22
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Ranah politik menjadi arena yang sangat menarik untuk digeluti lebih serius oleh masyarakat. Banyak orang yang menganggap bahwa dengan terjun ke ranah ini, mereka bisa mendapatkan hidup yang lebih baik. Runtuhnya orde baru yang disusul dengan masa reformasi, memberikan kesempatan bagi masyarakat untuk berpartisipasi dalam politik semakin luas. Masyarakat diberi kebebasan untuk bisa terjun ke ranah ini dengan berbagai cara yang telah ditentukan, misalnya, bebas membuat partai politik dan mengajukan diri menhadi CaLeg. Banyaknya partai politik yang terbentuk semakin membuka peluang bagi masyarakat untuk berpartisipasi pada ranah ini. Partai politik dijadikan kendaraan bagi seluruh masyarakat yang ingin berada di parlemen. Namun hal di atas belum sepenuhnya terlaksana. Kesempatan yang ada belum diberikan secara merata pada seluruh masyarakat. Dalam hal ini ada perbedaan quota bagi perempuan dan laki-laki yang akan duduk di parlemen. Oleh karena itu, materi tentang komunikasi politik dan gender perlu dibahas agar kita dapat mengetahui hal-hal apa saja yang terdapat dan berpengaruh pada komunikasi politik dan gender tersebut. B. Rumusan Masalah Rumusan masalah dari makalah ini adalah sebagai 1

Komunikasi Politik Gender

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: Komunikasi Politik Gender

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Ranah politik menjadi arena yang sangat menarik untuk digeluti lebih serius

oleh masyarakat. Banyak orang yang menganggap bahwa dengan terjun ke ranah ini,

mereka bisa mendapatkan hidup yang lebih baik.

Runtuhnya orde baru yang disusul dengan masa reformasi, memberikan

kesempatan bagi masyarakat untuk berpartisipasi dalam politik semakin luas.

Masyarakat diberi kebebasan untuk bisa terjun ke ranah ini dengan berbagai cara yang

telah ditentukan, misalnya, bebas membuat partai politik dan mengajukan diri menhadi

CaLeg. Banyaknya partai politik yang terbentuk semakin membuka peluang bagi

masyarakat untuk berpartisipasi pada ranah ini. Partai politik dijadikan kendaraan bagi

seluruh masyarakat yang ingin berada di parlemen. Namun hal di atas belum

sepenuhnya terlaksana. Kesempatan yang ada belum diberikan secara merata pada

seluruh masyarakat. Dalam hal ini ada perbedaan quota bagi perempuan dan laki-laki

yang akan duduk di parlemen.

Oleh karena itu, materi tentang komunikasi politik dan gender perlu dibahas agar

kita dapat mengetahui hal-hal apa saja yang terdapat dan berpengaruh pada komunikasi

politik dan gender tersebut.

B. Rumusan Masalah

Rumusan masalah dari makalah ini adalah sebagai berikut:

1. Apa yang dimaksud dengan komunikasi polik?

2. Bagaimana kondisi perempuan dalam dunia politik?

3. Bagaimana budaya politik bagi kaum perempuan?

4. Bagaimana komunikasi politik perempuan?

5. Apa gambaran politisi perempuan dalam media?

6. Apa contoh kasus dari komunikasi poltik dan gender?

1

Page 2: Komunikasi Politik Gender

C. Tujuan Penulisan

Tujuan penulisan dari makalah ini adalah sebagai berikut:

1. Untuk mengetahui kondisi perempuan dalam dunia politik

2. Untuk mengetahui budaya politik bagi kaum perempuan

3. Untuk mengetahui komunikasi politik perempuan

4. Untuk mengetahui gambaran politisi perempuan dalam media

5. Untuk mengetahui contoh kasus yang berhubungan dengan komunikasi dan

gender

6. Untuk mengetahui contoh kasus yang berkaitan dengan komunikasi politik dan

gender

2

Page 3: Komunikasi Politik Gender

BAB II

ISI

A. Pengertian Komunikasi Politik

Komunikasi politik adalah fungsi penting dalam sistem politik. Pada setiap

proses politik, komunikasi politik menempati posisi yang strategis. Bahkan, komunikasi

politik dinyatakan sebagai “urat nadi” proses politik. Bagaimana tidak, aneka struktur

politik seperti parlemen, kepresidenan, partai politik, lembaga swadaya masyarakat,

kelompok kepentingan, dan warganegara biasa memperoleh informasi politik melalui

komunikasi politik ini. Setiap struktur jadi tahu apa yang telah dan akan dilakukan

berdasarkan informasi ini.

