21
1 KONSENTRASI AMONIA DAN NITRAT PADA BUDIDAYA LELE SISTEM AKUAPONIK DENGAN MENGGUNAKAN TUMBUHAN YANG BERBEDA CONCENTRATIONS OF AMMONIA AND NITRATE IN CATFISH AQUAPONIC SYSTEM USING DIFFERENT PLANTS Rani Suryaningsih 1*) , Saptono Waspodo 1) , Nanda Diniarti 1) 1) Program Studi Budidaya Perairan, Universitas Mataram Jl. Pendidikan No. 37 Mataram, NTB *Korespondensi : [email protected]

KONSENTRASI AMONIA DAN NITRAT PADA BUDIDAYA LELE …eprints.unram.ac.id/4552/1/JURNAL.pdfTanaman kangkung air menggunakan ... Amonia mudah terakumulasi diperairan karena merupakan

  • Upload
    dokhue

  • View
    225

  • Download
    0

Embed Size (px)

Citation preview

1

KONSENTRASI AMONIA DAN NITRAT PADA BUDIDAYA LELE SISTEM

AKUAPONIK DENGAN MENGGUNAKAN TUMBUHAN YANG BERBEDA

CONCENTRATIONS OF AMMONIA AND NITRATE IN

CATFISH AQUAPONIC SYSTEM USING DIFFERENT PLANTS

Rani Suryaningsih1*)

, Saptono Waspodo1)

, Nanda Diniarti1)

1)Program Studi Budidaya Perairan, Universitas Mataram

Jl. Pendidikan No. 37 Mataram, NTB

*Korespondensi :

[email protected]

2

Abstrak

Sistem akuaponik pada prinsipnya disamping menghemat penggunaan lahan dan air juga

meningkatkan efisiensi usaha melalui pemanfaatan hara dari sisa pakan dan metabolisme

ikan, serta merupakan salah satu sistem budidaya ikan yang ramah lingkungan. Penelitian ini

bertujuan untuk menganalisa konsentrasi amonia dengan menggunakan jenis tumbuhan yang

berbeda di dalam sistem, menganalisa konsentrasi jenis nitrogen pada budidaya sistem

akuaponik dengan menggunakan jenis tumbuhan yang berbeda, dan mengetahui tingkat

kelangsungan hidup ikan lele pada sistem budidaya akuaponik. Penelitian ini dilakukan pada

bulan Mei – Juli 2017 di Jalan Raden Puguh Desa Puyung, Kecamatan Jonggat, Lombok

Tengah. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode eksperimental dengan

Rancangan Acak Lengkap (RAL) yang terdiri dari 5 perlakuan dengan 3 kali ulangan. Hasil

penelitian menunjukkan bahwa analisis sidik ragam nitrogen dalam bentuk amonia dan nitrat,

antar perlakuan tidak terdapat perbedaan yang nyata. Tanaman kangkung air menggunakan

nitrogen dalam bentuk amonia karena merupakan jenis tumbuhan akuatik serta memiliki porsi

akar lebih besar dan berserabut, sedangkan tanaman bayam menyerap nitrogen dalam bentuk

nitrat karena merupakan jenis tumbuhan terestrial serta memiliki morfologi perakaran

tunggang dan berserabut dibagian atasnya (sedikit berserabut). Dari hasil analisis sidik ragam

menunjukkan bahwa, tingkat kelangsungan hidup antar perlakuan tidak menunjukkan adanya

perbedaan yang nyata. Rendahnya tingkat kelangsungan hidup ikan lele pada setiap perlakuan

diduga sebagai respon adaptasi terhadap lingkungan.

Kata Kunci : Akuaponik, amonia, nitrat, kelangsungan hidup, lele.

3

Abstract

The aquaponic system in principle, in addition to saving land and water use, also improves

business efficiency through the utilization of nutrients from feed residues and fish

metabolism, and is one of the environmentally friendly fish cultivation systems. This study

aims to analyze the ammonia concentration by using different plant species in the system,

analyzing the concentration of nitrogen species in the cultivation of the aquaponic system by

using different plant species, and knowing the survival rate of the catfish in the aquaponic

cultivation system. This research was conducted in May - July 2017 at Jalan Raden Puguh

Puyung Village, District Jonggat, Central Lombok. The method used in this research is an

experimental method with Completely Randomized Design (RAL) consisting of 5 treatments

with 3 replications. The results showed that the analysis of nitrogen variation in the form of

ammonia and nitrate, between treatments there was no significant difference. Water spinach

plants use nitrogen in the form of ammonia because it is a type of aquatic plant and has a

larger root portion and filamentous, while spinach plants absorb nitrogen in the form of nitrate

because it is a terrestrial plant species and has a morphology of rooting and stringy on the top

(slightly stringy). From the results of the analysis of variance shows that, the survival rate

between treatments did not show any significant difference. The low survival rate of catfish in

each treatment is suspected as an adaptation response to the environment.

