of 65 /65
KAJIAN TERHADAP PEMERASAN DAN GRATIFIKASI DALAM TINDAK PIDANA KORUPSI (Studi Putusan No:14/Pid.Sus-Tpk/2017/PN.Tjk) (Skripsi) Oleh: DWI MURTININGSIH FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS LAMPUNG BANDAR LAMPUNG 2020

KAJIAN TERHADAP PEMERASAN DAN GRATIFIKASI DALAM …digilib.unila.ac.id/61201/3/SKRIPSI TANPA BAB PEMBAHASAN.pdf · tindak pidana korupsi yaitu jika pemerasan adanya permintaan sepihak

  • Author
    others

  • View
    6

  • Download
    0

Embed Size (px)

Text of KAJIAN TERHADAP PEMERASAN DAN GRATIFIKASI DALAM …digilib.unila.ac.id/61201/3/SKRIPSI TANPA BAB...

  • KAJIAN TERHADAP PEMERASAN DAN GRATIFIKASI DALAM

    TINDAK PIDANA KORUPSI

    (Studi Putusan No:14/Pid.Sus-Tpk/2017/PN.Tjk)

    (Skripsi)

    Oleh:

    DWI MURTININGSIH

    FAKULTAS HUKUM

    UNIVERSITAS LAMPUNG

    BANDAR LAMPUNG

    2020

    http://www.kvisoft.com/pdf-merger/

  • ABSTRAK

    KAJIAN TERHADAP PEMERASAN DAN GRATIFIKASI DALAM

    TINDAK PIDANA KORUPSI

    (STUDI PUTUSAN NOMOR: 14/PID.SUS-TPK/2017/PN.TJK)

    Oleh :

    DWI MURTININGSIH

    Tindak pidana korupsi merupakan tindak pidana yang cukup merugikan keuangan

    negara dan sulit diungkapkan, sehingga penanggulangan dan pemberantasanya

    harus diprioritaskan. Contoh dalam kasus korupsi pemberian gratifikasi putusan

    Pengadilan Negeri Tanjung Karang Nomor: 14/PID.SUS-TPK/2017/PN.TJK

    dengan terdakwa Bambang Kurniawan selaku Bupati Kabupaten Tanggamus yang

    dijatuhkan vonis selama 2 (dua) tahun penjara dengan denda Rp 250.000.000,-

    (dua ratus lima puluh juta rupiah). Permasalahan dalam penelitian ini adalah

    Apakah Perbedaan antara Tindak Pidana Pemerasan dan Gratifikasi dalam Tindak

    Pidana Korupsi dan Mengapa dalam perkara Putusan Nomor 14/Pid.Sus-

    Tpk/2017/PN.Tjk Penerima Gratifikasi tidak dikenai sanksi dalam Tindak Pidana

    Korupsi.

    Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan yuridis

    normatif dan yuridis empiris. Metode pengumpulan data diperoleh melalui studi

    kepustakaan dan wawancara. Metode penyajian data dilakukan melalui proses

    editing, sistematisasi, dan klasifikasi. Metode analisis data yang dipergunakan

    adalah metode analisis kualitatif, dan menarik kesimpulan secara deduktif.

    Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan penulis, maka dapat disimpulkan

    perbedaan mendasar mengenai tindak pidana pemerasan dan gratifikasi dalam

    tindak pidana korupsi yaitu jika pemerasan adanya permintaan sepihak dari

    Pejabat (penerima) dalam kasus ini para anggota DPRD Kabupaten Tanggamus,

    yang bersifat memaksa, dan adanya penyalahgunaan kekuasaaan. Sedangkan

    gratifikasi berhubungan dengan jabatan, bersifat insentif (adanya tanam budi) dan

    tidak membutuhkan kesepakatan (transaksional).

  • Dwi Murtiningsih Putusan nomor 14/PID.SUS-TPK/2017/PN.TJK menunjukan bahwa putusan yang

    di jatuhkan oleh hakim Pengadilan Negeri Tanjung Karang dalam kasus tindak

    pidana korupsi tersebut telah sesuai dan hakim mempunyai pertimbangan-

    pertimbangan tersendiri, baik itu pertimbangan dalam hal memberatkan maupun

    pertimbangan yang meringankan bagi terdakwa. Selain itu hakim meyinggung

    mengenai penerima gratifikasi tersebut untuk dimintakan pertanggung jawaban

    pidananya, Namun dalam kasus ini penerima gratifikasi tersebut tidak di kenai

    sanksi dan pertanggung jawaban pidana karena penerima gratifikasi tersebut

    sebagai whistle blower pihak yang mengetahui dan melaporkan suatu tindak

    pidana.

    Saran dalam penelitian ini, kepada penegak hukum terutama penuntut umum

    hendaknya mengajukan penerima gratifikasi ke sidang pengadilan, hal ini

    dikarenakan telah memenuhi unsur Pasal 12 huruf b Undang-Undang Tindak

    Pidana Korupsi dan hakim hendaknya bersifat progresif dalam hal penyelesaian

    perkara gratifikasi dengan menggali nilai-nilai keadilan di masyarakat demi

    memberikan kepastian dan keadilan untuk seluruh pihak berperkara. sehingga

    keadilan dan kebenaran di Kabupaten Tanggamus dapat tercapai.

    Kata kunci: Pemerasan, Gratifikasi, Tindak Pidana Korupsi

  • KAJIAN TERHADAP PEMERASAN DAN GRATIFIKASI DALAM

    TINDAK PIDANA KORUPSI

    (Studi Putusan Nomor : 14/Pid.Sus-Tpk/2017/PN.Tjk)

    Oleh

    Dwi Murtiningsih

    Skripsi

    Sebagai salah satu syarat untuk mencapai gelar

    Sarjana Hukum

    Pada

    Bagian Hukum Pidana

    Fakultas Hukum Universitas Lampung

    FAKULTAS HUKUM

    UNVERSITAS LAMPUNG

    BANDAR LAMPUNG

    2020

  • RIWAYAT HIDUP

    Penulis bernama Dwi Murtiningsih, dilahirkan di Natar,

    Lampung Selatan pada tanggal 31 Maret 1998, anak kedua

    dari dua bersaudara, pasangan bapak Kasijan, S.Pd dan

    Ibu Aini Indra, serta satu orang kakak bernama Sekar

    Pramudhita, S.H. Penulis menyelesaikan pendidikan

    Taman Kanak-kanak (TK) di TK Al-AZHAR 8 Natar

    pada tahun 2004. Pendidikan Sekolah Dasar (SD) di SD Negeri 5 Merak Batin

    Natar pada tahun 2010, kemudian melanjutkan studi di Sekolah Menengah

    Pertama (SMP) di SMP Negeri 1 Natar yang diselesaikan pada tahun 2013 dan

    Sekolah Menengah Atas (SMA) di SMA Yayasan Abdi Karya (Yadika) yang

    diselesaikan pada tahun 2016.

    Penulis diterima dan terdaftar sebagai mahasiswi di Fakultas Hukum Universitas

    Lampung melalui jalur Seleksi Nasional Masuk Perguruan Tinggi Negeri

    (SNMPTN) pada tahun 2016 dan mengambil minat Hukum Pidana. Tahun 2019

    penulis mengikuti kegiatan Kuliah Kerja Nyata (KKN) pada tanggal 3 Januari

    2019 yang dilaksanakan di Desa Tugu Papak Kecamatan Semaka, Kabupaten

    Tanggamus.

  • MOTO

    “Apabila kamu menetapkan hukum diantara manusia,

    hendaklah kamu menetapkannya dengan adil.”

    (Qs. An-Nisa’:58)

    “Bekerjalah untuk duniamu seakan kamu akan hidup selamanya, dan

    beribadalah untuk akhiratmu seakan kamu akan mati besok.”

    ( Al Hadist)

    “Rezeki tidak akan bersahabat dengan kemalasan”

    (penulis)

    “Kejujuran, Disiplin dan Kerja keras adalah tiga kunci sukses, diibaratkan

    sebagai mata uang yang dapat dibelanjakan dinegara manapun, jadikanlah tiga

    kunci sukses ini sebagai pegangan untuk meraih kesuksesan hidup.”

    (Penulis)

  • PERSEMBAHAN

    Dengan mengucap puji syukur kepada Allah SWT, atas

    rahmat dan hidayahnya, maka dengan ketulusan dan

    kerendahan hati serta setiap perjuangan dan jeripayah,

    aku persembahkan

    sebuah karya nan kecil ini kepada :

    Bapak dan Ibu yang kusayangi dan juga ku cintai

    Terma kasih telah memberikan dukungan,

    Cinta kasih sayang serta mengiringi

    Dengan Do’a demi keberhasilanku.

    Kakakku tersayang, sepupu-sepupuku

    Dan seluruh keluarga besarku yang selalu

    Mendo’akanku serta memberi bantuan dalam segala hal

    untuk menggapai cita-cita.

    Sahabat-sahabatku, terimakasih atas kebersamaan

    Dan kesetiaannya selama ini.

    Almamaterku Universitas Lampung

    Yang telah mendewasakan dan membuka pikiranku tentang

    dunia ini.

  • SANWACANA

    Alhamdulillahhirobbil’alamin. Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah

    SWT, atas berkat rahmat, karunia dan hidayah-Nya penulis dapat menyelesaikan

    penulisan skripsi yang berjudul “Kajian Terhadap Pemerasan Dan Gratifikasi

    Dalam Tindak Pidana Korupsi (Studi Putusan Nomor No:14/Pid.Sus-

    Tpk/2017/PN.Tjk)”.

    Penulis sangat menyadari bahwa penulisan skripsi ini dapat diselesaikan berkat

    dorongan, bantuan, arahan serta masukan dari berbagai pihak baik secara

    langsung maupun tidak langsung. Dalam kesempatan ini penulis mengucapkan

    terma kasih kepada:

    1. Bapak Prof. Dr. Maroni, S.H., M.H., selaku Dekan Fakultas Hukum

    Universitas Lampung.

    2. Bapak Eko Rahardjo, S.H., M.H., selaku Ketua Bagian Hukum Pidana

    Fakultas Hukum Universitas Lampung.

    3. Bapak Prof. Dr. Sunarto DM, S.H., M.H., selaku Dosen Pembimbing I yang

    dengan penuh kesabaran meluangkan waktunya membimbing dan

    mengarahkan penulisan skripsi ini.

    4. Ibu Rini Fathonah, S.H., M.H., selaku Dosen Pembimbing II yang dengan

    penuh kesabaran meluangkan waktunya membimbing dan mengarahkan

    penulisan skripsi ini.

  • 5. Bapak Gunawan Jatmiko, S.H., M.H., selaku Pembahas I yang telah

    memberikan masukan, arahan, dan bantuan dalam penulisan skripsi ini.

    6. Ibu Aisyah Muda Cemerlang, S.H., M.H., selaku Pembahas II yang telah

    memberikan masukan, arahan, dan bantuan dalam penulisan skripsi ini.

    7. Ibu Rohaini, S.H.,M.H.,Ph.D, selaku Dosen Pembimbing akademik selama

    penulis menjadi mahasiswi Fakultas Hukum Universitas Lampung.

    8. Seluruh Bapak dan Ibu Dosen Pengajar, staf administrasi maupun karyawan/i

    di bagian Fakultas Hukum Universitas Lampung, terimakasih atas bantuannya.

    9. Kepada Pengadilan Negeri Tanjung Karang, Ibu Gustina Aryani, S.H.,M.H.,

    yang memberikan kesempatan pada penulis untuk melakukan penelitian.

    10. Kepada Kejaksaan Negeri Bandat Lampung, Bapak Arie S.H. yang

    memberikan kesempatan pada penulis untuk melakukan penelitian.

    11. Secara khusus penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada kedua orang

    tua ku Bapak Kasijan, S.Pd., Ibu Aini Indra dan Kakakku Sekar Pramudhita,

    S.H., Hananto Aribowo dan Keponakanku Kirana Adhita Aeyza yang

    senantiasa memberikan kasih sayang, dukungan, perhatian, dan selalu

    mendo’akan serta mengharapkan keberhasilanku.

