134
i Kode/Nama Rumpun Ilmu : 596 / Ilmu Hukum LAPORAN AKHIR PENELITIAN DOSEN PEMULA SISTEM PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA PADA TINDAK PIDANA LINGKUNGAN HIDUP (SUATU REORIENTASI TENTANG ASAS STRICT LIABILITY) Oleh Ketua : Subaidah Ratna Juita, S.H., M.H., NIDN 0614127801 Anggota : Dewi Tuti Muryati, S.H., M.H., NIDN 0612045801 Anggota : Ani Triwati, S.H., M.H., NIDN 0628107401 Berdasarkan Surat Perjanjian Penugasan dalam Rangka Pelaksanaan Penugasan Penelitian Dosen Pemula bagi Dosen Perguruan Tinggi Swasta Tahun Anggaran 2013 Nomor 012/SP2H/KL/KOPERTIS6/2013 tanggal 27 Agustus 2013 UNIVERSITAS SEMARANG NOVEMBER, 2013

Kode/Nama Rumpun Ilmu : 596 / Ilmu Hukum LAPORAN AKHIRilib.usm.ac.id/sipp/doc/penelitian/A017-20161004020602-LAPORANAKHI... · Surat Perjanjian Penugasan dalam Rangka Pelaksanaan

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: Kode/Nama Rumpun Ilmu : 596 / Ilmu Hukum LAPORAN AKHIRilib.usm.ac.id/sipp/doc/penelitian/A017-20161004020602-LAPORANAKHI... · Surat Perjanjian Penugasan dalam Rangka Pelaksanaan

i

Kode/Nama Rumpun Ilmu : 596 / Ilmu Hukum

LAPORAN AKHIR

PENELITIAN DOSEN PEMULA

SISTEM PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA PADA TINDAK PIDANALINGKUNGAN HIDUP

(SUATU REORIENTASI TENTANG ASAS STRICT LIABILITY)

Oleh

Ketua : Subaidah Ratna Juita, S.H., M.H., NIDN 0614127801Anggota : Dewi Tuti Muryati, S.H., M.H., NIDN 0612045801Anggota : Ani Triwati, S.H., M.H., NIDN 0628107401

BerdasarkanSurat Perjanjian Penugasan dalam Rangka Pelaksanaan Penugasan PenelitianDosen Pemula bagi Dosen Perguruan Tinggi Swasta Tahun Anggaran 2013

Nomor 012/SP2H/KL/KOPERTIS6/2013tanggal 27 Agustus 2013

UNIVERSITAS SEMARANGNOVEMBER, 2013

Page 2: Kode/Nama Rumpun Ilmu : 596 / Ilmu Hukum LAPORAN AKHIRilib.usm.ac.id/sipp/doc/penelitian/A017-20161004020602-LAPORANAKHI... · Surat Perjanjian Penugasan dalam Rangka Pelaksanaan

ii

HALAMAN PENGESAHAN

Judul : Sistem Pertanggungjawaban Pidana padaTindak Pidana Lingkungan Hidup (SuatuReorientasi tentang Asas Strict Liability)

PenelitiKetuaa. Nama Lengkap : Subaidah Ratna Juita, S.H., M.H.b. NIDN : 0614127801c. Jabatan Fungsional : Asisten Ahlid. Program Studi : Ilmu Hukume. Nomor HP : 081390896644f. Alamat surel (e-mail) : [email protected] (1)a. Nama Lengkap : Dewi Tuti Muryati, S.H., M.H.b. NIDN : 0612045801c. Perguruan Tinggi : Universitas SemarangAnggota (2)a. Nama Lengkap : Ani Triwati, S.H., M.H.b. NIDN : 0628107401c. Perguruan Tinggi : Universitas Semarang

Penanggung Jawab : LPPM Universitas SemarangTahun Pelaksanaan : Tahun ke-1 dari rencana 1 tahunBiaya Keseluruhan : Rp. 12.500.000,- (dua belas juta lima ratus

ribu rupiah)

Semarang, 25 November 2013

Page 3: Kode/Nama Rumpun Ilmu : 596 / Ilmu Hukum LAPORAN AKHIRilib.usm.ac.id/sipp/doc/penelitian/A017-20161004020602-LAPORANAKHI... · Surat Perjanjian Penugasan dalam Rangka Pelaksanaan

iii

RINGKASAN

Dalam hukum pidana dikenal asas actus non facit reum, nisi mens sit rea,

atau asas tiada pidana tanpa kesalahan. Penerapan asas tersebut secara kaku akan

menyulitkan untuk pertanggungjawaban korporasi dalam hukum pidana, salah

satunya adalah dalam bidang lingkungan hidup. Oleh karena itu apabila korporasi

melakukan tindak pidana lingkungan hidup sehingga mengakibatkan pencemaran

atau perusakan lingkungan hidup yang berdampak membahayakan dan merugikan

bagi pihak lain, maka berdasarkan ketentuan yang terdapat dalam UU No. 32

Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (UUPPLH)

korporasi dapat dipertanggungjawabkan secara pidana dengan penerapan asas

strict liability. Pengaturan mengenai pertanggungjawaban pidana terhadap

korporasi sebagai pelaku tindak pidana lingkungan hidup sebagaimana yang

terdapat dalam UUPPLH merupakan kebijakan legislasi yang memberikan

legitimasi bahwa korporasi dapat dipertanggungjawabkan semata karena telah

melakukan perbuatan melawan hukum tanpa memperhatikan kesalahannya.

Penelitian ini merupakan penelitian hukum normatif, yaitu penelitian yang

menitikberatkan pada data sekunder. Sebagai penelitian hukum normatif, maka

penelitian ini meliputi penelitian inventarisasi hukum positif, asas-asas hukum,

penemuan hukum in concreto dan sinkronisasi hukum, sehingga pendekatan yang

digunakan adalah pendekatan yuridis-normatif, yaitu penelitian yang difokuskan

untuk mengkaji penerapan kaedah-kaedah atau norma-norma hukum positif.

Dengan demikian, pendekatan yuridis-normatif dalam penelitian digunakan untuk

menganalisis permasalahan yang berkaitan dengan penerapan asas strict liability

untuk pertanggungjawaban korporasi sebagai pelaku tindak pidana di bidang

lingkungan hidup.

Kata kunci: pertanggungjawaban korporasi, asas strict liability, tindak pidana

lingkungan hidup.

Page 4: Kode/Nama Rumpun Ilmu : 596 / Ilmu Hukum LAPORAN AKHIRilib.usm.ac.id/sipp/doc/penelitian/A017-20161004020602-LAPORANAKHI... · Surat Perjanjian Penugasan dalam Rangka Pelaksanaan

iv

PRAKATA

Alhamdulillahirabbil’alamin, Tim Peneliti panjatkan puji syukur

kehadiran Allah SWT, atas segala rahmat dan karunia-Nya sehingga kami dapat

menyelesaikan penelitian dengan judul “ Sistem Pertanggungjawaban Pidana

pada Tindak Pidana Lingkungan Hidup (Suatu Reorientasi tentang Asas

Strict Liability) ” ini dengan baik dan tepat waktu.

Laporan hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi para

pembaca guna menambah wacana mengenai apa yang menjadi substansi dalam

penelitian ini. Dengan demikian, secara umum hasil penelitian ini dapat

memberikan sumbangan pemikiran dalam rangka pengembangan hukum pidana,

dan lebih khusus lagi sebagai bahan masukan kepada para praktisi hukum yang

bertugas menangani perkara pidana, dan bagi pihak-pihak yang berkepentingan

lainnya yang ingin mengetahui lebih dalam mengenai kebijakan hukum pidana

tentang pertanggungjawaban pidana pada tindak pidana lingkungan hidup.

Menyadari bahwa penelitian ini terselesaikan berkat bantuan dari

berbagai pihak baik secara langsung maupun tidak langsung, maka pada

kesempatan ini kami menyampaikan terima kasih kepada :

1. Direkur Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat, Direktorat

Jenderal Pendidikan Tinggi, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan

yang telah menyetujui dan memberikan dana penelitian.

Page 5: Kode/Nama Rumpun Ilmu : 596 / Ilmu Hukum LAPORAN AKHIRilib.usm.ac.id/sipp/doc/penelitian/A017-20161004020602-LAPORANAKHI... · Surat Perjanjian Penugasan dalam Rangka Pelaksanaan

v

2. Koordinator Kopertis Wilayah VI Jawa Tengah yang telah meneruskan

dana penelitian melalui Kontrak Nomor 012/SP2H/KL/KOPERTIS6/2013

tanggal 27 Agustus 2013.

3. Rektor Universitas Semarang yang telah memberikan izin penelitian dan

berbagai fasilitas kepada penulis untuk berkarya.

4. Ketua Lembaga Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat Universitas

Semarang yang telah membantu segala hal yang berkaitan dengan

penelitian.

5. Dekan Fakultas Hukum Universitas Semarang yang telah memberikan izin

penelitian.

6. Semua pihak yang tidak dapat kami sebutkan satu persatu yang telah

mendukung terselesaikannya penelitian ini.

Kami menyadari akan segala kekurangan yang ada, yang tentunya sangat

mempengaruhi penelitian ini. Untuk itu, segala kritik dan saran yang bersifat

membangun dari berbagai pihak akan kami terima dengan senang hati, demi

kesempurnaan penelitian ini di kemudian hari.

Semarang, November 2013

Tim Peneliti

Page 6: Kode/Nama Rumpun Ilmu : 596 / Ilmu Hukum LAPORAN AKHIRilib.usm.ac.id/sipp/doc/penelitian/A017-20161004020602-LAPORANAKHI... · Surat Perjanjian Penugasan dalam Rangka Pelaksanaan

vi

DAFTAR ISI

Halaman

HALAMAN SAMPUL ............................................................................ i

HALAMAN PENGESAHAN …………………………………………... ii

RINGKASAN .......................................................................................... iii

PRAKATA ............................................................................................... iv

DAFTAR ISI ……………………………………………………………... vi

BAB 1. PENDAHULUAN ...................................................................... 1

1.1. Latar Belakang Masalah ....................................................... 1

1.2. Rumusan Masalah ................................................................ 5

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA ………………………………………... 6

2.1. Landasan Pemahaman tentang Pertanggungjawaban Pidana

sebagai Suatu Sistem .......................................................... 6

2.2. Doktrin Strict Liability dalam Hukum Pidana ..................... 19

2.3. Tinjauan tentang Tindak Pidana Lingkungan Hidup ........... 26

BAB 3. TUJUAN DAN MANFAAT PENELITIAN ............................... 41

3.1. Tujuan Penelitian ................................................................. 41

3.2. Manfaat Penelitian ............................................................... 41

BAB 4. METODE PENELITIAN ………………………...................... . 43

4.1. Metode Pendekatan ............................................................. 44

4.2. Spesifikasi Penelitian .......................................................... 44

4.3. Metode Pengumpulan Data ................................................. 45

4.4. Metode Analisis Data .......................................................... 46

BAB 5. HASIL DAN PEMBAHASAN ................................................... 48

5.1. Kedudukan Korporasi sebagai Subjek Hukum (Pelaku Tindak

Pidana) dalam Bidang Lingkungan Hidup ........................... 48

Page 7: Kode/Nama Rumpun Ilmu : 596 / Ilmu Hukum LAPORAN AKHIRilib.usm.ac.id/sipp/doc/penelitian/A017-20161004020602-LAPORANAKHI... · Surat Perjanjian Penugasan dalam Rangka Pelaksanaan

vii

5.2. Sistem Pertanggungjawaban Pidana terhadap Korporasi sebagai

Pelaku Tindak Pidana di Bidang Lingkungan Hidup berdasarkan

Asas Strict Liability .................................................................... 55

BAB 6. SIMPULAN DAN SARAN ………………………............................ 65

6.1. Simpulan ...................................................................................... 65

6.2. Saran ............................................................................................ 66

DAFTAR PUSTAKA …………………………………………………........... viii

LAMPIRAN …………………………………………………………….......... xi

Page 8: Kode/Nama Rumpun Ilmu : 596 / Ilmu Hukum LAPORAN AKHIRilib.usm.ac.id/sipp/doc/penelitian/A017-20161004020602-LAPORANAKHI... · Surat Perjanjian Penugasan dalam Rangka Pelaksanaan

1

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang Masalah

Kebijakan menetapkan suatu sistem pertangungguangjawaban pidana

sebagai salah satu kebijakan kriminal merupakan persoalan pemilihan dari

berbagai alternatif. Dengan demikian, pemilihan dan penetapan sistem

pertanggungjawaban pidana tidak dapat dilepaskan dari berbagai pertimbangan

yang rasional dan bijaksana sesuai dengan keadaan dan perkembangan

masyarakat. Sehubungan dengan masalah tersebut di atas maka Romli

Atmasasmita menyatakan sebagai berikut :

Berbicara tentang konsep liability atau “pertanggungjawaban”dilihat dari segi falsafat hukum, seorang filosof besar dalambidang hukum pada abad ke-20, Roscou Pound, dalam AnIntroduction to the Philosophy of Law, telah mengemukakanpendapatnya ”I …. Use the simple word “liability” for the situationwhereby one exact legally and otheris legally subjected to theexaction.1

Selanjutnya dikatakan oleh Romli Atmasasmita :

Dengan demikian konsep liability diartikan sebagai _reparationsehingga mengakibatkan perubahan arti konsepsi liability daricomposition for vengeance menjadi reparation for injury.Perubahan bentuk wujud ganti rugi dalam sejumlah uang kepada gantirugi dengan penjatuhan hukuman, secara historis merupakan awaldari liability atau “pertanggungjawaban”.2

Permasalahan mengenai pertanggungjawaban pidana oleh korporasi

1 Romli Atmasasmita, Asas-asas Perbandingan Hukum Pidana, Cetakan Pertama (Jakarta:Yayasan LBH, 1989), halaman 79.

2 Ibid., halaman 80.

Page 9: Kode/Nama Rumpun Ilmu : 596 / Ilmu Hukum LAPORAN AKHIRilib.usm.ac.id/sipp/doc/penelitian/A017-20161004020602-LAPORANAKHI... · Surat Perjanjian Penugasan dalam Rangka Pelaksanaan

2

dalam hukum pidana tidak lepas dari pro dan kontra. Hal ini tidak lepas dari

paradigma pertanggungjawaban pidana dalam KUHP yang bersifat individual,

yaitu tidak memberikan opsi selain manusia (naturalick person) sebagai subjek

hukum. Pada waktu dirumuskan, penyusun KUHP menerima asas universitas

delinquere non protest, yang artinya korporasi tidak mungkin melakukan tindak

pidana. Korporasi dipandang sebagai suatu fiksi hukum dalam lingkungan

keperdataan yang tidak cocok diambil alih dalam hukum pidana.

Konsekuensinya maka penentangan terhadap wacana mempertanggungjawabkan

korporasi dalam hukum pidana selalu mendapat pembenaran. Argumen tersebut

juga tidak lepas dari aliran-aliran alam hukum pidana, baik aliran klasik (daad

strafrecht), aliran modern (dader strafrecht) maupun aliran neoklasik (daad-

dader strafrecht) yang hanya melihat individu sebagai pelaku atau subjek hukum

sentral.

Penerapan pertanggungjawaban pidana oleh korporasi akan mendapat

kesulitan karena melekat pada sifat dasar manusia alamiah seperti kesengajaan

dan kealpaan, tingkah laku material, pidana dan tindakan. Pemidanaan terhadap

korporasi juga dapat merugikan orang yang tidak bersalah dan kemungkinan

kesulitan menentukan antara batas pengurus dan korporasi . Sementara itu

perkembangan kehidupan bermasyarakat terutama dalam bidang perekonomian

telah melahirkan korporasi-korporasi dengan semangat kapitalisme yang

bertujuan memperoleh keuntungan sebesar-besarnya. Akibatnya aspek

viktimologis dari kejahatan korporasi sangatlah besar yang dapat meliputi

kerugian terhadap negara, masyarakat, konsumen, perusahaan saingan,

Page 10: Kode/Nama Rumpun Ilmu : 596 / Ilmu Hukum LAPORAN AKHIRilib.usm.ac.id/sipp/doc/penelitian/A017-20161004020602-LAPORANAKHI... · Surat Perjanjian Penugasan dalam Rangka Pelaksanaan

3

karyawan, pemegang saham mapun biaya penegakan hukum yang mahal.

Memperhatikan dampak negatif dari pembangunan dan

modernisasi, khususnya munculnya tindak pidana yang dilakukan oleh

korporasi dalam bidang lingkungan hidup, wajar jika pusat perhatian

penegakan hukum ditujukan pada upaya penanggulangannya. Salah satu

penanggulangannya yang masih dipermasalahkan adalah penggunaan sarana

hukum pidana. Permasalahan tersebut meliputi subjek korporasi yang

masih belum diakui secara tegas dalam hukum pidana. Dan kalaupun korporasi

diakui sebagai pelaku tindak pidana, bagaimana sistem pertanggungjawaban

pidananya mengingat korporasi bukanlah manusia yang mempunyai kesalahan,

baik berupa kesengajaan maupun kealpaan.

Di samping permasalahan tersebut di atas (pertanggungjawaban

pidana korporasi /corporate liability), permasalahan dalam bentuk lain adalah

pembuktian bentuk-bentuk pelanggaran di bidang lingkungan hidup yang

sangat sulit dan kompleks. Untuk mengatasi kesulitan dan kompleksitas

pembuktian tersebut muncul alternatif lain dalam hal pertanggungjawaban

pidana, yakni adanya asas pertanggungjawaban pidana terbatas/ketat (strict

liability) sebagai pengecualian dari asas kesalahan. Dalam asas strict liability si

pembuat sudah dapat dipidana apabila ia telah melakukan perbuatan

sebagaimana dirumuskan dalam undang- undang tanpa melihat bagaimana

sikap batinnya. Asas itu sering diartikan secara singkat sebagai

pertanggungjawaban tanpa kesalahan (liability without fault).

Dengan demikian, asas strict liability di atas yakni mengenai subjek

Page 11: Kode/Nama Rumpun Ilmu : 596 / Ilmu Hukum LAPORAN AKHIRilib.usm.ac.id/sipp/doc/penelitian/A017-20161004020602-LAPORANAKHI... · Surat Perjanjian Penugasan dalam Rangka Pelaksanaan

4

delik dan mengenai asas kesalahan, di dalam perkembangannya mengalami

perluasan. Terhadap subjek delik, dengan adanya perkembangan masyarakat,

dituntut adanya pengakuan terhadap korporasi sebagai pelaku dan dapat

dipertanggungjawabkan dalam hukum pidana (corporate liability).

Terhadap sistem pertanggungjawaban pidana, muncul asas strict liability

sebagai pengecualian dari asas kesalahan.

Munculnya sistem pertanggungjawaban pidana seperti tersebut di atas

tentu saja menimbulkan pertanyaan yang berkaitan dengan asas kesalahan

yang dianut hukum pidana selama ini. Harus diakui bahwa asas kesalahan

merupakan asas yang sangat fundamental dalam hukum pidana sehingga asas

itu sangat penting dan dianggap adil dalam mempertanggungjawabkan pelaku

delik. Dikatakan demikian, karena pidana hanya dapat dijatuhkan

kepada pelaku delik yang mempunyai kesalahan dan mampu bertanggung

jawab. Namun di pihak lain, karena kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi,

tampaknya penyimpangan terhadap asas kesalahan itu juga akan berpengaruh

terhadap hukum pidana. Apabila penyimpangan asas itu harus diterapkan,

akan timbul pertanyaan bagaimanakah perkembangan sistem

pertanggungjawaban pidana di era sekarang ini, bagaimana sistem

pertanggungjawaban pidana dalam hukum pidana nasional, pertanggungjawaban

pidana dalam hukum pidana nasional yang akan datang.

Oleh karena itu hukum pidana harus responsif untuk menanggulangi

tindak pidana di bidang lingkungan hidup yang dilakukan oleh korporasi dengan

menempatkannya sebagai subjek hukum dalam hukum pidana yang dapat

Page 12: Kode/Nama Rumpun Ilmu : 596 / Ilmu Hukum LAPORAN AKHIRilib.usm.ac.id/sipp/doc/penelitian/A017-20161004020602-LAPORANAKHI... · Surat Perjanjian Penugasan dalam Rangka Pelaksanaan

5

dipertanggungjawabkan sehingga memberikan efek jera (deterent effect). Harus

diakui pemidanaan terhadap pengurus korporasi sebagaimana dalam Pasal 59

KUHP tidak cukup untuk mengadakan represi terhadap tindak pidana yang

dilakukan korporasi.

Berdasarkan pertimbangan, bahwa masih sedikit kajian atau penelitian

dan literatur mengenai sistem pertanggungjawaban pidana terhadap korporasi

dalam bidang lingkungan hidup berdasarkan perspektif pendekatan asas strict

liability sebagai alternatif bentuk pertanggungjawaban pidana oleh korporasi

(corporate liability) sebagai pelaku tindak pidana di bidang lingkugan hidup,

sekaligus sebagai respon atas keadaan di atas dengan tujuan melengkapi literatur

maka penelitian ini mendapatkan urgensinya. Penelitian yang komprehensif, dan

dilakukan berdasarkan kajian normatif ini diharapkan dapat memberikan

gambaran yang jelas mengenai asas strict liability sebagai alternatif bentuk

pertanggungjawaban pidana oleh korporasi (corporate liability) sebagai pelaku

tindak pidana di bidang lingkungan hidup.

1.2. Rumusan Masalah

Bertolak dari hal tersebut jelas cakupannya sangat luas, guna

mencegah luasnya cakupan tersebut, dan untuk memudahkan pembahasan maka

permasalahan dalam penelitian ini dapat dirumuskan sebagai berikut :

1. Bagaimanakah kedudukan korporasi sebagai subjek hukum (pelaku

tindak pidana) dalam bidang lingkungan hidup?

2. Bagaimana sistem pertanggungjawaban pidana terhadap korporasi

sebagai pelaku tindak pidana di bidang lingkungan hidup berdasarkan

asas strict liability?

Page 13: Kode/Nama Rumpun Ilmu : 596 / Ilmu Hukum LAPORAN AKHIRilib.usm.ac.id/sipp/doc/penelitian/A017-20161004020602-LAPORANAKHI... · Surat Perjanjian Penugasan dalam Rangka Pelaksanaan

6

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Landasan Pemahaman tentang Pertanggungjawaban Pidana

Pembicaraan mengenai pertanggungjawaban pidana tidak dapat

dilepaskan dari pembicaraan mengenai perbuatan pidana. Orang tidak

mungkin dipertanggungjawabkan untuk dipidana, apabila ia tidak melakukan

tindak pidana. Para penulis sering menggambarkan bahwa dalam

menjatuhkan pidana unsur “tindak pidana” dan “pertanggungjawaban pidana”

harus dipenuhi. Gambaran itu dapat dilihat dalam bentuk skema berikut:

Tindak Pidana + Pertanggungjawaban = Pidana

Unsur tindak pidana dan kesalahan (kesengajaan) adalah unsur

yang sentral dalam hukum pidana. Unsur perbuatan pidana terletak dalam

lapangan objektif yang diikuti oleh unsur sifat melawan hukum,

sedangkan unsur pertanggungjawaban pidana merupakan unsur

subjektif yang terdiri dari kemampuan bertanggung jawab dan adanya

kesalahan (kesengajaan dan kealpaan). Sebelum membicarakan mengenai

pertanggungjawaban yang terletak di lapangan subjektif tersebut, terlebih

dahulu akan dibicarakan mengenai pengertian dan unsur-unsur tindak pidana.

Page 14: Kode/Nama Rumpun Ilmu : 596 / Ilmu Hukum LAPORAN AKHIRilib.usm.ac.id/sipp/doc/penelitian/A017-20161004020602-LAPORANAKHI... · Surat Perjanjian Penugasan dalam Rangka Pelaksanaan

7

2.1.1. Pengertian dan Unsur-unsur Tindak Pidana

Di dalam pasal-pasal KUHP maupun Undang-Undang di luar

KUHP tidak ditemukan satu pun pengertian mengenai tindak pidana,

padahal pengertian tindak pidana itu sangat penting untuk dipahami agar

dapat diketahui unsur-unsur yang terkandung di dalamnya. Unsur-unsur

tindak pidana tersebut merupakan indikator atau tolok ukur dalam

memutuskan apakah perbuatan seseorang dapat dikualifikasikan sebagai

perbuatan pidana atau tidak. Apabila perbuatan seseorang telah

memenuhi unsur-unsur perbuatan pidana, tentu ia dapat dipidana.

Demikian pula sebaliknya, jika unsur itu tidak dipenuhi, orang tersebut

tidak akan dipidana. Karena tidak terdapat di dalam perundang-undangan,

para ahli hukum mencoba memberikan pengertian dan unsur-unsur dari

perbuatan pidana tersebut. Berikut akan diuraikan pendapat beberapa

ahli hukum tersebut.

Moeljatno mendefinisikan perbuatan pidana sebagai perbuatan

yang dilarang oleh suatu aturan hukum, larangan mana disertai ancaman

(sanksi) yang berupa pidana tertentu bagi barang siapa melanggar

larangan tersebut. Larangan ditujukan kepada perbuatan (suatu keadaan

atau kejadian yang ditimbulkan oleh kelakuan orang), sedangkan

ancaman pidana ditujukan kepada orang yang menimbulkan kejadian

itu.3

3 Moljatno, Asas-asas Hukum Pidana, Cetakan Kedua, (Jakarta: Bina Aksara, 1984),

Page 15: Kode/Nama Rumpun Ilmu : 596 / Ilmu Hukum LAPORAN AKHIRilib.usm.ac.id/sipp/doc/penelitian/A017-20161004020602-LAPORANAKHI... · Surat Perjanjian Penugasan dalam Rangka Pelaksanaan

8

Simons mengartikan perbuatan pidana (delik) sebagai suatu

tindakan melanggar hukum yang telah dilakukan dengan sengaja

ataupun tidak sengaja oleh seseorang yang dapat dipertanggungjawabkan

atas tindakannya dan oleh undang-undang telah dinyatakan sebagai suatu

perbuatan atau tindakan yang dapat dihukum. 4 Dari definisi Simons

tersebut dapat disimpulkan bahwa unsur-unsur perbuatan pidana terdiri

dari (1) perbuatan manusia (positif atau negatif; berbuat atau tidak

berbuat); (2) diancam dengan pidana; (3) melawan hukum; (4)

dilakukan dengan kesalahan; dan (5) oleh orang yang mampu

bertanggung jawab.

Van Hamel menguraikan perbuatan pidana sebagai perbuatan

manusia yang dirumuskan oleh undang-undang, melawan hukum

(patut atau bernilai untuk dipidana) dan dapat dicela karena

kesalahan.5

Dari definisi tersebut dapat dilihat unsur- unsurnya, yaitu (1)

perbuatan manusia yang dirumuskan dalam undang-undang; (2) melawan

hukum; (3) dilakukan dengan kesalahan; dan (4) patut dipidana.

Selanjutnya Vos memberikan definisi singkat mengenai perbuatan

pidana yang disebutkan straafbaarfeit, yaitu kelakuan atau tingkah

laku manusia yang oleh peraturan perundang- undangan

diberikan pidana. Jadi, unsur-unsurnya adalah (1) kelakuan

halaman 54.4 Leden Marpaung, Unsur-unsur Perbuatan yang Dapat Dihukum (Deik), C etakan

Pertama, (Jakarta: Sinar Grafika, 1991), halaman 4.5 Sudarto, Hukum Pidana I, Cetakan kedua (Semarang: Yayasan Sudarto Fakultas

Hukum Universitas Diponegoro, 1990 ), halaman 41.

Page 16: Kode/Nama Rumpun Ilmu : 596 / Ilmu Hukum LAPORAN AKHIRilib.usm.ac.id/sipp/doc/penelitian/A017-20161004020602-LAPORANAKHI... · Surat Perjanjian Penugasan dalam Rangka Pelaksanaan

9

manusia; dan (2) diancam pidana dalam undang- undang.6

Sementara itu Pompe memberikan dua macam definisi terhadap

perbuatan pidana, yaitu yang bersifat teoretis dan yang bersifat

perundang-undangan. Menurut Pompe, dari segi definisi teoretis,

perbuatan pidana ialah pelanggaran normal/ kaidah/ tata hukum, yang

diadakan karena kesalahan pelanggar, dan yang harus diberikan

pidana itu dapat mempertahankan tata hukum dan menyelamatkan

kesejahteraan umum. Selanjutnya, menurut hukum positif, perbuatan

pidana ialah suatu peristiwa yang oleh undang- undang ditentukan

mengandung perbuatan dan pengabaian atau tidak berbuat. Tidak

berbuat biasanya dilakukan di dalam beberapa keadaan yang merupakan

bagian suatu peristiwa. Uraian perbuatan dan keadaan yang ikut serta

itulah yang disebut uraian delik.7

Berdasarkan beberapa rumusan tentang pengertian perbuatan

pidana tersebut di atas, menurut hemat penulis, tepat apa yang

disimpulkan oleh Moljatno mengenai unsur atau elemen yang harus ada

dalam suatu perbuatan pidana. Unsur atau elemen tersebut adalah

sebagai berikut:

a) Kelakuan dan akibat (perbuatan).b) Hal atau keadaan yang menyertai perbuatan.c) Keadaan tambahan yang memberatka pidana.d) Unsur melawan hukum yang objektif.e) Unsur melawan hukum yang subjektif. 8

6 A. Zainal Abidin Farid, Hukum Pidana I, Cetakan Pertama, (Jakarta: Sinar Grafika,1995), halaman 225.

7 Ibid., halaman 226.8 Moeljatno, Op. Cit., halaman 63.

Page 17: Kode/Nama Rumpun Ilmu : 596 / Ilmu Hukum LAPORAN AKHIRilib.usm.ac.id/sipp/doc/penelitian/A017-20161004020602-LAPORANAKHI... · Surat Perjanjian Penugasan dalam Rangka Pelaksanaan

10

Lima unsur atau elemen tersebut di atas pada dasarnya dapat

diklasifikasikan ke dalam dua unsur pokok, yaitu unsur pokok objektif

dan unsur pokok subjektif.

a. Unsur Pokok Objektif.

1. Perbuatan manusia yang termasuk unsur pokok objektif

adalah sebagai berikut:

a) Act ialah perbuatan aktif yang disebut juga perbuatan

positif, dan

b) Ommission, ialah tidak aktif berbuat dan disebut juga

perbuatan negatif.

2. Akibat perbuatan manusia.

Hal itu erat hubungannya dengan kausalitas. Akibat yang

dimaksud adalah membahayakan atau menghilangkan

kepentingan-kepentingan yang dipertahankan oleh hukum,

misalnya nyawa, badan, kemerdekaan, hak milik/

harta benda, atau kehormatan.

3. Keadaan-keadaan yang menyertai perbuatan.

Pada umumnya keadaan-keadaan ini dibedakan atas:

a. Keadaan pada saat perbuatan dilakukan; dan

b. Keadaan setelah perbuatan dilakukan.

