5
Kompetensi di dalam Kegiatan Diklat: Upaya Penjaminan Profesionalitas Widyaiswara Oleh Widiatmoko [email protected] http://mokogeong.multiply.com Pengantar Ada banyak sekali pandangan dari para filosof tentang manusia. Ada yang berpandangan tentang manusia sebagai makhluk sosial. Ada yang berpandangan tentang manusia sebagai makhluk budaya. Ada juga yang berpandangan lain tentang manusia. Pandangan-pandangan yang berbeda itu tentu terdapat latar filosofis yang mendasarinya. Semuanya akan bermuara pada upaya manusia menemukan solusi atas permasalahan yang dihadapi di dalam kehidupannya. Upaya itulah yang dinamakan sebagai jalan kebudayaan. Ada banyak sekali jalan kebudayaan. Salah satunya adalah pendidikan (Naga, 2006). Pendidikan sebagaimana dipahami secara sosiologis merupakan penyiapan individu untuk kehidupan bermasyarakat (Savatar, 2003). Kehidupan bermasyarakat itu merupakan medium yang esensial tentang bagaimana suatu budaya berlangsung. Pendidikan juga dipahami sebagai pembekalan nilai-nilai humanistis untuk membentuk peradaban yang disepakati secara kolektif. Di samping itu, pendidikan juga dimaknai sebagai upaya pencapaian kedewasaan kognisi, afeksi, dan psikosensori yang semuanya bertalian dengan kecerdasan multipel. Dengan perkataan sederhana, pendidikan diyakini sebagai medium untuk bereksperimen tentang ihwal kehidupan yang sangat empirik. Kini, seiring dengan perubahan di segala lini kehidupan, wajah pendidikan pun ikut berubah. Termasuk di dalamnya adalah perubahan wajah pendidikan dan pelatihan (diklat) di PPPG (Pusat Pengembangan Penataran Guru) dan LPMP (Lembaga Penjaminan Mutu Pendidikan) sebagai institusi penjaminan mutu di bidang pendidikan di lingkungan Direktorat Jenderal Peningkatan Mutu Pendidik dan Tenaga Kependidikan (Ditjen PMPTK), Departemen Pendidikan Nasional. Lebih- lebih, UU No. 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen telah diberlakukan. Di dalamnya ditetapkan bahwa guru dan dosen perlu memiliki sertifikasi mendidik. Apabila ini dicermati, tentu ia akan menimbulkan banyak pengaruh pada kegiatan pendidikan lainnya. Salah satu di antara mereka adalah pelaksanaan diklat oleh widyaiswara (teacher trainer) di PPPG dan LPMP untuk para guru. Setakat ini, widyaiswara di PPPG dan LPMP banyak memfasilitasi proses pembelajaran melalui kegiatan diklat atau yang sejenis kepada 1

Kompetensi di dalam Kegiatan Diklat: Upaya Penjaminan Profesionalitas Widyaiswara

Embed Size (px)

DESCRIPTION

Tulisan diinspirasikan oleh gagasan tentang konsep kebaruan tentang peranan widyaiswara, khususnya yang bersinggungan dengan guru. Sebagai salah satu pilar yang bertanggung jawab atas kualitas guru di Indonesia, widyaiswara di lingkungan Departemen Pendidikan Nasional mesti segera berbenah diri seiring dengan kompetensi yang mesti diraih sebagaimana dilakukan oleh guru.

Citation preview

Page 1: Kompetensi di dalam Kegiatan Diklat: Upaya Penjaminan Profesionalitas Widyaiswara

Kompetensi di dalam Kegiatan Diklat: Upaya Penjaminan Profesionalitas Widyaiswara

OlehWidiatmoko

[email protected]://mokogeong.multiply.com

PengantarAda banyak sekali pandangan dari para filosof tentang manusia. Ada yang berpandangan tentang manusia sebagai makhluk sosial. Ada yang berpandangan tentang manusia sebagai makhluk budaya. Ada juga yang berpandangan lain tentang manusia. Pandangan-pandangan yang berbeda itu tentu terdapat latar filosofis yang mendasarinya. Semuanya akan bermuara pada upaya manusia menemukan solusi atas permasalahan yang dihadapi di dalam kehidupannya. Upaya itulah yang dinamakan sebagai jalan kebudayaan.

