Upload
lamtuyen
View
233
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
1
KAJIAN FISIOLOGI TIGA DESAIN PROSTHETIC KAKI BAGIAN BAWAH LUTUT PADA AMPUTEE DIBANDING
ORANG NORMAL DENGAN MEMPERTIMBANGKAN NILAI BASAL METABOLIC RATE
Skripsi
PUTU PRIMAWATI I 0305009
JURUSAN TEKNIK INDUSTRI FAKULTAS TEKNIK UNIVERSITAS SEBELAS MARET
SURAKARTA 2010
2
KAJIAN FISIOLOGI TIGA DESAIN PROSTHETIC KAKI BAGIAN BAWAH LUTUT PADA AMPUTEE DIBANDING
ORANG NORMAL DENGAN MEMPERTIMBANGKAN NILAI BASAL METABOLIC RATE
Skripsi Sebagai Persyaratan Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Teknik
PUTU PRIMAWATI I 0305009
JURUSAN TEKNIK INDUSTRI FAKULTAS TEKNIK
UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA
2010
3
LEMBAR PENGESAHAN Judul Tugas Akhir:
KAJIAN FISIOLOGI TIGA DESAIN PROSTHETIC KAKI BAGIAN BAWAH LUTUT PADA AMPUTEE DIBANDING
ORANG NORMAL DENGAN MEMPERTIMBANGKAN NILAI BASAL METABOLIC RATE
Ditulis oleh:
Putu Primawati I 0305009
Mengetahui,
LEMBAR VALIDASI
Pembantu Dekan I Fakultas Teknik
Ir. Noegroho Djarwanti, MT NIP. 19561112 195403 2 007
Ketua Jurusan Teknik Industri
Ir. Lobes Herdiman, MT NIP. 19641007 199702 1 001
Dosen Pembimbing I
Ir. Lobes Herdiman, MT NIP. 19641007 199702 1 001
Dosen Pembimbing II
Retno Wulan Damayanti, ST, MT NIP. 19800306 200501 2 002
4
Judul Tugas Akhir :
KAJIAN FISIOLOGI TIGA DESAIN PROSTHETIC KAKI BAGIAN BAWAH LUTUT PADA AMPUTEE DIBANDING
ORANG NORMAL DENGAN MEMPERTIMBANGKAN NILAI BASAL METABOLIC RATE
Ditulis oleh:
Putu Primawati I 0305009
Telah disidangkan pada hari Jum'at tanggal 29 Januari 2010
Di Jurusan Teknik Industri Fakultas Teknik Universitas Sebelas Maret Surakarta,
dengan
Dosen Penguji
1. Ir. Munifah, MSIE, MT NIP 19561215 198701 2 001
2. Ilham Priadythama, ST, MT
NIP 19801124 200812 1 002
Dosen Pembimbing
1. Ir. Lobes Herdiman, MT NIP 19641007 199702 1 001
3. Retno Wulan Damayanti, ST, MT NIP 19800306 200501 2 002
SURAT PERNYATAAN
5
ORISINALITAS KARYA ILMIAH
Saya mahasiswa Jurusan Teknik Industri UNS yang bertanda tangan di bawah ini,
Nama : Putu Primawati
Nim : I 0305009
Judul tugas akhir : Kajian Fisiologi Tiga Desain Prosthetic Kaki Bagian
Bawah Lutut pada Amputee Dibanding Orang Normal
dengan Mempertimbangkan Nilai Basal Metabolic Rate
Menyatakan bahwa Tugas Akhir (TA) atau Skripsi yang saya susun tidak
mencontoh atau melakukan plagiat dari karya tulis orang lain. Jika terbukti bahwa
Tugas Akhir yang saya susun mencontoh atau melakukan plagiat dapat dinyatakan
batal atau gelar Sarjana yang saya peroleh dengan sendirinya dibatalkan atau
dicabut.
Demikian surat pernyataan ini saya buat dengan sebenar-benarnya dan apabila
dikemudian hari terbukti melakukan kebohongan maka saya sanggup
menanggung segala konsekuensinya.
Surakarta, Januari 2010
Putu Primawati
I 0305009
SURAT PERNYATAAN
6
PUBLIKASI KARYA ILMIAH
Saya mahasiswa Jurusan Teknik Industri UNS yang bertanda tangan di bawah ini,
Nama : Putu Primawati
Nim : I 0305009
Judul tugas akhir : Kajian Fisiologi Tiga Desain Prosthetic Kaki Bagian
Bawah Lutut pada Amputee Dibanding Orang Normal
dengan Mempertimbangkan Nilai Basal Metabolic Rate
Menyatakan bahwa Tugas Akhir (TA) atau Skripsi yang saya susun sebagai syarat
lulus Sarjana S1 disusun secara bersama-sama dengan Pembimbing 1 dan
Pembimbing 2. Bersamaan dengan syarat pernyataan ini bahwa hasil penelitian
dari Tugas Akhir (TA) atau Skripsi yang saya susun bersedia digunakan untuk
publikasi dari proceeding, jurnal, atau media penerbit lainnya baik di tingkat
nasional maupun internasional sebagaimana mestinya yang merupakan bagian
dari publikasi karya ilmiah
Demikian surat pernyataan ini saya buat dengan sebenar-benarnya.
Surakarta, Januari 2010
Putu Primawati
I 0305009
KATA PENGANTAR
7
Segala puji bagi Allah Bapa yang telah memberi anugerah dan karunia-Nya
sehingga penulis berhasil menyelesaikan Laporan Tugas Akhir “Kajian Fisiologi
Tiga Desain Prosthetic Kaki Bagian Bawah Lutut pada Amputee Dibanding
Orang Normal dengan Mempertimbangkan Nilai Basal Metabolic Rate” ini
dengan baik.
Dengan segenap ketulusan hati penulis menyampaikan ucapan terima
kasih atas segala bantuan dari berbagai pihak sehingga dapat menyelasaikan
Laporan Tugas Akhir ini. Penulis menyampaikan terimakasih kepada:
1. Allah Bapa atas anugerah, karunia, dan segalanya yang memampukan penulis
menyelesaikan Laporan Tugas Akhir ini.
2. Ibu dan Bapak atas dukungan dan doa yang tak pernah putus sehingga berhasil
menyelesaikan Laporan Tugas Akhir ini. Sayang selalu.
3. Bapak Ir. Lobes Herdiman, MT selaku Ketua Jurusan Teknik Industri
Universitas Sebelas Maret Surakarta, Pembimbing Akademik, dan Dosen
Pembimbing 1. Terima kasih atas bimbingan, bantuan, dan kesabaran bapak
selama penyelesaian Laporan Tugas Akhir.
4. Ibu Retno Wulan Damayanti ST, MT selaku Dosen Pembimbing 2, terima
kasih atas segala bimbingan, masukan, dan semangat ibu selama penyelesaian
Laporan Tugas Akhir.
5. Ibu Ir. Munifah, MSIE, MT dan Bapak Ilham Priadythama, ST, MT selaku
Dosen Penguji, terima kasih atas masukan dan perbaikan untuk Laporan
Tugas Akhir ini.
6. Bapak Taufik Rohman STP, MT selaku koordinator Tugas Akhir yang telah
membantu mempermudah pelaksanaan Tugas Akhir ini.
7. Seluruh dosen Teknik Industri yang telah mewariskan indahnya ilmu Teknik
Industri kepada penulis. Serta seluruh Admin TI atas segala bantuannya.
8. Adik terkasih, Titis dan seluruh keluargaku serta Pandu tercinta atas
dukungan, semangat, dan doanya dalam penyelesaian laporan Tugas Akhir ini.
9. Bala 2005 TI UNS atas kebersamaan, keceriaan, semangat, dukungan, dan
kerjasama kalian semua. Terima kasih telah menjadi mutiara-mutiara dalam
rangkaian hidupku. Tetap sehat, tetap semangat, sukses akan kita raih.
10. Teman-teman seperjuangan –Agus, Anna, Galih– terima kasih atas semangat
dan kegilaannya yang membuat tetap bertahan. Merdeka!!!
8
11. Sohib-sohib terbaik –Dian, Imung, Anna, Endri, Danang, Rony, Adwin–
untuk bantuan, semangat, keceriaan, dan doanya. Yes we can!!!
12. Sobat D’Kanerz, it’s a gift being part of you, guys. Terima kasih untuk
semangat dan keceriaan yang menulariku.
13. My sisters –Rani, Arum, Vanny, Djenk Wied, Tante Yuun, Mba End– atas
semangat, nasihat, dan doanya. Loph you, sisto.
14. Semua pihak yang belum tertulis di atas, terima kasih atas segala bantuan dan
dukungannya.
Sebagai akhir dari kata pengantar ini, penulis menyampaikan bahwa laporan ini
masih jauh dari sempurna dikarenakan keterbatasan kemampuan yang penulis
miliki. Saran dan kritik diharapkan untuk perbaikan. Semoga laporan ini
bermanfaat dan dapat memberikan inspirasi bagi semua, Amiin.
Mohon maaf & terima kasih.
Surakarta, Januari 2010
Penulis
ABSTRAK Putu Primawati, NIM: I 0305009. KAJIAN FISIOLOGI TIGA DESAIN PROSTHETIC KAKI BAGIAN BAWAH LUTUT PADA AMPUTEE DIBANDING ORANG NORMAL DENGAN MEMPERTIMBANGKAN NILAI BASAL METABOLIC RATE. Skripsi. Surakarta : Jurusan Teknik Industri, Fakultas Teknik, Universitas Sebelas Maret, Januari 2010.
9
Berjalan merupakan salah satu aktivitas dasar yang dilakukan oleh alat
gerak bagian bawah, yaitu kaki. Kehilangan pada bagian tersebut, yang disebut amputasi, menimbulkan keterbatasan dalam berjalan. Keterbatasan ini dapat dipenuhi dengan adanya alat bantu gerak (prosthetic). Penggunaan alat ini menyebabkan peningkatan energi sebesar 10-15% untuk berjalan. Padahal besarnya penggunaan energi ini perlu mempertimbangkan nilai Basal Metabolic Rate (BMR). Prosthetic kaki bawah lutut yang dikaji adalah jenis eksoskeletal, endoskeletal Merek Regal, dan endoskeletal Pengembangan. Penelitian ini mengkaji fisiologi terhadap aktivitas berjalan pada amputee dengan menggunakan tiga desain prosthetic tersebut dibandingkan dengan orang normal.
Metode pengukuran fisiologi yang digunakan meliputi empat kriteria, yaitu %CVL (Cardiovasculair Load), energi ekspenditur, kebutuhan kalori, dan konsumsi oksigen. Pengukuran dilakukan secara tidak langsung yaitu dengan mengukur denyut nadi. Responden berjumlah 1 orang amputee dan 10 orang normal. Setiap responden berjalan normal pada lintasan 12 meter dan berjalan pada treadmill sejauh 100 meter dengan tiga kecepatan berbeda. Empat kriteria dihitung berdasarkan nilai denyut nadi. Denyut nadi diukur dengan metode 10 denyut dan menggunakan alat sensor pada treadmill.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa desain prosthetic endoskeletal tipe pengembangan memberikan hasil %CVL sebesar 3.21±0.09% yang lebih rendah dibanding dua desain prosthetic lainnya, sedangkan %CVL responden normal yaitu 3.14±0.57%. Hasil pengukuran energi ekspenditur, kebutuhan kalori, dan konsumsi oksigen menunjukkan kestabilan garis yang mirip dengan responden normal. Dimana nilai BMR amputee yaitu 1372 Kkal/hari, sedangkan nilai BMR responden normal berkisar 1472±8.48 Kkal/hari dan keduanya masuk dalam kategori BMI (Body Mass Index) yaitu ‘langsing’. Hal tersebut menunjukkan bahwa desain prosthetic kaki bagian bawah lutut terbaik dalam mengakomodasi aktivitas berjalan yaitu desain prosthetic endoskeletal tipe pengembangan karena memberikan nilai pengukuran fisiologi yang paling mendekati responden normal Kata kunci: fisiologi, prosthetic kaki bagian bawah lutut, BMR xvii + 133 halaman; 64 gambar; 38 tabel; 1 lampiran Daftar pustaka: 26 (1919-2009)
ABSTRACT Putu Primawati, NIM: I 0305009, PHYSIOLOGY STUDY OF THREE BELOW KNEE PROSTHETIC DESIGN ON AMPUTEE COMPARE TO NORMAL PEOPLE CONSIDERING BASAL METABOLIC RATE VALUE. Thesis. Surakarta: Industrial Engineering Department, Faculty of Engineering, Sebelas Maret University, Januari 2010.
Walking is one of basic activity done by lower part moving device, called leg. Losing at the division, called amputation, generates limitation in walking.
10
This limitation can be completed by artificial limbs (prosthetic). Usage of this device causes improvement of energy about 10-15% for walking. Besides the level of improvement energy need to consider Basal Metabolic Rate (BMR) value. Below knee prosthetic designs studied in this experiment are exoskeleton, Regal endoskeleton, and Expansion endoskeleton. This research study physiology to walking activity at amputee by using those three prosthetic designs compared to normal people.
Method of physiology applied covers four criterions. They are %CVL (Cardiovasculair Load), energy expenditure, calorie requirement, and oxygen consumption. Measurement is done indirectly with measuring pulse. One amputee and ten normal people selected for this research. Each responder is walking normally 12 meters and in treadmill 100 meters with three different speeds. The criterions are calculated based on pulse value. Pulse is measured with 10 pulses method and applies censor device at treadmill.
Result of research indicates that Expansion endoskeleton prosthetic design gives result of %CVL value 3.21±0.09% lower than two other prosthetic designs, while %CVL normal responder is 3.14±0.57%. Result of energy expenditure, calorie requirement, and oxygen consumption shows stability of line looking like normal responder. Amputee’s BMR value is 1372 Kkal/hari, while value BMR of normal responder approximately 1472±8.48 Kkal/hari. Both amputee and normal responder categorize BMI (Body Mass Index) that is ‘slim’. The conclusion for best below knee prosthetic in accommodating walking activity is Expansion endoskeleton prosthetic design because giving value of nearest physiology of normal people.
Keywords: physiology, below knee prosthetic, BMR xvii + 133 pages; 64 figures; 38 tables; 1 appendixes References: 26 (1919-2009)
11
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL .................................................................................
LEMBAR PENGESAHAN ......................................................................
LEMBAR VALIDASI ..............................................................................
SURAT PERNYATAAN ORISINALITAS KARYA ILMIAH ............................
SURAT PERNYATAAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH ...................................
KATA PENGANTAR ...............................................................................
ABSTRAK .................................................................................................
ABSTRACT ..............................................................................................
DAFTAR ISI .............................................................................................
DAFTAR TABEL .....................................................................................
DAFTAR GAMBAR ................................................................................
BAB I PENDAHULUAN ......................................................................
1.1 Latar Belakang .......................................................................
1.2 Perumusan Masalah ...............................................................
1.3 Tujuan Penelitian ...................................................................
1.4 Manfaat Penelitian .................................................................
1.5 Batasan Masalah .....................................................................
1.6 Asumsi ....................................................................................
1.7 Sistematika Penulisan ............................................................
BAB II TINJAUAN PUSTAKA .............................................................
2.1 Prosthetic ...............................................................................
2.1.1 Definisi prosthetic .........................................................
2.1.2 Komponen prosthetic kaki bawah lutut .............................
2.1.3 Prosthetic bawah lutut yang berkembang di Indonesia ...
2.2 Pola Jalan Normal Pada manusia ...........................................
2.2.1 Fase berjalan .................................................................
2.2.2 Gerakan anggota tubuh saat berjalan ............................
2.3 Body Mass Index (BMI) ........................................................
2.4 Metabolisme Basal .................................................................
2.5 Konsep Fisiologi Manusia .....................................................
2.5.1 Aktivitas fisik manusia ..................................................
i
ii
iii
iv
v
vi
viii
ix
x
xiii
xv
I-1
I-1
I-4
I-4
I-4
I-4
I-5
I-5
II-1
II-1
II-1
II-2
II-8
II-9
II-9
II-11
II-15
II-16
II-18
II-18
xii
2.5.2 Kelelahan (Fatique) ......................................................
2.5.3 Denyut jantung .............................................................
2.5.4 Energi ekspenditur ........................................................
2.5.5 Aerobic capacity ............................................................
2.6 Penelitian Sebelumnya ...........................................................
BAB III METODOLOGI PENELITIAN ............................................
3.1 Identifikasi Masalah ………….............................................
3.2 Pengumpulan Data .................................................................
3.3 Pengolahan Data .....................................................................
3.4 Analisis Data dan Interpretasi Hasil ......................................
3.5 Kesimpulan dan Saran ............................................................
BAB IV PENGUMPULAN DAN PENGOLAHAN DATA ..................
4.1 Pengumpulan Data .................................................................
4.1.1 Desain prosthetic kaki bawah lutut …...........................
4.1.2 Pengguna prosthetic kaki bawah lutut .........................
4.1.3 Responden normal ........................................................
4.2 Pengolahan Data ....................................................................
4.2.1 Menentukan nilai BMI ..................................................
4.2.2 Menentukan nilai BMR .................................................
4.2.3 Menentukan denyut nadi ...............................................
4.2.4 Menentukan tingkat kelelahan ......................................
4.2.5 Menentukan energi ekspenditur ....................................
4.2.6 Menentukan kebutuhan kalori .......................................
4.2.7 Menentukan konsumsi oksigen ......................................
4.2.8 Perbandingan hasil pengukuran pada pengguna
prosthetic dan responden normal ..................................
BAB V ANALISIS DAN INTERPRETASI HASIL ..............................
5.1 Analisis Hasil Penelitian .........................................................
5.1.1 Analisis Hasil Perhitungan Nilai BMI dan BMR ...........
5.1.2 Analisis Hasil Perhitungan %CVL ................................
5.1.3 Analisis Hasil Perhitungan %CVL per Fase .................
5.1.4 Analisis Hasil Perhitungan Energi Ekspenditur .................
II-22
II-25
II-29
II-31
II-33
III-1
III-2
III-4
III-7
III-8
III-8
IV-1
IV-1
IV-1
IV-4
IV-7
IV-12
IV-12
IV-14
IV-15
IV-20
IV-40
IV-45
IV-51
IV-58
V-1
V-1
V-1
V-2
V-4
V-7
xiii
5.1.5 Analisis Hasil Perhitungan Kebutuhan Kalori .................
5.1.6 Analisis Hasil Perhitungan Konsumsi Oksigen .................
5.1.7 Analisis terhadap Faktor yang Perlu Dikontrol …..........
5.2 Interpretasi Hasil .....................................................................
BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN ...................................................
6.1 Kesimpulan ..............................................................................
6.2 Saran ......................................................................................
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
V-9
V-11
V-13
V-16
VI-1
VI-1
VI-1
xiv
DAFTAR TABEL
Hal.
Tabel 2.1
Tabel 2.2
Tabel 2.3
Tabel 2.4
Tabel 2.5
Tabel 2.6
Tabel 4.1
Tabel 4.2
Tabel 4.3
Tabel 4.4
Tabel 4.5
Tabel 4.6
Tabel 4.7
Tabel 4.8
Tabel 4.9
Tabel 4.10
Tabel 4.11
Tabel 4.12
Tabel 4.13
Tabel 4.14
Tabel 4.15
Tabel 4.16
Tabel 4.17
Tabel 4.18
Perbandingan nonartikulasi dan artikulasi assembly .........
Klasifikasi body mass index (BMI) menurut WHO ..........
Klasifikasi body mass index (BMI) orang Asia dewasa ....
Kebutuhan energi untuk melakukan berbagai jenis pekerjaan ...........................................................................
Kebutuhan energi untuk aktivitas fisik manusia ...............
Klasifikasi kerja berdasarkan % CVL ...............................
Data denyut nadi aktivitas berjalan normal pengguna prosthetic ...........................................................................
Data denyut nadi aktivitas berjalan di treadmill pengguna prosthetic ...........................................................................
Data denyut nadi aktivitas berjalan normal respondennormal ................................................................................
Data denyut nadi aktivitas berjalan pada treadmillresponden normal ..............................................................
Nilai BMI pada responden normal ....................................
Nilai BMR pada responden normal ...................................
Hasil perhitungan denyut nadi pengguna prosthetic .........
Hasil perhitungan denyut nadi responden normal .............
Hasil perhitungan % CVL pengguna prosthetic ...............
Hasil perhitungan % CVL responden normal ...................
Hasil pengamatan jumlah siklus berjalan pada pengguna prosthetic ...........................................................................
Distribusi % CVL per siklus pada pengguna prosthetic ..
Nilai % CVL per siklus terbesar pada pengguna prosthetic ...........................................................................
Waktu per fase berjalan pada pengguna prosthetic ...........
Distribusi nilai % CVL per fase pada pengguna prosthetic ...........................................................................
Hasil pengamatan jumlah siklus berjalan pada responden normal ................................................................................
Distribusi % CVL per siklus pada responden normal ......
Nilai % CVL per siklus terbesar pada responden normal..
II-4
II-15
II-16
II-20
II-21
II-28
IV-6
IV-7
IV-9
IV-11
IV-14
IV-15
IV-17
IV-19
IV-21
IV-23
IV-25
IV-27
IV-28
IV-29
IV-30
IV-32
IV-33
IV-34
xv
Tabel 4.19
Tabel 4.20
Tabel 4.21
Tabel 4.22
Tabel 4.23
Tabel 4.24
Tabel 4.25
Tabel 4.26
Tabel 4.27
Tabel 4.28
Tabel 4.29
Tabel 4.30
Tabel 4.31
Tabel 5.1
Waktu per fase berjalan pada responden normal ..............
Distribusi nilai % CVL per fase pada responden normal...
Hasil perhitungan energi ekspenditur pengguna prosthetic ...........................................................................
Hasil perhitungan energi ekspenditur responden normal...
Hasil perhitungan kebutuhan kalori pengguna prosthetic..
Hasil perhitungan kebutuhan kalori responden normal .....
Hasil perhitungan konsumsi oksigen pengguna prosthetic
Hasil perhitungan konsumsi oksigen responden normal....
Rekapitulasi hasil perbandingan % CVL ..........................
Rekapitulasi hasil perbandingan % CVL per fase .............
Rekapitulasi hasil perbandingan energi ekspenditur .........
Rekapitulasi hasil perbandingan kebutuhan kalori ............
Rekapitulasi hasil perbandingan konsumsi oksigen ..........
Perbandingan nilai maksimum-minimum %CVL per fase
IV-35
IV-37
IV-41
IV-43
IV-47
IV-49
IV-53
IV-55
IV-58
IV-59
IV-60
IV-62
IV-63
V-6
xvi
DAFTAR GAMBAR
Hal. Gambar 2.1
Gambar 2.2
Gambar 2.3
Gambar 2.4
Gambar 2.5
Gambar 2.6
Gambar 2.7
Gambar 2.8
Gambar 2.9
Gambar 2.10
Gambar 2.11
Gambar 2.12
Gambar 2.13
Gambar 2.14
Gambar 2.15
Gambar 2.16
Gambar 2.17
Gambar 2.18
Gambar 2.19
Gambar 2.20
Gambar 2.21
Gambar 2.22
Gambar 2.23
Gambar 2.24
Gambar 3.1
Gambar 3.2
Gambar 4.1
Gambar 4.2
Prosthetic bawah lutut ......................................................
Nonarticulated foot-ankle assembly ..................................
Articulated foot-ankle assembly ........................................
Jenis shank pada prosthetic ...............................................
Jenis socket pada prosthetic ..............................................
Cuff suspension .................................................................
Waist belt ...........................................................................
Thigh corset .......................................................................
Prosthetic bawah lutut patellar tendon bearing (PTB) ......
Siklus pola jalan (gait cycle) .............................................
Fase berdiri (stance phase) ...............................................
Fase berayun (swing phase) ..............................................
Gerakan kaki dan sendi pada fase heel contact .................
Gerakan kaki dan sendi pada fase foot flat dan acceleration .......................................................................
Gerakan kaki dan sendi pada fase point midstance dan midswing ...........................................................................
Gerakan kaki dan sendi pada fase heel off ........................
Gerakan kaki dan sendi pada fase toe off dan deceleration .......................................................................
Gerakan pinggul dan bahu pada saat berjalan ...................
Gerakan tulang belakang dan bahu pada saat berjalan ......
Gerakan tulang belakang dan bahu pada saat berjalan ......
Hubungan massa tubuh dengan nilai BMR .......................
Hubungan denyut jantung dengan kondisi kerja dan konsumsi energi ................................................................
Pembagian denyut jantung pada saat beraktivitas .............
Total energi ekspenditur ....................................................
Metodologi penelitian .......................................................
Alat yang digunakan dalam penelitian ..............................
Jenis prosthetic yang digunakan .......................................
Pengukuran data awal pada pengguna prosthetic .............
II-2
II-3
II-4
II-5
II-6
II-7
II-7
II-8
II-9
II-10
II-10
II-11
II-11
II-12
II-12
II-12
II-13
II-13
II-14
II-14
II-17
II-26
II-26
II-30
III-1
III-4
IV-1
IV-5
xvii
Gambar 4.3
Gambar 4.4
Gambar 4.5
Gambar 4.6
Gambar 4.7
Gambar 4.8
Gambar 4.9
Gambar 4.10
Gambar 4.11
Gambar 4.12
Gambar 4.13
Gambar 4.14
Gambar 4.15
Gambar 4.16
Gambar 4.17
Gambar 4.18
Gambar 4.19
Gambar 4.20
Gambar 4.21
Gambar 4.22
Gambar 4.23
Gambar 4.24
Gambar 4.25
Gambar 4.26
Gambar 4.27
Fase berjalan pada pengguna prosthetic ...........................
Fase berjalan pada responden normal ...............................
Grafik hasil pengukuran denyut nadi pengguna prosthetic
Grafik hasil pengukuran denyut nadi responden normal ..
Grafik hasil perhitungan % CVL pengguna prosthetic .....
Grafik hasil perhitungan % CVL responden normal ........
Siklus pola jalan (gait cycle) .............................................
Grafik hasil pengamatan terhadap siklus berjalan pengguna prosthetic ..........................................................
Grafik distribusi % CVL per siklus pengguna prosthetic..
Grafik pengamatan nilai % CVL per siklus terbesar pada pengguna prosthetic ..........................................................
Grafik hasil pengamatan terhadap waktu per fase pada pengguna prosthetic ..........................................................
Distribusi % CVL per fase pada pengguna prosthetic ......
Distribusi % CVL pada gerak per fase pengguna prosthetic ...........................................................................
Grafik hasil pengamatan terhadap siklus berjalan responden normal ..............................................................
Grafik distribusi % CVL per siklus responden normal .....
Grafik pengamatan nilai % CVL per siklus terbesar pada responden normal ..............................................................
Grafik hasil pengamatan terhadap waktu per fase pada responden normal ..............................................................
Distribusi % CVL per fase pada responden normal ..........
Distribusi % CVL pada gerak per fase responden normal
Energi ekspenditur pada pengguna ketiga desainprosthetic ...........................................................................
Energi ekspenditur responden normal (kecepatan 1,2 km/jam) .............................................................................
Energi ekspenditur responden normal (kecepatan 1,6 km/jam) .............................................................................
Energi ekspenditur responden normal (kecepatan 2 km/jam) .............................................................................
Kebutuhan kalori pada pengguna ketiga desain prosthetic
Kebutuhan kalori responden normal (kecepatan 1,2 km/jam) .............................................................................
IV-6
IV-10
IV-17
IV-20
IV-22
IV-24
IV-24
IV-26
IV-27
IV-28
IV-29
IV-30
IV-31
IV-32
IV-34
IV-35
IV-36
IV-37
IV-38
IV-41
IV-44
IV-44
IV-45
IV-47
IV-50
xviii
Gambar 4.28
Gambar 4.29
Gambar 4.30
Gambar 4.31
Gambar 4.32
Gambar 4.33
Gambar 4.34
Gambar 4.35
Gambar 4.36
Gambar 4.37
Gambar 4.38
Kebutuhan kalori responden normal (kecepatan 1,6 km/jam) .............................................................................
Kebutuhan kalori responden normal (kecepatan 2 km/jam) .............................................................................
Konsumsi oksigen pada pengguna ketiga desainprosthetic ...........................................................................
Konsumsi oksigen responden normal (kecepatan 1,2 km/jam) .............................................................................
Konsumsi oksigen responden normal (kecepatan 1,6 km/jam) .............................................................................
Konsumsi oksigen responden normal (kecepatan 2 km/jam) .............................................................................
Grafik perbandingan % CVL amputee dan responden normal ...............................................................................
Grafik perbandingan % CVL per fase amputee dan responden normal ..............................................................
Grafik perbandingan energi ekspenditur amputee dan responden normal ..............................................................
Grafik perbandingan kebutuhan kalori amputee dan responden normal ..............................................................
Grafik perbandingan konsumsi oksigen amputee dan responden normal ..............................................................
IV-50
IV-51
IV-53
IV-56
IV-57
IV-57
IV-59
IV-60
IV-61
IV-63
IV-64
xix
BAB I PENDAHULUAN
Manusia memiliki alat gerak pada tubuhnya, yaitu sepasang tangan
sebagai alat gerak atas dan sepasang kaki sebagai alat gerak bawah. Alat gerak
tersebut berfungsi dalam melakukan aktivitas sehari-hari dan sebagai alat
penyeimbang tubuh. Ketiadaan salah satu alat gerak tersebut menyebabkan
kesulitan dalam melakukan aktivitas yang berkaitan dengan fungsi alat gerak serta
menimbulkan ketidakseimbangan pada tubuh manusia.
1.1 LATAR BELAKANG
Banyak pengukuran dilakukan untuk melihat seberapa jauh tingkat
ergonomi suatu alat bantu gerak ketika digunakan. Ergonomi ini didefinisikan
sebagai ilmu yang mempelajari tentang aspek-aspek manusia dalam lingkungan
kerjanya yang ditinjau dari aspek anatomi, fisiologi, psikologi, engineering,
manajemen dan desain perancangan (Nurmianto, E., 2004). Ergonomi terkait
dengan pengukuran terhadap optimasi, efisiensi, kesehatan, keselamatan dan
kenyamanan manusia di tempat kerja. Penelitian ini mengukur besar beban kerja
fisik khususnya aktivitas berjalan sehingga dipusatkan pada pengukuran ergonomi
dari aspek fisiologi .
Pengukuran aspek fisiologi merupakan pengukuran terhadap fungsi organ-
organ manusia dalam melakukan aktivitas untuk mengukur beban kerja fisik.
Aktivitas otot pada kerja fisik mengubah beberapa fungsi dalam tubuh yaitu
denyut jantung (heart rate), tekanan darah, output jantung, komposisi kimia
dalam darah dan urin, temperatur tubuh, perspiration rate, ventilasi paru-paru dan
konsumsi oksigen oleh otot (Sulistyadi dan Susanti, 2003). Pengukuran terhadap
perubahan tersebut digunakan untuk mengukur konsumsi energi. Pengukuran
fisiologi membantu mengetahui besarnya beban kerja fisik dan konsumsi energi
serta oksigen dalam melakukan aktivitas, khususnya dalam berjalan, baik pada
orang amputee maupun orang normal.
Kehilangan suatu bagian tubuh terutama anggota gerak pada amputee
mengakibatkan keterbatasan dalam beraktivitas. Aktivitas berjalan pada amputee
dengan alat bantu gerak (prosthetic) tentu berbeda dengan orang normal sehingga
xx
nilai pengukuran fisiologi keduanya pun berbeda. Suatu aktivitas yang dilakukan
seorang amputee akan membutuhkan energi dan oksigen dalam jumlah yang lebih
besar dibandingkan orang normal, selain itu tingkat kelelahan pun lebih besar.
Verne T. Inman (1968) mengungkapkan bahwa ketiadaan suatu gerakan tubuh
karena hilangnya suatu anggota tubuh menyebabkan pemakaian energi meningkat
sebesar 10-15%. Pemakaian energi ini dipengaruhi oleh nilai BMR (Basal
Metabolic Rate) sebab nilai ini menggambarkan 60-75 % total energi (Rowett
Research Institute, 1992).
Metabolisme basal merupakan penggunaan energi oleh tubuh ketika
berada dalam kondisi istirahat. Nilainya berbeda pada setiap individu tergantung
usia, jenis kelamin, dan berat badan. Nilai ini biasanya disebut BMR. Orang
dengan nilai BMR tinggi berarti energi terbakar lebih banyak pada kondisi
istirahat. Laki-laki dewasa memerlukan kalori untuk metabolisme basal sekitar
23.87 Kkal/hari/kg (Grandjean, 1993). Pengukurannya berkaitan dengan nilai
energi dan oksigen yang dibutuhkan. Secara tidak langsung diketahui dengan
pengukuran denyut jantung. Orang akan mengalami kelelahan jika siklus kerja
fisiologi tidak seimbang antara aktivitas dengan istirahat.
Pada laki-laki normal dengan umur 20-40 tahun energi yang dibutuhkan
sebesar 2900 Kkal/hari (National Research Council, 1996). Penelitian yang
dilakukan Mike Laymon, et al (2008) mengungkapkan bahwa energi yang
digunakan untuk laki-laki normal dengan umur 20-40 tahun dan sehat dalam
kondisi istirahat sekitar 654,1 kal/jam dan setelah beraktivitas selama 60 menit
berkisar antara 389,2-1027,5 kalori. Konsumsi oksigen sekitar 0,36 liter/menit dan
sesaat setelah melakukan aktivitas selama 60 menit meningkat menjadi rata-rata
2,12 liter/menit. Penelitian Robert L. Waters, et al (1976) menyebutkan nilai
energy cost relatif untuk orang normal sebesar 38% dengan O2 uptake sebesar 13
± 2.7 ml/kg/menit.
Penelitian Robert L. Waters, et al (1976) memberikan nilai besarnya
energi yang dibutuhkan oleh amputee ketika berjalan. Penelitian dilakukan
terhadap 14 orang below-knee amputee dengan umur berkisar 30 tahun. Rata-rata
energy cost relatif yang dibutuhkan oleh below-knee amputee sekitar 35%.
xxi
Besarnya oksigen yang dikonsumsi (O2 uptake) yaitu sebesar 15.5 ml/kg/menit.
Nilai maximal aerob capacity sekitar 45 ± 9 ml/kg/menit.
