ini ada dua
alasan yang membuatnya terjun ke ranah politik. Di antaranya, sebagai
pelaku ekonomi atau pebisnis, ia merasa heran dengan kondisi ekonomi
Indonesia. Menurutnya, dari segi ekonomi Indonesia harusnya lebih
mapan dari negara-negara tetangga seperti Singapura, Malaysia, India
atau Vietnam.152
151
http://nasional.kompas.com/read/2014/06/05/1935025/Dinilai.Lestarikan.Huta
n.Adik.Prabowo.Dapat.Kalpataru, diakses tanggal 14 Agustus 2014. 152
Wawancara dengan Suhardi di Kantor Pusat DPP Gerindra, Ragunan tanggal
13-06-2013; Wawancara dengan Fadli Zon, di Kantor Bakom-Gerindra, Jl. Limboto
128
Selain hal tersebut, Pria kelahiran Jakarta, 5 Juni 1954 -yang pernah
berbisnis di lebih dari 40 negara di lima benua lewat beberapa
perusahaannya ini- pun turut prihatin dengan perkembangan politik
negeri yang kian tak berperadaban. Ia berpendapat, Pancasila sebagai
falsafah dan dasar negara makin dilupakan dan tersisihkan, bahkan
dilupakan oleh segenap rakyat Indonesia, terutama elit politik dalam
menjalankan aktifitas politik maupun dalam kehidupan berbangsa dan
bernegara. Sebagaimana yang dikutip oleh Majalah Garuda, ia
menyatakan ‖Kita harus membela Pancasila, karena saya nasionalis.
Saya yakin tanpa Pancasila Indonesia hancur.‖153
Ia juga prihatin, yang
menikmati pembangunan di negeri ini segelintir orang saja di kalangan
atas. Sementara di kalangan menengah bawah belum tentu menikmati.
Lihat saja, banyak infrasturktur rusak, pendidikan, ekonomi, dan
sebagainya. Masalah kesehatan, misalnya untuk mendapatkan ruangan,
layanan kesehatan, obat-obatan susah dan mahal lagi.
Ia dengan jujur memaparkan bahwa Gerindra bukan partai yang anti
kapitalisme. Ia juga tanpa enggan mengakui sebagai seorang
kapitalisme, karena ia adalah seorang pedagang atau pengusaha. Untuk
itu, baginya Gerindra merupakan salah satu alat dengan memakai
kekuatan pemerintahan khususnya legislatif untuk mengendalikan
ekonomi. Kapitalisme baginya tidaklah bertentangan dengan norma
Pancasila dan UUD 1945 Pasal 33. Contoh aplikasi kapitalisme yang
Pancasilais menurutnya adalah negara Singapura yang 75 persen
ekonominya dikuasi negara. Semisal, maskapai penerbangan Singapur
Airline, merupakan Badan Usaha Milik Negara, karena mayoritas
sahamnya sebesar 75 persen milik negara. Setiap tahun, keuntungan
yang mengisi kas negara terus meningkat dan tidak merugi. Tak heran
menurutnya bila Singapura merupakan surga bagi penguasaha dan para
kapitalis. Rakyatnya hidup dengan kesejahteraan meski negaranya
adalah kapitalis. Bahkan, menurutnya, 70 persen perusahaan yang
menopang laju perekonomi Singapura dimiliki oleh negara.154
Bagi Hashim, Pancasila merupakan perekat bangsa, tanpa Pancasila,
bangsa ini akan hancur. Bahkan bisa terpecah belah minimal delapan
negara. Dengan Pancasila, kaum minoritas rela bergabung ke NKRI,
Bendungan Hilir, tanggal 5-9-2013; dan wawancara dengan Fami Fachrudin, di
Kantor PT. Natuna Energy Indonesia, Menara Palma 7th Floor Unit 701,
JL.HR.Rasuna Said Blok X2 Kav.6, Kuningan, Jakarta Selatan, tanggal 10 Juli 2014. 153
Hayat Fakhrurrozi, ―Lebih Dekat Dengan Hashim Djojohadikusumo:
―Indonesia Harusnya Lebih Baik‖ dalam Majalah Garuda, edisi Agustus (2011), 4-5. 154
Hayat Fakhrurrozi, ―Lebih Dekat dengan Hashim Djojohadikusumo: ....,‖ 4.
129
tapi sekarang pemerintah sepertinya tidak mendukung, apalagi
membela Pancasila. Tak heran bila banyak keributan yang dipicu
masalah suku dan agama. Ini yang membuatnya ikut prihatin,
pemerintah di matanya dianggap mengabaikan tanggungjawab untuk
mempertahankan, membangun, dan membela Pancasila sebagai
ideologi negara. Dari segi politik dan ekonomi, hal yang bisa dilakukan
untuk mengembalikan bangsa ini berdaulat adalah dengan menegakkan
hukum dengan tanpa pandang bulu dan pilih tebang. Di samping itu,
perlu juga perjuangan untuk memaksa pimpinan nasional Indonesia
agar berani untuk menegakkan hukum membela kaum lemah yang juga
bagian dari rakyat Indonesia.155
Ia juga menjelaskan bahwa Gerindra merupakan partai politik yang
berhaluan nasionalis. Gerindra didirikan untuk membela dan
melestarikan Pancasila. Terus terang, ia menceritakan bahwa sudah
jenuh sekadar menjadi pengamat politik. Melalui Gerindra, ia berharap
ingin ikut serta bersumbangsih membangun negara Indonesia dengan
menjadi penentu nasib bangsa. Oleh karenanya, perjuangan tersebut
salah satunya bisa ditempuh melalui ranah politik, dengan masuk
menjadi anggota partai politik. Melalui partai politik, setidaknya di dua
lembaga, wakil rakyat Indonesia bisa berperan, yaitu di eksekutif
(Presiden) dan legislatif (DPR/MPR).156
Sebagai pendiri, Hashim Djojohadikusumo berharap kader Gerindra
yang duduk di parlemen ―agar lebih giat dan agresif bersuara dalam hal
membela Pancasila sebagai dasar negara.‖ Ia mengingatkan, Gerindra
tidak boleh diam dalam masalahmasalah pengamalan Pancasila,
kerukunan antarumat beragama, kekerasan terhadap minoritas,
kekerasan terhadap tempat ibadah dan sebagainya. Menurut Hashim,
Partai Gerindra pada hakekatnya didirikan dengan dua pilar. Pilar yang
pertama adalah ekonomi kerakyatan dan pilar yang kedua adalah untuk
membela dan melestarikan Pancasila sebagai dasar negara. Ekonomi
kerakyatan, lanjut Hashim, sudah menjadi trademark atau brand Partai
Gerindra. Tapi untuk memperjuangkan Pancasila sebagai dasar negara
dan ideologi negara, hampirhampir Gerindra belum bersuara. Ia masih
jarang mendengar kader di dewan yang berbicara mengenai Pancasila
dan kerukunan antarumat beragama. Idealismenya, Gerindra berdiri
155
Hayat Fakhrurrozi, ―Lebih Dekat dengan Hashim Djojohadikusumo: .....,‖ 5. 156
Hayat Fakhrurrozi, ―Lebih Dekat dengan Hashim Djojohadikusumo: ....,‖ 5.
130
untuk membela dan memajukan ekonomi kerakyatan, dan membela dan
melestarikan Pancasila sebagai dasar negara.157
Mengurai tentang pentingnya membela dan melestarikan Pancasila,
Hashim memberi contoh negara adikuasa Uni Soviet yang terpecah
menjadi 15 negara, Yugoslavia menjadi tujuh negara hanya karena
perselisihan antarsuku. Juga Sudan yang pecah menjadi dua, yaitu
Sudan dan Sudan Selatan karena masalah agama. Negara semaju
Kanada pun pernah terancam disintegrasi karena perbedaan budaya dan
bahasa. Terhadap hal tersebut, ia mengatakan bahwa Republik
Indonesia itu merupakan negara yang unik, terdiri dari ratusan suku
bangsa dan bahasa, beraneka ragam perbedaan adat dan aliran agama.
Tapi rakyat telah bersepakat untuk memiliki konsensus Pancasila
sebagai jatidiri bangsa. Bangsa yang berdasarkan Pancasila, semua
suku, agama, adat, dan budaya mendapat tempat yang sama. Namun
demikian, kalau bangsa ini lengah, dalam arti meninggalkan Pancasila
sebagai perekat bangsa, maka ancaman disitegrasi akan mengintai
Nusantara ini.158
Menyikapi hal tersebut, Hashim berkeyakinan bahwa manifesto
Gerindra sesuai dengan amanah Pancasila dan UUD Tahun 1945 bahwa
tujuan utama bangsa adalah kesejahteraan rakyat. Konstitusi negara
secara jelas menyebutkan bahwa ekonomi kerakyatan harus ditegakkan
dengan tiga pilar, yaitu koperasi, negara ikut campur dalam proses
ekonomi dan, seluruh bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di
dalamnya dikuasai oleh negara dan digunakan sebesarbesarnya untuk
kemakmuran rakyat.159
Untuk membangun masyarakat madani di Indonesia, menurutnya,
setidak-tidaknya seluruh komponen bangsa ini harus memelihara
warisan budaya bangsanya. Warisan budaya dapat didefinisi dengan
jelas, terbagi dalam dua kategori, yakni: tangible dan intangible.
Tangible adalah warisan-warisan bangunan kuno, seperti candi, mesjid,
gereja, pura, kota Trowulan, dan sebagainya. Sedangkan yang
intangible adalah aneka-ragam kekayaan bahasa, seni budaya, termasuk
tari-tarian, wayang atau pewayangan, dan sebagainya. Warisan budaya
itu bisa berdampak positif untuk pembentukan masyarakat madani
157
Hashim Djojohadikusumo, ―Gerindra Membela dan Melestarikan Pancasila,‖
dalam Tabloid Gema Indonesia Raya, edisi 07/Tahun I/November (2011), 1. 158
Hashim Djojohadikusumo, ―Gerindra Membela dan Melestarikan Pancasila,‖
2. 159
Hashim Djojohadikusumo, ―Gerindra Membela dan Melestarikan Pancasila,‖
2.
131
suatu bangsa, apalagi bangsa berkembang seperti Indonesia. Tapi, kalau
tidak hati-hati, warisan budaya juga bisa berdampak buruk.160
Ia mencontohkan bahwa pada tahun 1991, untuk pertama kalinya
mengunjungi Yugoslavia. Waktu itu, di sana belum terjadi perang
saudara. Yugoslavia masih utuh. Sekarang negara itu menjadi enam
negara berdaulat. Perang saudara di Yugoslavia dimulai dengan adanya
perselisihan antara dua suku, yaitu: suku Kroasia dan suku Bosnia.
Sebagai orang yang hampir 10 tahun memiliki dua pabrik di Kroasia
dan Bosnia, Hashim tahu persis secara ras mereka itu sama, baik
Muslim maupun bukan Muslim. Mereka merupakan Muslim yang asli
keturunan Eropa, bukan Muslim keturunan Arab atau Turki. Mereka
berambut pirang, kulit putih, dan Eropa. Tapi mereka pindah agama
waktu kerajaan Ottoman datang. Sebelumnya mereka beragama
Kristen.161
Contoh lainnya, puluhan ribu orang Serbia dibunuh oleh
Kroasia karena masalah perbedaan bahasa. Serbia cenderung
menggunakan huruf latin, sedangkan Kroasia lebih cenderung
menggunakan huruf Sirilik Rusia. Perseteruan itu bukan masalah
ideologi, karena dua-duanya bukan komunis. Bukan pula masalah
agama, karena yang satu Kristen ortodoks, yang satu lagi Katolik. Tapi,
lebih banyak disebabkan oleh masalah suku, adat, dan budaya.162
Ia juga menambahkan, waktu ke Khartoum, Sudan, pada tahun
1991, bertemu Jenderal Omar al-Bashir. Al-Bashir masih berseragam
loreng. Kantornya masih di markas Angkatan Darat. Saat itu, Sudan
masih utuh. Kini, Sudan sudah pecah menjadi dua: Sudan dan Sudan
Selatan. Ada kemungkinan juga bagian Darfur atau Provinsi Darfur
akan memisahkan diri. Berarti saat ini Sudan menjadi dua negara, di
masa datang bisa menjadi tiga negara. Sudan pecah lebih banyak
disebabkan faktor agama. Waktu itu, tahun 1992, hukum Islam
dinyatakan sebagai agama resmi Sudan. Kaum minoritas yang
jumlahnya kurang lebih 10 juta orang yang mayoritas Kristen di Sudan
Selatan, tidak berkenan. Maka, terjadilah perang saudara yang
berlangsung selama 20 tahun, dan kaum minoritas di Selatan menang.
Mereka kemudian referendum. Sekarang, Sudan Selatan adalah negara
160
Hasim Djojohadikusumo, ―Warisan Budaya dan Jati Diri Bangsa,‖ dalam
Gema Indonesia Raya, edisi 02/Tahun I/Mei (2011), 3; Hashim Djojohadikusumo,
―Warisan Budaya dan Jati Diri Bangsa,‖ dalam Makalah Kuliah Umum civitas
akademika Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya, Universitas Indonesia, 8 April (2011). 161
Hashim Djojohadikusumo, ―Gerindra Membela dan Melestarikan Pancasila,‖
3. 162
Hasim Djojohadikusumo, ―Warisan Budaya dan Jati Diri Bangsa,‖ 3.
132
merdeka. Tapi, keinginan Provinsi Darfur untuk memisahkan diri dari
Sudan bukan faktor agama. Karena, mereka sama-sama berasal dari
budaya arab, Islam, tapi berbeda suku. Jadi, karena faktor adat dan
budaya, suku Darfur dan suku dari Sudan, saling bunuh. Di negara ini
ada ethnic cleansing, pemusnahan etnis.163
Malapetaka seperti ini juga terjadi di negara-negara maju. Di
Kanada pada tahun 1971 hampir pecah perang saudara, karena faktor
budaya dan bahasa. Perdana Menteri Kanada yang waktu itu Pierre
Trudeau mendapat aksi teror dari kelompok separatis QLF (The Quebec
Liberation Front). Padahal mereka sama-sama kulit putih dan
beragama Kristen. Aksi itu terjadi, karena orang Quebec yang
jumlahnya 5 juta jiwa adalah keturunan Perancis, dari dulu merasa
terinjak oleh penguasa di sana yang 80% adalah keturunan Inggris.
Quebec menuntut memisahkan diri dari Kanada. Meski rasnya sama
kulit putih dan agamanya sama Kristen, tapi karena mereka sangat
fanatik dengan budaya dan bahasa, mereka saling bunuh. Permusuhan
itu berakhir setelah bangsa Kanada yang mayoritas berbahasa Inggris
itu berjiwa besar, mengambil sikap mengalah. Demi keutuhan Kanada,
DPR Kanada pun menyelenggarakan referendum. Dan, bangsa Kanada
akhirnya memilih dan memutuskan bahwa adat, budaya, dan bahasa
Perancis setara dengan adat, budaya, dan bahasa Inggris. Begitu pula
Belgia. Negara kecil yang berada di antara Perancis dan Belanda saat
ini diambang disintegrasi. Suku Belanda ribut dengan suku Perancis.
Penyebabnya, masalahadat, budaya, dan bahasa. Yang satu bahasa
Perancis, dan satu lagi bahasa Belanda. Besar kemungkinan Belgia
akan pecah menjadi dua negara baru: Flanders berbahasa Belanda, dan
negara Wallonia berbahasa Perancis. Mungkin Flanders akan
bergabung dengan Belanda, sedangkan Wallonia bergabung ke
Perancis.164
Contoh-contoh di atas, menurutnya menunjukkan bahwa budaya,
apakah itu bahasa, seni, agama, dan lainnya bisa menyebabkan perang
ketimbang menjadi pemersatu untuk membentuk masyarakat yang
madani. Bisa dibayangkan orang rela membunuh untuk kejayaan
bahasanya. Di Indonesia ada sekitar 300 sampai 700 bahasa. Di Papua
saja ada sekitar 300 bahasa. Indonesia rawan akan masalah disintegrasi
bangsa. Bukan saja karena perbedaan agama dan ras, tapi juga
163
Hashim Djojohadikusumo, ―Gerindra Membela dan Melestarikan Pancasila,‖
3. 164
Hashim Djojohadikusumo, ―Gerindra Membela dan Melestarikan Pancasila,‖
3.
133
disebabkan adat, budaya, dan bahasa. Seluruh komponen bangsa harus
hati-hati betul. Bangsa Indonesia harus menjaga jangan sampai ada
perselisihan hanya gara-gara bahasa.165
Hal tersebut menunjukkan bagaimana pekanya masalah budaya bagi
proses pembentukan masyarakat madani. Budaya memang bisa menjadi
sumber inspirasi dan sumber kekuatan suatu bangsa. Bangsa Indonesia
sangat kaya dengan budaya. Itu bisa menjadi kekuatan suatu bangsa. Ini
memperkuat jati diri Indonesia. Jati diri bangsa. Republik Indonesia
merupakan negara mukjizat. Indonesia terdiri dari ratusan suku, bahasa,
adat, dan aliran agama. Tapi, karena para pemimpin dan pendiri bangsa,
semisal Bung Karno, Bung Hatta, KH. ahmad Dahlan, KH. Hasyim
asyari, dan lainnya memiliki konsensus bahwa bangsa Indonesia adalah
bangsa Pancasila. Bangsa yang berdasarkan Pancasila. Semua suku,
agama, adat, budaya, itu sama. Kita mendapat barokah.166
Di situ, untuk sementara waktu, bangsa ini bisa menghindari
masalah seperti terjadi di Uni Soviet, Yugoslavia, Sudan, Kanada, dan
Belgia. Tapi ada tanda-tanda dari bebera[pa komponen bangsa,
ekstremis ingin memanfaatkan situasi untuk menghancurkan kerukunan
bangsa Indonesia. Ini memprihatinkan. Seolah-olah bangsa Indonesia
tidak terlalu peka dan tidak belajar dari sejarah bangsa Indonesia
sendiri. Inilah masalah yang harus dihadapi secara bersama, baik
pemerintah, sipil, maupun militer. Segenap Bangsa Indonesia harus
waspada. Warisan budaya bisa menjadi satu kekuatan tapi bisa juga
menjadi satu kelemahan. Warisan budaya bisa menjadi bumerang kalau
tidak ditangani dengan baik, bijak, arif, dan hati-hati. Bangsa ini bisa
menjadi sasaran dari gerakan-gerakan yang ingin mengacaukan
Indonesia.167
2. Tokoh Aktivis Organisasi Sosial/LSM
Keanggotaan Gerindra, selain diisi oleh individu-individu,
keluarga, juga terdapat beberapa anggota yang berasal dari berbagai
aktivis organisasi sosial atau lembaga swadaya masyarakat (LSM).
Penulis mewakilkan kiprah aktivis tersebut, dengan membahas peran
Fadli Zon. Selain karena faktor keaktifan sosialnya, ia merupakan juru
bicara resmi dari Gerindra. Bahkan, hampir segala pernyataan dan
165
Hashim Djojohadikusumo, ―Warisan Budaya dan Jati Diri Bangsa,‖ 4. 166
Hashim Djojohadikusumo, ―Gerindra Membela dan Melestarikan Pancasila,‖
3. 167
Hasim Djojohadikusumo, ―Warisan Budaya dan Jati Diri Bangsa,‖ 4.
134
tindakannya yang dipublikasi media massa diidentikan dengan
pernyataan resmi Gerindra. Ia dikenal sebagai seorang aktivis sosial
dan juga pebisnis. Di bidang sosial, selain menjadi ketua berbagai
organisasi masyarakat, ia juga membangun perpustakaan yang
mengoleksi buku-buku tua dan benda-benda budaya bersejarah168
juga
Rumah Budaya Fadli Zon, di Tanah Datar, Sumatera Barat. Di samping
itu, beragam aktivitas dilakoninya, termasuk di jalur partai politik
dengan mendirikan partai politik Gerindra bersama Prabowo dan
Hashim. Sampai pada pertengahan tahun 2014 ini, ia dipercaya sebagai
wakil rakyat untuk memperjuangkan segala aspirasi kesejahteraan
kehidupan bangsa dan negara melalui lembaga legislatif DPR RI
sampai tahun 2019.169
Dunia perjuangan membangun demokratisasi lewat jalur politik
praktis sudah dilakoninya semenjak ia masih menjadi mahasiswa
Program Studi Rusia, Fakultas Ilmu Bahasa, Universitas Indonesia.
Lewat parlemen jalanan, ia kerap menyuarakan suara rakyat, isu-isu
nasional, dan mengkritisi kinerja pemerintah. Semasa kuliah di UI, ia
juga aktif di berbagai organisasi intra maupun ekstra kampus, antara
lain pernah menjadi Ketua Biro Pendidikan Senat Mahasiswa FSUI
(1992-1993), Sekretaris Umum Senat Mahasiswa FSUI (1993), Ketua
Komisi Hubungan Luar Senat Mahasiswa UI (1993-1994). Ia ikut
menjadi salah satu pemimpin jaringan aktivis mahasiswa di Jawa
dengan mengusung gagasan ‖Gerakan Mahasiswa 1990-an.‖ Selain
mendukung ‖parlemen jalanan,‖ ia juga turut membentuk dan
menghidupkan kelompok-kelompok studi di dalam kampus UI era awal
1990-an. Untuk kegiatan budaya, ia bergabung dengan Teater Sastra
UI.170
Di luar kampus, kiprahnya sosialnya untuk berperan serta
membangun masyarakat madani ia tekuni. Ia pernah menjadi Sekertaris
Jenderal dan Presiden Indonesian Student Association for International
Studies/ISAFIS (1993-1995), Pengurus Pusat Komite Nasioal Pemuda
168
Perpustakaan pribadi menampung kurag-lebih 50 ribu buku tua, beberapa
keris, koin, badik, tombak, piringan hitam, bahkan fosil. Hasil observasi langsung
penulis ke Fadli Zon Library, pada tanggal 5-9-2013. 169
Fadli Zon terpilih sebagai anggota DPR dari Dapil Jawa Barat V, Kabupaten
Bogor dengan perolehan suara 79.074 suara. Informasi ini diperoleh dari akun
facebook-nya di https://www.facebook.com/FadliZonPage/posts/559546554108039. 170
Wawancara dengan Fadli Zon, di Kantor Bakom-Gerindra, Jl. Limboto
Bendungan Hilir, tanggal 5-9-2013. Wawancara dengan Fami Fachrudin, di Kantor
PT. Natuna Energy Indonesia, Menara Palma 7th Floor Unit 701, JL.HR.Rasuna Said
Blok X2 Kav.6, Kuningan, Jakarta Selatan, tanggal 10 Juli 2014.
135
Indonesia/KNPI (1996-1999), Pengurus Pusat Gerakan Pemuda
Islam/GPI (1996-1999), anggota Asian Conference on Religion and
Peace (ACRP) (1996). Dia sempat menjadi Wakil Ketua Yayasan
Bestari, sebuah LSM bidang anak-anak dengan aktivitas utama Rumah
Dongeng Indonesia yang ikut menyebarkan dongeng pada anak-anak
dan membina kreativitas anak-anak Indonesia (1991-1994). Di FDI
(Forum Dialog Indonesia), sebuah forum dialog pemuda dan aktivis
membicarakan berbagai perkembangan nasional di bidang ekonomi,
politik dan budaya, dia dipercaya sebagai Tim Pelaksana Aktivitas
(1994-1996). Selain itu, ia sering tampil sebagai pembicara dalam
diskusi, seminar, konferensi dan training-training mahasiswa.171
Tahun
1994, terpilih menjadi Mahasiswa Berprestasi (Mawapres) I Universitas
Indonesia dan Mahasiswa Berprestasi III tingkat Nasional. Menjadi
visiting student di departemen politik National University of Singapore
tahun 1995 dan memimpin delegasi mahasiswa Indonesia dalam
ASEAN Varsities Debate IV (1994) di Malaysia.
Selepas kuliah, sikap kritisnya dan perjuangannya untuk ikut
berpartisipasi membangun bangsa tak berhenti. Ia pernah terpilih
menjadi anggota MPR RI (1997-1999) dan aktif sebagai asisten Badan
Pekerja Panitia Adhoc I yang merancang Garis-garis Besar Haluan
Negara (GBHN). Di tahun 1998, sebelum bergabung dengan Gerindra,
dengan sesama pengagum Muhammad Natsir, mendirikan Partai Bulan
Bintang (PBB) bersama Yusril Ihza Mahendra, Hartono Mardjono, MS
Kaban dan Farid Prawiranegara. Di partai Islamis ini, Fadli termasuk
171
Selama menjadi mahasiswa FSUI ia mendapat kesempatan mengikuti berbagai
konferensi dan seminar di luar negeri antara lain menjadi ketua delegasi mahasiswa
Indonesia dan panelis The 40th International Student Conference di Jepang (1993);
pembicara di Simposium Dinamika Gerakan Mahasiswa Islam Asia Tenggara di
Malaysia (1994); ketua delegasi pemuda Indonesia dalam Korea-ASEAN Youth
Cooperative Project di Korea Selatan (1994); peserta Saemaul Undong Training di
Korea Selatan (1994); observer gencatan senjata Filipina-Moro di Filipina (1995);
ketua delegasi Indonesia dalam ASEAN Youth Day Meeting IV di Filipina (1995);
pembicara dalam South East Asia University Student Conference di Malaysia (1995);
peserta World Friendship Week di Virginia, Amerika Serikat (1995); Delegasi
Indonesia dalam Konferensi LSM ke-48 di Markas Perserikatan Bangsa-Bangsa, New
York (1995); Ketua Delegasi Indonesia dan pembicara dalam Asia-Pacific Youth
Leadership Conference di Taipei, Taiwan (1996); pembicara Seminar National Build-
up and Literary Process in South East Asia di Moskow dan St. Petersburg, Rusia
(1996); Konferensi ACRP V di Thailand (1996); peserta Hitachi Young Leaders
Initiative di Singapura (1997); dan lain-lain. Wawancara dengan Fadli Zon, di Kantor
Bakom-Gerindra, Jl. Limboto Bendungan Hilir, tanggal 5-9-2013. Lihat juga
http://fadlizon.wordpress.com/about/, diakses tanggal 20 Agustus 2014.
136
salah satu politisi termuda yang dipercaya sebagai salah satu ketuanya.
Namun, karena ada masalah internal yang bertentangan dengan hati
nuraninya, ia pun hengkang dari partai itu pada tahun 2001.172
Lepas dari aktifitas sosial dan politik, pada tahun 2002, ia
melanjutkan studi Master di The London School of Economics and
Political Science (LSE) di Inggris dalam bidang studi pembangunan. Di
kampus yang berada di Benua Eropa ini, ia tetap aktif di beberapa
organisasi sosial, seperti Association for the Study of Ethnicity and
Nationalism (ASEN) dan menjadi aktivis di LSE Stop the War
Coalition (2002-2003) yang menentang invasi Amerika Serikat ke Irak.
Sekembalinya dari pengembaraan pendidikannya, ia berkiprah di dunia
usaha dengan bergabung dan mendirikan perusahaan multinasional. Di
antaranya, ia pernah menjadi Direktur Umum PT Golden Spike Energy
Indonesia Ltd (2002-2005), sebuah perusahaan minyak dan gas swasta.
Hingga tahun 2014 ia tercatat masih bekerja pada perusahaan
perkebunan kelapa sawit PT. Tidar Kerinci Agung, dan PT Padi
Nusantara yang bergerak di bidang pertanian.173
Professionalitasnya dalam bidang pertanian mengantarkan dirinya
aktif di Himpunan Kerukunan Tani Indonesia (HKTI) sebagai Ketua
Hubungan Luar Negeri dan Organisasi Internasional di tahun 2004-
2009. Pada kepengurursan HKTI periode 2010-2015, di bawah
kepemimpinan Prabowo Subianto, kali ini ia menjabat sebagai
Sekretaris Jenderal. Selain itu, beragam aktifitas yang berkaitan dengan
pertanian hingga budaya dilakoninya. Semisal menjadi Anggota Dewan
Gula sejak 2005 lalu, Dewan Redaksi Majalah Tani Merdeka dan
Dewan Redaksi Majalah Horison, majalah sastra dan budaya.174
172
Fami Fachrudin menjelaskan bahwa Fadli dan dirinya hengkang dari PBB
karena menurut mereka, Yusril sebagai Ketua Umum PBB tidak bisa
mempertanggungjawabkan dana politik yang diberikan oleh BJ Habibie kepada PBB.
Mereka menjadi malu bagaimana bisa, partai pewaris Masyumi berperkara dalam soal
uang seperti itu. Bagaimana mau meniru kesederhanaan M. Natsir, kalau tokohnya
sangat mudah tergoda oleh materi. Wawancara dengan Fadli Zon, di Kantor Bakom-
Gerindra, Jl. Limboto Bendungan Hilir, tanggal 5-9-2013. Diperkuat dengan Fami
Fachrudin, di Kantor PT. Natuna Energy Indonesia, Menara Palma 7th Floor Unit
701, JL.HR.Rasuna Said Blok X2 Kav.6, Kuningan, Jakarta Selatan, tanggal 10 Juli
2014. 173
Wawancara dengan Fadli Zon, di Kantor Bakom-Gerindra, Jl. Limboto
Bendungan Hilir, tanggal 5-9-2013. 174
Wawancara dengan Fadli Zon, di Kantor Bakom-Gerindra, Jl. Limboto
Bendungan Hilir, tanggal 5-9-2013. Wawancara dengan Fami Fachrudin, di Kantor
137
Selepas dari Partai Bulan-Bintang (PBB), pada 6 Februari 2008, ia
ikut mendirikan Partai Gerakan Indonesia Raya (Gerindra) dengan
mengusung isu keberpihakan kepada rakyat kecil. Keterlibatannya di
Gerindra berawal ketika ia ikut membantu Prabowo untuk menjadi
Ketua Umum dan Calon Presiden dalam konvensi Partai Golkar di
tahun 2004 namun belum berhasil. Bersama Hashim, kemudian
mendirikan partai Gerindra. Menurutnya, partai politik merupakan
salah satu alat perjuangan yang efektif di Indonesia untuk ikut andil
bagian dalam membangun bangsa dan negara. Namun demikian,
banyak partai politik yang dimanfaatkan oleh aparatur partai untuk
kepentingan pribadi. Partai Gerindra didirikan untuk mengoreksi
terhadap keadaan itu. Paradoks kondisi ketidaksejahteraan rakyat
dengan kekayaan sumber daya alam dan sumber daya manusia
menjadikannya untuk kembali terjun ke dunia politik praktis.175
Ia menjelaskan, bahwa salah satu kunci untuk menjadikan negara
ini kembali berdaulat dan makmur adalah masalah kepemimpinan
nasional. Dalam pandangannya, ia melihat negeri ini tidak memiliki
pemimpin yang kuat lagi sebagaimana Soekarno yang dihormati rakyat
dan disegani dunia luar. Untuk itu, bangsa ini perlu sosok pemimpin
yang kuat untuk mengembalikan kejayaan Indonesia seperti dulu.
Kalau pemimpin pusat lemah maka pemimpin di bawah juga lemah.
Jika pusat kuat, bawahan pun akan kuat. Masalah kedua, yaitu masalah
haluan negara yang menyangkut arah tujuan untuk mensejahterakan,
memakmurkan rakyat, bukan untuk proses demokrasi yang prosedural.
Selama ini, haluan bangsa ini masih berkutat hanya untuk memenuhi
standar formalitas demokrasi yang menghabiskan biaya yang sangat
mahal. Padahal tujuan berdemokrasi hanyalah salah satu cara dari
sekian banyak haluan bernegara. Tujuan utama didirikannya bangsa ini
sebagaimana tertuang dalam Pancasila dan UUD 1945 adalah untuk
memakmurkan rakyat supaya menikmati kemerdekaan.
Gerindra didirikan dengan maksud ikut berjuang demi
kesejahteraan Indonesia sebagai salah satu sarana pembentukan strong
leadership (pemimpin yang kuat), secara kolektif dan tidak feodal. Bagi
Fadli, ciri kepemimpinan yang kuat itu adalah harus mempunyai
integritas, hidupnya, cita-citanya menyatu dengan kepentingan
Indonesia. Seorang pemimpin juga wajib memiliki visi yang jauh ke
PT. Natuna Energy Indonesia, Menara Palma 7th Floor Unit 701, JL.HR.Rasuna Said
Blok X2 Kav.6, Kuningan, Jakarta Selatan, tanggal 10 Juli 2014. 175
Wawancara dengan Fadli Zon, di Kantor Bakom-Gerindra, Jl. Limboto
Bendungan Hilir, tanggal 5-9-2013.
138
depan. Selain itu, kehidupannya tercurahkan untuk memikirkan
generasi mendatang. Ia pun harus merupakan pribadi yang jujur dan
mempunyai keberpihakan ke rakyat kecil. Fadli meyakini bahwa sosok
pemimpin itu antara lain ada pada diri Prabowo. Dalam anggapan Fadli,
Prabowo memiliki integritas, sangat merah-putih dan berpihak kepada
rakyat kecil. Untuk itu, sebagai partai politik yang konstitusional,
Gerindra harus bekerja keras untuk mewujudkan Prabowo memimpin
republik ini. Peluang ini terbuka, karena Prabowo adalah termasuk
tokoh yang sangat populer dan diharapkan rakyat.176
Untuk
mewujudkan harapan tersebut, bersama Gerindra dan kader-kader yang
telah terpilih sebagai wakil rakyat di DPR pusat dan DPRD sebagai
ujung tombak partai utuk loyal dengan visi misi gerindra, dan
manivesto partai, yang garis besarnya berusaha memperjuangkan
ekonomi kerakyatan.177
Ia lebih lajut menegaskan bahwa perjuangan Partai Gerindra adalah
untuk membangun masa depan Indonesia yang sejahtera, aman, adil,
dan memberi kepastian masa depan kepada generasi penerusnya.
―Itulah perjuangan Partai Gerindra dan menjadi komitmen dan
tanggungjawab Partai Gerindra,‖ persoalan itu malah terpinggirkan.
―Gerindra lahir dari kesadaran memperbaiki keadaan, karena saat Partai
ini berdiri, kondisi Indonesia belum sesuai seperti yang dikehendaki
bersama. Rakyat belum berdaya membangun ekonominya, terbukti
angka kemiskinan dan pengangguran tetap tinggi.‖ Selain itu, Indonesia
masih terjebak sistem ekonomi neoliberal dan demokrasi liberal yang
anarkis. Pemerintah seperti tak memerintah dan membiarkan praktik
korupsi merajalela. Dana APBN banyak mengalami kebocoran,
inefiensi dan tak tepat sasaran. Karena itu, kita perlu haluan baru dan
pemimpin baru untuk mengembalikan kejayaan Indonesia Raya.
Gerindra sudah punya Delapan Program Aksi untuk mewujudkan
citacita itu. ―Semua itu baru bisa terlaksana bila Gerindra menang.
Kita harus melakukan penataan dan konsolidasi organisasi, memastikan
Gerindra hadir hingga ke tingkat Rukun Tetangga. Tak terkecuali desa
terpencil dan daerah terisolir. Kita harus memenangkan hati dan pikiran
rakyat.‖178
176
Wawancara dengan Fadli Zon, di Kantor Bakom-Gerindra, Jl. Limboto
Bendungan Hilir, tanggal 5-9-2013. 177
Wawancara dengan Fadli Zon, di Kantor Bakom-Gerindra, Jl. Limboto
Bendungan Hilir, tanggal 5-9-2013. 178
Wawancara dengan Fadli Zon, di Kantor Bakom-Gerindra, Jl. Limboto
Bendungan Hilir, tanggal 5-9-2013.
139
Demokrasi mestinya suatu pemerintahan dari rakyat oleh rakyat
dan untuk rakyat. Pemerintahan dengan kekuasaan tertinggi di
dalamnya berada di tangan rakyat dan dijalankan langsung atau tak
langsung melalui sistem perwakilan. Ada semangat dan konsensus
bahwa setiap orang punya hak yang sama, di depan hukum maupun hak
ekonomi politik. Oligarki adalah pemerintahan yang dikuasai minoritas
kelompok kaya, golongan hartawan. Untuk membedakan demokrasi
dan oligarki, Aristoteles dalam Politics, menyatakan bahwa demokrasi
artinya kekuasaan rakyat jelata yang banyak, sedangkan oligarki adalah
kekuasaan orang kaya yang sedikit. Dalam setiap demokrasi selalu ada
oligarki. Namun jangan sampai kaum oligarki mengambil alih
demokrasi.179
Ia, mengutip Jeffrey Winters, menyampaikan data menarik. Top
500 orang kaya Amerika Serikat memiliki kekayaan 20.000 kali
masyarakat biasa. Di Singapura, rasionya 25.000 kali lebih kaya.
Sementara di Indonesia, 500 orang terkaya 600.000 kali lebih kaya
ketimbang rakyat biasa. Artinya kekayaan hanya terkonsentrasi pada
sedikit orang. Kesenjangan sangat tinggi. Itulah fenomena demokrasi
yang dimakan oligarki. Hal ini sebenarnya bisa dihindari jika kita
kembali pada semangat demokrasi yang sesuai jati diri bangsa.
Demokrasi Indonesia bukan semata soal kebebasan dan hak individu
atau demokrasi politik. Demokrasi politik harus bersamaan dengan
demokrasi ekonomi, yaitu persamaan hak dan kesempatan untuk hidup
layak, sejahtera dan bahagia. Demokrasi kita adalah gabungan
demokrasi ekonomi dan politik, yaitu demokrasi sosial. Demokrasi kita
adalah hidup dalam tolong-menolong, kata Bung Hatta. Nilai itu yang
hilang.180
Namun, menurut tabloid SiaR, Fadli Zon terkenal dengan langkah
‗kutu loncat‘-nya. Ia dulu berhaluan ‗Islam revivalis‘ dengan
bergabung di Partai Bulan-Bintang, namun kini secara drastis
berideologi nasionalis. Namanya melambung berkat kedekatannya
dengan sejumlah elit politik dan militer seperti R Hartono, mantan
KSAD. Fadli Zon juga dekat dengan Titi Hardijanti Rukmana, hingga
dipercaya menjadi konsultan proyek-proyek anak perempuan Soeharto
itu. Fadli Zon pernah menjadi ketua ISAFIS (Indonesian Student
179
Wawancara dengan Fadli Zon, di Kantor Bakom-Gerindra, Jl. Limboto
Bendungan Hilir, tanggal 5-9-2013. 180
Wawancara dengan Fadli Zon, di Kantor Bakom-Gerindra, Jl. Limboto
Bendungan Hilir, tanggal 5-9-2013.
140
Assosiacion for International Studies), kelompok studi yang didirikan
aktifis HMI, Faizal Motik, adik pengusaha Dewi Motik Pramono dan
Kemala Motik Abdul Gafur. Namun ia akhirnya tersingkir dari
organisasi itu karena gaya politiknya yang manipulatif dan suka "main
atas" dengan berpatron kepada tokoh-tokoh elit politik tak disukai
teman-temannya. Sumber SiaR di ISAFIS menyebutkan, para aktifis
ISAFIS ketika itu, tak menyukai sikapnya yang makin tidak independen
dan makin sombong. Fadli Zon juga terlibat permainan "intel-intelen"
skala kecil dengan menjalin hubungan dengan kalangan ABRI tertentu.
Di sebuah rumah di Jakarta Selatan, pihak intel menyewa sebuah rumah
yang dibuat seperti kantor kecil. Di kantor itu terdapat sejumlah
komputer yang dipasangi peralatan canggih internet, untuk menkounter
setiap isu di internet yang menyerang penguasa. Secara berkala, kata
sumber itu, Fadli Zon datang ke rumah itu dan bertugas membuat
tulisan-tulisan. Dalam hal ini, Fadli Zon memang berguna karena gaya
tulisannya yang cukup runtun dan terkesan akademis dalam
mengcounter isu-isu yang dilontarkan kelompok-kelompok oposisi pro
demokrasi.181
3. Tokoh Intelektual
Tokoh dalam hal ini diwakili oleh sosok intelektual Almarhum
Suhardi. Ia merupakan akademisi pendidikan dan pergerakan yang
mendapat julukan ―Profesor Telo” (ketela), karena ia bertahun-tahun
mengkampanyekan makanan lokal Indonesia. Karena menurut hasil
risetnya, jika dibandingkan beras, maka kadar kalsium telo jauh lebih
tinggi dibandingkan bahan makanan pokok lainnya. Hal tersebut juga ia
lakukan sebagai bentuk protes terhadap kebijakan pangan pemerintah
untuk menghentikan impor bahan-bahan pokok pangan yang selalu
tidak digubris oleh pemerintah. Ketika masih menjabat sebagai petinggi
di Kementerian Pertanian tahun 1998, Suhardi selalu mengusulkan agar
bangsa kita lebih mengutamakan bahan dasar makanan dari negeri
sendiri ketimbang ekspor. Namun, selalu dimentahkan oleh tekanan
politis yang datang ke departemennya. Semenjak itulah ia selalu giat di
luar kerja resminya untuk mengkampanyekan dan menganjurkan
konsumsi bahan pangan asli produk bangsa Indonesia sendiri. Tidak
hanya sebatas itu, Suhardi-pun memproklamirkan sebuah ikrar untuk
181
SiaR, ―Fadli Zon Dibalik Demo Di Majalah D&R,‖
http://www.library.ohiou.edu/indopubs/1998/02/10/0102.html, diakses Tanggal 12
Desember 2014.
141
tidak akan memakan gandum dan produk turunannya, hingga
masyarakat Indonesia sejahtera dan tidak tergantum pada gandum.
Kalau diperhatikan gandum (tepung terigu) sudah menjadi bagian yang
tidak terpisahkan dari kehidupan bangsa ini. Padahal gandum sebagai
bahan terigu sama sekali tidak tumbuh di Indonesia, harus diimpor dari
luar negeri.182
Keterlibatannya di dunia politik praktis berawal dari keprihatian
dan keresahannya saat menjadi bagian dari pemerintahan itu sendiri.
Guru Besar Fakultas Kehutanan Universitas Gadjah Mada ini pernah
menjadi Dekan Fakultas Kehutanan tahun 1999. Pada tahun 2001, dia
ditarik pemerintah menjadi Direktur Jenderal Rehabilitasi Lahan dan
Perhutanan Sosial Departemen Kehutanan dan Perkebunan. Saat di
Himpunan Kerukunan Tani Indonesia (HKTI) maupun di Dewan
Ketahanan Pangan Nasional membuatnya makin memantapkan
langkahnya untuk ikut dalam perjuangan membangun bangsa melalui
politik praktis. Sebelum ikut mendirikan Gerindra, di tahun 2007,
bersama beberapa rekannya, ia menawarkan mendirikan partai politik
baru bernama Partai Petani dan Nelayan kepada Ketua Umum HKTI,
Prabowo Subianto, yang saat itu masih tercatat anggota Partai Golkar,
namun hal tersebut ditolak oleh Prabowo.183
Gagasan mendirikan partai politik Gerakan Indonesia Raya
(Gerindra) baru terbentuk setelah Prabowo gagal menjadi Ketua Umum
Golkar dan Calon Presiden pada konvensi Partai Golkar di tahun 2004.
Baru pada tahun 2008, Gerindra didirikan dan menjadi kendaraan
politik bagi Suhardi dengan menjadi Ketua Umumnya. Ia mengisahkan
bahwa hanya dalam waktu dua minggu menjelang penutupan verifikasi
partai politik peserta pemilu, Gerindra akhirnya lolos sebagai peserta
Pemilu 2009. Niatnya untuk terjun ke dunia politik praktis didasari
bentuk tanggung jawabnya sebagai seorang kader partai politik yang
bercita-cita mengantarkan Indonesia menjadi negara yang bermartabat,
adil, makmur, berdaulat dan mandiri.184
Ia juga menceritakan bahwa perkembangan Gerindra dari semejak
didirikan sampai tahun 2014 ini berjalan cukup baik. Pada masa
kepemimpina pertama kali, jumlah pengurus pusat hanya 17 orang kini
182
Wawancara dengan Suhardi di Kantor Pusat DPP Gerindra, Ragunan tanggal
13-06-2013. 183
Wawancara dengan Suhardi di Kantor Pusat DPP Gerindra, Ragunan tanggal
13-06-2013. 184
Wawancara dengan Suhardi di Kantor Pusat DPP Gerindra, Ragunan tanggal
13-06-2013.
142
telah berkembang menjadi ratusan anggota. Ia mengatakan bahwa kalau
dulu jangankan untuk mencari anggota calon legislatif, mencari
pengurus saja susahnya luar biasa. Dulu cari caleg lima orang dapat dua
itu sudah untung, walau masih belum dikatakan berkualitas. Sekarang
pengurus sudah terbentuk hingga level paling bawah sekalipun. Bahkan
untuk di DKI saja, Gerindra butuh tujuh caleg, yang mendaftar 274
orang. Ini sangat berbeda dengan tahun 2009. Kini posisi Gerindra
berbeda, dulu Gerindra tidak punya gubernur, walikota, bupati,
sekarang sudah ada di beberapa daerah. Secara menyeluruh, posisi
Gerindra sangat baik, kalau tidak di peringkat dua mungkin satu,
walaupun seringkali dikecilkan dalam setiap survey oleh partai-partai
besar. Tapi biarlah, yang penting hasil dari kaderisasi kita maksimal
dan betul-betul menciptakan kader militan.185
Menurut pendapatnya, dalam rangka untuk ikut berpartisipasi
membangun negeri melalui jalur partai politik, mau tidak mau partai
Gerindra harus mendapat dukungan dan kepercayaan dari rakyat
dengan mendapatkan wakil rakyat di parlemen sebanyak mungkin.
Sehingga semua kader yang punya kepercayaan diri, keyakinan dan
siap untuk memperjuangkan amanah pemilihnya dengan mendapatkan
kursi, harus berjuang untuk mendapatkan kursi yang memadai agar bisa
mengantarkan capres tanpa koalisi. Selain itu, bersama Gerindra
berupaya untuk mensejahterakan rakyat indonesia melalui 8 Program
Aksi yang kemudian di-improve menjadi 6 Program Aksi. Menurutnya,
melalui 6 program itu, Indonesia diyakinnya akan mejadi makmur dan
bermartabat. Program tersebut memfokuskan bagaimana membangun
ekonomi kerakyatan dengan meningkatkan pendapatan masyarakat,
sehingga bisa hidup lebih baik. Mulai dari pangan mandiri, ekonomi
yang maju, ekonomi kerakyatan dari kekuatan-kekuatan pangan rakyat,
energi, ternak, minyak kemiri, dan sebagainya. Enam Program Aksi
Partai Gerindra demi terwujudnya Indonesia yang makmur dan
bermartabat. Demi mewujudkan misi tersebut, Suhardi melakukan
Sumpah Gandum. Ia berjanji baru akan makan gandum jika bangsa ini
sudah sejahtera, minimal sesejahtera kerajaan Majapahit waktu itu.
Dimana bangsa ini pernah kaya-raya seperti yang dialami Majapahit.
185
Wawancara dengan Suhardi di Kantor Pusat DPP Gerindra, Ragunan tanggal
13-06-2013.
143
Kalau hal itu terwujud, maka ia baru akan buka puasa makan
gandum.186
Dalam keyakinan politisnya, ia berpendapat bahwa untuk
membangun peradaban bangsa yang minimal sejahtera dibutuhkan pula
pemimpin yan amanah dan berkompentensi. Ia yakin dengan
pendidikan politik yang benar, akan terjadi pembelajaran politik bagi
para pemilih untuk memilih pemimpinnya. Bangsa Indonesia akan
semakin menjadi lebih dewasa dalam berpolitik dan mampu untuk
mendapatkan pemimpin yang berkualitas. Baginya, tugas pemerintah
dan partai politik untuk melakukan pendidikan politik hingga ke
bawah. Menurut pakar kehutanan ini, masyarakat harus sadar akan
pentingnya pendidikan politik dan proses berpikir agar tidak salah
menilai sosok seorang pemimpin yang akan dipilihnya. ‖Kita harus
sadar, tidak boleh memilih pemimpin secara instan. Jangan hanya
karena dijanjikan sesuatu lantas memilih seseorang yang nyatanya tak
bisa berbuat apa-apa. Masyarakat harus betul-betul paham bahwa nasib
bangsa ini berada di tangan mereka dengan cara-cara demokratis.‖187
Ia berpendapat bahwa kondisi politik Indonesia kini tidak lagi
menjunjung tinggi asas-asas demokrasi. Ia mengaju agak sulit
memahami bagaimana bisa suara rakyat begitu mudahnya dibeli dengan
uang. ‖Bayangkan saja jika untuk jadi bupati, perlu dana besar,
sehingga jika terpilih nanti yang dipikirkan bukan bagaimana
menjalankan program kerjanya tapi bagaimana supaya dana yang
dikeluarkan bisa segera kembali.‖ Selain itu, ia juga berharap untuk
mewujudkan ekonomi kerakyatan Gerindra bisa membuat gerakan
dengan lebih luas lagi merangkul petani dan nelayan, sebab
sesungguhnya mereka adalah aset bangsa ini. Lingkungan dan nasib
petani juga nelayan selalu bernasib tidak menguntungkan. Ditambah
nasib sial itu adalah takdir dari stuktur ekonomi yang ada. Untuk
memperbaiki nasib petani dan nelayan harus didahului perubahan
sistem ekonomi. Sistem ekonomi kerap kali ditentukan kekuatan
politik. Intinya, politik adalah panglima, termasuk menentukan nasib
petani dan nelayan.188
186
Wawancara dengan Suhardi di Kantor Pusat DPP Gerindra, Ragunan tanggal
13-06-2013. 187
Wawancara dengan Suhardi di Kantor Pusat DPP Gerindra, Ragunan tanggal
13-06-2013. 188
Wawancara dengan Suhardi di Kantor Pusat DPP Gerindra, Ragunan tanggal
13-06-2013.
144
Pendapatnya tersebut berdasarkan pengalamannya, baik ketika
menjabat sebagai praktisi pendidikan maupun sebagai pejabat
pertanian. Keyakinan untuk terjun di politik praktis melalui partai
politik ditambah dengan berbagai pengalamannya, baik saat aktif di
HKTI maupun di Dewan Ketahanan Pangan Nasional. Ia
mencontohkan bahwa ketika menjabat sebagai Dirjen pangan di
Kementerian Pertanian, ia memilih kebijakan untuk tidak mengimpor
sembako. Tapi usulannya untuk tidak mengimpor sembako selalu
dimentahkan oleh atasannya. Rupanya, selaku Dirjen pun ternyata sulit
sekali memberikan keputusan. Tetap yang memberi keputusan pejabat
di atasnya yang lebih berwenang dan memiliki kekuatan politis di
parlemen. Ia semakin mayakini bahwa keputusan pejabat itu ternyata
keputusan politik. Dari situlah akhirnya ia berkesimpulan bahwa untuk
memperjuangkan harapannya, semua itu harus melalui perjuangan
politik praktis dengan berjuang mendapatkan simpati rakyat melalui
pemilihan umum.189
Setidaknya, melalui kendaraan Partai Gerindra, ia
berusaha agar bangsa Indonesia mampu mengembalikan dan
menyadarkan kembali seluruh komponen bangsa akan akar
keindonesiaan yang berawal dari masyarakat pedesaan sebagai petani
dan nelayan. Yang pada akhirnya, mereka pun mengetahui partai mana
yang mampu memperjuangkan dan mewujudkan kesejahteraan yang
lebih nyata.
Berdasarkan paparan di atas, menurut Uhlin, masalah yang sering
didiskusikan dan diperdebatkan berkaitan dengan proses demokratisasi
dan masyarakat madani di Indonesia adalah siapa termasuk dan bukan
termasuk aktor-aktor masyarakat Indonesia?190
Penulis sepakat dengan
Janoski191
dan Uhlin dalam menjelaskan aktor pro-demokrasi di
Indonesia. Menurutnya aktor individu penegak demokratisasi dan
masyarakat madani di Indoesia itu di antaranya juga bisa berasal dari
individu. Aktor individu tersebut oleh Uhlin dibagi ke dalam kedua
kategori, yaitu pembangkang elit dan intelektual individual.192
Penulis
menambahkan, satu kategori lagi, yaitu elite intelektual keagamaan.
Hemat penulis, justru proses demokratisasi dan pembentukan
masyarakat madani di Indonesia lebih cenderung dan lebih digalakan
189
Wawancara dengan Suhardi di Kantor Pusat DPP Gerindra, Ragunan tanggal
13-06-2013. 190
Anders Uhlin, Indonesia and the “Third Wave of Democratization:” ....., 47. 191
Thomas Janoski, Citizenship and Civil Society:....., 12. 192
Anders Uhlin, Indonesia and the “Third Wave of Democratization:” ....., 94
dan 99.
145
dan disyiarkan ke khalayak umum oleh intelektual keagamaan
(religious scholars). Penulis berlandaskan pada pendapat A.H. Johns
dan Azra193
yang secara eksplisit menyatakan bahwa para sufi
pengembara memiliki berperan dalam pembentukan masyarakat yang
Islami di kawasan Nusantara ini. Faktor utama keberhasilan para aktor
masyarakat madani dari sufi dalam membentuk peradaban Islami ala
Indoesia adalah pada kemampuannya menyajikan Islam dalam kemasan
yang atraktif, khususnya dengan menekankan kesesuaian Islam dengan
kepercayaan, praktik keagamaan, dan kebudayaan lokal.194
Mereka
bukan saja sebagai da‘i pembuka dan penyebar babak baru ajaran Islam
di Jawa, tetapi mereka juga pembangun peradaban Islam dengan
menguasai zaman berikutnya yang kemudian dikenal dengan ‗zaman
kewalen‖ (zaman wali).195
Meski dalam tataran aktor masyarakat madani masih dalam taraf
intelektual individual, belum pada level intelektual yang plus ulama,
Gerindra secara personal-personal telah ikut berkiprah. Memakai
kerangka antropologi Cliford Geertz,196
kader-kader Gerindra secara
193
Lihat Azyumardi Azra, Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan
Nusantara Abad XVII & XVIII Akar Pembaruan Islam Indonesia, (Jakarta: Kencana,
2005), 29; lihat juga Nicholas Tarling, The Cambridge History of Southeast Asia, V.1:
Part Two - From C.1500 to C.1800, (Cambridge: Cambridge University Press, 1999),
179-181. 194
Lihat Azyumardi Azra, Jaringan Ulama, 32; Lihat juga AH. Johns, ―Aspects
of Sufi Thought in India and Indonesia in the First Half of the 17th
Century,‖ Journal
of the Malayan Branch of the Royal Asiatic Society, Vol. XXVIII, (1955), 70-77; AH.
Johns, ―Malay Sufism as Illustrated in an Anonymous Collection of 17th
Century
Tracts,‖ Journal of the Malayan Branch of the Royal Asiatic Society, Vol. XXX,
(1957), 1-110; AH. Johns, ―Sufism as a Category in Indonesia Literature and
History,‖ Journal of Southeast Asian History, No. 2, Vol. II, (1961), 10-23; AH.
Johns, Gift Addressed to the Spirit of the Prophet, (Canberra: Faculty of Asian
Studies, ANU, 1965); AH. Johns, ―Islam in Southeast Asia: Reflections and New
Directions,‖ jurnal Indonesia, No. 19, (1975), 33-55; V. Tanja, Himpunan Mahasiswa
Islam, (Jakarta: Sinar Harapan, 1982), 21. 195
Teori tasawwuf mengenai kewalian diadaptasi sehingga banyak raja dulu
mengklaim diri sebagai walī dan al-insān al-kamīl. Dengan demikian konsep-konsep
yang diambil dari tasawuf digunakan sebagai pengganti legitimasi pra-Islam yang
menyatakan raja sebagai Siva-Buddha atau bodhisattva. Lihat A.C. Milner, "Islam and
the Muslim State," dalam M.B. Hooker (ed), Islam in South-East Asia (Leiden: Brill,
1983), 23-49, khususnya 39-43; Lihat Martin van Bruinessen, ―Tarekat dan Politik:
Amalan untuk Dunia atau Akhirat,‖ 3-14; Zaini Muchtarom, Santri dan Abangan Jawa,
(Jakarta: INIS, 1997), 20-21. 196
Lihat trikotomi Geertz dalam Clifford Geertz, The Religion of Java (New
York: The Free Press of Glencoe, 1964).
146
personal terdiri dari santri, priyayi dan abangan. Menurut Bambang
Pranowo197
dan Jamhari,198
pandangan antropologi Geertz yang
mengungkapkan tentang adanya trikotomi-abangan, santri dan priyayi-
di dalam masyarakat Jawa, ternyata telah mempengaruhi banyak orang
dalam melakukan analisis baik tentang hubungan antara agama dan
budaya, ataupun hubungan antara agama dan politik di Indonesia.
Bahkan menurut Bahtiar Effendy,199 teori politik aliran ini, memberikan
arti penting terhadap wacana tentang hubungan antara agama-
khususnya Islam-dan negara. Teori politik aliran dapat digunakan untuk
memberikan penjelasan yang baik mengenai salah satu dasar (basis)
pengelompokkan religio-sosial di Indonesia. Pengelompokkan sosial
tersebut mempengaruhi pola interaksi politik yang lebih luas di
Indonesia.
Lebih jauh, Nurcholish Madjid 200 mengungkapkan bahwa
pendekatan antropologis sangat penting untuk memahami agama Islam,
karena konsep manusia sebagai 'khalīfah' (wakil Tuhan) di bumi,
misalnya, merupakan simbol akan pentingnya posisi manusia dalam
Islam. Selanjutnya Cak Nur menegaskan bahwa muara dari prinsip-
prinsip kekhalifahan manusia adalah untuk reformasi kehidupan di
muka bumi ini. Untuk pengertian ―reformasi‖ itu, al-Qur‘an
menggunakan kata-kata iṣlāh, yang berakar sama dengan kata ṣalīh dan
maṣlaḥah. Semuanya mengacu kepada makna baik, kebaikan dan
perbaikan.201
Paham tentang reformasi bumi (إصالح األرض) menurut
197
Bambang Pranowo, Memahami Islam Jawa (Tangerang: Pustaka Alvabet,
2009); Bambang Pranowo, Islam Faktual: Antara Tradisi dan Relasi Kuasa
(Yogyakarta: Adicita Karya Nusa, 1999). 198
Jamhari Ma‘ruf, ―Pendekatan Antropologi dalam Kajian Islam,‖
http://www.ditpertais.net/artikel/jamhari01.asp, diakses tanggal 23 Juni 2014. 199
Bahtiar Effendy, Islam dan Negara: Transformasi Gagasan dan Praktik
Politik Islam di Indonesia, Edisi Digital (Jakarta: Democracy Project Yayasan Abad
Demokrasi, 2011). 200
Nurcholish Madjid, Islam Doktrin dan Peradaban (Jakarta: Paramadina,
2000), 22. 201
Nurcholish Madjid, Cita-cita Politik Islam Era Reformasi (Jakarta:
Paramadina, 1999), 219-221; Nurcholish Madjid, Islam, Doktrin, dan Peradaban;
Sebuah Tela‟ah Kritis tentang Masalah Keimanan, Kemanusiaan, dan Kemodernan
(Jakarta: Yayasan Wakaf Paramadina, 1992), 252; Nurcholish Madjid, Islam
Universal (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2007), 207-208. Lihat juga Abū ‘Abdillah
Muḥammad ibn ‘Umar ibn al-Ḥasan ibn al-Ḥusayn al-Taymī al-Rāzī, Mafītiḥ al-Ghaib, Vol 2 ( Beirut : Dār Iḥyā’ al-Turāth al-‘Arabī, 1420 H), 388-389; Abū al-Fidā’
Ismā’il ibn ‘Umar ibn Kathīr al-Qurshī al-Baṣary al-Damshiqī, Tafsīr al-Qur’ān al-Aẓīm, Vol 1 ( t.p: Dār Ṭaybah lī al-Nashr wa al-Tauzī’, 1999), 216.
147
Nurcholish Madjid bisa disandarkan pada firman Allah dalam surat al-
A‘raf, ayat 56:
Dan janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi, sesudah
(Allah) memperbaikinya dan berdo‟alah kepada-Nya dengan rasa takut
(tidak akan diterima) dan harapan (akan dikabulkan). Sesungguhnya
rahmat Allah Amat dekat kepada orang-orang yang berbuat baik. (QS.
Al-A‘raf/7: 56).
Menurut Cak Nur Larangan membuat kerusakan di bumi tersebut
setelah terjadi reformasi atau perbaikan oleh manusia, baik secara
personal, kelompok maupun seluruhnya. Hal ini berkaitan dengan tugas
reformasi aktif manusia untuk berusaha menciptakan sesuatu yang
baru, yang baik (ṣalīḥ) dan membawa kebaikan (mashlahah) untuk
manusia. Tugas kedua ini lebih dari tugas yang pertama, memerlukan
pengertian yang tepat tentang hukum-hukum Allah yang menguasai
alam ciptaan-Nya, diteruskan dengan kegiatan bertindak sesuai dengan
hukum-hukum itu melalui ―ilmu cara‖ atau teknologi. Lebih daripada
tugas pertama, pemanfaatan alam harus dilakukan dengan daya cipta
yang tinggi dan dengan memperhatikan prinsip-prinsip
keseimbangan.202
Menurut Nurcholish Madjid usaha keras ini hanya
dapat dicapai apabila tiap individu mempunyai tingkat kepercayaan diri
yang tinggi untuk membiarkan gagasan-gagasan apapun, betapapun
tidak konvensionalnya gagasan itu, untuk dikemukakan dan
dikomunikasikan secara bebas. Lebih penting lagi, Islam memandang
manusia secara alamiah berorientasi kepada kebenaran (ḥanīf), maka
tiap warga negara harus bersikap terbuka. Selanjutnya, mereka juga
harus bersedia menerima dan menyerap gagasan-gagasan apapun tanpa
menghiraukan asal-usulnya, asal saja gagasan itu secara objektif
menyampaikan kebenaran.203
202
Nurcholish Madjid, Cita-cita Politik Islam Era Reformasi, 250-251. 203
Nurcholish Madjid. ―Keharusan Pembaharuan Pemikiran Islam dan Integrasi
Umat Islam,” dalam Nurcholis Madjid et.al., Pembaharuan Pemikiran Islam (Jakarta:
Islamic Research Centre, 1970), 4-9.
148
Aktor masyarakat madani secara gradual yang berbasis dari
individual sampai bangsa tercantum dalam dalam al-Qur‘an QS. Al-
Hujurat:13, yaitu: “Yā ayyuhā al-nās innā khalaqnākum min dzakarin
wa untsā.....lī al-ta‟ārafū...., wahai manusia, sesungguhnya Kami
menciptakan kalian dari seorang laki-laki dan seorang perempuan.......
supaya saling mengenal.‖ Menurut mufassir al-Khazin dan al-Nasafi,
kata dzakar wa untsā diartika seorang laki-laki dan seorang pria.204
Sedangkan oleh al-Qasimi dan al-Andalusi kedua kata tersebut
dimaknai dengan pengertian sperma laki-laki dan ovum perempuan.205
al-Razi merangkumkan bahwa secara individual, dari segi bahan
dasarnya (asal-usul), dzakar dan untsā semua berasal dari orangtua
yang sama, yakni Adam dan Hawa. Dari segi penciptaannya, semua
diciptakan oleh Zat yang sama, yaitu Allah Swt. Jadi, perbedaan
kualitas di antara dzakar dan untsā bukan karena faktor sebelum
kejadiannya, namun karena faktor-faktor lain yang diperoleh atau
dihasilkan setelah kejadian dzakar dan untsā tersebut. Hal yang paling
mulia dari perjuangan dzakar dan untsā adalah ketakwaan dan
kedekatan mereka kepada Allah Swt.206
Ayat tersebut juga
menegaskan, dijadikannya dzakar dan untsā adalah untuk saling
mengenal satu sama lain (li al-ta'ārafū). Di samping itu, menurut
penjelasan al-Jazairi, ta‟āruf juga berguna untuk saling bantu. Dengan
saling bantu antar individu, suatu bangunan masyarakat yang baik atau
masyarakat madani dan bahagia dapat diwujudkan.207
204
Al-Khazin, Lubāb al-Ta'wīl fī Ma'ānī al-Tanzīl, Juz IV (Beirut: Dār al-Kutub
al-Ilmiyyah, 1995), 183; al-Nasafi, Madārik al-Tanzīl wa Haqāiq al-Ta'wīl, Juz II
(Beirut: Dār al-Kutub al-Ilmiyyah, 1995), 587. Menurut beberapa mufassir, dzakar wa
untsā maksudnya adalah Adam dan Hawa dan seluruh manusia yang berpangkal pada
bapak dan ibu yang sama. Lihat Ibn Katsir, Tafsīr al-Qur‟ān al-Ażīm, Juz IV (Beirut:
Dār al-Fikr, 2000), 170; al-Qurṭubi, al-Jāmi' lī Ahkām al-Qur‟ān, Juz IV (Beirut: Dār
al-Kutub al-Ilmiyyah, 1993), 223; Said Hawa, al-Asās fī Tafsīr, Juz IX (Qahira: Dār
al-Salam, 1999), 5417; Abū Alī al-Fadhl, Majma' al-Bayān fī Tafsīr al-Qur‟ān, Juz IV
(Beirut: Dār al-Ma'rifah, tt.), 206; Wahbah al-Zuhayli, al-Tafsīr al-Munīr fī al-Aqīdah
wa al-Sharī'ah wa al-Manhaj, Juz XXV (Beirut: Dār al-Fikr, 1991), 259; al-Alusi,
Rūh al-Ma'ānā, Juz XIII (Beirut: Dār al-Fikr, 1990), 312. 205
Al-Qasimi, Mahāsin al-Ta'wīl , Juz II (Beirut: Dār al-Kutub al-Ilmiyyah,
1997), 538; ‗Abd al-Ḥaq al-Andalusi, al-Muharrar al-Wajīz fī Tafsīr al-Kitāb al-
‘ Azīz, Juz V (Beirut: Dār al-Kutub al-Ilmiyyah, 1993), 153. 206
Fakhruddīn al-Razi, al-Tafsīr al-Kabīr aw Mafātīh al-Ghayb, Juz XIV (Beirut:
Dār al-Kutub al-Ilmiyyah, 1990), 118. 207
Abu Bakr al-Jazairi, Aysar al-Tafāsīr lī Kalām al-„Alī al-Kabīr, juz V (tp.,:
Nahr al-Khair, 1993), 131.
