105
KANDUNGAN NUTRISI DAN TINGKAT KECERNAAN IN VITRO PADA TIGA VARIETAS SORGHUM HYDROPONIC FODDER (SHF) SKRIPSI RISTA KURNIA DEWI PROGRAM STUDI KIMIA FAKULTAS SAINS DAN TEKNOLOGI UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 2018 M/1439 H

KANDUNGAN NUTRISI DAN TINGKAT KECERNAAN IN VITRO …

  • Upload
    others

  • View
    7

  • Download
    0

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: KANDUNGAN NUTRISI DAN TINGKAT KECERNAAN IN VITRO …

KANDUNGAN NUTRISI DAN TINGKAT KECERNAAN IN VITRO PADA

TIGA VARIETAS SORGHUM HYDROPONIC FODDER (SHF)

SKRIPSI

RISTA KURNIA DEWI

PROGRAM STUDI KIMIA

FAKULTAS SAINS DAN TEKNOLOGI

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA

2018 M/1439 H

Page 2: KANDUNGAN NUTRISI DAN TINGKAT KECERNAAN IN VITRO …

KANDUNGAN NUTRISI DAN TINGKAT KECERNAAN IN VITRO PADA

TIGA VARIETAS SORGHUM HYDROPONIC FODDER (SHF)

SKRIPSI

Sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Gelar Sarjana Sains

Program Studi Kimia

Fakultas Sains dan Teknologi

Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta

Oleh :

RISTA KURNIA DEWI

1113096000014

PROGRAM STUDI KIMIA

FAKULTAS SAINS DAN TEKNOLOGI

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA

2018 M/1439 H

Page 3: KANDUNGAN NUTRISI DAN TINGKAT KECERNAAN IN VITRO …
Page 4: KANDUNGAN NUTRISI DAN TINGKAT KECERNAAN IN VITRO …
Page 5: KANDUNGAN NUTRISI DAN TINGKAT KECERNAAN IN VITRO …
Page 6: KANDUNGAN NUTRISI DAN TINGKAT KECERNAAN IN VITRO …

ABSTRAK

RISTA KURNIA DEWI. Kandungan Nutrisi dan Tingkat Kecernaan In Vitro Pada

Tiga Varietas Sorghum Hydroponic Fodder (SHF). Dibimbing oleh TEGUH

WAHYONO dan DEDE SUKANDAR.

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kandungan nutrisi dan tingkat kecernaan in

vitro dari tiga varietas Sorghum Hydroponic Fodder (SHF). Analisis kandungan

nutrisi meliputi bahan kering (BK), bahan organik (BO), protein kasar (PK), ekstrak

eter (EE), neutral detergent fiber (NDF) dan acid detergent fiber (ADF). Analisis

kecernaan in vitro meliputi Kecernaan Bahan Kering (KcBK), Kecernaan Bahan

Organik (KcBO) dan produk fermentasi rumen yaitu pH, konsentrasi NH3 dan total

volatile fatty acid (TVFA). Hasil yang didapat pada penelitian menunjukkan

kandungan nutrisi dan tingkat kecernaan in vitro pada ketiga varietas Sorghum

Hydroponic Fodder (SHF) memiliki beda nyata. Kandungan nutrisi tertinggi

dihasilkan oleh SHF Samurai 1 dengan nilai PK dan EE sebesar 19,80% dan 10,97%.

Kecernaan BK dan BO tertinggi pada SHF Pahat dengan nilai 65,21±5,32% dan

65,96±5,42%. Hasil tertinggi yang didapat dari produk fermentasi rumen yaitu pH,

konsentrasi NH3 dan total volatile fatty acid (TVFA) terdapat pada SHF Samurai 2

dengan nilai masing-masing 7,03±0,19; 6,13±0,24 mM dan 105,62±21,7 mM.

Kandungan nutrisi dari ketiga varietas SHF memiliki nilai yang cukup untuk

dijadikan sebagai sumber pakan ternak. Begitu pula dengan hasil kecernaan in vitro

yang didapat lebih dari 60% yang menunjukkan bahwa SHF dapat dicerna dengan

baik.

Kata kunci : In vitro, kandungan nutrisi, kecernaan, Sorghum Hydroponic Fodder

(SHF)

Page 7: KANDUNGAN NUTRISI DAN TINGKAT KECERNAAN IN VITRO …

ABSTRACT

RISTA KURNIA DEWI. Nutrient content and level of In vitro digestibility of three

varieties Sorghum Hydroponic Fodder (SHF). Supervised by TEGUH WAHYONO

and DEDE SUKANDAR.

The aim of this research is for knowing nutrition content and in vitro

level digestibility of three varieties Sorghum Hydroponic Fodder (SHF). Nutrition

content analyze includes dry matter (DM), organic matter (BO), crude protein (CP),

ether extract (EE), neutral detergent fiber (NDF) and acid detergent fiber (ADF).

Analysis digestibility in vitro include dry material digestibility (DMD), organic

materials digestibility (OMD) and rumen fermentation product include pH,

concentration of NH3 and total volatile faty acid (TVFA). The result showed that no

significantly different on nutrition content and in vitro digestibility level of three

varieties Sorghum Hydroponic Fodder (SHF). SHF Samurai 1 has highest crude

protein and EE value by 19, 80% and 10.97%. DMD and OMD of SHF Pahat has

highest value is 65, 21 ± 5.32% and 65.96 ± 5.42%. The highest fermentation rumen

product (pH, NH3 and TVFA) obtained by SHF Samurai 2 (7.03 ± 0.19;

6.13 ± 0.24mM and 105.62 ± 21.7 mM). The results of in vitro digestibility show that

SHF has better native grass.

Keywords: In vitro, nutrion content, digestibility, Sorghum Hydroponic Fodder

(SHF)

Page 8: KANDUNGAN NUTRISI DAN TINGKAT KECERNAAN IN VITRO …

viii

KATA PENGANTAR

Bismillahirohmaanirrahiim

Puji syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT karena berkat

rahmat, karunia dan hidayah-Nya penulis dapat menyelesaikan skripsi yang

berjudul “Kandungan Nutrisi dan Tingkat Kecernaan In Vitro Pada Tiga

Varietas Sorghum Hydroponic Fodder (SHF)” sehingga terlaksana sesuai

dengan harapan. Tak lupa shalawat serta salam penulis haturkan kepada Nabi

Muhammad SAW beserta keluarga dan sahabatnya. Penelitian ini

dilaksanakan di Laboratorium Pusat Aplikasi Isotop dan Radiasi (PAIR)

BATAN, Jalan Lebak Bulus Raya No. 49, Jakarta Selatan, Indonesia pada

bulan Februari sampai April 2017.

Skripsi ini disusun untuk memenuhi syarat kelulusan dalam

menempuh pendidikan Strata 1 (S1) di Program Studi Kimia Fakultas Sains

dan Teknologi Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

Penulis menyadari bahwa, tanpa bantuan dan bimbingan dari berbagai pihak,

sangatlah sulit untuk menyelesaikan skripsi ini. Oleh karena itu, penulis

mengucapkan terima kasih sebanyak-banyaknya terutama kepada:

1. Teguh Wahyono, M.Si, selaku pembimbing I yang senantiasa membimbing

dan memberikan segala ilmunya kepada penulis dengan penuh kesabaran

dan keikhlasan.

Page 9: KANDUNGAN NUTRISI DAN TINGKAT KECERNAAN IN VITRO …

ix

2. Drs. Dede Sukandar, M.Si, selaku pembimbing II yang telah memberikan

bimbingannya kepada penulis dan selaku Ketua Program Studi Kimia

Fakultas Sains dan Teknologi Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah

Jakarta.

3. Dr. Sandra Hermanto, M.Si, selaku penguji I yang telah memberikan

masukan dalam penulisan skripsi ini dengan penuh kesabaran dan

keikhlasan.

4. Anna Muawanah, M.Si, selaku penguji II yang telah memberikan masukan

dalam penulisan skripsi ini dengan penuh kesabaran dan keikhlasan.

5. Dr. Agus Salim, M.Si, selaku Dekan Fakultas Sains dan Teknologi

Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.

6. Kedua orang tua tercinta yang selalu memberikan doa serta dukungan moril

maupun materil.

7. Pegawai BATAN PAIR Laboratorium Nutrisi Ternak (saudari Tia, Bapak

Edi, Bapak Dedi, Bapak Haryono, dll.) yang senantiasa membantu penulis

selama penelitian berlangsung.

8. Yulia dan Ariani sebagai patner kerja, Sinta, Syifa, Ersa, Ardhi, Dini dan

rekan seperjuangan Kimia 2013 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang

selalu memberikan semangat dan dukungan.

Page 10: KANDUNGAN NUTRISI DAN TINGKAT KECERNAAN IN VITRO …

x

Nasihat, kritik dan saran pada skripsi ini yang membangun dari pembaca

sangat penulis harapkan. Semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi perkembangan

ilmu pengetahuan.

Jakarta, Januari 2018

Penulis

Page 11: KANDUNGAN NUTRISI DAN TINGKAT KECERNAAN IN VITRO …

xi

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR .............................................................................................. viii

DAFTAR ISI ............................................................................................................... xi

DAFTAR GAMBAR ................................................................................................ xiv

DAFTAR TABEL ....................................................................................................... 1

DAFTAR LAMPIRAN ............................................................................................... 2

BAB I PENDAHULUAN ........................................................................................... 1

1.1. Latar Belakang ................................................................................................... 1

1.2. Rumusan Masalah ............................................................................................. 5

1.3. Hipotesis ............................................................................................................ 5

1.4. Tujuan Penelitian ............................................................................................... 6

1.5. Manfaat pengujian .............................................................................................. 6

BAB II TINJAUAN PUSTAKA ................................................................................ 7

2.1. Hijauan Pakan Ternak ........................................................................................ 7

2.2. Sorgum ............................................................................................................. 10

2.3. Kandungan Kimia pada Sorgum ...................................................................... 15

2.4. Hydroponic Fodder .......................................................................................... 17

2.5. Ruminansia ....................................................................................................... 19

2.6. Pencernaan Ternak Ruminansia ....................................................................... 20

2.6. Kecernaan In Vitro ........................................................................................... 24

2.7. Analisis Kandungan Nutrisi Pakan .................................................................. 27

2.8. Volatile Fatty Acid (VFA) ................................................................................ 29

2.9. Amonia (NH3) .................................................................................................. 31

Page 12: KANDUNGAN NUTRISI DAN TINGKAT KECERNAAN IN VITRO …

xii

BAB III METODE PENELITIAN ......................................................................... 34

3.1. Tempat dan Waktu Pelaksanaan ...................................................................... 34

3.2. Alat dan Bahan ................................................................................................. 34

3.2.1. Alat ............................................................................................................ 34

3.2.2. Bahan ........................................................................................................ 35

3.3. Tahapan Penelitian ........................................................................................... 35

3.4. Prosedur Kerja .................................................................................................. 36

3.4.1. Pembuatan Larutan Pupuk Cair ................................................................ 36

3.4.2. Penanaman Sorghum Hydroponic Fodder (Nugroho, 2015) .................... 36

3.4.3. Pemanenan Sorghum Hydroponic Fodder (Nugroho, 2015) .................... 37

3.4.4. Analisis Kandungan Nutrisi SHF .............................................................. 37

3.4.5. Analisis In Vitro Dua Tahap (Tilley and Terry, 1963) .............................. 41

3.4.6. Analisis statistik ........................................................................................ 45

3.5. Bagan Alir Penelitian ................................................................................... 46

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN .................................................................. 47

4.1. Profil Nutrisi .................................................................................................... 47

4.1.1. Bahan Kering (BK) ................................................................................... 47

4.1.2. Bahan Organik (BO) ................................................................................. 49

4.1.3. Protein Kasar (PK) .................................................................................... 50

4.1.4. Ekstrak Eter (EE) ...................................................................................... 53

4.1.5. Neutral detergent fiber (NDF) dan Acid detergent fiber (ADF) ............... 54

4.2. Kecernaan In Vitro ........................................................................................... 58

4.2.1. Nilai pH ..................................................................................................... 58

4.2.2. Konsentrasi NH3 ....................................................................................... 60

Page 13: KANDUNGAN NUTRISI DAN TINGKAT KECERNAAN IN VITRO …

xiii

4.2.3. Produksi Total Volatile Fatty Acid (TVFA) ............................................ 62

4.2.4. Kecernaan BO (KcBO) ............................................................................. 64

4.2.5. Kercernaan BK (KcBK) ............................................................................ 64

BAB V SIMPULAN DAN SARAN .......................................................................... 69

5.1. Simpulan .......................................................................................................... 69

5.2 Saran .................................................................................................................. 69

DAFTAR PUSTAKA ................................................................................................ 70

LAMPIRAN ............................................................................................................... 79

Page 14: KANDUNGAN NUTRISI DAN TINGKAT KECERNAAN IN VITRO …

xiv

DAFTAR GAMBAR

Gambar 1. Sorgum hasil mutasi radiasi PAIR-BATAN ............................................. 11

Gambar 2. Struktur selulosa (Gascoigne, 1960) ......................................................... 12

Gambar 3. Struktur hemiselulosa (Fangel dan Wegener, 1995) ................................. 16

Gambar 4. Struktur lignin (Fangel dan Wegener, 199l).............................................. 16

Gambar 5. Sistem pencernaan ruminansia (Fariani, 2008) ......................................... 17

Gambar 6. Skema pencernaan karbohidrat didalam rumen dan perubahan asam....... 30

Gambar 7. Proses metabolisme protein pada ruminansia (Sakinah, 2005) ................. 33

Gambar 8. Bagan alir penelitian.................................................................................. 46

Gambar 9. Proses pembentukan asam amino (Kamal, 1994) ..................................... 51

Gambar 10. Skema pemisahan menggunakan detergent (Van Soet, 1982) ................ 55

Gambar 11. Hasil analisis pH SHF setelah diinkubasi selama 48 jam ....................... 67

Gambar 12. Hasil konsentrasi NH3 SHF setelah diinkubasi selama 48 jam. ............. 65

Gambar 13. Hasil Produksi TVFA SHF setelah diinkubasi selama 48 jam.. ............. 59

Gambar 14. Hasil KcBO SHF setelah inkubasi selama 48 jam... .............................. 61

Gambar 15. Hasil KcBK SHF setelah diinkubasi selama 48 jam. .............................. 62

Page 15: KANDUNGAN NUTRISI DAN TINGKAT KECERNAAN IN VITRO …

1

DAFTAR TABEL

Tabel 1. Komposisi nutrisi dalam sorgum sebagai pakan ternak……………………12

Tabel 2. Data nilai kandungan nutrisi varietas sorgum………………..…………….13

Tabel 3. Komposisi nutrisi limbah sorgum sebagai pakan ternak…………………...14

Tabel 4. Nilai daya cerna in vitro dan in vivo sorgum…………………………...….15

Tabel 5. Jumlah bateri dan protozoa rumen pada sapi……………………………….23

Tabel 6. Profil nutrisi SHF dengan 9 hari waktu tanam……………………………..47

xv

Page 16: KANDUNGAN NUTRISI DAN TINGKAT KECERNAAN IN VITRO …

2

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1. Hasil kandungan nutrisi .......................................................................... 79

Lampiran 2. Kecernaan in vitro dan produk fermentasi rumen .................................. 81

Lampiran 3. Uji statistik kandungan nutrisi SHF ....................................................... 83

Lampiran 4. Uji statistik kecernaan in vitro ................................................................ 86

Lampiran 5. Dokumentasi penelitian .......................................................................... 89

xvi

Page 17: KANDUNGAN NUTRISI DAN TINGKAT KECERNAAN IN VITRO …

1

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Hewan ternak seperti ruminansia merupakan salah satu hewan yang menjadi

sumber protein hewani. Hal tersebut karena hewan ini mampu memanfaatkan bahan

makanan yang tidak dapat dimanfaatkan oleh manusia. Hijauan seperti rumput atau

limbah pertanian yang tidak dikonsumsi oleh manusia dapat dikonversikan ke dalam

makanan bernilai gizi tinggi. Makanan yang bernilai gizi tinggi tersebut adalah

sumber protein hewani berupa daging, telur dan susu. Kebutuhan masyarakat

Indonesia akan protein hewani semakin meningkat, sehingga harus diimbangi dengan

peningkatan produktivitas ternak. Sebagaimana juga dijelaskan di dalam Al-Qur’an

surah Al-Mu’minun ayat 21:

ا في بطونها ولكم فيها وإن لكم في النعام لعبرة نسقيكم مم

ا تأكلون منافع كثيرة ومنه

Artinya: Dan sesungguhnya pada binatang-binatang ternak, benar-benar terdapat

pelajaran yang penting bagi kamu, Kami memberi minum kamu dari air susu yang

ada dalam perutnya, dan (juga) pada binatang-binatang ternak itu terdapat faedah

yang banyak untuk kamu, dan sebagian daripadanya kamu makan (QS. Al-

Mu’minun: 21).

Dari ayat Al-qur’an pada surah Al-Mu’minun ayat 21 di atas dijelaskan bahwa

binatang-binatang ternak memiliki banyak manfaat bagi kehidupan manusia. Sebagai

Page 18: KANDUNGAN NUTRISI DAN TINGKAT KECERNAAN IN VITRO …

2

binatang ternak, ruminansia juga membutuhkan pakan atau hijauan dalam

melangsungkan kehidupannya. Menurut ACIAR (2008), hijauan makanan ternak

yang dipergunakan untuk ternak ruminansia sebagian besar berupa rumput-rumputan,

sehingga rumput memegang peranan penting dalam penyediaan pakan dan telah

umum digunakan oleh peternak. Pakan hijauan yang diberikan sebaiknya hijauan

yang mempunyai kandungan nutrisi yang baik, tinggi dan disukai oleh ternak, seperti

rumput lapangan yang memiliki kandungan protein kasar (PK) sebesar 8,20% (Akbar,

2007).

Berbagai teknologi dapat diaplikasikan untuk mengatasi kebutuhan akan

tanaman pakan di lahan terbatas. Salah satunya adalah budidaya tanaman pakan

secara hidroponik. Hidroponik merupakan suatu cara bertanam tanpa media tanah.

Budidaya tanaman pakan menggunakan sistem hidroponik (hydroponic system)

menawarkan solusi yang tepat dalam penyediaan hijuan pakan yang memiliki

keterbatasan lahan dan iklim dalam budidaya tanaman pakan dan juga untuk

penyediaan hijauan pakan yang cepat dan bernutrisi tinggi (Krismawati, 2012).

Keuntungan dari budidaya tanaman secara hidroponik adalah keberhasilan

tanaman untuk tumbuh dan berproduksi lebih terjamin, perawatan lebih praktis dan

gangguan hama lebih terkontrol, pemakaian pupuk lebih hemat, tanaman yang mati

lebih mudah diganti dengan tanaman yang baru, tidak membutuhkan banyak tenaga

kasar karena metode kerja lebih hemat dan memiliki standarisasi, tanaman dapat

tumbuh lebih pesat dan dengan keadaan yang tidak kotor dan rusak, hasil produksi

lebih continue dan lebih tinggi dibanding dengan penanaman ditanah, beberapa jenis

tanaman dapat dibudidayakan di luar musim, harga jual hidroponik lebih tinggi dari

Page 19: KANDUNGAN NUTRISI DAN TINGKAT KECERNAAN IN VITRO …

3

produk non-hydroponic, tidak ada resiko kebanjiran, erosi, kekeringan, atau

ketergantungan dengan kondisi alam dan tanaman hidroponik dapat dilakukan pada

lahan atau ruang yang terbatas, misalnya di atap, dapur atau garasi (Krismawati,

2012).

Beberapa tanaman yang di kembangkan sebagai sumber pakan ternak adalah

sorgum. Sorgum (Sorghum spp.) mempunyai kandungan gizi dan serat kasar yang

cukup memadai. Sorgum juga dapat digunakan sebagai sumber pakan ternak karena

sorgum memiliki kandungan nutrisi yang baik, bahkan kandungan proteinnya lebih

tinggi daripada beras (Sirappa, 2003). Sorgum yang digunakan pada penelitian ini

adalah sorgum Pahat, Samurai 1 dan Samurai 2. Sorgum Pahat merupakan hasil

pemuliaan varietas sorgum yang dilakukan oleh Badan Tenaga Nuklir Nasional

(BATAN) yang menggunakan teknik iradiasi sinar gamma untuk memperbaiki sifat

agronomi dan kualitas sorgum (biji dan hijauan).

Varietas sorgum Samurai 1 dan Samurai 2 merupakan varietas yang

dihasilkan melalui pemuliaan mutasi radiasi dari sorgum Pahat sebagai varietas

mutan. Beberapa kelebihan sorgum Pahat sebagai varietas mutan adalah memiliki

produktivitas biji tinggi (5 ton/ha), batang semi pendek (158 cm), rendah tanin

(0.012%) dan multifungsi. Keunggulan Samurai 1 adalah produktivitas biji lebih

tinggi daripada Pahat (7.5 ton/ha), biomasa tinggi, kadar gula batang tinggi (12-18%)

sehingga cocok untuk bahan bioetanol. Samurai 2 memiliki keunggulan produktivitas

tinggi, biomasa total tanaman tinggi 47 ton/ha, kebal terhadap penyakit karat daun

dan busuk pelepah (Sihono et al., 2013).