Komunikasi politik banyak menggunakan konsep-konsep dari ilmu komunikasi

oleh sebab, ilmu komunikasi memang berkembang terlebih dahulu ketimbang

komunikasi politik. Konsep-konsep seperti komunikator, pesan, media, komunikan, dan

feedback sesungguhnya juga digunakan dalam komunikasi politik. Titik perbedaan

utama adalah, komunikasi politik mengkhususkan diri dalam hal penyampaian

informasi politik. Sebab itu, perlu terlebih dahulu memberikan definisi komunikasi

politik yang digunakan di dalam tulisan ini.

R.M. Perloff mendefinisikan komunikasi politik sebagai proses

dengan mana pemimpin, media, dan warganegara suatu bangsa

bertukar dan menyerap makna pesan yang berhubungan dengan

kebijakan publik. Dalam definisi ini, Perloff menjadi media sebagai

pihak yang ikut melakukan komunikasi politik.

Definisi komunikasi politik adalah seluruh proses transmisi,

pertukaran, dan pencarian informasi (termasuk fakta, opini,

keyakinan, dan lainnya) yang dilakukan oleh para partisipan dalam

kerangka kegiatan-kegiatan politik yang terlembaga. Definisi ini

menghendaki proses komunikasi politik yang dilakukan secara

terlembaga. Sebab itu, komunikasi yang dilakukan di rumah

antarteman atau antarsaudara tidak termasuk ke dalam fokus kajian.

Meskipun demikian, konsep-konsep yang dikaji di dalam komunikasi

politik sangat banyak, yang oleh sebab keterbatasan tempat, maka

hanya akan diambil beberapa saja. 3

Page 4: Komunikasi Politik Gender

B. Kondisi Perempuan dalam Dunia Politik

Politik identik dengan laki-laki. Mitos yang berkembang dimasyarakat,

perempuan tidak boleh bermain dan berkiprah di ranah politik. Akibatnya menjadi

semakin sulit bagi perempuan untuk mengkonsooidasikan posisi dan kedudukannya

dalam kancah ini. Sedikitnya proporsi keberadaan perempuan berperan dan

berpartisipasi aktif di instiusi-institusi politik, semakin mempersempit ruang

gerak,sekaligus suara perempuan yang terwakili. Kondisi inilah yang tidak

menguntungkan bagi perempuan,tidak saja bagi eksistensi dan keterlibatan perempuan

di arena politik negara,tetapi juga tidak optimalnya artikulasi politik dan kepentingan

perempuan.

Usaha untuk memperjuangkan jumlah peremouan duduk di lembaga parlemen

dan pemerintahan,dilakukan agar keterwakilan jumlah dan suara perempuan seimbang

dalam lembaga negara ini, namun,hasil yang diperoleh hanya sebatas kuantitas,atau

numerik keterwakilan perempuan di lembaga legislatif. Kuantitas ini belum memadai

dibandingkan dengan kualitas suara dan peran-peran strategis perempuan sebagai

pengambil kebijakan di domain politik.

Kondisi ini dipicu oleh kurangnya suara perempuan yang terlibat dalam dunia

pokitik untuk bersuara, atau dengan kata lain mempunyai kemampuan komunikasi

politik yang kurang. Dominannya pernyataan politik yang diberikan oleh para aktor

politik dan politisi laki-laki di media massa, semakin menyurutkan eksistensi

perempuan.

Setelah pemilu 2004 lalu,muncul wacana tentang kuota perempuan 30%. Sampai

pada akhirnya UU pemilu telah menetapkan kuota 30% perempuan harus dilakukan

pada pemilu 2009. Namun apa yang terjadi , hampir semua partai politik tidak siap

dengan para kader dan calon yang disiapkan untuk mengisi kuota ini. Akibatnya yang

terjadi "saling comot" orang keluarga sendiri,putrinya,artis perempuan, dan sosok-sosok

lainnya yang muncul menjadi "kader dadakan". Sejak pemilu 2004, dukungan untuk

mengisi 30% kuota perempuan di parlemen diharapkan menjadi lebih banyak.