Keywords: Aquaponik, ammonia, nitrate, survival, catfish.

4

Pendahuluan

Ketersediaan lahan dan air untuk proses budidaya ikan semakin terbatas seiring

dengan pertambahan penduduk dan perkembangan pembangunan. Di Nusa Tenggara Barat,

pemanfaatan lahan untuk pengembangan perikanan budidaya air tawar yaitu sebesar 2.121,35

ha, dengan jumlah produksi ikan mencapai 17.760,7 ton (Statistik Perikanan Budidaya Dinas

Kelautan dan Perikanan NTB, 2013). Pertumbuhan penduduk yang diikuti dengan

meningkatnya kegiatan industri, dan pemukiman telah menggusur lahan budidaya, sehingga

dari tahun ke tahun luasnya semakin berkurang. Disamping itu, kebutuhan akan pangan

protein untuk kelangsungan hidup semakin meningkat dengan terbatasnya jumlah lahan.

Pada sistem budidaya ikan tanpa pergantian air, konsentrasi limbah budidaya seperti

amonia (NH3), nitrit (NO2), dan CO2 akan meningkat sangat cepat dan bersifat toksik bagi

organisme budidaya.. Amonia mudah terakumulasi diperairan karena merupakan produk

sampingan alami dari metabolisme ikan (Ervina, et al., 2015). Ikan dapat mengeluarkan 80-

90% amonia melalui proses osmoregulasi sedangkan feses dan urin mengeluarkan 10-20%

total amonia-nitrogen (TAN) (Setijaningsih, et al, 2015). Kandungan racun tersebut dapat

direduksi oleh tanaman hingga mencapai 90% dari kadar yang ada (Estu, dan Sutrisno, 2008).

Sisa pakan maupun feses ikan, sangat berpotensi memperburuk kualitas air (Ristiawan, et al.,

2012). Sehingga, menurut Satyani (2005) dalam Muliadi, et al., (2014), cara menghilangkan

pengaruh buruk air kotor agar menjadi layak dan sehat untuk kehidupan ikan dalam budidaya

yaitu dengan memberikan aerasi dan sirkulasi air.

Inovasi teknologi dibutuhkan untuk mengantisipasi penurunan produksi budidaya ikan

dan penurunan kualitas media pemeliharaan. Sistem budidaya akuaponik merupakan salah

satu alternatif budidaya yang mengkombinasikan antara sistem budidaya akuakultur dan

sistem budidaya hidroponik dalam satu tempat. Teknik ini mengintegrasikan budidaya ikan

secara tertutup (Resirculating aquaculture) yang dipadukan dengan tanaman (Fathullah dan

5

Budiana, 2016). Sistem akuaponik memiliki tiga komponen utama yaitu, ikan, tumbuhan dan

mikroba (Anisa, et al., 2016). Berdasarkan hal tersebut, penelitian ini diharapkan dapat

memberikan rekomendasi terbaik tanaman mana yang lebih baik dalam memanfaatkan

amonia pada media pemeliharaan ikan, sehingga kualitas air pada kegiatan budidaya ikan

dapat terjaga dengan baik.

Metode Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Mei – Juli 2017, bertempat di Jalan Raden

Puguh Desa Puyung, Kecamatan Jonggat, Lombok Tengah, Nusa Tenggara Barat.

Analisa data

Parameter yang diuji secara statistik adalah amonia; nitrat; sintasan SR =

x 100%; laju

pertumbuhan mutlak = Wt – Wo; pertumbuhan tanaman. SR= kelangsungan hidup benih

ikan lele (%); Nt= jumlah ikan yang hidup pada akhir percobaan (Ind); No = jumlah ikan yang

mati pada awal percobaan (Ind); = laju pertumbuhan bobot (gr); Wt= berat akhir (gr);

Wo= berat awal (gr). Analisis data menggunakan analisis sidik ragam (ANOVA) pada

program costat win plus dengan taraf nyata 5 %. Apabila ditemukan perbedaan yang nyata

maka akan dilakuskan uji lanjut Beda Nyata Terkecil (BNT) pada taraf 5 %.

Hasil

Amonia dan Nitrat

Nilai konsentrasi amonia dan nitrat yang diperoleh selama pengamatan menunjukkan

bahwa antar perlakuan tidak terdapat perbedaan yang nyata (Gambar 1).

Sintasan

Nilai sintasan yang diperoleh selama pengamatan menunjukkan bahwa antar

perlakuan tidak terdapat perbedaan yang nyata (Gambar 2).

