Upload
dokhue
View
225
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
1
KONSENTRASI AMONIA DAN NITRAT PADA BUDIDAYA LELE SISTEM
AKUAPONIK DENGAN MENGGUNAKAN TUMBUHAN YANG BERBEDA
CONCENTRATIONS OF AMMONIA AND NITRATE IN
CATFISH AQUAPONIC SYSTEM USING DIFFERENT PLANTS
Rani Suryaningsih1*)
, Saptono Waspodo1)
, Nanda Diniarti1)
1)Program Studi Budidaya Perairan, Universitas Mataram
Jl. Pendidikan No. 37 Mataram, NTB
*Korespondensi :
2
Abstrak
Sistem akuaponik pada prinsipnya disamping menghemat penggunaan lahan dan air juga
meningkatkan efisiensi usaha melalui pemanfaatan hara dari sisa pakan dan metabolisme
ikan, serta merupakan salah satu sistem budidaya ikan yang ramah lingkungan. Penelitian ini
bertujuan untuk menganalisa konsentrasi amonia dengan menggunakan jenis tumbuhan yang
berbeda di dalam sistem, menganalisa konsentrasi jenis nitrogen pada budidaya sistem
akuaponik dengan menggunakan jenis tumbuhan yang berbeda, dan mengetahui tingkat
kelangsungan hidup ikan lele pada sistem budidaya akuaponik. Penelitian ini dilakukan pada
bulan Mei – Juli 2017 di Jalan Raden Puguh Desa Puyung, Kecamatan Jonggat, Lombok
Tengah. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode eksperimental dengan
Rancangan Acak Lengkap (RAL) yang terdiri dari 5 perlakuan dengan 3 kali ulangan. Hasil
penelitian menunjukkan bahwa analisis sidik ragam nitrogen dalam bentuk amonia dan nitrat,
antar perlakuan tidak terdapat perbedaan yang nyata. Tanaman kangkung air menggunakan
nitrogen dalam bentuk amonia karena merupakan jenis tumbuhan akuatik serta memiliki porsi
akar lebih besar dan berserabut, sedangkan tanaman bayam menyerap nitrogen dalam bentuk
nitrat karena merupakan jenis tumbuhan terestrial serta memiliki morfologi perakaran
tunggang dan berserabut dibagian atasnya (sedikit berserabut). Dari hasil analisis sidik ragam
menunjukkan bahwa, tingkat kelangsungan hidup antar perlakuan tidak menunjukkan adanya
perbedaan yang nyata. Rendahnya tingkat kelangsungan hidup ikan lele pada setiap perlakuan
diduga sebagai respon adaptasi terhadap lingkungan.
Kata Kunci : Akuaponik, amonia, nitrat, kelangsungan hidup, lele.
3
Abstract
The aquaponic system in principle, in addition to saving land and water use, also improves
business efficiency through the utilization of nutrients from feed residues and fish
metabolism, and is one of the environmentally friendly fish cultivation systems. This study
aims to analyze the ammonia concentration by using different plant species in the system,
analyzing the concentration of nitrogen species in the cultivation of the aquaponic system by
using different plant species, and knowing the survival rate of the catfish in the aquaponic
cultivation system. This research was conducted in May - July 2017 at Jalan Raden Puguh
Puyung Village, District Jonggat, Central Lombok. The method used in this research is an
experimental method with Completely Randomized Design (RAL) consisting of 5 treatments
with 3 replications. The results showed that the analysis of nitrogen variation in the form of
ammonia and nitrate, between treatments there was no significant difference. Water spinach
plants use nitrogen in the form of ammonia because it is a type of aquatic plant and has a
larger root portion and filamentous, while spinach plants absorb nitrogen in the form of nitrate
because it is a terrestrial plant species and has a morphology of rooting and stringy on the top
(slightly stringy). From the results of the analysis of variance shows that, the survival rate
between treatments did not show any significant difference. The low survival rate of catfish in
each treatment is suspected as an adaptation response to the environment.
Keywords: Aquaponik, ammonia, nitrate, survival, catfish.
4
Pendahuluan
Ketersediaan lahan dan air untuk proses budidaya ikan semakin terbatas seiring
dengan pertambahan penduduk dan perkembangan pembangunan. Di Nusa Tenggara Barat,
pemanfaatan lahan untuk pengembangan perikanan budidaya air tawar yaitu sebesar 2.121,35
ha, dengan jumlah produksi ikan mencapai 17.760,7 ton (Statistik Perikanan Budidaya Dinas
Kelautan dan Perikanan NTB, 2013). Pertumbuhan penduduk yang diikuti dengan
meningkatnya kegiatan industri, dan pemukiman telah menggusur lahan budidaya, sehingga
dari tahun ke tahun luasnya semakin berkurang. Disamping itu, kebutuhan akan pangan
protein untuk kelangsungan hidup semakin meningkat dengan terbatasnya jumlah lahan.
