14
115 Volume 12 Nomor 2, Desember 2014 Karta Jayadi: Kebudayaan Lokal sebagai Sumber Inspirasi A. Pengantar Manusia diciptakan oleh Tuhan sebagai makhluk hidup yang paling sempurna dibandingkan dengan makhluk hidup lainnya. Manusia memiliki akal KEBUDAYAAN LOKAL SEBAGAI SUMBER INSPIRASI (Tinjauan Antropologi Visual pada Pelukis di Kota Makassar) Karta Jayadi Fakultas Seni dan Desain Universitas Negeri Makassar Jl. Daeng Tata Raya, Kampus FSD-UNM Parangtambung Makassar ABSTRAK Artikel ini membahas tentang keberadaan kebudayaan lokal (Sulawesi Selatan) sebagai sumber inspirasi pelukis di Kota Makassar dari sudut pandang antropologi visual. Kebudayaan lokal yang terdiri dari kebudayaan material dan non material yang menjadi sumber inspirasi adalah: perahu pinisi; Baju Bodo; Aksara, Mitos dan Legenda, serta Pesona alam. Kebudayaan ini oleh pelukis di Kota Makassar, mampu diekspresikan dalam bentuk karya seni lukis yang representasional maupun dengan non-representasional. Kajian Antropologi visual digunakan untuk membantu memahami fenomena “visual baru” yang disajikan oleh para pelukis sebagai upaya menghadirkan elemen dan bentuk baru dari kebudayaan lokal yang dicitrakan. Bentuk karya representasional ditunjukkan pada tema budaya Perahu pinisi, Baju Bodo, dan Pesona alam. Pada karya ini dihadirkan elemen-elemen visual secara lengkap dan proporsional, sehingga objek budaya terimajinasikan secara fotografis, meski dengan suasana yang berbeda. Karena itu kedekatan hubungan visual antara kebudayaan lokal yang diinspirasikan dengan karya lukis yang terinspirasikan, secara simbolik memiliki nilai yang setara. Sedangkan karya yang non-representasional, dilukiskan secara imajinatif oleh pelukisnya. Nilai- nilai visual digambarkan berdasarkan pada rekaan estetik, pengalaman dan kedalaman informasi yang diperoleh tentang aksara, mitos, dan legenda. Pada lukisan ini, pelukis memiliki tafsir yang berbeda satu sama lain dalam memvisualisasikan informasi yang diperolehnya, baik pada bentuk, warna maupun komposisinya. Dengan demikian, imajinasi dan realitas kebudayaan tidak dapat dipisahkan dari komunitas pemiliknya sehingga akan selalu muncul sebagai identitas baru sebagai jati diri personal melalui produksi visualisasi baru. Kata kunci: kebudayaan, lokal, inspirasi, antropologi, visual ABSTRACT The article talks about local culture in South Sulawesi as the inspiration source for the painters in Makassar in visual anthropology point of view. The local culture consists of material as well as non material culture including Perahu Pinisi (Pinisi Boat), Baju Bodo,Aksara (Bodo Aksara Dress), Mythos and legend, and also Pesona Alam (the beauty of nature). The culture is expressed in the work of representational as well as non- representational painting. The visual anthropology analysis is used to help understanding the phenomena of “new visual” presented by the painters as an effort to present the new element and form of the imaged local culture. The form of representational work can be seen in the cultural themes such as Perahu Pinisi, Baju Bodo, and Pesona Alam. The work also presents the complete and proportional visual elements so that cultural objects can be photographically imagined even in different situation. For the reason, the close relationship between the inspiring local culture and the inspired painting symbolically has an equal value, while non-representational work is imaginatively described by the painter. The visual values are illustrated based on aesthetic fiction, experience, and the deep information from alphabet, mythos, and legend. In this painting, the painter has different interpretation in visualize the information in case of form, color, and composition. Thus, the imagination and reality of culture cannot be separated from the owner’s community so that it will always appear as the new identity and personality through the new visualization product. Keywords: culture, local, inspiration, anthropology, visual budi sebagai pembeda yang amat penting bagi kelangsungan kehidupannya. Dengan akal budi, manusia dapat berinteraksi dan menanamkan pola perilaku yang dapat diturunkan secara turun temurun kepada generasi selanjutnya.

KEBUDAYAAN LOKAL SEBAGAI SUMBER INSPIRASI (Tinjauan

  • Upload
    others

  • View
    6

  • Download
    0

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: KEBUDAYAAN LOKAL SEBAGAI SUMBER INSPIRASI (Tinjauan

115Volume 12 Nomor 2, Desember 2014

Karta Jayadi: Kebudayaan Lokal sebagai Sumber Inspirasi

A. Pengantar

Manusia diciptakan oleh Tuhan sebagaimakhluk hidup yang paling sempurna dibandingkandengan makhluk hidup lainnya. Manusia memiliki akal

KEBUDAYAAN LOKAL SEBAGAI SUMBER INSPIRASI(Tinjauan Antropologi Visual pada Pelukis di Kota Makassar)

Karta JayadiFakultas Seni dan Desain

Universitas Negeri MakassarJl. Daeng Tata Raya, Kampus FSD-UNM Parangtambung Makassar

ABSTRAK

Artikel ini membahas tentang keberadaan kebudayaan lokal (Sulawesi Selatan) sebagai sumber inspirasipelukis di Kota Makassar dari sudut pandang antropologi visual. Kebudayaan lokal yang terdiri dari kebudayaanmaterial dan non material yang menjadi sumber inspirasi adalah: perahu pinisi; Baju Bodo; Aksara, Mitos danLegenda, serta Pesona alam. Kebudayaan ini oleh pelukis di Kota Makassar, mampu diekspresikan dalambentuk karya seni lukis yang representasional maupun dengan non-representasional. Kajian Antropologi visualdigunakan untuk membantu memahami fenomena “visual baru” yang disajikan oleh para pelukis sebagaiupaya menghadirkan elemen dan bentuk baru dari kebudayaan lokal yang dicitrakan. Bentuk karyarepresentasional ditunjukkan pada tema budaya Perahu pinisi, Baju Bodo, dan Pesona alam. Pada karya inidihadirkan elemen-elemen visual secara lengkap dan proporsional, sehingga objek budaya terimajinasikansecara fotografis, meski dengan suasana yang berbeda. Karena itu kedekatan hubungan visual antarakebudayaan lokal yang diinspirasikan dengan karya lukis yang terinspirasikan, secara simbolik memiliki nilaiyang setara. Sedangkan karya yang non-representasional, dilukiskan secara imajinatif oleh pelukisnya. Nilai-nilai visual digambarkan berdasarkan pada rekaan estetik, pengalaman dan kedalaman informasi yang diperolehtentang aksara, mitos, dan legenda. Pada lukisan ini, pelukis memiliki tafsir yang berbeda satu sama laindalam memvisualisasikan informasi yang diperolehnya, baik pada bentuk, warna maupun komposisinya.Dengan demikian, imajinasi dan realitas kebudayaan tidak dapat dipisahkan dari komunitas pemiliknya sehinggaakan selalu muncul sebagai identitas baru sebagai jati diri personal melalui produksi visualisasi baru.

Kata kunci: kebudayaan, lokal, inspirasi, antropologi, visual

ABSTRACT

The article talks about local culture in South Sulawesi as the inspiration source for the painters in Makassarin visual anthropology point of view. The local culture consists of material as well as non material cultureincluding Perahu Pinisi (Pinisi Boat), Baju Bodo,Aksara (Bodo Aksara Dress), Mythos and legend, and alsoPesona Alam (the beauty of nature). The culture is expressed in the work of representational as well as non-representational painting. The visual anthropology analysis is used to help understanding the phenomena of“new visual” presented by the painters as an effort to present the new element and form of the imaged localculture. The form of representational work can be seen in the cultural themes such as Perahu Pinisi, BajuBodo, and Pesona Alam. The work also presents the complete and proportional visual elements so thatcultural objects can be photographically imagined even in different situation. For the reason, the closerelationship between the inspiring local culture and the inspired painting symbolically has an equal value,while non-representational work is imaginatively described by the painter. The visual values are illustratedbased on aesthetic fiction, experience, and the deep information from alphabet, mythos, and legend. In thispainting, the painter has different interpretation in visualize the information in case of form, color, andcomposition. Thus, the imagination and reality of culture cannot be separated from the owner’s community sothat it will always appear as the new identity and personality through the new visualization product.

Keywords: culture, local, inspiration, anthropology, visual

budi sebagai pembeda yang amat penting bagikelangsungan kehidupannya. Dengan akal budi,manusia dapat berinteraksi dan menanamkan polaperilaku yang dapat diturunkan secara turun temurunkepada generasi selanjutnya.