6

Laju Pertumbuhan Mutlak

Nilai laju pertumbuhan mutlak yang diperoleh selama pengamatan menunjukkan

bahwa perlakuan P2 (Kangkung) menunjukkan nilai terbaik dimana P2 (Kangkung) berbeda

nyata dengan perlakuan P3 (Sawi), namun perlakuan P1 (Kontrol), P4 (Selada), dan P5

(Bayam) menunjukkan antar perlakuan tidak berbeda nyata dengan perlakuan P2 (Kangkung)

Pertumbuhan Tanaman

Nilai pertumbuhan tanaman yang diperoleh selama pengamatan menunjukkan bahwa

perlakuan P2 berbeda nyata antar perlakuan, namun pada perlakuan P3, P4, dan P5 tidak

menunjukkan adanya perbedaan nyata (Gambar 4).

Pembahasan

Amonia dan Nitrat

Dari hasil analisis sidik ragam nitrogen dalam bentuk amonia, menunjukkan antar

perlakuan tidak terdapat perbedaan yang nyata. Namun dari ke- 5 perlakuan ( P1 (Kontrol),

P2 (Kangkung), P3 (Sawi), P4 (Selada), P5 (Bayam)), konsentrasi amonia terendah dimiliki

oleh perlakuan dengan jenis tanaman kangkung (P2) yakni sebesar 0,041 mg/l, kemudian di

ikuti oleh jenis tanaman sawi (P3) yakni sebesar 0,044 mg/l. Kesetimbangan amonia di

perairan dipengaruhi oleh oksigen terlarut, suhu dan pH.

Rendahnya konsentrasi amonia pada perlakuan P2 (kangkung) disebabkan karena

tanaman tersebut merupakan salah satu jenis tanaman akuatik. Dimana membutuhkan air

dalam jumlah yang lebih banyak dibandingkan dengan jenis tanaman sawi, selada, dan

bayam, sehingga nitrogen yang diserap dalam bentuk amonium (NH4+). Amonium diserap

oleh tanaman melalui akar sebagai pupuk alami untuk pertumbuhannya (Nugroho, et al.,

2012). Di perairan, amonium tersedia dalam jumlah yang lebih besar dibandingkan nitrat,

denganvolume akar yang lebih besar memungkinkan daya serap amonia oleh tanaman

kangkung lebih optimal (Pradyto, 2011). Proses intersepsi akar, aliran massa, dan difusi yang

7

menggerakkan amonia ke akar tanaman. Akar tanaman yang terus tumbuh dan memanjang

akan memperpendek jarak yang harus ditempuh amonia untuk mendekati akar tanaman, baik

melalui aliran massa maupun difusi. Gerakan massa air yang berlangsung secara kontinyu

diserap oleh akar dan menguap melalui proses transpirasi (Suhendrayatna et al., 2009).

Menurut penelitian yang dilakukan oleh Muhammad et al,. (2014), rendahnya kadar

amonia dengan menggunakan jenis tanaman kangkung disebabkan karena akar tanaman

kangkung lebih berserabut dan lebih panjang dibanding dengan tanaman sawi dan selada, jika

dilihat dari segi akar tanaman kangkung lebih optimal untuk menyerap amonia.Menurut

Efendi et al., (2015), tanaman dapat mereduksi amonium lebih cepat dibandingkan nitrat.

Menurut penelitian yang dilakukan oleh Setijaningsih et al., (2015), kangkung lebih efektif

dalam memanfatkan hara yang berasal dari air yang mengalir dari pemeliharaan lele dan

selanjutnya air yang sudah mengalami biofiltrasi akan diterima sebagai media pemeliharaan.

Dari hasil analisis sidik ragam nitrogen dalam bentuk nitrat, menunjukan antar

perlakuan tidak terdapat perbedaan yang nyata.Dari ke- 5 perlakuan ( P1 (Kontrol), P2

(Kangkung), P3 (Sawi), P4 (Selada), P5 (Bayam)), konsentrasi nitrat terendah terdapat pada

perlakuan dengan jenis tanaman bayam (P5) dan selada (P4), yakni berturut-turut sebesar

0,178 mg/l dan 0,184 mg/l.