Perbedaan konsumsi energi dan oksigen antara amputee dengan orang
normal kemungkinan dipengaruhi oleh desain prosthetic yang digunakan
amputee. Pada penelitian ini akan dikaji tiga desain below-knee prosthetic (BKP)
yang berbeda yaitu eksoskeletal, endoskeletal tiruan Otto Bock merek Regal, dan
endoskeletal pengembangan. Fokus perbedaan ketiga desain tersebut terletak pada
komponen ankle joint.
Pada sebuah penelitian (Herdiman, L., 2009) diungkapkan beberapa
perbedaan ketiga desain BKP tersebut. Desain prosthetic eksoskeletal merupakan
desain yang berkembang di Indonesia. Desain ini mudah dalam pembuatannya
dan harganya terjangkau masyarakat. Kekurangan desain ini yaitu kurang presisi,
tidak adanya komponen pengganti pergelangan kaki (ankle joint) dan tidak
terdapat penguat (pylon) pada bagian dalam. Ankle joint bersifat kaku (fixed) dan
tidak fleksibel (unflexibility). Desain prosthetic endoskeletal impor merupakan
desain yang lebih modern dibandingkan desain eksoskeletal. Desain ini lebih
modern dengan adanya pylon dan komponen ankle joint. Komponen ankle joint
didesain dengan sistem double axis yang memungkinkan gerakan flexion dan
extension pada bagian ankle yaitu plantarflexion dan dorsiflexion. Salah satunya
diproduksi oleh Taiwan dengan merek Regal yang mengadaptasi prosthetic Otto
Bock buatan Jerman. Kualitas kepresisian, kenyamanan, bahkan fleksibilitas lebih
baik daripada desain eksoskeletal, namun harganya kurang terjangkau bagi
sebagian besar masyarakat Indonesia, serta karakteristik fisik tidak sesuai untuk
digunakan orang Indonesia. Pada tahun 2009 telah dikembangkan prosthetic
endoskeletal oleh Lobes Herdiman yang mengakomodasi kekurangan kedua
desain prosthetic sebelumnya. Pada desain ini terdapat pylon dan komponen ankle
joint. Komponen ankle joint didesain dengan sistem double axis, sama halnya
pada desain endoskeletal merek Regal, namun dengan tingkat fleksibilitas yang
berbeda. Jika diterapkan di Indonesia, hasilnya lebih baik dibandingkan desain
eksoskeletal dan harganya tetap terjangkau.
Penelitian ini dilakukan untuk mengkaji fisiologi pengguna prosthetic
menggunakan tiga desain prosthetic yang berbeda saat melakukan aktivitas
xxii
berjalan terhadap empat kriteria pengukuran fisiologi. Hasil akhirnya yaitu berupa
rekomendasi desain prosthetic dengan pengukuran fisiologi paling mendekati
kondisi orang normal.
1.2 PERUMUSAN MASALAH
Berdasarkan latar belakang di atas maka perumusan masalah yang dapat
diangkat adalah bagaimana memilih desain prosthetic kaki bawah lutut dalam
mengakomodasi aktivitas berjalan.
1.3 TUJUAN PENELITIAN
Tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini yaitu pemilihan desain
prosthetic kaki bawah lutut dalam mengakomodasi aktivitas berjalan. Sub tujuan
yang harus dicapai, yaitu:
1. Mengukur aspek fisiologi yang meliputi tingkat kelelahan (%CVL), energi
ekspenditur, kebutuhan kalori, dan konsumsi oksigen yang dikeluarkan oleh
pengguna prosthetic kaki bagian bawah lutut dan responden normal yang telah
dihitung nilai BMR keduanya terlebih dahulu.
2. Menentukan desain prosthetic terbaik dengan memperhatikan hasil
pengukuran fisiologi yang mendekati kondisi responden normal.
1.4 MANFAAT PENELITIAN
Adapun manfaat yang ingin dicapai dalam penelitian ini yaitu memberikan
rekomendasi pada pengguna prosthetic kaki bawah lutut mengenai desain
prosthetic dengan pengukuran fisiologi mendekati responden normal.
1.5 BATASAN MASALAH
Batasan masalah dari penelitian pengukuran fisiologi jenis-jenis prosthetic
kaki bagian bawah lutut, sebagai berikut:
1. Penelitian dilakukan kepada individu yang hanya kehilangan satu anggota
gerak bawah lutut yaitu bagian kanan dan stump (bagian segmen tubuh sisa
dari amputasi) masih dapat digerakkan.
2. Responden berjenis kelamin laki-laki. Responden amputee berjumlah satu
orang dan responden normal berjumlah sepuluh orang.
xxiii
1.6 ASUMSI
Asumsi-asumsi yang digunakan pada penelitian pengukuran fisiologi
jenis-jenis prosthetic kaki bagian bawah lutut untuk mendekatkan segi teoritis
dengan kondisi sebenarnya, sebagai berikut:
1. Responden amputee dan responden normal tidak mempunyai penyakit
kelainan jantung.
2. Aspek psikologis tidak mempengaruhi hasil penelitian.
3. Responden amputee sudah terbiasa menggunakan ketiga desain prosthetic.
1.7 SISTEMATIKA PENULISAN
Sistematika penulisan penelitian pengukuran fisiologi prosthetic bawah
lutut dapat diuraikan seperti di bawah ini.
BAB I PENDAHULUAN
Bab ini berisi alasan atau latar belakang diadakan penelitian mengenai
pemilihan desain prosthetic bawah lutut dengan meninjau metabolisme basal dan
pengukuran fisiologi disertai pula perumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat
penelitian, batasan masalah, asumsi, dan sistematika penulisan dari penelitian.
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
Bab ini berisi dasar-dasar teori dan hasil-hasil penelitian sebelumnya yang
menunjang pembahasan masalah yaitu mengenai jenis prosthetic, mengenai
karakter-karakter pokok prosthetic serta bagian-bagiannya, dan mengenai
pengukuran fisiologi serta hal-hal lain yang berkaitan.
BAB III METODOLOGI PENELITIAN
Bab ini berisi mengenai kerangka pemikiran dari penelitian yang memuat
tahap-tahap penelitian mulai dari tahap identifikasi permasalahan awal, tahap
pengumpulan dan pengolahan data, tahap pengukuran fisiologi pengguna
prosthetic bawah lutut dan orang normal, langkah-langkah pembandingan
pengukuran fisiologi, interpretasi hasil, dan penarikan kesimpulan.
BAB IV PENGUMPULAN DAN PENGOLAHAN DATA
Bab ini berisi data penelitian yang terdiri dari data primer dan data
sekunder. Data primer berkenaan dengan hasil eksperimen yang dilakukan
terhadap pasien pengguna prosthetic kaki bawah lutut, sedangkan data sekunder
merupakan data hasil eksperimen yang dilakukan terhadap sepuluh orang normal
xxiv
sebagai bahan pembanding. Eksperimen dan pengambilan data dilakukan di Lab.
LPSKE Teknik Industri UNS. Pada bab ini dijelaskan pula cara pengolahan data-
data tersebut.
BAB V ANALISIS HASIL PENELITIAN
Bab ini berisi interpretasi dari hasil pengolahan data, baik data primer
maupun data sekunder serta membandingkan terhadap tujuan penelitian yang
ditetapkan.
BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN
Bab ini berisi kesimpulan dari hasil pengolahan data penelitian, dan saran
untuk penelitian mengenai pengukuran fisiologi serta masukan untuk pemilihan
jenis prosthetic kaki bagian bawah lutut.
xxv
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Prosthetic
Prosthetic merupakan alat ganti anggota gerak tubuh yang tidak ada.
Penjelasan mendetail mengenai definisi dan indikasi prosthetic, fungsi,
komponen-komponen, serta bahan prosthetic kaki bagian bawah lutut diuraikan
sebagai berikut.
2.1.1 Definisi Prosthetic
Prosthetic adalah suatu pengganti artifisial untuk bagian tubuh yang
hilang. Meski definisi tersebut berhubungan dengan tidak adanya telinga, mata,
gigi atau bagian tubuh lain tetapi yang menjadi pembahasan disini adalah bagian
tubuh yang berfungsi sebagai alat gerak (Mehrsheed Sinaki, M.D.,M.S, 1993).
Prosthetic dibuat untuk memobilisasi penderita amputasi yaitu mengganti bagian
atau fungsi alat tubuh yang hilang. Anggota gerak tubuh terdiri dari anggota gerak
atas yaitu lengan dan tangan serta anggota gerak bawah yaitu kaki.
Kaki merupakan bagian tubuh manusia yang berfungsi sebagai penopang
tubuh (weight bearing) dan sebagai alat gerak bawah (locomotion). Kedua fungsi
kaki tersebut menunjang manusia untuk beraktivitas sehari-hari. Pergerakan kaki
diatur oleh tulang, sendi, otot dan syaraf.
Ketiadaan alat gerak bawah ini dapat disebabkan oleh dua hal, yaitu
amputasi dan defisiensi bawaan. Amputasi adalah pemotongan bagian tubuh
karena masalah tertentu seperti misalnya penyakit, trauma atau kecelakaan, dan
tumor. Defisiensi bawaan adalah ketiadaan bagian tubuh sejak lahir.
Pembahasan berikutnya hanya menyangkut permasalahan kaki saja, karena
tujuan dari penelitian ini yaitu untuk mengukur tingkat fisiologi kaki tiruan
(prosthetic) dengan tiga desain yang berbeda. Ketiadaan kaki (amputasi) dapat
dibagi menjadi empat yaitu ketiadaan kaki bagian atas lutut (above-knee) dan
ketiadaan kaki bagian bawah lutut (below-knee), ketiadaan bagian tengah lutut
(middle-knee) dan ketiadaan telapak kaki (syme).
xxvi
2.1.2 Komponen Prosthetic Kaki Bawah Lutut (Below-Knee Prosthetic)
Komponen dasar dari prosthetic bawah lutut (below-knee) terdiri dari foot,
ankle, shank, socket, dan sistem suspensi. Bentuk prosthetic bawah lutut
ditunjukkan pada gambar 2.1 berikut.
Sistem suspensi
Socket
shank
Ankle Foot
Gambar 2.1 Prosthetic bawah lutut (below-knee) Sumber: Lower-Limb Prosthetics, 1990
Bagian-bagian prosthetic bawah lutut:
1. Foot – ankle,
Foot (kaki dasar) dan ankle manusia menyerap daya deselerasi pada saat
tumit menapak, memberi dukungan selama posisi setengah berdiri tegak, dan
menyesuaikan ayunan untuk membuat tubuh tegak dan bergerak ke depan pada
tahap selanjutnya. Karakter yang harus dimiliki oleh foot-ankle, yaitu :
a. Mampu menahan bobot (berat) tubuh.
b. Mampu meredam getaran saat kontak tumit (heel contact).
c. Mampu secara cepat mencapai posisi mendatar (foot-flat).
d. Mampu mendukung sendi metatarsophalangeal saat fase berdiri.
e. Menyerupai atau mirip dengan kontur kaki yang sebenarnya.
Terdapat dua jenis assembly foot-ankle, yaitu assembly tanpa artikulasi
(nonarticulated) dan assembly dengan artikulasi (articulated). Pada assembly
tanpa artikulasi, foot-ankle terdiri dari sambungan yang tidak fleksibel, sedangkan
pada assembly dengan artikulasi, sumbu (axis) yang dipasang bersifat fleksibel
sehingga memungkinkan pengguna yang aktif untuk berlari dan melompat.
Penjelasan mengenai jenis foot-ankle dijabarkan secara lebih lengkap berikut ini.
a. Nonarticulated Foot-Ankle Assembly
SACH (solid ankle cushion heel) foot merupakan salah satu assembly non
artikulasi. Bahan yang biasa dipakai untuk sumbu (axis) adalah kayu atau
xxvii
aluminium dengan bagian tumit dilapisi karet spons. Pergerakan yang dapat
dilakukan oleh assembly ini sangat minimal. Gambar 2.2 (a) menunjukkan
bentuk SACH foot.
Single axis foot merupakan assembly non artikulasi yang kedua. Gerakan yang
dihasilkan oleh assembly ini lebih meningkat dibandingkan SACH foot,
walaupun gerakannya bukan merupakan gerakan mediolateral ataupun rotasi.
Bentuk single axis foot dapat dilihat pada gambar 2.2 (b).
(a) SACH foot (b) Single axis foot
Gambar 2.2 Nonarticulated foot-ankle assembly Sumber: Prosthetic-Orthetic Education, Nortwestern University
Medical School, 1969
b. Articulated Foot-Ankle Assembly
Assembly ini sering disebut sebagai kaki dinamis karena memungkinkan
pergerakan yang lebih banyak dibandingkan assembly non artikulasi. Terdiri
dari axis yang fleksibel dimana pengguna dapat berlari dan melompat dengan
nyaman, dan daya dukung atau topangan untuk sepatu lebih besar.
Seattle foot adalah salah satu jenis kaki dinamis. Kaki tiruan ini lebih meredam
getaran dan lebih menyerap energi pada saat kontak tumit, dengan demikian
menyediakan dorongan yang lebih baik.
STEN (stored energy) foot juga merupakan kaki dinamis. Kaki tiruan ini terdiri
dari tiga bagian axis yang terbuat dari kayu yang dikombinasikan dengan tiga
penyumbat dari karet. Perpindahan atau transfer bobot badan ke kaki pertama-
tama menekan penyumbat. Desain ini memungkinkan jumlah energi yang
keluar lebih sedikit dibanding assembly non artikulasi. Dibandingkan dengan
SACH foot, kaki ini lebih berat dan lebih mahal. Bentuk kaki dari seattle foot
dan STEN foot dapat dilihat pada gambar 2.3.
xxviii
(a) Seattle foot (b) STEN foot
Gambar 2.3 Articulated foot-ankle assembly Sumber: Lower-Limb Prosthetics, 1990
Perbandingan kelebihan dan kekurangan antara non artikulasi assembly
dan artikulasi assembly dapat dilihat pada tabel 2.1.
Tabel 2.1 Perbandingan nonartikulasi dan artikulasi assembly
2. Shank,
Shank adalah bagian penghubung antara foot, ankle dan socket. Shank
berfungsi untuk memindahkan dan membagi beban dari socket ke bagian foot.
Terdapat dua jenis shank, yaitu exoskeletal dan endoskeletal. Exoskeletal shank
pada umumnya dibuat dari bahan yang ringan namun kuat dan kokoh. Bahan yang
sering dipakai misalnya plastik, aluminium dan kayu. Pada exoskeletal shank,
ruang bagian bawah socket dan blok ankle dilubangi untuk mengurangi berat.
Pada endoskeletal shank, terdapat tambahan tumpuan yang berupa tonggak untuk
lebih memperkokoh dan memudahkan pemindahan beban dari socket ke bagian
foot. Tonggak pada endoskeletal shank terbuat dari logam atau pipa plastik.
Komponen Kelebihan Kekurangan
Single axis foot statis
1. Meningkatkan stabilitas lutut. 2. Harganya murah. 3. Perawatan mudah dan murah.
1. Tidak mengakomodasi individu yang aktif.
2. Meningkatkan beban lutut. 3. Berjalan menjadi lambat.
SACH foot
1. Harga murah. 2. Perawatan mudah dan murah. 3. Beragam ukuran dan tinggi. 4. Dapat dipakai oleh setiap level
amputasi. 5. Paling banyak dipakai untuk
prosthetic kaki.
1. Tidak ada dorongan atau tenaga saat posisi berdiri.
2. Tidak mengakomodasi individu yang ingin melompat.
3. Berjalan menjadi lambat.
Dynamic foot
1. Adanya dorongan atau tenaga saat posisi berdiri.
2. Mengakomodasi individu yang aktif, dapat untuk berlari, melompat dan untuk berjalan jauh.
1. Harganya mahal. 2. Perawatan susah dan
membutuhkan biaya tambahan.
3. Tidak semua kasus amputasi dapat menggunakan.
xxix
Bagian luar juga dilapisi dengan bahan yang lembut agar penampilan menyerupai
kaki yang sebenarnya.
Keuntungan exoskeletal shank yaitu selain murah, pembuatannya mudah,
pelapisan bagian luar lebih berdaya tahan. Kekurangan dari shank ini yaitu
kemampuan menopang tubuh lebih kecil dibanding endoskeletal shank.
Keuntungan endoskeletal shank yaitu lebih modern, lebih mampu menopang
beban tubuh, lebih kuat. Kekurangan shank ini yaitu lebih mahal, pembuatan lebih
sulit dan rumit, pelapisan bagian luar kurang berdaya tahan. Bentuk kedua jenis
shank dapat dilihat pada gambar 2.4.
(a) Exoskeletal shank (b) Endoskeletal shank
Gambar 2.4 Jenis shank pada prosthetic Sumber: Lower-Limb Prosthetics, 1990
3. Socket,
Socket adalah bagian dari prosthetic sebagai tempat dimasukkannya
puntung kaki (stump) yang masih ada. Jadi bagian ini menyambung atau
berhubungan langsung dengan puntung kaki, bahkan tak jarang socket ini
menempel pas pada bagian puntung. Socket harus mampu menyokong bobot
badan dan mendukung sisa puntung secara kuat dan nyaman untuk semua
aktivitas pengguna. Socket dibuat menempel pas pada sisa puntung secara kuat
untuk mengurangi gerakan atau gesekan antara socket dan kulit. Banyak gesekan
antara socket dan kulit menyebabkan pengguna merasa kurang nyaman selama
beraktivitas, dan mengakibatkan resiko yang lebih besar pada abrasi kulit.
Pembuatan socket didasarkan pada ukuran puntung tiap-tiap pengguna
agar socket menempel dengan tepat. Jadi setiap pengguna mempunyai ukuran
socket yang berbeda. Pembuat prosthetic mencatat karakter puntung dari masing-
xxx
masing pengguna, mengukur puntung, mengukur batang kaki yang masih utuh
untuk kesimetrisan, kemudian membuat cetakan untuk pengepasan socket.
Rancangan yang paling sering dipakai adalah socket PTB (patellar-
tendon-bearing). Socket ini dirancang untuk berbagi berat badan pada tendon
patellar. Socket ini dirancang benar-benar menempel total dengan ujung tungkai
sehingga edema dan masalah kulit diminimalkan. Pada bagian dalam ditambahkan
bahan lembut agar puntung kaki lebih nyaman.
Jenis socket yang kedua yaitu socket keras (hard socket). Jenis ini tidak
menyertakan bahan lembut di bagian dalam socket. Ada beberapa persyaratan
yang harus dipenuhi bagi puntung kaki yang memakai socket ini yaitu puntung
kaki harus benar-benar mature yaitu sembuh tanpa ada luka maupun bengkak
sedikitpun dan jaringan pada puntung harus bagus. Hard socket tidak cocok bagi
individu dengan jaringan bagian puntung yang kurang bagus, yang mengalami
masalah pembuluh darah, yang urat puntungnya sensitif, dan yang ukuran puntung
senantiasa berubah ukuran.
Hasil pengembangan socket adalah ISNY (Icelandic-Swedish-New York
University) PTB socket merupakan hasil penelitian gabungan negara-negara
tersebut. Bahannya dari karbon fiber ditambah laminasi frame untuk
memindahkan bobot. Kelebihannya yaitu lebih ringan, lebih nyaman, fleksibel
dan lebih tipis. Kekurangannya antara lain, karena tipis maka kurang berdaya
tahan, serta penampilan yang diberi frame tersebut menjadi kurang menarik.
Bentuk socket PTB dan bentuk socket ISNY dapat dilihat pada gambar 2.5.
(a) Socket PTB (b) Socket ISNY Gambar 2.5 Jenis socket pada prosthetic
Sumber: Lower-Limb Prosthetics, 1990
4. Sistem Suspensi,
Sistem suspensi merupakan bagian yang berfungsi untuk mengaitkan
keseluruhan prosthetic pada bagian dari tubuh kita. Tujuannya agar prosthetic
xxxi
terpasang sempurna pada tungkai kaki. Sistem suspensi bermacam-macam
jenisnya, berikut beberapa jenis suspensi tersebut.
a. Cuff Suspension,
Menggunakan manset yang terbuat dari kulit atau anyaman dakron yang kuat
untuk dipasangkan pada bagian dalam socket yang kemudian diikatkan pada
bagian paha. Bentuk suspensi ini dapat dilihat pada gambar 2.6.
Cuff Suspension
Gambar 2.6 Cuff suspension Sumber: Lower-Limb Prosthetics, 1990
b. Waist belt,
Menggunakan manset yang terbuat dari kulit atau anyaman dakron yang kuat,
namun tidak diikatkan pada paha, melainkan diikatkan mengelilingi pinggang.
Ikat pinggang yang dipasangkan di pinggang terbuat dari anyaman katun.
Biasanya dipakai pada individu dengan stump yang pendek. Gambar 2.7
menunjukkan bentuk waist belt.
Waist belt
Gambar 2.7 Waist belt Sumber: Bella J. May, EdD, 1996
c. Thigh corset,
Sistem penggantung menggunakan waist belt dengan dililitkan pada pinggang.
Terdapat tambahan yaitu pada paha dipasang korset yang berfungsi
memperkuat penggantung. Sistem ini merupakan ciri prosthetic bawah lutut
konvensional. Gambar 2.8 memperlihatkan bentuk dari thigh corset.
xxxii
Thigh corset
Gambar 2.8 Thigh corset Sumber: Lower-Limb Prosthetics, 1999
2.1.3 Prosthetic Bawah Lutut yang Berkembang di Indonesia
Terdapat dua jenis prosthetic bawah lutut yang secara resmi berkembang
di Indonesia yaitu prosthetic bawah lutut konvensional dan prosthetic bawah lutut
patellar tendon bearing (PTB). Prosthetic bawah lutut PTB lebih modern
dibanding prosthetic bawah lutut konvensional. Keterangan mengenai masing-
masing jenis prosthetic dipaparkan lebih jelas.
1. Prosthetic bawah lutut konvensional.
Ciri khas jenis ini adalah sistem suspensi berupa thigh corset. Weight
bearing atau penopangan tubuh dibebankan pada paha, maka thigh corset ini
sangat berperan. Jenis ini kurang modern dan merepotkan karena sulitnya
pemasangan tali pada korset sehingga kurang diminati pasien amputasi.
2. Prosthetic bawah lutut patellar tendon bearing (PTB)
Jenis prosthetic ini lebih modern dibandingkan prosthetic konvensional.
Weight bearing atau penopangan tubuh dibebankan pada tendon patella lutut.
Jenis ini lebih banyak dipesan karena selain lebih modern, prosthetic jenis ini juga
lebih praktis dikenakan bagi pengguna. Gambar 2.9 menunjukkan bentuk dari
prosthetic jenis patellar tendon bearing (PTB).
xxxiii
Gambar 2.9 Prosthetic bawah lutut patellar tendon bearing (PTB) Sumber: Dokumentasi RSOP Prof.Dr.R. Soeharso Solo, 2003
2.2 POLA JALAN NORMAL PADA MANUSIA
Berjalan merupakan salah satu cara yang dilakukan oleh manusia untuk
berpindah tempat dari satu tempat ke tempat lain. Kegiatan berjalan merupakan
kegiatan yang sangat kompleks. Pada saat berjalan hampir semua anggota tubuh
manusia ikut bergerak untuk mempertahankan keseimbangan tubuh. Menurut
Grandjean (1993), aktivitas berjalan normal dilakukan dengan jumlah langkah tiap
menitnya sebesar 75 langkah sampai dengan 110 langkah dengan jarak tiap
langkah berkisar antara 50 cm sampai dengan 75 cm. Kecepatan berjalan manusia
sangat dipengaruhi oleh jenis alas kaki yang dipakai. Orang normal biasanya
berjalan dengan kecepatan antara 4 km/jam sampai dengan 5 km/jam. Pada saat
berjalan terjadi beberapa fase yang dialami oleh manusia.
2.2.1 Fase Berjalan
Siklus pola jalan (gait cycle) dimulai saat kaki menyentuh lantai dan
berakhir pada kontak kaki yang sama pada lantai. Dua komponen utama siklus
pola jalan (gait cycle) manusia adalah fase berdiri (stance phase) dan fase berayun
(swing phase). Anggota tubuh berada pada fase berdiri (stance phase) ketika kaki
menyentuh lantai dan anggota tubuh berada pada fase berayun (swing phase)
ketika salah satu kaki tidak menyentuh lantai. Jumlah relatif waktu yang dipakai
tiap fase pada siklus pola jalan untuk kecepatan berjalan pada umumnya, yaitu:
1. Fase berdiri (stance phase) – 60% dari siklus,
2. Fase berayun (swing phase) – 40% dari siklus.
xxxiv
Siklus pola jalan manusia dapat dilihat pada gambar 2.10.
Gambar 2.10 Siklus pola jalan (gait cycle) Sumber: Lower-limb prosthetics, 1990
Berdasarkan gambar 2.10, fase-fase berjalan dijelaskan dalam uraian berikut.
1. Fase berdiri (stance phase),
Fase berdiri (stance phase) dikelompokkan menjadi lima bagian yaitu kontak
dengan tumit (heel contact), kaki datar (foot-flat), titik setengah berdiri
(midstance point), tumit terangkat (heel-off) dan jari kaki terangkat (toe-off).
Fase berdiri (stance phase) dapat dilihat pada gambar 2.11.
Gambar 2.11 Fase berdiri (stance phase) Sumber: Lower-limb prosthetics, 1990
Dari gambar 2.11 dapat dilihat fase berdiri pada saat berjalan. Kontak dengan
tumit (heel-contact) mengacu pada saat tumit menyentuh lantai dalam waktu
yang singkat, kaki datar (foot-flat) mengacu pada saat kontak awal kaki depan
dengan lantai, titik setengah berdiri (midstance point) terjadi pada saat
trochanter berada pada posisi lurus vertikal dengan bisector vertikal terhadap
kaki, tumit terangkat (heel-off) terjadi pada saat tumit naik dari lantai dan jari
kaki terangkat (toe-off) terjadi ketika jari kaki meninggalkan lantai.
2. Fase berayun (swing phase),
Fase berayun (swing phase) dibagi dalam tiga interval yaitu akselerasi
(acceleration), setengah berayun (midswing) dan penurunan kecepatan
(decelaration). Setiap bagian membentuk sepertiga dari fase berayun (swing
phase). Fase berayun (swing phase) dapat dilihat pada gambar 2.12.
xxxv
Gambar 2.12 Fase berayun (swing phase) Sumber: Lower-Limb Prosthetics, 1990
Dari gambar 2.12 dapat dilihat fase berayun pada saat berjalan. Bagian pertama
adalah periode akselerasi (acceleration) merupakan kecepatan akselerasi
anggota tubuh bagian bawah setelah jari kaki meninggalkan lantai. Interval
selanjutnya adalah interval setengah berayun (midswing) dimana anggota kaki
yang berayun terangkat dan bergerak kedepan menuju bagian tubuh yang
berada di fase berdiri (stance phase). Bagian akhir dari fase berayun (swing
phase) ditandai dengan penurunan kecepatan dari pergerakan anggota tubuh
yang cepat sebagai pendekatan akhir dari interval.
2.2.2 Gerakan Anggota Tubuh Pada Saat Berjalan
Berjalan merupakan kegiatan yang melibatkan gerak dari hampir semua
bagian tubuh manusia. Pergerakan bagian-bagian tubuh pada saat berjalan
berfungsi untuk mempertahankan keseimbangan tubuh manusia. Bagian tubuh
yang berperan menjaga keseimbangan saat berjalan (Rubberbug, 2008), yaitu:
1. Bagian telapak kaki dan tungkai bawah,
Bagian kaki dan tungkai bawah ini merupakan bagian terpenting pada saat
berjalan. Kedua bagian ini menggerakkan tubuh ke depan dan bagian sendi
harus ditekuk agar kita berjalan secara normal. Berjalan diawali dengan
mengayunkan kaki kedepan sehingga beban tubuh berpindah ke kaki bagian
depan. Pergerakan inilah yang disebut sebagai heel contact. Pergerakan kaki
dan sendi-sendi tubuh pada posisi ini dapat dilihat pada gambar 2.13.
Gambar 2.13 Gerakan kaki dan sendi pada fase heel contact Sumber: Rubberbug, 2008
xxxvi
Saat beban tubuh berada di bagian kaki depan, lutut menekuk untuk menyerap
goncangan. Posisi ini disebut foot flat (pada fase berdiri) atau posisi
acceleration (pada posisi berayun). Tubuh memiliki titik terendah. Pergerakan
kaki dan sendi-sendi tubuh pada posisi ini dapat dilihat pada gambar 2.14.
Gambar 2.14 Gerakan kaki dan sendi pada fase foot flat dan acceleration Sumber: Rubberbug, 2008
Saat tubuh bergerak ke depan, lutut menjadi lurus dan mencapai titik tertinggi.
Posisi ini disebut sebagai posisi midswing (pada fase berayun) atau posisi point
midstance (pada fase berdiri). Pada posisi ini tubuh memiliki titik terendah.
Pergerakan kaki dan sendi-sendi tubuhnya dapat dilihat pada gambar 2.15.
Gambar 2.15 Gerakan kaki dan sendi pada fase point midstance dan midswing
Sumber: Rubberbug, 2008
Saat tubuh bergerak ke depan, beban tubuh berpindah dari bagian tumit ke
bagian jari kaki. Posisi tubuh mulai jatuh ke depan dengan salah satu kaki
berayun untuk mencapai tanah. Posisi ini disebut posisi heel off. Pergerakan
kaki dan sendi-sendi tubuh pada posisi ini dapat dilihat pada gambar 2.16.
Gambar 2.16 Gerakan kaki dan sendi pada fase heel off Sumber: Rubberbug, 2008
xxxvii
Pergerakan terakhir dari kaki dan tungkai bawah kaki ini terjadio saat kaki yang
bebas berayun tersebut menyentuh tanah dan kaki yang menumpu tubuh
meninggalkan tanah. Posisi inilah yang disebut sebagai posisi toe off (pada fase
berdiri) dan posisi deceleration (pada fase berayun). Pergerakan kaki dan sendi-
sendi tubuh pada posisi ini dapat dilihat pada gambar 2.17.
Gambar 2.17 Gerakan kaki dan sendi pada fase toe off dan deceleration Sumber: Rubberbug, 2008
2. Bagian pinggul, tulang belakang dan bahu,
Pinggul merupakan tempat pusat massa (gravitasi) dari tubuh seseorang.
Pinggul merupakan awal dari semua keseimbangan pergerakan tubuh. Selama
berjalan, pergerakan pinggul dibagi menjadi dua macam. Gerakan pertama,
pinggul berputar mengelilingi tulang belakang dengan menggerakkan kaki ke
depan dan ke belakang. Jika kaki kanan bergerak ke depan, pinggul juga
bergerak ke depan. Gerakan kedua, posisi kaki menarik pinggul melewati poros
dan membuat pinggul bergerak ke kiri dan ke kanan. Kedua gerakan ini
mempengaruhi tulang belakang dan bahu untuk mempertahankan
keseimbangan. Gerakan pinggul dapat dilihat pada gambar 2.18.
Gambar 2.18 Gerakan pinggul dan bahu pada saat berjalan
Sumber: Rubberbug, 2008
Dari gambar 2.18 dapat diketahui bahwa pada saat posisi foot flat, pinggul
harus berotasi mengelilingi poros tulang belakang. Untuk menjaga
keseimbangan, bahu berayun pada arah yang berlawanan. Dari bagian depan,
tulang belakang berada pada posisi relatif lurus tapi dari bagian atas, dapat
xxxviii
dilihat posisi dari bahu dan pinggul yang berputar berlawanan untuk
mempertahankan keseimbangan.
Gambar 2.19 Gerakan tulang belakang dan bahu pada saat berjalan
Sumber: Rubberbug, 2008
Dari gambar 2.19 dapat dilihat bahwa dari pandangan depan, pinggul ditarik
oleh beban dari kaki yang bebas berayun. Hal ini menyebabkan perputaran
sudut pada bagian bahu. Pada saat dilihat dari atas, dapat dilihat bahwa pinggul
dan bahu mempunyai sudut yang sama.
Gambar 2.20 Gerakan tulang belakang dan bahu pada saat berjalan
Sumber: Rubberbug, 2008
Dari gambar 2.20 dapat dilihat bahwa pada saat kaki kedua ekstensi, pinggul
dan bahu keliahatan sama rata jika dilihat dari bagian depan. Dari bagian atas,
dapat dilihat bahwa rotasi dari bahu dan pinggul sudah sempurna.
3. Bagian lengan,
Pada saat berjalan, bagian lengan tubuh berayun pada kedua sisi tubuh manusia.
Lengan tampak seperti pendulum (bandul ayun). Pada saat lengan melakukan
ekstensi secara penuh, hal ini menyebabkan proses berjalan tampak lebih alami.
4. Bagian kepala,
Pada saat berjalan normal, posisi kepala biasanya berusaha tegak dengan
kondisi mata tetap fokus ke depan untuk mengetahui arah tubuh bergerak.
Selain itu, kepala juga dapat berputar ke kiri dan ke kanan untuk mengamati
keadaan sekeliling pada saat berjalan.
xxxix
2.3 BODY MASS INDEX (BMI)
Body mass index (BMI) adalah bilangan yang digunakan untuk
mengetahui tingkat obesitas seseorang. Body mass index (BMI) disebut juga
dengan indeks massa tubuh (BMI). BMI pertama kali diperkenalkan oleh
Organisasi Kesehatan Dunia (WHO). Tujuan WHO mengeluarkan BMI ini adalah
untuk menetapkan suatu ukuran atau klasifikasi obesitas yang dapat berlaku
secara umum dan tidak bergantung pada bias-bias kebudayaan. Nilai BMI tidak
dipengaruhi oleh umur dan jenis kelamin, namun hanya mempertimbangkan berat
badan dan tinggi badan manusia. Keterbatasan BMI adalah tidak dapat digunakan
bagi anak-anak dalam masa pertumbuhan, wanita hamil dan orang yang sangat
berotot (atlet). BMI ditentukan dengan rumus dibawah ini.
BMI = 2H
W ..........................................................................................persamaan 2.1
dengan; W adalah berat badan dalam kg
H adalah tinggi badan dalam m
Klasifikasi nilai BMI menurut WHO dalam website Forum Obesitas (2008) dapat
dilihat pada tabel 2.2.
Tabel 2.2 Klasifikasi body mass index (BMI) menurut WHO
Kategori BMI (kg/m2) Resiko terkena penyakit Langsing < 18.5 Rendah
Proporsional 18.5-24.9 Rata-rata
Gemuk ≥ 25
a. Pra obesitas 25-29.9 Meningkat
b. Obesitas I 30-34.9 Sedang
c. Obesitas II 35-39.9 Berbahaya
d. Obesitas III ≥ 40 Sangat berbahaya Sumber: WHO dalam Forum Obesitas, 2008
WHO melakukan penelitian mengenai BMI di Singapura pada tahun 2000.