Pada sistem budidaya ikan tanpa pergantian air, konsentrasi limbah budidaya seperti
amonia (NH3), nitrit (NO2), dan CO2 akan meningkat sangat cepat dan bersifat toksik bagi
organisme budidaya.. Amonia mudah terakumulasi diperairan karena merupakan produk
sampingan alami dari metabolisme ikan (Ervina, et al., 2015). Ikan dapat mengeluarkan 80-
90% amonia melalui proses osmoregulasi sedangkan feses dan urin mengeluarkan 10-20%
total amonia-nitrogen (TAN) (Setijaningsih, et al, 2015). Kandungan racun tersebut dapat
direduksi oleh tanaman hingga mencapai 90% dari kadar yang ada (Estu, dan Sutrisno, 2008).
Sisa pakan maupun feses ikan, sangat berpotensi memperburuk kualitas air (Ristiawan, et al.,
2012). Sehingga, menurut Satyani (2005) dalam Muliadi, et al., (2014), cara menghilangkan
pengaruh buruk air kotor agar menjadi layak dan sehat untuk kehidupan ikan dalam budidaya
yaitu dengan memberikan aerasi dan sirkulasi air.
Inovasi teknologi dibutuhkan untuk mengantisipasi penurunan produksi budidaya ikan
dan penurunan kualitas media pemeliharaan. Sistem budidaya akuaponik merupakan salah
satu alternatif budidaya yang mengkombinasikan antara sistem budidaya akuakultur dan
sistem budidaya hidroponik dalam satu tempat. Teknik ini mengintegrasikan budidaya ikan
secara tertutup (Resirculating aquaculture) yang dipadukan dengan tanaman (Fathullah dan
5
Budiana, 2016). Sistem akuaponik memiliki tiga komponen utama yaitu, ikan, tumbuhan dan
mikroba (Anisa, et al., 2016). Berdasarkan hal tersebut, penelitian ini diharapkan dapat
memberikan rekomendasi terbaik tanaman mana yang lebih baik dalam memanfaatkan
amonia pada media pemeliharaan ikan, sehingga kualitas air pada kegiatan budidaya ikan
dapat terjaga dengan baik.
Metode Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Mei – Juli 2017, bertempat di Jalan Raden
Puguh Desa Puyung, Kecamatan Jonggat, Lombok Tengah, Nusa Tenggara Barat.
Analisa data
Parameter yang diuji secara statistik adalah amonia; nitrat; sintasan SR =
x 100%; laju
pertumbuhan mutlak = Wt – Wo; pertumbuhan tanaman. SR= kelangsungan hidup benih
ikan lele (%); Nt= jumlah ikan yang hidup pada akhir percobaan (Ind); No = jumlah ikan yang
mati pada awal percobaan (Ind); = laju pertumbuhan bobot (gr); Wt= berat akhir (gr);
Wo= berat awal (gr). Analisis data menggunakan analisis sidik ragam (ANOVA) pada
program costat win plus dengan taraf nyata 5 %. Apabila ditemukan perbedaan yang nyata
maka akan dilakuskan uji lanjut Beda Nyata Terkecil (BNT) pada taraf 5 %.
Hasil
Amonia dan Nitrat
Nilai konsentrasi amonia dan nitrat yang diperoleh selama pengamatan menunjukkan
bahwa antar perlakuan tidak terdapat perbedaan yang nyata (Gambar 1).
Sintasan
Nilai sintasan yang diperoleh selama pengamatan menunjukkan bahwa antar
perlakuan tidak terdapat perbedaan yang nyata (Gambar 2).
6
Laju Pertumbuhan Mutlak
Nilai laju pertumbuhan mutlak yang diperoleh selama pengamatan menunjukkan
bahwa perlakuan P2 (Kangkung) menunjukkan nilai terbaik dimana P2 (Kangkung) berbeda
nyata dengan perlakuan P3 (Sawi), namun perlakuan P1 (Kontrol), P4 (Selada), dan P5
(Bayam) menunjukkan antar perlakuan tidak berbeda nyata dengan perlakuan P2 (Kangkung)
Pertumbuhan Tanaman
Nilai pertumbuhan tanaman yang diperoleh selama pengamatan menunjukkan bahwa
perlakuan P2 berbeda nyata antar perlakuan, namun pada perlakuan P3, P4, dan P5 tidak
menunjukkan adanya perbedaan nyata (Gambar 4).
