Upload
naifah-rasyid
View
536
Download
12
Embed Size (px)
Citation preview
Sejarah Pemikiran dan Peradaban Islam
KONSEP KHALIFATULLAH DAN DOKTRIN KEAGUNGBINATARAN
Upaya Peningkatan Legitimasi Penguasa
Revisi Makalah ini dibuat untuk memenuhi tugas mata kuliah
Sejarah Pemikiran dan Peradaban Islam: Klasik, Tengah, dan Modern
DOSEN: DR. M. ABDUL KARIM, DOUBLE M. A.
OLEH:
NAIFAH (08.224.1038)
KONSENTRASI PENDIDIKAN BAHASA ARAB PROGRAM STUDI PENDIDIKAN ISLAM
PASCA SARJANA UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN KALIJAGA
YOGYAKARTA 2009
Konsep Khalifatullah dan Doktrin Keagungbinataran 1
Sejarah Pemikiran dan Peradaban Islam
KONSEP KHALIFATULLAH DAN DOKTRIN
KEAGUNGBINATARAN
Upaya Peningkatan Legitimasi Penguasa
I. PENDAHULUAN
Tatkala berhasil menduduki tahta kepemimpinan, Mansur al-Abbasy tak segan-
segan memproklamirkan gelarnya sebagai khalifatullah di atas bumi.1 Sebenarnya motif
apa yang mendasari tindakannya itu, mengingat gelar khalifah yang biasanya disandang
diartikan sebagai pengganti khalifah-khalifah sebelumnya, sebagaimana yang digunakan
Abu Bakar. Abu Bakar memakai gelar khalifah (pengganti Rasulullah) untuk membatasi
kedudukannya sebagai khalifah.2 Beberapa literatur menunjukkan, ia bahkan menolak
penggunaan gelar khalifatullah.3 Adapun Umar menggunakan gelar Amiru al-mu’minin
yang memiliki kecenderungan pada politik dan militer untuk menunjukkun kedudukan
dan tugas-tugasnya dalam masyarakat Islam.4
Sementara itu di bumi Nusantara sendiri kerap juga didengar para raja Melayu-
Indonesia melengkapi gelar mereka yang panjang dengan Kalipatullah, seperti yang
dilakukan oleh Sultan Amangkurat IV (penguasa Mataram pertama) dan Diponegoro
1 M. Abdul Karim, Sejarah Pemikiran dan Peradaban Islam (Yogyakarta: Pustaka Book Publisher, cet. I, 2007), hlm.146.
2 Khairuddin Yujah Sawiy, Perebutan Kekuasaan Khalifah: Menyingkap Dinamika dan Sejarah Politik Kaum Sunni (Yogyakarta Insania Press, cet. II, 2005), hlm. 2.
3 Ibid, hlm. 45. Sawiy menyarankan untuk melihat langsung dalam al-Mawardi, Ali bin Muhammad, al-Ahkam al-Sulthaniyyah wa al-Wilayat al-Diniyyah, hlm. 17-18, al-Fara’, Abu Ya’la Muhammad bin al-Hasan, al-Ahkam al-Sulthaniyyah, hlm. 27, Ibnu Taimiyyah, Taqiyyudin Ahmad, Majmu’u Fatawa Syaikh al-Islam Ahmad ibn Taimiyyah, hlm. 235, Ibnu Khaldun, Abdurrahman al-Hadlrami, Kitab al-Ibar wa Diwanu al-Mabda’ wa al-Khabar fi Ayyami al-Arab wa al-‘Ajam wa al-Barbar wa Man Asharahum min Dzawi al-Sulthan al-Akbar, jilid I, hlm. 339, al-Qalqasandi, Ahmad bin Ali, Ma’atsir al-‘Anaqah fi Ma’alimi al-Khilafah, jilid I, hlm. 15.
4 Ibid., hlm. 45.
Konsep Khalifatullah dan Doktrin Keagungbinataran 2
Sejarah Pemikiran dan Peradaban Islam
(pejuang muslim ternama). Terlihat sekali bagaimana bahasa dan istilah politik Islam
beralgamasi dengan konsep dan bahasa politik lokal.5
Makalah ini secara khusus mengkaji dan melakukan penelusuran mengapa entri
tersebut (khalifatullah/kalipatullah) begitu penting disandangkan pada nama kebesaran
mereka. Diskusi topik ini diharapkan dapat memberi nilai tambah dan semakin
memperkaya wawasan keilmuan kita dalam usaha memahami kajian Sejarah Pemikiran
dan Peradaban Islam.
