Upload
others
View
4
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
Analisis Penyelesian Sengketa Kewenangan Lembaga Negara yang Kewenangannya Tidak Diberikan Oleh UUD 1945 (Studi Kasus KPK
versus Polri)
Kevin Valentino, Makmur Amir
Ilmu Hukum, Fakultas Hukum, Universitas Indonesia, Jalan Lingkar Kampus Raya, Kampus FHUI, 16424, Indonesia
E-mail : [email protected]
Abstrak
Skripsi ini menjelaskan mengenai sengketa kewenangan yang terjadi di antara lembaga negara bantu KPK dengan POLRI. Kehadiran lembaga negara bantu berkembang di Indonesia pasca perubahan UUD NRI 1945. Berbagai lembaga negara bantu tersebut tidak dibentuk dengan dasar hukum yang seragam. Beberapa diantaranya berdiri atas amanat konstitusi, namun ada pula yang memperoleh legitimasi berdasarkan undang-undang. Apabila terjadi sengketa kewenangan antar lembaga negara maka Mahkamah Konstitusi berwenang untuk menyelesaikan perkara tersebut, namun di dalam pasal 24C ayat (1) UUD NRI 1945 membatasi Mahkamah Konstitusi dalam menyelesaikan sengketa kewenangan antara lembaga negara hanya terhadap lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh UUD NRI 1945, Sehingga apabila terjadi sengketa kewenangan antar lembaga negara yang kewenangannya tidak diberikan oleh UUD NRI 1945 akan terjadi kekosongan hukum. Penelitian ini menggunakan metode penelitian yuridis normatif dengan melakukan pendekatan perundang-undangan, yaitu mencari sumber data dan mencari sumber informasi melalui Undang-Undang. Data pada penelitian ini juga diperoleh melalui data yang sudah terkodifikasi dalam bentuk buku, jurnal, maupun artikel yang memiliki keterkaitan dengan penelitian ini. Hasil dari penelitian ini adalah, KPK sebagai lembaga pemberantas korupsi yang diberi kewenangan yang kuat bukan berada di luar sistem ketatanegaraan, tetapi justru ditempatkan secara yuridis di dalam sistem ketatanegaraan yang rangka dasarnya sudah ada di dalam UUD 1945, Serta belum adanya kepastian hukum mengenai proses penyelesaian sengketa kewenangan antar lembaga negara yang kewenangannya tidak diberikan oleh UUD NRI 1945.
Analysis of Settlement Authority of State Institutions That It’s authority Not Provided by UUD NRI 1945 Constitution (Case Study KPK versus
Police)
Abstract
This thesis explains KPK’s legal standing as a state auxilary organ in the constutional system of Republic of Indonesia, and the analysis of the dispute between KPK and POLRI. The existence of State Auxilary Organ has been developing since the amandment of the Republic of Indonesia Constitution of 1945. Some state auxilary organs were not established at the same legal ground. Some were established by the delegation of The Constitution, some were legitimated by Indonesian laws. In an event of dispute between the organs, The Constitutional Court has the jurisdiction to settle those matters. Article 24C no. 1 of The Constitution limits the Constitutional Court competence to only conduct dispute settlements between the organs established by The Constitution. So, in the matter of disputes between the organs established by another Indonesian laws, it will constitute an absence of law. This thesis uses a jurisdical-normative method. The author uses different sources; laws and codified data such as books, journals, and articles related to this thesis. The conclusion of this thesis is that firstly, KPK belongs to the constitutional system, supported by the authority delegation from The Constitution. Secondly, there is an uncertainty in Indonesian law regarding the competence dispute of the state auxilary organs established by other Indonesian laws. Keywords : State Auxiliary Organs, Authority, Dispute, Corruption, KPK, POLRI, The Constitutional Court.
Analisis Penyelesaian ..., Kevin Valentino, FH UI, 2016
Pendahuluan
Sejak terjadinya amandemen Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
selama empat kali mulai dari tahun 1999 sampai dengan 2002 telah banyak terdapat
perubahan yang mendasar pada sistem ketatanegaraan di Indonesia. Salah satu hasil dari
perubahan konstitusi yang mendasar tersebut adalah beralihnya supremasi MPR menjadi
supremasi konstitusi. Sejak masa reformasi MPR tidak lagi sebagai lembaga tertinggi negara
sehingga semua lembaga negara sederajat kedudukannya dalam sistem checks and balances1,
hal ini merupakan konsekuensi dari supremasi konstitusi, dimana konstitusi diposisikan
sebagai hukum tertinggi yang mengatur dan membatasi kekuasaan lembaga-lembaga
penyelenggara negara sehingga hubungan antara lembaga-lembaga negara yang ada bersifat
horizontal saja dan tidak ada yang lebih tinggi atau lebih rendah.2 Kemudian dalam hal
kelembagaan negara juga banyak mengalami perubahan, mulai dari adanya lembaga negara
baru yang ditambah dalam amandemen dan ada juga lembaga negara yang dihapus dari
struktur kelembagaan negara setelah perubahan UUD Negara RI Tahun 1945.
Dalam kurun waktu yang cukup lama, konsep klasik trias politica yang dikembangkan oleh
Baron de Montesquieu dikenal luas dan digunakan di banyak negara sebagai dasar
pembentukan struktur kenegaraan. Konsep ini membagi tiga fungsi kekuasaan, yaitu
legislatif, eksekutif, dan yudikatif.3 Montesquieu mengidealkan ketiga fungsi kekuasaan
negara itu dilembagakan masing-masing dalam tiga organ negara yang berbeda. Setiap organ
menjalankan satu fungsi dan satu organ dengan organ lainnya tidak boleh saling mencampuri
urusan masing-masing dalam arti mutlak.
Zaman yang semakin berkembang ternyata menghendaki negara memiliki struktur organisasi
yang lebih responsif terhadap tuntutan masyarakat. Terwujudnya efektivitas dan efisiensi
baik dalam pelaksanaan pelayanan publik maupun dalam pencapaian tujuan penyelenggaraan
pemerintahan juga menjadi harapan masyarakat yang dibebankan kepada negara.
