Upload
last-tree
View
19
Download
0
Embed Size (px)
DESCRIPTION
KNF
Citation preview
BAB I
PENDAHULUAN
Karsinoma nasofaring (KNF) adalah jenis karsinoma yang berasal dari
epitel atau mukosa (nonlymphomatous squamous cell carcinoma) dan kripta yang
melapisi permukaan nasofaring. KNF biasanya berasal dari dinding lateral
nasofaring, termasuk fosa Rosenmuller. KNF dapat meluas ke dalam atau ke luar
nasofaring ke dinding lateral lainnya dan atau posterosuperior ke basis kranii atau
palatum, rongga hidung, dan orofaring (Handayani, Putra, & Nuartha, 2014).
Secara global, KNF merupakan penyakit kanker yang jarang ditemukan
dengan kisaran 80.000 kasus baru per tahun dan dilaporkan 0,7% dari semua jenis
kanker (UICC). Insiden KNF rendah di sebagian besar tempat seperti Amerika
Utara dan Eropa dengan angka kejadian kurang dari 1 per 100.000 orang, namun
frekuensinya tinggi di Cina Selatan dan Asia Tenggara (UICC; Handayani, Putra,
& Nuartha, 2014). Di Indonesia, KNF merupakan kanker terbanyak kelima,
kisaran 5,78% dari seluruh kanker, dengan insiden 6,2/10.000 orang per tahun
(Handayani, Putra, & Nuartha, 2014). Di Indonesia, KNF merupakan keganasan
daerah kepala dan leher yang paling sering dijumpai (Handayani, Putra, &
Nuartha, 2014).
Beberapa dekade terakhir, KNF telah menarik perhatian dunia karena
interaksi kompleks antara genetik, virus, faktor lingkungan, dan makanan, yang
boleh jadi berhubungan dengan etiologi penyakit ini (Handayani, Putra, &
Nuartha, 2014). Selain itu, KNF merupakan keganasan di daerah kepala dan leher
yang dibedakan dari keganasan lain berdasarkan etiologi, epidemiologi, patologi,
manifestasi klinis, dan respon terhadap terapi (Tabuchi et al, 2011). Tujuan dari
referat ini adalah untuk menambah wawasan dan pengetahuan mengenai
karsinoma nasofaring, sehingga kita dapat mengenali karsinoma nasofaring lebih
dini sehingga dapat merujuk pada pengobatan yang lebih cepat dan tepat.
1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi
Karsinoma nasofaring (KNF) adalah jenis karsinoma yang berasal
dari epitel atau mukosa (nonlymphomatous squamous cell carcinoma) dan
kripta yang melapisi permukaan nasofaring (Handayani, Putra, & Nuartha,
2014; Tabuchi dkk, 2011). KNF banyak ditemukan di fosa Rosenmuller
nasofaring. KNF merupakan penyakit yang unik dengan manifestasi klinis,
epidemiologi, dan histopatologi yang berbeda dari karsinoma sel skuamous
kepala dan leher yang lain (Tabuchi dkk, 2011).
2.2 Anatomi
Nasopharynx terletak di belakang rongga hidung, di atas palatum
molle. Bila palatum molle diangkat dan dinding posterior pharynx ditarik ke
depan, seperti waktu menelan, maka nasopharynx tertutup dari oropharynx.
Nasopharynx mempunyai atap, dasar, dinding anterior, dinding posterior dan
dinding lateral. Atap dibentuk oleh corpus ossis sphenoidalis dan pars
basilaris ossis occipitalis. Kumpulan jaringan limfoid yang disebut tonsil
pharyngealis, terdapat di dalam submucosa daerah ini. Dasar dibentuk oeh
permukaan atas palatum molle yang miring. Isthmus pharyngeus adalah
lubang di dasar nasopharynx di antara pinggir bebas palatum molle dan
dinding posterior pharynx. Selama menelan, hubungan antara naso dan
oropharynx tertutup oleh naiknya palatum molle dan tertariknya dinding
posterior pharynx ke depan. (Moore & Agur, 2007)
Dinding anterior dibentuk oleh apertura nasalis posterior, dipisahkan
oleh pinggir posterior septum nasi. Dinding posterior membentuk
permukaan miring yang berhubungan dengan atap. Dinding ini ditunjang
oleh arcus anterior atlantis. Dinding lateral pada tiap-tiap sisi mempunyai
muasa tuba auditiva ke pharynx. Pinggir posterior tuba membentuk elevasi
yang disebut elevasi tuba. M.salphingoparyngeus yang melekat pada pinggir
2
bawah tuba, membentuk lipatan vertikal pada membrana mucos yang
disebut plica salphingopharyngeus. Recessus pharyngeus adalah lekukan
kecil pada dinding lateral di belakang elevasi tuba. Kumpulan jaringan
limfoid di dalam submucosa di belakang muara tuba auditiva disebut tonsila
tubaria. (Moore & Agur, 2007)
Gambar 1. Nasofaring, orofaring, laringofaring. A. Struktur tampak depan. B. Dinding posterior faring (Moore & Agur, 2007)
3
2.3 Epidemiologi
Secara global, KNF merupakan penyakit kanker yang jarang
ditemukan dengan kisaran 80.000 kasus baru per tahun dan dilaporkan 0,7%
dari semua jenis kanker (UICC). Insiden KNF rendah di sebagian besar
tempat seperti Amerika Utara dan Eropa dengan angka kejadian kurang dari
1 per 100.000 orang, namun frekuensinya tinggi di Cina Selatan dan Asia
Tenggara (UICC; Handayani, Putra, & Nuartha, 2014). Di Indonesia, KNF
merupakan kanker terbanyak kelima, kisaran 5,78% dari seluruh kanker,
dengan insiden 6,2/10.000 orang per tahun (Handayani, Putra, & Nuartha,
2014). Di Indonesia, KNF merupakan keganasan daerah kepala dan leher
yang paling sering dijumpai (Handayani, Putra, & Nuartha, 2014).