Pembahasan
Amonia dan Nitrat
Dari hasil analisis sidik ragam nitrogen dalam bentuk amonia, menunjukkan antar
perlakuan tidak terdapat perbedaan yang nyata. Namun dari ke- 5 perlakuan ( P1 (Kontrol),
P2 (Kangkung), P3 (Sawi), P4 (Selada), P5 (Bayam)), konsentrasi amonia terendah dimiliki
oleh perlakuan dengan jenis tanaman kangkung (P2) yakni sebesar 0,041 mg/l, kemudian di
ikuti oleh jenis tanaman sawi (P3) yakni sebesar 0,044 mg/l. Kesetimbangan amonia di
perairan dipengaruhi oleh oksigen terlarut, suhu dan pH.
Rendahnya konsentrasi amonia pada perlakuan P2 (kangkung) disebabkan karena
tanaman tersebut merupakan salah satu jenis tanaman akuatik. Dimana membutuhkan air
dalam jumlah yang lebih banyak dibandingkan dengan jenis tanaman sawi, selada, dan
bayam, sehingga nitrogen yang diserap dalam bentuk amonium (NH4+). Amonium diserap
oleh tanaman melalui akar sebagai pupuk alami untuk pertumbuhannya (Nugroho, et al.,
2012). Di perairan, amonium tersedia dalam jumlah yang lebih besar dibandingkan nitrat,
denganvolume akar yang lebih besar memungkinkan daya serap amonia oleh tanaman
kangkung lebih optimal (Pradyto, 2011). Proses intersepsi akar, aliran massa, dan difusi yang
7
menggerakkan amonia ke akar tanaman. Akar tanaman yang terus tumbuh dan memanjang
akan memperpendek jarak yang harus ditempuh amonia untuk mendekati akar tanaman, baik
melalui aliran massa maupun difusi. Gerakan massa air yang berlangsung secara kontinyu
diserap oleh akar dan menguap melalui proses transpirasi (Suhendrayatna et al., 2009).
Menurut penelitian yang dilakukan oleh Muhammad et al,. (2014), rendahnya kadar
amonia dengan menggunakan jenis tanaman kangkung disebabkan karena akar tanaman
kangkung lebih berserabut dan lebih panjang dibanding dengan tanaman sawi dan selada, jika
dilihat dari segi akar tanaman kangkung lebih optimal untuk menyerap amonia.Menurut
Efendi et al., (2015), tanaman dapat mereduksi amonium lebih cepat dibandingkan nitrat.
Menurut penelitian yang dilakukan oleh Setijaningsih et al., (2015), kangkung lebih efektif
dalam memanfatkan hara yang berasal dari air yang mengalir dari pemeliharaan lele dan
selanjutnya air yang sudah mengalami biofiltrasi akan diterima sebagai media pemeliharaan.
Dari hasil analisis sidik ragam nitrogen dalam bentuk nitrat, menunjukan antar
perlakuan tidak terdapat perbedaan yang nyata.Dari ke- 5 perlakuan ( P1 (Kontrol), P2
(Kangkung), P3 (Sawi), P4 (Selada), P5 (Bayam)), konsentrasi nitrat terendah terdapat pada
perlakuan dengan jenis tanaman bayam (P5) dan selada (P4), yakni berturut-turut sebesar
0,178 mg/l dan 0,184 mg/l.
Rendahnya konsentrasi nitrat pada perlakuan P5 (Bayam) berkaitan dengan morfologi
dan jenis tanaman yang digunakan. Setiap jenis tanaman tentu memiliki jumlah akar yang
berbeda antara satu dengan yang lainnya. Tanaman bayam memiliki morfologi sistem
perakaran tunggang dan berserabut dibagian atasnya (Sedikit berserabut). Karena proses
perombakan amonium menjadi nitrat membutuhkan waktu yang cukup lama dengan sistem
perakaran tersebut bayam lebih menggunakan nitrogen dalam bentuk Nitrat (NO3-) sebagai
sumber nutrien karena merupakan salah satu jenis tumbuhan darat. Menurut Suhendrayatna et
al., (2009), semakin lama waktu tinggal, konsentrasi amonia terserap oleh akar semakin
8
mengecil. Hal ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Nofdianto dan Hasan Fauzi
(2015), dengan menggunakan jenis tanaman bayam putih, pak choy, sawi bakso, dan
kangkung, laju penurunan konsentrasi nitrat tertinggi dengan menggunakan jenis tanaman
bayam putih yakni sebesar 0,303 mg/l.Tanaman dengan porsi akar lebih besar diasumsikan
sebagai substrat bagi komunitas bakteri akan lebih tinggi, sehingga membuka peluang untuk
proses asimilasi nutrien melalui perombakan bakteri menjadi lebih tinggi pula (Nofdianto dan
Hasan Fauzi, 2015).
