Upload
ngotuong
View
233
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Alasan Pemilihan Judul
Penulis memilih judul: “Kompetensi Absolut PTUN dalam Memutus
Obyek Sengketa Hubungan Industrial antara Yayasan Perguruan Tinggi Swasta
dengan Dosen atau Karyawan Yayasan Perguruan Tinggi Swasta,” atas alasan
yang dapat digambarkan sebagai berikut di bawah ini;
Peradilan Tata Usaha Negara (PTUN) hadir dengan mendasarkan diri
pada Undang-Undang (UU) No.51 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua atas UU
No.5 Tahun 1986 tentang PTUN. Adapun wewenang absolut dari PTUN menurut
undang-undang adalah memeriksa, memutus, dan menyelesaikan sengketa TUN.1
Dalam ilmu hukum ada suatu asas2 bahwa selama suatu Keputusan TUN
tidak digugat oleh pihak yang berkepentingan dan tidak dibatalkan oleh Hakim, maka
putusan itu selalu dianggap sah menurut hukum.3
1Pasal 47 UU No.5 Tahun 1986 jo UU No.51 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara.
2Prof. DR. Sudikno Mertokusumo,SH., memberikan definisi asas yaitu bukanlah peraturan hukum
konkrit, melainkan merupakan pikiran dasar yang umum sifatnya atau merupakan latar belakang dari
peraturan yang konkrit yang terdapat dalam dan di belakang setiap sistem hukum yang terjelma dalam
peraturan perundang-undangan dan putusan Hakim yang merupakan hukum positif dan dapat
diketemukan dengan mencari sifat-sifat umum dalam peraturan konkrit tersebut. Prof. DR. Sudikno
Mertokusumo,SH., Mengenal Hukum Suatu Pengantar, Liberty, Yogyakarta, 2003, hlm. 34.
Pandangan Almarhum Sudikno ini kurang tepat. Sebab, pada dasarnya asas hukum juga mengikat.
Perhatikan Buku Kontrak sebagai Nama Ilmu Hukum, Fakultas Hukum Universitas Kristen Satya
Wacana Salatiga. Dalam Kontrak Sebagai Nama Ilmu Hukum Jeferson Kameo, S.H., L.LM., Ph.D
menemukan bahwa melanggar asas adalah melanggar hukum. Sebab, Mahkamah Agung Republik
2
Berdasarkan pemahaman akan asas tersebut tentunya kehadiran PTUN
berfungsi judicial review atas tindakan badan atau pejabat TUN, dalam hal ini, secara
khusus, judicial review hanya beschikking yang dikeluarkan oleh Badan atau Pejabat
TUN yang dinilai bertentangan dengan hukum.
Adapun yang dimaksud dengan tindakan Pejabat TUN adalah:4 (1)
tindakan mengeluarkan keputusan, yang disebut ketetapan administrasi atau
beschikking; (2) Tindakan mengeluarkan peraturan atau regeling dan; (3) Tindakan
melakukan perbuatan materiil atau perbuatan wajar.
Ketiga tindakan pejabat TUN tersebut yang dapat menjadi obyek
sengketa PTUN, hanyalah tindakan pejabat TUN yang dalam kategori mengeluarkan
keputusan (beschikking). Kaedahnya ini terdapat pada Pasal 1 Angka (10) UU No. 51
Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua atas UU No.5 Tahun 1986 tentang PTUN yang
berbunyi:
“sengketa Tata Usaha Negara adalah sengketa yang timbul dalam
bidang tata usaha negara antara orang atau badan hukum perdata
dengan badan atau pejabat tata usaha negara, baik di pusat maupun di
daerah, sebagai akibat dikeluarkannya keputusan tata usaha negara,
termasuk sengketa kepegawaian berdasarkan peraturan perundang-
undangan yang berlaku.”
Indonesia dalam Putusan sengketa TUN No. 213 K/TUN/2007 mengatakan bahwa pejabat TUN
terbukti melanggar asas-asas umum pemerintahan yang baik yaitu kecermatan dan kehati-hatian.
3Indroharto, SH. Usaha Memahami Undang-Undang Tentang Peradilan Tata Usaha Negara Buku II
Beracara di Pengadilan Tata Usaha Negara, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, 1993, hlm. 27.
4Prof.Soehino, S.H., Asas-Asas Hukum Tata Usaha Negara, Liberty, Yogyakarta, 2000, hlm. 3.