Di Indonesia, KNF merupakan keganasan daerah kepala dan leher
yang paling sering dijumpai. Frekuensi relatif berkisar antara 38,1% - 71,8%
(Handayani, Putra, & Nuartha, 2014). Meskipun KNF dapat ditemukan
pada semua umur, KNF jarang ditemukan pada usia di bawah tiga puluh
tahun. Insiden KNF mulai meningkat pada umur 20-24 tahun, mendatar
(plateu) antara umur 45-54 tahun, kemudian menurun. Sekitar 80% KNF
dijumpai pada usia produktif (30-59 tahun), dengan puncak 40-49 tahun.
Laki-laki lebih sering terkena KNF dibandingkan perempuan. Menurut
UICC (2014), insiden KNF pada laki-laki dapat mencapai 20-30 per 100.000
populasi dan pada wanita insiden dapat mencapai 8-15 kasus per 100.000
populasi.
2.4 Etiologi
Karsinoma nasofaring merupakan keganasan di regio kepala dan
leher yang memiliki etiologi yang beragam. Faktor yang mempengaruhinya
meliputi infeksi Epstein-Barr virus (EBV), suku bangsa, genetik, faktor
lingkungan, dan makanan yang dikonsumsi (Tulalamba, 2012). KNF
dihubungkan dengan EBV, meskipun peranan EBV dalam patogenesis KNF
masih belum jelas. Kenaikan titer antigen EBV (khususnya IgA) sering
ditemukan pada sel neoplasma pada kasus KNF (Tabuchi dkk, 2011).
4
Mengkonsumsi makanan seperti ikan yang diawetkan dengan diasinkan juga
dihubungkan dengan faktor risiko KNF (Tulalamba, 2012). Makanan
tersebut mengandung nitrosamin yang diketahui merupakan bersifat
karsinogen pada hewan. Selain itu, ikan asin juga mengandung mutagen
bakteri, genotoksin dan EBV-reacting subtances. Akan tetapi, tidak ada
penelitian prospektif mengenai risiko KNF dalam yang dihubungkan dengna
konsumsi makanan yang diasinkan (Tabuchi dkk, 2011).
KNF merupakan keganasan yang jarang ditemukan pada ras
kaukasia, seperti Amerika Utara dan negara barat lainnya. Namun, KNF
termasuk penyakit dengan angka kejadian yang tinggi di Cina Selatan,
Alaska, dan Asia Tenggara. Perbedaan angka kejadian berdasarkan geografi
dan populasi yang signifikan menunjukkan bahwa faktor lingkungan dan
genetik memiliki peranan dalam terjadinya KNF (Tabuchi dkk, 2011).
2.5 Patogenesis
Patogenesis dari karsinoma nasofaring dapat dilihat pada gambar di
bawah ini:
Gambar 2. Model tumorgenesis (Chan, Teo, & Jhonson, 2002)
KNF terjadi melalui interaksi yang unik dari faktor lingkungan dan
genetik. Displasia merupakan penyebab awal dari lesi. Displasia ini terjadi
karena faktor lingkungan. Hal ini disebabkan karena pemendekan dari
5
kromosom 3 dan 9 sehingga menginaktifkan beberapa gen yang berperan
dalam tumor suppressor, seperti p14, p15 dan p16. Pada displasia berat,
EBV memiliki peranan penting dalam perubahan gen di kromosom 12
sehingga kehilangan alel 11q, 13q dan 16q yang mencetuskan karsinoma
invasif. Kemudian, metastasis terjadi karena mutasi dari p53 dan peranan
cadherin (Chan, Teo, & Jhonson, 2002).
EBV sendiri mempunyai potensi onkogenik dan dapat mengubah sel
terinfeksi menjadi sel ganas melalui dua mekanisme. Pertama, genom EBV
dipertahankan dalam sel penjamu dengan berintegrasi pada genom sel
pejamu. Kedua, EBV mengekspresikan protein yang mempunyai homologi
dengan protein anti-apoptosis dan akhirnya proliferasi sel terinfeksi menjadi
tidak terkendali akibat pengaktifan sinyal intraseluler yang berperan dalam
pengendalian pertumbuhan sel (Yurnadi dkk, 2010).
2.6 Klasifikasi
2.6.1 Klasifikasi menurut Histopatologi
Pada tahun 1978, paduan klasifikasi histologi yang dicanangkan oleh
the World Health Organization (WHO), mengelompokkan karsinoma
nasofaring dalam 3 kelompok, yaitu: tipe I (keratinizing squamous cell
carcinoma atau karsinoma sel skuamosa berkeratinisasi), tipe II
(nonkeratinizing carcinoma), dan tipe III (undifferentiated carcinoma)
(Tabuchi et al, 2011).