Sintasan
Dari hasil analisis sidik ragam tidak menunjukkan adanya perbedaan nyata antar
perlakuan, namun persentase kelulusan hidup ikan lele tertinggi terdapat pada perlakuan P2
(Kangkung) yaitu sebesar 50%. Hal ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh
Effendiet al., (2015), bahwa tingkat kelangsungan hidup ikan lele dengan perlakuan kangkung
sebagai fitoremediator dengan sistem resirkulasi lebih tinggi dari perlakuan pakcoy dan
kontrol.
Rendahnya tingkat kelangsungan hidup ikan lele pada setiap perlakuan diduga sebagai
respon adaptasi terhadap lingkungan dan perlakuan. Selain itu, pemberian pakan yang kurang
optimal pada saat pemeliharaan juga meningkatkan mortalitas yang disebabkan oleh tingkat
kanibalisme. Ikan lele merupakan salah satu jenis ikan yang memiliki porsi makan yang
cukup besar sehingga untuk memenuhi kebutuhan metabolismenya dibutuhkan asupan pakan
yang diberikan secara ad libitum. Hal ini sesuai dengan pernyataan Mulyadi et al., (2014),
kematian ikan dapat terjadi disebabkan oleh predator, populasi, keadaan lingkungan yang
tidak cocok,serta fisik yang disebabkan oleh penanganan manusia. Sedangkan menurut
penelitian yang dilakukan oleh Adewolu et al.,(2008) bahwa kelangsungan hidup ikan
dipengaruhi oleh berbagai faktor diantaranya, kualitas air (oksigen terlarut, amonia, suhu,
pH), pakan, umur ikan, lingkungan, dan kondisi kesehatan ikan.
9
Laju Pertumbuhan Mutlak
Dari hasil analisis sidik ragam menunjukkan bahwa perlakuan P2 (Kangkung)
menunjukkan nilai terbaik dimana P2 (Kangkung) berbeda nyata dengan perlakuan P3 (Sawi),
namun perlakuan P1 (Kontrol), P4 (Selada), dan P5 (Bayam) menunjukkan antar perlakuan
tidak berbeda nyata dengan perlakuan P2 (Kangkung) dan P3 (Sawi). Diduga hal tersebut
terjadi karena masing-masing jenis tanaman memiliki kemampuan yang berbeda dalam
menyerap amonia yang terakumulasi diperairan. Konsentrasi amonia > 0,3 mg/l akan
menyebabkan ikan menjadi stres, nafsu makan menurun, dan menyebabkan kematian ikan
(Effendi H, et al., 2015). Sedangkan menurut Bhatnagar dan Devi (2013), konsentrasi amonia
optimum untuk pertumbuhan ikan lele adalah <0,0025 mg/l.
Lingkungan budidaya yang tinggi konsentrasi amonia menyebabkan ikan akan
mengeluarkan lebih banyak energi untuk dapat bertahan hidup, energi hasil dari metebolisme
akan digunakan untuk kegiatan adaptasi. Kebutuhan energi untuk metabolisme harus dipenuhi
terlebih dahulu, baru apabila berlebih maka kebihannya akan digunakan untuk pertumbuhan.
Dari total energi metabolisme, sebagaimana akan digunakan untuk metabolisme
standar/maintenance, sebagian untuk aktivitas fisik, dan sebagian lagi untuk kegiatan
menghancurkan, mengubah dan menyimpan zat makanan (Ridwan dan usman, 2017).
Menurut Tahira (2011), bahwa faktor yang berpengaruh terhadap pertumbuhan bobot dan
panjang adalah kepadatan ikan, pakan, dan kondisi lingkungan.
Pada keadaan lingkungan yang baik dan pakan yang mencukupi, ikan akan
menghasilkan pertumbuhan yang stabil. Namun, meski telah melalui manajemen yang baik,
pakan yang diberikan pada ikan akan menghasilkan limbah. Menurut Diana et al., (2015)
menyatakan bahwa, dari 100 unit pakan yang diberikan kepada ikan, biasanya 10% tidak
termakan, 10% merupakan limbah padatan, dan 30% merupakan limbah cair yang dihasilkan
oleh ikan, dan sisanya, 25% digunakan untuk tumbuh dan 25% lainnya untuk metabolisme.
