35
BAB I PENDAHULUAN Karsinoma nasofaring (KNF) adalah jenis karsinoma yang berasal dari epitel atau mukosa (nonlymphomatous squamous cell carcinoma) dan kripta yang melapisi permukaan nasofaring. KNF biasanya berasal dari dinding lateral nasofaring, termasuk fosa Rosenmuller. KNF dapat meluas ke dalam atau ke luar nasofaring ke dinding lateral lainnya dan atau posterosuperior ke basis kranii atau palatum, rongga hidung, dan orofaring (Handayani, Putra, & Nuartha, 2014). Secara global, KNF merupakan penyakit kanker yang jarang ditemukan dengan kisaran 80.000 kasus baru per tahun dan dilaporkan 0,7% dari semua jenis kanker (UICC). Insiden KNF rendah di sebagian besar tempat seperti Amerika Utara dan Eropa dengan angka kejadian kurang dari 1 per 100.000 orang, namun frekuensinya tinggi di Cina Selatan dan Asia Tenggara (UICC; Handayani, Putra, & Nuartha, 2014). Di Indonesia, KNF merupakan kanker terbanyak kelima, kisaran 5,78% dari seluruh kanker, dengan insiden 6,2/10.000 orang per tahun (Handayani, Putra, & Nuartha, 2014). Di Indonesia, KNF merupakan keganasan daerah kepala dan leher yang paling sering dijumpai (Handayani, Putra, & Nuartha, 2014). 1

KNF

Embed Size (px)

DESCRIPTION

KNF

Citation preview

Page 1: KNF

BAB I

PENDAHULUAN

Karsinoma nasofaring (KNF) adalah jenis karsinoma yang berasal dari

epitel atau mukosa (nonlymphomatous squamous cell carcinoma) dan kripta yang

melapisi permukaan nasofaring. KNF biasanya berasal dari dinding lateral

nasofaring, termasuk fosa Rosenmuller. KNF dapat meluas ke dalam atau ke luar

nasofaring ke dinding lateral lainnya dan atau posterosuperior ke basis kranii atau

palatum, rongga hidung, dan orofaring (Handayani, Putra, & Nuartha, 2014).

Secara global, KNF merupakan penyakit kanker yang jarang ditemukan

dengan kisaran 80.000 kasus baru per tahun dan dilaporkan 0,7% dari semua jenis

kanker (UICC). Insiden KNF rendah di sebagian besar tempat seperti Amerika

Utara dan Eropa dengan angka kejadian kurang dari 1 per 100.000 orang, namun

frekuensinya tinggi di Cina Selatan dan Asia Tenggara (UICC; Handayani, Putra,

& Nuartha, 2014). Di Indonesia, KNF merupakan kanker terbanyak kelima,

kisaran 5,78% dari seluruh kanker, dengan insiden 6,2/10.000 orang per tahun

(Handayani, Putra, & Nuartha, 2014). Di Indonesia, KNF merupakan keganasan

daerah kepala dan leher yang paling sering dijumpai (Handayani, Putra, &

Nuartha, 2014).

Beberapa dekade terakhir, KNF telah menarik perhatian dunia karena

interaksi kompleks antara genetik, virus, faktor lingkungan, dan makanan, yang

boleh jadi berhubungan dengan etiologi penyakit ini (Handayani, Putra, &

Nuartha, 2014). Selain itu, KNF merupakan keganasan di daerah kepala dan leher

yang dibedakan dari keganasan lain berdasarkan etiologi, epidemiologi, patologi,

manifestasi klinis, dan respon terhadap terapi (Tabuchi et al, 2011). Tujuan dari

referat ini adalah untuk menambah wawasan dan pengetahuan mengenai

karsinoma nasofaring, sehingga kita dapat mengenali karsinoma nasofaring lebih

dini sehingga dapat merujuk pada pengobatan yang lebih cepat dan tepat.

1

Page 2: KNF

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi

Karsinoma nasofaring (KNF) adalah jenis karsinoma yang berasal

dari epitel atau mukosa (nonlymphomatous squamous cell carcinoma) dan

kripta yang melapisi permukaan nasofaring (Handayani, Putra, & Nuartha,

2014; Tabuchi dkk, 2011). KNF banyak ditemukan di fosa Rosenmuller

nasofaring. KNF merupakan penyakit yang unik dengan manifestasi klinis,

epidemiologi, dan histopatologi yang berbeda dari karsinoma sel skuamous

kepala dan leher yang lain (Tabuchi dkk, 2011).

2.2 Anatomi

Nasopharynx terletak di belakang rongga hidung, di atas palatum

molle. Bila palatum molle diangkat dan dinding posterior pharynx ditarik ke

depan, seperti waktu menelan, maka nasopharynx tertutup dari oropharynx.

Nasopharynx mempunyai atap, dasar, dinding anterior, dinding posterior dan

dinding lateral. Atap dibentuk oleh corpus ossis sphenoidalis dan pars

basilaris ossis occipitalis. Kumpulan jaringan limfoid yang disebut tonsil

pharyngealis, terdapat di dalam submucosa daerah ini. Dasar dibentuk oeh

permukaan atas palatum molle yang miring. Isthmus pharyngeus adalah

lubang di dasar nasopharynx di antara pinggir bebas palatum molle dan

dinding posterior pharynx. Selama menelan, hubungan antara naso dan

oropharynx tertutup oleh naiknya palatum molle dan tertariknya dinding

posterior pharynx ke depan. (Moore & Agur, 2007)

