Kembali ke dasar. Menata Kembali Program Pembangunan Air Minum dan Sanitasi

Embed Size (px)

Citation preview

  • 7/22/2019 Kembali ke dasar. Menata Kembali Program Pembangunan Air Minum dan Sanitasi

    1/347

    Edisi 4 - 2013

    Bayangkan negara Cina 100 tahun ke depan dengan

    jumlah penduduknya dan kekayaan alamnya yangluar biasa, dengan copy and paste teknologinya

    saat ini. Cina kemungkinan besar akan menjadi mitrautama Amerika dalam mengendalikan perekonomian

    dunia. Sekarang tanyakan kepada diri kita sendiri:Bagaimana Indonesia memosisikan diri dalam konstelasitersebut? Apakah kita akan memiliki peran yang kuatdalam menyeimbangkan perekonomian dunia? atau kitamasih harus berkutat dengan pemenuhan kebutuhandasar masyarakat? Negara tetangga kita seperti Singapura,Malaysia, Tailand, dan Vietnam sudah menyiapkan dirimenjadi bagian dari konstelasi tersebut. Mereka sudahselesai dengan pekerjaan rumahnya. Pertanyaan mendasardisini adalah mengapa kita masih disini? Apa yang tidakterjadi dalam pembangunan di Indonesia?

    Layaknya orang yang sudah ketinggalan jauh

    dalam lomba marathon, selalu ada banyak alasan yangdikemukakan untuk bisa dimaklumi oleh masyarakat.Namun hal ini sudah seringkali terjadi dan masyarakatsudah jenuh dengan alasan. Masyarakat membutuhkanbukti. Jawaban atas pertanyaan masyarakat awam seputarbagaimana hidup saya dipengaruhi oleh pemerintah?

    Apakah saya akan bisa mendapatkan kerja, apakah saya bisamemiliki rumah? Apakah saya bisa mendapatkan cukup

    air minum? Apakah saya bisa mendapatkan akses terhadapsanitasi? Apakah saya bisa mendapatkan obat ketika sayasakit? Bagaimana dengan pendidikan anak-anak saya? danseterusnya, akan menjadi bukti kuat bahwa negara telahmelaksanakan kewajibannya.

    Dalam pemenuhan kebutuhan dasar, khususnya airminum dan sanitasi, pemerintah Indonesia awalnya masih

    belum menjadikan prioritas pembangunan. Dimulai daritahun 1960 sampai tahun 2000, belum terasa banyakperubahan yang terjadi pada pembangunan air minum dansanitasi. Baru setelah tahun 2000, air minum dan sanitasimulai mendapatkan perhatian yang lumayan signifikan.

    Permasalahan air minum dan sanitasi di Indonesiasangat kompleks. Hasil studi dampak ekonomi daripembangunan sanitasi yang buruk yang dilakukan olehBank Dunia pada tahun 2008, menunjukkan adanyakerugian negara mencapai 58 triliun Rupiah per tahunnya.Hal ini belum ditambah dengan kerugian yang munculakibat permasalahan kebocoran air dan menurunnya

    jumlah pelanggan dari tahun ke tahun yang dialamioleh Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM) di seluruhIndonesia. Sementara itu, konflik seputar persampahan

    juga secara bergiliran dan teratur timbul di berbagai lokasidi Indonesia, khususnya kawasan perkotaan strategis.Hal ini secara keseluruhan menyebabkan lambatnyakemajuan pembangunan air minum dan sanitasi diIndonesia. Kemudian timbul pertanyaan-pertanyaansederhana yang sangat menohok: apakah kita sudah pahampersoalan pembangunan sektor air minum dan sanitasi?

    Apakah upaya yang kita lakukan sudah bisa menangani

    masalah dengan efektif? Ataukah kita hanya menanganipermasalahan di permukaannya saja? Atau jangan-janganada masalah besar yang sedang menunggu untuk terjadi?Mari kita cermati sejenak beberapa hal penting terkaitbagaimana pembangunan air minum dan sanitasi selamaini dilaksanakan dan apa yang perlu segera dilakukanuntuk menata kembali prioritas pembangunan air minumdan sanitasi.

    Pertama, berdasarkan pembelajaran selama sepuluhtahun terakhir, khususnya setelah berlakunya otonomidaerah, tidak hanya pembangunan air minum dan sanitasisaja yang terombang-ambing tidak menentu, hampir

    Fany Wedahuditama*

    Kembali ke DasarMenata Kembali Prioritas Pembangunan

    Air Minum dan Sanitasi

    sumber foto: ismewa

  • 7/22/2019 Kembali ke dasar. Menata Kembali Program Pembangunan Air Minum dan Sanitasi

    2/348

    semua layanan publik menjadi kurang jelas targetnya. Halini dikarenakan sebagian besar kewenangan pembangunanberada di tangan pemerintah daerah yang notabene selamaini dituntun oleh pemerintah pusat. Ibarat bayi yang barubisa berjalan, pemerintah daerah masih tertatih-tatih untukmelaksanakan secara mandiri kewajibannya di tengaheuforia reformasi dan otonomi daerah. Kapasitasnya dalamperencanaan, sumber daya manusia dan pembiayaan masihbelum memadai. Bahkan ada sebagian pemerintah daerahyang sama sekali tidak peduli.