Page 20: KANDUNGAN NUTRISI DAN TINGKAT KECERNAAN IN VITRO …

4

Penelitian ini menggunakan teknik in vitro. Teknik in vitro atau yang dikenal

dengan teknik mengukur daya degradabilitas secara laboratoris adalah suatu teknik

alternatif untuk memecahkan permasalahan yang terdapat pada teknik in vivo

(Soebarinoto et al., 1990). Kecernaan suatu bahan pakan untuk ternak ruminansia

dapat dihitung secara akurat pada skala laboratorium dengan percobaan menggunakan

cairan rumen dan pepsin (Zakariah, 2012). Pada penelitian ini, teknik in vitro yang

digunakan adalah metode dua tahap Tilley dan Terry. Dua tahap in vitro pada

percobaan ini yaitu: tahap proses pencernaan fermentatif dan tahap proses pencernaan

secara hidrolisis (Andayani, 2010). Fase pencernaan fermentatif merupakan fase yang

pertama. Bahan pakan di fermentasi secara anaerob dalam cairan rumen yang

merupakan sumber mikroba rumen dan larutan buffer yang merupakan saliva buatan.

Fase selanjutnya adalah fase pencernaan hidrolitis. Pada fase kedua ini dilakukan

proses pencernaan hidrolitis atau enzimetis yaitu pencernaan oleh larutan asam

khlorida-pepsin pada kondisi aerob.

Berdasarkan penelitian Wahyono et al (2015) tentang evaluasi fermentabilitas

ransum kerbau yang mengandung sorgum dengan pendekatan In Sacco, In Vitro dan

RUSITEC membuktikan bahwa silase jerami sorgum samurai 2 sebagai sumber serat

mampu menggantikan sumber serat dari jerami sorgum Pahat. Maka di dalam

penelitian ini akan dilihat pengaruh varietas setiap sorgum yang dipanen pada umur 9

hari terhadap kandungan nutrisi dan tingkat kecernaan in vitro. Pengaruh varietas

diamati melalui penanaman sorgum varietas Pahat, Samurai 1 dan Samurai 2

menggunakan metode hidroponik dengan umur panen pakan 9 hari. Pakan sorgum

Page 21: KANDUNGAN NUTRISI DAN TINGKAT KECERNAAN IN VITRO …

5

Pahat, Samurai 1 dan Samurai 2 yang telah dipanen kemudian diuji

fermentabilitasnya secara in vitro menggunakan metode dua tingkat Tilley and Terry

(1963). Kandungan nutrisi yang di uij meliputi kandungan bahan kering (BK), bahan

organik (BO), protein kasar (PK), ekstrak eter (EE), neutral detergent fiber (NDF)

dan acid detergent fiber (ADF). Tingkat kecernaan in vitro yang diukur meliputi

kecernaan bahan kering (KcBK) dan kecernaan bahan organik (KcBO). Produk

fermentasi rumen yang diukur meliputi konsentrasi NH3, volatile fatty acid (VFA),

pH.

1.2. Rumusan Masalah

1. Apakah sorgum Pahat, sorgum Samurai 1 dan sorgum Samurai 2 yang

ditanam secara hidroponik memiliki kandungan nutrisi yang tinggi untuk

hijauan pakan ternak ?

2. Bagaimana kecernaan in vitro dari sorgum Pahat, sorgum Samurai 1 dan

sorgum Samurai 2 yang di tanam secara hidroponik ?

1.3. Hipotesis

1. Hijauan sorgum Pahat, Samurai 1 dan Samurai 2 yang ditanam secara

hidroponik memiliki kandungan nutrisi yang tinggi.

2. Sorgum Pahat, Samurai 1 dan Samurai 2 yang ditanam secara hidroponik

memiliki tingkat kecernaan in vitro yang tinggi.

Page 22: KANDUNGAN NUTRISI DAN TINGKAT KECERNAAN IN VITRO …

6

1.4. Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kandungan nutrisi dan tingkat

kecernaan in vitro pada tiga varietas sorgum yaitu varietas Pahat, Samurai 1 dan

Samurai 2 yang di tanam secara hidroponik sebagai pakan ternak ruminansia.

1.5. Manfaat pengujian

Penelitian ini diharapkan dapat menyelesaikan masalah akan keterbatasan

lahan untuk budidaya pakan ternak dengan alternatif budidaya secara hidroponik.

Selain itu, pada penelitian ini juga diharapkan mampu memberikan informasi

tentang kandungan nutrisi dan kecernaan secara in vitro dari sorgum yang

ditanam secara hidroponik.

Page 23: KANDUNGAN NUTRISI DAN TINGKAT KECERNAAN IN VITRO …

7

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Hijauan Pakan Ternak

Pakan adalah kebutuhan mutlak yang harus selalu diperhatikan dalam

kelangsungan hidup pemeliharaan ternak, apalagi pada ternak ruminansia yang

memerlukan sumber hijauan yang proporsinya lebih besar. Pemberian pakan dengan

cara dibatasi adalah yang cukup baik, tetapi kuantitas dan kualitasnya harus

diperhitungkan agar mencukupi kebutuhan ternak. Perlu dilakukan penyusunan

ransum yang didasarkan kepada kelas, jenis kelamin, keadaan fisiologis dan prestasi

produksi ternak bersangkutan (Santosa, 2006). Pakan digunakan untuk kebutuhan

harian hidup pokok, produksi dan bereproduksi. Sapi membutuhkan pakan berupa

hijauan 10% dari berat badan dan pakan tambahan berupa konsentrat 1-2% dari berat

badan berupa dedak halus, bungkil kelapa, gaplek atau ampas tahu (Tabrany, 2004).

Hijauan diartikan sebagai pakan yang mengandung serat kasar atau bahan

yang tak tercerna relatif tinggi. Konsentrat adalah pakan yang mengandung serat

kasar atau bahan yang tak tercerna relatif rendah. Contoh pakan hijauan yaitu rumput

gajah dan contoh konsentrat yaitu bungkil inti sawit (Siregar, 1993).

Bahan pakan adalah bahan yang dapat dimakan, dicerna dan digunakan untuk

kehidupan ternak tanpa menyebabkan penyakit dan keracunan. Beberapa hal penting

yang harus diperhatikan dalam memilih bahan pakan antara lain adalah (a) bahan

pakan harus mudah diperoleh dan sedapat mungkin terdapat di daerah sekitar

sehingga tidak menimbulkan masalah biaya transportasi dan kesulitan mencarinya,

Page 24: KANDUNGAN NUTRISI DAN TINGKAT KECERNAAN IN VITRO …

9

(b) bahan pakan harus terjamin ketersediaannya sepanjang waktu dan dalam jumlah

yang mencukupi keperluan, (c) bahan pakan harus mempunyai harga yang layak dan

sedapat mungkin, mempunyai fluktuasi harga yang tidak terlalu besar, (d) bahan

pakan harus diusahakan tidak bersaing dengan kebutuhan manusia, (e) bahan pakan

harus dapat diganti oleh bahan pakan lain yang kandungan zat-zat makanannya

hampir setara, (f) bahan pakan tidak mengandung racun dan tidak dipalsukan atau

tidak menampakkan perbedaan warna, bau atau rasa dari keadaan normal

(Santosa,1995).

Kemampuan ternak ruminansia dalam mengkonsumsi pakan dipengaruhi oleh

banyak faktor, seperti faktor ternak itu sendiri, faktor pakan yang diberikan dan faktor

lainnya. Faktor ternak meliputi bobot badan, status fisiologik, potensi genetik, tingkat

produksi dan kesehatan ternak. Faktor pakan meliputi bentuk dan sifat pakan,

komposisi zat-zat gizi, toksisitas atau anti nutrisi. Sedangkan faktor lain meliputi

suhu dan kelembapan udara, curah hujan, lama siang atau malam dan keadaan ruang

kandang serta tempat pakan (Santosa, 1995).

Pakan dari tumbuh-tumbuhan dapat berupa hasil tanaman maupun hasil

sisanya misalnya jagung, dedak halus dan jerami, sedangkan pakan asal hewan lebih

banyak dari hasil produksi sisa yang sudah digunakan oleh manusia yaitu misalnya

tepung ikan, tepung tulang, daging dan lain-lainnya. Karena di dalam tubuh ternak

terdiri atas zat-zat gizi, maka ternak memerlukan zat-zat gizi dari luar yang dapat

dipakai oleh ternak untuk menjaga kehidupan dan produksi (Kusumo, 1994).

Ditambahkan Kusumo (1994) bahwa zat yang ada dalam pakan terdiri atas

komposisi zat kimia yang berguna untuk menunjang kehidupan suatu organisme

Page 25: KANDUNGAN NUTRISI DAN TINGKAT KECERNAAN IN VITRO …

10

disebut zat gizi atau nutrien. Zat gizi inilah yang diperlukan oleh ternak, sesuai

dengan umur, besarnya ukuran tubuh ternak, jenis ternak dan tingkat produktivitas

suatu ternak terhadap kebutuhan tertentu akan suatu zat gizi (nutrient requirement).

2.2. Sorgum

Sorgum (Sorghum bicolor L.(Moench)) termasuk jenis tanaman serealia yang

berasal dari Ethiopia (Somantri et al., 2007). Sorgum digunakan sebagai bahan

pangan untuk manusia, pakan ternak dan bahan baku industri karena mengandung

nilai gizi yang cukup tinggi (Soeranto, 2007). Rismunandar (1989) menyatakan

bahwa sorgum digunakan sebagai pakan ternak dan sebagai pangan manusia pada

musim kering dimana ketersediaan bahan pangan lain menurun dan OISAT (2011)

menjelaskan bahwa sorgum memiliki kandungan nutrisi yang tinggi.

Tanaman sorgum yang digunakan sebagai pakan ternak unggas berupa biji,

sedangkan untuk ternak ruminansia menggunakan daun dan batang (Somantri et al.,

2007). Sorgum digunakan sebagai sumber hijauan karena mengandung serat kasar

yang cukup tinggi pada daun yaitu sekitar 32,2% (Hartadi et al., 1997). Sorgum

mempunyai struktur akar yang kuat dan dilapisi lilin, sehingga tanaman sorgum

relatif tahan kering dan dapat digunakan sebagai cadangan makanan pada musim

kemarau. Berdasarkan keunggulan-keunggulan tersebut, penggunaan sorgum sebagai

pakan ternak mulai dilakukan. Indrawan (2002) menggunakan daun dan batang

sorgum hasil mutasi oleh Badan Tenaga Nuklir Nasional. Gambar 1 berikut ini

merupakan gambar sorgum hasil mutasi yang dilakukan oleh BATAN. Berikut ini

pula merupakan taksonomi dari sorgum.

Page 26: KANDUNGAN NUTRISI DAN TINGKAT KECERNAAN IN VITRO …

11

Gambar 1. Sorgum hasil mutasi radiasi PAIR-BATAN (Dokumentasi pribadi, 2017)

Kingdom : Plantae

Divisi : Magnoliophyta

Kelas : Liliopsida

Ordo : Poales

Famili : Poaceae

Genus : Sorgum

Spesies : Sorgum bicolor

Limbah sorgum (daun dan batang segar) dapat dimanfaatkan sebagai hijauan

pakan ternak. Potensi daun sorgum manis sekitar 14-16% dari bobot segar batang

atau sekitar 3 t daun segar/ha dari total produksi 20 t/ha. Soebarinoto et al (1996)

melaporkan bahwa setiap hektar tanaman sorgum dapat menghasilkan jerami 2,62 +

0,53 t bahan kering. Konsumsi rata-rata setiap ekor sapi adalah 15 kg daun segar/hari

(Direktorat Jenderal Perkebunan 1996). Daun sorgum tidak dapat diberikan secara

langsung kepada ternak, tetapi harus dilayukan dahulu sekitar 2-3 jam. Nutrisi daun

Page 27: KANDUNGAN NUTRISI DAN TINGKAT KECERNAAN IN VITRO …

12

sorgum setara dengan rumput gajah dan pucuk tebu. Komponen nutrisi yang terdapat

dalam tanaman sorgum disajikan dalam Tabel 1.

Tabel 1. Komponen nutrisi dalam sorgum sebagai pakan ternak

Perakitan varietas sorgum bukan hanya dilakukan oleh Badan Litbang

Pertanian tetapi juga instituti lain seperti BATAN (Badan Tenaga Nuklir) yang

menggunakan teknik iradiasi sinar gamma untuk memperbaiki sifat agronomi dan

kualitas sorgum (biji dan hijauan). Induksi mutasi untuk meningkatkan keragaman

genetik tanaman sorgum menghasilkan satu varietas pada tahun 2013 yang diberi

nama Pahat (pangan sehat) untuk dikembangkan sebagai bahan pangan dan pakan

alternatif di daerah kering (Soeranto et al. 2002).

Dari sorgum Pahat tersebut kemudian BATAN melakukan pemuliaan kembali

yang menghasilkan varietas baru yaitu sorgum Samurai 1 dan sorgum Samurai 2.

Ketiga varietas sorgum tersebut dihasilkan melalui pemuliaan mutasi radiasi yang

memanfaatkan teknologi nuklir sehingga menghasilkan varietas mutan sorgum yang

berpotensi dalam industri pangan (kadar gula tinggi) dan bioetanol serta memiliki

palatabilitas tinggi. Tujuan pemuliaan sorgum dengan teknik mutasi radiasi adalah

Nutrien (% BK)

Bahan Kering

Bahan Organik

Protein Kasar

Ekstrak Ether

Serat Kasar

Ekstrak Tanpa Nitrogen

Ca

P

90.78

90.70

4.41

4.56

31.69

50.04

0.32

0.06

Sumber: Purwantari (2008)

Page 28: KANDUNGAN NUTRISI DAN TINGKAT KECERNAAN IN VITRO …

13

untuk menghasilkan tanaman yang memiliki genotipe tahan terhadap kondisi lahan

sub-optimal, namun tetap memiliki produktivitas dan kualitas yang tinggi.

Beberapa kelebihan sorgum Pahat sebagai varietas mutan adalah memiliki

produktivitas biji tinggi (5 ton/ha), batang semi pendek (158 cm), rendah tanin

(0.012%) dan multifungsi. Keunggulan Samurai 1 adalah produktivitas biji lebih

tinggi daripada Pahat (7.5 ton/ha), biomasa tinggi, kadar gula batang tinggi (12-18%)

sehingga cocok untuk bahan bioetanol. Samurai 2 memiliki keunggulan produktivitas

tinggi, biomasa total tanaman tinggi 47 ton/ha, kebal terhadap penyakit karat daun

dan busuk pelepah (Sihono, et al., 2013). Ada pula data nilai kandungan nutrisi dari

sorgum pahat dan sorgum samurai 2 disajikan pada tabel 2.

Tabel 2. Data nilai kandungan nutrisi varietas sorgum

Perlakuan Bahan Kering

(BK) %

Protein Kasar

(PK) %

ABU

%

NDF

%

ADF

%

Sorgum Pahat 93.23 10.09 12.02 79.96 48.02

Sorgum Samurai 2 93.28 8.66 11.79 78.99 50.34

Sumber: Wahyono et al. (2016)

Sebagai komoditas tanaman pangan, pengembangan sorgum di Indonesia

masih menghadapi sejumlah kendala baik teknis maupun sosial ekonomi. Selain itu,

pemerintah juga belum menempatkan sorgum sebagai prioritas dalam program

perluasan areal tanam dengan alasan sorgum bukan kebutuhan pokok, sehingga

perluasan sorgum tidak masuk dalam rencana strategis dan belum ada anggaran

khusus (Direktorat Serealia, 2013). Berdasarkan data Direktorat Jenderal Tanaman

Pangan terjadi kecenderungan penurunan dari waktu ke waktu yang mana pada tahun

Page 29: KANDUNGAN NUTRISI DAN TINGKAT KECERNAAN IN VITRO …

14

1990 menunjukkan luas tanam sorgum di Indonesia di atas 18.000 ha dan tahun 2011

luas tanam sorgum menurun menjadi 3.607 ha (Direktorat Jenderal Tanaman Pangan,

2012).

Tabel 3. Komposisi nutrisi limbah sorgum dan bahan lainnya sebagai pakan ternak

Limbah Protein

kasar %

Lemak

%

Serat kasar

%

Abu

%

Daun Sorgum 7,82 2,60 28,94 11,43

Rumput gajah 6 1,08 34,25 11,79

Pucuk tebu 5,33 0,90 35,48 9,69

Ubi kayu 20,40 6 22,80 9,90

Jerami Sorgum 4,40 1,60 32,30 8,90

Padi 4,50 1,50 28,80 20

Jagung 7,40 1,50 27,80 10,80

Kacang tanah 11,10 1,80 29,90 18,70

Kedelai 10,60 2,80 36,30 7,60

Ubi jalar 11,30 2,5 24,90 14,50

Sumber: Poespodiharjo (1983)

Nutrisi daun sorgum setara dengan rumput gajah dan pucuk tebu. Komposisi

kimia dari limbah sorgum dibandingkan dengan limbah pertanian lainnya disajikan

pada Tabel 3. Sedangkan data nilai daya cerna dan komponen serat dari limbah

sorgum dibandingkan dengan limbah lainnya disajikan dalam Tabel 4. Berdasarkan

data-data tersebut dapat disimpulkan bahwa nutrisi jerami sorgum tidak kalah

dibanding jerami jagung dan pucuk tebu.

Penurunan luas lahan ini berkaitan dengan tidak masuknya perluasan areal

tanam sorgum ke dalam rencana strategis dan belum ada anggaran khusus (Direktorat

Serealia, 2013) sehingga data perluasan areal tanam sorgum pada tahun 2014 belum

diperoleh secara konkrit. Kenyataan ini merupakan peluang sekaligus tantangan agar

produktivitas sorgum ditingkat petani dapat meningkat dengan meningkatkan

berbagai aspek budidaya pada tanaman sorgum.

Page 30: KANDUNGAN NUTRISI DAN TINGKAT KECERNAAN IN VITRO …

15

Tabel 4. Nilai daya cerna in vitro dan in vivo serta fraksi serat limbah sorgum

Komponen Jerami Daun ubi

kayu

Pucuk tebu

Sorgum Jagung Kacang tanah

Bobot kering (%) 39,80 39,80 29,30 23,50 37,40

Dinding sel (%) 81,80 79,50 69,40 62,40 86,50

Serat (%) 76, 73,50 62 58,50 81,50

Hemiselulosa (%) 5,80 6 7,40 3,40 5

Lignin (%) 16 12,80 6,80 14,20 9,20

Silika (%) 4,40 20,40 1,90 1,60 4,60

BKTIV (%) 39,40 32,70 67,30 54,30 39,40

BOTIV (%) 39,20 30,70 59,00 48,70 36,30

Daya cerna in vivo

TNT (%) 33 36,60 67,20 54,30 39,40

Protein tercerna (%) 1 0,60 3,90 - 1,50

ET (kkal/kg) 1.766 902 2,992 - 1.917

Sumber: Hartadi et al. (1981)

Keterangan: BKITV: Bahan Kering Tanpa In Vitro; BOITV: Bahan Organik Tanpa

In Vitro; TNT: Trinitrotoluene.

2.3. Kandungan Kimia pada Sorgum

Sorgum memiliki kandungan serat pangan yang tinggi. Serat pangan yang

terdapat pada sorgum adalah selulosa, hemiselulosa, lignin, (Laroche et al., 2006).

Selulosa adalah zat penyusun tanaman yang terdapat pada struktur sel dimana struktur

selulosa dapat dilihat pada gambar 2. Kadar selulosa dan hemiselulosa pada tanaman

pakan yang muda mencapai 40% dari bahan kering. Bila hijauan makin tua proporsi

selulosa dan hemiselulosa makin bertambah (Tillman et al., 1998). Selulosa

merupakan komponen utama penyusun dinding sel tanaman. Kandungan selulosa

pada dinding sel tanaman tingkat tinggi sekitar 35-50% dari berat kering tanaman

(Lynd et al, 2002).

Page 31: KANDUNGAN NUTRISI DAN TINGKAT KECERNAAN IN VITRO …

16

Gambar 2. Struktur selulosa (Gascoigne, 1960)

Hemiselulosa merupakan kelompok polisakarida heterogen dengan berat

molekul rendah. Jumlah hemiselulosa biasanya antara 15 dan 30 persen dari berat

kering bahan lignoselulosa (Taherzadeh, 1999). Hemiselulosa relatif lebih mudah

dihidrolisis dengan asam menjadi monomer yang mengandung glukosa, mannosa,

galaktosa, xilosa dan arabinosa. Struktur hemiselulosa dapat dilihat pada gambar 3.

Hemiselulosa mengikat lembaran serat selulosa membentuk mikrofibril yang

meningkatkan stabilitas dinding sel. Hemiselulosa juga berikatan silang dengan lignin

membentuk jaringan kompleks dan memberikan struktur yang kuat (Suparjo, 2010).

Gambar 3. Struktur hemiselulosa (Fangel dan Wegener, 1995)

Lignin adalah gabungan beberapa senyawa yang hubungannya erat satu sama

lain, mengandung karbon, hidrogen dan oksigen, namun proporsi karbonnya lebih

tinggi dibanding senyawa karbohidrat. Pada gambar 4 menunjukkan struktur lignin,

Page 32: KANDUNGAN NUTRISI DAN TINGKAT KECERNAAN IN VITRO …

17

dimana lignin sangat tahan terhadap degradasi kimia, termasuk degradasi enzimatik

(Tillman et al., 1989). Lignin sering digolongkan sebagai karbohidrat karena

hubungannya dengan selulosa dan hemiselulosa dalam menyusun dinding sel, namun

lignin bukan karbohidrat. Hal ini ditunjukkan oleh proporsi karbon yang lebih tinggi

pada lignin (Suparjo, 2008). Pengerasan dinding sel kulit tanaman yang disebabkan

oleh lignin menghambat enzim untuk mencerna serat dengan normal. Hal ini

merupakan bukti bahwa adanya ikatan kimia yang kuat antara lignin, polisakarida

tanaman dan protein dinding sel yang menjadikan komponen-komponen ini tidak

dapat dicerna oleh ternak (McDonald et al., 2002).

