30
Kasultanan Samawa di Pulau Sumbawa dalam Kurun Waktu Abad XVII – XX Tawalinuddin Haris [email protected] Abstrak Kasultanan Samawa adalah salah satu di antara kerajaan Islam di pulau Sumbawa. Wilayahnya meliputi Kabupaten Sumbawa Besar dan Kabupaten Sumbawa Barat serta pulau-pulau kecil disekitarnya. Kasultanan Samawa berdiri sekitar pertengahan abad ke-17 hingga tahun 1958. Selama keberadaannya, Kasultanan Samawa telah dipimpin dan diperintah oleh 18 atau 19 raja/sultan. Sultan yang pertama adalah Mas Pamayaan, sedangkan Muhammad Kaharuddin adalah sultan yang terakhir. Kata Kunci: Kasultanan, Sultan, Samawa. Abstract Kasultanan Samawa is one of Islamic Kingdoms in Sumbawa Island. This Kingdom involves Sumbawa Besar and West Sumbawa regencies. Samawa Kingdom was established in the mid of17 th Centuryup to 1958. This Kongdom has been led by 18 or 19 kings or sultans. The first sultan was Mas Pamajaan, and the last Sultan was Muhammad Kaharuddin. This article a Sumawalive work of the research on Kesultanan Sumawa in the XVII-XX century, which was conducted in 2015. Keywords: Kasultanan, Sultan, Samawa.

Kasultanan Samawa di Pulau Sumbawa ... - jlka.kemenag.go.id

  • Upload
    others

  • View
    8

  • Download
    0

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: Kasultanan Samawa di Pulau Sumbawa ... - jlka.kemenag.go.id

Kasultanan Samawa di Pulau Sumbawa dalam Kurun Waktu Abad XVII – XX

Tawalinuddin Haris [email protected]

Abstrak Kasultanan Samawa adalah salah satu di antara kerajaan Islam di pulau

Sumbawa. Wilayahnya meliputi Kabupaten Sumbawa Besar dan Kabupaten Sumbawa Barat serta pulau-pulau kecil disekitarnya. Kasultanan Samawa berdiri sekitar pertengahan abad ke-17 hingga tahun 1958. Selama keberadaannya, Kasultanan Samawa telah dipimpin dan diperintah oleh 18 atau 19 raja/sultan. Sultan yang pertama adalah Mas Pamayaan, sedangkan Muhammad Kaharuddin adalah sultan yang terakhir.

Kata Kunci: Kasultanan, Sultan, Samawa.

Abstract Kasultanan Samawa is one of Islamic Kingdoms in Sumbawa Island. This

Kingdom involves Sumbawa Besar and West Sumbawa regencies. Samawa Kingdom was established in the mid of17th Centuryup to 1958. This Kongdom has been led by 18 or 19 kings or sultans. The first sultan was Mas Pamajaan, and the last Sultan was Muhammad Kaharuddin. This article a Sumawalive work of the research on Kesultanan Sumawa in the XVII-XX century, which was conducted in 2015.

Keywords: Kasultanan, Sultan, Samawa.

Page 2: Kasultanan Samawa di Pulau Sumbawa ... - jlka.kemenag.go.id

Jurnal Lektur Keagamaan, Vol. 13, No. 1, 2015: 1 – 30

2

Pendahuluan

Kasultanan Samawa adalah salah satu diantara 6 kerajaaan yang pernah ada di pulau Sumbawa yaitu: Kerajaan Bima, Dompu, Papekat, Sanggar, Tambora dan Samawa. Dalam sumber Cina, Chu-fan-chi yang ditulis oleh Chou-ju-kua pada tahun 1225 di-sebutkan bahwa diantara 15 daerah yang menjadi kekuasaan Cho-po disebutkan nama Ta-kang, yang diduga berlokasi di pulau Sumbawa, Flores atau Sumba. Disebutkan pula sejumlah pulau yang ditaklukkan oleh Jawa (Cho-po), yaitu Bali, Gurun, Tanjung-pura, Timor, Maluku dan Bonggai.1 Jika Cho-po identik dengan Jawa maka kerajaan yang berkuasa di Cho-po pada waktu itu adalah kerajaan Kadiri. Menurut van Naerssen, Kadiri merupakan kerajaan maritim karena di dalam salah satu prasastinya (Prasasti Jaring) yang berangka tahun 1103 Saka (1181 AD.) disebut nama Senapati Sarwwajala, seorang pejabat (panglima) yang berhu-bungan dengan tugas-tugas kelautan. Seperti halnya Sriwijaya di Sumatera, Kadiri adalah kerajaan Jawa yang mengembangkan kekuatan maritim, yang mengontrol Bali, kepulauan Sunda Kecil, Sulawesi bagian selatan dan Kalimantan bagian tenggara.2 Jika tafsiran itu dapat diterima maka ada kemungkinan pulau Sumbawa termasuk wilayah kekuasaan kerajaan Kadiri, atau setidak-tidaknya ada dibawah pengaruhnya.3

Dalam sejumlah naskah Jawa kuno seperti Nagarakertagama, Pararaton, Kidung Pamancangah, Kidung Ranggalawe dan Serat Kanda disebutkan sejumlah nama tempat di pulau Sumbawa yang menjadi bukti bahwa tempat-tempat tersebut sudah dikenal oleh kerajaan Majapahit. Dalam kitab Nagarakertagama, pupuh 14: 3 yang ditulis oleh Mpu Prapanca pada tahun 1365 disebutkan se-bagai berikut: 4

1 N.J. Krom, Zaman Hindu, (Jakarta: PT. Pembangunan, 1954), h.160-163. 2 G.R.Tibbetts, M.A., A.L.A. 1957. ” Early Muslim Traders in Southeast

Asia,” Journal Royal Asiatic Society, h. 5. 3 F.H. van Naerssen, ”Hindoejavaansche Overblijfselen op Soembawa”,

Tijdschrift van het (Koninklijk Nederlandsch Aardrijkskundige Genootschap, deel LV, 1938), h. 91-92.

4 Th, Pigeaud, Java in The Fourteenth Century Vol. I: Javanese Texs in Transcription. (Koninklijk Instituut voor Taal, Land en Volkenkunde, The Hague Martinus Nijhoff, 1960), h. 17.

Page 3: Kasultanan Samawa di Pulau Sumbawa ... - jlka.kemenag.go.id

Kasultanan Samawa di Pulau Sumbawa — Tawalinuddin Haris

3

“sawetan ikanang tanah jawa muwah ya warnananenri bali makamulya tan badahulu mwan i lwagajah gurun makamulya sukun ri taliwang ri dompo sape ri sanghyang apibhima ceran i hutan kadaly apupul”

Dari kutipan di atas disebutkan sejumlah nama tempat di pulau Sumbawa yang termasuk dalam wilayah kerajaan Majapahit, yaitu: Taliwang, Dompo, Sape, Sanghyang Api, Bhima, Seran dan Hutan Kadaly, tiga di antara nama-nama tempat itu sekarang berlokasi di Sumbawa bagian barat, yaitu:Utan Kadaly (di Kabupaten Sumbawa Besar), kemudian Taliwang dan Seran (di Kabupaten Sumbawa Barat). Apakah nama-nama tempat yang disebutkan dalam Nagara-kertagama itu sudah memiliki sistem pemerintahan sendiri atau bagian dari suatu sistem pemerintahan (kerajaan) yang lebih besar, belum diketahui secara pasti. Tetapi pada masa kasultanan Sum-bawa, ketiga nama atau tempat yang disebutkan dalam kitab Nagarakertagama itu yakni Utan Kadaly, Taliwang dan Seran termasuk dalam wilayah kasultanan Sumbawa.

Selain dengan pulau Jawa, Sumbawa memiliki hubungan politik dan sosial budaya dengan Bali. Dalam Kidung Pamancangah misalnya, disebutkan bahwa Pasung Rigih (Pasung Girih), raja Bedahulu (Bedulu) mengirim ekspedisi ke Sambhawa yang pada waktu itu diperintah oleh Dedelanatha. Bahkan di bagian lain dari kidung itu menyebutkan bahwa cucu perempuan Mpu Kapakisan, seorang Brahmana dari Jawa kawin dengan seseorang dari Sambhawa.5 Ketika raja Batu Renggong memerintah di Kerajaan Gelgel dengan ibukotanya Samprangan (Gianyar), pulau Bali merupakan kerajaan yang berdiri sendiri, lepas dari kerajaan Majapahit. Batu Renggong tidak hanya memerintah seluruh Bali, tetapi sampai di Sasak (Lombok), Sumbawa serta seluruh Balambangan sampai Puger (Lumajang).6 Apakah Sambhawa (Sumbawa) identik dengan pulau Sumbawa yang tentunya termasuk di dalamnya Sumbawa Timur (Bima dan Dompu), ataukah yang dimaksudkan hanya Sumbawa Barat yang sekarang menjadi wilayah Kabupaten Sumbawa Besar dan Kabupaten Sumbawa Barat dapat didiskusikan lebih jauh. Namun dari

5 F.H.van Naerssen, op.cit.h. 92. 6 H.J.de Graaf, “Lombok In De 17e Eeuw”,(Djawa,Tijdschrift van het Java-

Instituut, XXI, 1941), h. 357

Page 4: Kasultanan Samawa di Pulau Sumbawa ... - jlka.kemenag.go.id

Jurnal Lektur Keagamaan, Vol. 13, No. 1, 2015: 1 – 30

4

penjelasan di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa pengaruh budaya Hindu di Sumbawa bagian barat datang atau dibawa dari Jawa dan Bali.

Kalau kita merujuk pada berita Cina,Chu-fan-chi, sebagaimana telah dipaparkan di atas, mungkin pengaruh budaya Hindu sudah hadir di Tanah Samawa sejak masa Kadiri sekitar abad ke-11, kemudian dilanjutkan pada masa berikutnya oleh Kerajaan Singha-sari dan Kerajaan Majapahit. Setelah kekuasaan Majapahit surut dilanjutkan oleh Kerajaan Gelgel dan Kerajaan Bedahulu. Dari sumber sastra Jawa kuno seperti telah dipaparkan di atas tersirat bahwa budaya Hindu dibawa ke Sumbawa melalui kekuatan senjata (perang) atau dengan cara damai, melalui perkawinan dan kontak dagang.