Perkembangannya, rata-rata kuota ini terpenuhi tidak hanya di pusat tetapi di daerah-

daerah juga, namun, kemampuan komunikasi politik yang dimiliki oleh perempuan di

parlemen masih jauh dari yang diharapkan. Kekuatan lobi-lobi perempuan di parlemen

masih jauh kalah dari kekuatan dan dominasi laki-laki dalam berbagai forum

pengambikan keputusan di lembaga parlemen ini.

Kondisi di atas mengalami pergeseran pada era pemilihan umum 2010. Hal ini

4

Page 5: Komunikasi Politik Gender

terutama terjadi di daerah daerah di Indonesia. Pemilihan para kepala daerah selama

tahun 2010, misalnya menunjukkan peningkatan jumlah perempuan yang maju dan

berhasil memenangkannya. Di jawa timur sebagai contohnya, dibandingkan gelombang

pertama pilkada di propinsi ini tahun 2005-2008 , perempuan yang mencalonkan

sebagai kandidat pada pilkada 2010 meningkat tajam. Beberapa perempuan yang

menjadi calon berangkat dari berbagai profesi , termasuk artis, dan akademisi. Catatan

litbang menyebutkan sepanjang 2005-2008 hanya ada lima perempuan calon kepala

daerah pada pilkada di jawa timur kala itu,dua diantaranya berhasil memenangi

pemilukada. Jumlah ini meningkat pada pemilukada 2010. Sampai awal juni 2010

misalnya, dari 18 jumlah pemilukada yang dilakukan, terdapat 11 nama perempuan

yang maju menjadi calon. Dari jumlah itu, tujuh kandidat perempuan yang maju

diantaranya berhasil menjadi pemimpin dan wakil pemimpin daerah.

Fenomena tersebut menunjukkan bahwa perempuan yang maju menjadi

pemimpin di daerah maupun pusat perkembangannya begitu sigjifikan. Di balik

kontroversi dan konflik yang muncul seperti kasus bupati Banyuwangi Ratna Ani

Lestari yang dihalangi maju kedua kali karena kasus korupsi lapangan terbang

Banyuwangi dan bupati Tuban Haeny Relawati yang menghadapi teror hingga

rumahnya dibakar, serta kontroversi pencalonan bupati Pacitan, Julia Perez, semuanya

menunjukkan bahwa perempuan mulai berbenah diri untuk maju dalam arena-arena

politik yang masih kental dengan mitos patriarki dan kekerasan tersebut.

C. Budaya Politik Bagi Kaum Perempuan (Female Political Culture)

Budaya politik terhadap eksistensi perempuan di ranah politik selama ini belum

memberikan diskursus yang positif. Ini karena posisi dan peran tradisional perempuan

di ranah domestik lebih mengedepankan dibandingkan kedudukan dan posisi

perempuan di ranah publik apalagi di bidang politik. Opini publik terhadap eksistensi

perempuan dalam politik kurang mendukung. Opini mayoritas publik dengan

keterlibatan perempuan dalam politik belum sampai pada tingkat mayoritas numerik.

Perilaku memilih atau voting behavior juga tidak memberikan dukungan kepada

perempuan-perempuan yang ada. Kuatnya nilai patriarki dengan kepercayaan "laki laki

adalah imam" begitu kuat,sehingga pada saat memilih pun, perempuan sendiri enggan

memilih kaumnya.

Tambahan lagi, banywk studi yang menunjukkan bahwa perempuan dalam arena

politik seringkali harus berjuang untuk menerima lioutan media dan legitimasi publik

dan media. Media massa dianggap sering menggambarkan politisi perempuan

5

Page 6: Komunikasi Politik Gender

mempunyai masalah atau dikaitkan dengan isu-isu domestik berkaitan dengan perilaku

anak dan suaminya. Namun, media tidak melakukan hal seperti ini terhadap politisi laki

laki.