II. PEMBAHASAN
A. Makna, Konsep dan Kriteria Khalifatullah
Ditilik dari sisi bahasa, kata khalifah berasal dari susunan huruf kha-la-fa yang
memiliki 3 makna, :
1) an yaji a syai un ba’da syai in maqamahu (datangnya sesuatu setelah sesuatu
yang lain, menggantikan kedudukannya)
2) khilafu quddam (kebalikan di depan)
3) taghayyara (mengubah)
Al-khalafu artinya ma ja a ba’du, ”yang datang berikutnya”. Khalfa artinya ”di
belakang”. Untuk kha-la-fa yang artinya ”mengganti” (makna pertama), khalifah
merupakan bentuk isim fa’ilnya yang berarti ”pengganti”. Khalifatu Rasulillah: pengganti
Rasulullah, khalifatullah: pengganti Allah.6
5 Azyumardi Azra, Renaisans Islam Asia Tenggara (Bandung: PT.Remaja Rosda Karya, cet. I, 1999), hlm. 81.
6 Abdurrahman A., Konsep Khilafah Islamiyyah ( http://www.persis.or.id//site , 13-09-2008), hlm. 1.
Konsep Khalifatullah dan Doktrin Keagungbinataran 3
Sejarah Pemikiran dan Peradaban Islam
Khulafa al-Rasyidin yang empat menyandang gelar khalifah karena mereka
merupakan pengganti (tugas-tugas kepemimpinan) Rasulullah saw. Hal ini diungkapkan
oleh al-Mawardi dalam pernyataannya sebagai berikut:
”The direction to enforce the shari’ah is given to the prophets. And those who carry on the mission of the prophets after them are designated as their chaliphs. The chaliphate is therefore an institution which represents the mission of Muhammad, and their chief duties of the chaliph are the safeguard of religion and the proper organisation of general polity.”7
Konsep Khalifatullah (secara umum) adalah gagasan paling fundamental dalam
al-Qur’an setelah tema tauhid. Konsep inilah yang menjelaskan kepada kita bahwa dalam
persepsi al-Qur’an membangun peradaban merupakan salah satu aspek ibadah terbesar
kepada Allah swt. Dengan peradaban yang maju kita akan mampu menampakkan
keagungan, keindahan dan keunggulan ajaran Islam sehingga terwujudlah visi agama
sebagai rahmatan lil ’alamin.8
Dengan petunjuk agama pula manusia dapat menyempurnakan budinya sehingga
ia sanggup menjalankan tugasnya sebagai master of the world/khalifah fi al-ardl.
Manusialah yang ditakdirkan Tuhan untuk mensejahterakan, memanfaatkan, menguasai
dan menjaga kelestarian bumi. Manusia dikaruniai kemampuan mengenal dan memahami
segala kenyataan yang ada di alam semesta ini karena manusia adalah khalifah Allah di
muka bumi.9
Yang diserahi khilafah (menjadi khalifah) yang sah dan benar bukanlah
perseorangan, keluarga atau ras tertentu, tapi komunitas secara keseluruhan yang
7 Imam al-Mawardi, Al-Mawardi’s Theory of the State (Ballimaran Delhi, Jayyed Press, 1979), hlm. 3.
8 Umar Hadi bin Makka, Rangka Pikir Konsep Abdullah dan Khalifatullah (Strategi Pendidikan)
(http://my-jazeerah.blogspot.com/2008/04/strategi=pendidikan.html. 13-09-2008), hlm. 1.
9 Karim, Islam Nusantara (Yogyakarta: Pustaka Book Publisher, cet. I, 2007), hlm. 132.
Konsep Khalifatullah dan Doktrin Keagungbinataran 4
Sejarah Pemikiran dan Peradaban Islam
meyakini dan menerima prinsip-prinsip kepemimpinan umum sebagaimana termaktub
dalam al-Qur’an surat al-Nur ayat 55, :
”Dan Allah telah berjanji kepada orang-orang beriman diantara kalian dan yang mengerjakan amal-amal shaleh bahwa Dia sungguh akan menjadikan mereka berkuasa di bumi sebagaimana Dia telah menjadikan orang-orang sebelum mereka berkuasa. Hendaknya mereka tetap mengabdi padaKu dengan tiada mempersekutukan sesuatu pun dengan Aku.”10
Dalam penggunaan khusus (sebagai pemimpin ummat), manusia bukanlah
penguasa atau pemilik asli dari apa yang dikuasai, tetapi ia hanyalah khalifatullah alias
wakil dari pemilik yang sebenarnya. Bahkan ia selalu dipantau dan diawasi dalam
menduduki jabatannya itu. Lihat al-Qur’an surat Yunus ayat 14, :
”...kemudian Kami jadikan kalian khalifah-khalifah di atas bumi setelah mereka untuk
Kami pantau bagaimana perbuatan kalian.”11
Kriteria-Kriteria Khalifatullah
Pada dasarnya manusia diciptakan Allah sebagai khalifah-Nya. Namun hal itu
masih berupa potensi, seperti yang telah dijelaskan terdahulu. Nah, agar potensi itu
berkembang dan mewujud secara nyata, maka terdapat seperangkat kriteria yang harus
dipenuhi sehingga manusia benar-benar menjadi khalifah Allah Ta’ala. Kriteria-kriteria
khalifah Allah itu ialah :
1. Ilmu
Kriteria pertama adalah ilmu. Pada ayat yang berbunyi : “Dia mengajarkan
kepada Adam asma (nama benda-benda) semuanya, kemudian dia mempertunjukkannya
kepada para malaikat. Lalu Allah berfirman (kepada para malaikat), Sebutkanlah kepada-