Hasil penelitian menunjukkan orang Singapura dengan BMI 27-28 kg/m2
mempunyai lemak tubuh sama dengan orang kulit putih dengan BMI 30 kg/m2.
Hasil ini membuat WHO mengeluarkan standar BMI yang secara khusus berlaku
bagi orang-orang Asia dewasa. Klasifikasi BMI untuk orang Asia dewasa dapat
dilihat pada tabel 2.3.
Tabel 2.3 Klasifikasi body mass index (BMI) orang Asia dewasa
xl
Kategori BMI (kg/m2) Resiko terkena penyakit Langsing < 18.5 Rendah
Proporsional 18.5-22.9 Rata-rata
Gemuk ≥ 23
a. Pra obesitas 23-24.9 Meningkat
b. Obesitas I 25-29.9 Sedang
c. Obesitas II ≥30 Berbahaya Sumber: WHO dalam Forum Obesitas, 2008
Dari tabel 2.3 dapat dilihat bahwa ukuran BMI untuk orang Asia berbeda
dengan BMI orang Eropa. BMI untuk orang Asia tidak ada klasifikasi untuk
obesitas III seperti pada BMI orang Eropa.
2.4 METABOLISME BASAL
Metabolisme basal adalah istilah untuk menunjukkan jumlah keseluruhan
aktivitas metabolisme dengan tubuh dalam keadaan istirahat fisik dan mental.
Kecepatan metabolisme basal diukur pada waktu istirahat, di tempat tidur, tidak
terganggu oleh apapun dengan pemasukan oksigen dan pengeluaran karbon
dioksida diukur. Faktor-faktor yang mempengaruhi kecepatan metabolisme basal
yaitu ukuran tubuh (luas permukaan atau massa tubuh), umur, jenis kelamin,
iklim, jenis pakaian yang dipakai, dan jenis pekerjaan. Hubungan antara
kecepatan metabolisme basal beberapa jenis makhluk hidup dengan massa
tubuhnya dapat dilihat pada gambar 2.21.
Kebutuhan energi suatu individu tergantung pada kondisi metabolismenya,
diwujudkan dalam nilai basal metabolic rate (BMR) dan tingkat keaktifan tubuh.
BMR adalah tingkat konsumsi tenaga pada tubuh saat posisi diam. Pentingnya
mengetahui nilai BMR yaitu mampu menghitung dengan teliti berkaitan dengan
keseimbangan energi dalam tubuh kita. Nilai BMR normal rata-rata 92 Kkal/jam
atau 1200-1800 Kkal/hari. Nilai BMR berbeda-beda pada setiap orang tergantung
usia, jenis kelamin, dan genetika. Pada setiap orang BMR ada kemungkinan
nilainya berubah tergantung kondisi yang berbeda. Misalnya, dalam kondisi stres
nilai BMR cenderung lebih tinggi. Nilai BMR juga lebih tinggi pada orang aktif
(atlet), anak-anak, dan wanita hamil. Saat orang beranjak tua, BMR mereka
semakin berkurang yaitu berkurang 2% untuk setiap 10 tahun.
xli
Gambar 2.21 Hubungan massa tubuh dengan nilai BMR Sumber: School of Health Sciences, Universitas Sains
Malaysia, 1995
BMR dapat dijelaskan sebagai jumlah minimum dari kalori-kalori yang
diperlukan untuk mendukung fungsi-fungsi dan proses-proses tubuh ketika
beristirahat, seperti bernafas dan memompa darah dari dan menuju jantung. Selain
BMR, tingkat latihan fisik serta jumlah lemak dan otot pada tubuh mempengaruhi
banyaknya kalori yang terbakar pada seseorang dalam satu hari.
BMR melambangkan sekitar 60-75% dari total energi pada tubuh. BMR
memegang sekitar tiga perempat atas kebutuhan tenaga suatu individu.
Determinan utama dari BMR adalah berat badan dan komposisi tubuh. Laki-laki
biasanya mempunyai nilai BMR 10-15% lebih tinggi dibandingkan wanita karena
mereka cenderung memiliki lebih banyak otot.
BMR dapat diartikan sebagai jumlah panas yang diproduksi (heat
production) oleh tubuh dalam kondisi basal per satuan luas tubuh per satuan
waktu. Murrel (1965) merumuskan persamaan waktu istirahat yang dibutuhkan
dalam siklus kerja fisiologi. Dalam rumusan tersebut nilai metabolisme basal
ditetapkan senilai 1.5 Kkal/menit. Ada beberapa perumusan untuk menentukan
nilai BMR seseorang, salah satunya adalah persamaan menurut Harris dan
Benedict yang didapatkan pada tahun 1919, seperti berikut.
Untuk laki-laki, sebagai berikut :
hariKkaltahun
acm
hkg
mP /4730.66
17550.6
10033.5
17516.13
÷÷ø
öççè
æ+-+= .........persamaan 2.2
xlii
Untuk wanita, sebagai berikut :
hariKkaltahun
acm
hkg
mP /0955.655
16756.4
18496.1
15634.9
÷÷ø
öççè
æ+-+= .........persamaan 2.3
dengan ;
P : nilai BMR atau heat production (Kkal/hari)
m : berat badan (kg)
h : tinggi badan (cm)
a : usia (tahun)
2.5 KONSEP FISIOLOGI MANUSIA
Fisiologi kerja adalah studi tentang fungsi organ-organ manusia yang
digunakan untuk melakukan aktivitas. Kemampuan manusia untuk melaksanakan
kegiatannya tergantung pada struktur fisik dari tubuhnya. Semua kegiatan tubuh
manusia memerlukan tenaga yang diperoleh karena adanya proses metabolisme
dalam otot, yaitu berupa kumpulan proses-proses kimia yang mengubah bahan
makanan menjadi bentuk kerja mekanis dan panas.
2.5.1 Aktivitas Fisik Manusia
Secara garis besar, kegiatan-kegiatan kerja manusia dapat digolongkan
menjadi kerja fisik (otot) dan kerja mental (otak) dengan intensitas yang berbeda.
Tingkat intensitas yang terlampau tinggi memungkinkan pemakaian energi yang
berlebihan, sebaliknya intensitas yang terlalu rendah menimbulkan rasa bosan dan
jenuh. Karena itu perlu diupayakan tingkat intensitas yang optimum yang ada
diantara kedua batas ekstrim tadi dan tentunya untuk tiap individu berbeda.
Pemisahan antara kerja fisik dan mental tidak dapat dilakukan secara
sempurna, karena saling berhubungan erat. Dilihat dari energi yang dikeluarkan,
kerja mental murni relatif lebih sedikit mengeluarkan energi dibandingkan dengan
kerja fisik. Kerja fisik mengakibatkan pengeluaran energi yang berhubungan erat
dengan konsumsi energi.
Wignjosoebroto (1991) menyatakan bahwa aktivitas fisik merupakan suatu
kegiatan yang memerlukan usaha fisik manusia yang kuat selama periode kerja
berlangsung. Menurut Sulistyadi dan Susanti (2003), aktivitas fisik manusia
menghasilkan perubahan pada fungsi beberapa alat tubuh yang dapat dideteksi
xliii
melalui konsumsi oksigen, denyut jantung per detik, peredaran udara dalam paru-
paru, temperatur tubuh, konsentrasi asam laktat dalam darah, komposisi kimia
dalam darah dan air seni, tingkat penguapan dan beberapa faktor lainnya.
Pengukuran tersebut dapat digunakan untuk mengukur konsumsi energi.
Kerja fisik dikelompokkan oleh Davis dan Miller, yaitu :
a. Kerja total seluruh tubuh, yang mempergunakan sebagian besar otot biasanya
melibatkan duapertiga atau tiga perempat otot tubuh.
b. Kerja sebagian otot, yang membutuhkan lebih sedikit energi ekspenditur
karena otot yang digunakan lebih sedikit.
c. Kerja otot statis, otot digunakan untuk menghasilkan gaya tetapi tanpa kerja
mekanik. Membutuhkan kontraksi sebagian otot.
Sampai saat ini metode pengukuran kerja fisik, dilakukan dengan menggunakan
beberapa standar, yaitu :
1. Konsep horse-power (foot-pounds of work per minute) oleh Taylor, tetapi tidak
memuaskan.
2. Tingkat konsumsi energi untuk mengukur pengeluaran energi.
3. Perubahan tingkat kerja jantung dan konsumsi oksigen (metode terbaru).
Tiffin mengemukakan kriteria-kriteria yang dapat digunakan untuk
mengetahui pengaruh pekerjaan terhadap manusia dalam suatu sistem kerja, yaitu:
a. Kriteria faali meliputi : kecepatan denyut jantung, konsumsi oksigen, tekanan
darah, tingkat penguapan, temperatur tubuh, komposisi kimia dalam darah dan
air seni. Kriteria ini digunakan untuk mengetahui perubahan fungsi alat-alat
tubuh selama bekerja.
b. Kriteria Kejiwaaan meliputi : pengukuran hasil kerja yang diperoleh dari
pekerja. Kriteria ini digunakan untuk mengetahui pengaruh seluruh kondisi
kerja dengan meihat hasil kerja yang diperoleh dari pekerja.
Aktivitas fisik yang dilakukan secara terus menerus sering disebut dengan
aktivitas kardiovaskuler. Aktivitas kardiovaskuler merupakan kegiatan yang
dilakukan oleh seseorang saat beraktivitas dengan pola yang ritmis dan terus
menerus pada suatu periode waktu tertentu. Selama aktivitas kardiovaskuler
dilakukan, jantung memompa darah ke seluruh otot dalam tubuh manusia.
xliv
Aktivitas fisik menyebabkan pengeluaran energi yang berhuibungan erat
dengan konsumsi energi. Dalam hal penentuan konsumsi energi, biasanya
digunakan parameter indeks kenaikan bilangan kecepatan jantung. Indeks ini
merupakan perbedaan antara kecepatan denyut jantung pada saat istirahat dengan
kecepatan denyut jantung pada waktu bekerja (Sulistya dan Susanti, 2003).
Konsumsi energi pada tubuh diukur dengan satuan kilo kalori (Kkal) sehingga
dari pernyataan di atas dapat disimpulkan bahwa konsumsi energi menjadi tolak
ukur yang dapat dipakai sebagai penentu berat atau ringannya suatu kerja fisik.
Menurut Grandjean (1993), konsumsi energi (kalori) merupakan indikator
terhadap beban kerja dan dapat digunakan untuk mengukur waktu istirahat dan
membandingkan tingkat efisiensi pekerjaan dari beberapa perbedaan alat dan
metode yang digunakan dalam melakukan pekerjaan. Pemakaian energi yang
dibutuhkan oleh pria dan wanita untuk melakukan beberapa macam pekerjaan
dapat dilihat pada tabel 2.4.
Tabel 2.4 Kebutuhan energi untuk melakukan berbagai jenis pekerjaan
Tabel 2.4 Kebutuhan energi untuk melakukan berbagai jenis pekerjaan (lanjutan)
xlv
Sumber: Grandjean, 1993
Dari tabel 2.4 dapat dilihat bahwa tingkat konsumsi energi yang
dibutuhkan oleh pria lebih besar daripada wanita. Berbagai macam aktivitas yang
dilakukan oleh tubuh juga menunjukkan tingkat konsumsi energi yang berbeda.
Hal ini dapat dilihat pada tabel 2.5.
Tabel 2.5 Kebutuhan energi untuk aktivitas fisik manusia
Tabel 2.5 Kebutuhan energi untuk aktivitas fisik manusia (lanjutan)
xlvi
Sumber: Grandjean, 1993
Dari tabel 2.5 dapat dilihat bahwa aktivitas berjalan membutuhkan tingkat
konsumsi energi sebesar 2.1 kkal/menit. Menurut Grandjean (1993), kecepatan
normal orang saat berjalan adalah sebesar 4 km/jam sampai dengan 5 km/jam.
2.5.2 Kelelahan (Fatigue)
Sutalaksana (2006) menyatakan bahwa kelelahan adalah suatu pola yang
timbul pada suatu keadaan yang secara umum terjadi pada setiap individu yang
sudah tidak sanggup lagi melakukan aktivitasnya. Pada dasarnya pola ini
ditimbulkan oleh dua hal yaitu fisiologis (objektif) dan psikologis (subjektif).
Faktor fisiologis terjadi karena adanya perubahan-perubahan faali dalam tubuh
manusia. Faktor psikologis terjadi karena adanya perasaan tidak senang terhadap
suatu aktivitas.
Kata kelelahan menunjukkan keadaan yang berbeda-beda, tetapi semuanya
berakibat pada pengurangan kapasitas kerja dan ketahanan tubuh. Kelelahan
terjadi pada syaraf dan otot-otot manusia sehingga otot tersebut tidak dapat
berfungsi dengan baik. Makin berat beban yang dikerjakan dan gerakan semakin
tidak teratur, maka kemungkinan timbulnya kelelahan sangat cepat. Hal ini perlu
dipelajari agar tingkat kekuatan otot manusia dapat ditentukan dan beban kerja
yang diberikan dapat disesuaikan dengan kemampuan otot manusia. Ralph M.
Barnes menggolongkan kelelahan dalam 3 bagian, yaitu :
1. Perasaan lelah
xlvii
2. Kelelahan karena perubahan fisiologis dalam tubuh
3. Menurunnya kemampuan kerja.
Pada dasarnya kelelahan terjadi jika kemampuan otot telah berkurang dan
mengalami puncaknya bila otot tersebut sudah tidak mampu lagi bergerak
(kelelahan sempurna).
Grandjean (1993) menyebutkan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi
kelelahan, yaitu:
1. Besarnya tenaga yang dikeluarkan, 4. Kebiasaan olahraga dan latihan,
2. Frekuensi dan lama bekerja, 5. Jenis kelamin,
3. Cara dan sikap dalam beraktivitas, 6. umur.
Menurut Grandjean (1993), kelelahan dibagi menjadi dua bagian, yaitu:
1. Kelelahan otot (muscular fatigue),
Kelelahan otot adalah gejala kesakitan yang dirasakan otot akibat otot terlalu
tegang. Ketika otot diberi rangsang, ia berkontraksi dan terjadi ketegangan. Jika
rangsang diberikan secara terus-menerus, maka performansi otot semakin
menurun yang dapat dilihat pada kekuatan otot dan gerakan otot yang semakin
lambat. Sutalaksana (2006) menyatakan bahwa pada kondisi tubuh terdapat
cukup oksigen, kontraksi otot berlangsung secara aerobik. Sedangkan pada
kondisi tubuh tidak terdapat cukup oksigen, kontraksi otot berlangsung secara
anaerobik dan menghasilkan asam laktat. Kandungan asam laktat yang tinggi
inilah yang menimbulkan rasa lelah.
2. Kelelahan umum (general fatigue)
Salah satu gejala kelelahan umum adalah munculnya perasaan letih.
Berdasarkan penyebabnya, gejala kelelahan umum dapat dibedakan menjadi
enam, yaitu:
a. Visual fatigue,akibat ketegangan yang berlebihan pada mata,
b. General bodily fatigue,akibat beban fisik yang berlebihan pada seluruh organ
tubuh,
c. Mental fatigue, akibat kerja mental atau otak yang berlebihan,
d. Nervous fatigue, akibat tekanan yang berlebihan pada suatu bagian sistem
psikomotor pada pekerjaan yang membutuhkan ketrampilan,
xlviii
e. Kelelahan akibat kemonotonan pekerjaan dan kondisi kerja yang
menjemukan,
f. Kelelahan kronis akibat akumulasi sejumlah faktor yang terus menerus
menyebabkan kelelahan,
g. Circadian fatigue, bagian dari ritme siklus siang-malam dan awal periode
tidur.
Suma'mur (1984) menyatakan bahwa gejala-gejala pada tubuh yang
mengindikasikan adanya kelelahan, yaitu:
1. Perasaan berat di kepala 16. Cenderung untuk lupa
2. Seluruh tubuh nenjadi lelah 17. Kurang percaya diri
3. Kaki terasa berat 18. Cemas terhadap sesuatu
4. Menguap 19. Tidak dapat mengontrol sikap
5. Merasa kacau pikiran 20. Tidak dapat tekun dalam pekerjaan
6. Mengantuk 21. Sakit kepala
7. Merasakan beban pada mata 22. Kekakuan di bahu
8. Kaku dan canggung dalam gerakan 23. Merasa nyeri di punggung
9. Tidak seimbang dalam berdiri 24. Pernafasan tertekan
10. Keinginan untuk berbaring 25. Haus
11. Merasa susah untuk berpikir 26. Suara serak
12. Lelah bicara 27. Pening
13. Menjadi gugup 28. Spasme dari kelopak mata
14. Tidak dapat berkonsentrasi 29. Tremor pada anggota badan
15. Tidak dapat fokus terhadap sesuatu 30. Merasa kurang sehat
Gejala pertama sampai dengan gejala ke sepuluh menunjukkan pelemahan
kegiatan, gejala ke sebelas sampai dengan ke dua puluh menunjukkan pelemahan
motivasi dan gejala ke dua puluh satu sampai dengan gejala ke tiga puluh
menunjukkan kelelahan fisik akibat keadaan umum. Apabila kelelahan tidak dapat
disembuhkan, suatu saat terjadi kelelahan kronis yang dapat meningkatnya
ketidakstabilan psikis, depresi, tidak semangat dan kecenderungan sakit.
Kelelahan pada manusia dapat diukur berdasarkan tiga macam,yaitu :
xlix
1. Mengukur kecepatan denyut jantung dan pernafasan
2. Mengukur tekanan darah, peredaran udara dalam paru-paru, jumlah oksigen
yang digunakan, jumlah karbondioksida yang dihasilkan, temperatur badan,
komposisi kimia dalam urin dan darah.
3. Mengukur variasi perubahan air liur (saliva) karena lelah dengan alat penguji
kelelahan Riken Fatigue Indicator dengan ketentuan pengukuran elektroda
logam.
Metode yang digunakan dalam pengukuran tingkat kelelahan dibagi menjadi
enam macam (Grandjean, 1993), yaitu :
1. Pengukuran kualitas dan kuantitas dari performansi kerja,
2. Pengukuran secara subyektif terhadap tingkat kelelahan dengan menggunakan
kuesioner,
3. Pengukuran dengan electroencephalography (EEG),
4. Pengujian frekuensi dari Flicker-fusion mata,
5. Pengukuran psikomotorik,
6. Pengukuran kejiwaan atau mental.
Kelelahan dapat dikurangi dengan berbagai cara (Sutalaksana, 2006), yaitu :
1. Menyediakan kalori secukupnya sebagai asupan tubuh,
2. Bekerja dengan menggunakan metode kerja yang baik,
3. Memperhatikan kemampuan tubuh, artinya pengeluaran tenaga tidak melebihi
pemasukannya dengan memperhatikan batasan-batasannya,
4. Memperhatikan waktu kerja yang teratur, artinya harus dilakukan pengaturan
terhadap jam kerja, waktu istirahat dan sarana-sarananya, masa libur dan
rekreasi,
5. Mengatur lingkungan fisik sebaik-baiknya seperti suhu, kelembapan, sirkulasi
udara, pencahayaan, kebisingan, getaran, dan bau atau wangi-wangian,
6. Berusaha untuk mengurangi monotoni dan ketegangan akibat kerja, misalnya
menyediakan musik dan menggunakan dekorasi ruangan kerja.
2.5.3 Denyut Jantung
Jantung merupakan organ tubuh yang berfungsi memompa darah ke
seluruh tubuh. Darah yang dipompa membawa makanan yang diperlukan otot.
Selain itu adanya sirkulasi darah, zat-zat sampah yang berbahaya bagi tubuh dapat
l
dikeluarkan. Jantung bekerja diluar kemauan dan memiliki kemampuan khusus.
Proses keluar masuknya darah ke jantung menghasilkan denyut jantung.
Johnson (1991) menyebutkan bahwa denyut jantung adalah banyaknya
kontraksi yang dilakukan oleh otot jantung untuk memompa darah keseluruh
tubuh dalam interval waktu tertentu. Denyut jantung pada keadaan normal adalah
70 denyut/menit dengan selang antara 50-100 denyut/menit. Denyut jantung
sangat ditentukan oleh usia dan jenis kelamin. Jantung yang sehat kembali bekerja
normal setelah 15 menit sesudah beraktivitas.
Denyut jantung manusia dipengaruhi lingkungan fisik tempat beraktivitas.
Hubungan tingkat lingkungan fisik, denyut jantung dan konsumsi energi dapat
dilihat pada gambar 2.22. Pembagian denyut jantung pada saat beraktivitas dapat
dilihat pada gambar 2.23.
Gambar 2.22 Hubungan denyut jantung dengan kondisi kerja dan konsumsi energi Sumber: Grandjean, 1993
Gambar 2.23 Pembagian denyut jantung pada saat beraktivitas Sumber: Grandjean, 1993
li
Dari gambar 2.23 dapat dilihat adanya beberapa tingkat antara denyut jantung
sebelum dan sesudah bekerja. Menurut Grandjean (1993), tingkat denyut jantung
dibagi menjadi lima definisi, yaitu:
1. Resting pulse adalah jumlah rata-rata denyut jantung sebelum memulai suatu
pekerjaan,
2. Working pulse adalah jumlah rata-rata denyut jantung selama melakukan suatu
pekerjaan,
3. Work pulse adalah selisih antara jumlah denyut jantung selama bekerja dan
sebelum bekerja,
4. Total recovery pulse (recovery cost) adalah jumlah denyut jantung mulai dari
berhenti bekerja sampai denyut nadi kembali normal. Menurut E.A Muller
dalam Grandjean (1993), total recovery pulse adalah salah satu cara untuk
mengukur kelelahan (fatigue) dan pemulihan (recovery),
5. Total work pulse (cardiac cost) adalah jumlah denyut jantung mulai dari
memulai pekerjaan sampai dengan tingkat istirahat.
Konsumsi energi melalui denyut jantung biasa diukur dengan alat yang
disebut Electro Cardio Graph (ECG). Selain itu, konsumsi energi dapat diukur
secara manual dengan metode sepuluh denyut jantung (Tarwaka dkk, 2004)
sebagai berikut:
6010
xnperhitungawaktu
denyutJantungDenyut =
.....................................persamaan 2.4
Setelah didapatkan nilai dari denyut jantung masing-masing aktivitas,
tingkat peningkatan denyut jantung akibat aktivitas kardiovaskuler (Tarwaka,
2004) dapat diketahui dengan dengan rumus, yaitu :
%100)(
)ker(% x
istirahatdenyutmaksimaldenyutistirahatdenyutjadenyut
CVL-
-= ...................persamaan 2.5
Grandjean (1993) mendefinisikan beberapa hal, sebagai berikut:
a. Jumlah denyut jantung istirahat merupakan rata-rata denyut jantung sebelum
pekerjaan dimulai.
b. Jumlah denyut nadi bekerja merupakan rata-rata denyut jantung selama bekerja.
c. Denyut jantung maksimal ditentukan dengan rumus berikut :
lii
Denyut jantung maksimal = 220 – usia (untuk pria)
Denyut jantung maksimal = 200 – usia (untuk wanita)
Hasil perhitungan % CVL tersebut kemudian dibandingkan dengan % CVL yang
telah ditetapkan dalam tabel 2.6.
Tabel 2.6 Klasifikasi kerja berdasarkan % CVL
% CVL Keterangan
< 30 % Tidak terjadi kelelahan
30% - 60% Diperlukan perbaikan
30% - 80% Kerja dalam waktu singkat
80% - 100% Diperlukan tindakan segera
> 100% Tidak diperbolehkan melakukan aktivitas
Sumber: Tarwaka dkk, 2004
Dari tabel di atas, dapat dilihat bahwa beban kerja yang mempunyai nilai
% CVL kurang dari 30 % masih dikategorikan sebagai aktivitas ringan dan belum
menunjukkan terjadinya kelelahan. Kelelahan akut terjadi jika nilai % CVL
melebihi 100 % dan tidak diperbolehkan untuk melakukan aktivitas.
Perhitungan tingkat kelelahan (% CVL) per fase gerak berjalan dilakukan
dengan menghitung terlebih dulu jumlah siklus yang terjadi sepanjang lintasan
berjalan kemudian diambil nilai rata-ratanya. Perhitungan nilai % CVL per siklus
didapatkan dari nilai % CVL dibagi rata-rata jumlah siklus yang terjadi,
dirumuskan pada persamaan 2.3 berikut.
Nilai % CVL per siklus = siklusjumlahCVLnilai %
..........................................persamaan 2.6
Dari nilai % CVL per siklus diambil nilai yang terbesar dari beberapa perulangan
yang dilakukan, ditentukan pula waktu untuk melakukan setiap fase gerakan.
Perhitungan nilai % CVL per fase merupakan hasil pembagian waktu per fase
dengan waktu selama satu siklus dikali dengan nilai % CVL per siklus terbesar,
dirumuskan pada persamaan 2.4 berikut.
Nilai % CVL per fase = CVLxsikluswaktu
faseperwaktu%
1..............................persamaan 2.7
liii
2.5.4 Energi Ekspenditur
Manusia mengoksidasi dengan cara metabolisme karbohidrat, protein,
lemak, dan alkohol untuk menghasilkan energi. Energi yang dihasilkan
dibutuhkan untuk :
1. Memelihara fungsi tubuh; untuk bernafas, menjaga denyut jantung, menjaga
tubuh tetap hangat dan semua fungsi berjalan normal.
2. Aktivitas fisik; untuk gerak perpindahan dan kontraksi otot.
3. Pertumbuhan dan pembaruan yang membutuhkan pembuatan jaringan baru.
Energi diukur dalam satuan joule atau kalori. Satu joule (J) ditetapkan
sebagai energi yang digunakan saat memindahkan berat 1 kilogram (kg) sejauh 1
meter (m) dengan kekuatan 1 newton (N). Satu kalori ditetapkan sebagai energi
yang dibutuhkan untuk menaikkan temperatur dari 1 gram (gr) air dari 14.5oC
sampai 15.5oC. Dalam prakteknya, kedua satuan tersebut digunakan secara
berbeda dalam pengukuran cairan. Satu kalori setara dengan 4.184 joule. Manusia
menggunakan energi dalam jumlah besar, karena itu para ahli nutrisi
menggunakan satuan yang lebih besar, yaitu kilojoule.
1 kilojoule (kJ) = 1000 joule
1 megajoule (MJ) = 1000000 joule
1 kilokalori (Kkal)= 1000 kalori
Untuk mengubah menjadi satuan yang lain :
1 kKal = 4.184 kJ
1 MJ = 239 Kkal
Terdapat tiga tingkat energi fisiologis yang umum, yaitu istirahat, limit
kerja aerobik dan kerja anaerobik. Pada tahap istirahat, pengeluaran energi yang
diperlukan untuk mempertahankan kehidupan tubuh disebut Tingkat Metabolisme
Basal (Basal Metabolic Rate, BMR). Hal tersebut mengukur perbandingan
oksigen yang masuk ke dalam paru-paru dengan karbon dioksida yang keluar.
Berat tubuh dan luas permukaan adalah faktor penentu yang dinyatakan dalam
kilokalori/area permukaan/jam. Rata-rata manusia yang mempunyai berat 65 kg
dan mempunyai area permukaan 1.77 m2 memerlukan energi sebesar 1 kilokalori
per menit. Sedangkan suatu kerja disebut aerobik bila suplai oksigen pada otot
sempurna. Jika suplai tidak sempurna, sistem kekurangan oksigen dan kerja
liv
menjadi anaerob. Hal ini dipengaruhi oleh aktivitas fisiologis yang dapat
ditingkatkan melalui latihan.
Energi ekspenditur (EE) laki-laki dan wanita selama satu hari penuh dibagi
menjadi komponen yang berbeda yang dapat ditentukan masing-masing. Terdiri
dari : basal metabolic rate (BMR), diet induced thermogenesis (DIT), dan
physical activity (PA).
Gambar 2.24 Total energi ekspenditur Sumber : Rowett Research Institute, 1992
1. Basal Metabolic Rate (BMR)
BMR adalah jumlah minimum dari tenaga yang diperlukan oleh tubuh jika
dikaitkan dengan ilmu fisiologi dan istirahat secara mental. BMR diukur di
dalam kondisi-kondisi yang dibakukan, yang dilakukan dengan subyek pada
saat keadaan setelah makan malam (berpuasa untuk sedikitnya 12 jam/post-
prandial), pada istirahat yang mencukupi di suatu lingkungan thermoneutral
(tidak terlalu panas atau dingin). Jika salah satu kondisi tersebut tidak
dijumpai (selang waktu untuk berpuasa lebih pendek) pengukuran biasanya
disebut resting metabolic rate (RMR).
2. Diet Induced Thermogenesis (DIT)
Disebut juga post-prandial thermogenesis (PPT) atau efek termis dari
makanan (termic effect of food, TEF). DIT berperan sekitar 10% dari energi
total yang dibutuhkan (Energy Intake, EI). Ini adalah jumlah dari tenaga
memanfaatkan di dalam pencernaan, absorpsi, dan transportasi nutrisi.
3. Physical Activity (PA)
PA merupakan komponen variabel terbanyak dari EE di dalam manusia. Hal
ini termasuk tambahan EE selain RMR dan TEF karena aktivitas otot dan
lv
meliputi aktivitas fisik minor (menggigil dan menggelisahkan). Nilai PA ini
berperan sekitar 15-30% dari total kebutuhan EE harian.
Bilangan nadi atau denyut jantung merupakan peubah yang penting dan
pokok baik dalam penelitian lapangan maupun penelitian laboratorium. Dalam hal
penentuan konsumsi energi, biasa digunakan parameter indeks kenaikan bilangan
kecepatan denyut jantung. Indeks ini merupakan perbedaan antara kecepatan
denyut jantung pada waktu kerja tertentu dengan kecepatan denyut jantung pada
waktu istirahat. Jumlah total dari energi yang diperlukan oleh individu bergantung
pada tingkat aktivitas dan berat badan mereka. Semakin berat dan aktif maka lebih
banyak tenaga yang diperlukan.
Untuk merumuskan hubungan antara energi ekspenditur dengan kecepatan
denyut jantung, dilakukan pendekatan kuantitatif hubungan antara energi
ekspenditur dengan kecepatan denyut jantung dengan menggunakan analisis
regresi. Bentuk regresi hubungan energi dengan kecepatan denyut jantung adalah
regresi kuadratis dengan persamaan sebagai berikut :
Y = 1.80411- (0.0229038) X + (4.71733 x 10-4) X 2 ...........................persamaan 2.8
dengan ; Y : energi ekspenditur (kilokalori/ menit)
X : kecepatan denyut jantung (denyut/ menit)
Setelah diketahui nilai energi ekspenditurnya, maka dapat diketahui pula
kebutuhan kalori dalam melakukan suatu kegiatan kerja tertentu dengan
menggunakan perhitungan berikut :
badanberatkgjamperWxY
KaloriKebutuhan /60
= ....................persamaan 2.9
dengan ; Y : energi ekspenditur (kilokalori/ menit)
W : berat badan (kg)
2.5.5 Aerobic Capacity
Pengeluaran energi, kerja fisiologis, dan biaya fisiologis berkaitan erat
dengan konsumsi oksigen. Hal ini dapat diukur secara langsung dalam liter/menit
atau secara tidak langsung dalam detak jantung/menit. Unit satuan dasar yang
digunakan adalah pengeluaran kalori dalam gram kalori/ menit. Aerobic capacity
adalah level maksimum konsumsi oksigen (oxygen uptake). Aerobic capacity
ditunjukkan dengan VO2 max dan biasanya diungkapkan dalam liter per menit.
lvi
Sinonim aerobic capacity adalah physical work capacity, maximal oxygen uptake,
dan maximal aerobic capacity or power. Faktor-faktor yang mempengaruhi
aerobic capacity adalah :
· Faktor somatis : dimensi tubuh, usia, jenis kelamin
· Faktor fisik : motivasi, sikap
· Ligkungan : ketinggian, temperatur, kelembaban
· Karakteristik pekerjaan : beban/intensitas kerja, durasi kerja, ritme kerja,
teknik kerja
· Karakteristik psikologi pekerja yang merupakan turunan secara genetik
(inherited at birth)
Aerobic capacity dapat ditentukan dengan dua cara, yaitu direct
assessment dan indirect assessment. Direct assessment melibatkan pengujian
maksimal dan biasanya dilakukan kepada anak-anak muda, orang yang terlatih
seperti atlit dan sebagainya. Indirect assessment merupakan pengujian
submaksimal dan biasanya lebih sesuai dilakukan pada pekerja-pekerja industri.
Ada tiga metode indirect assessment yang biasa digunakan :
1. Metode Regresi. Metode ini didasarkan pada dua faktor yaitu hubungan linier
antara heart rate dan VO2 pada beban kerja submaksimal yang diharapkan
berdasar usia. Metode ini memiliki kelemahan, yaitu adanya variasi heart
rate maksimum diantara individu.
2. Metode berdasarkan Astrand Nomogram (Astrand and Rodahl, 1986).
Metode ini didasarkan pada pengukuran submaksimal konsumsi oksigen dan
heart rate. Nomogram menggunakan faktor koreksi usia. Kelemahan metode
ini adalah kesalahan dalam membaca data dari nomogram khususnya bagi
mereka yang tidak terlatih.
3. Metode Konvensional Tayyari (Siconolfi et al., 1985; Tayyari, 1995). Metode
ini untuk mengestimasi VO2 didasarkan pada berat badan dan heart rate
selama berjalan pada treadmill. Tayyari merumuskan sebuah persamaan utuk
menghitung konsumsi oksigen maksimal, yaitu:
AGGHR
VWbV ´
-+++
=72
15.13)10(263.00
max2
...............................persamaan 2.10
dengan ;
lvii
VO2 max = konsumsi oksigen maksimal (liter/menit)
Wb = berat badan (kg)
V = kecepatan berjalan pada treadmill (km/jam)
HR = heart rate (denyut/menit) selama berjalan pada treadmill
G = faktor gender (G=10 untuk laki-laki dan G=0 untuk perempuan)
AG = faktor koreksi usia = 1.12 – (0.0073 x usia)
2.6 PENELITIAN SEBELUMNYA
Robert L. Waters, et al (1976) melakukan penelitian mengenai energi yang
dibutuhkan para amputee untuk berjalan berkaitan dengan tingkat amputasi bagian
kaki. Penelitian ini dilakukan terhadap dua kelompok amputee dengan level
amputasi yang berbeda, yaitu vascular dan traumatic. Kelompok vascular terdiri
dari 13 above-knee amputee, 13 below-knee amputee, dan 15 Syme amputee.