    Dengan rentang kendali yang sangat luas, dan sistemlogistik dan konektivitas di negara kepulauan terbesardi dunia yang masih belum terbangun baik, pemerintahmengalami kesulitan luar biasa untuk mengawal pemenuhan

    kebutuhan dasar air minum dan sanitasi. Dapat dilihatpada data pencapaian pembangunan air minum dansanitasi, rata-rata peningkatan akses per tahunnya antara1-2%. Pertanyaan mendasar disini adalah apa yang tidakterjadi selama hampir sepuluh tahun terakhir?

    Kedua, pembangunan air minum dan sanitasi berbedadengan pembangunan lainnya. Air Minum dan sanitasimerupakan produk antara, yang bergantung pada produklainnya untuk dapat berjalan dengan baik. Hasil daripembangunan air minum dan sanitasi kemudian akanberpengaruh pada kesehatan dan pendidikan. Namunkenyataan di lapangan, pelaku di bidang lain seolah tidak

    melihat keterkaitan tersebut dan ego sektoral semakinmenonjol. Penyediaan air minum yang sangat bergantungpada kuantitas, kualitas, kontinuitas, serta keterjangkauanair baku untuk kebutuhan domestik seringkali bermasalahkarena fokus dari pengelolaan sumber daya air lebih pada

    pemenuhan kebutuhan air untuk irigasi pertanian. Bahkanjika ditarik ke hulu, secara umum kuantitas dan kualitasair baku bermasalah sejak dari sumbernya, karena ternyatameningkatnya lahan kritis akibat penebangan liar, sertaberkurangnya wilayah resapan air menjadikan jumlah airbaku semakin menurun. Hal ini kemudian menyebabkanadanya konflik antardaerah dalam hal penguasaan sumberair, seperti konflik yang terjadi antara kabupaten Bandungdengan kota Bandung.

    Ego sektoral juga terjadi pada sanitasi. Penangananpersampahan masih dibayangi oleh tarik ulur antara

    regulator dan operator. Salah satu contoh nyata adalahpenerapan bank sampah sebagai implementasi praktisdari prinsip 3R (Reduce, Reuse, Recycle), ternyata menjadirebutan antara Kementerian Lingkungan Hidup danKementerian Pekerjaan Umum. Ini adalah contoh betapakoordinasi yang baik sulit untuk dilakukan di Indonesia.Pertanyaan mendasar disini adalah sampai kapan carutmarut koordinasi ini mau terus dijalani? Kapan BadanPerencanaan Pembangunan Nasional menunjukkantaringnya kepada seluruh kementerian/Lembaga untukmulai berkoordinasi kembali?

    Ketiga, ada masalah ada jalan keluar. Dalam kontekspembangunan, ada masalah ada program dan kegiatanyang dikembangkan untuk mengatasi masalah tersebut.Pertanyaan mendasar disini: apakah upaya yang kitalakukan cukup efektif dalam menangani masalah yang ada?Upaya pembangunan air minum dan sanitasi sepuluh tahunterakhir mengalami peningkatan yang cukup siginifikandibandingkan dengan era sebelumnya. Namun demikianterdapat kekuatiran bahwa pelaksanaan pembangunan airminum dan sanitasi tidak fokus menangani permasalahanyang ada. Fenomena yang terjadi saat ini adalah 90%program ditujukan untuk meningkatkan akses. Padahal

    masih banyak permasalahan mendasar yang perlu ditanganiagar akses yang diciptakan tersebut benar-benar dapatdisebut sebagai akses yang layak, baik berdasar kuantitas,kualitas, kontinuitas dan keterjangkauan. Pada titikinilah tulisan ini bermaksud mengajak seluruh pemangkukepentingan untuk kembali ke dasar dan menata kembaliprioritas pembangunan air minum dan sanitasi.

    Ada dua hal penting terkait himbauan untuk kembalike dasar, yaitu:

    secara internal, kita harus mampu mengelolaa.seluruh sumber daya yang dimiliki untuk mengatasi

    permasalahan mendasar berupa jaminan akses yang

    Gambar 1.Data Capaian Akses terhadap Air Minum yang layak.

