5
Kebudayaan sebagai Sistem Adaptasi (Prof. Dr. Mundardjito) Uraikan secara jelas pengelolaan hutan di Sangeh (Bali) dari sudut pandang “Systems Ecology” yang menekankan pada “mutual casuality” yang kompleks. Melalui tulisannya Agricultural Involution (1963), Clifford Geertz menjadi salah seorang tokoh berpengaruh dalam bidang antropologi ekologis. Pendekatan yang ia gunakan berasal dari ekologi budaya tetapi cara pandangnya berdasarkan konsep sistem, yaitu sekumpulan objek dan hubungan yang ada antara objek tersebut dan atributnya. Sistem yang digunakan oleh Geertz tidak berfokus pada hubungan resiprokal (‘reciprocal causality”) antara dua objek atau proses, tetapi sistem yang berfokus pada jaringan kompleks hubungan sebab akibat. Metode dari sistem analisa yang digunakan adalah mendefinisikan terlebih dahulu batasan dan lingkungan suatu sistem. Lalu, membuat model kekompleksannya sehingga sistem tingkah laku dapat dipelajari dan diprediksikan. Selain itu, Geertz menganggap konsep ekosistem (sistem ekologi) adalah kesimpulan yang masuk akal dari interaksi yang terus berlangsung antara budaya, biologi dan lingkungan. Dengan menggunakan sudut pandang “Systems Ecology” yang menekankan pada “mutual casuality” yang kompleks, kita dapat melihat kalau kelestarian hutan di Sangeh 1

Kebudayaan Sebagai Sistem Adaptasi

Embed Size (px)

DESCRIPTION

It explains about definition of culture as an adaptive system.

Citation preview

Page 1: Kebudayaan Sebagai Sistem Adaptasi

Kebudayaan sebagai Sistem Adaptasi (Prof. Dr. Mundardjito)

Uraikan secara jelas pengelolaan hutan di Sangeh (Bali) dari sudut pandang

“Systems Ecology” yang menekankan pada “mutual casuality” yang kompleks.

Melalui tulisannya Agricultural Involution (1963), Clifford Geertz menjadi

salah seorang tokoh berpengaruh dalam bidang antropologi ekologis. Pendekatan

yang ia gunakan berasal dari ekologi budaya tetapi cara pandangnya berdasarkan

konsep sistem, yaitu sekumpulan objek dan hubungan yang ada antara objek tersebut

dan atributnya. Sistem yang digunakan oleh Geertz tidak berfokus pada hubungan

resiprokal (‘reciprocal causality”) antara dua objek atau proses, tetapi sistem yang

berfokus pada jaringan kompleks hubungan sebab akibat. Metode dari sistem analisa

yang digunakan adalah mendefinisikan terlebih dahulu batasan dan lingkungan suatu

sistem. Lalu, membuat model kekompleksannya sehingga sistem tingkah laku dapat

dipelajari dan diprediksikan. Selain itu, Geertz menganggap konsep ekosistem

(sistem ekologi) adalah kesimpulan yang masuk akal dari interaksi yang terus

berlangsung antara budaya, biologi dan lingkungan.

Dengan menggunakan sudut pandang “Systems Ecology” yang menekankan

pada “mutual casuality” yang kompleks, kita dapat melihat kalau kelestarian hutan di

Sangeh (Bali) tidak dapat dilepaskan dari peranan masyarakat yang berada di dalam

dan di sekitar hutan yang bersangkutan.

Hutan Sangeh di Bali dikelola oleh suatu komunitas kecil, yaitu Desa Adat,

sejak tiga abad yang lalu. Walaupun dari segi lokasinya hutan Sangeh sebenarnya

sangat rawan perusakan karena menyatu dengan daerah permukiman dan pertanian

penduduk, tetapi hutan itu tetap dapat terus lestari karena masyarakat di sana

menjaga kelestarian hutan itu dengan sungguh- sungguh. Pelestarian hutan bukan

berarti menutup kawasan hutan itu atau mengasingkannya dalam kondisi yang sama

sekali tidak bisa dijamah melainkan mengelolanya dengan cara- cara tertentu

sehingga menjamin pemanfaatan sumber daya alam yang berkelanjutan atau bersifat

lestari.

1

Page 2: Kebudayaan Sebagai Sistem Adaptasi

Pelestarian hutan Sangeh tidak bisa dilepaskan dari peranan Desa Adat

Sangeh dalam mengembangkan mekanisme kontrol sosial tertentu yang

mempengaruhi cara berpikir dan perilaku warganya sehingga mereka tidak menjadi

perusak hutan. Faktor terpenting yang melandasi mekanisme kontrol yang dihasilkan

oleh Desa Adat Sangeh adalah seperangkat kepercayaan mengenai keberadaan hutan

Sangeh yang dianut oleh masyarakat setempat.