Berdasarkan WHO (1991) karsinoma nasofaring diklasifikasikan
dalam dua grup, yaitu:
I. Karsinoma sel skuamosa (berkeratinisasi)
Secara histopatologi, bentuk karsinoma ini sedikit berhubungan
dengan infeksi virus Epstein-Barr, bersifat radioresisten dan
mempunyai prognosis yang paling buruk. Secara mikroskopis,
ditemukan keratin.
II. Karsinoma tidak berkeratinisasi
Karsinoma berdiferensiasi
6
Bentuk karsinoma ini mempunyai hubungan yang kuat dengan
infeksi virus Epstein-Barr. Secara mikroskopik, bentuk
karsinoma ini tidak ditemukan keratin, mempunyai bentuk sel
berdiferensiasi baik dan batas sel yang jelas.
Karsinoma tidak berdiferensiasi
Bentuk karsinoma ini mempunyai hubungan yang kuat dengan
infeksi virus Epstein-Barr. Diferensiasi sel tumornya buruk,
dengan bentuk inti yang pleomorfik. Secara mikroskopik,
terdapat infiltrasi sel-sel inflamasi, seperti limfosit dan eosinofil.
Menurut WHO, KNF tipe I jarang ditemukan, tetapi KNF tipe II dan
III lebih sering ditemukan dan menunjukkan hubungan yang signifikan
dengan infeksi EBV (Tulalamba, 2012).
2.6.2 Klasifikasi menurut Stadium
Stadium karsinoma nasofaring, dipakai sistem klasifikasi TNM
menurut UICC dan AJCC 1997.
T = tumor primer
Tx : tumor tidak dapat dinilai
T0 : tidak terbukti adanya tumor
Tis: karsinoma insitu
T1 : tumor terbatas pada nasofaring
T2 : tumor menyebar ke jaringan lunak orofaring dan atau rongga hidung
T2a – tanpa perluasan ke parafaring
T2b – dengan perluasan ke parafaring
T3 : tumor menyerang struktur tulang dan atau sinus paranasal
T4 : tumor dengan penyebaran intrakranial dan atau telah melibatkan
saraf-saraf pusat, fossa infratemporal, hipofaring atau mata
N = pembesaran kelenjar getah bening regional
Nx : kelenjar getah bening tidak dapat dinilai
N0 : tidak ada pembesaran kelenjar getah bening regional
7
N1 : terdapat pembesaran kelenjar getah bening regional unilateral, 6 cm
atau kurang, dibawah fossa supraklavikula
N2 : terdapat pembesaran kelenjar getah bening regional bilateral, 6 cm
atau kurang, dibawah fossa supraklavikula
N3 : terdapat pembesaran kelenjar getah bening regional unilateral atau
bilateral
N3a – lebih besar dari 6 cm
N3b – meluas ke fossa supraklavikula
M = metastasis jauh
Mx : metastasis tidak dapat dinilai
M0 : tidak ada metastasis jauh
M1 : terdapat metastasis jauh
Stadium 0 : Tis, N0, M0
Stadium I : T1, N0, M0
Stadium IIA : T2a, N0, M0
Stadium IIB : T1, N1, M0
T2, N1, M0
T2a, N1, M0
T2b, N0, M0
T2b, N1, M0
Stadium III : T1, N2, M0
T2a, N2, M0
T2b, N2, M0
T3, N0, M0
T3, N1, M0
T3, N2, M0
Stadium IVA : T4, N0, M0
T4, N1, M0
T4, N2, M0
Stadium IVB : T1/T2/T3/T4, N3, M0
Stadium IVC : T1/T2/T3/T4, N1/N2/N3, M1
8
2.7. Manifestasi Klinis
Karsinoma nasofaring bermanifestasi klinis dalam berbagai gejala
dan tanda. Tanda dan gejala awal KNF sering kali tidak disadari dan
diabaikan oleh keduanya baik pasien maupun dokter.(Cummings, 2005)
Melalui anamnesis yang teliti kepada pasien dapat diperoleh berbagai gejala
karsinoma nasofaring yang dapat dibagi dalam 4 kelompok, yaitu gejala
nasofaring sendiri, gejala telinga, gejala mata dan saraf, serta metastasis atau
gejala di leher. Gejala nasofaring dapat berupa epistaksis ringan atau
sumbatan hidung (Roezin & Adham, 2007). Gejala ini ditemukan pada
setengah dari seluruh pasien KNF dan biasanya sumbatan hidung yang
dialami hanya unilateral (Cummings, 2005).
Gangguan pada telinga merupakan gejala dini yang timbul karena
tempat asal tumor dekat muara tuba Eustachius (fosa Rosenmuller).
Gangguan dapat berupa tinitus, rasa tidak nyaman di telinga sampai rasa
nyeri di telinga (otalgia) (Roezin & Adham, 2007). Obstruksi tuba yang
berakhir pada gangguan pendengaran ini disebabkan oleh otitis media
serosa. Sehingga KNF harus selalu dipertimbangkan pada daerah dengan
insidensi otitis media serosa unilateral yang tinggi (Cummings, 2005). Tidak
jarang pasien dengan gangguan pendengaran ini baru kemudian disadari
bahwa penyebabnya adalah karsinoma nasofaring (Roezin & Adham, 2007).
Gangguan pendengaran yang terjadi pada pasien KNF biasanya bersifat
unilateral (Lalwani,2007).