Ku asma-asma itu, jika kalian memang benar!” (QS. Al-Baqarah : 31), para mufasir
10 Abul A’la Maududi, Khilafah dan Kerajaan (Bandung: Mizan Media Utama, cet. I, 2007), hlm. 61.
11 Ibid., hlm. 58-59.
Konsep Khalifatullah dan Doktrin Keagungbinataran 5
Sejarah Pemikiran dan Peradaban Islam
berbeda pendapat tentang pengertian asma yang tercantum pada ayat di atas. Walaupun
mereka berbeda pendapat tentang makna asma, tetapi yang pasti (al-qadru al-
mutayaqqan) dan yang tidak diperselisihkan lagi adalah, bahwa Adam as. dibekali
pengetahuan dan ilmu yang tidak dimiliki oleh para malaikat. Sebagaimana komentar
Allamah Thabathaba’i tentang pengertian asma pada surat al-Baqarah ayat 31 tersebut,
bahwa Allah telah menyimpan dalam diri manusia sebuah potensi ilmu, yang akan nyata
dengan mengikuti petunjuk-Nya. Jadi untuk menjadi khalifatullah, hendaknya manusia
berilmu. Manusia yang tidak berilmu, tidak bisa dikatakan sebagai khalifah Allah Ta’ala.
2. Iman dan Amal Shaleh
Pada ayat yang lain, Allah Ta’ala berfirman tentang kriteria khalifah-Nya. “Allah
telah berjanji kepada orang-orang yang beriman di antara kalian dan beramal shaleh
(kebaikan), bahwa Dia akan menjadikan mereka sebagai khalifah di bumi, Sebagaimana
Dia telah menjadikan orang-orang sebelum mereka sebagai khalifah. Sesungguhnya Dia
akan meneguhkan bagi mereka agama mereka, yang telah diridhai-Nya untuk mereka,
serta Dia benar-benar akan mengubah (keadaan) mereka menjadi aman setelah mereka
ketakutan. Mereka akan menyembah-Ku dan tidak menyekutukan apapun dengan-Ku.
Dan barang siapa kafir setelah itu, maka mereka adalah orang-orang yang fasik.” (QS.
An-Nur : 55). Pada ayat tersebut, jelas sekali Allah berjanji akan menjadikan hamba-
hamba-Nya sebagai khalifah yang akan menguasai dan memimpin dunia. Tetapi janji itu
akan ditepati-Nya bagi manusia yang beriman dan beramal kebaikan. Dengan demikian
dapat disimpulkan, bahwa kriteria lain dari seorang khalifatullah adalah iman dan amal
shaleh.
3. Memberi Keputusan dengan Benar (haqq) dan Tidak Mengikuti Hawa Nafsu
Konsep Khalifatullah dan Doktrin Keagungbinataran 6
Sejarah Pemikiran dan Peradaban Islam
Allah Ta’ala berfirman, Wahai Dawud, Kami jadikan engkau sebagai khalifah di
bumi, maka berilah keputusan dengan benar dan janganlah mengikuti hawa nafsu, karena
hawa nafsu akan menyesatkanmu dari jalan Allah.” (QS. Shad : 26). Allamah
Thabathaba’i berkata, “Maksud khalifah di sini secara lahiriah adalah khalifatullah, sama
dengan maksud dari firman Allah (pada surat Al-Baqarah ayat 30). Dan seorang khalifah
seharusnya menyerupai Yang mengangkat dirinya sebagai khalifah dalam sifat-sifat-Nya
dan perbuatan-perbuatan-Nya. Oleh karena itu khalifatullah di bumi hendaknya
berakhlak dengan akhlak-akhlak Allah, berkehendak, bertindak sebagaimana yang Allah
kehendaki dan memberi keputusan dengan keputusan Allah serta berjalan di jalan Allah.”
Selanjutnya ketika menafsirkan ayat : “Dan janganlah mengikuti hawa nafsu, karena
hawa nafsu akan menyesatkanmu dari jalan Allah.” Beliau berkata, “Makna ayat tersebut
adalah, bahwa engkau dalam memutuskan (sesuatu) janganlah mengikuti hawa nafsu,
maka engkau akan disesatkan olehnya dari kebenaran, yaitu jalan Allah.” (Tafsir al-
Mizan, jilid 17 halaman 194-195).
4. Amar Ma’ruf dan Nahi Munkar
Rasulullah saw bersabda, “Barang siapa ber-amar ma’ruf dan nahi munkar, maka
dia adalah khalifatullah di bumi dan khalifah kitab-Nya serta khalifah rasul-Nya.’’ (Kitab
Mizan al-Hikmah, jilid 3 hal 80).12
B. Khalifatullah Sebagai Gelar Para Raja
1) Sekilas Tentang Berdirinya Daulah Abbasiyyah
12 Luthfy al-Murtadha, Bagaimana Menjadi Khalifatullah (http://www.kammi.or.id/last/lihat.php?d=materi&do=view&id=1919, 13-09-2008), hlm. 3-6.
