Upload
vuongkien
View
218
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
MURTAD DAN AKIBAT HUKUMNYA TERHADAP
STATUS PERKAWINAN DALAM PERSPEKTIF
FIKIH DAN KOMPILASI HUKUM ISLAM
Disusun Oleh :
LILIS MUKHLISOH
( 204044103039 )
KONSENTRASI PERADILAN AGAMA
PROGRAM STUDI AHWAL AL-SYAKHSHIYAH
FAKULTAS SYARI’AH DAN HUKUM
UIN SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
2009
KATA PENGANTAR
�� ا� ا��� ا����
Segala puji bagi Allah SWT, maha kuasa atas kehendaknya maha pengasih atas
segala rizki yang ada di langit dan dibumi, maha penyayang terhadap seluruh
makhlukNya, maha mengetahui dan mampu membolak-balikan hati hamba-Nya.
Syukur alhamdulillah seiring waktu yang berlalu, seiring hari yang berganti, tak
terasa penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Sholawat serta salam semoga selalu
tercurahkan kepada Nabi Muhammad SAW, para keluarganya dan para sahabatnya.
Walaupun jauh sekali dari sempurna karena masih banyak kekurangan dan kekeliruan,
tetapi penulis telah berusaha dengan segala keterbatasannya dan semoga skripsi ini
membawa berkah buat diri penulis dan manfaat untuk seluruh pembaca.
Akhir desember penuh berkah dan rahmat penulis rasakan dalam penyelesaian
skripsi ini atas izin Allah SWT, untuk itu kiranya perkenankanlah penulis menyampaikan
ucapan terima kasih bagi orng-orang terdekat dan dari semua pihak yang banyak
memberikan pengarahan, bimbingan dan dorongan kepada:
1. Bapak H. M Amin Suma SH. MA. MM., selaku Dekan Fakultas Syariah dan Hukum.
2. Bapak H. Djawahir Hejjaziey, SH., MA., dan Drs. H. A. Yani, M.Ag., selaku Ketua
dan Sekretaris jurusan Ahwal Syakhsiyyah yang telah banyak memberikan motivasi
kepada penulis.
3. Bapak Drs. Sirril Wafa M. Ag dan Bapak Kamarusdiana S.Ag., MH., selaku Dosen
Pembimbing yang dengan sabar memberikan banyak petunjuk, arahan serta masukan
kepada penulis sehingga terselasainya skripsi ini.
4. Seluruh Dosen-dosen Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta,
terutama kepada Bapak Drs. H. A. Basiq Djalil, SH., MA., dan Bapak Dr. Jaenal
Arifin, M.Ag., serta kepada seluruh karyawan dan staff perpustakaan yang telah
memfasilitaskan dalam menyelesaikan penulisan skripsi ini.
5. Teristimewa untuk Abeh dan ibunda tercinta H. mursalum dan HJ. Mursidah yang
memberikan limpahan kasih sayang sejak kecil sampai kini, menanamkan nilai dan
pemahaman akidah sebagai rambu kehidupan, menempa karakter dengan sejuta
semangat, mengirim doa tanpa henti dalam sujud di penghujung malam untuk
penulis, terima kasih abeh ibu izinkan penulis membalas dengan keikhlasan doa
kembali.
6. Kakak-kakaku Bang Herman, Bang Puyoh Bang H. Jamal, Po HJ Titin, Po Pupeh, Po
Yuli Po Tuti dan adiku Siroj dan Nida kalian penawar dahaga diantara kelelahan Oase
diantara keputusasaan terima kasih atas dukungan dengan doa-doa kalian yang tulus.
7. Dan kepada kakakku Fakhri yang menjadikan bara dalam semangat penulis,
menjadikan kalbu yang bisu dan ragu kearah tawadhu, kakaku kau seperti peluru tak
kehabisan mesiu bagi penulis, doa yang kau panjatkan disetiap sujudmu untuk penulis
sangat menenangkan, mudah-mudahan Allah yang akan membalasnya Terima kasih
k,,,
8. Tak lupa pula kepada sahabatku K’Eti, Bunda, R-na, R-vin, Aie, Uma, Ucox, Arifin,
Saiful, K’Rizqy yang selalu setia berada disampingku dan tidak pernah bosan untuk
mendengarkan segala keluh kesahku serta teman-temanku seperjuangan Santi, Meri,
Heli, Tina, Mba Yati, Hamzah, Sonif dan seluruh PA (A dan B) yang tidak mungkin
penulis sebutkan satu persatu Terima kasih sobat semoga persahabatan kita kan
selamanya bermakna.
Akhirnya kepada Allah jualah kita kembalikan semua, semoga atas kebaikan dan
jasa-jasa kalian dibalas oleh Allah SWT Amin Amin Ya Rabbal Alamin.
Jakarta, Desember 2009
Penulis
DAFTAR ISI
Kata Pengantar ……………………………………………………………. i
Daftar Isi …………………………………………………………………… ii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah ……………………………………. 1
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah ………………………. 6
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian …………………………… 7
D. Kerangka Teori ……………………………………………... 8
E. Metode Penelitian ………………………………………….... 10
F. Sistematika Penulisan ……………………………………….. 11
BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERKAWINAN
A. Pengertian Perkawinan dan Dasar-Dasar Perkawinan………. 13
B. Asas-Asas Dan Prinsip-Prinsip Perkawinan………………… 21
C. Syarat-Syarat Perkawinan…………………………………… 29
BAB III MURTAD DAN STATUS HUKUMNYA TERHADAP PERKAWINAN
A. Konsepsi Umum Tentang Murtad…………………………… 36
B. Kedudukan Murtad Dalam Perkawinan……………………… 40
C. konsepsi Islam tentang murtad dalam perkawinan…………... 48
D. Status Hukum Apabila Salah Satu Pasangan Murtad ……….. 50
1. Menurut Fikih Islam …………………………………….. 50
2. Menurut Kompilasi Hukum Islam ………………………. 54
BAB IV MURTAD DAN AKIBATNYA HUKUMNYATERHADAP ANAK DAN
HARTA BERSAMA
A. Menurut Undang-Undang No.1 th 1974 ……………………. 56
B. Menurut Kompilasi Hukum Islam …………………………. 66
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan……………………………. ……………………. 74
B. Saran ………………………………………………………… 77
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN-LAMPIRAN
i
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Perkawinan merupakan salah satu aktivitas individu. Aktivitas individu umumnya
akan terkait pada suatu tujuan yang ingin dicapai oleh individu yang bersangkutan,
demikian juga dengan perkawinan. Perkawinan merupakan aktivitas dari suatu pasangan,
maka sudah selayaknya mereka pun mempunyai tujuan tertentu. Tetapi karena
perkawinan itu terdiri dari dua individu, maka ada kemungkinan bahwa tujuan mereka
tidak sama. Bila hal tersebut terjadi, maka tujuan perkawinan itu harus dibulatkan agar
terdapat suatu kesatuan dalam pencapaian tujuan tersebut. Apakah sebenarnya tujuan
perkawinan?
Perkawinan mempunyai tujuan antara lain membentuk keluarga (rumah tangga)
yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.1 Dengan demikian,
maka sebenarnya tidak perlu diragukan lagi, apakah sebenarnya yang ingin dicapai dalam
perkawinan itu. Namun karena keluarga atau rumah tangga itu berasal dari dua individu
yang berbeda, maka dari dua individu itu mungkin terdapat tujuan yang berbeda, untuk
itu perlu penyatuan tujuan perkawinan demi tercapainya keluarga yang sakinah.
Tanpa adanya kesatuan tujuan antara suami dan isteri dalam keluarga dan kesadaran
bahwa tujuan itu harus dicapai bersama-sama, maka dapat dibayangkan bahwa keluarga
itu akan mudah mengalami hambatan-hambatan yang merupakan sumber permasalahan
besar dalam keluarga, akhirnya dapat menuju keretakan keluarga yang berakibat lebih
jauh sampai kepada perceraian. Tujuan adalah merupakan titik tujuan bersama yang akan
1 Undang-Undang Perkawinan Indonesia, Undang-Undang No. 1, LN No. 1 tahun 1974,
TLN No. 3019. Pasal.1
diusahakan untuk dicapai secara bersama-sama pula. Kebahagian yang merupakan salah
satu tujuan dari perkawinan adalah sesuatu hal yang relatif dan subyektif.2 Relatif karena
sesuatu hal yang pada suatu waktu dapat menimbulkan kebahagiaan, namun pada waktu
yang lain mungkin tidak dapat menimbulkan lagi kebahagiaan. Subyektif oleh karena
kebahagiaan bagi seseorang belum tentu kebahagiaan bagi orang lain.
Tujuan perkawinan menurut Islam adalah menuruti perintah Allah untuk
memperoleh keturunan yang sah dalam masyarakat, dengan mendirikan rumah tangga
yang damai dan teratur.3
Hal ini senada dengan firman Allah yang berbunyi:4
������ ������ ��� ���� ������ ����� ����� ����� !�"�� #☯���&'��
(�)*,�� �.�/� 0�1&2��34 56�7�8�� �!9�,�:�� ,;<2�*<� =�☺��?�� @ <�34 A3B �C���D EF�� G� HI�*�4�/� ���JK�⌧���
) 21ا��وم (
“Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah dia menciptakan untukmu
isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram
kepadanya, dan dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih dan sayang.
Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi
kaum yang berfikir”
Indonesia sebagai negara hukum telah mengatur Undang-Undang tentang
Perkawinan yang tertuang dalam Undang-Undang No.1 tahun 1974, dilengkapi dengan
2 Bimo Wagito, Bimbingan Dan Konseling Perkawinan. Ed. 1. Cet.1. Yogyakarta: Andi Offset,
2002., hal. 14. 3 Tujuan perkawinan pada umumnya bergantung pada masing-masing individu yang akan
melakukannya, karena lebih bersifat subjektif. Tujuan umum yang hendak dicapai adalah memperoleh
kebahagiaan dan kesejahteraan lahir batin menuju kebahagiaan dan kesejahteraan dunia dan akhirat.
Adapun tujuan pernikahan secara rinci dapat dikemukakan sebagai berikut: (1) melaksanakan libido seksualis; (2) memperoleh keturunan; (3) memperoleh keturunan yang saleh; (4) memperoleh kebahagiaan
dan ketentraman; (5) mengikuti sunnah Nabi; (6) menjalankan perintah Allah; dan (7) untuk berdakwah.
Lihat buku Slamet Abidin dan Aminuddin, Fikih Munakahat 1, cet.1, (Bandung: Pustaka Setia, 1999),
hal. 12-18. 4 Q.S. ar-Rum/30 : 21
Peraturan Pemerintah No.9 tahun 1975 yaitu tentang pelaksanaan Undang-Undang No.1
tahun 1974 tentang Perkawinan, dan Intruksi Presiden No.1 tahun 1991 tentang
Kompilasi Hukum Islam (KHI) dan peraturan-peraturan lainnya mengenai perkawinan.5
Berkaitan perkawinan masih banyak persoalan yang perlu diteliti dan dilihat lebih
jauh, persoalan yang ingin dituangkan penulis dalam penelitian ini adalah perkawinan
yang sedang berlangsung tetapi salah satu pihak telah melakukan perbuatan murtad dan
akibat hukumnya terhadap anak dan harta bersama.
Perbuatan pindah agama menurut syara adalah keluar dari agama Islam, baik
menjadi kafir atau tidak beragama sama sekali. Dalam ikatan perkawinan, murtadnya
orang yang melakukan pindah agama salah satu pihak, baik atas kemauan sendiri maupun
karena bujukan dari orang lain akan dapat mengakibatkan putusnya ikatan perkawinan
dengan sendirinya, yang mana hal tersebut didasarkan atas pertimbangan keselamatan
agama dari wanita yang beragama Islam dan dikhawatirkan anak-anaknya akan
mengikuti agama bapaknya yang bukan Islam.
Adapun hal-hal yang mendorong penulis menulis judul ini adalah berdasarkan
prinsip Sayyid Sabiq dalam kitab fikih jilid II yaitu sebagai berikut:6
� ��اذا ار��� ا��وج او ا��و�� ا���� �!�"#� �$�%& ������ �/.� -ن� رد�ة أي وا'� &��& �!01 23
“Apabila suami istri murtad, maka putuslah hubungan perkawinan keduanya
karena riddahnya salah seorang dari suami-istri itu adalah hal yang
mewajibkan pisahnya mereka”.
Hal ini juga dipertegas dalam surat al-baqarah ayat 221 yang berbunyi:
5 Kompilasi diambil dari kata “compilaare” yang mempunyai arti mengumpulkan bersama-sama,
seperti mengumpulkan peraturan-peraturan yang tersebar berserakan di mana-mana. Istilah ini kemudian
dikembangkan menjadi “compilation” dalam bahasa Inggris atau “compilatie” dalam bahasa Belanda. 6 Sayyid Sabiq, Fiqh Sunnah Jilid II, (Bandung: PT: Al-Ma’arif), h. 389.
5M�� (�*���,� �F�⌧P3Q�R☺&�0� @STU� V����� @ W=��X��� Y=;Z����[� WQ�J�\ ����
C=⌧P3Q�R[� �*���� ������9�]��� � 5M�� (�*���,7 �B^�P3Q�R☺&�0� @STU� (�*,���� @ S_�C�7���� �����[� WQ�J�\
���� Ca3Q�R[� �*���� �����9�]��� � �Ccd���e�f� ��*�_� A�g34 ?0<,�0� (
hi0��� (�)*�_� A�g34 �=<Z�]&�0� ;�J��&�☺&�0��� ���"&D3j3� (
B3�^�C �� ����� ��� <0<Z��� ��1d��7�� ���JKP⌧l�� mnnop
Artinya: “Dan janganlah kamu menikahi wanita-wanita musyrik, sebelum mereka
beriman. Sesungguhnya wanita budak yang mukmin lebih baik dari wanita musyrik,
walaupun dia menarik hatimu. dan janganlah kamu menikahkan orang-orang musyrik
(dengan wanita-wanita mukmin) sebelum mereka beriman. Sesungguhnya budak yang
mukmin lebih baik dari orang musyrik, walaupun dia menarik hatimu. mereka mengajak
ke neraka, sedang Allah mengajak ke surga dan ampunan dengan izin-Nya. dan Allah
menerangkan ayat-ayat-Nya (perintah-perintah-Nya) kepada manusia supaya mereka
mengambil pelajaran “.(Q.S. al- Baqarah ayat 221)
Ayat diatas menjelaskan larangan berpegang teguh pada tali perkawinan dengan orang
kafir dan orang musyrik sebelum mereka beriman, dengan didasarkan atas pertimbangan
kemadharatan/dibawah kekuasaannya dan dikhawatirkan akan terbawa oleh agama
suaminya.
Akan tetapi jika kita lihat dalam kehidupan bermasyarakat masih banyak kita
temui masalah-masalah perpindahan agama. Yang mana satu sama lain tetap
mempertahankan agama dan keyakinannya masing-masing tanpa mengindahkan
larangan-larangan tersebut. Misalnya sebelumnya dia telah memeluk agama Islam
kemudian pindah kepada agama selain Islam. Ada beberapa alasan atau sebab seseorang
untuk pindah agama yaitu:
1. Karena mengikuti kehendak atau bujuk rayu dari suami atau isteri
2. Karena adanya tekanan atau ancaman yang memaksanya untuk pindah agama
3. Karena tertarik dengan jaran agama lain
4. Karena belum mengetahui / mengerti akibat dari perbuatannya bahwa
murtadnya itu akan berpengaruh dalam kehidupan rumah tangga
Banyaknya kasus yang terjadi peralihan agama setelah pernikahan secara Islami,
membuat penulis berkeinginan meneliti lebih jauh apakah yang harus dilakukan terhadap
persoalan ini dan akibat hukum apa saja yang ditimbulkan dari permasalahan tersebut?
Oleh karena itu penulis tertarik untuk menuangkannya dalam skripsi yang berjudul
“Murtad Dan Akibat Hukumnya Terhadap Status Perkawinan Dalam Perspektif Fikih
Dan KHI”.
B. PEMBATASAN DAN PERUMUSAN MASALAH
a) Pembatasan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah, penulis membatasi masalah sebagai
berikut:
1. Status Hukum Perkawinan Apabila Salah Satu Pasangan Murtad Berdasarkan
Fikih Dan Undang-Undang No 1 tahun 1974 ?
2. Akibat Hukum Yang Timbul Khususnya Terhadap Anak Dan Harta Bersama
Apabila Salah Satu Pasangan Murtad Dalam Perspektif Undang-Undang No 1
tahun 1974 Dan Kompilasi Hukum Islam.
b) Perumusan Masalah
Baik dalam Al-Qur’an, Hadits maupun dalam Fikih, dengan tegas dinyatakan
bahwa apabila salah satu pasangan suami istri murtad maka serta-merta perkawinan
menjadi putus atau fasakh. Sedangkan menurut Undang-Undang No.1 Th. 1974
dijelaskan bahwa perceraian itu akan sah apabila dilakukan di depan pengadilan.
Jadi, apabila salah satu murtad maka perkawinannya tetap sah sebelum diputuskan
di Pengadilan Agama. Dari perbandingan di atas, penulis merumuskan masalah
sebagai berikut :
1. Bagaimana status hukum perkawinan apabila salah satu pasangan murtad
berdasarkan fikih dan Undang-Undang No 1 tahun 1974?
2. Akibat hukum apa yang timbul terhadap anak dan harta bersama apabila salah
satu pasangan murtad dalam perspektif fikih dan Kompilasi
I TUJUAN DAN MANFAAT PENELITIAN
I. TUJUAN PENELITIAN
Sehubungan dengan masalah-masalah yang telah dijelaskan di atas, maka
penelitian ini mempunyai tujuan untuk mengetahui perbandingan antara hukum
Islam dan Undang-Undang Perkawinan No. 1 Th. 1974 dalam menyikapi
permasalahan perkawinan yang salah satu pasangan (suami atau isteri) murtad
(keluar dari Agama Islam) dan untuk mengetahui akabat hukum yang timbul
apabila salah satu pasangan murtad terhadap status perkawinan, anak dan harta
bersama dalam perspektif fikih dan Kompilasi Hukum Islam ?