Perkembangan tersebut memberikan pengaruh terhadap struktur organisasi negara, termasuk
bentuk serta fungsi lembaga-lembaga negara. Sebagai jawaban atas tuntutan perkembangan
tersebut, berdirilah lembaga-lembaga negara baru yang dapat berupa dewan (council), komisi
1Jimly Asshiddiqie (a), Perkembangan dan Konsolidasi Lembaga Negara Pasca Reformasi, Cet. Ke-2, (Jakarta:Konstitusi Press, 2006), hlm. 49.
2Ibid. 3 Jimly Asshiddiqie (b), Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara Jilid II, (Jakarta: Konstitusi Press, 2006),
hlm. 13.
Analisis Penyelesaian ..., Kevin Valentino, FH UI, 2016
(commission), komite (committee), badan (board), atau otorita (authority).4 Di Indonesia
munculnya lembaga-lembaga negara baru terjadi setelah dilakukannya perubahan terhadap
UUD Negara RI Tahun 1945. Lembaga-lembaga baru itu biasa dikenal dengan istilah state
auxiliary organs atau state auxiliary institutions yang dalam bahasa Indonesia diartikan
sebagai lembaga negara bantu dan merupakan lembaga negara yang bersifat sebagai
penunjang.5
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) merupakan lembaga yang menjadi bagian dari agenda
pemberantasan korupsi yang merupakan salah satu agenda terpenting dalam pembenahan tata
pemerintahan di Indonesia. 6 Berdasarkan hierarki perundang-undangan, maka landasan
yuridis pembentukan dan pemberian wewenang merupakan ketentuan dari Pasal 43 Undang-
undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, dan melalui
Undang-undang Nomor 30 Tahun 2002 Tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi, komisi ini pun sah didirikan dan memiliki legitimasi untuk menjalankan tugasnya
mulai tanggal 27 Desember 2002.
Tinjauan Teoritis
Kekuasaan dapat dibagi secara horizontal menurut fungsinya dimana pembagian tersebut
berdasarkan perbedaan atas fungsi-fungsi pemerintahan berdasarkan sifat legislative,
eksekutif, dan yudikatif, dimana konsep ini dikenal dengan nama trias politica atau
pembagian kekuasaan (division of power).7 Berdasarkan konsep trias politica, Montesquieu
dalam bukunya L’Esprit des Lois menyatakan bahwa terdapat tiga bagian kekuasaan di setiap
Negara yang dimunculkan kedalam struktur pemerintahan, sebagai berikut: (1) kekuasaan
yang berhubungan dengan pembentukan hukum atau undang-undang yang disebut kekuasaan
legislatif; (2) kekuasaan yang berhubungan dengan penerapan undang-undang yang disebut
kekuasaan eksekutif; serta (3) kekuasaan yang berwenang mengadili atas pelanggaran
undang-undang yang disebut kekuasaan yudikatif.8
4 Jimly Asshiddiqie (a), Opcit., hlm. 5. 5Ibid., hlm. 8. 6 Mahmuddin Muslim, Jalan Panjang Menuju KPTPK, (Jakarta: Gerakan Rakyat Anti Korupsi
(GeRAK) Indonesia, 2004), hlm. 33. 7 Miriam Budiardjo, Dasar-dasar Ilmu Politik, cet. Ke-27, (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama,
2005), hlm. 138. 8Ibid., hlm. 152.
Analisis Penyelesaian ..., Kevin Valentino, FH UI, 2016
Sebenarnya awal munculnya konsep mengenai pemisahan kekuasaan dimulai dari buku John
Locke yaitu Second Treaties of Civil Government yang menyatakan bahwa kekuasaan dalam
menetapkan aturan hukum tidak boleh berada di satu pihak yang menerapkan hukum
tersebut.9 Pada Bab XII buku tersebut yang berjudul “Of the Legislative,Executive, and the
Federative Power of the Commonwealth”, John Locke menyatakan terdapat tiga kekuasaan di
dalam suatu Negara yaitu legislatif, eksekutif, dan federatif. Perbedaan dengan konsep
Montesquieu maka pada konsep trias politica Locke tidak mengenal kekuasaan yudikatif,
namun terdapat kekuasaan federatif yang meliputi kekuasaan mengenai perang dan damai,
pembuatan perserikatan dan aliansi, serta berbagai tindakan yang berkaitan dan dilakukan
oleh pihak-pihak baik badan maupun perorangan yang ada di luar negeri.10
Kesamaan pemikiran Locke dan Montesquieu adalah keduanya menempatkan kekuasaan
eksekutif sebagai kekuasaan yang menjalankan undang-undang. Perbedaannya adalah Locke
menyatakan wewenang untuk mengadili berada pada lingkup eksekutif sementara
Montesquieu menempatkan kewenangan mengadili pada kekuasaan yudikatif. Selain itu
Montesquieu memposisiskan kewenangan federatif pada kekuasaan eksekutif sementara
Locke menyatakan bahwa kekuasaan federatif tidak boleh digabungkan kedalam kekuasaan
eksekutif.11
Selain teori-teori yang diungkapkan oleh Locke maupun Montesquieu adapun ahli hukum
dari Belanda yaitu Cornelis Van Vollenhoven yang memiliki pernyataan bahwa didalam
suatu Negara harus terdapat pembagian fungsi kekuasaan. Konsep yang dikemukakan oleh
Van Vollenhoven ini sering disebut dengan nama catur praja yang membagi fungsi
kekuasaan menjadi empat bagian dimana keempat bagian tersebut adalah sebagai berikut.
Pertama, regeling atau fungsi pengaturan yang menyerupai fungsi legislatif dalam konsep
trias politica.12 Fungsi kedua yaitu bestuur yang artinya pemerintahan dalam arti sempit dan
menyerupai kekuasaan eksekutif dalam konsep Montesquieu. Dalam hal ini terdapat
perbedaan antara konsep Montesquieu dengan bestuur dimana menurut Van Vollenhoven
tidak hanya menjalankan undang-undang namun juga bertugas dalam melaksanakan seluruh
kewajiban Negara, termasuk dalam hal menyelenggarakan kepentingan umum,
9 Jimly Asshiddiqie (b), Op. cit, hlm. 15. 10 Moh. Kusnardi dan Harmaily Ibrahim, Pengantar Hukum Tata Negara Indonesia, cet. ke-7, (Jakarta:
Pusat Studi Hukum Tata NegaraFakultas Hukum Universitas Indonesia, 1988), hlm. 140. 11Ibid., hlm. 141. 12 Jimly Asshiddiqie (b), Op. cit., hlm. 14.