10
Persentase ini tergantung pada jenis ikan, aktivitas, temperatur air, dan kondisi lingkungan
lainnya. Sedangkan menurut Hidayat et al., (2013), pertumbuhan dipengaruhi oleh beberapa
faktor yaitu faktor dari dalam dan faktor dari luar, adapun faktor dari dalam meliputi sifat
keturunan, ketahanan terhadap penyakit, dan kemampuan memanfatkan makanan, sedangkan
faktor dari luar meliputi sifat fisika, kimia, dan biologi perairan.
Pertumbuhan Tanaman
Dari hasil analisis sidik ragam menunjukkan bahwa perlakuan P2 berbeda nyata antar
perlakuan, namun pada perlakuan P3, P4, dan P5 tidak menunjukkan adanya perbedaan nyata.
Dari hasil pemeliharaan selama 40 hari jenis tanaman kangkung memiliki laju pertumbuhan
yang lebih cepat dibandingkan dengan jenis tanaman sawi, selada dan bayam. Hal inididuga
berkaitan dengan morfologi dan jenis tanaman yang digunakan. Setiap jenis tanaman tentu
memiliki jumlah akar berbeda antara satu dengan yang lainnya.
Menurut penelitian yang dilakukan Pradyto (2011), Tanaman kangkung memiliki
akar dengan volume yang paling besar sehingga penyerapan unsur hara dan air oleh tanaman
tersebut tinggi, karena pertumbuhan akar tanaman dan terbentuknya bulu akar yang baru
menyebabkan terjadinya persinggungan antara akar tanaman dan terbentuknya bulu akar yang
baru menyebabkan singgungan antara akar dan ion hara tanaman. penyerapan unsur hara ini
akan mendorong percepatan pertumbuhan tanaman sehingga laju pertumbuhan tanaman
semakin meningkat. Hal ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Jampeetong (2012),
bahwa laju pertumbuhan kangkung adalah 0,025 gr/hari. Hal ini diduga terjadi kerena
kemampuan dalam memanfatkan unsur-unsur limbah budidaya ikan (amonia) berbeda pada
setiap jenis tanaman. Dalam sistem akuaponik efektifitas sistem juga diindikasikan dengan
keberhasilan pertumbuhan tanaman air (Nugroho et al.,2012)
Pertumbuhan tanaman juga dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu, intensitas cahaya
matahari, suhu di daerah akar, suhu lingkungan, pH, konsentrasi nutrien, dan jenis tanaman
11
(Muhammad et al., 2017). Selain itu, jenis media tanam yang digunakan juga sangat
berpengaruh terhadap pertumbuhan dan perkembangan tanaman. Media yang baik membuat
unsur hara tetap tersedia, kelembaban terjamin, dan drainase baik. Media yang digunakan
harus dapat menyimpan air, zat hara, dan oksigen, serta tidak mengandung zat yang beracun
bagi tanaman (Fitriani et al., 2015).
Kualitas Air Pendukung (Suhu, pH, DO, dan Kekeruhan)
Kualitas air sangat berpengaruh dalam proses budidaya ikan. Meskipun ikan lele
merupakan salah satu jenis ikan yang dapat bertahan hidup pada kondisi perairan yang buruk
dan rendah oksigen, namun sumber air yang digunakan tidak boleh tercemar`oleh bahan-
bahan beracun. Berdasarkan data yang diperoleh pada (Tabel 1) , suhu pada setiap perlakuan
tergolong rendah untuk pemeliharaan ikan air tawar yaitu berkisar antara 22 – 250 C.
Berdasarkan pernyataan Wahyu (2013), suhu perairan yang memungkinkan berlangsungnya
kehidupan normal di dalamnya baik hewan maupun tumbuhan, berkisar antara 22 – 250 C.
Sedangkan menurut Taufiq et al., (2014), kisaran suhu yang optimal untuk pertumbuhan ikan
lele adalah 22 – 340 C. Pada dasarnya suhu sangat berpengaruh terhadap kehidupan dan
pertumbuhan ikan. Suhu yang terlalu tinggi atau rendah dapat menyebabkan pertumbuhan
ikan tidak optimal. Menurut Kordi dan Tancung (2007), suhu mempengaruhi aktivitas
metabolisme organisme, oleh karena itu penyebaran organisme di perairan tawar di batasi
oleh suhu perairan tersebut.
