Upload
vuongdieu
View
230
Download
5
Embed Size (px)
Citation preview
JURNAL ADVOKASI. NO. 1 VOL. 1 SEPTEMBER 2011 1
KEBIJAKAN HUKUM PEMIDANAAN ANAK
DALAM KONSEP KUHP 2010
I Nyoman Ngurah Suwarnatha
Dosen Kopertis Wilayah VIII dpk pada Universitas Pendidikan Nasional Denpasar
Abstract: The Law No. 3 Year 1997 on Juvenile Court, here in after referred to Juvenile Court Act is alegal policy established by the legislature in order to realize the justice that provides legal protection and best interests of the child. In terms of crime and punishment against children there is a difference in treatment and differences in threat with adults. In 2010 the concept of the Criminal Code criminal type is set wider than the Juvenile Court Act. With the formulation of the concept of the New Penal Code as a national recodification effort in preparing the formulation of the clauses relating to sentencing for the child should be referred to the Juvenile Court Act that will not overlap or contradict each other.
Key words: Child; Criminal and Criminalization.
Pendahuluan
Negara Indonesia merupakan salah satu diantara negara-negara berkembang di
dunia. Sebagai negara berkembang, Indonesia melaksanakan pembangunan di segala
bidang. Hakikat pembangunan adalah suatu proses perubahan terus-menerus untuk
menuju pada suatu peningkatan kehidupan masyarakat. Pembangunan akan menimbulkan
perubahan-perubahan baik secara langsung maupun tidak langsung yang berpengaruh
terhadap keseimbangan masyarakat dalam segala aspek kehidupan. Pembangunan
nasional bertujuan untuk mewujudkan suatu masyarakat adil dan makmur yang merata
materiil dan spirituil yang berdasarkan Pancasila dan Undang-undang Dasar 1945 dalam
wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia yang merdeka, berdaulat, bersatu dan
berkedaulatan rakyat dalam suasana perikehidupan bangsa yang aman, tentram, tertib,
dan dinamis dalam pergaulan dunia yang merdeka, bersahabat, tertib dan damai.1
Hal tersebut menunjukkan bahwa pembangunan Indonesia tidak hanya mengejar
kemajuan sandang, pangan maupun papan atau kepuasan memiliki rasa aman, bebas
menyatakan pendapat, memperoleh keadilan, melainkan juga bertujuan untuk keselarasan,
keserasian. Antara kedua hal terebut termasuk didalamnya pembangunan dan
pembaharuan hukum nasional dan peningkatan kualitas penegakan hukum bagi seluruh
masyarakat.
1 St. Harum Pudjiarto RS., 1996, Memahami Politik Hukum di Indonesia (UU No. 3 Tahun 1971),
Universitas Atma Jaya Yogyakarta, Yogyakarta, hal. 1.
JURNAL ADVOKASI. NO. 1 VOL. 1 SEPTEMBER 2011 2
Pembaharuan hukum pidana merupakan permasalahan serius yang dihadapi oleh
bangsa Indonesia terutama dalam mengupayakan terbentuknya hukum pidana nasional
yang sesuai dengan tatanan nilai masyarakat Indonesia dan perkembangan zaman.
Pembaharuan di bidang hukum tidak hanya berarti pembaharuan peraturan
perundang-undangan tetapi juga mencakup pembaharuan sistem hukum secara
keseluruhan, yaitu pembaharuan materi hukum, struktur hukum dan budaya hukum.
Masalah pembaharuan hukum dan keadilan berkaitan dengan sistem politik, sistem sosial
dan sistem ekonomi.
Hukum yang berlaku di Indonesia adalah hukum yang berdasarkan pada Pancasila,
Undang-Undang Dasar 1945 dan Amandemennya. Produk hukum nasional masih banyak
memiliki kelemahan-kelemahan karena masih adanya pengaruh-pengaruh politik hukum
kolonial.2
Produk hukum yang dirasakan tidak adil secara yuridis empiris merupakan produk
hukum yang sia-sia, sebab hakekat hukum adalah hukum yang bekerja dalam masyarakat
dan untuk keadilan masyarakat luas. Secara yuridis hukum itu harus sah, karena
keberlakuannya harus didukung oleh masyarakat dan sesuai dengan nilai-nilai dan cita-cita
hidup masyarakat serta memiliki relevansi dengan tradisi hukum masyarakat itu sendiri.
Hukum pidana yang berlaku di Indonesia saat ini adalah hukum warisan kolonial
Balanda yang berdasarkan asas konkordansi diberlakukan di Indonesia. Dalam konteks
inilah pembaharuan hukum pidana menjadi sangat urgen, yaitu sebagai upaya
menyerasikan nilai-nilai yang ada dalam masyarakat kedalam hukum pidana Indonesia.
Urgensi pembaharuan hukum pidana Indonesia juga dikemukakan oleh Sudarto
yang mengemukakan adanya tiga alasan penting dalam rangka penyusunan hukum
nasional yaitu alasan politis, alasan sosiologis dan alasan praktis. Apabila diperinci lebih
lanjut tiga alasan yang dikemukakan oleh Sudarto di atas dapat dijelaskan sebagai berikut:
1. Alasan Politis
Adalah wajar bahwa Indonesia sebagai negara merdeka mempunyai hukum (pidana) yang bersifat nasional, yang didasarkan pada Pancasila sebagai sumber dari segala sumber hukum di Indonesia.
2. Alasan Sosiologis
Urgensi pembentukan hukum (pembaharuan hukum) (pidana) nasional didasarkan pada keharusan, bahwa hukum nasional itu harus didasarkan pada nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat Indonesia sendiri. Hukum nasional haruslah mencerminkan kultur masyarakat Indonesia.
3. Alasan Praktis
2 H. Zainuddin Ali, 2007, Sosiologi Hukum, Sinar Grafika, Jakarta, hal. 51.
JURNAL ADVOKASI. NO. 1 VOL. 1 SEPTEMBER 2011 3
Alasan ini mengisyaratkan, bahwa hukum nasional itu harus dapat dipahami oleh masyarakatnya sendiri. Alasan ini didasarkan pada kenyataan, bahwa hukum pidana yang sekarang berlaku di Indonesia secara resmi menggunakan bahasa Belanda, sementara dalam perkembangannya sangat sedikit masyarakat (termasuk para penegak hukum) yang mempunyai kemampuan berbahasa Belanda.3
Perlu kiranya digaris bawahi, bahwa sekalipun suatu aturan hukum sudah
memenuhi tuntutan keberlakuan secara yuridis, aturan hukum itu tidak akan dapat berlaku
secara efektif dalam masyarakat apabila tidak memenuhi tuntutan keberlakuan secara
sosiologis dan secara filosofis. Hal ini disebabkan, hukum yang baik sehingga dapat efektif
diterapkan dalam masyarakat selalu menuntut persyaratan keberlakuan secara yuridis,
sosiologis, filosofis dan bahkan secara historis.4
Pembaharuan hukum pidana sebenarnya bukan masalah baru, tetapi dalam situasi
sekarang ini penekanan terhadap kedua masalah tersebut dirasakan sebagai suatu
tuntutan dan harapan masyarakat luas terhadap suatu pembaharuan hukum yang
didasarkan pada nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat Indonesia serta mencerminkan
kultur masyarakat Indonesia. Pembaharuan hukum pidana bukan masalah yang sederhana
karena menyangkut masalah yang sangat luas dan kompleks karena meliputi
pembaharuan sistem hukum secara keseluruhan, yaitu pembaharuan materi hukum,
struktur hukum, budaya hukum termasuk keseluruhan sistem politik, sosial dan ekonomi
serta pembaharuan etika hukum dan pendidikan ilmu hukum.
Usaha dan kebijakan untuk melakukan pembaharuan hukum pidana yang lebih
baik pada hakekatnya merupakan tujuan dari upaya penanggulangan kejahatan. Upaya
penanggulangan kejahatan dengan hukum pidana pada hakekatnya merupakan bagian
dari usaha penegakan hukum khususnya penegakan hukum pidana. Oleh sebab itu dapat
juga dikatakan bahwa politik atau kebijakan hukum pidana merupakan bagian dari
kebijakan penegakan hukum (law enforcement policy). Disamping itu upaya
penanggulangan kejahatan lewat pembentukan undang-undang merupakan bagian integral
dari usaha perlindungan masyarakat (social defence) dan usaha untuk mencapai
kesejahteraan masyarakat (social welfare). Jadi, kebijakan atau politik hukum pidana
merupakan bagian dari kebijakan atau politik sosial (social policy).
Makna dan hakekat pembaharuan hukum pidana berkaitan erat dengan latar
belakang dan urgensi diadakannya pembaharuan hukum pidana itu sendiri. Sehingga atar
3 Tongat, 2001, Pidana Kerja Sosial dalam Pembaharuan Hukum Pidana Indonesia, Djambatan, Jakarta,
hal. 25-26. 4 Jimly Asshiddiqie, 1996, Pembaharuan Hukum Pidana Indonesia: Studi tentang Bentuk-bentuk Pidana
Dalam Tradisi Hukum Fiqh dan Relevansinya Bagi Usaha Pembaharuan KUHP Nasional, Angkasa,
Bandung, hal. 160.
JURNAL ADVOKASI. NO. 1 VOL. 1 SEPTEMBER 2011 4
belakang dan urgensi diadakannya pembaharuan hukum pidana dapat ditinjau dari aspek
sosio-politik, sosio-filosofik, sosio-kultural atau dari berbagai aspek kebijakan (khususnya
kebijakan sosial, kebijakan kriminal dan kebijakan penegakan hukum). Ini berarti, makna
dan hakekat pembaharuan hukum pidana berkaitan erat dengan berbagai aspek tersebut.
Artinya, pembaharuan hukum pidana juga pada hakekatnya harus merupakan perwujudan
dari perubahan dan pembaharuan terhadap berbagai aspek kebijakan yang melatar
belakanginya.5
Pada perkembangan dewasa ini semakin banyak terjadi tindak pidana yang
dilakukan oleh anak-anak secara perorangan maupun secara bersama-sama dilakukan
dengan orang dewasa. Kondisi ini sangat memprihatinkan, karena banyak anak-anak yang
harus berhadapan dengan proses peradilan. Keberadaan anak-anak dalam tempat
penahanan dan pemenjaraan bersama orang-orang yang lebih dewasa mengakibatkan
anak-anak berada dalam situasi rawan menjadi korban berbagai tindak kekerasan. Anak-
anak dalam kondisi demikian disebut dengan anak yang berkonflik dengan hukum (children
in conflict with the law). Anak yang berkonflik dengan hukum dapat didefinisikan sebagai
anak yang disangka, dituduh atau diakui sebagai pelaku tindak pidana yang melanggar
undang-undang hukum pidana.
Anak adalah bagian dari generasi muda sebagai salah satu sumber daya manusia,
merupakan potensi dan penerus cita-cita perjuangan bangsa. Selain itu anak sebagai
bagian dari keluarga merupakan buah hati, penerus dan harapan keluarga. Hukum pidana
anak dan pengadilan anak diperlukan sebagai salah satu sarana perlindungan anak yang
terganggu keseimbangan mental dan sosialnya.
Masalah perlindungan hukum bagi anak merupakan bagian integral dari
pembangunan nasional dan juga menjadi sarana tercapainya tujuan pembangunan
nasional, yaitu masyarakat adil dan makmur berdasarkan Pancasila dan Undang Undang
Dasar 1945 dengan wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia dalam ketertiban
pergaulan internasional yang damai, adil dan merdeka.
Kebijakan hukum pidana dan pemidanaan anak diperlukan sebagai upaya
pencegahan dan penanggulangan terhadap terjadinya tindak pidana yang dilakukan oleh
anak.
Pengertian Anak Dalam Hukum Pidana
Ditinjau dari aspek yuridis pengertian anak dalam hukum positif Indonesia lazim
diartikan sebagai orang yang belum dewasa (minderjarig / person under age), orang yang
5 Barda Nawawi Arief, 2005, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, Citra Aditya Bakti, Bandung,
hal. 27.
JURNAL ADVOKASI. NO. 1 VOL. 1 SEPTEMBER 2011 5
dibawah umur sering disebut juga anak dibawah pengawasan wali (minderjarig
ondervoordij). Bertitik tolak pada aspek tersebut ternyata dalam Kitab Undang Undang
Hukum Pidana Indonesia tidak ada ketentuan batas usia anak.
Anak dalam pemaknaan yang umum mendapat perhatian tidak saja dalam ilmu
pengetahuan (the body of knowledge), tetapi dapat ditelaah dari sisi pandang sentralistis
kehidupan. Seperti agama, hukum dan sosiologi yang menjadikan pengertian anak
semakin rasional dan aktual dalam lingkungan sosial.6
Menurut Undang Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak (UU
Pengadilan Anak) dalam Pasal 1 angka 1, yang dimaksud dengan anak adalah
“Anak adalah orang yang dalam perkara Anak Nakal telah mencapai umur 8 (delapan) tahun tetapi belum mencapai umur 18 (delapan belas) tahun dan belum pernah kawin”.
Pengertian anak dalam lapangan hukum pidana diletakkan dalam pengertian anak
yang bermakna penafsiran hukum secara negatif. Dalam arti seorang anak yang berstatus
sebagai subyek hukum yang seharusnya bertanggung jawab terhadap tindak pidana
(strafbaar feit) yang dilakukan oleh anak itu sendiri, ternyata karena kedudukannya sebagai
seorang anak yang berada dalam usia belum dewasa diletakkan sebagai seseorang yang
mempunyai hak-hak khusus dan perlu mendapat perlindungan khusus menurut ketentuan
hukum yang berlaku. 7
Pengertian anak dalam hukum pidana lebih mengutamakan pada pemahaman
terhadap hak-hak anak yang harus dilindungi karena anak berdasarkan kodratnya
mempunyai akal dan fisik yang masih lemah dan di dalam sistem hukum dipandang
sebagai subyek hukum yang dicangkokkan dari bentuk pertanggung jawaban,
sebagaimana layaknya seorang subyek hukum yang normal.
Asas-asas Pengadilan Anak
Asas-asas pengadilan anak meliputi: adanya pembatasan umur anak; pengadilan
anak merupakan kompetensi absolut dari peradilan umum; pengadilan anak memeriksa
anak dalam suasana kekeluargaan; pengadilan anak mengharuskan adanya splitsing
perkara; bersidang dengan hakim tunggal dan hakim anak ditetapkan oleh ketua
Mahkamah Agung RI; penjatuhan pidana yang lebih ringan dari pada orang dewasa;
diperlukan kehadiran orang tua, wali atau orang tua asuh serta diakuinya pembimbing
kemasyarakatan; adanya kehadiran penasehat hukum; dan penahanan anak lebih singkat
dari pada orang dewasa.
6 Maulana Hassan Wadong, 2000, Pengantar Advokasi Dan Hukum Perlindungan Anak, Grasindo,
Jakarta, hal. 1. 7 Ibid, hal 20.
JURNAL ADVOKASI. NO. 1 VOL. 1 SEPTEMBER 2011 6
Dalam ketentuan UU Pengadilan Anak dikenal adanya pembatasan umur untuk
dapat diadili pada sidang anak. Menurut ketentuan Pasal 1 angka 1, Pasal 4 dan Pasal 5
ayat (1) UU No. 3 Tahun 1997 Tentang Pengadilan Anak bahwa anak yang telah mencapai
umur 8 (delapan) tahun tetapi belum mencapai umur 18 (delapan belas) tahun dan belum
pernah kawin dapat dihadapkan pada sidang anak. Konkretnya, batas umur minimal
adalah 8 (delapan) tahun dan batas umur maksimal adalah 18 (delapan belas) tahun. Latar
belakang pembentuk undang-undang menentukan batas umur minimum dan maksimum
karena pada umur tersebut secara psikologis anak dapat dianggap sudah mempunyai rasa
tanggung jawab.
Hukum acara pengadilan anak mengacu pada UU No. 8 Tahun 1981 Tentang
KUHAP (Kitab Hukum Acara Pidana) dan oleh karena status pelakunya maka pengadilan
anak adalah kekuasaan kehakiman yang berada di lingkungan peradilan umum. Menurut
Pasal 3 dan Pasal 40 UU Pengadilan Anak, sidang pengadilan anak bertugas dan
berwenang memeriksa, memutus dan menyelesaikan perkara anak nakal dan hukum acara
yang berlaku diterapkan pula dalam acara pengadilan anak.
Dalam sidang anak diperlukan pemeriksaan dengan suasana kekeluargaan.
Dengan suasana demikian diharapkan anak dapat mengutarakan perasaannya,
peristiwanya, latar belakang kejadian secara jujur, terbuka tanpa tekanan dan rasa takut.
Menurut Pasal 42 ayat (1) UU Pengadilan Anak penyidik wajib memeriksa tersangka dalam
suasana kekeluargaan dan selanjutnya menurut Pasal 6 UU Pengadilan Anak mengatur
bahwa hakim, penuntut umum, penyidik dan penasehat hukum serta petugas lainnya
dalam sidang anak tidak memakai toga atau pakaian dinas.
Berdasarkan ketentuan Pasal 7 ayat (1) dan (2) UU Pengadilan Anak
mengharuskan adanya splitsing perkara, apabila seorang anak melakukan tindak pidana
bersama-sama dengan orang dewasa atau dengan anggota Angkatan Bersenjata Republik
Indonesia maka anak tersebut harus disidang pada sidang anak dan sidang dewasa
diajukan ke sidang orang dewasa atau mahkamah militer.
Pidana penjara terhadap anak nakal sebagaimana ketentuan Pasal 1 angka 2 huruf
a UU Pengadilan Anak paling lama ½ (satu per dua) dari maksimum orang dewasa dan
apabila tindak pidana tersebut diancam dengan pidana mati atau seumur hidup maka
pidana penjara yang dapat dijatuhkan kepada anak itu paling lama 10 (sepuluh) tahun
serta bila anak tersebut belum berumur 12 (dua belas) anak hanya dapat dijatuhi tindakan
berupa menyerahkan kepada negara untuk mengikuti pendidikan, pembinaan dan latihan
kerja sesuai ketentuan Pasal 24 ayat (1) huruf b UU Pengadilan Anak dan bila anak belum
berumur 12 (dua belas) tahun melakukan tindak pidana yang tidak diancam pidana mati
JURNAL ADVOKASI. NO. 1 VOL. 1 SEPTEMBER 2011 7
atau seumur hidup maka anak dijatuhkan salah satu tindakan dari ketentuan Pasal 24 UU
Pengadilan Anak, hal tersebut diatur dalam Pasal 26 ayat (1), (2), (3) dan (4) UU
Pengadilan Anak.
Menurut Pasal 1 angka 11, Pasal 56 ayat (1), (2) huruf a dan b UU Pengadilan
Anak diperlukan kehadiran orang tua, wali atau orang tua asuh serta diakuinya
pembimbing kemasyarakatan dalam pengadilan anak.
Dilihat dari redaksional Pasal 51 UU Pengadilan Anak kehadiran penasehat hukum
tidak bersifat imperatif karena tidak ada kata wajib atau harus melainkan berhak
mendapatkan bantuan hukum dari seorang atau lebih penasihat hukum sehingga dalam
prakteknya ditafsirkan sebagai fakultatif. Akan tetapi, dilain pihak apabila kita bertitik tolak
penasehat hukum wajib hadir dalam sidang anak sebagaimana diatur dalam Pasal 57 ayat
(1) dan (2), Pasal 58 ayat (1)dan (2) UU Pengadilan Anak yang menentukan pula
kewajiban kehadiran penasehat hukum maka sebenarnya UU Pengadilan Anak
menginginkan eksistensi penasehat hukum secara imperatif.
Ketentuan mengenai penahanan untuk orang dewasa sesuai dengan ketentuan
KUHAP maka penahanan dalam pengadilan anak sesuai dengan UU No. 3 Tahun 1997
Tentang Pengadilan Anak lebih singkat. Pada pengadilan anak untuk penahanan diatur
melalui ketentuan Pasal 44 sampai dengan Pasal 50 UU Pengadilan Anak.
Jenis Pidana dan Tindakan Bagi Anak Nakal
Berlakunya UU No. 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak antara lain telah
menetapkan apa yang dimaksud anak. Undang-undang itu berlaku lex specialis terhadap
KUHP (WvS), khususnya berkaitan dengan tindak pidana yang dilakukan oleh anak.8
Menurut UU Pengadilan Anak terhadap anak nakal dapat dijatuhkan pidana yaitu
pidana pokok dan pidana tambahan atau tindakan. Dalam Pasal 23 ayat (2) UU Pengadilan
Anak beberapa pidana pokok yang dapat dijatuhkan terhadap anak nakal, yaitu pidana
penjara, pidana kurungan, pidana denda atau pidana pengawasan.
Berbeda dengan orang dewasa, pidana penjara bagi anak nakal lamanya ½ (satu
per dua) dari ancaman orang dewasa atau paling lama 10 (sepuluh) tahun. Kecuali itu,
pidana mati dan penjara seumur hidup tidak dapat dijatuhkan terhadap anak. Mengenai
pidana kurungan yang dapat dijatuhkan kepada anak yang melakukan tindak pidana
menurut Pasal 27 UU Pengadilan Anak paling lama ½ (satu per dua) dari maksimum
ancaman pidana kurungan bagi orang dewasa. Seperti pidana penjara dan kurungan maka
8 Bambang Waluyo, 2004, Pidana dan Pemidanaan, Sinar Grafika, Jakarta, hal. 26.
JURNAL ADVOKASI. NO. 1 VOL. 1 SEPTEMBER 2011 8
penjatuhan pidana denda terhadap anak nakal paling banyak juga ½ (satu per dua) dari
maksimum ancamam pidana denda bagi orang dewasa. UU Pengadilan Anak mengatur
pula ketentuan yang relatif baru yaitu apabila pidana denda tersebut ternyata tidak dapat
dibayar maka diganti dengan wajib latihan kerja. Undang-undang menetapkan demikian
sebagai upaya untuk mendidik anak yang bersangkutan agar memiliki ketrampilan yang
bermanfaat bagi dirinya. Mengenai pidana pengawasan dijatuhkan kepada anak yang
melakukan tindak pidana berdasar ketentuan Pasal 30 UU Pengadilan Anak adalah
sebagai berikut: lamanya pidana pengawasan paling singkat 3 (tiga) bulan dan paling lama
2 (dua) tahun; pengawasan terhadap perilaku anak dalam kehidupan sehari-hari di rumah
anak tersebut dilakukan oleh Jaksa; dan pemberian bimbingan dilakukan oleh Pembimbing
Kemasyarakatan.
Dalam Pasal 23 ayat (3) terhadap anak nakal dapat juga dijatuhkan pidana
tambahan berupa perampasan barang-barang tertentu dan atau pembayaran ganti rugi.
Sedangkan beberapa tindakan yang dapat dijatuhkan kepada anak nakal dalam Pasal 24
ayat (1) UU Pengadilan Anak adalah mengembalikan kepada orang tua, wali atau orang
tua asuh; menyerahkan kepada negara untuk mengikuti pendidikan, pembinaan dan
latihan kerja atau menyerahkan kepada Departemen Sosial, atau Organisasi Sosial
Kemasyarakatan yang bergerak di bidang pendidikan, pembinaan, dan latihan kerja.
Apabila dibandingkan dengan konsep KUHP 2010, maka pengenaan tindakan yang dapat
dikenakan terhadap anak tanpa menjatuhkan pidana pokok berupa pengembalian kepada
orang tua, wali, atau pengasuhnya; penyerahan kepada Pemerintah; penyerahan kepada
seseorang; keharusan mengikuti suatu latihan yang diadakan oleh pemerintah atau badan
swasta; pencabutan surat izin mengemudi; perampasan keuntungan yang diperoleh dari
tindak pidana; perbaikan akibat tindak pidana; rehabilitasi; dan/atau perawatan di
lembaga.9
Aspek Pemidanaan Anak Menurut Konsep KUHP 2010
Batasan usia anak yang dapat dipidana dalam konsep KUHP 200 adalah anak
yang belum mencapai umur 12 (dua belas) tahun melakukan tindak pidana tidak dapat
dipertanggung jawabkan, sedangkan pidana dan tindakan bagi anak hanya berlaku bagi
anak yang berumur 12 (dua belas) tahun dan maksimum 18 (delapan belas) tahun.
Penentuan batas umur 12 (dua belas) tahun didasarkan pada pertimbangan psikologis
yaitu kematangan emosional, intelektual, dan mental anak. Seorang anak di bawah umur
12 (dua belas) tahun tidak dapat dipertanggung jawabkan secara pidana. Batas umur
maksimum 18 (delapan belas) tahun untuk dapat diajukan ke pengadilan anak, adalah
9 Lihat Ketentuan Pasal 129 ayat (2) RUU KUHP 2010.
JURNAL ADVOKASI. NO. 1 VOL. 1 SEPTEMBER 2011 9
sesuai dengan umur kedewasaan anak, agar bagi mereka dapat diterapkan ketentuan
mengenai anak. Batasan usia anak dalam konsep KUHP 2010 berbeda dengan yang diatur
dalam Pasal 1 angka 1 UU Pengadilan Anak, yaitu bahwa anak yang berumur 8 (delapan)
tahun melakukan tindak pidana dapat dipertanggung jawabkan secara pidana. Mahkamah
Konstitusi dalam putusannya menyatakan batas usia anak yang bisa dimintai
pertanggungjawaban pidana adalah 12 tahun. Mahkamah Konstitusi berpendapat, batas
umur minimal 12 tahun lebih menjamin hak anak untuk tumbuh berkembang dan
mendapatkan perlindungan sebagaimana dijamin dalam Pasal 28B ayat (2) UUD 1945.
Putusan Mahkamah Konstitusi sejalan dengan yang dicantumkan dalam konsep KUHP
2010 mengenai batas usia anak yang dapat dimintakan pertanggungjawaban jika
melakukan tindak pidana.
Jenis sanksi yang digunakan dalam konsep KUHP 2010 terdiri dari jenis pidana dan
tindakan. Apabila diperinci, pidana bersifat pidana pokok dan pidana tambahan. Pidana
pokok bagi anak terdiri dari:10
a. Pidana verbal : 1. pidana peringatan; atau 2. pidana teguran keras;
b. Pidana dengan syarat: 1. pidana pembinaan di luar lembaga; 2. pidana kerja sosial; atau 3. pidana pengawasan;
c. Pidana denda; atau d. Pidana pembatasan kebebasan:
1. pidana pembinaan di dalam lembaga; 2. pidana penjara; atau 3. pidana tutupan.
Sedangkan pidana tambahan terdiri atas:11
a. perampasan barang-barang tertentu dan/atau tagihan; b. pembayaran ganti kerugian; atau c. pemenuhan kewajiban adat.
Sanksi tindakan untuk anak dalam hal anak memenuhi ketentuan Pasal 40 konsep
KHUP 2010 yang menyatakan setiap orang yang pada waktu melakukan tindak pidana
menderita gangguan jiwa, penyakit jiwa atau retardasi mental, tidak dapat
dipertanggungjawabkan dan dijatuhi pidana, tetapi dapat dikenakan tindakan; dan
memenuhi ketentuan Pasal 41 konsep KUHP 2010 yang menyatakan setiap orang yang
pada waktu melakukan tindak pidana kurang dapat dipertanggungjawabkan karena
10 Lihat Ketentuan Pasal 116 (1) RUU KUHP 2010. 11 Lihat Ketentuan Pasal 116 (2) RUU KUHP 2010.
JURNAL ADVOKASI. NO. 1 VOL. 1 SEPTEMBER 2011 10
menderita gangguan jiwa, penyakit jiwa, atau retardasi mental, pidananya dapat dikurangi
atau dikenakan tindakan. Tindakan terhadap anak berupa :12
a. perawatan di rumah sakit jiwa, b. penyerahan kepada pemerintah, atau c. penyerahan kepada seseorang.
Tindakan dapat dikenakan terhadap anak tanpa menjatuhkan pidana pokok yang berupa
:13
a. pengembalian kepada orang tua, wali, atau pengasuhnya, b. penyerahan kepada Pemerintah, c. penyerahan kepada seseorang, d. keharusan mengikuti suatu latihan yang diadakan oleh pemerintah atau badan
swasta, e. pencabutan surat izin mengemudi, f. perampasan keuntungan yang diperoleh dari tindak pidana, g. perbaikan akibat tindak pidana, h. rehabilitasi, dan/atau i. perawatan di lembaga.
Dalam konsep KUHP 2010 jenis pidana diatur secara lebih luas dari pada UU
Pengadilan Anak. Konsep KUHP 2010 mengatur jenis pidana verbal, yaitu jenis pidana
ringan yang tidak mengakibatkan pembatasan kebebasan bagi anak. Pidana verbal terdiri
atas pidana peringatan dan pidana teguran keras. Konsep KUHP 2010 juga mengatur
pidana pembinaan di luar lembaga, yaitu memberikan pembinaan kepada anak, baik dalam
rangka penyembuhan karena tidak atau kurang mampu bertanggung jawab pidana
disebabkan sakit jiwa atau retardasi mental ataupun berupa pembinaan lainnya bagi anak
yang sehat jiwanya untuk memperoleh keterampilan yang berguna bagi kehidupannya.
Pidana pembinaan di luar lembaga terdiri dari: mengikuti program bimbingan dan
penyuluhan yang dilakukan oleh pejabat pembina; mengikuti terapi di Rumah Sakit Jiwa;
atau mengikuti terapi akibat penyalahgunaan alkohol, narkotika, psikotropika, dan zat
adiktif lainnya.
Konsep KUHP 2010 mengatur juga mengenai pidana kerja sosial, ketetuan
mengenai kerja sosial dalam konsep diatur sebagai berikut antara lain usia layak kerja
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan; pidana kerja sosial untuk anak
dijatuhkan paling singkat 7 (tujuh) jam dan paling lama 120 (seratus dua puluh) jam. Dari
ketentuan tersebut dapat dilihat bahwa pidana kerja sosial merupakan jenis alternatif
pidana penjara pendek dan denda yang ringan; pidana kerja sosial ini tidak dibayar karena
sifatnya sebagai pidana (work as a penalty) serta mengingat sifatnya sebagai kerja sosial
12 Lihat Ketentuan Pasal 129 (1) RUU KUHP 2010. 13 Lihat Ketentuan Pasal 129 (2) RUU KUHP 2010.
JURNAL ADVOKASI. NO. 1 VOL. 1 SEPTEMBER 2011 11
misalnya di rumah sakit, lembaga-lembaga sosial, panti-panti asuhan maka pelaksanaan
pidana kerja sosial ini tidak boleh mengandung hal-hal yang bersifat komersial.14
Mengenai pidana pembinaan di dalam lembaga konsep KUHP 2010 memuat
ketentuan pelaksanaannya, yaitu pidana pembinaan di dalam lembaga dilakukan di tempat
latihan kerja atau lembaga pembinaan yang diselenggarakan baik oleh pemerintah maupun
swasta; namun jika keadaan perbuatan anak membahayakan masyarakat, maka anak
yang bersangkutan ditempatkan dalam Lembaga Pemasyarakatan Anak; lama pembinaan
dalam lembaga sampai anak berumur 18 (delapan belas) tahun; terhadap pidana ini dapat
pula dikenakan pembebasan bersyarat, yaitu paling lama setelah menjalani ½ (satu per
dua) dari lamanya pembinaan yang ditentukan oleh hakim, dengan syarat berkelakuan
baik. Dalam konsep KUHP 2010 pidana tutupan dapat dijatuhkan kepada anak yang
mendekati umur 17 (tujuh belas) tahun dan belum mencapai umur 18 (delapan belas)
tahun telah ikut dalam kegiatan politik atau tindakan yang berdasarkan keyakinan yang
patut dihormati.
Dalam menyelesaikan perkara anak nakal putusan hakim akan mempengaruhi
kehidupan selanjutnya dari anak yang bersangkutan. Oleh sebab itu hakim harus yakin
benar, bahwa putusan yang diambil akan dapat menjadi salah satu dasar yang kuat untuk
mengembalikan dan mengantar anak menuju masa depan yang baik untuk
mengembangkan dirinya sebagai warga yang bertanggung jawab bagi kehidupan keluarga,
bangsa dan negara.15
Sebagai upaya pembinaan dan pemberian bimbingan bagi anak nakal yang telah
diputus oleh hakim, maka anak tersebut ditempatkan di Lembaga Pemasyarakatan Anak.
Di Indonesia, dasar hukum untuk mendirikan lembaga khusus bagi terpidana muda usia
telah ada sejak berlakunya Wetboek van Strafrecht voor Nenderlandsch-Indie pada tanggal
1 Januari 1918.16
UU Pengadilan Anak juga telah mengatur mengenai Lembaga Pemasyarakatan
Anak bahwa anak didik pemasyarakatan ditempatkan di Lembaga Pemasyarakatan Anak
yang harus terpisah dari orang dewasa. Selain itu diatur pula mengenai anak yang
ditempatkan di Lembaga Pemasyarakatan Anak berhak memperoleh pendidikan dan
latihan sesuai dengan bakat dan kemampuannya.
Pidana penjara dijatuhkan kepada anak sebagai upaya terakhir. Dalam hal anak
dijatuhkan pidana penjara maka anak ditempatkan di Lembaga Pemasyarakatan Anak
14 Barda Nawawi Arief, op. cit. hal. 110-111. 15 Lilik Mulyadi, 2005, Pengadilan Anak di Indonesia Teori, Praktik dan Permasalahannya, Mandar
Maju, Bandung, hal. 220. 16 Wagiati Soetodjo, 2006, Hukum Pidana Anak, Refika Aditama, Bandung, hal. 86.
JURNAL ADVOKASI. NO. 1 VOL. 1 SEPTEMBER 2011 12
yang harus terpisah dari orang dewasa untuk mencegah timbulnya pengaruh buruk karena
tercampurnya dengan narapiadana dewasa. Dalam lingkungan penjara yang tercampur
menjadi satu tidak ada kemungkinan untuk mengadakan perbaikan kesusilaan maupun
moral bagi anak pidana.
Penutup
Kelemahan peraturan perundang-undangan yang memberi perlindungan bagi anak
yang dihasilkan oleh badan legislatif merupakan kesalahan strategis yang dapat menjadi
faktor penghambat upaya pencegahan dan penanggulangan tindak pidana yang dilakukan
oleh anak. Oleh karena itu peraturan perundang-undangan yang memberi perlindungan
hukum bagi anak harus selaras dengan nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat dan sesuai
dengan perkembangan masyarakat Indonesia yang dijiwai sepenuhnya oleh Pancasila dan
Undang Undang Dasar 1945.
Dalam hal pidana dan pemidanaan terhadap anak terdapat perbedaan perlakuan
dan perbedaan ancaman dengan orang dewasa. Hal itu dimaksudkan untuk lebih
melindungi dan mengayomi anak agar dapat menyongsong masa depannya yang masih
panjang. Selain itu, pembedaan tersebut dimaksudkan untuk memberi kesempatan kepada
anak agar melalui pembinaan ia akan memperoleh jati diri untuk menjadi manusia yang
mandiri dan bertanggung jawab.
Kebijakan hukum mengenai anak dalam proses peradilan pidana guna
mewujudkan perlindungan hukum bagi anak maka diperlukan untuk memahami
permasalahannya menurut proporsi yang sebenarnya secara meluas, dimensional dan
terpadu. Sebab kebijakan hukum mengenai anak dalam proses peradilan anak adalah hasil
interaksi dari adanya interrelasi antara fenomena yang saling terkait. Jika akhirnya melalui
putusan hakim anak dinyatakan membutuhkan pemeliharaan dan pembinaan maka
diharapkan ia mendapat fasilitas yang sesuai dengan kebutuhannya.
UU No. 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak berlaku lex specialis terhadap
KUHP (WvS), khususnya berkaitan dengan tindak pidana yang dilakukan oleh anak. Dalam
konsep KUHP 2010 jenis pidana diatur secara lebih luas dari pada UU Pengadilan Anak.
Konsep KUHP 2010 mengatur jenis pidana verbal, yaitu jenis pidana yang paling ringan
dan tidak mengakibatkan pembatasan kebebasan bagi anak. Konsep KUHP 2010 juga
mengatur pidana pembinaan di luar lembaga, yaitu memberikan pembinaan kepada anak,
baik dalam rangka penyembuhan karena tidak atau kurang mampu bertanggung jawab
pidana disebabkan sakit jiwa atau retardasi mental ataupun berupa pembinaan lainnya
bagi anak yang sehat jiwanya untuk memperoleh keterampilan yang berguna bagi
kehidupannya.
JURNAL ADVOKASI. NO. 1 VOL. 1 SEPTEMBER 2011 13
UU Pengadilan Anak harus menjadi acuan pula dalam perumusan pasal-pasal
dalam konsep KUHP Baru sebagai upaya rekodifikasi hukum nasional yang berhubungan
dengan pidana dan tindakan bagi anak. Dengan demikian tidak akan terjadi tumpah tindih
ataupun saling bertentangan sehingga terciptalah suatu kebijakan hukum pidana yang
dapat memenuhi upaya perlindungan bagi masyarakat dan upaya untuk mencapai
kesejahteraan masyarakat khususnya bagi anak.
DAFTAR PUSTAKA
BUKU Ali, H. Zainuddin, 2007, Sosiologi Hukum, Sinar Grafika, Jakarta. Arief, Barda Nawawi, 2005, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, Citra Aditya Bakti,
Bandung. Asshiddiqie, Jimly, 1996, Pembaharuan Hukum Pidana Indonesia: Studi tentang Bentuk-
bentuk Pidana Dalam Tradisi Hukum Fiqh dan Relevansinya Bagi Usaha Pembaharuan KUHP Nasional, Angkasa, Bandung.
Mulyadi, Lilik, 2005, Pengadilan Anak di Indonesia Teori, Praktik dan Permasalahannya,
Mandar Maju, Bandung. Pudjiarto RS., St. Harum, 1996, Memahami Politik Hukum Di Indonesia (UU No. 3 Tahun
1971), Universitas Atma Jaya Yogyakarta, Yogyakarta. Soetodjo, Wagiati, 2006, Hukum Pidana Anak, Refika Aditama, Bandung.
Tongat, 2001, Pidana Kerja Sosial dalam Pembaharuan Hukum Pidana Indonesia,
Djambatan, Jakarta. Wadong, Maulana Hassan, 2000, Pengantar Advokasi Dan Hukum Perlindungan Anak,
Grasindo, Jakarta. Waluyo, Bambang, 2004, Pidana dan Pemidanaan, Sinar Grafika, Jakarta.
PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN Undang-undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak, dimuat dalam Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 1997 Nomor 3 dan Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3668 yang mulai berlaku pada tanggal 3 Januari 1997.
Undang Undang No. 8 Tahun 1981 Tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana,
dimuat dalam Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1981 Nomor 76 dan Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3209 yang mulai berlaku pada tanggal 31 Desember 1981.
RUU KUHP 2010
JURNAL ADVOKASI. NO. 1 VOL. 1 SEPTEMBER 2011 14
KEWENANGAN GUBERNUR DALAM PEMBATALAN
PERDA KABUPATEN TABANAN
I Made Dedy Priyanto
Fakultas Hukum Universitas Udayana
Abstract: Regional district rules are regulations established by the legislature with the approval of the district with the head of regency. The purpose of this district is the local regulations for the implementation of government affairs in the local area so that in accordance with the state of society. There are local laws that were canceled by the Governor, namely the cancellation regulations area regulations Number 6 Year 2008 About the Use of Intellectual Property Levies Tabanan regency through Governor Decree No. 12 of 2009. However, in principle, district laws can only be canceled by the President through Presidential Regulation.
Key words: cancellation, district laws, Governor.
Pendahuluan
Perda (selanjutnya disebut Perda) merupakan peraturan yang diberlakukan di daerah-
daerah sesuai dengan wilayah. Perda provinsi berlaku untuk tingkat provinsi, sedangkan
Perda kabupaten hanya diberlakukan pada kabupaten. Perda diadakan karena setiap daerah
memiliki perbedaan sumber daya alam, sumber daya manusia, memiliki perbedaan-
perbedaan pola hidup, kebudayaan, dll, sehingga tidak dapat disamakan satu dengan yang
lain dalam hal pengelolaannya. Untuk itulah penyelenggaraan pemerintahan daerah haruslah
disesuaikan dengan daerah masing-masing melalui suatu kebijakan aturan yang sesuai
dengan keadaan daerah setempat, aturan inilah yang disebut dengan Perda.