II. MANFAAT PENELITIAN
Skripsi ini diharapkan memiliki dua manfaat :
1. Manfaat Praktis
Hasil penulisan skripsi ini diharapkan dapat memberikan sumbangan
pemikiran dalam rangka pembinaan, pembangunan dan pembaharuan hukum
Islam di Indonesia khususnya hukum-hukum yang mengatur tentang
perkawinan.
2. Manfaat Teoritis
Secara Teoritis, diharapkan penelitian ini dapat memperkaya khazanah
keilmuan di bidang hukum, di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif
Hidayatullah Jakarta, khususnya Fakultas Syari’ah dan Hukum.
B. KERANGKA TEORI
Dalam kehidupan di dunia yang indah ini, Allah SWT menciptakan makhluk-
makhluk-Nya berpasang-pasangan agar hidup berdampingan, saling mencintai dan
berkasih sayang untuk meneruskan keturunan.
Manusia sebagai makhluk sosial yang beradab, menjadikan makna “hidup
berdampingan” sebagai suami dan isteri dalam suatu perkawinan yang diikat oleh hukum,
agar menjadi sah dan disertai dengan tanggung jawab. Seorang pria dan seorang wanita
yang memasuki kehidupan suami dan isteri, berarti telah memasuki gerbang baru dalam
kehidupannya untuk membentuk sebuah rumah tangga yang sakinah.
Perkawinan adalah merupakan suatu istilah yang hampir tiap hari didengar atau
dibaca dalam media massa. Namun jika ditanyakan apa yang di maksud dengan istilah
tersebut, maka orang akan berpikir terlebih dahulu untuk memdapatkan formulasi,
walaupun sebenarnya apa yang di maksud dengan istilah itu telah ada dalam pikiran
dengan jelas.
Dalam agama, perkawinan dianggap suatu lembaga yang suci. Upacara pasangan
suami isteri atau saling minta menjadi pasangan hidup dengan mempergunakan nama
Allah.
Dalam tinjauan hukum Islam dan Undang-Undang Perkawinan, salah satu yang
menyebabkan putusnya perkawinan adalah murtad. Persoalan kemurtadan seseorang
dianggap sebagai suatu hal khusus dan penting jika dikaitan dengan perkawinan. Ada
pendapat yang menyatakan bahwa perkawinan antara wanita muslimah dengan seorang
laki-laki yang bukan Islam adalah tidak sah.
Murtad mempunyai pengaruh yang besar terhadap kehidupan seseorang, terutama
dalam hubungannya dengan masyarakat seperti perkawinan, hak waris dan hak-hak
lainnya.
Di dalam Undang-Undang No. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan, terdapat larangan
perkawinan yang mengakibatkan adanya pencegahan dan pembatalan perkawinan.
Larangan perkawinan itu dijelaskan antara lain pada Pasal 8 butir f yaitu perkawinan
dilarang antara dua orang yang mempunyai hubungan yang oleh agamanya atau peraturan
lain yang berlaku dilarang kawin.
Kompilasi Hukum Islam juga menuangkan hal tersebut pada Pasal 40 yakni
dilarang melangsungkan perkawinan antara seorang pria dengan seorang wanita karena
keadaan tertentu:
a. Karena wanita yang bersangkutan masih terikat satu perkawinan dengan pria lain
b. Seorang wanita yang masih berada dalam masa iddah dengan pria lain
c. Seorang wanita yang tidak beragama Islam.
Untuk kasus murtad, banyak yang belum menyadari akan akibat yang
ditimbulkan. Seperti yang sering terjadi, ikatan perkawinan beda agama (murtad salah
satunya) masih terus dipertahankan, bahkan tidak sedikit yang terang-terangan mengakui
bahwa perbuatannya itu tidak apa-ap
C. METODE PENELITIAN
1. Jenis Penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian hukum dengan menggunakan metode
penelitian dan cara penulisan metode diskriptif-analisis.
Metode diskriptif ini dilakukan untuk mendeskripsikan permasalahan murtad
dalam perkawinan yang dilangsungkan menurut hukum Islam, dan menggambarkan
secara menyeluruh tentang Undang-Undang No. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan,
Kompilasi Hukum Islam (KHI) dan Peraturan Perundang-undangan yang berkaitan
dengan permasalahan tersebut, dan metode analisis dilakukan untuk melakukan
analisis tentang kasus murtad dalam perkawinan yang dilakukan menurut hukum
Islam.
2. Teknis Pengumpulan Data
Data yang digunakan dalam Penelitian ini adalah library research untuk
memperoleh data skunder yang terdiri dari bahan-bahan penelitian hukum. Bahan-
bahan hukum tersebut meliputi:
a. Bahan Hukum Primer, yaitu:
1) Kitab Fikih ( Imam Mazhab )
2) Undang-Undang No. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan.
3) Peraturan Pemerintah No. 9 tahun 1975 tentang Peraturan Pelaksana
Undang-Undang No. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan
4) Intruksi Presiden No. 1 tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam (KHI)
b. Bahan Hukum Skunder
1) Buku-buku literatur hukum
2) Artikel dan makalah
c. Bahan Hukum Tertier
1) Kamus
2) Ensiklopedi
Adapun dalam teknis penulisan skripsi ini, penulis berpedoman kepada “buku
pedoman skripsi , tesis dan disertasi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta” yang diterbitkan
oleh PT Hikmah Syahid, Jakarta 2007.
D. SISTEMATIKA PENULISAN
Sistematika penulisan dalam penelitian ini antara lain memuat beberapa bab dan
sub-bab, yang meliputi point penting terhadap permasalahan yang ada, yaitu:
Bab I : Pendahuluan, yang meliputi pembahasan mengenai latar belakang,
identifikasi masalah, tujuan penelitian, kegunaan penelitian, tinjauan
pustaka, kerangka teori, metode penelitian dan sistematika penelitian.
Bab II : Perkawinan Dan Permasalahannya, yang meliputi pembahasan
mengenai pengertian dan dasar perkawinan, asas-asas dan prinsip-
prinsip perkawinan, dan syarat-syarat perkawinan.
Bab III : Murtad dan akibat hukumnya terhadap perkawinan, yang meliputi
pembahasan mengenai konsepsi umum tentang murtad, kedudukan
murtad dalam perkawinan, konsepsi Islam tentang murtad dalam
perkawinan, status hukum perkawinan apabila salah satu pasangan
murtad menurt fikih dan kompilasi hukum Islam.
Bab IV : Murtad dan akibat hukum terhadap anak dan harta bersama , menurut
Undang-Undang No 1 tahun 1974 dan kompilasi hukum Islam
Bab V : Penutup, meliputi pembahasan kesimpulan dan saran.
BAB II
PERKAWINAN DAN PERMASALAHANNYA
A. Pengertian dan Dasar Perkawinan
1. Pengertian Perkawinan
Perkawinan merupakan peristiwa yang amat sacral dalam kehidupan seseorang.
Sampai-sampai seseorang atau dalam hal ini pengantin terus berupaya mengabadikan
upacara perkawinannya seunik mungkin, misalnya akad perkawinan yang di
selenggarakan di depan ka”bah bahkan ada juga yang lebih ekstrim lagi yaitu upacara
perkawinan yang di laksanakan di udara-udara mempelai di terjunkan dari pesawat dan
ritual di lakukan di awan dengan bantuan parasut
Perkawinan juga merupakan suatu istilah yang hampir tiap hari didengar atau dibaca
dalam media massa. Namun jika ditanyakan apa yang di maksud dengan istilah tersebut,
maka orang akan berpikir terlebih dahulu untuk mendapatkan formulasi, walaupun
sebenarnya apa yang di maksud dengan istilah itu telah ada dalam pikiran dengan jelas.
Sebelum memasuki masalah ini lebih dalam kiranya harus dipahami terlebih dahulu
tentang pengertian perkawinan.
Perkawinan menurut bahasa Arab berasal dari kata al- nikah, yang bermakna al-
wathi’ dan al-dammu wa al-tadakhul. Terkadang juga disebut al-dammu wa al-jam’u,
atau ‘ibarat ‘an al-wathi’ wa al-‘aqd yang bermakna bersetubuh, berkumpul dan akad
yang menghalalkan pergaulan dan membatasi hak dan kewajiban serta tolong- menolong
antara seorang laki-laki dan seorang perempuan yang bukan mahram.7
7 Sulaiman Rasjid, Fikih Islam, (Bandung: sinar baru algensindo, tahun 2000, Cet. 33)
h. 374
13
Sesuai dengan firman Allah SWT, dalam surah al-Nisa yang berbunyi:
(�*���"00�q 0�� \r0�s ����� \���� ��i0t ��Z�0� @S;8�u�� �v���7w��
�x���y?�� ( ��3j�q w.&��\ {M�� (�*���_�7� |;�_���*�q )�5ء� ) ٣ 6%رة ا�
Maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi : dua, tiga atau empat.
Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil8, Maka (kawinilah) seorang
saja9( Q.S an-Nisa ayat 3 )
Nikah adalah salah satu asas pokok hidup yang paling utama dalam pergaulan atau
masyarakat yang sempurna. Pernikahan itu bukan sja merupakan satu jalan yang amat
mulia untuk mengatur kehidupan rumah tangga dan keturunan, tetapi juga dapat
dipandang sebagai satu jalan menuju pintu perkenalan antara suatu kaum dengan kaum
lain, dan perkenalan itu akan menjadi jalan untuk menyampaikan pertolongan antara satu
dengan yang lainnya.
Sebenarnya pertalian nikah adalah pertalian yang seteguh-teguhnya dalam hidup dan
kehidupan manusia, bukan saja antara suami isteri dan keturunannya, melainkan antara
dua keluarga. Karena dari baiknya pergaulan si isteri dengan suaminya, kasih mengasihi,
akan berpindahlah kebaikan itu kepada semua keluarga dari kedua belah pihaknya,
sehingga mereka menjadi satu dalam segala urusan saling tolong-menolong sesamanya
dalam menjalankan kebaikan dan mencegah segala kejahatan. Selain itu, dengan
pernikahan seseorang akan terpelihara dari kebinasaan hawa nafsunya. sejalan dengan
8 Berlaku adil ialah perlakuan yang adil dalam meladeni isteri seperti pakaian, tempat, giliran dan
lain-lain yang bersifat lahiriyah. 9 Islam memperbolehkan poligami dengan syarat-syarat tertentu. sebelum turun ayat Ini poligami
sudah ada, dan pernah pula dijalankan oleh para nabi sebelum nabi Muhammad s.a.w. ayat Ini membatasi
poligami sampai empat orang saja.
sabda Rasulullah SAW: Dari Aisyah, “ nikahilah olehmu kaum wanita itu, maka
sesungguhnya mereka akan mendatangkan harta (rezeki) bagi kamu.”( HR. Hakim dan
Abu daud).
Dari semua penjelasan diatas, faedah yang terbesar dalam pernikahan ialah untuk
menjaga dan memelihara perempuan yang bersifat lemah itu dari kebinasaan, sebab
seorang perempuan, apabila ia sudah menikah, maka nafkahnya (biaya hidupnya) wajib
ditanggung oleh suaminya. Dan pernikahan juga berguna untuk memelihara kerukunan
anak cucu (keturunan), sebab kalau tidak dengan nikah, tentulah anak tidak berketentuan
siapa yang akan mengurusnya dan siapa yang bertanggung jawab atasnya. Nikah juga
dipandang sebagai kemaslahatan umum, sebab kalau tidak ada pernikahan, tentu manusia
akan menurutkan sifat kebinatangannya, dan dengan sifat ituakan timbul perselisihan,
bencana dan permusuhan antara sesamanya.
Demikianlah maksud pernikahan yang sejati didalam Islam. Singkatnya adalah untuk
kemaslahatan dalam rumah tangga dan keturunan dan juga untuk kemaslahatan
masyarakat. Oleh sebab itu, syariat Islam mengadakan beberapa peraturan untuk menjaga
keselamatan pernikahan tersebut, tetapi sebelum menerangkan syarat-syarat dan
rukunnya, begitu juga dengan prinsip-prinsip pernikahan, terlebih dahulu akan diuraikan
tujuan pernikahan dalam anggapan yang berlaku atas kehendak manusia, karena telah
banyak anggapan dari para pemuda baik dari zaman dahulu hungga sekarang, mereka
ingin menikah karena beberapa sebab, diantaranya yaitu:
1. Karena mengharapkan harta benda
2. Karena mengharapkan kebangsawanannay
3. Karena ingin melihat kecantikannya
4. Karena agama dan budi pekertinya yang baik.
Dari beberapa tujuan pernikahan yang telah disebutkan, sesungguhnya tujuan yang
keempatlah yang paling diutamakan, karena agama dan budi pekerti inilah yang patut dan
baik menjadi ukuran untuk pergaulan yang akan kekal, serta dapat menjadi dasar
keturunan dan kemaslahatan rumah tangga serta semua keluarga. Sejalan sabda
Rasulullah SAW: “Barang siapa menikahi seorang perempuan karena agamanya, niscaya
Allah akan mengaruniainya dengan harta.
Jadi jelaslah bahwa hendaknya agama dan budi pekerti itulah yang menjadi pokok
yang utama untuk pemilihan dalam pernikahan. Agar tidak terjadi suatu perceraian maka
pertimbangkanlah terlebih dahulu dengan sedalam-dalamnya antara manfaat dan
mudharatnya yang bakal terjadi dihari kemudian, sebelum mempertalikan suatu
pernikahan10
Sedangkan dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) memberikan definisi tentang
perkawinan sebagaimana yang tercantum dalam Pasal 2, yaitu: “Perkawinan menurut
hukum Islam adalah pernikahan, yaitu akad yang sangat kuat atau mitsaqan ghalidzan
untuk mentaati perintah Allah dan melaksanakannya merupakan ibadah”
Dalam Undang-Undang No. 1 tahun 1974 tentang perkawinan, dalam pasal 1
menjelaskan perkawinan sebagai ikatan lahir bathin antara seorang pria dengan seorang
wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga bahagi dan kekal
berdasarkan ketuhanan yang maha esa.sedangkan dalam pasal 2 juga menjelaskan tentang
perkawinan yang mana perkawinan itu akan sah apabila dilakukan menurut hukum
10 Rasjid, Fikih Islam, h. 378
masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu, dan tiap-tiap perkawinan dicatat
menurut peraturan perundang-undanganan yang berlaku.11
Ikatan lahir batin yang di maksud dalam pasal tersebut mempunyai dua pengertian
yang berbeda yakni, ikatan lahir dan ikatan batin. Ikatan lahir adalah merupakan ikatan
yang kelihatan, ikatan formal sesuai dengan peraturan-peraturan yang ada. Ikatan formal
ini adalah nyata, baik yang mengikat dirinya, yaitu suami dan isteri, maupun orang lain
yaitu masyarakat luas, sedangkan ikatan batin adalah ikatan yang tidak kelihatan secara
langsung, merupakan ikatan psikologis yang mengikat suami dan isteri yaitu perasaan
cinta dan tanpa paksaan
Berdasarkan definisi yang telah tercantum dalam Undang-Undang Perkawinan No. 1
tahun 1974, masih dapat diperinci dengan tiga bagian yaitu:
1. Perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai
suami isteri.
2. Ikatan lahir batin itu ditujukan untuk membentuk keluarga (rumah tangga) yang
bahagia yang kekal dan sejahtera.
3. Ikatan lahir batin dan tujuan bahagia yang kekal itu berdasarkan kepada Ketuhanan
Yang Maha Esa.
Perkawinan juga harus dilihat dari beberapa segi antara lain:
1. Perkawinan dari segi pelaksanaan
a. Cara mengadakan ikatan perkawinan telah diatur
terlebih dahulu yaitu dengan akad nikah dan dengan rukun dan syarat tertentu.
11 Departemen Agama, Undang-undang perkawinan, (Bandung: Citra Umbara, 2007. h.2
b. Cara menguraikan atau memutuskan ikatan
perkawinan juga telah diatur sebelumnya yaitu dengan prosedur talak,
kemungkinan fasakh, syiqaq dan sebagainya.
2. Perkawinan dari segi sosial.
Dalam masyarakat setiap bangsa, ditemui oleh suatu penilaian yang umum, ialah
bahwa orang yang berkeluarga atau pernah berkeluarga mempunyai kedudukan yang
lebih dihargai dari mereka yang belum nikah.
3. Perkawinan dari segi agama.
Dalam agama, perkawinan dianggap suatu lembaga yang suci. Upacara pasangan
suami isteri atau saling minta menjadi pasangan hidup dengan mempergunakan nama
Allah.
Menurut pendapat penulis pengertian perkawinan yang diberikan para pakar
menunjukkan ada dua sisi penting dari perkawinan, yang pertama perkawinan adalah
pengesahan hubungan seksual, dan yang kedua perkawinan adalah sebuah perjanjian.
2. Dasar - Dasar Perkawinan
Teori dasar perkawinan adalah berdasarkan teori “manusia sebagai makhluk sosial”,
yang pada dasarnya manusia sangat membutuhkan manusia yang lain untuk dapat
memenuhi kebutuhannya. Manusia juga merupakan makhluk yang sempurna karena akal
dan nuraninya, maka dalam pemenuhan kebutuhan terhadap manusia lain, manusia
mengatur pemenuhan kebutuhan itu sesuai dengan kedudukannya sebagai manusia yang
sempurna.
Dasar-dasar perkawinan telah diatur dalam Undang-Undang Perkawinan No. 1 tahun
1974, pasal 1-4 yang berbunyi sebagai berikut:
Pasal 1: perkawinan adalah ikatan lahir bathin antara seorang pria dengan seorang
wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga(rumah tangga) yang
bahagia dan kekal berdasarkan ketuhanan Yang Maha Esa.