Derajat Keasaman (pH) pada setiap perlakuan masih tergolong optimal bagi
kehidupan dan pertumbuhan ikan yaitu berkisar antara 6,8 – 7,9. Menurut Rully (2011), pH
yang optimal untuk pertumbuhan sebagian besar spesies ikan berkisar antara 6,5 – 9,0.
Tanaman optimal dalam menyerap nutrien pada kisaran pH 5,5 – 6,5 (Rakocy et al., 2006).
Sementara pH optimum untuk proses nitrifikasi berkisar antara 7,0 – 9,0 dan 7,5 – 9,0
(Tyson, 2007). Oleh karena itu, pH yang optimal untuk sistem akuaponik berkisar antara 6,5 –
12
7,5. Proses nitrifikasi berjalan lambat ketika pH turun di bawah 7,0 dan ketika pH kurang dari
6,0 proses nitrifikasi perlahan-lahan berhenti (Rully, 2011).
Oksigen terlarut (DO) pada masing-masing perlakuan berkisar antara 2,3 – 5,2 mg/l
(P1,P4, P5) dan 3 – 5 mg/l (P2 dan P3). Oksigen terlarut dalam suatu perairan merupakan
faktor pembatas bagi organisme akuatik dalam melakukan aktifitas (Afriansyah et al., 2016).
Oleh karena itu, ketersediaan oksigen bagi biota air menentukan lingkaran aktifitasnya,
demikian juga laju pertumbuhan bergantung pada oksigen. Rendahnya kadar oksigen di
perairan dapat menyebabkan rendahnya nafsu makan pada ikan lele, sehingga berdampak
pada pertumbuhan. Menurut Salmin (2005), Sumber utama oksigen dalam suatu perairan
berasal dari suatu proses difusi dari udara bebas dan hasil fotosintesis organisme yang hidup
dalam perairan tersebut.
Nilai kekeruhan pada masing-masing perlakuan berbeda yakni pada perlakuan P1
(kontrol) berkisar antara 4,43 – 46,1 NTU, P2 (kangkung) berkisar antara 2,47- 39,5 NTU, P3
(sawi) berkisar antara 1,62 – 27,3 NTU, P4 (selada) berkisar antara 5,14 – 207 NTU, dan P5
(bayam) berkisar antara 2,74 – 105 NTU. Kekeruhan pada dasarnya disebabkan oleh bahan
organik dan anorganik yang tersuspensi maupun larut seperti lumpur, pasir halus, bahan
organik dan bahan anorganik seperti plankton dan mikroorganisme lainnya yang terdapat di
perairan.
Menurut penelitian yang dilakukan oleh Wahyu (2013), apabila suatu perairan
memiliki tingkat kekeruhannya lebih dari 20 NTU, perairan ini masih dinyatakan berbahaya
bagi kehidupan biota didalamnya. Kondisi ini akan mengganggu aktivitas serta metabolisme
biota yang berlangsung didalam perairan. Namun berbeda dengan pernyataan tersebut,
tingginya angka kekeruhan pada media pemeliharaan akan menguntungkan bagi ikan lele
yang dikenal sebagai ikan nocturnal. Kondisi air media dengan turbiditas yang tinggi mampu
berfungsi sebagai selter bagi ikan lele (Sri dan Subandiyono, 2014). Menurut penelitian yang
13
dilakukan oleh Sri dan Subandiyono (2014), kisaran optimal turbiditas untuk mengurangi
tingkat agresif dan kanibalisme dari ikan lele yaitu > 999 NTU. Berbeda dengan kondisi ikan
lele, kekeruhan akan menghambat penyerapan cahaya matahari di air sehingga akan
mengurangi produksi oksigen yang dihasilkan tanaman. Air yang keruh akan menyebabkan
batang tanaman membusuk dan akhirnya mati (Mumpuni, 2010).
Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan, maka dapat disimpulkan bahwa
konsentrasi nitrogen dalam bentuk amonia paling rendah terdapat pada jenis perlakuan
dengan menggunakan tanaman kangkung air yakni sebesar 0,041 mg/l, sedangkan konsentrasi
nitrogen dalam bentuk nitrat terdapat pada jenis perlakuan dengan menggunakan bayam yakni
sebesar 0,178 mg/l dan tingkat kelangsungan hidup ikan lele tertinggi yaitu pada perlakuan
dengan menggunakan jenis tanaman kangkung air, yakni mencapai 50%.