    12. Keluarga Besar tercinta: Agus Indra, Susanti Mandasari, S.Pd, Fitri

    Rosalia,S.P, Erin Nurdiani,A.md, teteh nina, teteh wiwi, teh eka, teh ayu

    a’heri, a’ nden, a’ putra, a’ budi, a’ anang, teteh sarah, eci, septi, yang

    selalumemberikan nasehat, semangat, dan bantuan materil, moril serta do’a

    sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini.

  • 13. Untuk Achmad Junaidi yang dalam penyusunan skripsi ini, selalu memberi

    semangat dan motivasi, selalu mengingatkan akan rasa sabar dan kekuatan

    do’a itu kunci dari kesuksesan.

    14. Sahabat-sahabat terbaik Pantai: Inasa El syavira, Rosmita Aprilia, Sheila

    Adelia, terimakasih atas semua keringanan, kebersamaaan selama kuliah, serta

    selalu bersedia untuk di repotkan, bantuan kalian sangat besar dan tak

    terlupakan.

    15. Sahabat-sahabat terbaikku: Shania Yuliana, Fitria Ramadhani, Amelza Revi

    Deria, Agis Mutiara, sahabat yang selalu inspiratif dan tetap gokil terima kasih

    atas kebersamaan ini.

    16. Teman-teman seperjuangan angkatan 2016, bang eday, yuliansyah, bang

    anggoro, aldi wiratama,masnia hakim, uli khairani, oci, intan, ayu, eca, oca,

    alin, nadya, marlinda, farida, terima kasih telah setia meluangkan waktu untuk

    membantu memberikan support kepada penulis sehingga penulis dapat

    menyelesaikan skripsi ini. sukses untuk kita semua.

    17. Rekan-rekan KKN Desa Tugu Papak, Kecamatan Semaka, Kabupaten

    Tanggamus, terima kasih atas pengalaman tak terlupakan selama 40 hari

    bersama kalian akan selalu ada, Good Luck untuk kita semua, I am gonna miss

    you guys.

    18. Almamater tercinta, Universitas Lampung yang telah menghantarkanku

    menuju keberhasilan.

    19. Semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu yang telah membantu

    dalam penyelesaian skripsi ini, terimakasih atas semua bantuan dan

    dukungannya.

  • Semoga Allah SWT memberikan balasan yang terbaik atas segala bantuan yang

    telah diberikan. Penulis juga menyadari bahwa dalam penulisan skripsi ini masih

    banyak terdapat banyak kekurangan. Untuk itu, kritik dan saran yang bersifat

    membangun demi kesempurnaan skripsi ini sangat penulis harapkan. Semoga

    hasil skripsi ini dapat memberikan manfaat bagi pihak-pihak yang membutuhkan.

    Bandar Lampung, 2019

    Penulis

    Dwi Murtiningsih

  • DAFTAR ISI

    Halaman

    I. PENDAHULUAN

    A. Latar Belakang Masalah ................................................................ 1

    B. Permasalahan dan Ruang Lingkup ................................................ 6

    C. Tujuan dan Kegunaan Penulisan ................................................... 6

    D. Kerangka Teoritis dan Konseptual ................................................ 7

    E. Sistem Penulisan ........................................................................... 15

    II. TINJAUAN PUSTAKA

    A. Tinjauan Umum Tindak Pidana .................................................... 17

    B. Pengertian dan Dasar Hukum Tindak Pidana Pemerasan ............. 22

    C. Pengertian dan Dasar Hukum Tindak Pidana Korupsi ................. 27

    D. Tinjauan Umum Gratifikasi .......................................................... 33

    III. METODE PENELITIAN

    A. Pendakatan Masalah ...................................................................... 39

    B. Sumber dan Jenis Data .................................................................. 40

    C. Penentuan Nara Sumber ................................................................ 41

    D. Prosedur Pengumpulan dan Pengolaan Data ................................. 42

    E. Analisis Data ................................................................................. 43

    IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

    A. Perbedaan Pemerasan dan Gratifikasi dalam Tindak Pidana

    Korupsi ............................................................................................. 44

    B. Penerima Gratifikasi Tidak Dikenai Sanksi Dalam Tindak Pidana

    Korupsi Dalam Putusan No. 14/Pis.Sus-TPK/2017/PN.TJK ........... 59

  • V. PENUTUP

    A. Simpulan ........................................................................................... 75

    B. Saran ................................................................................................. 76

    DAFTAR PUSTAKA

    LAMPIRAN

  • 1

    I. PENDAHULUAN

    A. Latar Belakang Masalah

    Pengertian tindak pidana dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP)

    dikenal dengan istilah stratbaar feit. Tindak pidana itu sendiri adalah perbuatan

    yang dilarang oleh suatu aturan hukum, larangan mana disertai ancaman (sanksi)

    yang berupa pidana tertentu bagi barang siapa yang melanggar larangan tersebut.

    Tindak pidana merupakan pengertian dasar dalam hukum pidana (yuridis

    normatif). Kejahatan atau perbuatan jahat dapat diartikan secara yuridis atau

    kriminologi. Kejahatan atau perbuatanjahat dalam arti yuridis normatif adalah

    perbuatan seperti yang terwujud in-abstracto dalam peraturan pidana,sedangkan

    kejahatan dalam arti kriminologi adalah perbuatan manusia yang menyalahi

    norma yang hidup di masyarakat secara konkrit.1

    Tindak pidana sendiri semakin hari semakin marak terjadi dan berkembang

    semakin cepat dikehidupan masyarakat. hal tersebut tidak lepas dari berbagai

    aspek seperti aspek sosial, lingkungan dan aspek lainnya khususnya pada aspek

    ekonomi. Salah satu objek tindak pidana yang ada yaitu tindak pidana korupsi.

    1 Tri Andrisman, Hukum Pidana, Bandar Lampung :Universitas Lampung, 2011, hlm. 69.

  • 2

    Tindak pidana korupsi merupakan tindak pidana yang cukup merugikan keuangan

    negara dan sulit diungkapkan, karena para pelakunya menggunakan peralatan

    yang canggih serta biasanya dilakukan oleh lebih dari satu orang dalam keadaan

    yang terselubung dan terorganisasi.oleh karena itu, kejahatan ini sering disebut

    white collar crime atau kejahatan kerah putih, sehingga penanggulangan dan

    pemberantasanya harus benar-benar diprioritaskan. Hal inilah yang membuat

    korupsi diatur dan termasuk suatu tindak pidana. Tindak pidana korupsi

    pelakunya adalah orang-orang yang dipersepsikan oleh masyarakat sebagai orang-

    orang terkenal atau cukup terpandang namun merekalah yang membuat

    kemiskinan di dalam masyarakat.2 Seperti yang memiliki kewenangan dalam

    suatu lembaga atau instansi dan organisasi pemerintahan.

    Korupsi tersebut dapat berupa pemberian gratifikasi, pemerasan, penerimaan uang

    suap. Uang suap itu tidak hanya dapat memperlancar prosedur administrasi, tetapi

    juga berakibat adanya kesengajaan untuk memperlambat proses administrasi agar

    dengan demikian dapat menerima uang suap. Gratifikasi diartikan sebagai

    pemberian dalam arti luas namun dapat dianggap sebagai suap apabila

    berhubungan dengan jabatannya dan yang berlawanan dengan kewajiban dan

    tugasnya dalam hal ini pemerintah membentuk Undang-Undang No. 31 Tahun

    1999 sebagaimana telah dirubah menjadi Undang-Undang No. 20 Tahun 2001

    Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

    2Teguh sulista dan Aria Zurnetti, Hukum Pidana:Horizon Baru Pasca Reformasi, PT. Raja

    Grafindo Persada, Jakarta, 2011, hlm. 63.

  • 3

    Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana

    Korupsi mendefinisikan gratifikasi sebagai pemberian dalam arti luas, yakni

    meliputi pemberian uang, barang, rabat atau diskon, komisi, pinjaman tanpa

    bunga, tiket perjalanan, fasilitas penginapan, perjalanan wisata, pengobatan

    Cuma-Cuma, dan fasilitas lainnya. Pasal 12 B Undang-Undang No. 31 Tahun

    1999 sebagaimana diubah dengan Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 tentang

    Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi menyebutkan:“Setiap gratifikasi kepada

    pegawai negeri atau penyelenggara negara dianggap pemberian suap, apabila

    berhubungan dengan jabatannya dan yang berlawanan dengan kewajiban atau

    tugasnya.”

    Pemberian hadiah sebagai perbuatan atau tindakkan seseorang yang memberikan

    sesuatu (uang atau benda) kepada orang lain tentu saja hal tersebut diperbolehkan.

    Namun jika pemberian tersebut dengan harapan untuk dapat mempengaruhi

    keputusan atau kebijakan dari pejabat yang diberi hadiah, maka pemberian itu

    tidak hanya sekedar ucapan tanda terima kasih, akan tetapi sebagai suatu usaha

    untuk memperoleh keuntungan dari pejabat atau pemeriksa yang akan

    mempengaruhi integritas, independensi dan objektivitasnya, adalah sebagai suatu

    tindakan yang tidak dibenarkan dan hal ini termasuk dalam pengertian gratifikasi.

    Salah satu bentuk kasus tindak pidana gratifikasi seperti yang terjadi pada Bupati

    Nonaktif Tanggamus Bambang kurniawan, bahwa terdakwa memberikan

    sejumlah uang kepada anggota DPRD Tanggamus untuk meloloskan APBD

    Kabupaten Tanggamus yang total keseluruhan nya mencapai Rp943.000.000

    (sembilan ratus empat puluh tiga juta rupiah). Mereka adalah Agus Munanda,

  • 4

    Herlan Adianto, Baharen, Tahzani As, Ahmad Parid, Diki Fauzi, Nursyahbana,

    Kurnain, Sumiyati, Tri Wahyuningsih, Heri Ermawan, Hailina, Irwandi Suralaga,

    Tedi Kurniawan, Pahlawan Usman, dan Budi Sehantri. Menurut Bambang,

    enambelas orang tersebut yang meminta uang kepada dirinya, masing-masing

    sebanyak Rp. 30.000.000;.

    Bambang Kurniawan di vonis dengan pidana penjara selama 2 (dua) tahun dan

    pidana denda sebesar Rp.250.000.000,- (dua ratus lima puluh juta rupiah) putusan

    ini diadili oleh majelis hakim ketua H. Minanoer Rachman S.H,M.H. Bambang

    Kurniawan Melanggar Pasal 5 ayat (1) huruf b Undang-Undang Nomor 31 Tahun

    1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Undang-Undang

    Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.3 Nomor

    Putusan 14/Pid.Sus-TPK/2017/PN.Tjk. Bahwa perbuatan anggota DPRD

    merupakan penjebakan karena sebelumnya anggota DPRD meminta uang dengan

    cara mengancam atau memeras terdakwa agar terdakwa melakukan tindakan suap

    atau gratifikasi. Penjebakan yang dilakukan anggota DPRD ini terdapat unsur

    masalah politik yang di bawa ke ranah hukum untuk mencapai tujuan tertentu

    yang telah direncanakan dalam persaingan politik yang tidak sehat.

    Contoh kasus lain pemerasan yang terjadi antara Pegawai Pajak yaitu Pargono

    Riyadi dengan Mantan Pembalap Nasional yaitu Asep Hendro, dalam proses

    penyelidikan, KPK menemukan indikasi kuat jika pargono memeras pengusaha

    otomotif Asep dengan mengatakan kalau pembayaran pajak pribadi yang

    3Lampung news media online, http://lampungnews.com/2017/03/ini-kronologis-lengkap-dugaan-

    gratifikasi-bupati-tanggamus/,diakses pada hari selasa 14 Mei 2019, pukul 20.15 WIB.

    http://lampungnews.com/2017/03/ini-kronologis-lengkap-dugaan-gratifikasi-bupati-tanggamus/http://lampungnews.com/2017/03/ini-kronologis-lengkap-dugaan-gratifikasi-bupati-tanggamus/

  • 5

    dilakukan oleh Asep bermasalah. Asep menjadi korban pemerasan oleh pargono,

    penyidik pegawai negeri sipil di Direktorat Jendral Pajak ini melakukan

    penyalahgunaan wewenang dengan memeras wajib pajak yakni Asep. Dalam hal

    ini pargono dijerat dengan Pasal 12 huruf e atau Pasal 23 UU No. 31 Tahun 1999

    jo UU No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo pasal

    421 KUHP. Pasal tersebut mengatur mengenai pemerasan yang dilakukan

    penyelenggara negara.4

    Pemerasaan sendiri di dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana Pasal 368 ayat

    (1) di sebutkan bahwa “barang siapa dengan maksud menguntungkan diri sendiri

    atau orang lain secara melawan hukum, memaksa seorang dengan kekerasan atau

    ancaman kekerasan untuk memberikan barang sesuatu, yang seluruhnya atau

    sebagian adalah kepunyaan orang itu atau orang lain, atau supaya membuat utang

    maupun menghapus kan piutang, diancam karena pemerasan, dengan pidana

    penjara paling lama sembilan tahun.”