Gambar 4. Struktur lignin (Fangel dan Wegener, 199l)

2.4. Hydroponic Fodder

Hidroponik adalah budidaya tanaman pada media tanam selain tanah dan

menggunakan campuran nutrisi esensial yang dilarutkan di dalam air (Sudarmodjo,

Page 33: KANDUNGAN NUTRISI DAN TINGKAT KECERNAAN IN VITRO …

18

2008). Hydroponic fodder dapat dijadikan sebagai teknologi alternatif untuk

memproduksi pakan hijauan. Teknik hidroponik memiliki kemampuan untuk

menghasilkan produk berkualitas selain itu sistem hidroponik tidak tergantung

dengan musim sehingga tanaman dapat ditanam sepanjang tahun dan dapat ditanam

di lahan yang sempit dengan sistem green house. Budidaya tanaman dengan sistem

hidroponik umumnya dilakukan di dalam green house (Suhardiyanto, 2009).

Pemanfaatan teknik hidroponik untuk penanaman hijauan pakan diharapkan

dapat mengatasi keterbatasan produksi hijauan sebagai pakan sapi perah dan dapat

mengatasi kekurangan kandungan nutrisi pada pakan terutama vitamin esensial yang

sangat dibutuhkan sapi perah. Hijauan pakan yang diproduksi dengan teknik

hidroponik memiliki kandungan tinggi protein dan energi metabolisme yang sangat

mudah dicerna oleh hewan (Cader, 2002).

Budidaya sistem hidroponik fokus pada cara pemberian air dan hara yang

optimal, sesuai dengan kebutuhan tanaman, umur tanaman, dan kondisi lingkungan

sehingga tercapai hasil yang maksimum (Prihmantoro dan Indriani, 2001). Unsur hara

atau nutrisi diberikan ke tanaman dengan cara dilarutkan dalam air, kemudian

disirkulasikan ke akar tanaman secara berkala atau pun terus menerus tergantung dari

jenis sistem hidroponik yang dipakai (Lingga, 2000). Nutrisi yang digunakan dalam

budidaya dengan sistem hidroponik adalah nutrisi AB mix. Nutrisi AB Mix

mengandung 16 unsur hara esensial yang diperlukan tanaman, dari 16 unsur tersebut

6 diantaranya diperlukan dalam jumlah banyak (makro) yaitu N, P, K, Ca, Mg, S, dan

10 unsur diperlukan dalam jumlah sedikit (mikro) yaitu Fe, Mn, Bo, Cu, Zn, Mo, Cl,

Si, Na, Co (Agustina, 2004).

Page 34: KANDUNGAN NUTRISI DAN TINGKAT KECERNAAN IN VITRO …

19

Salah satu tantangan dalam memproduksi hijauan pakan (green fodder)

dengan sistem hidroponik yaitu tumbuhnya jamur. Keadaan lingkungan (suhu,

kelembaban dan cahaya) yang kurang mendukung dapat menyebabkan jamur

berkembang yang kemudian merusak tanaman dan menyebabkan masalah kesehatan

pada ternak yang diberi pakan berjamur. Kerusakan pada biji jagung biasanya

disebabkan oleh jamur, sehingga diperlukan disinfektan untuk mengurangi

pertumbuhan jamur. Hypocloride aman digunakan dan bersifat bakterisid.

Disinfektan ini dipakai dengan cara perendaman selama 15 menit. Larutan ini

merupakan disinfektan yang sangat aktif pada semua bakteri, virus, jamur, parasit dan

beberapa spora (Anusavice, 2004).

Sutiyoso (2004) mengungkapkan bahwa keberhasilan sistem hidroponik ini

dipengaruhi oleh faktor lingkungan diantaranya kelembaban, temperatur dan angin.

Pemberian mulsa dimaksudkan untuk mencegah hilangnya air akibat penguapan,

memperkecil perbedaan suhu antara siang dan malam hari, mencegah penyinaran

langsung dari matahari yang menyebabkan kerusakan pada tanaman terutama pada

saat perkecambahan. Disamping itu, mulsa akan dapat mempertahankan kelembaban

nisbi udara dipermukaan tetap meningkat sehingga kecepatan penguapan dapat

dibatasi dan kelembaban udara dapat dipertahankan (Doring et al. 2006 dan Djazuli,

1986).

2.5. Ruminansia

Ruminansia adalah mamalia berkuku genap seperti sapi, kerbau, domba,

kambing, rusa, dan kijang yang merupakan sub ordo dari ordo Artiodactyla. Nama

Page 35: KANDUNGAN NUTRISI DAN TINGKAT KECERNAAN IN VITRO …

20

ruminansia berasal dari bahasa Latin “ruminare” yang artinya mengunyah kembali

atau memamah biak, sehingga dalam bahasa Indonesia dikenal dengan hewan

memamah biak. Hijauan seperti rumput atau limbah pertanian yang tidak dimakan

oleh manusia dapat dikonversikan ke dalam makanan bernilai gizi tinggi yang dapat

dikonsumsi oleh manusia (Direktorat Jendral Budidaya Ternak Ruminansia, 2009).

Ternak ruminansia dapat dibagi menjadi dua kelompok, pertama kelompok

ternak ruminansia besar yaitu sapi dan kerbau dan kelompok ternak ruminansia kecil

yaitu kambing dan domba (Blakely dan Bade, 1998). Ternak ruminansia adalah

hewan ternak yang pada sistem pencernaanya mempunyai alat pencernaan yang

berbentuk rumen (perut besar). Berdasarkan susunan alat-alat pencernaanya hewan

ternak dibagi dalam 2 kelompok besar yaitu ternak berlambung tunggal dan ternak

berlambung jamak. Kelompok ternak berlambung jamak inilah yang biasa di sebut

sebagai ternak ruminansia. Dalam rumen (perut besar) ternak ruminansia terdapat

berjuta-juta mikroba yang hidup bersimbiosis dengan ternak inang dan sangat

berguna dalam proses pencernaan. Dengan mikroba-mikroba tersebut, ternak

ruminansia mampu memanfaatkan bahan makanan berkadar serat tingi seperti

rumput-rumputan dan dedaunan menjadi makanan (Fariani, 2008).

2.6. Pencernaan Ternak Ruminansia

Pencernaan merupakan serangkaian proses perubahan fisik maupun kimia

yang dialami bahan pakan ketika berada dalam saluran pencernaan. Pencernaan

mekanik ruminansia terjadi di mulut dengan tujuan memperkecil ukuran partikel

pakan. Pencernaan fermentatif terjadi di rumen dengan bantuan mikrobia rumen.

Page 36: KANDUNGAN NUTRISI DAN TINGKAT KECERNAAN IN VITRO …

21

Proses pencernaan kimiawi dibantu oleh enzim pencernaan yang dihasilkan oleh

organ pencernaan (Van Soest, 1994).

Ruminansia memiliki perut majemuk yang terdiri dari rumen, retikulum,

omasum dan abomasum yang ditunjukkan pada gambar 5. Rumen merupakan

struktur terbesar yang tersusun dari 1/7 sampai 1/10 massa ternak. Pada bagian ini

merupakan tempat berlangsungnya proses fermentasi terbesar. Kondisi dalam rumen

adalah anaerobic dengan suhu 38-42○C. Tekanan osmosis pada rumen mirip dengan

tekanan aliran darah, pH dipertahankan oleh buffer karbonat dari saliva karena

adanya VFA dan amonia. Saliva yang masuk ke dalam rumen berfungsi sebagai

buffer dan membantu mempertahankan pH tetap pada 6,8. Selain itu saliva juga

berfungsi sebagai zat pelumas dan surfaktan yang membantu dalam proses mastikasi

dan ruminasi (Arora, 1995).

Rumen merupakan bagian saluran pencernaan vital pada ternak ruminansia.

Pada rumen terjadi pencernaan secara fermentatif dan pencernaan secara hidrolitik.

Pencernaan fermentatif membutuhkan bantuan mikroba dalam mencerna pakan

terutama pakan dengan kandungan selulase dan hemiselulase yang tinggi. Sedangkan

pencernaan hidrolisis membutuhkan bantuan enzim dalam mencerna pakan. Protein

pakan di dalam rumen akan mengalami hidrolisis menjadi asam amino dan

oligopeptida. Selanjutnya asam amino mengalami katabolisme lebih lanjut dan

menghasilkan amonia, VFA, dan CO2. Ternak ruminansia besar seperti sapi potong

dan sapi perah dapat memanfaatkan pakan dengan kandungan nutrisi yang sangat

rendah, akan tetapi boros dalam penggunaan energy (Van Soest, 1994).

Page 37: KANDUNGAN NUTRISI DAN TINGKAT KECERNAAN IN VITRO …

22

Gambar 5. Sistem pencernaan ruminansia (Fariani, 2008)

Pakan berserat (hijauan) yang dimakan ditahan untuk sementara di dalam

rumen. Pada saat hewan beristirahat, pakan yang telah berada dalam rumen

dikembalikan ke mulut (proses regurgitasi), untuk dikunyah kembali (proses

remastikasi), kemudian pakan ditelan kembali (proses redeglutasi). Selanjutnya pakan

tersebut dicerna lagi oleh enzim-enzim mikroba rumen. Kontraksi retikulum rumen

yang terkoordinasi dalam rangkaian proses tersebut bermanfaat pula untuk

pengadukan digesta inokulasi dan penyerapan nutrien. Selain itu kontraksi retikulum

rumen juga bermanfaat untuk pergerakan digesta meninggalkan retikulo rumen.

Rumen dihuni tidak kurang dari empat jenis mikroba yaitu: bakteri, protozoa,

fungi dan virus (Preston dan Leng, 1987). Pada tabel 5 dapat dilihat bahwa jumlah

bakteri total kerbau (16,20 x 108 sel/ml) lebih tinggi daripada sapi (13,20 x 10

8

sel/ml). Persentase bakteri selulolitik dari total bakteri, pada kerbau (42,3 %) lebih

tinggi daripada sapi (19,5 %). Hal ini sejalan dengan pendapat Kosakoy et al. (1978)

Page 38: KANDUNGAN NUTRISI DAN TINGKAT KECERNAAN IN VITRO …

23

yang melaporkan bahwa aktivitas bakteri selulolitik dalam cairan rumen kerbau lebih

tinggi daripada cairan rumen sapi. Akibatnya laju degradasi dan kecernaan benang

kapas pada cairan rumen kerbau jauh lebih cepat daripada cairan rumen sapi sehingga

kecernaan pada cairan rumen kerbau lebih tinggi. Sama seperti populasi bakteri total,

jumlah protozoa rumen pada kerbau (2,8 x 105 sel/ml) lebih tinggi dibandingkan sapi

(1,5 x 105sel/ml) (Pradhan, 1994). Hal inilah yang membuat tingkat efisiensi

kecernaan ransum pada kerbau lebih tinggi dibandingkan sapi (Ruangprim et al.,

2007).

Tabel 5. Jumlah bakteri dan protozoa rumen pada sapi dan kerbau yang diberi pakan

berserat tinggi

Mikrobiota Sapi Kerbau

Bakteri (x 108sel/ml)

Selulolitik 2,58 6,86

Proteolitik 0,41 0,54

Amilolitik 8,63 11,05

Total Bakteri 13,2 16,20

Protozoa (x 105 sel/ml)

Total Protozoa 1,15 1,59

Sumber: Pradhan (1994)

Bakteri pencerna pati yaitu Streptococcus bovis, Ruminobacter amylophilus,

Prevotella ruminicola, Succinomonas amylophilus dan Selenomonas ruminantium.

Sedangkan bakteri pencerna selulosa adalah Ruminococcus flavefaciens, R. albus, F.

succinogenes dan B. fibrisolvens. Bakteri tersebut mempunyai enzim yang mampu

menghancurkan karbohidrat kompleks menjadi glukosa dan VFA (Freer dan Dove,

2002). Arora (1995) menyatakan bahwa pertumbuhan populasi bakteri di dalam

Page 39: KANDUNGAN NUTRISI DAN TINGKAT KECERNAAN IN VITRO …

24

rumen sangat dipengaruhi oleh konsentrasi amonia dan VFA yang merupakan sumber

kerangka karbon untuk pertumbuhan dan pembentukan protein mikroba.

Sutardi (1979) menyatakan bahwa adanya bakteri dan protozoa yang hidup

dalam rumen menyebabkan ruminansia dapat mencerna ransum yang mengandung

serat kasar tinggi. Pernyataan ini didukung pula oleh Arora (1995) yang menyatakan

bahwa protozoa berperan dalam pola fermentasi rumen dengan cara mencerna

partikel-partikel pati sehingga dapat mempertahankan pH dan menghasilkan

konsentrasi VFA rendah, selain itu protozoa juga memangsa bakteri untuk memenuhi

kebutuhannya karena kemampuan protozoa untuk mensintesis vitamin B kompleks

dan asam amino sangat rendah. Penghuni terbesar dalam cairan rumen adalah bakteri

yaitu 1010

-1012

sel/ml cairan rumen dan populasi terbesar kedua diduduki oleh

protozoa yang populasinya mencapai 105-10

6 sel/ml cairan rumen (Hungate, 1966).

2.6. Kecernaan In Vitro

In vitro adalah suatu kegiatan yang dilakukan di luar tubuh ternak dengan

mengikuti keadaan yang sesungguhnya pada ternak tersebut. Secara tidak langsung

kita dapat mengamati kegiatan yang terjadi di dalam rumen dengan cara in vitro

(Arora, 1989). Kondisi yang dapat dimodifikasi dalam hal ini antara lain penggunaan

larutan penyangga dan media nutrisi, tabung fermentasi, pengadukan dan fase gas,

suhu fermentasi, pH optimum, sumber inokulum, kondisi anaerob, periode waktu

fermentasi serta akhir proses fermentasi (Candra, 2013). Metode in vitro

dikembangkan untuk memperkirakan kecernaan dan tingkat degradasi rumen

terhadap pakan, dan mempelajari berbagai respon perubahan kondisi rumen. Metode

Page 40: KANDUNGAN NUTRISI DAN TINGKAT KECERNAAN IN VITRO …

25

ini biasa digunakan untuk evaluasi pakan, meneliti mekanisme fermentasi mikroba

dan untuk mempelajari aksi terhadap faktor antinurisi, aditif dan suplemen pakan

(Lopez, 2005).

Metode in vitro sering digunakan untuk mengetahui kecernaan hewan, pakan

dan hasil proses pencernaan dalam saluran pencernaan ternak. Teknik in vitro

memberikan hasil analisa yang cepat dalam proses yang murah dan jumlah yang

digunakan sangat sedikit (Tisserand, 1989). Kelebihan metode in vitro adalah hasil

penelitian dapat diperoleh dalam waktu singkat beberapa bahan makanan yang tidak

dapat diberikan secara tunggal pada hewan, kecernaannya dapat diteliti dengan

metode in vitro tidak diperlukan pengumpulan feses atau sisa makanan, sehingga

dapat menghemat waktu, tenaga dan biaya. Sedangkan kekurangannya adalah

menggunakan waktu standar, padahal waktu lamanya bahan makanan berada dalam

rumen bervariasi menurut jenis dan bentuk makanan, tidak terjadi penyerapan zat-zat

makanan seperti yang terjadi pada hewan hidup (Rusdi, 2000).

Metode in vitro yang digunakan pada penelitian ini merupakan metode

evaluasi nilai nutrisi pakan dengan melalui pengukuran kecernaan menggunakan

mikroorganisme rumen dari cairan rumen segar. Metode ini memakai dasar sistem

pencernaan dua tahap Tilley dan Terry (1963). Tahap pertama meliputi perlakuan

fermentasi bahan pakan termasuk hijauan dalam fermentasi in vitro menggunakan

mikroba cairan rumen yang merupakan sumber mikroba rumen dan larutan buffer

yang merupakan saliva buatan segar selama 48 jam pada kondisi anaerob. Pencernaan

tahap kedua adalah pencernaan hidrolisis komponen bahan kering oleh asam klorida-

pepsin menggambarkan pencernaan dalam abomasums. Pencernaan tahap pertama

Page 41: KANDUNGAN NUTRISI DAN TINGKAT KECERNAAN IN VITRO …

26

mensimulasi pencernaan dalam rumen dan tahap kedua mensimulasi pencernaan yang

terjadi di dalam organ alat pencernaan pasca rumen. Nilai koefisien cerna yang

diperoleh dari teknik analisis in vitro tersebut mendekati hasil dengan sistem in vivo

(Tilley dan Terry, 1963).

Metode in vitro Tilley dan Terry (1963) yang dimodifikasi oleh Makkar

(2002) merupakan proses metabolisme nutrien pakan yang terjadi di dalam rumen dan

abomasum atau di luar tubuh ternak. Metode ini sering digunakan untuk menduga

kecernaan komponen bahan pakan dalam saluran pencernaan ternak. Teknik in vitro

ini memberikan hasil analisa yang cepat dan proses yang murah, serta dapat

digunakan untuk mengevaluasi bahan pakan dalam jumlah besar. Namun metode ini

sulit diterapkan pada material seperti sampel jaringan atau fraksi dinding sel (Makkar,

2002).

Inkubasi 48 jam digunakan untuk mengetahui konsentrasi produk akhir

fermentasi sebelum terjadi pencernaan hidrolitik oleh enzim pepsin. Keragaman hasil

fermentasi dapat terjadi akibat berbagai faktor termasuk kualitas cairan rumen yang

digunakan. Jumlah dan jenis mikroba dalam cairan rumen sangat bervariasi

tergantung kepada jenis dan pola pemberian pakan serta waktu pengambilan cairan

rumen setelah pemberian pakan. Dengan teknik yang sama kecernaan bahan organik

dapat ditentukan dengan mengukur kadar bahan organik bahan pakan dan residu

proses fermentasi (McDonald et al., 2002).

Page 42: KANDUNGAN NUTRISI DAN TINGKAT KECERNAAN IN VITRO …

27

2.7. Analisis Kandungan Nutrisi Pakan

Analisis kandungan nutrisi atau bisa disebut analisis proksimat adalah

analisisis dengan hasil yang diperoleh hanya mendekati nilai yang sebenarnya, oleh

karena itu untuk menunjukkan nilai dari sistem analisis proksimat selalu dilengkapi

dengan istilah minimum atau maksimum sesuai dengan manfaat fraksi tersebut

(Kamal, 1998). Dari sistem analisis proksimat dapat diketahui adanya 5 macam fraksi

yaitu: 1). Air, 2). Abu, 3). Protein kasar, 4). Lemak kasar (ekstrak ether), 5). Serat

kasar dan 6). Khusus untuk BETN nilainya dicarihanya berdasarkan perhitungan

yaitu: 100% dikurangi jumlah dari kelima fraksi yang lain. Analisis ini didasarkan

atas komposisi susunan kimia dan kegunaannya (Tilman et al., 1998).

Air dalam analisis proksimat adalah semua cairan yang menguap pada

pemanasan dalam beberapa waktu pada suhu 105-110 ºC dengan tekanan udara bebas

hingga mempunyai bobot tetap. Penentuan kandungan kadar air dari suatu bahan

bertujuan untuk menentukan kadar bahan kering dari bahan tersebut (Kamal, 1998).

Setelah pemanasan tersebut sampel bahan pakan disebut sebagai sampel bahan kering

dan penggunaanya dengan sampel disebut kadar air (Tillman et al.,1998). Kadar air

dalam bahan pakan terdapat dalam bentuk air bebas, air terikat lemah dan air terikat

kuat. Faktor yang mempengaruhi kadar air yaitu pengeringan dan kandungan air dari

suatu bahan pakan (Sutardi, 2006).

Kadar abu adalah banyaknya sisa pembakaran sempurna dari suatu bahan.

Suatu bahan apabila dibakar sempurna pada suhu 500 – 600 ºC selama beberapa

waktu, semua senyawa organiknya akan terbakar menjadi CO2, H2O yang menguap.

Mineral dapat menguap sewaktu pembakaran, contohnya Na (Natrium), Cl (Klor), F

Page 43: KANDUNGAN NUTRISI DAN TINGKAT KECERNAAN IN VITRO …

28

(Fosfor), dan S (Belerang), oleh karena itu abu tidak dapat dan gas lain untuk

menunjukan adanya zat anorganik didalam pakan secara tepat baik secara kualitatif

maupun kuantitatif. Kadar abu dari pakan yang berasal dari hewan dan ikan dapat

digunakan sebagai indeks untuk kadar Ca (Kalsium) dan P (Fofsor), yang juga

merupakan tahap awal penentuan berbagai mineral yang lain (Kamal,1998).

Serat kasar merupakan residu dari bahan makanan atau hasil pertanian setelah

diperlakukan dengan asam atau alkali mendidih dan terdiri dari selulosa, dengan

sedikit lignin dan pentosa. Serat kasar juga merupakan kumpulan dari semua serat

yang tidak bisa dicerna, komponen dari serat kasar ini yaitu terdiri dari selulosa,

pentosa, lignin, dan komponen-komponen lainnya. Komponen dari serat kasar ini

serat ini tidak mempunyai nilai gizi akan tetapi serat ini sangat penting untuk proses

memudahkan dalam pencernaan didalam tubuh agar proses pencernaan tersebut

lancar (peristaltic) (Hermayati et al., 2006). Analisis kadar serat kasar adalah usaha

untuk mengetahui kadar serat kasar bahan baku pakan. Zat-zat yang tidak larut

selama pemasakan bisa diketahui karena terdiri dari serat kasar dan zat-zat mineral,

kemudian disaring, dikeringkan, ditimbang dan kemudian dipijarkan lalu didinginkan

dan ditimbang sekali lagi. Perbedaan berat yang dihasilkan dari penimbangan

menunjukkan berat serat kasar yang ada dalam makanan atau bahan baku pakan

(Murtidjo, 1987).

