Upload
fahmi-mandela
View
89
Download
3
Embed Size (px)
DESCRIPTION
Makalah
Citation preview
1 SEMINAR NASIONAL, IPDN KAMPUS NUSA TENGGARA BARAT 2013 Mataram, 16 September 2013
“SISTEM PEMILUKADA BAGI BUPATI/WALIKOTA”
H. JAMALUDDIN MALIK
(Bupati Sumbawa)
A. PENDAHULUAN
Komitmen awal para pendiri Republik ini seperti tertuang dalam
Pembukaan UUD 1945, adalah menciptakan bangunan politik demokrasi yang
refresentatif dan pluralistis, sesuai dengan nilai “keadilan sosial, kesejahteraan
rakyat dan kemanusiaan”. Namun pemindahan kekuasaan pada waktu
kemerdekaan tidak disertai oleh pembentukan pemerintahan demokratis yang
kuat, mengakibatkan budaya politik berkembang pada sebuah lingkungan yang
tidak menerapkan proses-proses demokrasi yang sejati, sehingga sangat sedikit
modal politik yang diwariskan bagi kehidupan dewasa ini yang bisa dimanfaatkan
oleh masyarakat dan membangun kerangka demokrasi bagi masa depan.
Bergulirnya gerakan reformasi di Indonesia sejak tahun 1998 yang
melahirkan percepatan ke arah demokratisasi dengan berlangsungnya pembukaan
ruang politik yang luas bagi masyarakat sipil, pembebasan ruang gerak media, dan
juga semangat positif untuk menuntut pertanggungjawaban pemerintah daerah
yang lebih besar, serta semakin luasnya cakupan warga negara yang merasa
dirinya sebagai mitra dan peserta aktif dalam tata pemerintahan di negeri ini.
Gerakan tersebut telah menjadi gerbang pembuka kesempatan bagi
berlangsungnya reformasi demokratis dengan kesadaran kolektif dan tekad bahwa
perubahan mendasar ke arah yang lebih baik harus dilakukan pada seluruh sendi-
sendi kehidupan berbangsa dan bernegara, termasuk perubahan menyeluruh pada
semua pranata politik, sosial dan ekonomi, serta perubahan pada basis hubungan
antara rakyat dan negara.
Salah satu wujud tuntutan reformasi yang saat ini telah memberikan
perubahan yang sangat signifikan terhadap perkembangan demokrasi di daerah,
adalah pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah secara langsung,
berdasarkan Amandemen Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 sebagaimana
dilihat melalui penjabaran dari pasal 18 ayat (4) UUD 1945 yang menyatakan
2 SEMINAR NASIONAL, IPDN KAMPUS NUSA TENGGARA BARAT 2013 Mataram, 16 September 2013
bahwa “Gubernur, Bupati dan Walikota masing-masing sebagai Kepala
Pemerintahan Propinsi, Kabupaten dan Kota dipilih secara demokratis”. yang
sebelumnya pemilihan tersebut dilaksanakan secara tidak langsung yaitu melalui
wakil-wakil rakyat di DPRD (Sistem perwakilan).
Tidak dapat dipungkiri, bahwa setelah sekian lama orde reformasi berjalan,
demokratisasi yang telah mengalami lompatan kemajuan yang luar biasa tersebut,
dalam perkembangannya belum dibarengi oleh upaya pembangunan yang
signifikan agar demokrasi bisa tumbuh secara sehat dan konstruktif. Masyarakat
sipil terus tumbuh tetapi tidak disertai oleh kestabilan sosial. Kebebasan sebagai
simbol demokrasi menimbulkan euphoria kebebasan tanpa batas (etika) dalam
semua sektor kehidupan cenderung menjadi kabur. Dalam kancah politik, relasi
kekuasaan menjadi tidak profesional karena faktor-faktor nepotisme dan
transaksional. Penegakan hukum belum dapat dipastikan berjalan sesuai harapan,
padahal demokrasi tanpa penegakan hukum yang kuat akan menimbulkan
kekacauan dan merusak demokrasi itu sendiri (demokrasi dirusak dengan cara
demokrasi) 1*
. Fenomena tersebut juga mewarnai perjalanan proses pemilihan
kepala daerah (pemilukada) secara langsung yang masih banyak menunjukkan
kelemahan-kelemahan, meskipun sesungguhnya perubahan sistem tersebut
dilakukan atas semangat untuk memperbaiki kelemahan-kelemahan sistem
sebelumnya.
