Author
others
View
6
Download
0
Embed Size (px)
KAJIAN TERHADAP PEMERASAN DAN GRATIFIKASI DALAM
TINDAK PIDANA KORUPSI
(Studi Putusan No:14/Pid.Sus-Tpk/2017/PN.Tjk)
(Skripsi)
Oleh:
DWI MURTININGSIH
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS LAMPUNG
BANDAR LAMPUNG
2020
http://www.kvisoft.com/pdf-merger/
ABSTRAK
KAJIAN TERHADAP PEMERASAN DAN GRATIFIKASI DALAM
TINDAK PIDANA KORUPSI
(STUDI PUTUSAN NOMOR: 14/PID.SUS-TPK/2017/PN.TJK)
Oleh :
DWI MURTININGSIH
Tindak pidana korupsi merupakan tindak pidana yang cukup merugikan keuangan
negara dan sulit diungkapkan, sehingga penanggulangan dan pemberantasanya
harus diprioritaskan. Contoh dalam kasus korupsi pemberian gratifikasi putusan
Pengadilan Negeri Tanjung Karang Nomor: 14/PID.SUS-TPK/2017/PN.TJK
dengan terdakwa Bambang Kurniawan selaku Bupati Kabupaten Tanggamus yang
dijatuhkan vonis selama 2 (dua) tahun penjara dengan denda Rp 250.000.000,-
(dua ratus lima puluh juta rupiah). Permasalahan dalam penelitian ini adalah
Apakah Perbedaan antara Tindak Pidana Pemerasan dan Gratifikasi dalam Tindak
Pidana Korupsi dan Mengapa dalam perkara Putusan Nomor 14/Pid.Sus-
Tpk/2017/PN.Tjk Penerima Gratifikasi tidak dikenai sanksi dalam Tindak Pidana
Korupsi.
Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan yuridis
normatif dan yuridis empiris. Metode pengumpulan data diperoleh melalui studi
kepustakaan dan wawancara. Metode penyajian data dilakukan melalui proses
editing, sistematisasi, dan klasifikasi. Metode analisis data yang dipergunakan
adalah metode analisis kualitatif, dan menarik kesimpulan secara deduktif.
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan penulis, maka dapat disimpulkan
perbedaan mendasar mengenai tindak pidana pemerasan dan gratifikasi dalam
tindak pidana korupsi yaitu jika pemerasan adanya permintaan sepihak dari
Pejabat (penerima) dalam kasus ini para anggota DPRD Kabupaten Tanggamus,
yang bersifat memaksa, dan adanya penyalahgunaan kekuasaaan. Sedangkan
gratifikasi berhubungan dengan jabatan, bersifat insentif (adanya tanam budi) dan
tidak membutuhkan kesepakatan (transaksional).
Dwi Murtiningsih Putusan nomor 14/PID.SUS-TPK/2017/PN.TJK menunjukan bahwa putusan yang
di jatuhkan oleh hakim Pengadilan Negeri Tanjung Karang dalam kasus tindak
pidana korupsi tersebut telah sesuai dan hakim mempunyai pertimbangan-
pertimbangan tersendiri, baik itu pertimbangan dalam hal memberatkan maupun
pertimbangan yang meringankan bagi terdakwa. Selain itu hakim meyinggung
mengenai penerima gratifikasi tersebut untuk dimintakan pertanggung jawaban
pidananya, Namun dalam kasus ini penerima gratifikasi tersebut tidak di kenai
sanksi dan pertanggung jawaban pidana karena penerima gratifikasi tersebut
sebagai whistle blower pihak yang mengetahui dan melaporkan suatu tindak
pidana.
Saran dalam penelitian ini, kepada penegak hukum terutama penuntut umum
hendaknya mengajukan penerima gratifikasi ke sidang pengadilan, hal ini
dikarenakan telah memenuhi unsur Pasal 12 huruf b Undang-Undang Tindak
Pidana Korupsi dan hakim hendaknya bersifat progresif dalam hal penyelesaian
perkara gratifikasi dengan menggali nilai-nilai keadilan di masyarakat demi
memberikan kepastian dan keadilan untuk seluruh pihak berperkara. sehingga
keadilan dan kebenaran di Kabupaten Tanggamus dapat tercapai.
Kata kunci: Pemerasan, Gratifikasi, Tindak Pidana Korupsi
KAJIAN TERHADAP PEMERASAN DAN GRATIFIKASI DALAM
TINDAK PIDANA KORUPSI
(Studi Putusan Nomor : 14/Pid.Sus-Tpk/2017/PN.Tjk)
Oleh
Dwi Murtiningsih
Skripsi
Sebagai salah satu syarat untuk mencapai gelar
Sarjana Hukum
Pada
Bagian Hukum Pidana
Fakultas Hukum Universitas Lampung
FAKULTAS HUKUM
UNVERSITAS LAMPUNG
BANDAR LAMPUNG
2020
RIWAYAT HIDUP
Penulis bernama Dwi Murtiningsih, dilahirkan di Natar,
Lampung Selatan pada tanggal 31 Maret 1998, anak kedua
dari dua bersaudara, pasangan bapak Kasijan, S.Pd dan
Ibu Aini Indra, serta satu orang kakak bernama Sekar
Pramudhita, S.H. Penulis menyelesaikan pendidikan
Taman Kanak-kanak (TK) di TK Al-AZHAR 8 Natar
pada tahun 2004. Pendidikan Sekolah Dasar (SD) di SD Negeri 5 Merak Batin
Natar pada tahun 2010, kemudian melanjutkan studi di Sekolah Menengah
Pertama (SMP) di SMP Negeri 1 Natar yang diselesaikan pada tahun 2013 dan
Sekolah Menengah Atas (SMA) di SMA Yayasan Abdi Karya (Yadika) yang
diselesaikan pada tahun 2016.
Penulis diterima dan terdaftar sebagai mahasiswi di Fakultas Hukum Universitas
Lampung melalui jalur Seleksi Nasional Masuk Perguruan Tinggi Negeri
(SNMPTN) pada tahun 2016 dan mengambil minat Hukum Pidana. Tahun 2019
penulis mengikuti kegiatan Kuliah Kerja Nyata (KKN) pada tanggal 3 Januari
2019 yang dilaksanakan di Desa Tugu Papak Kecamatan Semaka, Kabupaten
Tanggamus.
MOTO
“Apabila kamu menetapkan hukum diantara manusia,
hendaklah kamu menetapkannya dengan adil.”
(Qs. An-Nisa’:58)
“Bekerjalah untuk duniamu seakan kamu akan hidup selamanya, dan
beribadalah untuk akhiratmu seakan kamu akan mati besok.”
( Al Hadist)
“Rezeki tidak akan bersahabat dengan kemalasan”
(penulis)
“Kejujuran, Disiplin dan Kerja keras adalah tiga kunci sukses, diibaratkan
sebagai mata uang yang dapat dibelanjakan dinegara manapun, jadikanlah tiga
kunci sukses ini sebagai pegangan untuk meraih kesuksesan hidup.”
(Penulis)
PERSEMBAHAN
Dengan mengucap puji syukur kepada Allah SWT, atas
rahmat dan hidayahnya, maka dengan ketulusan dan
kerendahan hati serta setiap perjuangan dan jeripayah,
aku persembahkan
sebuah karya nan kecil ini kepada :
Bapak dan Ibu yang kusayangi dan juga ku cintai
Terma kasih telah memberikan dukungan,
Cinta kasih sayang serta mengiringi
Dengan Do’a demi keberhasilanku.
Kakakku tersayang, sepupu-sepupuku
Dan seluruh keluarga besarku yang selalu
Mendo’akanku serta memberi bantuan dalam segala hal
untuk menggapai cita-cita.
Sahabat-sahabatku, terimakasih atas kebersamaan
Dan kesetiaannya selama ini.
Almamaterku Universitas Lampung
Yang telah mendewasakan dan membuka pikiranku tentang
dunia ini.
SANWACANA
Alhamdulillahhirobbil’alamin. Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah
SWT, atas berkat rahmat, karunia dan hidayah-Nya penulis dapat menyelesaikan
penulisan skripsi yang berjudul “Kajian Terhadap Pemerasan Dan Gratifikasi
Dalam Tindak Pidana Korupsi (Studi Putusan Nomor No:14/Pid.Sus-
Tpk/2017/PN.Tjk)”.
Penulis sangat menyadari bahwa penulisan skripsi ini dapat diselesaikan berkat
dorongan, bantuan, arahan serta masukan dari berbagai pihak baik secara
langsung maupun tidak langsung. Dalam kesempatan ini penulis mengucapkan
terma kasih kepada:
1. Bapak Prof. Dr. Maroni, S.H., M.H., selaku Dekan Fakultas Hukum
Universitas Lampung.
2. Bapak Eko Rahardjo, S.H., M.H., selaku Ketua Bagian Hukum Pidana
Fakultas Hukum Universitas Lampung.
3. Bapak Prof. Dr. Sunarto DM, S.H., M.H., selaku Dosen Pembimbing I yang
dengan penuh kesabaran meluangkan waktunya membimbing dan
mengarahkan penulisan skripsi ini.
4. Ibu Rini Fathonah, S.H., M.H., selaku Dosen Pembimbing II yang dengan
penuh kesabaran meluangkan waktunya membimbing dan mengarahkan
penulisan skripsi ini.
5. Bapak Gunawan Jatmiko, S.H., M.H., selaku Pembahas I yang telah
memberikan masukan, arahan, dan bantuan dalam penulisan skripsi ini.
6. Ibu Aisyah Muda Cemerlang, S.H., M.H., selaku Pembahas II yang telah
memberikan masukan, arahan, dan bantuan dalam penulisan skripsi ini.
7. Ibu Rohaini, S.H.,M.H.,Ph.D, selaku Dosen Pembimbing akademik selama
penulis menjadi mahasiswi Fakultas Hukum Universitas Lampung.
8. Seluruh Bapak dan Ibu Dosen Pengajar, staf administrasi maupun karyawan/i
di bagian Fakultas Hukum Universitas Lampung, terimakasih atas bantuannya.
9. Kepada Pengadilan Negeri Tanjung Karang, Ibu Gustina Aryani, S.H.,M.H.,
yang memberikan kesempatan pada penulis untuk melakukan penelitian.
10. Kepada Kejaksaan Negeri Bandat Lampung, Bapak Arie S.H. yang
memberikan kesempatan pada penulis untuk melakukan penelitian.
11. Secara khusus penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada kedua orang
tua ku Bapak Kasijan, S.Pd., Ibu Aini Indra dan Kakakku Sekar Pramudhita,
S.H., Hananto Aribowo dan Keponakanku Kirana Adhita Aeyza yang
senantiasa memberikan kasih sayang, dukungan, perhatian, dan selalu
mendo’akan serta mengharapkan keberhasilanku.
12. Keluarga Besar tercinta: Agus Indra, Susanti Mandasari, S.Pd, Fitri
Rosalia,S.P, Erin Nurdiani,A.md, teteh nina, teteh wiwi, teh eka, teh ayu
a’heri, a’ nden, a’ putra, a’ budi, a’ anang, teteh sarah, eci, septi, yang
selalumemberikan nasehat, semangat, dan bantuan materil, moril serta do’a
sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini.
13. Untuk Achmad Junaidi yang dalam penyusunan skripsi ini, selalu memberi
semangat dan motivasi, selalu mengingatkan akan rasa sabar dan kekuatan
do’a itu kunci dari kesuksesan.