Dinding anterior dibentuk oleh apertura nasalis posterior, dipisahkan

oleh pinggir posterior septum nasi. Dinding posterior membentuk

permukaan miring yang berhubungan dengan atap. Dinding ini ditunjang

oleh arcus anterior atlantis. Dinding lateral pada tiap-tiap sisi mempunyai

muasa tuba auditiva ke pharynx. Pinggir posterior tuba membentuk elevasi

yang disebut elevasi tuba. M.salphingoparyngeus yang melekat pada pinggir

2

Page 3: KNF

bawah tuba, membentuk lipatan vertikal pada membrana mucos yang

disebut plica salphingopharyngeus. Recessus pharyngeus adalah lekukan

kecil pada dinding lateral di belakang elevasi tuba. Kumpulan jaringan

limfoid di dalam submucosa di belakang muara tuba auditiva disebut tonsila

tubaria. (Moore & Agur, 2007)

Gambar 1. Nasofaring, orofaring, laringofaring. A. Struktur tampak depan. B. Dinding posterior faring (Moore & Agur, 2007)

3

Page 4: KNF

2.3 Epidemiologi

Secara global, KNF merupakan penyakit kanker yang jarang

ditemukan dengan kisaran 80.000 kasus baru per tahun dan dilaporkan 0,7%

dari semua jenis kanker (UICC). Insiden KNF rendah di sebagian besar

tempat seperti Amerika Utara dan Eropa dengan angka kejadian kurang dari

1 per 100.000 orang, namun frekuensinya tinggi di Cina Selatan dan Asia

Tenggara (UICC; Handayani, Putra, & Nuartha, 2014). Di Indonesia, KNF

merupakan kanker terbanyak kelima, kisaran 5,78% dari seluruh kanker,

dengan insiden 6,2/10.000 orang per tahun (Handayani, Putra, & Nuartha,

2014). Di Indonesia, KNF merupakan keganasan daerah kepala dan leher

yang paling sering dijumpai (Handayani, Putra, & Nuartha, 2014).

Di Indonesia, KNF merupakan keganasan daerah kepala dan leher

yang paling sering dijumpai. Frekuensi relatif berkisar antara 38,1% - 71,8%

(Handayani, Putra, & Nuartha, 2014). Meskipun KNF dapat ditemukan

pada semua umur, KNF jarang ditemukan pada usia di bawah tiga puluh

tahun. Insiden KNF mulai meningkat pada umur 20-24 tahun, mendatar

(plateu) antara umur 45-54 tahun, kemudian menurun. Sekitar 80% KNF

dijumpai pada usia produktif (30-59 tahun), dengan puncak 40-49 tahun.

Laki-laki lebih sering terkena KNF dibandingkan perempuan. Menurut

UICC (2014), insiden KNF pada laki-laki dapat mencapai 20-30 per 100.000

populasi dan pada wanita insiden dapat mencapai 8-15 kasus per 100.000

populasi.

2.4 Etiologi

Karsinoma nasofaring merupakan keganasan di regio kepala dan

leher yang memiliki etiologi yang beragam. Faktor yang mempengaruhinya

meliputi infeksi Epstein-Barr virus (EBV), suku bangsa, genetik, faktor

lingkungan, dan makanan yang dikonsumsi (Tulalamba, 2012). KNF

dihubungkan dengan EBV, meskipun peranan EBV dalam patogenesis KNF

masih belum jelas. Kenaikan titer antigen EBV (khususnya IgA) sering

ditemukan pada sel neoplasma pada kasus KNF (Tabuchi dkk, 2011).

4

Page 5: KNF

Mengkonsumsi makanan seperti ikan yang diawetkan dengan diasinkan juga

dihubungkan dengan faktor risiko KNF (Tulalamba, 2012). Makanan

tersebut mengandung nitrosamin yang diketahui merupakan bersifat

karsinogen pada hewan. Selain itu, ikan asin juga mengandung mutagen

bakteri, genotoksin dan EBV-reacting subtances. Akan tetapi, tidak ada

penelitian prospektif mengenai risiko KNF dalam yang dihubungkan dengna

konsumsi makanan yang diasinkan (Tabuchi dkk, 2011).

KNF merupakan keganasan yang jarang ditemukan pada ras

kaukasia, seperti Amerika Utara dan negara barat lainnya. Namun, KNF

termasuk penyakit dengan angka kejadian yang tinggi di Cina Selatan,

Alaska, dan Asia Tenggara. Perbedaan angka kejadian berdasarkan geografi

dan populasi yang signifikan menunjukkan bahwa faktor lingkungan dan

genetik memiliki peranan dalam terjadinya KNF (Tabuchi dkk, 2011).

2.5 Patogenesis

Patogenesis dari karsinoma nasofaring dapat dilihat pada gambar di

bawah ini:

Gambar 2. Model tumorgenesis (Chan, Teo, & Jhonson, 2002)

KNF terjadi melalui interaksi yang unik dari faktor lingkungan dan

genetik. Displasia merupakan penyebab awal dari lesi. Displasia ini terjadi

karena faktor lingkungan. Hal ini disebabkan karena pemendekan dari

5

Page 6: KNF

kromosom 3 dan 9 sehingga menginaktifkan beberapa gen yang berperan

dalam tumor suppressor, seperti p14, p15 dan p16. Pada displasia berat,

EBV memiliki peranan penting dalam perubahan gen di kromosom 12

sehingga kehilangan alel 11q, 13q dan 16q yang mencetuskan karsinoma

invasif. Kemudian, metastasis terjadi karena mutasi dari p53 dan peranan

cadherin (Chan, Teo, & Jhonson, 2002).

