Upload
dangtram
View
220
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
16. Kuliah Keenam Belas (K.16)
BAB IV. HUKUM PERIKATAN
A. Istilah dan Pengertian PerikatanDalam Buku III BW yang berjudul "van Verbintenissen", di mana istilah ini
juga merupakan istilah lain yang dikenal dalam Code Civil Perancis, istilah mana
diambil dari hukum Romawi yang terkenal dengan istilah "obligation". Istilah
verbintenis dalam BW (KUHPerdata), ternyata diterjemahkan berbeda-beda dalam
kepustakaan hukum Indonesia. Berkaitan dengan itu, Soetojo Prawirohamidjojo, di
dalam salah satu bukunya menegaskan bahwa :
“Istilah verbintenis, ada yang menterjemahkan dengan "perutangan", perjanjian maupun dengan "perikatan". karena masing-masing para sarjana mempunyai sudut pandang yang berbeda dalam menterjemahkan dan mengartikannya, walaupun pengertian yang dimaksudkan perikatan tersebut dapat tidak terlalu jauh berbeda. Istilah perikatan dimaksud pada dasarnya berasal dari bahasa Belanda yakni “verbintenis”, diterjemahkan kedalam bahasa Indonesia berbeda-beda, sebagai bukti, di dalam KUHPerdata digunakan istilah “perikatan” untuk “verbintenis”. R. Subekti, mempergunakan istilah “verbintenis” untuk perkataan “perikatan”, demikian juga R. Setiawan, memakai istilah “perikatan” untuk “verbintenis”. Selanjutnya Utrecht, memakai istilah perutangan untuk “verbintenis”. Sebaliknya Soediman Kartohadiprodjo, mempergunakan istilah “hukum pengikatan” sebagai terjemahan dan “verbintenissenrecht, sedangkan. Sementara itu R. Wirjono Prodjodikoro, memakai istilah “het verbintenissenrecht” diterjemahkan sebagai “hukum perjanjian” bukan hukum perikatan, demikian juga Sri Soedewi Masjchoen Sofwan, memakai istilah “hukum perutangan” untuk “verb intenissenrecht” .(R. Soetojo , 1979; 10).
Dari uraian di atas, maka dapat dikatakan, bahwa untuk istilah “verbintenis”
dikenal adanya tiga istilah untuk menterjemahkannya yakni; “perikatan, perutangan,
dan perjanjian”, akan tetapi dalam berbagai perkuliahan di Fakultas Hukum yang ada
di Indonesia, penggunaan terjemahan istilah “verbintenis” tersebut lebih cenderung
menggunakan istilah perikatan untuk verbintenis tersebut, demikian juga halnya
dalam tulisan ini digunakan istilah perikatan untuk menterjemahkan verbintenis
dimaksud. Beranjak dari uraian di atas, jika dikaitkan dengan adanya ketidak samaan
107
pendapat tentang terjemahan istilah verbintenis tersebut, hal ini berpengaruh terhadap
perumusan perikatan, karena di dalam KUHPerdata sendiri tidak ditemui pngertian
perikatan secara yuridisnya, oleh karena untuk merumuskan tentang perikatan dapat
dipedomani beberapa pendapat para ahlinya.
Berkaitan dengan itu, menurut Hofmann, bahwa “perikatan adalah suatu
hubungan hukum antara sejumlah terbatas subjek-subjek hukum, sehubungan dengan
itu seorang atau beberapa orang dari padanya (debitur atau para debitur) mengikatkan
dirinya untuk bersikap menurut cara-cara tertentu terhadap pihak lain yang berhak
atas sikap demikian itu”. Selanjutnya Pitlo mengatakan, bahwa “perikatan adalah
suatu hubungan hukum yang bersifat harta kekayaan antara dua orang atau lebih atas
dasar mana pihak yang satu berhak (kreditur) dan pihak lain berkewajiban (debitur)
atas sesuatu prestasi”. Sementara itu, menurut Abdulkadir Muhammad;.”Perikatan
adalah hubungan hukum yang terjadi antara debitur dan kreditur, yang terletak dalam
bidang harta kekayaan. Soediman Kartohadiprodjo, juga merumuskan perikatan
tersebut dengan; “suatu hubungan hukum yang bersifat harta kekayaan antara dua
orang atau lebih, atas dasar mana pihak yang satu berhak (kreditur) dan pihak lain
berkewajiban (debitur) atas sesuatu prestasi”. Demikian juga halnya, menurut
R.Setiawan, bahwa “perikatan adalah suatu hubungan hukum, yang artinya hubungan
yang diatur dan diakui oleh hukum. (R.Setiawan, 1994; 2).
Dari berbagai pengertian atau rumusan perikatan sebagaimana dikemukakan
para ahli di atas, dapat dikatakan, bahwa perikatan tersebut pada dasarnya merupakan
hubungan hukum yang artinya hubungan yang di atur dan di akui oleh hukum, baik
yang dapat dinilai dengan uang maupun tidak, yang di dalamnya terdapat paling
sedikit adanya terdapat satu dan kewajiban, misalnya suatu perjanjian pada dasarnya
menimbulkan atau melahirkan satu atau beberapa perikatan, keadaan ini tentu
tergantung pada jenis perjanjian yang diadakan, demikian juga halnya suatu perikatan
dapat saja dilahirkan karena adanya ketentuan undang-undang, dalam arti, undang-
udanglah yang menegaskan, di mana dengan terjadinya suatu peristiwa atau
perbuatan telah melahirkan perikatan atau hubungan hukum, misalnya, dengan
adanya perbuatan melanggar hukum.
108
Hubungan hukum sebagaimana dimaksudkan, harus dibedakan dengan
hubungan lainnya yang ada di dalam pergaulan masyarakat, seperti pergaulan yang
berdasarkan etika dan kesopanan, kepatutan dan kesusilaan. Penyimpangan terhadap
hubungan tersebut, tidak menimbulkan akibat hukum, misalnya; janji untuk bertemu
dengan pasangan, janji untuk pergi kuliah bersama dan lain-lain yang pada dasarnya
berada diluar lingkungan hukum dalam arti, hal ini bukan merupakan perikatan atau
hubungan hukum. Sebagai perbandingan, dapat dilihat dari tiga contoh kasus berikut :
1). Amir menjual mobilnya kepada Budi, maka dalam hal ini, menimbulkan perikatan
antara kedua orang tersebut, yakni pihak Amir mempunyai kewajiban untuk
menyerahkan mobil yang dijualnya karena hal itu juga merukan haknya Budi,
demikian juga sebaliknya, bahwa pihak Budi juga mempunyai kewajiban untuk
menyerahkan atau membayar harga pada Amir karena hal itu merupakan haknya
Amir, demikian juga dari keadaan tersebut menimbulkan kewajiban bagi Budi
untuk membayar harga yang telah ditentukan;
2). Joni menitipkan sepeda motornya pada Ali, maka dengan keadaan tersebut dapat
dikatakan telah terjadinya perikatan antara kedua pihak tersebut, di mana Joni
berhak atas sepeda motor yang dititipkan atau menerima kembali sepeda motor
yang telah dititipkannya, demikian juga sebaliknya, Ali berkewajiban menyerahak
sepeda motor yang telah dititipkan oleh Joni.
3). Akhir secara tidak sengaja menabrak seseoran pejalan kaki dengan kendaraannya,
maka hal demikian juga telah melahirkan perikatan antara Akhir dengan Pejalan
kaki tersebut, di mana akhir berkewajiban untuk mengobati dan sebaliknya si
pejalan kaki mempunyai hak untuk menuntut agar Akhir mengobatinya.
Melihat beberapa pengertian perikatan dan kasus di atas, maka dapat
dikatakan bahwa pada dasarnya perikatan merupakan “suatu hubungan hukum antara
dua pihak, di mana pihak yang satu berhak menuntut sesuatu dan pihak yang lain, dan
pihak yang lain berkewajiban memenuhi tuntutan tersebut. Dalam hal mi, dapat
disebutkan, bahwa pihak yang menuntut disebut kreditur (pihak berpiutang) dan
pihak yang berkewajiban untuk memenuhi prestasi disebut debitur (pihak berutang).
Keadaan tersebut juga dapat diartikan, bahwa adanya suatu hak dan kewajiban yang
harus dilakukan kreditur dan debitur tergantung dan yang diperjanjikan, di mana hak
109
dan kewajiban kreditur dimaksudkan harus diatur oleh undang-undang, yaitu sebagai
suatu tindakan untuk melakukan tuntutan terhadap pihak yang lalai dalam
melaksanakan suatu prestasi atau kewajibannya. Hal ini berarti, bahwa secara
sederhana perikatan diartikan sebagai suatu hal yang mengikat antara orang yang satu
dengan orang yang lain. Hal yang mengikat itu adalah peristiwa hukum yang dapat
berupa perbuatan, misalnya jual beli, hutang-piutang, dapat berupa kejadian, misalnya
kelahiran, kematian, dapat berupa keadaan, misalnya perkarangan berdampingan,
rumah bersusun, jadi peristiwa hukum tersebut menciptakan hubungan hukum, dalam
arti peristiwa hukum tersebut menciptakan hubungan hukum.
Dalam hubungan hukum itu tiap pihak mempunyai hak dan kewajiban secara
timbal balik. Pihak yang satu mempunyai hak untuk menuntut sesuatu dari pihak
yang lain, dan pihak yang lain itu wajib memenuhi tuntutan itu, dan sebaliknya. Pihak
yang berhak menuntut sesuatu disebut kreditur, sedangkan pihak yang wajib
memenuhi tuntutan disebut debitur. Hal ini berarti, menurut Ridwan Syahrani,
“bahwa terjadinya hubungan hukum antara dua pihak tersebut, di mana masing-
masing pihak (kretidur) berhak atas prestasi dan pihak yang lain (debitur)
berkewajiban memenuhi prestasi itu” (Ridwan Syahrani, 1992; 203). Prestasi
sebagaimana di maksudkan dapat dikatakan sebagai objeknya perikatan, yaitu sesuatu
yang dituntut oleh kreditur terhadap debitur, atau sesuatun yang wajib dipenuhi oleh
debitur terhadap kreditur. Prestasi adalah harta kekayaan yang diukur atau diniali
dengan uang. Yang berkewajiban membayar sejumlah uang berposisi sebagai debitur,
sedangkan pihak yang berhak menerima sejumlah uang berposisi sebagai kreditur.
Dalam hukum hutang-piutang, pihak yang berhutang disebut debitur,
sedangkan pihak yang berhutang disebut kreditur. Dalam hubungan jual beli, pihak
pembeli berposisi sebagai debitur, sedangkan penjual berposisi sebagai kreditur.
Dalam perjanjian hibah, Pemberi hibah disebut debitur, sedangkan penerima hibah
disebut kreditur. Dalam perjanjian kerja, pihak yang melakukan pekerjaan disebut
kreditur, sedangkan pihak yang berkewajiban membayar upah disebut debitur.
110
Dari uraian yang telah dikemukakan, pada akhirnya perlu juga dipahami
tentang rumusan hukum perikatan, maka dengan melihat beberapa pengertian dan
kasus yang telah dikemukakan, dapat dikatakan bahwa hukum perikatan, pada
dasarnya merupakan “kesemuanya kaidah hukum atau aturan hukum yang mengatur
hak dan kewajiban seseorang yang bersumber pada tindakannya, baik dalam
lingkungan hukum kekayaan yang dapat dinilai dengan uang maupun tidak dapat
dinilai dengan uang.
B. Pengaturan Hukum PerikatanHukum Perikatan yang dimaksudkan ialah keseluruhan peraturan hukum yang
mengatur tentang perikatan. Pengaturan tersebut meliputi bagian umum dan bagian
khusus. Bagian umum membuat peraturan-peraturan yang berlaku bagi perikatan
pada umumnya. Sedangkan bagian khusus memuat peraturan-peraturan mengenai
perjanjian-perjanjian bernama yang banyak dipakai dalam masyarakat. Bagian umum
meliputi bab babI, bab II bab III (hanya pasal 1352 dan 1353) da bab IV, yang
berlaku bagi perikatan pada umumnya. Bagian khusus meliputi bab III (kecuali pasal
1352 dan pasal 1353) dan babV s/d XVIII, yang berlaku bagi perjanjian-perjanjian
tertentu saja, yang sudah ditentukan namanya dalam baba-bab yang bersangkutan.
Pengaturan hukum perikatan dilakukan dengan "sistem terbuka", artinya setiap orang
boleh mengadakan perikatan apa saja baik yang belum ditentukan namanya dalam
undang-undang. tetapi keterbukaan ini dibatasi oleh tiga hal, yaitu tidak dilarang oleh
undang-undang, tidak bertentangan dengan kesusilaan , dan tidak bertentangan
dengan ketertiban umum.