    Berdasarkan latar belakang tersebut, maka penulis tertarik untuk mengkaji dan

    meneliti dalam bentuk skripsi yang berjudul “Kajian Terhadap Pemerasan dan

    Gratifikasi dalam Tindak Pidana Korupsi(Studi Putusan Perkara No:14/Pid.Sus-

    Tpk/2017/PN.Tjk).”

    4Detik.com media online, https://m.detik.com/news/berita/d-2218088/kasus-pargono-riyadi-kasus-

    pemerasan-pertama-yang-diusut-kpk,diakses pada hari selasa 14 Mei 2019, pukul 20.24 WIB.

    https://m.detik.com/news/berita/d-2218088/kasus-pargono-riyadi-kasus-pemerasan-pertama-yang-diusut-kpkhttps://m.detik.com/news/berita/d-2218088/kasus-pargono-riyadi-kasus-pemerasan-pertama-yang-diusut-kpk

  • 6

    B. Permasalahan dan Ruang Lingkup

    1. Permasalahan

    Berdasarkan uraian yang dikemukakan pada latar belakang tersebut maka

    permasalahan yang dikaji dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

    a. Apakah Perbedaan antara Tindak Pidana Pemerasan dan Gratifikasi dalam

    Tindak Pidana Korupsi?

    b. Mengapa dalam perkara Putusan Nomor 14/Pid.Sus-Tpk/2017/PN.Tjk

    Penerima Gratifikasi tidak dikenai sanksi dalam Tindak Pidana Korupsi?

    2. Ruang Lingkup

    Ruang lingkup ilmu dalam penelitian ini adalah hukum pidana, khususnya yang

    berkaitan dengan kajian terhadap pemerasan dan gratifikasi dalam tindak pidana

    korupsi dalam perkara nomor 14/Pid.Sus.Tpk/2017/PN/Tjk. Ruang lingkup lokasi

    penelitian adalah Pengadilan Negeri Tanjung Karang dan waktu penelitian

    dilaksanakan pada Tahun 2019.

    C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian

    1. Tujuan Penelitian

    Tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah untuk:

    a. Untuk mengetahui Perbedaan antara Tindak Pidana Pemerasan dengan

    Gratifikasi dalam Tindak Pidana Korupsi.

    b. Untuk mengetahui pidana yang dijatuhkan dalam Putusan Nomor 14/Pid.Sus-

    Tpk/2017/PN.Tjk penerima gratifikasi tidak dikenai sanksi dalam Tindak

    Pidana Korupsi.

  • 7

    3. Kegunaan Penelitian

    Sesuai dengan permasalahan yang akan dibahas, kegunaan penelitian skripsi ini

    adalah:

    a. Secara teoritis, yaitu berguna sebagai sumbangan pemikiran dalam upaya

    pemahaman wawasan di bidang ilmu hukum pidana mengenai Tindak Pidana

    Pemerasan dengan Gratifikasi dalam Tindak Pidana Korupsi.

    b. Kegunaan praktis, yaitu dapat digunakan sebagai bahan masukan kepada para

    praktisi hukum dalam,mencari upaya hukum lebih layak dalam pelaksanaan

    sanksi pidana terhadap pelaku pemerasaan dan gratifikasi dalam tindak pidana

    korupsi.

    D. Kerangka Teoritis dan Konseptual

    1. Kerangka Teoritis

    Kerangka teoritis adalah susunan dari beberapa anggapan, pendapat,

    cara,aturan,asas,keterangan sebagai suatu kesatuan yang logis yang menjadi

    landasan, acuan, dan pedoman untuk mencapai tujuan dalam penelitian atau

    penulisan. Pada umumnya,teori bersumber dari undang-undang, buku atau karya

    tulis bidang ilmu dan laporan penelitian.5Kerangka teoritis adalah konsep-konsep

    yang sebenarnya merupakan abstraksi dari hasil pemikiran atau kerangka acuan

    pada dasarnya bertujuan untuk mengadakan kesimpulan terhadap dimensi-dimensi

    sosial yang dianggap relevan untuk peneliti.6Dalam penelitian ini, kerangka

    teoritis yang digunakan adalah :

    5Abdulkadir Muhammad, Hukum dan Penelitian Hukum, Bandung,PT.Citra Aditya Bhakti, 2004,

    hlm.73. 6Seorjono soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, Jakarta: UI Press, 1986, hlm. 125.

  • 8

    a. Teori Pemerasan Dan Gratifikasi

    Pemerasan berawal dari tindak pidana umum yaitu didalam KUHP Pasal 368 ayat

    (1) di sebutkan bahwa “Barang siapa dengan maksud untuk menguntungkan diri

    sendiri atau orang lain secara melawan hukum,memaksa seseorang dengan

    kekerasan atau ancaman kekerasan untuk memberikan sesuatu barang, yang

    seluruhnya atau sebagian adalah kepunyaan orang itu atau orang lain, atau supaya

    membuat utang atau menghapuskan piutang, diancam karena pemerasan,dengan

    pidana penjara paling lama sembilan tahun.” Namun seiring berjalannya waktu

    pemerasaan ini masuk ke dalam tindak pidana khusus berdasarkan Pasal 12 huruf

    E Undang-Undang No.31 Tahun 1999 junctoUndang-Undang No.20 Tahun 2001

    Pemerasan adalah tindakan atau perbuatan yang dilakukan oleh pegawai negeri

    atau penyelenggara negara yang dengan maksud menguntungkan diri sendiri atau

    orang lain secara melawan hukum, atau dengan meyalahgunakan kekuasaanya

    memaksa seseorang memberikan sesuatu, membayar, atau menerima pembayaran

    dengan potongan, atau untuk mengerjakan sesuatu bagi dirinya sendiri.

    Pemerasaan yang dilakukan dalam pasal ini tentu oleh pejabat publik, dan

    gratifikasi adalah pemberian dalam arti luas, yakni meliputi pemberian biaya

    tambahan (fee),uang,barang,rabat (diskon),komisi pinjaman tanpa bunga,tiket

    perjalanan, fasilitas penginapan,perjalanan wisata, pengobatan cuma-cuma,dan

    fasilitas lainnya. Gratifikasi tersebut baik yang diterima didalam negeri maupun di

    luar negeri dan yang dilakukan dengan menggunakan sarana elektronik atau tanpa

    sarana elektronik.Sebagaimana dimuat dalam pasal 12 huruf B Undang-Undang

    No.31 Tahun 1999 junctoUndang-Undang No.20 Tahun 2001 tentang

    Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

  • 9

    b. Teori Dasar Pertimbangan Hakim

    Hakim dalam mengadili pelaku tindak pidana harus melalui proses pengajian

    kebenaran dan keadilan dalam suatu putusan pengadilan sebagai serangkaian

    proses penegakan hukum, maka dapat dipergunakan teori kebenaran. Dengan

    demikian, putusan pengadilan dituntut untuk memenuhi teori pembuktian, yaitu

    saling berhubungan antara bukti yang satu dengan keterangan saksi yang lain atau

    saling berhubungan antara keterangan saksi dengan alat bukti lain. Artinya

    Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana tersebut kecuali apabila dengan sekurang-

    kurangnya dua alat bukti yang sah, sehingga hakim memperoleh keyakinan bahwa

    suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan terdakwalah yang bersalah

    melakukannya (Pasal 183 KUHAP). Alat bukti yang sah dimaksud adalah: (a).

    Keterangan Saksi; (b). Keterangan Ahli; (c). Surat; (d). Petunjuk; (e). Keterangan

    Terdakwa atau hal yang secara hukum sudah diketahui sehingga tidak perlu

    dibuktikan (Pasal 184 KUHAP).

    Kekuasaan kehakiman merupakan badan yang menentukan dan kekuatan kaidah-

    kaidah hukum positif dalam konkretisasi oleh hakim melalui putusan-putusannya.

    Bagaimanapun baiknya segala peraturan perundang-undangan yang diciptakan

    dalam suatu negara, dalam usaha menjamin keselamatan masyarakat menuju

    kesejahteraan rakyat, peraturan-peraturan tersebut tidak ada artinya, apabila tidak

    ada kekuasaan kehakiman yang bebas yang diwujudkan dalam bentuk peradilan

    yang bebas dan tidak memihak, yaitu sebagai salah satu unsur negara hukum.

    Sebagai pelaksana dari kekuasaan kehakiman adalah hakim, yang mempunyai

    kewenangan dalam peraturan-peraturan perundang-undangan yang berlaku, dan

    hal ini dilakukan oleh hakim melalui putusannya. Fungsi hakim adalah

  • 10

    memberikan putusan terhadap perkara yang diajukan, dimana dalam perkara

    pidana, hal itu tidak terlepas dari sistem pembuktian negatif, yang pada prinsipnya

    menentukan bahwa suatu hak atau peristiwa atau kesalahan dianggap telah

    terbukti, disamping adanya alat-alat bukti menurut Undang-Undang juga

    ditentukan keyakinan hakim yang dilandasi dengan integritas moral yang baik.7

    Kebebasan hakim dalam memeriksa dan mengadili suatu perkara merupakan

    mahkota bagi hakim dan harus tetap dikawal dan dihormati oleh semua pihak

    tanpa kecuali, sehingga tidak ada satu pihak yang dapat menginterpensi hakim

    dalam menjalankan tugasnya. Hakim dalam menjatuhkan putusan harus

    mempertimbangkan banyak hal, baik itu berkaitan dengan perkara yang sedang

    diperiksa, tingkat perbuatan dan kesalahan yang dilakukan pihak korban,

    keluarganya dan keadilan substantif.

    Menurut Sudarto putusan hakin merupakan puncak dari perkara pidana, sehingga

    hakim harus mempertimbangkan aspek-aspek lainnya selain aspek dari aspek

    yuridis, sehingga hakim tersebut lengkap mencermikan nilai-nilai sosiologis,

    filosofis, dan yuridis, sebagai berikut:

    1) Pertimbangan yuridis

    Pertimbangan yuridis maksudnya ialah hakim mendasarkan putusannya pada

    ketentuan peraturan perundang-undangan secara formil. Hakim secara yuridis,

    tidak boleh menjatuhkan pidana tersebut kecuali apabila dengan sekurang-

    kurangnya dua alat bukti yang sah, sehingga hakim memperoleh keyakinan bahwa

    suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan terdakwalah yang bersalah melakukan

    (Pasal 183 KUHAP). Alat bukti yang sah dimaksud adalah: (a). Keterangan Saksi;

    (b). Keterangan Ahli; (c). Surat; (d). Petunjuk; (e). Keterangan Terdakwa atau

    hal yang secara hukum sudah diketahui sehingga tidak perlu dibuktikan (Pasal

    184 KUHAP). Selain itu dipertimbangkan pula bahwa perbuatan terdakwa

    melawan hukum formil dan memenuhi unsur-unsur tindak pidana yang dilakukan.

    7Ahmad Rifai, Penemuan Hukum oleh Hakim dalam Persfektif Hukum Progresif, Jakarta, Sinar

    Grafika, 2010, hlm.103.