Analisis Penyelesaian ..., Kevin Valentino, FH UI, 2016
mempertahankan hukum secara preventif, mengadili (menyelesaikan perselisihan), dan
membuat peraturan.13 Fungsi yang ketiga yaitu rechtspraak atau fungsi peradilan yang
menyerupai dengan kekuasaan yudikatif dalam konsep trias politica. Fungsi terakhir yaitu
politie adalah fungsi dalam menjaga ketertiban di masyarakat (social order) dan
perikehidupan bernegara.14
Selanjutnya didalam buku The Law and the Constitution yang ditulis oleh Sir Ivor Jennings
mengeluarkan teori yang menyanggah pemisahan kekuasaan dalam trias politica berdasarkan
pada apa yang terjadi di Inggris, dimana lembaga eksekutif turut serta dalam proses
pembuatan undang-undang.15 Jennings menyatakan bahwa trias politica yang dikemukakan
oleh Montesquieu sulit untuk diterapkan dalam penyelenggaraan suatu pemerintahan.
Seringkali kenyataan menunjukkan bahwa konsep pemisahan kekuasaan hanya dilakukan
secara formil namun tidak dapat dipertahankan secara tegas, dimana konsep ini lebih tepat
disebut pembagian kekuasaan (distribution of power).16 Jennings memberikan gambaran jika
pembuatan undang-undang di suatu Negara dilakukan oleh lembaga legislatif dan lembaga
eksekutif maka konstitusi negara tersebut menganut asas pembagian kekuasaan.17 Disisi lain
Arthur Mass menggunakan istilah divison of power dalam menyebut pembagian kekuasaan
dimana terminologi tersebut dibagi menjadi dua, yaitu: (1) capital division ofpower yang
artinya pembagian kekuasaan yang bersifat fungsional serta mengandung pengertian
pembagian kekuasaan secara horizontal; serta (2) territorial division of power yang artinya
pembagian kekuasaan secara vertikal untuk menyebut pembagian kekuasaan yang bersifat
wilayah atau daerah.18
Untuk memahami istilah organ atau lembaga negara secara lebih dalam, kita dapat
mendekatinya dari pandangan Hans Kelsen mengenai the concept of the State Organ dalam
bukunya General Theory of Law and State. Hans Kelsen menguraikan bahwa ”Whoever
fulfills a function determined by the legal order is an organ” yang dapat diartikan siapa saja
13 Kusnardi dan Ibrahim, Op. cit., hlm. 147. 14Ibid. 15Ibid., hlm. 143. 16Ibid. 17Ibid. 18 Jimly Asshiddiqie (b), Op. cit., hlm. 18
Analisis Penyelesaian ..., Kevin Valentino, FH UI, 2016
yang menjalankan suatu fungsi yang ditentukan oleh suatu tata hukum (legalorder) adalah
suatu organ.19
Artinya, organ negara itu tidak selalu berbentuk organik. Di samping organ yang berbentuk
organik, lebih luas lagi, setiap jabatan yang ditentukan oleh hukum dapat pula disebut organ,
asalkan fungsi-fungsinya itu bersifat menciptakan norma (norm creating) dan/atau bersifat
menjalankan norma (norm applying).20 Di samping pengertian luas itu, Hans Kelsen juga
menguraikan adanya pengertian organ negara dalam arti yang sempit, yaitu pengertian organ
dalam arti materiil. Individu dikatakan organ negara hanya apabila ia secara pribadi memiliki
kedudukan hukum yang tertentu (...he personally has a spesific legal position).21
Metode Penelitian
Metode penelitian yang digunakan penelitian ini adalah metode penelitian yuridis normatif,
artinya mengacu kepada norma hukum yang terdapat di dalam peraturan perundang-
undangan serta kebiasaan-kebiasaan yang berlaku di masyarakat.22 Secara spesifik penelitian
ini merupakan penelitian perbandingan hukum, yakni penelitian yang dilakukan terhadap
berbagai sistem hukum yang berlaku dalam suatu masyarakat tertentu, atau membandingkan
pengertian dasar dalam tata hukum tertentu.23 Dalam penelitian ini, sifat penelitiannya adalah
deskriptif analitis dimana penulis akan menyajikan analisis dan gambaran lengkap prinsip
tanggung jawab hukum maskapai penerbangan dalam pemberian ganti kerugian yang
digunakan dalam masyarakat internasional dan nasional.
Hasil Penelitian
Dalam naskah UUD NRI Tahun 1945, organ-organ yang dimaksud, ada yang disebut secara
eksplisit namanya, dan adapula yang disebutkan eksplisit hanya fungsinya. Ada pula lembaga
19 Jimly Asshiddiqie (a), Opcit., hlm. 36. 20Ibid. 21Ibid., hlm. 37 22 Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Peranan dan Pengunaan Kepustakaan di dalam Penelitian
Hukum, (Jakarta: Pusat Dokumentasi UI, 1979), hlm. 18.
23 Sri Mamudji,et.al., Metode Penelitian dan Penulisan Hukum, (Depok : Badan Penerbit Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2005), hlm.7-11.
Analisis Penyelesaian ..., Kevin Valentino, FH UI, 2016
atau organ negara yang disebut baik namanya maupun fungsinya akan diatur dengan
peraturan yang lebih rendah. Dalam perkembangannya, pasca amandemen UUD 1945
terdapat dua pendapat yang berbeda dalam menafsirkan mana lembaga negara dan mana yang
bukan lembaga negara yang kewenangannya diberikan lebih lanjut dalam/oleh undang-
undang. Selain itu pula berkembang pula pembagian antara antara lembaga negara utama
(main state organ) dan lembaga negara bantu (auxilary state organ) yaitu pembagian
lembaga negara yang mengacu pada ajaran trias politica.24 Secara teoritis ada dua jenis
lembaga negara yaitu:
1. Lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh UUD 1945 (constituanally
entrusted power); dan
2. Lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh norma hukum lainnya
(legislatively entrusted power).25
Pengklasifikasian semacam ini didasarkan pada salah satu kewenangan Mahkamah Konstitusi
dalam menyelesaikan sengketa kewenangan antar lembaga yang kewenangannya diberikan
oleh UUD sebagaimana yang diatur dalam ketentuan Pasal 24C UUD 1945.