Kelompok traumatic terdiri dari 15 above-knee amputee dan 14 below-knee
amputee. Responden berjalan pada lintasan sejauh 60.5 meter. Pernafasan diukur
dengan Douglas Bag untuk menganalisis oksigen dan karbon dioksida. Denyut
jantung, tingkat pernafasan, serta polanya diamati dengan alat transduser. Setiap
percobaan berjalan rata-rata selama lima menit dengan dua kecepatan berbeda,
lambat dan cepat. Nilai oksigen yang dikonsumsi dan bilangan denyut jantung
digunakan untuk memperkirakan nilai maksimum kapasitas kerja secara aerobik.
Hasil dari penelitian ini adalah nilai maksimum kapasitas kerja secara aerobik
pada responden above-knee amputee kedua kelompok lebih rendah dibandingkan
pada responden below-knee amputee maupun orang normal.
Keytel, et al (2005) melakukan penelitian untuk memperkirakan nilai
energi ekspenditur dari pengamatan denyut jantung. Tujuan penelitian ini yaitu
mengukur faktor komposisi tubuh, jenis latihan, hubungan denyut jantung dengan
energi ekspenditur, dan mengembangkan persamaan ramalan energi ekspenditur.
Responden berjumlah 115 orang dengan umur 18-45 tahun. Penelitian dilakukan
dengan cara responden beraktivitas menggunakan treadmill dan cycle ergometer
pada tiga kondisi berbeda. Denyut jantung dan rasio pernafasan diukur. Suatu
analisis mixed-model mengidentifikasi jenis kelamin, denyut jantung, berat badan,
konsumsi oksigen, dan umur sebagai faktor untuk memperkirakan nilai energi
ekspenditur. Kesimpulan yang diambil yaitu adanya kemungkinan mengetahui
lviii
nilai energi ekspenditur dari denyut jantung suatu kelompok dengan terlebih dulu
menyesuaikan faktor umur, jenis kelamin, massa tubuh, dan kebugaran.
Mike Laymon, et al (2008) melakukan penelitian mengenai energi
ekspenditur secara aerob dalam latihan selama 60 menit. Penelitian ini dilakukan
pada 6 orang wanita dan 7 orang laki-laki dengan umur rata-rata 18-48 tahun.
Responden melakukan aktivitas selama 60 menit. Pengukuran dilakukan terhadap
konsumsi oksigen sesaat sebelum beraktivitas, setiap lima menit saat beraktivitas,
dan selama 4 jam setelah beraktivitas. Hasil penelitian ini yaitu rata-rata nilai
energi ekspenditur yaitu 517,4 ± 231,7 kalori. Rata-rata energi ekspenditur pada
laki-laki yaitu 654,1 kalori dan pada wanita yaitu 358 kalori.
Lobes Herdiman, dkk (2009) melakukan penelitian mengenai kajian
fisiologi pada karakteristik prosthetic kaki endoskeletal jenis Above-Knee
Prosthetic (AKP). Tujuannya adalah mengukur tingkat fisiologi pengguna
prosthetic endoskeletal hasil perancangan dibandingkan dengan prosthetic
eksoskeletal. Penelitian dilakukan dengan cara mengukur tingkat kelelahan, energi
ekspenditur, dan getaran mekanik saat berjalan. Amputee berjalan pada treadmill
sejauh 100 meter menggunakan kedua prosthetic bergantian dengan tiga
kecepatan berbeda (1,2 km/jam; 1,6 km/jam; dan 2 km/jam). Denyut jantung
diukur saat sebelum berjalan, saat berjalan pada jarak 50 meter, 60 meter, dan 100
meter. Selain itu diukur denyut jantung setelah berjalan pada menit ke-2, ke-4,
dan ke-6. Hasil penelitian ini adalah prosthetic endoskeletal menunjukkan hasil
yang lebih baik dibandingkankan prosthetic eksoskeletal dilihat dari peningkatan
%CVL lebih kecil. Peningkatan pengeluaran energi ekspenditur menunjukkan
lebih stabil, getaran mekanik yang ditimbulkan untuk berjalan normal lebih stabil,
dan frekuensi tekanan pada stump yang dilakukan berulang untuk berjalan normal
pada frekuensi 100 Hz masih memberikan rasa nyaman bagi pengguna.
Kuo-Feng Huang, et al (2001) melakukan penelitian mengenai kajian
kinematik dan energi yang dibutuhkan oleh below-knee amputees. Tujuannya
mengukur karakteristik berjalan secara dinamis dan energi yang dibutuhkan.
Penelitian ini dilakukan terhadap 6 below-knee amputees dengan usia 41,83 ±
6,27 tahun terdiri dari 3 vascular amputees dan 3 traumatic amputees
menggunakan foot tipe SACH, single axis, dan multiple axis. Selain itu juga
lix
dibandingkan dengan kondisi normal yaitu 5 orang laki-laki yang berusia 33,83 ±
5,15 tahun. Penelitian ini dilakukan dengan cara responden berjalan pada
treadmill dengan kecepatan 1 km/jam; 1,5 km/jam; dan 2 km/jam. Hal tersebut
dinilai sebagai fase pemanasan dan trial setelah beristirahat selama 20 menit.
Setelah denyut jantung mencapai 60 % denyut jantung maksimal, energi yang
dibutuhkan diukur selama minimal 2 menit. Metode tersebut dilakukan pada dua
kelompok amputees menggunakan tiga jenis foot berbeda. Hasil penelitian ini
adalah kelompok vascular amputees membutuhkan energi yang lebih besar
dibandingkan kelompok traumatic amputees. Perbedaan energi yang dibutuhkan
cukup besar antara ketiga jenis foot prosthetic.
lx
BAB III METODOLOGI PENELITIAN
Permasalahan dalam penelitian ini adalah mengenai pengukuran fisiologi
terhadap tiga desain prosthetic kaki bagian bawah lutut. Langkah-langkah
penelitian yang digunakan dapat dilihat pada gambar 3.1.
Latar Belakang
Penetapan Tujuan dan Manfaat Penelitian
Perumusan Masalah
Studi Pustaka
Pengamatan Aktivitas Berjalan pada Pengguna Prosthetic dan 10
Responden Normal
Pengumpulan Data Denyut Nadi (berjalan normal)
Pengumpulan Data Denyut Nadi (treadmill)
Perhitungan % CVL
Perhitungan Energi Ekspenditur, Kebutuhan Kalori, dan VO2 maks
Distribusi % CVL per fase berjalan
Penentuan Responden Normal (n = 10 orang)
Penentuan Responden Amputee (n = 1 orang)
Pengecekan Kesesuaian BMI (Body Mass Index) dan BMR (Basal Metabolic Rate)
Sesuai ?
A
Video Capture 6 Fase Gerakan dan Waktu Tempuh
Gambar 3.1 Metodologi penelitian
lxi
Perbandingan % CVL, Energi Ekspenditur, Kebutuhan Kalori, dan VO2 maks antara
Pengguna Prosthetic dengan Responden Normal
Kesimpulan dan Saran
Analisis dan Interpretasi Hasil Penelitian
A
Rekomendasi Desain Prosthetic
Gambar 3.1 Metodologi penelitian (lanjutan)
3.1 IDENTIFIKASI MASALAH
Tahap identifikasi permasalahan merupakan tahap awal yang dilakukan
sebelum melakukan penelitian. Tahap identifikasi masalah diawali dari
menentukan latar belakang dan perumusan masalah, menentukan tujuan dan
manfaat penelitian, serta studi pustaka (literatur). Tahap-tahap yang dilakukan
dalam tahap identifikasi permasalahan ini dapat dijelaskan, sebagai berikut:
1. Latar belakang.
Prosthetic merupakan pengganti alat gerak anggota tubuh sehingga amputee
dapat melakukan aktivitas berjalan pada umumnya, namun dalam
pemakaiannya pengguna prosthetic memerlukan adaptasi. Di pasaran telah
berkembang dua desain prosthetic, yaitu eksoskeletal dan endoskeletal. Pada
tahun 2009 juga telah dikembangkan prosthetic endoskeletal yang
menjembatani perbedaan kedua prosthetic yang telah ada di pasaran.
Dalam aktivitas berjalan tentu dibutuhkan energi dan oksigen. Kelelahan dapat
timbul karena tidak seimbangnya aktivitas dengan istirahat. Begitu pula
halnya dengan pengguna prosthetic. Permasalahannya terletak pada tingkat
keseimbangan fisiologi pengguna prosthetic akankah tetap mampu mendekati
kondisi pada orang normal.
Karena alasan tersebut di atas, pada penelitian ini dikaji tingkat fisiologi
ditinjau dari metabolisme basal. Pengukuran dilakukan terhadap tingkat
lxii
kelelahan (% CVL), energi ekspenditur, kebutuhan kalori, dan konsumsi
oksigen pada pengguna prosthetic kaki bawah lutut (Below-Knee
Prosthetic/BKP). Penelitian dilakukan terhadap tiga desain prosthetic berbeda
saat melakukan aktivitas berjalan dibandingkan dengan kondisi normal.
2. Perumusan masalah.
Dengan pengukuran fisiologi dapat diketahui besarnya tingkat energi dan
tingkat kelelahan yang dihasilkan. Perbedaan desain prosthetic dapat berarti
perbedaan hasil pengukuran fisiologi, terlebih dibandingkan dengan orang
normal. Karena itu penelitian ini mengukur tiga desain prosthetic yang
berbeda dengan membandingkan hasilnya dengan tingkat fisiologi normal.
Permasalahan yang dirumuskan adalah bagaimana memilih desain prosthetic
kaki bagian bawah lutut terbaik dalam mengakomodasi aktivitas berjalan.
3. Penetapan tujuan dan manfaat penelitian.
Maksud adanya tujuan dan manfaat penelitian yaitu untuk menemukan arah
serta sasaran yang ingin dicapai dalam suatu penelitian dan ditetapkan
berdasarkan permasalahan yang diteliti. Penelitian ini bertujuan untuk
memilih desain prosthetic kaki bawah lutut dalam mengakomodasi aktivitas
berjalan. Manfaat yang didapat yaitu memberikan rekomendasi pada
pengguna prosthetic kaki bagian bawah lutut mengenai jenis prosthetic
dengan tingkat fisiologi mendekati orang normal.
4. Studi pustaka.
Studi pustaka dilakukan dengan mencari literatur dan bahan-bahan yang
digunakan untuk mendukung penelitian. Informasi yang didapat mampu
mendukung perencanaan awal penelitian, pelaksanaan pengumpulan data,
bahkan pengolahan data. Informasi dari literatur diperlukan juga agar
pengetahuan mengenai prosthetic bawah lutut lebih lengkap.
lxiii
3.2 PENGUMPULAN DATA
Pengukuran fisiologi prosthetic bawah lutut dilakukan yaitu untuk
mengetahui tingkat fisiologi pengguna prosthetic dibandingkan dengan orang
normal. Informasi diperoleh sebagai dasar dalam pengukuran fisiologi dilakukan
pengumpulan data. Pengumpulan data yang dilakukan di Laboratorium
Perancangan Sistem Kerja dan Ergonomi Teknik Industri UNS. Data yang
diambil dari responden ada dua yaitu data awal dan data utama penelitian. Data
awal meliputi usia, tinggi dan berat badan, baik pengguna prosthetic maupun
responden orang normal. Sedangkan data utama terdiri dari data primer dan data
sekunder. Data primer yaitu data denyut nadi hasil pengamatan terhadap pola
berjalan pada pengguna prosthetic dan sepuluh responden orang normal. Terdiri
dari data denyut nadi pada aktivitas berjalan normal (eksperimen 1) dan pada
aktivitas berjalan di treadmill (eksperimen 2). Data sekunder yaitu data berupa
rekaman video aktivitas berjalan. Alat yang digunakan dalam penelitian ini, antara
lain berupa stopwatch, tensimeter, timbangan (pengukur tinggi dan berat badan),
dan cyclometer yang dapat dilihat pada gambar 3.2.
(a) Stopwatch (b) Tensimeter
(c) Timbangan (d) Cyclometer
Gambar 3.2 Alat yang digunakan dalam penelitian Sumber: Lab Perancangan Sistem Kerja dan Ergonomi Teknik
Industri UNS, 2009
lxiv
Pengukuran yang pertama kali dilakukan yaitu usia dan pengukuran
tinggi badan dan berat badan. Jumlah responden yaitu satu orang amputee
(pengguna prosthetic) dan sepuluh orang normal. Pemilihan responden normal
disesuaikan dengan nilai BMI (Body Mass Index) dan BMR (Basal Metabolic
Rate) amputee sehingga keduanya dapat dibandingkan. Nilai BMI ditentukan
dengan persamaan 2.1 dan nilai BMR ditentukan dengan persamaan 2.2.
Ketentuan umum dalam pelaksanaan eksperimen meliputi pengamatan
terhadap pola berjalan dalam penelitian ini, sebagai berikut:
1. Lintasan yang dilalui pada aktivitas berjalan normal (eksperimen 1) sepanjang
12 meter. Sedangkan pada aktivitas berjalan di treadmill (eksperimen 2)
sepanjang 100 meter.
2. Pada eksperimen 1 dilakukan enam kali perulangan. Pada eksperimen 2
dilakukan tiga kali dengan kecepatan berbeda yaitu 1.2 km/jam, 1.6 km/jam,
dan 2 km/jam (Herdiman, L., 2009).
3. Pengukuran denyut nadi dilakukan dengan metode 10 denyut untuk
eksperimen 1 dan menggunakan alat ukur untuk eksperimen 2.
4. Responden diberikan waktu istirahat selama 10 menit untuk melakukan setiap
perulangan berikutnya.
Petunjuk pelaksanaan eksperimen diperlukan sebagai alat untuk
menentukan prosedur operasional dalam pengambilan data. Hal ini bertujuan agar
eksperimen berjalan sesuai tujuan yang diharapkan. Petunjuk pelaksanaan untuk
eksperimen 1, sebagai berikut:
1. Khusus untuk pengguna prosthetic, amputee memakai tiga desain prosthetic
yang digunakan dalam eksperimen bergantian,
2. Pengukuran lamanya waktu untuk sepuluh denyut nadi dilakukan sebelum
melakukan eksperimen pada percobaan berjalan pertama. Data ini merupakan
data denyut nadi sebelum melakukan eksperimen pada percobaan berjalan
pertama,
3. Responden melakukan eksperimen dengan berjalan sejauh 12 meter,
4. Pengukuran lamanya waktu sepuluh denyut nadi kembali diukur. Data ini
merupakan data denyut nadi setelah melakukan percobaan berjalan pertama,
lxv
5. Responden beristirahat selama 10 menit sebelum melakukan percobaan
berjalan kedua,
6. Setelah beristirahat, denyut nadi responden kembali diukur sebelum responden
melakukan percobaan berjalan kedua. Data ini merupakan data denyut nadi
responden sebelum melakukan percobaan berjalan kedua,
7. Responden melakukan percobaan berjalan kedua sepanjang 12 meter,
8. Pengukuran lamanya waktu sepuluh denyut nadi responden kembali di ukur.
Data ini merupakan data denyut nadi responden setelah melakukan percobaan
berjalan kedua,
9. Pengukuran lamanya waktu sepuluh denyut nadi responden baik sebelum dan
setelah percobaan berjalan dilakukan sampai percobaan berjalan keenam,
10. Setelah melakukan keenam perulangan percobaan berjalan, pengguna
prosthetic mengganti desain prosthetic yang lain atau beralih pada sepuluh
responden orang normal.
Sedangkan petunjuk pelaksanaan untuk eksperimen 2, sebagai berikut:
1. Khusus untuk pengguna prosthetic, amputee memakai tiga desain prosthetic
yang digunakan dalam eksperimen bergantian,
2. Responden dipersiapkan untuk berjalan di treadmill. Lintasan yang ditempuh
sepanjang 100 meter. Kecepatan pertama yang digunakan yaitu 1.2 km/jam,
3. Pengukuran denyut nadi selama berjalan di treadmill dilakukan pada empat
titik, yaitu sebelum melakukan eksperimen, saat eksperimen pada jarak 30
meter, jarak 50 meter, dan 100 meter,
4. Setelah selesai berjalan, responden beristirahat selama 10 menit,
5. Eksperimen dilanjutkan kembali dengan penggantian kecepatan yang
digunakan yaitu 1.6 km/jam,
6. Pengukuran denyut nadi selama kondisi berjalan sama dengan pengukuran
untuk kecepatan sebelumnya,
7. Setelah responden beristirahat selama 10 menit, eksperimen dilanjutkan
kembali dengan penggantian kecepatan yang digunakan 2 km/jam,
8. Pengukuran denyut nadi selama kondisi berjalan sama dengan pengukuran
untuk kecepatan sebelumnya,
lxvi
9. Setelah melakukan percobaan berjalan dengan tiga kecepatan berbeda,
pengguna prosthetic mengganti desain prosthetic yang lain atau beralih pada
sepuluh responden orang normal.
Setelah semua eksperimen selesai dilakukan, data hasil eksperimen tersebut
direkapitulasi agar dapat dilakukan pengolahan data.
3.3 PENGOLAHAN DATA
Setelah dilakukan pengumpulan data, langkah berikutnya adalah mengolah
data tersebut untuk mendapatkan hasil (output) dari penelitian ini. Pengolahan
data dilakukan dengan urutan, sebagai berikut:
1. Perhitungan % CVL untuk pengguna prosthetic dan responden orang normal.
Data hasil pengamatan terhadap aktivitas berjalan normal berupa lamanya
waktu untuk melakukan 10 denyut sebelum dan setelah berjalan. Data tersebut
dikonversi ke dalam bilangan denyut nadi per menit menggunakan persamaan
2.4. Nilai % CVL dihitung dari data hasil konversi denyut nadi dan denyut
maksimum responden menggunakan persamaan 2.5. Denyut maksimum
didapat dari nilai (220 – usia) untuk responden laki-laki.
2. Perhitungan distribusi % CVL per fase berjalan untuk pengguna prosthetic
dan responden orang normal.
Dalam perhitungan ini dilakukan pengamatan terhadap data berupa video
rekaman aktivitas berjalan normal (eksperimen 1). Pertama, pengamatan
terhadap jumlah siklus untuk setiap percobaan berjalan kemudian diambil nilai
rata-ratanya. Kedua, perhitungan distribusi fatique per siklus dengan cara
membagi nilai % CVL dengan jumlah rata-rata siklus menggunakan
persamaan 2.6. Ketiga, pemilihan nilai fatique terbesar untuk setiap kelompok
percobaan berjalan (enam kali perulangan). Keempat, pengamatan waktu
tempuh setiap fase pada video rekaman. Kelima, perhitungan distribusi %CVL
untuk setiap fase berjalan menggunakan persamaan 2.7.
3. Perhitungan energi ekspenditur, kebutuhan kalori, konsumsi energi, dan
VO2maks untuk pengguna prosthetic dan responden orang normal.
Perhitungan ini menggunakan hasil pengamatan aktivitas berjalan di treadmill.
Perhitungan nilai energi ekspenditur menggunakan persamaan regresi
lxvii
kuadratis pada persamaan 2.8. Perhitungan kebutuhan kalori per jam per kg
berat badan menggunakan rumus pada persamaan 2.9. Data yang diolah yaitu
nilai energi ekspenditur. Perhitungan konsumsi oksigen menggunakan data
awal pengukuran denyut nadi pada aktivitas berjalan di treadmill. Perhitungan
ini menggunakan rumus pada persamaan 2.10.
4. Perbandingan hasil pada pengguna prosthetic dengan responden orang normal.
Perbandingan hasil disajikan dalam bentuk grafik untuk mengetahui desain
prosthetic dengan tingkat kedekatan hasil pengukuran fisiologi dengan kondisi
normal. Hasil perhitungan yang dibandingkan yaitu nilai %CVL, distribusi
%CVL per fase, energi ekspenditur, kebutuhan kalori, dan VO2 maks.
5. Rekomendasi desain prosthetic terbaik
Hasil perbandingan memberikan informasi mengenai desain prosthetic terbaik
sesuai responden amputee. Informasi tersebut dapat dijadikan rekomendasi
dalam memilih desain prosthetic terbaik untuk aktivitas berjalan.
3.4 ANALISIS DAN INTERPRETASI HASIL
Pada tahap ini dilakukan analisis terhadap hasil perbandingan % CVL,
energi ekspenditur, kebutuhan kalori, dan VO2 maks yang dikeluarkan antara
pengguna prosthetic dengan orang normal. Selain itu dianalisis distribusi fatique
sesuai fase berjalan. Pada akhirnya diketahui desain prosthetic dengan kualifikasi
paling mendekati nilainya dengan orang normal.
3.5 KESIMPULAN DAN SARAN
Tahap terakhir penelitian yaitu membuat kesimpulan yang menjawab
tujuan akhir dari penelitian berdasarkan hasil pengolahan dan analisis data yang
telah dilakukan serta saran yang disampaikan untuk dapat semakin memperbaiki
kualitas prosthetic yang dihasilkan sesuai dengan kajian fisiologi.
lxviii
BAB IV PENGUMPULAN DAN PENGOLAHAN DATA
Bab ini membahas proses pengumpulan data dan proses pengolahan data
sesuai dengan rumusan masalah dan tujuan yang ingin dicapai dari penelitian ini.
Bagian pertama membahas proses pengumpulan data eksperimen. Bagian kedua
membahas proses pengolahan data. Keduanya dilakukan sebagai dasar dalam
memberikan analisis terhadap penyelesaian permasalahan yang dihadapi.
4.1 PENGUMPULAN DATA
Tahap pengumpulan data ini dilakukan untuk mendapatkan data awal
untuk pengukuran fisiologi dari pengguna prosthetic kaki bawah lutut dan orang
normal. Pada tahap-tahap pengumpulan data lebih lengkap dapat dilihat pada
subbab selanjutnya.
4.1.1 Desain Prosthetic Kaki Bawah Lutut
Desain prosthetic yang diukur dalam penelitian ini ada tiga, yaitu satu
desain eksoskeletal dan dua desain endoskeletal yang berbeda. Desain
endoskeletal terdiri dari tiruan Otto Bock (Merek Regal) dan pengembangan
dengan ankle joint sistem double axis. Desain prosthetic tersebut dapat dilihat
pada gambar 4.1.
(a) eksoskeletal (b) tiruan Otto Bock (c) pengembangan
Gambar 4.1 Jenis prosthetic yang digunakan
lxix
1. Desain Prosthetic Eksoskeletal
Desain ini menggunakan korset paha dengan check strap (penyangga paha
belakang) yang memberikan kekuatan pada anteroposterior stump-socket.
Akibatnya pengguna bergantung pada gerakan mekanis check strap dan dapat
menahan extensi lutut. Mekanika check strap memberikan ketahanan total pada
reaksi lantai dengan penyesuaian stump secara bebas dalam socket. Hal tersebut
menunjukkan penyesuaian yang tepat dari korset paha, batang sisi, dan check
strap sehingga memungkinkan untuk modifikasi pola tekanan hubungan
anteroposterior stump–socket.
Desain eksoskeletal mendukung permukaan atas dari SACH foot
prosthetic yang dihubungkan oleh persendian. Hal ini dilakukan untuk mencegah
bagian foam atau rubber pada tumit sepatu dari pengubahan secara proximal pada
heel-strike. Pada saat telapak kaki dimasukkan ke dalam sepatu, bagian daerah
tumit sepatu dapat dimampatkan dan menyerap goncangan saat berjalan oleh
bahan yang dipakai.
SACH foot desain ini terbuat dari kayu dan ditempelkan pada material
karet. Kepadatan tumit bajinya dapat divariasi antara lembut, medium dan keras
disesuaikan menurut karakteristik gaya berjalan, tingkatan aktivitas, umur, berat,
dan pilihan orang yang diamputasi. SACH foot dapat digunakan oleh pengguna
±2-3 tahun sebelum diganti, jika tidak rusak sebelum waktunya. Keputusan
penggantian ditentukan oleh kondisi kerusakan struktural pada telapak kaki,
pecahnya material, pertimbangan warna kosmetik, dan perubahan kondisi
kesehatan atau permintaan pasien.
Kelemahan dari desain ini yaitu tidak mampu mengakomodasi gerakan
pada bidang permukaan yang tidak rata atau bergelombang. Pada prosthetic
desain ini tidak terdapat komponen yang disebut dengan ankle joint yang
merupakan bagian penghubung SACH foot dengan shank (betis). Bagian ankle
joint ini dirancang mempunyai kemampuan melakukan gerakan flexi dan extensi.
2. Desain Prosthetic Endoskeletal Tiruan Otto Bock
Desain ini menggunakan komponen ankle joint yang memungkinkan
gerakan flexi dan extensi. Desain ankle joint terdiri dari poros pengatur gerakan
yang dihubungkan dengan bahan setengah lingkaran yang berfungsi sebagai
lxx
penahan atau pengendali putaran dari poros pada saat melakukan gerakan flexi
dan extensi dari telapak kaki.
Komponen ankle joint yang ditempatkan pada SACH foot bagian depan
untuk gerakan flexi dan extensi masih mengandalkan kelenturan bahan SACH
foot. Bahan yang digunakan untuk menahan getaran ditempatkan di bagian
belakang ankle joint dalam menjaga kelenturan bahan karet plastik.
Kelebihan desain ankle joint pada komponen ankle adaptor dengan titik
pusat massa yaitu berat tubuh pengguna dapat distribusikan ke bagian telapak kaki
agar menopang beban ke atas pada bagian ankle joint. Kemampuan ini dibantu
dengan adanya komponen 2 as yang terpasang secara vertikal pada bagian SACH
foot. Pengguna dapat melakukan aktivitas berjalan lebih mudah tanpa adanya
hambatan dari prosthetic kakinya, terutama menggunakan sepatu high-heels.
Adanya ankle joint memungkinkan pengguna mengarahkan kaki secara baik.
Kelebihan lainnya yaitu berat tubuh pengguna dapat ditopang secara baik dan
memberikan keseimbangan pola ayunan jalan antara kedua kaki.
Kelemahan desain prosthetic endoskeletal tiruan Otto Bock yang
diproduksi oleh Manufaktur Regal buatan Taiwan yaitu posisi gerakan flexi dan
extensi pada bidang SACH foot masih terbatas dalam kepekaan pada saat adanya
tekanan dari atas.
3. Desain Prosthetic Endoskeletal Pengembangan 2009
Desain komponen ankle joint ini mempertimbangkan beberapa gerakan
yang disebabkan tekanan pada bagian kaki dibanding gerakan keseluruhan
komponen. Keuntungan ankle joint dengan sistem double axis yang sama dengan
desain tiruan Otto Bock, menggunakan sistem hasil dari pengembangan di tahun
2009. Beberapa kelebihan hasil ankle joint yang dikembangkan yaitu sifat link dan
joint komponen lebih sederhana, adanya bagian yang bergerak, tidak memerlukan
pemeliharaan, memberikan penampilan yang lebih menarik, tenang saat
digunakan, dan mudah menyesuaikan untuk sepatu high-heels.
Setiap bagian komponen prosthetic kaki bawah lutut dirancang dalam satu
modular yang lebih sederhana untuk memenuhi aspek kesederhanaan produk
(simplicity). Komponen link dan joint pada ankle joint serta stabilizer mata kaki
dapat dibuat secara masal dengan aspek keterulangan (reproductability).
lxxi
Keberadaan sistem ankle joint pada SACH adaptor memungkinkan
telapak kaki dapat membentuk double axis. Pengembangan prosthetic kaki jenis
below knee prosthetic (BKP) diarahkan pada desain endoskeletal dengan
mekanisme telapak kaki sistem ankle joint. Pengembangan ini menjadikan
pengguna lebih leluasa dalam melakukan aktivitas jalan dengan pengarahan
telapak kaki dalam berjalan dapat sesuai kemauan pengguna.
4.1.2 Pengguna Prosthetic Kaki Bawah Lutut (Responden Amputee)
Data pengguna prosthetic kaki bawah lutut diambil pada bulan September
2009 di Laboratorium Perancangan Sistem Kerja dan Ergonomi (LPSKE) Teknik
Industri UNS. Pemakaian prosthetic ini dikarenakan pengguna mengalami
kecelakaan yang menyebabkan proses amputasi kaki bagian bawah lutut.
Prosthetic yang digunakan yaitu prosthetic bawah lutut desain eksoskeletal.
Berikut adalah data pengguna prosthetic.
Nama : Ngadirin
Jenis kelamin : Laki-laki
Tinggi badan : 162 cm
Berat prosthetic : 2,212 kg
Tempat tanggal lahir : Boyolali, 16 Mei 1976
Riwayat amputasi : Kecelakaan lalu lintas
Kaki amputasi : Kaki kanan bawah lutut dengan panjang stump kaki 16 cm
Desain prosthetic : Bawah lutut desain eksoskeletal dengan socket quardrilateral
Berat badan : 52,2 kg (tanpa prosthetic)
lxxii
Gambar 4.2 Pengukuran data awal pada pengguna prosthetic
Eksperimen untuk pengambilan data pengguna prosthetic dilakukan pada
tanggal 15 September 2009 di LPSKE. Pengambilan data dilakukan dengan
melakukan pengamatan terhadap aktivitas berjalan normal dan aktivitas berjalan
menggunakan treadmill.
Pada aktivitas berjalan normal dilakukan pengambilan data denyut nadi
sebelum berjalan (kondisi istirahat) dan sesudah (kondisi berjalan) dengan metode
10 denyut. Denyut nadi dihitung lamanya waktu untuk melakukan 10 denyut
menggunakan stopwatch. Jarak yang ditempuh sepanjang 12 meter dan dilakukan
sebanyak enam kali perulangan. Perulangan yang dimaksudkan yaitu percobaan
berjalan sebanyak enam kali dan diberi notasi P1, P2, P3, P4, P5, dan P6.
Sehingga untuk setiap percobaan berjalan (P) dilakukan pengambilan data pada
kondisi istirahat dan berjalan. Tujuan dilakukan perulangan yaitu agar didapatkan
hasil dengan pola yang hampir sama. Selain diambil data pengukuran denyut nadi,
diambil data berupa video aktivitas berjalan normal oleh pengguna prosthetic.
Data hasil eksperimen ditabelkan untuk memudahkan dalam pembacaan.
Data ini digunakan untuk mengetahui tingkat kelelahan (fatique) dengan
menghitung % CVL. Hasil pengambilan data berupa konversi dari waktu 10
denyut menjadi jumlah denyut per menit dapat dilihat pada tabel 4.1.
lxxiii
Tabel 4.1 Data denyut nadi aktivitas berjalan normal pengguna prosthetic
Pengukuran Denyut Nadi (detik) Jenis Prothese
Kondisi Pengukuran P1 P2 P3 P4 P5 P6 istirahat 6.10 5.76 5.78 5.81 5.75 5.83
Eksoskeletal berjalan 5.81 5.51 5.53 5.57 5.51 5.59 istirahat 5.48 5.56 5.71 5.60 4.89 6.00 Endoskeletal
Merek Regal berjalan 5.32 5.38 5.52 5.42 4.78 5.78 istirahat 5.34 5.51 6.12 5.51 5.72 5.30 Endoskeletal
Pengembangan berjalan 5.23 5.38 5.95 5.39 5.58 5.19
Data berupa video aktivitas berjalan normal oleh pengguna prosthetic
digunakan untuk mengambil data gambar fase berjalan. Hal ini dilakukan dengan
meng-capture gambar enam fase dari video yang didapat. Selain itu dihitung pula
lamanya waktu yang dibutuhkan untuk melakukan setiap fase berjalan tersebut.
Data hasil perhitungan waktu ini akan disajikan pada bagian pengolahan data.
Hasil capture data video untuk fase berjalan dapat dilihat pada gambar 4.3.
Gambar 4.3 Fase berjalan pada pengguna prosthetic
lxxiv
Pada aktivitas berjalan menggunakan treadmill jarak yang ditempuh
sepanjang 100 meter masing-masing untuk tiga kecepatan berbeda, yaitu 1.2
km/jam, 1.6 km/jam, dan 2 km/jam. Pengambilan data denyut nadi dilakukan
sebelum berjalan (DN0), denyut nadi pada jarak berjalan 30 meter (DN1), denyut
nadi pada jarak berjalan 50 meter (DN2), dan denyut nadi pada jarak berjalan 100
meter (DN3). Denyut nadi sebelum dan selama berjalan dihitung menggunakan
alat sensor pada treadmill untuk aktivitas berjalan. Data lain yang diambil juga
berupa video aktivitas berjalan.
Data berikut digunakan untuk menghitung nilai energi ekspenditur,
kebutuhan kalori, dan konsumsi oksigen (VO2 maks). Hasil pengambilan data
denyut nadi dapat dilihat pada tabel 4.2.
Tabel 4.2 Data denyut nadi aktivitas berjalan di treadmill pengguna prosthetic
Pengukuran Denyut Nadi (denyut/menit) Jenis Prothese
Kecepatan (km/jam) DN0(0) DN1(30) DN2(50) DN3(100)
1.2 63 76 85 92 1.6 68 82 90 96 Eksoskeletal
2 74 86 94 99 1.2 56 65 73 79 1.6 60 70 78 84
Endoskeletal Merek Regal
2 65 75 84 90 1.2 67 72 75 78 1.6 71 75 76 80
Endoskeletal Pengembangan
2 74 77 78 82
4.1.3 Responden Normal
Responden normal ditentukan dengan memilih responden normal dengan
nilai BMI (Body Mass Index) dan BMR (Basal Metabolic Rate) yang bersesuaian
dengan nilai BMI dan BMR amputee. Perhitungan nilai BMI dan BMR ini akan
dibahas pada bagian pengolahan data. Hal ini dilakukan agar responden normal
sesuai digunakan sebagai pembanding terhadap amputee.
Eksperimen dilakukan terhadap 10 orang responden normal di LPSKE
pada tanggal 14-15 Oktober 2009. Responden normal ini merupakan mahasiswa
dengan umur rata-rata 20-23 tahun. Jumlah 10 orang diasumsikan cukup mewakili
lxxv
kondisi normal pada umumnya. Pengukuran terhadap responden normal
digunakan sebagai acuan untuk mengetahui kedekatan hasil pengukuran pada
amputee yang menggunakan prosthetic dengan orang normal. Berikut adalah data
10 orang responden normal.