Pasal 2 ayat 1: perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-
masing agamanya dan kepercayaannya itu. Dan ayat 2 berbunyi: tiap-tiap perkawinan
dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Pasal 3 ayat 1: pada asasnya dalam suatu perkawinan seorang pria hanya boleh
mempunyai seorang isteri. Seorang wanita hanya boleh mempunyai seorang suami. Dan
ayat 2 berbunyi: pengadilan dapat memberi izin kepada seorang suami untuk beristeri
lebih dari seorang apabila dikehendaki oleh pihak-pihak yang bersangkutan.
Pasal 4 ayat 1 berbunyi: dalam hal seorang suami akan beristeri lebih dari seorang
sebagaimana tersebut dalam pasal 3 ayat (2) Undang-Undang ini, maka wajib
mengajukan permohonan kepada pengadilan di daerah tempat tinggalnya. Dan ayat (2)
berbunyi: pengadilan dimaksud dalam ayat 1 pasal ini hanya memberikan izin kepada
seorang suami yang akan beristeri lebih dari seorang apabila;
a. isteri tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai isteri.
b. Isteri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan
c. Isteri tidak dapat melahirkan keturunan.
Pasal 5 ayat 1 berbunyi: untuk dapat mengajukan permohonan kepada pengadilan,
sebagaimana dimaksud dalam pasal 4 ayat (1) Undang-Undang ini, harus dipenuhi syarat-
syarat sebagai berikut:
a. Adanya persetujuan dari isteri-isteri
b. Adanya kepastian bahwa suami mampu menjamin keperluan-keperluan hidup isteri-
isteri dan anak-anak mereka
c. Adanya jaminan suami akan berlaku adil terhadap isteri-isteri dan anak-anak mereka.
Dan ayat (2) berbunyi: persetujuan yang dimaksud pada ayat (1) huruf a pasal ini
tidak diperlukan bagi seorang suami apabila isteri-isterinya tidak mungkin dimintai
persetujuannya dan tidak dapat menjadi pihak dalam perjanjian, atau apabila tidak ada
kabar dari isterinya selama sekurang-kurangnya 2 tahun, atau karena sebab-sebab lainnya
yang perlu mendapat penilaian dari hakim pengadilan.12
Sedangkan yang menjadi dasar hukum perkawinan dalam hukum positif Indonesia
dan masih berlaku sampai saat ini adalah sebagai berikut:
a. Undang-Undang No.22 tahun 1946 jo Undang-Undang No. 32 tahun 1954 tentang
Pencatatan Nikah, Talak Dan Rujuk.
b. Undang-Undang No. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan.
c. Undang-Undang No. 7 tahun 1989 tentang Peradilan Agama.
d. Peraturan Pemerintah No. 9 tahun 1975 tentang pelaksanaan Undang-Undang No.1
tahun 1974 tentang Perkawinan.
e. Peraturan Pemerintah No. 10 tahun 1983 jo Peraturan Pemerintah No. 45 tahun 1990
tentang Izin Perkawinan Dan Perceraian Bagi Pegawai Negeri Sipil.
f. Intruksi Presiden RI No. 1 tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam
g. Keputusan Menteri Agama No. 154 tahun 1991 tentang Pelaksanaan Instruksi
Presiden RI No. 1 tahun 1991 tentang Penyebarluasan Kompilasi Hukum Islam
h. Keputusan menteri pertahanan keamanan/panglima angkatan bersenjata No.
KEP/01/1/1980 tentang peraturan perkawinan, perceraian dan rujuk anggota ABRI
12 Ibid, h. 3
i. Petunjuk teknis No. Pol: JUKNIS/01/III/1981 tentang perkawinan, perceraian dan
rujuk bagi anggota POLRI.
B. Asas-Asas dan Prinsip-Prinsip Perkawinan
1. Asas-Asas Perkawinan
Kompilasi Hukum Islam di Indonesia merupakan pengembangan dari hukum
perkawinan yang tertuang di dalam Undang-Undangnomor 1 tahu 1974. karena itu, ia
tidak dapat lepas dari misi yang di emban oleh Undang-Undang Perkawinan tersebut;
kendatipun cakupannya hanya terbatas bagi kepentingan ummat Islam.
Karena kompilasi dalam banyak hal merupakan penjelasan Undang-Undang
Perkawinan, maka asas-asas atau prinsip-prinsipnya di kemukakan dengan mengacu
kepada Undang-Undang tersebut
Ada enam asas yang prinsipil dalam Undang-Undang Perkawinan ini, antara lain
yaitu:
a) Tujuan perkawinan adalah membentuk keluarga yang bahagia dan kekal. Untuk itu
suami isteri perlu saling membantu dan melengkapi agar masing-masing dapat
mengembangkan kepribadiannya membantu dan mencapai kesejahteraan spiritual dan
material.
b) Dalam Undang-Undang ini di tegaskan bahwa suatu perkawinan adalah saha pabila
dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu, dan
disamping itu tiap-tiap perkawinan “harus dicatat “ menurut peraturan perundang-
undangan yang berlaku.
c) Undang-Undang ini menganut asas monogomi. Hanya apabila dikehendaki oleh yang
bersangkutan, karena hukum dan agama dari yang bersangkutan mengizinkan seorang
suami dapat beristeri lebih dari seorang.
d) Undang-Undang perkawinan ini menganut prinsip bahwa calon suami isteri harus
telah masuk jiwa raganya untuk dapat melangsungkan perkawinan, agar dapat
mewujudkan tujuan perkawinan secara baik tanpa berpikir pada perceraian dan
mendapat keturunan yang baik dan sehat.
e) Karena tujuan perkawinan adalah untuk membentuk keluarga yang bahagia kekal dan
sejahtera, maka Undang-Undang ini menganut prinsip untuk mempersulit terjadinya
perceraian.
f) Hak dan kedudukan istri adalah seimbang dengan hak dan kedudukan suami, baik
dalam kehidupan rumah tangga maupun dalam kehidupan masyarakat, sehingga
dengan demikian segala sesuatu dalam keluarga dapat dirundingkan dan diputuskan
bersama oleh suami isteri.13
f.1 Asas yang pertama, membentuk keluarga yang bahagia dan kekal, sejalan
dengan firman Allah
������ ������ ��� ���� ������ ����� ����� ����� !�"�� #☯���&'�� (�)*,�� �.�/� 0�1&2��34 56�7�8�� �!9�,�:�� ,;<2�*<� =�☺��?�� @ <�34 A3B �C���D EF�� G� HI�*�4�/� ���JK�⌧���
Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah dia menciptakan untukmu isteri-isteri
dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan
dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu
benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir(Q.S ar-Rum,ayat 21)
13 Ahmad Rafiq, Hukum Islam DI Indonesia. (Jakarta : PT Raja Grafindo Persada, 2003), Cet.
VI, h. 56
f.2. Asas kedua, keabsahan perkawinan didasarkan pada hukum agama dan
kepercayaan pihak melaksanakan perkawinan, dan harus dicatat.
f.3. Asas ketiga, asas monogami sejalan dengan surat an-nisa ayat 3 yang
berbunyi:
��34�� �U�}&��\ {M�� (�*�~� &47 A3B @?�����l&�0� (�*���"00�q 0�� \r0�s �����
\���� ��i0t ��Z�0� @S;8�u�� �v���7w�� �x���y?�� ( ��3j�q w.&��\ {M��
(�*���_�7� |;�_���*�q ���� 0�� �F������ ����Z��☺� �� @ �C���D �A;��2�� {M��
(�*��*7� .
Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yang
yatim (bilamana kamu mengawininya), Maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu
senangi : dua, tiga atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku
adil[14
], Maka (kawinilah) seorang saja[15
], atau budak-budak yang kamu miliki. yang
demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya.(Q.S. an-Nisa, ayat 43)
f.4. Asas keempat juga sejalan dengan firman Allah surat al-Rum ayat 21, seperti
telah dijelaskan terlebih dahulu. Karena tujuan perkawinan akan dapat lebih mudah
dicapai apabila kedua mempelai telah masuka jiwa raganya.
f.5. Asas kelima mempersulit terjadinya perceraian, hal ini didasarkan pada hadis
yang berbunyi:
) ) رواG ا % داود وا : &��F وا��AآD( ا BC ا�0Aل ا�? ا< ا��0ق : م . 1: ا : 1�� 1: ا��$9 ص
14
Berlaku adil ialah perlakuan yang adil dalam meladeni isteri seperti pakaian, tempat, giliran dan
lain-lain yang bersifat lahiriyah. 15
Islam memperbolehkan poligami dengan syarat-syarat tertentu. sebelum turun ayat Ini poligami
sudah ada, dan pernah pula dijalankan oleh para nabi sebelum nabi Muhammad s.a.w. ayat Ini membatasi
poligami sampai empat orang saja.
Artinya :”perbuatan halal yang paling dibenci Allah adalah talak (perceraian). (riwayat
abu dawud, ibn majah, dan disahihkan oleh al-hakim).16
f.6. Asas keenam sejalan dengan firman Allah yang berbunyi:
�#����J�0� ��*��*�# A�� ��i0t ��Z�0� 0�☺3� 56{��q hi0� w15��7�� @A�� g��7��
i0�☺3��� (�*!4⌧�"�� ���� ��31���*&��� @ !F���3�����00�q xF���,��# WF��!����
��&l�q��/� 0�☺3� ⌧���� hi0� @
Artinya: “Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh Karena Allah
Telah melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain (wanita), dan
Karena mereka (laki-laki) Telah menafkahkan sebagian dari harta mereka. sebab itu
Maka wanita yang saleh, ialah yang taat kepada Allah lagi memelihara diri ketika
suaminya tidak ada, oleh Karena Allah Telah memelihara (mereka”. (Q.S. al-Nisa ayat
43)
Pencatatan perkawinan juga merupakan salah satu asas dalam Undang-Undang
Perkawinan, yang diatur pelaksanaannya dalam peraturan pemerintah nomor 9 tahun
1975, dan diikuti perumusan yang lebih rinci dalam kompilasi hukum Islam. Dibawah ini
akan dikutip pasal-pasal yang mengatur pencatatan perkawinan.
Pasal 1 Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 menegaskan bahwa perkawinan ialah
ikatan lahir bathin antara seorang pria dengan seorang wanitasebagai suami isteridengan
tujuan membentuk keluarga yang bahagia dan kekal berdsarkan ketuhanan Yang Maha
Esa.Selanjutnya dalam pasal 2 diatur tentang keabsahan perkawinan, yaitu ayat
(1).”perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya
dan kepercayaannya itu”. Ayat (2) menyatakan” tiap-tiap perkawinan dicatat menurut
peraturan perundang-undangan yang berlaku”. Dalam versi kompilasi hukum Islam
pencatatan perkawinan diatur dalam pasal 5 dan 6. namun karena pencatatan perkawinan
16 Al-san’any, Terjemah Subul al-Salam , ( kairo: Dar Ihya al-Turas al-Araby, 1960, juz 3), h.
168
adalah merupakan syarat administratif, dibawah ini dikutip ketentuan keabsahan
perkawinan.
Pasal 2 : perkawinan menurut hukum Islam adalah pernikahan atau akad yang sangat
kuat atau mitsaqon galidzan untuk mentaati perintah Allah dan melaksanakannya
merupakan ibadah.
Pasal 3 : perkawinan bertujuan untuk mewujudkan kehidupan rumah tangga yang
sakinah, mawaddah dan rahmah(tentram, cinta dan kasih sayang).17
2. Prinsip-prinsip Perkawinan
Ada beberapa prinsip perkawinan menurut agama Islam, yang perlu diperhatikan agar
perkawinan itu benar-benar berarti dalam hidup manusia melaksanakan tugasnya
mengabdi pada Tuhan. Dan adapun prinsip-prinsip perkawinan dalam island itu adalah :18
1. Memenuhi dan melaksanakan perintah agama. Sebagaimana dimuka telah dijelaskan
bahwa perkawinan adalah sunnah Nabi, itu berarti bahwa melaksanakan perkawinan
itu pada hakekatnya merupakan pelaksanaan dari ajaran agama.
2. Kerelaan dan persetujuan
Sebagai salah satu syarat yang harus dipenuhi oleh pihak yang hendak
melangsungkan perkawinan adalah “Ikhtiyar”(tidak dipaksa) pihak yang
melangsungkan perkawinan itu dirumuskan dengan kata-kata kerelaan calon isteri
dan suami atau persetujuan mereka.
3. Perkawinan untuk selamanya
17 Departemen Agama, Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, ( Bandung: Citra Umbara, 2007 ),
h.228 18 Departemen Agama RI, Ilmu Fikih ( Jakarta: 1984/1985, Cet. Ke 2 ), h. 69
Tujuan perkawinan antara lain untuk dapat berketurunan dan untuk ketenangan,
ketentraman dan cinta serta kasih saying, kesemuanya ini dapat dicapai hanya dengan
prinsip bahwa perkawinan adalah untuk selamanya, bukan hanya dalam waktu
tertentu saja. Itulah prinsip perkawinan dalam Islam yang harus atas dasar kerelaan
hati dan sebelumnya yang bersangkutan telah melihat lebih dahulu sehingga nantinya
tidak menyesal setelah melangsungkan perkawinan dan dengan melihat dan
mengetahui lebih dahulu akan dapat mengekalkan persetujuan suami isteri.
4. Monogami dan Poligami
Monogami artinya seorang kawin dengan satu isteri, sedang poligami artinya seorang
laki-laki mempunyai lebih dari satu isteri. Dan sebaliknya seorang wanita yang
mempunyai lebih dari seorang suami disebut” poliandri”
Islam membolehkan kawin poligami, tetapi membatasi jumlahnya tidak lebih dari
empat dan dengan syarat harus berlaku adil.
5. Suami sebagai penanggung jawab umum dalam rumah tangga
Dalam hukum Islam, tidak selamanya wanita dan pria mempunyai hak dan kewajiban
yang sama, adakalanya wanita lebih besar hak dan kewajibannya dari pria dan
adakalanya pria lebih besar hak dan kewajibannya dari wanita.
Apabila seorang wanita dan pria melakukan perkawinan maka masing-masing tetap
membawa hak dan kewajibannya sebagai mukallaf, tetapi dalam perkawinan itu masing-
masing merelakan sebagian haknya dan menaggung kewajiban baru, disamping
mendapatkan hak-hak baru dari masing-masing pihak. Masing-masing harus merelakan
hak, seperti hak kebebasan seperti sebelum berumah tangga, masing-masing
mendapatkan hak seperti hak memenuhi kebutuhan biologisnya, hak mendapat warisan
satu dari yang lain bilasalah satu meninggal dunia. Demikian juga masing-masing
mendapat kewajiban baru seperti, suami wajib melindungi isteri dan anak-anaknya, suami
wajib memberikan nafkah. Dan wajib melayani keperluan suami sesuai dengan ketentuan
yang ada.
Sekalipun suami isteri masing-masing mempunyai hak dan kewajiban yang telah
ditentukan, namun menurut ketentuan hukum Islam, suami mempunyai kedudukan lebih
dari isteri, sesuai firman Allah dalam sutah an-Nisa ayat 34 yang berbunyi:
�#����J�0� ��*��*�# A�� ��i0t ��Z�0�
0�☺3� 56{��q hi0� w15��7�� @A�� g��7��
i0�☺3��� (�*!4⌧�"�� ���� ��31���*&���
@
Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh Karena Allah Telah
melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain (wanita), dan
Karena mereka (laki-laki) Telah menafkahkan sebagian dari harta mereka(Q.S an-Nisa
ayat 34).
Ketentuan kedudukan suami lebih tinggi dari isteri bukan berarti bahwa suami
berkuasa atas isteri, kelebihan suami atas isteri dalam rumah tangga, karena suami adalah
pemimpin rumah tangga. Sudah sewajarnyalah pemimpin mempunyai hak dan kewajiban
yang lebih dari warga yang ada dalam rumah tangga, disamping pada umumnya laki-laki
dikaruniai jasmani lebih kuat dan pada umumnya karena beban tanggung jawab nafkah
keluarga ada ditangan suami.
Dan apabila disesuaikan dengan landasan falsafah pancasila dan landasan Undang-
Undang Dasar 1945, sebagaimana Undang-Undang Perkawinan selain kompilasi harus
mewujudkan prinsip-prinsip yang terkandung dalam pancasila dan Undang-Undang
Dasar 1945 juga dituntut mampu menampung segala kenyataan yang hidup di dalam
masyarakat dewasa ini.
Atas dasar pemikiran diatas itulah, perkawinan yang diatur dalam kompilasi
menentukan prinsip-prinsip perkawinan yang antisipatif terhadap perkembangan dan
tuntutan zaman. Prinsip-prinsip perkawinan tersebut adalah :
a) Bagi orang-orang Indonesia asli yang beragama Islam berlaku hukum agama yang
telah diresipir dalam hukum adat
b) Bagi orang-orang Indonesia asli lainnya berlaku hukum adat
c) Bagi orang-orang Indonesia asli yang beragama Kristen berlaku
Huwelijkosordonantie Cristen Indonesia
d) Bagi orang-orang Timur Asing Cina dan warga Negara Indonesia keturunan Cina
berlaku ketentuan-ketentuan kitab Undang-Undang hukum perdata dengan sedikit
perubahan
e) Bagi orang-orang timur asing lainnya dan warga keturunan timur asing lainnya
tersebut berlaku hukum adapt lainnya
f) Bagi orang-orang eropa dan warga Negara Indonesia keturunan eropa dan yang
disamakan dengan mereka berlaku kitab undang-undang hukum perdata.19
3. Syarat-Syarat Perkawinan
Perkawinan merupakan salah satu perintah agama kepada yang mampu untuk segera
melaksanakannya. Karena dengan perkawinan, dapat mengurangi maksiat penglihatan,
memelihara diri dari perbuatan zina. Oleh karena itu, bagi mereka yang berkeinginan
untuk menikah, sementara perbekalan belum siap, dianjurkan berpuasa. Dengan
berpuasa, diharapkan dapat membentengi diri dari perbuatan tercela yang sangat keci,
19 Rafiq, Hukum Islam di Indonesia, h.55
yaitu perzinahan. Yang dinyatakan dalam hadits riwayat dari Abdullah ibn Mas’ud,
Rasulullah SAW bersabda :
ا�5$� ب &: ا M6��ع &�DK ی� &�I3 ا : 1: 1$�< : &35%د 1: ا��0H 9$ ا< #1�F وD#6 !�لOM5ی D� :&ج و�"#� :P'وا �P$#� BQا F��R وج�M�#R و�� ع ا�$�ءة F� F��R م%P� � F�#3R
) S"M�F ( ء
Artinya: ”wahai kaum muda, barang siapa diantara kamu menyiapkan bekal, nikahlah,
karena sesungguhnya nikah dapat menjag penglihatan dan memelihara farji.