Menyikapi kondisi tersebut, pembaharuan-pembaharuan pada seluruh aspek
terus berlangsung, termasuk aspek konstitusionalisme dan aturan hukum yang
memandang bahwa konstitusi yang disahkan pada suatu masa bisa jadi kehilangan
relevansinya pada masa yang lain, sehingga diperlukan pembaharuan termasuk
sifat-sifat konstitusional sistem politik untuk membangun kerangka kerja yang
stabil dan diimplementasikan melalui perundang-undangan yang menjamin sistem
tersebut dapat berjalan dengan benar serta menjadi tempat berakarnya praktek-
praktek demokratis. Demikian pula dengan peran masyarakat sipil yang kuat
menjadi prasyarat bagi demokrasi yang kuat, sehingga untuk membangun
pemerintahan yang demokratis, penting adanya jaminan akses yang
memungkinkan keterlibatan dan keikutsertaan masyarakat dalam proses-proses
pembuatan keputusan. Semuanya itu merupakan pembelajaran politik yang sedang
1* Mahfud MD. Lingkungan Politik dan Reformasi Birokrasi di Indonesia Pasca 2014 .
3 SEMINAR NASIONAL, IPDN KAMPUS NUSA TENGGARA BARAT 2013 Mataram, 16 September 2013
berlangsung guna menemukan format demokrasi yang diharapkan dapat memiliki
multiplier effect positif di masa depan.
Untuk itu, melalui seminar yang bertema “pilihan kebijakan sistem
pemilihan umum kepala daerah”, maka bahasan makalah ini difokuskan pada
Sistem Pemilukada Bagi Bupati/Walikota, sebagai pokok - pokok pikiran
sekaligus harapan yang mungkin bermanfaat dalam mendesain sistem pemilukada
berkualitas yang dapat meminimalisir potensi konflik dan ekses negatif di daerah,
sehingga mampu melahirkan pimpinan daerah yang terpilih sesuai hati nurani dan
keinginan masyarakat daerah.
B. REFLEKSI PELAKSANAAN PEMILUKADA LANGSUNG BAGI
BUPATI/WALIKOTA
Tahun 2005 merupakan tonggak sejarah baru bagi sebagian besar
Kabupaten/Kota di seluruh Indonesia, dimana pemilihan kepala daerah dan wakil
kepala daerah dilakukan secara langsung oleh masyarakat. Banyak catatan penting
terkait keunggulan maupun kelemahan pelaksanaan pemilukada bagi
Bupati/Walikota yang bisa dibaca sejak diberlakukannya Pemilukada Langsung,
antara lain :
1. Keunggulan Pemilukada Langsung
Berdasarkan pengamatan kami di lapangan disertai dengan rujukan dari
berbaga sumber, sistem Pemilukada Langsung memiliki beberapa keunggulan.
Pertama, Pemilukada secara langsung memungkinkan proses yang lebih
partisipatif. Partisipasi jelas akan membuka akses dan kontrol masyarakat yang
lebih kuat sebagai aktor yang telibat dalam Pemilukada dalam arti partisipasi
secara langsung merupakan prakondisi untuk mewujudkan kedaulatan ditangan
rakyat dalam konteks politik dan pemerintahan. Selain itu, Pemilukada langsung
merupakan jawaban atas tuntutan aspirasi rakyat karena pemilihan Presiden dan
Wakil Presiden, DPR, DPD, bahkan Kepala Desa selama ini telah dilakukan
secara langsung.