  • 11

    2) Pertimbangan filosofis

    Pertimbangan filosofis maksudnya hakim mempertimbangkan bahwa pidana yang

    dijatuhkan kepada terdakwa merupakan upaya untuk memperbaiki perilaku

    terdakwa melalui proses pemidanaan. Hal ini bermakna bahwa filosofis

    pemidanaan adalah pembinaan terhadap pelaku kejahatan sehingga setelah

    terpidana keluar dari lembaga pemasyarakatan, dakan dapat memperbaiki dirinya

    dan tidak melakukan kejahatan lagi.

    3) Pertimbangan sosiologis

    Pertimbangan sosiologis maksudnya hakim dalam menjatuhkan pidana didasarkan

    pada latar belakang sosial terdakwa dan memperhatikan bahwa pidana yang

    dijatuhkan mempunyai manfaat bagi masyarakat.8Menurut Machenzie dalam buku

    Ahmad Rifai, ada beberapa teori atau pendekatan yang dapat dipergunakan oleh

    hakim dalam penjatuhan putusan dalam suatu perkara, yaitu sebagai berikut:

    1) Teori kesimbangan

    Yang dimaksud dengan keseimbangan di sini keseimbangan anatara syarat-syarat

    yang ditentukan Undang-Undang dan kepentingan pihak-pihak yang tersangkut

    atau berkaitan dengan perkara, yaitu antara lain seperti adanya keseimbangan

    yang berkaitan dengan masyarkat dan kepentingan terdakwa.

    2) Teori pendekatan seni dan intuisi

    Penjatuhan putusan oleh hakim merupakan diskresi atau kewenangan dari hakim.

    Sebagai diskresi, dalam penjatuhan putusan hakim menyesuaikan dengan keadaan

    dan pidana yang wajar bagi pelaku tindak pidana, hakim akan melihat keadaan

    pihak terdakwa atau penuntut umum dalam perkara pidana. Pendekatan seni

    dipergunakan oleh hakim dalam penjatuhan putusan, lebih ditentukan oleh instink

    atau intuisi dari pada pengetahuan dari hakim.

    3) Teori pendekatan keilmuan

    Titik tolak dari teori ini adalah pemikiran bahwa proses penjatuhan pidana harus

    dilakukan secara sistematik dan penuh kehati-hatian khususnya dalam keitannya

    dengan putusan-putusan terdahulu dalam rangka menjamin konsitensi dari

    putusan hakim. Pendekatan keilmuan ini merupakan semacam peringatan bahwa

    memutus suatu perkara, tetapi harus dilengkapi dengan ilmu pengetahuan hukum

    dan juga wawasan keilmuan hakim dalam menghadapi suatu perkara yang harus

    diputuskannya.

    4) Teori Pendekatan pengalaman

    Pengalaman dari seorang hakim merupakan hal yang dapat membantunya dalam

    menghadapi perkara-perkara yang dihadapinya sehari-hari, dengan pengalaman

    yang dimilikinya, sesorang hakim dapat mengetahui begaimana damapak dari

    8Sudarto, Kapita Selekta Hukum Pidana, Bandung, Alumni, 1986, hal. 67.

  • 12

    putusan yang dijatuhkan dalam suatu perkara pidana yang berkaitan dengan

    pelaku, korban maupun masyarakat.

    5) Teori Ratio Decidendi

    Teori ini didasarkan pada landasan filsafat yang mendasar, yang

    mempertimbangkan segala aspek yang berkaitan dengan pokok perkara yang

    disengketakan, kemudian mencari peraturan peraturan perundang-undangan yang

    relevan dengan pokok pekara yang disengketakan sebagai dasar hukum dalam

    penjatuhan putusan, serta pertimbangan hakim harus didasarkan pada motivasi

    yang jelas untuk menegakkan hukum dan memberikan keadilan bagi para pihak

    yang berperkara.

    c.Teori Keadilan Substantif

    Keadilan secara umum diartikan sebagai perbuatan atau perlakuan yang adil.

    Sementara adil adalah tidak berat sebelah, tidak memimah dan berpihak kepada

    yang benar. Keadilan menurut kajian filsafat adalah apabila dipenuhi dua prinsip,

    yaitu : pertama tidak merugikan seseorang dan kedua, perlakuan kepada tiap-tiap

    menusia apa yang menjadi haknya. Jika kedua prinsip ini dapat dipenuhi barulah

    itu dikatakan adil.9

    Keadilan substantif dimaknai keadilan yang diberikan sesuai dengan aturan-aturan

    hukum substantif, dengan tanpa melihat kesalahan-kesalahan yang tidak

    berpengaruh pada hak-hak substantif penggugat. Ini berarti bahwa apa yang secara

    formal-prosedural benar bisa saja disalahkan secara materiil dan substantifnya

    melanggar keadilan. Demikian sebaliknya, apa yang secara formal salah bisa saja

    dibenarkan jika materiil dan substantifnya sudah cukup adil (hakim dapat

    menoleransi pelanggaran prosedural asalkan tidak melanggar substansi keadilan).

    Dengan kata lain, keadilan substantif bukan berarti hakim harus selalu

    mengabaikan bunyi undang-undang. Melainkan, dengan keadilan substantif

    9Sudarto, Op Cit, hlm.64.

  • 13

    berarti hakim bisa mengabaikan undang-undang yang tidak memberi rasa

    keadilan, tetapi tetap berpedoman pada formal-prosedural undang-undang yang

    sudah memberi rasa keadilan sekaligus menjalin kepastian hukum.10

    2. Konseptual

    Menurut Soerjono Soekanto, kerangka konseptual adalah suatu kerangka yang

    menggambarkan hubungan antara konsep-konsep khusus yang merupakan

    kesimpulan arti-arti yang berkaitan dengan istilah yang ingin diteliti, baik dalam

    penelitian normative maupun empiris.11

    Sumber konsep adalah undang-undang,

    buku/karyatulis, laporan penelitian, ensiklopedia, kamus dan fakta/peristiwa.

    Konsep ini akan menjelaskan pengertian pokok dari judul,sehingga mempunyai

    batasan yang tepat dalam penafsiran beberapa istilah,hal ini dimaksudkan untuk

    menghindari kesalahpahaman dalam melakukan penelitian.

    Mengenai kerangka konseptual ini penulis menguraikan pengertian-pengertian

    yang berhubungan erat dengan penulisan skripsi ini. uraian ini ditujukan untuk

    memberikan pemahaman yaitu :

    a. Kajian menurut kamus besar bahasa Indonesia adalahmempelajari,memeriksa

    menyelidiki dan menelaah. Dan suatu kata yang perlu ditelaah lebih jauh lagi

    maknanya karena tidak bisa langsung di pahami oleh semua orang. Artinya

    memikirkan sesuatu lebih lanjut yang diharapkan dapat menciptakan suatu

    kesimpulan yang selanjutnya mengarah untuk melakukan suatu perbuatan.12

    b. Pemerasan dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Pasal 368 ayat (1)

    yaitu “Barang siapa dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau

    10

    Ibid hlm. 66. 11

    Soerjono Soekanto, Op.cit. hlm. 124. 12

    Tim Penyusun Kamus Besar Bahasa Indonesia, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta, Balai

    Pustaka, 1990, hlm. 32.

  • 14

    orang lain secara melawan hukum,memaksa seseorang dengan kekerasan atau

    ancaman kekerasan untuk memberikan sesuatu barang, yang seluruhnya atau

    sebagian adalah kepunyaan orang itu atau orang lain, atau supaya membuat

    utang atau menghapuskan piutang, diancam karena pemerasan,dengan pidana

    penjara paling lama sembilan tahun.13

    c. Gratifikasi adalah pemberian dalam arti luas, yakni meliputi pemberian biaya

    tambahan (fee),uang,barang,rabat (diskon),komisi pinjaman tanpa bunga,tiket

    perjalanan,fasilitas penginapan,perjalanan wisata, pengobatan cuma-cuma,dan

    fasilitas lainnya. Gratifikasi tersebut baik yang diterima didalam negeri

    maupun di luar negeri dan yang dilakukan dengan menggunakan sarana

    elektronik atau tanpa sarana elektronik.14

    d. Tindak pidana adalah suatu kejadian yang mengandung unsur-unsur perbuatan

    yang dilarang oleh undang-undang, sehingga siapa yang menimbulkan

    peristiwa itu dapat dikenai sanksi pidana (hukuman).15

    e. Tindak Pidana Korupsi adalah suatu perbuatan yang dilakukan oleh orang,

    pegawai negeri sipil, penyelenggara Negara yang secara melawan hukum,

    menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya

    karena jabatan atau kedudukan dengan melakukan kegiatan memperkaya diri

    sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan

    negara.16

    13

    Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 Jo Undang-Undang Nomor 73 Tahun 1958 tentang Kitab

    Undang- Undang Hukum Pidana pasal 368 ayat 1. 14

    Wikipedia media online, https://id.m.wikipedia.org/wiki/gratifikasidiakses pada hari Rabu 15

    Mei 2019, pukul 19.40 WIB. 15

    Yulies Tiena Masriani, Pengantar Hukum Indonesia, Jakarta, Sinar Grafika, 2012, hlm. 62. 16

    Undang-Undang 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Pasal 2 ayat 1.

  • 15

    E. Sistematika Penulisan

    Sistematika mempermudah dan memahami penulisan ini secara keseluruhan,

    maka penulisan ini dibagi menjadi 5 (lima) bab dengan sistematika sebagai

    berikut:

    I. PENDAHULUAN

    Bab ini menguraikan tentang latar belakang pemilihan judul yang akan diangkat

    dalam penulisan skripsi. Kemudian permasalahan-permasalahan yang dianggap

    penting disertai pembatasan ruang lingkup penelitian. Selanjutnya juga membuat

    tujuan dan kegunaan penelitian yang dilengkapi dengan kerangka teori dan

    konseptual serta sistematika penulisan.

    II. TINJAUAN PUSTAKA

    Bab ini berisikan tentang pengertian-pengertian dari istilah sebagai latar belakang

    pembuktian masalah dan dasar hukum dalam membahasa hasil penelitian yang

    terdiri dari pengertian pemerasan dan gratifikasi,Jenis-jenis gratifikasi,dalam

    tindak pidana korupsi.

    III. METODE PENELITIAN

    Bab ini menguraikan tentang metode yang akan digunakan dalam penelitian

    berupa langkah-langkah yang akan digunakan dalam melakukan pendekatan

    masalah, penguraian tentang sumber data dan jenis data, serta prosedur analisis

    data yang telah didapat.

  • 16

    IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAH

    Pada bab ini merupakan peenjelasan dan pembahasan dari permasalahan yang ada

    yaitu kajian terhadap pemerasan dan gratifikasi dalam tindak pidana korupsi.

    V. PENUTUP

    Merupakan bab penutup dari penulisan skripsi yang secara singkat berisikan hasil

    pembahasan dari penelitian yang telah dilakukan dan kesimpulan serta saran-saran

    yang berhubungan dengan permasalahan yang dibahas bagi aparat penegak

    hukum terkait.

  • 17

    II. TINJAUAN PUSTAKA

    A. Tinjauan Umum Tindak Pidana

    1. Pengertian Tindak Pidana

    Sebelum mengartikan istilah tindak pidana, kita harus mengetahui dulu arti dari

    pidana itu sendiri. Pidana berasal dari kata straf (Belanda),yang adakalanya

    disebut dengan istilah hukuman. Istilah pidana lebih tepat dari istilah hukuman,

    karena hukum sudah lazim merupakan terjemahan dari recht. Pidana lebih tepat

    didefinisikan sebagai suatu penderitaan yang sengaja dijatuhkan oleh negara pada

    seorang atau beberapa orang sebagai akibat hukum (sanksi) baginya atas

    perbuatannya yang telah melanggar hukum pidana.17

    Tindak Pidana menurut Yulies Tiena Masriani adalah suatu kejadian yang

    mengandung unsur-unsur perbuatan yang dilarang oleh undang-undang, sehingga

    siapa yang menimbulkan peristiwa itu dapat dikenaikan sanksi pidana (hukum).18

    CST Kansil merumuskan tindak pidana adalah sebagai berikut:

    a. Perbuatan manusia (handeling).

    Perbuatan yang dimaksud bukan hanya “melakukan” (eendoen) akan tetapi

    termasuk juga “tidak melakukan” (nietdoen).