Menurut Bistrom, media massa dianggap sering mempertanyakan politisi

perempuan dengan pertanyaan berbeda dengan yang ditanyakan kepada politisi laki

laki. Media juga dianggap telah mendeskripsikan kepada politisi laki-laki. Media juga

dianggap telah mendeskripsikan politisi perempuan dengan berbagai cara dan kata kata

yang menekankan pada peran tradisional perempuan dirumah, persoalan penampilan

mereka di publik, dan perilaku politisi perempuan di masyarakat, misal model

rambutnya, gaunnya, atau kebiasaan jeleknya minum-minuman atau menghabiskan

uang miliaran untuk belanja online, dsb.

Seperti yang terjadi di Amerika , ketika media lebih menonjolkan masalah model

rambut Hillary Clinton yang akan maju menjadi senator politik daripada gerakan-

gerakan pokitiknya. Calon gubernur Texas, Ann Richards dan anggota senat Amerika

Lynn Yeakel yang ditonjolkan tentang isu koleksi pakaiannya, berat badannya dan

penampilan fisik lainnya selama kampanye politik mereka di Amerika.

Perempuan yang maju di ranah politik juga sering dijadikan subjek perbedaan

gender negatif atau "negative gender distinctions". Jenis kelamin perempuan sering

dijadikan alasan atau hambatan untuk masuk kedalam dunia politik. Sebaliknya, para

kandidat pokitikus laki laki di deskripsikan dalam istilah "gender neutral terms" atau

terminologi gender yang lebih natural. Meskipun politisi laki-laki juga melakukan

counter terhadap gambaran image mereka, tetapi secara umum kandidat laki-laki lebih

memilih kebebasan dalammberpakaian dan bertingkah laku karena publik telah

terkondisikan atau terbiasa untuk menerima laki-laki sebagai pemimpin. (Bisstrom

dalam Lee Kaid, 2004:443)

D. Komunikasi Politik Perempuan

Seringkali perempuan yang akan menjadi calon legislatif tidak mempunyai

kemampuan komunikasi politik yang andal. Terkesan malu-malu dan tidak dapat

meyakinkan publik pemilihnya bahwa ia layak untuk dipilih.

Potensi perempuan sebagai komunikator politik perlu digarap. Dalam banyak

kasus,perempuan sendiri tidak hanya tidak mampu mengomunikasikan identitas dirinya

sebagai perempuan tetapi juga mengomunikasikan agenda-agenda dan visi politiknya.

Pesan perempuan dan perempuan adalah pesan yang perlu untuk diperjelas dan

dipahami oleh perempuan. Seringkali meskipun perempuan mempunyai ruang dan

6

Page 7: Komunikasi Politik Gender

posisi yang menguntungkan di parlemen baik sebagai ketua fraksi atau ketua DPRD

sendiri,perempuan belum mampu memperjuangkan suara perempuan, kebutuhan

perempuan, dan proporsi pembagian persoalan kesejahteraan dan keadilan bagi

perempuan. Ketika perempuan mempunyai andil untuk bicara, perjuangan terhadap

kelompok perempuan dan anak-anak serta kaum minoritas yang lain , belum mampu

secara maksimal di kedepankan , dibandinhkan persoalan atau masalah yang dihadapi

umum yang lebih memihak kepentingan dominan laki laki.

Perempuan sendiri masih enggan bersahabat dengan media. Perempuan harus

berani tampil dan menunjukkan dirinya di media massa . Tidak banyak perempuan yang

sadar perlunya memasarkan citra diri sendiri di media massa. Banyak pernyataan politik

penting yang dikutip dan dijadikan diskursus publik dilontarkan oleh laki-laki. Anggota

legislatif,pengamat politik,menteri, dan pembuat kebijakan perempuqn,termasuk para

bupati dan wali kota perempuan, sangat sedikit tampil di media massa dan dijadikan

rujukan media dibandingkan dengan sosok laki-laki. Sehingga keterwakilan perempuan

di dunia politik pum menjadi bisu/silent.