Rendahnya konsentrasi nitrat pada perlakuan P5 (Bayam) berkaitan dengan morfologi

dan jenis tanaman yang digunakan. Setiap jenis tanaman tentu memiliki jumlah akar yang

berbeda antara satu dengan yang lainnya. Tanaman bayam memiliki morfologi sistem

perakaran tunggang dan berserabut dibagian atasnya (Sedikit berserabut). Karena proses

perombakan amonium menjadi nitrat membutuhkan waktu yang cukup lama dengan sistem

perakaran tersebut bayam lebih menggunakan nitrogen dalam bentuk Nitrat (NO3-) sebagai

sumber nutrien karena merupakan salah satu jenis tumbuhan darat. Menurut Suhendrayatna et

al., (2009), semakin lama waktu tinggal, konsentrasi amonia terserap oleh akar semakin

8

mengecil. Hal ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Nofdianto dan Hasan Fauzi

(2015), dengan menggunakan jenis tanaman bayam putih, pak choy, sawi bakso, dan

kangkung, laju penurunan konsentrasi nitrat tertinggi dengan menggunakan jenis tanaman

bayam putih yakni sebesar 0,303 mg/l.Tanaman dengan porsi akar lebih besar diasumsikan

sebagai substrat bagi komunitas bakteri akan lebih tinggi, sehingga membuka peluang untuk

proses asimilasi nutrien melalui perombakan bakteri menjadi lebih tinggi pula (Nofdianto dan

Hasan Fauzi, 2015).

Sintasan

Dari hasil analisis sidik ragam tidak menunjukkan adanya perbedaan nyata antar

perlakuan, namun persentase kelulusan hidup ikan lele tertinggi terdapat pada perlakuan P2

(Kangkung) yaitu sebesar 50%. Hal ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh

Effendiet al., (2015), bahwa tingkat kelangsungan hidup ikan lele dengan perlakuan kangkung

sebagai fitoremediator dengan sistem resirkulasi lebih tinggi dari perlakuan pakcoy dan

kontrol.

Rendahnya tingkat kelangsungan hidup ikan lele pada setiap perlakuan diduga sebagai

respon adaptasi terhadap lingkungan dan perlakuan. Selain itu, pemberian pakan yang kurang

optimal pada saat pemeliharaan juga meningkatkan mortalitas yang disebabkan oleh tingkat

kanibalisme. Ikan lele merupakan salah satu jenis ikan yang memiliki porsi makan yang

cukup besar sehingga untuk memenuhi kebutuhan metabolismenya dibutuhkan asupan pakan

yang diberikan secara ad libitum. Hal ini sesuai dengan pernyataan Mulyadi et al., (2014),

kematian ikan dapat terjadi disebabkan oleh predator, populasi, keadaan lingkungan yang

tidak cocok,serta fisik yang disebabkan oleh penanganan manusia. Sedangkan menurut

penelitian yang dilakukan oleh Adewolu et al.,(2008) bahwa kelangsungan hidup ikan

dipengaruhi oleh berbagai faktor diantaranya, kualitas air (oksigen terlarut, amonia, suhu,

pH), pakan, umur ikan, lingkungan, dan kondisi kesehatan ikan.

9

Laju Pertumbuhan Mutlak

Dari hasil analisis sidik ragam menunjukkan bahwa perlakuan P2 (Kangkung)

menunjukkan nilai terbaik dimana P2 (Kangkung) berbeda nyata dengan perlakuan P3 (Sawi),

namun perlakuan P1 (Kontrol), P4 (Selada), dan P5 (Bayam) menunjukkan antar perlakuan

tidak berbeda nyata dengan perlakuan P2 (Kangkung) dan P3 (Sawi). Diduga hal tersebut

terjadi karena masing-masing jenis tanaman memiliki kemampuan yang berbeda dalam

menyerap amonia yang terakumulasi diperairan. Konsentrasi amonia > 0,3 mg/l akan

menyebabkan ikan menjadi stres, nafsu makan menurun, dan menyebabkan kematian ikan

(Effendi H, et al., 2015). Sedangkan menurut Bhatnagar dan Devi (2013), konsentrasi amonia

optimum untuk pertumbuhan ikan lele adalah <0,0025 mg/l.

Lingkungan budidaya yang tinggi konsentrasi amonia menyebabkan ikan akan

mengeluarkan lebih banyak energi untuk dapat bertahan hidup, energi hasil dari metebolisme

akan digunakan untuk kegiatan adaptasi. Kebutuhan energi untuk metabolisme harus dipenuhi

terlebih dahulu, baru apabila berlebih maka kebihannya akan digunakan untuk pertumbuhan.

Dari total energi metabolisme, sebagaimana akan digunakan untuk metabolisme

standar/maintenance, sebagian untuk aktivitas fisik, dan sebagian lagi untuk kegiatan

menghancurkan, mengubah dan menyimpan zat makanan (Ridwan dan usman, 2017).

Menurut Tahira (2011), bahwa faktor yang berpengaruh terhadap pertumbuhan bobot dan

panjang adalah kepadatan ikan, pakan, dan kondisi lingkungan.