3
Rumusan pengertian mengenai sengketa TUN yang sama dengan di atas
kemudian diikuti oleh beberapa penulis, antara lain ada yang mengatakan bahwa
sengketa TUN adalah sengketa yang timbul dibidang TUN antara orang atau badan
hukum perdata dengan Badan atau Pejabat TUN, akibat dikeluarkannya suatu
keputusan TUN.5
Sementara itu pengertian mengenai keputusan Badan atau Pejabat TUN
adalah: “Keputusan atau Penetapan tertulis, atau yang disamakan dengan itu, yang
dikeluarkan atau ditolak dikeluarkan oleh Pejabat atau Badan TUN”.6
Mengacu pada ketiga definisi keputusan TUN di atas, maka dapat
disimpulkan bahwa kompetensi absolut PTUN adalah hanya menyangkut mengadili
dan memutus keputusan TUN.
Sementara itu, para pihak dalam sengketa itu adalah warga negara atau
individual atau badan hukum perdata yang selalu hanya dapat menjadi Penggugat
melawan Badan atau Pejabat TUN yang selalu menjadi Tergugat.7
Kemudian, apa yang dimaksud dengan Keputusan TUN oleh undang-
undang dirumuskan sebagai berikut, yaitu:
5 Rozali Abdullah, S.H., Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara, Rajawali Pers, Jakarta, 1992,
hlm. 31.
6 Darwan Prist, S.H., Strategi Menangani Perkara Tata Usaha Negara, Citra Aditya Bakti , Bandung,
hlm. 30.
7Sehingga, dapat dikatakan bahwa ada suatu asas, yaitu tidak mungkin, atau tidak boleh Badan atau
orang perdata menjadi Tergugat. Pelanggaran terhadap hal ini adalah suatu perbuatan melawan hukum
yang sangat serius.
4
“Suatu penetapan tertulis yang dikeluarkan oleh badan atau pejabat tata
usaha negara yang berisi tindakan hukum tata usaha negara yang
berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku yang bersifat
konkret, individual, dan final, yang menimbulkan akibat hukum bagi
seseorang atau badan hukum perdata.”8
Selain pengertian Keputusan TUN sebagaimana telah Penulis kemukakan
di atas, ada juga penulis yang mengatakan bahwa, keputusan TUN adalah:
“merupakan penetapan tertulis yang dikeluarkan oleh badan atau pejabat TUN
berdasarkan atas: peraturan perundang-undangan yang berlaku, bersifat konkrit,
individual, dan final”.9
Akan tetapi di dalam kenyataannya sebagaimana digambarkan dalam
skripsi ini, terdapat berbagai fakta, bahwa obyek sengketa pada PTUN adalah
keputusan pihak Yayasan Perguruan Tinggi Swasta (privat/partikelir).
Demikian pula Tergugat dalam sengketa TUN yang ada, ternyata tidak
selalu badan atau pejabat TUN, tetapi justru yang ada adalah Tergugat merupakan
Yayasan Perguruan Tinggi Swasta atau orang perdata/privat/partikelir.
Artinya, prinsip bahwa PTUN hanya mengadili obyek sengketa sepanjang
keputusan merugikan individu dilakukan oleh pejabat TUN (publik), seolah-olah
telah disimpangi, dan ini dapat dilihat sebagai menyimpangi kategorisasi privat-
publik dalam ilmu hukum. Sehingga orang dapat saja menyoal, bukankah suatu
8Pasal 1 Angka (9) UU No. 51 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua atas UU No. 5 Tahun 1986
tentang Peradilan Tata Usaha Negara.
9 Soegijatno Tjakranegara, S.H., Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara di Indonesia, Sinar
Grafika, Jakarta, 1992, hlm. 4.
5
Peradilan harus berjalan secara rasional, sejalan dengan logika atau kaedah hukum
yang memisahkan antara aspek publik dan aspek privat?
Sebagai contoh, sekaligus Putusan10
yang menjadi obyek studi penelitian
ini adalah dua Putusan Pengadilan dalam sengketa TUN yaitu Putusan No:
48/G/2009/PTUN-SMG dan Putusan No:10/G/2010/PTUN-SMD.
Dalam kedua Putusan Pengadilan TUN tersebut di atas, keputusan unsur
Yayasan Perguruan Tinggi Swasta ternyata telah menjadi obyek sengketa PTUN.
Menurut tafsir para hakim PTUN, keputusan seperti itu ada yang termasuk dalam
kategori keputusan pejabat TUN, namun ada juga hakim yang menyatakan
sebaliknya, suatu pertentangan di dalam hukum (conflict within the law) yang tidak
boleh terjadi.
Keputusan Rektor Universitas Swasta sebagai unsur dari Yayasan
Perguruan Tinggi Swasta yang menjadi obyek sengketa PTUN, lebih jauh menjadi
suatu legal issue dengan munculnya UU No.13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan
jo UU No. 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial.
Sebagaimana diketahui bersama bahwa dengan berlakunya UU No.13
Tahun 2003 maka Karyawan atau Dosen suatu Perguruan Tinggi Swasta seharusnya
adalah Buruh atau Pekerja.