EBV sendiri mempunyai potensi onkogenik dan dapat mengubah sel

terinfeksi menjadi sel ganas melalui dua mekanisme. Pertama, genom EBV

dipertahankan dalam sel penjamu dengan berintegrasi pada genom sel

pejamu. Kedua, EBV mengekspresikan protein yang mempunyai homologi

dengan protein anti-apoptosis dan akhirnya proliferasi sel terinfeksi menjadi

tidak terkendali akibat pengaktifan sinyal intraseluler yang berperan dalam

pengendalian pertumbuhan sel (Yurnadi dkk, 2010).

2.6 Klasifikasi

2.6.1 Klasifikasi menurut Histopatologi

Pada tahun 1978, paduan klasifikasi histologi yang dicanangkan oleh

the World Health Organization (WHO), mengelompokkan karsinoma

nasofaring dalam 3 kelompok, yaitu: tipe I (keratinizing squamous cell

carcinoma atau karsinoma sel skuamosa berkeratinisasi), tipe II

(nonkeratinizing carcinoma), dan tipe III (undifferentiated carcinoma)

(Tabuchi et al, 2011).

Berdasarkan WHO (1991) karsinoma nasofaring diklasifikasikan

dalam dua grup, yaitu:

I. Karsinoma sel skuamosa (berkeratinisasi)

Secara histopatologi, bentuk karsinoma ini sedikit berhubungan

dengan infeksi virus Epstein-Barr, bersifat radioresisten dan

mempunyai prognosis yang paling buruk. Secara mikroskopis,

ditemukan keratin.

II. Karsinoma tidak berkeratinisasi

Karsinoma berdiferensiasi

6

Page 7: KNF

Bentuk karsinoma ini mempunyai hubungan yang kuat dengan

infeksi virus Epstein-Barr. Secara mikroskopik, bentuk

karsinoma ini tidak ditemukan keratin, mempunyai bentuk sel

berdiferensiasi baik dan batas sel yang jelas.

Karsinoma tidak berdiferensiasi

Bentuk karsinoma ini mempunyai hubungan yang kuat dengan

infeksi virus Epstein-Barr. Diferensiasi sel tumornya buruk,

dengan bentuk inti yang pleomorfik. Secara mikroskopik,

terdapat infiltrasi sel-sel inflamasi, seperti limfosit dan eosinofil.

Menurut WHO, KNF tipe I jarang ditemukan, tetapi KNF tipe II dan

III lebih sering ditemukan dan menunjukkan hubungan yang signifikan

dengan infeksi EBV (Tulalamba, 2012).

2.6.2 Klasifikasi menurut Stadium

Stadium karsinoma nasofaring, dipakai sistem klasifikasi TNM

menurut UICC dan AJCC 1997.

T = tumor primer

Tx : tumor tidak dapat dinilai

T0 : tidak terbukti adanya tumor

Tis: karsinoma insitu

T1 : tumor terbatas pada nasofaring

T2 : tumor menyebar ke jaringan lunak orofaring dan atau rongga hidung

T2a – tanpa perluasan ke parafaring

T2b – dengan perluasan ke parafaring

T3 : tumor menyerang struktur tulang dan atau sinus paranasal

T4 : tumor dengan penyebaran intrakranial dan atau telah melibatkan

saraf-saraf pusat, fossa infratemporal, hipofaring atau mata

N = pembesaran kelenjar getah bening regional

Nx : kelenjar getah bening tidak dapat dinilai

N0 : tidak ada pembesaran kelenjar getah bening regional

7

Page 8: KNF

N1 : terdapat pembesaran kelenjar getah bening regional unilateral, 6 cm

atau kurang, dibawah fossa supraklavikula

N2 : terdapat pembesaran kelenjar getah bening regional bilateral, 6 cm

atau kurang, dibawah fossa supraklavikula

N3 : terdapat pembesaran kelenjar getah bening regional unilateral atau

bilateral

N3a – lebih besar dari 6 cm

N3b – meluas ke fossa supraklavikula

M = metastasis jauh

Mx : metastasis tidak dapat dinilai

M0 : tidak ada metastasis jauh

M1 : terdapat metastasis jauh

Stadium 0 : Tis, N0, M0

Stadium I : T1, N0, M0

Stadium IIA : T2a, N0, M0

Stadium IIB : T1, N1, M0

T2, N1, M0

T2a, N1, M0

T2b, N0, M0

T2b, N1, M0

Stadium III : T1, N2, M0

T2a, N2, M0

T2b, N2, M0

T3, N0, M0

T3, N1, M0

T3, N2, M0

Stadium IVA : T4, N0, M0

T4, N1, M0

T4, N2, M0

Stadium IVB : T1/T2/T3/T4, N3, M0

Stadium IVC : T1/T2/T3/T4, N1/N2/N3, M1

8

Page 9: KNF

2.7. Manifestasi Klinis

Karsinoma nasofaring bermanifestasi klinis dalam berbagai gejala

dan tanda. Tanda dan gejala awal KNF sering kali tidak disadari dan

diabaikan oleh keduanya baik pasien maupun dokter.(Cummings, 2005)

Melalui anamnesis yang teliti kepada pasien dapat diperoleh berbagai gejala

karsinoma nasofaring yang dapat dibagi dalam 4 kelompok, yaitu gejala

nasofaring sendiri, gejala telinga, gejala mata dan saraf, serta metastasis atau

gejala di leher. Gejala nasofaring dapat berupa epistaksis ringan atau

sumbatan hidung (Roezin & Adham, 2007). Gejala ini ditemukan pada

setengah dari seluruh pasien KNF dan biasanya sumbatan hidung yang

dialami hanya unilateral (Cummings, 2005).