Dalam cacatan perjalan jarak jauh, Shun Feng Hsiang Sung yang ditulis sekitar 1430 M. diperoleh informasi berkenaan dengan rute pelayaran-perdagangan melalui pulau-pulau Sunda Kecil, termasuk pulau Sumbawa. Pertama adalah rute pelayaran-perda-gangan dari Banten ke Timor. Mulai dari Wan-tan (Banten) ke arah timur menyusuri pantai utara Jawa melewati Chiao-lu-pa (Kalapa), Chiao-ch’iang-wan (mungkin Tanjung Indramayu) Che-li-wen (Ci-rebon), Pa-na ta-shan (Gunung Muria), sampai ke Hu-chiao shan (Gunung Gunuk), dari sini ke Shuang-yin hsu (mungkin Tanjung Awar-Awar) sebelah barat Tuban. Dari sini ke Wu-liu-na shan (pulau Madura), melalui Selat Madura terus ke selatan menuju Jaratan dan Gresik, ke timur sampai ke ujung pulau Madura, terus ke selatan mencapai Pen-tzu-nu-kan (Panarukan) di pantai utara Jawa Timur, kemudian dari sana terus ke Ma-li ta-shan (Bali), Lang-mu (Lombok) dan San-pa-wa ta-shan (Sumbawa), Gunung Kadiendinae, melintasi Selat Sangheang, Selat Sape, pelabuhan P’ai (Labuan Jati), kemudian sampai ke ujung gunung Tan-yung (pulau Komodo barat daya). Dari sini terus ke Chi-tzu Shan (Toro Kerita di pulau Flores), terus ke Hsun-pa (Sumba), Su-lu (Solor) dan akhirnya sampai di Chu-pang (Kupang) di Ch’ih-wen (Timor). Kedua rute pelayaran-perdagangan dari Patani ke Timor. Dari Ta-ni (Patani) berlayar menuju ke pantai timur Semenanjung Malaya yang dikenal dengan Pulau Tioman (Ti-p’an), dari sini menuju Ch’i- hsu (pulau Badas), terus ke Ching-ning-ma-ta (Karimata), Chi-li-wen (Karimunjawa), dan ke pantai utara Jawa, menyusuri

Page 5: Kasultanan Samawa di Pulau Sumbawa ... - jlka.kemenag.go.id

Kasultanan Samawa di Pulau Sumbawa — Tawalinuddin Haris

5

Pa-na-ta-shan (Gunung Muria) dekat Japara, terus ke timur sampai Chi-li-shih (Gresik) menuju ke Shuang-ken-t’a/Shuang-yen t’a (pulau Raas), berbelok ke selatan menuju Mao-li (Bali), membelok ke timur ke Lang-mu (Lombok) terus ke San-po-wa (Sumbawa), Gunung Kadiendinae, melintasi Selat Sangheang, Selat Sape dan akhirnya ke Sumba dan Timor.

Publikasi mengenai kasultanan Sumbawa masih sedikit, seba-gian diantaranya dapat ditemukan dalam arsip-arsip VOC atau dalam laporan perjalanan para musafir (travel account) yang pernah datang ke Sumbawa seperti H. Zollinger (1847) dan J. Elbert (1909). Buku-buku yang ditulis para musafir itu saat ini tergolong buku langka, bahkan sudah menghilang dari berbagai perpustakaan, karena disengaja maupun tidak disengaja. Mungkin buku-buku tua seperti itu dianggap tidak bermanfaat sehingga tidak layak disimpan di perpustakaan.

Kendala lain yang menghantui para peneliti ialah bahasa yang digunakan (bahasa Belanda) dalam buku-buku tua itu sulit dipahami karena tidak diajarkan di Perguruan Tingggi. Melihat pada kenyataan tersebut di atas, melalui artikel ini penulis mencoba mengungkapkan beberapa aspek Kasultanan Samawa, sebagian besar di antara sumber yang digunakan diambil dari orang asing, para plancong, pegawai VOC atau Hindia Belanda. Semoga tulisan ini menjadi langkah awal dalam upaya kita merekonstruksi sejarah kerajaan-kerajaan tradisonal di seluruh nusantara yang selama ini luput dari perhatian kita. G.J. Resink mengatakan bahwa penjajahan Indonesia tidak berlangsung 3,5 abad, sebab penjajahan oleh bangsa asing sampai tahun 1910 belum meliputi seluruh kepulauan Indonesia, tetapi terbatas pada daerah-daerah tertentu saja. Sebelum tahun 1910 di kepulauan Indonesai terdapat beberapa kerajaan besar-kecil yang berkedudukan sebagai negara merdeka bertaraf internasional.7 Jika teori G.J. Resink itu benar, maka masih banyak di antara kerajaan kecil itu yang belum kita ketahui karena belum diteliti.

Pokok persoalan yang akan dibahas dalam tulisan ini adalah corak dan struktur serta proses berkembangnya kasultanan

7 G.J. Resink, Bukan 350 Tahun Dijajah. (Jakarta: Komunitas Bambu,

2013), h. 95-135; 249-285.

Page 6: Kasultanan Samawa di Pulau Sumbawa ... - jlka.kemenag.go.id

Jurnal Lektur Keagamaan, Vol. 13, No. 1, 2015: 1 – 30

6

Sumbawa dalam kurun waktu abad ke-17 sampai abad ke-19. Tujuannya adalah untuk memaparkan berbagai aspek dan perkembangan kasultanan Sumbawa, dalam rangka melengkapi atau mengisi bagian-bagian yang belum terungkap dalam Sejarah Nasional Indoonesia.8

Kehadiran Islam dan Berdirinya Kasultanan Samawa

Kehadiran Islam Dalam bukunya, Livro yang ditulis sekitar tahun 1518, Duarte

Barbarosa seorang pegawai pos dagang Portugis di Cannanor di pantai Malabar, menyebutkan sebuah pulau yang lebih kecil dari pulau Jawa. Pulau itu diberi nama Cinboaba, tanahnya subur dan kaya dengan berbagai jenis bahan makanan tetapi penduduk maupun rajanya menyembah berhala. Barbosa mengatakan“Beyond this Island Greater Java there is another Island which also very large and fertile and well-furnished with victuals of all kinds. It is peopled with Heathen and the King also is Heathen. The Island among them is called Cinboaba but the Moors, Arabs and Persians

it Lesser Java. Beyond this is yet another small Island called Oçape the midst where of fire is ever burning. Its people are Heathens who travel on horseback and are good riders. The women wear Suruces, they are great cattlebreeders.”9 Menurut Kuperus, pulau Cinboaba yang dimaksud oleh Duarte Barbarosa itu sangat

mungkin adalah pulau Sumbawa sedangkan pulau Ocape identik dengan pulau Sangeang.10 Duarte Barbosa mengatakan bahwa penduduk dan raja pulau Cinboaba itu masih menyembah berhala (Its people with Heathen and the King also is Heathen). Kata “heathen” (Inggris) atau “heiden“ (Belanda) bisa diterjemahkan dengan “penyembah berhala.” Berdasarkan laporan Duarte Barbarosa di atas, Kuperus berkesimpulan bahwa pada awal abad ke-16 agama Islam belum mendapatkan tempat berpijak di Sumbawa.11 Dalam sumber tertulis yang berasal dari masa

8 J.V. Mills, “Chinese Navigators in Insulinde about A.D. 1500” (Archipel

18, 1979), h. 81-84. 9 G. Kuperus,Het Cultuurlandschap van West-Soembawa, (Bij.J.B. Wolters

Uitgevers Maatschappijn, N.V, Groningen-Batavia, 1936), h. 132-133. 10 Loc.cit. 11 Ibid. h. 134.

Page 7: Kasultanan Samawa di Pulau Sumbawa ... - jlka.kemenag.go.id

Kasultanan Samawa di Pulau Sumbawa — Tawalinuddin Haris

7

kemudian diperoleh data bahwa selain menghasilkan berbagai jenis padi seperti campa, dara gisti, dara sasak, samba, tonjo, kalo, mayang pili, baliketujur, baso, legisama, legipunti, dan legipili, di pulau Sumbawa ditanam juga bawang merah, kacangijo, jagung, kemiri, labu, ubi, tembakau, katun, indigo, bahkan pada tahun 1880 mulai ditanam kopi. Dengan demikian, kalau Duarte Barbarosa menyebutkan bahwa Cinboaba (Sumbawa) sebagai “……..another Island which also very large and fertile and well-furnished with victuals of all kinds”, mungkin mengandung kebenaran.

Lalu Manca mengatakan bahwa agama Islam dibawa ke Sumbawa oleh para mubalig Arab dari Gresik sambil berniaga. Salah seorang diantaranya adalah Syekh Zainul Abidin, salah seorang murid Sunan Giri.12 Kalau benar, maka nama Sykeh Zainul Abidin mengingatkan kita pada Sultan Zainal Abidin (1486-1500), raja Ternate yang dianggap benar-benar memeluk agama Islam dan pernah belajar agama di pesantren Giri. Di Jawa Zainul Abidin dikenal dengan Raja Bulawa (raja cengkeh) karena ia membawa cengkeh dari Maluku sebagai persembahan. Sekembalinya dari Jawa, Zainal Abidin membawa seorang mubalig bernama Tuhu-bahalul.13 Tidak tertutup kemungkinan dalam perjalannya pulang ke negerinya (Ternate) mereka (Zaenal Abidin) singgah di Sumbawa untuk menyebarkan agama Islam.

Di dalam Babad Lombok disebutkan bahwa pembawa agama Islam ke pulau Lombok adalah Sunan Prapen putra Susuhunan Ratu dari Giri, Gresik. Sunan Prapen mengislamkam penduduk pulau Lombok dengan suatu ekspedisi militer dan setelah berhasil mengislamkan Lombok, Sunan Prapen melanjutkan perjalanan ke pulau Sumbawa mengislamkan Taliwang, Seran, dan Bima.14

12 Lalu Manca,Sumbawa Pada Masa Dulu (Suatu Tinjauan Sejarah),

(Surabaya: PT. Rinta, 1984), h. 50. 13 Uka Tjandrasasmita (editor), Sejarah Nasional Indonesia III. Jaman

Pertumbuhan Dan Perkembangan Kerajaan-Kerajaan Islam Di Indonesia. (Jakarta: Departemen Pendidikan Dan Kebudayaan, PN. Balai Pustaka, 1984), h. 22.

14 P.de Roo de la Faille, “Studie over Lomboksch Adatrecht, Bali en Lombok”, dalam : Adatrecht Bundels, XV, (s-Gravenhage Martnis Nijhoff, 1918), h. 135-140. Salah satu versi Babad Lombok selesai ditulis pada tahun 1301 H (1883 M). Lihat Lalu Wacana, Babad Lombok. (Jakarta: Departemen

Page 8: Kasultanan Samawa di Pulau Sumbawa ... - jlka.kemenag.go.id

Jurnal Lektur Keagamaan, Vol. 13, No. 1, 2015: 1 – 30

8

Menurut H.J, de Graaf,15 jika informasi dalam Babad Lombok itu dapat dibenarkan maka peristiwa itu berlangsung pada masa pemerintahan Sunan Dalem di Giri, Gresik, yaitu antara tahun 1506 sampai 1545. Jika mengacu pada Babad Lombok dan berita Duarte Barbarosa di atas, maka agama Islam di Tana Samawa datang atau dibawa dari Jawa (Gresik) sekitar antara tahun 1518 sampai tahun 1545.