Artinya, unsur dari Yayasan Perguruan Tinggi Swasta yang lain adalah
Pengusaha atau Majikan atau, Pemberi Kerja, menurut UU Ketenagakerjaan.
10
Putusan boleh menjadi obyek Penelitian ilmu hukum untuk menemukan kaedah dan prinsip, tetapi
hukum tidak boleh diteliti! Pendapat ini tersirat dalam buku Kontrak Sebagi Nama Ilmu Hukum, Loc.
Cit., hlm.5. Isi Lengkap kedua Putusan tersebut dapat dilihat dalam LAMPIRAN Skripsi saya ini.
6
Dengan demikian, apabila terjadi sengketa di antara kedua unsur itu,
maka sengketa itu adalah sengketa industrial di antara kedua belah pihak dalam hal
ini Dosen atau Karyawan Perguruan Tinggi Swasta dengan Yayasan Perguruan
Tinggi Swasta. Artinya, Pengadilan yang seharusnya berwenang mengadili atau yang
memiliki kompetensi absolut atas perselisihan tersebut, sesuai dengan UU No.2
Tahun 2004 adalah PHI (Pengadilan Hubungan Industrial). Dengan perkataan lain,
sengketa yang ada itu/dua sengketa yang putusannya menjadi obyek studi penelitian
ini seharusnya tunduk pada rezim hukum dan Pengadilan yang sama sekali berbeda
dengan rezim hukum PTUN.
Permasalahan demikian yang menjadi alasan Penulis untuk meneliti
mengenai “Kompetensi Absolut PTUN dalam Memutus Obyek Sengketa
Hubungan Industrial antara Yayasan Perguruan Tinggi Swasta dengan Dosen
atau Karyawan Yayasan Perguruan Tinggi Swasta”, sebagaimana telah di
kemukakan di atas, untuk pada akhirnya menyusun skripsi kesarjanaan ini.
1.2. Latar Belakang Masalah
Berdasarkan UU No. 5 Tahun 1986, yang sudah digantikan oleh UU No.
51 Tahun 2009, PTUN mulai beroperasi 5 tahun, dihitung sejak tahun 1986.
Dengan demikian maka kehadiran PTUN dalam sistem hukum positif di
Indonesia sudah sejak tahun 1991, dan sudah menghasilkan banyak Putusan. Dalam
pengamatan Penulis, Putusan PTUN di daerah-daerah menimbulkan perbedaan.
7
Seperti telah Penulis kemukakan di atas, perbedaan itu dalam arti, tidak
sesuai kompetensi yang dimiliki PTUN sebagaimana yang diatur dalam peraturan
perundang-undangan.
Misalnya, Putusan yang terjadi di PTUN Semarang. Ternyata PTUN
Semarang, menerima menyelesaikan sengketa keputusan badan hukum perdata. Beda
halnya di PTUN Samarinda, Hakim ternyata sebaliknya menyatakan tidak dapat
diterima gugatan untuk menyelesaikan sengketa keputusan badan hukum swasta.
Perbedaan Putusan di kedua wilayah kompetensi relatif PTUN tersebut
menjadi perbincangan hangat dikalangan sarjana hukum dan akademisi hukum.
Bahkan ada yang berpendapat bahwa, hal itu, perbedaan dalam menggunakan
kompetensi mengadili tersebut melanggar hukum. Kewenangan PTUN yang hanya
ditujukan untuk menyelesaikan sengketa TUN telah diciderai dengan PTUN
menerima keputusan badan hukum perdata LSM (Lembaga Swadaya Masyarakat),
bagaimana mungkin LSM menjadi Badan Hukum Publik? Misalnya LSM seperti
YPTKSW sebagai obyek sengketa PTUN? dan hal itu berarti menempatkan LSM
sebagai badan hukum publik.
Menurut Penulis obyek sengketa yang ada dalam Putusan
No:10/G/2010/PTUN-SMD dan Putusan No: 48/G/2009/PTUN-SMG adalah
seharusnya merupakan Putusan-Putusan yang mengadili keputusan dari Badan
Hukum Perdata, bukan mengadili dan memutus keputusan Badan atau Pejabat TUN.
Artinya dengan dimasukkannya Keputusan Yayasan Perguruan Tinggi
Swasta di dalam satu dari kedua Keputusan Pengadilan di atas dalam kategori
8
keputusan Badan atau Pejabat TUN, maka hal itu adalah suatu penyimpangan.
Konsekuensi, apabila ternyata kompetensi absolut PTUN itu salah dan keliru, maka
Putusan TUN batal demi hukum (null and void).