Pertama, kepercayaan bahwa Hutan Sangeh adalah alas duwe atau hutan

milik dewa. Karena dihuni para dewa serta pangiringnya berupa ular dan harimau

gaib, hutan Sangeh dianggap tenget, angker atau keramat. Masyarakat setempat

yakin bahwa mereka yang mengganggu hutan Sangeh akan dimarahi atau dikenai

sanksi oleh dewa, dengan akibat yang tidak mesti dirasakan seketika. Cepat atau

lambat orang yang merusak hutan Sangeh akan terkena sanksi para dewa.

Keberadaan para dewa menjadi lebih nyata dengan adanya pura- pura dalam

hutan tersebut. Ada empat buah pura, yaitu Pura Bukit Sari (Pura Puncak Sari), Pura

Melanting, Pura Tirtha, dan Pura Anyar (Pura Bata Pule). Pada pura- pura itulah para

dewa beserta pengiringnya bersemayam, membentuk suatu komunitas. Keberadaan

pura- pura sebagai tempat pemukiman dewa mengakibatkan para dewa yang bersifat

niskala atau gaib, menjadi seolah- olah sekala atau nyata. Dewa yang bermukim

pada pura- pura tersebut tidak bisa dikelabui karena mempunyai sistem betel tingal

atau bisa melihat dari segala arah tanpa dibatasi oleh ruang dan waktu. Atau para

dewa bisa hadir di mana saja, kapan saja, dan bisa melakukan banyak hal pada waktu

yang sama tanpa dihalangi manusia. Karena itulah, maka para dewa yang bermukim

pada pura- pura tersebut selalu melakukan pengawasan eksternal secara niskala

terhadap hutan Sangeh sehingga kelestariannya tetap terjaga.

Kedua, kepercayaan bahwa pohon pale hanya boleh dipakai untuk bahan

bangunan suci (pura) atau sebagai bahan ritual untuk memuja para dewa. Kayu pale

termasuk jenis kayu Parhyangan yaitu kayu yang hanya diperuntukkan bagi

bangunan pura. Kepercayaan akan kayu pale sebagai kayu Parhyangan memperoleh

pengukuhan melalui ceritera rakyat bahwa Hutan Sangeh dijatuhkan dari angkasa

2

Page 3: Kebudayaan Sebagai Sistem Adaptasi

oleh dewa. Larangan penggunaan kayu pale untuk bangunan tempat tinggal juga

mencegah kemungkinan penebangan liar oleh penduduk. Pengumpulan buah dan

kulit pale pun dibatasi oleh aturan- aturan tertentu. Pemanfaatan hasil hutan non kayu

yang lain berupa kayu bakar untuk asep- asepan yaitu kayu bakar untuk upacara

keagamaan di pura juga dilakukan menurut aturan tertentu.

Selain itu, ada kepercayaan bahwa kera di hutan Sangeh adalah binatang

peliharaan dewa atau bojog duwe yang berarti kera (bojog) milik dewa (duwe).

Kepercayaan ini menyebabkan orang tidak berani mengganggu kera sekalipun satwa

liar itu sering mengganggu tanaman mereka. Sekalipun merugikan mereka,

masyarakat setempat tidak menyakiti atau membunuh kera. Di kalangan warga Desa

Adat Sangeh juga tersebar banyak cerita tentang orang yang ditimpa malapetaka atau

ditakut- takuti makhluk gaib karena melakukan kesalahan terhadap kera. Ceritera-

ceritera gaib yang menyebar dari mulut ke mulut itu berfungsi mengukuhkan

pengawasan internal. Orang tidak berani mengganggu kera karena takut mendapat

sanksi serupa.

Sebagai kesimpulan, pranata- pranata tradisional khususnya sistem

kepercayaan masyarakat setempat menyebabkan hutan di Sangeh dapat tetap lestari.

Daftar Pustaka

Atmadja, Nengah Bawa. 1993. “Pengelolaan Hutan Wisata Kera Sangeh oleh Desa

Adat Sangeh, Bali. Dalam Ekonesia, A Journal of Indonesian Human Ecology. Vol.1,

No. 1, , hal 1-22. Jakarta: Program Studi Antropologi, Program Pascasarjana

Univesitas Indonesia,

Hardesty, Donald. L. 1977. Introduction Dalam Ecological Anthropology. New

York: John Wiley and Sons.

3