149
Gerindra secara terbuka menyeleksi kader-kadernya, baik dari
kalangan dzakar dan untsā, untuk menjalankan fungsi partai politik
sebagai rekrutmen politik. Partai politik merupakan kendaraan resmi
yang sah secara hukum untuk menyeleksi dan mendudukkan kader-
kader dalam perjuangan menyampaikan kebenaran bagi negerinya
lewat lembaga legislatif maupun eksekutif.208
Pada tahun 2008, saat
Partai Gerakan Indonesia Raya (Gerindra) berdiri, gerakan politik
praktis ini masih dipandang sebelah mata dan sulitnya mencari orang
yang bersedia menjadi pengurus, terlebih lagi menjaring anggota.
Namun hingga tahun 2014 ini kepercayaan rakyat kepada Gerindra
mulai terbangun. Kader-kader khalifah yang telah dijaring untuk
memperjuangkan visi-misi Gerindra-pun telah terbentuk. Saat partai ini
membuka pendaftaran calon anggota legislatif tahun 2014, peluang
menjadi anggota legislatif tak hanya diberikan kepada pengurus partai,
tapi juga untuk umum. Peminatnya, baik dari kalangan internal maupun
dari kalangan luar cukup banyak. Sejak dibuka pertengahan Januari
hingga akhir Februari 2013, tercatat sedikitnya 2780 orang mendaftar
sebagai bakal calon anggota legislatif tingkat pusat untuk menjadi
anggota Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR-RI).
Mereka berasal dari berbagai latar belakang strata sosial, profesi, dan
aktivitasnya.209
Menurut Ketua Umum DPP Partai Gerindra Suhardi, besarnya
animo masyarakat pada Gerindra, menandakan adanya kepercayaan dan
dukungan terhadap perjuangan Gerindra untuk melakukan perubahan di
negeri ini. Para bakal calon yang datang ke Gerindra pun beraneka
beragam, selain kader sendiri ada juga yang datang dari politisi parpol
lain, baik yang senior maupun yang junior. Ada pula pengusaha,
penggiat ormas, LSM hingga ibu rumah tangga. Gerindra melaksaakan
hal tersebut untuk mendapatkan anggota-anggota DPR yang benar-
benar bisa mewakili aspirasi rakyat. Diharapkan, kader-kader yang
terpilih sebagai calon anggota-anggota DPR tersebut tidak suka
208
Ivan Doherty ―Democracy Out of Balance: Civil Society Can‘t Replace
Political Parties,‖ dalam Policy Review, April dan Mei (2001), 25; lihat pula Jimly
Asshiddiqie, ―Dinamika Partai Politik dan Demokrasi,‖
http://jimly.com/pemikiran/makalah?page=7> pada 15 Desember 2013, diakses
tanggal 23 Januari 2014. 209
Gerindra, ―Partai Geridra Selalu Bersama Rakyat,‖ dalam Gema Idonesia
Raya, edisi I/Tahun 1/April (2011), 7.
150
membuang uang rakyat dengan menyetujui proyek-proyek yang tidak
jelas, apalagi jalan-jalan dengan kedok studi banding ke luar negeri.210
Untuk mengawal hal tersebut, Gerindra mengingatkan bahwa para
kader yang mencalonkan diri ternyata pernah atau ingin korupsi,
terjerat kasus narkoba, dan tidak setia kepada cita-cita para pendiri
bangsa, dapat dipastikan tidak akan bisa masuk daftar 560 calon
anggota DPR RI mewakili Gerindra. Target Gerindra adalah
mendapatkan dan mengusung 560 putera puteri kader terbaiknya untuk
maju dan memenangkan amanah suara rakyat pada Pemilihan Legislatif
tahun 2014 ini. Juga diharapkan para kader putera puteri terbaik
Gerindra tersebut dapat duduk sebagai wakil rakyat yang setia
membela, bukan merampok hak-hak rakyat yang memilihnya.211
Sebagai sarana seleksi, serangkaian tes tulis dan wawancara dilakukan
untuk mendalami pemahaman dan komitmen para bakal calon anggota
DPR Gerindra terhadap ideologi negara Pancasila dan UUD 45. Juga
motivasi dan niat menjadi anggota DPR, pemahaman terhadap
Gerindra, apa dan bagaimana strategi pemenangannya di dapil terpilih.
Suhardi menuturkan, proses seleksi terhadap 2780 bakal calon
menjadi 560 pada tahun 2014 bukanlah hal mudah bagi Gerindra.
Namun yang jelas, Partai Gerindra sangat mempertimbang idealisme,
rekam jejak dan kualitas orang per orang. Pasalnya, faktor itu dianggap
sangat penting bagi Gerindra dalam menyaring para bakal calon yang
akan bersaing memperebutkan kursi di Senayan. Bagi Suhardi selaku
nahkoda Gerindra: ―Siapapun dia, apapun latar belakang sosial dan
profesinya kelak ketika terpilih harus bisa berbuat banyak dan menjadi
contoh di DPR dan DPRD. Karena, rakyat sekarang semakin
merindukan wakil-wakilnya yang berkualitas dan idealismenya
terjamin.‖ Gerindra sangat terbuka untuk menerima kader dari putra
putri terbaik di negeri ini. Momentum perubahan yang ada di tahun
politik harus dimanfaatkan semaksimal mungkin untuk mengajak orang
yang berniat baik menjadi calon anggota legislatif agar bisa membuat
perubahan. Karena lewat politik bisa memperbaiki keadaan, jika diisi
oleh orang baik. Kalau orang baik tidak mau ikut terjun ke politik,
maka yang ada dunia politik akan dikuasai orang-orang berniat jahat.212
210
Wawancara dengan Suhardi di Kantor Pusat DPP Gerindra, Ragunan tanggal
13-06-2013. 211
Wawancara dengan Suhardi di Kantor Pusat DPP Gerindra, Ragunan tanggal
13-06-2013; Gerindra, ―Partai Geridra Selalu Bersama Rakyat,‖ 7. 212
Wawancara dengan Suhardi di Kantor Pusat DPP Gerindra, Ragunan tanggal
13-06-2013.
151
Prabowo selaku Ketua Dewan Pembia Gerindra lebih tegas
menandaskan bahwa jiwa para kader Gerindra yang akan duduk
memperjuangkan suara rakyat harus tertanam karakter jangan mau
disogok dan terus berjuang untuk rakyat. Lebih baik hancur bersama
rakyat, dari pada makmur tapi meninggalkan rakyat.213
Gerindra mengingatkan seluruh kader dan partisan Gerindra akan
tujuan partai. Gerindra berdiri dengan tujuan membela kepentingan
rakyat dan menjaga tetap utuhnya Negara Kesatuan republik Indonesia,
serta menegakkan keadilan dan kebenaran. Kepada seluruh kader
Gerindra yang akan, sedang, dan telah duduk di legislatif, mulai dari
pusat hingga daerah, diwajibkan agar memperjuangkan cita-cita partai.
Gerindra bukan tempat bagi politisi hina. Mereka yang mau menerima
amplop atau mengutamakan kepentingan pribadi di atas kepentingan
rakyat, menurut Prabowo, tidak layak berada dalam perahu Gerindra.
Prabowo memperingatkan, seluruh politisi Gerindra tidak
diperkenankan mencari kekayaan pribadi. Keinginan memperkaya diri
sendiri bertentangan dengan nafas dan gerakan Gerindra. Prabowo
ingin partai baru yang bernama Gerindra menjadi menjadi partai
pengkaderan pemimpin bangsa yang baik dan bersih, membela
kepentngan rakyat, serta mengubah dan memperbaiki nasib rakyat.
Kader yang tidak lupa pada siapa yang mengantarkannya untuk duduk
di Lembaga Dewan Perakilan Rakyat (DPR/D) dengan memberi
mandat kepada yang dipercaya melalui Gerindra. Oleh karenanya, para
kader harus bekerja keras atas nama Gerindra, untuk terus berjuang
menyuarakan suara rakyat dan jangan mau disogok.214
Hal tersebut merupakan salah satu bentuk kepedulian partai terhadap
kesulitan hidup rakyat. Karena saat ini, masih banyak rakyat Indonesia
yang hidup di bawah garis kemiskinan. Harga kebutuhan pokok terus
mengalami kenaikan, dan pengangguran mudah ditemukan di mana-
mana. Selama perjalanan perjuangan politik praktis, Gerindra banyak
menghadapi tantangan dan kenangan, pengalaman serta pelajaran.
Karena itu, seluruh kader dan simpatisan Gerindra harus bisa memetik
pelajaran dari perjalanan tersebut. Sekaligus melakukan introspeksi,
untuk memperbaiki langkah dan strategi perjuangan partai. Itu
diperlukan agar kader-kader Gerindra lebih kuat dalam
memperjuangkan kepentingan rakyat.215
213
Gerindra, ―Partai Geridra Selalu Bersama Rakyat,‖ 7. 214
Gerindra, ―Partai Geridra Selalu Bersama Rakyat,‖ 7. 215
Gerindra, ―Partai Geridra Selalu Bersama Rakyat,‖ 7; Wawancara dengan
Suhardi di Kantor Pusat DPP Gerindra, Ragunan tanggal 13-06-2013.
152
Senada dengan itu, Wakil Ketua Umum Partai Gerindra, Fadli Zon
mengatakan Partai Gerindra sangat terbuka bagi siapa saja yang berniat
baik untuk berjuang mewujudkan perubahan di Indonesia. Namun
demikian, ada beberapa kriteria yang harus dipunyai para bakal calon
anggota dewan sebagaimana diatur dalam UU Nomor 8 Tahun 2012
tentang Pemilu. Fadli menjelaskan bahwa ―Nantinya bakal calon yang
lolos selain harus memahami AD/ART Partai Gerindra, patuh kepada
semua aturan dan ketetapan Gerindra serta akan menjalani pendidikan
dan latihan yang disiapkan Gerindra.‖ Masih menurut Fadli, untuk bisa
mendapatkan tiket ke Senayan situasi dan kondisinya berbeda dengan
Pemilu 2009 lalu. Karena, jumlah partai politik peserta Pemilu 2014
berkurang. Bila pada Pemilu 2009 jumlah peserta pemilu sebanyak 38
parpol, kali ini hanya 12 saja. Otomatis ribuan politisi dari pusat hingga
daerah berebut agar bisa masuk ke 12 parpol tersebut. Tak hanya
berasal dari kader-kader parpol yang tidak lolos menjadi peserta pemilu
masuk ke parpol lain, tapi para pendatang baru di panggung politik pun
akan menjajal kemampuannya.216
Suhardi menambahkan bahwa partai yang didirikannya ini
mewadahi pemuda dan pemudi bangsa untuk memberikan perubahan
melalui jalur politik. Karena politik adalah upaya memperbaiki
kehidupan suatu masyarakat. Jadi, kalau ingin memperbaiki kehidupan
rakyat, kehidupan sekitar, keluarga, mau tidak mau setiap pribadi harus
berpolitik. Berpolitik itu berarti harus berpihak, harus memilih, harus
berjuang. Kehadiran Gerindra di kancah perpolitikan Indonesia harus
menjadi kekuatan politik yang memimpin para kadernya melakukan
transformasi bangsa ke arah yang lebih sejahtera. Gerindra hadir untuk
berjuang menjadi pelopor pembaharuan bangsa. Gerindra didirikan
untuk berjuang mengamankan dan menyelamatkan sumber-sumber
ekonomi dan kekayaan bangsa Indonesia, sehingga kekayaan ini bisa
dimanfaatkan oleh seluruh rakyat Indonesia, tidak hanya oleh segelintir
orang saja.217
Jangan harap Indonesia bisa sejahtera, jika bukan
warganya sendiri yang menyelamatkan kekayaan dan mewujudkan
Indonesia yang kita cita-citakan. Kalau bukan sekarang, kapan lagi?
Kalau bukan kita, siapa lagi?
216
Wawancara dengan Fadli Zon, di Kantor Bakom-Gerindra, Jl. Limboto
Bendungan Hilir, tanggal 5-9-2013. 217
Wawancara dengan Suhardi di Kantor Pusat DPP Gerindra, Ragunan tanggal
13-06-2013.
153
B. Proses Berdirinya Gerindra
Pusat dari partai politik Gerindra berada pada diri individu
Prabowo Subianto. Dalam berbagai kapasitasnya, sosok inilah yang
menjadi lokus utama yang menarik orang-orang untuk bergabung
dengan berbagai aktivitasnya, termasuk mendirikan partai politik
Gerindra. Sebelum menjadi Ketua Dewan Penasihat partai politik
Gerindra, Prabowo telah tercatat sebagai kader dan salah satu anggota
Dewan Penasihat Partai Golongan Karya (Golkar). Prabowo juga
pernah ikut konvensi Golkar untuk mendapatkan figur yang diajukan
dalam Pilpres 2004 meski akhirnya kalah dengan Wiranto.218
Prabowo
mengundurkan diri dari Golkar setelah menghadap Ketua Umum
Golkar waktu itu, Jusuf Kalla, pada tanggal 12 Juli 2008. Alasannya, ia
merasa kurang maksimal berkiprah, menyumbangkan pikiran, dan
tenaga jika tetap berada di Golkar. Prabowo juga merasakan, sebagai
anggota Dewan Pertimbangan Partai Golkar tidak bisa membawa pesan
dan memperjuangkan pesan kaum tani sementara Prabowo saat itu juga
menjabat sebagai Ketua Himpunan Kerukunan Tani Indonesia
(HKTI)219
yang tentu mengemban tugas memperjuangkan kaum tani.
Dalam Musyawarah Nasional (Munas) VI HKTI dan Kongres V
Petani 5 Desember 2004 di Jakarta, Prabowo terpilih menjadi Ketua
Umum HKTI periode 2004-2009 menggantikan Siswono Yudo Husodo
dengan memperoleh 309 suara, mengalahkan Sekjen HKTI Agusdin
218
Pada waktu Konvensi dibuka pada 2003 beberapa nama yang disebut antara
lain, cendekiawan muslim Nurcholish Madjid, Menteri Koordinator Kesejahteraan
Rakyat Jusuf Kalla, Menteri Koordinator Bidang Politik dan Keamanan Susilo
Bambang Yudhoyono, mantan Panglima ABRI Jenderal TNI Purnawirawan Wiranto,
mantan Panglima Komando Cadangan Strategis Angkatan Darat Letnan Jenderal TNI
Purn. Prabowo Subianto, pengusaha plus tokoh pers nasional Surya Paloh, serta
Gubernur DI Yogyakarta Sultan Hamengkubuwono X dan Menteri Perhubungan
Agum Gumelar. Denny J. A., Jejak-jejak Pemilu 2004: Talkshow Denny J.A. dalam
Dialog Aktual Radio Delta FM, (Yogyakarta: LkiS, 2006), 85, 156. 219
HKTI didirikan pada 27 April 1973 di Jakarta. Organisasi ini sebenarnya
merupakan subordinat rezim Orde Baru dalam mengonsolidasikan kekuatan sosial
petani untuk kepentingan politik Golkar dalam menghadapi pemilu. Di masa era Orde
Baru, HKTI merupakan organisasi yang sangat prestise karena mengklaim memiliki
jutaan anggota petani yang notabene profesi terbesar di Indonesia. Namun melihat
sejarah pendiriannya yang diinisiasi oleh penguasa, sesungguhnya HKTI tidak
didirikan oleh kesadaran petani melainkan didasari kepentingan penguasa. Dalam
konteks seperti itu, tidaklah heran jika saat ini HKTI menjadi incaran politisi dan
pengusaha. Lihat Tania Murray Li, Proses Transformasi Daerah Pedalaman Di
Indonesia (terj.) Sumitro dan SN. Kartikasari (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia,
2002), 326.
154
Pulungan, yang hanya meraih 15 suara dan satu abstein dari total
325.220
Kiprah Prabowo di HKTI beserta jajaran pengurusnya inilah
yang mendasari pembentukan Gerindra. Bersama Suhardi dan Fadli
Zon untuk kemudian mendeklarasikan Partai Gerindra. HKTI oleh para
pendukung Prabowo dijadikan sebagai tempat untuk merumuskan dan
memuluskan langkah ketua umumnya saat itu.
Suhardi selain sebagai akademisi yang mengajar di Universitas
Gadjah Mada, ia pernah menjabat sebagai Ketua DPD HKTI
Jogjakarta. Bersamaan dengan itu, ia juga menjabat sebagai staf ahli
Dewan Ketahanan Pangan Nasional Kementrian Pertanian pada 2002-
2008. Bersama beberapa rekan di HKTI mendirikan Partai
Kemakmuran Tani dan Nelayan (2003),221
dan menjabat sebagai Wakil
Ketua Umum. Saat Prabowo menjabat sebagai Ketua HKTI periode
2004-2009, tahun 2004 Partai Kemakmuran Tani dan Nelayan pernah
di ajukan oleh Suhardi untuk dipimpin oleh Prabowo. Namun pinangan
itu ditolak oleh Prabowo karena ia masih duduk sebagai salah satu
anggota Dewan Penasihat Partai Golkar.222
Suhardi juga bersama
rekan-rekan di HKTI, dua tahun sebelum Gerindra dideklarasikan
(2006) pernah berinisiatif mendirikan partai politik dengan nama Partai
Indonesia Raya. Partai ini dalam rencananya dipersiapkan bagi
kendaraan politik Prabowo menuju RI-1.223
Partai ini-pun siap menjadi
thing-thank Partai Golkar, andai ketika itu Prabowo terpilih sebagai
calon presiden tahun 2009 dari Partai Golkar. Namun ketokohan Jusuf
Kalla menghambat niatan tersebut. Golkar resmi mengusung politisi
asal Makassar tersebut sebagai calon presidennya.
Situs, buku, pernyataan-pernyataan dan keterangan resmi partai
Gerindra yang menyebut Prabowo sebagai salah satu pendiri Gerindra.
Selain itu perencanaan nama partai juga melibatkan Prabowo saat
dilaksanakan Sea Games 2007, di Bangkok bulan Desember 2007.
Bahkan, disebutkan pula bahwa penggunaan kepala burung garuda
220
Tempointeraktif (3 Desember 2004), ―Prabowo Ikut Bursa Calon Ketua
HKTI,‖ Tempointeraktif, diakses tanggal 10 Mei 201. 221
Ketua Umum PKTN adalah Muhammad Djaya; Sekretaris Jendral, Saidi Butar
Butar. Partai ini ikut pada pendaftaran parpol peserta pemilu tahun 1999, namun tidak
lolos verifikasi KPU. Pengesahan parpol ini melalui SK. Menkeh. NO. M.UM.06.08 ?
124 Tgl. 20 Pebruari 1999, No. Berita Negara: 22 Tanggal: 16 Maret 1999, dan
beralamat di Jl. Raya Kodam Jaya No. 5 Sumur Batu - Jakarta 10640. 222
Wawancara dengan Suhardi di Kantor Pusat DPP Gerindra, Ragunan tanggal
13-06-2013. 223
Wawancara dengan Suhardi di Kantor Pusat DPP Gerindra, Ragunan tanggal
13-06-2013.
155
sebagai lambang Gerindra adalah gagasan Prabowo yang semula akan
menggunakan lambang garuda penuh. Dengan demikian, Prabowo jelas
terlibat dalam pembentukan Gerindra sejak awal.224
Saat resmi mengundurkan diri dari Golkar, Prabowo menampik
tudingan bahwa ia keluar dari Golkar karena ingin mencalonkan diri
sebagai Presiden. Di saat yang sama Prabowo juga menyatakan belum
secara resmi menjadi bagian dari Gerindra. Ia mengaku masih
berunding dengan tokoh-tokoh Gerindra.225
Secara organisatoris, hal itu
memang benar adanya, saat itu Prabowo tidak tercatat dalam struktur
kepengurusan Gerindra karena ia masih menjabat kader Golkar. Namun
secara ikatan emosional, menurut Suhardi, Gerindra tak mungkin
dideklarasikan tanpa sosok dan ketokohan Prabowo. Prabowo-pun
sering menghadiri rapat-rapat organisasi Gerindra. Dalam aktivitas
Gerindra, Prabowo saat itu merupakan sosok utama yang bermain di
belakang layar.226
Bahkan, segala kegiatan dan aktivitas Gerindra
ketika itu harus berunding dulu dengan Prabowo.
Karena saat itu belum resmi Prabowo mengunduran diri dari Golkar
maka dirinya belum secara resmi pula menjadi bagian dari Gerindra.
Oleh karenanya wajar ketika itu, Suhardi, Ketua Umum Gerindra, saat
menyerahkan berkas kelengkapan Gerindra untuk diverifikasi
Departemen Hukum dan HAM (Depkumham) sebagai peserta pemilu
tahun 2009, Rabu tanggal 27-2-2008, menyatakan bahwa Gerindra
tidak ada kaitan dengan siapapun. Tidak juga dengan Prabowo, yang
saat itu bukan deklarator, bukan pengurus, dan juga bukan anggota
partai Gerindra. Prabowo-pun, bukan juga sebagai penyandang dana
kegiatan Gerindra.227
Hal tersebut tidak bertentangan dengan fakta yang
ada, karena sebelum mantan Komandan Kopassus itu resmi menjadi
bagian dari Gerindra, selain dari iuran anggota, dana terbesar berasal
dari Hasyim Djoyohadikusumo, adik kandung Prabowo.
224
Wawancara dengan Suhardi di Kantor Pusat DPP Gerindra, Ragunan tanggal
13-06-2013. 225
lihathttp://entertainment.kompas.com/read/2008/07/14/1156520/Prabowo.Saya
.Keluar.dari.Golkar, diakses tanggal 10 Mei 2014. 226
Wawancara dengan Suhardi di Kantor Pusat DPP Gerindra, Ragunan tanggal
13-06-2013. 227
http://entertainment.kompas.com/read/2008/02/27/22032610/Gerindra.Kendara
an.Politik.Prabowo;http://www.jawaban.com/index.php/news/detail/id/91/news/08071
4140844/limit/0/Prabowo-Keluar-Dari-Golkar-Dipinang-Gerindra, diakses tanggal 10
April 2014. Wawancara dengan Suhardi di Kantor Pusat DPP Gerindra, Ragunan
tanggal 13-06-2013.
156
Secara resmi Prabowo baru bergabung ke Partai Gerindra pada 12
Juli 2008. Partai ini didirikan pada 6 Februari 2008 serta tercatat di
Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia (HAM) pada 3 April
2008. Sebagai partai politik yang baru melakukan ‖debut‖-nya, Partai
Gerakan Indonesia Raya atau Gerindra menjadi salah satu yang
diperhitungkan kemunculannya. Parpol ini mengantongi modal
dukungan yang kuat dari dua organisasi kemasyarakatan berbasis massa
besar, seperti Himpunan Kerukunan Tani Indonesia atau HKTI dan
Kontak Tani Nelayan Andalan atau KTNA.
Setalah Prabowo merasa kiprah politiknya di Golkar tidak bisa
menduduki posisi sebagai Ketua Umum, wacana pendirian partai pun
kemudian diwacanakan di lingkaran orang-orang Hashim dan Prabowo
yang selama ini berorganisasi di HKTI. Tidak semua setuju pendukung
prabowo sepakat dengan pendirian partai baru. Pendukung Prabowo
yang menolak pendirian partai beralasan bila ingin ikut terlibat dalam
proses politik sebaiknya ikut saja pada kendaraan partai politik yang
sudah ada. Saat itu Prabowo adalah anggota Dewan Penasihat Partai
Golkar, sehingga bisa mencalonkan diri maju menjadi ketua umum.
Sedangkan kubu pendukung pendirian partai politik baru, berpendapat
tak mungkin bagi Jusuf Kalla memberikan jabatan Ketua Umum
Golkar kepada Prabowo.228
Setelah perdebatan cukup panjang dan alot, akhirnya disepakati
perlu ada partai baru yang bisa menjadi kendaraan bagi Prabowo untuk
menjadi presiden dan mimpin bangsa Ini. Dengan catatan, Partai itu
harus memiliki manifesto perjuangan demi kesejahteraan rakyat. Untuk
mematangkan konsep partai, pada Desember 2007, di sebuah rumah,
yang menjadi markas IPS (Institute for Policy Studies) di Bendungan
Hilir, berkumpulah sejumlah nama. Selain Fadli Zon, hadir pula Ahmad
Muzani, M. Asrian Mirza, Amran Nasution, Halida Hatta, Tanya Alwi
dan Haris Bobihoe. Mereka membicarakan anggaran dasar dan
anggaran rumah tangga (AD/ART) partai yang akan dibentuk.
Pembentukan partai-pun terus dilakukan secara maraton. Hingga
akhirnya, nama Gerindra muncul, diciptakan oleh Hashim
228
http://partaigerindra.or.id/sejarah-partai-gerindra, diakses tanggal 2 Mei 2014;
Wawancara dengan Suhardi di Kantor Pusat DPP Gerindra, Ragunan tanggal 13-06-
2013.
157
Djojohadikusumo, Sedangkan lambang kepala burung garuda digagas
oleh Prabowo Subianto.229
Pembentukan Partai Gerindra terbilang mendesak. Sebab
dideklarasikan berdekatan dengan waktu pendaftaran dan masa
kampanye pemilihan umum, yakni pada 6 Februari 2008. Dalam
deklarasi itu, termaktub visi, misi dan manifesto perjuangan partai,
yakni terwujudnya tatanan masyarakat indonesia yang merdeka,
berdaulat, bersatu, demokratis, adil dan makmur serta beradab dan
berketuhanan yang berlandaskan Pancasila sebagaimana termaktub
dalam pembukaan UUD NKRI tahun 1945. Partai Gerindra terpanggil
untuk memberikan pengabdiannya bagi bangsa dan negara dan bertekad
memperjuangkan kemakmuran dan keadilan di segala bidang.
C. Gerindra Memasuki Wilayah Politik Praktis
Partai Gerindra bersama tigahpuluh delapan parpol lain ikut pada
pertarungan Pemilu 2009. Ia lolos dari Parliamentary Threshold (PT)
atau ambang batas perolehan suara sebanyak 2,5 persen dari jumlah
suara sah secara nasional pada Pemilu 2009. Pada pemilu itu, Gerinda
berada pada posisi ketujuh dengan perolehan suara 4.646.406 suara
(4,46 persen) dan mendapatkan 26 kursi di Dewan Perwakilan Rakyat
Republik Indonesia. Gerindra mengusung Prabowo Subianto selaku
Ketua Dewan Pembina sebagai calon presiden. Namun karena UU
Pilpres-Wapres menetapkan aturan bahwa pasangan calon presiden dan
wakil presiden diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik
yang memenuhi 20% kursi di DPR atau 25% suara sah nasional pada
pemilu DPR, maka pada pemilu itu Gerindra berkoalisi dengan PDI-
P.230
Gerindra harus rela menempatkan Prabowo sebagai wakil presiden
mendampingi Megawati pada pemilihan presiden saat itu. Meski
akhirnya kalah oleh pasangan Susilo Bambang Yudhoyono dan Jusuf
Kalla yang diusung oleh Partai Demokrat.
Pada Pemilu tahun 2014, Berdasarkan perolehan suara parpol
tingkat nasional yang telah ditetapkan KPU pada Jumat, 9 Mei 2014,
Partai Gerindra menjadi peserta pemilu tahun 2014, dengan perolehan
229
http://partaigerindra.or.id/sejarah-partai-gerindra, diakses tanggal 2 Mei 2014;
Wawancara dengan Suhardi di Kantor Pusat DPP Gerindra, Ragunan tanggal 13-06-
2013. 230
Saiful Mujani and R. William Liddle, ―Personalities, parties, and voters,‖
dalam Journal of Democracy, Volume 21, Number 2 April (2010), 36-38. Lihat juga
Lampiran Keputusan KPU Nomor 05/Kpts/KPU/ Tahun 2013 dan Lampiran Berita
Acara Rekapitulasi Hasil Verifikasi Faktual Partai Politik KPU Nomor: 5/BA/I/2013.
158
suara terbanyak ketiga, setelah PDI-P dan Golkar. Gerindra meraup
suara 14.760.371 suara atau 11.81 persen suara nasional. Gerindra
unggul di empat daerah pemilihan, yakni di Dapil Aceh II, Sumut II,
Sumbar II, dan Banten II. Dari data KPU, Partai Gerindra mendapatkan
73 kursi DPR. Sampai saat penelitian ini ditulis, karena tidak
memenuhi ambang batas pencalon presiden, Gerindra telah resmi
bermitra dengan PKS dan PPP, sepakat mencalonkan Prabowo
Subianto sebagai calon presiden dalam Pemilihan Umum Presiden dan
Wakil Presiden 2014 ini.
Partai Gerindra tampil ke pentas politik praktis dengan menawarkan
jalan keluar atas persoalan yang terus dihadapi bangsa ini, seperti
korupsi, kolusi, nepotisme, kemiskinan, kekurangan pangan, krisis
energi, korupsi, dan banyak lagi. Dalam hal ini, Gerindra ingin tampil
sebagai pejuang ekonomi kerakyatan yang berbasis pada Pasal 33 UUD
1945 sebelum amandemen. Tujuannya adalah membangun kemandirian
bangsa, baik terkait masalah ketahanan pangan atau energi. Visi partai
Gerindra untuk menjadi partai politik yang mampu memberikan
kesejahteraan pada rakyat, keadilan sosial, dan tatanan politik negara
yang berlandaskan nilai-nilai nasionalisme dan religiusitas dalam
wadah NKRI.231
Dalam praktek politik di pemerintahan melaui lembaga legislatif,
hingga saat ini seluruh kader Gerindra yang berada di DPR dan DPRD
konsisten untuk menolak studi banding ke luar negeri karena hal
tersebut dianggap sebagai pemborosan uang negara. Gerindra juga
sudah diakui oleh Transparency International Indonesia (TII) dan
Indonesian Corruption Watch (ICW) sebagai partai politik transparan.
Bahkan Hingga saat ini, Gerindra adalah satu-satunya partai politik
yang mempunyai program kerja yang jelas dan terukur yang dituangkan
dalam 6 Program Aksi Transformasi Bangsa Partai Gerindra. Dari
banyaknya penghargaan yang diterima partai Gerindra diantaranya
adalah penghargaan dari Transparency International Indonesia dan
Indonesia Corruption Watch sebagai partai politik dengan transparansi
keuangan terbaik.232
231
http://partaigerindra.or.id/2014/01/10/gerindra-kami-didukung-rakyat-karena-
sudah-terbukti.html#sthash.TbMYdhVd.dpuf, diakses tanggal 20 April 2014. 232
Lihat Koalisi Pemantau Dana Kampanye, Kajian Tentang Pelaporan Awal
Dana Kampanye Partai Politik Pemilu 2014: KPU Perlu Pertegas Atas Buruk
Laporan Dana Kampanye Partai Politik (Jakarta: Koalisi Pemantau Dana Kampanye:
Transparency International Indonesia (TII) dan Indonesian Corruption Watch (ICW),
2014). Lihat juga http://partaigerindra.or.id/2014/01/10/gerindra-kami-didukung-
159
Partai Gerindra ketika eksis di pentas perpolitikan nasional pada
tahun 2008 menyodorkan resep dalam memperjuangkan kemakmuran
dan keadilan di segala bidang. Resep itu dikenal 8 (delapan) Program
aksi, meliputi: menjadwalkan kembali pembayaran utang,
menyelamatkan kekayaan negara untuk menghilangkan kemiskinan,
melaksanakan ekonomi kerakyatan, delapan program desa, memperkuat
sektor usaha kecil, kemandirian energi, pendidikan dan kesehatan, serta
menjaga kelestarian alam dan lingkungan hidup.233
Selain itu, Gerindra adalah partai politik yang telah mengumumkan
program kerja yang jelas dan terukur jika memenangkan Pemilu 2014,
yaitu 6 Program Aksi Transformasi Bangsa Partai Gerindra. Gerindra
akan membangun 3000 km jalan raya dan rel kereta api baru,
membangun industri mobil, motor, dan pesawat terbang nasional,
melakukan pembinaan khusus kepada tim nasional sepakbola
Indonesia, mendirikan Lembaga Tabung Haji, serta memperbaiki
infrastruktur desa dengan dana pembangunan langsung minimal Rp. 1
milyar per desa per tahun.234
Gerindra berupaya untuk menjaring suara dan aspirasi rakyat serta
memperjuangkannya kepentingan rakyat. Gerindra bermanifesto bahwa
dalam menghadapi perkembangan zaman dan globalisasi, identitas dan
jatidiri bangsa tetap menjadi fondasi utama untuk memperjuangkan
kepentingan nasional dan tatanan baru. Terjadinya penyelewengan
terhadap cita-cita Proklamasi 17 Agustus 1945 dan UUD 1945 di
berbagai bidang perlu dikoreksi. Haluan baru dan tatanan baru bagi
kehidupan bangsa dan Negara Republik Indonesia harus dilandaskan
pada kemurnian pelaksanaan Pancasila dan UUD 1945. Hakikat tatanan
baru adalah sikap mental yang menuntut pembaharuan dan
pembangunan yang terus-menerus dalam rangka melaksanakan
Pancasila dan UUD 1945.
D. Manifesto Perjuangan Gerindra
Pengertian manifesto menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia
merupakan suatu pernyataan terbuka tentang tujuan dan pandangan
seseorang atau suatu kelompok. lebih rinci, Kamus Oxford Dictionary
menjelaskan bahwa kata manifesto berasal dari kata Italia, manifestare,
rakyat-karena-sudah-terbukti.html#sthash.TbMYdhVd.dpuf, diakses tanggal 20 April
2014. 233
Tabloid Gema Indonesia Raya, Edisi 1, Tahun 1, April (2011), 1. 234
http://partaigerindra.or.id/2014/01/10/gerindra-kami-didukung-rakyat-karena-
sudah-terbukti.html#sthash.TbMYdhVd.dpuf, diakses tanggal 20 April 2014.
160
turunan dari bahasa Latin, manifestus 'obvious,' yang bermakna 'make
public,' pernyataan terbuka ke publik. Secara istilah ia bermakna, ―a
public declaration of policy and aims, especially one issued before an
election by a political party or candidate,” suatu deklarasi publik
tentang kebijakan dan tujuan, terutama suatu isu yang dinyatakan
sebelum pemilihan oleh satu partai politik atau kandidat. Engel
memperjelas makna itu dengan menyatakan ―...The Manifesto
addressed itself to a mass movement with historical significance, not a
political sect....,‖ manifesto secara inhern berarti suatu gerakan massa
dengan bertujuan menyejarah, bukan diperuntukkan bagi suatu mazhab
politik. Lebih lanjut, Engel menjelaskan bahwa manifesto berbeda
dengan suatu, catechism, buku panduan tanya jawab agama.235
H.A.R. Tilaar menjelaskan secara jernih terminologi manifesto,
karena selama ini menifesto di indentikkan dengan stigma pejoratif,
sebagai pendukung komunisme. Manifesto biasanya selalu
dihubungkan dengan paham komunisme dalam pengertian manifesto
komunis yang dideklarasikan pada tahun 1848 oleh Karl Marx dan
Friederich Engels.236
Padahal, kata manifesto mempunyai arti yang
netral dan kali pertamanya digunakan bukan dalam bidang politik, akan
tetapi dalam bidang seni dan lain-lainnya. Dalam catatan sejarah
Indonesia, kata manifesto malah dipergunakan oleh para pendiri
bangsa, baik yang beraliran nasionalis maupun religius. Semisal,
Perhimpunan Indonesia (PI) organisasi Mahasiswa Indonesia di
Belanda dan bermoto ―self reliance, not mendiancy,‖ mandiri dan tidak
menuntut, dengan pimpinan Iwa Kusuma Sumatri, JB. Sitanala, Moh.
Hatta, Sastramulyono, dan D. Mangunkusumo memproklamirkan
manifesto perjuangannya 1925.237
Manifesto tersebut tidak saja bagi
235
Lihat http://www.kbbi.web.id/manifesto;
http://oxforddictionaries.com/definition/english/manifesto?q=manifesto: Karl Marx
and Frederick Engels, Manifesto of the Communist Party February 1848 (terj.)
Samuel Moore (Moscow: Marxists Internet Archive (marxists.org, 2010), 3, diakses
tanggal 17 Januari 2012. 236
Lihat penjelasan manifesto secara detail dalam H.A.R. Tilaar, Manifesto
Pendidikan Nasional: Tinjauan dari Perspektif Postmodernisme dan Studi Kultural
(Jakarta: Kompas Media Nusantara, 2005), 2-4. 237
Isi Manifesto tersebut adalah: pertama, Perhimpunan Indonesia akan berjuang
untuk memperoleh suatu pemerintahan untuk Indonesia yang hanya bertanggung
jawab kepada rakyat Indonesia. Kedua, kemerdekaan penuh bagi Indonesia akan
dicapai dengan aksi bersama dan serentak oleh rakyat Indonesia. Ketiga, untuk itu
sangat diperlukan persatuan nasional yang murni di antara seluruh rakyat Indonesia
dalam menentang penjajahan Belanda yang telah merusak kehidupan bangsa
161
persatuan bangsa Indonesia, namun juga suatu manifesto bagi
kesetaraan dan kemerdekaan bangsa ini.238
Perkumpulan di Indonesia-
pun pada tahun 1928, juga memproklamirkan manifesto politiknya
dalam pernyataan Sumpah Pemuda. Persis (persatuan Islam) dan
Masyumi juga pernah menyatakan manifesto politiknya menolak
paham komunisme dan paradigma politik Nasakom (Nasionalis-
Agama-Komunis).239
Soekarno, dalam kapasitasnya sebagai Presiden
Republik Indonesia dalam masa Demokrasi Terpimpin (1960),
menetapkan Manipol USDEK, suatu manifesto politik bersendikan lima
unsur, yaitu UUD 1945, Sosialisme Indonesia, Demokrasi Terpimpin,
Ekonomi Terpimpin, dan Kepribadian Indonesia.240
Sekumpulan
seniman dan budayawan di Jakarta pada 18 Mei 1964 menyatakan
Manifesto Kebudayaan yang disingkat "Manikebu." Manikebu
merupakan pernyataan terbuka untuk menentang ideologi kebudayaan
Lembaga Kesenian Rakyat (Lekra) yang berhaluan komunisme. H. B.
Jassin, Wiratmo Sukito, Taufik Ismail, Goenawan Muhammad
termasuk penandatangan Manifesto Kebudayaan ini.241
Menurut Tilaar, secara harfiah manifesto adalah suatu deklarasi.
Selanjutnya ia mengiformasikan bahwa manifesto bukan merupakan
suatu doktrin, bukan pula sebagai suatu dogma, juga bukan menjadi
ideologi yang kesemuanya serba tertutup dan ekslusif. Manifesto
merupakan konsep terbuka untuk diskursus lanjutan yang mencoba
menemukan kebenaran, yaitu kebenaran sementara atau kebenaran
yang tertunda. Sebagai kebenaran yang tertunda maka manifesto
merupakan konsep yang terus-menerus menjadi. Perubahan (change)
merupakan ciri khas dari suatu manifesto. Bentuk suatu manifesto bisa
berubah secara terukur dan terarah disesuaikan dengan kebutuhan dan
Indonesia. Lihat Asvi Marwan Adam, Membongkar Manipulasi Sejarah, Kontroversi
Pelaku dan Peristiwa (Jakarta: Kompas Media nusantara, 2009), 38. 238
Asvi Marwan Adam, Membongkar Manipulasi Sejarah, Kontroversi Pelaku
dan Peristiwa, 38. 239
Herry Mohammad dkk, Tokoh-tokoh Islam yang Berpengaruh Pada abad 20
(Jakarta: GIP, 2006), 114. 240
Dalam Pidato Kenegaraan tanggal 17 Agustus 1960, Soekarno menyatakan
bahwa Manipol USDEK mencerminkan tekad revolusioner rakyat Indonesia untuk
mengabdi pada penyelenggaraan cita-cita negara kerakyatan. Ungkapan ini adalah
cara baru menggemakan sesuatu yang sebelumnya disebut sebagai sosio-nasionalisme
(nasionalisme Marhaen) dan sosio-demokrasi (demokrasi Marhaen). Lihat herbert
Feith dan Lance Castles, Pemikiran politik Indonesia 1945 – 1965, 100-101. 241
Rosihan Anwar, Soekarno-Tentara-PKI: Segitiga Kekuasaan sebelum Prahara
Politik 1961-1965 (Jakarta: Yayasan Obor, 2006), 206.
162
tantangan zamannya.242
Dengan demikian, manifesto perjuangan
Gerindra selain berfungsi sebagai pernyataan terbuka dan sebagai
panduan atau pedoman, juga sekaligus sebagai aksi bagi segala gerakan
perjuangan Gerindra. Manifesto perjuangan Gerindra juga bukan
merupakan sesuatu yang kaku, statis, tertutup, dan tidak bisa dirubah-
rubah, ia dinamis dan terbuka sesuai dengan tantangan dan kebutuhan
zaman. Manifesto Perjuangan partai Gerindra ini menjadi pegangan
dasar bagi pengurus di setiap jenjang kepengurusan, anggota, dan
kader. Manifesto Perjuangan ini juga merupakan kerangka kerja bagi
Partai Gerindra dalam berpolitik dan menjadi persembahan bagi seluruh
rakyat dan bangsa Indonesia.
Adapun secara ringkas isi dari manifesto perjuangan Gerindra
adalah sebagai berikut:
1. Mukadimah
Partai Gerakan Indonesia Raya dideklarasikan dalam kancah
politik praktis di negara ini karena seluruh komponennya merasa
terpanggil untuk memberikan amal dan baktinya kepada Negara dan
rakyat Indonesia. Sebagai partai nasionalis, Gerindra merupakan suatu
bentuk partai yang terbuka bagi seluruh lapisan rakyat yang mau
berjuang untuk tegaknya Pancasila, UUD 1945 sebagaimana ditetapkan
pada 18 Agustus 1945, dan utuhnya Negara Kesatuan Republik
Indonesia. Harapannya, dengan berlandaskan konstitusi tersebut, cita-
cita bagi perjuangan Gerindra adalah terbentuknya peradaban bangsa
Indonesia yang bangun jiwanya, dan bangun badannya dan
memperjuangkan kemakmuran dan keadilan disegala bidang.
Partai Gerindra tampil di pentas demokrasi untuk suatu perubahan
kepemimpinan nasional, dan perubahan tata laksana penyelenggaraan
Negara, yang sesuai dengan arah dan tujuan pembangunan bangsa
(nation building) dan karakter manusia Indonesia. Tidak hanya sekedar
itu, perjuangan juga tujuan memerdekakan rakyat Indonesia dari
penjajahan ekonomi dan politik yang membelenggu dan merampas
kehormatan manusia Indonesia. Untuk mencapai hal tersebut, Gerindra
memposisikan diri sebagai partai gerakan yang mandiri, produktif, dan
berpijak pada kearifan lokal, dalam upaya menciptakan masyarakat
adil, makmur, dan sejahtera.243
242
H.A.R. Tilaar, Manifesto Pendidikan Nasional, 4. 243
Gerindra, Manifesto Perjuangan Partai Gerakan Indonesia Raya (Jakarta:
Gerindra, t.th), 3-5.
163
2. Jati Diri Partai
Jati diri Partai GERINDRA adalah kebangsaan (nasionalisme),
kerakyatan, religius, dan keadilan sosial.244
3. Visi dan Misi
Visi partai Gerindra adalah "menjadi partai politik yang mampu
menciptakan kesejahteraan rakyat, keadilan sosial, dan tatanan politik
negara yang melandaskan diri pada nilai-nilai nasionalisme dan
religiusitas dalam wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia."
Adapun misinya adalah:
a. Mempertahankan kedaulatan dan tegaknya Negara Kesatuan
Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan UUD 1945.
b. Mendorong pembangunan nasional yang menitikberatkan pada
pembangunan ekonomi kerakyatan, pertumbuhan ekonomi yang
berkelanjutan, dan pemeratan hasil-hasil pembangunan bagi
seluruh warga bangsa dengan mengurangi ketergantungan kepada
pihak asing.
c. Membentuk tatanan sosial dan politik masyarakat yang kondusif
untuk mewujudkan kedaulatan rakyat dan kesejahteraan rakyat.
d. Menegakkan supremasi hukum dengan mengedepankan praduga
tak bersalah dan persamaan hak di depan hukum.
e. Merebut kekuasaan pemerintahan secara konstitusional melalui
Pemilu Legislatif dan Pemilu Presiden untuk menciptakan lapisan
kepemimpinan nasional yang kuat.245
4. Prinsip Dasar Partai
Dalam mewujudkan visi dan misi, partai Gerindra mengacu pada
enam prinsip-prinsip dasar sebagai berikut, yaitu disiplin, kedaulatan,
kemandirian, persamaan hak, kerjasama dan gotong-royong, dan
musyawarah.246
5. Pokok-pokok Perjuangan Partai
Dalam rangka mewujudkan visi dan misi dengan berpegang teguh
pada nilai dasar dan prinsip dasar, partai Gerindra memiliki pokok-
pokok perjuangan yang akan dilaksanakan dan diperjuangkan dalam
berbagai kebijakan nasional secara konstitusional, antara lain:
244
Gerindra, Manifesto Perjuangan Partai Gerakan Indonesia Raya, 6-7. 245
Gerindra, Manifesto Perjuangan Partai Gerakan Indonesia Raya, 7-8. 246
Gerindra, Manifesto Perjuangan Partai Gerakan Indonesia Raya, 8-10.
164
a. Bidang Politik
Partai Gerindra akan memperjuangkan reformasi sistem politik
Indonesia yang sesuai dengan UUD 1945 dan jati diri bangsa. Sistem
politik yang mengarah pada demokrasi liberal sejak era reformasi perlu
dikoreksi. Demokrasi yang sesuai dengan budaya bangsa Indonesia
adalah demokrasi yang dipimpin oleh hikmat kebijaksaan dalam
permusyawaratan perwakilan. Partai Gerindra akan memperjuangkan
tatanan politik nasional yang sesuai dengan amanat konstitusi, UUD
1945. Yakni, penerapan sistem pemerintahan presidensil murni,
kemandirian dan keterkaitan fungsional antara lembaga tinggi negara
yang sehat dan tidak saling menjatuhkan, serta pembenahan lembaga,
badan, atau komisi yang dibentuk dan tidak sesuai dengan UUD
1945.247
b. Bidang Ekonomi
Kebijakan perekonomian harus mendukung cita-cita welfare state
(negara kesejahteraan) yang berkeadilan. Untuk itu diperlukan langkah
yang tepat untuk menormalisasi kehidupan ekonomi rakyat dengan
kembali memperjuangkan paham ekonomi kerakyatan. Kebijakan
perekonomian harus berdasar pada UUD 1945 pasal 33 ayat (1), (2),
dan (3), sebagai ruh dari setiap kebijakan ekonomi. akan
mengembangkan koperasi sebagai bangunan ekonomi yang ideal pada
dataran mikro dan makro. Koperasi merupakan soko guru
perekonomian, sebagai prinsip dasar susunan perekonomian Indonesia.
Koperasi merupakan bentuk nyata dari usaha bersama yang
berdasarkan atas asas kekeluargaan. Koperasi harus dihidupkan dan
digerakkan sebagai usaha bersama untuk kesejahteraan bersama.248
c. Bidang Kesejahteraan Rakyat
Penurunan angka pengangguran dan kemiskinan merupakan
komitmen dan kerja bersama seluruh komponen bangsa. Partai
Gerindra menjadi garda terdepan dalam upaya penciptaan lapangan
kerja dan pengentasan kemiskinan. Selain itu, untuk mensejahterakan
rakyat, Partai Gerindra berkomitmen menjamin hak-hak tiap individu
dan keluarga dalam memperoleh pendapatan minimum yang layak dan
sesuai agar mampu memenuhi kebutuhan pokok. Partai Gerindra
berjuang mendorong adanya perlindungan sosial secara sistemik jika
individu dan keluarga berada dalam situasi rawan sehingga rakyat pada
247
Gerindra, Manifesto Perjuangan Partai Gerakan Indonesia Raya, 11-14. 248
Gerindra, Manifesto Perjuangan Partai Gerakan Indonesia Raya, 14-20.
165
akhirnya mampu menghadapi social contingencies, seperti lanjut usia,
sakit, menganggur, dan kemiskinan yang berdampak mengarah pada
krisis sosial.249
d. Bidang Pertanian, Perikanan dan Kelautan
Pembangunan ekonomi dititikberatkan pada pembangunan sektor
pertanian, sektor yang merupakan mata pencaharian sebagian besar
penduduk Indonesia. Pembangunan pertanian dilakukan melalui
pendekatan menyeluruh dari hulu hingga hilir, ada keterkaitan antar
usaha pertanian serta antar sektor menuju kerjasama saling
menguntungkan. Pembangunan pertanian diarahkan untuk kebijakan
yang berpihak pada pertanian, pelayanan penyuluhan, penyediaan
infrastruktur yang memadai, kebijakan pertanahan yang berkeadilan,
kemudahan akses permodalan, serta upaya pemerataan nilai tambah
sebagai upaya meningkatkan nilai tukar petani menuju kemakmuran
petani. Pembangunan sektor perikanan dan kelautan difokuskan dengan
membangun nelayan sebagai subyek utama. Partai Gerindra menilai
pembangunan kedua sektor akan berhasil dengan memberdayakan
kelompok nelayan. Pemberdayaan nelayan dilakukan dengan
memberikan akses permodalan yang memadai dan memahami
karakterisitik nelayan serta memordenisasi teknologi penangkapan
ikan.250
e. Bidang Lingkungan Hidup dan Kehutanan
Partai Gerindra menilai kurangnya infrastruktur serta lemahnya
kesadaran atas kelestarian alam, telah menjadikan Indonesia sebagai
negara penyumbang kerusakan hutan tercepat di dunia. Untuk itu,
pengelolaan hutan, laut dan seisinya harus dengan tata rencana yang
baik dan berkelanjutan untuk menghindari unsur-unsur eksploitatif
yang memicu kerusakan alam. Pengelolaan sumber daya lingkungan
hidup yang baik harus menyertakan pemerintah lokal dan masyarakat
adat setempat dengan tetap diawasi oleh pemerintah pusat. Hal ini
selain memberikan kontribusi positif secara pemuliaan alam juga
berdampak ekonomis. Iklim mengisi ruang hidup kita baik secara
individu maupun sosial, karena itu menegakkan keadilan iklim harus
melibatkan kesadaran dan komitmen semua pihak dan mendesak
terciptanya kebijakan industrialisasi yang pro-lingkungan hidup serta
melakukan tindakan tegas kepada pelaku perusakan alam. Partai
Gerindra mendukung kebijakan disiplin pengelolaan hutan dan sumber
249
Gerindra, Manifesto Perjuangan Partai Gerakan Indonesia Raya, 21-24. 250
Gerindra, Manifesto Perjuangan Partai Gerakan Indonesia Raya, 24-26.
166
daya alam lainnya secara sistemik sebagai antisipasi degradasi
lingkungan hidup.251
f. Bidang Sosial, Budaya, dan Pendidikan
Kebudayaan Indonesia adalah bagian dari kebudayaan dunia.
Kebudayaan Indonesia adalah hasil perjalanan bangsa Indonesia yang
telah membentuk identitas dan jati diri bangsa. Kekuatan budaya
mempunyai peran penting mengatasi masalah-masalah kebangsaan.
Tanpa kebudayaan yang kuat dan berakar, kita akan gamang
menghadapi globalisasi dan masa depan yang kompetitif. Pembangunan
di bidang kebudayaan merupakan landasan bagi prioses pembangunan
karakter dan bangsa (character and national building). Partai Gerindra
menilai, dalam menghadapi globalisasi budaya yang ditandai arus
masuknya budaya bangsa lain, maka kita harus memperkokoh budaya
bangsa. Warisan budaya (cultural heritage) bangsa Indonesia perlu
dilestarikan, dikembangkan dan diperbaharui agar dapat menjadi
penuntun menuju masa depan. Di bidang pendidikan, Partai Gerindra
mendukung peningkatan anggaran pendidikan nasional hingga 20%.
Peningkatan anggaran merupakan konsekuensi logis dalam
menciptakan kesempatan memperoleh pendidikan bagi seluruh lapisan
masyarakat sekaligus sebagai sebuah bentuk realisasi dari tanggung
jawab konstitusi. Peningkatan anggaran harus ditujukan untuk
meningkatkan kualitas pendidikan nasional.252
g. Bidang Hukum
Partai Gerindra memperjuangkan terselenggaranya pemerintahan
yang bebas dari korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN) serta melakukan
tindakan hukum yang tegas kepada pelaku yang terlibat KKN.
Pemberantasan korupsi yang harus dilakukan dari atas tanpa pandang
bulu, tidak tebang pilih, dan semata-mata berdasarkan penegakan
hukum. Pemberantasan korupsi yang tebang pilih dapat menyebabkan
tindakan itu menjadi alat kekuasaan. Pada dasarnya pemberantasan
korupsi yang terpentingadalah dengan meningkatkan kesejahteraan
rakyat, diiringi perbaikan sistem birokrasi pemerintahan dan penegakan
hukum secara tegas. Terkait kepentingan nasional di bidang ekonomi,
Partai Gerindra mendesak dilakukannya penyesuaian terhadap undang-
undang yang tidak sehaluan dengan UUD 1945 seperti Undang-Undang
251
Gerindra, Manifesto Perjuangan Partai Gerakan Indonesia Raya, 26-28. 252
Gerindra, Manifesto Perjuangan Partai Gerakan Indonesia Raya, 29-31.
167
Penanaman Modal, Undang-Undang Migas, dan undang-undang
lainnya yang bertentangan dengan semangat ekonomi kerakyatan.253
h. Bidang Hak Asasi Manusia
Negara menegakkan kemanusiaan yang beradab. Warganegara
terhadap hukum, tidak diperlakukan sebagai subyek yang secara
potensial pelaku perbuatan pelanggaran hukum. Negara menghargai
kesetiaan rakyat terhadap negara dan amal bakti warga terhadap
terhadap masyarakat dan negara. Warga negara harus menghormati
perjanjian luhurnya kepada negara sebagai organisasi. Siapa saja yang
berikrar menjadi bagian dari organisasi negara dengan sendirinya harus
menghormati hak negara. Negara menghormati hak-hak pribadi warga
negara ssuai dengan hukum. Hukum dan kemanusiaan tidak boleh
dipandang sebgai dua substansi yang terpisah. Maka, adanya
Pengadilan HAM merupakan sesuatu yang over bodig (berlebihan).
Penghormatan terhadap hak-hak asasi manusia harus ditempatkan
dalam perspektif hukum. Hukum disusun antara lain untuk mengatur
bagaimana warga negara menjalankan hak-haknya sebagai pribadi.
Hak-hak warga negara secara pribadi tak dapat dijalankan di luar
hukum. Negara sebagai organisasi berjalan sesuai hukum. Warga
negara yang merasa hak-haknya dilanggar oleh negara dapat
menggugat negara dan pejabatnya secara hukum.254
i. Bidang Pertahanan dan Keamanan
Sistem pertahanan dan keamanan rakyat semesta (Sishankamrata)
yang telah terbukti keampuhannya harus lebih dioperasionalkan yang
didukung dengan peningkatan profesionalisme Tentara Nasional
Indonesia (TNI) dan modernisasi infrastruktur Alutsista (alat utama
sistem senjata) TNI serta profesionalisme Kepolisian Republik
Indonesia (Polri). Di samping itu, manajemen pertahanan yang handal
yakni dalam kultur, struktur kemanan, hubungannya dengan negara,
anggaran, doktrin, postur dan operasi, hubungan sipil-militer, baik itu
dalam manajemen kepolisian maupun TNI harus mendapat perhatian
khusus untuk mencapai pertahanan negara yang kuat dan kondusif.255
j. Bidang Otonomi Daerah
Otonomi daerah, yang merupakan bentuk pengaturan hubungan
Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah, adalah delegasi kekuasaan
secara vertikal dengan mengindahkan genus kekuasaan yang bersifat
253
Gerindra, Manifesto Perjuangan Partai Gerakan Indonesia Raya, 32-33. 254
Gerindra, Manifesto Perjuangan Partai Gerakan Indonesia Raya, 34-36. 255
Gerindra, Manifesto Perjuangan Partai Gerakan Indonesia Raya, 36-38.
168
tunggal dan utuh. Otonomi daerah adalah kewenangan administratif
yang diberikan kepada daerah, dalam batas-batas tertentu demi
kelancaran pembangunan, dan secara teknis menyederhanakan jalur
birokrasi vertikal. Agar pelaksanaan otonomi daerah tidak menyimpang
dari asas didirikannya NKRI, Partai Gerindra akan melakukan
peninjauan ulang terhadap seluruh peraturan perundangundangan yang
tidak sejalan dengan kaidah-kaidah otonomi daerah. Terkait masalah
Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) secara langsung, rakyat semakin
jenuh terhadap politik. Kejenuhan ini dapat dilihat denga semakin
besarnya angka pemilih yang tidak menggunakan hak pilih (golput)
dalam Pilkada. Kejenuhan ini berpotensi negatif pada partisipasi
masyarakat dalam pemilihan umum yang bermuara pada rendahnya
legitimasi pemerintah. Selain itu Pilkada telah menyebabkankonflik
horisontal dalam masyarakat yang kontraproduktif. Partai Gerindra
akan melakukan peninjauan ulang terhadap pelaksanaan Pilkada dan
mengupayakan penyelenggaraan Pilkada secara serentak.256
k. Bidang Agama
Strategi kebijakan yang belum pernah mampu dirumuskan
Indonesia dalam masalah agama adalah bagaimana menempatkan
kehidupan beragama di Indonesia dalam format kemasyarakatan dan
kenegaraan Pancasila. Sehingga keluhuran agama dapat dipelihara, dan
kemajuan bangsa dapat sejalan berkembang. Setiap orang berhak atas
kebebasan beragama dan menjalankan ibadah sesuai dengan agama dan
kepercayaannya. Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk
untuk memeluk agama/kepercayaan. Namun, pemerintah/negara wajib
mengatur kebebasan di dalam menjalankan agama atau kepercayaan.
Negara juga dituntut untuk menjamin kemurnian ajaran agama yang
diakui oleh negara dari segala bentuk penistaan dan penyelewengan
dari ajaran agama.257
l. Bidang Politik Luar Negeri dan Hubungan Internasional
Politik luar negeri dan hubungan internasional harus diabdikan
untuk kepentingan nasional. Hubungan bilateral, multilateral dan
kedudukan Indonesia dalam organisasi-organisasi internasional harus
didasarkan pada kepentingan nasional. Indonesia harus menjadi bangsa
terhormat dan bermartabat dalam pergaulan internasional dan
senantiasa pro-aktif dalam perdamaian dunia. Prinsip politik luar negeri
bebas dan aktif harus ditempatkan dalam konteks aktual zaman.
256
Gerindra, Manifesto Perjuangan Partai Gerakan Indonesia Raya, 38-39. 257
Gerindra, Manifesto Perjuangan Partai Gerakan Indonesia Raya, 40-41.
169
Perubahan-perubahan geopolitik di tingkat regional dan dunia menuntut
strategi diplomasi yang handal. Indonesia harus menjadi subyek yang
menentukan sikap sendiri, bukan obyek dari pertarungan politik
internasional. Partai Gerindra akan memperjuangkan politik luar negeri
yang progresif, yang dapat menempatkan Indonesia kembali sebagai
negara yang berperan dan dihormati di Asia dan dunia. Indonesia harus
mampu bersaing dengan negara-negara Asia seperti Republik Rakyat
Cina, Jepang, India, Korea Selatan di bidang ekonomi. Berakhirnya
Perang Dingin tidak dengan sendirinya menampilkan Amerika Serikat
sebagai kekuatan adikuasa tunggal. Dunia menjadi multipolar. Ada
berbagai kakuatan yang berpengaruh dalam pentas politik masyarakat
internasional. Uni Eropa menjanjikan kemajuan ekonomi. Republik
Rakyat Cina (RRC) semakin menunjukkan kekuatan ekonomi, militer
dan nuklir. Republik Federasi Rusia, sejak di bawah pemerintah
Vladimir Putin berhasil membawa kembali kehormatan Rusia di bidang
ekonomi dan militer. India berkembang pesat ekonominya dan di
bidang militer memiliki kekuatan nuklir. Negara-negara sosialis
Amerika Latin seperti Venezuela, Argentina, Brasil dan Bolivia
mempunya potensi ekonomi yang kuat dan berani menentukan jalan
sendiri yang seringkali bertentangan dengan kebijakan luar negeri
Amerika Serikat. Negara-negara Timur Tengah seperti Saudi Arabia
sangat kaya dan tangguh kekuatan militernya. Iran memiliki potensi
ekonomi karena minyak dan mengembangkan teknologi nuklir.258
m. Bidang Hak-hak Perempuan
Faktor penting untuk meningkatkan kualitas hidup perempuan
adalah pembuatan kebijakan publik yang sensitif gender. Kaum
perempuan harus berpartisipasi aktif dalam dunia politik dan
pengambilan kebijakan. Kurangnya peran perempuan di sektor politik
menyebabkan perempuan menjadi obyek dan korban. Kaum perempuan
juga harus mendapat akses yang sama di sektor ekonomi untuk
meningkatkan kesejahteraan. Salah satu bentuk diskriminasi adalah
kekerasan berbasis gender atau kekerasan terhadap perempuan di
wilayah publik maupun privat. Partai Gerindra akan memperjuangkan
perlindungan perempuan dari kekerasan seksual, kekerasan dalam
rumah tangga dan perdagangan perempuan dan anak (trafficking).
Partai Gerindra juga akan memperjuangkan hak-hak tenaga kerja
258
Gerindra, Manifesto Perjuangan Partai Gerakan Indonesia Raya, 41-43.
170
perempuan di luar negeri untuk diperlakukan secara manusiawi dan
adil.259
n. Bidang Pemuda
Salah satu isu terkait dengan kepemudaan dan perubahan bangsa
adalah kepemimpinan. Pemuda harus mempersiapkan diri dalam proses
regenerasi kepemimpinan nasional sehingga tercipta proses sirkulasi
elit yang sehat, dinamis, dan konstitusional. Proses regenerasi
kepemimpinan merupakan sebuah keniscayaan yang tak bisa dihindari
dan harus dipersiapkan secara dini dan matang. Dalam konteks ini,
Partai Gerindra mendorong proses regenerasi kepemimpinan bangsa
dan menjadi mitra pemuda dalam meningkatkan kemampuan,
kapasitas, integritas dan kenegarawanan. Bersama Partai Gerindra,
pemuda Indonesia siap menerima regenerasi kepemimpinan bangsa.260
o. Bidang Perburuhan
Partai Gerindra menilai hubungan buruh dan pengusaha perlu
ditempatkan sebagai relasi yang seimbang, saling menguntungkan dan
saling membutuhkan. Fungsi dan status buruh dalam dunia kerja harus
dilihat sebagai bagian yang tak terpisahkan untuk keberhasilan dunia
usaha. Buruh bukanlah pihak yang selalu membutuhkan dan harus
menerima putusan majikan apa adanya. Sementara pengusaha juga
tidak diposisikan selalu mengulurkan tangan membuka kesempatan
kepada kelompok buruh. Hubungan yang saling menguntungkan
didasarkan pada profesionalisme dan penghargaan terhadap kinerja.