Gangguan pada telinga merupakan gejala dini yang timbul karena

tempat asal tumor dekat muara tuba Eustachius (fosa Rosenmuller).

Gangguan dapat berupa tinitus, rasa tidak nyaman di telinga sampai rasa

nyeri di telinga (otalgia) (Roezin & Adham, 2007). Obstruksi tuba yang

berakhir pada gangguan pendengaran ini disebabkan oleh otitis media

serosa. Sehingga KNF harus selalu dipertimbangkan pada daerah dengan

insidensi otitis media serosa unilateral yang tinggi (Cummings, 2005). Tidak

jarang pasien dengan gangguan pendengaran ini baru kemudian disadari

bahwa penyebabnya adalah karsinoma nasofaring (Roezin & Adham, 2007).

Gangguan pendengaran yang terjadi pada pasien KNF biasanya bersifat

unilateral (Lalwani,2007).

Karena nasofaring berhubungan dekat dengan rongga tengkorak

melalui beberapa lubang, maka gangguan beberapa saraf otak dapat terjadi

sebagai gejala lanjut karsinoma ini. (Roezin & Adham, 2007) Setidaknya

seperlima dari pasien KNF datang berobat dengan keluhan neurologis.

(Cummings, 2005) Penjalaran melalui foramen laserum akan mengenai saraf

otak ke III, IV, VI dan dapat pula ke V, sehingga tidak jarang gejala

diplopialah yang membawa pasien lebih dahulu ke dokter mata. Neuralgia

trigeminal merupakan gejala yang sering ditemukan oleh ahli saraf jika

belum terdapat keluhan lain yang berarti (Roezin & Adham, 2007). Gejala

9

Page 10: KNF

neurologis lain yang dapat ditemukan berupa Retrosphenoidal Syndrome of

Jacod (yaitu kesulitan dalam ekspresi wajah, selayaknya masalah

pergerakan mata dan rahang), Retroparotidian syndrome of Villaret (yaitu,

masalah dalam mengunyah serta pergerakan lidah dan leher). (Lalwani,

2007)

Proses karsinoma yang lanjut akan mengenai saraf otak ke IX, X, XI,

dan XII jika penjalaran melalui foramen jugulare, yaitu suatu tempat yang

relatif jauh dari nasofaring. Gangguan ini sering disebut dengan sindrom

Jackson. Bila sudah mengenai seluruh saraf otak disebut sindrom unilateral.

Dapat pula disertai destruksi tulang tengkorak dan bila sudah terjadi

demikian, biasanya prognosisnya buruk (Roezin & Adham, 2007).

Metastasis ke kelenjar leher dalam bentuk benjolan di leher yang

mendorong pasien untuk berobat, karena sebelumnya tidak terdapat keluhan

lain (Roezin & Adham, 2007). Limfadenopati servikal adalah manifestasi

paling umum dan dapat ditemukan pada antara 50%-90% pasien. Aliran

limfatik yang kaya mendrainase nasofaring, dan hingga sepertiga pasien

KNF mengalami pembesaran KGB leher bilateral. Pertama-tama upper

jugular nodes dan jugulodigastric node yang terkena, dan kemudian

penyebaran terjadi ke KGB leher bawah dan supraklavikula. Pola

penyebaran ini telah menunjukkan kemaknaan prognostik. Pada area dengan

endemik KNF, penting untuk mengeksklusikan KNF pada setiap pasien

muda yang mengalami limfadenopati servikal asimptomatik (Cummings,

2005).

Suatu kelainan nasofaring yang disebut lesi hiperplastik nasofaring

atau LHN telah diteliti di Cina (RRC), yaitu 3 bentuk yang mencurigakan

pada nasofaring, seperti pembesaran adenoid pada orang dewasa,

pembesaran nodul dan mukosistis berat pada daerah nasofaring. Kelainan ini

bila diikuti bertahun-tahun kemudian akan menjadi karsinoma nasofaring

(Roezin & Adham, 2007).

10

Page 11: KNF

2.8. Pemeriksaan Penunjang

a. Radiologi

Persoalan diagnostik sudah dapat dipecahkan dengan pemeriksaan

CT-scan daerah kepala dan leher, sehingga pada tumor primer yang

tersembunyi pun tidak akan terlalu sulit ditemukan (Roezin & Adham,

2007). Pencitraan konvensional berguna dalam penegakan diagnosis dan

penatalaksanaan pasien dengan KNF. Oleh karena resolusi spatial and

soft-tissue contrast yang baik, MRI telah menjadi suatu bagian penting

dalam penanganan KNF. CT-scan terbatas pada staging dan perencanaan

radioterapi, sedangkan MRI berperan dalam diagnosis, staging,

perencanaan terapi, dan penentuan prognosis. MRI telah ditemukan

memiliki sensitivitas, spesifisitas, dan akurasi yang tinggi (100%, 93%,

dan 95%) dalam diagnosis KNF. Angka ini bila dibandingkan dengan

endoskopi biopsi, yang memiliki sensitivitas 95%, spesifisitas 100%, dan

akurasi 98%. MRI membantu dalam akurasi staging KNF melalui

deteksi penyebaran tumor primer; keterlibatan parafaring, orbital, dan

paranasal; dan penyebaran ke KGB, utamanya KGB retrofaring. Volume

tumor dapat diperoleh dengan menggunakan MRI dan CT-scan. Volume

tumor primer yang dideteksi dengan MRI dan CT-scan adalah indikator

prognostik bebas. (Mohandas dkk, 2014)

FDG PET/CT (Fluorine-18-FluorodeoxyglucosePositron Emission

Tomography) memiliki peran dalam diagnosis dan tatalaksana KNF.