Konsep Khalifatullah dan Doktrin Keagungbinataran 7
Sejarah Pemikiran dan Peradaban Islam
Cabang keluarga Abbasiyyah adalah keturunan dari seorang paman Nabi Muhammad
yang bernama Abbas. Pada tahun-tahun kehancuran Umayyah, cabang Abbasiyyah
berhasil menyusup ke Khurasan, mengirimkan seorang missionari suksesi (seorang
pemimpin organisasi yang revolusioner), untuk menciptakan front baru bagi seluruh
lawan-lawan Mu’awwiyah. Agen-agen Abbasiyyah melancarkan seruan pembelaan
terhadap Ali, untuk meruntuhkan kekuasaan Umayyah, kemudian menciptakan era
baru yang penuh kedamaian dan keadilan. Selama waktu itu, pimpinan agen
Abbasiyyah yakni Abu Muslim, berhasil memperluas jaringan gerakan rahasia dan
mengorganisir kekuatan militer pendukung di Khurasan.
Dengan kematian Hisyam pada tahun 743, rezim Umayyah menjadi
goncang. Sementara cabang keluarga Ali, Abbasiyyah, Kharijiyyah, kelompok-
kelompok kesukuan, dan para gubernur yang tersisihkan semuanya dalam
keadaan percekcokan. Tahun 747, Abbasiyyah telah siap bergerak. Abu Muslim
berhasil merekrut pendukung yang dibutuhkan. Rakyat Khurasan yang
diperlakukan seperti warga taklukan dan harus membayar pajak yang sangat
tinggi merasa dihianati Umayyah karena kebijakan perpajakan yang dijanjikan tak
kunjung diberlakukan. Kini mereka siap memberontak.
Dukungan juga mengalir dari sebagian besar warga Arab, utamanya warga
yang dikecewakan yang tinggal di Merv, ditambah kelompok Arab Yaman dan
kalangan Mawalli. Kelompok Syi’ah bergabung pula untuk mendukung. Mereka
terkecoh oleh identitas kepemimpinan Abbasiyyah dan menganggap pertempuran
tersebut sebagai perjuangan untuk Syi’ah. Belakangan mereka merasa sangat
kecewa karena setelah memenangkan pertempuran, Abu al-Abbas, seorang
Konsep Khalifatullah dan Doktrin Keagungbinataran 8
Sejarah Pemikiran dan Peradaban Islam
pemimpin dari keluarga Abbasiyyah memproklamirkan diri sebagai Khalifah
baru.13
2) Gelar Khalifatullah dan Doktrin Keagungbinataran
Selain abu al-Abbas al-Safah, semua khalifah Abbasiyyah menganggap
bahwa kekuasaannya berasal dari Allah, divine origin, dan mereka menjadi
penuntun yang sebenarnya bagi kaum muslim.14Oleh karena itu, mereka
berpendapat bahwa seorang khalifah adalah khalifatullah.15Abu Ja’far al-Mansur,
pengganti al-Safah, menyatakan, ”Ya ayyuha al-nas, innama:
Ana Khalifatullah ’ala al-ardl, fi ’ardlihi (saya adalah Khalifah Allah di muka bumi-Nya)Ana Sulthanullah ’ala al-ardl, fi ’ardlihi (saya adalah Kekuasaan Allah di muka bumi-Nya)Ana Dzillullah ’ala al-ardl, fi ’ardlihi (saya adalah Bayangan Allah di muka bumi-Nya).
Padahal sebagaimana diketahui, setelah Muhammad saw. menjadi khalifatullah,
Abu Bakar adalah khalifatu Rasulillah, Umar adalah khalifatu khalifati Rasulillah,
Utsman adalah khalifatu Umar, Ali khalifatu Utsman dan Mu’awiyah khalifatu Ali,
demikian seterusnya bahkan Abu al-Abbas al-Safah (khalifah Abbasiyyah pertama)
adalah khalifah / pengganti dari khalifah Umayyah terakhir. Mengapa al-Mansur
”memotong kompas” tidak mengakui diri sebagai pengganti khalifah sebelumnya
langsung menjadi khalifatullah? Alasannya karena dia merasa dirinya besar dan tinggi.
Jika dia adalah pengganti khalifah-khalifah sebelumnya yang ”kurang ajar”, betapa
buruknya dia. Tujuannya adalah agar dia menjadi Raja tertinggi sekaligus Pimpinan religi
13 Ira M. Lapidus, Sejarah Sosial Ummat Islam Ed. I, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, cet. I, 1999), hlm. 98-103.
14 Karim, Sejarah, hlm. 146. Lihat juga Lapidus, Ibid., hlm. 132. Ira menyatakan bahwa semenjak berkuasa, para khalifah Abbasiyyah menegaskan kedaulatan mereka berasal dari Tuhan dan mengklaim diri sebagai penegak kebenaran di tengah umat Islam.
15 Sawiy, Perebutan, hlm. 103.
Konsep Khalifatullah dan Doktrin Keagungbinataran 9
Sejarah Pemikiran dan Peradaban Islam
(sakral) tertinggi. Al-Mansur memang dibai’at, tetapi dia tidak butuh pengakuan rakyat.
Kepemimpinannya bercorak teokrasi. Disinyalir bahwa ini adalah pengaruh dari Iran/
Parsi, dimana terdapat doktrin Sabdo Pandito Ratu: suara Raja adalah suara Tuhan.
