101
i KEWENANGAN LEMBAGA PENEGAK HUKUM DALAM MENANGANI TINDAK PIDANA TERORISME TINJAUAN YURIDIS (Undang Undang Terorisme Nomor 5 Tahun 2018) SKRIPSI Diajukan Kepada Fakultas Syariah dan Hukum Untuk Memenuhi Salah Satu Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Hukum (S.H) Oleh : Muhammad Akbar Wijaya (11140430000081) PROGRAM STUDI PERBANDINGAN MADZAB FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 1442 H/2021 M

KEWENANGAN LEMBAGA PENEGAK HUKUM DALAM …

  • Upload
    others

  • View
    13

  • Download
    0

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: KEWENANGAN LEMBAGA PENEGAK HUKUM DALAM …

i

KEWENANGAN LEMBAGA PENEGAK HUKUM DALAM MENANGANI

TINDAK PIDANA TERORISME TINJAUAN YURIDIS

(Undang – Undang Terorisme Nomor 5 Tahun 2018)

SKRIPSI

Diajukan Kepada Fakultas Syariah dan Hukum Untuk Memenuhi Salah Satu

Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Hukum (S.H)

Oleh :

Muhammad Akbar Wijaya

(11140430000081)

PROGRAM STUDI PERBANDINGAN MADZAB

FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI

SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA

1442 H/2021 M

Page 2: KEWENANGAN LEMBAGA PENEGAK HUKUM DALAM …

ii

KEWENANGAN LEMBAGA PENEGAK HUKUM DALAM MENANGANI

TINDAK PIDANA TERORISME TINJAUAN YURIDIS

(Undang – Undang Terorisme Nomor 5 Tahun 2018)

SKRIPSI

Diajukan Kepada Fakultas Syariah dan Hukum Untuk Memenuhi Salah Satu

Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Hukum (S.H)

Oleh :

Muhammad Akbar Wijaya

NIM. 11140430000081

Pembimbing :

Dr. Alfitra, S.H., M.Hum.,

NIP. 197202032007011034

PROGRAM STUDI PERBANDINGAN MADZAB

FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI

SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA

1442 H/2021 M

Page 3: KEWENANGAN LEMBAGA PENEGAK HUKUM DALAM …
Page 4: KEWENANGAN LEMBAGA PENEGAK HUKUM DALAM …
Page 5: KEWENANGAN LEMBAGA PENEGAK HUKUM DALAM …

v

ABSTRAK

Muhammad Akbar Wijaya, NIM 11140430000081, Kewenangan

Lembaga Penegak Hukum Dalam Menangani Tindak Pidana Terorisme

Tinjauan Yuridis Undang-Undang Terorisme Nomor 5 Tahun 2018,

Program Studi Perbandingan Mazhab dan Hukum, Universitas Islam

Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta, 1442 H/2021 M.

Dalam penulisan skripsi ini disini penulis membahas masalah Kewenangan

Lembaga Penegak Hukum Dalam Menangani Tindak Pidana Terorisme Menurut

Tinjauan Yuridis (Undang – Undang Terorisme Nomor 5 Tahun 2018). Tujuan

dari penelitian ini adalah untuk menjelaskan tentang bagaimana cara kerja sistem

sebuah lembaga penegak hukum dalam menangani terorisme dilihat dari konteks

kewenagan dan cara penanganan setiap lembaga penegak hukum dan lembaga

terkait terhadap tindak pidana terorisme menurut sudut pandang undang-undang,

tugas-tugas dari pihak-pihak setiap lembaga yang terkait dan kepastian

hukumnya.

Metode penelitian yang digunakan adalah pendekatan yuridis normatif,

yakni Statute Approach (pendekatan perundang-undangan). Dalam penelitian ini

penulis menelaah dan meneliti menggunakan data primer, sebagai bahan dasar

untuk diteliti dengan cara mengadakan penelusuran terhadap undang-undang,

peraturan-peraturan dan literatur-literatur yang berkaitan dengan tindak pidana

terorisme tersebut.

Hasil penelitian menunjukan bahwa masalah penegakan tindak pidana

terorisme di Indonesia masih belum maksimal. Disebabkan adanya faktor-faktor

yang menjadi penghambat mulai dari undang-undang terkait, kewenangan dari

setiap lembaga dan sistem penaganan tindak pidana terorisme.

Dalam hal ini faktor-faktor yang menjadi penghambat penanganan

terorisme yaitu, Pertama, sistem kerja, Kedua, kewenangan dan penanganan

lembaga penegak hukum Ketiga, kepastian hukum, Keempat, sarana dan

prasarana.

Kata Kunci : Lembaga Penegak Hukum, Terorisme, Undang-Undang, Yuridis,

Kewenangan

Pembimbing : Dr. Alfitra, S.H., M.Hum.,

Daftar Pustaka : Tahun 1998 s/d Tahun 2019

Page 6: KEWENANGAN LEMBAGA PENEGAK HUKUM DALAM …

vi

PEDOMAN TRANSLITERASI

Hal yang dimaksud dengan transliterasi adalah alih aksara dari tulisan asing

(terutama Arab) ke dalam tulisan Latin. Pedoman ini diperlukan terutama bagi

mereka yang dalam teks karya tulisnya ingin menggunakan beberapa istilah Arab

yang belum dapat diakui sebagai kata bahasa Indonesia atau lingkup masih

penggunaannya terbatas.

a. Padanan Aksara

Berikut ini adalah daftar aksara Arab dan padanannya dalam aksara Latin:

Huruf

Arab Huruf Latin Keterangan

ا

Tidak dilambangkan

b be ب

t te ت

ts te dan es ث

j Je ج

h ha dengan garis bawah ح

kh ka dan ha خ

d de د

dz de dan zet ذ

r Er ر

z zet ز

s es س

Page 7: KEWENANGAN LEMBAGA PENEGAK HUKUM DALAM …

vii

sy es dan ye ش

s es dengan garis bawah ص

d de dengan garis bawah ض

t te dengan garis bawah ط

z zet dengan garis bawah ظ

ع

koma terbalik di atas hadap

kanan

gh ge dan ha غ

f ef ف

q Qo ق

k ka ك

l el ل

m em م

n en ن

w we و

h ha ه

ء

apostrop

y ya ي

Page 8: KEWENANGAN LEMBAGA PENEGAK HUKUM DALAM …

viii

b. Vokal

Dalam bahasa Arab, vokal sama seperti dalam bahasa Indonesia, memiliki

vokal tunggal atau monoftong dan vokal rangkap atau diftong. Untuk vokal

tunggal atau monoftong, ketentuan alih aksaranya sebagai berikut:

Tanda Vokal

Arab

Tanda Vokal

Latin

Keterangan

a fathah ــــــــــ

i kasrah ــــــــــ

u dammah ــــــــــ

Sementara itu, untuk vokal rangkap atau diftong, ketentuan alih aksaranya

sebagai berikut:

Tanda Vokal

Arab

Tanda Vokal

Latin

Keterangan

ـــــــــ ـ ي ai a dan i

ـــــــــ ـو au a dan u

c. Vokal Panjang

Ketentuan alih aksara vokal panjang (madd), yang dalam bahasa Arab

dilambangkan dengan harakat dan huruf, yaitu:

Tanda Vokal

Arab

Tanda Vokal

Latin

Keterangan

â a dengan topi diatas اـــــ

î i dengan topi atas ىـــــ

û u dengan topi diatas وـــــ

Page 9: KEWENANGAN LEMBAGA PENEGAK HUKUM DALAM …

ix

d. Kata Sandang

Kata sandang, yang dalam bahasa Arab dilambangkan dengan huruf alif dan

lam )ال), dialih aksarakan menjadi huruf “l” (el), baik diikuti huruf

syamsiyyahatau huruf qamariyyah. Misalnya: الإجثهاد= al-ijtihâd

al-rukhsah, bukan ar-rukhsah =الرخصة

e. Tasydîd (Syaddah)

Dalam alih aksara, syaddah atau tasydîd dilambangkan dengan huruf, yaitu

dengan menggandakan huruf yang diberi tanda syaddah. Tetapi, hal ini tidak

berlaku jika huruf yang menerima tanda syaddah itu terletak setelah kata

sandang yang diikuti oleh huruf-huruf syamsiyyah. Misalnya: الشفعة = al-syuî

‘ah, tidak ditulis asy-syuf ‘ah

f. Ta Marbûtah

Jika ta marbûtah terdapat pada kata yang berdiri sendiri (lihat contoh 1) atau

diikuti oleh kata sifat (na’t) (lihat contoh 2), maka huruf ta marbûtah tersebut

dialihaksarakan menjadi huruf “h” (ha). Jika huruf ta marbûtah tersebut diikuti

dengan kata benda (ism), maka huruf tersebut dialihasarakan menjadi huruf “t”

(te) (lihat contoh 3).

No Kata Arab Alih Aksara

syarî ‘ah شريعة 1

al- syarî ‘ah al-islâmiyyah الشريعة الإسلامية 2

Muqâranat al-madzâhib مقارنة المذاهب 3

g. Huruf Kapital

Walau dalam tulisan Arab tidak dikenal adanya huruf kapital, namun dalam

transliterasi, huruf kapital ini tetap digunakan sesuai dengan ketentuan yang

berlaku dalam Ejaan Yang Disempurnakan (EYD). Perlu diperhatikan bahwa

jika nama diri didahului oleh kata sandang, maka huruf yang ditulis dengan

Page 10: KEWENANGAN LEMBAGA PENEGAK HUKUM DALAM …

x

huruf kapital tetap huruf awal nama diri tersebut, bukan huruf awal kata

sandangnya. Misalnya, البخاري= al-Bukhâri, tidak ditulis al-Bukhâri.

Beberapa ketentuan lain dalam EYD juga dapat diterapkan dalam alih aksara

ini, misalnya ketentuan mengenai huruf cetak miring atau cetak tebal.

Berkaitan dengan penulisan nama, untuk nama-nama yang berasal dari dunia

Nusantara sendiri, disarankan tidak dialihaksarakan meski akar kara nama

tersebut berasal dari bahasa Arab. Misalnya: Nuruddin al-Raniri, tidak ditulis

Nûr al-Dîn al-Rânîrî.

h. Cara Penulisan Kata

Setiap kata, baik kata kerja (fi’l), kata benda (ism) atau huruf (harf), ditulis

secara terpisah. Berikut adalah beberapa contoh alih aksara dengan

berpedoman pada ketentuan-ketentuan di atas:

No Kata Arab Alih Aksara

1 al-darûrah tubîhu الضرورة تبيح المحظورات

almahzûrât

الإقتصاد الإسلامي 2 al-iqtisâd al-islâmî

أصول الفقه 3 usûl al-fiqh

al-‘asl fi al-asyyâ’ alibâhah الأشياء الإباحة الأصل فى 4

المصلحة المرسلة 5 al-maslahah al-mursalah

Page 11: KEWENANGAN LEMBAGA PENEGAK HUKUM DALAM …

xi

KATA PENGANTAR

Alhamdulillah, dengan izin Allah SWT, saya dapat menyelesaikan tugas

akhir jurusan Perbandingan Mazhab, Fakultas Syariah dan Hukum, UIN Syarif

Hidayatullah Jakarta. Saya bersyukur dapat membuat karya tulis ilmiah ini,

walaupun hanya berupa tugas akhir. Mudah-mudahan ini merupakan ini menjadi

langkah awal saya untuk dapat mendekati cita-cita saya mencapai staf ahli mentri

pertahanan bidang keamanan, amin.

Saya sangat berterima kasih kepada pihak-pihak yang terus mendukung,

membantu serta memberikan masukan dalam proses saya menyelesaikan tugas

akhir ini. Pada kesempatan yang berharga ini saya mengucapkan terima kasih

dan penghargaan sebesar-besarnya kepada:

1. Bapak Dr. Ahmad Tholabi Kharlie, S.H., M.H., M.A., Dekan Fakultas

Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

2. Ibu Siti Hanna, Lc., M.A., Ketua Program Studi Perbandingan

Mazdhab. Bapak Hidayatullah S.H., M.H., Sekertaris Program Studi

Perbandingan Madzhab.

3. Bapak Dr. Alfitra, S.H., M.Hum., selaku pembimbing skripsi yang telah

memberikan bimbingan serta arahan selama penulisan skripsi ini.

4. Seluruh staf pengajar atau dosen program studi Perbandingan Mazhab,

yang tidak bisa saya sebutkan satu-persatu namun tidak mengurangi

rasa hormat saya. Tidak lupa pula kepada pimpinan dan seluruh staff

perpustakaan yang telah menyediakan fasilitas untuk keperluan studi

kepustakaan, terutama perpustakaan fakultas Syariah dan Hukum.

5. Bapak Fahmi Muhammad Ahmadi, M.Si selaku penguji I yang telah

senantiasa memberikan bimbingan dan arahan kepada penulis selama

duduk dibangku kuliah dan dalam proses penulisan skripsi ini terima

kasih penulis ucapkan. Mara Sutan Rambe, M.H., selaku penguji II

yang telah memberikan rekomendasi dan saran untuk penyempurnaan

penulisan dalam skripsi ini.

Page 12: KEWENANGAN LEMBAGA PENEGAK HUKUM DALAM …

xii

6. Ayah dan Ibuku, Sukma Wijaya dan Rahmawati, AMd.Keb., yang

selalu memberikan dukungan dari lisan, materil maupun doa, agar

skripsi ini cepat selesai, tugas akhir ini kupersembahkan untukmu Ayah

semoga cepat sembuh pulih sehat seperti sedia kala, amin.

7. Adik-adik kesayanganku Muhammad Ikhsan Wijaya dan Muhammad

Hakim Wijaya. Yang selalu menjadi motivasi saya untuk menjadi

kakak yang baik.

8. Putri Zumaila yang selalu memberikan semangat, motivasi serta

mendoakan penulis untuk menyelesaikan karya ilmiah ini.

9. Sahabat-sahabat seperjuangan tahun ini wisuda, tempat bertukar pikiran

Khalil Gibran Syaukani, S.H., Zein Hadi Lc., S.H., Zein Yudha Utama,

S.H., Dimas Permadi, S.H., M. Angga Yudha, S.H., Arie Maulana,

S.H., Sahrul Fauzi, S.H., Ulpan Anggi, S.H., yang selalu ada disaat

saling membutuhkan, sahabat-sahabat saya diskusi kosan pojok.

10. Sahabat-sahabat masa kecil di kedai kopi Lampu Kuning 21 terima

kasih untuk segala motivasi, masukan serta, hiburannya dalam proses

penulisan skripsi ini.

Akhir kata semoga Allah SWT membalas semua kebaikan atas bantuan dan

juga doa yang telah diberikan kepada penulis. Semoga kebaikan kalian menjadi

berkah dan amal jariyah untuk kita semua. Semoga skripsi ini dapat bermanfaat

bagi saya penulis serta pembaca pada umumnya. saya memohon maaf atas segala

kekurangan dan kesalahan dalam penulisan skripsi ini.

Bogor, 18 Desember 2020

Muhammad Akbar Wijaya

NIM.11140430000081

Page 13: KEWENANGAN LEMBAGA PENEGAK HUKUM DALAM …

xiii

DAFTAR ISI

LEMBAR JUDUL ................................................................................................. i

LEMBAR PERSETUAN ...................................................................................... ii

LEMBAR PENGESAHAN PANITIA UJIAN SKRIPSI ................................ iii

LEMBAR PERNYATAAN ................................................................................ iii

ABSTRAK ............................................................................................................ iv

PEDOMAN LITERASI ........................................................................................ v

KATA PENGANTAR ........................................................................................... x

DAFTAR ISI ....................................................................................................... xii

BAB I PENDAHULUAN ....................................................................................... 1

A. Latar Belakang Masalah ....................................................................... 1

B. Identifikasi, Pembatasan, dan Rumusan Masalah ........................... 11

1. Identifikasi Masalah ............................................................................. 11

2. Pembatasan Masalah ............................................................................. 11

3. Rumusan Masalah ................................................................................. 12

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ......................................................... 12

1. Tujuan Penelitian ........................................................................... 12

2. Manfaat Penelitian ......................................................................... 12

D. Tinjauan (Review) Kajian Terdahulu ................................................ 13

E. Metode Penelitian ................................................................................ 13

1. Pendekatan Penelitian ..................................................................... 14

2. Jenis Penelitian .............................................................................. 15

3. Sumber Data .................................................................................. 16

4. Tehnik Pengumpulan Data ............................................................. 17

5. Tehnik Analisa Data ...................................................................... 17

6. Tehnik Penulisan ........................................................................... 18

F. Sistematika Penulisan.......................................................................... 18

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG LEMBAGA PENEGAK HUKUM

DAN TERORISME ................................................................................... 20

Page 14: KEWENANGAN LEMBAGA PENEGAK HUKUM DALAM …

xiv

A. Pengertian Lembaga Penegak Hukum .............................................. 20

B. Teori Checks And Balances ................................................................ 24

C. Teori Kewenangan ............................................................................... 26

1. Atribusi .......................................................................................... 28

2. Delegasi ......................................................................................... 28

3. Mandat ........................................................................................... 28

D. Terorisme Dalam Pandangan Peraturan Perundang-Undangan dan

Hukum Islam........................................................................................ 29

BAB III KEWENANGAN TNI, POLRI DAN BNPT DALAM TINDAK

PIDANA TERORISME ............................................................................ 41

A. TNI ........................................................................................................ 41

B. Polri ....................................................................................................... 44

C. BNPT..................................................................................................... 47

BAB IV ANALISIS KEWENANGAN LEMBAGA PENEGAK HUKUM

(POLRI, TNI DAN BNPT) DALAM MENANGANI TINDAK PIDANA

TERORISME TINJAUAN YURIDIS (UNDANG-UNDANG

TERORISME NOMOR 5 TAHUN 2018) ............................................... 51

A. Kasus Tindak Pidana Terorisme di Indonesia.................................. 51

B. Analisa Sistem Kerja, Kewenangan, Kepastian Hukum Dan

Penanganan Lembaga Penegak Hukum (Polri, TNI Dan BNPT)

Terhadap Kasus Tindak Pidana Terorisme ...................................... 57

1. Sistem Kerja .................................................................................. 57

2. Penanganan dan kewenangan Lembaga Penegak Hukum ............. 62

3. Kepastian Hukum .......................................................................... 73

4. Sarana dan Prasarana ..................................................................... 76

BAB V PENUTUP ................................................................................................ 81

A. Kesimpulan........................................................................................... 81

B. Rekomendasi ........................................................................................ 82

Page 15: KEWENANGAN LEMBAGA PENEGAK HUKUM DALAM …

xv

1. Kepada Lembaga-Lembaga dan Instansi Penanggulangan

Terorisme ........................................................................................ 82

2. Kepada Pemerintah ......................................................................... 82

DAFTAR PUSTAKA ...................................................................................... 83

Page 16: KEWENANGAN LEMBAGA PENEGAK HUKUM DALAM …

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Cita-cita bangsa Indonesia sebagaimana tercantum dalam Pembukaan

Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945 adalah melindungi

segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan ikut turut

memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan bangsa dan ikut melaksanakan

ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan

keadilan sosial.1Untuk mencapai cita-cita tersebut dan menjaga kelangsungan

pembangunan nasional dalam suasana aman, tentram dan dinamis, baik dalam

lingkungan nasional maupun internasional, perlu ditingkatkan pencegahan

terhadap suatu hal yang menggangu stabilitas nasional.

Maraknya aksi teror di Indonesia menyebabkan hilangnya rasa aman

ditengah masyarakat, selain membuat turunya wibawa pemerintah sebagai badan

pelindung yang seharusnya memberikan perlindungan dan rasa aman kepada

masyarakat. Indonesia merupakan salah satu negara yang dianggap memiliki

ancaman besar terhadap aksi-aksi terorisme, terutama maraknya aksi teror bom

di beberapa tempat. Seperti contoh kasus tetbesar yang memakan banyak korban

adalah Bom bali I dan II, Bom di Hotel JW Marriot dan Ritz Carlton.

Terorisme pada pasal 1 ayat 2 Undang-Undang Terorisme Nomor 5 Tahun

2018, dijelaskan, bahwa terorisme adalah perbuatan yang menggunakan

kekeraan atauancaman kekerasan yang menimbulkan suasana teror dan rasa

takut secara meluas, yang dapat menimbukan korban yang bersifat masal,

dan/atau menimbulkan kerusakan atau kehancuran terhadap objek vital strategis,

1Penjelasan atas Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2006 Tentang Pengesahan Internasional

Convention the Suppression of the Financing of Terrorism, 1999 (Konvensi Internasional

Pemberantasan pendanaan Terorisme, 1999)

Page 17: KEWENANGAN LEMBAGA PENEGAK HUKUM DALAM …

2

lingkungan hidup, fasilitas publik atau fasilitas internasional dengan motif

ideologi, politik atau gangguan kekacauan.2

Kekerasan atau ancaman kekerasan yang dimaksud adalah perbuatan

penyalahgunaan kekuatan fisik dengan melawan hukum dan menimbulkan

bahaya bagi badan, nyawa dan kemerdekaan orang, termasuk menjadikan orang

pingsan atau tidak berdaya dan, perbuatan secara melawan hukum berupa

ucapan, tulisan, gambar, simbol, atau gerak tubuh, baik dengan maupun tanpa

menggunakan sarana dalam bentuk elektronik atau non-elektronik yang dapat

menimbulkan rasa takut terhadap orang atau masyarakat secara luas atau

mengekang kebebasan hakiki seseorang atau masyarakat.3

Dalam buku Tindak Pidana Teror Belenggu Baru Bagi Kebebasan Dalam

Terorrism, Definisi Aksi Dan Regulasi yang ditulis oleh Muchammad Ali

Syafa’a menjelaskan bahwa, Terorisme adalah sebuah paham yang berpendapat

bahwa penggunaan cara-cara kekerasan dan menimbulkan ketakutan adalah cara

yang paling sah dalam mencapai sebuah tujuan.4 Ada berbagai macam tindakan

terorisme, dan yang paling sering ditemui yaitu dengan tindak peledakan bom

bunuh diri, tindakan ini marak terjadi disetiap aksi terorisme dan yang

palingbanyak menelan korban dibandingkan dengan aksi-aksi terorisme melalui

teror psikis.

Terorisme telah hadir dalam kehidupan sebagai virus ganas dan monster

menakutkan yang sewaktu-waktu muncul dan tidak dapat diduga, mampu

menjelma sebagai “prahara nasional dan global”, termasuk dalam mewujudkan

tragedi kemanusiaan, pengebirian martabat bangsa dan penyejarahan tragedi atas

Hak Asasi Manusia (HAM). Hak Asasi Manusia telah kehilangan eksistensinya

dan tercabut kesucian atau kefitrahannya di tangan pembuat teror yang telah

2 Pasal 1 ayat 2 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2018 Tentang Terorisme 3 Pasal 3 dan 4 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2018 Tentang Terorisme 4 Muchammad Ali Syafa’at, Tindak Pidana Teror Belenggu Baru bagi Kebebasan dalam

“terorrism, definisi, aksi dan regulasi” (Jakarta: Imparsial, 2003), h. 59

Page 18: KEWENANGAN LEMBAGA PENEGAK HUKUM DALAM …

3

menciptakan aksi kebiadaban yang mendampak terhadap sosial, politik, budaya,

dan ekonomi.

Masyarakat Indonesia maupun masyarakat di dunia saat ini sedang

dihadapkan pada keadaan yang sangat mengkhawatrikan akibat maraknya aksi

teror, bahkan pada masa sekarang dimana kondisi masyarakat dunia sedang

menghadapi pandemin, terorisme masih mampu mengintai dan memberi

ancaman. dikutip dari perkataan Direktur Pencegahan Terorisme BNPT Brigjen

(Pol) Hamli melalui diskusi daring, pada hari rabu 6 mei 2020, “Jangan sampai

terpengaruh oleh narasi-narasi yang dibangun soal kita dimasa Covid-19 ini

wajib melakukan serangan terhadap pemerintah, terhadap tempat-tempat yang

dianggap bahwa ini adalah produk kafir, dan ini masih negara kafir”. Menurut

beliau, pandemi Covid-19 tidak menyurutkan ancaman aksi teror, meskipun

apabila pandemi tidak terjadi, ia mengatakan, ancaman tersebut tetap ada dan

pola penyerangan para pelaku teror, selalu beraksi saat bulan Ramadhan,

Direktur Pencegahan Terorisme BNPT Brigjen (Pol) Hamli juga menuturkan

ancaman tersebut terlihat dari penangkapan yang dilakukan Detasemen Khusus

(Densus) 88 Anti-Teror Polri belakangan ini, mulai tanggal 25 maret Densus 88

sudah menagkap beberapa orang di Batang, Jawa Tengah, tuturnya, diikuti

dengan penangkapan di Maluku (17 April), Sulawesi Tenggara (13 April),

Surabaya, Jawa Timur (24 April), Sidoarjo (26 April), dan di Serang (27 April).5

Terorisme adalah musuh bersama bangsa Indonesia, musuh kemanusiaan

dan oleh sebab itu pemberantasannya harus dikaji secara komprehensif dan

berdasarkan hukum yang adil tanpa rekayasa. Apabila hal ini tidak dilakukan,

maka kasus teror ini selamanya tidak dapat diselesaikan ataupun berhenti sama

sekali karena selama ini akar permasalahannya tidak terselesaikan secara

komprehensif. Teror atau aksi kekerasan di Indonesia bahkan bertambah

berkembang semakin canggih dan sulit dideteksi karena terindikasi terdapat

5https://nasional.kompas.com/read/2020/05/06/22233471/di-tengah-pandemi-covid-19-

bnpt-imbau-masyarakat-tak-terpengaruh-narasi di akses 10 oktober 2020

Page 19: KEWENANGAN LEMBAGA PENEGAK HUKUM DALAM …

4

oknum-oknum hitam aparat penegak hukum yang ikut bermain demi

kepentingan politik sesaat.