Pada keadaan lingkungan yang baik dan pakan yang mencukupi, ikan akan

menghasilkan pertumbuhan yang stabil. Namun, meski telah melalui manajemen yang baik,

pakan yang diberikan pada ikan akan menghasilkan limbah. Menurut Diana et al., (2015)

menyatakan bahwa, dari 100 unit pakan yang diberikan kepada ikan, biasanya 10% tidak

termakan, 10% merupakan limbah padatan, dan 30% merupakan limbah cair yang dihasilkan

oleh ikan, dan sisanya, 25% digunakan untuk tumbuh dan 25% lainnya untuk metabolisme.

10

Persentase ini tergantung pada jenis ikan, aktivitas, temperatur air, dan kondisi lingkungan

lainnya. Sedangkan menurut Hidayat et al., (2013), pertumbuhan dipengaruhi oleh beberapa

faktor yaitu faktor dari dalam dan faktor dari luar, adapun faktor dari dalam meliputi sifat

keturunan, ketahanan terhadap penyakit, dan kemampuan memanfatkan makanan, sedangkan

faktor dari luar meliputi sifat fisika, kimia, dan biologi perairan.

Pertumbuhan Tanaman

Dari hasil analisis sidik ragam menunjukkan bahwa perlakuan P2 berbeda nyata antar

perlakuan, namun pada perlakuan P3, P4, dan P5 tidak menunjukkan adanya perbedaan nyata.

Dari hasil pemeliharaan selama 40 hari jenis tanaman kangkung memiliki laju pertumbuhan

yang lebih cepat dibandingkan dengan jenis tanaman sawi, selada dan bayam. Hal inididuga

berkaitan dengan morfologi dan jenis tanaman yang digunakan. Setiap jenis tanaman tentu

memiliki jumlah akar berbeda antara satu dengan yang lainnya.

Menurut penelitian yang dilakukan Pradyto (2011), Tanaman kangkung memiliki

akar dengan volume yang paling besar sehingga penyerapan unsur hara dan air oleh tanaman

tersebut tinggi, karena pertumbuhan akar tanaman dan terbentuknya bulu akar yang baru

menyebabkan terjadinya persinggungan antara akar tanaman dan terbentuknya bulu akar yang

baru menyebabkan singgungan antara akar dan ion hara tanaman. penyerapan unsur hara ini

akan mendorong percepatan pertumbuhan tanaman sehingga laju pertumbuhan tanaman

semakin meningkat. Hal ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Jampeetong (2012),

bahwa laju pertumbuhan kangkung adalah 0,025 gr/hari. Hal ini diduga terjadi kerena

kemampuan dalam memanfatkan unsur-unsur limbah budidaya ikan (amonia) berbeda pada

setiap jenis tanaman. Dalam sistem akuaponik efektifitas sistem juga diindikasikan dengan

keberhasilan pertumbuhan tanaman air (Nugroho et al.,2012)

Pertumbuhan tanaman juga dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu, intensitas cahaya

matahari, suhu di daerah akar, suhu lingkungan, pH, konsentrasi nutrien, dan jenis tanaman

11

(Muhammad et al., 2017). Selain itu, jenis media tanam yang digunakan juga sangat

berpengaruh terhadap pertumbuhan dan perkembangan tanaman. Media yang baik membuat

unsur hara tetap tersedia, kelembaban terjamin, dan drainase baik. Media yang digunakan

harus dapat menyimpan air, zat hara, dan oksigen, serta tidak mengandung zat yang beracun

bagi tanaman (Fitriani et al., 2015).

Kualitas Air Pendukung (Suhu, pH, DO, dan Kekeruhan)

Kualitas air sangat berpengaruh dalam proses budidaya ikan. Meskipun ikan lele

merupakan salah satu jenis ikan yang dapat bertahan hidup pada kondisi perairan yang buruk

dan rendah oksigen, namun sumber air yang digunakan tidak boleh tercemar`oleh bahan-

bahan beracun. Berdasarkan data yang diperoleh pada (Tabel 1) , suhu pada setiap perlakuan

tergolong rendah untuk pemeliharaan ikan air tawar yaitu berkisar antara 22 – 250 C.

Berdasarkan pernyataan Wahyu (2013), suhu perairan yang memungkinkan berlangsungnya

kehidupan normal di dalamnya baik hewan maupun tumbuhan, berkisar antara 22 – 250 C.

Sedangkan menurut Taufiq et al., (2014), kisaran suhu yang optimal untuk pertumbuhan ikan

lele adalah 22 – 340 C. Pada dasarnya suhu sangat berpengaruh terhadap kehidupan dan

pertumbuhan ikan. Suhu yang terlalu tinggi atau rendah dapat menyebabkan pertumbuhan

ikan tidak optimal. Menurut Kordi dan Tancung (2007), suhu mempengaruhi aktivitas

metabolisme organisme, oleh karena itu penyebaran organisme di perairan tawar di batasi

oleh suhu perairan tersebut.