Page 2: KEBUDAYAAN LOKAL SEBAGAI SUMBER INSPIRASI (Tinjauan

116 Volume 12 Nomor 2, Desember 2014

Jurnal Seni Budaya

Pertumbuhan populasi manusia yangmendiami berbagai penjuru bumi membuat perilaku,kebiasaan dan adat istiadat, pada setiap komunitasmanusia dalam suatu wilayah tertentu berbeda satusama lain. Seiring dengan terus berjalannya waktu,perbedaan-perbedaan tersebut bahkan makin kuatsebagai anutan norma sosial, religi, ilmu pengetahuan,dengan segala pola dan struktur sosial yang terbentuk,yang kemudian mengkristal sebagai sebuahkebudayaan pada masing-masing komunitas. RalphLinton (dalam Paul Buhannan, Mark Glazer, 1988:199)mengemukakan bahwa: Each society has its ownculture, which can be defined briefly as its “way oflife”. Itulah sebabnya keberadaan kebudayaan inisangat kuat memengaruhi pola dan tingkatpengetahuan serta sistem ide atau gagasan yangterdapat dalam pikiran maupun tindakan manusia. Haltersebut terjadi baik pada kebudayaan non material-abstrak, maupun pada kebudayaan yang bersifatmaterial-konkret yang dapat dinikmati dengan pancaindra kita. Dengan demikian kebudayaan suatukomunitas akan diwarisi dari generasi ke generasibila pola-pola yang terbentuk menjadi bagian darikebutuhan untuk melanjutkan aktivitas kehidupan.Aktivitas tersebut merupakan wujud kebudayaansebagai suatu tindakan berpola dari manusia dalammasyarakat itu. Wujud tersebut sering pula disebutsebagai sistem sosial. Sistem sosial ini terdiri dariaktivitas-aktivitas manusia yang saling berinteraksi,mengadakan kontak, serta bergaul dengan manusialainnya menurut pola-pola tertentu yang berdasarkanpada adat dan tata perilaku yang dianutnya. Selainitu, penggunaan benda buatan manusia sebagaisarana dan prasarana dalam pergaulan sehari-harimenghasilkan kebudayaan fisik yang konkret. Secaralengkap dan rinci, Koentjaraningrat (1990: 203-204)menyatakan bahwa kebudayaan meliputi: bahasa;sistem ilmu pengetahuan; organisasi sosial; sistemperalatan hidup dan teknologi; sistem matapencaharian hidup; sistem religi; dan kesenian.Dengan demikian keseluruhan sistem gagasan,tindakan, dan hasil karya manusia dalam rangkakehidupan masyarakat yang dijadikan milik dirimanusia dengan belajar dan mewarisinya darigenerasi ke generasi.

1. Pelestarian kebudayaan lokalFakta telah memberikan pelajaran bahwa

kebudayaan mana pun senantiasa mengalami prosesperubahan yang pada akhirnya hilang. Bahkan padakebudayaan besar seperti kebudayaan Sumerian,kebudayaan Mesopotamia, kebudayaan Mesir Kuno,

kebudayaan Babilonia, dan kebudayaan Romawi telahmengalami suatu proses yang amat panjang sampaikini sehingga yang tertinggal hanyalah dokumentasi,sejarah dan berbagai peninggalan artefaknya.

Daya tahan suatu kebudayaan termasukkebudayaan lokal, sangat tergantung pada perubahanyang terjadi dalam masyarakatnya. Hal ini mencakuppada tata nilai dan adat istiadat; pandangan hidupatau sistem kehidupan yang masih adaptif dalammasyarakatnya. Perubahan-perubahan yang terjadidalam masyarakat merupakan hasil dari pertemuannilai-nilai lama dan yang baru yang terus mengalamiasimilasi. Perubahan merupakan salah satukonsekuensi dari hasil interaksi antara nilai yang satudan nilai yang lainnya; perubahan merupakan hasildialog antara pandangan hidup yang satu danpandangan hidup yang lain. Hal ini berlangsung secaraterus-menerus dengan penyesuaian-penyesuaiansehingga ada yang tetap dapat diterima, namun padasisi lain ada pula elemen kebudayaan yang tidak lagimampu bertahan dan diabaikan oleh masyarakatnya.

Gagasan pelestarian kebudayaan tidakpernah surut bahkan telah menjadi ungkapan klasik.Namun upaya pelestarian kebudayaan tersebuttampaknya belum menemukan upaya yang dapatmemulihkan kembali ingatan kolektif, agar dapat tetapmenjadi bagian dari kehidupan masyarakatnya.Berbagai strategi pelestarian dapat dilakukan melaluiupaya revitalisasi maupun diversifikasi karya budayatanpa harus menghilangkan nilai-nilai luhur darikebudayaan bersangkutan.

Upaya rev ital isasi dan diversif ikasikebudayaan lokal membutuhkan peran serta seluruhlapisan masyarakat, sesuai dengan latar belakangdan profesi masing-masing. Kontribusi yangakomodatif akan sangat berpengaruh dalam prosesrevitalisasi dan diversifikasi produk budaya. Statusdan tingkat sosial-ekonomi masyarakat mempunyaiperan penting dalam mendukung dan memfasilitasikeberadaan kebudayaan lokal. Dengan demikian,dibutuhkan sikap kearifan lokal dalam menanggapiupaya proses revitalisasi dan diversifikasi budaya lokalagar perkembangan yang ada dapat disesuaikandengan kebutuhan masyarakat.

Revitalisasi kebudayaan lokal antara laindapat dilakukan dengan mengukuhkan kembali nilai-nilai luhur yang menjadi nilai intrinsik pada kebuda-yaan tertentu, meskipun dengan bentuk yang agakberbeda karena adanya penyesuaian-penyesuaiankebutuhan masyarakat. Sedangkan, diversifikasidapat dilakukan dengan membuat berbagai ragam danalternatif bentuk dan penampilan dari suatu

Page 3: KEBUDAYAAN LOKAL SEBAGAI SUMBER INSPIRASI (Tinjauan

117Volume 12 Nomor 2, Desember 2014

Karta Jayadi: Kebudayaan Lokal sebagai Sumber Inspirasi

kebudayaan lama menjadi sesuatu yang baru namundapat diterima oleh masyarakat. Bagaimana pun juga,upaya pelestarian kebudayaan lokal harus mampuditunjukkan oleh komunitas pemilik kebudayaan,karena keberadaannya merupakan bagian dariidentitas dan jati diri yang sarat dengan nilai-nilai. Nilai-nilai tersebut dapat berupa norma-norma, adatistiadat, petuah-petuah, pola perilaku, dan juga bentuk-bentuk interaksi dan komunikasi melalui berbagaiupacara dan pertunjukan.

Pada era modern saat ini, di mana kemajuanilmu dan teknologi begitu pesat, memaksa diri untukmampu menyesuaikan agar tetap berada pada koridorarus standardisasi kehidupan. Dengan demikian,terjadi perubahan yang amat signifikan dalam hampirsemua bidang kehidupan, termasuk bidangkebudayaan itu sendiri. Karena itu dibutuhkan suatubentuk, pola, dan strategi pelestariannya yangdisesuaikan dengan arus kehidupan yang terusbergulir. Pada titik ini, melestarikan sebuah kebudaya-an tidak harus berupaya mempertahankan secara utuhdari tampilan dan ritusnya, ataupun tabu dalam halpenyesuaian-penyesuaian pada elemen tertentu.Tetapi bahkan upaya penemuan-penemuan bentukbaru dari kebudayaan tertentu, dengan nilai-nilai yangsetara dan berdampak pada keberadaannya yangmasih dapat diterima oleh masyarakat, dapatdigolongkan sebagai upaya pelestarian. Dalam halkesejarahan misalnya, dapat disaksikan betapaperwujudan dari sebuah diorama (senirupa), mampumemberikan informasi yang signifikan mengenai alurcerita dari sebuah peristiwa tanpa teks. Demikian pulalegenda dan cerita rakyat yang kemudian diangkatmenjadi sebuah cerita film yang menghadirkan pelaku-pelaku nyata yang seolah-olah kisah tersebut hadirdi depan mata, dengan menarik masa lampau kemasa kini. Betapa besar kekuatan lukisan yangmampu menghadirkan rekaan sosok-sosok tertentu,ataupun menerjemahkan suatu dongeng menjadigambar berseri yang kemudian dapat diterima denganbaik dalam masyarakat. Hal ini menunjukkan bahwakekuatan kreativitas dengan pemikiran-pemikiran danketerampilan yang bersifat kontekstual dan holistik,dalam memaknai pelestarian kebudayaan denganberbagai adaptasi perubahannya merupakan suatukeniscayaan yang harus dilakukan. Senada denganupaya pelestarian kebudayaan serta perubahan yangditimbulkannya, van Peursen (1976:11) menyatakanbahwa “kebudayaan merupakan suatu cerita tentangperubahan-perubahan: riwayat manusia yang selalumemberi wujud baru kepada pola-pola kebudayaanyang sudah ada.

2. Kebudayaan lokal sebagai sumberinspirasiKini, keberadaan kebudayaan pada suatu

komunitas, telah ada terlebih dahulu yang dianut olehgenerasi sebelumnya. Kebudayaan dibutuhkan olehmanusia dan diwujudkan dalam berbagai pola perilakudan produksi dalam pergaulan sehari-hari.Kebudayaan sebagai akar peradaban bangsa dapatmemberikan kontribusi signifikan bagi perkembangankehidupan berbangsa di tengah kehidupan global.Kekayaan kebudayaan bangsa terbukti mampumembawa bangsa ini menjadi bangsa yang beradabdan dikenal dalam pergaulan bangsa-bangsa dunialainnya dengan berbagai kekhasannya.