Perda adalah peraturan perundang-undangan yang dibentuk oleh dewan perwakilan
rakyat daerah dengan persetujuan bersama kepala daerah (pasal 1 angka 7 UU No.10
Th.2004). Fungsi anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dalam pembentukan Perda
adalah sebagai wakil dari rakyat untuk mewakili aspirasi rakyat di daerah. Hal ini demi
menciptakan peraturan yang mencerminkan keadilan, kepastian hukum bagi semua pihak,
baik pemerintah maupun rakyat yang dalam hal ini diwakili oleh DPR.
Pembatalan Perda merupakan suatu hal yang tidak dapat dihindari apabila terjadi
hal-hal yang membuat aturan Perda tersebut harus dibatalkan, misalnya apabila dikaitkan
dengan perundang-undangan yang lebih tinggi ternyata aturan Perda tersebut bertentangan
atau tidak sesuai sehingga menimbulkan pertentangan yang pada akhirnya dapat
mengakibatkan aturan Perda tersebut dapat dibatalkan. Pembatalan Perda kabupaten, secara
JURNAL ADVOKASI. NO. 1 VOL. 1 SEPTEMBER 2011 15
normatif dapat dibatalkan oleh Presiden yang ditetapkan melalui Peraturan Presiden
sebagaimana yang diatur dalam Pasal 145 ayat (3) Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004
Tentang Pemerintahan Daerah (selanjutnya disebut UU Pemda) dan Pasal 158 ayat (5)
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 28 Tahun 2009 Tentang Pajak Daerah dan
Retribusi Daerah. Pasal 145 (2) dan (3) UU Pemda menentukan bahwa Perda yang
bertentangan dengan kepentingan umum dan/atau peraturan perundang-undangan yang lebih
tinggi dapat dibatalkan oleh Pemerintah (sesuai dengan ayat 2 UU Pemda). Keputusan
pembatalan Perda tadi ditetapkan dengan Peraturan Presiden paling lama 60 (enam puluh)
hari sejak diterimanya Perda itu oleh Pemerintah (sesuai dengan ayat 3 UU Pemda).
Pada prinsipnya, Perda hanya dapat dibatalkan oleh Presiden melalui Peraturan
Presiden seperti yang telah diatur dengan tegas dan jelas pada pasal 145 ayat (3) UU Pemda.
Pemerintah yang dimaksud dalam pasal 145 UU Pemda ini adalah Presiden. Walaupun
Presiden memberikan kewenangan tersebut pada para Menterinya, selama aturan dalam
Pasal 145 UU Pemda belum direvisi maka tetaplah menjadi kewenangan Presiden. Namun
pada kenyataannya terdapat Perda yang dibatalkan oleh Gubernur.
Pembatalan perda yang dilakukan oleh Gubernur terjadi di Kabupaten Tabanan,
Provinsi Bali yaitu pembatalan Perda Nomor 6 Tahun 2008 Tentang Retribusi Pemakaian
Kekayaan Milik Daerah Kabupaten Tabanan melalui Peraturan Gubernur Nomor 12 Tahun
2009. Hal ini disebabkan karena Perda ini dinilai tidak sesuai dengan Keputusan Gubernur
Bali Nomor 597/01-A/HK/2008 Tentang Penetapan Evaluasi Rancangan Perda Kabupaten
Tabanan Tentang Retribusi Pemakaian Kekayaan Milik Daerah. Hal ini menggambarkan
bahwa Perda harus tunduk kepada Keputusan Gubernur padahal Keputusan Gubernur tidak
termasuk dalam hierarki peraturan perundang-undangan.
Pembatalan Perda oleh Peraturan Gubernur ini merupakan suatu masalah normatif
yang sangat menarik untuk dikaji. Karena disatu sisi, Gubernur merupakan “Perpanjangan
tangan” dari Pemerintah Pusat, sehingga dinilai dapat menjalankan kewenangan pemerintah
pusat di daerah, dalam artian Gubernur dapat dilimpahkan kewenangan-kewenangan,
termasuk membatalkan Perda Kabupaten/Kota, tetapi disisi lain, kewenangan pembatalan
Perda Kabupaten/Kota Tabanan bukanlah kewenangan Gubernur untuk membatalkannya,
karena tidak ada payung hukum yang jelas tentang hal tersebut.
JURNAL ADVOKASI. NO. 1 VOL. 1 SEPTEMBER 2011 16
Kewenangan Daerah Otonom
Karena berkaitan dengan otonomi daerah, maka pengkajian mengenai permasalahan
tersebut diawali dengan Pasal 18 Undang-undang Dasar 1945 yang menyebutkan dalam ayat
(1) nya bahwa “Negara Kesatuan Republik Indonesia dibagi atas daerah-daerah provinsi dan
daerah provinsi itu dibagi atas kabupaten dan kota, yang tiap-tiap provinsi, kabupaten, dan
kota itu mempunyai pemerintahan daerah, yang diatur dengan undang-undang.” Selanjutnya
disebutkan dalam ayat (2) bahwa “Pemerintah daerah provinsi, daerah kabupaten, dan kota
mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan menurut asas otonomi daerah”. Hal ini
juga diatur dalam pasal 2 ayat UU Pemda.
Berdasarkan penjelasan pasal 2 ayat (2) UU Pemda, yang dimaksud dengan asas
otonomi dan tugas pembantuan adalah bahwa “pelaksanaan urusan pemerintahan oleh
daerah dapat diselenggarakan secara langsung oleh pemerintah daerah itu sendiri dan dapat
pula penugasan oleh pemerintah provinsi ke pemerintah kabupaten/kota dan desa atau
penugasan dari pemerintah kabupaten/kota ke desa” sehingga berdasarkan pasal ini, dapat
dikatakan bahwa Pemerintah Kabupaten Tabanan mempunyai wewenang untuk
menyelenggarakan urusan-urusan pemerintahan secara mandiri atau disebut juga dengan
otonomi daerah.
Pengertian otonomi daerah dapat dilihat pada pasal 1 angka 5 UU Pemda yang
menyebutkan otonomi daerah adalah “hak, wewenang, dan kewajiban daerah otonom untuk
mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat
sesuai dengan peraturan perundang-undangan”. Wewenang tersebut mencakup wewenang
untuk mengelola kekayaan milik daerah, khususnya kabupaten tabanan.
Membahas sumber wewenang sangatlah berkaitan erat dengan prinsip
penyelenggaraan pemerintahan yakni prinsip dekonsentrasi, tugas pembantuan dan
desentralisasi karena berdasarkan prinsip dekonsentrasi dan desentralisasi terjadi
pelimpahan dan penyerahan wewenang dari pemerintah pusat kepada daerah otonom.
Berdasarkan pasal 1 angka 8 UU Pemda dekonsentrasi adalah “pelimpahan wewenang
pemerintahan oleh Pemerintah kepada Gubernur sebagai wakil pemerintah dan/atau kepada
instansi vertikal di wilayah tertentu”. Melalui prinsip dekonsentrasi ini dilakukan
“pelimpahan wewenang dari pemerintah pusat kepada pejabat-pejabatnya atau aparatmya di
JURNAL ADVOKASI. NO. 1 VOL. 1 SEPTEMBER 2011 17
daerah untuk melaksanakan wewenang tertentu dalam menyelenggarakan urusan pemerintah
pusat di daerah”17
.
Pada hakikatya, alat pemerintah pusat ini, melaksanakan “pemerintahan sentral di
daerah-daerah dan berwenang mengambil keputusan sendiri sampai tingkat tertentu
berdasarkan kewenangannya”18
. Untuk itu alat yang bersangkutan bertanggungjawab
langsung terhadap pemerintah pusat yang memikul semua biaya dan tanggungjawab terakhir
mengenai urusan-urusan dekonsentrasi tersebut. Sehingga dapat dikatakan bahwa urusan-
urusan pemerintahan yang dilaksanakan oleh aparat pemerintah pusat (seperti Gubernur) di
daerah tetap menjadi tanggung jawab pemerintah pusat. Dalam penjelasan Peraturan
Pemerintah Nomor 39 Tahun 2001 tentang Penyelenggaraan Dekonsentrasi, ditentukan
bahwa tujuan diselenggarakan dekonsentrasi adalah:
a. Meningkatkan efisiensi dan efektivitas penyelenggaraan pemerintahan,
pengelolaan pembangunan, dan pelayanan terhadap kepentingan umum;
b. Terpeliharanya komunikasi sosial kemasyarakatan dan sosial budaya dalam sistem
administrasi negara;
c. Terpeliharanya keserasian pelaksanaan pembangunan nasional;
d. Terpeliharanya keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Tugas pembantuan, dalam pasal 1 angka 9 UU Pemda adalah “penugasan dari
Pemerintah kepada daerah dan/atau desa, dari pemerintah provinsi kepada kabupaten/kota
dan/atau desa serta dari pemerintah kabupaten/kota kepada desa untuk melaksanakan tugas
tertentu”. Dasar pemikiran untuk dilaksanakannya tugas pembantuan ini, karena tidak semua
urusan pemerintahan dapat diserahkan kepada daerah menjadi urusan rumah tangganya.
Jadi, beberapa urusan pemerintahan masih merupakan urusan pemerintah pusat, akan tetapi
adalah berat sekali bagi pemerintah pusat untuk melaksanakan urusan yang masih menjadi
wewenangnya berdasarkan dekonsentrasi karena :
Terbatasnya kemampuan perangkat pemerintah pusat di daerah.
Dari segi daya guna dan hasil guna, kurang dapat dipertanggungjawabkan apabila
semua urusan pemerintah pusat di daerah harus dilaksanakan sendiri oleh
aparatnya di daerah karena hal itu akan memerlukan tenaga dan biaya yang sangat
besar jumlahnya.
Dari segi sifatnya, berbagai urusan pemerintah pusat sangat sulit untuk
dilaksanakan dengan baik tanpa keikutsertaan pemerintah daerah.19
17 H. Andi Mustari Pide,1999, Otonomi Daerah Dan Kepala Daerah Memasuki Abad XXI, Gaya Media
Pratama, Jakarta, hal. 30. 18 Amrah Muslimin, 1982, Aspek-aspek Hukum Otonomi Daerah, Alumni, Bandung, hal. 4. 19 Y.W. Sunindhia dan Ninik Widiyanti, , 1987, Praktek Penyelenggaraan Pemerintahan Di Daerah, PT.
Bina Aksara, Jakarta, hal. 117.
JURNAL ADVOKASI. NO. 1 VOL. 1 SEPTEMBER 2011 18
Untuk itulah UU Pemda memberikan kemungkinan/ alternatif bagi penyelenggaraan
pemerintahan di daerah untuk melaksanakannya sesuai dengan asas tugas pembantuan.
Dalam penjelasan umum Peraturan Pemerintah Nomor 52 Tahun 2001 tentang
Penyelenggaraan Tugas Pembantuan ditentukan bahwa tujuan diterapkannya prinsip tugas
pembantuan adalah untuk ”memperlancar pelaksanaan tugas dan penyelesaian permasalahan
serta membantu pengembangan pembangunan bagi daerah dan desa”.
Kemudian prinsip yang penting untuk dikaji dalam pembahasan ini adalah
desentralisasi karena prinsip ini menyebabkan adanya daerah otonom dan melalui prinsip ini
dilakukan penyerahan wewenang pemerintahan kepada daerah otonom, khususnya
wewenang untuk mengelola kekayaan milik daerah kabupaten. Secara etimologis istilah
desentralisasi berasal dari bahasa latin yaitu “de = lepas, dan centrum = pusat, sehingga
dapat diartikan melepaskan dari pusat. Dari sudut pandang ketatanegaraan, yang dimaksud
desentralisasi adalah pelimpahan kekuasaan pemerintah dari pusat kepada daerah-daerah
yang mengurus rumah tangganya sendiri (daerah otonom)”20
.
Berdasarkan pasal 1 angka 6 UU Pemda, daerah otonom merupakan “kesatuan
masyarakat hukum yang mempunyai batas-batas wilayah yang berwenang mengatur dan
mengurus urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa
sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat dalam sistem Negara Kesatuan Republik
Indonesia”. Penyerahan wewenang ini dimaksudkan “memberikan kesempatan kepada
aparat daerah termasuk wakil-wakil rakyatnya untuk berpartisipasi di dalam merencanakan
dan melaksanakan berbagai kebijakan pembangunan tanpa harus mendapat arahan dan atau
diarahkan oleh pusat”21
.
Kewenangan untuk mengatur sendiri urusan pemerintahan mengandung makna
bahwa daerah, dengan inisiatif sendiri dapat membentuk peraturan-peraturan yang berwujud
Perda. Hal ini merupakan prinsip otonomi daerah dimana negara dalam hal ini memberikan
kewenangan ke daerah-daerah otonom untuk mengurus sendiri pemerintahannya. Namun
disisi lain, berdasarkan prinsip Negara Kesatuan, maka hanya terdapat satu kekuasaan
pemerintahan yaitu pemerintah pusat, sehingga pemerintah pusat tetap berwenang untuk
turut campur dalam kegiatan sosial guna melaksanakan tugas-tugas penyelenggaraan
kepentingan umum, hal ini dikenal dengan istilah Freies Ermessen. Berkenaan dengan hal
tersebut, E.Utrecht menyebutkan terdapat tiga kekuasaan pemerintah daerah, yaitu:
20 Abdurrahman, 1987, Beberapa Pemikiran Tentang Otonomi Daerah, PT. Media Sarana Press, Jakarta,
hal. 71. 21 A.W. Widjaja, 1992, Titik Berat Pada Daerah Tingkat II, Rajawali Pers, Jakarta, hal. 21.
JURNAL ADVOKASI. NO. 1 VOL. 1 SEPTEMBER 2011 19
I. Membuat peraturan atas inisiatif sendiri, terutama dalam menghadapi soal-soal
genting yang belum ada pengaturannya, tanpa bergantung pada pembuat undang-
undang pusat;
II. Membuat aturan atas dasar delegasi, karena pembuat undang-undang pusat tidak
mampu memperhatikan tiap-tiap soal yang timbul dalam pergaulan sehari-hari,
sehingga penyesuaian antara peraturan perundang-undangan yang dibuat oleh
pusat dengan keadaan yang sungguh-sungguh terjadi di masyarakat menjadi tugas
dan tanggung jawab pemerintah daerah.
III. Kewenangan untuk menafsirkan sendiri aturan perundang-undangan yang dibuat
oleh pusat. 22
Dasar pemikiran untuk dilakukan penyerahan wewenang untuk menyelenggarakan
urusan pemerintahan kepada daerah otonom berdasarkan desentralisasi adalah:
a. Kemampuan pemerintah berikut perangkatnya yang ada di daerah terbatas;
b. Wilayah negara sangat luas, terdiri lebih dari 3000 pulau-pulau besar dan kecil;
c. Pemerintah tidak mungkin mengetahui seluruh dan segala macam kepentingan dan
kebutuhan rakyat yang tersebar di seluruh pelosok negara;
d. Hanya rakyat setempatlah yang mengetahui kebutuhan, kepentingan, dan masalah
yang dihadapi dan hanya mereka yang mengetahui bagaimana cara yang sebaik-
baiknya untuk memenuhi kebutuhan tersebut;
e. Dilihat secara hukum, Undang-undang Dasar 1945 pasal 18, menjamin adanya
daerah dan wilayah. Sebagai konsekuensinya pemerintah diwajibkan
melaksanakan asas desentralisasi dan dekonsentrasi.
f. Adanya sejumlah urusan pemerintahan yang bersifat kedaerahan dan memang
lebih berdayaguna dan berhasilguna jika dilaksanakan oleh daerah;
g. Daerah mempunyai kemampuan dan perangkat yang cukup memadai untuk
menyelenggarakan urusan rumah tangganya maka desentralisasi dilaksanakan
dalam penyelenggaraan pemerintahan di daerah. 23
Dengan adanya penyerahan urusan pemerintah ini, maka berdasarkan pasal 3ayat (3)
UU Pemda, pemerintah daerah termasuk pemerintah kabupaten Tabanan mempunyai
kewenangan wajib dan pilihan karena dalam pasal ini ditentukan bahwa “Urusan
pemerintahan yang menjadi kewenangan pemerintah daerah terdiri atas urusan wajib dan
urusan pilihan”. Berdasarkan penjelasan pasal 3 ayat (3) UU Pemda, yang dimaksud dengan
urusan wajib adalah urusan yang sangat mendasar yang berkaitan dengan hak dan pelayanan
dasar warga negara antara lain:
a. Perlindungan hak konstitusional;
b. Perlindungan kepentingan nasional, kesejahteraan masyarakat, ketentraman dan
ketertiban umum dalam kerangka menjaga keutuhan Negara Kesatuan Republik
Indonesia; dan
22 Ridwan, HR, 2002, Hukum Administrasi Negara, UII Press, Yogyakarta, hal.16. 23 Victor M. Situmorang dan Cormentyna Sitanggang, 1994, Hukum Administrasi Pemerintahan Di
Daerah, Sinar Grafika Jakarta, hal. 33.
JURNAL ADVOKASI. NO. 1 VOL. 1 SEPTEMBER 2011 20
c. Pemenuhan komitmen nasional yang berhubungan dengan perjanjian dan konvensi
internasional.
Kemudian dalam penjelasan pasal ini juga ditentukan bahwa yang dimaksud dengan urusan
pilihan adalah “urusan yang secara nyata ada di daerah dan berpotensi untuk meningkatkan
kesejahteraan masyarakat sesuai dengan kondisi, kekhasan dan potensi unggulan daerah”.
Sehubungan dengan ini dalam pasal 14 ayat (1) UU Pemda ditentukan bahwa urusan wajib
yang menjadi kewenangan pemerintahan daerah untuk kabupaten/kota merupakan urusan
yang berskala kabupaten/kota meliputi:
a. Perencanaan, dan pengendalian pembangunan;
b. Perencanaan, pemanfaatan, dan pengawasan tata ruang;
c. Penyelenggaraan ketertiban umum dan ketenteraman masyarakat;
d. Penyediaan sarana dan prasarana umum;
e. Penanganan bidang kesehatan;
f. Penyelenggaraan pendidikan;
g. Penanggulangan masalah sosial;
h. Pelayanan bidang ketenagakerjaan;
i. Fasilitas pengembangan koperasi, usaha kecil dan menengah;
j. Pengendalian lingkungan hidup;
k. Pelayanan pertanahan;
l. Pelayanan kependudukan dan catatan sipil;
m. Pelayanan administrasi umum pemerintahan;
n. Pelayanan administrasi penanaman modal;
o. Penyelenggaraan pelayanan dasar lainnya; dan
p. Urusan wajib lainnya yang diamanatkan oleh peraturan perundang-undangan.
Kemudian yang menjadi urusan pemerintahan kabupaten/kota yang bersifat pilihan
berdasarkan ayat (2) pasal ini meliputi “urusan pemerintahan yang secara nyata ada dan
berpotensi untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat sesuai dengan kondisi, kekhasan
dan potensi unggulan daerah yang bersangkutan”. Dari uraian sebelumnya dapat dikatakan
bahwa retribusi pemakaian kekayaan milik daerah kabupaten tabanan merupakan urusan
pilihan bagi Pemerintah Kabupaten Tabanan, sehingga Bupati Kabupaten Tabanan memiliki
kewenangan untuk menyelenggarakan urusan-urusan pemerintahan sehubungan dengan
retribusi pemakaian kekayaan milik daerah kabupaten tabanan. Bersifat pilihan disini
diartikan bahwa seandainya Bupati Kabupaten Tabanan tidak melakukan pungutan retribusi
terhadap kekayaan milik daerah, maka hal tersebut tidaklah serta-merta menjadi
kewenangan Provinsi, melainkan tetap menjadi kewenangan kabupaten karena kekayaan
milik kabupaten, hanya saja rakyat kabupaten tabanan dibebaskan dari pungutan retribusi
tersebut.
JURNAL ADVOKASI. NO. 1 VOL. 1 SEPTEMBER 2011 21
Konstruksi Perda
Berdasarkan uraian sebelumnya, dapat dikatakan bahwa melalui desentralisasi
dilakukan penyerahan urusan pemerintahan kepada pemerintah daerah dengan maksud agar
penyelenggaraan urusan tersebut menjadi efektif dan efisien. Dalam praktek, kedua istilah
ini sering digunakan secara bersama-sama dan terkadang disamakan dengan istilah berhasil
guna dan berdaya guna. Efektif mengandung makna ”terjadinya suatu efek atau akibat yang
dikehendaki”24
. Sehingga, perda Retribusi pemakaian kekayaan milik daerah kabupaten
tabanan dapat dikatakan efektif atau berhasil guna jika urusan tersebut telah dilakukan
sesuai dengan perencanaan misalnya sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang
mendasari pembuatan perda tersebut. Kemudian pada istilah efisiensi yang disebut juga
berdaya guna, terjadi perbandingan antara hasil nyata yang dicapai dengan pengorbanan
yang dikeluarkan oleh pemerintah kabupaten tabanan dalam rangka melakukan urusan
terkait dengan Retribusi pemakaian kekayaan milik daerah kabupaten tabanan seperti
pengorbanan pikiran, tenaga, waktu, ruang, dan benda termasuk uang. Maksudnya, perda
Retribusi pemakaian kekayaan milik daerah kabupaten tabanan akan dikatakan efisien
apabila hasil yang dicapai secara nyata mengorbankan pikiran, tenaga, waktu, ruang, dan
benda/uang yang paling sedikit/ seefisien mungkin.
Prajudi Ato Sudirdjo menyebutkan beberapa persyaratan yang harus dipenuhi dalam
penyelenggaraan pemerintahan yaitu:
(1). Efektifitas, artinya kegiatannya harus mengenai sasaran atau tujuan yang telah
ditetapkan atau direncanakan;
(2). Legimitas, artinya kegiatan administrasi negara jangan sampai menimbulkan
heboh oleh karena tidak dapat diterima masyarakat setempat atau lingkungan yang
bersangkutan;
(3). Yuridikitas, adalah syarat yang menyatakan bahwa perbuatan para pejabat
administrasi negara tidak boleh melawan atau melanggar hukum dalam arti luas;
(4). Legalitas, merupakan syarat yang menyatakan bahwa tidak satupun perbuatan atau
keputusan administrasi negara yang boleh dilakukan tanpa dasar atau pangkal
suatu ketentuan undang-undang (tertulis) dalam arti luas; bila sesuatu dijalankan
dengan dalih “keadaan darurat” maka kedaruratan itu wajib dibuktikan kemudian;
bilamana kemudian tidak terbukti, maka perbuatan tersebut dapat digugat
dipengadilan;
(5). Moralitas, adalah salah satu syarat yang paling diperhatikan oleh masyarakat;
moral dan ethik umum maupun kedinasan wajib dijunjung tinggi; perbuatan tidak
senonoh, sikap kasar, kurang ajar, tidak sopan, kata-kata yang tidak pantas, dan
sebagainya wajib dihindarkan;
(6). Efisien, wajib dikejar seoptimal mungkin; kehematan biaya dan produktivitas
wajib diusahakan setinggi-tingginya;
24 Sundarso, 1988, Organisasi dan Metode, Karunika , Jakarta hal. 96.
JURNAL ADVOKASI. NO. 1 VOL. 1 SEPTEMBER 2011 22
(7). Teknik dan teknologi yang setinggi-tingginya wajib dipakai untuk pengembangan
atau mempertahankan mutu prestasi yang sebaik-baiknya. 25
Pembatalan Perda oleh Gubernur ini dimaksudkan demi terciptanya efisiensi waktu,
biaya, serta mengembalikan kewenangan otonomi daerah pada proporsi yang sebenarnya,
dalam artian Perda Kabupaten/Kota dinilai tidak memerlukan Peraturan Presiden dalam
pembatalannya, karena hal tersebut memerlukan banyak biaya, waktu yang panjang, serta
proses yang tidak sederhana. Namun dalam doktrin hukum dikenal asas a contrario actus
yang berarti bahwa suatu peraturan hanya dapat dibatalkan oleh peraturan sejenis atau yang
lebih tinggi. Sementara Peraturan Gubernur tidak dapat dikatakan sebagai peraturan sejenis
atau peraturan yang lebih tinggi sebab Peraturan Gubernur merupakan produk eksekutif
sedangkan Perda merupakan produk hukum legislatif dan eksekutif.
Indonesia adalah negara hukum sebagaimana yang telah ditegaskan sejak negara ini
didirikan (sesuai dengan pasal 1 ayat 3 UUD 1945). Konsekuensi dari penerapan prinsip
negara hukum ini adalah pengaturan seluruh aktivitas masyarakat dalam koridor hukum.
Dalam negara hukum diperlukan pembagian kekuasaan untuk membagi beban kerja dan
tanggung jawab. Montesquieu dalam bukunya yang berjudul De L’esprit Des Lois
mengajarkan bahwa kekuasaan harus dibedakan menjadi tiga yakni:
a. Kekuasaan legislatif atau membuat perundang-undangan yang dipegang oleh
parlemen.
b. Kekuasaan eksekutif yang menjalankan pemerintahan yang dipegang oleh
pemerintah.
c. Kekuasaan yudisial atau kehakiman, yakni badan yang menjalankan hukum yang
telah dibuat oleh parlemen. 26
Kekuasaan legislatif, eksekutif dan yudisial ini berada pada level pusat maupun level
daerah. Salah satu kekuasaan yang berada di level daerah adalah kekuasaan dalam
membentuk Perda. Perda merupakan suatu produk hukum yang dibuat bersama oleh badan
legislatif dan eksekutif di daerah. Pengaturan secara normatif mengenai Perda dalam
hierarki Peraturan Perundang-undangan dapat dilihat dalam Pasal 7 ayat (1) Undang-
undang Nomor 10 Tahun 2004 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan Perda
yang mengklasifikasikan jenis dan hierarki Peraturan Perundang-undangan sebagai berikut :
a. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
25 Ibid, dikutip dari Prajudi Atmosudirdjo, 1983, Hukum Administrasi Negara, Ghalia Indonesia, Jakarta,
hal. 79-80. 26 Adami Chazawi, 2002, Pelajaran Hukum Pidana I Stelsel Pidana, Tindak Pidana, Teori-teori
Pemidanaan & Batas Berlakukan Hukum Pidana, RajaGrafindo Persada, Jakarta, hal. 170-171.
JURNAL ADVOKASI. NO. 1 VOL. 1 SEPTEMBER 2011 23
b. Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang;
c. Peraturan Pemerintah;
d. Peraturan Presiden;
e. Perda.
Perda meliputi Perda provinsi dibuat oleh dewan perwakilan rakyat daerah provinsi
bersama dengan gubernur, Perda kabupaten/kota dibuat oleh dewan perwakilan rakyat
daerah kabupaten/kota bersama bupati/walikota serta Peraturan Desa/peraturan yang
setingkat, dibuat oleh badan perwakilan desa atau nama lainnya bersama dengan kepala desa
atau nama lainnya. Dalam Stufenbautheorie dikatakan bahwa “peraturan hukum
keseluruhannya diturunkan dari norma yang berada di puncak piramid, dan semakin ke
bawah semakin ragam dan menyebar.”27
Dengan demikian Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945, Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-
Undang, Peraturan Pemerintah dan Peraturan Presiden menjadi pedoman dari penyusunan
Perda sehingga Perda tidak boleh bertentangan dengan peraturan-peraturan tersebut.
Berdasarkan hierarki sebagaimana yang diatur dalam Pasal 7 ayat (1) Undang-
undang Nomor 10 Tahun 2004 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan maka
Perda merupakan salah satu bentuk Peraturan Perundang-undangan yang harus disusun
berdasarkan pada asas Pembentukan Peraturan Perundang-undangan yang baik. Adapun
asas-asas tersebut meliputi asas:
a. Yang dimaksud dengan asas "kedayagunaan dan kehasilgunaan" adalah bahwa setiap
Peraturan Perundang-undangan dibuat karena memang benar-benar dibutuhkan dan
bermanfaat dalam mengatur kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara
b. Kejelasan rumusan; Yang dimaksud dengan asas "kejelasan rumusan" adalah bahwa
setiap Peraturan Perundang-undangan harus memenuhi persyaratan teknis
penyusunan Peraturan Perundang-undangan, sistematika dan pilihan kata atau
terminologi, serta bahasa hukumnya jelas dan mudah dimengerti, sehingga tidak
menimbulkan berbagai macam interpretasi dalam pelaksanaannya.
c. Keterbukaan. Yang dimaksud dengan asas "keterbukaan" adalah bahwa dalam proses
Pembentukan Peraturan Perundang-Kejelasan tujuan; Yang dimaksud dengan
"kejelasan tujuan" adalah bahwa setiap Pembentukan Peraturan Perundang-undangan
harus mempunyai tujuan yang jelas yang hendak dicapai.
d. Kelembagaan atau organ pembentuk yang tepat; Yang dimaksud dengan asas
“kelembagaan atau organ pembentuk yang tepat” adalah bahwa setiap jenis
Peraturan Perundang-undangan harus dibuat oleh lembaga/pejabat Pembentuk
Peraturan Perundang-undangan yang berwenang. Peraturan Perundang-undangan
27 Achmad Ali, 2009, Menguak Teori Hukum (Legal Theory) dan Teori Peradilan (JudicialPrudence)
Termasuk Interpretasi Undang-undang (Legisprudence), Kencana Prenada Media Group, Jakarta, hal. 62.
JURNAL ADVOKASI. NO. 1 VOL. 1 SEPTEMBER 2011 24
tersebut dapat dibatalkan atau batal demi hukum, apabila dibuat oleh
lembaga/pejabat yang tidak berwenang.
e. Kesesuaian antara jenis dan materi muatan; Yang dimaksud dengan asas "kesesuaian
antara jenis dan materi muatan" adalah bahwa dalam Pembentakan Peraturan
Perundang-undangan harus benar-benar memperhatikan materi muatan yang tepat
dengan jenis Peraturan. Perundang-undangannya.
f. Dapat dilaksanakan; Yang dimaksud dengan asas "dapat dilaksanakan" adalah
bahwa setiap Pembentukan Peraturan Perundang-undangan harus memperhitungkan
efektifitas Peraturan Perundang-undangan tersebut di dalam masyarakat, baik secara
filosofis, yuridis maupun sosiologis.
g. Kedayagunaan dan kehasilgunaanundangan mulai dari perencanaan, persiapan,
penyusunan, dan pembahasan bersifat transparan dan terbuka. Dengan demikian
seluruh lapisan masyarakat mempunyai kesempatan yang seluas-luasnya untuk
memberikan masukan dalam proses pembuatan Peraturan Perundang-undangan.
Agar Perda itu berfungsi maka ia harus memenuhi syarat berlakunya hukum sebagai
kaidah yakni:
a) Kaidah hukum berlaku secara yuridis, apabila penentuannya didasarkan pada kaidah
yang lebih tinggi tingkatannya atau terbentuk atas dasar yang telah ditetapkan.
b) Kaidah hukum berlaku secara sosiologis, apabila kaidah tersebut efektif. Artinya,
kaidah itu dapat dipaksakan berlakunya oleh penguasa walaupun tidak diterima oleh
warga masyarakat (teori kekuasaan) atau kaidah itu berlaku karena adanya pengakuan
dari masyarakat.
c) Kaidah hukum berlaku secara filosofis, yaitu sesuai dengan cita hukum sebagai nilai
positif yang tertinggi. 28
Kewenangan Negara Terhadap Daerah Otonom
Macam-macam urusan pemerintahan membawa konsekuensi pada perlunya
pengaturan. Atas dasar itu pemerintah mau tidak mau harus mengeluarkan peraturan baik
yang sifatnya mengikat secara umum artinya mengikat setiap orang maupun peraturan yang
jangkauan berlakunya hanya mengikat individu-individu.29
Hal inilah yang diistilahkan
sebagai public policy (kebijakan publik). Public policy (kebijakan publik) adalah
serangkaian tindakan yang ditetapkan dan dilaksanakan oleh pemerintah dengan tujuan
tertentu demi kepentingan masyarakat. Jika suatu pemerintah negara melakukan pelayanan
dengan beorientasi kepada public interest atau public needs maka yang harus dipikirkan
oleh pemerintah itu ialah how to serve the public, sehingga pemerintah itu bertindak sebagai
28 H. Zainuddin Ali, 2010, Filsafat Hukum, Sinar Grafika, Jakarta, hal. 94. 29 Johanes Usfunan, 2002, Perbuatan Pemerintah yang Dapat Digugat, Djambatan, Jakarta, hal. 17.
JURNAL ADVOKASI. NO. 1 VOL. 1 SEPTEMBER 2011 25
public servant (pelayanan masyarakat) yang menyelenggarakan public service (layanan
publik).30
Kebijakan publik dapat berupa peraturan perundang-undangan yang terkodifikasi
secara formal dan legal. Setiap peraturan dari tingkat “Pusat” atau “Nasional” hingga tingkat
Desa atau Kelurahan adalah Kebijakan Publik.31
Tiga kelompok kebijakan publik: 32
1. Kebijakan publik yang bersifat makro atau umum, atau mendasar, yaitu kelima
peraturan yang disebut diatas
2. Kebijakan publik yang bersifat mesa atau menengah, atau penjelas pelaksanaan.
Kebijakan ini dapat berbentuk Peraturan Menteri, Surat Edaran Menteri, Peraturan
Gubernur, Peraturan Bupati dan Peraturan Walikota. Kebijakannya dapat pula
berbentuk Surat Keputusan Bersama atau SKB antar Menteri, Gubernur, dan Bupati
atau Walikota.
3. Kebijakan publik yang bersifat mikro adalah kebijakan yang mengatur pelaksanaan
atau implementasi dari kebijakan diatasnya. Bentuk kebijakannya adalah peraturan
yang dikeluarkan oleh aparat publik di bawah Menteri, Gubernur, Bupati dan
Walikota.
Menilik dari adanya pengelompokan kebijakan publik ini maka Peraturan Gubernur
berada pada tingkat menengah. Pasal 1 angka 2 Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 16
Tahun 2006 Tentang Prosedur Penyusunan Produk Hukum Daerah mengkategorikan
Peraturan Gubernur ini sebagai produk hukum daerah dimana dikatakan bahwa “Produk
hukum daerah adalah Peraturan yang diterbitkan oleh kepala daerah dalam rangka
pengaturan penyelenggaraan pemerintahan daerah.” Peraturan Gubernur merupakan produk
hukum yang bersifat mengatur dalam menciptakan tata kelola pemerintahan yang baik
(good governance). Good governance berkenaan dengan penyelenggaraan tiga tugas dasar
pemerintah yaitu:
1. Menjamin keamanan setiap orang dan masyarakat (to guarantee the security of all
person and society itself).
2. Mengelola suatu struktur yang efektif untuk sektor publik, sektor swasta dan
masyarakat (to manage an effective framework for the public sector, the private
sector and civil society).
3. Memajukan sasaran ekonomi, sosial dan bidang lainnya sesuai dengan kehendak
rakyat (to promote economic, social and other aims in accordance with the wishes of
the population). 33
30 Solly Lubis, 2007, Kebijakan Publik, Mandar Maju, Bandung, hal. 9. 31 Riant Nugroho D., 2006, Kebijakan Publik Untuk Negara-negara Berkembang Model-model
Perumusan, Implementasi dan Evaluasi, Elex Media Komputindo Gramedia, Jakarta, hal 30-31. 32 Ibid., hal 31.
JURNAL ADVOKASI. NO. 1 VOL. 1 SEPTEMBER 2011 26
Untuk mewujudkan good governance ini maka pemerintah wajib mengeluarkan produk
hukum yang menjamin kesejahteraan rakyat.
F.A.M.Stroink dan J.G.Steenbeek menyebutkan bahwa hanya ada dua cara organ
pemerintahan memperoleh wewenang yaitu atribusi dan delegasi. Mengenai atribusi dan
delegasi disebutkan bahwa “atribusi berkenaan dengan penyerahan suatu wewenang baru
sedangkan delegasi menyangkut pelimpahan wewenang dari wewenang yang telah ada (oleh
organ yang telah memperoleh wewenang secara atributif kepada organ lain, jadi delegasi
secara logis selalu didahului oleh atribusi)”.34
Selain itu dalam praktek terjadi pula
pelimpahan wewenang berdasarkan mandat, yaitu pelimpahan kewenangan yang tidak
disertai dengan pelimpahan tanggung jawab, sehingga yang dilimpahkan hanyalah
pekerjaannya saja sedangkan dalam penyelesaian pekerjaan tersebut tetap atas nama
pemberi mandat.
Terkait dengan adanya pembatalan Perda Kabupaten Tabanan Nomor 6 Tahun 2008
Tentang Retribusi Pemakaian Kekayaan Milik Daerah Kabupaten Tabanan maka
pembatalan tersebut seharusnya dilakukan melalui Peraturan Presiden karena menjadi
kewenangan Presiden yang didapat secara atributif, yaitu diberikan kewenangan oleh
Undang-undang. Hal ini didasarkan pada Pasal 158 Undang-undang Republik Indonesia
Nomor 28 Tahun 2009 Tentang Pajak Daerah Dan Retribusi Daerah yang dijabarkan
sebagai berikut:
(1) Perda yang telah ditetapkan oleh gubernur/bupati/walikota disampaikan kepada
Menteri Dalam Negeri dan Menteri Keuangan paling lama 7 (tujuh) hari kerja
setelah ditetapkan.
(2) Dalam hal Perda bertentangan dengan kepentingan umum dan/atau peraturan
perundangundangan yang lebih tinggi, Menteri Keuangan merekomendasikan
pembatalan Perda dimaksud kepada Presiden melalui Menteri Dalam Negeri.
(3) Penyampaian rekomendasi pembatalan oleh Menteri Keuangan kepada Menteri
Dalam Negeri sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan paling lambat 20
(dua puluh) hari kerja sejak tanggal diterimanya Perda sebagaimana dimaksud
pada ayat (1).
(4) Berdasarkan rekomendasi pembatalan yang disampaikan oleh Menteri Keuangan,
Menteri Dalam Negeri mengajukan permohonan pembatalan Perda dimaksud
kepada Presiden.
33 Addink Reader dalam H. Muladi, 2009, Hak Asasi Manusia Hakekat, Konsep dan Implikasinya Dalam
Perspektif Hukum dan Masyarakat, Refika Aditama, Bandung, hal. 67. 34 Ridwan H.R, op.cit, h. 75.
JURNAL ADVOKASI. NO. 1 VOL. 1 SEPTEMBER 2011 27
(5) Keputusan pembatalan Perda sebagaimana dimaksud pada ayat (4) ditetapkan
dengan Peraturan Presiden paling lama 60 (enam puluh) hari kerja sejak
diterimanya Perda sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
(6) Paling lama 7 (tujuh) hari kerja setelah keputusan pembatalan sebagaimana
dimaksud pada ayat (5), Kepala Daerah harus memberhentikan pelaksanaan Perda
dan selanjutnya DPRD bersama Kepala Daerah mencabut Perda dimaksud.
(7) Jika provinsi/kabupaten/kota tidak dapat menerima keputusan pembatalan Perda
sebagaimana dimaksud pada ayat (5) dengan alasan-alasan yang dapat dibenarkan
oleh peraturan perundang-undangan, Kepala Daerah dapat mengajukan keberatan
kepada Mahkamah Agung.
(8) Jika keberatan sebagaimana dimaksud pada ayat (7) dikabulkan sebagian atau
seluruhnya, putusan Mahkamah Agung tersebut menyatakan Peraturan Presiden
menjadi batal dan tidak mempunyai kekuatan hukum.
(9) Jika Pemerintah tidak mengeluarkan Peraturan Presiden untuk membatalkan Perda
sebagaimana dimaksud pada ayat (5), Perda dimaksud dinyatakan berlaku.
Dengan demikian pembatalan Perda merupakan kewenangan Presiden yang
ditetapkan melalui Peraturan Presiden. Walaupun Presiden menyerahkan kewenangan
tersebut pada Menteri Dalam Negeri, namun pada pelaksanaan pembatalan perda haruslah
tetap atas nama Presiden, karena penyerahan kewenangan tersebut hanyalah bersifat mandat.