Umum dipahami, wewenang Pemerintah dalam menyelenggarakan
pemerintahan dan kenegaraan berasal dari peraturan perundang-undangan11
atau di
dalam ilmu hukum sering disebut dengan asas legalitas (Legaliteitsbeginsel).
Kewenangan yang diberikan dalam undang-undang itu kemudian dapat dilakukan
dengan tiga cara, antara lain melalui: atribusi, delegasi, dan mandat,12
yang pada
dasarnya adalah termasuk kontrak-kontrak (contracts).
Sementara itu, ada ahli hukum berpendapat bahwa Yayasan Perguruan
Tinggi Swasta dalam menyelenggarakan pendidikan merupakan suatu delegasi dari
Pemerintah.
Akibat dari delegasi adalah muncul pemahaman bahwa pendelegasian
kewenangan ini berakibat Yayasan Perguruan Tinggi Swasta merupakan Badan atau
Pejabat TUN.
Konsekuensi selanjutnya adalah keputusan Yayasan Perguruan Tinggi
Swasta dengan demikian juga merupakan Keputusan TUN.
Hakim TUN mengikuti logika berpikir yang demikian untuk mengadili
sengketa dalam Yayasan Perguruan Tinggi Swasta yang merupakan obyek PTUN.
11
Ridwan, HR, S.H., “Hukum Administrasi Negara”, UII Press, Yogyakarta, 2003, hlm. 103.
12
Ibid., hlm. 104.
9
Sehubungan dengan itu, dipahami badan hukum perdata merupakan
pendelegasian wewenang dari Pemerintah dan menjalankan tugas sebagian
Eksekutif,13
akibatnya adalah bahwa Yayasan Perguruan Tinggi Swasta kemudian
menjadi tergolong sebagai eksekutif. Pemahaman seperti ini salah. Diketahui bahwa
Pemerintah sebagai penyelenggara kesejahteraan rakyat dalam suatu Negara dengan
tugas-tugas yang beragam dan luas yang tidak hanya dilakukan oleh Pemerintah
sendiri tetapi juga dilakukan oleh pihak swasta. Partisipasi swasta dalam
melaksanakan tugas Pemerintah (eksekutif) tidak serta merta menjadikan swasta
tersebut sebagai Badan atau Pejabat TUN. Pemikiran seperti ini didasari oleh suatu
teori yang dikemukakan oleh Indroharto, yang terkenal dengan teori melebur. Dalam
teori tersebut dikatakan bahwa setiap perjanjian perdata yang dilakukan oleh
Pemerintah, maka tindakan Pemerintah tersebut akan melebur ke dalam tindakan
hukum perdata (misalnya tindakan hukum jual-beli yang telah dilakukan).
Meleburnya dalam tindakan hukum perdata, karena yang menjadi poin pentingnya
adalah tujuan akhir dari rangkaian tindakan-tindakan hukum tersebut.14
13
Darwan Prist, S.H., Strategi Menangani Perkara Tata Usaha Negara, Citra Aditya Bakti , Bandung,
hlm. 27. Pelimpahan wewenang Eksekutif kepada Lembaga Swasta, misalnya di bidang pendidikan
mulai dari Sekolah Dasar sampai Perguruan Tinggi, bidang kesehatan dengan pemberian izin kepada
Lembaga-Lembaga Swasta untuk mengelola Rumah Sakit Swasta. Pikiran seperti ini telah
menciptakan suatu asumsi bahwa Badan Hukum Swasta partikelir seperti Yayasan Perguruan Tinggi
Swasta adalah badan hukum TUN. Juga, Badan Hukum Swasta partikelir seperti Yayasan Perguruan
Tinggi Swasta adalah eksekutif! Aneh!
14
Indroharto, S.H., Usaha Memahami Undang-Undang tentang Peradilan Tata Usaha Negara Buku I
Beberapa Pengertian Dasar Hukum Tata Usaha Negara, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, 1993, hlm.
117.
10
Berbeda dengan pandangan yang baru saja dikemukakan diatas,
sebaliknya ada yang berpendapat bahwa Yayasan Perguruan Tinggi Swasta dalam
melaksanakan pendidikan bukan pelimpahan wewenang dari Pemerintah. Akan
tetapi, Yayasan Perguruan Tinggi Swasta hanya memeroleh ijin dari Pemerintah
untuk menyelenggarakan pendidikan. Pemerintah melakukan pembentukan,
pengawasan, dan memberikan pembiayaan. Hal ini, menurut para penulis tersebut,
tidak serta merta menjadikan Badan Hukum Swasta tersebut tergolong sebagai badan
atau pejabat TUN.15
Tepat bahwa konsekuensi dari teori melebur yang dipakai
sebagai dasar sebagaimana dijelaskan diatas, maka Pemerintah hanya melakukan
pengawasan yaitu dengan mengeluarkan ijin kepada setiap individual. Itu sebabnya,
ada pendapat bahwa keputusan unsur Yayasan Perguruan Tinggi Swasta tunduk pada
hukum perdata, terlebih lagi dengan kehadiran Pengadilan Hubungan Industrial
(PHI), maka yurisdiksi untuk menyelesaikan perselisihan antara buruh dan majikan
adalah di PHI, suatu Badan Peradilan Khusus di lingkungan Peradilan Umum di
Indonesia.