FDG PET memiliki efisiensi lebih baik dalam penentuan stadium nodul

dan metastase dibandingkan modalitas lain. FDG PET/CT membantu

dalam perencanaan terapi radiasi, memberikan informasi prognostik

yang bermakna dan berguna dalam penilaian respon terapi dan follow-up

rekurensi. Sensitivitas, spesifisitas, akurasi, positive predictive value,

dan negatif predictive value dari FDG PET/CT (T (96%, 94%, 95%,

96%, dan 94%) berturut-turut secara signifikan lebih baik daripada CT-

scan (71%, 76%, 73%, 80%, dan 67%). (Mohandas dkk, 2014)

11

Page 12: KNF

b. Serologi

Pemeriksaan serologi IgA anti EA dan IgA anti VCA untuk infeksi

virus E-B telah menunjukkan kemajuan dalam mendeteksi karsinoma

nasofaring. (Roezin & Adham, 2007) Infeksi EBV yang laten dan

persisten tersebut pada KNF menunjukkan pola laten tipe II yang

ditandai dengan ekspresi EBV nuclear antigen (EBNA)-1, latent

membrane protein (LMP)-1,2 dan EBV-encoded RNA (EBER). LMP-1

merupakan gen laten EBV yang pertama ditemukan yang dapat

mentransformasi galur sel dan merubah fenotip sel karena potensial

onkogeniknya. LMP-1 merupakan onkogen virus yang mirip reseptor

permukaan sel yang dapat mencegah sel yang terinfeksi EBV dari

apoptosis dengan menginduksi protein anti apoptotik seperti BCL-2,

A20 dan MCL-1. LMP-1 juga terlibat dalam jalur pensinyalan yang

mengatur proliferasi sel dan apoptosis yaitu memicu progresifitas dan

proliferasi sel melalui siklus sel (fase G1/S) dan inhibisi apoptosis.

(Yenita & Asri, 2014)

Gen p53 merupakan salah satu dari gen supresor tumor. Virus

Epstein-Barr dapat mengikat protein p53 normal dan menghilangkan

fungsi protektifnya. Penelitian imunohistokimia memperlihatkan bahwa

infeksi EBV pada KNF berhubungan dengan akumulasi protein p53,

bukan dengan protein BCL-2. Namun penelitian lain menyimpulkan

bahwa EBV merupakan faktor etiologi yang penting yang mungkin

melibatkan over ekspresi p53 dan BCL-2. Perkembangan KNF

melibatkan hilangnya gen supresor tumor. Namun mekanisme inhibisi

supresor tumor ini, unik pada KNF. Pada kebanyakan kanker kepala dan

leher, kadar p53 yang rendah disebabkan oleh mutasi. Namun, p53 pada

KNF tidak mengikuti pola klasik ini Tidak adanya mutasi p53 pada KNF

memberi kesan bahwa suatu protein virus dapat mengganggu fungsi p53.

Dari suatu penelitian didapatkan bahwa sel-sel KNF mempunyai kadar

p53 yang meningkat, dengan kadar LMP-1 yang tinggi berkorelasi

dengan ekspresi p53 yang lebih tinggi. Mutasi p53 relatif jarang pada

12

Page 13: KNF

KNF, sehingga mayoritas p53 yang diekspresikan adalah wild type. Wild

type p53 ini gagal menginduksi apoptosis pada KNF. Pemeriksaan

ekspresi LMP-1 dan p53 bisa dilakukan secara imunohistokimia (IHK)

dari jaringan tumor KNF. (Yenita & Asri, 2014)

c. Imunohistokimia

Beberapa target molekuler telah diidentifikasi dalam spesimen

tumor penderita KNF. Ekspresi atau overekspresi reseptor-reseptor

berikut telah dievaluasi pada KNF: EGFR, cKIT c-erbB-2 (HER-2) dan

VEGF (Vascular Endothelial Growth Factor), yang merupakan faktor

proangiogenik, yang berperan dalam angiogenesis untuk pertumbuhan

tumor, invasi, dan metastase tumor. Ekspresi VEGF meningkat pada

KNF stadium lanjut dengan perbandingan statistik yang signifikan

terhadap KNF stadium dini. Satu studi di China dari 127 spesimen KNF

dengan pemeriksaan imunohistokimia didapati nilai positif VEGF

66,9%. Penelitian di India didapati overekspresi VEGF 67% dari 103

penderita KNF. Penelitian sebelumnya di Singapura dari 42 pasien KNF

yang diperiksa secara imunohistokimia dijumpai overekspresi VEGF

pada seluruh sampel. (Farhat, 2009)

Vascular endothelial growth factor merupakan salah satu

parameter faktor biologi yang banyak diteliti sebagai prognosis pada

KNF. Faktor VEGF tersebut adalah faktor angiogenik yang merupakan

kekuatan utama angiogenesis tumor dan pembentukan seluruh pembuluh

darah. Seiring berkembangnya pengetahuan tentang biologi molekuler

pada kanker, banyak penelitian molekuler yang dilakukan untuk

menentukan faktor prediktor penatalaksanaan KNF. Penelitian yang

dilakukan fokus pada faktor biologi yang memengaruhi radiosensitivitas

tumor adalah indeks proliferasi (Ki-67, EGFR), efek oksigen yang

direfleksikan oleh neovaskularisasi (MVD, VEGF), dan apoptosis (p53,

Bcl-2). (Hendarsih dkk, 2014)

13

Page 14: KNF

d. Biopsi

Visualisasi dan pemeriksaan nasofaring secara utuh dibutuhkan

untuk menegakkan diagnosis KNF, baik itu dengan endoskopi rigid

(Hopkin rod derajat 0-, 30-, atau 70-) maupun endoskopi fleksibel.

