Upload
pry-s
View
4.618
Download
1
Embed Size (px)
DESCRIPTION
Referensi ilmiah yang berangkat dari penelitian saya mengenai praktik penggunaan jurnalisme sastra di Majalah Berita Mingguan Tempo. penelitian ini tergolong interdisipliner antara kajian ilmu komunikasi dengan ilmu sastra
Citation preview
JURNALISME SASTRA MBM TEMPO SEBAGAI PRAKTIK ESTETIK DAN POLITIK BAHASA MEDIA PADA PEMBERITAAN KASUS DUGAAN
KORUPSI YANG MELIBATKAN PEJABAT NEGARA KABINET INDONESIA BERSATU
SKRIPSI
Diajukan untuk Memenuhi Syarat Akhir Menempuh Gelar Sarjana Pada Jurusan Ilmu Jurnalistik, Fakultas Ilmu Komunikasi
oleh
PRIYONO SANTOSA NRP: 2000110193
INSTITUT ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK JAKARTA JAKARTA – 2008
ABSTRAK
(A) Priyono Santosa (2000110193) (B) Jurnalisme Sastra MBM Tempo Sebagai Praktik Estetik dan Politik Bahasa
Media Pada Pemberitaan Kasus Dugaan Korupsi yang Melibatkan Pejabat Negara Kabinet Indonesia Bersatu (Studi Analisis Wacana Kritis)
(C) xiv + 284 halaman; 3 Tabel; 2 Bagan; 5 Lampiran; 2008 (D) Kata kunci: Wacana, Estetika, Politik Bahasa Media (E) Tujuan: untuk mengetahui hubungan teks berita (mikro), produksi dan
konsumsi teks (meso), dengan konteks sosial (makro) dalam Jurnalisme Sastra MBM Tempo sebagai praktik estetik dan politik bahasa media pada pemberitaan kasus dugaan korupsi yang melibatkan pejabat negara Kabinet Indonesia Bersatu. Metode Penelitian: Analisis Wacana Kritis dengan instrumen analisis teks ekletif. Hasil Penelitian: Mikro. Praktik estetik dilakukan demi pencapaian efek perlokutif dan joissance kepada pembaca. Praktik politik bahasa media dilakukan dengan bias dan prasangka demi pencapaian efek abrasive kepada pejabat negara yang diberitakan. Meso. Diproduksi secara kolektif dan institusional, serta dikonsumsi oleh khalayak pembaca kelas menengah ke atas di Indonesia, yakni sebagai warisan tradisi dari para pendiri MBM Tempo yang dipertahankan lewat kelas kuliah dan sistem penilaian terhadap wartawan. Makro. Konteks sosial budaya yang mengelilingi MBM Tempo mengarah pada persinggungan sistem pers dengan sistem ekonomi-politik-budaya yang mengacu pada upaya pemberantasan korupsi dan perbaikan demokrasi di Indonesia. Kesimpulan: Praktik Jurnalisme Sastra MBM Tempo –sebagai praktik estetik dan politik bahasa media– pada pemberitaan kasus dugaan korupsi yang melibatkan pejabat negara Kabinet Indonesia Bersatu merupakan persinggungan antara praktik jurnalisme dengan praktik kesusastraan di media massa sebagai pendekatan kultural dalam mewujudkan demokrasi sejati di Indonesia. Saran: Penulis menyarankan agar MBM Tempo mengurangi upaya status degradation dan character assasination yang mengarah pada prejudicial publicity. Jika hal tersebut menempati porsi yang lebih besar dalam pemberitaan, MBM Tempo dapat terjebak pada trial by the press yang justru akan mencoreng nama MBM Tempo sendiri, serta menimbulkan citra buruk pers dalam partisipasinya memberantas korupsi di Indonesia.
(F) Buku: 35 (1983 – 2005), Sumber lain (1988-2008)
v
KATA PENGANTAR
Ide untuk mengangkat tema penelitian ini datang pada suatu siang di Stasiun
KRL Tebet bulan Juni tahun 2005. Ketika itu penulis tengah asyik membaca liputan
utama Majalah Tempo yang penulis beli di lapak majalah bekas dalam stasiun
tersebut. Namun yang saat itu penulis perhatikan justru bukan pada isi liputan berikut
hilangnya jumlah rupiah yang kemudian dipersoalkan, tetapi lebih pada penyajian
bentuk tulisan yang digunakan Tempo dalam mengulas berbagai peristiwa.
“Ibarat membaca sebuah cerita pendek,” gumam penulis dalam hati siang itu.
Terlebih lagi dengan bertaburnya kata, frase, dan kalimat yang terkesan
memerhatikan kemerduan bunyi dan cukup puitis, praktik jurnalisme Tempo penulis
pandang cukup khas dan berbeda dengan kebanyakan media lain di Indonesia.
Penulis yang saat itu juga tengah aktif di gerakan sastra mahasiswa, mulai bertanya
pada diri sendiri: Bukankah jurnalisme dengan sastra merupakan dua hal berbeda
yang hidup di dua dunia yang berbeda pula? Yang satu menawarkan informasi
berguna bagi masyarakat, yang satu lagi menawarkan keindahan tekstual bagi
pembacanya? Adakah hal ini berhubungan dengan motto Majalah Tempo sendiri
yang berbunyi ‘Enak Dibaca dan Perlu’?
“Lalu apa yang sesungguhnya tengah terjadi dalam praktik jurnalisme
Tempo? Adakah ini sebuah anomali dalam praktik jurnalisme kita? Atau ini sekadar
fenomena baru yang mencerminkan perkembangan mutakhir masyarakat Indonesia?”
tanya penulis lebih lanjut. Pertanyaan demi pertanyaan pun muncul bak cendawan di
vi
musim hujan, hingga penulis mulai memberanikan diri untuk mengangkat temuan
penulis terhadap praktik jurnalisme Tempo tadi menjadi tema skripsi penulis,
Meski begitu, bentuk penulisan jurnalisme Tempo yang bergaya sastra
tersebut tidak penulis anggap berdiri sendiri. Ia mesti disertakan juga dengan isi
liputannya. Maka sejak Juni 2005 itulah penulis mulai mengumpulkan bahan dan
sejumlah referensi terkait yang diperlukan dalam menjalankan sebuah penelitian.
Setelah hampir tiap minggu selama 2 tahun memelototi halaman demi halaman
Majalah Tempo, penulis kemudian mulai berani menentukan topik, membatasi
permasalahan pokok, dan menarik rumusan masalah penelitian.
Tema yang kemudian penulis pilih untuk dikaji lebih dalam adalah Jurnalisme
Sastra Majalah Tempo pada pemberitaan kasus dugaan korupsi yang melibatkan
pejabat negara. Pasalnya tema ini cukup mewakili keingintahuan penulis, menarik
dan sepanjang pengetahuan penulis belum pernah diteliti, serta diharapkan beguna
dalam memahami perkembangan mutakhir dari praktik jurnalisme di Indonesia.
Alhamdulillah, puji syukur kepada Allah SWT, atas berkah dan rahmat-Nya
sehingga penulis dapat menyelesaikan penelitian ini dengan baik. Tanpa sadar pula,
begitu banyak pihak baik yang terlibat langsung maupun yang tidak langsung dalam
proses penyelesaian penelitian ini. Maka di kesempatan ini pula penulis hendak
mengucapkan kata terima kasih atas bantuan dan dukungan serta bimbingan dari
sejumlah nama di bawah ini yang telah memberikan sumbangan, pikiran, tenaga,
waktu, dan dukungan semangat serta doa:
vii
1. Terima kasih kepada kedua orang tua penulis, Sri Marheini dan Agus Santosa,
atas kasih dan cintanya di sepanjang jalan kehidupan penulis.
2. Terima kasih kepada Bapak dan Ibu guru penulis di TK Puspitasari, SD 12
Pagi, SMP 117, dan SMU 71 Jakarta Timur yang telah membimbing penulis
melewati kanak-kanak hingga remaja dengan nikmatnya ilmu pengetahuan.
3. Terima kasih kepada Rektor IISIP Jakarta, Ir. Maslina W. Hutasuhut, M.M
4. Terima kasih kepada mantan Rektor Institut Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
(IISIP) Jakarta, A.M. Hoeta Soehoet.
5. Terima kasih kepada Dra Hj. Mulharnetti Syas, M.S selaku Ketua Jurusan
Jurnalistik.
6. Terima kasih kepada Drs. Moeryanto Ginting Munthe, M.S selaku dosen
pembimbing skripsi yang mengajarkan penulis mengenai nilai-nilai ketekunan,
ketelitian, keakuratan, kepercayaan, kedewasaan, serta sopan santun dalam
kerangka ilmu pengetahuan.
7. Terima kasih kepada dosen Kampus Tercinta, yakni Drs. Nurcahyadi Pelu, Drs.
Patar Nababan, Drs. Dadan Iskandar, M.S, Dra. Sri Dewiningsih, M.Si, Dra.
Widyastuti, M.S, Drs. Guntoro, M.S, Drs. Intantri Kusmawarni, M.Si, Norman
Meoko, Drs. Teguh Tjatur Pramono, M.M yang sempat meluangkan waktunya
berdiskusi dan tak lelah menjawab pertanyaan-pertanyaan penulis.
8. Terima kasih kepada Putri selaku Bagian PSDM MBM Tempo yang
memberikan bimbingan semasa penelitian ini dijalankan.
viii
9. Terima kasih kepada Sapto Nugroho selaku Redaktur Bahasa, dan Wenseslaus
Manggut selaku Redaktur Desk Nasional MBM Tempo.
10. Terima kasih kepada Sosa dan Wulan Oktaviani yang selalu mengingatkan agar
penulis tak lupa pulang ke rumah, serta atas kasih, cinta, dan pengertiannya
selama ini.
11. Terima kasih secara khusus penulis tujukan kepada Vin Vulaize Kumbang yang
menyumbangkan ide awal penelitian ini, dan Nosa Normanda di Sastra Inggris
UI. Tanpa kau kawan, penelitian ini mungkin tak akan pernah ada.
12. Terima kasih kepada Dayi, Danin, dan Dako atas segala sesuatunya yang hanya
bisa penulis ucapkan dengan syukur.
13. Terima kasih kepada kawan-kawan Komunitas RuangMelati, KOMPOSISI,
Komunitas Kertas, UKM IISIP Teater Kinasih, UKM IISIP Kampung Seg@rt,
Himpunan Mahasiswa Jurnalistik IISIP, Himpunan Mahasiswa HI IISIP,
LMND & PRM, Forum Kota, dan Greenpeace INDONESIA.
14. Terima kasih kepada rekan-rekan pers mahasiswa IISIP, yakni Bulettin ISSUE,
BUMI, MEDIA 3, ELLEVEN, MIKA, KRITIKKRISIS, PROJECT 17,
EDITORIAL KITA, EPICENTRUM, segenap awak redaksi Tabloid KUNCI.
15. Terakhir, terima kasih kepada QP untuk segala yang tak bisa lagi terucapkan
kata. Sengaja pula kutaruh namamu di daftar terakhir, karena kuharap kaulah
yang bakal jadi ‘yang terakhir’ hingga ujung nafasku nanti.
ix
Akhir kata, penulis berharap agar penelitian sripsi ini selain bermanfaat, juga
dapat mengundang lahirnya penelitian-penelitian lain yang mengkaji berbagai
fenomena baru dalam praktik jurnalisme di Indonesia. Penulis sadar bahwa penelitian
ini pun tak lepas dari kekurangan dan keretakan tekstual yang diidapnya. Tapi tak
apa. Sebab selain dijalankan untuk memenuhi syarat akhir menempuh gelar sarjana,
penelitian ini bak sebuah karya yang baru menawarkan sebutir pengetahuan tentang
secuil saja dari pluralnya ‘kebenaran’.
Jakarta, Februari 2008
Penulis,
Priyono Santosa
x
DAFTAR ISI ABSTRAK .................................................................................................... i LEMBAR PERSETUJUAN ........................................................................ ii LEMBAR PERNYATAAN MAHASISWA ............................................... iii LEMBAR PENGESAHAN ......................................................................... iv KATA PENGANTAR .................................................................................. v DAFTAR ISI ................................................................................................. x DAFTAR LAMPIRAN ................................................................................ xii DAFTAR BAGAN ........................................................................................ xiii DAFTAR TABEL ........................................................................................ xiv BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah .............................................................. 1 B. Permasalahan Pokok .................................................................... 14 C. Tujuan Penelitian ......................................................................... 21 D. Kegunaan Penelitian .................................................................... 22 E. Sistematika Penelitian .................................................................. 22
BAB II KERANGKA TEORI
A. Tinjauan Pustaka .......................................................................... 25 A.1. Media Massa Sebagai Institusi ............................................ 25 A.2. Berita dan Objektivitas ........................................................ 30 A.3. Korupsi ................................................................................ 34 A.4. Jurnalisme Sastra ................................................................. 40 A.5. Estetika dan Politik Bahasa ................................................. 59 A.6. Wacana ................................................................................ 69 B. Operasionalisasi Konsep .............................................................. 78 C. Kerangka Pemikiran .................................................................... 83
BAB III DESAIN PENELITIAN
A. Paradigma Penelitian ................................................................... 84 B. Metode Penelitian ........................................................................ 91 C. Bahan Penelitian dan Unit Analisis ............................................... 99
xi
D. Populasi dan Sampel .................................................................... 100 E. Metode pengumpulan Data .......................................................... 104 F. Metode Analisis Data .................................................................. 104
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Subjek Penelitian ......................................................................... 108 1. Sejarah Singkat ...................................................................... 108 2. Visi Misi ................................................................................ 112 3. Susunan Redaksional Organisasi ........................................... 113 4. Bagan Struktur Organsisasi Redaksi ..................................... 115 5. Bagan Alur Berita .................................................................. 116
B. Hasil Penelitian ............................................................................ 117 1. Analisis Teks (Ekletif) ........................................................... 117 2. Analisis Discourse Practice .................................................. 215 3. Analisis Sociocultural Practice ............................................... 220
C. Pembahasan ................................................................................. 235 BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan .................................................................................. 250 B. Saran ............................................................................................ 257
DAFTAR PUSTAKA ................................................................................... 258 LAMPIRAN-LAMPIRAN .......................................................................... 264 DAFTAR RIWAYAT HIDUP .................................................................... 283
xii
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran A. Company Profile .................................................................................... 264 B. Hasil wawancara dengan Redaktur Bahasa MBM Tempo Sapto Nugroho ........................................................................................ 269 C. Hasil wawancara dengan Redaktur Desk Nasional MBM Tempo Wenseslaus Manggut ............................................................................. 273 D. Surat Permohonan Penelitian ............................................................... 281 E. Surat Keterangan Penelitian ................................................................. 282
xiii
DAFTAR BAGAN
Bagan 1. Struktur Organisasi ............................................................................... 115 2. Flow of News ........................................................................................... 116
xiv
DAFTAR TABEL
Tabel 1. Tabel Populasi ........................................................................................ 101 2. Tabel Sampel .......................................................................................... 103 3. Tabel Level Analisis Dan Metode Penelitian ....................................... 107
http://prys3107.blogspot.com [email protected]
1
BAB I
PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah
Seiring laju globalisasi dunia yang tak terelakkan dewasa ini, kita tengah
menyaksikan transisi masyarakat berbasis industri menuju masyarakat berbasis
komunikasi. Karenanya, kebutuhan akan media komunikasi massa di tengah-tengah
masyarakat abad ini telah menjadi suatu keniscayaan. Tak heran bila perkembangan
teknologi komunikasi massa terus dilakukan seiring maraknya industri media massa.
Salah satu dampak dari gencarnya perkembangan teknologi komunikasi massa
dan ketatnya persaingan industri media massa, adalah kecepatan menyampaikan
informasi kepada khalayak luas. Masing-masing media massa berlomba menjadi yang
tercepat dan terdepan dalam hal menyiarkan hasil liputannya. Hampir setiap jam
masyarakat disuguhi sajian breaking news berisi peristiwa aktual yang disiarkan
berbagai media massa elektronik seperti radio, televisi, dan internet. Tentu saja dalam
hal kecepatan menyampaikan informasi, media elektronik jelas lebih unggul
dibandingkan media cetak seperti surat kabar dan majalah.
Namun alih-alih memburu keaktualitasan, praktik jurnalisme yang demikian
justru membuat hasil informasi liputannya menjadi selintas dan tidak mendalam.
Padahal masyarakat juga mengalami perkembangan kritis dalam memandang realitas
di sekitarnya. Walhasil, kompleksitas masyarakat yang demikian, membutuhkan
sajian jurnalisme yang tak lagi sekedar informatif, aktual, cepat dan selintas.
http://prys3107.blogspot.com [email protected]
2
Sejalan dengan perubahan tersebut, Nurudin mengungkapkan pentingnya
perubahan orientasi media:
Media massa hendaknya tak sekedar memberitakan peristiwa semata. Namun juga harus bisa mengevaluasi dan menganalisis setiap kejadian lewat keahlian wartawan mengintepretasikan pesan dan fakta-fakta dari lapangan. Media massa juga harus mampu memberikan data pendukung yang berguna untuk melakukan intepretatif pesan.1
Dari sini tergambarlah tuntutan yang ditujukan kepada institusi media massa
sebagai pelayan informasi publik. Media massa menghadapi tantangan untuk
menyiarkan produk jurnalismenya yang berlandaskan evaluasi, analisis, dan
intepretatif kepada masyarakat. Yakni sebuah pemberitaan mendalam dan
menyeluruh atas fakta peristiwa yang terjadi di tengah-tengah masyarakat.
Berbeda dengan media elektronik yang cenderung memburu aktualitas dan
kecepatan menyiarkan berita, praktik jurnalisme di media cetak memiliki tenggat
waktu lebih panjang. Media cetak, seperti suratkabar dan majalah, menjadi lahan
yang tepat bagi praktik jurnalisme yang memungkinkan evaluasi, analisis, dan
intepretatif atas fakta peristiwa. Disinilah keunggulan media cetak bisa ditempatkan.
Tidak hanya memuat berita lempang, media cetak juga menerapkan ragam
penulisan berita mendalam dan berita selidik, serta penulisan feature dan ragam
produk jurnalisme lainnya. Ragam penulisan berita yang mendalam dan menyeluruh
dengan mengembangkan intepretasi wartawan atas kaitan antar fakta, menjadi sejalan
1 Nurudin, Komunikasi Massa, Cesper, Yogyakarta, 2003, hal.93
http://prys3107.blogspot.com [email protected]
3
dalam memenuhi kebutuhan masyarakat yang kian haus dan melek informasi.
Akhirnya timbul fenomena lain yang terjadi di kalangan pelaku media itu sendiri.
Lebih jelasnya, Eni Setiati mengungkapkan fenomena jurnalistik di atas
dengan mencermati kondisi pers di Amerika tahun 1960-an sebagai berikut: ”Muncul
kebosanan para wartawan senior di Amerika terhadap standar baku dalam melakukan
tugas peliputan dan penulisan berita. Kebosanan itu juga melanda terkait tata kerja
jurnalisme lama yang dianggap kaku dan membatasi ruang gerak wartawan, teknik
penulisan, dan bentuk pelaporan berita.”2
Adapun fenomena ini mencerminkan perubahan dalam praktik jurnalisme
yang diterapkan di media cetak. Ritme kerja wartawan menghadapi rutinitas
redaksional media tempatnya bekerja, dirasakan kian monoton. Standar teknik
penulisan dan bentuk pemberitaan yang baku seakan tidak mampu lagi
mengakomodasikan semangat kerja wartawan. Padahal untuk menyajikan berita yang
menarik, dibutuhkan ruang gerak yang lebih luas lagi bagi kepekaan wartawan dalam
menggali informasi. Sehingga penyajian fakta peristiwa oleh wartawan membutuhkan
pengembangan gaya serta teknik penulisan jurnalisme yang berbeda dari yang sudah
ada.
Septiawan Santana Kurnia mengungkapkan bahwa para wartawan Amerika di
masa itulah yang pertama kali mendobrak kaidah jurnalisme lama. “Mereka tidak lagi
hanya mencatat peristiwa sesuai fakta, lalu memuatnya di media massa. Mereka
2 Eni Setiati, Ragam Jurnalistik Baru Dalam Pemberitaan, Penerbit Andi,
Yogyakarta, 2005, hal.43
http://prys3107.blogspot.com [email protected]
4
justru menjadi perintis dalam melakukan inovasi dalam bentuk tulisan, penyajian,
serta teknik liputan lebih mendalam dan menyeluruh.”3
Inovasi inilah yang kemudian menemukan bentuknya sebagai penulisan
laporan jurnalisme dengan menggunakan elemen dan teknik penulisan karya sastra.
Upaya pengadopsian gaya sastra dalam realitas pers Amerika tahun 1960-an menjadi
motor penggerak pembaruan jurnalisme. Ketika kebaruan hendak ditancapkan oleh
para jurnalis, sastra dipilih sebagai bentuk awal penolakan mereka terhadap
jurnalisme lama.
Kurnia sendiri berasumsi demikian, “Jurnalis Amerika waktu itu memang
mendekati sastra karena dipojokkan oleh dua hal. Pertama: bentuk dan gaya penulisan
novel yang tengah menjadi trendsetter di dunia penulisan. Kedua: keinginan untuk
mengungguli daya pikat media audio visual dan kecepatan siaran televisi.”4
Sejalan dengan asumsi di atas, Tom Wolfe menambahkannya dengan
mengungkapkan pengaruh sastra pada perkembangan media cetak di Amerika Serikat
yang saat itu sedang mengalami stagnasi:
Para mahasiswa jurnalistik saat itu tidak hanya bermimpi setelah lulus menjadi wartawan dan terus-menerus mencari berita-berita gempar. Mimpi mereka dibumbui dengan mimpi menjadi novelis, melalui dunia surat kabar sebagai batu loncatan untuk menulis novel-novel bergengsi. Impian seperti itu tidak hanya dimiliki mahasiswa macam mereka. Di luar kalangan mereka, jutaan orang Amerika juga bermimpi sama: menulis novel.5
3 Septiawan Santana Kurnia, Jurnalisme Sastra, PT Gramedia Pustaka
Utama, Jakarta, 2002, hal.7 4 Ibid., hal.18 5 Ibid., hal.25
http://prys3107.blogspot.com [email protected]
5
Bisa disimak bahwa pengadopsian sastra sebagai bentuk awal pembaruan
jurnalisme di Amerika, terjadi karena kepopuleran sastra di tengah-tengah masyarakat
Amerika saat itu. Mencermati perkembangan kesusastraan dunia, sejak tahun 1950
telah ramai digelar lomba penulisan novel di berbagai negara, termasuk di Amerika
Serikat. Demam novel menjamur dengan bermunculan pula komunitas-komunitas
sastra.
Yang terjadi kemudian adalah anggapan umum tentang kepopuleran penulis
novel bahkan melebihi gengsi seorang wartawan. Maka tak heran bila dalam kondisi
demikian, sastra menjadi hal yang berpengaruh pada perkembangan dunia jurnalisme,
khususnya pada penulisan laporan jurnalisme. Hal ini diungkapkan Wolfe:
Di awal tahun 1960-an, demam novel memunculkan temuan-temuan baru dalam penulisan jurnalisme. Gaya penyajiannya kemudian mencairkan batas-batas penulisan feature sebagai mana disyaratkan dan dikembangkan oleh para jurnalis. Karya jurnalis telah menjadi bacaan mirip novel.. yang mencampurkan kekuatan novel ke dalam gaya menulis Jurnalisme Sastra yang (sebagai tulisan non-fiksi) tidak kalah mutunya dibandingkan sebuah novel sastra.6
Sejak saat itulah masyarakat mengenal apa yang kemudian disebut sebagai
Jurnalisme Sastra. Kalaupun unsur pemakaian gaya bahasa sastra memang sudah
terlihat pada bentuk penulisan feature, maka Jurnalisme Sastra mengembangkannya
lebih lanjut lewat gaya bahasa, elemen dan teknik penulisan karya sastra.
Robert Vare, wartawan The New Yorker sekaligus pengajar di Universitas
Havard, kemudian merumuskan prinsip Jurnalisme Sastra. Prinsip utama yang
6 Ibid., hal.33
http://prys3107.blogspot.com [email protected]
6
diungkapkan Vare adalah fakta. “Jurnalisme menyucikan fakta. Walau pakai kata
dasar ‘sastra’, tapi ia tetap jurnalisme. Setiap detail harus berupa fakta. Nama-nama
orang adalah nama sebenarnya. Tempat juga memang nyata. Kejadian benar-benar
kejadian. Merah disebut merah. Hitam hitam. Biru biru.”7
Dipandang dari penggunaan bahasa, gaya bahasa Jurnalisme Sastra
berkembang lebih luwes menjadi bahasa yang kaya sajian kreasi kata-kata yang
mampu merekam emosi suasana dengan tetap mempertahankan kesucian fakta.
Sehingga fakta yang disajikannya seakan menjadi begitu hidup. Ditambah lagi,
penggunaan gaya bahasa sastra dapat memberikan penekanan tertentu terhadap suatu
peristiwa, sekaligus juga mempengaruhi cara pembaca memandang peristiwa yang
disajikan.
Jurnalisme Sastra memang bukan sekedar penulisan laporan faktual dengan
bahasa puitis atau estetis. Lebih dari itu, Jurnalisme Sastra merupakan ruang di mana
segenap dimensi estetik sastra menyusup ke dalam penulisan laporan jurnalisme.
Segenap dimensi estetik tersebut dapat dilihat dari wujudnya, yakni berupa
penggunaan gaya bahasa, elemen-elemen, dan teknik penulisan yang lazim dijumpai
dalam sebuah karya sastra semisal cerita pendek, novel, bahkan puisi. Tak pelak lagi,
rumusan baku 5W+1H pun mengalami pengembangan. Yakni Who berkembang
menjadi karakter, What menjadi alur, Where menjadi latar (setting), When menjadi
kronologi pengadegan, Why menjadi motif, dan How menjadi narasi.
7 Adreas Harsono & Budi Setiyono, Jurnalisme Sastrawi; Antologi Liputan
Mendalam dan Memikat, Yayasan Pantau, Jakarta, Oktober, 2005, hal.xii-xiii
http://prys3107.blogspot.com [email protected]
7
Memandang Jurnalisme sastra sebagai praktik produksi berita, Andreas
Harsono berpendapat bahwa Jurnalisme Sastra lebih dalam dari berita pendalaman;
“Jurnalisme Sastra bukan saja melaporkan seseorang melakukan apa, tapi ia masuk ke
dalam psikologi yang bersangkutan dan menerangkan mengapa ia melakukan hal itu.
Ada karakter, ada drama, ada babak, ada adegan, ada konflik.”8 Maka tak heran bila
Wolfe mengungkapkan unsur penting yang juga terdapat pada proses penyajiannya
ialah “waktu riset dan wawancara biasanya panjang sekali, bisa berbulan-bulan,
bahkan bertahun-tahun, agar hasilnya dalam.”9
Riset dan wawancara yang berbulan-bulan, bahkan bertahun-tahun,
mencerminkan bahwa Jurnalisme Sastra sebagai proses peliputan berita dengan
agenda perencanaan tertentu. Praktik jurnalisme demikian dilakukan memang demi
menghasilkan pemberitaan yang dalam dan menyeluruh.
Mengacu pada berbagai uraian di atas, tak bisa dipungkiri bahwa Jurnalisme
Sastra merupakan salah satu bentuk praktik jurnalisme yang sejalan dengan tuntutan
zaman, agar institusi media cetak dapat menyajikan berita yang mendalam sekaligus
menarik. Jurnalisme Sastra juga dapat menjadi solusi bagi kemandegan yang dialami
media cetak, sehingga ia mampu bersaing dengan industri media dan perkembangan
media elektronik.
8 Andreas Harsono & Budi Setiyono, Op.Cit., hal.vii
9 Jurnalisme Sastra, 1 September 2001, www.koranduta.com.
http://prys3107.blogspot.com [email protected]
8
Seiring hadirnya Jurnalisme Sastra, inovasi juga dilakukan dalam berbagai
bentuk kreativitas jurnalisme yang berkembang saat itu. Adalah Fred Fedler, seorang
komunikolog, yang mencatat fenomena ini untuk kemudian disebutnya sebagai
Jurnalisme Baru (The New Journalism). Oleh Fedler, Jurnalisme Baru tersebut dibagi
empat macam, ”yakni Jurnalisme Advokasi/ Advocacy Journalism, Jurnalisme
Alternatif/ Alternative Journalism, Jurnalisme Presisi/ Precision Journalism, dan
Jurnalisme Sastra/ Literary Journalism.”10
Dengan menyoroti perspektif pers dari sisi perkembangan media, temuan
Fedler ini menjadi dasar pengembangan jurnalistik yang dilakukan masyarakat pers di
Amerika. Secara menyeluruh pula, Fedler merangkum berbagai gejala yang
merupakan hasil dialektika pers Amerika dengan perkembangan masyarakatnya. Dan
sejak kelahirannya di tahun 1960-an, keempat bentuk Jurnalisme Baru tersebut
kemudian banyak diterapkan di berbagai media cetak Amerika, antara lain Majalah
Time, Majalah Newsweek, harian The New York Times, dan harian The Washington
Post.
Di Indonesia sendiri, Majalah Berita Mingguan (MBM) Tempo juga disebut
oleh banyak pakar sebagai media yang menerapkan Jurnalisme Baru di Indonesia.
Mantan Dewan Pers Atmakusuhah Asraatmadja mengungkapkan, “Tempo, dengan
teknik penyajian laporan yang mirip majalah Time dan Newsweek, memberi
10 Septiawan Santa Kurnia, Op.Cit., hal.8
http://prys3107.blogspot.com [email protected]
9
kesegaran dalam gaya penulisan yang di Indonesia boleh disebut sebagai bentuk
jurnalisme baru.”11
Seperti yang juga dikemukakan Umar Nur Zain, MBM Tempo adalah salah
satu media cetak di Indonesia yang menerapkan bentuk Jurnalisme Baru lewat sajian
feature berita di tiap edisi terbitannya. “Tempo sudah menemukan pola penyajian
khusus, yaitu news feature yang kemudian dicirikan sebagai new journalism…
perpaduan antara jurnalistik dan sastra.”12
Lebih spesifik lagi, Kurnia mengungkapkan, ”Di Indonesia, majalah berita
Tempo adalah yang pertama menyoal gaya penyajian sastra dalam penulisan
jurnalisme. Pada tahun 1970-an, majalah ini tampil menyegarkan dunia jurnalistik di
Indonesia.”13
Bahkan Goenawan Mohamad, selaku pendiri dan mantan pemimpin redaksi
MBM Tempo, mengaku bahwa awalnya ia tertarik pada gaya penulisan Majalah
Time. Dalam salah satu wawancara, ia mengungkapkan:
Dalam hati muncul pertanyaan, mengapa bahasa Indonesia tak menjadi seperti bahasa Inggris di Majalah Time? Saya, misalnya, menyarankan, kalau mau bikin majalah kenapa tak mencoba bentuk yang selama ini belum dicoba di Indonesia? Mengapa tidak mencoba mingguan berita model Time dan Newsweek di Amerika
11 Ibid., hal.171 12 Umar Nur Zain, Penulisan Feature, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, 1993,
hal.109 13 Septiawan Santa Kurnia, Op.Cit., hal.171
http://prys3107.blogspot.com [email protected]
10
Serikat yang dipakai L’Expree di Perancis, Der Spiegel di Jerman Barat, atau Elsevier di Belanda?14
Maka dari keterangan beberapa sumber di atas, tidaklah berlebihan bila secara
asumtif penulis menemukan praktik Jurnalisme Baru, khususnya praktik penulisan
jurnalisme yang dipadukan dengan sastra di MBM Tempo. Teks pemberitaan MBM
Tempo kerap disajikan dengan kandungan dimensi estetik yang lazim dijumpai dalam
sebuah karya sastra, yaitu antara lain adalah penggunaan gaya bahasa puitis,
penggambaran latar, penempatan alur, karakter tokoh, drama, dan konflik.
Dalam penelitian ini, penulis memang tidak hendak membuktikan secara
kuantitatif apakah Jurnalisme Sastra yang diterapkan MBM Tempo sesuai dengan
dengan kategori dan memenuhi prinsip-prinsip yang ada sebuah karya Jurnalisme
Sastra. Sebab bila mengacu pada prinsip-prinsip Jurnalisme Sastra yang berkembang
di Amerika tersebut, penulis memandang bahwa MBM Tempo mengadopsikan
prinsip-prinsip tersebut untuk kemudian mengembangkan Jurnalisme Sastra versi
Tempo sendiri.
Sebagai sebuah majalah yang diawaki oleh beberapa sastrawan dan seniman
Indonesia semisal Goenawan Mohamad, Putu Wijaya, Bur Rusuanto, Syu’bah Asa,
MBM Tempo menjadi media yang tepat untuk mengembangkan perpaduan teknik
penulisan jurnalisme dengan sastra. Didirikan setelah kejatuhan rezim Presiden
Soekarno di Indonesia, MBM Tempo edisi perdana terbit tahun 1971. Dengan
14 Coen Husain Pontoh, Konflik Nan Tak Kunjung Padam, dalam Andreas
Harsono & Budi Setiyono, Op.Cit. hal.117
http://prys3107.blogspot.com [email protected]
11
menurunkan liputan utama mengenai kecelakaan yang pemain badminton andalan
Indonesia di Asian Games Bangkok, Thailand, judul berita tersebut Bunyi ‘Kraak’
Dalam Tragedi Minarni. Coen Husain Pontoh lalu berkomentar bahwa judul yang
digunakan MBM Tempo tak lazim saat itu. “Judul itu dianggap segar dan renyah
sehingga menimbulkan minat baca.”15
Namun berbeda dengan situasi yang melatarbelakangi pers di Amerika,
penerapan Jurnalisme Sastra sebagai inovasi dalam teknik pemberitaan di MBM
Tempo dan media lain di Indonesia muncul saat kebebasan pers tengah dikekang
rezim Orde Baru. Pemberlakuan Surat Izin Usaha Penerbitan Pers (SIUPP) membuat
pemerintah leluasa mengintervensi pers yang dianggap mengkritik pemerintah.
Karenanya, pemberitaan pers harus sejalan dengan garis politik yang ditetapkan
pemerintah. Sehingga praktik jurnalisme yang diterapkan media mesti berkompromi
dengan ancaman pembreidelan oleh pemerintah.
Menyoal praktik jurnalisme yang diterapkan di Tempo, Rosihan Anwar
mengutip pernyataan Fikri Jufri selaku dewan redaksi MBM Tempo saat itu:
Bahwa untuk bisa selamat, maka gaya bahasa harus sopan dan tidak menyinggung perasaan. Pers harus berani ambil risiko, tetapi harus meghindarkan risiko yang sebenarnya tidak perlu. Bukan ukuran berapa kali kita masuk bui; tetapi how to play, bagaimana bermain. Bagaimana menulis kritik tanpa menyakiti hati orang, walaupun tetap mengemukakan fakta. Kalau tak bisa fakta, minimal indikasi kuat. Jadi bagaimana kita menjahit dan menyuguhkan hasil jahitan kita dengan baik.16
15 Ibid., hal.114 16 Rosihan Anwar, Menulis Dalam Air, Penerbit Sinar Harapan, Jakarta,
1983, hal.260
http://prys3107.blogspot.com [email protected]
12
Pontoh menanggapi bahwa pemakaian bahasa menjadi jurus MBM Tempo
untuk menghindari benturan dan tindakan langsung dari negara. Yakni dengan cara
”seluruh fakta dan informasi yang diperoleh Tempo dibungkus dengan kalimat yang
indah, penuh kesantunan.”17
Di titik inilah penulis menemui bahwa dimensi estetik yang diadopsi MBM
Tempo dalam pemberitaannya, merupakan suatu cara menarik minat pembaca,
sekaligus sebagai siasat tertentu dalam menghindari represivitas pemerintah Orde
Baru. Lebih lanjut mengenai penggunaan bahasa sebagai lambang komunikasi dalam
media massa, Alex Sobur mengatakan bahwa ”bahasa bukan sekedar alat komunikasi
untuk menggambarkan realitas, namun juga menentukan gambaran atau citra tertentu
yang hendak ditanamkan kepada publik.”18
Penggunaan bahasa dalam media juga ditanggapi Dedy N. Hidayat bahwa
pemanfaatan bahasa untuk tujuan-tujuan mengkonstruksi dan melegitimasi suatu
realitas sosial tersebut antara lain bisa diamati dalam wacana media (media
discourse). Ia kemudian melanjutkan;
Media massa merupakan salah satu arena sosial tempat berbagai kelompok sosial –masing-masing dengan politik bahasa yang mereka kembangkan sendiri– berusaha menampilkan definisi situasi, atau definisi relitas versi mereka yang
17 Coen Husain Pontoh, Op.Cit., hal.131 18 Alex Sobur, Analisis Teks Media; Suatu Pengantar untuk Analisis
Wacana, Analisis Semiotik, dan Analisis Framing, PT Remaja Rosdakarya, Bandung, 2001, hal.89
http://prys3107.blogspot.com [email protected]
13
paling sahih. Itu antara lain dilakukan melalui politik bahasa yang dikembangkan oleh masing-masing kelompok sosial yang terlibat.19
Dari penjelasan tersebut, penulis memandang Jurnalisme Sastra versi Tempo
berlaku tak hanya sebagai inovasi penyajian berita lewat pengadopsian dimensi
estetik demi menarik minat pembaca, namun juga sebagai praktik penggunaan bahasa
yang berdimensi politis dalam mendefinisikan realitas serta mempengaruhi pembaca
dalam memandang suatu realitas tertentu. Ketika Jurnalisme Sastra ini diterapkan di
MBM Tempo saat itu, maka ia bisa dipandang sebagai praktik estetik dan politik
bahasa media yang digunakan untuk mensiasati represivitas kekuasaan rezim Orde
Baru.