Ada banyak sekali jalan kebudayaan. Salah satunya adalah pendidikan (Naga, 2006). Pendidikan sebagaimana dipahami secara sosiologis merupakan penyiapan individu untuk kehidupan bermasyarakat (Savatar, 2003). Kehidupan bermasyarakat itu merupakan medium yang esensial tentang bagaimana suatu budaya berlangsung. Pendidikan juga dipahami sebagai pembekalan nilai-nilai humanistis untuk membentuk peradaban yang disepakati secara kolektif. Di samping itu, pendidikan juga dimaknai sebagai upaya pencapaian kedewasaan kognisi, afeksi, dan psikosensori yang semuanya bertalian dengan kecerdasan multipel. Dengan perkataan sederhana, pendidikan diyakini sebagai medium untuk bereksperimen tentang ihwal kehidupan yang sangat empirik.

Kini, seiring dengan perubahan di segala lini kehidupan, wajah pendidikan pun ikut berubah. Termasuk di dalamnya adalah perubahan wajah pendidikan dan pelatihan (diklat) di PPPG (Pusat Pengembangan Penataran Guru) dan LPMP (Lembaga Penjaminan Mutu Pendidikan) sebagai institusi penjaminan mutu di bidang pendidikan di lingkungan Direktorat Jenderal Peningkatan Mutu Pendidik dan Tenaga Kependidikan (Ditjen PMPTK), Departemen Pendidikan Nasional. Lebih-lebih, UU No. 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen telah diberlakukan. Di dalamnya ditetapkan bahwa guru dan dosen perlu memiliki sertifikasi mendidik. Apabila ini dicermati, tentu ia akan menimbulkan banyak pengaruh pada kegiatan pendidikan lainnya. Salah satu di antara mereka adalah pelaksanaan diklat oleh widyaiswara (teacher trainer) di PPPG dan LPMP untuk para guru.

Setakat ini, widyaiswara di PPPG dan LPMP banyak memfasilitasi proses pembelajaran melalui kegiatan diklat atau yang sejenis kepada para guru. Apabila, suatu saat nanti, semua guru telah bersertifikasi, masalah yang muncul adalah apakah widyaiswara juga merupakan orang yang telah bersertifikasi pula. Lalu, siapa yang bertanggung jawab atas pelaksanaan sertifikasi widyaiswara. Kemudian, masalah lain yang muncul adalah apakah penyelenggaraan diklat juga mengalami perubahan, dan sebagainya. Barangkali, yang terakhir merupakan masalah yang paling dekat dibicarakan di dalam tulisan ini.

Diklat dan Profesionalitas WidyaiswaraDiklat oleh widyaiswara untuk guru sudah lama diatur dan diberlakukan. Bahkan di negara-negara maju, penyelenggaraan diklat yang lebih dikenal sebagai in-service training bukan hanya diatur dan diberlakukan secara rutin melainkan juga diiringi dengan pelaksanaan sertifikasi secara periodik. Diklat (in-service training) tentu akan memiliki nuansa yang sungguh berbeda apabila disandingkan dengan kegiatan yang sejenis lainnya di sekolah atau kampus. Diklat lebih berorientasi pada pendekatan andragogi, sedangkan pembelajaran di sekolah dan kampus berorientasi pada pendekatan pedagogi. Akan menjadi aneh apabila konsep andragogi tersebut lalu dicampuradukkan dengan konsep pedagogi, meskipun terdapat beberapa sisi yang sama. Tentu, ini didasarkan pada latar filosofis pembelajaran yang berbeda tersebut. Di samping itu, diklat juga dapat dijadikan medium untuk bertukar pengalaman dan pengetahuan antarpeserta, dan sebagainya. Dengan demikian, proses pembelajaran di dalam diklat sangat dituntut berbeda dari yang di kampus atau sekolah.

1

Page 2: Kompetensi di dalam Kegiatan Diklat: Upaya Penjaminan Profesionalitas Widyaiswara