Protein kasar adalah nilai hasil bagi dari total nitrogen amonia dengan faktor

16% (16/100) atau hasil kali dari total nitrogen amonia dengan faktor 6,25 (100/16).

Nitrogen yang terdapat di dalam pakan tidak hanya berasal dari protein saja tetapi ada

juga nitrogen yang berasal dari senyawa bukan protein atau nitrogen nonprotein

Page 44: KANDUNGAN NUTRISI DAN TINGKAT KECERNAAN IN VITRO …

29

(non–protein nitrogen/ NPN). Nilai yang diperoleh dari perhitungan diatas merupakan

nilai dari apa yang disebut protein kasar (Kamal,1998). Kadar protein suatu bahan

pakan secara umum dapat diperhitungkan dengan analisis kadar protein kasar.

Analisis kadar protein ini merupakan usaha untuk mengetahui kadar protein bahan

baku pakan. Analisis kadar protein digunakan untuk menguji kadar protein,

ditentukan kadar nitrogennya secara kimiawi kemudian angka yang diperoleh

dikalikan dengan faktor 6,25 = (100 : 16). Faktor tersebut digunakan sebab nitrogen

mewakili sekitar 16% dari protein (Murtidjo, 1987).

2.8. Volatile Fatty Acid (VFA)

Ransum yang diberikan kepada ternak ruminansia sebagian besar terdiri dari

karbohidrat. Di dalam rumen, polisakarida dihidrolisa menjadi monosakarida oleh

enzim-enzim mikroba rumen. Kemudian monosakarida tersebut, seperti glukosa,

difermentasi menjadi VFA (Volatile Fatty Acid) berupa asetat, propionat dan butirat,

serta gas-gas CH4 dan CO2. VFA yang terbentuk akan diserap melalui dinding rumen

dan gas CH4 serta CO2 akan hilang melalui eruktasi (McDonald et al., 2002). Proses

ini disebut juga glukoneogenesis yaitu diserapnya VFA ke dalam sistem peredaran

darah yang kemudian VFA diubah oleh hati menjadi gula darah. Gula darah inilah

yang akan mensuplai sebagian besar kebutuhan energi bagi ternak ruminansia

(Lehninger, 1982).

Menurut Arora (1995), peranan VFA sangat penting sebagai sumber energi

utama bagi ternak dan merupakan produk akhir fermentasi gula. Namun, selain itu

VFA juga merupakan sumber kerangka karbon bagi pembentukan protein mikroba.

Page 45: KANDUNGAN NUTRISI DAN TINGKAT KECERNAAN IN VITRO …

30

Nilai VFA sebagai sumber energi hanya berbeda sedikit, akan tetapi keefisienannya

sebagai kerangka karbon jauh berbeda (Sutardi et al., 1980). Konsentrasi VFA

tergantung pada jenis ransum yang dikonsumsi (McDonald et al., 2002), sedangkan

konsentrasi VFA yang dibutuhkan untuk pertumbuhan optimal mikroba rumen, yaitu

80-160 mM (Sutardi, 1979). Skema pembentukan VFA dapat dilihat pada Gambar 6

(McDonald et al., 2002).

Gambar 6. Skema pencernaan karbohidrat didalam rumen dan perubahan asam

piruvat menjadi VFA (McDonald et al., 2002)

VFA dalam rumen yang dapat mendukung pertumbuhan mikroba berkisar

antara 70-150 mM (McDonald et al., 2002). Peningkatan produksi VFA dapat

mengindikasikan kemudahan suatu nutrien dalam pakan terutama karbohidrat dan

protein didegradasi oleh mikroba rumen, sehingga produksi VFA di dalam rumen

Page 46: KANDUNGAN NUTRISI DAN TINGKAT KECERNAAN IN VITRO …

31

dapat digunakan sebagai tolak ukur fermentabilitas pakan yang berkaitan erat dengan

aktivitas dan populasi mikroba rumen (Hartati, 1998). Perubahan komposisi VFA

didalam rumen sangat berhubungan dengan bentuk fisik pakan, komposisi pakan,

tarafdan frekuensi pemberian pakan, serta pengolahan.

Konsentrasi VFA selain dipengaruhi oleh jenis ransum yang dikonsumsi

,dipengaruhi juga oleh jenis ternak ruminansia tersebut. Ulya (2007) memaparkan

bahwa konsentrasi VFA pada ternak sapi lebih kecil daripada ternak kerbau, kambing

dan domba. Hal ini disebabkan oleh mikroba ternak sapi kurang mampu

memfermentasi karbohidrat pada BBJP. Pradhan (1994) juga menyatakan bahwa

populasi bakteri total dalam cairan rumen sapi lebih rendah daripada kerbau sehingga

enzim yang dihasilkan mikroba pada cairan rumen kerbau lebih banyak dibandingkan

sapi. Enzim sangat berguna dalam memecah karbohidrat kompleks menjadi molekul

yang sederhana seperti VFA.

2.9. Amonia (NH3)

NH3 merupakan nitrogen yang paling banyak dibutuhkan mikroorganisme

rumen yang bersama dengan kerangka karbon dari sumber energi akan disintesa

menjadi protein mikroba. Hungate (1966), menjelaskan bahwa mikroorganisme

sangat penting untuk mengatur kecepatan tumbuh dan efisiensi penggunaan makanan

bagi ruminansia dan nutrisi mikroorganisme ini sangat penting untuk induk semang.

Faktor-faktor pembatas untuk pertumbuhan mikroba rumen adalah ketersediaan

ammonia, asam amino, sulfur dan mineral (Tamminga, 1982). Apabila nutrisi tidak

mencukupi maka pertumbuhan mikroorganisme dipengaruhi oleh ketersediaan energi.

Page 47: KANDUNGAN NUTRISI DAN TINGKAT KECERNAAN IN VITRO …

32

NH3 yang tidak digunakan oleh bakteri akan diserap oleh dinding rumen (Van Soest,

1982).

Kandungan protein ransum yang tinggi dan proteinnya mudah didegradasi akan

menghasilkan konsentrasi NH3 di dalam rumen (McDonald et al., 2002). Selain itu,

tingkat hidrolisis protein bergantung kepada daya larutnya yang akan mempengaruhi

kadar NH3. Pengukuran NH3 in vitro dapat digunakan untuk mengestimasi degradasi

protein dan penggunaanya oleh mikroba. Produksi amonia dipengaruhi oleh waktu

setelah makan dan umumnya produksi maksimum dicapai pada 2-4 jam setelah

pemberian pakan yang bergantung kepada sumber protein yang digunakan dan mudah

tidaknya protein tersebut didegradasi (Wohlt et al., 1976). Kadar NH3 yang

dibutuhkan untuk menunjang pertumbuhan mikroba rumen yang maksimal berkisar

antara 4-12 mM atau setara dengan 5,6-16,8 mg/100 ml (Sutardi, 1980).

NH3 merupakan sumber nitrogen utama dan penting untuk sintesis protein

mikroba (Sakinah, 2005). NH3 hasil fermentasi tidak semuanya disintesis menjadi

protein mikroba, sebagian akan diserap ke dalam darah. NH3 yang tidak terpakai

dalam rumen akan dibawa ke hati diubah menjadi urea, sebagian dikeluarkan melalui

urine dan yang lainnya dibawa ke kelenjar saliva. Proses metabolisme protein dan

pembentukan NH3 ditunjukkan pada Gambar 7. Untuk mencegah dampak yang buruk

dari pemenuhan nitrogen amonia asal urea, produksi NH3 di dalam rumen akan

diproduksi terus-menerus walaupun sudah terjadi akumulasi (Sutardi, 1977).

Konsentrasi amonia yang optimum untuk menunjang sintesis protein mikroba dalam

cairan rumen sangat bervariasi, berkisar antara 6-21 mM (McDonald et al., 2002).

Page 48: KANDUNGAN NUTRISI DAN TINGKAT KECERNAAN IN VITRO …

33

Gambar 7. Proses metabolisme protein pada ruminansia (Sakinah, 2005)

Page 49: KANDUNGAN NUTRISI DAN TINGKAT KECERNAAN IN VITRO …

34

BAB III

METODE PENELITIAN

3.1. Tempat dan Waktu Pelaksanaan

Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Nutrisi Ternak Bidang Pertanian

Pusat Aplikasi Isotop dan Radiasi, Badan Tenaga Nuklir Nasional (PAIR-BATAN),

yang beralamat di Jalan Lebak Bulus Raya No. 49, Jakarta Selatan, Indonesia.

Penelitian ini dilaksanakan pada Bulan Februari sampai April 2017.

3.2. Alat dan Bahan

3.2.1. Alat

Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah ember, rak penanaman,

paralon hidroponik untuk saluran pengairan, talang air untuk wadah benih sorgum

yang akan di tanam, plastik hitam besar, timbangan digital, pengaduk, timbangan

pakan, penggiling besar, timbangan analitik (Sartorius), termos, oven (Fisher),

erlenmeyer, gelas ukur, hot plate (Kika), labu takar, spatula, bulb, gegep, cawan petri,

cawan porselin, cawan masir, desikator, tabung centrifuge 100 ml dan rak tabung,

sumbat karet yang dilengkapi dengan klep gas (rubber policemen with slit),

thermometer, gelas silinder, labu penyaring, kain kasa, pipet volumetrik, pH meter,

stirrer, buret, inkubator (Polystat), waterbath, seperangkat alat destilasi TVFA

(Glascol), cawan conway, pompa vakum, sintered glass, buret, statif, tanur listrik

(Pyrolabo), High Speed Centrifuge (Vario), tabung gas CO2 dan Nitrogen Analyzer

(Primacs).

Page 50: KANDUNGAN NUTRISI DAN TINGKAT KECERNAAN IN VITRO …

35

3.2.2. Bahan

Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah benih sorgum berbagai

varietas yaitu pahat, samurai 1 dan samurai 2 yang diperoleh dari Pusat Aplikasi

Isotop dan Radiasi (PAIR)-BATAN, pupuk cair mineral AB Mix dengan komposisi

pupuk A unsur hara makro (N, P, K, Ca, Mg, S) dan pupuk B unsur hara mikro (Fe,

Mn, Zn, B, Cu, Mo), 10% larutan pemutih (NaClO; Natrium Hipoklorit), larutan Acid

Detergent Solution (ADS) yang terdiri dari campuran (H2SO4 98%; Cetyl Trimethyl

Amonium Bromide (CTAB); Akuades), larutan Neutral Detergent Solution (NDS)

yang terdiri dari campuran (Akuades; natrium-lauryl sulfat; disodium ethylene

diaminetetraacetate (EDTA); Na2B4O7.10H2O; Na2HPO4, larutan pepsin HCl, HCl

0,1 N, petroleum ether, larutan Mc Dougall (larutan makromineral, mikromineral,

buffer, resazurin), cairan rumen dari kerbau fistula Pusat Aplikasi Isotop dan Radiasi

(PAIR)-BATAN, gas CO2, indikator pp, aquadest, rumput lapangan yang berasal dari

kawasan PAIR-BATAN dan vaselin.

3.3. Tahapan Penelitian

Penelitian ini meliputi beberapa tahapan yang dibagi menjadi tiga tahapan

besar, yaitu tahapan pertama merupakan tahap budidaya SHF meliputi tahap

pembuatan pupuk cair, penanaman, dan pemanenan. Tahap kedua adalah analisis

kandungan nutrisi meliputi analisis Bahan Kering (BK), Bahan Organik (BO), Protein

Kasar (PK), Ekstrak Eter (EE), Neutral Detergent Fiber (NDF) dan Acid Detergent

Fiber (ADF). Tahap terakhir adalah tahap analisis tingkat kecernaan SHF secara in

vitro meliputi analisis Kecernaan Bahan Kering (KcBK), Kecernaan Bahan Organik

Page 51: KANDUNGAN NUTRISI DAN TINGKAT KECERNAAN IN VITRO …

36

(KcBO) dan produk fermentasi rumen (NH3, pH dan VFA). Penelitian ini

menggunakan rancangan acak lengkap (RAL) 3 perlakuan dan 1 kontrol positif

dengan lima pengulangan. Data yang diperoleh dianalisis menggunakan analysis of

variance (ANOVA) pada IBM SPSS versi 20.0.

3.4. Prosedur Kerja

3.4.1. Pembuatan Larutan Pupuk Cair

Pupuk cair untuk hidroponik biasanya menggunakan pupuk hidroponik AB

Mix. Pembuatan larutan pupuk cair yaitu dengan mencampurkan larutan pupuk A:

larutan pupuk B 5 ml : 5 ml kedalam 1 l air.

3.4.2. Penanaman Sorghum Hydroponic Fodder (Nugroho, 2015)

Penanaman dilakukan pada biji sorgum Pahat, Samurai 1 dan Samurai 2 yang

sebelumnya direndam selama semalam di dalam air. Biji sorgum yang telah direndam

semalaman, kemudian direndam dalam larutan hipoklorit selama 20 menit lalu

dibilas. Biji sorgum lalu dipindahkan ke media hidroponik yaitu talang air yang

sebelumnya telah dialiri 10% larutan pemutih selama 15 menit untuk meminimalisir

tumbuhnya jamur pada biji sorgum, kemudian dibilas dengan air bersih dan diangin-

anginkan selama lebih kurang 10 menit untuk menghilangkan bau dari larutan

pemutih tersebut.

Penyebaran biji sorgum pada talang air disebar dengan kerapatan 0.36 g cm-2

dan ditutup dengan plastik hitam besar, kemudian dialiri larutan pupuk cair selama

dua menit setiap dua jam sekali. Lama penutupan dengan plastik hitam besar adalah 2

hari sejak penanaman dengan kondisi lembab tidak kering maupun tergenang hingga

Page 52: KANDUNGAN NUTRISI DAN TINGKAT KECERNAAN IN VITRO …

37

tumbuh kecambah. Selanjutnya penanaman dilakukan terbuka tanpa plastik sampai

waktu panen tiba yaitu hari ke 9.

3.4.3. Pemanenan Sorghum Hydroponic Fodder (Nugroho, 2015)

Pemanenan dilakukan pada umur 9 hari setelah penanaman. Pemanenan

dilakukan dengan memisahkan bagian tumbuhan (daun, batang, dan akar) dari

medianya kemudian ditimbang berat segarnya dan dianalisis BK dan BO (Nugroho,

2015). Hasil SHF umur panen 9 hari diangin-anginkan diudara terbuka selama dua

sampai tiga hari. Selanjutnya SHF dikeringkan pada oven bersuhu 60oC selama dua

hari dan digiling serta disaring pada ukuran 2 mm (Wahyono, 2015). SHF dengan

umur panen 9 siap digunakan untuk analisis kandungan nutrisi dan analisis kecernaan

secara in vitro.

3.4.4. Analisis Kandungan Nutrisi SHF

3.4.4.1. Analisis Bahan Kering dan Abu (AOAC, 2005)

Pada tahap pengukuran kadar air dan bahan kering, pertama-tama cawan

porselen dicuci dengan akuades. Lalu dikeringkan dalam oven pada suhu 105oC

selama 1 hari. Kemudian dimasukkan dalam desikator selama 30 menit dan

ditimbang (a). Cawan yang telah ditimbang kemudian ditambah sampel sorgum yang

berbeda varietas masing-masing sebanyak 1 gr (b). Masing-masing dilakukan

pengulangan sebanyak 5 kali. Selanjutnya dimasukkan dalam oven selama 1 hari

pada suhu 105oC. Lalu dimasukkan dalam desikator selama 30 menit dan ditimbang

(c). Kemudian masukkan ke dalam tanur selama 6 jam pada suhu 600oC, didiamkan

selama sehari dan dimasukkan dalam desikator selama 30 menit. Kemudian

Page 53: KANDUNGAN NUTRISI DAN TINGKAT KECERNAAN IN VITRO …

38

ditimbang (d). Selanjutnya dilakukan perhitungan Kadar Bahan Kering (BK), Kadar

Bahan Organik (BO), Kadar Air dan Kadar Abu dengan rumus sebagai berikut:

% Kadar BK = x 100%

% Kadar BO = x 100%

% Kadar Air = 100 - BK

% Kadar Abu = 100 – BO

Keterangan:

a = berat cawan kosong (gr)

b = berat cawan yang diisi dengan sampel (gr)

c = berat cawan berisi sampel yang sudah dikeringkan (gr)

d = berat cawan berisi sampel yang sudah jadi abu (gr)

3.4.4.2. Analisis Protein Kasar (PK), Ekstrak Eter (EE), Neutral Detergent Fiber

(NDF) dan Acid Detergent Fiber (ADF)

Protein Kasar ditentukan dengan menggunakan instrumen Nitrogen Analyzer.

Kras gas Helium dan Oksigen dibuka dan tombol Power PC dinyalakan. Software

pada PC dibuka dan pilihan Connection diklik lalu klik Autoconnect. Send Setting to

Analyzer dipilih untuk mengirim data agar sesuai dengan yang kita inginkan dengan

suhu combustion 1050˚C dan suhu reduction 600˚C lalu alat siap untuk analisis

dengan tanda berkedipnya lampu indikator. Menu view dipilih lalu Live Signal

Monitor dan Autozero Nitrogen diklik lalu tunggu sampai garis datar pada signal

kurang lebih 10000 di graphnya, tanda detektor sudah siap. Menu Template dipilih

Page 54: KANDUNGAN NUTRISI DAN TINGKAT KECERNAAN IN VITRO …

39

lalu pilih New dan File Name. Jumlah sampel yang akan dianalisis dipilih dengan

memasukkan Berat Sampel, Position, dan Identification, serta Concentration TN

46,7% (urea) kemudian pilih OK.

Masing-masing sampel ditimbang (SHF Pahat, SHF Samurai 1 dan SHF

Samurai 2) 100 mg lalu ditempatkan ke crucible dan dimasukkan ke wadah

autosampler. Pilih analisis lalu klik New, File Name dimasukkan, dan simpan lalu

dipilih File Template yang sudah dibuat sebelumnya. Menu Start Analysis diklik.

Untuk mematikan instrumen, Setting dan Stand-by diklik. Dipilih Stand-by On dan

ditunggu hingga suhu Combustion 250˚C dan Reduction 30˚C. Saat Combustion

sudah tercapai suhu tersebut, pilih Exit. Tombol Power dimatikan dan PC dimatikan

serta tutup kran gas Oksigen dan Helium. Sampel melalui 2 tahapan, yaitu tahap

pembakaran dengan suhu tinggi 1000˚C dan tahap reduksi. Setelah itu, N2 diukur

dengan Thermal Conductivity Detection (TCD). Sinyal hasil pengukuran dari TCD

dapat dikonversikan ke total kandungan nitrogen atau dalam bentuk %.

Analisis ekstrak eter dilakukan dengan menimbang sampel 0,5 – 1 gram (X)

kemudian dibungkus dengan kertas saring bebas lemak. Kemudian sampel

dimasukkan ke dalam oven dengan suhu 105oC selama satu malam. Lalu bungkusan

sampel ditimbang tanpa didinginkan (Y). Setelah ditimbang, bungkusan dimasukkan

ke dalam sokhlet dan diekstraksi dengan menggunakan petroleum ether selama 8 jam.

Hasil sokhlet kemudian kembali di oven pada suhu 105oC selama semalam. Sampel

kembali ditimbang tanpa didinginkan (Z) (AOAC, 1990).

% Kadar lemak =

Page 55: KANDUNGAN NUTRISI DAN TINGKAT KECERNAAN IN VITRO …

40

Kandungan NDF ditentukan dengan cara menimbang 0.5 g (a) sampel ke

dalam beaker glass 500 ml, kemudian ditambahkan 30 ml larutan Neutral Detergent

Soluble (NDS). Bahan tersebut dipanaskan hingga mendidih selama 60 menit

kemudian disaring dengan cawan masir yang diketahui beratnya (b) dengan bantuan

pompa vakum. Residu hasil penyaringan dibilas dengan air panas dan terakhir dengan

aseton secukupnya. Hasil saringan dipanaskan dalam oven pada suhu 105oC selama

semalam, dimasukkan ke dalam desikator dan ditimbang (c). Kandungan NDF dapat

dihitung dengan rumus (Ørskov dan McDonald 1979, Krishnamoorthy 2001) :

% NDF = x 100%

Kandungan ADF ditentukan dengan cara timbang sampel 0,5 gram (a gr)

kemudian masukkan kedalam beaker glass 500 ml. Tambahkan 30 ml larutan ADS

kemudian tutup rapat tabung reaksi tersebut. Refluks dalam air mendidih selama 1

jam. Larutan disaring dengan cawan masir yang telah diketahui beratnya (b gr) sambil

diisap dengan pompa vakum. Residu hasil penyaringan dibilas dengan air panas dan

terakhir dengan aseton secukupnya. Kemudian ovenkan pada suhu 105oC selama

semalam. Dinginkan dalam deksikator lebih kurang setengah jam kemudian timbang

(c gr) (Van Soest, 1976).

% ADF = x 100%

Page 56: KANDUNGAN NUTRISI DAN TINGKAT KECERNAAN IN VITRO …

41

3.4.5. Analisis In Vitro Dua Tahap (Tilley and Terry, 1963)

3.4.5.1. Pengambilan Cairan Rumen (Wahyono, 2015)

Pengambilan cairan rumen kerbau dilakukan pada pagi hari sebelum diberi

pakan. Cairan rumen diambil dari kerbau fistula Pusat Aplikasi Isotop dan Radiasi

(PAIR)-BATAN. Cairan rumen kerbau diambil dan dimasukkan kedalam termos

yang sebelumnya diisi air pada suhu ± 39oC yang dibuang terlebih dahulu. Cairan

rumen disaring dengan kain kasa empat lipatan untuk menyaring material pakan.

Dalam proses penyaringan selalu diinkubasi pada suhu 39oC disertai aliran gas CO2.