    17

    Adami Chazawi, Pelajaran Hukum Pidana Bagian I, Jakarta, PT Raja Grafindo Persada, 2007,

    hlm. 24. 18

    Yulies Tiena Masriani,Op.Cit. hlm. 62.

  • 18

    b. Perbuatan manusia tersebut harus melawan hukum (wederrechtelijk).

    c. Perbuatan tersebut diancam (strafbaargesteld) oleh undang-undang.

    d. Harus dilakukan oleh seseorang yang mampu bertanggungjawab

    (toerekeningsvatbaar).

    e. Perbuatan itu harus terjadi karena kesalahan (schuld) si pelaku. Kesalahan

    dapat berupa kesengjaan (dolus) ataupun ketidak sengajaan/kelalaian

    (culpa).19

    Masalah pokok yang berhubungan dengan hukum pidana adalah membicarakan

    tiga hal,yaitu :

    1. Perbuatan yang dilarang;

    2. Orang yang melakukan perbuatan yang dilarang itu;

    3. Pidana yang diancamkan terhadap pelanggar itu.

    Untuk menghindari berbagai istilah dan pengertian tindak pidana maka dalam

    tulisan ini digunakan istilah tindak pidana dengan mengutip pengertian dari

    rumusan yang ditetapkan oleh Tim Pengkaji Hukum Pidana Nasional yaitu

    “Tindak Pidana ialah perbuatan melakukan atau tidak melakukan sesuatu yang

    oleh peraturan perundang-undangan dinyatakan sebagai perbuatan yang dilarang

    dan diancam dengan pidana”.20

    Pemberian definisi mengenai pengertian tindak pidana oleh pakar hukum terbagi

    dalam dua pandangan/aliran yang saling bertolak belakang, yaitu :

    a. Pandangan/Aliran Monistis

    19

    Syahrul Machmud, Penegakan Hukum dan Perlindungan Hukum bagi dokter yang diduga

    melakukan malpraktek, Bandung, CV. Karya Putra Darwati, 2012, hlm. 304. 20

    M. Hamdan, Tindak Pidana Pencemaran Lingkungan Hidup, Bandung, Mandar Maju, 2000,

    hlm.35.

  • 19

    Yaitu pandangan/aliran yang tidak memisahkan antara pengertian perbuatan

    pidana dengan pertanggung jawaban pidana.

    b. Pandangan/Aliran dualistis

    Yaitu pandangan/aliran yang memisahkan antara dilarangnya suatu perbuatan

    pidana (criminal act atau actus reus) dan dapat dipertanggung jawabkan si

    pembuat (criminal responsibility atau mens rea). Dengan kata lain pandangan

    dualistis memisahkan pengertian perbuatan pidana dengan pertanggung jawaban

    pidana.21

    2.Unsur-Unsur Tindak Pidana

    Menurut Simons,seorang penganut Aliran Monistis dalam merumuskan

    pengertian tindak pidana,ia memberikan unsur-unsur tindak pidana sebagai

    berikut:

    1. Perbuatan manusia (positif atau negatif;berbuat atau tidak berbuat);

    2. Diancam dengan pidana;

    3. Melawan hukum;

    4. Dilakukan dengan kesalahan;

    5. Orang yang mampu bertanggung jawab.22

    Menurut Moeljatno,seorang penganut Aliran Dualistis merumuskan unsur-unsur

    perbuatan pidana/tindak pidana sebagai berikut:

    1. Perbuatan (manusia);

    2. Memenuhi rumusan dalam undang-undang(merupakan syarat formil);dan

    3. Bersifat melawan hukum(merupakan syarat materiil).23

    21

    Op.Cit,Tri Andrisman,hlm.71. 22

    Sudarto ,Op.Cit,hlm.40.

  • 20

    Seseorang untuk dapat dipidana,jika orang itu melakukan tindak pidana (yang

    memenuhi unsur-unsur di atas) harus dapat dipertanggung jawabkan pidana ini

    melekat pada orangnya/pelaku tindak pidana. Menurut Moeljatno unsur-unsur

    pertanggung jawaban pidana meliputi kesalahan dan kemampuan bertanggung

    jawab.24

    4. Jenis Tindak Pidana

    a. Kejahatan dan Pelanggaran

    KUHP menempatkan kejahatan di dalam Buku Kedua dan pelanggaran dalam

    buku ketiga,tetapi tidak ada penjelasan mengenai apa yang disebut kejahatan dan

    pelanggaran. Semuanya diserahkan kepada ilmu pengetahuan untuk memberikan

    penjelasan bahwa kejahatan merupakan rechsdelict atau delik hukum dan

    pelanggaran merupakan wetsdelict atau delik undang-undang. Delik hukum

    adalah pelanggaran hukum yang dirasakan melanggar rasa keadilan, sedangkan

    delik undang-undang melanggar apa yang ditentukan oleh undang-undang,disini

    tidak tersangkut sama sekali masalah keadilan.25

    b. Tindak Pidana Formil dan Tindak Pidana Materil

    Tindak pidana formil adalah tindak pidana yang dirumuskan sedemikian rupa

    sehingga memberikan arti bahwa inti larangan yang dirumuskan itu adalah

    melakukan suatu perbuatan tertentu. sebaliknya dalam rumusan tindak pidana

    materiil,inti larangan adalah pada menimbulkan akibat yang dilarang. Oleh karena

    itu, siapa yang menimbulkan akibat yang dilarang itulah yang

    dipertanggungjawabkan dan di pidana.

    23

    Ibid,hlm.43. 24

    Ibid,hlm.44. 25

    Teguh Prasetyo,Hukum Pidana,Jakarta, PT.Raja Grafindo Persada,2012,hlm.58.

  • 21

    c. Tindak Pidana Sengaja dan Tindak Pidana Kelalaian

    Tindak pidana sengaja (doleus delicten) adalah tindak pidana yang dalam

    rumusannya dilakukan dengan kesengajaan atau mengandung unsur kesengajaan.

    Sementara itu tindak pidana culpa (culpose delicten) adalah tindak pidana yang

    dalam rumusannya mengandung unsur culpa. Tindak Pidana culpa adalah tindak

    pidana yang unsur kesalahannya berupa kelalaian,kurang hati-hati,dan tidak

    karena kesengajaan.

    d. Tindak Pidana Aktif (Delik Commisionis) dan Tindak Pidana Pasif ( Delik

    Omisionis)

    Tindak pidana aktif adalah tindak pidana yang perbuatannya berupa perbuatan

    aktif(positif). Perbuatan aktif (disebut juga perbuatan materiil) adalah perbuatan

    yang untuk mewujudkannya diisyaratkan adanya gerakan dari anggota tubuh

    orang yang berbuat. Berbeda dengan tindak pidana pasif,dalam tindak pidana

    pasif ada suatu kondisi dan atau keadaan tertentu yang mewajibkan seseorang

    dibebani kewajiban hukum untuk berbuat tertentu,yang apabila ia tidak

    melakukan(aktif) perbuatan itu,ia telah melanggar kewajiban hukumnya

    tadi.Disini ia telah melakukan tindak pidana pasif. Tindak pidana ini juga dapat

    disebut tindak pidana pengabaian suatu kewajiban hukum.

    e. Tindak Pidana Biasa (Gewone Delicten) dan Tindak Pidana Aduan (Klacht

    Delicten).

    Tindak pidana biasa adalah tindak pidana yang untuk dilakukannya penuntutan

    pidana terhadap pembuatnya tidak diisyaratkan adanya pengaduan dari yang

    berhak. Sementara itu, tindak pidana aduan adalah tindak pidana yang untuk

  • 22

    dapatnya dilakukan penuntutan pidana diisyaratkan untuk terlebih dahulu adanya

    pengajuan oleh yang berhak mengajukan pengaduan.26

    B. Pengertian Dan Dasar Hukum Tindak Pidana Pemerasan

    Kamus Besar Bahasa Indonesia menerjemahkan kata pemerasaan dari kata dasar

    peras yang di tambah dengan akhiran-an. Kata peras sendiri mempunyai arti:

    1. Mengambil untung banyak-banyak dari orang lain

    2. Meminta uang dengan ancaman

    Sedangkan kata pemerasan merupakan perihal atau cara perbuatan memeras.

    Bahasa Belanda,mengartikan pemerasan dengan afpersingyaitu27

    :

    1. Tindak pidana pemerasan

    2. Pemerasan

    Barang siapa dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain

    secara tidak sah,memaksa orang lain dengan kekerasan dan ancaman kekerasan

    supaya orang itu menyerahkan suatu barang yang seluruhnya atau seluruhnya atau

    sebagian saja adalah kepunyaan orang itu atau orang ketiga,atau supaya orang itu

    membuat utang atau menghapuskan suatu piutang,ia pun bersalah melakukan

    tindak pidana seperti yang ada apa Pasal 368 KUHP yang dikualifikasikan sebagai

    “afpersing” atau “pemerasan”.

    26

    Adami chazawi, Pelajaran Hukum Pidana, Jakarta, PT. Raja Grafindo Persada, 2002, hlm.121. 27

    Kamus besar bahasa Indonesia media online, http://www.kamus-besar-

    bahasaindonesia/online/kamus/gratis.php?hasil diakses pada hari Rabu 15 Mei 2019, pukul 18.47

    WIB.

    http://www.kamus-besar-bahasain/http://www.kamus-besar-bahasain/

  • 23

    3. Dimuat dalam pasal 368 KUHP.

    Pemerasan adalah suatu perbuatan yang dilakukan oleh orang atau lembaga

    dengan melakukan perbuatan yang menakut-nakuti dengan suatu harapan agar

    yang diperas menjadi takut dan menyerahkan sejumlah sesuatu yang diminta oleh

    yang melakukan pemerasan,jadi ada unsur takut dan terpaksa dari yang diperas.

    Unsur-Unsur Tindak Pidana Pemerasan :

    a. Unsur-unsur dalam ketentuan ayat (1) Pasal 368 KUHP:

    1) Unsur obyektif,yang meliputi unsur-unsur :

    a) Memaksa

    b) Orang lain

    c) Dengan kekerasan atau ancaman kekerasan

    d) Untuk memberikan atau menyerahkan sesuatu barang (yang seluruhnya

    atau sebagian kepunyaan orang lain)

    e) Supaya memberi hutang

    f) Untuk menghapus piutang

    2) Unsur subyektif, yang meliputi unsur-unsur :

    a) Dengan maksud

    b) Untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain

    b. Beberapa unsur yang dimaksud adalah sebagai berikut :

    1) Unsur “memaksa”. dengan istilah “memaksa” dimaksudkan adalah melakukan

    tekanan pada orang, sehingga orang itu melakukan sesuatu yang berlawanan

    dengan kehendaknya sendiri.

  • 24

    2) Unsur “untuk memberikan atau menyerahkan sesuatu barang”. Berkaitan

    dengan unsur itu, persoalan yang muncul adalah kapan dikatakan ada

    penyerahan suatu barang, penyerahan suatu barang dianggap telah ada apabila

    barang yang diminta oleh pemeras tersebut telah dilepaskan dari kekuasaan

    orang yang diperas, tanpa melihat apakah barang tersebut sudah benar-benar

    dikuasai oleh orang yang memeras atau belum. Pemerasaan dianggap telah

    terjadi, apabila orang yang diperas itu relah menyerahkan barang/benda yang

    dimaksudkan si pemeras sebagai akibat pemerasan terhadap dirinya.

    Penyerahan barang tersebut tidak harus dilakukan sendiri oleh orang yang

    diperas kepada pemeras. Penyerahan barang tersebut dapat saja terjadi dan

    dilakukan oleh orang lain selain dari yang orang yang di peras.

    3) Unsur “ supaya memberi hutang”. Berkaitan dengan pengertian “memberi

    hutang” dalam rumusan pasal ini perlu kiranya mendapatkan pemahaman

    yang benar.memberi hutang disini mempunyai pengertian, bahwa si pemeras

    memaksa orang yang di peras untuk membuat suatu perikatan atau suatu

    perjanjian yang menyebabkan orang yang di peras harus membayar sejumlah

    uang tertentu. Jadi, yang di maksud dengan memberi hutang dalam hal ini

    bukanlah berarti dimaksudkan untuk mendapatkan uang (pinjaman) dari orang

    yang diperas, tetapi untuk membuat suatu perikatan yang berakibat timbulnya

    kewajiban bagi orang yang di peras untuk membayar sejumlah uang kepada

    pemeras atau orang lain yang dikehendaki.