Namun setelah rezim Orde baru tumbang, situasi politik dan dunia pers di
Indonesia kini telah berubah. Pers tak lagi dikekang dan SIUPP tak lagi diberlakukan.
Pers dan segenap institusi masyarakat seakan turut berpartisipasi menciptakan
pemerintahan yang bersih dan berwibawa (good governance) di Indonesia.
Sementara di sisi lain, kebebasan pers yang terjadi saat ini telah merangsang
hadirnya media baru yang beragam dan saling bersaing merebut pangsa pasar. Situasi
demikian ditanggapi Totok Djuroto yang mengatakan, ”itu sebabnya, akhir abad 20,
19 Dedy N. Hidayat, Politik Media, Politik Bahasa Dalam Proses
Legitimasi dan Delegitimasi Rejim Orde Baru, artikel dalam Sandra Kartika dan M. Mahendra (Ed), Dari Keseragaman Menuju Keberagaman; Wacana Multikultural Dalam Media, Penerbit Lembaga Studi Pers dan Pembangunan (LSPP), Jakarta, 1999, hal.48-49
http://prys3107.blogspot.com [email protected]
14
dunia pers nasional kita mengenal sebutan industrialisasi pers. Maksudnya, pers yang
dikelola secara industri dengan perhitungan profit oriented.”20
Lewat penelitian inilah muncul minat penulis untuk meneliti lebih jauh
bagaimana praktik Jurnalisme Sastra versi Tempo –sebagai praktik estetik dan politik
bahasa media– diterapkan dalam situasi politik dan dunia pers Indonesia saat ini.
B. Permasalahan Pokok
Secara asumtif, praktik Jurnalisme Sastra sebagai praktik estetik dan politik
bahasa media tersebut penulis temui pada teks berita MBM Tempo. Teks pemberitaan
MBM Tempo kerap disajikan dengan kandungan dimensi estetik yang lazim dijumpai
dalam sebuah karya sastra, yaitu antara lain adalah penggunaan gaya bahasa puitis,
penggambaran latar, penempatan alur, karakter tokoh, drama, dan konflik.
Dari pengamatan penulis, hampir di setiap terbitan edisi MBM Tempo
memuat pemberitaan seputar kasus dugaan korupsi di Indonesia dari proses
penyidikan kepolisian hingga keputusan pengadilan diumumkan. Pemberitaan
mengenai kasus dugaan korupsi –khususnya yang melibatkan pejabat negara– selalu
mendapat porsi strategis di MBM Tempo. Praktik wacana yang dibangun MBM
Tempo seakan ikut mendukung gerakan pemberantasan korupsi-kolusi-nepotisme
yang bergaung khususnya setelah rezim Orde Baru tumbang pada Mei 1998.
20 Totok Djuroto, Manajemen Penerbitan Pers, PT Remaja Rosdakarya,
Bandung, 2000, hal.4
http://prys3107.blogspot.com [email protected]
15
Yang membuat penelitian ini penting adalah, penulis menemukan bias dalam
berbagai pemberitaan tersebut. MBM Tempo cenderung berlaku tidak adil dan
memarjinalkan posisi pejabat yang terlibat dalam kasus dugaan korupsi tersebut.
Seakan-akan, pejabat tersebut tidak hanya terlibat secara kebetulan, tetapi juga
terindikasi kuat sebagai salah satu pelaku korupsi, meski kasus tersebut baru bersifat
dugaan.
Salah satu pemberitaan MBM Tempo yang penulis simak adalah kasus
dugaan korupsi pengadaan segel amplop kertas suara Pemilu Presiden 2004.
Pemberitaan ini menjadi menarik karena kasus tersebut melibatkan Menteri Hukum
dan HAM Hamid Awaluddin sebagai pihak yang diduga paling bertanggungjawab
atas kasus ini. Belakangan ini, muncul pula pemberitaan mengenai kasus dugaan
korupsi yang melibatkan Menteri Sekretaris Negara Yusril Ihza Mahendra terkait
dengan pengadaan alat pemindai sidik jari di Departemen Hukum dan HAM.
Adapun kedua menteri tersebut merupakan pejabat negara yang tergabung
dalam Kabinet Indonesia Bersatu di bawah kepemimpinan Presiden RI Susilo
Bambang Yudhoyono. Kedua pemberitaan tersebut seakan masih meninggalkan
banyak pertanyaan akan kelanjutan dan bagaimana akhir dari kasus tersebut. MBM
Tempo sendiri tampaknya masih tetap memantau perkembangan terbaru dari kasus
ini.
Penulis sendiri memilih untuk mengetengahkan analisis pada pemberitaan
MBM Tempo mengenai kasus dugaan korupsi yang melibatkan pejabat negara,
dengan alasan bahwa kasus tersebut melibatkan konflik kepentingan hukum-
http://prys3107.blogspot.com [email protected]
16
ekonomi-politik pemerintah Indonesia dengan banyak pihak. Kasus ini juga
mencerminkan wacana multi dimensional terkait dengan konteks sosial budaya
masyarakat Indonesia di mana korupsi telah menjadi penyakit masyarakat. Tak heran
bila banyak dari kasus tersebut yang tidak mudah terselesaikan secara hukum dan
seakan menjadi borok yang kian meluas di tengah-tengah masyarakat Indonesia. Dan
yang menjadi alasan mengapa penelitian ini penting dilakukan, ialah karena wacana
kasus dugaan korupsi yang dilakukan pejabat atau mantan pejabat tengah menjadi
wacana aktual yang marak di pemberitaan media massa dalam negeri saat ini.
Mengkritisi praktik pemberitaan di media lewat analisis teks berita, dapat
dikaji lebih mendalam lewat paradigma kritis. Artinya, teks berita yang diproduksi
wartawan tak bisa dilepaskan dari kepentingan ideologis dan komersial (bisnis) media
cetak tersebut. Dalam kata lain, untuk sampai kepada relasi kekuasaan dan ideologi
media lewat praktik politik bahasa, wartawan di sini mesti dipandang sebagai bagian
dari media yang tidak dengan sendirinya bebas mengkonstruksikan dan menafsirkan
realitas. Eriyanto mengungkapkan hal ini sebagai kajian analisis teks media dalam
paradigma kritis:
Paradigma kritis memahami realitas bukan dibentuk oleh alam (nature), bukan alami, tetapi dibentuk oleh manusia. Ini tidak berarti setiap orang membentuk realitasnya sendiri-sendiri, tetapi orang yang berada dalam kelompok dominanlah yang menciptakan realitas, dengan memanipulasi, mengkondisikan orang lain agar mempunyai penafsiran dan pemaknaan seperti yang mereka inginkan.21
21 Eriyanto, Analisis Wacana: Pengantar Analisis Teks Media, LKiS, 2001,
hal.54-55
http://prys3107.blogspot.com [email protected]
17
Maka dengan bersandar pada paradigma kritis, praktik Jurnalisme Sastra di
MBM Tempo membuat penulis tertarik untuk mengkajinya lebih lanjut lewat kajian
studi analisis teks media dengan pendekatan kualitatif. Dengan mengacu pada
penjelasan Eriyanto bahwa “analisis wacana berhubungan dengan studi mengenai
bahasa atau pemakaian bahasa.”22, untuk itu metode penelitian yang penulis gunakan
adalah analisis wacana kritis.
Pada umumnya, studi analisis wacana kritis memang kerap digunakan untuk
membedah isi media. Dalam pengertian ini, wacana dipandang sebagai suatu alat
representasi di mana suatu kelompok yang dominan memarjinalkan posisi kelompok
yang tidak dominan dan teks berita adalah bentuk nyata dari dominasi tersebut. Tak
heran bila penelitian-penelitian analisis wacana kritis umumnya berhubungan dengan
bagaimana media memarjinalkan kelompok lemah, kaum perempuan, dan
sebagainya.
Namun Eriyanto sendiri mengakui bahwa hal tersebut terlalu
menyederhanakan karakteristik analisis wacana yang sejatinya memang beragam dan
multi disiplin. Dalam studi analisis teks yang berkaitan dengan sastra, Eriyanto
kemudian menunjukkan kritik Ahmad Sahal mengenai kecenderungan cultural
studies yang menyingkirkan estetika. Dalam kata lain, penelitian cultural studies
seperti dalam model analisis wacana kritis, lebih tertarik dengan perdebatan mengenai
bagaimana sastra merepresentasikan dan memarjinalkan kelompok yang tidak
22 Ibid., hal.4
http://prys3107.blogspot.com [email protected]
18
dominan, ketimbang menggali dimensi estetika dalam sastra itu sendiri: Eriyanto
mengatakan:
Bahasa sastra dimaknai selalu dalam konteks pertarungan dan perebutan makna, bukan bahasa dalam unsur sastra sendiri yang mengandung keindahan, keterkejutan, dan elemen sastra lainnya. Kritik Sahal pada cultural studies ketika melihat teks sastra, dapat juga kita berikan bagaimana analisis dan teori wacana melihat berita.23
Sahal sendiri mengatakan bahwa dalam membaca sastra, cultural studies
tidak tertarik untuk mendapatkan jouissance, suatu kenikmatan tekstual yang muncul
karena kemelimpahan makna dan eksplorasi bentuk, juga ketakterdugaan metafor dan
imaji yang lazimnya disediakan oleh teks sastra. Karena pembacaan mereka terhadap
sastra selalu bersifat "politis", dalam artian hanya melihat karya sastra sebagai
representasi sosial.
Dalam representasi, selalu ada suara dominan dan suara tertekan. Agenda
politik disini berarti melucuti suara dominan dan memberdayakan suara tertekan.
Sahal kemudian berkesimpulan demikian:
Inilah yang menjelaskan kenapa kalangan cultural studies mengkaji dan membaca sastra, tetapi sesungguhnya mengabaikan sastra. Mereka bersikap demikian karena, disadari atau tidak, mereka tidak peduli pada estetika. Bukankah mereka berpendapat bahwa keindahan dalam karya sastra adalah cita rasa dan selera kelas tertentu yang dianggap sebagai nilai yang "obyektif" dan universal?
Dengan kata lain, suatu konstruksi sosial? Tidak heran kalau bagi mereka, sastra hanyalah dokumen sosial yang setara dengan ikon-ikon budaya massa.
23 Ibid., hal.353
http://prys3107.blogspot.com [email protected]
19
Tidak aneh dalam menghadapi karya, mereka lebih tertarik pada pesan politiknya ketimbang sastranya.24
Adapun kritik Sahal tersebut menjadi perhatian tersediri bagi penulis, sebab
penelitian ini pun terkait dengan kajian dimensi estetika sastra yang dimaksudkan
Sahal. Karenanya, dalam penelitian ini penulis coba menjawab kritik di atas dengan
menggunakan kekayaan metode analisis wacana sebagai pisau analisis untuk
mengkaji secara khusus bagaimana praktik Jurnalisme Sastra –berikut pengadopsian
segenap dimensi estetik sastra dalam jurnalisme– digunakan dalam pemberitaan
media. Meski begitu harus diakui, penelitian ini pun tak mungkin lepas dari kajian
dimensi politis.
Maka jelas bahwa fokus penelitian di sini tidak hanya berkutat pada
bagaimana praktik media lewat politik bahasa yang dikembangkannya turut
memarjinalkan kelompok lain secara hegemonik. Tetapi juga pada bagaimana
pengadopsian dimensi estetik sastra menyusup dalam pemberitaan. Dengan
menyimak hubungan antara teks berita yang mikro dengan konteks sosial yang makro
sebagai tingkat analisis, penulis juga menjembatani kedua variabel tersebut dengan
tingkat analisis meso, yaitu pada proses produksi dan konsumsi teks.
Penelitian ini penulis lakukan dengan semangat kajian yang menitikberatkan
pada esensi praktik Jurnalisme Sastra itu sendiri sebagai perkembangan dari praktik
24 Ahmad Sahal, "Cultural Studies" dan Tersingkirnya Estetika, artikel
dalam Harian Kompas Jumat, 2 Juni 2000
http://prys3107.blogspot.com [email protected]
20
jurnalisme kontemporer. Sebab meskipun penelitian tentang media massa dalam ilmu
komunikasi telah kian berkembang di Institut Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Jakarta,
penulis merasakan perlunya penelitian yang berbasiskan pada bagaimana ragam
penulisan berita dan praktik jurnalisme berkembang di Indonesia dewasa ini.
Maka dari seluruh uraian latar belakang tersebut, timbul pertanyaan dalam diri
penulis sebagai berikut:
1. Bagaimana dimensi estetik dan politik bahasa dari teks pemberitaan MBM Tempo
mengenai kasus dugaan korupsi yang melibatkan pejabat negara Kabinet
Indonesia Bersatu?
2. Bagaimana Jurnalisme Sastra digunakan sebagai praktik pemberitaan MBM
Tempo mengenai kasus dugaan korupsi yang melibatkan pejabat negara Kabinet
Indonesia Bersatu?
3. Bagaimana Jurnalisme Sastra sebagai praktik estetik dan politik bahasa terjadi
secara historis maupun institusional di MBM Tempo terkait pada pemberitaan
mengenai kasus dugaan korupsi tersebut?
4. Bagaimana konteks sosial budaya –seperti ideologi, hegemoni, dan interaksi
kekuatan sosial lainnya– yang mengelilingi MBM Tempo terkait dengan praktik
Jurnalisme Sastra MBM Tempo dalam pemberitaan kasus dugaan korupsi
tersebut?
5. Bagaimana Jurnalisme Sastra itu sendiri berkembang di MBM Tempo saat ini?
http://prys3107.blogspot.com [email protected]
21
Maka penulis mengajukan rumusan masalah penelitian sebagai berikut:
“Bagaimana praktik Jurnalisme Sastra Majalah Berita Mingguan Tempo
–sebagai praktik estetik dan politik bahasa media– pada pemberitaan kasus
dugaan korupsi yang melibatkan pejabat negara Kabinet Indonesia Bersatu?”
Untuk itu, judul penelitian ini adalah:
JURNALISME SASTRA MBM TEMPO SEBAGAI PRAKTIK
ESTETIK DAN POLITIK BAHASA MEDIA PADA PEMBERITAAN KASUS
DUGAAN KORUPSI YANG MELIBATKAN PEJABAT NEGARA KABINET
INDONESIA BERSATU (STUDI ANALISIS WACANA KRITIS)
C. Tujuan Penelitian
Secara teoritis, tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimana
hubungan antara teks berita yang mikro, produksi dan konsumsi teks yang meso,
dengan konteks sosial yang makro dalam praktik Jurnalisme Sastra MBM Tempo
sebagai praktik estetik dan politik bahasa media pada pemberitaan kasus dugaan
korupsi yang melibatkan pejabat negara Kabinet Indonesia Bersatu.
Penelitian ini juga dilakukan sebagai usaha praktis yang bertujuan menggali
esensi praktik Jurnalisme Sastra sebagai perkembangan dari praktik jurnalisme
kontemporer, yakni penelitian yang berbasiskan pada bagaimana ragam penulisan
berita dan praktik jurnalisme berkembang di Indonesia dewasa ini.
http://prys3107.blogspot.com [email protected]
22
D. Kegunaan Penelitian
Kegunaan teoritis: Penelitian ini berguna dalam mengembangkan model
analisis teks media yang berlandaskan pada teori wacana dan teori estetik lewat studi
analisis wacana dalam paradigma kritis.
Kegunaan praktis: Penelitian ini berguna untuk memberi masukan media
cetak pada umumnya, dan MBM Tempo pada khususnya terhadap praktik Jurnalisme
Sastra yang mereka kembangkan agar mampu membawa wawasan khalayak pembaca
sebagai individu partisipan politik yang kritis terhadap fenomena korupsi di
Indonesia.
Kegunaan penelitian ini juga sebagai perkembangan ilmu komunikasi,
khususnya perkembangan mutakhir pada praktik jurnalisme kontemporer di
Indonesia. Sebab kehadiran Jurnalisme Baru (khususnya Jurnalisme Sastra) dan
penerapannya di kancah pers negeri ini masih berada pada fase awal. Serta
diharapkan dapat merangsang mahasiswa Jurusan Jurnalistik lain untuk mendalami,
sekaligus mengkritisi berbagai perkembangan praktik jurnalisme di Indonesia.
E. Sistematika Penulisan
Sistematika penulisan dalam penelitian ini terdiri dari lima bab, penjelasannya
sebagai berikut:
BAB I PENDAHULUAN, terdiri dari Latar Belakang Masalah yang berisi
uraian mengenai permasalahan yang hendak diketengahkan lewat penjelasan historis
praktik Jurnalisme Sastra di Amerika Serikat dan di Indonesia; Permasalahan Pokok
http://prys3107.blogspot.com [email protected]
23
berisi alasan memilih media dan wacana pemberitaan, disertai uraian singkat
mengenai paradigma dan metode yang akan digunakan dalam penelitian; Tujuan
Penelitian dan Kegunaan Penelitian baik secara teoritis maupun praktis; dan
Sistematika Penulisan berisi penjelasan sistematis mengenai hal-hal apa saja yang
dituangkan dalam penelitian ini.
BAB II KERANGKA TEORI, terdiri dari Tinjauan Pustaka yang berisi uraian
konsep yang digunakan dalam penelitian ini seperti, serta penjelasan mengenai
wacana dalam teori dan metode analisisnya; Definisi Operasional berisi penjelasan
definisi yang menjadi operasionalisasi dalam penelitian ini; dan Kerangka Pemikiran
berupa bagan penelitian sebagai penjelasan menyeluruh atas isi dari bab ini.
BAB III DESAIN PENELITIAN, terdiri dari uraian Paradigma Penelitian;
yakni paradigma kritis; Metode Penelitian yang bersifat kualitatif dengan model
penelitian Analisis Wacana Kritis; Bahan Penelitian yaitu teks berita yang akan
diteliti menggunakan metode analisis wacana kritis, dan Unit Analisis yang
disesuaikan dengan model penelitian yang dipakai; Populasi dan Sampel; Metode
Pengumpulan Data dengan melakukan analisis teks berita, melakukan wawancara,
dan observasi, serta studi kepustakaan sebaagi referensi; dan Metode Analisis Data
disesuaikan dengan metode dan model yang digunakan dalam penelitian.
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN, terdiri dari Subjek
Penelitian yang berisi; Hasil Penelitian yang berisi hasil penelitian dari tiga tingkat
analisis mikro, meso, dan makro; dan Pembahasan yang berisi pembahasan dari hasil
penelitian.
http://prys3107.blogspot.com [email protected]
24
BAB V PENUTUP, terdiri dari Kesimpulan yang berisi uraian kesimpulan
penulis mengenai keseluruhan isi dari penelitian ini; dan Saran sebagai rekomendasi
kepada MBM Tempo terkait dengan hasil penelitian yang dilakukan penulis.
http://prys3107.blogspot.com [email protected]
25
BAB II
KERANGKA TEORI
A. Tinjauan Pustaka
Berangkat dari rumusan masalah penelitian yang telah penulis ungkapkan,
maka bab ini akan mengurai konsep-konsep terkait dengan masalah pokok,
khususnya sebagai tinjauan pustaka dengan bersandar pada paradigma kritis.
A.1. Media Massa Sebagai Institusi
Secara etimologi, kata ‘media’ adalah bentuk jamak dari kata ‘medium’.
Media massa, dalam kaitan dengan proses komunikasi diungkapkan Onong Uchjana
Effendy sebagai berikut:
Apabila komunikan dapat dilihat, komunikasi berlangsung secara tatap muka, apakah itu komunikasi antarpribadi atau komunikasi kelompok kecil, sedangkan jika komunikan jauh tempatnya atau banyak jumlahnya atau jauh tempatnya dan banyak jumlahnya, komunikasi berlangsung bermedia, dengan media nirmassa atau media massa.”1
Dari pendapat Effendy di atas, jelas artinya bahwa media massa yang
dimaksudkan adalah alat komunikasi yang berwujud sebagai penyampai pesan
kepada khalayak luas.
Ray E. Hiebert dalam buku Mass Media an Introduction to Modern
Communication, seperti yang dikutip Surya Fachrizal, mengatakan “The mass media
1 Onong Uchjana Effendy, Ilmu, Teori, & Filsafat Komunikasi, Penerbit CV
Bandar Maju, Bandung, 1993, hal 397
http://prys3107.blogspot.com [email protected]
26
are institution of public communication. They participate in every political,
economic, and cultural aspect of our society.”2
Terjemahan bebasnya yakni, media massa adalah institusi komunikasi publik.
Media massa berpartisipasi dalam aspek politik, ekonomi, dan kebudayaan dalam
masyarakatnya.
Penjelasan di atas membawa penulis pada pemahaman bahwa media massa –
sebagai sebuah institusi komunikasi publik– juga bergelut dalam permasalahan
ekonomi, politik, dan budaya suatu masyarakat di mana media massa tersebut hidup.
Dari kedua pendapat tersebut, penulis menyimpulkan bahwa media massa
merupakan institusi komunikasi yang menyampaikan pesan kepada masyarakat luas,
serta berpartisipasi dalam aspek permasalahan dalam masyarakat tersebut, seperti
ekonomi, politik dan budaya.
Salah satu bentuk media massa cetak adalah majalah. Totok Djuroto
mengungkapkan majalah adalah “kumpulan berita, artikel, cerita, iklan, dan
sebagainya yang dicetak dalam lembaran kertas ukuran kuarto atau folio, dijilid
dalam bentuk buku. Majalah biasanya terbit teratur, semingu sekali, dua minggu
sekali atau satu bulan sekali.”3
2 Surya Fachrizal, Wacana Sekularisme, Pluralisme, dan Liberalisme (SPL)
Pada Pemberitaan LKBN Antara dan Koran Tempo Mengenai Hukum Cambuk di Aceh dan Fatwa MUI Tentang SPL dan Ahmadiyah (Skripsi), Institut Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Jakarta, 2006, hal.21
3 Totok Djuroto, Manajemen Penerbitan Pers, Pt Remaja Rosdakarya,
Bandung, 2000, hal.11
http://prys3107.blogspot.com [email protected]
27
Pengertian majalah dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah “terbitan
berkala yang isinya meliputi berbagai liputan jurnalistik, pandangan tentang topik
aktual yang patut diketahui konsumsi pembaca artikel, sastra dan sebagainya.”4
Sementara itu, Djujuk Djuyoto menguraikan majalah dari jenisnya sebagai
berikut:
Majalah umum (general magazine): suatu majalah yang mengemukakan hal-hal atau persoalan penting artinya bagi masyarakat luas. Isinya tidak hanya terbatas pada orang-orang satu aliran, profesi, ideologi, ekonomi. Sedangkan majalah khusus (specialized interest): dengan sendirinya adalah majalah yang terbatas pada kelompok-kelompok tertentu seperti ada majalah hukum, majalah agama, majalah guru, majalah teknik, majalah mode dan sebagainya.5
Dari uraian di atas penulis menarik kesimpulan sebagai berikut; majalah
sebagai salah satu media massa ialah terbitan pers berkala dengan kertas sampul,
dihiasi ilustrasi maupun foto dan tulisan yang berisi liputan jurnalistik tentang topik
aktual yang patut diketahui pembaca. Jenisnya adalah majalah umum, dan majalah
khusus.
Junaedhie mengungkapkan perkembangan majalah di Indonesia memiliki
beberapa majalah umum dan majalah khusus:
Terbagi dalam majalah populer, majalah wanita, majalah pria, majalah berita, majalah ringkasan, majalah remaja, majalah anak-anak, majalah mode, majalah pertanian, dan majalah khusus. Dikenal beberapa kelompok penerbit majalah
4 Tim Penyusun Kamus Besar Bahasa Indonesia, Kamus Besar Bahasa
Indonesia, Pusat Penelitian dan Pengembangan Bahasa, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Balai Pustaka, Jakarta, 1988, hal.545
5 Djujuk Djuyoto, Jurnalistik Praktis Sarana Penggerak Lapangan Kerja
Raksasa, Nurcahaya, Yogyakarta, 1985, hal.21-22.
http://prys3107.blogspot.com [email protected]
28
besar, yaitu Kelompok Gramedia, Kelompok Kartini, Kelompok Femina, Kelompok Tempo, dan Kelompok Ria Film.6
Mengacu pada seluruh uraian yang penulis ungkapkan, jelas bahwa MBM
Tempo adalah institusi media massa cetak berjenis majalah berita yang terbit
mingguan. Diterbitkan oleh salah satu kelompok penerbit besar di Indonesia, yaitu
Kelompok Tempo, MBM Tempo juga bisa dipandang sebagai institusi media yang
berpartisipasi dalam aspek ekonomi, politik, dan budaya di Indonesia.
Media Massa Dalam Paradigma Kritis
Memandang media massa dalam paradigma kritis di sini, berarti seperti yang
diungkapkan Eriyanto tentang ide dan gagasan Marxis dan Mazhab Frankfurt yang
melihat masyarakat sebagai suatu sistem kelas.
Masyarakat dilihat sebagai suatu sistem dominasi, dan media adalah salah satu bagian dari sistem dominasi tersebut. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . Media adalah alat kelompok dominan untuk memanipulasi dan mengukuhkan kehadirannya sembari memarjinalkan kelompok yang tidak dominan.7
Jelas artinya bahwa paradigma kritis pada awalnya memandang media
bukanlah sebagai entitas yang bebas nilai. Media merupakan alat kelompok dominan
untuk menguasai dan memarjinalkan kelompok yang tidak dominan. Karena media
6 Kurniawan Junaedhie, Ensiklopedi Pers Indonesia, Gramedia Pustaka
Utama, Jakarta, 1991, hal.155
7 Eriyanto, Analisis Wacana: Pengantar Analisis Teks Media, Certakan ke-4, LKiS, Yogyakarta, 2005, hal.22
http://prys3107.blogspot.com [email protected]
29
dikuasai oleh kelompok yang dominan, maka realitas yang sebenarnya telah
terdistorsi dan palsu.
Pemikiran Teori Kritis Mahzab Frankfurt tersebut kemudian berkembang ke
berbagai dimensi ilmu sosial di dunia, termasuk ilmu komunikasi. Salah satunya
seperti yang diungkapkan Stuart Hall dalam mengkaji studi tentang media massa.
Dengan tetap bersandar pada paradigma kritis, Hall justru mengkritik pandangan awal
yang melihat media sebagai alat kelompok dominan untuk menguasai kelompok yang
tidak dominan.
Seakan merevisi pandangan tersebut, Hall mengungkapkan:
Di sini, media harusnya dilihat bukan sebagai ‘kekuatan jahat’ yang memang didesain untuk memburukkan kelompok lain. Media menjalankan perannya seperti itu, melakukan representasi kelompok lain melalui proses yang kompleks, melalui proses pendefinisian dan penandaan, sehingga ketika ada kelompok yang buruk dalam pemberitaan, itu dipresentasikan sebagai sesuatu yang wajar, terlihat alamiah, memang demikianlah kenyataannya.”8
Dalam kata lain, Hall menganggap bahwa media menjalankan perannya
seperti apa adanya, yakni sesuai dengan konsensus yang terjadi di masyarakat.
Hall kemudian menambahkan:
Konsensus tersebut tidak timbul secara alamiah dan spontan tetapi terbentuk lewat proses yang kompleks yang melibatkan konstruksi sosial dan legitimasi. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . media tidaklah secara sederhana dipandang refleksi dari konsensus, tetapi media mereproduksi dan memapankan definisi dari situasi yang mendukung dan melegitimasi suatu struktur, mendukung suatu tindakan, dan mendelegitimasi tindakan lain.9
8 Ibid., hal.27 9 Ibid., hal.28
http://prys3107.blogspot.com [email protected]
30
Setelah menyimak bahwa konsensus tersebut dibentuk melalui praktik yang
melibatkan konstruksi sosial dan legitimasi yang terjadi di masyarakat, penulis
memahami bahwa media turut memainkan peranan penting di sini. Maka dengan
menggunakan paradigma kritis yang diuraikan Stuart Hall, penulis memandang MBM
Tempo selaku media yang menjadi pihak sentral dalam mereproduksi dan
memapankan definisi dari situasi (status quo) dengan cara melegitimasi suatu
tindakan terhadap peristiwa tertentu lewat praktik pemberitaannya.
Status quo tersebutlah yang mengungkapkan bagaimana MBM Tempo secara
kompleks merefleksikan konsensus masyarakat mengenai suatu peristiwa. Sehingga
praktik yang dilakukan MBM Tempo dalam melegitimasi atau mendelegitimasi suatu
tindakan demi memapankan status quo, dilihat sebagai sesuatu yang wajar sesuai
dengan konsensus masyarakat.
A.2. Berita dan Objektifitas
Kurniawan Junaedhie menjelaskan bahwa berita ialah “laporan/
pemberitahuan mengenai terjadinya peristiwa atau keadaan yang bersifat umum dan
baru saja terjadi (aktual) yang disampaikan oleh wartawan dalam media massa.”10
Djafar H. Assegaf mendefinisikan berita adalah “laporan tentang fakta atau
ide terhadap massa, yang dipilih oleh staff redaksi suatu harian untuk disiarkan, yang
10 Kurniawan Junaedhie, Op.Cit., hal.26
http://prys3107.blogspot.com [email protected]
31
dapat menarik perhatian pembaca, entah karena ia luar biasa, entah pula karena ia
mencakup segi-segi human interest seperti humor, emosi dan ketegangan.”11
Sedangkan Hoeta Soehoet membagi definisi berita menjadi tiga, yaitu:
a) Berita adalah keterangan mengenai peristiwa atau isi pernyataan manusia b) Berita bagi seseorang adalah keterangan mengenai peristiwa atau isi
pernyataan manusia yang perlu baginya untuk mewujudkan filsafat hidupnya
c) Berita bagi suatu surat kabar adalah keterangan mengenai peristiwa atau isi pernyataan yang perlu bagi pembacanya untuk mewujudkan filsafat hidupnya12
Lebih lanjut, Soehoet mengemukakan syarat utama yang harus terpenuhi
dalam sebuah naskah berita, yaitu benar, dan ada gunanya bagi masyarakat. Syarat
‘benar’ di sini mengacu pada fakta yang objektif. “Kalau berita peristiwa benar telah
terjadi dan sebagaimana adanya. Tidak bertambah, tidak berkurang, tidak
sebagaimana yang diinginkan oleh reporter. Suka atau tidak, reporter wajib menyusun
naskah berita mengenai peristiwa tersebut sebagaimana adanya.”13
Dari pendapat Soehoet mengenai definisi berita inilah, penulis melihat sebuah
kontradiksi. Karena di satu sisi berita harus dilaporkan sebagaimana adanya dan tidak
sebagaimana yang diinginkan oleh wartawan. Sementara di sisi lain, ada usaha untuk
mewujudkan filsafat hidup (ideologi) media tersebut lewat pemberitaan.
11 Djafar H. Assegaf, Jurnalistik Masa Kini: Pengantar ke Praktek
Kewartawanan, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1983, hal.24 12 A.M. Hoeta Soehoet, Dasar Dasar Jurnalistik, Penerbit Yayasan Kampus
Tercinta–IISIP Jakarta, Jakarta, hal.23 13 Ibid., hal.130
http://prys3107.blogspot.com [email protected]
32
Jika media hendak mewujudkan filsafat hidupnya, maka menyajikan
pemberitaan yang objektif dan apa adanya mustahil tercapai. Ketika berita disusun
sejak proses wartawan dalam mencari, menyusun bahan berita, memilih dan
menempatkan berita oleh staff redaksi, maka secara otomatis sudah terjadi
pembentukan kembali realitas lewat praktik diskursif media atas suatu peristiwa yang
hendak diberitakan.
Ditambah lagi, tidak semua peristiwa dan isi pernyataan manusia yang
diperlukan masyarakat termuat di media cetak. Karena itu, staff redaksi menyajikan
dan memilih berita yang layak dimuat sesuai dengan nilai berita bagi pembaca,
sekaligus demi mewujudkan filsafat hidup (dalam kata lain, ideologi) media massa itu
sendiri. Ini menyebabkan berita itu sendiri menjadi tidak lagi objektif. Karenanya,
untuk menguraikan lebih lanjut mengenai berita, penulis akan memandangnya dalam
paradigma kritis.
Berita Dalam Paradigma Kritis
Dengan bersandar pada paradigma kritis, maka klaim bahwa sebuah bahasa
dianggap merepresentasikan realitas objektif dapat kembali dipertanyakan. Mengenai
hal tersebut, Eriyanto mengatakan:
Mengandaikan bahasa sebagai representasi dari realitas sosial adalah hal yang mustahil. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . karena begitu realitas hendak dibahasakan, selalu terkandung ideologi dan penilaian.14
14 Eriyanto, Op.Cit., hal.45-46
http://prys3107.blogspot.com [email protected]
33
Pendapat Eriyanto inilah yang melandasi pandangan bahwa pembahasaan
realitas, dalam kenyataannya, tidak pernah lepas dari subyektivitas wartawan.
Eriyanto menjelaskannya lebih lanjut bahwa paradigma kritis menolak asumsi
berita adalah cermin dari realitas, sebab “menurut kaum kritis, berita adalah hasil dari
pertarungan wacana antara berbagai kekuatan dalam masyarakat yang selalu
melibatkan pandangan dan ideologi wartawan atau media.”15
Dari pendapat Eriyanto tersebutlah, asumsi Ibnu Hamad mengenai pembuatan
berita dapat ditempatkan, yakni “pembuatan berita di media pada dasarnya adalah
penyusunan realitas-realitas hingga membentuk sebuah cerita atau wacana yang
bermakna.”16
Mengenai pembuatan berita, Eriyanto mengungkapkan bahwa wartawan dan
kerja jurnalisme tidak bisa dipahami semata-mata sebagai kerja profesional di mana
wartawan diatur dengan hukum dan aturan-aturan kerja profesional, tetapi ia harus
dipandang sebagai bagian dari praktik kelas di mana wartawan tersebut berada:
Pihak elit dalam media sengaja mengontrol wartawan dan memberikan serangkaian hukuman bagi yang tidak mengikutinya atau tidak menuruti proses itu dan imbalan bagi yang patuh dan mengikuti proses. Oleh karena itu, kerja wartawan bukanlah diatur dalam proses pembagian kerja, tetapi dari kontrol kesadaran kelas mereka dalam posisi dengan kelompok elit.17
15 Ibid., 34 16 Ibnu Hamad, Konstruksi Realitas Politik dalam Media Massa; Sebuah
Studi Critical Discourse Analysis Terhadap Berita-Berita Politik, Penerbit Granit, Jakarta, 2004, hal.11.
17 Eriyanto, Op.Cit., hal.42
http://prys3107.blogspot.com [email protected]
34
Itu sebabnya penulis juga melihat bahwa sebuah teks berita ditulis oleh
wartawan bukan berdasarkan pertimbangan etis, tetapi dari pertimbangan ideologis.