Sedangkan gubernur tidak memiliki kewenangan dalam pembatalan Perda kabupaten,
dikarenakan kedudukan Gubernur disini bukanlah sebagai perpanjangan tangan/ wakil dari
pemerintah pusat. Selain itu Gubernur tidak dapat menangani pembatalan Perda kabupaten
karena pembatalan perda kabupaten terkait dengan kepentingan umum dari seluruh rakyat di
kabupaten tersebut, sehingga tidak dilimpahkan secara delegasi kepada Gubernur. Retribusi
pemakaian kekayaan milik daerah Kabupaten Tabanan adalah menjadi tanggung jawab
Kabupaten Tabanan karena hal tersebut berdampak lokal, dalam artian dampak yang
ditimbulkan hanyalah dalam lintas batas regional di daerah kabupaten tabanan saja, hal ini
dapat dilihat pada Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 38 Tahun 2007 Tentang
Pembagian Urusan Pemerintahan Antara Pemerintah, Pemerintah Daerah Provinsi, dan
Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota, halaman 577 yang membagi urusan pajak dan retribusi
daerah.
Sesuai dengan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, maka hanya ada satu
kekuasaan pemerintahan yang terletak pada pemerintah pusat yang kemudian diberikan
secara desentralisasi dan dekonsentrasi pada daerah. Artinya, sewaktu-waktu kewenangan
daerah dapat ditarik kembali oleh pemerintah pusat sebagai pemegang kewenangan
penyelenggaraan negara. Hal ini dapat dilihat pada pasal 4 ayat (1) UUD 1945 yang
menentukan bahwa “Presiden Republik Indonesia memegang kekuasaan pemerintahan
JURNAL ADVOKASI. NO. 1 VOL. 1 SEPTEMBER 2011 28
menurut Undang-undang Dasar” kemudian, terkait dengan pencabutan kewenangan daerah
otonom oleh pusat dapat dilihat pada pasal 6 UU Pemda.
Penutup
Gubernur tidak dapat membatalkan perda kabupaten, karena Gubernur tidak
memiliki kewenangan untuk itu. Kewenangan membatalkan perda merupakan kewenangan
Presiden yang ditetapkan melalui Peraturan Presiden. Desentralisasi dan Dekonsentrasi
bukanlah penyerahan kewenangan sepenuhnya terhadap daerah yang dikepalai oleh Kepala
Daerah/ Gubernur.
Pengawasan preventif dan represif terhadap perda hendaknya tetap dilakukan.
Pengawasan preventif berarti pengawasan sebelum perda tersebut diberlakukan sehingga
apabila terdapat hal-hal yang bertentangan dengan pembentukan perda dapat dicegah
pemberlakuannya. Preventif dapat dilakukan dengan merevisi, serta memeriksa/ evaluasi
sebelum perda ditetapkan dalam rapat paripurna. Evaluasi perda dapat dilakukan oleh
Gubernur, dan/atau Menteri Dalam Negeri sebelum perda itu ditetapkan, hal ini akan
mengurangi kerugian yang ditimbulkan apabila setelah ditetapkan, baru diketahui
kejanggalannya.
Pengawasan represif, dilakukan setelah perda ditetapkan/ diberlakukan. Pengawasan
ini dapat dilakukan oleh semua lapisan masyarakat, yaitu untuk mengetahui apakah perda
tersebut efektif dan efisien untuk diberlakukan, apakah perda tersebut telah memenuhi asas
keadilan dan kepastian hukum, dan faktor-faktor lain untuk menguji keberlakuan perda
tersebut, sehingga apabila perda tersebut tidak layak untuk diterapkan, dapat diajukan
laporan untuk membatalkan perda tersebut.
DAFTAR PUSTAKA
BUKU
Abdurrahman, 1987, Beberapa Pemikiran Tentang Otonomi Daerah, PT. Media Sarana
Press, Jakarta.
Achmad Ali, 2009, Menguak Teori Hukum (Legal Theory) dan Teori Peradilan
(JudicialPrudence) Termasuk Interpretasi Undang-undang (Legisprudence),
Kencana Prenada Media Group, Jakarta.
Adami Chazawi, 2002, Pelajaran Hukum Pidana I Stelsel Pidana, Tindak Pidana, Teori-
teori Pemidanaan & Batas Berlakukan Hukum Pidana, RajaGrafindo Persada,
Jakarta.
JURNAL ADVOKASI. NO. 1 VOL. 1 SEPTEMBER 2011 29
A.W. Widjaja, 1992, Titik Berat Pada Daerah Tingkat II, Rajawali Pers, Jakarta.
Amrah Muslimin, 1982, Aspek-aspek Hukum Otonomi Daerah, Alumni, Bandung.
H. Andi Mustari Pide, 1999, Otonomi Daerah Dan Kepala Daerah Memasuki Abad XXI,
Gaya Media Pratama, Jakarta.
Y.W. Sunindhia dan Ninik Widiyanti, 1987, Praktek Penyelenggaraan Pemerintahan Di
Daerah, PT. Bina Aksara, Jakarta.
Ridwan, HR, 2002, Hukum Administrasi Negara, UII Press, Yogyakarta.
Victor M. Situmorang dan Cormentyna Sitanggang, 1994, Hukum Administrasi
Pemerintahan Di Daerah, Sinar Grafika Jakarta,.
Sundarso, 1988, Organisasi dan Metode, Karunika, Jakarta.
H. Zainuddin Ali, 2010, Filsafat Hukum, Sinar Grafika, Jakarta.
Johanes Usfunan, 2002, Perbuatan Pemerintah yang Dapat Digugat, Djambatan, Jakarta.
Solly Lubis, 2007, Kebijakan Publik, Mandar Maju, Bandung.
Riant Nugroho D., 2006, Kebijakan Publik Untuk Negara-negara Berkembang Model-
model Perumusan, Implementasi dan Evaluasi, Elex Media Komputindo Gramedia,
Jakarta.
PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
Undang-undang Dasar Republik Indonesia tahun 1945.
Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 28 Tahun 2009 Tentang Pajak Daerah dan
Retribusi Daerah.
Undang-undang Nomor 10 Tahun 2004 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-
undangan.
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 38 Tahun 2007 Tentang Pembagian
Urusan Pemerintahan Antara Pemerintah, Pemerintahan Daerah Provinsi, dan
Pemerintahan Daerah Kabupaten/Kota.
Peraturan Daerah Kabupaten Tabanan Nomor 6 Tahun 2008 Tentang Retribusi Pemakaian
Kekayaan Milik Daerah Kabupaten Tabanan.
Peraturan Gubernur Bali Nomor 12 Tahun 2009 Tentang Pembatalan Perda Kabupaten
Tabanan Nomor 6 Tahun 2008 Tentang Retribusi Pemakaian Kekayaan Milik Daerah
Kabupaten Tabanan.
JURNAL ADVOKASI. NO. 1 VOL. 1 SEPTEMBER 2011 30
TANGGUNG JAWAB HUKUM DALAM TAHAP PRAKONTRAKTUAL PADA
SENGKETA KONTRAK BISNIS
Emmy Febriani Thalib
Grapari Telkomsel
Abstract: The existence of the "Agreement" or often referred as "contract" in the present much needed by community, especially in the era of globalization. Many people all around the globe making the business as a sector that supports the income of economy, where such bussiness actions are always use a contracts, both nationally and internationally. Legal issues will arise if prior agreement is valid and binding on the parties (negotiation process) one of the parties have committed acts that harm others. What are the forms of liability to such parties in the event of loss if the party who feels aggrieved is entitled to sue for compensation of damages or not.
Key words: precontractual, liability, compensation of damages
Pendahuluan
Hukum kontrak merupakan bidang hukum yang sangat penting di era globalisasi
terutama dalam mendukung kegiatan di sektor perdagangan dan transaksi bisnis
internasional. Dalam konsep kontinental, penempatan pengaturan perjanjian pada Buku III
KUH Perdata tentang Hukum Perikatan mengindikasikan bahwa perjanjian memang
berkaitan dengan masalah Harta Kekayaan (Vermogen). Pengertian perjanjian ini mirip
dengan contract pada konsep Anglo-American yang selalu berkaitan dengan bisnis. Di
dalam pola pikir Anglo-American, perjanjian dalam bahasa Belanda overeenkomst dan
dalam bahasa Inggris disebut agreement yang mempunyai pengertian lebih luas dari
contract, karena mencakup hal-hal yang berkaitan dengan bisnis atau bukan bisnis. Untuk
agreement yang berkaitan dengan bisnis disebut contract, sedangkan untuk yang tidak
terkait dengan bisnis hanya disebut agreement. 35
Black’s Law mengartikan perjanjian adalah hubungan antara dua orang atau lebih yang
menciptakan kewajiban untuk melakukan atau tidak melakukan suatu tindakan tertentu (“An
agreement between two or more persons which creates an obligation to do or not to do a
particular thing”). 36
KUH Perdata mengatur syarat sahnya dari suatu perjanjian, seperti yang diatur dalam
pasal 1320 KUH Perdata yaitu:
35 Peter Mahmud Marzuki, Batas-batas Kebebasan Berkontrak, Jurnal Yuridika, Vol. 18 No.3, Mei
Tahun 2003, hal. 195-196. 36Huala Adolf, 2006, Dasar-Dasar Hukum Perjanjian Internasional, Rafika Aditama, Bandung, hal.1
JURNAL ADVOKASI. NO. 1 VOL. 1 SEPTEMBER 2011 31
a. Kesepakatan mereka yang mengikatkan dirinya
b. Kecakapan para pihak untuk membuat suatu perikatan
c. Suatu pokok persoalan tertentu
d. Suatu sebab yang halal
Sedangkan menurut sistem hukum Common Law suatu kontrak merupakan bagian dari
hukum privat, khususnya tentang kewajiban (the law of obligation). Suatu kontrak dikatakan
sah menurut Common Law apabila memenuhi unsur-unsur :
a. Merupakan agreement, yang didasarkan adanya offer-acceptance
b.Terdapat an Intention to create legal relation
Para pihak harus sungguh-sungguh menunjukkan bahwa mereka memang
bermaksud membuat ikatan hukum dan menaati serta melaksanakan ikatan
tersebut.
c. Didukung dengan consideration yang cukup37
Menurut Fox sebagaimana dikutip oleh I.B Wyasa Putra, sistem hukum di dunia
didunia seperti tersebut diatas memiliki kesamaan aturan pokok yaitu :38
1) Diakuinya freedom of contract (party autonomy)
2) Diakuinya prinsip pacta sund servanda
3) Diakuinya kekuatan mengikat dari praktek kebiasaan dan
4) Diakuinya prinsip overmacht
Suatu kontrak harus dibuat menurut prosedur dan teknik yang benar. Prosedur yang
benar diperlukan untuk menentukan sahnya kontrak, dan teknik yang benar diperlukan
untuk membuat kontrak yang efektif dan efisien, menjamin kepastian dan keamanan bisnis,
namun tidak mengabaikan fleksibilitas bisnis untuk secara progresif merespon
perkembangan keadaan dan kebutuhan.39
Ruang Lingkup Dalam Tahap Prakontraktual
Tahap prakontraktual pada dasarnya merupakan tahap dimana terjadi penawaran
serta penerimaan, menurut ketentuan UNIDROIT, kata sepakat saja sudah cukup melahirkan
kontrak. Negosiasi merupakan tahapan paling penting dalam proses prakontraktual,
mengingat dalam negosiasi terjadi pertukaran pendapat antara para pihak untuk mencapai
suatu kesepakatan. Dokumen yang penting dalam proses praktontraktual antara lain adalah
nota kesepahaman atau yang biasa disebut dengan MoU sebagai “preliminary agreement”
37Ida Bagus Wyasa Putra, 2005, “Konsep dan Teknik Berkontrak Menurut Tradisi Common Law”,
Seminar ICCD 16 April 38Ibid. 39Ida Bagus Wyasa Putra, 2000, Aspek-aspek Hukum Perdata Internasional Dalam Transaksi Bisnis
Internasional, Refika Aditama, Bandung, hal. 67
JURNAL ADVOKASI. NO. 1 VOL. 1 SEPTEMBER 2011 32
atau kesepakatan awal yang berisi kesanggupan para pihak untuk membuat sebuah kontrak
detail. Dokumen yang termasuk kedalam tahapan prakontraktual menurut Ricardo
Simanjuntak antara lain : Memorandum of Understanding, Letter of Intent serta Letter of
Comfort.
Menurut Hikmahanto Juwana, penggunaan istilah MoU harus dibedakan dari segi
teoritis dan praktis. Secara Teoritis, dokumen Mou tidak mengikat secara hukum agar
mengikat secara hukum harus dilanjuti dengan perjanjian.40
. Kesepakatan dalam MoU lebih
bersifat ikatan moral. Beliau menganalogikan MoU sebagai lembaga “pertunangan” bukan
lembaga “perkawinan.” Secara praktis, Hikmahanto Juwana membagi pemahaman MoU
menjadi dua yaitu hanya mengikat secara moral karena harus dilanjuti dengan perjanjian
serta pemahaman bahwa MoU disejajarkan dengan perjanjian.
Munir Fuady mengartikan MoU sebagai perjanjian pendahuluan yang nantinya akan
diikuti dan dijabarkan dalam perjanjian detail lainnya.41
Seringkali negosiasi bahkan nota
kesepahaman tidak terwujud menjadi sebuah kontrak nyata yang memuat pertukaran hak
dan kewajiban antara para pihak karena masih masuk dalam tahapan prakontraktual.
Tanggung Jawab Hukum Prakontraktual
Permasalahan hukum dalam tahap prakontraktual akan timbul jika sebelum perjanjian
tersebut sah dan mengikat para pihak (proses perundingan) salah satu pihak telah melakukan
perbuatan hukum seperti meminjam uang, membeli tanah walaupun belum ada kesepakatan
final antara para pihak dan apabila telah tertuang dalam nota kesepahaman, yang menjadi
permasalahan apabila salah satu pihak tidak melaksanakan subtansi yang tertuang dalam
nota kesepahaman tersebut yang mengakibatkan kerugian terhadap pihak lain terkait
dengan:
Bagaimana bentuk tanggung jawab para pihak tersebut ketika terjadi kerugian apakah
pihak yang merasa dirugikan tersebut berhak untuk menuntut ganti kerugian ataukah
tidak, sehingga pihak yang merasa dirugikan seharusnya memiliki hak untuk meminta
ganti rugi atas kerugian yang telah ditimbulkan oleh pihak yang lain walaupun masih
dalam tahap prakontraktual.
Apakah yang dapat menjadi dasar gugatan dalam hal terjadi kerugian oleh salah satu
pihak.
40Hikmahanto Juwana, 2002, Hukum Ekonomi dan Hukum Internasional, Lentera Hati, Jakarta hal. 123 41 Munir Fuady I, 2001, Hukum Kontrak (Dari Sudut Pandang Hukum Bisnis), PT. Citra Aditya,
Bandung , hal 91
JURNAL ADVOKASI. NO. 1 VOL. 1 SEPTEMBER 2011 33
Sebenarnya telah timbul hak dan kewajiban yang harus dipatuhi oleh para pihak, hal ini
terutama dalam rangka melaksanakan pinsip itikad baik dan transaksi jujur, seperti yang
tertuang dalam Statute of The International Institute for The Unification of Private Law
(UNIDROIT) terlebih dengan ditetapkannya Peraturan Presiden Nomor 59 Tahun 2008
tentang Pengesahan Statute of The International Institute for The Unification of Private Law
(Statuta Lembaga Internasional untuk Unifikasi Hukum Perdata) atau yang biasa disebut
dengan UPICCs yang membuka lebar pintu harmonisasi hukum bagi Indonesia dalam
konteks hukum kontrak internasional untuk menghilangkan hambatan pelaksanaan
perdagangan dan transaksi bisnis internasional.
Dalam KUH Perdata hanya disebutkan bahwa suatu persetujuan adalah perbuatan
dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih
(Pasal 1313 KUH Perdata). KUH Perdata sama sekali tidak memperhatikan proses
terjadinya kontrak/perjanjian. Padahal dalam prakteknya suatu kontrak/perjanjian dapat
terjadi apabila didahului dengan adanya kesepakatan dan itu diperoleh melalui proses
negosiasi. KUH Perdata hanya mengatur prinsip itikad baik (good faith) pada saat
pelaksanaan kontrak, padahal sebenarnya dalam tahap negosiasi itupun sudah timbul hak
dan kewajiban yang harus dipatuhi oleh para pihak demi menegakkan prinsip itikad baik
dan transaksi wajar/jujur (good faith dan fair dealing).
Beberapa putusan pengadilan di Indonesia tidak menerapkan asas itikad baik dalam
proses prakontraktual, karena berdasarkan teori klasik jika suatu perjanjian belum
memenuhi syarat hal tertentu, maka belum ada suatu perjanjian sehingga belum lahir
perikatan yang memiliki akibat hukum. Dalam UPICCs, dikenal adanya prinsip larangan
bernegosiasi dengan itikad buruk. Article 2.1.15 UPICCs mengatur larangan negosiasi
dengan itikad buruk, yang menyatakan:
(1) A party is free to negotiate and is not liable for failure to reach an agreement.
(2) However, a party who negotiates or breaks off negotiations in bad faith is liable for
the losses caused to the other party.
(3) It is bad faith, in particular, for a party to enter into or continue negotiations hen
intending not to reach an agreement with the other party.
Dengan demikian tanggung jawab hukum sebenarnya sudah timbul sejak proses
negosiasi atau pra kontraktual yang dalam kontrak internasional biasanya berada dalam
tahapan MOU. Proses negosiasi antara para pihak walaupun belum menimbulkan
kontrak/hubungan hukum antara mereka, namun telah menimbulkan tanggung jawab
hukum, yaitu apabila seseorang membatalkan negosiasi tanpa alasan yang sah atau dengan
JURNAL ADVOKASI. NO. 1 VOL. 1 SEPTEMBER 2011 34
kata lain seseorang telah melakukan bad faith dan/atau unfair dealing dalam proses
negosiasi, maka ia dapat dituntut pertanggung jawaban secara hukum.
Menurut Robert S.Summer, bentuk itikad buruk dalam negosiasi dan penyusunan
kontrak mencakup : “Negosiasi tanpa maksud yang serius untuk mengadakan kontrak,
penyalahgunaan privilege untuk menggagalkan negosiasi, mengadakan kontrak tanpa
memiliki maksud utnuk melaksanakannya, tidak menjelaskan fakta material dan mengambil
keuntungan dari lemahnya posisi tawar pihak lain dalam kontrak.”42
Dalam menghadapi kasus tertentu yang belum diatur kejelasannya didalam Undang-
Undang diperlukan cara penyelesaian yang khusus pula. Dapat pula kasus tersebut telah
diatur dalam perundang-undangan, tetapi substansinya terlalu umum dan abstrak. Dalam
keadaan demikian, hakim berfungsi sebagai judges as laws maker.43
Sistem peradilan di Indonesia tidak menganut sistem preseden sebagaimana peradilan
di negara-negara dengan sistem common law, hakim tidak berkewajiban untuk mengikuti
putusan pengadilan sebelumnya. Maka terdapat kemungkinan adanya perbedaan sikap
diantara para hakim dalam menilai atau menyikapi konsep prakontraktual. Terbukti dari
putusan-putusan pengadilan yang lebih mengedepankan teori hukum kontrak klasik dimana
Menurut teori klasik jika perjanjian belum lahir, maka suatu perikatan tidak memiliki akibat
hukum bagi para pihak, akibatnya pihak yang merasa dirugikan karena percaya terhadap
mitra bisnisnya tidak terlindungi dan tidak dapat menggugat ganti rugi.Sementara menurut
teori hukum modern memiliki kecenderungan untuk mengabaikan formalitas kepastian
hukum demi tercapainya keadilan yang substansial.
Di negara-negara maju yang menganut civil law system, pengadilan memberlakukan
asas itikad baik bukan hanya dalam tahap penandatanganan dan pelaksanaan saja tetapi juga
dalam tahap perundingan. Dalam hukum Belgia, Perancis serta Venezuela hubungan
prakontraktual umumnya diletakkan pada perbuatan melawan hukum. Di beberapa Negara
seperti Cheko dan Belanda hubungan kontrak tidak terlalu diperhatikan. Hal yang sama juga
terjadi di Jepang, dalam Yurisprudensi Jepang dijumpai bahwa kadang hubungan hukum
dalam prakontraktual didasarkan pada perbuatan melawan hukum dan kadang pula
didasarkan pada kontrak pendahuluan atau Quasi kontrak44
42Robert S. Summer ,Good Faith in General Contract Law and the Sales Provision of the Uniform
Commercial Code, Virginia Law Review, Virginia, hal 220. 43M. Yahya Harahap, 1997, Beberapa Tinjauan tentang Permasalahan Hukum,Buku I,Citra Aditya
Bhakti, Bandung, hal. 184. 44Ridwan Khairandy, 2004, Itikad Baik Dalam kebebasan Berkontrak, Fakultas Hukum Pascasarjana
Universitas Indonesia, Jakarta, hal. 15
JURNAL ADVOKASI. NO. 1 VOL. 1 SEPTEMBER 2011 35
Pengadilan Negeri di Inggris dan Amerika Serikat telah menerapkan doktrin
Promissory Estoppel, yaitu doktrin yang mencegah seseorang untuk menarik kembali
janjinya dalam hal pihak yang menerima janji tersebut telah melakukan sesuatu perbuatan
atau tidak melakukan satu perbuatan sehingga dia akan menderita kerugian jika pihak yang
memberi janji menarik janji tersebut.45
Di Jerman terdapat suatu doktrin dari seorang sarjana
hukum terkemuka bernama Rudolf von Jhering yaitu Culpa in Contrahendo yang
mengajarkan pihak yang bertanggung jawab terhadap kerugian yang diderita oleh pihak
tidak bersalah yang mendasarkan dirinya pada faulty impression of binding contract.46
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata membedakan dengan jelas antara perikatan
yang lahir dari undang-undang dengan perikatan yang lahir dari Perjanjian. Akibat Hukum
perikatan yang lahir dari perjanjian memang dikehendaki oleh para pihak, karena memang
perjanjian didasarkan atas kesepakatan yaitu persesuaian kehendak antara para pihak yang
membuat perjanjian. Sedangkan akibat hukum suatu perikatan yang lahir dari undang-
undang mungkin tidak dikehendaki oleh para pihak, tetapi hubungan hukum dan akibat
hukumnya ditentukan oleh undang-undang.
Gugatan ganti kerugian atas dasar adanya wanprestasi diatur dalam pasal 1236 (untuk
prestasi memberikan sesuatu) dan pasal 1239 KUH Perdata (untuk prestasi berbuat sesuatu).
Wanprestasi (default atau non fulfilment ataupun yang disebut dengan istilah breach of
contract) adalah tidak dilaksanakannya prestasi atau kewajiban sebagaimana mestinya yang
dibebankan oleh kontrak terhadap pihak-pihak tertentu seperti yang disebutkan dalam
kontrak yang bersangkutan.47
Selanjutnya terkait dengan wanprestasi tersebut pasal 1243 KUH Perdata menyatakan
bahwa :
”Penggantian biaya,rugi dan bunga karena tidak dipenuhinya suatu perikatan, barulah
mulai diwajibkan, apabila si berutang, setelah dinyatakan lalai memenuhi perikatannya,
tetap melalaikannya, atau jika sesuatu yang harus diberikan atau dibuatnya, hanya dapat
diberikan atau dibuat dalam tenggang waktu yang telah dilampauinya”
Apabila atas kontrak yang disepakati terjadi pelanggaran, maka dapat diajukan gugatan
wanprestasi, karena ada hubungan kontraktual diantara para pihak yang menmbulkan
kerugian dan pihak yang menderita kerugian. Apabila tidak terdapat hubungan kontraktual
45 Suharnoko, 2007, Hukum Perjanjian Teori dan Analisa Kasus, Jakarta, Kencana, hal 11 46 Steven A. Mirmina, 1992, A Comparative Survey of Culpa in Contrahendo Focusing on its Origins in
Roman, German,and French Law as well as its application in American Law, Connecticut Journal on
International Law Vol. 8, hal 81 47 Subekti, Op.Cit, h.45
JURNAL ADVOKASI. NO. 1 VOL. 1 SEPTEMBER 2011 36
antara para pihak yang menimbulkan kerugian dan pihak yang menderita kerugian, maka
dapat mengajukan gugatan perbuatan melawan hukum.
Perbuatan melawan hukum (onrechtmatigdaad) sebelum diatur dalam Pasal 1365 BW
diinterpretasi secara sempit hanya sebatas perbuatan melanggar undang-undang
(onwetmatigedaad). Interpretasi ini terkesan sangat formalistik, karena yang dimaksud
dengan perbuatan melanggar hukum hanyalah sebatas yang sudah diatur dalam undang-
undang. Sedangkan di luar pengaturan undang-undang meskipun merugikan orang lain
bukan merupakan perbuatan melanggar hukum.
Sebagaimana ditentukan dalam Pasal 1365 KUH Perdata yang menyatakan bahwa :
“Tiap perbuatan melanggar hukum, yang membawa kerugian kepada seorang lain,
mewajibkan orang yang karena salahnya menerbitkan kerugian itu, mengganti kerugian
tersebut.”
Berdasarkan definisi tersebut diatas, suatu perbuatan dapat dianggap perbuatan melawan
hukum apabila memenuhi unsur-unsurnya yaitu : 48
1. ada perbuatan melawan hukumnya
2. ada kesalahannya
3. ada kerugiannya, dan
4. ada hubungan timbal balik antara unsur 1, 2 dan 3.
Berdasarkan teori klasik jika suatu perjanjian belum memenuhi syarat hal tertentu,
maka belum ada suatu perjanjian sehingga belum lahir perikatan yang memiliki akibat
hukum sehingga gugatan berdasarkan wanprestasi tidak dapat dilakukan.
Akan menjadi berbeda ketika terdapat perjanjian pendahuluan diantara para pihak,
Apabila dalam tahap prakontaktual para pihak telah membuat sebuah nota kesepahaman,
maka terdapat dua pendapat. Pendapat pertama, yang menyatakan bahwa kekuatan mengikat
dan memaksa MoU sama halnya dengan perjanjian itu sendiri. Walaupun secara khusus
tidak ada pengaturan tentang MoU dan materi muatan MoU itu diserahkan kepada para
pihak yang membuatnya serta bahwa MoU adalah merupakan perjanjian pendahuluan,
namun MoU atau nota Kesepahaman tersebut apabila telah memenuhi unsur-unsur dari
pasal 1320 tentang syarat sahnya sebuah perjanjian tersebut mempunyai kekuatan mengikat
dan memaksa bagi para pihak untuk mentaatinya dan/atau melaksanakannya. Dan dapat
digunakan gugatan atas dasar wanprestasi.
48Riduan Syahrani, 1992, Seluk-Beluk Dan Asas-Asas Hukum Perdata, Alumni, Bandung, hal. 273.
JURNAL ADVOKASI. NO. 1 VOL. 1 SEPTEMBER 2011 37
Pendapat kedua, dengan menitikberatkan MoU sebagai sebuah perjanjian pendahuluan
sebagai bukti awal suatu kesepakatan yang memuat hal-hal pokok, serta yang harus diikuti
oleh perjanjian lain, maka walaupun pengaturan MoU tunduk pada ketentuan perikatan
dalam KUH Perdata, kekuatan mengikat MoU hanya sebatas moral saja. Dengan kata lain
pula MoU merupakan gentlement agreement.
Jadi dalam hubungan prakontraktual dimana belum terdapat hubungan kontraktual yang
menimbulkan hak dan kewajiban mengikat diantara para pihak, maka gugatan kerugian
dapat didasarkan atas adanya tidakan perbuatan melawan hukum.
Pasal 1365 BW melalui putusan Hoge Raad 31 Januari 1919, dalam kasus lindenbaum-
cohen memutuskan yang dimaksud dengan perbuatan melanggar hukum adalah berbuat atau
tidak berbuat yang : 49
1) melanggar hak orang lain; atau
2) bertentangan dengan kewajiban hukum pelaku; atau
3) bertentangan dengan kesusilaan; atau
4) bertentangan dengan kecermatan yang patut harus diperhatikan dalam lalu lintas
masyarakat terhadap diri dan barang orang lain.
Beberapa putusan pengadilan di Indonesia tidak menerapkan asas itikad baik dalam
proses prakontraktual, karena berdasarkan teori klasik jika suatu perjanjian belum
memenuhi syarat hal tertentu, maka belum ada suatu perjanjian sehingga belum lahir
perikatan yang memiliki akibat hukum. Seperti kasus N.V Aniem melawan Said Wachidin
dalam Putusan No.235/1958 Tanggal 13 Agustus 1958 yang memutuskan bahwa N.V
Aniem sebuah perusahaan yang menyediakan listrik tidak wajib mengalirkan listrik untuk
gedung bioskop milik Said Wachidin, meskipun Said Wachidin telah membayar biaya
pemasangan instalasi listrik.
Karena perjanjian antara Said Wachidin dan N.V Aniem belum memenuhi syarat hal
tertentu, mereka belum sepakat mengenai kilowatt listrik yang harus disalurkan. Said
Wachidin menuntut ganti kerugian atas hal tersebut berupa kehilangan keuntungan yang
diharapkan karena seharusnya tergugat memasok listrik kepada penggugat. Namun gugatan
Said Wachidin telah ditolak oleh Pengadilan Tinggi Surabaya.
Walaupun belum terjadi hubungan kontraktual diantara para pihak tersebut, maka
gugatan atas kehilangan keuntungan yang diharapkan berdasakan pengaturan yang terdapat
dalam KUH Perdata, pihak yang dirugikan tidak dapat melakukan tuntutan ganti rugi.
memang tidak dapat dikabulkan, namun ganti rugi berdasarkan kerugian nyata yang
49 Suharnoko, Op.Cit, hal 121
JURNAL ADVOKASI. NO. 1 VOL. 1 SEPTEMBER 2011 38
diderita atas dasar perbuatan melawan hukum dapat dipertimbangkan. Bab I bagian IV Buku
III KUHPerd hanya mengatur tentang penggantian biaya, kerugian dan bunga karena tidak
dipenuhinya suatu perikatan, sedangkan dalam hal ini yang ada baru sebatas negosiasi
prakontrak, bukan kontraknya itu sendiri. Sehingga gugatan ganti kerugian atas dasar
wanprestasi tidak dapat dilakukan.
Penafsiran secara luas atas pengertian perbuatan melawan hukum sejalan dengan
perkembangan teori dalam hukum perjanjian atau kontrak bahwa kontrak tersebut harus
dilaksanakan dengan itikad baik yang berarti harus memperhatikan asas kepatutan.
Tujuan gugatan melawan hukum adalah menempatkan posisi penggugat kepada
keadaan semula sebelum terjadinya perbuatan melawan hukum, sehingga ganti rugi yang
diberikan adalah kerugian yang nyata atau reliance loss dan bukan expectation loss atau
kehilangan keuntungan yang diharapkan.
Penutup
Proses negosiasi antara para pihak walaupun belum menimbulkan kontrak/hubungan
hukum antara mereka, namun telah menimbulkan tanggung jawab hukum, yaitu apabila
seseorang membatalkan negosiasi tanpa alasan yang sah atau dengan kata lain seseorang
telah melakukan bad faith dan/atau unfair dealing dalam proses negosiasi, maka ia dapat
dituntut pertanggungjawaban secara hukum. Dalam hubungan prakontraktual dimana belum
terdapat hubungan kontraktual yang menimbulkan hak dan kewajiban mengikat diantara
para pihak, maka gugatan kerugian dapat didasarkan atas adanya tindakan perbuatan
melawan hukum. Sehingga ganti rugi yang diberikan adalah kerugian yang nyata atau
reliance loss dan bukan expectation loss atau kehilangan keuntungan yang diharapkan.
Pembaruan hukum kontrak atau perjanjian di Indonesia khususnya Buku III tentang
Perikatan merupakan suatu keharusan dalam rangka mendukung dan meningkatkan
pelaksanaan perdagangan dan transaksi bisnis tidak hanya secara nasional, namun juga
internasional. Tidak adanya pengaturan tentang kewajiban prakontraktual dalam Buku III
KUH Perdata. Pengkajian secara menyeluruh dan mendalam ketentuan UPICCs yang telah
diratifikasi melakui Perpres dapat dijadikan rujukan dalam penyusunan KUH Perdata
khususnya terkait dengan pengaturan hukum kontrak dalam konteks perdagangan dan
transaksi bisnis untuk menciptakan kepastian hukum dan melindungi kepentingan nasional.
JURNAL ADVOKASI. NO. 1 VOL. 1 SEPTEMBER 2011 39
DAFTAR PUSTAKA
BUKU
Hikmahanto Juwana, 2002, Hukum Ekonomi dan Hukum Internasional, Lentera Hati,
Jakarta
Huala Adolf, 2006, Dasar-Dasar Hukum Perjanjian Internasional, Rafika Aditama,
Bandung
Ida Bagus Wyasa Putra, 2000, Aspek-aspek Hukum Perdata Internasional Dalam Transaksi
Bisnis Internasional, Refika Aditama, Bandung
M. Yahya Harahap, 1997, Beberapa Tinjauan tentang Permasalahan Hukum, Buku I,Citra
Aditya Bhakti, Bandung
Munir Fuady I, 2001, Hukum Kontrak (Dari Sudut Pandang Hukum Bisnis), PT. Citra
Aditya, Bandung
Riduan Syahrani, Seluk-Beluk Dan Asas-Asas Hukum Perdata, Bandung:Alumni, 1992
Ridwan Khairandy, 2004, Itikad Baik Dalam kebebasan Berkontrak, Fakultas Hukum
Pascasarjana Universitas Indonesia, Jakarta
Robert S. Summer ,”Good Faith in General Contract Law and the Sales Provision of the
Uniform Commercial Code, Virginia Law Review, Virginia.
Suharnoko, 2007, Hukum Perjanjian Teori dan Analisa Kasus, Jakarta, Kencana
PUBLIKASI ILMIAH
Ida Bagus Wyasa Putra, 2005, “Konsep dan Teknik Berkontrak Menurut Tradisi Common
Law”, Seminar ICCD 16 April
Peter Mahmud Marzuki, Batas-batas Kebebasan Berkontrak” Jurnal Yuridika, Vol. 18
No.3, Mei Tahun 2003.
Steven A. Mirmina, 1992, A Comparative Survey of Culpa in Contrahendo Focusing on its
Origins in Roman, German,and French Law as well as its application in American
Law, Connecticut Journal on International Law Vol 8
PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek), diterjemahkan oleh R.
Subekti, R Tjitrosudibio, 2007, Cetakan ke XXX, PT. Pradnya Paramita, Jakarta
Konvensi Internasional UNIDROIT (International Institute for the Unification of Private
Law)
Indonesia, Peraturan Presiden mengenai Pengesahan Statute of The International Institute
For The Unification of Private Law, Peraturan Presiden Nomor 59 Tahun 2008
tentang Pengesahan Statute of The International Institute For The Unification of
Private Law.
JURNAL ADVOKASI. NO. 1 VOL. 1 SEPTEMBER 2011 40
PENGGUNAAN KEKERASAN OLEH POLISI
DALAM PENEGAKAN HUKUM
(Suatu Kajian dalam Perspektif Psikologi Hukum)
I Wayan Suardana
Dinas Kehutanan Provinsi Bali
Abstract This study aims to examine the role of police in law enforcement and limit the use of force in law enforcement by the police is reviewed through the perspective of legal psychology. The police are one component of criminal justice in charge of maintaining security and public order. He also serves as law enforcement. In the process of law enforcement, the police often use violence, but violence can only be used when facing specific threats that endanger the police at the time of performing their duties and that too must be dealt with naturally or by using tools or equipment are balanced. Use of force in law enforcement should be standard on the proportionality, legality, accountability and necessities. Key words: violence, police and law enforcement.
Pendahuluan
Penegakan hukum merupakan hal yang sangat esensial di negara yang berdasarkan
atas hukum. Dalam hal ini negara memiliki hak dan kewenangan untuk menjatuhkan sanksi
bagi para pelanggarnya melalui penegak hukum yang dilegalisasi dengan substansi hukum.
Seorang pakar hukum La Bruyerre, mengatakan “dihukumnya seseorang yang tidak
bersalah, merupakan urusan semua orang yang berpikir. Demikian juga pemeo hukum yang
bunyinya “Under the law, it is better that ten guilty persons escape. than that one innocent
man suffer” (di dalam hukum, adalah lebih baik membebaskan sepuluh orang yang bersalah,
ketimbang menghukum satu orang yang tidak bersalah).50
Salah satu faktor yang menentukan penegakan hukum adalah penegak hukum. H.
Zainuddin Ali, menyebut penegak hukum atau orang yang bertugas menerapkan hukum
mencakup ruang lingkup yang sangat luas. Sebab, menyangkut petugas pada strata atas,
menengah dan bawah. Artinya di dalam melaksanakan tugas penerapan hukum, petugas
seyoggianya harus memiliki suatu pedoman salah satunya peraturan tertulis tertentu yang
mencakup ruang lingkup tugasnya.51
Namun secara implementatif, kekerasan yang
50 Achmad Ali, 2009, Menguak Teori Hukum (Legal Theory) dan Teori Peradilan (Judicialprudence)
Termasuk Interpretasi Undang-undang Legisprudence, Kencana, Jakarta, hal. 501. 51 H. Zainuddin Ali, 2010, Filsafat Hukum, Sinar Grafika, Jakarta, hal. 9.
JURNAL ADVOKASI. NO. 1 VOL. 1 SEPTEMBER 2011 41
dilakukan oleh para aparat penegak hukum khususnya polisi masih saja terjadi. Hal ini
menjadi citra buruk bagi institusi kepolisian.
Berdasarkan data yang dilansir Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Banda Aceh dari
Januari-September 2009, berjumlah 7 orang yang terbagi ke dalam beberapa kasus.
Diantaranya penganiayaan, penangkapan sewenang-wenang dan penyiksaan, penangkapan
dan pengancaman, dan penangkapan dan penahanan diluar prosedur hukum, dan ancaman.
Sementara kasus-kasus kejahatan berbau politik tak terungkap, seperti kasus pengeboman
kantor partai dan intimidasi yang dialami masyarakat. Bahkan sepanjang bulan Nopember
2009 terjadi 3 kasus tindakan kriminalitas kepada orang asing yaitu kepala palang merah
Jerman, dan penembakan staf bahasa di badan bahasa Universitas Syiah Kuala, sampai saat
seperti menguap ke udara tak terungkap juga aktor sesungguhnya.
Penembakan terhadap para teroris saat penangkapan oleh polisi menjadi isu hukum
yang banyak mendapat perhatian dari pada aktivis HAM. Para aktivis HAM mencatat
peristiwa tersebut sebagai pelanggaran HAM yang dilakukan oleh negara. Namun di sisi
lain tindakan represif dari polisi juga direspon positif oleh masyarakat yang semakin tidak
percaya dengan proses peradilan. Dalam hal ini maka harus ditelaah mengenai batasan
penggunaan kekerasan oleh polisi dalam melaksanakan tugas dan kewajibannya.
Peranan Polisi Dalam Penegakan Hukum
Pengertian mengenai polisi dapat dilacak dari Kota “polisi” berasal dari kata politea
atau negara kota, dimana pada zaman Yunani Kuno manusia hidup berkelompok-kelompok,
kelompok-kelompok manusia tersebut kemudian membentuk suatu himpunan, himpunan
dari kelompok-kelompok manusia inilah yang merupakan kota (polis).52
Sesuai dengan
Undang-undang Republik Indonesia No 8 tahun 1981, sistem peradilan pidana di Indonesia
terdiri dari komponen Kepolisian, Kejaksaan, Pengadilan Negeri dan Lembaga
Pemasyarakatan sebagai aparat penegak hukum. Sehingga polisi merupakan salah satu
komponen dalam penegakan hukum di Indonesia.