Potensi kebudayaan lokal hendaknya dapatmenjadi pertimbangan yang bijak dalam menataperkembangan dan pembangunan sosial kebudayaan.Kearifan kebudayaan lokal selain tanpa biaya jugamemberikan pengaruh pada keuntungan sosialekonomi dan industri sosial, serta merupakan esensidari pembangunan itu sendiri. Jika tidak menjadibagian integral dalam perencanaan pembangunan,dikhawatirkan akan menimbulkan kehilangan keaneka-ragaman (loss diversity) dalam tatanan kehidupanglobal. Kay dan Alder (1999:121-122) berkeyakinanbahwa nilai-ni lai kebudayaan setempat/lokalmerupakan sumber inspirasi utama bagi terbentuknyasemangat dalam pengetahuan lokal (indigenousknowledge), sehingga masyarakat lokal akan memilikikemampuan untuk memperkuat daya adaptasinya(adaptive capacity) terhadap berbagai perubahan, baikinternal, maupun eksternal. Dengan demikian, segalapotensi dan unsur yang ada di dalam masyarakatdapat menjadi media, bahan, dan sekaligus motorpenggerak yang menstimulasi daya cipta, rasa, dankarsa dan melahirkan dinamika “kebudayaan baru”.

Dalam era global seperti pada masa sekarangini, tidak ada jaminan bahwa keberadaan kebudayaanlokal tetap akan bertahan sebagaimana apresiasiyang diberikan oleh masyarakat dahulu dan saatsekarang ini. Sebagai bentuk penyesuaian dengankondisi dan situasi yang berkembang, maka sejumlahalternatif dapat dilakukan oleh berbagai kalanganpemerhati kebudayaan agar kebudayaan lokal tidakditinggalkan dan akhirnya punah.

Kebudayaan lokal dapat bertahan jikakeberadaannya dapat menyesuaikan (adaptif) dengankondisi kehidupan masyarakatnya, sebaliknya jikakeberadaannya tidak lagi berfungsi bagi masyarakatmaka kebudayaan tersebut akan terlupakan. Mertondalam (Kaplan 1999: 82) menyatakan bahwa suatuinstitusi atau kegiatan budaya dikatakan fungsional

Page 4: KEBUDAYAAN LOKAL SEBAGAI SUMBER INSPIRASI (Tinjauan

118 Volume 12 Nomor 2, Desember 2014

Jurnal Seni Budaya

manakala memberikan andil bagi adaptasi ataupenyesuaian sistem tertentu, dan disfungsionalapabila melemahkan adaptasi. Meskipun secarafungsional pada beberapa kebudayaan lokal nampakmasih adaptif dan berterima dalam masyarakatnya,namun sesungguhnya sejak awal keberadaannyaterus mengalami transformasi baik bentuk maupunritualnya dari waktu ke waktu. Hal ini merupakan suatukeniscayaan karena perkembangan dan kemajuan disemua bidang kehidupan yang tidak mungkinterelakkan. Untuk itu diperlukan gagasan atau produk-produk kebudayaan “baru” dengan nafas kebudayaanlama sebagai sumber inspirasi. Inspirasi dapatdimaknai sebagai lahirnya suatu “gagasan baru” yangdipengaruhi oleh pengalaman hidup, dan bisikan hatiatau pikiran yang timbul sehingga menggerakkan hatiuntuk menciptakan karya/berkarya; ataumenghasilkan karya baru, ataupun melakukan suatuhal yang baru.

Kebudayaan lokal bertebaran di semuakomunitas manusia atau pada daerah adat istiadattertentu, memiliki keunikan tersendiri, dan dirasakansebagai bagian dari kehidupan setiap manusia.Pelukis sebagai individu yang juga tidak lepas daripergaulan dalam kehidupan sosial masyarakat, sudahbarang tentu juga menganut suatu sistem budayatertentu dimana bergaul dan berdiam. Karena itusebagai individu yang bergelut pada ranah kreativitas,keberadaan kebudayaan lokal dapat menambahalternatif menciptakan karya sebagai sumber inspirasi.Apalagi jenis kebudayaan sangat beragam bentuk dantampilannya sehingga sebagai sumber inspirasi dapatdikatakan sebagai suatu lahan yang amat luas danterbuka untuk menghasilkan karya seni yang baru,khas, kreatif dan inovatif.

Potensi kebudayaan lokal Sulawesi Selatantergolong besar karena meliputi 4 (empat) daerahkebudayaan yaitu: Kebudayaan Bugis, Makassar,Toraja, serta Mandar. Mandar adalah daerahkebudayaan khas yang kemudian secara teritorial-administratif berpisah dari wilayah Sulawesi Selatan,menjadi Sulawesi Barat. Meskipun sudah berpisah,namun kebudayaan Mandar masih menjadi bagiandari kehidupan masyarakat Sulawesi Selatan.Kebudayaan Mandar masih dipagelarkan padaberbagai upacara ritual di daerah Sulawesi Selatan.Hal ini dimungkinkan karena adaptasi dan keberadaankebudayaan Mandar di Sulawesi Selatan telahberlangsung sangat lama sehingga sulit untukmereduksinya dari pergaulan dengan masyarakatSulawesi Selatan. Karena itu, membahas masalahkebudayaan lokal Sulawesi selatan berarti juga

membicarakan keempat dari kebudayaan etnissebagaimana disebutkan di atas. Keberadaan 4(empat) etnis yang ada di Sulawesi Selatan memangmenunjukkan perbedaan bentuk dan ritual yangsignifikan satu dengan lainnya. Mulai dari bahasa,adat istiadat, berbagai upacara dan perlengkapan-nya,tata busana, seni musik, seni tari, dan seni sastra.Ragam kebudayaan tersebut bagi pelukis merupakanobjek yang tidak habis dijadikan sebagai sumberinspirasi. Hal ini terlihat dari karya-karya lukis yangdihasilkan oleh pelukis di kota Makassar yangmeskipun memotret tema kebudayaan yang samanamun dengan tetap saja memiliki perbedaan melaluisentuhan individual-artistik dengan teknik stilasimaupun distorsi yang menjadi ciri dari masing-masingpelukis. Bahkan pada beberapa pelukis, tema-temakebudayaan lokal telah identik dan menjadi ciri khasbaginya dalam setiap menampilkan karyanya. Namunpada beberapa pelukis lainnya, selain mengangkattema-tema kebudayaan lokal juga seringkalimengangkat tema-tema nusantara bahkan garapanyang sifatnya imajinaf semata.

B. Ruang Lingkup dan Kajian Antropologi Visual

Visual Anthropology atau antropologi visualadalah bagian dari Antropologi Budaya yang secarakhusus mengkaji mengenai cara pandang (ways ofseeing) budaya visibel; penggunaan bahan dan sistemvisual; produk seni dan budaya materi (materialculture) dalam suatu komunitas. Menurut Jay Ruby(1996) menyatakan bahwa antropologi visual memilikikeyakinan bahwa budaya dimanifestasikan melaluisimbol-simbol baik yang terlihat; tertanam dalamgerakan; upacara; ritual; dan artifak terletak dilingkungan sekitar dan dibangun secara alami. Budayadipahami sebagai perwujudan dirinya dalam skenariodengan plot yang melibatkan “agen” dengan garis-garis, kostum, alat peraga, dan pengaturan.

Ruang l ingkup antropologi v isual jugamencakup studi antropologi dari representasi visual,termasuk bidang-bidang seperti kinerja kreatif,museum, produk seni, dan media massa. Bahkanrepresentasi visual dari semua kebudayaan, sepertilukisan pasir (sandpaintings), tato, patung dan relief,lukisan gua, perhiasan, hieroglif, lukisan dan foto-fotoyang termasuk dalam fokus antropologi visual. Karenaitu, kedudukan kajian antropologi visual bersifatholistik, di mana kebudayaan dan representasivisualnya sifatnya saling terkait dan terhubung keseluruh kebudayaan dan masyarakat sebagai isu dantopik yang menjadi titik sentralnya.

Page 5: KEBUDAYAAN LOKAL SEBAGAI SUMBER INSPIRASI (Tinjauan

119Volume 12 Nomor 2, Desember 2014

Karta Jayadi: Kebudayaan Lokal sebagai Sumber Inspirasi

Pada awalnya Antropologi Visual didominasioleh Produksi film dan Fotografi untuk kepentinganeksplorasi (exploration) maupun perekaman data(recording data) karya etnografi. Namun dalamperkembangannya, ide, konsep dan bentuk produkdi balik material visual yang tersajikan, mengandungberbagai pesan dan simbol yang sesungguhnyamencerminkan suatu konsep kehidupan kecil(mikrokosmos) yang mengandung nilai-nilai dannorma-norma bermasyarakat. Dengan demikian,simbol-simbol material baru yang tersajikansesungguhnya merupakan hasil transformasi yangkemudian berubah dari suatu konteks ke konteks lain.Dari konteks virtual ke konteks imajinatif; dari kontekssakral ke konteks profan; dari konteks suatu dimensitertentu ke konteks dimensi lain.