Sebelum digunakan sebagai media fermentor, cairan rumen dalam termos harus

dialiri gas CO2 terlebih dahulu.

3.4.5.2. Pembuatan Larutan Saliva (Krishnamoorthy, 2001)

Pembuatan larutan Mc Dougall diawali dengan menyiapkan reagen

penyusunnya (larutan mikromineral, buffer, larutan makromineral dan resazurin).

Larutan mikromineral dibuat dengan mencampurkan CaCl2.2H2O 13.2 g,

MnCl2.4H2O 10 g, CoCl2.6H2O 1 g dan FeCl3.6H2O 8 g pada 100 ml akuades.

Larutan buffer dibuat dengan mencampurkan NaHCO3 35 g dan NH4HCO3 4 g pada

1000 ml akuades. Larutan makromineral dibuat dari Na2HPO4 5.7 g, KH2PO4 6.2 g

dan MgSO4.7H2O 0.6 g yang dicampurkan dalam 1000 ml akuades. Resazurin dibuat

dari 100 mg resazurin yang dilarutkan pada 100 ml akuades. Khusus untuk larutan

mikromineral dan resazurin harus selalu dikondisikan dalam keadaan dingin sebelum

digunakan. Pembuatan larutan Mc Dougall adalah dengan mencampurkan akuades

620 ml, mikromineral 0.16 ml, buffer 310 ml, makromineral 310 ml, resazurin 1.60

Page 57: KANDUNGAN NUTRISI DAN TINGKAT KECERNAAN IN VITRO …

42

ml dan larutan pereduksi (Na2S.H2O; NaOH) 60 ml. Larutan Mc Dougall sebelum

digunakan harus disiapkan dalam kondisi inkubasi pada suhu 39oC.

3.4.5.3. Tahap Inkubasi Tilley and Terry (Tilley and Terry, 1963)

Sampel kering ditimbang 0,5 gram. Sampel dimasukkan kedalam tabung.

Ditambahkan 50 ml campuran larutan buffer dan cairan rumen (4:1) kedalam setiap

tabung. Tabung dialiri dengan CO2 dan tabung ditutup dengan penutup karet agar

kondisi dalam tabung anaerob. Tabung dimasukkan kedalam waterbath pada suhu

38°C selama 48 jam dan dikocok 2 kali dalam sehari. Blanko berisi larutan buffer dan

cairan rumen. Setelah 48 jam, tabung-tabung diangkat dari waterbath, kemudian

direndam dalam air dingin, sesekali digojok. Tabung di centrifuge pada 2500 rpm

selama 10 menit. Supernatant yang terdapat pada tabung diambil atau dibuang.

Ditambahkan 50 ml larutan pepsin HCl (0,2% larutan pepsin dalam 0,1 N HCl) dan

diaduk dengan spatula. Tabung dan isinya kemudian diinkubasi kembali dalam

waterbath selama 48 jam pada suhu 38°C dengan digojok 2 kali per hari. Setelah 48

jam, tabung diambil dan di centrifuge. Supernatant dibuang, lalu residu dipindahkan

ke dalam crucible yang telah ditimbang. Crucible dan residu dikeringkan di dalam

oven dengan suhu 105°C selama satu malam, kemudian didinginkan kedalam

desikator dan ditimbang. Selanjutnya, crucible dan residu dimasukkan kedalam tanur

dengan suhu 500°C selama satu malam untuk mengetahui bahan organik.

3.4.5.6. Pengukuran pH (AOAC, 2005)

PH meter dinyalakan dengan menekan tombol start dan dilakukan kalibrasi

alat dengan menggunakan pH standar. Lalu elektroda pH dimasukkan ke dalam

Page 58: KANDUNGAN NUTRISI DAN TINGKAT KECERNAAN IN VITRO …

43

cairan sampel dan dicatat nilai pHnya setelah nilai stabil. Setelah itu elektroda

diangkat dan dibilas dengan akuades sebelum pengujian sampel berikutnya.

3.4.5.7. Pengukuran NH3 (Conway 1962)

Pengukuran konsentrasi NH3 dilakukan menggunakan metode Mikrodifusi

Conway. Sebelum pengukuran, vaselin dioleskan pada bagian bibir dan tutup cawan

agar cawan tertutup rapat sehingga dapat memerangkap NH3. Cairan sampel hasil

inkubasi sebanyak 1 ml dimasukkan pada ruang bagian kanan. Pada ruang bagian kiri

dimasukkan K2CO3 jenuh 1 ml. Pada bagian tengah cawan Conway diisi dengan 1 ml

asam borat (H3BO3) yang berindikator merah metil dan hijau brom kresol. Cawan

Conway ditutup rapat dan digerakkan hingga sampel dan Na2CO3 jenuh tercampur

rata dan dibiarkan selama 2 jam pada suhu kamar.

Pada prosesnya, Ion hidrogen asam borat akan mengikat N-Amonia dari

sampel dan warna asam borat berubah menjadi hijau brom kresol. Asam borat

kemudian dititrasi dengan HCl 0.014 N sampai warnanya berubah menjadi merah

muda.

Kadar NH3 dihitung dengan persamaan sebagai berikut:

NH3 (mM) = N HCl x volume titrasi x 100/17

3.4.5.8. Produksi VFA Total (General Laboratory Procedures 1966)

Penentuan produksi VFA dilakukan dengan metode destilasi uap (General

Laboratory Procedures, 1966). Sampel hasil inkubasi disentrifus 3000 rpm selama 10

menit. Sebanyak 5 ml supernatan ditambahkan 1 ml H2SO4 15% kemudian

dimasukan dalam tabung khusus dan segera dimasukkan pada alat destilasi. Tabung

khusus tersebut dihubungkan dengan labu pendingin dan labu yang berisi aquades

Page 59: KANDUNGAN NUTRISI DAN TINGKAT KECERNAAN IN VITRO …

44

yang dipanaskan. Hasil destilat ditampung dalam erlemeyer berisi 5 ml NaOH 0.5 N.

Proses destilasi dilakukan sampai destilat yang ditampung mencapai volume lebih

kurang 300 ml. Destilat ditambahkan 1-2 tetes indikator phenoptealein dan dititrasi

dengan HCl 0.5 N sampai warna berubah dari merah muda menjadi bening.

Produksi VFA total dihitung dengan rumus:

Total VFA = (a – b) x N HCl x (1000/5 mM)

Keterangan:

a = ml HCl volume titrasi Blangko (5 ml NaOH);

b = ml volume titrasi sampel

3.4.3.9. Pengukuran Kecernaan Bahan Kering dan Bahan Organik (BSN, 1992)

Pengukuran degradasi untuk bahan kering hampir sama tahapannya dengan

penentuaan kadar bahan kering. Sampel yang diinkubasi dalam rumen disaring

dengan cawan masir, kemudian cawan masir dioven pada suhu 105oC dan dilakukan

penimbangan cawan masir hingga konstan. Nilai degradasi bahan kering ditentukan

dari selisih berat bahan kering sebelum dan sesudah sampel diinkubasi, seperti yang

tercantum pada rumus sebagai berikut.

%KcBK = 100 - %BK tidak terdegradasi

Pengukuran bahan organik dilakukan dengan proses pengabuan sebagian

sampel pakan ke tanur bersuhu 600oC. Kadar bahan organik dihitung dari selisih

berat sampel sebelum dan sesudah diabukan. Degradasi bahan organik dihitung

dengan rumus:

%KcBO = 100 - %BO tidak terdegradasi

Page 60: KANDUNGAN NUTRISI DAN TINGKAT KECERNAAN IN VITRO …

45

3.4.6. Analisis statistik

Penelitian ini menggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL) dengan 4

perlakuan dan lima kali ulangan. Perlakuan pada penelitian ini adalah:

1. Kontrol Positif ( Rumput Lapangan)

2. SHF Pahat

3. SHF Samurai 1

4. SHF Samurai 2

Data yang diperoleh kemudian dianalisis menggunakan analysis of variance

(ANOVA) pada IBM SPSS versi 20.0 dengan batas kepercayaan 95% (α = 0,05).

Page 61: KANDUNGAN NUTRISI DAN TINGKAT KECERNAAN IN VITRO …

46

3.5. Bagan Alir Penelitian

Gambar 8. Bagan alir penelitian

media hidroponik

penanaman benih

sorgum

pahat

sorgum

samurai 1

sorgum

samurai 2

pemanenan pada hari ke-9

pengeringan

penggilingan ukuran 1mm

analisis

kecernaan in vitro Tilley

& Terry (1963)

kandungan

nutrisi

fermentatif oleh mikroba

(inkubasi dalam rumen dan

buffer)

enzimatis oleh

larutan asam

klorida dan pepsin

- konsentrasi NH3

- volatile fatty acid (VFA)

- pH

Kecernaan BK

dan BO

-BK

-BO

-Protein Kasar (PK)

-Lemak Kasar (LK)

-Neutral Detergent Fiber

(NDF)

-Acid Detergent Fiber

(ADF)

Page 62: KANDUNGAN NUTRISI DAN TINGKAT KECERNAAN IN VITRO …

47

BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1. Profil Nutrisi

Pada tabel 6 menyajikan data kandungan nutrisi dari tiga varietas Sorghum

Hydroponic Fodder (SHF) dengan waktu tanam 9 hari. Kandungan nilai BK dan LK

terendah ditunjukkan pada varietas sorgum Samurai 2 dengan nilai masing-masing

91,53% dan 7,26% (P<0,05). Kandungan NDF dari ketiga perlakuan tidak berbeda

nyata. Nilai BO dan ADF tertinggi dari ketiga varietas ditunjukkan pada varietas

sorgum Samurai 2 dengan nilai masing-masing 95,78% dan 31,83% (P<0,05).

Kandungan PK tertinggi ditunjukkan pada varietas sorgum Samurai 1 bila

dibandingkan dengan sorgum varietas Pahat sebagai varietas indukan (P<0,05).

Tabel 6. Profil nutrisi sorghum hydroponic fodder (SHF) dengan 9 hari waktu tanam

Profil nutrisi (%) Perlakuan

Pahat Samurai 1 Samurai 2 SEM

Bahan kering (BK) 93,64b

93,38b

91,53a

0,365

Bahan organik (BO) 95,10b 95,32

b 95,78

a 0,212

Protein kasar (PK) 16,33a 19,80

b 17,82

b 0,463

Ekstrak Eter (EE) 8,44a 10,97

b 7,26

a 0,251

Neutral detergent fiber (NDF) 53,35 52,26 51,48 0,947

Acid detergent fiber (ADF) 20,90a 26,16

b 31,83

c 1,326

Keterangan: superscript (a,b,c) berbeda pada baris yang sama menunjukkan

perbedaan yang nyata (P<0,05).

4.1.1. Bahan Kering (BK)

Hasil penelitian pada profil nutrisi BK dari tiga varietas SHF yang memiliki

nilai paling besar adalah pada SHF Pahat sebesar 93,64%. Nilai kandungan BK pada

Page 63: KANDUNGAN NUTRISI DAN TINGKAT KECERNAAN IN VITRO …

48

SHF Pahat dan SHF Samurai 2 berbeda nyata (P<0,05) dengan masing-masing nilai

93,64% dan 91,53%. Kandungan nilai nutrisi BK pada SHF pahat dan SHF Samurai 1

tidak berbeda nyata dan nilai SHF Samurai 1 dengan SHF Samurai 2 berbeda nyata

(P<0,05) dengan nilai masing-masing 93,38% dan 91,53%.

Kandungan BK pada SHF dengan waktu tanam 9 hari merupakan waktu

terbaik dibandingkan SHF dengan waktu tanam 7 dan 8 hari yaitu sebesar 94,13%.

Hal ini sesuai dengan penelitian Khotimah (2017) yang didukung oleh penelitian

Koten et al. (2012). Pada penelitian tersebut, dilaporkan bahwa kandungan BK

tertinggi sorgum (Sorghum bicolor (L.) Moench) yang ditanam secara konvensional

dengan varietas lokal rote sebagai hijauan pakan ruminansia dan dipanen pada umur

50, 70 dan 90 hari memiliki kandungan BK tertinggi pada umur panen 90 hari yaitu

sebesar 86,58%. Hal ini disebabkan karena makin lama waktu yang tersedia bagi

tanaman untuk berfotosintesis maka semakin banyak terjadi akumulasi hasil

fotosintesis di dalam jaringan tanaman (Koten et al., 2012). Gardner et al. (2008)

juga berpendapat bahwa makin lama terjadinya asimilasi, makin tinggi berat kering

tanaman.

Kandungan BK pada sorgum varietas Pahat paling tinggi dibanding 2 varietas

lainnya karena sorgum Pahat merupakan varietas mutan yang memiliki produktivitas

biji tinggi dan dikembangkan sebagai bahan pangan dan pakan. Salisbury dan Ross

(1995) menjelaskan bahwa komponen utama dalam berat kering tanaman adalah

senyawa polisakarida dan lignin pada dinding sel, ditambah komponen sitoplasma

seperti protein, lipid, asam amino dan asam organik.

Page 64: KANDUNGAN NUTRISI DAN TINGKAT KECERNAAN IN VITRO …

49

4.1.2. Bahan Organik (BO)

Pada tabel 6 menunjukkan hasil BO tertinggi dari ketiga varietas SHF

ditunjukkan pada SHF Samurai 2 sebesar 95,78% yang berbeda nyata dengan SHF

pahat dan SHF Samurai 1 (P<0,05). Kandungan nilai BO terendah pada SHF pahat

sebesar 95,10% dan tidak berbeda nyata dengan nilai kandungan BO pada SHF

Samurai 1 sebesar 95,32%.

Berbanding terbalik dengan BK, BO pada sorgum varietas Pahat memiliki

nilai terendah dan varietas samurai 2 memiliki nilai tertinggi. Koten et al. (2012)

menjelaskan produksi BO hijauan sorgum semakin meningkat dengan meningkatnya

umur panen dan jumlah nitrogen ternyata mempengaruhi produksi BO. Hasil BO

pada penelitian ini tidak berbeda nyata namun memiliki nilai yang cukup tinggi

karena SHF dipanen pada fase generatif atau fase dimana tanaman akan memproduksi

batang dan daun secara maksimal. Pertumbuhan daun dan batang mengakibatkan

penurunan kandungan nutrisi pada benih, seperti kandungan protein, karbohidrat

mudah larut, mineral (Koten et al., 2012).

Purwanti (2008) berpendapat bahwa kandungan BO jerami sorgum yang

ditanam secara konvensional umur panen 80 hari yang dapat digunakan sebagai

pakan ternak sekitar 90,70%. BO SHF dari ketiga varietas yang diperoleh pada

penelitian ini sebesar 95,10%, 95,32% dan 95,78% yang menunjukkan nilai tersebut

sudah mencukupi kebutuhan pakan untuk ruminansia.

Page 65: KANDUNGAN NUTRISI DAN TINGKAT KECERNAAN IN VITRO …

50

4.1.3. Protein Kasar (PK)

Nilai PK tertinggi pada varietas sorgum Samurai 1 yaitu 19,80% yang berbeda

nyata dengan SHF varietas Pahat yaitu sebesar 16,33% (P<0,05) dapat dilihat pada

tabel 6. Sedangkan SHF varietas Samurai 2 tidak memiliki beda nyata dengan SHF

varietas samurai 1 yang memiliki nilai sebesar 17,82%. Kandungan PK dapat

dikaitkan dengan berkurangnya beberapa komponen BK, terutama karbohidrat mudah

larut karena digunakan sebagai komponen dalam proses respirasi selama

perkecambahan sehingga waktu tumbuh yang lebih lama menyebabkan penurunan

komponen BK dan meningkatkan kadar protein (Naik et al., 2015). Berikut reaksi

respirasi pada sel tumbuhan:

C6H12O6 + O2 → 6CO2 + H2O + energi

Dalam pembentukan protein, N adalah bagian tak terpisahkan dari klorofil

yang mampu mengubah energi cahaya menjadi energi kimia yang dibutuhkan untuk

fotosintesis. Bentuk dasar klorofil adalah cincin porphyrin yang disusun oleh empat

cincin pyrrole, masing-masing terdiri atas satu atom N dan empat atom C di mana

sebuah atom Mg terikat ditengah-tengah cincin porphyrin tersebut. Kecukupan suplai

N diasosiakan dengan aktivitas fotosintesis yang tinggi, pertumbuhan vegetatif yang

bagus, dan warna daun hijau tua. Ketercukupan suplai N mempengaruhi penggunaan

karbohidrat. Ketika suplai kurang, karbohidrat akan dideposit pada sel vegetatif yang

dapat menyebabkan penebalan. Namun ketika suplai N cukup dan kondisi

mendukung untuk pertumbuhan, maka protein akan terbentuk dari proses produksi

karbohidrat. Sedikitnya karbohidrat yang disimpan pada bagian vegetatif, maka

Page 66: KANDUNGAN NUTRISI DAN TINGKAT KECERNAAN IN VITRO …

51

menghasilkan tanaman yang lebih sukulen (Havlin et al. 2005). Gambar 9

menunjukkan reaksi pembentukan protein melalui penyerapan N oleh benih:

Gambar 9. Proses pembentukan asam amino (Sumber: Kamal, 1994)

Koten et al. (2012) berpendapat bahwa urea berpengaruh dalam tinggi

rendahnya PK. Semakin banyak dosis urea yang digunakan maka semakin banyak

pula N yang tersedia sebagai bahan baku pembentukan protein. Nitrogen merupakan

salah satu unsur hara esensial yang termasuk ke dalam unsur hara makro. Nitrogen

dapat diserap tanaman dalam bentuk ion NH4+

dan NO3- (Lakitan, 2010). Peranan

utama nitrogen bagi tanaman adalah untuk merangsang pertumbuhan secara

keseluruhan, khususnya batang, cabang dan daun (Lingga et al., 2008). Nitrogen

merupakan bahan penyusun asam amino, protein dan enzim serta esensial untuk

pembelahan dan pembesaran sel. Pandutama et al. (2003) menjelaskan bahwa makin

banyak N tersedia bagi tanaman maka semakin tinggi pula produksi protein sorgum.

Page 67: KANDUNGAN NUTRISI DAN TINGKAT KECERNAAN IN VITRO …

52

Daun dan batang pada tanaman sorgum dapat mencerminkan kualitas

tanaman. Selain itu, persentase daun berpengaruh terhadap kandungan PK tanaman.

Komponen utama penyusun zat hijau daun (klorofil) adalah Nitrogen, dimana N

tersebut merupakan sumber utama PK tanaman. Daun merupakan kontributor utama

kadar protein pada tanaman sorgum (Hanna et al. 1981; Snyman dan Joubert 1996).

Penurunan rasio daun atau batang dan peningkatan persentase batang kemungkinan

akan menurunkan kualitas hijauan karena kandungan PK daun lebih besar dan daun

merupakan bagian yang lebih mudah dicerna dibandingkan dengan batang (Silungwe,

2011).

Sorgum sebagai pakan ternak sapi perah menurut Nutrient Requirements of

Dairy Cattle (2001) memiliki kandungan PK sekitar 11,6%. Purwanti (2008) juga

melaporkan bahwa penggunaan jerami sorgum yang ditanam secara konvensional

umur panen 80 hari sebagai pakan ternak untuk PK sebesar 4,41%. Bean et al. (2013)

juga melaporkan kandungan PK sorgum berbagai varietas selama beberapa tahun

tercatat antara 5.4% sampai 7.8% dengan kekonsistenan varietas bmr memiliki

kandungan PK terendah. Dalam penelitian ini kandungan PK berkisar antara 16%

sampai 19%. Tabel 6 menunjukkan bahwa varietas atau galur sorgum tidak

berpengaruh terhadap kadar PK tanaman. Hasil yang diperoleh pada penelitian ini

menunjukkan bahwa penggunaan SHF varietas Pahat, Samurai 1 dan Samurai 2 telah

mencukupi kebutuhan ternak untuk asupan PK.

Page 68: KANDUNGAN NUTRISI DAN TINGKAT KECERNAAN IN VITRO …

53

4.1.4. Ekstrak Eter (EE)

Hasil penelitian dari ketiga varietas SHF pada tabel 6 didapatkan EE tertinggi

pada varietas sorgum Samurai 1 sebesar 10,97% yang berbeda nyata dengan nilai EE

SHF Pahat yaitu 8,44% (P<0,05). Namun bila dibandingkan dengan hasil nilai EE

pada SHF Pahat dan Samurai 2 tidak memiliki beda nyata. Nilai EE terendah

dihasilkan oleh SHF Samurai 2 sebesar 7,26%.

Ekstrak eter biasa disebut sebagai lemak kasar. Lemak merupakan sumber

energi selain karbohidrat. Kadar lemak kasar pada daun sorgum tergolong besar,

menurut Wahyono dan Hardianto (2004), kadar lemak kasar untuk pakan ruminansia

dibedakan untuk kebutuhan pembibitan dan penggemukan, untuk pembibitan

diperlukan lemak kasar sebanyak 2,6% sedangkan untuk penggemukan 3%. Daun

sorgum memiliki kadar lemak kasar yang cukup besar karena adanya lapisan lilin

pada permukaan daun. Lapisan lilin pada tumbu-tumbuhan menghambat kehilangan

air karena transpirasi. Lilin larut dalam eter dan termasuk ke dalam ekstrak eter

sehingga nilai lemak kasar pada hijauan makanan ternak mempunyai nilai lebih tinggi

(Tillman et al., 1991).