4. Sifat dapat dihukum dan sifat melawan hukum.

Sifat dapat dihukum itu berkenaan dengan alasan-alasan

yang membebaskan terdakwa dari hukuman. Sifat melawan

Page 18: Kode/Nama Rumpun Ilmu : 596 / Ilmu Hukum LAPORAN AKHIRilib.usm.ac.id/sipp/doc/penelitian/A017-20161004020602-LAPORANAKHI... · Surat Perjanjian Penugasan dalam Rangka Pelaksanaan

11

hukum bertentangan dengan hukum yakni berkenaan

dengan larangan atau perintah.

b. Unsur Pokok Subjektif

Asas pokok hukum pidana ialah “tak ada hukuman

kalau tak ada kesalahan” (an act does not make guilty unless

the mind is guilty, actus not facit reum nisi mens sit rea).

Kesalahan dimaksud di sini adalah sengaja

(intention/dolus/opzet) dan kealpaan (negligent/schuld).

1. Kesengajaan

Menurut para pakar, ada tiga bentuk kesengajaan, yaitu :

a. Kesengajaan sebagai maksud.

b. Kesengajaan dengan sadar kepastian

c. Kesengajaan dengan sadar kemungkinan (dolus

eventualis).

2. Kealpaan, adalah bentuk kesalahan yang lebih ringan

dari pada kesengajaan. Ada dua bentuk kealpaan, yaitu:

a. Tidak berhati-hati; dan

b. Tidak menduga-duga akibat perbuatan itu.9

9 Leden Marpaung, Op.Cit., halaman 6-7.

Page 19: Kode/Nama Rumpun Ilmu : 596 / Ilmu Hukum LAPORAN AKHIRilib.usm.ac.id/sipp/doc/penelitian/A017-20161004020602-LAPORANAKHI... · Surat Perjanjian Penugasan dalam Rangka Pelaksanaan

12

2.1.2. Perbuatan atau Tindakan

Perbuatan pidana dapat diwujudkan dengan kelakuan aktif atau

positif, sesuai dengan uraian delik yang mensyaratkannya, misalnya,

mencuri atau menipu. Perbuatan demikian dinamakan delictum

commissionis. Ada juga ketentuan undang-undang yang mensyaratkan

kelakuan pasif atau negatif, seperti Pasal 164-165, 224, 523, 529, dan

631 KUHP. Delik-delik semacam itu terwujud dengan mengabaikan

apa yang diperintahkan oleh undang-undang untuk dilakukan yang

disebut Delictum omissionis. Di samping itu, ada juga delik yang dapat

diwujudkan dengan berbuat negatif yang dinamakan delicta commissionis

per omnissionem commissa. Delik demikian terdapat dalam Pasal 341

KUHP, yaitu seorang ibu dengan sengaja menghilangkan nyawa

anaknya dengan jalan tidak memberikannya makanan. Pasal 194 juga

mengandung delik demikian, yaitu seorang penjaga pintu kereta api yang

dengan sengaja tidak menutup pintu kereta api pada waktunya,

sehingga menyebabkan terjadinya kecelakaan lalu lintas.

Apakah arti kelakuan atau tingkah laku manusia itu?

Beberapa ahli hukum telah mencoba memberikan pengertian

kelakuan atau tingkah laku tersebut. Pendapat Simons dan Van

Hamel mengenai kelakuan atau tingkah laku dapat dijumpai di

dalam beberapa literatur hukum pidana. Menurut Simons dan Van

Hamel, kelakuan (handeling) positif adalah gerakan otot yang

Page 20: Kode/Nama Rumpun Ilmu : 596 / Ilmu Hukum LAPORAN AKHIRilib.usm.ac.id/sipp/doc/penelitian/A017-20161004020602-LAPORANAKHI... · Surat Perjanjian Penugasan dalam Rangka Pelaksanaan

13

dikehendaki yang diadakan untuk menimbulkan suatu akibat.10

Rumusan “gerakan otot yang dikehendaki” itu ditentang oleh

Pompe. Menurut Pompe, bagaimanapun pentingnya gerakan otot itu jika

dipandang dari sudut psikologi, untuk hukum pidana dan ilmu hukum

pidana, hal itu tidak mempunyai arti. Ada kalanya untuk mengadakan

perbuatan pidana tidak diperlukan adanya gerakan otot, misalnya

Pasal 111 KUHP, yakni mengadakan hubungan dengan negara asing.

Hal itu cukup dilakukan dengan sikap badan atau pandangan mata

tertentu. Menurut Pompe, makna kelakuan dapat ditentukan dengan 3

ayat suatu kejadian yang ditimbulkan oleh seseorang, yang nampak

keluar, dan yang diarahkan kepada tujuan yang menjadi objek hukum.

Moeljatno tidak menyetujui pendapat Pompe tersebut

dengan menyatakan alasan sebagai berikut:

Apakah rumusan Pompe dapat kita terima? Hemat sayatidak. Sebab dengan demikian titik berat makna pengertiandiletakkan pada kejadian, yaitu akibatnya kelakuan, halmana justru kita pisahkan dari pengertian kelakuan. Lainhalnya kalau melihat formularing Mezger, yang di sampingadanya “Willens-grundlage” juga mensyaratkan adanya“gerakan jasmani beserta akibat-akibatnya”.11

Selanjutnya Moeljatno tidak memasukkan tiga macam aktivitas

ke dalam arti kelakuan, yaitu:

a. Sikap jasmani yang sama sekali pasif, yang tidakdikehendaki, karena orang itu dipaksa oleh orang lain(berada dalam daya paksa, Overmacht, compulsion.

b. Gerakan refleks; dan

10 Moeljatno, Op.Cit, halaman 83-87.11Ibid., halaman 84.

Page 21: Kode/Nama Rumpun Ilmu : 596 / Ilmu Hukum LAPORAN AKHIRilib.usm.ac.id/sipp/doc/penelitian/A017-20161004020602-LAPORANAKHI... · Surat Perjanjian Penugasan dalam Rangka Pelaksanaan

14

c. Sikap jasmani yang terwujud karena keadaan tak sadar,seperti mengigau, terhipnotis, dan mabuk.12

Akhirnya Moeljatno berkesimpulan bahwa pendapatnya

sesuai dengan pendapat Mezger, karena ketiga sikap jasmani tersebut

di atas tidak didukung oleh suatu kehendak atau terwujud bukan karena

bekerjanya kehendak. Beliau lebih menyetujui pendapat Vos, karena:

a. Pandangan Vos lebih mudah dipahami; dan

b. Pandangan Vos bukan hanya menyangkut kelakuan

positif, tetapi juga meliputi kelakuan negatif.

2.1.3. Unsur Melawan Hukum

Salah satu unsur perbuatan pidana adalah unsur sifat

melawan hukum. Unsur itu merupakan suatu penilaian objektif terhadap

perbuatan dan bukan terhadap si pembuat. Bilamana suatu perbuatan

itu dikatakan melawan hukum? Orang akan menjawab, apabila perbuatan

itu masuk dalam rumusan delik sebagaimana dirumuskan dalam undang-

undang. Jawaban itu tidak salah. Akan tetapi, perbuatan yang

memenuhi rumusan delik itu tidak senantiasa bersifat melawan hukum.

Mungkin ada yang menghilangkan sifat melawan hukumnya perbuatan

tersebut.

Contoh kasus menghilangkan sifat melawan hukum, yaitu (1) regu

tembak yang menembak mati seorang terhukum yang dijatuhi pidana

mati, memenuhi unsur-unsur Pasal 338 KUHP, akan tetapi perbuatan

mereka tidak melawan hukum karena mereka menjalankan perintah

12 Ibid., halaman 85.

Page 22: Kode/Nama Rumpun Ilmu : 596 / Ilmu Hukum LAPORAN AKHIRilib.usm.ac.id/sipp/doc/penelitian/A017-20161004020602-LAPORANAKHI... · Surat Perjanjian Penugasan dalam Rangka Pelaksanaan

15

jabatan yang sah (Pasal 51 ayat (1) KUHP); (2) jaksa menahan orang

yang dicurigai telah melakukan kejahatan, ia tidak dapat dikatakan

melanggar pasal 333 KUHP karena ia melaksanakan undang-undang

sehingga tidak ada unsur sifat melawan hukum (Pasal 50 KUHP).

Pada umumnya para ahli hukum membagi sifat melawan hukum

itu ke dalam dua macam, yaitu :

a. sifat melawan hukum formil; dan

b. sifat melawan hukum materiel.

Menurut ajaran sifat melawan hukum formil, yang dikatakan

melawan hukum apabila suatu perbuatan telah mencocoki semua

unsur yang termuat dalam rumusan deilik. Jika ada alasan-alasan

pembenar, alasan-alasan tersebut harus juga disebutkan secara tegas

dalam undang-undang. Jadi, menurut ajaran ini melawan hukum sama

dengan melawan undang-undang (hukum tertulis).

Menurut ajaran sifat melawan hukum materiel, di samping

memenuhi syarat-syarat formil, yaitu mencocoki semua unsur yang

tercantum dalam rumusan delik, perbuatan itu harus benar-benar

dirasakan oleh masyarakat sebagai perbuatan yang tidak patut atau

tercela. Karena itu pula ajaran ini mengakui alasan-alasan

pembenar di luar undang-undang. Dengan perkataan lain, alasan

pembenar dapat berada pada hukum yang tidak tertulis.

Dari kedua ajaran tentang sifat melawan hukum tersebut

(formil dan materiel) dapat disimpulkan bahwa, apabila suatu perbuatan

Page 23: Kode/Nama Rumpun Ilmu : 596 / Ilmu Hukum LAPORAN AKHIRilib.usm.ac.id/sipp/doc/penelitian/A017-20161004020602-LAPORANAKHI... · Surat Perjanjian Penugasan dalam Rangka Pelaksanaan

16

itu memenuhi rumusan delik, itu merupakan tanda atau indikasi bahwa

perbuatan itu bersifat melawan hukum. Akan tetapi, sifat itu hapus

apabila diterobos dengan adanya alasan pembenar. Mereka yang

menganut ajaran sifat melawan hukum formil berpendapat bahwa alasan

pembenar itu hanya boleh diambil dari hukum positif yang tertulis,

sedangkan penganut ajaran sifat melawan hukum materiil

berpendapat bahwa alasan itu boleh diambil dari luar hukum yang

tertulis.

Moeljatno mengemukakan perbedaan pandangan yang

dengan pandangan formil adalah:

1. Mengakui adanya pengecualian/ penghapusan dari sifatmelawan hukumnya perbuatan menurut hukum yangtertulis dan yang tidak tertulis, sedangkan pandanganyang formal hanya mengakui pengecualian yang tersebutdalam undang-undang hanya mengakui pengecualianyang tersebut dalam undang-undang saja.

2. Sifat melawan hukum adalah unsur mutlak dari tiap-tiapperbuatan pidana, juga bagi yang dalam rumusannyatidak menyebut unsur-unsur tersebut; sedang bagipandangan yang formal, sifat tersebut tidak selalumenjadi unsur deik. Hanya jika dalam rumusan delikdisebutkan dengan nyata-nyata, barulah menjadi unsurdelik. 13

Dengan mengakui bahwa sifat melawan hukum selalu

menjadi unsur perbuatan pidana, ini tidak berarti bahwa karena itu

harus selalu dibuktikan adanya unsur tersebut oleh penuntut umum.

Soal apakah harus dibuktikan atau tidak, adalah tergantung dari

rumusan delik, yaitu apakah dalam rumusan unsur tersebut.

13 Ibid., halaman 134

Page 24: Kode/Nama Rumpun Ilmu : 596 / Ilmu Hukum LAPORAN AKHIRilib.usm.ac.id/sipp/doc/penelitian/A017-20161004020602-LAPORANAKHI... · Surat Perjanjian Penugasan dalam Rangka Pelaksanaan

17

Disebutkan dengan nyata-nyata. Jika dalam rumusan delik

unsur tersebut tidak dinyatakan, maka juga tidak perlu dibuktikan. Pada

umumnya dalam perundang-undangan kita, lebih banyak delik yang tidak

memuat unsur melawan hukum di dalam rumusannya.

Sifat melawan hukum materiel itu dapat dibedakan ke dalam dua

macam fungsi, yaitu :

a. Fungsi negatif; dan

b. Fungsi positif.

Ajaran sifat melawan hukum material dalam fungsinya yang

negatif mengakui kemungkinan adanya hal-hal yang ada di luar undang-

undang mempunyai kekuatan menghapus sifat melawan hukumnya

perbuatan yang memenuhi rumusan undang-undang. Jadi, hal itu

sebagai alasan penghapus sifat melawan hukum.

Pengertian sifat melawan hukum yang materiel dalam

fungsinya yang positif menganggap bahwa suatu perbuatan tetap

sebagai suatu delik, meskipun tidak nyata diancam dengan pidana dalam

undang-undang, apabila bertentangan dengan hukum atau ukuran-

ukuran lain yang ada di luar undang-undang. Jadi, harus diakui

bahwa hukum yang tak tertulis merupakan sumber hukum positif.

2.1.4. Pengertian Kesalahan

Dipidananya seseorang tidaklah cukup apabila orang itu telah

melakukan perbuatan yang bertentangan dengan hukum atau bersifat

melawan hukum. Jadi meskipun perbuatannya memenuhi rumusan

Page 25: Kode/Nama Rumpun Ilmu : 596 / Ilmu Hukum LAPORAN AKHIRilib.usm.ac.id/sipp/doc/penelitian/A017-20161004020602-LAPORANAKHI... · Surat Perjanjian Penugasan dalam Rangka Pelaksanaan

18

delik dalam undang-undang dan tidak dibenarkan, hal tersebut belum

memenuhi syarat untuk penjatuhan pidana. Untuk pemidanaan masih

perlu adanya syarat, yaitu bahwa orang yang melakukan perbuatan itu

mempunyai kesalahan atau bersalah (subjective guilt).

Di sini berlaku apa yang disebut asas “Tiada Pidana Tanpa

Kesalahan” (Keine Strafe ohne Schuld atau Geen straf zonder schuld

atau Nulla Poena Sine Culpa (“culpa” di sini dalam arti luas,

meliputi juga kesengajaan). Asas ini tidak tercantum dalam KUHP

Indonesia atau dalam peraturan lain, namun berlakunya asas tersebut

sekarang tidak diragukan. Akan bertentangan dengan rasa keadilan,

apabila ada orang yang dijatuhi pidana padahal ia sangat sekali tidak

bersalah.

Untuk adanya pemidanaan harus ada kesalahan harus ada

kesalahan pada sipembuat. Asas “tiada pidana tanpa kesalahan” yang

telah disebutkan di atas mempunyai sejarahnya sendiri. Dalam

ilmu hukum pidana dapat dilihat pertumbuhan dari hukum pidana

yang menitikberatkan kepada perbuatan orang beserta akibatnya

(Tatstrafrecht atau Erfolgstrafrecht) ke arah hukum pidana yang berpijak

pada orang yang melakukan tindak pidana (taterstrafrecht), tanpa

meninggalkan sama sekali sifat dari Tatstrafrecht. Dengan demikian

hukum pidana yang ada dewasa ini dapat disebut sebagai ”Tat-

Taterstrafrecht”, ialah hukum pidana yang berpijak pada perbuatan

maupun orangnya. Hukum pidana dewasa ini dapat pula disebut

Page 26: Kode/Nama Rumpun Ilmu : 596 / Ilmu Hukum LAPORAN AKHIRilib.usm.ac.id/sipp/doc/penelitian/A017-20161004020602-LAPORANAKHI... · Surat Perjanjian Penugasan dalam Rangka Pelaksanaan

19

sebagai Sculdstrafrecht, artinya bahwa untuk penjatuhan pidana

disyaratkan adanya kesalahan pada sipembuat.

Dari apa yang telah disebutkan di atas, maka dapat

dikatakan bahwa kesalahan terdiri atas beberapa unsur, ialah:

a. Adanya kemampuan bertanggung jawabpada sipembuat (Schuldfahigkeit atauZurechnungsfahigkeit); artinya keadaan jiwa sipembuatharus normal.

b. Hubungan batin antara sipembuat dengan perbuatannya,yang berupa kesengajaan (dolus) atau kealpaan (culpa):ini disebut bentuk-bentuk kesalahan.

c. Tidak adanya alasan yang menghapus kesalahan atau tidakada alasan pemaaf.

Kalau ketiga-tiga unsur ada maka orang yang bersangkutan bisa

dinyatakan bersalah atau mempunyai pertanggung jawab pidana,

sehingga bisa di pidana.14 Dalam pada itu harus diingatkan bahwa

untuk adanya kesalahan dalam arti seluas-luasnya

(pertanggungjawaban pidana), orang yang bersangkutan harus

dinyatakan lebih dulu bahwa perbuatannya bersifat melawan hukum.

2.2. Doktrin Strict Liability dalam Hukum Pidana

Strict Liability adalah pertanggungjawaban tanpa kesalahan

(liability without fault). Hal itu berarti bahwa si pembuat sudah dapat

dipidana jika ia telah melakukan perbuatan sebagaimana yang telah

dirumuskan dalam Undang- Undang tanpa melihat bagaimana sikap batinnya.

Konsep Strict liability merupakan penyimpangan dari asas kesalahan yang

14 Sudarto, op cit. halaman 91.

Page 27: Kode/Nama Rumpun Ilmu : 596 / Ilmu Hukum LAPORAN AKHIRilib.usm.ac.id/sipp/doc/penelitian/A017-20161004020602-LAPORANAKHI... · Surat Perjanjian Penugasan dalam Rangka Pelaksanaan

20

dirumuskan dalam pasal 38 ayat (1) RUU KUHP. Bunyi rumusannya adalah

sebagai berikut : “Bagi tindak pidana tertentu, undang-undang dapat

menentukan bahwa seseorang dapat di pidana semata- mata karena telah

dipenuhinya unsur-unsur tindak pidana tersebut tanpa memperhatikan adanya

kesalahan”.

Untuk memahami lebih jauh latar belakang dan alasan

dicantumkannya asas strict liability itu ke dalam konsep, dapat dilihat pada

penjelasannya berikut ini.:

Ketentuan dalam ayat ini merupakan suatu perkecualian terhadap asastiada pidana tanpa kesalahan. Oleh karena itu, tidak berlaku jugabagi semua tindak pidana, melainkan hanya untuk tindak pidanatertentu yang ditetapkan oleh undang-undang. Untuk tindak pidanatertentu tersebut, pembuat tindak pidananya telah dapat dipidanahanya karena telah dipenuhinya unsur-unsur tindak pidana olehperbuatannya. Di sini kesalahan pembuat tindak pidana dalammelakukan perbuatan tersebut tidak lagi diperhatikan. Asas inidikenal sebagai asas “strict liability”.

Strict liability ini pada awalnya berkembang dalam praktik peradilan di

Inggris. Sebagian hakim berpendapat asas mens- rea tidak dapat

dipertahankan lagi untuk setiap kasus pidana. Adalah tidak mungkin apabila

tetap berpegang teguh pada asas mens-rea untuk setiap kasus pidana dalam

ketentuan undang- undang modern sekarang ini. Oleh karena itu, perlu

dipertimbangkan untuk menerapkan strict liability terhadap kasus-kasus

tertentu. Praktek peradilan yang menerapkan strict liability itu ternyata

mempengaruhi legislatif dalam membuat undang-undang.

Sering dipersoalkan, apakah strict liability itu sama dengan

absolute liability. Mengenai hal itu ada dua pendapat. Pendapat pertama

Page 28: Kode/Nama Rumpun Ilmu : 596 / Ilmu Hukum LAPORAN AKHIRilib.usm.ac.id/sipp/doc/penelitian/A017-20161004020602-LAPORANAKHI... · Surat Perjanjian Penugasan dalam Rangka Pelaksanaan

21

menyatakan strict liability merupakan absolute liability. Alasan atau dasar

pemikirannya ialah seseorang yang telah melakukan perbuatan terlarang

(actus reus) sebagaimana dirumuskan dalam undang-undang sudah dapat

dipidana tanpa mempersoalkan apakah si pelaku mempunyai kesalahan

(mens rea) atau tidak. Jadi seseorang yang sudah melakukan perbuatan pidana

menurut rumusan undang-undang yang sudah melakukan perbuatan

pidana menurut rumusan undang-undang harus atau mutlak dapat dipidana.

Pendapat kedua menyatakan Strict liability bukan Absolute liability. Artinya,

orang yang telah melakukan perbuatan terlarang menurut undang-undang tidak

harus atau belum tentu dipidana. Kedua pendapat itu antara lain, dikemukakan

juga oleh Smith dan Brian Hogan, yang dikutip oleh Barda Nawawi Arief.

Ada dua alasan yang dikemukakan oleh mereka, yaitu :

a. Suatu tindak pidana dapat dipertanggungjawabkan secara Strictliability apabila tidak ada mens rea yang perlu dibuktikansebagai satu-satunya unsur untuk actus reus yang bersangkutan.Unsur utama atau unsur satu-satunya itu biasanya merupakansalah satu ciri utama, tetapi sama sekali tidak berarti bahwamens rea itu tidak disyaratkan sebagai unsur pokok yang tetap adauntuk tindak pidana itu. Misalnya, A dituduh melakukantindak pidana “menjual daging yang tidak layak untukdimakan karena membahayakan kesehatan atau jiwa oranglain”. Tindak pidana ini menurut hukum Inggris termasuktindak pidana yang dapat dipertanggungjawabkan secara strictliability. Dalam hal itu tidak perlu dibuktikan bahwa Amengetahui daging itu tidak layak untuk dikonsumsi, tetapitetap harus dibuktikan, bahwa sekurang-kurangnya A memangmenghendaki (sengaja) untuk menjual daging itu. Jadi jelasdalam hal itu Strict liability tidak bersifat absolut.

b. Dalam kasus-kasus strict liability memang tidak dapatdiajukan alasan pembelaan untuk “kenyataan khusus” (particularfact) yang menyatakan terlarang menurut undang- undang.Misalnya, dengan mengajukan “reasonable mistake”. Kitatetap dapat mengajukan alasan pembelaan untuk keadaan-keadaan lainnya. Contoh lain, misal dalam kasus “mengendarai

Page 29: Kode/Nama Rumpun Ilmu : 596 / Ilmu Hukum LAPORAN AKHIRilib.usm.ac.id/sipp/doc/penelitian/A017-20161004020602-LAPORANAKHI... · Surat Perjanjian Penugasan dalam Rangka Pelaksanaan

22

kendaraan yang membahayakan” (melampaui batas maksimum),dapat diajukan alasan pembelaan bahwa dalam mengenaikendaraan itu ia berada dalam keadaan automatism. Misal lain, Amabuk-mabukan di rumahnya sendiri. Akan tetapi dalamkeadaan tidak sadar (pingsan), A diangkat oleh kawan-kawannya dan diletakkan di jalan raya. Dalam hal itu memangada Strict liability, yaitu berada di jalan raya dalam keadaanmabuk, tetapi A dapat mengajukan pembelaan berdasarkanadanya compulsion. Jadi, dalam hal itu pun Strict liabilitybukanlah absolute liability.15

Di dalam Ilmu hukum pidana terdapat perbedaan pendapat

mengenai doktrin strict liability. Sebagian pendapat menyatakan bahwa

prinsip “tidak terdapat kesalahan sama sekali” harus dapat diterapkan,

kecuali apabila diterapkan kesalahan besar kepada si pelaku. Dipihak lain

menyatakan bahwa penerapan strict liability harus dibuat persyaratan yang

lebih ketat, tergantung dari kasus-kasus yang bersangkutan.16

Mardjono Reksodiputro dalam salah satu tulisannya memberikan jalan

keluar untuk membenarkan diterapkannya asas strict liability di Indonesia

yang menganut sistem Eropa Continental, yaitu :

Berhubung kita tidak mengenal ajaran Strict liability yang berasaldari system hukum Anglo-Amerika tersebut, maka sebagaialasan pembenar dapat dipergunakan ajaran feit materiel yang berasaldari system hukum Eropa Kontinental. Dalam kedua ajaran iniatidaklah penting adanya unsur kesalahan. Ajaran strict liabilityhanya dipergunakan untuk tindak pidana ringan (regulatoryoffences) yang hanya mengancam pidana denda, seperti padakebanyakan public welfare offences. Namun,karena kita telahmengambil alih konsep yang berasal dari system hukum yangberlainan akarnya kedalam system hukum di Indonesia, makamemerlukan ketekunan dari para ahli hukum pidana Indonesiauntukmenjelaskan konsep ini dengan mengkaitkannya pada asas-asas yang

15 Barda Nawawi Arief, Perbandingan Hukum Pidana, Cetakan Pertama, (Jakarta: PT.Raja Grafindo Persada, 2002), halaman 132-133.

16 L. H . C Hulsman, Sistem Peradilan Pidana dalam Perspektif PerbandinganHukum Pidana, Penyadur, Soedjono Dirdjosisworo, (Jakarta; CV: Rajawali Pers, 1984), halaman56.

Page 30: Kode/Nama Rumpun Ilmu : 596 / Ilmu Hukum LAPORAN AKHIRilib.usm.ac.id/sipp/doc/penelitian/A017-20161004020602-LAPORANAKHI... · Surat Perjanjian Penugasan dalam Rangka Pelaksanaan

23

sudah melembaga dalam hukum pidana Indonesia. 17

Alasan senada juga dikemukakan oleh Barda Nawawi Arief yang

menyatakan:

Karena strict liability ini sangat jauh menyimpang dari asas kesalahanmaka para ahli hukum pidana membatasi penerapannya hanya padadelik-delik tertentu saja. Kebanyakan strict liability terdapat padadelik-delik yang diatur dalam undang-undang (statutory offences;regulatory offences; mala prohibita) yang pada umumnya merupakandelik-delik terhadap kesejahteraan umum (public welfare offences).Termasuk regulatory offences misalnya penjualan makanan danminuman atau obat-obatan yang membahayakan, pencegahan terhadappolusi, penggunaan gambar dagang yang menyesatkan danpelanggaran lalulintas. 18

Dari uraian tersebut, dapat disimpulkan bahwa pertimbangan untuk

menerapkan asas strict liability disamping perbuatannya membahayakan

masyarakat juga pembuktiannya yang sangat sulit. Kriteria membahayakan

masyarakat itu tidak mesti harus tindak pidana yang serius (real crime),

akan tetapi juga meliputi “regulatory offences” seperti pelanggaran lalulintas,

pencemaran lingkungan, makanan, minuman dan obat-obatan yang tidak

memenuhi syarat kesehatan.

Muladi mengatakan bahwa “jika hukum pidana harus digunakan untuk

menghadapi masalah yang demikian rumitnya, sudah saatnya doktrin atas asas

strict liability digunakan dalam kasus-kasus pelanggaran terhadap peraturan

mengenai kesejahteraan umum”. Pembuktian kesalahan dalam

mempertanggungjawabkan pembuat bukan hal yang mudah. Jadi,

perumusan konsep strict liability dalam KUHP Indonesia merupakan jalan

17 Mardjono Reksodiputro, Kemajuan Pembangunan Ekonomi dan Kejahatan,PusatPelayanan Keadilan dan Pengabdian Hukum. (Jakarta: Universitas Indonesia, 1994),halaman 32.

18 Barda Nawawi Arief, Op.Cit, halaman 129.

Page 31: Kode/Nama Rumpun Ilmu : 596 / Ilmu Hukum LAPORAN AKHIRilib.usm.ac.id/sipp/doc/penelitian/A017-20161004020602-LAPORANAKHI... · Surat Perjanjian Penugasan dalam Rangka Pelaksanaan

24

pemecahan masalah kesulitan dalam pembuktian kesalahan dan

pertanggungjawaban pidana.19 Lebih jauh Muladi mengatakan bahwa

perumusan strict liability dalam KUHP baru merupakan refleksi dalam menjaga

keseimbangan kepentingan sosial. Dengan demikian, strict liability

merupakan konsep yang digunakan dan diarahkan untuk memberikan

perlindungan sosial dalam menjaga kepentingan masyarakat terhadap aktivitas-

aktivitas yang dapat menimbulkan kerugian bagi masyarakat, baik kerugian

fisik, ekonomi maupun social cost.20

Selanjutnya Barda Nawawi Arief memberikan kriteria batas- batas

yang harus diperhatikan apabila kita akan menerapkan asas strict liability

yang merupakan penyimpangan dari asas kesalahan. Batas-batas itu adalah:

1) Sejauh mana akibat-akibat yang ditimbulkan olehperkembangan delik-delik baru itu mengancam kepentinganumum yang sangat luas dan eksistensi pergaulan hidup sebagaitotalitas ?

2) Sejauh mana nilai-nilai keadilan berdasarkan Pancasilamembenarkan asas ketiadaan kesalahan sama sekali ? 21

Jadi inti masalahnya menurut Barda Nawawi Arief berkisar pada sejauh

mana makna kesalahan atau pertanggungjawaban pidana itu harus diperluas

dengan tetap mempertimbangkan keseimbangan antara kepentingan individu

dengan kepentingan masyarakat luas. Lebih jauh Barda Nawawi Arief

mengingatkan bahwa pertimbangan harus dilakukan dengan hati-hati sekali,

terlebih melakukan pelompatan yang drastis dari konsepsi kesalahan yang

19 Hamzah Hetrik, Asas Pertanggungjawaban Korporasi dalam Hukum Pidana,( Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada , 1996), halaman 38.

20 Ibid.21 Barda Nawawi Arief dan Muladi, Teori dan Kebijakan Pidana,( Bandung: Alumni, 1998),

halaman 141.

Page 32: Kode/Nama Rumpun Ilmu : 596 / Ilmu Hukum LAPORAN AKHIRilib.usm.ac.id/sipp/doc/penelitian/A017-20161004020602-LAPORANAKHI... · Surat Perjanjian Penugasan dalam Rangka Pelaksanaan

25

diperluas sedemikian rupa sampai pada konsepsi ketiadaan kesalahan

yang diperluas sedemikian rupa sampai pada konsepsi ketiadaan kesalahan

sama sekali. Hal yang terakhir itu merupakan akar yang paling dalam dari

nilai- nilai keadilan berdasarkan Pancasila.

Penerapan asas strict liability itu sangat penting terhadap kasus-kasus

tertentu yang menyangkut membahayakan sosial atau anti sosial,

membahayakan kesehatan dan keselamatan, serta moral public. Kasus-kasus

seperti pencemaran lingkungan hidup, perlindungan konsumen, serta yang

berkaitan dengan minuman keras, pemilikan senjata, dan pemilikan obat-

obatan terlarang, merupakan kasus yang sangat memungkinkan untuk

diterapkan strict liability.

Kasus pencemaran lingkungan, seperti kasus yang terjadi di Sidoarjo

sangat sulit bagi aparat penegak hukum untuk membuktikan kesalahan

terdakwa. Hal itu disebabkan untuk membuktikan hubungan kausal antara

perbuatan dengan akibat yang ditimbulkan tidaklah mudah. Karena jaksa tidak

dapat membuktikan kesalahan tersebut, akhirnya terdakwa dibebaskan oleh

hakim. Kesulitan yang serupa itu banyak terjadi pada kasus-kasus

lingkungan yang lain. Padahal, akibat yang ditimbulkan sangat merugikan

masyarakat. Disitu tampak betapa urgennya penerapan asas strict liability.