1. Representasi dan Rasional CitraanKebudayaan Lokal

Kebudayaan lokal tumbuh, berkembang,berubah bahkan hilang (punah) sesuai dengan kondisilingkungan dimana anggota masyarakat hidup danberkembang biak. Bila kebudayaan lokal itu masihdibutuhkan dan sesuai dengan pola-pola kehidupanmasyarakatnya, maka keberadaannya akan tetapmengisi kehidupan masyarakat. Pelukis sebagaibagian dari komunitas masyarakat dimana berdiam,sudah barang tentu berpotensi berpengaruh ataupundipengaruhi atau minimal konstan, dalam mengikutipola-pola yang dianut oleh masyarakat dari sistembudaya yang terbentuk dan berkembang di sekitarnya.Karena itu, pelukis dalam menghasilkan karyanyasesungguh-nya itu merupakan bagian darirepresentasi pola-pola kehidupannya.

Hal itu akan menjadi lebih kuat lagi bila tema-tema kebudayaan lokal menja-di isu utama dalamberaktivitas kekaryaan dengan berbagai interpretasivisualnya. Representasi dari kebudayaan lokal melaluimedia lukis, sesung-guhnya telah lama berkembangdi semua wilayah etnik di nusantara. Beberapa contohrepresentasi dari imaj inasi seorang pelukisberdasarkan konsep budaya lokalnya, semisaldiantaranya: pelukis Papua tidak asing dalammelukiskan sosok panglima perang Papua dengansimbol-simbol kebesaran seorang panglima lengkapdengan kotekanya. Pelukis Bali sangat ekspresif dandinamis dalam menggambarkan situasi pasar disekitar Pura, Pelukis Kalimantan sangat piawai dalammenterjemahkan goresan gerak-gerak tari Enggang.Pelukis Makassar sudah terbiasa menghadirkan situasi-situasi yang genting dalam menggambarkan perahu Pinisiyang sedang berjuang melawan ombak di tengah laut.

Contoh-contoh kecil sebagaimana diungkapdi atas, tidaklah bersifat absolut tetapi sangat dinamis,sehingga untuk menangkap sudut-sudut estetis darikebudayaan berbeda bisa saja terjadi. Namun hal ituhanya merefresentasikan ungkapan kreatif dariungkapan visual beda komunitas. Atau kandungankreatifnya minimal hanya sebagai media eksplorasiestetik dengan nilai-nilai ekstrinsik yang utama.

Representasi kebudayaan lokal pada tema-tema seni lukis Indonesia merupa-kan suatu tindakanyang sangat alamiah. Dengan mudah dapat ditemuidi setiap daerah di mana kebudayaan lokal menjadiungkapan estetik pada karya seni lukisnya. Namundiperlukan suatu pertimbangan rasional untuk mem-bangun citraan kebudayaan lokal, agarkeberadaannya memberi penguatan pada statuskebudayaan lokal yang diangkat. Pada titik inilahperan kajian antropologi visual mampu memberikanpandangan dan uraian mengenai peran dan posisisebuah karya seni lukis yang kontributif dalammemperkuat keberadaan kebudayaan lokal.

Kebudayaan lokal Sulawesi Selatan yangselama ini masih tetap terpelihara, terangkum dalam4 (empat) etnis (Bugis, Makassar, Toraja, dan Mandar).Jenis, wujud dan ritual kebudayaan-kebudayaantersebut memiliki perbedaan dan khas-an masing-masing. Menurut Koentjaraningrat (1990:203-204)bahwa secara universal terdapat 7 (tujuh) unsurkebudayaan yaitu: (1) bahasa, (2) sistem ilmupengetahuan, (3) organisasi sosial, (4) sistemperalatan hidup dan teknologi, (5) sistem matapencaharian hidup, (6) sistem religi, dan (7) kesenian.Dari 7 (tujuh) unsur kebudayaan tersebut di atas,nampaknya seluruhnya juga terdapat padakebudayaan Sulawesi Selatan yang masing-masingetnis memiliki perbedaan yang cukup signifikan padaunsur tertentu, dan persamaan-persamaan pada unsuryang lainnya. Perbedaan yang signifikan misalnyapada unsur bahasa dan kesenian. Sedangkanpersamaan-persamaan terdapat pada unsur lainnyanamun dengan sedikit variasi dan sentuhan lokal yangberbeda.

Masyarakat sebagai pemilik kebudayaan,selayaknya berkontribusi dalam menjaga keberadaankebudayaan lokal, minimal mempertahankannyadengan cara memosisikan kebudayaan sebagaibagian dari sistem kehidup-annya. Dalam pergaulanantar manusia, antar masyarakat bahkan antarkebudayaan, representasi, dan rasional citraankebudayaan lokal sangat dibutuhkan dalam rangkasaling mengetahui dan memahami persamaan danatau perbedaannya. Representasi kebudayaan yang

Page 6: KEBUDAYAAN LOKAL SEBAGAI SUMBER INSPIRASI (Tinjauan

120 Volume 12 Nomor 2, Desember 2014

Jurnal Seni Budaya

dimaksud adalah suatu upaya yang dilakukan untukmenunjukkan keberadaan kebudayaan lokal melaluikesetaraan pertunjukan/perwujudan dari kebudayaanyang dimaksud. Atau pengemasan kembali,pengayaan wujud atau diversifikasi seluruhnya,namun dengan makna dan nilai-nilai yang setara.Sedangkan rasionalisasi citraan kebudayaan lokaladalah pertimbangan-pertimbangan logis yang diambiluntuk menentukan bentuk dan kebudayaan mana yangakan dikukuhkan kembali dalam wujud ataupertunjukan yang dapat menghasilkan penguatanidentitas (citraan). Pelukis sebagai makhluk yangdiberikan anugerah kreatif dari Tuhan, tidaklah serta-merta menentukan suatu obyek atau temakebudayaan sebagai inspirasinya, tetapi pastilahmelalui suatu tahapan kesadaran yang sangatmendalam dengan berbagai pertimbangan sehinggamuncul lah ide yang “orsinal”. Hasil karya seni(orisinalisasi) dari objek kebudayaan inilah yangdianggap sebagai upaya untuk pencapaian tahapcitraan (tercitra, pencitraan).

Dengan demikian, kebudayaan lokalsesungguhnya memiliki potensi besar untuk dijadikanobjek “baru” untuk merepresentasikannya kembalidalam bentuk karya seni yang mengedepankan nilaiestetika. Dan hal ini akan lebih kuat lagi bilamanarepresentasi tersebut dilahirkan melalui berbagai“dialog” dan pertimbangan rasional dalam rangkamencapai bentuk pencitraannya yang dapat diterimasebagai bentuk lain dari imajinasi kebudayaan lokal.

2. Atmosfer Seni Lukis di Kota MakassarPelukis adalah orang yang menciptakan

karya seni dua dimensi berupa lukisan. Selain pelukis,istilah yang pernah populer sebagai padanan kata iniadalah ahli gambar. Hal tersebut dibuktikan denganpernah berdirinya sebuah komunitas para pelukisIndonesia dengan nama Persatuan Ahli GambarIndonesia (Persagi) pada tahun 1938. Menurut Panedalam (Mukhlis PaEni, 2009:92) Persagi sebagaiorganisasi pelukis atau ahli gambar, selain merupakanperkumpulan pelukis pribumi yang pertama di HindiaBelanda, juga berusaha mencari estetika baru dengansemangat nasionalisme. Sema-ngat nasionalismeinilah yang antara lain memicu munculnya gagasanuntuk menjadikan atmosfir dan kebudayaan Indonesiasebagai objek lukisan.

Kota Makassar sebagai salah satu kota besardi Indonesia memiliki infra struktur perkotaan yangterbilang memadai dan terstandar. Katakanlah semisalBandar Udara dan Transportasi; Hotel dan PusatPerbelanjaan; Tempat Hiburan dan Rekreasi; Sarana

Pendidikan dan Olahraga; Gedung Kesenian danGaleri; dan lain-lain. Tersedianya sarana danprasarana yang memadai untuk melakukan berbagaiaktivitas warganya, hal ini menunjukkan bahwapenduduk kota Makassar berupaya mengakomodasikebutuhan warganya yang berasal dari berbagai sukubangsa dan profesi. Salah satu profesi yangkeberadaannya turut menandai simbol kekota-besaranMakassar adalah adanya profesi Pelukis yangmelengkapi atmosfir kehidupan perkotaan di kotaMakassar. Dari sekian banyak pelukis di kotaMakassar, namun dalam tulisan ini hanya akanmengamati karya lukis dari beberapa pelukis yangsecara intensif berkarya dengan mengangkat tema-tema kebudayaan lokal, serta telah mengikuti kegiatanpameran seni lukis, baik pada tingkat lokal, regional,nasional, bahkan internasional.

Kehadiran profesi pelukis di Kota Makassartidak terlepas dari perkembangan kehidupan sosialbudaya yang menuntut adanya sarana dan fasilitasyang semakin lengkap dalam rangka pemenuhankebutuhan masyarakat. Pelukis di kota Makassarberasal dari berbagai latar belakang kehidupan sosialbudaya, ekonomi, dan pendidikan. Dari sisi asal-usulkemampuan melukis, ada yang memperolehnyadengan cara belajar sendiri (otodidak) dan atau ataskesadaran sendiri belajar pada orang lain atau padasanggar seni; ada juga kemampuan melukisnyadiperoleh melalui jalur pendidikan formal (akademis).Dari sisi orientasi kehidupan, ada yang menjadikanmelukis sebagai profesi dan sumber pencaharianhidup; namun ada juga yang menjadikan kegiatanmelukis sebagai kegiatan tambahan yang sifatnyaekonomis-produktif; serta ada pelukis yang sekedarsebagai hobi sekaligus untuk mempertahankan ikatanemosional dan sosial dalam komunitas pelukis. Profilpelukis di kota Makassar juga mencakup pelukismuda hingga pelukis senior; yang berkarya diemperan Mal menunggu pesanan, hingga berkaryadi rumah atau di sanggar lukis, meliputi pelukis laki-laki maupun perempuan.