    4) Unsur “untuk menghapus hutang”. Dengan menghapusnya piutang yang

    dimaksudkan adalah menghapus atau meniadakan perikatan yang sudah ada

  • 25

    dari orang yang diperas kepada pemeras atau orang tertentu yang dikehendaki

    pemeras.

    5) Unsur “untuk menguntungkan disi sendiri atau orang lain”. Yang dimaksud

    dengan “menguntungkan diri sendiri atau orang lain” adalah menambah baik

    bagi dirinya sendiri maupun bagi orang lain dari kekayaan semula. Menambah

    kekayaan disini tidak perlu benar-benar telah terjadi, tetapi cukup apabila

    dibuktikan, bahwa maksud pelaku adalah untuk menguntungkan diri sendiri

    atau orang lain.

    Dalam tindak pidana pemerasan atau pungutan liar juga dapat dikategorikan

    sebagai tindakan korupsi, suap, gratifikasi bahkan pemerasan. Hal ini dikarenakan

    setiap tindakan pungutan yang dilakukan selalu dibarengi dengan adanya

    kekerasan dan ancaman kekerasan yang dilakukan oleh penyelenggara negara atau

    perorangan. Pemerasan yang termasuk dalam tindak pidana korupsi adalah

    pemerasan yang dilakukan oleh pegawai negeri atau penyelenggara negara.

    Ketentuan dalam UUPTPK yangmengandung unsur pemerasan terdapat dalam

    Pasal 12 huruf e, Pasal 12 huruf f, dan Pasal 12 huruf g, Undang-Undang No. 20

    Tahun 2001berbunyi:

    “Dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat

    4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan pidana denda paling

    sedikit Rp. 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp.

    1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah)” terhadap:

  • 26

    a. Huruf e : Pegawai negeri atau penyelenggara negara yang dengan maksud

    menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum, atau

    dengan menyalahgunakan kekuasaanya memaksa seseorang memberikan

    sesuatu, membayar, atau untuk mengerjakan sesuatu bagi dirinya sendiri;

    b. Huruf f : Pegawai negeri atau penyelenggara negara yang pada waktu

    menjalankan tugas, meminta, menerima, atau memotong pembayaran kepada

    pegawai negeri atau penyelenggara negara yang lain atau kepada kas umum,

    seolah-olah pegawai negeri atau penyelenggara negara yang lain atau kas

    umum tersebut mempunyai utang kepadanya, padahal diketahui bahwa hal

    tersebut bukan merupakan utang;

    c. Huruf g : pegawai negeri atau penyelenggara negara yang pada waktu

    menjalankan tugas, meminta atau menerima pekerjaan, atau penyerahan

    barang, seolah-olah merupakan utang kepada dirinya, padahal diketahui

    bahwa hal tersebut bukan merupakan utang.

    Rumusan tindak pidana korupsi yang terdapat dalam Pasal 12 huruf e, Pasal 12

    huruf f, dan Pasal 12 huruf g, Undang-Undang No. 20 Tahun 2001, merupakan

    hasil adopsi dan harmonisasi dari Pasal 419, Pasal 420, Pasal 423, Pasal 425, dan

    Pasal 435 KUHP yang merupakan beberapa tipe kejahatan dalam jabatan diatur

    dalam Bab XXVIII tentang kejahatan jabatan. Kemudian diadopsi dan

    diharmonisasi dalam Pasal 1 angka (1) huruf c UU No. 3 Tahun 1971, kemudian

    diadopsi dan diharmonisasi dalam Pasal 12 UU No. 30 Tahun 1999, dan terakhir

    dalam Pasal 12 UU No. 20 Tahun 2001 juga ditentukan Pasal tersebut. Tipe-tipe

    tindak pidana korupsi sebagaimana dijelaskan diatas, termasuk dalam kategori

    tindak pidana korupsi karena pemerasan.

  • 27

    C. Pengertian Dan Dasar Hukum Tindak Pidana Korupsi

    Tindak pidana korupsi merupakan tindak pidana khusus yang pengaturannya

    diluar KUHP, Tindak Pidana Korupsi adalah suatu tindak pidana yang dengan

    penyuapan manipulasi dan perbuatan-perbuatan melawan hukum yang merugikan

    atau dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, merugikan

    kesejahteraan atau kepentingan rakyat atau umum. Perbuatan yang merugikan

    keuangan atau perekonomian negara adalah korupsi dibidang materil, sedangkan

    korupsi dibidang politik dapat terwujud berupa memanipulasi pemungutan suara

    dengan cara penyuapan, intimidasi paksaan dan atau campur tangan yang

    mempengaruhi kebebasan memilih komersiliasi pemungutan suara pada lembaha

    legislatif atau pada keputusan yang bersifat administratif dibidang pelaksanaaan

    pemerintah.

    Tindak Pidana Korupsi pada umumnya memuat efektivitas yang merupakan

    manifestasi dari perbuatan korupsi dalam arti luas mempergunakan kekuasaan

    atau pengaruh yang melekat pada seseorang pegawai negeri atau istimewa yang

    dipunyai seseorang didalam jabatan umum yang patut atau menguntungkan diri

    sendiri maupun orang yang menyuap sehingga dikualifikasikan sebagai tindak

    pidana korupsi dengan segala akibat hukumnya yang berhubungan dengan hukum

    pidana.

    Korupsi berasal dari bahasa latin “corruptio” atau “corruptus”, yang kemudian di

    adopsi oleh banyak bahasa di eropa, misalnya di inggris dan Perancis

    “corruption” serta Belanda “Corruptie” dan selanjutnya dipakai pula dalam

  • 28

    bahasa Indonesia “Korupsi”.28

    Dalam ensiklopedia Indonesia disebut dalam

    “korupsi” (dari bahasa latin: corruption= penyuap; corruptore= merusak) gejala

    dimana para pejabat, badan-badan negara menyalahgunakan wewenang dengan

    terjadinya penyuapan, pemalsuan, serta ketidak beresan lainnya.

    Adapun arti harfiah arti korupsi dapat berupa: kejahatan, kebusukan, dapat disuap,

    tidak bermoral, kebejatan, dan ketidakjujuran. Dalam undang-undang tindak

    pidana korupsi, yang dimaksud dengan korupsi di dalam Pasal 2 dan 3 disebutkan;

    Pasal 2: “setiap orang secaramelawan hukum melakukan perbuatan memperkaya

    diri sendiri atau orang lainatau korporasi yang dapat merugikan keuangan

    negara dan perekonomiannegara”. Sedangkan Pasal 3 disebutkan “setiap orang

    yang dengan tujuanmenguntungkan diri sendiri, orang lain atau korporasi,

    menyalahgunakankewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya

    karena jabatannya ataukedudukannnya yang dapat merugikan keuangan Negara

    dan perekonomiannegara”.29

    Beberapa batasan tentang korupsi yang diberikan oleh beberapa pakar, antara lain:

    a. H.A. Brasz mendefinisikan korupsi dalam pengertian sosiologis sebagai

    “penggunaan yang korup dari kekuasaan yang dialihkan,atau sebagai pengguna

    secara diam-diam kekuasaan yang dialihkan berdasarkan wewenang yang melekat

    pada kekuasaan itu atau berdasarkan kemampuan formal, dengan merugikan

    tujuan-tujuan kekuasaan asli dan dengan menguntungkan orang luar atas dalil

    menggunakan kekuasaan itu dengan sah”.30

    28

    Tri Andrisman, Tindak Pidana Khusus Diluar KUHP. Universitas Lampung : Bandar Lampung,

    2010, hlm.37. 29

    Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi, Nomor 20 Tahun 2001, lembaran Negara Republik

    Indonesia Tahun 2001. 134. 30

    Mochtar Lubis dan James C.scott, Bunga Rampai Korupsi Cet. Ke-3, LP3ES, Jakarta, 1995

    ,hlm.4.

  • 29

    b.Wertheim yang menggunakan pengertian lebih spesifik, menurutnya seorang

    pejabat dikatakan melakukan tindak pidana korupsi,adalah apabila ia menerima

    hadiah dari seseorang yang bertujuan mempengaruhinya agar mengambil

    keputusan yang menguntungkan kepentingan si pemberi hadiah. Pengertian ini

    juga mencakup perbuatan menawarkan hadiah,atau bentuk balas jasa yang lain.

    Pemerasan berupa meminta hadiah atau balas jasa karena sesuatu tugas yang

    merupakan kewajiban telah dilaksanakan seseorang juga dikelompokan oleh

    Wertheim sebagai perbuatan korupsi.31

    Disamping itu, masih termasuk ke dalam

    pengertian korupsi adalah penggunaan uang negara yang berada di bawah

    pengawasan pejabat-pejabat pemerintahan untuk kepentingan pribadi yang

    bersangkutan. dalam hal yang terakhir ini, para pejabat pemerintah dianggap

    melakukan penggelapan uang negara dan masyarakat.32

    Dari pengertian di atas, korupsi mempunyai cakupan yang sangat luas. Walau

    begitu,korupsi biasanya berkenaan dengan perbuatan jahat yang dilakukan oleh

    seseorang yang terkait dengan suatu tugas atau jabatan yang didudukinya. Jabatan

    merupakan kedudukan yang dipercayakan. Seseorang yang sudah diberikan suatu

    jabatan berarti seseorang tersebut dianggap mampu menerima suatu amanat dan

    berkewajiban untuk melaksanakan amanat tersebut. Amanat yang dipercayakan

    kepada seseorang secara umum yang berwujud kewenangan atau kekuasaan untuk

    bertindak.

    Tindak pidana korupsi mempunyai hukum acara khusus yang menyimpang dari

    ketentuan hukum acara pada umumnya. Hukum acara pidana yang diterapkan

    bersifat “lex specialist”yaitu adanya penyimpangan-penyimpangan yang

    dimaksudkan untuk mempercepat prosedur dan memperoleh penyidikan

    penuntutan serta pemeriksaan disidang dalam mendapatkan bukti-bukti. suatu

    perkara pidana korupsi dan penyimpangan tersebut dilakukan bukan berarti bahwa

    hak asasi tersangka/terdakwa dalam tindak pidana korupsi tidak dijamin atau

    31

    Elwi Danil, Korupsi:Konsep,Tindak Pidana dan Pemberantasannya, PT. Raja Grafindo Persada,

    Jakarta, 2014, hlm.5 32

    Op.Cit., hlm. 6.

  • 30

    dilindungi, tetapi diusahakan sedemikian rupa sehingga penyimpangan-

    penyimpangan itu bukan penghapusan seluruhnya yang terpaksa dilakukan untuk

    menyelamatkan hak asasi tersebut dari bahaya yang ditimbulkan oleh tindak

    pidana korupsi.

    Tindak pidana korupsi dipihak lain, sebagai ketentuan umum atau “lex

    generalis”dalam arti bagaimana dalam perkara korupsi sepanjang tidak diatur

    adanya penyimpangan dalam undang-undang tindak pidana korupsi.Yang menjadi

    Dasar Hukum yaitu dalam UU No. 20 Tahun 2001 Perubahan atas UU No. 31

    tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

    Tindak Pidana Korupsi itu dapat dilihat dari dua segi, yaitu korupsi aktif dan

    korupsi pasif, adapun yang dimaksud dengan korupsi aktif adalah sebagai

    berikut:33

    1. Secara melawan hukum memperkaya diri sendiri atau orang lain atau

    korporasi yang dapat merugikan keuangan Negara atau perekonomian Negara

    (Pasal 2 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999)

    2. Dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu

    korporasi menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada

    padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan

    Negara atau perekonomian(Pasal 3 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999)

    3. Memberi hadiah atau janji kepada pegawai negeri dengan mengingat

    kekuasaan atau wewenang yang melekat pada jabatan atau kedudukannya,

    33

    Darwan prinst, Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Bandung. Citra Aditya Bakti. 2002.Hlm.

    2.