Jadi penerapan strict liability sangat erat kaitannya dengan ketentuan

tertentu dan terbatas. Agar lebih jelas apa yang menjadi landasan penerapan

strict liability crime, dapat dikemukakan patokan berikut :

1) Perbuatan itu tidak berlaku umum terhadap semua jenis

Page 33: Kode/Nama Rumpun Ilmu : 596 / Ilmu Hukum LAPORAN AKHIRilib.usm.ac.id/sipp/doc/penelitian/A017-20161004020602-LAPORANAKHI... · Surat Perjanjian Penugasan dalam Rangka Pelaksanaan

26

tindak pidana, tetapi sangat terbatas dan tertentu, terutama

mengenai kejahatan anti sosial atau yang membahayakan

sosial.

2) Perbuatan itu benar-benar bersifat melawan hukum

(unlawful) yang sangat bertentangan dengan kehati-hatian yang

diwajibkan hukum dan kepatutan.

3) Perbuatan tersebut dilarang dengan keras oleh undang- undang

karena dikategorikan sebagai aktivitas atau kegiatan yang

sangat potensial mengandung bahaya kepada kesehatan,

keselamatan, dan moral publik (a particular activity

potential danger of public health,safety or moral).

4) Perbuatan atau aktivitas tersebut secara keseluruhan

dilakukan dengan cara melakukan pencegahan yang sangat wajar

(unreasonable precausions).

2.3. Tinjauan tentang Tindak Pidana Lingkungan Hidup

Definisi tindak pidana menurut Moeljatno, adalah perbuatan yang oleh

suatu aturan hukum dilarang dan diancam pidana tertentu bagi barang siapa yang

melanggar larangan tersebut.22 Sementara, disebutkan Simons menyatakan, bahwa

tindak pidana adalah suatu tindakan melanggar hukum yang dilakukan dengan

sengaja ataupun tidak disengaja oleh seseorang yang dapat dipertangungjawabkan

22 Moeljatno, Op.Cit., halaman 54.

Page 34: Kode/Nama Rumpun Ilmu : 596 / Ilmu Hukum LAPORAN AKHIRilib.usm.ac.id/sipp/doc/penelitian/A017-20161004020602-LAPORANAKHI... · Surat Perjanjian Penugasan dalam Rangka Pelaksanaan

27

atas tindakannya dan oleh undang-undang telah dinyatakan sebagai suatu

perbuatanatau tindakan yang dapat dihukum.23 Berdasarkan kedua pendapat

tersebut, pandangan Simons lebih luas dari pada pandangan Moeljatno dimana

Simons disebutkannya tindakan yang disengaja maupun yang tidak disengaja.

Tindak pidana lingkungan hidup, mencakup perbuatan disengaja maupun

yang tidak disengaja. Definisi tindak pidana lingkungan hidup di dalam Undang-

Undang No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan

Hidup (UUPPLH) tidak dapat ditemukan secara lengkap. Namun dapat dirujuk

kepada Pasal 97 UUPPLH yang menyebutkan bahwa, “Tindak pidana dalam

undang-undang ini merupakan kejahatan”. Ketentuan pidana sebagaimana diatur

dalam UUPPLH dimaksudkan untuk melindungi lingkungan hidup dengan

memberikan ancaman sanksi pidana. Untuk membahas tindak pidana lingkungan

tersebut perlu diperhatikan konsep dasar tindak pidana lingkungan hidup yang

ditetapkan sebagai tindak pidana umum (delic genus) dan mendasari

pengkajiannya pada tindak pidana khususnya (delic species).

Pengertian tindak pidana lingkungan sebagaimana diatur dalam Pasal 98

UUPPLH sampai dengan Pasal 115 UUPPLH, melalui metode konstruksi hukum

dapat diperoleh pengertian bahwa inti dari tindak pidana lingkungan (perbuatan

yang dilarang) adalah “mencemarkan atau merusak lingkungan”. Rumusan ini

dikatakan sebagai rumusan umum (genus) dan selanjutnya dijadikan dasar untuk

menjelaskan perbuatan pidana lainnya yang bersifat khusus (species), baik dalam

ketentuan yang terdapat dalam UUPPLH maupun dalam ketentuan undang-

23 Ibid.

Page 35: Kode/Nama Rumpun Ilmu : 596 / Ilmu Hukum LAPORAN AKHIRilib.usm.ac.id/sipp/doc/penelitian/A017-20161004020602-LAPORANAKHI... · Surat Perjanjian Penugasan dalam Rangka Pelaksanaan

28

undang lain (ketentuan sektoral di luar UUPPLH) yang mengatur perlindungan

hukum pidana bagi lingkungan hidup. Kata “mencemarkan” dengan

“pencemaran” dan “merusak” dengan “perusakan” adalah memiliki makna

substansi yang sama, yaitu tercemarnya atau rusaknya lingkungan. Tetapi

keduanya berbeda dalam memberikan penekanan mengenai suatu hal, yakni

dengan kalimat aktif dan dengan kalimat pasif (kata benda) dalam proses

menimbulkan akibat.24

Pengertian secara otentik mengenai istilah “pencemaran lingkungan

hidup”, dicantumkan pada Pasal 1 angka 14 UUPPLH yang perumusannya

sebagai berikut: “Pencemaran lingkungan hidup adalah masuk atau

dimasukkannya makhluk hidup, zat, energi, dan/atau komponen lain ke dalam

lingkungan hidup oleh kegiatan manusia sehingga melampaui baku mutu

lingkungan hidup yang telah ditetapkan.”

Adapun unsur dari pengertian “pencemaran lingkungan hidup”

sebagaimana diatur dalam Pasal 1 angka 14 UUPPLH, yaitu:

1. masuknya atau dimasukkannya:

- makhluk hidup,

- zat,

- energi,dan atau

- komponen lain

24 Mudzakir, Aspek Hukum Pidana Dalam Pelanggaran Lingkungan, dalam ErmanRajagukguk dan Ridwan Khairandy (ed), Hukum Lingkungan Hidup di Indonesia, 75 Tahun Prof.Dr. Koesnadi Hardjasoemantri, SH.,ML., (Jakarta Universitas Indonesia, 2001, ), halaman 527.

Page 36: Kode/Nama Rumpun Ilmu : 596 / Ilmu Hukum LAPORAN AKHIRilib.usm.ac.id/sipp/doc/penelitian/A017-20161004020602-LAPORANAKHI... · Surat Perjanjian Penugasan dalam Rangka Pelaksanaan

29

ke dalam lingkungan;

2. dilakukan oleh kegiatan manusia;

3. melampaui baku mutu lingkungan hidup yang telah ditetapkan.

Berdasarkan Pasal 20 ayat (1) UUPPLH dinyatakan bahwa penentuan

terjadinya pencemaran lingkungan hidup diukur melalui baku mutu lingkungan

hidup. Baku mutu lingkungan berdasarkan Pasal 1 angka (13) UUPPLH, yaitu:

“ukuran batas atau kadar makhluk hidup, zat, energi, atau komponen yang ada

atau harus ada dan/atau unsur pencemar yang ditenggang keberadaannya dalam

suatu sumber daya tertentu sebagai unsur lingkungan hidup.”.

Baku mutu lingkungan hidup, berdasarkan Pasal 20 ayat (2) UUPPLH,

meliputi:

a. Baku mutu air;

b. Baku mutu air limbah;

c. Baku mutu air laut;

d. Baku mutu udara ambien;

e. Baku mutu emisi;

f. Baku mutu gangguan, dan

g. Baku mutu lain sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan

teknologi.

Page 37: Kode/Nama Rumpun Ilmu : 596 / Ilmu Hukum LAPORAN AKHIRilib.usm.ac.id/sipp/doc/penelitian/A017-20161004020602-LAPORANAKHI... · Surat Perjanjian Penugasan dalam Rangka Pelaksanaan

30

Baku mutu air, baku mutu air laut, baku mutu udara ambien dan baku

mutu lain sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, diatur

dalam Peraturan Pemerintah. Sedangkan baku mutu air limbah, baku mutu emisi,

baku mutu gangguan, diatur dalam peraturan menteri negara lingkungan hidup.

Penjelasan Pasal 20 ayat (2) UUPPLH, memberikan penjelasan terhadap

baku mutu tersebut, sebagai berikut:

- “baku mutu air” adalah ukuran batas atau kadar makhluk hidup,zat, energi, atau komponen yang ada atau harus ada, dan/atau unsurpencemar yang ditenggang keberadaannya di dalam air.

- “baku mutu air limbah” adalah ukuran batas atau kadar polutan yangditenggang untuk dimasukkan ke media air .

- “baku mutu air laut” adalah ukuran batas atau kadar makhluk hidup, zat,energi, atau komponen yang ada atau harus ada dan/atau unsur pencemaryang ditenggang keberadaannya di dalam air laut.

- “baku mutu udara ambien” adalah ukuran batas atau kadar zat,energi, dan/atau komponen yang seharusnya ada, dan/atau unsurpencemar yang ditenggang keberadaannya dalam udara ambien.

- “baku mutu emisi” adalah ukuran batas atau kadar polutan yangditenggang untuk dimasukkan ke media udara.

- “baku mutu gangguan” adalah ukuran batas unsur pencemar yangditenggang keberadaannya yang meliputi unsur getaran, kebisingan, dankebauan.

Pengertian istilah “perusakan lingkungan hidup” secara otentik

dirumuskan dalam Pasal 1 angka 16 UUPPLH, yaitu “tindakan orang yang

menimbulkan perubahan langsung atau tidak langsung terhadap sifat fisik, kimia,

dan/atau hayati lingkungan hidup sehingga melampaui kriteria baku kerusakan

lingkungan hidup.”.

Page 38: Kode/Nama Rumpun Ilmu : 596 / Ilmu Hukum LAPORAN AKHIRilib.usm.ac.id/sipp/doc/penelitian/A017-20161004020602-LAPORANAKHI... · Surat Perjanjian Penugasan dalam Rangka Pelaksanaan

31

Adapun unsur-unsur “perusakan lingkungan hidup”, sebagaimana

terkandung dalam Pasal 1 angka 16 UUPPLH, yaitu:

1. adanya tindakan;

2. menimbulkan:

- perubahan langsung atau

- tidak langsung terhadap sifat fisik dan/atau hayati lingkungan;

3. melampaui kriteria baku kerusakan lingkungan hidup.

Berdasarkan Pasal 21 ayat (1) UUPPLH dinyatakan bahwa untuk

menentukan terjadinya kerusakan lingkungan, ditetapkan kriteria baku kerusakan

lingkungan hidup. Baku kerusakan lingkungan hidup, berdasarkan Pasal 1 angka

15 UUPPLH, yaitu ukuran batas perubahan sifat fisik, kimia, dan/atau hayati

lingkungan hidup yang dapat ditenggang oleh lingkungan hidup untuk dapat tetap

melestarikan fungsinya. Baku kerusakan lingkungan hidup berdasarkan Pasal 21

ayat (2) UUPPLH, meliputi baku kerusakan ekosistem dan kriteria baku

kerusakan akibat perubahan iklim. Ketentuan mengenai kriteria baku kerusakan

ekosistem dan kriteria baku kerusakan akibat perubahan iklim, diatur dalam

peraturan pemerintah.

Kriteria baku kerusakan ekosistem menurut Pasal 21 ayat (3) UUPPLH,

meliputi:

a. kriteria baku kerusakan tanah untuk produksi biomassa;

b. kriteria baku kerusakan terumbu karang;

c. kriteria baku kerusakan lingkungan hidup yang berkaitan dengankebakaran hutan dan/atau lahan;

Page 39: Kode/Nama Rumpun Ilmu : 596 / Ilmu Hukum LAPORAN AKHIRilib.usm.ac.id/sipp/doc/penelitian/A017-20161004020602-LAPORANAKHI... · Surat Perjanjian Penugasan dalam Rangka Pelaksanaan

32

d. kriteria baku kerusakan mangrove;

e. kriteria baku kerusakan padang lamun;

f. kriteria baku kerusakan gambut;

g. kriteria baku kerusakan karst; dan/atau

h. kriteria baku kerusakan ekosistem lainnya sesuai dengan perkembangan

ilmu pengetahuan dan teknologi.

Selanjutnya, kriteria baku kerusakan akibat perubahan iklim menurut

Pasal 21 ayat (4) UUPPLH, didasarkan pada parameter antara lain:

a. kenaikan tempratur;

b. kenaikan muka air laut;

c. badai; dan/atau

d. kekeringan.

Penjelasan Pasal 21 ayat (3) UUPPLH memberikan penjelasan terhadap

maksud “produksi biomassa”, “kriteria baku kerusakan tanah untuk produksi

biomassa”, “kriteria baku kerusakan terumbu karang”, dan “kerusakan lingkungan

hidup yang berkaitan dengan kebakaran hutan dan/atau lahan”.

- “produksi biomassa” adalah bentuk-bentuk pemanfaatan sumber dayatanah untuk menghasilkan biomassa.

- “kriteria baku kerusakan tanah untuk produksi biomassa” adalah ukuranbatas perubahan sifat dasar tanah yang dapat ditenggang berkaitandengan kegiatan produksi biomassa. Kriteria baku kerusakan tanah untukproduksi biomassa mencakup lahan pertanian atau lahan budi daya danhutan.

- “kriteria baku kerusakan terumbu karang” adalah ukuran batas perubahanfisik dan/atau hayati terumbu karang yang dapat ditenggang.

- “kerusakan lingkungan hidup yang berkaitan dengan kebakaran hutandan/atau lahan” adalah pengaruh perubahan pada lingkungan hidup yangberupa kerusakan dan/atau pencemaran lingkungan hidup yang berkaitan

Page 40: Kode/Nama Rumpun Ilmu : 596 / Ilmu Hukum LAPORAN AKHIRilib.usm.ac.id/sipp/doc/penelitian/A017-20161004020602-LAPORANAKHI... · Surat Perjanjian Penugasan dalam Rangka Pelaksanaan

33

dengan kebakaran hutan dan/atau lahan yang diakibatkan oleh suatuusaha dan/atau kegiatan.

Memperhatikan, uraian terdahulu tampak bahwa teknik perumusan

tindak pidana pencemaran dan atau perusakan lingkungan hidup dalam UUPPLH

tidak lagi luas dan abstrak, sebagaimana tercantum dalam UUPLH. Rumusan

dalam UUPPLH dapat memberi ruang gerak bagi penegak hukum (hakim) untuk

melakukan inovasi hukum dalam menafsirkan hukum pidana lingkungan hidup

guna merespon perkembangan yang terjadi dalam masyarakat di bidang

lingkungan hidup karena ia (hakim) mempunyai semangat dan kepedulian untuk

menegakkan hukum dan keadilan dalam melindungi lingkungan hidup. Atau, juga

dapat menyulitkan penegak hukum pidana lingkungan, sebab jika aparat

penenegak hukum (termasuk hakim) tidak peka dalam merespon perkembangan

yang terjadi di dalam masyarakat di bidang lingkungan hidup, dapat memberi

peluang bagi penegak hukum untuk menyelewengkan hukum untuk kepentingan

lain (“kepentingan pribadi”).

Perumusan tindak pidana pencemaran dan atau kerusakan lingkungan

berdasarkan UUPPLH, tidak lagi abstrak dan luas sebagaimana diatur dalam

Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997 (UUPLH), karena UUPPLH telah

memberikan kata kunci bagi tindak pidana dan atau kerusakan lingkungan, yaitu:

“melampaui baku mutu lingkungan yang telah ditetapkan” atau “melampaui

kriteria baku kerusakan lingkungan”.

Ketentuan Pidana dalam UUPPLH diatur dalam Bab XV, yaitu dari Pasal

97 sampai dengan Pasal 120 UUPPLH. Ketentuan Pasal 97 UUPPLH,

Page 41: Kode/Nama Rumpun Ilmu : 596 / Ilmu Hukum LAPORAN AKHIRilib.usm.ac.id/sipp/doc/penelitian/A017-20161004020602-LAPORANAKHI... · Surat Perjanjian Penugasan dalam Rangka Pelaksanaan

34

menyatakan tindak pidana yang diatur dalam ketentuan Pidana UUPPLH,

merupakan kejahatan. Kejahatan disebut sebagai“rechtsdelicten” yaitu tindakan-

tindakan yang mengandung suatu “onrecht” hingga orang pada umumnya

memandang bahwa pelaku-pelakunya itu memang pantas dihukum, walaupun

tindakan tersebut oleh pembentuk undang-undang telah tidak dinyatakan sebagai

tindakan yang terlarang di dalam undang-undang. Kejahatan (rechtsdelicten)

merupakan perbuatan yang tidak adil menurut filsafat, yaitu yang tidak tergantung

dari suatu ketentuan hukum pidana, tetapi dalam kesadaran bathin manusia

dirasakan bahwa perbuatan itu tidak adil, dengan kata lain kejahatan merupakan

perbuatan tercela dan pembuatnya patut dipidana (dihukum) menurut masyarakat

tanpa memperhatikan undang-undang pidana.

Terkait dengan tindak pidana lingkungan yang dinyatakan sebagai

kejahatan (rechtsdelicten), maka perbuatan tersebut dipandang sebagai secara

esensial bertentangan dengan tertib hukum atau perbuatan yang bertentangan

dengan (membahayakan) kepentingan hukum., pelanggaran hukum yang

dilakukan menyangkut pelanggaran terhadap hak atas lingkungan hidup yang baik

dan sehat serta keharusan untuk melaksanakan kewajiban memelihara lingkungan

hidup, mencegah dan menanggulangi kerusakan dan pencemaran lingkungan

hidup.

Jika ditinjau dari perumusan tindak pidana, ketentuan Pasal 98 UUPPLH

– 115 UUPPLH, terdapat tindak pidana materiil yang menekankan pada akibat

perbuatan, dan tindak pidana formil yang menekankan pada perbuatan. Tindak

pidana materiil memerlukan (perlu terlebih dahulu dibuktikan) adanya akibat dalam

Page 42: Kode/Nama Rumpun Ilmu : 596 / Ilmu Hukum LAPORAN AKHIRilib.usm.ac.id/sipp/doc/penelitian/A017-20161004020602-LAPORANAKHI... · Surat Perjanjian Penugasan dalam Rangka Pelaksanaan

35

hal ini terjadinya pencemaran dan atau kerusakan lingkungan.Tindak pidana

formal, tidak memerlukan adanya akibat, namun jika telah melanggar rumusan

ketentuan pidana (ketentuan peraturan perundang-undangan), maka telah dapat

dinyatakan sebagai telah terjadi tindak pidana dan karenanya pelaku dapat dijatuhi

hukuman. Tindak pidana formal dapat digunakan untuk memperkuat sistem tindak

pidana materiil jika tindak pidana materiil tersebut tidak berhasil mencapai target

bagi pelaku yang melakukan tindak pidana yang berskala ecological impact.

Artinya tindak pidana formal dapat digunakan bagi pelaku tindak pidana

lingkungan yang sulit ditemukan bukti-bukti kausalitasnya.Tindak pidana formal

ini tidak diperlukan akibat (terjadinya pencemaran dan atau perusakan

lingkungan) yang timbul, sehingga tidak perlu dibuktikan adanya hubungan sebab

akibat (causality) dari suatu tindak pidana lingkungan. Hal yang perlu diketahui

dalam tindak pidana formal dalam UUPPLH, yaitu, seseorang telah melakukan

pelanggaran atas peraturan perundang-undangan atau izin.

Ketentuan Pasal 98 ayat (2), (3) UUPPLH dan Pasal 99 ayat (2),

(3) UUPPLH, jika di simak lebih lanjut mengandung makna selain termasuk delik

formal juga delik materiil. Pasal 98 ayat (2), (3) UUPPLH dan Pasal 99 ayat (2),

(3) UUPPLH mengatur bahwa seseorang harus bertanggungjawab atas

perbuatannya yang melanggar baku mutu udara ambien, baku mutu air, baku mutu

air laut, atau kriteria kerusakan lingkungan, sehingga orang luka dan/atau bahaya

kesehatan manusia, atau mengakibatkan orang luka berat atau mati. Dalam kasus

ini harus dibuktikan hubungan sebab akibat antara perbuatan pelanggaran baku

udara ambien, baku mutu air, baku mutu air laut, atau kriteria kerusakan

Page 43: Kode/Nama Rumpun Ilmu : 596 / Ilmu Hukum LAPORAN AKHIRilib.usm.ac.id/sipp/doc/penelitian/A017-20161004020602-LAPORANAKHI... · Surat Perjanjian Penugasan dalam Rangka Pelaksanaan

36

lingkungan tersebut dengan terjadinya orang luka dan/atau bahaya kesehatan

manusia atau luka berat atau kematian. Akan tetapi, jika ternyata tidak terbukti

bahwa terjadinya pelanggaran baku mutu udara ambien, baku mutu air, baku mutu

air laut atau kriteria kerusakan lingkungan menyebabkan orang luka dan atau

bahaya kesehatan manusia atau luka berat atau kematian, maka pelaku dibebaskan

dari tindak pidana materiil, namun ia tetap harus bertanggungjawab atas

perbuatannya karena melanggar tindak pidana formal.

Terkait dengan tindak pidana yang selain mengandung delik formal dan

materiil, Jaksa Penuntut Umum yang menangani kasus tersebut hendaknya

mendakwakan pelaku dengan dakwaan alternatif dan kumulatif. Artinya, jika

dakwaan berdasarkan tindak pidana materiil tidak berhasil dibuktikan, maka

dakwaan berdasarkan tindak pidana formal dapat dilakukan.

Tindak pidana lingkungan hidup dapat pula ditelaah terhadap pasal-pasal

dalam UUPPLH 2009, dimana dalam Pasal 60 disebutkan, “Setiap orang dilarang

melakukan dumping limbah dan/atau bahan ke media lingkungan hidup tanpa

izin”. Kemudian dapat diambil lagi ketentuan dalam Pasal 69 ayat (1) disebutkan

bahwa setiap orang dilarang:

1. Melakukan perbuatan yang mengakibatkan pencemaran dan/atauperusakan lingkungan hidup;

2. Memasukkan B3 yang dilarang menurut peraturan perundang-undangan kedalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia;

3. Memasukkan limbah yang berasal dari luar wilayah Negara KesatuanRepublik Indonesia ke media lingkungan hidup Negara Kesatuan RepublikIndonesia;

4. Memasukkan limbah B3 ke dalam wilayah Negara Kesatuan RepublikIndonesia;

5. Membuang limbah ke media lingkungan hidup;

Page 44: Kode/Nama Rumpun Ilmu : 596 / Ilmu Hukum LAPORAN AKHIRilib.usm.ac.id/sipp/doc/penelitian/A017-20161004020602-LAPORANAKHI... · Surat Perjanjian Penugasan dalam Rangka Pelaksanaan

37

6. Membuang B3 dan limbah B3 ke media lingkungan hidup;7. Melepaskan produk rekayasa genetik ke media lingkungan hidup yang

bertentangan dengan peraturan perundang-undangan atau izin lingkungan;8. Melakukan pembukaan lahan dengan cara membakar;9. Menyusun amdal tanpa memiliki sertifikat kompetensi penyusun amdal;

dan/atau10. Memberikan informasi palsu, menyesatkan, menghilangkan informasi,11. merusak informasi, atau memberikan keterangan yang tidak benar.

Berdasarkan Pasal 60 dan Pasal 69 ayat (1) di atas, dapat dipahami

bahwa tindak pidana lingkungan hidup itu merupakan perbuatan yang

dilarang oleh undang-undang dalam konteks “mencemarkan atau merusak

lingkungan”.Mencemarkan atau merusak lingkungan, menurut Alvi Syahrin,25

merupakan genus atau rumusan umum, mejadi species atau rumusan khususnya

dapat dilihat dari berbagai ketentuan di dalam pasal-pasal UUPPLH 2009.

Merujuk pada Pasal 69 ayat (1) di atas, dalam angka 1 disebutkan

”melakukan perbuatan yang mengakibatkan pencemaran dan/atau perusakan

lingkungan hidup”. Inilah yang disebut dengan genus tindak pidana lingkungan

hidup. Akan tetapi mulai dari angka 2 sampai dengan angka 10 merupakan species

tidank pidana lingkungan hidup.

Sampai pada penafsiran di dalam Pasal 98 ayat (1), Pasal 99 ayat (1),

Pasal 100 ayat (1), Pasal 101, Pasal 102, Pasal 103, Pasal 104, Pasal 105, Pasal

106, Pasal 107, Pasal 108, Pasal 109, Pasal 110, Pasal 111, Pasal 112, Pasal 113,

Pasal 114, Pasal 114, Pasal 115, Pasal 116, Pasal 117, Pasal 118, Pasal 119, dan

25 Alvi Syahrin., Beberapa Isu Hukum Lingkungan Kepidanaan, (Medan: Sofmedia,2009), halaman 19.

Page 45: Kode/Nama Rumpun Ilmu : 596 / Ilmu Hukum LAPORAN AKHIRilib.usm.ac.id/sipp/doc/penelitian/A017-20161004020602-LAPORANAKHI... · Surat Perjanjian Penugasan dalam Rangka Pelaksanaan

38

Pasal 120 UUPPLH , merupakan ketentuan yang menggariskan species-species

tindak pidana lingkungan hidup tersebut.

Berdasarkan Pasal 98 sampai dengan Pasal 120 di atas, dapat diketahui

bentuk-bentuk tindak pidana yang dikenal di dalam UUPPLH. Dalam Pasal 98

ayat (1), disebutkan “Setiap orang yang dengan sengaja melakukan perbuatan

yang mengakibatkan dilampauinya baku mutu udara ambien, baku mutu air, baku

mutu air laut, atau kriteria baku kerusakan lingkungan hidup”.

Dalam Pasal 99 ayat (1): Setiap orang yang karena kelalaiannya

mengakibatkan dilampauinya baku mutu udara ambien, baku mutu air, baku mutu

air laut, atau kriteria baku kerusakan lingkungan hidup. Pasal 100 ayat (1): Setiap

orang yang melanggar baku mutu air limbah, baku mutu emisi, atau baku mutu

gangguan dipidana. Pasal 101: Setiap orang yang melepaskan dan/atau

mengedarkan produk rekayasa genetik ke media lingkungan hidup yang

bertentangan dengan peraturan perundang-undangan atau izin lingkungan. Pasal

102: Setiap orang yang melakukan pengelolaan limbah B3 tanpa izin. Pasal 103:

Setiap orang yang menghasilkan limbah B3 dan tidak melakukan pengelolaan.

Dalam Pasal 104: Setiap orang yang melakukan dumping limbah

dan/atau bahan ke media lingkungan hidup tanpa izin. Pasal 105: Setiap orang

yang memasukkan limbah ke dalam wilayah Negara Kesatuan Republik

Indonesia. Pasal 106: Setiap orang yang memasukkan limbah B3 ke dalam

wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia. Pasal 107: Setiap orang yang

memasukkan B3 yang dilarang menurut peraturan perundang-undangan ke dalam

Page 46: Kode/Nama Rumpun Ilmu : 596 / Ilmu Hukum LAPORAN AKHIRilib.usm.ac.id/sipp/doc/penelitian/A017-20161004020602-LAPORANAKHI... · Surat Perjanjian Penugasan dalam Rangka Pelaksanaan

39

wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia. Pasal 108: Setiap orang yang

melakukan pembakaran Lahan. Pasal 109: Setiap orang yang melakukan usaha

dan/atau kegiatan tanpa memiliki izin lingkungan. Pasal 110: Setiap orang yang

menyusun amdal tanpa memiliki sertifikat kompetensi penyusun amdal. Pasal 111

ayat (1): Pejabat pemberi izin lingku ngan yang menerbitkan izin lingkungan

tanpa dilengkapi dengan amdal atau UKL-UPL.

Dalam Pasal 112: Setiap pejabat berwenang yang dengan sengaja tidak

melakukan pengawasan terhadap ketaatan penanggung jawab usaha dan/atau

kegiatan terhadap peraturan perundangundangan dan tanpa izin lingkungan. Pasal

113: Setiap orang yang memberikan informasi palsu, menyesatkan,

menghilangkan informasi, merusak informasi, atau memberikan keterangan yang

tidak benar yang diperlukan dalam kaitannya dengan pengawasan dan penegakan

hukum yang berkaitan dengan perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup.

Dalam Pasal 114: Setiap penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan

yang tidak melaksanakan paksaan pemerintah. Pasal 115: Setiap orang yang

dengan sengaja mencegah, menghalang-halangi, atau menggagalkan pelaksanaan

tugas pejabat pengawas lingkungan hidup dan/atau pejabat penyidik pegawai

negeri sipil.

Pasal 116 ayat (1): Apabila tindak pidana lingkungan hidup dilakukan

oleh, untuk, atau atas nama badan usaha, tuntutan pidana dan sanksi pidana

dijatuhkan kepada:

Page 47: Kode/Nama Rumpun Ilmu : 596 / Ilmu Hukum LAPORAN AKHIRilib.usm.ac.id/sipp/doc/penelitian/A017-20161004020602-LAPORANAKHI... · Surat Perjanjian Penugasan dalam Rangka Pelaksanaan

40

a. Badan usaha; dan/atau

b. Orang yang memberi perintah untuk melakukan tindak pidana

tersebut atau orang yang bertindak sebagai pemimpin kegiatan dalam

tindak pidana tersebut.

Semua ketentuan di atas, merupakan bentuk-bentuk tindak pidana di

dalam lingkungan hidup. Bentuk-bentuk tindak pidana lingkungan hidup di atas,

selalu diawali dengan kalimat “setiap orang”, artinya adalah bahwa hanya orang

lah yang dapat dipidana walupun dalam UUPPLH dikenal adanya badan hukum

atau korporasi akan tetapi tidak disebutkan kalimat yang diawali dengan “setiap

badan hukum” atau setiap korporasi”. Logikanya adalah mana bisa mungkin suatu

lembaga organisasi atau badan hukum atau badan usaha atau korporasi dapat

dipidana secara fisiknya, melainkan pengurus-pengurusnya lah yang dapat

dipertanggungjawabkan.

Page 48: Kode/Nama Rumpun Ilmu : 596 / Ilmu Hukum LAPORAN AKHIRilib.usm.ac.id/sipp/doc/penelitian/A017-20161004020602-LAPORANAKHI... · Surat Perjanjian Penugasan dalam Rangka Pelaksanaan

41

BAB 3

TUJUAN DAN MANFAAT PENELITIAN

3.1. Tujuan Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan bermanfaat untuk pengembangan ilmu

pengetahuan, baik secara teoritis maupun praktis. Adapun tujuan penelitian ini

adalah:

1. Untuk mengetahui kedudukan korporasi sebagai subjek hukum (pelaku

tindak pidana) dalam bidang lingkungan hidup.