Karena nasofaring berhubungan dekat dengan rongga tengkorak
melalui beberapa lubang, maka gangguan beberapa saraf otak dapat terjadi
sebagai gejala lanjut karsinoma ini. (Roezin & Adham, 2007) Setidaknya
seperlima dari pasien KNF datang berobat dengan keluhan neurologis.
(Cummings, 2005) Penjalaran melalui foramen laserum akan mengenai saraf
otak ke III, IV, VI dan dapat pula ke V, sehingga tidak jarang gejala
diplopialah yang membawa pasien lebih dahulu ke dokter mata. Neuralgia
trigeminal merupakan gejala yang sering ditemukan oleh ahli saraf jika
belum terdapat keluhan lain yang berarti (Roezin & Adham, 2007). Gejala
9
neurologis lain yang dapat ditemukan berupa Retrosphenoidal Syndrome of
Jacod (yaitu kesulitan dalam ekspresi wajah, selayaknya masalah
pergerakan mata dan rahang), Retroparotidian syndrome of Villaret (yaitu,
masalah dalam mengunyah serta pergerakan lidah dan leher). (Lalwani,
2007)
Proses karsinoma yang lanjut akan mengenai saraf otak ke IX, X, XI,
dan XII jika penjalaran melalui foramen jugulare, yaitu suatu tempat yang
relatif jauh dari nasofaring. Gangguan ini sering disebut dengan sindrom
Jackson. Bila sudah mengenai seluruh saraf otak disebut sindrom unilateral.
Dapat pula disertai destruksi tulang tengkorak dan bila sudah terjadi
demikian, biasanya prognosisnya buruk (Roezin & Adham, 2007).
Metastasis ke kelenjar leher dalam bentuk benjolan di leher yang
mendorong pasien untuk berobat, karena sebelumnya tidak terdapat keluhan
lain (Roezin & Adham, 2007). Limfadenopati servikal adalah manifestasi
paling umum dan dapat ditemukan pada antara 50%-90% pasien. Aliran
limfatik yang kaya mendrainase nasofaring, dan hingga sepertiga pasien
KNF mengalami pembesaran KGB leher bilateral. Pertama-tama upper
jugular nodes dan jugulodigastric node yang terkena, dan kemudian
penyebaran terjadi ke KGB leher bawah dan supraklavikula. Pola
penyebaran ini telah menunjukkan kemaknaan prognostik. Pada area dengan
endemik KNF, penting untuk mengeksklusikan KNF pada setiap pasien
muda yang mengalami limfadenopati servikal asimptomatik (Cummings,
2005).
Suatu kelainan nasofaring yang disebut lesi hiperplastik nasofaring
atau LHN telah diteliti di Cina (RRC), yaitu 3 bentuk yang mencurigakan
pada nasofaring, seperti pembesaran adenoid pada orang dewasa,
pembesaran nodul dan mukosistis berat pada daerah nasofaring. Kelainan ini
bila diikuti bertahun-tahun kemudian akan menjadi karsinoma nasofaring
(Roezin & Adham, 2007).
10
2.8. Pemeriksaan Penunjang
a. Radiologi
Persoalan diagnostik sudah dapat dipecahkan dengan pemeriksaan
CT-scan daerah kepala dan leher, sehingga pada tumor primer yang
tersembunyi pun tidak akan terlalu sulit ditemukan (Roezin & Adham,
2007). Pencitraan konvensional berguna dalam penegakan diagnosis dan
penatalaksanaan pasien dengan KNF. Oleh karena resolusi spatial and
soft-tissue contrast yang baik, MRI telah menjadi suatu bagian penting
dalam penanganan KNF. CT-scan terbatas pada staging dan perencanaan
radioterapi, sedangkan MRI berperan dalam diagnosis, staging,
perencanaan terapi, dan penentuan prognosis. MRI telah ditemukan
memiliki sensitivitas, spesifisitas, dan akurasi yang tinggi (100%, 93%,
dan 95%) dalam diagnosis KNF. Angka ini bila dibandingkan dengan
endoskopi biopsi, yang memiliki sensitivitas 95%, spesifisitas 100%, dan
akurasi 98%. MRI membantu dalam akurasi staging KNF melalui
deteksi penyebaran tumor primer; keterlibatan parafaring, orbital, dan
paranasal; dan penyebaran ke KGB, utamanya KGB retrofaring. Volume
tumor dapat diperoleh dengan menggunakan MRI dan CT-scan. Volume
tumor primer yang dideteksi dengan MRI dan CT-scan adalah indikator
prognostik bebas. (Mohandas dkk, 2014)
FDG PET/CT (Fluorine-18-FluorodeoxyglucosePositron Emission
Tomography) memiliki peran dalam diagnosis dan tatalaksana KNF.