Selain dari Jawa, agama Islam dibawa ke Tana Samawa dari Sulawesi Selatan oleh orang-orang Bugis dan Makasar, baik dengan pedang (perang) maupun dengan cara damai melalui perkawinan antara elit politik (penguasa) di pulau Sumbawa, baik di kasultanan Bima maupun di kasultanan Sumbawa. Dalam kronik Goa disebutkan bahwa Bima, Dompu dan Sumbawa ditaklukkan oleh Karaeng Matoaya, raja Tallo yang juga perdana menteri kerajaan Goa.Goa empat kali mengirim ekspedisi militernya ke Bima, dua kali ke Sumbawa dan masing-masing satu kali ke Dompu, Kengkelu (Tambora) dan Papekat.16 Pengiriman ekspedisi kerajaan Goa ke Sumbawa berlangsung pada tahun 1619 menurut cacatan harian kerajaan Goa dan tahun 1626 menurut catatan Speelman.17 Dalam sumber lokal (Buku Kerajaan) berangka tahun 1032 H/(1623 M), disebutkan perjanjian Tanah Goa dan Tanah Sumbawa dalam perang Sariyu. Dalam perjanjian tersebut dinyatakan bahwa Raja Sumbawa dengan suka rela mengucapkan dua kalimah syahadah di hadapan raja Goa, Tuminang Riagamana dengan syarat adat dan rapangnya tidak diganggu atau dirusak. Peristiwa tersebut disaksikan oleh Menteri Tetelu, Ranga Kiku, Nene Kalibelah, Nene Juru Pasalan, Mamanca Lelima, Lelurah Pepitu dan semua orang-orang besar kerajaan Sumbawa.18

Disisi lain kehadiran Islam di Sumbawa berhubung kait dengan posisi dan letak geografis pulau Sumbawa pada jalur pelayaran-perdagangan rempah-rempah dari Malaka dan Maluku, melalui

Pendidikan Dan Kebudayaan Proyek Penerbitan Buku Bacaan Dan Sastra Indonesia Dan Daerah, 1979), h. 18-19.

15 H.J.de Graaf, op. cit: h. 356. 16 J. Noorduyn, “Makasar and The Islamization of Bima”, (Bijdragen van het

Koninklijk Instituut., deel 142, 1987), h. 327-328. 17 Loc. cit. 18 Lalu Manca, op.,cit: h. 55.

Page 9: Kasultanan Samawa di Pulau Sumbawa ... - jlka.kemenag.go.id

Kasultanan Samawa di Pulau Sumbawa — Tawalinuddin Haris

9

pesisir utara Jawa, Bali, Lombok dan Sumbawa yang sudah terbina sejak awal abad ke-16 sebagaimana dilaporkan oleh Tome Pires, seorang musafir Portugis. Tome Pires mengatakan bahwa pulau-pulau yang dilalui setelah Jawa adalah Baly (Bali) Bombo (Lombok), Cimbava (Sumbawa), Byma (Bima), Foguo (Pulau Sangeng), Saloro (Solor), Malua (Alor), Lucucambay (Pulau Kambing), Citar, Batojmbey dan pulau-pulau lainnya sambung me-nyambung tak terputus.19 Pulau-pulau Sunda Kecil dengan air minum yang baik dan berlimpahnya suplay makanan merupakan tempat istirahat para pedagang Malaka dan Jawa dalam perjalanan ke Maluku atau sebaliknya. Di dalam aktivitas perdagangan itu terlibat para pedagang muslim, sehingga kontak dagang antara penduduk setempat dengan pedagang muslim diduga sudah lama berlangsung. Tidak tertutup kemungkinan sebagian diantara peda-gang-pedagang muslim itu singgah dan menetap di Sumbawa se-lama beberapa waktu, kemudian menyebarkan agamanya. Ada juga kemungkinan bahwa aktivitas pedagang-pedagang muslim Nusantara sepanjang jalur rempah-rempah menyebabkan agama Islam tersebar luas, sehingga dalam hubungan ini perdagangan menjadi faktor penting dalam Islamisasi di pulau di Sumbawa.

Berdirinya Kasultanan Samawa Kapan proses Islamisasi mencapai puncaknya di Tana Samawa

(Sumbawa Barat) dan munculnya pusat kekuasaan Islam (kasul-tanan Samawa) belum diketahui secara pasti. Lalu Manca berpendapat Sultan Harunnurrasyid I yang memerintah 1674-1702 adalah raja/sultan pertama dari Dinasti Dewa Dalam Bawa. Dinasti ini muncul setelah Dinasti Awan Kuning dengan rajanya yang terakhir Dewa Maya Paruwa. Selama keberadaan Kasultanan Sa-mawa sempat memerintah (berkuasa) 15 sultan, mulai dari sultan pertama, Harunurrasyid I (1674-1702) sampai sultan ke-15, Mu-

19 Armando Cortesao,The Suma Oriental of Tome Pires : An Account of the

East from Read Sea to Japan , Written in Malacca and India in 1511-1644. Translated from Portuguese MS in the Bibliothique de la chamber des Deputes, Foris and Edited by Armando Cortesao, (London : The Hakluyt Society, 1944), h. 200-202.

Page 10: Kasultanan Samawa di Pulau Sumbawa ... - jlka.kemenag.go.id

Jurnal Lektur Keagamaan, Vol. 13, No. 1, 2015: 1 – 30

10

hammad Kaharudin III (1931-1958 ).20 Kalau kita mengacu pada pendapat J. Noorduyn, kasultanan Samawa sudah berdiri sebelum tahun 1648, meskipun tidak diketahui siapa nama rajanya. Menurut Noorduyn selama keberadaannya di kasultanan Sumbawa sempat memerintah 18/19 raja atau sultan, dimulai dari Mas Pamayan atau Mas Cini (1648-1668) sebagai raja yang kedua dan Sultan Mu-hammad Kaharuddin (1931-1958) sebagai sultan yang ke-19.21 Sultan yang paling lama berkuasa/memerintah adalah Sultan Amrullah (1837-1883), beliau adalah sultan yang ke-13 menurut versi Lalu Manca dan sultan yang ke-17, menurut versi Noorduyn.

Secara astronomis letak kasultanan Sumbawa antara B.T.116035’ dan B.T.1180 15’ dan antara L.S. 805’ dan 905’ menit. Luasnya sekitar 844 km persegi dengan wilayah hukum menurut Lange Politik Contrak (1938) sebagai berikut. Di sebelah utara berbatasan dengan Laut Flores, sebelah selatan dengan Samudra Hindia, sebelah barat dengan Selat Alas, dan di sebelah timur dengan Kerajaan Dompu. Terdiri atas tanah (pulau) sebagai berikut. Pertama, sebagian dari pulau Sumbawa, yaitu tanah di sebelah barat kabupaten (landschap) Dompu, Garis batas antara kasultanan Sumbawa dengan Dompu dimulai dari Ujung Pekat di pesisir utara pulau Sumbawa, dari sana ditarik garis lurus ke arah Ayer (Air) Lampa di sungai Kowangko dan dari sana kemudian ditarik garis lurus ke arah Ujung Batu Kerbo di pesisir selatan pulau Sumbawa. Kedua, pulau-pulau kecil lainnya yaitu pulau-pulau Dewa, Buraang, Rakit, Defi, Tai Kebo, Lipan, Santigi, Natu, Dempu, Tangar, Papan, Ngali, Batu, dua pulau kecil dekat Pulau (pulu) Ngali, Liang, Dengar, Mayo, Medang, Kramat, Kamudu, dua pulau kecil ber-nama Pulau Panjang, Ranga, Kaung, Bungin, Kalong, Lawang, Bilang, Kili, Pasaran, Ular, Batu, Nyamuk, Puyin, Raja Kepeng dan Kuwu.22 Wilayah kasultanan Sumbawa menurut Lange Politiek Contract 1938 sebagaimana dikutip Lalu Manca sama seperti yang disebutkan oleh J.E. Jasper dalam

20 Lalu Manca, op.cit., h. 93-166. 21 J. Noorduyn,Bima en Sumbawa, Bijdrage tot de Geschiedenis van de

Sultanaten Bima en Seombawa door a. Ligtvoet en G.P. Rouffaer.”,VKI. 129 (Foris Publications Dordrecht-Holland/Providence-USA, 1987), Bijalage I.

22 Lalu Manca, op.cit. : 86-87.

Page 11: Kasultanan Samawa di Pulau Sumbawa ... - jlka.kemenag.go.id

Kasultanan Samawa di Pulau Sumbawa — Tawalinuddin Haris

11

artikelnya yang terbit 30 tahun sebelumnya,23 atau dalam kontrak antara kompeni dengan Sultan Sumbawa pada tahun1875.24 Ini berarti bahwa selama 63 tahun wilayah kasultanan Sumbawa tidak mengalami perubahan. Jasper juga mencatat sejumlah pelabuhan di wilayah kasultanan Sumbawa, yaitu Jambu, Labuaji, Tawejung, Labun Bonto, Telok Santong, Labuh Juntal, Kuris, Sumbawa, Labuh Penyorong, Labuh Buer, Labuh Alan, Labuh Alapan, Labuh Sepake, Labuh Balat dan Labuh Lalar.

Gambar 1: Istana Sultan Sumbawa, Dalam Loka (sebelum dipugar)

Wilayah dan Sistem Pemerintahan A. Pembagian Wilayah

Wilayah kesultanan Sumbawa seperti dipaparkan di muka, terdiri atas: a). Wilayah inti kerajaan (hoofdplaats), b). Wilayah di

23 J.E. Jasper, “Het Eiland Soembawa En Zijn Bevolking”, Tijdschrift voor

het Binnenlandsche Bestuur, deel 34, (1908), h. 76-77. 24 J. Noorduyn, Bima en Sumbawa, Bijdrage tot de Geschiedenis van de

Sultanaten Bima en Seombawa door a. Ligtvoet en G.P. Rouffaer.,VKI. 129, (Foris Publications Dordrecht-Holland/Providence-USA, 1987), Bijalage VII, h. 161-162.