2. Untuk mengetahui sistem pertanggungjawaban pidana terhadap korporasi

sebagai pelaku tindak pidana di bidang lingkungan hidup berdasarkan asas

strict liability.

3.2. Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan bermanfaat untuk kepentingan teoretis dan

kepentingan praktis.

1. Manfaat teoretis, hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan

sumbangan pemikiran bagi ilmu pengetahuan, khususnya hukum pidana

dalam kaitannya dengan pertanggungjawaban pidana terhadap korporasi

sebagai pelaku tindak pidana di bidang lingkungan hidup berdasarkan asas

strict liability.

Page 49: Kode/Nama Rumpun Ilmu : 596 / Ilmu Hukum LAPORAN AKHIRilib.usm.ac.id/sipp/doc/penelitian/A017-20161004020602-LAPORANAKHI... · Surat Perjanjian Penugasan dalam Rangka Pelaksanaan

42

2. Manfaat praktis, hasil penelitian diharapkan dapat memberikan manfaat

bagi aparat penegak hukum untuk memperluas wacana mengenai

pertanggungjawaban pidana terhadap korporasi sebagai pelaku tindak

pidana di bidang lingkungan hidup berdasarkan asas strict liability. Bagi

penentu kebijakan, penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan

dalam menetapkan kebijakan mengenai formulasi dan penerapan pidana

dalam rangka melengkapi dan penyempurnaan peraturan perundangan

mengenai pidana.

Page 50: Kode/Nama Rumpun Ilmu : 596 / Ilmu Hukum LAPORAN AKHIRilib.usm.ac.id/sipp/doc/penelitian/A017-20161004020602-LAPORANAKHI... · Surat Perjanjian Penugasan dalam Rangka Pelaksanaan

43

BAB 4

METODE PENELITIAN

Perkembangan dan pengembangan ilmu pengetahuan, mensyaratkan dan

memutlakkan adanya suatu kegiatan penelitian. Tanpa penelitian itu ilmu

pengetahuan tidak dapat hidup dan tidak dapat diyakini kebenarannya. Tetapi

lebih dinamis lagi penelitian juga berfungsi dan bertujuan inventif, yakni terus-

menerus lagi memperbaharui lagi kesimpulan dari teori yang telah diterima

berdasarkan fakta-fakta. Tanpa penelitian ilmu pengetahuan akan berhenti ,

bahkan akan surut kebelakang.26 Oleh karena itu di dalam setiap penelitian

diperlukan suatu tata cara yang nantinya akan digunakan untuk meneliti objek

penelitian. Proses yang demikian inilah yang disebut dengan Metodologi

Penelitian.

Dengan demikian, metodologi merupakan perencanaan penelitian terhadap

objek yang diteliti. Biasanya objek tersebut adalah berupa fakta empiris yang

terjadi dalam masyarakat, yang kemudian akan dikaji secara metodis dan disusun

secara sistematis kemudian diuraikan secara logis dan analitis. Dari semua

penelitian ini akan mendapatkan suatu pemecahan masalah atau mendapatkan

jawaban atas pertanyaan-pertanyaan tertentu, sehingga hasil yang diharapkan

dapat benar-benar terwujud dalam suatu penyusunan karya ilmiah atas dasar hasil

penelitian.

26 Anton Bakker dan Ahmad Charris Zubair, Metodologi Penelitian Filsafat (Yogyakarta:Kanisius, 1990), halaman 11.

Page 51: Kode/Nama Rumpun Ilmu : 596 / Ilmu Hukum LAPORAN AKHIRilib.usm.ac.id/sipp/doc/penelitian/A017-20161004020602-LAPORANAKHI... · Surat Perjanjian Penugasan dalam Rangka Pelaksanaan

44

Adapun metode-metode yang digunakan oleh peneliti dalam melakukan

penelitian ini adalah sebagai berikut:

4.1. Metode Pendekatan

Penelitian ini merupakan penelitian hukum normatif, yaitu penelitian

yang menitikberatkan pada data sekunder. Sebagai penelitian hukum normatif,

maka penelitian ini meliputi penelitian inventarisasi hukum positif, asas-asas

hukum, penemuan hukum in concreto dan sinkronisasi hokum,27 sehingga

pendekatan yang digunakan adalah pendekatan penal. Sebagai pendekatan penal,

maka dapat dikatakan penelitian ini menggunakan pendekatan yuridis-normatif.

Pendekatan yuridis-normatif digunakan untuk menganalisis permasalahan yang

berkaitan dengan sistem pertanggungjawaban pidana pada tindak pidana

lingkungan hidup, yang dikaji melalui asas Strict Liability.

4.2. Spesifikasi Penelitian

Bertitik-tolak dari judul dan permasalahan yang mendasari penelitian ini,

maka penelitian ini termasuk jenis penelitian deskriptif- analitis, yaitu

menggambarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku / hukum positif

dikaitkan dengan teori hukum dan praktek pelaksanaan hukum positif dalam

masyarakat. Penelitian deskriptif merupakan penelitian untuk memecahkan

masalah yang ada pada masa sekarang (masalah aktual) dengan mengumpulkan

27 Ronny Hanitijo Soemitro, Metodologi Penelitian Hukum dan Yurimetri, cet III,(Jakarta: Ghalia Indonesia, 1988), halaman 22-23.

Page 52: Kode/Nama Rumpun Ilmu : 596 / Ilmu Hukum LAPORAN AKHIRilib.usm.ac.id/sipp/doc/penelitian/A017-20161004020602-LAPORANAKHI... · Surat Perjanjian Penugasan dalam Rangka Pelaksanaan

45

data, menyusun, mengklasifikasikan, menganalisis dan mengintepretasikannya.28

Dengan demikian, dari penelitian ini dapat memberikan gambaran mengenai

sistem pertanggungjawaban pidana pada tindak pidana lingkungan hidup dengan

melakukan reorientasi tentang asas strict liability sebagai bentuk

pertanggungjawaban pidana.

4.3. Metode Pengumpulan Data

Berdasarkan pendekatan yang dipergunakan dalam penelitian ini, maka

metode pengumpulan data yang dipergunakan adalah studi kepustakaan atau

dokumen (library research). Studi kepustakaan dilakukan terhadap data sekunder,

yaitu data yang bersumber dari penelitian kepustakaan yaitu data yang diperoleh

tidak secara langsung dari sumber pertamanya, melainkan bersumber dari data-

data yang sudah terdokumenkan dalam bentuk bahan-bahan hukum yang terdiri

dari :

a. Bahan Hukum Primer

Bahan hukum primer terdiri dari Peraturan Perundang-undangan seperti :

- Undang-Undang No. 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana

(Kitab Undang-Undang Hukum Pidana/ KUHP);

- Undang-Undang No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindugan dan

Pengelolaan Lingkungan Hidup.

- Peraturan Pemerintah No. 27 Tahun 1999 tentang AMDAL

28 Bambang Sunggono, Metode Penelitian Hukum (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada,2002), halaman 36.

Page 53: Kode/Nama Rumpun Ilmu : 596 / Ilmu Hukum LAPORAN AKHIRilib.usm.ac.id/sipp/doc/penelitian/A017-20161004020602-LAPORANAKHI... · Surat Perjanjian Penugasan dalam Rangka Pelaksanaan

46

b. Bahan Hukum Sekunder

Bahan hukum sekunder adalah bahan yang memberikan penjelasan

mengenai bahan hukum primer, seperti :

a. Buku-buku hukum dan non hukum yang berkaitan dengan objek

yang diteliti.

b. Hasil-hasil penelitian maupun literatur lainnya yang berkaitan

dengan obyek penelitian..

c. Bahan Hukum Tersier

Bahan hukum tersier adalah bahan yang memberikan petunjuk maupun

penjelasan mengenai bahan hukum primer dan tersier seperti :

a. Kamus Hukum

b. Kamus Besar Bahasa Indonesia

c. Ensiklopedi, majalah-majalah hukum, jurnal-jurnal hukum, surat

kabar serta membaca berkas-berkas lainnya yang dianggap relevan

dengan penelitian ini, yang kemudian dilakukan inventarisasi

sesuai dengan permasalahan yang dikemukakan.

4.4. Metode Analisis Data

Analisis data dilakukan secara kualitatif kemudian diidentifikasi serta

dilakukan kategorisasi. Analisis kualitatif yaitu metode analisis yang pada

Page 54: Kode/Nama Rumpun Ilmu : 596 / Ilmu Hukum LAPORAN AKHIRilib.usm.ac.id/sipp/doc/penelitian/A017-20161004020602-LAPORANAKHI... · Surat Perjanjian Penugasan dalam Rangka Pelaksanaan

47

dasarnya menggunakan pemikiran logis, analisis dengan logika29. Dengan induksi,

deduksi, analogilinterpretasi, komparasi dan sejenis itu.30 Metode berpikir yang

digunakan adalah metode deduktif yaitu dengan berdasarkan pada dasar

pengetahuan yang bersifat umum untuk mengkaji persoalan-persoalan yang

bersifat khusus. Dari hasil analisis tersebut kemudian akan ditarik kesimpulan

sebagai jawaban atas permasalahan yang ada.

29 Analisis kualitatif pada dasarnya mempergunakan pemikiran logis analitis (lihat M.Sommers, Logika, (Bandung: Alumni,1992), halaman 2, demikian pula Jujun S. Suriasumantri,Filsafat Ilmu-Sebuah Pengantar Populer, (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1996), halaman 43.

30 Tatang A. Amirin, Menyusun Rencana Penelitian, (Jakarta: CV. Rajawali, 1986),halama 95. Menurut Niles dan Huberman, langkah-langkah ini untuk menganalisis data meliputipengumpulan data, reduksi data, display data dan perumusan kesimpulan. (Lihat Esmi Warassih,“Metodologi Penelitian Bidang Ilmu Humaniora, Kompilasi makalah Pelatihan MetodologiPenelitian Ilmu Sosial, Bagian Hukum dan Masyarakat”, (Semarang: Fakultas Hukum UNDIP,1999), halama 51-52. Lihat pula : Matthrew B. Mikles & A. Michael Huberman, Analisis DataKualitatif, terj. Tjetjep Rehendy Rohidi, (Jakarta: UI Press, 1992), halaman 15-21.

Page 55: Kode/Nama Rumpun Ilmu : 596 / Ilmu Hukum LAPORAN AKHIRilib.usm.ac.id/sipp/doc/penelitian/A017-20161004020602-LAPORANAKHI... · Surat Perjanjian Penugasan dalam Rangka Pelaksanaan

48

BAB 5

HASIL DAN PEMBAHASAN

5.1. Kedudukan Korporasi sebagai Subjek Hukum (Pelaku Tindak Pidana)

dalam Bidang Lingkungan Hidup

Korporasi dalam hukum pidana umum, belum dimasukkan sebagai

subyek hukum. Pandangan tentang subyek hukum pidana di bidang hukum

pidana umum yang hanya terbatas pada orang pribadi, tidak dapat dilepaskan

dengan sejarah pembentukan WvS Nederland tahun 1881, dimana pada

dasarnya hanya manusia dapat dipandang sebagai subyek hukum pidana. Hal ni

dapat diketahui dari :

a. Memory van Toelichting Pasal 51 WvS Nederland (Pasal 59KUHP): suatu strafbaarfeit hanya dapat diwujudkan oleh manusiadan fiksi tentang badan hukum tidak berlaku dalam bidang hukumpidana.

b. Uraian delik dalam banyaak pasal WvS selalu dimulai dengan“Barang Siapa” dan sering disyaratkan adanya berbagai faktormanusia, seperti sengaja dan lalai, faktor mana hanya dapatdimiliki oleh manusia.

c. Sistem pidana terdiri dari pidana kekayaan dan pidana badanhanyalah dapat dikenakan terhadap manusia.

d. Hukum acara pidana tidak mengandung ketentuan tatacaraterhadap korporasi.31

Di Belanda telah terjadi pergeseran pandangan sehubungan dengan

ketentuan tentang korporasi sebagai subyek hukum pidana, sebagaimana yang

diatur dalam Pasal 51 WvS Nederland berdasarkan Undang-undang tanggal 23

31 Andi Zaenal Abidin , Bunga Rampai Hukum Pidana, (Jakarta: Pradnya Paramita,1993), halaman 51.

Page 56: Kode/Nama Rumpun Ilmu : 596 / Ilmu Hukum LAPORAN AKHIRilib.usm.ac.id/sipp/doc/penelitian/A017-20161004020602-LAPORANAKHI... · Surat Perjanjian Penugasan dalam Rangka Pelaksanaan

49

Mei 1990. Dalam Pasal 51 ditentukan :

1. There are two categories of criminal offender : natural persons andjuristic persons.

2. Where a criminal offence is committed by juristic person,criminal proceedings may be instituted and such penalties andmeasures as are prescribe by law, where applicable, may beimposed :a. against the juristic person; orb. against those who have ordered the commission of the

criminal offense, and against those in control of such unlawfulbehavior; or

c. against the persons mentioned under a and b jointly. 32

Manusia bukanlah satu-satunya subyek hukum. Dalam lalu lintas hukum

diperlukan sesuatu hal lain yang bukan manusia yang menjadi subyek hukum. Di

samping orang dikenal juga subyek hukum yang bukan manusia yang disebut

badan hukum. Badan hukum adalah organisasi atau kelompok manusia yang

mempunyai tujuan tertentu yang dapat menyandang hak dan kewajiban. Negara

dan perseroan terbatas misalnya adalah organisasi atau kelompok manusia yang

merupakan badan hukum (Korporasi). Korporasi sebagai pembawa hak yang tak

berjiwa dapat bertindak sebagai pembawa hak manusia, misalnya: dapat

melakukan persetujuan-persetujuan, memiliki kekayaan yang sama sekali terlepas

dari kekayaan anggota-anggotanya.

Bedanya subyek hukum orang dengan subyek hukum badan hukum adalah

bahwa badan hukum itu tidak dapat melakukan perkawinan dan tidak dapat

dipidana penjara. Penentuan atau perluasan badan hukum sebagai subyek hukum

adalah karena sesuatu kebutuhan, terutama dalam soal perpajakan, perekonomian

dan keamanan negara, yang disesuaikan dengan perkembangan peradaban dan

32 Ibid.

Page 57: Kode/Nama Rumpun Ilmu : 596 / Ilmu Hukum LAPORAN AKHIRilib.usm.ac.id/sipp/doc/penelitian/A017-20161004020602-LAPORANAKHI... · Surat Perjanjian Penugasan dalam Rangka Pelaksanaan

50

ilmu pengetahuan manusia. Namun pada hakekatnya, manusialah yang merasakan

atau menderita pemidanaan itu. Dengan demikian dapat dikatakan, bahwa subyek

hukum baik orang maupun korporasi adalah segala sesuatu yang dapat

memperoleh, mempunyai atau menyandang hak dan kewajiban.

Seiring dengan perkembangan masyarakat, dirasa sangat perlu untuk

menempatkan korporasi sebagai subjek tindak pidana agar dapat dibebani

pertanggungjawaban pidana apabila melakukan kejahatan, supaya korporasi

dalam menjalankan usahanya tidak melakukan tindakan-tindakan yang

melanggar ketentuan hukum dan merugikan masyarakat umum. Oleh karena

itu, pengaturan korporasi sebagai subjek tindak pidana berikut

pertanggungjawaban pidananya ditempatkan di luar KUHP agar dapat

mengakomodir pengaturan seperti tersebut di atas, dan tentu saja dengan tetap

mengacu pada KUHP sebagai pedoman umum.

Pada umumnya tindak pidana hanya dapat dilakukan oleh manusia

atau orang pribadi. Oleh karena itu hukum pidana selama ini hanya mengenal

orang seorang atau kelompok orang sebagai subyek hukum, yaitu sebagai

pelaku dari suatu tindak pidana. Hal ini bisa dilihat dalam perumusan pasal-

pasal KUHP yang dimulai dengan kata “barangsiapa” yang secara umum

mengacu kepada orang atau manusia. Dengan melihat gejala pelanggaran hukum

yang dapat dilakukan oleh suatu badan hukum yang merugikan masyarakat, maka

kedudukan badan hukum mulai diperhatikan tidak saja menjadi subjek hukum

perdata, tetapi juga menjadi subjek dalam hukum pidana, sehingga dapat dituntut

dan dijatuhi hukuman atau sanksi pidana.

Page 58: Kode/Nama Rumpun Ilmu : 596 / Ilmu Hukum LAPORAN AKHIRilib.usm.ac.id/sipp/doc/penelitian/A017-20161004020602-LAPORANAKHI... · Surat Perjanjian Penugasan dalam Rangka Pelaksanaan

51

Secara umum, baik dalam sistem hukum common law maupun civil law,

sangat sulit untuk dapat mengartikan suatu bentuk tindakan tertentu (actus reus

atau guilty act), serta membuktikan unsur mens rea (criminal act). Oleh karena

itu, kejahatan korporasi memiliki karakteristik yang lebih khusus dari pada

kejahatan perorangan, karena kejahatan korporasi lebih bersifat abstrak untuk

menyangka dan menuntut subjek hukum yang melakukan kejahatan korporasi

tersebut.33 Bukan saja tindak pidana dalam UUPPLH 2009 namun seluruh tindak

pidana (crime) dapat diidentifikasi dengan timbulnya kerugian (harm), yang

kemudian mengakibatkan lahirnya pertanggungjawaban pidana atau criminal

liability.

Apabila meninjau pada Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUH

Pidana) Indonesia yang dianggap sebagai subyek hukum pidana hanyalah orang

perseorangan dalam konotasi biologis yang alami (naturlijkee person). Selain itu,

KUHP juga masih menganut asas sociates delinquere non potest dimana badan

hukum atau korporasi dianggap tidak dapat melakukan tindak pidana.34 Jadi,

dasar pemikiran yang digunakan oleh KUH Pidana itu adalah bahwa kejahatan

tidak dapat dilakukan oleh sebuah korporasi, karena walaupun tindak pidana

33 Korporasi di dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungandan Pengelolaan Lingkungan Hidup, dikenal sebagai subjek hukum yang dapatdipertanggungjawabkan seperti layaknya manusia alamiah, yang mempertanggungjawabkan ituadalah orang-orang sebagai pengurus korporasi itu sendiri. Unsur-unsur kejahatan korporasi adalahsebagai berikut:1. Tindak pidana korporasi dilakukan oleh pengurus dan atau pegawai yang melaksanakan

pekerjaannya atas nama korporasi.2. Pertanggung jawaban dibebankan kepada korporasi dan pengurus korporasi secara

langsung atau pun tidak langsung.3. Motif tindak kejahatan korporasi untuk mencapai kebutuhan, keuntungan dan tujuan

korporasi.4. Tindak kejahatan korporasi terkait ke dalam bidang hukum pidana, hukum perdata dan hukum

administrasi.5. Beban pembuktian dan sangsi memiliki karakteristik khusus.

34 Ibid., halaman 70.

Page 59: Kode/Nama Rumpun Ilmu : 596 / Ilmu Hukum LAPORAN AKHIRilib.usm.ac.id/sipp/doc/penelitian/A017-20161004020602-LAPORANAKHI... · Surat Perjanjian Penugasan dalam Rangka Pelaksanaan

52

tersebut dilakukan oleh korporasi, tetapi tindak pidana tetap dilakukan oleh orang

persorangan atau legal persoon.

Perlu diketahui bahwa, pembuat undang-undang dalam merumuskan

delik harus memperhitungkan bahwa manusia melakukan tindakan di dalam

atau melalui organisasi yang dalam hukum keperdataan maupun di luarnya

(seperti dalam hukum lingkungan hidup), yang akan lahir sebagai satu kesatuan

yang diakui serta mendapat perlakuan sebagai badan hukum atau korporasi.

Oleh karena itu, dalam KUH Pidana, pembuat undang-undang dapat merujuk

pada pengurus atau komisaris korporasi apabila mereka berhadapan dengan

situasi seperti itu.

Sehubungan dengan itu, mengingat Kitab Undang-Undang Hukum

Pidana Indonesia belum mengatur secara tersurat mengenai tindak kejahatan yang

dilakukan oleh korporasi, maka tindak pidana korporasi dalam bidang lingkungan

hidup di Indonesia, dapat menggunakan undang-undang yang lebih khusus, yaitu

Undang-undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan

Lingkungan Hidup (UUPPLH 2009).

Pengakuan korporasi sebagai subjek hukum yang dapat

dipertanggungjawabkan secara pidana pada tindak pidana lingkungan hidup

ditegaskan dalam Pasal 1 angka 32 UU No. 32 Tahun 2009 tentang

Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, yaitu “Setiap orang adalah

orang perseorangan atau badan usaha, baik yang berbadan hukum maupun yang

tidak berbadan hukum”. Apabila diterjemahkan lebih jauh bahwa subjek hukum

dimaksud dalam Pasal 1 angka 32 UUPPLH 2009 ini adalah orang, badan

Page 60: Kode/Nama Rumpun Ilmu : 596 / Ilmu Hukum LAPORAN AKHIRilib.usm.ac.id/sipp/doc/penelitian/A017-20161004020602-LAPORANAKHI... · Surat Perjanjian Penugasan dalam Rangka Pelaksanaan

53

hukum, dan tidak berbadan hukum. Berbadan hukum dan tidak berbadan hukum

maksudnya adalah korporasi. Maka, subjek tindak pidana yang dimaksud dalam

hal ini adalah korporasi. Perlu diketahui, bahwa seseorang atau badan hukum atau

suatu korporasi yang melakukan kejahatan dapat digolongkan ke dalam dua

kategori, yaitu tindakan yang merupakan mala in se atau perbuatan yang

merupakan mala in prohibita. Tindakan yang termasuk mala in se, adalah

perbuatan yang melawan hukum, ada atau tidak ada peraturan yang

melarangnya misalnya mencuri, menipu, membunuh, dan sebagainya.

Sedangkan perbuatan yang merupakan mala in prohibita adalah perbuatan yang

dinyatakan melanggar hukum apabila ada aturan yang melarangnya misalnya

aturan-aturan lalu lintas.35

Selain dari pada korporasi yang diatur sebagai subjek hukum

dalam hukum lingkungan, juga diatur hal-hal yang berkenaan dengan

pertanggungjawaban mutlak, dimana bahwa pertanggungjawaban mutlak ini

tidak diatur di dalam KUH Pidana sebagai lex generalis. Karena hukum pidana

masih menggunakan pertanggungjawaban dengan kesalahan, sementara

pertanggungjawaban mutlak ini menggunakan asas pertanggungjawaban tanpa

kesalahan. Jadi, kesalahan di dalam hukum lingkungan tidak mesti harus

dibuktikan ada atau tidaknya kesalahan si pembuat.

Mengenai hal tersebut di atas, UUPPLH 2009, sebagai lex spesialis,

bukan merupakan suatu penyimpangan asas akan tetapi merupakan

penyempurnaan terhadap asas umum, sebab kejahatan di bidang lingkungan

35 T. Suhaimi., Pertanggungjawaban Pidana Direksi, (Bandung: BooksTerrace &Library, 2010), halaman 32.

Page 61: Kode/Nama Rumpun Ilmu : 596 / Ilmu Hukum LAPORAN AKHIRilib.usm.ac.id/sipp/doc/penelitian/A017-20161004020602-LAPORANAKHI... · Surat Perjanjian Penugasan dalam Rangka Pelaksanaan

54

hidup tersebut saat ini dikategotikan sebagai kejahatan yang luar biasa (extra

oridnary crime) sehingga penanganannya harus dilakukan luar biasa termasuk

dalam hal pengaturannya ada hal-hal yang dikecualikan dari asas-asas yang

berlaku umum.

Kejahatan korporasi sebagaimana diatur dalam UU No. 32 Tahun 2009

merupakan rumusan kejahatan korporasi sebagaimana diatur dalam KUHP

Belanda. Jadi korporasi sebagai legal persoon, dapat dipidana berdasarkan UU

No. 32 Tahun 2009. Dalam hal ini, pertanggungjawaban pidana (criminal

liability) dari pimpinan korporasi (factual leader) dan pemberi perintah

(instrumention giver), keduanya dapat dikenakan hukuman secara

berbarengan. Hukuman tersebut bukan karena perbuatan fisik atau nyatanya,

akan tetapi berdasarkan fungsi yang diembannya di dalam suatu perusahaan.

Kejahatan lingkungan yang didefinisikan di dalam undang-undang ini hanyalah

kerusakan lingkungan hidup yang disebutkan di dalam Pasal 1 ayat (16) UU No.

32 Tahun 2009, yaitu Perusakan lingkungan hidup adalah tindakan yang

menimbulkan perubahan langsung atau tidak langsung terhadap sifat fisik

dan/atau hayatinya yang mengakibatkan lingkungan hidup tidak berfungsi lagi

dalam menunjang pembangunan berkelanjutan.

Korporasi dijadikan sebagai subjek hukum pidana merupakan kebijakan

legislatif dalam produk perundang-undangan dewasa ini. Hal ini sejalan dengan

perkembangan dunia internasional dan pendapat para sarjana yang secara teoritis

mengatakan bahwa korporasi dapat diterima sebagai subjek hukum pidana (bukan

lagi suatu fiksi).

Page 62: Kode/Nama Rumpun Ilmu : 596 / Ilmu Hukum LAPORAN AKHIRilib.usm.ac.id/sipp/doc/penelitian/A017-20161004020602-LAPORANAKHI... · Surat Perjanjian Penugasan dalam Rangka Pelaksanaan

55

5.2. Sistem Pertanggungjawaban Pidana terhadap Korporasi sebagai Pelaku

Tindak Pidana di Bidang Lingkungan Hidup berdasarkan Asas Strict

Liability

Sejalan dengan perkembangan dunia internasional (salah satunya adalah

International Meeting of Experts on the Use of Criminal Sanction in ‘The

Protection of Enviropment, Internationally, Domestically and Regionally,

Portland, Oregon, USA, 19-23 March 1994) menempatkan korporasi sebagai

subjek tindak pidana. Dalam pertemuan dirumuskan mengenai

pertanggungjawaban korporasi (Legal entity liability) yang ditentukan sebagai

berikut:

1. Delik-delik yang dirumuskan dalam generic crimes dan specificcrimes dapat dipertanggungjawabkan terhadap seseorang individumaupun korporasi, dengan ketentuan bahwa delik itu dilakukandalam rangka pelaksanaan kegiatan organisiasi (korporasi) itu;

2. Pertanggungjawaban korporasi terjadi apabilaa. ada kesalahan manajemen dari koorporasi itu dan telah

terjadi generic crimes; ataub. ada pelanggaran peraturan atau ketentuan undang-undang oleh

korporasi itu.3. Pertangungjawaban korporasi dikenakan juga pada

pertanggungjawaban perseorangan dan manajer, petugas, agen,karyawan atau pelayan dan korporasi itu.

4. Pertanggunigjawaban korporasi diterapkan tanpa memperhatikanapakah orang atau individu yang melakukan perbuatan atas namakorporasi itu telah diidentifikasikan, telah dituntut atau telahdipidana atau tidak; dan

5. Semua sanksi, kecuali sanksi pidana penjara, dapat dikenakan kepadakorporasi.36

36 Beberapa Hasil International Meeting Of Expert On The Use Of Criminal SanctionIn the Protections Of Environment, Internationally, Domestically and Regionally, Portland,Oregon, USA, 19-23 March 1994, diisarikan oleh Barda Nawawi Arief, “Bahan PenataranHukum Pidana dan Kriminologi”, Semarang, 3-15 Desember 1995, halaman 6 – 7.

Page 63: Kode/Nama Rumpun Ilmu : 596 / Ilmu Hukum LAPORAN AKHIRilib.usm.ac.id/sipp/doc/penelitian/A017-20161004020602-LAPORANAKHI... · Surat Perjanjian Penugasan dalam Rangka Pelaksanaan

56

Berdasarkan pendapat di atas, dapat dikatakan bahwa

pertanggungjawaban pidana korporasi dikenakan kepada:

1. Badan hukum, perseroan, perserikatan, yayasan atau organisasi lain;

2. Mereka yang memberi perintah untuk melakukan tindak pidana atau

yang bertindak sebagai pemimpin dalmn perbuatan itu; atau

3. Kedua-duanya yaitu korporasi dan pengurus.

Pengaturan mengenai pertanggungjawaban pidana korporasi saat ini

masih berada di luar Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Hal ini

dikarenakan tidak dianutnya prinsip korporasi sebagai subjek tindak pidana

dalam KUHP yang berlaku sekarang, karena subjek tindak pidana yang diatur

dalam KUHP sekarang hanyalah manusia atau orang perorangan. Pengaturan

semacam ini lebih lanjut membawa konsekuensi yuridis berupa hanya orang

perorangan saja yang dapat dibebani pertanggungjawaban pidana dan

dijatuhi pidana, sedangkan korporasi tidak. Seiring dengan adanya kebijakan

legislatif yang mencantumkan korporasi sebagai subjek hukum pidana

seyogyanya diatur pula ketentuan secara rinci yang berkaitan dengan

permasalahan sistem pemidanaan (pertanggungjawaban pidana korporasi).

Dalam hukum pidana ada asas kulpabilitas, sehingga harus dibuktikan

bahwa seseorang bisa dipidana apabila memang terbukti bersalah. Artinya tidak

bisa secara otomatis sanksi pidana dialihkan dari corporate crime menjadi

personal crime. Dalam hukum pidana, mutlak harus dibuktikan adanya niat

untuk melakukan perbuatan pidana. Inilah yang dimaksud asas mens rea

(guilty mind) sebagaimana dikatakan oleh Stevanus.“an act is a crime because

the perso committing it intended to do something wrong, This mental state is

Page 64: Kode/Nama Rumpun Ilmu : 596 / Ilmu Hukum LAPORAN AKHIRilib.usm.ac.id/sipp/doc/penelitian/A017-20161004020602-LAPORANAKHI... · Surat Perjanjian Penugasan dalam Rangka Pelaksanaan

57

generally referred to as Mens rea”.37

Prinsip tanggung jawab mutlak (strict liability) korporasi pada tindak

pidana lingkungan hidup di Indonesia belum pernah terlaksana. Padahal konsep

ini sangat baik untuk menjaga keberlangsungan hidup masyarakat yang menjadi

korban. Prinsip tanggung jawab mutlak (strict liability) dalam UU No. 32 Tahun

2009 tentang Perlindugan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup pada Bab XII

(Penyelesaian Sengketa Lingkungan), Bagian Ketiga (Penyelesaian Sengketa

Lingkungan Hidup Melalui Pengadilan), Paragraf 2, Pasal 88 secara jelas

mendefinisikan asas strict liability dengan tanggung jawab mutlak. Pasal tersebut

berbunyi: “Setiap orang yang tindakannya, usahanya, dan/atau kegiatannya

menggunakan B3, menghasilkan dan/atau mengelola limbah B3, dan/atau yang

menimbulkan ancaman serius terhadap lingkungan hidup bertanggung jawab

mutlak atas kerugian yang terjadi tanpa perlu pembuktian unsur kesalahan.”