Gerakan politik yang dilakukan kaum perempuan merupakan dinamika positif

bagi perkembangan politik kaum perempuan untuk membuktikan adanya kesetaraan dan

kesederajatan antara politik laki-laki dan perempuan, terutama gerakan politik yang

dilakukan dalam wilayah politik lokal dimana keberadaan perempuan tengah menjadi

bagian penting dalam setiap proses politik yang terjadi. Bahkan, kaum perempuan

kerapkali mampu mewarnai gerakan politik yang dilakukan, sehingga eksistensi

perempuan mulai menjadi figur baru dalam konstelasi politik yang terus berkembang,

terurama dalam momentum Pemilu dimana banyak kaum perempuan tampil sebagai

caleg. Kajian terhadap politik perempuan pada dasarnya merupakan sesuatu yang

menarik, mengingat perempuan berada di tengah arus budaya politik patriarkhi dimana

masyarakat masih kurang responsif terhadap pemimpin perempuan. Untuk memberikan

keyakinan yang maksimal terhadap masyarakat, kaum perempuan sejatinya, tidak

pernah lepas dari taktis dan strategi yang dipakai, terutama menyangkut strategi

komunikasi politik yang dilakukan oleh kaum perempuan pada Pemilu 2009.

Penelitian ini merupakan penelitian field research (penelitian lapangan),

sedangkan pendekatan yang akan dipakai dalam penelitian ini ialah metode kualitatif,

yaitu sebagai prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata

tertulis atau lisan dari individu atau kelompok serta perilaku yang dapat diamati. Untuk

mencapai tujuan penelitian agar sesuai dengan metode yang disampaikan.

7

Page 8: Komunikasi Politik Gender

E. Gambaran Politisi Perempuan Dalam Media

Seperti yang telah dijelaskan pada bagian atas, berbagai studi yang dilakukan di

Amerika dan di Indonesia sendiri, menunjukkan bahwa persoalan gender dan

komunikasi politik adalah persoalan yang serius . Masih banyak liputan media massa

yang tidak memberikan keuntungan bagi kaum perempuan yang terlibat dalam

kepemimpinan politik. Sehingga pada akhirnya gambaran ini akan bisa mempengaruhi

opini publik yang beredar di masyarakat.

Erika Falk (2008) melakukan studi tentang gender dan liputan media di Amerika

ketika senator Amerika Serikat Hillary Clinton mencalonkan diri menjadi presiden dari

partai Demokrat bersaing dengan Obama pada bulan januari 2007, Falk melihat ada

tidaknya perbedaan media mengupas dua calon yang berbeda kelamin (battle of sexes).

Falk mengkaji liputan media tentang pengumuman candidacy Obama dan Hillary ini di

enam surat kabar yang beredar di Amerika Serikat. Oleh karena itu mayoritas publik

tidak bisa bertemu langsung dengan kandidat, maka gambaran media tentang kandidat

pada permulaan kampanye menjadi hal yang sangat penting untuk mengetahui respon

pemilih. Dalam kesimpulan penelitiannya, Falk mengemukakan bahwa meskipun

memimpin dalam polling saat itu, Hillary Clinton memperoleh liputan yang lebih

sedikit dibandingkan obama. Hillary juga lebih sering memiliki julukan yang rendah

dan menjatuhkan, serta dipanggil dengan nama pertamanya. Hal yang berbeda

dilakukan pada Obama yang lebih banyak dikutip , diberitakan, dan posisi-posisinya

yang banyak dikutip media. Menurut Falks pers tidak hanya penting untuk

mengkonstruksi ide khalayak tentang kandidat, tetapi juga penti telah membentuk

pemahaman budaya khalayak tentang gender dan perempuan.

Kondisi ini sebenarnya tidak jauh berbeda dengan yang ada di Indonesia.

Khrisna Sen (2002) pernah menulis tentang tekanan-tekanan publik dan media terhadap

pencalonan Megawati sebagai presiden Indonesia. Isu yang banyak di angkat oleh

media ketika itu adalah isu-isu yang berkaitan dengan "haram" seorang pemimpin

perempuan di Indonesia, pemberitaan media massa yang lebih cenderung mendukung

suara dominan yang menentang kepemimpinan politik perempuan di Indonesia. Upaya

menggulingkan Megawati dari kandidat presiden perempuan ketika itu cukup kuat, yang

pada akhirnya media massa berhasil membentuk agenda publik untuk memusuhi

perempuan menjadi pemimpin politik di Indonesia,

Partisipasi politik perempuan tidak saja dilakukan dengan memberikan suara

saja, tetapi juga dilakukan dengan cara perempuan mencalonkan dirinya dalam kancah

politik. Selama ini jumlah keerlibatan perempuan di dunia politik memang

8

Page 9: Komunikasi Politik Gender

menunjukkan progres yang menggembirakan. Tetapi, kondisinya tidak menunjukkan

perubahan yang signifikan, terlebih ketika media massa tidak menunjukkan perubahan

yang signifikan. Terlebih ketika media massa tidak menunjukkan dukungannya melaui

teknik liputan dan framing atau kerangka mengupas perempuan dalam diskursus politik.