14. Sahabat-sahabat terbaik Pantai: Inasa El syavira, Rosmita Aprilia, Sheila
Adelia, terimakasih atas semua keringanan, kebersamaaan selama kuliah, serta
selalu bersedia untuk di repotkan, bantuan kalian sangat besar dan tak
terlupakan.
15. Sahabat-sahabat terbaikku: Shania Yuliana, Fitria Ramadhani, Amelza Revi
Deria, Agis Mutiara, sahabat yang selalu inspiratif dan tetap gokil terima kasih
atas kebersamaan ini.
16. Teman-teman seperjuangan angkatan 2016, bang eday, yuliansyah, bang
anggoro, aldi wiratama,masnia hakim, uli khairani, oci, intan, ayu, eca, oca,
alin, nadya, marlinda, farida, terima kasih telah setia meluangkan waktu untuk
membantu memberikan support kepada penulis sehingga penulis dapat
menyelesaikan skripsi ini. sukses untuk kita semua.
17. Rekan-rekan KKN Desa Tugu Papak, Kecamatan Semaka, Kabupaten
Tanggamus, terima kasih atas pengalaman tak terlupakan selama 40 hari
bersama kalian akan selalu ada, Good Luck untuk kita semua, I am gonna miss
you guys.
18. Almamater tercinta, Universitas Lampung yang telah menghantarkanku
menuju keberhasilan.
19. Semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu yang telah membantu
dalam penyelesaian skripsi ini, terimakasih atas semua bantuan dan
dukungannya.
Semoga Allah SWT memberikan balasan yang terbaik atas segala bantuan yang
telah diberikan. Penulis juga menyadari bahwa dalam penulisan skripsi ini masih
banyak terdapat banyak kekurangan. Untuk itu, kritik dan saran yang bersifat
membangun demi kesempurnaan skripsi ini sangat penulis harapkan. Semoga
hasil skripsi ini dapat memberikan manfaat bagi pihak-pihak yang membutuhkan.
Bandar Lampung, 2019
Penulis
Dwi Murtiningsih
DAFTAR ISI
Halaman
I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah ................................................................ 1
B. Permasalahan dan Ruang Lingkup ................................................ 6
C. Tujuan dan Kegunaan Penulisan ................................................... 6
D. Kerangka Teoritis dan Konseptual ................................................ 7
E. Sistem Penulisan ........................................................................... 15
II. TINJAUAN PUSTAKA
A. Tinjauan Umum Tindak Pidana .................................................... 17
B. Pengertian dan Dasar Hukum Tindak Pidana Pemerasan ............. 22
C. Pengertian dan Dasar Hukum Tindak Pidana Korupsi ................. 27
D. Tinjauan Umum Gratifikasi .......................................................... 33
III. METODE PENELITIAN
A. Pendakatan Masalah ...................................................................... 39
B. Sumber dan Jenis Data .................................................................. 40
C. Penentuan Nara Sumber ................................................................ 41
D. Prosedur Pengumpulan dan Pengolaan Data ................................. 42
E. Analisis Data ................................................................................. 43
IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Perbedaan Pemerasan dan Gratifikasi dalam Tindak Pidana
Korupsi ............................................................................................. 44
B. Penerima Gratifikasi Tidak Dikenai Sanksi Dalam Tindak Pidana
Korupsi Dalam Putusan No. 14/Pis.Sus-TPK/2017/PN.TJK ........... 59
V. PENUTUP
A. Simpulan ........................................................................................... 75
B. Saran ................................................................................................. 76
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
1
I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Pengertian tindak pidana dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP)
dikenal dengan istilah stratbaar feit. Tindak pidana itu sendiri adalah perbuatan
yang dilarang oleh suatu aturan hukum, larangan mana disertai ancaman (sanksi)
yang berupa pidana tertentu bagi barang siapa yang melanggar larangan tersebut.
Tindak pidana merupakan pengertian dasar dalam hukum pidana (yuridis
normatif). Kejahatan atau perbuatan jahat dapat diartikan secara yuridis atau
kriminologi. Kejahatan atau perbuatanjahat dalam arti yuridis normatif adalah
perbuatan seperti yang terwujud in-abstracto dalam peraturan pidana,sedangkan
kejahatan dalam arti kriminologi adalah perbuatan manusia yang menyalahi
norma yang hidup di masyarakat secara konkrit.1
Tindak pidana sendiri semakin hari semakin marak terjadi dan berkembang
semakin cepat dikehidupan masyarakat. hal tersebut tidak lepas dari berbagai
aspek seperti aspek sosial, lingkungan dan aspek lainnya khususnya pada aspek
ekonomi. Salah satu objek tindak pidana yang ada yaitu tindak pidana korupsi.
1 Tri Andrisman, Hukum Pidana, Bandar Lampung :Universitas Lampung, 2011, hlm. 69.
2
Tindak pidana korupsi merupakan tindak pidana yang cukup merugikan keuangan
negara dan sulit diungkapkan, karena para pelakunya menggunakan peralatan
yang canggih serta biasanya dilakukan oleh lebih dari satu orang dalam keadaan
yang terselubung dan terorganisasi.oleh karena itu, kejahatan ini sering disebut
white collar crime atau kejahatan kerah putih, sehingga penanggulangan dan
pemberantasanya harus benar-benar diprioritaskan. Hal inilah yang membuat
korupsi diatur dan termasuk suatu tindak pidana. Tindak pidana korupsi
pelakunya adalah orang-orang yang dipersepsikan oleh masyarakat sebagai orang-
orang terkenal atau cukup terpandang namun merekalah yang membuat
kemiskinan di dalam masyarakat.2 Seperti yang memiliki kewenangan dalam
suatu lembaga atau instansi dan organisasi pemerintahan.
Korupsi tersebut dapat berupa pemberian gratifikasi, pemerasan, penerimaan uang
suap. Uang suap itu tidak hanya dapat memperlancar prosedur administrasi, tetapi
juga berakibat adanya kesengajaan untuk memperlambat proses administrasi agar
dengan demikian dapat menerima uang suap. Gratifikasi diartikan sebagai
pemberian dalam arti luas namun dapat dianggap sebagai suap apabila
berhubungan dengan jabatannya dan yang berlawanan dengan kewajiban dan
tugasnya dalam hal ini pemerintah membentuk Undang-Undang No. 31 Tahun
1999 sebagaimana telah dirubah menjadi Undang-Undang No. 20 Tahun 2001
Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
2Teguh sulista dan Aria Zurnetti, Hukum Pidana:Horizon Baru Pasca Reformasi, PT. Raja
Grafindo Persada, Jakarta, 2011, hlm. 63.
3
Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi mendefinisikan gratifikasi sebagai pemberian dalam arti luas, yakni
meliputi pemberian uang, barang, rabat atau diskon, komisi, pinjaman tanpa
bunga, tiket perjalanan, fasilitas penginapan, perjalanan wisata, pengobatan
Cuma-Cuma, dan fasilitas lainnya. Pasal 12 B Undang-Undang No. 31 Tahun
1999 sebagaimana diubah dengan Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi menyebutkan:“Setiap gratifikasi kepada
pegawai negeri atau penyelenggara negara dianggap pemberian suap, apabila
berhubungan dengan jabatannya dan yang berlawanan dengan kewajiban atau
tugasnya.”
Pemberian hadiah sebagai perbuatan atau tindakkan seseorang yang memberikan
sesuatu (uang atau benda) kepada orang lain tentu saja hal tersebut diperbolehkan.
Namun jika pemberian tersebut dengan harapan untuk dapat mempengaruhi
keputusan atau kebijakan dari pejabat yang diberi hadiah, maka pemberian itu
tidak hanya sekedar ucapan tanda terima kasih, akan tetapi sebagai suatu usaha
untuk memperoleh keuntungan dari pejabat atau pemeriksa yang akan
mempengaruhi integritas, independensi dan objektivitasnya, adalah sebagai suatu
tindakan yang tidak dibenarkan dan hal ini termasuk dalam pengertian gratifikasi.
Salah satu bentuk kasus tindak pidana gratifikasi seperti yang terjadi pada Bupati
Nonaktif Tanggamus Bambang kurniawan, bahwa terdakwa memberikan
sejumlah uang kepada anggota DPRD Tanggamus untuk meloloskan APBD
Kabupaten Tanggamus yang total keseluruhan nya mencapai Rp943.000.000
(sembilan ratus empat puluh tiga juta rupiah). Mereka adalah Agus Munanda,
4
Herlan Adianto, Baharen, Tahzani As, Ahmad Parid, Diki Fauzi, Nursyahbana,
Kurnain, Sumiyati, Tri Wahyuningsih, Heri Ermawan, Hailina, Irwandi Suralaga,
Tedi Kurniawan, Pahlawan Usman, dan Budi Sehantri. Menurut Bambang,
enambelas orang tersebut yang meminta uang kepada dirinya, masing-masing
sebanyak Rp. 30.000.000;.
Bambang Kurniawan di vonis dengan pidana penjara selama 2 (dua) tahun dan
pidana denda sebesar Rp.250.000.000,- (dua ratus lima puluh juta rupiah) putusan
ini diadili oleh majelis hakim ketua H. Minanoer Rachman S.H,M.H. Bambang
Kurniawan Melanggar Pasal 5 ayat (1) huruf b Undang-Undang Nomor 31 Tahun
1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Undang-Undang
Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.3 Nomor
Putusan 14/Pid.Sus-TPK/2017/PN.Tjk. Bahwa perbuatan anggota DPRD
merupakan penjebakan karena sebelumnya anggota DPRD meminta uang dengan
cara mengancam atau memeras terdakwa agar terdakwa melakukan tindakan suap
atau gratifikasi. Penjebakan yang dilakukan anggota DPRD ini terdapat unsur
masalah politik yang di bawa ke ranah hukum untuk mencapai tujuan tertentu
yang telah direncanakan dalam persaingan politik yang tidak sehat.
Contoh kasus lain pemerasan yang terjadi antara Pegawai Pajak yaitu Pargono
Riyadi dengan Mantan Pembalap Nasional yaitu Asep Hendro, dalam proses
penyelidikan, KPK menemukan indikasi kuat jika pargono memeras pengusaha
otomotif Asep dengan mengatakan kalau pembayaran pajak pribadi yang
3Lampung news media online, http://lampungnews.com/2017/03/ini-kronologis-lengkap-dugaan-
gratifikasi-bupati-tanggamus/,diakses pada hari selasa 14 Mei 2019, pukul 20.15 WIB.
http://lampungnews.com/2017/03/ini-kronologis-lengkap-dugaan-gratifikasi-bupati-tanggamus/http://lampungnews.com/2017/03/ini-kronologis-lengkap-dugaan-gratifikasi-bupati-tanggamus/
5
dilakukan oleh Asep bermasalah. Asep menjadi korban pemerasan oleh pargono,
penyidik pegawai negeri sipil di Direktorat Jendral Pajak ini melakukan
penyalahgunaan wewenang dengan memeras wajib pajak yakni Asep. Dalam hal
ini pargono dijerat dengan Pasal 12 huruf e atau Pasal 23 UU No. 31 Tahun 1999
jo UU No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo pasal
421 KUHP. Pasal tersebut mengatur mengenai pemerasan yang dilakukan
penyelenggara negara.4
Pemerasaan sendiri di dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana Pasal 368 ayat
(1) di sebutkan bahwa “barang siapa dengan maksud menguntungkan diri sendiri
atau orang lain secara melawan hukum, memaksa seorang dengan kekerasan atau
ancaman kekerasan untuk memberikan barang sesuatu, yang seluruhnya atau
sebagian adalah kepunyaan orang itu atau orang lain, atau supaya membuat utang
maupun menghapus kan piutang, diancam karena pemerasan, dengan pidana
penjara paling lama sembilan tahun.”