Dalam hal kegiatan sosialisai berkesenianseperti gelar karya maupun temu seniman baik padatingkat lokal, nasional maupun internasional, pelukisMakassar memiliki antusiasme yang sangat tinggi.Hal ini ditandai dengan hadirnya pelukis Makassarpada banyak aktifitas kesenian baik di dalam maupundi luar negeri. Hal ini menunjukkan betapa intesitasberkesenian (khususnya seni lukis) di kota Makassarmemiliki kontribusi yang signifikan dalam memperkuatkota Makassar sebagai kota Metropolitan. Pelukis-pelukis di Kota Makassar ini dalam berbagai ajang

Page 7: KEBUDAYAAN LOKAL SEBAGAI SUMBER INSPIRASI (Tinjauan

121Volume 12 Nomor 2, Desember 2014

Karta Jayadi: Kebudayaan Lokal sebagai Sumber Inspirasi

gelar karya (pameran), objek lukisan yang ditampilkanpada umumnya tema budaya lokal. Mereka percayabahwa kekuatan estetika dan makna pada “budayalokal” sebagai tema dan sumber inspirasi memilikinilai plus tersendiri dalam kancah seni lukis global.

3. Tema-tema Budaya Lokal yang diangkatPelukis di Kota Makassar

Kebudayaan Sulawesi Selatan merupakanbagian dari kebudayaan nusanta-ra yang harusdipelihara agar keberadaannya tetap lestari. Tidakdapat dipungkiri bahwa kebudayaan senantiasaberadaptasi untuk menyesuaikan diri denganperubahan yang terjadi. Perubahan dankesinambungan (change and continuity) adalahmerupakan sesuatu yang alamiah dalam setiapkebudayaan.

Klasifikasi Kebudayaan Sulawesi Selatan,sama halnya dengan klasifikasi kebudayaan universalyang meliputi: Mitos dan Legenda; Religi dan sistemupacara; sistem pengetahuan/teknologi danorganisasi sosial; Rumah adat dan kostum; Bahasadan Kesenian. Keseluruhan cakupan dari kebudayaantersebut, merupakan potensi yang sangat besar untukdijadikan sebagai tema atau objek lukisan. Untuk itu,seorang pelukis haruslah memahami dengan baikkeberadaan kebudayaan tertentu sebelummengorganisasi dan mereflesi-kan elemen-elemenvisual yang akan di ekspresikannya dalam bentuklukisan. Obyek dan bentuk budaya lokal sebagai temagarapan lukisan yang banyak dijadikan sumberinspirasi oleh pelukis di Kota Makassar diantaranya :Alat Transportasi Tradisional; Kostum dan BusanaTradisional; Mitos dan Legenda; Arsitektur Tradisionaldan Lingkungan Alam; serta Ritual dan Upacara Adat.Dalam kehidupan sehari-hari masyarakat SulawesiSelatan, objek dan bentuk budaya ini memang masihbanyak dijumpai. Selain itu, kepopuleran dari obyekdan bentuk budaya lokal tersebut memberikansemangat tersendi ri bagi pelukis untukmengekspresikannya sesuai dengan pengalamanvisual dan tata nilai estetika yang di fahami dandikuasainya. Karena itu meskipun objek dan bentukbudaya yang sama dipilih sebagai tema lukisan,namun setiap pelukis tetap mengekspresikannyadengan memberikan sentuhan visual individu yangsangat berbeda. Itulah sebabnya kekayaan ragamvisualisai lukisan yang dihasilkan oleh pelukis sangatvariatif. Variasi terutama pada garapan dan organisasivisual; pewarnaan dan ekspresi goresan.

4. Kajian Antropologi Visual pada LukisanPelukis di Kota MakassarSebagaimana telah di jelaskan pada

pembahasan terdahulu bahwa antropologi visualmengkaji mengenai cara pandang (ways of seeing)budaya visibel; penggunaan bahan dan sistem visual;produk seni dan budaya materi (material culture)dalam suatu komunitas. Maka yang menjadi landasandasar untuk diamati adalah keberadaan kebudayaanlokal, untuk kemudian diklasifikasi beragam sistemvisual, simbolik, materi serta aplikasinya. Sedangkanrefresentasinya dalam bentuk lukisan, akan dicermatiproduk-produk visual yang membentuknya dengansegala komposisi, stilasi dan imajinasi pelukisnya.Karena hanya sebagai sumber inspirasi, makakedudukan kebudayaan sebagai inspirator tidaklahdapat tergantikan oleh yang merepresentasikannya,meskipun bentuk dan imitasi yang secara cermatmendekati wujudnya.

a. Obyek Perahu PinisiPinisi adalah perahu layar tradisional orang

Bugis-Makassar Sulawesi Selatan. Memiliki 2 (dua)tiang layar utama dengan 7 (tujuh) buah layar, yaitu 3(tiga) di ujung depan, 2 (dua) di tiang depan, dan 2(dua) di tiang belakang. Sejak dahulu, digunakansebagai alat transportasi antar pulau baik untukpengangkutan orang maupun barang. Itulah sebabnyaorang-orang Bugis-Makassar hingga kini dikenalsebagai pelaut ulung, karena mendiami hampirseluruh pesisir pantai di berbagai kawasan Nusantara,bahkan konon hingga Madagaskar.

Gambar 1. Perahu Pinisi(sumber: http://isearch.avg.com/

images?q=perahu+pinisi.....)

Kepopuleran perahu Pinisi, membuat Hampirseluruh pelukis di Makassar, pernah melukis perahuPinisi. Hal ini disebabkan karena penggambaranPerahu Pinisi memiliki peluang kreatif yang sangatluas untuk memperoleh bentuk Perahu Pinisi dalamberbagai posisi dan sudut pandang. Namunsesungguhnya tradisi berlayar, telah dikenal olehnenek moyang bangsa Indonesia sejak masa

Page 8: KEBUDAYAAN LOKAL SEBAGAI SUMBER INSPIRASI (Tinjauan

122 Volume 12 Nomor 2, Desember 2014

Jurnal Seni Budaya

prasejarah. Hal ini ditandai dengan munculnyaberbagai ekspresi ritual pada dinding gua yangmenggambarkan secara jelas bentuk perahu, semisalpada dinding gua di pulau Muna, Sulawesi Tenggara.

Gambar 2. Perahu (Pinisi) dalam berbagai aplikasi(a) lukisan Perahu layar di dinding goa di pulau Muna

Sulawesi Tenggara, (b) Miniatur Perahu Pinisi diBandara Sultan Hasanuddin Makassar, (c) Gambar

Perahu Pinisi pada uang kertas pecahanseratus rupiah

(sumber: Buku Sejarah (sumber: http://isearch.avg.com/images?q=perahu+pinisi)

Kebudayaan Indonesia,2009)

Dalam ekspresi lukisan, pada umumnyabentuk dan proporsi perahu Pinisi karya pelukis dikota Makassar, sangat memperhatikan elemen-elemen kelengkapan perahu Pinisi secara sempurna,dengan menggambarkannya secara proporsionalantara satu elemen dengan yang lainnya. Hal initerlihat dengan divisualisasikannya dengan cermatbentuk dasar dari lambung, pondok, tiang dan layarsesuai bentuk dan proporsi yang ideal.

Pada lukisan Mike Turusy, penggambaranperahu Pinisi ditampilkan dengan menggulung salahsatu layar pada tiang belakang, serta pada layarlainnya dibiarkan terbuka, hal ini secara visualmemberikan perimbangan proporsi bidang/objek visualantara layar-layar yang terkembang di bagian tengahke depan, dan bidang tengah belakang sesuai arahperahu, yang bidang obyeknya berupa pondok/ruangtertutup dan tempat mengarahkan kemudi (guling).Untuk mengarahkan dan menguasai lajunya perahuPinisi di tengah-tengah gulungan ombak yang besardengan angin yang bertiup kencang, maka strategiyang dilakukan adalah dengan mengurangi jumlah

layar yang dikembangkan. Hal ini pun di gambarkanMike Turusy yang secara cermat mampumenghadirkan perahu Pinisi dalam suasana“kegentingan” dalam mengarungi lautan. Garapan danpengorganisasian elemen-elemen visual yangmendukung suasana “kegentingan” tersebutdivisualisasikan melalui kesibukan para nahkodakapal yang mengambil posisi berbeda; ombak yangtinggi; air laut yang masuk melewati dan mengucurdari lambung perahu; kemiringan posisi perahu; sertalangit yang mendung. Pesan-pesan simbolik yangdiketengahkan pada organisasi elemen-elemen visualdimana satu sama lainnya memberikan suatuinteraksi hukum sebab-akibat. Hasil organisasi visualinilah yang kemudian dimaknai sebagai “kegentingan”.Kegentingan adalah suatu keadaan darurat yangdialami secara tak terduga, sehingga mengharuskanpengambilan suatu keputusan dengan tindakan nyatayang dilakukan secara secara terorganisir (terkadangjuga tidak terorganisir) berdasarkan pengalamanindividu. Perilaku-perilaku yang ditunjukkan padaorang-orang di atas perahu Pinisi karya pelukis MikeTurusy yang masing-masing berupaya mengendalikankestabilan perahu Pinisi sebagai bentuk ilustrasipenguatan suasana.