FDG PET memiliki efisiensi lebih baik dalam penentuan stadium nodul
dan metastase dibandingkan modalitas lain. FDG PET/CT membantu
dalam perencanaan terapi radiasi, memberikan informasi prognostik
yang bermakna dan berguna dalam penilaian respon terapi dan follow-up
rekurensi. Sensitivitas, spesifisitas, akurasi, positive predictive value,
dan negatif predictive value dari FDG PET/CT (T (96%, 94%, 95%,
96%, dan 94%) berturut-turut secara signifikan lebih baik daripada CT-
scan (71%, 76%, 73%, 80%, dan 67%). (Mohandas dkk, 2014)
11
b. Serologi
Pemeriksaan serologi IgA anti EA dan IgA anti VCA untuk infeksi
virus E-B telah menunjukkan kemajuan dalam mendeteksi karsinoma
nasofaring. (Roezin & Adham, 2007) Infeksi EBV yang laten dan
persisten tersebut pada KNF menunjukkan pola laten tipe II yang
ditandai dengan ekspresi EBV nuclear antigen (EBNA)-1, latent
membrane protein (LMP)-1,2 dan EBV-encoded RNA (EBER). LMP-1
merupakan gen laten EBV yang pertama ditemukan yang dapat
mentransformasi galur sel dan merubah fenotip sel karena potensial
onkogeniknya. LMP-1 merupakan onkogen virus yang mirip reseptor
permukaan sel yang dapat mencegah sel yang terinfeksi EBV dari
apoptosis dengan menginduksi protein anti apoptotik seperti BCL-2,
A20 dan MCL-1. LMP-1 juga terlibat dalam jalur pensinyalan yang
mengatur proliferasi sel dan apoptosis yaitu memicu progresifitas dan
proliferasi sel melalui siklus sel (fase G1/S) dan inhibisi apoptosis.
(Yenita & Asri, 2014)
Gen p53 merupakan salah satu dari gen supresor tumor. Virus
Epstein-Barr dapat mengikat protein p53 normal dan menghilangkan
fungsi protektifnya. Penelitian imunohistokimia memperlihatkan bahwa
infeksi EBV pada KNF berhubungan dengan akumulasi protein p53,
bukan dengan protein BCL-2. Namun penelitian lain menyimpulkan
bahwa EBV merupakan faktor etiologi yang penting yang mungkin
melibatkan over ekspresi p53 dan BCL-2. Perkembangan KNF
melibatkan hilangnya gen supresor tumor. Namun mekanisme inhibisi
supresor tumor ini, unik pada KNF. Pada kebanyakan kanker kepala dan
leher, kadar p53 yang rendah disebabkan oleh mutasi. Namun, p53 pada
KNF tidak mengikuti pola klasik ini Tidak adanya mutasi p53 pada KNF
memberi kesan bahwa suatu protein virus dapat mengganggu fungsi p53.
Dari suatu penelitian didapatkan bahwa sel-sel KNF mempunyai kadar
p53 yang meningkat, dengan kadar LMP-1 yang tinggi berkorelasi
dengan ekspresi p53 yang lebih tinggi. Mutasi p53 relatif jarang pada
12
KNF, sehingga mayoritas p53 yang diekspresikan adalah wild type. Wild
type p53 ini gagal menginduksi apoptosis pada KNF. Pemeriksaan
ekspresi LMP-1 dan p53 bisa dilakukan secara imunohistokimia (IHK)
dari jaringan tumor KNF. (Yenita & Asri, 2014)
c. Imunohistokimia
Beberapa target molekuler telah diidentifikasi dalam spesimen
tumor penderita KNF. Ekspresi atau overekspresi reseptor-reseptor
berikut telah dievaluasi pada KNF: EGFR, cKIT c-erbB-2 (HER-2) dan
VEGF (Vascular Endothelial Growth Factor), yang merupakan faktor
proangiogenik, yang berperan dalam angiogenesis untuk pertumbuhan
tumor, invasi, dan metastase tumor. Ekspresi VEGF meningkat pada
KNF stadium lanjut dengan perbandingan statistik yang signifikan
terhadap KNF stadium dini. Satu studi di China dari 127 spesimen KNF
dengan pemeriksaan imunohistokimia didapati nilai positif VEGF
66,9%. Penelitian di India didapati overekspresi VEGF 67% dari 103
penderita KNF. Penelitian sebelumnya di Singapura dari 42 pasien KNF
yang diperiksa secara imunohistokimia dijumpai overekspresi VEGF
pada seluruh sampel. (Farhat, 2009)
Vascular endothelial growth factor merupakan salah satu
parameter faktor biologi yang banyak diteliti sebagai prognosis pada
KNF. Faktor VEGF tersebut adalah faktor angiogenik yang merupakan
kekuatan utama angiogenesis tumor dan pembentukan seluruh pembuluh
darah. Seiring berkembangnya pengetahuan tentang biologi molekuler
pada kanker, banyak penelitian molekuler yang dilakukan untuk
menentukan faktor prediktor penatalaksanaan KNF. Penelitian yang
dilakukan fokus pada faktor biologi yang memengaruhi radiosensitivitas
tumor adalah indeks proliferasi (Ki-67, EGFR), efek oksigen yang
direfleksikan oleh neovaskularisasi (MVD, VEGF), dan apoptosis (p53,
Bcl-2). (Hendarsih dkk, 2014)
13
d. Biopsi
Visualisasi dan pemeriksaan nasofaring secara utuh dibutuhkan
untuk menegakkan diagnosis KNF, baik itu dengan endoskopi rigid
(Hopkin rod derajat 0-, 30-, atau 70-) maupun endoskopi fleksibel.
Endoskopi rigid memberikan visualisasi baik tetapi memiliki
keterbatasan manuver pada batas-batas nasofaring atau ketika variasi
anatomik dari kavum nasi menghalangi masuknya endoskopi rigid.