Peningkatan EE bisa disebabkan produksi klorofil yang berhubungan dengan

pertumbuhan tanaman dalam pengukuran EE sebab klorofil membantu menghasilkan

karbohidrat melalui proses fotosintesis, hasil fotosintesis berupa karbohidrat

digunakan untuk sintesis triasilgliserol (Cuddeford, 1989). Klorofil merupakan

tempat terjadinya proses fotosintesis yang menghasilkan karbohidrat. Karbohidrat

melalui proses glikolisis menghasilkan asam piruvat, kemudian senyawa piruvat yang

Page 69: KANDUNGAN NUTRISI DAN TINGKAT KECERNAAN IN VITRO …

54

dihasilkan akan dikonversi menjadi asetil ko-A oleh kompleks enzim piruvat

dehidrogenase yang terdapat di plastida (Durrett et al., 2008). Asetil Ko-A yang

dihasilkan selanjutnya diaktifkan menjadi malonil Ko-A yang dikatalis oleh

kompleks enzim asetil ko-A karboksilase (ACC) di plastida (Nikolau et al., 2003).

Malonil Ko-A yang dihasilkan oleh ACC menyusun donor karbon untuk masing-

masing siklus lintasan biosintesis asam lemak. Berikut reaksi yang terjadi:

Glukosa Asam Piruvat Asetil Ko-enzimA Asam lemak

Hasil EE pada penelitian ini dari ketiga varietas menunjukan tidak berbeda

nyata sama seperti penelitian yang telah dilakukan oleh Praptiwi et al., 2010 bahwa

sorgum varietas Numbu, Genjah dan Kawali memiliki nilai EE yang tidak berbeda

nyata yaitu 3,30%, 3,88% dan 3,59%. Hal ini menunjukkan bahwa perbedaan varietas

tidak berpengaruh pada hasil EE yang didapatkan.

4.1.5. Neutral detergent fiber (NDF) dan Acid detergent fiber (ADF)

Kandungan NDF tertinggi pada penelitian ini sebesar 53,35% yaitu pada SHF

Pahat kemudian menurun pada varietas Samurai 1 sebesar 52,26% dan nilai

kandungan NDF terendah pada SHF Samurai 2 yaitu 51,48%. Nilai NDF dari ketiga

varietas tersebut hanya berkisar antara 51–53% dan tidak memiliki beda nyata.

Sedangkan kandungan ADF berkisar antara 20-31%. Kandungan ADF tertinggi

terdapat pada SHF Samurai 2 sebesar 31,83% yang berbeda nyata dengan nilai

kandungan ADF pada SHF Samurai 1 yaitu 26,16% (P<0,05). Kandungan ADF

terendah terdapat pada SHF Pahat sebesar 20,90% yang berbeda nyata dengan kedua

varietas SHF lainnya (P<0,05).

Page 70: KANDUNGAN NUTRISI DAN TINGKAT KECERNAAN IN VITRO …

55

Menurut Pangestu et al., 2009, NDF bahan pakan hasil samping agroindustri

berbeda antar bahan pakan, berkisar antara 16,9 dan 78,5%. Sehingga masih banyak

komponen serat yang masuk ke dalam usus dan tidak dapat dicerna. NDF mewakili

kandungan dinding sel yang terdiri dari lignin, selulosa, hemiselulosa dan protein

yang berikatan dengan dinding sel (Suparjo, 2010). Semakin tua tanaman kandungan

ADF, NDF, selulosa, hemiselulosa dan lignin juga semakin bertambah. Komponen

dinding sel tanaman tersebut merupakan bagian yang sukar dicerna, bahkan

komponen lignin tidak bisa dicerna sama sekali (Praptiwi et al., 2010). Mikroba

rumen hidup di rumen ternak ruminansia dan sel pencernaan paling belakang (sekum)

ternak tertentu. Pembagian hijauan menurut Van Soest (1982) dengan sistem analisa

detergent terdapat pada gambar 10.

Gambar 10. Skema pemisahan bagian-bagian hijauan segar pemotongan (forage)

dengan menggunakan detergent (Van Soes, 1982)

Page 71: KANDUNGAN NUTRISI DAN TINGKAT KECERNAAN IN VITRO …

56

Koten et al., 2012 juga berpendapat bahwa kandungan NDF dan ADF yang

semakin tinggi seiring dengan meningkatnya umur panen SHF karena memasuki fase

generatif pada tanaman maka rasio batang dan daun meningkat yang mengakibatkan

kandungan serat kasar dan ligninnya bertambah. Praptiwi (2011) melaporkan dalam

penelitiannya bahwa kandungan NDF beberapa varietas sorgum yaitu Numbu, Hegari

Genja dan Kawali berkisar 72-77%, sedangkan untuk ADF berkisar 41-45%. Preston

dan Leng (2006) melaporkan semakin rendah fraksi NDF dan ADF maka kecernaan

pakan semakin tinggi. Anas (2010) melaporkan bahwa persentase kandungan ADF

dan NDF yang diberikan untuk ternak berkisar 25-45% untuk ADF dan NDF 30-60%

dari bahan kering hijauan.

Lignin adalah faktor paling kritis dalam menentukan kualitas pakan utamanya

hijauan, tetapi sering tidak ditentukan dengan jelas batasannya. Lignin adalah

senyawa polifenolik yang sama sekali tidak tercerna maupun terfermentasi. Lignin

berlaku seperti semen diantara lapisan dinding sel luar dan dalam. Semakin tua

tanaman, lignifikasi dinding akan semakin meningkat. Peningkatan lignifikasi

dinding sel menurunkan ketersediaan karbohidrat serat yang berhubungan dengan

fraksi dinding sel atau NDF. Efek ini dapat diukur secara langsung dengan prosedur

fermentabilitas NDF (Saun dan Heinrich 2008).

Pada tabel 6 dapat dilihat bahwa nilai NDF tidak berbeda nyata (P<0,05),

sedangkan hasil ADF menunjukan nilai yang berbeda nyata dari ketiga varietas

sorgum (P<0,05). Hasil dari varietas Pahat memiliki kandungan lignin lebih rendah

dibandingkan dengan varietas Samurai 1 dan Samurai 2. Kandungan lignin hijauan

Page 72: KANDUNGAN NUTRISI DAN TINGKAT KECERNAAN IN VITRO …

57

bisa berkisar antara 2- 24% berat BK, namun akibat dari kandungan tersebut mampu

menurunkan kecernaan hijauan yang sangat tinggi (NRC 2007). Kecernaan potensial

NDF bisa menurun dari 90% menjadi 20% akibat peningkatan kandungan lignin pada

dinding sel dari 5 hingga15% (Schwartz et al., 1998).

Pembentukan dan akumulasi lignin biasanya terjadi pada fase pendewasaan

tanaman, seperti layaknya membangun dinding sel kedua, banyak terdapat selulosa,

pada jaringan batang dan daun dewasa (Carmi et al., 2006). Apabila membandingkan

pada jenis sweet sorghum dan fiber sorghum hanya terdapat sedikit perbedaan pada

karbohidrat non struktural (selulosa, hemiselulosa) dan komponen serat sorgum

manis (Amaducci et al., 2004). Dengan demikian faktor genetik lebih banyak

mempengaruhi kandungan lignin dan selulosa daripada faktor input agroteknik. Pada

dasarnya beberapa isi sel seperti karbohidrat terlarut, pati (dalam beberapa hijauan),

protein, asam organik, lipid, dan mineral- mineral terlarut tersebut dapat tercerna

secara utuh, sedangkan penyusun dinding sel (seperti selulosa, hemiselulosa dan

lignin) mempunyai kecernaan yang beragam tergantung pada konfigurasi polimerik,

tingkat kristalitas, dan tingkat lignifikasinya.

Lignin sendiri secara umum tidak tercerna pada kondisi anaerob dan hal

tersebut yang mempengaruhi kecernaan penyusun dinding sel yang berasosiasi

dengannya. Kecernaan selulosa dan hemiselulosa beragam ketika tidak berasosiasi

dengan lignin, dan tidak tercerna ketika terikat kuat dengan lignin (Jones dan

Theodorou 2000). Kandungan hemiselulosa sorgum berkisar antara 26-29% dan

Page 73: KANDUNGAN NUTRISI DAN TINGKAT KECERNAAN IN VITRO …

58

cenderung menurun apabila mengalami penundaan pemanenan (Amaducci et al.

2000).

Kandungan serat kasar tanaman sorgum pada penelitian ini tergolong hijauan

dengan kandungan serat kasar yang rendah. Rendahnya kandungan serat kasar

tersebut salah satunya mengindikasikan bahwa umur pemanenan yang dilakukan telah

tepat. Carmi et al. (2006) mengemukakan bahwa pembentukan dan akumulasi lignin

biasanya terjadi pada fase pendewasaan tanaman, seperti layaknya membangun

dinding sel kedua, banyak terdapat selulosa, pada jaringan batang dan daun dewasa.

Tanaman sorgum yang memiliki kandungan lignin lebih rendah dan kandungan

karbohidrat non-struktural yang lebih tinggi dapat meningkatkan kecernaan selama

perombakan anaerob (Mahmood et al. 2013).

4.2. Kecernaan In Vitro

4.2.1. Nilai pH

Nilai pH disajikan pada gambar 11. Nilai pH tertinggi sebesar 7,14 dihasilkan

oleh rumput lapangan dan nilai pH terendah dihasilkan oleh SHF varietas Pahat yaitu

6,94 (P<0,05). Ketiga varietas sorgum menghasilkan nilai yang tidak berbeda nyata.

SHF Samurai 2 menghasilkan nilai pH tertinggi dibandingkan kedua varietas lain,

yaitu sebesar 7,03.

Kisaran pH normal untuk aktivitas mikroba cairan rumen, yaitu sebesar 5,5 -

7,5 (Imanda et al., 2016). Pada gambar 11 dapat dilihat bahwa hasil analisis ketiga

SHF masih berada pada kisaran pH normal. Menurut Preston (2006), peningkatan

konsumsi urea oleh mikroorganisme rumen akan meningkatkan pH rumen kerbau.

Page 74: KANDUNGAN NUTRISI DAN TINGKAT KECERNAAN IN VITRO …

59

Hasil analisis menunjukkan nilai pH tidak berbeda nyata yang dikarenakan konsumsi

urea pada setiap perlakuan SHF sama sehingga dapat menyediakan sumber N yang

sama bagi mikroorganisme.

Gambar 11. Hasil analisis pH Sorghum Hydroponic Fodder (SHF) setelah

diinkubasi selama 48 jam. Keterangan: Angka-angka yang diikuti

huruf berbeda menunjukkan perbedaan nyata (P<0,05).

Nilai pH normal pada rumen akan mendukung interelasi optimal antara

protozoa, fungi dan bakteri khususnya bakteri selulolitik. Pertumbuhan bakteri

selulolitik akan meningkatkan kecernaan serat yang berpengaruh positif pada

konsumsi dan kecernaan pakan (Wahyono et al., 2014). Nilai pH yang tidak berbeda

nyata menunjukkan nilai pH hasil analisis tersebut stabil. PH yang stabil pada

penelitian ini menyebabkan produksi NH3 dan TVFA yang stabil meningkat dengan

meningkatnya nilai pH. Nilai pH yang lebih rendah akan berpengaruh terhadap

ekosistem mikroba terutama populasi bakteri selulolitik (Russel dan Wilson 1996).

Pertumbuhan bakteri selulolitik akan meningkatkan kecernaan serat yang

berpengaruh positif pada konsumsi dan kecernaan pakan (Wahyono et al., 2014).

Page 75: KANDUNGAN NUTRISI DAN TINGKAT KECERNAAN IN VITRO …

60

Nilai pH yang stabil pada saat inkubasi ini dikarenakan pada penelitian ini

menggunakan larutan buffer pada pembuatan saliva buatan. Selaras dengan pendapat

Krause et al. (2003) menjelaskan bahwa pH pada rumen hewan hidup dipengaruhi

salah satunya oleh saliva sebagai buffer. Apabila pH tidak stabil akan menghambat

pertumbuhan bakteri selulolitik. Hal ini sejalan dengan penelitian Kumar et al. (2012)

yang melaporkan bahwa nilai pH yang tidak stabil akan menyebabkan terganggunya

aktivitas mikroba rumen kerbau yang menyebabkan menurunnya produk-produk

fermentasi seperti VFA, NH3 dan degradasi nutrien pakan.

4.2.2. Konsentrasi NH3

Gambar 12 menyajikan hasil konsentrasi NH3. Konsentrasi NH3 terendah

dihasilkan oleh rumput lapangan yaitu sebesar 5,54 mM. Hasil konsentrasi NH3 antar

perlakuan tidak berbeda nyata.

NH3 merupakan sumber nitrogen utama dan penting untuk sintesis protein

mikroba (Sakinah, 2005). Amonia dalam rumen merupakan perantara penting dalam

proses degradasi mikroba dan sintesis protein. Jika pakan kekurangan protein, atau

protein dalam pakan sulit didegradasi maka konsentrasi amonia dalam rumen akan

menurun sehingga menyebabkan menurunnya pertumbuhan organisme dalam rumen

dan lambatnya pemecahan karbohidrat (McDonald et al., 2002). Menurut Arora

(1989), produksi NH3 berasal dari protein yang didegradasi oleh enzim proteolitik.

Tingkat hidrolisis protein tergantung dari daya larutnya yang berkaitan dengan

kenaikan kadar NH3.

Page 76: KANDUNGAN NUTRISI DAN TINGKAT KECERNAAN IN VITRO …

61

Pada gambar 12 dapat dilihat bahwa konsentrasi NH3 pada tiap perlakuan

tidak berbeda nyata dan pada perlakuan SHF Samurai 2 memiliki konsentrasi NH3

yang paling tinggi. Hal ini dapat disebabkan adanya peningkatan kadar protein pada

SHF Samurai 2 yang mudah didegradasi menjadi NH3. Pada penelitian ini

Konsentrasi NH3 terbesar terdapat pada SHF Samurai 2 sebesar 6,13±0,24 mM yang

berkolerasi dengan tingginya nilai pH pada SHF Samurai 2 sebesar 7,03±0,19

dibandingkan kedua SHF lainnya dan rumput lapangan. Hal ini sependapat dengan

Kumar et al., 2012 bahwa pH berpengaruh terhadap produksi NH3 karena aktivitas

mikroba rumen dipengaruhi oleh pH yang berpengaruh terhadap produk fermentasi

seperti VFA dan NH3.

Gambar 12. Hasil konsentrasi NH3 Sorghum Hydroponic Fodder (SHF) setelah

diinkubasi selama 48 jam. Keterangan: NH3: amonia; Angka-angka

yang tidak diikuti huruf menunjukkan tidak berbeda nyata.

Menurut Astuti et al. (1993), sumbangan NH3 pada ternak ruminansia sangat

penting mengingat bahwa prekusor protein mikroba adalah amonia dan senyawa

sumber karbon, makin tinggi kadar NH3 di rumen maka kemungkinan makin banyak

Page 77: KANDUNGAN NUTRISI DAN TINGKAT KECERNAAN IN VITRO …

62

protein mikroba yang terbentuk sebagai sumber protein tubuh. Konsentrasi NH3 yang

diperoleh sudah cukup menyediakan amonia untuk pembentukan protein mikroba.

Selaras dengan pernyataan Sutardi (1980) menyatakan konsentrasi amonia optimum

untuk pembentukan protein mikroba sebesar 5-17,65 mM pada 3-4 jam setelah

pemberian pakan.

4.2.3. Produksi Total Volatile Fatty Acid (TVFA)

Hasil produksi Total volatile fatty acid (TVFA) disajikan pada gambar 13.

Varietas sorgum Samurai 2 menunjukkan nilai tertinggi yaitu sebesar 105,62 mM.

Rumput lapangan memiliki nilai terendah yaitu 75,3 mM dan berbeda nyata dari

ketiga varietas lain (P<0,05). Varietas sorgum Pahat dan Samurai 1 tidak berbeda

nyata dengan nilai masing-masing 88,2 mM dan 80,19 mM.

Gambar 13. Hasil Produksi TVFA Total Sorghum Hydroponic Fodder (SHF) setelah

diinkubasi selama 48 jam. Keterangan: TVFA: total volatile fatty acid;

Angka-angka yang diikuti huruf berbeda menunjukkan perbedaan nyata

(P<0,005)

Pada gambar diatas menunjukkan konsentrasi TVFA pada masing-masing

perlakuan berbeda sangat nyata (P<0,01). Konsentrasi TVFA yang paling tinggi pada

perlakuan SHF Samurai 2. Hal ini dapat disebabkan adanya peningkatan jumlah

Page 78: KANDUNGAN NUTRISI DAN TINGKAT KECERNAAN IN VITRO …

63

bakteri selulolitik pada SHF Samurai 2 yang memecah serat kasar menjadi TVFA dan

selain itu adanya urea sebagai sumber nitrogen non protein dapat dimanfaatkan

mikroba rumen untuk fermentasi (Silalahi, 2003). Menurut Hungate (1966), TVFA

merupakan produk akhir fermentasi karbohidrat dan merupakan sumber energi utama

ruminansia asal rumen. Peningkatan jumlah VFA menunjukkan mudah atau tidaknya

pakan tersebut didegradasi oleh mikroba rumen. Produksi VFA di dalam cairan

rumen dapat digunakan sebagai tolak ukur fermentabilitas pakan (Hartati, 1998).

TVFA memiliki kolerasi positif dengan serat kasar yaitu NDF dan ADF.

Menurut McDonald et al., 2002 didalam serat NDF dan ADF terdapat selulosa dan

hemiselulosa yang akan diubah oleh bakteri selulotik menjadi asam-asam lemak

terbang berupa asetat, propionat, butirat dan gas CH4 serta CO2. Sehingga semakin

tinggi nilai serat NDF dan ADF maka akan semakin banyak TVFA yang dihasilkan.

Hal ini sesuai dengan hasil penelitian yang dilakukan pada SHF Samurai 2 memiliki

kandungan serat ADF yang paling tinggi dibandingkan kedua SHF lainnya yaitu

sebesar 31,83% dan pada SHF Samurai 2 juga memiliki nilai TFVA yang paling

tinggi yaitu 105,62 mM.

Produksi TVFA berkisar antara 80 - 160 mM untuk pertumbuhan optimal

mikroba (Sutardi, 1980) dan besarnya dipengaruhi oleh jenis pakan yang diberikan.

Hasil konsentrasi TVFA yang diperoleh berkisar 75 - 105 mM. Pada hasil TVFA

Rumput Lapangan berada di bawah kisaran optimal untuk pertumbuhan mikroba.

Menurut Rafis (2006) pengukuran konsentrasi VFA yang dilakukan pada waktu

inkubasi 48 jam dimana sebagian VFA yang ada telah disintesis menjadi kerangka

Page 79: KANDUNGAN NUTRISI DAN TINGKAT KECERNAAN IN VITRO …

64

karbon untuk protein mikroba sehingga konsentrasi VFA berkurang. Hal ini sesuai

dengan pernyataan Arora (1989) bahwa asam-asam amino tertentu disintesa kembali

melalui interaksi radikal amonia dengan asam lemak terbang berantai cabang sebagai

sumber rantai karbon.

Menurut Ulya (2007), semakin lama waktu inkubasi akan terjadi penurunan

populasi bakteri amilolitik akibat fase pertumbuhan bakteri yang lebih cepat dan

adanya persaingan dengan protozoa dalam mencerna pati. Penurunan populasi bakteri

amilolitik ini juga dapat mempengaruhi produksi VFA yang dihasilkan pada waktu

inkubasi 48 jam. Namun, dari ketiga varietas SHF yaitu Pahat, Samurai 1 dan

Samurai 2 memiliki kadar TVFA yang baik untuk pertumbuhan optimum mikroba

rumen.

4.2.4. Kercernaan BO (KcBO)

Gambar 14 menyajikan data hasil KcBO. Rumput lapangan menghasilkan

KcBO terkecil dibandingkan ketiga varietas sorgum yaitu 53,61% (P<0,05). Sorgum

varietas Pahat menghasilkan KcBO tertinggi yaitu 65,96%. Dari ketiga varietas

sorgum, menghasilkan KcBO yang tidak berbeda nyata.

Ketiga perlakuan tidak berpengaruh nyata terhadap KcBO dapat dilihat pada

gambar 14. KcBO merupakan faktor penting yang dapat menentukan nilai kualitas

pakan (Sutardi,1977). Sneath et al., 2003 melaporkan bahwa kecernaan hijauan

menurun dengan meningkatnya kandungan serat. Pernyataan ini sesuai dengan hasil

penelitian yang didapat bahwa nilai KcBO menunjukkan hubungan positif dengan

nilai serat kasar terutama fraksi ADF. Dimana nilai KcBO SHF Pahat lebih besar

Page 80: KANDUNGAN NUTRISI DAN TINGKAT KECERNAAN IN VITRO …

65

dibandingkan dengan kedua varietas SHF lainnya yaitu sebesar 65,96±5,42% dan

nilai ADF SHF Pahat lebih kecil dibandikan dengan SHF Samurai 1 dan SHF

Samurai 2 yaitu sebesar 20,90%. Hubungan positif juga terlihat antara nilai KcBO

dan nilai PK, dimana nilai KcBO SHF Pahat lebih besar dibandingkan dengan kedua

varietas SHF lainnya, sehingga nilai PK SHF Pahat lebih rendah dari kedua varietas

SHF lainnya yaitu sebesar 16,33%.

Gambar 14. Hasil Kecernaan BO Sorghum Hydroponic Fodder (SHF) setelah

inkubasi selama 48 jam. Keterangan: BO: Bahan Organik; angka-

angka yang diikuti huruf berbeda menunjukkan perbedaan nyata

(P<0,05).