Barangsiapa tidak mampu maka hendaknya ia berpuasa, karena puasa dapat menjadi
benteng ( muttafaq ‘alaih )20
Perkawinan merupakan wadah penyaluran kebutuhan bioligis manusia yang wajar,
dan dalam ajaran Nabi, perkawinan ditradisikan menjadi sunnah beliau. Hadis riwayat
dari Anas ibn Malik, bahwa Nabi SAW. Memuji Allah dan Anas melihatnya dan beliau
bersabda:
9�& T�#R 9M�6 :1 UQر :�R �5 ء�) S"M�K� )F: اH#9 وا��م واH%م واR�� وا��وج ا�
Artinya: “Akan tetapi aku shalat, tidur, pusa, berbuka, dan aku menikahi perempuan.
Maka barangsiapa membenci sunnahku, maka ia bukan termasuka golonganku (muttafaq
‘alaih)21
Karena itulah, perkawinan yang syarat nilai dan bertujuan untuk mewujudkan
kehidupan urumah tangga yang sakinah, mawaddah dan rahma, perlu diatur dengan
syarat dan rukun tertentu, agar tujuan disyariatkannya perkawinan tercapai.
Untuk memperoleh gambaran yang jelas mengenai syarat dan rukun perkawinan
menurut hukum Islam, maka akan dijelaskan sebagai berikut:
a. Calon mempelai pria, syarat-syaratnya:
20 Al-san’any, Terjemah Subul al-Salam, h. 109 21 Ibid, h. 110
1) Beragama Islam
2) Laki-laki
3) Jelas orangnya
4) Dapat memberikan persetujuan
5) Tidak terdapat halangan perkawinan
b. Calon mempelai wanita, syarat-syaratnya:
1) Beragama, meskipun Yahudi atau Nasrani
2) Perempuan
3) Jelas orangnya
4) Dapat dimintai persetujuan
5) Tidak terdapat halangan persetujuan
c. Wali nikah, syarat-syaratnya:
1) Laki-laki
2) Dewasa
3) Mempunyai hak perwalian
4) Tidak terdapat hak perwalian
d. Saksi nikah, syarat-syaratnya:
1) Minimal dua orang laki-laki
2) Hadir dalam ijab qabul
3) Dapat mengerti maksud akad
4) Islam
5) Dewasa
e. Ijab Qabul, syarat-syaratnya:
1) Adanya pernyataan mengawinkan dari wali
2) Adanya pernyataan penerimaan dari calon mempelai
3) Memakai kata-kata nikah, tazwij, atau terjemahan dari kata nikah
atau tazwij
4) Antara ijab dan qabul bersambungan
5) Antara ijab dan qabul jelas maksudnya
6) Orang yang berkait dengan ijab dan qabul tidak sedang dalam
ihram haji / umrah
7) Majlis ijab dan qabul itu harus dihadiri minimum orang, yaitu :
calon mempelai pria atau wakilnya, wali dari mempelai wanita atau wakilnya, dan
dua orang saksi.22
Sedangkan dalam Undang-Undang Perkawinan mengatur syarat-syarat
perkawinan dalam bab II pasal 6 yang berisi sebagai berikut:
1) Perkawinan harus didasarkan atas persetujuan kedua calon mempelai
2) Untuk melangsungkan perkawinan seorang yang belum memcapai umur 21 ( dua
puluh satu ) tahun harus mendapat izin kedua orang tua
3) Dalam hal salah seorang dari kedua orang tua telah meninggal dunia atau dalam
keadaan tidak mampu menyatakan kehendaknya, maka izin dimaksud ayat (2)
pasal ini cukup diperoleh dari orang tua yang masih hidup atau dari orang tua
yang mampu menyatakan kehendaknya.
4) Dalam hal kedua orang tua telah meninggal dunia atau tidak mampu menyatakan
kehendaknya, maka izin diperolewh dari wali, orang yang memelihara atau
22 Rafiq, Hukum Islam Di Indonesia, h. 71-72
keluarga yang mempumyai hubungan darah dalam garis keturunan lurus keatas
selama mereka masih hidup dan dalam keadaan dapat menyatakan kehendaknya.
5) Dalam hal ada perbedaan pendapat antara orang yang disebut dalam ayat (2), (3)
dan (4) pasal ini, atau salah satu seorang atau lebih diantara mereka tidak
menyatakan pendapatnya, maka pengadilan dalam daerahhukum tempat tinggal
orang yang akan melangsungkan perkawinan atas permintaan orang tersebut dapat
memberikan izin setelah lebih dahulu mendengar orang-orang tersebut dalam ayat
(2),(3) dan (4) pasal ini.
6) Ketentuan tersebut ayat (1) sampai dengan ayat (5) pasal ini berlaku sepanjang
hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu dari yang bersangkutan
tidak menentukan lain.23
Hukum Islam di Indonesia menentukan salah satu syarat-syarat perkawinan
adalah persetujuan calon mempelai, yang tertera dalam pasal 6 ayat 1 kompilasi hukum
Islam, persetujuan ini sangat penting agar masing-masing suami isteri memasuki gerbang
perkawinan dan berumah tangga, benar-benar dapat dengan senang hati membagi tugas,
hak dan kewajibannya secara profesional.dengan demikian, tujuan perkawinan dapat
tercapai. Menurut hemat penulis, persetujuan calon mempelai merupakan hasil dari
peminangan (khitbah). karena persetujuan, tidak mungkin-atau setidak-tidaknya sulit-
dilakukan apabila masing-masing calon tidak mengenal atau mengetahuinya.Dalam tahap
awal, persetujuan dapat di ketahui melalui wali calon mempelai wanita, dan pada tahap
akhir dilakukan petugas atau pegawai pencatat,sebelum akad nikah dilangsungkan.
Dijelaskan dalam sabda Rasululullah SAW. riwayat dari Ibn’Abbas ra yang berbunyi :
���%K6 ��5�� &: و���� وا�$�M5� �K&� واذ�"� S'ا U�Vا� ) D#5& Gروا(
23 Departemen Agama, Undang-Undang Perkawinan, h. 4
Artinya: Janda lebih berhak atas dirinya daripada walinya, dan kepada gadis (parawan)
dimintai persetujuannya, dan prsetujuannya jika di mintai,(gadis itu) diam (Riwayat
muslim).
Berdasarkan dari kutipan hadis di atas, kompilasi merumuskannya dalam pasal 16
ayat (2) :”Bentuk persetujuan calon mempelai wanita, dapat berupa pernyataan tegas dan
nyata dengan tulisan, lisan atau isyarat tapi dapat juga berupa diam dalam arti sela tidak
ada penolakan yang tegas”.
Sebagai pengukuhan adanya persetujuan calon mempelai pagawai pencatat
menanyakan kepada mereka.sebagaimana diatur dalam pasal 17 Kompilasi Hukum Islam:
(1) Sebelum berlangsungnya perkawinan, pagawai pencatat Nikah menanyakan lebih
dahulu persetujuan calon mempelai di hadapan dua saksi nikah.
(2) Bila ternyata perkawinan tidak di setujui oleh salah seorang calon mempelai
maka perkawinan itu tidak dapat dilangsungkan.
(3) Bagi calon mempelai yang menderita tuna wicara atau tuna rungu persetujuan
dapat dinyatakan dengan tulisan atau isyarat yang dapat dimengerti.
Sedangkan masalah penentuan umur dalam Undang-Undang Perkawinan maupun
dalam kompilasi, memang bersifat ijtihadiyah, sebagai usaha pembaharuan pemikiran
fikih yang lalu. Namu demikian, apabila dilacak referensi syar’i nya mempunyai landasan
kuat. Misalnya isyarat Allah dalam surat al-Nisa ayat 9 yang berbunyi:
t���l&��� ����#Ki0� �*�� (�*�P�J� ���� w31��q��\ ,=� �?7D 0|���7�o (�*7q#�� ��31&2���� (�*!4��lq��q Ki0�
(�*��*!4�l&��� ,M�*�# �c_ �_�� .
Dan hendaklah takut kepada Allah orang-orang yang seandainya meninggalkan
dibelakang mereka anak-anak yang lemah, yang mereka khawatir terhadap
(kesejahteraan) mereka. oleh sebab itu hendaklah mereka bertakwa kepada Allah dan
hendaklah mereka mengucapkan perkataan yang benar( Q.S. an-Nisa ayat 9)
Ayat tersebut memang bersifat umum, tidak secara langsung menunjukan bahwa
perkawinan yang dilakukan oleh pasangan usia muda atau dibawah ketentuan yang diatur
Undang-Undang No 1 tahun 1974, akan menghasilkan keturunan yang dikhawatirkan
kesejahteraannya. Akan tetapi berdsarkan pengamatan berbagai pihak, rendahnya usia
kawin, lebih banyak menimbulkan hal-hal yang tidak sejalan dengan misi dan tujuan
perkawinan, yaitu terwujudnya ketentraman dalam rumah tangga berdasarkan kasih dan
sayang. Tujuan ini tentu akan sulit terwujud, apabila masing-masimg mempelai belum
masuk jiwa dan raganya. Kematanga dan integritas pribadi yang stabil akan sangat
berpengaruh di dalam menyelesaikan setiap problem yang muncul dalam menghadapi
lika-liku dan badai rumah tangga. Karena banyak kasus yang menunjukan banyaknya
perceraian cenderung didominasi akibat perkawinan dalam usia muda.24
24 Rafiq, Hukum Islam Di Indonesia, 76-78
BAB III
MURTAD DAN AKIBAT HUKUMNYA TERHADAP PERKAWINAN
A. Konsepsi Umum Tentang Murtad
Pada zaman modern ini, kebebasan adalah termasuk dalam Hak Asasi Manusia.
Kebebasan dalam hal ini dapat diartikan lebih lanjut dalam persoalan agama, sehingga
menimbulkan arti bahwa agama adalah hak azasi seseorang dalam menentukan dan
memilihnya.
Islam sebagai agama juga telah menerangkan bahwa: “Tidak ada paksaan dalam
agama” Banyak kalangan yang menafsirkan bahwa ayat ini menyatakan tidak ada
paksaan dalam memilih agama sehingga perbuatan murtad tidak dipersalahkan atau
diperbolehkan. Penafsiran seperti ini sangat tidak beralasan karena menurut penulis ayat
ini menerangkan bahwa benar tidak ada paksaan dalam beragama, namun jika seseorang
telah memilih Islamsebagai agamanya, maka ada ikatan dan kewajiban yang harus ia
lakukan dan taati dengan sepenuhnya, dan salah satunya adalah persoalan pelarangan
pindah kepada agama lain (murtad) dan akibat hukumnya.
Persoalan kemurtadan seseorang dianggap sebagai suatu hal khusus dan penting
jika dikaitan dengan perkawinan. Ada kesepakatan umum bahwa ikatan perkawinan tidak
dapat mengikat wanita muslimah dengan seorang laki-laki yang bukan Islam. Tetapi
timbul kesukaran bila wanita itu menjadi murtad, sebagai salah satu cara untuk
melepaskan diri dari suami yang tidak baik, yang kejam atau yang tidak mereka sukai.
Melihat fenomena yang banyak terjadi, perlu kiranya dibahas mengenai persoalan murtad
dalam bab ini, yang akan diterang sejelasnya mengenai persoa
35
36
Murtad adalah suatu kata yang jika terjadi akan mengakibatkan terjadinya putus
terhadap sebuah perkawinan, sebagaimana yang dituangkan dalam Undang-UndangNo.1
tahun 1974 tentang Perkawinan maupun di dalam Kompilasi Hukum Islam(KHI). Untuk
memperluas pengetahuan mengenai konsepsi murtad dan hubungannya dengan
perkawinan akan dibahas dalam bab ini.
Murtad yang dimaksud dalam penulisan skripsi adalah peralihan agama atau
perpindahan agama dari agama Islamkepada agama non-Islam. Namun peralihan atau
perpindahan dari agama non-Islam kepada agama non-Islam lainya bukanlah dinamakan
murtad karena mereka tetap dalam keadaan kafir dan perpindahan dari agama Islam ke
agama lain sama dengan pindah dari kebenaran ke wadah yang tidak benar.
Hal ini berdasarkan firman Allah Q.S. Ali Imran ayat 85 yang berbunyi:
����� ����E� �Q�J⌧Y �����F�0� 0ZZ �2
����q 56�9&4 �Z�� �*7��� A3B ;�J�\.�0�
\��� \� �J� ���&�0�
Artinya: Barangsiapa mencari agama selain agama Islam, Maka sekali-kali tidaklah akan
diterima (agama itu)daripadanya, dan dia di akhirat termasuk orang-orang yang rugi.
Murtad adalah merupakan dosa besar yang dapat menghapus amal-amal saleh
sebelumnya Hukuman yang diancam oleh Allah sesuai dengan firman-Nya, dalam surat
al-Baqarah ayat 217, yang berbunyi:
����� �2�_��J� ����,�� �� ���, �2 �F☺�2�q �*7��� ⌦J�q#5� �Ccd���e�fe�q �F�~3C� w17���☺��� A3B 0�l�"?_�0�
;�J�\.�0��� ( �Ccd���e�f��� ~�������� ?0<,�0� ( ��7� 0�12�q ���!03���\
Artinya: Barangsiapa yang murtad di antara kamu dari agamanya, lalu dia mati dalam
kekafiran, Maka mereka Itulah yang sia-sia amalannya di dunia dan di akhirat, dan
mereka Itulah penghuni neraka, mereka kekal di dalamnya.
Dan hadist Nabi saw yang diriwayatkan dari Ibnu Abbas, bahwa Rasulullah saw
bersabda:
G%#M R F�)رواG ا�W&�Mي ( &: �ل دی
Artinya : “Barangsiapa menganti agamanya (Islamnya), maka bunuhlah ia”.( H,R. At-
Tirmidzi)
Karena sesungguhnya Allah SWT mewajibkan kepada seluruh hamba-Nya untuk
masuk kedalam dinul islam dan berpegang teguh dengannya,serta mewaspadai segala
sesuatu yang akan menyimpangkan mereka dari din yang suci ini.dia mengutus nabi-
Nya,Muhammad SAW, dengan amanat da`wah yang suci dan mulia.Allah juga telah
mengingatkan hamba-Nya, barang siapa yang mengikuti seruan para rasul itu, maka dia
telah mendapatkan hidayah ; dan siapa yang berpaling dari seruannya, maka ia telah
tersesat. Di dalam kitabullah, dia mengingatkan manusia tentang perkara-perkara yang
menjadi sebab “ riddah “ (murtad dari dinul islam ) dan perkara-perkara yang termasuk
kemusyrikan dan kekefiran . beberapa ulama rahimahumullah selanjutnya menyebutkan
periagatan-peringatan Allah itu dalam kitab-kitab mereka. Mereka mengingatkan bahwa
sesungguhnya seorang muslim dapat di anggap murtad dari dinul islam di sebabkan
beberapa hal yang bertentangan, sehingga menjadi halal darah dan hartanya. Di antara
sekian banyak hal yang dapat membatalkan keislaman seseorang , syaikh Al imam
Muhammad bin Abdul wahab, serta beberapa ulama lainnya menyebutkan sepuluh hal
yang bertentangan yang paling berbahaya dan paling banyak di lakukan oleh ummat
islam. Dengan mengharap keselamatan dan kesejahteraan dari-Nya, kami paparkan
dengan ringkas sebagai berikut:
1.Mengadakan persekutuan dalam beribadah kepada Allah. dalam kaitan ini, Allah
berfirman:
<�34 Ki0� 5M J��&� ��� ⌧a�Q�R� ��3� J��&� �� 0�� ���2 �����D ��☺�� y�i0��;� @ ����� a3Q�R� �i003� �_�4�q
<6to �⌧���to �c_l�7�� moo�p
Artinya : Sesungguhnya Allah tidak mengampuni dosa mempersekutukan (sesuatu)
dengan Dia, dan dia mengampuni dosa yang selain syirik bagi siapa yang dikehendaki-
Nya. barangsiapa yang mempersekutukan (sesuatu) dengan Allah, Maka Sesungguhnya
ia Telah tersesat sejauh-jauhnya.
( d"34 ��� a3Q�R� �i003� �_�4�q �¡�J� hi0� �&l��� �=<Z�]&�0� ¢��qe����
y?0<Z�0� ( 0���� � �^�☺3��K!��� ���� �?0t�"�� m£np
Artinya : Sesungguhnya Telah kafirlah orang-orang yang berkata: "Sesungguhnya
Allah ialah Al masih putera Maryam", padahal Al masih (sendiri) berkata: "Hai Bani
Israil, sembahlah Allah Tuhanku dan Tuhanmu". Sesungguhnya orang yang
mempersekutukan (sesuatu dengan) Allah, Maka pasti Allah mengharamkan kepadanya
surga, dan tempatnya ialah neraka, tidaklah ada bagi orang-orang zalim itu seorang
penolongpun.
Termasuk dalam hal ini , permohonan pertolongan dan permohonan doa kepada
orang mati serta dan bernadzar dan menyembelih qurban untuk mereka .