Ada pendapat yang menyebut, bahwa terorisme lahir dan tumbuh dari rasa

kekecewaan akibat perlakuan tidak adil yang berlangsung lama dan kelihatan

tidak ada harapan perubahan. Dengan demikian, terorisme tidak dapat

diidentikkan dengan pembuatan hal-hal bermotif agama saja, melainkan lebih

bermuatan politik.6

Teror memang sebuah kata yang berarti usaha menciptakan ketakutan,

kengerian, atau kekejaman oleh seseorang, kelompok atau golongan.7Untuk

melihat kasus terorisme Indonesia perlu digaris bawahi konteks terjadinya teror,

siapa aktor intelektualnya, dan apa motifnya. Mungkin ada banyak motif

bermunculan saat ini, bahkan dipolitisasi ke berbagai macam hal, termasuk

penerbitan perpu pemberantasan terorisme yang dapat dilihat di satu sisi

mengancam kebebasan pribadi apabila dilakukan secara tidak porposional tetapi

di sisi lain mengamankan eksistensi negara.

Perbedaan pandangan terhadap apa, siapa, kenapa, dan bagaimana tentang

terorisme adalah wajar sejauhitu disikapi secara arif dan bijak. Karena itu, setiap

kejadian teror di Indonesia janganlah serta merta menuduh bahwa pelakunya dari

kelompok atau golongan tertentu, perlu diingat, teror itu boleh jadi merupakan

kegiatan intelijen luar atau intelijen hitam dalam negeri yang dimainkan oleh

dalang yang belum terungkap hingga saat ini.8

Secara teoritis, sangat mungkin untuk melihat terorisme dari sudut pandang

yang berbeda, dan perbedaan itu seringkali memiliki alasan tersendiri.

Perbedaan pandangan adalah sah dan setiap individu boleh memiliki pandangan

6 Seminar tentang terorisme yang diselenggarakan Lembaga Pengkajian Strategis Indonesia

(LPSI) di Jakarta Rabu (31/10) 7 Forum Keadilan, 29 November 2002 8 Sambutan Ian Santoso Perdanakusuma (Mantan Ka Bais TNI) Adjie, Terorisme (Jakarta:

Sinar Harapan, 2005), h. xi

Page 20: KEWENANGAN LEMBAGA PENEGAK HUKUM DALAM …

5

tersendiri. Apabila ini dikatakan sebagai suatu perbedaan, maka perbedaan

pandangan tentang terorisme dapat dikategorikan sebagai berikut.9

Kemungkinan perbedaan pandangan yang pertama adalah organisasi

terorisme itu sendiri. Terorisme ‘pentungan’ yakni terorisme yang kebanyakan

kecil dan ramping, sangat ketat dan selektif serta tidak menggunakan birokrasi

yang berbelit, homogen, secara politis, dan pada umumnya mengembangkan

pengaruh dengan melakukan aksi teror secara jelas kelihatan (kasat mata) karena

kebanyakan belum/tidak/kurang memiliki insfrastruktur yang mapan untuk

mencapai aksi mereka. Misalnya Red Army Faction dan Revolutionary Cells di

Jerman Barat dan Red Brigade di Italia.

Kemungkinan perbedaan yang kedua adalah organisasi terorisme yang

taken for granted. Terorisme kerah putih semacam ini dianggap lumrah dan hal

yang wajar karena sudah sedemikian menggurita, besar, menggunakan birokrasi

yang rumit, heterogen, secara politik dan ekonomi diterima tanpa reserve karena

motif terorismenya tidak terlihat secara jelas karena kebanyakan memiliki

insfrastruktur yang mapan untuk mencapai aksi mereka dan masyarakat umum

belum/tidak/kurang menyadari aksi terorisme kerah putih ini karena sudah

demikian menguasai sendi kehidupan mereka.

Terorisme ekonomi dalam bentuk kejahatan transnasional dan nasional

kerah putih yang melakukan ekonomi-keuangan-moneter riba. Hal ini tidak

hanya berupa pinjaman uang secara berbunga yang menyebabkan kreditur hidup

dari keringat debitur, tetapi juga transaksi yang berdasarkan penipuan yang

menghasilkan laba atau keuntungan yang diperoleh secara tidak adil. Misalkan

mekanisme fractional reserve banking dan quantitative easing yang menipu dan

menciptakan kekayaan dari sesuatu yang tidak ada.

Kemungkinan perbedaan pandangan ketiga terhadap terorisme adalah aksi

terorisme yang berkaitan dengan pemberontakan. Pemberontakan seringkali

9 Adjie, Terorisme (Jakarta: Sinar Harapan, 2005), h. xii

Page 21: KEWENANGAN LEMBAGA PENEGAK HUKUM DALAM …

6

memiliki tujuan yang dapat diartikan sebagai kelompok separatis etnis atau

keinginan memisahkan diri dari sebuah negara untuk membentuk negara sendiri.

Misalnya New People’s Army, sayap militer Partai Komunis Filipina dalam

aktivitas mengacau, melakukan aksi teror untuk menurunkan kredibilitas atau

legitimasi pemerintah Filipina yang tidak bisa melindungi rakyatnya.

Kemungkinan perbedaan pandangan keempat adalah negara yang bertindak

menjadi sponsor terorisme. Sponsor terorisme secara langsung atau memberikan

dukungan secara terus terang atau tersembunyi terhadap kelompok teroris untuk

melakukan aksi teroris di suatu negara atau membiayai dan mempersenjatai

kelompok teroris untuk menjatuhkan rezim pemerintahan yang sah di suatu

negara. Misalnya AS yang menjatuhkan rezim Taliban di tahun 2013, rezim

Khadafy Libya di tahun 2010.

Perkembangan terorisme di Indonesia tidak lepas dari lanskap politik

Indonesia. Terorisme dan lanskap politik Indonesia dapat dilihat dari spektrum

penanganan terorisme di Indonesia sejak peristiwa 9/11. Penanganan terorisme

di Indonesia paska 9/11 dapat dianalisa dari sebab yang ditimbulkannya.

Terdapat setidaknya dua faktor besar yang menimbulkan terorisme di Indonesia.

Faktor penyebab ini dibahas menurut versi pemerintah dan kelompok penekan.

Faktor pertama adalah faktor internal agama, yakni kesalahan didalam mengerti

dan memahami Islam. Faktor kedua adalah faktor eksternal yakni pengaruh dan

interaksi dari luar. Kedua faktor ini merupakan ketegangan awal kebijakan

kontra terorisme di Indonesia paska 9/11 antara pemerintah dengan kelompok

penekan.

Negara Indonesia sudah mulai mengalami kejadian-kejadian serangan bom

yang cukup signifikan, mulai dari bom Bali pada tahun 2002 hingga yang paling

terbaru adalah pengeboman di Surabaya dan Sidoarjo tahun 2018, pada waktu

itu terjadi rangkaian peristiwa pengeboman di tiga gereja yaitu di Gereja Santa

Maria Tak Bercela, GKI Diponegoro, dan Gereja Pantekosta Pusat Surabaya

Page 22: KEWENANGAN LEMBAGA PENEGAK HUKUM DALAM …

7

(GPPS), akibat serangan keji itu terdapat 28 korban tewas (termasuk pelaku) dan

57 orang korban luka.

Terorisme merupakan kejahatan yang serius dan sudah membahayakan

kedaulatan dan keamanan negara. Dalam menghadapi terorisme maupun perang

terhadap terorisme pemerintah harus meningkatkan kewaspadaan dan

mengorganisir setiap kekuatan untuk lebih efektif dan efisien dalam

memberantas terorisme, terutama jika dilihat dari serangkaian serangan-

serangan bom maka aksi terorisme berupa serangan bom ini sudah tidak bisa

dipandang sebelah mata.

Dalam menghadapi ancaman dari aksi terorisme, negara Indonesia memiliki

badan nasional khusus yang bekerja melaksanakan tugas pemerintahan dibidang

penanggulangan terorisme, dikenal sebagai Badan Nasional Penanggulangan

Terorisme (BNPT). Sudah seharusnya, negara wajib untuk memberikan

perlindungan dan rasa aman kepada warga negaranya apa lagi dengan

membentuk lembaga atau badan khusus dalam menanggulangi atau mencegah

terorisme. Peran BNPT (Badan Nasional Penanggulangan Terorisme) sangat

penting dalam upaya memberantas dan mencegah tindak pidana terorisme.

BNPT berada dibawah dan bertanggung jawab kepada presiden. BNPT

menjadi pusat analisi dan pengendalian krisis yang berfungsi sebagai “fasilitas

presiden” untuk menetapkan kebijakan dan langkah-langkah penanganan krisis,

termasuk pengerahan sumber daya dalam menangani terorisme, 10 dalam

mencegah segala bentuk ancamannya yang membahayakan eksistensi dan

keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Indonesia dalam memberantas tindak pidana terorisme, mempunyai produk

hukum, yaitu Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2018 Tentang Terorisme. 11

Sebuah Undang-Undang tentang perubahan atas Undang-Undang Nomor 15

Tahun 2003 tentang sebuah penetapan dari peraturan pemerintah pengganti

10 Pasal 43 ayat 1 dan 2 Nomor 5 Tahun 2018 Tentang Terorisme 11 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2018 Tentang Terorisme

Page 23: KEWENANGAN LEMBAGA PENEGAK HUKUM DALAM …

8

Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2002 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana

Terorisme Menjadi Undang-Undang.

Negara Indonesia adalah negara hukum, sesuai dengan bunyi pasal 1 ayat 3

Undang-Undang Dasar Tahun 194512. Dalam negara yang berdasarkan hukum

mewajibkan semua tindakan negara dan pemerintah senantiasa didasarkan pada

asas-asas dan aturan hukum tertentu baik yang tertulis maupun tidak tertulis.

Oleh karena itu, maka inti dari prinsip ini adalah bahwa semua tindakan harus

dapat di pertanggungjawabkan secara hukum, termasuk seluruh tindakan yang

dilakukan pejabat publik.13

Negara hukum dalam bahasa Inggris disebut legal state atau state base on

the rule of law, dalam bahasa belanda dan jerman disebut rechstaat, adalah

adanya ciri pembatasan dari kekuasaan dalam penyelengaaraan kekuasaan

negara. Istilah rechstaat memiliki latar belakang sejarah dan pengertian yang

menangandung ide-ide pembatasan kekuasaan, pembatasan itu dilakukan

dengan hukum yang kemudian menjadi sebuah ide dasar paham akan

konstitusionalisme modern. Oleh karena itu konsep negara hukum juga disebut

sebagai negara konstitusional atau dalam bahasa Inggris constitusional state,

yaitu negara yang dibatasai oleh konstitusi.14

Setiap Negara tentunya memiliki sistem pemerintahan yang berhubungan

kuat dengan bentuk pemerintahannya. Negara yang menganut bentuk

pemerintahan republik disebut sistem pemerintahan presidensial, sedangkan

sistem pemerintahan yang menganut bentuk pemerintahan kerajaan disebut

sistem pemerintahan monarki. Selain dua sistem pemerintahan diatas terdapat

12 Pasal 1 ayat 3 Undang-Undang Dasar 1945 13 Mardenis, Pemberantasan Terorisme Politik Internasional dan Politik Hukum Nasional

Indonesia, (Jakarta: Rajawali Press, 2011), h. 204 14 Jimly Ashiddiqie, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara, Ed. 1, Cet. 5 , (Jakarta: Rajawali

Pre, 2013), h. 281

Page 24: KEWENANGAN LEMBAGA PENEGAK HUKUM DALAM …

9

juga sistem pemerintahan parlementer, sistem pemerintahan campuran (hybrid),

dan sistem kolegial.15

Dalam hukum tata negara ada sebuah teori yang disebut trias politika. Trias

politika ini diperkenalkan oleh Montesquieu, seorang pemikir politik Prancis,

yang terkenal pada prinsip pemikirannya yang mendunia. Menurutnya, didalam

suatu negara terdapat tiga pembagian jenis kekuasaan 16 yaitu kekuasaan

eksekutif, legislatif dan kekuasaan yusikatif. Kekuasaan eksekutif adalah

kekuasaan yang menjalankan atau melaksanakan undang-undang, Kekuasaan

legislatif adalah kekuasaan untuk membuat undang-undang, Sedangkan

kekuasaan yudikatif adalah kekuasaan untuk mengontrol apakah undang-undang

dijalankan dengan benar atau tidak.

Setiap lembaga negara pasti memiliki peran dan tugasnya masing-masing

mulai dari merancang, menguji, dan melaksanakan setiap produk hukum yang

akan diresmikan dan diberlakukan untuk lembaga negara atau untuk warga

negara. Dalam penanggulangan terorisme, negara telah membetuk badan yang

mengatasi terorisme yaitu BNPT, didalam mekanisme tugas BNPT, tidak

mencegah, menangani dan penanggulangan, dia bukanlah lembaga penegaknya.

Lembaga penegak adalah POLRI dan TNI, terdapat sebuah masalah didalam

undang-undang tidak dijelaskan secara exsplisit terkait kewenangan penangan

dalam terorisme ini. siapakah yang memiliki kewenanggan dalam penanganan

tidak pidana terorisme ini ?,.

Faktanya yang terdapat dalam masalah ini terkait kewenangan

penanggulangan tindak pidana terorisme tidak disebutkan secara jelas dalam

undang-undang, Polri dan TNI masing-masing memiliki kewenangan dalam

tindak pidana terorisme. Jika kita bicara dalam hal penegakan hukum Polri

memiliki kewenangan dalam perihal kasus terorisme ini, dan di sisi lain jika

15 Abdul Ghoffar, Perbandingan Kekuasaan Presiden Indonesia Setelah Perubahan UUD

1945 Dengan Delapan Negara Maju, (Jakarta: Kencana, 2009), h. 27 16 Arend Lijphart, Sistem Pemerintahan Parlementer dan Presidensial, Oleh R. Ibrahim,

dkk, (PT. Raja Grafindo Persada, 1995), h. 51

Page 25: KEWENANGAN LEMBAGA PENEGAK HUKUM DALAM …

10

bicara tentang keamanan negara, TNI memiliki kewenangan pula dalam

menangani kasus terorisme ini. Dalam kasus tindak pidana terorisme ini disini

POLRI dan TNI masing-masing memiliki hak dan kewenangan untuk bertindak

terhadap aksi terorisme. karena terorisme mengandung dua unsur jenis

pelanggaran yaitu sebuahbentuk pelanggaran hukum dan mengancam

pertahanan negara.

BNPT adalah sebuah lembaga yang terfokus pada melaksanakan

deradikalisasi, mengatur strategi, penanggulangan serta perlindungan negara,

terhadap kejahatan terorisme, akan tetapi didalam undang-undang masih

terdapat kerancuan, disini penulis bertujuan untuk mengupas, mengkaji dan

menganalis bagaimana bentuk penanganan terorisme, sistem kerjanya dan

peran-peran serta pihak-pihak yang terkait yang memiliki kewenangan dalam

menangani terorisme. tidak terdapat satu pasal pun yang menjelaskan atau

menerangkan terkait kewenangan yang diberikan secara langsung kepada sebuah

lembaga manapun untuk melaksanakan penanggulangan aksi tanggap terhadap

tindak pidana terorisme ini.

Setiap tujuan dibentuknya sebuah lembaga memiliki maksud atau

kebutuhan untuk memenuhi tugas dibidangnya masing-masing, dibarengi

dengan keahlian, wewenang serta tanggung jawab sesuai dengan fungsi dan

tujuan awal dibentuknya lembaga tersebut. Dalam hal penyelenggaraan BNPT

didalam perpes pun, dijelaskan di Peraturan Presiden Nomor 46 Tahun 2010

pasal 28 dikatakan, Dalam rangka penyelenggaraan tugas dan fungsi BNPT

dibentuk kelompok Ahli, dilanjutkan pada pasal 29 ayat 1, Kelompok Ahli

mempunyai tugas melakukan kajian dan memberikan saran serta pertimbangan

kepada kepala BNPT dalam rangka penyusunan kebijakan, strategi, dan program

nasional di bidang penaggulangan terorisme.17Nabi pun memberikan pedoman

17 Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 46 Tahun 2010 tentang Badan

Penanggulangan Terorisme

Page 26: KEWENANGAN LEMBAGA PENEGAK HUKUM DALAM …

11

untuk memberikan amanah atau kewenangan sesuai dengan keahliannya

dijelaskan pada hadits berikut :

قال إذا أسند إذا ضي عت الأمانة فانتظر الساعة قال كيف إضاعتها يا رسول الل

الأمر إلى غير أهله فانتظر الساعة

Artinya : “Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Jika amanat

telah disia-siakan, tunggu saja kehancuran terjadi." Ada seorang sahabat

bertanya; 'bagaimana maksud amanat disia-siakan? 'Nabi menjawab; "Jika

urusan diserahkan bukan kepada ahlinya, maka tunggulah kehancuran itu."

(Bukhari-6015)

Berlatar belakang yang penulis paparkan, penulis ingin mengangkat,

membahas dan menganalisis lebih dalam tentang permasalahan didalam topik

ini, yang kemudian akan penulis beri judul “Kewenangan Lembaga Penegak

Hukum Dalam Menangani Tindak Pidana Terorisme Menurut Tinjauan

Yuridis (Undang – Undang Terorisme Nomor 5 Tahun 2018)”.

B. Identifikasi, Pembatasan dan Rumusan masalah

1. Identifikasi Masalah

Berdasarkan latar belakang yang telah dikemukakan di atas

beberapa masalah yang dapat diidentifikasikan :

a. Apa yang dimaksud terorisme

b. Apa yang dimaksud motif dalam terorisme

c. Apa yang dimaksud terorisme dalam hukum Islam

d. Apa yang dimaksud terorisme dalam hukum positif

e. Apa yang dimaksud badan nasional penanggulanagan terorisme

f. Apa tugas dari badan penanggulanagan nasional terorisme

g. Bagaimana pandangan Undang-Undang terkait kewenagan

penanganan tindak pidana terorisme

h. Bagaimana kepastian hukum dalam kewenagan tindak pidana

terorisme

Page 27: KEWENANGAN LEMBAGA PENEGAK HUKUM DALAM …

12

i. Bagaimana hukum tata negara dan hukum administrasi negara

dalam memandangan kewenangan badan penanggulanagan

nasional terorisme

j. Siapa yang memiliki kewenangan dalam penanganan tindak

terorisme

k. Siapa saja yang memiliki kewenangan dalam penanganan

terorisme

2. Pembatasan Masalah

Dalam pembahasan skripsi ini penulis memilih objek Undang-Undang

Nomor 5 Tahun 2018 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 15

Tahun 2003 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme. Mengingat

banyaknya kasus terorisme yang mendapatkan perhatian lebih dari

pemerintah, maka penulis membatasi penelitian ini pada konsep

penanganan dan kewenangan terkait lembaga-lembaga terhadap tindak

pidana terorisme. Berdasarkan dari undangan-undang terorisme, Penulis

akan menganalisis kewenangan dan penanganan tindak pidana terorisme

dari sudut pandang undang-undang, tak lupa pula dengan tugas-tugas dari

pihak-pihak setiap lembaga yang terkait dan mengulik kepastian hukum

yang berlaku dalam kewenangan penanganan terorisme.

3. Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian latar belakang tersebut di atas, maka penulis

menarik rumusan masalah sebagai berikut :

a. Siapakah yang memiliki hak dan kewenangan dalam

menanggulangi tindak pidana terorisme.

b. Bagaimanakah sistem kerja penegakan hukum dalam menangani

tindak pidana terorisme di Indonesia.

Page 28: KEWENANGAN LEMBAGA PENEGAK HUKUM DALAM …

13

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian

1. Tujuan Penelitian

a. Untuk mengetahui lembaga penegak hukum mana yang memiliki

hak dan kewenangan menanggulangi tindak pidana terorisme.

b. Untuk mengetahui pola sistem kerja lembaga penegakan hukum

dalam menangani tindak pidana terorisme di Indonesia.

2. Manfaat Penelitian

a. Secara akademik, penulisan skripsi ini diharapkan dapat

bermanfaat menambah pengetahuan dan keilmuan dalam

memahami serta mengetahui kewenangan penindakan

terorismedan cara kerja penaganan tindak pidana terorisme di

Indonesia. Kemudian menambah literature perpustakaan

khususnya dalam bidang perbandingan madzhab hukum dan pada

pembaca umumnya.

b. Manfaat Praktis. Diharapkan hasil penelitian ini bias memberikan

penjelasan kepada masyarakat tentangsiapa yang memiliki

kewenangan dan cara kerja penindakan terorisme dalam kajian

Hukum tata negara dan Hukum administrasi negara.

D. Tinjauan (Review)Kajian Studi Terdahulu

Untuk mengetahui kajian terdahulu yang sudah pernah ditulis dan dibahas

oleh penulis lainnya, maka penulis me-review hasil-hasil penelitian yang sudah

dihasilkan lebih jauh. Dalam hal ini penulis menemukan beberapa penelitian

yang berkaitan dengan variabel judul skripsi yaitu:

1. R. Wulida Misdillah Almatin, Kewenangan DPR Dalam

Pengangkatan Panglima TNI (Tinjauan Yuridis Undang-Undang

Nomor 34 Tahun 2004 Tentang Tentara Nasional Indonesia). Jurusan

Ilmu Hukum, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Dalam karya tulis ini

membahas terkait kewenangan DPR dalam memberikan persetujuan

terhadap calon panglima Tentara Nasional Indonesia dalam konteks

Page 29: KEWENANGAN LEMBAGA PENEGAK HUKUM DALAM …

14

hukum tata negara, Penulis lebih membahas terkait dengan kewenangan

atau kepastian hukum yang dimiliki sebuah lembaga atau hak dalam

menagani suatu perkara.18

2. Febriana Windarati Bustami, Kerjasama Indonesia Dengan Arab

Saudi Terkait Penanganan Teorisme Tahun 2014-2018. Jurusan

Hubungan Internasional, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Dalam

Karya tulis ini, membahas tentang melihat kerjasama antara Indonesia

dan Saudi Arabia. yang dimana Saudi Arabia dilihat berhasil dalam

menangani terorisme dinegaranya.19

3. Muhammad Arifin Saleh, Penanganan Terorisme Di Indonesia

Ditinjau Dalam Fiqh Siyasah Dan Hak Asasi Manusia (HAM). Jurusan

Hukum Tata Negara (Siyasah), UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Dalam

karya tulis ini membahas tentang penanganan terorisme yang dilakukan

Densus 88 sering kali menuai perotes dari berbagai kalangan. Tindakan

represif Densus 88 dianggap bertentangan dengan hak asasi manusia

(HAM) dan asas Islam, Sehingga kredibilitas Densus 88 dipertanyakan

oleh masyarakat.20

Dari penelitian diatas perbedaannya dengan skripsi penulis adalah bahwa

penulis disini membahas, terkait hak, kewenangan dan sistem kerja lembaga-

lembaga penegak hukum dalam menangulangi terorisme ditinjau dari Undang-

Undang Nomor 5 Tahun 2018 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor

15 Tahun 2003 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme.

Dengan demikian pembahasan skripsi tentang “Kewenangan Lembaga

Dalam Menangani Tindak Pidana Terorisme Menurut Tinjauan Yuridis (Undang

18 R. Wulida Misdillah Almatin, Kewenangan DPR Dalam Pengangkatan Panglima TNI

(Tinjauan Yuridis Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 Tentang Tentara Nasional

Indonesia). (Skripsi- UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2018) 19 Febriana Windarati Bustami, Kerjasama Indonesia Dengan Arab Saudi Terkait

Penanganan Teorisme Tahun 2014-2018.(Skripsi- UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2018) 20 Muhammad Arifin Saleh, Penanganan Terorisme Di Indonesia Ditinjau Dalam Fiqh

Siyasah dan Hak Asasi Manusia (HAM).(Skripsi- UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2015)

Page 30: KEWENANGAN LEMBAGA PENEGAK HUKUM DALAM …

15

– Undang Terorisme Nomor 5 Tahun 2018)”. Dalam hal ini belum dikaji dan

dijelaskan secara explisit, baik berupa buku jurnal atau karya ilmiah.

E. Metode Penelitian

Metode penelitian adalah langka-langkah yang digunakan untuk

memperoleh dan mengolahan data dalam menyusun kerangka penulisan didalam

sebuah penelitian ini, yang bersifat umum dan terencana yang dilakukan untuk

keperluan menjawab persoalan yang diteliti.

1. Pendekatan Penelitian

Kajian penelitian ini dilakukan melalui pendekatan yuridis normatif.