    Gambar 2.Data Capaian Akses Layanan Air Limbah yang layak.

    sumber: Ditjen Cipta Karya, KemenPU

    sumber: Ditjen Cipta Karya, KemenPU

    Pendapat

  • 7/22/2019 Kembali ke dasar. Menata Kembali Program Pembangunan Air Minum dan Sanitasi

    3/349

    Edisi 4 - 2013

    aman dan berkelanjutan. Semua upaya tentunyabertujuan untuk meningkatkan akses, tetapi apa artinya

    jika hanya sekedar akses? Setiap upaya yang dilakukanmemiliki fungsi masing-masing untuk menjaminakses yang berkelanjutan. Program A ditujukan

    untuk menangani masalah X sehingga program Bdapat dilaksanakan, yang kemudian pada akhirnyaprogram Z (program paling populer peningkatanakses) dapat dilaksanakan untuk menciptakan akseslangsung terhadap masyarakat. Contoh nyata adalahpelaksanaan program Water Hibah yang bertujuanmeningkatkan sambungan rumah bagi masyarakatmiskin dengan mekanisme output-based aid. Disatusisi PDAM meningkat jumlah pelanggannya, aksestercipta dalam jumlah yang fantastis. Namun seringkalikita lupa bahwa di sisi lain kita punya masalah air baku

    untuk air minum. Apa gunanya sambungan rumahtanpa air yang mengalir? Hal ini bukan berarti programWater Hibah tidak baik, tetapi pemerintah perlu jelidalam melaksanakan programnya. Mana yang harusdilaksanakan terlebih dahulu? Mana yang harus pararel?

    Jangan sampai sumber daya yang sudah sangat terbatasini menjadi sia-sia;

    Jika dilihat dari perspektif makro, dengan sistemb.otonomi daerah yang masih relatif muda umurnya,dan kewenangan yang begitu besar pada pemerintahdaerah dalam menentukan prioritas, kemungkinanbesar target pencapaian pembangunan air minum dansanitasi yang tidak sepopuler bidang lainnya, akan

    sulit tercapai sesuai targetwaktu yang diharapkantahun 2025. Alokasipembiayaan pembangunanair minum dan sanitasi

    akan selalu minim. Belumlagi ditambah kesulitan didaerah ketika permasalahanuntuk pembangunan air minumdan sanitasi sudah mulai menjadi masalah regional.Konflik antarkabupaten meningkat. Menyebabkanstagnansi pembangunan air minum dan sanitasi yangberkepanjangan. Contoh nyata dari permasalahan airminum dan sanitasi yang merupakan masalah regionaladalah masalah suplai air baku untuk kebutuhanpemenuhan air minum, dan pengelolaan persampahan

    yang memerlukan lahan TPA yang luas, tetapi tidaksatupun kabupaten/kota yang bersedia wilayahnyamenjadi lokasi TPA tersebut.Dari pengalaman di lapangan, kemudian munculinovasi seperti pembentukan Perusahaan Daerah

    Air Bersih (PDAB) yang dimiliki oleh PemerintahProvinsi yang bertugas untuk mengurusi masalah airbaku bagi seluruh PDAM yang ada di wilayahnya.Dengan demikian sebagian masalah PDAM terjawab,dan sebagian lagi dijawab oleh program restrukturisasihutang PDAM. Terkait masalah persampahan, TPAregional dikenalkan dan saat ini mulai dibangundi beberapa lokasi. Pemerintah Provinsi memilikiandil yang besar dalam pelaksanaannya. Jika kita

    jeli melihat situasi ini, maka ada pertanyaan yangcukup menggelitik kita semua, apakah hal ini berartipemerintah kabupaten/kota dinilai tidak cukup efektifuntuk menangani pembangunan air minum dan sanitasiyang sejatinya merupakan sektor kebutuhan dasar?

    Apakah akan lain ceritanya jika semua pembangunanyang berkaitan dengan pemenuhan kebutuhan dasardikelola oleh Pemerintah Provinsi? Mungkin kita perlumemikirkan juga wacana tersebut.

    Singkat kata singkat cerita, penting bagi seluruhpemangku kepentingan untuk mengakui bahwa kitaselama ini masih belum menangani pembangunan airminum dan sanitasi secara sistematis. Kita perlu berhentiuntuk berpikir secara abstrak, kita perlu berpikir praktisdan realistis sambil memegang teguh prinsip-prinsippembangunan.

    Kapan kita akan siap berlomba dengan negara lainnyauntuk memosisikan secara strategis peran Indonesia dalamperekonomian dunia jika kita masih dibebani masalahpemenuhan kebutuhan dasar? Salam.

    *) bekerja di Bappeda Kabupaten Nganjuk, Jawa Timur

    sumber foto: percik

    Sanitasi burukmenyebabkan

    kerugian sebesar58 Triliun Rupiah

    per tahun.