Derajat Keasaman (pH) pada setiap perlakuan masih tergolong optimal bagi

kehidupan dan pertumbuhan ikan yaitu berkisar antara 6,8 – 7,9. Menurut Rully (2011), pH

yang optimal untuk pertumbuhan sebagian besar spesies ikan berkisar antara 6,5 – 9,0.

Tanaman optimal dalam menyerap nutrien pada kisaran pH 5,5 – 6,5 (Rakocy et al., 2006).

Sementara pH optimum untuk proses nitrifikasi berkisar antara 7,0 – 9,0 dan 7,5 – 9,0

(Tyson, 2007). Oleh karena itu, pH yang optimal untuk sistem akuaponik berkisar antara 6,5 –

12

7,5. Proses nitrifikasi berjalan lambat ketika pH turun di bawah 7,0 dan ketika pH kurang dari

6,0 proses nitrifikasi perlahan-lahan berhenti (Rully, 2011).

Oksigen terlarut (DO) pada masing-masing perlakuan berkisar antara 2,3 – 5,2 mg/l

(P1,P4, P5) dan 3 – 5 mg/l (P2 dan P3). Oksigen terlarut dalam suatu perairan merupakan

faktor pembatas bagi organisme akuatik dalam melakukan aktifitas (Afriansyah et al., 2016).

Oleh karena itu, ketersediaan oksigen bagi biota air menentukan lingkaran aktifitasnya,

demikian juga laju pertumbuhan bergantung pada oksigen. Rendahnya kadar oksigen di

perairan dapat menyebabkan rendahnya nafsu makan pada ikan lele, sehingga berdampak

pada pertumbuhan. Menurut Salmin (2005), Sumber utama oksigen dalam suatu perairan

berasal dari suatu proses difusi dari udara bebas dan hasil fotosintesis organisme yang hidup

dalam perairan tersebut.

Nilai kekeruhan pada masing-masing perlakuan berbeda yakni pada perlakuan P1

(kontrol) berkisar antara 4,43 – 46,1 NTU, P2 (kangkung) berkisar antara 2,47- 39,5 NTU, P3

(sawi) berkisar antara 1,62 – 27,3 NTU, P4 (selada) berkisar antara 5,14 – 207 NTU, dan P5

(bayam) berkisar antara 2,74 – 105 NTU. Kekeruhan pada dasarnya disebabkan oleh bahan

organik dan anorganik yang tersuspensi maupun larut seperti lumpur, pasir halus, bahan

organik dan bahan anorganik seperti plankton dan mikroorganisme lainnya yang terdapat di

perairan.

Menurut penelitian yang dilakukan oleh Wahyu (2013), apabila suatu perairan

memiliki tingkat kekeruhannya lebih dari 20 NTU, perairan ini masih dinyatakan berbahaya

bagi kehidupan biota didalamnya. Kondisi ini akan mengganggu aktivitas serta metabolisme

biota yang berlangsung didalam perairan. Namun berbeda dengan pernyataan tersebut,

tingginya angka kekeruhan pada media pemeliharaan akan menguntungkan bagi ikan lele

yang dikenal sebagai ikan nocturnal. Kondisi air media dengan turbiditas yang tinggi mampu

berfungsi sebagai selter bagi ikan lele (Sri dan Subandiyono, 2014). Menurut penelitian yang

13

dilakukan oleh Sri dan Subandiyono (2014), kisaran optimal turbiditas untuk mengurangi

tingkat agresif dan kanibalisme dari ikan lele yaitu > 999 NTU. Berbeda dengan kondisi ikan

lele, kekeruhan akan menghambat penyerapan cahaya matahari di air sehingga akan

mengurangi produksi oksigen yang dihasilkan tanaman. Air yang keruh akan menyebabkan

batang tanaman membusuk dan akhirnya mati (Mumpuni, 2010).

Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan, maka dapat disimpulkan bahwa

konsentrasi nitrogen dalam bentuk amonia paling rendah terdapat pada jenis perlakuan

dengan menggunakan tanaman kangkung air yakni sebesar 0,041 mg/l, sedangkan konsentrasi

nitrogen dalam bentuk nitrat terdapat pada jenis perlakuan dengan menggunakan bayam yakni

sebesar 0,178 mg/l dan tingkat kelangsungan hidup ikan lele tertinggi yaitu pada perlakuan

dengan menggunakan jenis tanaman kangkung air, yakni mencapai 50%.