Dalam ilmu hukum, Keputusan TUN adalah suatu perbuatan Pemerintah
yang bersegi satu berdasarkan peraturan perundang-undangan untuk diterapkan pada
peristiwa konkrit menurut prosedur dan persyaratan tertentu.16
Oleh sebab itu sudah
kewajiban Pemerintah untuk turut campur tangan dalam setiap instansi yang
melakukan aktifitas pendidikan, termasuk juga Yayasan Perguruan Tinggi Swasta,
15
Ridwan, HR, S.H., “Hukum Administrasi Negara”, UII Press, Yogyakarta, 2003, hlm. 86.
16
Ibid., hlm. 210.
11
dengan ketentuan memberikan perijinan sesuai dengan peraturan perundang-
undangan yang berlaku.
Implikasi dari dikeluarkannya perijinan oleh Pemerintah atau
Badan/Pejabat TUN adalah secara tidak langsung Negara harus mengawasi tindakan
Yayasan Perguruan Tinggi Swasta dan dapat dipahami juga bahwa perijinan ini
merupakan instrumen dari Negara sebagai satu subyek hukum untuk mengendalikan,
dalam arti, antara lain, memfasilitasi Warga Negara atau Badan Hukum Perdata yang
juga dalam kedudukan yang setara dengan Negara sebagai badan hukum/subyek
hukum (parties to contract), supaya tetap dapat melaksanakan aktivitasnya secara
berdaya guna dan berhasil guna.
Kaitannya dengan apa yang baru saja dikemukakan di atas itu, dalam
Pasal 102 Ayat 1 UU No.13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan diatur bahwa
“dalam melaksanakan hubungan industrial, Pemerintah mempunyai fungsi
menetapkan kebijakan, memberikan pelayanan, melaksanakan pengawasan, dan
melakukan penindakan terhadap pelanggaran peraturan perundang-undangan
Ketenagakerjaan”.
Bunyi Pasal di atas menjustifikasi bahwa setelah adanya undang-undang
Ketenagakerjaan berarti Pemerintah hanya melakukan pembentukan, pengawasan,
dan memberikan pembiayaan, dan tidak serta merta menjadikan Badan Hukum
Swasta tergolong sebagai suatu Badan atau Pejabat TUN. Di manapun di seluruh
dunia, privat itu bukan publik dan publik itu pasti bukan privat.
12
Memerhatikan uraian di atas, maka tampaknya adanya pemahaman yang
berbeda-beda diantara ahli hukum bahkan ditumpang-tindihkan mengenai Yayasan
Perguruan Tinggi Swasta dengan Badan TUN. Padahal, majikan suatu Yayasan
Partikelir berbeda dengan majikan para Pejabat TUN. Majikan adalah tiap orang atau
badan hukum yang mempekerjakan seorang buruh atau lebih di Perusahaan yang
diwajibkan memberikan tunjangan.17
UU No. 13 tahun 2003 tidak memberikan persamaan antara pemberi kerja
(pengusaha) dengan majikan, akan tetapi memberikan persamaan antara pekerja
dengan buruh.18
Hanya saja, di dalam Pasal 1 Angka (4) diuraikan bahwa “pemberi
kerja adalah orang perseorangan, pengusaha, badan hukum, atau badan-badan lainnya
yang mempekerjakan tenaga kerja dengan membayar upah atau imbalan dalam
bentuk lain”.
Pemahaman di atas menegaskan bahwa Yayasan Perguruan Tinggi
Swasta juga dengan demikian merupakan pemberi kerja dalam istilah Perburuhan
disebut majikan kepada buruh, dalam hal ini Dosen19
dan atau Karyawan.
Orang disebut buruh apabila dia telah melakukan hubungan kerja dengan
majikan.20
Sementara itu, Dosen di Yayasan Perguruan Tinggi yang berstatus swasta,
17
Abdul Rachmad Budiono, S.H., Hukum Perburuhan di Indonesia, Raja Grafindo Persada, Jakarta,
1975, hlm. 4. Bandingkan dengan rumusan pengusaha dalam UU No.13 Tahun 2003 tentang
Ketenagakerjaan jo UU No.2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial.
18
Pasal 1 Angka (3) UU No.13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.