Maka titik penelitian yang penulis lakukan pun harus diarahkan untuk mencari
ideologi wartawan atau MBM Tempo lewat analisis teks beritanya, dan bagaimana
ideologi itu dipraktikkan oleh MBM Tempo dalam memarjinalkan kelompok lain.
A.3. Korupsi
Secara etimologis kata ‘korupsi’ berasal dari bahasa Belanda, yaitu korruptie.
“Korupsi mengandung arti kebusukan, keburukan, kebejatan, ketidakjujuran,
penyuapan, . . . penggelapan, kerakusan, amoralitas, dan segala penyimpangan dari
kesucian.”18
Sedangkan menurut Syed Hussein Alatas, tindak korupsi adalah “dengan
sengaja melakukan kesalahan atau melalaikan tugas yang diketahui sebagai
kewajiban, atau tanpa hak menggunakan kekuasaan, dengan tujuan memperoleh
keuntungan yang sedikit (atau) banyak bersifat pribadi.”19
Menanggapi pendapat di atas, Soetrisno Bachir menambahkan bahwa “dalam
konteks politik, korupsi berarti setiap tindakan penyelewengan dan penyalahgunaan
wewenang seperti penyalahgunaan anggaran pembangunan.”20
18 Soetrisno Bachir, Membangun Kemandirian Bangsa, Penerbit Belantika,
Jakarta, 2005, hal. 104. 19 Ibid., hal.105 20 Loc.Cit.
http://prys3107.blogspot.com [email protected]
35
Indonesia Corruption Watch (ICW) mencatat beberapa kasus korupsi, dan
modus yang biasanya terjadi adalah “penggelembungan (markup) anggaran,
pendapatan ganda (anggaran dobel), rekayasa sumber penerimaan yang ilegal
(mengada-adakan sumber penerimaan), dan pengeluaran fiktif.”21
Jadi penulis memahami bahwa korupsi merupakan suatu tindakan
menyimpang lewat penyalahgunaan kekuasaan atau wewenang, demi memperoleh
keuntungan pribadi. Misalnya dalam bidang politik dan pemerintahan, korupsi
merupakan tindakan penyalahgunaan anggaran pembangunan dengan modus
penggelembungan anggaran, pendapatan ganda, rekayasa sumber penerimaan yang
ilegal, dan pengeluaran fiktif.
Penulis juga memahami bahwa tindak korupsi dekat dengan kekuasaan
pemerintah sebagai penyelenggara negara. Dan kebanyakan dari kasus korupsi yang
terjadi, menunjukkan keterlibatan pejabat negara.
Adapun penyelenggara negara atau pejabat negara yang dimaksudkan di sini
mengacu pada Pasal 1 Undang-Undang No.28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan
Negara yang Bersih dan Bebas dari KKN. Dalam pasal tersebut dijelaskan bahwa
penyelenggara negara adalah “pejabat negara yang menjalankan fungsi eksekutif,
legislatif, atau yudikatif, dan pejabat lain yang fungsi dan tugas pokoknya berkaitan
dengan penyelenggaraan negara sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
21 Adnan Topan Husodo, Buruk Muka Tetap Dibela, artikel dalam Koran
Tempo, Edisi 11 Oktober 2006.
http://prys3107.blogspot.com [email protected]
36
undangan yang berlaku.”22 Maka dalam konteks penelitian ini, pejabat negara yang
dimaksud adalah penjabat negara setingkat menteri dalam Kabinet Indonesia Bersatu.
Di Indonesia sendiri, kasus korupsi yang melibatkan pejabat negara sudah
marak dalam rezim Orde Baru di bawah kepemimpinan Presiden RI Soeharto.
Berbagai kasus korupsi tersebut sampai sekarang belum tersentuh oleh hukum sama
sekali. Bahkan korupsi juga terjadi di tengah pemerintahan Indonesia saat ini.
Pendapat ini mengacu pada laporan penelitian Lembaga Bantuan Hukum
Jakarta atas kasus dugaan korupsi di lembaga penyelenggara pemilu (KPU) dan kasus
Dana Abadi Umat (DAU) yang menyeret mantan Menteri Agama sebagai pihak
terlibat. Laporan tersebut menyatakan:
Dua kasus di atas pula yang telah memberikan fakta bahwa korupsi telah begitu kronis dan menyerupai misteri gunung es. Dan hal itu juga menunjukkan birokrasi pemerintahan telah begitu bobrok. Dan yang paling tragis adalah keterlibatan lembaga yang seharusnya menjadi pengawas, justru menjadi bagian dari pelaku korupsi itu sendiri.23
Hal ini diakui oleh Presiden RI saat ini, Susilo Bambang Yudhoyono sebagai
permasalahan mendasar yang berkembang dewasa ini. Ia mengatakan bahwa “di
bidang kelembagaan negara, masalah yang dihadapi bangsa Indonesia adalah belum
kokohnya lembaga-lembaga eksekutif, yudikatif dan legislatif yang bersih dan bebas
22 Tim Editorial, Undang-Undang Tentang Korupsi, Penerbit PROGRESIF
BOOKS, Jakarta, 2006, hal.56 23 Willy Pramudya dan A.A. Sudirman (Ed.), Laporan Hukum dan HAM
LBH Jakarta 2005, Penerbit Lembaga Bantuan Hukum, Jakarta, 2005, hal.68
http://prys3107.blogspot.com [email protected]
37
dari KKN serta terciptanya kepastian dan penegakan hukum dan aturan secara
konsisten dan berkeadilan.”24
Lewat Rencana Aksi Nasional Pemberantasan Korupsi 2004-2009, SBY juga
mengatakan bahwa “penciptaan tata pemerintahan yang bersih dan berwibawa
mengharuskan adanya keteladanan. Oleh sebab itu pemberantasan korupsi, kolusi,
nepotisme (KKN) dan kroniisme harus dimulai dari pejabat tertinggi.”25
Pandangan demikian juga dinyatakan Henry Siahaan dan Ainul Ridha dalam
menanggapi Instruksi Presiden Nomor 5 tahun 2004 tentang Percepatan
Pemberantasan Korupsi. Henry dan Ainul mengatakan bahwa pemerintah saat ini
“masih menitikberatkan skenario pemberantasan korupsi di tingkat pusat yang
kemudian diharapkan akan turun ke bawah (trickle-down effect).”26
Maka dari uraian di atas, penulis memahami bahwa Pemerintah Indonesia saat
ini hendak mewujudkan sebuah tata pemerintahan yang bersih dan berwibawa (good
governance). Antara lain dengan upaya mengagendakan program pemberantasan
korupsi secara sentralistis.
24 Susilo Bambang Yudhoyono dan M. Yusuf Kalla, Membangun Indonesia
yang Aman, Adil, dan Sejahtera; Visi, Misi, dan Program, tanpa penerbit, Jakarta, 2004, hal.10-11
25 Ibid., hal.45 26 Henry Siahaan dan Ainul Ridha, “Desentralisasi Pemberantasan Korupsi”,
artikel dalam Koran Tempo, Edisi 17 oktober 2006.
http://prys3107.blogspot.com [email protected]
38
Kasus Dugaan Korupsi Dalam Pemberitaan Media
Pemerintah Indonesia menekankan pentingnya peran serta masyarakat dalam
pencegahan dan pemberantasan tindak pidana korupsi. Hal ini diatur dalam Peraturan
Pemerintah No. 71 tahun 2000 tentang Tata Cara Pelaksanaan Peran Serta
Masyarakat dan Pemberian Penghargaan dalam Pencegahan dan Pemberantasan
tindak Pidana Korupsi.
Dalam pasal 2 dikemukakan, “Setiap orang, organisasi masyarakat, atau
Lembaga Swadaya Masyarakat berhak mencari, memperoleh dan memberikan
informasi adanya dugaan telah terjadi tindak pidana korupsi serta menyampaikan
saran dan pendapat kepada penegak hukum dan atau Komisi mengenai perkara tindak
pidana korupsi.”27
Berangkat dari peraturan inilah, penulis menemui keterkaitan antara kasus
korupsi dengan pemberitaannya di media. Peran media yang bebas dan independen
dalam mendorong good governance tentu tak bisa dilepaskan dari fungsi ideal media
itu sendiri, yaitu fungsi informatif, fungsi pendidikan, dan fungsi kontrol sosial.
Sebagai bagian dari institusi masyarakat sekaligus pelayan informasi publik, media
dapat mendorong agar praktik pemerintahan dan pelayanan publik menjadi
transparan.
Penulis melihat bahwa peran media di sini berpotensi megarahkan isu-isu
yang berhubungan dengan korupsi dan pelayanan publik yang berkaitan erat dengan
27 Tim Editorial, Op.Cit., hal 208.
http://prys3107.blogspot.com [email protected]
39
kepentingan masyarakat di Indonesia. Salah satunya adalah lewat pemberitaan di
media mengenai isu kasus korupsi, khususnya yang melibatkan pejabat negara.
Dengan demikian paradigma kritis Stuart hall dapat ditempatkan di sini.
Terkait dengan pemberitaan kasus korupsi, media menjalankan perannya sebagai
insitusi masyarakat dan pelayan informasi publik, yakni melakukan representasi
kasus tindak korupsi melalui proses proses pendefinisian dan penandaan yang
didukung oleh konsensus dalam masyarakat. Konsensus mengenai kasus korupsi
tersebut terbentuk lewat proses kompleks melibatkan konstruksi sosial bahwa tindak
korupsi perlu diberantas, dan ini dilegitimasi pemerintah melalui peraturan
perundang-undangan.
Pemberitaan media memang tidak secara sederhana merupakan refleksi dari
konsensus tersebut, tetapi media mereproduksi dan memapankan status quo yang
mendukung dan melegitimasi struktur tersebut. Bahkan terlihat wajar bila media ikut
melegitimasi tindakan korupsi sebagai tindakan yang buruk dan perlu diberantas.
Sehingga ketika ada pejabat negara yang terlibat dalam kasus korupsi digambarkan
secara buruk dalam pemberitaan media, itu dianggap sebagai sesuatu yang wajar
sesuai konsensus yang terjadi di masyarakat.
Dalam kerangka inilah penulis menempatkan MBM Tempo sebagai salah satu
institusi media yang berpartisipasi dalam pemberantasan korupsi lewat praktik
pemberitaannya.
http://prys3107.blogspot.com [email protected]
40
A.4. Jurnalisme Sastra
Jurnalisme sastra merupakan konsep yang menjadi titik sentral penelitian.
Karenanya, penulis merasa perlu menguraikan Jurnalisme Sastra secara lebih rinci.
Sastra dan Batasan Definisinya
Kritikus–cum-sastrawan Sapardi Djoko Damono mengungkapkan “definisi
sastra dalam pandangan lama adalah segala jenis karangan yang berisi dunia khayalan
manusia, yang tidak bisa begitu saja dihubung-hubungkan dengan kenyataan.”28
Mencermati definisi di atas, bisa penulis pahami bahwa sastra pada awalnya
dianggap sebagai karangan yang tidak mengandung fakta, tetapi ia merupakan jenis
karangan yang mengandung realitas dunia khayalan (fiksi) sebagai hasil imajinasi
manusia. Konsekuensi pandangan ini membuat segenap unsur realitas yang terdapat
pada karya sastra merupakan hasil khayalan atau rekaan pengarang semata, sehingga
sastra mesti dipisahkan dari realitas dunia nyata.
Maka jelas artinya, apa pun kandungan realitas yang terdapat dalam sebuah
karya sastra, mestilah kita anggap sebagai realitas fiktif yang hanya ada dalam dunia
khayal. Bisa dicontohkan bila ada pengarang menulis sebuah kisah fiksi yang
mengambil latar adegan kota Jakarta. Kalaupun kota Jakarta yang digambarkan si
pengarang ternyata berbeda dengan kota Jakarta yang ada dalam dunia nyata, ataupun
ia menyusun realitas kota Jakarta menurut hasil rekaannya sendiri, maka tidak
28 Sapardi Djoko Damono, Pengarang, Karya Sastra, dan Pembaca, artikel dalam Bahan Pelatihan Teori dan Kritik Sastra, Pusat Penelitian Kemasyarakatan dan Budaya, Lembaga Penelitian Universitas Indonesia, hal.9
http://prys3107.blogspot.com [email protected]
41
menjadi persoalan karena realitas dunia khayal dalam karya sastra tersebut mesti
dipisahkan dengan realitas dunia nyata.
Namun seiring perkembangannya dewasa ini, dunia sastra juga disemaraki
dengan kehadiran karya sastra yang ternyata benar-benar mengandung fakta. Atau
bisa dianggap mencampuradukkan fiksi dengan fakta. Damono kemudian
mencontohkan novel ‘Burung Burung Manyar’ karya J.B Magunwijaya, dan
‘Surapati’ karya N. St. Iskandar sebagai “karya sastra yang banyak menggunakan
peristiwa, tokoh sejarah, sebagai bahan utamanya.”29
Contoh lain juga bisa kita jumpai pada novel tetralogi ‘Bumi Manusia’ karya
Pramoedya Ananta Toer. Seperti yang dikutip Majalah Tempo:
Pram mengakui bahwa karyanya itu perpaduan dari catatan sejarah dan imajinasinya. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . tokoh Minke dalam novel tersebut merupakan representasi dari Tirtho Adhi Soerjo, seorang tokoh nasionalis angkatan pertama yang kurang mendapat perhatian dalam penulisan sejarah nasional.30
Dunia sastra dan jurnalistik di Indonesia sendiri punya sejarah penting pada
pertengahan tahun 1990-an. Sastrawan-cum-wartawan Seno Gumira Ajidarma pernah
merilis 12 cerita pendeknya dalam sebuah buku kumpulan cerpen berjudul ‘Saksi
Mata’, dimana di dalamnya secara tersirat mengisahkan pembantaian warga sipil oleh
tentara Indonesia di Santa Cruz, Dili, Timor Timor (sekarang Timor Leste). Meski
29 Ibid., hal.10 30 Nurdin Kalim dan Sunudyantoro, Memburu Sang Ilham di Wonokromo
artikel Selingan Iqra, Majalah Berita Mingguan Tempo, Edisi 14 Mei 2006
http://prys3107.blogspot.com [email protected]
42
karya cerpennya fiktif, nama diganti, dan tempat tak disebutkan jelas, Seno mengaku
bahwa ia menulis cerpen tersebut berdasarkan fakta yang terdapat dalam kasus
Insiden Dili 12 November 1991. Ia sendiri memilih mengungkapkan fakta lewat cara
demikian (karya sastra) setelah Majalah Jakarta Jakarta tempatnya bekerja
diintervensi pihak pemerintah Orde Baru sehubungan dengan pemuatan berita
investigasi Insiden Dili dalam Edisi nomor 282/ November 1991.
Dalam pengakuannya, Ajidarma mengungkapkan demikian:
Saya melawannya, dengan cara membuat Insiden Dili yang ingin cepat-cepat dilupakan itu menjadi abadi. Ketika jurnalisme dibungkam, sastra harus bicara, karena jika jurnalisme bersumber dari fakta, maka sastra bersumber dari kebenaran. Ini membuat saya dengan sengaja mencari segala segi dari Insiden Dili yang bisa menjadi cerpen–sebagai suatu cara untuk melawan.31
Mencermati uraian di atas, tentu pandangan lama dalam mendefinisikan sastra
menjadi tidak relevan lagi. Karena karya sastra, meskipun merupakan hasil khayalan
pengarangnya, ternyata bisa begitu erat dengan dunia kenyataan. Di titik inilah
batasan antara fiksi dengan fakta menjadi kabur. Bahkan bisa dikatakan bahwa
eksistensi sastra berwajah ganda. Dikatakan demikian karena di satu sisi ia mesti
diposisikan sebagai realitas dunia khayal yang bernaung dalam unsur-unsur fiksi
pembentuknya. Sedangkan di sisi lain, ia bisa dianggap layaknya cermin dunia yang
–dengan segenap kreasi simboliknya–mampu mengungkapkan kebenaran yang
terdapat pada dunia nyata.
31 Seno Gumira Ajidarma, Ketika Jurnalisme Dibungkam, Sastra Harus
Bicara, Edisi Kedua, Penerbit Bentang, Yogyakarta, 2005, hal.40
http://prys3107.blogspot.com [email protected]
43
Itu sebabnya Ariel Heryanto berpendapat bahwa “betapa rapuhnya setiap
pernyataan pretensius seperti ‘Kesusastraan adalah...”32 Dalam kata lain, Heryanto
mengungkapkan bahwa sastra sulit didefinisikan secara tunggal. Ia kemudian
menunjukkan bahwa “perbedaan di antara kategori ‘sastra’ dan ‘bukan sastra’ tidak
ditentukan oleh suatu kenyataan objektif apapun, misalnya ‘bahasa sastra’ dan
‘bahasa sehari-hari’, melainkan hasil dari pembedaan konseptual di benak orang
belaka.”33
Untuk itu, penulis menganggap bahwa tidak ada batasan yang pasti untuk
sastra. Apalagi kini sastra dianggap bukan merupakan sesuatu yang berdiri sendiri,
tapi sastra merupakan bagian dari masyarakat yang melahirkan dan menikmatinya.
Ekstrinsik dan Intrinsik Sastra
Terlepas dari perdebatan kandungan fakta atau fiksi, serta perdebatan tentang
definisi sastra, penulis merujuk pada M. Atar Semi yang mengungkapkan bahwa
meski kata ‘sastra’ atau ‘kesusastraan’ dapat ditemui dalam sejumlah pemakaian yang
berbeda-beda, pada dasarnya sastra merupakan “suatu bentuk dan hasil pekerjaan seni
32 Ariel Heryanto, Masihkah Politik Jadi Panglima? Politik Kesusastraan
Indonesia Mutakhir, artikel dalam Majalah Prisma, Edisi Sastera dan Masyarakat Orde Baru, No.8 Tahun XVII, Jakarta, 1988, hal.6
33 Loc.Cit.
http://prys3107.blogspot.com [email protected]
44
kreatif yang objeknya adalah manusia dan kehidupannya dengan menggunakan
bahasa sebagai mediumnya.”34
Dari pernyataan di atas, penulis hendak meninggalkan usaha definitif akan
sastra dengan coba memandang sastra sebagai suatu bentuk penulisan. Pendapat ini
juga merujuk pada Kamus Besar Bahasa Indonesia yang mengungkapkan bentuk
sastra atau kesusastraan sebagai “karya tulis yang jika dibandingkan dengan tulisan
lain, memiliki berbagai ciri keunggulan seperti keaslian, keartistikan, keindahan
dalam ungkapannya.”35
Secara spesifik Semi mencatat ada dua unsur atau struktur karya sastra, yakni
struktur luar atau ekstrinsik sebagai “segala macam unsur yang berada di luar suatu
karya sastra yang ikut mempengaruhi kehadiran karya sastra tersebut.”36 Struktur
ekstrinsik ini penulis pahami sebagai faktor sosial, ekonomi, budaya, politik,
keagamaan, dan tata nilai yang dianut masyarakat.
Dan yang kedua adalah struktur dalam atau intrinsik, yakni “unsur-unsur yang
membentuk karya sastra tersebut seperti penokohan atau perwatakan, tema, alur
(plot), pusat pengisahan, latar, dan gaya bahasa.”37
34 M. Atar Semi, Anatomi Sastra, PT Angkasa Raya, Padang, tt, hal.8 35 Tim Penyusun KBBI, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Pusat penelitian
dan Pengembangan Bahasa, Balai Pustaka, Jakarta, hal.786 36 M. Atar Semi, Op.Cit., hal 35 37 Loc.Cit.
http://prys3107.blogspot.com [email protected]
45
Keterangan di atas penulis pahami bahwa sebuah karya sastra dibangun lewat
unsur esktrinsik dan intrinsiknya. Dengan mengingat bahwa sastra merupakan suatu
bentuk karya tulis berisi realitas dunia khayalan dari imajinasi pengarangnya, yang
bisa dihubungkan dengan realitas dunia kenyataan, maka tak heran bila sastra
kemudian menyusup ke dalam ranah jurnalisme yang berisikan fakta realitas dunia
nyata. Begitu pula sebaliknya.
Hal ini terjadi karena unsur ekstrinsik yang dikandung sastra menekankan
bahwa bentuk dan isi dari sebuah karya sastra merupakan representasi dari berbagai
faktor realitas masyarakatnya. Kemudian dalam unsur intrinsik, karya sastra dikenali
lewat bentuk dan isi penulisannya. Jika dalam penulisan berita dapat dikenali lewat
bentuk teras, body, dan penutup berita yang jernih dan kaku, maka penulisan karya
sastra dapat dikenali lewat keaslian, keartistikan, dan keindahan instrinsik struktur
penulisan dan penggunaan bahasanya. Lewat unsur intrinsik inilah bentuk teks sastra
dapat dipandang dalam dimensi estetik sekaligus politis.
Dari seluruh uraian di atas, penulis berpandangan bahwa unsur ekstrinsik dan
intrinsik inilah yang terdapat dalam Jurnalisme Sastra. Penulis juga menyimpulkan
bahwa unsur intrinsik Jurnalisme Sastra dapat dikenali dari penyusupan segenap
dimensi politis dan estetik karya sastra ke dalam penulisan berita. Namun untuk
melengkapi pemahaman tentang Jurnalisme Sastra, penulis akan melanjutkannya
dengan menjabarkan terlebih dahulu apa dan bagaimana jurnalisme itu.
http://prys3107.blogspot.com [email protected]
46
Jurnalisme Sebagai Praktik
Hoeta Soehoet mengungkapkan jurnalistik adalah kata Indonesia yang berasal
dari bahasa Belanda, yaitu jurnalistiek. Bahasa Inggrisnya, journalisme. “Baik
jurnalistiek maupun jurnalisme berasal dari bahasa latin, yaitu diurnalis, artinya tiap
hari. Sedangkan jurnal (bahasa Inggris) artinya catatan peristiwa harian. Dalam ilmu
Komunikasi istilah jurnalistik mempunyai arti cara penyampaian isi pernyataan
dengan menggunakan media massa periodik.”38
Sedangkan Junedhie menguraikan jurnalisme sebagai “proses mengumpulkan,
menyiapkan, dan menyebarkan berita melalui media massa. Kata jurnalisme sendiri
awalnya digunakan untuk laporan yang dimuat dalam media cetak.”39
Sejalan dengan kedua pandangan di atas, Effendy merumuskan pengertian
jurnalistik adalah “suatu pengelolaan laporan harian yang menarik minat khalayak
mulai dari peliputan sampai penyebaran ke masyarakat.”40
Untuk menghindari kekeliruan antara pemakaian istilah jurnalisme dengan
jurnalistik, penulis mengacu pada pernyataan Soehoet yang menempatkan keduanya
sebagai istilah yang sama artinya, yakni lebih menekankan pada suatu proses,
pengelolaan, penyampaian laporan (berita). Dalam konteks penelitian ini, penulis
38 A.M. Hoeta Soehoet, Op.Cit., hal.5-6 39 Kurniawan Junedhie, Op.Cit., hal.113 40 Onong Uchjana Effendy, Kamus Komunikasi, PT Remaja Rosdakarya,
Bandung, 2001, hal.151
http://prys3107.blogspot.com [email protected]
47
menggunakan istilah jurnalisme karena sesuai dengan rujukan para ahli yang
menyebutkan Jurnalisme Sastra, dan bukan Jurnalistik Sastra.
Penulis menyimpulkan bahwa jurnalisme merupakan suatu praktik sebagai
proses, pengelolaan, dan cara penyampaian laporan (berita) mulai dari tahap
peliputan, pengumpulan bahan berita, dan penulisan berita yang termuat dalam media
massa periodik. Dalam rangka inilah, jurnalisme memiliki ragam penulisan feature
sebagai karangan khas yang sudah mulai mengadopsi unsur sastra ke dalamnya.
Hingga kemudian berkembang menjadi feature berita di mana Jurnalisme Sastra –
sebagai praktik jurnalisme dan inovasi bentuk penulisan– menjadi dimungkinkan.
Penjelasan lebih lanjutnya adalah sebagai berikut.
Feature sebagai Wahana Sastra
Umar Nur Zain membagi pengertian feature dalam arti luas dan arti sempit,
yakni:
Feature dalam arti luas adalah tulisan-tulisan di luar berita, bisa berupa tulisan ringan, tulisan berat, tajuk rencana, tulisan opini, sketsa, laporan pandangan mata dan sebagainya. Sedang dalam arti sempit, feature adalah tulisan khas yang sifatnya bisa menghibur, mendidik, memberi informasi dan sebagainya mengenai aspek kehidupan dengan gaya yang bervariasi.41
Dari kutipan di atas, Zain secara implisit sudah menyatakan bahwa feature
bukanlah berita. Pandangan ini juga bisa ditemui pula pada pendapat Junaedhie yang
41 Umar Nur Zain, Penulisan Feature, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, 1993,
hal.19
http://prys3107.blogspot.com [email protected]
48
mendefinisikan feature sebagai “tulisan yang disajikan sebagai karangan menarik.
Lebih panjang dari berita biasa, bersifat kreatif terutama dalam memilih sudut
pandang, subjektif yang memungkinkan penulisnya memasukkan emosi dan pikiran-
pikirannya, informatif atau setidak-tidaknya memberi kesadaran baru tentang sesuatu
hal.”42
Kemudian Kurnia juga mengungkapkan feature sebagai berikut:
Pada mulanya, feature adalah bentuk tulisan yang diadaptasi oleh jurnalisme agar para wartawan mendapat sudut pandang lain dalam memotret realitas peristiwa kemanusiaan. Dengan feature, fakta-fakta yang difokuskan pada masalah human interest bisa disajikan secara lain, tidak biasa, dan tidak perlu dirunutkan dari yang paling penting sampai yang kurang penting.43
Dengan demikian, penulis menyimpulkan feature merupakan karangan khas
yang bersifat menghibur dan mendidik mengenai aspek kehidupan yang menarik
untuk diinformasikan dalam media cetak. Fakta yang difokuskan pada penekanan
human interest, menjadikan feature tak bisa dilepaskan dari emosi, pikiran-pikiran,
dan subjektivitas wartawan. Karenanya, feature jelas berbeda dengan berita.
Perbedaan ini juga terlihat bahwa ada dimensi estetik sastra dalam penulisan
feature. Zain kemudian mengungkapkannya dengan menekankan pentingnya
imajinasi yang tidak mengkhianati fakta peristiwa dalam penulisan feature. Lebih
jelasnya ia mengatakan demikian, “...seorang wartawan memerlukan daya imajinasi
42 Kurniawan Junaedhie, Op.Cit., hal.66 43 Septiawan Santana Kurnia, Jurnalisme Sastra, PT Gramedia Pustaka
Utama, Jakarta, 2002, hal.230-231
http://prys3107.blogspot.com [email protected]
49
dalam penggambaran peristiwa tersebut. Harap diingat, imajinasi adalah bagaimana
menangkap peristiwa itu, seperti seseorang memotret, artinya suasana dalam
peristiwa tersebut dipindahkan ke dalam tulisan. Memberikan imajinasi bukan berarti
harus mengkhianati fakta.”44
Kedekatan feature dengan sastra juga dilihat oleh Kurnia dari nilai artistiknya.
Ia menyebutkan bahwa “nilai artistik feature di antaranya mencuat karena kisah-kisah
human interest yang dikandungnya.. Struktur penulisan feature sangat khas. Dari
judul sampai penutup tulisan, feature dibuat secara kreatif.”45
Kurnia juga menyebutkan bahwa “beberapa unsur yang menyusun struktur
feature dibangun oleh kaidah penulisan sastra. Tulisan jadi mengalir dalam
pengisahan seperti cerita pendek.”46
Dari keterangan di atas, jelas bahwa sastra sudah memasuki ranah jurnalisme
lewat feature. Meski begitu penulis memahami bahwa unsur sastra yang terkandung
di dalam feature belum digunakan secara menyeluruh, dalam artian feature baru
menerapkan sebagian unsur intrinsik sastra, khususnya pada penggunaan gaya bahasa
sastra. Ditambah juga, tema yang dituangkan dalam feature baru sebatas tema-tema
yang menyangkut dengan human interest saja, hal ini disebabkan tema tersebut dapat
disajikan kapan saja dan tidak menuntut aktualitas. Sampai di sini, feature memang
44 Umar Nur Zain, Op.Cit, hal.168 45 Septiawan Santa Kurnia, Op.Cit., hal.201-202 46 Ibid., hal.223
http://prys3107.blogspot.com [email protected]
50
berbeda dengan berita yang menggunakan bahasa jurnalisme yang jernih dan
menuntut aktualitas peristiwa.
Situasi inilah yang kemudian didobrak pada era Jurnalisme Baru lewat bentuk
penulisan yang luwes bernama antara feature dengan berita. Zain mengungkapkan
bahwa hal tersebut merupakan bagian dari Jurnalisme baru, yakni “perpaduan antara
news dan feature, perpaduan gaya antara bahasa pers dan cerita pendek.”47
Senada dengan Zain, Kurnia juga mengungkapkan bahwa “eksperimentasi
sastra kemudian mengembangkan penulisan feature menjadi dua klasifikasi. Selain
menjadi salah satu teknik penulisan berita (news feature), feature juga menjadi bagian
dari teknik penulisan artikel (article feature).”48
Kurnia juga mengungkapkan:
Dalam perkembangan jurnalisme, feature menjadi salah satu fundamen penting. Ia adalah teknik penulisan yang mengatasi kekakuan straight news dalam mengkover berita-berita utama (hard news atau spot news). . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . Selanjutnya, sastra memberikan pengembangan kreativitas yang luas dalam penulisan feature.49
Dari kutipan di atas, penulis memahami meskipun feature bukanlah berita,
namun feature dekat dengan berita, terutama dalam mengembangkan berita utama.
Lewat feature, media cetak memiliki keunggulan dengan menyajikan informasi
menarik demi mengimbangi kekakuan bentuk penulisan berita. Dengan kata lain,
47 Umar Nur Zain, Op.Cit., hal.205
48 Septiawan Santa Kurnia, Op.Cit., hal.201 49 Ibid., hal.230-231
http://prys3107.blogspot.com [email protected]
51
wartawan berusaha menyajikan informasi yang juga terdapat pada berita utama,
namun lewat sudut pandang tertentu dengan menekankan unsur daya pikat manusia
atau human interest.
Dari sini penulis memahami bahwa eksperimentasi sastra dalam feature,
kemudian berpengaruh dalam penulisan berita. Hingga menjadi sebuah bentuk
feature yang mulai memadukan tema-tema human interest dengan fakta peristiwa
yang aktual layaknya sebuah berita.
Riyono Pratikto menguraikan demikian:
Feature berita tidak hanya melaporkan apa adanya saja, tapi juga mengisahkan. Ia masih melihat kejadian tidak hanya fakta-faktanya saja. Suatu feature berita masih dibangun melalui kreativitas wartawannya. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . Sebagai tulisan yang masih cenderung menulis syarat-syarat jurnalistik, maka feature berita masih mementingkan segi aktualitasnya.50
Kutipan di atas penulis pahami bahwa karakteristik feature berita merupakan
laporan jurnalistik yang menggabungkan kandungan unsur aktualitas dan unsur daya
pikat manusia, serta memiliki kandungan subjektifitas dan kreatifitas wartawannya
lewat teknik penulisan tertentu sebagai sebuah pemberitaan mengenai suatu peristiwa.
Dalam kaitannya dengan MBM Tempo yang menjadi subjek penelitian
penulis, Zain mengungkapkan “pada peristiwa-peristiwa yang sudah selesai, Tempo
sudah menemukan pola penyajian khusus, yaitu news feture (feature berita) yang
kemudian dicirikan sebagai New Journalism (Jurnalisme Baru), sementara Tempo
50 Riyono Pratikto, Kreatif Menulis Feature, Alumni Bandung, 1984, hal.96
http://prys3107.blogspot.com [email protected]
52
sendiri mengatakannya: perpaduan antara jurnalistik dan sastra.. antara news dengan
feature.”51
Berdasarkan pengamatan penulis, liputan jurnalisme tentang topik aktual
dalam MBM Tempo tersaji antara lain dalam bentuk berita lempang, editorial, feature
berita, kolom, dan esai. Khusus pada bentuk feature berita, MBM Tempo
menggunakan elemen-elemen sastra dalam memberitakan topik aktual dan peristiwa
faktual yang terjadi di tengah-tengah masyarakat.
Berangkat dari seluruh uraian feature berita di atas, penulis memahami bahwa
salah satu bentuk penulisan berita MBM Tempo adalah feature berita, baik itu berita
yang aktual, maupun pada peristiwa yang sudah selesai. Dan khususnya lagi bentuk
feature berita menyajikan perpaduan antara jurnalisme dan sastra (Jurnalisme Sastra)
mengenai kasus dugaan korupsi yang melibatkan pejabat negara Kabinet Indonesia
Bersatu.
Praktik dan Bentuk Jurnalisme Sastra
Mengacu pada uraian Junaedhie, Jurnalisme Sastra berkaitan dengan
Jurnalisme Baru, yakni “jurnalisme yang mengambil teknik penulisan novel. Dengan
cara pendekatan langsung, realitas konkret, keterlibatan emosional, dan bobot
penggunaan atau penyerapan pemakaiannya dalam situasi tertentu.”52
51 Umar Nur Zain, Op.Cit., hal.109 52 Kurniawan Junaedhie, Op.Cit., hal.113
http://prys3107.blogspot.com [email protected]
53
Kemudian pada entri ‘Jurnalisme Kesusastraan’, Junaedhie mengungkapkan
bahwa “Jurnalisme Baru dengan Jurnalisme Sastra memiliki hubungan yang saling
berpengaruh saru sama lain, meliputi struktur gaya penulisan dan penggunaan bahasa
dalam menuliskan berita atau tulisan di media massa atau sebaliknya dalam
menuliskan cerita fiksi.”53
Seperti yang telah penulis kemukakan pada bagian latar belakang masalah,
Jurnalisme Sastra ini merupakan bagian dari Jurnalisme Baru yang lahir di Amerika
Serikat. Penulis sendiri melihat bahwa Jurnalisme Sastra dapat dikenali dari dua
komponen, yakni praktik peliputannya dan bentuk penulisannya.
Mengenai praktik produksi berita lewat Jurnalisme Sastra, Zain menekankan
perlunya peran wartawan senior atau redaktur. Ia mengatakan bahwa, “pada
umumnya para redaktur tidak mau ambil resiko dengan wartawan muda, yang
diambil laporannya kemudian dihimpun menjadi suatu news oleh redaktur. Jadi anak
muda itu bertugas hanya sebagai penghimpun data pencari bahan saja, dan yang
menyusunnya adalah sang redaktur.”54
Memandang Jurnalisme Sastra sebagai praktik produksi berita, Harsono
berpendapat bahwa Jurnalisme Sastra lebih dalam dari berita pendalaman;
“Jurnalisme Sastra bukan saja melaporkan seseorang melakukan apa, tapi ia masuk ke
53 Ibid., hal.117 54 Umar Nur Zain, Ibid., hal.212
http://prys3107.blogspot.com [email protected]
54
dalam psikologi yang bersangkutan dan menerangkan mengapa ia melakukan hal itu.
Ada karakter, ada drama, ada babak, ada adegan, ada konflik.”55
Wolfe juga mengungkapkan unsur penting yang juga terdapat pada proses
penyajiannya ialah “waktu riset dan wawancara biasanya panjang sekali, bisa
berbulan-bulan, bahkan bertahun-tahun, agar hasilnya dalam.”56
Riset dan wawancara yang berbulan-bulan, bahkan bertahun-tahun,
mencerminkan bahwa Jurnalisme Sastra proses peliputan berita dengan agenda
perencanaan tertentu. Praktik jurnalisme demikian dilakukan memang demi
menghasilkan pemberitaan yang dalam dan menyeluruh.
Mengacu pada berbagai uraian di atas, tidak bisa dipungkiri bahwa Jurnalisme
Sastra merupakan salah satu bentuk praktik jurnalisme yang sejalan dengan tuntutan
zaman, agar institusi media cetak dapat menyajikan berita yang mendalam sekaligus
menarik. Karenanya praktik Jurnalisme Sastra melibatkan peran redaktur atau
wartawan senior dalam penulisannya, serta memakan waktu peliputan yang lama.