Dengan doktrin ini orang-orang Iran sulit dikalahkan karena mereka sangat tunduk pada
perintah raja yang dianggap suara Tuhan.16Dengan demikian sejak al-Mansur, dalam diri
seorang khalifah terdapat dua jabatan, yaitu sebagai pimpinan religius yang sakral dan
sebagai seorang raja. Jabatan khalifah kini merupakan jabatan prestisius baik untuk
bidang politik maupun bidang keagamaan.17
Pada masanya konsep khilafah berubah, jabatan khalifah merupakan mandat dari
Allah dan bukan dari manusia, bukan pula sekadar pelanjut Nabi saw sebagaimana para
khulafa al rasyidun. Berbeda dari Daulah Umayyah, Khalifah Abbasiyyah memakai gelar
takhta. Abu ja’far, misalnya, memakai gelar al-Manshur, dan gelar takhta itu lebih
populer daripada nama yang sebenarnya.18
Khalifah Abbasiyyah berkuasa bersama dengan harapan missianik yang
berkembang saat itu, dan gelar-gelar mereka yang palina menonjol melambangkan peran
mereka sebagai seorang penyelamat. Al-Manshur, al-Mahdi, al-Hadi dan al-Rasyid
mengaku menerima petunjuk dari Tuhan di jalan kebenaran, untuk membawa manusia
kepada pencerahan dan mengembalikan ummat muslin kepada jalan yang lurus.19
Menurut Dr. M. Abdul Karim, M.A., M.A, gelar khalifatullah diciptakan untuk
kesuksesan politik semata.20 Prof. Dr. Azyumardi Azra menegaskan bahwa gelar
16 ? Penjelasan M. A. Karim dalam evaluasi pelaksanaan presentasi makalah ini, yaitu pada tanggal 12 November 2008.
17 Berbeda sekali dengan periode Khulafa al-Rasyidin di mana khalifah dipilih oleh rakyat dan berperan sebagai pelayan rakyat. Karim, Ibid, hlm. 147.
18 Azyumardi Azra, Ensiklopedi Islam, vol. I (Jakarta, Ichtiar Baru Van Hoeve, 2005), hlm. 7.19 Lapidus, Ibid., hlm. 132. 20 Karim, Ibid., hlm. 147.
Konsep Khalifatullah dan Doktrin Keagungbinataran 10
Sejarah Pemikiran dan Peradaban Islam
dzillullah fi al-ardl jelas mempertinggi sifat dan aura divinty dalam kekuasaan raja. Mirip
pula dengan yang dilakukan raja-raja Melayu-Indonesia, gelar khalifatullah merupakan
upaya memberikan legitimasi kekuasaan para penguasa.21
Serupa dengan divine origin Abbasiyyah, Daulah Umayyah yang berkuasa
sebelumnya pun memaksakan konsep Jabariyyah untuk memperkuat posisinya di
masyarakat,22 bahwa kekuasaan mereka memang dikehendaki Tuhan, sehingga
kekuasaan dapat berpindah pada keturunan dan keluarga mereka dengan kedok takdir
Tuhan. Mereka merasa jabatan khalifah adalah khalifatullah dan berusaha membentuk
konsep baru sebagai landasan kekuasaannya.23
Penggunaan gelar khalifatullah oleh raja-raja di Timur tengah terus berlangsung
hingga khalifah terakhir Utsmaniyyah diusir dan dibuang. Di Mesir pada tahun 1517 M
sultan terakhirnya dibunuh, diganti khalifah boneka. Ahmad juga ditangkap dan dibawa
ke Konstantinopel. Sementara itu Sultan Salim I dipaksa menyerahkan jabatan khalifah
dan untuk mengabadikan peristiwa, Konstantinopel diganti Istambul. Ketika ditanyakan
tidak takut dosakah Kemal Attaturk karena mengusir wakil Tuhan? Dia menjawab: ”Saya
merasa tidak berdosa karena saya tidak mengusir khalifatullah, tetapi yang saya usir
adalah Sultan Turki yang kurang ajar.” Semenjak itu habislah riwayat khalifatullah.24
Dinasti Umayyah, Dinasti Abbasiyyah dan kerajaan-kerajaan Melayu-Indonesia
memberlakukan sistem monarki, kepala kerajaan bersifat turun-temurun. Dengan
demikian berlangsunglah sistem kekuasaan yang ketat. Dalam sistem kerajaan, berlaku
prinsip raja gung binatara, bahu denda nyakrawati, berbudi bawa leksana ambeg adil
para marta (raja besar laksana dewa, pemegang hukum, meluap budi luhurnya, dan adil 21 Azra, Renaissans, hlm. 80-81.22 Sawiy, Ibid., hlm 100.23 Ibid., hlm.236.
24 ? Penjelasan M. A. Karim dalam evaluasi pelaksanaan presentasi makalah.