Berdasarkan latar belakang tersebut, maka penulis tertarik untuk mengkaji dan
meneliti dalam bentuk skripsi yang berjudul “Kajian Terhadap Pemerasan dan
Gratifikasi dalam Tindak Pidana Korupsi(Studi Putusan Perkara No:14/Pid.Sus-
Tpk/2017/PN.Tjk).”
4Detik.com media online, https://m.detik.com/news/berita/d-2218088/kasus-pargono-riyadi-kasus-
pemerasan-pertama-yang-diusut-kpk,diakses pada hari selasa 14 Mei 2019, pukul 20.24 WIB.
https://m.detik.com/news/berita/d-2218088/kasus-pargono-riyadi-kasus-pemerasan-pertama-yang-diusut-kpkhttps://m.detik.com/news/berita/d-2218088/kasus-pargono-riyadi-kasus-pemerasan-pertama-yang-diusut-kpk
6
B. Permasalahan dan Ruang Lingkup
1. Permasalahan
Berdasarkan uraian yang dikemukakan pada latar belakang tersebut maka
permasalahan yang dikaji dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
a. Apakah Perbedaan antara Tindak Pidana Pemerasan dan Gratifikasi dalam
Tindak Pidana Korupsi?
b. Mengapa dalam perkara Putusan Nomor 14/Pid.Sus-Tpk/2017/PN.Tjk
Penerima Gratifikasi tidak dikenai sanksi dalam Tindak Pidana Korupsi?
2. Ruang Lingkup
Ruang lingkup ilmu dalam penelitian ini adalah hukum pidana, khususnya yang
berkaitan dengan kajian terhadap pemerasan dan gratifikasi dalam tindak pidana
korupsi dalam perkara nomor 14/Pid.Sus.Tpk/2017/PN/Tjk. Ruang lingkup lokasi
penelitian adalah Pengadilan Negeri Tanjung Karang dan waktu penelitian
dilaksanakan pada Tahun 2019.
C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian
1. Tujuan Penelitian
Tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah untuk:
a. Untuk mengetahui Perbedaan antara Tindak Pidana Pemerasan dengan
Gratifikasi dalam Tindak Pidana Korupsi.
b. Untuk mengetahui pidana yang dijatuhkan dalam Putusan Nomor 14/Pid.Sus-
Tpk/2017/PN.Tjk penerima gratifikasi tidak dikenai sanksi dalam Tindak
Pidana Korupsi.
7
3. Kegunaan Penelitian
Sesuai dengan permasalahan yang akan dibahas, kegunaan penelitian skripsi ini
adalah:
a. Secara teoritis, yaitu berguna sebagai sumbangan pemikiran dalam upaya
pemahaman wawasan di bidang ilmu hukum pidana mengenai Tindak Pidana
Pemerasan dengan Gratifikasi dalam Tindak Pidana Korupsi.
b. Kegunaan praktis, yaitu dapat digunakan sebagai bahan masukan kepada para
praktisi hukum dalam,mencari upaya hukum lebih layak dalam pelaksanaan
sanksi pidana terhadap pelaku pemerasaan dan gratifikasi dalam tindak pidana
korupsi.
D. Kerangka Teoritis dan Konseptual
1. Kerangka Teoritis
Kerangka teoritis adalah susunan dari beberapa anggapan, pendapat,
cara,aturan,asas,keterangan sebagai suatu kesatuan yang logis yang menjadi
landasan, acuan, dan pedoman untuk mencapai tujuan dalam penelitian atau
penulisan. Pada umumnya,teori bersumber dari undang-undang, buku atau karya
tulis bidang ilmu dan laporan penelitian.5Kerangka teoritis adalah konsep-konsep
yang sebenarnya merupakan abstraksi dari hasil pemikiran atau kerangka acuan
pada dasarnya bertujuan untuk mengadakan kesimpulan terhadap dimensi-dimensi
sosial yang dianggap relevan untuk peneliti.6Dalam penelitian ini, kerangka
teoritis yang digunakan adalah :
5Abdulkadir Muhammad, Hukum dan Penelitian Hukum, Bandung,PT.Citra Aditya Bhakti, 2004,
hlm.73. 6Seorjono soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, Jakarta: UI Press, 1986, hlm. 125.
8
a. Teori Pemerasan Dan Gratifikasi
Pemerasan berawal dari tindak pidana umum yaitu didalam KUHP Pasal 368 ayat
(1) di sebutkan bahwa “Barang siapa dengan maksud untuk menguntungkan diri
sendiri atau orang lain secara melawan hukum,memaksa seseorang dengan
kekerasan atau ancaman kekerasan untuk memberikan sesuatu barang, yang
seluruhnya atau sebagian adalah kepunyaan orang itu atau orang lain, atau supaya
membuat utang atau menghapuskan piutang, diancam karena pemerasan,dengan
pidana penjara paling lama sembilan tahun.” Namun seiring berjalannya waktu
pemerasaan ini masuk ke dalam tindak pidana khusus berdasarkan Pasal 12 huruf
E Undang-Undang No.31 Tahun 1999 junctoUndang-Undang No.20 Tahun 2001
Pemerasan adalah tindakan atau perbuatan yang dilakukan oleh pegawai negeri
atau penyelenggara negara yang dengan maksud menguntungkan diri sendiri atau
orang lain secara melawan hukum, atau dengan meyalahgunakan kekuasaanya
memaksa seseorang memberikan sesuatu, membayar, atau menerima pembayaran
dengan potongan, atau untuk mengerjakan sesuatu bagi dirinya sendiri.
Pemerasaan yang dilakukan dalam pasal ini tentu oleh pejabat publik, dan
gratifikasi adalah pemberian dalam arti luas, yakni meliputi pemberian biaya
tambahan (fee),uang,barang,rabat (diskon),komisi pinjaman tanpa bunga,tiket
perjalanan, fasilitas penginapan,perjalanan wisata, pengobatan cuma-cuma,dan
fasilitas lainnya. Gratifikasi tersebut baik yang diterima didalam negeri maupun di
luar negeri dan yang dilakukan dengan menggunakan sarana elektronik atau tanpa
sarana elektronik.Sebagaimana dimuat dalam pasal 12 huruf B Undang-Undang
No.31 Tahun 1999 junctoUndang-Undang No.20 Tahun 2001 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
9
b. Teori Dasar Pertimbangan Hakim
Hakim dalam mengadili pelaku tindak pidana harus melalui proses pengajian
kebenaran dan keadilan dalam suatu putusan pengadilan sebagai serangkaian
proses penegakan hukum, maka dapat dipergunakan teori kebenaran. Dengan
demikian, putusan pengadilan dituntut untuk memenuhi teori pembuktian, yaitu
saling berhubungan antara bukti yang satu dengan keterangan saksi yang lain atau
saling berhubungan antara keterangan saksi dengan alat bukti lain. Artinya
Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana tersebut kecuali apabila dengan sekurang-
kurangnya dua alat bukti yang sah, sehingga hakim memperoleh keyakinan bahwa
suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan terdakwalah yang bersalah
melakukannya (Pasal 183 KUHAP). Alat bukti yang sah dimaksud adalah: (a).
Keterangan Saksi; (b). Keterangan Ahli; (c). Surat; (d). Petunjuk; (e). Keterangan
Terdakwa atau hal yang secara hukum sudah diketahui sehingga tidak perlu
dibuktikan (Pasal 184 KUHAP).
Kekuasaan kehakiman merupakan badan yang menentukan dan kekuatan kaidah-
kaidah hukum positif dalam konkretisasi oleh hakim melalui putusan-putusannya.
Bagaimanapun baiknya segala peraturan perundang-undangan yang diciptakan
dalam suatu negara, dalam usaha menjamin keselamatan masyarakat menuju
kesejahteraan rakyat, peraturan-peraturan tersebut tidak ada artinya, apabila tidak
ada kekuasaan kehakiman yang bebas yang diwujudkan dalam bentuk peradilan
yang bebas dan tidak memihak, yaitu sebagai salah satu unsur negara hukum.
Sebagai pelaksana dari kekuasaan kehakiman adalah hakim, yang mempunyai
kewenangan dalam peraturan-peraturan perundang-undangan yang berlaku, dan
hal ini dilakukan oleh hakim melalui putusannya. Fungsi hakim adalah
10
memberikan putusan terhadap perkara yang diajukan, dimana dalam perkara
pidana, hal itu tidak terlepas dari sistem pembuktian negatif, yang pada prinsipnya
menentukan bahwa suatu hak atau peristiwa atau kesalahan dianggap telah
terbukti, disamping adanya alat-alat bukti menurut Undang-Undang juga
ditentukan keyakinan hakim yang dilandasi dengan integritas moral yang baik.7
Kebebasan hakim dalam memeriksa dan mengadili suatu perkara merupakan
mahkota bagi hakim dan harus tetap dikawal dan dihormati oleh semua pihak
tanpa kecuali, sehingga tidak ada satu pihak yang dapat menginterpensi hakim
dalam menjalankan tugasnya. Hakim dalam menjatuhkan putusan harus
mempertimbangkan banyak hal, baik itu berkaitan dengan perkara yang sedang
diperiksa, tingkat perbuatan dan kesalahan yang dilakukan pihak korban,
keluarganya dan keadilan substantif.
Menurut Sudarto putusan hakin merupakan puncak dari perkara pidana, sehingga
hakim harus mempertimbangkan aspek-aspek lainnya selain aspek dari aspek
yuridis, sehingga hakim tersebut lengkap mencermikan nilai-nilai sosiologis,
filosofis, dan yuridis, sebagai berikut:
1) Pertimbangan yuridis
Pertimbangan yuridis maksudnya ialah hakim mendasarkan putusannya pada
ketentuan peraturan perundang-undangan secara formil. Hakim secara yuridis,
tidak boleh menjatuhkan pidana tersebut kecuali apabila dengan sekurang-
kurangnya dua alat bukti yang sah, sehingga hakim memperoleh keyakinan bahwa
suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan terdakwalah yang bersalah melakukan
(Pasal 183 KUHAP). Alat bukti yang sah dimaksud adalah: (a). Keterangan Saksi;
(b). Keterangan Ahli; (c). Surat; (d). Petunjuk; (e). Keterangan Terdakwa atau
hal yang secara hukum sudah diketahui sehingga tidak perlu dibuktikan (Pasal
184 KUHAP). Selain itu dipertimbangkan pula bahwa perbuatan terdakwa
melawan hukum formil dan memenuhi unsur-unsur tindak pidana yang dilakukan.
7Ahmad Rifai, Penemuan Hukum oleh Hakim dalam Persfektif Hukum Progresif, Jakarta, Sinar
Grafika, 2010, hlm.103.
11
2) Pertimbangan filosofis
Pertimbangan filosofis maksudnya hakim mempertimbangkan bahwa pidana yang
dijatuhkan kepada terdakwa merupakan upaya untuk memperbaiki perilaku
terdakwa melalui proses pemidanaan. Hal ini bermakna bahwa filosofis
pemidanaan adalah pembinaan terhadap pelaku kejahatan sehingga setelah
terpidana keluar dari lembaga pemasyarakatan, dakan dapat memperbaiki dirinya
dan tidak melakukan kejahatan lagi.