Harus diakui, masalah keamanan merupakan syarat utama mendukung terwujudnya
masyarakat madani yang adil, makmur, dan beradab berdasarkan Pancasila dan Undang-
Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Karena itu pemeliharaan keamanan
dalam negeri melalui upaya penyelenggaraan fungsi kepolisian yang meliputi pemeliharaan
52 Sidik Soenaryo, 2004, Kapita Selekta Sistem Peradilan Pidana, UMM Press, Malang, hal. 8.
JURNAL ADVOKASI. NO. 1 VOL. 1 SEPTEMBER 2011 42
keamanan dan ketertiban masyarakat, penegakan hukum, perlindungan, pengayoman, dan
pelayanan kepada masyarakat yang menjadi sangat penting.
Dengan diundangkannya UU No 2 Tahun 2002 kepolisian diharapkan dapat lebih
memantapkan kedudukan dan peranan serta pelaksanaan tugas Kepolisian Negara Republik
Indonesia sebagai bagian integral dari reformasi menyeluruh segenap tatanan kehidupan
bangsa dan negara dalam mewujudkan masyarakat madani yang adil, makmur, dan beradab
berdasarkan Pancasila dan Undang- Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Efektifitas peran kepolisian sebagai leading actor (aktor penentu) dalam penegakan hukum
akan terus diuji sejalan dengan agenda-agenda pengembangan reformasi Polri.53
Mengenai permasalahan aparat kepolisian di dalam penegakan hukum di tengah
masyarakat guna terciptanya kesan positif dari masyarakat terhadap aparat kepolisian,
Soerjono Soekanto mengatakan “kalau seorang anggota angkatan perang harus senantiasa
siap tempur dan memelihara kemampuan tersebut dengan sebaik-baiknya, maka anggota
polisi harus selalu siap menghadapi masalah-masalah kemasyarakatan yang merupakan
gangguan terhadap keamanan.”54
Kegagalan dalam menanggulangi kejahatan akan
merupakan sasaran kritik dan celaan masyarakat, sedangkan keberhasilan menanggulangi
kejahatan merupakan ancaman serius (baik fisik maupun psikis) terhadap polisi dan
keluarganya.55
Profesionalisme polisi amat diperlukan dalam menjalankan tugas sebagai penegak
hukum, mengingat modus operandi dan teknik kejahatan semakin canggih, seiring
perkembangan dan kemajuan zaman. Apabila polisi tidak profesional maka proses
penegakan hukum akan timpang, akibatnya keamanan dan ketertiban masyarakat akan
senantiasa terancam sebagai akibat tidak profesionalnya polisi dalam menjalankan tugas.
Tugas polisi disamping sebagai agen penegak hukum (law enforcement agency) dan juga
sebagai pemelihara keamanan dan ketertiban masyarakat (order maintenance officer). Polisi
adalah ujung tombak dalam integrated criminal justice system. 56
53 Asiah Uzia, 2010, “Polisi dan Kekerasan (Refleksi Hari Bhayangkara 1 Juli 2010)”,
http://www.kontras.org/index.php?hal=opini&id=100, diakses pada 4 Januari 2010. 54 Yesmil anwar dan Adang, 2009, Sistem Peradilan Pidana Konsep, Komponen & Pelaksanaannya
Dalam Penegakan Hukum di Indonesia, Widya Padjajaran, Bandung, hal. 157. 55 Romli Atmasasmita, 2007, Teori dan Kapita Selekta Krimonologi, Refika Aditama, Bandung, hal. 118. 56 Wawasan, 2009, “Profesionalitas Polisi Dalam Penegakan Hukum”,
http://www.wawasandigital.com/index.php?option=com_content&task=view&id=30772&Itemid=62, diakses
pada 4 Januari 2010.
JURNAL ADVOKASI. NO. 1 VOL. 1 SEPTEMBER 2011 43
Untuk meningkatkan kinerja polisi dalam penegakan hukum, maka akhir-akhir ini
didengungkan mengenai reformasi kepolisian. Berbicara reformasi kepolisian ada tiga aspek
utama yang harus dilakukan pembenahan. Pertama, aspek struktural yang meliputi
perubahan kelembagaan kepolisian dalam ketatanegaraan, organisasi, susunan dan
kedudukan. Kedua, aspek instrumental yang mencakup filosofi, doktrin, kewenangan,
kompetensi, kemampuan fungsi dan Iptek. Dan ketiga, aspek kultural yang meliputi
perubahan manajerial, sistem rekrutmen, sistem pendidikan, sistem material, fasilitas dan
jasa, sistem anggaran, dan sistem operasional.57
Batasan Penggunaan Kekerasan Oleh Polisi Dalam Penegakan Hukum
Penyidikan oleh kepolisian merupakan fase yang penting, karena pada saat itulah
Berita Acara Pemeriksaan disusun. Penyidiklah yang pertama kali bertemu dengan
tersangka, saksi, serta korban dan menanyakan kejadian perkara yang mereka alami.
Kesalahan dalam investigasi akan memberikan pengaruh dalam mencapai kebenaran dalam
proses peradilan pidana pada tahap selanjutnya di kejaksaan maupun pengadilan. Seringkali
polisi dalam melakukan investigasi menggunakan cara kekerasan (fisik maupun psikologis),
hal ini justru akan merusak ingatan saksi, korban maupun tersangka. Hal ini senada dengan
pendapat Frank E. Hagan yang mengatakan:
Police response to mass protest has often resulted in an escalation of conflict, hostility
and violence. The police violence during the Democartic National Convention in
Chicago (1968) was not a unique phenemenon. We have found numerous other
instances where violence had been initiated or exacerbated by police actions and
attituted, although violence also has been avoided by judicious planning and
supervision.58
Investigasi proses perkara pidana dapat dilakukan pada tersangka, saksi dan korban
yang dilakukan oleh polisi, selain oleh jaksa maupun hakim. Proses peradilan pidana sangat
menggantungkan pada hasil investigasi pada saksi, karena baik polisi tidak melihat langsung
kejadian perkara. Kapardis59
menyatakan bahwa kebenaran kesaksian dipengaruhi oleh 3
hal, yaitu perhatian, persepsi, memori. Ketika terjadi suatu kejadian perkara, banyak sekali
informasi yang masuk dalam kognisi saksi yang melihat kejadian tersebut. Tidak hanya
informasi tentang perbuatan pelaku kejahatan, namun juga karakteristik pelaku dan situasi
57 Serambi News, 2010, “Polisi dan Harapan Semu Masyarakat”,
http://www.serambinews.com/news/printit/26972, diakses pada 4 Januari 2010. 58 Frank E. Hagan, 1989, Introduction to Criminology Theories, Methods and Criminal Behavior,
Nelson-Hall, Chicago, hal. 291. 59 Kapardis, A. 1997. Psychology and Law, Cambridge University Press, Cambridge.
JURNAL ADVOKASI. NO. 1 VOL. 1 SEPTEMBER 2011 44
saat kejadian juga masuk ke dalam kognisi saksi. Informasi yang datang begitu banyak,
sehingga hanya sedikit yang direkam oleh saksi. Terjadi proses seleksi informasi yang
disebut sebagai perhatian. Dalam proses inilah polisi seringkali menggunakan kekerasan
untuk mengorek keterangan dari saksi ataupun tersangka.
Kerja-kerja polisi memang sering dianggap identik dengan kekerasan. Ini tidak
terhindarkan esensi dari pemolisian bukan pada apa yang dilakukan oleh polisi, namun pada
apa yang potensial dilakukan oleh polisi, dalam hal ini potensi penggunaan kekerasan secara
sah. Dalam negara demokrasi, di mana fungsi keamanan nasional berada di bawah
wewenang sipil, polisi menjadi pemegang monopoli kekerasan (monopolists of force),
khususnya kekerasan yang dilakukan terhadap warga negaranya sendiri.
Dalam menjalankan tugas sehari-hari, polisi selalu ditekankan pada satu persepsi
bahwa mereka adalah pemberantas kejahatan yang sedang berada dalam situasi “perang
melawan kejahatan.” Persepsi ini menggiring polisi pada posisi “the invitational edge of
assasination”, dimana praktek tembak di tempat terhadap tersangka yang tidak jarang
mengakibatkan kematian dijustifikasi dengan angapan bahwa mereka “orang jahat” yang
tidak layak hidup.
Dari data yang dikumpulkan oleh Kontras sepanjang bulan Oktober-Desember 2009,
tercatat 22 kasus kekerasan dan penyalahgunaan wewenang yang dilakukan polisi, dimana
setengahnya terjadi ada bulan Desember. Kasus itu meliputi aksi tembak di tempat,
penggunaan senjata secara sewenang-wenang, penyiksaan, serta kasus salah tangkap disertai
penganiayaan, di mana perlakuan terhadap polisi yang melakukan pelanggaran berbeda-
beda. Hanya satu kasus yang mengarah pada penyelesaian pidana, sementara sisanya
diselesaikan secara internal kepolisian, melalui sidang etik dan/atau disiplin.
Dalam banyak kondisi, polisi dalam menjalankan tugasnya tidak harus selalu
memerlukan menggunakan kekuatan. Meski penggunaan kekuatan ini sah dilakukan seperti
dalam penangkapan, pencegahan dan dalam menangani insiden-insiden terkait gangguan
ketertiban umum. Kendati sejumlah aturan dan pedoman dalam penggunaan kekuatan telah
dimiliki kepolisian dalam rangka menjalankan kewajibannya, tetapi praktik-praktik
kekerasan berlebihan masih saja terus terjadi. Peristiwa penembakan yang menyebabkan
kematian terhadap Raden, Juni lalu yang diduga mencuri getah milik PT Satya Agung. Juga
peristiwa penembakan yang mengakibatkan luka berat terhadap Muhib Dani, warga
Seuneuam, Nagan Raya yang ditembak aparat Brimob yang melakukan pengamanan di PT
JURNAL ADVOKASI. NO. 1 VOL. 1 SEPTEMBER 2011 45
SPS, akhir April lalu. Pada saat itu, korban diketahui tidak dalam posisi mengancam
keselamatan jiwa aparat Brimob dan tidak melakukan perlawanan baik secara fisik maupun
dengan senjata tajam.
Demikian juga dengan penanganan kasus terorisme di Aceh, salah satunya
penyergapan tersangka teroris di Pegunungan Jalin yang mengakibatkan jatuhnya korban
dari masyarakat sipil. Korban diberondong dalam jarak dekat bersamaan dengan tembakan
peringatan. Padahal korban sama sekali tidak membawa senjata apapun. Belum lagi metode-
metode penyiksaan yang dilakukan terhadap para tahanan di kantor-kantor polisi yang
ditujukan untuk mendapatkan keterangan atau pengakuan. Penyiksaan seperti ini seringkali
tidak diketahui publik kecuali bila media massa memberitakannya atau pihak keluarga
korban membuat pengaduan kepada lembaga-lembaga hukum. Polisi seringkali bertindak
semena-mena. Hal ini disebabkan adanya justifikasi tanpa proses hukum oleh kepolisian
bahwa tersangka adalah pelaku.
Meskipun polisi berprestasi dalam mengungkap persoalan terorisme dan kriminalitas
bersenjata api di Aceh melalui kekerasan yang dilakukannya, namun hal tersebut tidak serta
merta mendongkrak citra polisi di tengah masyarakat. Kesan keras dan brutal lebih tampak
menonjol dalam menggambarkan pekerjaan polisi. Penggunaan kekerasan atau kekuatan
berlebihan seolah telah menjadi inti dari polisi dalam menjalankan tugas-tugasnya dalam
masyarakat. Tidak selayaknya pemolisian, yang hanya dibolehkan menggunakan kekuatan
hanya ketika benar-benar dibutuhkan dan sampai sejauh yang dipersyaratkan dalam
Undang-undang.
Kekerasan tentunya hanya dapat digunakan pada saat-saat menghadapi ancaman
tertentu yang membahayakan dirinya dan itupun harus dihadapi secara wajar atau dengan
menggunakan alat-alat atau perlengkapan yang seimbang. Dengan kata lain, kekerasan yang
digunakan bersifat normatif, bukan kekerasan secara emosional, brutal ataupun kejam.
Dalam hal ini penilaian yang cepat oleh polisi tentang suatu sifat dari sebuah resiko dan
sejauhmana ancaman yang terjadi sangat diperlukan, serta bagaimana cara penanganan yang
sesuai untuk mengatasinya sambil memastikan agar korban atau kerusakan yang
ditimbulkan tetap dapat diminimalisir.
Penggunaan kekerasan termasuk dengan senjata api oleh polisi sebenarnya menjadi
dua sisi mata uang. Kekerasan akan menjadi legal ketika pelaksanaannya berpedoman pada
asas legalitas dan asas kewajiban serta kewenangan diskresi kepolisian untuk menilai situasi
JURNAL ADVOKASI. NO. 1 VOL. 1 SEPTEMBER 2011 46
yang dihadapi anggota polisi saat itu. Mengenai hal ini Reiss, menyatakan bahwa patokan
yang dapat dipakai sebagai ukuran atau kriteria untuk menilai bahwa kekuasaan dalam
bentuk kekerasan telah terjadi (digunakan) secara tidak pada tempatnya, yaitu:
a. Apabila seorang polisi menyerang seseorang secara fisik dan gagal untuk melakukan
penahanan; penggunaan kekuasaan yang wajar diikuti oleh penahanan;
b. Apabila seseorang warga negara yang pada waktu ditahan tidak melakukan
perlawanan, baik dengan perbuatan maupun kata-kata; kekerasan hanya digunakan
jika diperlukan untuk melakukan penahanan;
c. Apabila seorang polisi, sekalipun pada waktu itu ada perlawanan terhadap usaha
penahan, masih bisa dengan mudah diatasi melalui cara-cara lain;
d. Apabila jumlah polisi yang ada di situ dan bisa membantu dengan cara menggiring
warga negara bersangkutan ke kantor, tempat penahanan atau kamar interogasi;
e. Apabila seseorang ditahan atau diborgol dan tidak berusaha untuk lari atai
melakukan perlawanan dengan kekerasan;
f. Apabila warga negara melawan, tetapi penggunaan kekerasan masih saja
berlangsung, sekalipun orang itu sudah ditundukkan.60
Pada prakteknya, tidak semua tindakan polisi bersifat represif. Banyak tindakan
pemolisian yang dilakukan secara persuasif tanpa kekerasan. Meskipun demikian,
penggunaan kekerasan tetap menjadi salah satu cara untuk menyelesaikan persoalan yang
disahkan oleh undang-undang. Pasal 5 KUHAP menyatakan, polisi karena kewajibannya
berwenang mengadakan tindakan lain menurut hukum yang bertanggung-jawab, di mana
yang dimaksud dengan “tindakan lain” adalah tindakan untuk kepentingan penyelidikan
yang tidak bertentangan dengan suatu aturan hukum; dilakukan atas pertimbangan yang
layak berdasarkan keadaan memaksa; dan menghormati hak asasi manusia.
“Tindakan lain” inilah yang salah satu bentuk pengejawantahannya adalah kekerasan
terhadap orang yang dicurigai atau tersangka. Pasal tersebut memiliki implikasi bahwa
sebuah tindakan (kekerasan) yang dilakukan terhadap tersangka bisa dianggap sah pada satu
situasi, namun bisa pula dianggap sebagai tindak pelanggaran hukum pada situasi yang lain.
Dan di sini penilaian atas sah atau tidaknya tindak kekerasan yang dilakukan baru bisa
dilakukan post-factum. Tindak kekerasan yang excessive ataupun mematikan yang
dilakukan polisi terjadi salah satunya dikarenakan adanya keterbatasan kemampuan untuk
melakukan pendekatan non-represif.
60 Sunarto D.M. “Alternatif Meminimalisasi Pelanggaran HAM Dalam Penegakan Hukum Pidana”,
dalam Muladi, 2009, Hak Asasi Manusia Hakekat, Konsep dan Implikasinya Dalam Perspektif Hukum dan
Masyarakat, Refika Aditama, Bandung, hal. 139.
JURNAL ADVOKASI. NO. 1 VOL. 1 SEPTEMBER 2011 47
Penggunaan kekerasan secara berlebihan yang dilakukan polisi dapat diminimalisir
dengan menyusun aturan yang jelas mengenai prosedur teknis dalam hal melakukan
penangkapan, melakukan pengejaran, menghadapi perlawanan dari tersangka, menghadapi
kerumunan massa (crowd), penggunaan senjata, dan lain-lain. Di samping itu, harus ada
pertanggungjawaban dan pengawasan terhadap tindakan yang diambil oleh polisi. Kontrol
dan review terhadap penggunaan kekerasan ini kemudian harus diikuti dengan penegakan
aturan hukum disiplin dan pidana. Jika penegakan hukum tidak dijalankan ketika terjadi
penggunaan kekerasan yang berlebihan, maka tindak kekerasan semacam itu akan dilihat
sebagai sesuatu yang sah oleh aparat polisi.
Amnesty International dalam laporannya tahun 2004 tentang standar-standar untuk
mencegah penyalahgunaan kekuatan menyebutkan empat prinsip penting HAM dalam
penggunaan kekuatan pada umumnya. Yaitu, proporsionalitas (penggunaan kekuatan yang
seimbang), legalitas (tindakan sah apabila sesuai dengan hukum nasional yang sesuai
dengan standar HAM internasional), akuntabilitas (adanya prosedur dan peninjauan ulang
penggunaan kekuatan) dan nesesitas (digunakan pada tindakan luar biasa dan benar-benar
dibutuhkan). Disebutkan juga, Amnesty International tidak menentang penggunaan
kekuatan yang sah secara sewajarnya oleh polisi. Namun secara khusus negara dan
kepolisian diharuskan untuk terus menerus meninjau kembali masalah etika yang terkait di
dalamnya. Khususnya dalam penggunaan senjata api, harus dilihat terlebih dahulu keadaan
saat polisi diperbolehkan membawa senjata api, kemudian memastikan senjata api
digunakan dengan benar dan menyediakan peringatan yang harus diberikan bila senjata api
harus ditembakkan.
Kapolri juga telah mengatur ulang tentang penggunaan kekuatan dalam tindakan
kepolisian dengan Peraturan Kapolri (Perkap) No. 1/2009 yang membagi 6 tahapan
penggunaan kekuatan, yaitu (1) kekuatan yang memiliki dampak deterent/pencegahan, (2)
perintah lisan, (3) kendali tangan kosong lunak, (4) kendali tangan kosong keras, (5) kendali
senjata tumpul atau senjata kimia, dan (6) kendali dengan menggunakan senjata api. Di sini
disebutkan penggunaan senjata api hanya dapat dilakukan sebagai usaha terakhir dan dapat
digunakan jika diperlukan untuk melindungi diri anggota polisi sendiri, orang sekitar yang
tidak bersalah serta untuk memudahkan proses penangkapan. Dan jika diperlukan
menembak, tembakan harus diarahkan pada bagian tubuh yang paling sedikit
JURNAL ADVOKASI. NO. 1 VOL. 1 SEPTEMBER 2011 48
mengakibatkan resiko kematian. Karena penangkapan ditujukan untuk membawa tersangka
diadili di pengadilan.
Penutup
Polisi merupakan salah satu komponen dalam penegakan hukum di Indonesia. Karena
itu pemeliharaan keamanan dalam negeri melalui upaya penyelenggaraan fungsi kepolisian
yang meliputi pemeliharaan keamanan dan ketertiban masyarakat, penegakan hukum,
perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat sebagai syarat utama
mendukung terwujudnya masyarakat madani yang adil, makmur, dan beradab berdasarkan
Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Kekerasan hanya dapat digunakan pada saat-saat menghadapi ancaman tertentu yang
membahayakan diri polisi pada saat menjalankan tugasnya dan itupun harus dihadapi secara
wajar atau dengan menggunakan alat-alat atau perlengkapan yang seimbang. Penggunaan
kekerasan dalam penegakan hukum harus berstandar pada proporsionalitas (penggunaan
kekuatan yang seimbang), legalitas (tindakan sah apabila sesuai dengan hukum nasional
yang sesuai dengan standar HAM internasional), akuntabilitas (adanya prosedur dan
peninjauan ulang penggunaan kekuatan) dan nesesitas (digunakan pada tindakan luar biasa
dan benar-benar dibutuhkan).
Pelaksanaan keamanan dan ketertiban yang merupakan tugas kepolisian memerlukan
keterpaduan dan interkoneksi antara fungsi hukum di satu sisi dan moralitas di sisi lain.
Oleh sebab itu pemahaman mengenai psikologi hukum bagi polisi sangat diperlukan untuk
menentukan tindakan mana yang wajar dilakukan dan tidak boleh dilakukan dalam kerangka
penegakan hukum termasuk dalam penggunaan kekerasan dalam pelaksanaan fungsi
penertiban.
Jika polisi masih juga mengandalkan kekerasan dalam menyelesaikan masalah, maka
kepercayaan terhadap kepolisian akan semakin melemah yang akan berakibat pada sulitnya
polisi menegakkan profesionalitas dan supremasi hukum. Oleh sebab itu pendekatan
persuasif perlu diutamakan dalam penegakan hukum.
JURNAL ADVOKASI. NO. 1 VOL. 1 SEPTEMBER 2011 49
DAFTAR PUSTAKA
BUKU
Achmad Ali, 2009, Menguak Teori Hukum (Legal Theory) dan Teori Peradilan
(Judicialprudence) Termasuk Interpretasi Undang-undang Legisprudence,
Kencana, Jakarta.
H. Zainuddin Ali, 2010, Filsafat Hukum, Sinar Grafika, Jakarta.
Hagan, Frank E. 1989, Introduction to Criminology Theories, Methods and Criminal
Behavior, Nelson-Hall, Chicago.
Kapardis, A. 1997. Psychology and Law, Cambridge University Press, Cambridge.
Muladi, 2009, Hak Asasi Manusia Hakekat, Konsep dan Implikasinya Dalam Perspektif
Hukum dan Masyarakat, Refika Aditama, Bandung.
Romli Atmasasmita, 2007, Teori dan Kapita Selekta Krimonologi, Refika Aditama,
Bandung.
Sidik Soenaryo, 2004, Kapita Selekta Sistem Peradilan Pidana, UMM Press, Malang.
Yesmil anwar dan Adang, 2009, Sistem Peradilan Pidana Konsep, Komponen &
Pelaksanaannya Dalam Penegakan Hukum di Indonesia, Widya Padjajaran,
Bandung.
INTERNET
Asiah Uzia, 2010, “Polisi dan Kekerasan (Refleksi Hari Bhayangkara 1 Juli 2010)”,
http://www.kontras.org/index.php?hal=opini&id=100, diakses pada 4 Januari 2010.
Serambi News, 2010, “Polisi dan Harapan Semu Masyarakat”,
http://www.serambinews.com/news/printit/26972, diakses pada 4 Januari 2010.
Wawasan, 2009, “Profesionalitas Polisi Dalam Penegakan Hukum”,
http://www.wawasandigital.com/index.php?option=com_content&task=view&id=3
0772&Itemid=62, diakses pada 4 Januari 2010.
JURNAL ADVOKASI. NO. 1 VOL. 1 SEPTEMBER 2011 50
THE SERVICE VILLAGE RESPONSIBILITY AGAINST
THE CITY FOREST SUSTAINABLE61
I Wayan Wiasta, I Wayan Gde Wiryawan, I Nyoman Edi Irawan and Dewi Bunga
Faculty of Law Mahasaraswati Denpasar University
[email protected] or [email protected].
Abstract: City forest is one solution to the pollution and environmental damage in the city. City forest has a function in reducing noise, absorb particles that are harmful to health, resulting in water and so on. City forest sustainability depends on the cooperation between government and society. The cooperation is demanded service village responsibility in maintaining and preserving the city forest. The act of destroying the forest that the city will get the sanctions are based on provisions in awig-awig
Key Words: service village, city forest and sustainable.
Introduction
City is the center of living for the community of a state. Such this place gives a great
chance for any body who expects for job, education and better place for recreation. It’s been
predicted in 2020, there will be 60% of the people live in the city. The development of the
city from the former time till today tends to decrease the green space and change the city
appearance. There are many green spaces exchanged into trading zone, dwelling houses,
industrial zone, transportations needs e.g. (roads, bridges, and vehicles terminal) as well as
other cities infrastructures. To stabilize between the city population growth and all of those
environment problems that caused by its crowded needs the ecological concept of city
development.
The ecological concept of city development can be done through the city forest
development. The term of “city forest” is refers to a field that filled by a group of plantation
growth close together in a city territorial, either it grows on government land or proprietary
right land which is defined as the city forest by the authorities as stated in the government
regulation Number 63 year of 2002 concerning the city forest. The policy concerning the
city forest has been regulated in article 9 Law Number 41 year of 1999 concerning Forestry
61 This paper presented at International Seminar on Environmental, Health and Safety Risk in a
Globalizing World Denpasar, Bali 27-28 June 2011.
JURNAL ADVOKASI. NO. 1 VOL. 1 SEPTEMBER 2011 51
and related to the Government Regulation Number 63 Year of 2002 concerning the City
Forest. In the matter of the city forest sustainable, the derivation of policy in a form of
policy at a lower government level can be done through the function of the service village62
the principle of the service village philosophy expects the harmony relationship between the
human being and its nature. In consequence of that, the service village has responsibility in
city forest sustainable. So far there some basic problems with cause the quantity and the
quality of the city forest become lower e.g. the conflict of interest concerning the function of
the land. As usually the victory is the interest with the high economic value. Because of that
reason, the city forest hasn’t got high economic value so the land that initially defined as the
city forest or the land that was formerly city forest is changed as the supermarket, real-
estate, offices and others. In this such of problem is needed a complete involvement of the
service village and the service village community to guaranty the city forest sustainable.
The Function of the City Forest to Restore Environment, Healthy and Safety
Environment is a space that occupied by living entities together with invaluable
goods.63
such this description has become essential in the matter of to arrange and to protect
the environment. In order to realize all of those does not only need every national
individual, communities, businesses agencies, and legal agencies but also international bears
a solemn responsibility to do a common effort together in protecting and improving the
environment for present and future generation by developing the ecology concept approach
for the city development.
The development of the city forest can be adopted as one of the solution to restore
performance of the city which has been damaged by disarrangement that tend into
commercial and often neglect the environment sustainable. In the relation of that the central
government has the authority through the local government to define the location for the
city forest development. Defined city forest zone has to be considered with; territorial
measure, the total of the population, the level of the pollution, and the city performance. The
minimum size of a city forest is approximately 0,25 ( twenty fife per one hundred) hectare.
62 Stated in article 1 paragraph (4) Bali Province Government Regulation number 3 the year of 2001
concerning the Service Village, stated that service village is unite of service village community in Bali
Province which have equal tradition of Hindu religion community behavior hereditarily in binding of three
Hindu holy temple with its certain territorial and own property as well as to arrange their own village.
63 Otto Sumarwoto, 1991, Ekologi lingkungan hidup dan pembangunan, Djambatan, hal.48.
JURNAL ADVOKASI. NO. 1 VOL. 1 SEPTEMBER 2011 52
The percentage of the measure of a city forest at least 10 % (ten per one hundred) measured
from the city territorial or has to be suitable according to city condition.
The existence of the city forest has given positive contribution in increasing the
quality of environment by carbon diockside absorption through chlorophyll produced by the
city forest vegetation and the help of the sun shine, the formation of oxygen which is needed
for all of the living entities respiration can be formed. Beside of that in the objective of
increasing the quality of the environment can also be helped by keeping the existence of the
green open space.64
The city forests are also functioned to increase and to control the micro
climate and ecstatic value, water absorption, to stabilize the city physic, and to secure the
existence of the various living entities of Indonesia. There are few types of the city forest
can be established such as :
1. Dwelling house city forest type is a city forest that is established on dwelling house
zone functioned as oxygen producer, carbon dockside absorber, water absorber,
wind defender, sound muter. It’s usually dominated with high and tall plantation
combined with smaller bamboo and some grass.
2. Industry type of city forest is a city forest that is established on industry zone and
functioned to minimize the air pollution, and to mute the sound bother.
3. Recreation type of city forest is the forest that is built in a certain zone functioned for
a recreation and beautifulness dominated by beautiful and unique plantations.
4. Uninterrupted type of city forest is a conservation forest to protect all kinds of
protected germ of life
5. Protection type of city forest is a forest to prevent erosion and land sliding, sea water
abrasion, water absorbing zone, increasing land water volume, and others
6. Safety type of city forest is a forest to increase the safety of the traffic by keeping the
existence of the green open space with its plantation
City forest development purposes to keep the sustainable, suitable and the balance of
the city ecosystem such as environment, social and culture. As stated by Supriadi in his
book “The Law of Forestry and The Law of Agriculture in Indonesia”(Hukum Kehutanan
dan Hukum Perkebunan di Indonesia) that the essential function of the city forest is as the
city identity, to develop germ of life, to filter the unnecessary particles e.g. all metals
particles, cement, dust, to mute the sound bother, to minimize the acid rain, to absorb carbon
monocside and carbon diocside, to produce oxygen, to block the wind, to prevent sea water
intrusion, limited production, climate amelioration, to organize the waste, land water
64 Yengyeng Reni Herliani, 2009-01-14,15;26;24, “Penentuan Luas dan Lokasi Hutan Kota
berdasarkan Kebutuhan Oksigen (Studi Kasus di Wilayah Kota Tasikmalaya),
http://digilib.itb.ac.id/gdl.php?mod=browse&op=read&id=jbptitbpp-gdl-yengyengre-31725
JURNAL ADVOKASI. NO. 1 VOL. 1 SEPTEMBER 2011 53
sustainable, birds habitat, reduce the sense of stress, to prevent the sea water abrasion, and
to increase tourism industry.65
There are some forms of the city forest which can be made such as :
a. Green Space Forest.
Street refreshing trees, green space under the electricity’s high power pole, green space
along the trains track. Green space along the river in the city or in the country side shall
be established and developed as a city forest in order to have better benefit and quality
of cities environment. The trees which are planted under the high power of electricity
wire and the telephone wire shall be settled lower than the wires, if there are some
higher trees grow under the dangerous zone shall be arranged to cut regularly.
b. City Garden
Garden by means is the plantation which is planted and arranged in a particular form.
Either some or whole of those trees/plantation are performed by the human being to get
a beautiful certain composition of trees / plantation. Every kinds of plantation have its
own characteristic either in shapes, color or structure. There are some plantations with
small high long trees (candle vine trees), some trees with pyramid leave style (vine
trees) and there are some trees with big round branches on leave and shadow (beringin
tree).
a. Garden And Yard
Kind of plantation which is usually planted in the garden and the yard are the kind of
fruiting trees such as mango, durian, rambutan, guava, orange, coconut and others. Here
are kind of trees that might be also suit for the garden and yard that derived from less
fruiting trees such as vine trees, palm trees, adenium, fillisum, fern (pakis) and many
others.
b. Botanical Garden, rain Forest, Zoo
Botanical garden, Rain Forest, zoo can be classified into the form city garden. The
plantation can be locally plant or the plant from other territorial, either from domestic
area of the state or from foreign country (Soemartono 1983) stated there are some of the
botanical gardens have economic value and there are also some of Botanical gardens
objectified for the research/Study.
c. Protected Forest
The fifth part at the city is a steep standing jungle shall be settled as forest territorial
because such of this territorial is anxious of land sliding. As well as with the beach
territorial which is anxious of sea water abrasion shall settle to be a protected forest.
d. Cemetery and Military Cemetery
Normally in a cemetery are planted some kind of plantations, it seems that as the
manifestation of living person never ended respect to the death person, as long as. Those
trees are still strong standing in that place. Through this personification is drawn. That
the life wire never he ended with the death, in the other way can be stated that the death
is the beginning at the life.66
65 Supriadi, 2010, Hukum Kehutanan dan Hukum Perkebunan di Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta,
hal.496-506. 66 Departemen Kehutanan, “Hutan Kota”, http://www.dephut.go.id/informasi/hutkot/hutkot.htm#hutkot1
JURNAL ADVOKASI. NO. 1 VOL. 1 SEPTEMBER 2011 54
The existence of the city forest is very importance for the human being living
sustainable, but factually the city forest often neglected and the function of it is often also
diverted to other function. The function of the city forest at present is not any more exist,
it’s often used to do irresponsible activities such as: playing foot ball, indecent activities,
baggers and there are some times also filled with advertising banner. The trees of the city
forest are also often used as telephone and electricity wires installations. The unbelievable
activities are some times also done under the trees such as: rubbish burning, knife cut and
unimportant sign of paint. As a unit of customary law community so that the service village
as the first guard in case of giving guaranty of the sustainable and the right function of the
city forest by giving a particular traditional punishment to whom has destroyed the city
forest
The Service Village and City Forest Sustainable
Environment is a public property, so there is no one allowed to pollute it.6
Environment is a public property so there is no body allowed to soil / dirty it.67
To guaranty
the function of environment so the local government and the central government must
commit to hold a responsibility and to apply large scale environment policy and take the
action within their jurisdiction.68
This policy implied to law obligation of the service village
as the lowest level of the government structure in giving guaranty concerning to the
sustainability of the function of environment.
The service village in Bali is formed and based on a living philosophy. This living
philosophy is giving a soul for customary law community of Bali, the philosophy called TRI
HITA KARANA, the philosophy foundation of the service village has long time been adopted
as the philosophy of balance relationship (the balance relationship between the human being
with the God, the principle of sociological balancing or the balance relationship among the
human being, and the balance relationship between human being with its environment).69
Service village is an organization of Bali Hindu community based on a unit of together
living territorial and adopting religions spirit as the foundation of the relationship pattern on
social interaction of Bali’s communities. A service village is consist of 3 (three) elements
67 Sisti Sundari Rangkuti, 2000, Hukum Lingkungan dan Kebijakan Lingkungan Nasional edisi
kedua, Airlangga University Press, Surabaya, hlm. 14-15 68 Ida Bagus Wyasa Putra, 2003, Hukum Lingkungan Internasional Perspektif Bisnis Internasional,
Refika Aditama, Bandung, hal. 4 69 Tjok Istri Putra Astiti, 2005, Pemberdayaan Awig-Awig Menuju Ajeg Bali, Lembaga Dokumentasi
dan Publikasi Fakultas Hukum Universitas Udayana, Denpasar, hal. 6
JURNAL ADVOKASI. NO. 1 VOL. 1 SEPTEMBER 2011 55
e.g.: (1) element of Parahyangan ( a holy place, it’s normally in the form of holey temple of
Hindu religion); (2) element of Pawongan (humanity, it consists of the village communities
believing in Hindu Religion) and the last one is (3) the element of Palemahan (the village
zone, in the form of territorial/village territorial which is classified into “Karang Ayahan
Desa” (the land completed with the obligation for the villagers) and “Karang Guna Kaya”
(the proprietary right land) which is arranged and regulated in accordance with Hindu
Religion rule.70
In the relevant of the function of “Palemahan” (village territorial), the service village
is obligated to give the guaranty for city forest sustainable. The city forest sustainable needs
synergy between The service Village and the legal village in preserving the environment.
City forest sustainable can not be handled alone by the Government without support and
participation of individuals, groups, and other organizations. To achieve a better result
concerning the city forest sustainable in this case the government through Department of
Forestry of Bali Province has mutually assent to joint with the service village sub-unit
agencies.
The service village as the manifestation of customary agency in the form of
traditional, original, and specific community, a service village is led by an active and
competence chosen figures and having talent concerning the city forest sustainable. It’s
difference to other Province within familiar to administrative village only, but in Bali there
are known two kinds of village namely legal village and service village. Service village is a
unit of territorial which is formed based on equal tradition, cooperative behavior haired
hereditary and bounded by the obligation of the three domestic holy temples namely Pura
Desa (Desa temple), Pura Puseh (Puseh Temple) and Pura Dalem (Dalem temple).10
Service
village functioned traditionally as the manifestation of the customary agency and commonly
called the service village. The structure chart of the service village are : 1) the main service
village council-chamber at the province level; 2) The middle service village council at the
level of regent; 3) and The lowest service village council at the level of district.
Service village has strategic function as the manifestation of Bali customary agency
because of that the service village shall have the total support from all class of society
within based on the concept of TRI HITA KARANA11
the concept of Tri Hita Karana
70
Wayan P. Windia, 2008, Menyoal Awig-Awig Eksistensi Hukum Adat dan Desa Di Bali, Lembaga
Dokumentasi dan Publikasi Fakultas Hukum Universitas Udayana, Denpasar, hal. 48
JURNAL ADVOKASI. NO. 1 VOL. 1 SEPTEMBER 2011 56
objectified to create harmony relationship between human being to the almighty God,
harmony relationship to other human being and harmony relationship to the nature. This
type of concept concretely regulated in a written traditional law which is made by the
service village community. such of this concept is also found in two difference researched
villages namely Renon service village and Kesiman Service village. In the written
traditional law of Renon village has explicitly found the Tri Hita Karana Concept is
regulated in article 5 paragraph 3 stated that : “Desa Pakraman Renon ngemanggehang
pamikukuh minekadi Tri Hita Karena manut tatuaning buana agung lan tata cara agama
Hindu” ( Renon Service Village has adopted the concept of Tri Hita Karana in accordance
with the Universe rule and Hindu Religion rule). And in the written traditional law of
Kesiman Service Village explicitly regulated in article 2 paragraph 2 stated that “Desa
Pakraman Kesiman ngemanggehang dasar Tri Hita Karana manut tatwaning Bhuwana
Agung” (Kesiman service Village has adopted the basic concept of Tri Hita Karana in
accordance with The Universe rule).
Specifically, the regulation concerning the Palemahan (environment) or city forest
were not explicitly regulated in both of researched villages but it tends to underline of the
service village responsibility to regulate the benefits of keeping environment sustainable. It
can be perceived in articles 42 till articles 47 Renon Village written traditional law which
regulate the obligation of the community to preserve front house open space and technique
or strategy of planting plant, and in articles 21 of written traditional law of Kesiman Village
stated that every individual or every member of the village is obligated to preserve the sense
of aesthetic on any front house open space.
Although, the regulation concerning the city forest traditionally is still very limited but
the consciousness of the villagers regarding to the important meant of environment
sustainable is very high. Evidently could be seen from the way how was the service village
sub-unit chief together with his members determined a policy concerning the environment
sustainable. There are many service village working programs based on environment. As for
example, Renon Service village has made the program called “ Program Bumi Banten”12
(a
program of preserving the environment with all kinds of plantation which can be used to
support the Hindu religion ceremonial in this village) the village community is
recommended to plant such needed plant on every green open space, it is not only in front
house open space but also along the river, along the road and at any open space in dwelling
JURNAL ADVOKASI. NO. 1 VOL. 1 SEPTEMBER 2011 57
house zone, offices, temples, as well as in all of the community building yard. In order to
realize this program The Renon Service Village coordinates with Bali Province
Government, especially in the effort of maintaining the germ of the plantation. And in effort
of preserving, restoring, and developing the village members have been doing twice
cooperative working in a month which taken the time on the first week of the month and the
last week of the month.
The Kesiman Service Village has also defined a program that based on environment, it
can be seen through the establishment of the program “Desa Budaya Kertalangu”13
(a
service village program in the form city Garden) it’s completed with a jogging track, and
many others picnic facilities. It’s located at Banjar Adat Kertalangu and it’ expected to be a
sustainable representative city garden tourists object for ever. This place is built with the
concept of Tri Hita Karana in the form of city garden.
The involvement of the community on both of those programs is begun from the
planning, accomplishing, and controlling. In the matter of controlling both of the village
have formed an officer in charge to prevent and to control of any action that may causes the
destroy of this program. As the executed program by all of the village members so any
action that is deemed as the breach of the tradition law and may caused any damages against
the environment sustainable has been mutually agreed to be given the penalty according to
what has been written in both village traditional law. Either in The Renon Service Village or
the Kesiman service Village written traditional law the penalty given is agreed in the form
of fine, at Renon Village it’s regulated in article 48 and at Kesiman Village it’s regulated in
article 78. By the application of the all of the written traditional law certainties against any
actions that may cause the failure of the environment sustainable program convinced that
shall be more effective, because in general Balinese community circumstances the breach of
the traditional law certainties may cause disharmony between the reality life and the
unreality life. In the relevant of that needs a restoring ceremonial for the disharmony. To
restore the disharmony in the field of the reality life and the disharmony in the field of
unreality life considered as a very heavy punishment by the villagers so the villagers will try
to refrains themselves from traditional illegal actions.