Menurut Soerjono Soekanto pendekatan yuridis normatif yaitu penelitian

hukum yang dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka atau data

sekunder sebagai bahan dasar untuk diteliti dengan cara mengadakan

penelusuran terhadap peraturan-peraturan dan literatur-literatur yang

berkaitan dengan permasalahan yang diteliti.21

2. Jenis Penelitian

Adapun jenis penelitian yang penulis gunakan adalah jenis penelitian

hukum normatif. 22 yakni Statute Approach (pendekatan perundang-

undangan). Dalam penelitian ini penulis menelaah dan meneliti

menggunakan data primer, sebagai bahan dasar untuk diteliti dengan cara

mengadakan penelusuran terhadap undang-undang, peraturan-peraturan dan

literatur-literatur yang berkaitan dengan tindak pidana terorisme tersebut.23

Dalam hal ini objeknya ialah Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2018

21 Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif (Suatu Tinjauan

Singkat), (Jakarta: Rajawali Pers, 2001), h. 13-14

22 Fahmi Muhammad Ahmadi, Jaenal Aripin, Metode Penelitian Hukum, (Lembaga

Penelitian UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2010). Cet 1, h. 10 23 Tommy Hendra Purwaka, Metodologi Penelitian Hukum. (Jakarta: PUAJ, 2007), h. 29

Page 31: KEWENANGAN LEMBAGA PENEGAK HUKUM DALAM …

16

Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 Tentang

Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme.

3. Sumber Data

Sumber data penelitian hukum dapat dibedakan menjadi sumber

penelitian yang berupa data primer, data sekunder, dan data tersier. 24

Adapun sumber data yang diperlukan dalam penelitian ini adalah:

a. Data Primer

Bahan primer merupakan bahan yang diperoleh dari kajian

kepustakaan dengan cara membaca, mencatat serta mengkaji bahan-

bahan yang penulis pergunakan dalam penulisan hukum ini adalah:

1) Al-Qur’an dan Al-Hadits

2) Fatwa Majelis Ulama Indonesia Nomor 3 Tahun 2004 Tentang

Terorisme

3) Salinan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2018 Tentang

Terorisme Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 15 Tahun

2003 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme,

4) Salinan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP)

5) Salinan Peraturan Presiden Nomor 46 Tahun 2010 Tentang

Badan Nasional Penanggulangan Terorisme

6) Salinan Peraturan Pemerintah Nomor 77 Tahun 2019 Tentang

Pencegahan Tindak Pidana Terorisme Dan Perlindungan

Terhadap Penyidik, Penuntut Umum, Hakim, Dan Petugas

Kemasyarakatan

7) Salinan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia

(UUD) 1945

8) Salinan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 Tentang

Kepolisian

24 Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, (Jakarta: Kencana Prenada media Group,

2008), h. 141

Page 32: KEWENANGAN LEMBAGA PENEGAK HUKUM DALAM …

17

9) Salinan Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 Tentang

Tentara Nasional Indonesia

10) Hukum Islam

11) Teori-teori kepastian hukum

b. Data Sekunder

Data sekunder merupakan bahan yang dapat menjadi penunjang

bahan primer, seperti buku-buku, jurnal dan Karya Ilmiah lainnya yang

berhubungan dengan judul penelitian yang dilakukan.

c. Data Tersier

Data tersier yang penulis pergunakan dalam hasil penulisan

penelitian ini meliputi:

1) Kamus Hukum.

2) Media Internet.

4. Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data yang akan diambil oleh penulis didalam

penulisan penelitian ini adalah teknik studi kepustakaan (library

research), 25 yaitu: Teknik pengumpulan data dengan membaca,

mempelajari dan mencatat buku-buku, literatur, catatan-catatan, peraturan

perundang-undangan, serta artikel-artikel penting dari media internet yang

erat kaitannya dengan pokok-pokok masalah yang digunakan untuk

menyusun penulisan penelitian ini yang kemudian dikategorisasikan

menurut pengelompokan yang tepat.

5. Teknik Analisis Data

Analisis data menggunakan metode deskriptif, kualitatif dan komparatif

dengan menggunakan pendekatan undang-undang dan pendekatan kasus

serta menafsirkan data berdasarkan teori sekaligus mencari jawaban

atastopik permasalahan dalam karya ilmiah ini.

25 Fahmi Muhammad Ahmadi, Jaenal Aripin, Metode Penelitian Hukum, (Lembaga

Penelitian UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2010). Cet 1, h. 10

Page 33: KEWENANGAN LEMBAGA PENEGAK HUKUM DALAM …

18

6. Tehnik Penulisan

Tehnik penulisan dan pedoman yang digunakan oleh Penulis dalam

skripsi ini disesuaikan dengan kaidah-kaidah penulisan karya ilmiah pada

buku “Pedoman Penulisan Skripsi Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif

Hidayatullah Jakarta 2017”.

F. Sistematika pembahasan

Sebagaimana layaknya sebuah karya ilmiah hasil penelitian dalam

skripsi, penulisan skripsi ini terbagi atas lima bab, untuk mendapatkan

gambaran yang jelas dan untuk mempermudah dalam pembahasan maka

uraian skripsi ini dimulai dengan menjelaskan prosedur standar suatu

penelitian dalam bentuk skripsi, berikut sistematika penulisan skripsi ini :

BAB I Membahas dan menjelaskan latar belakang masalah mengapa

penelitian ini dilakukan, kemudian identifikasi, pembatasan dan

perumusahan masalah. Di samping itu, tentu saja penulis juga menjelaskan

apa tujuan dan manfaat penelitian, serta menentukan metode apa yang

digunakan untuk penelitian.

BAB II Tinjauan umum kepada pembaca tentang lembaga penegak

hukum disertai pengertiannya,kewenangan atau hak yang dimiliki sebuah

lembaga, setelah itu,maka penulis memaparkan hal-hal yang bersifat

mendalam berkaitan dengan teorikepastian hukum yang terkandung dalam

permasalahan terkait isu kewenagan penanggulangan terorisme tersebut dan

dilanjutkan denganteori hukum Islam yaitu Fiqh Siyasah dan fiqh Jinayah,

lalu terkait hal-hal yang berkaitan dengan kewenangan dalam sistem

pemerintahan diteruskan dengan pengenalan lebih lanjut terkait terorisme.

BAB III Menguraikan hal-hal yang bersifat exsplisit tentang lembaga-

lambaga penegak hukum yang terkait seperti Polri, TNI dan BNPT dengan

merujuk kepada undang-undang membahas lebih lanjut hal-hal yang

berkaitankewenangan dan cara kerja lembaga terkait dalam

penanggulanagan terorisme, Penulis menguraikan hal-hal yang bersifat

umum secara terperinci terdiri atas pengertian, fungsi, peran dan mekanisme

Page 34: KEWENANGAN LEMBAGA PENEGAK HUKUM DALAM …

19

penanganan terorisme oleh lembaga-lembaga penegak hukum berserta

kewenangannya dengan merujuk kepada undang-undang.

BAB IV Penulis melakukan analisis terhadap sistem dan cara kerja

serta hak kewenangan sebuah lembaga negara dalam menangani tindak

pidana terorisme dan bagaimana kepastian hukum yang berkaitan dengan

permasalahannya, didalam bab ini menganalisa siapakah yang milik

kewenagan dalam penanganan dan penaggulangan tindak pidanan

terorisme, dengan persepektif hukum positif didukung dengan pendapat

para pakar-pakar ahli terkait dalam permasalahan ini.

BAB V Penulis memaparkan hasil-hasil penelitian yang sudah

dilakukan sebagaimana tergambar dalam skripsi ini dan kemudian diakhiri

dengan rekomendasi dari penulis tentang pandangan yang relevan untuk

perbaikan dari apa yang sudah ada sekarang ini.

Page 35: KEWENANGAN LEMBAGA PENEGAK HUKUM DALAM …

20

BAB II

TINJAUAN UMUM TENTANG LEMBAGA PENEGAK HUKUM DAN

TERORISME

A. Pengertian Lembaga Penegak Hukum

Kalau kita berbicara tentang hukum, hukum pada umumnya

dimaksudadalah keseluruhan kumpulan peraturan-peraturan atau kaedah-kaedah

dalam suatu kehidupan bersama, keseluruhan peraturan tentang tingkah laku

yang berlaku dalam suatu kehidupan bersama, yang dapat dipaksakan

pelaksanaannya dengan suatu sanksi. 26 Hukum adalah himpunan peraturan-

peraturan (perintah dan larangan-larangan) yang mengurus tata tertib suatu

masyarakat dan karena itu harus ditaati oleh masyarakat itu. 27 S.M. Amin

menyebut hukum harus dirumuskan sebaai berikut: “kumpulan peraturan-

peraturan yang terdiri dari norma dan sanksi-sanksi itu disebut hukum, dan

tujuan hukum itu adalah mengadakan ketatatertiban dalam pergaulan manusia,

sehingga keamanan dan ketertiban terpelihara”.

Hukum ialah peraturan-peraturan yang bersifat memaksa, yang menentukan

tingkah laku manusia dalam lingkungan masyarakat yang dibuat oleh badan-

badan resmi yang berwajib. Tirtaamijaya menyebut hukum ialah semua aturan

(norma) yang harus dituruti dalam tingkah laku tindakan-tindakan pergaulan

hidup, dengan ancaman mesti mengganti kerugian. jika melanggar aturan-aturan

itu akan membahayakan diri sendiri atau harta, umpamanya orang akan

kehilangan kemerdekaan, didenda dan sebagainya.28

Hukum adalah seperangkat norma atau kaidah yang berfungsi mengatur

tingkah laku manusia dengan tujuan untuk ketentraman dan kedamaian didalam

masyarakat. Dengan kata lain hukum merupakan serangkaian aturan yang berisi

26 Sudikno Mertokusumo, Mengenal Hukum Suatu Pengantar, (Yogyakarta : Liberty,

2007), h. 40 27 (E. Utrecht dalam Kansil, 2000:9) 28 CST.Kansil, 2000:11-12

Page 36: KEWENANGAN LEMBAGA PENEGAK HUKUM DALAM …

21

perintah ataupun larangan yang sifatnya memaksa demi terciptanya suatu

kondisi yang aman, tertib, damai dan tentram, serta terdapat sanksi bagi siapapun

yang melanggarnya. Tujuan dari hukum mempunyai sifat universal seperti

ketertiban, ketentraman, kedamaian, kesejahtraan dan kebahagiaan dalam tata

kehidupan bermasyarakat.

Dasar filosofis dibentuknya aturan hukum, selain untuk mengatur dan

menertibkan masyarakat, yang paling penting adalah memberikan rasa keadilan

bagi masyarakat,29sebagaimana dalam Al-Quran surat An-Nisa ayat 58:

حكمتم بين ٱلناس أن تحكموا بٱلعدل وإذا

Artinya : “ …….dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara

manusia supaya menetapkan dengan adil”.

Budiman Tanuredja bahkan menggambarkan betapa manusia lemah harus

berhadapan dengan praktik penegakan hukum yang karut-marut, yang

sekedarnya mencari kebenaran formal, bukan kebenaran substansial. Akibatnya

rakyat yang buta hukum harus berhadapan dengan penegak hukum yang sangat

fasihberbicara soal pasal dan punya sifat untuk memanfaatkan mereka yang

lemah.30

Kedudukan hukum di Indonesia memang strategis, sebab norma-norma ini

yang menentukan eksistensi indonesia sebagai negara hukum. Negara hukum

menjadi cermin masyarakat yang idealnya menginginkan kehidupan yang serba

teratur, tertib, dan saling menjaga tegaknya masing-masing hak, di antara sesama

anggota masyarakat.

Tujuan hukum adalah memenuhi adanya hukum, hukum pada manusia agar

mengerti untuk akan ketidaktahuannya, bahwa ia ada demi keberadaannya,

yakni manusia yang berkemanusiaan bersanding dengan hidup atas kehidupan

29 Umar Sholahudin, Hukum dan Keadilan Masyarakat, Malang: Setara Press, 2011, h. 64 30 Aloysius Soni BL de Rosari (Ed.), Elegi Penegakan Hukum, (Jakarta : Kompas Media

Nusantara, 2010), h. 11-12

Page 37: KEWENANGAN LEMBAGA PENEGAK HUKUM DALAM …

22

untuk membedakan ataupun menyamakan dualisme yang satu, yang senantiasa

beriringan, yakni antara tahu dan tidak tahu, dalam ide dan materi yang

diterjemahkan oleh akal budinya, yang ide ataupun materi itu sendiri sedianya

ada dan tertuang dalam sikap tindak yang merupakan peleburan antara ide dan

materi, antara jiwa dengan fisik, yang tampak akan kemanusiaannya dan

beriringan dengan kehidupannya. Hal ini yang umumnya dikatakan sebagai

“selaras, seimbang ataupun serasi”.31

Proses hukum baru saja menyelesaikan satu tahap dari suatu perjalanan

panjang untuk mengatur masyarakat. Tahap perbuatan hukum masih harus

disusul oleh pelaksanaannya secara konkrit dalam kehidupan masyarakat sehari-

hari. Inilah yang dimaksud dengan penagakan hukum.32Secara konsepsional, inti

dan arti penegakan hukum terletak pada kegiatan menyeserasikan hubungan

nilai-nilai yang terjabarkan di dalam kaidah-kaidah yang mantab dan

mengejawantah sikap tindak sebagai rangkaian pejabaran nilai tahap akhir,

untuk menciptakan, memelihara, dan mempertahankan kedamaian pergaulan

hidup. 33 Konsepsi yang mempunyai dasar filisofis tersebut, memerlukan

penjelasan lebih lanjut, sehingga tampak lebih konkret.

Melalui produk hukum yang diberlakukan yang kemudian menjadi hukum

positif, negara punya kewajiban untuk melindungi harkat dan martabat manusia.

Hak-hak manusia, seperti hak bebas dari ketakutan, hak untuk dilindungi jiwa

dan nyawanya, dan hak-hak lainnya menjadi tanggung jawab negara untuk

menghormatinya. Bentuk penghormatan dan perlindungan terhadap setiap

perbuatan yang dikategorikan kejahatan. Salah satu jenis kejahatan yang secara

istimewa harus menjadi objek penegak hukum adalah kejahatan terorisme.

Penegakan hukum menjadi tugas dan tanggung jawab masyarakat, dan

lembaga-lembaga peradilan yang terdiri dari kepolisian, kejaksaan, pengadilan

31Erwin, Muhammad, Filsafat Hukum Refleksi kritis Terhadap Hukum (Jakarta : Rajawali

Pres, 2011), h. 120 32Rahardjo, Satjipto, Ilmu Hukum, (Bandung : Citra Aditya Bakti, 2000), h. 181 33Soerjono Soekanto, Faktor - Faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum, (Depok :

Raja Grafindo, 1983), h. 5

Page 38: KEWENANGAN LEMBAGA PENEGAK HUKUM DALAM …

23

serta lembaga-lembaga advokasi yang turut andil berperan. Penegakan hukum

tersebut akan menentukan citra dan jati diri negara hukum. Sedangkan negara

hukum terkait erat dengan negara demokrasi, karena kedua bentuk negara ini

sama-sama punya kewajiban menempatkan rakyat sebagai subjek yang harus

dilindungi. Bentuk perlindungan yang ditunjukan berupa penegakan hukum (law

enforcement).

Negara hukum tidak bisa dilepaskan dari pengertian negara demokratis.

Hukum yang adil hanya ada dan bisa ditegakkan di negara demokratis. Dalam

negara demokrasi, hukum diangkat, dan merupakan respon dari aspirasi rakyat.

Oleh sebab itu hukum dari rakyat oleh rakyat dan untuk rakyat.34Terwujudnya

penegakan hukum yang adil dan menjamin kepastian hukum, merupakan

harapan seluruh warga masyarakat yang memiliki rasa keadilan dan telah lama

mengharapkan instansi/lembaga-lembaga terkait untuk berperan aktif dengan

menjunjung tinggi rasa keadilan masyarakat

Bagian yang sangat penting dalam pelaksanaan penegakan hukum adalah

peranan dari para penegak hukum untuk mencermati kasus dengan segala

kaitannya, termasuk pihak-pihak yang terlibat dalam suatu kasus. Upaya tersebut

membutuhkan suatu kecermatan yang terkait pula dengan ketentutan perundang-

undangan yang dilanggarnya. Apakah memang ada tindakan yang

dikualifikasikan melanggar peraturan perundang-undangan tertentu dan kalau

benar sejauh mana. Dalam pelaksanaan tersebut tentunya harus dilakukan

penafsiran/interpretasi yang cukup mendalam dan karenanya diperlukan adanya

dedikasi, kejujuran dan kinerja yang tinggi.

Ada berbagai penafsiran guna mendukung terwujudnya rasa keadilan

masyarakat antara lain penafsiran gramatikal, penafsiran historis, penafsiran

filosofis dan sebagainya. Dalam pelaksanaannya aparatur penegak hukum lebih

34Adnan Buyung Nasution dan M Chaidir Ali, Von Savigny dalam Purnadi Purbacaraka

1986, h. 18-24

Page 39: KEWENANGAN LEMBAGA PENEGAK HUKUM DALAM …

24

bertumpu pada penafsiran gramatikal/letterlijk. Dengan mengacu pada rumusan

peraturan perundang-undangan yang ada.

Soetjipto Raharjo dalam makalah mengenai rekonstruksi pemikiran hukum

di era reformasi, halaman 15 sampai dengan 17 mengemukakan komentarnya

ketika membicarakan konsep dari Charles Sampfort sebagai berikut : Sampfort

bertolak dari basis sosial dan hukum yang penuh dengan hubungan yang bersifat

asimetris. Inilah ciri-ciri khas dari sekalian hubungan sosial. Hubungan-

hubungan sosial itu dipersepsikan berbeda oleh berbagai pihak. Dengan

demikian apa yang tampak di permukaan, sebenarnya penuh dengan

ketidakpastian yang disebabkan hubungan-hubungan dalam masyarakat

bertumpu pada hubungan antar kekuatan. hubungan antar kekuatan ini tidak

selalu tercermin dalam hubungan formal dalam masyarakat, maka terdapat

kesenjangan antara hubungan formal dan hubungan nyata yang didasarkan pada

kekuatan. Ini yang menyebabkan ketidakteraturan.

Dengan memperhatikan uraian diatas kecermatan semua pihak yang terkait

dalam upaya penegakan hukum atau law inforcement menjadi sangat penting.

Kecermatan tersebut akan berpengaruh pada terwujudnya responsibilitas dan

akuntabilitas peradilan dalam meningkatkan pelayanan kepada masyarakat yang

lebih manusiawi, bermartabat dan berkeadilan.

B. Teori Checks and Balances

Kata “checks” dalam checks and Balances berarti suatu pengontrolan yang

satu dengan yang lain, agar suatu pemegang kekuasaan tidak berbuat sebebas-

bebasnya yang dapat menimbulkan kesewenang-wenangan. Adapun “balances”

merupakan suatu keseimbangan kekuasaan agar masing-masing pemegang

kekuasaan tidak cenderung terlalu kuat (konsentrasi kekuasaan) sehingga

menimbulkan tirani.

Istilah checks and balances berdasarkan kamus hukum Black’s Law

Dictionary karanagan Bryan A Garner, diartikan sebagai “arrangement of

governmental powers where by powersof one governmental branch check or

Page 40: KEWENANGAN LEMBAGA PENEGAK HUKUM DALAM …

25

balance those of other brances”. Berdasarkan pengertian ini, dapat disimpulkan

bahwa checks and balances merupakan suatu prinsip saling mengimbangi dan

mengawasi antar cabang kekuasaan satu dengan yang lain. Tujuan konsepsi

checks and balances adalah untuk menghindari adanya konsentrasi kekuasaan

pada satu cabang kekuasaan tertentu.

Arti checks and balance itu sendiri adalah saling control dan seimbang,

maksudnya adalah antara lembaga negara harus saling mengontrol kekuasaan

satu dengan kekuasaan yang lainnya agar tidak melampaui batas kekuasaan yang

seharusnya dan saling menjatuhkan. Hal ini sangat penting agar terciptanya

kestabilan pemerintahan didalam negara atau tidak terjadi percampuran antar

kekuasaan dan kesewenang-wenangan terhadap kekuasaan. 35 Mekanisme

checks and balances dalam suatu negara demokrasi merupakan hal yang wajar,

bahkan sangat diperlukan, hal itu untuk menghindari penyalahgunaan kekuasaan

oleh seseorang ataupun sebuah institusi, karena dengan mekanisme seperti ini,

antara institusi yang satu dengan yang lain akan bisa saling mengontrol atau

mengawasi, bahkan bisa salin mengisi.36

Masalah pembagian atau pemisahan kekuasaan telah lama menjadi

perhatian dari para pemikir kenegaraan. Pada abad 19 muncul gagasan tentang

pembatasan kekuasaan pemerintah melalui pembuatan konstitusi, baik secara

tertulis maupun tidak tertulis, selanjudnya tertuang dalam apa yang disebut

konstitusi. Konstitusi tersebut membuat batas-batas kekuasaan pemerintah dan

jaminan hak-hak politik masyarakat, serta prinsip checks and balances antar

kekuasaan yang ada.

Checks and balances merupakan prinsip pemerintahan presidensial yang

paling mendasar dimana dalam negara yang menganut sistem presidensial

merupakan prinsip pokok agar pemerintahan dapat berjalan dengan stabil.

Didalam prinsip checks and balances terdapat dua unsur yaitu unsur aturan dan

35https://www.mkri.id/index.php?page=web.Berita&id=7834#:~:text=Checks%20and%20

balances%20adalah%20saling,30$2F11)%20siang%20di%20Mahkamah 36 Afan Gaffar, Transisi Menuju Demokrasi, (Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2006), h. 89

Page 41: KEWENANGAN LEMBAGA PENEGAK HUKUM DALAM …

26

unsur pihak-pihak yang berwenang. Untuk unsur aturan sudah diatur didalam

undang-undang dasar negara republik Indonesia Tahun 1945 dan Undang-

Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Penyelengggaraan Pemerintahan,

dimana dalam unsur aturan didalam pemerintahan di Indonesia dinilai cukup

baik namun dalam pelaksanaannya belum optimal, hal ini disebabkan karena

adanya pihak-pihak yang tidak professional dalam menjalankan dan

melaksanakan wewenangnya.

Indonesia setelah perubahan UUD1945 menganut prinsip checks and

balances. Prinsip ini dinyatakan secara tegas oleh MPR sebagai salah satu tujuan

perubahan UUD 1945, yaitu menyempurnakan aturan dasar penyelenggaraan

negara secara demokratis dan modern, melalui pembagian kekuasaan, sistem

saling mengawasi dan saling mengimbangi (checks and balances) yang lebih

ketat dan transparan.37 Suatu pendapat menyatakan bahwa salah satu tujuan

perubahan UUD 1945 adalah untuk menyempurnakan aturan dasar

penyelenggaraan negara secara demokratis dan modern, antara lain melalui

pembagian kekuasaan yang lebih tegas, sistem saling mengawasi dan saling

mengimbangi (checks and balances) yang lebih ketat dan transparan, serta

pembentukan lembaga-lembaga negara yang baru untuk mengakomodasi

perkembangan kebutuhan bangsa dan tantangan zaman.38

C. Teori Kewenangan

Kewenangan atau wewenang adalah kekuasaan hukum serta hak untuk

memerintah atau bertindak. Dalam literatur ilmu politik, ilmu pemerintahan, dan

ilmu hukum, sering ditemukan istilah kewenangan, kekuasaan dan wewenang.

Kekuasaan sering disamakan begitu saja dengan kewenangan, dan kekuasaan

sering dipertukarkan dengan istilah kewenangan, demikian juga sebaliknya.

Bahkan kewenangan sendiri disamakan juga dengan wewenang. kekuasaan

37 Hamdan Zoelva, Pemakzulan Presiden di Indonesia, Jakarta : Sinar Grafika, 2011, h. 64 38 Pataniari Siahaan, Politik Hukum Pembentukan Undang-Undang Pasca Amandemen

UUD 1945, (Jakarta : Konstitusi Press, 2012), h. 264

Page 42: KEWENANGAN LEMBAGA PENEGAK HUKUM DALAM …

27

biasanya berbentuk hubungan dalam arti bahwa “ada satu pihak yang

memerintah dan pihak lain yang diperintah” (the rule and the ruled).39

Kewenangan adalah apa yang disebut dengan kekuasaan formal, kekuasaan

yang asalnya diberikan oleh undang-undang. Sedangkan wewenang hanya

mengenai sesuatu bagian tertentu saja dari kewenangan. Didalam

kewenanganterdapat wewenang-wewenang (rechtsbe voegdheden). Wewenang

merupakan lingkup tindakan hukum publik, lingkup wewenang pemerintahan,

tidak hanya meliputi wewenang membuat keputusan bestuur (pemerintah),

tetapi meliputi wewenang dalam rangka pelaksanaan tugas, dan memberikan

wewenang serta distribusi wewenang utamanya ditetapkan dalam peraturan

perundang-undangan. Secara yuridis, pengertian wewenang adalah kemampuan

yang diberikan oleh peraturan perundang-undangan untuk menimbulkan akibat-

akibat hukum.40

Kewenangan atau Authority memiliki pengertian yang berbeda dengan

wewenang atau competence. Kewenangan merupakan kekuasaan formal yang

berasal dari undang-undang, sedangkan wewenang itu sendiri yaitu suatu

spesifikasi dari kewenangan yang artinya barang siapa disini adalah subyek

hukum yang diberikan kewenangan oleh undang-undang, maka subyek hukum

berwenang untuk melakukan sesuatu tersebut dalam kewenangan karena

perintah undang-undang.