Endoskopi rigid memberikan visualisasi baik tetapi memiliki

keterbatasan manuver pada batas-batas nasofaring atau ketika variasi

anatomik dari kavum nasi menghalangi masuknya endoskopi rigid.

Endoskopi fleksibel fiberoptik relatif atraumatik dan memberikan

kemampuan bermanuver lebih baik. (Cummings, 2005) Diagnosis pasti

ditegakkan dengan melakukan biopsi nasofaring. Biopsi dapat dilakukan

dengan 2 cara, yaitu dari hidung atau dari mulut. (Roezin & Adham,

2007) Biopsi dibutuhkan untuk menegakkan diagnosis dan dapat

dilakukan melalui kanal biopsi endoskopi fleksibel jika salah satunya

ada atau dengan cunam biopsi terpisah seperti mangkok cunam

Takahashi atau Halyard. Bagian dari nasofaring yang paling sering

terkena adalah fossa Rosemuller dan atap nasofaring. (Cummings, 2005)

Biopsi nasofaring biasanya dilakukan pada pasien rawat jalan

dibawah anestesi lokal. Biopsi transnasal dapat dilakukan dengan

endoskopi, dilakukan melalui nasofaringoskop indirek atau tanpa

melihat jelas tumornya (blind biopsy). Jika dilakuakn instrumen terpisah,

cunam dan endoskopi dapat ditempatkan melalui lubang hidung yang

sama atau berbeda. Endoskopi ini terkadang dibutuhkan untuk

mengambil biopsi pada pasien dibawah anestesi umum, baik itu pasien

dengan dugaan penyakit submukosa berulang yang membutuhkan biopsi

dalam ataupun pada pasien dengan dugaan kuat penyakit dengan hasil

biopsi yang berulang kali negatif. Kuretase nasofaring dapat juga

dilakukan pada waktu yang sama sebagai usaha terakhir. Biopsi

terkadang dibutuhkan dari KGB leher untuk diagnosis. FNAC adalah

metode untuk diagnosis jaringan yang paling aman dan tepat. Biopsi

terbuka, baik itu biopsi insisi maupun eksisi, sebaiknya dihindari karena

14

Page 15: KNF

telah terdapat bukti yang menduga bahwa hal ini dapat memperburuk

kondisi pasien. (Cummings, 2005)

e. Pemeriksaan Laboratorium (KNPK, 2015)

Pemeriksaan penunjang lainnya yang dapat dilakukan untuk penegakan

diagnosis KNF adalah pemeriksaan laboratorium. Pemeriksaan

laboratorium yang dapat dilakukan mulai dari pemeriksaan darah perifer

lengkap, LED, hitung jenis, alkali fosfatase, pemeriksaan SGOT dan

SGPT dalam darah.

f. Pemeriksaan Lain-lain (KNPK, 2015)

Pemeriksaan penunjang lainnya seperti foto toraks PA, pemeriksaan

bone scan, dan USG abdomen diperlukan pula untuk melihat tanda-tanda

metastase tumor ke sistem organ lainnya.

2.9. Diagnosis Banding

Karsinoma nasofaring dapat didiagnosis banding dengan tumor ganas lain,

di antaranya:

a. LNH (Limfoma non-Hodgkin)

Limfoma Non Hodgkin (LNH) merupakan sekumpulan besar keganasan

primer kelenjar getah bening, yang dapat berasal dari limfosit B, limfosit

T, dan terkadang sel NK. Gejala utama adalah pembesaran kelenjar yang

paling sering dan mudah dideteksi adalah pembesaran kelenjar di daerah

leher. Gejala yang sering ditemukan pada penderita limfoma pada

umumnya non-spesifik, diantaranya penurunan berat badan >10% dalam

6 bulan, demam 380C >1 minggu tanpa sebab yang jelas, keringat malam

banyak, cepat lelah, penurunan nafsu makan, pembesaran kelenjar getah

bening yang terlibat, dapat pula ditemukan adanya benjolan yang tidak

nyeri di leher, ketiak atau pangkal paha (terutama bila berukuran di atas

2 cm); atau sesak napas akibat pembesaran kelenjar getah bening

mediastinum maupun splenomegali. (KNPK, 2015)

15

Page 16: KNF

b. Tumor ganas sinonasal

Keganasan sinonasal umumnya jarang ditemukan. Di Indonesia dan di

luar negeri, kekerapan tumor ganas sinonasal hanya sekitar 1% dari

keganasan seluruh tubuh atau 3% dari seluruh keganasan di kepala dan

leher. Gejala tumor ganas sinonasal tergantung dari asal primer tumor

serta arah dan perluasannya. Gejala nasal yang muncul dapat berupa

obstruksi hidung lateral dan rinorea. Khas pada tumor ganas ingusnya

berbau karena mengandung jaringan nekrotik. Selain itu dapat pula

ditemukan gejala orbital berupa diplopia, proptosi, oftalmoplegia, dan

gangguan visus. Perluasan tumor ke rongga mulut menyebabkan

penonjolan atau ulkus di palatum atau di prosesus alveolaris. Perluasan

tumor ke depan akan menyebabkan penonjolan pipi, disertai nyeri,

anestesia atau parestesia muka. Perluasan tumor ke intrakrania

menyebabkan sakit kepala hebat, oftalmoplegia, dan gangguan visus.