JURNAL ADVOKASI. NO. 1 VOL. 1 SEPTEMBER 2011 58
Conclusion
City forest is holding the most important meaning in order to stabilize the city
performance, because of its various functions, such as; to restore and save the micro climate,
to absorb the water and air pollution, to filter the wind, to safe the health, to create the
harmony and the balance of city physic as well to support the living entities sustainable in
Indonesia. To prevent any wrong action against the city forest sustainable, e.g; land function
diversification, irresponsible activities such as playing foot ball under the city forest,
installing banner or any means of electric and telecommunication wires and many others is
absolutely needed the total involvement of the service village in the matter of city forest
sustainable. The service villages in Denpasar city have been doing so many attempts in
order to keep their environment, evidently can be seen on the villages development
program. “The Bumi Banten Program” and “The Desa Budaya Kertalangu Program” as
taken as some examples that recommended and obliged the village members to organize
every open space of land by planting any kinds of plantation to support the Hindu religion
ceremonial activities and to maintain the program based on environment sustainable. In the
attempt of stabilizing and securing the city forest sustainable the service villages in
Denpasar have regulated it in their own written traditional law included the penalty if there
may be any wrong actions that causes the failure of executing their program.
BIBLIOGRAPHY
Astiti, Tjok Istri Putra, 2005, Pemberdayaan Awig-Awig Menuju Ajeg Bali, Lembaga
Dokumentasi dan Publikasi Fakultas Hukum Universitas Udayana, Denpasar.
Otto Sumarwoto, 1991, Ekologi lingkungan hidup dan pembangunan, Djambatan.
Siti Sundari Rangkuti, 2000, Hukum Lingkungan dan Kebijakan Lingkungan Nasional edisi
kedua, Airlangga University Press, Surabaya.
Supriadi, 2010, Hukum Kehutanan dan Hukum Perkebunan di Indonesia, Sinar Grafika,
Jakarta.
Windia, Wayan P. 2008, Menyoal Awig-Awig Eksistensi Hukum Adat dan Desa Di Bali,
Lembaga Dokumentasi dan Publikasi Fakultas Hukum Universitas Udayana,
Denpasar.
Wyasa Putra, Ida Bagus, 2003, Hukum Lingkungan Internasional Perspektif Bisnis
Internasional, Refika Aditama, Bandung.
JURNAL ADVOKASI. NO. 1 VOL. 1 SEPTEMBER 2011 59
Departemen Kehutanan, “Hutan Kota”,
http://www.dephut.go.id/informasi/hutkot/hutkot.htm#hutkot1
Yengyeng Reni Herliani, 2009-01-14,15;26;24, “Penentuan Luas dan Lokasi Hutan Kota
berdasarkan Kebutuhan Oksigen (Studi Kasus di Wilayah Kota Tasikmalaya),
http://digilib.itb.ac.id/gdl.php?mod=browse&op=read&id=jbptitbpp-gdl-yengyengre-
31725
Undang-undang No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan (Law Number 41 year of 1999
concerning Forestry).
Peraturan Pemerintah No. 63 Tahun 2002 Tentang Hutan Kota.
Government Regulation Number 63 Year of 2002 concerning the City Forest.
Peraturan Daerah No. 3 Tahun 2001 Tentang Desa Pakraman (Bali Province Government
Regulation number 3 the year of 2001 concerning the Service Village).
JURNAL ADVOKASI. NO. 1 VOL. 1 SEPTEMBER 2011 60
PENEGAKAN HUKUM TERHADAP TINDAK PIDANA TERORISME
Made Emy Andayani Citra, Luh Gede Yogi Arthani dan Dewi Bunga
Universitas Mahasaraswati Denpasar
Abstract: Criminal act of terrorism is a global issue with international motives. Each country has its own methods to prevent and eradicate terrorists. Law enforcement in criminal acts of terrorism in Indonesia led to a pattern of radicalism. This is shown by the detention of a suspect or defendant who is cursive. Whereas in the Netherlands, conducted by law enforcement and deradicalism persuasive approach through an approach to religious figures.
Key words : Law enforcement, terrorism and comparative.
Pendahuluan
Teror merupakan fenomena yang cukup tua dalam sejarah kehidupan manusia. Aksi
kekerasan berbau teror dapat ditelusuri dari tulisan Xenophon (431-350) mengenai perang
psikologi, kekerasan bangsa Roma yang terjadi di Spartacus pada tahun 73 M serta sejarah
bagaimana Kaisar Tibeius (14-37 SM) yang berupaya menyingkirkan, membuang,
merampas harta benda dan menghukum lawan-lawan politiknya.71
Aksi-aksi teror ini terus
berkembang dengan metode-metode yang semakin canggih dan jangkauan serta dampak
yang semakin luas. Pada Juli 2008, Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI)
Afghanistan di Kabul terkena dampak sampingan ledakan bom mobil bunuh diri di Kedubes
India. Akibatnya, 5 petugas keamanan KBRI tewas dan 2 diplomat luka-luka dan 60% kaca
dan pintu hancur, serta bangunan KBRI di Kabul rusak parah.72
Ancaman akan tindak pidana terorisme juga terjadi terhadap Belanda dalam ajang piala
dunia 2010. Sebelumnya dilaporkan adanya ancaman dari Abdullah Azam Saleh Al-Qahtani
jika pihaknya akan menyerang tim atau fans dari Belanda untuk membalaskan penghinaan
terhadap Islam di beberapa kesempatan. Judith Sluiter, koordinator ofisial keamanan anti-
terorisme Belanda menyatakan ancaman yang dikeluarkan Al-Qahtani harus diwaspadai,
terutama ketika ancaman itu akan diwujudkan di luar negeri.73
71 Dikdik M Arief Mansur dan Elisatris Gultom, 2005, Cyber Law Aspek Hukum Teknologi Informasi,
Refika Aditama, Bandung, hal. 48. 72 Bappenas, “Pencegahan dan Penanggulangan Terorisme”, available from URL:
www.bappenas.go.id/get-file-server/node/6122/, diakses pada 10 Juni 2010. 73 M Yanuar F, 2010, “Belanda Waspadai Ancaman Teroris Ofisial Keamanan Belanda Mencemaskan
Keselamatan Fans dan Timnas Mereka Selama Berada di Afrika Selatan dari Ancaman Teroris”,
JURNAL ADVOKASI. NO. 1 VOL. 1 SEPTEMBER 2011 61
Aksi-aksi teorisme yang terjadi di berbagai negara, merupakan isu global dengan motif-
motif konflik internasional. Sejarah hukum internasional menunjukkan terjadi
internasionalisasi konsep terorisme.74
Internasionalisasi tersebut dapat dilihat melalui
resolusi PBB No. 1368 (2001) pada tanggal 12 September 2001 yang mengakui hak beladiri
individual atau kolektif negara-negara bila ada serangan dari negara lain sebagaimana yang
diatur dalam Pasal 51 Piagam PBB dan Resolusi PBB No. 1373 (2001) tanggal 22
September 2001 yang berisikan langkah-langkah yang harus diambil negara-negara anggota
untuk memberantas terorisme. Dewan keamanan juga meminta kepada negara-negara
anggota membuat berbagai peraturan untuk memblokir pendanaan aksi-aksi teroris,
membekukan dana-dana yang berhubungan dengan teroris di negara-negara mereka.
Resolusi itu juga mewajibkan negara-negara melaksanakan ketentuan-ketentuan tersebut
dan melaporkan tindakan yang telah diambil kepada Dewan Keamanan.75
Perang terhadap teroris adalah perang yang bersifat low intensity conflict yg harus
dihadapi dengan strategi operasi dan taktik khusus. 76
Oleh sebab itu sangat menarik untuk
membandingkan hukum acara pada penegakan hukum terhadap tindak pidana terorisme di
Belanda dan di Indonesia.
Istilah dan Sejarah Terorisme
Istilah teror dan terorisme mulai muncul dalam kosa kata ilmiah sejak abad ke-18,
namun fenomena yang ditujukannya bukanlah merupakan hal yang baru. Menurut Grant
Wardlaw dalam buku Political Terrorism (1982), manifestasi Terorisme sistematis muncul
sebelum Revolusi Prancis, tetapi baru mencolok sejak paruh kedua abad ke-19. Dalam
suplemen kamus yang dikeluarkan Akademi Perancis tahun 1798, terorisme lebih diartikan
sebagai sistem rezim teror. Kata terorisme berasal dari Bahasa Perancis le terreur yang
semula dipergunakan untuk menyebut tindakan pemerintah hasil Revolusi Perancis yang
mempergunakan kekerasan secara brutal dan berlebihan dengan cara memenggal 40.000
orang yang dituduh melakukan kegiatan anti pemerintah. Selanjutnya kata Terorisme
http://www.goal.com/id-ID/news/1369/piala-dunia/2010/05/20/1933403/belanda-waspadai-ancaman-teroris,
diakses pada 10 Juni 2010 74 Leacock, Charles Clifton, Internationalization of Crime, Journal International Law and Politics, Vol
34., 2001, New York, hal. 263. 75 Boer Mauna, 2005, Hukum Internasional Pengertian, Peranan dan Fungsi Dalam Era Dinamika
Global Edisi Kedua, P.T. Alumni, Bandung, hal. 656. 76 Anonim, “Dilema Perang Melawan Terorisme”, http://blog.re.or.id/dilema-perang-melawan-
terorisme.htm, diakses pada 10 Juni 2010.
JURNAL ADVOKASI. NO. 1 VOL. 1 SEPTEMBER 2011 62
dipergunakan untuk menyebut gerakan kekerasan anti pemerintah di Rusia.77
Sehingga
dapat dikatakan jika pada awalnya definisi terorisme lebih mengarah pada tindak kekerasan
yang dilakukan oleh atau terhadap negara.
Banyak pendapat yang mencoba mendefinisikan terorisme, satu diantaranya adalah
pengertian yang tercantum dalam pasal 14 ayat 1 The Prevention of Terrorism (Temporary
Provisions) Act, 1984, sebagai berikut: “Terrorism means the use of violence for political
ends and includes any use of violence for the purpose putting the public or any section of
the public in fear.”78
Sejauh ini belum ada batasan yang baku untuk mendefinisikan apa
yang dimaksud dengan terorisme. Menurut Cherif Bassiouni, ahli Hukum Pidana
Internasional, bahwa tidak mudah untuk mengadakan suatu pengertian yang identik yang
dapat diterima secara universal sehingga sulit mengadakan pengawasan atas makna
Terorisme tersebut.79
Hal senada juga diungkapkan oleh Walter Lacquer dalam bukunya The
Age of Terrorism yang menyatakan bahwa “tak mungkin ada sebuah definisi yang dapat
mengcover ragam terorisme yang pernah muncul dalam sejarah.80
Sedangkan menurut Brian
Jenkins, terorisme merupakan pandangan yang subjektif.81
Dalam perspektif kekinian, definisi terorisme cenderung merujuk pada definisi yang
dirumuskan oleh PBB, yakni sebagai berikut:
Terorism is an anxiety-inspiring method of repeated violent action, employed by (semi)
clandestine individual, group or state actors for idiosyncratic, criminal or political
reasons, whereby-in contrast to assassination-the direct target s of attacks are not the
main targets. The immediate human victims of violence are generally chosen randomly
(targets of opportunity) or selectively (representative or symbolic targets) from a target
population, and serve as message generators. Threat-and violence-based communication
processes between terorist (organization), (imperiled) victims, and main targets are used
to manipulate the main target (audience(s), turning it into a target of teror, a target of
demands or target of attention, depending on whether intimidation, coercion or
propaganda is primarily sought.82
Terorisme merupakan serangan-serangan terkoordinasi yang bertujuan
membangkitkan perasaan teror terhadap sekelompok masyarakat. Berbeda dengan perang,
77 Muhammad Mustofa, Memahami Terorisme: Suatu Perspektif Kriminologi, Jurnal Kriminologi
Indonesia FISIP UI, Vol 2 no III, Desember 2002, hal. 30. 78 Loebby Loqman, 1990, Analisis Hukum dan Perundang-Undangan Kejahatan terhadap Keamanan
Negara di Indonesia, Universitas Indonesia, Jakarta, hal. 98. 79 Indriyanto Seno Adji, 2010, Terorisme, Perpu No.1 tahun 2002 dalam Perspektif Hukum Pidana”
dalam Terorisme: Tragedi Umat Manusia, O.C. Kaligis & Associates, Jakarta, hal. 35. 80 Walter Lacquer, 1987, The Age of Terrorism sebagaimana dikutib oleh Philips J. Vermote, hal. 30. 81 Indriyanto Seno Adji, loc.cit. 82 Anak Agung Banyu Perwita dan Yanyan Mochamad Yani, 2005, Pengantar Ilmu Hubungan
Internasional, PT Remaja Rosdakarya, Bandung, hal. 140.
JURNAL ADVOKASI. NO. 1 VOL. 1 SEPTEMBER 2011 63
aksi terorisme tidak tunduk pada tata cara peperangan seperti waktu pelaksanaan yang selalu
tiba-tiba dan target korban jiwa yang acak serta seringkali merupakan warga sipil.83
Terorisme muncul pada akhir abad 19 dan menjelang terjadinya Perang Dunia I, terjadi
hampir di seluruh belahan dunia. Pada pertengahan abad ke-19, terorisme mulai banyak
dilakukan di Eropa Barat, Rusia dan Amerika. Mereka percaya bahwa terorisme adalah cara
yang paling efektif untuk melakukan revolusi politik maupun sosial, dengan cara
membunuh orang-orang yang berpengaruh. Sejarah mencatat pada tahun 1890-an aksi
terorisme Armenia melawan pemerintah Turki, yang berakhir dengan bencana pembunuhan
masal terhadap warga Armenia pada Perang Dunia I. Pada dekade tersebut, aksi Terorisme
diidentikkan sebagai bagian dari gerakan sayap kiri yang berbasiskan ideologi.84
Pada tahun 1937 lahir Konvensi Pencegahan dan Penghukuman Terorisme
(Convention for The Prevention and Suppression of Terrorism), dimana Konvensi ini
mengartikan terorisme sebagai Crimes Against State. Melalui European Convention on The
Supression of Terrorism (ECST) tahun 1977 di Eropa, makna terorisme mengalami suatu
pergeseran dan perluasan paradigma, yaitu sebagai suatu perbuatan yang semula
dikategorikan sebagai Crimes against State (termasuk pembunuhan dan percobaan
pembunuhan Kepala Negara atau anggota keluarganya), menjadi Crimes against Humanity,
dimana yang menjadi korban adalah masyarakat sipil.85
Crimes against Humanity masuk
kategori Gross Violation of Human Rights (Pelanggaran HAM Berat) yang dilakukan
sebagai bagian yang meluas/ sistematik yang diketahui bahwa serangan tersebut ditujukan
secara langsung terhadap penduduk sipil, lebih diarahkan pada jiwa-jiwa orang tidak
bersalah (public by innocent), sebagaimana terjadi di Bali.
Peristiwa pembajakan pesawat Garuda DC-9 Woyla jurusan Palembang-Medan pada
tanggal 28 Maret 1981, menjadi "jihad" pertama bagi para pelaku terorisme di Indonesia.
Para pelaku teror adalah kelompok Komando Jihad yang menuntut agar para rekannya yang
ditahan pasca peristiwa Cicendo di Bandung, Jawa Barat, dibebaskan. Dalam peristiwa
Cicendo, 14 anggota Komando Jihad membantai empat polisi di Kosekta 65 pada 11 Maret
1981 dini hari. Usai peristiwa itu, sejumlah anggota Komando Jihad ditahan dan terancam
83 Redaksi Wikipedia, 2010, “Terorisme”, http://id.wikipedia.org/wiki/Terorisme, diakses pada 10 Juni
2010 84 Ibid. 85 Indriyanto Seno Adji, op.cit., hal. 50
JURNAL ADVOKASI. NO. 1 VOL. 1 SEPTEMBER 2011 64
hukuman mati.86
Fase kedua aksi terorisme di Indonesia telah memainkan modernisasi cara-
cara teror, hal ini dilakukan dengan menggunakan bahan peledak dan senjata api.
Bentuk dan Karakteristik Tindak Pidana Terorisme
Bentuk pertama terorisme, terjadi sebelum Perang Dunia II, terorisme dilakukan
dengan cara pembunuhan politik terhadap pejabat pemerintah. Bentuk kedua terorisme
dimulai di Aljazair di tahun 50-an, dilakukan oleh FLN yang mempopulerkan “serangan
yang bersifat acak” terhadap masyarakat sipil yang tidak berdosa. Hal ini dilakukan untuk
melawan apa yang disebut sebagai Terorisme negara oleh Algerian Nationalist.
Pembunuhan dilakukan dengan tujuan untuk mendapatkan keadilan. Bentuk ketiga
Terorisme muncul pada tahun 60-an dan terkenal dengan istilah “Terorisme Media”, berupa
serangan acak terhadap siapa saja untuk tujuan publisitas. Bentuk ketiga ini berkembang
melalui tiga sumber, yaitu:
1. kecenderungan sejarah yang semakin menentang kolonialisme dan tumbuhnya
gerakan-gerakan demokrasi serta HAM.
2. pergeseran ideologis yang mencakup kebangkitan fundamentalis agama, radikalis
setelah era perang Vietnam dan munculnya ide perang gerilya kota.
3. kemajuan teknologi, penemuan senjata canggih dan peningkatan lalu lintas.
Namun terorisme bentuk ini dianggap kurang efektif dalam masyarakat yang ketika itu
sebagian besar buta huruf dan apatis. Seruan atau perjuangan melalui tulisan mempunyai
dampak yang sangat kecil. Akan lebih efektif menerapkan “the philosophy of the bomb”
yang bersifat eksplosif dan sulit diabaikan.
Teror atau terorisme tidak selalu identik dengan kekerasan. Terorisme adalah puncak
aksi kekerasan, terorism is the apex of violence. Bisa saja kekerasan terjadi tanpa teror,
tetapi tidak ada teror tanpa kekerasan.87
Mengenai motivasi dari aksi terorisme, AA Banyu
Perwita berpendapat bahwa:
Setiap aksi terorisme memiliki motivasi yang berbeda-beda tergantung pada masing-
masing kondisi. Tindakan terorisme dapat didasarkan pada dua motif umum, yaitu
objective driven act dan teror driven act .
Objective driven act berkaitan dengan tindakan terorisme yang didasarkan pada
beberapa permintaan yang harus dipenuhi oleh pemerintah. Cara yang biasa digunakan
86 Anonim, 2009, “Menyimak Kiprah Terorisme di Indonesia”, http://web.pab-
indonesia.com/content/view/29994/61/, diakses pada 10 Juni 2010. 87 Loudewijk F. Paulus, “Terorisme”, http://id.wikipedia.org/wiki/Sejarah_ terorisme#cite _note-0,
diakses pada 10 Juni 2010.
JURNAL ADVOKASI. NO. 1 VOL. 1 SEPTEMBER 2011 65
adalah penyanderaan. Bentuk ini memberikan kesempatan kepada pemerintah untuk
bernegosiasi atau mengubah kebijakannya.
Teror driven act didasarkan pada tindakan balas dendam, atau digunakan juga sebagai
peringatan atau ancaman kekerasan yang akan terjadi jika pemerintah tidak mengubah
kebijakannya. 88
Bila aksi-aksi terorisme modern dilakukan oleh individu-individu atau kelompok-
kelompok tertentu, dalam perkembangannya adapula yang dinamakan state-sponsored
terorism, yaitu kebijakan dan aksi-aksi yang disponsori atau didukung secara langsung atau
tidak langsung oleh suatu negara.89
Bentuk-bentuk terorisme dapat berupa state sponsored
terorism, yaitu tindakan terorisme yang dilakukan oleh suatu negara untuk mencapai
tujuannya dan privately based terorism, yaitu tindakan terorisme yang dilakukan oleh suatu
kelompok terorisme privat.90
Sifat tindakan, pelaku, tujuan strategis, motivasi, hasil yang
diharapkan serta dicapai, target-target serta metode terorisme kini semakin luas dan
bervariasi. Sehingga semakin jelas bahwa teror bukan merupakan bentuk kejahatan
kekerasan destruktif biasa, melainkan sudah merupakan kejahatan terhadap perdamaian dan
keamanan umat manusia (crimes against peace and security of mankind)..91
Terorisme gaya
baru mengandung beberapa karakteristik:
1. ada maksimalisasi korban secara sangat mengerikan.
2. keinginan untuk mendapatkan liputan di media massa secara internasional secepat
mungkin.
3. tidak pernah ada yang membuat klaim terhadap terorisme yang sudah dilakukan.
4. serangan terorisme itu tidak pernah bisa diduga karena sasarannya sama dengan
luasnya seluruh permukaan bumi.92
Berdasarkan matrik perbandingan karakteristik kelompok pengguna tindak
kekerasan guna mencapai tujuannya, dapat disimpulkan ciri - ciri terorisme adalah sebagai
berikut:
1. Organisasi yang baik, berdisiplin tinggi, militan. Organsisasinya merupakan
kelompok - kelompok kecil, disiplin dan militansi ditanarnkan melalui indoktrinasi
dan latihan yang bertahun - tahun.
2. Mempunyai tujuan politik, tetapi melakukan perbuatan kriminal untuk mencapai
tujuan.
88 Anak Agung Banyu Perwita Dan Yanyan Mochamad Yani, op.cit., hal. 141. 89 Boer Mauna, op.cit., hal. 656. 90 Ibid. 91 Mulyana W. Kusumah, Terorisme dalam Perspektif Politik dan Hukum, Jurnal Kriminologi Indonesia
FISIP UI, Vol. 2 no III, Desember 2002, hal. 22. 92 Redaksi Wikipedia, 2010, “Sejarah Terorisme, http://id.wikipedia.org/wiki/Sejarah_terorisme, diakses
pada 10 Juni 2010.
JURNAL ADVOKASI. NO. 1 VOL. 1 SEPTEMBER 2011 66
3. Tidak mengindahkan norma - norma yang berlaku, seperti agama, hukum dan lain-
lain.
4. Memilih sasaran yang menimbulkan efek psikologis yang tinggi untuk menimbulkan
rasa takut dan mendapatkan publikasi yang luas. 93
Penegakan Hukum Dalam Tindak Pidana Terorisme
Dalam rangka mencegah dan menanggulangi terorisme maka masyarakat
internasional maupun regional serta pelbagai negara telah berusaha melakukan kebijakan
kriminal (criminal policy) disertai kriminalisasi secara sistematik dan komprehensif
terhadap perbuatan yang dikategorikan sebagai terorisme.94
Langkah-langkah konkrit
tersebut dituangkan dalam berbagai perjanjian internasional, instrumen hukum dan
penegakan hukum.
Pencegahan dan penanggulangan terorisme di Indonesia telah memasuki babak baru
sejak peristiwa bom Bali I, 12 Oktober 2002. Pergerakan ke arah penuntasan kasus semakin
menunjukkan progresitas yang signifikan. Namun hingga kini mata rantai terorisme belum
mampu diputus. Dari segi payung hukum, institusi keamanan nasional mengalami masalah
karena keberadaan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 15 Tahun 2003 Tentang
Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2002 Tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme belum cukup memayungi operasi pencegahan
dalam bentuk operasi intelijen dan tindakan proaktif di awal. Keberadaan unit dan satuan
pencegahan serta penanggulangan terorisme yang tersebar di beberapa institusi juga menjadi
kendala rantai koordinasi yang belum padu di tingkat lapangan.
Diskursus mengenai penegakan hukum dalam tindak pidana terorisme merupakan hal
yang sangat menarik untuk dibicarakan. Interestasi ini diakibatkan karena pertautan antara
karakter extra ordinary crime dari terorisme, diskresi aparat penegak hukum dan
perlindungan HAM dari para pelaku. Pola penegakan hukum dalam tindak pidana terorisme
di Indonesia mengarah pada suatu pola radikalisme. Hal ini ditunjukkan dengan penahanan
tersangka atau terdakwa yang bersifat kursif. Penahanan ini menurut Van Bemmelem
sebagai pedang yang memenggal kedua belahpihak, karena tindakan yang bengis itu dapat
93 Loudewijk F Paulus, Terorisme, , Serial Online STT No. 2289 Volume V Nomor 8 Juli Tahun 2002,
http://buletinlitbang.dephan.go.id/index.asp?vnomor=8&mnorutisi=2. diakses pada 10 Juni 2010. 94 Muladi, Hakekat Terorisme dan Beberapa Prinsip Pengaturan dalam Kriminalisasi, Jurnal
Kriminologi Indonesia FISIP UI, Vol .2 no III Desember 2002, hal. 1.
JURNAL ADVOKASI. NO. 1 VOL. 1 SEPTEMBER 2011 67
dikenakan kepada orang-orang yang belum menerima putusan hakim, jadi mungkin juga
kepada orang-orang yang tidak bersalah.95
Yahya Harahap mengemukakan bahwa masalah penahanan adalah masalah yang
paling esensial dalam sejarah kehidupan manusia. Menurutnya setiap yang namanya
penahanan dengan sendirinya menyangkut nilai dan makna:
1. Perampasan kebebasan dan kemerdekaan orang yang ditahan.
2. Menyangkut nilai-nilai perikemanusiaan dan harkat martabat kemanusiaan.
3. Menyangkut nama baik dan pencemaran atas kehormatan diri pribadi atau tegasnya
setiap penahanan dengan sendirinya menyangkut pembatasan dan pencabutan
sementara sebagian hak-hak asasi manusia.96
Terkait dengan pelaksanaan penahanan bagi tersangka atau terdakwa tindak pidana
terorisme tidak diatur secara limitatif dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 15
Tahun 2003 Tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1
Tahun 2002 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme. Dalam Pasal 25 ayat (2)
dinyatakan “Untuk kepentingan penyidikan dan penuntutan, penyidik diberi wewenang
untuk melakukan penahanan terhadap tersangka paling lama 6 (enam) bulan.” Pengaturan
mengenai penahanan juga terdapat dalam Pasal 44 a dimana atasan dapat melakukan
penahanan terhadap tersangka anggota bawahannya yang ada di bawah wewenang
komandonya. Mengenai alasan penahanan tidak diatur dalam Undang-undang ini sehingga
pengaturan mengenai alasan penahanan dikembalikan kepada aturan umum dalam KUHAP.
Penahanan hanya dapat dilakukan apabila memenuhi dua syarat yakni syarat objektif
dan subjektif. Syarat objektif sebagaimana yang diatur dalam Pasal 21 ayat (4) KUHAP
menentukan bahwa penahanan tersebut hanya dapat dikenakan terhadap tersangka atau
terdakwa yang melakukan tindak pidana dan atau percobaan maupun pemberian bantuan
dalam tindak pidana tersebut dalam hal:
a. tindak pidana itu diancam dengan pidana penjara lima tahun atau lebih;
b. tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 282 ayat (3), Pasal 296, Pasal
335 ayat (1), Pasal 351 ayat (1), Pasal 353 ayat (1), Pasal 372, Pasal 378, Pasal 379
a, Pasal 453, Pasal 454, Pasal 455, Pasal 459, Pasal 480 dan Pasal 506 Kitab
Undang-undang Hukum Pidana, Pasal 25 dan Pasal 26 Rechtenordonnantie
(pelanggaran terhadap ordonansi Bea dan Cukai, terakhir diubah dengan Staatsblad
Tahun 1931 Nomor 471), Pasal 1, Pasal 2 dan Pasal 4 Undang-undang Tindak
95 Sudibyo Triatmodjo, 1981, Potret Kehidupan Hukum, Alumni, Bandung, hal. 25. 96 Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP, Pustaka Kartini, Jakarta, hal. 41.
JURNAL ADVOKASI. NO. 1 VOL. 1 SEPTEMBER 2011 68
Pidana Imigrasi (Undang-undang Nomor 8 Drt. Tahun 1955, Lembaran Negara
Tahun 1955 Nomor 8), Pasal 36 ayat (7), Pasal 41, Pasal 42, Pasal 43, Pasal 47, dan
Pasal 48 Undangundang Nomor 9 Tahun 1976 tentang Narkotika (Lembaran
Negara Tahun 1976 Nomor 37, Tambähan Lembaran Negara Nomor 3086).
Sedangkan alasan subjektif dari penahanan adalah:
a. Untuk mencegah tersangka atau terdakwa akan melarikan diri.
b. Untuk mencegah tersangka atau terdakwa merusak atau menghilangkan barang bukti.
c. Untuk mencegah tersangka atau terdakwa mengulangi tindak pidana.
Terhadap alasan subjektif ini Andi Hamzah bahwa syarat subjektif ini pada hakikatnya
bukan syarat sahnya penahanan, melainkan hanya merupakan perlunya penahanan.97
Alasan subjektif dalam ketentuan hukum acara pidana di Belanda menentukan alasan
penahanan sebagai berikut:
a. Dimana keadaan tertentu menunjukkan kemungkinan akan larinya tersangka.
b. Dimana keadaaan tertentu membuat alasan penting yang diperlukan untuk merampas
kemerdekaan si pelaku demi kepentingan umum. Keadaan yang dipakai sebagai
alasan penting ditetapkan dengan Undang-undang; risiko dimana tersangka akan
melakukan tindak pidana (delik) yang serius (misdrijf) tidak merupakan dasar yang
kuat.
c. Dimana terdapat petunjuk bahwa tersangka akan merintangi pemeriksaan terkecuali
apabila ia dirampas kemerdekaannya. Tak boleh dilakukan perintah penahanan
hingga enam hari apabila terdapat kecenderungan bahwa tersangka bila dijatuhi
hukuman akan segera memperoleh hukuman penjara yang jangka waktunya lebih
singkat dari pada jangka waktu yang telah dijalani selama dalam penahanan
sementara.98
Bila dibandingkan dengan hukum acara pidana di Belanda, tampaknya terdapat
persamaan dalam hal syarat objektif dan syarat subjektif dari penahanan. Hanya bedanya
bila di dalam KUHAP ditetapkan seseorang dapat ditahan bila melakukan delik yang
diancam pidana minimal 5 tahun atau lebih, sedangkan di Belanda hanya menetapkan
minimal 4 tahun.
Terkait dengan ketentuan mengenai pemberantasan tindak pidana terorisme
sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 15 Tahun 2003
Tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2002
Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme maka ada tersangka atau terdakwa tindak
97 Andi Hamzah, 1983, Pengantar Hukum Acara Pidana Indonesia, Ghalia Indonesia, Jakarta, hal. 113. 98 M.L.H.C Hulsman, penyadur Soerjono Rirdjosisworo, 1994, Sistem Peradilan pidana Dalam
Perspektif Perbandingan Hukum, Rajawali, Jakarta, hal 166-167.
JURNAL ADVOKASI. NO. 1 VOL. 1 SEPTEMBER 2011 69
pidana yang terkait dengan tindak pidana terorisme yang tidak dapat ditahan, kecuali jika
penegak hukum menggunakan alasan subjektif. Hal ini disebabkan karena ada suatu delik
yang ancaman pidananya kurang dari 5 tahun. Tindak pidana dimaksud adalah diatur dalam
Pasal 23 yakni “Setiap saksi dan orang lain yang melanggar ketentuan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 32 ayat (2) dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1 (satu)
tahun.” Adapun substansi dari Pasal 32 ayat (2) tersebut adalah “Dalam penyidikan dan
pemeriksaan di sidang pengadilan, saksi dan orang lain yang bersangkutan dengan tindak
pidana terorisme dilarang menyebutkan nama atau alamat pelapor atau hal-hal lain yang
memberikan kemungkinan dapat diketahuinya identitas pelapor.”
Berbeda dengan Indonesia yang telah memiliki Undang-undang khusus mengenai
terorisme, Belanda justru tidak mempunyai undang-undang khusus mengenai terorisme,
namun sejak dulu bagi delik politik berlaku asas inquisitoir bukan accusatoir.99
Pergeseran
pemberantasan tindak pidana terorisme di Belanda telah mengarah pada upaya-upaya
humanisasi yang ditunjukkan dengan metode pendekatan kepada para pemuka agama Islam.
Penggalian informasi mengenai mata rantai terorisme di Indonesia dilakukan secara
kursif dalam masa penahanan tersangka atau terdakwa. Sedangkan di Belanda, penggalian
informasi dilakukan secara deradikalisme. Hal ini ditunjukkan dengan penggunaan
penahanan sebagai sarana yang terakhir. Kepolisian di Belanda beserta agen-agennya lebih
mengutamakan pola kerjasama dengan Imam dalam memberantas pemasukan aliran garis
keras di sana. Glenn Schoen menerangkan contoh-contoh praktis khas Belanda dalam
aturan-aturan pencegahan terorisme misalnya seorang imam mengetahui seseorang menjadi
radikal. Daripada langsung melapor polisi, ia akan berbicara dulu dengan teman dan
keluarga.100
Langkah-langkah persuasif menjadi kunci utama bagi pemberantasan terorisme di
Belanda dengan sasaran fundamentalisme di kalangan kaum muda. Investigasi melalui cara-
cara persuasif yang dilakukan oleh Belanda hendaknya perlu dipertimbangkan dalam
penegakan hukum di Indonesia. Hal ini dilandasi dari pemikiran bahwa negara hukum
99 Andi Hamzah, 2009, “Pokok-Pokok Pikiran Rancangan Undang-Undang Tentang Hukum Acara
Pidana”, http://jodisantoso.blogspot.com/2009/01/pokok-pokok-pikiran-rancangan-undang.html, diakses pada
10 Juni 2010.
100 Hans de Vreij, 2010, “Amerika Suka Cara Belanda Berantas Terorisme”, http://www.rnw.nl/bahasa-
indonesia/article/amerika-suka-cara-belanda-berantas-terorisme, diakses pada 10 Juni 2010,
JURNAL ADVOKASI. NO. 1 VOL. 1 SEPTEMBER 2011 70
Republik Indonesia adalah suatu negara dengan nurani atau negara yang memiliki
kepedulian (a state with conscience and compassion). Negara hukum Indonesia bukan
negara yang hanya berhenti pada tugasnya menyelenggarakan fungsi publik, bukan negara
‘by job description’, melainkan negara yang ingin mewujudkan moral yang terkandung di
dalamnya. Negara hukum Indonesia lebih merupakan negara ‘by moral.’101
Dapat dikatakan bahwa institusi keamanan nasional secara kemampuan represif
mempunyai keunggulan dibandingkan dengan jaringan terorisme, tetapi sulit untuk
menjangkau pembangunan ideologi dan perkembangan dinamik jaringan terorisme sehingga
pemberantasan akar-akar terorisme belum sepenuhnya berhasil.102
Penegakan hukum secara
radikal hanya akan menghukum teroris yang tertangkap saja, namun tidak mampu menjaring
secara komprehensif mata rantai terorisme. Paham ini juga tidak dapat dihapuskan terorisme
hingga ke akar-akarnya.
Penutup
Ancaman akan tindak pidana terorisme merupakan isu global yang dihadapi oleh
semua negara termasuk Indonesia dan Belanda. Oleh sebab itu diperlukan upaya-upaya
penanggulangan yang holistik dan berhasil guna. Pola penegakan hukum terhadap tersangka
atau terdakwa bersifat radikalisme. Penggalian informasi dan bukti-bukti umumnya
dilakukan melalui penahanan dengan cara-cara yang represif. Hal yang berbeda terjadi di
Belanda dimana pola penegakan hukum dilakukan dengan cara persuasif dan secara
deradikalisme. Pendekatan ini dilakukan dengan kerjasama terhadap tokoh agama Islam
setempat untuk menggali informasi mengenai jaringan terorisme. Cara-cara persuasif dan
deradikalisme terhadap pemberantasan tindak pidana terorisme hendaknya perlu dilakukan
di Indonesia. Hal ini dapat menjadi celah untuk menjaring seluruh mata rantai terorisme
sekaligus dapat menjadi sarana untuk mendidik dan mengembalikan para teroris ke jalan
yang benar.
101 Satjipto Rahardjo, 2009, Negara Hukum yang Membahagiakan Rakyatnya, Genta Publishing,
Yogyakarta, hal. 92-93. 102 Bapenas, loc.cit.
JURNAL ADVOKASI. NO. 1 VOL. 1 SEPTEMBER 2011 71
DAFTAR PUSTAKA
BUKU
Andi Hamzah, 1983, Pengantar Hukum Acara Pidana Indonesia, Ghalia Indonesia, Jakarta.
Banyu Perwita, Anak Agung dan Yanyan Mochamad Yani, 2005, Pengantar Ilmu
Hubungan Internasional, PT Remaja Rosdakarya, Bandung.
Boer Mauna, 2005, Hukum Internasional Pengertian, Peranan dan Fungsi Dalam Era
Dinamika Global Edisi Kedua, P.T. Alumni, Bandung.
Dikdik M Arief Mansur dan Elisatris Gultom, 2005, Cyber Law Aspek Hukum Teknologi
Informasi, Refika Aditama, Bandung.
Hulsman, M.L.H.C, penyadur Soerjono Rirdjosisworo, 1994, Sistem Peradilan pidana
Dalam Perspektif Perbandingan Hukum, Rajawali, Jakarta.
Indriyanto Seno Adji, 2010, Terorisme, Perpu No.1 tahun 2002 dalam Perspektif Hukum
Pidana” dalam Terorisme: Tragedi Umat Manusia, O.C. Kaligis & Associates,
Jakarta.
Loebby Loqman, 1990, Analisis Hukum dan Perundang-Undangan Kejahatan terhadap
Keamanan Negara di Indonesia, Universitas Indonesia, Jakarta.
Satjipto Rahardjo, 2009, Negara Hukum yang Membahagiakan Rakyatnya, Genta
Publishing, Yogyakarta.
Sudibyo Triatmodjo, 1981, Potret Kehidupan Hukum, Alumni, Bandung.
Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP, Pustaka Kartini,
Jakarta.
JURNAL
Leacock, Charles Clifton, 2001, Internationalization of Crime, Journal International Law
and Politics, Vol 34., New York.
Muhammad Mustofa, Memahami Terorisme: Suatu Perspektif Kriminologi, Jurnal
Kriminologi Indonesia FISIP UI, Vol 2 no III, Desember 2002, hal. 30.
Muladi, Hakekat Terorisme dan Beberapa Prinsip Pengaturan dalam Kriminalisasi, Jurnal
Kriminologi Indonesia FISIP UI, vol 2 no III Desember 2002.
Mulyana W. Kusumah, Terorisme dalam Perspektif Politik dan Hukum, Jurnal Kriminologi
Indonesia FISIP UI, Vol. 2 no III, Desember 2002.
JURNAL ADVOKASI. NO. 1 VOL. 1 SEPTEMBER 2011 72
INTERNET
Andi Hamzah, 2009, “Pokok-Pokok Pikiran Rancangan Undang-Undang Tentang Hukum
Acara Pidana” http://jodisantoso.blogspot.com/2009/01/pokok-pokok-pikiran-
rancangan-undang.html, diakses pada 10 Juni 2010.
Anonim, “Dilema Perang Melawan Terorisme”, http://blog.re.or.id/dilema-perang-melawan-
terorisme.htm, diakses pada 10 Juni 2010.
_______, 2009, “Menyimak Kiprah Terorisme di Indonesia” http://web.pab-
indonesia.com/content/view/29994/61/, diakses pada 10 Juni 2010
Bappenas, “Pencegahan dan Penanggulangan Terorisme”, http://www.bappenas.go.id/get-
file-server/node/6122/, diakses pada 10 Juni 2010
Hans de Vreij, 2010, “Amerika Suka Cara Belanda Berantas Terorisme”,
http://www.rnw.nl/bahasa-indonesia/article/amerika-suka-cara-belanda-berantas-
terorisme, diakses pada 10 Juni 2010.
Loudewijk F. Paulus, “Terorisme”, http://id.wikipedia.org/wiki/Sejarah_ terorisme#cite
_note-0, diakses pada 10 Juni 2010.
_____________________, “Terorisme”, Serial Online STT No. 2289 Volume V Nomor 8
Juli Tahun 2002,
http://buletinlitbang.dephan.go.id/index.asp?vnomor=8&mnorutisi=2, diakses pada 10
Juni 2010.