4 SEMINAR NASIONAL, IPDN KAMPUS NUSA TENGGARA BARAT 2013 Mataram, 16 September 2013
Kedua, proses Pemilukada secara langsung memberikan ruang dan pilihan yang
terbuka bagi masyarakat untuk menentukan calon pemimpin yang memiliki
kapasitas, dan komitmen yang kuat serta legitimate dimata masyarakat sehingga
pemimpin yang baru tersebut dapat membuahkan keputusan-keputusan yang lebih
baik dengan dukungan dan kepercayaan dari masyarakat luas dan juga diharapkan
akan terjadinya rasa tanggung jawab secara timbal balik. Kepala daerah terpilih
nantinya lebih merasa mendapatkan dukungan dari masyarakat, sehingga
kebijakan-kebijakan tentu saja lebih berpihak pada kepentingan dan kesejahteraan
rakyat. Pada saat yang sama, rakyat juga akan lebih mendukung kebijakan-
kebijakan kepala daerah sebab mereka telah berperan secara langsung dalam
pengangkatan kepala daerah. Pemilukada langsung sebagai sarana pembelajaran
demokrasi (politik) bagi rakyat. Ia menjadi media pembelajaran praktik
berdemokrasi bagi rakyat yang diharapkan dapat membentuk kesadaran kolektif
segenap unsur bangsa tentang pentingnya memilih pemimpin yang benar sesuai
nuraninya.
Ketiga, mendekatkan elit politik dengan konstituen atau masyarakat. Diharapkan
dengan pemilihan seperti ini mayarakat akan lebih mengenal pemimpin mereka di
daerah sehingga akan memudahkan proses komunikasi politik di daerah.
Keempat, lebih terdesentralisasi. Berbeda dengan pemilihan kepala daerah
sebelumnya, pemilihan kepala daerah dilakukan pemerintah dengan cara
menunjuk atau menetapkan aktor politik untuk menempati jabatan politik di
daerah. Pemilukada langsung merupakan sarana penting bagi proses kaderisasi
kepemimpinan nasional.
Kelima, Kepala daerah terpilih akan memiliki mandat dan legitimasi yang sangat
kuat, sistem Pemilukada langsung lebih akuntabel karena adanya akuntabilitas
politik, check and balances antara lembaga legislatif dan eksekutif dapat lebih
berjalan seimbang, kriteria calon kepala daerah dapat dinilai secara langsung oleh
rakyat yang akan memberikan suaranya, Pemilukada langsung sebagai wadah
pendidikan politik rakyat, kancah pelatihan dan pengembangan demokrasi.
Pemilukada langsung sebagai persiapan untuk karir politik lanjutan, membangun
5 SEMINAR NASIONAL, IPDN KAMPUS NUSA TENGGARA BARAT 2013 Mataram, 16 September 2013
stabilitas poilitik dan mencegah separatisme, kesetaraan politik dan mencegah
konsentrasi di pusat.
Keenam, Pemilukada langsung merupakan perwujudan konstitusi dan UUD 1945.
Seperti telah diamanatkan Pasal 18 Ayat (4) UUD 1945, Gubernur, Bupati dan
Wali Kota, masing-masing sebagai kepala pemerintahan daerah provinsi,
kabupaten, dan kota dipilih secara demokratis. Hal ini telah diatur dalam UU No
32 Tahun 2005 tentang Pemilihan, Pengesahan, Pengangkatan, dan
Pemberhentian Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah. Dengan demikian, maka
sesuai semangatnya, Pemilukada langsung dapat menjadi sarana untuk
memperkuat otonomi daerah. Keberhasilan otonomi daerah salah satunya juga
ditentukan oleh pemimpin lokal. Semakin baik pemimpin lokal yang dihasilkan
dalam Pemilukada langsung, maka komitmen pemimpin lokal dalam mewujudkan
tujuan otonomi daerah, antara lain untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat
dengan selalu memperhatikan kepentingan dan aspirasi masyarakat akan dapat
diwujudkan.
2. Kelemahan Pemilukada Langsung
Dalam pemilukada langsung, beberapa kelemahan masih melekat pada
proses yang dilaksanakan selama ini, antara lain;
a. Daftar Pemilih tidak akurat
Permasalahan daftar pemilih yang tidak akurat dalam Pemilukada, sering
dijadikan oleh para pasangan calon yang kalah untuk melakukan gugatan.