Titik Triwulan Tutik menyatakan bahwa UUD NRI 1945 menetapkan 4 (empat) kekuasaan
dan 7 (tujuh) lembaga negara yakni,
1) Kekuasaan eksaminatif (inspektif) yaitu Badan Pemeriksa Keuangan;
2) Kekuasaan legislatif yaitu Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) yang
tersusun atas Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan Dewan Perwakilan Daerah
(DPD);
3) Kekuasaan eksekutif (pemerintahan negara) yaitu Presiden dan Wakil Presiden;
4) Kekuasaan kehakiman (yudikatif) yaitu Mahkamah Agung dan Mahkamah
Konstitusi; dan
5) Lembaga negara bantu (the auxiliary body).26
Sedangkan Menurut Jimly Asshiddiqie, di tingkat pusat dapat dibedakan ke dalam empat
tingkatan kelembagaan, yaitu:
24 Romi Librayanto, Trias Politica Dalam Struktur Ketatanegaraan Indonesia, (Makasar: PUKAP,
2008), hlm. 51. 25Ibid., hlm. 53. 26 Titik Triwulan Tutik, Pokok-Pokok Hukum Tata Negara Indonesia Pasca Amandemen UUD 1945,
(Jakarta: Cerdas Pustaka Publisher, 2008), hlm. 91.
Analisis Penyelesaian ..., Kevin Valentino, FH UI, 2016
1) Lembaga yang dibentuk berdasarkan UUD yang diatur dan ditentukan lebih
lanjut dalam atau dengan Undang-Undang, Peraturan Pemerintah, Peraturan
Presiden, Keputusan Presiden;
2) Lembaga yang dibentuk berdasarkan Undang-Undang yang diatur atau
ditentukan lebih lanjut dalam atau dengan Peraturan Pemerintah, Peraturan
Presiden, dan Keputusan Presiden;
3) Lembaga yang dibentuk berdasarkan Peraturan Pemerintah atau Peraturan
Presiden yang ditentukan lebih lanjut dengan Keputusan Presiden; dan
4) Lembaga yang dibentuk berdasarkan Peraturan Menteri yang ditentukan lebih
lanjut dengan Keputusan Menteri atau keputusan pejabat di bawah menteri.27
Lembaga Negara pada tingkatan konstitusi misalnya adalah Presiden, Wakil Presiden, Dewan
Perwakilan Rakyat (DPR), Dewan Perwakilan Daerah (DPD), Majelis Permusyawaratan
Rakyat (MPR), Mahkamah Agung (MA), Mahkamah Konstitusi (MK), Badan Pemeriksa
Keuangan (BPK), Kewenangannya diatur dalam UUD, dan dirinci lagi dalam UU, meskipun
pengangkatan para anggotanya ditetapkan dengan Keputusan Presiden sebagai pejabat
administrasi negara yang tertinggi.28 Lembaga negara tingkat kedua adalah lembaga negara
yang dibentuk berdasarkan undang-undang yang berarti sumber kewenangannya bersumber
dari pembentuk undangundang. Sehingga pembentukan dan pembubaran lembaga-lembaga
negara tersebut melibatkan DPR dan Presiden sebagai pembentuk undang-undang. Lembaga
negara tingkat kedua ini seperti Kejaksaan Agung, Bank Indonesia, Komisi Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi (KPK), dll.29
Terdapat beberapa istilah yang berkenaan dengan state auxiliary organs. Ada yang
menyebutnya sebagai komisi negara, state auxiliary agencies, state auxiliary bodies, serta
ada yang menyebutnya sebagai lembaga negara independen. Pengertian state auxiliary
organs menurut beberapa pakar adalah sebagai berikut, Asimow mengungkapkan bahwa
komisi negara adalah “units of government created by statute to carry out spesific tasks in
implementing the statute. Most administrative agencies fall in the excecutive branch, but
some important agencies are independent”.30 Lebih lanjut, Funk dan Seamon menyatakan
27 Jimly Asshiddiqie (a), Op. cit., hlm. 49-51. 28 Ni’matul Huda, Lembaga Negara dalam Masa Transisi Demokrasi, (Yogyakarta: UII Press, 2007),
hlm. 90. 29Ibid. 30 Denny Indrayana, Negara Antara Ada dan Tiada Reformasi Hukum Ketatanegaraan, (Jakarta:
Kompas Media Nusantara, 2008), hlm. 264-265.
Analisis Penyelesaian ..., Kevin Valentino, FH UI, 2016
komisi independen itu tidak jarang mempunyai kekuasaan “quasi legislative”, “executive
power”, dan “quasi judicial”.31
Menurut John Alder yang berjudul Constitutional and Administrative Law, terdapat
pemaparan 5 (lima) alasan utama dibentuknya lembaga negara bantu dalam suatu
pemerintahan, yaitu sebagai berikut:32
a. Adanya kebutuhan untuk menyediakan pelayanan budaya dan pelayanan yang bersifat
personal yang diharapkan bebas dari risiko campur tangan politik.
b. Adanya keinginan untuk mengatur pasar dengan regulasi yang bersifat non-politik.
c. Perlunya pengaturan mengenai profesi-profesi yang bersifat independen, seperti
profesi di bidang kedokteran dan hukum.
d. Perlunya pengadaan aturan mengenai pelayanan-pelayanan yang bersifat teknis.
e. Munculnya berbagai institusi yang bersifat semi yudisial dan berfungsi untuk
menyelesaikan sengketa di luar pengadilan (alternative dispute resolution/ alternatif
penyelesaian sengketa).