M Yanuar F, 2010, “Belanda Waspadai Ancaman Teroris Ofisial Keamanan Belanda
Mencemaskan Keselamatan Fans Dan Timnas Mereka Selama Berada di Afrika
Selatan dari Ancaman Teroris”, http://www.goal.com/id-ID/news/1369/piala-
dunia/2010/05/20/1933403/belanda-waspadai-ancaman-teroris, diakses pada 10 Juni
2010.
Redaksi Wikipedia, 2010, “Terorisme”, http://id.wikipedia.org/wiki/Terorisme, diakses
pada 10 Juni 2010.
_______________, 2010, “Sejarah Terorisme,
http://id.wikipedia.org/wiki/Sejarah_terorisme, diakses pada 10 Juni 2010.
PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
Undang Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Kitab Undang Undang
Hukum Acara Pidana. Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1981 Nomor 76.
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3209.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 15 Tahun 2003 Tentang Penetapan Peraturan
Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2002 Tentang Pemberantasan
Tindak Pidana Terorisme. Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor
45. Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4284
JURNAL ADVOKASI. NO. 1 VOL. 1 SEPTEMBER 2011 73
HUKUM SEBAGAI INSTRUMEN KEBIJAKAN PUBLIK DALAM MENGATUR
PENGGUNAAN NARKOTIKA DI INDONESIA
I Nyoman Budi Sentana
Bappeda Provinsi Bali
Abstract: Law is an instrument of public policy in regulating the use of narcotics in Indonesia. The use of law as an instrument of public policy here, can be seen from the arrangement of criminalization and decriminalization of drugs, narcotics policies regarding restrictions on the storage, treatment and rehabilitation obligations to users, authorities Indonesia narcotics agency, the decision for drug addicts, the role of communities, the criminal provisions and penalties for the experimental equation and the crime is complete. Institutional policy model used in the formulation of Law Number 35 Year 2009 on Narcotics is expected to make such provision shall be effective through the imposition of sanctions for any violators.
Key words: Law, instrument of public policy and narcotics.
Pendahuluan
Penggunaan narkotika di Indonesia bukanlah suatu tindak pidana dan juga bukan
menjadi suatu hal yang dilarang. Yang menjadi tindak pidana dan dilarang adalah
penyalahgunaan narkotika. Narkotika hanya dapat digunakan untuk terapi kesehatan dan
kepentingan ilmu pengetahuan. Namun kenyataannya banyak terjadi penyalahgunaan
narkotika. Hasil penelitian Badan Narkotika Nasional (BNN) dan Universitas Indonesia
pada 2005 menunjukkan sekitar 1,5 persen penduduk Indonesia atau sekitar 3,2 juta
penduduk sudah menjadi penyalahguna narkoba. Dari 3,2 juta penyalahguna narkotika
tersebut, 800 ribu orang di antaranya menggunakan narkotika dengan jarum suntik dan 60
persen dari jumlah pengguna narkotika dengan jarum suntik tersebut sudah terinfeksi
HIV/AIDS. Setiap tahun sebanyak 15 ribu orang Indonesia juga dilaporkan meninggal dunia
karena overdosis dan terinfeksi HIV/AIDS, artinya setiap hari ada 40 anak bangsa yang
meninggal dunia karena kasus narkotikadan HIV/AIDS.103
Penyalahgunaan narkotika dari tahun ke tahun semakin meningkat. Data dari Badan
Narkotika Nasional Republik Indonesia menyebutkan sejak tahun 2000 sampai dengan
tahun 2004 telah berhasil disita narkotika seperti ganja dan derivatnya sebanyak 127,7 ton
dan 787.259 batang, heroin sebanyak 93,9 kg, morfin sebanyak 244,7 gram, serta kokain
103 Redaksi Kapanlagi.com, 2007, “Lembaga Rehabilitasi Sosial Penyalahguna Narkoba Masih Terbatas”,
http://www.kapanlagi.com/h/0000178692.html, diakses pada 11 Juni 2011.
JURNAL ADVOKASI. NO. 1 VOL. 1 SEPTEMBER 2011 74
sebanyak 84,7 kg.104
Hingga tahun 2008 jumlah penyalahgunaan narkotika di Indonesia
mencapai 3,6 juta orang. Jumlah pengguna narkotika ini mengalami lonjakan sejak tahun
2003 dengan capaian 3,2 juta orang per tahunnya. 105
Saat ini peredaran gelap dan penyalahgunaan narkotika dengan sasaran potensial
generasi muda sudah menjangkau berbagai penjuru daerah dan penyalahgunanya merata di
seluruh strata sosial masyarakat. Pada dasarnya narkotika sangat diperlukan dan mempunyai
manfaat di bidang kesehatan dan ilmu pengetahuan, akan tetapi penggunaan narkotika
menjadi berbahaya jika terjadi penyalahgunaan. Oleh karena itu untuk menjamin
ketersediaan narkotika guna kepentingan kesehatan dan ilmu pengetahuan di satu sisi, dan di
sisi lain untuk mencegah peredaran gelap narkotika yang selalu menjurus pada terjadinya
penyalahgunaan, maka diperlukan pengaturan di bidang narkotika.
Untuk menjamin kesinambungan pembangunan nasional maka pemerintah harus
membuat suatu kebijakan untuk memilah-milah mengenai narkotika yang dilarang dan mana
yang diperbolehkan. Selain itu juga menentukan upaya-upaya untuk menanggulangi
perdagangan dan peredaran gelap narkotika serta penyalahgunaannya. Oleh sebab itu
diperlukan hukum sebagai instrumen kebijakan publik dalam mengatur penggunaan
narkotika di Indonesia baik dalam substansi hukum, penegak hukum, sumber daya maupun
organisasi-organisasi yang terkait dengan instrumen tersebut.
Kebijakan Hukum Pidana Dalam Menanggulangi Penyalahgunaan Narkotika
Narkotika baik dalam bentuk tunggal maupun campuran yang dapat membahayakan
kesehatan dan lingkungan hidup secara langsung atau tidak langsung yang mempunyai sifat,
karsinogenik, teratogenik, mutagenik, korosif dan iritasi. Narkotika dalam pengertian opium
telah dikenal dan dipergunakan masyarakat Indonesia khususnya wargaTionghoa dan
sejumlah besar orang Jawa sejak tahun 1617. Selanjutnya diketahui bahwa mulai tahun
1960-an terdapat sejumlah kecil kelompok penyalahguna heroin dan kokain. Pada awal
1970-an mulai muncul penyalahgunaan narkotika dengan cara menyuntik. Orang yang
menyuntik disebut morfinis. Sepanjang tahun 1970-an sampai tahun 1990-an sebagian besar
104 Badan Narkotika Nasional Repubhk Indonesia, 2005, Materi Advokasi Pencegahan Narkoba, Jakarta,
hal. 1. 105 TV One, 2009, “BNN: 3,6 Juta Warga Indonesia Gunakan
Narkoba”,http://www.bnn.go.id/portalbaru/portal/konten.php?nama=Berita&op=index_berita&mn=6&smn=a,
diakses pada 11 Juni 2011.
JURNAL ADVOKASI. NO. 1 VOL. 1 SEPTEMBER 2011 75
penyalahguna kemungkinan memakai kombinasi berbagai jenis narkotika (polydrug jser),
dan pada tahun 1990-an heroin sangat populer dikalangan penyalahguna narkotika.
Berbicara tentang kejahatan, maka secara tidak langsung berbicara tentang korban dari
kejahatan tersebut. Rumusan mendasar dari suatu kejahatan adalah adanya pelaku dan
korban kejahatan. Kejahatan adalah suatu hasil interaksi karena adanya interrelasi antara
fenomena yang ada dan yang saling mempengaruhi. Berdasarkan definisi kejahatan tersebut,
dapatlah kita ambil suatu kesimpulan, bahwa kejahatan merupakan hasil interaksi manusia.
Para kriminolog sepakat, bahwa kejahatan merupakan produk dari masyarakat. Selama
masyarakat masih mengadakan interaksi satu dengan yang lain selama itu pula kejahatan
akan tetap muncul. Ada korban, ada kejahatan dan sebaliknya, ada kejahatan ada korban.
Rangkaian kata ini menyatakan, apabila terdapat korban kejahatan, jelas terjadi suatu
kejahatan.
Kejahatan dalam arti luas tidak hanya yang dirumuskan dalam undang-undang, tetapi
juga tindakan yang menimbulkan penderitaan dan tidak dapat dibenarkan serta dianggap
jahat oleh masyarakat. Kejahatan dalam arti sempit adalah Mijsdriff atau crime yang
merupakan bagian dari tindak pidana atau delict.
1. Sudut Pandang Hukum Positif
Berbicara tentang hukum positif, maka kita akan menuju kepada suatu norma atau
ketentuan yang berlaku pada suatu waktu tertentu pada wilayah tertentu (ius
constitutum). Di dalam hukum pidana Indonesia, KUHP sebagai hukum positif, yang
menjadi hoeksteen atau poros di ujung adalah pasal 1 ayat 1 KUHP, asas legalitas. Inti
dari pasal tersebut adalah hanya perbuatan yang disebut tegas oleh peraturan
perundang-undangan sebagai kejahatan atau pelanggaran, dapat dikenai sanksi pidana.
Menurut hukum positif, suatu perbuatan dikatakan sebagai suatu perbuatan pidana
atau tindak pidana jika perbuatan tersebut melawan hukum (melanggar undang-
undang) dan terdapat unsur kesalahan dalam diri pelaku tindak pidana tersebut. Jika
unsur melawan hukum dan unsur kesalahan tersebut telah terpenuhi, maka perbuatan
tersebut dapat dikategorikan sebagai perbuatan pidana dan pelaku dapat dikenakan
sanksi pidana. Kedudukan korban dalam kejahatan menurut hukum positif tidaklah
mutlak, dalam artian korban bukanlah unsur terpenuhinya rumusan suatu kejahatan
atau tindak pidana.
2. Sudut Pandang Sosiologis
Berbeda halnya dengan sudut pandang hukum positif yang menyatakan, bahwa
kedudukan korban bukanlah unsur mutlak terjadinya kejahatan, pandangan sosiologis
memiliki pandangan yang berbeda. Dalam pandangan sosiologis, korban memilki
posisi yang cukup vital dalam hubungannya dengan kejahatan. Korban adalah salah
satu tolok ukur dalam menentukan kejahatan. Suatu perbuatan dapat dikatakan sebagai
kejahatan kalau ada pihak yang dirugikan, dan pihak tersebut disebut dengan korban.
Dalam sudut pandang sosiologis, sebuah perbuatan yang awalnya merupakan
kejahatan bisa berubah menjadi bukan kejahatan, begitu juga sebaliknya. Proses
JURNAL ADVOKASI. NO. 1 VOL. 1 SEPTEMBER 2011 76
berubahnya suatu perbuatan dari perbuatan biasa menjadi perbuatan pidana disebut
kriminalisasi, sedangkan proses berubahnya perbuatan pidana menjadi perbuatan biasa
disebut dekriminalisasi. Salah satu faktor yang menyebabkan kriminalisasi atau
dekriminalisasi adalah korban kejahatan. Ketika tidak terdapat korban kejahatan, suatu
perbuatan yang awalnya merupakan tindak pidana bisa berubah menjadi tindak
pidana, begitu juga sebaliknya.
Pada sub pembahasan di atas telah disinggung, bahwa kedudukan korban dalam
kejahatan dapat ditinjau dari dua sudut pandang yaitu, sudut pandang hukum positif dan
sudut pandang sosiologis. Permasalahan kedua yang akan dibahas adalah mengenai
kedudukan korban tindak pidana narkotika dalam perspektif viktimologis. Sellin dan
Wolfgang memberikan kualifikasi jenis-jenis korban kejahatan sebagai berikut:
1. Primary victimization adalah korban individual, jadi korban disini adalah korban
perorangan bukan korban kolektiv atau kelompok;
2. Secondary victimization, maksud dari korban dengan bentuk seperti ini adalah,
korbannya badan hukum atau kelompok;
3. Tertiary victimization yang menjadi korban adalah masyarakat luas, boleh juga
dikatakan, bahwa korbannya abstrak dan tidak berhubungan langsung dengan
kejahatan;
4. Mutual victimization, yang menjadi korban adalah pelaku sendiri, korban tidak
menyadari bahwa dirinya adalah korban dari kejahatan yang dilakukannya sendiri;
5. No victimization, istilah no victimization bukan berarti tidak ada korban. Korban
tetap ada akan tetapi tidak dapat segera diketahui keberadannya atau posisinya
sebagai korban. 106
Berbeda dengan Sellin dan Wolfgang, Stephen Schafer memiliki kriteria tersendiri dalam
membagi korban kejahatan. Pembagian menurut Stephen Schafer adalah sebagai berikut:
1. Unrelated victims adalah mereka yang tidak ada hubungan dengan si pelaku dan
menjadi korban karena potensial. Untuk itu dari aspek tanggung jawab sepenuhnya
berada di pihak korban;
2. Provocative victims, merupakan korban yang disebabkan peranan korban untuk
memicu terjadinya kejahatan. Karena itu, dari aspek tanggung jawab terletak pada
diri korban dan pelaku bersama-sama;
3. Participating victims, hakikatnya perbuatan korban tidak disadari dapat mendorong
pelaku melakukan kejahatan. Pertanggung jawaban sepenuhnya berada di tangan
pelaku;
4. Biologically weak victims adalah kejahatan karena faktor fisik korban.
Pertanggungjawabannya terletak pada masyarakat atau pemerintah setempat karena
tidak memberi perlindungan kepada korban yang tidak berdaya;
5. Socially weak victims adalah korban yang yang tidak diperhatikan oleh masyarakat
bersangkutan seperti para gelandangan dengan kedudukan sosial yang lemah.
Pertanggungjawabannya terletak pada penjahat atau masyarakat;
106
Diyan, 2009, “Korban Tindak Pidana Narkoba”, http://diyanunlam.blogspot.com/2009/05/korban-
tindak-pidana-narkoba.html, diakses pada 11 Juni 2011.
JURNAL ADVOKASI. NO. 1 VOL. 1 SEPTEMBER 2011 77
6. Self victimizating victims adalah korban yang dilakukan sendiri (korban semu).
Untuk itu pertanggung jawabannya terletak pada korban sepenuhnya karena
sekaligus sebagai pelaku;
7. Political victims, adalah korban karena lawan politiknya. Secara sosiologis, korban
ini tidak dapat dipertanggungjawabkan kecuali ada adanya perubahan konstelasi
politik.107
Peraturan perundang-undangan yang mengatur narkotika di Indonesia sebenarnya
telah ada sejak berlakunya Ordonansi Obat Bius (Verdoovende Middelen Ordonnantie,
Staatsblad Nomor 278 Jo. 536 Tahun 1927). Ordonansi ini kemudian diganti dengan
Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1976 tentang Narkotika yang mulai berlaku tanggal 26
Juli 1976. Selanjutnya Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1976 telah diganti dengan Undang-
Undang Nomor 22 Tahun 1997 tentang Narkotika yang mulai berlaku tanggal 1 September
1997. Undang-undang Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika yang disahkan pada 14
September 2009 merupakan revisi dari Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997 tentang
Narkotika. Pemerintah menilai Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997 tentang Narkotika
tidak dapat mencegah tindak pidana narkotika yang semakin meningkat secara kuantitatif
maupun kualitatif serta bentuk kejahatannya yang terorganisir. Namun secara substansial,
UU Narkotika yang baru tidak mengalami perubahan yang signifikan dibandingkan dengan
UU terdahulu, kecuali penekanan pada ketentuan kewajiban rehabilitasi, penggunaan pidana
yang berlebihan, dan kewenangan BNN yang sangat besar.
Kebijakan mengenai pengaturan narkotika di Indonesia memang harus dituangkan
dalam bentuk hukum, hal ini dimaksudkan untuk mencapai kepastian hukum. Adapun
beberapa kebijakan baru yang terkandung dalam Undang-undang Nomor 35 Tahun 2009
Tentang Narkotika adalah:
I. Adanya Pembatasan Penyimpanan Narkotika
Masyarakat tidak diperbolehkan menyimpan narkotika untuk jenis dan
golongan apapun. Pihak yang diperbolehkan melakukan penyimpanan hanya terbatas
pada industri farmasi, pedagang besar farmasi, apotek, rumah sakit, pusat kesehatan
masyarakat, balai pengobatan, dokter dan lembaga ilmu pengetahuaan. Hal ini sangat
menyulitkan pengguna narkotika yang sedang melakukan pemulihan, dimana para
pengguna harus mengunjungi tempat-tempat tertentu. Pembatasan ini memungkinkan
para pengguna narkotika untuk mendapatkan narkotika secara ilegal.
II. Pengobatan dan Rehabilitasi
Pasien dapat memiliki, menyimpan, dan/atau membawa narkotika yang
digunakan untuk dirinya sendiri yang diperoleh dari dokter dan dilengkapi dengan
107 Ibid.
JURNAL ADVOKASI. NO. 1 VOL. 1 SEPTEMBER 2011 78
bukti yang sah. Undang-undang Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika, para
pecandu dan korban penyalahgunaan narkotika tidak lagi diberikan kebebasan dan
atas kehendak sendiri untuk sembuh. Rehabilitasi medis dan rehabilitasi social
menjadi kewajiban bagi para pecandu. Undang-undang Nomor 35 Tahun 2009
Tentang Narkotika juga mewajibkan pecandu narkotika untuk melaporkan diri mereka
kepada pusat kesehatan masyarakat, rumah sakit, dan/atau lembaga rehabilitasi medis
dan rehabilitasi sosial. Kewajiban tersebut juga menjadi tanggung jawab orang tua dan
keluarga. Rehabilitasi medis dan sosial selain dapat diselenggarakan oleh instansi
pemerintah ataupun masyarakat yang akan diatur dalam peraturan menteri.
III. Kewenangan BNN dan Penyelidikan
Undang-undang Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika memberikan porsi
besar bagi BNN. Salah satu kewenangan BNN adalah mencegah dan memberantas
penyalahgunaan dan peredaran nakotika dan prusukor narkotika. Selain itu BNN dapat
mempergunakan masyarakat dengan cara memantau, mengarahkan dan meningkatkan
kapasitas mereka untuk melakukan pencegahan terhadap penyalahgunaan narkotika
dengan cara memberdayakan anggota masyarakat. Dalam hal melakukan
pemberantasan narkotika, BNN diberi kewenangan untuk melakukan penyelidikan
dan penyidikan terhadap penyalahgunaan, peredaran narkotika, dan prekusor
narkotika beserta dengan kewenangan yang dimiliki penyelidik dan penyidik seperti
penangkapan selama 3 x 24 jam dan dapat diperpanjang 3×24 jam ditambah
penyadapan. Porsi kewenangan BNN yang terlalu besar seperti dalam penahanan dan
penggeledahan yang tidak dimiliki oleh penyidik kepolisiaan akan menimbulkan
permasalahan secara kelembagaan, dan rasa persamaan hukum bagi tersangka yang
diperiksa di BNN dan kepolisian.
IV. Putusan Rehabilitasi bagi para pecandu Narkotika
Walaupun prinsip dalam Undang-undang Nomor 35 Tahun 2009 Tentang
Narkotika adalah melakukan rehabilitasi bagi para pecandu narkotika, tetapi dalam
UU ini masih menggunakan kata “dapat” untuk menempatkan para pengguna
narkotika baik yang bersalah maupun yang tidak bersalah untuk menjalani pengobatan
dan/atau perawatan melalui rehabilitasi. Hakim juga diberikan wewenang kepada
pecandu yang tidak bermasalah melakukan tidak pidana narkotika untuk ditetapkan
menjalani pengobatan dan rehabilitasi.
V. Peran Serta Masyarakat
Selain memberikan kewengan yang besar terhadap penegak hukum, khususnya
BNN, Undang-undang Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika juga mewajibkan
masyarakat untuk berperan aktif dalam upaya pencegahan dan pemberantasan
narkotika. Masyarakat dijadikan seperti penyelidik dengan cara mencari, memperoleh,
dan memberikan informasi dan mendapatkan pelayanan dalam hal-hal tersebut. Dalam
UU ini masyarakat tidak diberikan hak untuk melakukan penyuluhan, pendampingan
dan penguatan terhadap pecandu narkotika. Peran serta masyarakat yang dikumpulkan
dalam suatu wadah oleh BNN dapat menjadi suatu ketakutan tersendiri karena
masyarakat mempunyai legitimasi untuk melakukan pencegahan dan pemberantasan
narkotika tanpa adanya hak yang ditentukan oleh Undang-Undang.
VI. Ketentuan Pidana
Undang-undang Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika memiliki
kencederuangan mengkriminalisasi orang, baik produsen, distributor, konsumen dan
JURNAL ADVOKASI. NO. 1 VOL. 1 SEPTEMBER 2011 79
masyarakat dengan mencantumkan ketentuan pidana sebanyak 39 pasal dari 150 pasal
yang diatur dalam UU tersebut. Undang-undang Nomor 35 Tahun 2009 Tentang
Narkotika menggunakan pendekatan pidana untuk melakukan pengawasan dan
pencegahan terhadap penyalahgunaan narkotika. Penggunaan pidana masih dianggap
sebagai suatu upaya untuk menakut-nakuti agar tidak terjadinya penggunaan
narkotika. Hal tersebut didukung dengan diberikannya suatu kewenangan yang besar
bagi BNN yang bermetafora menjadi institusi yang berwenang untuk melakukan
penyadaran kepada masyarakat, melakukan penyelidikan, penyidikan, serta
penuntutan dalam tindak pidana narkotika.
Lebih jauh, menilai ketentuan pidana yang diatur di dalam Undang-undang Nomor
35 Tahun 2009 Tentang Narkotika sebagai berikut:
a. Tidak mementingkan unsur kesengajaan dalam Tindak Pidana narkotika
Penggunaan kata ”Setiap orang tanpa hak dan melawan hukum” dalam beberapa
pasal UU No. 35/2009 dengan tidak memperdulikan unsur kesengajaan, dapat menjerat
orang-orang yang memang sebenarnya tidak mempunyai niatan melakukan tindak
pidana narkotika, baik karena adanya paksaan, desakan, ataupun ketidaktahuan.
b. Penggunaan sistem pidana minimal
Penggunaan sistem pidana minimal dalam Undang-undang Nomor 35 Tahun 2009
Tentang Narkotika memperkuat asumsi bahwa UU tersebut memang diberlakukan
untuk memidanakan masyarakat yang berhubungan dengan narkotika. Penggunaan
pidana minimal juga akan menutup hakim dalam menjatuhkan putusan walaupun di
dalam prakteknya, hakim dapat menjatuhkan putusan kurang dari pidana minimal dan
hal tersebut diperbolehkan oleh Ketua Mahkamah Agung.
c. Kriminalisasi Bagi orang tua dan masyarakat
Undang-undang Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika memberikan ancaman
hukuman pidana (6 bulan kurungan) bagi orang tua yang sengaja tidak melaporkan
anaknya yang menggunakan narkotika untuk mendapatkan rehabilitasi. Meskipun unsur
’kesengajaan tidak melapor’ tersebut harus dibuktikan terlebih dahulu, unsur tersebut
tidak mengecualikan orang tua yang tidak mengetahui bahwa zat yang dikonsumsi
anaknya adalah narkotika. Undang-undang Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika
juga menuntut agar setiap orang melaporkan tindak pidana narkotika. UU ini
memberikan ancaman pidana maksimal 1 tahun bagi orang yang tidak melaporkan
adanya tindak pidana narkotika. Penerapan pasal ini akan sangat sulit diterapkan karena
biasanya pasal ini digunakan bagi pihak-pihak yang ditangkap ketika berkumpul dengan
para pengguna narkotika. Orang tersebut juga dapat dipergunakan sebagai saksi
mahkota untuk memberatkan suatu tindak pidana narkotika. Pasal ini juga mengancam
para pihak yang mendampingi komunitas pecandu narkotika. Pada ketentuaan peran
serta masyarakat dalam BAB XIII masyarakat tidak diwajibkan untuk melaporkan jika
mengetahui adanya penyalahgunaan narkotika atau peredaran gelap narkotika.
Ketentuan ini menunjukan ketidak singkronan antara delik formal dengan delik
materiil.
d. Persamaan hukuman bagi percobaan dan tindak pidana selesai
Undang-undang Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika menyamakan
hukuman pidana bagi pelaku tidak pidana selesai dengan pelaku tidak pidana
percobaan. Tindak Pidana Narkotika adalah suatu kejahatan karena perbuatan tersebut
memiliki efek yang buruk. Delik percobaan mensyaratkan suatu tindak pidana tersebjut
terjadi, sehingga akibat tindak pidana tersebut tidak selesai, sehingga seharusnya
JURNAL ADVOKASI. NO. 1 VOL. 1 SEPTEMBER 2011 80
pemidanaan antara pelaku tidak pidana percobaan dan pelaku tidak pidana selesai harus
dibedakan.108
Perbedaan juga terdapat pada penyisihan barang bukti (BB), yang tadinya hanya boleh
untuk pembuktian dan pengembangan ilmu dan pengetahuan, saat ini bertambah untuk
pendidikan dan latihan. UU ini juga mengatur tentang penguatan lembaga Badan Narkotika
Nasional (BNN) sebagai lembaga pemerintah non-departemen yang memiliki kewenangan
untuk menyelidik, menyidik, mempercepat pemusnahan barang bukti, dan menyadap pihak
yang terkait penyalahgunaan dan peredaran gelap narkoba.109
Model Kebijakan Publik Dalam Mengatur Penggunaan Narkotika di Indonesia
Pengaturan mengenai penggunaan narkotika di Indonesia merupakan salah satu
kebijakan dalam hukum pidana. Pola kebijakan sebagaimana yang telah diatur dalam
Undang-undang Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika adalah model kebijakan publik
kelembagaan. Hal ini dapat dilihat dari beberapa ciri-ciri dari model kebijakan publik
kelembagaan yakni:
a. Kebijakan publik tersebut di buat oleh pemerintah. Undang-undang Nomor 35 Tahun
2009 Tentang Narkotika merupakan produk hukum yang dibuat oleh presiden bersama
DPR dimana kedua lembaga negara ini merupakan pemerintah dalam arti luas.
b. Pemerintah melegitimasi kebijakan penggunaan narkotika. Artinya pemerintahlah yang
menyatakan bahwa penggunaan narkotika tidak dilarang, sedangkan yang dilarang
adalah penyalahgunaan narkotika. Pemerintah melegitimasi kebijakan ini dengan
memformulasikan dan menuangkannya dalam bentuk Undang-undang.
c. Legitimisasi tersebut menimbulkan akibat hukum dimana masyarakat secara yuridis
harus menaati ketentuan tersebut. Dan setiap pelanggarannya harus dikenakan sanksi
sebagaimana yang telah diatur dalam ketentuan pidana dalam Undang-undang tersebut.
d. Kebijakan ini berlaku secara universal artinya keberlakuannya mencakup keseluruhan
dan bagi semua orang.
Penutup
Hukum merupakan instrumen dalam kebijakan publik dalam pengaturan penggunaan
narkotika di Indonesia. Penggunaan hukum sebagai instrumen kebijakan publik disini dapat
terlihat dari pengaturan kriminalisasi dan dekriminalisasi narkotika, kebijakan mengenai
108 Totokyuliyanto., “ Catatan terhadap UU No 35 Tahun 2009 tentang Narkotika,
http://totokyuliyanto.wordpress.com/2009/11/10/catatan-terhadap-uu-no-35-tahun-2009-tentang-narkotika/,
diakses pada 11 Juni 2011. 109 Anonim, 2009, “2010, Kejati Baru Terapkan UU No 35/2009”,
http://www.sumeks.co.id/index.php?option=com_content&view=article&id=1780:ruma-maida-borong-11-
nominasi&catid=19:berita-utama&Itemid=66, diakses pada 11 Juni 2011.
JURNAL ADVOKASI. NO. 1 VOL. 1 SEPTEMBER 2011 81
pembatasan penyimpanan narkotika, kewajiban pengobatan dan rehabilitasi bagi pengguna,
kewenangan BNN, putusan bagi pecandu narkotika, peran serta masyakat, ketentuan pidana
dan persamaan hukuman bagi percobaan dan tindak pidana selesai.
Penggunaan hukum sebagai instrumen kebijakan publik yang efektif perlu dilakukan
dengan penggunaan wewenang yang sesuai dengan peraturan hukum yang berlaku, sebab
dalam pengaturan narkotika melalui Undang-undang Nomor 35 Tahun 2009 Tentang
Narkotika menumbulkan diskresi yang luas baik diskresi yang dapat dilakukan oleh hakim
maupun BNN sebagai penyidik tindak pidana narkotika.
Model kebijakan publik yang digunakan dalam merumuskan ketentuan mengenai
pengaturan penggunaan narkotika di Indonesia adalah model kebijakan publik kelembagaan
dimana pemerintah menetapkan kebijakan yang harus ditaati oleh masyarakat secara
keseluruhan. Dan atas pelanggaran dari kebijakan tersebut akan dikenakan sanksi. Model
kebijakan kelembagaan yang digunakan dalam perumusan Undang-undang Nomor 35
Tahun 2009 Tentang Narkotika diharapkan dapat membuat ketentuan tersebut berlaku
efektif melalui penjatuhan sanksi bagi setiap pelanggarnya.
DAFTAR PUSTAKA
Badan Narkotika Nasional Republik Indonesia, 2005, Materi Advokasi Pencegahan
Narkoba, Jakarta.
Anonim, 2009, “2010, Kejati Baru Terapkan UU No 35/2009”,
http://www.sumeks.co.id/index.php?option=com_content&view=article&id=1780:ru
ma-maida-borong-11-nominasi&catid=19:berita-utama&Itemid=66, diakses pada 11
Juni 2011.
Diyan, 2009, “Korban Tindak Pidana Narkoba”,
http://diyanunlam.blogspot.com/2009/05/korban-tindak-pidana-narkoba.html, diakses
pada 11 Juni 2011.
Kapanlagi.com, 2007, “Lembaga Rehabilitasi Sosial Penyalahguna Narkoba Masih
Terbatas”, http://www.kapanlagi.com/h/0000178692.html, diakses pada 11 Juni 2011.
TV One, 2009, “BNN: 3,6 Juta Warga Indonesia Gunakan Narkoba”
http://www.bnn.go.id/portalbaru/portal/konten.php?nama=Berita&op=index_berita&
mn=6&smn=a, diakses pada 11 Juni 2011.
Totokyuliyanto., “ Catatan terhadap UU No 35 Tahun 2009 tentang Narkotika”,
http://totokyuliyanto.wordpress.com/2009/11/10/catatan-terhadap-uu-no-35-tahun-
2009-tentang-narkotika/, diakses pada 11 Juni 2011.
JURNAL ADVOKASI. NO. 1 VOL. 1 SEPTEMBER 2011 82
PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
Verdoovende Middelen Ordonnantie (Stbl. 1927 Nomor 278 Jo. Nomor 536).
Undang-undang Nomor 9 Tahun 1976 Tentang Narkotika. Lembaran Negara 1976/37 dan
Tambahan Lembaran Negara Nomor 3086.
Undang-undang Nomor 9 Tahun 1997 Tentang Narkotika. Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 1997 Nomor 67 dan Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 3698.
Undang-undang Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika. Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2009 Nomor 143 dan Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2009 Nomor 5062.
Instruksi Presiden Nomor 6 Tahun 1971.
JURNAL ADVOKASI. NO. 1 VOL. 1 SEPTEMBER 2011 83
KEBIJAKAN FORMULATIF PIDANA MATI DAN PIDANA
SEUMUR HIDUP DALAM KONSEP KUHP
I Nengah Susrama
Fakultas Hukum Unmas Denpasar
Abstract: Capital punishment and life imprisonment is a kind of criminal sanctions that stipulated in article 10 Criminal Code Concept. Existence of capital punishment and life imprisonment as a kind of criminal sanction cause in the public opinion of the pros and cons of legal expert and in society. One the one hand the sanctions are still considered necessary but on the other side is considered of contrary to the concept of rehabilitation. Capital punishment and life imprisonment are eliminate the human right to l ife. But the sanctions are still retained in the draft criminal code.
Key Words: Policy, capital punishment, life imprisonment and criminal code
concept.
Pendahuluan
Pada dasarnya hukum selalu berkembang. Hukum berkembang mengikuti
perkembangan masyarakat. Suatu peraturan dapat mengalami perubahan, penambahan,
pengurangan dan pembaharuan, karena norma-norma dan nilai-nilai dalam masyarakat
mengalami perkembangan atau perubahan.
Sejalan dengan perkembangan dan perubahan tersebut, hukum pidana juga tidak bisa
terlepas dari kondisi yang demikian. Usaha-usaha pembaharuan dalam hukum pidana
khususnya KUMP/WvS telah dilakukan oleh sebuah tim yang terdiri dari pakar-pakar
hukum nasional.
Dimulai dari adanya rekomendasi Seminar Hukum Nasional I tahun 1963 yang
menyerukan agar rancangan kodifikasi hukum pidana nasional selekas mungkin
diselesaikan, maka pada tahun 1964 dibicarakanlah konsep yang pertama. Berturut-turut
kemudian ada konsep 1968, konsep 1971/1972, konsep 1982/1983, yang kemudian menjadi
konsep 1987/1988. Konsep ini pun mengalami pengkajian terus-menerus, sehingga menjadi
konsep 1991/1992.110
Sampai dewasa ini menjadi konsep 1999/2000, yang menjadi dasar
kajian dalam penulisan ini.
110 Barda Nawawi Arief, 1996, Kebijakan Legislative Dalam Penanggulangan Kejahatan dengan Pidana
Penjara, Universitas Dipponegoro, Semarang, hal. 106
JURNAL ADVOKASI. NO. 1 VOL. 1 SEPTEMBER 2011 84
Jika nanti konsep 1999/2000, diterima dan dinyatakan berlaku, tentu saja telah
berdasarkan pertimbangan-pertimbangan yang disesuaikan dengan falsafah dan kondisi
alam kemerdekaan Indonesia, khususnya mengenai masalah pidana dan pemidanaan yang
terkait langsung dengan masalah hak asasi manusia, yang di Indonesia realisasmya terwujud
melalui ide pemasyarakatan. Namun sering dipertanyakan apakah ia, konsep 1999/2000
khsusnya masalah pidana dan pemidanaan telah menganut falsafah pidana dan pemidanaan
yang dijiwai falsafah bangsa Indonesia. Mempertanyakan hal-hal yang berkaitan dengan
kebijakan legislative khususnya masalah pidana dan pemidanaan adalah suatu yang sangat
penting. Dalam konsep 1999/2000 masih tetap mempertahankan pidana mati (Pasal 80
konsep KUHP) dan pidana seumur hidup (Pasal 64 ayat (1). Bila hal ini dikaitkan dengan
ide pemasyarakatan sebagai realisasi dari pemidanaan, pidana mati dan pidana seumur hidup
nampak kontradiktif (terjadi pertentangan antara norma dengan nilai), oleh karena
bagaimana mungkin orang yang dieksekusi mati atau dipidana seumur hidup dapat
dimasyarakatkan.
Bertolak dari uraian di atas, maka permasalahannya adalah : Mengapa pidana mati
dan pidana seumur hidup masih perlu dipertahankan dalam KUHP mendatang, atau apakah
pidana mati dan pidana seumur hidup tidak bertentangan dengan ide pemasyarakatan?.
Untuk mendapat gambaran yang jelas dan membatasi pembahasan, maka penulis
membatasi pada pertimbangan-pertimbangan tentang dipertahankannya pidana mati dan
pidana seumur hidup tersebut, dalam konsep 1999/2000, dikaitkan dengan konsep
pemikiran tentang ide pemasyarakatan. Dengan demikian kajian disini akan dipokuskan
pada sinkronisasi kebijakan formulasi pidana mati dan pidana seumur hidup dengan ide
pemasyarakatan yang mencakup bagaimana konsep KUHP yang ada mengaturnya dan
bagaimana sebaiknya pidana termaksud diatur.
Penulisan ini bertujuan untuk mendapatkan jawaban mengenai dasar pertimbangan
tentang tetap dipertahankannya pidana mati dan pidana seumur hidup dalam konsep KUHP
1999/2000, mengingat pidana tersebut nampak kontradiktif dengan ide pemasyarakatan.
Dengan demikian penulisan ini akan bermanfaat sebagai sumbangan pemikiran yang
bersifat teoritis dalam rangka pengembangan studi ilmu hukum pidana, khususnya tentang
penggunaan pidana mati dan pidana seumur hidup, Akhirnya untuk mempermudah
pembahasan dan mendapatkan hasil penulisan yang lebih mendekati keilmiahan, penulis
menggunakan metode pendekatan konsep, dengan bahan hukum primer yaitu konsep
JURNAL ADVOKASI. NO. 1 VOL. 1 SEPTEMBER 2011 85
1999/2000, dengan teknik penelusuran kemudian diolah secara sistematis dan disajikan
secara analisis.
Penanggulangan Kejahatan Melalui Sanksi Pidana
Secara yuridis formal jenis pidana ditentukan dalam Pasal 10 KUHP/WvS yang
merupakan produk legislatif pemerintah belanda. Dalam pasal tersebut, jenis pidana mati
ditentukan sebagai pidana pokok. Setalah Indonesia merdeka ketentuan tersebut masih tetap
dipertahankan melalui Undang-Undang No. 1 tahun 1946 dengan beberapa perubahan dan
penyesuaian dengan alam kemerdekaan. Ini pidana mati masih tetap sebagai sarana
penanggulangan kejahatan.
Penologi dalam bentuk sistem pemasyarakatan, perkembangannya tidak mungkin
terhindarkan karena sanksi pidana berat di dalam hukum pidana adalah pidana mati di
samping pidana penjara atau kurungan. Eksistensi, pengaturan, dan pelaksanaan pidana
tersebut, oleh masyarakat dirasakan sudah tidak memadai lagi, namun kenyataannya pidana
mati tidak di hapus sama sekali, pidana tersebut melainkan hanya di sempurnakan atau
penggunaannya sangat eksepsional.
Mengenai persoalan apakah dalam kehidupan masyarakat memang seharusnya ada
pidana, telah dijawab dengan pasti. Dalam kehidupan masyarakat masalah pidana tidak
mungkin dihindarkan, meskipun pemidanaan merupakan alat pertahanan terakhir. Dia
merupakan sarana paling akhir dan merupakan puncak dari upaya-upaya, jika upaya lain
sudah tidak memadai.
Penanggulangan kejahatan dengan menggunakan pidana merupakan cara yang
paling tua, setua manusia itu sendiri. Sebagai suatu kebijakan memang ada yang
mempermasalahkan, apakah kejahatan itu perlu ditanggulangi, dicegah atau dikendalikan
dengan sanksi pidana. Sementara ada pendapat bahwa terhadap pelaku kejahatan atau
pelanggar hukum pada dasarnya tidak perlu di kenakan sangsi pidana.
Dasar pemikiran mengenai tidak perlunya pengenaan sanksi pidana adalah adanya
paham determinisme yang menyatakan bahwa orang tidak mempunyai kehendak bebas
dalam melakukan suatu perbuatan karena dipengaruhi oleh watak pribadinya, faktor-faktor
biologis, maupun faktor-faktor lingkungan kemasyarakatan. Dengan demikian kejahatan
sebenarnya merupakan manipestasi dari keadaan jiwa seseorang yang abnormal, oleh karena
itu sipelaku kejahatan tidak dapat dipersalahkan atas perbuatannya dan tidak dapat
JURNAL ADVOKASI. NO. 1 VOL. 1 SEPTEMBER 2011 86
dikenakan pidana.111
Pandangan determinisme ini kemudian berlanjut pada gerakan modern
mengenai kompanye anti pidana.