Dalam buku Hukum Administrasi Negara karya Ridwan H.R, halaman 101-

102 beliau menjelaskan bahwa seiring dengan pilar utama negara hukum, yaitu

asas legalitas, maka berdasarkan prinsip ini peraturan perundang-undangan,

artinya sumber wewenang bagi pemerintah adalah peraturan perundang-

undangan. Secara teoritik, kewenangan yang bersumber dari peraturan

39 Miriam Budiarjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, (Jakarta : Gramedia Pustaka Utama, 1998),

h. 35-36 40 Indroharto, Asas-Asas Umum Pemerintahan yang Baik, dalam Paulus Efendie lotulung,

Himpunan Makalah Asas-Asas Umum Pemerintahan Yang Baik, (Bandung : Citra Aditya Bakti,

1994), h. 65

Page 43: KEWENANGAN LEMBAGA PENEGAK HUKUM DALAM …

28

perundang-undangan tersebut diperoleh melalui tiga cara, sebagaimana yang

didefinisikan oleh H.D Van Wijk/ Willem Konijnenbelt, sebagai berikut :

1. Atribusi

Atribusi adalah pemberian wewenang pemerintahan oleh pembuat

undang-undang kepada organ pemerintahan. Dengan kata lain organ

pemerintahan memperoleh kewenangan secara langsung dari redaksi pasal

tertentu dalam peraturan perundang-undangan. Dalam hal atribusi,

penerimaan wewenang dapat menciptakan wewenang baru atau

memperluas wewenang yang sudah ada.

2. Delegasi

Delegasi adalah pelimpahan wewenang pemerintah dalam satu organ

pemerintah kepada organ pemerintahan lainnya. Pada delegasi tidak ada

penciptaan wewenang, yang ada hanya pelimpahan wewenang dari pejabat

yang satu kepada pejabat lainnya. Tanggung jawab yuridis tidak lagi berada

pada pemberi delegasi, tetapi beralih kepada penerima delegasi.

3. Mandat

Mandat adalah ketika organ pemerintah mengizinkan kewenangannya

dijalankan oleh organ lain atas namanya. Penerima mandat hanya bertindak

untuk dan atas nama pemberi mandat, tanggung jawab akhir keputusan yang

diambil penerima mandat tetap berada pada pemberi mandat.41

Philipus M. Hadjon mengutip pendapat N. M. Spelt dan Ten Berge, membagi

kewenangan bebas dalam dua kategori yaitu kebebasan kebijaksanaan

(beleidsvrijheid) dan kebebasan penilaian (beoordelingsverijheid) yang

selanjudnya disimpulkan bahwa ada dua jenis kekuasaan bebas yaitu : pertama,

kewenangan untuk memutuskan mandiri;kedua, kewenangan interpretasi

terhadap norma-norma tersamar (verge norm).42

41 H.R Ridwan, Hukum Administrasi Negara, (Jakarta : RajaGrafindo Persada, 2006), h.

101-102 42 Philipus M. Hadjon, op.cit, h. 112

Page 44: KEWENANGAN LEMBAGA PENEGAK HUKUM DALAM …

29

D. Terorisme Dalam Pandangan Peraturan Perundang-Undangan dan

Hukum Islam

Kata “teroris” (pelaku) dan terorisme (aksi) berasal dari kata latin ‘terrere’

yang kurang lebih berarti membuat gemetar atau mengetarkan. Kata ‘Teror’ juga

bisa menimbulkan kengerian. Tentu saja, kengerian dihati dan pikiran

korbannya. Akan tetapi, hingga kini tidak ada definisi terorisme yang bisa

diterima secara universal. Pada dasarnya, istilah “terorisme” merupakan sebuah

konsep yang memiliki konotasi yang sangat sensitif karena terorisme

menyebabkan terjadinya pembunuhan dan penyengsaraan terhadap orang-orang

yang tidak berdosa.

Terorisme pada pasal 1 ayat 2 Undang-Undang Terorisme Nomor 5 Tahun

2018, dijelaskan, bahwa terorisme adalah perbuatan yang menggunakan

kekeraan atauancaman kekerasan yang menimbulkan suasana teror dan rasa

takut secara meluas, yang dapat menimbukan korban yang bersifat masal,

dan/atau menimbulkan kerusakan atau kehancuran terhadap objek vital strategis,

lingkungan hidup, fasilitas publik atau fasilitas internasional dengan motif

ideologi, politik atau gangguan kekacauan.43

Kekerasan atau ancaman kekerasan yang dimaksud adalah perbuatan

penyalahgunaan kekuatan fisik dengan melawan hukum dan menimbulkan

bahaya bagi badan, nyawa dan kemerdekaan orang, termasuk menjadikan orang

pingsan atau tidak berdaya dan, perbuatan secara melawan hukum berupa

ucapan, tulisan, gambar, simbol, atau gerak tubuh, baik dengan maupun tanpa

menggunakan sarana dalam bentuk elektronik atau non-elektronik yang dapat

menimbulkan rasa takut terhadap orang atau masyarakat secara luas atau

mengekang kebebasan hakiki seseorang atau masyarakat.44

Ada yang mengatakan, seseorang bisa disebut sebagai teroris sekaligus juga

sebagai pejuang kebebasan. Hal itu tergantung dari sisi mana memandangnya.

43 Pasal 1 ayat 2 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2018 Tentang Terorisme 44 Pasal 3 dan 4 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2018 Tentang Terorisme

Page 45: KEWENANGAN LEMBAGA PENEGAK HUKUM DALAM …

30

Itulah sebabnya, hingga saat ini tidak ada definisi terorisme yang diterima secara

universal. Masing-masing negara mendefinisikan terorisme menurut

kepentingan dan keyakinan mereka sendiri untuk mendukung kepentingan

nasionalnya.

Salah satu pertanyan yang menghantui banyak akademisi dan pengambil

kebijakan dewasa ini adalah mengapa aspirasi politik di era kontemporer

sekarang ini sering kali muncul dalam bentuk kekerasan, paham radikal dan

bahkan tidak jarang berubah menjadi tindakan terorisme ?, pertanyaan tersebut

sekaligus memberi penjelasan tentang tindakan terorisme dengan memaparkan

faktor-faktor yang melatarbelakanginya dan membuat profil. Fenomena

terorisme yang mengatasnamakan agama tidak berarti ia muncul karena ajaran

agama tersebut.

Untuk lebih jelasnya mengenai perkembangan ancaman dan berbagai

macam kasus-kasus tindak pidana terorisme di Indonesia dapat dilihat pada tabel

berikut :

Tabel 1. Kasus-kasus tindak pidana terorisme di Indonesia

NO TAHUN TEMPAT KORBAN

1 4 Oktober 1984 BCA Pacenongan, Glodok dan Gajah Mada.

2 Orang tewas

2 Desember 1984 Gedung Seminari

Alkitab Asia Tenggara

Malang, Jawa Timur.

-

3 20 Januari 1984 Candi Borobudur -

4 16 Maret 1985 Bus Pemudi Ekspres di

Banyuwangi Jawa

Timur

-

5 13September1991 Mranggen, Demak, Jawa Tengah

-

6 18 Januari 1998 Rumah Susun, tanah tinggi Jakarta

-

7 11 Desember. 1998 Atrium Plaza Senen,

Jakarta Pusat -

8 Januari 1999 Ramayana, Jl. Sabang, Jakarta

-

Page 46: KEWENANGAN LEMBAGA PENEGAK HUKUM DALAM …

31

9 April 1999 Plaza Hayam Wuruk -

10 19 April 1999 Masjid Istiqlal 2 Orang Luka

11 20 Oktober 1999 Depan Balai Sidang

Senayan dan Bundaran

HI

1 Orang Tewas, 15 Luka-

luka

12 28 Mei 2000 Gereja Kristen Protestan dan Gereja Katolik, Medan

23 Orang Luka-luka

13 4 Juli 2000 Gedung Bundaran Kejagung

-

14 4 Juli 2000 Kejaksaaan Agung,

Jakarta Selatan -

15 3 Agustus 2000 Kediaman Dubes Filipina, Jakarta Pusat

2 Orang Tewas, 21 Orang

Luka-luka

16 27 Agustus 2000 Depan Dubes Malaysia -

17 13September2000 Gedung Bursa Efek Jakarta

10 Orang Tewas, 90 Orang Luka-luka

18 24Desember2000 Gereja-gereja Jakarta 17 Orang Tewas, 100

Orang Luka-luka

19 18 April 2001 Tiga Boks Telpon

Umum di Jalan

Percetakan Negara,

Jakarta Pusat

-

20 10 Mei 2001 Asrama Mahasiswa Aceh, Manggarai, Jakarta Pusat

-

21 19 Juni 2001 Rumah Kontrakan,

Pancoran, Jakarta

Selatan

5 Orang Luka-luka

22 4 Juli 2001 Kejaksaan Agung -

23 11 Juli 2001 Jembatan Fly Over Slipi, Jakarta Barat

1 Orang Tewas, 13 Orang

Luka-luka

24 22 Juli 2001 Gereja Santa Anna,

Duren Sawit, Gereja

HKBP, Cipinang,

Melayu, Jakarta

5 Orang Tewas, 72 Orang

Luka-luka

25 1 Agutus 2001 Plaza Atrium Senen,

Jakarta Pusat 6 Orang Luka-luka

26 12 Oktober 2001 KFC Makassar -

27 6 November 2001 Sekolah Australia

(AIS) Jakarta -

28 1 Januari 2002 Rumah Makan Ayam

Bulungan, Kebayoran

-

Page 47: KEWENANGAN LEMBAGA PENEGAK HUKUM DALAM …

32

Baru, Jakarta

29 4 April 2002 Hotel Amborina dan

Pembakaran Kantor

Gubernur Maluku

4 Orang Tewas, 47 Orang

Luka-luka

30 9 Juni 2002 Tempat Parkir Hotel

Jakarta, Diskotik Eksotis kota

4 Orang Luka-luka

31 1 Juli 2002 Mal Graha Cijantung,

Jakarta

7 Orang Luka-luka

32 12 Oktober 2002 Bom Bali I 202 Orang Tewas,

Ratusan Lainnya Luka-

luka

33 5 Desember 2002 Mcdonald, Makassar 3 Orang Tewas

34 3 Februari 2003 Wisma Bhayangkara -

35 27 April 2003 Terminal Bandara Soekarno-Hatta

2 Orang Luka-luka

36 5 Agutus 2003 Hotel JW Marriot,

Jakarta

12 Orang Tewas, 150

Orang Luka-luka

37 10 Januari 2004 Lokasi Karaoke, Kafe

Sampodo, Palopo,

Sulawesi

4 Orang Tewas

38 9 September 2004 Kedutaan Australia,

Jakarta

10 Orang Tewas,100

Orang Luka-luka

39 13 November2004 Kantor Polisi Kendari,

Sulawesi

5 Orang Tewas, 4 Orang

Luka-luka

40 12 Desember2004 Gereja Immanuel Palu -

41 21 Maret 2005 Ambon -

42 28 Mei 2005 Pasar Tentena, Sulawesi 22 Orang Tewas, 90 Orang Luka-luka

43 8 Juni 2005 Pamulang, Tangerang -

44 1 Oktober 2005 Bom Bali II 20 Orang Tewas, 129

Orang Luka-luka

45 31Desember 2005 Pasar Palu, Sulawesi 8 Orang Tewas, 48 Orang

Luka-luka

46 17 Juli 2009 Hotel JW Marriot, Ritz

Carlton, Jakarta

9 Orang Tewas, 41 Orang Luka-luka

46 15 Maret 2011 Masjid Mapolresta Cirebon

25 Orang Tewas

47 25 September 2011 GBIS Kepunton, Solo, Jawa Tengah

1 Orang Tewas, 28 OrangLuka-Luka

48 9 Juni 2013 Masjid Mapolres Poso, 1 Orang Tewas, 1 Orang

Page 48: KEWENANGAN LEMBAGA PENEGAK HUKUM DALAM …

33

Sulawesi Tengah Luka-Luka

49 14 Januari 2016 di sekitar Plaza Sarinah -

50 24 Mei 2017 Kampung Melayu45 3 Orang Tewas, 14 Orang Luka-Luka

51 13-14 Mei 2018 di tiga gereja di Surabaya, Jawa Timur. Pada malam harinya, sebuah bom meledak di Rusunawa Wonocolo, Sidoarjo, Jawa Timur. Keesokan harinya, sebuah bom meledak di Mapolrestabes Surabaya, Jawa Timur46

15 Orang Tewas, Puluhan Orang Luka-Luka

52 10 Oktober 2019 Menkopolhukam Wiranto ditusuk oleh penyerang menggunakan kunai saat kunjungan kerja di Pandeglang, Banten47

-

53 13 November 2019 Markas Polrestabes Medan di Jalan HM Said, Kota Medan, Sumatera Utara48

1 Orang Tewas, 6 Orang Luka-Luka

Hingga saat ini, definisi terorisme masih menjadi perdebatan meskipun

sudah ada ahli yang merumuskan. Amerika Serikat sendiri yang pertama kali

mendeklarasikan “perang melawan teroris” belum memberikan definisi yang

gamblang dan jelas sehingga semua orang bisa memahami makna sesungguhnya

tanpa dilanda keraguan, tidak merasa diskriminasi serta dimarjinalkan.

Kejelasan definisi ini diperlukan banyak pihak, disamping demi kepentingan

45 Mardenis, Pemberantasan Terorisme Politik Internasional dan Politik Hukum Nasional

Indonesia, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2011), h. 130 46 https://www.bbc.com/indonesia/indonesia44097913#:~:text=Bom%20meledak%20di%

20tiga%20gereja,kata%20seorang%20pejabat%20polisi%20setempat. diakses 21 Oktober 2020 47 https://news.detik.com/berita/d-4740919/kronologi-penusukan-wiranto-di-pandeglang.

diakses 21 Oktober 2020 48 https://nasional.kompas.com/read/2019/11/13/12054511/kronologi-ledakan-bom-

bunuh-diri-di-polrestabes-medan?page=all. diakses 21 Oktober 2020

Page 49: KEWENANGAN LEMBAGA PENEGAK HUKUM DALAM …

34

atau target meresponsi hak asasi manusia (HAM) yang seharusnya wajib

dihormati oleh semua orang beradab.

Memang tidak bisa disalahkan jika kata terorisme dikaitkan dengan

persoalan pelanggaran hak asasi manusia (HAM), karena akibat terorisme,

banyak kepentingan umat manusia yang dikorbankan, rakyat yang tidak bersalah

dijadikan ongkos kebiadaban, dan kedamaian hidup antar umat manusia jelas-

jelas dipertaruhkan. Namun demikian, komunitas sosial keagamaan yang

mengenalkan bentuk implementasi keagamanyang dikenal sebagai bagian dari

strategi perjuangan. Strategi perjuangan ini dipopulerkan dalam kategori

“jihad”.49 meskipun dengan menggunakan kategori “jihad”, tetapi jika manusia

yang tidak berdosa menjadi korban dan kepentingan publik menjadi rusak

berantakan, serta negara dilanda disharmonisasi nasional, maka kategori “jihad”

itu patut dipertanyakan.50

Ketiadaan definisi hukum internasional mengenai terorisme tidak berarti

meniadakan definisi hukum tentang terorisme itu. Menurut hukum nasional

masing-masing negara-negara, disamping bukan berarti meniadakan sifat jahat

perbuatan itu dan dengan demikian lantas bisa diartikan bahwa pelaku terorisme

bebas dari tuntutan hukum. Nullum crimen sine poena, begitu bunyi sebuah asas

hukum tua, yang bermakna, bahwa tiada kejahatan yang boleh dibiarkan berlalu

begitu saja tanpa hukuman, tetapi karena faktanya kini terorisme sudah bukan

lagi sekedar Internasional crime dan sudah menjadi internastionally organized

crime maka sangatlah sulit untuk memberantas kejahatan jenis ini tanpa adanya

kerjasama dan pemahaman yang sama di kalangan negara-negara.51

Perlu kita sadari bahwa fenomena terorisme bukanlah memonopoli satu

agama atau bangsa. Beberapa aksi teror yang muncul menunjukan bahwa

terorisme tidak memiliki agama atau tanah air. Ia bisa dilakukan oleh umat

49 Abdul Wahid, Sunardi dan Muhammad Imam Sidik, Kejahatan Terorisme Perspektif

Agama, Hak Asasi Manusia & hukum, (Bandung : Refika Aditama, 2004), h. 21 50 Abdul Wahid, Sunardi dan Muhammad Imam Sidik, Kejahatan Terorisme Perspektif

Agama, Hak Asasi Manusia & hukum, (Bandung : Refika Aditama, 2004), h. 22 51 Bali Post, 2 November 2002.

Page 50: KEWENANGAN LEMBAGA PENEGAK HUKUM DALAM …

35

bangsa mana pun. Munculnya organisasi gerakan teroris yang mengatasnamakan

Islam juga tidak berarti sepenuhnya ia muncul karena ajaran agama, disini

terdapat problematika yang bertolak belakang dengan ajaran agama Islam itu

sendiri nabi sudah meriwayatkan dalil hadist yang berkaitan dengan gerakan

terorisme yang mengatasnamakan islam ini sebagai berikut :

1. Ibnu umar meriwayatkan bahwasannya Nabi SAW bersabda:

لاح فليس منا من حمل علينا الس

Artinya : “barang siapa yang membawa senjata untuk (menakuti-

nakuti) kami, maka dia bukanlah golongan kami.” (H.R: Al-Bukhari)

2. Abu Hurairah r.a meriwayatkan bahwasanya Nabi SAW bersabda:

من خرج من الطاعة، وفارق الجماعة فمات، مات ميتة جاهلية

Artinya : ”barang siapa yang keluar dari ketaatan dan memisahkan diri

dari golongan, lalu dia mati, maka mayatnya jahiliyah.”(H.R: Muslim)

Semua agama menghadapi persoalan yang serius terkait dengan praktik

keagamaan para penganutnya. Terorisme muncul lebih dikarnakan oleh faktor-

faktor struktural yang melingkupi satu komunitas tertentu, ketimbang tafsir

tertentu atas ajaran agama, meskipun pada gilirannya nanti tafsir tersebut

digunakan untuk melegitimasi gerakan teror yang dilakukan. Pada saat inilah

orang mengambil kesimpulan secara serampangan bahwa tindak terorisme

muncul karna paham agama tanpa dasar yang jelas.

Agama, Islam contohnya sering menjadi kambing hitam dalam setiap aksi

terorisme, walaupun banyak orang mengatakan bahwa terorisme tidak ada

kaitannya dengan Islam, sebab tindakan kejahatan seseorang harus dibedakan

dengan unsur agama, karna setiap tindakan manusia akan selalu kembali lagi

kepada pilihan, kesadaran dan latar belakang individu manusia tersebut. Islam

adalah suatu ajaran yang suci dan mengedepankan kedamaian sebagaimana yang

Page 51: KEWENANGAN LEMBAGA PENEGAK HUKUM DALAM …

36

diajarkan oleh Rosulullah, sedangkan yang melakukan atau berbuat kejahatan

adalah individu manusianya. Jadi islam harus dibedakan antara agama dengan

dan latar belakang individunya.52

Kejahatan terorisme telah menjadi perhatian masyarakat dunia. Tidak lama

setelah berakhirnya Perang Dunia I, yakni ketika liga bangsa-bangsa (The

Leagues Of Nations) menyusun rancangan konvensi tentang terorisme

(Terrorism Convention) yang ditanda-tangani 24 negara pada 1937, para ahli

hukum yang didukung akademisi di kampus-kampus Eropa, mulai mendorong

negara-negara meratifikasi konvensi terhadap kejahatan terorisme pada waktu

itu. Dalam perkembangan berikutnya, setelah Perang Dunia II berakhir,

Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) mulai memberikan perhatian pada isu

terorisme. Perhatian PBB bermula pada 1963, ketika munculnya berbagai

langkah perjuangan kemerdekaan negara-negara baru berujung pada konflik

bersenjata yang menjurus pada kejahatan terhadap kemanusiaan. Kejahatan itu

mengambil bentuk kekerasan politik yang dilakukan tanpa memperhitungkan

banyaknya korban dari masyarakat sipil, mulai dari penculikan, pemerkosaan,

serangan bersenjara di tempat umum, serangan gerilya, peledakan bom,

pengusiran paksa hingga pembajakan pesawat terbang. Terorisme dipaksa untuk

selalu dipandang sebagai fenomena global yang mengancam tatanan dunia. Ada

semacam norma internasional bahwa semua negara harus turut menolak atau

menentang terorisme.

Ada sebuah teori tentang terorisme menurut Evans (politisi) dan Murphy

(profesor hukum). terorisme adalah penggunaan kekerasan yang disengaja, atau

ancaman penggunaan kekerasan oleh sekelompok pelaku yang diarahkan pada

sasaran-sasaran yang dimiliki atau dibawah tanggung jawab pihak yang

diserang. Hal ini dimaksud untuk mengkomunikasikan kepada pihak yang

diserang, adanya ancaman atau tindakan yang lebih kejam lagi dimasa

mendatang (the intention use of violence or the threat of violence by

52 Abdul Wahid, Sunardi dan Muhammad Imam Sidik, Kejahatan Terorisme Perspektif

Agama, Hak Asasi Manusia & hukum, (Bandung : Refika Aditama, 2004), h. 51

Page 52: KEWENANGAN LEMBAGA PENEGAK HUKUM DALAM …

37

precipitators against an instrumental target in order to communicate to a

primary target a threat of the future violence).53

Dalam fikih Islam klasik, tidak mengenal istilah tindak terorisme, hal ini

karena istilah terorisme tidak lahir dari dunia Islam. Akan tetapi bisa

dianalogikan dengan tindak pidana hirabah karena keduanya memiliki kesamaan

usur dan kriteria. Yakni keduanya sama-sama memiliki unsur perbuatan yang

mengancam struktur kedamaian hidup masyarakat luas, dan juga menimbulkan

berbagai ketakutan, kerusakan baik secara materil maupun immateril, serta

menimbulkan berbagai korban jiwa.

Terorisme dilihat dari konteks tindak pidana, sebagaimana dalam fatwa

MUI, maka terorisme telah memenuhi unsur tindak pidana (jarimah) hirabah

dalam khazanah fiqh Islam. Para fukaha mendefinisikan pelaku hirabah ini

dengan “orang-orang yang mengangkat senjata melawan orang banyak dan

menakut-nakuti mereka menimbulkan rasa takut dikalangan

masyarakat.54Dalam syari’at Islam hal itu termasuk bagian kecil dari kejahatan

hudud hirabah, yaitu perbuatan yang menimbulkan kekacuan di masyarakat

sehingga mengganggu ketentraman umum. Dalam pengertian ini akan

mencakup tindak pidana membuat kerusuhan, menghasut orang lain agar

melakukan tindakan kekerasan, provokator, koruptor kakap yang menggoncang

perekonomian nasional, dan tentunyapelaku peledakan bom.55

Ahmad Al-Mursi Husain Jauhar dalam bukunya “Maqashid Syari’ah”

berpendapat bahwa tindakan teroris ini bisa dianalogikan kepada kelompok

pelaku hirabah yaitu keluarnya sekelompok orang atau seseorang yang memiliki

kekuatan menuju jalanan umum dengan tujuan untuk menghalangi

perjalanan, merampas harta, menganiaya jiwa dan nyawa, atau menakut-nakuti

orang-orang yang ada dalam perjalanan tersebut, dengan mengandalkan

53 Pengertian ditulis oleh Evans dan Murphy 1978 54 Fatwa Majelis Ulama Indonesia Nomor 3 Tahun 2004 Tentang Terorisme 55 ZA Maulani, Terorisme Konspirasi Anti-Islam, (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2002), h.

166-168

Page 53: KEWENANGAN LEMBAGA PENEGAK HUKUM DALAM …

38

kekuatan.56Maka jika menakuti-nakuti ditengah jalan dan mengambil harta maka

dipotong tangan dan kakinya secara berselang. Jika mengambil harta dan

membunuh, maka dipotong tangan dan kakinya lalu disalib. Apabila membunuh

dan tidak mengambil harta maka dibunuh. Jika tidak mengambil harta dan tidak

membunuh, maka mereka diasingkan”.

Abu Yusuf berkata: “Apabila dia mengambil harta dan membunuh, maka

dia disalib dan dibunuh atas kayu”. Abu Hanifah berpendapat apabila dia

membunuh maka dia dibunuh pula, apabila mengambil harta dan tidak

membunuh maka dipotong tangan dan kakinya dengan berselang. Apabila

mengambil harta dan membunuh, maka sulthan memilih mana yang lebih baik,

Apakah memotong tangan dan kaki atau dibunuh dandisalib. Imam Syafi’i

berpendapat bahwa apabila dia mengambil harta, maka dipotong tangannya yang

kanan. Jika masih mengambil harta, maka dipotong kakinya yang kiri. Sebab hal

ini sama saja dengan mencuri cuma saja hirabah ini dilakukan dengan kekerasan.

Apabila dia membunuh, maka dia dihukum bunuh. Apabila mengambil harta dan

membunuh, maka dibunuh dan disalib.

Dr. Asmawi, M.Ag menulis dalam bukunya yang berjudul Teori Maslahat

dan Relevansi Dengan Perundang-Undangan Pidana Khusus di Indonesia yang

berbunyi. Secara normative-doktriner, tindak pidana hirabah kemungkinan

wujudnya itu ada 4 (empat) Tipe 1. Wujudnya berupa melakukan tindakan

dengan kekerasan atau ancaman kekerasan (mugalabahi) yang hanya

menimbulkan suasana teror atau rasa takut pada korban (ikhfat al-marrahlal al-

sabil) dan ini dipidana dengan pidana pengasingan atau pidana penjara. Tipe 2.