2.Menjadikan sesuatu atau seseorang sebagai perantara doa , parmohonan syafaat, serta
sikap tawakkal kepada Allah.
3.Menolak untuk di kafirkan orang-orang musyrik , atau menyangsikan kekafiran mereka
, bahkan membenarkan madzhab mereka .
4.Berkeyakinan bahwa petunjuk selain yang datang daru Nabi Muhammad lebih
sempurna dan lebih baik , menganggap suatu hukum atau undang - undang lainnya
lebih baik di bandingkan syariat Rasulullah , serta lebih mengutamakan hukum thaghut
di bandingkan ketetapan Rasulullah .
5 .Membenci sesuatu yang datangnya dari Rasulullah , meskipun di amalkannya .
Dalam hal ini Allah berfirman :
�C���D w1d"�e3� (�*7��J⌧P i0��
���¤"�� hi0� ⌧¥�C��e�q w1����☺��� m�p
Artinya : Yang demikian itu adalah Karena Sesungguhnya mereka benci kepada apa
yang diturunkan Allah (Al Quran) lalu Allah menghapuskan (pahala-pahala) amal-
amal mereka.
6. Mengolok- olok sebagian dari Din yang di bawa Rasulullah, misalnya tentang pahala
atau balasan yang akan di terima . Allah berfirman :
�67# �i003��� ����� �����
���3i*��?�� w.Z�P ���y��¤�¦�☺ �6
m�3p 5M (��y?�l��7� �_�# U���J⌧�⌧P �_�7��
w���Z��☺ 34 @ m��p
Artinya : “…Katakanlah: "Apakah dengan Allah, ayat-ayat-Nya dan rasul-Nya kamu
selalu berolok-olok?"Tidak usah kamu minta maaf, Karena kamu kafir sesudah beriman
…”
7. Mengutamakan orang kafir serta memberikan pertolongan dan bantuan kepada orang
musyrik lebih dari pada pertolongan dan bantuan yang di berikan kepada kaum muslimin
.Allah berfirman , yang artinya :
“…Barang siapa di antara kamu, mengambil mereka orang-orang musyrik menjadi
pemimpin, maka sesungguhnya orang itu termasuk golongan mereka. Sesungguhnya
Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang dzalim,’’( Al-maidah ayat 5 )
8.Berpaling dari dinullah, baik karena dia tidak mau mempelajarinya atau karena tidak
mau mengamalkanny. Hal ini berdasarkan firman Allah yang berbunyi:
������ ���&�� �V☺�� �J�/P7D �F�� 0��3�
��3���? �w7w �§�:��� i0�1�Z� @ 0d"34
\��� ��^���J�]☺&�0� ��*☺�4�.,� mnnp
Artinya: Dan siapakah yang lebih zalim daripada orang yang Telah diperingatkan
dengan ayat-ayat Tuhannya, Kemudian ia berpaling daripadanya? Sesungguhnya kami
akan memberikan pembalasan kepada orang-orang yang berdosa.( As- sajadah ayat 22 )
Dari contoh murtad yang ada dalam penjelasan di atas, dapat disimpulan
terjadinya murtad disebabkan karena tiga sebab:
1. Perbuatan yang mengkafirkan, seperti sujud pada berhala, menyembah bulan, batu
dan lain-lain.
2. Perkataan yang mengkafirkan, seperti menghina Allah atau rasul-Nya, begitu juga
memaki salah seorang Nabi Allah.
3. Itikad (keyakinan) seperti mengitikadkan alam kekal, Allah baru, menghalalkan zina,
menghalalkan minuman arak, begitu juga mengharamkan yang disepakati ulama akan
halalnya.
B. Kedudukan Murtad Dalam Perkawinan
Murtad mempunyai pengaruh yang besar terhadap kehidupan seseorang, terutama
dalam hubungannya dengan masyarakat seperti perkawinan, hak waris dan hak-hak
lainnya. Di dalam Undang-Undang No. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan, terdapat
mengenai larangan perkawinan yang mengakibatkan adanya pencegahan dan pembatalan
perkawinan. Larangan perkawinan itu dijelaskan antara lain pada Pasal 8 butir f yaitu
perkawinan dilarang antara dua orang yang mempunyai hubungan yang oleh agamanya
atau peraturan lain yang berlaku dilarang kawin.25
Kompilasi Hukum Islam juga menuangkan hal tersebut pada Pasal 40 yakni
dilarang melangsungkan perkawinan antara seorang pria dengan seorang wanita karena
keadaan tertentu:
a. Karena wanita yang bersangkutan masih terikat satu perkawinan dengan pria lain.
b. Seorang wanita yang masih berada dalam masa iddah dengan pria lain.
c. Seorang wanita yang tidak beragama Islam.26
Kemudian pada Pasal 44 diterangkan bahwa “Seorang wanita Islam dilarang
melangsungkan perkawinan dengan seorang pria yang tidak beragama Islam”.
Di dalam Islam juga dikenal pernikahan yang tidak sah antara lain:
1. Pernikahan mut’ah, yaitu nikah yang tujuannya semata-mata untuk
melepaskan hawa nafsu belaka, untuk bersenang-senang dan diadakan waktu
tertentu; sebentar atau lama. Nikah mut’ah ini pernah dihalalkan oleh
Rasulullah saw di zamannya, kemudian beliau mengharamkan untuk selama-
lamanya.
2. Pernikahan syiqhar, yaitu nikah tukar yaitu seorang laki-laki menikahkan
seorang wanita yang di bawah perwaliannya dengan laki-laki lain, dengan
perjanjian bahwa laki-laki lain itu menikahkan pula seorang wanita yang di
bawah perwaliannya dengan laki-laki itu tanpa kesediaan membayar mahar.27
Contoh si A menikahkan dengan putrinya dengan si B dengan syarat si B
25 Departemen Agama, Undang-Undang Perkawinan, h. 6 26 Departemen Agama, Kompilasi Hukum Islam, h. 241 27 Kamal Muchtar, Asas Hukum Islam Tentang Perkawinan, (Jakarta: Bulan Bintang, 1974, Cet.
1), h.110
menikahkan putrinya dengannya, baik keduanya menyebutkan maharnya
kepada pihak satunya atau tidak menyebutkan.
3. Pernikahan muhallil, yaitu nikah yang tujuannya untuk menghalalkan bekas
isteri yang telah ditalak tiga kali bagi suami yang telah mentalaknya itu,
sehingga mereka dapat nikah kembali. Menurut Islam seorang wanita ditalak
tiga dan suaminya diharamkan rujuk kepadanya, kecuali bekas isteri telah
nikah dengan laki-laki lain dengan perkawinan yang sebenarnya kemudian
bercerai atau suami keduanya meninggal dunia dan telah habis masa
iddahnya.
Dari penggolongan ini timbul pertanyaan mengenai murtad, apakah mereka tidak
termasuk musyrik ataukah masuk ke dalam golongan musyrik. Dalam permasalahan ini
ada berbagai pandangan sehingga timbul perbedaan apakah hukum menikahi mereka:
1. Hukum menikahkan wanita muslim dengan laki-laki non muslim.
Seluruh ulama sejak masa sahabat sampai abad modern ini dan insya Allah
sampai hari kiamat sepakat bahwa wanita Islam haram hukumnya kawin
dengan pria non-muslim. Pada surat al-Baqarah ayat 221 menunjukan
keharamannya. Keharaman itu mutlak artinya wanita Islam secara mutlak
haram menikah dengan laki-laki yang bukan beragama Islam baik itu laki-laki
musyrik atau ahli kitab. 28
Tujuan larangan ini adalah agar tidak terjadi penguasaan hak oleh suami yang non
muslim atas isterinya yang muslim. Dan ini juga untuk menjaga martabat perempuan
muslim. Dan hal yang paling penting dikhawatirkan adalah sikap wanita yang lemah,
28 Teungku, Muhammad Hasbi, Hukum Antar Golongan, ( Semarang, PT. Pustaka Rizki Putra,
2001, Cet. 1 ). h. 94
sehingga mudah terpengaruh oleh prilaku lelaki yang menjadi suaminya. Perintah ini
ditujukan kepada para wali untuk tidak menikahkan wanita muslimah kepada laki-laki
yang tergolong kafir musyrikin, keharaman ini tidak ada pembatasan atau pengikatnya.
Dan apabila sempat terjadi pernikahan antara seorang lelaki non muslim dengan
perempuan muslim, seluruh ulama sepakat menetapkan bahwa perkawinan itu harus
dibatalkan, dan mereka harus dipisahkan , namun para ulama ini tidak menetapkan
hukuman yang dijatuhkan kepada lelaki non muslim tersebut.
2. Hukum menikah pria muslim dengan wanita bukan Islam.
a. Dengan wanita musyrikah
Agama Islam melarang seorang pria muslim kawin dengan wanita musyrik,
yaitu wanita yang menyekutukan Allah dengan yang lain seperti penyembah
berhala, dewa-dewa atau ruh-ruh (animisme). Secara mutlak hukum
perkawinan dengan wanita musyrik adalah haram. Sesuai dengan Q.s. al-
Baqarah ayat 221.yang berbunyi:
5M�� (�*���,� �F�⌧P3Q�R☺&�0� @STU� V����� @ W=��X��� Y=;Z����[� WQ�J�\ ���� C=⌧P3Q�R[� �*���� ������9�]��� � 5M�� (�*���,7 �B^�P3Q�R☺&�0� @STU� (�*,���� @ S_�C�7���� �����[� WQ�J�\ ���� Ca3Q�R[� �*���� �����9�]��� � �Ccd���e�f� ��*�_� A�g34 ?0<,�0� ( hi0��� (�)*�_� A�g34 �=<Z�]&�0� ;�J��&�☺&�0��� ���"&D3j3� ( B3�^�C �� ����� ��� <0<Z��� ��1d��7�� ���JKP⌧l�� .
Artinya: “Dan janganlah kamu menikahi wanita-wanita musyrik, sebelum mereka
beriman. Sesungguhnya wanita budak yang mukmin lebih baik dari wanita musyrik,
walaupun dia menarik hatimu. dan janganlah kamu menikahkan orang-orang
musyrik (dengan wanita-wanita mukmin) sebelum mereka beriman. Sesungguhnya
budak yang mukmin lebih baik dari orang musyrik, walaupun dia menarik hatimu.
mereka mengajak ke neraka, sedang Allah mengajak ke surga dan ampunan dengan
izin-Nya. dan Allah menerangkan ayat-ayat-Nya (perintah-perintah-Nya) kepada
manusia supaya mereka mengambil pelajaran”.( Q. S. al-Baqarah ayat 221 )
b. Dengan wanita atheis
Perkawinan seorang muslim dengan wanita atheis hukumnya haram. Hal ini
berdasarkan mafhum dari surat al-Baqarah ayat 221. Seorang atheis sama
sekali tidak mengakui adanya Tuhan. Dengan demikian ia tidak mempunyai
agama, tidak mempercayai hari akhir, kitab suci maupun nabi-nabi Allah.
Apabila seorang muslim dilarang untuk menikahi wanita musyrikah penyembah
berhala yang secara umum masih mengakui adanya Tuhan, maka sudah tentu mengawini
wanita atheis lebih buruk keharamannya.
c. Dengan wanita murtaddah
Mengawini wanita murtad hukumya juga haram. Yusuf Al Qardhawi
menyamakan wanita murtad dengan wanita musyrikah yang haram untuk
dikawini. Seorang wanita yang murtad dari agama Islamdipandang tidak
beragama sekalipun ia pindah kepada agama samawi. Sehingga menikah
dengan wanita yang tidak beragama samawi tergolong musyrikat dan
termasuk ke dalam larangan umum. [Q.S. al-Baqarah ayat 221].
Perbuatan murtad adalah dosa besar. Orang murtad tidak berhak mendapat
bantuan apapun dari masyarakat Islam, tidak boleh melakukan perkawinan dengan
mereka, baik baru berumah tangga maupun melanjutkannya.
Dalam hukum Islam, seseorang yang murtad dijatuhi hukuman mati. Tentu
setelah diberikan kesempatan untuk bertaubat, “Barangsiapa yang mengganti agamanya,
bunuhlah ia”. Sabda Rasulullah yang diriwayatkan Tirmidzi. Berarti wanita yang murtad
seyogyanya dihukum mati menurut jumhur ulama, apabila hukum Islamditerapkan.
Sementara Imam Hanafi berpendapat cukup dipenjara dan tidak perlu dibunuh.
Seorang muslim tidak diperbolehkan mengawini golongan murtaddah ini karena
pada hakikatnya mereka sudah tidak punya hak untuk hidup. Apabila murtadnya di
tengah-tengah perkawinan maka perkawinannya menjadi fasakh (rusak). Ia harus
diceraikan. Jadi apabila ada pasangan suami isteri muslim, salah satunya baik suami atau
isteri keluar dari agama Islammenuju agama apapun atau sama sekali tidak beragama,
maka perkawinannya menjadi batal.29
Berkaitan dengan pasangan suami isteri yang berpindah agama, ada beberapa hukum
penting yang wajib menjadi perhatian:
1) Jika suami isteri keduanya kafir kemudian setelah bersetubuh, isteri masuk Islam
sedang suaminya tetap kafir, maka nafkah isteri tidak gugur, sebab yang terhalang
unutuk menikmati isteri adalah dari pihak suami padahal kalau suami mau
menghilangkan halangan hukum dengan masuk Islam, ia dapat kembali menggauli
isterinya, karena itulah nafkah isteri tidak gugur.30
2) Bila pasangan suami isteri kafir hanya satu yang masuk Islam maka:
29 Abdul, Mutaal, Perkawinan Campuran Menurut Hukum Islam, (Jakarta: PT. Bulan Bintang,
1988) h. 8 30 Sayyid, Sabiq, Fiqh Sunnah, (Bandung, PT. al-Ma’arif, 1996, jilid VII), h. 78
a) Seorang suami yang memiliki isteri ahli kitab kemudian laki-laki tersebut masuk
Islamsedang wanitanya tidak maka keduanya tetap pada pernikahannya. Hal ini
karena dalam Islammenurut jumhur ulama seorang muslim boleh menikahi
wanita ahli kitab. Pasangan suami isteri ini masih bisa melanjutkan rumah
tangganya.
b) Suami isteri kafir yang bukan ahli kitab kemudian salah satunya masuk
Islammaka perkawinannya menjadi batal. Apabila salah satu masuk
Islamsebelum masa idddah selesai maka bisa bersatu tanpa akad baru. Namun
apabila yang satu lagi masuk Islamnya setelah selesai masa iddah, maka jumhur
ulama keduanya boleh kembali dengan akad nikah yang baru.
c) Bila wanita kafir dan bersuami laki-laki kafir yang keduanya bukan ahli kitab,
kemudian sang wanita masuk Islamsebelum terjadinya hubungan badan, maka
perkawinan mereka menjadi batal.
d) Bila pasangan muslim salah satu suami atau isteri murtad bila masuk agama
Yahudi atau Nasrani atau agama lainnya atau tidak beragama, maka keduanya
harus dipisahkan karena perkawinannya batal, kecuali dia bertaubat masuk
Islam kembali sebelum masa iddah, bila taubat setelah masa iddah maka adanya
harus diulang lagi.31
Sehingga timbul pertanyaan bagaimanakah menikah dengan wanita dari golongan
mereka? Jawaban dari pertanyaan ini adalah mengawini wanita dari golongan mereka
adalah haram, meskipun yang mereka punyai kitab yang berisi kebaikan-kebaikan atau
berisi kata-kata bijak dan mempunyai nabi yang diakui sebagai perintis agama tersebut,
31 Budi Handrianto, Perkawinan Beda Agama Dalam Syariat Islam. (Jakarta, PT. Khairil Bayan
Tahun 2003, Cet. 1), h. 46-47
keberadaan mereka termasuk di dalam golongan musyrik karena di dalam al-Quran
maupun sunnah yang menjelaskan keberadaan mereka, maka kembali kepada hukum
umum, sebagaimana yang telah diterangkan oleh al-Quran bahwa orang kafir selain ahli
kitab adalah musyrik.
Persoalan perkawinan beda agama seringkali diremehkan dengan menggunakan taktik
murtad. Dan biasanya untuk mengakali pihak keluarga atau catatan sipil, sang suami
pura-pura masuk Islam. Orang tua akan merasa senang karena sang anak bisa menarik
calon suaminya memeluk agama Islam, demikian pula dengan keluarganya. Hal demikian
ini juga tidak selalu mulus karena belum tentu keluarga pasangan pria menerima
murtadnya salah satu keluarga mereka. Setelah selesai menikah beberapa bulan atau
tahun sang suami pindah ke agama semula. Perbuatan pindah agama sementara itu,
apakah hanya untuk melegalisasi perkawinannya atau punya tujuan lain seperti
kristenisasi, tidak akan berhasil andai kata sang isteri yang muslimah punya pendirian
yang teguh.
Telah diketahui bahwa ulama sepakat bahwa riddahnya atau murtadnya (keluar
dari agama Islam) seseorang dari suami isteri menyebabkan putusnya ikatan perkawinan,
tetapi mereka berbeda pendapat dalam menggolongkan apakah termasuk talak atau
termasuk fasakh. Di Indonesia putusnya ikatan perkawinan karena riddahnya seseorang
dari suami isteri termasuk fasakh dan dilakukan di depan Pengadilan Agama. “Pengadilan
Agama hanya dapat menerima riddahnya seseorang jika orang itu menyatakan sendiri
dengan tegas di depan Pengadilan Agama itu bahwa ia keluar dari agama Islam.”
C. Konsepsi IslamTentang Murtad Dalam Perkawinan
Bagi seorang muslim yang menjalani perkawinan yang tidak sah, masyarakat
akan mengucilkan dirinya dan keluarganya. Masyarakat muslim saat ini, terutama di
daerah perdesaan masih sangat sensitif kalau ada pasangan beda agama, apalagi jika
pasangan muslim tersebut sampai pindah agama ikut suami atau isterinya. Masyarakat
masih menganggap hal tersebut sebagai aib baginya. Kalaupun tidak mengucilkan
mungkin masyarakat tidak akan mempergaulinya dengan baik.