Suardin et al., 2014 berpendapat bahwa kecernaan bahan organik dalam

saluran pencernaan ternak meliputi kecernaan zat-zat makanan berupa komponen

bahan organik seperti karbohidrat, protein, lemak dan vitamin. Bahan-bahan organik

yang terdapat dalam pakan tersedia dalam bentuk tidak larut, oleh karena itu

diperlukan adanya proses pemecahan zat-zat tersebut menjadi zat-zat yang mudah

larut sehingga lebih mudah terdegradasi. Fraksi karbohidrat non serat yang tinggi

Page 81: KANDUNGAN NUTRISI DAN TINGKAT KECERNAAN IN VITRO …

66

menyebabkan tingginya tingkat KcBO, karena proses degradasi akan lebih mudah

terjadi apabila karbohidrat sudah dalam bentuk yang sederhana

Hasil analisis in vitro menunjukkan bahwa KcBO sama seperti KcBK yaitu

lebih dari 60%. Menurut Fabio et al. (2007) bahwa nilai kecernaan bahan organik

yang tinggi dipengaruhi oleh kandungan serat dari bahan pakan dan aktivitas bakteri

selulolitik akibat perubahan pH. Tingginya KcBO yang dihasilkan oleh SHF

berdasarkan hasil analisis menunjukan bahwa kecernaan lemak, karbohidrat dan

protein yang terkandung dalam SHF juga tinggi. Hal ini sesuai dengan pernyataan

Elita (2006) bahwa KcBO menunjukkan jumlah nutrien seperti lemak, karbohidrat

dan protein yang dapat dicerna oleh ternak.

4.2.5. Kecernaan BK (KcBK)

Kecernaan bahan kering (KcBK) disajikan pada gambar 15. Sorgum varietas

Pahat menghasilkan kecernaan BK yang paling tinggi yaitu 65,21%. Nilai kecernaan

terendah dari ketiga varietas yaitu pada varietas sorgum Samurai 2 sebesar 60,87%.

Sorgum varietas Samurai 1 memiliki nilai KcBK yang lebih tinggi dibanding dengan

rumput lapangan yaitu 62,94% dan 49,55% (P<0,05).

Gambar 15 menunjukkan bahwa KcBK pada tiap perlakuan tidak berpengaruh

nyata. KcBK terbesar terdapat pada SHF Pahat sebesar 65,21±5,32 dibanding dengan

kedua SHF lainnya yaitu SHF Samurai 1 dan SHF Samurai 2. Menurut Suryahadi et

al., 1993 degradasi bahan kering dan degradasi bahan organik menggambarkan nilai

efisiensi kandungan zat makanan dalam ransum untuk dapat dimanfaatkan oleh

Page 82: KANDUNGAN NUTRISI DAN TINGKAT KECERNAAN IN VITRO …

67

mikroba rumen. Besar nilai degradasi bahan kering maupun bahan organik

berkorelasi positif dengan kecernaan ransum dalam tubuh ternak.

Gambar 15. Hasil KcBK Sorghum Hydroponic Fodder (SHF) setelah diinkubasi

selama 48 jam. Keterangan: KcBK: Kecernaan Bahan Kering; angka-

angka yang diikuti huruf berbeda menunjukkan perbedaan nyata

(P<0,05)

Sugoro et al., 2014 menyatakan bahwa adanya korelasi antara %KcBK

dengan konsentrasi TVFA. Semakin tinggi konsentrasi TVFA, maka semakin tinggi

pula %KcBK. TVFA dihasilkan dari fermentasi karbohidrat yang menunjukkan

degradasi pakan. Selain dari konsentrasi TVFA, hasil %KcBK juga diperkuat dengan

hasil konsentrasi NH3 yang rendah. Hasil konsentrasi ammonia yang rendah terjadi

karena ammonia yang dihasilkan dari degradasi protein, dimanfaatkan sebagai

sumber nitrogen bagi mikroba. Namun pada penelitian ini hasil KcBK yang diperoleh

tidak menunjukkan hubungan positif dengan VFA dan konsentrasi NH3, dimana nilai

KcBK tertinggi terdapat pada SHF Pahat sebesar 65,21±5,32 dan konsentrasi VFA

tertinggi terdapat pada SHF Samurai 2 sebesar 105,62±21,7 dan nilai NH3 terendah

terdapat pada SHF Samurai 1 sebesar 5,54±0,66. KcBK berkolerasi juga dengan

KcBO, dimana semakin tinggi KcBK maka KcBO juga semakin meningkat. Hal ini

Page 83: KANDUNGAN NUTRISI DAN TINGKAT KECERNAAN IN VITRO …

68

sesuai dengan hasil penelitian bahwa KcBK dan KcBO pada SHF Pahat memiliki

nilai yang paling besar.

Hasil analisis in vitro menunjukkan bahwa KcBK dari SHF memiliki

kecernaan lebih dari 60 % pada semua varietas. Tingginya angka KcBK pada SHF

menunjukkan bahwa SHF memiliki nutrisi yang tinggi dan dapat dimanfaatkan untuk

pertumbuhan ternak. Nilai KcBO SHF yang lebih tinggi dari rumput lapangan

menunjukkan kecernaan yang tinggi dengan besarnya sumbangan nutrien dari pakan

tertentu pada ternak, sedangkan pakan dengan kecernaan yang rendah menunjukkan

bahwa pakan tersebut kurang mampu menyuplai nutrient untuk hidup pokok dan

tujuan produksi ternak (Yusmadi, 2008).

Page 84: KANDUNGAN NUTRISI DAN TINGKAT KECERNAAN IN VITRO …

69

BAB V

SIMPULAN DAN SARAN

5.1. Simpulan

1. Kandungan nutrisi SHF tertinggi dihasikan oleh SHF Samurai 1. Dimana pada

SHF Samurai 1 memiliki nilai kandungan Protein Kasar (PK) tertinggi dan Ekstrak

Eter (EE) tertinggi dengan masing-masing nilai 19,80% dan 10,97%. SHF

memiliki kandungan nutrisi yang tinggi terutama pada SHF Samurai 1.

2. Kecernaan in vitro terbaik terdapat pada SHF Pahat dimana memiliki nilai KcBK

dan KcBO tertinggi yaitu sebesar 65,21% dan 65,96%. Produk fermentasi rumen

yang menghasilkan nilai pH, NH3 dan Total Volatile Fatty Acid (TVFA) tertinggi

dihasilkan oleh SHF Samurai 2 dengan masing-masing nilai 7,03, 6,13mM dan

105,62 mM. Kecernaan in vitro pada SHF lebih tinggi dibandingkan dengan

rumput lapangan.

5.2 Saran

1. Perlu dilakukan penelitian tingkat kecernaan pada Sorghum Hydroponic Fodder

(SHF) secara in vivo.

2. SHF perlu diteliti sebagai pakan fungsional karena memiliki kandungan nutrisi

yang tinggi.

Page 85: KANDUNGAN NUTRISI DAN TINGKAT KECERNAAN IN VITRO …

70

DAFTAR PUSTAKA

ACIAR. 2008. Improving smallholder crop-livestock systems in eastern Indonesia.

Project FinalReport. Published ACIAR Project No . AS2/2004/005.

Agustina. 2004. Dasar Nutrisi Tanaman. Rineka Cipta. Jakarta.

Amaducci S, Amaducci MT, Benati R, Venturi G. 2000. Crop yield and quality

parameters of four annual fibre crops (hemp, kenaf, maize and sorghum) in

the north of italy. Industrial Crops and Products (11) 179–186.

Amaducci S, Monti A, Venturi G. 2004. Non-structural carbohydrates and fibre

components in sweet and fibre sorghum as affected by low and normal input

techniques. Industrial Crops and Products (20) 111–118.

Anas, S., Andy. 2010. Kandungan NDF dan ADF Silase Campuran Jerami Jagung

(Zea mays) dengan Beberapa Level Daun Gamal (Grilicidia maculata). Sistem

Agrisistem. 6(2): 77-81.

Anusavice, K. J. 2004. Buku Ajar Ilmu Bahan Kedokteran Gigi. Budiman JA,

Purwoko S, penerjemah. Jakarta (ID): Penerbit EGC. Terjemahan dari: Phillips'

Science of dental materialsh. Ed ke-10.

AOAC. 2005. Official Method of Analysis. Association of Official Analytical

Chemists. Maryland.

Arora, S. P. 1995. Pencernaan Mikroba pada Hewan Ruminansia. Penerjemah: R.

Muwarni. Gajah Mada University Press, Yogyakarta.

Astuti, D. A., B. Sastradipradja, Kiranadi, E. Budiarti. 1993. Pengaruh Perlakuan

Jerami Jagung dengan Asam Asetat Terhadap Metabolisme in vitro dan in

vivo pada Kambing Laktasi. Laporan Penelitian. Fakultas Kedokteran Hewan.

Institut Pertanian Bogor, Bogor.

Blakely, J., Bade, D. H. 1998. Ilmu Peternakan. Edisi ke empat.Gajah Mada

University Press.

[BSN] Badan Standarisasi Nasional. 1992. Cara Uji Makanan dan Minuman. SNI 01-

2891-1992. Jakarta: Badan Standarisasi Nasional.

Cader, B. 2002. Simple Shed Company. Queensland (AUS). Scholarship Report. p9.

Carmi, A., Aharoni, Y., Edelstein, M., Umiel, N., Hagiladi, A., Yosef, E., Nikbachat,

M., Zenou, A., Miron, J. 2006. Effects of irrigation and plant density on yield,

Page 86: KANDUNGAN NUTRISI DAN TINGKAT KECERNAAN IN VITRO …

71

composition and in vitro digestibility of a new forage sorghum variety, tal, at

two maturity stages. Anim. Feed Sci. Technol. (131) 121–133.

Cordava, H. 2001. Quality Protein Maize: Improved nutrition and livelihoods for the

poor. Maize Research Highlights. 27-31

Direktorat Budidaya Ternak Ruminansia. 2009. Pedoman Optimalisasi Penggunaan

Bahan Pakan Lokal. Direktorat Jenderal Peternakan. Departemen Pertanian.

Direktorat Jenderal Perkebunan. 1996. Sorgum manis komoditi harapan di propinsi

kawasantimur Indonesia. Risalah Simposium Prospek Tanaman Sorgum untuk

Pengembangan Agroindustri, 17-18 Januari 1996. Edisi Khusus Balai

Penelitian Tanaman Kacang-kacangan dan Umbi-umbian No.4-1996: 612.

Direktorat Jenderal Tanaman Pangan. 2012. Kebijakan direktorat jenderal tanaman

pangan dalam pengembangan komoditas serealia untuk mendukung pertanian

bioindustri. Seminar Nasional Serealia, Maros Sulawesi Selatan.

Direktorat Serealia. 2013. Kebijakan direktorat jenderal tanaman pangan dalam

pengembangan komoditas serealia untuk mendukung pertanian bioindustri.

Seminar Nasional Serealia, Maros Sulawesi Selatan.

Djazuli. 1986. Pemberian Mulsa, Pospat dan Kapur pada Ubi Jalar. Bogor (ID):

Balai Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Pusat Perpustakaan Pertanian

dan Biologi.

Doring, T., Heimbach, U., Thieme, T., Finckch, M., Saucke, H. 2006. Aspect of straw

mulching in organic potatoes-I, effects on microclimate, Phytophtora infestans,

dan Rhizoctonia solani.Nachrichtenbl. Deut. J flanzenschutzd. 58(3):73-78

Durrett, T. P., Benning, C., Ohlrogge, J. 2008. Plant Triacylglycerols as Feedstocks

for The Production of Biofuels. Plant J. (54): 593–607.

Elita, R., Widjaya. 2006. Analisis Penggunaan Sumber Energi Biomassa di Bidang

Pertanian [Laporan Akhir]. Tangerang (ID): Balai Besar Pengembangan

Mekanisasi Pertanian, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian.

Fengel, D., dan Wegener, G. 1995. Kayu : Kimia, Ultrastruktur, Reaksi-reaksi.

Diterjemahkan oleh Hardjono Sastrohamidjoyo. Cetakan I, Gajah Mada

University Press, Yogyakarta. 124-154.

Fariani, A. 2008. Pengembangan Ternak Ruminansia Berdasarkan Ketersediaan

Lahan dan Tenaga Kerja di Kabupaten Musi Rawas, Sumatera Selatan. Jurnal

Page 87: KANDUNGAN NUTRISI DAN TINGKAT KECERNAAN IN VITRO …

72

Freer, M., and Dove, H. 2002. Sheep Nutrition. CABI and CSIRO Publishing,

Canberra.

Gardner, F. P., R. B. Pearce, dan R. L. Mitchell. 2008. Fisiologi Tanaman Budidaya.

Terjemahan. UI Press. Jakarta.

Hakim, R. S. 2002. Evaluasi in vitro respons mikroba rumen ternak ruminansia

terhadap penambahan DABA (2,4 – diaminobutyric acid) dan lamtoro merah

(Acacia villosa) dalam ransum. Skripsi. Fakultas Peternakan. Institut Pertanian

Bogor, Bogor.

Harian Medan Bisnis, 2012. Hidroponik Dengan Sistem Pertanian ramah

Lingkungan.

Hartadi, H., Reksohadiprojo, S., Tillman, A. D. 1997. Tabel – tabel dari Komposisi

Bahan Makanan Ternak untuk Indonesia. Gadjah Mada University Press,

Jogjakarta.

Hartati, E. 1998. Suplementasi minyak lemuru dan seng ke dalam ransum yang

mengandung silase pod kakao dan urea untuk memacu pertumbuhan sapi

Holstein jantan. Disertasi. Program Pasca Sarjana. Institut Pertanian Bogor,

Bogor.

Havlin, J. L., Beaton, J. D., Tisdale, S. L., Nelson, W. L. 2005. Soil Fertility and

Fertilizers: An Introduction to Nutrient Management. 7th Ed. New Jersey (US):

Pearson Prentice Hall.

Hermawan, D. E. 2001. Peningkatan fermentabilitas daun akasia (Acacia villosa dan

Acacia angustissima) dengan penambahan polyetihylen glycol (PEG).Skripsi.

Fakultas Peternakan. Institut Pertanian Bogor, Bogor.

Hermayanti, Yeni, Eli Gusti. 2006. Modul Analisa Proksimat. Padang: SMAK 3

Padang.

Hungate, R. E. 1966. The Ruminant and Its Microbes. Academic Press, New York.

Imanda, S., Effendi, Y., Sihono, Sugoro, I. 2016. Evaluasi In Vitro Silase Sinambung

Sorgum Varietas Samurai 2 yang Mengandung Probiotic BIOS K2 dalam

Cairan Rumen Kerbau. Jurnal Ilmiah Aplikasi Isotop dan Radiasi. 12(1): 1-

12.

Johnson, L. M., Horrison, J. H., Davidson, D., Mahanna, W. C., Shinners, K. 2003.

Corn silage management: effect of hybrid, maturity, inoculation and

mechanical processing on fermentation characteristics. J. Dairy Sci. (86) :287-

308.

Page 88: KANDUNGAN NUTRISI DAN TINGKAT KECERNAAN IN VITRO …

73

Jones, D. I. H., Theodorou, M. K. 2000. Forage Evaluation in Ruminant Nutrition.

Givens DI, Owen E, Axford RFE, Omed HM, editor. Oxon (UK): CABI

Publishing.

Kamal, M. 1998. Nutrisi Ternak I. Rangkuman. Lab. Makanan Ternak, Jurusan

Nutrisi dan Makanan Ternak, Fakultas Peternakan, UGM. Yogyakarta.

Kosakoy, S., E. Henny, dan Sutardi, T. 1978. Laju degradasi benang kapas dalam

cairan rumen kerbau dan sapi. Bull. I. M. T. (3) : 202.

Koten, B. B., Ngadiyono, N., Soestrisno, R. D., Suwignyo, B. 2012. Produksi

Tanaman Sorgum (Sorghum Bicolor (L.) Moench) Varietas Lokal Rote Sebagai

Hijauan Pakan Ruminansia pada Umur Panen dan Dosis Pupuk Urea yang

Berbeda. Buletin Peternakan, Vol. 36(3): 150-155.

Krause, K. M., Combs, D. K. 2003. Effects of Forage Particle Size, Forage Source,

and Grain Fermentability on Performance and Ruminal pH in Midlactation

Cows. J Dairy Sci. (86): 1382–1397.

Krishnamoorthy, U. 2001. RCA Training Workshop on In Vitro Techniques for Feed

Evaluation. April 23-27th. The International Atomic Energy Agency. Jakarta

(ID): 17.

Krismawati, A. 2012. Teknologi Hidroponik Dalam Pemanfaatan Lahan

Pekarangan. BPTP: Malang.

Kusumo, S. P. 1994. Ilmu Gizi Komparatif. BPFE.Yogyakarta.

Kumar, M. K., Kalyani, P., Mahendar, M., Lakshmi, D. N. 2012. Effect of Palm Press

Fibre and Sheanut Cake Based Complete Diet on Rumen Fermentation Pattern

in Graded Murrah Buffalo Calves. Int J Sci Res Pub. 2(9): 1-6.

Lakitan, B. 2010. Dasar Dasar Fisiologi Tumbuhan. Rajawali Pers. Jakarta.

Lehninger, A. L. 1982. Dasar-dasar Biokimia. Penerjemah : M. Thenawidjaja.

Erlangga, Jakarta.

Lingga, P. 2000. Hidroponik Bercocok Tanam Tanpa Tanah. Penebar Swadaya.

Jakarta.

Lingga, P. dan Marsono. 2008. Petunjuk Penggunaan Pupuk. Penebar Swadaya.

Jakarta.

Page 89: KANDUNGAN NUTRISI DAN TINGKAT KECERNAAN IN VITRO …

74

Lopez, S. 2005. In vitro and In situ techniques for estimating digestibility. Dalam J.

Dijkstra, J. M. Forbes, and J. France (Eds). Quantitative Aspect for Ruminant

Digestion and Metabolism. 2nd Edition. ISBN 0-85199-8143. CABI Publishing,

London.

Lynd, L. R., P. J. Weimer, W. H., van, Zyl, W. H., I. S., Pretorius. 2002. Microbial

Cellulose Utilization: Fundamentals and Biotechnology. Microbiol. Mol. Biol.

Rev. 66(3):506-577.

Mahmood, A., Ullah, H., Ijaz, M., Javaid, M. M., Shahzad, A. N., Honermeier, B.

2013. Evaluation of sorghum hybrids for biomass and biogas production.

Australian Journal of Crop Sci. 7(10):1456-1462.

McDonald, P. R., A. Edwards, J. F. D., Greenhalg., C. A. Morgan. 2002. Animal

Nutrition 6th Edition. Longman Scientific and Technical Co. Published in The

United States with John Willey and Sons Inc, New York.

Miller, F. R., Stroup, J. A. 2003. Brown midrib forage sorghum, sudangrass, and

corn: What is the potential?. 33rd California Alfalfa dan Forage Symposium

1719 December 2003.

Murtidjo. 1987. Pedoman Beternak Ayam Broiler. Yogyakarta: Kanisius.

Naik, P. K., Swain, B. K., Singh, N. P. 2015. Production and Utilization of

Hydroponic Fodder. Indian J. Anim. Nutr. 32(1):1-9.

Nikolau, B. J., Ohlrogge, J. B., Wurtele, E. S. 2003. Plant Biotin-containing

Carboxylases. Arch. Biochem. Biophys. (414): 211–222.

[NRC] National Research Council. 2007. Nutrient Requirement of Small Ruminant.

Washington DC (US). The National Academic Press.

Nugroho, H., D. 2015. Pemanfaatan bioslurry pada maize hydroponic foddersebagai

suplemen silase jagung (in vivo) di Kpsbu Lembang Jawa Barat . [Tesis].

Program Pasca Sarjana. Institut Pertanian Bogor. Bogor.

Nutrient Requirements of Dairy Cattle: Seventh Revised Edition. 2001. Washington,

D.C: The National Academies Press. h. 288.

Odenyo, A. A., P. O. Osuji., Negassa. 1999. Microbial evaluation of fodder tree

leaves as ruminant feed. J. Anim. Sci. 12 (5) : 708-714.

OISAT. 2011. Sorghum. PAN Germany Pestizid Aktions-Netzwekk e.V. PAN

Germany.

Page 90: KANDUNGAN NUTRISI DAN TINGKAT KECERNAAN IN VITRO …

75

Pandutama, M. H., A. Mudjiharyati, Suyono., Wustamidin. 2003. Dasar-Dasar Ilmu

Tanah. Jurusan Tanah Fakultas Pertanian Universitas Jember.

Pangestu, E., Achmadi, J., Wahyono, F., Nuswantara, L. K. 2009. Karakteristik Daya

Ikat Serat Dari Beberapa Bahan Pakan Hasil Samping Agroindustri Terhadap

Kalsium. Pemberdayaan Peternakan Berbasis Sumber Daya Lokal untuk

Ketahanan Pangan Nasional Berkelanjutan. Seminar Nasional Kebangkitan

Peternakan – Semarang, 20 Mei 2009.

Pradhan, K. 1994. Rumen ecosystem in relation to cattle and buffalo nutrition. In:

Wanapat, M. and K. Somniart (Editor). Proc.First Asian Buffalo Association

Congress.

Praptiwi, I., I. 2011. Fermentabilitas In Vitro dan Produksi Biomassa Mikroba

Ransum Komplit yang Mengandung Jerami Sorgum, Konsentrat dengan

Penambahan Suplemen Pakan. J. Agricola. 1(2): 149-152.

Preptiwi, I. I., Ako, A., Hasan, Syamsuddin. 2010. Analisis Limbah Beberapa

Varietas Tanaman Sorgum (Sorghum Bicolor (L.) Moench) Sebagai Sumber

Pakan Untuk Ternak Ruminansia.

Preston, T. R., R. A., Leng. 1987. Matching Ruminant Production System with

Available Resources in Tropic. Penambul Books, Armidale.

Preston, R. L. 2006. Feed Composition Tables.

http://beefmag.com/mag/beef_feed_composition. diakses 24 April 2017.