F. Hambatan dan Kelebihan Perempuan dalam Berkomunikasi Politik

Untuk melihat bagaimana perempuan dibandingkan laki-laki dalam melakukan

komunikasi politik, maka kita harus mengidentifikasi apa hambatan perempuan dalam

melakukan komunikasi politik. Beberapa hambatan perempuan juga kelebihan

perempuan teridentifikasi di bawah ini:

a. Hambatan Kultural

Secara kultural, perempuan distereotypekan sebagai orang yang: pemalu, takut,

suka menangis. Sedang laki-laki identik dengan: berani, pantang menyerah,

tidak pernah menangis. Inilah yang menyebabkan perempuan mempunyai

kendala dalam melakukan komunikasi politik karena perempuan sering minder,

tak punya keberanian dan rendah diri ketika mendapatkan kritikan.

Hambatan kultural lain, perempuan juga distereotypekan sebagai ibu rumah

tangga, pekerja domestik, tak pantas tampil di publik dibandingkan laki-laki.

Inilah yang menyebabkan perempuan mendapatkan banyak kritik ketika tampil

di muka publik.

Mereka juga distereotypekan sebagai orang yang: tak pantas memimpin.

Identitas inilah yang menyebabkan perempuan menjadi enggan untuk berbicara

terbuka, malu, tidak percaya diri. Bahkan di Amerika ada stereotype tentang

Cinderella complexe untuk perempuan. Yaitu perempuan identik dengan orang

yang malu, tak percaya diri kemudian dipinang menjadi seorang putri karena

menikah dengan bangsawan kaya.

b. Hambatan Pengetahuan

Selain secara kultural, perempuan juga mempunyai banyak hambatan

pengetahuan. Banyak perempuan yang tidak punya waktu untuk pergi dari

rumah karena ia bertanggungjawab secara domestik. Perempuan yang bekerja di

luar juga tak banyak mempunyai akses untuk berkomunikasi/ berjaringan/

mencari pengetahuan karena ia juga harus mengurusi urusan domestik. Inilah

yang menyebabkan laki-laki mempunyai banyak pengetahuan dan banyak waktu

untuk berjaringan. Dalam berkomunikasi secara politik, ini menyebabkan

9

Page 10: Komunikasi Politik Gender

perempuan menjadi minder ketika melakukan kampanye politik.

Indentifikasi tentang politik yang kotor dan korup juga menyebabkan perempuan

menjadi takut untuk berkiprah di dunia politik. Dalam berkomunikasi secara

politik, di satu sisi ini merupakan hambatan bagi perempuan untuk maju dalam

berpolitik.

Begitu juga dalam hal mendapatkan akses. Di media, karena tak banyak tampil

di depan publik dan merasa tak punya pengetahuan cukup maka perempuan tak

berani berbicara di depan media. Ini mengakibatkan banyak laki-laki yang

mengisi media untuk berkomunikasi secara politik.

Dalam komunikasi modern, para kandidat di Amerika sejak tahun 1990

menggunakan internet, website dan kemudian tahun-tahun berikutnya

menggunakan yotube, videostyle untuk melakukan kampanye. Nampaknya ini

agak sulit dilakukan oleh banyak kandidat perempuan di Indonesia dan beberapa

negara miskin lainnya. Di Indonesia misalnya, akses internet baru menyentuh

kandidat di perkotaan,sedangkan banyak perempuan di daerah masih kesulitan

untuk mendapatkan akses internet karena persoalan infrastruktur.  Di perkotaan

sendiri, perempuan juga banyak yang masih mendapatkan hambatan karena

teknologi adalah wilayah laki-laki. Misalnya: beberapa perempuan boleh

menggunakan handphone, namun jika suaminya sudah tidak lagi memakainya.