Endoskopi fleksibel fiberoptik relatif atraumatik dan memberikan
kemampuan bermanuver lebih baik. (Cummings, 2005) Diagnosis pasti
ditegakkan dengan melakukan biopsi nasofaring. Biopsi dapat dilakukan
dengan 2 cara, yaitu dari hidung atau dari mulut. (Roezin & Adham,
2007) Biopsi dibutuhkan untuk menegakkan diagnosis dan dapat
dilakukan melalui kanal biopsi endoskopi fleksibel jika salah satunya
ada atau dengan cunam biopsi terpisah seperti mangkok cunam
Takahashi atau Halyard. Bagian dari nasofaring yang paling sering
terkena adalah fossa Rosemuller dan atap nasofaring. (Cummings, 2005)
Biopsi nasofaring biasanya dilakukan pada pasien rawat jalan
dibawah anestesi lokal. Biopsi transnasal dapat dilakukan dengan
endoskopi, dilakukan melalui nasofaringoskop indirek atau tanpa
melihat jelas tumornya (blind biopsy). Jika dilakuakn instrumen terpisah,
cunam dan endoskopi dapat ditempatkan melalui lubang hidung yang
sama atau berbeda. Endoskopi ini terkadang dibutuhkan untuk
mengambil biopsi pada pasien dibawah anestesi umum, baik itu pasien
dengan dugaan penyakit submukosa berulang yang membutuhkan biopsi
dalam ataupun pada pasien dengan dugaan kuat penyakit dengan hasil
biopsi yang berulang kali negatif. Kuretase nasofaring dapat juga
dilakukan pada waktu yang sama sebagai usaha terakhir. Biopsi
terkadang dibutuhkan dari KGB leher untuk diagnosis. FNAC adalah
metode untuk diagnosis jaringan yang paling aman dan tepat. Biopsi
terbuka, baik itu biopsi insisi maupun eksisi, sebaiknya dihindari karena
14
telah terdapat bukti yang menduga bahwa hal ini dapat memperburuk
kondisi pasien. (Cummings, 2005)
e. Pemeriksaan Laboratorium (KNPK, 2015)
Pemeriksaan penunjang lainnya yang dapat dilakukan untuk penegakan
diagnosis KNF adalah pemeriksaan laboratorium. Pemeriksaan
laboratorium yang dapat dilakukan mulai dari pemeriksaan darah perifer
lengkap, LED, hitung jenis, alkali fosfatase, pemeriksaan SGOT dan
SGPT dalam darah.
f. Pemeriksaan Lain-lain (KNPK, 2015)
Pemeriksaan penunjang lainnya seperti foto toraks PA, pemeriksaan
bone scan, dan USG abdomen diperlukan pula untuk melihat tanda-tanda
metastase tumor ke sistem organ lainnya.
2.9. Diagnosis Banding
Karsinoma nasofaring dapat didiagnosis banding dengan tumor ganas lain,
di antaranya:
a. LNH (Limfoma non-Hodgkin)
Limfoma Non Hodgkin (LNH) merupakan sekumpulan besar keganasan
primer kelenjar getah bening, yang dapat berasal dari limfosit B, limfosit
T, dan terkadang sel NK. Gejala utama adalah pembesaran kelenjar yang
paling sering dan mudah dideteksi adalah pembesaran kelenjar di daerah
leher. Gejala yang sering ditemukan pada penderita limfoma pada
umumnya non-spesifik, diantaranya penurunan berat badan >10% dalam
6 bulan, demam 380C >1 minggu tanpa sebab yang jelas, keringat malam
banyak, cepat lelah, penurunan nafsu makan, pembesaran kelenjar getah
bening yang terlibat, dapat pula ditemukan adanya benjolan yang tidak
nyeri di leher, ketiak atau pangkal paha (terutama bila berukuran di atas
2 cm); atau sesak napas akibat pembesaran kelenjar getah bening
mediastinum maupun splenomegali. (KNPK, 2015)
15
b. Tumor ganas sinonasal
Keganasan sinonasal umumnya jarang ditemukan. Di Indonesia dan di
luar negeri, kekerapan tumor ganas sinonasal hanya sekitar 1% dari
keganasan seluruh tubuh atau 3% dari seluruh keganasan di kepala dan
leher. Gejala tumor ganas sinonasal tergantung dari asal primer tumor
serta arah dan perluasannya. Gejala nasal yang muncul dapat berupa
obstruksi hidung lateral dan rinorea. Khas pada tumor ganas ingusnya
berbau karena mengandung jaringan nekrotik. Selain itu dapat pula
ditemukan gejala orbital berupa diplopia, proptosi, oftalmoplegia, dan
gangguan visus. Perluasan tumor ke rongga mulut menyebabkan
penonjolan atau ulkus di palatum atau di prosesus alveolaris. Perluasan
tumor ke depan akan menyebabkan penonjolan pipi, disertai nyeri,
anestesia atau parestesia muka. Perluasan tumor ke intrakrania
menyebabkan sakit kepala hebat, oftalmoplegia, dan gangguan visus.