Selanjutnya dalam penjelasan Pasal 88 Undang-Undang Nomor 32 Tahun

2009 dirumuskan bahwa yang dimaksud dengan “bertanggung jawab mutlak”

atau strict liability adalah unsur kesalahan tidak perlu dibuktikan oleh pihak

penggugat sebagai dasar pembayaran ganti rugi. Ketentuan ayat ini sebagai lex

specialis dalam gugatan tentang perbuatan melawan hukum pada umumnya.

Besarnya nilai ganti rugi yang dapat dibebankan terhadap pencemar atau perusak

lingkungan hidup menurut Pasal ini dapat ditetapkan sampai batas tertentu, yang

dimaksud dengan “sampai batas waktu tertentu” adalah jika menurut penetapan

peraturan perundang-undangan ditentukan keharusan asuransi bagi usaha dan/atau

37 Rufinus, Hotmaulana Hutauruk, Penanggulangan Kejahatan Korporasi melaluiPendekatan Restoratif suatu Terobosan Hukum, (Jakarta: Sinar Grafika, 2013), halaman 56.

Page 65: Kode/Nama Rumpun Ilmu : 596 / Ilmu Hukum LAPORAN AKHIRilib.usm.ac.id/sipp/doc/penelitian/A017-20161004020602-LAPORANAKHI... · Surat Perjanjian Penugasan dalam Rangka Pelaksanaan

58

kegiatan yang bersangkutan atau telah tersedia dana lingkungan hidup.

Rumusan Pasal 88 UU No. 32 Tahun 2009 secara jelas bersifat

khusus karena unsur-unsurnya telah secara khusus menunjuk kepada hal atau

syarat tertentu sehingga dapat diidentifikasi atau digolongkan ke dalam bentuk

pertanggungjawaban tertentu. Unsur-unsur yang bersifat khusus yang

mencirikan pertanggungjawaban khusus itu ialah strict liability yang ciri

utamanya antara lain timbulnya tanggung jawab langsung dan seketika pada saat

terjadinya perbuatan, sehingga tidak perlu dikaitkan dengan unsur kesalahan

(fault, schuld). Dengan demikian pihak penggugat yang mengalami kerugian

(injured party) masih harus membuktikan bahwa kerugian yang dialami

diakibatkan oleh perbuatan atau kegiatan tergugat (atau para tergugat). Hal ini

diistilahkan dengan pembuktian causal link (kausalitas) atau hubungan sebab

akibat. Hal ini sebagaimana yang ditegaskan dalam Green Paper on

Remedying Environmental Damage sebagai berikut: “Strict liability or liability

without fault, eases the burden of establishing liability because fault need not to

be established. However, the injured party must still prove that the damage was

caused by some one’s act…”.

Pasal 88 UU No. 32 Tahun 2009 mengandung beberapa unsur penting,

yaitu:

a. Setiap orang

b. yang tindakannya, usahanya, dan/atau kegiatannya menggunakan

B3,

c. menghasilkan dan/atau mengelola limbah B3, dan/atau yang

Page 66: Kode/Nama Rumpun Ilmu : 596 / Ilmu Hukum LAPORAN AKHIRilib.usm.ac.id/sipp/doc/penelitian/A017-20161004020602-LAPORANAKHI... · Surat Perjanjian Penugasan dalam Rangka Pelaksanaan

59

menimbulkan ancaman serius terhadap lingkungan hidup

d. bertanggung jawab mutlak atas kerugian yang terjadi

e. tanpa perlu pembuktian unsur kesalahan

Berdasarkan unsur-unsur di atas, unsur d) dan e) dapat diinterpretasikan

sebagai suatu pengertian yang tampaknya belum umum dalam perangkat-

perangkat hukum Indonesia. Dalam pengertian (logika) hukum yang umum

bahwa tidaklah mungkin untuk menentukan seseorang bertanggung jawab pada

suatu hal yang merugikan seseorang, sebelum ia dinyatakan bersalah. Artinya

seseorang tidak dapat dibebankan kewajiban bertanggung jawab kecuali kalau

bukan atas dasar kesalahan (fault) sebagaimana dengan prinsip dari “Tortious

Liability”.

Di dalam strict liability, seseorang bertanggung jawab kapanpun

kerugian timbul. Hal ini berarti bahwa: Pertama, para korban dilepaskan dari

beban berat untuk membuktikan adanya hubungan kausal antara kerugiannya

dengan tindakan indivual tergugat; Kedua, para “potential polluter” akan

memperhatikan baik tingkat kehati-hatiannya (level of care), maupun tingkat

kegiatannya (level of activity). Dua hal ini merupakan kelebihan strict liability

dari konsep kesalahan. Oleh karena sifat khasnya yang tegas dan keras, maka

strict liability tidaklah dapat dikenakan kepada semua kegiatan. Hanya kegiatan-

kegiatan tertentu saja yang dapat dikenakan strict liability. Pertimbangan

untuk menentukan ruang lingkup strict liability :

Page 67: Kode/Nama Rumpun Ilmu : 596 / Ilmu Hukum LAPORAN AKHIRilib.usm.ac.id/sipp/doc/penelitian/A017-20161004020602-LAPORANAKHI... · Surat Perjanjian Penugasan dalam Rangka Pelaksanaan

60

1. Tingkat risiko (the degree of risk); dalam hal ini risiko

dianggap tinggi apabila tidak dapat dijangkau oleh upaya yang

lazim, menurut kemampuan teknologi yang telah ada;

2. Tingkat bahaya (the gravity of harm); dalam hal ini bahaya

dianggap sangat sulit untuk dicegah pada saat mulai terjadinya;

3. Tingkat kelayakan upaya pencegahan (the appropriateness);

dalam hal ini si penanggung jawab harus menunjukkan upaya

maksimal untuk mencegah terjadinya akibat yang menimbulkan

kerugian pada pihak lain;

4. Pertimbangan terhadap keseluruhan nilai kegiatannya (value of

activity); dalam hal ini pertimbangan risiko dan manfaat

kegiatan telah dilakukan secara memadai sehingga dapat

diperkirakan bahwa keuntungan yang diperoleh akan lebih besar

jika dibandingkan dengan ongkos-ongkos yang harus dikeluarkan

untuk mencegah timbulnya bahaya.

Strict liability atau absolute liability atau yang disebut juga dengan

pertanggungjawaban tanpa kesalahan (no-fault liability or liability without fault)

adalah prinsip tanggung jawab tanpa keharusan untuk membuktikan adanya

kesalahan. Menurut Barda Nawawi Arief sering dipersoalkan, apakah strict

liability itu sama dengan absolute liability. Mengenai hal ini ada dua pendapat.

Pendapat pertama menyatakan, bahwa strict liability merupakan absolute

liability. Alasan atau dasar pemikirannya ialah, bahwa dalam perkara strict

Page 68: Kode/Nama Rumpun Ilmu : 596 / Ilmu Hukum LAPORAN AKHIRilib.usm.ac.id/sipp/doc/penelitian/A017-20161004020602-LAPORANAKHI... · Surat Perjanjian Penugasan dalam Rangka Pelaksanaan

61

liability seseorang yang telah melakukan perbuatan terlarang (actus reus)

sebagaimana dirumuskan dalam undang-undang sudah dapat dipidana tanpa

mempersoalkan apakah si pelaku mempunyai kesalahan (mens rea) atau tidak.

Jadi sesorang yang sudah melakukan tindak pidana menurut rumusan undang-

undang harus/mutlak dapat dipidana.38

Pendapat kedua menyatakan, bahwa strict liability bukan absolute

liability, artinya orang yang telah melakukan perbuatan terlarang menurut

undang-undang tidak harus/belum tentu dipidana. Menurut doktrin strict liability

(pertanggungjawaban mutlak), seseorang sudah dapat dipertanggungjawabkan

untuk tindak pidana tertentu walaupun pada diri orang itu tidak ada

kesalahan (mens rea).39

Dalam lapangan hukum pidana, Prinsip tanggung jawab mutlak (strict

liability), prinsip ini menegaskan pembuktian kesalahan berdasarkan sistem

hukum Eropa Kontinental. Sebagai konsep yang berakar dari sistem hukum Anglo

saxon, pembuktian ini lebih mudah dan cenderung praktis dibandingkan dengan

sistem hukum Eropa Kontinental yang dianut oleh Indonesia. Pemidanaan

haruslah dapat dilihat dari dipertanggungjawabkan perbuatan seseorang. Dengan

demikian pertanggungjawaban pidana selalu selalu tertuju pada pembuat tindak

pidana tersebut. Pertanggungjawaban pidana ditujukan kepada pembuat (dader).

Maka apabila orang yang melakukan tindak pidana maka pertanggungjawaban

haruslah dikenakan kepada para pelaku. Pertanggungjawaban pidana hanya dapat

38 Barda Nawawi Arief , Op.Cit., halaman 40.39 Ibid.

Page 69: Kode/Nama Rumpun Ilmu : 596 / Ilmu Hukum LAPORAN AKHIRilib.usm.ac.id/sipp/doc/penelitian/A017-20161004020602-LAPORANAKHI... · Surat Perjanjian Penugasan dalam Rangka Pelaksanaan

62

terjadi jika sebelumnya subyek hukum pidana tersebut melakukan tindak pidana.

Sedangkan didalam sistem hukum Common law system, berlaku asas “actus non

est reus, nisi mens sit rea”. Suatu perbuatan tidak dapat dikatakan bersifat

kriminal jika “tidak terdapat kehendak jahat” didalamnya. Dengan demikian,

dalam sistem common law system, bahwa untuk dapat dipertanggungjawabkan

seseorang karena melakukan tindak pidana, sangat ditentukan oleh adanya mens

rea pada diri seseorang tersebut. Dengan demikian, mens rea yang hal ini dapat

kita lihat dari rujukan sistem hukum Civil law, atau dengan kata lain dapat kita

sinkronkan dengan ajaran “guilty of mind”, merupakan hal yang menentukan

pertanggungjawban pembuat tindak pidana. Dari dari sisi ini, penggunaan mens

rea dalam common law sistem, pada prinsipnya sejalan dengan penerapan asas

“tiada pidana tanpa kesalahan” dalam civil law sistem.

Berdasarkan hal di atas, maka secara prinsip penggunaan doktrin “mens

rea” dalam sistem hukum common law sejalan dengan asas “geen straf zonder

schul beginsel” dalam sistem hukum civil law. Maka untuk menentukan kesalahan

dengna menggunakan “tiada pidana tanpa kesalahan yaitu “Geen straf zonder

schuld, actus non facit reum nisi mens sir rea”, (aqua means rea atau “kehendak

jahat”). Prinsip ini kemudian dinegasikan Prinsip tanggung jawab mutlak mutlak

(strict liability). Pembuktian tidak semata-mata dilihat apakah pelaku (dader)

melakukan tindak pidana yang dituduhkan melakukan kesalahan atau tidak, tapi

beban pembuktian langsung mutlak dibebankan terhadap pelaku (dader) terhadap

kejahatan-kejahatan yang berkaitan dengna sumber daya alam (termasuk

kejahatan lingkungan hidup). Prinsip tanggung jawab mutlak (strict liability)

Page 70: Kode/Nama Rumpun Ilmu : 596 / Ilmu Hukum LAPORAN AKHIRilib.usm.ac.id/sipp/doc/penelitian/A017-20161004020602-LAPORANAKHI... · Surat Perjanjian Penugasan dalam Rangka Pelaksanaan

63

dibebankan kepada perusahaan lingkungan hidup yang nyata-nyata melakukan

kesalahan/kelalaian dalam pengelolaan lingkungan hidup. Dengan demikian,

maka pembuktian menjadi sederhana dan mudah diterapkan. Pembuktian ini

praktis sehingga tidak perlu memenuhi unsur yang dituduhkan kepada pelaku

(dader). Berangkat dari prinsip ini, praktis kejahatan yang berkaitan dengan

lingkungan hidup lebih banyak dibebankan kepada perusahaan. Kasus Lapindo

sebagai contoh merupakan sebuah peristiwa yang menarik. Berlarut-larutnya

pemeriksaan kasus Lapindo dan tarik menarik antara Kepolisian dan Kejaksaan

dan belum juga dinyatakan lengkap (P21), berangkat dari pemahaman penegak

hukum yang tidak menerapkan prinsip tanggung jawab mutlak mutlak (strict

liability). Sikap ngototnya penegak hukum untuk melihat keterlibatan pelaku

(dader) kemudian terjebak dengan hak-hal yang bersifat teknis yang sulit

pembuktiannya. Padahal dengan menerapkan prinsip tanggung jawab mutlak

mutlak (strict liability), maka tidak perlu dibuktikan, apakah para pelaku (dader)

melakukan perbuatan itu atau tidak, tapi penegak hukum bisa membuktikan,

bahwa karena kesalahan atau kelalaian dari Lapindo, menyebabkan bencana.

Dengan pembuktian yang sederhana ini, maka kasus Lapindo bisa disidangkan

dimuka hukum. Dan korporasi yang bertanggung jawab dalam bencana Lapindo

dapat dipersalahkan dan pertanggungjawaban pidana.

Prinsip tanggung jawab mutlak (strict liability) inilah salah satu solusi

untuk menyelesaikan berbagai kejahatan baik kesengajaan ataupun kelalaian dari

korporasi lingkungan hidup. Prinsip tanggung jawab mutlak mutlak (strict

Page 71: Kode/Nama Rumpun Ilmu : 596 / Ilmu Hukum LAPORAN AKHIRilib.usm.ac.id/sipp/doc/penelitian/A017-20161004020602-LAPORANAKHI... · Surat Perjanjian Penugasan dalam Rangka Pelaksanaan

64

liability) merupakan prinsip yang sederhana dan pembuktian yang mudah

menyebabkan berbagai kejahatan di berbagai dunia dapat diselesaikan.

Page 72: Kode/Nama Rumpun Ilmu : 596 / Ilmu Hukum LAPORAN AKHIRilib.usm.ac.id/sipp/doc/penelitian/A017-20161004020602-LAPORANAKHI... · Surat Perjanjian Penugasan dalam Rangka Pelaksanaan

65

BAB 6

SIMPULAN DAN SARAN

6.1. Simpulan

Berdasarkan hasil penelitian yang telah dikemukakan di atas, maka

kami tim peneliti dapat menyimpulkan hasil penelitian sebagai berikut :

6.1.1. Pengakuan korporasi sebagai subjek hukum yang dapat

dipertanggungjawabkan secara pidana pada tindak pidana lingkungan

hidup ditegaskan dalam Pasal 1 angka 32 UU No. 32 Tahun 2009

tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, yaitu

“Setiap orang adalah orang perseorangan atau badan usaha, baik yang

berbadan hukum maupun yang tidak berbadan hukum”. Apabila

diterjemahkan lebih jauh bahwa subjek hukum dimaksud dalam Pasal

1 angka 32 UUPPLH 2009 ini adalah orang, badan hukum, dan tidak

berbadan hukum. Berbadan hukum dan tidak berbadan hukum

maksudnya adalah korporasi. Maka subjek tindak pidana yang

dimaksud dalam hal ini adalah korporasi.

6.1.2. Prinsip tanggung jawab mutlak (strict liability) dalam UU No. 32

Tahun 2009 tentang Perlindugan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup

pada Bab XII (Penyelesaian Sengketa Lingkungan), Bagian Ketiga

(Penyelesaian Sengketa Lingkungan Hidup Melalui Pengadilan),

Paragraf 2, Pasal 88 secara jelas mendefinisikan asas strict liability

Page 73: Kode/Nama Rumpun Ilmu : 596 / Ilmu Hukum LAPORAN AKHIRilib.usm.ac.id/sipp/doc/penelitian/A017-20161004020602-LAPORANAKHI... · Surat Perjanjian Penugasan dalam Rangka Pelaksanaan

66

dengan tanggung jawab mutlak. Pasal tersebut berbunyi: “Setiap

orang yang tindakannya, usahanya, dan/atau kegiatannya

menggunakan B3, menghasilkan dan/atau mengelola limbah B3,

dan/atau yang menimbulkan ancaman serius terhadap lingkungan

hidup bertanggung jawab mutlak atas kerugian yang terjadi tanpa

perlu pembuktian unsur kesalahan.” Selanjutnya dalam penjelasan

Pasal 88 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 dirumuskan

bahwa yang dimaksud dengan “bertanggung jawab mutlak” atau strict

liability adalah unsur kesalahan tidak perlu dibuktikan oleh pihak

penggugat sebagai dasar pembayaran ganti rugi. Ketentuan ayat ini

sebagai lex specialis dalam gugatan tentang perbuatan melawan

hukum pada umumnya. Besarnya nilai ganti rugi yang dapat

dibebankan terhadap pencemar atau perusak lingkungan hidup

menurut Pasal ini dapat ditetapkan sampai batas tertentu, yang

dimaksud dengan “sampai batas waktu tertentu” adalah jika menurut

penetapan peraturan perundang-undangan ditentukan keharusan

asuransi bagi usaha dan/atau kegiatan yang bersangkutan atau telah

tersedia dana lingkungan hidup.

6.2. Saran

Harus diatur secara eksplisit dalam peraturan perundang-undangan yang

menentukan korporasi sebagai subjek tindak pidana mengenai kapan suatu

Page 74: Kode/Nama Rumpun Ilmu : 596 / Ilmu Hukum LAPORAN AKHIRilib.usm.ac.id/sipp/doc/penelitian/A017-20161004020602-LAPORANAKHI... · Surat Perjanjian Penugasan dalam Rangka Pelaksanaan

67

korporasi dapat dikatakan melakukan tindak pidana. Demikian juga halnya

dengan ketentuan mengenai siapa yang dapat dituntut dan dijatuhi

pidana atas kejahatan yang dilakukan korporasi harus diatur secara

tegas, agar supaya korporasi tidak dapat mengelak atas kejahatan yang

dilakukannya dengan berlindung dibalik pengurus korporasi.

Page 75: Kode/Nama Rumpun Ilmu : 596 / Ilmu Hukum LAPORAN AKHIRilib.usm.ac.id/sipp/doc/penelitian/A017-20161004020602-LAPORANAKHI... · Surat Perjanjian Penugasan dalam Rangka Pelaksanaan

1

Page 76: Kode/Nama Rumpun Ilmu : 596 / Ilmu Hukum LAPORAN AKHIRilib.usm.ac.id/sipp/doc/penelitian/A017-20161004020602-LAPORANAKHI... · Surat Perjanjian Penugasan dalam Rangka Pelaksanaan

viii

DAFTAR PUSTAKA

a. Buku-Buku

Amirin, Tatang A. Menyusun Rencana Penelitian. Jakarta: CV. Rajawali,1986.

Abidin, Andi Zaenal. Bunga Rampai Hukum Pidana. Jakarta: PradnyaParamita, 1983.

Arief, Barda Nawawi. Perbandingan Hukum Pidana. Jakarta: PTRajagrafindo Persada, 2002.

Atmasasmita, Romli. Asas-asas Perbandingan Hukum Pidana, CetakanPertama. Jakarta: Yayasan LBH, 1989.

Bakker, Anton., dan Ahmad Charris Zubair. Metodologi Penelitian FilsafatYogyakarta: Kanisius, 1990.

Farid, A. Zainal Abidin. Hukum Pidana I, Cetakan Pertama. Jakarta: SinarGrafika, 1995.

Hetrik, Hamzah. Asas Pertanggungjawaban Korporasi dalam HukumPidana. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada , 1996.

Hulsman, L. H . C, Sistem Peradilan Pidana dalam PerspektifPerbandingan Hukum Pidana, Penyadur, Soedjono Dirdjosisworo,(Jakarta; CV: Rajawali Pers.

Hutauruk, Rufinus Hotmaulana. Penanggulangan Kejahatan Korporasimelalui Pendekatan Restoratif suatu Terobosan Hukum. Jakarta:Sinar Grafika, 2013.

Mikles, Matthrew B. & A. Michael Huberman. Analisis Data Kualitatif, terj.Tjetjep Rehendy Rohidi. Jakarta: UI Press, 1992

Moljatno. Asas-asas Hukum Pidana, Cetakan Kedua. Jakarta: Bina Aksara,1984.

Marpaung, Leden. Unsur-unsur Perbuatan yang Dapat Dihukum (Deik),Cetakan Pertama. Jakarta: Sinar Grafika, 1991.

Mudzakir, Aspek Hukum Pidana Dalam Pelanggaran Lingkungan, dalamErman Rajagukguk dan Ridwan Khairandy (ed), HukumLingkungan Hidup di Indonesia, 75 Tahun Prof. Dr. Koesnadi

Page 77: Kode/Nama Rumpun Ilmu : 596 / Ilmu Hukum LAPORAN AKHIRilib.usm.ac.id/sipp/doc/penelitian/A017-20161004020602-LAPORANAKHI... · Surat Perjanjian Penugasan dalam Rangka Pelaksanaan

ix

Hardjasoemantri, SH.,ML. Jakarta: Universitas Indonesia, 2001.

Muladi dan Barda Nawawi Arief. Teori dan Kebijakan Pidana. Bandung:Alumni, 1998.

Reksodiputro, Mardjono. Kemajuan Pembangunan Ekonomi danKejahatan, PusatPelayanan Keadilan dan Pengabdian Hukum.Jakarta: Universitas Indonesia, 1994.

Soemitro, Ronny Hanitijo. Metodologi Penelitian Hukum dan Yurimetri,Cetakan III. Jakarta: Ghalia Indonesia, 1988.

Sommers, M. Logika. Bandung: Alumni, 1992.

Sudarto, Hukum Pidana I, Cetakan kedua. Semarang: Yayasan SudartoFakultas Hukum Universitas Diponegoro, 1990.

Suhaimi, T. Pertanggungjawaban Pidana Direksi. Bandung: BooksTerrace & Library, 2010.

Sunggono, Bambang. Metode Penelitian Hukum. Jakarta: PT. Raja GrafindoPersada, 2002.

Suriasumantri Jujun S. Filsafat Ilmu-Sebuah Pengantar Populer. Jakarta:Pustaka Sinar Harapan, 1996.

Syahrin, Alvi. Beberapa Isu Hukum Lingkungan Kepidanaan. Medan:Sofmedia, 2009.

Warassih, Esmi. “Metodologi Penelitian Bidang Ilmu Humaniora, Kompilasimakalah Pelatihan Metodologi Penelitian Ilmu Sosial, BagianHukum dan Masyarakat”. Semarang: Fakultas Hukum UNDIP,1999.

b. Peraturan Perundang-undangan

Sekretariat Negara RI. Undang-Undang No. 1 Tahun 1946 tentang PeraturanHukum Pidana (KUHP). Jakarta, 1946.

Sekretariat Negara RI. Undang-Undang No. 32 Tahun 2009 tentangPerlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Jakarta, 2009.

Page 78: Kode/Nama Rumpun Ilmu : 596 / Ilmu Hukum LAPORAN AKHIRilib.usm.ac.id/sipp/doc/penelitian/A017-20161004020602-LAPORANAKHI... · Surat Perjanjian Penugasan dalam Rangka Pelaksanaan

x

Sekretariat Negara RI. Peraturan Pemerintah No. 27 Tahun 1999 tentangAnalisis Mengenai Dampak Lingkungan. Jakarta, 1999

c. RUU KUHP :

Direktorat Perundang-undangan, Direktorat Jenderal Hukum dan Perundang-undangan, Departemen Hukum dan Perundang-undangan, 1999-2000, Rancangan Undang-undang Republik Indonesia TentangKitab Undang-Undang Hukum Pidana.

Page 79: Kode/Nama Rumpun Ilmu : 596 / Ilmu Hukum LAPORAN AKHIRilib.usm.ac.id/sipp/doc/penelitian/A017-20161004020602-LAPORANAKHI... · Surat Perjanjian Penugasan dalam Rangka Pelaksanaan

xi

LAMPIRAN

Lampiran 1. Biodata Ketua dan Anggota Peneliti

1.1 Biodata Ketua Peneliti

1.1.1. Identitas Diri

No. Biodata Uraian

1. Nama Lengkap (dengan gelar) Subaidah Ratna Juita, S.H., M.H.

2. Jabatan Fungsional Asisten Ahli / III b

3. Jabatan Struktural Kepala Lab. FH-USM (2012-1016)

4. NIS / NIDN 06557003801049 / 0614127801

5. Tempat dan Tanggal Lahir Sorong / 14 Desember 1978

6. Alamat Rumah Jl. Sidoluhur VII No. 11 Tlogosari

Semarang

7. No. Telepon/Faks./HP 081390896644

8. Alamat e-mail [email protected]

9. Mata Kuliah yang Diampu 1. Hukum Pidana

2. Hukum Pidana Lanjut

3. Kriminologi

4. Hukum dan HAM

5. Kebijakan Kriminal

10. Riwayat Pendidikan S-1 S-2

Fakultas Hukum-

UII Yogyakarta

Magister

Hukum-UII

Yogyakarta

Page 80: Kode/Nama Rumpun Ilmu : 596 / Ilmu Hukum LAPORAN AKHIRilib.usm.ac.id/sipp/doc/penelitian/A017-20161004020602-LAPORANAKHI... · Surat Perjanjian Penugasan dalam Rangka Pelaksanaan

xii

1.1.2. Pengalaman Penelitian dalam 5 Tahun Terakhir

No. Tahun Judul Penelitian Pendanaan

Sumber Jumlah

(Rp)

1. 2009 Penerapan Sanksi Pidana dan

Tindakan sebagai Sistem

Pemidanaan (Studi Kasus di

Pengadilan Negeri Semarang)

USM 2.500.000,-

2. 2010 Abortus Provocatus Pada

Korban Perkosaan dalam

Perspektif Hukum Pidana

(Suatu Kajian Normatif)

USM 2.500.000,-

Kebijakan Penerapan

Sanksi Pidana Penjara

terhadap Perempuan Pelaku

Tindak Pidana dalam

Hukum Positif

USM 2.500.000,-

3. 2011 Implikasi Ketentuan Tindak

Pidana Korupsi terhadap

Kontrak Jasa Konstruksi

LPJKD

Semarang

34.000.000,-

Implikasi Undang-Undang

Nomor 30 Tahun 2004

berkaitan dengan

Pemanggilan Notaris 0leh

Penyidik Polri di Jawa

Tengah

DEPKUMHAM

Kanwil Jawa

Tengah

35.000.000,-

Sistem Pemidanaan USM 2.500.000,-

Page 81: Kode/Nama Rumpun Ilmu : 596 / Ilmu Hukum LAPORAN AKHIRilib.usm.ac.id/sipp/doc/penelitian/A017-20161004020602-LAPORANAKHI... · Surat Perjanjian Penugasan dalam Rangka Pelaksanaan

xiii

terhadap Pelaku

Pelanggaran Hak Cipta

(Studi Kasus di Pengadilan

Negeri Semarang)

4. 2012 Fungsionalisasi Lembaga

Praperadilan dalam Perkara

Pidana : Suatu Kajian

Normatif

USM 2.500.000,-

Perlindungan Hukum bagi

Konsumen dalam

Perjanjian Pembiayaan

Konsumen (Suatu Kajian

Normatif)

USM 2.500.000,-

5. 2013 Kebijakan Hukum Pidana

tentang Formulasi Sanksi

Pidana pada Tindak Pidana

Narkotika : Suatu Kajian

Normatif

USM 2.500.000,-

Kebijakan Formulasi

Hukum Pidana Terhadap

Keadilan Restorasi dan

Diversi Menurut UU No.11

Tahun 2012 tentang Sistem

Peradilan Pidana Anak

USM 2.500.000,-

Page 82: Kode/Nama Rumpun Ilmu : 596 / Ilmu Hukum LAPORAN AKHIRilib.usm.ac.id/sipp/doc/penelitian/A017-20161004020602-LAPORANAKHI... · Surat Perjanjian Penugasan dalam Rangka Pelaksanaan

xiv

1.1.3. Pengalaman Pengabdian Kepada Masyarakat dalam 5 Tahun

Terakhir

No. Tahun Judul Pengabdian Kepada Masyarakat Pendanaan

Sumber Jumlah

(Rp)

1. 2009 Penyuluhan Hukum tentang Sosialisasi

Pemilihan Umum 2009 di Kelurahan

Bugangan Kecamatan Semarang Timur

USM 1.500.000,-

Penyuluhan Hukum tentang Sosialisasi

Pemilihan Umum 2009 di Kelurahan

Mlatiharjo Kecamatan Semarang Timur

USM 1.500.000,-

2. 2010 Penyuluhan Hukum tentang PenghapusanKekerasan Dalam Rumah Tangga di RW. 10Kelurahan Pudak Payung KecamatanSemarang Selatan

USM 1.500.000,-

Penyuluhan Hukum tentang PenghapusanKekerasan Dalam Rumah Tangga di RT.08RW. 06 Kelurahan Pedalangan KecamatanBanyumanik

USM 1.500.000,-

3. 2011 Peningkatan Pemahaman Masyarakat

tentang Perlindungan bagi Anak di

Kelurahan Mlatiharjo, Kecamatan Semarang

Timur, Kota Semarang

USM 1.500.000,-

Penyuluhan Hukum tentang Tindak Pidana

Pengguguran Kandungan (Abortus

Provocatus) pada Korban Perkosaan di

Kelurahan Mlatiharjo, Kecamatan Semarang

TimurKota Semarang

USM 1.500.000,-

Page 83: Kode/Nama Rumpun Ilmu : 596 / Ilmu Hukum LAPORAN AKHIRilib.usm.ac.id/sipp/doc/penelitian/A017-20161004020602-LAPORANAKHI... · Surat Perjanjian Penugasan dalam Rangka Pelaksanaan

xv

4. 2012 Penyuluhan Hukum tentang Kenakalan

Remaja di Kelurahan Lumansari, Kecamatan

Keguh, Kota Kendal

Mandiri

Penyuluhan Hukum tentang Penghapusan

Kekerasan dalam Rumah Tangga di

Kelurahan Tembalang, Kecamatan

Tembalang, Kota Semarang

Mandiri

Peningkatan Pemahaman Masyarakat

mengenai Aspek Hukum Pidana tentang

Tawuran Pelajar

USM 1.500.000,

5. 2013 Peningkatan Pemahaman Siswa SMA

Kesatrian 2 Semarang mengenai

Pelanggaran Lalu Lintas dan Sanksi

Hukumnya.