Kemudian menurut Gerry Stoker, terdapat pembagian bentuk lembaga negara bantuan
yang didasarkan atas asal sumber daya pelaksanaan lembaga tersebut, dan latar belakang
pengisian anggota-anggotanya. Bentuk-bentuk lembaga tersebut adalah:33
a. Central government’s ‘arm’s-length’ agency, yaitu lembaga yang penyediaan sumber
dayanya terutama berasal dari pemerintah pusat dan keanggotaannya diisi atas
perintah pemerintah pusat.
b. Local authority implementation agency, yaitu lembaga yang penyediaan sumber
dayanya terutama melalui pemerintah daerah/lokal dan pengisian keanggotaannya
menjadi wewenang pemerintah daerah/lokal.
c. Public/private partnership organisation, merupakan lembaga yang dibentuk atas
partisipasi badan-badan lain yang bersifat publik maupun privat. Anggotanya adalah
individu-individu yang berasal dari badan partisipan.
31Ibid., hlm. 266. 32 John Alder, Constitutional and Administrative Law, (London: The Macmillan Press LTD, 1989), hlm.
225. 33 Gerry Stoker, The Politics of Local Government, 2ndedition, (London: The Macmillan Press LTD,
1991), hlm. 64-77.
Analisis Penyelesaian ..., Kevin Valentino, FH UI, 2016
d. User organisation, yaitu lembaga yang sumber dananya berasal dari sektor publik dan
komposisi anggotanya didominasi oleh para pengguna jasa.
e. Inter-governmental forum, merupakan lembaga yang mewakili badan-badan di sektor
publik dan pendanaannya berasal dari badan-badan yang berpartisipasi tersebut.
f. Joint boards, yaitu lembaga yang didirikan oleh pemerintah-pemerintah daerah/lokal
yang ingin berpartisipasi.
Inisiatif dibentuknya Lembaga Negara Bantu di Indonesia bermula dari kehendaknegara
untuk membuat lembaga negara baru yang independen. Independensi tersebut terlihat dari
perekrutan anggota dariunsurnon-negara, tetapi tidak lepas dari otoritas negara, digaji oleh
negara tanpa harus menjadi pegawai negara. Gagasan lembaga negara bantu sebenarnya
berawal dari keinginan negara yang kuat untuk berhadapan langsung dengan masyarakat dan
untuk memberikan kesempatan kepada masyarakat dalam hal pengawasan.
Hubungan antar lembaga negara diikat oleh prinsip checks and balances, dalam
prinsiptersebut lembaga-lembaga negara itu diakui sederajat dan salingmengimbangi satu
samalain.Sebagai implikasi adanya mekanisme checks and balances pada hubungan yang
sederajat itu, ada kemungkinan dalam pelaksanaan kewenangan masing-masing lembaga
negara timbul perselisihan. Mekanisme hubungan satu sama lain sangat perlu diatur
menurut prinsip hukum. Jika timbul persengketaan dalam menjalankan kewenangan
konstitusionalnya masing-masing, diperlukan lembaga pemutus menurut UUD 1945.
Fungsi pemutus itulah yang diamanatkan kepada lembaga Mahkamah Konstitusi sebagai
salah satu kewenangannya dalam mengawal tegaknya konstitusi sebagai hukum tertinggi
(the highest law of the land).34
Pembahasan
Masalah korupsi sepertinya akan selalu menjadi masalah dalam kehidupan masyarakat
Indonesia. Urusan pemberantasan kejahatan korupsi selalu menjadi perhatian masyarakat
yang cukup menyibukan pemerintah. Kemudian, salah satu inisiatif pemerintah yaitu dengan
membuat sebuah regulasi guna pencegahan adanya tindak pidana korupsi, kolusi dan
34 Jimly Asshiddiqie (d), Sengketa Kewenangan Konstitusional Lembaga Negara, (Jakarta: Konstitusi Press, 2006), hlm. 11.
Analisis Penyelesaian ..., Kevin Valentino, FH UI, 2016
nepotisme yang terdapat pada Tap MPR No. XI/MPR/1998 Tentang Penyelenggara Negara
Yang Bersih dan Bebas Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme sebagai dasar dari pembuatan
regulasi yang terkait dengan tindak pidana korupsi.35 Dengan diundangkannya UU No. 31
Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang kemudian dilakukannya
perubahan menjadi UU No. 20 Tahun 2001 Tentang perubahan atas UU No. 31 Tahun 1999
Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi secara substansial mengamanahkan adanya
pembentukan lembaga Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).36
KPK adalah lembaga negara yang memiliki sifat independen dengan memiliki tugas serta
beberapa wewenang dalam pelaksanaannya serta terbebas dari pengaruh maupun kekuasaan
manapun.37 Oleh karena itu, KPK dibentuk berdasarkan pada UU No. 30 Tahun 2002
Tentang Komisi Pemberantasan TIndak Pidana korupsi, KPK diberikan amanat untuk
melakukan pemberantasan di bidang korupsi secara profesional, intensif, dan
berkesinambungan yang memiliki sifat independen dalam melaksanakan tugas dan
wewenangnya.38
Pemberlakuan terhadap Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 ini, maka resmi muncul
Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang selanjutnya disebut Komisi
Pemberantasan Korupsi (KPK). Status hukum komisi ini secara tegas ditentukan sebagai
lembaga negara yang dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya bersifat independen dan
bebas dari pengaruh kekuasaan manapun. Pembentukan komisi ini bertujuan untuk
meningkatkan daya guna dan hasil guna upaya pemberantasan tindak pidana korupsi yang
sudah berjalan sejak sebelumnya. Dalam menjalankan tugas dan wewenang itu, komisi
bekerja berdasarkan asas-asas:
a. Kepastian hukum;
b. Keterbukaan;
c. Akuntabilitas;
d. Kepentingan umum; dan
e. Proposionalitas.39
35 Komisi Pemberantasan Korupsi, “Rencana Stratejik Komisi Pemberantasan Korupsi”,
http://acch.kpk.go.id/documents/10180/21464/Strategic_plan_2008_to_2011_id.pdf., diunduh 1 Desember 2015.