14
Daftar Pustaka
Adewolu M.A., Adeniji C.A., & Adejobi A.B. 2008. Feed Utilization, Growth and Survival
of Clarias gariepinus (Burchell 1882) Fingerlings Cultured Under Different
Photoperiods. Aquaculture,(283): 64-67.
Afriansyah, Irma D., & Iwan H. 2016. Keragaan Nitrogen dan T-Phosfat pada
PemanfaatanLimbah Budidaya Ikan Lele (Clarias gariepinus) Oleh Ikan
Peres(Osteochilus kappeni) dengan Sistem Resirkulasi. Jurnal Ilmiah Mahasiswa
Kelautan dan Perikanan, Vol, 1, No, 2, Hal : 252-261.
Bhatnagar, dan Devi P. 2013. Water Quality Guidelines for the Management in Pond Fish
Culture. International Journal of Environmental Sciences. Vol. 3, No. 6.
Diana R., Istiyanto S., & Heryoso.2015. Manajemen Kualitas Air Media Budidaya Ikan Lele
Sangkuriang (Clarias gariepinus) dengan Teknik Probiotik pada KolamTerpal di Desa
Vokasi Reksosari, Kecamatan Suruh, KabupatenSemarang. Pena Akuatika, Vol, 12,
No,1.
Effendi H., Bagus A.U., Giri M.D., & Rebo E.K. 2015. Fitoremediasi Limbah Budidaya Ikan
Lele (Clarias Sp.) dengan Kangkung (Ipomea aquatica) dan Pakcoy (Brassica rapa
chinensis) dalam Sistem Resirkulasi. Ecalab, Vol. 9, No.2, Hal: 47-104.
Fitriani H., Iskandar M.P., & Ramal Y. 2015. Respon Pertumbuhan Tanaman Sawi (Brassica
juncea L.)secara Hidroponik Terhadap Komposisi Media Tanam dan
KonsentrasiPupuk Organik Cair. e-Jurnal Agrotekbis, Vol, 3, N0, 3, Hal : 290-296.
Hidayat D,Ade D.S., & Yulisman. 2013. Kelangsungan Hidup, Pertumbuhan, dan Efisiensi
Pakan, Ikan Gabus (Channa striata) yang Diberi Pakan Berbahan Baku Tepung
Keong Mas (Pomacea Sp.). Jurnal Akuakultur Rawa Indonesia 1 (2): 161-172.
Jampeetong, A. Effects of Inorganic Nitrogen Forms on Growth, Morphology, Nitrogen
Uptake Capacity and Nutrient Allocation of Four Tropical Aquatic Macrophytes
15
(Salvina cucullata, Ipomoea aquatica, Cyperus involucratus, and Vetiveria
zizanioides). Aquatica Botany. 97 :10 – 16.
Kordi dan Tancung. 2007. Pengelolaan Kualitas Air dalam Budidaya Perairan. Rineka Cipta,
Jakarta.
Muliadi, Usman T., & Elda S.Y. 2014. Sistem Resirkulasi dengan Menggunakan Filter yang
Berbeda Terhadap Pertumbuhan Benih Ikan Nila (Oreochromis niloticus).Jurnal
Akuakultur Rawa Indonesia, Vol, 2, No,2, Hal : 117-124.
Mumpuni, CP. 2010. Pemanfaatan Kangkung Air (Ipomoea aquatica) dan Lumpur Aktif
Pabrik Tekstil dalam Pengolahan Limbah Cair Tahu. Fakultas Perikanan dan Ilmu
Kelautan IPB, Bogor. [Skripsi].
Nofdianto, & Hasan F. 2015. Sistem Resirkulasi Akuaponik untuk Pengendalian Kelebihan
Nutrien di Perairan : Laju Serap dan Penyisihan Nutrien oleh Beberapa Jenis Sayuran.
Limnotek. Vol. 22, No. 2, Hal : 189 – 197.
Nugroho R.A., Lilik T.P., Diana C., & Alfabetian. 2012. Aplikasi Teknologi Akuaponik pada
Budidaya Ikan Air Tawar untuk Optimalisasi Kapasitas Produksi. Jurnal Saintek
Perikanan. Vol. 8, No. 1, Hal : 46 – 51.
Pradyto, M. 2011. Respon Pertumbuhan Tiga Macam Sayuran pada Berbagai Konsentrasi
Nutrisi Larutan Hidroponik. Fakultas Pertanian Universitas Jember. Jatim. [Skripsi].
Rakocy J.E., Masser M.P., & Losordo T.M. 2006. Recirculating Aquaculture Tank
Production Systems: Aquaponics-Integrating Fish and Plant Culture.Southern
Regional Aquaculture Center, United States Departemen of Agriculture, Coopreative
State Research, Education, and Extension Service.