Metastase ke kelenjar leher jarang terjadi (kurang dari 5%).(Roezin &
Adham, 2007)
2.10. Tatalaksana
Terapi dapat mencakup radiasi, kemoterapi, kombinasi keduanya, dan
didukung dengan terapi simptomatik sesuai dengan gejala. (KNPK, 2015)
a. Radioterapi
Radioterapi sebagai pengobatan terpilih yang berdiri sendiri pada
karsinoma nasofaring telah diakui sejak lama dan banyak
dilakukan di berbagai sentra dunia. Radiasi diberikan kepada
seluruh stadium (I, II, III, IV lokal) tanpa metastasis jauh (M1)
degan sasaran radiasi tumor primer dan KGB leher dan
supraklavikula. (KNPK, 2015)
Radiasi dapat diberikan dalam bentuk (KNPK, 2015):
Radiasi eksterna yang mencakup tumor bed (nasofaring)
beserta kelenjar getah bening leher, dengan dosis 66 Gy pada
16
T1-2 atau 70 Gy pada T3-4; disertai penyinaran kelenjar
supraklavikula dengan dosis 50 Gy.
Radiasi intrakaviter sebagai radiasi booster pada tumor primer
diberikan dengan dosis (4x3 Gy), sehari 2 x
Bila diperlukan booster pada kelenjar getah bening diberikan
penyinaran dengan elektron. Radiasi bertujuan paliatif
diberikan pada stadium IV dengan metastasis tulang atau otak.
b. Kemoterapi
Kombinasi radiokemoterapi sebagai radiosensitizer terutama
diberikan pada pasien dengan T3-T4 dan N2-N3. Kemoterapi
sebagai radiosensitizer diberikan preparat platinum based 30-40
mg/m2 sebanyak 6 kali, setiap minggu sekali 2,5 sampai 3 jam
sebelum dilakukan radiasi. (KNPK, 2015)
c. Obat-obatan Simptomatik
Keluhan yang biasa timbul saat sedang diradiasi terutama adalah
akibat reaksi akut pada mukosa mulut, berupa nyeri untuk
mengunyah dan menelan. Keluhan ini dapat dikurangi dengan obat
kumur yang mengandung antiseptik dan adstringent, (diberikan 3 –
4 sehari). Bila ada tanda-tanda moniliasis, dapat diberikan
antimikotik. Pemberian obat-obat yang mengandung anestesi lokal
dapat mengurangi keluhan nyeri menelan. Sedangkan untuk
keluhan umum, misalnya nausea, anoreksia dan sebagainya dapat
diberikan terapi simptomatik. Radioterapi juga diberikan pada
kasus metastasis untuk tulang, paru, hati, dan otak. (KNPK, 2015)
17
Gambar 3. Clinical Staging NCCN Guideline untuk Tatalaksana Karsinoma Nasofaring (NCCN,
2015)
18
Gambar 4. Treatment of Primary and Neck - NCCN Guideline untuk Tatalaksana Karsinoma
Nasofaring (NCCN, 2015)
19
Gambar 5. Principles of Radiation Therapy - NCCN Guideline untuk Tatalaksana Karsinoma
Nasofaring (NCCN, 2015)
2.11. Prognosis
Prognosis KNF dapat diketahui dari dapat diketahui melalui angka
bertahan hidup 5 tahun. Terdapat perbedaan prognosis yang sangat
mencolok dari stadium awal dengan stadium lanjut, yaitu 76,9% untuk
stadium I, 56% untuk stadium II, 38,4% untuk stadium III dan hanya 16,4%
untuk stadium IV (Roezin & Adham, 2007). Pada banyak penelitian, secara
keseluruhan angka bertahan 5 tahun pasien KNF berkisar antara 30% dan
48%. Penelitian Ho terhadap lebih dari 5000 pasien yang diobati dengan
rerata 6500 cGy yang tidak memiliki pembesaran KGD (N0) diobati dengan
irradiasi profilaksis menunjukkan rata-rata angka bertahan 10 tahun sekitar
34% dan keseluruhan angka bertahan hidup sebesar 43%. (Witte & Neel,
2006)
Rekurensi penyakit berkembang pada sekitar setengah pasien pada
pertengahan 1,4 tahun. Reiradiasi agresif memberikan pengendalian pada
20
setengah dari pasien yang relaps, tetapi 40% diantaranya mengalami
rekurensi di kemudian hari. Analisa pada 2500 pasien yang mendapatkan
radiasi modern menunjukkan suatu perbaikan angka bertahan hidup 5 tahun
pada 57% dan angka bertahan bebas penyakit (disease-free survival rate)
sebesar 42%. (Witte & Neel, 2006)
Penelitian Neel dan Taylor untuk pasien Amerika Utara tercatat angka
bertahan hidup 5 tahun keseluruhan 50%. Tidak mengejutkan bahwa
rekurensi penyakit meramalkan suatu perburukan prognosis. Ahli bedah
melaporkan angka bertahan hidup 10 tahun 30,5% untuk terapi awal KNF
dan hanya 11,5% setelah re-iradiasi untuk rekurensi lokal. Kemoterapi
konkomitan tidak memiliki dampak terhadap angka bertahan hidup. (Witte
& Neel, 2006)
21
BAB III
KESIMPULAN
Di Indonesia, KNF merupakan keganasan daerah kepala dan leher yang
paling sering dijumpai. Pada stadium dini tumor ini sulit dikenali. Penderita
biasanya datang pada stadium lanjut saat sudah muncul benjolan pada leher,
terjadi gangguan saraf, atau metastasis jauh. Gejala yang muncul dapat berupa
hidung tersumbat, epistaksis ringan, tinitus, telinga terasa penuh, otalgia, diplopia
dan neuralgia trigeminal (saraf III, IV, V, VI), dan muncul benjolan pada leher.