Metastase ke kelenjar leher jarang terjadi (kurang dari 5%).(Roezin &

Adham, 2007)

2.10. Tatalaksana

Terapi dapat mencakup radiasi, kemoterapi, kombinasi keduanya, dan

didukung dengan terapi simptomatik sesuai dengan gejala. (KNPK, 2015)

a. Radioterapi

Radioterapi sebagai pengobatan terpilih yang berdiri sendiri pada

karsinoma nasofaring telah diakui sejak lama dan banyak

dilakukan di berbagai sentra dunia. Radiasi diberikan kepada

seluruh stadium (I, II, III, IV lokal) tanpa metastasis jauh (M1)

degan sasaran radiasi tumor primer dan KGB leher dan

supraklavikula. (KNPK, 2015)

Radiasi dapat diberikan dalam bentuk (KNPK, 2015):

Radiasi eksterna yang mencakup tumor bed (nasofaring)

beserta kelenjar getah bening leher, dengan dosis 66 Gy pada

16

Page 17: KNF

T1-2 atau 70 Gy pada T3-4; disertai penyinaran kelenjar

supraklavikula dengan dosis 50 Gy.

Radiasi intrakaviter sebagai radiasi booster pada tumor primer

diberikan dengan dosis (4x3 Gy), sehari 2 x

Bila diperlukan booster pada kelenjar getah bening diberikan

penyinaran dengan elektron. Radiasi bertujuan paliatif

diberikan pada stadium IV dengan metastasis tulang atau otak.

b. Kemoterapi

Kombinasi radiokemoterapi sebagai radiosensitizer terutama

diberikan pada pasien dengan T3-T4 dan N2-N3. Kemoterapi

sebagai radiosensitizer diberikan preparat platinum based 30-40

mg/m2 sebanyak 6 kali, setiap minggu sekali 2,5 sampai 3 jam

sebelum dilakukan radiasi. (KNPK, 2015)

c. Obat-obatan Simptomatik

Keluhan yang biasa timbul saat sedang diradiasi terutama adalah

akibat reaksi akut pada mukosa mulut, berupa nyeri untuk

mengunyah dan menelan. Keluhan ini dapat dikurangi dengan obat

kumur yang mengandung antiseptik dan adstringent, (diberikan 3 –

4 sehari). Bila ada tanda-tanda moniliasis, dapat diberikan

antimikotik. Pemberian obat-obat yang mengandung anestesi lokal

dapat mengurangi keluhan nyeri menelan. Sedangkan untuk

keluhan umum, misalnya nausea, anoreksia dan sebagainya dapat

diberikan terapi simptomatik. Radioterapi juga diberikan pada

kasus metastasis untuk tulang, paru, hati, dan otak. (KNPK, 2015)

17

Page 18: KNF

Gambar 3. Clinical Staging NCCN Guideline untuk Tatalaksana Karsinoma Nasofaring (NCCN,

2015)

18

Page 19: KNF

Gambar 4. Treatment of Primary and Neck - NCCN Guideline untuk Tatalaksana Karsinoma

Nasofaring (NCCN, 2015)

19

Page 20: KNF

Gambar 5. Principles of Radiation Therapy - NCCN Guideline untuk Tatalaksana Karsinoma

Nasofaring (NCCN, 2015)

2.11. Prognosis

Prognosis KNF dapat diketahui dari dapat diketahui melalui angka

bertahan hidup 5 tahun. Terdapat perbedaan prognosis yang sangat

mencolok dari stadium awal dengan stadium lanjut, yaitu 76,9% untuk

stadium I, 56% untuk stadium II, 38,4% untuk stadium III dan hanya 16,4%

untuk stadium IV (Roezin & Adham, 2007). Pada banyak penelitian, secara

keseluruhan angka bertahan 5 tahun pasien KNF berkisar antara 30% dan

48%. Penelitian Ho terhadap lebih dari 5000 pasien yang diobati dengan

rerata 6500 cGy yang tidak memiliki pembesaran KGD (N0) diobati dengan

irradiasi profilaksis menunjukkan rata-rata angka bertahan 10 tahun sekitar

34% dan keseluruhan angka bertahan hidup sebesar 43%. (Witte & Neel,

2006)

Rekurensi penyakit berkembang pada sekitar setengah pasien pada

pertengahan 1,4 tahun. Reiradiasi agresif memberikan pengendalian pada

20

Page 21: KNF

setengah dari pasien yang relaps, tetapi 40% diantaranya mengalami

rekurensi di kemudian hari. Analisa pada 2500 pasien yang mendapatkan

radiasi modern menunjukkan suatu perbaikan angka bertahan hidup 5 tahun

pada 57% dan angka bertahan bebas penyakit (disease-free survival rate)

sebesar 42%. (Witte & Neel, 2006)

Penelitian Neel dan Taylor untuk pasien Amerika Utara tercatat angka

bertahan hidup 5 tahun keseluruhan 50%. Tidak mengejutkan bahwa

rekurensi penyakit meramalkan suatu perburukan prognosis. Ahli bedah

melaporkan angka bertahan hidup 10 tahun 30,5% untuk terapi awal KNF

dan hanya 11,5% setelah re-iradiasi untuk rekurensi lokal. Kemoterapi

konkomitan tidak memiliki dampak terhadap angka bertahan hidup. (Witte

& Neel, 2006)

21

Page 22: KNF

BAB III

KESIMPULAN

Di Indonesia, KNF merupakan keganasan daerah kepala dan leher yang

paling sering dijumpai. Pada stadium dini tumor ini sulit dikenali. Penderita

biasanya datang pada stadium lanjut saat sudah muncul benjolan pada leher,

terjadi gangguan saraf, atau metastasis jauh. Gejala yang muncul dapat berupa

hidung tersumbat, epistaksis ringan, tinitus, telinga terasa penuh, otalgia, diplopia

dan neuralgia trigeminal (saraf III, IV, V, VI), dan muncul benjolan pada leher.