3) Pertimbangan sosiologis
Pertimbangan sosiologis maksudnya hakim dalam menjatuhkan pidana didasarkan
pada latar belakang sosial terdakwa dan memperhatikan bahwa pidana yang
dijatuhkan mempunyai manfaat bagi masyarakat.8Menurut Machenzie dalam buku
Ahmad Rifai, ada beberapa teori atau pendekatan yang dapat dipergunakan oleh
hakim dalam penjatuhan putusan dalam suatu perkara, yaitu sebagai berikut:
1) Teori kesimbangan
Yang dimaksud dengan keseimbangan di sini keseimbangan anatara syarat-syarat
yang ditentukan Undang-Undang dan kepentingan pihak-pihak yang tersangkut
atau berkaitan dengan perkara, yaitu antara lain seperti adanya keseimbangan
yang berkaitan dengan masyarkat dan kepentingan terdakwa.
2) Teori pendekatan seni dan intuisi
Penjatuhan putusan oleh hakim merupakan diskresi atau kewenangan dari hakim.
Sebagai diskresi, dalam penjatuhan putusan hakim menyesuaikan dengan keadaan
dan pidana yang wajar bagi pelaku tindak pidana, hakim akan melihat keadaan
pihak terdakwa atau penuntut umum dalam perkara pidana. Pendekatan seni
dipergunakan oleh hakim dalam penjatuhan putusan, lebih ditentukan oleh instink
atau intuisi dari pada pengetahuan dari hakim.
3) Teori pendekatan keilmuan
Titik tolak dari teori ini adalah pemikiran bahwa proses penjatuhan pidana harus
dilakukan secara sistematik dan penuh kehati-hatian khususnya dalam keitannya
dengan putusan-putusan terdahulu dalam rangka menjamin konsitensi dari
putusan hakim. Pendekatan keilmuan ini merupakan semacam peringatan bahwa
memutus suatu perkara, tetapi harus dilengkapi dengan ilmu pengetahuan hukum
dan juga wawasan keilmuan hakim dalam menghadapi suatu perkara yang harus
diputuskannya.
4) Teori Pendekatan pengalaman
Pengalaman dari seorang hakim merupakan hal yang dapat membantunya dalam
menghadapi perkara-perkara yang dihadapinya sehari-hari, dengan pengalaman
yang dimilikinya, sesorang hakim dapat mengetahui begaimana damapak dari
8Sudarto, Kapita Selekta Hukum Pidana, Bandung, Alumni, 1986, hal. 67.
12
putusan yang dijatuhkan dalam suatu perkara pidana yang berkaitan dengan
pelaku, korban maupun masyarakat.
5) Teori Ratio Decidendi
Teori ini didasarkan pada landasan filsafat yang mendasar, yang
mempertimbangkan segala aspek yang berkaitan dengan pokok perkara yang
disengketakan, kemudian mencari peraturan peraturan perundang-undangan yang
relevan dengan pokok pekara yang disengketakan sebagai dasar hukum dalam
penjatuhan putusan, serta pertimbangan hakim harus didasarkan pada motivasi
yang jelas untuk menegakkan hukum dan memberikan keadilan bagi para pihak
yang berperkara.
c.Teori Keadilan Substantif
Keadilan secara umum diartikan sebagai perbuatan atau perlakuan yang adil.
Sementara adil adalah tidak berat sebelah, tidak memimah dan berpihak kepada
yang benar. Keadilan menurut kajian filsafat adalah apabila dipenuhi dua prinsip,
yaitu : pertama tidak merugikan seseorang dan kedua, perlakuan kepada tiap-tiap
menusia apa yang menjadi haknya. Jika kedua prinsip ini dapat dipenuhi barulah
itu dikatakan adil.9
Keadilan substantif dimaknai keadilan yang diberikan sesuai dengan aturan-aturan
hukum substantif, dengan tanpa melihat kesalahan-kesalahan yang tidak
berpengaruh pada hak-hak substantif penggugat. Ini berarti bahwa apa yang secara
formal-prosedural benar bisa saja disalahkan secara materiil dan substantifnya
melanggar keadilan. Demikian sebaliknya, apa yang secara formal salah bisa saja
dibenarkan jika materiil dan substantifnya sudah cukup adil (hakim dapat
menoleransi pelanggaran prosedural asalkan tidak melanggar substansi keadilan).
Dengan kata lain, keadilan substantif bukan berarti hakim harus selalu
mengabaikan bunyi undang-undang. Melainkan, dengan keadilan substantif
9Sudarto, Op Cit, hlm.64.
13
berarti hakim bisa mengabaikan undang-undang yang tidak memberi rasa
keadilan, tetapi tetap berpedoman pada formal-prosedural undang-undang yang
sudah memberi rasa keadilan sekaligus menjalin kepastian hukum.10
2. Konseptual
Menurut Soerjono Soekanto, kerangka konseptual adalah suatu kerangka yang
menggambarkan hubungan antara konsep-konsep khusus yang merupakan
kesimpulan arti-arti yang berkaitan dengan istilah yang ingin diteliti, baik dalam
penelitian normative maupun empiris.11
Sumber konsep adalah undang-undang,
buku/karyatulis, laporan penelitian, ensiklopedia, kamus dan fakta/peristiwa.
Konsep ini akan menjelaskan pengertian pokok dari judul,sehingga mempunyai
batasan yang tepat dalam penafsiran beberapa istilah,hal ini dimaksudkan untuk
menghindari kesalahpahaman dalam melakukan penelitian.
Mengenai kerangka konseptual ini penulis menguraikan pengertian-pengertian
yang berhubungan erat dengan penulisan skripsi ini. uraian ini ditujukan untuk
memberikan pemahaman yaitu :
a. Kajian menurut kamus besar bahasa Indonesia adalahmempelajari,memeriksa
menyelidiki dan menelaah. Dan suatu kata yang perlu ditelaah lebih jauh lagi
maknanya karena tidak bisa langsung di pahami oleh semua orang. Artinya
memikirkan sesuatu lebih lanjut yang diharapkan dapat menciptakan suatu
kesimpulan yang selanjutnya mengarah untuk melakukan suatu perbuatan.12
b. Pemerasan dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Pasal 368 ayat (1)
yaitu “Barang siapa dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau
10
Ibid hlm. 66. 11
Soerjono Soekanto, Op.cit. hlm. 124. 12
Tim Penyusun Kamus Besar Bahasa Indonesia, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta, Balai
Pustaka, 1990, hlm. 32.
14
orang lain secara melawan hukum,memaksa seseorang dengan kekerasan atau
ancaman kekerasan untuk memberikan sesuatu barang, yang seluruhnya atau
sebagian adalah kepunyaan orang itu atau orang lain, atau supaya membuat
utang atau menghapuskan piutang, diancam karena pemerasan,dengan pidana
penjara paling lama sembilan tahun.13
c. Gratifikasi adalah pemberian dalam arti luas, yakni meliputi pemberian biaya
tambahan (fee),uang,barang,rabat (diskon),komisi pinjaman tanpa bunga,tiket
perjalanan,fasilitas penginapan,perjalanan wisata, pengobatan cuma-cuma,dan
fasilitas lainnya. Gratifikasi tersebut baik yang diterima didalam negeri
maupun di luar negeri dan yang dilakukan dengan menggunakan sarana
elektronik atau tanpa sarana elektronik.14
d. Tindak pidana adalah suatu kejadian yang mengandung unsur-unsur perbuatan
yang dilarang oleh undang-undang, sehingga siapa yang menimbulkan
peristiwa itu dapat dikenai sanksi pidana (hukuman).15
e. Tindak Pidana Korupsi adalah suatu perbuatan yang dilakukan oleh orang,
pegawai negeri sipil, penyelenggara Negara yang secara melawan hukum,
menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya
karena jabatan atau kedudukan dengan melakukan kegiatan memperkaya diri
sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan
negara.16
13
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 Jo Undang-Undang Nomor 73 Tahun 1958 tentang Kitab
Undang- Undang Hukum Pidana pasal 368 ayat 1. 14
Wikipedia media online, https://id.m.wikipedia.org/wiki/gratifikasidiakses pada hari Rabu 15
Mei 2019, pukul 19.40 WIB. 15
Yulies Tiena Masriani, Pengantar Hukum Indonesia, Jakarta, Sinar Grafika, 2012, hlm. 62. 16
Undang-Undang 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Pasal 2 ayat 1.
15
E. Sistematika Penulisan
Sistematika mempermudah dan memahami penulisan ini secara keseluruhan,
maka penulisan ini dibagi menjadi 5 (lima) bab dengan sistematika sebagai
berikut:
I. PENDAHULUAN
Bab ini menguraikan tentang latar belakang pemilihan judul yang akan diangkat
dalam penulisan skripsi. Kemudian permasalahan-permasalahan yang dianggap
penting disertai pembatasan ruang lingkup penelitian. Selanjutnya juga membuat
tujuan dan kegunaan penelitian yang dilengkapi dengan kerangka teori dan
konseptual serta sistematika penulisan.
II. TINJAUAN PUSTAKA
Bab ini berisikan tentang pengertian-pengertian dari istilah sebagai latar belakang
pembuktian masalah dan dasar hukum dalam membahasa hasil penelitian yang
terdiri dari pengertian pemerasan dan gratifikasi,Jenis-jenis gratifikasi,dalam
tindak pidana korupsi.
III. METODE PENELITIAN
Bab ini menguraikan tentang metode yang akan digunakan dalam penelitian
berupa langkah-langkah yang akan digunakan dalam melakukan pendekatan
masalah, penguraian tentang sumber data dan jenis data, serta prosedur analisis
data yang telah didapat.
16
IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAH
Pada bab ini merupakan peenjelasan dan pembahasan dari permasalahan yang ada
yaitu kajian terhadap pemerasan dan gratifikasi dalam tindak pidana korupsi.
V. PENUTUP
Merupakan bab penutup dari penulisan skripsi yang secara singkat berisikan hasil
pembahasan dari penelitian yang telah dilakukan dan kesimpulan serta saran-saran
yang berhubungan dengan permasalahan yang dibahas bagi aparat penegak
hukum terkait.
17
II. TINJAUAN PUSTAKA
A. Tinjauan Umum Tindak Pidana
1. Pengertian Tindak Pidana
Sebelum mengartikan istilah tindak pidana, kita harus mengetahui dulu arti dari
pidana itu sendiri. Pidana berasal dari kata straf (Belanda),yang adakalanya
disebut dengan istilah hukuman. Istilah pidana lebih tepat dari istilah hukuman,
karena hukum sudah lazim merupakan terjemahan dari recht. Pidana lebih tepat
didefinisikan sebagai suatu penderitaan yang sengaja dijatuhkan oleh negara pada
seorang atau beberapa orang sebagai akibat hukum (sanksi) baginya atas
perbuatannya yang telah melanggar hukum pidana.17
Tindak Pidana menurut Yulies Tiena Masriani adalah suatu kejadian yang
mengandung unsur-unsur perbuatan yang dilarang oleh undang-undang, sehingga
siapa yang menimbulkan peristiwa itu dapat dikenaikan sanksi pidana (hukum).18
CST Kansil merumuskan tindak pidana adalah sebagai berikut:
a. Perbuatan manusia (handeling).
Perbuatan yang dimaksud bukan hanya “melakukan” (eendoen) akan tetapi
termasuk juga “tidak melakukan” (nietdoen).
17
Adami Chazawi, Pelajaran Hukum Pidana Bagian I, Jakarta, PT Raja Grafindo Persada, 2007,
hlm. 24. 18
Yulies Tiena Masriani,Op.Cit. hlm. 62.