Konsep Khalifatullah dan Doktrin Keagungbinataran 11
Sejarah Pemikiran dan Peradaban Islam
terhadap sesama). Itulah yang disebut konsep keagungbinataran. Menurut konsep itu
raja harus memegang kekuasaan yang besar. Raja nan besar mempunyai daerah yang luas
dengan rakyat yang jumlahnya besar.25
3) Gelar Raja-raja Muslim Nusantara
Dalam upaya meningkatkan legitimasi dan aura kekuasaannya, para
penguasa Muslim Melayu-Indonesia tidak hanya menggunakan gelar sultan,
tetapi juga mengklaim diri sebagai ”wakil” Tuhan (khalifatullah). Kitab Undang-
undang Melaka menyebut mereka sebagai ”khalifat al-mu’minin, dzill Allah fi al-
ardl”. Sultan Mahmud (w. 1367) naik tahta dengan gelar resmi ”khalifat al-
mu’minin”. Kemudian kitab Undang-undang Pahang yang disusun untuk Sultan
Pahang Abd al-Ghafur Muhay al-Din Syah (berkuasa 1592-1614) mencatat
berbagai upaya pihak kesultanan menjadikan raja Melayu identik dengan
khalifatullah.
Merah Silau, penguasa Pasai, agaknya merupakan raja yang pertama kali
dianugerahi julukan dzill Allah fi al-alam oleh para pemuka adat rakyatnya,
bahkan, al-Raniri—mengikuti tradisi ulama Sunni dalam memberikan legitimasi
keagamaan kepada penguasa politik—juga menyebut para penguasa Aceh sebagai
dzill Allah fi al-alam. Gelar ini juga digunakan penguasa Muslim Patani, yang
kemudian dituliskan dalam mata uang yang beredar di berbagai wilayah kerajaan
Muslim Melayu Indonesia.
Para raja Muslim di Jawa juga tak ketinggalan mengikuti kecenderungan
itu. Meskipun relatif lebih lambat dibanding raja-raja Melayu-Indonesia lainnya,
25 G. Moejanto, Dari Cerai-Berai Menuju Persatuan Bangsa, Kompas, Senin, 28 Oktober 2002, hlm. 2.
Konsep Khalifatullah dan Doktrin Keagungbinataran 12
Sejarah Pemikiran dan Peradaban Islam
Sultan Amangkurat IV (1719-1724) adalah penguasa Mataram pertama yang
menggunakan gelar kalipatullah. Lengkapnya adalah ” Prabu Mangkurat
Senapati Ingalaga Ngabdu Rahman Sayyidin Panatagama Kalipatullah”. Gelar
ini dipakai kesultanan Yogyakarta setelah pecahnya Mataram. Gelar senada dua
abad berikutnya juga digunakan pejuang Muslim terkenal Diponegoro sebagai
rallying banner dalam menghadapi ancaman Belanda, yakni ”Ngabdulkamid
Erucakra Sayyidin Panatagama Kalipatullah Rasulullah Sain”. Baik dalam kasus
Raja Mataram maupun Diponegoro memperlihatkan secara sempurna bagaimana
bahasa dan istilah politik Islam beralgamasi dengan konsep dan bahasa politik
lokal.26
Kenyataan bahwa para raja Melayu-Indonesia menggunakan term politik
semacam itu juga dibenarkan oleh sumber-sumber dari Barat kala itu. Sebuah
catatan Portugis tentang Pasai pada abad ke-16 menyatakan bahwa raja mereka
(Muslim-Melayu) adalah ”orang yang memerintah sebagai pengganti Tuhan”.27
Demikian pula yang terjadi dengan Sultan Agung (1613-1645M). Nama
aslinya Mas Rangsang, bergelar Prabu Pandita, namun lebih terkenal gelar
keduanya, yaitu Panembahan Senopati Ing Alogo Ngabdurrahman Sayyidin
Panatagama. Gelar Khalifatullah bagi Sultan Agung adalah pemberian Syarif
Mekah pada tahun 1641 M atas permintaannya. Setelah Mataram terpecah
menjadi dua, Surakarta dan Yogyakarta, gelar itu sama-sama dipakai selengkap-
26Azra, Ibid., hlm. 80-81.27 Ibid., hlm 81. Azra juga mencatat bahwa upaya memberikan legitimasi kepada kekuasaan para
penguasa dengan memanfaatkan bahasa politik Islam tidak berhenti sampai disini. Bahkan ayat-ayat al-Qur’an tettentu diterjemahkan atau ditafsirkan untuk lebih meninggikan kekuasaan raja. Undang-undang Pahang, misalnya, menerjemahkan ayat al-Qur’an Surah 11:30 bukan berbunyi; “Tuhan menempatkan Adam dimuka bumi sebagai wakil-Nya”, tetapi “Tuhan menempatkan Raja di muka bumi sebagai wakil-Nya”.