Page 12: Kasultanan Samawa di Pulau Sumbawa ... - jlka.kemenag.go.id

Jurnal Lektur Keagamaan, Vol. 13, No. 1, 2015: 1 – 30

12

luar inti kerajaan atau pengantong,dan c).Wilayah vazal Wilayah inti adalah Sumbawa (Sek; kota Sumbawa Besar) yang merupakan ibukota kasultanan, terbagi menjadi 4 kampung atau karang yaitu

Lĕmpi, Brangbara, Samawa Puwĕn dan Lawang Sekĕtĕng. Lĕmpi

diperin-tah oleh Dea Longan Lĕmpi, Brangbara oleh Dea

Kademungan, Samawa Puwĕn oleh Dea Longan Samawa Puwĕn

dan Lawang Sekĕtĕng diperintah oleh Datu Busing.Wilayah inti kerajaan dihuni oleh golongan penduduk yang disebut Tau Juran.25 Sehubungan dengan pembagian ibukota menjadi empat karang atau kampung, maka Sumbawa Besar disebut ampat lawang, yang artinya empat pintu.26 Apakah pembagian empat itu mempunyai makna religius-magis atau hanya sekedar kegunaan yang praktis dalam penataan kota,perlu dikaji lebih jauh. Selain di wilayah inti kerajaan, Datu Busing berkuasa ataskampung Panjaring dibagian timur kasultanan Sumbawa (Samawa).

Sebagian besar wilayah di luar wilayah inti terbagi kedalam 10 wilayah yang disebut penganton dan setiap penganton diperintah oleh seorang Otak Penganton. Ke sepuluh Otak Penganton itu adalah : Dea Ranga, Dea Kalibela, Datu Busing, Dea Longan

Samawa Puwĕn, Dea Bawa, Dea Mangku, Dea Ngarru, Bumi Ngampo, Demong Kriya dan Demung Mapin. Ligvoet, menyebut tujuh yang pertama sebagai binnen-penganton atau penganton dalam dan tiga yang terakhir sebagai buiten-penganton atau penganton luar.27 Disebut demikian, karena mereka bertempat tinggal di dalam dan di luar ibukota kerajaan. Di antara nama-nama Otak Penganton diatas, ada yang merangkap jabatan, yaitu Dea Ranga, Dea Kalibela, Datu Busing, dan Dea Longan Samawa

Puwĕn. Jabatan rangkap itu memberikan kewenangan tambahan bagi yang bersangkutan, sehingga dapat menyulitkan sultan karena ada diantaranya yang menganggap diri sebagai semacam onder-

25 A. Ligvoet, Aanteekeningen Betreffende den Economischen Toestand en

de Ethnographie van het Rijk van Sumbawa”, Tijdschrift voor Indische Taal-, Land , en Volkenkunde, deel 23, (1876), h. 574.

26 Helius Syamsuddin, “Perubahan Politik Dan Sosial Di Pulau Sumbawa: Kesultanan Bima dan Kesultanan Sumbawa (1815-1950),” Makalah Seminar Sejarah Nasional IV di Yogyakarta, (Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1985), h. 618.

27 A.Ligvoet. op.cit. h. 575.

Page 13: Kasultanan Samawa di Pulau Sumbawa ... - jlka.kemenag.go.id

Kasultanan Samawa di Pulau Sumbawa — Tawalinuddin Haris

13

koning (raja bawahan) yang kadang-kadang membangkang pada pemerintah pusat.28 Para kepala penganton ini termasuk dalam pemerintahan kerajaan (rijksbestuurder) dan kelas bangsawan. Selain itu, di dalam wilayah penganton terdapat pejabat-pejabat bawahan yang disebut nyaka, yang langsung berada di bawah para kepala penganton. Namun, berbeda dengan para kepala penganton yang diangkat dan diberhentikan oleh sultan, maka nyaka yang sederajat dengan kepala desa atau kepala beberapa kampung dipilih oleh rakyat. Sebaliknya, kampung Bugis dekat Sumbawa diperintah seorang Bugis yang bergelar kapiten, dibantu dua pejabat bawahan disebut panglima, sedangkan tempat-tempat di mana orang-orang Bugis bermukim dipimpin oleh pejabat bergelar Matowa.29

Wilayah vazal terdiri dari Taliwang, Seran (Seteluk) dan Jare-weh, masing-masing diperintah oleh seorang pejabat bergelar datu atau datu meraja. Yang menarik perhatian bahwa ketiga penguasa (datu) negara vazal ini (Taliwang dan Jerewe) dapat diangkat menjadi Sultan Sumbawa atau Sultan Sumbawa dapat merangkap sebagai penguasa di daerah vazal. Sultan Hasanuddin atau Alauddin, sultan ke-10 (versi Noorduyn) adalah Datu Jerewe; Sultan Muhammad Jalaluddin, sultan ke-11 (versi Noorduyn) adalah Datu Taliwang dan Sultan Harun Al-Rasyid, sultan ke-12 (versi Noorduyn) adalah Datu Jerewe.30 Mereka dibantu tiga orang menteri atau menteri telu dengan nama atau sebutan yang berlainan. Di Taliwang ketiga menteri yang mendampingi Datu Taliwang adalah Enti Desa, Kanu dan Pelasan, di Jerewe, Enti Desa, Pelasan dan Mekal Tana, sedangkan di Seran adalah Raja Desa, Mariah dan Demang Garah.31 Dengan demikian sistem atau struktur birokrasi di negara vazal sama dengan di pusat kerajaan. Ketiga wilayah vazal ini disebut Telu Kamutar atau Negeri Kamutar (kamutar-landen). Sebelum orang-orang Bali menaklukkan pulau Lombok (Selaparang), pulau itu termasuk negara vazal kerajaan Sumbawa sehingga disebut Ampat kamutar.32 Setiap wilayah vazal dibagi-bagi lagi menjadi wilayah yang lebih

28 Helius Syamsuddin, op.cit. h. 618. 29 A.Ligvoet, op.cit. h. 579 30 J.Noorduyn, op.cit.Bijlage I. 31 Lalu Manca, op.cit. : 83-85. 32 Ibid : 555.

Page 14: Kasultanan Samawa di Pulau Sumbawa ... - jlka.kemenag.go.id

Jurnal Lektur Keagamaan, Vol. 13, No. 1, 2015: 1 – 30

14

kecil (galarang schappen), dipimpin oleh seorang galarang. Galarang atau galarang kepala dijumpai juga dalam struktur birokrasi kerajaan Goa dan kerajaan Bima.

Setelah Datu Seran dan Datu Jerewe meninggal dunia, wilayah kekuasaannya, Seran dan Jerewe langsung diperintah oleh sultan. Zollinger menyebut kepala pemerintahan Taliwang, Raja Desa,33 sedangkan Ligtvoet menyebutnya Enti Desa, sebaliknya penguasa-penguasa Seran dan Jerewe menyebut dirinya, Datu, tetapi Ligtvoet menyebutnya Ranria.34 Dalam hal hubungan pemerintah pusat dengan ketiga negara vazalnya, sultan menyerahkan sepenuhnya kepada tiga pejabat tinggi kerajaan (rijksgrooten), Dea Ranga, Dea Kalibela dan Dea Dipati. Taliwang hanya berurusan dengan Dea Ranga, Seran (Seteluk) dengan Dea Kalibelah dan Jerewe dengan Dea Dipati. Jika sampai terjadi Dea Rangga berhubungan langsung dengan Seran atau Jerewe tanpa melalui Dea Kalibela atau Dea Dipati, maka hal itu disebut lontak lawang (overschrijven van deur), tindakan itu dipandang sangat tercela dan Dea Rangga dapat didenda, demikian juga halnya jika terjadi pada dua pejabat lainnya.35

Selain dari wilayah-wilayah yang telah disebutkan di atas, menurut J.E Jasper masih ada sejumlah desa yang dikuasai oleh pejabat-pejabat tinggi kerajaan. Datu (Dea) Rangga berkuasa atas desa-desa Ampang dan Plampang (di bagian timur), Utan, Alas dan Mapin (di bagian barat), Suri, Selesek, Garantah dan Dodo (di bagian tengah). Datu (Dea) Kalibelah, berkuasa atas desa-desa Baturotok, Jamu Baudesa dan Tongkon-Pulit, Dipati Longang menguasai desa Boer, Tengahanom dan Lampui, Kadimongang

33 H. Zollinger, “Verslag van eene reis naar Bima en Soembawa en eenige

plaatsen op Celebes, (Saleir en Flores”, VBG.1850), h. 161. 34 A. Ligvoet, op. cit. h. 579. 35 H.Zollinger, op. cit; h. 161; A. Ligvoet, op. cit. h. 579. Menurut Peter R.

Goethals, istilah lontak lawang (jump over the gate) “refers to the villager who flees his own community when in distress and than appeals for protection or adjudication to the authorities of another area”. (Periksa : Peter R. Goethals, Aspects of Local Government in A Sumbawan Villagers (Eastrn Indonesia). Monograph Series, Modern Indonesian Project, Southeast Asean Program De-partemen of of Far Eastern Studies, (Cornel University, Ithaca, New York, 1961), h. 20.

Page 15: Kasultanan Samawa di Pulau Sumbawa ... - jlka.kemenag.go.id

Kasultanan Samawa di Pulau Sumbawa — Tawalinuddin Haris

15

menguasai desa-desa Mungkin, Kelawis dan Kupu, sedangkan Tomilalang atas desa Sesat.36

Gambar 2: Salah satu makam dikomplek makam Sampar (Sumbawa)

B. Pemerintahan dan Sistem Titulatur Dalam struktur birokrasi kasultanan Samawa, pemegang

kekuasaan tertinggi pemerintahan adalah sultan, diangkat atas dasar turun-temurun dari Dinasti Dewa Dalam Bawa oleh suatu lembaga yang disebut Dewan Hadat atau Dewan Hadat Syara atau Dewan Syara Hukum Islam. Sultan dalam bahasa Sumbawa disebut Datu Mutar, tetapi oleh rakyatnya disebut Dewa atau Dewa Mas Sa-mawa. Gelar Dewa adalah gelar yang lazim dipakai untuk golongan kesatria dalam sistem kasta di Bali.37 Di atas telah disinggung bahwa dalam Kidung Pamancangah disebutkan bahwa Pasung Girih, raja Bedahulu mengirim ekspedisi ke Sambhawa yang pada

waktu itu diperintah oleh Dĕdĕlanatha. Bahkan dalam sumber yang sama disebutkan perkawinan cucu perempuan Mpu Kapakisan, seorang Brahmana dari Jawa dengan seseorang dari Sambhawa. Sumber lain menyebutkan bahwa ketika raja Batu Renggong berkuasa dikerajaan Gelgel dengan ibukotanya Samprangan

36 J.E. Jasper, op.cit. : 80. 37 L.W.C. van den Berg, “De Mohammedaansche Vorsten in Nederlandsch

Indie,“ (Bijdragen van het Koninklijk Instituut, LIII, 1902), h. 1-80.