Namun bila dikaitkan dengan pendapat Herbert I. Packer, dalam bukunya The
Limits of the Criminal Sanction112
, yang dapat dikonklusikan bahwa sampai dewasa ini
dan di masa yang akan datang kita tidak dapat hidup tanpa pidana, Pidana masih sangat
diperlukan, bahkan di pandang sebagai alat atau sarana terbaik yang tersedia yang kita
miliki untuk menanggulangi masalah kejahatan. Jadi pendapat anti pidana, dalam kontek
pendapat Packer ini nampak kurang tepat, Bahkan Roeslam Saleh mengatakan, pandangan
atau alam pikiran untuk menghapus pidana adalah pandangan keliru.113
Sebagai benang merah dalam kontek pendapat tersebut, pidana mati sebagai salah
satu politik kriminal sampai dewasa ini bahkan yang akan datang nampak masih tetap
dipertahankan. Dalam perkembangannya manfaat dan penggunaan pidana mati tersebut
memang terus dipertanyakan. Ada suatu tendensi dan kesadaran bahwa di satu sisi pidana
mati di tentang karena dianggap sudah tidak sesuai lagi dengan kebutuhan jaman, sedangkan
disisi lain pidana mati masih diperlukan sebagai sarana perlindungan masyarakat.
Dilihat dari dimensi politik kriminal, apabila pidana mati tetap dipertahankan
sebagai salah satu sarana penanggulangan masalah kejahatan, maka kebijakan tersebut harus
dilandasi alasan-alasan yang dapat dipertanggung jawabkan. Dalam kontek ini, sebagaimana
dikonklusikan oleh Packer, maka pidana mati akan dapat menjadi penjamin yang utama bagi
perlindungan umat manusia, jika digunakan secara hemat, cermat, dan manusiawi.
Sebaliknya justru akan menjadi pengancam utama bagi umat manusia jika digunakan secara
sembarangan dan sewenang-wenang.
Muladi dalam bukunya Lembaga Pidana Bersyarat, menyebutkan tujuan pemidanaan
adalah untuk memperbaiki kerusakan individual dan social yang diakibatkan oleh tindak
pidana. Hal ini terdiri dari seperangkat tujuan pemidanaan yang harus dipenuhi, dengan
catatan tujuan yang merupakan titik berat dan bersifat kasuistis. Perangkat tujuan
pemidanaan yang dimaksud terdiri atas : Pencegahan (umum dan khusus) ; perlindungan
masyarakat; memelihara solidaritas masyarakat; pengimbalan/perimbangan.
111 Muladi dan Barda Nawawi Arief, 1984, Teori-teori dan Kebijakan Pidana, Alumni, Bandung, hal.
150. 112 Herbert L. Packer, 1968, The Limits of The Criminal Sanction, Stanford University, hal. 364-366. 113 Roeslan Saleh, 1978, Stelsel Pidana Indonesia, Ghalia Indonesia, Jakarta, hal. 15-16.
JURNAL ADVOKASI. NO. 1 VOL. 1 SEPTEMBER 2011 87
Pengaruh langsung dan penjatuhan pidana itu jelas terhadap orang yang dikenai
pidana, tetapi itu baru dirasakan sungguh-sungguh olehnya kalau sudah dilaksanakan secara
efektif. Dengan pemidanaan disini dikehendaki agar terpidana tidak melakukan tindak
pidana lagi. (Sudarto, 1981:83).
Penjatuhan pidana menjadi alternatif dalam rangka mencegah perbuatan melanggar
hukum. Pidana penjara dengan pemenjaraannya dalam bentuk pengisolasian diri di balik
tembok penjara, terlebih pidana mati dan pidana badan ternyata telah mengalami perubahan
seiring dengan kemajuan peradaban suatu bangsa. Penghargaan terhadap citra manusia
menjadi dasar utama memperlakukan sipelaku tindak pidana secara lebih manusiawi.
Di Indonesia, peninjauan kembali terhadap sistem pemidanaan sebagai realisasi
usaha penyesuaian dengan kondisi alam kemerdekaan, telah dilakukan sejak Indonesia
merdeka, dan dalam bidang hukum pidana telah diperkuat berdasarkan Undang-Undang No.
1 tahun 1946.
Memperhatikan sejarah tujuan penjatuhan pidana, nampaknya dari waktu ke waktu
tujuan pemidanaan ditekankan pada aspek yang berlainan. Sebelum pidana penjara dikenai,
orang yang melanggar norma-norma yang berlaku dalam masyarakat atau komunitas
tertentu dikenakan berupa hukuman badan bahkan sampai hukuman mati.
Pidana Mati dan Pidana Seumur Hidup Dalam Konsep KUHP
Kalau di telusuri sejarah bangsa kita ketika jaman majapahit berjaya, pidana penjara
dan pidana kurungan sama sekali tidak dikenal. Pidana yang dijatuhkan pada orang yang
bersalah adalah : pidana mati, pidana potong anggota yang bersalah, denda dan ganti rugi,
ini sebagai pidana pokok.
Pidana mati paling banyak dijatuhkan, seperti halnya penggunaan pidana penjara dan
kurungan dewasa ini. Bagi orang yang bersalah pidana mati dan denda memberikan kesan
lebih menakutkan dan mengerikan dari pidana penjara dan kurungan. Barang siapa yang
tidak sanggup membayar denda ia harus menjadi hamba atau budak.
Kemudian munculnya ide penggantian hukum, baik hukuman badan maupun
hukuman mati sejalan dengan mengemukannya spirit humanitarianisme pada masa
pencerahan orang-orang mulai menyadari bahwa ada bagian-bagian yang mengerikan dari
perlakuan yang berwenang terhadap para pelanggar. Hal ini dipelopori oleh Voltaire dengan
teman-temannya kaum Encyclopedist dan Beccaria. Sejak itu pula pandangan tentang
JURNAL ADVOKASI. NO. 1 VOL. 1 SEPTEMBER 2011 88
bentuk pidana berubah. Pengurungan dipandang sebagai pidana utama, dengan tujuan dapat
menyesali perbuatan yang telah dilakukan, dan insaf atas kesalahannya.
Penetapan sanksi pidana sebagai bagian dari usaha pencegahan dan penanggulangan
kejahatan semula dikenal sebagai sarana untuk balas dendam bagi pelaku kejahatan tanpa
memperhitungkan setimpal atau tidak dengan kejahatan yang dilakukan. Yang terpenting
bagaimana membuat sipelaku menjadi jera dan masyarakat takut berbuat kejahatan.
Kemudian pemikiran kearah perbaikan hidup pelaku kejahatan baru dikenal sejak adanya
teori-teori penjatuhan pidana. Dalam garis besarnya teori-teori penjatuhan pidana dikenal :
1. Teori absolut atau teori pembalasan atau disebut juga teori retributive. Menurut teori
ini, pidana dimaksud untuk membalas kejahatan yang dilakukan seseorang. Jadi pidana
menurut teori ini hanya semata-mata untuk pidana itu sendiri. Adanya pemidanaan
karena adanya pelanggaran. Pemidanaan merupakan tuntutan keadilan dan merupakan
hal yang logis. Pembenaran dari
pemidanaan tersebut terletak pada perbuatan kejahatan itu sendiri. Penganut teori ini adalah seorang pujangga Jerman Immanuel Kant.
2. Teori relatif atau teori tujuan atau disebut juga teori utilitarium. Menurut teori ini dalam
garis besarnya disebutkan tujuan pemidanaan bukanlah memuaskan tuntutan absolut
dari keadilan. Pembalasan itu tidak mempunyai nilai, tetapi mempunyai tujuan tertentu
yang bermanfaat. Pembenaran menurut teori relative terletak pada tujuan pidana yang di
jatuhkan bukan karena orang tersebut jahat melainkan supaya orang tidak lagi
melakukan kejahatan. Tokohnya adalah Bentham.
3. Teori gabungan atau verenigingstheorien. Teori ini bertolak dari teori retribitifn dan
teori utilitarium, yang masing-masing dilandasi oleh pemikiran yang berbeda dalam hal
pemberian pidana. Teori gabungan ini mengkobinasikan kedua teori tersebut. Menurut
penganut teori gabungan bahwa dasar penjatuhan pidana adalah pembalasan, akan
tetapi maksud-maksud lainnya seperti pencegahan, menakutkan, memperbaiki, dan lain-
lainnya tidak boleh diabaikan.
Dari ketiga teori tersebut Indonesia nampaknya menganut teori yang ketiga yaitu
teori gabungan. Pemidanaan dijatuhkan kepada pelaku dengan melihat pada unsur prevensi
dan unsur memperbaiki penjahat yang melekat pada tiap-tiap pemidanaan. Pidana adalah
pembalasan tetapi tidak boleh dijatuhkan lebih dari apa yang semestinya, ia harus seimbang
dengan berat ringannya kejahatan yang dilakukannya. Jadi tujuan pembalasan ataupun
tujuan mempertahankan ketertiban masyarakat keduanya dipandang mempunyai nilai atau
fungsi yang sama.114
114 Soejono, 1996, Kejahatan dan Penegakan Hukum di Indonesia, Rineka Cipta, Jakarta, hal. 38.
JURNAL ADVOKASI. NO. 1 VOL. 1 SEPTEMBER 2011 89
Berdasarkan pandangan tersebut di atas, perancang konsep 1999/2000 telah berusaha
membuat keseimbangan dan sekaligus menjembatani pendapat pro dan kontra mengenai
apakah pidana mati masih diperlukan dan pidana seumur hidup masih perlu dipertahankan.
Pidana mati, walaupun dalam debat panjang telah dipertanyakan apakah pidana mati
masih diperlukan apakah tidak bertentangan dengan ide pemasyarakatan dan sebagainya,
ternyata konsep tetap mencantumkannya walaupun kedudukannya semula sebagai pidana
pokok dalam KUHP digeser menjadi "pidana khusus" atau "eksepsional" (Pasal 61 Konsep)
karena berbagai alasan. Menurut Barda Nawawi Arief, alasan utama dan penggeseran
kedudukan pidana mati itu didasarkan pada pemikiran, bahwa dilihat dari tujuan
pemidanaan dan tujuan diadakannya hukum pidana, maka pidana mati memang pada
hakekatnya bukanlah sarana utama (pokok) untuk mencapai tujuan itu. Dengan kata lain
pidana mati pada hakekatnya bukan sarana utama untuk mengatur dan menertibkan
masyarakat dengan hukum pidana. Pidana mati hanya merupakan sarana perkecualian.
Pemikiran demikian dapat diidentikkan sarana "amputasi" atau Oprasi" di bidang
kedokteran yang pada hakekatnya juga bukan sarana atau obat yang utama, tetapi hanya
sarana/obat terakhir sebagai perkecualian.115
Dalam pasal 80 konsep kembali menekankan sifat kekhususan pidana mati, dengan
menentukan bahwa; pidana mati secara alternatif dijatuhkan sebagai upaya terakhir untuk
mengayomi masyarakat. Mengingat beratnya pidana mati dan tidak mungkin dapat
diperbaiki lagi apabila ada kekeliruan, maka pelaksanaannya baru dapat dilakukan setelah
presiden menolak permohonan grasi yang bersangkutan (pasal 81 ayat 4). Sebagai pidana
kususnya maka pidana mati diancamkan dan dijatuhkan secara sangat selektif. Dalam
hubungan ini, hakim pertama-tama selalu mempertimbangkan secara mendalam apakah
dalam kasus yang dihadapi dapat diterapkan pidana alternative ; "penjara seumur hidup"
ataupun "penjara 20 (dua puluh) tahun". Dalam hal masih terdapat keraguan mengenai
kemungkinan penggunaan salah satu pidana alternatif tersebut terhadap kasus yang
bersangkutan, maka di buka kemungkinan bagi hakim untuk menjatuhkan "pidana mati
bersyaraf'', yakni "penundaan pelaksanaan pidana mati" dengan masa percobaan 10
(sepuluh) tahun (Pasal82 ayat (1). Apabila masa percobaan dapat dilalui dengan baik, maka
pidana mati tersebut dapat diubah menjadi salah satu pidana alternatif (Pasal 82 ayat 2).
115 Barda Nawawi Arief, op.cit., hal. 122)
JURNAL ADVOKASI. NO. 1 VOL. 1 SEPTEMBER 2011 90
Disamping itu apabila permohonan grasi terhadap pidana mati ditolak namun eksekusi
pidana mati itu tidak dilaksanakan selama 10 (sepuluh) tahun, dan bukan karena terpidana
melarikan diri, maka pidana mati tersebut dapat dirubah menjadi pidana penjara seumur
hidup (pasal 83 Konsep). Pola ini dimaksudkan untuk membatasi pelaksanaan pidana mati
sesuai dengan perasaan keadilan yang berkembang dalam masyarakat.
Meskipun masalah pidana mati dan pidana seumur hidup telah di bahas di muka dan
dasar argumentasinyapun dapat diterima dan dimengerti, tetapi jika di kaji dari dimensi
filsapat pembinaan yang melandasi ide pemasyarakatan, maka masih di cantumkannya
pidana mati dan pidana seumur hidup nampak terjadi "kontrakdiktif” Oleh karena
bagaimana mungkin orang yang di pidana mati dan dipidana seumur hidup dapat diperbaiki
dan menjadi warga yang baik dan berguna dilingkungan sosial masyarakat.
Atau sebaliknya hal yang sama, bila dikaji kebijakan hukum pidana sebagai bagian
dari politik kriminal, dalam tujuannya untuk menciptakan kesejahteraan sosial (social
welfare), yang hanya bertumpu pada cara pembinaan terpidana dan perlindungan
masyarakat, maka akan terjadi kepincangan karena semata-mata akan mengarah pada
pengagungan individu atau individualisasi pidana yang terkesan memanjakan terpidana,
disamping memerlukan infrastruktur dengan biaya yang mahal. Hal yang demikian ini
banyak mendapat kritikan, bagaimana mungkin melakukan pembinaan atau perbaikan jika
terpidana dibiarkan bebas merdeka layaknya seperti orang yang tidak sebagai terpidana. Ide
pemasyarakatan menghendaki pembinaan diarahkan kepada pembinaan dan pembinaan itu
sendiri merupakan bentuk umum untuk perlindungan masyarakat. Dengan demikian
tidaklah mungkin bila unsur retributive harus dihapus sama sekali.
George P. Fletcher mengemukakan, cacat yang cukup serius dari teori perlindungan
masyarakat atau teori konsekuensi untuk perlindungan masyarakat ialah bahwa mereka
(konsekuensialis) menitikberatkan perhatian kepada kebaikan (sprekulatif) yang akan terjadi
dan mengabaikan pengimbalan terhadap si pelanggar.116
Dengan hanya melihat kebaikan
yang akan terjadi dari pidana yang akan dijatuhkan, maka hal ini akan mengalihkan
perhatian hakim dari masa lalu, khususnya pada perbuatan yang dilakukan terdakwa,
Keadaan demikian tidak hanya menyebabkan tidak jelasnya persyaratan yang diperlukan
untuk suatu tindak pidana, tetapi juga lamanya pidana penjara menjadi tidak pasti. Ketidak
pastian itu timbul karena penentuan lamanya pidana penjara yang dianggap patut lebih
116 Ibid., hal. 92.
JURNAL ADVOKASI. NO. 1 VOL. 1 SEPTEMBER 2011 91
tergantung dari proyeksi sifat berbahayanya si pelanggar atau pada kebutuhannya untuk
melakukan pembinaan (treatment), dan pada beratnya pelanggaran yang dilakukan. Dengan
demikian menurut Fletcher, tujuan perlindungan masyarakat cendrung untuk menghapuskan
dua prinsip keadilan yang angat penting, yaitu : 1) bahwa hanya orang yang bersalah sajalah
yang seharusnya dipidana, dan 2) bahwa luasnya pemidanaan harus sesuai atau harus
proporsional dengan kejahatan yang dilakukan.117
Dari uraian diatas jelas bahwa apabila tujuan pidana dan hukum pidana harus
diorientasikan pada tujuan perlindungan masyarakat untuk mencapai kesejahtraan social,
maka suatu teori yang hanya melihat salah satu aspek dari tujuan umum tersebut sebenarnya
terlalu bersifat sepihak. Dilihat dari pendirian yang demikian, maka wajarlah apabila
pembuat konsep rancangan KUHP Buku I dalam merumuskan tujuan pemidanaan masih
tetap mencantumkan klasifikasi sanksi pidana dari yang paling ringan sampai yang paling
berat, yaitu pidana mati dan pidana seumur hidup. Jadi perancang konsep berusaha
merumuskan keseluruh aspek dari tujuan umum tersebut baik sebagai tujuan perlindungan
masyarakat maupun sebagai tujuan keadilan. Jadi ide yang mendasarinya adalah ide
keseimbangan.
Apabila dikaitkan dengan ide pemasyarakatan, maka usaha pembuat konsep untuk
mengakomodasi keseluruhan aspek dari tujuan umum pemidanaan termasuk penggunaan
ancaman pidana mati dan pidana seumur hidup harus pula memperhatikan ide
pemasyarakatan dengan sepuluh prinsip pokoknya secara berimbang sehingga tercipta
harmonisasi sistem kebijakan penegakan hukum pidana. Kecuali Yuridis juga psikologis
istilah pidana mati dan pidana seumur hidup dalam konsep nampak kurang sinkron dengan
tujuan pembinaan, yang pada akhirnya timbul kesan bahwa KUHP barupun tidak dapat
meninggalkan faham retributive klasik.
Dilihat dari sejarahnya pembuat konsep nampaknya telah berusaha menjembatani
pendapat pro dan kontra mengenai apakah pidana mati masih diperlukan dan pidana seumur
hidup masih perlu dipertahankan. Ternyata bahwa pidana tersebut dapat bersifat menangkal
(deterrent). Akhirnya pidana mati dan pidana seumur hidup tetap masuk dalam konsep.
Pidana mati dalam konsep diatur secara khusus dan pidana seumur hidup diatur secara
terbatas dan masing-masing selalu diancam secara alternatif. Hal ini dapat dipahami, di
samping sebagai usaha mengkompromikan pendapat pro dan kontra, dalam
117 Ibid.
JURNAL ADVOKASI. NO. 1 VOL. 1 SEPTEMBER 2011 92
mempertahankan pidana mati dan pidana seumur hidup pembuat konsep juga berusaha
memasukan ide keseimbangan antara kebijakan normative dengan kebijakan nilai.
Namun demikian bila diperhatikan ketentuan pasal 64 dan pasal 65 konsep yang
mengatur tentang pidana penjara seumur hidup, belum nampak adanya kemungkinan bagi
terpidana seumur hidup untuk mendapat pelepasan bersyarat, setelah sisa pidana dirubah
dan ditetapkan menjadi 15 (lima belas) tahun.
Pasal 64 konsep, menentukan :
(1) Pidana penjara dijatuhkan untuk seumur hidup atau untuk waktu tertentu.
(2) Pidana penjara untuk waktu tertentu dijatuhkan paling lama 15 (lima belas) tahun
berturut-turut atau paling singkat 1 (satu) hari, kecuali ditentukan minimum kusus.
(3) Jika dapat dipilih antara pidana mati dan pidana seumur hidup atau jika ada pemberatan
pidana atas tindak pidana yang dijatuhi pidana penjara 15 (lima belas) tahun, maka
pidana penjara untuk waktu tertentu dapat dijatuhkan untuk waktu 20 (dua puluh) tahun
berturut-turut.
(4) Dalam hal bagaimanapun pidana penjara untuk waktu tertentu tidak boleh dijatuhkan
lebih dari 20 (Dua puluh) tahun.
Pasal 65 konsep, menentukan :
(1) Jika terpidana seumur hidup telah menjalani pidana paling kurang 10
(sepuluh) tahun pertama dengan berkelakuan baik, maka sisa pidana tersebut dapat
diubah menjadi pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun.
(2) Ketentuan mengenai tata cara pelaksanaan perubahan pidana sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1) diatur lebih lanjut dengan keputusan presiden.
Dari ketentuan tersebut jelas, walaupun sudah terdapat terobosan dengan adanya
usaha mengubah pidana penjara seumur hidup menjadi pidana paling lama 15 (lima belas)
tahun sesuai dengan ketentuan pasal 65 konsep ayat (1), tetapi tidak ada pengaturan dan/atau
dicantumkannya secara eksplisit, bahwa setelah terpidana seumur hidup mendapat
keringanan tersebut dapat dijamin haknya untuk mendapatkan pelepasan bersyarat,
sebagaimana halnya ketentuan yang terdapat dalam pasal 15 KUHP/WvS. Sedangkan
terhadap pidana mati, pembuat konsep nampak telah berusaha merumuskan ide
keseimbangan antara kebijakan normatif dengan kebijakan nilai dan mengakomodir
pendapat kelompok yang pro dan kontra dipertahankannya pidana mati, sebagaimana telah
di tentukan dalam pasal 80, pasal 81, pasal 82, pasal 83 konsep. Dalam pasal 82 konsep,
misalnya telah ditentukan : pelaksanaan pidana mati dapat ditunda dengan masa percobaan
selama 10 (sepuluh) tahun, jika terpenuhi persyaratan yang telah ditentukan (ayat 1). Jika
terpidana selama masa percobaan sebagai dimaksud dalam ayat (1) menunjukkan sikap dan
JURNAL ADVOKASI. NO. 1 VOL. 1 SEPTEMBER 2011 93
perbuatan yang terpuji, maka pidana mati dapat diubah menjadi pidana seumur hidup atau
pidana penjara paling lama 20 (dua puluh) tahun (ayat 2). Atau sebaliknya jika selama masa
percobaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) konsep ternyata tidak menunjukan sikap
dan perbuatan yang terpuji serta tidak ada harapan untuk diperbaiki, maka pidana mati dapat
dilaksanakan sesuai ketentuan (ayat (3).
Jadi dalam hal pidana mati, pembuat konsep terlihat dengan jelas telah menentukan
pidana mati bersyarat sebagai usaha menjembatani pandangan yang pro dan kontra tentang
perlu tidaknya pidana mati. Namun demikian bila dikaji lebih jauh, bahwa jika pidana mati
telah menjadi pidana seumur hidup, dan telah pula menunjukan sikap dan perbuatan yang
baik apakah tidak dapat sisa pidananya dirubah menjadi 15 (lima belas) tahun seperti halnya
pidana seumur hidup. Oleh karena dalam ketentuan pidana mati sebagaimana termaksud
hanya menyatakan; pidana mati dapat diubah menjadi pidana seumur hidup atau pidana
penjara paling lama 20 (dua puluh) tahun (Pasal 82 ayat (2), dan Pasal 83 konsep). Jika
tidak dimungkinkan maka kesimpulannya adalah sama yakni keringanan yang diperoleh
dengan menjalani sisa pidana selama 15 (lima belas) tahun untuk pidana seumur hidup dan
pidana seumur hidup atau paling lama 20 (dua puluh) tahun untuk pidana mati. Selanjutnya
jika ternyata keringanan yang diberikan terhadap pidana mati dimungkinkan
pelaksanaannya sama seperti pelaksanaan seumur hidup, maka akhirnya permasalahannya
adalah sama yaitu tidak adanya ketentuan secara ekplisit mengatur bagaimana setelah
terpidana mendapat keringanan dapat dijamin haknya untuk mendapatkan pelepasan
bersyarat.
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa ketentuan pidana mati dan pidana
seumur hidup dalam konsep meskipun ditentukan secara khusus dan sangat terbatas dan
selalu diancamkan secara alternatif, bila dikaitkan dengan pelaksanaan pidana penjara
dengan system pemasyarakatan, maka eksistensi pidana mati dan pidana seumur hidup
masih tetap mem perlihatkan disharmonisasi pelaksanaan pidana penjara dengan system
pemasyarakatan tersebut.
Penutup
Bertitik tolak dari uraian pembahasan tersebut di atas, akhirnya penulis
menyimpulkan bahwa, dipertahankannya pidana mati dan pidana seumur hidup oleh
perancang, dalam KUHP mendatang adalah suatu kompromi antara pendapat pro dan kontra
JURNAL ADVOKASI. NO. 1 VOL. 1 SEPTEMBER 2011 94
mengenai apakah pidana mati masih diperlukan dan pidana seumur hidup masih perlu
dipertahankan. Di samping itu adanya ide keseimbangan antara kebijakan normative dan
kebijakan nilai merupakan dasar bagi perancang konsep. Namun demikian, bila dikaitkan
dengan ide pemasyarakatan, pidana mati dan pidana seumur hidup nampak bertentangan,
karena tidak mungkin orang yang dipidana mati dan di pidana seumur hidup
dimasyarakatkan.
Konsep 1999/2000 nampak sudah cukup maju, namun karena masih
dipertahankannya pidana mati dan pidana seumur hidup, meskipun dengan berbagai
pertimbangan, bila dikaitkan dengan ide pemasyarakatan nampak masih terjadi kontradiktif.
Kecuali yuridis pidana tersebut dimungkinkan untuk dipergunakan, secara psikologis
terkesan belum adanya kesungguhan melakukan perubahan terhadap faham retributive. Oleh
karena itu sebaiknya istilah pidana seumur hidup dapat diganti dengan pidana selama-
lamanya 30 tahun, dan untuk pidana mati dapat diganti menjadi pidana selama-lamanya 50
tahun, dengan kemungkinan ada perubahan peringanan atau pemberatan selama proses
berjalan sesuai ketentuan yang berlaku. Dengan pertimbangan jangka waktu yang lama tentu
dapat menetralisir sifat berbahayanya (jahatnya) pelaku kejahatan. Di samping itu secara
simbolis tidak mengurangi efek yang ditimbulkan oleh pelaku dan masyarakat.
DAFTAR PUSTAKA
Arief Barda Nawawi, 1996, Kebijakan legislative Dalam Penanggulangan Kejahatan
dengan Pidana Penjara, Universitas Dipponegoro, Semarang.
Muljono Selamet, 1967, Perundang-undangan Majapahit, Bratara Djakarta, Jakarta.
Muladi dan Barda Nawawi Arief, 1984, Teori-teori dan Kebijakan Pidana, Alumni,
Bandung.
Packer Herbert L., 1968, The Limits of The Criminal Sanction, Stanford University.
Saleh Roeslan, 1978, Stelsel Pidana Indonesia, Jakarta Ghalia Indonesia.
Soedarto, 1981, Kapila Selekta Hukum Pidana, Alumni Bandung.
Soejono, 1996, Kejahatan dan Penegakan Hukum di Indonesia, Rineka Cipta.
JURNAL ADVOKASI. NO. 1 VOL. 1 SEPTEMBER 2011 95
PERAN PSIKOLOGI
DALAM INVESTIGASI KASUS TINDAK PIDANA
Oleh : I Made Suryawan, SH., MH
Abstract: Nowadays, the development of psychology is getting faster, which involves almost aspects of human life. Law and psychology are the same based on the material objects which handle the human problems. Especially the relation of psychology in investigating the criminal cases is considered to be studied in order to give some important and wide sights for those who are involved in the criminal law process. It is intended to prove the material truth due to the investigation process by police officers is an important phase, since the report of investigation is arranged at that time.
I.Pendahuluan.
Hubungan antara psikologi dan penegakan hukum telah berkembang dengan pesat
selama tiga puluh tahun terakhir. Seiring denngan makin kuatnya penegakan hukum, para
penegak hukum yang makin terdidik dengan baik dan tuntutan publik terhadap
akuntabilitas, peran dari psikologi bagi konsultan dalam penegakan hukum menjadi makin
meningkat. Keterlibatan psikologi dalam berbagai penegakan hukum dapat dilihat pada
upaya-upaya screening,teknik penanganan situasi krisis dan manajemen stres, maupun
dalam pemeriksaan di depan aparat penegak hukum terhadap yang terkait.
Sejumlah kalangan menilai bahwa kesan penegak hukum di mata masyarakat adalah
mereka yang otoriter, sinis, konservatif secara politik, orang yang secara sosial dan
psikologis tidak sensitif. Jadi penegak hukum adalah merupakan orang-orang yang dicurigai
masyarakat.
Ketika orang mendengar psikologi asosiasinya masih terbatas. Masih berkisar pada
tentang Intelegensi, meramal sifat orang, mengurusi orang gila dan memahaminya. Memang
orang luaran tidak salah menilainya, namun perkembangan psikologi akhir-akhir ini sangat
cepat, meliputi hampir semua aspek kehidupan yang melibatkan manusia. Tidak hanya
luasnya jangkauan yang bisa di garap psikologi, tetapi kajian terhadap berbagai aspek
kehidupan juga makin mendalam.
Di Indonesia, beberapa waktu yang lalu seorang mentri menyatakan pentingnya peran
serta psikologi dalam proses peradilan.
.
JURNAL ADVOKASI. NO. 1 VOL. 1 SEPTEMBER 2011 96
Hukum dan psikologi memang berbeda, kalau dilihat dari sudut perbedaannya, namun
adalah sama kalau dilihat dari kesamaannya, objek materinya keduanya adalah sama yaitu
sama-sama menangani masalah manusia.
Berdasarkan alasan tersebut diatas maka penulis mencoba untuk melihat dan mengkaji
hubungan psikologi dalam investasi kasus pidana dengan harapan dapat memberikan
gambaran yang lebih penting dan luas bagi orang-orang yang terlibat dalam proses pidana
agar benar-benar dapat terungkap kebenaran yang materiil.
II.Pentingnya Investigasi Dalam Perkara Pidana.
Moelijatno (1982) memberikan pengertian hukum pidana sebagai keseluruhan hukum
yang berlaku di suatu Negara, yang mengadakan dasar-dasar dan aturan-aturan untuk:
Menentukan perbuatan mana yang boleh dilakukan, yang dilarang, yang
disertai ancaman atau sanksi yang berupa pidana tertentu bagi barang siapa
yang melanggar larangan tersebut.
Menentukan kapan dan dalam hal apa kepada mereka yang telah melanggar
larangan itu dapat dikenakan atau dijatuhi pidana sebagaimana yang telah
diancamkan,
Menentukan dengan cara bagaimana pengenaan pidana itu dapat dilaksanakan
apabila ada orang yang disangka telah melanggar larangan itu.
Guna melaksanakan hukum pidana, diperlukan cara-cara yang harus ditempuh agar
ketertiban hukum dalam masyarakat dapat ditegakan. Cara-cara itu disebut sebagai hukum
acara pidana. Tujuan dari hukum acara pidana adalah mencari dan mendapatkan kebenaran
hukum material, yaitu suatu kebenaran yang selengkap-lengkapnya dari suatu perkara
pidana yang menerapkan ketentuan hukum acara pidana secara jujur dan tepat, dengan
tujuan untuk mencari siapakah pelaku yang dapat didakwakan melakukan suatu pelanggaran
hukum dan selanjutnya meminta pemeriksaan dan putusan dari pengadilan untuk
menentukan apakah terbukti suatu tindak pidana telah dilakukan dan orang yang didakwa itu
dapat dipersalahkan (Departemen Kehakiman R.I.1982).
Sesuai dengan Undang-undang Republik Indonesia no 8 tahun 1981, sistem peradilan
pidana di Indonesia terdiri dari komponen Kepolisian,Kejaksaan, Pengadilan Negeri dan
Lembaga Pemasyarakatan sebagai aparat penegak hukum. Investigasi dalam tulisan ini
dapat dilakukan baik oleh kepolisian, jaksa, maupun hakim. Namun proses penyidikan oleh
kepolisian merupakan fase yang penting, karena pada saat itulah Berita Acara Pemeriksaan
JURNAL ADVOKASI. NO. 1 VOL. 1 SEPTEMBER 2011 97
disusun. Penyidiklah yang pertama kali bertemu dengan tersangka, saksi, serta korban dan
menanyakan kejadian perkara yang mereka alami. Kesalahan dalam Investigasi akan
memberikan pengaruh dalam mencapai kebenaran dalam proses peradilan pidana pada tahap
selanjutnya di kejaksaan maupun pengadilan. Seringkali polisi dalam melakukan investigasi
menggunakan cara “kekerasan” (fisik maupun psikologis), hal ini justru akan merusak
ingatan saksi, korban maupun tersangka.
Investigasi proses perkara pidana dapat dilakukan pada tersangka, saksi dan korban
yang dilakukan oleh polisi, jaksa maupun hakim. Tulisan ini lebih menitikberatkan pada
saksi, walaupun tidak menutup kemungkinan dapat digunakan pada korban dan tersangka.
Proses peradilan pidana sangat menggantungkan pada hasil investigasi pada saksi, karena
baik polisis, jaksa dan hakim tidak melihat langsung kejadian perkara. Brigham dan
Wolfskeil (dalam Brigham.1991) meneliti bahwa hakim dan juri di Amerika menaruh
kepercayaan 90% terhadap pernyataan saksi, padahal banyak penelitian yang membuktikan
bahwa kesaksian yang diberikan saksi banyak yang bias (Saders & Warnick dikutip oleh
Sanders & Simmons,1983;Goodman,Hahn,Loftus, & Yarmey dikutip oleh
Fisher,dkk,1989). Penrod & Culter (dalam Costanzo, 2004) setiap tahun di Amerika terjadi
hampir 4500 kesalahan kesaksian. Bagaimanapun saksi adalah manusia biasa, maka banyak
hal mempengaruhi ketidaksesuaian antara kesaksian yang diberikan dengan fakta yang
sebenarnya. Ketidaksesuaian ini dapat bersumber pada (Ancok,1995) :
1. Keterbatasan kondisi saksi dalam mengolah, merekam, dan mengingat informasi
2. Bias yang terjadi dalam persepsi penyidik di dalam menilai kebenaran kesaksian
3. Cara penggalian kesaksian oleh penyidik.
III.Peran Psikologis Dalam Investigasi.
Dari paparan di atas, diketahui bahwa memori saksi merupakan sesuatu yang rentan.
Baik pada proses penyimpanan maupun pemunculan kembali banyak faktor yang
mempengaruhinya, sehingga sebenarnya menjadi sesuatu yang sulit untuk memperoleh
100% kebenaran kesaksian. Untuk mengurangi hal-hal yang berpengaruh terhadap
kerentanan memori saksi, diperlukan teknik agar memori saksi dapat dihadirkan secara
maksimal. Dua teknik Interview investigasi yang sering dibicarakan adalah (Kapardis, 1997;
Milne & Bull, 2000, Costanzo, 2004) :
JURNAL ADVOKASI. NO. 1 VOL. 1 SEPTEMBER 2011 98
1.Hipnosis
Hipnosis sebenarnya adalah sudah lama digunakan orang, namun karena banyak
terjadi kontroversial maka teknik ini jarang digunakan. Di Indonesia, tidak banyak
psikolog yang ahli dalam menggunakan teknik hipnosis. Mungkin karena pendekatan
Freud tidak terlalu berkembang di Psikologi Indonesia, walaupun sebenarnya di Jerman
pengikut-pengikut Freud cukup berkembang. Oleh karena itu jarang juga psikolog yang
menggunakan teknik ini.
Hipnosis dapat digunakan untuk meningkatkan ingatan saksi maupun korban. Teknik
hipnosis meminta saksi/korban untuk relaks, kemudian ia dalam focus state dan menjadi
sangat patuh terhadap intruksi orang yang menghipnosisnya. Intruksi yang diberikan
adalah meminta saksi/korban untuk kembali mengingat kejadian yang dialaminya. Ia
dibimbing untuk memperhatikan hal-hal detail seperti nomor plat mobil atau wajah dari
pelaku. Saksi biasanya akan mengingat informasi lebih banyak ketika ia dihipnotis
dibanding dalam kondisi tidak terhipnotis. Kondisi ini disebut sebagai hypnotis hypernesia
(suatu kondisi yang merupakan lawan dari amnesia) (Costanzo, 2004).
Hal buruknya dengan hipnosis, walaupun lebih banyak informasi yang muncul tapi
kadang informasi ini belum tentu informasi yang benar dan tepat. Kadang informasi yang
muncul dipengaruhi oleh imajinasi dan fantasi dari saksi. Beberapa penelitian
membuktikan bahwa teknik hipnotis tidak selalu menghasilkan informasi yang akurat
dalam kesaksian (Steblay & Bothwell dalam Costanzo, 2004). Repotnya, walau informasi
yang imajinatif tadi diperoleh melalui hipnotis, namun saksi sangat yakin bahwa hal itu
benar.
Teknik hipnotis ini walau tidak selalu digunakan pada tiap saksi, namun masih
digunakan ketika informasi tentang suatu kejadian tidak ada kemajuan yang berarti.
Seperti suatu kejadian di Choweilla, California (Costanzo, 2004) dimana terjadi
penyanderaan bus sekolah oleh sekelompok orang bertopeng, dan kemudian melepaskan
korban setelah mendapatkan uang. Saksi-saksi yang ada (supir bus dan 26 anak) tidak
memberikan informasi yang berati tentang kejadian sehingga tidak dapat dilacak pelaku
kejadian ini. Ketika dilakukan teknik hipnotis pada supir bis, ia dapat mengingat nomer
plat kendaraan pelaku. Dan ketika dilacak pihak kepolisian ternyata benar.
Saksi/korban yang sangat emosional (malu, marah) sering juga menghilangkan
memorinya, dan mengatakan ia lupa. Dengan teknik hipnotis, ia merasa bebas dan dapat
memunculkan ingatannya kembali (Kebbel & Wagstaff dalam Costanzo, 2004). Jadi
JURNAL ADVOKASI. NO. 1 VOL. 1 SEPTEMBER 2011 99
hipnotis oleh ahlinya kadang dapat dilakukan untuk menemukan informasi dalam memori
saksi yang tidak dapat ditemukan dengan teknik lain.
2. Wawancara Kognitif
Teknik ini diciptakan oleh Ron Fisher dan Edward Geiselman tahun 1992. Tujuannya
adalah untuk meningkatkan proses retrievel yang akan meningkatkan kuantitas dan kualitas
informasi dengan cara membuat saksi/korban merasa relaks, dan kooperatif (Costanzo,
2004; Milne & Bull, 2000). Teknik ini juga berusaha mengurangi efek sugesti yang terjadi
pada teknik hipnotis (Costanzo, 2004)
Fisher (dalam costanzo, 2004) dan Milne & Bull, 2000) menyatakan bahwa ada 5
tahap dalam wawancara kognitif. Tahap tersebut adalah :
Tahap I. adalah tahap menjalin rapport (pendekatan) terhadap saksi/korban agar ia tidak
cemas, merasa nyaman, membuat saksi/korban juga menjadi lebih konsentrasi. Pada
tahap awal ini, ia diminta bercerita tentang kejadian tanpa dipotong oleh pewawancara.
Tujuannya adalah tidak ada efek sugesti dari pewawancara.
Tahap II. event intervew similarity,adalah mengembalikan ingatan saksi pada kejadian
yang dialaminya. Ia diminta menutup mata dan membayangkan kejadian yang
dialaminya. Ia diminta untuk membayangkan apa yang dilihat, didengar, pikiran dan
perasaannya (yang relevan) pada saat itu.
Tahap III. melakukan probing ( penggalian informasi secara lebih detail) pada
gambaran dan hal-hal yang disampaikan oleh saksi. Tujuannya agar diperoleh
keyakinan atas hal-hal yang relevan terkait dengan peristiwa itu direcall (diceritakan
kembali) dengan urutan yang berbeda, pertama dari awal sampai akhir. Kemudian dari
akhir hingga awal.
Tahap IV. saksi diminta melihat peristiwa itu dari perspektif yang beda. Misal dari
perspektif pelaku atau perspektif korban. Hasil ini direkam dan dicek ulang lagi pada
saksi jika mungkin ada yang dirasa keliru atau tidak tepat.
Tahap V. Saksi diminta untuk mengingat kembali informasi baru lain yang mungkin
belum dimunculkan. Bisa distimulasi dengan pertanyaan detail tentang wajah, baju,
logat, mobil. Misal wajah pelaku mirip siapa jika menurutmu? Jawaban saksi mungkin
menyebut nama orang terkenal, misal saiful jamil atau Pong Harjatmo. Sebenarnya
bukan itu yang penting, namun saksi perlu ditanya lebih detail. Mengapa mirip Saiful
jamil? Apa ada ciri-ciri khusus? Apa ada kesan khusus yang kau tangkap? Dengan cara
JURNAL ADVOKASI. NO. 1 VOL. 1 SEPTEMBER 2011 100
ini saksi akan diminta mengingat kembali informasi lebih detail tentang pelaku yang
mungkin belum dilakukannya.
Secara keseluruhan teknik ini membutuhkan kondisi relaks saksi/korban, memberikan
berbagai kesempatan pada saksi untuk menceritakan kejadian dan tidak menggunakan
pertanyaan yang menuntun atau menekan ( Fisher dalam Costanzo, 2004). Biasanya Polisi
dilatih melakukan interograsi baik pada saksi/tersangka dengan cara wawancara kognitif.