Wujudnya berupa melakukan tindakan-tindakan dengan kekerasan atau

ancaman kekarasan (mugalabah) yang menimbulkan suasana teror atau rasa

takut dan terampasnya harta benda korban (akhdz al-amwal) dan ini dipidana

anputasi tangan dan kaki secara bersilang. Tipe 3. Wujudnya berupa melakukan

tindakan dengan kekerasan dan atau ancaman kekerasan yang menimbulkan

56 Ahmad Al-Mursi Husain Jauhar, Maqashid Syari’ah, Penj: Khikmawati (Kuwais), Judul

Asli: Maqashid al-Syari’ah Fi al-Islam, (Jakarta: Amzah, 2009), Cet, Ke-1, h. 199

Page 54: KEWENANGAN LEMBAGA PENEGAK HUKUM DALAM …

39

suasana teror atau rasa takut dan tewasnya korban dan ini dipidana dengan

pidana mati. Tipe 4. Wujudnya berupa melakukan tindakan dengan kekerasan

dan ancaman kekerasan yang menimbulkan suasana teror atau rasa takut serta

menimbulkan kerusakan atau kehancuran sarana dan lingkungan.57

Selain itu, dalam objek fiqh siyasah menurut Abdurrahman Taj, adalah

seluruh perbuatan mukallaf dan hal ihwal yang berkaitan dengan tata cara

pengaturan masyarakat dan negara sesuai dengan jiwa dan tujuan syariat,

kendatipun hal yang diatur itu tidak pernah disinggung baik dalam Al-Qur’an

maupun as-sunnah. Dengan kata lain, objek studi fiqh siyasah adalah berbagai

aspek perbuatan mukallaf sebagai subyek hukum yang berkaitan dengan

kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara yang diatur berdasarkan

ketentuan yang tidak bertentangan dengan nash syariat yang bersifat universal.

Senada dengan pendapat diatas, Abdul Wahab Khallaf menyatakan, objek studi

fiqh siyasah adalah berbagai peraturan dan undang-undang yang dibutuhkan

untuk mengatur negara, sesuai dengan pokok ajaran agama guna merealisasikan

kemaslahatan umat manusia dan membantunya memenuhi berbagai kebutuhan

hidup.58

Hukum Islam mempunyai tujuan utama yaitu untuk mewujudkan dan

memelihara lima sasaran pokok (maqāşhid asy-syarīah) yaitu: perlindungan

terhadap agama (hifz-ad-din), perlindungan terhadap jiwa (hifz-an-nafs),

perlindungan terhadap akal (hifz al-aql), perlindungan terhadap keturunan (hifz-

an-nasl), dan perlindungan terhadap harta (hifz-al-mal).59Tindakan teror jelas

merupakan perlawanan terhadap unsur pokok yang kedua dan kelima; hifz an-

nafs dan hifz al-māl. Terorisme didalam Al-Quran tidak digambakan atau

dijelaskan secara jelas justru penjelasan didalam Al-Quran lebih mengarah

kepada orang-orang yang mengangkat senjata melawanorang banyak dan

57 Asmawi, Teori Maslahat dan Relevansi Dengan Perundang-Undangan Pidana Khusus

di Indonesia (Jakarta: Badan Litbang dan Diklat Kementrian Agama RI, 2010), h. 232-233 58 Mujar Ibnu Syarif dan Khamami Zada, Fiqh Siyasah Doktrin dan Pemikiran Politik

Islam, (Jakarta: Erlangga), 2008, h. 16 59 Kutbuddin Aibak, Metodologi Pembaruan Hukum Islam, Yogyakarta: Pustaka Pelajar,

2008), h. 60-63

Page 55: KEWENANGAN LEMBAGA PENEGAK HUKUM DALAM …

40

menakut-nakuti mereka menimbulkan rasa takut dikalangan masyarakat, jika

dikaitkan dengan keadaan pada masa sekarang hal tersebut lebih mengarah

kepada kasus begal, penodongan atau perampokan dari pada tindakan terorisme.

Dalam objek kajian fiqh siyasah, sebagaimana Suyuti Pulungan rangkum

dari beberapa pendapat ulama:60

1. Peraturan dan perundang-undangan negara sebagai pedoman dan

landasan ideologi dalam mewujudkan kemaslahatan umat.

2. Pengorganisasian dan pengaturan kemaslahatan.

3. Mengatur hubungan antara penguasa dan rakyat serta hak dan

kewajiban masing-masing dalam usaha mencapai tujuan negara.

60 J. Suyuti Pulungan, Fiqh Siyasah, (Jakarta: Rajawali, 1994), h. 28

Page 56: KEWENANGAN LEMBAGA PENEGAK HUKUM DALAM …

41

BAB III

KEWENANGAN TNI, POLRI, DAN BNPT DALAM TINDAK PIDANA

TERORISME

A. TNI

Didalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2018 Tentang Terorisme

dikatakan bahwa tindak pidana terorisme yang selama ini terjadi di Indonesia

merupakan kejahatan yang serius yang membahayakan ideologi negara,

keamanan negara, kedaulatan negara, nilai kemanusiaan dan berbagai aspek

kehidupan bermasayarakat, berbangsa dan bernegara, serta bersifat lintas negara,

terorganisasi dan mempunyai jaringan luas serta memiliki tujuan tertentu

sehingga pemberantasannya perlu dilakukan secara khusus, terencana, terarah,

terpadu dan nerkesinambungan, berdasarkan pancasila dan Undang-Undang

Dasar Negara Republik Indonesia 1945.

Perihal isi undang-undang tentang terorisme, telah menimbang terkait

unsur-unsur kejahatan yang serius, tindak pidana terorisme, dapat dikategorikan

telah memasuki ranah keamanan negara dan kedaulatan negara disini peran TNI

bisa masuk, dan turut ambil bagian dikarnakan bagian tugas dari TNI adalah

sebagai lembaga perlindungan negara dan keamanan negara. Karna dijelaskan

pula, menimbang bahwa adanya kerterlibatan orang atau kelompok orang serta

keterlibatan warga negara indonesia dalam organisasi didalam atau diluar negeri

yang bermaksud melakukan permufakatan jahat yang mengarah pada tindak

pidana terorisme, berpotensi mengancam keamanan dan kesejahteraan

masyarakat, bangsa dan negara, serta perdamaian dunia.

Dari pemaparan di atas TNI disini memiliki kewenangan dan dapat ikut

turun andil dalam menangani tindak pidana terorisme. Merujuk kepada pasal 5

dan 6 Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 Tentang Tentara Nasional

Indonesia peran dan fungsinya, TNI sebagai alat negara dibidang pertahanan

yang dalam menjalankan tugasnya berdasarkan kebijakan dan keputusan politik

negara. Dan dilanjutkan pada pasal selanjutnya untuk menegakkan kedaulatan

Page 57: KEWENANGAN LEMBAGA PENEGAK HUKUM DALAM …

42

negara, mempertahankan keutuhan wilayah Negara Kesatuan Republik

Indonesia, dan melindungi keselamatan segenap bangsa dari ancaman dan

gangguan terhadap keutuhan bangsa dan negara.61

Jika kita merujuk kepada undang-undang dengan mengunggunakan sudut

pandang kepastian hukum, idealnya undang-undang menjelaskan siapa yang

memiliki kewenangan dalam melakukan pelaksanaannya. Akan tetapi, Undang-

Undang Nomor 5 Tahun 2018 Tentang Terorisme ini tidak ada satupun pasal

yang menyebutkan secara tegas, terkait kewenangan dalam menangani tindak

pidana terorisme ini, disini mengalami masalah dan pedebatan terkait

kewenangan dalam menindak kasus terorisme.

Dalam konteks yang terdapat pada permasalahan kewenangan sudah terjadi

dikalangan pemerintahan perihal masalah kewenagan, dikarnakan TNI ingin

masuk dan andil dalam menganani kasus terorisme ini bukan hanya terlibat jika

diperlukan. Kejelasan dalam kewenangan sangat berperan penting dikarnakan

hubungan antara lembaga harus dibuat jelas untuk menghindari adanya tumpang

tindih mengenai kewenangannya.

Dalam ketenentuan peran TNI di sini memiliki beberapa point yang

dijelaskan di dalam undang-undang terorisme ini. dipaparkan sebagai berikut,

Menurut pasal 43I Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2018 Tentang Terorisme62,

menjelaskan pula point yang berkaitan dengan masuknya kewenangan TNI

dalam tindak pidana terorisme ini, dipaparkan bahwa tugas Tentara Nasional

Indonesia dalam mengatasi aksi terorisme merupakan bagian dari operasi militer

selain perang, dan ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan mengatasi aksi

terorisme diatur dengan Peraturan Presiden. Menurut pasal 7 ayat 2 Undang-

Undang Nomor 34 Tahun 2004 Tentang Tentara Nasional Indonesia

menjelaskan terkait tugas pokok TNI, yang bertujuan untuk mempertahankan

keutuhan wilayah NKRI yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar

61 Lihat pasal 5-6 Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 Tentang Tentara Nasional

Indonesia 62 Lihat pasal 43I Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2018 Tentang Terorisme

Page 58: KEWENANGAN LEMBAGA PENEGAK HUKUM DALAM …

43

Negara Republik Indonesia Tahun 1945, dilanjutkan pula diayat selanjutnya

terkait tugas pokok sebagaimana dimaksud pada ayat 1.63

Tindak pidana terorisme merupakan kejahatan yang serius, dilakukan

dengan menggunakan kekerasan dan ancaman kekerasan dengan sengaja,

sistematis, dan terencana yang menimbulkan suasana teror atau rasa takut secara

meluas dengan target aparat negara, penduduk sipil secara acak atau terseleksi,

cenderung hal ini tumbuh menjadi bahaya simetrikyang membahayakan

keamanan dan kedaulatan negara.

B. Polri

Dengan adanya serangkaian peristiwa yang terjadi yang melibatkan

masyarakat Indonesia yang bergabung dengan organisasi tertentu yang radikal

dan telah ditetapkan sebagai organisasi teroris, atau organisasi lain yang

bermaksud melakukan permufakatan jahat yang mengarah ketindak pidana

terorisme, baik didalam maupun diluar negeri, telah menimbukan ketakutan

masyarakat dan berdampak pada kehidupan ekonomi, politik, sosial budaya,

keamanan dan ketertiban masyarakat maka disini penting peran penegak hukum

yaitu lembaga kepolisian

Sebagaimana tugas kepolisian menjamin keamanan dalam negeri

merupakan syarat utama mendukung terwujudnya masyarakat yang madani,

adil, makmur dan beradab berdasarkan pancasila dan Undang-Undang Dasar

Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Pemeliharaan keamanan dalam negeri

merupakan upaya penyelenggaraan fungsi kepolisian yang meliputi

pemeliharaan keamanan dan ketertiban masyarakat, penegakan hukum,

perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat merupakan

kewenangan yang dilakukan oleh Kepolisian Negara Republik Indonesia selaku

alat negara yang dibantu masyarakat dan menjunjung tinggi Hak Asasi Manusia

63 Lihat pasal 7 Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 Tentang Tentara Nasional

Indonesia

Page 59: KEWENANGAN LEMBAGA PENEGAK HUKUM DALAM …

44

(HAM). Seperti yang dipaparkan pada pasal 1 ayat 6 Undang-Undang Nomor 2

Tahun 2002 Tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia, keamanan dalam

negeri adalah suatu keadaan yang ditandai dengan terjaminnya keamanan,

ketertiban masyarakat, tegaknya hukum, serta terselenggaranya perlindungan,

pengayoman dan pelayanan kepada masyarakat.64

Kepolisian mempunyai kewenangan didalam Undang-Undang Nomor 5

Tahun 2018 Tentang Terorisme, membaca secara taktis langkah teror tersebut,

dalam pemberantasan kelompok terorisme di Indonesia, memang polisi yang

terus menangani, karena terorisme adalah pelanggaran hukum berat.65 bahkan

bisa disimpulkan bahwa di dalam undang-undang ini kewenangan dalam

menanggulangi terorisme, disebutkan beberapa kali dipasal-pasal undang-

undang terorisme terkait penyidik, penyelidik dan penegak hukum yang

dimaksud didalam pasal-pasal tersebut adalah tugas yang sama didalam Undang-

Undang Nomor 2 Tahun 2002 Tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia.

Polisi memiliki satuan khusus dalam menangani tindak pidana terorisme

yaitu Detasemen Khusus 88 atau Densus 88. Densus 88 adalah satuan khusus

Kepolisian Negara Republik Indonesia yang bertugas untuk penanggulangan

teroris di Indonesia, pasukan khusus berompi merah ini dilatih khusus untuk

menangani segala ancaman teror, termasuk teror bom. Beberapa anggota juga

merupakan anggota tim Gegana. Detasemen 88 dirancang sebagai unit anti

teroris yang memiliki kemampuan mengatasi gangguan teroris mulai dari

ancaman bom hingga penyanderaan. Densus 88, dipusat (Mabes Polri) yang

terdiri dari ahli bahan peledak (penjinak bom), dan unit pemukul yang

didalamnya terdapat ahli penembak jitu.

Selain itu, masing-masing kepolisian daerah juga memiliki unit anti-teror

Densus 88, namun dengan fasilitas dan kemampuan yang lebih terbatas. Fungsi

Densus Polda adalah memeriksa laporan aktifitas terorisme di daerah.

64 Lihat pasal 1 ayat 6 Undang-Undang Tentang Terorisme Tahun 2002 65 Prayitno Ramelan, Ancaman Virus Terorisme: Jejak Teror di Dunia dan Indonesia,

(Jakarta : Grasindo, 2017), h. 156

Page 60: KEWENANGAN LEMBAGA PENEGAK HUKUM DALAM …

45

Melakukan penangkapan kepada personel atau seseorang atau sekelompok orang

yang dipastikan merupakan anggota jaringan teroris yang dapat membahayakan

keutuhan dan keamanan Negara R.I.

Satuan ini diresmikan oleh Kepala Kepolisian Daerah Metro Jaya Inspektur

Jendral Firman Gani pada tanggal 26 Agustus 2004. Detasemen 88 yang awalnya

beranggotakan 75 orang ini dipimpin oleh Ajun Komisaris Tito Karnavian yang

pernah mendapat pelatihan di beberapa negara dan sekarang diteruskan oleh M

Syafii yang mulai menjabat sejak 3 Febuari 2017.66

Densus 88 dibentuk Skep Kapolri No. 30/VI/2003 tertanggal 20 juni 2003

untuk melaksanakan Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 Tentang Penetapan

Perpu Nomor 1 Tahun 2002 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme,

yang telah berubah menjadi Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2018 Tentang

Terorisme, yaitu kewenangan melakukan penangkapan berasal dari laporan

intelijen manapun, selama 7 x 24 jam (sesuai pasal 26 & 28). Undang-undang

tersebut popular di dunia sebagai “Anti-Terrorism Act”.

Angka 88 berasal dari kata ATA (Anti-Terrorism Act), yang jika dilafalkan

dalam bahasa Inggris berbunyi Ei Ti Ekt. Pelafalan ini kedengaran seperti Eighty

Eight (88). Jadi, arti angka 88 bukan seperti yang selama ini beredar bahwa 88

adalah representasi dari jumlah korban bom bali terbanyak (88 orang dari

Australia), juga bukan pula representasi dari borgol.

Pasukan khusus ini dibiayai oleh pemerintah Amerika Serikat melalui Jasa

Keamanan Diplomatik (Diplomatic Security Service) Departemen Luar Negeri

AS dan dilatih langsung oleh istruktur dari CIA, FBI, dan U.S. Secret Service.

Kebanyakan staf pengajarnya adalah bekas anggota pasukan khusus AS, terdapat

bantuan signifikan dari pemerintah Amerika Serikat dan Australia dalam

pembentukan dan oprasional Detasemen Khusus 88. Pascapembentukan Densus

88 dilakukan pula kerjasama dengan beberapa negara lain seperti Inggris dan

66 Tim Edukasi Indonesia, All In One Tes Masuk TNI Polri, (Jakarta : Gramedia, 2015), h.

27

Page 61: KEWENANGAN LEMBAGA PENEGAK HUKUM DALAM …

46

Jerman. Hal ini dilakukan sejalan dengan Undang-Undang pemberantasan

Tindakan Pidana Terorisme pasal 43.

Satuan pasukan khusus baru Polri ini dilengkapi dengan persenjataan dan

kendaraan tempur buatan berbagai Negara, seperti senapan serbu Colt M4,

senapan serbu Steyr AUG, Hk MP5, senapan penembak jitu Armalite AR-10 dan

Shorgun Remington 870, bahkan dikabarkan satuan ini akan memiliki pesawat

C-130 Hercules sendiri untuk meningkatkan mobilitasnya. Sekalipun demikian,

kelengkapan persenjataan dan peralatan Densus 88 Masih jauh bahwa pasukan

antiteror negara maju seperti SWAT team di Kepolisian Amerika.67

C. BNPT

Komisi 1 Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI) dalam

rapat kerja dengan kementerian kordinator bidang politik hukum dan keamanan,

pada tanggal 12 Juni 2006 dan 31 Agustus 2009, telah merekomendasikan

kepada pemerintah tentang perlunya membentuk suatu badan yang berwenang

melakukan tugas penaggulangan terorisme. Selubung dengan rapat kerja dan

telah direkomendasikannya oleh DPR maka terbentuknya Badan Penanggulanan

Nasional Terorisme (BNPT).

BNPT berkordinasi dengan lembaga atau kementerian Komunikasi dan

Infomatika (Kemenkominfo). Namun, strategi hard approach ternyata dinilai

belum cukup efektif, sebaliknya, malah menimbulkan kontra di masyarakat.

BNPT justru dianggap sebagai lembaga yang hanya memerangi situs

Islam.68Untuk mengimbangi hal tersebut, BNPT lantas membuat kebijakan soft

approach. Kebijakan tersebut meliputi Kontra Ideologi, Kontra Propaganda dan

Kontra Narasi dengan membentuk Pusat Media Damai (PMD). Tugas pokok dan

fungsi PMD adalah memonitoring dan menganalisis perkembangan propaganda

radikal dunia maya. PMD melakukan pemantauan terhadap perkembangan

67 Tim Edukasi Indonesia, All In One Tes Masuk TNI Polri, (Jakarta : Gramedia, 2015), h.

28 68 Dian Tamitiadini, Isma Adila, Wayan Weda Asmara Dewi, Komunikasi Bencana: Teori

dan Pendekatan Praktis Studi Kebencanaan di Indonesia, (Malang : UB Press, 2019), h. 107

Page 62: KEWENANGAN LEMBAGA PENEGAK HUKUM DALAM …

47

ideology radikal yang ada di dunia maya. Setelah terpantau, tim melakukan

pengelolaan multimedia sebagai instrument kontra propaganda. PMD mengelola

berbagai macam media sebagai instrumen kontra propaganda, yang meliputi

media cetak, media online, media penyiaran, dan media luar ruangan. Media

cetak terdiri dari poster, leaflet, flayer, brosur, buku, tabloid, bulletin, jurnal,

majalan dan koran yang terbit secara berkala. Media online meliputi 4 situs, yaitu

yang bersidat informatif (www.damailahindonesiaku.com), edukatif

(www.jalandamai.com), berisi komunitas damai (www.damai.id), serta situs

duta damai Indonesia, social messanger, social media, dan aplikasi online. Pada

tahun 2016, BNPT juga mengembangkan program baru yaitu Duta Damai

Maya.69

Badan Penanggulangan Nasional Terorisme yang selanjutnya disebut BNPT

berada dibawah dan bertanggung jawab kepada Presiden, dan dipimpin oleh

seorang Kepala.Dijelaskan terkait tugas BNPT pada pasal 2 dan dilanjutkan pada

pasal 3 Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 46 Tahun 2010 Tentang

Badan Penanggulangan Nasional Terorisme sebagai berikut :

1. BNPT Mempunyai Tugas :

a. Menyusun kebijakan, strategi, dan program nasional di bidang

penanggulangan terorisme;

b. Mengkordinasikan instansi pemerintahan terkait dalam

pelaksanaan dan melaksanakan kebijakan di bidang

penanggulangan terorisme;

c. Melaksanakan kebijakan di bidang penanggulangan terorisme

dengan membentuk satuan tugas-satuan tugas yang terdiri dari

unsur-unsur instansi pemerintah terkait sesuai dengan dengan

tugas, fungsi, dan kewenangan masing-masing.

2. Bidang penanggulangan terorisme sebagaimana dimaksud pada ayat (1)

meliputi pencegahan, perlindungan, deradikalisasi, penindakan, dan

69 Dian Tamitiadini, Isma Adila, Wayan Weda Asmara Dewi, Komunikasi Bencana: Teori

dan Pendekatan Praktis Studi Kebencanaan di Indonesia, (Malang : UB Press, 2019), h. 106

Page 63: KEWENANGAN LEMBAGA PENEGAK HUKUM DALAM …

48

penyiapan kesiapsiagaan nasional. 70 Dalam melaksanakan tugas

sebagaimana dimaksud dalam pasal 2 diatas BNPT menyelenggarakan

fungsi :

a. Penyususnan kebijakan, strategi dan program nasional di bidang

penanggulan teorisme;

b. Monitoring, analisa, dan evaluasi di bidang penanggulangan

terorisme;

c. Koordinasi dalam pencegahan dan pelaksanaan kegiatan melawan

propaganda ideologi radikal di bidang penganggulangan terorisme;

d. Koordinasi pelaksanaan deradikalisasi;

e. Koordinasi pelaksanaan perlindungan terhadap obyek-obyek yang

potensial menjadi targat serangan terorisme;

f. Koordinasi pelaksanaan penindakan, pembinaaan kemampuan, dan

kesiapsiagaan nasional;

g. Pelaksanaan kerjasama internasional di bidang penanggulangan

terorisme;

h. Perencanaan, pembinaan, dan pengendalian terhadap program,

administrasi dan sumber daya serta kerjasama antar instansi;

i. Pengoprasian satuan tugas-satuan tugas dilaksanakan dalam rangka

pencegahan, perlindungan, deradikalisasi, penindakan, dan

penyiapan kesiapsiagaan nasional di bidang penanggulangan

terorisme.71

Dalam hal terjadinya tindak pidana terorisme, BNPT dikoordinasikan oleh

mentri kordinator bidang politik, hukum dan keamanan sebagai pusat pengendali

krisis. Pusat pengendalian krisis ini berfungsi sebagai fasilitas Presiden untuk

menetapkan kebijakan dan langkah-langkah penanganan krisis termasuk

pengerahan sumber daya dalam penaggulangan aksi terorisme dan dalam

70 Lihat pasal 2 Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 46 Tahun 2010 tentang

Badan Nasional Penanggulangan Terorisme 71 Lihat pasal 3 Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 46 Tahun 2010 tentang

Badan Nasional Penanggulangan Terorisme

Page 64: KEWENANGAN LEMBAGA PENEGAK HUKUM DALAM …

49

melaksanakan tugas dan fungsinya. Tetap saja dalam penanganan terorisme

masih belom maksimal dan potensi radikalisme bisa kapan saja meningkat.

Lembaga penegak hukum di Indonesia dalam menangani terorisme belum

memiliki standar oprasional yang lebih canggih. Hal ini bisa dipahami antara

lain karena keterbatasan dana dan anggaran serta SDM yang belum seimbang

dengan beban tugas dan target yang diamanahkan dan hendak dicapai. Cepat

atau lambat, jika tidak dimulai dari sekarang, kita akan memanen persoalan

mendasar yang tidak mudah diselesaikan. 72 Terorisme merupakan kejahatan

terhadap kemanusiaan yang bersifat lintas negara, terorganisasi dan mempunyai

jaringan yang luas, sehingga mengancam perdamaian dan keamanan nasional

maupun internasional, oleh karna itu memerlukan penanganan secara terpusat,

terpadu dan terkoordinasi. Terorisme merupakan ancaman yang serius dan setiap

saat mengancam keamanan dan keutuhan negara.

72 Alius Suhardi, Memimpin dengan Hati: Pengalaman sebagai Kepala BNPT, (Jakarta :

Gramedia Pustaka Utama,2019), h. 198

Page 65: KEWENANGAN LEMBAGA PENEGAK HUKUM DALAM …

50

BAB IV

ANALISIS KEWENANGAN LEMBAGA PENEGAK HUKUM DALAM

MENANGANI TINDAK PIDANA TERORISME TINJAUAN YURIDIS

UNDANG – UNDANG TERORISME NOMOR 5 TAHUN 2018

A. Kasus Tindak Pidana Terorisme di Indonesia

Secara garis besar, tujuan dari aksi terorisme dapat dibagi dalam 4 kategori

besar, yaitu:

1. Irrational Terrorism

Irrational Terrorism adalah teror yang motif atau tujuannya bisa

dikatakan tak masuk akal sehat, yang bisa dikategorikan dalam kategori

ini misalnya saja salvation (pengorbanan diri) dan madness (kegilaan).

2. Criminal Terrorism

Criminal Terrorism adalah teror yang dilatarbelakangi motif atau tujuan

berdasarkan kepentingan kelompok, teror oleh kelompok agama atau

kepercayaan tertentu dapat dikategorikan ke dalam jenis ini. Temasuk

juga kegiatan kelompok bermotifkan balas dendam (revenge).