Page 16: Kasultanan Samawa di Pulau Sumbawa ... - jlka.kemenag.go.id

Jurnal Lektur Keagamaan, Vol. 13, No. 1, 2015: 1 – 30

16

(Gianyar), Batu Renggong tidak hanya memerintah seluruh Bali, tetapi sampai di Sasak (Lombok), Sumbawa dan seluruh Blambangan sampai Puger (Lumajang). Apakah Sambhawa (Sumbawa) yang pernah menjadi wilayah kekuasaan Dinasti Gelgel identik dengan pulau Sumbawa (Samawa) atau hanya Sumbawa bagian barat saja, masih perlu dikaji lebih jauh. Namun informasi di atas dapat menjelaskan keberadaan nama atau gelar dewa dalam system titulatur kerajaan Sumbawa, ada kemungkinan bahwa gelar atau nama itu merupakan pengaruh atau diadopsi dari sistem titulatur yang sudah ada di Bali. Jabatan atau gelar lain yang ditenggarai merupakan pengaruh atau diadopsi dari Bali adalah permekal atau perbekal, dalam struktur birokrasi kerajaan Sumbawa berada di bawah koordinasi Dea Ranga, sedangkan di

Bali, perbekĕl setingkat dengan kepala desa. Gelar mutar dalam bahasa Melayu sama dengan putar. Ligtvoet

mengatakan bahwa Datu Mutar adalah “de vorst, wiens bevelen overall rond gaan”, misschien in tegenoverstelling van zijne hoofden, daar de bevelen van deze in en beverken slechts kring gehoorzaamd worden. Sedangkan Welligt mengartikan kata kamutar dalam konteks nama/gelar Tallu Kamutar, “onder de bevelen van Datoe Moetar gebragt” sama dengan Tau Kamutar, di bawah kekuasaan Datu Kamutar.38 Setelah meninggal sultan akan mendapat nama gelar anumerta sesuai dengan nama tempat dimana

ia dimakamkan misalnya Lĕngĕt pang Gunung Satiya, yang artinya yang meninggal di Gunung Satiya.39 Gelar-gelar anumerta lazim diberikan kepada raja-raja Bugis Makasar dan sultan-sultan Bima.

Di atas telah disinggung bahwa dalam menjalankan tugas pemerintahan, sultan didampingi oleh Dewan Hadat. Pemerintahan semacam ini terdapat juga di kasultanan Bima meskipun dengan struktur yang berbeda. Pada prinsipnya sama, dalam posisinya sebagai penguasa tertinggi, sultan juga sebagai khalifah dalam pengertian sebagai pemimpin negara dan kepala agama, sekurang-kurangnya sebagai lambang pengikat.40 Dalam struktur kerajaan Samawa Dewan Hadat Syara ini terdiri atas dua elemen yang

38 A. Ligvoet, op.cit. h. 564. 39 Ibid., h. 556. 40 Helius Syamsuddin, op.cit.. h. 616.

Page 17: Kasultanan Samawa di Pulau Sumbawa ... - jlka.kemenag.go.id

Kasultanan Samawa di Pulau Sumbawa — Tawalinuddin Haris

17

masing-masing mewakili adat dan syara’ (ajaran Islam). Meskipun para pemangku adat beragama Islam, tetapi tugas mereka lebih banyak berurusan dengan eksekutif, sedangkan para pemangku syara mengurus aspek-aspek keagamaan yang bersifat ritual sakral bagi negara dan rakyat.

Di kasultanan Samawa, terutama pada masa pemerintahan Sultan Amrullah (1837–1883), dalam menjalankan pemerintahan sul-tan didampingi oleh Dewan Hadat yang terdiri dari Dewan Pembesar Kerajaan (Raad van Rijsksgrooten), Mamanca Lima dan Enam Lalurah. Dewan Pembesar Kerajaan terdiri dari : Dea Ranga, Dea Kalibela dan Dea Dipati. Selain sebagai ketua Dewan Hadat, Dea Ranga juga bertindak sebagai perdana menteri (Rijksgrooten). Sebelumnya, masih ada lagi seorang pembesar kerajaan yang di-sebut Enti Desa, oleh Zollinger disebutnya sebagai Nenti Desa, bahkan oleh Zollinger ditambah seorang lagi yang bernama Desa

Sĕmĕde.41 Mamanca Lima terdiri atas Dea Kademongan, Dea

Longan Samawa Puwĕn, Demung Lango. Makkal (Mekal) Tana, dan Mantri Teban. Sedangkan keenam lelurah adalah: Nyaka Ngerru (sebagai ketua), Nyaka Pulit, Nyaka Pamulung, Nyaka

Samawa Puwĕn, Nyaka Bangkung dan Nyaka Berare.42 Menurut Lalu Manca, jumlah lelurah bukan enam tapi tujuh yaitu: Ngeru (sebagai ketua), Demung Putih, Nyaka Samapuin, Nyaka Pemulung, Nyaka Bangkong, Nyaka Berare dan Nyaka Lamok, sehingga lembaga ini disebut Lelurah Pitu.43 Kedua lembaga di atas (Ma-manca Lima dan Lelurah Pitu) disebut Penganton(g) Dua Olas atau 12 lingkungan kekuasaan, tetapi bukan sebagai wilayah ke-kuasaan (bestuurrs-ressort) karena yang termasuk pengantong adalah tanah ulayat. Mereka yang hidup bermata pencaharian di tanah-tanah tersebut dikenakan paboat haji atau bakti yang

41 H. Zollingre, op. cit. h. 161; A. Ligvoet, op.cit,. h. 571. Mungkin Zollinger

benar karena dalam kontrak tahun 1858, antara kompeni dengan Sultan Sumbawa ada lima pejabat tinggi kasultanan Sumbawa yang menandatangani kontrak, yaitu: Muhammad Jamaludin (sebagai Dea Ranga), Muhammad Yasin (sebagai Kali Bela ), Makasaoe (sebagai Dea Patie/Dipati), Muhammad Tamin (sebagai Dea Sema (e) de), Abdul Rakhim (sebagai Dea Kemen) dan Abdullah (sebagai Dea Tamin). Periksa: J.Noorduyn. 1987. op.cit., h. 147.

42 A.Ligvoet, op.cit.h. 571. 43 Lalu Manca, op.cit. h. 77.

Page 18: Kasultanan Samawa di Pulau Sumbawa ... - jlka.kemenag.go.id

Jurnal Lektur Keagamaan, Vol. 13, No. 1, 2015: 1 – 30

18

diserahkan kepada raja atau kerajaan berupa hasil bumi dari wilayah itu yang disebut bunga antin.

Dari paparan di atas, ada perbedaan data yang disampaikan oleh Ligvoet dengan Lalu Manca berkenaan dengan jumlah anggota lelurah dan otak pengantong. Menurut Ligvoet jumlah lelurah ada 6 (enam), sedangkan menurut Lalu Manca jumlah lalurah ada 7 (tujuh). Jumlah otak penganton (hoof van een peganton) menurut Ligvoet adalah 10 (sepuluh) termasuk didalamnya Dea Ranga dan Kalibela. Kesepuluh Otak penganton (pengantong) tersebut adalah

Dea Ranga, Kalibela, Datu Busing, Dea Longan Samawa Puwĕn, Dea Bawa, Dea Mangku, Dea Ngarru, Dea Ngampo, Demung Kroya dan Demung Mapin. Ligvoet menyebut tujuh yang pertama sebagai penganton dalam (binnen penganton) dan tiga yang terakhir sebagai penganton luar (buiten penganton).

Sebaliknya, menurut Lalu Manca jumlah pengantong adalah 12 sehingga diberi nama Penganton Dua Olas. Keanggotaannya terdiri dari semua anggota Mamanca Lima dan Lerurah Pitu saja, tidak termasuk didalamnya Dea Ranga dan Kalibela. Menurut hemat pe-nulis, perbedaan itu karena situasi yang digambarkan berbeda, data yang disampaikan oleh Ligvoet lebih dekat dengan situasi pada masa pemerintahan Sultan Amarullah (1837-1883) karena artikel Ligvoet diterbitkan pada tahun 1876, sedangkan data yang disam-paikan oleh Lalu Manca menggambarkan pemerintahan kasultanan Sumbawa masa sesudahnya. Dalam Adat Tana Samawa, ketiga lembaga tersebut adalah Menteri Telu (Dea Ranga, Kalibela dan Dipati), Mamanca Lima dan Larurah Pitu. Lembaga ini kemudian disebut Majelis Lima Belas Orang.

Gelar Deasetara dengan gelar raden, karena itu termasuk go-longan bangsawan (adelijk titel) yang tidak berasal dari kalangan istana.44 Namun, tidak selalu demikian karena ada jabatan atau gelar Dea yang bersifat pemberian (ambtelijk titel) misalnya : Dea

Sawah dan Dea Batĕkal. Dea Batĕkal pejabat yang bertugas menyimpan padi (beras) milik sultan di kampung Karang Tunggal,

padi tersebut berasal dari tiga wilayah penganton luar (Dĕmung

Mapin, Bumi Ngampo dan Dĕmung Kroya), sedangkan Dea Sawah adalah penguasa di Kampung Brangbiji, tugasnya antara lain

44 A. Ligvoet, op.cit. h. 558.

Page 19: Kasultanan Samawa di Pulau Sumbawa ... - jlka.kemenag.go.id

Kasultanan Samawa di Pulau Sumbawa — Tawalinuddin Haris

19

mengurusi pejabat rendahan dan warga Bima merdeka yang datang ke Sumbawa untuk membayar pajak. Nyaka adalah gelar/jabatan (ambte-lijk titel) setingkat dengan kepala desa. Tetapi gelar nyaka sering dikaitkan dengan nama kampung misalnya Nyaka Ramoloong, Nyaka Bakkat, Nyaka Lopok dan Nyaka Sagawe. Mungkin nyaka ada hubungannya dengan nayaka yaitu aparat atau pegawai pa-mongpraja. Dalam berbagai prasasti di Jawa, nayaka adalah jabatan ditingkat desa yang merupakan orang kepercayaan raja. Gelar lain yang kemungkinan diadopsi dari Jawa adalah ngabai, gelar ini mengingatkan pada gelar ngabei atau ngabehi dari daerah vorsten-landen Surakarta, yaitu gelar bangsawan kelas rendah (lagere adel atau ambtenaar van middelbare rang) misalnya Raden Ngabei Ronggowarsita, seorang pujangga keraton Surakarta.

Dalam pemerintahan sehari-sehari, pada umumnya sultan dan mangkubumi Dea Ranga yang memberikan perintah, sedangkan anggota hadat lainnya hanya menjalankan perintah, atau mereka sama sekali diabaikan, bahkan sultan sendiri menurut Ligtvoet, jika mempunyai seorang Dea Ranga yang energiek dan eerzuchtig (gila hormat), maka sultan tidak dapat berbuat apa-apa. Dea Ranga dapat atas nama sultan memegang kekuasaan nyata di seluruh kasultanan. Hal itu antara lain menjadi sumber konflik dan intrik istana.