1. Nama : Agus 6. Nama : Harto
Usia : 22 tahun Usia : 20 tahun
Tinggi badan : 172 cm Tinggi badan : 168 cm
Berat badan : 50 kg Berat badan : 52 kg
2. Nama : Puput 7. Nama : Galih
Usia : 22 tahun Usia : 22 tahun
Tinggi badan : 170 cm Tinggi badan : 169 cm
Berat badan : 51 kg Berat badan : 52 kg
3. Nama : Diesel 8. Nama : Tendy
Usia : 22 tahun Usia : 23 tahun
Tinggi badan : 169 cm Tinggi badan : 172 cm
Berat badan : 52 kg Berat badan : 50 kg
4. Nama : Brian 9. Nama : Muha
Usia : 22 tahun Usia : 22 tahun
Tinggi badan : 171 cm Tinggi badan : 168 cm
Berat badan : 51 kg Berat badan : 52 kg
5. Nama : Denta 10. Nama : Panggih
Usia : 22 tahun Usia : 21 tahun
Tinggi badan : 174 cm Tinggi badan : 167 cm
Berat badan : 50 kg Berat badan : 51 kg
Urutan pengambilan data dilakukan sama seperti perlakuan terhadap
pengguna prosthetic. Data yang diambil berupa data denyut nadi dan data berupa
video. Data hasil pengamatan terhadap aktivitas berjalan normal diambil dengan
enam kali perulangan yaitu percobaan berjalan 1 (P1), percobaan berjalan 2 (P2),
percobaan berjalan 3 (P3), percobaan berjalan 4 (P4), percobaan berjalan 5 (P5),
percobaan berjalan 6 (P6). Data hasil pengamatan denyut nadi untuk aktivitas
berjalan pada responden normal dapat dilihat pada tabel 4.3.
lxxvi
Tabel 4.3 Data denyut nadi aktivitas berjalan normal responden normal
Pengukuran Denyut Nadi (detik) Responden ke-
Kondisi Pengukuran P1 P2 P3 P4 P5 P6
1 istirahat 7.34 6.93 7.39 7.03 7.28 7.29 kerja 7.03 6.67 6.99 6.74 7.03 6.97 2 istirahat 9.47 9.12 7.82 8.18 7.94 7.78 kerja 8.85 8.65 7.57 7.84 7.62 7.43 3 istirahat 8.06 8.37 8.04 7.87 7.46 7.21 kerja 7.65 7.88 7.68 7.53 7.08 6.89 4 istirahat 10.03 10.53 9.61 9.33 10.73 10.43 kerja 9.48 9.77 8.97 8.67 9.86 9.81 5 istirahat 6.23 7.39 6.98 7.28 6.56 6.53 kerja 5.98 6.94 6.67 6.87 6.29 6.22 6 istirahat 7.75 7.31 6.94 7.12 6.84 6.87 kerja 7.27 6.97 6.63 6.89 6.56 6.63 7 istirahat 7.91 7.21 7.98 7.12 6.84 7.10 kerja 7.57 6.91 7.58 6.88 6.59 6.87 8 istirahat 8.28 8.03 8.11 8.09 8.12 8.04 kerja 7.94 7.58 7.72 7.74 7.74 7.75 9 istirahat 7.59 7.28 7.18 7.74 8.00 7.75 kerja 7.35 6.94 6.89 7.42 7.59 7.35
10 istirahat 7.69 7.28 8.12 8.23 8.32 7.98 kerja 7.37 6.88 7.84 7.85 7.81 7.61
Hasil capture data video untuk fase berjalan dapat dilihat pada gambar 4.4
sedangkan data hasil perhitungan lamanya waktu untuk setiap fase disajikan pada
bagian pengolahan data. Capture enam fase yang dilakukan yaitu untuk fase heel
contact (kontak dengan tumit), fase foot-flat (kaki datar), fase midstance point
(titik setengah berdiri), fase heel-off (tumit terangkat), fase toe-off (jari kaki
terangkat), dan fase midswing (setengah berayun).
lxxvii
Gambar 4.4 Fase berjalan pada responden normal
lxxviii
Gambar 4.4 Fase berjalan pada responden normal (lanjutan)
Pengambilan data untuk aktivitas berjalan pada treadmill juga dilakukan
sama seperti pada pengguna prosthetic. Hasilnya berupa data denyut nadi yang
dapat dilihat pada tabel 4.4.
Tabel 4.4 Data denyut nadi aktivitas berjalan pada treadmill orang normal
Pengukuran Denyut Nadi (denyut/menit) Responden
ke- Kecepatan (km/jam) DN0(0) DN1(30) DN2(50) DN3(100)
1.2 80 96 102 101 1.6 79 93 90 91 1
2 78 79 82 96 1.2 73 88 93 87 1.6 75 77 75 79 2
2 81 83 85 90 1.2 85 90 92 98 1.6 79 81 86 91 3
2 80 82 84 90 1.2 78 79 80 83 1.6 75 76 75 78 4
2 74 77 78 80 1.2 86 92 98 102 1.6 90 93 102 103 5
2 92 95 98 102
lxxix
1.2 81 82 85 86 1.6 77 88 89 88
6
2 83 88 91 89 1.2 75 83 89 85 1.6 79 81 90 92 7
2 80 84 88 95 1.2 79 85 86 89 1.6 85 89 88 91 8
2 79 80 83 88 1.2 80 81 85 83 1.6 85 88 93 91 9
2 83 90 89 92 1.2 75 80 82 85 1.6 79 89 90 86 10 2 78 79 85 83
4.2 PENGOLAHAN DATA
Pengolahan data dalam penelitian ini dibagi menjadi beberapa bagian.
Bagian-bagiannya yaitu perhitungan denyut nadi, perhitungan aktivitas
cardiovaskuler (% CVL), perhitungan distribusi % CVL menurut fase berjalan,
perhitungan energi ekspenditur, perhitungan kebutuhan kalori, dan perhitungan
konsumsi oksigen. Bagian-bagian pengolahan data ini dijelaskan secara lebih
detail pada bagian-bagian berikut ini.
4.2.1 Menentukan Nilai BMI
Perhitungan nilai BMI responden amputee dan normal menggunakan
persamaan 2.1. Data yang digunakan adalah data pengukuran tinggi badan dan
berat badan. Perhitungan nilai BMI pada pengguna prosthetic maupun kondisi
normal dapat dilihat pada penjelasan, sebagai berikut:
1. Pengguna Prosthetic Kaki Bawah Lutut
Pengukuran terhadap amputee menunjukkan bahwa amputee memiliki tinggi
badan 1,62 m dan berat badan 52,2 kg. Nilai BMI sebesar 19,89 dan dapat
disimpulkan bahwa amputee masuk dalam kategori ‘langsing’.
BMI amputee = 89,1962,1
2,522=
lxxx
2. Responden Normal
Pengukuran terhadap responden normal dapat dilihat pada penjelasan, sebagai
berikut:
a. Penentuan nilai BMI pada responden normal ke-2.
Pengukuran terhadap responden normal ke-2 menunjukkan bahwa
responden memiliki tinggi badan 1,70 m dan berat badan 51 kg. Nilai BMI
sebesar 17,65 dan dapat disimpulkan bahwa responden ini masuk dalam
kategori ‘langsing’.
BMI responden normal ke-2 = 65,1770,1
512=
b. Penentuan nilai BMI pada responden normal ke-3.
Pengukuran terhadap responden normal ke-3 menunjukkan bahwa
responden memiliki tinggi badan 1,69 m dan berat badan 52 kg. Nilai BMI
sebesar 18,21 dan dapat disimpulkan bahwa responden ini masuk dalam
kategori ‘langsing’.
BMI responden normal ke-3 = 21,1869,1
522=
c. Penentuan nilai BMI pada responden normal ke-4.
Pengukuran terhadap responden normal ke-4 menunjukkan bahwa
responden memiliki tinggi badan 1,71 m dan berat badan 51 kg. Nilai BMI
sebesar 17,44 dan dapat disimpulkan bahwa responden ini masuk dalam
kategori ‘langsing’.
BMI responden normal ke-4 = 44,1771,1
512=
Penentuan nilai BMI dilakukan terhadap setiap responden normal dan dipilih
responden yang memiliki nilai BMI dengan kategori yang sama dengan
amputee yaitu kategori ‘langsing’. Hasil perhitungan selengkapnya dapat
dilihat pada tabel 4.5.
lxxxi
Tabel 4.5 Nilai BMI pada responden normal
Responden ke-
Berat Badan (kg)
Tinggi Badan (m)
Nilai BMI Kategori
1 50 1.72 16.90 langsing 2 51 1.70 17.65 langsing 3 52 1.69 18.21 langsing 4 51 1.71 17.44 langsing 5 50 1.74 16.51 langsing 6 52 1.68 18.42 langsing 7 52 1.69 18.21 langsing 8 50 1.72 16.90 langsing 9 52 1.68 18.42 langsing 10 51 1.67 18.29 langsing
4.2.2 Menentukan Nilai BMR
Perhitungan nilai BMR responden amputee dan normal menggunakan
persamaan 2.2 yaitu untuk laki-laki. Data yang digunakan adalah data usia,
pengukuran tinggi badan, dan berat badan. Perhitungan nilai BMR pada pengguna
prosthetic maupun kondisi normal dapat dilihat pada penjelasan, sebagai berikut:
1. Pengguna Prosthetic Kaki Bawah Lutut
Pengukuran menunjukkan bahwa amputee berusia 33 tahun, memiliki tinggi
badan 162 cm dan berat badan 52,2 kg. Nilai BMR sebesar 1372 Kkal/hari.
BMR amputee = ÷÷ø
öççè
æ+-+ 4730.66
1
)33(7550.6
1
)162(0033.5
1
)2,52(7516.13
tahuncmkg
= 1372 Kkal/hari
2. Responden Normal
Pengukuran responden normal dapat dilihat pada penjelasan, sebagai berikut:
a. Penentuan nilai BMR pada responden normal ke-2.
Pengukuran terhadap responden normal ke-2 menunjukkan bahwa
responden berusia 22 tahun, memiliki tinggi badan 170 cm dan berat badan
51 kg. Nilai BMR sebesar 1470 Kkal/hari.
BMR = ÷÷ø
öççè
æ+-+ 4730.66
1
)22(7550.6
1
)170(0033.5
1
)51(7516.13
tahuncmkg
= 1470 Kkal/hari
lxxxii
b. Penentuan nilai BMI pada responden normal ke-3.
Pengukuran terhadap responden normal ke-3 menunjukkan bahwa
responden berusia 22 tahun, memiliki tinggi badan 169 cm dan berat badan
52 kg. Nilai BMR sebesar 1479 Kkal/hari.
BMR = ÷÷ø
öççè
æ+-+ 4730.66
1
)22(7550.6
1
)169(0033.5
1
)52(7516.13
tahuncmkg
= 1479 Kkal/hari
c. Penentuan nilai BMI pada responden normal ke-4.
Pengukuran terhadap responden normal ke-4 menunjukkan bahwa
responden berusia 22 tahun, memiliki tinggi badan 171 cm dan berat badan
51 kg. Nilai BMR sebesar 1475 Kkal/hari.
BMR = ÷÷ø
öççè
æ+-+ 4730.66
1
)22(7550.6
1
)171(0033.5
1
)51(7516.13
tahuncmkg
= 11475 Kkal/hari
Penentuan nilai BMR dilakukan pada setiap responden normal dan dipilih
responden dengan nilai BMR mendekati nilai amputee. Hasil perhitungan
selengkapnya dapat dilihat pada tabel 4.6.
Tabel 4.6 Nilai BMR pada responden normal
Responden ke-
Berat Badan (kg)
Tinggi Badan (cm)
Umur (tahun)
Nilai BMR (Kkal/hari)
1 50 172 22 1466 2 51 170 22 1470 3 52 169 22 1479 4 51 171 22 1475 5 50 174 22 1476 6 52 168 20 1487 7 52 169 22 1479 8 50 172 23 1459 9 52 168 22 1474 10 51 167 21 1462
4.2.3 Menentukan Denyut Nadi
Perhitungan denyut nadi responden per menit dilakukan dengan
menggunakan persamaan 2.4. Data yang digunakan adalah data waktu yang
diambil dengan metode 10 denyut sebelum (istirahat) dan setelah (berjalan)
lxxxiii
melakukan aktivitas berjalan. Perhitungan denyut nadi pada pengguna prosthetic
maupun kondisi normal dapat dilihat pada penjelasan, sebagai berikut:
1. Pengguna Prosthetic Kaki Bawah Lutut
Data yang digunakan adalah data dari pengukuran denyut nadi pengguna
prosthetic pada aktivitas berjalan normal pada tabel 4.1.
a. Percobaan berjalan 1 (P1) dengan prosthetic eksoskeletal.
Setelah beristirahat selama 10 menit, waktu yang dibutuhkan untuk
mencapai 10 denyut nadi pada pengguna prosthetic eksoskeletal adalah 6,10
detik. Sedangkan setelah berjalan, waktu yang dibutuhkan adalah 5,81 detik.
Denyut nadi istirahat = 36,986010,6
10=x denyut/menit
Denyut nadi berjalan = 27,1036081,5
10=x denyut/menit
b. Percobaan berjalan 1 (P1) dengan prosthetic endoskeletal merek Regal.
Setelah beristirahat selama 10 menit, waktu yang dibutuhkan untuk
mencapai 10 denyut nadi pada pengguna prosthetic endoskeletal merek
Regal adalah 5,48 detik. Sedangkan setelah berjalan, waktu yang dibutuhkan
adalah 5,32 detik.
Denyut nadi istirahat = 49,1096048,5
10=x denyut/menit
Denyut nadi berjalan = 78,1126032,5
10=x denyut/menit
c. Percobaan berjalan 1 (P1) dengan prosthetic endoskeletal
pengembangan.
Setelah beristirahat selama 10 menit, waktu yang dibutuhkan untuk
mencapai 10 denyut nadi pada pengguna prosthetic endoskeletal
pengembangan adalah 5,34 detik. Sedangkan setelah berjalan, waktu yang
dibutuhkan adalah 5,23 detik.
Denyut nadi istirahat = 36,1126034,5
10=x denyut/menit
Denyut nadi berjalan = 72,1146023,5
10=x denyut/menit
lxxxiv
Setiap hasil pengukuran dihitung dan dikonversi ke dalam bilangan denyut
nadi/menit, baik untuk kondisi istirahat maupun kondisi berjalan. Hasil
perhitungan selengkapnya dapat dilihat pada tabel 4.7.
Tabel 4.7 Hasil perhitungan denyut nadi pengguna prosthetic
Pengukuran Denyut Nadi (denyut/menit) Jenis Prothese
Kondisi Pengukuran P1 P2 P3 P4 P5 P6 istirahat 98.36 104.17 103.81 103.27 104.35 102.92
Eksoskeletal berjalan 103.27 108.89 108.50 107.72 108.89 107.33 istirahat 109.49 107.91 105.08 107.14 122.70 100.00 Endoskeletal
Merek Regal berjalan 112.78 111.52 108.70 110.70 125.52 103.81 istirahat 112.36 108.89 98.04 108.89 104.90 113.21 Endoskeletal
Pengembangan berjalan 114.72 111.52 100.84 111.32 107.53 115.61
Hasil perhitungan denyut nadi pada tabel 4.7 disajikan dalam bentuk grafik.
Hal ini dilakukan agar lebih mudah dalam menganalisis dan mengetahui
tingkat perbedaan denyut kondisi istirahat dan kondisi beraktivitas yaitu
berjalan. Grafik dapat dilihat pada gambar 4.5.
Gambar 4.5 Grafik hasil pengukuran denyut nadi pengguna prosthetic
lxxxv
Pada grafik terlihat bahwa denyut nadi pada kondisi istirahat lebih rendah
dibandingkan denyut pada kondisi berjalan. Hal ini terjadi pada setiap
perulangan percobaan jalan menggunakan ketiga desain prosthetic berbeda.
2. Responden Normal
Data yang digunakan adalah data dari pengukuran denyut nadi 10 responden
orang normal pada aktivitas berjalan normal yaitu tabel 4.3.
a. Percobaan berjalan 1 (P1) pada responden ke-1.
Setelah beristirahat selama 10 menit, waktu yang dibutuhkan untuk
mencapai 10 denyut nadi pada responden ke-1 adalah 7,34 detik. Sedangkan
setelah berjalan, waktu yang dibutuhkan adalah 7,03 detik.
Denyut nadi istirahat = 74,816034,7
10=x denyut/menit
Denyut nadi berjalan = 35,856003,7
10=x denyut/menit
b. Percobaan berjalan 1 (P1) pada responden ke-3.
Setelah beristirahat selama 10 menit, waktu yang dibutuhkan untuk
mencapai 10 denyut nadi pada responden ke-3 adalah 8,06 detik. Sedangkan
setelah berjalan, waktu yang dibutuhkan adalah 7,65 detik.
Denyut nadi istirahat = 44,746006,8
10=x denyut/menit
Denyut nadi berjalan = 43,786065,7
10=x denyut/menit
c. Percobaan berjalan 1 (P1) pada responden ke-5.
Setelah beristirahat selama 10 menit, waktu yang dibutuhkan untuk
mencapai 10 denyut nadi pada responden ke-5 adalah 6,23 detik. Sedangkan
setelah berjalan, waktu yang dibutuhkan adalah 5,98 detik.
Denyut nadi istirahat = 31,966023,6
10=x denyut/menit
Denyut nadi berjalan = 33,1006098,5
10=x denyut/menit
lxxxvi
Setiap hasil pengukuran dihitung dan dikonversi ke dalam bilangan denyut
nadi/menit, baik untuk kondisi istirahat maupun kondisi berjalan. Hasil
perhitungan selengkapnya dapat dilihat pada tabel 4.8.
Tabel 4.8 Hasil perhitungan denyut responden normal
Pengukuran Denyut Nadi (denyut/menit) Responden ke-
Kondisi Pengukuran P1 P2 P3 P4 P5 P6 istirahat 81.74 86.58 81.19 85.35 82.42 82.30
1 kerja 85.35 89.96 85.84 89.02 85.35 86.08 istirahat 63.36 65.79 76.73 73.35 75.57 77.12
2 kerja 67.80 69.36 79.26 76.53 78.74 80.75 istirahat 74.44 71.68 74.63 76.24 80.43 83.22 3 kerja 78.43 76.14 78.13 79.68 84.75 87.08 istirahat 59.82 56.98 62.43 64.31 55.92 57.53 4 kerja 63.29 61.41 66.89 69.20 60.85 61.16 istirahat 96.31 81.19 85.96 82.42 91.46 91.88
5 kerja 100.33 86.46 89.96 87.34 95.39 96.46 istirahat 77.42 82.08 86.46 84.27 87.72 87.34
6 kerja 82.53 86.08 90.50 87.08 91.46 90.50 istirahat 75.85 83.22 75.19 84.27 87.72 84.51
7 kerja 79.26 86.83 79.16 87.21 91.05 87.34 istirahat 72.46 74.72 73.98 74.17 73.89 74.63
8 kerja 75.57 79.16 77.72 77.52 77.52 77.42 istirahat 79.05 82.42 83.57 77.52 75.00 77.42
9 kerja 81.63 86.46 87.08 80.86 79.05 81.63 istirahat 78.02 82.42 73.89 72.90 72.12 75.19
10 kerja 81.41 87.21 76.53 76.43 76.82 78.84
Hasil perhitungan denyut nadi pada tabel 4.8 disajikan dalam bentuk grafik.
Hal ini dilakukan agar lebih mudah dalam menganalisis dan mengetahui
tingkat perbedaan denyut kondisi istirahat dan kondisi beraktivitas yaitu
berjalan. Grafik dapat dilihat pada gambar 4.6.
lxxxvii
Gambar 4.6 Grafik hasil pengukuran denyut nadi responden normal
Pada grafik terlihat bahwa denyut nadi pada kondisi istirahat lebih rendah
dibandingkan denyut pada kondisi berjalan. Hal ini terjadi pada setiap
perulangan percobaan jalan pada sepuluh responden normal.
4.2.4 Menentukan Tingkat Kelelahan (%CVL)
Perhitungan nilai tingkat kelelahan (%CVL) dilakukan dengan
menggunakan persamaan 2.5. Data yang digunakan adalah data hasil perhitungan
denyut nadi per menit, sebelum (istirahat) dan setelah (berjalan) melakukan
aktivitas berjalan, dan denyut maksimum dari pengguna prosthetic juga kondisi
normal. Denyut nadi maksimum laki-laki diperoleh dari 220 – usia pengguna
prosthetic ataupun usia responden orang normal. Perhitungan %CVL pengguna
prosthetic maupun kondisi normal dapat dilihat pada penjelasan, sebagai berikut:
1. Pengguna Prosthetic Kaki Bawah Lutut
Data yang digunakan adalah hasil perhitungan denyut nadi pengguna prosthetic
pada aktivitas berjalan normal, yaitu pada tabel 4.7. Data denyut nadi
maksimum pengguna prosthetic yaitu sebesar 187 denyut/menit.
lxxxviii
a. Percobaan berjalan 1 (P1) dengan prosthetic eksoskeletal.
Setelah beristirahat selama 10 menit, denyut nadi pada pengguna prosthetic
eksoskeletal adalah 98,36 denyut/menit. Sedangkan setelah berjalan, denyut
nadi adalah 103,27 denyut/menit. Maka nilai %CVL sebesar 5,54 %.
%CVL = 54,5%10036,98187
36,9827,103=
--
x %
b. Percobaan berjalan 1 (P1) dengan prosthetic endoskeletal merek Regal.
Setelah beristirahat selama 10 menit, denyut nadi pada pengguna prosthetic
endoskeletal merek Regal adalah 109,49 denyut/menit. Sedangkan setelah
berjalan, denyut nadi adalah 112,78 denyut/menit. Maka nilai %CVL
sebesar 4,25 %.
%CVL = 25,4%10049,109187
49,10978,112=
--
x %
c. Percobaan berjalan 1 (P1) dengan prosthetic endoskeletal pengembangan.
Setelah beristirahat selama 10 menit, denyut nadi pada pengguna prosthetic
endoskeletal pengembangan adalah 112,36 denyut/menit. Sedangkan setelah
berjalan, denyut nadi adalah 114,72 denyut/menit. Maka nilai %CVL
sebesar 3,17 %.
%CVL = 17,3%10036,112187
36,11272,114=
--
x %
Setiap perulangan dihitung nilai %CVL atau tingkat kelelahan yang dialami.
Hasil perhitungan selengkapnya dapat dilihat pada tabel 4.7.
Tabel 4.9 Hasil perhitungan %CVL pengguna prosthetic
Pengukuran %CVL Jenis Prothese
P1 P2 P3 P4 P5 P6
Eksoskeletal 5.54 5.71 5.64 5.31 5.50 5.25
Endoskeletal Merek Regal 4.25 4.57 4.42 4.46 4.39 4.37
Endoskeletal Pengembangan 3.17 3.37 3.15 3.10 3.21 3.25
Hasil perhitungan %CVL dibuat grafik agar dapat dianalisis dengan cara
membandingkan performasi ketiga desain prosthetic yang digunakan terhadap
kondisi fisiologi dari pengguna. Grafik dapat dilihat pada gambar 4.7.
lxxxix
Gambar 4.7 Grafik hasil perhitungan % CVL pengguna prosthetic
Pada grafik di atas dapat dilihat tingkat kelelahan akibat aktivitas berjalan
normal dari prosthetic yang digunakan. Hasilnya menunjukkan bahwa nilai %
CVL untuk prosthetic endoskeletal pengembangan lebih kecil dibandingkan
dengan prosthetic desain eksoskeletal dan endoskeletal merek Regal.
2. Responden Normal
Data yang digunakan adalah hasil perhitungan denyut nadi responden normal
pada aktivitas berjalan normal yaitu pada tabel 4.8.
a. Percobaan berjalan 1 (P1) pada responden ke-1.
Setelah beristirahat selama 10 menit, denyut nadi pada responden ke-1
adalah 81,74 denyut/menit. Sedangkan setelah berjalan, denyut nadi adalah
85,35 denyut/menit. Denyut nadi maksimalnya adalah 220 – 22 = 198
denyut/menit. Maka nilai % CVL sebesar 3,10 %.
% CVL = 10,3%10074,8119874,8135,85
=--
x %
b. Percobaan berjalan 1 (P1) pada responden ke-3.
Setelah beristirahat selama 10 menit, denyut nadi pada responden ke-1
adalah 74,44 denyut/menit. Sedangkan setelah berjalan, denyut nadi adalah
78,43 denyut/menit. Denyut nadi maksimalnya adalah 220 – 22 = 198
denyut/menit. Maka nilai % CVL sebesar 3,23 %.
xc
% CVL = 23,3%10044,7419844,7443,78
=--
x %
c. Percobaan berjalan 1 (P1) pada responden ke-5.
Setelah beristirahat selama 10 menit, denyut nadi pada responden ke-1
adalah 96,31 denyut/menit. Sedangkan setelah berjalan, denyut nadi adalah
100,33 denyut/menit. Denyut nadi maksimalnya adalah 220 – 22 = 198
denyut/menit. Maka nilai % CVL sebesar 3,96 %.
% CVL = 96,3%10031,96198
31,9633,100=
--
x %
Setiap perulangan dihitung nilai % CVL atau tingkat kelelahan yang dialami.
Hasil perhitungan selengkapnya dapat dilihat pada tabel 4.10.
Tabel 4.10 Hasil perhitungan % CVL responden normal
Pengukuran % CVL Responden ke-
Denyut Nadi Maks P1 P2 P3 P4 P5 P6
1 198 3.10 3.03 3.98 3.26 2.54 3.27 2 198 3.30 2.70 2.09 2.55 2.59 3.01 3 198 3.23 3.53 2.84 2.83 3.67 3.37 4 198 2.51 3.14 3.29 3.66 3.47 2.59 5 198 3.96 4.51 3.57 4.26 3.69 4.32 6 200 4.17 3.40 3.56 2.43 3.33 2.81 7 198 2.79 3.15 3.23 2.58 3.02 2.49 8 197 2.49 3.63 3.04 2.73 2.95 2.28 9 198 2.17 3.49 3.07 2.77 3.29 3.49 10 199 2.80 4.11 2.11 2.80 3.71 2.95
Hasil perhitungan % CVL selanjutnya dibuat grafik agar dapat dianalisis lebih
lanjut dengan cara membandingkan performasi sepuluh orang responden untuk
kondisi normal. Grafik hasil perhitungan dapat dilihat pada gambar 4.8.
xci
Gambar 4.8 Grafik hasil perhitungan % CVL responden normal
Pada grafik di atas dapat dilihat tingkat kelelahan akibat aktivitas berjalan
normal pada sepuluh responden normal. Hasilnya menunjukkan bahwa nilai %
CVL responden normal berada dalam range rata-rata 2,0-3,5 %.
Berikutnya dilakukan perhitungan distribusi nilai tingkat kelelahan
(%CVL) pada enam fase berjalan. Fase berjalan dipilih sesuai dengan gambar 4.9.
Gambar 4.9 Siklus pola jalan (gait cycle) Sumber: Lower-limb prosthetics, 1990
Pada gambar tersebut terdapat tujuh fase gerakan berjalan yaitu heel
contact, foot flat, midstance point, heel off, toe off, midswing, dan kembali pada
heel contact. Fase pertama dengan fase ketujuh merupakan gerakan yang sama
(heel contact). Kesamaan gerakan tersebut dapat berarti bahwa energi yang
dikeluarkan hampir sama dan kelelahan yang ditimbulkan juga hampir sama.
Alasan tersebut membuat penelitian ini menggunakan enam fase gerakan dalam
berjalan.
1 2 3 4 5 6 7
xcii
Melalui pengamatan data berupa video aktivitas berjalan normal sebanyak
enam kali perulangan, terhitung pengguna prosthetic maupun responden orang
normal melakukan sekitar 10 siklus berjalan. Setiap aktivitas berjalan sejauh 12
meter didapatkan 10 siklus, setiap siklusnya terdiri dari enam fase. Perhitungan %
CVL per fase berjalan dapat dilihat pada penjelasan, sebagai berikut:
1. Pengguna Prosthetic Kaki Bawah Lutut
Data yang digunakan adalah hasil perhitungan % CVL pengguna prosthetic
pada aktivitas berjalan normal, yaitu pada tabel 4.9. Selain itu didukung data
video rekaman terhadap aktivitas berjalan normal.
a. Pengamatan jumlah siklus berjalan,
Pengamatan dilakukan terhadap data berupa video rekaman aktivitas
berjalan pengguna prosthetic. Setiap percobaan berjalan dihitung jumlah
siklus yang dihasilkan. Jumlah siklus rata-rata yang terpilih yaitu 10 siklus.
Siklus berjalan sepanjang 12 meter ditempuh selama 15 detik dengan siklus
perulangan dalam berjalan sebanyak 10 siklus. Diestimasi bahwa gerakan 1
siklus berjalan dapat ditempuh sejauh 1,2 meter dengan waktu tempuh
selama 1,5 detik per siklus. Rekapitulasi hasil penghitungan jumlah siklus
dapat dilihat pada tabel 4.11.
Tabel 4.11 Hasil pengamatan jumlah siklus berjalan pada pengguna prosthetic
Percobaan Jalan ke- (jumlah siklus) Jenis Prothese
1 2 3 4 5 6 Rata-rata
Siklus Jumlah Siklus
Eksoskeletal 9 10 9 10.5 11 10 9.917 10 Endoskeletal Merek Regal
11 10 10 11 10.5 10 10.417 10
Endoskeletal Pengembangan
10 10.5 11 10.5 10.5 10 10.417 10
Hasil pengamatan terhadap jumlah siklus yang terjadi dalam setiap
percobaan berjalan pada tabel 4.11 di atas disajikan dalam bentuk grafik.
Hal ini dilakukan agar lebih mudah dalam menganalisis dan mengetahui
perubahan jumlah siklus dalam setiap perulangan percobaan berjalan. Grafik
dapat dilihat pada gambar 4.10.
xciii
Gambar 4.10 Grafik hasil pengamatan terhadap siklus berjalan pengguna prosthetic
Pada grafik terlihat bahwa banyaknya siklus yang terjadi pada setiap
percobaan berjalan adalah 9-11 siklus. Dalam perhitungan lebih lanjut
diambil nilai rata-rata jumlah siklus yang terjadi yaitu 10 siklus.
b. Perhitungan distribusi % CVL per siklus untuk setiap aktivitas berjalan,
Perhitungan distribusi % CVL per siklus ini dilakukan dengan menggunakan
persamaan 2.6 yaitu membagi nilai % CVL pada tabel 4.9 dengan jumlah
siklus pada tabel 4.11. Berikut adalah beberapa contoh perhitungannya
menggunakan persamaan 2.6.
· Pada prosthetic eksoskeletal percobaan jalan ke-1,
= 1054,5
= 0,554 %
· Pada prosthetic endoskeletal merek Regal percobaan jalan ke-3,
= 1042,4
= 0,442 %
· Pada prosthetic endoskeletal pengembangan percobaan jalan ke-5.
= 1021,3
= 0,321 %
Setiap perulangan percobaan jalan dihitung nilai % CVL atau tingkat
kelelahan yang dialami pada setiap siklus. Hasil perhitungan selengkapnya
dapat dilihat pada tabel 4.12.
xciv
Tabel 4.12 Distribusi % CVL per siklus pada pengguna prosthetic
Distribusi % CVL per Siklus pada Percobaan Jalan ke- (dalam %) Jenis Prothese
1 2 3 4 5 6 Eksoskeletal 0.554 0.571 0.564 0.531 0.550 0.525 Endoskeletal Merek Regal
0.425 0.457 0.442 0.446 0.439 0.437
Endoskeletal Pengembangan
0.317 0.337 0.315 0.310 0.321 0.325
Penentuan distribusi nilai % CVL pada tabel 4.12 di atas disajikan dalam
bentuk grafik sehingga lebih mudah dalam menganalisis dan mengetahui
nilai distribusi % CVL per siklus untuk setiap percobaan jalan. Grafik dapat
dilihat pada gambar 4.11.
Gambar 4.11 Grafik distribusi % CVL per siklus pengguna prosthetic
Pada grafik terlihat bahwa distribusi nilai % CVL setiap siklus pada desain
prosthetic endoskeletal pengembangan lebih rendah dibandingkan dua
desain prosthetic lainnya. Hal ini sementara dapat mengindikasikan bahwa
prosthetic dengan distribusi nilai % CVL lebih rendah berarti lebih baik.
c. Pemilihan nilai % CVL per siklus terbesar,
Pemilihan ini dilakukan terhadap nilai hasil perhitungan distribusi % CVL
terbesar dari enam kali percobaan. Nilai yang terpilih tersebut digunakan
sebagai dasar perhitungan % CVL per fase. Hasil pemilihan dapat dilihat
pada tabel 4.13.
xcv
Tabel 4.13 Nilai % CVL per siklus terbesar pada pengguna prosthetic
Jenis Prothese % CVL
per siklus
Eksoskeletal 0.571 Endoskeletal Merek Regal 0.457 Endoskeletal Pengembangan 0.337
Penentuan nilai % CVL per siklus terbesar pada tabel 4.13 di atas disajikan
dalam bentuk grafik sehingga lebih mudah dalam menganalisis dan
mengetahui perbandingan ketiga desain prosthetic. Grafik dapat dilihat pada
gambar 4.12.
Gambar 4.12 Grafik pengamatan nilai % CVL per siklus terbesar pada pengguna prosthetic
Pada grafik terlihat bahwa nilai % CVL per siklus terbesar untuk ketiga
desain. Dari ketiga nilai tersebut, nilai untuk desain prosthetic endoskeletal
pengembangan lebih rendah dibandingkan dua desain prsosthetic lainnya.
d. Pengamatan waktu yang dibutuhkan untuk mencapai setiap fase berjalan,
Pengamatan ini dilakukan secara langsung terhadap data video rekaman.
Setiap fase dihitung waktu tempuhnya kemudian dipilih satu siklus dengan
rekapitulasi waktu per fasenya. Hasil penghitungan waktu tempuh per fase
yang terpilih dapat dilihat pada tabel 4.14.
xcvi
Tabel 4.14 Waktu per fase berjalan pada pengguna prosthetic
Waktu pada Fase ke- (detik) Jenis Prothese
1 2 3 4 5 6 Waktu 1
Siklus Eksoskeletal 0.324 0.149 0.089 0.306 0.142 0.142 1.152 Endoskeletal Merek Regal
0.335 0.234 0.114 0.362 0.212 0.182 1.439
Endoskeletal Pengembangan
0.413 0.153 0.138 0.397 0.196 0.188 1.485
Hasil pengamatan terhadap waktu di atas disajikan dalam bentuk grafik.