Padahal banyak riset membuktikan bahwa teknik wawancara kognitif dapat meningkatkan
keakuratan kesaksian tanpa melakukan sugesti pada saksi (Costanzo, 2004). Geiselman
(dalam Fisher, Geiselman, Amador, 1989) menemukan bahwa teknik wawancara kognitif
menghasilkan 25-35 % lebih banyak dan akurat dibanding teknik wawancara standar
kepolisian. Mantwill, Kohnken & Ascermann (1995) menemukan wawancara kognitif lebih
menghasilkan banyak informasi dibanding wawancara terstruktur.
Pada saat ini kepolisian di Inggris secara ritun mendapatkan pelatihan teknik intervew
kognitif, sementara kepolisian di Amerika walau tidak rutin namun juga menggunakan
teknik ini (Costanzo, 2004).
IV Penutup
Proses peradilan pidana membutuhkan informasi dari saksi, korban dan tersangka,
karena baik polisi, jaksa maupun hakim tidak melihat sendiri kejadian perkara. Tetapi polisi,
jaksa dan hakim harus membuat keputusan berdasarkan informasi yang ada. Oleh karena itu
peran saksi menjadi penting. Dalam konsep psikologi, memori saksi sangat rentan, karena
banyak faktor yang menyebabkan informasi menjadi kurang akurat. Dibutuhkan teknik
psikologi untuk mengurangi bias informasi yang terjadi. Dua teknik yang biasa digunakan
adalah hipnosis dan wawancara kognitif. Untuk dapat melakukan kedua teknik ini
dibutuhkan ketrampilan, disinilah psikologi forensic diperlukan untuk memberikan
pelatihan ketrampilan tersebut. Teknik ini terutama diperlukan saat penggalian kesaksian
awal (di kepolisian), karena pada saat itulah Berita Acara Pemeriksaan disusun. Hal yang
membuat sulit adalah polisi selama ini sudah terbiasa melakukan interograsi dengan
pertanyaan-pertanyaan yang menuntun dan menekan.
JURNAL ADVOKASI. NO. 1 VOL. 1 SEPTEMBER 2011 101
DAFTAR PUSTAKA
Ancok, D. 1995. Nuansa Psikologi Pembangunan. Yogyakarta : Pustaka Pelajar Offset.
Brigham, J.C.1991. Social Psychology.New York : Harper & Collins.
Costanzo, M. 2004. Psychology Applied to law. Singapore : Thomson Wadsworth.
Departemen Kehakiman Republik Indonesia.1982. Pedoman Pelaksanaan Kitab Undang-
undang Hukum Acara Pidana. Jakarta: Yayasan Pengayoman.
Fisher, R.P., Amador, M., & Geiselman, R.E. 1989. Field Test of The Cognitive Intervew :
Enhancing the Recollection Of Actual Victims & Witnesses of Crime. Journal of
Applied Psychology,74 (5), 722-727.
Kapardis, A. 1997. Psychogology and Law. Cambridge : Cambridge University Press.
Mantwill, M., Kohnken, G., Aschermann, E. 1995. Effect Of CognitiveIntervew on The
Recall of Familiar and Unfamiliar Events, Journal of Applied Psychology, Vol. 80
(1), 68-78.
Probowati, Y. 2005. Dibalik Putusan Hakim. Kajian Psikologis Hukum dalam Perkara
Pidana. Surabaya : Srikandi
Sanders, G.S., & Simmons, W.L. 1983. Use of Hypnosis to Enhance Eyewitness Testimony :
Does it Work ? Journal of Applied Psychology, vol. 68 (1), 70-77.
JURNAL ADVOKASI. NO. 1 VOL. 1 SEPTEMBER 2011 102
KRIMINALISASI SANTET DALAM RANCANGAN KUHP
I Gusti Agung Ketut Kartika Jaya Seputra
Badan Kepegawaian Daerah Provinsi Bali
Abstract:
Witchcraft is a crime that exists in society due to inflict suffering or death to the victim. This magical act occurred in several countries with different terms.The formulation of the offense of witchcraft had several times entered in the draft Criminal Code and discussed in various national seminars. The criminalization of witchcraft is formulated in the draft Penal Code Article 255. On one side of the criminalization of witchcraft is done because this act has caused a real loss but on the other side's refusal to declare witchcraft as a crime due to the difficulty of proof of this deed. Key words: Witchcraft, criminalization and draft Penal Code.
Pendahuluan
Kejahatan merupakan sebagian dari masalah manusia dalam kehidupan sehari-hari,
oleh karena itu harus juga diberikan batasan-batasan tentang apa yang dimaksud dengan
kejahatan itu sendiri baru kemudian dapat dibicarakan unsur-unsur lain yang berhubungan
dengan kejahatan tersebut, misalnya siapa yang berbuat, sebab-sebabnya dan sebagainya.118
Kejahatan adalah suatu perbuatan anti sosial yang merugikan, tidak pantas, tidak dapat
dibiarkan, yang dapat menimbulkan kegoncangan dalam masyarakat.119
Secara empiris menurut B. Simandjuntak, definisi kejahatan dilihat dari dua
perspektif, pertama adalah kejahatan dalam perspektif yuridis, kejahatan dirumuskan
sebagai perbuatan yang oleh negara diberi pidana. Pemberian pidana dimaksudkan untuk
mengembalikan keseimbangan yang terganggu akibat perbuatan itu. Kedua, kejahatan
dalam artis (perspektif) sosiologis (kriminologis) merupakan suatu perbuatan yang dari sisi
sosiologis merupakan kejahatan sedangkan dari segi yuridis (hukum positif) bukan
merupakan suatu kejahatan.120
Kejahatan dalam arti yuridis yang dilakukan oleh masyarakat berakibat hukum
terhadap pelakunya berupa penjatuhan sanksi pidana, namun kejahatan dalam arti sosiologis
(kriminologis) tidak dapat dikenakan sanksi pidana. Padahal kejahatan dalam arti sosiologis
(kriminologis) ini juga menimbulkan korban, salah satunya adalah santet.
118 Noach, Simanjuntak.B., dan Pasaribu I.L, 1984, Kriminologi, Tarsito, Bandung, hal. 45. 119 B. Simandjuntak, 1981, Pengantar Kriminologi dan Patologi Sosial, Tarsito, Bandung, hal. 70.
120 Ibid.
JURNAL ADVOKASI. NO. 1 VOL. 1 SEPTEMBER 2011 103
Santet adalah “ilmu hitam” yang sangat merugikan dan membahayakan orang lain
yang dapat dilakukan dari jarak jauh maupun jarak dekat yang biasanya sangat berakibat
fatal terhadap si korban, yaitu terjangkitnya penyakit aneh secara mendadak, kegelisahan
tidak menentu karena ditutup mata batinnya, bahkan hingga menyebabkan kematian pada
korban.
Perbuatan magis seperti santet, teluh, sihir, dan guna-guna adalah realitas sosial secara
empiris yang keberadaannya diakui oleh masyarakat. Bahkan, di banyak negara seperti di
Benua Afrika dikenal dengan "The Spirit of African". Di Haiti dikenal dengan Voodoo. Ada
pandangan perbuatan seperti itu merupakan perbuatan yang menakutkan dan jahat. Oleh
karena itu, sekaligus dapat digunakan untuk mencari keuntungan oleh anggota masyarakat
untuk menangkal perbuatan magis itu dan atau untuk melakukan perbuatan magis tersebut
terhadap masyarakat yang percaya terhadap adanya kekuatan magis.
Rumusan mengenai delik santet sudah beberapa kali dimasukkan dalam rancangan
KUHP dan dibahas dalam berbagai seminar nasional. Namun untuk
mengkriminalisasikannya memang agak sulit mengingat sulitnya pembuktian terhadap
perbuatan ini.
Santet Dalam Fenomena Sosial
Sejak masa lampau kemampuan paranormal dan penyembuh alternatif telah dimiliki
oleh nenek moyang tidaklah dapat dipungkiri lagi. Prabujayabaya, Rangga Warsita, dan juga
para wali-wali antara lain Sunan Bonang, Sunan Kalijaga dan Parawali lainnya merupakan
tokoh-tokoh paranormal dan penyembuh alternatif Indonesia yang ternama di samping
tokoh-tokoh lainnya yang tidak dapat ditemukan satu persatu. Kemampuan-kemampuan
paranormal dan penyembuh alternatif tersebut telah diwariskan oleh nenek moyang kepada
anak cucunya hingga saat ini. Pada saat ini budaya berkonsultasi dengan paranormal
merupakan budaya warisan nenek moyang yang masih berlaku hingga saat ini.
Fenomena ini masih diyakini oleh masyarakat, terbukti beberapa media massa yang
jelas dan terang-terangan memuat iklan dengan bahasa yang lebih normatif dengan sebutan
"orang pintar" padahal pada hakekatnya adalah "dukun". Banyak jenis konsultasi
paranormal dan penyembuh alternatif antara lain konsultasi masalah pribadi, meramal nasib,
pengisian azimat untuk kekebalan atau agar berkharisma, penglaris, penyembuhan penyakit,
mencari orang atau barang yang hilang, mencari sumber air atau bahan mineral dan lain-
JURNAL ADVOKASI. NO. 1 VOL. 1 SEPTEMBER 2011 104
lain. Bahkan yang sangat ditakutkan sang paranormal melakukan penyimpangan dengan
tenaga supranatural yang dimilikinya melalui praktek santet.
Keberadaan santet sudah ada sejak ribuan tahun lalu, yang selalu sejalan dengan
peradaban umat manusia. Adapun nama lain dari santet di berbagai daerah seperti Jawa
Barat dan Banten = teluh, ganggoang, sogna, Bali = desti, teluh, tenang jana, Sumatera
Barat = biring, tinggam, Irian Jaya (Papua) = suangi, Sumatera Utara = begu, ganjang,
Minahasa = pandot dan masih banyak istilah-istilah lainnya.
Santet merupakan ancaman yang berat dan menimbulkan besarnya kerugian. Tidak
jarang orang yang diberitakan sakit atau bahkan meninggal dunia karena santet. Masyarakat
tentunya yang sangat mengharapkan rasa aman dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Hal ini sejalan dengan pemikiran Romli Atmasasmita yang menyatakan:
Khusunya bagi pihak korban, teluh merupakan suatu malapetaka yang dapat terjadi
setiap saat dan tidak di duga sebelumnya. Bahkan, bagi pihak aparat penegak
hukum, teluh merupakan suatu misteri, karena tidak tampak, tidak terbukti, dan
tidak dapat terdeteksi baik sebelum, pada saat dan sesudah perbuatan teluh itu
dilakukan. Khususnya bagi aparat hukum, teluh merupakan suatu tantangan
sekaligus penghinaan di muka umum terhadap aparat kepolisian karena ia
merajalela tanpa seorang petugas pun dapat menangkap dan mengajukannya ke
muka sidang pengadilan (sekalipun petugas dimaksud sudah mempunyai dugaan
kuat tentang pelakunya). 121
Hukum nasional yang ada saat ini memang tidak cukup untuk menjangkau kejahatan
ini (kejahatan dalam arti sosiologis). Akibatnya pelaku dapat leluasa menggunakan santet
untuk menyerang orang lain.
Tinjauan Psikologi Hukum Terhadap Upaya Kriminalisasi Santet
Hukum pidana Indonesia menganut asas legalitas sebagaimana tercantunm dalam
pasal 1 KUHP. Hal ini dirumuskan di dalam pasal 1 ayat (1) KUHP yang berbunyi “Tiada
suatu perbuatan boleh dihukum, melainkan atas kekuatan ketentuan pidana dalam undang-
undang, yang ada terdahulu dari pada perbuatan itu”. Tindak Pidana santet adalah suatu
tindakan yang dipandang masyarakat sebagai tindakan yang dapat menimbulkan kerugian
dankeresahan yang berkembang di masyarakat luas, karena tindakan santet itu sendiri dapat
menimbukan akibat yang jelas, yang mana akibat yang ditimbukan dapat dengan konkrit
dan jelas dilihat pada korbannya, yaitu yang dapat berupa timbulnya luka pada korban santet
ataupun hinggga sampai meninggalnya korban tersebut akibat tindak pidana santet tersebut.
121 Romli Atmasasmita, 2007, Teori dan Kapita Selekta Kriminologi, Refika Aditama, Bandung, hal.
89.
JURNAL ADVOKASI. NO. 1 VOL. 1 SEPTEMBER 2011 105
Tetapi para pelaku kejahatan yang melakukan santet tidak dapat dijatuhi hukuman atas
dasar pasal 1 ayat (1) KUHP tersebut. Dan juga tindak pidana santet menemui permasalahan
dalam masalah pembuktian apabila sampai persidangan, dimana santet itu hanya dapat
dibuktikan secara abstrak sedangkan dalam ilmu hukum pembuktiannya harus bersifat
kongkrit atau nyata. Dan juga alat-alat bukti di dalam KUHAP tidak dapat menampung
bukti-bukti dari tindak pidana santet itu sendiri. Sehingga para pelaku tindak pidana santet
dapat berkeliaran bebas.
Kebijakan politik hukum pidana yang masih berlaku sampai dengan saat ini
berhubungan dengan masalah magis itu dapat kita lihat pada Pasal 545 - 547 KUHP. Pasal-
pasal itu selengkapnya berbunyi, Pasal 545 KUHP: "Barangsiapa menjadikan pencariannya
untuk menyatakan peruntungan seseorang, untuk mengadakan peramalan atau penafsiran
mimpi…" Pasal 546 KUHP: "Barangsiapa menjual, menawarkan, menyerahkan,
membagikan atau mempunyai persediaan untuk dijual atau dibagikan jimat-jimat atau
benda-benda yang dikatakan olehnya mempunyai kekuatan gaib." Pasal 547 KUHP:
"Seorang saksi ketika diminta untuk diberikan keterangan di bawah sumpah menurut
undang-undang dalam sidang pengadilan memakai jimat atau benda sakti…".
Dalam Pasal 545 melarang penjualan benda-benda gaib nyatanya sejak lama benda-
benda gaib tertentu mulai dari keris, batu mirah delima, batu anti tembak, Keong buntet,
rotan nunggal, wesi kuning ramai dicari dan diperjualbelikan dengan harga yang tinggi.
Sedangkan Pasal 547 melarang seseorang untuk mempengaruhi jalannya sidang pengadilan
dengan menggunakan jimat dan mantra.
Pasal-pasal tersebut merupakan delik formil. Tidak diperlukan adanya akibat yang
timbul dari perbuatan magis dan tidak pula diperlukan apakah orang percaya atau tidak
terhadap ada tidaknya kekuatan magis yang ditawarkan. Penekanan pasal tersebut
menyangkut larangan atas profesi atau pekerjaan dari orang yang menyatakan dirinya
mempunyai kekuatan gaib yang bisa memberikan bantuan jasa untuk menimbulkan
kesaktian yang mungkin untuk melakukan perbuatan pidana tanpa bahaya bagi dirinya
sendiri yang tentunya dapat diartikan bahaya bagi orang lain juga mengadakan peramalan
dan peruntungan seseorang.
Memperhatikan pasal-pasal tersebut dan realitas keberadaannya secara empiris, di
mana pada kenyataannya praktik menjual jasa klenik dan peramal bebas berprofesi secara
terang-terangan, bahkan dilakukannya penawaran melalui iklan-iklan di pelbagai surat kabar
dapat diartikan bahwa tujuan politik hukum dari pasal-pasal itu tidak efektif.
JURNAL ADVOKASI. NO. 1 VOL. 1 SEPTEMBER 2011 106
Menurut Ronny Nitibaskara dalam bukunya “Teori, Konsep dan Kasus Sihir Tenung
di Indonesia”, Pasal 545 - 547 KUHP tidak mengatur perilaku santet, harus ada
dekriminalisasi atau penghapusan pasal ilmu gaib. Biarlah orang menjual belikan benda
gaib dan sebagainya. Sebab secara kriminologis tidak meresahkan masyarakat. Sebaliknya
harus tetap ada kriminalisasi santet dalam arti melahirkan delik baru karena dampak sosial
yang ditimbulkan merupakan faktor potensial kriminogen yang cukup besar, serta keresahan
masyarakat, main hakim sendiri, pelecehan agama merupakan produk sampingan yang
ditimbulkannya.122
Penyusunan delik santet yang mengacu kepada perumusan yang bersifat materiil sulit
untuk dilakukan karena adanya kendala pembuktian, yang dipidana bukanlah hakekat
penganiayaan atau pembunuhan terselubung dan berencana yang dilakukan oleh tukang
santet melainkan perbuatan-perbuatan mereka yang mengganggu ketertiban umum, karena
perumusan KUHP yang tidak difokuskan kepada perbuatan santetnya tetapi lebih pada
perumusan deliknya.123
Pemerintah telah mencoba untuk melakukan kriminalisasi yang ruang lingkupnya
mengatur mengenai santet dalam pasal 255 Rancangan KUHP. Sehingga dimaksudkan
dapat meminimalis tindakan santet tersebut. Pasal 255 Ayat (1) menyebutkan: "Setiap orang
yang menyatakan dirinya mempunyai kekuatan magis, memberitahukan, menimbulkan
harapan, menawarkan atau memberikan bantuan jasa kepada orang lain bahwa karena
perbuatannya dapat menimbulkan kematian, penderitaan mental atau fisik seseorang…".
Memperhatikan Pasal 225 Rancangan KUHP tersebut dapat dikatakan bahwa Pasal
225 Rancangan KUHP hanyalah meneruskan kebijakan politik hukum Pasal 545-547 KUHP
yang lama dengan bahasa yang lebih tegas dan membatasi substansi magis hanya terhadap
perbuatan menawar-nawarkan kemampuan dirinya mempunyai kekuatan magis sebagai
delik formil tanpa mempermasalahkan substansi dengan mengidentifikasi perbuatan dan
akibat dari perbuatan magis sebagai delik materiil.
Bila santet dikriminalisasikan yang akan terjadi adalah tata cara pembuktian dalam
membuktikan bahwa tindakan tersebut benar dilakukan dengan cara melakukan santet.
Antara santet dengan ilmu hukum mempuyai dimensi yang berbeda antara satu dengan yang
lain. Dimana santet merupakan suatu ilmu yang membutuhkan suatu kepastian materiil,
122 Ronny Nitibaskara, 1997, Teori, Konsep dan Kasus Sihir Tenung di Indonesia, Sinar Grafika,
Jakarta, hal. 34 123 Imam Bukhor,---- “Fenomena Hukum Santet dan "Mandulnya" Pasal 545 KUHP Tentang Tukang
Ramal”,:, http://warteg.or.id/v4/cetak.php?id=373 , diakses pada 15 Mei 2011.
JURNAL ADVOKASI. NO. 1 VOL. 1 SEPTEMBER 2011 107
sedangkan santet merupakan suatu dimensi yang berada didalam ruang lingkup mistis atau
spiritual yang mana tidak bisa atau sulit didpatkan suatu kebenaran materiil dari tindakan
santet itu sendiri. Karena ilmu hukum yang sifatnya mencari kebenaran materiil tersebut
bisa menjadi celah bagi pihak-pihak tertentu terhadap kriminalisasi tindak pidana santet
yang sifatnya abstrak dan dugaan-dugaan saja.124
Menjadi pertanyaan menarik, perlukah kriminalisasi perbuatan magis tersebut diatur
dalam Rancangan KUHP yang baru. Untuk mendapatkan pertimbangan perlu tidaknya
perbuatan magis dikelompokkan sebagai delik yang merupakan perbuatan kejahatan
berdasarkan tujuan pencegahan terhadap praktik main hakim sendiri oleh anggota
masyarakat terhadap orang yang dituduh sebagai dukun santet dan praktik penipuan dengan
mengaku sebagai orang yang bisa memberi jasa kepada orang lain dengan menimbulkan
kematian karena mempunyai kekuatan magis, dapat dikemukakan beberapa hal yaitu:
a. Perbuatan magis yang dapat disebut sebagai santet, teluh, sihir dan guna-guna adalah
realitas sosial secara empiris sebagai kepercayaan sebagian masyarakat yang tidak dapat
disangkal keberadaannya, namun secara akademis berdasarkan ratio principle masih
dipertanyakan kebenaran keberadaannya untuk dapat dimasukkan ke dalam
undangundang yang akan berlaku sebagai hukum positif.
b. Main hakim sendiri yang dilakukan oleh sekelompok orang terhadap pelaku yang
dianggap sebagai dukun santet yang telah menimbulkan sejumlah besar korban
sesungguhnya merupakan perbuatan melawan hukum dengan kekerasan yang dilakukan
bersama-sama di muka umum yang telah diatur dalam Pasal 170 KUHP yang sekarang
berlaku.
c. Pasal 225 Rancangan KUHP lebih merupakan larangan terhadap menawar-nawarkan
jasa praktik magis seperti yang ada dalam "Kode Etik Komunitas Paranormal" yang
diberlakukan untuk mencegah adanya usaha penipuan terhadap masyarakat dengan cara
memberikan harapan melalui kekuatan magis untuk menimbulkan kematian,
penderitaan mental atau fisik seseorang, sementara tujuan kriminalisasi terhadap
perbuatan menawar-nawarkan jasa praktik magis yang tidak dilengkapi dengan perlu
adanya akibat magis yang timbul karena sulitnya membuktikan perbuatan magis
sebagai suatu kejahatan sebagaimana disyaratkan Pasal 183 KUHAP, yaitu harus
adanya alat bukti yang sah, seperti Keterangan Ahli, Keterangan Saksi atau Korban dan
Keterangan Terdakwa akan lebih tepat apabila ketentuan untuk tujuan kriminalisasi
tersebut dihubungkan dengan Pasal 378 KUHP yang telah merumuskan tentang tindak
pidana penipuan dengan tipu muslihat.
Tujuan Pasal 225 Rancangan KUHP dengan menggunakan bahasa yang lebih baru
dan tegas dapat melengkapi Pasal yang ada dalam KUHP sekarang. Jika mencermati dengan
teliti perbuatan magis berupa santet, sihir, teluh dan guna-guna yang masuk dalam
kelompok ilmu hitam atau black magic kalaupun secara empiris diakui sebagai ada, hal itu
124 Priyonugroho, Raden Vidi Y, Nugroho, F. Hartadi Edy, 2008, Tinjauan Yuridis Tindak Pidana
Santet, Fakultas Hukum Unika Atma Jaya, Jakarta.
JURNAL ADVOKASI. NO. 1 VOL. 1 SEPTEMBER 2011 108
adalah sarana dalam melakukan kejahatan tidak berbeda dengan sarana lain seperti misalnya
menggunakan pisau/golok atau benda-benda lain sebagai peralatan kerja yang juga bisa
dipakai sebagai sarana kejahatan. Dengan demikian seyogianya yang menjadi kriminalisasi
adalah perbuatan yang merupakan kejahatan, bukan permasalahan sarana yang digunakan
dalam melakukan perbuatan kejahatan itu sebagaimana yang telah diatur secara jelas dalam
Bab III dan IV KUHP tentang Tindak Pidana Terhadap Nyawa dan Tubuh.125
Dari sudut kriminologi, santet dapat dikonstantir sebagai perilaku menyimpang, sebab
kniminologi tidak saja mempunyai sasaran penelitian hal-hal yang oleh negara atau hukum
dinyatakan terlarang, tetapi juga tingkah laku yang oleh masyarakat dianggap tidak disukai,
sekalipun tidak diatur oleh hukum pidana. Kenyataan menunjukkan bahwa masyanakat
memang tidak menyukai kehadiran santet. Terbukti dengan adanya reaksi sosial yang keras.
Kriminalisasi atas norma hukum yang muncul di masyarakat harus dilakukan secara hati-
hati sebelum diadopsi dalam hukum positif di Indonesia.
Jimly Asshiddiqie menanggapi proses penyusunan Kitab Undang-Undang Hukum
Pidana (KUHP) baru pengganti KUHP warisan penjajah Belanda yang menyerap norma-
norma hukum yang berkembang di masyarakat, termasuk pengaturan mengenai santet,
kumpul kebo, dan pencabulan. Soal kriminalisasi ini biasanya mana yang menyimpang atau
tidak dasar-dasarnya sudah lengkap dalam sistem hukum kita. Jadi, sebenarnya tidak perlu
ada kriminalisasi baru itu. Kalaupun ada hal-hal baru yang akan dikategorikan sebagai
tindakan kriminal, seperti usulan memasukkan santet sebagai tindakan kriminal, maka hal
itu harus dilakukan secara hati-hati. Karena, tindakan-tindakan semacam santet itu telah
menyangkut hal-hal yang dikhawatirkan atau menimbulkan ketakutan seseorang. Selama ini
santet tidak dikategorikan sebagai tindak kriminal sehingga tidak diatur dalam KUHP atau
hukum positif lainnya. Dengan diadopsi dalam KUHP baru, nantinya santet termasuk tindak
kejahatan. 126
Norma-norma hukum yang muncul di masyarakat sangat baik untuk dipertimbangkan
atau diadopsi dalam hukum posistif di Indonesia agar hukum positif punya basis sosial yang
kuat. Sebab, salah satu syarat hukum yang baik adalah selain punya landasan filosofi yang
benar, sesuai cita-cita kolektif suatu masyarakat, hukum juga harus punya landasan yuridis
125 Gayus Lumbuun,---- “Catatan untuk Tb Ronny Nitibaskara Kriminalisasi Perbuatan Magis dalam
KUHP?”, http://www.unisosdem.org/article_detail.php?aid=3153&coid=3&caid=21&gid=1, diakses pada 17
Juni 2011. 126 Media Indonesia, Jumat 3 Oktober 2003, “Pemasukan Santet di KUHP Harus Cermat”,
JURNAL ADVOKASI. NO. 1 VOL. 1 SEPTEMBER 2011 109
yang kukuh. Norma hukum yang baik harus punya landasan sosiologis yang kuat, dan
karena itu norma hukum yang baik di masyarakat sebaiknya diadopsi dalam produk hukum
nasional agar hukum nasional bisa berfungsi sebagai norma yang bisa dijadikan pegangan
dalam kehidupan bersama.
Norma hukum yang hidup itu tentunya hasil dari satu proses kajian dan penelitian
mendalam dari masyarakat itu sendiri. Masuknya pasal tentang santet dalam KUHP baru
merupakan hal yang baik. Ketentuan tersebut dapat mencegah masyarakat mempercayai
santet dan mencegah reaksi main hakim sendiri oleh warga terhadap orang yang diduga
dukun santet. 'Dari dulu selalu diributkan, apakah paku, potongan kawat, dan besi yang
ditemukan di tubuh korban santet bisa menjadi bukti, dan bagaimana mencari pelakunya,
akhirnya hanya menjadi fitnah belaka.
Rudy Satriyo pakar hukum pidana dari UI sangat setuju jika pasal tentang santet yang
berbunyi, Barangsiapa yang mengakui mempunyai kemampuan santet, maka akan dipidana,
dimasukkan dalam draf KUHP baru, karena ketentuan itu tidak masuk ke wilayah bukti
materil. Dengan demikian, yang menjadi subjek hukum lebih jelas, yakni orang yang
mempunyai kemampuan atau berprofesi sebagai dukun santet. 'Misalnya ada orang
menyatakan bisa menyantet, maka akan dipidana127
Secara psikologi, kejahatan santet ini meresahkan masyarakat. Hal ini disebabkan
karena pertanggungjawaban pelaku tidak dapat dimintakan. akibatnya masyarakat seringkali
melakukan tindakan main hakim sendiri. Kriminalisasi terhadap santet juga memberikan
perlindungan hukum terhadap orang yang berprofesi sebagai dukun, sebagai mereka
seringkali mendapat fitnah dan penghakiman massa yang tidak manusiawi.
Penutup
Santet merupakan kejahatan dalam arti sosiologi (kriminologi) yang tidak dapat
dipidana menurut hukum positif. Fenomena sosial ini di satu sisi diterima oleh masyarakat
bahkan profesi dukun dikatakan sebagai profesi penjual jasa yang semakin mudah ditemui.
Namun di sisi lain, keberadaan mereka ditolak oleh masyarakat. Hal ini disebabkan karena
dukun tersebut disinyalir sebagai penyebar santet. Kejahatan ini menimbulkan kerugian bagi
korban bahkan menyebabkan kematian namun tidak dapat dipidana.
Kebijakan politik hukum pidana yang masih berlaku sampai dengan saat ini
berhubungan dengan masalah magis itu dapat dilihat pada Pasal 545 - 547 KUHP. Namun
127 Ibid.
JURNAL ADVOKASI. NO. 1 VOL. 1 SEPTEMBER 2011 110
pasal tersebut tidak mengatur perilaku santet. Perbuatan santet ini dirasakan sangat
merugikan masyarakat dan bertendensi pada tindakan main hakim sendiri terhadap orang
yang dituduh melakukan santet. Oleh sebab itu kriminalisasi santet dirumuskan dalam Pasal
255 rancangan KUHP.
Santet merupakan fenomena sosial yang bersifat destruktif terhadap keseimbangan,
ketertiban dan keamanan masyarakat. Oleh sebab itu diperlukan kriminalisasi terhadap
santet. Kriminalisasi terhadap santet memerlukan peranan psikologi hukum dalam
merumuskan delik sebagai suatu rumusan Pasal yang dapat menjaring pelaku. Oleh sebab
itu penyusun KUHP memerlukan pendidikan psikologi hukum.
DAFTAR PUSTAKA
BUKU
B. Simandjuntak, 1981, Pengantar Kriminologi dan Patologi Sosial, Tarsito, Bandung.
Noach, Simanjuntak.B., dan Pasaribu I.L, 1984, Kriminologi, Tarsito, Bandung.
Priyonugroho, Raden Vidi Y, Nugroho, F. Hartadi Edy, 2008, Tinjauan Yuridis Tindak
Pidana Santet, Fakultas Hukum Unika Atma Jaya, Jakarta.
Program Studi Magisrer Ilmu Hukum Program Pascasarjana Universitas Udayana, 2008,
Pedoman Penulisan Usulan Penelitian dan Tesis Program Studi Magister Ilmu
Hukum, Universitas Udayana, Denpasar.
Romli Atmasasmita, 2007, Teori dan Kapita Selekta Kriminologi, Refika Aditama,
Bandung.
Ronny Nitibaskara, 1997, Teori, Konsep dan Kasus Sihir Tenung di Indonesia, Sinar
Grafika, Jakarta.
INTERNET
Gayus Lumbuun,----“Catatan untuk Tb Ronny Nitibaskara Kriminalisasi Perbuatan Magis
dalam KUHP?”,
http://www.unisosdem.org/article_detail.php?aid=3153&coid=3&caid=21&gid=1,
diakses pada 17 Juni 2011.
Imam Bukhor, ----“Fenomena Hukum Santet dan "Mandulnya" Pasal 545 KUHP Tentang
Tukang Ramal”, http://warteg.or.id/v4/cetak.php?id=373 , diakses pada 17 Juni 2011.
KORAN
Media Indonesia, Jumat 3 Oktober 2003, “Pemasukan Santet di KUHP Harus Cermat”
JURNAL ADVOKASI. NO. 1 VOL. 1 SEPTEMBER 2011 111
DAFTAR RIWAYAT HIDUP
I Nyoman Ngurah Suwarnatha, S.H., LL.M.
Lahir di Denpasar, 17 Maret 1980. Meraih gelar Sarjana Hukum di Fakultas Hukum
Universitas Atma Jaya Yogyakarta pada Tahun 2002. Meraih gelar Master of Law’s di
Magister Ilmu Hukum Universitas Gadjah Mada Yogyakarta pada Tahun 2009. Dosen
Kopertis Wilayah VIII dpk pada Sekolah Tinggi Ilmu Hukum Muhammadiyah Bima dari
Tahun 2005 sampai dengan Tahun 2010. Dosen Kopertis Wilayah VIII dpk pada
Universitas Pendidikan Nasional Denpasar dari Tahun 2010 sampai dengan sekarang. Saat
ini menjabat sebagai Kepala Sekretariat Fakultas Hukum Universitas Pendidikan Nasional
(UNDIKNAS) Denpasar dan Kepala Pusat Kajian Konstitusi UNDIKNAS Denpasar. Selain
itu juga aktif sebagai narasumber, peneliti dan penulis di berbagai jurnal ilmiah dan media
cetak. Penulis dapat dihubungi melalui e-mail: [email protected] atau di
blog “hukum” melalui http://ngurahsuwarnatha.blogspot.com, No HP: 082 146 172 000
I Made Dedy Priyanto, S.H., M.Kn.
Penulis dilahirkan di Padang Sambian, Denpasar pada 11 April 1984. Menyelesaikan
pendidikan S1 di Fakultas Hukum Universitas Udayana dan meraih gelar Magister
Kenotariatan di Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. Sehari-hari penulis mengabdikan
dirinya sebagai dosen Fakultas Hukum Universitas Udayana. Selain itu juga aktif dalam
penelitian, penulisan ilmiah dan berbagai kegiatan sosial kemasyarakatan. Beberapa
tulisannya pernah dimuat dalam jurnal ilmiah.
Emmy Febriani Thalib, SH
Dilahirkan di Denpasar 24 Februari 1987. Menyelesaikan pendidikan S1 di Fakultas Hukum
Universitas Udayana pada tahun 2009. Saat ini tengah menyelesaikan pendidikan S2 di
Program Magister Hukum Universitas Udayana. Pernah bekerja sebagai legal staf di
perusahaan Landscaping dan Grapari Telkomsel. Dapat dihubungi melalui
[email protected] dan 0899 316 9989.
I Wayan Suardana, S.H.
Dilahirkan di Bangli pada 22 Oktober 1973. Meraih gelar Sarjana Hukum di Universitas
Warmadewa pada tahun 1996 dan saat ini sedang menyelesaikan pendidikan Pascasarjana
(S2) konsentrasi Hukum dan Masyarakat di Program Magister Ilmu Hukum Universitas
Udayana, Bali. Pengalaman kerja sebagai Polisi Hutan pada Dinas Kehutanan Provinsi Bali
dimulai pada tahun 1998 yakni sebagai anggota Polisi Hutan pada Satuan Wilayah Bali
Selatan di Prapat Benoa. Pada tahun 2000 menjadi anggota Polisi Hutan Teritorial Resort
Polisi Hutan Penelokan. Empat tahun berikutnya menjabat sebagai Kepala Resort Polisi
Hutan Penelokan, Kitamani. Sejak 2009 hingga kini menjabat sebagai staf bidang
Perlindungan dan Konservasi Alam dan diperbantukan di bidang Fungsional Polisi Hutan
pada Sub Bidang Kepegawaian Dinas Kehutanan Provinsi Bali. Terakhir penulis dipercaya
sebagai sekretaris Tim Kajian Dinas Kehutanan Provinsi Bali dalam menangani sejumlah
kasus kehutanan di Bali. Penulis juga aktif dalam berbagai penulisan ilmiah, konsultasi
masalah hukum kehutanan dan bertindak sebagai narasumber.
JURNAL ADVOKASI. NO. 1 VOL. 1 SEPTEMBER 2011 112
I Wayan Wiasta, S.H., M.H.
Dilahirkan di Gianyar, 1 Januari 1957. Beralamat di Jl. Jagaraga, No. 19 Celuk, Sukawati,
Gianyar. Menamatkan pendidikan Strata 1 dan Strata 2 di Fakultas Hukum Universitas
Udayana. Saat ini bekerja sebagai dosen di Universitas Mahasaraswati Denpasar dan
menjabat sebagai wakil dekan I Fakultas Hukum Universitas Mahasaraswati Denpasar.
Dapat dihubungi melalui Telp./Faks. [email protected]
I Gede Wiryawan, S.H., M.H.
Dosen Fakultas Hukum Universitas Mahasaraswati Denpasar. Menamatkan pendidikan S1
di Universitas Atmajaya Yogyakarta dan pendidikan S2 di Program Studi Ilmu Hukum
Universitas Udayana, saat ini sedang menyelesaikan pendidikan doktoral di Universitas
Brawijaya Malang. Selain mengajar penulis juga aktif dalam kegiatan penelitian dan
pengabdian masyarakat. Penulis juga duduk dalam kepengurusan Dewan Pengupahan
Provinsi Bali.
I Nyoman Edi Irawan S.Pd., S.H.
Mendapatkan gelar sarjana Ilmu Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Mahasaraswati
Denpasar. Selain itu juga mendapatkan gelar sarjana pendidikan. Sehari-hari aktif sebagai
advokat dan legal consultant pada Prasada Bali Law Office. Penulis juga mengabdikan
ilmunya pada dosen di beberapa PTS di Denpasar dan sebagai tenaga pengajar bahasa
Inggris. Penulis dapat dihubungi melalui [email protected].
Dewi Bunga, S.H., M.H.
Dilahirkan di Denpasar, 8 Februari 1987. Menyelesaikan pendidikan S1 di Fakultas Hukum
Universitas Udayana dan S2 di Program Magister Ilmu Hukum Universitas Udayana dengan
predikat cumlaude. Saat ini bekerja sebagai dosen Fakultas Hukum Universitas
Mahasaraswati Denpasar, Pusat Kajian Konstitusi dan Grup Riset Guru Besar Universitas
Udayana. Aktif pula sebagai narasumber hukum di pelbagai acara TV dan Radio. Berbagai
tulisannya telah dimuat dalam media cetak, jurnal ilmiah serta diseminarkan baik dalam
skala regional, nasional dan internasional. Pada tahun 2009 penulis pernah mendapatkan
penghargaan pertama dalam Writing Competition Most UNESCO United Nations-LIPI
award. Dapat dihubungi melalui [email protected] atau 081916151963.
Made Emy Andayani Citra
Dilahirkan di Singaraja, 28 Agustus 1964. Menamatkan pendidikan S1 di Fakultas Hukum
Universitas Mahasaraswati Denpasar dan S2 pada Program Magister Hukum Universitas
Udayana konsentrasi Hukum Bisnis. Saat ini bekerja sebagai dosen pada Fakultas Hukum
Universitas Mahasaraswati Denpasar dan menjabat sebagai Wakil Dekan II. Aktif pada
bidang penelitian dan pengabdian masyarakat. Pernah mendapatkan penghargaan sebagai
dosen berprestasi baik di lingkungan civitas akademika maupun di tingkat Kopertis Wilayah
VIII. Dapat dihubungi melalui 08123829184.
Ni Luh Gede Yogi Arthani, S.H., M.H.
Dilahirkan di Denpasar, 22 Desember 1980. Menamatkan pendidikan S1 di Fakultas Hukum
Universitas Udayana dan S2 pada Program Magister Hukum Universitas Udayana. Saat ini
bekerja sebagai dosen Fakultas Hukum Universitas Mahasaraswati Denpasar. Aktif dalam
bidang pengabdian masyarakat. Dapat dihubungi melalui 081337884882 atau
JURNAL ADVOKASI. NO. 1 VOL. 1 SEPTEMBER 2011 113
I Nyoman Budi Sentana, S.H.
Pegawai Negeri Sipil di Lingkungan Pemerintah Provinsi Bali. Menamatkan pendidikan
sarjana di Fakultas Hukum dan saat ini sedang menyelesaikan pendidikan pascasarjana Ilmu
Hukum di Universitas Udayana Konsentrasi Hukum dan Masyarakat. Dapat dihubungi
melalui 03618539950.
I Nengah Susrama, S.H., M.H.
Dilahirkan di Bitra pada 31 Desember 1960. Menamatkan pendidikan S1 di Fakultas
Hukum Univeritas Mahasaraswati Denpasar dan S2 di Magister Ilmu Hukum Universitas
Indonesia Konsentrasi Hukum dan Sistem Peradilan Pidana. Bidang mata kuliah yang
diampu adalah Hukum Pidana dan Ilmu Kewirausahaan di Fakultas Hukum Universitas
Mahasaraswati Denpasar.
I Gusti Agung Ketut Kartika Jaya Seputra
Dilahirkan di Tabanan pada 13 Juni 1968. Saat ini menjabat sebagai Kepala Sub Bidang
Mutasi 1 Badan Kepegawaian Daerah Provinsi Bali. Sembari melaksanakan tugasnya,
penulis juga sedang menyelesaikan pendidikan Pasca Sarjana (S2) Ilmu Hukum konsentrasi
Hukum dan Masyarakat di Universitas Udayana.