b. Proses Pencalonan yang belum akuntabel
Permasalahan dalam pencalonan yang selama ini terjadi disebabkan oleh 2
(dua) hal yaitu konflik internal partai politik/gabungan partai politik dan
keberpihakan para anggota KPUD dalam menentukan pasangan calon yang
akan mengikuti Pemilukada. Faktor yang mempengaruhi ketidaknetralan
KPUD berdasarkan faktor kedekatan dan kekerabatan degan salah satu
pasangan. Selain itu, tidak adanya pengadilan yang mengkoreksi keputusan
KPUD sehingga sangat dipandang memiliki kekuasaan yang sangat dominan
dalam penyelenggara pemilikada. Permasalahan internal parpol dalam
6 SEMINAR NASIONAL, IPDN KAMPUS NUSA TENGGARA BARAT 2013 Mataram, 16 September 2013
menentukan pasangan calon membuat Pemilukada terhambat. Hal itu
disebabkan, adanya kepengurusan ganda, proses seleksi tidak transparan,
adanya intervensi pengurus pusat/provinsi, dan lain-lain.
d. Beban anggaran yang tinggi.
Biaya Pemilukada langsung sangat mahal, tidak hanya menjadi beban APBD
daerah yang bersangkutan, namun juga bagi kandidat (termasuk biaya untuk
diberikan kepada Partai-Partai pengusung);
e. Money politik
Sepertinya money politik ini selalu saja menyertai dalam setiap pelaksanaan
Pemilukada. Dengan memanfaatkan masalah ekonomi masyarakat yang
cenderung masih rendah, maka dengan mudah mereka dapat diperalat dengan
mudah.
f. Dana kampanye
Sumber dana pasangan sering tidak transparan. Hasil audit dana kampanye
baik perorangan atau perusahan sering tidak diumumkan ke publik. Hal itu
menimbulkan kecurigaan publik, bahwa dana kampanye pasangan berasal dari
dana korupsi atau sumbangan yang dikemudian hari pasangan tersebut, maka
pemberi sumbangan akan mendapat imbalan berupa jabatan atau proyek-
proyek pemerintah.
g. PNS tidak netral
Dalam berbagai kampanye masih ditemukan PNS yang memihak pasangan
tertentu, terutama incumbent. Dilain pihak calon incumbent memanfaatkan staf
Pemda untuk kepentingan kampanyenya.
h. Pelanggaraan kampanye
Pelanggaran kampanye dapat terjadi dalam berbagai macam bentuk, salah satu
yang menjadi sorotan yaitu kampanye negatif/kampanye hitam, serta curi start.
Terlambatnya panitia pengawas (Panwas) oleh DPRD, sehinggat tidak dapat
mengawasi tahapan pemilukada secara keseluruhan. Berbagai penyimpangan
pada persiapan sering tidak dilanjuti, karena Panwas dibentuk menjelang masa
kampanye. Demikian pula dengan masa kampanye yang masih dipandang
singkat.
i. Intervensi DPRD
7 SEMINAR NASIONAL, IPDN KAMPUS NUSA TENGGARA BARAT 2013 Mataram, 16 September 2013
Pada umumnya terjadi apabila DPRD tidak setuju akan pasangan terpilih
dengan berbagai alasan. DPRD tidak mengirim berkas pemilihan kepada
Gubernur dan Kemendagri, hal itu menghambat pelantikan pasangan terpilih.
Hal itu pernah terjadi di Gorontalo dan Aceh. Peran DPRD dalam Pemilukada
juga dapat memicu konflik. Pemilukada memang sepenuhnya dilaksanakan
oleh KPU Daerah, tetapi pertanggungjawabannya harus disampaikan kepada
DPRD. Dalam hal ini, kerja KPUD (Komisi Pemilihan Umum Daerah)
berpotensi diintervensi oleh partai politik yang mempunyai kekuatan di DPRD.
Sebab, sejalan dengan kewenangan yang besar dalam proses-proses politik
lokal, partai politik berpotensi mengintervensi fungsi KPUD, jika kerja KPUD
dianggap tidak menguntungkannya.
j. Muncul konflik horizontal.
Beberapa sumber konflik yang selama ini terjadi antara lain pada mobilisasi
politik atas nama agama, suku, daerah asal, kampanye negatif, premanisme
politik/pemaksaan kehendak, kecurangan dan manipulasi suara, serta
penafsiran aturan penyelenggaraan pemilukada yang beragam.