KNF dapat didiagnosis banding dengan LNH dan tumor ganas sinonasal.

Diagnosis KNF ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan

pemeriksaan penunjang. Etiologi pasti penyebab KNF belum diketahui, beberapa

sumber mengaitkan dengan Virus Epstein-Barr (EBV) karena pada semua pasien

nasofaring didapatkan titer anti-virus EB yang cukup tinggi.

Dalam penatalaksanaan dan penentuan prognosis KNF ini ditentukan

berdasarkan stadium tumor dengan menggunakan sistem TNM (Tumor – Nodul –

Metastase). Semakin lanjut stadium tumor saat ditemukan, semakin rendah angka

bertahan hidup 5 tahun penderita. Peningkatan rekurensi penyakit juga

memberikan mortalitas dan morbiditas pada penderita KNF. Penatalaksanaan

KNF di Indonesia menggunakan Panduan Nasional Penanganan Kanker yang

disusun oleh Kementerian Kesehatan Republik Indonesia yang didalamnya

mencakup radiasi, kemoterapi, kombinasi keduanya, dan didukung dengan terapi

simptomatik sesuai dengan gejala. Sedangkan secara internasional panduan

penanganan KNF yang digunakan adalah National Comprehensive Cancer

Network Guideline untuk Kanker Nasofaring yang membedakan penanganan

tumor berdasarkan stadium penyakit.

22

Page 23: KNF

DAFTAR PUSTAKA

Chan ATC, Teo PML, Johnson PJ. Nasopharyngeal Carcinoma. Annals of

Oncology 13. p. 1007-15, 2002.

Cummings C.W. dkk, 2005. Nasopharyngeal Carcinoma. Dalam: Cummings

Otolaryngology Head & Neck Surgery. Edisi IV. Mosby, Inc. Pennsylvania.

Farhat. 2009. Vascular Endothelial Growth Factor pada Karsinoma Nasofaring.

Majalah Kedokteran Nusantara. Vol 2(1): hal 59-65

Handayani K, Putra I, Nuartha. Laporan Kasus: Kebutaan pada Karsinoma

Nasofaring. 2014; 41 (3) CDK-214 .p. 202-4.

Hendarsih E dkk. 2014. Ekspresi Vascular Endothelial Growth Factor dan

Ekspresi Tissue Factor berdasarkan Respons Terapi Kemoterapi Cisplatin

pada Penderita Karsinoma Nasofaring Stadium Lanjut. MKB. Vol 47(1): hal

49-54

Komite Nasional Penanggulangan Kanker (KNPK). 2015. Panduan Nasional

Penanganan Kanker – Kanker Nasofaring. Versi 1.0. Kementerian

Kesehatan Republik Indonesia.

Komite Nasional Penanggulangan Kanker (KNPK). 2015. Panduan Nasional

Penanganan Kanker – Limfoma Non-Hodgkin. Versi 1.0. Kementerian

Kesehatan Republik Indonesia

Lalwani A.K., 2007. Benign & Malignant Lesions of The Nasopharynx. Dalam:

Current Diagnosis & Treatment in Otolaryngology – Head & Neck Surgery.

McGraw-Hill’s

Mohandas A dkk. 2014. FDG PET/CT in the Management of Nasopharyngeal

Carcinoma. American Roentgen Ray Society. AJR 2014; 203:P146-157.

Moore, Keith L.; Agur, Anne M. R. 2007. Essential Clinical Anatomy, 3rd

Edition. Lippincott Williams & Wilkins.

National Comprehensive Cancer Network (NCCN). 2015. Cancer of

Nasopharynx. NCCN Guideline Version 1.2015.

23

Page 24: KNF

Roezin A, Adham M, 2007. Karsinoma Nasofaring. Dalam: Buku Ajar Ilmu

Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Kepala & Leher. Edisi Keenam. Balai

Penerbit FKUI. Jakarta: hal 182-187.

Tabuchi K et al. Early Detection of Nasopharyngeal Carcinoma. Hindawi

Publishing Corporation International Journal of Otolaryngology 2011. ID

638058, 6 pages.

Tulalamba W, Janvilisri T. Nasopharyngeal Carcinoma Signaling Pathway: an

Update on Molecular Biomarkers. Hindawi Publishing Corporation

International Journal of Cell Biology; 2012. ID 594681, 10 pages.

Union for International Cancer Control. Nasopharyngeal Carcinoma: 2014

Review of Cancer Medicines on theWHO List of Essentioal Medicines.

Witte M.C., Neel III H.B. 2006. Nasopharyngeal Cancer. Dalam: Bailey BJ,

Johnson JT, Kohut RI, Pillsbury HC, Tardy ME. Head and Neck Surgery

Otolaryngology. 4th Edition. Vol 2. Philadelphia : Lippincot Williams &

Wilkins.

Yenita, Asri A. 2012. Korelasi antara Latent Membrane Protein-1 Virus Epstein-

Barr dengan P53 pada Karsinoma Nasofaring. Jurnal Kesehatan Andalas.

1(1): hal 1-5

Yurnadi, dkk. 2010. Pola Distribusi Alotip Gen Polymeric Immunoglobulin

Receptor (PIGR) pada Penderita Karsinoma Nasofaring (KNF) di Indonesia.

Maj Kedokt Indon, vol. 60 (11). Hal. 489-95.

24