36Ibid. 37Ibid. 38Komisi Pemberantasan Korupsi, “Sekilas KPK”, http://www.kpk.go.id/id/tentang-kpk/sekilas-kpk,
diunduh 1 Desember 2015. 39 Indonesia, Undang-Undang Komisi Pemberantasan Korupsi, UU No. 30 Tahun 2002, LN No. 137
Tahun 2002, TLN No. 4250, Ps. 5.
Analisis Penyelesaian ..., Kevin Valentino, FH UI, 2016
Namun adanya pergantian terhadap UU yang terkait dengan pemberantasan korupsi dengan
perubahan atas perundang-undangan pemberantasan tindak pidana korupsi, senantiasa terjadi
pada masa-masa peralihan situasi politik. Sebagai contoh, lahirnya Peraturan Penguasa
Militer Nomor: Prt/PM/06/1957 dan Peraturan Penguasa Perang Pusat Nomor:
PRT/PEPERPU/013/1958 yang berada dalam situasi politik setelah Republik Indonesia
memperoleh kemerdekaan dan sistem politik pemerintahan berdasarkan UUD sementara
1950.40
Dilihat dari kelembagaannya, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) adalah lembaga negara
yang bersifat independen dan berkaitan dengan kekuasaan kehakiman tetapi tidak berada
dibawah kekuasaan kehakiman. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) di Indonesia yang
sifatnya independen masih sering di perdebatkan karena masih kurang jelasnya keberadaan
lembaga tersebut. Hal ini sangat mencemaskan banyak kalangan terkait penataan
kelembagaan yang kurang sempurna dalam sistem ketatanegaraan. Disamping itu, arti dari
sistem ketatanegaraan tersebut mengacu kepada pengaturan lembaga negara. Dengan adanya
permasalahan tersebut maka pengaturan negara masih sangat kurang dan belum mencapai
sistem ketatanegaraan yang baik. Sehingga diperlukan suatu penataan sistem ketatanegaraan
yang lebih efektif dan efisien dengan adanya banyaknya lembaga negara yang baru seperti
Komisi Pemberantasan Korupsi. Dengan melihat keadaan negara ini, maka masih di
perlukannya lembaga yang menangani khusus tentang tindak pidana korupsi dikarenakan
adanya suatu akibat dari sistem pada penyelenggaraan pemerintahan yang tidak tertata secara
tertib serta tidak ada pengawasan ketat, dikarenakan landasan hukum yang di pergunakan
secara substansial masih memiliki banyak kelemahan-kelemahan dalam penerapannya.41
Dengan merujuk pada putusan Mahkamah Konstitusi menjelaskan tentang kelahiran institusi
institusi demokrasi dan “lembaga-lembaga negara” dalam berbagai bentuk diantaranya yang
paling banyak di Indonesia adalah dalam bentuk komisi-komisi. Dalam penjelasan MK
disebutkan bahwa:42
40 Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan, “Strategi Pemberantasan Korupsi Nasional”, 1999,
hlm. 23. 41 Romli Atmasasmita, Sekitar Masalah Korupsi Aspek Nasional dan Aspek International, (Bandung:
Mandar Maju, 2004), hlm. 2. 42 Putusan Mahkamah Konstitusi Perkara No.005/PUUI/ 2003, hlm. 13.
Analisis Penyelesaian ..., Kevin Valentino, FH UI, 2016
“Komisi Independen yang lahir ini memang merupakan sebuah konsekwensi logis
dari sebuah negara demokrasi modern yang ingin secara lebih sempurna
menjalankan prinsip check and banlances untuk kepentingan yang lebih besar”.
Sebagaimana yang terdapat dalam amar putusan Mahkamah Konstitusi tentang kasus ini,
Mahkamah Konstitusi menyatakan bahwa dalam sistem ketatanegaraan Indonesia, istilah
“lembaga negara” tidak selalu dimasukkan sebagai lembaga negara yang hanya disebutkan
dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 saja, atau yang
dibentuk berdasarkan perintah konstitusi, tetapi juga termasuk lembaga negara lain yang
dibentuk dengan dasar perintah dari peraturan-peraturan yang ada di bawah konstitusi, seperti
Undang-Undang maupun Keputusan Presiden (Keppres).
Kepolisian dalam UU No. 2 Tahun 2002 Tentang Kepolisian diartikan sebagai segala hal-
ihwal yang berkaitan dengan fungsi dan lembaga polisi sesuai dengan peraturan perundang-
undangan. Anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia adalah pegawai negeri pada
Kepolisian Negara Republik Indonesia sedangkan Pejabat Kepolisian Negara adalah anggota
Kepolisian Negara Republik Indonesia yang berdasarkan undang-undang memiliki
wewenang umum kepolisian. Peraturan kepolisian adalah segala peraturan yang dikeluarkan
oleh Kepolisian Negara Republik Indonesia dalam rangka memelihara ketertiban dan
menjamin keamanan umum sesuai dengan peraturan perundang-undangan.43 Norma hukum
memiliki tugas sangat penting yakni untuk menjaga kedamaian hidup bersama. Kedamaian
hidup bersama berarti di dalam masyarakat terdapat ketertiban atau keamanan dan
ketentraman atau ketenangan. Berbeda dengan norma-norma lainnya terdapat kemungkinan
bagi norma hukum untuk dipaksakan kepada tiap individu dalam masyarakat oleh suatu
otoritas bahwa norma hukum ini memiliki daya ikat bagi tiap individu, serta kemungkinan
untuk dijatuhkannya sanksi bagi individu yang melakukan perbuatan yang bertentangan
dengan norma hukum.44
Tugas untuk mengawasi dan memelihara agar norma-norma hukum (Undang-Undang)
tersebut terpelihara dengan baik dalam masyarakat merupakan tugas utama yang diemban
oleh lembaga kepolisian. Dengan demikian kita dapat melihat bahwa terjadi suatu
pengkhususan dari fungsi yang semula meliputi semua bidang kenegaraan menjadi fungsi
43 Sutrisno, POLRI PASCA 1998, Relasi Kuasa Polisi dengan Organisasi Masyarakat Sipil, (Jakarta:
Universitas Indonesia, 2012), hlm. 91. 44 Sadjijoneo, Memahami Hukum Kepolisian, (Surabaya: Laksbang, 2009), hlm. 1.