Selain sistem Pemilukada langsung, Pemilukada oleh anggota DPRD
pernah dilakukan ketika undang-undang pemerintahan daerah masih
menggunakan UU No. 22/1999. Model pemilihan ini relatif lebih hemat dan
efisien dari sisi biaya dibanding dengan sistem pemilihan langsung seperti
digunakan saat ini, namun kurang melibatkan partisipasi masyarakat secara luas
dalam menentukan pemimpinnya sehingga menjadi kurang demokratis
dibandingkan jika dipilih langsung. Selain itu, juga sangat terbuka kemungkinan
terjadinya praktik dagang sapi (money politics) oleh anggota DPRD dan oligarki
parlemen. Cara pemilihan melalui lembaga perwakilan sering berdampak dengan
munculnya bupati/walikota yang tidak sesuai dengan harapan rakyat.
Alasan para pihak yang mengusulkan agar mengembalikan Pemilukada
kepada anggota DPRD pada umumnya didasarkan pada 3 (tiga) pokok masalah
berikut.
Pertama, Pemilukada langsung dipandang tidak efisien dilihat dari sisi anggaran.
Kedua, Pemilukada langsung banyak memicu dan melahirkan konflik horizontal
8 SEMINAR NASIONAL, IPDN KAMPUS NUSA TENGGARA BARAT 2013 Mataram, 16 September 2013
dalam masyarakat, seringkali bahkan berkepanjangan. Sementara pada proses dan
hasilnya masih jauh dari ideal. Sebagian orang bahkan melihat, bahwa para kepala
daerah produk Pemilukada langsung tidak lebih baik dari para kepala daerah hasil
pemilihan oleh dewan. Ketiga, Pemilukada langsung banyak diwarnai praktik-
praktik tidak sehat seperti jual beli suara.2*
Memperhatikan refleksi pemilukada Bupati/Walikota dari tahun 2005
sampai saat ini yang menimbulkan pro dan kontra bahkan memunculkan apatisme
guna kelanjutannya bahkan muncul pula wacana agar dikembalikan lagi kepada
sistem pemilihan melalui DPRD. Disadari atau tidak pada hakekatnya
Pemilukada Bupati/Walikota secara langsung merupakan sistem yang lebih baik
daripada pemilihan secara tidak langsung dan merupakan jawaban atas tuntutan
aspirasi rakyat dan reformasi sistem pemilihan pemimpin pemerintahan daerah,
karena Pemilu Presiden, Pemilu Legislatif dan bahkan Pemilihan Kepala Desa
selama ini dilakukan secara langsung dan harus dipertahankan sebagai sistem
pemilukada yang permanen sambil terus melakukan koreksi dan perbaikan dalam
penyelenggaraannya. Selain sebagai bentuk konkret perwujudan konstitusi UUD
1945 dan penyelenggaraan otonomi daerah yang luas, nyata dan bertanggung
jawab yang dititik beratkan di Kabupaten/Kota, Pemilukada Bupati/Walikota
secara langsung merupakan sarana pembelajaran demokrasi (politik) bagi rakyat
untuk memilih pemimpin sesuai hati nurani, memperkuat ekonomi lokal dan
sebagai wahana kaderisasi kepemimpinan baik di tingkat lokal maupun nasional.
C. PENUTUP
Jika dihadapkan pada dua pilihan, apakah Pemilukada Bupati/Walikota
menggunakan langsung atau tidak langsung, maka dalam pandangan kami sistem
yang paling baik adalah Sistem Pemilukada langsung. Sistem pemilihan secara
langsung merupakan alternatif yang paling realistis guna mendekatkan aspirasi
demokrasi rakyat dengan kekuasaan pemerintah dan pada saat yang sama
memberikan basis legitimasi politik kepada pejabat eksekutif yang terpilih. Dalam
Pemilukada Langsung, demokrasi yang ada berarti terbukanya peluang bagi setiap
warga masyarakat untuk menduduki jabatan publik, juga berarti adanya 2*
Agus Sutisna (2010. Menimbang Ulang Pemilukada Langsung, diunduh dari politik.kompasiana.com/
-Tembolok (28 November 2010)
9 SEMINAR NASIONAL, IPDN KAMPUS NUSA TENGGARA BARAT 2013 Mataram, 16 September 2013
kesempatan bagi rakyat untuk menggunakan hak-hak politiknya secara langsung
dan kesempatan untuk menentukan pilihan dan ikut serta mengendalikan jalannya
pemerintahaan.