Maka permasalahan seperti upah, jaminan asuransi, dan pemenuhan
hak-hak dasar buruh lainnya dapat diselesaikan melalui mekanisme
terbuka sesuai aturan yang adil.261
p. Bidang Riset dan Teknologi
Penelitian yang dikembangkan oleh lembaga-lembaga negara harus
diarahkan pada prinsip-prinsip memajukan bangsa, dimulai dengan
memilih teknologi tepat guna untuk membantu mengembangkan
industri-industri lokal yang dikelola oleh Usaha Kecil dan Menengah
(UKM) untuk memproduksi berbagai barang-barang keperluan
masyarakat sehari-hari. Bidang-bidang yang perlu mendapat perhatian
sangat khusus adalah bidang teknologi pertanian, teknologi pangan,
teknologi industri, teknologi informasi, transportasi, dan
259
Gerindra, Manifesto Perjuangan Partai Gerakan Indonesia Raya, 44-45. 260
Gerindra, Manifesto Perjuangan Partai Gerakan Indonesia Raya, 45-46. 261
Gerindra, Manifesto Perjuangan Partai Gerakan Indonesia Raya, 47-48.
171
pengembangan energi alternatif seperti biofuel, ethanol dari aren dan
coal-to-liquid.262
E. Kritik Konsepsi Ruang Privat
Namun demikian, menurut penulis, sebagai partai politik Gerindra-
pun dalam ranah privat ini tidak lepas dari kritik, yaitu:
1. Tumbuhnya Familisme Politik
Menurut Wasisto Raharjo Djati, dalam kajian ilmu sosial dan
politik, familisme diartikan sebagai ketergantungan yang terlalu besar
pada ikatan keluarga, yang melahirkan kebiasaan menempatkan
keluarga dan ikatan kekerabatan pada kedudukan yang lebih tinggi
daripada kewajiban sosial lainnya.263 Dalam hal ini, terdapat tiga varian
familisme dalam membincangkan dinasti politik dalam Partai Gerindra,
yaitu:
Tabel 3.1. Tipologi Perspektif Budaya Politik Familisme
No Indikator Familisme Quasi-
Familisme
Ego-
Familisme
1 Dasar Pembentukan
Dinasti Politik
Hubungan
darah langsung
(consanguinity)
Hubungan
afeksi,
solidaritas,
kepercayaan,
dan solidaritas
dalam keluarga
besar maupun
kroninya
Dorongan
publik dan
faktor
emosional
dan
pertimbangan
politik
fungsional
2 Kaderisasi Anggota
Keluarga Inti
dan Kroni
Sanak kerabat
maupun
keluarga lain
melalui jalur
pernikahan
Keluarga inti
262
Gerindra, Manifesto Perjuangan Partai Gerakan Indonesia Raya, 48-49. 263
Wasisto Raharjo Djati, ―Revivalisme Kekuatan Familisme dalam Demokrasi:
Dinasti Politik di Aras Lokal,‖ Jurnal Sosiologi Masyarakat, Vol. 18, No. 2, Juli
(2013): 208-209. Lihat juga Marcus Meitzner, ―Indonesia‘s 2009 Elections: Populism,
Dynasties and the Consolidation of the Party System.‖ Analysis, Mei (2009): 1-24;
Nico Harjanto, ―Politik Kekerabatan dan Institusionalisasi Partai Politik di
Indonesia,‖ Analisis CSIS 40 (2), (2011): 138-159; Abdul Hamid, ―Memetakan Aktor
Politik Lokal Banten Pasca Orde Baru,‖ Jurnal Politika 1 (2) (2010): 32-45.
172
yang
seketurunannya
(heredity)
3 Sifat Dinasti Politik Tertutup Semi tertutup Tertutup Sumber: Wasisto Raharjo Djati (2013).
Kemunculan dinasti politik dapat terindikasi dalam beberapa
penjelasan: pertama, Selaku Dewan Pembina Gerindra, Prabowo
Subianto tidak mempermasalahkan adanya dinasti politik. Ia
berargumen familisme itu sah, selama tidak menggunakan cara-cara
yang curang dalam mendapatkannya dan menjalankannya.264
Situs
resmi, Gerindra mengutip pernyataan langsung Prabowo bahwa, ―Kalau
tidak dengan cara yang curang atau rekayasa, saya kira kalau ada.
Katakanlah ada hubungan keluarga tapi dia patriot, dia memang
potensial pemimpin, saya kira tidak negatif.‖ Menurut Prabowo, dalam
dunia demokrasi, kepemimpinan bisa datang dari mana saja, asal
seorang pemimpin mempunyai sikap nasionalis, potensial, dan amanah.
Politik dinasti juga masih bisa dilihat positif, selama tidak ada niatan
untuk memperkaya sesuai kepentingan pribadi atau keluarganya. Akan
tetapi jika hal tersebut dilakukan dengan cara yang curang, penuh
dengan rekayasa dan tujuan memperkaya keluarga, hal tersebut
berdampak negatif bagi politik suatu bangsa. Bagi Prabowo, demokrasi
di Indonesia butuh pemimpin yang terbaik dari mana saja.
Kedua, berdasar hal pertama, tidak mengherankan jika dalam
struktur kepengurusan pusat partai Gerindra, keluarga Soemitro
Djojohadikusumo cukup mendapatkan tempat yang tinggi dan strategis.
Selain Prabowo sendiri sebagai Ketua Dewan Pembina, tercatat adik
kandungnya, yaitu Hashim Djojohadikusumo dan Maryani
Djojohadikusumo sebagai Anggota Dewan Pembina. Selain tiga nama
tersebut, Bianti Djiwandono kakak kandung Prabowo, juga menempati
sebagaimana anak-anak Sumitro Djojohadikusumo lainnya. Selain
mereka, di Dewan Penasehat duduk Sudradjad Djiwandono, mantan
Gubernur BI pada masa Orde Baru yang juga ipar Prabowo. Di Dewan
Pertimbangan juga tercatat nama Thomas A. Muliatna Djiwandono,
anak dari Sudradjad dan Bianti.265
264
Prabowo: Dinasti Politik Tak Negatif, Asal Tak Main Curang - See more at:
http://partaigerindra.or.id/2013/10/17/prabowo-dinasti-politik-tak-negatif-asal-tak-
main-curang.html#sthash.J7On9mqS.dpuf, diakses tanggal 10 November 2014. 265
Lihat Gerindra, Daftar Pengurus Dewan Pengurus Pusat Gerindra (Jakarta:
Gerindra, 2014).
173
Kemudian tercatat pula Edhy Prabowo, yang disebut-sebut sebagai
anak angkat Prabowo sebagai Anggota Dewan Pembina. Di dalam
susunan pengurus ada Aryo Setyaki Djojohadikusumo yang menjabat
sebagai wakil sekretaris jendral. Aryo juga menjabat sebagai ketua
Tidar (Tunas Indonesia Raya), organisasi onderbouw Gerindra. Nama
Thomas A. Muliatna Djiwandono, kembali muncul dalam susunan
pengurus sebagai bendahara partai. Disamping itu ada Rahayu
Saraswati Djojohadikusumo, Kepala Departemen Peningkatan
Perfilman Nasional dan Budi Satrio Djiwandono Ketua Bidang
Investasi dan Pasar Modal, keponakan Prabowo.266
Menyikapi familisme di atas, penulis sependapat dengan analisa
politik dari Djati. Jika diterapkan untuk membaca sosio-politik di
Gerindra, secara garis besar, gejala yang timbul dalam proses
demokratisasi di ranah privat adalah mulai tumbuhnya proses
reorganisasi kekuatan keluarga untuk menduduki jabatan-jabatan pucuk
dan penting dalam arena demokrasi di Gerindra. Revitalisasi kekuatan
politik keluarga tersebut tumbuh seiring dengan proses otonomi partai
politik sehingga kelompok elit mendapat kesempatan untuk
mengukuhkan pengaruhnya kembali. Selain adanya revitalisasi
kelompok politik keluarga, gejala lain yang timbul dalam proses
demokratisasi di ranah privat adalah fungsi tokoh-tokoh Gerindra yang
melemah dalam melakukan kaderisasi sehingga menimbulkan adanya
pragmatisme politik dengan mengangkat kelompok elit keluarga. Hal
itu juga diikuti proses demokrasi yang mahal di mana masyarakat
memilih pasif dalam proses demokrasi dan lebih cenderung
menghendaki status quo kepengurusan yang sekarang. Sementara itu,
Ketua Dewan Pembina memiliki tren untuk mewariskan kekuasaannya
kepada kerabat demi menjaga kekuasaan politik. Semua itu
mengkondisikan terbentuknya dinasti politik di ranah privat Gerindra.
Dinasti politik Gerindra masih mengandalkan kekuatan personal,
klientelisme, dan relasi patrimonial yang menempatkan elit keluarga
pendiri di atas anggota masyarakat lainnya. Pada level ini,
dikhawatirkan familisme kemudian mengorganisasikan diri menjadi
dinasti politik untuk menjaga kelanggengan kuasa dan mengontrol
sepenuhnya suara anggota Gerindra.267
266
Gerindra, Daftar Pengurus Dewan Pengurus Pusat Gerindra (Jakarta:
Gerindra, 2014). 267
Wasisto Raharjo Djati, ―Revivalisme Kekuatan Familisme dalam Demokrasi:
Dinasti Politik di Aras Lokal,‖ 228.
174
2. Bergantung pada Kekuatan Satu Figur
Ketergantungan partai Gerindra dalam ketergantungan pada satu
figur terlihat ketika memilih pemimpinnya, secara aklamasi 100%
Prabowo Subianto didaulat sebagai Ketua Dewan Pembina merangkap
jabatan sekaligus sebagai Ketua Umum Gerindra menggantikan
Suhardi yang wafat. Selama enam tahun berdirinya, Partai Gerindra dua
kali melakukan kongres, pertama, Kongres Luar Biasa yang diadakan
di rumah pribadi Prabowo di Hambalang-Bogor, pada 17 Maret 2012
dan Kongres Luar Biasa di Nusantara Polo Club, Gunung Putri,
Cibinong Jawa Barat pada 20 September-2014. Di kedua kongres
tersebut, dalam catata Kompas dan Tempo melaporkan bahwa
kepengurusan Gerindra sangat tersentralisasi. Dua kongres luar biasa
yang sama-sama berlangsung kilat selama 3 jam di Hambalang itu
memutuskan secara aklamasi 100% menyerahkan mandat kepada Ketua
Dewan Pembina untuk mengubah anggaran dasar dan anggaran rumah
tangga partai serta ―menyempurnakan kepengurusan.‖ Untuk urusan
partai, Prabowo memiliki kekuasaan tak terbatas.268
Pengamat politik Hamdi Muluk, sebagaimana diwartakan oleh
Rimanews mengatakan familisme dan ketergantungan partai itu tidak
hanya ada pada Partai Gerindra. Namun, ketergantungan terhadap
kepemimpinan satu tokoh juga dialami oleh partai-partai lain di
Indonesia yang kental dengan sosok yang ditokohkannya. Partai
Demokrasi Indonesia-Perjuangan (PDI-P) identik dengan Keluarga
Soekarno dan Megawati Soekarnoputri. Partai Demokrat lekat dan
dekat dengan Keluarga Susilo Bambang Yudhoyono. Partai Amanat
Nasional yang lekat dengan ketokohan Amien Rais dan Hatta Rajasa.
Partai Hanura identik milik Wiranto. Partai berbasis agama, identik
dengan golongan yang sepaham dengan mereka, dan lain sebagainya.
Pemilihan pemimpin partai politik, lanjutnya, di Indonesia masih
tergantung kepada figur yang bisa menjamin kelangsungan hidup dan
eksistensi partai.269
268
Tempo, ―Digenggam Ketua Dewan Pembina,‖ Tempo, Edisi Senin 23 Juni
2014;http://nasional.kompas.com/read/2014/09/20/19380411/Ini.Alasan.Prabowo.Dip
ilih.sebagai.Ketua.Umum.Partai.Gerindra, diakses tanggal 10 November 2014. 269
Hamdi Muluk, ―Bukti Parpol Tergantung Pada Figur,‖
http://m.nasional.rimanews.com/politik/read/20140922/174095/Mega-Prabowo-
Didaulat-Jadi-Ketum-Bukti-Parpol-Tergantung-Pada-Figur, diakses tanggal 10
November 2014.
175
3. Proses Rekrutmen dan Hak Kader Diabaikan
Gerindra menempatkan kader-kadernya dalam jajaran
kepengurusan pusat bukan berdasarkan prinsip profesionalitas ‗the
right man in the right place.‘ Ketika penulis wawancara dengan para
aktivis senior Badan Komunikasi Gerindra di bilangan Bendungan Hilir
Jakarta Pusat, mereka menceritakan bahwa yang duduk dalam jajaran
kepengurusan sekarang (2014) bukan merupakan kader-kader yang
pertama kali ikut ‗jatuh-bangun‘ mendirikan partai Gerindra.270
Mereka
merupakan aktor-aktor baru pendatang yang karena faktor-faktor
tertentu, langsung menempati posisi-posisi penting dalam jajaran
kepengurusan Gerindra. Dengan kata lain, posisi-posisi penting banyak
diduduki oleh para kader non-perjuangan ketimbang kader perjuangan.
Hal tersebut bertentangan dengan Anggaran Dasar (AD) Gerindra
sendiri. Padahal, menurut AD/ART Gerindra Pasal 14 tentang Kader,
pada ayat kedua dan ketiga sangat jelas dipaparkan hierarkis kader dari
tingkatan paling bawah sampai posisi teratas. Bunyi pasal tersebut, ―(2)
Pembentukan kader partai Gerindra dilaksanakan melalui seleksi
kaderisasi secara berjenjang di dalam pendidikan dan latihan kader. (3)
Strata Kader partai Gerindra: a. Kader Penggerak; b. Kader Pratama; c.
Kader Muda; d. Kader Madya; e. Kader Utama; f. Kader Manggala.‖
Jenjang runutan kader tersebut menurut Pasal (4), ―dipersiapkan untuk
menjadi: a. Calon Pengurus Partai; b. Bakal calon Anggota DPR dan
DPRD; c. Bakal calon Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah; d.
Bakal calon Presiden dan Wakil Presiden.‖271
Seharusnya, posisi-posisi kader dalam partai Gerindra bukan diisi
oleh wajah-wajah baru non-perjuangan, akan tetapi diisi oleh para
aktivis-aktivis perjuangan partai yang telah matang dan mengikuti
jenjang-jenjang pengkaderan tersebut. Memang benar, dalam ayat
kelima tentang kader tercantum ketentuan lanjutan bahwa ―Pengaturan
lebih lanjut tentang kader partai Gerindra sebagaimana dimaksud pada
ayat (1), ayat ( 2), ayat ( 3) dan ayat (4) di atas, diatur dalam peraturan
partai.‖272
Namun, dalam realitasnya peraturan petinggi partai lebih
dominan daripada peraturan partai dalam pengisian kepengurusan
kader. Contoh dalam aplikasi politik praktis, pada Pemilihan Wali Kota
270
Wawancara dengan wartawan-wartawan senior Badan Komunikasi Gerindra
Bendungan Hilir tanggal 5-9-2013. Karena alasan masih aktif di Bakom, narasumber
namanya tidak penulis cantumkan. 271
Lihat Gerindra, Anggaran Dasar Partai Gerakan Indonesia Raya: Gerindra
(Jakarta: Gerindra, 2012), 7-8. 272
Gerindra, Anggaran Dasar Partai Gerakan Indonesia Raya, 8.
176
Bandung 2013, Gerindra berkoalisi dengan Partai Keadilan Sejahtera
(PKS) lebih memilih Ridwan Kamil daripada mengajukan kadernya.
Uniknya lagi, Ridwan Kamil merupakan ―individu swasta yang
didukung,‖ oleh partai politik untuk menduduki posisi wali kota
tersebut dan bukan menjadi kader kedua partai politik pengusungnya.273
Jika meminjam analisis politik Soedijarto, dalam hal kaderisasi
Gerindra lebih mengedepankan pertarungan kekuatan sehingga
kecenderungannya ―tujuan menghalalkan cara,‖ selalu terbuka bagi
para petinggi politikus Gerindra ketimbang taat terhadap aturan mulia
tertulisnya sendiri. Artinya, karena yang mesti dimenangkan dalam
pertarungan politik itu adalah kepentingan dan keuntungan diri bukan
partai, yang mencuat adalah konflik kepentingan mengalahkan aturan.
Seharusnya Gerindra mengedepankan dan menghadirkan etika politik
sebagai sosok adab yang telah dituliskan dalam aturan-aturan resminya
untuk memedomani arah jalannya kaderisasi politik di partai. Lebih
lanjut Soedijarto menjelaskan bahwa suatu partai politik hendaknya
berbentuk partai kader dan bukan partai massa karena dengan partai
kader para anggota partai yang mempunyai pengetahuan dan keyakinan
politik dapat ikut memikul tanggung jawab politik. Sebaliknya, dalam
partai massa keputusan politik diserahkan seluruhnya ke tangan
pemimpin politik dan massa rakyat tetap tergantung dan tinggal
dimobilisasi menurut kehendak sang pemimpin partai.274
Penulis juga sependapat dengan Soedijarto bahwa partai politik dan
segenap komponen kadernya sebagai pilar demokrasi haruslah,
―Selalu berinteraksi dengan masyarakat sepanjang tahun. Kegiatan sosial
kemasyarakatan merupakan agenda wajib, begitu pula sikap cepat tanggap
dalam menghadapi musibah dan bencana. Para elit politik partai pun sudah
seharusnya sering terjun menemui konstituen, mendengar aspirasi mereka, dan
memperjuangkannya. Partai tidak boleh membuat jarak dengan rakyat. Di sinilah
sesungguhnya hakikat dari pendidikan politik yang diterapkan oleh partai politik
dan elitenya. Dengan demikian, maka apapun sikap dan kebijakan partai tidak
akan terlepas dari kehendak masyarakat konstituennya, dan benar-benar menjadi
penyambung lidah rakyat. Sehingga dapat mencegah kekhawatiran bahwa partai
hanya memperjuangkan kepentingan kelompoknya. Kegiatan pencerdasan
politik masyarakat harus terus dipupuk oleh partai politik melalui respon
273
Risanti, ―Berbeda Sikap dengan Gerindra, Ridwan Kamil Santai,‖
http://www.tempo.co/read/news/2014/09/14/058606767/Berbeda-Sikap-dengan-
Gerindra-Ridwan-Kamil-Santai, diakses tanggal 13 Desember 2014. 274
Soedijarto, ―Etika Perpolitikan Di Indonesia,‖
http://soedijarto.blogspot.com/2013/06/etika-perpolitikan-di-indonesia.html, diakses
14 Desember 2014.
177
terhadap realitas sosial-politik. Selain itu berpolitik hendaknya dilakukan dengan
cara yang santun, damai, dan menyejukkan. Kemudian kita juga harus
mengembangan sistem multipartai agar kehidupan politik terhindar dari
konsentrasi kekuasaan yang terlalu besar pada diri satu orang atau satu golongan
saja. Dengan etika berpolitik yang demikian itulah kita berharap masyarakat
madani yang kita cita-citakan dapat segera terwujud.‖275
Selain hierarkis jenjang kaderisasi yang belum jelas, hak kader
untuk bebas bersuara juga belum diterapkan. Pasal 16 tentang Hak
Anggota ayat kesatu menyatakan, ―Setiap anggota mempunyai hak: a.
Bicara dan memberikan suara; b. Memilih dan dipilih; c. Membela
diri.‖276
Basuki Tjahaya Purnama, Fami Fakhrudin, M. Harris Indra,
dikeluarkan dari keanggotaan dan kepengurusan Gerindra karena
mereka mencoba mengkritisi dan memberikan suara mereka terhadap
kebijakan pengurus pusat Gerindra. Basuki Tjahaya Purnama
mengundurkan diri dari Gerindra karena bersuara yang melawan arus
pendapat partai Gerindra mengenai Pilkada (Pemilihan Kepala Daerah).
Ahok, sapaan Basuki Tjahaya Purnama, lebih memilih opsi Pilkada
langsung daripada Pilkada tak langsung. Oleh karenanya, kalau Ahok
tidak mengundurkan diri, ia pasti akan dipecat oleh partai yang
mendudukannya sebagai Wakil Gubernur DKI Jakarta.277
Ahok
mengatakan dirinya sudah menyadari bahwa dengan sikapnya tersebut,
akan dipecat dari Gerindra. Sehingga lanjut Ahok dirinya memilih
untuk mundur karena pendepatnya tersebut tidak akan diterima oleh
partainya.
M. Harris Indra, mantan pendiri Gerindra dengan nomor Kartu
Tanda Anggota 01 dan mantan Ketua Tunas Indonesia Raya (Tidar),
dipecat Gerindra karena bersuara tidak mendukung pencalonan
Prabowo Subianto sebagai Calon Presiden periode 2014-2019 lebih
memilih mendukung Jokowi. Ia berpendapat, kebenaran itu harus
diungkapkan walaupun menyakitkan. Baginya, saat itu, Jokowi adalah
kader bangsa yang terbaik saat itu untuk memimpin dan mewujudkan
Indonesia yang adil, sejahtera dan bermartabat. Dalam keyakinannya,
Prabowo adalah orang baik, yang selalu mengajarkan setia kepada
275
Soedijarto, ―Etika Perpolitikan Di Indonesia,‖
http://soedijarto.blogspot.com/2013/06/etika-perpolitikan-di-indonesia.html, diakses
14 Desember 2014. 276
Gerindra, Anggaran Dasar Partai Gerakan Indonesia Raya, 8. 277
Taufik Ismail, ―RUU Pilkada, Ahok: Saya Tidak Bodoh, Saya Mundur
sebelum Dipecat,‖http://www.tribunnews.com/nasional/2014/09/11/ahok-saya-tidak-
bodoh-saya-mundur-sebelum-dipecat, diakses tanggal 13 Desember 2014.
178
republik ini dan jangan fanatik terhadap rezim, namun soal adil dan
bermartabat Jokowilah orangnya. Ia mempertegas bahwa Gerindra dan
Prabowo adalah dua hal yang berbeda, bagi dia Prabowo adalah
represntatif dari partai namun Gerindra bukanlah Prabowo. Gerindra
adalah kumpulan ide dan gagasan untuk membangun bangsa dan bukan
milik orang perorang.278
Sebelum Ahok dan M. Harris Indra, nasib yang sama juga
menimpa Fami Fachrudin, mantan pendiri dan anggota DPP-Gerindra
Ketua Bidang Ilmu Pengetahuan dan Teknologi, dikeluarkan dari
keanggotaan dan kepengurusan partai. Uniknya, kasus yang
menyebabkan ia dipecat karena merangkum dan mem-forward suara-
suara kritis tentang Prabowo lewat sms dan twitter. Fami Fachrudin
yang ikut merumuskan manifesto Gerindra, ketika itu, memprotes
secara terbuka perihal ini di jejaring sosial Twitter. Fami menyatakan,
perihal namanya tak masuk dalam susunan pengurus karena pernah
mengirim sebuah pesan singkat berisi kritik kepada Ketua Dewan
Pembina Partai Gerindra, Prabowo Subianto. Pesan itu sendiri
sebenarnya merupakan rangkuman pendapat umum yang disarikannya.
Ia mengatakan, "saat itu, ada sebuah acara di televisi, Prabowo
berbicara mengenai agenda kerakyatan, namun di TV itu justru
diperlihatkan Prabowo menaiki kuda, punya kantor luas, dan ajudan
yang banyak. Akibatnya, banyak orang yang mengkritik." Kritikan
orang-orang yang masuk melaluinya itu disampaikan ke Prabowo.
Namun, Fami melihat, Prabowo merespons negatif masukannya. Dalam
satu forum partai, Prabowo menyebut bahwa ada kader yang tidak loyal
kepadanya. Dicap tidak loyal itulah yang membuat Fami Fachrudin
dikeluarkan dari DPP oleh formatur tunggal hasil Kongres Luar Biasa
tahun 2012. Formatur tunggal itu yakni Prabowo Subianto sendiri.
Fami menyayangkan, jika Prabowo mencoret namanya karena SMS itu.
Padahal Fami beranggapan, masukan melalui SMS itu justru perbaikan,
menjaga kredibilitas Prabowo sendiri sebagai pembawa amanat
manifesto Gerindra.279
Berdasarkan paparan sejarah pembentukan dan manifesto
perjuangan beserta dinamikanya, kesimpulan penulis, pada bab
sebelumnya, sekilas telah dibahas bahwa Lipset dan Rokkan (1987)
278
Wawancara penulis dengan M. Harris Indra di Warung Kita, Pacific Palace,
Sudirman Jakarta, tanggal 2 Desember 2014. 279
Wawancara penulis dengan Fami Fachrudin, di Kantor PT. Natuna Energy
Indonesia, Menara Palma 7th Floor Unit 701, JL.HR.Rasuna Said Blok X2 Kav.6,
Kuningan, Jakarta Selatan, tanggal 10 Juli 2014.
179
berpendapat partai politik itu merupakan perkembangan dari individu
yang kemudian secara bersama sepakat untuk bersatu dalam suatu
organisasi masyarakat.280
Begitupun dengan Gerindra, sebagai partai
politik, ia tidak berdiri langsung menjadi sebuah partai. Gerindra,
meminjam istilah Darwin, secara evolusionis bertahap mengukuhkan
dirinya menjadi sebuah partai politik.
Paradigma para cendekiawan dan aktivis tentang wacana
masyarakat madani di Indonesia, lumrahnya sependapat dengan
pandangan, Gramscian, Tocquevillian, dan kaum sosiolog.281
Kelompok ini berpendapat bahwa masyarakat madani merupakan
wilayah tersendiri yang terpisah, mandiri, dan berbeda dari, keluarga,
market (pasar), dan negara.282
Meskipun demikian, juga terdapat
wacana masyarakat madani di Indonesia yang lebih cenderung sepakat
dengan paradigma Janoski,283
Chris Hann,284
Uhlin,285
dan kaum
280
Seymour M. Lipset dan Stein Rokkan, Cleavage Structures, Party System, and
Voter Alignments (New York: Free Press, 1987). Lihat juga Jacob Beilasiak,
―Substance and Process in the Development of Party Systems in East Central
Europe,‖ Communist and Post-Communist Studies, 30, No. 1 (1997), 23-44; Herbert
Kitschelt, dkk., ―Citizen, Politicans, and Party Certilization: Political Representation,
and State-Failure in Post-Industrial Democracies,‖ Europe Journal of Political
Research, Vol. 37 (2000), 149; Kuskridho Ambardi, Mengungkap Politik Kartel:
Studi tentang Sistem Kepartaian di Indonesia Era Reformasi (Jakarta: Gramedia,
2009), 23. 281
Wawancara online penulis via academia.edu dengan Martin van Bruinesen,
Selasa, 9 September 2014; Adi Suryadi Culla, Rekonstruksi Civil Society: Wacana
dan Aksi Ornop di Indonesia (Jakarta: LP3ES, 2006), 215; Thania Paffenholz dan
Christoph Spurk, ―Civil Society, Civic Engagement, and Peacebuilding,‖ Social
Development Papers Conflict Prevention and Reconstruction, Paper The World Bank
No. 36/October (2006), 2; Robert W. Cox, ―Civil Society at the Turn of the
Millenium: Prospects for an Alternative World Order,‖ Review of International
Studies, Vol. 25, No. 1 (Jan., 1999), 3-4; European Commission, ―The Roots of
Democracy and Sustainable Development: Europe's Engagement with Civil Society in
External Relations,‖ Communication from the Commission to the European
Parliament, The Council, The European Economic and Social Committee and The
Committee Of The Regions, Brussels, 12.9.2012, COM (2012), 3. 282
Andi Faisal Bakti, ―Paramadina and its Approach to Culture and
Communication: an Engagement in Civil Society,‖ Archipel 68, Paris, (2004), 317;
Andi Faisal Bakti, ―Good Governance dalam Islam: Gagasan dan Pengalaman,‖
dalam Komaruddin Hidayat dan Ahmad Gaus AF (ed.), Islam, Negara, dan Civil
Society: Gerakan dan Pemikiran Islam Kontemporer (Jakarta: Paramadina, 2005),
359. 283
Thomas Janoski, Citizenship and Civil Society, 12.
180
antropolog. Wacana ini beranggapan bahwa aktor masyarakat madani
itu bisa terdiri dari individu, keluarga, partai dalam segala bentuknya,
hingga unsur masyarakat politik. Penulis mendukung wacana
masyarakat madani yang disebut terakhir ini. Bahkan, menurut
Bambang Pranowo, wacana masyarakat madani di Indoesia tidak bisa
dilepaskan begitu saja dari kearifan lokal (local wisdom) peradaban
bangsa ini.286
Dalam kearifan lokal Indonesia, antara masyarakat sipil
dan negara itu bersatu dan menyatu, manunggaling kawula-gusti.
Senada dengan pendapat para cendekiawan yang disebut belakangan,
Jimmly Ashshidqie berpendapat wacana tentang masyarakat madani
sudah berkembang sesuai perkembangan zaman. Dikotomi masyarakat
madani dengan negara dalam perkembangannya telah saling bersinergi.
Sehingga wacana quasi masyarakat madani sepatutnya juga layak untuk
dikaji.287
284
Chris Hann, ―Political Society and Civil Anthropology,‖ dalam Chris Hann dan
Elizabeth Dunn, Civil Society: Challenging Western Models (London dan New york:
Routledge, 1996), 4. 285
Anders Uhlin, Indonesia and the “Third Wave of Democratization:” The
Indonesian Pro-Democracy Movement in a Changing World (London: Curzon Press,
1997), 89-107. 286
Bambang Pranowo, ―Islam and Social Change,‖ Mata Kuliah SPs UIN Jakarta,
4 November, 2013; Bambang Pranowo, Memahami Islam Jawa (Tangerang: Pustaka
Alvabet, 2009). 287
Jimly Asshiddiqie, Kemerdekaan Berserikat, Pembubaran Partai Politik, dan
Mahkamah Konstitusi (Jakarta: Konstitusi Press, 2005), 44. Juga wawancara online
penulis via short message system (SMS) dan web dengan Jimly Asshiddiqie, tanggal
12 Maret 2013.
181
BAB IV
KONSEPSI RUANG PUBLIK DAN KENEGARAAN
Masyarakat madani merupakan wujud masyarakat yang memiiki
keteratuan hidup dalam suasana perikehidupan yang mandiri,
bekeadilan social, dan sejahtera. Masyarakat madani mencerminkan
tingkat kemampuan dan kemajuan masyarakat yang tinggi untuk
bersikap kritis dan partisipatif dalam menghadapi berbagai persoalan
hidup. Thomas Janoski menegaskan bahwa masyarakat madani ini
terbentuk dari asosiasi-asosiasi masyarakat dengan tujuan yang sama.1
Sebagai sebuah komunitas, posisi masyarakat madani berada di atas
keluarga dan di bawah Negara atau di antara keduanya. Komunitas itu
dicirikan oleh budaya gotong-royong yang mampu mendorong anggota
masyarakat untuk terlibat dalam kegiatan bersama secara partisipatif.
Selain aktor individu, bentuk-bentuk masyarakat partisipatif yang
tergabung dalam Gerindra. Aktor individual dan asosiasi kelompok
dibutuhkan agar kehidupan yang demokratis dapat ditopang oleh
masyarakat madani.
A. Kiprah dalam Kegiatan Sosial
1. Organisasi Sayap Partai Gerindra
Selain aktor individual, perjuangan manifesto masyarakat madani
Gerindra juga didukung oleh lembaga swadaya masyarakat dan
organisasi-organisasi sayap partai. Di antaranya adalah Gerakan
Muslim Indonesia Raya (Gemira), Kristen Indonesia Raya (Kira),
Gema Shadhana, Perempuan Indonesia Raya (Pira), Tunas Indonesia
Raya (Tidar), dan Kesehatan Indonesia Raya (Kesira).
Awal didirikannya Gerindra, tidak terlepas dari peran organisasi
publik di bidang pertanian, yaitu Himpunan Kerukunan Tani Indonesia
(HKTI) di mana selama dua periode Prabowo menjadi ketuanya. Selain
HKTI, berbagai macam organisasi mendukung Gerindra, antara lain
Lembaga Masyarakat Peduli Hutan, Kebun dan Pangan, Perbindo
(Perhimpunan Bambu Indonesia) Asosiasi Pedagang Pasar seluruh
1Thomas Janoski, Citizenship and Civil Society: A Framework of Rights and
Obligations in Liberal, Traditional, and Social Democratic Regimes (Cambridge:
Cambridge University Press, 1998), 12.
182
Indonesia (APPSI), Gerakan Muslim Indonesia Raya (Gemira), dan
lain-lain.2
Sejumlah lembaga publik itu bergabung dengan Gerindra karena
merasa prihatin terhadap lingkungan rakyat kecil dan nasib petani yang
selalu bernasib buntung sebagai dampak stuktur ekonomi yang ada.
Untuk memperbaikinya nasib petani harus didahului dengan perubahan
sistem ekonomi. Tapi yang membuat mereka frustasi saat ingin
melakukan perubahan, sebab mereka sebagai organisasi publik
terhempas oleh kekuatan politik. Intinya, politik adalah panglima,
termasuk menentukan nasib petani. Apa yang digagas dan diusulkannya
tak pernah ditanggapi. Sebagai contoh, mereka punya usul negara
jangan impor pangan, ternyata malah impor. Dari situlah akhirnya
mereka menyadari bahwa untuk melakukan perubahan sistem harus
menggunakan kekuatan politik.3
a. Gerakan Muslimin Indonesia Raya
Gerakan Muslimin Indonesia Raya (Gemira) dibentuk pada 13
Maret 2009, diketuai oleh da’i ‘sejuta umat’ Zainuddin MZ. Gemira
dibentuk untuk mewadahi dan memberdayakan umat Islam di
Indonesia. Setelah keluarnya SK tertanggal 28 Oktober 2011,
kepemimpinan Gemira dilanjutkan oleh Habib Mahdi Alatas. Di bawah
kepemimpinan Ḥabīb Mahdi, sampai April 2014 tercatat lebih dari
500.000 anggota yang telah mengantongi Kartu Tanda Anggota (KTA).
Target saya kepengurusan Gemira mencapai 100 % atau ada di semua
provinsi dan kabupaten/kota di Indonesia. Gemira membangun jejaring
dengan kelompok Nahḍiyyīn, al-Khairāt di Indonesia bagian timur, dan
Nahḍat al-Waṭan untuk Nusa Teggara Barat dan sekitarnya. Juga ada
Muhammadiyah, di samping kaderkader muda, baik Himpunan
Mahasiswa Islam (HMI), Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia
(PMII), maupun organisasi kemahasiswaan lainnya.4
Banyak hal yang sudah dilaksanakan Gemira, yang paling utama
tentu saja pembuatan KTA atau KTAnisasi bagi umat Islam yag
2Wawancara penulis dengan Suhardi, Ketua Umum Gerindra, di DPP Gerindra
Ragunan Jakarta, Jum’at, 23 Agustus 2013; Fami Fachrudin, di Kantor PT. Natuna
Energy Indonesia, Menara Palma 7th Floor Unit 701, JL.HR.Rasuna Said Blok X2
Kav.6, Kuningan, Jakarta Selatan, tanggal 10 Juli 2014. 3Wawancara penulis dengan Suhardi, Ketua Umum Gerindra, di DPP Gerindra
Ragunan Jakarta, Jum’at, 23 Agustus 2013. 4Gema Indonesia Raya, “Sesuai Fikih Siyasah Prabowo Pantas Menjadi
Presiden,” Gema Indonesia Raya, edisi 12/Tahun II/April (2012), 9.
183
tergabung. Gemira juga memberikan santunan kepada fakir-miskin dan
fuqara juga korban bencana alam. Selain itu, Gemira melakukan
tablīgh akbar di seluruh Indonesia. Gemira merupakan organisasi Islam
yang bebas, siapa saja boleh masuk jadi anggotanya, selama mereka
memiliki ideologi yang baik, yaitu menganut ajaran Islam. Gemira
berusaha semaksimal mungkin agar para anggotanya merasa saling
memiliki bukannya mereka harus terpecahpecah, baik karena salafi,
tradisioal ataupun modern. Di Gemira, semua anggota adalah umat
Muhammad Saw., yang harus menyuarakan kebenaran. Di sini, umat
Islam harus menjadi suri tauladan, dengan upaya menuju perubahan ke
arah yang lebih baik, bukan hanya menginginkan jabatan atau
kekuasaan.5
Dalam arahan Ḥabīb Mahdi kepada seluruh pengurus dan jama’ah
tidak pernah menawarkan sesuatu yang berlebihan. Ḥabīb hanya
menawarkan perubahan bagi bangsa Indonesia. Artinya, perubahan itu
tak akan pernah berhasil, kecuali partai politiknya kuat. Dan partai
politik kuat harus didukung oleh masyarakat yang benarbenar kuat dan
loyal. Banyak ulama yang telah bergabung dengan Gemira, dan mereka
itu mayoritas ulama yang tidak pernah berpolitik. Di DKI Jakarta,
misalnya, ada Abu Hanifah, yang terkenal dengan ketegasannya untuk
tidak berpartai politik. Tapi untuk Gemira, mau menjadi Dewan
Penasihat Gemira DKI. Bagi Gemira, umat Islam haruslah memilih
sosok pemimpin yang tegas, berprinsip dan berakhlak mulia. Artinya,
tidak terlibat dalam korupsi, memiliki motivasi dan berpihak pada
kerakyatan. Salah satu alasan berdirinya Gemira, yaitu memastikan dan
mempertahankan Pancasila sebagai dasar negara. Karena Pancasila
terbukti mampu menjaga kesatuan dan persatuan bangsa Indonesia.
Pancasila merupakan alasan bagi bangsa Indonesia untuk bersatu.
Bukan suara mayoritas yang menjadi landasan bangsa Indonesia.
Karena itu, Gemira pun harus mendukung tercapainya salah satu
citacita dan tujuan berdirinya Gerindra tersebut.6
5Gema Indonesia Raya, “Sesuai Fikih Siyasah Prabowo Pantas Menjadi
Presiden,” 9. 6Gema Indonesia Raya, “Sesuai Fikih Siyasah Prabowo Pantas Menjadi
Presiden,” 9.
184
b. Kristen Indonesia Raya (Kira)
Kira (Kristen Indonesia Raya)7 merupakan sayap partai yag
diperuntukan bagi para pemeluk Kristen, baik Katolik maupun
Protestan. Menurut Ketua Dewan Pembina KIRA, Hashim
Djojohadikusomo, sayap partai yang menaungi penganut Kristen hanya
Gerindra, yang juga punya sayap untuk Islam, Hindhu dan Budha. Hal
ini menunjukkan bahwa Gerindra memang ingin berbeda, bukan untuk
mengkotakkotakan simpatisan berdasarkan agama dan keyakinan.
Gerindra merupakan partai nasionalis dan Pancasilais.8
Visi Kira adalah “memperjuangkan cita-cita rakyat menuju
masyarakat Indonesia yang bermartabat, sejahtera dan berkeadilan
dalam wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) yang
berlandaskan Pancasila dan UUD 1945 tanpa membedakan suku,
agama dan golongan.” Sedangkan misi yang akan dijalankan di
antaranya adalah: 1). Bersama-sama dengan segenap komponen
masyarakat dan pemerintah bertekad membangun Indonesia sejahtera;
2). Mendorong segenap umat Nasrani yang mempunyai keahlian untuk
turut berperan aktif membangun bangsa Indonesia; 3). Mendorong
segenap umat Nasrani untuk bersama-sama dengan segenap masyarakat
konsekuen mempertahankan keutuhan NKRI; 4). Mendorong
pemerintah untuk secara konsekuen menjalankan UUD 1945 dan
mencabut peraturan-peraturan yang bertentangan dengan semangat
kesatuan NKRI.9 Partai Gerakan Indonesia Raya (Gerindra) melalui
sayapnya Kristen Indonesia Raya (Kira) bekerja sama dengan
Indonesia Christian Network (ICN). Gerakan ini mengusung aktivitas
yang berlandaskan "kebenaran meninggikan derajat bangsa" dari kitab
Amsal pasal 14 ayat 34 Kitab Injil. Gerakan ini juga menekankan
revitalisasi kehidupan politik kebangsaan dan reposisi politisi Kristiani
dalam seluruh aspek kehidupan bemasyarakat, berbangsa, dan
bernegara.10
7KIRA berdiri pada tanggal 18 November 2008, SK No. 11-1287/Kpts/DPP-
GERINDRA/2008. 8Iman Firdaus, “Natal Warga Gerindra,” Gema Idonesia Raya, edisi 10/Tahun
II/Februari (2012), 7. 9Gerindra, “Kristen Indonesia Raya (Kesira),”
http://partaigerindra.or.id/2012/01/17/kristen-indonesia-raya-
kira.html#sthash.3SjteSQx.dpuf, diakses tanggal 12 Januari 2014. 10
Iman Firdaus, “Natal Warga Gerindra,” 7.
185
c. Gerakan Masyarakat Sanathana Dharma Nusantara (Gema
Sadhana)
Gerakan Masyarakat Sanathana Dharma Nusantara (Gema
Sadhana) merupakan sayap partai yang mewakili umat Hindu, Buddha,
Konghucu dan Aliran Kepercayaan pada Tuhan Yang Maha Esa. Partai
gerindra memberi tempat kepada etnis India dan Tionghoa untuk
bersama-sama berperan serta dalam partai. Menurut Ketua Umum
gema Sadhana, A.S. Kobalen, gerakan ini dilatarbelakangi keinginan
untuk mencari jati diri bangsa Indonesia. Selama ini masyarakat
keturunan India dan tionghoa masih menjadi kelompok minoritas dan
seringkali menjadi warga negara kelas dua. Kobalen merasakan
keberadaan kelompok minoritas itu tidak mendapat ruang dalam partai
politik.11
Organisasi ini bertujuan terbinanya anak-anak bangsa,
khususnya umat Hindu, Buddha, Konghucu dan Aliran Kepercayaan
terhadap Tuhan Yang Maha Esa agar menjadi kader-kader Nasional
yang bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa. Selain itu juga untuk
berperan aktif dalam bidang Sosial dan politik nasional, serta mandiri
mengabdi dan berperan aktif atas terwujudnya masyatakat adil dan
makmur tanpa diskriminasi, berdasarkan ideologi Pancasila dan UUD
1945.12
Partai Gerindra memberi tempat bagi masyarakat keturunan India
dan Tionghoa untuk berperan serta. Partai Gerindra memberi ruang dan
kendaraan bagi kaum minoritas ini untuk mengangkat harkat
kelompoknya. Di Partai gerindra pula, Kobalen merasakan keberadaan
partai ini dihambat oleh AIDS dari kelompok lain. AIDS ini bukan
penyakit, melainkan istilah dari “angkuh, iri, dengki, dan sirik.” Ia juga
melemparkan istilah “Duit” sebagai inti gerakan gema Sadhana. “Duit”
adalah akronim dari “doa, usaha, iman, dan takwa,” itulah inti
gerakannya. Di Indonesia ada sekitar 25 juta masyarakat keturunan
India dan tiongoha. Partai Gerindra berupaya untuk menghilangkan
diskriminasi terhadap minoritas. Partai Gerindra memberi tempat
kepada etnis India dan tionghoa untuk bersama-sama berperan serta
dalam partai. Dengan kehadiran Gema Sadhana, maka lengkaplah
Partai Gerindra sebagai wujud aplikasi Bhinneka tunggal Ika.13
11
Budi Sucahyo, “Gema Sadhana: Darah Baru dari Keturunan Etnis India dan
Tionghoa,” Gerakan Indonesia Raya, edisi 8/Tahun I/Desember (2011), 6. 12
Lihat Gema Sadhana, AD/ART Gema Sadhana (Jakarta: Gema Sadhana, 2011),
12. 13
Budi Sucahyo, “Gema Sadhana: ....,” 6.
186
Organisasi ini dijalankan dengan mengedepankan asas
kekeluargaan, saling berbagi dan tukar pendapat, terkait masalah yang
dihadapi. Dengan tujuan untuk menghasilkan keputusan yang akan
memperkuat posisi internal dan eksternal Gema Sadhana dalam
menjalankan roda organisasi serta pergerakannya dalam
memperjuangkan nilai-nilai Pancasila. Dan memiliki kesetaraan di
Negara Kesatuan Republik Indonesia yang Berbhineka Tunggal Ika,
Tan Hanna Dharma Mangrva, berbeda-beda tetapi satu jua, Tidak ada
kerancuan dalam kebenaran.14
Sementara Permadi, selaku Anggota
Dewan Pembina DPP Gema Sadhana mengatakan, Gema Sadhana
adalah sayap Gerindra yang juga sayap spiritual. Karena organisasi ini
dinaungi masyarakat dari beberapa agama. Sehingga dalam pergerakan
sosial kemanusiaan ataupun pergerakan politik nya, harus menemukan
pelita dari ajaran tersebut. Serta menjadi panutan dalam membela
bangsa dan tanah air.
d. Perempuan Indonesia Raya (Pira)
Perempuan Indonesia Raya (Pira) adalah organisasi sayap partai
Gerindra untuk menghimpun dan memberdayakan perempuan
indonesia. Didirikan pada 9 Oktober 2008, visi Pira adalah
meningkatkan kesejahteraan perempuan Indonesia dalam seluruh aspek
kehidupan. Sedangkan misinya adalah meningkatkan ekonomi keluarga
melalui pemahaman tentang pentingnya pendidikan, kesehatan, budi
pekerti, sosial budaya kepada perempuan Indonesia untuk kemandirian
bangsa dan generasi penerus.15
Sampai tahun 2014 ini, Pira dipimpin oleh Ketua Umum Soemarjati
Arjoso. Organisasi perempuan sayap Partai Gerindra ini sudah ada di
seluruh provinsi dan kabupaten sesuai dengan keberadaan DPD dan
DPC Partai Gerindra. Sejak didirikan, Pira sudah melakukan berbagai
kegiatan seperti bakti sosial menyantuni 2000 kaum wanita papa di
Jawa Barat, seminar tentang kanker rahim dan pelayanan papsmear
(2009), donor darah (2009), penyerahan bantuan ke PAUD Nomensen
Jakarta Timur (2009), pengobatan gratis para korban banjir di Desa
Ponco dan Gempol Karawang, seminar empat Pilar bangsa, dan
lokakarya kewirausahaan.16
14
Wawancara dengan Permadi, di Kantor DPP Gerindra Ragunan, tanggal 13-06-
2013. 15
Gerindra, “Pira Mengedepankan Karya Nyata,” Gema Indonesia Raya, edisi
5/Tahun I/Agustus (2011), 8. 16
Gema Idonesia Raya, edisi 10/Tahun II/Februari (2012), 9.
187
Pira mempunyai prinsip lebih mengedepankan kerja dan karya.
Manifesto politik Partai Gerindra yang tertuang dalam Delapan
Program Aksi untuk Kemakmuran Rakyat menjadi lokomotif
perjuangan Pira. Selain itu, organisasi yang bertujuan untuk
menghimpun, menyalurkan, dan menyampaikan aspirasi anggota Pira
kepada Partai Gerindra. Lembaga ini juga disiapkan untuk mengkader
dan menyiapkan 30% calon legislatif perempuan untuk partai
berlambang kepala burung garuda itu.17
Sebagai sayap Partai Gerindra, tujuan utama didirikan Pira untuk
lebih mendorong Partai Gerindra melalui gerakan perempuan. Jadi,
tugas Pira adalah melengkapi dan menyentuh aspek yang belum
tersentuh dari programprogram yang dicanangkan Partai Gerindra.
Bukan hanya sebagai pelengkap, tapi justru menjadi lokomotif. Karena
program pemerintah tidak pernah mengoptimalkan kaum perempuan.
Disinilah titik lemah yang akan Pira rebut untuk bisa mendorong dan
memberdayakan kaum perempuan. Anggota Pira juga mendirikan
Koperasi Mawar Melati. Pengurus Koperasi Mawar Melati kebanyakan
adalah pengurus Pira. Koperasi ini dijadikan media untuk
mensosialisasikan program organisasi dan menarik anggota.18
Dengan mendirikan Koperasi Mawar Melati, Pira bersinergi dengan
pemerintah dan organisasi lain. Dengan pemerintah, Pira pernah
melakukan tiga kegiatan. Pertama, bekerjasama dengan Balitbang
Kementerian Pertanian mengadakan agrowisata bertepatan dengan Hari
Kartini 21 April 2011. Kedua, Pira mengadakan Pameran Pangan
Nusantara bekerja sama dengan Yayasan Srikandi. Yayasan tersebut
adalah kumpulan istriistri orang asing. Dengan kegiatan ini,
orangorang asing yang bekerja di Indonesia bisa memahami potensi
lokal makanan Indonesia. Kegiatan ini didukung oleh Dirjen P2HP
(Pemasaran dan Pengolahan Hasil Pertanian) Kementerian Pertanian.
Dari kedua kegiatan itu, Kementerian Pertanian merasa puas karena
programnya secara tidak langsung disosialisasikan. Selama ini,
programprogram pemerintah hanya diketahui oleh aparaturnya sendiri.
Dengan kegiatan itu, program bisa membumi dan dirasakan
masyarakat. Ketiga, kerjasama Pira dengan Kementerian Koperasi dan
UKM. Hal ini bisa terjalin karena ketua harian Pira, di Dekopin sebagai
dewan pakar. Dengan kegiatan itu, Kementerian Koperasi dan UKM
antusias ingin membantu Koperasi Mawar Melati. Pira pun diberi satu
17
Gerindra, “Pira Mengedepankan Karya Nyata,” 8. 18
Gerindra, “Pira Mengedepankan Karya Nyata,” 8.
188
ruangan di Smesco, pusat pameran koperasi dan usaha kecil dan
menengah, untuk memamerkan hasil karya perempuanperempuan
yang tergabung di Pira.19
e. Tunas Indonesia Raya
Tunas Indonesia Raya (Tidar) dibentuk sebagai organisasi yang
menjadi wadah bagi pemuda-pemudi Indonesia untuk melakukan
kegiatan positif. Tidar mempunyai misi untuk menciptakan calon
pemimpin yang diharapkan dapat memperkokoh Indonesia. Misi ini
akan dicapai melalui berbagai upaya, di antaranya memperkuat dan
membentuk karakter pemuda agar dapat berkarya di mana pun dia
berada.20
Sejak organisasi ini berdiri sudah banyak aksi nyata yang dilakukan
Tidar, salah satu di antaranya Program Sekolah untuk Semua. Program
ini memberikan bantuan pendidikan di mana pengurus Tidar turun
langsung mencari kursi kosong di sekolah-sekolah dasar lalu
menyekolahkan kembali anak-anak putus sekolah. Selain Sekolah
untuk Semua, Tidar juga memiliki Program Buku untuk Semua, yakni
bantuan berupa buku-buku bacaan yang dikumpulkan dalam satu taman
Bacaan Tidar dan Pustaka Keliling Tidar. Lalu, organisasi ini juga
menyalurkan bantuan yang sifatnya peduli kepada sesama yang
mengalami kesulitan, seperti kaum lansia, anak jalanan, keluarga
kurang mampu, anak yatim-piatu, korban bencana alam, dan revolusi
putih. Jadi, melalui berbagai kegiatan itulah Tidar menyampaikan
pesan kepada pemuda Indonesia bahwa masa depan yang kokoh
berawal dari generasi muda yang kokoh. Tidar menyuarakan dan
mendukung karya nyata anak bangsa, demi masa depan Indonesia yang
lebih baik. Untuk itu seluruh pemuda Indonesia diundang untuk
bergabung bersama Tidar, membangun potensi diri demi membangun
Indonesia yang kokoh.21
Tidar sadar bahwa regenerasi kepemimpinan harus terjadi tidak
hanya di bidang politik dan di pemerintahan, namun juga di berbagai
bidang masyarakat. Keadaan saat ini menunjukan belum munculnya
pemimpin muda yang sesuai dengan harapan rakyat. Untuk itu, Tidar
merasa perlu mencetak kader pemimpin bangsa yang bermoral tinggi,
berkarakter, bermartabat, berintegrasi, terampil, peka, serta memiliki
19
Gerindra, “Pira Mengedepankan Karya Nyata,” 8. 20
Ardi Winangun, “Memperkokoh Kader Menuju Indonesia Raya,” Gema
Indonesia Raya, edisi 8/Tahun I/Desember (2011), 8. 21
Ardi Winangun, “Memperkokoh Kader Menuju Indonesia Raya,” 8.
189
jiwa nasionalis, religius, dan pluralis. Kaderisasi di Tidar tidak hanya
ditujukan untuk kepentingan Partai Gerindra sebagai induk organisasi,
tetapi juga ditujukan untuk mempersiapkan calon pemimpin yang
berkarya nyata di masyarakat.22
Kader-kader Tidar adalah pemuda-pemudi Indonesia yang berusia
antara 17 hingga 35 tahun yang ingin belajar berorganisasi dan
berkontribusi untuk masyarakat. Kader Tidar aktif berkarya di
masyarakat dan di bidang keahlian masing-masing. Ada yang berkarya
di bidang politik, kemanusiaan, kesehatan, wirausaha, olahraga, dan
masih banyak lagi di bidang lainnya.23
Tidar berdiri 7 Juli 2008, punya tujuan untuk menyerap,
menampung dan menyalurkan aspirasi pemuda Indonesia, agar dapat
berkontribusi kepada nusa dan bangsa. Sebagai organisasi pemuda,
maka gaya dan pendekatan yang dilakukan sesuai dengan aspirasi,
bahasa, gaya dan cara yang dekat dengan jiwa pemuda. Tidar sangat
konsentrasi menggarap kalangan muda, sebab berdasarkan sebuah
survei, pada Pemilu 2014, pemilih muda usia 17-31 tahun akan
menentukan pemenang pemilu. Jumlah pemilih muda pada Pemilu
2014 diperkirakan 40% hingga 42% dari total pemilih. Prosentase itu
berkisar 90 juta pemilih muda. Tidar ingin merebut suara sebanyak-
banyaknya dari pemilih muda guna meneguhkan partai induk, Partai
gerindra.24
Seleksi anggota yang dilakukan Tidar tidak hanya bakat dan minat,
namun juga membangun karakter tunas bangsa dengan semangat
Pancasila dan UUD 1945. Memiliki misi untuk melahirkan kader
pemimpin bangsa yang bermoral tinggi, berkarakter, bermartabat,
berintegritas, terampil, peka, serta memiliki jiwa yang nasionalis,
religius dan pluralis. Wakil Ketua Umum Tidar, Budisatrio
Djiwandono, menambahkan bahwa organisasi ini dibentuk atas dasar
kesadaran bahwa pemuda memiliki aspirasi yang sangat beragam.
Sebagai pemuda Indonesia, sebagai tunas muda, sudah saatnya
melakukan sesuatu secara konkret untuk maju bersama membangun
negeri ini. Tidar mewadahi dan menyalurkan beragam aspirasi tersebut
dalam berbagai aktivitas yang positif untuk masyarakat secara nyata.25
Tidar sebagai sayap pemuda dan pemudi Partai Gerindra aktif
melakukan berbagai kegiatan sosial, pendidikan, keagamaan, budya
22
Ardi Winangun, “Memperkokoh Kader Menuju Indonesia Raya,” 8. 23
Ardi Winangun, “Memperkokoh Kader Menuju Indonesia Raya,” 8. 24
Ardi Winangun, “Memperkokoh Kader Menuju Indonesia Raya,” 8. 25
Ardi Winangun, “Memperkokoh Kader Menuju Indonesia Raya,” 8.
190
dan lain-lain. Contohnya, dalam bidang pendidikan, diadakan diskusi
rutin setiap Rabu malam. Kegiatan ini disebut Diramal. Diramal adalah
akronim dari Diskusi Rabu Malam. Itulah nama kegiatan yang
diselenggarakan oleh Pengurus Pusat Tunas Indonesia Raya (PP tidar),
sayap pemuda partai Gerindra. Program rutin mingguan dari Bidang
Kaderisasi dan Keanggotaan (OKK) ini berlangsung dari pukul 19.00
hingga 21.30 WIB dan terbuka untuk umum. Kegiatan ini dilaksanakan
bertempat di kantor Tidar yang terletak di Jl. Wolter Monginsi,
Kebayoran Baru, Jakarta Selatan. Wakil Sekretaris Jenderal PP Tidar,
Bahtiar Sebayang, menjelaskan bahwa kegiatan Diramal ini
mempunyai tujuan: pertama, membahas masalah-masalah kebangsaan
dan kerakyatan, khususnya yang berkembang saat ini. Kedua, mencari
dan mendiskusikan gagasan baru, segar, dan sekaligus memberikan
solusi terhadap permasalahan bangsa dan kerakyataan yang ada.
Ketiga, sebagai ruang untuk mengasah dan melatih ketajaman
intelektual dan public speaking. Untuk mengisi acara tersebut, Tidar
mengundang beberapa narasumber, baik dari Partai Gerindra maupun
dari luar partai Gerindra. Mereka yang pernah menjadi pembicara
antara lain, Metta Dharmasaputra (wartawan), emerson Juntho (wakil
koordinator ICW), Mahmudi Muslim (pengamat ekonomi BII), dan
Harun al-Rasyid. (anggota Komisi II DPR dari fraksi Partai
Gerindra).26
f. Kesehatan Indonesia Raya (Kesira)
Kesehatan Indonesia Raya (Kesira) merupakan organisasi otonom
partai Gerindra yang khusus menangani masalah kesehatan. Tujuan
berdirinya adalah utuk membantu masyarakat yang kesulitan
mendapatkan fasilitas kesehatan. Organisasi ini diketuai oleh Sardjana,
Ketua I, bidang klinik dan ambulans. Sebagai seorang praktisi
kesehatan, ia dan para anggota medis lainnya paham betul bagaimana
situasi pelayanan kesehatan yang disediakan pemerintah. Karena itu,
melalui Kesira, akan diperjuangkan bagaimana pola manajemen
kesehatan yang baik sehingga menjadi percontohan bagi pengelolaan
kesehatan. Peraturan tersebut harus mampu menjawab kebutuhan
primer kesehatan dari hulu hingga ke hilir.27
Kesira berdiri berdasar gagasan 152 orang dokter ahli yang hendak
mengumandangkan semangat kebangsaan, dan mempropagandakan
26Ardi Winangun, “Memperkokoh Kader Menuju Indonesia Raya,” 8.
27GIR, “Pokoknya Kesira Telah Menanamkan Kebaikan,” Wawancara Gema
Indonesia Raya, edisi 14/Tahun II/Juni (2012), 9.
191
pentingnya kesehatan, selain pendidikan. Alasan lain yang lebih
sederhana, mereka mempunyai visi dan misi yang sama, serta memiliki
keprihatinan yang sama terhadap pelayanan kesehatan saat ini. Mereka
memandang pemerintah, khususnya Kementerian Kesehatan,
cenderung mengkomersialkan kesehatan dan kurang tepat dalam
membuat kebijakan. Misalnya, pemerintah secara tak terduga
meluncurkan program Jaminan Persalinan Gratis (Jampersal) dengan
tujuan menurunkan angka kematian ibu (AKI) dan angka kematian bayi
(AKB). Namun faktanya, sejak regulasi itu bergulir justru AKI dan
AKB malah naik. Angka section caecarea (section rate) dan angka
infeksi nosokomial naik. Serta angka kematian bayi dalam kandungan
juga naik, karena Bed Occupancy Rate (BOR) naik di atas 100%.28
Menyikapi hal tesebut, Kesira didedikasikan untuk masyarakat
umum. Masing-masing Ketua Kesira di daerah memiliki kemampuan
menerjemahkan program Kesira Pusat, lebih cepat dari yang
dibayangkan. Misalnya, yang semula berupa pendampingan jaminan
pelayanan masyarakat miskin dengan ambulans gratisnya, ternyata
sudah merambah hingga ke deteksi dini kanker serviks dengan
pemeriksaan PAP Smear gratis. Deteksi dini pada ibu hamil dan
penderita kencing manis, dan operasi bedah tumor payudara pun
dilaksanakan secara gratis. Pengobatan gratis ini sudah menjadi
program unggulan Kesira di daerah-daerah. Kesulitan untuk
melaksanakan program gratis tersebut relatif tidak ada. Karena para
ketua dan anggota Kesira nota bene terdiri dari para dokter dan
pegawai kesehatan yang hidupnya lebih seatle (mapan). Jadi, benar-
benar mengabdi, bukan mencari penghasilan dari Kesira. Singkatnya,
ingin melakukan ibadah secara struktural dan kultural kepada
masyarakat.29
Itulah suatu bentuk sumbangsih Kesira kepada partai
berupa pengayoman masyarakat di bidang kesehatan. Mitos
”masyarakat miskin tidak boleh sakit” sudah dijawab oleh Kesira.
Kalaupun masyarakat yang merasa sudah tertolong dengan kehadiran
Kesira, kemudian masyarakat simpati kepada partai Gerindra, itu
merupakan hal yang sudah sewajarnya. Tidak simpatipun, nawaitu
perjuangan Kesira adalah ibadah.
Kondisi pelayanan kesehatan yang ada sekarang, menjadi spirit
untuk perlu melahirkan layanan kesehatan milik swasta sebagaimana
Kesira. Kemenkes mustahil tidak ada ketergantungan pada pihak
28
GIR, “Pokoknya Kesira Telah Menanamkan Kebaikan,” 9. 29
GIR, “Pokoknya Kesira Telah Menanamkan Kebaikan,” 9.
192
swasta. Hal tersebut bisa dilihat dari besaran APBN yang kurang dari
5%, untuk kesehatan. Kemudian bisa juga dilihat dari ketertarikan
masyarakat terhadap asuransi yang masih di bawah 8%, serta etos
kerja, model mental tenaga kesehatan di rumah sakit negeri masih di
bawah 2,5%. Untuk mensiasati hal tersebut, harapan Kesira ke depan
akan terbentuk suatu Rumah Sakit Pusat Kesira. Untuk mewujudkan
hal tersebut, akan digagas masing-masing provinsi harus ada rumah
sakit setingkat Rumah Sakit Pendidikan. Realisasinya, semenjak tahun
2012, di Kabupaten Malang dan Tangerang Selatan sudah berdiri
Rumah Sakit Kesira tanpa kelas.30
Aktivitas Kesira diutamakan pada daerah-daerah, bukannya di
kantong-kantong Gerindra, agar Kesira segera mampu menganalisis
semua tantangan pada awal bekerja. Produk yang ditawarkan Kesira ini
bukan analisis saja, seperti yang menjadi suguhan berita sehari-hari,
baik di media cetak, elektronik, dan lainnya. Tetapi, juga bagaimana
mencari solusinya. Misalnya, kalau ada suatu rumah dan lingkungan
yang tidak atau kurang sehat, Kesira siap membantu untuk
menormalkannya. Selain itu, jika ada orang sakit yang tidak mampu
bayar biaya rumah sakit, Kesira mendampinginya dengan
mengantarkan dengan ambulans Kesira. Serta dibantu mengurus
perlengkapan administrasi sebagai persyaratan Askeskin atau
Jamkesda. Sedangkan sebagai imbalannya ke Kesira, hanya dimintai
kesediaan untuk dibuatkan Kartu Tanda Anggota Gerindra, sebagai
upata KTA-nisasi.31
2. Partai Politik yang Bergabung
Selain organisasi sosial, beberapa partai politik juga ikut berfusi ke
dalam Gerindra. Kader-kader Partai Bulan Bintang (PBB) banyak yang
hijrah ke Gerindra, semisal Fadli, Ahmad Muzani, dan Fami
Fachruddin.32
Partai Bintang Reformasi (PBR) resmi berfusi dengan
partai Gerindra yang berlangsung di Puri Ratna Room, Hotel Sahid,
Jakarta, pada tanggal 18 Pebruari 2011. Dengan adanya kesepakatan
fusi ini, maka konstituen PBR di akar rumput sudah semestinya
mengikuti garis yang telah ditetapkan oleh pucuk pimpinannya guna
memperkuat basis massa partai Partai Gerindra. Untuk selanjutnya,
30
GIR, “Pokoknya Kesira Telah Menanamkan Kebaikan,” 9. 31
GIR, “Pokoknya Kesira Telah Menanamkan Kebaikan,” 9. 32
Wawancara dengan Fami Fachrudin, di Kantor PT. Natuna Energy Indonesia,
Menara Palma 7th Floor Unit 701, JL.HR.Rasuna Said Blok X2 Kav.6, Kuningan,
Jakarta Selatan, tanggal 10 Juli 2014.