3. Political Terrorism

Political Terrorism adalah terror bermotifkan politik. Batasan mengenai

poltical terror sampai saat ini belum ada kesepakatan internasional

yang dapat dibakukan. Figur Yasser Arrafat bagi masyarakat Israel

adalah tokoh teroris yang harus diesksekusi, tetapi bagi bangsa

Palestina dia adalah freedom fighter. Begitu pula sebaliknya dengan

founding fathers negara Israel yang pada waktu itu dicap sebagai

teroris, setelah Israel merdeka mereka dianggap sebagai pahlawan

bangsa dan dihormati.

Pada prakteknya, ada perbedaan yang cukup mencolok mengenai

tujuan yang ingin dicapai oleh political terror di mana mereka berada.

Bagi kelompok teroris yang berada di negara yang sudah mapan alam

demokrasinya dengan supremasi hukum yang kuat, tujuan mereka

Page 66: KEWENANGAN LEMBAGA PENEGAK HUKUM DALAM …

51

adalah mengubah kebijakan. Sementara kelompok teroris yang berada

di negara yang belum mapan institusi demokrasi dan supremasi

hukumnya, maka tujuan mereka pada umumnya adalah merombak

stuktur politik. Persamaanya adalah teror sebagai alat yang digunakan

untuk “menekan” atau mengubah keseimbangan.

4. State Terrorism

State Terrorism ini semula dipergunakan PBB (United Nation) ketika

melihat kondisi sosial dan politik di Afrika Selatan, Israel dan negara-

negara Eropa Timur. Kekerasan negara terhadap warga negara penuh

dengan intimidasi dan berbagai penganiayaan serta ancaman lainya,

banyak dilakukan oleh oknum negara termasuk penegak hukum,

misalnya saja penculikan aktivis. Teror oleh negara bisa juga terjadi

melalui kebijakan ekonomi negara yang dibuatnya. Terorisme yang

dilakukan oleh negara atau aparatnya dilakukan untuk dan atas nama

kekuasaan, stabilitas politik, dan kepentingan ekonomi elite. Untuk dan

atas nama tersebut, negara merasa sah untuk menggunakan jalur

kekerasan dalam segala bentuk guna merepresi dan memadamkan

kelompok-kelompok kritis dalam masyarakat sampai pada kelompok-

kelompok yang memperjuangkan aspirasinya dengan mengangkat

senjata

Menurut Abdul Wahid, Sunardi, dan Muhammad Imam Sidik73, ada dua

bentuk terorisme yang pertama adalah teror kriminal yang menggunakan cara

pemerasan dan intimidasi. Mereka menggunakan kata-kata yang dapat

menimbulkan ketakutan atau teror psikis, teror kriminal biasanya hanya untuk

kepentingan pribadi atau memperkaya diri sendiri. Bentuk kedua adalah teror

poitik. Teror politik tidak memilih-milih korban. Teror politik selalu siap

melakukan pembunuhan tehadap orang-orang sipil, baik laki-laki maupun

73 Abdul Wahid, Sunardi, dan Muhammad Imam Sidik, Kejahatan Terorisme Perspektif Agama,

Hukum, dan HAM, (Bandung : Refika Aditama, 2004), h. 40

Page 67: KEWENANGAN LEMBAGA PENEGAK HUKUM DALAM …

52

perempuan, dewasa atau anak-anak tanpa mempertimbangkan penilaian politik

dan moral.

Berkaitan dengan maraknya opini publik yang mengaitkan terorisme dengan

perbuatan yang bermotifkan agama hal ini perlu dikaji ulang, dikarenakan

terorisme itu lahir dan tumbuh dari rasa kekecewaan akibat perlakuan tidak adil

yang berlangsung lama dan kelihatan tidak ada harapan perubahan. Hasil ini

dikemukakan dalam seminar tentang terorisme yang diselengarakan Lembaga

Pengkajian Strategis Indonesia (LPSI).

Tragedi peledakan bom belum lama ini menunjukan bahwa aksi terorisme

harus tentu diwaspadai, yang bentuk gerakan dan perkembangan jaringannya

terus berubah sehingga sukar untuk dilacak. Sulitnya penyelesaian permasalahan

terorisme ini terjadi karena masih banyak faktor yang menyebabkan terorisme

dapat terus berkembang. Dari faktor perbedaan ideologis dan pemahaman

tentang agama yang berbeda-beda sampai kesenjangan sosial dan pendidikan

yang membuat masyarakat lebih mudah untuk disusupi oleh jaringan-jaringan

teroris. Pengaruh terorisme dapat memiliki dampak yang signifikan, baik dari

segi keamanan dan keresahan masyarakat maupun iklim perekonomian dan

pariwisata yang menuntut adanya kewaspadaan aparat intelijen dan keamanan

untuk pencegahan dan penanggulangannya.

Dalam fikih Islam klasik, tidak mengenal istilah tindak terorisme, hal ini

karena istilah terorisme tidak lahir dari dunia Islam dan tidak ada pada zaman

penyebarannya. Adanya faham teroris ini timbul karna adanya fanatisme agama

yang berlebih dan akibat gagal pemahaman yang mendalam terhadap Islam itu

sendiri. Akan tetapi dalam perspektif hukum Islam tindak pidana terorisme, jika

dianalogikan dengan tindakpidana hirabah karena keduanya memiliki kesamaan

usur dan kriteria walaupun tidak sepenuhnya sama persis.

Tindak Pidana terorisme sebagaimana fatwa MUI, dianggap telah

memenuhi unsur-unsur tindak pidana jarimah, yaitu hirabah merujuk dalam

khazanah fiqh Islam. Para fukuha mendefinisikan pelaku hirabah ini dengan

Page 68: KEWENANGAN LEMBAGA PENEGAK HUKUM DALAM …

53

“orang-orang yang mengangkat senjata melawan orang banyak dan menakut-

nakuti mereka, menimbulkan rasa takut dikalangan masyarakat.74 Dalam syari’at

Islam hal ini termasuk bagian kecil dari 8 jenis kejahatan hudud, yaitu hirabah,

yaitu perbuatan yang menimbulkan kekacauan di masyarakat, sehingga

mengganggu ketentraman umum. Dalam pengertian ini sudah termasuk atau

mencakup tindak pidana membuat kerusuhan, menghasut orang lain untuk

melakukan tindak kekerasan, provokator, koruptor kakap yang menggoncang

perekonomian nasional, dan tentunya pelaku peledakan bom.75

Penjelasan Ali Imron selaku terpidana kasus terorisme di Indonesia pada

saat diundang di Indonesian Lawyer Club (ILC) edisi “Misteri Kasus Penusukan

Wiranto” pada tanggal 15 oktober 2019, beliau menjelasan terorisme yang ada

di Indonesia, dimana beliau menyimpulkan bahwa terorisme di Indonesia,

mereka terbagi dalam 2 kelompok, yaitu kelompok teroris yang afiliasinya

dengan Al-Qaeda dan kelompok teroris yang afiliasinya dengan ISIS, dua

kelompok teroris itu memilik tujuan yang sama diantaranya sebagi berikut;

1. Ingin mendirikan negara islam dan menyebarkan paham khilafah.

2. Melaksanakan jihad fisabilillah dan bagian-bagian dari jihad tersebut.

Dua tujuan diatas menurut mereka (kelompok teroris yang afiliasinya

dengan Al-Qaeda dan kelompok teroris yang afiliasinya dengan ISIS) saling

memiliki hubungan, bagi mereka tidak mungkin mendirikan negara Islam tanpa

dalam jalan jihad (perang), oleh karna itu mereka akan melaksanakan jihad

sampai kapanpun, dimanapun dan dengan cara apapun. Mereka selama ini dalam

aksinya selalu menunggu momen, karna bagi mereka mendirikan sebuah negara

Islam didalam sebuah negara NKRI pasti akan selalu berbenturan, oleh karna itu

bagi mereka harus ada keyakinan atau akidah yang bisa mereka jadikan

pembenaran atas tindakan mereka.

74 Fatwa Majelis Ulama Indonesia Nomor 3 Tahun 2004 Tentang Terorisme 75 ZA Maulani, Terorisme Konspirasi Anti-Islam, (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2002), h.

166-168

Page 69: KEWENANGAN LEMBAGA PENEGAK HUKUM DALAM …

54

Ali Imron pun memaparkan bahwa akidah dan keyakinan dari dua kelompok

paham terorisme yang berafiliasi ke Al-Qaeda maupun ISIS tersebut tidak bisa

dipukul rata, karena ada bermacam-macam pemahaman aqidah. Beliau

mengutarakan bahwa ada pemahaman yang paling radikal, yang dimana

dikarenakan Indonesia bukan negara islam 100% yaitu berdasarkan Pancasila

dan Undang-Undang Dasar 1945, maka siapapun yang menjadi pejabat yang

berada diwilayah tersebut yang muslim statusnya (thaghut)76 dan yang non

muslim adalah (kafir), semuanya boleh diperangi dan semuanya boleh diserang.

Namun beliau juga memberitahukan bahwa ada pula paham dari mereka para

pelaku teroris tersebut yang paling ringan tingkat radikalnya, yaitu diantaranya

memiliki pemahaman bahwa meskipun NKRI ini tidak berdasarkan 100% Islam,

bagi muslim yang berada di Indonesia tetap setatusnya sebagai muslim tetapi

mereka hanya fasik karena tidak memberlakukan hukum islam secara dalam

dikehidupannya. Beliau selaku pelaku bom bali dan dari kelompok jamaah

Islamiyah, kebanyakan memiliki pemahaman yang tidak terlalu radikal. Ada

alasan mengapa mereka menggunakan paham yang tidak terlalu radikal, karena

apa yang mereka lakukan akan berbenturan dengan hukum syariah.

Dari sudut pandang Islam, mantan Rektor UIN Syarif Hidayatullah Jakarta,

Azyumardi Azra, mengatakan terorisme sebagai kekerasan politik sepenuhnya

bertentangan dengan etos kemanusiaan Islam. Islam mengajarkan etos

kemanusiaan yang sangat menekankan kemanusiaan universal. Islam

menganjurkan umatnya untuk berjuang mewujudkan perdamaian, keadilan dan

kehormatan. Akan tetapi, perjuangan itu haruslah tidak dilakukan dengan cara-

cara kekerasan atau terorisme. Setiap perjuangan untuk keadilan harus dimulai

dengan premis bahwa keadilan adalah konsep universal yang harus

diperjuangkan dan dibela setiap manusia.

76Istilah thaghut digunakan kelompok garis keras atau kelompok yang diciptakan garis

keras untuk memberi stigma buruk kepada musuh-musuhnya. Secara keseluruhan thaghut

kemudian diartikan sebagai segala macam kebatilan, baik dalam bentuk berhala, ide-ide yang

sesat, manusia durhaka, tirani, atau siapapun yang mengajak kesesatan. Misal dalam Menyusun

undang-undang semata-mata untuk mempertahankan kekuasaan.

Page 70: KEWENANGAN LEMBAGA PENEGAK HUKUM DALAM …

55

Perkembangan tindak pidana terorisme di Indonesia merupakan kebijakan

dan Langkah antisipatif yang bersifat proaktif yang dilandaskan dengan kepada

kehati-hatian dan bersifat jangka panjang karna masyarakat Indonesia adalah

msyarakat multi-etnik dengan beragam dan mendiami ratusan ribu pulau-pulau

yang tersebar di seluruh wilayah nusantara serta ada yang letaknya berbatasan

dengan negara lain. Selanjutnya, dengan karakteristik masayarakat Indonesia

tersebut seluruh komponen bangsa Indonesia berkewajiban memelihara dan

meningkatkan kewaspadaan menghadapi segala macam bentuk kegiatan yang

merupakan tindak pidana terorisme yang bersifat Internasional.

Konflik-konflik yang terjadi akhir-akhir ini sangat merugikan kehidupan

bangsa dan negara serta merupakan kemunduran peradaban dan dapat dijadikan

tempat yang subur berkembangnya tindak pidana terorisme yang bersifat

internasional baik yang dilakukan oleh warga negara Indonesia maupun oleh

warga negara asing.

Terorisme yang bersifat internasional merupakan kejahatan terorganisir,

sehingga pemerintah dan bangsa Indonesia wajib meningkatkan kewaspadaan

dan berkerjasama memelihara keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia

(NKRI)

Pemberantasan tindak pidana terorisme di Indonesia bukan semata-mata

merupakan masalah hukum dan penegakan hukum melainkan juga marupakan

masalah-masalah sosial, budaya, ekonomi yang berkaitan erat dengan masalah

ketahanan bangsa sehingga kebijakan dan langkah pencegahan dan

pemberantasannya pun ditujukan untuk memelihara keseimbangan dalam

kewajiban melindungi kedaulatan negara, hak asasi korban dan saksi, serta hak

asasi tersangka terdakwa.

Pemberantasan tindak pidana terorisme dengan ketiga tujuan di atas

menunjukan bahwa bangsa Indonesia adalah bangsa yang menjunjung tinggi

peradaban umat manusia dan memiliki komitmen yang kuat untuk tetap menjaga

Page 71: KEWENANGAN LEMBAGA PENEGAK HUKUM DALAM …

56

keutuhan wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) yang berdaulat

di tengah-tengah gelombang surut perdamaian dan keamanan dunia.

B. Analisa Sistem Kerja, Kewenangan, Kepastian Hukum dan

Penanganan Lembaga Penegak Hukum (POLRI, TNI DAN BNPT)

Terhadap Kasus Tindak Pidana Terorisme

1. Sistem kerja

Menanggapi kasus penanganan dan sistem kerja terkait permasalahan

terorisme dengan kaca mata hukum, mengutip pendapat Lawrence M.

Frieman, didalam hukum dan sistem hukum terdapat tiga komponen,

diantaranya, sebagai berikut;77

a. Subtansi, yaitu keseluruahan aturan hukum, norma hukum dari asas

hukum, baik tertulis maupun yang tidak tertulis, termasuk putusan

pengadilan.

b. Struktur, yaitu keseluruhan institusi-institusi hukum yang ada

beserta aparatnya, mencakup antara lain kepolisian dengan para

polisinya, kejaksaan dengan para jaksanya, pengadilan dengan para

hakimnya dan lain-lain.

c. Kultur budaya hukum, yaitu opini-opini kepercayaan-kepercayaan

kebiasaan-kebiasaan, cara berfikir, dan cara bertindak, baik para

penegak hukum maupun dari warga masyarakat, tentang hukum

dan berbagai fenomena yang berkaitan dengan hukum.

Meninjau bagaimana sistem kerja penanganan tindak pidana terorisme,

di sini penulis menganalisa sistem penanganan lembaga-lembaga dan

instansi terkait dalam menangani terorisme, dengan menggunakan teori

teori checks and balances. guna mengetahui dan melihat bagaimana para

77 Ali, Achmad, Menguak Teori Hukum (legal Teori) & Teori Perailan (Judicialpruence)

Termasuk Interpretasi Undang-Undang (legisprudence), (Jakarta : Kencana Media Group,

2009), h. 204

Page 72: KEWENANGAN LEMBAGA PENEGAK HUKUM DALAM …

57

lembaga ini melaksanakan, penanganan, penindakan serta penanggulangan

terhadap kasus terorisme tersebut.

Kata checks dalam checks and balances berarti suatu pengontrolan yang

satu dengan yang lain, agar suatu pemegang kekuasaan tidak berbuat

sebebas-bebasnya, yang nanti akan menimbulkan kesewenang-wenangan.

Sedangkan balances merupakan suatu keseimbangan kekuasaan agar

masing-masing pemegang kekuasaan tidak cenderung terlalu kuat sehingga

menimbulkan tirani.

Mirriam Budiardjo menjelaskan bahwa ajaran mengenai checks and

balances system (sistem pengawasan dan keseimbangan) di antara lembaga-

lembaga negara mengadaikan adanya kesetaraan dan saling mengawasi satu

sama lain, sehingga tidak ada lembaga yang lebih powerfull dari yang lain.

Prinsip checks and balances bertujuan untuk menghindari adanya

pemusatan kekuasaan pada salah satu lembaga.

Untuk mengetahui bagaimanakah prinsip checks and balances dalam

sistem kerja lembaga pemberantas terorisme antara Polri, TNI, dan BNPT

ada dua hal penting untuk melihat hubungan kerja antara lembaga ini, yakni

struktur lembaga yang menangani dan kewenangan dari atau peran dari

setiap lembaga tersebut. Jika dilihat dari struktur lembaga yang menangani

kasus tindak pidana terorisme ini. Dapat diketahui bahwa Polri, TNI dan

BNPT bersifat kemitraan. yang dimana posisi Polri di sini sebagai tim

pemukul (mencegah, menangani dan menanggulangi) dibentuk sebuah tim

pasukan khusus Densus 88 anti teror untuk menanggulagi segala macam

teror mulai dari teror bom hingga kelompok kriminal bersenjata (KKB).

Pihak Polri di sini diberikan atribusi oleh undang-undang, dipercaya oleh

pemerintah untuk memberantas terorisme karna sebagai alat untuk menjaga

keamanan negara dari serangan teror ini, dibantu dengan TNI, keterlibatan

Tentara Nasional Indonesia disingkat (TNI) ini sebagai support atau backup

team jika dirasa Polri sudah tidak mampu atau tidak sanggup menangani

Page 73: KEWENANGAN LEMBAGA PENEGAK HUKUM DALAM …

58

tindak terorisme yang terjadi atau sedang berlangsung, itu pun harus mandat

dari presiden terlebih dahulu lalu dipertimbangankan oleh dewan legislatif

(DPR).

Badan Penanggulangan Nasional Terorisme (BNPT), dalam menangani

tindak pidana terorisme, pemerintah telah membuat sebuah lembaga khusus

untuk menangani kasus terorisme yang sedang melanda negara kita yang

tercinta ini. Sebuah Strategi soft approach atau strategi pendekatan tidak

langsung. Pemerintah dalam melawan terorisme dalam memberantas

tindakan teror ini menggunakan metode tambahan (soft approach)

dikarnakan usaha strategi yang dilakukan (hard approach) ternyata dinilai

masih belum cukup efektif dan efisien dalam menanggulangi kasus teror ini,

justru malah di masyarakat menimbul berbagai macam kontra. Strategi soft

approach ini antara lain mengunakan metode yang terdiri dari 90 aksi pilar

pencegahan (Kesiapsiagaan, Kontra Radikalisasi dan Deradikalisasi) yang

memiliki 8 fokus, diantaranya penguatan data pendukung, peningkatan daya

tahan kelompok rentan, peningkatan program deradikalisasi dengan

memberdayakan para tokoh agama serta psikolog untuk memberikan

Counter-Narratives78

Hubungan antara tim khusus Polri-TNI dan BNPT merupakan

hubungan mitra kerja, dibentuk untuk menangani terorisme, dengan

kedudukan yang sistematis, dengan strategi kewenangannya masing-

masing, seperti Polri-TNI dengan (hard approach) dan BNPT dengan (soft

approach). Hubungan kemitraan bermakna bahwa antara Polri-TNI dan

BNPT merupakan mitra kerja dan berkerja sama sesuai dengan tugas dan

fungsi masing-masing. Sehingga Polri-TNI dan BNPT membangun suatu

hubungan kerja yang saling mendukung bukan merupakan lawan ataupun

pesaing.

78 https://www.bnpt.go.id/meningkatkan-partisipasi-dan-sinergisitas-pelaksanaan-ran-pe-

kepala-bnpt-kita-mengedepankan-soft-approach

Page 74: KEWENANGAN LEMBAGA PENEGAK HUKUM DALAM …

59

Kerjasama/kemitraan antara Polri-TNI dan BNPT dapat dilihat dari

pelaksanaan tugas dalam menangani kasus terorisme ini. yakni Polri dalam

melaksanakan pemberantasan kelompok teroris di Indonesia berdasarkan

kebijakan yang ditetapkan pemerintah, ditangani oleh tim khusus Densus

88, dilatih khusus untuk menangani segala macam ancaman teror termasuk

teror bom. bersama dengan BNPT, menyusun kebijakan strategi dan

program nasional dibidang penanggulangan terorisme, mengkoordinasi

instansi atau lembaga pemerintah terkait dalam melaksanakan kebijakan di

bidang penanggulangan teorisme dan membentuk satuan tugas khusus dari

instansi pemerintah terkait sesuai dengan tugas, fungsi dan kewenangan

masing-masing.

Jika dilihat dari kewenangan yang dimiliki Polri-TNI dan BNPT yang

merupakan suatu keseimbangan kekuasaan agar masing-masing pemegang

kewenangan tidak cenderung terlalu kuat yaitu dalam bentuk strategi

penanggulangan terorisme, yakni hard approach dan soft approach. Dengan

melihat apakah dalam hubungan kerjasama/kemitraan antara Polri-TNI dan

BNPT terdapat kesetaraan wewenang masing-masing baik wewenang Polri-

TNI maupun wewenang BNPT.

Dalam analisis masalah ini, indikator yang menentukan terwujudnya

prinsisp checks and balances dalam hubungan kerja antara Polri-TNI dan

BNPT yaitu sebagai berikut :

a. Kedudukan antara Polri-TNI dan BNPT merupakan lembaga atau

instasi mitra kerja dalam melaksanakan penanganan dan

penanggulangan terorisme.

b. Kesetaraan wewenang dibagi menjadi dua bentuk strategi, yakni

hard approach dan soft approach termasuk didalamnya bebagai

macam tugas, fungsi dan kewenangan masing-masing.

Page 75: KEWENANGAN LEMBAGA PENEGAK HUKUM DALAM …

60

c. Adanya pengawasan dari presiden dan dewan legislatif terkait

setiap keputusan meliputi wewenang dari lembaga saat

melaksanakan penanganan tindakan terorisme (TNI).

Menurut Abdurrahman Taj memaparkan dalam kajian objek Fiqh

Siyasah, seluruh perbuatan mukallaf dan hal ihwal yang berkaitan dengan

tata cara pengaturan masyarakat dan negara sesuai dengan jiwa dan tujuan

syariat. Bebagai peraturan dan undang-undang yang dibutuhkan untuk

mengatur negara, sesuai dengan pokok ajaran agama guna merealisasikan

kemaslahatan umat manusia dan membantunya memenuhi berbagai

kebutuhan hidup. sebagaimana dalam Al-Quran surat An-nissa ayat 58:

وإذا حكمتم بين ٱلناس أن تحكموا بٱلعدل

Artinya : “ …….dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di

antara manusia supaya menetapkan dengan adil”.

Beberapa studi menyatakan bahwa hukum merupakan produk politik

sehingga karakter isi setiap produk hukum akan sangat ditentukan atau

diwarnai oleh imbangan kekuatan atau konfigurasi politik yang

melahirkannya.79 Studi lain sebaliknya berpendapat bahwa hukum suatu

bangsa sesungguhnya merupakan pencerminan kehidupan sosial budaya

bangsa dan masyarakat yang bersangkutan. 80 Pendapat ini mengandung

79Mengenal hubungan kausalitas antara politik dan hukum, antara lain misalnya dijelaskan

oleh Moh. Mahfud yang menyatakan bahwa sekurang-kurangnya ada tiga jawaban yang dapat

menjelaskannya. Pertama, hukum diterminan atas politik dalam arti bahwa kegiatan-kegiatan

politik diatur oleh dan harus tunduk pada aturan-aturan hukum. Kedua, politik diterminan atas

hukum, karna hukum merupakan hasil atau kristalisasi dari kehendak politik yang saling

berinteraksi dan (bahkan) bersaing. Ketiga, politik dan hukum sebagai sub sistem

kemasyarakatan berada pada posisi yang derajat determinasinya seimbang antara satu dengan

yang lain, karena meskipun hukum merupakan produk keputusan publik, tetapi begitu hukum

ada maka semua kegiatan politik harus tunduk pada aturan-aturan hukum. 80 Mochtar Kusumaatmadja memandang bahwa hukum sebagai kaidah social tidak lepas

dari nilai-nilai (value) social budaya yang berlaku di suatu masyarakat, bahwa ia katakana bahwa

hukum itu merupakan pencerminan dari nilai yang berlaku dalam masyarakat. Baginaya hukum

yang baik adalah hukum yang sesuai dengan hukum yang hidup (the living law) dalam

masyarakat, yang tentunya sesuai pula atau merupakan pencerminan dari nilai-nilai yang berlaku

dalam masyarakat tersebut. Mochtar tidak melihat nilai-nilai (value) dimaksud hal yang status,

tetapi dapat berubah menurut perkembangan peralihan (inrransition) masyarakat yang

bersangkutan

Page 76: KEWENANGAN LEMBAGA PENEGAK HUKUM DALAM …

61

makna bahwa produk hukum yang dibentuk seyogyanya harus sesuai

dengan aspirasi dan kesadaran hukum masyarakat.