Sesuai dengan pengunaan sistem terbuka, maka pasal 1233 KUH Perdata
menentukan bahwa perikatan dapat timbul baik karena perjanjian maupun karena
undang-undang. Dengan kata lain, sumber perikatan itu ialah perjanjian dan undang-
undang. Dalam perikatan yang timbul karena perjanjian, kedua pihak debitur dan
kreditur dengan sengaja bersepakat saling mengikatkan diri, dalam perikatan mana
111
kedua pihak mempunyai hak dan kewajiban yang harus dipenuhi. Pihak debitur wajib
memenuhi prestasi dan pihak kreditur berhak atas prestasi.
Dalam perikatan yang timbul karena undang-undang, hak dan kewajiban
debitur dan kreditur ditetapkan oleh undang-undang. Pihak debitur dan kreditur wajib
memenuhi ketentuan undang-undang. Undang-undang mewajibkan debitur
berprestasi dan kreditur berhak atas prestasi. Kewajiban ini disebut kewajiban
undang-undang. Jika kewajiban tidak dipenuhi, berarti pelanggaran undang-undang.
Dalam pasal 1352 KUH Perdata, perikatan yang timbul karena undang-
undang diperinci menjadi dua, yaitu perikatan yang timbul semata-mata karena
ditentukan oleh undang-undang dan perikatan yang timbul karena perbuatan orang.
perikatan yang timbul karena perbutan orang dalam pasal 1353 KUH Perdata
diperinci lagi menjadi perikatan yang timbul dari perbuatan menurut hukum
(rechtmatig) dan perikatan yang timbul dari perbuatan melawan hukum
(onrechtmatige daad).
C. Prestasi dan Wanprestasi- Prestasi
Prestasi adalah yang wajib dipenuhi oleh debitur dalam setiap perikatan.
Prestasi adalah objek perikatan. Dalam hukum perdata kewajiban memenuhi prestasi
selalu disertai jaminan harta kekayaan debitur. Dalam pasal 1131 KUH Perdata
dinyatakan bahwa semua harta kekayaan debitur baik bergerak maupun tidak
bergerak, baik yang sudah ada maupun yang akan ada, menjadi jaminan pemenuhan
utangnya terhadap kreditur. Tetapi jaminan umum ini dapat dibatasi dengan jaminan
khusus berupa benda tertentu yang ditetapkan dalam perjanjian antara pihak-pihak.
Menurut ketentuan pasal 1234 KUH Perdata ada tiga kemungkinan ujud
prestasi, yaitu (a) memberikan sesuatu, (b) berbuat sesuatu, (c) tidak berbuat sesuatu.
Dalam pasal 1235 ayat 1 KUH Perdata pengertian memberikan sesuatu adalah
menyerahkan kekuasaan nyata atas suatu benda dari debitur kepada kreditur,
misalnya dalam jual beli , sewa-menyewa, hibah, perjanjian gadai, hutang-piutang.
112
Dalam perikatan yang objeknya "berbuat sesuatu", debitur wajib melakukan
perbuatan tertentu yang telah ditentukan dalam perikatan, misalnya melakukan
perbuatan membongkar tembok, mengosongkan rumah, membangun gedung. Dalam
melakukan perbuatan itu debitur harus mematuhi semua ketentuan dalam perikatan.
Debitur bertanggung jawab atas perbuatnnya yang tidak sesuai dengan ketentuan
perikatan.
Dalam perikatan yang objekbnya "tidak berbuat sesuatu", debitur tidak
melakukan perbuatan yang telah ditetapkan dalam perikatan, misalnya tisdak
melakukan persaingan yang telah diperjanjikan, tidak membuat tembok yang
tingginya yang menghalangi pemandangan tetangganya. Apabila debitur berlawanan
dengan periktan ini, ia bertanggung jawab karena melanggar perjanjian.
- Sifat prestasiPrestasi adalah objek perikatan. Supaya objek itu dapat dicapai, dalam arti
dipenuhi oleh debitur, maka perlu diketahui sifat-sifatnya, yaitu:
1. Harus sudah ditentukan atau dapat ditentukan. Hal ini memungkinkan debitur
memenuhi perikatan. Jika prestasi itu tidak tertentu atau tidak dapat ditentukan
mengakibatkan perikatan batal (niegtig);
2. Harus mingkin, artinya artinya prestasi itu dapat dipenuhi oleh debitur secara
wajar dengan segala usahanya, jika tidak demikian perikatan batal (nietig);
3. Harus diperbolehkan (halal), artinya tidak dilarang oleh undang-undang, tidak
bertentangan dengan kesusilaan, tidak bertentangan dengan ketertiban umum, Jika
prestasi itu tidak halal, perikatan batal (niegtig).
4. Harus ada manpfaat bagi kreditur, artinya kreditur dapat menggunakan,
menikmati, dan mengambil hasilnya. Jika tidak demikian, perikatan dapat
dibatalkan (verniegtigbaar).
5. Terdiri dari satu perbuatan atau serentetan perbuatan. Jika prestasi itu berupa satu
kali perbuatan dilakukan lebih dari satu kali dapat mengakibatkan pembatalan
perikatan (vernietigbaar).
113
17. Kuliah Ketujuh Belas (K.17)
- WanprestasiWanprestasi artinya tidak memenuhi sesuatu yang diwajibkan seperti yang
telah ditetapkan dalam perikatan. Tidak dipenuhinya kewajiban oleh debitur
disebabkan oleh dua kemungkinan alasan, yaitu:
1. Karena kesalahan debitur, baik dengan sengaja tidak dipenuhinya kewajiban
maupun karena kelalaian.
2. Karena keadaan memaksa (overmacht), force mejeure, jadi di luar kemampuan
debitur. Debitur tidak bersalah.
Untuk menentukan apakah seorang debitur bersalah melakukan wanprestasi,
perlu ditentukan dalam keadaan bagaimana debitur dikatakan sangaja atau lalai tidak
memenuhi prestasi. Ada tiga keadaan, yaitu:
1. debitur tidak memenuhi prestasi sama sekali,
2. debitur memenuhi prestasi, tetapi tetapi tidak baik atau keliru,
3. debitur memenuhi prestasi, tetapi tidak tepat waktunya atau terlambat.
Untuk mengetahui sejak kapan debitur dalam keadaan wanprestasi, perlu
diperhatikan apakah dalam perkataan itu ditentukan tanggang waktu pelaksanaan
pemenuhan prestasi atau tidak. Dalam hal tenggang waktu pelaksanaan pemenuhan
prestasi "tidak ditentukan", perlu memperingatkan debitur sepaya ia memenuhi
prestasi. Tetapi dalam hal telah ditentukan tanggang waktunya, menurut ketentuan
pasal 1238 KUH Perdata debitur dianggap lalai dengan lewatnya tenggang waktu
yang telah ditetapkan dalam perikatan.
Bagaimana cara memperingatkan debitur agar ia memenuhi prestasinya?
Debitur perlu diberi peringatan tertulis, yang isinya menyatakan bahwa debitur wajib
memenuhi prestasi dalam waktu yang ditentukan. Jika dalam waktu itu debitur tidak
memenuhinya, debitur dinyatakan telah lalai atau wanprestasi. Peringatan tertulis
dapat dilakukan secara resmi dan dapat juga secara tidak resmi. Peringatan tertulis
secara resmi dilakukan melalui Pengdilan Negeri yang berwenang, yang disebut
"somatie". Kemudian Pengadilan Negeri melalui perantaraan Jurusita menyampaikan
surat peringatan tersebut kepada debitur, yang disertai berita acara penyampaiannya.
114
Peringatan tertulis tidak resmi misalnya melalui suart tercatat, telegram, atau
disampaikan sendiri oleh kreditur kepada debiotur dengan tanda terima. Surat
peringatan disebut "ingebreke stelling".
Akibat hukum bagi debitur yang telah melakukan wanprestasi adalah
hukuman atau saksi hukum berikut ini:
1. Debitur diwajibkan membayar ganti kerugian yang telah diderita oleh kreditur
(pasal 1243 KUH Perdata);
2. Apabila perikatan itu timbal balik, kreditur dapat menuntut
pemutusan/pembatalan perikatan melalui Hakim (pasal 1266 KUH Perdata);
3. Dalam perikatan untuk memberikan sesuatu, resiko berlaih kepada debitur sejak
terjadi wanprestasi (pasal 1237 ayat 2);
4. Debitur diwajibkan memenuhi perikatan jika masih dapat dilakukan, atau
pembatalan disertai pembayaran ganti kerugian (pasal 1267 KUH Perdata);
5. Debitur wajib membayar biaya perkara jika diperkarakan di muka Pengadilan
Negeri, dan debitur dinyatakan bersalah;
Keadaan Mamaksa (overmacht).Keadaan memaksa ialah keadaan tidak dipenuhinya prestasi oleh debitur
karena peristiwa yang yang tidak dapat diketahui atau tidak dapat diduga akan terjadi
ketika membuat perikatan. Dalam keadaan memaksa, debitur tidak dapat
dipersalahkan, karena keadaan ini timbul diluar kemauan dan kemampuan debitur.
Unsur-unsur keadaan memaksa adalah sebagai berikut:
1. Tidak dipenuhinya prestasi karena terjadi peristiwa yang membinasakan/
memutuskan benda objek perikatan; atau
2. Tidak dipenuhinya prestasi karena terjadi peristiwa yang menghalangi perbuatan
debitur untuk berprstasi;
3. Peristiwa itu tidak dapat diketahui atau diduga akan terjadi pada waktu membuat
perikatan.
Dalam hal ini keadaan memaksa yang memenuhi unsur satu dan tiga, maka
keadaan memaksa ini disebut "keadaan memaksa objektif". Vollmar menyebutnya
115
dengan absolute overmacht. Dasarnya ialah ketidakmungkinan (impossibility)
memenuhi prestasi, karena bendanya lenyap/musnah. Misalnya jual beli lukisan
karapan sapi karya Afandi, ketika akan diserahkan kepada pembeli di sebuah hotel,
lukisan tersebut terbakar habis bersama-sama mobil yang membawanya karena
kecelakaan lalu lintas. Peristiwwa ini mengakhiri perikatan karena tidak mungkin
dapat dipenuhi oleh debitur.
Dalam hal terjadinya keadaan memaksa yang memenuhi unsur dua dan tiga,
keadaan memaksa ini disebut "keadaan memaksa yang subjektif". Vollmar
menyebutnya dengan relative overmacht. Dasarnya ialah kesulitan memenuhi
prestasi, karena ada peristiwa yang menghalagi debitur untuk berbuat. Misalnya
seorang mahasiswa membeli sebuah mesin tik dari seorang pedagang, yang
disanggupi untuk dikirimkan dalam waktu satu minggu. Kemungkinan kapal yang
mengangkut benda itu membentur karang, sehingga harus masuk dok untuk
perbaikan. Di sini debitur mengalami kesulitan memenuhi prestasi.
Dalam peristiwa ini debitur bukannya tidak mungkin memenuhi prestasi,
tetapi sulit memenuhi prestasi, bahkan kalau dipenuhi juga memerlukan waktu dan
biaya yang banyak. Keadaan memaksa dalam hal ini bersifat sementara. Perikatan
tidak berhenti (tidak batal) hanya pemenuhan prestasinya tertunda. Jika kesulitan
sudah tidak ada lagi pemenuhan prestasi diteruskan. Tetapi jika prestasi itu sudah
tidak berarti lagi bagi kreditur karena sudah tidak diperlukan lagi, maka perikatan
"gugur" (verbal).
Perbedaan antara perikatan batal dengan perikatan gugur terletak pada ada
tidaknya objek perikatan dan objek tersebut harus mungkin dipenuhi. Pada perikatan
batal, objek perikatan tidak ada karena musnah, sehingga tidak mungkin dipenuhi
oleh debitur (sifat prestasi). Sedangkan pada perikatan gugur, objek perikatan ada,
sehingga mungkin dipenuhidengan segala macam usaha debitur, tetapi tidak
mempunyai arti lagi bagi kreditur. Jika prestasi betul-betul dipenuhi oleh debitur,
tetapi kreditur tidak menerima karena tidak ada arti (manfaat) lagi, perikatan "dapat
dibatalkan" (vernietigbaar). Persamaannya ialah pada perikatan batal, gugur,
keduanya itu tidak memcapai tujuan.
116
Dalam KUH Perdata keadaan mamaksa tidak diatur secara umum, melainkan
secara khusus pada perjanjian-perjanjian tertentu saja, misalnya pasal 1237 KUH
Perdata perjanjian sepihak, pasal 1460 KUH Perdata perjanjian jual beli, pasal 1545
KUH Perdata perjanjian tukar menukar, pasal 1553 KUH Perdata perjanjian sewa-
meyewa, Karena itu, pihak-pihak bebas memperjanjikan tanggung jawab itu dalam
perjanjian yang mereka buat, apabila terjadi keadaan memaksa.
Dalam keadaan memaksa pada perjanjian hibah, resiko ditanggung oleh
kreditur (pasal 1237 KUH Perdata). Pada perjanjian jula beli, resiko ditanggung oleh
kedua belah pihak (SEMA. No. 3 tahun 1963 mengenai pasal 1460 KUH Perdata).