14

Daftar Pustaka

Adewolu M.A., Adeniji C.A., & Adejobi A.B. 2008. Feed Utilization, Growth and Survival

of Clarias gariepinus (Burchell 1882) Fingerlings Cultured Under Different

Photoperiods. Aquaculture,(283): 64-67.

Afriansyah, Irma D., & Iwan H. 2016. Keragaan Nitrogen dan T-Phosfat pada

PemanfaatanLimbah Budidaya Ikan Lele (Clarias gariepinus) Oleh Ikan

Peres(Osteochilus kappeni) dengan Sistem Resirkulasi. Jurnal Ilmiah Mahasiswa

Kelautan dan Perikanan, Vol, 1, No, 2, Hal : 252-261.

Bhatnagar, dan Devi P. 2013. Water Quality Guidelines for the Management in Pond Fish

Culture. International Journal of Environmental Sciences. Vol. 3, No. 6.

Diana R., Istiyanto S., & Heryoso.2015. Manajemen Kualitas Air Media Budidaya Ikan Lele

Sangkuriang (Clarias gariepinus) dengan Teknik Probiotik pada KolamTerpal di Desa

Vokasi Reksosari, Kecamatan Suruh, KabupatenSemarang. Pena Akuatika, Vol, 12,

No,1.

Effendi H., Bagus A.U., Giri M.D., & Rebo E.K. 2015. Fitoremediasi Limbah Budidaya Ikan

Lele (Clarias Sp.) dengan Kangkung (Ipomea aquatica) dan Pakcoy (Brassica rapa

chinensis) dalam Sistem Resirkulasi. Ecalab, Vol. 9, No.2, Hal: 47-104.

Fitriani H., Iskandar M.P., & Ramal Y. 2015. Respon Pertumbuhan Tanaman Sawi (Brassica

juncea L.)secara Hidroponik Terhadap Komposisi Media Tanam dan

KonsentrasiPupuk Organik Cair. e-Jurnal Agrotekbis, Vol, 3, N0, 3, Hal : 290-296.

Hidayat D,Ade D.S., & Yulisman. 2013. Kelangsungan Hidup, Pertumbuhan, dan Efisiensi

Pakan, Ikan Gabus (Channa striata) yang Diberi Pakan Berbahan Baku Tepung

Keong Mas (Pomacea Sp.). Jurnal Akuakultur Rawa Indonesia 1 (2): 161-172.

Jampeetong, A. Effects of Inorganic Nitrogen Forms on Growth, Morphology, Nitrogen

Uptake Capacity and Nutrient Allocation of Four Tropical Aquatic Macrophytes

15

(Salvina cucullata, Ipomoea aquatica, Cyperus involucratus, and Vetiveria

zizanioides). Aquatica Botany. 97 :10 – 16.

Kordi dan Tancung. 2007. Pengelolaan Kualitas Air dalam Budidaya Perairan. Rineka Cipta,

Jakarta.

Muliadi, Usman T., & Elda S.Y. 2014. Sistem Resirkulasi dengan Menggunakan Filter yang

Berbeda Terhadap Pertumbuhan Benih Ikan Nila (Oreochromis niloticus).Jurnal

Akuakultur Rawa Indonesia, Vol, 2, No,2, Hal : 117-124.

Mumpuni, CP. 2010. Pemanfaatan Kangkung Air (Ipomoea aquatica) dan Lumpur Aktif

Pabrik Tekstil dalam Pengolahan Limbah Cair Tahu. Fakultas Perikanan dan Ilmu

Kelautan IPB, Bogor. [Skripsi].

Nofdianto, & Hasan F. 2015. Sistem Resirkulasi Akuaponik untuk Pengendalian Kelebihan

Nutrien di Perairan : Laju Serap dan Penyisihan Nutrien oleh Beberapa Jenis Sayuran.

Limnotek. Vol. 22, No. 2, Hal : 189 – 197.

Nugroho R.A., Lilik T.P., Diana C., & Alfabetian. 2012. Aplikasi Teknologi Akuaponik pada

Budidaya Ikan Air Tawar untuk Optimalisasi Kapasitas Produksi. Jurnal Saintek

Perikanan. Vol. 8, No. 1, Hal : 46 – 51.

Pradyto, M. 2011. Respon Pertumbuhan Tiga Macam Sayuran pada Berbagai Konsentrasi

Nutrisi Larutan Hidroponik. Fakultas Pertanian Universitas Jember. Jatim. [Skripsi].

Rakocy J.E., Masser M.P., & Losordo T.M. 2006. Recirculating Aquaculture Tank

Production Systems: Aquaponics-Integrating Fish and Plant Culture.Southern

Regional Aquaculture Center, United States Departemen of Agriculture, Coopreative

State Research, Education, and Extension Service.