18
b. Perbuatan manusia tersebut harus melawan hukum (wederrechtelijk).
c. Perbuatan tersebut diancam (strafbaargesteld) oleh undang-undang.
d. Harus dilakukan oleh seseorang yang mampu bertanggungjawab
(toerekeningsvatbaar).
e. Perbuatan itu harus terjadi karena kesalahan (schuld) si pelaku. Kesalahan
dapat berupa kesengjaan (dolus) ataupun ketidak sengajaan/kelalaian
(culpa).19
Masalah pokok yang berhubungan dengan hukum pidana adalah membicarakan
tiga hal,yaitu :
1. Perbuatan yang dilarang;
2. Orang yang melakukan perbuatan yang dilarang itu;
3. Pidana yang diancamkan terhadap pelanggar itu.
Untuk menghindari berbagai istilah dan pengertian tindak pidana maka dalam
tulisan ini digunakan istilah tindak pidana dengan mengutip pengertian dari
rumusan yang ditetapkan oleh Tim Pengkaji Hukum Pidana Nasional yaitu
“Tindak Pidana ialah perbuatan melakukan atau tidak melakukan sesuatu yang
oleh peraturan perundang-undangan dinyatakan sebagai perbuatan yang dilarang
dan diancam dengan pidana”.20
Pemberian definisi mengenai pengertian tindak pidana oleh pakar hukum terbagi
dalam dua pandangan/aliran yang saling bertolak belakang, yaitu :
a. Pandangan/Aliran Monistis
19
Syahrul Machmud, Penegakan Hukum dan Perlindungan Hukum bagi dokter yang diduga
melakukan malpraktek, Bandung, CV. Karya Putra Darwati, 2012, hlm. 304. 20
M. Hamdan, Tindak Pidana Pencemaran Lingkungan Hidup, Bandung, Mandar Maju, 2000,
hlm.35.
19
Yaitu pandangan/aliran yang tidak memisahkan antara pengertian perbuatan
pidana dengan pertanggung jawaban pidana.
b. Pandangan/Aliran dualistis
Yaitu pandangan/aliran yang memisahkan antara dilarangnya suatu perbuatan
pidana (criminal act atau actus reus) dan dapat dipertanggung jawabkan si
pembuat (criminal responsibility atau mens rea). Dengan kata lain pandangan
dualistis memisahkan pengertian perbuatan pidana dengan pertanggung jawaban
pidana.21
2.Unsur-Unsur Tindak Pidana
Menurut Simons,seorang penganut Aliran Monistis dalam merumuskan
pengertian tindak pidana,ia memberikan unsur-unsur tindak pidana sebagai
berikut:
1. Perbuatan manusia (positif atau negatif;berbuat atau tidak berbuat);
2. Diancam dengan pidana;
3. Melawan hukum;
4. Dilakukan dengan kesalahan;
5. Orang yang mampu bertanggung jawab.22
Menurut Moeljatno,seorang penganut Aliran Dualistis merumuskan unsur-unsur
perbuatan pidana/tindak pidana sebagai berikut:
1. Perbuatan (manusia);
2. Memenuhi rumusan dalam undang-undang(merupakan syarat formil);dan
3. Bersifat melawan hukum(merupakan syarat materiil).23
21
Op.Cit,Tri Andrisman,hlm.71. 22
Sudarto ,Op.Cit,hlm.40.
20
Seseorang untuk dapat dipidana,jika orang itu melakukan tindak pidana (yang
memenuhi unsur-unsur di atas) harus dapat dipertanggung jawabkan pidana ini
melekat pada orangnya/pelaku tindak pidana. Menurut Moeljatno unsur-unsur
pertanggung jawaban pidana meliputi kesalahan dan kemampuan bertanggung
jawab.24
4. Jenis Tindak Pidana
a. Kejahatan dan Pelanggaran
KUHP menempatkan kejahatan di dalam Buku Kedua dan pelanggaran dalam
buku ketiga,tetapi tidak ada penjelasan mengenai apa yang disebut kejahatan dan
pelanggaran. Semuanya diserahkan kepada ilmu pengetahuan untuk memberikan
penjelasan bahwa kejahatan merupakan rechsdelict atau delik hukum dan
pelanggaran merupakan wetsdelict atau delik undang-undang. Delik hukum
adalah pelanggaran hukum yang dirasakan melanggar rasa keadilan, sedangkan
delik undang-undang melanggar apa yang ditentukan oleh undang-undang,disini
tidak tersangkut sama sekali masalah keadilan.25
b. Tindak Pidana Formil dan Tindak Pidana Materil
Tindak pidana formil adalah tindak pidana yang dirumuskan sedemikian rupa
sehingga memberikan arti bahwa inti larangan yang dirumuskan itu adalah
melakukan suatu perbuatan tertentu. sebaliknya dalam rumusan tindak pidana
materiil,inti larangan adalah pada menimbulkan akibat yang dilarang. Oleh karena
itu, siapa yang menimbulkan akibat yang dilarang itulah yang
dipertanggungjawabkan dan di pidana.
23
Ibid,hlm.43. 24
Ibid,hlm.44. 25
Teguh Prasetyo,Hukum Pidana,Jakarta, PT.Raja Grafindo Persada,2012,hlm.58.
21
c. Tindak Pidana Sengaja dan Tindak Pidana Kelalaian
Tindak pidana sengaja (doleus delicten) adalah tindak pidana yang dalam
rumusannya dilakukan dengan kesengajaan atau mengandung unsur kesengajaan.
Sementara itu tindak pidana culpa (culpose delicten) adalah tindak pidana yang
dalam rumusannya mengandung unsur culpa. Tindak Pidana culpa adalah tindak
pidana yang unsur kesalahannya berupa kelalaian,kurang hati-hati,dan tidak
karena kesengajaan.
d. Tindak Pidana Aktif (Delik Commisionis) dan Tindak Pidana Pasif ( Delik
Omisionis)
Tindak pidana aktif adalah tindak pidana yang perbuatannya berupa perbuatan
aktif(positif). Perbuatan aktif (disebut juga perbuatan materiil) adalah perbuatan
yang untuk mewujudkannya diisyaratkan adanya gerakan dari anggota tubuh
orang yang berbuat. Berbeda dengan tindak pidana pasif,dalam tindak pidana
pasif ada suatu kondisi dan atau keadaan tertentu yang mewajibkan seseorang
dibebani kewajiban hukum untuk berbuat tertentu,yang apabila ia tidak
melakukan(aktif) perbuatan itu,ia telah melanggar kewajiban hukumnya
tadi.Disini ia telah melakukan tindak pidana pasif. Tindak pidana ini juga dapat
disebut tindak pidana pengabaian suatu kewajiban hukum.
e. Tindak Pidana Biasa (Gewone Delicten) dan Tindak Pidana Aduan (Klacht
Delicten).
Tindak pidana biasa adalah tindak pidana yang untuk dilakukannya penuntutan
pidana terhadap pembuatnya tidak diisyaratkan adanya pengaduan dari yang
berhak. Sementara itu, tindak pidana aduan adalah tindak pidana yang untuk
22
dapatnya dilakukan penuntutan pidana diisyaratkan untuk terlebih dahulu adanya
pengajuan oleh yang berhak mengajukan pengaduan.26
B. Pengertian Dan Dasar Hukum Tindak Pidana Pemerasan
Kamus Besar Bahasa Indonesia menerjemahkan kata pemerasaan dari kata dasar
peras yang di tambah dengan akhiran-an. Kata peras sendiri mempunyai arti:
1. Mengambil untung banyak-banyak dari orang lain
2. Meminta uang dengan ancaman
Sedangkan kata pemerasan merupakan perihal atau cara perbuatan memeras.
Bahasa Belanda,mengartikan pemerasan dengan afpersingyaitu27
:
1. Tindak pidana pemerasan
2. Pemerasan
Barang siapa dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain
secara tidak sah,memaksa orang lain dengan kekerasan dan ancaman kekerasan
supaya orang itu menyerahkan suatu barang yang seluruhnya atau seluruhnya atau
sebagian saja adalah kepunyaan orang itu atau orang ketiga,atau supaya orang itu
membuat utang atau menghapuskan suatu piutang,ia pun bersalah melakukan
tindak pidana seperti yang ada apa Pasal 368 KUHP yang dikualifikasikan sebagai
“afpersing” atau “pemerasan”.
26
Adami chazawi, Pelajaran Hukum Pidana, Jakarta, PT. Raja Grafindo Persada, 2002, hlm.121. 27
Kamus besar bahasa Indonesia media online, http://www.kamus-besar-
bahasaindonesia/online/kamus/gratis.php?hasil diakses pada hari Rabu 15 Mei 2019, pukul 18.47
WIB.
http://www.kamus-besar-bahasain/http://www.kamus-besar-bahasain/
23
3. Dimuat dalam pasal 368 KUHP.
Pemerasan adalah suatu perbuatan yang dilakukan oleh orang atau lembaga
dengan melakukan perbuatan yang menakut-nakuti dengan suatu harapan agar
yang diperas menjadi takut dan menyerahkan sejumlah sesuatu yang diminta oleh
yang melakukan pemerasan,jadi ada unsur takut dan terpaksa dari yang diperas.
Unsur-Unsur Tindak Pidana Pemerasan :
a. Unsur-unsur dalam ketentuan ayat (1) Pasal 368 KUHP:
1) Unsur obyektif,yang meliputi unsur-unsur :
a) Memaksa
b) Orang lain
c) Dengan kekerasan atau ancaman kekerasan
d) Untuk memberikan atau menyerahkan sesuatu barang (yang seluruhnya
atau sebagian kepunyaan orang lain)
e) Supaya memberi hutang
f) Untuk menghapus piutang
2) Unsur subyektif, yang meliputi unsur-unsur :
a) Dengan maksud
b) Untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain
b. Beberapa unsur yang dimaksud adalah sebagai berikut :
1) Unsur “memaksa”. dengan istilah “memaksa” dimaksudkan adalah melakukan
tekanan pada orang, sehingga orang itu melakukan sesuatu yang berlawanan
dengan kehendaknya sendiri.
24
2) Unsur “untuk memberikan atau menyerahkan sesuatu barang”. Berkaitan
dengan unsur itu, persoalan yang muncul adalah kapan dikatakan ada
penyerahan suatu barang, penyerahan suatu barang dianggap telah ada apabila
barang yang diminta oleh pemeras tersebut telah dilepaskan dari kekuasaan
orang yang diperas, tanpa melihat apakah barang tersebut sudah benar-benar
dikuasai oleh orang yang memeras atau belum. Pemerasaan dianggap telah
terjadi, apabila orang yang diperas itu relah menyerahkan barang/benda yang
dimaksudkan si pemeras sebagai akibat pemerasan terhadap dirinya.
Penyerahan barang tersebut tidak harus dilakukan sendiri oleh orang yang
diperas kepada pemeras. Penyerahan barang tersebut dapat saja terjadi dan
dilakukan oleh orang lain selain dari yang orang yang di peras.
3) Unsur “ supaya memberi hutang”. Berkaitan dengan pengertian “memberi
hutang” dalam rumusan pasal ini perlu kiranya mendapatkan pemahaman
yang benar.memberi hutang disini mempunyai pengertian, bahwa si pemeras
memaksa orang yang di peras untuk membuat suatu perikatan atau suatu
perjanjian yang menyebabkan orang yang di peras harus membayar sejumlah
uang tertentu. Jadi, yang di maksud dengan memberi hutang dalam hal ini
bukanlah berarti dimaksudkan untuk mendapatkan uang (pinjaman) dari orang
yang diperas, tetapi untuk membuat suatu perikatan yang berakibat timbulnya
kewajiban bagi orang yang di peras untuk membayar sejumlah uang kepada
pemeras atau orang lain yang dikehendaki.