193
adalah tugas kader partai pecahan PPP ini untuk mensosialisasikan fusi
ini ke konstituen dan basis massa partai PBR yang tersebar di seluruh
Indonesia.33
PBR sendiri bukanlah partai politik pertama yang menyatakan
bergabung dengan partai Gerindra. Sebelumnya, pada tanggal 31
Oktober 2010, enam (6) parpol yang menamakan dirinya Poros
Amanat Penderitaan Rakyat (Ampera) menyatakan bergabung dengan
Gerindra. Keenam parpol itu adalah: Partai Merdeka, Partai Buruh,
Partai Persatuan Nahdlatul Ummah Indonesia (PPNUI), Partai
Nasional Indonesia Massa Marhaenis (PNI-Marhaenis), Partai
Kedaulatan, dan Partai Serikat Indonesia.34
Partai Kedaulatan Nahdlatul Ulama (PKNU) juga bergabung
dengan Partai Gerakan Indonesia Raya (Gerindra). PKNU memiliki
basis konstituen dari kalangan Islam tradisionalis warga Nahdliyin.
Dengan bergabung bersama Gerindra, diharapkan lebih maksimal bisa
memperjuangkan kesejahteraan hidup kaum miskin, para petani,
nelayan, dan kaum buruh. Selain itu, bergabungnya PKNU ke Gerindra
untuk menyalurkan potensi generasi muda yang berkompeten untuk
bisa memperjuangkan kesejahteraan rakyat dan menumbuhkan budaya
demokratisasi dengan menjadi anggota legislatif dan eksekutif.35
Uniknya lagi, sejumlah mantan petinggi Gerakan Aceh Merdeka
(GAM), juga menyatakan bergabung ke Partai Gerindra. Oleh DPP
Gerindra, mereka diberi kepercayaan untuk memimpin,
mengorganisasikan, dan mengkonsolidasikan partai Gerindra di
wilayah Aceh. Menurut Fadli Zon, sebagaimana dikutip oleh BBC-
Indonesia, salah-seorang mantan elit GAM yang memilih bergabung ke
Partai Gerindra adalah mantan Panglima GAM Muzakkir Manaf, yang
saat ini menjabat sebagai Wakil Gubernur NAD. Mantan petinggi
GAM lainnya yang ikut bergabung adalah TA. Khalid, Maulisman
Hanafiah, Fadhlullah, Kamaruddin Abu Bakar, Darwis Jeunib, Sarjani
Abdullah, Ayub bin Abbas, serta Zulkarnaini Hamzah. Mereka
kemudian dipercaya untuk duduk sebagai pimpinan teras DPD Partai
33
Gerindra, “Berfusi Ke Partai Gerindra: Sebuah Kesadaran untuk Melakukan
Perubahan,” Gerakan Indonesia Raya, Edisi I/Tahun I/April (2011), 8. 34
Gerindra, “Berfusi Ke Partai Gerindra.....,” 8. 35
http://news.okezone.com/read/2013/02/17/339/763105/ini-alasan-pknu-gabung-
dengan-gerindra; http://news.detik.com/read/2013/02/17/184934/2172323/10/alasan-
pknu-gabung-gerindra, diakses tanggal 22 Januari 2014.
194
Gerindra Aceh. Kehadiran para mantan petinggi GAM ini
menunjukkan bahwa Gerindra merupakan yang partai terbuka.36
Fadli menjelaskan, bila fusi ini berjalan sebagai mestinya, artinya
berjalan dari hulu hingga hilir, maka akan menambah amunisi bagi
partai Gerindra dalam memperjuangkan suara rakyat. Dengan
bersatunya partai-partai lainnya ke dalam partai Gerindra, maka akan
terbangun sebuah kekuatan alternatif bagi pemerintahan Indonesia.
Dari kekuatan alternatif ini, akan muncul pula pemimpin-pemimpin
alternatif. Tipe pemimpin yang diharapkan berbasiskan nilai-nilai
Indonesia, bukan pemimpin yang berbasis nilai-nilai Barat semata.
Pemimpin yang berani menantang imperialisme, sebagaimana
Proklamator Indonesia, Bung Karno. Ia dikenal sebagai pemimpin
Indonesia yang berani menentang kolonialisme dan imperialisme. Partai Gerindra dan partai-partai politik yang telah berfusi ke dalam
Partai Gerindra harus dikonsolidasikan platform dan gerakannya.
Konsolidasi ini perlu, karena merupakan sebuah kesadaran untuk
melakukan perubahan secara bersama-sama.37
Kecenderungan berorganisasi atau berpartai sebagian warga negara
yag tergabung dalam Gerindra di atas, pada prinsipnya merupakan
suatu kehidupan untuk berorganisasi. Hal tersebut timbul demi
terpenuhinya kebutuhan dan kepentingan-kepentingan yang sama dari
individu-individu serta untuk mencapai tujuan bersama berdasarkan
persamaan pikiran dan hati nurani.38
Melalui kendaraan Partai
Gerindra, beraneka ragam lembaga swadaya masyarakat dan partai
politik itu bersatu untuk mencapai tujuan yang sama, mensejahterakan
kehidupan masyarakat madani. Dalam kaitan ini, senada dengan Hikam
yang menyatakan bahwa masyarakat madani merupakan suatu entitas
36
http://www.bbc.co.uk/indonesia/berita_indonesia/2013/03/130322_politisi_gam
_pindah_gerindra.shtml, diakses tanggal 22 Januari 2014. 37
Gerindra, “Berfusi Ke Partai Gerindra: Sebuah Kesadaran untuk Melakukan
Perubahan,” Gerakan Indonesia Raya, Edisi I/Tahun I/April (2011), 8. 38
Kecenderungan berorganisasi ini menjadi salah satu bagian dari teori perjanjian
sosial yang dikemukakan baik oleh John Locke maupun J.J. Rousseu. Lihat, George
H. Sabine, A History Of Political Theory, Third Edition, (New York-Chicago-San
Fransisco-Toronto-London; Holt Rinehart And Winston, 1961), 517-541, 575-596.
Sedangkan pentingnya kebebasan nurani (Freedom of Concience) bagi harkat
manusia dan kemanusiaan dikemukakan oleh Nurcholish Madjid dalam tulisan
berjudul “Kebebasan Nurani (Freedom of Concience) dan Kemanusiaan Universal
sebagai Pangkal Demokrasi, Hak Asasi dan Keadilan,” dalam Elza Peldi Taher (ed.),
Demokratisasi Politik, Budaya Dan Ekonomi; Pengalaman Indonesia Masa Orde
Baru (Jakarta; Paramadina, 1994), 123-144.
195
yang keberadaannya menerobos batas-batas kelas, serta memiliki
kepastian politik yang cukup tinggi. Hal tersebut dimaksudkan agar
mampu menjadi kekuatan pengimbang (balancing force) dari adanya
kecenderungan-kecenderungan intervensionis negara. Serta pada saat
yang bersamaan mampu juga untuk melahirkan kekuatan kritis reflektif
(reflective forces) dalam mencegah atau mengurangi derajat konflik-
konflik sebagai akibat dari proses formasi sosial modern. Karena
masyarakat madani mempunyai prasyarat bagi terlahirnya wacana
publik, maka inheren di dalamnya juga mengharuskan kehadiran
sebuah ruang publik yang bebas atau a free public sphere.39
Lebih
lanjut, Hikam menyatakan bahwa hanya dengan munculnya masyarakat
sipil yang kuat dan otonom lah dapat diharapkan pemunculan sebuah
sistem politik demokratis yang kinerjanya dapat diandalkan. Dari
sebuah masyarakat sipil yang sehat itulah maka proses-proses politik
yang sejati (genuine) dan bermakna (meaningful), yaitu suatu politik
yang berbasis pada kewarganegaraan (citizenship politics) dapat
terlaksana secara optimal. Pemberdayaan yang saya maksud di sini
mengandung suatu proses demokratisasi internal di dalam organisasi
masyarakat sipil (OMS), bukan hanya pemberdayaan fisik dan jumlah
belaka. Hanya suatu masyarakat sipil yang memiliki komitmen
demokrasi baik dalam gagasan maupun praksis saja yang bisa menjadi
soko guru sebuah sistem politik demokratis yang efektif.40
Pernyataan Hikam di atas, mensyiratkan beberapa ciri suatu
kelompok dikategorikan sebagai masyarakat madani, atau yang dalam
istilahnya civil society/masyarakat sipil. Ciri tersebut di antaranya
adalah menerobos batas kelas, memiliki kepastian politik, menjadi
kekuatan penyeimbang, melahirkan kekuatan kritis-reflektif, ruang
publik yang bebas, berbasis pada kewargaan, dan organisasi
masyarakat sipil. Ketujuh pilar-pilar atau rukun masyarakat madani
tersebut ada pada organisasi-organisasi sayap Gerindra. Organisasi
sayap Gerindra tidak hanya sekedar menerobos batas kelas, bahkan
lintas suku, ras, dan agama. Organisasi sayap itu memiliki kepastian
politik dengan bernaung di bawah Gerindra yang notabene adalah
parpol yang lulus verifikasi KPU untuk mengikuti Pemilu sedari pemilu
2009 dan tahun 2014. Organisasi sayap Gerindra juga menjadi
39
Muhamad Hikam AS., Demokrasi dan Civil Society (Jakarta: LP3ES, 2006),
84-85. 40
M. Hikam As., “Konsolidasi Demokrasi, Pemberdayaan Masyarakat Sipil dan
Politik Anti Kekerasan,” dalam http://www.mashikam.com/2008/04/konsolidasi-
demokrasi-pemberdayaan.html, diakses tanggal 5 Juni 2014.
196
kekuatan penyeimbang dari kinerja pemerintahan. Hal ini terbukti
dengan lantangnya fraksi Gerindra mengkritik kinerja pemerintahan
yang menyimpang dan merugikan rakyat. Dengan demikian,
merekapun telah mampu melahirkan kekuatan kritis-reflektif. Kritis-
reflektif itu tentu lahir dari ruang publik yang bebas. Organisasi sayap
Gerindra pun merupakan sebuah organisasi kewargaan dalam ruang
publik yang bebas, tanpa ada tekanan sedikitpun Gerindra
mengintervensi untuk bergabung atau tidak.
Uniknya, meskipun sesuai dengan kriterianya, Hikam tetap
membatasi ruang masyarakat madani hanya pada lembaga swadaya
masyarakat yang bukan berupa partai politik atau tidak tergabung
dengannya. Baginya, hanya ada dua ruang, masyarakat madani atau
masyarakat politik. Padahal pada realitasnya, masyarakat politik
mengandung unsur-unsur masyarakat madani, begitupun sebaliknya.
Masyarakat madani terkandung unsur-unsur yang akan
menyamakannya dengan masyarakat politik. Gerindra dan organisasi-
organisasi atau partai sayapnya di atas dalam kerangka Hikam ini
dengan demikian bukan merupakan bagian dari masyarakat madani.
Karena organisasi sayap tersebut merupakan bagian dari masyarakat
politik. Ambiguisitas wacana mmasyarakat madani Hikam, menurut
penulis, akibat adanya dikotomi yang rigid mengharuskan saling
berhadap-hadapannya antara pihak negara (state) dengan masyarakat
madani.
Fachry Ali senada dengan pernyataan Hikam, ia berpendapat partai
politik beserta underbow atau organisasi sayapnya bukan merupakan
bagian dari aktor masyarakat madani.41
Namun, bagi Jimmly
Ashshiddiqie, partai politik dan organisasi sayapnya, sebagaimana
Gerindra, termasuk bagian dari masyarakat madani karena merupakan
himpunan individu-individu yang mempunyai pandangan yang sama
tentang perkembangan negara dan masyarakat.42
Tujuan partai politik
adalah meraih kekuasaan secara damai dan konstitusional melalui
pemilihan umum. Dengan kekuasaan eksekutif atau legilatif, maka
harapan partai untuk merealisasikan ideologinya dapat relatif dengan
mudah dilaksanakan. Sebagian besar cita-cita partai politik adalah
memperbaiki keadaan rakyat. Jimmly menjelaskan bahwa partai politik
41
Wawancara penulis dengan tokoh politik dan masyarakat madani Fachry Ali,
tanggal 30 Agustus 2014. 42
Jimly Asshiddiqie, “Dinamika Partai Politik dan Demokrasi,”
http://jimly.com/pemikiran/makalah?page=7> pada 15 Desember 2013, diakses
tanggal 23 Januari 2014.
197
adalah merupakan salah satu saja dari bentuk pelembagaan sebagai
wujud ekspresi ide-ide, pikiran-pikiran, pandangan, dan keyakinan
bebas dalam masyarakat demokratis. Di samping partai politik, bentuk
ekspresi lainnya terjelma juga dalam wujud kebebasan pers, kebebasan
berkumpul, ataupun kebebasan berserikat melalui organisasi-organisasi
non-partai politik seperti lembaga swadaya masyarakat (LSM),
organisasi-organisasi kemasyarakatan (ormas), organisasi non
pemerintah (NGO’s), dan lain sebagainya.43
Pernyataan Jimly, menurut penulis, lebih fleksibel dan sesuai
dengan perkembangan zaman wacana masyarakat madani. Meminjam
kerangka masyarakat madani Tim ICCE UIN Jakarta, Gerindra adalah
sebuah kerangka hukum yang melindungi dan menjamin hak-hak dasar
individu anggotanya. Organisasi sayap Gerindra tersebut merupakan
perkumpulan sukarela yang terbebas dari negara. Selain itu, organisasi
sayap tersebut juga sebagai bagian dari suatu ruang publik yang mampu
mengartikulasikan isu-isu politik, gerakan warga negara dan mampu
mengendalikan diri dan independen. Dalam organisasi tersebut, secara
bersama-sama mengakui norma-norma dan budaya yang menjadi
identitas dan solidaritas yang terbentuk.44
Organisasi sayap Gerindra merupakan suatu umat dari beraneka
macam umat. Kata umat berasal dari bahasa Arab al-ummah.45 Pakar
bahasa al-Aṣfihānī menjelaskan bahwa al-ummah (jamaknya umam)
merupakan perkumpulan yang terbentuk karena sesuatu hal (kullū
jamā'ah yajma'uhum amr mā). Perkumpulan itu bisa terbentuk
adakalanya disebabkan karena kesamaan agama, waktu, tempat dan
lain-lain. Al-Rāghib al-Aṣfihāni kemudian menunjukkan pemaknaan
al-ummah yang berbeda-beda dalam ayat-ayat al-Qur'an yang
menggunakan term al-ummah atau al-umām tersebut. Ayat: "Pada
mulanya manusia adalah ummah yang satu,"46 Ayat: "Kalau sekiranya
Tuhanmu berkeinginan, (tentu) Dia akan menjadi manusia ini satu
43
Jimly Asshiddiqie, “Dinamika Partai Politik dan Demokrasi,” 3. 44
Tim ICCE UIN, Pendidikan Kewargaan: Demokrasi HAM dan Masyarakat
Modern (Jakarta: UIN Jakarta Press, 2000), 138; Hendro Prasetyo, Ali Munhanif,
dkk, Islam dan Civil Society (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2002), 1-2. 45
Term al-Ummah dibentuk dari kata asal yaitu alif dan mim dibaca umm, yang
berarti sesuatu yang menjadi tumpuan/acuan bagi yang lain. Dari dua huruf asal ini,
bisa terbentuk beraneka makna yang diyakini punya kedekatan makna satu dengan
yang lain, seperti asal (al-aṣāl), tempat kembali (al-marja'), kumpulan (al-jamā'ah),
agama (al-dīn). Lihat Abū al-Ḥusain Aḥmad ibn Fāris ibn Zakariā, Maqāyīs al-
Lughah, juz I (t.t: Ittiḥād al-Kitāb al-'Arab, 2002), 55. 46
QS. Al-Baqarah/2: 213.
198
ummah (saja),"47 diartikan satu dalam keimanan. Ayat: "Dan hendaklah
ada di antara kamu satu ummah yang mengajak kepada kebaikan,"48
diartikan satu komunitas orang yang berilmu dan beramal kebaikan
yang menjadi contoh bagi orang lain. Ayat tersebut adalah:
Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru
kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma'rūf dan mencegah dari
yang munkar; merekalah orang-orang yang beruntung. (QS. Ali
'Imrān/3: 104).
Ayat al-Qur’an tentang umat selajutnya adalah, "Sesungguhnya
kami dapati nenek moyang kami pada satu ummah,"49 diartikan satu
agama. Ayat: "Sesungguhnya Ibrahim adalah ummah yang taat kepada
Allah,"50 diartikan bahwa ketaatan Ibrahim layaknya seperti ketaatan
sekelompok orang. Ayat: "Tidaklah sama, di antara ahli kitab ada
ummah yang taat,"51 diartikan sekelompok orang yang punya satu
bentuk ibadah tertentu.52 Di dalam Ensiklopedia Al-Qur'an, kemudian
ditambahkan, bahwa satu generasi yang memiliki seorang Nabi atau
Rasul juga disebut dengan ummah.53 Organisai sayap Gerindra memenuhi unsur-usur kriteria umat di
atas. Semisal, Gemira, Kira, dan Gema Sadhana merupakan kumpulan
umat dengan satu dalam keimanan yang sama dan satu generasi yang
memiliki seorang Nabi atau Rasul juga disebut dengan ummah. Dalam
konteks keindonesiaan, keimanan mereka bersandar pada sila
Ketuhanan Yang Maha Esa. Tidar, Pira, Gerbang, merupakan satu
komunitas orang yang berilmu dan beramal kebaikan yang menjadi
contoh bagi orang lain. Partai Merdeka, Partai Buruh, PPNUI, PNI-
47
QS. Hūd/11: 118. 48
QS. Ali 'Imrān/3: 104. 49
QS. Al-Zukhruf/43: 22, 23. 50
QS. al-Naḥl/16: 120. 51
QS. Ali 'Imrān/3: 113. 52
Al-Rāghib al-Aṣfihāni, Mu'jam Mufradāt Alfāż al-Qur'ān (Beirūt: Dār al-Fikr,
t.th), h. 19. 53
M. Quraish Shihab.et al, Ensiklopedi Al-Qur'an: Kajian Kosakata dan
Tafsirnya (Jakarta: PT. Intermasa, 1997), 394.
199
Marhaenis, Partai Kedaulatan, PSI, PKNU, GAM merupakan
sekelompok orang yang punya satu bentuk ibadah tertentu. Penolakan terhadap masyarakat politik dari Hikam dan Fachry Ali
karena lebih berkecenderungan kepada konsepsi Tocquevillian dan
Gramscian dalam menandai kehadiran masyarakat madani. Meskipun,
dalam cara pandang Tocquevillian dan Gramsician sendiri, organisasi
sayap Gerindra bisa dilihat sebagai wilayah-wilayah kehidupan sosial
yang bersifat yang terorganisir dan bercirikan antara lain kesukarelaan
(voluntary), keswasembadaan (self generating) dan keswadayaan (self
supporting), dan memiliki kemandirian tinggi berhadapan dengan
negara dan terikat dengan norma-norma atau nilai-nilai hukum yang
diikuti oleh warganya.54
Dalam kerangka hidup bersama, masyarakat madani bukan semata-
mata kehidupan asosiasional yang nyaman seperti yang tergambar
dalam konsepsi Tocquevillian dan Gramscian tersebut. Sebagaimana
telah dijelaskan dalam bab satu, Max Weber,55
EE. Schattscheider,56
John Keane, AR. Norton dan cendekiawan masyarakat madani
Indonesia57
menolak pandangan tersebut. Mereka sepakat menyatakan
apapun bentuk dari suatu perkumpulan masyarakat yang berkembang,
tak terkecuali partai politik, bisa bekerja sama dengan negara untuk
membentuk suatu masyarakat civil society (masyarakat madani) yang
demokratis.58
Seyogyanya, meskipun unsur ke-swa-an di tersebut
54
Lihat pembahasan yang relevan dalam Alexis de Tocqueville, Democracy in
America, jilid 1 dan 2 (New York: Vitage Books , 1945); lihat juga Vahid Amani
Zoeram, Lee Yok Fee, Mohammad Agus Yusoff, dan Fakhreddin Soltani,
“Democracy in de Tocqueville Theory and New Islamic Movements,” International
Journal of Asian Social Science, No. 2, (2012), 2220-2223. 55
Max Weber sebagaimana dikutip oleh Ivan Doherty berpendapat bahwa partai
politik merupakan anak kandung demokrasi, lihat Ivan Doherty “Democracy Out of
Balance: Civil Society Can’t Replace Political Parties,” Policy Review, April dan Mei
(2001), 25 56
Lihat SC. Stokes, “Political Parties and Democracy,” Annual Review Political
Scences, Vol. 2 (1999), 243-267. 57
Lihat Azyumardi Azra, “Politik Lokal dan Pembelajaran Politik,” dalam Andy
Ramses M dan La Bakry (ed.), Pemerintahan Daerah di Indonesia (Jakarta: MIPI,
2009), 31-33; Azyumardi Azra, “Oposisi Cak Nur: Oposisi Soliter,” dalam Sukandi
A.K., (ed.), Prof. Dr. Nurcholis Madjid Jejak Pemikir dari Pembaharu sampai Guru
Bangsa (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2003), 384-385.. 58
Azyumardi Azra, “Civil Society and Democratization in Indonesia: The
Transition Under President Wahid and Beyond,” dalam David C. Shack dan Wayne
Hudson, Civil Society In Asia (Law, Ethic and Governance) (Hampshire, Inggris dan
Burlington, USA: Ashgate Publishing Company, 2003), 75; Neera Chandhoke, “The
200
menjadi dasar, masyarakat madani juga setidak-tidaknya
mencerminkan beberapa karakter utama sebagai berikut:
Pertama, masyarakat madani mensyaratkan keterlibatan warga
dalam tindakan kolektif di wilayah publik yang mampu mewadahi
berbagai aneka ragam entitas dan kepentingan untuk mencapai
kebaikan bersama, tak terkecuali partai politik. Ranah publik tidak
hanya menyangkut sesuatu yang bersifat fisik-spasial-arsitektural. Juga
harus mampu mengayomi ranah-ranah kultural, sosial, politik, hukum,
agama, dan sebagainya. Dengan demikian, keberadaan masyarakat
madani bukan hanya dipandang dari segi kesemarakan dan tingkat
kepadatan assoasional, melainkan sejauhmana warga terlibat dalam
pencapaian tujuan-tujuan publik (bersama), meski keterlibatannya
dalam organisasi sayap partai. Dengan catatan, upaya mencapai tujuan
bersama itu dilakukan dengan cara terbuka (inklusif), akuntabel,
korporatif, dan mudah diakses oleh seluruh warga. Tidak eksklusif,
tertutup, rahasia dan rasialis.59
Robert Putnam membingkai komunitas
warga (civic community) diukur dengan sejauh mana keterlibatan dan
komitmen warga dalam proses politik (civic engagement), kesetaraan
politik (political equality), solidaritas, kepercayaan (trust), dan
toleransi serta kehidupan asosiasional yang kuat.60
Kedua, masyarakat madani bukan terpisah dari negara, melainkan
berhubungan dengan Negara. Menurut Keane, sebagaimana yang
Civil and the Political in Civil Society,” dalam C.M. Elliot (ed.), Civil Society and
Democracy: a Reader (Oxford: Oxford University Press, 2003), 255; Andi Faisal
Bakti dkk, Literasi Politik dan Konsolidasi Demokrasi (Ciputat: Churia Press, 2012),
4-6. 59
Jimly Asshiddiqie, “Dinamika Partai Politik dan Demokrasi,”
http://jimly.com/pemikiran/makalah?page=7> pada 15 Desember 2013, diakses
tanggal 23 Januari 2014; L. David Brown dan Archana Kalegaonkar, ”Addressing
Civil Society’s Challenges: Support Organizations as Emerging Institutions,” Institute
for Development Report (IDR) Reports, Volume 15, Number 2, (1999), 1-2; Carlo
Ruzza, “The International Protection Regime for Minorities, the Aftermath of the
2008 Financial Crisis and the EU: New Challenges for Non-State Actors,”
International Journal on Minority and Group Rights 18 (2011), 219–220; Marvin B.
Becker, “An Essay on the Vicissitudes of Civil Society with Special Reference to
Scotland in the Eighteenth Century,” Indiana Law Journal, Volume 72, Issue 2
Article 8 (1997), 462; Carmen Malena dan Volkhart Finn Heinrich, “Can we measure
civil society? A proposed methodology for international comparative research,”
Development in Practice, Volume 17, Number 3, June (2007), 339; Civicus,
“State of Civil Society 2013: Creating an enabling environment,” Civicus: World
Alliance for Citizen Participation (2013), 10. 60
201
dikutip oleh Azra, dalam budaya demokrasi, masyarakat madani
bukanlah harus selalu berhadap-hadapan ataupun medompleng pada
kekuasaan negara. Demokrasi menghendaki pemerintah untuk
memerintah masyarakat madani secara tidak berlebihan ataupun terlalu
sedikit. Sementara itu, tatanan yang lebih demokratis tidak bisa
dibangun melalui kekuasaan negara. Ia juga tidak bisa diciptakan tanpa
kekuasaan negara.61
Dengan demikian, masyarakat madani menjadi
relevan untuk membangun solidaritas dan asosiasi lintas warga yang
akan membantu mereka untuk mengantarkan, menegosiasi aspirasi dan
kepentingannya terhadap Negara. Asosiasi-asosiasi sosial tersebut
mengontrol negara dengan segala kebijakan-kebijakannya.
Ketiga, masyarakat madani selain memiliki persamaan, secara
inheren juga terkandung keunikan-keunikan tersendiri dan
keberagaman (pluralisme). Oleh karenanya, rancang-bangun
masyarakat madani terwujud dan akan semakin kokoh jika tidak ada
satu kelompok yang berupaya memonopoli ruang fungsional atau
politik dalam suatu masyarakat. Masyarakat madani tidak mengisolir
atau bahkan menganulir eksistensi suatu kelompok lain selagi yang
dituju adalah menegakkan kebenaran dan melawan segala bentuk tirani.
Dengan demikian, menurut Hefner dan Azra, masyarakat madani
tidak akan dapat melaksanakan fungsinya sebagai alat kontrol bagi
negara, kecuali ada keadaban demokrasi (democratic civility) dan
demokrasi keadaban (civilitized democracy) di dalam masyarakat
madani itu sendiri.62
Civil society adalah tatanan dimana kepentingan-
kepentingan tadi ditata dalam aturan demokratis seperti tidak
bergantung secara personal, tidak menindas dan eksploitatif. Dalam
tatanan civil society yang demokratis, setiap individu diberikan
kebebasan untuk bergerak di ruang publik untuk menentukan afiliasi
keagaan dan sentimen lainnya. Dan oleh karena itu diberikan
kebabasan bagi partisipasi politik dalam pembuatan program dan
kebijakan.
B. Dinamika Perjuangan di Kancah Kenegaraan
Sebagai pendatang baru, kiprah Gerindra dalam ikut membangun
masyarakat madani di wilayah negara baru terealisasikan pada Pemilu
61
Azyumardi Azra, Menuju Masyarakat Madani: Gagasan, Fakta, dan
Tantangan, (Bandung: Rosdakarya, 1999), 6. 62
Kerangka bangun masyarakat madani dari Robert W. Hefner di re-formulasikan
kembali oleh Azyumardi Azra dalam karya “Reposisi Hubungan Agama dan Negara:
Merajut Kerukunan Antarumat (Jakarta: Penerbit Buku Kompas, 2002).
202
2009-2014 dan 2014-2015. Pada kancah pemilu perdananya, Gerindra
mampu meraih 26 kursi di DPR dengan perolehan suara sebanyak
4.646.406 suara (4,5%). Sedangkan pada pemilu kedua, naik pada
posisi keenam dengan memperoleh 73 kursi naik 47 kursi DPR-RI dan
meraup suara sejumlah 14.760.371 suara (11,81%). Selain itu, Gerindra
setelah berkoalisi dengan PPP, PAN, PKS, PBB, dan Golkar mampu
mengusung Prabowo Subianto-Hatta Radjasa menjadi Calon Presiden
dan wakilnya yang akan memimpin laju pemerintahan negara ini.
Meskipun belum berhasil pada pemilihan presiden tahun 2014 ini,
namun Gerindra telah dipercaya rakyat dengan meraih suara sebesar
62.576.444 atau prosentase 46,85 %. Sedangkan pasangan Calon
Presiden dan Wakil Presiden Joko Widodo dan M. Jusuf Kalla
mendapatkan jumlah suara sebesar 70.997.833 atau prosentase
53,15%.63
Dengan keberhasilan dipercaya oleh rakyat pada pemilu tersebut,
untuk kedua kalinya, Partai Gerindra telah ikut bersumbangsih terhadap
laju pemerintahan. Melalui wakil-wakilnya, Gerindra mengemban
amanah rakyat untuk memperjuangkan aspirasinya di lembaga
legislatif. Dengan fungsinya sebagai legislasi, pengawasan, dan
anggaran, Gerindra bisa berjuang untuk mensejahterakan rakyat secara
maksimal. Meskipun, menurut Permadi, karena jumlah anggota
Gerindra yang masih minoritas, di parlemen, untuk kebijakan-kebijakan
yang populis Gerindra dengan mudah ikut menjadi penentu kebijakan.
sedangkan untuk kasus-kasus kebijakan tertentu, yang membutuhkan
suara mayoritas atau voting, Gerindra belum bisa berbuat banyak,
kecuali hanya membuat nota surat catatan bagi lembaga legislatif.64
Untuk mengetahui lebih jauh dinamika perjuangan Fraksi Partai
Gerindra di DPR dalam ranah kenegaraan, maka di bawah ini akan
dipaparkan perjuangan-perjuangan dan capaian yang telah ikut
disumbangkan demi terbentuknya masyarakat Indonesia yang madani.
1. Perjuangan di Lembaga Legislatif
Menurut Widjono Hardjanto, Ketua Fraksi Partai Gerindra di DPR
periode 2009-2014, perjuangan anggota-anggota selalu berpedoman
pada delapan program aksi Partai Gerindra. Hal ini menjadi panduan
utama setiap anggota fraksi dalam menjalankan tugasnya masing-
63
Lihat http://www.kpu.go.id/index.php/post/read/2014/3433/KPU-Tetapkan-
Hasil-Pemilu-Presiden-dan-Wakil-Presiden-2014, diakses tanggal 28 Agustus 2014. 64
Wawancara dengan Permadi, di Kantor DPP Gerindra Ragunan, tanggal 13-06-
2013.
203
masing di manapun ia ditempatkan, baik di komisi maupun di badan
kelengkapan DPR lainnya. Fraksi Gerindra selalu mempertimbangkan
aspirasi masyarakat, baik disampaikan secara langsung ketika
menerima delegasi masyarakat yang datang ke DPR maupun melalui
dialog tatkala turun ke lapangan.65
Selain itu, Gerindra dalam hubungannya dengan negara, berdiri
tegas dengan menjadi partai oposisi yang jelas dan tegas selalu
mengkritisi kebijakan-kebijakan pemerintahan yang merugikan rakyat
dan negara.66
Ahmad Muzani mengatakan bahwa sebagai partai yang
berada di luar pemerintahan, tentu Gerindra memiliki posisi lebih
netral. artinya, Gerindra memiliki kebebasan untuk berfikir lebih jernih,
mana yang lebih mendekati kepentingan rakyat. Misalnya, bagaimana
pemerintah di satu sisi menyatakan swasembada pangan, tapi di sisi
lain Gerindra menemukan fakta terjadi impor beras sebesar 1,2 juta ton.
itu jelas merupakan sebuah kebijakan yang paradoks, antara pengakuan
pemerintah di satu sisi dan kenyataan lapangan di sisi lain.67
Dalam ranah kenegaraan, Gerindra berjuang memperoleh
kekuasaan politik secara konstitusional guna mewujudkan
pemerintahan, sebagaimana dimaksud dalam Pembukaan Undang-
undang Dasar 1945, yang melindungi segenap bangsa Indonesia,
memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa
serta ikut melaksanakan ketertiban dunia. Gerindra bercita menciptakan
masyarakat adil dan makmur, merata material dan spiritual berdasarkan
Pancasila dan Undang-undang Dasar 1945 dalam wadah Negara
Kesatuan Republik Indonesia. Gerindrapun berupaya untuk
mewujudkan kedaulatan rakyat dalam rangka mengembangkan
kehidupan demokrasi, yang menjungjung tinggi dan menghormati
kebenaran, hukum, dan keadilan; Mewujudkan ekonomi kerakyatan
yang bertumpu pada kekuatan bangsa, yang mengarahkan pada
kedaulatan dan kemandirian bangsa.68
Selain itu Gerindra berupaya
Mendorong pembangunan nasional yang menitik beratkan pada
pembangunan ekonomi kerakyatan, pertumbuhan ekonomi yang
65
Gema Indonesia Raya, “Fraksi Gerindra di DPR Selalu Pertimbangkan Aspirasi
Masyarakat,” Wawancara Gema Indonesia Raya, edisi 2/Tahun I/Mei (2011), 10. 66
Prabowo Subianto, “Pemilu 2014 adalah Momentum Kita,” Gema Indonesia
Raya, Edisi 24/Tahun III/April, (2013), 1. 67
GIR, “Ahmad Muzani, Sekjen DPP Gerindra: Impian itu Semakin Dekat,”
Wawancara Gema Idonesia Raya, edisi I/Tahun I/April (2011), 12. 68
Hashim Djojohadikusumo, “Gerindra Membela dan Melestarikan Pancasila,”
Gema Indonesia Raya, Edisi 7/Tahun I/November, (2011), 1.
204
berkelanjutan, dan pemerataan hasil-hasil pembangunan bagi seluruh
warga bangsa dengan mengurangi ketergantungan kepada pihak asing;
Membentuk tatanan sosial dan politik masyarakat yang kondusif untuk
mewujudkan kedaulatan rakyat dan kesejahteraan rakyat; Menegakkan
supremasi hukum dengan mengedepankan praduga tak bersalah dan
persamaan hak di depan hukum; Merebut kekuasaan pemerintahan
secara konstitusi melalui Pemilu Legislatif dan Pemilu Presiden untuk
menciptakan lapisan Kepemimpinan nasional yang kuat.69
Meski bukan fraksi mayoritas di DPR, namun kinerja Fraksi Partai
Gerindra dalam sedari tahun 2009 telah mendapat banyak apresiasi dari
rakyat. Banyak kebijakan yang mendapat sorotan publik menjadi
concern dari Fraksi partai Gerindra. Di antaranya pembangunan gedung
DPR/MPR RI yang mendapat pro dan kontra. Gerindra tegas menolak
pembangunan gedung tersebut karena Gerindra sadar bahwa
mengutamakan kepentingan rakyat jauh lebih utama ketimbang harus
membangun gedung mewah wakil rakyat. Selain itu, Gerindra
mengambil sikap tegas da jelas terhadap kebijakan pemerintah tentang
kenaikan harga BBM. Rencana pemerintah menaikan harga BBM
mendapat penolakan keras dari Fraksi Partai Gerindra. Kendati dengan
anggota minoritas di Dewan Gerindra tetap memperlihatkan
kemampuannya. Fraksi Gerindra menyadari potensi jebolnya APBN
akibat subsidi yang terus membengkak. Namun bukan berarti harus
memberatkan rakyat kecil untuk memperoleh subsidi BBM. Ada cara
lain yang bisa dilakukan agar subsidi tidak membengkak misalnya
dengan mengefektifkan penggunaan bahan bakar gas (BBG) dan
pemerintah sebenarnya memiliki kemampuan menghemat anggaran
yang bisa dialokasikan untuk subsidi BBM. Hal selanjutnya yang
mendapat sorotan publik lainnya adalah soal revisi UU KPK. Gerindra
secara tegas menolak revisi UU KPK karena revisi tersebut berpotensi
melemahkan kewenangan KPK sebagai garda terdepan dalam
pemberantasan korupsi. Selain hal di atas masih banyak yang telah
Fraksi Partai Gerindra perjuangkan untuk rakyat termasuk menginisiasi
lahirnya sejumlah UU yang pro rakyat serta mengedepankan
pembahasan anggaran untuk rakyat.70
Adapun contoh bentuk dan capaian perjuangan fraksi di lembaga
lagislatif di antaranya adalah:
69
Gerindra, Manifesto Perjuangan Partai Gerindra, 8-9. 70
Fraksi Gerindra, “Terus Bersama Rakyat,” Majalah Kabar Fraksi Gerindra,
edisi Januari (2013), 3.
205
Bagus Jelantik, anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI dari
Fraksi Gerindra yang duduk sebagai anggota Komisi IV membidangi
pertanian, pertanahan, kehutanan dan kelautan. Sebagai wakil rakyat,
dengan kapasitas dan pengalamannya, bersama rekan-rekannya di
Komisi IV, ia tengah memperjuangkan nasib para petani terhadap
melambungnya harga pupuk, padahal kualitasnya rendah. Menurutnya,
kebijakan pemerintah terhadap bidang pertanian yang tumpang tindih
kian memperparah kondisi negeri yang pernah dijuluki negara lumbung
pangan ini.71 Di bawah semangat manifesto perjuangan Gerindra, ia
berjuang agar bidang pertanian, pertanahan, kehutanan, dan kelautan
dalam kebijakan-kebijakannya mengedepankan kesejahteraan rakyat
banyak.
Sadar Subagyo72 duduk di Komisi XI yang membidangi masalah
keuangan. Di Komisi XI, Sadar kerap mengkritik kebijakan-kebijakan
negara, dalam hal ini DPR dan pemerintah yang kerap tidak pro-rakyat
dan tidak pro-kesejahteraan. Contoh kongkritnya adalah ada dalam
Anggaran Penerimaan dan Belanja Negara (APBN) yang dari tahun ke
tahun menunjukkan perilaku yang sama. Yang ada hanyalah permainan
angka-angka saja. Faktanya negara salah urus dari sejak perencanaan
yang tak matang dan realisasi yang amburadul. APBN tidak berpihak
pada rakyat, malah menjadi sumber dari segala sumber korupsi. Hal ini
bisa dilihat dari realisasi belanja APBN 2010 misalnya pada data per
November 2010, penyerapan hanya 62 persen. Dari total rata-rata,
hanya belanja pegawai saja yang realisasinya lebih dari 80 persen,
selebihnya masih di bawah 75 persen. Bahkan untuk belanja modal
hanya 46 persen. Anehnya, dalam satu bulan saja prosentase itu dapat
disulap menjulang melalui ritual menghabiskan anggaran pada bulan
Desember. Setidaknya itulah satu dari sekian perjuangan di Komisi XI
selama ini. Untuk itu, ia dan fraksinya terus mengawal setiap jengkal
perjalanan APBN hingga disahkan dalam sidang paripurna DPR,
termasuk dalam aplikasinya di lapangan.
Fary Djemy Francis,73
masuk di Komisi V yang membidangi
masalah infrastruktur, di antaranya meliputi pekerjaan umum,
perhubungan, perumahan rakyat, pembangunan daerah tertinggal,
71
Hayat Fachrurrozi, “Lebih Dekat dengan Ida Bagus Jelantik,” Majalah Garuda,
edisi Juni (2011), 10; Fraksi Gerindra, “RUU Perdagangan Untuk Siapa?,” Majalah
Kabar Fraksi Gerindra, edisi Mei (2014), 3. 72
Fraksi Gerindra, “Terus Bersama Rakyat,” 5. 73
Hayat Fachrurozi, “Fary Djemy Francis, Konsisten atas Perjuangan,” Majalah
Garuda Edisi Mei (2012), 10.
206
telekomunikasi, BMG dan SAR. Menurutnya, di komisi ini, ia terus
memperjuangkan pembangunan infrastruktur desa yang berbasis tani
dan nelayan. Dimana intinya bahwa delapan program aksi Partai
Gerindra harus kita amankan dalam rangka membangun Indonesia
mulai dari desa. Jangan sampai daerah tertinggal merasa ditinggal, yang
terpencil merasa dikucilkan. Inilah yang terus diperjuangkan.
Edhy Prabowo74
diamanatkan untuk duduk di komisi VI. Di komisi
ini menjadi mitra kerjanya adalah Kementrian BUMN, Kementerian
Perindustrian, Kementerian Perdagangan, Kementerian Koperasi,
Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM), Badan Standar
Nasional (BSN), Badan Perlindungan Konsumen Nasional dan Komisi
Pengawasan Persaingan Usaha (KPPU). Di komisi ini ia menolak
privatisasi BUMN, semangat industrialisasi, hentikan ekspor barang
mentah, kurangi impor. Apa yang bisa oleh bangsa ini diproduksi
sendiri, lebih baik diproduksi di dalam negeri. Gerindra tetap dalam
perjuangannya menolak segala privatisasi BUMN, apapun bentuknya.
Setidaknya, ada lebih dari 140 BUMN yang harus diawasi jangan
sampai BUMN diobral begitu saja seperti kasus Krakatau Steel
beberapa waktu lalu. Dan dengan asset Rp 2400 triliun, BUMN
harusnya untung minimal 10 persen. Selama ini hanya hanya untung
tidak lebih dari Rp 100 triliun.
Saifuddin Donodjoyo duduk di Komisi VIII yang membidangi
urusan kesejahteraan sosial. Menurutnya, bidang kesejahteraan sosial
ini menyerap anggaran lebih dari Rp 50 triliun, dimana Rp 37 triliun,
ada di pos Kementrian Agama. Untuk itu, Saifuddin tengah
memperjuangkan agar Kementrian Agama agar bisa merubah pola
penyelenggaraan haji. Pasalnya selama ini penyelenggaraan ibadah haji
itu menyedot anggaran lebih dari Rp 30 triliun sendiri. Harusnya dana
itu bisa diberdayakan, didayagunakan sehingga berhasil guna, bukan
dihabiskan. Iapun meminta agar kementrian kembali ke khittahnya
untuk mengurusi persoalan kehidupan beragama. Jangan hanya urusan
haji saja yang memakan waktu hampir enam bulan, tapi masih banyak
urusan agama, pembinaan agama yang selama ini masih kurang
berjalan dengan maksimal. Karena ini amanah dari UUD 1945, untuk
itu fungsi kementerian ini harus diperbaiki.75
Dalam perjuangan untuk menolak harga Bahan Bakar Minyak,
semisal pada tahun 2012, Donodjoyo berpendapat mencabut subsidi
74
Fraksi Gerindra, “Terus Bersama Rakyat,” 15. 75
Fraksi Gerindra, “Terus Bersama Rakyat,” 13.
207
BBM dan menaikkan BBM bersubsidi secara signifikan merupakan
langkah menyengsarakan rakyat yang jauh dari prinsip kemanusiaan
dan keadilan. Minimal ada 135 juta rakyat Indonesia yang akan
terimbas oleh inflasi riil yang mencapai 15% - 20%. Sementara
Bantuan Langsung Tunai (BLT) sebagai kompensasi sebesar Rp
150.000/bulan/KK yang dicanangkan pemerintah hanya menjangkau 70
juta penduduk saja. Masih tersisa 65 juta penduduk yang setiap harinya
akan selalu terbebani perekonomiannya.76
Menaikkan harga BBM bersubsidi terutama dengan
memperhatikan jumlah belanja birokrasi, menurut Saifudin, sangat
bertentangan dengan rasa keadilan. Belanja antara subsidi BBM dalam
APBN pada periode yang sama hanya naik 29% dengan nilai Rp 123,6
triliun pada 2012. Padahal subsidi BBM dirasakan oleh ratusan juta
rakyat Indonesia, termasuk birokrasi. Kalaupun alokasi anggaran
subsidi tidak mencukupi, defisit masih dapat ditutup dengan efisiensi
belanja birokrasi yang daya serapnya rata-rata 94%. Dengan demikian,
masih ada bantalan fiskal sebesar 6% dari APBN yang totalnya Rp
1.435 triliun atau setara Rp 86,1 triliun. Efisiensi dari belanja birokrasi
sebesar 6% ini sangat mencukupi karena dengan opsi menaikan harga
BBM bersubsidi sebesar Rp 1.500 hanya menghasilkan tambahan
alokasi sebesar Rp. 60 triliun, masih ada sisa Rp 26 triliun lebih. Dari
hal-hal tersebut, secara jelas tidak ada satupun alasan yang mendukung
untuk menaikkan harga BBM bersubsidi. Namun demikian, secara
faktual juga harus disadari bahwa selama ini telah terjadi inefisiensi
dalam penyaluran subsidi BBM. Sebagai gambaran, untuk tahun 2011
misalnya, Pemerintah menyatakan bahwa 53% pemakai BBM
bersubsidi adalah mobil pribadi, 40% kendaraan roda dua, dan 7%
angkutan umum serta barang. Hal ini berarti subsidi BBM selama ini
yang tepat ke sasaran hanya 7%. Tidak tepat sasarannya subsidi BBM
ini lebih disebabkan oleh cara pandang dan pilihan cara menyalurkan
subsidi.77
Saifudin juga menjelaskan, selama ini subsidi didefinisikan sebagai
biaya yang diberikan negara kepada produsen agar harga produknya
terjangkau oleh masyarakat. Subsidi ini dikenal juga dengan istilah
subsidi tidak langsung. Kelemahan mendasar dari model subsidi tidak
langsung adalah siapapun yang membeli produk yang disubsidi oleh
pemerintah akan menerima subsidi. Subsidi seharusnya bukan pada
76
Fraksi Gerindra, “Terus Bersama Rakyat,” 15. 77
Fraksi Gerindra, “Terus Bersama Rakyat,” 15.
208
barang tetapi sektor, dalam hal ini adalah sektor tranportasi umum, baik
penumpang maupun barang. Terkait dengan tidak adanya alasan yang
mendukung pencabutan subsidi BBM dan menaikan harga BBM
bersubsidi serta ketidaktepatan dalam menyalurkan BBM bersubsidi,
maka yang mungkin dan patut dilakukan oleh Pemerintah adalah:
menetapkan sejumlah alokasi tertentu misalnya 17% dari total belanja
birokrasi didasarkan pada data APBN 2012 untuk subsidi BBM dan
ubah sistem subsidi tidak langsung menjadi subsidi langsung.78
Implementasinya, lanjut saran saifudin, dalam kurun waktu 3 tahun
pertama subsidi BBM berlangsung seperti biasa sembari membangun
sarana dan prasarana transportasi umum yang memadai yang dananya
berasal dari pinjaman sebesar 3 kali nilai subsidi BBM. Sembari juga
melakukan identifikasi sasaran subsidi dan membangun sistem subsidi.
Tahun ke-4 dan selanjutnya alokasi subsidi yang ada disalurkan secara
tepat sasaran, 30% subsidi disalurkan secara langsung seperti
transportasi umum, nelayan, petani, dan kelompok sasaran subsidi
lainnya. Dan sebesar 70% alokasi subsidi untuk membayar utang, yang
dilakukan untuk membangun sarana tranportasi umum pada 3 tahun
pertama dan merawat serta melanjutkan pembangunan sarana dan
prasarana transportasi umum. Dengan ramuan ini diharapkan masalah
klasik subsidi BBM akan terurai dengan tetap berprinsip pada
kepantasan dan keadilan.79
Soepriyatno80
duduk di Komisi IX yang membidangi masalah
kesehatan, tenaga kerja dan transmigrasi, serta kependudukan. Sebagai
anggota sekaligus menjabat Wakil Ketua Komisi IX, ia terus
memperjuangkan yang selama ini menjadi aspirasi rakyat. Salah
satunya adalah soal Rancangan Undang Undang Badan Penyelenggara
Jaminan Sosial (RUU BPJS) –yang setelah melewati 50 kali rapat—
yang akhirnya disahkan dalam sidang paripurna DPR menjadi undang-
undang (UU) pada akhir bulan lalu. Meski memang, implementasi dari
UU tersebut baru bisa dirasakan rakyat paling cepat pada 2014 ini.
Mestariany Habie, anggota Komisi II, Fraksi Partai Gerindra setuju
dengan RUU Pembentukan Daerah Otonomi Baru. Namun Partai
Gerindra mengingatkan bahwa daerah otonomi baru harus benar-benar
memerhatikan aspirasi masyarakat dan harus sesuai dengan peraturan
perundang-undangan yang berlaku. Hal yang sangat penting, bila ada
78
Fraksi Gerindra, “Terus Bersama Rakyat,” 15. 79
Fraksi Gerindra, “Terus Bersama Rakyat,” 15. 80
Fraksi Gerindra, “RUU Perdagangan Untuk Siapa?,” Majalah Kabar Fraksi
Gerindra, edisi Mei (2014), 9-8.
209
daerah otonomi baru yang tidak mampu, maka harus gabung kembali
ke daerah induk. Badan Legislasi DPR sudah menyepakati RUU
Pembentukan Daerah Otonomi Baru sebagai usul inisiatif DPR.81
2. Perjuangan di Lembaga Eksekutif
Gerindra Pada Pemilu Pilpres tahun 2014-2019 Belum berhasil
mengusung Prabowo menjadi presiden untuk memimpin lembaga
eksekutif. Ketidakberhasilan Gerindra mengusung Prabowo pada
Pemilu 2014, menurut penulis, disebabkan oleh beberapa hal. Pertama,
jenuhnya rakyat Indonesia terhadap kepemimpinan dari kalangan
militer. Era kepemimpinan Soesilo Bambang Yudhoyono (SBY) yang
berasal dari kalangan militer diharapkan oleh rakyat mampu secara
tegas memimpin negara ini. Namun, dalam kenyataannya SBY lamban
penuh kehati-hatian dalam mengambil segala keputusan dan penuh
dengan ‘pencitraan.’ Kedua, dikarenakan dalam kampanye calon
presiden dan wakil Presiden, Prabowo bersama koalisi-nya
menggunakan, meminjam istilah Azra, teori ‘politik aliran’ dengan
menggunakan simbol-simbol keislaman. Penulis sependapat dengan
prediksi Azra bahwa kecenderungan politik Indonesia sejak masa
reformasi, khususnya, simbolisme Islam, atau mungkin juga agama lain
dalam politik Indonesia, tidak akan pernah efektif.82 Ketiga, tema dan
isu sentral yang diangkat dan dijual kepada para pemilih dapat
dikatakan ‘konvensional’ dan kurang menarik karena berlingkar seputar
masalah ekonomi, lingkungan hidup, dan anggaran militer.
Namun demikian, telah menempatkan beberapa kader terbaiknya
menduduki jabatan eksekutif di beberapa provinsi. Di antara kader-
kader terbaik Gerindra tersebut adalah Basuki Tjahaya Purnama dan
81
Ada 19 daerah otonomi baru yang akan dimekarkan, dan akan dibahas dalam
RUU ini. Daerah otonomi yang akan dibentuk tersebut adalah Provinsi Kalimantan
Utara, Kabupaten Mahakam Ulu Provinsi Kalimantan Timur, Kabupaten Musi Rawas
Utara Provinsi Sumatera Selatan, Kabupaten Penukalabab Lematang Ilir Provinsi
Sumatera Selatan, Kabupaten Malaka Provinsi Nusa Tenggara Timur, Kabupaten
Pangandaran Provinsi Jawa Barat, Kabupaten Pulau Taliabu Provinsi Maluku Utara,
Kabupaten Pesisir Barat Provinsi Lampung, Kabupaten Mamuju Tengah Provinsi
Sulawesi Barat. Selanjutnya, Kabupaten Banggai Laut Provinsi Sulawesi Tengah dan
Kabupaten Morowali Utara Provinsi Sulawesi Tengah. Di Sulawesi Tenggara ada
sejumlah kabupaten/kota yang bakal dibentuk, yakni Kabupaten Konawe Kepulauan,
Kabupaten Kolaka Timur, Kabupaten Buton Selatan, Kabupaten Buton Tengah,
Kabupaten Muna Barat, dan Kota Raha. Selanjutnya, Kabupaten Manokwari Selatan
Provinsi Papua Barat dan Kabupaten Pegunungan arfak Provinsi Papua Barat. 82
Azyumardi Azra, “Simbolisme Islam dan Pilpres,” Kompas, 21 Mei 2014.
210
Ridwan Kamil. Basuki Tjahaya Purnama merupakan kader Gerindra
yang berhasil diperjuangkan untuk menduduki pucuk pemerintahan di
Provinsi DKI Jakarta untuk masa jabatan 2012-2017, meskipun pada 10
September 2014 resmi menyatakan mundur diri dari Partai Gerindra.83
Kebijakan yang dilakukan oleh Ahok, panggilan Basuki Tjahya
Purnama, dalam kapasitasnya sebagai Wakil Gubernur, sulit dibedakan
apakah benar berasal darinya atau itu kebijakan Gubernur. Untuk itu,
penulis hanya mengambil contoh kebijakan saat Gubernur DKI Jokowi
cuti menjadi Capres yang menalonkan diri pada Pilpres tahun 2014.
DKI Jakarta, secara definitif dipimpin oleh Plt Gubernur Basuki Tjahya
Purnama sebagai kader Gerindra. Dalam struktur kepengurusan Dewan
Pengurus Pusat Gerindra, Ahok adalah Ketua Ketua Bidang Politik
Dalam Negeri yang membawahi Departemen Pemasyarakatan dan
Pembudayaan Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (P4),
Departemen Kelembagaan, Departemen Pemilu, dan Departemen
Kajian Kebijakan Publik.84
Fami Fachruddin kepada penulis meceritakan bahwa saat
pemilihan calon gubernur dan wakil gubernur DKI. Jakarta, dikalangan
internal Gerindra, Prabowo-lah yang paling kuat mencalonkan Ahok. Ia
menjelaskan bahwa dirinya ingat betul bagamana proses penunjukan
Ahok sebagai Wakil Gubernur DKI Jakarta. Jika apa yang diceritakan
elit Gerindra saat itu benar, Ibu Megawati Soekarno Putri waktu itu,
selaku Ketua Umum PDI-P, minta kepada Prabowo agar wakilnya
Jokowi adalah Dedy Mizwar atau Fadli Zon. permintaan Mega ditolak
karena Prabowo mengajukan dua nama, yaitu Ahok atau Basuki
Tjahaya Purnama, tanda Pak Prabowo tidak mau nama lain di luar figur
itu. Menurut Fami, rumornya, nama Ahok dibawa oleh Widjono
Hardjanto, Wakil Ketua Umum Gerindra. Sepanjang pengetahuan
Fami, munculnya nama Ahok merupakan produk persaingan internal
dan tidak dipercayainya Fadli Zon di depan Prabowo. Jika kini Ahok
mundur dari Gerindra, maka yang patut kecewa adalah Prabowo dan
83
Lihat Rr. Cornea Khairany, “Ahok: Saya Resmi Mundur dari Gerindra,”
http://www.antaranews.com/berita/452903/ahok-saya-sudah-resmi-mundur-dari-
gerindra?utm_source=twitterfeed&utm_medium=twitter, diakses tanggal 14
September 2014. 84
Lihat Gerindra, Susunan Pengurus Partai Gerindra (Jakarta: Gerindra, 2012),
4.
211
Widjono Hardjanto, dua orang yang sebelumnya sangat teguh utuk
mengusung Ahok menjadi wakil gubernur DKI. Jakarta.85
Selama masa kepemimpinannya sebagai Pelaksana Tugas (Plt)
Gubernur, Ahok telah mampu menghemat anggaran negara dengan
menerima bus Trans-Jakarta secara hibah atau gratis dari pengusaha
yang peduli Jakarta. Pemprov DKI Jakarta mendapatkan sumbangan 30
bus Trans-Jakarta dari tiga perusahaan milik swasta. Ahok berupaya
untuk masa yang akan datang, Pemprov DKI lebih mengutamakan
mendapat bus hibah sebagai salah satu langkah menghemat anggaran
negara. Sebagai konpensasinya, dana yang dihemat tersebut
dialokasikan untuk peningkatan anggaran pendidikan. Karena
meskipun sebagai Ibu Kota Negara, ternyata DKI Jakarta masih
terdapat kira-kira 40 persen anak usia 16-18 tahun di Jakarta yang
belum mengenyam pendidikan secara layak. Dana tersebut lebih
bermanfaat jika diperuntukkan membantu warganya bersekolah
ataupun kuliah. Selain itu, Ahok yakin perusahaan pemberi bus percaya
terhadap kinerja Pemprov DKI yang jujur dan tidak dikorup. Karena
dananya dipakai untuk meningkatkan sumber daya manusis warga DKI
Jakarta.86
Masih dalam masa kepemimpinannya tersebut, Pemprov DKI
bekerja sama dengan Fakultas Kesehatan Universitas Indonesia (FK
UI) dan Rumah Sakit Cipto Mangukusumo untuk meningkatkan
pelayanan kesehatan di Jakarta. Kesepakatan tersebut salah satunya
dengan mengubahfungsikan 18 Puskesmas menjadi rumah sakit tipe D
yang dilengkapi dokter spesialis. FKUI bersama RCSM membantu
menyetandarkan alih-fugsi tersebut. Puskesmas yang dialihfungsikan
menjadi rumah sakit sudah berjalan di Jakarta Utara, Timur, dan
Selatan. Misalnya, di Puskesmas Jagakarsa, memiliki dokter spesialis
tujuh orang. Untuk wilayah Tambora, masing-masing puskesmas
minimal telah memiliki 2 dokter spesialis. Dampak positif dari langkah
ini akan mengurangi jumlah rujukan dari Puskesmas ke RSUD atau ke
RSCM. Kerjasama ini akan semakin dimantapkan dengan pembuatan
85
Wawancara dengan Fami Fachruddin, via Facebook, Kamis, 11 September
2014. 86
News Detik, ”3 Gebrakan Mutakhir Ahok Saat Gantikan Jokowi,”
http://news.detik.com/read/2014/06/07/075606/2601946/10/3/3-gebrakan-mutakhir-
ahok-saat-gantikan-jokowi#bigpic, diakses tanggal 11 Juni 2014.
212
Pergub tentang perubahan status Puskesmas menjadi rumah sakit tipe
D.87
Selain dua hal di atas, dari sisi birokrasi, capaian Ahok adalah
layanan cash management system atau sistem layanan kas. Dengan
sistem ini, oleh Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) dinilai berhasil
membuka penyimpangan-penyimpangan kinerja keuangan Pemerintah
Provinsi DKI Jakarta. Karena cash management system dari Bank DKI
semua Satuan Kerja Pemerintahan Daerah (SKPD) harus menaruh dana
di Bank DKI, yang telah di-link-kan dengan BPK secara online.
Sedangkan dari sisi pendidikan, Ahok mengatakan, sedang melakukan
pembersihan di Dinas Pendidikan, salah satunya dengan mengganti
Kepala Dinas Pendidikan. Hal ini lantaran banyaknya penyimpangan
dari sisi penggunaan anggaran yang dilakukan Dinas Pendidikan.88
Rr. Cornea Khairany, pewarta dari Antara, menjelaskan bahwa
mengundurnya Ahok dari Gerindra didasari atas pandangan yang
berbeda dengan partainya terkait wacana Rancangan Undang-Undang
(RUU) Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) yang tengah dibahas oleh
DPR RI pada September tahun 2004 ini. Menurut Ahok, Gerindra
merupakan salah satu partai yang mendorong agar RUU tersebut
disahkan. Apabila RUU itu disahkan, maka kepala daerah akan
ditentukan oleh DPRD. Kebijakan tersebut dinilai oleh Ahok
kontraproduktif dengan perjuangan kerakyatan Gerindra sendiri. Ahok
berargumen kepala daerah yang dipilih oleh rakyat secara demokratis
dengan memilih langsung masih menyimpan berpotensi untuk
melakukan tindakan korupsi. Apalagi kalau dipilih oleh anggota DPRD
setempat, yang dilakukan dengan tertutup. Ketidak demokratisan dan
ketertutupan itu, bisa jadi nanti malah lebih mementingkan kepentingan
partainya, bukan kepentingan rakyat.89
Kebijakan itu-pun dalam penilaian Ahok justru bertentangan
dengan Anggaran Dasar (AD) partai sendiri. Dalam AD Pasal 7 tentang
Watak tercantum bahwa “watak partai Gerindra adalah demokratis,
87
News Detik, ”3 Gebrakan Mutakhir Ahok Saat Gantikan Jokowi,”
http://news.detik.com/read/2014/06/07/075606/2601946/10/3/3-gebrakan-mutakhir-
ahok-saat-gantikan-jokowi#bigpic, diakses tanggal 11 Juni 2014. 88
News Detik, ”3 Gebrakan Mutakhir Ahok Saat Gantikan Jokowi,”
http://news.detik.com/read/2014/06/07/075606/2601946/10/3/3-gebrakan-mutakhir-
ahok-saat-gantikan-jokowi#bigpic, diakses tanggal 11 Juni 2014. 89
Rr. Cornea Khairany, “Ahok: Saya Resmi Mundur dari Gerindra,”
http://www.antaranews.com/berita/452903/ahok-saya-sudah-resmi-mundur-dari-
gerindra?utm_source=twitterfeed&utm_medium=twitter, diakses tanggal 14
September 2014.
213
merdeka, pantang menyerah, berpendirian teguh, percaya pada
kekuatan sendiri dan kekuatan rakyat, terbuka dan taat hukum serta
senantiasa memiliki watak sebagai pejuang yang berjuang untuk
kepentingan rakyat.”90
Selain itu, dalam Bab VI tentang kewajiban
anggota, Pasal 15 di antaranya tercantum “Setiap anggota berkewajiban
untuk memegang teguh AD/ART serta peraturan-peraturan partai
Gerindra yang berlaku.91
Bagi Ahok, kalau Gerindra mendukung RUU
itu, terjadi paradoks dengan perjuangan Gerindra.
Partai Gerindra juga berhasil mengusung Ridwan Kamil sebagai
Wali Kota Bandung untuk periode 2013-2018. Meskipun Kamil tidak
tercatat sebagai anggota Gerindra, Prabowo melalui Gerindra berhasil
mengusungnya bersama Partai Keadilan Sejahtera (PKS). Sebagaimana
Ahok, Ridwan Kamil juga telah membuat kebijakan-kebijakan yang
pro-rakyat dalam masa kepemimpinannya. Di antara kebijakan tersebut
yang paling fenomenal adalah meng-Paris-kan kembali kota Bandung.
Ia membuat taman tematik yang modern, inovatif dan edukatif. Tak
hanya itu, ia juga menggagas terbetuknya Taman Pustaka Bunga dan
Taman Jomblo. Ridwan juga membuat terobosan baru selama delapan
bulan dirinya memimpin Kota Bandung dengan sistem bekerja sama
dengan warga, seluruh komunitas, dan seluruh birokrasi pemerintahan.
Bukan hanya itu saja, Ridwan juga menularkan cara efektif melalui
media sosial untuk berinteraksi langsung dengan warga Bandung dan
aparat pemerintahan. Dengan melalui media sosial Twitter, pejabat
pemerintahan bisa membicarakan masalah dan penanganan Kota
Bandung. Untuk menunjang itu semua, Pemerintah Kota Bandung
menyediakan 4.000 lebih wifi yang tersebar di beberapa wilayah untuk
memudahkan warga dan perangkat pemerintahan berinteraksi.92
Program-program inilah yang dinilai Forum Walikota Se-Dunia
merupakan gebrakan yang positif yang menobatkannya sebagai salah
satu wali kota terbaik di dunia bersama 11 wali kota lainnya dalam
Forum Young Leader Simposium World Cities Summit di Singapura
yang diadakan pada 31 Mei hingga 5 Juni 2014 tersebut.93
90
Hal 4. 91
Gerindra, Anggaran Dasar Partai Gerindra Tahun 2012 (Jakarta: Gerindra,
2012), 4 dan 8. 92
Lihat http://www.dakwatuna.com/2014/06/03/52533/ridwan-kamil-terpilih-jadi-
wali-kota-terbaik-di-dunia/#ixzz3Cf9dZyic, diakses tanggal 14 Juni 2014. 93
http://news.detik.com/read/2013/09/18/111534/2361893/10/, diakses tanggal 14
Juni 2014.
214
C. Kritik Ranah Publik dan Kenegaraan
1. Manifesto Di Bidang Agama Manifesto Partai Gerindra pada bidang agama menyatakan “Setiap
orang berhak atas kebebasan beragama dan menjalankan ibadah
sesuai dengan agama dan kepercayaannya. Negara menjamin
kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agama/kepercayaan.