USM 1.500.000,

Semarang,25 November 2013

Ketua Tim Peneliti,

Subaidah Ratna Juita, S.H., M.H.NIS: 06557003801049

Page 84: Kode/Nama Rumpun Ilmu : 596 / Ilmu Hukum LAPORAN AKHIRilib.usm.ac.id/sipp/doc/penelitian/A017-20161004020602-LAPORANAKHI... · Surat Perjanjian Penugasan dalam Rangka Pelaksanaan

xvi

2.2. Biodata Anggota Peneliti 1

2.2.1. Identitas Diri

1. Nama Lengkap (dengan gelar) : Dewi Tuti Muryati,S.H.,M.H.

2. Jabatan Fungsional : Lektor/ IIIc

3. Jabatan Struktural : -

4. NIS/NIDN : 06557003801003 /0612045801

5. Tempat dan Tanggal Lahir : Kudus, 12 April 1958

6. Alamat Rumah : Jl. Gombel Permai XV/456 Semarang

7. Nomor Telepon/Faks/HP : 081805824489

8. Alamat e-mail : [email protected]

9. Mata Kuliah yang Diampu : 1. Hukum Lingkungan

2. Hukum Bisnis

3. Penyelesaian Sengketa di LuarPengadilan

4. Hukum Perusahaan

5. Hukum Persaingan Usaha

10. Riwayat Pendidikan : 1. S1 Fak. Hukum UNDIP

2. S2 Magister Ilmu Hukum UNDIP

Page 85: Kode/Nama Rumpun Ilmu : 596 / Ilmu Hukum LAPORAN AKHIRilib.usm.ac.id/sipp/doc/penelitian/A017-20161004020602-LAPORANAKHI... · Surat Perjanjian Penugasan dalam Rangka Pelaksanaan

xvii

2.2.2. Pengalaman Penelitian Dalam 5 Tahun Terakhir

No Tahun Judul Penelitian Pendanaan

Sumber Jml. (Rp)

1 2009 Implementasi KebijakanLingkungan Hidup DalamAktivitas Industri di KotaSemarang (sebagai ketua).

USM 2.500.000

2 2010 Efektifitas Pelaksanaan SunsetPolicy dalam MeningkatkanKepatuhan Wajib Pajak diKota Semarang (sebagaianggota).

USM 2.500.000

3 2010 Penerapan Konsep TanggungJawab Sosial Perusahaandalam Kebijakan Korporasi(sebagai ketua).

USM 2.500.000

4 2011 Kajian Normatif PenerapanFungsi Pajak sebagaiInstrumen PelindungLingkungan Hidup padaPeraturan Daerah Pajak AirTanah dan Pajak MineralBukan Logam dan Batuan diKota Semarang (sebagaianggota).

USM 2.500.000

5 2011 Implikasi Ketentuan TindakPidana Korupsi TerhadapKontrak Jasa Konstruksi(sebagai ketua).

LPJKDSemarang

34.000.000

6 2011 Penyelesaian Sengketa BidangPerdagangan melaluiMekanisme Nonlitigasi(sebagai ketua).

USM 2.500.000

7 2011 Pelaksanaan Tugas danWewenang Badan

USM 2.500.000

Page 86: Kode/Nama Rumpun Ilmu : 596 / Ilmu Hukum LAPORAN AKHIRilib.usm.ac.id/sipp/doc/penelitian/A017-20161004020602-LAPORANAKHI... · Surat Perjanjian Penugasan dalam Rangka Pelaksanaan

xviii

Penyelesaian SengketaKonsumen Berdasarkan UUNo. 8 Th. 1999 tentangPerlindungan Konsumen(sebagai anggota).

8 2012 Implikasi dan KonsekuensiHukum Pembubaran PerseroanTerbatas dalam Perspektif UUNo. 40 Th. 2007 (sebagaiketua).

USM 2.500.000

9 2012 Persepsi Dosen mengenaiPerlindungan Hak Cipta atasBuku dan Karya Tulis menurutUU No. 19 Th. 2002 tentangHak cipta di LingkunganUniversitas Semarang (sebagaianggota).

USM 2.500.000

2.2.3. Pengalaman Pengabdian Kepada Masyarakat Dalam 5 Tahun

Terakhir

No Tahun Judul Penelitian Pendanaan

Sumber Jml.Rp.

1 2009 Penyuluhan Hukum mengenaiUU No. 23 Th. 2004 tentangPenghapusan Kekerasan dalamRumah Tangga di KelurahanMlatiharjo, Kecamatan SemarangTimur, Kota Semarang.

USM 1.500.000,-

2 2010 Penyuluhan Hukum mengenaiUU No. 23 Th. 2004 tentangPenghapusan Kekerasan dalamRumah Tangga di KelurahanMlatiharjo, Kecamatan SemarangTimur, Kota Semarang.

Mandiri 1.500.000,-

Page 87: Kode/Nama Rumpun Ilmu : 596 / Ilmu Hukum LAPORAN AKHIRilib.usm.ac.id/sipp/doc/penelitian/A017-20161004020602-LAPORANAKHI... · Surat Perjanjian Penugasan dalam Rangka Pelaksanaan

xix

3 2011 Penyuluhan Hukum mengenaiUU No. 8 Th. 1999 tentangPerlindungan Konsumen diKelurahan Sambiroto, KotaSemarang.

Mandiri 1.500.000,-

4 2011 Konsultasi Hukum tentangProsedur Pengajuan GugatanPerceraian di Pengadilan Agamadi Kelurahan Sambiroto, KotaSemarang.

USM 1.500.000,-

Semarang, 25 November 2013

Anggota Tim Peneliti 1,

Dewi Tuti Muryati, SH.,MH.06557003801003

Page 88: Kode/Nama Rumpun Ilmu : 596 / Ilmu Hukum LAPORAN AKHIRilib.usm.ac.id/sipp/doc/penelitian/A017-20161004020602-LAPORANAKHI... · Surat Perjanjian Penugasan dalam Rangka Pelaksanaan

xx

2.3. Biodata Anggota Peneliti 2

2.3.1. Identitas Diri

No. Biodata Uraian

1. Nama Lengkap (dengan gelar) Ani Triwati, S.H.,M.H.

2. Jabatan Fungsional Tenaga Pengajar

3. Jabatan Struktural -

4. NIS / NIDN 06557003801050/0628107401`

5. Tempat dan Tanggal Lahir Semarang, 28 Oktober 1974

6. Alamat Rumah Perum Pedurungan Sari No.45, Jl.Wolter

Monginsidi, Semarang.

7. No. Telepon/Faks./HP 08156545354

8. Alamat e-mail [email protected]

9. Mata Kuliah yang Diampu 1. Hukum Acara Pidana

2. Kemahiran Bantuan Hukum

3. Kemahiran Litigasi

10. Riwayat Pendidikan S-1 S-2Fakultas Hukum-USM Semarang

MagisterIlmuHukum

UNDIP

2.3.2. Pengalaman Penelitian dalam 5 Tahun Terakhir

No. Tahun Judul Penelitian Pendanaan

Sumber Jumlah

1. 2011 Perlindungan Hukum Bagi

Konsumen dalam Perjanjian

Pembiayaan Konsumen

USM Rp.2.500.000,00

2. 2012 Fungsionalisasi Lembaga

Praperadilan dalam Perkara

Pidana

USM Rp.2.500.000,00

Page 89: Kode/Nama Rumpun Ilmu : 596 / Ilmu Hukum LAPORAN AKHIRilib.usm.ac.id/sipp/doc/penelitian/A017-20161004020602-LAPORANAKHI... · Surat Perjanjian Penugasan dalam Rangka Pelaksanaan

xxi

2.3.3. Pengalaman Pengabdian Kepada Masyarakat dalam 5 Tahun

Terakhir

No. Tahun Judul Pengabdian Kepada

Masyarakat

Pendanaan

Sumber Jumlah

1. 2011 Konsultasi Hukum

Prosedur Pengajuan

Gugatan Perceraian di

Pengadilan Agama

USM Rp.1.500.000,000,-

2. 2012 Penyuluhan Hukum

Mengenai Kekerasan

dalam Rumah Tangga

Mandiri

3. 2012 Penyelesaian Perkara

Kekerasan dalam Rumah

Tangga

Mandiri

Semarang,25 November 2013

Anggota Tim Peneliti 2,

Ani Triwati, S.H., M.H.NIS: 06557003801050

Page 90: Kode/Nama Rumpun Ilmu : 596 / Ilmu Hukum LAPORAN AKHIRilib.usm.ac.id/sipp/doc/penelitian/A017-20161004020602-LAPORANAKHI... · Surat Perjanjian Penugasan dalam Rangka Pelaksanaan

xxii

Lampiran 2. Susunan Organisasi Tim Peneliti dan Pembagian Tugas

No. Nama NIDN Bidang Ilmu Alokasi

Waktu

(jam/minggu)

Uraian Tugas

1. SubaidahRatna Juita,S.H., M.H.

0614127801 Ilmu Hukum(HukumPidana)

12jam/minggu

1. menyiapkanrancanganusulaan

penelitian2.mengkoordinir

teknisPengumpulandata

3.mengkoordinirpengolahanData

4.mengkoordinirpenyusunanlaporan hasilpenelitian

5.mempresentasikan usulandan hasilpenelitian

2. Dewi TutiMuryati,S.H.,M.H.

0612045801 Ilmu Hukum(HukumLingkungan)

12jam/minggu

1.membantumenyiapkanrancanganusulanpenelitian

2.menyiapkansarana prasaranaPenelitian

3.bersama-samadengan ketuamengumpulkandan mengolahdata penelitian

4.bersama-samadengan ketuamenyusunlaporan hasilpenelitian

3. Ani Triwati, 0628107401 Ilmu Hukum 12 1.membantu

Page 91: Kode/Nama Rumpun Ilmu : 596 / Ilmu Hukum LAPORAN AKHIRilib.usm.ac.id/sipp/doc/penelitian/A017-20161004020602-LAPORANAKHI... · Surat Perjanjian Penugasan dalam Rangka Pelaksanaan

xxiii

S.H., M.H. ` (HukumAcaraPidana)

jam/minggu menyiapkanrancanganusulanpenelitian

2.menyiapkansarana prasaranaPenelitian

3.bersama-samadengan ketuamengumpulkandan mengolahdata penelitian

4.bersama-samadengan ketuamenyusunlaporan hasilpenelitian

Page 92: Kode/Nama Rumpun Ilmu : 596 / Ilmu Hukum LAPORAN AKHIRilib.usm.ac.id/sipp/doc/penelitian/A017-20161004020602-LAPORANAKHI... · Surat Perjanjian Penugasan dalam Rangka Pelaksanaan

xxiv

Lampiran 3. Laporan Pengeluaran Biaya Penelitian

LAPORAN PENGELUARAN BIAYA PENELITIANPENELITIAN DOSEN PEMULA TAHUN 2013

“ SISTEM PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA PADA TINDAKPIDANA LINGKUNGAN HIDUP

(SUATU REORIENTASI TENTANG ASAS STRICT LIABILITY ”

2. Bahan Habis Pakai dan Peralatan Penunjang

Material Justifikasi Pemakaian Kuantitas Harga Satuan(Rp)

HargaPeralatanPenunjang

(Rp)Proposal Memperbanyak

proposal (hardcopy)10 eks 35.000,00 350.000,-

Dokumen/datapenelitian

Dokumen untuk bahananalisis

2.000 lbr 250,00 500.000,-

LaporanPenelitian

Akuntabilitasadministrasi laporan

20 eks 75.000,00 1.500.000,-

BahanPresentasiseminar hasilpenelitian

Untuk disampaikandalam forum seminarhasil

20 x 50 =1000

lembar

150,00 150.000,-

Bukureferensi

Untuk proposal danpenelitian

15 judul 100.000,00 1.500.000,-

1. Honor

Honor Jumlah diterimakan (Rp)(sudah di potong pph 5% dari Rp

2.500.000,00)

Bukti Fisik

Ketua 1.425.000,00 K.01

Anggota 1 475.000,00 K.02

Anggota 2 475.000,00 K.03

Sub Jumlah 2.375.000,00

Page 93: Kode/Nama Rumpun Ilmu : 596 / Ilmu Hukum LAPORAN AKHIRilib.usm.ac.id/sipp/doc/penelitian/A017-20161004020602-LAPORANAKHI... · Surat Perjanjian Penugasan dalam Rangka Pelaksanaan

xxv

Tinta Refil

(toner)

Untuk mencetakproposal,instrumen,dokumentasidata,laporanpenelitian,dan lain-lain

2 tabung 350.000,- 700.000,-

Tinta Refil(desk-jet)

Untuk mencetakproposal, dokumentasidata, laporanpenelitian, dan lain-lain

4 botol 50.000,- 200.000,-

Kertas HVS Untuk pembuatanproposal, dokumentasidata,laporan penelitiandan lain-lain

4 rim 40.000,- 160.000,-

Compact disc Untuk merekam datadan dokumen lain

1 pak 150.000,- 150.000,-

ATK lain(klip,pensilpenghapus,spidol,blocknote

Untuk tulis menulisdan keperluanpengadminisitrasiandokumen penelitian

LS 750.000,- 750.000,-

SubJumlah

5.960.000,00

3. Perjalanan Dinas

Material Justifikasi Perjalanan Kuantitas Harga Satuan(Rp)

JumlahHarga(Rp)

Perjalanan Pembelian literatur 3 kali 625.000,- 1.875.000,-

Sub Jumlah 1.875.000,-

4. Lain-lain

Kegiatan Justifikasi Kuantitas HargaSatuan

(Rp)

JumlahHarga(Rp)

Pengumpulan dananalisis data

Untuk memperolehhasil,pembahasan, dansimpulanpenelitian

24 harikerja

10.000,- 240.000,-

Page 94: Kode/Nama Rumpun Ilmu : 596 / Ilmu Hukum LAPORAN AKHIRilib.usm.ac.id/sipp/doc/penelitian/A017-20161004020602-LAPORANAKHI... · Surat Perjanjian Penugasan dalam Rangka Pelaksanaan

xxvi

Pengetikan laporanpenelitian

Draft laporan yangsudah selesai,diketik menjadilaporan final

100 lbr 2.000,- 200.000,-

Penyelenggaraanseminar

Konsumsi,tenagapembantu dan lain-lain

50 pax 20.000,- 1.000.000,-

Publikasi JurnalIlmiah

725.000,- 725.000,-

Sub Jumlah 2.165.000,-

Total Pengeluaran 12.500.000,-

Semarang, 25 November 2013Ketua,

Subaidah Ratna Juita, S.H., M.H.NIS.06557003801049

5. Rekapitulasi

Total Pengeluaran 12.500.000,00

Biaya disetujui 12.500.000,00

Saldo 0,00

Page 95: Kode/Nama Rumpun Ilmu : 596 / Ilmu Hukum LAPORAN AKHIRilib.usm.ac.id/sipp/doc/penelitian/A017-20161004020602-LAPORANAKHI... · Surat Perjanjian Penugasan dalam Rangka Pelaksanaan

xxvii

Lampiran 4. Luaran (Artikel)

ASAS STRICT LIABILITY DALAM PERTANGGUNGJAWABAN PIDANAPADA KORPORASI PELAKU TINDAK PIDANA LINGKUNGAN HIDUP

Subaidah Ratna Juita, Dewi Tuti Muryati, Ani Triwati.Dosen Fakultas Hukum Universitas Semarang

ABSTRAK

Pengaturan mengenai pertanggungjawaban pidana terhadap korporasi sebagaipelaku tindak pidana lingkungan hidup sebagaimana yang terdapat dalamUUPPLH merupakan kebijakan legislasi yang memberikan legitimasi bahwakorporasi dapat dipertanggungjawabkan semata karena telah melakukanperbuatan melawan hukum tanpa memperhatikan kesalahannya. Oleh karena ituapabila korporasi melakukan tindak pidana lingkungan hidup sehinggamengakibatkan pencemaran atau perusakan lingkungan hidup yang berdampakmembahayakan dan merugikan bagi pihak lain, maka berdasarkan ketentuan yangterdapat dalam UU No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan PengelolaanLingkungan Hidup (UUPPLH) korporasi dapat dipertanggungjawabkan secarapidana dengan penerapan asas strict liability. Penelitian ini merupakan penelitianhukum normatif, yaitu penelitian yang menitikberatkan pada data sekunder.Sebagai penelitian hukum normatif, maka penelitian ini meliputi penelitianinventarisasi hukum positif, asas-asas hukum, penemuan hukum in concreto dansinkronisasi hukum, sehingga pendekatan yang digunakan adalah pendekatanyuridis-normatif, yaitu penelitian yang difokuskan untuk mengkaji penerapankaedah-kaedah atau norma-norma hukum positif. Dengan demikian, pendekatanyuridis-normatif dalam penelitian digunakan untuk menganalisis permasalahanyang berkaitan dengan penerapan asas strict liability untuk pertanggungjawabankorporasi sebagai pelaku tindak pidana di bidang lingkungan hidup.

Kata kunci: pertanggungjawaban korporasi, asas strict liability, tindakpidana lingkungan hidup.

Page 96: Kode/Nama Rumpun Ilmu : 596 / Ilmu Hukum LAPORAN AKHIRilib.usm.ac.id/sipp/doc/penelitian/A017-20161004020602-LAPORANAKHI... · Surat Perjanjian Penugasan dalam Rangka Pelaksanaan

xxviii

ABSTRACT

Arrangement hits penal's accountability to corporation as agent acts penalenvironment as it were that available in UUPPLH constitutes legislation policythat gives legitimasi that corporation that accountability can one eye becausehave done conduct contempts of court irregardless its fault. Therefore ifcorporation does to act pidana environment so begets sacrilege or impactedenvironment impairment jeopardizes and disadvantaging to side any other,therefore bases rule that exists in UU No. 32 Years 2009 about protection andEnvironment Managements (UUPPLH) corporation that accountability canpenal's with implemented base strict liability. This research constitutenormatif's law research, which is research which emphasize on secondary data.As observational as normatif's law, therefore this research cover stocktakingresearch sentences positive, jurisdictional grounds, in concreto's jurisdictionalfind and law synchronization, so approaching that is utilized is normatif's judicialformality approaching, which is research which is focused for study norms'simplement or positive law norms. Thus, normatif's judicial formality approachingin observational being utilized for menganalisis about problem which getsbearing with implemented base strict liability for corporation accountability asagent acts pidana at environment area.

Key word: corporation accountability, ground strict liability , environmentcriminal act.

Page 97: Kode/Nama Rumpun Ilmu : 596 / Ilmu Hukum LAPORAN AKHIRilib.usm.ac.id/sipp/doc/penelitian/A017-20161004020602-LAPORANAKHI... · Surat Perjanjian Penugasan dalam Rangka Pelaksanaan

viii

PENDAHULUAN

Pertanggungjawaban pidana

pada korporasi akan mendapat

kesulitan karena melekat pada sifat

dasar manusia alamiah seperti

kesengajaan dan kealpaan, tingkah

laku material, pidana dan tindakan.

Pemidanaan terhadap korporasi juga

dapat merugikan orang yang tidak

bersalah dan kemungkinan kesulitan

menentukan antara batas pengurus

dan korporasi . Sementara itu

perkembangan kehidupan

bermasyarakat terutama dalam

bidang perekonomian telah

melahirkan korporasi-korporasi

dengan semangat kapitalisme yang

bertujuan memperoleh keuntungan

sebesar-besarnya. Akibatnya aspek

viktimologis dari kejahatan korporasi

sangatlah besar yang dapat meliputi

kerugian terhadap negara,

masyarakat, konsumen, perusahaan

saingan, karyawan, pemegang saham

mapun biaya penegakan hukum yang

mahal.

Memperhatikan dampak

negatif dari pembangunan dan

modernisasi, khususnya

munculnya tindak pidana yang

dilakukan oleh korporasi dalam

bidang lingkungan hidup, wajar jika

pusat perhatian penegakan hukum

ditujukan pada upaya

penanggulangannya. Salah satu

penanggulangannya yang masih

dipermasalahkan adalah

penggunaan sarana hukum pidana.

Permasalahan tersebut meliputi

subjek korporasi yang masih

belum diakui secara tegas dalam

hukum pidana. Dan kalaupun

korporasi diakui sebagai pelaku

tindak pidana, bagaimana sistem

pertanggungjawaban pidananya

mengingat korporasi bukanlah

manusia yang mempunyai kesalahan,

baik berupa kesengajaan maupun

kealpaan.

Di samping permasalahan

tersebut di atas (pertanggungjawaban

pidana korporasi /corporate

liability), permasalahan dalam

Page 98: Kode/Nama Rumpun Ilmu : 596 / Ilmu Hukum LAPORAN AKHIRilib.usm.ac.id/sipp/doc/penelitian/A017-20161004020602-LAPORANAKHI... · Surat Perjanjian Penugasan dalam Rangka Pelaksanaan

ix

bentuk lain adalah pembuktian

bentuk-bentuk pelanggaran di

bidang lingkungan hidup yang

sangat sulit dan kompleks. Untuk

mengatasi kesulitan dan

kompleksitas pembuktian tersebut

muncul alternatif lain dalam hal

pertanggungjawaban pidana, yakni

adanya asas pertanggungjawaban

pidana terbatas/ketat (strict

liability) sebagai pengecualian dari

asas kesalahan. Dalam asas strict

liability si pembuat sudah dapat

dipidana apabila ia telah melakukan

perbuatan sebagaimana dirumuskan

dalam undang- undang tanpa

melihat bagaimana sikap

batinnya. Asas itu sering diartikan

secara singkat sebagai

pertanggungjawaban tanpa

kesalahan (liability without fault).

Dengan demikian, asas strict

liability di atas yakni mengenai

subjek delik dan mengenai asas

kesalahan, di dalam

perkembangannya mengalami

perluasan. Terhadap subjek delik,

dengan adanya perkembangan

masyarakat, dituntut adanya

pengakuan terhadap korporasi

sebagai pelaku dan dapat

dipertanggungjawabkan dalam

hukum pidana (corporate liability).

Terhadap sistem

pertanggungjawaban pidana,

muncul asas strict liability sebagai

pengecualian dari asas kesalahan.

Munculnya sistem

pertanggungjawaban pidana seperti

tersebut di atas tentu saja

menimbulkan pertanyaan yang

berkaitan dengan asas kesalahan

yang dianut hukum pidana selama

ini. Harus diakui bahwa asas

kesalahan merupakan asas yang

sangat fundamental dalam hukum

pidana sehingga asas itu sangat

penting dan dianggap adil dalam

mempertanggungjawabkan pelaku

delik. Dikatakan demikian, karena

pidana hanya dapat dijatuhkan

kepada pelaku delik yang

mempunyai kesalahan dan mampu

bertanggung jawab. Namun di pihak

Page 99: Kode/Nama Rumpun Ilmu : 596 / Ilmu Hukum LAPORAN AKHIRilib.usm.ac.id/sipp/doc/penelitian/A017-20161004020602-LAPORANAKHI... · Surat Perjanjian Penugasan dalam Rangka Pelaksanaan

x

lain, karena kemajuan ilmu

pengetahuan dan teknologi,

tampaknya penyimpangan terhadap

asas kesalahan itu juga akan

berpengaruh terhadap hukum pidana.

Apabila penyimpangan asas itu

harus diterapkan, akan timbul

pertanyaan bagaimanakah

perkembangan sistem

pertanggungjawaban pidana di era

sekarang ini, bagaimana sistem

pertanggungjawaban pidana dalam

hukum pidana nasional,

pertanggungjawaban pidana dalam

hukum pidana nasional yang akan

datang.

Oleh karena itu hukum pidana

harus responsif untuk

menanggulangi tindak pidana di

bidang lingkungan hidup yang

dilakukan oleh korporasi dengan

menempatkannya sebagai subjek

hukum dalam hukum pidana yang

dapat dipertanggungjawabkan

sehingga memberikan efek jera

(deterent effect). Harus diakui

pemidanaan terhadap pengurus

korporasi sebagaimana dalam Pasal

59 KUHP tidak cukup untuk

mengadakan represi terhadap tindak

pidana yang dilakukan korporasi.

Bertolak dari hal tersebut jelas

cakupannya sangat luas, guna

mencegah luasnya cakupan tersebut,

dan untuk memudahkan pembahasan

maka perlu dilakukan pembatasan

permasalahan. Adapun permasalahan

dalam penelitian ini dapat

dirumuskan sebagai berikut:

1. Bagaimanakah kedudukan

korporasi sebagai subjek hukum

(pelaku tindak pidana) dalam

bidang lingkungan hidup?

2. Bagaimana sistem

pertanggungjawaban pidana

terhadap korporasi sebagai pelaku

tindak pidana di bidang

lingkungan hidup berdasarkan

asas strict liability?

Berdasarkan pertimbangan,

bahwa masih sedikit kajian atau

penelitian dan literatur mengenai

sistem pertanggungjawaban pidana

Page 100: Kode/Nama Rumpun Ilmu : 596 / Ilmu Hukum LAPORAN AKHIRilib.usm.ac.id/sipp/doc/penelitian/A017-20161004020602-LAPORANAKHI... · Surat Perjanjian Penugasan dalam Rangka Pelaksanaan

xi

terhadap korporasi dalam bidang

lingkungan hidup berdasarkan

perspektif pendekatan asas strict

liability sebagai alternatif bentuk

pertanggungjawaban pidana oleh

korporasi (corporate liability)

sebagai pelaku tindak pidana di

bidang lingkugan hidup, sekaligus

sebagai respon atas keadaan di atas

dengan tujuan melengkapi literatur

maka penelitian ini mendapatkan

urgensinya. Penelitian yang

komprehensif, dan dilakukan

berdasarkan kajian normatif ini

diharapkan dapat memberikan

gambaran yang jelas mengenai asas

strict liability sebagai alternatif

bentuk pertanggungjawaban pidana

oleh korporasi (corporate liability)

sebagai pelaku tindak pidana di

bidang lingkungan hidup.

METODE PENELITIAN

Metode Pendekatan

Penelitian ini merupakan

penelitian hukum normatif, yaitu

penelitian yang menitikberatkan

pada data sekunder. Sebagai

penelitian hukum normatif, maka

penelitian ini meliputi penelitian

inventarisasi hukum positif, asas-

asas hukum, penemuan hukum in

concreto dan sinkronisasi hukum,

sehingga pendekatan yang digunakan

adalah pendekatan penal. Sebagai

pendekatan penal, maka dapat

dikatakan penelitian ini

menggunakan pendekatan yuridis-

normatif. Pendekatan yuridis-

normatif digunakan untuk

menganalisis permasalahan yang

berkaitan dengan sistem

pertanggungjawaban pidana pada

tindak pidana lingkungan hidup,

yang dikaji melalui asas Strict

Liability.

Spesifikasi Penelitian

Bertitik-tolak dari judul dan

permasalahan yang mendasari

penelitian ini, maka penelitian ini

termasuk jenis penelitian deskriptif-

analitis, yaitu menggambarkan

peraturan perundang-undangan yang

berlaku / hukum positif dikaitkan

Page 101: Kode/Nama Rumpun Ilmu : 596 / Ilmu Hukum LAPORAN AKHIRilib.usm.ac.id/sipp/doc/penelitian/A017-20161004020602-LAPORANAKHI... · Surat Perjanjian Penugasan dalam Rangka Pelaksanaan

xii

dengan teori hukum dan praktek

pelaksanaan hukum positif dalam

masyarakat. Penelitian deskriptif

merupakan penelitian untuk

memecahkan masalah yang ada pada

masa sekarang (masalah aktual)

dengan mengumpulkan data,

menyusun, mengklasifikasikan,

menganalisis dan

mengintepretasikannya.40 Dengan

demikian, dari penelitian ini dapat

memberikan gambaran mengenai

sistem pertanggungjawaban pidana

pada tindak pidana lingkungan hidup

dengan melakukan reorientasi

tentang asas strict liability sebagai

bentuk pertanggungjawaban pidana.

Metode Pengumpulan Data

Berdasarkan pendekatan yang

dipergunakan dalam penelitian ini,

maka metode pengumpulan data

yang dipergunakan adalah studi

kepustakaan atau dokumen (library

research). Studi kepustakaan

dilakukan terhadap data sekunder,

40 Bambang Sunggono, MetodePenelitian Hukum (Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2002), halaman 36.

yaitu data yang bersumber dari

penelitian kepustakaan yaitu data

yang diperoleh tidak secara langsung

dari sumber pertamanya, melainkan

bersumber dari data-data yang sudah

terdokumenkan dalam bentuk bahan-

bahan hukum yang terdiri dari :

a. Bahan Hukum PrimerBahan hukum primer terdiri dari

Peraturan Perundang-undangan

seperti :

- Undang-Undang No. 1

Tahun 1946 tentang

Peraturan Hukum Pidana

(Kitab Undang-Undang

Hukum Pidana/ KUHP);

- Undang-Undang No. 32

Tahun 2009 tentang

Perlindugan dan Pengelolaan

Lingkungan Hidup.

- Peraturan Pemerintah No. 27

Tahun 1999 tentang

AMDAL

b.Bahan Hukum Sekunder

Bahan hukum sekunder adalah

bahan yang memberikan

penjelasan mengenai bahan

hukum primer, seperti :

Page 102: Kode/Nama Rumpun Ilmu : 596 / Ilmu Hukum LAPORAN AKHIRilib.usm.ac.id/sipp/doc/penelitian/A017-20161004020602-LAPORANAKHI... · Surat Perjanjian Penugasan dalam Rangka Pelaksanaan

xiii

- Buku-buku hukum dan non

hukum yang berkaitan

dengan objek yang diteliti.

- Hasil-hasil penelitian

maupun literatur lainnya

yang berkaitan dengan obyek

penelitian..

c. Bahan Hukum Tersier

Bahan hukum tersier adalah

bahan yang memberikan

petunjuk maupun penjelasan

mengenai bahan hukum primer

dan tersier seperti :

- Kamus Hukum

- Kamus Besar Bahasa

Indonesia

- Ensiklopedi, majalah-

majalah hukum, jurnal-jurnal

hukum, surat kabar serta

membaca berkas-berkas

lainnya yang dianggap

relevan dengan penelitian ini,

yang kemudian dilakukan

inventarisasi sesuai dengan

permasalahan yang

dikemukakan.

Metode Analisis Data

Analisis data dilakukan secara

kualitatif kemudian diidentifikasi

serta dilakukan kategorisasi. Analisis

kualitatif yaitu metode analisis yang

pada dasarnya menggunakan

pemikiran logis, analisis dengan

logika . Dengan induksi, deduksi,

analogilinterpretasi, komparasi dan

sejenis itu. Metode berpikir yang

digunakan adalah metode deduktif

yaitu dengan berdasarkan pada dasar

pengetahuan yang bersifat umum

untuk mengkaji persoalan-persoalan

yang bersifat khusus. Dari hasil

analisis tersebut kemudian akan

ditarik kesimpulan sebagai jawaban

atas permasalahan yang ada.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Kedudukan Korporasi sebagai

Subjek Hukum (Pelaku Tindak

Pidana) dalam Bidang Lingkungan

Hidup

Korporasi dalam hukum pidana

umum, belum dimasukkan sebagai

subyek hukum. Pandangan tentang

Page 103: Kode/Nama Rumpun Ilmu : 596 / Ilmu Hukum LAPORAN AKHIRilib.usm.ac.id/sipp/doc/penelitian/A017-20161004020602-LAPORANAKHI... · Surat Perjanjian Penugasan dalam Rangka Pelaksanaan

xiv

subyek hukum pidana di bidang

hukum pidana umum yang hanya

terbatas pada orang pribadi, tidak

dapat dilepaskan dengan sejarah

pembentukan WvS Nederland tahun

1881, dimana pada dasarnya hanya

manusia dapat dipandang sebagai

subyek hukum pidana. Hal ni dapat

diketahui dari :

a. Memory van Toelichting

Pasal 51 WvS Nederland

(Pasal 59 KUHP): suatu

strafbaarfeit hanya dapat

diwujudkan oleh manusia

dan fiksi tentang badan

hukum tidak berlaku dalam

bidang hukum pidana.

b. Uraian delik dalam banyaak

pasal WvS selalu dimulai

dengan “Barang Siapa” dan

sering disyaratkan adanya

berbagai faktor manusia,

seperti sengaja dan lalai,

faktor mana hanya dapat

dimiliki oleh manusia.

c. Sistem pidana terdiri dari

pidana kekayaan dan pidana

badan hanyalah dapat

dikenakan terhadap

manusia.

d. Hukum acara pidana

tidak mengandung

ketentuan tatacara

terhadap korporasi.