Dengan demikian adanya Pemilukada secara langsung ini, proses
demokratisasi ditingkat lokal sudah dapat diwujudkan sehingga dapat diperoleh
pemimpin yang sesuai dengan pilihan yang dapat diterima dan dikehendaki oleh
rakyat didaerahnya sehingga pemimpin rakyat tersebut dapat merealisasikan
kepentingan dan kehendak rakyatnya secara bertanggung jawab sesuai potensi
yang ada untuk mensejahterakan masyarakat daerahnya. Dilaksanakannya
Pemilukada secara langsung pastilah memiliki suatu tujuan, dimana untuk
menjalankan amanat atau berdasarkan pada Pancasila dan UUD 1945 yakni untuk
melaksanakan kedaulatan rakyat.
Adanya kelemahan-kelemahan seperti yang selama ini dirasakan dalam
proses pemilukada langsung, antara lain pada akurasi daftar pemilih, akuntabilitas
proses pencalonan, proses kampanye, money politic, perhitungan suara, netralitas
PNS, keamanan, konflik dan penanganan sengketa, termasuk pendanaan,
penyelenggara, waktu penyelenggaraan, dan lain-lain tentu memerlukan
pembenahan. Untuk itu, beberapa rekomendasi yang mungkin dapat bermanfaat
dalam rangka menciptakan pemilukada yang lebih berkualitas di masa datang,
yaitu :
1. Peningkatan akurasi daftar pemilih.
Dari segi regulasi, pengaturan data pemilih yang ada dalam Pasal 70 ayat (1)
dan ayat (2) UU No. 32 Tahun 2004 sebetulnya sudah cukup memadai. Kunci
penyelesaian dari daftar pemilih yang kurang akurat adalah pelibatan RT/RW
secara resmi dan intensif baik dalam up dating data penduduk maupun
perbaikan data pemilih.
2. Peningkatan akuntabilitas proses pencalonan.
Dari segi regulasi, pengaturan tahapan pencalonan yang ada dalam Pasal 59
sampai dengan pasal 64 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 belum cukup
memadai. Untuk mengatasi kekurangan ini, ke depan pasangan calon perlu
diberi ruang untuk mengajukan keberatan ke pengadilan, jika dalam proses
10 SEMINAR NASIONAL, IPDN KAMPUS NUSA TENGGARA BARAT 2013 Mataram, 16 September 2013
pencalonan dirugikan KPUD. Selain itu, diperlukan pengaturan agar dalam
proses pencalonan dapat dilakukan melalui seleksi secara terbuka dan
akuntabel.
3. Masa kampanye yang lebih memadai.
Dari segi regulasi, pengaturan mengenai kampanye yang diatur dalam pasal
75 sampai dengan pasal 85 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 belum
memberi waktu yang cukup, yaitu hanya 14 (empat belas) hari, sehingga tidak
cukup bagi masyarakat untuk mendapatkan informasi lengkap para calon.
Untuk itu perlu pengaturan masa kampanye yang cukup dan peningkatan
kualitas kampanye agar dapat mendidik pemilih untuk menilai para calon dari
sisi program.
4. Peningkatan akuntabilitas penghitungan dan rekapitulasi hasil
penghitungan suara.
Dari segi regulasi, pengaturan mengenai penghitungan dan rekapitulasi hasil
penghitungan suara sebagaimana yang diatur dalam Pasal 96 s/d Pasal 101
UU No. 32 Tahun 2004 masih mengandung celah terjadi manipulasi pada
pembuatan berita acara dan sertifikat penghitungan suara yang tidak sama
dengan hasil penghitungan suara yang disaksikan oleh masyaakat, karena
tidak semua peserta Pemilukada menempatkan saksi di setiap TPS dan
keterbatasan jangkauan Panwaslu mengawasi penghitungan suara di setiap
TPS. Selain itu pengumuman hasil penghitungan suara yang dipasang di
setiap TPS hanya selama TPS ada (tidak lebih dari sehari), sehingga para
saksi peserta Pemilukada kesulitan untuk mengakses hasil penghitungan suara
di setiap TPS. Untuk itu perlu pengaturan yang memungkinkan adanya
kontrol dari masyarakat/para saksi calon untuk mengakses hasil penghitungan
suara di TPS maupun hasil rekapitulasi hasil penghitungan suara di setiap
tingkatan.