Namun, pemerintah/negara wajib mengatur kebebasan di dalam
menjalankan agama atau kepercayaan. Negara juga dituntut untuk
menjamin kemurnian ajaran agama yang diakui oleh negara dari
segala bentuk penistaan dan penyelewengan dari ajaran agama.”94
Dari pernyataan manifesto tersebut, Indonesian Conference on
Religion and Peace (ICRP), mewakili berbagai kalangan kelompok
masyarakat madani mengkritisinya dengan menyatakan sikap sebagai
berikut:
Pertama, menurut ICRP, bukanlah domain Negara untuk menjamin
murni atau tidaknya suatu agama. ICRP berargumen bahwa manifesto
tersebut bertentangan dengan Kovenan Internasional tentang Hak-Hak
Sipil dan Politik Pasal 18, Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 28 E dan
29 (2), serta Undang-Undang Hak Asasi Manusia No. 39 Tahun 1999,
yang intinya menyatakan bahwa negara harus menjamin kebebasan
beragama dan berkeyakinan meliputi hak untuk memilih, memeluk dan
menjalankan agama dan keyakinan. Hak ini tidak dapat dikurangi
dalam keadaan apapun (non derogable rights).95
Kedua, Manifesto Partai Gerindra masih menyebutkan kata “agama
yang diakui”, padahal negara tidak punya kewenangan untuk mengakui
atau tidak mengakui agama tertentu. Hal itu sesuai dengan bunyi
putusan MK Tahun 2010 terkait uji materi UU 1/PNPS/1965. “[3.54]
Menimbang bahwa terhadap dalil para Pemohon, yang menyatakan
bahwa UU Pencegahan Penodaan Agama diskriminatif karena hanya
membatasi pengakuan terhadap enam agama yaitu Islam, Kristen,
Katolik, Hindu, Buddha, dan Khong Hu Cu, menurut Mahkamah
adalah tidak benar, karena UU Pencegahan Penodaan Agama tidak
membatasi pengakuan atau perlindungan hanya terhadap enam agama
sebagaimana didalilkan oleh para Pemohon akan tetapi mengakui
semua agama yang dianut oleh rakyat Indonesia”. Lebih lanjut MK
menuturkan “…Dengan demikian, tidak ada diskriminasi dalam
94
Gerindra, Manifesto Perjuangan Partai Gerindra, 40. 95
http://icrp-online.org/2014/05/23/menolak-manifesto-perjuangan-partai-
gerindra/diakses tanggal 9 November 2014, diakses tanggal 9 November 2014.
215
penyebutan nama-nama agama di dalam UU Pencegahan Penodaan
Agama.”96
Kritik ICRP di atas dimaklumi oleh Hashim Djojohadikusumo,
salah satu pentolan partai Gerindra. Atas kekhilafan tersebut, ia atas
nama partai meminta maaf pada komunitas kristen atas kesalahan
penulisan. Ia mengaku, kesalahan dalam penulisan manifesto
disebabkan alokasi waktu persyaratan Komisi Pemilihan Umum (KPU)
yang terlalu singkat.97
Berbeda dengan pendapat Hashim, mantan anggota Gerindra dan
mantan tim penulis manifesto perjuangan Partai Gerindra, Fami
Fachrudin dan M. Harris Indra, menjelaskan tidak ada kesalahan dan
kekhilafan dalam penulisan dan penjabaran dalam bidang agama di
manifesto tersebut. Pernyataan ini didukung juga oleh Sadar Subagyo
bahwa semangat awal penulisan manifesto pemurnian agama yang
dimaksud bukan dalam hal memaksakan seseorang untuk menganut
agama. Mereka bersepakat berpendapat makna pemurnian agama, yaitu
menjaga sebuah agama yang diakui negara dari gangguan penistaan.
Wakil Ketua Umum Partai Gerindra, Fadli Zon, mempertegas dengan
memberi contoh tentang ajaran Syiah yang harus dikaji oleh lembaga
seperti Majelis Ulama Indonesia (MUI), Muhammadiyah, dan
Nahdlatul Ulama (NU). Apabila sesat maka harus ditegaskan bahwa
Syiah sesat. Sehingga tidak menimbulkan polemik yang memicu
konflik horizontal. Fadli menjelaskan, jika Gerindra memimpin maka
Gerindra akan meminta lembaga-lembaga seperti MUI,
Muhammadiyah, NU, dan lembaga lainnya yang berkompeten dalam
agama, untuk mengkaji ajaran Syiah, hasil kajian akan diambil
kesimpulan dan dikeluarkan regulasi. Dalam manifesto Gerinda itu,
lanjutnya, bukan hanya masalah Syiah, tapi juga masalah Ahmadiyah.
Kalau sekiranya lembaga-lembaga yang berkompeten mengatakan sesat
maka ia sesat, sebab ada juga Ahmadiyah yang ajarannya biasa-biasa
saja, tidak mengakui Gulam Ahmad sebagai Nabi. Begitu juga Hindu,
Budha, dan Kristen.98
Meskipun demikian, menurut penulis, dalam konteks
demokratisasi, negara tidak bisa dan tidak boleh memihak pada suatu
96
http://icrp-online.org/2014/05/23/menolak-manifesto-perjuangan-partai-
gerindra/diakses tanggal 9 November 2014, diakses tanggal 9 November 2014. 97
http://icrp-online.org/2014/10/15/pemurnian-agama-antara-fpi-dan-gerindra-
ada-apa/, diakses tanggal 9 November 2014. 98
Rama Setya, ”Isyarat Fasisme dalam Manifesto Kemurnian Agama Gerindra,”
http://www.siperubahan.com, diakses tanggal 9 November 2014.
216
doktrin agama atau kepercayaan tertentu. Negara harus berada di
wilayah netral. Individu atau kelompok keyakinan tidak boleh
diperlakukan berbeda karena perbedaan keyakinan. Jika negara
mencampuri keyakinan agama rakyatnya, maka negara telah
melampaui kewenangannya, apalagi jika ada persoalan tafsir
keagamaan dalam internal agama. Negara tidak bisa mencampuri hal
tersebut. Negara boleh dan bisa bertindak apabila terjadi aksi kekerasan
yang dilakukan oleh komunitas pengikut agama terhadap pengikut
agama lain, atau di dalam intra-agama. Berbicara demokrasi bukanlah
sekedar menyediakan prosedur standar demokrasi, melainkan
sebagaimana seharusnya negara memberikan ruang yang sama bagi
kelompok-kelompok yang berbeda dalam mengartikulasikan
kepentingan-kepentingan mereka. Pada saat yang sama negara juga
harus mendorong keterlibatan kelompok-kelompok marginal yang
berbeda itu untuk terlibat dalam pengambilan keputusan kehidupan
bersama, sehingga dari proses yang demokratis itu memungkinkan
lahirnya kebijakan yang adil dan inklusif bagi setiap warga negara.
2. Manifesto Di Bidang Pendidikan
Dalam bidang pendidikan, manifesto perjuangan Gerindra
menjelaskan bahwa visi pendidikan Gerindra adalah menciptakan
sumber daya manusia yang siap pakai dari sekolah menengah kejuruan.
Dengan kata lain, pendidikan bagi Gerindra adalah hanya untuk
memenuhi kebutuhan Industri. Manifesto perjuangan di bidang
pendidikan Gerindra menyatakan bahwa, “Pendidikan tingkat
menengah (menengah tingkat pertama dan menengah atas) harus lebih
dijuruskan pada pendidikan kejuruan terutama teknik dan ekonomi,
yang bisa langsung terserap dunia kerja. Partai Gerindra mengusung
konsep pendidikan siap pakai di tingkat sekolah lanjutan, yang dapat
menciptakan lulusan siap kerja.”99
Visi pendidikan untuk memenuhi kebutuhan industri tersebut
terlihat sangat kontradiktif dengan pernyataan dihalaman selanjutnya
dari manifesto, “secara sistemik, Partai Gerindra akan memperjuangkan
pembangunan sistem pendidikan yang humanis, bukan sistem
pendidikan yang liberal-kapitalistik.”100
Maka, pertanyaan ini harusnya
dapat dijawab: bagaimana mungkin membuat sistem pendidikan yang
humanis sedangkan visi pendidikannya saja hanya bertujuan untuk
99
Gerindra, Manifesto Perjuangan Partai Gerindra, 30. 100
Gerindra, Manifesto Perjuangan Partai Gerindra, 31.
217
mencetak robot-robot bernyawa yang dikondisikan menjadi sekrup-
sekrup industri selain daripada visi pendidikan yang humanis. Menurut
penulis, meminjam istilah pendidikan dari pakar pendidikan Indonesia
Soedijarto, paradigma manifesto pendidikan Gerindra
berkecenderungan pada teori “trickle-down effect” daripada paradigma
pendidikan, “build nation build school.” Paradigma pendidikan teori
“trickle-down effect,” yaitu pendidikan suatu bangsa akan maju seiring
dengan dengan majunya sektor ekonomi suatu bangsa itu sendiri.101
Paradigma model ini merupakan sistem pendidikan yang liberal-
kapitalistik. Sedangkan paradigma “build nation build school,”
mengharuskan negara berperan penuh “at all cost” dalam bidang
pendidikan.
Paradigma pendidikan liberal-kapitalistik, menurut Soedijarto
bertentangan dengan prinsip Deklarasi Kemerdekaannya (Pembukaan
UUD 1945) yang menetapkan misi “mencerdaskan kehidupan bangsa.”
Paradigma pendidikan yang telah digariskan oleh konstitusi merupakan
misi untuk melakukan transformasi budaya dari budaya tradisional dan
feodal menjadi budaya yang maju, modern, dan demokratis. Karena itu
pula UUD 1945 disamping menetapkan “hak setiap warga Negara
mendapatkan pengajaran” (sebelum amandemen), juga mewajibkan
“Pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem
pengajaran nasional.” Dalam catatan kegemilangan peradaban
pendidikan Indonesia, lebih lanjut Soedijarto menjelaskan bahwa para
founding fathers Republik indonesia diilhami oleh para pembangun
negara-kebangsaan (nation-state) dengan pada paradigma pendidikan
“build nation build school” bukan trickle-down effect yang liberalistik
dan kapitalis.102
Sekolah tidak melulu lebih dijuruskan pada pendidikan
kejuruan terutama teknik dan ekonomi. Semua anak didik dalam segala
tingkatannya, dengan aneka ragam perbedaan latar belakang, baik
kemampuan dasar kognitif, latar belakang sosial, ekonomi, minat, serta
bakat harus memperoleh pendidikan yang bermutu dan dilayani oleh
101
Soedijarto, “Paradigma Pendidikan Menjawab Tantangan Zaman,”
http://soedijarto.blogspot.com/2013/05/paradigma-pendidikan-menjawab-
tantangan.html, diakses tanggal 13 Desember 2014. 102
Para penganjur nation-state tersebut seperti Thomas Jefferson (Amerika
Serikat), Otto Von Bismark (Jerman), Kaisar Meizi (Jepang) dan selanjutnya pasca
Sukarno-Hatta diikuti oleh Mahatir Muhammad (Malaysia), Park Chung Hee (Korea
Selatan), dan Den Xiaoping (China). Soedijarto, “Paradigma Pendidikan Menjawab
Tantangan Zaman,” http://soedijarto.blogspot.com/2013/05/paradigma-pendidikan-
menjawab-tantangan.html, diakses tanggal 13 Desember 2014.
218
negara, serta dapat berkembang sesuai dengan kemampuan, minat dan
bakatnya.103
Manifesto pendidikan yang mengharuskan pendidikan tingkat
menengah (menengah tingkat pertama dan menengah atas) harus lebih
dijuruskan pada pendidikan kejuruan terutama teknik dan ekonomi
bertentangan pula dengan UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sisdiknas.
Masih menurut Soedijarto, menyatakan bahwa dalam UU No. 20 Tahun
2003 tentang Sisdiknas akan ditemukan sumber nilai yang dapat
dijadikan ukuran bermutu tidaknya program pendidikan. Pasal 1 ayat
(1) secara jelas menggariskan proses pendidikan yang bermutu dengan
rumusan, “Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk
mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta
didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki
kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian,
kecerdasan, akhlak mulia, serta ketrampilan yang diperlukan dirinya,
masyarakat, bangsa dan Negara.” Mutu pendidikan terutama harus
dilihat dari “kemampuan” dan “watak lulusan” yang bermakna bagi
pembangunan peradaban banga yang bermartabat. Yang secara rinci
setiap lulusan harus merupakan manusia: a. beriman dan bertakwa
kepada Tuhan Yang Maha Esa; b. berakhlak mulia; c. sehat; d. berilmu,
cakap, dan kreatif; e. mandiri; f. demokratis; g. bertanggung
jawab. Hal-hal tersebut menurut Soedijarto merupakan karakteristik
dari lulusan yang bermutu bukan sekedar lulusan yang mekanistik.
Dalam bahasa Deklarasi Pendidikan untuk Semua tahun 1990 meliputi
kemampuan untuk: a. bertahan hidup; b. dapat mengembangkan diri; c.
dapat berpartisipasi dalam masyarakat; d. dapat memperoleh pekerjaan;
e. dapat mengambil keputusan berdasarkan informasi; dan f. dapat
belajar sepanjang hayat.104
Itulah pendidikan yang relevan dengan
upaya menghadapi tantangan jaman. Suatu paradigma yang mampu
mengembangkan kompetensi dan membentuk wataklah yang relevan
dengan upaya menghadapi tantangan jaman. Soedijarto berpandangan
bahwa pendidikan yang demikian adalah pendidikan yang bermakna
sebagai proses pembudayaan, yaitu membudayakan kemampuan
103
Soedijarto, “Kemampuan Profesional Guru yang Sesuai dengan Upaya
Peningkatan Relevansi dan Mutu Pendidikan Nasional, Serta Jaminan Kesejahteraan
dan Perlindungan,” http://soedijarto.blogspot.com/2013/05/kemampuan-profesional-
guru-yang-sesuai.html, diakses tanggal 14 Desember 2014. 104
Soedijarto, “Paradigma Pendidikan Menjawab Tantangan Zaman,”
http://soedijarto.blogspot.com/2013/05/paradigma-pendidikan-menjawab-
tantangan.html, diakses tanggal 13 Desember 2014.
219
memecahkan masalah, kemampuan bekerja dan beretos kerja,
kemampuan meneliti dan mengembangkan ilmu pengetahuan dan
teknologi, dan membudayakan sikap mandiri, bertanggung jawab,
demokratis, jujur, dan bermoral.105
3. Manifesto Di Bidang Politik dan Otonomi Daerah
Manifesto perjuangan partai Gerindra menjelaskan bahwa, “Sistem
politik yang mengarah pada demokrasi liberal sejak era reformasi perlu
dikoreksi. Demokrasi yang sesuai dengan budaya bangsa Indonesia
adalah demokrasi yang dipimpin oleh hikmat kebijaksaan dalam
permusyawaratan perwakilan…. Terkait dengan pelaksaan demokrasi
yang memberikan kebebasan sebebas-bebasnya, kini bangsa kita tengah
menghadapi pilihan, mana yang diutamakan, kemakmuran rakyat atau
kebebasan yang sebebasbebasnya. Menghadapi pilihan itu, partai
Gerindra akan mengutamakan kemakmuran rakyat sesuai amanat
Pembukaan UUD 1945. Demokrasi dan kebebasan hanya merupakan
salah satu alat, sedang tujuan utama kita berbangsa dan bernegara
adalah kemakmuran rakyat.” Lebih jelas lagi, dalam bidang otonomi
daerah termaktub, “Terkait masalah Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada)
secara langsung, rakyat semakin jenuh terhadap politik. Kejenuhan ini
dapat dilihat denga semakin besarnya angka pemilih yang tidak
menggunakan hak pilih (golput) dalam Pilkada. Kejenuhan ini
berpotensi negatif pada partisipasi masyarakat dalam pemilihan umum
yang bermuara pada rendahnya legitimasi pemerintah. Selain itu
Pilkada telah menyebabkan konflik horisontal dalam masyarakat yang
kontraproduktif. Partai Gerindra akan melakukan peninjauan ulang
terhadap pelaksanaan Pilkada dan mengupayakan penyelenggaraan
Pilkada secara serentak.”106
Hal tersebut diimplementasikan oleh Gerindra melalui fraksinya
dengan dukungan partai yang tergabung dalam Koalisi Merah-Putih
(KMP) mendukung RUU Pilkada tak langsung pada saat Sidang
Paripurna Pembahasan Tingkat II Rancangan Undang-undang
Pemilihan Kepala Daerah (RUU Pilkada) di DPR tanggal 26 September
2014. Proses panjang ini akhirnya berakhir dengan diterimanya RUU
Pilkada yang memuat ketentuan pelaksanaan pilkada tak langsung
melalui Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD). Dengan demikian,
105
Soedijarto, “Paradigma Pendidikan Menjawab Tantangan Zaman,”
http://soedijarto.blogspot.com/2013/05/paradigma-pendidikan-menjawab-
tantangan.html, diakses tanggal 13 Desember 2014. 106
Gerindra, Manifesto Perjuangan Partai Gerakan Indonesia Raya, 11 dan 39.
220
melalui perwakilan lembaga legislatif-lah yang nantinya rakyat
mewakilkan suaranya untuk memilih kepala daerah. Bukan lagi rakyat
memilih secara langsung kepala daerah pilihannya secara bebas.107
Pilkada tidak langsung merupakan hal yang sah dalam sistem
demokrasi Pancasila karena lebih menitikberatkan kata ‘perwakilan,’
sesuai dengan sila keempat Pancasila, “Kerakyatan yang dipimpin oleh
hikmat dalam permusyawaratan/perwakilan.” Meskipun demikian,
menurut penulis, pilkada langsung lebih memiliki kecenderungan
kesesuaian dengan Pancasila karena menekankan kerakyatan dan
permusyawaratan. Sebab, esensi Pancasila adalah kerakyatan dan
terpenuhinya hak-hak rakyat dalam berbagai bidang kehidupan,
termasuk hak politiknya. Sedangkan Pilkada tak langsung melalui
DPRD hanya akan memenuhi ambisi para elite politik suatu partai
politik. Dalam hal ini, penulis sepakat dengan pakar hukum dari
Universitas Gadjah Mada (UGM), Zainal Arifin Mochtar, yang
menjelaskan, sila keempat Pancasila, kerakyatan yang dipimpin oleh
hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan, sebenarnya
dapat dipahami bukan dalam konteks pemilihan umum, melainkan
dalam pengambilan keputusan. Yang dimaksud sila tersebut, bahwa
keputusan sejatinya diambil melalui proses berpikir secara kolektif.
Sedangkan, mayoritas keputusan di DPR selama ini diambil melalui
proses voting, bukan musyawarah mufakat. Karena itu, mekanisme
pengambilan keputusan anggota DPR justru lebih dekat dengan sistem
liberal Barat, bukan Pancasila.108
Berdasarkan paparan dinamika perjuangan ruang publik dan
kenegaraan di atas, penulis berkesimpulan Gerindra telah ikut berkiprah
membentuk peradaban masyarakat madani dengan terpilihnya beberapa
107
Pemungutan suara menghasilkan jarak suara yang sangat jauh, yaitu 135 suara
untuk yang memilih pilkada langsung dan 226 suara untuk yang memilih pilkada
melalui DPRD dari 361 anggota DPR yang bertahan hingga dini hari mengikuti rapat
paripurna. Suara untuk pilihan RUU Pilkada yang memuat opsi pilkada langsung
disumbangkan oleh Partai Golkar (11 suara), PDIP (88 suara), PKB (20 suara),
Hanura (10), dan Demokrat (6 suara). Sedangkan suara yang menginginkan RUU
Pilkada memuat opsi pilkada melalui DPRD disumbangkan oleh Partai Golkar (73
suara), PKS (55 suara), PAN (44 suara), PPP (32 suara), dan Gerindra (22 suara).
Partai Demokrat memilih walk out sebanyak 142 anggota, walaupun memiliki suara
yang terbilang besar, yakni 148 anggota. Lihat Rinaldi, “DPR Akhirnya Memilih
Pilkada Melalui DPRD,” http://news.liputan6.com/read/2110251/dpr-akhirnya-
memilih-pilkada-melalui-dprd, diakses tanggal 15 Desember 2014. 108
http://www.pusakaindonesia.org/polemik-pilkada-langsung-apakah-sesuai-
pancasila/, diakses tanggal 15 Desember 2014.
221
kader putra bangsa untuk mengemban amanat penderitaan rakyat di
ranah pemerintahan (eksekutif) dan juga pembentukan organisasi-
organisasi sayap. Hal tersebut sesuai dengan paradigma masyarakat
madani dari Thomas Janoski dan Andi Faisal Bakti, bahwa melalui
sinergi dengan kelembagaan berbagai ranah, baik itu publik maupun
negara, tujuan pembentukan masyarakat madani dapat tercapai.109
Mengutip kata-kata politisi Inggris abad kedelapan belas, Edmund
Burke: “The only thing necessary for the triumph [of evil] is for good
men to do nothing, kalau orang baik-baik tidak berbuat apa-apa, maka
para penjahat yang akan bertindak.” 110
terinspirasi oleh kata-kata
tersebut, Gerindra terbentuk sebagai sebuah partai baru yang
memberikan haluan baru dan harapan baru. Tujuannya tidak lain, agar
negara ini bisa diperintah oleh manusia yang memerhatikan
kesejahteraan rakyat, bukan untuk kepentingan golongannya saja.
Sementara kondisi yang sedang berjalan, justru memaksakan demokrasi
di tengah himpitan kemiskinan, yang hanya berujung pada kekacauan.
Dengan demikian, kerangka-bangun sosiologi-meso teori
strukturasi dari Antony Gidden sesuai dengan komponen-komponen
pembentuk Partai Gerindra. Strukturalisme menekankan pada dominasi
peran struktur di dalam kehidupan sosial dan menjadi kekuatan sosial
yang mengendalikan individu-individu secara penuh. Sementara itu,
subyektivisme lebih menekankan pada peran dan tindakan individu
aktif yang bebas sebagai faktor dominan dalam suatu tatanan kehidupan
sosial, karena individu bertindak sebagai agen. Teori ini beranggapan
bahwa antara agen dan struktur memiliki peran yang sama dan
109
Thomas Janoski, Citizenship and Civil Society, 12; lihat juga Andi Faisal
Bakti, “Women in the West and in Indonesia: How Can Islam Contribute to Social
Development?,” Journal Pemikiran Islam, Vol. 1 No. 1, September, Ternate,
Indonesia, (2010), 2-20; Andi Faisal Bakti, “Communication and Violence:
Communicating Human Integrity caharactersitics is necessary for Horizontal Conflict
resolution In Indonesia,” Identity, Culture, and Politics Vol. 9, No. 1 (July 2008);
Andi Faisal Bakti, “Islam and Modernity: Nurcholish Madjid Interpretation of Civil
Society, Pluralism, Secularism and Democracy,” Asian Journal of Social Sciences,
Brill, Leiden, Vol 33, No. 3 (November, 2005); Andi Faisal Bakti, “Paramadina and
its Approach to Culture and Communication: An Engagement in Civil Society,”
Archipel, Paris, 68 (December, 2004); Andi Faisal Bakti, “Paramadina,” Bulletin of
the International Institute for Asian Studies (IIAS), Leiden/Amsterdam June (2004). 110
Joseph Pappin III, “Edmund Burke and Leo Strauss and the Charge of
Historicism,” the journal of the Edmund Burke Society of America, Volume 23
(2013), 77.
222
signifikan di dalam realitas sosial.111 Dengan demikian, Gerindra tidak
bisa dilepaskan dari individu-individu anggotanya, begitupun
sebaliknya. Anggota per individu tidak bisa lepas dari organisasi yang
menaunginya.
Meminjam penjelasan Saiful Mujani, bagi Gerindra dengan aneka
ragam pluralisme individu, etnis, bahasa lokal, agama, dan latar
belakang sejarah, dijadikan sebagai mozaik kultural yang sangat kaya,
demi terciptanya sebuah taman sari Indonesia yang memberi keamanan
dan kenyamanan bagi siapa saja yang menghirup udara di Nusantara
ini. Terlebih lagi, Gerindra menjadikan Pancasila dan UUD 45 sebagai
kalimatun sawā’ yang dijadikan prinsip, pegangan, dan proposisi dasar
bersama, untuk berbakti bagi Indonesia. Masih meminjam penjelasan
Saiful Mujani, dengan Pancasila yang dipahami dan dilaksanakan
secara jujur dan bertanggungjawab, semua kecenderungan politik
identitas yang negatif-destruktif yang dapat meruntuhkan bangunan
bangsa dan negara ini dapat dicegah. Karena itu, tidak boleh ada
kekuatan primordial apapun untuk memaksakan dirinya menjadi
dominan terhadap kekuatan primordial lain dalam wilayah publik.
Kalau kultur ini lemah, di mana kekuatan primordial mayoritas
menuntut menjadi kekuatan dominan dalam arena publik, maka sistem
politik yang cocok untuk ini adalah non-demokrasi, misalnya saja
otoritarianisme atau bahkan totalitarianisme.112
Komponen yang membentuk dan perjuangan Gerindra-pun sesuai
dengan kearifan lokal budaya bangsa Indonesia. Agus Sunyoto
menjelaskan bahwa sistem tatanegara Majapahit, Maharaja Hayam
Wuruk adalah pemegang jabatan Kepala Negara yang membawahi
kekuasaan hukum yang dipegang para Dharmadhyaksa (hakim tinggi
agama), Pamegat (hakim), Upapatti (Jaksa), Panji (penasehat hukum),
Dandaniti (administratur pengadilan), Citralekhadanda (panitera),
Dandawidhi (pengawas pelaksanaan hukum acara), dan Singhanagara
(algojo) beserta kekuasaan militer. Sementara Mahapatih
111
Frank den Hond, F. Kees Boersma, Leonie Heres, Eelke H.J. Kroes, dan
Emmie van Oirschot, “Giddens à la Carte? Appraising empirical applications of
Structuration Theory in management and organization studies,” Journal of Political
Power, Vol. 5, No. 2, Agustus (2012), 239-264; Jonathan H. Turner, ”Review Essay:
The Theory Structuration,” American Journal of Sociology, Vol. 91, No. 4, Januari
(1986), 969-970; Margaret S. Archer, “Morphogenesis versus Structuration: On
Combining Structure and Action,” The British Journal of Sociology, Vol. 33, No. 4-
Desember, (1982), 455-483. 112
Saiful Mujani, “Syari’at Islam dan Keterbatasan Demokrasi,” dalam Kolom,
edisi 003, Agustus (2011), 3.
223
Mangkubhumi Gajah Mada adalah pemegang jabatan Kepala
Pemerintahan yang membawahi menteri-menteri, Juru Wanyaga
(kepala para pedagang), Juru Masamwaywahara (dirjen perdagangan),
Pangurang (dirjen pajak), Marggabhaya (dirjen perhubungan), Juru
Tambang (pejabat pengawas penambangan), Juru Wwatan (pengawas
jembatan-jembatan), Juru Titi (dinas metrologi), Tuha Alas (Dirjen
Kehutanan), dan aparatur pemerintashan lain.113
113Agus Sunyoto, “Pos-Hegemoni XXXIII: Diktator Liberal,” dalam
http://www.pesantrenglobal.com/post-hegemony-xxxiii-diktator-liberal/, diakses 12
Juni 2014.
224
225
BAB V
KONSEPSI EKONOMI KERAKYATAN GERINDRA
Pancasila dan Undang-undang Dasar Republik Indonesia 1945
merupakan dasar sumber segala hukum rakyat Indonesia, tak terkecuali
ekonomi. Dalam sumber hukum tersebut, dengan gamblang dan terang-
benderang menegaskan bahwa dalam perekonomian, segenap
komponen bangsa, diharuskan berpijak pada doktrin demokrasi sosial
dan demokrasi ekonomi. Demokrasi-Ekonomi yang tertuang dalam
Pasal 33 UUD 1945 menjadi filosofi paradigma ijtihad ekonomi pasar
Gerindra. Hal tersebut tertuang dalam manifesto perjuangan partai
Gerindra. Dengan demikian, manifesto tersebut merupakan cerminan
pemikiran ekonomi pasar Gerindra. Bahkan, sependek penelusuran
penulis, ranah pasar atau ekonomi inilah yang menjadi landasan utama
seluruh rancang bangun dan implementasi dari Gerindra. Bagi
Gerindra, untuk mewujudkan demokrasi Pancasila, lebih
berkecenderungan demokrasi ekonomi terlebih dahulu harus menjadi
kokoh baru kemudian demokrasi sosial. Dalam dokumen-dokumen,
ceramah, kampanye, dan lain-lain, porsi ranah ekonomi lebih
cenderung mendominasi pembahasan, jika dibandingkan dengan ranah
lainnya dalam konsepsi Janoskian.1 Inti pemikiran ekonomi
kerakyatannya, yang dikonsepsikan oleh Gerindra, secara filosofis
terpengaruhi, bahkan meniru konsepsi ekonomi Bapak Proklamator
Indonesia Soekarno-Hatta.2 bukan bersifat kapitalis dan bukan juga
berkecenderungan ke sosialis. Ekonomi kerakyatan berdimensi
melindungi hak pribadi namun juga tidak mengabaikan kesejateraan
bersama. Bab ini akan berupaya menjelaskan paradigma ekonomi
kerakyatan yang di usung oleh partai Gerindra.
1Paradigma empat ranah masyarakat madani telah dibahas dalam bab dua. Untuk
detailnya lihat Thomas Janoski, Citizenship and Civil Society: a Framework of Rights
and Obligations in Liberal, Traditional, and Social Democratic Regimes (Cambridge:
Cambridge University Press, 1998). 2Soekarno, “Pancasila,” dalam Herbert Feith dan Lance Castles, Pemikiran
Politik Indonesia 1945-1965 (Jakarta: LP3ES, 1988), 15-25; Moh. Hatta, “Masa Lalu
dan Masa Depan Indonesia,” dalam Herbert Feith dan Lance Castles, Pemikiran
Politik Indonesia 1945-1965, 7-15.
226
A. Pancasila dan UUD 1945 sebagai Dasar Ekonomi Kerakyatan Gerindra dalam deklarasi partai mencita-citakan terwujudnya
tatanan masyarakat Indonesia yang merdeka, berdaulat, bersatu,
demokratis, adil dan makmur serta beradab dan berketuhanan yang
berlandaskan Pancasila, sebagaimana termaktub di dalam Pembukaan
UUD 1945. Deklarasi itu juga menjelaskan bahwa kebijakan ekonomi
yang mendasi perjuangan Gerindra adalah ekonomi kerakyatan.
Deklarasi Gerindra mengamanatkan bahwa terwujudnya tatanan
masyarakat Indonesia yang merdeka, berdaulat, bersatu, demokratis,
adil dan makmur serta beradab dan berketuhanan yang berlandaskan
Pancasila, sebagaimana termaktub di dalam Pembukaan UUD 1945,
merupakan cita-cita bersama dari seluruh rakyat Indonesia. Untuk
mewujudkan cita-cita tersebut, Gerindra berkeyakinan penuh hanya
dapat dicapai dengan mempertahankan persatuan dan kesatuan bangsa,
dengan landasan Pancasila. Bagi Gerindra, budaya bangsa dan
wawasan kebangsaan harus menjadi modal utama untuk mengeratkan
persatuan dan kesatuan. Sehingga perbedaan di antara rakyat justru
menjadi rahmat dan menjadi kekuatan bangsa Indonesia. Namun
demikian, mayoritas rakyat masih berkubang dalam penderitaan, sistem
politik di Nusantara ini tak kunjung mampu merumuskan dan
melaksanakan perekonomian Nasional untuk mengangkat harkat dan
martabat mayoritas rakyat Indonesia dari kemelaratan. Bahkan dalam
upaya membangun bangsa, dalam perjalanannya bangsa Indonesia telah
terjebak sistem ekonomi pasar.3
Sistem ekonomi pasar telah memporak-porandakan perekonomian
bangsa, yang menyebabkan situasi yang sulit bagi kehidupan rakyat
dan bangsa. Moh. Hatta, ‘Begawan Ekonomi Kerakyatan Indonesia’
berkesimpulan bahwa semakin dalam kapitalisme masuk ke dalam
masyarakat Indonesia, semakin rusak penghidupan rakyat dan tidak
mempunyai pertahanan lagi.4 Grindra menambahkan bahwa hal itu
berakibat menggelembungnya jumlah rakyat yang miskin dan
menganggur. Pada situasi demikian, tidak ada pilihan lain bagi bangsa
ini kecuali harus menciptakan suasana kemandirian bangsa dengan
membangun sistem ekonomi kerakyatan.5 Partai Gerakan Indonesia
3Gerindra, “Deklarasi Partai Gerindra,” http://partaigerindra.or.id/deklarasi-
partai-gerakan-indonesia-raya#sthash.Pa6Y3c7z.dpuf, diakses tanggal 22 Maret 2014. 4Moh. Hatta, “Masa Lalu dan Masa Depan Indonesia,” dalam Herbert Feith dan
Lance Castles, Pemikiran Politik Indonesia 1945-1965, 8. 5Gerindra, “Deklarasi Partai Gerindra,” http://partaigerindra.or.id/deklarasi-
partai-gerakan-indonesia-raya#sthash.Pa6Y3c7z.dpuf, diakses tanggal 22 Maret 2014.
227
Raya adalah partai rakyat yang mendambakan Indonesia yang bangun
jiwanya, dan bangun badannya. Gerindra berharap menjadi partai
rakyat yang bertekad memperjuangkan kemakmuran dan keadilan
disegala bidang. Dalam hal ekonomi, partai ini memfondasikan
manifestonya pada paradigma ekonomi kerakyatan atau ekonomi
Pancasila.
Ekonomi kerakyatan merupakan terminologi ilmu ekonomi yang
dilahirkan pasca kolonialisme Hindia-Belanda. Istilah tersebut
dicetuskan oleh Bapak Proklamator dan Koperasi Muhammad Hatta.
Pemerintah Hindia Belanda pada saat itu dalam kebijakan ekonominya
menempatkan kaum pribumi dalam kelas strata sosial paling bawah.
Sedangkan, kaum asing menempati strata sosial yang tinggi. Belum
lagi, Belanda mengeruk kekayaan Indonesia untuk memperkaya
bangsanya sendiri dan menyengsarakan rakyat Indonesia. Oleh Bung
Hatta, ekonomi kerakyatan dicetuskan dan dirumuskan sebagai cara
untuk mensejahterakan rakyat indonesia dan menjadikan bangsa
pribumi sebagai tuan di negeri sendiri.6
Ekonomi diartikan oleh Hatta sebagai suatu ilmu yang "memberi
keterangan tentang tabiat manusia yang umum dilakukannya dalam
tindakannya menuju kemakmuran."7 Sedangkan rakyat, menurut Sri-
Edi Swasono, pakar ekonomi kerakyatan sekaligus menantu Hatta,
mendefinisikan rakyat dalam konsepsi politik. Dalam politik, rakyat
tidak harus berarti seluruh penduduk.8 Rakyat adalah “the common
people,” orang banyak. Pengertian rakyat berkaitan dengan kepentingan
publik yang berbeda dengan kepentingan individual atau orang-seorang.
Rakyat memiliki makna yang luhuryang lebih dekat dengan kata
masyarakat atau umat. Kata umat, sebagaimana telah dijelaskan dalam
bab sebelumnya, selain bisa bermakna individu, namun lumrahnya
dimaknai dengan publik, masyarakat kebanyakan.9 Dengan demikian,
6Moh Hatta, Sesudah 25 Tahun: Pidato Diutjapkan Pada Dies Natalis
Kesembilan Universitas Sjiah Kuala Darussalam Di Banda Atjeh Pada Tanggal 2
September 1970 (Jakarta: Djambatan, 1970), 7; 7Tempo, “Mohammad Hatta: Tamasya Sejarah Bersama Hatta,” dalam Tempo
Edisi Agustus (2012), 23; Sri-Edi Swasono, Kembali Ke Pasal 33 UUD 1945
Menolak Liberalisme! (Jakarta: Yayasan Hatta, 2010), 36. 8Sri Edi Swasono, Ekspose Ekonomika Mewaspadai Globalisasi dan Pasar
Bebas (Yogyakarta: Pusat Studi Ekonomi Pancasila – UGM, 2010), 68-70. 9Lihat Abū al-Ḥusain Aḥmad ibn Fāris ibn Zakariā, Maqāyīs al-Lughah, juz I
(t.t: Ittiḥād al-Kitāb al-'Arab, 2002), 55; Al-Rāghib al-Aṣfihāni, Mu'jam Mufradāt
Alfāż al-Qur'ān (Beirūt: Dār al-Fikr, t.th), 19; M. Quraish Shihab.et al, Ensiklopedi
Al-Qur'an: Kajian Kosakata dan Tafsirnya (Jakarta: PT. Intermasa, 1997), 394.
228
ekonomi kerakyatan bermakna paham ekonomi yang berdasarkan atas
usaha bersama dan asas kekeluargaan.10
Hatta mengasaskan paradigma ekonominya berdasarkan Pancasila.
Dasar yang kelima Pancasila ialah “Keadilan sosial bagi seluruh rakyat
Indonesia.” Untuk sampai pada tujuan agar di dalam masyarakat
Indonesia dapat mencapai suatu masyarakat yang mempunyai keadilan
sosial, terutama haruslah bangsa ini mencapai demokrasi di dalam
ekonomi.11
Hatta menjelaskan bahwa pengalaman dengan pemerintah
autokrasi kolonial Belanda dalam bentuk negara-polisi menghidupkan
dalam kalbu pemimpin dan rakjat Indonesia cita-cita negara hukum
yang demokratis. Negara itu haruslah berbentuk Republik berdasarkan
Kedaulatan Rakyat. Tetapi, menurut Hatta, kedaulatan rakyat yang
dipahamkan dan dipropagandakan dalam kalangan pergerakan nasional
dan dalam konstitusi berlainan dengan konsepsi Rousseau yang bersifat
individualisme. Kedaulatan rakyat ciptaan Indonesia harus berakar
dalam pergaulan hidup sendiri yang bercorak kolektivisme. Demokrasi
Indonesia harus pula perkembangan dari pada demokrasi Indonesia
yang asli. Semangat kebangsaan yang tumbuh sebagai reaksi terhadap
imperialisme dan kapitalisme Barat, memperkuat pula keinginan untuk
mencari sendi-sendi bagi negara nasional yang akan dibangun ke dalam
masyarakat sendiri. Demokrasi Barat a priori ditolak oleh konstitusi
Republik Indonesia.12
Konsep ekonomi kerakyatan tersebut juga sesuai dengan konstitusi
Republik Indonesia, Pasal 33 UUD 1945. Pasal tersebut menjelaskan
secara terperinci mengenai: “(1) Perekonomian disusun sebagai usaha
bersama berdasar atas azas kekeluargaan. (2) Cabang-cabang produksi
yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang
banyak (harus) dikuasai oleh negara. (3) Bumi, air, dan segala
kekayaan yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan
dipergunakan bagi sebesar-besar kemakmuran rakyat.” Selain itu,
perwujudan hal tersebut juga tercantum dalam Pasal 27 dan 34. Dalam
pasal ini, negara sebagai abdi rakyat memiliki peran yang sangat
besar dalam sistem ekonomi kerakyatan. Hal tersebut tercantum
dalam Pasal 27 ayat 2 dan Pasal 34 UUD 1945. Peran negara dalam
sistem ekonomi kerakyatan di antaranya adalah: (1) mengembangkan
koperasi (2) mengembangkan Badan Usaha Milik Negara (BUMN); (3)
10
Sri-Edi Swasono, Kembali Ke Pasal 33 UUD 1945 Menolak Liberalisme!, 36. 11
Moh. Hatta, "Pancasila Harus Dipegang Teguh," dalam Pidato Wakil Presiden
Mohammad Hatta, pada Rapat Terbatas di Pematang Siantar, 22 November (1950). 12
Moh. Hatta, Demokrasi Kita (Jakarta: Pustaka Antara PT Djakarta, 1966), 22.
229
memastikan pemanfaatan bumi, air, dan segala kekayaan yang
terkandung didalamnya bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat; (4)
memenuhi hak setiap warga negara untuk mendapatkan pekerjaan dan
penghidupan yang layak; (5) memelihara fakir miskin dan anak
terlantar.13
Mubyarto, sebagaimana yang dikutip oleh Sri-Edi, menyatakan
ekonomi kerakyatan tersebut merupakan ciri-ciri dari sistem Ekonomi
Pancasila.14
Ciri Ekonomi Pancasila di antaranya adalah: “(1) roda
perekonomian digerakkan oleh rangsangan ekonomi, sosial, dan moral;
(2) kehendak kuat dari seluruh masyarakat ke arah kemerataan sosial
(egaliterianisme), sesuai asas-asas kemanusiaan; (3) prioritas kebijakan
ekonomi adalah penciptaan ekonomi nasional yang tangguh, yang
berarti nasionalisme menjiwai tiap-tiap kebijakan ekonomi; (4) koperasi
merupakan sokoguru perekonomian dan merupakan bentuk yang paling
kongkret dari usaha bersama; (5) adanya imbangan yang jelas dan tegas
antara perencanaan di tingkat nasional dengan desentralisasi dalam
pelaksanaan kegiatan ekonomi untuk menjamin keadilan ekonomi dan
sosial.”15
Sri-Edi Swasono menambahkan bahwa sistem Ekonomi Pancasila
itu bahkan mengandung nilai-nilai moralis agama. Pada sila pertama,
terkandung adanya atau berlakunya etik dan moral agama, bukan
berwatak materialisme. Sila kedua, tidak mengenal pemerasan antar
sesama, pengisapan, dan subordinasi ekonomi modern. Sila ketiga,
terkandung nilai-nilai kebersamaan, kekeluargaan, gotong-royong, tidak
saling mematikan, dengan spirit nasionalisme. Sila keempat, terkandung
nilai demokrasi ekonomi, kedaulatan ekonomi, mengutamakan ekonomi
rakyat, dan mengutamakan hajat hidup orang banyak. Sila kelima,
13
Lihat http://www.dpr.go.id/id/uu-dan-ruu/uud45, diakses tanggal 10 Agustus
2014. 14
Untuk lebih detail tentang Ekonomi Pancasila lihat Lembaga Pengkajian
Ekonomi Pancasila-LPEP, Ekonomi Pancasila (Jakarta: Penerbit Mutiara, 1980).
Lembaga ini dipimpin oleh Soerowo Abdulmanap, dan sebagai penasihatnya adalah
Mohammad Hatta. 15
Sri Edi Swasono, Ekspose Ekonomika Mewaspadai Globalisasi dan Pasar
Bebas, 98. Lihat sejarah dinamika paradigma Ekonomi Pancasila oleh Tarli Nugroho,
“Ekonomi Pancasila Refleksi Setelah Tiga Dekade,” dalam Bahan Urun-Rembug,
diskusi “Membangun Paradigma Ilmu Pancasila,” di Pusat Studi Pancasila (PSP)
UGM, Jumat, 1 April (2011), 3.
230
bernilai persamaan, pemerataan, dan kemakmuran rakyat yang utama,
bukan kemakmuran individual.16
Pada masa sekarang ekonomi kerakyatan atau Ekonomi Pancasila,
menjadi sebuah wacana yang terus diulang dengan tanpa diketahui
pasti anatomi dan struktur rancang-bangun, t e r l e b i h
i m p l e m e n t a s i n y a . Semua ekonom, baik yang berhaluan
sosialis dan kapitalis akan berusaha untuk menjelaskan dampak
ekonomi kepada rakyat dengan mengklaim bahwa paradigma
ekonominya berlandaskan dan sesuai dengan konstitusi negara.
Kepemimpinan pemerintahan bangsa silih-berganti dan belum satupun
yang mampu membuktikan bahwa rakyat, kaum marjinal, bisa
menikmati hasil kegiatan ekonomi secara adil dan merata.
Era pemerintahan Soekarno dengan konsep Marhaenismenya telah
berusaha untuk membangun model ekonomi kerakyatan Indonesia,
yang menurutnya, sesuai dengan konstitusi. Soekarno mengartikan
Marhaenisme sebagai suatu ideologi kerakyatan yang mencita-citakan
terbentuknya masyarakat yang sejahtera secara merata. Asas
Marhaenisme adalah sosio-nasionalisme dan sosiodemokrasi. Sosio-
nasionalisme adalah nasionalisme masyarakat, yaitu nasionalisme
dengan kedua kakinya berdiri di atas masyarakat. Sosio-nasionalisme
menolak setiap tindakan borjuisme yang menjadi sebab kepincangan
masyarakat.17
Menurut Soekarno, sosio-nasionalisme adalah nasionalisme
politik dan ekonomi, suatu nasionalisme yang mencari keajegan
politik dan ekonomi, keajegan negeri dan rezeki. Sosio-demokrasi
timbul karena sosionasionalisme. Sosiodemokrasi adalah demokrasi
politik dan demokrasi ekonomi. Sosionasionalisme adalah
nasionalisme yang berperikemanusiaan atau perasaan cinta kepada
bangsa yang dijiwai oleh perasaan cinta kepada sesama. Sementara
sosiodemokrasi adalah demokrasi yang menuju kepada kesejahteraan
16
Sri Edi Swasono, Ekspose Ekonomika Mewaspadai Globalisasi dan Pasar
Bebas, 99. 17
Soekarno, “Pancasila,” 20-21; Yuli Hananto, Bermuka Dua; Kebijakan
Soeharto terhadap Soekarno beserta Keluarganya (Yogyakarta: Ombak, 2005), 38-
41; S. Pataniari, Api Perjuangan Rakyat (Jakarta: Lembaga Kajian Ekonomi Politik,
2002), 116; Indriyanto, “Pertentangan Politik Soekarno-Hatta: Sebuah Kajian
Budaya,” Makalah Seminar Nasional dan Diskusi “Pertentangan Sukarno-Hatta: Etika
Politik dalam Perspektif Sejarah dan Hukum,” Himpunan Mahasiswa Jurusan
Sejarah Fakultas Sastra UNDIP, Semarang 15 Maret (2007), 2
231
sosial, kesejahteraan masyarakat, atau kesejahteraan seluruh bangsa.18
Pada masa pemerintahan Orde Lama, Indonesia tidak seutuhnya
mengadaptasi sistem ekonomi kapitalis, namun juga memadukannya
dengan nasionalisme ekonomi. Pemerintah yang belum berpengalaman,
masih ikut campur tangan ke dalam beberapa kegiatan produksi yang
berpengaruh bagi masyarakat banyak. Hal namun karena kemelut
politik, mengakibatkan terjadinya ketidakstabilan pada ekonomi
negara. Pada masa pemerintahan Orde Lama, Indonesia tidak seutuhnya
mengadaptasi sistem ekonomi kapitalis, namun juga memadukannya
dengan nasionalisme ekonomi. Pemerintah yang belum berpengalaman,
masih ikut campur tangan ke dalam beberapa kegiatan produksi yang
berpengaruh bagi masyarakat banyak. Hal tersebut, ditambah pula
kemelut politik, mengakibatkan terjadinya ketidakstabilan pada
ekonomi negara. Dalam jangka waktu tersebut, Indonesia bergantian
menggunakan sistem ekonomi liberal dan sistem ekonomi
komando. Hampir seluruh program ekonomi pemerintahan Soekarno
kandas di tengah jalan.19
Era rezim Soeharto juga berusaha membangun ekonomi kerakyatan
dengan Repelita dan konsep pembangunannya.20
Sebagaimana
Soekarno, iapun mengklaim sistem ekonomi yang dijalankannya
berlandaskan ekonomi kerakyatan yang berlandaskan Pancasila. Arsitek
ekonomi era Soeharto, Soemitro Djojohadikusumo dan Emil Salim
telah menggunakan istilah Ekonomi Pancasila dalam merumuskan
kebijakan ekonominya.21
Emil Salim menerjemahkan istilah Ekonomi
18
Soekarno, “Pancasila,” 22-23; Yuli Hananto, Bermuka Dua; Kebijakan
Soeharto terhadap Soekarno beserta Keluarganya, 39; S. Pataniari, Api Perjuangan
Rakyat, 117; Indriyanto, “Pertentangan Politik Soekarno-Hatta: Sebuah Kajian
Budaya,” 3. 19
Lihat Yuri Sato, “Post-Crisis Economic Reform in Indonesia:Policy for
Intervening in Ownership in Historical Perspective,” IDE Research Paper No. 4,
September, (2003), 1-3; Wing Thye Woo dan Chang Hong, “Indonesia’s Economic
Performance in Comparative Perspective and a New Policy Framework for 2019,”
Bulletin of Indonesian Economic Studies, Vol. 46, No. 1, (2010): 33–64. 20
Zeffry Alkatiri, “The Words of Magic Used during the Soeharto’s Indonesian
New Order Military Regime Era 1980-1997,” Asian Journal of Social Sciences and
Humanities, Vol. 2. No. 1, February (2013), 83. 21
David Ransom menjelaskan bahwa Soemitro dan Salim merupakan ekonom
anggota keluarga The Berkeley Mafia, David Ransom, “The Berkeley Mafia and the
Indonesian Massacre,” Majalah Ramparts, Vol. 9, No. 4, Oktober (1970), 26-28, 40-
49. Lihat Sumitro Djojohadikusumo, Trilogi Pembangunan dan Ekonomi Pancasila
(Jakarta: Induk Koperasi Pegawai Negeri Republik Indonesia, 1985); Emil Salim,
“Sistem Ekonomi Pancasila,” Majalah Prisma, No. 5/VIII, Agustus (1979), 3-9; Emil
232
Pancasila sebagai gagasan mengenai sistem perekonomian, atau politik
perekonomian. Hal tersebut berbeda dengan paradigma Mubyarto yang
menggunakannya sebagai sebentuk teori kritis untuk mengkritik teori
ekonomi neoklasik (mainstream economics). Secara historis, gagasan
Ekonomi Pancasila Emil Salim adalah mencoba memberi pendasaran
terhadap kebijakan dan jalan ekonomi yang akan diambil oleh Orde
Baru. Sementara Ekonomi Pancasila versi Mubyarto justru hendak
memberikan kritik terhadap kebijakan dan jalan ekonomi Orde Baru.
Dalam analisa sejarah Tarli Nugroho, pada saat itu pemerintah sedang
berusaha untuk memonopoli tafsir ekonomi atas Pancasila. Karena
sebelumnya Orde Baru telah menjadikan Pancasila sebagai ujung
tombak untuk melakukan de-Soekarno-isasi, delegitimasi terhadap
anasir-anasir ideologis lama (seperti “sosialisme Indonesia” ataupun
“sosialisme” secara umum).22
Setelah era Orde Baru, era kepemimpinan
pemerintahan Indonesia kemudian silih-berganti. Penafsiran paradigma
ekonomi kerakyatan-pun tetap menjadi sebuah wacana yang semakin
tidak jelas. Dan yang terang, rakyat tetap berada dalam kubangan
kemiskinan yang semakin dalam.
Pada zaman reformasi, masa pemerintahan Soesilo Bambang
Yudhoyono, dalam penilaian Zulkifly Alkatiri, paradigma ekonomi
tidak jauh berbeda dengan zaman Soeharto.23
Pemerintah lebih
cenderung menekankan pertumbuhan ekonomi daripada pemerataan
ekonomi. Sehingga terjadilah disparitas ekonomi yang luar biasa antara
si kaya dengan si miskin. Analisa tersebut sesuai dengan data yang
diwartakan oleh Majalah Forbes yang berbasis di New York, Amerika
Serikat telah disebutkan ada sekitar 40 orang terkaya di Indonesia.
Total kekayaan mereka sebesar 88,6 miliar dollar AS atau setara Rp.
850 triliun. Total kekayaan 40 orang ini pada tahun 2012 meningkat 4
persen dibandingkan dengan tahun 2011. Dengan demikian, harta
kekayaan Rp. 850 triliun hanya dikuasai oleh 40 orang sementara bagi
pekerja formal, termasuk buruh yang berjumlah 42,1 juta orang berbagi
pendapatan senilai Rp. 1450 triliun. Inilah perbedaan yang sangat
menjulang antara si kaya dan si miskin di tengah sistem ekonomi pasar
yang tidak mentabukan setiap orang memiliki kekayaan dalam jumlah
Salim, Mencari Bentuk Ekonomi Indonesia: Perkembangan Pemikiran 1965-1981
(Jakarta: Gramedia, 1982), 36-38; Emil Salim, Kembali ke Jalan Lurus, Esai-esai
1966-1999 (Jakarta: Alvabet, 2000), 3-5. 22
Tarli Nugroho, “Ekonomi Pancasila Refleksi Setelah Tiga Dekade,” 6. 23
Zeffry Alkatiri, “The Words of Magic Used during the Soeharto’s Indonesian
New Order Military Regime Era 1980-1997,” 87-88.
233
yang begitu fantastis.24
Dalam analisa kebijakan, menurut lembaga
masyarakat madani Aifis (The American Institute for Indonesian
Studies), era pemerintah Indonesia Bersatu selama dua jilid, lebih
cenderung pro-investor daripada pro-rakyat. Hal ini bisa dibuktikan
dengan banyaknya investor yang menguasai sektor-sektor strategis
yang seharusnya dikuasai oleh negara, seperti tambang, migas, dan
lain-lain. Selain itu, pemerintah juga mengalami ketergantungan kepada
hutang luar negeri. Sedangkan di sektor riil, seperti usaha kecil
menengah banyak yang mengalami gulung tikar karena tidak bisa
bersaing dengan perusahaan-perusahaan besar sehingga dengan
demikian cita-cita untuk mewujudkan adanya keadilan dan
kesejahteraan masyarakat di bidang ekonomi masih jauh dari
harapan, bahkan ini menjadi sebuah cerminan bahwa pemerintah belum
maksimal dalam mengupayakan keberpihakan kepada pelaku ekonomi
kecil menengah.25
Dengan kata lain, Era SBY juga gagal
mengimplementasikan ekonomi kerakyatan yang diamanahkan oleh
Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945.
Gerindra berkiprah dalam politik praktis berupaya untuk
memperjuangkan terimplementasikannya ekonomi kerakyatan.
Pancasila dan Ekonomi Kerakyatan merupakan dasar pendirian
Gerindra. Dalam keyakinan filosofis Gerindra, Pancasila sebagai
perekat Bangsa Indonesia telah terbukti mampu mempersatukan rakyat
Indonesia yang sangat heterogen. Sedangkan sistem ekonomi
kerakyatan adalah sistem ekonomi yang paling cocok diterapkan di
Indonesia sesuai dengan amanat UUD 45. Perjuangan partai Gerindra
semata bertujuan untuk mensejahterakan rakyat Indonesia. Bagi
Gerindra, keberagaman bangsa Indonesia dari suku, agama, ras dan
antar golongan (SARA) mampu di rekat erat oleh ideologi Pancasila.
Oleh karena itu seluruh anggota Partai Gerindra lebih mengutamakan
jiwa nasionalisme sebagai jiwa perjuangan partai, termasuk dalam hal
ekonomi.26
Pancasila sebagai perekat Bangsa Indonesia akan semakin kuat
apabila segala hajat hidup rakyat secara konsisten dipersembahkan oleh
pemerintah. Ekonomi kerakyatan yang merupakan sistem terpadu
24
http://www.forbes.com/indonesia-billionaires/list/, diakses tanggal 10 Agustus
2014. 25
Aifis, Bunga Rampai: Serial Diskusi Akademik (Agustus – Desember 2013):
Telaah Wacana Ekonomi Kerakyatan (Depok: Aifis, 2013), 2. 26
Prabowo Subianto, et. al., Membangun Kembali Indonesia Raya: Haluan Baru
Menuju Kemakmuran (Jakarta: Institut Garuda Nusantara, 2012), xxvi-xxvii.
234
dalam pengelolaan asset tanah tumpah darah dan bumi diyakini mampu
mensejahterakan rakyat. Hashim Djoyohadikusumo menjelaskan
bahwa sistem ekonomi kerakyatan yang akan diterapkan oleh Partai
Gerindra berangkat dari kekuatan ekonomi yang berdasarkan kekuatan
diri-sendiri berdasarkan potensi alam dan sumber daya manusia
terbesar ke-4 di dunia. Partai Gerindra ingin membawa Bangsa
Indonesia menjadi bangsa yang besar berdasarkan ideologi Pancasila
dan menerapkan ekonomi kerakyatan. Manifesto Perjuangan Gerindra
dalam bidang ekonomi menegaskan bahwa Kebijakan perekonomian
harus mendukung cita-cita welfare state (negara kesejahteraan) yang
berkeadilan. Untuk itu diperlukan langkah yang tepat untuk
menormalisasi kehidupan ekonomi rakyat dengan kembali
memperjuangkan paham ekonomi kerakyatan.27
Biang keladi ketidakadilan dan ketidaksejahteraan perekonomian
di Indonesia sekarang ini, menurut Gerindra, mendukung pernyataan
ekonomi Soekarno, Hatta, Mubyarto dan Sri-Edi Swasono, disebabkan
karena sistem liberalisme dan kapitalisme yang dijadikan kebijakan
oleh pemerintah. Padahal, para pendiri bangsa telah menjadikan
ekonomi kerakyatan sebagai landasan perekonomian bangsa ini.28
Manifesto Gerindra menjelaskan bahwa pada sisi lain, sejak era
reformasi, sistem perekonomian Indonesia semakin berkecenderungan
kepada sistem liberal dan kapitalistik. Sistem ekonomi kerakyatan yang
diletakkan dasarnya oleh para pendiri bangsa melalui Pasal 33 UUD
1945 semakin ditinggalkan. Kondisi ini telah menyebabkan kehidupan
rakyat pada umumnya jauh dari kesejahteraan. Kekayaan alam menjadi
lahan pertarungan perebutan pengaruh di antara kekuatan-kekuatan
politik dan kekuatan asing, tidak untuk sebesar-besar kemakmuran
rakyat. Jumlah kemiskinan dan pengangguran tetap menjadi masalah
utama. Karena itu, tidak ada pilihan lain, kita harus mewujudkan
kemandirian bangsa dengan membangun sistem ekonomi kerakyatan.29
Menurut Fadli Zon, Gerindra meyakini kapitalisme dan liberalisme
selalu inheren dengan krisis. Depresi besar 1929 dan krisis 2008 adalah
dua contoh kegagalan kapitalisme membawa tatanan ekonomi dunia
27
Gerindra, Manifesto Perjuangan Partai Gerindra (Jakarta, Gerindra, 2011),
14. 28
Soekarno, “Pancasila,” 16; Moh. Hatta, “Masa Lalu dan Masa Depan
Indonesia,” 7; Sri Edi Swasono, Ekspose Ekonomika Mewaspadai Globalisasi dan
Pasar Bebas, 100. 29
Gerindra, Manifesto Perjuangan Partai Gerindra (Jakarta, Gerindra, 2011),
15.
235
yang lebih adil dan makmur. Gagasan ekonomi kerakyatan di Indonesia
lahir dari buah pemikiran Mohammad Hatta. Hatta menilai sistem
kapitalisme berpijak atas dasar perjuangan dalam arena pasar yang kuat
bertambah kuat, yang lemah menjadi musnah. Pembagian hasil yang
adil antara produsen, konsumen dan saudagar tak pernah tercapai dalam
sistem pasar kapitalisme.30
Senada dengan Fadli, pasar (market) model demikian dalam
pengertian Sri-Edi Swasono lebih diartikan tidak hanya sekedar suatu
lokus atau tempat bertemunya permintaan dan penawaran belaka. Ia
juga mencakup pengertian hadirnya suatu kekuatan besar the global
finance tycoons (saudagar finansial global) dengan kekuasan ekonomi
yang luar biasa. Ia berbentuk trans nasional corporation (korporasi
trans nasional), semisal Bank Dunia, International Monetery Fund
(IMF), Asian Development Bank (ADB), dan lain-lain.31
Lebih lanjut,
Sri-Edi menjelaskan bahwa pasar tersebut sebagai suatu mekanisme di
mana kelompok-kelompok masyarakat yang tidak cukup memiliki daya
beli akan bernasib malang, akan tersisih oleh arus pasar dan berada di
luar arena transaksi ekonomi. Dengan kata lain, pasar-bebas secara
inheren pada dasarnya diskriminatif terhadap yang miskin, meskipun
tidak diskriminatif dalam melayani siapa saja yang memiliki daya
beli.32
Gerindra menilai, sistem pasar-bebas sebagai anak kandung
kapitalisme tidak tepat diterapkan di Indonesia. Sejarah perekonomian
Indonesia telah merekam kehadiran pasar dengan model tersebut.
Dalam konteks Indonesia, di bawah kolonialisme Belanda, kaum
produsen besar umumnya terdiri dari orang kulit putih. Kedudukan
mereka sangat kuat karena didukung pemerintah kolonial dan bank.
Sementara ekonomi rakyat dapat dengan mudah dikuasai produsen,
karena ekonomi rakyat itu tidak tersusun. Ketimpangan ekonomi pada
masa itu sangat tinggi. Struktur sosial terbagi empat strata yaitu (1)
golongan Eropa, (2) golongan Tionghoa, (3) golongan bangsa asing
Timur bukan Tionghoa, dan (4) golongan Inlanders. Sistem kapitalisme
berkecenderungan diskriminasi dan bertentangan dengan Pancasila.33
30
Fadli Zon, “Ekonomi Kerakyatan,“ Garuda Nusantara, Edisi 20/Tahun
II/Desember, (2012), 1. 31
Sri-Edi Swasono, Kembali Ke Pasal 33 UUD 1945 Menolak Liberalisme!, 29. 32
Sri Edi Swasono, Ekspose Ekonomika Mewaspadai Globalisasi dan Pasar
Bebas, 23. 33
Fadli Zon, “Ekonomi Kerakyatan,“ 1.
236
Paradigma ekonomi Hatta menjadi suluh bagi Gerindra dalam
operasionalisasinya. Bagi Hatta, dasar tiap-tiap perekonomian adalah
pada bagaimana mencapai kebutuhan hidup rakyat. Jika kebutuhan tak
dapat dipenuhi maka diperlukan impor. Bagi penjajah, ekspor adalah
mesin penghasil uang. Indonesia hanya jadi daerah ekonomi industri
bagi Belanda. Keuntungan sebesar-besarnya masuk ke Belanda.34
Bagi
Gerindra, struktur dan sistem ekonomi yang seperti ini telah
menimbulkan paradoks. Indonesia mempunyai sumber daya alam dan
sumber daya manusia yang berlimpah, akan tetapi, rakyatnya hidup
dalam kemiskinan dan kesengsaraan. Hatta menempatkan rakyat
sebagai subyek (people based) dan sebagai pusat dari kegiatan ekonomi
(people centered). Gagasan tersebut membuatnya berdiri sangat jauh
dari kapitalisme yang berpijak pada paham individualisme atau yang
berorientasi pada kepentingan diri sendiri (self interest).35
Gagasan demokrasi Hatta ditauladani oleh Gerindra dengan
mengusung gagasan yang dipengaruhi corak demokrasi desa. Gagasan
ekonomi Hatta-pun senada dengan platform Gerindra, lebih dekat pada
gagasan kolektivisme atau kebersamaan, dan tak mengharamkan
intervensi negara. Oleh Gerindra dan Hatta, negara ditempatkannya
sebagai pemeran utama dalam usaha mensejahterakan rakyat. Selain
itu, dalam cara bagaimana-gagasan ekonomi yang berpusat pada rakyat
itu dikerjakan, Hatta yang ditiru oleh Gerindra, sangat memperhatikan
realitas konkret dari kehidupan masyarakat Indonesia. Karena tak ada
sistem ekonomi yang bisa lepas dari kebudayaan, bangun usaha yang
cocok dengan budaya Indonesia adalah koperasi. Hatta dan Gerindra
sama-sama berkeyakinan bahwa koperasi merupakan segi ekonomi dari
apa yang disebutnya sebagai “kooperasi sosial lama”, yaitu gotong-
royong. Menurut Sri-Edi Swasono, sistem ekonomi Indonesia oleh
Hatta disebut sebagai sosialisme-religius.36
Menurut Prabowo, pemikiran ekonomi Mohammad Hatta telah
menjadi tonggak penting dalam sejarah ekonomi-politik di Indonesia.
Dialah perumus Pasal 33 UUD 1945, yang membuat konstitusi
Indonesia bukan semata dokumen politik, melainkan juga dokumen
34
Moh Hatta, Sesudah 25 Tahun ....., 10. 35
Moh. Hatta, Demokrasi Kita, 25 36
Lihat Sri-Edi Swasono, Keparipurnaan Ekonomi Pancasila (Depok: FEUI,
2006), 17-21; Sri-Edi Swasono, Kembali Ke Pasal 33 UUD 1945 Menolak
Liberalisme!, 35; lihat juga Gerindra, Manifesto Perjuangan Partai Gerindra, 16;
Prabowo Subianto, et. al., Membangun Kembali Indonesia Raya ....., 50.
237
ekonomi.37
Jadi, berbeda dengan negara-negara liberal kapitalis,
dimana konstitusinya hanya bersifat politik saja, keberadaan Pasal 33,
serta pasal-pasal kesejahteraan sosial lainnya, membuat konstitusi
Indonesia bisa disebut sebagai Konstitusi Ekonomi. Menurut Amelia
Hayati,38
ekonomi kerakyatan adalah sistem ekonomi yang demokratis.