Analisis Penyelesaian ..., Kevin Valentino, FH UI, 2016
yang khusus memelihara keamanan dan ketertiban di dalam masyarakat. Sifat dari tugas
polisi adalah:45 Preventif (sifat mencegah), yaitu menjaga jangan sampai terjadi perbuatan
atau kelalaian yang dapat mengganggu ketertiban dan keamanan. Represif (sifat
memberantas) yaitu mencari dan menyelidiki peristiwa-peristiwa yang telah mengganggu
ketertiban dan keamanan, Disebut juga justitionele atau rechterlijke taak der politie karena
berhubungan dengan pengadilan.
Pelaksanaan wewenang kepolisian didasarkan pada tiga asas yakni:46 asas legalitas, asas
plichmatigheid, dan asas subsidiaritas. Asas legalitas adalah asas di mana setiap tindakan
polisi harus didasarkan kepada undang-undang/peraturan perundang-undangan. Bilamana
tidak didasarkan kepada undang-undang/peraturan perundang-undangan maka dikatakan
bahwa tindakan polisi itu melawan hukum (onrechtmatig). Asas plichmatigheid ialah asas di
mana polisi sudah dianggap sah berdasarkan sumber kepada kekuasaan atau kewenangan
umum. Dengan demikian bila memang sudah ada kewajiban bagi polisi untuk memelihara
keamanan dan ketertiban umum, asas ini dapat dijadikan dasar untuk melakukan tindakan.
Polisi dapat bertindak menurut penilaiannya sendiri untuk memelihara keamanan dan
ketertiban umum. Undang-undang Kepolisian menyebutkan bahwa tugas pokok kepolisian
Negara Repubik Indonesia adalah:47 Memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat,
Menegakkan hukum, dan Memberikan perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada
masyarakat.
Komisi Pemberantasan Korupsi sebagai lembaga independen diberi kewenangan khusus
untuk menangani masalah korupsi di Indonesia. KPK ada karena tuntutan masyarakat
Indonesia dan juga masyarakat bangsa-bangsa internasional akibat perbuatan korupsi yang
cukup meresahkan dan merugikan masyarakat Indonesia dan internasional dalam segala
bidang kehidupan. Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (KPK) dan Kepolisian
Negara Republik Indonesia (Polri) merupakan dua institusi penegak hukum yang secara
khusus memiliki kewenangan menangani tindak pidana korupsi. Ketentuan Pasal 2 Undang-
Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia menyebutkan
bahwa fungsi kepolisian adalah pelaksana fungsi pemerintahan negara di bidang
pemeliharaan keamanan dan ketertiban masyarakat, penegak hukum, perlindungan,
45 Momo Kelana, Hukum Kepolisian, (Jakarta: PT. Gramedia Widia Sarana Indonesia), hlm. 12. 46Ibid., hlm. 98. 47 Indonesia, Undang-Undang Kepolisian, UU No. 2 Tahun 2002, LN No. 2 Tahun 2002, TLN No.
4168, Ps. 13.
Analisis Penyelesaian ..., Kevin Valentino, FH UI, 2016
pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat. Ketentuan Pasal 3 dan Pasal 4 Undang-
Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
menyebutkan bahwa KPK adalah lembaga negara yang dalam melaksanakan tugas dan
wewenangnya bersifat independen dan bebas dari pengaruh kekuasaan manapun. KPK
dibentuk dengan tujuan meningkatkan daya guna dan hasil guna terhadap upaya
pemberantasan tindak pidana korupsi.Dengan adanya dua lembaga negara yang sama-sama
mempunyai wewenang untuk menangani tindak pidana korupsi maka hal tersebut dapat
menjadi potensi akan timbulnya konflik atau sengketa kewenangan. Pada pelaksanaannya
pun pada akhirnya banyak menimbulkan konflik atau sengketa antara KPK dan POLRI.
Kesimpulan
1. KPK dan POLRI memiliki kewenangan yang sama dalam penanganan tindak pidana
korupsi. KPK berdasarkan Pasal 11 UU No. 30 Tahun 2002 dibatasi hanya terhadap
tindak pidana korupsi yang paling sedikit 1 milyar rupiah, sedangkan POLRI tidak
dibatasi secara spesifik. Kemudian KPK dalam penanganan korupsi memiliki
wewenang supervisi terhadap instansi yang berwenang melakukan pemberantasan
tindak pidana korupsi berdasarkan Pasal 6, dan berwenang untuk mengambil alih
penyidikan atau penuntutan dari Kepolisian berdasarkan Pasal 8 ayat (2) UU KPK.
Dengan adanya kewenangan tersebut maka tidak menutup kemungkinan terjadi potensi
sengketa kewenangan antara KPK dan POLRI. Oleh karena itu, kedua instansi tersebut
juga harus selalu berkoordinasi dengan intensif terkait penanganan tindak pidana
korupsi berdasarkan Pasal 6 huruf a UU KPK, agar tidak terjadi tumpang tindih yang
pada akhirnya dapat menimbulkan konflik antar kedua lembaga tersebut. KPK sebagai
lembaga pemberantas korupsi yang diberi kewenangan yang kuat bukan berada di luar
sistem ketatanegaraan, tetapi justru ditempatkan secara yuridis di dalam sistem
ketatanegaraan yang rangka dasarnya sudah ada di dalam UUD 1945. KPK juga tidak
“memonopoli” tugas dan wewenang penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan,
melainkan “diberi” atau “mendapat” kewenangan yang secara khusus diberikan oleh
Undang-Undang dengan berdasar pada prinsip lex specialis derogat legi generali.