Pada perjanjian tukar menukar, resiko ditanggung oleh pemiliknya (pasal 1545 KUH
Perdata). Pada perjanjian sewa-meyewa, resiko ditanggung oleh pemilik benda (pasal
1553 KUH Perdata).
D. Ganti Kerugian
Menurut ketentuan pasal 1243 KUH Perdata, ganti kerugian karena tidak
dipenuhinya suatu perikatan, barulah mulai diwajibkan apabila debitur setelah
dinyatakan lalai memenuhi perikatannya, tetapi melalaikan, atau sesuatu yang harus
diberikan atau dibuatnya hanya dapat diberikan atau dibuat dalam tenggang waktu
yang telah dilampaukannya.
Maksud "kerugian" dalam pasal di atas ialah kerugian yang timbul karena
debitur melakukan wanprestasi (lalai atau sengaja untuk memenuhi prestasi).
Kerugian tersebut wajib diganti oleh debitur terhitung sejak ia dinyakan lalai. Ganti
rugi itu terdiri dari tiga unsur, yaitu:
1. Ongkos atau biaya yang telah dikeluarkan, misalnya ongkos cetak, biaya materai,
biaya iklan;
2. Kerugian sesungguhnya karena kerusakan, kehilangan benda milik kreditur akibat
kelalaian debitur, misalnya busuknya buah-buahan karena kelambatan
penyerahan, ambruknya rumah karena kesalahan konstruksi, sehingga merusak
perabot rumah tangga;
117
3. Bunga atau keuntungan yang diharapkan, misalnya bunga yang berjalan selama
piutang terlambat diserahkan (dilunasi), keuntungan yang tidak diperoleh karena
kelambatan penyerahan bendanya.
Ganti kerugian harus berupa uang, bukan barang, kecuali jika diperjanjian
lain. Dalam ganti keruagian itu tidak selalu ketiga unsur itu harus ada. Yang ada itu
mungkin hanya kerugian yang sesungguhnya, atau mungkin hanya ongkos-ongkos
atau biaya, atau mungkin keugian sesungguhnya ditambah dengan ongkos atau biaya.
Untuk melindungi debitur dari tuntutan sewenang-wenang pihak kreditur, undang-
undang memberikan pembatasan terhadap ganti kerugian yang harus dibayar oleh
debitur sebagi akibat dari kelalaiannya (wanprestasi). Kerugian yang harus dibayar
oleh debitur hanya meliputi :
1. Kerugian yang dapat diduga ketika membuat periktan. Dapat diduga itu tidak
hanya mengenai kemungkinan timbulnya kerugian, melainkan juga meliputi
besarnya jumlah kerugian. Jika jumlah kerugian melampaui batas yang dapat
diduga, kelebihan yang melampaui batas batas yang diduga itu tidak boleh
dibebankan jkepada debitur, kecuali jika debitur ternyata melakukan tipu daya
(pasal 1247 KUH Perdata).
2. Kerugian sebgai akibat langsung dari wanprestasi (kelalaian) debitur, seperti
yang ditentukan dalam pasal 1248 KUH Perdata. Untuk menentukan syarat
"akibat langsung" dapat dipakai teori adequate. Menurut teori ini, akibat langsung
ialah akibat yang menurut pengalaman manusia normal dapat diharapkan atau
dapat diduga akan terjadi. Dengan timbulnya wanprestasi, debitur selalu manusia
normal dapat menduga akan merugikan kreditur. Teori adequte ini diikuti dalam
praktek peradilan.
3. Bunga dalam hal terlambat membayar sejumlah hutang (pasal 1250 KUH
Perdata). Besarnya bunga didasarkan pada ketentuan yang ditetapkan oleh
pemerintah. Menurut yurisprodensi, pasal 1250 KUH Perdata tidak dapat
118
diberikan terhadap periktan yang timbul karena perbuatan melawan hukum (Sri
Soedewi, 1974: 36).
18. Kuliah Kedelapan Belas (K.18)E. Jenis-Jenis Perikatan1). Perikatan bersyarat
Perikatan bersyarat (voorwaardelijk verbintenis) adalah perikatan yang
digantungkan pada syarat. Syarat itu adalah suatu peristiwa yang masih akan terjadi
dan belum pasti terjadinya, baik dengan menangguhkan pelaksanaan perikatan hingga
terjadinya peristiwa, maupun dengan membatalkan perikatan karena terjadi atau
tidak terjadinya peristiwa tersebut (pasal 1253 KUH Perdata). Dari ketentuan pasal
ini dapat dibedakan dua perikatan bersyarat yaitu periktan dengan syarat batal dan
periktan dengan syarat tangguh:
a. Perikatan dengan syarat tangguh;
Apabila syarat "peristiwa" yang diamksudkan dengan itu terjadi, maka perikatan
dilaksanakan (pasal 1263 KUHPdt). Jadi, sejak peristiwa itu terjadi, kewajiban
dibitur untuk berprestasi segera dilaksanakan. Misalnya A setuju apabila B
adiknya paviliun rumahnya, setelah B kawin. Kawin adalah peristiwa yang masih
akan terjadi dan belum pasti terjadi. Sifatnya menangguhkan pelaksanaan
perikatan. Jika B kawin, maka A berkewajiban menyerahkan paviliun rumahnya
untuk didiami oleh B.
b. Perikatan dengan syarat batal;
Disamping perikatan yang sudah ada akan berakhir apabila "peristiwa" yang
dimaksudkan itu terjadi (pasal 1265 KUH Perdata). Misalnya A setuju apabila B
mendiami rumah milik A selama ia belajar di luar negeri, dengan syarat bahwa B
harus mengosongkan rumah tersebut apabila A selasai studi dan kembali ke tanah
air. Di sini syarat "selesai dan kembali ke tanah air" masih akan terjadi dan belum
belum pasti terjadi. Tetapi jika syarat tersebut terjadi perjanjian berakhir dalam arti
batal. Hal ini membawa konsekwensi bahwa segala sesuatu dipulihkan dalam
119
keadaan semula seolah-olah tidak ada perikatan. Dalam contoh di atas B
berkewajiban menyerahkan kembali rumah tersebut kepada A.
Batalnya perikatan itu bukanlah "batal demi hukum", melainkan "dinyatakan
batal" oleh hakim. Jadi, jika syarat batal itu dipenuhi , maka pernyataan batal harus
dimintakan kepada hakim., tidak cukup dengan permintaan salah satu pihak saja, atau
pernyataan kedua belah pihak, meskipun syarat batal itu dicantumkkan dalam
perikatan (pasal 1266 KUHPerdata)
2). Perikatan dengan Ketetapan WaktuSuatu ketetapan waktu tidak menangguhkan perikatan, melainkan hanya
menangguhkan pelaksanaannya. Maksud syarat "Ketetapan waktu" ialah pelaksanaan
perikatan itu digantungkan pada" waktu yang ditetapkan". Waktu yang
ditetapkanadalah peristiwa yang masih akan terjadi dan terjadinya itu sudah pasti,
atau dapat berupa tanggal yang sudah ditetapkan. Misalnya A berjanji kepada anak
perempuannya yang telah kawin itu untuk memberikan rumahnya, apabila bayi yang
sedang dikandungnya lahir. Disini "kelahiran" adalah peristiwa yang masih akan
terjadi dan terjadinya itu sudah pasti. Tentu saja berdasarkan pemeriksaan dokter,
anak itu lahir hidup. Contoh lain, A berjanji kepada B, bahwa ia akan membayar
hutangnya dengan hasil panen sawahnya yang sedang menguning. Dalam hal ini
"hasil panen yang sedang menguning" sudah pasti, karna dalam waktu dekat A. Akan
panen sawah, sehingga pembayaran hutang sudah pasti.
Dalam perikatan dengan ketetapan waktu, apayang harus dibayar pada waktu
yang ditentukan tidak dapat ditagih sebelum waktu itu tiba . Tetapi apa yang sudah
dibayar sebelum waktu itu tibe dapat diminta kembali (pasal 1269 KUH Perdata).
Dalam perikatan perikatan dengan ketetapan waktu ketetapan waktu selalu dianggap
dibuat untuk kepentingan debitur, kecuali jika dari sifat perikatannya sendiri, atau
dari keadaan ternyata bahwa ketetapan waktu itu telah dibuat untuk kepentinagn
120
kreditur (pasal 1270 KUH Perdata). Biasanya kepentingan kreditur itu ditetapkan
dalam perjanjian atau dalam akta.
3). Perikatan manasuka (boleh pilih)Dalam Perikatan Manasuka, objek prestasi ada dua macam benda. Dikatakan
perikatan manasuka, karena debitur telah memenuhi prestasi dengan memilih salah
satu dari dua benda yang dijadikan objek perikatan. Tetapi debitur tidak dapat
memaksa kreditur untuk menerima benda yang satu dan sebagian benda yang lainnya.
Jika debitur telah memenuhi salah satu dari dua benda yang didsebutkan dalam
perikatan, yang dibebaskan dan perikatan berakhir. Hak memilih prestasi itu ada pada
debitur, jika hak ini tidak secara tegas diberikan kepada kreditur (pasal 1272 dan
1273 KUH Perdata).
Misalnya, A memesan barang elektronik berupa stereo tape rekorder pada
sebuah toko barang elektronik dengan harga yang sama yaitu Rp 75.000. Dalam hal
ini pedangang tersebut dapat memilih, menyerahkan strereo tape rekorder. Tetapi jika
diperjanjikan bahwa A yang menentukan pilihan, maka pedagang memberitahukan
kepda A bahwa barang pesanan sudah tiba, silakan A memilih salah satu diantara dua
benda objek perikatan itu. JIka A telah memilih dan dan memerima dari salah satu
benda itu, perikatan berakhir.
Jika salah satu benda yang menjadi objek perikatan itu hilang atau tidak dapat
diserahkan atau musnah, maka perikatan itu menjadi murni dan bersyahaja. Jika
kedua benda itu hilang dan debitur bersalah tentang hilangnya salah satu benda itu,
debitur harus membayar harga benda yang hilang paling akhir (pasal 1274 dan 1275
KUH Perdata).
Jika hak memilih ada pada kreditur dan hanya salah satu benda saja yang
hilang, maka jika itu terjadi bukan karena kesalahan debitur, kreditur harus
memperoleh benda yang masih ada. Jika salah satu benda tadi terjadi karena kesalhan
121
debitur, maka kreditur boleh menuntut pembayaran harga salah satu menurut
pilihannya, apabila musnahnya salah satu benda atau kedua benda itu karena
kesalahan debitur (pasal 1276 KUH Perdata). Prinsip dasar di atas ini berlaku, baik
jika ada lebih dari dua benda terdapat dalam perikatan maupun jika perikatan
bertujuan melakukan suatu perbuatan (pasal 1277 KUH perdata). Melakukan
perbuatan, misalnya dalam perikatan mengerjakan bangunan dan melakukan
pengangkutan barang. Disini debitur boleh memilih mengerjakan bangunan atau
melakukan pengangkutan barang ke lokasi bangunan.
Selain dari perikatan manasuka (alternatif), ada lagi yang disebut perikatan
fakultatif, yaitu perikatan dengan mana debitur wajib memenuhi suatu prestasi
tertentu atau prestasi lain yang tertentu pula. Dalam perikatan ini hanya ada satu
objek saja. Apabila debitur tidak memenuhi prstasi itu, ia dapat menganti dengan
prestasi lain. Misalnya A berjanji kepada B untuk meminjamkan kendaraannya guna
melaksankan penelitian. Jika A tidak mungkin meminjamkan kendaraannya karena
rusak, ia dapat menganti dengan sejumlah uang biaya transportasi penelitian itu.
Perbedaan antara perikatan alternatif dengan perikatan fakultatif adalah sebagai
berikut :
a. Pada perikatan alternatif ada dua benda yang sejajar dan debitur harus
menyerahkan salah satu dari dua benda itu. Sedangkan pada perikatan fakultatif
hanya satu benda saja yang menjadi prestasi.
b. Pada perikatan alternatif jika benda yanmg satu hilang, benda yang lain menjadi
penggantinya. Sedangkan pada perikatan fakultatif jika bendanya binasa.
perutangan menjadi lenyap.
Adalagi yang disebut perikatan generik, yang objeknya dutentukan oleh
jenisnya, misalnya beras Cianjur, Kuda Nil. Perbedaannya dengan perikatan alternatif
ialah jika periktan generik objeknya ditentukan oleh jenisnya yang homogin.
Sedangkan pada perikatan alternatif objeknya ditentukan oleh jenisnya yany tidak
homogen. Keberatan perikatan generik ialah debitur tidak perlu memberikan benda
122
prestasi itu yang terbaik, tetapi tidak juga yang terburuk (pasal 969 KUH Perdata).
Benda yang menjadi objek perikatan generik itu cukuplah jika sekurang-kurangnya
dapat ditentukan (perhatikan pasal 1333 KUH Perdata.
4). Perikatan Tanggung Menanggung
Dalam perikatan tangung menanggung dapat terjadi seseorang debitur
berhadapan dengan beberapa orang kreditur, atau seorang kreditur berdapan dengan
beberapa orang debitur. Apabila kreditur terdiri dari beberapa orang, ini disebut
tanggung-menanggung aktif. Dalam hal ini setiap kreditur barhak atas pemenuhan
prestasi selurauh hutang, dan jika prestasi tersebut sudah dipenuhi, debitur
dibebaskan dari hutangnya dan perikatan hapus (pasal 1278 KUH Perdata).