G. Kelebihan Perempuan (Persuasif dan Melakukan Praktek terhadap Isu)

Namun sejumlah penelitian lain juga menyebutkan bahwa dengan kondisi ini

perempuan harus melihat kelebihannya, yaitu: perempuan lebih pandai untuk

berkomunikasi secara personal, tidak sombong dan acuh, inilah yang menyebabkan

perempuan lebih dekat dengan publik ketika berkampanye.

Kelebihan lain, karena setiap hari berpraktek dengan lingkungannya, ini

menjadikan perempuan sangat paham bagaimana mengelola isu dan berpraktek secara

isu, misalnya: melakukan komunikasi politik dengan membawa isu kemiskinan,

kesehatan, dll.

H. Contoh Kasus

Inilah 167 Calon Anggota DPR untuk Sumbar

Jumat, 23 Agustus 2013 19:32 WIB

RANAHBERITA-- Komisi Pemilihan Umum (KPU) Pusat menetapkan 6.607 calon

10

Page 11: Komunikasi Politik Gender

legislatif (caleg) dalam daftar calon tetap (DCT) anggota DPR RI. Para caleg dari 12

partai politik peserta Pemilu 2014 tersebut akan memperebutkan 560 kursi DPR RI.

“DCT DPR RI Pemilu 2014 berjumlah 6.607 orang yang akan memperebutkan 560

kursi DPR RI di 77 daerah pemilihan di seluruh Indonesia," ujarnya Ketua KPU RI

Husni Kamil Manik, usai menggelar rapat pleno penetapan DCT di Jakarta, Kamis

(22/8).

Total caleg yang diusulkan partai politik sebanyak 6.641 orang. KPU mencoret 33 caleg

karena tidak memenuhi syarat, sementara satu orang caleg mengundurkan diri sehingga

DCT DPR RI untuk Pemilu 2014 menjadi 6.607 orang.

Dari jumlah tersebut, sebanyak 167 orang, merupakan caleg yang akan dipilih di dua

daerah pemilihan (dapil) Provinsi Sumatera Barat (Sumbar).

Nama-nama calon legislatif tersebut bisa dilihat di link berikut, berdasar nomor urut

partai:

1. Partai Nasdem

2. Partai Kebangkitan Bangsa (PKB)

3. Partai Keadilan Sejahtera (PKS)

4. Partai Demokrasi Indonesia (PDI) Perjuangan

5. Partai Golkar

6. Partai Gerindra

7. Partai Demokrat

8. Partai Amanat Nasional (PAN)

9. Partai Persatuan Pembangunan (PPP)

10. Partai Hanura

14. Partai Bulan Bintang (PBB)

15. Partai Keadilan dan Persatuan Indonesia (PKPI)

Para caleg yang terdaftar dalam DCT tersebut, sudah resmi menjadi caleg dan akan

dipilih oleh masyarakat pada pemilu 2014.

Mereka terdiri atas 107 laki-laki dan 60 perempuan (35,93%), akan memperebutkan 14

kursi, yakni delapan kursi di Dapil Sumbar I dan enam kursi di Dapil Sumbar II.

Dapil I Sumbar meliputi 11 kabupaten/kota, yakni Kabupaten Kepulauan Mentawai,

11

Page 12: Komunikasi Politik Gender

Pesisir Selatan, Solok, Solok Selatan, Sijunjung, Dharmasraya dan Tanah Datar serta

Kota Padang, Solok, Sawahlunto dan Padangpanjang.

Sementara, Dapil II terdiri atas 8 kabupaten/kota, yaitu Kabupaten Pasaman, Pasaman

Barat, Lima Puluh Kota dan Padang Pariaman serta Kota Bukittinggi, Payakumbuh dan

Pariaman.

Bila dibandingkan dengan nama-nama yang tercantum dalam daftar calon sementara

(DCS) yang ditetapkan KPU pada Juni 2013 lalu, ada penambahan 8 orang.

Delapan orang tersebut seluruhnya merupakan caleg PAN di Dapil Sumbar I yang

sempat dicoret ketika KPU mengumumkan DCS. Hak-hak mereka menjadi caleg

kembali dipulihkan setelah ada keputusan Badan Pengawas Pemilu dan Dewan

Kehormatan Penyelenggara Pemilu.