  • 31

    atau oleh pemberi hadiah atau janji dianggap melekat pada jabatan atau

    kedudukan tersebut(Pasal 4 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999)

    4. Percobaan, pembantuan, atau pemufakatan jahat untuk melakukan tindak

    pidana korupsi (Pasal 15 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999)

    5. Memberi atau menjanjikan sesuatu kepada Pegawai Negeri atau

    Penyelenggara Negara karena atas berhubungan dengan sesuatu yang

    bertentangan dengan kewajibannya dilakukan atau tidak dilakukan dalam

    jabatannya (Pasal 5 ayat( 1) huruf a Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999)

    6. Memberi sesuatu kepada Pegawai Negeri atau Penyelenggara Negara karena

    atau berhubungan dengan sesuatu yang bertentangan dengan kewajibannya

    dilakukan atau tidak dilakukan dalam jabatannya (Pasal 5 ayat( 1) huruf b

    Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001)

    7. Memberi atau menjanjikan sesuatu kepada Hakim dengan maksud untuk

    mempengaruhi putusan perkara yang diserahkan kepadanya untuk diadili

    (Pasal 6 ayat( 1) huruf a Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001)

    8. Pemborong, ahli bangunan yang pada waktu membuat bangunan, atau penjual

    bahan bangunan yang pada waktu menyerahkan bahan bangunan, melakukan

    perbuatan curang yang dapat membahayakan keamanan orang atau barang,

    atau keselamatan Negara dalam keadaan perang (Pasal 7 ayat( 1) huruf a

    Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001)

    9. Setiap orang yang bertugas mengawasi pembangunan atau penyerahan bahan

    bangunan, sengaja membiarkan perbuatan curang sebagaimana dimaksud

    dalam huruf a (Pasal 7 ayat( 1) huruf b Undang-Undang Nomor 20 Tahun

    2001)

  • 32

    10. Setiap orang yang pada waktu menyerahkan barang keperluan Tentara

    Nasional Indonesia atau Kepolisian Negara Republik Indonesia melakukan

    perbuatan curang dapat membahayakan keselamatan Negara dalam keadaan

    perang (Pasal 7 ayat( 1) huruf c Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001)

    11. Setiap orang yang bertugas mengawasi penyerahan barang keperluan Tentara

    Nasional Indonesia atau Kepolisian Negara Republik Indonesia dengan

    sengaja membiarkan perbuatan curang sebagaimana dimaksud dalam huruf c

    (Pasal 7 ayat( 1) huruf d Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001)

    12. Pegawai Negeri atau orang lain selain Pegawai Negeri yang ditugaskan

    menjalankan suatu jabatan umum secara terus menerus atau untuk sementara

    waktu, dengan sengaja menggelapkan uang atau surat berharga yang disimpan

    karena jabatannya, atau membiarkan surat berharga itu diambil atau

    digelapkan oleh orang lain, atau membantu dalam melakukan perbuatan

    tersebut (Pasal 8 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001)

    13. Pegawai Negeri atau selain Pegawai Negeri yang diberi tugas menjalankan

    suatu jabatan umum secara terus-menerus atau sementara waktu, dengan

    sengaja memalsukan buku-buku atau daftar-daftar yang khusus untuk

    pemeriksaan administrasi (Pasal 9 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001)

    Sedangkan Korupsi pasif adalah sebagai berikut :

    1. Pegawai Negeri atau Penyelenggara Negara yang menerima pemberian atau

    janji karena berbuat atau tidak berbuat sesuatu dalam jabatannya yang

    bertentangan dengan kewajibannya (Pasal 5 ayat (2) Undang-Undang Nomor

    20 Tahun 2001)

  • 33

    2. Hakim atau advokat yang menerima pemberian atau janji untuk

    mempengaruhi putusan perkara yangdiserahkan kepadanya untuk diadili atau

    mempengaruhi nasihat atau pendapat yang diberikan berhubung dengan

    perkara yang diserahkan kepada pengadilan untuk diadili (Pasal 6 ayat (2)

    Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001)

    3. Orang yang menerima penyerahan bahan atau keperluan Tentara Nasional

    Indonesia atau Kepolisian Negara Republik Indonesia yang membiarkan

    perbuatan curang sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf a atau huruf c

    Undang-Undang nomor 20 Tahun 2001 (Pasal 7 ayat (2) Undang-Undang

    Nomor 20 Tahun 2001)

    D. Tinjauan Umum Gratifikasi

    Dalam Kamus besar Bahasa Indonesia mengartikan Gratifikasi dengan uang

    hadiah kepada pegawai diluar gaji yang telah ada. Sedangkan Gratifikasi dalam

    sistem hukum di Indonesia dapat dilihat dalam UU No. 20 Tahun 2001 tentang

    Perubahan UU Nomor 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana

    Korupsi dan penjelasannya mendefinisikan gratifikasi sebagai pemberian dalam

    arti luas, yakni meliputi pemberian biaya tambahan (fee), pemberian uang, barang,

    rabat atau diskon, komisi, pinjaman tanpa bunga, tiket perjalanan, fasilitas

    penginapan, perjalanan wisata, pengobatan cuma-cuma, dan fasilitas lainnya.

    Gratifikasi tersebut baik yang diterima di dalam negeri maupun di luar negeri dan

    yang dilakukan dengan menggunakan sarana elektronik atau tanpa sarana

    elektronik.

  • 34

    Ketentuan minimum batas pemberian gratifikasi belum ada, namun ada usulan

    pemerintah melalui Menkominfo pada tahun 2005 bahwa pemberian dibawah Rp.

    250.000,- supaya tidak dimasukkan ke dalam kelompok gratifikasi. Namun hal ini

    belum diputuskan dan masih dalam wacana diskusi. Dilain pihak masyarakat

    sebagai pelapor dan melaporkan gratifikasi diatas Rp. 250.000,- wajib dilindungi.

    Tindak pidana gratifikasi ada dua pihak yang sama-sama berperan untuk

    mewujudkan tindak pidana gratifikasi tersebut secara sempurna, yaitu pemberi

    dan penerima gratifikasi. Pemberi gratifikasi diatur dalam ketentuan Pasal 5 dan

    penerima diatur dalam Pasal 12B. Namun dengan adanya ketentuan Pasal 12C,

    yaitu ketika penerima gratifikasi melaporkan gratifikasi kepada KPK dalam waktu

    paling lambat 30 hari, maka ketentuan hukum Pasal 12B ayat (1) tidak berlaku.

    Hal ini jika dilihat secara cermat akan menimbulkan ketidakadilan bagi penerima

    dan pemberi gratifikasi. Menurut ketentuan Pasal 5 Jo Pasal 12 huruf A dan huruf

    B Undang-Undang Nomor. 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-

    Undang No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, baik

    pelaku pemberi maupun penerima gratifikasi diancam dengan hukuman pidana.

    a. Ketegori Gratifikasi

    Penerimaan gratifikasi dapat dikategorikan menjadi dua kategori yaitu Gratifikasi

    yang Dianggap Suap dan Gratifikasi yang Tidak Dianggap Suap yaitu:

    1) Gratifikasi yang Dianggap Suap yaitu Gratifikasi yang diterima oleh

    Pegawai Negeri atau Penyelenggara Negara yang berhubungan dengan

    jabatannya dan yang berlawanan dengan kewajiban atau tugasnya,

    sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 B Undang-Undang No. 20

  • 35

    Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang No. 31 Tahun

    1999 tentang Pemberrantasan Tindak Pidana Korupsi.

    2) Gratifikasi yang Tidak Dianggap Suap yaitu Gratifikasi yang diterima

    oleh Pegawai Negeri atau Penyelenggara Negara yang tidak

    berhubungan dengan jabatannya dan tidak yang berlawanan dengan

    kewajiban atau tugasnya, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 B

    Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-

    Undang No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana

    Korupsi. 34

    b. Subyek Gratifikasi

    Berdasarkan Pasal 12 B UU No. 20 Tahun 2001, maka yang menjadi subjek

    tindak pidana gratifikasi adalah:

    1) Pegawai Negeri

    Pengertian Pegawai Negeri menurut Pasal 1 angka 2 UU No. 31 Tahun 1999

    meliputi:

    a. Pegawai negeri sebagaimana undang-undang tentang kepegawaian

    b. Pegawai negeri sebagaimana dimaksud dalam kitab Undang-Undang Hukum

    Pidana

    c. Orang yang menerima gaji atau upah dari keuangan Negara atau Daerah

    d. Orang yang menerima gaji atau upah dari suatu korporasi yang menerima

    bantuan keungan negara atau daerah, atau

    34

    Buku Saku KPK, Memahami Gratifikasi, Cetakan Pertama Jakarta, 2010, hlm.5.

  • 36

    e. Orang yang menerima gaji atau upah dari korporasi lain yang mempergunakan

    modal atau fasilitas dari negara atau masyarakat

    2) Penyelenggara Negara

    Pasal 1 angka (1) Undang-Undang No 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggara

    Negara yang bersih dan bebas dari korupsi, kolusi dan nepotisme, yang dimaksud

    dengan Penyelenggara negar negara adalah pejabat negara yang menjalankan

    fungsi eksekutif, legislatif, atau yudikatif dan pejabat lain yang fungsi dan tugas

    pokoknya berkaitan dengan penyelenggara negara sesuai dengan ketentuan

    peraturan perundang-undangan yang berlaku.

    Dalam hal ini penyelenggara negara meliputi:

    a.Pejabat Negara pada Lembaga tertinggi Negara

    b. Pejabat Negara pada Lembaga Tinggi Negara

    c. Menteri

    d. Gubernur

    e. Hakim

    f. Pejabat Negara yang lain sesuai dengan ketentuan peraturanperundang-

    undangan yang berlaku.

    c. Objek Gratifikasi

    Dilihat dari penjelasan Pasal 12 B Undang-Undang No.20 Tahun 2001, maka

    disebutkan objek gratifikasi adalah pemberian uang, barang, rabat (diskon),

    komisi, pinjaman tanpa bunga, tiket perjalanan, fasilitas penginapan, perjalanan

    wisata, pengobatan cuma-cuma, dan fasilitas lainnya. Gratifikasi tersebut baik

  • 37

    yang diterima di dalam maupun di luar negeri dari yang dilakukan dengan

    menggunakan sarana elektorik atau tanpa elektronik.35

    d.Tata Cara Pelaporan Gratifikasi

    Tata cara pelaporan gratifikasi diatur dalam Pasal 16 Undang-Undang No.30

    Tahun 1999 Tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Setiap

    pengawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima gratifikasi wajib

    melaporkan kepada Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, dengan tata

    cara sebagai berikut:

    1) Laporan disampaikan secara tertulis dengan mengisi formulirsebagaimana

    ditetapkan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi denganmelampirkan

    dokumen yang berkaitan dengan gratifikasi.

    2) Formulir sebagaimana dimaksud pada angka 1 diatas sekurang-kurangnya

    memuat:

    a. nama dan alamat lengkap penerima dan pemberi gratifikasi

    b. jabatan pegawai negeri atau penyelenggara negara

    c. tempat dan waktu penerima gratifikasi

    d. uraian jenis gratifikasi yang diterima, dan

    e. nilai gratifikasi yang diterima.36

    e.Penentuan status gratifikasi

    Penentuan mengenai status gratifikasi diatur dalam Pasal 17 ayat (1) sampai (6)

    dan Pasal 18 Undang-Undang No.30 Tahun 2002, sebagai berikut:

    35

    Ermansjah Djaja, 2010, Pengadilan Tindak Pidana Korupsi, Balikpapan: Sinar Grafika,

    hlm.142. 36

    Ibid.,hlm.143.

  • 38

    1) Komisi Pemberantasan Korupsi dalam waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari

    kerja terhitung sejak tanggal laporan diterima wajib menetapkan status

    kepemilikam disertai pertimbangan.

    2) Dalam menetapkan status kepemilikan gratifikasi, komisi pemberantasan

    korupsi dapat memanggil penerima gratifikasi untuk memberikan keterangan

    berkaitan dengan penerimaan gratifikasi.

    3) Status kepemilikan gratifikasi ditetapkan dengan keputusan pimpinan komisi

    pemberantasan korupsi.