Dalam hubungan eksteren antara debitur masing-masing dengan kreditur,
apabila dalam suatu perikatan harus diserahkan suatu benda, yang kemudian musnah
karena kesalahan seseorang dari pihak debitur, maka pihak debitur lainnya tidak
dibebaskan dari tanggung jawabterhadap kreditur untuk membayar benda yang
musnah tersebut. Kreditur yang menderita kerugian karena salahnya debitur hanya
berhak menuntut ganti kerugian terhadap debitur yang bersalah itu (pasal 1285 KUH
Perdata). Demikian pula dengan tuntutan pembayaran bunga yang dilakukan terhadap
salah satu debitur tanggung-menanggung, berlaku juga terhadap debitur-debitur
lainnya (pasal 1286).
Jika diantara debitur tangung-menanggung itu ada hubungan hukum yang lain
dengan kreditur atau mempunyai kedudukan yang istimewa terhadap kreditur, maka
hubungan hukum tersebut harus dipisahkan dari hubungan hukum tanggung-
menaggung itu. Debitur yang bersangkutan dapat menggunakan hak tangkisannya,
sedangkan debitur yang lainnya tidak (pasal 1287 KUH Perdata). Jika seorang debitur
menjadi ahli waris dari kreditur, perikatan antara keduanya itu menjadi lenyap (pasal
1288 KUH Perdata).
123
Adakalanya juga seorang kreditur menerima sari salah seorang debitur bagian
yang menjadi kewajibannya. Jika hal ini terjadi, kewajiban tanggung-menanggung
terhadap debitur lainnya tetap ada, kecuali kreditur secara tegas menyatakan bahwa
yang diterimanya itu untuk bagian keweajiban debitur itu (perhatikan pasal
1289.1290 dan 1291 KUH perdata). Dalam Peraktek terkadang jenis perikatan ini
juga terjadi, di mana perikatan tanggung-menanggung pasif, pihak kreditur lebih
merasa terjamin atas pemenuhan perikatannya. Perikatan tanggung-menanggung pasif
dapat terjadi karena :
a. Wasiat, apabila pewaris memberikan tugas untuk melaksanakan suatu legaat (hibah
wasiat) kepada ahli warisnya secara tanggung-menanggung;
b. Ketentuan undang-undang, dalam hal ini undang-undang menetapkan secara tegas
perikatan tanggung-menaggung dalam perjanjian khusus.
Perikatan tanggung-menanggung yang secara tegas diatur dalam perjanjian khusus itu
adalah sebagai berikut :
a. Persekutuan dengan Firma (pasal 18 KUHD), di mana setiap sekutu bertanggung
jawab secara tanggung-menanggung untuk seluruhnya atas semua perikatan
Firma;
b. Peminjaman barang (pasal 1749 KUH Perdata), jika beberapa orang bersama-sama
menerima suatu barang dalam peminjaman, mereka itu masing-masing untuk
seluruhnya bertanggung jawab terhadap orang yang memberikan pinjaman;
c. Pemberian kuasa (pasal 1181 KUH Perdata), seorang penerima kuasa diangkat oleh
beberapa orang untuk mewakili dalam suatu urusan yang menjadi urusan mereka
bersama, mereka bertanggung jawab untuk seluruhnya terhadap penerima kuasa
mengenai segala akibat pemberian kuasa itu;
d. Jaminan orang (borgtocht, pasal 1836 KUH Perdata), jika beberapa orang telah
mengikatkan dirinya sebagai penjamin seorang debitur yang sama untuk hutang
yang sama, mereka itu masing-masing terikat untuk seluruh hutang.
19. Kuliah Kesembilan Belas (K.19)
124
5). Perikatan Dapat dan Tidak Dapat Dibagi
Suatu perikatan dikatakan dapat atau tidak dapat dapat dibagi, apabila benda
yang menjadi objek perikatan dapat atau tidak dapat dibagi menurut imbangan, lagi
pula pembagian itu tidak boleh mengurangi hakikat dari prestasi tersebut. Jadi sifat
dapat atau tidak dapat dibagi itu didasarkan pada :
a. Sifat benda yang menjadi objek perikatan.
b. Maksud perikatannya, apakah itu dapat atau tidak dapat dibagi.
Persolan dapat atau tidak dapat dibagi itu mempunyai arti, apabila dalam
perikatan itu terdapat lebih seorang debitur atau lebih dari seorang kreditur. Jika
hanya seorang debitur saja, dalam perikatan itu maka perikatan itu dianggap sebagai
tidak dapat dibagi, meskipun prestasinya dapat dibagi. Menurut ketentuan pasal 1360
KUH Perdata, tak seorang debitur pun dapat memaksa kreditur menerima pem
bayaran hutangnya sebagian-demi sebagaian, meskipunhutang itu dapat dibagi-bagi.
Perikatan dapat atau tidak dapat dibagi dapat terjadi apabila salah satu pihak
meninggal dunia, sehingga timbul persoalan apakah pemenuhan prestasi dapat dibagi
atau tidak antara para ahli waris almarhum itu. Hal ini tergantung dari benda yang
menjadi objek perikatan yang penyerahan atau perbuatan pelaksanaannya dapat
dibagi atau tidak, baik secara nyata maupun secara perhitungan (pasal 1296 KUH
Perdata). Akibat hukum perikatan dapat atau tidak dapat dibagi ialah, bahwa dalam
perikatan yang tidak dapat dibagi, setiap kreditur berhak menuntut seluruh prestasi
pada setiap debitur, dan setiap debitur wajib memenuhi prestasi tersebut seluruhnya.
Dengan dipenuhi prestasi oleh seorang debitur, membebaskan debitur lainnya dan
perikatan menjadi hapus. Dalam perikatan yang dapat dibagi setiap kreditur hanya
berhak menuntut suatu baguian prestasi menurut perimbangannya, sedangkan setiap
debitur wajib memenuhi prestasi untuk bagiannya saja menurut perimbangan.
6). Perikatan dengan Ancaman Hukuman
Perikatan ini membuat suatu ancaman hukuman terhadap debitur apabila ia lalai
memenuhi prestasinnya. Ancaman hukuman ini bermaksud untuk memberikan suatu
125
kepastian atau pelaksanaan isi perikatan seperti yang telah ditetapkan dalam
perjanjian yang dibuat oleh pihak-pihak. Disamping itu juga sebagai usaha untuk
menetapkan jumlah ganti kerugian jika betul-betul terjadi wanprestasi. Hukuman itu
merupakan suatu dorongan bagi debitur untuk memenuhi kewajiban berprestasi dan
untuk membebaskan kreditur dari pembuktian tentang besarenya ganti kerugian yang
telah dideritanya.
Menurut ketentuan pasal 1304 KUH Perdata, ancaman hukuman itu ialah,
melakukan sesuatu apabila periktan tidak dipenuhi, sedangkan penetapan hukuman
itu ialah sebagai ganti kerugian karena tidak dipenuhinya prestasi (pasal 1307 KUH
Perdata). Ganti kerugian selalu berupa uang. denbgan demikian dapat disimpulkan
bahwa ancaman hukuman itu berupa ancamam pembayaram denda. Pembayaran
denda sebagai ganti kerugian tidak dapat dituntut oleh kreditur apabila tidak
berprestasi debitur itu, karena adanya kedaan memaksa (overmacht).
Misalnya dalam perjanjian dengan ancaman hukuman, apabila seorang pemborong
bangunan dalam waktu 30 hari, tidak menyelesaikan pekerjaan nya ia dikenekan
denda Rp50.000,- setiap hati keterlambatan. Dalam hal ini jika pemborong tadi
melalaikan kewajibannya berarti ia harus membayar denda sebesar Rp 50.000,-
sebagai ganti kerugian setiaop hari keterlambatan.
Dalam menentapkan denda sebagai ganti kerugian itu mungkin jumlahnya
terlalu tinggi. Menrut ketentuan pasal 1309 KIH Perdata. hUkuman dapat diubah
dengan hakim, jika perikatan pokok telah dipenuhi sebagian. Tetapi jika debitur
belum sama sekali melaukan kewajibanya sedangakan hukuman yang ditetpkan
terlalui tinggi, Hakimpun dapat menggunakan pasal 1338 KUHPpd bahwa perjanjian
yang dibuat dengan syah harus dilaksanakan dengan iktikad baik (Pervormence in
good faith).
Ancaman hukuman dalam perikatan ini bersifat asesor (pelengkap), artinya
adanya hukuman tergantung adanyan perikatan pokok. Batalnya perikatan pokok
126
mengakibatkan batalnya ancaman hukuman. Tetapi batalnya ancaman hukuman tidak
membewa batalnya perikatan pokok (pasal 1305 KUHpt).
20. Kuliah Kedua Puluh (K.20)F. Hapusnya perikatan
Menurut ketentuan pasal 1381 KUH Perdata, ada sepuluh caranya hapusnya
perikatan yaitu :
1. Pembayaran Pembayaran disini tidak saja meliputi penyerahan sejumlah uang melainkan juga
penyerahan suatu benda. Dengan kata lain perikatan berakhir karen pembayaran
dan peneyerahan benda. Jadi dalam hal objek perikatan adalah sejumlah uang
maka perikatan berakhir dengan pembayaran uang. Dalam hal perikatan adalah
suatu benda, maka perikatan berakhir setelah penyerahan benda. Dalam hal objek
perikatan adalah pebayaran uang dan penyerahan benda secra timbl balik,
perikatan baru berakhir setelah pembayaran dan penyerahan benda.
2. Penawaran pembayaran tunai diikuti penitipan
Apabila debitur telah melakukan penawaran pembayaran dengan perantara Notaris
dan atau jurusita, kemudian kreditur menolak penawaran tersebut, atas penolakan
kreditur itu kemudian debitur meniptipkan pembayaran itu kepada Panitra
pengadilan Negeri setempat untu disimpan. Dengan demikian perikatan menjadi
hapus (pasal1404 KUHpd). Supaya penawaran pembayaran itu sah, perlu dipenuhi
syarat-syarat :
a. Dilakukan kepada kreditur atau kuasanya;
b. Dilakukan oleh debitur yang wenang membayar;
c. mengenai semua uang pokok, bunga, biaya yang telah ditetapkan;
d. waktu yang ditetapkan telah tiba;
127
e. syarat dengan mana utang dibuat, telah dipenuhi;
f. penawaran pembayaran dilakukan di tempat yang telah disetujui;
g. penawaran pembayaran dilakukan oleh Notaris atau Jurusita disertai oleh dua
orang sakasi.
3. Pembaharuan hutang (novasi)
Pembaharuan hutang terjadi dengan jalan mengganti hutang lama dengan hutang
baru, debitur lama dengan debitur baru , dan kreditur lama dengan kreditur baru.
Dalam hal hutang lama diganti dengan hutang baru terjadi penggantian objek
perjanjian (novasi objek), di sini hutang lama lenyap. Dalam hal terjadi
penggantian orangnya (subjeknya), maka jika diganti debiturnya, pembaharuan ini
disebut "novasi subjek pasif". Jika yang diganti itu krediturnya, pembahruan itu
disebut "novasi subjek aktif". Dalam hal ini hutang lama lenyap.
4. Perjumpaan hutang (kompensasi)
Dikatakan ada perjumpaan hutang apabila hutang piutang debitur dan krteditur
secara timbal balik dilakukan perhitungan. Dengan perhitunganini hutang piutang
lama lenyap. Misalanya A mempunyai hutang Rp 25.000.000,- pada B. Sebaliknya
B punya hutang pada A sejumlah Rp 50.000.000,-. Setelah diperhitungkan,
ternyata B masih mempunyai hutang pada A Rp 25.000.000,-. Supaya hutang itu
dapat diperjumpakan, perlu dipenuhi syarat-syarat sebagai berikut:
a. berupa sejumlah uang atau benda yang dapat dihabiskan;
b. hutang itu harus sudah dapat ditagih;
c. hutang itu seketiga dapat ditentukan atau ditetapkan jumlahnya (pasal 1427
KUHPdt).
Setiap hutang apa pun sebabnya dapat diperjumpakan, kecuali dalam hal
berikut ini;
a. apabila dituntut pengembalian suatu benda yang secara melawan hukum dirampas
dari pemiliknya, misalanya dengan pencurian;
128
b. apabila dituntut pengambalian barang sesuatu yang dititipkan atau dipinjamkan;
c. terhadap suatu hutang yang bersumberkan pada tunjangan nafkah yang telah
dinyatakan tidak dapat disita (pasal 1429 KUH perdata). Selain itu yurisprudensi
juga menetapkan bahwa perjumpaan hutang berikut ini tidak mungkin, yaitu ;
d. hutang-hutang negara berupa pajak;
e. hutang-hutang yang timbul dari periktan wajar.