Para ulama sepakat bahwa bentuk kekufuran yang paling buruk adalah
kemurtadan (ar-riddah), kufur setelah Islam adalah lebih buruk daripada kufur yang asli.
Musuh Islam akan tetap berusaha dengan sekuat tenaga untuk mengembalikan kekufuran
kepada pada pemeluk Islam. Allah berfirman dalam surat Al-Baqarah ayat 217, yang
berbunyi: “...mereka tidak henti-hentinya, memerangi kamu sampai mereka (dapat)
mengembalikan kamu dari agamamu (kepada kekafiran), seandainya mereka sanggup.
Kemudian Allah menjelaskan balasan orang yang mengikuti musuh yang
menyesatkan dari ajaran agama itu dengan firman-Nya dalam surat al-Baqarah ayat 217
yang berbunyi:
@ ����� �2�_��J� ����,�� �� ���, �2 �F☺�2�q �*7��� ⌦J�q#5� �Ccd���e�fe�q �F�~3C� w17���☺��� A3B 0�l�"?_�0�
;�J�\.�0��� ( �Ccd���e�f��� ~�������� ?0<,�0� ( ��7� 0�12�q ���!03���\ mno£p
Artinya : “barangsiapa yang murtad di antara kamu dari agamanya, lalu dia mati dalam
kekafiran, maka mereka itulah yang sia-sia amalannya di dunia dan di akhirat dan mereka
itulah penghuni neraka, mereka kekal di dalamnya.”
Kemurtadan dianggap sebagai pengkhianatan kepada Islam, karena di dalamnya
terkandung desersi, pemihakan dari satu umat kepada umat yang lain. Ia serupa dengan
pengkhianatan terhadap negara, karena dia menggantikan kesetiaan kepada negera lain,
kaum yang lain.32
Kemurtadan bukan sekadar terjadinya perubahan pemikiran, tetapi perubahan
pemberian kesetiaan dan perlindungan, serta keanggotaan masyarakatnya kepada
masyarakat yang lain yang bertentangan dan bermusuhan dengannya. Islam menerapkan
sikap yang tegas dalam menghadapi kemurtadan, khususnya bila para pelaku menyatakan
kemurtadan diri mereka, dan menjadi pembantu pihak lain untuk melakukan kemurtadan.
Karena sesungguhnya mereka merupakan bahaya yang sangat serius terhadap identitas
masyarakat dan menghancurkan dasar-dasar aqidahnya.
Syaikh Islam, Ibn Taimiyah menjelaskan bahwa usaha melakukan kerusakan di
muka bumi dengan cara menyebarkan kekufuran dan keraguan terhadap agama Islam
adalah lebih berat daripada melakukan kerusakan dengan cara mengambil harta benda
dan menumpahkan darah.33
Penulis menjelaskan semua ini diakhir bab sebagai renungan
tentang bahayanya murtad dan pengaruh yang akan diakibatkan oleh murtad, usaha untuk
menekan angka murtad harus dilakukan sejak dini oleh para ulama dan generasi muda
Islam.
D. Status Hukum Apabila Salah Satu Pasangan Murtad
1. Menurut Fikih Islam
Ikatan perkawinan yang kekal dan abadi sepanjang masa merupakan harapan dan
cita-cita bagi setiap pasangan suami isteri, keabadian tersebut diwujudkan dalam bentuk
keluarga yang harmonis, damai dan sejahtera.
32
Yusuf al-Qardhawy, Fiqh Prioritas; Sebuah Kajian Baru Berdasarkan Al-Quran Dan As-
Sunnah [Fi Fiqhil Aulawiyat, Dirosah Jadiidah Fii Dhou’il Qur’an was Sunnah], diterjemah oleh
Bahruddin F, cet.3 (Jakarta: Robbani Press, 2002), hal. 188. 33 Ibid, h. 189
Oleh karena iti antara suami isteri perlu saling saling membantu dan melengkapi
untuk mencapai kesejahteraan dan kebahagiaan bagi keluarganya, baik kebahagiaan
spiritual maupun material.
Karena tujuan perkawinan adalah untuk membentuk keluarga yang bahagia dan kekal
berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa, maka Undang-Undang Perkawinan No. 1 tahun
1974 menganut prinsip untuk mempersukar terjadinya perceraian. Usaha untuk
mempersukar perceraian itu hanya dapat dilakukan didepan sidang pengadilan dengan
disertai alasan-alasan tertentu sebagaimana yang telah diterapkan oleh Undang-Undang
Perkawinan tersebut.
Suatu perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing
agamanya dan kepercayaannya itu, disamping itu tiap-tiap perkawinan harus dicatat
menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku. Demikianlah bunyi pasal 2 ayat 1
dan 2 Undang-Undang Perkawinan No. 1 tahun 1974. dari bunyi pasal tersebut kita dapat
menarik kesimpulan bahwa sahnya suatu perkawinan semata-mata didasarkan pada
ketentuan hukum agama dari yang bersangkutan. Jadi, apabila ada perkawinan yang
menyimpang dari norma-norma agama yang dipandang sebagai sesuatu yang menyalahi
hukum agama. Perkawinan itu juga harus dicatatkan pada pegawai pencatat nikah.
Perkawinan yang demikian itulah yang dianggap sah, baik oleh hukum agama maupun
oleh hukum Negara.
Di atas telah dijelaskan bahwa suatu perkawinan adalah sah, apabila dilakukan
menurut hukum masing-masing dan kepercayaannya. Ketentuan tersebut mempunyai arti
bahwa suatu perkawinan menjadi fasakh (batal) apabila ada suatu kejadian, yaitu kejadian
yang mana menurut hukum agamanya dan kepercayaannya dapat menghilangkan
keabsahan perkawinan tersebut.
Menurut pandangan para ahli hukum fikih Islam, bahwa apabila dalam suatu
perkawinan, salah satu pihak dari suami atau isteri berpindah agama/murtad, yaitu keluar
dari agama Islam kepada agama selain agama Islam, maka perkawinannya menjadi
fasakh (batal) dan keduanya harus segera dipisahkan. perpindahan agama/murtadnya
salah satu pihak dari suami isteri merupakan suatu kejadian yang dapat mengakibatkan
batal/putusnya ikatan perkawinan demi hukum yaitu hukum Islam.Karena suatu
perkawinan dapat menjadi fasakh karena disebabkan oleh 2 hal yaitu:
1. Apabila salah seorang dari suami-isteri murtad dari Islam dan tidak mau kembali
sama sekali, maka akadnya fasakh/batal, disebabkan kemurtadan yang terjadi
belakangan ini.
2. Apabila suami yang tadinya kafir masuk Islam, tetapi isteri tetap dalam kekafirannya,
maka akadnya fasakh.34
Apabila suami atau istri murtad dari Islam, maka keduanya harus dipisahkan
(diceraikan). Karena murtad adalah salah satu sebab keduanya harus dipisahkan
berdasarkan kesepakatan para ahli fikih.
Akan tetapi, para ahli fikih berbeda pendapat dalam hal waktu, kapan dia harus dicerai,
dan hukum batalnya akad nikah keduanya. Ada tiga pendapat yang populer
dalamhalini,yaitu.
PendapatPertama
Akad nikah menjadi batal seketika itu juga, baik sebelum atau sesudah bersetubuh. Ini
adalah pendapat madzhab Hanafiyah, Malikiyah dan salah satu dari dua riwayat yang ada
34 Sayid Sabiq, Fikih Sunnah. ( Bandung, PT. al-Ma’arif, jilid VIII, 1980, Cet. 1) h, 133
dari Ahmad. Pendapat ini diriwayatkan dari Al-Hasan Al-Bashri, Umar bin Abdul Aziz,
Ats-Tsauri, Abu Nur dan Ibnu Al-Mundzir.
PendapatKedua.
Apabila murtadnya sebelum melakukan persetubuhan, maka pernikahan tersebut batal
seketika itu juga. Namun apabila murtadnya setelah melakukan persetubuhan, maka
pembatalan pernikahannya ditangguhkan hingga masa iddahnya habis. Jika orang yang
murtad itu kembali masuk Islam sebelum masa iddahnya habis, maka dia tetap pada
status pernikahannya. Dan jika dia masuk Islam setelah masa iddahnya habis, maka
antara keduanya telah dinyatakan cerai sejak dia murtad. Pendapat ini dianut oleh
madzhab Syafi’iyah [4] dan Hanabaliyah dalam sebuah riwayat yang masyhur dari
mereka [5].
PendapatKetiga
Menurut Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dan muridnya,Ibnul Qayyim, apabila salah
seorang dari pasangan suami-istri murtad, maka pernikahannya harus dibekukan. Apabila
dia kembali masuk Islam, maka pernikahannya sah lagi, baik dia masuk Islam sebelum
bersetubuh atau setelahnya, baik dia masuk Islam sebelum masa iddahnya habis atau
sesudah masa iddahnya habis.35
Akan tetapi Undang-Undang Perkawinan No. 1 tahun 1974 tentang perkawinan
tidak mengatur bentuk-bentuk dan tata cara perceraian yang dikarenakan perpindahan
agama/murtad dalam suatu perkawinan. Dalam Undang-Undang Perkawinan pasal 38
hanya menggolongkan secara umum mengenai putusnya perkawinan kepada 3 golongan,
yaitu:
35
http://www.almanhaj.or.id/content/2287/slash/0Apr 8, '08 4:30 AM
1. karena kematian
2. karena perceraian
3. karena putusan pengadilan
Dan dalam pasal 39 ayat 1 dan 2 Undang-Undang Perkawinan No 1 tahun 1974,
berbunyi:
1) Perceraian hanya dapat dilakukan di depan sidang pengadilan setelah pengadilan yang
bersangkutan berusaha dan tidak berhasil mendamaikan kedua belah pihak.
2) Untuk melakukan perceraian harus ada cukup alasan, bahwa antara suami-isteri itu
tidak akan dpat hidup rukun sebagai suami isteri
Adapun perceraian dapat terjadi karena alasan-alasan sebagai berikut:
a. Salah satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabok, pemadat, penjudi, dan lain
sebagainya yang sukar disembuhkan.
b. Salah satu pihak meninggalkan pihak lain selama 2 tahun berturut-turut tanpa izin
pihak lain dan tanpa alasan yang sah atau karena hal lain diluar kemampuannya.
c. Salah satu pihak mendapatkan hukuman penjara 5 tahun atau hukuman yang lebih
berat setelah perkawinan berlangsung.
d. Salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat yang membahayakan
pihak lain
e. Salah satu pihak cacat badan atau penyakit dengan akibat-akibat tidak dapat
menjalankan kewajibannya sebagai suami isteri.
f. Antara suami dan isteri terus menerus menjadi perselisihan dan pertengkaran dan
tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga.
Berdasarkan pasal 38 dan 39 Undang-Undang No 1 tahun 1974, suatu perkawinan
baru dapat putus, apabila pengadilan telah memutuskan melalui sidang pengadilan
dengan disertai alasan-alasan yang diatur dalam pasal 19 PP No.9 tahun 1975, kecuali
putusnya perkawinan karena kematian, karena tanpa diputuskan oleh pengadilan,
perkawinan itu telah putus dengan sendiri akibat adanya kematian tesebut. Jadi, apabila
salah seorang dari suami isteri keluar dari agama Islam(murtad), dan kemurtadan itu
belum atau tidak diajukan ke pengadilan, dan pengadilan belum memutuskannya, maka
perkawinan mereka masih dianggap sah dan berlaku. Berbeda halnya menurut hukum
agama, maka perkawinan mereka tetap dianggap tidak sah.
Dalam hal ini penulis berpendapat, apabila dalam rumah tangga mereka tidak ada
pertengkaran ataupun perselisihan yang disebabkan karena peralihan agama yang terjadi
oleh salah satu pihak, maka perkawinan mereka tetap fasakh dan harus segera diputuskan.
2. Menurut Kompilasi Hukum Islam (KHI)
Jika ditinjau dari Kompilasi Hukum Islam, masalah mengenai perpindahan agama
ini dilihat dari pasal 4 mengenai keabsahan perkawinan yang berbunyi :”perkawinan
adalah sah apabila dilakukan menurut hukum Islam, sesuai dengan bunyi pasal 2 ayat 1
Undang-Undang No. 1 tahun 1974. ketentuan tersebut mempunyai arti bahwa suatu
perkawinan mempunyai hubungan yang erat sekali dengan keagamaan/kerohanian, oleh
karena itu, setiap perkawinan yang dilakukan bertentangan dengan ketentuan hukum
Islam, dengan sendirinya menurut hukum perkawinan belum sah dan tidak mempunyai
akibat hukum sebagai ikatan perkawinan.
Perpindahan agama/murtad menurut kompilasi Hukum Islam merupakan suatu
kejadian yang dapat menghilangkan keabsahan perkawinan, karena hal tersebut sangat
bertentangan dengan ketentuan hukum Islam, yaitu adanya larangan perkawinan antara
orang muslim dengan orang kafir. Ketentuan ini juga di perkuat dalam pasal 40 huruf c
yang berbunyi: ”dilarang melangsungkan perkawinan antara seorang pria dengan wanita
karena keadaan tertentu, diantaranya seorang wanita yang tidak beragama Islam.”dan
pada pasal 44 yang berbunyi:”seorang wanita dilarang melangsungkan perkawinan
dengan seorang pria yang tidak beragama Islam.” Dilihat dari ketentuan bunyi pasal-pasal
diatas dapat ditarik istinbath hukum bahwa, setiap perkawinan yang dilakkan
bertentangan dengan hukum Islam adalah tidak sah. Begitu pula, apabila dihubungkan
dengan masalah kemurtadan yang dilakukan oleh suami/isteri dalam perkawinan, hal
tersebut dapat menyebabkan putus/fasakhnya ikatan perkawinan mereka.
Dan dalam pasal 115 Kompilasi Hukum Islam:” perceraian hanya dapat dilakukan
didepan siding pengadilan agama, setelah pengadilan agama tersebut berusaha dan tidak
berhasil mendamaikan kedua belah pihak.” Menurut penulis, kata-kata “dapat”
mengandung arti bahwa perceraian iti dapat terjadi karena alasan-alasan tertentu, padahal
seharusnya pasal tersebut tidak perlu menggunakan kata “dapat”, melainkan secara
otomatis perceraian terjadi karena alasan-alasan tertentu.
Dan adapun alasan-alasan yang dapat dijadikan dasar untuk melakukan perceraian
diatur di dalam pasal 116 yang berbunyi: perceraian dapat terjadi karena alasan-alasan
seperti tersebut di bawah ini:
a. Salah satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabok, pemadat, penjudi, dan lain
sebagainya yang sukar disembuhkan.
b. Salah satu pihak meninggalkan pihak lain selama 2 tahun berturut-turut tanpa izin
pihak lain dan tanpa alasan yang sah atau karena hal lain diluar kemampuannya.
c. Salah satu pihak mendapatkan hukuman penjara 5 tahun atau hukuman yang lebih
berat setelah perkawinan berlangsung.
d. Salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat yang
membahayakan pihak lain.
e. Salah satu pihak cacat badan atau penyakit dengan akibat-akibat tidak dapat
menjalankan kewajibannya sebagai suami isteri.
f. Antara suami dan isteri terus menerus menjadi perselisihan dan pertengkaran dan
tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga.
g. Suami melanggar taklik talak.
h. Peralihan agama atau murtad yang menyebabkan terjadinya ketidak rukunan
dalam rumah tangga.
Berdasarkan pasal 115 Kompilasi Hukum Islam, suatu perkawinan baru putus,
apabila pengadilan telah memutuskan melalui sidang pengadilan dengan disertai alasan-
alasan yang diatur dalam pasal 116 kompilasi hukum Islam, kecuali putusnya perkawinan
karena kematian, karena tanpa diputuskan oleh pengadilan , perkawinan itu telah putus
dengan sendirinya akibat kematian tersebut.
Sedangkan berdasarkan pasal 116 huruf h Kompilasi Hukum diatas, bahwa
perpindahan agama/murtad yang dilakukan oleh suami atau isteri dalam suatu
perkawinan dapat dijadikan satu alasan untuk memfasakhkan perkawinan dengan
mengajukan permohonan cerai ke pengadilan agama, maka hakim berhak untuk
memfasidkan perkawinan dengan berdasarkan peralihan agama atau murtad yang
menyebabkan terjadinya ketidak rukunan dalam rumah tangga.
Akan tetapi, apabila peralihan agama dalam suatu perkawinan, tetapi dalam
hubungan perkawinan mereka tidak menimbulkan perselisihan dan pertengkaran, dengan
kata lain rumah tangga mereka tetap dalam keadaan rukun dan damai, dan mereka tetap
mempertahankan perkawinannya, maka para ulama sepakat bahwa perkawinan mereka
tetap tidak sah, dikarenakan dalam pandangan hukum Islam hubungan yang dilakukan
oleh orang muslim dan orang kafir adalah tidak halal dan hukumnya haram. Keharaman
perkawinan perempuan muslimah dengan laki-laki bukan Islam ini berdasarkan
pertimbangan kemudharatan. Hal ini dikarenakan setelah perkawinan wanita tersebut
terikat kepada suaminya dan dibawah kekuasaannya.36
BAB IV
MURTAD DAN AKIBAT HUKUMNYA TERHADAP ANAK DAN HARTA
BERSAMA
A. Menurut Undang-Undang No 1 tahun 1974)
36 Rahmat, Hakim, Hukum Perkawinan Islam, (Bandung, PT. Pustaka Setia, 2000), h. 132
1. Terhadap Status Anak
Seorang anak dikatakan sah atau tidak, tergantung kepada sah atau tidaknya suatu
perkawinan yang menyebabkan lahirnya anak itu, dan tergantung juga kepada sah atau
tidaknya perkawinan tersebut.