Kemudian dalam menyoal bentuk penulisan Jurnalisme Sastra, di sini penulis
akan menguraikannya secara langsung dengan contoh tulisan yang tergolong sebagai
Jurnalisme Sastra. Tulisan tersebut adalah karya Chick Rini, wartawan Harian
Analisa (Medan) berjudul ‘Sebuah Kegilaan di Simpang Kraft’ yang pernah
diterjemahkan dalam bahasa Inggris dan dimuat di Majalah Pantau, Majalah Kyoto
55 Andreas Harsono & Budi Setiyono (Ed.), Jurnalisme Sastrawi; Antologi Liputan Mendalam dan Memikat, Yayasan Pantau, Jakarta, Oktober, 2005, hal.vii
56 Jurnalisme Sastra, artikel dalam Koran Duta Edisi 1 September 2001,
www.koranduta.com, diakses pada 19 Juni 2007
http://prys3107.blogspot.com [email protected]
55
Review, dan tergabung dalam buku Jurnalisme Sastrawi; Antologi Liputan
Mendalam dan Memikat yang diterbitkan Yayasan Pantau. Jadi penulis memahami
bahwa tulisan tersebut dapat digolongkan sebagai bentuk penulisan Jurnalisme Sastra.
Melaporkan peristiwa demonstrasi massa tak jauh dari pabrik PT Kertas Kraft
Aceh yang berujung penembakan puluhan warga Aceh oleh TNI, Rini membuka teras
(lead) reportasenya sebagai berikut:
Sebuah bus memasuki Terminal Lhokseumawe pada suatu pagi buta sekitar tiga tahun yang lalu. Terminal masih sibuk. Warung kopi dan rumah makan masih buka. Agen tiket bus masih melayani belasan penumpang yang hendak berangkat ke Banda Aceh atau Medan. Barisan becak mesin juga masih parkir di depan terminal. Pengemudinya menunggu penumpang.
Angin malam sekilas membawa bau amis dari hamparan empang di seberang terminal. Di kejauhan, di atas belukar hutan bakau, langit tampak memerah oleh semburan api raksasa dari beberapa tower di ladang penyulingan gas alam cair milik PT Arun LNG.57
Dari teras berita di atas bisa dicermati ada penyusunan latar peristiwa, alur,
dan gaya bahasa yang mengandung unsur emosi untuk menggambarkan bagaimana
peristiwa itu dimulai. Rekaman suasana yang rinci seperti dihidupkan kembali ke
hadapan pembaca. Dalam artian, ada unsur intrinsik sastra pada tulisan tersebut. Dan
di sisi lain, teknik penulisan berita seperti ini merupakan pengembangan dari teknik
penulisan feature. Jika feature hanya menekankan unsur daya pikat manusia dan
penggunaan bahasa sastra, maka dapat dikatakan Jurnalisme Sastra menambahkan
karakteristik tersebut dengan unsur dialog, karakter, dan catatan adegan yang rinci.
57 Andreas Harsono & Budi Setiyono (Ed.), Op.Cit., hal.3
http://prys3107.blogspot.com [email protected]
56
Adalah Tom Wolfe, perintis Jurnalisme Sastra, yang mencatat empat alat
Jurnalisme Sastra, antara lain, “penyusunan adegan, dialog, perspektif orang ketiga,
dan penempatan detail dalam teks.”58 Simak saja kandungan penyusunan adegan,
dialog, perspektif orang ketiga, dan penempatan detail dalam teks lanjutan karya
Chick Rini (dalam Andreas Harsono dan Budi Setiyono) berikut ini:
Pada dini hari 3 Mei 1999 itu, di antara penumpang bus yang turun di Lhokseumawe, ada tiga pria membawa tas berisi baju, kamera Betacam, serta peti berisi kabel, microfon, dan perlengkapan syuting video. Mereka wartawan RCTI, Stasiun televisi Jakarta yang sebagian besar sahamnya dimiliki anak mantan Presiden Soeharto, Bambang Trihatmodjo.
“Oke, sekarang kita kemana?” tanya Umar HN. “Pak Umar, tolong carikan hotel di sini yang aman,” jawab Imam
Wahyudi.59
Dua kutipan di atas yang penulis jadikan contoh, bisa disimpulkan bahwa
bentuk Jurnalisme Sastra mengedepankan unsur instrinsik sastra, semisal latar, alur,
gaya bahasa, karakter atau penokohan, dialog, dan catatan adegan yang rinci. Lebih
jelasnya lagi semua unsur tersebut dirumuskan Wolfe dengan menguraikan empat
prinsip Jurnalisme Sastra sebagai berikut:
1. Adegan; menyajikan scene peristiwa-demi-peristiwa-berita dalam urutan yang membuat pembaca seakan berada di lokasi ketika kejadian berlangsung.
2. Dialog; materi pengisahan bisa diurutkan melalui percakapan yang direkam, meskipun sebagian mungkin tidak didapat dari sumber aslinya. Melalui percakapan pula, disiratkan karakter para pelaku yang terlibat, sekaligus diterangkan mengapa suatu peristiwa terjadi. Selanjutnya, penafsiran dan kesimpulan ia serahkan kepada pembaca yang telah menyimak dialog tokoh-tokoh berita tersebut.
58 Septiawan Santana Kurnia, Op.Cit., hal.44
59 Andreas Harsono & Budi Setiyono (Ed.), Op.Cit., hal.4
http://prys3107.blogspot.com [email protected]
57
3. Perspektif orang ketiga; dengan alat ini, jurnalis baru tidak hanya menjadi si pelapor, ia bahkan kerap menjadi tokoh berita. Ia bisa menjadi orang di sekitar tokoh, karena ia harus berperan menjadi pelapor yang tahu jalannya peristiwa.
4. Penempatan detail; semua hal dicatat secara terperinci, yaitu perilaku, adat istiadat, kebiasaan, gaya hidup, pakaian, perjalanan wisata, hubungan dengan teman sebaya, atasan, bawahan, dan pandangan-pandangan lain yang bersifat sekilas seperti pose, gaya jalan, dan berbagai simbol lain. Hal ini merepresentasikan dasar pikiran dan perilaku, ekspresi, sampai harapan manusia dalam interaksinya dengan lingkungan sosialnya. Dengan kata lain, alat ini memberi pembaca suatu deskripsi sosial, memotret latar belakang kehidupan seseorang, mencatat lambang-lambang sosial.60
Penulis memahami rumusan di atas tak ubahnya sebagai unsur instrinsik yang
terkandung di dalam Jurnalisme Sastra. Kemudian seiring perkembangan kritik dari
berbagai pihak terhadap Jurnalisme Sastra, empat prinsip sebagai standar Jurnalisme
Sastra yang dirumuskan Wolfe tersebut mengalami perkembangan pada 1980. Hal ini
dirangkum oleh Farid Gaban berdasarkan referensi mutakhir mengenai
perkembangan Jurnalisme Sastra di dunia, yakni:
5. Akurasi; Jurnalisme Sastra memperkokoh kekuatan fakta dalam penulisan nonfiksi dan tak mau disalahartikan sebagai fiksi dengan menulis ulang peristiwa, suasana, dan dialog secara akurat, melalui riset dan wawancara. Penulis tak bisa merekayasa dialog atau kutipan, tidak boleh menciptakan tokoh rekaan.
6. Keterlibatan; keterlibatan (immersion) memandu reporter untuk menyajikan detail yang merupakan kunci untuk menggugah emosi pembaca. Penulis yang mampu ‘menceburkan diri’ ke dalam subyek berita, menggalinya, dan melaporkan kehidupan nyata secara spesifik, memberi kesan lebih kredibel dan otoritatif.
7. Struktur; menggunakan teknik seperti yang dikenal dalam penulisan fiksi: suspens, kilas balik, bahkan pengutaraan orang pertama (aku) yang sangat dihindari penulis jurnalisme lama. Intinya adalah menggelar suasana, merancang irama dan memberikan impact yang kuat kepada pembaca.
8. Suara; artinya posisi penulis sebagai orang pertama (aku) sebagai pengamat yang berjarak atau melebur dan tak berjarak dengan subyek laporannya.
60 Ibid., disarikan dari hal.45-87
http://prys3107.blogspot.com [email protected]
58
Seperti melaporkan peristiwa sekaligus memberikan komentar kepada pembaca.
9. Tanggung Jawab; nilai pertanggung jawaban reporter lebih ditampakkna. Misalnya, pandangan tegas bahwa fiksi hanyalah sebuah gaya dan bahwa jurnalisme sastra lebih memaparkan fakta. Artinya, reporter bertanggung jawab atas setiap fakta yang ia tulis dalam Jurnalisme Sastra.
10. Simbolisme; tiap paparan fakta, meskipun terlihat remeh atau hanya menyangkut soal-soal kecil, sebenarnya mengandung gagasan yang sengaja disusun sedemikian rupa karena terkait dengan hal-hal yang lebih luas dan pemaknaan yang dalam.61
Dengan adanya kesemua elemen di atas, Setiati kemudian mengungkapkan
“bentuk penulisan Jurnalisme Sastra membuat laporan berita tidak lagi sekedar
pengungkapan fakta, tetapi berusaha mengungkapkan ‘mengapa dan bagaimana’
suatu peristiwa terjadi.”62
Berbagai media cetak yang menerapkan Jurnalisme Sastra dan ragam
Jurnalisme Baru lainnya adalah Majalah Time, The New Yorker, Newsweek, dan
Reader’s Digest. Hal ini diungkapkan Fedler sebagai berikut, “Para wartawan Time
telah mereportase dan menyimpulkan opini mereka selama lebih dari lima puluh
tahun. Newsweek dan Reader’s Digest adalah contoh lain. Seperti Time, Newsweek
mengkorelasikan berbagai news story menjadi satu, menjelaskan pemaknaannya dan
mengarahkan cara berpikir pembacanya.”63
61 Ibid., disarikan dari hal.114-120 62 Eni Setiati, Ragam Jurnalistik Baru Dalam Pemberitaan, Penerbit Andi,
Yogyakarta, 2005, hal.102 63 Septiawan Santana Kurnia, Op.Cit., hal.11
http://prys3107.blogspot.com [email protected]
59
Berbagai pandangan dan uraian mengenai Jurnalisme Sastra di atas,
membawa penulis pada kesimpulan. Jurnalisme Sastra sebagai perpaduan antara
bentuk penulisan Jurnalisme dengan Sastra yang dapat dikenali bentuknya lewat
unsur intrinsik dimana digunakan setidaknya 10 prinsip penulisan Jurnalisme Sastra,
yakni penyusunan adegan, dialog, perspektif orang ketiga, penempatan detail dalam
teks, akurasi, keterlibatan, struktur, suara, tanggung jawab, dan simbolisme. Jenis
tulisannya sendiri dapat dikategorikan sebagai feature berita.
Jurnalisme Sastra juga merupakan suatu proses, pengelolaan, dan cara
penyampaian laporan (berita) sebagai hasil kerja seni kreatif wartawan. Karenanya
meliputi aspek mulai dari tahap peliputan, pengumpulan bahan berita, dan penulisan
berita sebagai praktik Jurnalisme Sastra yang memakan waktu lebih lama dan
perencanaan tertentu, dan teknik penulisan yang berbeda dari praktik jurnalisme
konvensional.
Dengan mengacu pada 10 teknik penulisan Jurnalisme Sastra tersebutlah,
penulis akan menggali bagaimana MBM Tempo menerapkan dan mengembangkan
prinsip penulisan Jurnalisme Sastra versi MBM Tempo sebagai praktik estetik dan
politik bahasa dalam pemberitaannya.
A.5. Estetika dan Politik Bahasa
Acuan yang penulis gunakan dalam menghubungkan estetika dengan politik
bahasa, berangkat dari teori estetika Benedetto Croce yang kemudian dilanjutkan oleh
Antonio Gramsci. Karena selain memberi pengantar mengenai estetika itu sendiri,
http://prys3107.blogspot.com [email protected]
60
penulis juga akan memfokuskan tinjauan teoritis pada pemikiran kedua tokoh
tersebut.
Kajian mengenai estetika kerap diidentikkan dengan filsafat seni. Meskipun
sampai sekarang, estetika merupakan konsep yang banyak mendapat pandangan
berbeda dari para pakar seni. Fathul A. Husein mengungkapkan bahwa estetika
sejajar dengan etika, dan keduanya ada dalam wilayah filsafat mengenai nilai. Husein
kemudian menerangkan sebagai berikut:
Sebagai bagian dari kajian filsafat, estetika sudah barang tentu bekerja dalam bingkai penalaran yang radikal, spekulatif, menyeluruh, dan merupakan cerminan dari pemikiran filosofis seorang filsuf. Baru pada abad 20 estetika menggeser perannya sebagai filsafat keindahan dan menuju ke arah keilmuan, setelah sebelumnya lebih mengkhususkan diri pada tela'ah atas karya-karya seni saja.64
Dari penjelasan di atas, penulis memandang bahwa kajian estetika saat ini
tidak lagi berkutat pada konsep keindahan saja, bahkan estetika sudah bergerak
menuju arah keilmuan. Hal ini penulis pahami dalam bentuk estetika modern atau
estetika ilmiah yang bekerja dengan bantuan ilmu-ilmu lain seperti psikologi,
sosiologi, antropologi.
Melihat dari asal katanya, estetika berasal dari kata aistheton atau aisthetikos
(bahasa Yunani Kuno), yang berarti persepsi atau kemampuan mencerap sesuatu
secara indrawi. Istilah ini disebutkan muncul pertama kali pada pertengahan abad ke-
XVIII, oleh filsuf Jerman, Alexander Baumgarten, yang memaksudkan estetika
sebagai ”ranah pengetahuan sensoris, pengetahuan rasa yang berbeda dari
64 Fathul A. Husein, Estetika, Filsafat Seni, dan Keindahan yang Terkubur, artikel dalam Suratkabar Harian Pikiran Rakyat, Sabtu, 26 Maret 2005
http://prys3107.blogspot.com [email protected]
61
pengetahuan logika, sebelum akhirnya ia sampai kepada penggunaan istilah tersebut
dalam kaitan dengan persepsi atas rasa keindahan, khususnya keindahan karya
seni.”65
Jika pada awalnya estetika dimaksudkan sebagai konsep yang berkaitan
dengan pengetahuan rasa dan nilai-nilai keindahan, maka pada abad XIX lah estetika
dikembangkan lebih dari sekedar konsep keindahan. Hal ini diungkapkan Husein
sebagai berikut:
Estetika bukan melulu kualifikasi atas penilaian-penilaian atau evaluasi-evaluasi belaka, melainkan pula menyangkut penelusuran sifat-sifat dan manfaat/kegunaan, ragam penyikapan, pengalaman-pengalaman, dan penikmatan atas nilai-nilai keindahan tersebut. Bahkan kemudian penerapannya tidak lagi dibatasi oleh bingkai konsepsi keindahan semata-mata. Domain estetika menjadi jauh lebih luas ketimbang sekadar penikmatan karya-karya seni secara estetik sekalipun.66
Memudarnya nilai-nilai keindahan sebagai topik sentral dalam teori estetika
sejak zaman Yunani hingga abad XIX, dimulai oleh seorang estetikus Italia,
Benedetto Croce pada permulaan abad 20.
Teori Estetika Croce
Seperti yang dikutip Husein, Croce menggeser konsepsi keindahan dengan
konsep ekspresi dan mengumandangkan pandangan baru bahwa kreasi artistik dan
pengalaman estetik sebagai berasal dari formula ganda; bahwa seni setaraf ekspresi
setaraf intuisi. “Dan bahwa keindahan tak lebih dari ekspresi yang berhasil, karena
65 Loc.Cit. 66 Loc.Cit.
http://prys3107.blogspot.com [email protected]
62
ekspresi yang gagal bukanlah ekspresi. ”Ekspresi dan keindahan bukanlah dua konsep
berbeda, melainkan sebuah konsep tunggal", cetus Croce.”67
Husein sendiri menganggap pemikiran Croce tersebut menimbulkan adanya
paradoks dalam estetika. Husein mengatakan, “‘jika seni identik dengan ekspresi, dan
keindahan juga identik dengan ekspresi, maka bukankah keindahan itu merupakan
esensi dari seni? Namun Croce tetap kukuh pada pendirian bahwa ekspresi dan intuisi
merupakan konsepsi dasar dari mana estetika bisa dipahami.”68
Berangkat dari asumsinya inilah, Croce membedakan antara pengetahuan
konseptual dengan pengetahuan intuitif. Seperti yang dikutip oleh Leonardo
Salamini, pengetahuan konseptual bagi Croce adalah:
Pengetahuan tentang hubungan-hubungan antara benda-benda sebagaimana secara representatif dikembangkan oleh filsafat dan ilmu. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . Sedangkan pengetahuan intuitif adalah pengetahuan ekspresif. . . pengetahuan yang didapatkan melalui imajinasi.69
Hal inilah yang membuat Croce berpendapat bahwa seni lebih utama dari
ilmu, sebab Croce berasumsi bahwa ”intuisi membawa dunia kepada kita, fenomena-
fenomena; sedang konsep memberi noumena, maka seni lebih utama daripada
67 Loc.Cit. 68 Loc.Cit. 69 Leonardo Salamini, Teori Praksis Antonio Gramsci: Estetika, Praksis
Politik, dan Historisisme, esai dalam Mikhail Liftschitz dan Leonardo Salamini, Praksis Seni: Marx & Gramsci, Penerbit Alinea, Yogyakarta, tanpa tahun, hal.175
http://prys3107.blogspot.com [email protected]
63
ilmu.”70 Salamini sendiri mengomentari Croce dengan mengambil kesimpulan bahwa
”hakikat seni adalah, bagi Croce, wujud.”71
Penjelasan di atas membawa penulis pada pemahaman bahwa pengetahuan
intuitif yang menghasil estetika dalam seni, mengambil hakikatnya dalam wujud
(materi) estetika itu sendiri, dan bukan pada isi (ide) estetika. Dimensi estetika dapat
dikenali dari unsur intrinsik yang dikandung dalam wujud seni, semisal bentuk teks
karya sastra. Ini tentu berangkat dari paham materialisme yang dianut Croce.
Dalam konteks penelitian ini, praktik estetika bahasa Jurnalisme Sastra MBM
Tempo hendak penulis kenali dengan menyimak bentuk teks berita di mana terdapat
segenap unsur intrinsik teks sastra. Dengan mengacu pada prinsip Jurnalisme Sastra,
praktik estetika bahasa dalam teks berita Jurnalisme Sastra MBM Tempo akan dikaji
lewat prinsip penyusunan adegan, dialog, perspektif orang ketiga, penempatan detail
dalam teks, struktur, dan suara.
Dan kini penulis akan berlanjut pada pemikiran Gramsci sebagai kelanjutan
dari apa yang telah diuraikan Croce.
70 Ibid., hal.175-176 71 Ibid., hal.176
http://prys3107.blogspot.com [email protected]
64
Kaitan Estetika dan Politik
Jika Croce mengutamakan estetika pada wujudnya, maka Gramsci
menekankannya pada isi dalam estetika itu sendiri. Hal ini diungkapkan oleh
Salamini dalam menanggapi Gramsci tentang estetika sastra sebagai berikut:
Alih-alih menanyakan apa yang indah dalam seni, ia ingin tahu mengapa suatu kesenian dinikmati publiknya. Mengambil contoh sastra, Gramsci mencatat bagaimana kepopulerannya tidak ditentukan oleh ”keindahan”, melainkan apakah ada muatan spesifik yang mampu menarik massa. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . semakin setia sastra dengan budaya dan ”perasaan nasional” dalam perkembangan berkelanjutan, makin populer karakternya.72
Asumsi Gramsci tersebut dikemukakan berdasarkan pandangannya yang
mengatakan bahwa seni bukanlah produk dari dirinya sendiri, melainkan produk
sejarah, maka ”nilai seni terletak dalam hubungan antaraseniman dengan
masyarakatnya, zamannya, dan kondisi-kondisi sejarah umum.”73
Gramsci memang menyetujui pemilahan wujud dengan isi dalam dimensi
estetika seni, namun ia kemudian lebih mengkajinya ke dalam sejarah dan memberi
pandangan baru mengenai estetika. Jika sebelumnya kritik estetika menyoalkan mana
yang seni dan yang bukan seni dari segi wujudnya, maka Gramsci menambahkannya
dengan apa yang disebutnya sebagai kritik sosial budaya atau kritik politik.
Salamini menggambarkan pemikiran Gramsci sebagai berikut, ”Jika kritik
dibatasi hanya pada wujud, seperti yang dilakukan Croce, akan negatiflah
72 Ibid., hal.195 73 Ibid., hal.179
http://prys3107.blogspot.com [email protected]
65
kegiatannya –suatu kritik yang datar dan kering. Kritik positif, alih-alih, diarahkan
pada isi maupun wujud, maka jadilah ia kritik sosial dan budaya.”74
Dari sini penulis memahami bahwa Gramsci telah membedakan kritik estetik
dengan kritik politik. Bila yang pertama mempersoalkan wujud, maka yang kedua
mempersoalkan isi. Salamini pun berkomentar bahwa Gramsci ”memadukan
keduanya dalam sebuah sintesis yang luar biasa, yakni kritik kebudayaan. Kritik
estetik pada akhirnya politis.”75
Mengacu pada konsepsi Gramsci yang mengaitkan estetik dengan politik,
maka dalam penelitian ini selain melakukan kritik estetik pada teks berita Jurnalisme
Sastra MBM Tempo, penulis juga melakukan kritik politik yang ditujukan pada
penggunaan bahasa sebagai praktik politik bahasa.
Bahasa Puisi Sebagai Praktik Politik
Adalah Michel Pechuex yang mengungkapkan adanya dimensi politik dalam
penggunaan bahasa, berangkat dari asumsinya yang menyatakan bahwa
sesungguhnya terdapat perbedaan akses dan penguasaan bahasa yang sama melalui
kelas-kelas sosial. Pecheux, seperti yang dikutip Diane Macdonell, menjelaskan
bahwa ”penggunaan bahasa yang berbeda tersebut dapat dituliskan kembali dalam
74 Ibid., hal.190 75 Ibid., hal.187
http://prys3107.blogspot.com [email protected]
66
pertentangan makna yang beranjak dari ideologi yang berkuasa dan yang dikuasai
yang dibentuk secara antagonis.”76
Macdonell kemudian melanjutkan sebagai berikut, “efek dari kombinasi ini
adalah adanya ‘kosa kata sintaksis’ dan ‘argumen’ yang kontras, yang mengarah,
kadang-kadang dengan kata yang sama, kepada arah yang berbeda tergantung pada
sifat dari kepentingan ideologi yang dipertaruhkan.”77
Penulis memahami bahwa penggunaan bahasa mencerminkan sebuah situasi
di mana ideologi yang berkuasa dengan ideologi yang dikuasai terlibat dalam sebuah
pertentangan makna. Karenanya Macdonell kemudian menyimpulkan pemikiran
Pechuex bahwa “terdapat suatu dimensi politik pada penggunaan masing-masing kata
dan frase dalam tulisan atau percakapan.”78
Singkatnya, penulis memahami pernyataan Pechuex bahwa sebuah politik
pertentangan makna yang tertuang dalam penggunaan bahasa. Dalam konteks
penelitian ini, penggunaan bahasa dalam Jurnalisme Sastra, seperti halnya dalam
sastra secara umum, tak bisa dilepaskan dari kandungan keindahan atau
kepuitisannya.
76 Diane Macdonell, Teori-Teori Diskursus; Kematian Strukturalisme &
Kelahiran Posstrukturalisme Dari Althusser hingga Foucault, Terjemahan Eko Wijayanto, Penerbit Teraju, Jakarta, 2005, hal.60
77 Ibid., hal.60 78 Ibid., hal.46
http://prys3107.blogspot.com [email protected]
67
Mengenai hal ini, Julia Kristeva memperkenalkan konsep ’the poetic
language’ sebagai ”salah satu alternatif pengungkapan ide dan gagasan-gagasan yang
efektif, khususnya apabila persoalan-persoalan yang ingin dikemukakan melibatkan
secara mendalam perasaan, emosi, dan fantasi, seperti pada persoalan kejahatan dan
kekerasan.”79
Konsepsi Kristeva tersebut ditanggapi Yasraf Amir Piliang yang berpendapat
bahwa bahasa puitis (poetic) tersebut ”dapat membongkar hal-hal yang mendasar dan
hakiki dari sebuah tragedi kemanusiaan. Diharapkan, melalui pendekatan
kemanusiaan...persoalan-persoalan mendasar, esensial dan hakiki yang menyangkut
krisis multidimensi,kekerasan dan kejahatan dapat dibongkar.”80
Dalam kata lain, penulis memahami Piliang hendak mengatakan bahwa
bahasa puitis merupakan pendekatan kemanusiaan sebagai alternatif pengungkapan
ide secara efektif yang melibatkan perasaan, emosi, dan fantasi secara mendalam.
Karenanya penggunaan bahasa puitis diharapkan mampu membongkar persoalan
mendasar, esensial dan hakiki yang menyangkut krisis multidimensi mengenai
kemanusiaan itu sendiri.
Penggunaan bahasa inilah juga dimaksudkan Piliang sebagai bagian dari
produk sejarah dan merupakan unsur dari kebudayaan. ”Dan semua unsur
79 Yasraf Amir Piliang, Sebuah Dunia Yang Menakutkan; Mesin-Mesin
Kekerasan Dalam Jagat Raya Chaos, Penerbit Mizan, Bandung, 2001, hal.41 80 Loc.Cit.
http://prys3107.blogspot.com [email protected]
68
kebudayaan dapat berkaitan dengan kekuasaan (power). Artinya, semuanya dapat
digunakan sedemikian rupa sebagai alat untuk mempertahankan kekuasaan.”81
Penjelasan Piliang mengenai bahasa puitis, penggunaan bahasa, dan
kekuasaan, sejalan dengan paradigma kritis yang juga memandang penggunaan
bahasa sebagai praktik politik bahasa. Dedy N. Hidayat mengartikan politik bahasa
dalam paradigma kritis sebagai ”penggunaan simbol-simbol bahasa dalam suatu
struktur ideologi tertentu, oleh kelas sosial tertentu, untuk melanggengkan dominasi
atau hegemoni mereka, terhadap kelas sosial lainnya.”82
Dengan kata lain, penulis memahami bahwa politik bahasa tersebut
merupakan penggunaan bahasa dalam kerangka ideologis pemakainya sebagai praktik
dominasi kelas. Ketika penggunaan bahasa ini dilakukan oleh institusi media massa,
maka penulis mengacu pada uraian Hidayat di atas dengan menyebutnya sebagai
praktik politik bahasa media.
Segenap uraian tersebut kemudian membawa penulis pada kesimpulan bahwa
dalam konteks penelitian ini, praktik politik bahasa Jurnalisme Sastra MBM Tempo
hendak penulis kenali dengan menyimak segenap penggunaan simbol dan gaya
bahasa sastra yang puitis. Lewat simbol dan bahasa puitis tersebutlah, MBM Tempo
mengembangkan Jurnalisme Sastra sebagai praktik politik bahasa dalam
81 Ibid., hal.141 82 Dedy N. Hidayat, Politik Media, Politik Bahasa Dalam Proses
Legitimasi dan Delegitimasi Rejim Orde Baru, artikel dalam Sandra Kartika dan M. Mahendra (Ed), Dari Keseragaman Menuju Keberagaman; Wacana Multikultural Dalam Media, Penerbit Lembaga Studi Pers dan Pembangunan (LSPP), Jakarta, 1999, hal.47
http://prys3107.blogspot.com [email protected]
69
pemberitaannya. Dengan mengacu pada prinsip Jurnalisme Sastra, praktik politik
bahasa dalam teks berita Jurnalisme Sastra MBM Tempo akan dikaji lewat prinsip
simbolisme.
A.6. Wacana
Ismail Marahimin mengartikan wacana sebagai ”kemampuan untuk maju
(dalam pembahasan) menurut urut-urutan yang teratur dan semestinya... komunikasi
buah pikiran, baik lisan maupun tulisan, yang resmi dan teratur.”83
Sedangkan menurut Riyono Praktikno, wacana adalah ”proses berpikir
seseorang yang kaitannya dengan ada tidaknya kesatuan dan koherensi dalam tulisan
yang disajikannya. Makin baik cara atau pola berpikir seseorang, pada umumnya
makin terlihat jelas adanya kesatuan dan koherensi itu.”84
Dari sumber di atas, penulis memahami bahwa wacana sebagai bentuk
komunikasi yang terbentuk dari kesatuan (kohesi) dan (kepaduan) koherensi dalam
bahasa. Namun pengertian wacana tersebut baru sebatas dalam pengertian struktural.
Untuk itu dalam menguraikan bagaimana teori wacana sebagai landasan teoritis
penelitian ini dan model analisis wacana kritis yang digunakan, penulis mengacu
pada teori wacana yang digagas Michel Foucault.
83 Alex Sobur, Analisis Teks Media : Suatu Pengantar untuk Analisis
Wacana, Analisis Semiotik, dan Analisis Semiotik, PT Remaja Rosda Karya, Bandung, 2001, hal.10
84 Loc.Cit.
http://prys3107.blogspot.com [email protected]
70
Teori Wacana Foucault
Michel Foucault adalah seorang pemikir poststrukturalisme yang menggagas
teori wacana dengan melampaui pemikiran strukturalisme tentang bagaimana sebuah
wacana terbentuk. Jika menurut strukturalisme, sebuah wacana terbentuk dari
keterkaitan yang baik antara kohesi dan koherensi dalam kalimat, maka menurut
Foucault, sebuah wacana merupakan produk dari relasi kekuasaan dengan
pengetahuan. Untuk itu, penulis akan memulai pembahasan teori wacana dari asumsi
Foucault tentang kekuasaan.
Secara tradisional, kekuasaan kerap dipandang sebagai kemampuan atau
kekuatan pihak tertentu untuk menguasai yang pihak lemah. Misal saja kekuasaan
raja atau pemerintah kepada rakyatnya. Kekuasaan di sini tentu bersifat negatif.
Namun Foucault, seperti yang ditulis Melani Budianta, justru memandang kekuasaan
bersifat produktif:
Berbeda dengan konsep kekuasaan yang umum, yakni yang dimiliki oleh pihak-pihak yang kuat terhadap yang lemah, kekuasaan bagi Foucault seperti yang diuraikan dalam bukunya Power/ Knowledge bukanlah merupakan suatu entitas atau kapasitas yang dapat dimiliki oleh satu orang atau lembaga, melainkan dapat diibaratkan dengan sebuah jaringan yang tersebar dimana-mana.
Jadi kekuasaan tidak datang secara vertikal dari penguasa terhadap yang ditindas, dari pemerintah ke rakyat, melainkan datang dari semua lapisan masyarakat, ke segala arah.85
85 Melani Budianta, Teori Sastra Sesudah Strukturalisme dari Studi Teks
ke Studi Wacana Budaya, artikel dalam Bahan Pelatihan Teori dan Kritik Sastra, Op.Cit., hal. 49
http://prys3107.blogspot.com [email protected]
71
Penulis memahami bahwa kekuasaan menurut Foucault tidak lagi dimaknai
secara vertikal dari atas ke bawah, atau dari institusi penguasa kepada individu yang
dikuasai, melainkan bahwa kekuasaan datang dari semua lapisan tetapi ia menyebar
secara kompleks kepada segenap individu sebagai subjek yang kecil, dan
menyebabkan praktik kuasa ada di mana-mana.
Foucault kemudian mengaitkan bahwa praktik kekuasaan inilah yang
kemudian mempengaruhi pengetahuan manusia tentang ’kebenaran’. Dalam artian,
apa yang manusia anggap sebagai ’kebenaran’, merupakan hasil dari relasi-relasi
kekuasaan yang membentuk sistem pengetahuan manusia tentang ’kebenaran’ itu
sendiri. Foucault, seperti yang dikutip Mh. Nurul Huda, kemudian berpendapat
bahwa:
Kebenaran tidak berada di luar kekuasaan...kebenaran selalu terkait dengan relasi kekuasaan dalam ranah sosial dan politik. Kebenaran diproduksi melalui banyak cara dan dalam aneka praktek kehidupan manusia sebagai cara mengatur diri mereka dan orang lain. Karena itu, setiap produksi pengetahuan sesungguhnya memuat rezim kebenaran. Dengan demikian, kekuasaan pun bersifat konstitutif dalam pengetahuan, sehingga kekuasaan sebenarnya tersebar pada seluruh level masyarakat dan bermacam relasi sosial.86
Penjelasan di atas penulis pahami bahwa lewat relasi kekuasaan yang
menyebar itulah manusia membuat atau memproduksi sistem atas suatu pengetahuan
tertentu yang tidak lagi dipertanyakan orang, hingga dianggap sebagai suatu
’kebenaran’.
86 Mh. Nurul Huda, Ideologi Sebagai Praktek Kebudayaan, artikel dalam
Jurnal Filsafat Driyarkara, Edisi Th.XXVII No.3/2004, hal.53
http://prys3107.blogspot.com [email protected]
72
Maka jelas bahwa kekuasaan selalu meproduksi pengetahuan manusia, dan
produksi pengetahuan manusia sesungguhnya memuat rezim ’kebenaran’. Dalam
rangka inilah Foucault menempatkan wacana (discourse; diskursus) sebagai praktik
yang terbentuk dari relasi antara kekuasaan dengan pengetahuan.
Budianta menulis bahwa, ”Menurut Foucault, kekuasaan mewujudkan diri
melalui wacana dengan berbagai cara. Salah satu di antaranya adalah melalui
prosedur menyeleksi atau memisahkan mana yang dianggap layak dan yang tidak
layak; dengan memberlakukan sejumlah pelarangan terhadap beberapa jenis
wacana...dengan membedakan apa yang disebut benar dan salah.”87
Mengenai kaitan antara kekuasaan dengan pengetahuan dalam sebuah wacana,
Eriyanto juga berkomentar demikian:
Wacana tertentu menghasilkan kebenaran dan pengetahuan tertentu yang menimbulkan efek kuasa. Kebenaran disini, oleh Foucault tidak dipahami sebagai sesuatu yang datang dari langit...akan tetapi, ia diproduksi, setiap kekuasaan menghasilkan dan memproduksi kebenaran sendiri melalui mana khalayak digiring untuk mengikuti kebenaran yang telah ditetapkan tersebut. Di sini, setiap kekuasaan selalu berpretensi menghasilkan rezim kebenaran tertentu yang disebarkan lewat wacana yang dibentuk oleh kekuasaan.88
Hal tersebut penulis pahami bahwa kebenaran atau pengetahuan manusia yang
tercermin dalam sebuah wacana, sangat ditentukan dari praktik-praktik kekuasaan
yang melingkari manusia itu sendiri. Apa yang dianggap benar dan yang dianggap
87 Melani Budianta, Op.Cit., hal.48 88 Eriyanto, Op.Cit, hal.66-67
http://prys3107.blogspot.com [email protected]
73
salah oleh manusia, merupakan wacana sebagai hasil dari relasi kekuasaan dengan
pengetahuan.
Ideologi, Hegemoni, dan Aparatus Negara
Foucault juga kemudian mengkritik Karl Marx yang berusaha memisahkan
pengetahuan sejati yang sesuai dengan realitas, dengan pengetahuan palsu yang tidak
mencerminkan realitas sebenarnya (ideologi). Menurut Foucault, tidak ada
pengetahuan sejati, sebab pengetahuan manusia terbentuk dari praktik wacana.
Sehingga setiap pengetahuan adalah ideologi. Dan ideologi ada dalam praktik wacana
itu sendiri.
Berkaitan dengan hal di atas, Huda menyatakan bahwa, ”Bila Marx
berpandangan bahwa ideologi adalah mistifikasi kekuasaan, Foucault lebih tegas
menyatakan bahwa ideologi sebenarnya adalah ’discourse’ yang berjalin-kelindan
dengan aneka praktek masyarakat, di mana relasi kekuasaan berlangsung dan di
dalamnya diciptakan sebentuk kebenaran.”89
Keterangan di atas membawa penulis pada bagaimana pengetahuan manusia
(ideologi) tersebut disebarkan dan diproduksi dalam sebuah wacana. Dalam rangka
inilah dapat ditempatkan konsep Louis Althusser yang memperkenalkan bentuk
Aparatus Negara sebagai agen-agen pemerintah yang mereproduksi ideologi, yakni
Aparatus Ideologis Negara (AIN).