5. Percampuran Hutang
Menurut ketentuan pasal 1436 KUH Perdata, percampuran hutang itu terjadi
apabila kedudukan kreditur dan debitur itu menjadi satu, artinya berada dalam satu
tangan. percampuran hutang tersebut terjadi dami hukum. Dalam percampuran
hutang ini hutang piutang menjadi lenyap." Percampuran hutang itu terjaadi
misalnya A sebagai ahli waris mempunyai hutang pada B sebagai pewaris.
Kemudian B meninggal dunia dan A menerima warisan termasuk juga hutang atas
dirinya sendiri. Dalam hal ini hutang lenyap demihukum.
6. Pembebasan Hutang
Pembebasan hutang dapat terjadi apabila kreditur dengan tegas menyatakan tidak
menhendaki lagi prestasi dari debitur dan melepaskan haknya atas pembayaran
atau pemenuhan perikatan. Denmgan pembebasan ini perikatan menjadi lenyap
atau hapus. Menurut pasal 1438 KUH Perdata, pembebasan tidak boleh
berdasarkan persangkaan, melainkan haruss dibuktikan. Bukti tersebut dapat
digunakan, misalnya dengan pengembalian surat piutang asli oleh kreditur kepada
debitur secara sukarela (pasal 1439 KUH Perdata).
7. Musnahnya Benda yang Terhutang
Menurut ketentuan pasal 1444 KUH perdata, apabila benda tertentu yang menjadi
objek perikatan itu musnah, tidak dapat lagi diperdagangkan, atau hilang, di luar
kesalahan debitur dan sebelumnya ia lalai menyerahkan nya pada waktu yang telah
ditentukan, maka perikatannya memnjadi hapus. Tetapi bagi mereka yang
memperoleh benda itu secara tidak sah, misalnya karena pencurian, mka
musnahnya atau hilangnya benda itu tidak membebaskan debitur (orang yang
129
mencurinya) untuk mengganti harganya. Meskipun debitur lalai menyerahkan
benda itu, ia pun akan bebas dari perikatan itu, apabila ia dapat membuktikan
bahwa hapusnya atau musnahnya benda itu disebabkan oleh suatu kejadian di luar
kekuasaannya dan benda itumjuga akan menemui nasib yang sama, meskipun
sudah berada di tangan kreditur.
8. Karena Pembatalan
Dalam pasal 1446 KUH Perdata ditegaskan bahwa hanyalah menganai soal
pembatalan saja dan tidak mengenai kebatalannya, karena syarat-syarat untuk batal
yang disebutkan itu adalah syarat-syarat subjektif yang ditentukan dalam pasal
1320 KUH Perdata. Jika syarat-syarat subjektif tidak dipenuhi, maka perikatan itu
tidak batal, melainkan "dapat dibatalan" (vernitigbaar, voidable).
Perikatan yang tidak memenuhi syarat-syarat subjektif dapat dimintakan
pembatalannya kepada Hakim dengan dua cara yaitu :
a. Dengan cara aktif, yaitu meneuntut pembatalan kepada Hakim dengan
mengajukan gugatan;
b. Dengan cara pembelaan, yaitu menunggu sampai digugat dimuka Hakim untuk
memenuhi perikatan dan baru diajukan alasan kekurangan dari perikatan itu.
Sementara itu, untuk pembatalan secara aktif, undang-undang memeberikan
pembatasan waktu yaitu lima tahun (pasal 1445 KUHPdt). Sedangkan
pembatalan untuk pembelaan tidak diadakan pembatasan waktu waktu.
9. Berlaku syarat batal
Maksud dengan syarat disini adalah ketentuan perjanjian yang disetujui oleh kedua
belah pihak, syarat manajika dipenuhi mengakibatkan perikatan itu batal (neitig,
void), sehingga perikatan menjadi hapus. Syarat ini disebut "syarata batal". Syarat
batal pada asasnya selalu berlaku surut, yaitu sejak perikatan itu dilahirkan.
Perikatan yang batal dipulihkan dalam keadaan semula seolah-olah tidak pernah
terjadi perikatan.
10. Lampau waktu (daluarsa)
130
Menurut ketentuan pasal 1956 BW, "lampau waktu adalah alat untuk memperoleh
sesuatu (acquissitieve verjaring) atau untuk dibebaskan dari suatu perikatan
dengan lewatnya suatu waktu tertentu dan atas syarat-syarat yang ditentukan oleh
undang-undang" (extintieve verjaring).
21. Kuliah Kedua puluh Satu (K.21)G. Perikatan Yang Lahir dari Perjanjian
1. Istilah dan Pengertian Perjanjian
Istilah Perjanjian terkadang digunakan bersamaan dengan istilah lainnya
seperti kontrak, untuk itu perlu adanya penegasan, artinya mana padananan kata atau
istilah yang tepat untuk digunakan. Dikatakan demikian karena terkadang secara
teoritis dan bahkan prakteknya penggunaan suatu istilah jika tidak tepat akan
membingungkan dan mengaburkan arti atau konsep dasarnya, dalam arti apakah
terminologi yang akan digunakan, apakah kontrak dan atau perjanjian Pembatasan
demikian sangat diperlukan, dikatakan demikian, gunanya adalah untuk menyamakan
persepsi tentang penggunaan istilah yang tepat dalam pembahasan materinya.
Penggunaan istilah perjanjian sebagaimana dimaksudkan di atas, apakah sama
saja dengan kontrak”, terkadang istilah itu baik dalam teori maupun perakteknya
bersamaan digunakan dan adakalanya digunakan secara sendiri-sendiri, sehingga bagi
pihak yang belum memahami penempatan istilah tersebut cukup membingungkan,
untuk itu perlu adanya penjelasan dari segi teoritisnya. Istilah perjanjian ini, terumus
dalam bahasa Belanda dengan istilah overeenkomst, yang biasanya diterjemahkan
dengan perjanjian dan atau persetujuan. Kata perjanjian menunjukkan adanya makna,
bahwa para pihak dalam perjanjian yang akan diadakan telah sepakat tentang apa
yang mereka sepakati berupa janji-janji yang diperjanjikan. Sementara itu, kata
persetujuan menunjukkan makna bahwa para pihak dalam suatu perjanjian tersebut
juga sama-sama setuju tentang segala sesuatu yang mereka perjanjikan. Artinya
131
terjemahan istilah tersebut dapat dikatakan sama, terkadang bahkan digunakan
bersamaan, hal ini disebabkan antara keduanya ditafsirkan sama, karena perjanjian itu
sendiri sebenar juga adalah persetujuan.
Dari apa yang dikemukakan di atas, dapat dikatakan bahwa penggunaan
istilah perjanjian dan kontrak terkadang disamakan saja, hal ini disebabkan, karena
kontrak ini juga sebenarnya juga sebagai suatu perjanjian, karena kontrak diartikan
sebagai suatu kesepakatan yang diperjanjikan. Sebaliknya perjanjian juga merupakan
suatu perbuatan hukum yang pada asasnya lahir karena ada kesepakatan. Hal ini
berarti perjanjian dimaksud bermakna cukup luas, dalam perakteknya biasa saja
terjadi dengan cara atau bentuk lisan, sebaliknya kontrak dalam perakteknya biasanya
dilakukan dalam cara atau bentuk tertulis.
Melihat apa yang dikemukakan tersebut, tanpa mengurangi perbedaan
berbagai istilah yang digunakan, namun sebenarnya banyak para ahli yang
menyamakan penggunaan istilah dimaksud, dikatakan demikian karena pada satu sisi
suatu kontrak yang diadakan menjadi kebiasaan dilakukan secara tertulis. Sebaliknya
perjanjian dimungkinkan saja tidak dalam bentuk tertulis, namun pada prinsipnya
padanan kedua kata tersebut sering digunakan dalam perakteknya.
Berkaitan dengan uraian di atas, maka untuk memahami lebih jauh, dalam
uraian selanjutnya dibahas “bagaimana pengertian kontrak dan atau perjanjian itu
sebenarnya”. Mengenai pengertian perjanjian sebagaimana dimaksudkan, sebagai
patokan awal, dalam hal ini dapat dipedomani rumusan yang terdapat dalam Pasal
1313 KUHPerdata, di mana rumusan dalam ketentuan undang-undang itu tidak hanya
menggunakan istilah perjanjian, tetapi dalam pasal lainnya digunakan juga istilah
kontrak, seperti dikenalnya azas kebebasan berkontrak yang terdapat dalam Pasal
1338 ayat (1) KUHPerdata.Dalam Pasal 1313 KUHPerdata di tegaskan bahwa suatu
perjanjian adalah; “suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan
dirinya terhadap satu orang lain atau lebih”.
132
Rumusan perjanjian dalam Pasal 1313 KUHPerdata di atas mendapat kritikan
dari beberapa ahli, karena dirasakan kurang lengkap artinya terdapat beberapa
kelemahannya. Menurut Abdul Kadir Muhammad, kelemahan tersebut, antara
lain :Seolah-olah perjanjian tersebut bersifat sepihak saja, sedangkan perjanjian
bersifat dua pihak. Hal ini dilihat dari perumusan “....satu orang atau lebih
mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih lainnya”. Perkataan
“mengikatkan” disini sifatnya hanya datang dari satu pihak saja, bukan dari kedua
belah pihak. Perumusan itu seharusnya “....saling mengikatkan dirinya...” sehingga
dengan begitu terdapat konsensus antara pihak-pihak . Jadi, perjanjian baru akan
terjadi apabila sudah ada kesepakatan antara kedua belah pihak.
Sementara itu, perkataan “perbuatan” dalam perumusan Pasal 1313
KUHPerdata mengandung pengertian menyangkut juga tindakan atau perbuatan tanpa
konsensus dan termasuk juga disini perbuatan melawan hukum. Penggunaan kata
yang lebih tepat adalah dengan memakai kata persetujuan. Sedangkan mengenai
pengertian perjanjian dalam Pasal 1313 KUHPerdata juga terlalu luas. Hal ini
disebabkan karena pengertian perjanjian yang dirumuskan dalam Pasal 1313
KUHPerdata tersebut mencakup juga pengertian perjanjian dalam lapangan hukum
keluarga, sedangkan yang dimaksud adalah hubungan hukum yang terjadi antara
debitur dan kreditur yang terletak dalam lapangan hukum harta kekayaan. Demikian
juga dalam rumusannya tidak menyebutkan tujuan. Pengertian perjanjian yang
dirumuskan dalam Pasal 1313 KUHPerdata tersebut tidak menyebutkan tentang apa
yang menjadi tujuan diadakannya perjanjian atau untuk apa pihak-pihak saling
mengikatkan diri untuk melakukan perjanjian, sehingga dapat menimbulkan
pengertian yang sangat luas. (Abdul Kadir Muhammad, 1982; 77).
Berdasarkan kelemahan-kelemahan yang dikemukakan oleh Abdul Kadir
Muhammad di atas, maka seharusnya rumusan tersebut: “Perjanjian adalah suatu
133
persetujuan dengan mana dua orang atau lebih saling mengikatkan diri untuk
melaksanakan sesuatu hal dalam lapangan harta kekayaan”.(Ibid). Demikian juga
halnya dengan R. Setiawan menganggap perlu diadakan perbaikan mengenai
pengertian perjanjian tersebut, yaitu: Perbuatan harus diartikan sebagai perbutan
hukum, yaitu perbuatan yang bertujuan untuk menimbulkan akibat hukum.
Menambahkan perkataan “…atau saling mengikatkan dirinya...” dalam Pasal 1313
KUHPerdata tersebut.
Dengan demikian perumusannya menjadi: “Persetujuan adalah suatu
perbuatan hukum dimana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya atau saling
mengikatkan dirinya terhadap satu orang atau lebih”. (R. Setiawan, 1994; 49). Dalam
pada itu yang dimaksud dengan kontrak adalah suatu kesepakatan yang diperjanjikan
diantara dua pihak atau lebih yang dapat memodifikasi atau menghilangkan
hubungan hukum.
Dari pengertian-pengertian perjanjian di atas, maka dapat dikatakan bahwa
kedua istilah dan pengertian tersebut pada prinsipnya tidak jauh berbeda, dikatakan
demikian, karena pengertian perjanjian dan kontrak dimaksud dilahirkan karena
adanya kesepakatan dan pada akhirnya menimbulkan suatu perjanjian dan melahirkan
hubungan hukum atau perikatan. Dalam konsep hukum perdata, bahwa perikatan
sebagaimana dimaksudkan di atas, tidak saja dilahirkan karena adanya suatu
perjanjian dan atau kontrak, tetapi juga disebabkan karena undang-undang
menyatakan bahwa suatu peristiwa dan atau perbuatan seseorang tanpa didahului
adanya perjanjian/kontrak telah melahirkan hubungan hukum atau perikatan. Seperti
adanya perbuatan melawan hokum atau melanggar hokum yang dinyatakan oleh
undang-undang telah melahirkan hubungan hukum atau perikatan (Pasal 1365 dan
134
1367). Artinya orang yang melanggar hukum tersebut terikat untuk menanggung
beban kerugian akibat kesalahannya.