Berdeda dengan lukisan perahu Pinisi karyaZainal Beta, yang justru berimajinasi danmengekspresikan perahu Pinisi dalam suasana yangtenang dan damai. Elemen-elemen perahu Pinisi jugadivisualisasikan secara lengkap dan proporsional,yang terdiri dari 2 (dua) tiang dan 7 (tujuh) layar danpondok pada bagian belakang perahu. Suasanatenang dan damai yang ditunjukkan dengan visualisasidigulungnya semua layar; ombak kecil-datar; nahkodadan orang-orangnya tidak dinampakkan; posisi perahustabil; cuaca yang tenang. Pengorganisasian elemen-elemen visual ditunjukkan dengan kuatnya keterkaitanantara satu objek dengan obyek lainnya (perahu, laut,langit), dimana seluruhnya digambarkan normal.Penggambaran ketenangan dan suasana perahuPinisi yang utuh tampak samping mengarah ke kanan,merupakan imajinasi yang diekspresikan oleh ZainalBeta, menunjukkan bahwa dia faham antropologibudaya (perahu Pinisi) dan mengerti antropologi visual(pilihan ekspresi elemen visual) sehingga apa yangdia pikirkan untuk menghadirkan sosok perahu Pinisidalam suasana tenang mampu terilustrasikan denganbaik. Kekuatan penggambaran suasana ketenanganperahu Pinisi karya Zainal Beta, juga didukung oleholahan teknik melukisnya yang menggunakan jaridengan media tanah liat. Aplikasi sentuhan jarilangsung pada kanvas di satu sisi mampu memberikan

(a) (b)

(c)

Page 9: KEBUDAYAAN LOKAL SEBAGAI SUMBER INSPIRASI (Tinjauan

123Volume 12 Nomor 2, Desember 2014

Karta Jayadi: Kebudayaan Lokal sebagai Sumber Inspirasi

kekuatan pada spontanitas ekspresi bentuk yangdihasilkan, namun pada sisi lain sulit menghadirkanobjek secara detail. Dengan demikian, esensi daripenggambaran obyek dengan teknik jari adalahbagaimana pesan visual dapat difahami olehmasyarakat. Hal ini pun sudah dilakukan oleh nenekmoyang kita pada masa prasejarah dimana lukisan-lukisan jari pada dinding goa ditemukan di berbagainegara.

Media tanah liat sebagai satu-satunya unsurpembentuk objek menghasilkan rupa monokrom. Halini berarti tampakan obyek sangat ditentukan olehgradasi warna yang cakupan rentangannya banyak.Pada titik ini pula terletak kekuatan dan kekhasanlukisan Zainal Beta selain tema dan kemampuanorganisasi visual yang diekspresikannya.

Mike Turusy dan Zainal Beta merupakan duaorang pelukis otodidak yang ada di kota Makassar.Keduanya pun secara non formal senantiasa terusbelajar memahami keberadaan kebudayaan lokal(antropologi budaya) dan terus bereksperimen(antropologi visual) untuk menambah wawasan sertamemperkuat identitas kekaryaannya.

Gambar 3. Lukisan Perahu Pinisi(a) Pinisi, karya Mike Turusy, (b) Pinisi, karya Zainal

Beta. (dokumentasi: Mike Turusy)(dokumentasi: Zainal Beta)

b. Objek Baju BodoBaju Bodo adalah baju tradisional perempuan

suku Bugis-Makassar. Berbentuk segi empat,berlengan pendek, dengan posisi setengah di atasbagian siku. Dahulu, menurut adat Bugis, setiap warnaBaju Bodo yang dipakai oleh perempuan Bugismerepresentasikan usia dan martabat pemakainya.Warna jingga, dikenakan oleh anak remaja berusia10-14 tahun; merah, untuk perempuan yang berusia15-25 tahun; putih, dipakai oleh para pembantu dandukun; hijau, dipakai oleh perempuan bangsawan,ungu dipakai oleh para janda. Baju Bodo dikenakandengan sehelai kain sarung untuk bawahan daripinggang hingga bagian kaki. Digunakan pada upacaraadat, dan kini dalam perkembangannya dengan

berbagai adaptasinya, sudah dikenakan untukberbagai keperluan baik untuk acara formal maupunnon-formal.

Gambar 4. Foto Perempuan Berbaju Bodo(Sumber:http://id.wikipedia.org/wiki/Berkas:Baju Bodo)

Keberadaan Baju Bodo yang memilikikeunikan tersendiri baik dari bentuk, warna dankelengkapan asesorisnya, banyak menginspirasipara pelukis di kota Makassar untuk dijadikan sebagaiobyek melukis. Visualisasi Baju Bodo dalam lukisanpada pelukis di kota Makassar, nampaknya cukupvariatif dalam hal olahan objek dan teknik. Namunkelengkapan elemen-elemen Baju Bodo tetapdivisualisasikan secara lengkap seperti kalung,gelang, hiasan kepala, anting. Elemen-elementersebut beserta Baju Bodonya selalu menjadi saturangkaian yang menjadi fokus pada lukisan.Sedangkan simbol warna tidak lagi menjadipertimbangan untuk menunjukkan status tertentudalam menggambarkan sosok pengguna Baju Bodo.Tetapi hanya semata-mata sebagai bentuk ekspresidan pertimbangan estetis pelukisnya. Visualisasikelengkapan elemen dan asesoris Baju Bodo selaluditampilkan lengkap, namun garapan sosok pemakaiBaju Bodo direpresentasikan dalam berbagai tampilan.Potret Diri karya Anggraini Herman misalnya,menggarap kostum Baju Bodo dan sosok perempuandalam proporsi dan bentuk yang ideal sehinggamenghadirkan obyek yang amat fotografis. SedangkanAH Rimba, yang mengekspresikan imajinasinya padalukisan berjudul Gadis Baju Bodo menggambarkansosok perempuan yang mengenakan Baju Bododengan gaya yang amat dinamis. AH Rimba pun

(a) (b)

Page 10: KEBUDAYAAN LOKAL SEBAGAI SUMBER INSPIRASI (Tinjauan

124 Volume 12 Nomor 2, Desember 2014

Jurnal Seni Budaya

memvisualisasikan Baju Bodo dan asesorisnyasecara lengkap, namun dengan teknik sapuan kuasyang lebih ekspresif, dengan warna-warna kontraspada sisi tertentu dan gradasi warna pada bidangtertentu, menghadirkan penguatan visual sosokperempuan yang mengenakan Baju Bodo sebagaiobjek utamanya. Keseimbangan warna pada obyekdan latar belakang saling mendukung secaraharmonis, dimana warna pada objek dan pada latarbelakang senada. Sedangkan pelukis Ana Massaile,lebih menonjolkan pakaian Baju Bodo daripada sosokperempuan yang sedang menari. Baju Bododitampilkan secara lengkap beserta asesorisnya,sedangkan sosok perempuan yang menggunakanBaju Bodo tidak digarap secara detail, terutama padawajah yang dibiarkan tidak berwajah. Sosok penaritersebut tidak punya mata, alis, hidung, mulut, namunmemiliki postur tubuh yang ideal, sehingga meskipuntidak berwajah namun secara impresif sangat kuatmenghadirkan sosok perempuan. Secara visual, Ananampaknya ingin menonjolkan Baju Bodo danaktivitas menari yang sedang dilakukan oleh sosokperempuan. Mencermati lukisan Baju Bodo dari ketigapelukis ini dengan menghadirkan karakter lukisan yangberbeda, namun rupanya Baju Bodo besertaasesorisnya merupakan sesuatu yang harusdieksplitkan karena hanya dengan tampilan secarajelas, ciri Baju Bodo akan tetap terjaga. Sedangkanobyek lainnya seperti latar belakang, posisi dan gayasosok perempuan pemakai Baju Bodo yangdivisualisasikan sangat tergantung dari imajinasipelukisnya.