KNF dapat didiagnosis banding dengan LNH dan tumor ganas sinonasal.
Diagnosis KNF ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan
pemeriksaan penunjang. Etiologi pasti penyebab KNF belum diketahui, beberapa
sumber mengaitkan dengan Virus Epstein-Barr (EBV) karena pada semua pasien
nasofaring didapatkan titer anti-virus EB yang cukup tinggi.
Dalam penatalaksanaan dan penentuan prognosis KNF ini ditentukan
berdasarkan stadium tumor dengan menggunakan sistem TNM (Tumor – Nodul –
Metastase). Semakin lanjut stadium tumor saat ditemukan, semakin rendah angka
bertahan hidup 5 tahun penderita. Peningkatan rekurensi penyakit juga
memberikan mortalitas dan morbiditas pada penderita KNF. Penatalaksanaan
KNF di Indonesia menggunakan Panduan Nasional Penanganan Kanker yang
disusun oleh Kementerian Kesehatan Republik Indonesia yang didalamnya
mencakup radiasi, kemoterapi, kombinasi keduanya, dan didukung dengan terapi
simptomatik sesuai dengan gejala. Sedangkan secara internasional panduan
penanganan KNF yang digunakan adalah National Comprehensive Cancer
Network Guideline untuk Kanker Nasofaring yang membedakan penanganan
tumor berdasarkan stadium penyakit.
22
DAFTAR PUSTAKA
Chan ATC, Teo PML, Johnson PJ. Nasopharyngeal Carcinoma. Annals of
Oncology 13. p. 1007-15, 2002.
Cummings C.W. dkk, 2005. Nasopharyngeal Carcinoma. Dalam: Cummings
Otolaryngology Head & Neck Surgery. Edisi IV. Mosby, Inc. Pennsylvania.
Farhat. 2009. Vascular Endothelial Growth Factor pada Karsinoma Nasofaring.
Majalah Kedokteran Nusantara. Vol 2(1): hal 59-65
Handayani K, Putra I, Nuartha. Laporan Kasus: Kebutaan pada Karsinoma
Nasofaring. 2014; 41 (3) CDK-214 .p. 202-4.
Hendarsih E dkk. 2014. Ekspresi Vascular Endothelial Growth Factor dan
Ekspresi Tissue Factor berdasarkan Respons Terapi Kemoterapi Cisplatin
pada Penderita Karsinoma Nasofaring Stadium Lanjut. MKB. Vol 47(1): hal
49-54
Komite Nasional Penanggulangan Kanker (KNPK). 2015. Panduan Nasional
Penanganan Kanker – Kanker Nasofaring. Versi 1.0. Kementerian
Kesehatan Republik Indonesia.
Komite Nasional Penanggulangan Kanker (KNPK). 2015. Panduan Nasional
Penanganan Kanker – Limfoma Non-Hodgkin. Versi 1.0. Kementerian
Kesehatan Republik Indonesia
Lalwani A.K., 2007. Benign & Malignant Lesions of The Nasopharynx. Dalam:
Current Diagnosis & Treatment in Otolaryngology – Head & Neck Surgery.
McGraw-Hill’s
Mohandas A dkk. 2014. FDG PET/CT in the Management of Nasopharyngeal
Carcinoma. American Roentgen Ray Society. AJR 2014; 203:P146-157.
Moore, Keith L.; Agur, Anne M. R. 2007. Essential Clinical Anatomy, 3rd
Edition. Lippincott Williams & Wilkins.
National Comprehensive Cancer Network (NCCN). 2015. Cancer of
Nasopharynx. NCCN Guideline Version 1.2015.
23
Roezin A, Adham M, 2007. Karsinoma Nasofaring. Dalam: Buku Ajar Ilmu
Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Kepala & Leher. Edisi Keenam. Balai
Penerbit FKUI. Jakarta: hal 182-187.
Tabuchi K et al. Early Detection of Nasopharyngeal Carcinoma. Hindawi
Publishing Corporation International Journal of Otolaryngology 2011. ID
638058, 6 pages.
Tulalamba W, Janvilisri T. Nasopharyngeal Carcinoma Signaling Pathway: an
Update on Molecular Biomarkers. Hindawi Publishing Corporation
International Journal of Cell Biology; 2012. ID 594681, 10 pages.
Union for International Cancer Control. Nasopharyngeal Carcinoma: 2014
Review of Cancer Medicines on theWHO List of Essentioal Medicines.
Witte M.C., Neel III H.B. 2006. Nasopharyngeal Cancer. Dalam: Bailey BJ,
Johnson JT, Kohut RI, Pillsbury HC, Tardy ME. Head and Neck Surgery
Otolaryngology. 4th Edition. Vol 2. Philadelphia : Lippincot Williams &
Wilkins.
Yenita, Asri A. 2012. Korelasi antara Latent Membrane Protein-1 Virus Epstein-
Barr dengan P53 pada Karsinoma Nasofaring. Jurnal Kesehatan Andalas.
1(1): hal 1-5
Yurnadi, dkk. 2010. Pola Distribusi Alotip Gen Polymeric Immunoglobulin
Receptor (PIGR) pada Penderita Karsinoma Nasofaring (KNF) di Indonesia.
Maj Kedokt Indon, vol. 60 (11). Hal. 489-95.
24