19
Perlu ditegaskan di sini bahwa secara prinsipil, peraturan perundang-undangan yang berlaku di
Indonesia Dosen adalah profesional.
13
dimana sistem pengangkatan, penempatan, pemindahan, dan pemberhentian
dilakukan berdasarkan perjanjian kerja atau kesepakatan kerja bersama.21
Maka
ketika sudah ada hubungan kerja yang berupa suatu perjanjian antara seseorang
(Dosen atau Karyawan) dengan Badan Hukum Perdata (Yayasan Perguruan Tinggi
Swasta), apabila ada sengketa, sengketa itu merupakan sengketa hubungan industrial.
Menurut UU No.2 Tahun 2004, kompetensi absolut untuk hal itu berada
di PHI. Artinya, apabila PTUN masih mengklaim kompetensi absolut untuk
mengadili sengketa industrial maka akan terjadi tumpang tindih kewenangan.22
Bukankah hukum sebagai suatu sistem yang sangat sempurna tidak membolehkan hal
ini, pertentangan dalam sistem itu sendiri?23
Suatu studi perbandingan antara UU No.2 Tahun 2004 jo. UU No.13
Tahun 2003 dengan Pasal 1 Angka (10) UU No.51 Tahun 2009 tentang Perubahan
20
Dikutip dari H. Zainal Asikin, SH, S.U., H. Agusfian Wahab, SH., Lalu Husni, SH, M.Hum., Zaeni
Asyhadie, SH, M.Hum, Dasar-Dasar Hukum Perburuhan, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2006, hlm.
43.
21
Sahala Aritonang. S.H., Hak-hak Guru dan Dosen Swasta Jika Diberhentikan. CV. Eko Jaya ,
Jakarta, 2007, hal. 7. Ia membedakan Guru dan Dosen yang diangkat oleh satuan
pendidikan/pendidikan tinggi yang diselenggarakan oleh Pemerintah karena pengangkatan,
penempatan, pemindahan, dan pemberhentian diatur oleh Peraturan Pemerintah dan berstatus Pegawai
Negeri Sipil (PNS).
22
Sebelum disahkannya UU No.2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial,
setiap perselisihan hubungan industrial diajukan ke Panitia Penyelesaian Perselisihan Perburuhan Pusat
(P4P) dan putusannya bersifat final. Kemudian ketika ada pihak tidak memerima putusan tersebut,
mereka mengajukan ke PTUN. Hanya saja, yang menjadi obyek sengketa adalah keputusan P4P,
bukan keputusan Yayasan Perguruan Tinggi Swasta misalnya. Namun hal ini merupakan alasan PTUN
dapat memutus sengketa Yayasan perguruan Tinggi Swasta. Akan tetapi setelah undang-undang PHI
berlaku, maka P4P daerah maupun pusat tidak memiliki kewenangan lagi untuk menyelesaikan
Perburuhan begitu juga dengan PTUN. Lembaga-lembaga politik tersebut sudah bubar!
23
Mengenai hal ini dapat dibaca dalam Jeferson Kameo, S.H., L.LM., Ph.D, Buku: Kontrak Sebagai
Ilmu Hukum, Fakultas Hukum Universitas Kristen Satya Wacana Salatiga.
14
Kedua UU No.5 Tahun 1986 tentang PTUN, apakah Yayasan suatu Perguruan Tinggi
Swasta merupakan Badan atau Pejabat TUN? Adalah masalah yang penting setelah
keberadaan UU No.2 Tahun 2004, yang tidak lagi menghendaki sengketa Yayasan
Perguruan Tinggi Swasta dengan Dosen atau Karyawan Perguruan Tinggi Swasta
masih saja dimasukkan dalam sengketa kewenangan PTUN.
Tetapi anehnya mengapa para penegak hukum (seperti pengacara) tidak
mau memahami bahwa sesungguhnya dengan berlakunya UU No.2 Tahun 2004 ada
konflik jurisdiksi sepanjang apabila penggugat itu adalah Dosen dan Karyawan
Yayasan Perguruan Tinggi Swasta melawan Yayasan Perguruan Tinggi Swasta yang
menurut UU No.13 Tahun 2003, Dosen dan Karyawan Yayasan Perguruan Tinggi
Swasta adalah buruh atau pekerja.