Gambar 5. Lukisan Perempuan Berbaju Bodo(a) Potret Diri karya Anggraini Herman (foto koleksi

Anggraini), (b) Gadis Baju Bodo karya AH Rimba (fotokoleksi AH Rimba), (c) Penari, karya Ana Massaile

(foto koleksi Ana M)

c. Aksara, Mitos, dan LegendaAksara adalah suatu sistem simbol visual

melalui goresan/tulisan pada batu, daun, kayu, kulit,kertas, atau pada kain sebagai media komunikasi/bahasa. Istilah lain untuk menyebut aksara adalahsistem tulisan. Tulisan berisi alfabet dan abjadmerupakan istilah yang berbeda karena merupakantipe aksara berdasarkan klasifikasi fungsional. Unsur-unsur yang lebih kecil yang terkandung dalam suatuaksara antara lain: grafem, huruf, diakritik, tandabaca, dan lain-lain. Sulawesi Selatan memiliki aksaratersendiri yang disebut sebagai aksara Lontara. Katalontara berasal dari bahasa Bugis-Makassar yangberarti daun lontar. Aksara lontara biasa pula disebutdengan aksara Sulapa’ Eppa’ (Bugis), Sulapa Appa(Makassar) (Mukhlis PaEni, 2009:291)

Gambar 6. Aksara Lontara Lontara (sumber: BukuSejarah Kebudayaan Indonesia 2009)

(c)

(a) (b)

Page 11: KEBUDAYAAN LOKAL SEBAGAI SUMBER INSPIRASI (Tinjauan

125Volume 12 Nomor 2, Desember 2014

Karta Jayadi: Kebudayaan Lokal sebagai Sumber Inspirasi

Mitos adalah cerita prosa rakyat yangmenceritakan kisah-kisah pada masa lampau.Kisahnya, mengandung penafsiran tentang alamsemesta dan keberadaan makhluk di dalamnya, yangdianggap benar-benar terjadi oleh komunitasnya danpenganutnya. Sedangkan legenda adalah ceritarakyat yang telah lama beredar dalam masyarakatyang dianggap sebagai sesuatu yang pernah terjadi.Legenda dapat bersifat sekuler atau suci dan tokoh-tokoh utamanya adalah manusia (Sutarto, 1996: 12-13).

Dalam menterjemahkan berbagai peristiwasebagaimana diuraikan di atas, baik pada peninggalanbudaya materil (artifak: aksara) maupun pada kebu-dayaan non-material (mitos dan legenda) dalambentuk ekspresi seni lukis, pemahaman antropologiv isual menjadi sangat penting dalam upayamemahami secara mendalam mengenai bentuk,peristiwa dan cerita yang utuh, untuk kemudiandirekonstruksikan baik secara imajinatif maupunsecara imitatif . Lukisan karya Moh. ThamrinMappalahere yang berjudul Citra Primitif misalnya,mencoba berimajinasi imitatif terhadap aksara lontaradalam berbagai kemungkinan artistiknya tanpameninggalkan bentuk visual dasar dari aksara lontaratersebut. Elemen aksara lontara, komposisi sertakomponen visual lainnya secara keseluruhanmembentuk satu kesatuan garapan dalam satu temadengan citra Sulapa’ Eppa’/Sulapa’ Appa’. Meskipunsudah dalam bentuk lukisan, namun Moh. ThamrinMappalahere tetap konsisten dengan tetapmengangkat nilai-nilai luhur dari lontara’ sebagai mediakomunikasi untuk wejangan atau pesan-pesan leluhur.Hal ini dibuktikan dengan memvisualisasikan aksaralontara dalam bentuk huruf, kata atau pun kalimat diantara olahan ekspresi estetik sebagai bagian darilukisan Citra Primitif.

Amrullah Syam mencoba mengangkat suatumitos yang telah lama diketahui dan berkembangdalam masyarakat tentang kekuatan unsursupranatural yang mengandung unsur irasional. Mitostersebut adalah Naga Sikoi’ (Naga yang salingmengait). Hanya saja Amrullah Syam mengolah rupaNaga sebagaimana persepsi visualnya tentang naga.Naga yang selama ini dipersepsikan sebagai binatangsuper-power yang mampu meluncurkan api darimulutnya, namun sangat bersahabat dengan manusia.Untuk itu unsur api yang identik dengan naga tidakdivisualisasikan. Sukma Naga Sikoi diyakini mampumemberikan suatu stimulus aura positif dalam upayamenarik lawan jenis. Secara antropologi visualAmrullah Syam mampu mendeskripsikan elemen

visual dan semangat cara pandang (ways of seeing)posisi antara laki-laki dan perempuan. Cara pandangdan elemen visual yang saling mengait pada objek 2(dua) naga tersebut berkonotasi adanya satu kesatuanyang tidak terpisahkan. Dengan penggambarandemikian, nampak dengan jelas bahwa kekuatan auraNaga Sikoi’ sebagai suatu benda supranaturalmemiliki magnet yang kuat untuk menggaet lawanjenis sebagaimana kepercayaan pada fenomenatersebut.

Lukisan Mike Turusy yang berjudul “BattuRatema ri Bulang” terimajinasi dari lagu daerahMakassar yang menceritakan seseorang telah datangdari bulan serta bertanya dan berdialog denganbintang-bintang. Cerita ini tidaklah mudah untukdirepresentasikan karena tidak jelas siapa sosok yangpernah ke bulan. Namun, Mike Turusy mencobamengasosiasikan perahu Pinisi sebagai “sosok” yangmewakili “seseorang” yang telah datang dari bulandan berbincang dengan bintang. Pemilihan obyekperahu Pinisi sebagai ikon untuk merepresentasikanorang dan atau sebagai asosiasi terhadap optimismedan semangat. Karena itu, peminjaman ikon perahuPinisi sebagai pelaku yang datang dari bulan suatuide yang kreatif. Terlepas dari gaya lukisan surealisyang menandai ragam kekuatan seni lukis modern.Dalam konteks lukisan karya Mike Turusy ini,nampaknya berupaya menghadirkan seluruh elemenvisual yang menandai keutuhan cerita legenda.Elemen-elemen itu adalah bumi, bulan, bintang danplanet lainnya dalam tata surya, serta sebuah perahuPinisi dalam posisi stabil dan lengkap dalam berlayarbeserta nahkoda kapal yang sigap seolah-olahsedang menantang samudera luas di lautan. Secaraantropologi visual hal ini membuat sebuah fenomenaberpindah dari suatu konteks realitas ke konteksimajinatif-visualitatif yang bermakna konotatif.

(a) (b)

Page 12: KEBUDAYAAN LOKAL SEBAGAI SUMBER INSPIRASI (Tinjauan

126 Volume 12 Nomor 2, Desember 2014

Jurnal Seni Budaya

Gambar 7. Lukisan Interpretasi Aksara, Mitos danLegenda (a) Citra Primitif Karya Moh.Thamrin M (foto

Karta jayadi), (b) Naga Sikoi, Karya Amrullah Syam (fotoKoleksi Amrullah), (c) Battu Ratema ri BulangKarya Mike Turusy (foto Koleksi Mike Turusy)

d. Pesona AlamPesona alam telah menjadi bagian

romantisme setiap masa, setiap orang, setiapmasyarakat dimana pun berada. Karena alam telahmerupakan bagian dari kehidupan umat manusia sejakawal keberadaannya di muka bumi. Keakrabanmanusia dengan alam inilah yang membuat manusiamempunyai kemampuan menggambar dasar alam.

Dalam sejarah peradaban manusia dikenalbahwa sejak masa prasejarah, manusia telahmengenal lingkungan alam (flora dan fauna) yangmenjadi kebutuhan hidup mereka, sebagai tempattinggal dan bahan makanan, sekaligus tempat merekamembentuk kebudayaan yang kini sebagai saranamerekonstruksi berbagai perilaku dan artifak manusiamasa lalu.

Perkembangan potensi dan daya kreativitasmanusia, membuat tata nilai berkembang danberpengaruh pada kebutuhan. Namun dalam beberapahal terkadang meskipun cara berpikir, perilaku, dankebutuhan berbeda namun dalam berekspresimemiliki tata visual yang senada dengan pertimbanganartistik yang berbeda pula. Sebagai contoh lukisanMappasa’ karya Artini S. yang terpesona denganberbagai elemen terkait dengan suasana pasar.Dengan komposisi tanpa perspektif denganmenghadirkan seluruh benda serta suasana pasaruntuk sekedar mengisi ruang kosong pada bidanggambar. Teknik ini mengingatkan pada lukisandekoratif, namun dengan memvisualisasikan secarategas elemen utama pada kegiatan Mappasa’ yaitukerbau, orang, dan rumah adat Toraja (tongkonan)membuat lukisan ini memiliki makna yang sangat

dalam karena menyentuh persoalan jati diri danidentitas kelas sosial masyarakat Toraja. Mappasa’berarti hari pasar, Artini S. sangat peka menangkapikon-ikon Toraja sangat kental pada visualisasikeramaian pasar.

Di kota Makassar, Pelukis S. Mamala dikenalsebagai pelukis naturalis yang amat detail dalammenampilkan objek. Ia benar-benar berusahamendalami sebuah suasana alam, kemudianmembuat visualisasinya lebih tegas, lebih romantisbahkan lebih tajam dengan olahan warna yang natural.Ini berarti bahwa dalam memahami alam sebagaibagian dari kehidupan, maka tidak diperlukan suatupemikiran simbolik untuk menemukan nilai danvisualisasi estetik baru yang merupakan hasil ekspresiindividu secara internal. Namun S. Mamala hanyamemindahkan realitas alam menjadi bentuk visualestetik berdimensi dua, dengan kekuatan perspektifdan pewarnaan yang imitatif.