Ruly, R. 2011. Penentuan Waktu Retensi Sistem Akuaponik untuk Mereduksi Limbah

Budidaya Ikan Nila Oreochromis Sp. Fakultas Peerikanan dan Ilmu Kelautan IPB,

Bogor. [Skripsi]

16

Salmin. 2005. Oksigen Terlarut (DO) dan Kebutuhan Oksigen Biologi (BOD)Sebagai Salah

Satu Indikator untuk Menentukan Kualitas Perairan. Oseana, Vol, 30, No, 3, Hal : 21-

26.

Setijaningsih, L, &Suryaningrum. 2015. Pemanfaatan Limbah Budidaya Ikan Lele (Clarias

batrachus) untuk Ikan Nila (Oreochromis niloticus) dengan Sistem Resirkulasi. Berita

Biologi, Vol,14, No, 3.

Suhendrayatna, Bahagia, Novia Z.A., & Elvitriana. 2009. Pengaruh Waktu Tinggal dan Umur

Tanaman pada Biopsorpsi Ammonia Oleh Tanaman Air Eceng Gondok (Eichhornia

Grassipes). Jurnal Rekayasa Kimia dan Lingkungan, Vol. 7, No.2, Hal : 58-63.

Sri, H., & Subandiyono. 2014. Performa Produksi Ikan Lele Dumbo (Clarias gariepinus,

Burch) yang di Pelihara dengan Teknologi Biofloc. Jurnal Saintek Perikanan, Vol. 10,

No. 1, Hal :37 -42.

Tahira, T.P. 2011. Kinerja Produksi Pendederan Lele Sangkuriang Clarias Sp. pada Padat

Penebaran 35, 45, dan 50 Ekor/Liter dengan Ketinggian Media 30 Cm. Departemen

Budidaya Perairan. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Institut Pertanian Bogor.

Bogor. [Skripsi]

Taufiq Y., Hasim, & Rully T. 2014. Pengaruh Padat Penebaran Berbeda Terhadap

Pertumbuhan Benih Ikan Lele Sangkuriang di Balai Benih Ikan Kota Gorontalo.

Jurnal Ilmiah Perikanan dan Kelautan, Vol. 2, No.

Tyson, R.V. 2007. Reconciling pH for Ammonia Biofiltration in a Cucumber/Tilapia

Aquaponics System Using a Perlite Medium. [Disertasi]. University of Florida.

Wahyu, L. 2013. Penggunaan Ipomoea aquatica Forks. Untuk Fitoremediasi Limbah Rumah

Tangga. Prosiding Semirata FMIPA Universitas Lampung.

17

Konsentrasi nitrogen dalam bentuk amonia dan nitrat

Gambar 1.

0,045a 0,041a 0,044a 0,053a 0,058a

0,188a 0,197a 0,19a 0,184a 0,178a

0

0.05

0.1

0.15

0.2

0.25

P1 P2 P3 P4 P5

Nila

i Ko

nse

ntr

asi

Perlakuan

Konsentrasi Amonia dan Nitrat (mg/l)

Amonia

Nitrat

18

Sintasan

Gambar 2.

26,7a

50a

28,3a

40a

33,3a

0

10

20

30

40

50

60

P1 P2 P3 P4 P5

Sintasan (%)

19

Pertumbuhan Mutlak Ikan Lele

Gambar 3.

252,7ab

411a

173,7b

316,3ab

267,3ab

0

50

100

150

200

250

300

350

400

450

P1 P2 P3 P4 P5

Pertumbuhan Mutlak (g/hari)

20

Pertumbuhan Tanaman

Gambar 4.

0c

84,7a

24,3b 30,3b

26b

0

10

20

30

40

50

60

70

80

90

P1 P2 P3 P4 P5

Pertumbuhan Tanaman (cm)

21

Kualitas Air Pendukung (DO, Suhu, pH, Kekeruhan)

Parameter

Kualitas

Air

Satuan P1 P2 P3 P4 P5 Kisaran

Optimal

(Kordi,

2010)

Suhu 0 C 22 -25 22 - 25 22 - 24 22 - 25 22 – 24 22 - 34

0 C

pH 6,9 – 7,8 6,8 – 7,9 6,9 – 7,9 7 – 7,8 6,9 – 7,9 6,5 – 8,5

DO mg/l 2,6 – 4,7 3 - 5 3 – 4,6 2,7 – 4,9 2,3 – 5,2 3 – 6 mg/l

Kekeruhan NTU 4, 43 – 46,1 2,47- 39,5 1,62 – 27,3 5,14 - 207 2,74 – 105 < 20 NTU

Tabel 1.