Kemudian di dalam kepustakaan hubungan industrial, Yayasan/juga dapat
digolongkan sebagai pengusaha yang bentuk usahanya adalah Yayasan Perguruan
Tinggi atau Universitas Swasta. Ada pendapat bahwa adalah salah jika istilah
pengusaha hanya dipahami hanya sebatas para pemilik pabrik atau perusahaan-
perusahaan, sementara pemilik Yayasan, Lembaga Sosial, Lembaga Pendidikan dan
Lembaga-Lembaga Kemasyarakatan lainnya tidak digolongkan sebagai pengusaha.24
Itulah sebabnya, dengan memerhatikan uraian di atas maka sengketa
antara Dosen atau Karyawan dengan unsur Yayasan Perguruan Tinggi Swasta yang
terjadi dalam Perguruan Tinggi Swasta, harus dipahami sama halnya dengan sengketa
24
Sahala Aritonang, S.H., Hak-hak Guru dan Dosen Swasta Jika Diberhentikan. CV. Eko Jaya ,
Jakarta, 2007, hal. 6.
15
antara pengusaha/gabungan pengusaha dengan pekerja/buruh atau serikat
pekerja/serikat buruh.
Artinya kalau ada perselisihan antara buruh dan majikan dalam hal ini
Karyawan, Dosen dengan unsur Yayasan Perguruan Tinggi Swasta maka yang
pertama kali dipertimbangkan adalah Dosen dan Karyawan Yayasan Perguruan
Tinggi Swasta itu adalah buruh atau pekerja. Sementara unsur Yayasan Perguruan
Tinggi Swasta adalah pengusaha atau majikan. Hal ini semakin menjustifikasi
kompetensi absolut pada PHI.
Dalam kaitan dengan uraian di atas, Pasal 1 Angka (1) jo Pasal 56 UU
No.2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial,
menyebutkan empat jenis perselisihan yaitu: (1) Perselisihan Hak; (2) Perselisihan
Kepentingan; (3) Perselisihan Pemutusan Hubungan Kerja (PHK); (4) Perselisihan
antara serikat pekerja/serikat buruh hanya dalam satu perusahaan.
Ada pendapat bahwa, perselisihan Ketenagakerjaan (Perburuhan) dapat
dibedakan antara perselisihan hak dengan perselisihan kepentingan”,25
namun
demikian, sengketa atau perselisihan antara Dosen atau Karyawan Perguruan Tinggi
Swasta dengan unsur Yayasan Perguruan Tinggi Swasta yang lain adalah unsur
majikan atau pengusaha.
Dengan mengacu Pasal tersebut di atas maka Putusan No:
48/G/2009/PTUN-SMG merupakan perselisihan kepentingan dan Putusan Pengadilan
25
Dikutip dari Abdussalam, S.H., Hukum Ketenagakerjaan (Hukum Perburuhan), Restu Agung,
Jakarta, 2009, hlm. 129.
16
No:10/G/2010/PTUN-SMD yang juga merupakan perselisihan kepentingan antara
buruh dan majikan.
Ini menandakan bahwa sudah barang tentu sengketa Yayasan Perguruan
Tinggi Swasta dengan Dosen atau Karyawan Yayasan Perguruan Tinggi Swasta itu
harus diselesaikan di PHI.
Selama ini sebelum adanya UU No.13 Tahun 2003 jo UU No.2 Tahun
2004, apabila ada sengketa antara Yayasan Perguruan Tinggi Swasta dan Dosen
(sebagai contoh dalam kedua sengketa itu), maka penyelesaian sengketanya adalah di
PTUN yang tunduk pada UU No.5 Tahun 1986 dengan perubahan UU No.51 Tahun
2009, tetapi setelah ada undang-undang tersebut sengketa Yayasan Perguruan Tinggi
Swasta dengan Dosen atau Karyawan Yayasan Perguruan Tinggi Swasta adalah
merupakan kompetensi absolut PHI.
Mencermati juga akan kasus-kasus di atas, yang mana dengan
dimasukkan Badan Hukum Swasta sebagai Badan atau Pejabat TUN, yang selalu
menjadi Tergugat, sementara, untuk selamanya seharusnya orang atau pihak warga
negara/masyarakat/orang akan selalu menjadi pihak Penggugat, ada prinsip yang
seolah-olah telah dilanggar.
Ada dalil dalam Putusan yang menjadi obyek studi/Penelitian ini bahwa
keputusan (beschikking) memiliki sifat norma dalam hal konkret, individual dan final.
Sementara keputusan misalnya YPTKSW dan Yayasan/Badan Penyelenggara
Perguruan Tinggi Swasta (BP-PTS) 17 Agustus 1945 Samarinda, dipertanyakan
merupakan keputusan yang final.
17
UU No.2 Tahun 2004 didalamnya diatur bahwa, keputusan PHK adalah
suatu putusan yang belum bersifat final, sebabnya yaitu sengketa karena PHK yang
kemudian menjadi masalah, masih harus diuji di PHI sebagai the last resort.26
Sehingga dalam hubungan hukum buruh-majikan PKWT misalnya, bukan merupakan
suatu beschikking, sebab belum final.