Grafik dapat dilihat pada gambar 4.13.
Gambar 4.13 Grafik hasil pengamatan terhadap waktu per fase pada pengguna prosthetic
Pada grafik terlihat bahwa lamanya waktu per fase pada desain eksoskeletal
lebih sedikit dibandingkan kedua desain lainnya.
e. Perhitungan distribusi % CVL untuk setiap fase berjalan.
Data yang dipakai yaitu data pada tabel 4.13 dan 4.14. Perhitungan distribusi
%CVL untuk setiap fase berjalan menggunakan persamaan 2.7. Contoh
perhitungannya dapat dilihat, sebagai berikut:
· Fase 1 pada prosthetic eksoskeletal,
= 571,0152,1324,0
x = 0,1605 %
· Fase 1 pada prosthetic endoskeletal merek Regal,
xcvii
= 457,0439,1335,0
x = 0,1063 %
· Fase 1 pada prosthetic endoskeletal pengembangan.
= 337,0485,1413,0
x = 0,0937 %
Setiap perulangan percobaan jalan dihitung nilai % CVL atau tingkat
kelelahan yang dialami pada setiap fase berjalan untuk pengguna prosthetic.
Hasil perhitungan selengkapnya dapat dilihat pada tabel 4.15.
Tabel 4.15 Distribusi nilai % CVL per fase pada pengguna prosthetic
% CVL per fase Jenis Prothese
1 2 3 4 5 6 Eksoskeletal 0.1605 0.0738 0.0441 0.1516 0.0703 0.0703 Endoskeletal Merek Regal
0.1063 0.0742 0.0362 0.1148 0.0673 0.0577
Endoskeletal Pengembangan
0.0937 0.0347 0.0313 0.0901 0.0445 0.0426
Hasil tersebut kemudian diplotkan pada grafik berikut, dapat dilihat tingkat
kelelahan akibat aktivitas berjalan normal pada pengguna prosthetic. Hasil
menunjukkan bahwa nilai %CVL untuk prosthetic endoskeletal
pengembangan lebih kecil daripada semua fase jika dibandingkan dengan
prosthetic desain eksoskeletal dan endoskeletal merek Regal. Grafiknya
dapat dilihat pada gambar 4.14.
Gambar 4.14 Distribusi % CVL per fase pada pengguna prosthetic
xcviii
Hasil perhitungan distribusi %CVL per fase pada tabel 4.15 dipasangkan
dengan hasil capture gambar video rekaman menggunakan ketiga desain
prosthetic pada gambar 4.3. Hasilnya dapat dilihat pada gambar 4.15.
Gambar 4.15 Distribusi % CVL pada gerak per fase pengguna prosthetic
2. Responden Normal
Data yang digunakan adalah hasil perhitungan % CVL responden normal pada
aktivitas berjalan normal, yaitu pada tabel 4.10. Selain itu didukung data video
rekaman terhadap aktivitas berjalan normal.
a. Pengamatan jumlah siklus berjalan,
Pengamatan dilakukan terhadap data berupa video rekaman aktivitas
berjalan responden normal. Pada setiap percobaan berjalan dihitung jumlah
siklus yang dihasilkan. Untuk percobaan jalan ke-1 responden ke-1 terhitung
xcix
10 siklus. Untuk percobaan jalan ke-3 responden ke-5 terhitung 10,5 siklus.
Untuk percobaan jalan ke-4 responden ke-10 terhitung 11 siklus.
Siklus berjalan sepanjang 12 meter ditempuh selama 11 detik dengan siklus
perulangan dalam berjalan sebanyak 10 siklus. Diestimasi bahwa gerakan 1
siklus berjalan dapat ditempuh sejauh 1,2 meter selama 1,1 detik/siklus.
Rekapitulasi hasil penghitungan jumlah siklus dilihat pada tabel 4.16.
Tabel 4.16 Hasil pengamatan jumlah siklus berjalan pada responden normal
Percobaan Jalan ke- (jumlah siklus) Responden ke- 1 2 3 4 5 6
Rata-rata
Jumlah Siklus
1 10 10.5 10.5 10 11 10.5 10.42 10 2 10.5 10 10 9.5 10 10 10.00 10 3 9.5 9 9 8.5 9 8.5 8.92 9 4 10 9.5 9.5 10 10 9.5 9.75 10 5 10.5 10 10.5 10 10.5 10.5 10.33 10 6 10 9.5 9.5 10 10 10 9.83 10 7 9.5 9.5 10 10 9.5 10 9.75 10 8 9 8 8.5 9.5 9 9 8.83 9 9 10.5 10.5 10.5 10.5 10 10.5 10.42 10 10 10 10.5 10.5 11 10 10.5 10.42 10
Hasil pengamatan terhadap jumlah siklus yang terjadi dalam setiap
percobaan berjalan pada tabel 4.16 di atas disajikan dalam bentuk grafik.
Hal ini dilakukan agar lebih mudah dalam menganalisis dan mengetahui
perubahan jumlah siklus dalam setiap perulangan percobaan berjalan. Grafik
dapat dilihat pada gambar 4.16.
c
Gambar 4.16 Grafik hasil pengamatan terhadap siklus berjalan responden normal
Pada grafik terlihat bahwa banyaknya siklus yang terjadi pada setiap
percobaan berjalan pada responden normal adalah 8-11 siklus. Dalam
perhitungan lebih lanjut diambil nilai rata-rata jumlah siklus yang terjadi
pada setiap responden.
b. Perhitungan distribusi % CVL per siklus untuk setiap aktivitas berjalan,
Perhitungan distribusi % CVL ini dilakukan dengan menggunakan
persamaan 2.6 yaitu membagi nilai % CVL pada tabel 4.10 dengan jumlah
siklus yang ditentukan pada tabel 4.16. Berikut adalah beberapa contoh
perhitungannya.
· % CVL per siklus responden ke-1 percobaan jalan ke-1,
= 1010,3
= 0,310 %
· % CVL per siklus responden ke-3 percobaan jalan ke-3,
= 984,2
= 0,315 %
· % CVL per siklus responden ke-5 percobaan jalan ke-5.
= 1069,3
= 0,369 %
ci
Setiap perulangan percobaan jalan dihitung nilai % CVL atau tingkat
kelelahan yang dialami pada setiap siklus. Hasil perhitungan selengkapnya
dapat dilihat pada tabel 4.17.
Tabel 4.17 Distribusi % CVL per siklus pada responden normal
Distribusi % CVL per Siklus pada Percobaan Jalan ke- (dalam %) Responden
ke- 1 2 3 4 5 6
1 0.310 0.303 0.398 0.326 0.254 0.327 2 0.330 0.270 0.209 0.255 0.259 0.301 3 0.359 0.392 0.315 0.314 0.408 0.374 4 0.251 0.314 0.329 0.366 0.347 0.259 5 0.396 0.451 0.357 0.426 0.369 0.432 6 0.417 0.340 0.356 0.243 0.333 0.281 7 0.279 0.315 0.323 0.258 0.302 0.249 8 0.277 0.403 0.338 0.303 0.327 0.254 9 0.217 0.349 0.307 0.277 0.329 0.349 10 0.280 0.411 0.211 0.280 0.371 0.295
Penentuan distribusi nilai % CVL pada tabel 4.17 disajikan pada grafik 4.17
sehingga lebih mudah dalam menganalisis dan mengetahui nilai distribusi
%CVL per siklus untuk setiap percobaan jalan.
Gambar 4.17 Grafik distribusi % CVL per siklus responden normal
Pada grafik terlihat bahwa distribusi nilai % CVL setiap siklus pada
responden normal berbeda-beda. Perbedaan ini dikarenakan setiap
responden memiliki cara berjalan dan lebar langkah yang berbeda-beda.
cii
c. Pemilihan nilai % CVL per siklus terbesar,
Pemilihan ini dilakukan terhadap nilai hasil perhitungan distribusi % CVL
terbesar dari enam kali percobaan pada tabel 4.17. Nilai yang terpilih
tersebut digunakan sebagai dasar perhitungan % CVL per fase. Hasil
pemilihan dapat dilihat pada tabel 4.18.
Tabel 4.18 Nilai % CVL per siklus terbesar pada responden normal
Responden ke-
% CVL per siklus
1 0.398 2 0.330 3 0.408 4 0.366 5 0.451 6 0.417 7 0.323 8 0.403 9 0.349 10 0.411
Penentuan nilai % CVL per siklus terbesar pada tabel 4.18 di atas disajikan
dalam bentuk grafik sehingga lebih mudah dalam menganalisis dan
mengetahui kesesuaian hasil pada kesepuluh responden normal. Grafik dapat
dilihat pada gambar 4.18.
Gambar 4.18 Grafik pengamatan nilai % CVL per siklus terbesar pada responden normal
Pada grafik terlihat bahwa nilai % CVL per siklus terbesar pada kesepuluh
responden normal. Setiap pemilihan nilai % CVL terbesar berada dalam
rentangan nilai yang hampir sama yaitu sekitar 0,3-0,45 %.
ciii
d. Pengamatan waktu yang dibutuhkan untuk mencapai setiap fase berjalan,
Pengamatan ini dilakukan secara langsung terhadap data video rekaman
responden normal. Setiap fase dihitung waktu tempuhnya kemudian dipilih
satu siklus dengan rekapitulasi waktu per fasenya. Hasil penghitungan waktu
tempuh per fase yang terpilih dapat dilihat pada tabel 4.19.
Tabel 4.19 Waktu per fase berjalan pada responden normal
Waktu pada Fase ke- (detik) Responden ke- 1 2 3 4 5 6
Waktu 1 Siklus
1 0.306 0.203 0.104 0.354 0.247 0.178 1.392 2 0.180 0.162 0.102 0.263 0.223 0.163 1.093 3 0.236 0.147 0.092 0.227 0.168 0.118 0.988 4 0.23 0.191 0.107 0.196 0.232 0.155 1.111 5 0.187 0.121 0.109 0.193 0.102 0.097 0.809 6 0.263 0.195 0.162 0.272 0.158 0.129 1.179 7 0.308 0.141 0.196 0.300 0.261 0.151 1.357 8 0.167 0.121 0.075 0.176 0.103 0.104 0.746 9 0.200 0.251 0.103 0.328 0.158 0.176 1.216 10 0.208 0.167 0.095 0.219 0.146 0.114 0.949
Hasil pengamatan terhadap waktu per fase pada tabel 4.19 di atas disajikan
pada grafik 4.19 sehingga lebih mudah dalam menganalisis dan mengetahui
perbandingan lamanya waktu per fase pada kesepuluh responden normal.
Gambar 4.19 Grafik hasil pengamatan terhadap waktu per fase pada responden normal
Pada grafik terlihat bahwa fase ke-4 merupakan fase dengan waktu terlama
sedangkan fase ke-3 dan ke-6 merupakan fase dengan waktu tersingkat. Hal
tersebut terjadi hampir pada hasil pengamatan seluruh responden normal.
civ
e. Perhitungan distribusi % CVL untuk setiap fase berjalan,
Data yang dipakai yaitu data pada tabel 4.18 dan 4.19. Perhitungan distribusi
% CVL untuk setiap fase berjalan menggunakan persamaan 2.7. Contoh
perhitungannya dapat dilihat, sebagai berikut:
· Fase 1 pada responden ke-1,
= 398,0392,1
306,0x = 0,0874 %
· Fase 1 pada responden ke-3,
= 408,0988,0236,0
x = 0,0974 %
· Fase 1 pada responden ke-5.
= 451,0809,0187,0
x = 0,1042 %
Setiap perulangan percobaan jalan dihitung nilai % CVL atau tingkat
kelelahan yang dialami pada setiap fase berjalan untuk responden normal.
Hasil perhitungan selengkapnya dapat dilihat pada tabel 4.20.
Tabel 4.20 Distribusi nilai % CVL per fase pada responden normal
% CVL per fase Responden ke- 1 2 3 4 5 6 1 0.0874 0.0580 0.0297 0.1012 0.0706 0.0509 2 0.0543 0.0489 0.0308 0.0793 0.0673 0.0492 3 0.0974 0.0607 0.0380 0.0937 0.0694 0.0487 4 0.0758 0.0630 0.0353 0.0646 0.0765 0.0511 5 0.1042 0.0674 0.0607 0.1075 0.0568 0.0540 6 0.0930 0.0690 0.0573 0.0962 0.0559 0.0456 7 0.0733 0.0336 0.0467 0.0714 0.0621 0.0359 8 0.0902 0.0654 0.0405 0.0951 0.0557 0.0562 9 0.0575 0.0721 0.0296 0.0943 0.0454 0.0506 10 0.0901 0.0723 0.0411 0.0948 0.0632 0.0494
Hasil tersebut diplotkan pada grafik. Dapat dilihat tingkat kelelahan akibat
aktivitas berjalan pada responden normal. Hasilnya menunjukkan bahwa
nilai % CVL untuk tersebar rata untuk keenam fase, mulai dari fase heel
contact sampai fase midswing, grafiknya dapat dilihat pada gambar 4.20.
cv
Gambar 4.20 Distribusi % CVL per fase pada responden normal
Hasil perhitungan pada tabel 4.20 dipasangkan dengan hasil capture gambar
dari data video rekaman aktivitas berjalan responden normal pada gambar
4.4. Hasil rekapitulasinya dapat dilihat pada gambar 4.21.
cvi
cvii
Gambar 4.21 Distribusi % CVL pada gerak per fase responden normal
cviii
Gambar 4.21 Distribusi % CVL pada gerak per fase responden normal (lanjutan)
4.2.5 Menentukan Energi Ekspenditur
Data yang diolah yaitu data pengukuran denyut nadi aktivitas berjalan
pada pengguna prosthetic dan responden normal dengan menggunakan treadmill.
Pengukuran denyut nadi diukur sebelum dan saat berjalan sejauh 100 meter untuk
tiga kecepatan berbeda (1,2 km/jam; 1,6 km/jam; dan 2 km/jam). Hubungan
energi expenditure dan kecepatan denyut nadi berdasarkan pengukuran heart rate
(HR) dicari berdasarkan pendekatan kuantitatif dengan regresi kuadratis dengan
persamaan 2.5 (Astuti B., 1985). Perhitungan energi ekspenditur dapat dilihat
pada penjelasan, sebagai berikut:
1. Pengguna Prosthetic Kaki Bawah Lutut
Data yang digunakan adalah data dari pengukuran denyut nadi pengguna
prosthetic pada aktivitas berjalan di treadmill, yaitu pada tabel 4.2. Berikut
adalah beberapa contoh perhitungannya.
a. Pada pengguna prosthetic eksoskeletal,
Denyut nadi pada pengguna prosthetic eksoskeletal dengan kecepatan
treadmill 1.2 km/jam yang diukur pada jarak ke 30 meter adalah 76
denyut/menit. Nilai energi ekspenditur sebesar 2,788 Kkal/menit.
Y = 1.80411 - (0.0229038) X + (4.71733 x 10-4) X 2
Y = 1.80411 - (0.0229038) (76) + (4.71733 x 10-4) (76) 2
Y = 2.788 Kkal/menit
b. Pada pengguna prosthetic endoskeletal merek Regal,
Denyut nadi pada pengguna prosthetic endoskeletal merek Regal dengan
kecepatan treadmill 1.6 km/jam yang diukur pada jarak ke 50 meter adalah
78 denyut/menit. Nilai energi ekspenditur sebesar 2,288 Kkal/menit.
Y = 1.80411 - (0.0229038) X + (4.71733 x 10-4) X 2
Y = 1.80411 - (0.0229038) (78) + (4.71733 x 10-4) (78) 2
Y = 2.288 Kkal/menit
c. Pada pengguna prosthetic endoskeletal pengembangan.
Denyut nadi pada pengguna prosthetic endoskeletal pengembangan dengan
kecepatan treadmill 2 km/jam yang diukur pada jarak ke 100 meter adalah
82 denyut/menit. Nilai energi ekspenditur sebesar 3,098 Kkal/menit.
cix
Y = 1.80411 - (0.0229038) X + (4.71733 x 10-4) X 2
Y = 1.80411 - (0.0229038) (82) + (4.71733 x 10-4) (82) 2
Y = 3.098 Kkal/menit
Nilai energi ekspenditur dihitung untuk setiap hasil pengukuran denyut nadi,
baik untuk pengukuran sebelum dan saat berjalan di treadmill. Hasil
perhitungan selengkapnya dapat dilihat pada tabel 4.21.
Tabel 4.21 Hasil perhitungan energi ekspenditur pengguna prosthetic
Energi Ekspenditur (Kkal/menit) Jenis
Prothese Kecepatan (km/jam) DN0(0) DN1(30) DN2(50) DN3(100)
1.2 2.233 2.788 3.266 3.690 1.6 2.428 3.098 3.564 3.953 Eksoskeletal 2 2.692 3.323 3.819 4.160
1.2 2.001 2.308 2.646 2.939 1.6 2.128 2.512 2.888 3.209
Endoskeletal Merek Regal
2 2.308 2.740 3.209 3.564 1.2 2.387 2.601 2.740 2.888 1.6 2.556 2.740 2.788 2.991
Endoskeletal Pengembangan
2 2.692 2.837 2.888 3.098
Hasil perhitungan di atas disajikan dalam bentuk grafik sehingga memudahkan
dalam menganalisis garis regresi yang ditunjukkan data. Grafik untuk ketiga
desain prosthetic dapat dilihat pada gambar 4.22.
cx
Gambar 4.22 Energi ekspenditur pada pengguna ketiga desain prosthetic
Hasil pada ketiga desain prosthetic menunjukkan adanya kesamaan yaitu
besarnya energi ekspenditur yang semakin meningkat. Pada desain prosthetic
endoskeletal pengembangan besarnya peningkatan energi ekspenditur sedikit
sehingga dapat dipastikan bahwa besarnya energi yang dikeluarkan lebih stabil.
2. Responden Normal
Data yang digunakan adalah data dari pengukuran denyut nadi responden orang
normal pada aktivitas berjalan di treadmill yaitu pada tabel 4.4. Berikut ini
beberapa contoh perhitungannya.
a. Pada responden ke-1.
Denyut nadi pada responden ke-1 dengan kecepatan treadmill 1.2 km/jam
yang diukur pada jarak ke 30 meter adalah 96 denyut/menit. Sehingga nilai
energi ekspenditur sebesar 3,953 Kkal/menit.
Y = 1.80411 - (0.0229038) X + (4.71733 x 10-4) X 2
Y = 1.80411 - (0.0229038) (96) + (4.71733 x 10-4) (96) 2
Y = 3.953 Kkal/menit
b. Pada responden ke-3.
Denyut nadi pada responden ke-3 dengan kecepatan treadmill 1.6 km/jam
yang diukur pada jarak ke 50 meter adalah 86 denyut/menit. Sehingga nilai
energi ekspenditur sebesar 3,323 Kkal/menit.
Y = 1.80411 - (0.0229038) X + (4.71733 x 10-4) X 2
Y = 1.80411 - (0.0229038) (86) + (4.71733 x 10-4) (86) 2
Y = 3.323 Kkal/menit
c. Pada responden ke-5.
Denyut nadi pada responden ke-5 dengan kecepatan treadmill 2 km/jam
yang diukur pada jarak ke 100 meter adalah 102 denyut/menit. Sehingga
nilai energi ekspenditur sebesar 4,376 Kkal/menit.
Y = 1.80411 - (0.0229038) X + (4.71733 x 10-4) X 2
Y = 1.80411 - (0.0229038) (102) + (4.71733 x 10-4) (102) 2
Y = 4.376 Kkal/menit
cxi
Nilai energi ekspenditur dihitung untuk setiap hasil pengukuran denyut nadi,
pada responden normal, baik untuk pengukuran sebelum dan saat berjalan di
treadmill. Hasil perhitungan selengkapnya dapat dilihat pada tabel 4.22.
Tabel 4.22 Hasil perhitungan energi ekspenditur responden normal
Energi Ekspenditur (Kkal/menit) Responden
ke- Kecepatan (km/jam) DN0(0) DN1(30) DN2(50) DN3(100)
1.2 2.991 3.953 4.376 4.303 1.6 2.939 3.754 3.564 3.626 1
2 2.888 2.939 3.098 3.953 1.2 2.646 3.442 3.754 3.382 1.6 2.740 2.837 2.740 2.939 2
2 3.044 3.153 3.266 3.564 1.2 3.266 3.564 3.690 4.090 1.6 2.939 3.044 3.323 3.626 3 2 2.991 3.098 3.209 3.564
1.2 2.888 2.939 2.991 3.153 1.6 2.740 2.788 2.740 2.888 4
2 2.692 2.837 2.888 2.991 1.2 3.323 3.690 4.090 4.376 1.6 3.564 3.754 4.376 4.450 5
2 3.690 3.886 4.090 4.376 1.2 3.044 3.098 3.266 3.323 1.6 2.837 3.442 3.502 3.442 6
2 3.153 3.442 3.626 3.502 1.2 2.740 3.153 3.502 3.266 1.6 2.939 3.044 3.564 3.690 7
2 2.991 3.209 3.442 3.886 1.2 2.939 3.266 3.323 3.502 1.6 3.266 3.502 3.442 3.626 8
2 2.939 2.991 3.153 3.442 1.2 2.991 3.044 3.266 3.153 1.6 3.266 3.442 3.754 3.626 9
2 3.153 3.564 3.502 3.690 1.2 2.740 2.991 3.098 3.266 1.6 2.939 3.502 3.564 3.323 10
2 2.888 2.939 3.266 3.153
cxii
Hasil perhitungan di atas disajikan dalam bentuk grafik. Hasil energi
ekspenditur pada orang normal untuk ketiga kecepatan yang berbeda ternyata
berada dalam range nilai yang hampir sama. Grafik untuk kecepatan 1,2
km/jam dapat dilihat pada gambar 4.23.
Gambar 4.23 Energi ekspenditur responden normal (kecepatan 1,2 km/jam)
Pada grafik di atas dapat dilihat perubahan nilai ekspenditur mulai dari sebelum
berjalan sampai saat berjalan. Energi yang digunakan saat berjalan lebih besar
dibandingkan sebelum berjalan dan meningkat seiring dengan semakin
besarnya jarak tempuh berjalan. Grafik untuk kecepatan 1,6 km/jam dapat
dilihat pada gambar 4.24.
Gambar 4.24 Energi ekspenditur responden normal (kecepatan 1,6 km/jam)
cxiii
Pada grafik di atas dapat dilihat perubahan nilai ekspenditur mulai dari sebelum
berjalan sampai saat berjalan. Energi yang digunakan saat berjalan lebih besar
dibandingkan sebelum berjalan dan meningkat seiring dengan semakin
besarnya jarak tempuh berjalan. Pada kecepatan 1,6 km/jam ini beberapa
responden menunjukkan peningkatan energi ekspenditur yang stabil (responden
ke-2 dan ke-4), namun ada beberapa responden yang peningkatannya tidak
stabil (responden ke-7 dan ke-10). Grafik untuk kecepatan 2 km/jam dapat
dilihat pada gambar 4.25.
Gambar 4.25 Energi ekspenditur responden normal (kecepatan 2 km/jam)
Pada grafik di atas dapat dilihat perubahan nilai ekspenditur mulai dari sebelum
berjalan sampai saat berjalan. Energi yang digunakan saat berjalan lebih besar
dibandingkan sebelum berjalan dan meningkat seiring dengan semakin besarnya
jarak tempuh berjalan.
4.2.6 Menentukan Kebutuhan Kalori
Data yang dipakai yaitu data hasil perhitungan energi ekspenditur pada
pengguna prosthetic dan responden orang normal dengan menggunakan treadmill.
Penghitungan kebutuhan kalori ini dilakukan dengan menggunakan persamaan
2.9. Perhitungan kebutuhan kalori dapat dilihat pada penjelasan, sebagai berikut:
cxiv
1. Pengguna Prosthetic Kaki Bawah Lutut
Data yang digunakan dalam perhitungan kebutuhan kalori ini yaitu hasil
perhitungan energi ekspenditur pengguna prosthetic pada aktivitas berjalan di
treadmill, yaitu pada tabel 4.21. Nilai berat badan pengguna prosthetic tanpa
prosthetic yaitu 52,2 kg. Berikut ini beberapa contoh perhitungannya.
a. Pada pengguna prosthetic eksoskeletal,
Nilai kebutuhan kalori pada pengguna prosthetic eksoskeletal dengan
kecepatan treadmill 1,2 km/jam yang diukur pada jarak ke 30 meter adalah
sebesar 2,788 Kkal/menit. Sehingga kebutuhan kalorinya sebesar 3,205
Kkal/jam/kg berat badan.
Kebutuhan kalori = kgx
2,5260788,2
= 3,205 Kkal/jam/kg berat badan
b. Pada pengguna prosthetic endoskeletal merek Regal,
Nilai kebutuhan kalori pada pengguna prosthetic endoskeletal merek Regal
dengan kecepatan treadmill 1,6 km/jam yang diukur pada jarak ke 50 meter
adalah sebesar 2,288 Kkal/menit. Sehingga kebutuhan kalorinya sebesar
3,319 Kkal/jam/kg berat badan.
Kebutuhan kalori = kgx
2,5260288,2
= 3,319 Kkal/jam/kg berat badan
c. Pada pengguna prosthetic endoskeletal pengembangan.
Nilai kebutuhan kalori pada pengguna prosthetic endoskeletal
pengembangan dengan kecepatan treadmill 2 km/jam yang diukur pada
jarak ke 100 meter adalah sebesar 3,098 Kkal/menit. Sehingga kebutuhan
kalorinya sebesar 3,561 Kkal/jam/kg berat badan.
Kebutuhan kalori = kgx
2,5260098,3
= 3,561 Kkal/jam/kg berat badan
Nilai kebutuhan kalori dihitung untuk setiap hasil perhitungan energi
ekspenditur. Hasil perhitungan selengkapnya dapat dilihat pada tabel 4.23.
cxv
Tabel 4.23 Hasil perhitungan kebutuhan kalori pengguna prosthetic
Kebutuhan Kalori (Kkal/jam/kg berat badan) Jenis
Prothese Kecepatan (km/jam)
DN0(0) DN1(30) DN2(50) DN3(100)
1.2 2.567 3.205 3.754 4.241 1.6 2.791 3.561 4.096 4.543 Eksoskeletal
2 3.095 3.820 4.390 4.782 1.2 2.300 2.653 3.041 3.378 1.6 2.446 2.888 3.319 3.688
Endoskeletal Merek Regal
2 2.653 3.149 3.688 4.096 1.2 2.744 2.989 3.149 3.319 1.6 2.938 3.149 3.205 3.438
Endoskeletal Pengembangan
2 3.095 3.261 3.319 3.561
Hasil perhitungan di atas disajikan dalam bentuk grafik sehingga memudahkan
dalam menganalisis kecenderungan garis yang ditunjukkan data. Grafik
kebutuhan kalori untuk ketiga desain prosthetic dapat dilihat pada gambar 4.26.
Gambar 4.26 Kebutuhan kalori pada pengguna ketiga desain prosthetic
Hasil pada ketiga desain prosthetic memiliki kecenderungan yang sama dengan
grafik pada energi ekspenditur. Adanya kesamaan besarnya kebutuhan kalori
yang semakin meningkat pada setiap desain prosthetic, namun desain
endoskeletal pengembangan besarnya peningkatan kebutuhan kalori sedikit
cxvi
sehingga dapat dipastikan bahwa besarnya kalori yang dikeluarkan lebih stabil
dibanding dua desain prosthetic lainnya.
2. Responden Normal
Data yang digunakan dalam perhitungan kebutuhan kalori ini yaitu hasil
perhitungan energi ekspenditur responden normal pada aktivitas berjalan di
treadmill yaitu pada tabel 4.22. Berikut ini beberapa contoh perhitungannya.
a. Pada responden ke-1.
Nilai kebutuhan kalori pada responden ke-1 dengan kecepatan treadmill 1,2
km/jam yang diukur pada jarak ke 30 meter adalah sebesar 3,953
Kkal/menit. Berat badan responden ke-1 yaitu 50 kg. Sehingga kebutuhan
kalorinya sebesar 4,743 Kkal/jam/kg berat badan.
Kebutuhan kalori = kgx
5060953,3
= 4,743 Kkal/jam/kg berat badan
b. Pada responden ke-3.
Nilai kebutuhan kalori pada responden ke-3 dengan kecepatan treadmill 1,6
km/jam yang diukur pada jarak ke 50 meter adalah sebesar 3,323
Kkal/menit. Berat badan responden ke-1 yaitu 55 kg.Sehingga kebutuhan
kalorinya sebesar 3,625 Kkal/jam/kg berat badan.
Kebutuhan kalori = kgx
5560323,3
= 3,625 Kkal/jam/kg berat badan
c. Pada responden ke-5.
Nilai kebutuhan kalori pada responden ke-5 dengan kecepatan treadmill 2
km/jam yang diukur pada jarak ke 100 meter adalah sebesar 4,376
Kkal/menit. Berat badan responden ke-1 yaitu 54 kg.Sehingga kebutuhan
kalorinya sebesar 4,862 Kkal/jam/kg berat badan.
Kebutuhan kalori = kgx
5460376,4
= 4,862 Kkal/jam/kg berat badan
Nilai kebutuhan kalori dihitung untuk setiap hasil perhitungan energi
ekspenditur. Hasil perhitungan selengkapnya dapat dilihat pada tabel 4.24.
cxvii
Tabel 4.24 Hasil perhitungan kebutuhan kalori responden normal
Kebutuhan Kalori (Kkal/jam/kg berat badan) Responden
ke- Kecepatan (km/jam)
DN0(0) DN1(30) DN2(50) DN3(100)
1.2 3.589 4.743 5.251 5.164 1.6 3.527 4.505 4.277 4.352 1
2 3.465 3.527 3.718 4.743 1.2 3.113 4.049 4.417 3.979 1.6 3.223 3.338 3.223 3.457 2
2 3.581 3.709 3.842 4.193 1.2 3.768 4.112 4.257 4.719 1.6 3.391 3.512 3.835 4.184 3
2 3.451 3.575 3.702 4.112 1.2 3.397 3.457 3.519 3.709 1.6 3.223 3.280 3.223 3.397 4
2 3.168 3.338 3.397 3.519 1.2 3.988 4.428 4.908 5.251 1.6 4.277 4.505 5.251 5.340 5
2 4.428 4.663 4.908 5.251 1.2 3.512 3.575 3.768 3.835 1.6 3.274 3.971 4.041 3.971 6
2 3.638 3.971 4.184 4.041 1.2 3.161 3.638 4.041 3.768 1.6 3.391 3.512 4.112 4.257 7
2 3.451 3.702 3.971 4.483 1.2 3.527 3.919 3.988 4.203 1.6 3.919 4.203 4.130 4.352 8
2 3.527 3.589 3.783 4.130 1.2 3.451 3.512 3.768 3.638 1.6 3.768 3.971 4.332 4.184 9
2 3.638 4.112 4.041 4.257 1.2 3.223 3.519 3.645 3.842 1.6 3.457 4.120 4.193 3.910 10
2 3.397 3.457 3.842 3.709
Hasil perhitungan di atas disajikan dalam bentuk grafik. Hasil kebutuhan kalori
pada orang normal untuk ketiga kecepatan yang berbeda ternyata berada dalam
range nilai yang hampir sama. Grafik kebutuhan kalori pada kecepatan 1,2
km/jam dapat dilihat pada gambar 4.27.
cxviii
Gambar 4.27 Kebutuhan kalori responden normal (kecepatan 1,2 km/jam)
Pada gambar di atas dapat dilihat bahwa kebutuhan kalori mengalami
peningkatan dari kondisi sebelum berjalan sampai saat berjalan pada jarak 100
meter. Nilai pada kesepuluh responden berada dalam range yang sama. Grafik
kebutuhan kalori pada kecepatan 1,6 km/jam dapat dilihat pada gambar 4.28.
Gambar 4.28 Kebutuhan kalori responden normal (kecepatan 1,6 km/jam)
Pada gambar di atas dapat dilihat bahwa kebutuhan kalori mengalami
peningkatan. Beberapa responden berada dalam range yang sama, sedangkan
cxix
beberapa tidak (responden ke-2, ke-4, dan ke-5). Grafik kebutuhan kalori pada
kecepatan2 km/jam dapat dilihat pada gambar 4.29.
Gambar 4.29 Kebutuhan kalori responden normal (kecepatan 2 km/jam)
Pada gambar di atas dapat dilihat bahwa kebutuhan kalori mengalami
peningkatan. Beberapa responden berada dalam range yang sama, sedangkan
beberapa tidak (responden ke-4 dan ke-5).
4.2.7 Menentukan Konsumsi Oksigen (VO2 maks)
Data yang dipakai yaitu data awal pengukuran denyut nadi pada pengguna
prosthetic dan responden orang normal dengan menggunakan treadmill.
Penghitungan konsumsi oksigen (VO2 maks) ini dilakukan dengan menggunakan
persamaan 2.10. Perhitungan konsumsi oksigen dapat dilihat pada penjelasan,
sebagai berikut:
1. Pengguna Prosthetic Kaki Bawah Lutut
Data yang digunakan yaitu data pengukuran denyut nadi pengguna prosthetic
pada aktivitas berjalan di treadmill, yaitu pada tabel 4.21. Berat badan
pengguna prosthetic yaitu 52,2 kg. Faktor gender untuk laki-laki yaitu 10. Usia
pengguna prosthetic yaitu 33 tahun. Berikut adalah beberapa contoh
perhitungannya.
cxx
a. Pada pengguna prosthetic eksoskeletal,
Nilai konsumsi oksigen yang dihitung pada pengguna prosthetic
eksoskeletal dengan kecepatan treadmill 1.2 km/jam misalnya pada jarak
ke 30 meter. Denyut nadi yang terukur yaitu 63 denyut/menit.
Faktor koreksi usia = 1,12 – (0,0073 x usia)
= 1,12 – (0,0073 x 33)
= 0,8791
VO2 maks = AGGHR
VWb´
-+++
7215,13)10(263,0
= 8791,0
72106315,13)2,1)(102,52(263,0´
-+++
= 2,058 liter
b. Pada pengguna prosthetic endoskeletal merek Regal,
Nilai konsumsi oksigen yang dihitung pada pengguna prosthetic Otto Bock
dengan kecepatan treadmill 1.6 km/jam misalnya pada jarak ke 50 meter.