89 Mh. Nurul Huda, Loc.Cit.
http://prys3107.blogspot.com [email protected]
74
Althusser melihat bahwa ada Aparatus Negara yang memproduksi ideologi
sebagai pengetahuan masyarakat. Ia menyebutkan “Aparatus Represif Negara
menjalankan fungsinya dengan kekerasan, sementara Aparatus Ideologis Negara
menjalankan fungsinya dengan ideologi.”90
Aparatus Ideologis Negara (AIN) tersebut antara lain adalah “AIN
Keagamaan,...AIN Pendidikan,...AIN Keluarga,…AIN Hukum,…AIN Politik,…AIN
Serikat Buruh,…AIN Komunikasi,…AIN Kebudayaan.”91
AIN inilah yang dijelaskan Althusser berfungsi;
…secara masif dan terutama dengan menggunakan ideologi, apa yang menyatukan keberagaman mereka itu ialah dalam pelaksanaan fungsi karena ideologi yang mereka jalankan dalam senantiasa satu, tak peduli keberagaman dan kontradiksi-kontradiksi di antara mereka. Ideologi itu ialah ideologi yang berkuasa, yang tak lain adalah ideologinya kelas yang berkuasa.92
Penjelasan Althusser tentang AIN tersebut memang berusaha menyeragamkan
sekian banyak AIN dalam satu kerangka ideologi tunggal yang merupakan cerminan
ideologi kelas berkuasa. Dan penulis bahwa Althusser hendak menekankan bahwa
ideologi menempatkan individu dalam hubungan relasi-relasi kekuasaan sejumlah
AIN yang digunakan kelas berkuasa dalam mengontrol kelas yang dikuasainya.
90 Louis Althusser, “Ideologi dan Aparatus Ideologis Negara”, esai dalam
Louis Althusser, Filsafat Sebagai Senjata Revolusi, Penerbit Resist Book, Yogyakarta, 2007, hal.169
91 Ibid., hal.167-168 92 Ibid., hal.171
http://prys3107.blogspot.com [email protected]
75
Relasi-relasi kekuasaan tersebut sebagai konsep hegemoni yang diperkenalkan
oleh Antonio Gramsci. Eriyanto dalam mengenai keterhubungan konsep Althusser
dengan Gramsci dinyatakan sebagai berikut:
Teori Althusser tentang ideologi menekankan bagaimana kekuasaan kelompok yang dominan dalam mengontrol kelompok lain. Pertanyaannya, bagaimana cara penyebaran ideologi itu dilakukan? Pada titik ini, teori Gramsci tentang hegemoni layak dikedepankan. Antonio Gramsci membangun suatu teori yang menekankan bagaimana penerimaan kelompok yang didominasi terhadap kehadiran kelompok dominan berlangsung dalam suatu proses yang damai, tanpa tindak kekerasan.93
Menyoal konsep hegemoni, Eriyanto juga menyebutkan Raymond William
sebagai pemikir yang menanggapi Gramsci lebih lanjut. William sendiri merumuskan
bahwa hegemoni “bekerja melalui dua saluran: ideologi dan budaya. Lewat
hegemoni, ideologi kelompok dominan dapat disebarkan, sementara nilai dan
kepercayaan dapat ditularkan. Berbeda dibandingkan manipulasi hegemoni justru
terlihat wajar, orang menerima sebagai kewajaran dengan sukarela.”94
Apa yang disampaikan William tersebut memang melanjutkan pemikiran
Gramsci, yang mana keduanya berangkat dari penjelasan Althusser tentang AIN.
Untuk itu penulis berkesimpulan bahwa dari seluruh penjelasan di atas, yakni
hegemoni merupakan suatu relasi kekuasaan yang menyebarkan ideologi negara (atau
kelompok berkuasa) lewat AIN-AIN, di mana ideologi tersebut diterima secara
93 Eriyanto, Op.Cit., hal.103 94 Eriyanto, Politik Pemberitaan, Majalah Pantau Edisi 09.Tahun 2000, hal.82
http://prys3107.blogspot.com [email protected]
76
sukarela dan dianggap sebagai pengetahuan masyarakat. Semua ini tercermin sebagai
praktik wacana yang dilakukan oleh AIN-AIN tersebut.
Untuk itu, penulis memandang bahwa wacana merupakan cara menghasilkan
pengetahuan, praktik sosial yang menyertainya, bentuk subjektivitas yang terbentuk
darinya, relasi kekuasaan yang ada di baliknya, dan kesaling-berkaitan di antara
semua aspek ini.
Metode Analisis Wacana Kritis
Dalam tradisi ilmu komunikasi dan kebahasaan (linguistik), metode yang
digunakan dalam menggali bagaimana pesan komunikasi ditampilkan lewat bahasa,
yakni dengan menggunakan analisis kebahasaan atau teks secara struktural. Antara
lain adalah metode analisis isi dan analisis wacana.
Melanjutkan pendekatan kebahasaan dalam metode analisis wacana secara
struktural, kini hadir analisis wacana kritis yang mengembangkan komponen
analisisnya lebih luas lagi. Untuk itu Guy Cook menyebutkan ada tiga komponen
analisis dalam wacana, yakni teks, konteks, dan wacana. Cook menguraikannya
sebagai berikut:
Teks adalah semua bentuk bahasa, bukan hanya kata-kata yang tercetak di lembar kertas, tetapi juga semua jenis ekspresi komunikasi, ucapan, musik, gambar, efek suara, citra, dan sebagainya. Konteks memasukkan semua situasi dan hal yang berada di luar teks dan mempengaruhi pemakaian bahasa, seperti partisan dalam bahasa, situasi di mana teks tersebut diproduksi, fungsi yang dimaksudkan, dan sebagainya. Wacana di sini, kemudian dimaknai sebagai teks dan konteks secara bersama-sama dalam suatu proses komunikasi.95
95 Eriyanto, Op.Cit., 2005, hal.9
http://prys3107.blogspot.com [email protected]
77
Dalam uraian Cook inilah, ketiga komponen tersebut yang hendak dikaji
dalam studi analisis bahasa dan analisis teks media. Adapun metode Analisis Wacana
Kritis merupakan ragam metode studi bahasa dan teks media yang menganalisis
wacana dengan bersandar pada paradigma kritis. Dalam kata lain, analisis pada
tataran struktur kebahasaan dan penyampaian pesan yang dibungkus dalam simbol-
simbol kebahasaan tertentu, dilanjutkan dengan menganalisis “proses produksi dan
reproduksi makna dalam teks yang terjadi secara historis maupun institusional dalam
media tersebut.”96
Menurut Fairclough dan Wodak, seperti yang dikutip Eriyanto, analisis
wacana kritis melihat “wacana –pemakaian bahasa dalam tuturan dan tulisan– sebagai
bentuk praktik sosial yang menyebabkan sebuah hubungan dialektis di antara
peristiwa diskursif tertentu dengan situasi, institusi, dan struktur sosial yang
membentuknya.”97
Karenanya, Analisis Wacana Kritis berusaha menghubungkan teks yang
mikro dengan konteks yang makro di mana teks tersebut diproduksi. Konteks di sini
berarti bahasa itu dipakai untuk tujuan dan praktik tertentu, termasuk di alamnya
praktik kekuasaan.
96 Ibid, hal.6 97 Ibid., hal.7
http://prys3107.blogspot.com [email protected]
78
B. Operasionalisasi Konsep
Berbeda dengan pendekatan kuantitatif, dalam penelitian kualitatif ukuran
konsep yang operasional bukan merupakan ukuran pasti dan terukur. Namun hal ini
dapat diatasi dengan memasukkan sebanyak mungkin fakta empiris ke dalam
penelitian dan melihat bagaimana konsep-konsep yang ada dapat bekerja selanjutnya.
Berikut ini uraian singkat yang penulis gunakan sebagai acuan operasional
dari konsep-konsep terkait dalam penelitian ini:
1. Media massa merupakan sebuah institusi komunikasi publik yang menyampaikan
pesan kepada masyakat luas, serta berpartisipasi dalam aspek permasalahan dalam
masyarakat tersebut, seperti ekonomi, politik dan budaya dimana media massa
tersebut hidup.
2. Media massa dalam paradigma kritis bukanlah sarana yang netral dalam
pemberitaannya. Media menempatkan kelompok-kelompok yang diberitakannya
tersebut dalam posisi yang dominan dan marjinal. Media merupakan pembentuk
konsensus di masyarakat terjadi lewat proses yang rumit, kompleks, dan
melibatkan kekuatan-kekuatan sosial yang ada dalam masyarakat. Dalam
penelitian ini, MBM Tempo adalah kelompok institusi media yang dikelilingi
kekuatan-kekuatan sosial di sekelilingnya.
3. Berita merupakan laporan faktual dan aktual yang menarik perhatian pembaca
dan dipilih oleh staff redaksi untuk disiarkan.
4. Berita dalam paradigma kritis adalah hasil dari pertarungan wacana antara
berbagai kekuatan dalam masyarakat yang selalu melibatkan pandangan dan
http://prys3107.blogspot.com [email protected]
79
ideologi wartawan atau media. Sebuah teks berita ditulis oleh wartawan bukan
berdasarkan pertimbangan etis, tetapi dari pertimbangan ideologis. Dalam
penelitian ini, berita yang hendak dianalisis adalah berita yang memuat kasus
dugaan korupsi yang melibatkan pejabat negara Kabinet Indonesia Bersatu.
5. Korupsi merupakan merupakan suatu tindakan penyalahgunaan kekuasaan atau
wewenang demi memperoleh keuntungan pribadi. Korupsi dekat dengan
kekuasaan pemerintah sebagai penyelenggara negara. Dan kebanyakan dari kasus
korupsi yang terjadi, menunjukkan keterlibatan pejabat negara.
6. Pejabat negara adalah orang yang menjalankan fungsi eksekutif, legislatif, atau
yudikatif, dan pejabat lain yang fungsi dan tugas pokoknya berkaitan dengan
penyelenggaraan negara sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan
yang berlaku. Dalam penelitian ini, pejabat Negara yang dimaksud adalah
penjabat Negara setingkat menteri dalam Kabinet Indonesia Bersatu.
7. Feature berita adalah laporan jurnalistik yang menggabungkan kandungan unsur
aktualitas dan unsur daya pikat manusia, serta memiliki kandungan subjektifitas
dan kreatifitas wartawannya lewat teknik penulisan tertentu sebagai sebuah
pemberitaan mengenai suatu peristiwa.
8. Jurnalisme Sastra merupakan bagian dari Jurnalisme Baru yang lahir di Amerika
Serikat pada 1960-an, yakni perpaduan antara bentuk penulisan sastra dengan
jurnalisme. Jurnalisme Sastra dapat dikenali dari praktik peliputannya dan bentuk
penulisannya. Jenis tulisannya sendiri dapat dikategorikan sebagai feature berita.
http://prys3107.blogspot.com [email protected]
80
9. Dari sisi praktik peliputan, Jurnalisme Sastra merupakan salah satu bentuk praktik
jurnalisme yang sejalan dengan tuntutan zaman, agar institusi media cetak dapat
menyajikan berita yang mendalam sekaligus menarik. Karenanya praktik
Jurnalisme Sastra melibatkan peran redaktur atau wartawan senior dalam
penulisannya, serta memakan waktu peliputan yang lama. Dalam penelitian ini,
analisis praktik peliputan atau produksi berita Jurnalisme Sastra MBM Tempo
akan ditempatkan pada level discourse practice dalam metode Analisis Wacana
Kritis.
10. Dari sisi bentuk penulisan, Jurnalisme Sastra dapat dikenali bentuknya lewat
unsur intrinsik dimana digunakan setidaknya 10 prinsip penulisan Jurnalisme
Sastra, yakni penyusunan adegan, dialog, perspektif orang ketiga, penempatan
detail dalam teks, akurasi, keterlibatan, struktur, suara, tanggung jawab, dan
simbolisme. Dengan mengacu pada prinsip Jurnalisme Sastra tersebut, penulis
hendak mengetahui bagaimana unsur intrinsik yang dikembangkan dalam teks
berita Jurnalisme Sastra MBM Tempo sebagai praktik estetik dan politik bahasa.
11. Selain menyoalkan mana yang seni dan yang bukan seni dari segi wujud, kritik
estetik juga mesti dilakukan dalam rangka kritik politis. Bila kritik estetik dalam
penelitian ini ditujukan pada unsur intrinsik teks berita Jurnalisme Sastra MBM
Tempo, maka kritik politik ditujukan pada penggunaan bahasa sebagai praktik
politik bahasa dalam teks berita Jurnalisme Sastra MBM Tempo. Dalam
penelitian ini, analisis praktik estetik dan politik bahasa Jurnalisme Sastra MBM
Tempo akan ditempatkan pada level teks dalam metode Analisis Wacana Kritis.
http://prys3107.blogspot.com [email protected]
81
12. Estetika merupakan pengetahuan intuitif yang mengambil hakikatnya dalam
bentuk (materi) estetika itu sendiri. Dimensi estetika dapat dikenali dari unsur
intrinsik yang dikandung dalam wujud seni, semisal bentuk teks karya sastra.
Dalam konteks penelitian ini, praktik estetika bahasa Jurnalisme Sastra MBM
Tempo hendak penulis kenali dengan menyimak bentuk teks berita di mana
terdapat segenap unsur intrinsik teks sastra. Dengan mengacu pada prinsip
Jurnalisme Sastra, praktik estetika bahasa dalam teks berita Jurnalisme Sastra
MBM Tempo akan dikaji lewat prinsip penyusunan adegan, dialog, perspektif
orang ketiga, penempatan detail dalam teks, struktur, dan suara.
13. Politik bahasa media merupakan penggunaan bahasa lewat simbol-simbol bahasa
dalam suatu struktur ideologi tertentu, oleh kelas sosial tertentu, dalam kerangka
ideologis media massa sebagai praktik dominasi kelas untuk melanggengkan
dominasi mereka terhadap kelas sosial lainnya. Dalam konteks penelitian ini,
praktik politik bahasa Jurnalisme Sastra MBM Tempo hendak penulis kenali
dengan menyimak segenap penggunaan simbol dan gaya bahasa sastra yang
puitis. Dengan mengacu pada prinsip Jurnalisme Sastra, praktik politik bahasa
dalam teks berita Jurnalisme Sastra MBM Tempo akan dikaji lewat prinsip
simbolisme.
14. Wacana adalah cara menghasilkan pengetahuan, praktik sosial yang
menyertainya, bentuk subjektivitas yang terbentuk darinya, relasi kekuasaan yang
ada di baliknya, dan kesaling-berkaitan di antara semua aspek ini.
http://prys3107.blogspot.com [email protected]
82
15. Analisis Wacana Kritis merupakan metode analisis teks media yang
menghubungkan teks yang mikro dengan konteks yang makro di mana teks
tersebut diproduksi. Konteks di sini berarti bahasa itu dipakai untuk tujuan dan
praktik tertentu, termasuk di dalamnya praktik kekuasaan.
http://prys3107.blogspot.com [email protected]
83
C. Kerangka Pemikiran
Konsep-konsep yang telah dijelaskan sebelumnya tergambar dalam kerangka
pemikiran sebagai berikut:
MBM Tempo
Jurnalisme Sastra
PEMBERITAAN KASUS DUGAAN KORUPSI YANG MELIBATKAN PEJABAT NEGARA KABINET INDONESIA BERSATU
Analisis Wacana Kritis
Sociocultural Practice
Discourse Practice
Teks (Analisis Teks Ekletif)
http://prys3107.blogspot.com [email protected]
84
BAB III
DESAIN PENELITIAN
A. Paradigma Penelitian
Istilah paradigma diperkenalkan pertama kali oleh Thomas Kuhn dalam
menjelaskan perkembangan ilmu pengetahuan. Ia merumuskan bahwa paradigma
adalah ”serangkaian asumsi-asumsi teoritis yang umum serta hukum-hukum ilmiah
beserta tehnik-tehnik penerapannya yang diterima oleh komunitas ilmiah tertentu.”1
Dalam konteks penelitian ilmiah, Bogdan dan Biklen merumuskan bahwa
paradigma adalah “kumpulan longgar dari sejumlah asumsi yang dipegang bersama,
konsep atau proposisi yang mengarahkan cara berpikir dan penelitian.”2
Dari dua keterangan di atas, penulis memahami bahwa paradigma merupakan
arah cara berpikir dalam penelitian ilmiah, yang sesuai dengan asumsi teoritis, hukum
ilmiah, dan tehnik penerapan tertentu yang digunakan oleh komunitas ilmiah tertentu.
Maka sebuah paradigma berfungsi untuk mendasari dan memediasi praktik-praktik
ilmiah dalam masyarakat ilmiah tertentu.
Kuhn juga mengatakan jika praktik-praktik ilmiah yang berlaku di masyarakat
ilmiah tersebut mulai mengalami kegagalan dan tidak sanggup lagi mempertahankan
klaim-klaim teoritisnya, maka akan terjadi sebuah krisis ilmiah. Krisis inilah yang
1 Rachmad Hidayat, Ilmu yang Seksis; Feminisme dan Perlawanan terhadap Teori Sosial Maskulin., Penerbit Jendela, Yogyakarta, 2004, hal.77
2 Lexy J. Moleong, Metode Penelitian Kualitatif, PT Remaja Rosdakarya,
Bandung, 2000, hal.49
http://prys3107.blogspot.com [email protected]
85
menurut Kuhn dapat diatasi bukan dengan jalan memperbaiki paradigma yang sudah
ada, melainkan menggantikannya dengan sebuah paradigma yang baru:
Untuk selanjutnya paradigma tersebut dipercaya dengan janji-janji ilmiahnya, dan mulai berfungsi membimbing praktik-praktik ilmu yang baru hingga akhirnya menemui masa krisisnya sendiri. Siklus pergantian antar paradigma yang berjalan terus menerus serta bersifat bersifat terputus-putus itulah yang disebut Kuhn sebagai revolusi ilmiah.3
Dari penjelasan di atas penulis menyimpulkan bahwa kekuatan dasar yang
mampu mempertahankan eksistensi sebuah ilmu pengetahuan adalah paradigma.
Paradigma memberikan sistematisasi dan sekaligus konstruksi cara pandang untuk
menangkap objek realitas kebenaran yang ada pada seluruh bagian ilmu pengetahuan.
Paradigma tidaklah bersifat tunggal, universal, dan abadi, melainkan majemuk,
temporer, dan berganti-ganti dalam masa tertentu.
Paradigma yang penulis gunakan dalam penelitian ini adalah paradigma kritis.
yang bersumber dari Teori Kritis Mazhab Frankfurt. Paradigma kritis sendiri
merupakan paradigma baru yang lahir setelah paradigma positivisme dalam ilmu
pengetahuan mengalami krisis ilmiah.
Teori Kritis lahir sebagai kelanjutan dari kultur perkembangan pemikiran-
pemikiran kritis sejak Immanuel Kant, Hegel, Karl Marx, dan psikoanalisa Sigmund
Feud. Dari keempat pemikiran kritis para filsuf besar inilah, pemikir-pemikir
kelompok Sekolah Frankfurt di Jerman (yang kemudian dikenal sebagai Mazhab
3 Rachmad Hidayat, Loc.Cit.
http://prys3107.blogspot.com [email protected]
86
Frankfurt) melahirkan Teori Kritis sebagai ‘kritik ideologi’ terhadap ilmu
pengetahuan.
Martin Jay mengatakan bahwa, “Teori Kritis menolak memberhalakan
pengetahuan sebagai sesuatu yang terpisah dan lebih penting dari tindakan. Selain
itu, ia mengakui bahwa penelitian ilmiah yang nir-kepentingan tidak mungkin
dilakukan dalam suatu masyarakat di mana anggotanya belum otonom.”4
Penulis memahami bahwa pada dasarnya peneliti sebagai individu merupakan
bagian dari masyarakat itu sendiri. Karena individu tidak mungkin terlepas dari
lingkungan sosial masyarakatnya, maka individu tersebut tidak mungkin terbebas dari
kepentingan atau pengaruh sosialnya. Maka, jelas artinya bahwa pengetahuan tidak
bisa terlepas dari kepentingan atau ideologi tertentu.
Adalah Max Horkheimer, generasi pertama Mazhab Frankfurt, yang
merumuskan empat karakter dialektis Teori Kritis, yakni:
Pertama, Teori Kritis bersifat historis, artinya Teori Kritis dikembangkan berdasarkan situasi masyarakat yang konkret dan berpijak di atasnya. Kedua, karena Teori Kritis dibangun atas kesadaran penuh dan keterlibatan penuh para pemikirnya, maka Teori Kritis juga kritis pada dirinya sendiri dengan demikian membuka dari segala kritik, evaluasi dan refleksi terhadap dirinya. Ketiga, Teori Kritis selalu mempunyai kecurigaan penuh terhadap masyarakat aktual, karena secara mendasar ia selalu akan mempertanyakan segala kenyataan yang ada di balik kedok-kedok ideologis. Keempat, Teori Kritis dibangun untuk mendorong terjadinya transformasi masyarakat dengan jalan praksis.5
4 Martin Jay, Sejarah Mazhab Frankfurt: Imajinasi Dialektis dalam Perkembangan Teori Kritis, Kreasi Wacana, 2005, h.115
5 St. Tri Guntur Narwaya, Matinya Ilmu Komunikasi, Resist Book,
Yogyakarta, Mei, 2006, hal.163-164
http://prys3107.blogspot.com [email protected]
87
Di sisi lain, kelahiran Teori Kritis sebagai salah paradigma ilmu juga banyak
dipengaruhi situasi sosial politik di Jerman saat itu. Hal ini diungkapkan Tri Guntur
Narwaya:
Kemunculan Teori Kritis sangat dipengaruhi oleh kondisi sosial politik pada waktu itu, yaitu ketika rezim Stalinisme dan Nazisme Jerman dianggap menghancurkan peradaban kemanusiaan.. para pemikir Frankfurt berusaha untuk melakukan upaya pembongkaran terhadap totalitarisme dan selubung-selubung ideologis yang dibangunnya.6
Hal ini berarti, tugas utama Teori Kritis merupakan upaya untuk menelanjangi
usaha-usaha dominasi total, sekaligus membongkar praktik ideologi yang dilakukan
oleh rezim dominan tersebut. Realitas sosial-politik di Jerman saat Teori Kritis
berkembang, tengah dalam kondisi masyarakat yang dipenuhi propaganda Hilter
lewat media. Media menjadi alat pemerintah untuk mengontrol publik. Paradigma
kritis kemudian memandang media bukan lagi sebagai entitas yang netral, tetapi bisa
dikuasai oleh kelompok dominan.
Dalam konteks penelitian tentang media massa, Ibnu Hamad menguraikan
bahwa paradigma kritis adalah salah satu dari banyak paradigma penelitian:
Paradigma kritikal melihat realitas yang teramati (vitual realiy), dalam hal ini realitas media, adalah realitas ‘semu’ yang terbentuk oleh proses sejarah dan kekuatan-kekuatan sosial budaya dan ekonomi politik. Dengan demikian… yang menjadi objek dalam riset ini, adalah realitas yang teramati sebagai konstruksi para pembuatnya (wartawan) yang dipengaruhi oleh faktor sejarah media di mana para wartawan bekerja dan oleh kekuatan-kekuatan lain itu.7
6 Ibid., hal.165 7 Ibnu Hamad, Konstruksi Realitas Politik Dalam Media Massa; Sebuah
Studi Critical Discourse Analysis terhadap Berita-berita Politik, Penerbit Granit, Jakarta, 2004, hal.38
http://prys3107.blogspot.com [email protected]
88
Dari penjelasan di atas penulis memahami bahwa secara ontologis, paradigma
kritis memandang objek realitas yang diamati dalam penelitian adalah realitas semu
yang terbentuk oleh faktor sejarah kekuatan-kekuatan lain yang mengelilingi media
tersebut.
Hamad kemudian menjelaskan bahwa pada tataran epistemologis, “paradigma
kritik melihat hubungan antara peneliti dan realitas yang diteliti selalu dijembatani
oleh nilai-nilai tertentu (transactionalist/ subjectivist).”8
Penulis memahami bahwa posisi peneliti dalam paradigma ini tidaklah
terlepas dari kepentingan atau pengaruh sosial. Sebab pada dasarnya peneliti sebagai
individu merupakan bagian dari masyarakat itu sendiri dan paradigma kritis
berasumsi bahwa pengetahuan bukanlah sesuatu yang terpisah dan lebih penting dari
tindakan.
Kemudian pada level metodologi, Hamad mengusulkan penggunaan multi
level methods yang mengacu pada model Norman Fairclough:
Seraya menempatkan diri sebagai aktivis/ partisipan dalam proses transformasi sosial, penulis melakukan analisis secara komprehensif, kontekstual, dan dalam berbagai tingkatan (mulati-level analysis) . . . yang mengacu pada pemikiran Fairclough guna memenuhi tuntutan methodologis paradigma kritis itu. Teknik penelitian seperti ini dilakukan tiada lain agar dapat diperoleh pemahaman secara empatif (empathic understanding atau verstehen) dalam menemukan makna di balik teks atau tanda dengan memperhatikan konteks dalam berbagai tingkatannya.9
8 Ibid., hal.43 9 Ibid., hal.44
http://prys3107.blogspot.com [email protected]
89
Sejalan dengan paradigma kritis yang lahir dari keterbatasan paradigma
positivisme, maka pendekatan metodologi yang tepat dalam menjalankan penelitian
ini adalah pendekatan metodologi kualitatif. Emy Susanti Hendrarso menjelaskan
sebagai berikut:
Penelitian kualitatif yang berakar dari ‘paradigma interpretatif’ pada awalnya muncul dari ketidakpuasan atau reaksi terhadap ‘paradigma positivist’ yang menjadi akar penelitian kuantitatif. Ada beberapa kritik yang dilontarkan terhadap pendekatan positivist, di antaranya adalah pendekatan kuantitatif mengambil model penelitian ilmu alam untuk penelitian sosial sehingga tidak dapat digunakan untuk memahami kehidupan sosial sepenuhnya.10
Hendrarso kemudian melanjutkan bahwa penelitian kualitatif dapat diterapkan
apabila, “topik penelitiannya merupakan hal yang sifatnya kompleks, sensitif, sulit
diukur dengan angka, dan berhubungan erat dengan interaksi sosial dan proses
sosial.”11
Mengenai pendekatan kualitatif, Lexy J. Moleong dengan mengutip Bogdan
dan Taylor, menjelaskan bahwa penelitian metodologi kualitatif sebagai “prosedur
penelitian yang menghasikan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari
orang-orang dan perilaku yang dapat diamati. . . pendekatan ini diarahkan pada latar
dan individu tersebut secara holistik (utuh).12
10 Emy Susanti Hendrarso, “Penelitian Kualitatif: Sebuah Pengantar”,
dalam Bagong Suyanto dan Sutinah (Ed.), Metode Penelitian Sosial: Berbagai Alternatif Pendekatan, Penerbit Kencana, Jakarta, 2005, hal.166
11 Ibid., hal.170 12 Lexy J. Moleong, Op.Cit., hal.3
http://prys3107.blogspot.com [email protected]
90
Dari keterangan di atas, penulis pahami bahwa penggunaan pendekatan
kualitatif lahir karena keterbatasan pendekatan kuantitatif dan paradigma positivisme.
Karenanya penulis mendapati kesesuaian dalam menggunakan pendekatan kualitatif
dengan paradigma kritis sebagai landasan metodologis penelitian ini.
Dari keterangan tersebut penulis juga memahami bahwa penggunaan
pendekatan kualitatif dalam penelitian ini sesuai dengan topik Jurnalisme Sastra yang
sifatnya kompleks, sulit diukur dengan angka, dan berhubungan erat dengan interaksi
sosial dan proses sosial. Karenanya, penelitian yang penulis jalankan di sini tidak
semata menghasilkan data yang dapat diukur berupa angka, namun akan menghasikan
data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang dan perilaku yang dapat
diamati.
Penggunaan paradigma kritis dan pendekatan kualitatif dalam penelitian ini
membuat hubungan penulis sebagai peneliti dengan objek penelitian adalah hubungan
yang interaktif, dan sarat penilaian. Interpretasi penulis sebagai peneliti terhadap
objek penelitian tak bisa dilepaskan dari latar subjektif sosio-kultur penulis.
Mengenai subjektifitas dalam interpretasi ini, Agus Sudibyo mengungkapkan,
”mesti disadari bahwa proses pemaknaan itu tak bisa dilepaskan dari unsur
subyektivitas sang pemberi makna. Namun tak perlu khawatir, sebab teori-teori jenis
ini memang mengizinkan seorang peneliti melakukan interpretasi atas teks secara
subyektif akibat pengaruh pengalaman hidupnya.”13
13 Agus Sudibyo, Ibnu Hamad dan Muhamad Qadari, Kabar-Kabar Kebencian: Prasangka Agama di Media Massa, ISAI, Jakarta, 2001, h.18
http://prys3107.blogspot.com [email protected]
91
Hal di atas penulis pahami sebagai karakteristik pendekatan kualitatif yang
memungkinkan intepretasi dan subjektivitas peneliti merupakan syarat dalam
menggunakan metode analisis wacana kritis. Kemudian dalam kaitannya dengan
metode penelitian yang akan penulis gunakan, Alex Sobur mengemukakan
karakteristik pendekatan kualitatif dalam metode analisis wacana kritis sebagai
berikut:
Pertama, analisis wacana lebih menekankan pada pemaknaan teks ketimbang jumlah unit kategori seperti dalam analisis isi. Kedua, analisis wacana berpretensi memfokuskan pada pesan latent (tersembunyi). Ketiga, analisis wacana bukan sekedar bergerak dalam level makro (isi dari satu teks), tetapi juga pada level mikro yang menyusun suatu teks, seperti kata, kalimat, ekspresi, dan retoris. Keempat, analisis wacana tidak berpretensi melakukan generalisasi.14
Dari keterangan di atas, penulis memahami bahwa pada dasarnya setiap teks
dapat dimaknai secara berbeda dan ditafsirkan secara beragam. Karenanya, metode
Analisis Wacana Kritis tidak berpretensi melakukan generalisasi, namun lebih
menekankan pada pemaknaan pesan laten dalam teks sesuai kemampuan interpretasi
peneliti. Dari hal tersebutlah kualitas penelitian dapat dinilai.
B. Metode Penelitian
Metode yang penulis gunakan disini adalah metode Analisis Wacana Kritis
yang dimaksudkan dapat menggali bagaimana mengetahui bagaimana hubungan
antara teks berita yang mikro, produksi dan konsumsi teks yang meso, dengan
14 Alex Sobur, Analisis Teks Media; Suatu Pengantar untuk Analisis Wacana, Analisis Semiotik, dan Analisis Semiotik, PT Remaja Rosdakarya, Bandung, 2001, hal.70-71
http://prys3107.blogspot.com [email protected]
92
konteks sosial yang makro dalam praktik Jurnalisme Sastra MBM Tempo sebagai
praktik estetik dan politik bahasa media pada pemberitaan kasus dugaan korupsi yang
melibatkan pejabat negara Kabinet Indonesia Bersatu.
Eriyanto mengungkapkan bahwa secara umum ada tiga tingkatan analisis
dalam analisis wacana kritis:
Pertama, analisis mikro, yakni analisis pada teks semata, yang dipelajari terutama unsur bahasa yang dipakai. Kedua, analisis makro, yakni analisis struktur sosial, ekonomi, politik, dan budaya masyarakat. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . Ketiga, analisis meso, yakni analisis pada diri individu sebagai penghasil atau pemroduksi teks, termasuk juga analisis pada sisi khalayak sebagai konsumen teks.15
Ketiga tingkatan ini sejalan dengan tujuan penelitian yang hendak mengetahui
bagaimana hubungan antara teks berita yang mikro, produksi dan konsumsi teks yang
meso, dengan konteks sosial yang makro dalam praktik Jurnalisme Sastra MBM
Tempo sebagai praktik estetik dan politik bahasa media.
Eriyanto mengatakan bahwa ketiga level tersebut secara lengkap terdapat pada
model yang diperkenalkan oleh Teun A. van Dijk dan Norman Fairclough yang juga
memokuskan analisis pada level meso produksi teks berita. Ia mengatakan bahwa,
”Pada model van Dijk dan Fairclough bukan semata memasukkan konteks sebagai
variabel penting dalam analisis tetapi juga analisis pada tingkat meso, bagaimana
konteks itu diproduksi dan dikonsumsi.”16
15 Eriyanto, Analisis Wacana: Pengantar Analisis Teks Media, Certakan ke-
4, LKiS, Yogyakarta, 2005, hal.344-345 16 Ibid., hal.345
http://prys3107.blogspot.com [email protected]
93
Adapun model yang diperkenalkan oleh Norman Fairclough dalam tiga level:
teks, dicourse practice, dan sociocultural practice. Model ini sesuai dan tepat
digunakan sebagai pisau analisis dalam penelitian ini. Karena selain melakukan
analisis pada level teks mikro dan konteks yang makro, analisis juga ditekankan pada
level discouse practice yang merupakan analisis meso pada proses produksi dan
konsumsi teks.
Eriyanto mengatakan bahwa ketiga level dalam model ini memusatkan
perhatian wacana pada bahasa. ”Fairclough menggunakan wacana menunjuk pada
pemakaian bahasa sebagai praktik sosial, lebih daripada aktivitas individu atau untuk
merefleksikan sesuatu.”17
Khusus dalam level teks, analisis menekankan pada ”bagaimana teks itu
mencerminkan kekuatan sosial dan politik yang ada dalam masyarakat. Bagaimana
teks mempunyai keterkaitan yang erat dengan praktik sosial politik yang terjadi dan
tercipta dalam masyarakat.”18
Lewat level teks model Fairclough inilah, dimensi politik bahasa dari
pemberitaan media dapat diketahui sebagai praktik media dalam memarjinalkan
kelompok lain secara hegemonik. Adapun kategori analisis teks Fairclough ialah:
Pertama, ideasional yang merujuk pada representasi tertentu. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . Kedua, relasi, merujuk pada analisis bagaimana konstruksi hubungan di antara wartawan dengan pembaca. . . Ketiga, identitas, merujuk pada konstruksi tertentu
17 Ibid., hal.286 18 Ibid., hal.345
http://prys3107.blogspot.com [email protected]
94
dari identitas wartawan dan pembaca, serta bagaimana personal dan identitas ini hendak ditampilkan.19
Mengingat bahwa fokus penelitian di sini juga menekankan pada bagaimana
pengadopsian dimensi estetik dan politik bahasa menyusup dalam teks berita, penulis
memandang bahwa ketiga kategori analisis teks yang digagas Fairclough tidak cukup
mampu menggali dimensi estetik dan politik bahasa tersebut. Untuk itu penulis perlu
mengkombinasikan model Fairclough dengan menempatkan kategori analisis teks
yang mampu menggali dimensi estetik sekaligus politik bahasa. Maka pada level
teks, penulis menggunakan metode analisis teks ekletif.
Hamad menjelaskan bahwa metode analisis teks ekletif sebagai ”sebuah
teknik penggabungan konsep-konsep yang relevan ke dalam satu pendekatan
metode.”20
Hamad kemudian menyebutkan dua alasan yang menjadi dasar penggunaan
analisis wacana ekletif pada level teks sebuah penelitian:
Dua alasan dipakainya metode ekletif ini, pertama, metode analisis wacana banyak ragamnya dan tampaknya dibangun berdasarkan keperluan si pembuat untuk menjelaskan masalah penelitiannya. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . Kedua, dipakainya analisis wacana ekletif, didasarkan pada kepatutan sebuah metode. Bahwasanya, pemakaian sebuah metode penelitian haruslah disesuaikan dengan permasalahannya.21
19 Ibid., hal.287 20 Ibnu Hamad., Op.Cit., hal.48 21 Ibid., hal.48-50
http://prys3107.blogspot.com [email protected]
95
Pendapat ini juga diperkuat oleh keterangan Eriyanto yang mengatakan bahwa
setiap model dalam metode analisis wacana kritis memiliki karakteristiknya masing-
masing, serta ”ada kemungkinan dua bentuk metode tersebut diintegrasikan agar
memperoleh hasil yang maksimal.”22
Meski begitu, upaya penggabungan konsep-konsep yang relevan ke dalam
metode teks ekletif pada penelitian ini, akan penulis lakukan dengan tetap mengacu
pada prinsip teks ekletif yang disyaratkan Hamad, yakni ”. . . secara prinsipil, setiap
teks (berita) adalah hasil konstruksi realitas yang mencakup minimal tiga aspek:
perlakuan atas peristiwa . . . , strategi pengemasan, dan penggunaan simbol, maka
analisis wacana untuk penelitian ini dibangun atas dasar konsep-konsep tersebut.”23
Mengacu pada keterangan Hamad dan Eriyanto di atas, penulis menggunakan
metode analisis teks ekletif mencakup tiga aspek yang relevan dengan tujuan
penelitian, demi mendapatkan hasil penelitian yang maksimal, dan berlandaskan pada
kerangka teori penelitian ini, yaitu estetik dan politik bahasa Jurnalisme Sastra MBM
Tempo.