2. Pengaturan Mengenai Perjanjian
Peraturan yang dijadikan sebagai dasar hukum perjanjian adalah KUHPerdata
Buku III Bab II yang berjudul “Perikatan-perikatan yang Dilahirkan dari Kontrak
atau Perjanjian”. Secara sistematis pengaturan mengenai perjanjian dalam
KUHPerdata ini terdiri dari empat bagian, yakni dari Pasal 1313 – 1351
KUHPerdata, yang terdiri dari :
Bagian Kesatu yang mengatur tentang ketentuan umum (Pasal 1313 – 1319
KUHPerdata)
Bagian Kedua yang mengatur tentang syarat-syarat sahnya suatu perjanjian (Pasal
1320 – 1337 KUHPerdata)
Bagian Ketiga yang mengatur tentang akibat-akibat dari perjanjian (Pasal 1338 –
1341 KUHPerdata)
Bagian Keempat yang mengatur tentang penafsiran perjanjian-perjanjian (Pasal 1342
– 1351 KUHPerdata)
Selain itu, terdapat beberapa ketentuan tambahan mengenai pengaturan perjanjian,
yakni :
Pasal 1266 dan 1267 Bab I Buku III KUHPerdata yaitu tentang perikatan-perikatan
bersyarat yang merupakan syarat-syarat putus yakni wanprestasi.
Pasal 1446 – 1456 KUHPerdata tentang kebatalan dan pembatalan
Dengan demikian antara perikatan dengan perjanjian mempunyai hubungan
yang sangat erat sekali. Hal itu dikarenakan mengenai perjanjian ini diatur dalam
Buku III KUHPerdata yang mengatur tentang Perikatan, dimana pengertian perikatan
135
itu sendiri tidak ditegaskan pada salah satu pasalpun. Mengenai hubungan yang erat
antara perjanjian dengan perikatan ini dapat dilihat pada Pasal 1233 yang menyatakan
: “Tiap-tiap perikatan dilahirkan baik karena perjanjian, baik karena Undang-
undang”. Hal ini berarti, perjanjian melahirkan perikatan, demikian juga halnya
dengan undang-undang yang menentukan lahirnya perikatan. Sumber perikatan
tersebut digambarkan dalam bentuk skema :
PERIKATAN
(Pasal 1233)
Perjanjian Undang-undang
(Pasal 1313) (Pasal 1352)
Semata-mata Perbuatan
Undang-undang Manusia
(Pasal 1353)
Pekarangan Memelihara Anak
Berdampingan (Pasal 104)
(Pasal 625)
Perbuatan Menurut Hukum Perbuatan
Melawan Hukum
136
Zaakwaarneming Onverschuldigde Natuurlijk
(Pasal 1354) Betaling Verbintenis
(Pasal 1359 ayat 1) (Pasal 1359 ayat 2)
3. Subjek dan Objek Kontrak/Perjanjian
Dalam suatu perjanjian terdapat pihak-pihak yang mengadakan atau
melaksanakan perjanjian dan juga terikat dengan perjanjian tersebut. Pihak itulah
yang biasa disebut dengan subjek perjanjian. Menurut Abdul Kadir Muhammad,
subjek perjanjian dapat berupa : (Abdul Kadir Muhammad, 1994; 79).
a. Manusia pribadi (Natuurlijk Persoon)
b. Badan hukum (Recht persoon)
Jadi, dapat dikatakan bahwa setiap subjek hukum dapat menjadi subjek dalam
perjanjian, dan setiap subjek perjanjian harus mampu dan wenang melakukan
perbuatan hukum seperti yang ditetapkan dalam Undang-undang. Pada dasarnya,
suatu perjanjian berlaku bagi pihak yang mengadakan perjanjian itu sendiri, hal inilah
yang biasanya disebut dengan azas pribadi (Pasal 1315 jo Pasal 1340 KUHPerdata).
Sedangkan para pihak tidak dapat mengadakan perjanjian yang mengikat pihak ketiga
kecuali dalam apa yang disebut dengan janji guna pihak ketiga (Pasal 1317
KUHPerdata).
Sementara itu, suatu perjanjian harus mempunyai objek yang akan
diperjanjikan. Ketentuan dalam Pasal 1320 KUHPerdata menyatakan bahwa salah
satu syarat sahnya suatu perjanjian adalah adanya hal tertentu. Ada hal tertentu inilah
yang disebut dengan objek perjanjian atau pokok perjanjian. Objek perjanjian dapat
137
berupa benda ataupun berupa prestasi tertentu, yakni berupa benda berwujud atau
benda tidak berwujud bisa juga berupa benda yang ada atau benda yang akan ada.
22. Kuliah Kedua Puluh Dua (K.22)
4. Unsur-unsur Perjanjian
Dalam suatu perjanjian, terdapat unsur-unsur sebagai berikut, antara lain :
a. Para pihak yang sedikit-dikitnya dua orang,
Pihak-pihak inilah yang disebut dengan sebagai subjek perjanjian.
b. Ada persetujuan antara pihak-pihak itu.
Persetujuan disini bersifat tetap, bukan sedang dalam tahap berunding. Persetujuan
tersebut ditujukan dengan penerimaan tanpa syarat atas suatu tawaran, mengenai
syarat-syarat dan mengenai objek perjanjian.
c. Ada tujuan yang akan dicapai dengan diadakannya perjanjian.
Tujuan tersebut yaitu untuk memenuhi kebutuhan para pihak dalam perjanjian,
dimana tujuan tersebut sifatnya tidak dilarang oleh undang-undang dan juga tidak
boleh bertentangan dengan ketertiban umum dan kesusilaan.
d. Ada prestasi yang akan dilaksanakan.
Prestasi adalah kewajiban yang akan dipenuhi oleh pihak-pihak sesuai dengan
syarat-syarat yang diperjanjikan. Pada sistem hukum Anglo Saxon istilah prestasi
ini biasa disebut dengan “considerans”. Dimana dengan adanya persetujuan maka
akan timbul kewajiban untuk melaksanakan suatu prestasi oleh para pihak dalam
perjanjian.
e. Adanya bentuk tertentu.
138
Bentuk disini perlu ditentukan, karena ada ketentuan Undang-undang yang
menyatakan bahwa hanya dengan bentuk tertentu suatu perjanjian mempunyai
kekuatan mengikat dan kekuatan bukti.
f. Ada syarat-syarat tertentu
Syarat-syarat tertentu ini merupakan isi perjanjian, yang mana dari syarat-syarat itu
dapat diketahui hak dan kewajiban para pihak. Syarat disini ada yang berupa syarat
pokok dan ada pula yang berupa syarat tambahan.
5. Asas-Asas Dalam Perjanjian
Dalam Hukum Perjanjian dikenal beberapa asas. Asas-asas tersebut
diantaranya adalah :
1). Asas Kebebasan Berkontrak
Asas kebebasan berkontrak maksudnya adalah bahwa setiap orang bebas
mengadakan perjanjian apa saja baik sudah ataupun belum diatur oleh Undang-
undang, bebas untuk tidak mengadakan perjanjian, bebas untuk mengadakan
perjanjian dengan siapa pun dan juga bebas untuk menentukan isi, syarat dan
luasnya perjanjian. Kebebasan dalam asas ini asalkan tidak melanggar ketentuan
Undang-Undang, tidak melanggar kepentingan umum dan kesusilaan.
Sebagaimana yang ditegaskan dalam Pasal 1337 KUHPerdata . Pembatasan ini
diberikan sebagai akibat dari :
a. Perkembangan masyarakat, dimana dengan perkembangan ekonomi membuat
orang-orang menggabungkan diri dalam bentuk usaha bersama atau membentuk
usaha swasta.
b. Adanya campur tangan pemerintah untuk melindungi kepentingan umum.
c. Adanya aliran masyarakat yang bersifat social ekonomi.
2). Asas Konsensualisme
139
Asas konsensualisme maksudnya adalah bahwa pada asasnya suatu perjanjian atau
perikatan yang timbul atau lahir adalah sejak detik tercapainya sepakat mengenai
hal-hal pokok dan tidak diperlukan suatu formalitas. Ini berarti bahwa perjanjian
itu lahir sejak kata sepakat telah tercapai, walaupun dalam pelaksanaannya
Undang-undang menetapkan tetap adanya suatu formalitas tertentu. Misalnya
adanya keharusan menuangkan perjanjian kedalam bentuk tertulis atau dengan
akta notaris. Sedangkan guna perjanjian dituangkan dalam bentuk tertulis yaitu
adalah dalam hal sebagai alat bukti.
3). Asas Kepatutan
Asas ini berkaitan dengan ketentuan mengenai isi perjanjian. Pengaturan asas ini
ditegaskan dalam Pasal 1339 KUHPerdata, yakni:
“Perjanjian-perjanjian tidak hanya mengikat untuk hal-hal yang dengan tegas
dinyatakan didalamnya, tetapi juga untuk segala sesuatu yang menurut sifat
persetujuan, diharuskan oleh kepatutan, kebiasaan atau Undang-undang”. Menurut
Prof.Dr. Mariam Darus Badrulzaman, asas kepatutan ini menentukan ukuran
mengenai hubungan yang ditentukan juga oleh rasa keadilan dalam masyarakat.
4). Asas Kekuatan Mengikat
Asas ini dinyatakan secara tegas dalam Pasal 1338 Ayat (1) KUHPerdata yang
berbunyi : “Semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai Undang-
Undang bagi mereka yang membuatnya”. Hal tersebut berarti bahwa para pihak
mempunyai keterikatan pada perjanjian yang mereka buat.
5). Asas Keseimbangan
Asas keseimbangan menghendaki kedua belah pihak memenuhi dan melaksanakan
perjanjian yang telah mereka buat dan mereka sepakati. Dimana masing-masing
pihak harus memenuhi prestasi yang telah disepakati bersama dengan itikad baik,
140
sehingga tercipta keseimbangan antara kedua belah pihak dalam perjanjian
tersebut.
6). Asas Kepastian Hukum
Perjanjian sebagai suatu bentuk produk hukum hendaklah mengandung kepastian
hukum. Dalam menciptakan kepastian hukum bagi kedua belah pihak, maka
perjanjian itu haruslah mempunyai kekuatan mengikat layaknya sebagai Undang-
undang bagi para pihak yang mengadakan perjanjian tersebut.
7). Bersifat Obligatoir
Maksudnya adalah bahwa perjanjian yang dibuat oleh para pihak itu baru dalam
tahap menimbulkan hak dan kewajiban, belum sampai pada tahap memindahkan
hak milik. Hak milik baru akan berpindah jika telah diperjanjikan tersendiri, hal ini
biasanya disebut dengan perjanjian yang bersifat kebendaan.
8). Bersifat Pelengkap
Bersifat pelengkap maksudnya yaitu pasal-pasal dalam Undang-undang boleh
disingkirkan apabila para pihak dalam perjanjian menghendakinya, dan mereka
sepakat membuat ketentuan sendiri. Tapi jika mereka tidak menentukan mengenai
hal tersebut maka ketentuan dalam Undang-undang tetap berlaku.. Buku Ketiga
KUHPerdata pada Pasal 1338-1341 mengatur mengenai akibat dari perjanjian,
antara lain sebagai berikut :
a. Berlaku sebagai Undang-Undang
Dasar hukumbahwa perjanjian berlaku sebagai Undang-undang adalah Pasal
1338 Ayat (1) KUHPerdata. Sehingga, jika ada salah satu pihak dalam
perjanjian yang melanggar perjanjian itu, maka ia dianggap telah melanggar
Undang-undang. Terhadap pelanggaran yang dilakukan akan menimbulkan
akibat hukum tertentu yaitu berupa pemberian sanksi. Hukuman bagi yang
melanggar perjanjian ditetapkan oleh hakim berdasarkan Undang-undang atau
141
berdasarkan permintaan pihak lainnya. Adapun bentuk sanksi yang diberikan
dapat berupa:
1). Membayar ganti kerugian (Pasal 1234 KUHPerdata)
2). Perjanjian dapat diputuskan (Pasal 1266 KUHPerdata)
3). Menanggung beban resiko (Pasal 1237 Ayat (2) KUHPerdata)
4). Membayar biaya perkara jika sampai dibawa kehadapan hakim pengadilan
(Pasal 181 Ayat (1) HIR).
b.Tidak dapat ditarik kembali
Perjanjian yang telah dibuat secara sah dan mengikat para pihak yang membuat
perjanjian tidak dapat ditarik kembali secara sepihak. Akan tetapi perjanjian
tersebut dapat saja ditarik kembali apabila:
- Memperoleh persetujuan dari pihak lainnya.
- Adanya alasan-alasan yang cukup kuat menurut Undang-undang.
- Alasan-alasan yang dimaksud adalah alasan yang terdapat dalam
KUHPerdata yakni pada Pasal 1571, 1587, 1814 dan 1817.
c . Pelaksanaan perjanjian dengan itikad baik
Maksud dari pelaksanaan perjanjian dengan itikad baik disini adalah
sebagaimana yang diatur dalam pasal 1338 KUHPerdata yaitu pelaksanaan
perjanjian itu hendaknya berjalan dengan memperhatikan norma-norma
kepatutan, kesusilaan serta Undang-undang, yakni menyangkut nilai-nilai
yang patut, pantas, sesuai, cocok, sopan , layak dan beradab yang ada dalam
masyarakat.