Selain penambahan tersebut, satu orang caleg PKB juga diganti. (Hdm/Ed1)

Sumber: www.ranahberita.com

Analisa Kasus

Dari kasus diatas dapat dilihat bahwa calon caleg terdiri dari 107 laki-laki dan

60 perempuan. Jumlah caleg perempuan jika dibandingkan dengan tahun sebelumnya

terdapat peningkatan. Peningkatan ini dapat berawal dari keinginan perempuan sebagai

kelompok yang dianggap subordinat untuk dapat menyampaikan aspirasinya dalam

perpolitikan di Indonesia.

Jika dilihat dari prosesnya, informasi yang diberikan oleh media akan

mempengaruhi kogniis khalayak, menambah pengetahuan khalayak tentang

perpolitikan, dalam hal ini adalah terbukanya peluang partisipasi politik bagi

perempuan. Terpaan terus menerus yang diberikan tentang issu ini akan memperkuat

nilai-nilai yang ada pada perempauan atau mengubah nilai-nilai tersebut. Sebagai

contoh anggapan-anggapan bahwa perempuan tidak mampu terjun ke ranah politik,

sedikit dmei sedikit terkikis dengan informasi yang di dapat melalui media. Efek yang

terakhir yaitu partisipasi. Informasi yang terus bertambah dan nilai yang telah berubah

membawa dampak pada partisipasi politik perempuan. Keyakinan akan kemampuan

yang ditimbulkan dari media telah membuat perempuan berbondong-bondong untuk

menjadi calon legislative di pemilu 2014. Hal ini juga tidak terlepas dari pemerintah 12

Page 13: Komunikasi Politik Gender

yang membuka peluang sebesar 30% dan peran media sebagai alat persuasive yang

dapat mempengaruhi kognisi masyarakat dan akhirnya dapat menyentuh tataran

perilaku khalayak perempuan untuk berani terjun ke ranah politik. Hal ini sebagai bukti

bahwa media massa memiliki pengaruh yang sangat kuat sebagai alat propaganda dalam

berbagai aspek terutama Komunikasi Politik.

13

Page 14: Komunikasi Politik Gender

BAB III

PENUTUP

Kesimpulan

Definisi komunikasi politik adalah seluruh proses transmisi,

pertukaran, dan pencarian informasi (termasuk fakta, opini,

keyakinan, dan lainnya) yang dilakukan oleh para partisipan dalam

kerangka kegiatan-kegiatan politik yang terlembaga

Politik identik dengan laki-laki. Mitos yang berkembang dimasyarakat,

perempuan tidak boleh bermain dan berkiprah di ranah politik. Akibatnya menjadi

semakin sulit bagi perempuan untuk mengkonsooidasikan posisi dan kedudukannya

dalam kancah ini. Sedikitnya proporsi keberadaan perempuan berperan dan

berpartisipasi aktif di instiusi-institusi politik, semakin mempersempit ruang

gerak,sekaligus suara perempuan yang terwakili

Budaya politik terhadap eksistensi perempuan di ranah politik selama ini belum

memberikan diskursus yang positif. Ini karena posisi dan peran tradisional perempuan

di ranah domestik lebih mengedepankan dibandingkan kedudukan dan posisi

perempuan di ranah publik apalagi di bidang politik

Potensi perempuan sebagai komunikator politik perlu digarap. Dalam banyak

kasus,perempuan sendiri tidak hanya tidak mampu mengomunikasikan identitas dirinya

sebagai perempuan tetapi juga mengomunikasikan agenda-agenda dan visi politiknya.

14

Page 15: Komunikasi Politik Gender

DAFTAR PUSTAKA

Subiakto, Henry, & Ida, Rachmah. 2012. Komunikasi Politik, Media, dan Demokrasi.

Jakarta: Kencana Prenada Media Group.

Sanit, Arbit. 2003. Sistem Politik Indonesia Kestabilan, peta Kekuatan Politik dan

Pembangunan. Jakarta: Rajawali Pers

Nimmo, Dan. 2005. Komunikasi Politik,komunikator, pesan dan media. Bandung:

Remaja Rosdakarya,

15