Dalam hal ini diartikan bahwa perkawinanlah yang akan menentukan status anak
sah atau tidak, jika suatu perkawinan itu sah, baik menurut hukum agama maupun
Negara, maka anak yang akan dilahirkan mempunyai status anak sah, akan tetapi, apabila
perkawinan dari kedua orang tuanya itu tidak sah, maka anak yang akan dilahirkannya
sudah pasti akan mempunyai status anak yang tidak sah.
Masalah kedudukan anak ini diatur dalam pasal 2 Undang-Undang Perkawinan No
1 tahun 1974, yang berbunyi :”anak yang sah, adalah anak yang dilahirkan dalam atau
sebagai akibat perkawinan yang sah”.
Dan dalam pasal 43 ayat 1 Undang-Undang No 1 tahun 1974, menjelaskan :
Anak yang dilahirkan di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata dengan
ibunya dan keluarga ibunya.
pasal 44, ayat 1 dan 2 Undang-Undang No 1 tahun 1974 tentang perkawinan juga
menetapkan:
1) Seorang suami dapat menyangkal sahnya anak yang dilahirkan isterinya bilamana ia
dapat membuktikan bahwa isterinya yang telah berzina dan anak itu akibat dari
pada perbuatan zina tersebut.
2) Pengadilan memberikan keputusan tentang sah atau tidaknya anak atas permintaan
pihak yang berkepentingan.
56
Bersadasarkan pasal 42 Undang-Undang Perkawinan No 1 tahun 1974, bahwa
anak dikatakan sah apabila ia lahir dari perkawinan yang sah. Apabila perkawinan
(rumah tangga) yang di dalamnya telah terjadi kemurtadan pada salah satu pihak menurut
pasal 39 ayat (1) dan (2) Undang-Undang No 1 tahun 1974, bahwa perceraian hanya
dapat dilakukan di depan siding pengadilan, begitu juga dengan kemurtadan yang terjadi
pada salah satu pihak dan belum diajukan ke pengadilan, maka perkawinan (rumah
tangga) tersebut tetap dianggap sah dan berlaku karena pengadilan belum
memutuskannya.
Karena perkawinan itu masih dianggap sah menurut Undang-Undang No 1 tahu
1974, maka, hubungan mereka juga tetap dianggap sah dan bukan sebagai perbuatan zina,
begitu juga dengan anak-anak yang dilahirkan dari hasil perkawinan tersebut adalah sah
hukumnya.
Dan karena anak tersebut dianggap sah, maka konsekwensinya adalah sebagai
berikut:
1. Anak tetap bernasab kepada bapak dan ibu.
2. Anak mewarisi bapak dan ibu.
3. Bila anak itu perempuan, maka bapak berhak menjadi wali dalam perkawinannya.
2. Terhadap Status Harta Bersama
Setelah secara resmi hakim memutuskan perceraian di antara keduanya yang
diakibatkan oleh adanya peralihan agama/murtad yang dapat menyebabkan perselisihan
dan pertengkaran yang terus menerus di antara keduanya, maka akibat putusnya
perkawinan ini dalam hal harta kekayaan harus diadakan pembagian, terutama terhadap
kekayaan yang diperoleh selama berlangsungnya perkawinan yang lebih dikenal dengan
harta bersama.
Sebelumnya ada beberapa macam harta, yang lazim dikenal di Indonesia antara
lain:
1. Harta yang diperoleh sebelum perkawinan oleh para pihak karena usaha mereka
masing-masing, harta jenis ini adalah hak dan dikuasai oleh masing-masing pihak
(suami atau isteri). Dan menurut Undang-Undang No. 1 tahun 1974 pasal 35 ayat 2,
semua itu tetap di bawah penguasaan masing-masing.
2. Harta yang pada saat mereka menikah diberikan kepada kedua mempelai itu,
mungkin berupa modal usaha, atau perabot rumah tangga ataupun rumah tempat
tinggal mereka suami isteri. Dan apabila terjadi perceraian maka harta ini kembali
kepada orang tua (keluarga) yang memberikan semula.
3. Harta yang diperoleh selama perkawinan berlangsung karena hibah atau warisan
dari orang tua mereka atau keluarga terdekat.
4. Harta yang diperoleh sesudah mereka berada dalam hubungan perkawinan
berlangsung atas usaha mereka berdua atau usaha salah seorang dari mereka dan
disebut harta pencaharian. Harta ini menjadi harta bersama menurut Undang-
Undang No. 1 tahun 1974 pasal 35 ayat 1, yang menyatakan bahwa harta yang
diperoleh selama perkawinan menjadi harta bersama.37
Tentang harta jenis pertama, kedua dan ketiga tidak menjadi persoalan lagi karena
sudah pasti statusnya dikuasai masing-masing pihak(jenis pertama). Dan jenis kedua
37 M. Idris Ramulyo, hukum perkawinan , kewarisan, hikum acara peradilan agama dan zakat
menurut hukum Islam. (Jakarta: PT. Sinar Grafika , tahun 1995, Cet. 1) h. 28
kembali kepada asal dari mana datangnya harta semula itu. Sedangkan jenis ketiga harta
tetap dikuasai kepala waris atau penguasa yang bersangkutan.
Yang menjadi masalah sekarang ini adalah, harta jenis keempat yakni harta yang
diperoleh selama perkawinan berlangsung, dan untuk menjawab pertanyaan tersebut di
atas menurut hukum Islam akan dikemukakan tentang harta bersama.
Tentang ini dijelaskan dalam Undang-Undang No 1 tahun 1974 pasal 35
dinyatakan bahwa: harta benda yang diperoleh selama perkawinan menjadi harta
bersama, ini berarti terbentuknya harta bersama dalam perkawinan ialah sejak saat
tanggal terjadinya perkawinan sampai ikatan perkawinan tersebut putus. Dengan begitu
harta apa saja yang diperoleh terhitung sejak saat dilangsungkan akad nikah, sampai saat
perkawinan tersebut putus baik oleh karena salah satu meninggal atau karena perceraian,
maka seluruh harta-harta tersebut dengan sendirinya menurut hukum menjadi harta
bersama.38
sedangkan harta bawaan dari masing-masing suami dan isteri dan harta benda
yang diperoleh masing-masing sebagai hadiah atau warisan, adalah dibawah penguasaan
masing-masing sepanjang para pihak tidak menentukan lain. Dengan demikian, dalam
hukum Islam suami maupun isteri berhak dan berwenang atas harta dan kekuasaan
masing-masing. Suami tidak berhak atas harta isterinya karena kekuasaan isteri terhadap
hartanya tetap dan tidak berkurang disebabkan perkawinan, karena itu sang suami tidak
boleh mempergunakan harta isteri untuk membelanjai rumah tangga kecuali dengan izin
sang isteri, bahkan harta kepunyaan istri yang dipergunakan untuk membelanjai rumah
tangga, menjadi utang suami dan suami wajib membayar kepada isterinya kecuali apabila
isteri mau membebaskannya.
38 M. Yahya Harahap, Kedudukan Kewenangan Dan Acara Peradila Agama, ( t.t : P.T. Pustaka
Kartini, 1990, Cet. 1 ) h. 299
Dalam hal pembagian harta kekayaan, maka menurut ketentuan yang ada dalam
Undang-Undang No 1 tahun 1974 pasal 35 yang berbunyi:
Pasal 35 ayat (1) harta benda yang diperoleh selama perkawinan menjadi harta bersama.
Pasal 35 ayat (2) harta bawaan dari masing-masing suami dan isteri dan harta
yang diperoleh masing-masing sebagai hadiah atau warisan adalah di bawah penguasaan
masing-masing sepanjang para pihak tidak menentukan lain.
Pasal 36 ayat (1) mengenai harta bersama suami dan isteri dapat bertindak atas
persetujuan kedua belah pihak.
Pasal 36 ayat (2) mengenai harta bawaan masing-masing, suami dan isteri mempunyai
hak sepenuhnya untuk melakukan perbuatan hukum mengenai harta bendanya.
Mengenai harta warisan masing-masing suami dan isteri mempunyai hak
sepenuhnya untuk melakukan perbuatan hukum mengenai harta bendanya. Asas hukum
yang diatur dalam ketentuan pasal 35 ayat 2 tersebut merupakan asas teori hukum yang
diatur dalam syariat hukum Islam, dimana isteri tetap memegang kekayaan sebagai
subyek hukum atas segala miliknya sendiri. Menguasai hasil pencaharian yang
diperolehnya dari jerih payah yang dilakukannya, berhak menerima hibah dan warisan
selama perkawinannya berlangsung, dan dengan sendirinya menjadi hak dan berada di
bawah penguasaannya sendiri.39
Hal ini mengandung arti bahwa hanya harta benda yang diperoleh selama
berlangsungnya perkawinan yang menjadi milik bersama yang harus dibagi menurut
hukumnya masing-masing, sedangkan harta kekayaan isteri yang berasal dari harta
bawaan dan harta yang diperoleh sebagai hadiah atau wasiat tetap menjadi milik si isteri
dan dikuasai penuh olehnya. Begitu pula sebaliknya dengan harta kekayaan suami.
39 Ibid, h. 300.
Dan apabila pasal 35 ayat 2 dihubungkan dengan pasal 36, terdapat perbedaan
antara harta bawaan dan pusaka warisan yang diperoleh salah satu pihak dan harta yang
diperoleh karena hibah atau berdasar usaha sendiri pada pihak lain, yaitu:
1. Mengenai harta bawaan dan harta warisan yang diperoleh dalam perkawinan:
terhadap kedua harta inilah yang dimaksud oleh pasal 36 ayat 2, masing-masing
berhak dan berkuasa penuh menurut hukum atas harta-harta tersebut.
2. Akan tetapi mengenai hibah dan hadiah atau hasil jerih payah masing-masing
termasuk pada kategori pasal 35 ayat 2, yaitu berada dibawah pengawasannya
masing-masing, tetapi penguasaannya tidak mutlak sepenuhnya seperti berlaku
terhadap harta bawaan dan warisan. Jadi pengawasan ada di pihak-pihak tapi
bagaimana dan kemanfaatannya tidak sepenuhnya ditentukan oleh pemiliknya.
Dalam hal pembagian harta, semata-mata didasarkan kepada perceraian. Seperti
yang terdapat dalam pasal 37 bahwa: bila perkawinan putus karena perceraian, harta
bersama diatur menurut hukumnya masing-masing.” Jadi apabila perkawinan putus
karena perceraian, maka harta kekayaan yang diperoleh selama perkawinan harus dibagi
dua bersama suami dan isteri. Mengenai hukum pembagiannya, maka Undang-Undang
memberi jalan :
1. Dilakukan berdasarkan hukum agama jika hukum agama itu merupakan kesadaran
hukum yang hidup dalam mengatur tata cara perceraian.
2. Aturan pembagiannya akan dilakukan menurut hukum adat, jka hukum tersebut
merupakan kesadaran hukum yang hidup dalam lingkungan masyarakat yang
bersangkutan.
3. Atau hukum-hukum lainnya.40
Berdasarkan pasal 37 mengenai pembagian harta bersama ini didasarkan atas
adanya perceraian dan tidak memandang adanya perbedaan agama. Yang disebabkan
karena berpindah agama/murtadnya salah seorang suami-isteri dalam suatu perkawinan.
Jadi perbedaan agama bukanlah suatu penghalang dalam hal pembagian harta. Asal saja
di antara suami isteri itu telah resmi bercerai dan atas dasar keputusan hakim dalam
siding pengadilan.
Harta bawaan seseorang, baik suami atau isteri yang diperoleh sewaktu masih
dalam keadaan Islam yakni sebelum diantaranya murtad/beralih agama, baik harta itu
diperoleh sebagai hadiah atau warisan dari orang tuanya, maka berarti anak-anaknya
dapat mewarisi harta bawaan orang tuanya yang didapatkan sebelum orang tuanya
murtad. Lain halnya dengan harta yang diperoleh setelah orang tuanya murtad, menurut
pandangan hukum Islam maka anak-anaknya atau ahli warisnya yang lain tidak dapat
menjadi ahli waris dari harta orang yang telah murtad/beralih agama itu.41
Jadi tidak
dapat dilakukan pembagian warisan karena perbedaan agama. Dasarnya adalah dalam
terjemahan hadis Nabi saw yang berbunyi: Dari Usamah bin Yazid, bahwa Rasulullah
bersabda:”Tidak mewarisi orang muslim terhadap orang kafir, dan tidak mewarisi orang
kafir terhadap orang muslim.”42
Dengan demikian, apabila suami isteri yang murtad itu mengajukan permohonan
ke pengadilan agama untuk diadakan pembagian warisan terhadap harta mereka, maka
pengadilan agama menolak pengajuan tersebut. Dengan alasan bahwa pengadilan agama
40 Ibid, h. 308 41 T.M. Hasbi ash-Siddieqy. Fiqhul Mawaris. Hukum Waris Dalam Syariat Islam, (Jakarta
Bulan-Bintang, 1973) h. 62 42 Imam Muslim, Shahi Muslim, vol II, diterjemahkan oleh Mahmud Matraji, (Beirut: Daar el-
Fiqri, 1993) h. 273
tidak berhak dalam hal ini, karena mereka berbeda agama. Dan masalah perbedaan agama
yang disebabkan karena peralihan perpindahan agama/murtad adalah menjadi penghalang
dalam hal waris-mewaris.
B. Menurut Kompilasi Hukum Islam
1. Terhadap Status Anak
Salah satu tujuan perkawinan adalah untuk memperoleh keturunan yang sah, baik
menurut hukum Negara maupun hukum agama, dimana ikatan perkawinan itu tidak
bertentangan dengan ketentuan hukum perkawinan yang berlaku, terlebih lagi dengan
ketentuan hukum Islam yang sangat menentukan keabsahan suatu perkawinan, dan
dengan sendirinya anak yang dilahirkannya akan sah pula.
Perpindahan agama/murtad akan dapat mempengaruhi keabsahan suatu
perkawinan, demikian pula anak yang dilahirkannya akan mempunyai pengaruh yang
sangat kuat sekali, maka dalam pembahasan ini status anak itu dapat dibedakan menjadi
tiga golongan, yaitu:
1. Anak yang dilahirkan sewaktu Islam, anak ini adalah anak muslim. Menurut
kesepakatan para fuqoha.
2. Anak yang dikandung sewaktu Islam dan dilahirkan setelah murtad, maka
hukumnya adalah sama dengan anak yang dilahirkan sewaktu Islam, karena dia
telah dibuahi sewaktu Islam.
3.Anak yang dikandung dan dilahirkannya setelah murtad, maka anak itu hukumnya
adalah kafir, karena dia dilahirkan di antara kedua orang tuanya yang kafir, tidak
ada pendapat lain dalam masalah ini.43
Oleh karena itu, apabila salah satu pihak yang beragama Islam tetap mengikuti
pihak lain yang telah murtad dan hidup sebagai suami-isteri, maka perkawinan (rumah
tangga) mereka sudah tidak sah lagi (haram) menurut hukum Islamdan hubungan mereka
adalah suatu perzinahan.
Dan dalam kompilasi hukum Islam, masalah kedudukan anak ini diatur dalam
pasal 99 yang berbunyi:
a. Anak yang dilahirkan dalam atau akibat perkawinan yang sah
b. Hasil perbuatan suami isteri yang sah diluar rahim dan dilahirkan oleh isteri
tersebut.
Berdasarkan bunyi pasal tersebut diatas, maka sah atau tidaknya anak itu sangat
ditentukan oleh keabsahan perkawinan dari kedua ibu bapaknya. Hal ini mengandung arti
bahwa apabila seorang anak yang dilahirkan dari suatu perkawinan yang di dalamnya
terdapat hal-hal yang bertentangan dengan norma-norma yang berlaku, maka menurut
undang-undang, anak tersebut hanya mempunyai nasab dengan ibunya saja.
Perpindahan agama adalah salah satu faktor yang dapat mempengaruhi nasab dari
seorang anak, apabila kedua suami-isteri itu tetap melakukan hubungan badan layaknya
suami isteri setelah adanya peralihan agama dari salah satu pihak tanpa mengindahkan
ketentuan hukum perkawinan yang melarang ikatan perkawinan mereka.
Hal ini dijelaskan dalam kompilasi hukum Islam pasal 100 yang berbunyi:” anak
yang lahir diluar perkawinan hanya mempunyai nasab dengan ibunya dan keluarga
43 Hasbi, Hukum Antar Golongan, h. 80
ibunya. Dan dalam pasal 101 juga menjelaskan:” seorang suami yang mengingkari
sahnya anak, sedang isteri tidak menyangkalnya, maka dapat meneguhkan pengingkaran
dengan li’an.
Sedangkan dalam pasal 99 Kompilasi Hukum Islam, menegaskan bahwa: anak
yang sah adalah anak yang dilahirkan dari perkawinan yang sah pula”. Maka apabila
perkawinan (rumah tangga) yang di dalamnya telah terjadi kemurtadan pada salah satu
pihak, maka menurut pasal 40 huruf c dan pasal 44 yang melarang adanya perkawinan
antar agama, perkawinan tersebut harus dibatalkan/difasakhkan oleh hakim dalam sidang
agama.
Dan dari penjelasan-penjelasan diatas, karena perkawinan tersebut tidak sah atau
telah difasakhkan menurut ketentuan hukum Islam, maka anak-anak yang dilahirkan dari
hasil perkawinan tersebut adalah haram/tidak sah, sehingga akibatnya adalah sebagai
berikut:
1. Anak tersebut hanya bernasab kepada ibunya saja.
2. Anak hanya mewarisi dari ibunya saja.
3. Bila anak itu perempuan, maka bapak tidak berhak menjadi wali dalam
perkawinannya.