Prihmantoro, H., Indriani, Y. H. 2001. Hidroponik Sayuran Semusim untuk Bisnis

dan Hobi. Penebar Swadaya.Jakarta.

Purwantari, T. 2008. Fermentabilitas in vitro dan produksi biomassa mikroba ransum

komplit yang mengandung jerami sorgum, konsentrat dengan penambahan

suplemen pakan. [Skripsi]. Bogor: Fakultas Peternakan, Institut Pertanian

Bogor.

Rafis, H. N. 2006. Pengaruh Pemberian Urea Molasses Multinutrient Block (UMMB)

Atau Suplemen Pakan Multinutrien (SPM) Dalam Ransum Terhadap Produksi

Susu Sapi Perah Laktasi. Skripsi. Fakultas Peternakan. Institut Pertanian

Bogor. Bogor.

Rismunandar. 1989. Sorghum Tanaman Serba Guna. Sinar Baru, Bandung.

Ruangprim, T., C. Chantalakhana, P. Skunmun, P. Prucsasri., M. Wanapat. 2007.

Rumen microbes and ecology of male dairy, beef cattle and buffalo. Kasetsart

University, Nakhon Pathom.

Page 91: KANDUNGAN NUTRISI DAN TINGKAT KECERNAAN IN VITRO …

76

Russel, J. B., Wilson, D. B. 1996. Why are Ruminal Celulolytic Bacteria Unable to Digest

Cellulose at Low pH.J Dairy Sci. (79): 1503-1509.

Sakinah, D. 2005. Kajian suplementasi probiotik bermineral terhadap produksi VFA,

NH3, dan kecernaan zat makanan pada domba. Skripsi. Fakultas Peternakan.

Institut Pertanian Bogor. Bogor.

Salisbury, F. B., C. W. Ross. 1995. Fisiologi Tumbuhan – Jilid 3. Terjemahan.

Penerbit ITB. Bandung.

Santosa, U. 1995. Tata Laksana Pemeliharaan Ternak Sapi. Penebar Swadaya.

Jakarta.

Santosa, U. 2006. Manajemen Usaha Ternak Potong. Penebar Swadaya. Jakarta.

Saun, R. J. V., Heinrich, A. J. 2008. Trouble Shooting silage problem. Proceedings

of the Mid-Atlantic Conference Pensylvania.

Schwartz, C. C., Renecker, L. A. 1998. Ecology and Management of the North

American Moose. Franzman AW, Schwartz CC, editor. Washington DC (US).

Smithsonian Institution Press.

Sihono, Human, S., Indriatama, W. M., Puspitasari, W., Parno, Carkum. 2013.Galur

Mutan Sorgum PATIR-1 Berdaya Hasil Biji, Biomasa danGula Batang Tinggi

serta Galur PATIR-4 Hasil Biji Tinggi KualitasBaik. Perbaikan Proposal

Pelepasan Varietas. Pusat Aplikasi Isotopdan Radiasi. Jakarta (ID): BATAN.

Silalahi, R. E. 2003. Uji fermentabilitas dan kecernaan in vitro suplemen Zn

anorganik dan Zn organik dalam ransum ruminansia. Skripsi. Fakultas

Peternakan. Institut Pertanian Bogor, Bogor.

Silungwe, D. 2011. Evaluation of forage yield and quality of sorghum, sudangrass

and pearl millet cultivars in manawatu. [tesis]. Palmerston North (NZ):

Massey University.

Sirappa, M. P. 2003. Prospek pengembangan sorgum di Indonesia sebagai komuditas

alternatif untuk pangan, pakan, dan Industri.

Siregar, S. B. 1993. Ransum Ternak Ruminansia. Penebar Swadaya. Jakarta.

Soebarinoto., Hermanto. 1996. Potensi jerami sorgum sebagai pakan ternak

ruminansia. Risalah Simposium Prospek Tanaman Sorgum untuk

Pengembangan Agroindustri, 1718 Januari 1995. Edisi Khusus Balai Penelitian

Tanaman Kacang-kacangan dan Umbi-umbian No. 4-1996: 217-221.

Page 92: KANDUNGAN NUTRISI DAN TINGKAT KECERNAAN IN VITRO …

77

Soeranto, H., Carkum, dan Sihono. 2002. Perbaikan varietas tanaman gandum

melalui pemuliaan mutasi. Prosiding Pertemuan Koordinasi Penelitian dan

Pengembangan.

Soeranto. 2007. Pemuliaan tanaman sorgum di PATIR-BATAN. 29 Ferbuari 2017.

http://www. google.com-www.batan.go.id.

Somantri, I. H., Hasanah, M., Adisoemarto, S. 2007. Mengenal plasma nutfah biogen.

Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Bioteknologi dan Sumberdaya

Genetik Pertanian. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Departemen

Pertanian.

Srivasta, L. M. 2001. Plant Growth and Development: Hormones and Environment.

California (US): Academic Press.

Sudarmodjo. 2008. Hidroponik. Parung Farm. Bogor (ID). Tidak dipublikasikan.

Suhardiyanto, H. 2009. Teknologi Rumah Tanaman untuk lklim Tropika Basah:

Pemodelan dan Pengendalian Lingkungan. Bogor (ID): IPB Pr.

Suparjo. 2008. Degradasi komponen lignoselulosa oleh kapang pelapuk putih.

Suparjo. 2010. Analisis Bahan Secara Kimiawi Analisis Proksimat dan Analisis

Serat. Laboratorium Makanan Ternak Fakultas Peternakan Universitas Jambi.

Sutardi, T. 1979. Ketahanan protein bahan makanan terhadap degradasi oleh mikroba

rumen dan manfaatnya bagi peningkatan produktivitas Ternak.Proceeding

seminar dan penunjang peternakan. Lembaga Penelitian Peternakan, Bogor.

Sutardi, T. 1980. Landasan Ilmu Nutrisi I. Fakultas Peternakan. Institut Pertanian

Bogor, Bogor.

Sutardi, T. 1981. Sapi Perah dan Pemberian Makanannya, Departemen Ilmu

Makanan Ternak Fakultas Peternakan IPB, Bogor.

Sutardi, T. 2006. Landasan Ilmu Nutrisi Jilid 1. Departemen Ilmu Makanan Ternak.

Fakultas Peternakan IPB, Bogor.

Sutiyoso Y. 2004. Hidroponik ala Yos. Jakarta (ID): Penebar Swadaya.

Taherzadeh, M. J. 1999. Ethanol from Lignocellulose: Physiological Effects of

Inhibitors and Fermentation Strategies. [Thesis]. Göteborg: Department of

Chemical Reaction Engineering, Chalmers University Of Technology.

Page 93: KANDUNGAN NUTRISI DAN TINGKAT KECERNAAN IN VITRO …

78

Tabrany, H. 2004. Pengaruh Proses Pelayuan Terhadap Keempukan Daging.

Tillman, A. D., H. Hartadi., S. Reksohadiprodjo., S. Prawirokusumo., S.

Lebdosoekojo. 1991. Ilmu Makanan Ternak Dasar. Cet. 5. Gadjah Mada

University Press, Yogyakarta.

Tillman, A. D., Hartadi, H., Reksohadiprodjo, S., Prawiro KS., Lebdosoekoekojo, S.

1998. Ilmu Makanan Ternak Dasar. Gadjah Mada University Press,

Yogyakarta.

Ulya, A. 2007. Kajian in vitro mikroba rumen berbagai ternak ruminansia dalam

proses fermentasi bungkil biji jarak pagar (Jatropha curcas L.). Skripsi.

Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor, Bogor

Van Soest, P. J. 1994. Nutrition Ecology of the Ruminant.2nd Edition. Comstock

Publishing Associates, A Division of Cornell University Press, Ithaca and

London.

Wahyono, D. E., Hardiyanto, R. 2004. Pemanfaatan Sumber Daya Pakan Lokal untuk

Pengembangan Usaha Sapi Potong. Lokakarya Nasional Sapi Potong.

Wahyono, T. 2015. Evaluasi fermentabilitas ransum kerbau yang mengandung

sorgum dengan pendekatan in sacco, in vitro dan rusitec. [Tesis]. Program

Pasca Sarjana. Institut Pertanian Bogor. Bogor.

Wahyono, T., Astuti D. A., Wiryawan, K. G., Sugoro, I. 2014. Pengujian Ransum

Kerbau Berbahan Baku Sorgum Sebagai Sumber Serat Secara In Vitro dan In

Sacco. Jurnal Ilmiah Aplikasi Isotop dan Radiasi. 10(2): 113-126.

Yoku, O., D. Soetrisno, R. Utomo., S. A. Siradz. 2007. Pengaruh perlakuan jarak

tanam dan pemupukan NPK terhadap produksi rumput sudan (Sorghum

sudanense). Jurnal Agritek (15): 81-87.

Yusmadi. 2008. Kajian mutu dan palatabilitas silase dan hay ransum komplit berbasis

sampah organik primer pada kambing PE [tesis]. Bogor (ID): Institut

Pertanian Bogor.

Zakariah, M. A., 2012.Fermentasi Asam Laktat Pada Silase. Fakultas Peternakan.

Universits Gajah Mada. Yogyakarta.

Page 94: KANDUNGAN NUTRISI DAN TINGKAT KECERNAAN IN VITRO …

79

LAMPIRAN

Lampiran 1. Hasil Kandungan Nutrisi

Perlakuan Parameter Pengamatan

%BK %Air %Abu %BO %PK %EE %NDF %ADF

SHF Pahat

94,81 5,19 5,33 94,67 15,88 9,94 53,04 22,01

93,53 6,47 5,01 94,99 16,06 10,84 54,44 21,34

95,38 4,62 5,12 94,88 16,00 6,48 54,68 23,00

92,70 7,30 4,54 95,46 18,81 6,54 51,72 18,39

91,84 8,16 4,50 95,50 14,94 8,42 52,84 19,79

Rerata 93,64 6,35 4,90 95,10 16,30 8,09 53,34 20,90

SHF

Samurai 1

92,18 7,82 4,65 95,34 18,94 10,86 53,57 24,51

93,05 6,95 5,27 94,72 19,94 10,17 55,65 24,15

94,31 5,69 4,27 95,72 19,44 11,87 48,56 27,50

93,52 6,48 5,11 94,88 19,94 11,49 56,61 30,61

93,87 6,13 4,06 95,93 20,75 10,46 46,92 24,02

Rerata 93,38 6,61 4,67 95,32 19,80 11,10 52,26 26,16

SHF

Samurai 2

91,50 8,50 5,47 94,52 16,44 6,58 45,76 29,49

91,96 8,04 6,66 93,33 18,00 6,19 49,60 35,59

90,10 9,90 6,58 93,41 19,00 8,75 48,63 29,93

91,44 8,56 6,08 93,91 17,06 7,39 56,16 31,35

92,69 7,31 6,26 93,73 18,62 7,39 57,26 32,81

Rerata 91,53 8,46 6,21 95,78 17,82 7,26 51,48 31,83

Page 95: KANDUNGAN NUTRISI DAN TINGKAT KECERNAAN IN VITRO …

80

Contoh perhitungan Bahan Kering (BK)

% BK SHF Pahat = x 100% %Air SHF Pahat = 100 - %BK

= x 100% =100 – 94,81%

= 94,81% = 5,19%

% Abu SHF Pahat = x 100%

= x 100%

= 5,33%

% BO SHF Pahat =%BK -%abu

= 100 – 5,33

= 94,67%

Ekstrak Eter (EE)

% EE SHF Pahat = x 100%

= x100%

= 9,94%

Neutral Detergent Fiber (NDF) Acid Detergent Fiber (ADF)

% NDF SHF Pahat = x 100% % ADF SHF Pahat = x 100%

= x 100% = x

100%

= 54,68% = 22,01%

Page 96: KANDUNGAN NUTRISI DAN TINGKAT KECERNAAN IN VITRO …

81

Lampiran 2. Kecernaan In Vitro dan Produk Fermentasi Rumen

Parameter

Perlakuan

SHF Pahat SHF Samurai 1 SHF Samurai 2 Rumput

Lapangan

KcBK (%)

72,47 65,67 57,83 48,14

60,89 61,28 58,65 50,31

65,58 65,71 65,13 52,27

59,29 57,15 62,33 49,05

67,85 64,93 60,44 48,03

Rerata 65,22 62,95 60,88 49,56

*SD ±5,32 ±3,72 ±2,94 ±1,77

KcBO (%)

73,28 66,16 57,67 52,21

60,53 62,55 58,70 54,91

66,26 66,31 64,91 55,54

60,88 58,11 65,95 52,96

68,87 66,23 59,24 52,46

Rerata 65,96 63,87 61,29 53,62

*SD ±5,42 ±3,59 ±3,83 ±1,51

pH

6,90 6,95 7,09 7,20

6,97 6,96 6,69 7,14

6,92 6,95 7,15 7,15

6,98 7,01 7,11 7,11

6,96 6,98 7,13 7,13

Rerata 6,95 6,97 7,03 7,15

*SD ±0,03 ±0,02 ±0,19 ±0,03

Konsentrasi NH3(mM)

6,00 4,71 6,29 5,29

5,82 5,88 6,47 5,88

5,76 5,29 6,00 5,35

5,70 6,47 5,88 6,47

5,41 5,35 6,00 4,71

Rerata 5,74 5,54 6,13 5,54

*SD ±0,21 ±0,67 ±0,24 ±0,67

TVFA (mM)

99,756 80,196 129,096 70,416

89,976 80,196 70,416 70,416

80,196 80,196 104,646 70,416

85,086 80,196 109,536 89,976

85,086 80,196 114,426 75,306

Rerata 88,02 80.196 105,624 75,306

*SD ±7,42 ±0 ±21,70 ±8,47

Page 97: KANDUNGAN NUTRISI DAN TINGKAT KECERNAAN IN VITRO …

82

2.1 Kecernaan Bahan Kering (KcBK)

KcBK SHF Pahat (%) = 100 - BK SHF Pahat tdk terdegdradasi (%)

= 100 - 27,53

= 72,47

2.2 Kecernaan Bahan Organik (KcBO)

KcBO SHF Pahat (%) = 100 - BO SHF Pahat tdk terdegdradasi (%)

= 100 – 26,72

= 73,28

2.3Konsentrasi NH3

N-NH3 SHF Pahat (mM) = N HCl x volume titrasi x 1000 / 17

= 0,1 x 1,02 x 1000 /17

= 5,74 mM

2.4 Total Volatile Fatty Acid (TVFA)

TVFA SHF Pahat (mM) = (a – b) x N HCl x (1000/5 mM)

= (4,92–3,90) x 0,489 x (1000/5 mM)

= 99,756mM

Page 98: KANDUNGAN NUTRISI DAN TINGKAT KECERNAAN IN VITRO …

83

Lampiran 3. Uji Statistik Kandungan Nutrisi SHF

3.1 Hasil Analysis of Variance (ANOVA) Kandungan Nutrisi Sorghum Hydroponic

Fodder (SHF) Pahat, Samurai 1 dan Samurai 2

Sum of Squares df Mean Square F Sig.

BK Between Groups 13.264 2 6.632 5.387 .021

Within Groups 14.773 12 1.231

Total 28.037 14

BO Between Groups 6.928 2 3.464 16.456 .000

Within Groups 2.526 12 .211

Total 9.454 14

NDF Between Groups 8.715 2 4.357 .290 .753

Within Groups 179.998 12 15.000

Total 188.712 14

ADF Between Groups 298.917 2 149.459 25.377 .000

Within Groups 70.676 12 5.890

Total 369.593 14

PK Between Groups 30.200 2 15.100 12.223 .001

Within Groups 14.824 12 1.235

Total 45.024 14

EE Between Groups 35.868 2 17.934 10.080 .003

Within Groups 21.349 12 1.779

Total 57.216 14

3.2 Hasil uji lanjutan Duncan peubah Bahan Kering pada Analisis Kandungan Nutrisi

Perlakuan N

Subset for alpha = 0.05

1 2

SHF SAMURAI 2 5 91.5311

SHF SAMURAI 1 5 93.3805

SHF PAHAT 5 93.6449

Sig. 1.000 .713

Page 99: KANDUNGAN NUTRISI DAN TINGKAT KECERNAAN IN VITRO …

84

3.3 Hasil uji lanjutan Duncan peubah Bahan Organik pada Analisis Kandungan

Nutrisi

Perlakuan N

Subset for alpha = 0.05

1 2

SHF SAMURAI 2 5 93.7852

SHF PAHAT 5 95.1049

SHF SAMURAI 1 5 95.3238

Sig. 1.000 .465

3.4 Hasil uji lanjutan Duncan peubah Neutral Detergent Fiber (NDF) pada Analisis

Kandungan Nutrisi

Perlakuan N

Subset for alpha =0.05

1

SHF SAMURAI 2 5 51.4883

SHF SAMURAI 1 5 52.2651

SHF PAHAT 5 53.3470

Sig. .484

3.5 Hasil uji lanjutan Duncan peubah Acid Detergent Fiber (ADF) pada Analisis

Kandungan Nutrisi

Perlakuan N

Subset for alpha = 0.05

1 2 3

SHF PAHAT 5 20.9074

SHF SAMURAI 1 5 26.1642

SHF SAMURAI 2 5 31.8394

Sig. 1.000 1.000 1.000

Page 100: KANDUNGAN NUTRISI DAN TINGKAT KECERNAAN IN VITRO …

85

3.6 Hasil uji lanjutan Duncan peubah Protein Kasar pada Analisis Kandungan Nutrisi

Perlakuan N

Subset for alpha = 0.05

1 2

SHF PAHAT 5 16.3380

SHF SAMURAI 2 5 17.8240

SHF SAMURAI 1 5 19.8020

Sig. .056 1.000

3.7 Hasil uji lanjutan Duncan peubah Ekstrak Eter pada Analisis Kandungan Nutrisi

Perlakuan N

Subset for alpha = 0.05

1 2

SHF SAMURAI 2 5 7.2650

SHF PAHAT 5 8.4473

SHF SAMURAI 1 5 10.9726

Sig. .186 1.000

Page 101: KANDUNGAN NUTRISI DAN TINGKAT KECERNAAN IN VITRO …

86

Lampiran 4. Uji Statistik Kecernaan In Vitro dan Produk Fermentasi Rumen

pada Inkubasi 48 Jam

4.1 Hasil Analysis of Variance(ANOVA) Kecernaan In Vitro dan Produk Fermentasi

Rumen Sorghum Hydroponic Fodder(SHF) Pahat, Samurai 1, Samurai 2 dan

Rumput Lapangan pada Inkubasi 48 Jam

KcBK Between Groups 725.892 3 241.964 17.912 .000

Within Groups 216.130 16 13.508

Total 942.022 19

KcBO Between Groups 436.688 3 145.563 9.820 .001

Within Groups 237.170 16 14.823

Total 673.858 19

pH Between Groups .120 3 .040 3.954 .028

Within Groups .162 16 .010

Total .282 19

NH3 Between Groups 1.153 3 .384 1.549 .240

Within Groups 3.971 16 .248

Total 5.124 19

TVFA Between Groups 2653.047 3 884.349 5.917 .006

Within Groups 2391.210 16 149.451

Total 5044.257 19

4.2 Hasil uji lanjutan Duncan peubah Kecernaan Bahan Kering (KcBK) pada Analisis

KecernaanIn Vitro waktu inkubasi 48 jam

Perlakuan N

Subset for alpha = 0.05

1 2

Rumput Lapangan 5 49.5587

SHF SAMURAI 2 5 60.8756

SHF SAMURAI 1 5 62.9460

SHF PAHAT 5 65.2159

Sig. 1.000 .095

Page 102: KANDUNGAN NUTRISI DAN TINGKAT KECERNAAN IN VITRO …

87

4.3. Hasil uji lanjutan Duncan peubah Kecernaan Bahan Organik (KcBO) pada

Analisis KecernaanIn Vitro waktu inkubasi 48 jam

Perlakuan N

Subset for alpha = 0.05

1 2

Rumput Lapangan 5 53.6159

SHF SAMURAI 2 5 61.2934

SHF SAMURAI 1 5 63.8695

SHF PAHAT 5 65.9629

Sig. 1.000 .087

4.4 Hasil uji lanjutan Duncan peubah pH pada Analisis KecernaanIn Vitro waktu

inkubasi 48 jam

Perlakuan N

Subset for alpha = 0.05

1 2

SHF PAHAT 5 6.9460

SHF SAMURAI 1 5 6.9700

SHF SAMURAI 2 5 7.0340 7.0340

Rumput Lapangan 5 7.1460

Sig. .208 .097

4.5 Hasil uji lanjutan Duncan peubah NH3 pada Analisis KecernaanIn Vitro waktu

inkubasi 48 jam

Perlakuan N

Subset for alpha = 0.05

1

SHF SAMURAI 1 5 5.5412

Rumput Lapangan 5 5.5412

SHF PAHAT 5 5.7412

SHF SAMURAI 2 5 6.1294

Sig. .104

Page 103: KANDUNGAN NUTRISI DAN TINGKAT KECERNAAN IN VITRO …

88

4.6 Hasil uji lanjutan Duncan peubah TVFA pada Analisis KecernaanIn Vitro waktu

inkubasi 48 jam

Perlakuan N

Subset for alpha = 0.05

1 2

Rumput Lapangan 5 75.3060

SHF SAMURAI 1 5 80.1960

SHF PAHAT 5 88.0200

SHF SAMURAI 2 5 105.6240

Sig. .138 1.000

Page 104: KANDUNGAN NUTRISI DAN TINGKAT KECERNAAN IN VITRO …

89

Lampiran 5. Dokumentasi Penelitian

Penanaman SHF

Pemanenan SHF

Analisis kandungan nutrisi

Pengambilan cairan rumen

Page 105: KANDUNGAN NUTRISI DAN TINGKAT KECERNAAN IN VITRO …

90

Analisis in vitro