Pengertian demokrasi ekonomi atau sistem ekonomi yang demokratis
termuat lengkap dalam penjelasan pasal 33 UUD 1945 yang berbunyi:
“Produksi dikerjakan oleh semua untuk semua dibawah pimpinan atau penilikan
anggota-anggota masyarakat. Kemakmuran masyarakatlah yang diutamakan
bukan kemakmuran orang-seorang. Sebab itu perekonomian disusun sebagai
usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan. Bangun perusahaan yang sesuai
dengan itu ialah koperasi.” “Perekonomian berdasar atas demokrasi ekonomi,
kemakmuran bagi semua orang! Sebab itu cabang-cabang produksi yang penting
bagi negara dan yang menguasai hidup orang banyak harus dikuasai oleh negara.
Kalau tidak, tampuk produksi jatuh ke tangan orang-orang yang berkuasa dan
rakyat yang banyak ditindasinya.” “Hanya perusahaan yang tidak menguasai
hajat hidup orang banyak boleh ada di tangan orang-seorang.” “Bumi dan air
dan kekayaan alam yang terkandung di dalam bumi adalah pokok-pokok
kemakmuran rakyat. Sebab itu harus dikuasai oleh negara dan dipergunakan
untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.”
Revrisond Baswir menjelaskan bahwa sistem ekonomi kerakyatan
yang terkadung dalam UUD 45 tersebut berbeda dari neoliberalisme.
Neoliberalisme merupakan sebuah sistem perekonomian yang dibangun
di atas tiga prinsip, yaitu: (1) tujuan utama ekonomi neoliberal adalah
pengembangan kebebasan individu untuk bersaing secara bebas-
sempurna di pasar; (2) kepemilikan pribadi terhadap faktor-faktor
produksi diakui; dan (3) pembentukan harga pasar bukanlah sesuatu
yang alami, melainkan hasil dari penertiban pasar yang dilakukan oleh
negara melalui penerbitan undang-undang. Berdasarkan ketiga prinsip
tersebut maka peranan negara dalam neoliberalisme dibatasi hanya
sebagai pengatur dan penjaga bekerjanya mekanisme pasar. Dalam
perkembangannya, sebagaimana dikemas dalam paket Konsensus
Washington, peran negara dalam neoliberalisme ditekankan untuk
melakukan empat hal sebagai berikut: (1) pelaksanaan kebijakan
anggaran ketat, termasuk penghapusan subsidi; (2) liberalisasi sektor
37
Prabowo Subianto, et. al., Membangun Kembali Indonesia Raya ....., 52. 38
Amelia Hayati, “Konsepsi dan Aktualisasi Kebijakan Ekonomi Kerakyatan
bagi Perempuan Indonesia,” dalam Makalah Peningkatan Wawasan Kebangsaan,
Badan Kesatuan Bangsa dan Perlindungan Masyarakat Daerah (BKBPMD) Provinsi
Jawa Barat, Tasikmalaya 23 Juli (2008), 3.
238
keuangan; (3) liberalisasi perdagangan; dan (4) pelaksanaan privatisasi
BUMN.39
Revrisond Baswir lebih lanjut menjelaskan bahwa ekonomi
kerakyatan, sebagaimana dikemukakan dalam Pasal 33 UUD 1945,
adalah sebuah sistem perekonomian yang ditujukan untuk mewujudkan
kedaulatan rakyat dalam bidang ekonomi. Mencermati perbedaan
mencolok antara ekonomi kerakyatan dengan neoliberalisme tersebut,
tidak terlalu berlebihan bila disimpulkan bahwa ekonomi kerakyatan
pada dasarnya adalah antitesis dari neoliberalisme. Sebab itu, sebagai
saudara kandung neoliberalisme, ekonomi negara kesejahteraan
(keynesianisme), juga tidak dapat disamakan dengan ekonomi
kerakyatan. Keynesianisme memang menaruh perhatian yang sangat
besar terhadap penciptaan kesempatan kerja penuh, namun demikian ia
tetap dibangun berdasarkan prinsip persaingan bebas dan pemilikan
alat-alat produksi secara pribadi.40
Tabel 5.1. Peran Negara Dalam Ekonomi
Ekonomi
Kerakyatan
Kapitalisme
Negara Kesejahteraan Ekonomi Neoliberal
1. Menyusun
perekonomian
sebagai usaha
bersama
berdasar atas
azas
kekeluargaan;
mengembangka
n koperasi
(Pasal 33 ayat
1).
1. Mengintervensi
pasar untuk
menciptanya kondisi
kesempatan kerja
penuh.
1. Mengatur dan
menjaga
bekerjanya
mekanisme pasar;
mencegah
monopoli.
39
Revrisond Baswir, “Ekonomi Kerakyatan Vs Neoliberalisme,” dalam Makalah
“Seminar Nasional Ekonomi Kerakyatan: “Konsepsi Ekonomi Kerakyatan dalam
Pengelolaan Aset (SDA) dan Perusahaan (BUMN) Strategis Bangsa,” Pusat Studi
Ekonomi Kerakyatan Gadjah Mada, 28 April (2009). 1. 40
Revrisond Baswir, “Ekonomi Kerakyatan Vs Neoliberalisme,” 2-3.
239
2. Menguasai
cabang-cabang
produksi yang
penting bagi
negara dan
yang menguasai
hajat hidup
orang banyak;
mengembangka
n BUMN (Pasal
33 ayat 2).
3. Menguasai dan
memastikan
pemanfaatan
bumi, air, dan
segala
kekayaan yang
terkandung di
dalamnya bagi
sebesar-
besarnya
kemakmuran
rakyat (Pasal 33
ayat 3).
4. Mengelola
anggaran
negara untuk
kesejahteraan
rakyat;
memberlakukan
pajak progresif
dan
memberikan
subsidi.
2. Menyelenggarakan
BUMN pada
cabang-cabang
produksi yang tidak
dapat
diselenggarakan oleh
perusahaan swasta.
3. Menjaga
keseimbangan antara
pertumbuhan
ekonomi dengan
pemerataan
pembangunan.
4. Mengelola anggaran
negara untuk
kesejahteraan
rakyat;
memberlakukan
pajak progresif dan
memberikan subsidi.
2. Mengembangkan
sektor swasta dan
melakukan
privatisasi BUMN.
3. Memacu laju
pertumbuhan
ekonomi,
termasuk dengan
menciptakan
lingkungan yang
kondusif bagi
masuknya
investasi asing.
4. Melaksanakan
kebijakan
anggaran ketat,
termasuk
menghapuskan
subsidi.
240
5. Menjaga
stabilitas
moneter.
6. Memastikan
setiap warga
negara
memperoleh
haknya untuk
mendapatkan
pekerjaan dan
penghidupan
yang layak bagi
kemanusiaan
(Pasal 27 ayat
2).
7. Memelihara
fakir miskin
dan anak
terlantar (Pasal
34).
5. Menjaga stabilitas
moneter.
6. Memastikan setiap
warga negara
memperoleh haknya
untuk mendapatkan
pekerjaan dan
penghidupan yang
layak.
7. Memelihara fakir
miskin dan anak
terlantar.
5. Menjaga stabilitas
moneter.
6. Melindungi
pekerja
perempuan,
pekerja anak, dan
bila perlu
menetapkan upah
minimum.
1.
7. -
Sumber: Revrisond Baswir, 2009
Keistemewaan lainya dari Pasal 33 di atas, dalam pandangan Sri-
Edi Swasono sangat Islami.41
Hal tersebut juga sesuai dengan
manifesto perjuangan ekonomi Gerindra, meski dengan penyebutan
religius.42
Oleh karenanya, harus menjadi modal utama dalam
pengembangan ajaran ekonomi di Indonesia. Pasal 33 UUD 45
merupakan suatu capaian sangat tinggi dan luar biasa yang berhasil
menempatkan nilai-nilai Islam pada tingkat tertinggi, yaitu sebagai
konstitusi negara. Menurut Sri-Edi Swasono nilai-nilai ekonomi Islam
41
Sri-Edi Swasono, Kembali Ke Pasal 33 UUD 1945 Menolak Liberalisme!, 33. 42
Gerindra, Manifesto Perjuangan Partai Gerindra, 3; Prabowo Subianto, et. al.,
Membangun Kembali Indonesia Raya ....., xiv.
241
yang terkandung dalam pasal itu sejalan dengan QS. Al-Hashr/59 ayat
7:
............ ............ ...
......... supaya harta itu jangan beredar di antara orang-orang
Kaya saja di antara kamu. ......(QS. Al-Hasyr/59:7),
Sejalan juga, Sri-Edi Swasono menjelaskan bahwa hal itu selaras
dengan sabda Rasulullah Muhammad Saw., yaitu:
صلى الله عليه وسلم قال ثلث ل يمن عن الماء عن أبي هري رة أن رسول الله .والكل والنار
“Kaum Muslim berserikat dalam tiga hal, yaitu padang rumput, air
dan api.“ (HR. Ibn Majjah).43
Menyikapi pasal di atas, menurut Manifesto Gerindra, sejak era
reformasi, sistem perekonomian Indonesia semakin liberal dan
kapitalistik. Sistem ekonomi kerakyatan yang diletakkan dasarnya oleh
para pendiri bangsa melalui Pasal 33 UUD 1945 semakin ditinggalkan.
Kondisi ini telah menyebabkan kehidupan rakyat pada umumnya jauh
dari kesejahteraan. Kekayaan alam menjadi lahan pertarungan
perebutan pengaruh di antara kekuatan-kekuatan politik dan, lebih
ironis lagi oleh, kekuatan asing. Kekayaan alam yang berlimpah itu
tidak untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. Jumlah kemiskinan dan
pengangguran tetap menjadi masalah utama. Karena itu, tidak ada
pilihan lain, Gerindra harus berjuang untuk mewujudkan kemandirian
bangsa dengan membangun sistem ekonomi kerakyatan.44
Paradigma ekonomi Hatta dan paradigma ekonomi Gerindra juga
memiliki kesamaan dengan sistem ekonomi Islam. Menurt Tim Ilmu
Ekonomi Islam-FEUI, sistem ekonomi Islam, memiliki perbedaan yang
bersifat paradigmatik dengan sistem ekonomi kapitalis maupun sosialis.
Sistem ekonomi Islam dan ekonomi kerakyatan digagas Hatta, berbasis
pada worldview dan visi religius, yang diderivasikan dari al-Qur’an dan
Hadits. Gerindra sebagai partai nasionalis, dalam hal ini hanya
43
Kualitas Hadis ini menurut Albani adalah ṣaḥīḥ. Lihat al-Albani, Irwā’ al-
Ghalīl, Juz VI (Bairūt: Maktab al-Islāmī, 1405/1985), 6-9; Al-Zaila’i, Nashb al-
Rāyah, Juz IV (Misr: Dār al-Hadīts, Mesir. 1357), 352. 44
Gerindra, Manifesto Perjuangan Partai Gerindra, 4.
242
berlandaskan pada sila pertama Pancasila, yaitu Ketuhanan Yang Maha
Esa.45
Meskipun demikian, Gerindra sehaluan dengan sistem ekonomi
Islam dan ekonomi kerakyatan, membahas kebutuhan manusia secara
seimbang dan tanpa diskriminasi, baik material maupun non material.46
Dengan demikian, sistem ekonomi tersebut akan berfokus pada
optimisasi falaḥ (kesejahteraan dunia-akhirat) dan pemenuhan
kebutuhan. Hal ini berbeda secara diametral dengan sistem ekonomi
sekuler yang tidak membahas kebutuhan non material karena tidak
terukur dan melibatkan value judgment, sehingga sistem ekonomi
konvensional cenderung berfokus pada “maksimisasi” kekayaan
material (profit maximization) dan pemenuhan “keinginan.”47
Sistem Ekonomi Islam dan ekonomi kerakyatan juga diikuti oleh
Gerindra, dengan menekankan secara seimbang antara kerjasama
(cooperation) dan persaingan (competition) berlandaskan pada social-
interest, yang seringkali membutuhkan sacrifice (pengorbanan).48
Sedangkan sistem ekonomi konvensional cenderung hanya berfokus
pada persaingan bebas berlandaskan self-interest.49
Sistem ekonomi
Islam bersandar pada sistem bagi hasil (profit and loss sharing). Hal
yang belum bisa diimplementasikan dalam Gerindra adalah melarang
riba (usury), meskipun untuk nilai-nilai gharar (excessive speculation)
45
Prabowo Subianto, et. al., Membangun Kembali Indonesia Raya ....., 2-3;
Gerindra, Manifesto Perjuangan Partai Gerindra, 4. 46
Prabowo Subianto, et. al., Membangun Kembali Indonesia Raya ....., 58;
Gerindra, Manifesto Perjuangan Partai Gerindra, 4; Ilmu Ekonomi Islam-Fakultas
Ekonomi Universitas Indonesia, Ilmu Ekonomi Islam (Jakarta: IEI-FE UI, 2013).
Lihat juga Taqyuddīn al-Nabhanī, Niżām al-Islām (Beirut: Dār al-Ummah, 1953); 10. 47
Lihat misalnya pembahasan oleh Taqyuddīn al-Nabhanī, Niżām al-Islām
(Beirut: Dār al-Ummah, 1953); Taqyuddīn al-Nabhanī, Al-Takātu al-Hizbī, Hizbu al-
Taḥrīr (Beirut: Dār al-Ummah, 1953); Hamid Reza Alavi, “Ethical Views of Ibn
Miskawayh and Aquinas,” Philosophical Paper and Review Vol.1, 4 (2009), 2. Lihat
Ibnu Miskawayh, Tahdhīb al-Akhlāq Ibnu Miskawayh (Qahira: Maktabah al-
Ḥusainiyyah, t.t.), 25; Muḥammad ibn Muḥammad ibn Muḥammad al-Ghażalī, Iḥyā’
‘Ulūm al-Dīn, juz III, (Beirut: Dār Iḥyā’ al-Kutūb al-Ilmiyah, t.t), 48. 48
Rif’at al-Maḥjūb, Dirāsat Iqtiṣādiyat Islāmiyah (Qahira: Ma’had al-Dirāsat al-
Islāmiyah, 1987), 14; Muhammad Arham, "Islamic Perspectives on Marketing",
Journal of Islamic Marketing, Vol. 1 Iss: 2, (2010), 149-164; Mirza Hassan Hosseini,
Fatemeh Aidi “Developing Islamic Principless-Based Marketing Framework” Journal
Basic and Aplied Scientific Research,3 (3), (2013), 189; Prabowo Subianto, et. al.,
Membangun Kembali Indonesia Raya ....., 59; Gerindra, Manifesto Perjuangan Partai
Gerindra, 5-6. 49
Peter Drucker, “What is “Business Ethics?,” The Publik Interest, No. 63
(Spring, 1981), 18-36; Andrew Stark, ”What’s The Matter With Business Ethic,”
Harvard Business Review 71, (1993), 202.
243
dan maysīr (gambling) menyetujui sistem ekonomi Islam.50
sistem
ekonomi konvensional yang bersandar pada riba, masih dipertahankan
oleh Gerindra. Namun Gerindra tegas melarang gharar dan maysīr.51
Sebagaimana sistem ekonomi Islam, platform ekonomi Gerindra
juga banyak mendorong social-welfare contracts, seperti zakat
(compulsory charity), wakaf (endowment resources), hibah, dan qardh
al-ḥasan (free-interest loan).52
Sedangkan sistem ekonomi
konvensional cenderung hanya terfokus pada private-welfare contracts
saja. Meski berbasis kepada nilai dan moral agama (Islam), namun
sistem ekonomi Islam tetap akan bersifat ilmiah karena nilai dan moral
agama yang dikandungnya tidak menghalanginya untuk secara objektif
menentukan hubungan kausal antar variabel. Seluruh hipotesis dan teori
yang dibangun dalam sistem ekonomi Islam akan selaras dengan inti
atau struktur logis dari paradigma Islam. Sistem ekonomi Islam
mengembangkan ilmu ekonomi yang berfokus pada pemenuhan
kebutuhan hidup umat manusia secara komprehensif, baik material
maupun moral dan spiritual, serta menjaga keberlangsungannya.53
Sistem ekonomi Islam, dalam semangat paradigma Garaudian juga
telah dimanifestokan oleh konsep ekonomi Gerindra. Paradigma sistem
ekonomi Islam dari Garaudi lebih cenderung pada pendekatan analisis
komparatif antara sistem ekonomi konvensional dan sistem Ekonomi
Islam, dengan menggunakan pluralisme metodologi, baik moral, fiqh,
ekonomi, politik dan sejarah, dengan fokus utama pada makna dan
tujuan ilmu ekonomi. Islam sebagai agama pertama dan asal. Ia
sesungguhnya adalah agama satu-satunya dan bukan sebuah agama
atau paradigm baru yang muncul dalam sejarah dan di antara ciri-ciri
khususnya adalah universal, internasional dan komprehensif. Ia
50
Prabowo Subianto, et. al., Membangun Kembali Indonesia Raya ....., 117;
Gerindra, Manifesto Perjuangan Partai Gerindra, 17. 51
Gerindra, Manifesto Perjuangan Partai Gerindra, 6. 52
Ilmu Ekonomi Islam-Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, Ilmu Ekonomi
Islam (Jakarta: IEI-FE UI, 2013). Lihat juga Adi Sasono, Didin Hafiduddin dan AM.
Saepuddin dkk membagi tiga paradigma system ekonomi dunia. lihat Adi Sasono dkk,
Solusi Islam Atas Problematika Umat: Ekonomi, Pendidikan, dan Dakwah (Jakarta:
GIP, 1998); Anwar Abbas, Bung Hatta dan Ekonomi Islam: Menangkap Makna
Maqāshid al-Syarī’ah (Jakarta: Kompas Media Nusantara, (2010), 4; Prabowo
Subianto, et. al., Membangun Kembali Indonesia Raya ....., 117; Gerindra, Manifesto
Perjuangan Partai Gerindra, 17. 53
Muhammad Arham, "Islamic Perspectives on Marketing", 154; Mirza Hassan
Hosseini, Fatemeh Aidi “Developing Islamic Principless-Based Marketing
Framework,” 191.
244
sesungguhnya adalah risalah penutup yang datang untuk mempertegas
dan menyempurnakan risalah-risalah sebelumnya serta
membebaskannya dari penyisipan yang mencampurinya.54
Karena itu,
dapat dikatakan adanya titik temu (qāsim mushtarak; common
denominator) antara Islam dan agama-agama kitābīyah dan non-
kitābīyah terdahulu. Gerindra menjadikan Pancasila sebagai titik temu
berbagai sistem ekonomi agama yang dianut dan berkembang di
Indonesia. Inti dari konsepsi ekonomi kerakyatan Gerindra adalah
prisip kerja sama dan gotong-royong. Dasar tersebut disarikan dari
ekonomi Pancasila sebagaimana yang termaktub dalam Pancasila dan
UUD tahun 1945.
Manifesto Gerindra menggariskan sikap kerjasama dan gotong
royong yang dilandasi oleh penghormatan atas kedaulatan,
kemandirian, dan persamaan hak dalam mengerjakan dan menuntaskan
sebuah pekerjaan sejatinya merupakan kebutuhan setiap manusia
sebagai makhluk sosial. Tidak ada individu yang bisa hidup tanpa
membutuhkan individu lain. Partai Gerindra sangat menyadari
pentingnya kerjasama, karena itu dalam setiap sikap dan tindakan,
Partai Gerindra mengedepankan dan mengembangkan kerjasama dan
gotong royong dengan entitas masyarakat lainnya sebagai landasan
pergaulan berbangsa dan bernegara.55
Pancasila dan UUD 45 pasal 33 menjadi ruh yang mendasari
paradigma ekonomi kerakyatan Gerindra. Keadilan ekonomi yang
sehaluan dengan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia
merupakan dasar pandangan ekonomi Gerindra. Pelopor ekonomi
kerakyatan atau ekonomi Pancasila Hatta (1971)56
dan Mubyarto,
(2003)57
dan sistem ekonomi Islam menjadi tauladan ekonomi
kerakyatan Gerindra. Berdasarkan Manifesto Partai Gerindra keadilan
sosial bagi partai Gerindra adalah partai yang mencita‐citakan suatu
tatanan masyarakat yang berkeadilan sosial, yakni masyarakat yang adil
secara ekonomi, politik, hukum, pendidikan, dan kesetaraan gender.58
54
Muḥsin al-Maylī, Pergulatan Mencari Islam: Perjalanan Religius Roger
Garaudy, (terj.) Rifyal Ka’bah (Jakarta: Paramadina, 1996), 259. 55
Gerindra, Manifesto Perjuangan Partai Gerindra, 9-10. 56
Mohammad Hatta, Membangun Koperasi dan Koperasi Membangun (Jakarta:
Inti Idayu Press, 1971), 35. 57
Mubyarto, ”Ekonomi Pancasila: Satu Renungan Akhir Tahun,” Makalah Seminar
Bulanan Perkembangan Pemikiran Ekonomi Pancasila, Jilid 3 (Yogyakarta: Pusat Studi
Ekonomi Pancasila UGM-Yogyakarta, 2003), 2-3. 58
Gerindra, Manifesto Perjuangan Partai Gerindra, 44.
245
Dalam hubungan ekonomi dengan pihak luar negeri, Gerindra
memiliki prinsip bahwa politik luar negeri dan hubungan internasional
harus diabdikan untuk kepentingan nasional. Hubungan bilateral,
multilateral dan kedudukan Indonesia dalam organisasi-organisasi
internasional harus didasarkan pada kepentingan nasaional. Indonesia
harus menjadi bangsa terhormat dan bermartabat dalam pergaulan
internasional dan senantiasa pro-aktif dalam perdamaian dunia.59
Partai
Gerindra akan memperjuangkan kebijakan ekonomi yang berhubungan
dengan luar negeri dengan landasan yang progresif. Suatu landasan
yang dapat menempatkan dan mengokohkan Indonesia kembali sebagai
negara yang berperan dan dihormati di Asia dan dunia. Indonesia harus
mampu bersaing dengan negara-negara Asia seperti Republik Rakyat
Cina, Jepang, India, Korea Selatan di bidang ekonomi.
Bagi Geridra, berakhirnya Perang Dingin tidak dengan sendirinya
menampilkan Amerika Serikat sebagai kekuatan adikuasa tunggal.
Dunia setelah itu menjadi berdimensi multipolar. Ada berbagai
kekuatan yang berpengaruh dalam pentas politik masyarakat
internasional. Uni Eropa menjanjikan kemajuan ekonomi. Republik
Rakyat Cina (RRC) semakin menunjukkan kekuatan ekonomi, militer
dan nuklir. Republik Federasi Rusia, sejak di bawah pemerintah
Vladimir Putin berhasil membawa kembali kehormatan Rusia di bidang
ekonomi dan militer. India berkembang pesat ekonominya dan di
bidang militer memiliki kekuatan nuklir. Negara-negara sosialis
Amerika Latin seperti Venezuela, Argentina, Brasil dan Bolivia
mempunya potensi ekonomi yang kuat dan berani menentukan jalan
sendiri yang seringkali bertentangan dengan kebijakan luar negeri
Amerika Serikat. Negara-negara Timur Tengah, seperti Saudi Arabia
sangat kaya dan tangguh kekuatan militernya. Iran memiliki potensi
ekonomi karena minyak dan mengembangkan teknologi nuklir.60
Tumbuhnya kekuatan-kekuatan baru itu memaksa masyarakat
internasional kembali ke meja perundingan sebagai jalan terbaik
mencari penyelesaian konflik. Invasi AS atas negara berdaulat Irak
terbukti gagal dan telah menyebabkan AS semakin terkucil dan
terpuruk dalam pergaulan dunia. Indonesia harus dapat memainkan
peran dalam era baru internasional. Nilai strategis karena letak
kedudukan geografis, kekayaan alam, dan potensi sumber daya
59
Gerindra, Manifesto Perjuangan Partai Gerindra, 41-42. 60
Gerindra, Manifesto Perjuangan Partai Gerindra, 42.
246
manusia harus bisa menjadi modal diplomasi yang menguntungkan
kepantingan nasional.
Partai Gerindra menilai perlunya reaktualisasi politik ekonomi luar
negeri Indonesia yang ketinggalan zaman. Paradigma regionalisme
yang mengantarkan lahirnya ASEAN sudah menjadi artefak sejarah
diplomasi. Sama halnya dengan Gerakan Non Blok (GNB). Politik
ekonomi luar negeri Indonesia tidak boleh diabdikan untuk melayani
adidaya dan sekutu-sekutunya. Bangsa ini juga tak dapat terus-menerus
bergantung pada "solidaritas"ASEAN yang terbukti nihil ketika
bertabrakan dengan kepentingan nasional masing-masing. Kasus
lepasnya Sipadan Ligitan, konflik Ambalat, negosiasi ekstradisi dengan
Singapura adalah beberapa contoh kegagalan diplomasi Indonesia.
Politik ekonomi luar negeri Indonesia harus diabdikan pada
kepentingan nasional dengan berlandaskan kekuatan sendiri dengan
penentuan sikap sendiri untuk memperjuangkan kemerdekaan
sesungguhnya. Reaktualisasi politik ekonomi luar negeri tak hanya
menyangkut kebijakan tapi juga sumber daya manusia di bidang
diplomasi. Para diplomat ekonomi sebagai bagian pelaksana salah satu
kebijakan politik luar negeri harus memiliki sifat kejuangan,
keberanian, bervisi jauh ke depan dan menjaga kehormatan bangsa.61
Berdasarkan Laporan Penelitian International NGO Forum on
Indonesia Development (INFID) menjelaskan partai politik di
Indonesia yang maju pada Pemilu 2014, telah memiliki platform
ekonomi basis dengan ideologi yang sama, yaitu Pancasila. Platform
parpol merupakan dasar utama atas rujukan mengenai makna
ketimpangan, bentuknya, serta metode mengatasinya.62
Platform parpol
umumnya telah memuat prinsip-prinsip dasar yang dianut berdasarkan
afinitas ideologi ke dalam visi/misi, serta telah diwujudkan dalam
program kegiatan. Namun, tidak semua parpol dalam dokumen
resminya memuat platform dilengkapi dengan visi-misi, serta bentuk
kegiatannya. Terdapat variasi persepsi parpol dalam platform mengenai
ketimpangan ekonomi. Secara garis besar, parpol merujuk pada kondisi
ketimpangan ekonomi (pendapatan/pekerjaan) dan non-ekonomi (akses
terhadap pendidikan, kesehatan, demografis, gender), meski masih
minim tentang ketimpangan yang ini. Dalam catatan Infid, Gerindra
61
Gerindra, Manifesto Perjuangan Partai Gerindra, 45. 62
Infid meneliti 12 platform parpol, yaitu: Demokrat, PDI-P, Golkar, Nasdem,
Gerindra, PKPI, Hanura, PPP, PKB, PBB, dan PKS. Lihat Infid, “Laporan Penelitian:
Partai Politik, Pemilihan Umum dan Ketimpangan Sosial dan Ekonomi di Indonesia,”
Laporan Penelitian INFID-LIPI, No. 3 (2014), 4, 34-36.
247
dan PKS yang memiliki platform ekonomi terperinci jika dibandingkan
dengan partai lainnya.
B. Paradoks Ekonomi Kerakyatan Indonesia
Gerindra menyebutkan, kondisi di Indonesia saat ini sedang
mengalamai paradoks atau "kutukan sumber alam" (the curse of the
natural resources).63
Menurutnya, paradoks tersebut terlihat dari kaya
dan berlimpahnya sumber daya alam indonesia, alih-alih menjadi
rahmat, ia malah sudah menjadi kutukan. Sumber daya alam bukannya
menjadi suatu aset yang mendorong ke arah kesejahteraan rakyat.
Indonesia merupakan negara yang kaya, namun ironinya, rakyatnya
mayoritas hidup di bawah garis kemiskinan.
Geridra berpendapat bahwa kondisi paradoks atau kutukan sumber
alam itu bisa terlihat secara gamblang dalam beberapa hal. Pertama,
Indonesia merupakan salah satu negara agraris tropis terbesar di dunia,
tetapi mejadi pengimpor besar beberapa komoditas pertanian. Tuhan
Yang Maha Esa telah menganugerahkan luas lahan tropis Indonesia
merupakan yang terluas di dunia setelah negara Brasil. Dari 27% luas
zona tropis dunia, Indonesia memiliki 11% wilayah tropis yang dapat
ditanami dan dibudidayakan sepanjang tahun. Berdasarkan luas
wilayah dan luas lahan yang dapat ditanami, posisi Indonesia berada
pada urutan nomor 10 di dunia. Posisi tersebut ditunjukkan dengan
cakupan luas wilayah sebesar 1,905 juta km2
menurut data World Bank
tahun 2009. Seluas 241,88 ribu km2 luas lahan yang dapat ditanami
(arable land). Namun sayangnya, luas lahan yang dapat ditanami di
Indonesia hanya sekitar 12%, karena sisanya berupa pegunungan dan
perbukitan dan lain-lain yang tidak mungkin untuk dikelola. Menurut
data Badan Pusat Statistik tahun 2008, sekitar 1,91 juta km2 total luas
daratan Indonesia.64
63
Prabowo Subianto, “Kutukan Sumber Alam Indonesia,” Orasi Ilmiah, Seminar
Nasional dan Pelantikan Masika ICMI dan Orda Malang Raya bertema "Membangun
Ekonomi Kerkayatan untuk Mewujudkan Kemandirian dan Kedaulatan Rakyat," di
Kota Malang Jawa Timur Senin, 18 Maret (2013); Prabowo Subianto, “Indonesia
adalah Sebuah Paradoks,” dalam Gema Indonesia Raya, edisi 20/Tahun II/Desember
(2012), 1; Prabowo Subianto, et. al., Membangun Kembali Indonesia Raya ....., 32;
Gerindra, Manifesto Perjuangan Partai Gerindra, 21. 64
Prabowo Subianto, et. al., Membangun Kembali Indonesia Raya ....., 31-32;
Gerindra, Manifesto Perjuangan Partai Gerindra, 21.
248
Tabel 5.2.
Negara Berdasarkan Luas Wilayah dan Lahan yang Dapat
Ditanami (Arable Lands) untuk Pertanian dan Kehutanan
No Negara
Luas
Wilayah
Lahan
yang
dapat
ditanami
Lahan
kehutanan
Lahan
optimal
Nilai tambah
per petani
US $
Km2 Km2 Km2 Km2 90-92 03-05
1 USA 9,632,030 1,830,086 3,188,202 4,844,911 20,793 41,797
2 India 3,287,260 1,765,259 749,495 1,919,760 324 392
3 Rusia 17,098,240 1,265,270 8,446,531 8,959,478 1,825 2,519
4 China 9,598,088 1,065,388 2,034,795 2,207,560 254 401
5 Brazil 8,514,880 596,042 4,810,907 6,769,330 1,506 3,126
6 Canada 9,984,670 499,234 3,404,772 5,531,507 28,243 43,055
7 Australia 7,741,220 495,438 1,648,880 6,696,155 20,838 10,072
8 Argentina 2,780,400 283,601 336,428 1,420,784 6,767 10,072
9 Mexico 1,964,380 255,369 661,996 459,665 2,256 2,792
10 Indonesia 1,904,570 241,880 929,430 836,106 484 583
Luas lahan yang dapat ditanami sebagaimana tabel di atas,
sebenarnya jauh lebih besar bila turut diperhitungkan dengan lahan
optimal yang dapat ditanami, misalnya lahan yang memiliki kemiringan
datar, rendah dan padang rumput (plateau). Karena disamping untuk
memahami, lahan yang potensial juga dapat dimanfaatkan untuk usaha
peternakan dan perikanan, seperti padang rumput dan kolam ikan
buatan. Menurut Gerindra, dengan mengutip perkiraan World Bank
(2009), lahan optimal Indonesia mencapai 836, 106 km². Ini artinya,
jika ditanami dua kali saja dalam satu tahun, maka potensi budayanya
sekitar 167, 22 juta hektar. Apalagi bila dapat ditanami tiga kali dalam
setahun atau dibudidayakan sepanjang tahun. Geridra mencontohkan,
China dan India memiliki lahan yang yang dapat ditanami dan lahan
optimal yang jauh lebih besar daripada Indonesia. Namun, bila
dibandingkan dalam lahan dengan karakteristik tropisnya, potensi
pertanian tropis Indonesia justru lebih besar bila dibandingkan dengan
China, yang hampir sebagian besar lahannya adalah subtropis. Apalagi
bila hanya dibandingkan dengan India. Sebagaimaa telah dijelaskan di
atas, Indonesia adalah negara tropis terbesar kedua di dunia. Posisi ini,
jelas merupakan keunggulan kompetitif bangsa Indonesia. Hal tersebut
mampu membuat bangsa menjadi unggul dan maju dalam hal
perekonomian sebagai negara tropis (tropical-based economy). Dengan
kata lain, Indonesia mampu dan berpotensi besar untuk menjadi salah
249
satu lumbung pangan tropis dunia. Sayang, yang terjadi justru
sebaliknya, Indonesia menjadi pengimpor besar beberapa komoditas
pangan tropis dunia.65
Selain itu, menurut Gerindra, dengan potensi lahan yang tersedia,
petani Indonesia juga seharusnya bisa memperoleh tingkat pendapatan
yang tinggi. Alhasil, para petani dapatmencapai tingkat kemakmuran
yang tinggi pula. Tetapi, lagi-lagi yang terjadi sebaliknya, nilai tambah
yang dihasilkan dan dinikmati petani Indonesia malah termasuk salah
satu yang terendah di dunia, bahkan di antara negara berkembang
(developing countries) sekalipun. Walau masih lebih tinggi bila
dibandingkan dengan China dan India, tetapi mereka memiliki jumlah
penduduk yang jauh lebih padat dan besar. Buktinya, nilai tambah yang
dihasilkan dan dinikmati petani Indonesia pada rentang tahun 2003-
2005, rata-rata hanya US$ 583 setahun atau hanya Rp. 5, 830 juta
pertahun dengan asumsi kurs dolar Rp. 10. 000 per dolar atau hanya
Rp. 486.000 per bulan. Rendahnya nilai tambah inilah yang merupakan
penyebab utama dari kemiskinan, baik keluarga petani maupun warga
masyarakat di pedesaan yang masih banyak memiliki lahan yang dapat
dibudidayakan.66
Tabel 5.3.
Perbandingan Nilai Tambah Petani Beberapa Negara
Tahun 1980 – 2008 (Harga Konstan US$ 2000)
No Negara 1980 1990 2000 2008
Rata-rata
2003 –
2005
1 Korea Selatan 2,538 5,338 9,911 17,704 11,286
Negara maju 8,678 14,166 18,787 17,697 -
2 Argentina 6,545 6,702 9,104 11,793 10,072
3 Brazil 1,091 1,625 2,351 3,858 3,126
Negara Menengah-Atas 1,745 2,130 2,492 3,682 -
4 Philipina 969 911 960 1,211 1,075
Dunia 736 793 918 896 -
5 Indonesia 462 512 553 705 583
6 Thailand 386 446 558 705 621
7 Malaysia 265 385 439 - 5,216
8 India 304 362 415 549 392
9 China 183 263 364 504 401
10 Vietnam - 225 295 352 305
65
Prabowo Subianto, et. al., Membangun Kembali Indonesia Raya ....., 34;
Gerindra, Manifesto Perjuangan Partai Gerindra, 24. 66
Prabowo Subianto, et. al., Membangun Kembali Indonesia Raya ....., 35.
250
Negara Menengah-
Bawah
292 360 462 609 -
Asia Pasifik (semua
Negara
474 518 591 595 -
Asia Pasifik (hanya
negara berkembang)
230 301 397 534 -
Sumber: World Development Indicator 2010 dan World Development Report 2009.
Mencermati tabel di atas, Gerindra berkeyakinan bila negara
melaksanakan strategi pembangunan ekonomi kerakyatan yang
mengembangkan keunggulan kooperatif, lahan tersebut menjadi
keunggulan kompetitif melalui penerapan ilmu pengetahuan dan
teknologi, serta inovasi ditambah dengan sikap optimistis dan
berpikiran positif. Argumen Gerindra, jika ditilik dari sisi luas lahan
yang dapat ditanami dan jumlah penduduk yang sepadan, maka yang
sepatutnya diperbandingkan adalah dengan nilai tambah petani di
Brazil. Brazil mampu menciptakan nilai tambah lebih dari 5 kali
capaian petani Indonesia, yaitu US$ 3.126 per tahun.67
Paradoks dan kutukan sumber alam kedua, Indonesia merupakan
negara maririm kepulauan yang memiliki berbagai sumber daya hayati
kelautan dan perikanan yang sangat besar dan beragam. Indonesia
terangkai oleh 17.480-an pulau. Terdiri dari kawasan pesisir dan lautan
dengan panjang garis pantai 95.181 km, terbentang dari sabang hingga
merauke dari Miangas hingga ke Rote. Menurut catatan Gerindra,
panjang garis pantai Indonesia yang terpajang ke empat di dunia setelah
Amerika, Kanada, dan Rusia. Hampir tiga per empat luas wilayah
Indonesia berupa lautan. Dengan perkiraan, luas total laut mencapai 7,
9 juta km2 atau 790 juta hektar, termasuk daerah Zona Ekonomi
Ekslusive. Tetapi hasil dan nilai perikanan tangkapan nasional
Indonesia lebih banyak lari, bocor, atau dimanfaatkan oleh negara lain
memiliki garis pantai yang relatif terbatas.68
Gerindra menjelaskan, dengan beragam potensi dan sistem
pengelolaan sumber daya kelautan dan perikanan yang optimal sangat
terbuka Indonesia menjadi bangsa yang berdaulat dan mandiri dalam
pangan yang berasal dari ikan dan hasil laut lainnya. Bahkan menjadi
eksportir utama dan produk perikanan lainnya, sehingga penduduk
yang bermata pencaharian sebagai nelayan seharusya menjadi makmur,
67
Prabowo Subianto, et. al., Membangun Kembali Indonesia Raya ....., 35;
Gerindra, Manifesto Perjuangan Partai Gerindra, 24. 68
Prabowo Subianto, et. al., Membangun Kembali Indonesia Raya ....., 35-36;
Gerindra, Manifesto Perjuangan Partai Gerindra, 25.
251
sejahtera, dan maju. Kondisi paradoks atau klutukan sumber alam di
sektor perikanan tersebut dapat dengan jelas digambarkan dalam grafik
4.1. Potensi peraiaran laut nasional sangat timpang dibandingkan
dengan realisasi produksi perikanan tangkapannya. Walaupun
Indonesia sebagai negara maritim kepulauan dengan garis pantai
terpanjang keempat di dunia, namun dalam jumlah produksi perikanan
tangkapan nelayan masih lebih rendah dibandingkan dengan negara
Chili yang hanya memiliki panjang pantai hanya 6,435 km atau haya
sekitar sepersepuluh pantai Indonesia. Sektor perikanan dan kelautan,
seperti halnya pertanian, merupakan sektor yang banyak menyerap
tenaga kerja. Sektor ini memiliki potensi besar dan bisa menjadi modal
utama pembangunan bangsa. Ironisnya potensi besar ini justru
dieksploitasi oleh bangsa dan negara lain, dengan melakukan
penangkapan ikan ilegal (illegal fishing) di perairan Indonesia.
Pembangunan sektor perikanan dan kelautan difokuskan dengan
membangun nelayan sebagai subyek utama. Partai Gerindra menilai
pembangunan kedua sektor akan berhasil dengan memberdayakan
kelompok nelayan.69
Grafik 5.1
Perbandingan Panjang Pantai dan Produksi Perikanan Tangkap
Negara Produsen Perikanan Utama di Dunia
Sumber: State of Fisher and Aquaculture 2006, FAO 2007 dan World Development
Report 2009.
69
Gerindra, Manifesto Perjuangan Partai Gerindra, 25.
252
Gerindra menilai kekayaan dan kelimpahan sumber daya kelautan
nasional, justru lebih banyak dikuasai dan dikuras oleh negara-negara
asing dan Indonesia hanya menjadi penonton yang teraniaya. Kondisi
ini dapat dilihat dari fakta dan statistik ekspor perikanan tangkap dunia
seperti digambar dalam Tabel 4. Mengutip laporan Food agriculture
Organization (FAO) tahun 2007, dari 10 negara utama eksportir produk
perikanan di dunia, baik untuk tahun 1994 atau 2004, Indonesia tidak
termasuk di dalamnya. Kalah oleh vietnam yang memiliki panjang
garis pantai hanya 3,444 km, tapi mampu bertengger di posisi
kesepuluh negara utama eksportir produk perikanan dunia. Dibanding
negara tetangga Thailand-pun, yang memiliki garis pantai dan luas laut
yang jauh lebih rendah, Indonesia masih belum bisa berbuat banyak
untuk memanfaatkan potensinya. Thailand, sebagaimana Vietnam,
mampu mencatatkan diri sebagai negara pengekspor produk perikanan
dunia. Bagi Gerindra, fakta lapangan tersebut merupakan suatu kondisi
yang paradoks, ironis dan mengenaskan karena dengan kekayaan
berlimpah, ternyata kita belum mampu mengelolanya dengan baik dan
benar.70
Dalam hal ini pun Indonesia terkena kutukan sumber alam.
Tabel 5.4.
Negara Eksportir Perikanan Utama di Dunia
Sumber: State of Fishery and Aquaculture 2006, FAO 2007.
70
Prabowo Subianto, et. al., Membangun Kembali Indonesia Raya ....., 36;
Gerindra, Manifesto Perjuangan Partai Gerindra, 26.
253
Kesimpulan Gerindra, kondisi paradoks pembangunan kelautan
dan perikanan diatas jelas disebabkan beragam faktor. Tetapi faktor
mendasar yang menyebabkan paradoks perikanan nasional tersebut
berlangsung terus adalah ketidakberdayaan pemerintah dalam anggaran
untuk mengamankan dan menjaga perairan nasional dari pencurian atau
penangkapan ikan ilegal (illegal fishing). Ditambah lagi dengan
berlangsungya akumulasi, baik keuntungan (profit), nilai tambah,
maupun kemampuan pembiayaan pengusaha perikanan domestik.
Sebagian besar keuntungan, nilai tambah, dan dana hasil usaha
penangkapan ikan nasional lari keluar Indonesia. Fakta yang harus
diakui di antaranya masih rendahnya kuantitas dan kualitas armada
tangkap nelayan di Indonesia, baik pengusaha perikanan besar maupun
menengah, apalagi nelayan kecil. Hal itu diperparah dengan masih
relatif rendahnya kemampuan dan dukungan pembiayaan dan kredit
bagi nelayan dan pengusaha perikanan kecil juga menjadi faktor kunci
yang tak bisa dielakkan. Ditambah lagi, kemampuan dan kesiapan
armada Tentara Nasional Indonesia, terutama Angkatan Laut dan
termasuk Angkatan Udara dalam penjagaan dan pengawalan perairan
nasional untuk mencegah dan menanggulangi penangkapan ikan ilegal,
misalnya, juga masih rendah.71
Untuk mengikis dan menghilangkan paradoks dan kutukan sumber
daya alam itu, partai Gerindra menyatakan diri tampil di pentas
demokrasi untuk perubahan kepemimpinan nasional, dan perubahan
tata laksana penyelenggaraan Negara. Partai Gerindra mendukung
segala upaya untuk pembangunan bangsa (nation building) dan
karakter manusia Indonesia. Partai Gerindra bertekad memerdekakan
rakyat Indonesia dari penjajahan ekonomi dan politik yang
membelenggu dan merampas kehormatan manusia Indonesia. Partai
Gerindra menjunjung tinggi kebebasan intelektual sebagai amanah
Pancasila dan UUD 1945. Partai GERINDRA memposisikan diri
sebagai partai gerakan yang mandiri, produktif, dan berpijak pada
kearifan lokal, dalam upaya menciptakan masyarakat adil, makmur, dan
sejahtera. Sebagai gerakan, Partai Gerindra senantiasa berjuang
bersama rakyat serta menjadikan kekuatan rakyat sebagai kekuatan
utama dalam membangun bangsa dan masyarakat Indonesia.72
71
Prabowo Subianto, et. al., Membangun Kembali Indonesia Raya ....., 37;
Gerindra, Manifesto Perjuangan Partai Gerindra, 26. 72
Gerindra, Manifesto Perjuangan Partai Gerindra, 5.
254
Dalam analisa Gerindra, ada empat tantangan yang dihadapi
bangsa ini dalam kebijakan ekonominya: 1) Rendahnya Kualitas
Sumber Daya Manusia; 2) Ketergantungan Pada Utang Luar Negeri; 3)
Pendapatan Per Kapita Rendah; 4) Pengangguran Berkelanjutan; 5)
Ketimpangan Pembangunan; 6) Ketergantungan Impor; 7) Hambatan
Struktural Pembangunan Ekonomi; dan 8) Stagnasi Pembangunan
Infrastruktur.73
Namun, karena keterbatasan penulis, hanya dua poin
saja yang akan diuraikan. Karena menurut penulis, poin kedua sampai
poin kedelapan, kesemuanya terkait dengan masalah ekonomi yang
disebabkan oleh dampak ketergantungan utang luar negeri Indonesia.
1. Sumberdaya Manusia Berlimpah Tapi Kualitas Rendah
Di samping memiliki kelimpahan dalam sumber daya lahan dan
laut, Indonesia mempunyai potensi sumber daya manusia terbesar
keempat di dunia. Jumlah penduduk selalu bertambah tiap tahun
dengan tingkat pertumbuhan rata-rata sekitar 1,34 persen (2000-2006)
dan diproyeksikan akan mencapai 248 juta orang pada tahun 2015.
Meski demikian, jumlah penduduk yang relatif besar pada dasarnya
merupakan keunggulannya komparatif dan kompetitif bila diikuti
dengan tingkat pendidikan, keterampilan, tingkat pendapatan, dan
tingkat kesehatan yang tinggi.menurut Gerindra, penduduk berkualitas
merupakan salah satu faktor keunggulan yang berkontribusi besar dan
dominan terhadap kemajuan bangsa. Indonesia belum mampu
memanfaatkan keunggulan kelimpahan sumber daya manusia ini,
bahkan tingginya angka jumlah penduduk ini terkesan menjadi beban
dalam pembangunan nasional.74
Gerindra mencatat, pembangunan kualitas sumber daya manusia
nasional masih relatif tertinggal dibandingkan negara-negara lain di
dunia dan pertumbuhannya lambat, walau Indonesia diklasifikasikan
oleh United Nations Development Programme (UNDP) pada level
sedang (medium human development). Kondisi ini tercermin dari posisi
Indonesia yang masih berada pada peringkat ke 108, uniknya di bawah
negara Palestina dan di atas Mesir dari 187 negara dunia.75
Posisi
tersebut naik peringkat dari peringkat 121 dari 182 negara dalam
73
Prabowo Subianto, et. al., Membangun Kembali Indonesia Raya ....., 24-49. 74
Prabowo Subianto, et. al., Membangun Kembali Indonesia Raya ....., 39;
Gerindra, Manifesto Perjuangan Partai Gerindra, 26. 75
UNDP, “2014 Human Development Report,” dalam
http://www.undp.org/content/undp/en/home/librarypage/hdr/2014-human-
development-report/, diakses tanggal 27 Agustus 2014.
255
pencapaian Indeks Pembangunan Manusia UNDP/UNDP Human
Development Index pada tahun 2013.76
Dengan peringkat tahun 2014,
kualitas sumberdaya manusia Indonesia masih jauh lebih rendah
dibandingkan dengan negara-negara Asia Tenggara seperti Singapura
peringkat ke-9, Brunei Darussalam peringkat ke-30, Malaysia peringkat
ke-62, serta Thailand peringkat ke-89. Namun masih unggul bila
dibandingkan dengan Filipina yang menduduki peringkat ke-117 dan
Timor-Leste peringkat ke-128. Untuk negara-negara Asia Tenggara,
kualitas sumberdaya manusia Indonesia juga lebih baik dari Vietnam
yang berada di posisi ke-121.
Pada tahun 2013, Pemerintahan Soesilo Bambang Yudhoyono
melaui Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas)
menyatakan bahwa secara nasional, indeks pembangunan manusia di
semua provinsi meningkat, walaupun disparitas pembangunan manusia
antar provinsi di wilayah Indonesia bagian barat dengan Indonesia
bagian timur masih tinggi. Lebih dari setengah provinsi Indonesia,
indeks pembangunan manusianya masih di bawah standar nasional.
Upaya pengarusutamaan gender di semua provinsi terus dilaksanakan
terlihat dari jarak antar IPG dan IPM yang menurun.77
Grafik 5.2.
Indeks Pembangunan Manusia
Menurut Provinsi Tahun 2004 dan 2011
76
UNDP mendefinisikan pembangunan manusia sebagai suatu proses untuk
meperluas pilihan-pilihan bagi penduduk. Dalam konsep tersebut penduduk
ditempatkan sebagai tujuan akhir (the ultimate end) sedangkan upaya pembangunan
dipandang sebagai sarana (principal means) untuk mencapai tujuan tersebut. Lihat
UNDP, Human Development Report 2013, The Rise of the South: Human Progress in
a Diverse World (New York: UNDP, 2013), 51. 77
Presiden Republik Indonesia, “Kata Pengantar,” dalam Bappenas, Data dan
Informasi: Kinerja Pembangunan 2004-2012 (Jakarta: Bappenas-RI, 2013), 90.
256
Grafik 5.3
Indeks Pembangunan Gender
Menurut Provinsi Tahun 2004 dan 2011
Pimpinan Lembaga Eksekutif Republik Indonesia menjelaskan
bahwa jika dicermati data tahun 2004 dan dibandingkan dengan data
tahun 2012 di atas, maka secara umum dapat dikatakan bahwa terdapat
kemajuan yang sangat berarti di berbagai bidang. Indikator-indikator
pembangunan menunjukkan perbaikan. Perlu disadari, kinerja tersebut
tidak senantiasa meningkat secara terus menerus setiap tahun. Ada
masa-masa dimana indikator pembangunan menunjukkan penurunan.
Presiden mensinyalir, faktor dinamika perekonomian global memegang
peran penting dalam menekan kinerja pembangunan. Namun demikian,
kerja keras pemerintah dan seluruh komponen bangsa telah memastikan
bahwa trend peningkatan kesejahteraan tetap terjaga untuk tetap
semakin tegak. Tentu saja apa yang telah diraih selama ini, tidak boleh
berpuas diri. Bangsa ini harus tetap fokus dan terus bekerja keras agar
momentum pembangunan nasional yang dijalankan selama ini tetap
berada dalam jalur yang benar. Ke depan, harapannya agar
pembangunan di negeri ini terus melaju dan menempatkan bangsa dan
negara kita sebagai bangsa dan negara yang unggul dan maju. Untuk
meraih cita-cita kesejahteraan bagi seluruh rakyat, maka seluruh
257
komponen bangsa harus bersatu padu, bergandengan tangan, dan
bersama-sama membangun negeri ini.78
Menyikapi pernyataan di atas, Gerindra berpendapat bahwa
dengan tingkat pertumbuhan pembangunan manusia seperti itu
diperkirakan peringkat pembangunan manusia Indonesia tetap akan
tertinggal dibandingkan dengan negara-negara lain. diperlukan sumber
daya manusia Indonesia untuk mengejar ketertinggalan kualitas sumber
daya manusia ini. Dan ini sangat terkait dengan haluan atau paradigma,
strategi, dan program pembangunan ekonomi nasional. pembangunan
ekonomi sangat erat hubungannya dan sangat menentukan kapasitas,
kemampuan serta keberhasilan pembangunan sosial nasional seperti
pengembangan sumber daya manusia ini.79
.
2. Ketergantungan Pada Utang Luar Negeri
International Monetery Found’s External Debt Statistics: Guide
for compilers and Users (2003), beberapa ketentuan pemerintah
Republik Indonesia dan Peraturan Bank Indonesia mendefinisikan
bahwa utang luar negeri sebagai utang penduduk (resident) yang
berdomisili di suatu wilayah teritori ekonomi kepada bukan penduduk
(non-resident).80
Kementerian Keuangan dan Bank Indonesia
menjelaskan bahwa utang luar negeri (ULN) Indonesia pada Januari
2014 tercatat US$.269,3 miliar sehingga tumbuh 7,1%, meningkat
dibandingkan dengan pertumbuhan Desember 2013 sebesar 4,6%. Bank
Indonesia (BI) juga melansir total utang luar negeri Indonesia, Hingga
Mei 2014, total utang luar negeri Indonesia sudah menembus USD
283,7 miliar atau setara Rp. 3.321 triliun. Utang itu mencakup utang
pemerintah dan swasta. Pemerintahan saat ini punya kontribusi besar
dalam penumpukan utang tersebut. Pada tahun 2004, sebelum SBY
berkuasa, jumlah utang kita tercatat Rp 1,299 triliun. Namun, dalam
dua periode kekuasaannya, telah menambahinya dua kali lipat.81
Menurut Gerindra, pada level politik, kebijakan utang luar negeri
tersebut menekuk kedaulatan negara Indonesia. Banyak kebijakan
78
Presiden Republik Indonesia, Data dan Informasi: Kinerja Pembangunan
2004-2012, iii. 79
Gema Indonesia Raya, “Indonesia,” Gema Indonesia Raya, edisi 29/Tahun
III/September (2013), 6. 80
Bank Indonesia, “Statistik Utang Luar Negeri Indonesia,” Sulni, Vol. V, Maret
(2014), iii. 81
Bank Indonesia, “Statistik Utang Luar Negeri Indonesia,” Sulni, Vol. VII, Mei
(2014), 5.
258
ekonomi dan politik negeri Indonesia yang didiktekan dari luar,
terutama oleh IMF dan Bank Dunia sebagai donatur terbesar pinjaman
Indonesia. Ironisnya, sebagian besar kebijakan itu justru merugikan
kepentingan nasional negeri bersangkutan.82
Menurut Rudi Hartono,83
kebijakan neoliberal donatur pemberi pinjaman, menghancurkan
ekonomi nasional Indonesia. Akibat kebijakan itu, modal asing
menguasai sebagian besar sumber daya dan aset nasional. barang-
barang impor-pun menguasai pasar domestik yang menyebabkan sektor
pertanian dan industri nasional hancur. Tak hanya itu, privatisasi
BUMN menyebabkan sebagian besar perusahaan negara yang dibangun
dengan uang rakyat diobral murah kepada pemodal asing. Privatisasi
layanan publik menyebabkan rakyat kesulitan mengakses kebutuhan
dasarnya. Kebijakan pemangkasan subsidi dan belanja sosial-pun
menelantarkan rakyat berpendapat menengah dan kecil. Dan juga
dengan kebijakan pasar tenaga kerja yang fleksibel telah memperburuk
kondisi kerja melalui penerapan sistem kerja kontrak dan outsourcing.
Bagi Rudi Hartono, komitmen pemerintahan terhadap ekonomi
berdikari akan menjadi absurd jika mereka tidak punya keberanian
politik untuk mengakhiri ketergantungan terhadap utang luar negeri dan
menghentikan semua kesepakatan dengan IMF dan Bank Dunia.
Gerindra menegaskan bahwa nasionalisme merupakan jalan keluar
persoalan ekonomi yang dihadapi bangsa Indonesia, termasuk dalam
utang luar negeri.84
Model ekonomi Indonesia harus kembali kepada
kepentingan nasional, yaitu nasionalisme. Segenap komponen bangsa
harus berani kembali ke Pasal 33 UUD tahun 1945. Para pendiri bangsa
atau founding father, kata Prabowo Subianto lebih lanjut, telah
mengunci rancangan ekonomi Indonesia. Kunci itu ada di dalam Pasal
33 UUD Tahun 1945. Para founding father telah mengalami
imperialisme, penjajahan dan penindasan. Mereka juga merasakan
depresi ekonomi dunia tahun 1930-an. Bagi Prabowo, pemerintah Cina,
Singapura, Jepang, Korea Selatan, justru telah menjalankan Pasal 33
ini. Tapi, bangsa Indonesia yang lebih dulu punya pasal ini, pura-pura
tidak tahu. Jika warga meninggalkan pasal ini, berarti telah melupakan
82
Prabowo Subianto, et. al., Membangun Kembali Indonesia Raya ....., 39;
Gerindra, Manifesto Perjuangan Partai Gerindra, 26. 83
Rudi Hartono, “Utang Luar Negeri dan Presiden Baru,”
http://www.berdikarionline.com/opini/20140726/utang-luar-negeri-dan-presiden-baru.
diakses tanggal 14 Agustus 2014. 84
Budi Sucahyo, “Prabowo Subianto: Jangan Teruskan Sistem Ekonomi yang
Keliru,” Gema Idonesia Raya, edisi 2/Tahun I/Mei (2011), 1.
259
perjuangan pendiri-pendiri bangsa sendiri. Prabowo juga menunjukkan
beberapa fakta dan data. Selama 65 tahun merdeka, ekonomi Indonesia
menghasilkan 60% uang hanya beredar di DKI Jakarta. Sebanyak 30%
beredar di kota-kota besar lain. Dan hanya sekitar 10% uang beredar di
pedesaan. Padahal 60% rakyat Indonesia tinggal di desa. Ini
menunjukkan bahwa model pembangunan ekonomi jauh dari keadilan.
Ia menambahkan bahwa fakta dan data menunjukkan pertumbuhan
ekonomi hanya dinikmati oleh segelintir orang saja.85
Kondisi seperti itu sangat berbahaya. Sebab, akan muncul
ketidakpuasan di berbagai kalangan. Ketidakpuasan itu akan menjadi
ladang subur untuk radikalisme dan ekstremisme yang berujung pada
tindak kekerasan. Akhirnya menyebabkan kehidupan masyarakat yang
tidak harmonis. Sistem ekonomi yang tidak menopang keadilan sosial
itu tidak akan mampu bertahan lama. Kemelut di Tunisia, Mesir, dan
negara Timur Tengah lainnya, menjadi bukti ketidak adilan ekonomi
akan menimbulkan guncangan yang luar biasa. Seyogyanya seluruh elit
dan unsur pimpinan bangsa harus melakukan reorientasi ekonomi.
Kalau masih meneruskan sistem ekonomi yang tidak berkeadilan itu
jangan kaget apabila kelak akan menghadapi ketidakharmonisan,
bahkan kekacauan bangsa. Pancasila merupakan ideologi negara yang
hidup dari kenyataan masyarakat. Lahirnya Pancasila tak dapat
dipisahkan dari landasan kuat untuk merdeka dari segala penjajahan.
Bung Karno pada 1 Juni 1945 menekankan, perlunya philosophische
grondslag (landasan dasar falsafah) atau weltanschauung. Dasarnya:
kebangsaan, internasionalisme, musyawarah, kesejahteraan sosial, dan
ketuhanan. Menurut Bung Hatta, Pancasila mengandung perintah
mewujudkan kebahagiaan, kesejahteraan, perdamaian, dan
kemerdekaan, dalam masyarakat dan negara hukum Indonesia Merdeka
yang berdaulat sempurna. Tugas ini perlu pengabdian dan ketaatan
bangsa. Pancasila adalah pedoman hidup bagi seluruh warga negara
Indonesia. Jika pedoman salah, tentu tak akan sampai tujuan. Harus ada
kejujuran dan kesungguhan hati dalam melakukannya.86
Pancasila di era reformasi makin terasing di tengah hiruk-pikuk
globalisasi. Di tengah globalisasi, Indonesia merupakan salah satu mata
rantai negara yang lemah. Potensi yang luar biasa di segala bidang,
85
Prabowo Subianto, et. al., Membangun Kembali Indonesia Raya ....., 40;
Gerindra, Manifesto Perjuangan Partai Gerindra, 25. Lihat juga Suraya A. Afiff,
“Engineering the Jatropha Hype in Indonesia,” Sustainability Vol. 9 (2014), 1686. 86
Prabowo Subianto, “Kita Seperti Menumpang Di Negeri Sendiri,” Gema
Indonesia Raya, edisi 26/Tahun III/Juni (2013), 6.
260
justru dimanfaatkan oleh pihak-pihak lain. Cita-cita kesejahteraan bagi
seluruh rakyat Indonesia masih jauh dari realita. Reformasi diwarnai
liberalisasi politik dan ekonomi. Di bidang politik, memang ada
keberhasilan dalam bentuk kebebasan berkumpul, berserikat,
menyatakan pendapat, kebebasan pers, dan demokrasi multipartai.
Namun di bidang ekonomi, liberalisasi mengikuti haluan ekonomi
kapitalistik neoliberalistik dengan resep privatisasi, liberalisasi pasar,
pencabutan subsidi dan perdagangan bebas.87
Kenyataannya bangsa ini masih menghadapi 5K: kemiskinan,
kekurangan lapangan kerja, kesenjangan, korupsi, dan ketergantungan
pada asing. Lebih dari separuh rakyat masih dalam kemelut
kemiskinan. Lapangan pekerjaan semakin sulit didapatkan. Harapan
untuk mendapatkan hidup layak semakin kecil. Kesenjangan malah
makin menganga. Reformasi telah menciptakan premium class yang
menguasai uang dan sumber daya lainnya. Jurang antara yang kaya dan
yang miskin makin nyata. Korupsi menjadi way of life bukan lagi
sekedar fact of life. Ketergantungan pada pihak asing telah membuat
Indonesia menjadi pasar terbuka bagi produk asing mulai dari pangan
hingga telekomunikasi. Indonesia juga surga bagi eksploitasi
pertambangan tanpa batas.88
Jika kondisi ini terus berlanjut, maka negara ini akan kehilangan
alat perekat bangsa satu-satunya yang masih tinggal. Di tengah
ancaman disintegrasi, baik disintegrasi sosial maupun teritorial,
Pancasila mestinya dapat hidup dan bergerak merajut kembali
Indonesia Raya yang mulai tercabik. Kinilah saatnya untuk kembali
menghidupkan Pancasila sebagai ideologi dan dasar negara, perekat
Negara Kesatuan Republik Indonesia. Seperti kata Hatta, Pancasila
sebagai pedoman menuju Indonesia yang berdaulat, bahagia, sejahtera
dan damai. Menurut Bagir manan, demokrasi sosial itulah yang
dikehendaki Hatta. Ia menyatakan bahwa, “Bung Hatta since the
movement until the end of his life never stops reminding issues of social
welfare and social justice for all Indonesian people. Bung Hatta’s
belief on the must of democracy is never wavered even at slightest. But
in politics, he is constantly reminded that freedom in democracy has
limit. Democracy must be accompanied by responsibility. Democracy
that knows no freedom limit and not accompanied by responsibility will
be anarchy,” Bung Hatta sejak dari masa pergerakan sampai akhir
87
Prabowo Subianto, “Kita Seperti Menumpang Di Negeri Sendiri,” 6. 88
Prabowo Subianto, “Kita Seperti Menumpang Di Negeri Sendiri,” 6.
261
hidupnya tidak pernah berhenti mengingatkan masalah kesejahteraan
sosial dan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Keyakinan
Bung Hatta akan keharusan demokrasi demokrasi tidak pernah
tergoyah walau sedikitpun. Tapi dalam politik, ia selalu mengingatkan
bahwa kebebasan dalam demokrasi memiliki batas. Demokrasi harus
disertai dengan tanggung jawab. Demokrasi yang tidak mengenal batas
kebebasan dan tidak disertai dengan tanggung jawab akan
mengakibatkan tindakan anarki.89
Dengan lolos sebagai peserta Pemilu 2014, Partai Gerindra telah
melewati satu tahap maraton untuk meraih cita-cita besar, yakni
melakukan perubahan. Partai Gerindra mempunyai visi mewujudkan
kesejahteraan rakyat Indonesia. Oleh karenanya, dalam ranah ekonomi,
Gerindra menginginkan pemerataan ekonomi, bukan pertumbuhan
ekonomi yang hanya dinikmati segelintir orang. Inilah yang Gerindra
ingin wujudkan. Perekonomian Indonesia kembali ke ruh Pancasila dan
UUD 1945, terutama Pasal 33. Ideologi bangsa mengamanahkan bahwa
sumber daya ekonomi digunakan untuk kesejahteraan rakyat
Indonesia.90
Bagi Gerindra, kemakmuran bumi pertiwi dikeruk habis oleh
bangsa asing, rakyat hanya kebagian sisanya belaka. Perekonomian
bangsa Indonesia penuh dengan paradoks. Indonesia adalah negara
kaya dengan sumber daya alam melimpah tapi penduduknya miskin.
Indonesia adalah negara agraris tapi pangannya harus diimpor.
Indonesia adalah negara kepulauan dan merupakan salah satu negara
dengan pantai terpanjang di dunia. Tapi nyatanya Indonesia mengimpor
ikan dan garam. Banyak lagi paradoks lain yang bisa dijejerkan satu
persatu.91
Intinya, Negara Indonesia yang pernah dijajah Belanda ratusan
tahun itu sudah terbiasa tergantung kepada asing. Maka di dalam buku
Membangun Kembali Indonesia Raya, Prabowo memberi jalan keluar
dari segala macam paradoks itu dengan keberanian segenap jajaran
bangsa untuk mandiri. Indonesia tak boleh tergantung pada bantuan
asing tapi harus menuju ke arah kemandirian ekonomi nasional.