Untuk konteks Indonesia, maka produk hukum yang dilahirkan

seyogyanya adalah produk hukum yang sesuai dengan nilai-nilai Pancasila

sebagai sumber dari segala sumber hukum yang berlaku di

Indonesia.Bekenaan dengan hal ini, Pancasila sebagai paradigm dan margin

of appreciation bahwa dalam pembentukan teori dan praktik hukum di

Indonesia harus bertumpu pada etika universal yang terkandung pada sila-

sila Pancasila seperti:

a. Tidak boleh bertentangan dengan prinsip-prinsip Ketuhanan Yang

Maha Esa yang menghormati ketertiban hidup beragama, rasa

keagamaan dan agama sebagai kepentingan yang besar;

b. Menghormati nilai-nilai Hak Asasi Manusia baik hak-hak sipil dan

politik maupun hak-hak ekonomi, sosial dan budaya the right dan

dalam kerangka hubungan antarbangsa harus saling menghormati

”the right to development”;

c. Harus mendasarkan persatuan nasional dan pada penghargaan

terhadap konsep “civic nationalism” yang mengaspirasi pluralism;

d. Harus menempatkan indeks values atau “care of democracy”

sebagai alat “audit democracy”; dan

e. Harus menempatakan “legal juctice” dalam kerangka “social

justice” dan dalam hubungan antarbangsa berupa prinsip-prinsip

“global justice”.81

2. Penanganan dan kewenangan Lembaga Penegak Hukum

Kejadian-kejadian teror yang selama ini terjadi di Indonesia merupakan

sinyal bahwa Indonesia telah merupakan salah satu target operasi terorisme

baik internasional maupun domestik. Meningkatnya kewaspadaan secara

81 Muladi, Pancasila Sebagai Dasar Pengembangan Ilmu Hukum Indonesia, Makalah

disampaikan pada seminar Nasional Dalam Rangka Dies Natalis ke-40 Universitas Pancasila,

Jakarta 07 Desember 2006, h. 11-12

Page 77: KEWENANGAN LEMBAGA PENEGAK HUKUM DALAM …

62

fisik semata-mata tidaklah cukup untuk menghadapi oraganisasi terorisme

internasional karena secara organisatoris kelompok-kelompok tersebut

sudah memiliki perencanaan dan persiapan yang sangat diperhitungkan baik

segi operasional, personil, maupun dukungan infrastuktur dan

pendanaannya.

Bagi Indonesia, pencegahan dan pemeberantasan terorisme

memerlukan adanya kecermatan pengamat atas kultur, kondisi masyarakat,

dan stabilitas politik pemerintah. Ketiga faktor tersebut sangat

mempengaruhi efektifitas undang-undang terkait. Konsep barat dan negara

Islam tentang definisi terorisme sangat sulit diterima oleh Indonesia karena

kondisi politik yang terjadi di negara-negara yang berbasis Islam berbeda

secara mendasar baik sisi latar belakang dan perkembangannya dengan yang

terjadi di Indonesia. Begitu pula masyarakat baik dari negara-negara

tersebut maupun dari negara barat berbeda dengan kultur masyarakat

Indonesia. Masyarakat Indonesia mengakui eksistensi multi agama dan

multi etnik dan hidup berdampingan secara damai.

Strategi penanggulanagan terorisme yang dilakukan oleh pemerintah

diimplementasikan melalu upaya preventif, preemtif dan represif, yang

dijelaskan sebagai berikut :

a. Upaya Preventif

Mengingat keterbatasan dari upaya penal 82 maka perlu adanya

penanggulangan kejahatan yang tidak hanya bersifat penal, akan

tetapi juga dapat mengunakan sarana-sarana atau kebijakan yang

sifatnya non-penal.

Upaya non-penal ini merupakan suatu pencegahan kejahatan,

dimana dilakukan sebelum kejahatan itu terjadi sehingga upaya

yang sifatnya preventif atau pencegahan. Ini seharusnya harus lebih

82 Penal (Penal Policy) adalah yaitu kebijakan dengan memberdayakan sistem pradilan

pidana atau Criminal Justice System (penegakan hukum pidana)

Page 78: KEWENANGAN LEMBAGA PENEGAK HUKUM DALAM …

63

diutamakan daripada upaya yang sifatnya represif. Ada pendapat

yang mengatakan bahwa mencegah lebih baik dari pada mengobati.

Demikian pula WA. Bogner mengatakan, dilihat dari efisiensi dan

efektifitas upaya pencegahan lebih baik daripada upaya yang

bersifat represif. Dalam dunia kedokteran kriminal telah disepakati

suatu pemikiran bahwa mencegah kejahatan adalah lebih baik

daripada mencoba mendidik penjahat menjadi baik Kembali, lebih

baik disini juga berarti lebih mudah, lebih murah dan lebih

mencapai tujuannya.83

Pengunaan sarana non-penal sebagai upaya untuk menanggulangi

kejahatan dapat dilakukan misalnya dengan penyantunan dan

Pendidikan sosial dalam rangka mengembangkan tanggung jawab

sosial warga masyarakat penggarapan kesehatan jiwa melalui

pendidikan formal, agama dan sebagainya; Peningkatan usaha-

usaha kesejahteraan anak dan remaja; Kegiatan patrol dan usaha

pengawasan lainya dan sebagainya.

Tujuan dari usaha-usaha non-penal adalah memperbaiki kondisi-

kondisi sosial tertentu, namun secara tidak langsung mempunyai

pengaruh preventif terhadap kejahatan. Secara umum pencegahan

kejahatan dapat dilakukan dengan beberapa metode. Metode

pertama adalah cara moralistic yang dilaksanakan dengan

penyebarluasan ajaran-ajaran agama dan moral, perundang-

undangan yang baik dan sarana-sarana lain yang dapat mengekang

nafsu untuk berbuat kejahatan. Sedangkan cara kedua adalah cara

abiliosinistik yang berusaha untuk memberantas sebab-

musababnya. Umpamanya kita ketahui bahwa faktor tekanan

ekonomi (kemelaratan) merupakan salah satu faktor penyebab,

maka usaha untuk mencapai kesejahteraan untuk mengurangi

kejahatan yang disebabkan oleh faktor ekonomi merupakan cara

83 W.A Bonger, Pengantar Tentang Kriminologi Pembangunan, (Jakarta : Pembangunan,

1995). h. 167

Page 79: KEWENANGAN LEMBAGA PENEGAK HUKUM DALAM …

64

abiliosinistik. Adapun pencegahan kejahatan melalui pendekatan

kemasyarakatan dalam mengurangi kejahatan dengan jalan

meningkatkan control social informal.84

Langkah preventif yang diambil oleh pemerintah dalam rangka

penanggulangan terhadap tindak pidana terorisme, yaitu :

1) Peningkatan pengamanan dan pengawasan terhadap senjata

api;

2) Peningkatan pengamanan terhadap sistem transportasi

3) Peningkatan pengamanan sarana public;

4) Peningkatan pengamanan terhadap sistem komunikasi

5) Peningkatan pengamanan terhadap VIP;

6) Peningkatan pengamanan terhadap fasilitas diplomatic dan

kepentingan asing;

7) Peningkatan kesiapsiagaan menghadapi serangan teroris;

8) Peningkatan pengamanan terhadap fasilitas internasional;

9) Pengawasan terhadap bahan peledak dan bahan-bahan

kimia yang dapat dirakit menjadi bom;

10) Pengetatan pengawasan perbatasan dan pintu-pintu keluar-

masuk;

11) Pengetatan pemberian dokumen perjalanan (paspor, visa

dan sebagainya);

12) Harmonisasi kebijakan visa dengan negara tetangga;

13) Penerbitan pengeluaran kartu tanda penduduk dan

administrasi kependudukan;

14) Pengawasan kegiatan masyarakat yang mengarah pada

asksi teror;

15) Intensifikasi kegiatan pengamanan swakarsa;

16) Kampanye anti-terorisme melalui media masa yang

meliputi:

84 Soedjono, Penanggulangan Kejahatan, (Bandung : Alumni, 1982), h. 22

Page 80: KEWENANGAN LEMBAGA PENEGAK HUKUM DALAM …

65

a) Peningkatan kewaspadaan masyarakat terhadap

aksi teroris;

b) Sosialisasi bahaya terorisme dan kerugian akibat

Tindakan teror;

c) Penggunaan public figures terkenal untuk

mengutuk aksi teroris;

d) Pemanfaatan mantan pelaku teroris yang telah sadar

dalam kampanye anti-terorisme;

e) Penggunaan wanted poster dan dipublikasikan;

f) Pemanfaatan mantan korban aksi terorisme untuk

menggugah empati dan solidaritas masyarakat agar

bangkit melawan terorisme;

17) Penyelenggaran pelatihan pers yang meliputi berita tentang

aksi terorisme;

18) Pelarangan penyiaran langsung wawancara dengan teroris.

b. Upaya Preemtif

Upaya preemtif dapat dilakukan melalui cara-cara sebagai berikut:

1) Pencerahan ajaran agama oleh tokoh-tokoh kharismatik dan

kredibilitas tinggi di bidang keagamaan untuk

mengeliminir eksrimisme dan radikalisme pemahaman

ajaran agama oleh kelompok-kelompok fundamentalis

garis keras.

2) Penyesuaian kebijakan politik dan pemerintahan sebagai

berikut :

a) Merespon tuntutan politik teroris dengan kebijakan

politik yang dapat mengakomodir aspirasi

kelompok radikal.

b) Pelibatan kelompok-kelompok radikal yang

potensial mengarah kepada tindakan teror dalam

penyelesaian konflik Tindakan terror dalam

Page 81: KEWENANGAN LEMBAGA PENEGAK HUKUM DALAM …

66

penyelesaian konflik secara damai melalui dialog,

negosiasi dan sebagainya.

c) Penawaran konsesi politik bagi kelompok-

kelompok yang bergerak di bawah tanah menjadi

Gerakan formal secara konstitusional.

3) Pelibatan partai politik dan organisasi kemasyarakat atau

lembaga swadaya masyarakat yang mempunyai kesamaan

atau kemiripan visi dan ideologi dalam dialog dengan

kelompok-kelompok radikal.

4) Penetapan secara tegas organisasi teroris dan organisasi

terkait sebagai organisasi terlarang dan membubarkannya.

5) Program di bidang social-ekonomi, antara lain:

a) Pengentasan kemiskinan.

b) Pemerataan pembangunan dan hasil-hasilnya.

c) Penciptaan lapangan kerja.

d) Pengembangan ketenagakerjaan.

e) Pengendalian krurikulum Pendidikan terutama di

bidang keagamaan untuk mencegah disusupkannya

ideologi-ideologi ekstrim-radikal dalam proses

Pendidikan.

6) Pemberlakuan hukum anti terhadap pelaku terorisme di

Indonesia

c. Upaya Represif

Upaya penanggulangan kejahatan pada hakekatnya merupakan

suatu usaha untuk pengamanan masyarakat (social defence) agar

masyarakat dapat terhindar dari kejahatan atau setidak-tidaknya

mengendalikan kejahatan yang terjadi agar berada dalam batas-

batas toleransi masyarakat.

Terhadap masalah kemanusiaan dan masalah kemasyarakatan ini

telah banyak usaha-usaha yang dilakukan untuk

menanggulanginya. Salah satu usaha penanggulangan kejahatan

Page 82: KEWENANGAN LEMBAGA PENEGAK HUKUM DALAM …

67

terorisme yang dilakukan adalah dengan menggunakan sarana

penal yaitu menggunakan hukum pidana dengan sanksinya yang

berupa pidana.

Penanggulangan kejahatan dengan menggunakan hukum pidana

merupakan cara yang paling tua, setua peradaban manusia itu

sendiri.85 Akan tetapi ini tidak berarti bahwa penggunaan pidana

sebagai salah satu cara untuk menanggulangi kejahatan.

Langkah represif yang dilakukan oleh pemerintah dalam rangka

melakukan penanggulangan terhadap tindak pidana terorisme

adalah sebagai berikut :

1) Pembentukan badan penanggulangan tindak pidana

terorisme, serta pembentukan satuan khusus sebagai

Langkah pemberantasan tindak pidana terorisme.

2) Penyerbuan terhadap tempat persembunyian pelaku

terorisme.

3) Penjatuhan sanksi pidana yang tegas terhadap pelaki tindak

pidana terorisme yang telah terbukti bersalah berdasarkan

bukti-bukti yang ada

Menyadari pentingnya peran personil dalam mengimbangi

kemajuan teknologi dan modus operandi berbagai jenis kejahatan

termasuk terorisme, Polri berupaya untuk meningkatkan kualitas

sumber daya manusia, dengan cara memperbaiki kualitas

pendidikan di lingkungan Polri, termasuk pendidikan reserse dan

intelijen di mana fungsi penyelidikan dan analisis diajarkan. Polri

juga mengadakan kerjasama pendidikan dan latihan dengan luar

negeri seperti, AS, Inggris, Australia, Jepang, Jerman dan lain-lain

serta meningkatkan kemampuan penguasaan bahasa asing dalam

rangka mempermudah berkomunikasi dengan pihak asing guna

85 Muladi dan Barda Nawawi Arief, Teori-Teori dan Kebijakan Pidana, (Bandung :

Alumni, 1992), h. 149

Page 83: KEWENANGAN LEMBAGA PENEGAK HUKUM DALAM …

68

pertukaran informasi untuk meningkatkan kemampuan deketeksi

dini.

Dalam melakukan penegakan hukum, faktor manusia (aparat) penegak

hukum menempati posisi penting. Berhasil tidaknya proses penyelesaian

perkara sangat bergantung pada manusianya, Aparat penegak hukum yang

melaksanakan tugas dengan dibarengi dedikasi yang tinggi, rasa pengabdian

yang tinggi, dan adanya kemampuan profesional yang memadai akan lebih

mendukung keberhasilan pelaksanaan tugas. Semakin professional, semakin

mempunyai wawasan yang luas dan mengantisipasi rasa keadilan yang ada

dalam masyarakat dan lebih bisa mengatasi permasalahan yang timbul

dalam pelaksanaan tugas. Pada akhirnya pelaksanaan tugas akan membawa

hasil yang optimal.

Sebaliknya, bila kurangnya kemampuan teknis dibidang penegakan

hukum, justru akan menghambat pelaksanaan penegakan hukum. Dengan

kurangnya kemampuan dari aparat penegak hukum dalam melaksanakan

tugasnya, akan membawa dampak negatif. Semakin kurangnya

kemampuan, semakin kurang tingkatkeberhasilan dalam pelaksanaan tugas,

seperti yang disampaikan pada hadist berikut :

قال إذا إذا ضي عت الأمانة فانتظر الساعة قال كيف إضاعتها يا رسول الل

أسند الأمر إلى غير أهله فانتظر الساعة

Artinya : “Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Jika

amanat telah disia-siakan, tunggu saja kehancuran terjadi." Ada seorang

sahabat bertanya; 'bagaimana maksud amanat disia-siakan? 'Nabi

menjawab; "Jika urusan diserahkan bukan kepada ahlinya, maka tunggulah

kehancuran itu." (Bukhari-6015)

Prof. Dr. Baharudin Lopa (alm.) berpendapat bahwa jelas akan menjadi

penghambat apabila aparatur penegak hukum kurang mengawasi ketentuan-

ketentuan yang mengatur batas tugas dan wewenang, belum lagi jika kurang

Page 84: KEWENANGAN LEMBAGA PENEGAK HUKUM DALAM …

69

mampu menafsirkan dan menerapka peraturan hukum menjadi tugas pokok.

Apalagi kalau mentalnya kurang dapat dipertanggungjawabkan. Meskipun

peraturan-peraturan hukum sudah memadai, aparat dalam pelaksanaanya

masih kurang memahami peraturan hukum. Dengan demikian, penegakan

hukum akan mengalami kegagalan.86

Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) merupakan

inisiatif yang dimunculkan oleh menkopolhukam RI Djoko Suyanto (kala

itu). Badan ini resmi dibentuk setelah dikeluarkannya Peraturan Presiden

Nomor 46 Tahun 2010. Badan ini sebetulnya merupakan kelanjutan dari

DKPT yang sebelumnya ada di kemenkopolhukam RI. Meskipun badan ini

mempunyai deputi dan pelatihan, BNPT tidak mempunyai kewenangan

menangani langsung, karena hal ini menjadi kewenangan Kepolisian RI.

Lembaga ini juga menjadi jawaban terhadap masalah pemberantasan

terorisme yang selama ini seolah-olah berada hanya ditangan Kepolisian.

Peran serta TNI yang telah sekian lama diabaikan dalam penanggulangan

terorisme dapan diakomodasi melalui BNPT. Bahkan BNPT mempunyai

ruang lingkup yang lebih luas lagi dalam masalah pecegahan terorisme

dengan cara mengikutsertakan Kementrian Pendidikan Nasional dan

Kementrian Agama serta lembaga-lembaga masyarakat.

Walau sudah ada Densus 88, semua unit khusus yang berkaitan dengan

penanggulangan terorisme tidak dihapus. Asumsi dasar yang muncul adalah

lebih banyak adalah lebih baik jika dapat saling bersinergi dalam mengatasi

terorisme. Akan tetapi kenyataan yang muncul dilapangan berbeda. Ego

sektoral lebih sering terjadi dilapangan karna minimnya koordinasi pada

level atas. Banyak lembaga atau institusi yang dibentuk pemerintah, apakah

itu yang lama maupun yang baru sesungguhnya tidak menjadi masalah

asalkan masing-masing mempunyai fungsi dan peranan yang jelas dan

spesifik. Sayangnya dalam pelaksanaan tugasnya, lembaga-lembaga ini

86 Alfitra, Hapusnya Hak Menuntut dan Menjalankan Pidana, (Jakarta : Raih Asa Sukses,

2012), h. 26-27

Page 85: KEWENANGAN LEMBAGA PENEGAK HUKUM DALAM …

70

kerap berada dalam posisi yang tumpah tindih. Hal ini bukan saja karena

ketidakjelasan peran tapi juga berkaitan dengan ego sektoral dan tumpah

tindihnya perangkat aturan hukum yang melingkupinnya.

Konteks aturan hukum disini yang ingin lebih digali sebenarnya

mengenai otoritas unit-unit dalam menjalankan operasinya. Didalam

kepolisian sendiri terdapat empat unit yang berkaitan dalam pemberantasan

terorisme, belum lagi adanya kementrian-kementrian yang berkaitan dengan

masalah terorisme. Didalam Peraturan Pemerintah maupun Peraturan

Presiden tidak terlihat bagaimana mekanisme kerja sama antar lembaga ini

diatur.

Begitu seriusnya masalah kejahatan terorisme dibuktikan dengan

adanya pihak yang mengusulkan agar dibentuk badan baru yang dapat

menjalin koordinasi dan tindakan intelijen dibawah satu atap. Semua usulan

lebih bersifat perubahan bentuk formal yuridis.87Permasalahan tentang siapa

yang berwenangan mengatasi masalah terorisme juga muncul setelah masih

maraknya aksi pemboman yang terakhir di J.W. Marriot dan Ritz-Carlton

pada bulan juli 2009. Presiden SBY (kala itu) kemudian memunculkan

kembali wacana tentang keterlibatan TNI dalam penanggulangan terorisme

dalam mebantu Densus 88. Perubahan modus operandi kelompok teroris

dengan sasaran penyerangan terhadap presiden dan simbol-simbol negara

yang lain juga menjadi pertimbangan khusus presiden terhadap keterlibatan

TNI.

Ancaman terorisme adalah ancaman terhadap negara dan keamanan

negara yang membutuhkan partisipasi lebih besar dari aparat, termasuk TNI.

Yang menimbulkan kekhawatiran masyarakat sipil dengan seruan presiden

SBY ini adalah absennya payung hukum dalam pemberantasan terorisme

serta pelibatan TNI akan memunculkan kekisruhan dalam pelaksanaannya.

87Abdul Wahid, Sunardi dan Muhammad Imam Sidik, Kejahatan Terorisme Perspektif

Agama, Hak Asasi Manusia & hukum, (Bandung : Refika Aditama, 2004), h. 15

Page 86: KEWENANGAN LEMBAGA PENEGAK HUKUM DALAM …

71

Tanpa kerangka hukum, koordinasi dan kewenangan hukum akan muncul

persaingan antara TNI-Polri.

Argument dalam pelibatan TNI juga merupakan amanah dari Undang-

Undang tepatnya Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 Tentang Operasi

Militer selain Perang. Menurut panglima TNI Djoko santoso (kala itu)

pengaktifan Desk Anti-Teror ini tidak akan bertentangan dengan aktivitas

Densus 88 karena sifatnya lebih kepada pendeteksian, pencegahan bersifat

persuasif selain penindakan. Fungsi pencegahan dan penindakan ini

sebetulnya mengembalikan fungsi TNI sebagai kekuatan sosial.

Agus Widjoyo (akademisi CSIS kala itu) diperlukan peraturan

pemerintah yang lebih rinci dalam menjelaskan kewenagan TNI dalam

mengatasi terorisme. Sehingga tumpah tindih dengan polri serta

kekhawatiran masyarakat diredam. Dadi Susanto, mantan Dirjen Strathan

Kemhan RI juga menyatakan untuk mensinkronkan tugas TNI-Polri perlu

Surat Kesepakatan Bersama (SKB) antara TNI dan Polri sehingga

koordinasi operasional dapat berjalan selaras.88

Jika ingin mensingkronkan kewenangan agar dapat selaras dalam

mengatasi terorisme ini, dibutuhkan adanya kepastian hukum, peran

kepastian hukum disini sebagai perangkat hukum suatu negara yang

menjamin hak dan kewajiban warga Negara.89Mengutip pendapat Sudikno

Mertokusumo, kepastian hukum merupakan salah satu syarat yang harus

dipenuhi dalam penegakan hukum. Kepastian hukum merupakan

perlindungan yustisiabel terhadap tindakan sewenang-wenang, yang berarti

bahwa seseorang akan dapat memperoleh sesuatu yang diharapkan dalam

keadaan tertentu.90 Masyarakat berharap adanya kepastian hukum, karna

dengan adanya kepastian hukum masyarakat akan lebih tertib dan hukum

88 Agus Widjoyo dan Dadi Susanto dapat dilihat di idsps.orgloption,com_docman/task,

doc_download/gid.181/Itemid.15/ 89 Fernando M. Manulang, Menggapai Hukum Berkeadilan, (Jakarta : Buku Kompas,

2007), h. 92 90 Sudikno Mertokusumo, Op, Cit, h. 160

Page 87: KEWENANGAN LEMBAGA PENEGAK HUKUM DALAM …

72

akan lebih mudah dicerna masyarakat, karna jelas substansi yang

terkandung didalam hukum. Hukum bertugas menciptakan kepastian hukum

untuk tujuan ketertiban masyarakat.

3. Kepastian hukum

Mencari dan menemukan keserasian dalam hukum tidaklah sulit dan

tidak juga mudah. Kesulitan mencapai hukum yang ideal adalah pihak-pihak

yang bersengketa atau berurusan dengan hukum dalam mencapai keputusan

atau hasil yang diterima dengan lapang dada. Kemudahan dalam mencapai

hukum yang ideal apa bila terjadi keharmonisan antara teori dan praktik.

Selain itu, hukum diharapkan dapat berkembang pesat mengikuti arus

perkembangan zaman untuk mengatur segala Tindakan atau perbuatan yang

berpotensi terjadinya perselisihan, baik perselisihan kecil maupun besar.

Membiarkan teori atau praktik berjalan sendiri-sendiri tanpa saling

melengkapi akan mempengaruhi ekosistem di dalam pelaksanaan hukum itu

sendiri. Tidak kalah penting ketika hukum tertinggal oleh zaman, dimana

arus perubahan terus terjadi mengikuti laju pertumbuhan dari masyarakat,

akan berdampak terhadap eksistensi hukum dan tingkat kepercayaan

masyarakat terhadap hukum.

Kepastian hukum disini sebagai salah satu tujuan hukum disamping

keadilan dan kemanfaatan mengandung arti adanya konsistensi dalam

penyelengaraan hukum.91 Konsistensi tersebut diperlukan sebagai acuan

atau patokan bagi perilaku manusia sehari-hari dalam berhubungan dengan

manusia lainnya. Hukum harus dilaksanakan dan ditegakkan. Setiap orang

mengharapkan dapat ditetapkannya hukum dalam hal terjadi peristiwa yang

konkrit. Bagaimana hukumnnya itulah yang harus berlaku, dan tidak boleh

91 Budiono Kusumohamidjojo, Ketertiban yang asli: problematika filsafat hukum, (Jakarta

: Grasindo, 1999), h. 150

Page 88: KEWENANGAN LEMBAGA PENEGAK HUKUM DALAM …

73

menyimpang yang disebut dengan Fiat justitia et pereat mundus (meskipun

dunia ini runtuh hukum harus ditegakkan).92

Kepastian hukum merupakan perlindungan yutisiabel terhadap

tindakan sewenang-wenangan, yang berarti bahwa seseorang akan dapat

memperoleh sesuatu yang diharapkan dalam keadaan tertentu. masyarakat

mengharapkan adanya kepastian hukum, karna dengan adanya kepastian

hukum masyarakat akan lebih tertib, hukum bertugas menciptakan

kepastian hukum karna bertujuan ketertiban masyarakt. Sebaliknya

masyarakat mengharapkan manfaat dalam pelaksanaan atau penegakan

hukum. Hukum adalah untuk manusia, maka pelaksanaan hukum atau

penegakan hukum harus memberikan manfaat atau kegunaan bagi

masyarakat.

Salah satu aspek dari asas kepastian hukum adalah penegakan hukum.

Peran yang komprehensif dari aparat penegak hukum tidak dapat dibiarkan

begitu saja. Komponen dari masing-masing lembaga yang memiliki peran

dalam mencapai kepentingan hukum harus memiliki sinergi dalam meramu

hukum saat mengimplementasikan kepentingan hukum, sehingga tidak ada

ketimpangan-ketimpangan saat memperaktikannya.