Cermin kebaruan isi materi diklat mestilah menjadi sebuah keniscayaan seiring dengan perkembangan ilmu pengetahuan. Namun, ini tidak serta merta pengalaman seseorang di lapangan akan ditinggalkan. Idealnya, perpaduan antara pengalaman lapangan dan penambahan ilmu pengetahuan yang baru menjadi alternatif yang tepat. Seorang widyaiswara akan tabu apabila ia hanya mengulang materi yang sama dari masa ke masa. Savatar (2003) di dalam makalahnya yang berjudul ‘Education and Citizenship in the Global Era’ yang disajikan di Inter-American Development Bank di Washington, D.C. pernah mengkritik keadaan yang demikian di dalam pembelajaran di kelas oleh seorang pengajar yang hanya sekadar mengulang hal yang sama yang pernah ia peroleh dan alami sebelumnya untuk para peserta didik yang berbeda. Apabila ini terjadi di dalam kegiatan diklat, ada sebuah konjektur (dugaan) bahwa tujuan penyelenggaraan diklat hanya mengulas materi usang yang memiliki banyak kelemahan. Memang, setakat ini diketahui bahwa tidak semua materi lama adalah usang. Adakalanya, materi tersebut justru sebagai landasan perkembangan ilmu pengetahuan yang baru. Namun, biasanya karena sifat akumulatif dan objektif ilmu pengetahuan, materi ilmu pengetahuan yang lama bisa jadi terbantahkan oleh ilmu pengetahuan yang baru. Tentu ini menjadi paradoks di kalangan widyaiswara yang mungkin karena faktor usia atau faktor latar pendidikan sehingga ia tidak mampu lagi menambah dan mengembangkan ilmu pengetahuan yang dimilikinya.

Lantas, pertanyaan yang muncul adalah bagaimana mengimplementasikan kemajuan ilmu pengetahuan oleh widyaiswara kepada para guru. Untuk menjawab pertanyaan tersebut, memang diperlukan pemikiran alternatif. Salah satu pemikiran itu adalah bertalian dengan ihwal kompetensi kewidyaiswaraan. Kilner (2006) dalam makalahnya mengungkapkan ihwal mendasar tentang standar kompetensi yang dimiliki oleh seorang widyaiswara yang bertalian dengan pelaksanaan diklat. Standar kompetensi yang juga melengkapi alternatif pemikiran lain itu bertaut-rapat dengan lima hal.

Pertama bertalian dengan lingkungan diklat. Lingkungan ini mencerminkan semua aspek yang bersinggungan dengan profesi guru dan lingkungan diklat itu sendiri. Lazimnya, para guru yang tengah menjalani diklat tentu akan menggiring diri mereka sendiri kepada keadaan yang mereka alami dan lakukan di lingkungan kerja (sekolah) masing-masing. Dengan demikian, menjadi tugas widyaiswara untuk menciptakan keadaan yang memungkinkan para peserta diklat (guru) berkembang sesuai dengan latar sosial dan kultural mereka. Meskipun demikian, pengembangan profesionalitas guru di dalam diklat merupakan hal yang menjadi prioritas utama. Ini biasanya dilakukan dengan mengenalkan kebaruan informasi dan isu-isu mutakhir pendidikan, baik yang berkaitan dengan metoda pembelajaran, teknologi pembelajaran, evaluasi pembelajaran, orientasi pendidikan, dan sebagainya.

Kedua bertaut-rapat dengan desain diklat. Cakupan yang mesti ada di dalam desain diklat tersebut adalah berkaitan dengan desain produk pembelajaran di dalam diklat dan desain proses pembelajaran di dalam diklat. Ini bermakna bahwa seorang widyaiswara dituntut untuk memfasilitasi paket materi diklat kepada peserta diklat sesuai dengan kebutuhan mereka. Iringan yang mesti dilakukan adalah adanya analisis kebutuhan diklat secara tepat dan berulang. Di samping itu, widyaiswara juga dituntut untuk membekali para peserta diklat ihwal sumber belajar alternatif yang berbasis teknologi informasi. Ini dilakukan baik ketika berlangsungnya proses pembelajaran maupun tindak lanjut dampak diklat di sekolah masing-masing. Dengan demikian, desain diklat memiliki implikasi terhadap elemen mendasar proses dan produk pembelajaran di dalam diklat secara empirik.