Manusia bukanlah satu-satunya

subyek hukum. Dalam lalu lintas

hukum diperlukan sesuatu hal lain

yang bukan manusia yang menjadi

subyek hukum. Di samping orang

dikenal juga subyek hukum yang

bukan manusia yang disebut badan

hukum. Badan hukum adalah

organisasi atau kelompok manusia

yang mempunyai tujuan tertentu

yang dapat menyandang hak dan

kewajiban. Negara dan perseroan

terbatas misalnya adalah organisasi

atau kelompok manusia yang

merupakan badan hukum

(Korporasi). Korporasi sebagai

pembawa hak yang tak berjiwa dapat

bertindak sebagai pembawa hak

manusia, misalnya: dapat melakukan

persetujuan-persetujuan, memiliki

kekayaan yang sama sekali terlepas

Page 104: Kode/Nama Rumpun Ilmu : 596 / Ilmu Hukum LAPORAN AKHIRilib.usm.ac.id/sipp/doc/penelitian/A017-20161004020602-LAPORANAKHI... · Surat Perjanjian Penugasan dalam Rangka Pelaksanaan

xv

dari kekayaan anggota-anggotanya.

Bedanya subyek hukum orang

dengan subyek hukum badan hukum

adalah bahwa badan hukum itu tidak

dapat melakukan perkawinan dan

tidak dapat dipidana penjara.

Penentuan atau perluasan badan

hukum sebagai subyek hukum adalah

karena sesuatu kebutuhan, terutama

dalam soal perpajakan,

perekonomian dan keamanan negara,

yang disesuaikan dengan

perkembangan peradaban dan ilmu

pengetahuan manusia. Namun pada

hakekatnya, manusialah yang

merasakan atau menderita

pemidanaan itu. Dengan demikian

dapat dikatakan, bahwa subyek

hukum baik orang maupun korporasi

adalah segala sesuatu yang dapat

memperoleh, mempunyai atau

menyandang hak dan kewajiban.

Seiring dengan perkembangan

masyarakat, dirasa sangat perlu

untuk menempatkan korporasi

sebagai subjek tindak pidana agar

dapat dibebani pertanggungjawaban

pidana apabila melakukan kejahatan,

supaya korporasi dalam menjalankan

usahanya tidak melakukan tindakan-

tindakan yang melanggar ketentuan

hukum dan merugikan masyarakat

umum. Oleh karena itu, pengaturan

korporasi sebagai subjek tindak

pidana berikut pertanggungjawaban

pidananya ditempatkan di luar

KUHP agar dapat mengakomodir

pengaturan seperti tersebut di atas,

dan tentu saja dengan tetap mengacu

pada KUHP sebagai pedoman

umum.

Pada umumnya tindak pidana

hanya dapat dilakukan oleh

manusia atau orang pribadi. Oleh

karena itu hukum pidana selama ini

hanya mengenal orang seorang atau

kelompok orang sebagai subyek

hukum, yaitu sebagai pelaku dari

suatu tindak pidana. Hal ini bisa

dilihat dalam perumusan pasal-pasal

KUHP yang dimulai dengan kata

“barangsiapa” yang secara umum

mengacu kepada orang atau manusia.

Dengan melihat gejala pelanggaran

hukum yang dapat dilakukan oleh

suatu badan hukum yang merugikan

Page 105: Kode/Nama Rumpun Ilmu : 596 / Ilmu Hukum LAPORAN AKHIRilib.usm.ac.id/sipp/doc/penelitian/A017-20161004020602-LAPORANAKHI... · Surat Perjanjian Penugasan dalam Rangka Pelaksanaan

xvi

masyarakat, maka kedudukan badan

hukum mulai diperhatikan tidak saja

menjadi subjek hukum perdata, tetapi

juga menjadi subjek dalam hukum

pidana, sehingga dapat dituntut dan

dijatuhi hukuman atau sanksi pidana.

Korporasi dijadikan sebagai

subjek hukum pidana merupakan

kebijakan legislatif dalam produk

perundang-undangan dewasa ini. Hal

ini sejalan dengan perkembangan

dunia internasional dan pendapat

para sarjana yang secara teoritis

mengatakan bahwa korporasi dapat

diterima sebagai subjek hukum

pidana (bukan lagi suatu fiksi).

Secara umum, baik dalam

sistem hukum common law maupun

civil law, sangat sulit untuk dapat

mengartikan suatu bentuk tindakan

tertentu (actus reus atau guilty act),

serta membuktikan unsur mens rea

(criminal act). Oleh karena itu,

kejahatan korporasi memiliki

karakteristik yang lebih khusus dari

pada kejahatan perorangan, karena

kejahatan korporasi lebih bersifat

abstrak untuk menyangka dan

menuntut subjek hukum yang

melakukan kejahatan korporasi

tersebut. Bukan saja tindak pidana

dalam UUPPLH 2009 namun seluruh

tindak pidana (crime) dapat

diidentifikasi dengan timbulnya

kerugian (harm), yang kemudian

mengakibatkan lahirnya

pertanggungjawaban pidana atau

criminal liability.

Apabila meninjau pada Kitab

Undang-undang Hukum Pidana

(KUH Pidana) Indonesia yang

dianggap sebagai subyek hukum

pidana hanyalah orang perseorangan

dalam konotasi biologis yang alami

(naturlijkee person). Selain itu,

KUHP juga masih menganut asas

sociates delinquere non potest

dimana badan hukum atau korporasi

dianggap tidak dapat melakukan

tindak pidana. Jadi, dasar

pemikiran yang digunakan oleh

KUH Pidana itu adalah bahwa

kejahatan tidak dapat dilakukan oleh

sebuah korporasi, karena walaupun

tindak pidana tersebut dilakukan oleh

korporasi, tetapi tindak pidana tetap

Page 106: Kode/Nama Rumpun Ilmu : 596 / Ilmu Hukum LAPORAN AKHIRilib.usm.ac.id/sipp/doc/penelitian/A017-20161004020602-LAPORANAKHI... · Surat Perjanjian Penugasan dalam Rangka Pelaksanaan

xvii

dilakukan oleh orang persorangan

atau legal persoon.

Perlu diketahui bahwa,

pembuat undang-undang dalam

merumuskan delik harus

memperhitungkan bahwa manusia

melakukan tindakan di dalam atau

melalui organisasi yang dalam

hukum keperdataan maupun di

luarnya (seperti dalam hukum

lingkungan hidup), yang akan lahir

sebagai satu kesatuan yang diakui

serta mendapat perlakuan sebagai

badan hukum atau korporasi. Oleh

karena itu, dalam KUH Pidana,

pembuat undang-undang dapat

merujuk pada pengurus atau

komisaris korporasi apabila mereka

berhadapan dengan situasi seperti itu.

Sehubungan dengan itu,

mengingat Kitab Undang-undang

Hukum Pidana Indonesia belum

mengatur secara tersurat mengenai

tindak kejahatan yang dilakukan oleh

korporasi, maka tindak pidana

korporasi dalam bidang lingkungan

hidup di Indonesia, dapat

menggunakan undang-undang yang

lebih khusus, yaitu Undang-undang

Nomor 32 Tahun 2009 tentang

Perlindungan dan Pengelolaan

Lingkungan Hidup (UUPPLH 2009).

Pengakuan korporasi sebagai

subjek hukum yang dapat

dipertanggungjawabkan secara

pidana pada tindak pidana

lingkungan hidup ditegaskan dalam

Pasal 1 angka 32 UU No. 32 Tahun

2009 tentang Perlindungan dan

Pengelolaan Lingkungan Hidup,

yaitu “Setiap orang adalah orang

perseorangan atau badan usaha, baik

yang berbadan hukum maupun yang

tidak berbadan hukum”. Apabila

diterjemahkan lebih jauh bahwa

subjek hukum dimaksud dalam Pasal

1 angka 32 UUPPLH 2009 ini

adalah orang, badan hukum, dan

tidak berbadan hukum. Berbadan

hukum dan tidak berbadan hukum

maksudnya adalah korporasi. Maka,

subjek tindak pidana yang dimaksud

dalam hal ini adalah korporasi. Perlu

diketahui, bahwa seseorang atau

badan hukum atau suatu korporasi

yang melakukan kejahatan dapat

Page 107: Kode/Nama Rumpun Ilmu : 596 / Ilmu Hukum LAPORAN AKHIRilib.usm.ac.id/sipp/doc/penelitian/A017-20161004020602-LAPORANAKHI... · Surat Perjanjian Penugasan dalam Rangka Pelaksanaan

xviii

digolongkan ke dalam dua kategori,

yaitu tindakan yang merupakan mala

in se atau perbuatan yang merupakan

mala in prohibita. Tindakan yang

termasuk mala in se, adalah

perbuatan yang melawan hukum,

ada atau tidak ada peraturan yang

melarangnya misalnya mencuri,

menipu, membunuh, dan sebagainya.

Sedangkan perbuatan yang

merupakan mala in prohibita adalah

perbuatan yang dinyatakan

melanggar hukum apabila ada aturan

yang melarangnya misalnya aturan-

aturan lalu lintas.

Selain dari pada korporasi

yang diatur sebagai subjek hukum

dalam hukum lingkungan, juga

diatur hal-hal yang berkenaan

dengan pertanggungjawaban mutlak,

dimana bahwa pertanggungjawaban

mutlak ini tidak diatur di dalam

KUH Pidana sebagai lex generalis.

Karena hukum pidana masih

menggunakan pertanggungjawaban

dengan kesalahan, sementara

pertanggungjawaban mutlak ini

menggunakan asas

pertanggungjawaban tanpa

kesalahan. Jadi, kesalahan di

dalam hukum lingkungan tidak

mesti harus dibuktikan ada atau

tidaknya kesalahan si pembuat.

Mengenai hal tersebut di atas,

UUPPLH 2009, sebagai lex spesialis,

bukan merupakan suatu

penyimpangan asas akan tetapi

merupakan penyempurnaan terhadap

asas umum, sebab kejahatan di

bidang lingkungan hidup tersebut

saat ini dikategotikan sebagai

kejahatan yang luar biasa (extra

oridnary crime) sehingga

penanganannya harus dilakukan luar

biasa termasuk dalam hal

pengaturannya ada hal-hal yang

dikecualikan dari asas-asas yang

berlaku umum.

Kejahatan korporasi

sebagaimana diatur dalam UU No.

32 Tahun 2009 merupakan rumusan

kejahatan korporasi sebagaimana

diatur dalam KUHP Belanda. Jadi

korporasi sebagai legal persoon,

dapat dipidana berdasarkan UU No.

32 Tahun 2009. Dalam hal ini,

Page 108: Kode/Nama Rumpun Ilmu : 596 / Ilmu Hukum LAPORAN AKHIRilib.usm.ac.id/sipp/doc/penelitian/A017-20161004020602-LAPORANAKHI... · Surat Perjanjian Penugasan dalam Rangka Pelaksanaan

xix

pertanggungjawaban pidana

(criminal liability) dari pimpinan

korporasi (factual leader) dan

pemberi perintah (instrumention

giver), keduanya dapat dikenakan

hukuman secara berbarengan.

Hukuman tersebut bukan karena

perbuatan fisik atau nyatanya, akan

tetapi berdasarkan fungsi yang

diembannya di dalam suatu

perusahaan. Kejahatan lingkungan

yang didefinisikan di dalam undang-

undang ini hanyalah kerusakan

lingkungan hidup yang disebutkan di

dalam Pasal 1 ayat (16) UU No. 32

Tahun 2009, yaitu Perusakan

lingkungan hidup adalah tindakan

yang menimbulkan perubahan

langsung atau tidak langsung

terhadap sifat fisik dan/atau

hayatinya yang mengakibatkan

lingkungan hidup tidak berfungsi

lagi dalam menunjang pembangunan

berkelanjutan.

Sistem Pertanggungjawaban

Pidana terhadap Korporasi

sebagai Pelaku Tindak Pidana di

Bidang Lingkungan Hidup

berdasarkan Asas Strict Liability

Strict Liability adalah

pertanggungjawaban tanpa

kesalahan (liability without

fault). Hal itu berarti bahwa si

pembuat sudah dapat dipidana

jika ia telah melakukan

perbuatan sebagaimana yang telah

dirumuskan dalam Undang-

Undang tanpa melihat bagaimana

sikap batinnya. Konsep Strict

liability merupakan penyimpangan

dari asas kesalahan yang

dirumuskan dalam pasal 38 ayat

(1) RUU KUHP. Bunyi

rumusannya adalah sebagai berikut

: “Bagi tindak pidana tertentu,

undang-undang dapat menentukan

bahwa seseorang dapat di pidana

semata- mata karena telah

dipenuhinya unsur-unsur tindak

pidana tersebut tanpa

memperhatikan adanya kesalahan”.

Page 109: Kode/Nama Rumpun Ilmu : 596 / Ilmu Hukum LAPORAN AKHIRilib.usm.ac.id/sipp/doc/penelitian/A017-20161004020602-LAPORANAKHI... · Surat Perjanjian Penugasan dalam Rangka Pelaksanaan

xx

Untuk memahami lebih jauh

latar belakang dan alasan

dicantumkannya asas strict

liability itu ke dalam konsep,

dapat dilihat pada penjelasannya

berikut ini.:

Ketentuan dalam ayat ini

merupakan suatu perkecualian

terhadap asas tiada pidana tanpa

kesalahan. Oleh karena itu, tidak

berlaku juga bagi semua tindak

pidana, melainkan hanya untuk

tindak pidana tertentu yang

ditetapkan oleh undang-undang.

Untuk tindak pidana tertentu

tersebut, pembuat tindak pidananya

telah dapat dipidana hanya karena

telah dipenuhinya unsur-unsur

tindak pidana oleh perbuatannya.

Di sini kesalahan pembuat tindak

pidana dalam melakukan

perbuatan tersebut tidak lagi

diperhatikan. Asas ini dikenal

sebagai asas “strict liability”.

Strict liability ini pada

awalnya berkembang dalam praktik

peradilan di Inggris. Sebagian

hakim berpendapat asas mens- rea

tidak dapat dipertahankan lagi

untuk setiap kasus pidana. Adalah

tidak mungkin apabila tetap

berpegang teguh pada asas mens-

rea untuk setiap kasus pidana dalam

ketentuan undang- undang modern

sekarang ini. Oleh karena itu, perlu

dipertimbangkan untuk

menerapkan strict liability

terhadap kasus-kasus tertentu.

Praktek peradilan yang menerapkan

strict liability itu ternyata

mempengaruhi legislatif dalam

membuat undang-undang.

Sering dipersoalkan,

apakah strict liability itu sama

dengan absolute liability.

Mengenai hal itu ada dua

pendapat. Pendapat pertama

menyatakan strict liability

merupakan absolute liability.

Alasan atau dasar pemikirannya

ialah seseorang yang telah

melakukan perbuatan terlarang

(actus reus) sebagaimana

dirumuskan dalam undang-undang

sudah dapat dipidana tanpa

mempersoalkan apakah si pelaku

Page 110: Kode/Nama Rumpun Ilmu : 596 / Ilmu Hukum LAPORAN AKHIRilib.usm.ac.id/sipp/doc/penelitian/A017-20161004020602-LAPORANAKHI... · Surat Perjanjian Penugasan dalam Rangka Pelaksanaan

xxi

mempunyai kesalahan (mens rea)

atau tidak. Jadi seseorang yang

sudah melakukan perbuatan pidana

menurut rumusan undang-undang

yang sudah melakukan

perbuatan pidana menurut

rumusan undang-undang harus atau

mutlak dapat dipidana. Pendapat

kedua menyatakan Strict liability

bukan Absolute liability. Artinya,

orang yang telah melakukan

perbuatan terlarang menurut

undang-undang tidak harus atau

belum tentu dipidana. Kedua

pendapat itu antara lain,

dikemukakan juga oleh Smith dan

Brian Hogan, yang dikutip oleh

Barda Nawawi Arief. Ada dua

alasan yang dikemukakan oleh

mereka, yaitu :

a. Suatu tindak pidana dapat

dipertanggungjawabkan

secara Strict liability apabila

tidak ada mens rea yang

perlu dibuktikan sebagai satu-

satunya unsur untuk actus reus

yang bersangkutan. Unsur

utama atau unsur satu-satunya

itu biasanya merupakan

salah satu ciri utama, tetapi

sama sekali tidak berarti

bahwa mens rea itu tidak

disyaratkan sebagai unsur

pokok yang tetap ada untuk

tindak pidana itu. Misalnya,

A dituduh melakukan

tindak pidana “menjual

daging yang tidak layak

untuk dimakan karena

membahayakan kesehatan

atau jiwa orang lain”.

Tindak pidana ini menurut

hukum Inggris termasuk

tindak pidana yang dapat

dipertanggungjawabkan

secara strict liability. Dalam

hal itu tidak perlu dibuktikan

bahwa A mengetahui daging

itu tidak layak untuk

dikonsumsi, tetapi tetap

harus dibuktikan, bahwa

sekurang-kurangnya A

memang menghendaki

(sengaja) untuk menjual

daging itu. Jadi jelas dalam

hal itu Strict liability tidak

Page 111: Kode/Nama Rumpun Ilmu : 596 / Ilmu Hukum LAPORAN AKHIRilib.usm.ac.id/sipp/doc/penelitian/A017-20161004020602-LAPORANAKHI... · Surat Perjanjian Penugasan dalam Rangka Pelaksanaan

xxii

bersifat absolut.

b. Dalam kasus-kasus strict

liability memang tidak

dapat diajukan alasan

pembelaan untuk “kenyataan

khusus” (particular fact) yang

menyatakan terlarang

menurut undang- undang.

Misalnya, dengan

mengajukan “reasonable

mistake”. Kita tetap dapat

mengajukan alasan

pembelaan untuk keadaan-

keadaan lainnya. Contoh lain,

misal dalam kasus

“mengendarai kendaraan yang

membahayakan” (melampaui

batas maksimum), dapat

diajukan alasan pembelaan

bahwa dalam mengenai

kendaraan itu ia berada dalam

keadaan automatism. Misal

lain, A mabuk-mabukan di

rumahnya sendiri. Akan

tetapi dalam keadaan tidak

sadar (pingsan), A diangkat

oleh kawan-kawannya dan

diletakkan di jalan raya.

Dalam hal itu memang ada

Strict liability, yaitu berada di

jalan raya dalam keadaan

mabuk, tetapi A dapat

mengajukan pembelaan

berdasarkan adanya

compulsion. Jadi, dalam hal

itu pun Strict liability

bukanlah absolute liability.41

Mardjono Reksodiputro

dalam salah satu tulisannya

memberikan jalan keluar untuk

membenarkan diterapkannya asas

strict liability di Indonesia yang

menganut sistem Eropa

Continental, yaitu :

Berhubung kita tidak

mengenal ajaran Strict liability

yang berasal dari system hukum

Anglo-Amerika tersebut, maka

sebagai alasan pembenar dapat

dipergunakan ajaran feit materiel

yang berasal dari system hukum

Eropa Kontinental. Dalam kedua

41 Barda Nawawi, PerbandinganHukum Pidana, Cetakan Pertama, (Jakarta:CV. Rajawali, 1990), halaman 32-33.

Page 112: Kode/Nama Rumpun Ilmu : 596 / Ilmu Hukum LAPORAN AKHIRilib.usm.ac.id/sipp/doc/penelitian/A017-20161004020602-LAPORANAKHI... · Surat Perjanjian Penugasan dalam Rangka Pelaksanaan

xxiii

ajaran ini atidaklah penting

adanya unsur kesalahan. Ajaran

strict liability hanya

dipergunakan untuk tindak

pidana ringan (regulatory offences)

yang hanya mengancam pidana

denda, seperti pada kebanyakan

public welfare offences.

Namun,karena kita telah

mengambil alih konsep yang

berasal dari system hukum yang

berlainan akarnya kedalam

system hukum di Indonesia, maka

memerlukan ketekunan dari para

ahli hukum pidana Indonesiauntuk

menjelaskan konsep ini dengan

mengkaitkannya pada asas-asas

yang sudah melembaga dalam

hukum pidana Indonesia. 42

Alasan senada juga

dikemukakan oleh Barda Nawawi

Arief yang menyatakan:

Karena strict liability inisangat jauh menyimpang dari

42 Mardjono Reksodiputro,Kemajuan Pembangunan Ekonomi danKejahatan, PusatPelayanan Keadilan danPengabdian Hukum. (Jakarta: UniversitasIndonesia, 1994), halaman 32.

asas kesalahan maka para ahlihukum pidana membatasipenerapannya hanya padadelik-delik tertentu saja.Kebanyakan strict liabilityterdapat pada delik-delik yangdiatur dalam undang-undang(statutory offences;regulatory offences; malaprohibita) yang padaumumnya merupakan delik-delik terhadap kesejahteraanumum (public welfareoffences). Termasukregulatory offences misalnyapenjualan makanan danminuman atau obat-obatanyang membahayakan,pencegahan terhadap polusi,penggunaan gambar dagangyang menyesatkan danpelanggaran lalulintas. 43

Dari uraian tersebut, dapat

disimpulkan bahwa pertimbangan

untuk menerapkan asas strict

liability disamping perbuatannya

membahayakan masyarakat juga

pembuktiannya yang sangat sulit.

Kriteria membahayakan

masyarakat itu tidak mesti harus

tindak pidana yang serius (real

crime), akan tetapi juga meliputi

43 Barda Nawawi Arief, Op.Cit,halaman 29.

Page 113: Kode/Nama Rumpun Ilmu : 596 / Ilmu Hukum LAPORAN AKHIRilib.usm.ac.id/sipp/doc/penelitian/A017-20161004020602-LAPORANAKHI... · Surat Perjanjian Penugasan dalam Rangka Pelaksanaan

xxiv

“regulatory offences” seperti

pelanggaran lalulintas, pencemaran

lingkungan, makanan, minuman

dan obat-obatan yang tidak

memenuhi syarat kesehatan.

Muladi mengatakan bahwa

“jika hukum pidana harus

digunakan untuk menghadapi

masalah yang demikian rumitnya,

sudah saatnya doktrin atas asas

strict liability digunakan dalam

kasus-kasus pelanggaran terhadap

peraturan mengenai kesejahteraan

umum”. Pembuktian kesalahan

dalam mempertanggungjawabkan

pembuat bukan hal yang mudah.

Jadi, perumusan konsep strict

liability dalam KUHP Indonesia

merupakan jalan pemecahan

masalah kesulitan dalam

pembuktian kesalahan dan

pertanggungjawaban pidana.44

Lebih jauh Muladi mengatakan

bahwa perumusan strict liability

44Hamzah Hetrik, AsasPertanggungjawaban Korporasi dalamHukum Pidana, ( Jakarta: PT. Raja GrafindoPersada , 1996), halaman 38.

dalam KUHP baru merupakan

refleksi dalam menjaga

keseimbangan kepentingan

sosial. Dengan demikian, strict

liability merupakan konsep yang

digunakan dan diarahkan untuk

memberikan perlindungan sosial

dalam menjaga kepentingan

masyarakat terhadap aktivitas-

aktivitas yang dapat menimbulkan

kerugian bagi masyarakat, baik

kerugian fisik, ekonomi maupun

social cost.45

Selanjutnya Barda Nawawi

Arief memberikan kriteria batas-

batas yang harus diperhatikan

apabila kita akan menerapkan

asas strict liability yang

merupakan penyimpangan dari

asas kesalahan. Batas-batas itu

adalah:

1) Sejauh mana akibat-akibatyang ditimbulkan olehperkembangan delik-delikbaru itu mengancamkepentingan umum yangsangat luas dan eksistensipergaulan hidup sebagaitotalitas ?

45 Ibid.

Page 114: Kode/Nama Rumpun Ilmu : 596 / Ilmu Hukum LAPORAN AKHIRilib.usm.ac.id/sipp/doc/penelitian/A017-20161004020602-LAPORANAKHI... · Surat Perjanjian Penugasan dalam Rangka Pelaksanaan

xxv

2) Sejauh mana nilai-nilaikeadilan berdasarkanPancasila membenarkanasas ketiadaan kesalahansama sekali ? 46

Jadi inti masalahnya menurut

Barda Nawawi Arief berkisar pada

sejauh mana makna kesalahan atau

pertanggungjawaban pidana itu

harus diperluas dengan tetap

mempertimbangkan keseimbangan

antara kepentingan individu dengan

kepentingan masyarakat luas. Lebih

jauh Barda Nawawi Arief

mengingatkan bahwa pertimbangan

harus dilakukan dengan hati-hati

sekali, terlebih melakukan

pelompatan yang drastis dari

konsepsi kesalahan yang

diperluas sedemikian rupa

sampai pada konsepsi ketiadaan

kesalahan yang diperluas

sedemikian rupa sampai pada

konsepsi ketiadaan kesalahan

sama sekali. Hal yang terakhir itu

merupakan akar yang paling

46 Barda Nawawi Arief dan Muladi,Teori dan Kebijakan Pidana,( Bandung:Alumni, halaman 141.

dalam dari nilai- nilai keadilan

berdasarkan Pancasila.

Penerapan asas strict liability

itu sangat penting terhadap kasus-

kasus tertentu yang menyangkut

membahayakan sosial atau anti

sosial, membahayakan kesehatan

dan keselamatan, serta moral

public. Kasus-kasus seperti

pencemaran lingkungan hidup,

perlindungan konsumen, serta yang

berkaitan dengan minuman keras,

pemilikan senjata, dan pemilikan

obat-obatan terlarang, merupakan

kasus yang sangat memungkinkan

untuk diterapkan strict liability.

Kasus pencemaran

lingkungan, seperti kasus yang

terjadi di Sidoarjo sangat sulit bagi

aparat penegak hukum untuk

membuktikan kesalahan terdakwa.

Hal itu disebabkan untuk

membuktikan hubungan kausal

antara perbuatan dengan akibat

yang ditimbulkan tidaklah mudah.

Karena jaksa tidak dapat

membuktikan kesalahan tersebut,

akhirnya terdakwa dibebaskan oleh

Page 115: Kode/Nama Rumpun Ilmu : 596 / Ilmu Hukum LAPORAN AKHIRilib.usm.ac.id/sipp/doc/penelitian/A017-20161004020602-LAPORANAKHI... · Surat Perjanjian Penugasan dalam Rangka Pelaksanaan

xxvi

hakim. Kesulitan yang serupa itu

banyak terjadi pada kasus-kasus

lingkungan yang lain. Padahal,

akibat yang ditimbulkan sangat

merugikan masyarakat. Disitu

tampak betapa urgennya penerapan

asas strict liability.

Jadi penerapan strict liability

sangat erat kaitannya dengan

ketentuan tertentu dan terbatas.

Agar lebih jelas apa yang

menjadi landasan penerapan strict

liability crime, dapat dikemukakan

patokan berikut :

1) Perbuatan itu tidak berlaku

umum terhadap semua jenis

tindak pidana, tetapi sangat

terbatas dan tertentu,

terutama mengenai kejahatan

anti sosial atau yang

membahayakan sosial.

2) Perbuatan itu benar-benar

bersifat melawan hukum

(unlawful) yang sangat

bertentangan dengan kehati-

hatian yang diwajibkan

hukum dan kepatutan.

3) Perbuatan tersebut dilarang

dengan keras oleh undang-

undang karena dikategorikan

sebagai aktivitas atau

kegiatan yang sangat

potensial mengandung

bahaya kepada kesehatan,

keselamatan, dan moral

publik (a particular activity

potential danger of public

health,safety or moral).

4) Perbuatan atau aktivitas

tersebut secara keseluruhan

dilakukan dengan cara

melakukan pencegahan yang

sangat wajar (unreasonable

precausions).

Pengaturan mengenai

pertanggungjawaban pidana

korporasi saat ini masih berada di

luar Kitab Undang-Undang Hukum

Pidana (KUHP). Hal ini dikarenakan

tidak dianutnya prinsip korporasi

sebagai subjek tindak pidana dalam

KUHP yang berlaku sekarang,

karena subjek tindak pidana yang

diatur dalam KUHP sekarang

hanyalah manusia atau orang

perorangan. Pengaturan semacam ini

Page 116: Kode/Nama Rumpun Ilmu : 596 / Ilmu Hukum LAPORAN AKHIRilib.usm.ac.id/sipp/doc/penelitian/A017-20161004020602-LAPORANAKHI... · Surat Perjanjian Penugasan dalam Rangka Pelaksanaan

xxvii

lebih lanjut membawa konsekuensi

yuridis berupa hanya orang

perorangan saja yang dapat

dibebani pertanggungjawaban

pidana dan dijatuhi pidana,

sedangkan korporasi tidak. Seiring

dengan adanya kebijakan legislatif

yang mencantumkan korporasi

sebagai subjek hukum pidana

seyogyanya diatur pula ketentuan

secara rinci yang berkaitan dengan

permasalahan sistem pemidanaan

(pertanggungjawaban pidana

korporasi).

Dalam hukum pidana ada asas

kulpabilitas, sehingga harus

dibuktikan bahwa seseorang bisa

dipidana apabila memang terbukti

bersalah. Artinya tidak bisa secara

otomatis sanksi pidana dialihkan dari

corporate crime menjadi personal

crime. Dalam hukum pidana,

mutlak harus dibuktikan adanya

niat untuk melakukan perbuatan

pidana. Inilah yang dimaksud asas

mens rea (guilty mind) sebagaimana

dikatakan oleh Stevanus.“an act is a

crime because the perso committing

it intended to do something wrong,

This mental state is generally

referred to as Mens rea”.

Prinsip tanggung jawab mutlak

(strict liability) korporasi pada tindak

pidana lingkungan hidup di

Indonesia belum pernah terlaksana.

Padahal konsep ini sangat baik untuk

menjaga keberlangsungan hidup

masyarakat yang menjadi korban.

Prinsip tanggung jawab mutlak

(strict liability) dalam UU No. 32

Tahun 2009 tentang Perlindugan dan

Pengelolaan Lingkungan Hidup pada

Bab XII (Penyelesaian Sengketa

Lingkungan), Bagian Ketiga

(Penyelesaian Sengketa Lingkungan

Hidup Melalui Pengadilan), Paragraf

2, Pasal 88 secara jelas

mendefinisikan asas strict liability

dengan tanggung jawab mutlak.