2. Terhadap Status Harta Bersama
Salah satu akibat hukum yang di timbulkan dari perceraian antara suami-isteri yang
diakibatkan oleh adanya peralihan agama/murtad, adalah dalam harta kekayaan harus
diadakan pembagian, terutama terhadap harta kekayaan yang diperoleh selama
berlangsungya perkawinan yang lebih dikenal dengan harta bersama. Tetapi pada
dasarnya harta suami dan isteri tepisah, baik harta bawaannya masing-masing atau harta
yang diperoleh oleh salah seorang suami isteri atas usahanya sendiri-sendiri maupun
harta yang diperoleh dari salah seorang mereka karena hadiah atau hibah atau warisan
sesudah mereka terikat dalam hubungan perkawinan.44
Sebagai dasar atas pendirian
tersebut, dapat dipergunakan dalil yang berbunyi :”bagi laki-laki ada harta kekayaan
perolehan dari hasil usahanya sendiri dan bagi wanita ada harta kekayaan perolehan dari
hasil usahanya sendiri( Q.S. an-Nisa ayat 32).
Sebelum memasuki penjelasannya, penulis akan menjelaskan terlebih dahulu
tentang pengertian harta bersama, satatus harta bersama, serta macam-macam wujud
harta bersama.
Dalam pasal 85 kompilasi hukum Islam menjelaskan adanya harta bersama dalam
perkawinan itu tidak menutup kemungkinan adanya harta milik masing-masing suami
isteri. Dan dalam pasal 86 ayat (1) menyatakan bahwa pada dasarnya tidak ada
percampuran antara harta suami dan isteri karena perkawinan. Ayat (2) Harta isteri tetap
menjadi hak isteri dan dikuasai penuh olehnya, demikian juga harta suami tetap menjadi
hak suami dan dikuasai penuh olehnya.
Jadi, mengenai harta kekayaan atas usaha sendiri-sendiri, sebelum perkawinan
dan harta yang berasal bukan dari usaha salah seorang dari mereka atau bukan dari usaha
mereka berdua, tetapi berasal dari pemberian atau warisan atau lainnya yang khusus
untuk mereka masing-masing, baik yang diperoleh sebelum perkawinan maupun yang
diperoleh sesudah mereka berada dalam ikatan perkawinan. Apabila terjadi perceraian
antara suami dan isteri maka dalam hal pembagian harta kekayaan, menurut ketentuan
44 Ramulyo, hukum perkawinan , kewarisan, hukum acara peradilan agama dan zakat menurut
hukum Islam, h. 30
hukum Islam harta kekayaan isteri tetap menjadi milik isteri dan harta kekayaan suami
menjadi milik suami dan dikuasai penuh olehnya.
Dan apabila selama perkawinan berlangsung diperoleh harta kekayaan, baik
sendiri-sendiri atau bersama-sama tanpa mempersoalkan terdaftar atas nama siapa, maka
ini disebut dengan harta syirkah, yakni harta bersama yang menjadi milik bersama dari
suami dan isteri. Dengan demikian telah dibuka kemungkinan syirkah atau pekongsian
atas harta kekayaan suami isteri itu secara resmi dan menurut cara-cara tertentu. Dalam
hal ini harta kekayaan bersatu karena syirkah seakan-akan merupakan harta kekayaan
tambahan karena usaha bersama suami isteri selama perkawinan menjadi milik bersama,
karena itu apabila kelak perjanjian perkawinan itu terputus karena perceraian atau talak
maka harta syirkah tersebut dibagi antara suami isteri menurut pertimbangan sejauh mana
usaha mereka suami/isteri turut berusaha dalam syirkah.45
Dengan berdasarkan alasan
bahwa pada umumnya sumai isteri dalam masyarakat Indonesia sama-sama bekerja
membanting tulang berusaha sekedar untuk mendapatkan nafkah hidup keluarga sehari-
hari dan sekedar harta simpanan untuk masa tua mereka.
Kompilasi hukum Islam juga menjelaskan tentang macam-macam harta bersama,
yang tertuang dalam pasal 91 ayat (1) , (2), (3) dan (4) yang masing-masing berbunyi :
1. Harta bersama sebagaimana tersebut dalam pasal 85 diatas dapat berupa benda
wujud atau tidak berwujud.
2. Berbunyi harta bersama yang berwujud dapat meliput benda tidak bergerak dan
surat-surat berharga.
3. Harta bersama yang berwujud dapat berupa hak dan kewajiban.
45
Ibid, h. 31
4. Harta bersama dapat dijadikan sebagai barang jaminan oleh salah satu pihak atas
persetujuan pihak lainnya.46
Harta bersama inilah yang menurut ketentuan pasal 97 harus diadakan pembagian
harta seperdua antara suami an isteri, apabila terjadi perceraian hidup diantara keduanya.
Dan mengenai harta kekayaan masing-masing adalah dibawah kekuasaan masing-
masing, sebagaimana yang terdapat dalam kompilasi hukum Islam pasal 87
1. Harta bawaan dari masing-masing suami dan isteri dan harta yang diperoleh
masing-masing sebagai hadiah atau warisan adalah dibawah penguasaannya
masing-masing, sepanjang para pihak tidak menentukan lain dalam perjanjian
perkawinan.
2. Suami dan isteri mempunnyai hak sepenuhnya untuk melakukan perbuatan hukum
atas harta masing-masing berupa hibah, hadiah, shadaqoh atau lainnya.
Dari pengertian pasal tersebut diatas, telah jelas bahwa kedudukan harta masing-
masing suami dan isteri, terpisah dari harta bersama. Harta pribadi dari suami dan isteri
meliputi hibah, wasiat dan pemberian yang dikhususkan untuknya. Dalam masalah harta
masing-masing suami isteri tidak berhak dan tidak berwenang untuk menguasai antara
satu dan lainnya.
Dan harta bawaan seseorang, baik suami atau isteri itu diperoleh sewaktu masih
dalam keadaan Islam, yakni sebelum dia murtad/beralih agama dari agama Islam kepada
agama selain Islam, baik itu harta diperoleh sebagai hadiah atau warisan menjadi pusaka
bagi para ahli warisnya, maka berarti anak-anaknya dapat mewarisi harta bawaan orang
tuanya yang didapatkan sebelum orang tuanya murtad. Akan tetapi, apabila harta tersebut
diperoleh setelah orang tuanya murtad dan secara resmi perkawinan kedua orang tuanya
46 Abd. Manan, Pokok-pokok hukum perdata, h. 75-76
telah di fasidkan oleh hakim pengadilan, maka menurut pandangan hukum Islam terhadap
harta yang dimiliki oleh salah seorang suami isteri yang murtad, maka anak-anaknya atau
ahli warisnya yang lain tidak dapat menjadi ahli waris dari harta orang yang telah murtad.
Jadi tidak dapat dilakukan pembagian warisan karena perbedaan agama. Dasarnya
adalah dalam terjemahan hadis Nabi saw yang berbunyi:
)#1�Y ) S"M& F ی�ث ا��D#5 ا��R �K وY ی�ث ا��R �K ا��D#5 : م !�ل . 1: ا �6 &� : ی�ی� ان ا��$9 ص
Artinya : “Dari Usamah bin Yazid, bahwa Rasulullah bersabda:”Tidak mewarisi orang
muslim terhadap orang kafir, dan tidak mewarisi orang kafir terhadap orang
muslim.”47
Dengan demikian, apabila suami isteri yang murtad itu mengajukan permohonan
ke pengadilan agama untuk diadakan pembagian warisan terhadap harta mereka, maka
pengadilan agama menolak pengajuan tersebut. Dengan alasan bahwa pengadilan agama
tidak berhak dalam hal ini, karena mereka berbeda agama. Dan masalah perbedaan agama
yang disebabkan karena peralihan agama/murtad adalah menjadi penghalang dalam hal
waris-mewarisi.
47 Shahih Muslim, h. 273
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
A. KESIMPULAN
Berdasarkan dari uarain pada bab-bab sebelumnya, maka dapat disimpulkan
sebagai berikut:
1. Terhadap satus perkawinan
a. Menurut pandangan para ahli hukum fikih Islam, bahwa apabila dalam suatu
perkawinan, salah satu pihak dari suami atau isteri berpindah agama/murtad, yaitu
keluar dari agama Islam kepada agama selain agama Islam, maka perkawinannya
menjadi fasakh (batal) dan keduanya harus segera dipisahkan. perpindahan
agama/murtadnya salah satu pihak dari suami isteri merupakan suatu kejadian
yang dapat mengakibatkan batal/putusnya ikatan perkawinan demi hukum yaitu
hukum Islam.
b. Sedangkan dalam Undang-Undang No 1 tahun 1974 Berdasarkan pasal 38 dan
39 Undang-Undang No 1 tahu 1974, suatu perkawinan baru dapat putus, apabila
pengadilan telah memutuskan melalui sidang pengadilan dengan disertai alasan-
alasan yang diatur dalam pasal 19 PP No.9 tahun 1975, Jadi, apabila salah seorang
dari suami isteri keluar dari agama Islam(murtad), dan kemurtadan itu belum atau
tidak diajukan ke pengadilan, dan pengadilan belum memutuskannya, maka
perkawinan mereka masih dianggap sah dan berlaku. Berbeda halnya menurut
hukum agama, maka perkawinan mereka tetap dianggap tidak sah.
2. Terhadap Status Anak dan Harta Bersama
59
1.Terhadap Status Anak
a. Menurut kompilasi hukum Islam apabila perkawinannya (rumah tangga) yang
didalamnya telah terjadi kemurtadan, maka perkawinannya itu tidak sah atau
telah difasakhkan menurut hukum Islam. Jadi, anak-anak yang dilahirkan dari
hasil perkawinan tersebut adalah haram/tidak sah, sehingga akibatnya adalah
sebagai berikut: Anak tersebut hanya bernasab kepada ibunya saja, Anak
hanya mewarisi dari ibunya saja, dan bila anak itu perempuan, maka bapak
tidak berhak menjadi walinya.
b. Sedangkan menurut Undang-Undang No 1 tahun 1974, Apabila perkawinan
(rumah tangga) yang di dalamnya telah terjadi kemurtadan pada salah satu
pihak, tetapi perceraiannya itu belum diputuskan di depan sidang pengadilan,
maka perkawinan (rumah tangga) tersebut tetap dianggap sah dan berlaku
karena pengadilan belum memutuskannya. Karena perkawinan itu masih
dianggap sah maka hubungan mereka juga tetap dianggap sah, begitu juga
dengan anak-anak yang dilahirkan dari hasil perkawinan tersebut adalah sah
hukumnya. karena anak tersebut dianggap sah, maka konsekwensinya adalah
sebagai berikut: Anak tetap bernasab kepada bapak dan ibu, Anak mewarisi
bapak dan ibu dan Bila anak itu perempuan, maka bapak berhak menjadi wali
dalam perkawinannya, karena dalam Islam wali termasuk salah satu dalam
rukun nikah, keterangannya adalah sabda nabi yang berbunyi:
���� � ]Z ای�� ا&�اة �C 2AK�� اذن و��' �K�R ) �5ء�)رواG ار �3 اY ا�
Artinya: “barang siapa diantara perempuan yang menikah tidak dengan izin
walinya, maka pernikahannya batal ( Riwayat empat ahli hadis, kecuali nasa’i)
Dan hadis lain juga menjelaskan
��) وا��ار!��9رواG ا : &����Y ) Fوج ا���اة ا���اة وY ��وج ا���اة �"5
Artinya: “ janganlah perempuan menikahkan perempuan yang lain, dan janganlah
pula seorang perempuan menikahkan dirinya sendiri”
( Riwayat Ibnu Majah dan Daruqutni)
Dan yang dianggap sah untuk menjadi wali mempelai perempuan adalah
menurut susunan yang akan diuraikandi bawah ini, karena wali-wali itu memang
telah diketahui oleh orang yang ada pada masa turunnya yata yang berbunyi:”
janganlah kamu menghalangi mereka menikah”( Al-Baqarah ayat 232). Maka
Islam menetapkan wali yang bisa menikahkan perempuan adalah sebagai berikut:
1) Bapak
2) Kakek dari bapak
3) Saudara laki-laki sekandung
4) Saudara laki-laki sebapak
5) Anak laki-laki dari saudara laki-laki sekandung
6) Anak laki-laki dari saudara laki-laki sebapak
7) Paman sekandung
8) Paman sebapak
9) Anak laki-laki dari paman sekandung
10) Anak laki-laki dari paman sebapak
2.Terhadap Status Harta Bersama
Pengadilan agama tidak berhak dalam penanganan kasus yang satu ini karena
adanya perbedaan agama yang disebabkan peralihan agama, dan diantara mereka
juga ada penghalang dalam hal waris-mewaris. Jadi, diantara mereka tidak berhak
untuk mendapatkan waris.
B. SARAN
Kasus murtad merupakan fenomena yang banyak terjadi, baik itu diputuskan
melalui perceraian dan tidak sedikit yang terus menjalaninya seperti perkawinan beda
agama. berdasarkan uraian yang menghasilkan keharaman terhadap pernikahan yang
salah satu pihak dalam keadaan murtad, perlu diatur lebih jelas dalam Undang-Undang
Perkawinan bahwa murtad merupakan salah satu hal yang termasuk dalam perkawinan
yang dibatalkan. Dan Tata cara pembatalannya, adalah pengajuan oleh orang yang terikat
dalam perkawinan, dapat juga diajukan oleh keluarga yang terikat dalam perkawinan dan
petugas pengawas perkawinan dan orang yang berkepentingan dalam kasus perkawinan
seperti ini.
Menurut penulis Undang-Undang No 1 tahun 1974 Perlu mengatur bentuk-bentuk
dan tata cara perceraian yang dikarenakan perpindahan agama/murtad dalam suatu
perkawinan, karena dalam Undang-Undang ini hanya menggolongkan secara umum
mengenai putusnya perkawinan kepada 3 golongan, yaitu: karena kematian, karena
perceraian, dan karena putusan pengadilan.
DAFTAR PUSTAKA
Abidin, Slamet dan Aminuddin. Fiqih Munakahat 1. Bandung: Pustaka Setia, Cet.1,
Tahun 1999.
Al-Qardhawy, Yusuf, Fiqh Prioritas; Sebuah Kajian Baru Berdasarkan Al-Quran Dan
As-Sunnah [Fi Fiqhil Aulawiyat, Dirosah Jadiidah Fii Dhou’il Qur’an was
Sunnah], diterjemah oleh Bahruddin F, cet.3 (Jakarta: Robbani Press, 2002),
Al-San’any, Terjemah Subul al-Salam , Kairo: Dar Ihya al-Turas al-Araby, juz 3, 1960.
Ash-Siddieqy, T.M. Hasbi. Fiqhul Mawaris. Hukum Waris Dalam Syariat Islam,
Jakarta: Bulan-Bintang, 1973.
Departemen Agama RI, Ilmu Fikih, Jakarta: 1984/1985, Cet. Ke 2.
____________, Al-Qur’an dan Tarjamah
____________, Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, Bandung: Citra Umbara, 2007
____________, Undang-Undang Perkawinan, Bandung: Citra Umbara, 2007.
Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia edisi. 3, cet. 1,
Jakarta: Balai Pustaka, 2001.
Hadrianto, Budi, Perkawinan Beda Agama Dalam Syariat Islam. Jakarta: PT. Khairil
Bayan, Cet. 1, tahun 2003.
Hakim, Rahmat, Hukum Perkawinan Islam, Bandung: PT. Pustaka Setia, 2000.
Harahap, Yahya M, Kedudukan Kewenangan Dan Acara Peradila Agama, t.t : P.T.
Pustaka Kartini, Cet. 1, tahun 1990.
Indonesia, Penjelasan Peraturan Pemerintah Tentang Pelaksanaan Undang-Undang No.
1 tahun 1974 Tentang Perkawinan. PP No. 9 tahun 1975.
Manan, Abd., Pokok-pokok hukum perdata,
Muchtar, Kamal, Asas Hukum Islam Tentang Perkawinan, Jakarta: Bulan Bintang, Cet. 1
tahun 1974.
Muhammad, Hasbi Teungku, Hukum Antar Golongan, Semarang: PT. Pustaka Rizki
Putra, Cet. 1 tahun 2001.
Muslim, Imam, Muslim, Shahih, vol II, diterjemahkan oleh Mahmud Matraji, Beirut:
Daar el-Fiqri, 1993.
Mutaal, Abdul, Perkawinan Campuran Menurut Hukum Islam, Jakarta: PT. Bulan
Bintang, 1988.
Rafiq, Ahmad, Hukum Islam DI Indonesia, Jakarta : PT Raja Grafindo Persada, Cet. VI,
2003.
Ramulyo, M. Idris, Hukum Perkawinan, Kewarisan, Hikum Acara Peradilan Agama
Dan Zakat Menurut Hukum Islam, Jakarta: PT. Sinar Grafika, Cet. 1 tahun 1995.
Rasjid, Sulaiman, Fikih Islam, Bandung: Sinar Baru Algensindo, Cet. 33, tahun 2000
Sabiq, Sayid Fikih Sunnah, Bandung: PT. al-Ma’arif, jilid VIII, Cet. 1 tahun 1980.
_______, Fiqh Sunnah Jilid II, Bandung: PT: Al-Ma’arif
_______, Fiqh Sunnah, Bandung: PT. al-Ma’arif, jilid VII, tahun 1996.
Sabiq, Sayid, Fikih Sunnah 9 [al-Fiqh al-Sunnah], diterjemahan oleh Kahar Mansur,
(Jakarta: Kalam Mulya, 1990)
Sukarja, Ahmad, Perkawinan Beda Agama Menurut Hukum Islam dalam Buku Pertama
Problematika Hukum Islam Kontemporer. ed. Chuzaimah T. Yanggo dan Hafiz
Anshary AZ. cet. 4. Jakarta: LSIK, 2002.
Thalib, Sayuti. Hukum Kekeluargaan Indonesia, Jakarta: UI-Press, Cet.5, 1986.
Wagito, Bimo, Bimbingan Dan Konseling Perkawinan, Yogyakarta: Andi Offset Ed. 1.
Cet.1, 2002.