4) Unsur “untuk menghapus hutang”. Dengan menghapusnya piutang yang
dimaksudkan adalah menghapus atau meniadakan perikatan yang sudah ada
25
dari orang yang diperas kepada pemeras atau orang tertentu yang dikehendaki
pemeras.
5) Unsur “untuk menguntungkan disi sendiri atau orang lain”. Yang dimaksud
dengan “menguntungkan diri sendiri atau orang lain” adalah menambah baik
bagi dirinya sendiri maupun bagi orang lain dari kekayaan semula. Menambah
kekayaan disini tidak perlu benar-benar telah terjadi, tetapi cukup apabila
dibuktikan, bahwa maksud pelaku adalah untuk menguntungkan diri sendiri
atau orang lain.
Dalam tindak pidana pemerasan atau pungutan liar juga dapat dikategorikan
sebagai tindakan korupsi, suap, gratifikasi bahkan pemerasan. Hal ini dikarenakan
setiap tindakan pungutan yang dilakukan selalu dibarengi dengan adanya
kekerasan dan ancaman kekerasan yang dilakukan oleh penyelenggara negara atau
perorangan. Pemerasan yang termasuk dalam tindak pidana korupsi adalah
pemerasan yang dilakukan oleh pegawai negeri atau penyelenggara negara.
Ketentuan dalam UUPTPK yangmengandung unsur pemerasan terdapat dalam
Pasal 12 huruf e, Pasal 12 huruf f, dan Pasal 12 huruf g, Undang-Undang No. 20
Tahun 2001berbunyi:
“Dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat
4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan pidana denda paling
sedikit Rp. 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp.
1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah)” terhadap:
26
a. Huruf e : Pegawai negeri atau penyelenggara negara yang dengan maksud
menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum, atau
dengan menyalahgunakan kekuasaanya memaksa seseorang memberikan
sesuatu, membayar, atau untuk mengerjakan sesuatu bagi dirinya sendiri;
b. Huruf f : Pegawai negeri atau penyelenggara negara yang pada waktu
menjalankan tugas, meminta, menerima, atau memotong pembayaran kepada
pegawai negeri atau penyelenggara negara yang lain atau kepada kas umum,
seolah-olah pegawai negeri atau penyelenggara negara yang lain atau kas
umum tersebut mempunyai utang kepadanya, padahal diketahui bahwa hal
tersebut bukan merupakan utang;
c. Huruf g : pegawai negeri atau penyelenggara negara yang pada waktu
menjalankan tugas, meminta atau menerima pekerjaan, atau penyerahan
barang, seolah-olah merupakan utang kepada dirinya, padahal diketahui
bahwa hal tersebut bukan merupakan utang.
Rumusan tindak pidana korupsi yang terdapat dalam Pasal 12 huruf e, Pasal 12
huruf f, dan Pasal 12 huruf g, Undang-Undang No. 20 Tahun 2001, merupakan
hasil adopsi dan harmonisasi dari Pasal 419, Pasal 420, Pasal 423, Pasal 425, dan
Pasal 435 KUHP yang merupakan beberapa tipe kejahatan dalam jabatan diatur
dalam Bab XXVIII tentang kejahatan jabatan. Kemudian diadopsi dan
diharmonisasi dalam Pasal 1 angka (1) huruf c UU No. 3 Tahun 1971, kemudian
diadopsi dan diharmonisasi dalam Pasal 12 UU No. 30 Tahun 1999, dan terakhir
dalam Pasal 12 UU No. 20 Tahun 2001 juga ditentukan Pasal tersebut. Tipe-tipe
tindak pidana korupsi sebagaimana dijelaskan diatas, termasuk dalam kategori
tindak pidana korupsi karena pemerasan.
27
C. Pengertian Dan Dasar Hukum Tindak Pidana Korupsi
Tindak pidana korupsi merupakan tindak pidana khusus yang pengaturannya
diluar KUHP, Tindak Pidana Korupsi adalah suatu tindak pidana yang dengan
penyuapan manipulasi dan perbuatan-perbuatan melawan hukum yang merugikan
atau dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, merugikan
kesejahteraan atau kepentingan rakyat atau umum. Perbuatan yang merugikan
keuangan atau perekonomian negara adalah korupsi dibidang materil, sedangkan
korupsi dibidang politik dapat terwujud berupa memanipulasi pemungutan suara
dengan cara penyuapan, intimidasi paksaan dan atau campur tangan yang
mempengaruhi kebebasan memilih komersiliasi pemungutan suara pada lembaha
legislatif atau pada keputusan yang bersifat administratif dibidang pelaksanaaan
pemerintah.
Tindak Pidana Korupsi pada umumnya memuat efektivitas yang merupakan
manifestasi dari perbuatan korupsi dalam arti luas mempergunakan kekuasaan
atau pengaruh yang melekat pada seseorang pegawai negeri atau istimewa yang
dipunyai seseorang didalam jabatan umum yang patut atau menguntungkan diri
sendiri maupun orang yang menyuap sehingga dikualifikasikan sebagai tindak
pidana korupsi dengan segala akibat hukumnya yang berhubungan dengan hukum
pidana.
Korupsi berasal dari bahasa latin “corruptio” atau “corruptus”, yang kemudian di
adopsi oleh banyak bahasa di eropa, misalnya di inggris dan Perancis
“corruption” serta Belanda “Corruptie” dan selanjutnya dipakai pula dalam
28
bahasa Indonesia “Korupsi”.28
Dalam ensiklopedia Indonesia disebut dalam
“korupsi” (dari bahasa latin: corruption= penyuap; corruptore= merusak) gejala
dimana para pejabat, badan-badan negara menyalahgunakan wewenang dengan
terjadinya penyuapan, pemalsuan, serta ketidak beresan lainnya.
Adapun arti harfiah arti korupsi dapat berupa: kejahatan, kebusukan, dapat disuap,
tidak bermoral, kebejatan, dan ketidakjujuran. Dalam undang-undang tindak
pidana korupsi, yang dimaksud dengan korupsi di dalam Pasal 2 dan 3 disebutkan;
Pasal 2: “setiap orang secaramelawan hukum melakukan perbuatan memperkaya
diri sendiri atau orang lainatau korporasi yang dapat merugikan keuangan
negara dan perekonomiannegara”. Sedangkan Pasal 3 disebutkan “setiap orang
yang dengan tujuanmenguntungkan diri sendiri, orang lain atau korporasi,
menyalahgunakankewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya
karena jabatannya ataukedudukannnya yang dapat merugikan keuangan Negara
dan perekonomiannegara”.29
Beberapa batasan tentang korupsi yang diberikan oleh beberapa pakar, antara lain:
a. H.A. Brasz mendefinisikan korupsi dalam pengertian sosiologis sebagai
“penggunaan yang korup dari kekuasaan yang dialihkan,atau sebagai pengguna
secara diam-diam kekuasaan yang dialihkan berdasarkan wewenang yang melekat
pada kekuasaan itu atau berdasarkan kemampuan formal, dengan merugikan
tujuan-tujuan kekuasaan asli dan dengan menguntungkan orang luar atas dalil
menggunakan kekuasaan itu dengan sah”.30
28
Tri Andrisman, Tindak Pidana Khusus Diluar KUHP. Universitas Lampung : Bandar Lampung,
2010, hlm.37. 29
Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi, Nomor 20 Tahun 2001, lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2001. 134. 30
Mochtar Lubis dan James C.scott, Bunga Rampai Korupsi Cet. Ke-3, LP3ES, Jakarta, 1995
,hlm.4.
29
b.Wertheim yang menggunakan pengertian lebih spesifik, menurutnya seorang
pejabat dikatakan melakukan tindak pidana korupsi,adalah apabila ia menerima
hadiah dari seseorang yang bertujuan mempengaruhinya agar mengambil
keputusan yang menguntungkan kepentingan si pemberi hadiah. Pengertian ini
juga mencakup perbuatan menawarkan hadiah,atau bentuk balas jasa yang lain.
Pemerasan berupa meminta hadiah atau balas jasa karena sesuatu tugas yang
merupakan kewajiban telah dilaksanakan seseorang juga dikelompokan oleh
Wertheim sebagai perbuatan korupsi.31
Disamping itu, masih termasuk ke dalam
pengertian korupsi adalah penggunaan uang negara yang berada di bawah
pengawasan pejabat-pejabat pemerintahan untuk kepentingan pribadi yang
bersangkutan. dalam hal yang terakhir ini, para pejabat pemerintah dianggap
melakukan penggelapan uang negara dan masyarakat.32
Dari pengertian di atas, korupsi mempunyai cakupan yang sangat luas. Walau
begitu,korupsi biasanya berkenaan dengan perbuatan jahat yang dilakukan oleh
seseorang yang terkait dengan suatu tugas atau jabatan yang didudukinya. Jabatan
merupakan kedudukan yang dipercayakan. Seseorang yang sudah diberikan suatu
jabatan berarti seseorang tersebut dianggap mampu menerima suatu amanat dan
berkewajiban untuk melaksanakan amanat tersebut. Amanat yang dipercayakan
kepada seseorang secara umum yang berwujud kewenangan atau kekuasaan untuk
bertindak.
Tindak pidana korupsi mempunyai hukum acara khusus yang menyimpang dari
ketentuan hukum acara pada umumnya. Hukum acara pidana yang diterapkan
bersifat “lex specialist”yaitu adanya penyimpangan-penyimpangan yang
dimaksudkan untuk mempercepat prosedur dan memperoleh penyidikan
penuntutan serta pemeriksaan disidang dalam mendapatkan bukti-bukti. suatu
perkara pidana korupsi dan penyimpangan tersebut dilakukan bukan berarti bahwa
hak asasi tersangka/terdakwa dalam tindak pidana korupsi tidak dijamin atau
31
Elwi Danil, Korupsi:Konsep,Tindak Pidana dan Pemberantasannya, PT. Raja Grafindo Persada,
Jakarta, 2014, hlm.5 32
Op.Cit., hlm. 6.
30
dilindungi, tetapi diusahakan sedemikian rupa sehingga penyimpangan-
penyimpangan itu bukan penghapusan seluruhnya yang terpaksa dilakukan untuk
menyelamatkan hak asasi tersebut dari bahaya yang ditimbulkan oleh tindak
pidana korupsi.
Tindak pidana korupsi dipihak lain, sebagai ketentuan umum atau “lex
generalis”dalam arti bagaimana dalam perkara korupsi sepanjang tidak diatur
adanya penyimpangan dalam undang-undang tindak pidana korupsi.Yang menjadi
Dasar Hukum yaitu dalam UU No. 20 Tahun 2001 Perubahan atas UU No. 31
tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Tindak Pidana Korupsi itu dapat dilihat dari dua segi, yaitu korupsi aktif dan
korupsi pasif, adapun yang dimaksud dengan korupsi aktif adalah sebagai
berikut:33
1. Secara melawan hukum memperkaya diri sendiri atau orang lain atau
korporasi yang dapat merugikan keuangan Negara atau perekonomian Negara
(Pasal 2 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999)
2. Dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu
korporasi menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada
padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan
Negara atau perekonomian(Pasal 3 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999)
3. Memberi hadiah atau janji kepada pegawai negeri dengan mengingat
kekuasaan atau wewenang yang melekat pada jabatan atau kedudukannya,
33
Darwan prinst, Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Bandung. Citra Aditya Bakti. 2002.Hlm.
2.