Aspek pertama teks ekletif, yakni perlakuan atas peristiwa atau lebih dikenal
dengan agenda setting. Perangkat analisisnya adalah tema yang diangkat dan
penempatan berita. Ibnu Hamad sendiri memandang analisis terhadap aspek ini perlu
dilakukan sebab ”dalam analisis wacana yang telah ada aspek ini sering diabaikan.”24
22 Eriyanto, Op.Cit., hal.337 23 Ibnu Hamad, Op.Cit., hal.50 24 Ibid., hal.49
http://prys3107.blogspot.com [email protected]
96
Aspek kedua teks ekletif, yakni strategi pengemasan. Penulis memandang
bahwa dalam aspek inilah analisis terhadap estetika bahasa Jurnalisme Sastra MBM
Tempo dapat dimungkinkan. Maka dalam hal ini, penulis mengacu pada prinsip-
prinsip Jurnalisme Sastra yang berkembang di Amerika Serikat seperti yang telah
penulis uraikan pada Bab II.
Hal ini dilakukan bukan untuk membuktikan secara kuantitatif apakah
Jurnalisme Sastra yang diterapkan MBM Tempo sesuai atau tidak dengan kategori
dan memenuhi prinsip-prinsip yang ada sebuah karya Jurnalisme Sastra. Namun hal
ini dilakukan untuk mengetahui bagaimana prinsip-prinsip Jurnalisme Sastra yang
berkembang di Amerika tersebut diterapkan dan dikembangkan oleh para awak
redaksi MBM Tempo.
Dengan mengacu pada prinsip Jurnalisme Sastra, dimensi estetika bahasa
dalam teks berita Jurnalisme Sastra MBM Tempo akan dikaji lewat prinsip
penyusunan adegan, dialog, perspektif orang ketiga, dan penempatan detail dalam
teks. Keempatnya adalah perangkat analisis dalam aspek strategi pengemasan.
Kemudian aspek ketiga, yakni penggunaan simbol. Penulis memandang
bahwa dalam aspek inilah analisis terhadap politik bahasa Jurnalisme Sastra MBM
Tempo dapat dimungkinkan. Maka dimensi politik bahasa dalam teks berita
Jurnalisme Sastra MBM Tempo, analisis teks akan ditujukan pada penggunaan
simbol dan gaya bahasa sastra yang puitis. Hal ini juga mengacu pada salah satu
prinsip Jurnalisme Sastra yaitu prinsip simbolisme.
http://prys3107.blogspot.com [email protected]
97
Untuk menjabarkan bagaimana prinsip simbolisme ini berlaku sebagai
perangkat analisis teks, penulis mengacu pada gagasan William A. Gamson tentang
konsep metafora dan depictions sebagai perangkat analisis teks media:
Metaphors dipahami sebagai cara memindahkan makna dengan merelasikan dua fakta melalui analogi, atau memakai kiasan dengan menggunakan kata-kata seperti, ibarat, bak, sebagai, umpama, laksana. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . Depictions, penggambaran fakta dengan memakai kata, istilah, kalimat konotatif agar khalayak terarah ke citra tertentu. Asumsinya, pemakaian kata khusus diniatkan untuk membangkitkan prasangka, menyesatkan pikiran dan tindakan, serta efektif sebagai bentuk aksi politik.25
Konsep tersebut juga diperkuat Eriyanto yang menyatakan, ”pemakaian
metafora tertentu bisa menjadi petunjuk utama untuk mengerti makna suatu teks.
Metafora itu menjadi landasan berpikir, alasan pembenar, atau bahkan bahan yang
ditekankan kepada publik.”26
M. Atar Semi mendefinisikan metafora sebagai “kiasan persamaan yang
menjadi dasar pembentukannya adalah adanya persamaan sifat, keadaan, atau
perbuatan antara dua benda.”27
Secara rinci Semi membagi metafora dalam beberapa jenis berikut ini:
a) Alegori, yaitu pemakaian beberapa kiasan secara beruntun. Semua sifat yang ada pada benda itu dikiaskan. b) Personifikasi, yaitu mengungkapkan atau mengutarakan sesuatu benda dengan membandingkannya dengan tingkah dan kebiasaan manusia.
25 Alex Sobur, Op.Cit., hal.179-180 26 Eriyanto, Analisis Framing; Konstruksi, Ideologi, dan Politik Media,
LKiS, Yagyakarta, 2005, hal.226 27 M. Atar Semi, Anatomi Sastra, Angkasa Raya, Padang, tt, hal.51
http://prys3107.blogspot.com [email protected]
98
c) Hiperbola, yaitu suatu perbandingan atau perlambangan yang dilebih-lebihkan atau dibesar-besarkan. d) Litoles, yaitu menyebutkan sesuatu dengan mengurangi kenyataan yang ada dengan maksud merendahkan diri untuk menghormati lawan bicara. e) Eufimisme, yaitu kiasan kesopanan untuk menghaluskan rasa bahasa yang dirasakan kasar, tak sopan atau tak sedap didengar, atau mungkin dapat menyinggung perasaan pendengar.28
Sebagai perangkat analisis teks media, Eriyanto menjelaskan bahwa Gamson
sendiri mencontohkan popular wisdom, peribahasa, dan analogi sebagai bentuk
metafora.
Wartawan menggunakan kepercayaan masyarakat, ungkapan sehari-hari, peribahasa, pepatah, petuah leluhur, kata-kata kuno, bahkan mungkin ungkapan yang diambil dari ayat-ayat suci. Gamson menyebut hal ini sebagai popular wisdom. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . atau dengan menyajikan peribahasa. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . juga dimunculkan dalam bentuk analogi.29
Penulis memahami bahwa Eriyanto menyebutkan metafora sebagai perangkat
analisis teks di sini memiliki bentuk popular wisdom, peribahasa, dan analogi. Maka
dua perangkat analisis teks Gamson tersebutlah (metafora dan depictions) yang
penulis tempatkan pada prinsip simbolisme dalam menganalisis dimensi politik
bahasa. Khusus pada perangkat metafora, analisis akan difokuskan pada bentuk
popular wisdom, peribahasa, dan analogi, serta penjelasan Semi mengenai lima jenis
metafora demi memperkaya analisis.
28 Ibid., disarikan dari hal.50-53 29 Eriyanto, Op.Cit, hal. 226
http://prys3107.blogspot.com [email protected]
99
Maka demi mencapai hasil analisis yang maksimal, pada level teks penulis
menggunakan metode analisis teks ekletif mengacu pada tiga aspek yang disyaratkan
Ibnu Hamad, dan dikombinasikan dari prinsip Jurnalisme Sastra serta perangkat
analisis teks Gamson untuk mengetahui bagaimana dimensi estetika bahasa dan
politik bahasa dari teks berita Jurnalisme Sastra MBM Tempo,
Tiga aspek tersebut adalah sebagai berikut: (1) Aspek perlakuan atas
peristiwa; tema yang diangkat dan penempatan berita. (2) Aspek strategi pengemasan/
estetika bahasa; penyusunan adegan, dialog, perspektif orang ketiga, dan penempatan
detail dalam teks. (3) Aspek penggunaan simbol/ politik bahasa; metafora dan
depictions. Analisis kemudian dilanjutkan pada level dicourse practice, dan
sociocultural practice yang melatari praktik Jurnalisme Sastra tersebut.
C. Bahan Penelitian dan Unit Analisis
Bahan penelitian yang penulis gunakan adalah teks berita MBM Tempo
mengenai kasus dugaan korupsi yang melibatkan pejabat negara Kabinet Indonesia
Bersatu, yakni terhitung sejak Kabinet Indonesia Bersatu dibentuk pada Oktober
2004 hingga awal penelitian ini dilakukan pada April-Mei 2007. Unit analisis yang
penulis gunakan pada level teks adalah keseluruhan isi teks berita (kata, frase,
proposisi, kalimat, dan paragraf) yang dipandang memiliki makna estetik dan politik
bahasa tertentu sebagai hasil dari praktik Jurnalisme Sastra.
http://prys3107.blogspot.com [email protected]
100
D. Populasi dan Sampel
Suharsimi Arikunto mengungkapkan bahwa populasi “adalah keseluruhan
subjek penelitian.”30
Kemudian menurut Doddy S. Singgih, “populasi merupakan keseluruhan
objke yang diteliti. . ., sedangkan sampel merupakan sebagian dari objek yang
diteliti.”31
Dari keterangan di atas penulis memahami bahwa populasi adalah
keseluruhan objek penelitian, dan sampel adalah wakil dari populasi sebagai objek
yang akan digunakan dalam penelitian.
Moleong mengungkapkan bahwa teknik sampling dalam penelitian kualitatif
ditujukan “untuk merinci kekhususan yang ada ke dalam ramuan konteks yang unik.
. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .
Oleh sebab itu, pada penelitian kualitatif tidak ada sampel acak, tetapi sampel
bertujuan (purposive sample).”32
Dalam memilih sampel sesuai dengan pendekatan kualitatif, Suharsimi
Arikunto mengungkapkan pengambilan sampel yang disebut dengan teknik
pengambilan sampel yang bertujuan (purposive sampling):
30 Suharsimi Arikunto, Prosedur Penelitian; Suatu Pendekatan Praktek, PT
Rineka Cipta, Cetakan Kesembilan, Jakarta, 1993, hal.102 31 Doddy S. Singgih, “Penggunaan Metode Kuantitatif untuk
Mengidentifikasi Tipe Komunitas”, dalam Bagong Suyanto dan Sutinah (Ed.), Op.Cit., hal.139
32 Lexy J. Moleong, Op.Cit, h. 165
http://prys3107.blogspot.com [email protected]
101
Sampel bertujuan dilakukan dengan cara mengambil subjek bukan didasarkan atas strata, random, atau daerah tetapi didasarkan atas adanya tujuan tertentu. Teknik ini biasanya dilakukan karena beberapa pertimbangan, misalnya alasan keterbatasan waktu, tenaga dan dana sehingga tidak dapat menarik sampel yang besar dan jauh.33
Maka dari keterangan di atas, penulis menggunakan teknik pengambilan
sampel bertujuan sesuai pendekatan kualitatif yang penulis gunakan dalam penelitian
ini. Penarikan sampel bertujuan tersebut juga penulis lakukan berdasarkan relevansi
dengan tujuan dan rumusan masalah dalam penelitian ini.
Adapun populasi sebagai keseluruhan objek penelitian di sini merupakan
semua pemberitaan MBM Tempo mengenai kasus dugaan korupsi yang melibatkan
pejabat negara Kabinet Indonesia Bersatu, yakni pemberitaan MBM Tempo terhitung
sejak Kabinet Indonesia Bersatu dibentuk pada Oktober 2004 hingga awal penelitian
ini dilakukan pada April-Mei 2007, seperti yang tercantum dalam tabel sebagai
berikut:
TABEL 1
POPULASI PENELITIAN
No. Judul Edisi 1. Mencari Damai Dalam Dekapan Ibu Edisi 30 Mei-5 Juni 2005 2. Seorang Menteri Dengan Kepala
Berdenyut Edisi 30 Mei-5 Juni 2005
3. Seperti Delman dan Sais Edisi 30 Mei-5 Juni 2005 4. Menunggu Beleid Politik
Yudhoyono Edisi 30 Mei-5 Juni 2005
5. Sejumlah Nama di Buku Hamdani Edisi 30 Mei-5 Juni 2005 6. Menteri Hamid Ambil Dana ‘Batil’ Edisi 5-11 September 2005
33 Suharsini Arikunto, Op.Cit., hal.113
http://prys3107.blogspot.com [email protected]
102
7. Katebelece Dari Dapur Presiden Edisi 27 Februari-5 Maret 2006 8. Akhirnya Aziz Berpamitan Edisi 27 Februari-5 Maret 2006 9. Tak Henti Diterpa Badai Edisi 27 Februari-5 Maret 2006 10. Tak Sudi Mencopot Sudi Edisi 6-12 Maret 2006 11. Terusik Nyanyian Meneer Daan Edisi 13-19 Maret 2006 12. Lelang Yang Mencurigakan Edisi 13-19 Maret 2006 13. Ada Dusta Dalam Kesaksian Edisi 20-26 Maret 2006 14. Kabar Gembira Dari Istana Edisi 20-26 Maret 2006 15. Meneer Daan Menanti Hamid Edisi 19-25 Juni 2006 16. Dua Meneer, Satu Dusta Edisi 31 Juli-6 Agustus 2006 17. Perangkap Bagi Sang Menteri Edisi 31 Juli-6 Agustus 2006 18. Berbalas Ancaman Edisi 31 Juli-6 Agustus 2006 19. Sidik Jari dan Misteri Tuan FY Edisi 19-25 Februari 2007 20. Memburu Tersangka Baru Edisi 26 Februari-4 Maret 2007 21. Abu-abu Tunjuk Langsung Edisi 26 Februari-4 Maret 2007 22. Rekening Tipis, Proyek Selangit Edisi 26 Februari-4 Maret 2007 23. Dipayungi Istana Dan Senayan Edisi 26 Februari-4 Maret 2007 24. Yusril Tak Hilang Hamid Terbilang Edisi 19-25 Maret 2007 25. Riwayat Pendek Rekening Tebet Edisi 19-25 Maret 2007 26. Memelintir Sampai Guernsey Edisi 19-25 Maret 2007 27. Yang Sakit, Yang Lamban, Bukan
Yang Korup Edisi 30 April-6 Mei 2007
28. Orang-orang Menjelang Reshuffle Edisi 30 April-6 Mei 2007 29. Bukan Hamid, Bukan Yusril Edisi 30 April-6 Mei 2007 30. Karena Politik, Tekanan Publik, dan
Klenik Edisi 14-20 Mei 2007
31. Kalla Meminta, Yudhoyono Mengunci
Edisi 14-20 Mei 2007
32. Mereka Yang Kembali Ke Laptop Edisi 14-20 Mei 2007
Kemudian sampel yang penulis pilih dengan menggunakan teknik purposive
sampling berjumlah lima berita. Jumlah ini penulis tentukan sesuai dengan
pertimbangan waktu, tenaga dan dana, serta dengan asumsi bahwa lima buah sampel
dapat mencukupi kebutuhan analisis agar didapatkan hasil yang maksimal. Jumlah
lima buah sampel di sini ditentukan demi mendapatkan perbandingan dari kelima
berita tersebut.
http://prys3107.blogspot.com [email protected]
103
Kelima sampel berikut ini ditentukan dari rincian kekhususan konteks
penelitian ini, yakni teks berita Jurnalisme Sastra yang mengandung dimensi estetik
dan politik bahasa MBM Tempo. Berikut ini adalah tabel sampel tersebut:
TABEL 2
SAMPEL PENELITIAN
No. Judul Edisi 1. Mencari Damai Dalam Dekapan
Ibu (Laporan Utama Dana Gelap KPU)
Edisi 5 Juni 2005
2. Terusik Nyanyian Mener Daan (Laporan Utama Segel Amplop Kertas Suara)
Edisi 18 Maret 2006
3. Memburu Tersangka Baru (Laporan Utama Sidik Jari di Sekitar Yusril)
Edisi 4 Maret 2007
4. Riwayat Pendek Rekening Tebet Edisi 25 Maret 2007 5. Mereka yang Kembali ke Laptop Edisi 20 Mei 2007
Alasan menarik lima sampel di atas, berangkat dari asumsi bahwa sampel
tersebut yang sesuai dengan kriteria teks berita yang mengandung dimensi estetik dan
politik bahasa. Sampel tersebut juga diambil sesuai dengan relevansinya dengan
tujuan penelitian, yakni mengaitkan bagaimana teks berita yang mikro, produksi dan
konsumsi teks yang meso, dengan konteks sosial yang makro dalam praktik
Jurnalisme Sastra MBM Tempo sebagai praktik estetik dan politik bahasa media pada
pemberitaan kasus dugaan korupsi yang melibatkan pejabat negara Kabinet Indonesia
Bersatu.
http://prys3107.blogspot.com [email protected]
104
E. Metode Pengumpulan Data
Metode pengumpulan data dalam penelitian ini terdiri dari tiga level wacana,
yaitu level teks, discourse practice, dan sosiocultural practice. Pengumpulan data
pada level teks dilakukan dengan analisis teks ekeltif untuk mengetahui bagaimana
dimensi estetik dan politik bahasa dalam teks berita.
Pada level discourse practice, pengumpulan data dilakukan dengan observasi
dan wawancara mendalam dengan pihak media.
Kemudian pada level sosiocultural practice, pengumpulan data dilakukan
dengan studi pustaka dan penelusuran sejarah lewat tulisan, artikel atau buku-buku
mengenai aspek-aspek makro seperti sistem politik, ekonomi, atau sistem budaya
masyarakat secara keseluruhan sebagai konteks di mana MBM Tempo menggunakan
Jurnalisme Sastra sebagai praktik estetik dan politik bahasa.
F. Metode Analisis Data
Analisis data kualitatif menurut Patton, seperti yang dikutip Moleong adalah
“proses mengatur urutan data, mengorganisasikannya ke dalam suatu pola, kategori,
dan satuan uraian dasar.”34
Metode analisis data yang dilakukan dalam penelitian ini terdiri dari tiga level
wacana, yaitu level teks, discourse practice, dan sosiocultural practice. Rinciannya
adalah sebagai berikut:
34 Lexy J. Moleong, Op.Cit., hal.103
http://prys3107.blogspot.com [email protected]
105
1. Level Teks
Perlakuan Atas Peristiwa:
a) Tema yang diangkat
b) Penempatan berita
Estetika Bahasa:
a) Adegan; menyajikan scene peristiwa-demi-peristiwa-berita dalam urutan yang membuat pembaca seakan berada di lokasi ketika kejadian berlangsung.
b) Dialog; materi pengisahan bisa diurutkan melalui percakapan yang direkam, meskipun sebagian mungkin tidak didapat dari sumber aslinya. Melalui percakapan pula, disiratkan karakter para pelaku yang terlibat, sekaligus diterangkan mengapa suatu peristiwa terjadi. Selanjutnya, penafsiran dan kesimpulan ia serahkan kepada pembaca yang telah menyimak dialog tokoh-tokoh berita tersebut.
c) Perspektif orang ketiga; dengan alat ini, jurnalis baru tidak hanya menjadi si pelapor, ia bahkan kerap menjadi tokoh berita. Ia bisa menjadi orang di sekitar tokoh, karena ia harus berperan menjadi pelapor yang tahu jalannya peristiwa.
d) Penempatan detail; semua hal dicatat secara terperinci, yaitu perilaku, adat istiadat, kebiasaan, gaya hidup, pakaian, perjalanan wisata, hubungan dengan teman sebaya, atasan, bawahan, dan pandangan-pandangan lain yang bersifat sekilas seperti pose, gaya jalan, dan berbagai simbol lain. Hal ini merepresentasikan dasar pikiran dan perilaku, ekspresi, sampai harapan manusia dalam interaksinya dengan lingkungan sosialnya. Dengan kata lain, alat ini memberi pembaca suatu deskripsi sosial, memotret latar belakang kehidupan seseorang, mencatat lambang-lambang sosial.
Politik Bahasa: a) Simbolisme; tiap paparan fakta, meskipun terlihat remeh atau hanya
menyangkut soal-soal kecil, sebenarnya mengandung gagasan yang sengaja disusun sedemikian rupa karena terkait dengan hal-hal yang lebih luas dan pemaknaan yang dalam. Prinsip simbolisme tersebut adalah:
Metaphors; cara memindahkan makna dengan merelasikan dua fakta melalui kiasan dengan menggunakan kata-kata seperti, ibarat, bak, sebagai, umpama, laksana, serta penggunaan popular wisdom, peribahasa, dan analogi.
Depictions; penggambaran fakta dengan memakai kata, istilah, kalimat konotatif agar khalayak terarah ke citra tertentu. Asumsinya, pemakaian kata khusus diniatkan untuk membangkitkan prasangka, menyesatkan pikiran dan tindakan, serta efektif sebagai bentuk aksi politik
http://prys3107.blogspot.com [email protected]
106
2. Level Discourse Practice
Pada level ini, analisis akan ditujukan pada produksi teks dan konsumsi teks
dari observasi dan hasil wawancara mendalam dengan pihak media.
Khusus pada produksi teks, analisis akan difokuskan pada sisi individu
wartawan, hubungan dengan struktur organisasi media, dan rutinitas kerja dari proses
produksi berita. Kemudian dalam kaitannya dengan praktik Jurnalisme Sastra,
analisis juga akan dilakukan pada bagaimana peran redaktur atau wartawan senior
dalam penulisan berita serta jangka waktu peliputan.
Pada konsumsi teks, analisis akan dilakukan pada bagaimana faktor pembaca
diperhitungkan pihak redaksi dalam menyusun teks berita.35
3. Level Sociocultural Practice
Pada level ini, penulis akan menganalisis data dari hasil studi pustaka dan
penelusuran sejarah mengenai bagaimana aspek-aspek makro seperti sistem politik,
ekonomi, dan sistem budaya masyarakat secara keseluruhan sebagai konteks di mana
MBM Tempo berpraktik. Terutama pada tiga level analisis sebagai berikut:
a) Situasional, merupakan konteks sosial yang mengungkapkan bagaimana teks
dihasilkan dalam suatu kondisi atau suasana yang khas dan unik.
b) Institusional, merupakan konteks sosial yang mengungkapkan bagaiaman
pengaruh institusi organisasi dalam praktik produksi wacana, baik dari dalam diri
35 Fairclough sendiri menyarankan dengan mengamati teks yang dikonsumsi
oleh publik. Tetapi dalam penelitian ini dimodifikasi menjadi pertimbangan redaksi tentang pembaca. Hal ini dilakukan dengan mengacu pada analisis level konsumsi teks dalam penelitian Ibnu Hamad (2004:48)
http://prys3107.blogspot.com [email protected]
107
media itu sendiri maupun dari kekuatan-kekuatan eksternal di luar media yang
turut menentukan proses produksi berita.
c) Sosial, merupakan konteks sosial yang memperhatikan aspek makro seperti
sistem politik, sistem ekonomi, atau sistem budaya masyarakat secara
keseluruhan. Sistem inilah yang menentukan siapa yang berkuasa, nilai-nilai apa
yang dominan dalam masyarakat sehingga mempengaruhi dan menentukan
karakter media tersebut.
TABEL 3
LEVEL ANALISIS DAN METODE PENELITIAN
No. Level Masalah Level Analisis Metode Penelitian
1. Teks Mikro Teks Ekletif
2. Discourse Practice
Meso Observasi dan Wawancara mendalam
dengan pengelola media (produksi
teks) dan pakar media (konsumsi
teks) dibantu dengan literatur
3. Sociocultural Practice
Makro Studi pustaka
http://prys3107.blogspot.com [email protected]
108
BAB IV
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Subyek Penelitian
A.1. Sejarah Majalah Berita Mingguan Tempo1
Majalah Berita Mingguan (MBM) Tempo merupakan gabungan dari Majalah
Djaja dan majalah Ekspres. Djaja adalah majalah yang berafiliasi pada pemerintah
daerah Jakarta, tempat sebagian besar alumni Star Weekly –majalah yang sempat jadi
majalah terbesar di masa rezim Soekarno– milik Ciputra, pendiri Yayasan Jaya Raya
dan Direktur Utama PT Pembangunan Jaya yang sebagian sahamnya dimiliki
pemerintah daerah Jakarta. Sementara Ekspres adalah majalah yang diterbitkan
Goenawan Mohamad (GM) dan kawan-kawan pada 1969, yang dibiayai B.M. Diah,
pemilik Harian Merdeka.
Namun terbitan Majalah Ekspres tak bertahan lama. Belum genap setahun
terbit, terjadi peristiwa terpecahnya Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) yang
memunculkan dualisme kepemimpinan dalam PWI. Penunjukan B.M. Diah sebagai
Ketua PWI oleh Ali Moertopo saat itu dianggap pengekangan terhadap kebebasan
wartawan, karena PWI sendiri sebelumnya telah memilih Rosihan Anwar (Harian
Pedoman) dalam kongres sebagai Ketua PWI.
1 Lampiran A, hal. 264 dan Coen Husain Pontoh, Konflik Nan Tak Kunjung Padam, dalam Andreas Harsono & Budi Setiyono, Jurnalisme Sastrawi; Antologi Liputan Mendalam dan Memikat, Yayasan Pantau, Jakarta, Oktober, 2005, hal.109-162
http://prys3107.blogspot.com [email protected]
109
GM akhirnya dipecat oleh B.M. Diah karena membuat pernyataan yang tidak
mendukung keputusan Moertopo. GM kemudian menyatakan bahwa ia dan kawan-
kawan bertekad membentuk majalah sendiri dengan alasan Pertama, untuk
menampung teman-teman yang sudah solider. Kedua, ingin punya majalah di mana
modal dari luar itu tidak mendikte. Ketiga, untuk mengembangkan kebebasan yang
dicita-citakan dan mengusahakan supaya sensor jangan terlalu ketat.
Tekad itu terlaksana ketika suatu hari di tahun 1970 Ciputra mengundang GM
dan kawan-kawan untuk membicarakan sebuah terbitan majalah baru, dengan
menggabungkan Djaja dan Ekspres. Dengan itu lahirlah Tempo. Majalah berformat
berita mingguan ini dimodali Yayasan Jaya Raya sebesar dua puluh juta rupiah.
Sejak itulah di sebuah gedung bertingkat dua yang sederhana di Jl Senen Raya
83, Jakarta Pusat, salah satu tonggak sejarah jurnalistik Indonesia ditancapkan. Edisi
perdana MBM Tempo terbit pada 6 Maret 1971 yang menurunkan laporan perjuangan
tim bulu tangkis puteri Indonesia di sebuah kejuaraan.
Waktu terus bergulir, perlahan namun pasti MBM Tempo terus meningkatkan
kualitas liputannya sejalan dengan meningkatnya tiras dan peredarannya. Dengan
caranya sendiri, pengelola MBM Tempo bersiasat dan berkelit dalam melewati
restriksi-restriksi dari pemerintah maupun lembaga militer yang pada masa itu
menjadi pengawas jalannya sebuah produk jurnalistik. Godam pembreidelan dan
peringatan maupun teguran ketidaksukaan dari penguasa adalah hal yang lumrah saat
itu.
http://prys3107.blogspot.com [email protected]
110
Namun demikian, pada Maret 1982, godam itu datang juga. MBM Tempo
pada Edisi 13 Maret 1982 memberitakan indikasi kecurangan Pemilu tahun 1981 dan
kerusuhan di sebuah acara kampanye Partai Golongan Karya (Golkar). MBM Tempo
kemudian dianggap telah menyebarkan kebencian kepada pendukung partai penguasa
itu (Golkar). Pemerintah yang pada saat itu di bawah kekuasaan Soeharto akhirnya
mengeluarkan keputusan untuk menghentikan penerbitan Tempo untuk sementara.
Tempo akhirnya terbit lagi hingga godam kembali datang pada 1994.
Godam kedua datang sehubungan pemuatan laporan pembelian kapal perang
bekas Jerman Timur oleh Menristek B.J. Habibie dengan judul ‘Habibie dan Kapal
Itu’ pada edisi 11 Juni 1994. Hal ini ternyata membuat para petinggi republik menjadi
panas hati. Akhirnya pada 21 Juni 1994, sebuah keputusan diambil oleh Menteri
Penerangan RI Harmoko untuk mencabut izin tiga penerbitan yakni MBM Tempo,
Editor, dan DeTIK.
Gelombang protes dan demontrasi pecah menyambut keputusan pemerintah
tersebut. Ratusan karyawan MBM Tempo kehilangan pekerjaan dan para pendukung
kebebasan pers ada yang turut menjadi korban. Namun keberanian untuk menentang
pembreidelan, ketidakadilan dan pemerintah yang sewenang-wenang semakin
tumbuh.
Sembari karyawan dan wartawan MBM Tempo serta simpatisannya
menentang pembreidelan ke pengadilan Tata Usaha Negara, sejumlah awak MBM
Tempo yang lain meneruskan kerja jurnalistiknya di dunia cyber. Maka pada tahun
http://prys3107.blogspot.com [email protected]
111
1996, situs (laman) berita online MBM Tempo muncul untuk pertama kalinya dengan
alamat laman www.tempointeraktif.com
Ketika Presiden Soeharto lengser pada 21 Mei 1998, MBM Tempo kembali
terbit pada 6 Oktober 1998 oleh PT Arsa Raya Perdana. Melalui edisi pertama setelah
4 tahun tidak terbit, MBM Tempo menduduki posisi teratas untuk majalah berita
mingguan yang terbit di Indonesia. Meskipun keadaan pasar berubah secara
signifikan sejak tahun 1994, MBM Tempo tetap melanjutkan tradisi jurnalistiknya
yang telah mapan sambil menawarkan inovasi-inovasi di bidang jurnalistik.
Pada 29 September 200, MBM Tempo mengalami perubahan nama perseroan
dari PT Arsa Raya Perdana menjadi PT TEMPO INTI MEDIA Tbk. Sejak saat itulah
PT TEMPO INTI MEDIA Tbk menjadi perusahaan media dan penerbitan yang
mencatatkan sahamnya di Bursa Efek Jakarta, dan untuk pertama kalinya masyarakat
bisa turut berpartisipasi dalam mendukung permodalan perusahaan media massa
lewat pasar modal.
Hingga kini MBM Tempo memiliki sejumlah catatan prestasi sebagai berikut:
1971 Edisi perdana MBM Tempo terjual 20.000 eksemplar
1988 Tiras penjualan mencapai 166.000 eksemplar
1991 Menjadi satu-satunya media dari Indonesia yang meliput Perang Teluk dari
Baghdad, Irak
1993 Tiras penjualan mencapai 200.000 eksemplar
1996 Wartawan MBM Tempo Ahmad Taufik menerima anugerah 5 Tasrieb Award
1997 Wartawati MBM Tempo Bina Bektiati menerima penghargaan US Woman
http://prys3107.blogspot.com [email protected]
112
Journalist Award
1998 Tiras penjualan edisi pertama pasca breidel mencapai 150.000 eksemplar
1998 Goenawan Mohamad menerima CPJ Award
2002 Menjadi majalah yang paling banyak pembacanya dari survey AC Nielsen
2000 Menjadi media pertama yang mengungkap sengketa Buloggate, sedangkan
media lain hanya mengutip MBM Tempo
2003 Karaniya Dharmasaputra mendapat penghargaan dari Aliansi Jurnalistik
Indonesia (AJI) untuk tulisannya mengenai Investigasi Buloggate II
2003 Karaniya Dharmasaputra mendapat penghargaan M. Hatta Award atas
kinerjanya memberantas korupsi
A.2. Visi dan Misi PT TEMPO INTI MEDIA Tbk
Visi:
• Menjadi acuan dalam proses meningkatkan kebebasan rakyat untuk berpikir
dan mengutarakan pendapat serta membangun suatu masyarakat yang
menghargai kecerdasan dan perbedaan pendapat
Misi:
• Menyumbangkan kepada masyarakat suatu produk multimedia yang
menampung dan menyalurkan secara adil suara yang berbeda-beda
• Sebuah produk multimedia yang mandiri, bebas dari tekanan kekuasaan
modal dan politik
http://prys3107.blogspot.com [email protected]
113
• Terus meningkatkan apresiasi terhadap ide-ide baru, bahasa, dan tampilan
visual yang baik
• Sebuah karya yang bermutu tinggi dan berpegang pada kode etik
• Menjadikan tempat kerja yang mencerminkan Indonesia yang beragam sesuai
kemajuan zaman
• Sebuah proses kerja yang menghargai kemitraan dari semua sektor
• Menjadi lahan subur bagi kegiatan-kegiatan untuk memperkaya khazanah
artistik dan intelektual
A.3. Susunan Redaksional Organisasi MBM Tempo
Pemimpin Redaksi : Toriq Hadad
Redaktur Eksekutif : Wahyu Muryadi
Wakil Redaktur Eksekutif : Hermien Y. Kleden
Redaktur Senior : Edi Rustiadi M, Fikri Jufri, Goenawan Mohamad,
Leila S. Chudori, Putu Setia, Yusril Djalinus
Redaktur Utama : Arif Zulkifli, Idrus F. Shahab, L.R. Baskoro,
Karaniya Dharmasaputra, Metta Dharmasaputra,
M. Taufiqurohman
Redaktur : Agung Ruliyanto, Akmal Nasery Basral,
Bina Bektiati, Budi Setyarso, Dwi Wiyana,
Heri Susanto, Herry Gunawan, Nezar Patria,
http://prys3107.blogspot.com [email protected]
114
Nogroho Dewanto, Nurlis E. Meuko, Purwani Diyah
Prabandari, Seno Joko Suyono, Wenseslaut Manggut,
Yosep Suprayogi, Yos Rizal Suriaji
Sidang Redaksi : Abdul Manan, Adek Media, Ahmad Taufik,
Andari Karina A, Arif A. Kuswardono,
Cahyo Djunaedy, Kurniarsih Suditomo, Maria Rita Ida
Hasugian, Philipus Parera, Untung Widyanto,
Wahyu Dhyatmika, Widiarsi Agustina,
Yandhrie Arvian
Desain Visual : Gilang Rahadian, Anita Lawudjaja, Danendro Adi,
Fitra Moerat R., Kendra H. Paramita
Tata Letak : Agus Darmawan Setiadi, Aji Yulioarto,
Tri Watno Widodo
Redaktur Bahasa : Kurnia J.R., Sapto Nugroho, Uu Suhardi
http://prys3107.blogspot.com [email protected]
116
A.5. Alur Berita MBM Tempo
Rapat Kompartemen (Redaktur Pelaksana)
Rapat Perencanaan
(PemRed / RE)
Penu-gasan (Jabrik
/SR)
Rencana Foto
News Desk Distri-busi
Reporter /SR/TNR
Peliputan : - Reportase, - Wawancara
- Riset
Disetujui oleh
Red. Pel.
Penulisan Laporan
(Reporter)
Penulisan Berita
(Penulis/SR)
Editing (RedPel/ Red.Sen)
Desain Visual
RE/Red Kreatif
(Artistik)
Ke TEMPRINT (menggunakan CD)
Redaktur Foto
Periset Foto
Fotografer (TNR)
Pem. Red.
Rapat Checking (PemRed/RE)
Redaktur Bahasa
Alur Berita Di Majalah Tempo
http://prys3107.blogspot.com [email protected]
117
B. Hasil Penelitian
B.1. Analisis Teks Ekletif*
Sampel 1
Judul : Mencari Damai dalam Dekapan Ibu (Laporan Utama Dana Gelap KPU)
Edisi : 5 Juni 2005
Penulis : Setiyardi, Irmawati (Parepare)
Perlakuan Atas Peristiwa (Pembuktian)
Tema yang diangkat
Tema yang diangkat pada sampel ini lebih menyoalkan seputar pribadi
Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Kabinet Indonesia Bersatu Hamid
Awaludin. Sisi pribadi Hamid diungkapkan Tempo lewat penelusuran asal-usul
keluarga (par 1 s/d 5), kiprah berkarier dan prestasi (par 6 s/d 8), serta kedekatannya
dengan pejabat tinggi yang membawa Hamid pada jabatan menteri di Kabinet
Indonesia Bersatu (par 7 s/d 12). Namun kesemuanya ini secara luwes dikaitkan
Tempo dengan peristiwa pemanggilan Komisi Pemberantas Korupsi (KPK) terhadap
Hamid yang diduga memiliki keterlibatan pada kasus korupsi yang terjadi di Komisi
Pemilihan Umum 2004. Maka dalam sampel ini penulis menemukan adanya upaya
Tempo yang hendak menelusuri dugaan keterlibatan Hamid pada kasus korupsi KPU,
* Dalam analisis teks di sini, seluruh penggunaan kata paragraf dan kalimat akan dipersingkat menjadi par (paragraf) dan kal (kalimat) yang menunjukkan sumber kutipan dari masing-masing sampel. Hal ini penulis lakukan demi efisiensi kata dan menghemat ruang halaman.
http://prys3107.blogspot.com [email protected]
118
dengan cara menampilkan unsur human interest yang digali dari apa dan bagaimana
sisi pribadi Hamid.