2. Keberadaan dan kedudukan lembaga negara ada yang tercantum di dalam UUD NRI
1945 dan ada pula yang tidak tercantum dalam UUD NRI 1945, melainkan dibentuk
Analisis Penyelesaian ..., Kevin Valentino, FH UI, 2016
berdasarkan Undang-Undang, atau bahkan melalui Keputusan Presiden. Apabila
terdapat sengketa kewenangan antar lembaga negara yang kewenanganya diberikan oleh
UUD Negara Republik Indonesia 1945 dapat diselesaikan melalui Mahkamah
Konstitusi. Namun, apabila sengketa kewenangan lembaga negara terjadi pada lembaga
negara yang kewenangannya tidak diberikan oleh UUD Negara Republik Indonesia
1945, maka terjadi kekosongan hukum. Sengketa antara KPK dan Polri merupakan
sengketa lembaga negara yang kewenangannya tidak diatur dalam UUD NRI 1945.
Sumber kewenangan KPK adalah UU KPK, sedangkan kewenangan Polri adalah UU
POLRI. Ini berarti bahwa kedua lembaga tidak dapat menjadi pemohon dalam sengketa
lembaga negara yang menjadi otoritas Mahkamah Konstitusi. Sengketa kewenangan
yang terjadi antara lembaga KPK dengan POLRI diselesaikan oleh Presiden dengan
cara mempertemukan pimpinan lembaga negara yang sedang bersengketa. Namun,
Penyelesaian dengan model demikian bukanlah penyelesaian yudisial, penyelesaian ini
tidak memiliki kekuatan hukum dan dapat tidak dipatuhi.
Saran
1. Perlu dilakukan harmonisasi kembali Undang-Undang KPK baik antar pasalnya
maupun dengan peraturan perundang-undangan lainyang terkait agar tidak terjadi
tumpang tindih kewenangan dengan lembaga penegak hukum lainnya.
2. Perlu dilakukan revisi terhadap Undang-Undang Mahkamah Konstitusi terkait
mengenai pengaturan sengketa kewenangan antar lembaga negara, atau dengan cara
amandemen UUD NRI 1945 sehingga lebih memperjelas mengenai lembaga negara
yang ada di Indonesia serta merevisi pasal terkait Mahkamah Konstitusi yang
membatasi kewenangan Mahkamah Konstitusi dalam hal penyelesaian sengketa
kewenangan antar lembaga negara hanya terhadap lembaga negara yang
kewenangannya diberikan oleh UUD NRI 1945.
3. Perlu adanya lembaga yudisial yang dapat menyelesaikan sengketa lembaga negara
yang kewenangannya tidak diatur oleh UUD 1945 demi adanya kepastian hukum.
Analisis Penyelesaian ..., Kevin Valentino, FH UI, 2016
Kepustakaan
Buku:
Alder, John. Constitutional and Administrative Law, London: The Macmillan Press LTD,
1989.
Asshiddiqie, Jimly. Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara Jilid II, Jakarta: Konstitusi Press,
2006.
Asshiddiqie, Jimly. Perkembangan dan Konsolidasi Lembaga Negara Pasca Reformasi, cet.
2. Jakarta: Konstitusi Press, 2006.
Asshiddiqie, Jimly. Sengketa Kewenangan Konstitusional Lembaga Negara, Jakarta:
Konstitusi Press, 2006.
Atmasasmita, Romli. Sekitar Masalah Korupsi Aspek Nasional dan Aspek International,
Bandung: Mandar Maju, 2004.
Budiardjo, Miriam. Dasar-dasar Ilmu Politik, cet. Ke-27, Jakarta: PT. Gramedia Pustaka
Utama, 2005.
Huda, Ni’matul. Lembaga Negara dalam Masa Transisi Demokrasi, Yogyakarta: UII Press,
2007.
Indrayana, Denny. Negara Antara Ada dan Tiada Reformasi Hukum Ketatanegaraan,
Jakarta: Kompas Media Nusantara, 2008.
Kelana, Momo. Hukum Kepolisian, Jakarta: PT. Gramedia Widia Sarana Indonesia, 1994.
Kusnardi, Moh. dan Harmaily Ibrahim. Pengantar Hukum Tata Negara Indonesia, cet 7,
Jakarta: Pusat Studi Hukum Tata NegaraFakultas Hukum Universitas Indonesia,
1988.
Librayanto, Romi. Trias Politica Dalam Struktur Ketatanegaraan Indonesia, Makasar:
PUKAP, 2008.
Mamudji, Sri. Et al. Metode Penelitian dan Penulisan Hukum, Jakarta: Badan Penerbit
Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2005.
Muslim, Mahmuddin. Jalan Panjang Menuju KPTPK, Jakarta: Gerakan Rakyat Anti Korupsi
(GeRAK) Indonesia, 2004.
Sadjijoneo. Memahami Hukum Kepolisian, Surabaya: Laksbang, 2009.
Analisis Penyelesaian ..., Kevin Valentino, FH UI, 2016
Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Peranan dan Pengunaan Kepustakaan di dalam Penelitian Hukum, Jakarta: Pusat Dokumentasi UI, 1979.
Stoker, Gerry. The Politics of Local Government, 2nd edition, London: The Macmillan Press
LTD, 1991.
Sutrisno. POLRI PASCA 1998, Relasi Kuasa Polisi dengan Organisasi Masyarakat Sipil,
Jakarta: Universitas Indonesia, 2012.
Tutik, Titik Triwulan. Pokok-Pokok Hukum Tata Negara Indonesia Pasca Amandemen UUD
1945, Jakarta: Cerdas Pustaka Publisher, 2008.
Artikel: Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan, “Strategi Pemberantasan Korupsi
Nasional”, 1999.
Publikasi Elektronik: Komisi Pemberantasan Korupsi, “Rencana Stratejik Komisi Pemberantasan Korupsi”,
http://acch.kpk.go.id/documents/10180/21464/Strategic_plan_2008_to_2011_id.pdf.
, diunduh 1 Desember 2015.
Komisi Pemberantasan Korupsi, “Sekilas KPK”, http://www.kpk.go.id/id/tentang-
kpk/sekilas-kpk, diunduh 1 Desember 2015.
Peraturan: Indonesia. Undang-Undang Kepolisian, UU No. 2 Tahun 2002.
Indonesia. Undang-Undang Komisi Pemberantasan Korupsi, UU No. 30 Tahun 2002
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 005/PUU-I/2003.
Analisis Penyelesaian ..., Kevin Valentino, FH UI, 2016