5. Peningkatan penyelenggara Pemilu yang adil dan netral
11 SEMINAR NASIONAL, IPDN KAMPUS NUSA TENGGARA BARAT 2013 Mataram, 16 September 2013
Keberpihakan penyelenggara pemilu kepada salah satu pasangan calon terjadi
karena kriteria dalam sistem seleksi para anggota penyelenggara pemilu baru
belum menjangkau sikap mental yang diperlukan bagi penyelenggara pemilu
yang antara lain harus netral, obyektif, mempunyai integritas tinggi,
kesukarelaan/keterpanggilan dalam tugas, dan tidak tidak mudah
mengeluarkan statement. Untuk itu dalam revisi UU perlu penambahan
kriteria sikap mental dimaksud dalam sistem seleksi anggota penyelenggara
pemilu.
9. Minimalisasi politisasi birokrasi oleh kepala daerah/wakil kepala daerah
incumbent dalam Pemilukada.
Dalam rangka menjaga kesetaraan (fairness) dan menjaga netralitas Pegawai
Negeri Sipil (PNS) dalam Pemilukada, kepala daerah/wakil kepala daerah
yang akan mencalonkan diri sebagai kepala daerah dan/atau wakil kepala
daerah harus aktif.
10. Pemilukada serentak.
Optimasi penggabungan Pemilukada di Indonesia yang paling optimal
berdasar kriteria kontinuitas jalannya pemerintahan daerah, kesiapan aparat
keamanan, dampak isu yang akan muncul terhadap dan efisiensi biaya.
12. Peninjauan sistem pemilihan wakil kepala daerah.
Pemilihan wakil kepala daerah dilakukan secara langsung berpasangan
dengan kepala daerah, pada banyak daerah telah menimbulkan hubungan
yang tidak sinergi dalam menjalankan tugas dan fungsi. Berkenaan dengan
tersebut perlu dilakukan perumusan ulang sistem pemilihan wakil kepala
daerah, agar tidak mengganggu penyelenggaraan pemerintahan daerah dan
dapat menempatkan wakil kepala daerah untuk perkuatan kepala daerah.
13. Hal-hal lain seperti pembiayaan pemilukada yang serentak (diharapkan dari
APBN), pembatasan dan audit dana kampanye kandidat, money politik,
konflik dan penanganan sengketa (diperlukan aturan main yang jelas), serta
upaya-upaya dalam peningkatan kapasitas penyelenggara pemilukada.
12 SEMINAR NASIONAL, IPDN KAMPUS NUSA TENGGARA BARAT 2013 Mataram, 16 September 2013
Akhirnya, semoga menjadi harapan kita semua bahwa pemilukada ke
depan haruslah pemilukada yang berkualitas. Ukuran kualitas dimaksud dapat
dicapai dengan sejumlah syarat, yakni tersedianya regulasi yang mampu
menjamin pemilukada berjalan secara demokratis serta proses pelaksanaan yang
demokratis pula. Dengan kata lain Pemilukada yang berkualitas tidak hanya
ditentukan oleh proses pelaksanaan pemilu, tetapi juga dipengaruhi oleh aturan
main dan penegakannya. Selain itu, untuk bisa berberkualitas juga memerlukan
pemilih yang rasional dan para calon kapabel serta akseptabel.
Mengacu pada tulisan Ramlan Surbakti3*
, maka setidaknya ada dua
parameter atau indikator proses penyelenggaraan pemilu yang demokratis.
Pertama, ketentuan yang mengatur setiap tahapan penyelenggaraaan pemilu
mengandung kepastian hukum (predictable procedures), yakni (1) tidak
mengandung kekosongan hukum, (2) antar ketentuan konsisten (tidak
kontradiktif), dan (3) tidak mengandung ketentuan yang multi tafsir. Kedua,
ketentuan yang mengatur setiap tahapan penyelenggaraaan pemilu dirumuskan
berdasarkan asas-asas pemilu yang demokratis (luber, jurdil, akuntabel, edukatif).
2* Ramelan Surbakti (2008). Ketidakpastian Hukum Dalam Pengaturan Tahapan Penyelenggaraan Pemilihan
Umum” dalam Ramlan Surbakti (et.all.) , Perekayasaan Sistem Pemilu, Jakarta, Kemitraan, 2008.