Denyut nadi yang terukur yaitu 78 denyut/menit.
VO2 maks = 8791,0721078
15,13)6,1)(102,52(263,0´
-+++
= 2,161 liter
c. Pada pengguna prosthetic endoskeletal pengembangan.
Nilai konsumsi oksigen yang dihitung pada pengguna prosthetic
pengembangan 2009 dengan kecepatan treadmill 2 km/jam misalnya pada
jarak ke 100 meter. Denyut nadi yang terukur yaitu 82 denyut/menit.
VO2 maks = 8791,0721082
15,13)2)(102,52(263,0´
-+++
= 2,016 liter
Semua hasil pengukuran denyut nadi digunakan untuk menghitung konsumsi
oksigen pada pengguna prosthetic. Hasil perhitungan selengkapnya dapat
dilihat pada tabel 4.25.
cxxi
Tabel 4.25 Hasil perhitungan konsumsi oksigen pengguna prosthetic
Konsumsi Oksigen VO2 maks Jenis Prothese
Kecepatan (km/jam) DN0(0) DN1(30) DN2(50) DN3(100)
1.2 28.817 2.058 1.253 0.961 1.6 5.762 1.728 1.235 1.017 Eksoskeletal
2 3.360 1.680 1.260 1.090 1.2 -4.803 9.606 2.620 1.695 1.6 -17.285 4.321 2.161 1.571
Endoskeletal Merek Regal
2 13.441 3.102 1.833 1.440 1.2 5.763 2.882 2.217 1.801 1.6 3.841 2.659 2.469 1.921
Endoskeletal Pengembangan
2 3.360 2.688 2.520 2.016
Hasil perhitungan di atas disajikan dalam bentuk grafik sehingga memudahkan
dalam menganalisis kecenderungan garis yang ditunjukkan data. Grafik
konsumsi oksigen terhadap pengguna ketiga desain prosthetic dapat dilihat
pada gambar 4.30.
Gambar 4.30 Konsumsi oksigen pada pengguna ketiga desain prosthetic
Pada grafik di atas dapat dilihat bahwa pada desain prosthetic eksoskeletal
menunjukkan konsumsi oksigen yang lebih rendah dibanding kedua desain
prosthetic lainnya. Desain prosthetic endoskeletal merek Regal perubahan
konsumsi oksigennya tidak stabil dibanding kedua desain prosthetic yang lain.
cxxii
2. Responden Normal
Data yang digunakan dalam perhitungan konsumsi oksigen ini yaitu data awal
pengukuran denyut nadi pengguna prosthetic pada aktivitas berjalan di
treadmill yaitu pada tabel 4.22. Berikut adalah beberapa contoh
perhitungannya.
a. Pada responden ke-1.
Nilai konsumsi oksigen yang dihitung pada pengguna responden ke-1
dengan kecepatan treadmill 1.2 km/jam misalnya pada jarak ke 30 meter.
Denyut nadi yang terukur yaitu 96 denyut/menit. Berat badan responden
ke-1 yaitu 50 kg. Faktor gender untuk laki-laki yaitu 10. Usia pengguna
prosthetic yaitu 22 tahun.
Faktor koreksi usia = 1,12 – (0,0073 x 22 )
= 0,9594
VO2 maks = 9594,0721096
15,13)2,1)(1050(263,0´
-+++
= 0,905 liter
b. Pada responden ke-3.
Nilai konsumsi oksigen yang dihitung pada pengguna responden ke-3
dengan kecepatan treadmill 1.6 km/jam misalnya pada jarak ke 50 meter.
Denyut nadi yang terukur yaitu 86 denyut/menit. Berat badan responden
ke-1 yaitu 52 kg. Faktor gender untuk laki-laki yaitu 10. Usia pengguna
prosthetic yaitu 22 tahun.
Faktor koreksi usia = 1,12 – (0,0073 x 22 )
= 0,9594
VO2 maks = 9594,0721086
15,13)6,1)(1055(263,0´
-+++
= 1,619 liter
c. Pada responden ke-5.
Nilai konsumsi oksigen yang dihitung pada pengguna responden ke-5
dengan kecepatan treadmill 2 km/jam misalnya pada jarak ke 100 meter.
Denyut nadi yang terukur yaitu 102 denyut/menit. Berat badan responden
ke-1 yaitu 50 kg. Faktor gender untuk laki-laki yaitu 10. Usia pengguna
prosthetic yaitu 22 tahun.
cxxiii
Faktor koreksi usia = 1,12 – (0,0073 x 22 )
= 0,9594
VO2 maks = 9594,07210102
15,13)2)(1054(263,0´
-+++
= 1,123 liter
Hasil pengukuran denyut nadi digunakan untuk menghitung konsumsi oksigen
responden normal. Hasil perhitungan selengkapnya dilihat pada tabel 4.26.
Tabel 4.26 Hasil perhitungan konsumsi oksigen responden normal
Konsumsi Oksigen VO2 maks Responden ke-
Kecepatan (km/jam) DN0(0) DN1(30) DN2(50) DN3(100)
1.2 1.710 0.905 0.770 0.789 1.6 2.167 1.188 1.316 1.270 1
2 2.681 2.523 2.145 1.262 1.2 2.826 1.196 1.003 1.243 1.6 2.865 2.483 2.865 2.191 2
2 2.284 2.067 1.887 1.550 1.2 1.365 1.121 1.046 0.872 1.6 2.214 1.981 1.569 1.298 3
2 2.439 2.195 1.996 1.568 1.2 1.943 1.829 1.727 1.480 1.6 2.865 2.660 2.865 2.328 4
2 3.617 2.893 2.712 2.411 1.2 1.283 1.026 0.855 0.770 1.6 1.316 1.188 0.921 0.899 5
2 1.430 1.300 1.192 1.072 1.2 1.677 1.593 1.386 1.328 1.6 2.548 1.470 1.416 1.470 6
2 2.122 1.714 1.537 1.651 1.2 2.415 1.495 1.163 1.365 1.6 2.214 1.981 1.345 1.255 7
2 2.439 1.996 1.689 1.330 1.2 1.797 1.328 1.273 1.131 1.6 1.590 1.354 1.406 1.261 8
2 2.504 2.365 2.027 1.637 1.2 1.744 1.652 1.365 1.495 1.6 1.637 1.448 1.214 1.298 9
2 2.091 1.568 1.626 1.463
cxxiv
1.2 2.409 1.740 1.566 1.362 1.6 2.207 1.390 1.340 1.564 10 2 2.733 2.572 1.901 2.082
Hasil perhitungan di atas disajikan dalam bentuk grafik. Hasil konsumsi
oksigen pada orang normal untuk ketiga kecepatan yang berbeda ternyata
berada dalam range nilai yang hampir sama. Grafik konsumsi oksigen pada
kecepatan 1,2 km/jam dapat dilihat pada gambar 4.31.
Gambar 4.31 Konsumsi oksigen responden normal (kecepatan 1,2 km/jam)
Pada gambar di atas dapat dilihat bahwa konsumsi oksigen mengalami
penurunan secara beraturan seiring jauhnya jarak yang ditempuh. Nilai pada
kesepuluh responden berada bervariasi. Hal ini disebabkan kondisi fisik setiap
responden berbeda-beda. Grafik konsumsi oksigen pada kecepatan 1,6 km/jam
dapat dilihat pada gambar 4.32.
cxxv
Gambar 4.32 Konsumsi oksigen responden normal (kecepatan 1,6 km/jam)
Pada gambar di atas dapat dilihat bahwa konsumsi oksigen mengalami
perubahan yang tidak beraturan seiring jauhnya jarak yang ditempuh. Nilai
pada kesepuluh responden berada bervariasi. Hal ini disebabkan kondisi fisik
setiap responden berbeda-beda. Responden ke-1 dan ke-4 bernilai jauh dari
responden lainnya. Grafik konsumsi oksigen pada kecepatan 2 km/jam dapat
dilihat pada gambar 4.33.
Gambar 4.33 Konsumsi oksigen responden normal (kecepatan 2 km/jam)
cxxvi
Pada gambar di atas dapat dilihat bahwa konsumsi oksigen mengalami
penurunan yang beraturan seiring jauhnya jarak yang ditempuh. Nilai pada
kesepuluh responden berada bervariasi. Hal ini disebabkan kondisi fisik setiap
responden berbeda-beda.
4.2.8 Perbandingan Hasil Pengukuran pada Pengguna Prosthetic dan Responden Normal
Pada bab ini dibandingkan hasil-hasil pengukuran antara kondisi pengguna
prosthetic dan responden normal. Perbandingan ini dilakukan untuk mengetahui
seberapa dekat kondisi fisiologi pengguna prosthetic dengan kondisi normal
dilihat dari perbedaan desain prosthetic yang digunakan. Perbandingan disajikan
dalam bentuk grafik dan dapat dilihat pada penjelasan, sebagai berikut:
1. Pengukuran Tingkat Kelelahan (% CVL).
Perbandingan tingkat kelelahan pada responden amputee (pengguna prosthetic)
dan orang normal direkapitulasi dalam tabel 4.27. Nilai % CVL pada
responden normal diambil nilai rata-rata untuk setiap perulangan percobaan
berjalan.
Tabel 4.27 Rekapitulasi hasil perbandingan % CVL
Rata-rata Pengukuran % CVL Responden
P1 P2 P3 P4 P5 P6 Responden Amputee Eksoskeletal 5.539 5.706 5.641 5.314 5.499 5.255 Endoskeletal Merek Regal 4.248 4.565 4.415 4.456 4.391 4.375 Endoskeletal Pengembangan 3.166 3.369 3.149 3.104 3.205 3.252 Responden Normal 3.052 3.469 3.077 2.988 3.226 3.057
Hasil rekapitulasi pada tabel tersebut disajikan dalam grafik. Gambar 4.34
menunjukkan grafik hasil perbandingan tersebut.
cxxvii
Gambar 4.34 Grafik perbandingan % CVL amputee dan responden
normal
Pada grafik dapat dilihat bahwa nilai tingkat kelelahan yang dilihat dari %CVL
(cardiovaskuler load) desain prosthetic endoskeletal pengembangan memiliki
nilai %CVL terendah, berarti tingkat kelelahan lebih rendah. Selain itu desain
prosthetic endoskeletal pengembangan juga lebih memiliki kedekatan nilai
dengan yang responden orang normal.
2. Distribusi % CVL per Fase Berjalan.
Perbandingan tingkat kelelahan pada responden amputee (pengguna prosthetic)
dan orang normal untuk setiap fase berjalan direkapitulasi dalam tabel 4.28.
Nilai % CVL per fase pada responden normal diambil nilai rata-rata untuk
setiap perulangan percobaan berjalan.
Tabel 4.28 Rekapitulasi hasil perbandingan % CVL per fase
Rata-rata Pengukuran % CVL per Fase Responden
P1 P2 P3 P4 P5 P6 Responden Amputee Eksoskeletal 0.160 0.074 0.044 0.152 0.070 0.070 Endoskeletal Merek Regal 0.106 0.074 0.036 0.115 0.067 0.058 Endoskeletal Pengembangan 0.094 0.035 0.031 0.090 0.044 0.043 Responden Normal 0.082 0.061 0.041 0.090 0.062 0.049
cxxviii
Hasil rekapitulasi pada tabel tersebut disajikan dalam grafik. Gambar 4.35
menunjukkan grafik hasil perbandingan tersebut.
Gambar 4.35 Grafik perbandingan %CVL per fase amputee dan responden normal
Dapat dilihat bahwa hampir sama halnya dengan nilai %CVL total, desain
prosthetic endoskeletal pengembangan memiliki nilai %CVL pada hampir
setiap fase memiliki nilai paling rendah dan memiliki kedekatan dengan nilai
responden normal.
3. Pengukuran Energi Ekspenditur.
Perbandingan energi ekspenditur pada responden amputee dan orang normal
untuk setiap pengukuran pada jarak tertentu direkapitulasi dalam tabel 4.29.
Nilai energi ekspenditur pada responden normal diambil nilai rata-rata untuk
setiap hasil pengukuran pada jarak tertentu.
Tabel 4.29 Rekapitulasi hasil perbandingan energi ekspenditur
Energi Ekspenditur (Kkal/menit) Responden Kecepatan
(km/jam) DN0(0) DN1(30) DN2(50) DN3(100)
Responden Amputee 1.2 2.233 2.788 3.266 3.690 1.6 2.428 3.098 3.564 3.953 Eksoskeletal
2 2.692 3.323 3.819 4.160
cxxix
1.2 2.001 2.308 2.646 2.939 1.6 2.128 2.512 2.888 3.209
Endoskeletal Merek Regal
2 2.308 2.740 3.209 3.564 1.2 2.387 2.601 2.740 2.888 1.6 2.556 2.740 2.788 2.991
Endoskeletal Pengembangan
2 2.692 2.837 2.888 3.098 Responden Normal
1.2 2.957 3.314 3.536 3.581 1.6 3.017 3.311 3.457 3.524
2 3.043 3.206 3.354 3.612
Hasil rekapitulasi pada tabel tersebut disajikan dalam grafik. Gambar 4.36
menunjukkan grafik hasil perbandingan tersebut.
Gambar 4.36 Grafik perbandingan energi ekspenditur amputee dan responden normal
Pada empat titik pengukuran denyut nadi dapat dilihat bahwa desain prosthetic
endoskeletal pengembangan memiliki perubahan nilai energi ekspenditur yang
kecil. Hal tersebut berarti peningkatan energinya lebih cenderung stabil
dibanding kedua desain prosthetic lainnya walaupun nilai energinya tidak lebih
rendah dari kedua desain.
cxxx
4. Pengukuran Kebutuhan Kalori.
Perbandingan kebutuhan kalori pada responden amputee dan orang normal
untuk setiap pengukuran pada jarak tertentu direkapitulasi dalam tabel 4.30.
Nilai kebutuhan kalori pada responden normal diambil nilai rata-rata untuk
setiap hasil pengukuran pada jarak tertentu.
Tabel 4.30 Rekapitulasi hasil perbandingan kebutuhan kalori
Kebutuhan Kalori (Kkal/jam/kg berat badan) Responden
Kecepatan (km/jam)
DN0(0) DN1(30) DN2(50) DN3(100) Responden Amputee
1.2 2.567 3.205 3.754 4.241 1.6 2.791 3.561 4.096 4.543 Eksoskeletal
2 3.095 3.820 4.390 4.782 1.2 2.300 2.653 3.041 3.378 1.6 2.446 2.888 3.319 3.688
Endoskeletal Merek Regal
2 2.653 3.149 3.688 4.096 1.2 2.744 2.989 3.149 3.319 1.6 2.938 3.149 3.205 3.438
Endoskeletal Pengembangan
2 3.095 3.261 3.319 3.561 Responden Normal
1.2 3.473 3.895 4.156 4.211 1.6 3.545 3.892 4.062 4.140
2 3.574 3.764 3.939 4.244
Hasil rekapitulasi pada tabel tersebut disajikan dalam grafik. Gambar 4.37
menunjukkan grafik hasil perbandingan tersebut.
cxxxi
Gambar 4.37 Grafik perbandingan kebutuhan kalori amputee dan
responden normal
Pada empat titik pengukuran denyut nadi dapat dilihat bahwa desain prosthetic
endoskeletal pengembangan memiliki perubahan nilai kebutuhan kalori yang
kecil. Hal tersebut berarti besarnya kalori yang digunakan setiap jam untuk setiap
kilogram berat badannya lebih cenderung stabil dibanding kedua desain lainnya.
5. Pengukuran Konsumsi Oksigen (VO2 maks).
Perbandingan konsumsi oksigen pada responden amputee dan orang normal
untuk setiap pengukuran pada jarak tertentu direkapitulasi dalam tabel 4.31.
Nilai konsumsi oksigen pada responden normal diambil nilai rata-rata untuk
setiap hasil pengukuran pada jarak tertentu.
Tabel 4.31 Rekapitulasi hasil perbandingan konsumsi oksigen
Konsumsi Oksigen VO2 maks Responden Kecepatan (km/jam) DN0(0) DN1(30) DN2(50) DN3(100)
Responden Amputee 1.2 28.817 2.058 1.253 0.961 1.6 5.762 1.728 1.235 1.017 Eksoskeletal
2 3.360 1.680 1.260 1.090 1.2 -4.803 9.606 2.620 1.695 Endoskeletal Merek
Regal 1.6 -17.285 4.321 2.161 1.571
cxxxii
2 13.441 3.102 1.833 1.440 1.2 5.763 2.882 2.217 1.801 1.6 3.841 2.659 2.469 1.921
Endoskeletal Pengembangan
2 3.360 2.688 2.520 2.016 Responden Normal
1.2 1.917 1.389 1.215 1.184 1.6 2.162 1.714 1.626 1.483
2 2.434 2.119 1.871 1.603
Hasil rekapitulasi pada tabel tersebut disajikan dalam grafik. Gambar 4.38
menunjukkan grafik hasil perbandingan tersebut.
Gambar 4.38 Grafik perbandingan konsumsi oksigen amputee dan responden normal
Pada empat titik pengukuran denyut nadi, yaitu pada saat berlangsungnya
aktivitas berjalan dapat dilihat bahwa terdapat beberapa perbedaan nilai yang
cukup signifikan antara konsumsi oksigen pengguna prosthetic dan responden
normal. Salah satunya adalah hasil perhitungan pada desain prosthetic
endoskeletal merek Regal pada titik pengukuran 30 meter.
Namun konsumsi oksigen pada ketiga kecepatan yang berbeda memiliki hasil
yang hampir sama. Nilai yang terendah antara ketiga prosthetic yaitu pada
desain prosthetic eksoskeletal. Jika nilai konsumsi oksigen pengguna prosthetic
cxxxiii
dibandingkan dengan nilai responden normal, didapatkan bahwa nilai konsumsi
oksigen prosthetic desain eksoskeletal memiliki nilai yang mendekati nilai rata-
rata konsumsi energi responden normal.
Setelah dilakukan proses pengumpulan data dan proses pengolahan data,
maka dilanjutkan pada tahap analisis dan interpretasi data hasil pengolahan untuk
memperoleh kesimpulan (output) pada penelitian ini.
cxxxiv
BAB V ANALISIS DAN INTERPRETASI HASIL
Bab ini membahas tentang analisis dan interpretasi hasil penelitian yang
telah dikumpulkan dan diolah pada bab sebelumnya. Analisis dan interprestasi
hasil tersebut diuraikan dalam sub bab dibawah ini.
5.1 ANALISIS HASIL PENELITIAN
Analisis hasil penelitian dilakukan untuk menelaah hasil pengolahan data.
Pada sub bab ini diuraikan mengenai analisis terhadap hasil perhitungan nilai BMI
dan BMR, %CVL total, %CVL per fase, energi ekspenditur, kebutuhan kalori,
dan konsumsi oksigen. Selain itu juga membandingkan antara aktivitas berjalan
pada responden amputee responden normal.
5.1.1 Analisis Hasil Perhitungan Nilai BMI dan BMR
Nilai BMI digunakan untuk mengetahui tingkat obesitas seseorang
sedangkan nilai BMR digunakan untuk mengetahui besarnya konsumsi energi
ketika istirahat. Nilai BMR ini merupakan salah satu perwujudan dari kondisi
metabolisme yang mempengaruhi kebutuhan energi suatu individu selain tingkat
keaktifan tubuh. Pada penelitian ini nilai BMI dan BMR digunakan sebagai
validasi atas pemilihan sepuluh responden normal sehingga dinilai sesuai untuk
dibandingkan dengan pengguna prosthetic. Kategori nilai BMI mengacu pada
klasifikasi BMI orang Asia dewasa pada tabel 2.3 yang dikeluarkan oleh WHO.
Nilai BMI amputee dengan berat badan 52.2 kg dan tinggi badan 1.62 meter
yaitu 19.89 sehingga masuk dalam kategori ‘langsing’. Nilai BMR amputee yang
berusia 33 tahun yaitu 1372 Kkal/hari.
Sepuluh responden normal dipilih dengan berat badan 51.1±0.88 kg, tinggi
badan 1.7±0.02 meter, dan usia 21.8±0.79 tahun. Nilai BMI yaitu berkisar
17.7±0.72 sehingga seluruhnya masuk dalam kategori ‘langsing’. Nilai BMR
sepuluh responden normal yaitu berkisar 1472±8.48 Kkal/hari. Hasil perhitungan
keseluruhan pada tabel 4.5 halaman IV-15 dan tabel 4.6 halaman IV-15
Nilai BMI pada kedua responden, baik amputee dan normal, masuk dalam
kategori ‘langsing’. Perbandingan antara berat badan dengan kuadrat tinggi badan
cxxxv
memberikan nilai yang tidak terlampau jauh perbedaannya antara kedua
responden. Hal tersebut membawa keduanya berada dalam tingkatan yang sama
sesuai tabel 2.3 yang menunjukkan bahwa tingkat obesitas keduanya adalah sama.
Nilai BMR yang dirumuskan oleh Harris dan Benedict (1919)
mengikutsertakan faktor berat badan, tinggi badan, serta umur. Dilihat dari hasil
perhitungan, nilai BMR pada kedua responden memang tidak sepenuhnya berkisar
pada nilai yang sama. Hal ini kemungkinan dapat disebabkan oleh perbedaan
umur dan jenis pekerjaan pada pengguna prosthetic dan responden normal.
Responden amputee sebagai pengguna prosthetic merupakan pekerja dengan usia
33 tahun, sedangkan responden normal merupakan mahasiswa dengan usia
berkisar 22 tahun. Sebenarnya umur dan jenis pekerjaan mempengaruhi nilai
BMR, namun dalam penelitian ini tidak memperhitungkan kedua hal tersebut.
Pemilihan responden normal dari kalangan mahasiswa dimaksudkan sebagai
kajian awal pada penelitian ini. Namun, hendaknya lebih baik jikalau responden
normal yang dipilih dengan umur yang hampir sama dan jenis pekerjaan dengan
tingkat aktivitas fisik yang hampir sama. Analisis ini dapat dijadikan masukan
bagi penelitian lanjutan ataupun penelitian lainnya dengan topik yang sama.
Jika dilihat perhitungan nilai BMR responden normal dan dibandingkan
dengan nilai BMR pengguna prosthetic, didapatkan selisih keduanya sekitar 90-
100 Kkal/hari. Nilai selisih ini dianggap tidak terlampau signifikan, sehingga
responden normal dianggap cukup bersesuaian dengan pengguna prosthetic. Jika
nilai BMR responden normal mendekati nilai BMR pengguna prosthetic, dapat
diasumsikan bahwa konsumsi energi saat beraktivitas pun juga hampir sama.
Jika dari pemilihan responden normal belum ditemukan responden dengan
nilai BMI dan BMR yang bersesuaian dengan pengguna prosthetic, maka
dilakukan pemilihan ulang responden normal. Dengan kata lain responden normal
yang dipilih harus memiliki nilai BMI yang masuk dalam kategori ‘langsing’.
Disamping itu juga memiliki nilai BMR berkisar pada nilai 1372 Kkal/hari.
5.1.2 Analisis Hasil Perhitungan %CVL
Nilai %CVL merupakan nilai peningkatan denyut jantung akibat aktivitas
kardiovaskuler. Nilai ini merepresentasikan tingkat kelelahan yang timbul akibat
melakukan suatu aktivitas. Nilai ini didapatkan dengan membandingkan antara
cxxxvi
denyut kerja dan denyut istirahat dalam melakukan aktivitas. Semua nilai %CVL
dalam penelitian ini bernilai kurang dari 30% yang berarti masuk dalam
klasifikasi ‘tidak mengalami kelelahan’, namun tetap digunakan dalam pemilihan
desain prosthetic, yaitu memilih desain dengan nilai %CVL terkecil. Nilai
tersebut tetap digunakan untuk mengetahui besarnya perbedaan tingkat kelelahan
dengan menggunakan ketiga desain prosthetic.
Pada perhitungan ini dilakukan aktivitas berjalan normal dengan tujuan
memudahkan penentuan jumlah siklus, waktu tempuh, serta penentuan fase
gerakan. Pengukuran denyut nadi diambil tepat sebelum dan setelah berjalan
sejauh 12 meter. Jarak tersebut diambil dengan alasan terbatasnya lintasan dan
dianggap cukup untuk mengetahui pola berjalan responden. Mengantisipasi
kurang tercapainya pengamatan terhadap pola berjalan, aktivitas berjalan
dilakukan sebanyak enam kali perulangan.
Perhitungan %CVL pengguna prosthetic dapat dilihat pada tabel 4.9
halaman IV-21 dan grafik pada gambar 4.7 halaman IV-22. Hasil pengukuran
yang didapatkan pada desain prosthetic eksoskeletal rata-rata sebesar
5.49±0.18%, pada desain prosthetic endoskeletal merek Regal rata-rata sebesar
4.41±0.1%, pada desain prosthetic endoskeletal tipe pengembangan rata-rata
sebesar 3.21±0.09%. Hasil perhitungan dari enam kali perulangan percobaan
berjalan normal seluruhnya menunjukkan nilai %CVL pada desain prosthetic
eksoskeletal lebih besar dibanding dua desain lainnya. Berarti tingkat kelelahan
yang ditimbulkan dengan menggunakan desain prosthetic tersebut lebih besar.
Sedangkan desain prosthetic endoskeletal tipe pengembangan menunjukkan nilai
%CVL paling rendah, berarti tingkat kelelahan yang ditimbulkan paling kecil.
Perhitungan %CVL pada responden normal dapat dilihat pada tabel 4.10
halaman IV-23 dan grafik pada gambar 4.8 halaman IV-24. Pengukuran
memberikan hasil rata-rata sebesar 3.14±0.57%. Grafik menunjukkan bahwa
kisaran nilai %CVL yaitu pada 2-3.5% walaupun ada beberapa responden pada
perulangan tertentu tidak berada dalam kisaran tersebut. Beberapa responden yang
memiliki nilai lebih besar yaitu responden 1 pada P3; responden 5 pada P1, P2,
P4, dan P6; responden 6 pada P1; dan responden 10 pada P2. Variasi tersebut
cxxxvii
dapat disebabkan oleh faktor internal responden tersebut seperti kebiasaan dalam
melakukan aktivitas fisik.
Rekapitulasi hasil perbandingan %CVL pada pengguna prosthetic terhadap
responden normal dapat dilihat pada tabel 4.27 halaman IV-58 dan grafik pada
gambar 4.34 halaman IV-59. Grafik menunjukkan dengan jelas bahwa desain
prosthetic endoskeletal tipe pengembangan memiliki nilai %CVL terendah dan
nilai tersebut berhimpit dengan nilai pada responden normal. Berarti tingkat
kelelahan yang ditimbulkan pada amputee saat menggunakan desain prosthetic
endoskeletal tipe pengembangan dengan pada responden normal hampir sama.
5.1.3 Analisis Hasil Perhitungan %CVL per Fase
Nilai %CVL bagian ini sama halnya dengan nilai sebelumnya, namun nilai
%CVL berikut lebih menitikberatkan pada distribusi per fase. Fase gerakan
berjalan yang dimaksudkan yaitu heel contact, foot flat, midstance point, heel off,
toe off, dan midswing. Cara mengetahui pendistribusian %CVL dilakukan dengan
mengetahui terlebih dulu jumlah siklus yang dihasilkan saat berjalan sejauh 12
meter. Berikutnya didapatkan distribusi %CVL untuk setiap siklus dan dipilih
salah satu siklus dengan %CVL terbesar. Selanjutnya menghitung waktu per fase
pada siklus tersebut sehingga didapatkan nilai distribusi %CVL per fase.
Perhitungan %CVL per fase pengguna prosthetic pada aktivitas berjalan
normal sejauh 12 meter memberikan hasil pengukuran pada tabel 4.15 dan grafik
pada gambar 4.14 halaman IV-30. Nilai %CVL per fase secara berurutan pada
desain prosthetic eksoskeletal yaitu 0.160%, 0.074%, 0.044%, 0.152%, 0.070%,
dan 0.070%. Pada desain prosthetic endoskeletal merek Regal yaitu 0.106%,
0.074%, 0.036%, 0.115%, 0.067%, dan 0.058%. Pada desain prosthetic
endoskeletal tipe pengembangan yaitu 0.094%, 0.035%, 0.031%, 0.090%,
0.044%, dan 0.043%. Perhitungan %CVL per fase pada responden normal yaitu
pada tabel 4.20 dan grafik pada gambar 4.20 halaman IV-37. Nilai %CVL pada
fase heel contact rata-rata 0.082%, fase foot flat rata-rata 0.061%, midstance point
rata-rata 0.041%, heel off rata-rata 0.090%, toe off rata-rata 0.062%, dan midswing
rata-rata 0.049%.
Perhitungan diawali dengan menentukan jumlah siklus untuk setiap
percobaan berjalan normal pada kedua responden. Pada pengguna prosthetic
cxxxviii
didapatkan jumlah rata-rata 10 siklus, sedangkan pada responden normal
didapatkan jumlah rata-rata 9-10 siklus. Perbedaan jumlah siklus hasil pembulatan
antara kedua responden dipengaruhi oleh kecepatan berjalan dan lebar jangkauan
langkah kaki setiap responden. Jumlah siklus yang telah ditentukan dipakai untuk
mendapat distribusi %CVL setiap siklus yang selanjutnya dipilih nilai terbesar.
Pemilihan nilai %CVL per siklus terbesar dengan alasan nilai tersebut telah
mencakup nilai-nilai yang lebih rendah. Pada pengguna prosthetic yaitu pada
tabel 4.13 halaman IV-27 dengan nilai terbesar pada desain prosthetic
eksoskeletal 0.571%, pada desain prosthetic endoskeletal merek Regal 0.457%,
dan pada desain prosthetic endoskeletal tipe pengembangan 0.337%. Nilai %CVL
per siklus terbesar pada responden normal yaitu dalam tabel 4.18 halaman IV-34.
Penentuan distribusi %CVL pada setiap fase didasarkan pada lamanya
waktu tempuh untuk setiap fase. Semakin lama waktu tempuh suatu fase, semakin
besar nilai %CVL pada fase tersebut. Pada gambar 4.9 halaman IV-24 posisi kaki
kanan pada fase 1, 2, dan 3 sama dengan posisi kaki kiri pada fase 4, 5, dan 6 serta
sebaliknya. Kesamaan posisi tersebut dapat mengindikasi bahwa waktu tempuh
antara posisi kaki yang bersesuaian hampir sama. Dari penentuan waktu tempuh
per fase pada pengguna prosthetic didapatkan bahwa waktu tempuh terbagi
menjadi tiga kelompok. Pertama, fase dengan waktu tempuh singkat yaitu fase 3
(midstance point) dan fase 6 (midswing). Kedua, fase dengan waktu tempuh
sedang yaitu fase 2 (foot flat) dan fase 5 (toe off). Ketiga, fase dengan waktu
tempuh lama yaitu fase 1 (heel contact) dan fase 4 (heel off). Perbandingan waktu
tempuh tersebut dapat dilihat lebih jelas pada gambar 4.14 halaman IV-29. Grafik
menunjukkan bahwa diagram batang untuk fase yang berkelompok memiliki
ketinggian yang hampir sama. Pada fase 3 rata-rata nilai pada ketiga desain
prosthetic adalah yang paling rendah. Hal ini disebabkan kaki kanan yang
menggunakan prosthetic digunakan sebagai tumpuan, karena itu pada fase ini
amputee melakukannya dengan waktu singkat sehingga kaki prosthetic tidak
terlampau lama dalam menopang tubuh.
Perhitungan waktu tempuh pada pengguna prosthetic menunjukkan bahwa
untuk desain prosthetic eksoskeletal waktu tempuhnya lebih singkat dibandingkan
desain lainnya. Lebih jelasnya dapat dilihat pada grafik dalam gambar 4.13
cxxxix
halaman IV-29. Hal tersebut dapat dikarenakan pengguna prosthetic lebih sering
memakai desain prosthetic eksoskeletal sehingga telah terbiasa menggunakannya.
Perhitungan %CVL per fase pada responden normal dilakukan dengan
langkah-langkah yang sama seperti pada pengguna prosthetic. Jumlah siklus pada
responden normal yaitu 9-10 siklus untuk setiap percobaan berjalan normal sejauh
12 meter. Penentuan %CVL per siklus yang terbesar rata-rata bernilai
0.386±0.042%. Waktu tempuh responden normal untuk setiap fase dapat dilihat
pada tabel 4.19 dan grafik pada gambar 4.19 halaman IV-35, 36.
Pengelompokannya mengikuti kelompok waktu tempuh seperti pada pengguna
prosthetic, namun dengan variasi lama waktu tempuh yang bervariasi pada setiap
responden normal. Adanya variasi tersebut disebabkan perbedaan kecepatan
berjalan dan lebar jangkauan langkah kaki setiap responden normal yang
keduanya kurang diperhatikan pada penelitian ini. Hasil perhitungan %CVL per
fase pada responden normal dapat dilihat pada tabel 4.20 dan grafik pada gambar
4.20 halaman IV-37. Dari analisis di atas diketahui bahwa penentuan %CVL per
fase dipengaruhi oleh jumlah siklus yang dihasilkan dan waktu tempuh untuk
setiap fase pada pengguna prosthetic maupun responden normal.
Perbandingan hasil %CVL per fase pengguna prosthetic responden normal
dapat dilihat pada tabel 4.28 dan tabel 5.1 berikut dan grafik pada gambar 4.35
halaman IV-61.
Tabel 5.1 Perbandingan Nilai Maksimun-Minimun %CVL per Fase
Rata-rata Pengukuran % CVL per Fase Responden
1 2 3 4 5 6 Nilai Maks
Nilai Min
Responden Amputee Eksoskeletal 0.160 0.074 0.044 0.152 0.070 0.070 0.160 0.044 Endoskeletal Merek Regal 0.106 0.074 0.036 0.115 0.067 0.058 0.115 0.036 Endoskeletal Pengembangan 0.094 0.035 0.031 0.090 0.044 0.043 0.094 0.031 Responden Normal 0.082 0.061 0.041 0.090 0.062 0.049 0.090 0.041
Jika dilihat dari perbedaan terhadap nilai maksimum dan minimum pada
keseluruhan fase berjalan, didapatkan bahwa nilai maksimum berada pada fase 1
(heel contact) dan fase 4 (heel off). Sedangkan nilai minimum keseluruhan fase
pada responden amputee dan responden normal berada pada fase 3 (midstance
cxl
point). Hal tersebut membuktikan bahwa besarnya waktu tempuh sesuai
pengelompokan berpengaruh pada nilai distribusi %CVL per fase. Fase 1 dan 4
menunjukkan nilai maksimum karena keduanya termasuk dalam kelompok wktu
tempuh lama. Fase 3 menunjukkan nilai terkecil dari enam fase gerakan, waktu
tempuhny juga termasuk dalam kelompok waktu singkat. Itu berarti bahwa posisi
kaki kanan sebagai tumpuan menunjukkan tingkat kelelahan yang kecil
disebabkan singkatnya waktu dalam menopang tubuh.