Bisa disimak pula bahwa dalam menyajikan teks berita ini, Tempo melakukan
multi liputan, yakni peristiwa Hamid pulang kampung (par 1 s/d 5), komentar tokoh
yang dekat dengan Hamid (Mubha Kahar Muang di par 8, Jusuf Kalla di par 13, dan
Hajah Rapiah di par 14), serta didukung oleh penelusuran referensi profil karier dan
prestasi Hamid (par 6 s/d 11). Multi liputan tersebut menunjukkan liputan dilakukan
dengan terencana pada waktu yang berbeda.
Pembuktian tersebut menunjukkan bahwa lewat teks berita ini, Tempo
mengangkat dua tema sekaligus, yakni kasus korupsi KPU dan pribadi Hamid sebagai
pihak yang tengah diperiksa KPK dalam kasus korupsi KPU. Dalam menyajikan teks
berita ini, Tempo melakukan multi liputan dengan terencana pada waktu yang
berbeda.
Penempatan berita
Pada edisi 5 Juni 2005, Tempo mengusung liputan utama ‘Dana Gelap KPU’
dengan sampul depan ilustrasi wajah Hamid Awaludin dan diberi judul ‘Menteri
Tersandung Hukum’. Judul ini menjadi judul dari rubrik opini atau editorial Tempo
di halaman dalam. Rangkaian liputan utama Dana Gelap KPU tersebut berjumlah
lima tulisan berita dan satu tulisan wawancara yang terbentang dari halaman 26 s/d
39. Tulisan pertama adalah liputan inti yang tergolong hard news, tulisan kedua
adalah wawancara Tempo dengan Hamid.
http://prys3107.blogspot.com [email protected]
119
Teks berita yang menjadi sampel ini ditempatkan Tempo sebagai tulisan
ketiga yang menempati dua halaman, diberi bingkai hitam memanjang pada halaman
bagian atas dengan judul rubrik ‘Liputan Utama Dana Gelap KPU’. Sampel ini juga
dilengkapi dengan satu foto Hamid tengah berada di ruang kerja KPU, dan satu foto
setengah halaman yang menunjukkan Hamid bersidekap dan berdiri di belakang
boneka harimau dengan latar belakang sebuah ruangan pribadi. Jika dibandingkan
tulisan pertama dan tulisan kedua yang bernuansa serius, pada sampel ini pemberitaan
tentang Hamid justru disajikan dengan nuansa human interest sebagai cantelan dari
peristiwa inti, atau dapat disebut news feature.
Pembuktian tersebut menunjukkan bahwa Tempo menempatkan teks berita ini
sebagai sisi lain dari peristiwa utama yang juga penting dan patut diketahui khalayak,
dengan penempatan posisi tulisan yang strategis dan tata letak yang menonjolkan sisi
pribadi Hamid.
Perlakuan Atas Peristiwa (Pemaknaan)
Berdasarkan pembuktian di atas, penulis menyimpulkan bahwa Tempo
mengangkat dua tema sekaligus, yakni kasus korupsi KPU dan pribadi Hamid sebagai
pihak yang tengah diperiksa KPK dalam kasus korupsi KPU. Dalam menyajikan teks
berita ini, Tempo melakukan multi liputan dengan terencana pada waktu yang
berbeda. Tempo menempatkan teks berita ini sebagai sisi lain dari peristiwa utama
yang juga penting dan patut diketahui khalayak, dengan penempatan posisi tulisan
yang strategis dan tata letak yang menonjolkan sisi pribadi Hamid.
http://prys3107.blogspot.com [email protected]
120
Maka pemaknaan yang bisa ditarik dari aspek perlakuan atas peristiwa dalam
sampel ini adalah Tempo hendak menunjukkan bahwa unsur human interest dari
pribadi Hamid juga penting dan patut diketahui khalayak sebagai sisi lain dari
peristiwa utama kasus korupsi KPU ini. Cara Tempo menonjolkan sisi pribadi Hamid
tentu semakin memperkuat dugaan adanya keterlibatan diri Hamid dalam kasus
korupsi KPU. Penulis juga menemukan adanya perencanaan agenda (agenda setting)
liputan yang cukup memakan waktu serta perencanaan yang matang dalam teks berita
ini sebagai perlakuan Tempo atas peristiwa.
Estetika Bahasa (Pembuktian)
Penyusunan adegan
Penyusunan adegan pada sampel ini akan dilihat dari bagian awal teks,
tengah, dan akhir teks. Pada bagian awal teks, ada dua penyusunan adegan sebagai
rekaman peristiwa perjalanan atau kepulangan Hamid Awaludin menuju kampung
halamannya di Makassar, Sulawesi Selatan.
Pertama, adalah penyusunan adegan saat kepulangan Hamid saat menemui
ibu kandungnya, Hajah Maryam di Parepare, 160 kilometer arah utara Makassar.
Yang menjadi latar adegan adalah sebuah rumah panggung kayu di Jalan Andi
Makkasau, tempat di mana Hamid berjumpa ibunya pada dua pekan sebelum teks ini
terbit. Dalam latar tempat dan waktu inilah, adegan disusun dengan menampilkan
Hamid yang tengah bercerita selama 10 menit kepada ibunya mengenai persoalan
yang tengah membelitnya. Tempo kemudian menuliskannya demikian (par 1, kal 5):
http://prys3107.blogspot.com [email protected]
121
Sang ibu, 70 tahun, mengusap kepala anaknya. “Kudoakan engkau baik-baik, Nak,” katanya.
Adegan perjumpaan Hamid dan ibunya lewat rekaman suasana-demi-suasana,
membuat peristiwa tersebut seakan-akan hidup dan pembaca seakan-akan tengah
menyaksikannya juga. Adegan lewat deskripsi ‘mengusap kepala anaknya’ dan
penggunaan kutipan langsung juga membuat peristiwa tersebut disusun tak hanya
informatif, namun sekaligus juga dramatis. Adegan ini diposisikan secara menonjol
sebagai pembuka atau news peg dari teks berita.
Kedua, adalah penyusunan adegan pada awal teks yakni ketika Hamid
melanjutkan perjalanan untuk mengunjungi makam ayahnya Haji Awaludin di
Kabupaten Pinrang. Simak kutipan berikut (par 2, kal 3 dan 4):
Di pusara itu, ia berdoa dengan takzim. Hamid, yang sejak kecil fasih membaca kitab suci Al-Quran, lamat-lamat melantunkan doa arwah.
Adegan ini serupa dengan yang ditampilkan Tempo pada par 1, yakni
merekam suasana-demi-suasana yang seakan-akan membuat peristiwa tersebut hidup
dan pembaca tengah menyaksikannya juga.
Pembuktian tersebut menunjukkan bahwa dua penyusunan adegan di awal
teks tersebut ditampilkan dengan merekam suasana-demi-suasana dengan informatif
sekaligus dramatis, sehingga seakan-akan peristiwa tersebut hidup dan pembaca
seakan-akan tengah menyaksikannya juga.
Kemudian pada bagian tengah teks, adegan ditampilkan lewat penyusunan
kembali masa lalu Hamid mulai dari masa kecil di kampung (par 5), perjalanan karier
http://prys3107.blogspot.com [email protected]
122
dan prestasi (par 6 s/d 9), saat terpilih menjadi anggota KPU pada tahun 2002 (par
10), hingga kemudian ia dipercaya menjabat sebagai menteri Hukum dan Hak Asasi
Manusia dalam Kabinet Indonesia Bersatu (par 11 s/d 13). Dari sudut pandang
estetika bahasa, penggunaan teknik kilas balik ini merupakan cerita dalam cerita yang
dalam kaidah sastra lazim disebut bingkai cerita (frame story).
Pembuktian tersebut menunjukkan bahwa pada bagian tengah teks, Tempo
menggunakan teknik kilas balik (flashback) yang merekam ulang masa lalu
perjalanan hidup Hamid sebagai unsur penyusun adegan.
Pada akhir teks, adegan kemudian kembali ke masa kini di mana Hamid
terjerat kasus dugaan korupsi di Komisi Pemilihan Umum (KPU). Sebagai penutup
laporan utama ini, Tempo menyusun adegan akhir dari teks tersebut lewat pernyataan
Hajah Rapiah selaku bibi sekaligus guru SD Hamid yang meragukan bahwa Hamid
melakukan korupsi. Hal ini kemudian yang membuat berita ini ditutup dengan
meninggalkan pertanyaan lanjutan. Simak kutipan dari par 15, kal 2 dan 3 berikut:
. . . apakah kunjungan Menteri Hamid Awaludin ke Parepare itu akan berulang. Atau itu menjadi sowan Pak Menteri yang terakhir.
Pada penyusunan adegan terakhir inilah, Tempo menawarkan dua pilihan
penyelesaian seperti yang tertuang dalam bentuk kalimat pertanyaan. Dari sudut
pandang estetika bahasa, hal ini merupakan teks yang terbuka, yakni menunda
kesimpulan akhir sebab akhir peristiwanya belum dapat diketahui segera.
Pembuktian tersebut menunjukkan penyusunan adegan yang dilakukan
Tempo pada akhir teks dilakukan dengan teknik teks terbuka yang menunda
http://prys3107.blogspot.com [email protected]
123
kesimpulan akhir sebab akhir peristiwanya belum dapat diketahui segera.
Perspektif orang ketiga
Perspektif orang ketiga yang digunakan dalam sampel ini yaitu perspektif
Hamid. Dalam menggunakan teknik ini, Tempo kerap mencampurkan perspektif
Hamid dengan perspektif Tempo (wartawan penulis) sendiri. Sehingga percampuran
ini memungkinkan Tempo untuk seakan-akan menjadi Hamid. Bercampurnya
perspektif Tempo dengan perspektif Hamid ditampilkan sejak awal teks. Terlebih lagi
pada kalimat pembuka (lead) berikut (par 1, kal 1 dan 2):
Waktu terasa begitu sempit bagi Hamid Awaludin, 45 tahun. Ahad dua pekan lalu, Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia ini terbang ke Makassar, Sulawesi Selatan.
Rangkaian kalimat ini menujukkan bahwa perspektif Tempo masuk ke dalam
perasaan subjektif, suasana dan emosi yang dialami Hamid, yakni perasaan akan
sempitnya waktu. Penggunaan teknik ini tentu membuat Tempo sekaligus mengajak
pembaca untuk merasakan juga apa yang dirasakan Hamid.
Perspektif Hamid yang bercampur dengan perspektif Tempo juga terdapat
pada par 3, kal 3 dan 4 sebagai berikut:
Hamid percaya, doa-restu orang tua akan menjadi obat mujarab pelbagai masalah yang dihadapi. “Saya merasa damai saat berada di dekat ibu,” ujar Hamid Awaludin.
Pada kutipan di atas, bercampurnya perspektif Hamid dengan perspektif
Tempo membuat Tempo seakan mengetahui apa yang dipikirkan Hamid. Penggunaan
kutipan langsung pada kalimat selanjutnya membuat perspektif Hamid menjadi nyata,
http://prys3107.blogspot.com [email protected]
124
sehingga bercampurnya perspektif Tempo dengan perspektif Hamid seakan tidak
kentara lagi. Dari sudut pandang estetika bahasa, percampuran antara perspektif
penulis selaku narator (Tempo) dengan perspektif tokoh yang ditulisnya (Hamid)
disebut sebagai perspektif orang ketiga semestaan (third person omniscient narrator).
Teknik ini menyiratkan keterlibatan penulis dalam tokoh yang diceritakannya.
Pembuktian tersebut menunjukkan bahwa perspektif orang ketiga semestaan
dalam sampel ini dilakukan Tempo tidak hanya untuk melaporkan peristiwa apa yang
terjadi, tetapi juga seakan turut menjadi Hamid dengan mengungkapkan perasaan dan
pikiran Hamid. Hal ini menyiratkan adanya keterlibatan Tempo dalam menceritakan
apa dan bagaimana Hamid.
Penempatan detail
Penempatan detail dalam sampel ini antara lain diungkapkan pada rincian
perjalanan Hamid ke bandara Hasanuddin, Makassar, kemudian dilanjutkan lagi
kampung halamannya di Parepare. Detail yang ditampilkan adalah secara rinci
bagaimana deskripsi rumah keluarga Hamid di Makassar yang terbuat dari panggung
kayu dan kefasihan Hamid membaca kitab suci Al-Quran. Penempatan detail ini
terdapat di par 1 dan 2.
Detail kemudian ditampilkan pada bagaimana masa kecil Hamid sewaktu
masih menjadi siswa di sekolah, perjalanan karir Hamid hingga mendapatkan
beasiswa kuliah dapat di luar negeri, catatan prestasi, dan hubungannya dengan orang
lain, khususnya dengan petinggi negara semacam Sarwono dan Jusuf Kalla.
Penempatan detail ini terdapat di par 5 s/d 11.
http://prys3107.blogspot.com [email protected]
125
Penempatan detail semacam ini memperkuat penokohan karakter dari tokoh
utama dalam teks ini, yakni Hamid sebagai seseorang yang tak melupakan akar
tradisinya, dan agama yang kuat serta ditaatinya sejak kecil hingga saat ini. Hamid
juga diceritakan sebagai sosok dengan track record masa lalu yang baik, sehingga tak
heran bila itu semua membawa Hamid menuju puncak kesuksesan.
Pembuktian ini menunjukkan bahwa Tempo menggunakan penempatan detail
demi memperkuat penokohan karakter tokoh utama dalam teks ini, yaitu Hamid
sebagai pusat penceritaan.
Estetika Bahasa (Pemaknaan)
Berdasarkan seluruh pembuktian di atas, penulis memandang ada beberapa
hal yang patut diperhatikan dari aspek estetika bahasa dalam sampel ini. Antara lain
adalah penggunaan bahasa dalam penyusunan adegan yang menunjukkan bahwa
Tempo hendak menghadirkan peristiwa dengan merekam suasana-demi-suasana
dengan informatif sekaligus dramatis, sehingga seakan-akan peristiwa tersebut hidup
dan pembaca seakan-akan tengah menyaksikannya juga. Teknik penceritaan dalam
penyusunan adegan yang ditemui lewat teknik kilas balik sebagai cerita dalam cerita
(bingkai cerita) yang merekam ulang masa lalu, serta penggunaan teknik teks terbuka
yang menunda kesimpulan menutup akhir peristiwa.
Aspek estetika bahasa kemudian dilanjutkan dengan penggunaan bahasa yang
menghadirkan perspektif orang ketiga semestaan (third person omniscient narrator)
sebagai percampuran antara perspektif Tempo (selaku narator) dengan perspektif
Hamid (selaku orang ketiga). Teknik ini menyiratkan adanya keterlibatan Tempo
http://prys3107.blogspot.com [email protected]
126
dalam menceritakan apa dan bagaimana tokoh Hamid.
Aspek estetika bahasa dalam sampel ini juga dilengkapi dengan banyak
penempatan detail secara rinci yang memperkuat penokohan karakter tokoh utama
dalam teks ini, yaitu Hamid sebagai pusat penceritaan.
Sebagai kesimpulan, pemaknaan yang bisa ditarik dari pembuktian aspek
estetika bahasa dalam sampel ini adalah kuatnya dimensi estetika bahasa yang
terkandung dalam teks berita tersebut, yakni pada penyusunan adegan, perspektif
orang ketiga, dan penempatan detail.
Khusus pada penyusunan adegan dengan penggunaan teknik teks terbuka
yang menunda kesimpulan dalam menutup akhir peristiwa, penulis berpendapat
bahwa dalam hal ini Tempo hendak menyerahkan pemaknaan kepada pembaca.
Sebab, sebuah teks terbuka sejatinya akan mengundang berbagai penafsiran makna.
Dengan kata lain, Tempo seakan membiarkan pembaca untuk menjawab sendiri
pertanyaan yang ditinggalkan untuk kemudian mengambil kesimpulan sendiri. Di
titik inilah unsur ambiguitas begitu kuat dalam teks penutup tersebut, sebuah hal yang
jelas sangat dihindari pada penulisan jurnalisme konvensional yang mengedepankan
kejelasan (straightness).
Politik Bahasa (Pembuktian)
Metafora
Pada sampel ini, penulis menemukan dua metafora yang digunakan Tempo
dalam merelasikan dua fakta melalui kata, kalimat, dan istilah kiasan persamaan.
http://prys3107.blogspot.com [email protected]
127
Pertama, adalah penggunaan metafora pada kalimat ‘Waktu terasa begitu sempit bagi
Hamid Awaludin, 45 tahun.’ (par 1, kal 1).
Pada kalimat di atas, metafora yang digunakan adalah kata ‘sempit’ dalam
merelasikan dua fakta, yakni antara fakta waktu dengan fakta manusia (Hamid).
Dasar pembentukan metafora tersebut adalah persamaan keadaan yang
membandingkan keadaan waktu dengan keadaan perasaan Hamid. Metafora ini
termasuk ke dalam jenis metafora personifikasi.
Pembuktian ini menunjukkan bahwa makna yang dipindahkan Tempo lewat
metafora personifikasi tersebut adalah makna pengungkapan bahwa pribadi Hamid
kini tengah berada dalam suatu keadaan yang mendesak dan tidak mengenakkan.
Keadaan tersebut terkait dengan pengakuan rekan Hamid, yakni Daan Dimara
Kedua, adalah penggunaan metafora pada kalimat ‘Hamid percaya, doa-restu
orang tua akan menjadi obat mujarab perbagai masalah yang dihadapi.’ (par 3, kal 3)
Pada kalimat di atas, metafora yang digunakan adalah kata ‘obat mujarab’
dalam merelasikan dua fakta, yakni fakta doa orang tua Hamid dan fakta masalah
yang dihadapi Hamid. Dasar pembentukan metafora tersebut adalah persamaan
perbuatan yang membandingkan perbuatan mulia (doa orang tua hamid) dengan
perbuatan tercela (dugaan korupsi Hamid). Metafora ini termasuk ke dalam jenis
metafora hiperbola.
Pembuktian ini menunjukkan bahwa makna yang dipindahkan Tempo lewat
metafora hiperbola tersebut adalah makna pengungkapan bahwa Hamid telah
melebih-lebihan doa sebagai cara ampuh yang dapat menyelamatkannya dari dugaan
http://prys3107.blogspot.com [email protected]
128
korupsi di KPU.
Depictions
Pada sampel ini, ada beberapa depictions yang digunakan Tempo. Pertama,
adalah penggunaan istilah konotatif ‘dana haram’ yang terdapat pada baris kalimat di
bawah judul. Depictions tersebut digunakan Tempo dalam menggambarkan fakta
mengenai uang terlarang yang tidak sepatutnya dimiliki.
Pembuktian ini menunjukkan bahwa dalam depictions tersebut ada nilai moral
yang dipinjam Tempo dari istilah keagamaan untuk menjelaskan ‘haram’ sebagai
sesuatu hal yang tercela dan berdosa. Dalam rangka inilah, penulis menemukan
adanya keterkaitan yang bertolak belakang dengan pribadi Hamid yang digambarkan
Tempo sebagai seseorang yang taat beragama. Maka penulis menganalisis bahwa
depictions tersebut digunakan Tempo demi menyesatkan penggambaran karakter
Hamid sebagai tidak konsisten menjalankan perintah agama karena diduga
melakukan sesuatu yang dilarang dalam agama. Depictions tersebut tentu diniatkan
untuk membangkitkan prasangka terhadap pribadi Hamid sendiri.
Kedua, adalah penggunaan istilah konotatif ‘orang titipan’ yang terdapat pada
par 12, kal 1. Depictions tersebut digunakan Tempo dalam menggambarkan fakta
mengenai seseorang yang didukung oleh seseorang lain yang lebih berkuasa.
Pembuktian ini menunjukkan adanya keterkaitan antara Hamid sebagai
seseorang yang didukung, dengan Jusuf Kalla yang memiliki kekuasaan lebih dalam
mendukung Hamid. Istilah ‘titipan’ sendiri mengacu berdasarkan informasi dalam
teks berita par 11 yang menyebutkan bahwa Jusuf Kalla lah yang bersikeras
http://prys3107.blogspot.com [email protected]
129
memasukkan atau menitipkan Hamid ke dalam susunan kabinet Indonesia Bersatu.
Maka penulis menganalisis bahwa depictions tersebut digunakan Tempo demi
mencitrakan Hamid sebagai seseorang yang tak hanya dekat dengan kekuasaan, tetapi
juga posisinya sebagai menteri dijamin oleh penguasa, yakni Jusuf Kalla yang kini
tengah menjabat sebagai wakil presiden.
Ketiga, adalah depictions dalam kalimat konotatif yang tertuang sebagai judul
teks berita: ‘Mencari Damai Dalam Dekapan Ibu’.
Selain merupakan intisari dari keseluruhan teks, depictions tersebut
menggambarkan fakta bahwa seorang ibu mampu berperan sebagai seseorang yang
dapat memberikan ketenangan dan kedamaian bagi anaknya. Ibu adalah benteng
pertahanan terakhir seorang anak manusia ketika tengah dilanda masalah.
Lewat depictions inilah Tempo membangkitkan keterkaitan Hamid sebagai
seseorang yang tengah terlibat dalam persoalan kasus korupsi, dengan perjalanan
sowan Hamid mengunjungi ibu kandungnya sebagai seseorang yang diharapkan
dapat memberikan kedamaian bagi Hamid tempat berlindung dari persoalan kasus
korupsi yang menimpanya.
Baru kemudian depictions ini secara tersirat menunjukkan ketakutan Hamid
atas pemanggilan KPK terhadap dirinya mengenai kasus korupsi di KPU. Bahkan
saking takutnya, Hamid pun memilih pulang kampung untuk menemui ibunya,
berlindung di benteng pertahanannya yang terakhir demi mendapatkan ketenangan.
Hingga akhirnya, penggunaan depictions ini secara tersirat juga hendak
menekankan makna bahwa ketakutan Hamid dalam kaitannya dengan pemanggilan
http://prys3107.blogspot.com [email protected]
130
KPK tersebut patut dicurigai, karena pemanggilan diri Hamid baru sebatas meminta
keterangan dan bukan (atau belum) menjadikan Hamid sebagai tersangka. KPK
sendiri belum menyebutkan dalam kapasitas (status) apa Hamid diperiksa, apakah
saksi atau tersangka.
Pembuktian ini menunjukkan bahwa depictions tersebut hendak mencitrakan
Hamid sebagai seseorang yang penakut, cari aman, dan tengah membutuhkan
perlindungan. Sehingga tampak wajar bila hal ini membangkitkan prasangka kepada
Hamid sebagai seseorang yang patut dicurigai keterlibatannya dalam kasus korupsi di
KPU.
Politik Bahasa (Pemaknaan)
Berdasarkan seluruh pembuktian di atas, penulis menyimpulkan bahwa
penggunaan simbol (simbolisme) sebagai politik bahasa Tempo tertuang lewat
penggunaan metafora personifikasi untuk mengungkapkan makna bahwa pribadi
Hamid kini tengah berada dalam suatu keadaan yang mendesak dan tidak
mengenakkan, dan metafora hiperbola untuk mengungkapkan makna bahwa Hamid
telah melebih-lebihkan doa sebagai cara ampuh yang dapat menyelamatkannya dari
dugaan korupsi di KPU.
Penggunaan simbol sebagai politik bahasa Tempo juga tertuang lewat
penggunaan depictions ‘dana haram’ demi menyesatkan penggambaran karakter
Hamid sebagai seseorang yang tidak konsisten menjalankan perintah agama karena
diduga melakukan sesuatu yang dilarang dalam agama; depictions ‘orang titipan’
untuk mencitrakan Hamid sebagai seseorang yang tak hanya dekat dengan kekuasaan,
http://prys3107.blogspot.com [email protected]
131
tetapi juga posisinya sebagai menteri dijamin oleh penguasa, yakni Jusuf Kalla yang
kini tengah menjabat sebagai wakil presiden; dan depictions ‘Mencari Damai Dalam
Dekapan Ibu’ yang secara tersirat hendak mencitrakan Hamid sebagai seseorang yang
penakut, cari aman, dan tengah membutuhkan perlindungan. Sehingga tampak wajar
bila hal ini membangkitkan prasangka kepada Hamid sebagai seseorang yang takut
patut dicurigai keterlibatannya dalam kasus korupsi di KPU.
Sebagai kesimpulan, pemaknaan yang bisa ditarik dari pembuktian aspek
politik bahasa dalam sampel ini ialah kuatnya penggunaan metafora dan depictions
sebagai bentuk politik bahasa yang digunakan Tempo secara khusus dalam
membangkitkan prasangka dan menyesatkan citra Hamid Awaludin, yang kemudian
mengarahkan citra Hamid kepada konstruksi citra tertentu yang dibentuk Tempo. Dan
hasil dari konstruksi citra tersebut mestilah citra yang buruk, bahkan menurut
pendapat penulis Tempo cenderung mengarahkannya kepada citra yang konyol.
Konstruksi citra yang buruk dapat ditemui pada penggambaran Hamid sebagai
seseorang yang munafik dan berdosa karena dikenal taat beragama namun melakukan
korupsi. Sedangkan konstruksi citra yang konyol dapat ditemui pada penggambaran
Hamid sebagai seseorang yang kekanak-kanakan (anak mami) dalam menyikapi suatu
permasalahan.
http://prys3107.blogspot.com [email protected]
132
Kesimpulan Analisis Teks Ekletif Sampel 1
Berdasarkan dari rangkaian pembuktian dan pemaknaan analisis teks ekletif
pada sampel 1, penulis merangkum kesimpulan sebagai berikut:
1. Aspek perlakuan atas peristiwa dalam sampel ini adalah Tempo hendak
menunjukkan bahwa unsur human interest dari pribadi Hamid juga penting dan
patut diketahui khalayak sebagai sisi lain dari peristiwa utama kasus korupsi KPU
ini. Cara Tempo menonjolkan sisi pribadi Hamid tentu semakin memperkuat
dugaan adanya keterlibatan diri Hamid dalam kasus korupsi KPU. Penulis juga
menemukan adanya perencanaan agenda (agenda setting) liputan yang cukup
memakan waktu serta perencanaan yang matang dalam teks berita ini sebagai
perlakuan Tempo atas peristiwa.
2. Aspek estetika bahasa dalam sampel ini ialah adanya kandungan estetika bahasa
dalam teks berita tersebut –khususnya pada penyusunan adegan, perspektif orang
ketiga, dan penempatan detail. Khusus pada penyusunan adegan dengan
penggunaan teknik teks terbuka yang menunda kesimpulan dalam menutup akhir
peristiwa, Tempo hendak mengundang berbagai penafsiran makna dan
menyerahkan pemaknaan kepada pembaca. Di titik inilah unsur ambiguitas begitu
kuat dalam teks penutup tersebut, sebuah hal yang jelas sangat dihindari pada
penulisan jurnalisme konvensional yang mengedepankan kejelasan (straightness).
3. Aspek politik bahasa dalam sampel ini ialah kuatnya penggunaan metafora dan
depictions sebagai bentuk politik bahasa yang digunakan Tempo secara khusus
dalam membangkitkan prasangka dan menyesatkan citra Hamid Awaludin, yang
http://prys3107.blogspot.com [email protected]
133
kemudian mengarahkan citra Hamid kepada konstruksi citra tertentu yang
dibentuk Tempo. Dan hasil dari konstruksi citra tersebut mestilah citra yang
buruk, bahkan Tempo cenderung mengarahkannya kepada citra yang konyol.
http://prys3107.blogspot.com [email protected]
136
Sampel 2
Judul : Terusik Nyanyian Meneer Daan (Laporan Utama Segel Amplop Kertas
Suara)
Edisi : 19 Maret 2006
Penulis : Wenseslaut Manggut, Purwanto, Badriah, Ami Afriatni
Perlakuan Atas Peristiwa (Pembuktian)
Tema yang diangkat
Tema yang diangkat pada sampel ini adalah kontroversi seputar kasus korupsi
KPU yang melibatkan dua tokoh, yakni Daan Dimara dan Hamid Awaludin. Tempo
menyajikan versi yang saling bertentangan dari keduanya mengenai siapa yang paling
bertanggung jawab atas korupsi pengadaan segel amplop kertas suara pemilu presiden
2004. Daan sendiri sebelumnya telah ditahan pihak berwajib sehubungan dengan
jabatannya sebagai ketua pengadaan segel amplop kertas suara pemilu presiden 2004.
Tapi kemudian dari dalam penjara Daan menyebutkan nama Menteri Hukum dan
HAM Hamid sebagai pihak yang paling bertanggung jawab, karena Hamid saat itu
tengah menjabat sebagai anggota KPU.
Ada banyak pihak yang diwawancarai Tempo dalam menyusun liputan ini.
Mulai dari Daan Dimara dan Erick Samuel Paat selaku kuasa hukumnya, Bakrie
Asnuri selaku mantan sekretaris panitia pengadaan segel KPU, Nazaruddin
Sjamsuddin mantan ketua KPU, Sukharni Muluk selaku kuasa hukum Untung
Sastrawijaya, hingga Hamid sendiri. Ada pula sumber anonim selaku orang dekat
Untung Sastrawijaya yang diwawancarai Tempo pada par 24.
http://prys3107.blogspot.com [email protected]
137
Bisa disimak pula bahwa dalam menyajikan teks berita ini, Tempo melakukan
multi liputan, yakni peristiwa percakapan telepon antara Daan dengan Hamid (par 1
dan 2), keterangan dari Erick atas kasus ini (par 11 s/d 29), keterangan Bakrie Asnuri
(par 20 s/d 22), komentar Nazaruddin Sjamsuddin (par 27), keterangan Sukharni
Muluk (par 28), bantahan dari Hamid sendiri (par 24 s/d 26), serta didukung oleh
referensi perkembangan awal dari kasus ini. Multi liputan tersebut menunjukkan
liputan dilakukan dengan terencana pada waktu yang berbeda.
Pembuktian ini menunjukkan bahwa peristiwa yang diangkat menjadi tema
pemberitaan adalah kontroversi kasus korupsi pengadaan segel amplop kertas suara
pemilu presiden 2004 antara Daan Dimara dan Hamid Awaludin, dengan melibatkan
informasi dari banyak pihak terkait. Dalam menyajikan teks berita ini, Tempo
melakukan multi liputan dengan terencana pada waktu yang berbeda.
Penempatan berita
Pada edisi 19 Maret 2006, Tempo mengusung liputan utama ‘Segel Amplop
Kertas Suara’ dengan sampul depan ilustrasi wajah Hamid Awaludin dan diberi
judul ‘Hamid Awaludin: Saksi Atau Tersangka’. Judul ini menjadi judul dari
rubrik opini atau editorial Tempo di halaman dalam. Rangkaian liputan utama Segel
Amplop Kertas Suara tersebut berjumlah dua berita dan satu wawancara yang
terbentang dari halaman 26 s/d 31.
Teks berita yang menjadi sampel ini ditempatkan Tempo sebagai tulisan
pertama menempati tiga halaman dan diberi bingkai hitam memanjang pada halaman
bagian atas dengan judul rubrik ‘Liputan Utama Segel Amplop Kertas Suara. Sampel
http://prys3107.blogspot.com [email protected]
138
ini juga dilengkapi dengan satu foto Daan tengah memasuki kendaraan tahanan usai
diperiksa KPK, dan satu foto petugas KPU yang tengah menunjukkan segel kertas
suara, satu buah insert dokumen dari PT Royal Standard, serta dua grafik terpisah
berisi kronologi kejadian dan kutipan lima narasumber terkait. Jika dibandingkan dua
tulisan lainnya, sampel ini merupakan tulisan inti dengan multi liputan.
Pembuktian ini menunjukkan bahwa Tempo menempatkan teks berita ini
sebagai peristiwa inti yang penting dan patut diketahui khalayak, dengan penempatan
posisi tulisan yang strategis dan tata letak yang padat informasi.
Perlakuan Atas Peristiwa (Pemaknaan)
Berdasarkan pembuktian di atas, penulis menyimpulkan bahwa peristiwa yang
diangkat Tempo menjadi tema pemberitaan adalah kontroversi kasus korupsi
pengadaan segel amplop kertas suara pemilu presiden 2004 antara Daan Dimara dan
Hamid Awaludin, dengan melibatkan informasi dari banyak pihak terkait. Dalam
menyajikan teks berita ini, Tempo melakukan multi liputan dengan terencana pada
waktu yang berbeda. Tempo menempatkan teks berita ini sebagai peristiwa inti yang
penting dan patut diketahui khalayak, dengan penempatan posisi tulisan yang
strategis, dan tata letak yang padat informasi.
Maka pemaknaan yang bisa ditarik dari aspek perlakuan atas peristiwa dalam
sampel ini adalah Tempo hendak menunjukkan bahwa kontroversi kasus korupsi
pengadaan segel amplop kertas suara pemilu presiden 2004 antara Daan Dimara dan
Hamid Awaludin penting dan patut diketahui khalayak. Cara Tempo memunculkan
banyak pihak yang diwawancarai dalam teks berita ini tentu memperkuat pentingnya
http://prys3107.blogspot.com [email protected]
139
kontroversi ini diselesaikan secara hukum. Penulis juga menemukan adanya
perencanaan agenda (agenda setting) liputan yang cukup memakan waktu serta
perencanaan yang matang dalam teks berita ini sebagai perlakuan Tempo atas
peristiwa. Yang juga menjadi pemaknaan penulis adalah, Tempo hendak
menunjukkan bahwa di balik penyelesaian kasus korupsi pengadaan segel amplop
kertas suara pemilu presiden 2004 ini, ada kepentingan pihak tertentu yang
menginginkan agar kasus ini tidak segera terungkap.
Estetika Bahasa (Pembuktian)
Penyusunan Adegan
Penyusunan adegan pada sampel ini akan dilihat dari bagian awal, bagian
tengah, dan bagian akhir teks. Pada bagian awal teks, penyusunan adegan dibuka
dengan rekaman peristiwa percakapan pagi hari di telepon antara Daan Dimara
dengan Hamid Awaludin. Keduanya ditampilkan tengah bersoal-jawab tentang
pengadaan segel sampul surat suara pemilu presiden 2004. Hal ini ditunjukkan lewat
pembuka teks berita (lead) berikut ini (par 1):
Pekan kedua Februari 2006. Telepon itu berdering pagi hari. Setengah mengantuk, Daan Dimara bergegas mengangkat. Si penelepon Hamid Awaludin, bekas kawan kerjanya di Komisi Pemilihan Umum. Hamid kini Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia. Pagi itu keduanya bersoal-jawab tentang pengadaan segel sampul surat suara pemilu presiden.
Pada kutipan di atas, penulis menemukan penggunaan bahasa Tempo tak
hanya menampilkan informasi perihal tema yang diangkat, tetapi juga merekam
http://prys3107.blogspot.com [email protected]
140
suasana-demi-suasana untuk menghadirkan peristiwa saat percakapan telepon Daan
dengan Hamid terjadi. Adegan ini diposisikan secara menonjol sebagai pembuka atau
news peg dari teks berita.
Adegan kemudian dilanjutkan dengan isi percakapan keduanya secara
langsung sebagai berikut (par 2):
Daan : Selamat pagi, siapa ini? Hamid : Ini Hamid Awaludin. Meneer Daan, mengapa menyebut saya
bertanggung jawab atas pengadaan segel amplop kertas suara di koran?
Daan : Memang benar begitu, Pak. Waktu kita bertemu di kantor Pak Nazaruddin (Ketua KPU –Red), Bapak bilang agar saya tidak mengubah harga segel kertas pemilu. Saya tinggal mengawasi saja.
Hamid : Lho, kapan saya ngomong begitu? Daan : Oh, jadi setelah menjadi menteri, Bapak ini jadi pelupa, ya?
Pada kutipan di atas, penulis menemukan teknik penulisan yang secara
langsung dan utuh menghadirkan kembali isi percakapan tersebut. Teknik penulisan
seperti ini tidak lazim dijumpai dalam sebuah berita, namun banyak digunakan pada
karya sastra semisal cerpen, novel, atau naskah drama. Yang patut disimak adalah
adegan ini ditulis Tempo berdasarkan penuturan Daan (par 3), maka jelas bahwa
Tempo bukanlah pihak yang berada saat percakapan itu berlangsung. Hal ini
menunjukkan ada upaya rekonstruksi peristiwa yang dilakukan Tempo untuk
menghadirkan kembali adegan ini secara langsung dan utuh.