Ketiga adalah metoda diklat. Banyak pelaksanaan diklat yang dimungkinkan untuk dimodifikasi. Ini bermakna bahwa seorang widyaiswara didorong untuk mengembangkan metoda diklat dengan memadukan beragam metoda dan teknik pembelajaran. Di dalam konsep pembelajaran andragogi, esensi pembelajarannya terletak pada bagaimana semua metoda yang digunakan oleh peserta diklat (guru) di sekolah dapat difasilitasi di dalam diklat. Namun, dari semua itu, yang perlu dipikirkan ulang adalah bagaimana menyelenggarakan diklat yang berorientasi pada masing-masing subbidang studi. Katakan saja misalnya, bidang studi bahasa Inggris. Di dalam bidang studi bahasa Inggris, terdapat banyak subbidang studi, misalnya kurikulum bahasa Inggris, evaluasi pembelajaran bahasa Inggris, keterampilan bahasa Inggris, dan sebagainya. Dengan mendasarkan pada paradigma baru diklat, sudah menjadi lazim apabila pada suatu saat pelaksanaan diklat hanya memfokuskan pada subbidang studi tersebut. Dengan demikian, akan menjadi komprehensif ketika pada suatu masa diklat yang diselenggarakan dapat berupa diklat evaluasi pembelajaran bahasa Inggris, diklat kurikulum bahasa Inggris, diklat keterampilan berbicara bahasa Inggris, diklat keterampilan membaca bahasa Inggris, dan sebagainya.

2

Page 3: Kompetensi di dalam Kegiatan Diklat: Upaya Penjaminan Profesionalitas Widyaiswara

Keempat berkaitan dengan penilaian di dalam diklat. Penilaian merupakan bagian kegiatan diklat yang memainkan peranan penting dan berkelindan (integrated) dengan proses pembelajaran dan kurikulum. Ini bermakna bahwa diklat tidak hanya memfokuskan pada proses pembelajaran, tetapi juga memperhatikan pada pelaksanaan evaluasi program diklat. Laiknya, ini berbentuk evaluasi dampak diklat. Hanya saja, hal yang belum disentuh secara sungguh-sungguh adalah pemikiran tentang konstruksi alat ukur secara tepat yang akan digunakan di dalam setiap kegiatan diklat, baik itu masukan, proses, dan keluaran diklat. Apabila ihwal penilaian dan evaluasi ditekuni secara mumpuni, tidak menutup kemungkinan hasil pembelajaran di dalam diklat dapat diandalkan dan keputusan lulus-gagal dalam kegiatan diklat menjadi akurat. Kini, seiring dengan isu sertifikasi guru, pemikiran untuk penyusunan alat uji penyelenggaraan diklat menjadi sangat penting sebab ia bertalian dengan kualitas guru dan kualitas program diklat di masa depan.

Dan, kelima adalah layanan bimbingan diklat. Program diklat yang ditangani secara profesional dan cemerlang sudah lama diidamkan oleh kalangan di bidang pendidikan. Salah satu indikator ketercapaian program diklat itu sesungguhnya ditentukan oleh banyaknya permintaan konsumen (guru) untuk dapat mengikuti diklat secara berkala. Ini bermakna bahwa diklat merupakan medium untuk mengembangkan profesi mereka sebagai guru. Indikator lainnya adalah adanya kepuasan peserta diklat setiap setelah mengikuti diklat. Apabila ditilik di beberapa negara maju, umumnya kepuasan tersebut disebabkan oleh layanan bimbingan pascakegiatan diklat. Dengan demikian, kompetensi yang juga diperlukan di dalam diklat oleh widyaiswara untuk guru bertaut-rapat dengan jiwa pelayanan dan pembimbingan pascadiklat.

SimpulanMenyelusuri orientasi pendidikan modern akan bersinggungan dengan isu dan perhatian pada penyelenggaraan diklat. Diklat sebagaimana juga dilakukan di negara-negara maju bersifat mengikat. Apabila kemajuan suatu bangsa ditentukan oleh kemajuan pendidikan, tentu penyelenggaraan diklat untuk guru menjadi hal yang sangat diperlukan. Guru yang profesional memang tidak lepas dari faktor remunerasi. Namun, keikutsertaan di dalam diklat merupakan faktor yang sangat berpengaruh. Pengaruh itu antara lain pada pelaksanaan pembelajaran di satuan pendidikan. Oleh karena itu, kualitas lulusan satuan pendidikan ditentukan juga oleh kualitas guru. Kualitas guru dipengaruhi oleh kualitas widyaiswara di dalam diklat. Kualitas widyaiswara berkait-rapat dengan kompetensi yang mesti dipenuhi di dalam penyelenggaraan diklat. Dengan demikian, pemikiran untuk memunculkan kompetensi di dalam penyelenggaraan diklat menjadi penting. Ini merupakan upaya penjaminan profesionalitas widyaiswara di masa depan di dalam penyelenggaraan diklat untuk guru.

***

3