Pasal tersebut berbunyi: “Setiap

orang yang tindakannya, usahanya,

dan/atau kegiatannya menggunakan

B3, menghasilkan dan/atau

mengelola limbah B3, dan/atau yang

menimbulkan ancaman serius

terhadap lingkungan hidup

Page 117: Kode/Nama Rumpun Ilmu : 596 / Ilmu Hukum LAPORAN AKHIRilib.usm.ac.id/sipp/doc/penelitian/A017-20161004020602-LAPORANAKHI... · Surat Perjanjian Penugasan dalam Rangka Pelaksanaan

xxviii

bertanggung jawab mutlak atas

kerugian yang terjadi tanpa perlu

pembuktian unsur kesalahan.”

Selanjutnya dalam penjelasan Pasal

88 Undang-Undang Nomor 32

Tahun 2009 dirumuskan bahwa yang

dimaksud dengan “bertanggung

jawab mutlak” atau strict liability

adalah unsur kesalahan tidak perlu

dibuktikan oleh pihak penggugat

sebagai dasar pembayaran ganti rugi.

Ketentuan ayat ini sebagai lex

specialis dalam gugatan tentang

perbuatan melawan hukum pada

umumnya. Besarnya nilai ganti rugi

yang dapat dibebankan terhadap

pencemar atau perusak lingkungan

hidup menurut Pasal ini dapat

ditetapkan sampai batas tertentu,

yang dimaksud dengan “sampai

batas waktu tertentu” adalah jika

menurut penetapan peraturan

perundang-undangan ditentukan

keharusan asuransi bagi usaha

dan/atau kegiatan yang bersangkutan

atau telah tersedia dana lingkungan

hidup.

Rumusan Pasal 88 UU No. 32

Tahun 2009 secara jelas bersifat

khusus karena unsur-unsurnya telah

secara khusus menunjuk kepada hal

atau syarat tertentu sehingga dapat

diidentifikasi atau digolongkan ke

dalam bentuk pertanggungjawaban

tertentu. Unsur-unsur yang bersifat

khusus yang mencirikan

pertanggungjawaban khusus itu ialah

strict liability yang ciri utamanya

antara lain timbulnya tanggung

jawab langsung dan seketika pada

saat terjadinya perbuatan, sehingga

tidak perlu dikaitkan dengan unsur

kesalahan (fault, schuld). Dengan

demikian pihak penggugat yang

mengalami kerugian (injured party)

masih harus membuktikan bahwa

kerugian yang dialami diakibatkan

oleh perbuatan atau kegiatan tergugat

(atau para tergugat). Hal ini

diistilahkan dengan pembuktian

causal link (kausalitas) atau

hubungan sebab akibat. Hal ini

sebagaimana yang ditegaskan dalam

Green Paper on Remedying

Environmental Damage sebagai

berikut: “Strict liability or liability

Page 118: Kode/Nama Rumpun Ilmu : 596 / Ilmu Hukum LAPORAN AKHIRilib.usm.ac.id/sipp/doc/penelitian/A017-20161004020602-LAPORANAKHI... · Surat Perjanjian Penugasan dalam Rangka Pelaksanaan

xxix

without fault, eases the burden of

establishing liability because fault

need not to be established. However,

the injured party must still prove that

the damage was caused by some

one’s act…”.

Pasal 88 UU No. 32 Tahun

2009 mengandung beberapa unsur

penting, yaitu:

a. Setiap orang

b. yang tindakannya, usahanya,

dan/atau kegiatannya

menggunakan B3,

c. menghasilkan dan/atau

mengelola limbah B3, dan/atau

yang menimbulkan ancaman

serius terhadap lingkungan

hidup

d. bertanggung jawab mutlak atas

kerugian yang terjadi

e. tanpa perlu pembuktian unsur

kesalahan

Berdasarkan unsur-unsur di

atas, unsur d) dan e) dapat

diinterpretasikan sebagai suatu

pengertian yang tampaknya belum

umum dalam perangkat- perangkat

hukum Indonesia. Dalam pengertian

(logika) hukum yang umum bahwa

tidaklah mungkin untuk menentukan

seseorang bertanggung jawab pada

suatu hal yang merugikan seseorang,

sebelum ia dinyatakan bersalah.

Artinya seseorang tidak dapat

dibebankan kewajiban bertanggung

jawab kecuali kalau bukan atas dasar

kesalahan (fault) sebagaimana

dengan prinsip dari “Tortious

Liability”.

Di dalam strict liability,

seseorang bertanggung jawab

kapanpun kerugian timbul. Hal ini

berarti bahwa: Pertama, para korban

dilepaskan dari beban berat untuk

membuktikan adanya hubungan

kausal antara kerugiannya dengan

tindakan indivual tergugat; Kedua,

para “potential polluter” akan

memperhatikan baik tingkat kehati-

hatiannya (level of care), maupun

tingkat kegiatannya (level of

activity). Dua hal ini merupakan

kelebihan strict liability dari konsep

kesalahan. Oleh karena sifat khasnya

yang tegas dan keras, maka strict

liability tidaklah dapat dikenakan

Page 119: Kode/Nama Rumpun Ilmu : 596 / Ilmu Hukum LAPORAN AKHIRilib.usm.ac.id/sipp/doc/penelitian/A017-20161004020602-LAPORANAKHI... · Surat Perjanjian Penugasan dalam Rangka Pelaksanaan

xxx

kepada semua kegiatan. Hanya

kegiatan-kegiatan tertentu saja yang

dapat dikenakan strict liability.

Pertimbangan untuk menentukan

ruang lingkup strict liability :

1. Tingkat risiko (the degree of

risk); dalam hal ini risiko

dianggap tinggi apabila tidak

dapat dijangkau oleh upaya

yang lazim, menurut

kemampuan teknologi yang

telah ada;

2. Tingkat bahaya (the gravity of

harm); dalam hal ini bahaya

dianggap sangat sulit untuk

dicegah pada saat mulai

terjadinya;

3. Tingkat kelayakan upaya

pencegahan (the

appropriateness); dalam hal ini

si penanggung jawab harus

menunjukkan upaya maksimal

untuk mencegah terjadinya

akibat yang menimbulkan

kerugian pada pihak lain;

4. Pertimbangan terhadap

keseluruhan nilai kegiatannya

(value of activity); dalam hal

ini pertimbangan risiko dan

manfaat kegiatan telah

dilakukan secara memadai

sehingga dapat diperkirakan

bahwa keuntungan yang

diperoleh akan lebih besar jika

dibandingkan dengan ongkos-

ongkos yang harus dikeluarkan

untuk mencegah timbulnya

bahaya.

Strict liability atau absolute

liability atau yang disebut juga

dengan pertanggungjawaban tanpa

kesalahan (no-fault liability or

liability without fault) adalah prinsip

tanggung jawab tanpa keharusan

untuk membuktikan adanya

kesalahan. Menurut Barda Nawawi

Arief sering dipersoalkan, apakah

strict liability itu sama dengan

absolute liability. Mengenai hal ini

ada dua pendapat. Pendapat pertama

menyatakan, bahwa strict liability

merupakan absolute liability. Alasan

atau dasar pemikirannya ialah,

bahwa dalam perkara strict liability

seseorang yang telah melakukan

perbuatan terlarang (actus reus)

Page 120: Kode/Nama Rumpun Ilmu : 596 / Ilmu Hukum LAPORAN AKHIRilib.usm.ac.id/sipp/doc/penelitian/A017-20161004020602-LAPORANAKHI... · Surat Perjanjian Penugasan dalam Rangka Pelaksanaan

xxxi

sebagaimana dirumuskan dalam

undang-undang sudah dapat dipidana

tanpa mempersoalkan apakah si

pelaku mempunyai kesalahan (mens

rea) atau tidak. Jadi sesorang yang

sudah melakukan tindak pidana

menurut rumusan undang-undang

harus/mutlak dapat dipidana.

Pendapat kedua menyatakan,

bahwa strict liability bukan absolute

liability, artinya orang yang telah

melakukan perbuatan terlarang

menurut undang-undang tidak

harus/belum tentu dipidana. Menurut

doktrin strict liability

(pertanggungjawaban mutlak),

seseorang sudah dapat

dipertanggungjawabkan untuk tindak

pidana tertentu walaupun pada diri

orang itu tidak ada kesalahan (mens

rea).

Dalam lapangan hukum

pidana, Prinsip tanggung jawab

mutlak (strict liability), prinsip ini

menegaskan pembuktian kesalahan

berdasarkan sistem hukum Eropa

Kontinental. Sebagai konsep yang

berakar dari sistem hukum Anglo

saxon, pembuktian ini lebih mudah

dan cenderung praktis dibandingkan

dengan sistem hukum Eropa

Kontinental yang dianut oleh

Indonesia. Pemidanaan haruslah

dapat dilihat dari

dipertanggungjawabkan perbuatan

seseorang. Dengan demikian

pertanggungjawaban pidana selalu

selalu tertuju pada pembuat tindak

pidana tersebut. Pertanggungjawaban

pidana ditujukan kepada pembuat

(dader). Maka apabila orang yang

melakukan tindak pidana maka

pertanggungjawaban haruslah

dikenakan kepada para pelaku.

Pertanggungjawaban pidana hanya

dapat terjadi jika sebelumnya subyek

hukum pidana tersebut melakukan

tindak pidana. Sedangkan didalam

sistem hukum Common law system,

berlaku asas “actus non est reus, nisi

mens sit rea”. Suatu perbuatan tidak

dapat dikatakan bersifat kriminal jika

“tidak terdapat kehendak jahat”

didalamnya. Dengan demikian,

dalam sistem common law system,

bahwa untuk dapat

Page 121: Kode/Nama Rumpun Ilmu : 596 / Ilmu Hukum LAPORAN AKHIRilib.usm.ac.id/sipp/doc/penelitian/A017-20161004020602-LAPORANAKHI... · Surat Perjanjian Penugasan dalam Rangka Pelaksanaan

xxxii

dipertanggungjawabkan seseorang

karena melakukan tindak pidana,

sangat ditentukan oleh adanya mens

rea pada diri seseorang tersebut.

Dengan demikian, mens rea yang hal

ini dapat kita lihat dari rujukan

sistem hukum Civil law, atau dengan

kata lain dapat kita sinkronkan

dengan ajaran “guilty of mind”,

merupakan hal yang menentukan

pertanggungjawban pembuat tindak

pidana. Dari dari sisi ini, penggunaan

mens rea dalam common law sistem,

pada prinsipnya sejalan dengan

penerapan asas “tiada pidana tanpa

kesalahan” dalam civil law sistem.

Berdasarkan hal di atas, maka

secara prinsip penggunaan doktrin

“mens rea” dalam sistem hukum

common law sejalan dengan asas

“geen straf zonder schul beginsel”

dalam sistem hukum civil law. Maka

untuk menentukan kesalahan dengna

menggunakan “tiada pidana tanpa

kesalahan yaitu “Geen straf zonder

schuld, actus non facit reum nisi

mens sir rea”, (aqua means rea atau

“kehendak jahat”). Prinsip ini

kemudian dinegasikan Prinsip

tanggung jawab mutlak mutlak (strict

liability). Pembuktian tidak semata-

mata dilihat apakah pelaku (dader)

melakukan tindak pidana yang

dituduhkan melakukan kesalahan

atau tidak, tapi beban pembuktian

langsung mutlak dibebankan

terhadap pelaku (dader) terhadap

kejahatan-kejahatan yang berkaitan

dengna sumber daya alam (termasuk

kejahatan lingkungan hidup). Prinsip

tanggung jawab mutlak (strict

liability) dibebankan kepada

perusahaan lingkungan hidup yang

nyata-nyata melakukan

kesalahan/kelalaian dalam

pengelolaan lingkungan hidup.

Dengan demikian, maka pembuktian

menjadi sederhana dan mudah

diterapkan. Pembuktian ini praktis

sehingga tidak perlu memenuhi

unsur yang dituduhkan kepada

pelaku (dader). Berangkat dari

prinsip ini, praktis kejahatan yang

berkaitan dengan lingkungan hidup

lebih banyak dibebankan kepada

perusahaan. Kasus Lapindo sebagai

Page 122: Kode/Nama Rumpun Ilmu : 596 / Ilmu Hukum LAPORAN AKHIRilib.usm.ac.id/sipp/doc/penelitian/A017-20161004020602-LAPORANAKHI... · Surat Perjanjian Penugasan dalam Rangka Pelaksanaan

xxxiii

contoh merupakan sebuah peristiwa

yang menarik. Berlarut-larutnya

pemeriksaan kasus Lapindo dan tarik

menarik antara Kepolisian dan

Kejaksaan dan belum juga

dinyatakan lengkap (P21), berangkat

dari pemahaman penegak hukum

yang tidak menerapkan prinsip

tanggung jawab mutlak mutlak (strict

liability). Sikap ngototnya penegak

hukum untuk melihat keterlibatan

pelaku (dader) kemudian terjebak

dengan hak-hal yang bersifat teknis

yang sulit pembuktiannya. Padahal

dengan menerapkan prinsip tanggung

jawab mutlak mutlak (strict liability),

maka tidak perlu dibuktikan, apakah

para pelaku (dader) melakukan

perbuatan itu atau tidak, tapi penegak

hukum bisa membuktikan, bahwa

karena kesalahan atau kelalaian dari

Lapindo, menyebabkan bencana.

Dengan pembuktian yang sederhana

ini, maka kasus Lapindo bisa

disidangkan dimuka hukum. Dan

korporasi yang bertanggung jawab

dalam bencana Lapindo dapat

dipersalahkan dan

pertanggungjawaban pidana.

Prinsip tanggung jawab mutlak

(strict liability) inilah salah satu

solusi untuk menyelesaikan berbagai

kejahatan baik kesengajaan ataupun

kelalaian dari korporasi lingkungan

hidup. Prinsip tanggung jawab

mutlak mutlak (strict liability)

merupakan prinsip yang sederhana

dan pembuktian yang mudah

menyebabkan berbagai kejahatan di

berbagai dunia dapat diselesaikan.

PENUTUP

Simpulan

1. Pengakuan korporasi sebagai

subjek hukum yang dapat

dipertanggungjawabkan secara

pidana pada tindak pidana

lingkungan hidup ditegaskan

dalam Pasal 1 angka 32 UU No.

32 Tahun 2009 tentang

Perlindungan dan Pengelolaan

Lingkungan Hidup, yaitu “Setiap

orang adalah orang perseorangan

atau badan usaha, baik yang

berbadan hukum maupun yang

Page 123: Kode/Nama Rumpun Ilmu : 596 / Ilmu Hukum LAPORAN AKHIRilib.usm.ac.id/sipp/doc/penelitian/A017-20161004020602-LAPORANAKHI... · Surat Perjanjian Penugasan dalam Rangka Pelaksanaan

xxxiv

tidak berbadan hukum”. Apabila

diterjemahkan lebih jauh bahwa

subjek hukum dimaksud dalam

Pasal 1 angka 32 UUPPLH 2009

ini adalah orang, badan hukum,

dan tidak berbadan hukum.

Berbadan hukum dan tidak

berbadan hukum maksudnya

adalah korporasi. Maka, subjek

tindak pidana yang dimaksud

dalam hal ini adalah korporasi.

2. Prinsip tanggung jawab mutlak

(strict liability) dalam UU No. 32

Tahun 2009 tentang Perlindugan

dan Pengelolaan Lingkungan

Hidup pada Bab XII

(Penyelesaian Sengketa

Lingkungan), Bagian Ketiga

(Penyelesaian Sengketa

Lingkungan Hidup Melalui

Pengadilan), Paragraf 2, Pasal 88

secara jelas mendefinisikan asas

strict liability dengan tanggung

jawab mutlak. Pasal tersebut

berbunyi: “Setiap orang yang

tindakannya, usahanya, dan/atau

kegiatannya menggunakan B3,

menghasilkan dan/atau mengelola

limbah B3, dan/atau yang

menimbulkan ancaman serius

terhadap lingkungan hidup

bertanggung jawab mutlak atas

kerugian yang terjadi tanpa perlu

pembuktian unsur kesalahan.”

Selanjutnya dalam penjelasan

Pasal 88 Undang-Undang

Nomor 32 Tahun 2009

dirumuskan bahwa yang

dimaksud dengan “bertanggung

jawab mutlak” atau strict liability

adalah unsur kesalahan tidak

perlu dibuktikan oleh pihak

penggugat sebagai dasar

pembayaran ganti rugi. Ketentuan

ayat ini sebagai lex specialis

dalam gugatan tentang perbuatan

melawan hukum pada umumnya.

Besarnya nilai ganti rugi yang

dapat dibebankan terhadap

pencemar atau perusak

lingkungan hidup menurut Pasal

ini dapat ditetapkan sampai batas

tertentu, yang dimaksud dengan

“sampai batas waktu tertentu”

adalah jika menurut penetapan

peraturan perundang-undangan

Page 124: Kode/Nama Rumpun Ilmu : 596 / Ilmu Hukum LAPORAN AKHIRilib.usm.ac.id/sipp/doc/penelitian/A017-20161004020602-LAPORANAKHI... · Surat Perjanjian Penugasan dalam Rangka Pelaksanaan

xxxv

ditentukan keharusan asuransi

bagi usaha dan/atau kegiatan yang

bersangkutan atau telah tersedia

dana lingkungan hidup.

Saran

Harus diatur secara eksplisit

dalam peraturan perundang-

undangan yang menentukan

korporasi sebagai subjek tindak

pidana mengenai kapan suatu

korporasi dapat dikatakan

melakukan tindak pidana. Demikian

juga halnya dengan ketentuan

mengenai siapa yang dapat dituntut

dan dijatuhi pidana atas kejahatan

yang dilakukan korporasi harus

diatur secara tegas, agar supaya

korporasi tidak dapat mengelak atas

kejahatan yang dilakukannya dengan

berlindung dibalik pengurus

korporasi.

DAFTAR PUSTAKA

d. Buku-buku:

Amirin, Tatang A. MenyusunRencana Penelitian. Jakarta:CV. Rajawali, 1986.

Arief, Barda Nawawi.Perbandingan HukumPidana, Cetakan Pertama.Jakarta: CV. Rajawali,1990.

Atmasasmita, Romli. Asas-asasPerbandingan HukumPidana, Cetakan Pertama.Jakarta: Yayasan LBH,1989.

Hetrik, Hamzah. AsasPertanggungjawabanKorporasi dalam HukumPidana. Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada , 1996.

Mikles, Matthrew B. & A.Michael Huberman. AnalisisData Kualitatif, terj. TjetjepRehendy Rohidi. Jakarta: UIPress, 1992

Moljatno. Asas-asas HukumPidana, Cetakan Kedua.Jakarta: Bina Aksara, 1984.

Marpaung, Leden. Unsur-unsurPerbuatan yang DapatDihukum, Cetakan Pertama.Jakarta: Sinar Grafika,1991.

Mudzakir, Aspek Hukum PidanaDalam PelanggaranLingkungan, dalam ErmanRajagukguk dan RidwanKhairandy (ed), HukumLingkungan Hidup diIndonesia, 75 Tahun Prof.Dr. KoesnadiHardjasoemantri, SH.,ML.Jakarta: UniversitasIndonesia, 2001.

Page 125: Kode/Nama Rumpun Ilmu : 596 / Ilmu Hukum LAPORAN AKHIRilib.usm.ac.id/sipp/doc/penelitian/A017-20161004020602-LAPORANAKHI... · Surat Perjanjian Penugasan dalam Rangka Pelaksanaan

xxxvi

Muladi dan Barda NawawiArief. Teori dan KebijakanPidana. Bandung: Alumni,1998.

Sunggono, Bambang. MetodePenelitian Hukum. Jakarta:PT. Raja Grafindo Persada,2002.

Syahrin, Alvi. Beberapa IsuHukum LingkunganKepidanaan. Medan:Sofmedia, 2009.

e. Peraturan Perundang-undanganSekretariat Negara RI. Undang-

Undang No. 1 Tahun 1946tentang Peraturan HukumPidana (KUHP). Jakarta,1946.

Sekretariat Negara RI. Undang-Undang No. 32 Tahun 2009tentang Perlindungan danPengelolaan LingkunganHidup. Jakarta, 2009.

Sekretariat Negara RI. PeraturanPemerintah No. 27 Tahun1999 tentang AnalisisMengenai DampakLingkungan. Jakarta, 1999.

f. RUU KUHPDirektorat Perundang-undangan,

Direktorat Jenderal Hukumdan Perundang-undangan,Departemen Hukum danPerundang-undangan, 1999-

2000, Rancangan Undang-undang Republik IndonesiaTentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.

Page 126: Kode/Nama Rumpun Ilmu : 596 / Ilmu Hukum LAPORAN AKHIRilib.usm.ac.id/sipp/doc/penelitian/A017-20161004020602-LAPORANAKHI... · Surat Perjanjian Penugasan dalam Rangka Pelaksanaan

viii

Lampiran 5. Bahan Ajar (SAP Kejahatan Korporasi)

SATUAN ACARA PERKULIAHAN

Mata Kuliah : Kejahatan KorporasiKode Mata Kuliah : HKS08656Satuan Kredit Semester : 2 (dua) SKSSemester : VII (tujuh)Program Studi : S.1. Ilmu HukumProses belajar mengajar

a. Dosen : menjelaskan, memberikan contoh, diskusi, memberikan tugas terstuktur.b. Mahasiswa : mendengarkan, mencatat, mempelajari, diskusi, mengerjakan tugas terstruktur.

Tujuan Instruksional Umum : Mahasiswa dapat memahami dan menjelaskan mengenai kejahatan yang secara faktual terjadi dimasyarakat yang dilakukan oleh Korporasi dengan cakupan pengkajian tentang konsepkejahatan korporasi, kausa kejahatan korporasi, tipe kejahatan korporasi, pertanggungjawabanpidana bagi korporasi dan upaya penanggulangannya.

DESKRIPSI MATA KULIAH : Mata kuliah yang mengkaji tentang kejahatan yang dilakukan oleh korporasi dari berbagaiaspek secara komprehensif yang berkaitan dengan perkembangan dan pembangunan dimasyarakat.

Media :a. Papan tulisb. LCDc. Tatap Mukad. Diskusi

Evaluasi :a. Hasil testb. Hasil ujianc. Penilaian terhadap hasil penugasa

Page 127: Kode/Nama Rumpun Ilmu : 596 / Ilmu Hukum LAPORAN AKHIRilib.usm.ac.id/sipp/doc/penelitian/A017-20161004020602-LAPORANAKHI... · Surat Perjanjian Penugasan dalam Rangka Pelaksanaan

ix

Minggu PokokBahasan

Sub Pokok Bahasan TujuanInstruksional

Khusus

SumberPustaka

Media Tugas Keterangan

(1) (2) (3) (4) (5) (6) (7) (8)

1 dan 2 Pengantar 1. Deskripsi Singkat Mata Kuliah2. Korporasi Sebagai Subyek Hukum3. Pengertian Korporasi4. Korporasi Sebagai Subyek Hukum

Dalam Berbagai Lapangan Hukum5. Pengaturan Korporasi Sebagai

Subyek Hukum Tindak Pidana6. Pembagian Badan Hukum

(Korporasi)7. Urgensi Studi Kejahatan Korporasi

Mahasiswamampumemahami1. pengertian

korporasisecaraetimologisdanpendapatbeberapasarjana

2. bentuk-bentukkorporasi

3. posisi kajiankorporasidan manfaatmempelajraikorporasi

4. kriteriakorporasidalam

A,B,C,D,

E,F,G,H,

I

TatapMuka,LCD,

Diskusi.

Mengumpulkan danMempelajariBuku-bukuWajib.

Page 128: Kode/Nama Rumpun Ilmu : 596 / Ilmu Hukum LAPORAN AKHIRilib.usm.ac.id/sipp/doc/penelitian/A017-20161004020602-LAPORANAKHI... · Surat Perjanjian Penugasan dalam Rangka Pelaksanaan

x

kontekskejahatankorporasi

5. alasan-alasanpihakyang prodankontraterhadappertanggungjawabanpidana bagikorporasi

3-4 RuangLingkupKejahatanKorporasi

1. Pengertian Kejahatan Korporasi2. Batas-Batas Kejahatan Korporasi3. Anatomi Kejahatan Korporasi4. Motif-Motif Kejahatan Korporasi5. Bentuk-Bentuk Kejahatan

Korporasi6. Korban Kejahatan Korporasi

Mahasiswadapatmemahamimengenaikarakteristikkejahatankorporasisehinggadapatmenjelaskanperbedaannyadengankejahatankonvensional

A,B,C,D,E, F.

TatapMuka,LCD,

Diskusi.

MembuatResume BukuA. Setiyono,tentangKejahatanKorporasi(AnalisisViktimologisdanpertanggungjawabanKorporasidalam HukumPidana

Page 129: Kode/Nama Rumpun Ilmu : 596 / Ilmu Hukum LAPORAN AKHIRilib.usm.ac.id/sipp/doc/penelitian/A017-20161004020602-LAPORANAKHI... · Surat Perjanjian Penugasan dalam Rangka Pelaksanaan

xi

Indonesia),Malang:Averroes Pressdan PustakaPelajar, 2002.

5-6 SistemPertanggungjawaban PidanaKorporasi

1. Pertanggungjawaban Pidana2. Pertanggungjawaban Pidana

Korporasi (Corporate CriminalLiability)

3. Pola Pertanggungjawaban PidanaTerhadap Korporasi

4. Teori-Teori PertanggungjawabanPidana Terhadap Korporasi

5. Doktrin Identifikasi6. Doktrin Vicarious Liability7. Doktrin Strict Liability

Mahasiswadapatmemahamimengenaiteori, asas dansistempertanggungjawaban pidanakorporasidenganmerujuk padaKUHP,Peraturanperundang-undangan diluar KUHP,dan RUUKUHP

A,B,C,D,E,F,G,H,

I

TatapMuka,LCD,

Diskusi.

MenganalisabeberapaKejahatanyang terjadi diIndonesia,

7 Ujian Tengah Semester

Page 130: Kode/Nama Rumpun Ilmu : 596 / Ilmu Hukum LAPORAN AKHIRilib.usm.ac.id/sipp/doc/penelitian/A017-20161004020602-LAPORANAKHI... · Surat Perjanjian Penugasan dalam Rangka Pelaksanaan

xii

8-9 KorbanKejahatanKorporasi

1. Karakteritik korban kejahatankorporasi

2. Bentuk-bentuk kerugian darikejahatan korporasi :

a.kerugian Materib. kerugian bidang kesehatan dan

keselamatan jiwac. kerugian sosial moral

3. Jaminan perlindungan hukumbagi korban kejahatankorporasi pada berbagaiperaturan perundang-undangan :

a. Kompensasib. Restitusi

Mahasiswadapatmemahamimengenaikarakteristikkorban denganberbagaibentukkerugian yangdialami danperlindunganhukum yangberhakdiperoleh.

A,B,C,D,E,F,G,H,

I,J

TatapMuka,LCD,

Diskusi.

10 PemidanaanterhadapKorporasi

1. Konsep Pemidanaan TerhadapKorporasi

2. Pengaturan Stelsel PidanaTerhadap Korporasi

Mahasiswamampumemahamisistempemidanaanterhadapkorporasi

A, B, C,D,E,

F.G,H,I,J

TatapMuka,LCD,

Diskusi.

12-13 KejahatanKorporasi diBidangLingkungan

1. Ruang Lingkup KejahatanKorporas di Bidang LingkunganHidup

2. Korban Kejahatan Korporasi di

MahasiswadapatmemahamiKejahatan

A, B, C,D,E, F.

TatapMuka,LCD,

Diskusi

MenganalisKasus-kasusKejahatanKorporasi di

Page 131: Kode/Nama Rumpun Ilmu : 596 / Ilmu Hukum LAPORAN AKHIRilib.usm.ac.id/sipp/doc/penelitian/A017-20161004020602-LAPORANAKHI... · Surat Perjanjian Penugasan dalam Rangka Pelaksanaan

xiii

Hidup Bidang Lingkungan Hidup3. Pertanggungjawaban Pidana bagi

Korporasi di Bidang LingkunganHidup

Korporasi diBidangLingkunganHidup danteori-teoriPertanggungjawaban Pidanabagi Korporasidi BidangLingkunganHidup

. BidangLingkunganHidup

13 Penanggulangan KejahatanKorporasi

1. Macam dan bentuk sarana kontrol bagiupaya penanggulangan kejahatankorporasi :

a. Upaya penanggulangan Non Penalb. Upaya penanggulangan

2. Pengaturan sanksi pidana terhadapkejahatan korporasi dalam berbagaiperaturan perundang-undangan

3. Antisipasi terhadap perkembangankejahatan korporasi di masamendatang

Mahasiswadapatmemahamiteori-teoriyangmenjelaskankejahatan daristruktur sosialdandampaknya

A, B, C,D,E,

F.G,H,I,J

TatapMuka,LCD,

Diskusi.

14 Ujian Akhir Semester

Page 132: Kode/Nama Rumpun Ilmu : 596 / Ilmu Hukum LAPORAN AKHIRilib.usm.ac.id/sipp/doc/penelitian/A017-20161004020602-LAPORANAKHI... · Surat Perjanjian Penugasan dalam Rangka Pelaksanaan

xiv

DAFTAR PUSTAKA:A. Barda Nawawi Arief, Kapita Selekta hukum Pidana, 2003B. Dwija Priyatno, Kebijakan Legislasi tentang Sistem pertanggungjawaban Pidana Korporasi Di Indonesia, 2003C. Gibert Geiss dan Robert F Meier, Corporate Crime, 1989D. Hamzah Hatrik, Asas Pertanggungjawaban Korporasi Dalam Hukum Pidana Indonesia, Jakarta: Raja Grafindo Persada,

1996Setiyono, Kejahatan Korporasi (Analisis Viktimologis dan pertanggungjawaban Korporasi dalam Hukum PidanaIndonesia), Malang: Averroes Press dan Pustaka Pelajar, 2013

E. I.S.Susanto, Diktat Kejahatan Korporasi, Semarang, UNDIP, 2005.F. J.E.Sahetapy, Bunga Rampai Viktimisasi, Bandung: Eresco, 1995G. ----------------------------, Kejahatan Korporasi, Bandung:Eresco, 1994H. Marshall B Clinard dan Peter C Yeager, Corporate Crime, New York: The Free Press, 1980I. Muhammad Topan, Kejahatan Korporasi di Bidang Lingkungan Hidup, Bandung: Nusa Media, 2009.J. Penanggulanggan Kejahatan Korporasi melalui Pendekatan Restoratifsuatu Terobosan Hukum, Jakarta: Sinar Grafika, 2013.

Page 133: Kode/Nama Rumpun Ilmu : 596 / Ilmu Hukum LAPORAN AKHIRilib.usm.ac.id/sipp/doc/penelitian/A017-20161004020602-LAPORANAKHI... · Surat Perjanjian Penugasan dalam Rangka Pelaksanaan

xv

Page 134: Kode/Nama Rumpun Ilmu : 596 / Ilmu Hukum LAPORAN AKHIRilib.usm.ac.id/sipp/doc/penelitian/A017-20161004020602-LAPORANAKHI... · Surat Perjanjian Penugasan dalam Rangka Pelaksanaan

16