Ruly, R. 2011. Penentuan Waktu Retensi Sistem Akuaponik untuk Mereduksi Limbah
Budidaya Ikan Nila Oreochromis Sp. Fakultas Peerikanan dan Ilmu Kelautan IPB,
Bogor. [Skripsi]
16
Salmin. 2005. Oksigen Terlarut (DO) dan Kebutuhan Oksigen Biologi (BOD)Sebagai Salah
Satu Indikator untuk Menentukan Kualitas Perairan. Oseana, Vol, 30, No, 3, Hal : 21-
26.
Setijaningsih, L, &Suryaningrum. 2015. Pemanfaatan Limbah Budidaya Ikan Lele (Clarias
batrachus) untuk Ikan Nila (Oreochromis niloticus) dengan Sistem Resirkulasi. Berita
Biologi, Vol,14, No, 3.
Suhendrayatna, Bahagia, Novia Z.A., & Elvitriana. 2009. Pengaruh Waktu Tinggal dan Umur
Tanaman pada Biopsorpsi Ammonia Oleh Tanaman Air Eceng Gondok (Eichhornia
Grassipes). Jurnal Rekayasa Kimia dan Lingkungan, Vol. 7, No.2, Hal : 58-63.
Sri, H., & Subandiyono. 2014. Performa Produksi Ikan Lele Dumbo (Clarias gariepinus,
Burch) yang di Pelihara dengan Teknologi Biofloc. Jurnal Saintek Perikanan, Vol. 10,
No. 1, Hal :37 -42.
Tahira, T.P. 2011. Kinerja Produksi Pendederan Lele Sangkuriang Clarias Sp. pada Padat
Penebaran 35, 45, dan 50 Ekor/Liter dengan Ketinggian Media 30 Cm. Departemen
Budidaya Perairan. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Institut Pertanian Bogor.
Bogor. [Skripsi]
Taufiq Y., Hasim, & Rully T. 2014. Pengaruh Padat Penebaran Berbeda Terhadap
Pertumbuhan Benih Ikan Lele Sangkuriang di Balai Benih Ikan Kota Gorontalo.
Jurnal Ilmiah Perikanan dan Kelautan, Vol. 2, No.
Tyson, R.V. 2007. Reconciling pH for Ammonia Biofiltration in a Cucumber/Tilapia
Aquaponics System Using a Perlite Medium. [Disertasi]. University of Florida.
Wahyu, L. 2013. Penggunaan Ipomoea aquatica Forks. Untuk Fitoremediasi Limbah Rumah
Tangga. Prosiding Semirata FMIPA Universitas Lampung.
17
Konsentrasi nitrogen dalam bentuk amonia dan nitrat
Gambar 1.
0,045a 0,041a 0,044a 0,053a 0,058a
0,188a 0,197a 0,19a 0,184a 0,178a
0
0.05
0.1
0.15
0.2
0.25
P1 P2 P3 P4 P5
Nila
i Ko
nse
ntr
asi
Perlakuan
Konsentrasi Amonia dan Nitrat (mg/l)
Amonia
Nitrat
19
Pertumbuhan Mutlak Ikan Lele
Gambar 3.
252,7ab
411a
173,7b
316,3ab
267,3ab
0
50
100
150
200
250
300
350
400
450
P1 P2 P3 P4 P5
Pertumbuhan Mutlak (g/hari)
20
Pertumbuhan Tanaman
Gambar 4.
0c
84,7a
24,3b 30,3b
26b
0
10
20
30
40
50
60
70
80
90
P1 P2 P3 P4 P5
Pertumbuhan Tanaman (cm)
21
Kualitas Air Pendukung (DO, Suhu, pH, Kekeruhan)
Parameter
Kualitas
Air
Satuan P1 P2 P3 P4 P5 Kisaran
Optimal
(Kordi,
2010)
Suhu 0 C 22 -25 22 - 25 22 - 24 22 - 25 22 – 24 22 - 34
0 C
pH 6,9 – 7,8 6,8 – 7,9 6,9 – 7,9 7 – 7,8 6,9 – 7,9 6,5 – 8,5
DO mg/l 2,6 – 4,7 3 - 5 3 – 4,6 2,7 – 4,9 2,3 – 5,2 3 – 6 mg/l
Kekeruhan NTU 4, 43 – 46,1 2,47- 39,5 1,62 – 27,3 5,14 - 207 2,74 – 105 < 20 NTU
Tabel 1.