Grafik menunjukkan bahwa desain prosthetic endoskeletal tipe
pengembangan memiliki nilai yang lebih rendah dibanding dua desain prosthetic
lainnya. Jika dilihat dari pola distribusi pada grafik, pola pada desain prosthetic
endoskeletal merek Regal (warna merah) memiliki kemiripan dengan pola pada
responden normal (warna jingga). Jika dilihat dari kedekatan posisi garis
distribusi, garis desain prosthetic endoskeletal (warna hijau) lebih dekat dengan
garis responden normal. Pada fase 4 kedua garis tersebut berhimpit, namun pada
fase 2 nilai %CVL tidak memiliki kemiripan pola dengan responden normal.
5.1.4 Analisis Hasil Perhitungan Energi Ekspenditur
Energi ekspenditur merupakan energi yang dikeluarkan untuk melakukan
suatu aktivitas. Pada penelitian ini mengukur besarnya energi ekspenditur yang
dikeluarkan oleh pengguna prosthetic dan responden normal dalam melakukan
aktivitas berjalan. Perhitungannya menggunakan pendekatan kuantitatif dengan
regresi kuadratis (Astuti B., 1985) karena pendekatan ini cukup sering digunakan
terlebih pada penelitian tingkat nasional. Pendekatan tersebut menunjukkan
bahwa peningkatan energi terjadi seiring dengan peningkatan denyut jantung
(nadi).
Pada perhitungan ini dilakukan aktivitas berjalan pada treadmill dengan
tujuan memudahkan pengukuran denyut nadi saat beraktivitas yaitu menggunakan
alat sensor pada alat treadmill. Pengukuran denyut nadi dilakukan empat kali dan
dihitung energi ekspenditur pada setiap pengukuran kemudian dilihat kenaikan
energinya. Aktivitas berjalan dilakukan sejauh 100 meter karena jarak tersebut
dinilai cukup memperlihatkan kenaikan denyut nadi, selain itu dilakukan pada tiga
kecepatan yang berbeda yaitu 1.2 km.jam, 1.6 km/jam, dan 2 km/jam (Herdiman,
cxli
L., 2009). Perbedaan kecepatan ini dimaksudkan untuk mengetahui perbedaan
energi ekspenditur yang dikeluarkan pada tiga kecepatan yang berbeda tersebut.
Hasil perhitungan energi ekspenditur pada pengguna prosthetic ditunjukkan
pada tabel 4.21 dan disajikan dengan grafik pada gambar 4.22 halaman IV-41.
Pada grafik dapat dilihat perubahan nilai ekspenditur mulai dari sebelum berjalan
(0 meter) sampai saat berjalan (30 meter, 50 meter, dan 100 meter). Pada hasil
garis regresi dari nilai energi ekspenditur dapat dilihat bahwa jumlah energi yang
dibutuhkan pada kecepatan 2 km/jam lebih banyak dibandingkan dua kecepatan
lainnya yang lebih lambat pada setiap pengukuran. Hal tersebut terjadi pada
penggunaan tiga prosthetic yang berbeda. Hal ini menunjukkan bahwa energi
yang dikeluarkan semakin meningkat seiring peningkatan kecepatan aktivitas
berjalan pada treadmill.
Pada grafik terdapat tiga kelompok garis regresi yaitu warna biru untuk
desain prosthetic eksoskeletal, warna merah untuk desain prosthetic endoskeletal
merek Regal, dan warna hijau untuk desain prosthetic endoskeletal tipe
pengembangan. Jika tiga kelompok garis regresi dibandingkan sesuai selisih
peningkatan energinya, didapatkan bahwa peningkatan energi pada desain
prosthetic endoskeletal tipe pengembangan (warna hijau) terlihat lebih stabil.
Dengan kata lain kemiringan garis regresi tidak terlampau tajam. Dapat diartikan
bahwa selisih energi antara setiap pengukuran lebih sedikit dibandingkan selisih
energi pada dua desain prosthetic lainnya. Dari keseluruhan garis regresi dapat
disimpulkan bahwa energi yang digunakan saat berjalan lebih besar dibandingkan
sebelum berjalan dan meningkat seiring semakin besarnya jarak tempuh berjalan.
Hasil perhitungan energi ekspenditur pada responden normal ditunjukkan
pada tabel 4.22 halaman IV-43 dan disajikan dengan grafik pada gambar 4.23-25
halaman IV-44, 45. Sama halnya dengan analisis terhadap hasil pengukuran
energi ekspenditur pada pengguna prosthetic. Tabel hasil perhitungan
menunjukkan bahwa sebagian besar responden normal mengeluarkan energi yang
lebih besar saat berjalan dibandingkan sebelum berjalan (0 meter).
Pada gambar 4.23 yaitu energi ekspenditur pada responden normal untuk
kecepatan 1.2 km/jam menunjukkan bahwa garis regresinya menyebar rata pada
nilai 2.5-4.5 Kkal/menit. Gambar 4.24 menunjukkan bahwa sebagian besar
cxlii
responden mengeluarkan energi berkisar pada nilai 3-4 Kkal/menit. Beberapa
responden berbeda yaitu responden 2, 4, dan 5. Gambar 4.25 menunjukkan bahwa
hampir seluruh responden normal mengelompok dalam kisaran nilai kalori yang
hampir sama kecuali pada responden 5. Perbedaan yang terjadi antara kesepuluh
responden normal tersebut dapat disebabkan karena faktor internal responden
yang kurang diperhatikan dalam penelitian ini. Faktor internal responden yaitu
kondisi psikologis saat eksperimen dan tingkat aktivitas fisik.
Rekapitulasi perbandingan hasil pengukuran energi ekspenditur dapat dilihat
pada tabel 4.29 halaman IV-60 dan disajikan dalam grafik pada gambar 4.36
halaman IV-61. Grafik perbandingan menunjukkan bahwa pada empat titik
pengukuran denyut nadi dapat dilihat bahwa desain prosthetic endoskeletal
pengembangan memiliki perubahan nilai energi ekspenditur yang kecil. Hal
tersebut berarti peningkatan energinya lebih cenderung stabil dibanding dua
desain prosthetic lainnya walaupun nilai energinya tidak lebih rendah.
Pada nilai energi ekspenditur responden normal ditampilkan nilai rata-rata
untuk tiga kecepatan dari sepuluh responden yaitu kelompok garis regresi
berwarna jingga. Pada grafik dapat dilihat bahwa tipe pengembangan lebih
memiliki pola kestabilan peningkatan atau kemiringan garis seperti pada
responden normal. Jika empat kelompok garis tersebut dibandingkan, diketahui
bahwa desain prosthetic endoskeletal pengembangan lebih rendah dibandingkan
pada responden normal. Padahal seharusnya tingkat konsumsi energi pada
amputee mengalami peningkatan sebesar 10-15% dibandingkan dengan orang
normal (Inman, Verne T, 1968). Dengan kata lain hasil pengukuran energi
ekspenditur pada pengguna prosthetic seharusnya lebih tinggi dibandingkan pada
orang normal. Hal tersebut dapat disebabkan kebiasaan amputee dalam
menggunakan prosthetic yang berkaitan dengan adaptasi terhadap perbedaan berat
ketiga prosthetic dimana prosthetic eksoskeletal adalah yang terberat. Hal lain
yang mempengaruhi yaitu perbandingan umur dan pekerjaan antara pengguna
prosthetic dan responden normal yang tidak seimbang.
5.1.5 Analisis Hasil Perhitungan Kebutuhan Kalori
Kebutuhan kalori merupakan besarnya jumlah kalori yang dikeluarkan untuk
melakukan suatu aktivitas. Data yang diolah yaitu hasil perhitungan energi
cxliii
ekspenditur setiap menitnya. Kebutuhan kalori ini mempertimbangkan berat
badan responden yang diukur. Pada akhirnya didapatkan nilai kalori yang
dibutuhkan per jam per kilogram berat badan.
Hasil perhitungan kebutuhan kalori pada pengguna prosthetic dapat dilihat
pada tabel 4.23 dan grafik pada gambar 4.26 halaman IV-47. Pada grafik dapat
dilihat perubahan kebutuhan kalori mulai dari sebelum berjalan sampai saat
berjalan. Hasil pada ketiga desain prosthetic memiliki kecenderungan yang sama
dengan grafik pada energi ekspenditur. Nilai kebutuhan kalori pada kecepatan 2
km/jam lebih banyak dibanding dua kecepatan lainnya. Hal ini menunjukkan
bahwa besarnya kalori yang dikeluarkan semakin meningkat seiring peningkatan
kecepatan aktivitas berjalan pada treadmill.
Pada grafik terdapat tiga kelompok garis regresi jika dibandingkan sesuai
selisih peningkatan kalorinya, didapatkan bahwa peningkatan kalori pada desain
prosthetic endoskeletal tipe pengembangan (warna hijau) terlihat lebih stabil.
Dapat diartikan bahwa selisih peningkatan kalori pada setiap pengukuran lebih
sedikit dibandingkan selisih kalori pada dua desain prosthetic lainnya. Dari
keseluruhan garis regresi dapat disimpulkan bahwa kalori yang dibutuhkan saat
berjalan lebih besar dibandingkan sebelum berjalan dan meningkat seiring dengan
semakin besarnya jarak tempuh berjalan.
Hasil perhitungan kebutuhan kalori pada responden normal ditunjukkan
pada tabel 4.24 halaman IV-49 dan disajikan dengan grafik pada gambar 4.27-29
halaman IV-50, 51. Sama halnya dengan analisis terhadap hasil pengukuran
kebutuhan kalori pada pengguna prosthetic. Tabel hasil perhitungan menunjukkan
bahwa sebagian besar responden normal membutuhkan kalori yang lebih besar
saat berjalan dibandingkan sebelum berjalan (0 meter).
Pada gambar 4.27 yaitu kebutuhan kalori pada responden normal untuk
kecepatan 1.2 km/jam menunjukkan bahwa garis regresinya menyebar rata pada
nilai 3-5 Kkal/jam/kg. Gambar 4.28 menunjukkan sebagian besar responden
membutuhkan kalori dengan nilai yang mengumpul rata-rata pada 4 Kkal/jam/kg.
Beberapa responden berbeda yaitu responden 2, 4, dan 5. Gambar 4.29
menunjukkan hampir seluruh responden normal mengelompok dalam kisaran nilai
kalori yang hampir sama kecuali pada responden 4 dan 5. Perbedaan yang terjadi
cxliv
antara kesepuluh responden normal tersebut dapat disebabkan karena faktor
internal responden yang kurang diperhatikan dalam penelitian ini. Faktor internal
responden yaitu kondisi psikologis saat eksperimen dan tingkat aktivitas fisik.
Rekapitulasi perbandingan hasil pengukuran kebutuhan kalori dapat dilihat
pada tabel 4.30 dan disajikan dalam grafik pada gambar 4.37 halaman IV-62, 63.
Grafik perbandingan menunjukkan bahwa pada empat titik pengukuran denyut
nadi dapat dilihat bahwa desain prosthetic endoskeletal pengembangan memiliki
perubahan nilai kebutuhan kalori yang kecil. Hal tersebut berarti peningkatan
kalorinya lebih cenderung stabil dibanding dua desain prosthetic lainnya
walaupun nilai kalorinya tidak lebih rendah.
Pada nilai kebutuhan kalori responden normal ditampilkan nilai rata-rata
untuk tiga kecepatan dari sepuluh responden yaitu kelompok garis regresi
berwarna jingga. Pada grafik dapat dilihat bahwa tipe pengembangan lebih
memiliki pola kestabilan peningkatan kalori atau kemiringan garis seperti pada
responden normal. Jika empat kelompok garis tersebut dibandingkan, diketahui
bahwa desain prosthetic endoskeletal pengembangan lebih rendah dibandingkan
pada responden normal. Sebelumnya telah diungkapkan bahwa energi yang
dibutuhkan pengguna prosthetic seharusnya lebih besar dibandingkan orang
normal, sama halnya dengan nilai kalori yang dikeluarkan. Seperti analisis pada
energi ekspenditur, hal tersebut dapat disebabkan kebiasaan amputee dalam
menggunakan prosthetic yang berkaitan perbedaan berat ketiga prosthetic serta
perbandingan umur dan pekerjaan antara pengguna prosthetic dan responden
normal yang tidak seimbang.
5.1.6 Analisis Hasil Perhitungan Konsumsi Oksigen
Konsumsi energi yang diukur dengan satuan kalori berkaitan erat dengan
konsumsi oksigen. Konsumsi oksigen memberikan perkiraan nilai oksigen dalam
liter yang dibutuhkan tubuh dalam melakukan aktivitas, pada penelitian ini yaitu
aktivitas berjalan. Dalam penelitian ini pengukuran terhadap konsumsi oksigen
dilakukan secara tidak langsung yaitu dengan mengetahui denyut jantung saat
beraktivitas. Pengukuran ini dilakukan menggunakan metode konvensional
Tayyari. Metode ini untuk mengestimasi VO2 didasarkan pada berat badan dan
denyut jantung selama berjalan pada treadmill. Selain itu juga mempertimbangkan
cxlv
perbedaan jenis kelamin, koreksi usia, dan kecepatan berjalan. Perhitungan
konsumsi oksigen dilakukan dengan mengolah data pengukuran denyut nadi pada
aktivitas berjalan di treadmill.
Hasil perhitungan konsumsi oksigen pada pengguna prosthetic dapat dilihat
pada tabel 4.25 dan grafik pada gambar 4.30 halaman IV-53. Pada grafik dapat
dilihat perubahan konsumsi oksigen mulai dari sebelum berjalan sampai saat
berjalan. Pada grafik terdapat tiga kelompok garis regresi. Jika dibandingkan
sesuai selisih peningkatan konsumsi oksigennya, didapatkan bahwa peningkatan
pada desain prosthetic endoskeletal merek Regal (warna merah) lebih besar.
Dapat diartikan bahwa selisih peningkatan konsumsi oksigen pada setiap
pengukuran lebih besar dibandingkan selisih konsumsi oksigen pada dua desain
prosthetic lainnya. Perbedaan konsumsi oksigen pada desain prosthetic
endoskeletal merek Regal dapat disebabkan belum terbiasanya amputee
menggunakan prosthetic tersebut. Faktor lain dari prosthetic yang berpengaruh
yaitu berkaitan dengan adanya kesulitan yang dirasakan amputee saat
menggerakkan pergelangan kaki (ankle joint) dalam melakukan gerakan fleksi-
ekstensi serta saat foot mulai menapak pada lintasan. Kondisi tersebut dapat
mempengaruhi psikologis amputee saat eksperimen menggunakan desain
prosthetic tersebut.
Hasil perhitungan konsumsi oksigen pada responden normal ditunjukkan
pada tabel 4.26 halaman IV-55 dan disajikan dengan grafik pada gambar 4.31-33
halaman IV-56, 57. Grafik hasil perhitungan menunjukkan bahwa sebagian besar
responden normal mengkonsumsi oksigen yang lebih besar pada awal pengukuran
yaitu sebelum berjalan (0 meter) dan mulai mengalami penurunan untuk saat
pengukuran berikutnya.
Pada gambar 4.31 yaitu konsumsi oksigen pada responden normal untuk
kecepatan 1.2 km/jam menunjukkan bahwa nilainya besar pada pengukuran awal.
Pada pengukuran berikutnya terjadi kenaikan dan penurunan dengan selisih yang
kecil. Beberapa responden menunjukkan peningkatan yang stabil yaitu responden
3, 4, 5, 6, 8, dan 9 sedangkan lainnya tidak telampau stabil. Gambar 4.32
menunjukkan sebagian besar responden membutuhkan oksigen dalam kisaran
nilai yang hampir sama, kecuali responden 2 dan 4. Kestabilan terhadap
cxlvi
peningkatan konsumsi oksigen yang terjadi pada setiap responden pun berbeda
Gambar 4.33 menunjukkan hampir seluruh responden normal memiliki pola
peningkatan yang sama. Sebagian besar responden mengonsumsi oksigen pada
kisaran nilai yang sama, kecuali responden 4 dan 5. Hal tersebut sama dengan
hasil analisis pada kebutuhan kalori. Variasi yang terjadi dalam tiga grafik
tersebut antara kesepuluh responden normal dapat disebabkan karena faktor
internal responden yang kurang diperhatikan dalam penelitian ini. Faktor internal
responden yaitu kondisi psikologis saat eksperimen dan tingkat aktivitas fisik.
Rekapitulasi perbandingan hasil pengukuran konsumsi oksigen dapat dilihat
pada tabel 4.31 dan grafik pada gambar 4.38 halaman IV-63, 64. Grafik
perbandingan menunjukkan bahwa pada empat titik pengukuran denyut nadi dapat
dilihat bahwa desain prosthetic endoskeletal pengembangan memiliki perubahan
nilai konsumsi oksigen yang kecil. Hal tersebut berarti peningkatan konsumsi
oksigennya lebih cenderung stabil dibanding dua desain prosthetic lainnya
walaupun nilainya tidak lebih rendah.
Pada nilai konsumsi oksigen responden normal ditampilkan nilai rata-rata
untuk tiga kecepatan dari sepuluh responden (warna jingga). Pada grafik dapat
dilihat bahwa desain prosthetic endoskeletal tipe pengembangan lebih memiliki
pola kestabilan peningkatan konsumsi oksigen atau kemiringan garis seperti
responden normal pada setiap titik pengukuran. Penggunaan energi yang lebih
besar oleh pengguna prosthetic berkaitan dengan tingkat konsumsi oksigen yang
lebih tinggi pula. Seperti analisis sebelumnya, hal tersebut dapat disebabkan
kebiasaan amputee dalam menggunakan prosthetic yang berkaitan perbedaan
berat ketiga prosthetic serta perbandingan umur dan pekerjaan antara pengguna
prosthetic dan responden normal yang tidak seimbang.
5.1.7 Analisis terhadap Faktor yang Perlu Dikontrol
Hasil-hasil pengukuran sesuai empat kriteria menunjukkan adanya beberapa
faktor internal maupun eksternal yang cukup mempengaruhi data hasil
eksperimen. Dalam kondisi nyata faktor-faktor tersebut berpengaruh pada hasil
penelitian, namun dalam penelitian ini faktor-faktor tersebut tidak diperhitungkan
dalam pengambilan keputusan atas hasil penelitian. Faktor-faktor tersebut, yaitu:
1. Jenis pekerjaan dan tingkat aktivitas fisik
cxlvii
Faktor jenis pekerjaan berkaitan erat dengan tingkat aktivitas fisik yang
dilakukan oleh responden. Kedua faktor ini mempengaruhi pengukuran nilai
BMR yang digunakan dalam menentukan responden normal untuk
dibandingkan dengan pengguna prosthetic. Pada penelitian ini amputee
merupakan pekerja sedangkan responden normal merupakan mahasiswa.
Amputee terbiasa melakukan aktivitas fisik dengan intensitas yang cukup
tinggi dibandingkan dengan mahasiswa. Orang yang terbiasa melakukan
aktivitas fisik cenderung memiliki denyut nadi yang lebih cepat dan lebih
stabil dibandingkan dengan orang dengan tingkat aktivitas fisik rendah. Hal
tersebut dapat mempengaruhi kestabilan denyut nadi yang diambil sebagai
data primer dalam penelitian terhadap aspek fisiologi responden. Kedua faktor
tersebut tidak turut dipertimbangkan dalam penelitian ini, namun tetap
didukung adanya nilai BMR antara kedua responden dengan selisih yang tidak
terlampau signifikan.
2. Umur
Faktor umur secara eksplisit tercantum sebagai variabel dalam persamaan nilai
BMR oleh Harris dan Benedict (19191) serta sebagai faktor koreksi usia pada
persamaan konsumsi oksigen maksimal oleh Tayyari (1995). Pada penelitian
ini seharusnya mempertimbangkan adanya pengaruh perbedaan umur terhadap
hasil perhitungan. Amputee berumur 33 tahun sedangkan responden normal
berumur sekitar 22 tahun. Perbedaan ini memberikan pengaruh pada
perhitungan nilai BMR dan konsumsi oksigen saat aktivitas berjalan pada
treadmill.
3. Kondisi psikologis responden saat eksperimen
Kelelahan ditimbulkan oleh dua hal yaitu fisiologis yang bersifat objektif dan
psikologis yang bersifat subjektif (Sutalaksana, 2006). Penelitian ini
menggunakan denyut nadi untuk mengukur tingkat kelelahan. Denyut nadi
tersebut belum bisa merepresentasikan keseluruhan tingkat kelelahan yang
dialami responden. Denyut nadi juga berhubungan dengan faktor psikologis
dalam menimbulkan kelelahan disamping indikator lain yaitu faktor fisiologis
seperti tekanan darah, konsumsi oksigen dan komposisi kimia dalam urin dan
darah. Pada penelitian ini belum bisa mengukur aspek-aspek psikologis dari
cxlviii
setiap responden sehingga tidak diperhitungkan. Faktor psikologis ini juga
berpengaruh terhadap perasaan suka atau tidak responden dalam melakukan
eksperimen.
4. Jenis bahan socket prosthetic
Kenyamanan dalam berjalan menggunakan prosthetic ditunjang oleh kualitas
komponen pada prosthetic tersebut, salah satunya adalah socket. Socket
merupakan bagian dari prosthetic yang menempel langsung dengan kulit
manusia dan sebagai tempat stump yang akan menggerakkan prosthetic untuk
berjalan. Kualitas socket yang mampu memberikan rasa nyaman saat
digunakan dapat dilihat dari sisi jenis bahan. Pada penelitian ini tidak
mempertimbangkan jenis bahan socket pada ketiga desain prosthetic yang
kemungkinan mempengaruhi kenyamanan saat berjalan.
5. Kecepatan berjalan normal dan lebar jangkauan langkah kaki setiap
responden
Pelaksanaan penelitian ini menitikberatkan pada jarak yang ditempuh oleh
responden untuk kondisi eksperimen berjalan normal sejauh 12 meter.
Kecepatan berjalan normal yang dimaksud yaitu kecepatan berjalan responden
dalam kondisi santai. Kecepatan berjalan dan lebar jangkauan langkah kaki
pada setiap responden berbeda-beda. Perbedaan ini mempengaruhi jumlah
siklus dan waktu tempuh untuk setiap fase berjalan. Semakin lebar jangkauan
langkah kaki, semakin sedikit siklus yang dihasilkan. Semakin tinggi
kecepatan berjalan responden, semakin singkat waktu tempuh untuk setiap
fase berjalan. Sedangkan waktu tempuh per fase bervariasi pada setiap orang.
Pada akhirnya akan mempengaruhi hasil distribusi %CVL per fase.
Sepuluh responden normal berada dalam kategori yang sama yaitu ‘langsing’,
namun tidak semuanya memiliki kesamaan dalam ukuran tinggi badan.
Responden dengan ukuran tinggi badan yang lebih tinggi memiliki jangkauan
langkah kaki lebih lebar sehingga jumlah siklus akan lebih sedikit. Selain itu
responden yang lebih tinggi membutuhkan waktu yang lebih cepat dalam
berjalan. Perbedaan ini memberikan pengaruh terhadap denyut nadi responden
yang dijadikan sebagai data primer penelitian ini.
6. Kebiasaan amputee dalam memakai prosthetic
cxlix
Kebiasaan amputee dalam menggunakan prosthetic mempengaruhi keluwesan
dalam berjalan. Penelitian ini tidak memperhatikan kebiasaan dan frekuensi
amputee dalam memakai ketida desain prosthetic untuk berjalan. Hal ini
menyebabkan terjadinya perbedaan mengenai kemampuan dan kebiasaan
amputee dalam memakai prosthetic. Kebiasaan amputee dalam memakai
prosthetic kemungkinan besar berpengaruh terhadap fisiologi amputee yaitu
terhadap kelelahan yang ditimbulkan, konsumsi energi dan konsumsi oksigen.
Selain itu juga tidak diketahui dengan pasti frekuensi pemakaian dari ketiga
desain prosthetic, karena itu sebenarnya kurang adil jika membandingkan
ketiga desain tersebut.
5.2 INTERPRETASI HASIL
Interpretasi hasil penelitian merupakan pemaparan hasil dari pengolahan
data secara menyeluruh. Hasil penelitian ini memberikan jawaban atas desain
prosthetic kaki bawah lutut terbaik dalam mengakomodasi aktivitas berjalan. Jika
dilihat dari keseluruhan hasil pengukuran fisiologi sesuai empat kriteria,
menunjukkan bahwa desain prosthetic endoskeletal tipe pengembangan
merupakan desain prosthetic kaki bawah lutut terpilih untuk direkomendasikan.
Pengukuran fisiologi yang meliputi %CVL (total dan per fase), energi
ekspenditur, kebutuhan kalori, dan konsumsi oksigen menunjukkan bahwa hasil
pengukuran pada desain prosthetic endoskeletal tipe pengembangan lebih rendah
dibandingkan dua desain lainnya. Hasil pengukuran juga menunjukkan bahwa
pengguna prosthetic tersebut memiliki nilai pengukuran fisiologi mendekati nilai
pengukuran responden normal, bahkan pada beberapa bagian justru lebih rendah.
Nilai %CVL total dan per fase pada amputee dengan menggunakan desain
prosthetic tersebut lebih rendah dari dua prosthetic lainnya menunjukkan bahwa
tingkat kelelahan yang ditimbulkan pun lebih rendah walaupun perbedaannya
tidak terlampau signifikan. Nilai energi ekspenditur, kebutuhan kalori, dan
konsumsi oksigen menunjukkan bahwa penggunaan desain prosthetic tersebut
menghasilkan peningkatan kebutuhan energi, kalori, dan oksigen yang lebih
rendah. Dengan kata lain peningkatan kebutuhan dengan jarak tempuh berjalan
100 meter lebih stabil dibanding dua desain prosthetic lainnya.
cl
Berdasarkan analisis di atas desain prosthetic endoskeletal tipe
pengembangan dipilih sebagai desain prosthetic yang direkomendasikan untuk
dipakai oleh amputee atau pengguna prosthetic. Pengukuran fisiologi
menunjukkan hasil yang mampu memberikan kenyaman bagi pengguna prosthetic
dalam aktivitas berjalan.
cli
BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN
Bab ini merupakan bagian terakhir yang membahas tentang kesimpulan
yang diperoleh serta usulan atau saran untuk pengembangan penelitian lebih
lanjut. Penjelasan dari kesimpulan dan saran tersebut diuraikan pada pada sub
bab di bawah ini.
6.1 KESIMPULAN
Bagian kesimpulan ini merupakan jawaban atas tujuan penelitian yang telah
ditetapkan sebelumnya yaitu memilih desain prosthetic terbaik dalam
mengakomodasi aktivitas berjalan. Berdasarkan hasil pengumpulan, pengolahan,
dan analisis data yang telah dilakukan maka dapat ditarik kesimpulan, sebagai
berikut:
1. Desain prosthetic kaki bagian bawah lutut terbaik dalam mengakomodasi
aktivitas berjalan yaitu desain prosthetic endoskeletal tipe pengembangan
karena memberikan nilai pengukuran fisiologi yang paling mendekati
responden normal.
2. Pengukuran aspek fisiologi menunjukkan bahwa desain prosthetic
endoskeletal tipe pengembangan memberikan hasil %CVL sebesar
3.21±0.09% yang lebih rendah dibanding dua desain prosthetic lainnya,
sedangkan %CVL pada responden normal yaitu 3.14±0.57%. Hasil
pengukuran energi ekspenditur, kebutuhan kalori, dan konsumsi oksigen
menunjukkan kestabilan garis yang mirip dengan responden normal. Dimana
nilai BMR amputee yaitu 1372 Kkal/hari, sedangkan nilai BMR responden
normal berkisar 1472±8.48 Kkal/hari dan keduanya masuk dalam kategori
BMI yaitu ‘langsing’.
6.2 SARAN
Saran yang dapat diberikan berdasarkan hasil penelitian untuk langkah
pengembangan atau penelitian selanjutnya, sebagai berikut:
clii
1. Penelitian selanjutnya yang menggunakan nilai BMR sebagai validasi
responden dapat mempertimbangkan berat badan, tinggi badan, umur, jenis
pekerjaan, dan aktivitas fisik atau dapat menggunakan nilai AMR (Activity
Metabolic Rate).
2. Pada penelitian selanjutnya dapat mempertimbangkan faktor kebiasaan
amputee dalam memakai tiga desain prosthetic dalam jangka waktu dan
frekuensi yang sama.
3. Instrumen dalam pengambilan data penelitian yang digunakan memiliki
tingkat akurasi yang lebih tinggi.
cliii
DAFTAR PUSTAKA
Ardiansyah, Tony. 2008. Penentuan Faktor-Faktor Yang Berpengaruh Terhadap Tingkat Kelelahan Pemakai Sepatu Hak Tinggi Pada Saat Berjalan Dengan Desain Eksperimen Faktorial (Studi Kasus Toko Sepatu Bakti, Surakarta). Tugas Akhir Strata-1, Jurusan Teknik Industri, Fakultas Teknik, Universitas Sebelas Maret, Surakarta.
Corey, M. 2005. Heart Rate Responses to Track and Treadmill Jogging. Vermont:
Bringham Young University. Damayanti, R.W. 2003. Perancangan Dan Pengembangan Prothese Kaki Bagian
Bawah Lutut Dengan Menggunakan Quality Function Deployment (QFD). Tugas Akhir Strata-1, Jurusan Teknik Industri, Fakultas Teknik, Universitas Sebelas Maret, Surakarta.
Forum Obesitas. Body Mass Index. Tersedia di: www.obesitas.web.id/bmi(i).html
[25 November 2009] Grandjean, E. 1993. Fitting The Task to The Man. 4th Edition. London: Taylor &
Francis Inc. Harris, J. Arthur and Francis G. Benedict. 1919. A Biometric Study of Basal
Metabolism in Man [e-book]. Washington : The Carnegie Institution of Washington.
Herdiman, Lobes dkk. 2009. “Kajian Fisiologi pada Karakteristik Prosthetic Kaki
Endoskeletal Jenis Above Knee Prosthetic (AKP)”. National Conference on Applied Ergonomics 2009, Hal. 178-183.
_______ dan Retno Wulan Damayanti. 2009. “Modeling, Analisis dan Pembuatan
Kaki Prosthetic Jenis Below Knee Prosthetic (BKP) Foot”. Jurusan Teknik Industri, Fakultas Teknik, Universitas Sebelas Maret, Surakarta.
Huang, Kuo-Feng et al. 2001. “Kinematics Properties and Energy Cost of Below-
Knee Amputees”. Biomedical Engineering Applications, Basis & Communications [Online], Vol. 13, page 99-107. Tersedia di: www.worldscinet.com/bme/13/1302/open-access/S101623720100133.pdf
[27 November 2009] Inman, Verne T. 1968. “Conservation of Energy in Ambulation”. Bulletin of Prosthetics Research [Online], page 26-35. Johnson, A.T. 1991. Biomechanics and Exercise Physiologys. Toronto: John
Wiley & Son.
cliv
Keytel, L.R et al. 2005. “Prediction of Energy Expenditure from Heart Rate Monitoring During Submaximal Exercise”. Journal of Sports Sciences [Online], 45 pages. Tersedia di: http://drops.dagstuhl.de/opus/volltexte/ 2008/1685/pdf/08372.BoehmHarald.ExtAbstract.1685.pdf [27 November 2009]
Laymon, Mike, Jerrold S. Petrofsky and Jennifer Batt. 2008. “Aerobic Energy
Expenditure on a 60-Minute Exercise Video with Mini Medicine Balls”. The Journal of Applied Research [Online], Vol. 8, page 130-134. Tersedia di: http://www.jarcet.com/articles/Vol8Iss2/Petrofsky3Vol8No2.pdf
[27 November 2009] Munandar, A. 1979. Ikhtisar Anatomi Alat Gerak dan Ilmu Gerak. Jakarta :
Penerbit Buku Kedokteran. Nurmianto, Eko. 2004. Ergonomi Konsep Dasar Dan Aplikasinya. Surabaya:
Guna Widya. Rowett Research Institute. 1992. Energy Expenditure [Online], 6 pages. Tersedia
di: http://www.rowett.ac.uk/edu_web/sec_pup/energy_expenditure.pdf [27 November 2009].
Rubberbug. Anatomy of Walk [Online].
Tersedia di: www.rubberbug.com/walking.htm [25 November 2009]. Setyaningrum, A.Y. 2006. Usulan Perbaikan Perancangan Medial Arch Support
pada Sepatu Ortopedi Bagi Penderita Flat Foot dengan Menggunakan Analisis Biomekanika (Studi Kasus Rumah Sakit Ortopedi Prof. DR.R Soeharso). Surakarta : Universitas Sebelas Maret.
Sinaki, Mehrsheed. (1993). Basic Clinical Rehabilitation Medicine. Chicago :
Mosby. Staff Prosthetics and Orthotic. 1990. Lower-Limb Prosthetics. New York : New
York University Medical Center. Sulistyadi, K. dan Susianti S.L.. 2003. Perancangan Sistem Kerja & Ergonomi.
Jakarta: Universitas Sahid. Suma’mur. 1984. Higiene Perusahaan dan Kesehatan Kerja. Jakarta : PT
Gunung Agung. Sutalaksana, dkk. 2006. Teknik Tata Cara Kerja Edisi 2. Bandung : Penerbit ITB.. Tarwaka, dkk. 2004. Ergonomi untuk Keselamatan Kesehatan Kerja dan
Produktivitas. Surakarta : UNIBA PRESS.
clv
Waters, Robert L. et al. 1976. “Energy Cost of Walking of Amputees: The Influence of Level of Amputation”. The Journal of Bone and Joint Surgery [Online]. Vol. 58-A, page 42-46.
Wignjosoebroto, S. 1991. Ergonomi, Studi Gerak dan Waktu. Jakarta: PT Guna
Widya.