31
atau oleh pemberi hadiah atau janji dianggap melekat pada jabatan atau
kedudukan tersebut(Pasal 4 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999)
4. Percobaan, pembantuan, atau pemufakatan jahat untuk melakukan tindak
pidana korupsi (Pasal 15 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999)
5. Memberi atau menjanjikan sesuatu kepada Pegawai Negeri atau
Penyelenggara Negara karena atas berhubungan dengan sesuatu yang
bertentangan dengan kewajibannya dilakukan atau tidak dilakukan dalam
jabatannya (Pasal 5 ayat( 1) huruf a Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999)
6. Memberi sesuatu kepada Pegawai Negeri atau Penyelenggara Negara karena
atau berhubungan dengan sesuatu yang bertentangan dengan kewajibannya
dilakukan atau tidak dilakukan dalam jabatannya (Pasal 5 ayat( 1) huruf b
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001)
7. Memberi atau menjanjikan sesuatu kepada Hakim dengan maksud untuk
mempengaruhi putusan perkara yang diserahkan kepadanya untuk diadili
(Pasal 6 ayat( 1) huruf a Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001)
8. Pemborong, ahli bangunan yang pada waktu membuat bangunan, atau penjual
bahan bangunan yang pada waktu menyerahkan bahan bangunan, melakukan
perbuatan curang yang dapat membahayakan keamanan orang atau barang,
atau keselamatan Negara dalam keadaan perang (Pasal 7 ayat( 1) huruf a
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001)
9. Setiap orang yang bertugas mengawasi pembangunan atau penyerahan bahan
bangunan, sengaja membiarkan perbuatan curang sebagaimana dimaksud
dalam huruf a (Pasal 7 ayat( 1) huruf b Undang-Undang Nomor 20 Tahun
2001)
32
10. Setiap orang yang pada waktu menyerahkan barang keperluan Tentara
Nasional Indonesia atau Kepolisian Negara Republik Indonesia melakukan
perbuatan curang dapat membahayakan keselamatan Negara dalam keadaan
perang (Pasal 7 ayat( 1) huruf c Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001)
11. Setiap orang yang bertugas mengawasi penyerahan barang keperluan Tentara
Nasional Indonesia atau Kepolisian Negara Republik Indonesia dengan
sengaja membiarkan perbuatan curang sebagaimana dimaksud dalam huruf c
(Pasal 7 ayat( 1) huruf d Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001)
12. Pegawai Negeri atau orang lain selain Pegawai Negeri yang ditugaskan
menjalankan suatu jabatan umum secara terus menerus atau untuk sementara
waktu, dengan sengaja menggelapkan uang atau surat berharga yang disimpan
karena jabatannya, atau membiarkan surat berharga itu diambil atau
digelapkan oleh orang lain, atau membantu dalam melakukan perbuatan
tersebut (Pasal 8 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001)
13. Pegawai Negeri atau selain Pegawai Negeri yang diberi tugas menjalankan
suatu jabatan umum secara terus-menerus atau sementara waktu, dengan
sengaja memalsukan buku-buku atau daftar-daftar yang khusus untuk
pemeriksaan administrasi (Pasal 9 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001)
Sedangkan Korupsi pasif adalah sebagai berikut :
1. Pegawai Negeri atau Penyelenggara Negara yang menerima pemberian atau
janji karena berbuat atau tidak berbuat sesuatu dalam jabatannya yang
bertentangan dengan kewajibannya (Pasal 5 ayat (2) Undang-Undang Nomor
20 Tahun 2001)
33
2. Hakim atau advokat yang menerima pemberian atau janji untuk
mempengaruhi putusan perkara yangdiserahkan kepadanya untuk diadili atau
mempengaruhi nasihat atau pendapat yang diberikan berhubung dengan
perkara yang diserahkan kepada pengadilan untuk diadili (Pasal 6 ayat (2)
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001)
3. Orang yang menerima penyerahan bahan atau keperluan Tentara Nasional
Indonesia atau Kepolisian Negara Republik Indonesia yang membiarkan
perbuatan curang sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf a atau huruf c
Undang-Undang nomor 20 Tahun 2001 (Pasal 7 ayat (2) Undang-Undang
Nomor 20 Tahun 2001)
D. Tinjauan Umum Gratifikasi
Dalam Kamus besar Bahasa Indonesia mengartikan Gratifikasi dengan uang
hadiah kepada pegawai diluar gaji yang telah ada. Sedangkan Gratifikasi dalam
sistem hukum di Indonesia dapat dilihat dalam UU No. 20 Tahun 2001 tentang
Perubahan UU Nomor 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi dan penjelasannya mendefinisikan gratifikasi sebagai pemberian dalam
arti luas, yakni meliputi pemberian biaya tambahan (fee), pemberian uang, barang,
rabat atau diskon, komisi, pinjaman tanpa bunga, tiket perjalanan, fasilitas
penginapan, perjalanan wisata, pengobatan cuma-cuma, dan fasilitas lainnya.
Gratifikasi tersebut baik yang diterima di dalam negeri maupun di luar negeri dan
yang dilakukan dengan menggunakan sarana elektronik atau tanpa sarana
elektronik.
34
Ketentuan minimum batas pemberian gratifikasi belum ada, namun ada usulan
pemerintah melalui Menkominfo pada tahun 2005 bahwa pemberian dibawah Rp.
250.000,- supaya tidak dimasukkan ke dalam kelompok gratifikasi. Namun hal ini
belum diputuskan dan masih dalam wacana diskusi. Dilain pihak masyarakat
sebagai pelapor dan melaporkan gratifikasi diatas Rp. 250.000,- wajib dilindungi.
Tindak pidana gratifikasi ada dua pihak yang sama-sama berperan untuk
mewujudkan tindak pidana gratifikasi tersebut secara sempurna, yaitu pemberi
dan penerima gratifikasi. Pemberi gratifikasi diatur dalam ketentuan Pasal 5 dan
penerima diatur dalam Pasal 12B. Namun dengan adanya ketentuan Pasal 12C,
yaitu ketika penerima gratifikasi melaporkan gratifikasi kepada KPK dalam waktu
paling lambat 30 hari, maka ketentuan hukum Pasal 12B ayat (1) tidak berlaku.
Hal ini jika dilihat secara cermat akan menimbulkan ketidakadilan bagi penerima
dan pemberi gratifikasi. Menurut ketentuan Pasal 5 Jo Pasal 12 huruf A dan huruf
B Undang-Undang Nomor. 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-
Undang No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, baik
pelaku pemberi maupun penerima gratifikasi diancam dengan hukuman pidana.
a. Ketegori Gratifikasi
Penerimaan gratifikasi dapat dikategorikan menjadi dua kategori yaitu Gratifikasi
yang Dianggap Suap dan Gratifikasi yang Tidak Dianggap Suap yaitu:
1) Gratifikasi yang Dianggap Suap yaitu Gratifikasi yang diterima oleh
Pegawai Negeri atau Penyelenggara Negara yang berhubungan dengan
jabatannya dan yang berlawanan dengan kewajiban atau tugasnya,
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 B Undang-Undang No. 20
35
Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang No. 31 Tahun
1999 tentang Pemberrantasan Tindak Pidana Korupsi.
2) Gratifikasi yang Tidak Dianggap Suap yaitu Gratifikasi yang diterima
oleh Pegawai Negeri atau Penyelenggara Negara yang tidak
berhubungan dengan jabatannya dan tidak yang berlawanan dengan
kewajiban atau tugasnya, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 B
Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-
Undang No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi. 34
b. Subyek Gratifikasi
Berdasarkan Pasal 12 B UU No. 20 Tahun 2001, maka yang menjadi subjek
tindak pidana gratifikasi adalah:
1) Pegawai Negeri
Pengertian Pegawai Negeri menurut Pasal 1 angka 2 UU No. 31 Tahun 1999
meliputi:
a. Pegawai negeri sebagaimana undang-undang tentang kepegawaian
b. Pegawai negeri sebagaimana dimaksud dalam kitab Undang-Undang Hukum
Pidana
c. Orang yang menerima gaji atau upah dari keuangan Negara atau Daerah
d. Orang yang menerima gaji atau upah dari suatu korporasi yang menerima
bantuan keungan negara atau daerah, atau
34
Buku Saku KPK, Memahami Gratifikasi, Cetakan Pertama Jakarta, 2010, hlm.5.
36
e. Orang yang menerima gaji atau upah dari korporasi lain yang mempergunakan
modal atau fasilitas dari negara atau masyarakat
2) Penyelenggara Negara
Pasal 1 angka (1) Undang-Undang No 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggara
Negara yang bersih dan bebas dari korupsi, kolusi dan nepotisme, yang dimaksud
dengan Penyelenggara negar negara adalah pejabat negara yang menjalankan
fungsi eksekutif, legislatif, atau yudikatif dan pejabat lain yang fungsi dan tugas
pokoknya berkaitan dengan penyelenggara negara sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Dalam hal ini penyelenggara negara meliputi:
a.Pejabat Negara pada Lembaga tertinggi Negara
b. Pejabat Negara pada Lembaga Tinggi Negara
c. Menteri
d. Gubernur
e. Hakim
f. Pejabat Negara yang lain sesuai dengan ketentuan peraturanperundang-
undangan yang berlaku.
c. Objek Gratifikasi
Dilihat dari penjelasan Pasal 12 B Undang-Undang No.20 Tahun 2001, maka
disebutkan objek gratifikasi adalah pemberian uang, barang, rabat (diskon),
komisi, pinjaman tanpa bunga, tiket perjalanan, fasilitas penginapan, perjalanan
wisata, pengobatan cuma-cuma, dan fasilitas lainnya. Gratifikasi tersebut baik
37
yang diterima di dalam maupun di luar negeri dari yang dilakukan dengan
menggunakan sarana elektorik atau tanpa elektronik.35
d.Tata Cara Pelaporan Gratifikasi
Tata cara pelaporan gratifikasi diatur dalam Pasal 16 Undang-Undang No.30
Tahun 1999 Tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Setiap
pengawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima gratifikasi wajib
melaporkan kepada Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, dengan tata
cara sebagai berikut:
1) Laporan disampaikan secara tertulis dengan mengisi formulirsebagaimana
ditetapkan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi denganmelampirkan
dokumen yang berkaitan dengan gratifikasi.
2) Formulir sebagaimana dimaksud pada angka 1 diatas sekurang-kurangnya
memuat:
a. nama dan alamat lengkap penerima dan pemberi gratifikasi
b. jabatan pegawai negeri atau penyelenggara negara
c. tempat dan waktu penerima gratifikasi
d. uraian jenis gratifikasi yang diterima, dan
e. nilai gratifikasi yang diterima.36
e.Penentuan status gratifikasi
Penentuan mengenai status gratifikasi diatur dalam Pasal 17 ayat (1) sampai (6)
dan Pasal 18 Undang-Undang No.30 Tahun 2002, sebagai berikut:
35
Ermansjah Djaja, 2010, Pengadilan Tindak Pidana Korupsi, Balikpapan: Sinar Grafika,
hlm.142. 36
Ibid.,hlm.143.
38
1) Komisi Pemberantasan Korupsi dalam waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari
kerja terhitung sejak tanggal laporan diterima wajib menetapkan status
kepemilikam disertai pertimbangan.
2) Dalam menetapkan status kepemilikan gratifikasi, komisi pemberantasan
korupsi dapat memanggil penerima gratifikasi untuk memberikan keterangan
berkaitan dengan penerimaan gratifikasi.
3) Status kepemilikan gratifikasi ditetapkan dengan keputusan pimpinan komisi
pemberantasan korupsi.