Konsep Khalifatullah dan Doktrin Keagungbinataran 13
Sejarah Pemikiran dan Peradaban Islam
lengkapnya oleh masing-masing rajanya. Raja Yogyakarta bahkan memakai
tambahan khalifatullah di penghujung gelarnya.28
Gelar Sultan yang disandang oleh Sultan Agung menunjukkan bahwa ia
mempunyai kelebihan dari raja sebelumnya yaitu Panembahan Senopati dan
Panembahan Sedo Ing Krapyak. Ketika dinobatkan sebagai raja (1613 M) dalam
usia 20 tahun masih menggunakan gelar Panembahan. Tahun 1624 M ia
mengubah gelarnya menjadi ”Susuhunan”. Selanjutnya ia menerima pengakuan
dari Mekah sebagai seorang Sultan, kemudian mengambil gelar lengkapnya
Sultan Agung Anyakrakusuma Senopati Ing Alogo Ngabdurrahman (secara
harfiyah berarti raja yang agung, pangeran yang sakti, sang panglima perang dan
pemangku amanah Tuhan Yang Maha Kasih).29
Sebenarnya tradisi Jawa sudah menyediakan gelar yang bahkan lebih
”tinggi” daripada sulthan atau khalifatullah, yaitu Bathara (Dewa) Ingkang
Agung, tetapi Sultan Agung tetap menginginkan gelar dari Mekah, mengapa?
Dapat dijelaskan bahwa hal ini mengandung tujuan politis. Pada saat itu raja-raja
Jawa berkiblat pada Sunan Giri. Sultan Agung mengambil gelar dari Syarif
Mekah untuk mengatasi persaingan dengan Sunan Giri.30
Sesuai dengan konsep keagungbinataran, Sultan Agung bercita-cita
memerintah seluruh pulau Jawa. Tak heran jika ia sering terlibat perang yang
panjang dengan penguasa daerah maupun dengan VOC yang juga mengincar
pulau Jawa sejak1618 M. Tahun 1627 M, seluruh pulau Jawa (kecuali Kesultanan
28 Karim, Islam, hlm. 175. Ada juga raja Mataram yang bergelar Ingkang Sinuwun Kanjeng Sultan Hamengkubuwono, lihat hlm. 149. 29 ? Azra, Ensiklopedi, hlm. 91-92.30 ? Penjelasan M. A. Karim dalam evaluasi pelaksanaan presentasi makalah ini .
Konsep Khalifatullah dan Doktrin Keagungbinataran 14
Sejarah Pemikiran dan Peradaban Islam
Banten dan wilayah kekuasaan Kompeni di Batavia) telah berhasil dipersatukan
dibawah Mataram.31
Sultan Agung adalah tokoh fenomenal yang berhasil melakukan berbagai
pembaharuan, diantaranya mengubah kalender saka menjadi sistem Tarikh
dengan tahun Hijriyyah sebagai dasar perhitungan (Kalender Jawa).32 Kalender ini
diberlakukan Sultan Agung pada tahun 1633 M/1555 Caka/ 1043 H dengan
menggunakan Serat Kekancingan (surat yang memuat peraturan-peraturan raja).
Ini merupakan revolusi besar yang murni dipengaruhi Islam.33 Pembaharuan
lainnya ialah penggunaan kata sanga untuk menyebut angka ”9”. Ini didasarkan
pada adanya 8 arah mata angin dan 1 pemancar/pusat. Kepercayaan dewa-dewa
dulu dikombinasikan dengan angka sembilan. Semenjak itu, populerlah wali
sanga yang arti asalnya ”sekelompok wali” menjadi ”wali sembilan”.34
5. Jarak Rakyat Dan Penguasa
Bahasa politik Islam baik di Nusantara maupun di Timur Tengah sejauh
ini menempatkan penguasa dalam kedudukan yang amat tinggi vis a vis
warganya. Warga disebut ra’yat (rakyat) yang secara harfiyah berarti ”obyek
yang digembala” atau ”dituntun” (oleh penguasa). Warga terhadap penguasanya
menyebut diri sebagai ”patik”, ”hamba” atau ”abdi” yang berarti ”budak”. ”Saya”
asalnya ”sahaya”, artinya ”budak”. ”Kula” (jw.) asalnya ”kawula”, artinya
31 Azra, Ensiklopedi, hlm. 91-92.32 Ibid., hlm. 92.33 Karim, Ibid., hlm. 175.34 Ibid., hlm. 149. Dikukuhkan lagi dengan penjelasannya langsung saat presentasi makalah ini.
Konsep Khalifatullah dan Doktrin Keagungbinataran 15
Sejarah Pemikiran dan Peradaban Islam
”budak” juga. Dengan demikian, penguasa adalah ”penggembala” yang harus
dipatuhi atau ”tuan” bagi warganya.35
Sebagai penyeimbang, sebenarnya ada juga term bahasa politik Islam yang
ditujukan khusus kepada penguasa dalam hubungan mereka dengan rakyat.
Misalnya bahwa raja harus bersifat ”adil”, ”amanah”, dan amar ma’ruf nahy
munkar. Sifat adil sangat ditekankan dalam sejarah kerajaan Melayu-Indonesia.