Para pejabat di bidang keagamaan (syara) adalah kali (kadi), jumlahnya hanya satu di seluruh kerajaan, kemudian sejumlah imam, pengulu, lebe, kabir, lurah, hatib dan bilal.45 Petugas yang merawat masjid disebut marbat (marbot), tetapi mereka tidak ter-masuk pejabat keagamaan. Penamaan tersebut sebenarnya masih rancu, karena kadi atau pengulu (penghulu) adalah nama jabatan dalam bidang keagamaan, sedangkan imam, khatib dan bilal adalah nama-nama yang berkaitan dengan tugas seseorang dalam ritual keagamaan di masjid. Seorang kadi atau penghulu pada saat tertentu dapat bertindak sebagai iman, khatib, tapi tidak bisa untuk sebaliknya. Menurut catatan Ligvoet, diibukota kerajaan Samawa ada sekitar 88 pejabat keagamaan, sebagian diantaranya tinggal di sekitar istana sultan dan di sekitar masjid.46 Penghasilan pejabat

45 Ibid., h. 579. 46 Ibid, h. 580.

Page 20: Kasultanan Samawa di Pulau Sumbawa ... - jlka.kemenag.go.id

Jurnal Lektur Keagamaan, Vol. 13, No. 1, 2015: 1 – 30

20

keagamaan ini berasal dari zakat, jumlahnya 3 ikat dari setiap 100 ikat padi.

Penduduk dan Pelapisan Sosial

Penduduk Sumbawa atau kerajaan Samawa terdiri dari pen-duduk asli dan pendatang. Penduduk Sumbawa yang lebih tua, me-nurut Lalu Manca, tinggal di pegunungan Ropang, Lunyuk dan Batu Lante, mereka terdesak oleh para pendatang yang menempati pesisir utara dan barat. Secara fisik sebenarnya orang Sumbawa tidak berbeda dengan orang-orang Sasak, penduduk asli pulau Lombok. Bahkan menurut Jasper, penduduk kasultanan Sumbawa berasal dari suku Sasak.47 Ligvoet membagi penduduk kerajaan Sumbawa pada masa pemerintahan Sultan Amarullah dalam lima kelas yaitu ; bangsawan (adel), taujuran, tau kamutar, orang-orang asing (vreemdelingen) dan budak.48 Menurut Helius Syamsuddin penggolongan Ligvoet tersebut kurang tepat, karena memasukkan orang-orang asing seperti Makasar, Bugis, Selayar, Mandar dan Arab, bahkan Cina, kulit putih atau orang-orang non Sumbawa lainnya yang tidak terkait dengan pelapisan sosial itu. Sumbawa kata Helius Syamsuddin, mempunyai pelapisan masyarakat tersen-diri yang dalam garis besarnya terdiri atas: bangsawan, rakyat dan budak.49 Sanggahan Helius Syamsuddin terhadap Ligvoet di atas mungkin benar, tetapi yang digolongkan oleh Ligvoet menjadi lima kelas itu adalah penduduk (bevolking) kerajaan Sumbawa, bukan orang-orang atau masyarakat Sumbawa itu sendiri. Di antara kelas bangsawan paling sedikit ada dua tingkatan yang terbentuk berdasarkan atau menurut jauh dekat hubungannya dengan sultan melalui perkawinan yaitu, Datu dan Dea, bahkan pada abad ke-20 terjadi mobilitas vertikal dari Dea ke Datu.50 Sebaliknya, Kuperus

47 J.E Jasper. Op.cit. h. 100. 48 A.Ligvoet, Op. cit. h. 556. Periksa juga : G. Kuperus, Het Cultuurland

schap van West – Soembawa. Bij. J.B. Wolters Uitgevers – Maatschappij, (N.V. Groningen-Batavia, 1936), h. 73-74.

49 Helius Syamsuddin, : Op.cit. h. 62 50 Loc.cit. Dalam Kamus Sumbawa-Indonesia, datu diterjemahkan dengan

raja, sedangkan dea dengan pangeran. Periksa: Sumarsono dkk., Kamus Sum-bawa-Indonesia. (Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Depar-temen Pendidikan dan Kebudayaan, 1985), h. 29.

Page 21: Kasultanan Samawa di Pulau Sumbawa ... - jlka.kemenag.go.id

Kasultanan Samawa di Pulau Sumbawa — Tawalinuddin Haris

21

membagi kelas bangsawan itu menjadi dua yaitu bangsawan yang berdarah murni (zuiveren bloede) atau ruwe datu dan bangsawan berdarah campuran (gemengden bloede) atau ruwe Ai’kuning.51

Hirarki tertinggi dari kelas atau golongan bangsawan adalah sultan dan keluarganya serta para pejabat kerajaan lainnya. Dalam bahasa setempat, sultan disebut Datu Mutar, sedangkan rakyat menyebutnya Dewa. Selain itu sultan juga memiliki berbagai nama atau gelar misalnya Dewa Meraja atau Dewa Mas Samawa. Gelar-gelar tersebut memperlihatkan pengaruh pra Islam, yaitu konsep “dewa raja.” Setelah wafat, raja atau sultan mendapatkan gelar anumerta sesuai dengan nama tempat dia dimakamkan, misalnya Dewa Loka Ling Sampar, Dewa Ling Gunung Satia, Dewa Lenget Ling Dima dan lain-lain. Gelar anumerta seperti itu dipakai juga oleh raja atau sultan Bima dan Bugis-Makasar. Anak laki-laki sultan dari perkawinannya dengan wanita sederajat disebut Datu, sedangkan anak dari Datu disebut Daeng. Gelar Datu tidak hanya dipakai oleh putra-putri kerajaan, juga oleh penguasa suatu daerah atau dikaitkan dengan nama tempat misalnya Datu Busing, penguasa daerah Ree. Kebiasaan ini lazim dalam system titulatur kerajaan Goa misalnya nama-nama Karaeng Bontolangkosa, Karaeng Mandalle dan Karaeng Manjalieng.52 Anak dari Datu yang kawin dengan wanita golongan Dea bergelar lalu atau raden masak untuk laki-laki, lala untuk perempuan, gelar ini dipakai juga oleh anak-anak sultan dari perkawinannya dengan perempuan yang bukan bangsawan. Anak laki-laki sultan oleh kelas yang lebih rendah ada kalanya dipanggil Intan atau Mas dan pada usia 10 atau 12 tahun mereka akan mendapatkan gelar Daeng. Anak yang lahir dari perkawinan lalu dan lala disebut raden penganten, sedangkan anak yang dilahirkan dari perkawinan raden penganten bergelar raden. Menurut Ligvoet53 gelar Raden sama dengan Dea, termasuk gelar kebangsawanan yang tidak berasal dari kerajaan Sumbawa tetapi masih termasuk keturunan atau memiliki hubungan darah dengan dinasti sebelumnya, yaitu Dinasti Ai’-Koening. Anak Raden atau Dea dari perkawinannya dengan wanita kelas rendah

51 G. Kuperus, op.cit., h. 73-74. 52 Ligvoet, op.cit.,h. 556. 53 Ligvoet, Op.cit. h. 558-559.

Page 22: Kasultanan Samawa di Pulau Sumbawa ... - jlka.kemenag.go.id

Jurnal Lektur Keagamaan, Vol. 13, No. 1, 2015: 1 – 30

22

tidak diberi gelar kebangsawanan, oleh karena itu mereka tidak bisa disebut sebagai keturunan Ai’-Koening, tetapi hanya berasal (atsal) dari Ai’-Koening saja. Demikian juga anak yang lahir dari perkawinan seorang yang bergelar dea dengan perempuan dari rakyat biasa tidak mendapatkan gelar, tetapi mereka dipandang sengai keluarga kerajaan dikenal dengan nama Ai’-Koening atau Atsal Ai’-Koening. Anak datu yang kawin dengan wanita biasa disebut raden atau panggilannya lalu (untuk laki-laki) dan lala untuk anak pertempuan. Perkawinan campuran antara golongan bangsawan dengan wanita biasa, dapat menurunkan nilai kebangsawanan sehingga sedapat mungkin dihindari. Putri (anak wanita) seorang Datu tidak diizinkan kawin dengan lelaki dari golongan yang lebih rendah. Sebelum terbentuknya kerajaan, golongan Dea adalah penguasa daerah tertentu misalnya : Dea Longan. Dea Ngeru, Dea Sekayin, dan lain-lain. Oleh karena itu gelar Dea itu ada dua, pertama yang asli dan turun-temurun (adellijk titels), sedangkan yang kedua, diberikan oleh raja (ambtelijk titels) karena jasa-jasanya. Setelah kemerdekaan para dea ini menjadi kepala distrik dengan sebutan demung, sedangkan wilayahnya disebut kademungan. Jabatan demung kemudian berganti nama menjadi camat, sedangkan wilayah kekuasaannya disebut kecamatan. Anak dari Dea disebut lalu (untuk laki-laki) dan lala untuk perempuan. Anak dari lalu (golongan Dea) yang kawin dengan orang biasa disebut anak ajang.

Tau Juran dan Tau Kamutar adalah lapisan (strata) bawah dari orang-orang Sumbawa yang merdeka, tetapi semua beban pajak baik dalam bentuk uang maupun benda/barang (in natura) dibe-bankan kepada kelompok ini, termasuk kerja paksa (heerendien-sten). Jika Tau Juran lebih banyak yang membayar pajak maka Tau Kamutar umumnya lebih banyak melakukan kerja paksa.54 Karena nilai uang dianggap lebih tinggi dari pada nilai kerja, maka diferensiasi terjadi antara kedua golongan rakyat tersebut. Meskipun terjadi hubungan horinzontal antara keduanya, tetapi Tau Juran menganggap dirinya lebih tinggi kedudukannya dari pada Tau Kamutar. Menurut Helius Syamsuddin, dilihat dari hubungan patron-client (sultan-Tau Juran dan sultan Tau-Kamutar), justru

54 A.Ligvoet, op.cit. h. 565.

Page 23: Kasultanan Samawa di Pulau Sumbawa ... - jlka.kemenag.go.id

Kasultanan Samawa di Pulau Sumbawa — Tawalinuddin Haris

23

Tau Kamutar adalah orang-orang sultan, artinya mereka langsung di bawah Datu Mutar (sultan Sumbawa).55 Sebagian besar Tau Juran bermukim di ibukota kerajaan sehingga ibukota kerajaan disebut juga Tanah Juran. Mungkin karena lokasi bermukimnya lebih dekat dengan tempat tinggal sultan (istana) maka status mereka menjadi lebih tinggi dari pada tau kamutar. Di luar ibukota kerajaan Tau Juran bermukim di Kampung Panyaring, di sebelah timur ibukota. Tau Juran bertugas membantu mengerjakan dan menanami tanah sawah sultan atau umaji (dari uma= ladang dan aji= raja, jadi berarti sawah/ladang raja) tanpa mendapatkan upah atau im-balan. Jika ada seorang laki-laki Tau Juran kawin dengan wanita dari Tau Kamutar, anak yang pertama (tertua) menjadi Tau Juran, anak yang kedua menjadi Tau Kamutar dan anak yang ketiga kembali lagi menjadi Tau Juran, demikian seterusnya.