Gambar 8. Lukisan Suasana dan Pemandangan Alam(a) Mappasa’, karya Artini S (dokumentasi Artini S), (b)

Playing Kecapi on the Bagan, karya S. Mamala(dokumentasi S. Mamala)

Lain lagi dengan lukisan karya Ahmad Fauzyyang berjudul Balla Lompoa, yang berarti rumah adatbesar. Ahmad Fauzy nampaknya berupaya mendo-kumentasikan artifak peninggalan kebudayaan yangmasih dapat dijumpai saat ini. Kecemasan akantergusurnya artifak dan peninggalan budaya lokal darikehidupan modern, menjadi fokus utama AhmadFauzy.

Studi eksplorasi antropologi visual AhmadFauzy, menghasilkan pemahaman yang mendalam(thick description) secara visual, dengan olahan unsurgaris yang membentuk obyeknya menjadi sangatdetail. Pesan-pesan moral yang direpresentasikanmelalui visualisasi lukisan Ahmad Fauzy menjadirenungan tersendiri dalam upaya pelestariankebudayaan. Ia memaparkannya secara realissehingga makna denotatifnya sesuai denganvisualisasinya.

Sedangkan lukisan Budi Haryawan yangberjudul Menuju Hidup Baru, sangat cermat

(c)

(a) (b)

Page 13: KEBUDAYAAN LOKAL SEBAGAI SUMBER INSPIRASI (Tinjauan

127Volume 12 Nomor 2, Desember 2014

Karta Jayadi: Kebudayaan Lokal sebagai Sumber Inspirasi

menangkap elemen-elemen visual dan suasana dalamsebuah prosesi acara pernikahan adat Bugis-Makassar. Visualisasi ritual hantaran pengantin yangdiekspresikan memberikan gambaran yang sangatlengkap, baik dari sisi peran orang-orang (gesture)sebagai pelaku utama, serta atmosfir lingkungan yangsangat t radisional . Tampilan v isual yangdiorganisasikan oleh Budi Haryawan keseluruhannyabersifat fotografis. Aspek antropologi visual sangatdominan tergambarkan secara ilustratif, dimana carapandang budaya visibelnya sangat berkarakterdengan visualisasi ikon-ikon yang ditampilkan.Demikian pula dengan olahan elemen objek, satupersatu disentuh dengan kesempurnaan bentuk,warna dan proporsi. Dengan demikian, lukisan MenujuHidup Baru ini, mampu melahirkan deskripsi yangstandar bagi orang yang memiliki pemahaman budayalokal yang baik. Meskipun itu tidak persisi sama padatataran setiap orang, namun secara visual memilikitingkat pemahaman yang lebih baik.

Gambar 9. Lukisan Suasana dan Pemandangan Alam(a) Balla Lompoa, Ahmad Fauzy (dokumentasi AhmadFauzy), (b) Menuju Hidup Baru (1998), Budi Haryawan

(dokumentasi Budi Haryawan)

C. Kesimpulan

Keberadaan pelukis sebagai bagian darilingkungan masyarakat, sangat dipengaruhi olehkondisi sosial kebudayaan dimana merekaberinteraksi dan berhubungan secara intens. Itulahsebabnya inspirasi dan ekspresi pelukis tidak dapatdipisahkan dari pengaruh l ingkungan danpengalamannya. Ragam kebudayaan lokal telahmemperkaya kapasitas memori estetik setiapindividu. Hal itu merupakan energi potensial yangdapat dimanifestasikan ke dalam berbagai mediauntuk memproduksi budaya non-materil (pengetahu-an, perilaku, dan lain-lain) dan memproduksi budayamateril (karya seni visual, benda-benda pakai lainnya).Salah satu karya seni visual adalah lukisan,merupakan karya seni dua dimensi yang inspirasinyadapat bersumber dari kebudayaan dan lingkunganalam dikemas secara imajinatif, intuitif, serta imitatif

dalam bentuk visual representasional dan atau nonrepresentasional. Kebudayaan sebagai sumberinspirasi dalam melukis, telah lama dilakukan olehmanusia ditandai dengan ditemukannya beberapalukisan pada dinding gua pada masa primitif. Dalamperkembangan peradaban manusia, tradisi melukisterus beradaptasi dengan kemajuan ilmu pengetahuandan teknologi. Dalam mengkaji dan memahamikeberadaan seni lukis, pendekatan antropologis,sosiologis, filosofis merupakan alat bedah pisau yangdapat membuka misteri “simbol” dibalik visualisasiyang ditampilkan. Bidang antropologi visual, me-rupakan ilmu yang mengkaji keberadaan danfenomena visual mengenai cara pandang (ways ofseeing) budaya visibel; penggunaan bahan dan sistemvisual; produk seni dan budaya materi (materialculture).

Keberadaan pelukis di kota Makassar telahmenjadikan kebudayaan lokal Sulawesi Selatansebagai identitas dalam menghasilkan produkvisualisasi baru yang bertransformasi ke konteks 2(dua) dimensi berupa lukisan. Nilai-nilai kebudayaanlokal telah ditelusuri dengan pemahaman deskripsimendalam (thick description) sehingga mereka dapatmemproduksi visualisasi ikon, simbol dengan merepre-sentasikan kebudayaan yang terinspirasikan. Tulisanini telah mengangkat beberapa kebudayaan materildan non-materil Sulawesi Selatan sebagai sumberinspirasi pelukis di kota Makassar. Kebudayaanmateril diantaranya: perahu Pinisi dan Baju Bodo.Sedangkan kebudayaan non materil diantaranya:aksara dan sastra lokal, mitos dan legenda. Sumberinspirasi lainnya adalah pesona alam yangmenggam-barkan keindahan alam Sulawesi selatan.Perbedaan sudut pandang, gaya dan sensitivitasestetik dari masing-masing pelukis dalammengekspresikan karyanya membuat lukisan darisatu sumber inspirasi (budaya) menghasilkanvisualisasi yang berbeda. Hal ini merupakan kodratproduk seni budaya yang memang lahir dan diterimadengan sentuhan individu yang berbeda. Apalagi dalamlukisan telah terjadi transformasi material, tekstur,bentuk, warna, dan makna yang disandangkanpadanya. Dengan demikian, makna pada lukisanselalu dimaksudkan sebagai representasi dari sebuahkebudayaan. Karena wujudnya yang berubah, makalahirlah pemaknaan baru yang dapat terbangun,meskipun dengan segala tingkat transformasipemaknaan yang ikut berubah. Menurut Madan Sarup(2008:48), “makna tidak pernah identik dengan dirinyasendiri karena muncul pada konteks yang berbeda-beda, tanda tidak pernah memiliki makna yang mutlak

(a) (b)

Page 14: KEBUDAYAAN LOKAL SEBAGAI SUMBER INSPIRASI (Tinjauan

128 Volume 12 Nomor 2, Desember 2014

Jurnal Seni Budaya

sama. Makna tidak akan pernah sama dari satukonteks ke konteks yang lain; petanda akan selaludiubah oleh pelbagai macam mata rantai penandayang menjeratnya”.

Kebudayaan lokal Sulawesi Selatan, sebagaisumber inspirasi dalam berkarya seni lukis telahditunjukkan oleh pelukis di kota Makassar denganberbagai sentuhan estetis individual dalam berbagaigaya. Lukisan-lukisan tersebut memiliki ciri khasdengan keberadaan objek budaya lokal sebagaisumber inspirasi. Dalam kegiatan pameran seni lukis,pelukis di kota Makassar aktif berpartisipasi baik padatingkat lokal, regional, nasional maupun internasional.Karya yang dipamerkan pada umumnya temakebudayaan lokal Sulawesi Selatan. Dalam halpemasaran, pelukis di kota Makassar tidak memilikipasar seni secara khusus, namun bila kegiatanpameran seni lukis di gelar, para kolektor lokal maupundari luar kerap mengoleksi karya seni lukis, terutamayang bertema kebudayaan lokal.

KEPUSTAKAAN

Buhannan, Paul., Glazer, Mark. 1998. High Point inAnthropology Second Edition, New York:Alfred A. Knopf.

Kaplan, David. 1999. Teori Budaya (terjemahan),Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Kay and Alder. 1999.Coastal Planning andManagement, vol. 8(2), John Wiley & Sons,Ltd.

Koentjaraningrat. 1990. Pengantar Ilmu Antropologi,Jakarta: Rineka Cipta, Cetakan ke 8.

PaEni, Mukhlis (editor umum). 2009. SejarahKebudayaan Indonesia, SistemPengetahuan, Jakarta, PT RajaGrafindoPersada.

———————————————. 2009. SejarahKebudayaan Indonesia, Bahasa, Sastra,dan Aksara, Jakarta, PT RajaGrafindoPersada.

———————————————. 2009. SejarahKebudayaan Indonesia, Bahasa, Seni Rupadan Desain, Jakarta, PT RajaGrafindoPersada.

Ruby, Jay. 1996. Visual Anthropology. In Encyclopediaof Cultural Anthropology, editors: DavidLevinson and Melvin Ember, New York:Henry Holt. and Company, vol. 4.

Sarup, Madan. 2008. Postrukralisme &Posmodernisme, Yogyakarta, Jalasutra.

Sutarto. 1996. Legenda Kasada, dan Karo OrangTengger Lumajang, Depok, Fakultas SastraUniversitas Indonesia.

Van Peursen, Cornelis Anthonie., Dick Hartoko. 1976.Strategi Kebudayaan, Yogyakarta, PenerbitKanisius.