Adil adalah syarat dan sifat utama yang harus dimiliki seorang raja. Raja adalah
”lambang” keadilan itu sendiri. Raja yang tidak adil, yakni ”lalim” (asalnya
”dzalim”, dari bahasa Arab), akan dikutuk Tuhan. Bahkan dikatakan lebih lanjut
bahwa di mata Allah keadilan seorang raja selama satu hari saja sama nilainya
dengan ibadah haji 60 kali. Untuk mewujudkan keadilan, raja harus mengangkat
menteri-menteri dan punggawa kerajaan yang setia kepada cita-cita keadilan itu.36
III. PENUTUP
Berdasarkan uraian dalam pembahasan yang telah didiskusikan pada tanggal 12
November 2008 dibawah bimbingan dan pengarahan Dr. M. Abdul Karim, M. A., M. A.,
dapat disimpulkan bahwa term khalifatullah dalam tataran politis telah mengalami
pergeseran makna dari konsep normatifnya. Pengertian khalifah yang mulanya membawa
konsekuensi bahwa pemimpin hanyalah Wakil dari Pemilik Yang Sebenarnya (jadi,
pemimpin sifatnya hanya dititipi kekuasaan, memikul amanat pengelolaan negara yang
berat dan harus dipertanganggung jawabkan dihadapan Pemilik Aslinya), kini bergeser
35 Azra, Renaisans, hlm. 83. Selain itu, digunakan juga term-term kondisi rakyat yang sifatnya menguntungkan penguasa belaka, seperti “daulat”, “taat”, “setia”, dan “durhaka”. Namun gugatan terhadap istilah-istilah ini mulai muncul saat gelombang Nasionalisme bergelora menjelang dan seusai Perang Dunia II.
36 Ibid., hlm. 84.
Konsep Khalifatullah dan Doktrin Keagungbinataran 16
Sejarah Pemikiran dan Peradaban Islam
menjadi Khalifatullah dalam artian sebagai wakil Allah Sang Penguasa Segalanya.
Implikasinya, penguasa mempunyai kekuasaan yang amat besar karena merupakan wakil
dari Allah Yang Maha Besar, Yang Maha Kuasa. Wewenang dan otoritas pemimpin pun
pada akhirnya menjadi tak tertandingi. Hal ini tak jauh berbeda dengan implikasi
dianutnya doktrin keagungbinataran.
Hasil penelusuran pemakalah menunjukkan bahwa gelar khalifatullah digunakan
semata-mata untuk legitimasi kekuasaan para penguasa belaka. Sementara doktrin
keagungbinataran menunjukan pribadi raja yang serba ”maha”, dan ini banyak dianut
dalam praktek pemerintahan kerajaan-kerajaan kuno Melayu-Indonesia. Doktrin ini dapat
terbaca lewat sepak terjang para raja serta lewat gelar-gelar kebesaran mereka.
Dua konsepsi diatas manakala dimuati tujuan demi kebaikan dan kesejahteraan
rakyat dapat dipahami sebagai strategi yang baik dari pihak pimpinan untuk menggalang
kepatuhan, ketundukan dan kesetiaan rakyat demi kemudahan dalam mengarahkan
mereka menuju cita-cita luhur bangsa. Hanya saja pada kenyataannya tidak semua
pemimpin memahami dan berusaha mewujudkan cita-cita itu. Bahkan bahkan tak sedikit
diantara mereka yang terjebak dalam kesibukan menuruti kesenangan pribadi. Di sisi
lain, hal ini juga membukakan peluang yang lebar akan tersekatnya masyarakat dalam
kelas-kelas sosial. Akibatnya, gagasan persamaan derajat praktis menjadi harapan yang
utopis.
DAFTAR PUSTAKA
Konsep Khalifatullah dan Doktrin Keagungbinataran 17
Sejarah Pemikiran dan Peradaban Islam
Abdurrahman, A. Konsep Khilafah Islamiyyah. http://www.persis.or.id//site Powered by Joomla! 13-09-2008.
Al- Maududi, Abul A’la. Khilafah dan Kerajaan Bandung: Mizan Media Utama, cet.I, 2007.
Al-Mawardi, Imam. Al-Mawardi’s Theory of the State. Ballimaran Delhi: Jayyed Press,1979.
Al-Murtadha, Luthfy. Bagaimana Menjadi Khalifatullah?,
http://www.kammi.or.id/last/lihat.php?d=materi&do=view&id=1919 13-09-2008. Azra, Azyumardi, dkk. Ensiklopedi Islam, vol. I. Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve, 2005. Azra, Azyumardi. Renaisans Islam Asia Tenggara. Bandung: PT.Remaja Rosda Karya,
cet. I, 1999.
Bin Makka, Umar Hadi. Rangka Pikir Konsep Abdullah dan Khalifatullah (Strategi Pendidikan) http://my-jazeerah.blogspot.com/2008/04/strategi=pendidikan.html., 13-09-2008.
Karim, M. Abdul. Islam Nusantara. Yogyakarta: Pustaka Book Publisher, cet. I, 2007.
Karim, M.Abdul. Sejarah Pemikiran dan Peradaban Islam.Yogyakarta: Pustaka Book Publisher, cet. I, 2007.
Lapidus, Ira M. Sejarah Sosial Ummat Islam Ed. I. Jakarta: Raja Grafindo Persada, cet. I, 1999.
Moejanto, G. Dari Cerai-Berai Menuju Persatuan Bangsa. Kompas, Senin, 28 Oktober 2002.
Sawiy, Khairuddin Yujah. Perebutan Kekuasaan Khalifah: Menyingkap Dinamika dan Sejarah Politik Kaum Sunni. Yogyakarta: Insania Press, cet.II, 2005.
Konsep Khalifatullah dan Doktrin Keagungbinataran 18