Menurut Ligvoet, Tau Kamutar dapat dibagi menjadi lima kelas (ruwe) yaitu: bone balla (dayang-dayang atau pembantu rumah tangga), jowa (pesuruh laki-laki), tuwan (ibu susuan/zoog-moeder), tanuma (pengasuh anak/kindermeiden) dan tau rabowat aji (orang pekerja sultan) khusus dari Ropang.56 Meskipun dari sisi hubungan patron-client, Tau Kamutar lebih dekat dengan sultan, namun dari sisi pekerjaannya, tau juran lebih terhormat sehingga menganggap diri mereka lebih tinggi dari pada tau kamutar. Sebutan “kelas” disini kurang tepat karena perbedaan itu merupakan pembagian pekerjaan saja.57 Jika seorang laki-laki Tau Kamutar kawin dengan perempuan dari Tau Juran, anak tertuanya menjadi Tau Kamutar, anak kedua menjadi Tau Juran dan anak ketiga kembali lagi men-jadi Tau Kamutar, demikian seterusnya. Menurut Ligvoet, Tau Kamutar bertugas mensuplay kayu sappan kepada gubernement, sedangkan rabowat aji (raboat = bekerja dan aji = raja ) adalah “de werkleieden van den vorst“ (pekerja untuk raja) artinya hampir identik dengan para abdidalem di keraton-keraton Jawa.58

Orang asing maksudnya adalah pendatang dari luar Sumbawa, jumlah mereka di kerajaan Sumbawa cukup besar, sekitar 10.000 jiwa dari seluruh rakyat kerajaan Sumbawa yang jumlahnya sekitar

55 Helius Syamsuddin, op.cit. h. 621. 56 A.Ligvoet, op.cit. h. 565. 57 Helius Syamsuddin, op.cit. h. 621. 58 A.Ligvoet, op.cit. h. 565.; Periksa juga : G. Kuperus, op.cit.h. 75-76.

Page 24: Kasultanan Samawa di Pulau Sumbawa ... - jlka.kemenag.go.id

Jurnal Lektur Keagamaan, Vol. 13, No. 1, 2015: 1 – 30

24

50.000 jiwa.59 Mereka terdiri dari orang-orang Makasar, Bugis, Selayar, Mandar dan Arab. Pada masa kemudian, awal abad ke-19 pendatang ke Sumbawa tidak hanya dari Lombok, tetapi juga dari Bali, Jawa dan orang-orang Cina. Para pendatang ini pada umumnya bermukim di antara ibukota dan daerah pesisir (pantai). Perkampungan orang Bugis misalnya terdapat di Panyorong dan Labu Padi di pantai barat, sedangkan di daerah pesisir di kampong Labuaji, Labu Jammu, Labu Bontong dan sebagian besar diantaranya bermukim di di sekitar pelabuhan Sumbawa, misalnya di Empang. Jika sultan pergi ke Makasar, tanpa ganti rugi mereka menyediakan kapal/perahu untuk sultan karena perdagangan laut di tangan mereka. Jika sultan, Dea Ranga atau pejabat kerajaan lainnya mengirim sesuatu dari tempat tinggalnya, pedagang Bugis-Makasar menyediakan sampan dengan dua pendayung untuk mengangkut kiriman tersebut. Ada juga kemungkinan bahwa sebagian terbesar sahbandar di pelabuhan Sumbawa adalah orang Bugis.60

Munculnya golongan budak (tau ulin) dikalangan orang-orang Sumbawa pada awalnya karena bahaya kelaparan akibat meletusnya Gunung Tambora pada tahun 1815. Pada waktu itu banyak orang Sumbawa yang menjual diri atau menjual anak-anak mereka dengan segantang beras. Kelak keturunan mereka tetap menjadi budak. Sebelum meletusnya Gunung Tambora, di Sumbawa sudah dikenal budak yang dibawa dari Ende (Flores), atau perempuan-perempuan dari Jawa yang dirampas oleh bajak-bajak laut yang merajalela abad ke-19 dan dijual. Selain budak atau tau ulin biasa, ada juga yang disebut budak hadat (tau ulin adat). Mereka menjadi budak karena tidak sanggup membayar denda setelah melakukan pelanggaran adat, sehingga mereka wajib kerja pada mangkubumi.61 Akhirnya ada juga budak karena hutang yang disebut pandelingen. Mereka berasal dari luar Sumbawa dan pada umumnya adalah para onderdanen (kawula) Belanda. Dengan alasan sebagai pandelingen mereka dibawa dengan perahu ke

59 Ibid, h. 569. 60 Ibid. h. 570. 61 Loc.cit.

Page 25: Kasultanan Samawa di Pulau Sumbawa ... - jlka.kemenag.go.id

Kasultanan Samawa di Pulau Sumbawa — Tawalinuddin Haris

25

Sumbawa dan dijual, sehingga dengan demikian mereka praktis diperlukan sebagai budak.

Penghasilan sultan dan pejabat kerajaan

Penghasilan atau income sultan diperoleh dari hasil lahan pertanian milik sultan dan dari pajak (belasting) baik pajak hasil bumi maupun pajak perdagangan, terutama perdagangan ternak dan opium. Sultan Samawa memiliki ladang atau sawah yang digarap dan ditanami oleh penduduk ibukota kerajaan (tau juran) tanpa upah (imbalan). Selain itu, ada tiga peganton luar, yaitu Demung Mapin, Bumi Ngampo dan Demung Kroya, setiap tahunnya masing-masing menyetor 300 ikat padi kepada sultan sebagai pajak yang disebut pamangan. Padi ini disimpan oleh seorang pejabat

yang disebut Dea Batĕkal dikampung Karang Tunggal. Padi ini ditumbuk menjadi beras oleh penduduk kampung Karang Tunggal untuk memenuhi kebutuhan hidup sultan sekeluarga. Jika para pejabat kompeni berkunjung ke Sumbawa, selama berada di ibu-kota kerajaan mereka diperlakukan sebagai tamu dan dijamu oleh Dea Batekal, makanan yang dihidangkan diambilkan dari padi atau beras milik sultan.

Sultan juga mendapatkan penghasilan dari pajak antara lain pajak penjualan (perdagangan) hasil bumi, ternak dan opium. Menurut Ligvoet, tiga persen dari harga kuda yang terjual, (harga kuda setiap ekornya rata-rata f 2,50) dan 5 atau 6 gulden perkoyang dari 40 pikul beras yang dibeli oleh pedagang diserahkan kepada sultan, sedangkan petani menyetor 1 gantang untuk setiap pikulnya.62 Ber-dasarkan kontrak yang ditandatangani bulan Mei 1905, jenis pajak yang dipungut oleh sultan, adalah: 1) pajak penjualan kuda untuk setiap ekornya f 3,75 sedangkan untuk setiap ekor kerbau f.3, untuk beras dan kacang ijo f 10 per koyan dari 40 pikul dan untuk padi f 0.30 per pikul, untuk kofi f 2.50 per pikul dan untuk lebah f 1,875 per pikul, 2).Tanaman padi yang jumlah 1/20 atau 5 ikat dari 100 ikat, dibagi antara sultan dan pejabat kerajaan, 3). Pajak rumah yang jumlahnya f 2.50 dan 1 pikul beras per rumah; 4). Penjualan opium, 5). Pembelian/penjualan ternak kerbau yang dipungut oleh Datu Kademongan sebesar f 2.50 per

62 A.Ligvoet, op.cit. h. 583

Page 26: Kasultanan Samawa di Pulau Sumbawa ... - jlka.kemenag.go.id

Jurnal Lektur Keagamaan, Vol. 13, No. 1, 2015: 1 – 30

26

ekor, 6). Penebangan kayu kuning atau kayu tegerang oleh rakyat, untuk setiap pikul harus membayar pajak f 1. Ketika itu bea keluar (ekspor) ada di tangan gubernemen, kepada sultan diserahkan uang ganti rugi (konpensasi) f 6000 per tahun. Untuk setiap ekor kuda dan kerbau yang diekspor, sultan mendapatkan f 2,50 per ekor, Setiap tahun dari Sumbawa diekspor 2500 ekor kuda dan 2000 ekor kerbau, sehingga total pendapatan sultan setiap tahunnya f 11.000 lebih. Pajak perdagang-an opium dipungut oleh pemerintah gubernemen dan sultan mendapatkan kompensasi sebesar f 8000 setiap tahunnya.63 Di Sumbawa terdapat sejumlah tempat penjualan opium, 1 di Sumbawa Labuan, 2 di kampong Bugis, 5 di Utan, 2 di Panyorong, 3 di Alas, 2 di Seteluk, 5 di Taliwang, 1 di Jambu, 1 di Labuan Ampang, 1 di Labuan Bonto, 2 di Kuris, 2 di Rei dan masih banyak lagi di Plampang.64

Pada tahun 1884 mulai ditanam kofi di hutan-hutan di distrik Ropang. Karena tanahnya milik sultan, kopi itupun dijual dengan harga murah kepada sultan dan jika sultan mengadakan pesta diperlukan makanan yang disediakan oleh rakyat. Jika Sultan jatuh sakit atau mendapatkan musibah, rakyat kerajaan Sumbawa dari semua lapisan masyarakat mengirimkan sesuatu yang disebut nguri. Jika sultan hendak pergi ke Makasar, setiap negara vazal (Tali-wang, Seran dan Jereweh) menyetor uang 100 rijkdaalders dan sejumlah beras dengan harga tertentu. Sedangkan penduduk/rakyat Sumbawa lainnya diharuskan menyetor uang 1 rijksdaalder, 1 pikul dan 1 gantang (5 kati) beras. Uang dan beras yang disetorkan itu digunakan untuk biaya perjalanan pulang-pergi Sumbawa-Makasar dan biaya hidup selama tinggal di Makasar.