Atas dalil di atas kemudian ada pendapat bahwa sengketa yang terjadi
yaitu dalam Putusan No:10/G/2010/PTUN-SMD antara Alikuddin Saragih,SH.,
M.Hum, yang merupakan Pembantu Dekan 1 Fakultas Hukum Universitas 17
Agustus 1945 Samarinda melawan Rektor Universitas 17 Agustus 1945 Samarinda
dengan obyek sengketanya adalah Surat Keputusan Rektor Universitas 17 Agustus
1945 Samarinda Nomor : 055/UN.17 /KP/II/2011 tanggal 1 Pebruari 2011 perihal
Pemberhentian Sementara sebagai Pembantu Dekan I Fakultas Hukum dan Dosen
Kopertis Dpk Universitas 17 Agustus 1945 Samarinda, dan Putusan No:
48/G/2009/PTUN-SMG sengketa yang terjadi antara Dosen Fakultas Psikologi
UKSW Drs. Aloysius Lukas Soenarjo Soesilo, MA dengan Rektor UKSW saat itu
Prof. Kris Herawan Timotius dengan obyek sengketa adalah SK Rektor UKSW No.
158/Rek/5/2009 tentang Pemberhentian Dosen Tetap tidak dapat menjadi obyek
sengketa di dalam PTUN.
Sesuai dengan unsur Pasal 1 Angka (8) UU No.51 Tahun 2009 tentang
Perubahan Kedua atas UU No.5 Tahun 1986 tentang PTUN yakni Badan atau Pejabat
TUN adalah Badan atau Pejabat yang melaksanakan urusan Pemerintahan
26
Pasal 3 ayat 1 UU No.2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial.
18
berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku, maka mengacu Pasal
tersebut, jabatan Rektor Perguruan Tinggi Swasta bukanlah Pejabat TUN, karena
tidak melaksanakan urusan pemerintahan berdasarkan peraturan perundang-undangan
yang berlaku. PTUN dengan demikian dapat dikatakan tidak memiliki kewenangan
(kompetensi absolut) untuk memeriksa, memutus, dan menyelesaikan kedua sengketa
tersebut di atas. Seharusnya sengketa tersebut masuk dalam kewenangan absolut
Pengadilan yang mengadili sengketa hubungan industrial. Bagaimanakah hal ini
selanjutnya, perlu ada kepastian. Hal ini menjadi latar belakang penulis memilih
menulis permasalahan di atas.
1.3. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah yang telah dipaparkan sebelumnya,
untuk membatasi agar pembahasan masalah tidak terlalu luas maka Penulis membuat
suatu rumusan masalah sebagai berikut: Bagaimanakah kompetensi absolut PTUN
memutus obyek sengketa dalam jurisdiksi absolut sebagaimana diatur dalam rezim
UU No.2 Tahun 2004 jo UU No.13 Tahun 2003?
1.4. Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimana kompetensi
absolut PTUN setelah berlakunya UU No.2 Tahun 2004 jo UU No.13 Tahun 2003
dalam mengadili sengketa hubungan industrial dimana pihak Yayasan Perguruan
19
Tinggi Swasta berkedudukan sebagai pengusaha atau majikan dan Dosen atau
Karyawan Yayasan Peguruan Tinggi Swasta berkedudukan sebagai buruh.
1.5. Metode Penelitian
Metode Penelitian yang digunakan oleh Penulis adalah penelitian hukum.
Penelitian ini dimaksudkan untuk mencari prinsip-prinsip dan kaedah-kaedah hukum
yang mengatur tentang kompetensi absolut, baik yang dimiliki oleh PTUN maupun
PHI.
Satuan amatan penelitian ini adalah: (1) UU No.51 Tahun 2009 tentang
Perubahan Kedua atas UU No.5 Tahun 1986 tentang PTUN; (2) UU No.2 Tahun
2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial; (3) UU No.13 Tahun
2003 tentang Ketenagakerjaan.
Sementara itu ada pula beberapa Putusan Pengadilan yang dicermati
misalnya Putusan PTUN No: 48/G/2009/PTUN-SMG dan Putusan PTUN
No:10/G/2010/PTUN-SMD berkaitan dengan peraturan perundang-undangan
diantaranya UU No.51 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua atas UU No.5 Tahun
1986 tentang PTUN, UU No.2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan
Hubungan Industrial, UU No.13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Sedangkan
satuan analisa penelitian ini adalah bagaimana kompetensi absolut PTUN dalam
mengadili dan memutus obyek sengketa Hubungan Industrial antara Yayasan
Perguruan Tinggi Swasta dengan Dosen atau Karyawan Perguruan Tinggi Swasta
setelah berlakunya UU No.2 Tahun 2004 jo UU No.13 Tahun 2003.