4) Keputusan pimpinan pemberantasan korupsi dapat berupa penetapan
status kepemilikan gratifikasi bagi penerima gratifikasi atau menjadi milik
negara.
5) Komisi pemberantasan korupsi wajib menyerahkan keputusan status
kepemilikan kepada penerima gratifikasi paling lama 7 (tujuh) hari
kerja terhitung sejak tanggal ditetapkan.
6) Menyerahkan gratifikasi yang menjadi milik negara kepada menteri
keuangan, dilakukan paling lama 7 (tujuh) hari kerja terhitung sejak
tanggal ditetapkan.
7) Komisi pemberantsan korupsi wajib mengumumkan gratifikasiyang
ditetapkan menjadi milik negara paling sedikit 1 (satu) kalidalam
setahundalam berita negara.37
37
Ibid, hlm.144.
39
III. METODE PENELITIAN
A. Pendekatan Masalah
Penelitian Hukum adalah suatu penelitian yang mempunyai obyek hukum, baik
hukum sebagai suatu ilmu atau aturan-aturan yang sifatnya dogmatis maupun
hukum yang berkaitan dengan prilaku dan kehidupan masyarakat. Menurut
pendapat Soerjono Soekanto, penelitian hukum merupakan suatu kegiatan ilmiah,
yang didasarkan pada metode sistematika dan pemikiran tertentu yang bertujuan
untuk mempelajari satu dan beberapa gejala hukum tertentu dengan cara
menganalisisnya.38
1. Pendekatan Yuridis Normatif
Pendekatan yuridis normatif dimaksudkan untuk mempelajari keadaan hukum,
yaitu dengan mempelajari,menelaah, peraturan perundang-undangan, teori-teori,
dan konsep-konsep yang berhubungan dengan penulisan skripsi ini.
2. Pendekatan Yuridis Empiris
Pendekatan yang dilakukan dengan mempelajari hukum dalam kenyataan baik
berupa sikap,penilaian,prilaku, yang berkaitan dengan masalah yang diteliti dan
yang dilakukan dengan cara melakukan penelitian di lapangan. Pendekatan
38
Soerjono Soekanto. 2012. Pengertian Hukum Normatif. Jakarta: PT Raja Grafindo. Hlm.1.
40
empiris tidak bertolak belakang dari hukum positif tertulis ( perundang-undangan)
sebagai data sekunder, tetapi dari perilaku nyata sebagai data primer yang
diperoleh dari lokasi penelitian lapangan(field research).39
B. Sumber dan Jenis Data
Pendekatan data adalah informasi atau keterangan yang benar dan nyata yang di
dapatkan dari kegiatan/hasil pengumpulan data. Sumber data yang digunakan
dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Data Primer
Data primer adalah data yang di dapat dari penelitian lapangan, dengan
berkomunikasi dengan masyarakat yang menjadi anggota kelompok di lokasi
tempat penelitian dilakukan, Data primer dalam penulisan skripsi ini di peroleh
dengan melakukan wawancara dan keterangan-keterangan serta informasi dari
narasumber secara langsung atau observasi.
2. Data Sekunder
Data sekunder adalah data yang diperoleh melalui penelusuran studi kepustakaan.
Data sekunder diperoleh dengan mempelajari dan mengkaji literatur dan
perundang-undangan yang terkait dengan penegakan hukum terhadap pelaku
tindak pidana korupsi.
Data sekunder dalam penelitian ini terdiri dari:
a. Bahan hukum primer (perundang-undangan) antara lain:
1. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 jo Undang-Undang Nomor 27 Tahun
1999 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).
39
Abdulkadir Muhammad,Op.Cit, hlm.54.
41
2. Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang
Hukum Acara Pidana (KUHAP).
3. Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi.
4. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-
Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi.
b. Bahan hukum sekunder yaitu : bahan-bahan yang berhubungan dengan bahan
hukum primer, seperti Keputusan Hakim.
c. Bahan hukum tersier, yaitu : buku literatur, hasil karya ilmiah para sarjana,
website,kamus hukum, keputusan hakim (yurisprudensi),dan artikel dari
internet yang berkaitan dengan masalah yang di bahas dalam penelitian ini.
C. Penentuan Narasumber
Berkaitan dengan permasalahan penelitian, maka data lapangan akan diperoleh
dari para nara sumber. Narasumber adalah seseorang yang memberikan pendapat
atas objek yang diteliti.40
Narasumber ditentukan secara purposive yaitu
penunjukan langsung narasumber atau secara acak untuk mendapatkan data
lapangan, dengan anggapan narasumber yang ditunjuk menguasai permasalahan
dalam penelitian ini.41
40
Mukti Fajar dan Yulianto Achmad, Dualisme Penelitian Hukum Normatif dan
Empiris,Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 2010, hlm.175. 41
Ibid, hlm.176.
42
Narasumber pada penelitian ini adalah :
1. Hakim Pada Pengadilan Negeri Tanjung Karang : 1 (satu) orang
2. Jaksa Pada Kejaksaan Negeri Bandar Lampung : 1 (satu) orang
3. Dosen Fakultas Hukum pada Universitas Lampung : 1 (satu) orang+
Jumlah: 3 (tiga) orang
D. Prosedur Pengumpulan dan Pengolahan Data
1. Prosedur Pengumpulan Data
Prosedur pengumpulan data yang dilakukan dalam penelitian ini menggunakan
langkah-langkah sebagai berikut:
a. Studi kepustakaan, yaitu sebuah studi yang dilakukan untuk memperoleh data
sekunder dengan cara membaca, mengutip bahan-bahan literatur,perundang-
undangan dan informasi lain yang berhubungan dengan pembahasan dalam
penelitian ini.
b. Studi lapangan, yaitu pengumpulan data primer yang dilakukan dengan cara
mengadakan wawancara kepada narasumber dengan mengajukan pertanyaan-
pertanyaan yang telah disiapkan untuk mendapatkan keterangan atau jawaban
yang bebas sehingga data yang diperoleh sesuai dengan yang di harapkan.
43
2. Prosedur Pengolahan Data
Data primer dan data sekunder yang telah di proses dan terkumpul baik studi
kepustakaan ataupun studi lapangan kemudian di proses melalui pengolahan
dan pengkajian data. Data yang diperoleh diolah melalui proses :
a. Editing, yaitu proses pemeriksaan kembali data yang diperoleh sehingga
didapatkan data yang lengkap, jelas dan relevan dengan penelitian sesuai
dengan yang diharapkan.
b. Klasifikasi data, yaitu mengelompokkan data yang diperoleh menurut
kerangka yang telah di tetapkan sesuai dengan jenis dan hubungannya
dengan masalah penelitian.
c. Sistematisasi data, yaitu menyusun dan menempatkan data pada tiap-tiap
pokok bahasan secara sistematis sehingga mempermudah interpretasi data
dan tercipta keteraturan dalam menjawab permasalahan.
E. Analisis Data
Analisis data bertujuan untuk menyederhanakan data ke dalam bentuk yang lebih
mudah disbaca dan dipahami. Analisis data yang diperoleh dilakukan melalui
kualitatif. Analisis kualitatif adalah analisis dengan cara deskriptif analisis yaitu
menguraikan data yang diperoleh dan menghubungkan satu dengan lain agar
membentuk suatu kalimat yang tersusun secara sistematis,dengakan dalam
mengambil kesimpulan dan hail analisis tersebut penulis menggunakan metode
deduktif, yaitu suatu vara berfikir yang dilaksanakan pada fakta-fakta yang
bersifat umum yang kemudian di tarik kesimpulan yang bersifat khusus.
Berdasarkan kesimpulan, maka disusun saran.
75
V. PENUTUP
A. Simpulan
Berdasarkan hasil penelitian penulis terhadap putusan Pengadilan Negeri Tanjung
Karang No.14/Pid.Sus-TPK/2017/PN.Tjk yaitu Kajian Terhadap Pemerasan dan
Gratifikasi dalam Tindak Pidana Korupsi maka dapat dibuat kesimpulan sebagai
berikut:
1. Perbedaan mendasar mengenai tindak pidana pemerasan dan gratifikasi dalam
tindak pidana korupsi yaitu jika pemerasan adanya permintaan sepihak dari
pejabat (penerima) yang bersifat memaksa, dan adanya penyalahgunaan
kekuasaaan. Sedangkan gratifikasi berhubungan dengan jabatan, bersifat
inventif (adanya tanam budi) dan tidak membutuhkan kesepakatan
(transaksional).Pemerasan yang terjadi di dalam tindak pidana korupsi pelaku
utamanya pelaku aktif yang dimaksud dengan pelaku aktif yakni seseorang
tersebut meminta langsung baik uang maupun berupa barang dalam hal ini
dengan cara memaksa dengan adanya unsur ancaman kekerasan. Namun
gratifikasi di dalam tindak pidana korupsi pelaku utamanya pelaku pasif
karena apabila memenuhi unsur mengetahui dan patut menduga dan tidak
diperlukan adanya laporan menerima segala sesuatu baik yang tidak ada unsur
76
meminta sebelumnya tetapi patut di duga memberikan uang maupun
berupabarang dengan cuma-cuma bahwa mengetahui pemberian tersebut
berasal dari hasil kejahatan, maka hal ini bisa dikenai sanksi.
2. Penerima gratifikasi tersebut tidak di kenai sanksi dan pertanggung jawaban
pidana karena penerima gratifikasi tersebut menurut Jaksa penuntut umum
sebagai whistle blowerpihak yang mengetahui dan melaporkan suatu tindak
pidana dalam hal ini ada kemudahan dan keringanan hukuman.namun dasar
pertimbangan hakim dalam menjatuhkan pidana berdasarkan putusan
No.14/Pid.Sus-TPK/2017/PN.Tjk, terdakwa Bambang Kurniawan didasarkan
pada pertimbangan-pertimbangan hakim yang bersifat yuridis dan non yuridis.
Dalam putusan ini hakim Pengadilan Negeri Tanjung Karang menggunakan
pertimbangan bersifat yuridis dalam menentukan telah terbukti terdakwa
melakukan tindak pidana korupsi dan menurut Pasal 184 KUHAP hakim
meminta alat bukti yang sah berupa keterangan saksi-saksi, keterangan ahli
dan barang bukti. Terbuktinya semua unsur-unsur delik yang didakwakan
berdasarkan pembuktian fakta-fakta yang terungkap dipersidangan yang
didapat dari alat bukti. Pertimbangan non-yuridis dipergunakan untuk
mempertimbangkan hal-hal yang memberatkan ataupun yang meringankan
pidana yang dijatuhkan terhadap terdakwa.
B. Saran
1. Diharapkan kepada para aparat penegak hukum terutama penuntut umum
hendaknya mengajukan penerima gratifikasi ke sidang pengadilan, walaupun
penerima gratifikasi tersebut bersifat pasif, hal ini dikarenakan telah
77
memenuhi unsur Pasal 12 huruf b Undang-Undang No.20 Tahun 2001 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
2. hakim hendaknya bersifat progresif dalam hal penyelesaian perkara gratifikasi
dengan menggali nilai-nilai keadilan dimasyarakat demi memberikan
kepastian dan keadilan untuk seluruh pihak berperkara. sehingga keadilan dan
kebenaran di Kabupaten Tanggamus dapat tercapai dan “hukum” bukan
hanyadigunakan sebagai alat untuk menguntungkan salah satu pihak.
78
DAFTAR PUSTAKA
A. BUKU.
Andrisman,Tri.2010.Tindak Pidana Khusus Diluar KUHP. Universitas
Lampung:Bandar Lampung.
Buku Saku KPK. 2010.