Implementasi hukum berdasarkan kaidahnya secara langsung akan

mempengaruhi tatanan hukum baik vertical maupun horizontal. Artinya

tugas dan wewenang yang dimiliki penegak hukum dapat memberikan

jaminan kepastian hukum terhadap target atau kepentingan hukum yang

hendak dicapai. Cerminan kepastian hukum yang baik dapat dilihat saat

seperangkat hukum dalam penyelanggaraannya, dilaksanakan tanpa adanya

tumpah, tindih dan hambatan dalam pelaksanaannya.

Kepastian hukum, umumnya terkait dengan hukum tertulis. Dengan

kata lain hukum tertulis lebih menjamin kepastian hukum dibandingkan

92 Sudikno Mertokusumo, Op, Cit, h. 140

Page 89: KEWENANGAN LEMBAGA PENEGAK HUKUM DALAM …

74

hukum tidak tertulis. Namun hukum tertulis bukanlah satu-satunya sumber

hukum. Dalam suatu sistem hukum, 93 terdapat suatu susunan hirarki

peraturan perundang-undangan yang bertingkat dan berjenjang. Secara

materil didalamnya terdapat struktur norma. Norma yang lebih tinggi

menjadi pedoman terhadap norma yang lebih rendah. Struktur norma

tersebut bukan merupakan derivasi94 dari fakta, sehingga ketidakcocokan

suatu norma harus dikembalikan kepada dogma yang lebih tinggi.

Norma secara umum,95 dibedakan antara norma hukum publik dan

norma hukum privat. Tujuan penormaan dalam tataurutan perundang-

undangan adalah untuk menjamin adanya kepastian hukum atas sikap tindak

yang adil dan benar didalam hubungan warga masyarakat. Beberapa asas

penting dalam mewujudkan kepastian hukum antara lain:

a. Asas lex supriori derogate leg inferiori yang berarti bahwa

peraturan perundang-undangan yang lebih rendah tingkatanya

(berada di bawahnya);

b. Asas lex posteriori derogate legi preiori yang berarti peraturan

perundang-undangan yang baru mengalahkan peraturan

perundang-undangan yang telah lama;

c. Asas lex specialis derogate legi generale yang berarti peraturan

perundang-undangan yang bersifat khusus mengalahkan

perundang-undangan yang bersifat umum;

d. Asas non-retroaktif yang berarti asas yang melarang adanya

perarturan perundang-undangan yang berlaku surut.

Jika berbicara kepastian hukum dalam penanganan tindak pidana

terorisme yang dilaksanakan oleh lembaga-lembaga penegak hukum

93 Hans Kelsen, Teori Hukum Murni, Dasar-dasar Ilmu Hukum Normatif Sebagai Ilmu

Hukum Empirik – Deskriptif, alih bahasa Sumardi, (Jakarta : Rimdi Press, 1995), h. 55 94Derivasi adalah proses pembentukan kata yang menghasilkan leksem baru (menghasilkan

kata-kata yang berbeda dari paradikma yang berbeda) pembentukan derivasi bersifat tidak dapat

diramalkan. 95Purnadi Purbacaraka, et,al, Perundang-undangan dan Yurisprudensi, (Bandung : Citra

Aditya Bakti, 1989), h. 7-10

Page 90: KEWENANGAN LEMBAGA PENEGAK HUKUM DALAM …

75

merujuk kepada faktor-faktor yang dijelaskan oleh DR. Muhammad Zaidun

S.H.,Msi, adanya suatu perangkat hukum yang demokratis dalam arti harus

aspiratif dan juga adanya suatu struktur birokrasi kelembagaan hukum yang

efisien dan efektif serta transparan, guna tumbuhnya aparat hukum yang

professional dan memiliki intregritas moral yang tinggi. Dalam sistem

pemerintahan demokratis diperlukan mekanisme check and balances.

Karena bangsa Indonesia secara tegas menyatakan bahwa Indonesia adalah

negara demokratis yang berdasarkan atas hukum. Mekanisme check and

balances bertujuan mewujudkan pemerintahan yang demokratis, yang

saling dapat mengontrol, menjaga keseimbangan antara lembaga-lembaga

negara atau yang bisa kita sebut dengan cabang-cabang kekuasaan negara.

Terwujudnya supremasi hukum dan keadilan, serta menjamin, melindungi,

dan terpenuhinya hak asasi manusia, telah tertata dengan cukup baik dalam

UUD 1945 hasil amandemen yang dilakukan sejak 1999-2002.96

4. Sarana dan Prasaran

Jaringan teroris yang sulit terlacak dan memiliki akses yang luas

membuat permasalahan terorisme menjadi sulit untuk diselesaikan. Anggota

teroris dapat memanfaatkan bebagai kemajuan teknologi global, seperti

internet dan telepon seluler untuk mempermudah berkomunikasi dengan

kelompoknya. Di samping itu, para teroris juga mempunyai kemudahan

untuk melakukan perjalanan dan transportasi lintas negara sehingga sangat

sulit untuk memutuskan rantai jaringan terorisme global tersebut.

Oleh karena itu, kualitas dan kapasitas institusi dan aparat intelijen

perlu ditingkatkan agar dapat menghadapi tantangan teknologi aksi

terorisme dan skala ancaman yang semakin meningkat. Selanjutnya kondisi

kemiskinan dan kesenjangan social yang merupakan media subur tumbuh

96https://www.mkri.id/index.php?page=web.Berita&id=7834#:~:text=Checks%20and%2

0balances%20adalah%20saling,30$2F11)%20siang%20di%20Mahkamah

Page 91: KEWENANGAN LEMBAGA PENEGAK HUKUM DALAM …

76

dan berkembangnya sel-sel dan jaringan teroris, perlu menjadi perhatian

utama pemerintah.

Dalam proses penegakan hukum, sarana dan prasarana hukum mutlak

diperlukan untuk memperlancar proses penegakan hukum. Jika tidak adanya

fasilitas atau sarana, maka tidak mungkin penegakan hukum akan

berlangsung dengan lancar dan efektif. 97Proses penegekan hukum yang

berjalan sekarang, pada umumnya ada kecendrungan sistem yang terlalu

birokratis sehingga kurang efisien dan efektif untuk mengaplikasikan

keadilan dan kepastian hukum dalam prosedur penegakan hukum yang

terjadi dilapangan, sehingga terjadi tumpah tindih dari masing-masing pihak

lembaga penegak hukum.

Banyak kekurangan dari sisi kelembagaan maupun regulasi, sudah

banyak persoalan yang dialami instansi penegak hukum terkait

penanggulanagan terorisme, seperti kurangnya jumlah personel densus 88

laluada pula keterbatasan dana dan anggaran serta SDM yang belum

seimbang dengan beban tugas dan target yang diamanahkan dan hendak

dicapai. Cepat atau lambat, jika tidak dimulai dari sekarang, kita akan

memanen persoalan mendasar yang tidak mudah diselesaikan

Peningkatan kemampuan berbagai satuan anti-teror dan intelijen dalam

menggunakan sumber-sumber primer dan jaringan informasi diperlukan

agar dapat membentuk aparat anti-teror yang professional dan terpadu dari

Polri, TNI dan BNPT. Selanjutnya, kerja sama internasional sangat perlu

ditingkatkan karena terorisme merupakan permasalahan lintas batas yang

memiliki jaringan dan jalur tidak hanya di Indonesia.

Dalam menangani sisi kekurangan penanganan terorisme Menteri

Koordinator Bidang Politik Hukum dan Keamanan (Menko Polhukam)

Mahfud MD mengungkapkan, rancangan Perpres tentang Tugas TNI dalam

97 Chairuman Harahap, Merajut Kolektivitas Melalui Supremasi Hukum, (Bandung : Cita

Pustaka Media, 2003), h. 37

Page 92: KEWENANGAN LEMBAGA PENEGAK HUKUM DALAM …

77

Mengatasi Aksi Terorisme sudah selesai. Selain itu, ia juga mengatakan

pemerintah telah berdiskusi dengan sejumlah LSM. disampaikan Mahfud

ketika berkunjung ke Markas Marinir di Cilandak. Mahfud mengatakan

masih ada beberapa hal yang perlu diperbaiki dan diharmonisasikan.

Mahfud juga menjelaskan Pelibatan TNI harus terbuka dan Partisipatif

juga meyakini pasukan elit TNI memiliki kemampuan penanggulangan

terorisme, rugi jika kemampuan tersebut tidak dimanfaatkan negara untuk

mengatasi terorisme. "Kalau kita lihat, akan sangat rugi kalau ada pasukan

hebat tidak digunakan untuk mengatasi terorisme. Denjaka, Kopassus dan

pasukan elite lainnya, TNI punya kemampuan penanggulangan terorisme,

tentu sesuai dengan skala, jenis kesulitan, dan situasi tertentu, akan tetapi

Koalisi Masyarakat Sipil Al Araf dalam keterangannya mendesak kepada

pemerintah dan DPR untuk melakukan pembahasan rancangan Perpres

tersebut secara terbuka. Al Araf juga menyebutkan bahwa rancangan

perpres tersebut menimbulkan banyak kontroversi karna adanya pihak dari

masyarakat yang menolak sejak pertama kali digulirkan melalui Kementrian

Kordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Kemenko Pulkam).

Penolakan tersebut muncul karna rancangan tersebut diyakini dapat

mengancam kehidupan demokrasi dan HAM di Indonesia 98 , dengan

memberikan kewenangan luas dan berlebihan kepada TNI dalam mengatasi

terorisme.

Al Araf mengatakan, setidaknya ada enam prinsip yang harus menjadi

landasan Perpres pelibatan TNI atasi Aksi Terorisme yaitu;

a. Tugas TNI dalam menjalankan tugas operasi militer, selain perang,

untuk mengatasi aksi terorisme, fungsinya hanya penindakan,

Menurut Araf, fungsi penindakan tersebut hanya bersifat terbatas.

Misalnya, untuk menangani pembajakan pesawat, kapal, atau

98 https://www.hukumonline.com/berita/baca/lt5fdc80aa5fb44/alasan-koalisi-agar-

pembahasan-r-perpres-pelibatan-tni-ditunda?page=2 di akses 5 januari 2021

Page 93: KEWENANGAN LEMBAGA PENEGAK HUKUM DALAM …

78

terorisme di dalam kantor perwakilan negara sahabat. Ia menilai

ruang lingkup penindakan oleh TNI tidak perlu terlibat dalam

penanganan terorisme pada obyek vital strategis. Contohnya,

dalam ancaman terorisme terhadap presiden yang sifatnya harus

aktual.

b. Penggunaan dan pengerahan TNI harus atas dasar keputusan

politik negara, yakni keputusan Presiden, itu pun dengan

pertimbangan DPR. Hal ini sesuai dengan Pasal 7 ayat (2) dan ayat

(3) jo Pasal 5 Undang-Undang (UU) Nomor 34 Tahun 2004

Tentang TNI. Menurutnya, keputusan itu harus dibuat secara

tertulis oleh Presiden. Sehingga jelas tentang maksud tujuan,

waktu, anggaran, dan jumlah pasukan dalam pelibatannya.

c. Pelibatan TNI dalam mengatasi aksi terorisme di dalam negeri

merupakan pilihan terakhir. Yakni dilakukan jika kapasitas

penegak hukum sudah tidak bisa mengatasi aksi terorisme.

d. Pelibatan TNI bersifat sementara dan dalam jangka waktu tertentu.

Pelibatan TNI dalam mengatasi aksi terorisme tidak boleh bersifat

permanen karena tugas utama TNI sejatinya adalah dipersiapkan

untuk menghadapi perang.

e. Pelibatan TNI itu harus tunduk pada norma hukum dan HAM yang

berlaku.

f. Alokasi anggaran untuk TNI dalam mengatasi aksi terorisme hanya

melalui APBN. Mengingat, fungsi TNI yang bersifat terpusat

sehingga anggaran untuk TNI hanya melalui APBN sebagaimana

diatur dalam Pasal 66 Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004.

Pendanaan diluar APBN untuk TNI (APBD dan anggaran lainnya)

memiliki problem akuntabilitas dan menimbulkan beban anggaran baru

didaerah yang sudah terbebani dengan kebutuhan membangun wilayahnya

masing-masing," jelas Araf. Ia menambahkan, pemerintah dan DPR harus

benar benar serius dan hati-hati dalam membahas rancangan Perpres

Page 94: KEWENANGAN LEMBAGA PENEGAK HUKUM DALAM …

79

tersebut. Sehingga, masukan-masukan yang sudah disampaikan masyarakat

sepatutnyadiakomodasi dalam pembahasan rancangan Perpres tersebut.

menurut Araf, Pendanaan diluar APBN untuk TNI (APBD dan anggaran

lainnya) memiliki problem akuntabilitas dan menimbulkan beban anggaran

baru didaerah yang sudah terbebani dengan kebutuhan membangun

wilayahnya masing-masing.99

99 https://nasional.kompas.com/read/2020/08/04/06374591/rancangan-perpres-pelibatan-

tni-berantas-terorisme-dikritik?page=all#page4 di akses 5 januari 2021,

Page 95: KEWENANGAN LEMBAGA PENEGAK HUKUM DALAM …

80

BAB V

PENUTUP

A. Kesimpulan

1. Lembaga yang memiliki hak dan kewenagan dalam menangulangi tindak

pidana terorisme adalah Polri (densus 88) dan satuan tugas khusus, dalam

tugasnya memiliki kewenagan untuk melacak, menangkap, dan

menagulangi aktifitas tindak pidana terorisme. Keterlibatan TNI dalam

pencegahan dan penanggulangan terorisme sesuai dengan ketentuan

perundang-undangan yang berlaku hanya pada kondisi atau situasi tertentu,

jika dirasa kekuatan Polri sudah tidak sanggup menangani. serta atas

keputusan pimpinan negara (Presiden) itu pun dengan pertimbangan dari

dewan legislatif (DPR). Sedangkan BNPT memiliki beberapa point-point

tugas yang mirip dengan lembaga penegak hukum lainnya yaitu,

penyusunan kebijakan, strategi program nasional di bidang penanggulangan

terorisme, lalu di bidang pelaksanaan deradikalisasi atau rehabilitasi para

pelaku-pelaku terorisme.

2. Sistem kerja penegakan hukum dalam menangani terorisme di Indonesia

yaitu ada 2, menggunakan hard approach dan soft approach. hard approach

yaitu dengan strategi penindakan dengan pendekatan tindak langsung,

memerangi terorisme bersamaaparat penegak hukum terkait, menggunakan

dasar-dasar hukum Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2018 Tentang

Terorisme, sementara Soft approach yaitu dengan melakukan program

deradikalisasi dan kontra radikalisasi. Dalam hal ini. Indonesia melalui

Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) telah meluncurkan

Blueprint deradikalisasi serta mendirikan pusat deradikalisasi bagi

narapidana teroris. Mengacu pada dokumen Blueprint, program

deradikalisasi mencakup rehabilitasi, reintegrasi, dan reedukasi bagi

narapidana teroris dengan memberdayakan para tokoh agama serta psikolog

untuk memberikan Counter-narratives.

Page 96: KEWENANGAN LEMBAGA PENEGAK HUKUM DALAM …

81

B. Rekomendasi

1. Kepada Lembaga-Lembaga dan Instansi Penanggulangan Terorisme

Mengutip pernyataan Widjoyo (akademisi CSIS kalaitu) diperlukan

Peraturan Pemerintah yang lebih rinci dalam menjelaskan kewenagan TNI

dalam mengatasi terorisme. Sehingga tumpah tindih dengan polri serta

kekhawatiran masyarakat diredam. Dadi Susanto, mantan Dirjen Strathan

Kemhan RI juga menyatakan untuk mensinkronkan tugas TNI-Polri perlu

Surat Kesepakatan Bersama (SKB) antara TNI dan Polri sehingga

koordinasi operasional dapat berjalan selaras dan perlu ditinjau ulang lebih

serius terhadap kekurangan dari sisi kelembagaan maupun regulasi, banyak

persoalan yang dialami instansi penegak hukum, dikarnakan kurangnya

fasilitas peralatan dan SDM yang belum seimbang dengan beban tugas dan

target yang diamanahkan.

2. Kepada Pemerintah

Perlu adanya keterangan tertulis seperti undang-undang yang tegas, agar

menjadi sumber kejelesan hukum, terkait kewenangan setiap lembaga-

lembaga yang berperan, agar kapasitas atau penyelesaiannya tidak

terhambat kala menindaklanjuti kasus tindak pidana terorisme. Masih ada

beberapa point penting yang perlu diperbaiki dan diharmonisasikan dari

sistem kerja masing-masing lembaganya. Lembaga-lembaga yang memiliki

kewenangan harus saling berkerjasama dengan pemerintah dalam

menyelaraskan pembagian porsi sistem kerja dan kewenangan dari masing-

masing lembaga penegak hukum. Harus ada kesadaran dimana, kewenangan

yang terkesan menggantung ini diselesaikan melalui ketetapan-ketetapan

hukum yang dimusyawarahkan bersama, baik dari pihak pemerintah

maupun pihak lembaga penegak hukum.

Page 97: KEWENANGAN LEMBAGA PENEGAK HUKUM DALAM …

82

Daftar Pustaka

Buku-Buku

Ahmadi, Fahmi Muhammad. dan Jaenal Aripin, Metode Penelitian Hukum, Cet

1, Lembaga Penelitian UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 2010.

Alfitra, Hapusnya Hak Menuntut dan Menjalankan Pidana, Jakarta : Raih Asa

Sukses. 2012

Ali, Achmad. Menguak Teori Hukum (legal Teori) & Teori Perailan

(Judicialpruence) Termasuk Interpretasi Undang-Undang

(legisprudence), Jakarta :Kencana Media Group. 2009

Alius, Suhardi, Memimpin dengan Hati: Pengalaman sebagai Kepala BNPT,

Jakarta : Gramedia Pustaka Utama. 2019

Ali Syafa’at, Muhammad.Tindak Pidana Teror Belenggu Baru bagi Kebebasan

dalam “terorrism, definisi, aksi dan regulasi” Jakarta : Imparsial. 2003

Budiarjo, Miriam. Dasar-Dasar Ilmu Politik, Jakarta : Gramedia Pustaka

Utama, 1998

Effendi, Erdianto. Hukum Pidana Indonesia. Bandung : Adiatama. 2014

Fatoni, Syamsul.Pembaharuan Sistem Pemidanaan Perspektif Teoritis Dan

Pragmatis Untuk Keadilan, Malang : Setara Press. 2015

Indra, Mexsasai.Dinamika Hukum Tata Negara Indonesia. Bandung : Refika

Aditama. 2011

Iqbal, Muhammad. Fiqh Siyasah-Kontekstualisasi Doktrin Politik Islam,

Jakarta : Gaya Media Pratama, 2001

Kamasa, Frassminggi. Terorisme Kebijakan Kontrra Terorisme Indonesia,

Yogyakarta : Graha Ilmu. 2015

Mardenis, Pemberantasan Terorisme Politik Internasional dan Politik Hukum

Nasional Indonesia, Jakarta : RajaGrafindo Persada. 2011

Page 98: KEWENANGAN LEMBAGA PENEGAK HUKUM DALAM …

83

Mertokusumo, Sudikno. Mengenal Hukum Suatu Pengantar, Yogyakarta :

Liberty, 2007

Marzuki, Peter Mahmud.Penelitian Hukum, Jakarta : Kencana Prenada

Media2016

Purwaka, Tommy Hendra.Metodologi Penelitian Hukum. Jakarta: PUAJ, 2007

Raharjo, Satjipto. Ilmu Hukum. Bandung : Alumni Bandung. 1986

Ridwan HR. Hukum Administrasi Negara, Jakarta : RajaGrafindo

Persada.2006

Sholahudin, Umar. Hukum dan Keadilan Masyarakat, Malang: Setara Press,

2011, hlm. 64

Soekanto, Soerjono.Faktor - Faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum,

Depok : Raja Grafindo 1983

Soekanto, Soerjono. dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif Suatu

Tinjauan Singkat, Jakarta: Rajawali Pres, 2001

Sofyan, Andi. dan Abd Asis, Hukum Acara Pidana Suatu Pengantar, Jakarta :

Kencana. 2014

Sunardi, Abdul Wahid. dan Muhammad Imam Sidik, Kejahatan Terorisme

Perspektif Agama, Hak Asasi Manusia & hukum, Bandung : Refika

Aditama. 2004

Syarif, Mujar Ibnu. dan Khamami Zada, Fiqh Siyasah Doktrin dan Pemikiran

Politik Islam, Jakarta: Erlangga, 2008

Tamitiadini, Dian. Isma Adila, Wayan Weda Asmara Dewi, Komunikasi

Bencana: Teori dan Pendekatan Praktis Studi Kebencanaan di

Indonesi, Malang : UB Press. 2019

Tim Edukasi Indonesia, All In One Tes Masuk TNI Polri, Jakarta :

Grasindo.2015

Page 99: KEWENANGAN LEMBAGA PENEGAK HUKUM DALAM …

84

Peraturan-Peraturan (Sesuai Pedoman)

Fatwa Majelis Ulama Indonesia Nomor 3 Tahun 2004 Tentang Terorisme

Salinan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP)

Salinan Peraturan Pemerintah Nomor 77 Tahun 2019 Tentang Pencegahan

Tindak Pidana Terorisme Dan Perlindungan Terhadap Penyidik,

Penuntut Umum, Hakim, Dan Petugas Kemasyarakatan

Salinan Peraturan Presiden Nomor 46 tahun 2010 Tentang Badan

Penanggulangan Terorisme

Salinan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia (UUD)1945

Salinan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 Tentang Kepolisian

Salinan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2018 Tentang Terorisme

Salinan Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 Tentang Tentara Nasional

Indonesia

Jurnal, Artikel, Karya Ilmiah

Arifin Saleh, Muhammad. Penanganan Terorisme Di Indonesia DitinjauDalam

Fiqh Siyasah Dan Hak Asasi Manusia (Ham). Skripsi UIN Syarif

Hidayatullah Jakarta. 2015

Daipon, Dahyun. Terorisme Dalam Perspektif Fiqih Siyasah. 2018

Hery Firmansyah, Upaya Penanggulangan Tindak Pidana Terorisme Di

Indonesia. 2016

R. Misdillah Almatin, Wulida. Kewenangan DPR Dalam Pengangkatan

Panglima TNI (Tinjauan Yuridis Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004

Tentang Tentara Nasional Indonesia). Skripsi UIN Syarif Hidayatullah

Jakarta. 2018

Page 100: KEWENANGAN LEMBAGA PENEGAK HUKUM DALAM …

85

Sujudi, Handoko. Implementasi Tugas Dan Wewenang Badan Nasional

Penanggulangan Terorisme Di Indonesia. 2014

Sunarto, Prinsip Checks And Balance Dalam Sistem Ketatanegaraan Indonesia.

2016

Jurnal Mahasiswa Fakultas Ushuluddin GonG. Sadawi, ”Peran Badan Nasional

Penanggulangan Terorisme (BNPT) dan Masyarakat Sipil Mencegah

Radikalisme Agama di Indonesia”, Vol. No.1. 2019

Jurnal Dinamika Sosial dan Budaya. Efi Yulistyowati, Endah Pujiastuti, Tri

Mulyani. “Penerapan Konsep Trias Politika Dalam Sistem

Pemerintahan Republik Indonesia : Studi Komparatif Atas Undang-

undang Dasar 1945 Sebelum dan Sesudah Amandemen”, Vol. 18

No.2.2016

Windarati Bustami, Febriana. Kerjasama Indonesia Dengan Arab Saudi Terkait

Penanganan Teorisme Tahun 2014-2018. Jurusan Hubungan

Internasional, Skripsi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. 2018

Website

https://www.bappenas.go.id/files/3513/4986/1937/bab-

6_2009100794529_2158_7.pdf&ved=2ahUKEwilgl3ZmbTxAhWFUn0KHbnI

CUwQFjABegQIBBAC&usg=AOvVawiZZ09el-39tS9kiZF6x3_f

https://www.bbc.com/indonesia/indonesia-

44097913#:~:text=Bom%20meledak%20di%20tiga%20gereja,kata%20seoran

g%20pejabat%20polisi%20setempat

https://www.bnpt.go.id/meningkatkan-partisipasi-dan-sinergisitas-

pelaksanaan-ran-pe-kepala-bnpt-kita-mengedepankan-soft-approach

https://www.hukumonline.com/berita/baca/lt5fdc80aa5fb44/alasan-

koalisi-agar-pembahasan-r-perpres-pelibatan-tni-ditunda?page=2

Page 101: KEWENANGAN LEMBAGA PENEGAK HUKUM DALAM …

86

https://www.mkri.id/index.php?page=web.Berita&id=7834#:~:text=Ch

ecks%20and%20balances%20adalah%20saling,30$2F11)%20siang%20di%20

Mahkamah

https://nasional.kompas.com/read/2020/08/04/06374591/rancangan-

perpres-pelibatan-tni-berantas-terorisme-dikritik?page=all#page4

https://nasional.kompas.com/read/2020/05/06/22233471/di-tengah-

pandemi-covid-19-bnpt-imbau-masyarakat-tak-terpengaruh-narasi

https://nasional.kompas.com/read/2019/11/13/12054511/kronologi-

ledakan-bom-bunuh-diri-di-polrestabes-medan?page=all

https://news.detik.com/berita/d-4740919/kronologi-penusukan-wiranto-

di-pandeglang

https://kemlu.go.id/portal/id/read/95/halaman_list_lainnya/indonesia-

dan-upaya-penanggulangan-terorisme