89
Bagir Manan, ”National Press Day,” http://www.presscouncil.or.id/artikel/,
diakses tanggal 14 Agustus 2014. 90
DPP Partai Gerindra, Tanya Jawab Seputar Partai Gerindra: Gerakan
Indonesia Raya, 19-20; Gerindra, Manifesto Perjuangan Partai Gerindra: Gerakan
Indonesia Raya, 24. 91
Amran Nasution, “Kalau Prabowo Jadi Presiden,” Gema Indonesia Raya, Edisi
22/Tahun III/Februari, (2013), 3.
262
Indonesia adalah pemakan beras terbesar di dunia. Setiap tahun harus
mengimpor beras dalam jumlah besar. Maka Prabowo menegaskan
Indonesia harus swasembada pangan. apalagi upaya untuk menjadi
negeri berswasembada pangan itu sekaligus akan memberikan
kesempatan kerja kepada para petani. Kata kuncinya dalam hal ini
adalah kemandirian. Sebagai negeri yang ratusan tahun terjajah,
memang melaksanakan kemandirian itu bukan sesuatu yang mudah.92
Presiden Indonesia pertama Soekarno dulu pernah
memperkenalkan gagasan ’’Berdikari’’ (berdiri di atas kaki sendiri).
Bung Hatta dengan gagasan Koperasi-nya. Tapi seperti sama kita
ketahui dari sejarah, gagasan besar Bung Karno dan Bung Hatta itu
hanya tinggal gagasan yang tak pernah berhasil direalisasikan. Memang
gagasan kemandirian Prabowo itu tak sama dengan ‘’Berdikari’’ dan
Koperasi Bung Karno-Hatta, yang belakangan diikuti dengan keluarnya
Indonesia dari PBB. Prabowo memperjelas gagasannya dengan
menyampaikan program prioritas membangun kedaulatan pangan,
membangun kedaulatan energi, dan mengembangkan industri unggul.
Sangat jelas gagasan ini jauh dari arti mengisolasi diri dari dunia
internasional. Dengan kata lain, gagasan Prabowo sebenarnya lebih
realistis.93
Sebagai negara pertanian dengan 60% penduduknya hidup di
sektor pertanian, adalah wajar kalau Indonesia menjadi negara
berswasembada pangan. Negeri ini penghasil beras, jagung, dan
beragam biji-bijian. Selain itu, perut bumi dan lautan Indonesia
potensial sebagai penghasil minyak bumi. Selain alam Indonesia kaya
dengan berbagai jenis tumbuhan yang bisa diolah sebagai substitusi
bahan bakar minyak.94
Hanya saja sayangnya perut bumi yang menjadi
penghasil energi itu diserahkan kepada perusahaan asing seperti Caltex,
Total, Exxon Mobile, dan semacamnya. Dengan demikian dalam
bidang energi, Indonesia tergantung kepada perusahaan asing. Itulah
yang berten-tangan dengan cita Gerindra untuk membangun kedaulatan
energi. Potensi negara di bidang pangan dan energi harus ditangani
sendiri. Gerindra sangat sadar betapa vitalnya pangan dan energi,
apalagi ketika terjadi konflik. Sekali pun memiliki persenjataan
canggih, sebuah negara akan bertekuk-lutut bila tak memiliki pangan
dan energi. Masalahnya: bagaimana gagasan tentang kemandirian itu
bisa direalisasikan? Jawabannya jelas, dibutuhkan kekuasaan. Tanpa
92Amran Nasution, “Kalau Prabowo Jadi Presiden,” 3.
93Prabowo Subianto, Membangun Kembali Indonesia Raya, 98.
94Amran Nasution, “Kalau Prabowo Jadi Presiden,” 3.
263
kekuasaan (power) tak mungkin gagasan besar seperti itu bisa
dilaksanakan.95
Pemerintahan Presiden SBY yang dalam 2 periode menguasai
Indonesia, misalnya, jelas tak mendukung gagasan tentang kemandirian
pangan mau pun energi. Terbukti, pemerintahan SBY sangat
bersemangat mengimpor beras, sekaligus kurang peduli nasib petani.
Pencetakan sawah baru hampir tak ada, pembangunan jaringan irigasi
sangat langka. Sedangkan industri energi negara betul-betul diserahkan
kepada perusahaan-perusahaan minyak asing. Oleh karena itu, pada
2008, muncul ide mendirikan partai. Dari situ berdirilah Partai Gerindra
(Gerakan indonesia raya), yang sekarang memasuki usia 6 tahun. Partai
ini diharapkan akan merealisasikan gagasan Prabowo Subianto tentang
kemandirian ekonomi Indonesia di bidang pangan dan energi.96
Secara garis besar partai Gerindra menawarkan sebuah
kemandirian bangsa, bila terkait dengan ketahanan pangan dan energi.
Hal ini secara terus menerus diusung oleh Gerindra dan penghargaan
yang melekat di masyarakat adalah isu kemandirian bangsa sudah
menjadi image dari partai Gerindra. Pemosisian ini menjadi penting
karena untuk membedakan partai satu dengan partai lainnya. Menurut
survei yang dilakukan Soegeng Sarjadi Syndicate (SSS) pada April
2009 menunjukkan citra sebagai partainya wong cilik yang selama ini
melekat di PDIP mulai bergeser. Partai Gerindra, berkat iklan
politiknya yang sangat luar biasa, sukses membangun image sebagai
partai yang paling memperjuangkan petani 26,8 % dan nelayan 26,7 %.
Hasil survei ini menunjukkan bahwa image yang dimiliki oleh partai
Gerindra masih tinggi di benak masyarakat.97
C. Strategi Pembangunan Nasional
Strategi pembangunan nasional Gerindra dirumuskan dalam visi
dan misi pembangunan yang diterjemahkan dan dirumuskan ke dalam
satu strategi, “dorongan atau lompatan besar,” (big-push strategy).
Dorongan ini terdiri dari empat komponen terpadu, yaitu: 1) strategi
pokok (grand strategy), membangun landasan yang kokoh; 2) strategi
utama, membangun sumber/mesin pertumbuhan berkualitas (engine of
quality growth); 3) strategi pendukung membangun lingkungan yang
95
Prabowo Subianto, “Kita Seperti Menumpang Di Negeri Sendiri,” 6. 96
Prabowo Subianto, “Kita Seperti Menumpang Di Negeri Sendiri,” 6. 97
Amran Nasution, “Kalau Prabowo Jadi Presiden,” Gema Indonesia Raya, 3.
264
memampukan (enabling environment); dan 4) strategi implementasi,
menerapkan tata kelola pemerintahan yang baik (good governance).98
Strategi pokok dimaksudkan sebagai strategi yang mendasar
melingkupi seluruh strategi utama, kebijakan dasar, dan program
pembangunan Indonesia ke depan dan tidak boleh tidak ada dalam
setiap langkah dan proses pembangunan itu sendiri. Strategi pokok itu
juga merupaka tujuan dan sasaran pembangunan. Sementara, strategi
utama adalah pilihan fokus pembangunan yang lebih mendesak serta
lebih diprioritaskan dalam konteks, dinamika, serta tantangan
pembangunan saat ini. Hal itu dengan tujuan mewujudkan lompatan
atau dorongan besar kinerja pembangunan. Dengan strategi terpadu ini
diharapkan tujuan, sasaran, dan target untuk menggandakan kinerja
pembangunan nassional dapat dicapai dengan efektif da efisien.99
1. Strategi Dorongan Besar
Strategi pembangunan dorongan besar (big-push Development
Strategy) dimaksudkan sebagai rangkaian strategi yang disusun dan
diimplementasikan untuk menciptakan daya dorongan atau dorongan
yang relatif lebih besar bagi perekonomian nasional. Dengan harapan
dari langkah tersebut mampu secara efektif tumbuh, maju, bahkan
terdepan dari posisi atau pencapaian saat ini. Strategi ini berbeda
dengan beberapa strategi pembangunan lain yang umum dilaksanakan
oleh berbagai negara. Misalnya, strategi industri foot-loose atau strategi
promosi ekspor. Strategi ini juga tidak sama seperti strategi lompatan
besar (big-leap atau frog leap development strategy). Strategi dorongan
besar tidak berupaya membuat perekonomian nasional untuk melompat
atau terbang, apalagi melompat jauh. Akan tetapi, ditujukan untuk
membuat perekonomian tumbuh, maju, dan terdepan di bidang atau
sektor atau industri atau usaha yang memiliki akar yang dalam dan
kokoh secara domestik. Tetapi tetap bisa bersaing dengan keunggulan
komparatif dan kompetitif secara internasional di pasar global maupun
di pasar domestik. Sekaligus juga mampu menciptakan nilai tambah
ekonomi yang besar dan dinikmati oleh sebagian besar rakyat, pelaku
usaha, dan pemerintah Indonesia.100
98
Prabowo Subianto, Membangun Kembali Indonesia Raya, xlvi. 99
Prabowo Subianto, Membangun Kembali Indonesia Raya, xlvi. 100
Prabowo Subianto, Membangun Kembali Indonesia Raya, 156-158.
265
2. Strategi Pokok: Membangun Landasan yang Kokoh
Strategi pokok ini sangat penting sehingga harus ada dalam setiap
langkah dan proses pembangunan itu sendiri. Strategi pokok
diterjemahkan ke dalam rumusan: membangun landasan yang kokoh.
Dengan terciptanya landasan yang kokoh, baik dari aspek ketahanan
dan pertahanan, politik dan ideologi, sosial dan budaya, terutama
ekonomi nasional, maka baru dapat diharapkan bangsa dan negara,
serta rakyat Indonesia bisa berdaulat, adil, dan makmur. Landasan yang
kokoh merupakan prinsipil bagi gerak pembangunan. Landasan yang
dibangun adalah kedaulatan negara, ekonomi berkualitas, kehidupan
berkualitas yang bebas kemiskinan dan pengangguran, dan lingkungan
hidup yang berkualitas.101
Secara lebih detail, strategi-strategi pokok ini diuraikan pada
menjadi lima landasan yang dirumuskan, yaitu:
a. Menjaga kedaulatan negara kesatuan republik indonesia yang
aman, damai, dan stabil (quality national sovereignity).
b. Mencapai pertumbuhan ekonomi yang tinggi, berkesinambungan,
dan berkeadilan (quality growth).
c. Menciptakan lapangan pekerjaan dan lapangan usaha yang
berkualitas (quality jobs).
d. Mengurangi kemiskinan, kelaparan, dan kebodohan (quality life)
e. Menciptakan lingkungan hidup yang sehat, bersih, lestari dan
berkualitas (quality environmental).
3. Stategi Utama
Untuk dapat melaksanakan dan mencapai tujuan serta sasaran dari
lima strategi pokok di atas, Gerindra menyusun strategi utama. Strategi
utama merupakan strategi membangun sumber pertumbuhan tinggi
secara berkualitas. Strategi utama adalah penjabaran yang lebih
operasional, lebih mendesak, serta lebih prioritas dalam konteks dan
dinamika serta tantangan pembangunan.102
Pilihan strategi utama daya dorong besar didasarkan pada empat
pertimbangan. Pertama, Indonesia membutuhkan pertumbuhan
ekonomi yang tinggi dan berkesinambungan untuk mencapai keadilan
dan kemakmuran rakyat serta menghindari perpecahan bangsa akibat
kemiskinan dan ketertinggalan. Kedua, pondasi, potensi, serta posisi
101
Prabowo Subianto, Membangun Kembali Indonesia Raya, 159. 102
Prabowo Subianto, et. al., Membangun Kembali Indonesia Raya ....., 175;
Gerindra, Manifesto Perjuangan Partai Gerindra, 9.
266
bangsa dan negara menjadi modal bagi pertumbuhan ekonomi yang
tiggi, berkesinambungan, dan berkualitas. Ketiga, kelimpahan dan
keunggulan sumber daya alam dan manusia diyakini dapat menjadi
pondasi perekonomian nasional di masa mendatang yang didukung
oleh pengembangan industri yang unggul dan bernilai tambah tinggi.
Keempat, sektor atau bidang dan kegiatan perekonomian lainnya,
seperti industri kimia, industri tekstil, dan jasa diyakini dapat tetap
tumbuh, minimal dengan tingkat pertumbuhan yang telah dicapai dan
hanya dengan memberikan dukungan kebijakan, fasilitas insentif
ekonomi, dan regulasi yang efektif tanpa peran aktif dari pemerintah.103
Dalam jangka pendek, satu atau dua tahun, diharapkan dapat
dipersiapkan landasan dan pondasi pembangunan menuju pertumbuhan
ekonomi yang berkualitas. Jangka menengah, tiga sampai lima tahun,
dapat dirasakan dampak dan hasil awal dari pembangunan nasional
yang tumbuh tinggi dan berkualitas tersebut. Jangka panjang, sasaran
dan target pembangunan nasional adalah mempertahankan dan
meningkatkan kualitas dari pertumbuhan ekonomi yang tinggi itu.104
Strategi utama itu terperinci dalam delapan strategi, yaitu: 1)
Membangun kedaulatan pangan nasional; 2) Membangun kembali
kedaulatan energi nasional; 3) Mengembangkan industri nasional yang
unggul dan bernilai tambah tinggi; 4) Memberdayakan badan usaha
milik negara sebagai motor dan agen utama penggerak pembangunan;
5) Membangun ekonomi kerakyatan berdasarkan nasionalisme dan
berbasis sumber daya sosial bangsa; 6) Akselerasi pembangunan
pedesaan; 7) Percepatan pembangunan infrastruktur; 8) Membangun
kembali kedaulatan pengelolaan sumber daya alam nasional.105
Dari delapan strategi utama di atas, yang menjadi prioritas dan
diharapkan menjadi strategi utama primer (primary high-quality growth
strategy) pencapaian pertumbuhan berkualitas adalah membangun
kedaulatan pangan dan membangun kembali kedaulatan energi nasional
yang didukung oleh pengembangan industri yang unggul. Dengan tiga
strategi pendorong primer atau tripel strategi pendorong (triple big-
push strategy), yang didukung oleh lima strategi pendorong lainnya
(secondary high-quality growth strategy) diharapkan dapat dicapai
tujuan sekaligus sasaran pembangunan nasional. tujuan tersebut adalah
mendorong dan menggerakkkan perekonomian Indonesia dengan
103Prabowo Subianto, et. al., Membangun Kembali Indonesia Raya ....., 176-177;
Gerindra, Manifesto Perjuangan Partai Gerindra, 14. 104
Prabowo Subianto, et. al., Membangun Kembali Indonesia Raya ....., 177. 105
Prabowo Subianto, et. al., Membangun Kembali Indonesia Raya ....., 177.
267
pertumbuhan yang berkualitas (tinggi, berkesinambungan, dan
berkeadilan).106
4. Strategi Pendukung: Membangun Lingkungan yang
memampukan (enabling enviroment)
Strategi pendukung adalah rangkaian strategi yang mendukung
pelaksanaan dan implementasi strategi pokok dan strategi utama,
sehingga tercapai tujuan dan sasaran pembangunan nasional secara
efektif dan efisien. Strategi pendukung terdiri dari empat strategi yang
pada dasarnya adalah input atau lingkungan pendukung bagi suatu
kegiatan ekonomi, baik level makro maupun di level mikro. Tanpa
adanya keempat strategi pendukung ini, maka sulit diharapkan
pencapaian target dan sasaran pelaksanaan strategi pokok dan utama
dapat tercapai secara efektif. Strategi pendukung terdiri dari: 1)
Kebijakan Makroekonomi yang bersahabat dan berpihak dengan
reorientasi keuangan dan perbankan nasional dan dukungan kebijakan
fiskal; 2) Pengembangan dan penerapan ilmu pengetahuan dan
teknologi; 3) Sumber daya manusia indonesia yang berkualitas; 4)
Mengendalikan pertumbuhan penduduk dan pemerataan.107
5. Strategi Implementasi: Menerapkan tata kelola pemerintahan
yang baik.
Prasyarat lain yang diperlukan dalam pembangunan nasional
dengan strategi dorongan besar yang sekaligus menjadi strategi
implementasinya adalah adanya tata kelola yang baik (good
governance) tidak saja di pemerintahan (good goverment governance),
tetapi juga di para pelaku usaha/swasta (good corporate governance),
bahkan di level masyarakat sipil (good civil governance).108
Belajar dari pergerakan dan pengalaman membangun Indonesia
selama lebih dari 65 tahun dan harapan serta cita-cita menjadi bangsa
yang merdeka, berdaulat, adil dan makmur maka diperlukan suatu
reorientasi, strategi dan kebijakan pembangunan. Reorientasi,
penekanan dan penajaman kembali paradigma pembangunan nasional
ini sudah mendesak untuk ditetapkan dan dilaksanakan. Prabowo
berkeyakinan bahwa apabila Indonesia terus berada pada strategi
pembangunan seperti sekarang, maka pada 2045 pada saat 100 tahun
106
Prabowo Subianto, et. al., Membangun Kembali Indonesia Raya ....., 178. 107
Prabowo Subianto, et. al., Membangun Kembali Indonesia Raya ....., 202-207. 108
Prabowo Subianto, et. al., Membangun Kembali Indonesia Raya ....., 208-212.
268
merdeka, Indonesia masih tergolong sebagai negara papan bawah atau
negara miskin. Menurut Prabowo, diperlukan haluan baru untuk
mengubah kondisi negeri yang kian terpuruk ini bangkit kembali dalam
rangka mencapai Indonesia yang maju berdaulat, adil dan makmur.
Dimana haluan baru itu harus dipimpin dan digerakkan oleh pemimpin
baru, yang mendapat dukungan penuh dari seluruh rakyat dan
komponen bangsa yang memiliki karakter tegas, kuat dan berwibawa
yang membawa semangat dan harapan baru. Bangsa ini mampu
menjalankan terobosan besar dengan memaksimalkan keunggulan
terbaik, menekan kebocoran ekonomi, mengubah paradoks Indonesia
menjadi keajaiban Indonesia. Karena sudah menjadi kodrat bahwa kita
adalah bangsa yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur.109
Karena itu, menurut Prabowo usaha pembangunan ekonomi yang
ingin dicapai Partai Gerindra adalah kesejahteraan bagi seluruh rakyat
Indonesia, yang kekayaannya tinggal di Indonesia dan tidak bocor ke
luar negeri. Sehingga rakyat dapat hidup dengan rasa tenang karena
semua kebutuhannya dapat terpenuhi. Partai Gerindra yakin dengan
penerapan sistem yang tepat, dalam hal ini berdasarkan pasal 33 UUD
1945 sesuai amanat para pendiri bangsa, cita-cita kita untuk
membangun Indonesia Raya dapat terwujud.
Tabel 5.5.
Kebocoran dan Kehilangan Kekayaan Negara
No Keterangan Jumlah
1 Kehilangan potensi penerimaan pajak Rp.360 Trilyun
2 Kebocoran anggaran negara (APBN) Rp.500 Trilyun
3. Anggaran negara untuk subsidi energi Rp.300 Trilyun
Total Rp.1.160 Trilyun
Dalam berbagai kesempatan, Prabowo mengatakan bahwa sumber
masalah yang terjadi di negara ini karena akibat kebocoran dari
ekonomi Indonesia sebesar Rp. 1.000 Triliun setiap tahunnya. Oleh
Karena itu, Prabowo mengatakan untuk menjadi sebuah negara yang
sejahtera, negara Indonesia harus mampu menghentikan kebocoran
kekayaan negara yang terjadi setiap tahunnya. Kebocoran ini
diibaratkan sebagai sebuah negara yang terus berdarah, yang berakibat
seperti badan manusia yang terus mengeluarkan darah dan tidak
109
Prabowo Subianto, et. al., Membangun Kembali Indonesia Raya ....., 211.
269
dihentikan, maka akhirnya badan itupun akan collapse (bangkrut).110
Prabowo juga menyampaikan tentang kekayaan di Indonesia yang tidak
berimbang, dimana 1% dari populasi masyarakat mampu
mengendalikan 41% kekayaan negara. Oleh karena itu, untuk
mengatasi semua masalah yang terjadi di negara ini maka diperlukan
perubahan pada sistem pemerintahan. Selama ini terjadi paradoks dan
kebocoran yang disebabkan oleh sistem ekonomi neo-liberalistik tak
terkendali yang telah berlangsung lebih dari empat dasawarsa. Untuk
itu, tidak ada jalan lain selain mengedepankan dan melaksanakan
ekonomi kerakyatan yang dilandasi oleh pasal 33 Undang-Undang
Dasar 1945 untuk diimplementasikan secara lebih efektif, dengan fokus
pertanian dan pangan, maritim, industri pengolahan bernilai tambah
tinggi, UMKM, infrastruktur dan perdagangan.
Untuk mencapai kemakmuran rakyat, kemajuan perekonomian,
serta mengejar ketertinggalan agar mampu sejajar dengan bangsa-
bangsa lain, perekonomian Indonesia tentu harus mampu tumbuh relatif
tinggi. Pertumbuhan positif itu mesti berkesinambungan dari tahun ke
tahun. Selain itu, pertumbuhan ekonomi juga harus mampu
menciptakan keadilan (pemerataan) bagi seluruh rakyat Indonesia.
Kondisi ini yang diharapkan dan dimaksudkan sebagai pertumbuhan
ekonomi yang berkualitas (quality economic growth). Pertumbuhan
ekonomi yang tinggi memiliki dua tolak ukur. Pertama, pertumbuhan
itu lebih tinggi bila dibandingkan dengan pertumbuhan ekonomi
nasional sebelumnya. Kedua, pertumbuhan itu lebih tinggi bila
dibandingkan dengan pertumbuhan ekonomi negara-negara lain yang
setaraf di dunia.111
Tingkat kemakmuran dan kemajuan suatu negara diukur terutama
dari besarnya pendapatan per kapita yang diukur dari indikator Produk
Domestik Bruto/PDB (gross domestic product) per kapita atau
Pendapatan Nasional Bruto/PNB (groos national income). Kesenjangan
atau disparitas tingkat GDP per kapita antara kelompok negara kaya
dengan negara menengah dan negara miskin tetap besar dan akan
110
Transkip rekaman Pidato Ketua DPP Gerindra Prabowo Subianto saat menjadi
pembicara pada Seminar Internasional Mewujudkan Negara Sejahtera dan Rapat
Kerja Nasional, Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) ke-II di hotel Kartika
Chandra, Jakarta, Kamis 13 Februari (2014). Observasi penulis ketika mengikuti
kegiatan Prabowo di Bandung pada acara Asosiasi Pedagang Pasar Indonesia (APSI),
di Cicaheum, Bandung, Sabtu, 15 Februari (2014). 111
Prabowo Subianto, et. al., Membangun Kembali Indonesia Raya ....., 161;
Gerindra, Manifesto Perjuangan Partai Gerindra, 9.
270
bertambah besar bila tidak dapat mengejar ketertinggalannya. Untuk
Indonesia, agar bisa naik kelas dari negara golongan pendapatan
menengah bawah ke menengah atas, sejajar dengan Afrika Selatan,
Brazil, Argentina, atau Meksiko, diperlukan peningkatan pendapatan
lebih dari dua kali PDB, atau minimal sebesar US $ 3,706 atau sekitar
Rp. 40 juta per tahun. Dengan tingkat pertumbuhan ekonomi baik
jangka menengah semisal tahun 2000-2007 yang hanya 5.1% (World
Bank), maupun dengan level jangka menengah yang paling baik
sekalipun sebesar 7,5%. Untuk mengatasi hal tersebut, Indonesia
memerlukan tingkat pertumbuhan ekonomi minimal 7% bahkan 10%
per tahun secara konsisten dan berkesinambungan dalam jangka waktu
tujuh tahun untuk bisa naik kelas. Dari negara berpendapatan
menengah kelas bawah ke menengah kelas atas. Itupun dengan asumsi
negara-negara lain bertumbuh tetap dan stabil, tidak mencapai
pertumbuhan ekonomi yang luar biasa.112
Menanggapi cita-cita pertumbuhan ekoomi Gerindra, pengamat
ekonomi Faisal Basri, sebagaimana dikutip oleh Imran pewarta
Republika, mengkritik Prabowo Subianto, yang menyebutkan
pertumbuhan ekonomi mencapai 7 persen, bahkan menuju 10 persen.
Menurut Faisal Basri, Prabowo dinilai kurang teliti mengamati apa
yang dibutuhkan dan apa dampak dari pertumbuhan ekonomi 10
persen. Misalnya, soal penyediaan listrik, kalau pertumbuhan ekonomi
10 persen, maka pertumbuhan kebutuhan listriknya per tahun mencapai
lebi dari 8,5 persen. Penambahan listrik per tahun lebih dari 5.000
megawatt. Hal ini membutuhkan investasi sebesar 15 miliar dollar AS.
Padahal kemampuan PLN hanya 5 miliar dollar AS, itu pun 80
persennya dari utang. Ia juga mengatakan, jika utang PLN naik, maka
cost of fund akan naik. Pada akhirnya, beban PLN itu akan diteruskan
ke konsumen.113
Namun demikian, apa yang akan diupayakan oleh
Gerindra dengan pertumbuhan ekonomi yang 7% masih rasional.
Prakiraan pertumbuhan ekonomi Gerindra senada dengan hasil
penelitian Pusat Kajian Politik Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
Universitas Indonesia (Puskapol-Fisip UI) dan Lembaga Kajian
Demokrasi dan Hak Asasi (Demos) pada Juli 2013. Kedua lembaga ini
berkesimpulan bahwa profil ekonomi makro Indonesia selama tahun
tiga tahun sampai tahun 2013 menunjukkan kinerja yang baik. Dengan
112
Prabowo Subianto, et. al., Membangun Kembali Indonesia Raya ....., 163;
Gerindra, Manifesto Perjuangan Partai Gerindra, 10. 113
Imran Abdullah, “Faisal Baskri Kritik Prabowonomics,” dalam Republika,
edisi Senin, 23 Juli (2014), 7.
271
mengutip data Bank Indonesia, Puskapol-Fisip UI dan Demos
menjelaskan bahwa pertumbuhan ekonomi pada pertengahan 2013
tercatat 5,81%, dan sepanjang tahun 2012 tercatat 6,5%114
. Angka
tersebut tidak mustahil untuk mendekati 7% bahkan 10% bagi
pertumbuhan ekonomi Indonesia sebagaimana yang diprediksikan oleh
Gerindra. Dalam keyakinan Gerindra, dengan pertumbuhan ekonomi
yang tinggi akan semakin mudah untuk mewujudkan demokratisasi
tatanan masyarakat madani di Indonesia. Puskapol-Fisip UI dan
Demos, dalam hal demokratisasi, juga memiliki pendapat yang sama
dengan Janoski bahwa proses demokratisasi di Indonesia terbentuk dari
tiga ranah, yaitu politik, ekonomi, dan masyarakat sipil. Janoski lebih
luas lagi, dengan memasukkan ranah privat.115
Keragaman ini
mencerminkan keragaman kepentingan yang ada di masyarakat.
Berdasarkan paradigma ekonomi di atas, manifsto perjuangan
ekonomi Gerindra cenderung menganut pendapat pengikut kaum
Marxis, yaitu Gramsci. Penekanan Gramsci dalam hal ini terhadap
negara sebagai kancah penting perjuangan politik tampaknya
memungkinkan adanya tingkat otonomi yang besar dari struktur
ekonomi. Bahkan, menurut Keith Faulks, Karl Marx menganggap
struktur ekonomi merupakan bentuk penentu bangunan peradaban
masyarakat madani.116
Marxisme mereduksi semua tindakan manusia
hanya untuk memenuhi ketentuan dasar ekonomi yang menjadi
sandaran semua masyarakat. Dalam hal ini, Gerindra-pun terjebak
dalam pusara paradigma ekonomi tersebut. Paradigma ini cenderung
menguat dan melemahkan ranah-ranah lain dalam proses demokratisasi
untuk membangun peradaban masyarakat madani. Seharusnya,
manifesto privat, publik, dan negara berjalan seiring dan seirama
dengan bidang ekonomi.
114
Puskapol Fisip-UI dan Demos, “Laporan Konsorsium Indeks Demokrasi Asia
2013: Kasus Indonesia,” Ringkasan Eksekutif, Puskapol Fisip-UI dan Demos, Jakarta,
31 Juli (2013), 4-16. 115
Lihat Thomas Janoski, Citizenship and Civil Society...., 12. 116
Keith Faulks, Political Sociology: a Critical Introduction (Edinburgh:
Edinburgh University Press, 1999). Buku ini telah diterjemahkan ke bahasa
Indonesia, yaitu Keith Faulks, Sosiologi Politik: Pengantar Kritis, (terj.) Helmi
Mahadi dan Shohifullah (Bandung: Penerbit Nusa Media, 2012), 59.
272
D. Kritik Ranah Ekonomi Gerindra
1. Minim Aplikasi Ekonomi Kerakyatan
Dalam praktik ekonomi kerakyatan, Gerindra masih berkutat pada
kegiatan-kegiatan artifisial kurang membumi di masyarakat.
Program‐program memang secara jelas menguraikan agenda ekonomi
atau keadilan sosialnya. Dalam hal ini oleh Puskapol-Fisip UI, Gerindra
disejajarkan dengan PKS mengungguli parpol peserta pemilu lainnya
pada tahun 2014.117
Namun praktik nyata implementasi ekonomi
kerakyatan yang berasal dari parpol Gerindra masih bersifat kuratif,
belum bisa diharapkan mampu memberantas kemiskinan rakyat dan
meningkatkan kesejahteraan rakyat. Benar, Gerindra memiliki koperasi,
sebagai soko guru ekonomi kerakyatan, namun itu digagas dan
dikembangkan oleh partai Sayapnya, Pira. Koperasi itupun hanya
dalam skup peruntukkan bagi kalangan internal partai. Gerindra sendiri
belum secara optimal berupaya untuk menjamurkan koperasi-koperasi
di seluruh pelosok tanah air. Sehingga koperasi mampu mengimbangi,
untuk enggan menyatakan mampu mengalahkan, toko waralaba kaum
kapitalis yang telah menjamur hampir menjangkau seluruh pelosok
nusantara dan menggusur pasar-pasar tradisional dan warung-warung
kecil.
Kritik juga ditujukan kepada isi manifesto bidang ekonomi
Gerindra yang acapkali menggunakan frasa ekonomi kerakyatan yang
pro-rakyat. Misalnya, dalam manifesto tertulis, “Kebijakan
perekonomian harus mendukung cita-cita welfare state (negara
kesejahteraan) yang berkeadilan. Untuk itu diperlukan langkah yang
tepat untuk menormalisasi kehidupan ekonomi rakyat dengan kembali
memperjuangkan paham ekonomi kerakyatan.”118
Di satu sisi, benar persoalan ekonomi kerakyatan menjadi ruh
manifesto Gerindra, namun ia juga mengandung ‘virus’ ekonomi
kapitalistik, bahkan Hashim Djojohadikusumo yang notabene tokoh
sentral Gerindra tak alergi terhadap sistem ekonomi kapitalis dan
bangga jadi kapitalis.119
Dalam manifesto Gerindra, dijelaskan bahwa, “…kepemilikan
negara terhadap alat alat perekonomian dan kekayaan yang menyangkut
hajat hidup orang banyak harus tetap dipertahankan, dan diusahakan
117
Puskapol Fisip-UI dan Demos, “Laporan Konsorsium Indeks Demokrasi Asia
2013: Kasus Indonesia,” 4-16. 118
Gerindra, Manifesto Perjuangan Partai Gerindra, 15. 119
http://www.tempo.co/read/news/2009/06/16/149182190/Hashim-
Djojohadikusumo-Bangga-Jadi-Kapitalis, diakses tanggal 10 November 2014.
273
pengembalian seluruh alat-alat perekonomian dan kekayaan yang telah
berpindah kepemilikan terutama yang erat kaitannya dengan keamanan
nasional.”120
Dalam kritik Rio Apinino,121
pernyataan manifesto di atas yang
perlu digarisbawahi dalam kalimat tersebut adalah ‘kepemilikan
negara.’ Selama ini, problem kepemilikan negara atau penguasaan
negara terhadap sumber daya di Indonesia adalah sumber daya tersebut
tidak benar-benar dikuasai rakyat. Penguasaan oleh negara telah secara
otomatis mengatasnamakan penguasaan rakyat atas sumber daya
tersebut. Padahal, yang terjadi adalah penguasaan sumber daya tersebut
berada di segelintir tangan birokrat (kapitalis birokrat) tanpa adanya
kontrol dari rakyat banyak. Padahal, problem utama dari nasionalisasi
di Indonesia, sebagaimana yang dikatakan Hilmar Farid,122
adalah
ketidakmampuan membedakan kepemilikan pribadi dan kepemilikan
publik. Hal ini terlihat jelas contohnya dalam penguasaan sumber daya
alam di masa Suharto. Sumber daya vital yang menguasai hajat hidup
orang banyak secara mayoritas terlihat seperti berada dalam
penguasaan negara dan dengan demikian mengatasnamakan rakyat
sebagai penguasa kekayaan alam tersebut. Padahal, yang terjadi justru
penguasaan sumber daya berada di tangan Kroni-Kroni Suharto atau
bahkan keluarga-keluarganya. Nasionalisasi aset memang dapat
menjadi prioritas jika ingin mengembalikan kedaulatan Indonesia
dibilang ekonomi maupun politik, dengan syarat, aset-aset tersebut
dikelola oleh publik dan bukan oleh segelintir pejabat korup. Tentu ada
berbagai macam cara, seperti penguatan kontrol buruh dalam
keseluruhan proses produksi.
Bagi Hashim, menjadi kapitalis bukan hal yang memalukan. Ia
beranggapan bahwa dalam dunia usaha, modal adalah hal yang netral.
Hal yang terpenting adalah dari mana dan untuk apa modal tersebut
digunakan. Jikalau modal yang didapat merupakan dari hasil korupsi
atau dengan cara yang tidak halal, maka hal tersebut tidak baik.
Baginya, tujuan ekonomi kerakyatan adalah untuk meningkatkan daya
beli masyarakat. Jika daya beli masyarakat naik, iklim usaha akan
menjadi baik. Makin tinggi daya beli masyarakat, makin bagus buat
usaha. Hal tersebut sejalan dengan prinsip kapitalis Ayn Rand yang
120
Gerindra, Manifesto Perjuangan Partai Gerindra, 15-16.
121http://www.prp-indonesia.org/2014/apa-yang-berbahaya-dari-prabowo-dan-
gerindra-telaah-manifesto-perjuangan-partai-gerakan-indonesia-raya-gerindra, diakses
tanggal 10 November 2014. 122
Hilmar Farid, “Soal Nasionalisasi Aset,” Koran Bakti No I/Mei/2014.
274
menyebutkan tiga asumsi dasar kapitalisme, yaitu: kebebasan individu,
kepentingan diri (selfishness), dan pasar bebas.123
Menurut Rand,
kebebasan individu merupakan tiang pokok kapitalisme, karena dengan
pengakuan hak alami tersebut individu bebas berpikir, berkarya dan
berproduksi untuk keberlangsungan hidupnya. Pada gilirannya,
pengakuan institusi hak individu memungkinkan individu untuk
memenuhi kepentingan dirinya. Menurut Rand, manusia hidup
pertama-tama untuk dirinya sendiri, bukan untuk kesejahteraan orang
lain. Rand menolak keras kolektivisme, altruisme, mistisisme. Dalam
analisis Abdul Hadi WM, Sebagai aliran pemikiran kemasyarakatan,
kapitalisme sering dikaitkan dengan sistem ekonomi pasar bebas dan
berakar dari perpaduan pemikiran sosial, politik dan ekonomi, serta
anthropologi falsafah seperti liberalisme, utilitarianisme,
individualisme, materialisme, kapitalisme, hedonisme, dan lain
sebagainya. Hal ini bertentangan dengan ekonomi Pancasila yang
cenderung sosialis. Sosialisme Pancasila melahirkan paham seperti
altruisme, kolektivisme, dan sosialisme, baik sosialisme bercorak
sekular maupun keagamaan.124
Dengan demikian, kapitalisme
dipandang menggerogoti dasar-dasar falsafah bangsa kita Pancasila
serta sistem sosial, politik, ekonomi dan pemerintahan dicita-citakan
Mukadimah UUD 45 dan batang tubuhnya.
2. Menguatnya Elemen Penguasa dan Pengusaha Gerindra seharusnya mewaspadai menguatnya elemen penguasa
dan pengusaha atau penguasa[ha] dalam perombakan struktur
ekonominya. Menurut Andi Faisal Bakti, elemen penguasa[ha] atau
disebut dalam Bahasa Inggris sebagai enterpreneuruler dapat membuat
kebijakan-kebijakan ekonomi Gerindra semakin tertawan dan sulit
untuk melakukan perubahan kebijakan yang lebih prokerakyatan.
123
Chris Matthew Sciabarra dan Larry J. Sechrest, “Ayn Rand Among The
Australians,” The Journal of Ayn Rand Studies 6, No. 2, Spring (2005): 241-250;
David Kelley, “Ayn Rand and Capitalism: The Moral Revolution,” dalam Tpm G.
Palmer (ed.), The Morality of Capitalism: What Your Professors Won’t Tell You (New
York: Jameson Books, Inc., 2011), 69-50; Alexander Tabarrok, “Response to
Reisman on Capitalism,” The Quarterly Journal of Australisn Economics, Vol. 1, No.
3 Fall (1998): 57-59; Michael Killvris, “Beyond Goods and Services: Towards a
Nietzschean Critique of Capitalism,” Kritike, Vol. 5, No. 2, Desember (2011): 26-40. 124
Abdul Hadi WM, “Neoliberalisme Tantangan Bagi Nasionalisme,”
https://ahmadsamantho.wordpress.com/neo-liberalisme-rintangan-bagi-nasionalisme/,
diakses tanggal 10 November 2014.
275
Andi Faisal Bakti, dalam kapasitasnya sebagai Dewan Pengarah
Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) Center for Cross Cultural
Communication and Human Relations in Actions (C3-HURIA) mencontohkan bahwa elemen enterpreneuruler sangat berkuasa dalam
mempengaruhi kebijakan selama pemerintahan SBY-Boediono. Posisi
presiden seakan tidak berdaya di hadapan para pengusaha yang juga
mendapat kekuasaan politik dan terepresentasikan di parlemen. Hal ini,
menurut Bakti, disebut perselingkuhan antara penguasa dan pengusaha.
Enterpreneuruler atau penguasaha sangat dominan dalam pemerintahan
SBY-Boediono. Kemenangan dalam pilpres yang mencapai 60,85
persen tidak diimbangi dengan 20 persen kekuatan partai di parlemen.
Oleh karena itu, seharusnya SBY harus lebih memilih untuk
memuaskan public ketimbang politisi di parlemen mengingat dukungan
publik yang sangat besar dalam pemilu kepada dirinya. Seperti tak
percaya diri dengan dukungan publiknya sendiri.
Berdasarkan tulisan dari George Junus Aditjondro,125
keluarga
besar Prabowo merupakan pengusaha dengan penguasaan lahan
sebanyak 3 juta hektar pada tahun 2009. Penguasaan tanah Prabowo
dan adiknya, Hashim Djojohadikusumo, tersebar dalam bentuk
perkebunan kelapa sawit, teh, jagung, jarak, akasia, padi dan aren, serta
ratusan ribu hektar hutan pinus. Selain menguasai perkebunan, masih
berdasarkan sumber yang sama, keduanya juga menguasai berbagai
konsesi hutan dengan tujuan bisnis. Tercatat penguasaan konsesi seluas
96 ribu hektar yang membentang dari dari Kabupaten Bener Meriah ke
Kabupaten Aceh Tengah yang merupakan sumber kayu pinus bagi
pabrik PT Kertas Kraft Aceh di Lhokseumawe; 30 ribu hektar
perkebunan sawit di Sumatera Barat dan Jambi di bawah PT Tidar
Kerinci Agung; 290 ribu hektar konsesi hutan PT Tanjung Redep di
Kalimantan Timur yang dahulu dikuasai Bob Hasan, kroni Suharto;
350 ribu hektar konsesi hutan hasil akuisisi Kiani Group di Kalimantan
Timur; 260 ribu hektar konsesi hutan PT Kartika Utama di provinsi
yang sama; 260 ribu hektar konsesi hutan PT Ikani Lestari; 60 ribu
hektar konsesi Nusantara Energy yang merupakan holding company
Prabowo serta perkebunan PT Belantara Pusaka seluas 15 ribu hektar
lebih.
Belum cukup sampai situ, masih menurut Aditjondro, Prabowo dan
adiknya juga memiliki budidaya mutiara serta perkebunan jarak seluas
125George Junus Aditjondro, “Menyongsong Era Suharto, Babak Kedua,”
diakses dari https://groups.google.com/forum/#!topic/populasi/KVZ4oHjs32A pada
21 Mei 2014.
276
seratus hektar untuk bahan bakar nabati di Bima, NTB dan perkebunan
jarak seluas seratus hektar untuk bahan bakar nabati. Sedangkan di
Kabupaten Merauke, Papua, mereka berencana membuka Merauke
Integrated Rice Estate (MIRE) seluas 585 ribu hektar. Di Papua,
mereka juga mengeksplorasi blok gas Rombebai di Kabupaten Yapen
dengan kandungan gas lebih dari 15 trilyun kaki kubik. Dengan
kepemilikan tanah seluas itu, maka HKTI (Himpunan Kerukunan Tani
Indonesia) yang merupakan organisasi yang diketuai Prabowo
seharusnya berubah namanya menjadi Himpunan Kerukunan Tuan
Tanah Indonesia (HKTTI).126
Dengan latar belakang imperium bisnis tersebut, dan dengan visi
ekonomi yang orientasinya kepentingan cenderung mendukung
kapitalis pribumi, maka rentan secara politik, hal tersebut digunakan
secara kasar untuk mendapatkan akses secara langsung terhadap
kebijakan pengelolaan sumber daya. Apakah kita mau kembali
memiliki Presiden yang mengelola negara seperti mengelola sebuah
imperium bisnis yang keuntungannya tersalur ke keluarga dan kroni-
kroninya sendiri sebagaimana yang Suharto lakukan selama puluhan
tahun?
Terlepas dari kritik tersebut, berdasarkan paparan di atas, penulis
berkesimpulan bahwa partai Gerindra melandaskan paradigma dan
perjuangannya berangkat dari telah terjadi dan masih berlangsungnya
penyelewengan-penyelewengan terhadap cita-cita Proklamasi 17
Agustus 1945 dan Undang-undang Dasar 1945 dalam bidang ekonomi
di Indonesia. Akibatnya telah melahirkan kondisi bangsa yang
memperlebar jurang antara kaum miskin dan kaya. Berdasarkan fakta
ekonomi, Gerindra melihat penguasaan kekuatan ekonomi terhadap
sumber daya alam dan sumber daya manusia tidak berpihak kepada
kepentingan nasional bangsa Indonesia. Hal tersebut berdampak
menjadikan bangsa Indonesia semakin tergantung pada pihak luar
negeri. Ketergantungan tersebut semakin membuat bangsa Indonesia
kehilangan kedaulatan dan kemerdekaannya. Kesimpulan Gerindra,
tidak ada jalan lain, ekonomi kerakyatan harus diterapkan. Karena hal
tersebut sesuai dengan Pancasila dan UUD 1945, terutama yang
dikumandangkan pada tanggal 18 Agustus 1945.
Sistem perekonomian bangsa yang telah dan akan diterapkan telah
menyebabkan situasi yang sulit bagi kehidupan rakyat. Kekayaan alam
126George Junus Aditjondro, “Menyongsong Era Suharto, Babak Kedua,”
diakses dari https://groups.google.com/forum/#!topic/populasi/KVZ4oHjs32A pada
21 Mei 2014.
277
justru menjadi lahan pertarungan perebutan pengaruh di antara
kekuatan-kekuatan politik dan sama sekali tidak memberi manfaat yang
berarti kepada kehidupan dan kesejahteraan rakyat. Oleh karena itu,
Gerindra bertekad untuk mewujudkan kemandirian bangsa dengan
membangun sistem ekonomi kerakyatan, yaitu suatu sistem ekonomi
dimana sumber-sumber ekonomi dimanfaatkan sebesar-besarnya untuk
kemakmuran seluruh rakyat Indonesia sesuai dengan Pasal 33 UUD
1945. Selain itu dalam paradigma ekonomi Gerindra, budaya bangsa
harus menjadi jati diri dan kekuatan bersama. Wawasan kebangsaan
haruslah mengeratkan persatuan dan kesatuan. Perbedaan di antara
rakyat tidaklah menjadi sebab untuk tidak bersatu, tetapi hendaknya
menjadi rahmat dan kekuatan Bangsa Indonesia.
Konsepsi masyarakat madani Gerindra meskipun belum secara
optimal berfungsi secara efektif, telah miliki sumbangsih. Gerindra
mengumpulkan kepentingan dan menempatkan kepentingan warga
pada konteks nasional. Melalui usaha, untuk mengontrol dan
mempengaruhi kebijakan publik, Gerindra telah memainkan peran
perantara, menghubungkan lembaga-lembaga pemerintah dengan
kelompok masyarakat. Mereka menggalang dukungan di balik
peraturan penting, menganjurkan posisi yang meningkatkan
kesejahteraan masyarakat dan memajukan kepentingan warga. Dalam
hal yang sama, Gerindra melayani peran penting dalam pemerintahan
yang demokratis dengan berkomunikasi bersama warga dan
menanggapi kekhawatiran mereka, berupaya membentuk hukum dan
kebijakan yang mencerminkan kepentingan nasional dan konstituen
serta mengawasi pekerjaan eksekutif, legislatif, dan yudikatif.
278
279
BAB VI
PENUTUP
A. Kesimpulan Partai politik di Indonesia sedang melalui proses pendewasaan
demokratisasi dalam rangka mencapai masyarakat yang madani.
Paradigma politik di Indonesia tidak bisa dipisahkan dari faktor
pengawasan dan keseimbangan (check and balances) di semua ranah
masyarakat madani, baik itu privat, publik, ekonomi (pasar), maupun
negara. Inferioritas dan superioritas sebuah ranah bagi demokratisasi
dapat menyebabkan ketidakseimbangan politik. Entah kecil atau besar
sumbangsih untuk membentuk peradaban Indonesia yang madani telah
ditorehkan oleh Gerindra dalam kancah politik praktisnya di Republik
Indonesia ini. Manifesto Gerindra dalam segenap platform dan aksinya
bagi pembentukan masyarakat madani berlandaskan atas Pancasila dan
UUD 1945. Hal tersebut dilihat dari:
1. Gerindra telah, sedang, dan akan terus merekrut, mengakomodir,
dan mengkader individu-individu dan tokoh-tokoh yang kritis
terhadap kebijakan-kebijakan yang diambil pemerintahan dalam
menjalankan roda pemerintahannya. Lebih penting lagi, Prabowo
Subianto sebagai mantan militer dan segenap kader Gerindra,
dalam kiprah politiknya tidak bisa dilepaskan dari dharma baktinya
terhadap negara. Dalam ranah privat, Gerindra telah
menghantarkan individu-individu kader terbaiknya
memperjuangkan aspiraksi rakyat di parlemen pusat pada tahun
2009 sampai 2014 sebanyak 26 kader, dari berbagai kalangan.
Pada pemilu tahun 2014, Gerindra telah melakukan proses seleksi
terhadap 2780 kader dari berbagai kalangan dan status menjadi 560
kader yang dicalokan. Dari 560 kader yang dicalokan, 73 terpilih
kursi DPR masa bakti dari tahun 2014-2019.
2. Dalam ranah publik, Gerindra tidak lepas dari aktivitas sosial dan
religius. Dalam Gerindra terdapat ranah publik bagi masyarakat
untuk melakukan aktivitas publiknya secara bebas, namun tetap
harus dibarengi dengan rasa tanggung jawab. Masyarakat
mendapatkan haknya secara penuh dan merdeka untuk
menyampaikan pendapat, berserikat, berkumpul, berorganisasi
termasuk mempublikasikannya kepada publik tanpa ada tekanan
dari pihak manapun. Gerindra didukung oleh berbagai lembaga
swadaya masyarakat, organisasi-organisasi sayap, bahkan partai
280
yang berfusi. Organisasi sayap Gerindra di antaranya adalah
Gerakan Muslim Indonesia Raya (Gemira), Kristen Indonesia Raya
(Kira), Gema Shadhana, Perempuan Indonesia Raya (Pira), Tunas
Indonesia Raya (Tidar), dan Kesehatan Indonesia Raya (Kesira).
Lembaga swadaya masyarakat yang diidentikkan berafiliasi dengan
Gerindra misalnya Himpunan Kerukunan Tani Indonesia (HKTI),
Lembaga Masyarakat Peduli Hutan, Kebun dan Pangan, Perbindo
(Perhimpunan Bambu Indonesia) Asosiasi Pedagang Pasar seluruh
Indonesia (APPSI), dan lain-lain. Partai politik yang berfusi
dengan Gerindra yaitu Partai Bintang Reformasi (PBR), Partai
Merdeka, Partai Buruh, Partai Persatuan Nahdlatul Ummah
Indonesia (PPNUI), Partai Nasional Indonesia Massa Marhaenis
(PNI-Marhaenis), Partai Kedaulatan, Partai Serikat Indonesia, dan
Partai Kebangkitan Nahdlatul Ulama (PKNU). 3. Di ranah negara, Gerindra telah bersumbangsih menempatkan
kadernya duduk di lembaga legistatif semenjak Pemilu 2009 dan
Pemilu 2014. Meskipun masih dalam tataran daerah, di lembaga
eksekutif-pun kader Gerindra telah ikut bersumbangsih saling
mengawasi dan mengimbangi antara lembaga-lembaga dalam
kekuasaan menjalankan negara. Contohnya, Gerindra berhasil
mengusung Basuki Tjahaya Purnama untuk menduduki Wakil
Gubernur DKI Jakarta. Selain Ahok, Ridwan Kamil juga berhasil
diusung Gerindra sebagai Wali Kota Bandung Jawa Barat.
Gerindra memberi kewenangan kepada kadernya yang telah berada
pada posisi antar cabang kekuasaan negara (legislatif, eksekutif,
yudikatif) untuk saling mengontrol dan menyeimbangankan
pelaksanaan kekuasaannya masing-masing. Dengan demikian
dapat dihindari penyalahgunaan kekuasaan oleh cabang-cabang
kekuasaan negara.
4. Ekonomi Kerakyatan Gerindra dipicu oleh keprihatinan terhadap
perkembangan sistem ekonomi di Indonesia yang cenderung
kapitalistik-individualis. Manifesto ekonomi kerakyatan Gerindra
mengacu pada dasar filsafat dan ideologi Indonesia yang tertuang
dalam seluruh sila Pancasila dan UUD 1945. Landasan
Konstituonal itu bagi Gerindra sesungguhnya merupakan upaya
perjuangan untuk memperbaiki kondisi ekonomi rakyat dan untuk
mengoreksi struktur ekonomi Indonesia dari ekonomi kolonial
menjadi ekonomi nasional dengan berupaya menaikan level
pertumbuhan ekonomi menjadi 7% sampai 10% melalui beberapa
strategi. Meskipun masih dalam tataran konsepsional minim
281
implementasi, bersandarkan penelitian Infid, Gerindra telah
memiliki platform ekonomi kerakyatan yang jelas.
B. Implikasi Penelitian
1. Secara konseptual, pemikiran-pemikiran normatif mendominasi
wacana politik masyarakat madani di Indonesia. Sedangkan
pemikiran-pemikiran yang mempertimbangkan manfaat umumnya
diabaikan. Pemikiran mengenai ‘apa yang seharusnya dilakukan,’
memenuhi perhatian. Jarang ada pemikiran politik yang
mempertanyakan ‘bagaimana’ untuk mencari cara-cara efektif
guna mengatasi tugas-tugas tertentu suatu organisasi masyarakat
madani yang tumpang tindih antara garis sebagai masyarakat
madani atau masyarakat politik.
2. Wacana masyarakat madani di Indonesia, cenderung untuk melihat
masyarakat terbagi dalam berbagai organisasi yang memiliki
kepentingan yang berbeda-beda. Satu wacana yang sangat disoroti,
yaitu peran lembaga swadaya masyarakat yang bersifat selalu
mengawasi dan menyeimbangkan (checks and balances) jalannya
pemerintahan oleh suatu rezim. Namun, hubungan-hubungan
konflik antar asosiasional itu sendiri sedikit sekali mendapat
perhatian. Sekedar perhatian diberikan kepada konflik antara partai
dan kelompok-kelompok ideologis. Tetapi sedikit sekali kepada
konflik antar golongan organisasi masyarakat itu sendiri.
Umumnya, perpecahan dikalangan internal organisasi masyarakat
madani dilukiskan sebagai tidak sepenting persatuan yang
mendasarinya.
3. Masih banyak ruang kosong dalam penelitian manifesto partai
politik dalam rangka bersumbangsih bagi pembentukan masyarakat
madani di Indonesia. Semoga penelitian berikutnya, semakin
meramaikan wacana tentang partai politik dengan meneliti sisi
positif dari partai politik seimbang dengan penelitian sisi
negatifnya. Juga organisasi son-politik sebagai bagian dari
masyarakat madani memiliki berbagai keterbatasan, terutama
dalam hal representasi, benarkah ia mewakili rakyat?
Akuntabilitas, kepada siapa dan bagaimana ia harus
mempertanggungjawabkan setiap gerakannya? Benarkah ia telah
mempraktikkan prinsip demokrasi secara internal?
282
283
DAFTAR PUSTAKA
Buku:
‘Alī, Abdullāh Yūsuf, the Meaning of The Holy Qur’an. Maryland:
Amana Corporation, 1992.
Abbas, Anwar, Bung Hatta dan Ekonomi Islam: Menangkap Makna
Maqāshid al-Syarī’ah. Jakarta: Kompas Media Nusantara, 2010.
Abdillah, Masykuri, “Negara Ideal menurut Islam dan Implementasinya
pada Masa Kini,” dalam Komaruddin Hidayat dan Ahmad Gaus
AF, Islam Negara dan Civil Society: Gerakan dan Pemikiran Islam
Kontemporer. Jakarta: Paramadina, 1997.
_____, Demokrasi Di Persimpangan Makna: Respons Intelektual
Muslim Indonesia Terhadap Konsep Demokrasi (1966 – 1993).
Yogyakarta: Tiara Wacana, 2009.
Aifis, Bunga Rampai: Serial Diskusi Akademik (Agustus – Desember
2013): Telaah Wacana Ekonomi Kerakyatan. Depok: Aifis, 2013.
al-Albani, Irwā’ al-Ghalīl, Juz VI. Beirut: Maktab al-Islāmī,
1405/1985.
al-Alusi, Rūh al-Ma'ānā, Juz XIII. Beirut: Dār al-Fikr, 1990.
al-Andalusi, ‘Abd al-Ḥaq, al-Muharrar al-Wajīz fī Tafsīr al-Kitāb al-
‘ Azīz, Juz V. Beirut: Dār al-Kutub al-Ilmiyyah, 1993.
al-Anṣarī, ‘Abd al-Ḥamīd Ismaīl, al-Shūrā wa atharuha fī al-
Dimaqrāṭiyya. Qahirā: al-Maṭba’ah al-Salāfiyyah, 1980 M/1400 H.
al-Aṣfihāni, Al-Rāghib, Mu'jam Mufradāt Alfāż al-Qur'ān. Beirūt: Dār
al-Fikr, t.th.
al-Attas, Syed Muhammad Naquib, Prolegomena to the Metaphysics of
Islam: Exposition of the Fundamental Elements of the Worldview
of Islam. Kuala Lumpur: ISTAC, 1995.
Ambardi, Kuskridho, Mengungkap Politik Kartel: Studi tentang Sistem
Kepartaian di Indonesia Era Reformasi. Jakarta: Gramedia, 2009.
Aning, S. Floriberta, (ed.), 100 Tokoh yang Mengubah Indonesia:
Biografi Singkat Seratus Tokoh yang Berpengaruh dalam Sejarah
Indonesia di Abad 20. Yogyakarta: Narasi, 2007.
Anis, Ibrāhīm, al-Mu’jam al-Wasit, Jilid I. Bairūt: Dār al-Fikr, t.th.
284
Asshiddiqie, Jimly, Kemerdekaan Berserikat, Pembubaran Partai
Politik, dan Mahkamah Konstitusi. Jakarta: Konstitusi Press, 2005.
Azra, Azyumardi, “Civil Society and Democratization in Indonesia:
The Transition Under President Wahid and Beyond,” dalam David
C. Shack dan Wayne Hudson, Civil Society In Asia (Law, Ethic
and Governance). Hampshire, Inggris dan Burlington, USA:
Ashgate Publishing Company, 2003.
_____, “Negara Madani adalah Cita-cita PKS,” dalam Opini Republika,
24 April (2008).
_____, “Oposisi Cak Nur: Oposisi Soliter,” dalam Sukandi A.K., (ed.),
Prof. Dr. Nurcholis Madjid Jejak Pemikir dari Pembaharu sampai
Guru Bangsa. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2003.
_____, “Politik Lokal dan Pembelajaran Politik,” dalam Andy Ramses
M dan La Bakry (ed.), Pemerintahan Daerah di Indonesia. Jakarta:
MIPI, 2009.
_____, Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad
XVII & XVIII Akar Pembaruan Islam Indonesia. Jakarta: Kencana,
2005.
_____, Malam Seribu Bulan: Renungan-renungan 30 Hari Ramadan.
Jakarta: Erlangga, 2005.
_____, Menuju Masyarakat Madani: Gagasan, Fakta, dan Tantangan.
Bandung: Rosdakarya, 1999.
_____, Reposisi Hubungan Agama dan Negara: Merajut Kerukunan
Antarumat. Jakarta: Kompas, 2002.
al-Ba’albakī, Rūhī, al-Maurid Qāmūs ‘Arabī-inkalījī, Modern Arabic-
English Dictionary. Bairūt: Dār al-‘Ilm lī al-Malayīn, 1995.
al-Bāqī, Muhammad Fu’ad ‘Abd., al-Mu’jam al-Mufahras lī
Alfāzh al-Qur’ān al-Karīm. Bairūt: Dār al-Fikr, 1992.
Bakti, Andi Faisal, “Good Governance dalam Islam: Gagasan dan
Pengalaman,” dalam Komaruddin Hidayat dan Ahmad Gaus AF
(ed.), Islam, Negara, dan Civil Society: Gerakan dan Pemikiran
Islam Kontemporer. Jakarta: Paramadina, 2005.
_____, dkk, Literasi Politik dan Konsolidasi Demokrasi. Ciputat:
Churia Press, 2012.
285
Biro Program Informasi Internasional, Departemen Luar Negeri AS,
Garis Besar Sejarah Amerika Serikat. Edisi Bahasa Indonesia
(terj.) Michelle Anugrah. ttp: Biro Program Informasi
Internasional, Departemen Luar Negeri AS, 2005.
Bradley, Joseph, Voluntary Associations in Tsarist Russia: Science,
Patriotism, and Civil Society. Harvard: President and Fellow of
Harvard College, 2009.
Budiarjo, Miriam, Dasar-dasar Ilmu Politik. Jakarta: Gramedia, 2004.
Chadwick H, Bruce, Metode Penelitian Ilmu Pengetahuan Sosial.
Semarang: IKIP Press, 1983.
Chandhoke, Neera, “The Civil and the Political in Civil Society,”
dalam C.M. Elliot (ed.), Civil Society and Democracy: a Reader.
Oxford: Oxford University Press, 2003.
Culla, Adi Suryadi, Rekonstruksi Civil Society: Wacana dan Aksi
Ornop di Indonesia. Jakarta: LP3ES, 2006.
al-Damshiqī, Abū al-Fidā’ Ismā’il ibn ‘Umar ibn Kathīr al-Qurshī al-
Baṣary, Tafsīr al-Qur’ān al-Aẓīm, Vol 1. t.p: Dār Ṭaybah lī al-
Nashr wa al-Tauzī’, 1999.
Davies, Matt, Indonesia’s War over Aceh: Last Stand on Mecca’s
Porch. London: Taylor & Francis, 2006.
Denny J. A., Jejak-jejak Pemilu 2004: Talkshow Denny J.A. dalam
Dialog Aktual Radio Delta FM. Yogyakarta: LkiS, 2006.
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa
Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka, 1989.
Dhakidae, Dhaniel, “Sang Demonstran”, dalam dalam Soe Hok Gie,
Catatan Seorang Demonstran. Jakarta: LP3ES, 1989.
Diansyah, Febri, Emerson Yuntho, Donal Fariz, Laporan Penelitian:
Penguatan Pemberantasan Korupsi melalui Fungsi Koordinasi
dan Supervisi Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Jakarta:
Indonesia Corruption Watch, 2011.
Djarot, Erros, dkk, Prabowo Sang Kontroversi: Kisah Penculikan, Isu
Kudeta, dan Tumbangnya Seorang Bintang. Jakarta: Mediakita,
2007.
286
Djojohadikusumo, Sumitro, Trilogi Pembangunan dan Ekonomi
Pancasila. Jakarta: Induk Koperasi Pegawai Negeri Republik
Indonesia, 1985.
Duverger, Maurice, Political Parties. London: Metheun & Co., 1964.
Effendy, Bahtiar, Agama Publik dan Privat: Pengalaman Islam
Indonesia. Jakarta: UIN Press, 2009.
_____, Islam dan Negara: Transformasi Gagasan dan Praktik Politik
Islam di Indonesia. Edisi Digital. Jakarta: Democracy Project
Yayasan Abad Demokrasi, 2011.
al-Fadhl, Abū Alī, Majma' al-Bayān fī Tafsīr al-Qur’ān, Juz IV. Beirut:
Dār al-Ma'rifah, tt.
Fāris, Ibn, Mu’jam al-Maqāyīs fī al-Lughah. Bairūt: Dār al-Fikr, 1994.
al-Ghażalī, Muḥammad ibn Muḥammad ibn Muḥammad, Iḥyā’ ‘Ulūm
al-Dīn, juz III. Beirut: Dār Iḥyā’ al-Kutūb al-Ilmiyah, t.t.
Gramsci, Antonio, Selections from the Prison Notebooks of Antonio
Gramsci (terj.) Quentin Hoare dan Geoffrey Nowell Smith.
London: ElecBook, 1999.
Geertz, Clifford, The Religion of Java. New York: The Free Press of
Glencoe, 1964.
Gerindra, Anggaran Dasar Partai Gerindra Tahun 2012. Jakarta:
Gerindra, 2012.
_____, Manifesto Perjuangan Partai Gerindra. Jakarta: DPP Gerindra,
2011.
_____, Tanya Jawab Seputar Partai Gerindra: Gerakan Indonesia
Raya. Jakarta: Bakom-DPP Gerindra, 2009.
Gie, Soe Hok, Catatan Seorang Demonstran. Jakarta: LP3ES, 1989.
al-Hashimī, Aḥmad, Jawāhir al-Balāgah fī al-Ma’ānī wa al-
Bayān wa al-Badī’ī. Mesir: Dār al-Fikr, 1991.
Hamayotsu, Kikue, “Bringing Clientelism and Institutions Back in: The
Rise and Fall of Religious Parties in Indonesia’s Electoral
Democracy,” dalam Dirk Tomsa dan Andreas Ufen (ed.), Party
Politics in Southeast Asia: Clientelism and Electoral Competition
in Indonesia, Thailand, and Philippines. New York: Routledge,
2013.
287
Hamid, Abd. Rahman, “Pilar Kebangsaan Menurut Abdul Qahhar
Mudzakkar; Perspektif Ideologis,” dalam Andi Faisal Bakti dan
Salehuddin Yasin (ed.), Abdul Qahhar Mudzakkar: Ketegaran
Seorang Pejuang Bangsa, Ditinjau dari Berbagai Aspek. Ciputat:
C3-Huria Press-Qamus Institute, 2014.
Hananto, Yuli, Bermuka Dua; Kebijakan Soeharto terhadap Soekarno
beserta Keluarganya. Yogyakarta: Ombak, 2005.
Hann, Chris, “Political Society and Civil Anthropology,” dalam Chris
Hann dan Elizabeth Dunn, Civil Society: Challenging Western
Models. London dan New york: Routledge, 1996.
Hatta, Moh., "Pancasila Harus Dipegang Teguh," dalam Pidato Wakil
Presiden Mohammad Hatta, pada Rapat Terbatas di Pematang
Siantar, 22 November (1950).
_____, Demokrasi Kita. Jakarta: Pustaka Antara PT Djakarta, 1966.
_____, Membangun Koperasi dan Koperasi Membangun. Jakarta: Inti
Idayu Press, 1971.
_____, Sesudah 25 Tahun: Pidato Diutjapkan Pada Dies Natalis
Kesembilan Universitas Sjiah Kuala Darussalam Di Banda Atjeh
Pada Tanggal 2 September 1970. Jakarta: Djambatan, 1970.