23. Kuliah kedua puluh tiga (K.23)
142
6. Syarat-syarat Sahnya Perjanjian
Perjanjian yang sah adalah perjanjian yang memenuhi syarat-syarat yang
ditetapkan oleh undang-undang. Menurut ketentuan yang terdapat dalam Pasal 1320
KUHPerdata, syarat-syarat sah tersebut antara lain:
1. Adanya persetujuan kehendak antara para pihak yang membuat perjanjian;
2. Adanya kecakapan para pihak untuk membuat perjanjian;
3. Ada suatu hal tertentu;
4. Ada suatu sebab yang halal.
Syarat pertama dan kedua di atas disebut syarat subjektif, karena melekat
pada diri orang yang menjadi subjek perjanjian. Jika syarat ini tidak dipenuhi,
perjanjian dapat dibatalkan . Tetapi jika tidak dimintakan pembatalan kepada Hakim,
perjajian itu tetap mengikat pihak-pihak, walaupuin diancam pembetalan sebelum
lampau waktu lima tahun (pasal 1454 KUHPdt).
Syarat ketiga dan kempat merupakan disebut syarat objektif, karena mengenai
sesuatu yang menjadi object perjanjian. Jika syrat ini tidak dipenuhi, perjanjian batal.
Kebatalan ini dapat diketahui apabila perjanjian tidak mencapai tujuan karena salah
satu pihak tidak memenuhi kewajibannya. Kemudian diperkarakan ke Muka hakim,
dan Hakim menyetakan perjanjian batal, karena tidak memenuhi syarat objektif.
karena tidak memenuhi syarat objektif.
Persetujuan Kehendak
Persetujuan kehendak adalah kesepakatan antara pihak-pihak yang
mengadakan perjanjian, dalam arti apa yang dikehendaki oleh pihak yang satu juga
dikehendaki oleh pihak yang lainnya. Persetujuan kehendak tersebut sifatnya bebas,
artinya tidak ada paksaan, tekanan dari pihak manapun, betul-betul atas kemauan
sukarela pihak-pihak. Dalam persetujuan kehendak dimaksud juga tidak ada kekilafan
dan tidak ada penipuan.
Dikatakan tidak ada paksaan, apabila orang yang melakukan perbuatan itu
tidak berada dibawah ancaman, baik dengan kekerasan jasmani maupun dengan
upaya menakut-nakuti, misalnya akan membuka rahasia, sehingga dengan demikian
143
orang itu terpaksa menyetujui perjanjian yang akan diadakan (Pasal 1324
KUHPerdata).
Dikatakan tidak ada kekilafan atau kekeliruan ataupun kesesatan, apabila
salah satu pihak tidak kilaf atau tidak keliru mengenai pokok perjanjian atau sifat-
sifat penting objek perjanjian atau mengenai orang dengan siapa diadakan perjanjian
itu. Menurut Pasal 1322 ayat i dan 2 KUHPerdata, kekeliruan atau kekilafan tidak
mengakibatkan batal suatu perjanjian, kecuali apabila kekeliruan atau kekilafan itu
terjadi mengenai hakekat benda yang menjadi pokok perjanjian atau mengenai sifat
khusus/keahlian khusus diri orang dengan siapa diadakan perjanjian.
Akibat Hukum tidak ada persetujuan kehendak (karena paksaan, kehilafan,
penipuan) ialah bahwa perjanjian itu dapat dimintakan pemabatalannya kepada
Hakim (vernietigbaar, voidable). Menurut ketentuan pasal 1454 KUHPdt, pembatalan
dapat dimintakan dalam tenggang waktu lima tahun, dalam hal ada paksaan dihitung
sejak hari paksaan itu berhenti; dalam hal ada kehilafan dan penipuan dihitung sejak
hari diketahuinya kekhilafan dan penipuan itu.
7. Berakhirnya Perjanjian
Berakhirnya suatu perjanjian memang tidak diatur secara tersendiri dalam
Undang-undang. Akan tetapi, mengenai berakhirnya perjanjian ini dapat
disimpulkan dari beberapa ketentuan yang terdapat dalam Undang-undang.
Berakhirnya persetujuan harus benar-benar dibedakan dari pada hapusnya
perikatan, karena suatu perikatan dapat hapus sedangkan persetujuannya yang
merupakan sumbernya masih tetap ada. Hal tersebut bisa ditemukan dalam
perjanjian jual beli, dimana apabila harga sudah dibayar maka perikatan mengenai
pembayaran sudah hapus, tetapi perjanjiannya belum hapus karena perjanjian
penyerahan barang belum terlaksana.
144
Berakhirnya perjanjian sebagai akibat dari berakhirnya semua perikatan ini
tidaklah berlaku secara mutlak, karena ada perjanjian yang menyebabkan suatu
perikatan hapus atau berakhir. Hal tersebut dapat kita temui dalam suatu perjanjian
yang berlaku surut, misalnya saja akibat dari pembatalan yang disebabkan oleh
salah satu pihak melakukan wanprestasi (Pasal 1266 KUHPerdata) maka segala
perikatan yang telah terlaksana menjadi hapus. Berkaitan dengan hapusnya
perjanjian dimaksud, dalam prakteknya disebabkan beberapa hal, antara lain :
1). Ditentukan terlebih dahulu dalam persetujuan oleh para pihak;
Misalnya persetujuan yang dibuat ditentukan untuk batas waktu tertentu, bila
perjanjian sampai pada batas waktu yang ditentukan, maka perjanjian akan
berakhir.
2). Undang-undang menentukan batas waktu berlakunya;
Waktu tertentu tersebut dijelaskan lagi dalam pasal 1066 ayat (4) yang
berbunyi : “Persetujuan yang sedemikian hanyalah mengikat untuk selama
lima tahun, namun setelah lewatnya tenggang waktu ini, dapatlah persetujuan
itu diperbaharui”.
3). Oleh para pihak atau oleh Undang-undang ditentukan bahwa dengan terjadinya
peristiwa tertentu;
Jika salah satu pihak meninggal dunia maka persetujuan menjadi hapus.
4). Salah atu pihak atau kedua belah pihak memberikan pernyataan menghentikan
atau mengakhiri perjanjian (opzegging);
Opzegging ini hanya ada pada persetujuan–persetujuan yang bersifat
sementara, seperti pada perjanjian kerja dan perjanjian sewa menyewa.
5). Adanya putusan hakim untuk mengakhiri suatu perjanjian yang diadakan;
6). Telah tercapainya tujuan diadakan dalam perjanjian.
145
24. Kuliah kedua puluh empat (K. 24)H. Perikatan Yang Lahir Dari Undang-undanga. Ketentuan undang-undang
Perikatan yang diuraikan dalam bagian ini ialah perikatan yang lahir dari
undang-undang sebagai akibat dari perbuatan orang. Jadi, bukan orang yang berbuat
itu menetapkan adanya perikatan, melainkan undang-undang menetapkan adanya
perikatan. Perbuatan orang itu dikalsifikasikan menjadi dua, yaitu perbuatan yang
sesuai dengan hukum dan perbutan yang tidak sesuai dengan hukum.
Perikatan yang timbul dari perbutan yang sesuai dengan hukum ada dua, yaitu
penyelenggaan kepentingan (zaakwarneming) diatur dalam pasal 1359 s/d 1364
KUH Perdata. Sedangkan perbutan yang timbul dari perbutan yang tidak sesuai
dengan hukum dalah perbuatan melawan hukum (onrechtmatigedaad) diatur dalam
pasal 1365 s/d 1380 KUH Perdata.
Perbutan melawan hukum dapat ditujukan pada harta kekeyaan orang lain dan
dapat pula ditujukan pada diri pribadi orang lain, perbuatan mana menimbulkan
kerugian pada orang lain itu. Dalam hukum Anglo Saxon, perbuatan melawan hukum
disebut "tort". Soerjono Soekonto menerjemahkan onrechtmatigedaad dengan
"penyelewengan perdata". Sebenarnya perikatan yang lahir dari undang-undang ini
antara lain dapat berbentuk ; zaarwaarneming, onverschuldigdebetaling, natuurlijke
verbintenis dan onrechtmatigedaad, namun dalam pembahasan selanjutnya hanya
dibahas mengenai zaakwaarneming dan onrechtmatigedaad, hal ini disebabkan
perbuatan demikianlah yang dominan terjadi dalam peraktek kehidupan masyarakat.
b. Penyelenggaraan Kepentingan (zaakwaarneming)
Menurut ketentuan pasal 1354 KUH Perdata, jika seseorang dengan sukarela
tanpa mendapat perintah untuk itu, mewakili urusan orang lain dengan atau tanpa
pengetahuan orang itu, maka secara diam-diam mengikat dirinya untuk meneruskan
146
serta menyelesaikan urusan tersebut hingga orang yang diwakili keppentingan itu
dapat mengerjakan segala sesuatu yang termasuk urusan itu. Selanjutnya ia
diwajibkan pula mengerjakan segala sesuatu yang termasuk urusan tersebut. Ia
memikul segala kewajiban yang harus dipikulnya, seandainya ia dikuasakan dengan
suatu pemberian kuasa yang dinyatakan dengan tegas.
Figur hukum yang diatur dalam pasal 1354 KUH Perdata ini disebut
zaakwarneming, yang oleh Sri Soedewi (1974 : 53) diterjemahkan dengan kata-kata
"peyelenggaraan kepentingan". Orang yang menyelenggarakan kepentingan itu tidak
dengan kuasa dari orang yang berkepentingan. Unsur-unsur penyelenggaraan
kepentingan adalah sebagai berikut :
1. Perbuatan itu dilakukan dengan sukarela, artinya atas kesadaran sendiri tanpa
mengharapkan suatu apapun sebagai imbalannya. Yang melakukan perbuatan itu
tidak mempunyai kepentingan apa-apa, kecuali manfaat yang berlkepentingan
sendiri. Dalam hal ini ia bertindak semata-mata karena kesediaan sesama
manusia, sesama anggota keluarga, sesama teman.
2. Tanpa mendapat perintah atau kuasa, artinya yang melakukan perbuatan itu
bertindak atas inisiatif sendiri tanpa ada pesan, perintah, kuasa dari pihak yang
berpekepentinmgan baik lisan maupun tulisan.
3. Mewakili urusan orang lain, artinya yang melakukan perbuatan itu bertindak
untuk kepentingan orang lain, bukan kepentingan pribadi sendiri. Urusan yang
diwakili itu dapat berupa perbuatan atau hukum atau perbutan wajar, misalnya
memelihara hewan, barang-barang berharga, mengurus harta benda yang
terlantar.
4. Dengan atau tanpa pengetahuan orang itu, artinya orang yang berkepentingan itu
tidak mengetahui bahwa kepentingan diurus oleh orang lain. Namun demikian,
jika ia mengetahui hal itu ia tidak mencegah dan tidak pula memberi kuas kepada
orang yang menyelenggarakan kepentingan itu. Jadi, secara diam-diam ia
147
menyetujui kepentingan diurus oleh orang lain, walaupun mungkin bertentangan
dengan kehendaknya.
5. Wajib meneruskan dan menyelesaikan urusan itu, artinya sekali ia melakukan
perbuatan untuk kepentingan orang itu, ia harus mengerjakan sampai selesai,
sehingga orang yang diewakili kepentingan itu dapat menikmatik manfaatnya
atau dapat mengerjakan segala sesuatu yang termasuk urusan itu. Untuk itu ia
harus memenuhi segala kewajiban sebagai seorang bapak yang baik. Ia juga
diwajibkan menurut keadaan memberikan pertangungan jawaban. Ia juga
mengeluarkan biaya-biaya untuk mengurus kepentingan itu.
6. Bertidak menurut hukum, artinya dalam melakukan perbutan mengurus
kepentingan itu, harus dilakukan berdasarkan kewajiban menurut hukum
(undang-undang) atau bertindak tidak bertentngan dengan kehendak pihak yang
berkepentingan.
Karena perikatan ini lahir dari undang-undang maka hak dan kewajiban pihak-
pihak juga ditetapkan oleh undang-undang, seperti berikut ini;
1. Hak dan kewajiban mewakili
Ia wajib mengerjakan segala sesuatu yang termasuk urussan itu sampai
selesai, dengan memberikan pertangung jawaban. Apabila yang berkepentingan
meninggal dunia, yang mengurus kepentingan itu meneruskan ahli waris orang itu
dapat mengoper pengurusan tersebut (pasal 1355 KUH Perdata). Yang mengurus
kepentingan itu memikul segala beban, biaya atau ongkos mengurus kepentingan
itu.