Penutup

Sebagai bukti keberadaan kasultanan Sumbawa di masa lampau, di kota Sumbawa Besar hingga saat ini masih berdiri kokoh sebuah bangunan bekas istana Sultan Sumbawa yang disebut Dalem Loka (Istana Tua) atau disebut juga Bale Rea (Rumah Besar atau Rumah Raja). Tidak jauh dari Dalem Loka terdapat Makam

63 J.E. Jasper, op.cit.h. 130-131. 64 Ibid. h. 112-113.

Page 27: Kasultanan Samawa di Pulau Sumbawa ... - jlka.kemenag.go.id

Kasultanan Samawa di Pulau Sumbawa — Tawalinuddin Haris

27

Sampar, kompleks makam sultan-sultan Sumbawa dan keluarganya.

Secara administratif Dalem Loka termasuk wilayah Desa Seketeng, Kecamatan Sumbawa, Kabupaten Sumbawa Besar. Nama Dalem Loka diberikan untuk membedakannya dengan istana baru yang dibangun pada tahun 1931-1932. Istana ini dibangun pada tahun 1885 pada masa pemerintahan Sultan Muhammad Jalaluddin Syah III (1883- 1931) oleh rakyat secara gotong royong. Tukang-tukangnya didatangkan dari seluruh wilayah kerajaan dipimpin oleh Iman Haji Hasyim. Bahan bangunan diambil dari hutan jati Timung, atapnya dari seng yang didatangkan dari Singapura, diangkut dengan kapal layar milik kerajaan bernama Mastera. Dalem Loka bukanlah satu-satunya bangunan istana yang pernah berdiri di lokasi tersebut, karena di tempat yang sama sebelumnya telah dibangun sejumlah bangunan istana kerajaan Sumbawa antara lain Istana Bala Balong, Istana Gunung Setia dan Istana Bala Sawo. Istana Tua atau Dalem Loka pernah dipugar dengan dana Departemen Pendidikan dan Kebudayaan melalui kegiatan Proyek Sasana Budaya Jakarta, Bagian Proyek Sasana Budaya Nusa Tenggara Barat pada tahun anggaran 1979/1980 s.d. 1980/1981, kemudian dilanjutkan dengan melalui Proyek Pemugaran dan Pemeliharaan Peninggalan Sejarah dan Purbakala Nusa Tenggara Barat pada tahun anggaran 1981/1982 s.d 1984/1985. Duplikat istana ini masih berdiri tegak dianjungan Provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB) di Taman Mini Indonesia, Jakarta.

Dalem Loka berdiri di atas lahan seluas 8.239 meter persegi, sedangkan luas bangunannya 904 meter persegi. Didirikan di atas tiang yang jumlahnya 99 buah (rumah panggung) dan berlantai dua. Bahan dasar bangunan adalah kayu jati dan beratap sirap. Pada bagian depan terdapat sebuah ruangan disebut Lunyuk Agung atau Paseban Agung dan Lunyuk Mas. Lunyuk Agung berfungsi sebagai ruang musyawarah (pertemuan) kerajaan, sehingga disebut juga Balairung Sari. Sedangkan Lunyuk Mas adalah adalah tempat duduk permaisuri dan para istri pembesar kerajaan. Selain itu Istana ini memiliki sejumlah ruangan (kamar-kamar) yang dibatasi dengan sekat-sekat dari kain yang dalam bahasa Sumbawa disebut repang, misalnya repang sholat, repang peraduan, repang

Page 28: Kasultanan Samawa di Pulau Sumbawa ... - jlka.kemenag.go.id

Jurnal Lektur Keagamaan, Vol. 13, No. 1, 2015: 1 – 30

28

permaisuri, ruangan tempat berkumpulnya para dayang, dapur dan lain sebagainya.

Sesuai dengan namanya, Makam Sampar berlokasi di bukit Sampar yang secara administrative termasuk wilayah Desa Seketeng, Kecamatan Sumbawa, Kabupaten Sumbawa Besar. Lokasi ini berada dipinggiran kota Sumbawa Besar dan dapat ditempuh dengan kendaraan roda dua (motor) maupun roda empat (mobil), jaraknya tidak begitu jauh dari Bale Rea atau Dalem Loka, bekas istana Sultan Sumbawa. Makam Bukit Sampar adalah tempat pemakaman raja/sultan Sumbawa beserta keluarganya, antara lain Datu Sawo atau Dewa Loka Ling Sampar65 dan sultan yang ke-13, Sultan Amrullah yang memerintah tahun 1836-1882.66 Ketika pada tahun 1982 penulis mengunjungi situs ini, lokasi makam masih ditumbuhi semak belukar dan alang-alang, sejumlah jirat dan nisan makam terbuat dari kayu, diantaranya jirat dan nisan makam Sultan Amarullah. Pada nisan makam Sultan Amarullah terdapat inskripsi pendek dengan tulisan Arab berbahasa Melayu menyebut nama tokoh yang dimakamkan. Nampaknya, lokasi pemakaman raja/sultan di atas bukit atau tempat yang sengaja ditinggikan bukan hanya monopoli penguasa-penguasa di pulau Jawa, yang oleh para pakar dipandang/dihubungkan dengan pengaruh budaya pra Islam.

Makam Sampar dikelilingi tembok bata yang diplester semen, tinggi sekitar 2 meter dan tidak digunakan lagi sebagai tempat pemakaman atau sudah menjadi monumen mati (dead monument). Sebagian besar jirat dan nisan terbuat dari batu kali andesit, baik yang masih utuh maupun yang pecahan. Diantaranya terdapat sejumlah batu nisan dari balok-balok batu yang relatif besar, mengingatkan pada bentuk menhir dari kebudayaan pra sejarah.

65 Periksa; Sejarah Daerah Nusa Tenggara Barat. (Proyek Penelitian dan

Pencatatan Kebudayaan Daerah, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1977/1978), h. 53.

66 Periksa Lalu Manca, Sumbawa Pada Masa Dulu (Suatu Tinjuan Sejarah). (Penerbit “Rinta” Surabaya, 1984), h. 153. tetapi menurut J. Noorduyn, Sultan Amarullah adalah sultan yang ke-17, memerintah tahun 1837-1883. (Periksa: J. Noorduyn, Bima en Sumbawa , Bidragen Tot De Geschiedenis Van De Sultanaten Bima En Sumbawa Door A. Ligtvoet en G.P. Rouffaer. (Foris Publications, Dordrecht-Holland/Providence-USA, 1987), Bijlage I.

Page 29: Kasultanan Samawa di Pulau Sumbawa ... - jlka.kemenag.go.id

Kasultanan Samawa di Pulau Sumbawa — Tawalinuddin Haris

29

Apakah batu nisan menhir tersebut buatan manusia atau terbentuk karena proses alamiah menarik untuk dikaji lebih jauh.

Daftar Pustaka Anonim, Sejarah Daerah Nusa Tenggara Barat. Proyek Penelitian

dan Pencatatan Kebudayaan Daerah, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1977/1997.

Berg, L.W.C van den. 1902. “De Mohammedaansche Vorsten in Nederlandsch Indie“, Bijdragen van het Koninklijk Instituut, LIII.

Cortesao, Armando. 1944.The Suma Oriental of Tome Pires : An Account of the East from Read Sea to Japan, Written in Malacca and India in 1511-1644. Translated from Portuguese MS in the Bibliothique de la chamber des Deputes, Faris and Edited by Armando Cortesao. London: The Hakluyt Society.

Faille, P. de Roo de la. 1918. “Studie over Lomboksch Adatrecht, Bali en Lombok”, dalam Adatrecht Bundels, XV, s-Gravenhage Martnis Nijhoff.

Graaf, H.J.de. 1941. “Lombok In De 17e Eeuw”, Djawa, Tijdschrift van het Java-Instituut, XXI.

Jasper, J.E., 1908. “Het Eiland Soembawa En Zijn Bevolking”, Tijdschrift voor het Binnenlandsche Bestuur, deel 34.

Kementerian Penerangan RI, (tanpa tahun). Republik Indonesia: Sunda Ketjil.

Kuperus, G. 1936. Het Cultuurlandschap van West Soembawa. Bij. J. B. Wolters Uitgevers Maatschappijn, N.V, Groningen-Batavia.

Ligvoet, A. 1876. ”Aanteekeningen Betreffende den Economischen Toestand en de Ethnographie van het Rijk van Sumbawa”, Tijdschrift voor Indische Taal, Land , en Volkenkunde, deel 23.

Manca, Lalu. 1984. Sumbawa Pada Masa Dulu (Suatu Tinjuan Sejarah). Surabaya: Penerbit “Rinta”.

Mills, J.V. 1979. “Chinese Navigators in Insulinde About A.D. 1500”. Archipel 18.

Naerssen, F.H. van. 1938. ”Hindoejavaansche Overblijfselen op Soembawa”, Tijdschrift van het Koninklijk Nederlandsch Aardrijkskundige Genootschap, deel LV.

Page 30: Kasultanan Samawa di Pulau Sumbawa ... - jlka.kemenag.go.id

Jurnal Lektur Keagamaan, Vol. 13, No. 1, 2015: 1 – 30

30

Noorduyn, J. 1987. “Makasar and The Islamization of Bima,” (Bijdragen van het Koninklijk Instituut., deel 142).

Noorduyn, J. 1987. ”Bima en Sumbawa, Bidragen tot de Geschiedenis van de Sultanaten Bima en Sumbawa door A. Ligtvoet en G.P. Rouffaer.”VKI, 129, Dordrecht-Holland/Providence-USA: Foris Publications.

Pigeaud, Th. 1960. Java in the Fourteenth Century Vol. I: Javanese Texs in Transcription. Koninklijk Instituut voor Taal, Land en Volkenkunde, The Hague Martinus Nijhoff.

Resink, G.J. 2013. Bukan 350 Tahun Dijajah. Jakarta: Komunitas Bambu.

Syamsuddin, Helius. 1985. “Perubahan Politik dan Sosial di Pulau Sumbawa: Kesultanan Bima dan Kesultanan Sumbawa (1815-1950),” Makalah pada Seminar Sejarah Nasional IV di Yogyakarta 16-19 Desember 1985, Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.

Tibbetts, G.R. 1957. ”Early Muslim Traders in Southeast Asia”, Journal of Royal Asiatic Society.

Tjandrasasmita, Uka, (editor). 1984. Sejarah Nasional Indonesia III. Jaman Pertumbuhan dan Perkembangan Kerajaan-Kerajaan Islam di Indonesia. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, PN. Balai Pustaka.

Wacana, Lalu. 1979. Babad Lombok. Jakarta: Departemen Pendi-dikan Dan Kebudayaan Proyek Penerbitan Buku Bacaan dan Sastra Indonesia dan Daerah.

Zollinger, H. 1850. “Verslag van eene reis naar Bima en Soembawa en eenige plaatsen op Celebes, Saleir en Flores geduren de Maanden Mei tot December 1847”, VBG. XXIII.