Hawa, Said, al-Asās fī Tafsīr, Juz IX. Qahira: Dār al-Salam, 1999.
Hikam Muhamad, AS., Demokrasi dan Civil Society. Jakarta: LP3ES,
2006.
Ibrahīm, Zakaria ’Abd al-Mun’īm, Niẓām al-Shura fī al-Islām wa
Niẓām al-Dimaqrāṭiyyah al Mu’aṣirāh. Qahirā, Ttp.1985.
Ilmu Ekonomi Islam-Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, Ilmu
Ekonomi Islam. Jakarta: IEI-FE UI, 2013.
International Encyclopedia of the Social & Behavioral Sciences, entri
pembahasan “Civil Society/Public Sphere: History of the
Concept,” Elsevier Science Ltd, (2001).
al-Jazairi, Abu Bakr, Aysar al-Tafāsīr lī Kalām al-‘Alī al-Kabīr, Juz V.
tp.,: Nahr al-Khair, 1993.
Janoski, Thomas, Citizenship and Civil Society: A Framework of Rights
and Obligations in Liberal, Traditional, and Social Democratic
Regimes. Cambridge: Cambridge University Press, 1998.
288
Kalili, Asad M., Kamus Indonesia Arab. Jakarta: Bulan Bintang,
1993.
Al-Khazin, Lubāb al-Ta'wīl fī Ma'ānī al-Tanzīl, Juz IV. Beirut: Dār al-
Kutub al-Ilmiyyah, 1995.
Kamal, Zainun, “Kontekstualisasi Syari’at Islam,” dalam Komaruddin
Hidayat dan Ahmad Gaus AF, Islam Negara dan Civil Society:
Gerakan dan Pemikiran Islam Kontemporer. Jakarta: Paramadina,
1997.
Kamil, Sukron, Pemikiran Politik Islam Tematik: Agama dan Negara,
Demokrasi Civil Society, Syariah dan HAM, Fundamentaalisme,
dan Antikorupsi. Jakarta: Kencana, 2013.
Katsir, Ibn, Tafsīr al-Qur’ān al-Ażīm, Juz IV. Beirut: Dār al-Fikr, 2000.
Keane, J., “Despotism and Democracy: The Origins and Development
of the Distinction between Civil Society and the State 1750-1850,”
dalam J. Keane (ed.) Civil Society and the State. London: Verso,
1988).
Kohen, Jean L., dan Andrew Arato, Civil Society and Political Theory.
Cambridge: The MIT Press, 1992.
Komnas Perempuan, Seri Dokumen Kunci: Temuan Tim Gabungan
Pencari Fakta Peristiwa Kerusuhan Mei 1998. Jakarta: Komnas
Perempuan-New Zealand Official Development Assistance, 2006.
KPK, Menyalakan Lilin Di Tengah Kegelapan. Jakarta: KPK, 2004.
Latif, Yudi, Negara Paripurna: Historisitas, Rasionalitas, dan
Aktualitas Pancasila. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2011.
Lee, Verena Beitingger-, (Un)Civil Society and Political Change in
Indonesia. New York: Routledge, 2010.
Lipset, Seymour M., dan Stein Rokkan, Cleavage Structures, Party
System, and Voter Alignments. New York: Free Press, 1987.
LPEP, Ekonomi Pancasila. Jakarta: Penerbit Mutiara, 1980.
LSI, Mencari Capres 2014, Pengetahuan, Sikap, Tindakan Elektoral
Calon Pemilih. Jakarta: LSI, 2012.
al-Maḥjūb, Rif’at, Dirāsat Iqtiṣādiyat Islāmiyah. Qahira: Ma’had al-
Dirāsat al-Islāmiyah, 1987.
289
Ma’lūf, Luwis, al-Munjid fī al-Lugah wa al-‘A’lām. Bairūt: Dār
al-Mashriq, 1977.
MacIver, R.M., The Modern State, First Edition. London: Oxford
University Press, 1955.
Madjid, Nurcholis, et.al., Fikih Lintas Agama. Jakarta: Yayasan Wakaf
Paramadina bekerjasama dengan The Asia Foundation, 2004.
_____, Membangun Oposisi Menjaga Momentum Demokrasisasi.
Jakarta, Voice Center Indonesia, 2000.
_____, “Keharusan Pembaharuan Pemikiran Islam dan Integrasi Umat
Islam,” dalam Nurcholis Madjid et.al., Pembaharuan Pemikiran
Islam. Jakarta: Islamic Research Centre, 1970.
_____, Cita-cita Politik Islam Era Reformasi. Jakarta: Paramadina,
1999.
_____, Islam Kemodernan dan Keindonesiaan (Bandung: Mizan Media
Utama, 2008).
_____, Islam Universal. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2007.
_____, Islam, Doktrin, dan Peradaban; Sebuah Tela’ah Kritis tentang
Masalah Keimanan, Kemanusiaan, dan Kemodernan. Jakarta:
Yayasan Wakaf Paramadina, 1992.
Mahendra, Yusril Ihza, Dinamika Tata Negara Indonesia: Kompilasi
Aktual Masalah Konstitusi Dewan Perwakilan dan Sistem
Kepartaian. Jakarta: Gema Insani Press, 1996.
Mannheim, Karl, Ideologi dan Utopia: Menyingkap Kaitan Pikiran dan
Politik. Yogyakarta: Kanisius, 1991.
Manzūr, Ibn, Lisān al-‘Arab. Bairūt: Dār al-Fikr, t.th.
Marx, Karl, and Frederick Engels, Manifesto of the Communist Party
February 1848 (terj.) Samuel Moore. Moscow: Marxists Internet
Archive (marxists.org), 2010.
al-Maylī, Muḥsin, Pergulatan Mencari Islam: Perjalanan Religius
Roger Garaudy, (terj.) Rifyal Ka’bah. Jakarta: Paramadina, 1996.
Milner, A.C., "Islam and the Muslim State", dalam: M.B. Hooker (ed),
Islam in South-East Asia. Leiden: Brill, 1983.
290
Miskawayh, Ibn, Tahdhīb al-Akhlāq Ibnu Miskawayh. Qahira:
Maktabah al-Ḥusainiyyah, t.t.
Mubyarto, ”Ekonomi Pancasila: Satu Renungan Akhir Tahun,” Makalah
Seminar Bulanan Perkembangan Pemikiran Ekonomi Pancasila,
Jilid 3 (Yogyakarta: Pusat Studi Ekonomi Pancasila UGM-
Yogyakarta, 2003).
Muchtarom, Zaini, Santri dan Abangan Jawa. Jakarta: INIS, 1997.
al-Munawwir, Ahmad Warson, Kamus al-Munawwir. Surabaya:
Pustaka Progressif, 1997.
Murray, Tania, Li, Proses Transformasi Daerah Pedalaman Di
Indonesia (terj.) Sumitro dan SN. Kartikasari. Jakarta: Yayasan
Obor Indonesia, 2002.
al-Nabhanī, Taqyuddīn, Niżām al-Islām. Beirut: Dār al-Ummah, 1953.
_____, Al-Takātu al-Hizbī, Hizbu al-Taḥrīr. Beirut: Dār al-Ummah,
1953.
al-Nasafi, Madārik al-Tanzīl wa Haqāiq al-Ta'wīl, Juz II. Beirut: Dār
al-Kutub al-Ilmiyyah, 1995.
Nasuhi, Hamid. Serat Dewa Ruci: Tasawuf Jawa Yasadipura I. Jakarta:
Ushul Press, Lembaga Peningkatan dan Jaminan Mutu, dan UIN
Jakarta Press, 2009.
Nasution, Harun, Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya, Jilid I.
Jakarta: Penerbit Universitas Indonesia, 1985.
Noer, Deliar, Gerakan Modern Islam di Indonesia 1900 – 1942.
Jakarta: LP3ES, 1997.
Nurdin, Ali, Qur’anic Society: Menelusuri Konsep Masyarakat Ideal
dalam al-Qur’an. Jakarta: Erlangga, 2006.
Partai Keadilan Sejahtera, Memperjuangkan Masyarakat Madani:
Falsafah Dasar dan Platform Kebijakan Pembangunan PK
Sejahtera. Jakarta: PKS, 2008.
Pataniari, S., Api Perjuangan Rakyat. Jakarta: Lembaga Kajian
Ekonomi Politik, 2002.
PMII, Manifesto Khittah Kedaulatan Indonesia: Pokok-pokok Pikiran
Munas Ke-5 IKA-PMII. Jakarta: PB. IKA-PMII, 2013.
291
Pranowo, Bambang, Islam Faktual: Antara Tradisi dan Relasi Kuasa.
Yogyakarta: Adicita Karya Nusa, 1999.
_____, Memahami Islam Jawa. Tangerang: Pustaka Alvabet, 2009.
Prasetyo, Hendro, Ali Munhanif, dkk, Islam dan Civil Society. Jakarta:
Gramedia Pustaka Utama, 2002.
Presiden Republik Indonesia, “Kata Pengantar,” dalam Bappenas, Data
dan Informasi: Kinerja Pembangunan 2004-2012. Jakarta:
Bappenas-RI, 2013.
Prodjodikoro, Wirjono, Asas-Asas Ilmu Negara dan Politik. Bandung:
PT. Eresco Jakarta, 1981.
Al-Qasimi, Mahāsin al-Ta'wīl , Juz II. Beirut: Dār al-Kutub al-
Ilmiyyah, 1997. Qardhawī, Yusūf, Fiqh al-Daulah fī al-Islām.
Qahirā: Dār al-Ṣurūq, 2005.
al-Qurṭubi, al-Jāmi' lī Ahkām al-Qur’ān, Juz IV. Beirut: Dār al-Kutub
al-Ilmiyyah, 1993.
Rachman, Budhy Munawar-, Ensiklopedi Nurcholis Madjid, Edisi
Digital Jilid III M-P. Jakarta: Democracy Project, 2012.
Rahardjo, M. Dawam, Ensiklopedi al-Qur’an; Tafsir Sosial
Berdasarkan Konsep-konsep Kunci. Jakarta: Paramadina,
1996.
al-Rāzī, Abū ‘Abdillah Muḥammad ibn ‘Umar ibn al-Ḥasan ibn al-
Ḥusayn al-Taymī, al-Tafsīr al-Kabīr aw Mafātīh al-Ghayb, Mafītiḥ
al-Ghaib, Vol 2. Beirut: Dār Iḥyā’ al-Turāth al-‘Arabī, 1420 H.
Robert W. Hefner, Civil Islam: Muslim and Democratization in
Indonesia. New Jersey: Princeton University Press, 2000.
Salim, Emil, Kembali ke Jalan Lurus, Esai-esai 1966-1999. Jakarta:
Alvabet, 2000.
_____, Mencari Bentuk Ekonomi Indonesia: Perkembangan Pemikiran
1965-1981. Jakarta: Gramedia, 1982.
Sasono, Adi, dkk, Solusi Islam Atas Problematika Umat: Ekonomi,
Pendidikan, dan Dakwah. Jakarta: GIP, 1998.
Scopol, Theda “Advocate without Members: The Recent
Transformation of American Life,” Morris P Fiorina, Civic
292
Engagement in American Democracy. New York: Brookings
Institution Press, 1999.
Sebastian, Leonard C., Realpolitik Ideology; Indonesia’s Use of
Military Force. Pasir Panjang, Singapore: Iseas Publication, 2006.
Setneg-RI, Risalah Sidang Badan Usaha-usaha Persiapan
Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) – Panitia Persiapan
Kemerdekaan Indonesia (PPKI) 28 Mei 1945 – 22 Agustus 1945.
Jakarta: Setneg-RI, 1995.
Shaltut, Maḥmud, al-Islām Aqīdah wa Sharī’ah. Qahira: Dār al-Shurq,
1980.
Shihab, M. Quraish, et al, Ensiklopedi Al-Qur'an: Kajian Kosakata dan
Tafsirnya. Jakarta: PT. Intermasa, 1997.
_____, Wawasan al-Qur’an: Tafsir Mandhu’i atas Pelbagai
Persoalan Umat. Bandung: Mizan, 1998.
_____, Tafsir al-Misbah Pesan, Kesan dan Keserasian al-Qur’an,
volume 2. Jakarta: Lentera Hati, 2005.
Soempeno, Femi Adi, Prabowo Dari Cijantung Bergerak ke Istana.
Yogyakarta: Galangpress, 2009.
Subianto, Prabowo, et.al., Membangun Kembali Indonesia Raya:
Haluan Baru Menuju Kemakmuran. Jakarta: Institut Garuda
Nusantara, 2012.
Sulistiyo, Hermawan, “Greens in Rainbow: Ethnoreligious Issues and
The Indonesian Armed Forces,” dalam Robert W. Hefner (ed.),
The Politic of Multikulturalism: Pluralism and Multiculturalism in
Malaysia, Singapore, and Indonesia. Hawai’i: University of
Hawai’i Press-The Ford Foundation, 2001.
Suseno, Frans Magnis, “Demokrasi: Tantangan Universal,” dalam M.
Nasir Tamara dan Elza Peldi Taher, Agama dan Dialog antar
Peradaban. Jakarta: Paramadina, 1996).
Swasono, Sri Edi, Ekspose Ekonomika Mewaspadai Globalisasi dan
Pasar Bebas. Yogyakarta: Pusat Studi Ekonomi Pancasila – UGM,
2010.
_____, Kembali Ke Pasal 33 UUD 1945 Menolak Liberalisme!.
Jakarta: Yayasan Hatta, 2010.
293
_____, Keparipurnaan Ekonomi Pancasila. Depok: FEUI, 2006.
Syari’ati, Ali, Ummah dan Imamah: Suatu Tinjauan Sosiologis.
Bandung: Pustaka Hidayah, 1995).
Taher, Elza Peldi, (ed.), Demokratisasi Politik, Budaya Dan Ekonomi;
Pengalaman Indonesia Masa Orde Baru. Jakarta; Paramadina,
1994.
Tanja, V., Himpunan Mahasiswa Islam. Jakarta: Sinar Harapan, 1982.
Tarling, Nicholas, The Cambridge History of Southeast Asia, V.1: Part
Two - From C.1500 to C.1800. Cambridge: Cambridge University
Press, 1999.
Thompson, E. P., “Patrician Society, Plebeian Culture,” Journal of
Social History, Vol. 7, No. 4 (summer, 1974).
Tilaar, HAR., “In Search of New Paradigms in Educational anagement
and Leadership Based on Indigenous Culture: The Indonesian
Case,” dalam HAR. Tilaar, Beberapa Agenda Reformasi
Pendidikan Nasional dalam Perspektif Abad 21. Magelang: Tera,
1998.
Tim ICCE UIN, Pendidikan Kewargaan: Demokrasi HAM dan
Masyarakat Modern. Jakarta: UIN Jakarta Press, 2000.
Tocqueville, Alexis de, Democracy in America, jilid 1 dan 2. New
York: Vitage Books, 1945.
Toer, Pramoedya Ananta, Koesalah Soebagyo Toer, dan Ediati Kamil,
Kronik Revolusi Indonesia Bagian II (1946). Jakarta: Kepustakaan
Populer Gramedia, 1999.
Uhlin, Anders, Indonesia and the “Third Wave of Democratization:”
The Indonesian Pro-Democracy Movement in a Changing World.
London: Curzon Press, 1997.
UNDP, Human Development Report 2013, The Rise of the South:
Human Progress in a Diverse World. New York: UNDP, 2013.
Yew, Lee Kuan, From Third World to First - The Singapore Story
(1965-2000): Singapore and The Asian Economic Boom. New
York: HarperCollins Publishers, 2000.
Yunus, Mahmud, Kamus Arab Indonesia. Jakarta: Hidakarya
Agung, 1992.
294
Zakariā, Abū al-Ḥusain Aḥmad ibn Fāris ibn, Maqāyīs al-Lughah, juz I.
t.t: Ittiḥād al-Kitāb al-'Arab, 2002.
Al-Zaila’i, Nashb al-Rāyah, Juz IV. Misr: Dār al-Hadīts, Mesir. 1357.
al-Zuhayli, Wahbah, al-Tafsīr al-Munīr fī al-Aqīdah wa al-Sharī'ah wa
al-Manhaj, Juz XXV. Beirut: Dār al-Fikr, 1991.
Jurnal dan Makalah Seminar
Aburaiya, Issam, “Islamism, Nationalism, and Western Modernity: The
Case of Iran and Palestine,” International Journal of Politics,
Culture, and Society 22(1), (2009).
Adamany, David, “The Political Science of E. E. Schattschneider: A
Review Essay,” The American Political Science Review, Vol. 66,
No. 4 (Dec., 1972).
Ajay, G., and G. Vijay, “Civil Society, State and Social Movements,”
Economic and Political Weekly, Vol. 35, No. 12, Maret, 18-24,
(2000).
Alatas, Syed Farid, “Islam, Ilmu-Ilmu Sosial, dan Masyarakat Sipil,”
Antropologi Indonesia 66, (2001).
Alavi, Hamid Reza, “Ethical Views of Ibn Miskawayh and Aquinas”
Philosophical Paper and Review Vol.1, 4 (2009).
Anies R Baswedan, (2004). “Political Islam in Indonesia: Present and
Future Trajectory,” Asian Survey, 44, (2004).
Archer, Margaret S., “Morphogenesis versus Structuration: On
Combining Structure and Action,” The British Journal of
Sociology, Vol. 33, No. 4-Desember, (1982).
Arham, Muhammad, "Islamic Perspectives on Marketing," Journal of
Islamic Marketing, Vol. 1 Iss: 2, (2010).
Bakti, Andi Faisal, “Communication and Violence: Communicating
Human Integrity caharactersitics is necessary for Horizontal
Conflict resolution In Indonesia,” Identity, Culture, and Politics
Vol. 9, No. 1 (July 2008).
_____, “Islam and Modernity: Nurcholish Madjid Interpretation of
Civil Society, Pluralism, Secularism and Democracy,” Asian
295
Journal of Social Sciences, Brill, Leiden, Vol 33, No. 3
(November, 2005).
_____, “Majelis Azzikra New Approach to Dakwah for Civil Society in
Indonesia,” Mimbar Agama dan Budaya, VoL. 23, No. 1, (2006).
_____, “Paramadina and its Approach to Culture and Communication:
An Engagement in Civil Society,” Archipel, Paris, 68 (December,
2004).
_____, “Paramadina” Bulletin of the International Institute for Asian
Studies (IIAS), Leiden/Amsterdam June (2004).
_____, “Women in the West and in Indonesia: How Can Islam
Contribute to Social Development?” Journal Pemikiran Islam,
Vol. 1 No. 1, September, Ternate, Indonesia, (2010).
Bank Indonesia, “Statistik Utang Luar Negeri Indonesia,” Sulni, Vol.
V, Maret (2014).
Barnett, CD., “The Roman gens’ influence on loci of power in the
Early Republic,” Macquarie Matrix: Vol. 2.1, Agustus (2012).
Baswir, Revrisond, “Ekonomi Kerakyatan Vs Neoliberalisme,”
Makalah “Seminar Nasional Ekonomi Kerakyatan: “Konsepsi
Ekonomi Kerakyatan dalam Pengelolaan Aset (SDA) dan
Perusahaan (BUMN) Strategis Bangsa,” Pusat Studi Ekonomi
Kerakyatan Gadjah Mada, 28 April (2009).
Becker, Marvin B., “An Essay on the Vicissitudes of Civil Society with
Special Reference to Scotland in the Eighteenth Century,” Indiana
Law Journal, Volume 72, Issue 2 Article 8 (1997).
Beilasiak, Jacob, “Substance and Process in the Development of Party
Systems in East Central Europe,” Communist and Post-Communist
Studies, 30, No. 1 (1997).
Belloni, Roberto, “Society and Peacebuilding in Bosnia and
Herzegovina,” dalam Journal of Peace Research, Vol. 38, No. 2,
Mar, (2011).
Brown, L. David, dan Archana Kalegaonkar, ”Addressing Civil
Society’s Challenges: Support Organizations as Emerging
Institutions,” Institute for Development Report (IDR) Reports,
Volume 15, Number 2, (1999).
296
Brown, Tent, “Gramsci and Hegemony,” dalam Links International
Journal of Socialist Renewal, http://links.org.au/node/1260,
(diakses tanggal 24 Februari 2013).
Brubaker, Rogers, “Ethnicity, Race, and Nationalism,” Annual Review
of Sociology 35, (2009).
Bruinessen, Martin van, "Post-Suharto Muslim engagements with civil
society and democracy”, makalah yang dipresentasikan pada Third
International Conference and Workshop “Indonesia in
Transition,” organised by the KNAW and Labsosio, Universitas
Indonesia, August 24-28, Universitas Indonesia, Depok (2003).
Buehler Michael, dan Paige Tan, “Party-Candidate Relationships in
Indonesian Local Politics: A Case Study of the 2005 Regional
Elections in Gowa, South Sulawesi Province,” Indonesia, 84,
(2007).
Civicus, “State of Civil Society 2013: Creating an enabling
environment,” dalam Civicus: World Alliance for Citizen
Participation (2013).
Commission, European, “The Roots of Democracy and Sustainable
Development: Europe's Engagement with Civil Society in External
Relations,” Communication from the Commission to the European
Parliament, The Council, The European Economic and Social
Committee and The Committee Of The Regions, Brussels,
12.9.2012, COM (2012).
Cox, Robert W., “Civil Society at the Turn of the Millenium: Prospects
for an Alternative World Order,” Review of International Studies,
Vol. 25, No. 1 (Jan., 1999).
Cullen, P., “The Platform of European Social NGOs: ideology, division
and coalition,” Journal of Political Ideologies 15 (2010).
Doherty Ivan, “Democracy out of Balance: Civil Society Can’t Replace
Political Parties,” Policy Review, April dan Mei (2001).
Drucker, Peter, “What is “Business Ethics?” The Publik Interest, No.
63 (Spring, 1981).
Effendy, Bahtiar, “Wawasan al-Qur’an tentang Masyarakat Madani:
Menuju Terbentuknya Negara-Bangsa yang Modern,” Jurnal
Pemikiran Islam Paramadina, Vol. 1, No. 2, (1999).
297
Fish, M. Steven, “Islam and Authoritarianism,” World Politics, Volume
55, Number 1, Oktober (2002).
Gauchat, Gordon, “Politicization of Science in the Public Sphere: A
Study of Public Trust in the United States, 1974 to 2010,”
American Sociological Review, Vol. 77 No.2 (2012).
Hadiwinata, Bob Sugeng, “Civil Society: Pembangun dan Sekaligus
Perusak Demokrasi,” dalam Jurnal Ilmu Sosial dan Ilmu Politik,
Volume 9, Nomor 1, Juli (2005).
Hasyim, Syafiq, “Diskursus Intelektual, Civil Society dan Politik:
Potret Lima Tahun Terakhir NU,” Tashwirul Afkar, Vol. 3, No. 16
(2004).
Hayati, Amelia, “Konsepsi dan Aktualisasi Kebijakan Ekonomi
Kerakyatan bagi Perempuan Indonesia,” Makalah Peningkatan
Wawasan Kebangsaan, Badan Kesatuan Bangsa dan Perlindungan
Masyarakat Daerah (BKBPMD) Provinsi Jawa Barat, Tasikmalaya
23 Juli (2008).
Hikam, M. AS., “Wacana Intelektual tentang Civil Society di
Indonesia,” Jurnal Pemikiran Islam Paramadina, Vol. 1, No. 2,
(1999).
Hond, Frank den, F. Kees Boersma, Leonie Heres, Eelke H.J. Kroes,
dan Emmie van Oirschot, “Giddens à la Carte? Appraising
empirical applications of Structuration Theory in management and
organization studies,” Journal of Political Power, Vol. 5, No. 2,
Agustus (2012).
Hosseini, Mirza Hassan, Fatemeh Aidi “Developing Islamic
Principless-Based Marketing Framework” Journal Basic and
Aplied Scientific Research, 3 (3), (2013).
Indriyanto, “Pertentangan Politik Soekarno-Hatta: Sebuah Kajian
Budaya,” Makalah Seminar Nasional dan Diskusi “Pertentangan
Sukarno-Hatta: Etika Politik dalam Perspektif Sejarah dan
Hukum,” Himpunan Mahasiswa Jurusan Sejarah Fakultas Sastra
UNDIP, Semarang 15 Maret (2007).
Johns, AH., “Aspects of Sufi Thought in India and Indonesia in the
First Half of the 17th
Century,” Journal of the Malayan Branch of
the Royal Asiatic Society, Vol. XXVIII, (1955).
298
_____, “Malay Sufism as Illustrated in an Anonymous Collection of
17th
Century Tracts,” Journal of the Malayan Branch of the Royal
Asiatic Society, Vol. XXX, (1957).
_____, “Sufism as a Category in Indonesia Literature and History,”
dalam Journal of Southeast Asian History, No. 2, Vol. II, (1961).
Julius, Byaruhanga, “Civil Society Contributions in EU’s Democratic
Governance,” dalam Makalah Konfrensi Internasional Democratic
Governance and Civil Society, University of Osnabrueck, Germany
(2013).
Kammen, Douglas “A Tape Recorder and a Wink? Transcript of the
May 29, 1983, Meeting between Governor Carrascalão and Xanana
Gusmão,” Indonesia, No. 87 (April), (2009).
Karl-J. Hölkeskamp, “Conquest, Competition and Consensus: Roman
Expansion in Italy and the Rise of the "Nobilitas," Historia:
Zeitschrift für Alte Geschichte, Vol. 42, No. 1 (1993).
Kitschelt, Herbert, dkk., “Citizen, Politicans, and Party Certilization:
Political Representation, and State-Failure in Post-Industrial
Democracies,” Europe Journal of Political Research 37 (2000).
Klinken, Gerry van, “Prabowo and human rights,” dalam Inside
Indonesia No. 116: Apr-Jun (2014).
Mahajan, Gurpreet, “Civil Society, State and Democracy,” Economic
and Political Weekly, Vol. 34, No. 49, Dec. 4-10, (1999).
Malena, Carmen, dan Volkhart Finn Heinrich, “Can we measure civil
society? A proposed methodology for international comparative
research,” Development in Practice, Volume 17, Number 3,
June (2007).
Mannheim, Karl, “The Sociology of Intellectuals Theory,” Culture and
Society 10 (3) (1993).
Montagu, Caroline, “Civil Society and the Voluntary Sector in Saudi
Arabia,” Middle East Journal, Vol. 64, No. 1 (Winter, 2010).
Mujani, Saiful dan R. William Liddle, “Personalities, parties, and
voters,” dalam Journal of Democracy, Volume 21, Number 2
April (2010).
_____, “Syari’at Islam dan Keterbatasan Demokrasi,” Kolom, edisi
003, Agustus (2011).
299
Munhanif, Ali, “M. Steven Fish: “Islam dan Otoritarianisme,” dalam
Review paper Yayasan Abad Demokrasi, Edisi 030, Oktober
(2011).
Nugroho, Tarli, “Ekonomi Pancasila Refleksi Setelah Tiga Dekade,”
Bahan urun-rembug, diskusi “Membangun Paradigma Ilmu
Pancasila”, di Pusat Studi Pancasila (PSP) UGM, Jumat, 1 April
(2011).
O’leary, Brendan, “On the Nature of Nationalism: An Appraisal of
Ernest Gellner’s Writings on Nationalism,” B.J.Pol.S. 27,
Cambridge University Press, (1997).
Occhipinti, Laurie, “Faith-Based Organizations: An Introduction,”
Makalah dipresentasikan dalam “Faith Based Organizations: A
Roundtable,” Future of NGO Studies Conference, Northern Illinois
University’s Center for NGO Leadership and Development,
Chicago, November 18-20, (2013).
Paffenholz, Thania, dan Christoph Spurk, “Civil Society, Civic
Engagement, and Peacebuilding,” Social Development Papers
Conflict Prevention and Reconstruction, Paper The World Bank
No. 36/October (2006).
Pappin, Joseph, III, “Edmund Burke and Leo Strauss and the Charge of
Historicism,” the journal of the Edmund Burke Society of America,
Volume
Perdana, Aditya, “Civil Society dan Partai Politik dalam Demokratisasi
di Indonesia,” Makalah pada Seminar Internasional ke-10
“Representasi Kepentingan Rakyat pada Pemilu Legislatif 2009”,
yang diselenggarakan oleh Yayasan Percik, Salatiga – Jawa
Tengah, pada tanggal 28 – 30 Juli (2009).
Rahardjo, M. Dawam, “Masyarakat Madani di Indonesia: Sebuah
Penjajakan Awal,” Jurnal Pemikiran Islam Paramadina, Vol. 1,
No. 2, (1999).
Raíees, Wahabuddin, “Democracy and democratization in
contemporary Muslim societies: A theoretical analysis,”
Intellectual Discourse, 20:1 (2012).
Ransom, David, “The Berkeley Mafia and the Indonesian Massacre,”
Majalah Ramparts, Vol. 9, No. 4, Oktober (1970).
300
Riddle, Wesley Allen, “Culture and Politics: The American Whig
Review, 1845-1852,” Humanitas, Volume VIII, No. 1, (1995).
Rudolph, Susanne Hoeber, “Civil Society and the Realm of Freedom,”
Economic and Political Weekly, Vol. 35, No. 20, May 13-19,
(2000).
Ruzza, C., “Populism and euroscepticism: Towards uncivil society?,”
Policy and Society 28 (2009).
_____, “The International Protection Regime for Minorities, the
Aftermath of the 2008 Financial Crisis and the E: New Challenges
for Non-State Actors,” International Journal on Minority and
Group Rights 18 (2011).
Sabine, George H., A History Of Political Theory, Third Edition. New
York-Chicago-San Fransisco-Toronto-London; Holt Rinehart And
Winston, 1961.
Sala, V. Della, ‘Political Myth, Mythology and the European Union,”
Journal of Common Market Studies (2010).
Salim, Abd. Muin, “Elaborasi Bahasa Politik Islam dalam al-
Qur’an” Al-Huda; Jurnal Kajian Ilmu-ilmu Islam, Jakarta:
Vol. 1 No. 2, (2002).
Salim, Emil, “Agenda Bangsa,” Makalah Makalah untuk Pertemuan
Hukum oleh BPHN, Bali, 15 Juli (2003).
Sato, Yuri, “Post-Crisis Economic Reform in Indonesia:Policy for
Intervening in Ownership in Historical Perspective,” IDE Research
Paper No. 4, September, (2003).
Schumann, Olaf, “Dilema Islam Kontemporer: Antara Masyarakat
Madani dan Negara Islam,” Jurnal Pemikiran Islam Paramadina,
Vol. 1, No. 2, (1999).
Stark, Andrew, ”What’s The Matter With Business Ethic,” Harvard
Business review 71, (1993).
Stasavage, David, “Partisan politics and public debt: The importance of
the ‘Whig Supremacy’ for Britain’s financial revolution,”
European Review of Economic History, XX (2007).
Stokes, SC., “Political Parties and Democracy,” dalam Annual Review
Political Scences, Vol. 2 (1999).
301
Turner, Jonathan H., ”Review Essay: The Theory Structuration,”
American Journal of Sociology, Vol. 91, No. 4, Januari (1986).
WHO, “Understanding Civil Society: Issues for WHO,” Discussion
Paper Civil Society Initiative: External Relations and Governing
Bodies, No. 2, CSI/2002/DP2, February (2002).
Wimme, Andreas, “A Swiss Anomaly? A Relational Account of
National Boundary-Making,” Nations and Nationalism 17 (4),
(2011).
Woo, Wing Thye, dan Chang Hong, “Indonesia’s Economic
Performance in Comparative Perspective and a New Policy
Framework for 2019,” Bulletin of Indonesian Economic Studies,
Vol. 46, No. 1, (2010).
Zoeram, Vahid Amani, Lee Yok Fee, Mohammad Agus Yusoff, dan
Fakhreddin Soltani, “Democracy in de Tocqueville Theory and
New Islamic Movements,” dalam International Journal of Asian
Social Science, No. 2, (2012).
Internet
Asshiddiqie, Jimly, “Dinamika Partai Politik dan Demokrasi,”
http://jimly.com/pemikiran/makalah?page=7>.
Bagir Manan, ”National Press Day,” dalam
http://www.presscouncil.or.id/artikel.
http://beta.politik.vivanews.com/news/read/52332-
gus_dur_puji_prabowo__cela_capres_yang_lain.
http://global.britannica.com/EBchecked/topic/1916880/civil-society.
http://kampus.okezone.com/topic/read/4091/49/.
http://news.okezone.com/read/2009/12/30/337/289643/redirect.
http://oxforddictionaries.com/definition/english/manifesto?q=manifest.
http://www.insideindonesia.org/current-edition/prabowo-and-human-
rights, lihat juga versi cetak Inside Indonesia No. 116: Apr-Jun
(2014).
http://www.kbbi.web.id/manifesto.
http://www.ldoceonline.com/search/?search_str=quick.
302
http://www.oxforddictionaries.com/definition/english/community.
http://www.tempo.co/read/news/2012/06/06/078408692/Survei-
Membuktikan-Prabowo-Unggul-Calon-Presiden.
Ibrahim, Anwar, “Akhlak, Ilmu & Etika Asas Masyarakat Madani,”
dalam http://anwaribrahimblog.com/?s=masyarakat+madani.
Ma’ruf, Jamhari, “Pendekatan Antropologi dalam Kajian Islam,” dalam
http://www.ditpertais.net/artikel/jamhari01.asp.
Pangasi, Equivalent, “Azyumardi Azra: Jangan Kapok Jadi Orang
Indonesia!,” Ungkapan tersebut disampaikan Azyumardi dalam
talk show “Intoleransi dalam Kehidupan Politik, Sebuah Realitas di
Indonesia” yang dilaksanakan satuharapan.com pada Kamis (3/4)
di Gedung Sinar Kasih, Jakarta Timur. Lihat versi online di
http://www.satuharapan.com/read-detail/read/azyumardi-azra-
jangan-kapok-jadi-orang-indonesia.
Pribadi Wicaksono, “Alwi Shihab Kritik Perang Badar Amien Rais,”
http://pemilu.tempo.co/read/news/2014/06/06/269583088/Alwi-
Shihab-Kritik-Analogi-Perang-Badar-Amien-Rais.
Robert B. Baowollo “Robinocracy: Demokrasi dan Korupsi,” dalam
http://www.library.ohiou.edu/indopubs/2001/08/08/0006.html.
Rr. Cornea Khairany, “Ahok: Saya Resmi Mundur dari Gerindra,”
http://www.antaranews.com/berita/452903/ahok-saya-sudah-resmi-
mundur-dari-
gerindra?utm_source=twitterfeed&utm_medium=twitter.
Sandro Gatra, “Said Aqil Dukung Prabowo,”
http://nasional.kompas.com/read/2014/05/16/0911536/Said.Aqil.D
ukung.Prabowo.
UNDP, “2014 Human Development Report,” dalam
http://www.undp.org/content/undp/en/home/librarypage/hdr/2014-
human-development-report 2014.
Majalah dan Koran
Amran Nasution, “Karier Seorang Prajurit,” dalam Majalah GATRA,
No. 19/IV, 28 Maret (1998).
303
Fakhrurozi, Hayat, “Lebih Dekat Dengan Edhy Prabowo: “Perjuangan
untuk Kesejahteraan Rakyat,” Majalah Garuda, Edisi Desember
(2011).
GIR, “Tiga Tahun Bergerak Bersama Rakyat Gerindra Terus
Kedepankan Delapan Program Aksi,” dalam Gema Indonesia
Raya, edisi 01/Tahun I/April, (2011).
Hasyim, Syafiq, "Civil Society" dan Godaan Pemilu Presiden,” Opini
Kompas, 7 Mei (2004).
Hidayat, Nuim, “Prabowo Sahabat Islam,” Suara Islam, Edisi: 182, 7-
22 Sya'ban 1435/6-20 Juni (2014).
Imran Abdullah, “Faisal Baskri Kritik Prabowonomics,” dalam
Republika, edisi Senin, 23 Juli (2014).
Madjid, Nurcholis, “ABRI dan Masa Depan Demokrasi Indonesia,
Mukadimah: ABRI dan Demokrasi,” Opini Proklamasi Majalah
Tempo, Edisi 27/01 – 31/Ags, (1996).
Majalah Intisari, Juli (2000).
Mun’im, Abdul, DZ., “Masyarakat Sipil sebagai Masyarakat Beradab,”
Opini Republika. 20 September (1994).
New Straits Times, “Prabowo Admits Army excesses Former army
commander embrances Gusmaou,” Edisi 22 April (2001).
Salim, Emil, “Sistem Ekonomi Pancasila,” dimuat dalam Majalah
Prisma, No. 5/VIII, Agustus (1979).
Subianto, Prabowo “Kita Harus Merebut Hati Rakyat,” Gema
Indonesia Raya, Edisi 14/Tahun II/Juni, (2012).
_____, “Gerindra Berjuang untuk Masa Depan Indonesia,” Gema
Indonesia Raya, Edisi 10/Tahun II/Februari, (2012).
_____, “Perubahan Dimulai Dari Pemimpin yang Amanah,” Gema
Indonesia Raya, Edisi 19/Tahun II/November, (2012).
Tempo, “Bobol, Penjaga Gawang Fretilin,” dalam Rubrik Nasional,
Edisi 39/22, 28 Nov (1992).
_____, “Jejak Prabowo di Eropa,” dalam Majalah Tempo, No.
19/XXXVIII, 29 Juni (2009).
304
_____, “Mohammad Hatta: Tamasya Sejarah Bersama Hatta,” dalam
Tempo Edisi Agustus (2012).
_____, “Sepotong Mimpi Anak Pelarian,” dalam Majalah Tempo No.
19/XXXVIII, 29 Juni (2009).
Disertasi
Ibrahim, Faisal, “Perkembangan Civil Society di Negara-Negara Arab
(Proses Demokratisasi di Mesir, Suriah dan Kuwait),” Disertasi,
Program Politik dan Hubungan Internasional di Timur Tengah UI,
(2007).
Jimun, Mucholih, “Civil Society dan Demokratisasi di Indonesia: Studi
Pemikiran Politik Al-Farabi,” Disertasi, Program Politik dan
Hubungan Internasional di Timur Tengah UI, (2007).
Kholil, Makrum, “Politik Islam Golkar pada Masa Pemerintahan Orde
Baru,” Disertasi, SPS UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, (2008).
Koto, Alaidin, “Pemikiran Politik Persatuan Tarbiyah Islamiyah 1945-
1970,” Disertasi, SPS UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, (1996).
Nasor, “Komunikasi Persuasif Nabi Muhammad SAW dalam
Mewujudkan Masyarakat Madani,” Disertasi, SPS UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta, (2007).
Syafa’at, Muchamad Ali, “Pembubaran Partai Politik Di Indonesia
(Analisis Pengaturan Hukum dan Praktik Pembubaran Partai
Politik 1959 – 2004),” Disertasi, Fakultas Hukum Universitas
Indonesia (2009).
305
GLOSARIUM
Badw : Pola kehidupan berpindah-pindah, nomad,
dan tidak teratur, khususnya pola kehidupan
gurun pasir.
Civil society : Suatu kelompok masyarakat yang mandiri
dan berada di luar keluarga dan negara.
Community : Sekelompok orang yang hidup secara
bersama dan menjalankan kepemilikan
bersama.
al-Dainūnah : Pengadilan tempat menyelesaikan suatu
perkara.
Dayyān : Seorang hakim, pengatur, atau pengelola.
Dīn : Beragama, tunduk, atau pasrah.
Economic society : Kumpulan masyarakat pengusaha.
Gotong royong : Pembanting tulang bersama, pemerasan
keringat bersama, perjuangan bantu-
membantu bersama. Amal semua buat semua
kepentingan, keringat semua buat
kebahagiaan semua. Singkatnya, semua buat
semua dan Indonesia buat Indonesia.
Gusti : Tuhan atau raja. Bisa juga gelar bagi
seseorang yang dihormati oleh masyarakat
jawa.
ḥaḍārah : Pola hidup menetap di suatu tempat
(sedentary).
Madani (Jawa) : Menyamai, sepadan, sederajat, selevel atau
setingkat.
Maddana : Membangun atau mendirikan kota, beradab,
memperbaiki dan memanusiakan.
Madīnah : Kota ideal yang dibangun oleh Nabi
Muhammad Saw. Tempat peradaban atau
suatu lingkungan hidup yang beradab, yang
dicirikan dengan kesopanan (civility) dan
tidak liar.
Madyan : Nama kota tempat tinggal Nabi Syu’aib.
Manifesto : Suatu pernyataan terbuka tentang tujuan dan
pandangan seseorang atau suatu kelompok.
Masyarakat : Sejumlah manusia dalam arti seluas-
luasnya dan terikat oleh suatu kebudayaan
yang mereka anggap sama.
Masyarakat politik : Sekumpulan masyarakat yang menjadi
bagian dari politik praktis suatu negara.
al-Mujtama’ : Suatu kumpulan dari sejumlah manusia
yang tunduk pada undang-undang dan
peraturan umum yang berlaku.
Partai : Golongan sebagai pengelompokan
masyarakat berdasarkan kesamaan tertentu
seperti tujuan, ideologi, agama, bahkan
kepentingan. Pengelompokan itu bentuknya
adalah organisasi secara umum, yang dapat
dibedakan menurut wilayah aktivistasnya,
seperti organisasi kemasyarakatan, organisasi
keagamaan, organisasi kepemudaan, serta
organisasi politik.
Partai Federalis : Partai di Amerika yang mewakili
kepentingan perdagangan dan manufaktur,
yang mereka pandang sebagai kekuatan
kemajuan di dunia.
306
307
Partai politik : Organisasi masyarakat yang bergerak di
bidang politik. Atau, suatu kelompok yang
terorganisir yang anggota-anggotanya
mempunyai orientasi, nilai-nilai dan cita-cita
yang sama. Tujuan kelompok ini ialah untuk
memperoleh kekuasaan politik dan merebut
kekuasaan politik dengan cara konstutisional
untuk melaksanakan kebijaksanaan-
kebijaksanan mereka.
Partai Republik : Partai di Amerika yang lebih mengutamakan
kepentingan dan nilai pertanian. Mereka
tidak mempercayai para bankir, hampir tidak
memedulikan bidang niaga dan manufaktur,
serta percaya bahwa kebebasan dan
demokrasi dapat berkembang dengan sangat
baik di masyarakat pedesaan yang terdiri atas
para petani swasembada.
Patriotisme : Keberanian berjuang untuk kesejahteraan dan
mempertahankan ibu pertiwi.
Peace Corps : Kumpulan relawan sosial asal Amerika
Serikat yang digagas Senator John F.
Kennedy pada 1961.
Public civility : Keadaban publik.
public welfare state : Organisasi kesejahteraan publik yang digagas
negara.
Purposive : Suatu penentuan informan berdasarkan
tujuan atau pertimbangan tertentu.
Rabbānī : Orang yang sempurna ilmu dan takwanya
kepada Allah Swt.
Religious based
civil society
: Masyarakat madani berbasis agama.
Ruang publik : Ruang dimana warga masyarakat dapat
dengan leluasa melakukan aktivitas sosial,
politik dan ekonominya, tanpa didominasi
oleh sekelompok kecil orang.
societies civilies : Sebuah konsep negara kota (city-state), yakni
untuk menggambarkan kerajaan, kota, dan
bentuk korporasi lainnya, sebagai kesatuan
yang terorganisasi.
Society : Suatu komunitas manusia yang tinggal di
suatu negara atau wilayah tertentu dan
memiliki kebiasaan saling berbagi kewajiban,
hukum, dan organisasi.
Thaqāfah : Kebudayaan.
Tirani : Suatu pemerintahan yang seenang-wenang
Tories : Kelompok yang mempertahankan otoritas
dan pretensi kerajaan serta hak-hak Gubernur
Jenderal di Inggris.
Ummah : Kelompok manusia yang berhimpun karena
didorong oleh ikatan-ikatan: a) persamaan
sifat, kepentingan, dan cita-cita; b) agama; c)
wilayah tertentu; dan waktu tertentu.
Whigs : Kelompok yang mendukung campur tangan
yang besar dalam politik di koloni-koloni
Inggris.
308
309
Indeks
A
Abduh, 46 Abdurrahman Wahid, 4, 6 ABRI, 3, 88, 94, 96, 97, 99 ADB, 184 Aditya Perdana, 32, 37, 38, 39 Ahmad Basho, 19 Ahok, 65, 167, 168, 169, 170 al-Attas, 44, 46 Alisjahbana, 66, 89 Allah, 7, 8, 43, 46, 47, 78, 98, 129,
130, 131, 156, 176, 235 Alwi, 35, 72, 73, 103 Amerika, 3, 53, 54, 55, 70, 76, 78,
85, 87, 91, 112, 119, 120, 123, 181, 194, 198, 236
Anwar Ibrahim, 45, 46 APBN, 123, 149, 162, 163, 165,
166 APPSI, 139 Arab, 15, 40, 41, 42, 43, 45, 115,
155, 177 Arato, 4, 25, 29 Arendt, 4 Aristoteles, 25, 26, 123 Azyumardi Azra, 1, 4, 5, 6, 7, 8, 9,
13, 14, 29, 36, 59, 60, 128, 157, 159
B
Badw, 45 Bakti, Andi Faisal, 2, 4, 7, 13, 29,
57, 68, 137, 157, 171 Baldatun ṭayyibah wa Rabbun
Ghafūr, 43 BBM, 162, 164, 165, 166 Bedouin, 45
Belanda, 55, 56, 68, 74, 76, 81, 84, 87, 117, 176, 184, 209
Bima, 27 BJ Habibie, 97 BLT, 165, 217 Bolivia, 194 BPJS, 166 BPUPKI, 57, 58, 66 Buddha, 128, 142 BUMN, 164, 178, 186, 187, 206
C
Cekoslowakia, 27 Chandoke, 33, 39 Cicero, 25, 26 Civil society, 2, 4, 5, 6, 7, 8, 10, 14,
23, 24, 25, 26, 27, 28, 29, 31, 33, 34, 35, 36, 37, 38, 39, 46, 47, 60, 68, 69, 80, 153, 157, 158, 159, 236
Civility, 44, 60, 159, 235, 236 Civilization, 44 Cohen, 25, 29 Community, 41, 42, 53, 158 CPDS, 82
D
Dāin, 44 Dāna, 43, 44 Dawam Rahardjo, 5, 13, 42, 45 al-Dainūnah, 44 Dayyān, 44 Demokrasi, 1, 2, 3, 4, 5, 7, 8, 9, 14,
15, 20, 24, 25, 26, 28, 39, 48, 49, 51, 54, 55, 57, 58, 59, 60, 61, 67, 71, 80, 82, 93, 96, 122, 123, 126, 127, 153, 157, 158,
310
159, 161, 172, 173, 177, 179, 185, 186, 201, 208, 236
Dewa Ruci, 27 Dewan Kehormatan Perwira, 94,
96 Dewan Konstituante, 58 Diktator, 15, 173 Din Syamsuddin, 82 Diponegoro, 66, 71, 84, 85, 110 Dora, 73, 74 DPAS, 66 DPR, 10, 18, 32, 38, 65, 85, 104,
105, 109, 114, 117, 118, 122, 132, 133, 134, 148, 159, 160, 161, 162, 163, 166, 167, 169
E
Effendy, 24, 46, 129 Eka Sila, 58 Ekonomi, 5, 7, 12, 14, 22, 33, 37,
38, 39, 46, 68, 72, 74, 79, 81, 105, 106, 108, 109, 112, 113, 114, 115, 119, 122, 123, 124, 125, 126, 135, 140, 144, 148, 161, 175, 176, 177, 178, 179, 180, 181, 182, 183, 184, 185, 186, 187, 189, 190, 191, 192, 193, 194, 198, 201, 202, 205, 206, 207, 208, 209, 211, 212, 213, 214, 215, 216, 218, 219, 220, 221, 222, 223, 224, 225, 226
Ekonomi Kerakyatan, 7, 22, 114, 125, 161, 175, 176, 177, 178, 180, 182, 183, 185, 187, 190, 193, 222, 225
Ekspedisi Lorentz, 87 Emil Salim, 68, 78, 80, 81, 180
F
Fachry Ali, 19, 82, 154, 156 Fadli Zon, 18, 19, 21, 64, 82, 83,
94, 95, 100, 103, 112, 118, 119, 120, 121, 122, 123, 124, 134, 135, 136, 151, 168, 183, 184
Fami Fachrudin, 19, 64, 65, 75, 81, 82, 99, 100, 102, 103, 104, 112, 119, 120, 121, 136, 139, 150
FAO, 200, 201 al-Farabi, 14 Federalis, 54, 236 Firqah, 41 Forbes, 108, 181 FPI, 81 Fraksi, 18, 65, 160, 161, 162, 163,
164, 165, 166 Fretilin, 85, 86, 89, 90
G
GAM, 151, 156 GBHN, 120 GDP, 214 Geertz, 128 Gellner, 4, 71 Gema Shadhana, 139 Gemira, 139, 140, 141, 156 Gerindra, 2, 4, 7, 9, 10, 11, 12, 16,
17, 18, 19, 20, 21, 22, 63, 64, 65, 72, 73, 80, 94, 95, 99, 100, 101, 102, 103, 104, 105, 106, 107, 108, 109, 112, 113, 114, 115, 116, 117, 118, 119, 120, 121, 122, 123, 124, 125, 126, 127, 128, 131, 132, 133, 134, 135, 136, 139, 140, 141, 142, 143, 144, 145, 146, 147, 148, 149, 150, 151, 152, 153, 154, 155, 156, 157, 159, 160, 161, 162, 163, 164, 165, 166, 167, 168, 169, 170, 171, 172, 173, 175, 176, 182, 183, 184, 185,
311
189, 190, 191, 192, 193, 194, 195, 196, 197, 198, 199, 200, 201, 202, 205, 206, 207, 209, 210, 211, 213, 214, 215, 216, 218, 220, 222, 223, 224, 225, 226
Ghaliyyūn, 15 GNB, 194 Golkar, 9, 10, 16, 99, 100, 101,
102, 104, 121, 124, 136, 159 Good governance, 27, 211, 220 Gotong-royong, 58 Gramsci, 1, 3, 29 Green economy, 217 Gusti, 25, 26, 27, 137
H
Habermas, 4, 29 Habibie, 8, 9, 96, 120 ḥaḍārah, 45, 235 HAM, 9, 27, 89, 91, 93, 94, 95, 96,
102, 108, 155 Hambalang, 18 Hanura, 9 Hatta, 55, 66, 81, 103, 117, 124,
159, 176, 177, 178, 180, 183, 184, 185, 190, 192, 193, 207, 208, 210
Hefner, 82, 159 Hegelian, 1, 4, 34 Hikam, 4, 13, 27, 152, 153, 154,
156 Hindu, 142 Hipmi, 34 HKTI, 100, 102, 121, 124, 127,
139 HMI, 140 Hungaria, 27 ICMI, 82, 195 ICW, 33, 93, 105, 148
I
Idānah, 44 Ideologi, 58 IMF, 184, 206 India, 55, 112, 128, 142, 143, 194,
196, 197, 198 Individu, 3, 8, 13, 15, 21, 25, 39,
41, 42, 45, 49, 63, 67, 68, 99, 111, 124, 127, 130, 131, 135, 137, 139, 152, 154, 155, 159, 172, 177, 186, 193, 224, 226
IPG, 203 IPM, 203 IPS, 82, 103 Istiqlal, 45
J
Janoski, 14, 29, 30, 31, 32, 33, 34, 35, 37, 39, 67, 68, 69, 99, 100, 127, 130, 139, 141, 173, 177, 223,
Jawa, 18, 25, 26, 27, 38, 77, 79, 109, 110, 118, 119, 128, 129, 137, 144, 167, 185, 195, 234
Jefferson, 54 Jerman, 25, 52, 76, 84, 87 Jimly Asshiddiqie, 5, 19, 23, 48,
49, 50, 82, 132, 138, 154, 158 Joko Widodo, 160
K
Kader, 17, 19, 99, 101, 105, 106, 114, 122, 124, 125, 128, 131, 132, 133, 134, 135, 140, 143, 146, 147, 150, 167, 171, 224
Kadin, 34 Kalla, 10, 99, 101, 103, 104, 160 Kapitalistik, 183, 190, 208, 225 Keadilan sosial, 58 Keane, 1, 26, 28, 37, 157, 158
312
Kearifan lokal, 26, 28, 72, 137, 173, 201
Kebocoran, 123, 220, 221 Kemandirian, 33, 79, 105, 106,
144, 157, 161, 176, 183, 190, 193, 209, 210, 211, 223
Kesira, 139, 142, 148, 149, 150 Ketuhanan, 57, 58 Khairu ummah, 43 Khiṭṭtah, 36 Kira, 139, 141, 142, 156 KISDI, 81 Kobalen, 142, 143 Komnas HAM, 93 Konghucu, 142 Kopassus, 9, 81, 86, 87, 93, 94, 97,
102 Koperasi, 145, 164, 176, 180, 193,
210 Korps Lembaga Pembangunan, 78,
79, 81 Korps Perdamaian, 78 KPK, 32, 33, 162 KPU, 9, 65, 100, 104, 153, 160 Kraras, 89, 91, 92, 93 KTNA, 102 Kusumaatmadja, 79 Kutukan, 195, 198, 200, 201
L
Lahan, 183, 190, 195, 196, 197, 198, 202, 216, 222
Latif, yudi 58 Laut, 198, 199, 200, 202 Leahy Law, 91 Lee Kuan Yew, 75, 76 Legislatif, 38, 133, 160, 162 LIMA, 10 Lipset, 24, 135, 136 Lompatan besar, 211, 212 LSI, 10
LSM, 6, 23, 93, 119, 120, 132, 154
M
Madinah, 7, 14, 46 Madīnah, 15, 44, 235 Madison, 53 Mahdi, 140, 141 Mahendra, 55, 56, 120 Majapahit, 71, 126, 173 Maklumat, 55 Mangkusubroto, 79 Manifesto, 2, 11, 12, 16, 17, 19,
21, 22, 63, 67, 68, 103, 139, 163, 175, 189, 225, 226
Marhaenisme, 179 Martin van Bruinessen, 5, 19, 34,
128 Marx, 2, 34 Marxis, 1 Masyarakat madani, 1, 2, 4, 5, 6, 7,
8, 11, 12, 13, 14, 15, 16, 17, 18, 19, 20, 21, 22, 23, 24, 25, 26, 27, 28, 31, 32, 33, 34, 35, 36, 37, 38, 39, 43, 44, 45, 46, 47, 48, 50, 57, 59, 60, 63, 67, 68, 69, 72, 80, 96, 99, 115, 117, 119, 127, 128, 130, 136, 139, 152, 153, 154, 155, 156, 157, 158, 159, 171, 181, 224, 226
Mesir, 15, 43, 46, 77, 190, 202, 207
Militer, 70, 77, 79, 83, 84, 85, 88, 89, 94, 96
Minangkabau, 16 Miriam Budiardjo, 50, 55 MK, 105 Mubyarto, 178, 181, 193 Muhammad, 4, 14, 27, 31, 42, 44,
46, 82, 100, 120, 141, 176, 189, 191, 192, 235
313
Muhammadiyah, 26, 34, 35, 36, 140
Mujani, 9, 10, 104, 172, 173 al-Mujtama’, 41, 45 Musyawarah, 8, 14, 67, 69, 80, 207
N
Nasionalisme, 10, 56, 66, 69, 70, 71, 72, 84, 105, 109, 112, 175, 178, 179, 182, 206, 219
Nasution, 43, 82, 97, 103, 209, 210, 211
Natsir, 81, 120 Negara, 2, 4, 5, 6, 10, 12, 14, 15,
21, 24, 25, 26, 27, 28, 29, 31, 32, 33, 34, 35, 37, 38, 39, 40, 41, 43, 46, 48, 49, 50, 51, 53, 54, 55, 57, 58, 59, 60, 67, 69, 70, 71, 72, 79, 81, 83, 85, 87, 89, 91, 92, 94, 95, 96, 97, 98, 104, 105, 106, 107, 112, 113,
114,뛜115, 116, 117, 118, 121, 125, 129, 130, 133, 137, 140, 141, 143, 152, 154, 155, 157, 158, 159, 161, 163, 165, 168, 171, 172, 176, 177, 178, 179, 180, 182, 183, 185, 186, 187, 189, 194, 195, 197, 198, 199, 200, 202, 204, 205, 207, 208, 209, 210, 211, 212, 213, 214, 215, 216, 218, 219, 220, 221, 224, 226, 234, 235
Nelayan, 63, 109, 122, 126, 127, 151, 163, 166, 199, 201, 211
Neoliberalisme, 186, 187 Nomad, 45, 235 Norton, 1, 157 NU, 6, 26, 34, 35, 36 Nurcholis Madjid, 1, 3, 5, 8, 43,
44, 45, 46, 47, 80, 130, 157
O
Operasi Seroja, 85, 86, 88, 91 OPM, 87, 89 Organisasi, 3, 4, 5, 6, 13, 15, 23,
24, 26, 29, 31, 32, 33, 34, 35, 36, 37, 38, 39, 41, 48, 49, 50, 51, 52, 54, 55, 56, 57, 64, 81, 82, 91, 92, 96, 100, 101, 102, 118, 119, 120, 123, 136, 139, 140, 143, 144, 145, 146, 147, 148, 150, 153, 154, 155, 156, 158, 171, 172, 193, 235
Organisasi sayap, 139, 153, 154, 171
Otonomi, 166
P
PAN, 9, 159 Pancasila, 21, 22, 28, 40, 46, 50,
57, 58, 59, 60, 61, 69, 94, 98, 103, 107, 112, 113, 114, 115, 116, 117, 122, 133, 141, 142, 143, 147, 161, 167, 172, 175, 176, 177, 178, 179, 180, 181, 182, 184, 185, 190, 192, 193, 201, 207, 208, 209, 222, 224, 225
Paradoks, 79, 161, 170, 184, 195, 199, 200, 201, 209, 220, 222
Partai, 1, 3, 5, 6, 9, 10, 11, 14, 17, 18, 19, 20, 23, 32, 38, 39, 48, 49, 50, 51, 52, 53, 54, 55, 56, 57, 63, 64, 65, 70, 72, 73, 78, 85, 99, 100, 102, 103, 104, 105, 106, 108, 114, 120, 121, 122, 124, 125, 127, 131, 132, 133, 134, 136, 138, 139, 142, 143,
144,뛜146, 147, 150, 151, 152, 154, 156, 158, 160, 162, 163, 166, 167, 168, 170, 172, 176, 182, 183, 185, 189, 190, 191,
314
192, 193, 194, 195, 196, 197, 198, 199, 200, 201, 202, 206, 207, 209, 211, 213, 214, 215, 216, 218, 220, 224, 226, 235, 236
Pasar, 14, 22, 26, 29, 137, 175, 176, 181, 183, 184, 186, 187, 206, 208, 212, 216, 224, 226
Patriotisme, 66, 69, 70, 71, 84, 109 PBB, 91, 92, 104, 120, 121, 136,
150, 159, 210 PBR, 150 PD, 9 PDB, 214 PDI-P, 9, 104, 136 Pelanggaran HAM, 88 Penculikan, 9, 93, 94, 96 Perikanan, 196, 198, 199, 200, 201 Permadi, 18, 19, 63, 65, 143, 160 Petani, 54, 63, 100, 122, 126, 127,
140, 151, 163, 166, 196, 197, 198, 210, 211, 236
Pira, 139, 144, 145, 156 PKI, 56, 73 PKNU, 151, 156 PKS, 9, 14, 104, 159, 170 PMII, 72, 140 PMTI, 16 PNI, 55, 56, 151, 156 Polandia, 7, 27 Politiek-economische democratie,
57 Politieke-democratie, 57 PPNUI, 151, 156 PPP, 104, 136, 150, 159 Prabowo, 3, 6, 9, 10, 18, 21, 35,
63, 64, 65, 66, 67, 69, 70, 71, 72, 73, 74, 75, 76, 77, 78, 79, 80, 81, 82, 83, 84, 85, 86, 87, 88, 89, 90, 91, 92, 93, 94, 95, 96, 97, 98, 99, 100, 101, 102,
103, 104, 106, 107, 108, 111, 112, 118, 121, 122, 124, 133, 134, 139, 140, 141, 159, 161, 164, 167, 168, 170, 182, 185, 189, 190, 191, 192, 195, 196, 197, 198, 199, 200, 201, 202, 206, 207, 208, 209, 210, 211, 212, 213, 214, 215, 216, 218, 219, 220, 221, 222, 224
Prajurit, 96, 97, 98 Prancis, 25, 41, 74, 76 Pranowo, 25, 26, 129, 137 PSI, 55, 70, 81, 156 Publik, 2, 3, 6, 10, 12, 14, 21, 24,
28, 29, 32, 37, 38, 39, 54, 55, 58, 60, 61, 96, 139, 140, 152, 153, 158, 162, 171, 173, 177, 206, 224, 226, 234, 236
Putin, 194
Q
Qabīlah, 41 Qahhar, 58 Qardhawī, 8 Qawm, 41 al-Qur’an, 13, 41, 42, 43, 44, 46,
47, 78, 129, 130, 156, 190
R
Rangkuti, 10 Reformasi, 8, 46, 47, 72, 88, 93,
96, 112, 129, 130, 181, 183, 190, 207
Riba, 191 Ridwan Kamil, 167, 170 Roeslan Abdoelgani, 58 Rokkan, 24, 135, 136 Roma, 25 Ruang privat, 29 Ruang publik, 6, 29, 153, 155, 159
315
S
Sabiq, 78 Schattscheider, 1, 4, 48, 157 Schumann, 13 sedentary, 45, 235 Self generating, 157 Self supporting, 157 Sharīkat, 40 Shihab, 35, 41, 42, 81, 156, 177 Shūrā, 7 Smithian, 31, 33 Sociale rechtvaardigheid, 57 Socio-democratie, 57 Socio-nasionalisme, 57 Soe Hok Gie, 66, 67, 69, 75, 77,
78, 79 Soekarno, 56, 57, 66, 67, 70, 79,
122, 179, 180, 210 Soemitro Djojohadikusumo, 66,
83, 107, 108, 180 Soltau, 50 Strategi implementasi, 211 Strategi pembangunan nasional,
211 Strategi pendukung, 211, 219 strategi pokok, 211, 213, 215, 218,
219 Strategi utama, 211, 212, 218, 219 SU MPR, 94 Su’ubiyyah, 14 Sudan, 114, 116, 118 Suhardi, 19, 21, 63, 64, 65, 80,
100, 101, 102, 103, 104, 105, 112, 124, 125, 126, 127, 132, 133, 134, 135, 136, 139, 140
Suharto, 5, 8 Sunyoto, 173 Suseno, 48 Swasono, 176, 177, 178, 179, 184,
185, 189 Syafiq Hasyim, 34, 35, 36
Syaltut, 78 al-Syarīkat, 40 Syu’aib, 44, 235 Syukron Kamil, 19, 45
T
TBO, 90 Tidar, 18, 108, 111, 121, 139, 145,
146, 147, 156 TII, 33, 105 Tim Mawar, 93, 94 Timor Timur, 85, 88, 90, 91 Timur Tengah, 14, 15, 59, 128,
194, 207 Tionghoa, 142, 143, 184 TNI, 9, 81, 82, 84, 87, 88, 90, 92,
94, 95, 96, 97, 98, 99, 213 Tocqueville, 1, 3, 157 Tolstoy, 76 Tories, 52, 53, 236 TPGF, 96 Tri Sila, 57 Turki, 59, 115
U
Uhlin, 68, 127, 137 UI, 14, 15, 74, 87, 110, 119, 169,
190, 192 UIN Jakarta, 26, 27, 137, 155 UKM, 145 Ummah, 41, 42, 155, 156 Ummatan muqtaṣidah, 43 Ummatan wāḥidah, 43 Ummatan wasaṭan, 43 UNDP, 202, 203 Universitas Indonesia, 6, 43, 51,
75, 77, 79, 110, 115, 119, 120, 169, 190, 192
USINDO, 108 Utang luar negeri, 202, 205, 206
316
UUD 1945, 22, 98, 105, 107, 113, 122, 142, 143, 147, 164, 175, 176, 177, 183, 184, 185, 186, 189, 190, 201, 209, 216, 221, 222, 223, 224, 225
V
Venezuela, 194 Voluntary, 28, 29, 157
W
Walhi, 34 Weber, 1, 4, 157 Weiss, 76 Whigs, 52, 53, 236 WHO, 24, 25 Witoelar, 79 World Bank, 30, 137, 195, 196,
215
Y
YAD, 109, 110 Yayasan Wadah, 109, 111 YLBHI, 34, 93 Yudhoyono, 83, 84, 96, 99, 104,
111, 181, 203 Yugoslavia, 27, 114, 115, 118 Yunani, 24, 26, 38
Z
Zainun Kamal, 78 Zoon politicon, 38
317