Orang yang mengurus kepentingan itu berhak mendapat ganti kerugian dari
orang yang diwakili atas segala perikatan yang dibuatnya secara pribadi dan
memperoleh penggantian atas segala pengeluaran yang berfaedah atau perlu (pasal
1357 KUH Perdata). Jika ganti kerugian atau pengeluaran itu belum dilunasi oleh
yang berkepentingan, orang yang mewakili itu berhak menahan benda-benda yang
148
diurusnya sampai ganti kerugian atau pemngeluaran dilunasi. Hak ini disibur
"retensi".
2. Hak dan kewajiban yang diwakili
Pihak berkepentingan wajib memenuhi perikatan yang dibuat oleh wakili itu
atas namanya, membayar ganti kerugian atau pengeluaran yang telah dipenuhi oleh
pihak untuk mengurus kepentingan itu (pasal 1357 KUH perdata). Orang yang
berkepentingan berhak atas keringanan pembeyaran ganti kerugian atau
pengeluaran itu, yang disebabkan oleh kesalahan atau kelalaian pihak yang
mengurus kepentingan itu berdasarkan petimbangan hakim (pasal 1357 ayat 2
KUH Perdata). Pihak yang berkepentingan berhak meminta pertanggung jawaban
atas pengurusan kepentingan itu.
Dalam perikatan zaakwaarneming tidak dikenal upah. Undamg-undang
menentukan bahwa pihak yang telah mewakili urusan orang lain, tidak berhak atas
suatu upah (pasal 1358 KUH perdata). Namun demikian, pertimbangan untuk
memberikan sekedar imbalan atas dasar kemanusiaan terserah pada orang yang
berkepentingan sendiri.
Jika diperhatikan, perikatan zaakwarneming ini sesuai dengan falsafah
negara kita Pancasila. Perikatan ini perlu dioper dalam hukum perdata nasional
kita. Walaupun berdasarkan observasi jarang ditemukan keadaan ini, motivasi
timbulnya perikatan ini dapat dijumpai dalam masyarakat yang sifat pangujuban
masih diutamakan, misalnya di daerah pedesaan, di daerah yang jauh dari kota
besar. Contoh zaakwarneming adalah sebagai berikut :
(1) Orang yang berkeinginan berdinas di suatu daerah karena mendapat kecelakaan
lalu lintas, kemudian dirawat di R.S. Sementara anak dan rumahnya diurus
oleh tetangga dekatnya, sedangkan yang bersangkutan tidak mempunyai
keluarga yang berhak mengurus itu. Tetangga dekat tersebut menurut undang-
149
undang wajib mengurus anak dan harta kekayaannya itu sampai yang
bersangkutan pulih kembali.
(2) Seorang dosen yang memelihara ternak ayam negeri dalam jumlah yang besar,
pergi keluar negeri karena mendapat tugas belajar dan perginya secara
mendadak, sehingga terlantar usahanya itu. Tanpa kuasa dari yang
bersangkutan, kakaknya mengurus ternak tersebut.
Ada beberapa perbedaan antara penyelenggaraan kepentingan
(zaakwaarneming) dan pemberian kuasa (lastgeving) antara lain:
1. Pada penyelenggaraan kepentingan, perikatan timbul karena undang-undang,
sedangkan pada pemberian kuasa, perikatan timbul karena adanya perjanjian;
2. Penyelemngaraan kepentingan tidak berhenti jika yang diwakili itu meninggal
dunia, sedangkan pada pemberian kuasa, perikatan berhenti jika pemberi kuasa
meninggal dunia;
3. Pada penyelenggaraan kepentingan tidak dikenal upah, karena dilakukan secara
sukarela, sedangkan pada pemberian kuasa, penerima kuasa berhak atas upah
karena diperjanjikan.
c. Perbuatan Melawan HukumDalam usaha mengetahui apa yang dimaksudkan dengan "perbuatan melawan
hukum" (onrechtmatige daad), Pasal 1365 KUHPerdata menentukan sebagai berikut:
"Tiap perbuatan melawan hukum yang menimbulkan kerugian pada orang lain,
mewajibkan orang yang bersalah menimbulkan kerugian itu, mengganti kerugian
tersebut". Dari ketentuan pasal tersebut, dapat ditarik empat unsur penting yakni:
1. Perbuatan itu harus melawan hukum (onrechtmatig);
2. Perbuatan itu harus menimbulkan kerugian;
3. Perbuatan itu harus dilakukan dengan kesalahan;
4. antara kesalahan dan kerugian yang timbul harus ada hubungan kausal.
150
Salah satu saja dari unsur tersebut tidak dipenuhi, maka perbuatan itu tidak
dapat dikatakan perbuatan melawan hukum.
Perbuatan Melawan hukum terhadap diri pribadi
Perbuatan melawan hukum terhadap diri pribadi ini, dapat kita contohkan seperti
penghinaan. Penghinaan adalah perbuatan yang bertentangan dengan kesusilaan, jadi
dapat dimasukkan dalam perbuatan melawan hukum yakni pencemaran nama baik
seseorang. Oleh karenanya dapat dituntut berdasarkan Pasal 1365 KUHPerdata,
dikatakan demikian, karena penghinaan dapat menimbulkan kerugian terhadap nama
baik seseorang, martabat dan kedudukan seseorang dalam masyarakat. Menurut
ketentuan dalam Pasal 1372 KUHPerdata; "gugatan berdasarkan penghinaan
bertujuan mendapatkan ganti kerugian serta pemulihan nama baik seseorang.
DAFTAR BACAAN
Ahmad Ichsan, Hukum Perdata IA, Pembimbing Masa, Jakarta, 1969;
R.Subekti, Pokok-pokok Hukum Perdata, Intermasa, Jakarta, 1975;
Riduan Syahrani, Seluk-beluk dan Azas-azas Hukum Perdata, Alumni, Bandung,
1992;
Saleh Adiwinata, Perkembangan Hukum Perdata/Hukum Adat Sejak Tahun 1960,
Alumni Bandung, 1983;
Z.Ansori Ahmad, Sejarah dan Kedudukan BW di Indonesia, Rajawali, Jakarta,
1986;
Sri Soedewi Masjhoen Sofwan, Hukum Perdata dan Hukum Benda, Seksi Hukum
Perdata, Fakultas Hukum UGM, Yogyakarta, 1975;
151
BABVII HUKUM PERIKATAN-PERIKATAN PADA UMUMNYA
IDENTITAS MATA KULIAH
Nama Mata kuliah Kode Mata kuliah SKS Alokasi Pertemuan Penanggung Jawab Dosen Pemberi Kuliah
HUKUM PERDATA HKP 7205 3 24 Maryulis Martunus, S.H. 1. Muhammad Hasbi, S.H., M.H. 2. Linda Elmis, S.H., M.H.3. Ulfanora, S.H., M.H. 4. Rembrandt, S.H., M.Pd.5. Neneng Oktarina, S.H.
Deskripsi Singkat : Bagi mahasiswa yang mengikuti mata kuliah ini dibekali pengetahuan dan pemahaman tentang dasar-dasar hukum perdata yang diawali dengan pengenalan latar belakang hukum perdata tersebut, berikut pembahasan diarahkan pada pengaturan yang terdapat pada buku I KUHPerdata dengan segala perubahan
152
sebagai akibat pengaruh berlakunya berbagai ketentuan peraturan perundang-undangan Republik Indonesia, demikian juga terhadap Buku II yang mengatur tentang Benda dan Buku III yang mengatur tentang Perikatan dari KUHPerdata tersebut. Pembahasan yang dilakukan dalam rangka perkuliahan juga dikaitkan dengan berbagai perkembangan, baik karena sudah adanya ketentuan khusus yang mengatur juga disebabkan perkembangan masyarakat serta pengaruh global.
Tujuan Instruksional Umum : Setelah mengikuti mata kuliah, diharapkan mahasiswa
mempunyai bekal yang kuat tentang aspek hukum keperdataan, baik dari segi teoritisnya maupun perkembangan masyarakat
DAFTAR ISI HalamanLEMBAR PENGESAHAN...................................................................... iKATA PENGANTAR ............................................................................. iiIDENTITAS MATA KULIAH ………………………………………… iiiDAFTAR ISI ........................................................................................... iv I. PERTEMUAN PERTAMA 1. Pengenalan Silabus dan Referensi …................................................……... 1 2. Sasaran Perkuliahan ….................................................................…. 7 3. Pengantar Pengenalan Materi............................................................ 6 a. Istilah Kontrak ……….................................................................. 7 b. Pengertian Kontrak …................................................................... 9 c. Unsur-unsur Kontrak .................................................................... 10II. PERTEMUAN KEDUA 1. Pengaturan Kontrak ……………………………………………… 11 2. Teori-teori Tentang Kontrak …………………………………….. 12III. PERTEMUAN KETIGA 1. Para Pihak Dalam Kontrak ……………………………………… 16
153
2. Azas-azas Dalam Kontrak ………………………………………. 18IV. PERTEMUAN KEEMPAT DAN KELIMA 1. Syarat Sahnya Kontrak ………………………………………….. 21 2. Prestasi, Wanprestasi, Overmacht dan Ganti Kerugian …………. 26 3. Berakhirnya Kontrak ……………………………………………. 30V. PERTEMUAN KEENAM DAN KETUJUH 1. Standar Kontrak, Klausula Eksonerasi …………………………… 32VI. PERTEMUAN KEDELAPAN 1. Ujian Tengan Semester …………………………………………… 35VII. PERTEMUAN KESEMBILAN – KESEBELAS 1. Pra Kontrak ..……………………………………………………. 36 2. Pembuatan Kontrak ………………………………………………. 40 3. Pasca Kontrak ……………………………………………………. 47VIII. PERTEMUAN KEDUA BELAS – KELIMA BELAS 1. Teknik Perancangan Kontrak …………………………………….. 48 2. Contoh-contoh Kontrak …………………………………………… 61IX. P E N U T UP ……………………………………………………….. 83
KATA PENGANTAR
Dalam Usaha meningkatkan kualitas proses belajar mengajar dan lebih terarahnya perkuliahan, diperlukan acuan yang jelas, seperti adanya ketersediaan baku ajar bagi mahasiswa, sehinggga mahasiswa dapat memahami apa yang menjadi sasaran akhir dari perkuliahan yang diberikan.
Berkaitan dengan hal tersebut, tim pengajar yang tergabung dalam mata kuliah “Diklat Kemahiran Hukum Kontrak” dapat dijadikan pedoman dalam memberikan perkuliahan. Buku ajar ini sewaktu-waktu dapat ditinjau ulang jika materi yang terdapat di dalamnya membutuhkan penyesuaian dengan kebutuhan pasar
154
dan atau perkembangan keadaan serta masukan-masukan dari berbagai pihak termasuk dalam penyesuaian kurikulum dan tenaga pengajarnya.
Oleh karenanya tim pengajar diklat kemahiran hukum kontrak akan sangat berterima kasih, jika ada masukan-masukan yang membantu, memperbaiki materi yang ada maupun sumbangan tenaga pengajar yang representatif untuk itu.
Demikian buku ajar ini dibuat, atas perhatian dan kerjasama maupun sumbang sarannya, sebelumnya diucapkan terima kasih. Padang, 5 Desember 2006 Penanggung Jawab Mata Kuliah
M. Hasbi, S.H., M.H.
155
BUKU AJAR HUKUM PERDATA
DI SUSUN OLEH TIM PENGAJAR
HUKUM PERDATA
Padang, 5 Desember 2006Dekan Fakultas Hukum Penanggungjawab Mata KuliahUniversitas Andalas Padang Hukum Perdata
Prof. DR. Elwi Danil, S.H., M.H. M. Hasbi, S.H., M.H
156
NIP. 130 819 554 NIP. 131 918 304
FAKULTAS HUKUMUNIVERSITAS ANDALAS
PADANG, 2006
157
BUKU AJAR HUKUM PERDATA
DI SUSUN OLEH TIM PENGAJAR
HUKUM PERDATA
158
FAKULTAS HUKUMUNIVERSITAS ANDALAS
PADANG, 2006
KATA PENGANTAR
Syukur Alhamdulillah, penulis ucapkan kepada Allah, SWT, karena berkat rahmat dan hidayahNya, Diktat Hukum Perdata ini dapat diselesaikan, walaupun jauh dari kesempurnaannya.
Diktat Hukum Perdata ini, sengaja dibuat oleh penulis, adalah dalam rangka membantu mahasiswa dalam melaksanakan proses belajar mengajar, disamping itu digunakan sebagai pedoman dalam memberikan perkuliahan bagi dosen pengasuh mata kuliah hukum perdata.
Diktat hukum perdata ini, materinya telah disesuaikan dengan perkembangan, terutama dengan keluarnya berbagai peraturan perundang-undangan dan ini sangat berpengaruh terhadap KUHPerdata itu sendiri sebagai satu kesatuan yang utuh. Dalam arti dengan berlakunya undang-undang nasional, mengakibat sebagian dari pasal-pasal yang ada sudah tidak berlaku lagi.
Diktat ini tidaklah akan terselesaikan, jika tidak adanya partisifasi dari rekan-rekan sesama staf pengajar pada Fakultas Hukum Universitas Andalas Padang. Oleh karenanya izinkan penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya.
Padang, .... Nopember 1998
Penulis
159