    4) Keputusan pimpinan pemberantasan korupsi dapat berupa penetapan

    status kepemilikan gratifikasi bagi penerima gratifikasi atau menjadi milik

    negara.

    5) Komisi pemberantasan korupsi wajib menyerahkan keputusan status

    kepemilikan kepada penerima gratifikasi paling lama 7 (tujuh) hari

    kerja terhitung sejak tanggal ditetapkan.

    6) Menyerahkan gratifikasi yang menjadi milik negara kepada menteri

    keuangan, dilakukan paling lama 7 (tujuh) hari kerja terhitung sejak

    tanggal ditetapkan.

    7) Komisi pemberantsan korupsi wajib mengumumkan gratifikasiyang

    ditetapkan menjadi milik negara paling sedikit 1 (satu) kalidalam

    setahundalam berita negara.37

    37

    Ibid, hlm.144.

  • 39

    III. METODE PENELITIAN

    A. Pendekatan Masalah

    Penelitian Hukum adalah suatu penelitian yang mempunyai obyek hukum, baik

    hukum sebagai suatu ilmu atau aturan-aturan yang sifatnya dogmatis maupun

    hukum yang berkaitan dengan prilaku dan kehidupan masyarakat. Menurut

    pendapat Soerjono Soekanto, penelitian hukum merupakan suatu kegiatan ilmiah,

    yang didasarkan pada metode sistematika dan pemikiran tertentu yang bertujuan

    untuk mempelajari satu dan beberapa gejala hukum tertentu dengan cara

    menganalisisnya.38

    1. Pendekatan Yuridis Normatif

    Pendekatan yuridis normatif dimaksudkan untuk mempelajari keadaan hukum,

    yaitu dengan mempelajari,menelaah, peraturan perundang-undangan, teori-teori,

    dan konsep-konsep yang berhubungan dengan penulisan skripsi ini.

    2. Pendekatan Yuridis Empiris

    Pendekatan yang dilakukan dengan mempelajari hukum dalam kenyataan baik

    berupa sikap,penilaian,prilaku, yang berkaitan dengan masalah yang diteliti dan

    yang dilakukan dengan cara melakukan penelitian di lapangan. Pendekatan

    38

    Soerjono Soekanto. 2012. Pengertian Hukum Normatif. Jakarta: PT Raja Grafindo. Hlm.1.

  • 40

    empiris tidak bertolak belakang dari hukum positif tertulis ( perundang-undangan)

    sebagai data sekunder, tetapi dari perilaku nyata sebagai data primer yang

    diperoleh dari lokasi penelitian lapangan(field research).39

    B. Sumber dan Jenis Data

    Pendekatan data adalah informasi atau keterangan yang benar dan nyata yang di

    dapatkan dari kegiatan/hasil pengumpulan data. Sumber data yang digunakan

    dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

    1. Data Primer

    Data primer adalah data yang di dapat dari penelitian lapangan, dengan

    berkomunikasi dengan masyarakat yang menjadi anggota kelompok di lokasi

    tempat penelitian dilakukan, Data primer dalam penulisan skripsi ini di peroleh

    dengan melakukan wawancara dan keterangan-keterangan serta informasi dari

    narasumber secara langsung atau observasi.

    2. Data Sekunder

    Data sekunder adalah data yang diperoleh melalui penelusuran studi kepustakaan.

    Data sekunder diperoleh dengan mempelajari dan mengkaji literatur dan

    perundang-undangan yang terkait dengan penegakan hukum terhadap pelaku

    tindak pidana korupsi.

    Data sekunder dalam penelitian ini terdiri dari:

    a. Bahan hukum primer (perundang-undangan) antara lain:

    1. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 jo Undang-Undang Nomor 27 Tahun

    1999 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).

    39

    Abdulkadir Muhammad,Op.Cit, hlm.54.

  • 41

    2. Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang

    Hukum Acara Pidana (KUHAP).

    3. Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak

    Pidana Korupsi.

    4. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-

    Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana

    Korupsi.

    b. Bahan hukum sekunder yaitu : bahan-bahan yang berhubungan dengan bahan

    hukum primer, seperti Keputusan Hakim.

    c. Bahan hukum tersier, yaitu : buku literatur, hasil karya ilmiah para sarjana,

    website,kamus hukum, keputusan hakim (yurisprudensi),dan artikel dari

    internet yang berkaitan dengan masalah yang di bahas dalam penelitian ini.

    C. Penentuan Narasumber

    Berkaitan dengan permasalahan penelitian, maka data lapangan akan diperoleh

    dari para nara sumber. Narasumber adalah seseorang yang memberikan pendapat

    atas objek yang diteliti.40

    Narasumber ditentukan secara purposive yaitu

    penunjukan langsung narasumber atau secara acak untuk mendapatkan data

    lapangan, dengan anggapan narasumber yang ditunjuk menguasai permasalahan

    dalam penelitian ini.41

    40

    Mukti Fajar dan Yulianto Achmad, Dualisme Penelitian Hukum Normatif dan

    Empiris,Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 2010, hlm.175. 41

    Ibid, hlm.176.

  • 42

    Narasumber pada penelitian ini adalah :

    1. Hakim Pada Pengadilan Negeri Tanjung Karang : 1 (satu) orang

    2. Jaksa Pada Kejaksaan Negeri Bandar Lampung : 1 (satu) orang

    3. Dosen Fakultas Hukum pada Universitas Lampung : 1 (satu) orang+

    Jumlah: 3 (tiga) orang

    D. Prosedur Pengumpulan dan Pengolahan Data

    1. Prosedur Pengumpulan Data

    Prosedur pengumpulan data yang dilakukan dalam penelitian ini menggunakan

    langkah-langkah sebagai berikut:

    a. Studi kepustakaan, yaitu sebuah studi yang dilakukan untuk memperoleh data

    sekunder dengan cara membaca, mengutip bahan-bahan literatur,perundang-

    undangan dan informasi lain yang berhubungan dengan pembahasan dalam

    penelitian ini.

    b. Studi lapangan, yaitu pengumpulan data primer yang dilakukan dengan cara

    mengadakan wawancara kepada narasumber dengan mengajukan pertanyaan-

    pertanyaan yang telah disiapkan untuk mendapatkan keterangan atau jawaban

    yang bebas sehingga data yang diperoleh sesuai dengan yang di harapkan.

  • 43

    2. Prosedur Pengolahan Data

    Data primer dan data sekunder yang telah di proses dan terkumpul baik studi

    kepustakaan ataupun studi lapangan kemudian di proses melalui pengolahan

    dan pengkajian data. Data yang diperoleh diolah melalui proses :

    a. Editing, yaitu proses pemeriksaan kembali data yang diperoleh sehingga

    didapatkan data yang lengkap, jelas dan relevan dengan penelitian sesuai

    dengan yang diharapkan.

    b. Klasifikasi data, yaitu mengelompokkan data yang diperoleh menurut

    kerangka yang telah di tetapkan sesuai dengan jenis dan hubungannya

    dengan masalah penelitian.

    c. Sistematisasi data, yaitu menyusun dan menempatkan data pada tiap-tiap

    pokok bahasan secara sistematis sehingga mempermudah interpretasi data

    dan tercipta keteraturan dalam menjawab permasalahan.

    E. Analisis Data

    Analisis data bertujuan untuk menyederhanakan data ke dalam bentuk yang lebih

    mudah disbaca dan dipahami. Analisis data yang diperoleh dilakukan melalui

    kualitatif. Analisis kualitatif adalah analisis dengan cara deskriptif analisis yaitu

    menguraikan data yang diperoleh dan menghubungkan satu dengan lain agar

    membentuk suatu kalimat yang tersusun secara sistematis,dengakan dalam

    mengambil kesimpulan dan hail analisis tersebut penulis menggunakan metode

    deduktif, yaitu suatu vara berfikir yang dilaksanakan pada fakta-fakta yang

    bersifat umum yang kemudian di tarik kesimpulan yang bersifat khusus.

    Berdasarkan kesimpulan, maka disusun saran.

  • 75

    V. PENUTUP

    A. Simpulan

    Berdasarkan hasil penelitian penulis terhadap putusan Pengadilan Negeri Tanjung

    Karang No.14/Pid.Sus-TPK/2017/PN.Tjk yaitu Kajian Terhadap Pemerasan dan

    Gratifikasi dalam Tindak Pidana Korupsi maka dapat dibuat kesimpulan sebagai

    berikut:

    1. Perbedaan mendasar mengenai tindak pidana pemerasan dan gratifikasi dalam

    tindak pidana korupsi yaitu jika pemerasan adanya permintaan sepihak dari

    pejabat (penerima) yang bersifat memaksa, dan adanya penyalahgunaan

    kekuasaaan. Sedangkan gratifikasi berhubungan dengan jabatan, bersifat

    inventif (adanya tanam budi) dan tidak membutuhkan kesepakatan

    (transaksional).Pemerasan yang terjadi di dalam tindak pidana korupsi pelaku

    utamanya pelaku aktif yang dimaksud dengan pelaku aktif yakni seseorang

    tersebut meminta langsung baik uang maupun berupa barang dalam hal ini

    dengan cara memaksa dengan adanya unsur ancaman kekerasan. Namun

    gratifikasi di dalam tindak pidana korupsi pelaku utamanya pelaku pasif

    karena apabila memenuhi unsur mengetahui dan patut menduga dan tidak

    diperlukan adanya laporan menerima segala sesuatu baik yang tidak ada unsur

  • 76

    meminta sebelumnya tetapi patut di duga memberikan uang maupun

    berupabarang dengan cuma-cuma bahwa mengetahui pemberian tersebut

    berasal dari hasil kejahatan, maka hal ini bisa dikenai sanksi.

    2. Penerima gratifikasi tersebut tidak di kenai sanksi dan pertanggung jawaban

    pidana karena penerima gratifikasi tersebut menurut Jaksa penuntut umum

    sebagai whistle blowerpihak yang mengetahui dan melaporkan suatu tindak

    pidana dalam hal ini ada kemudahan dan keringanan hukuman.namun dasar

    pertimbangan hakim dalam menjatuhkan pidana berdasarkan putusan

    No.14/Pid.Sus-TPK/2017/PN.Tjk, terdakwa Bambang Kurniawan didasarkan

    pada pertimbangan-pertimbangan hakim yang bersifat yuridis dan non yuridis.

    Dalam putusan ini hakim Pengadilan Negeri Tanjung Karang menggunakan

    pertimbangan bersifat yuridis dalam menentukan telah terbukti terdakwa

    melakukan tindak pidana korupsi dan menurut Pasal 184 KUHAP hakim

    meminta alat bukti yang sah berupa keterangan saksi-saksi, keterangan ahli

    dan barang bukti. Terbuktinya semua unsur-unsur delik yang didakwakan

    berdasarkan pembuktian fakta-fakta yang terungkap dipersidangan yang

    didapat dari alat bukti. Pertimbangan non-yuridis dipergunakan untuk

    mempertimbangkan hal-hal yang memberatkan ataupun yang meringankan

    pidana yang dijatuhkan terhadap terdakwa.

    B. Saran

    1. Diharapkan kepada para aparat penegak hukum terutama penuntut umum

    hendaknya mengajukan penerima gratifikasi ke sidang pengadilan, walaupun

    penerima gratifikasi tersebut bersifat pasif, hal ini dikarenakan telah

  • 77

    memenuhi unsur Pasal 12 huruf b Undang-Undang No.20 Tahun 2001 tentang

    Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi

    2. hakim hendaknya bersifat progresif dalam hal penyelesaian perkara gratifikasi

    dengan menggali nilai-nilai keadilan dimasyarakat demi memberikan

    kepastian dan keadilan untuk seluruh pihak berperkara. sehingga keadilan dan

    kebenaran di Kabupaten Tanggamus dapat tercapai dan “hukum” bukan

    hanyadigunakan sebagai alat untuk menguntungkan salah satu pihak.

  • 78

    DAFTAR PUSTAKA

    A. BUKU.

    Andrisman,Tri.2010.Tindak Pidana Khusus Diluar KUHP. Universitas

    Lampung:Bandar Lampung.

    Buku Saku KPK. 2010.