Pembuktian ini menunjukkan bahwa penyusunan adegan pada bagian awal
teks dilakukan Tempo dengan teknik penulisan kutipan yang tidak lazim dijumpai
dalam sebuah berita, namun banyak digunakan pada karya sastra semisal cerpen,
http://prys3107.blogspot.com [email protected]
141
novel, atau naskah drama.
Pada bagian tengah teks, adegan disusun mulai dari peristiwa masa lalu, yakni
saat pemilu presiden 2004 berlangsung dengan sukses. Baru kemudian Tempo
menyusunnya dengan menampilkan secara kronologis bagaimana kesuksesan pemilu
diwarnai dengan kasus korupsi pengadaan segel amplop kertas suara pemilu presiden
2004, yang kemudian melibatkan banyak pihak.
Pembuktian tersebut menunjukkan bahwa pada bagian tengah teks, Tempo
menggunakan teknik kilas balik (flashback) yang merekam ulang masa lalu secara
kronologis. Dari sudut pandang estetika bahasa, penggunaan teknik kilas balik ini
merupakan cerita dalam cerita yang dalam kaidah sastra lazim disebut bingkai cerita.
Pada bagian akhir teks, yakni sebagai penutup laporan utama ini, Tempo
menyusun adegan dengan menunda kesimpulan akhir dari peristiwa ini. Simak
kutipan dari par 30 berikut:
Siapa saja yang bersalah memang masih terus diusut. Senin pekan ini, kabarnya, Hamid Awaludin datang ke KPK. Dia akan diperiksa sebagai saksi kaus pengadaan segel sampul surat suara. Siapa tahu, teka-teki perkara ini segera tersibak.
Pada penyusunan adegan terakhir inilah, Tempo meninggalkan beberapa
pertanyaan lanjutan dengan menunda kesimpulan akhir dari peristiwa ini, sebab akhir
peristiwanya belum dapat diketahui segera. Dari sudut pandang estetika bahasa, hal
ini merupakan teks terbuka, yakni penundaan kesimpulan sebab akhir peristiwanya
belum dapat diketahui segera.
http://prys3107.blogspot.com [email protected]
142
Pembuktian tersebut menunjukkan penyusunan adegan yang dilakukan
Tempo pada akhir teks dilakukan dengan teknik teks terbuka yang menunda
kesimpulan akhir sebab akhir peristiwanya belum dapat diketahui segera.
Dialog
Penggunaan dialog dalam sampel ini terlihat pada adegan yang menampilkan
isi percakapan Daan dengan Hamid di telepon pagi hari. Dialog antara Daan dengan
Hamid seperti yang telah penulis kutip pada halaman 140.
Pada dialog tersebut, penulis menemukan teknik penggunaan dialog antara
Daan dan Hamid yang ditulis secara langsung dan utuh demi menghadirkan kembali
isi percakapan keduanya. Teknik penggunaan dialog seperti ini tidak lazim dijumpai
dalam sebuah berita, namun banyak digunakan pada karya sastra semisal cerpen,
novel, atau naskah drama. Yang patut disimak adalah Tempo menyusun dialog
tersebut berdasarkan penuturan Daan (par 3), maka jelas bahwa Tempo bukanlah
pihak yang berada saat percakapan itu berlangsung.
Pembuktian ini menunjukkan bahwa ada penggunaan dialog yang tidak lazim
dijumpai dalam sebuah berita, namun banyak digunakan pada karya sastra semisal
cerpen, novel, atau naskah drama. Penggunaan dialog merupakan upaya rekonstruksi
peristiwa yang dilakukan Tempo untuk menghadirkan kembali adegan ini secara
langsung dan utuh.
Perspektif orang ketiga
Perspektif orang ketiga yang secara menonjol digunakan dalam sampel ini
adalah perspektif Daan pada bagian awal teks. Dalam menggunakan teknik ini,
http://prys3107.blogspot.com [email protected]
143
Tempo kerap mencampurkan perspektif Daan dengan perspektif Tempo sendiri.
Sehingga percampuran ini memungkinkan Tempo untuk seakan-akan menjadi Daan.
Bercampurnya perspektif Tempo dengan perspektif Hamid ditampilkan sejak
pembuka teks berita (lead) sebagai berikut (par 1, kal 2 dan 3):
Telepon itu berdering pagi hari. Setengah mengantuk, Daan Dimara bergegas mengangkat.
Rangkaian kalimat ini menunjukkan bahwa perspektif Tempo masuk ke
dalam perasaan subjektif, suasana dan emosi yang dialami Daan, yakni perasaan
‘mengantuk’, suasana ‘pagi hari’, dan emosi dalam kata ‘bergegas mengangkat’.
Penggunaan bahasa seperti ini membuat Tempo tak hanya menginformasikan
peristiwa, tetapi sekaligus mengajak pembaca untuk merasakan juga apa yang
dirasakan Daan.
Dari sudut pandang estetika bahasa, percampuran antara perspektif penulis
selaku narator (Tempo) dengan perspektif tokoh yang ditulisnya (Daan) disebut
sebagai perspektif orang ketiga semestaan (third person omniscient narrator). Teknik
ini menyiratkan keterlibatan penulis terhadap perasaan, suasana, dan emosi yang
dialami tokoh yang diceritakannya.
Pembuktian tersebut menunjukkan bahwa perspektif orang ketiga semestaan
dalam sampel ini dilakukan Tempo tidak hanya untuk melaporkan peristiwa apa yang
terjadi, tetapi juga seakan turut menjadi Hamid dengan mengungkapkan perasaan,
suasana, dan emosi yang dialami Daan. Hal ini menyiratkan adanya keterlibatan
Tempo dalam menghadirkan peristiwa percakapan telepon pagi hari antara Daan
http://prys3107.blogspot.com [email protected]
144
dengan Hamid.
Estetika Bahasa (Pemaknaan)
Berdasarkan seluruh pembuktian di atas, penulis memandang ada beberapa
hal yang patut diperhatikan dari aspek estetika bahasa dalam sampel ini. Antara lain
adalah penggunaan bahasa dalam penyusunan adegan yang menunjukkan bahwa
Tempo tak hanya menampilkan informasi perihal tema yang diangkat, tetapi juga
merekam suasana-demi-suasana untuk menghadirkan peristiwa saat percakapan
telepon Daan dengan Hamid terjadi. Tempo juga menggunakan teknik penulisan
kutipan yang tidak lazim dijumpai dalam sebuah berita, namun banyak digunakan
pada karya sastra semisal cerpen, novel, atau naskah drama. Tempo menggunakan
teknik kilas balik (flashback) yang merekam ulang masa lalu secara kronologis
sebagai bingkai cerita. Tempo juga menggunakan teknik teks terbuka yang menunda
kesimpulan akhir sebab akhir peristiwanya belum dapat diketahui segera.
Aspek estetika bahasa kemudian dilanjutkan dengan penggunaan penggunaan
dialog sebagai upaya rekonstruksi peristiwa yang dilakukan Tempo untuk
menghadirkan kembali adegan ini secara langsung dan utuh.
Aspek estetika bahasa dalam sampel ini juga dilengkapi penggunaan bahasa
dengan menghadirkan perspektif orang ketiga semestaan yang tidak hanya
melaporkan peristiwa apa yang terjadi, tetapi juga seakan turut menjadi Hamid
dengan mengungkapkan perasaan, suasana, dan emosi yang dialami Daan. Hal ini
menyiratkan adanya keterlibatan Tempo dalam menghadirkan peristiwa percakapan
telepon pagi hari antara Daan dengan Hamid.
http://prys3107.blogspot.com [email protected]
145
Sebagai kesimpulan, pemaknaan yang bisa ditarik dari pembuktian aspek
estetika bahasa dalam sampel ini adalah kuatnya dimensi estetika bahasa yang
terkandung dalam teks berita tersebut, yakni pada penyusunan adegan, penggunaan
dialog, dan perspektif orang ketiga. Khusus pada penggunaan dialog secara langsung
dan utuh, penulis berpendapat bahwa dalam hal ini Tempo hendak menerangkan
bagaimana kontroversi ini bermula dengan menguatkan keutuhan adegan dan
memberi sentuhan riil pada teks berita tersebut. Penulis juga berpendapat bahwa
penggunaan dialog tersebut menyiratkan karakter Daan dan Hamid yang ditampilkan
serealistis mungkin dalam kehidupan sehari-hari mereka. Lewat teknik tersebut,
Tempo mengajak pembaca masuk ke dalam penceritaan, yang kemudian dapat
mengundang penafsiran dan perluasan makna.
Dalam rangka inilah penulis juga berpendapat bahwa ada unsur ambiguitas
dalam penggunaan dialog tersebut, serta pada teknik teks terbuka yang menunda
kesimpulan akhir sebab akhir peristiwanya belum dapat diketahui segera, sebuah hal
yang jelas sangat dihindari pada penulisan jurnalisme konvensional yang
mengedepankan kejelasan (straightness).
Politik Bahasa (Pembuktian)
Metafora
Pada sampel ini, penulis menemukan penggunaan dua analogi sebagai bentuk
politik bahasa Tempo dalam mengungkapkan fakta melalui kata, frase, dan kalimat
konotatif. Pertama, adalah penggunaan analogi pada kalimat ‘Tapi keharuman itu
http://prys3107.blogspot.com [email protected]
146
berumur pendek’ (par 7, kal 7).
Kalimat di atas menunjukkan pemakaian analogi terhadap kata nomina ‘itu’
lewat kata dan frase sifat secara beruntun, yakni kata ‘keharuman’ dan frase ‘berumur
pendek’. Kata nomina ‘itu’ di sini mengacu pada peristiwa penyelenggaraan Pemilu
Presiden 2004 di Indonesia. Sedangkan kata ‘harum’ dan frase ‘umur pendek’
menganalogikan dua sifat dari penyelenggaraan pemilu tersebut. Sifat tersebut
masing-masing ialah ‘harum’ yang menganalogikan sifat kesuksesan, dan ‘umur
pendek’ yang menganalogikan sifat kesuksesan tersebut tidak berlangsung lama.
Maka analogi beruntun ini merupakan metafora dari kesuksesan peristiwa
penyelenggaraan pemilu yang tidak berlangung lama.
Pembuktian ini menunjukkan bahwa makna yang dipindahkan Tempo lewat
metafora tersebut adalah makna pengungkapan bahwa kesuksesan semu dari
peristiwa penyelenggaraan Pemilu Presiden 2004. Kesuksesan semu ini tentu
mengacu pada adanya fakta kasus dugaan korupsi KPU yang baru diketahui setelah
pemilu berakhir.
Kedua, adalah penggunaan analogi pada kalimat ‘Belakangan, KPK mencium
bau korupsi dalam sejumlah proyek.’ (par 1, kal 1).
Pada kalimat di atas, frase ‘mencium bau’ menganalogikan perbuatan
menduga sesuatu hal yang nyata adanya namun tidak terlihat atau terkesan ditutup-
tutupi. Maka analogi ini merupakan metafora dari perbuatan KPK menduga adanya
fakta korupsi dalam sejumlah proyek pengadaan barang dalam penyelenggaraan
Pemilu Presiden 2004 yang terkesan ditutup-tutupi.
http://prys3107.blogspot.com [email protected]
147
Pembuktian ini menunjukkan bahwa makna yang dipindahkan Tempo lewat
metafora tersebut adalah makna pengungkapan adanya fakta korupsi yang terkesan
ditutup-tutupi dalam sejumlah proyek pengadaan barang dalam penyelenggaraan
Pemilu Presiden 2004.
Depictions
Pada sampel ini, ada tiga depictions yang digunakan Tempo dalam
mengarahkan citra tertentu. Pertama, adalah penggunaan depictions pada kalimat
‘Daan ditembak dua tuduhan sekaligus’ (par 10, kal 3), dan kedua, pada kalimat ’Dia
juga memastikan tanggung jawab kasus ini sepenuhnya dipikul Daan Dimara.’ (par
27, kal 2). Kedua kalimat ini mengandung penggunaan depictions dalam
mengarahkan citra tertentu atas Daan.
Pada kalimat pertama, kata konotatif sebagai depictions adalah kata
’ditembak’. Kata ini menggambarkan tindakan pasif seseorang yang menjadi korban.
Kemudian pada kalimat kedua, kata konotatif sebagai depictions adalah kata
’dipikul’. Kata ini menggambarkan tindakan aktif seseorang untuk menanggung
beban tanggung jawab tertentu.
Penulis menganalisis bahwa kedua depictions tersebut digunakan untuk
menggambarkan Daan sebagai pihak pasif yang dikorbankan, sekaligus pihak aktif
yang menanggung beban tanggung jawab. Ini menunjukkan penggambaran bahwa
tindakan aktif Daan menanggung beban tanggung jawab bukan karena ia pantas untuk
itu, tetapi lebih karena ia menjadi pihak pasif yang dikorbankan. Artinya juga, ada
pihak lain yang seharusnya lebih bertanggung jawab dalam kasus korupsi ini.
http://prys3107.blogspot.com [email protected]
148
Pembuktian ini menunjukkan bahwa depictions tersebut digunakan Tempo
demi mengarahkan citra Daan sebagai pihak yang dikorbankan, sekaligus juga
diniatkan untuk membangkitkan prasangka bahwa pihak lain yang lebih berkuasa dari
Daan tersebutlah yang seharusnya dimintai pertanggungjawaban atas kasus korupsi
ini
Ketiga, adalah penggunaan depictions sebagai pengarahan citra tertentu pada
kalimat konotatif ’Terusik Nyanyian Meneer Daan’. Pada kalimat yang menjadi judul
teks berita ini, penulis menyimak adanya pembentukan nominalisasi dengan membuat
kata kerja ’terusik’ menjadi kata nomina. Sehingga kalimat tersebut tidak lagi
mencerminkan sebuah kegiatan, tetapi lebih menekankan sebuah peristiwa. Itu
sebabnya kalimat yang menekankan sebuah peristiwa dapat digunakan untuk
menghilangkan subyek atau objek pelaku tindakan.
Yang menjadi subyek dalam nominalisasi tersebut adalah Daan. Sedangkan
obyek pelaku tindakan dihilangkan atau disembunyikan dalam kalimat ini. Hal ini
menunjukkan bahwa pembentukan citra tertentu diarahkan bukan pada subyek pelaku
tindakan (Daan) yang tertera pada kalimat, tetapi lebih kepada obyek pelaku tindakan
yang disembunyikan dalam kalimat. Penyembunyian obyek pelaku tindakan tersebut
tentu mengacu pada Hamid. Penyembunyian Hamid sebagai obyek pelaku tindakan
inilah yang ditekankan lewat kalimat konotatif tersebut. Karenanya, pembuktian dan
pemaknaan depictions ini mesti dilakukan dalam kaitannya dengan Hamid.
http://prys3107.blogspot.com [email protected]
149
Kata ’nyanyian’ pada kalimat di atas mengkonotasikan bentuk perbuatan
seseorang dalam membeberkan informasi keterlibatan seseorang lain pada sebuah
kasus hukum. Penggunaan kata konotatif tersebut mengacu pada bentuk keterangan
informasi yang diberikan Daan kepada KPK ketika diperiksa 7 Februari 2006 yang
saat itu status Daan masih sebagai saksi kasus dugaan korupsi pengadaan kotak suara
pemilu (par 3, kal 2 dan 3). Dalam pemeriksaan itulah, Daan memberikan keterangan
kepada KPK mengenai keterlibatan Hamid pada kasus korupsi pengadaan segel
amplop surat suara pemilu presiden. Daan juga menyebutkan keterlibatan Hamid
kepada ’sejumlah wartawan yang menunggu Daan keluar dari ruang pemeriksaan’
(par 5, kal 3).
Pembuktian ini menunjukkan bahwa kata konotatif tersebut menggambarkan
pembeberan informasi kepada KPK dan wartawan yang dilakukan Daan mengenai
adanya keterlibatan Hamid pada kasus korupsi pengadaan segel amplop surat suara
pemilu presiden. Lewat kata konotatif inilah Tempo membangkitkan keterkaitan
Hamid sebagai seseorang yang diinformasikan juga terlibat dalam kasus korupsi
pengadaan segel amplop surat suara pemilu presiden.
Keterkaitan Hamid yang dibangkitkan lewat penggunaan kata konotatif
’nyanyian’, lebih dipertegas lagi lewat penggunaan kata konotatif ’terusik’ dalam
kalimat tersebut. Kata ’terusik’ pada kalimat di atas mengkonotasikan sebuah
keadaan yang begitu mengganggu pikiran dan perasaan seseorang. Penggunaan kata
konotatif tersebut mengacu pada keadaan pikiran dan perasaan Hamid yang begitu
terganggu.
http://prys3107.blogspot.com [email protected]
150
Pembuktian ini menunjukkan bahwa kata konotatif tersebut menggambarkan
keadaan yang begitu mengganggu pikiran dan perasaan Hamid atas pembeberan
informasi yang dilakukan Daan. Lewat kata konotatif inilah Tempo menegaskan
pembeberan informasi keterkaitan Hamid dalam kasus korupsi pengadaan segel
amplop surat suara pemilu presiden, sekaligus mengungkapkan keadaan pikiran dan
perasaan Hamid yang begitu terganggu atas keterlibatannya itu yang tidak hanya
diketahui oleh KPK dan wartawan, tetapi juga telah diketahui publik.
Pengungkapan keterkaitan Hamid serta keadaan pikiran dan perasaan dirinya
yang begitu terganggu lewat dua kata konotatif tersebut, kemudian semakin
dipertegas lagi lewat penggunaan frase ’meneer Daan’. Kata ’meneer Daan’ ini
mengacu pada kata ganti atau julukan yang diberikan kepada seseorang yang tinggi
status sosialnya. Dalam kosakata bahasa Belanda, definisi Meneer adalah tuan. Maka,
’meneer’ adalah julukan yang diberikan seorang bawahan kepada tuannya. Julukan
ini juga menunjukkan hubungan kekuasaan dan sosial yang vertikal dalam
masyarakat.
Pada kalimat konotatif tersebut, penggunaan frase ’meneer Daan’ mengacu
pada jabatan Daan selaku ketua pengadaan segel amplop surat suara pemilu legislatif
dan pemilu presiden (par 4, kal 1). Maka frase ini mengkonotasikan status diri Hamid
dalam hubungan kekuasaan yang vertikal dengan Daan. Dalam artian, frase tersebut
menggambarkan status sosial Hamid sebagai bawahan (anggota) dan status Daan
sebagai tuan (ketua). Yang perlu diperhatikan, frase ini tidak begitu saja diberikan
Tempo, tetapi merupakan frase pinjaman dari perkataan Hamid (par 2) yang
http://prys3107.blogspot.com [email protected]
151
kemudian dipertegas oleh Tempo. Dalam hal ini, Hamid memosisikan dirinya sebagai
bawahan dengan menjuluki Daan sebagai tuannya, sekaligus juga menunjukkan
upaya Hamid dalam menunjukkan kesan bahwa Daan adalah pihak yang lebih
berkuasa atas dirinya.
Penulis menganalisis bahwa lewat penjulukan frase ’meneer Daan’, Hamid
hendak menyesatkan karakter Daan sebagai pihak yang lebih berkuasa dan
bertanggungjawab atas kasus korupsi pengadaan segel amplop surat suara pemilu
presiden. Penyesatan karakter yang dilakukan Hamid atas Daan ini mengacu pada
keterangan Bakri Asnuri yang diwawancarai Tempo selaku sekretaris panitia
pengadaan segel KPU. Bakri mengatakan ”Daan Dimara memang menjadi ketua
pengadaan segel, tapi negosiasi harganya dilakukan Hamid Awaludin.” (par 20, kal 2)
Pembuktian ini menunjukkan upaya Hamid dalam menyesatkan karakter Daan
lewat frase ’meneer Daan’ demi mengelak tanggungjawabnya atas kasus korupsi
pengadaan segel amplop surat suara pemilu presiden yang kini telah diketahui publik.
Upaya penyesatan karakter inilah yang dipinjam sekaligus dipertegas oleh Tempo
dalam mengarahkan citra tertentu atas Hamid.
Sebagai kesimpulan, kata konotatif ’terusik’, ’nyanyian’, dan frase ’meneer
Daan’ yang dirangkai Tempo menjadi ’terusik nyanyian meneer Daan’, merupakan
depictions yang digunakan Tempo demi mengungkapkan fakta bahwa Hamid sebagai
pihak yang keadaan pikiran dan perasaannya begitu terganggu karena keterlibatan
dalam kasus korupsi pengadaan segel amplop surat suara pemilu presiden telah
diketahui publik, serta Hamid sebagai pihak mengelak dari tanggungjawabnya itu.
http://prys3107.blogspot.com [email protected]
152
Pembuktian ini menunjukkan bahwa penggunaan depictions tersebut
merupakan upaya Tempo dalam mengarahkan citra buruk atas Hamid, yakni sebagai
seseorang yang keadaan mentalnya terganggu dan mengelak dari tanggungjawab.
Sehingga tampak wajar bila hal ini membangkitkan prasangka kepada Hamid sebagai
seseorang yang patut dicurigai keterlibatannya dalam kasus korupsi di KPU.
Politik Bahasa (Pemaknaan)
Berdasarkan seluruh pembuktian di atas, penulis menyimpulkan bahwa
penggunaan simbol (simbolisme) sebagai politik bahasa Tempo tertuang lewat
penggunaan analogi untuk mengungkapkan makna kesuksesan semu dari peristiwa
penyelenggaraan Pemilu Presiden 2004 karena adanya fakta kasus dugaan korupsi
KPU yang baru diketahui setelah pemilu berakhir. Serta analogi untuk
mengungkapkan makna adanya fakta korupsi yang terkesan ditutup-tutupi dalam
sejumlah proyek pengadaan barang dalam penyelenggaraan Pemilu Presiden 2004.
Penggunaan simbol sebagai politik bahasa Tempo juga tertuang lewat
penggunaan depictions ‘Daan ditembak dua tuduhan sekaligus’ demi mengarahkan
citra Daan sebagai pihak yang dikorbankan; depictions ’tanggung jawab kasus ini
sepenuhnya dipikul Daan Dimara’ demi membangkitkan prasangka bahwa ada pihak
lain yang lebih berkuasa dari Daan yang seharusnya dimintai pertanggungjawaban
atas kasus korupsi ini; serta depictions pada kalimat konotatif ’Terusik Nyanyian
Meneer Daan’ demi mengarahkan citra buruk atas Hamid, yakni sebagai seseorang
yang keadaan mentalnya terganggu dan mengelak dari tanggungjawab atas kasus
korupsi.
http://prys3107.blogspot.com [email protected]
153
Sebagai kesimpulan, pemaknaan yang bisa ditarik dari pembuktian aspek
politik bahasa dalam sampel ini ialah kuatnya penggunaan analogi dan depictions
sebagai bentuk politik bahasa yang digunakan Tempo dalam mengungkapkan adanya
fakta korupsi yang terkesan ditutup-tutupi dalam sejumlah proyek pengadaan barang
dalam penyelenggaraan Pemilu Presiden 2004, dan secara khusus mengarahkan citra
Daan sebagai pihak yang menjadi korban, yang kemudian mengarahkan citra Hamid
sebagai pihak yang lebih berkuasa dari Daan yang seharusnya dimintai
pertanggungjawaban atas kasus korupsi ini. Citra Hamid juga diarahkan sebagai
seseorang yang keadaan mentalnya terganggu dan mengelak dari tanggungjawab.
Kesimpulan Analisis Teks Ekletif Sampel 2
Berdasarkan dari rangkaian pembuktian dan pemaknaan analisis teks ekletif
pada sampel 2, penulis merangkum kesimpulan sebagai berikut:
1. Aspek perlakuan atas peristiwa dalam sampel ini adalah Tempo hendak
menunjukkan bahwa kontroversi kasus korupsi pengadaan segel amplop kertas
suara pemilu presiden 2004 antara Daan Dimara dan Hamid Awaludin penting
dan patut diketahui khalayak. Cara Tempo memunculkan banyak pihak yang
diwawancarai dalam teks berita ini memperkuat pentingnya kontroversi ini
diselesaikan secara hukum, sebab ada kepentingan pihak tertentu yang
menginginkan agar kasus ini tidak segera terungkap. Penulis juga menemukan
adanya perencanaan agenda (agenda setting) liputan yang cukup memakan waktu
serta perencanaan yang matang dalam teks berita ini.
http://prys3107.blogspot.com [email protected]
154
2. Aspek estetika bahasa dalam sampel ini ialah adanya kandungan estetika bahasa
dalam teks berita tersebut, yakni pada penyusunan adegan, penggunaan dialog,
dan perspektif orang ketiga. Khusus pada penggunaan dialog secara langsung dan
utuh, Tempo hendak menguatkan keutuhan adegan dan memberi sentuhan riil
pada teks berita tersebut. Penggunaan dialog tersebut juga menyiratkan karakter
Tokoh yang terlibat dalam pemberitaan ditampilkan serealistis mungkin dalam
kehidupan sehari-hari mereka. Lewat teknik tersebut, Tempo mengajak pembaca
masuk ke dalam penceritaan, yang kemudian dapat mengundang penafsiran dan
perluasan makna. Di titik inilah terlihat unsur ambiguitas dalam penggunaan
dialog, serta pada teknik teks terbuka yang menunda kesimpulan akhir sebab
akhir peristiwanya belum dapat diketahui segera, sebuah hal yang jelas sangat
dihindari pada penulisan jurnalisme konvensional yang mengedepankan kejelasan
(straightness).
3. Aspek politik bahasa dalam sampel ini ialah kuatnya penggunaan analogi dan
depictions sebagai bentuk politik bahasa yang digunakan Tempo secara khusus
dalam mengarahkan citra Daan sebagai pihak yang menjadi korban, yang
kemudian mengarahkan citra Hamid sebagai pihak yang lebih berkuasa dari Daan
yang seharusnya dimintai pertanggungjawaban atas kasus korupsi ini. Citra
Hamid juga diarahkan sebagai seseorang yang keadaan mentalnya terganggu dan
mengelak dari tanggungjawab.
http://prys3107.blogspot.com [email protected]
158
Sampel 3
Judul : Memburu Tersangka Baru (Laporan Utama Sidik Jari di Sekitar Yusril)
Edisi : 4 Maret 2007
Penulis : Wenseslaut Manggut, Arif Kuswardono
Perlakuan Atas Peristiwa (Pembuktian)
Tema yang diangkat
Tema yang diangkat pada sampel ini adalah kasus korupsi pengadaan mesin
sidik jari di Departemen Hukum dan Perundang-undangan. Setidaknya ada tiga sub
tema dalam teks berita ini, yakni fakta kejanggalan pada penyelesaian kasus ini,
dugaan keterlibatan Menteri Sekretaris Negara Yusril Ihza Mahendra dalam kasus ini,
serta perseteruan antara Ketua KPK Taufiequrachman Ruki dengan Yusril.
Pada sub tema pertama, kejanggalan penyelesaian kasus ini merupakan
analisis Tempo yang didapat dari penelusuran investigatif perihal proyek pengadaan
mesin sidik jari di Departemen Hukum dan Perundang-undangan yang saat itu
dipimpin Yusril. Penulis menyimak kejanggalan yang disebutkan Tempo antara lain
adalah pelaksanaan proyek yang dilakukan jauh sebelum kontrak kerja dengan PT
Sentral Filindo selaku rekanan kerja. Kejangalan juga disebutkan Tempo terletak
pada kesimpangsiuran penerimaan dana yang selisihnya mencapai enam miliar
rupiah. Kejanggalan berikutnya adalah PT Sentral Filindo tidak memiliki bank
guarantee sebagai bank yang seharusnya menjadi sumber modal awal Filindo.
Tema kemudian digiring pada sub tema berikutnya yang menelusuri
keterlibatan Yusril dalam kasus ini. Namun dalam hal ini Tempo lebih menyajikan
http://prys3107.blogspot.com [email protected]
159
kesimpangsiuran informasi dari para tersangka dan saksi. Sedangkan sub tema
perseteruan antara Ruki dengan Yusril diposisikan secara menonjol sebagai pembuka
atau news peg dari teks berita ini. Perseteruan ini ditengahi langsung oleh Presiden RI
Susilo Bambang Yudhoyono dengan menggelar rapat terbatas di Istana Negara.
Bisa disimak pula bahwa dalam menyajikan teks berita ini, Tempo melakukan
multi liputan, yakni peristiwa pertemuan Ruki dengan Yusril di Istana Negara (par 1
dan 2), peristiwa ketika jumpa pers setelah rapat terbatas digelar (par 3 s/d 5),
keterangan Apendi selaku pimpinan proyek pengadaan mesin sidik jari (par 9),
keterangan Wakil Ketua KPK Bidang Penindakan Tumpak Hatorangan Panggabean
(par 11 s/d 30), keterangan Fachmi Yandri (par 27 dan 28), keterangan Abdurrahman
Tadjo (par 31 s/d 33), keterangan Yusril (par 24 s/d 35), keterangan Ruki (par 36),
keterangan sumber anonim (par 15, 16, 28), serta analisis Tempo yang didukung oleh
penelusuran referensi perkembangan kasus ini. Multi liputan tersebut menunjukkan
liputan dilakukan dengan terencana pada waktu yang berbeda.
Pembuktian tersebut menunjukkan bahwa tema yang diangkat pada sampel ini
–yakni tema kasus korupsi pengadaan mesin sidik jari di Depatemen Hukum dan
Perundang-undangan– adalah tema dengan cakupan peristiwa yang luas. Ini terlihat
dari pembagian tiga sub tema yang menyoalkan seputar kejanggalan kasus, dugaan
keterlibatan Yusril, serta perseteruan Ruki dengan Yusril. Dalam menyajikan teks
berita ini, Tempo melakukan multi liputan dengan terencana pada waktu yang
berbeda.
http://prys3107.blogspot.com [email protected]
160
Penempatan berita
Pada edisi 4 Maret 2007, Tempo mengusung liputan utama ‘Sidik Jari di
Sekitar Yusril’ dengan sampul depan ilustrasi tokoh Ruki tengah berhadapan dengan
Yusril dan diberi judul sama dengan liputan utama. Judul ini juga menjadi judul
rubrik opini atau editorial Tempo di halaman dalam. Rangkaian liputan utama Sidik
Jari di Sekitar Yusril tersebut berjumlah tiga tulisan berita dan dua tulisan wawancara
yang terbentang dari halaman 26 s/d 35.
Teks berita yang menjadi sampel ini ditempatkan Tempo sebagai tulisan
pertama menempati enam halaman dan diberi caption pada halaman bagian atas
dengan judul rubrik ‘Sidik Jari di Sekitar Yusril’. Sampel ini diawali dua halaman
pembuka yang dihabiskan dengan ilustrasi grafis tokoh Ruki-Yusril-dan SBY, serta
judul teks berita dan dua paragraf pembuka dengan karakter font cukup besar dan
menonjol.
Teks berita baru mulai ditempatkan pada halaman ketiga yang dilengkapi
dengan foto rapat terbatas di Istana Negara yang dihadiri juga oleh SBY, Jusuf Kalla,
Yusril, Sudi Silalahi, dan Ruki untuk secara khusus membahas persoalan Ruki-
Yusril. Foto lain menggambarkan proses pembuatan paspor yang menggunakan
system biometrik dan mesin sidik jari. Sebuah data grafis juga ditampilkan tersendiri
berisi profil lima tokoh yang terkait dengan kasus ini. Pada sisi atas di halaman 29
dan sisi bawah di halaman 30, ditampilkan kutipan Ruki dan Yusril lengkap dengan
ilustrasi wajah keduanya.
http://prys3107.blogspot.com [email protected]
161
Pembuktian ini menunjukkan bahwa Tempo menempatkan teks berita ini
sebagai peristiwa utama yang penting dan patut diketahui khalayak, dengan
penempatan posisi tulisan yang strategis dan tata letak yang begitu padat informasi,
padat ilustrasi dan grafis, serta memiliki nilai artistik.
Perlakuan Atas Peristiwa (Pemaknaan)
Berdasarkan pembuktian di atas, penulis menyimpulkan bahwa peristiwa yang
diangkat Tempo adalah tema kasus korupsi pengadaan mesin sidik jari di Departemen
Hukum dan Perundang-undangan dengan pembagian tiga sub tema yang menyoalkan
seputar kejanggalan kasus, dugaan keterlibatan Yusril, dan perseteruan Ruki dengan
Yusril. Dalam menyajikan teks berita ini, Tempo melakukan multi liputan dengan
terencana pada waktu yang berbeda. Tempo menempatkan teks berita ini sebagai
peristiwa utama yang penting dan patut diketahui khalayak, dengan penempatan
posisi tulisan yang strategis dan tata letak yang begitu padat informasi, padat ilustrasi
dan grafis, serta memiliki nilai artistik.
Menyimak dari luasnya cakupan tema peristiwa dan penempatan berita yang
diperhitungkan, maka pemaknaan yang bisa ditarik dari aspek perlakuan atas
peristiwa dalam sampel ini adalah Tempo hendak menunjukkan bahwa tema
peristiwa yang penting dan patut diketahui khalayak ini membutuhkan pemaparan
yang lengkap dan menyeluruh, yakni dengan melakukan multi liputan, analisis
mendalam, investigatif serta disuguhkan dengan penempatan berita yang cukup
diperhitungkan baik secara teknis maupun secara artistik. Penulis menemukan adanya
perencanaan agenda (agenda setting) liputan yang cukup memakan waktu serta
http://prys3107.blogspot.com [email protected]
162
perencanaan yang matang dalam teks berita ini sebagai perlakuan Tempo atas
peristiwa.
Yang juga menjadi pemaknaan penulis adalah, Tempo hendak menunjukkan
bahwa meski ada kesimpangsiuran informasi, namun penyelesaian kasus ini terus
diusahakan oleh para penyidik dengan mencari bukti lain dan memburu para
tersangka baru. Ini ditunjukkan dengan pemberian label (labeling) Tempo pada teks
penutup berita yang menyebutkan peristiwa tersebut kini tengah memasuki ‘babak
ketiga’. Labelling ini juga menyiratkan bahwa Tempo akan terus memantau
perkembangan terbaru dari kasus korupsi tersebut.
Estetika Bahasa (Pembuktian)
Penyusunan adegan
Penyusunan adegan pada sampel ini akan dilihat dari bagian awal, bagian
tengah, dan bagian akhir teks. Pada bagian awal teks, ada tiga penyusunan adegan
yang dilakukan Tempo. Pertama, adalah rekaman peristiwa pertemuan antara Ruki
dengan Yusril di Istana Negara, Jakarta, beberapa hari sebelum teks berita ini dimuat.
Dalam latar tempat dan waktu inilah, adegan disusun dengan menampilkan
percakapan antara Ruki dan Yusril ketika menghadiri rapat kabinet terbatas yang
digelar SBY. Hal ini ditulis Tempo sebagai pembuka teks berita (lead) berikut (par 1
dan 2):
Dua pejabat penting yang tengah berseteru itu bertemu di Istana Negara, Jakarta, Jumat pekan lalu. Menteri Sekretaris Negara Yusril Ihza Mahendra menghampiri Taufiequrahman Ruki, yang tengah mengobrol dengan seorang
http://prys3107.blogspot.com [email protected]
163
pejabat. “Gue pikir lu stroke,” ujar Yusril sembari mengajak bersalaman. Ruki sontak terbahak. Belum sempat dia membalas canda itu, Yusril, yang
kala itu tampil necis dengan jas hitam, ngeloyor pergi. Tapi Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi ini tak hendak kalah set. “Mau panco,” dia berseru sembari mengepalkan tangan ke arah Yusril. Beberapa pejabat yang menyaksikan guyonan itu ikut tertawa. Ada pula yang cuma tersipu.
Pada kutipan di atas, penulis menemukan penggunaan bahasa Tempo tak
hanya menampilkan informasi perihal tema yang diangkat, tetapi juga merekam
suasana-demi-suasana untuk menghadirkan peristiwa saat pertemuan Ruki dengan
Yusril di Istana Negara terjadi. Yang patut disimak adalah adegan ini ditulis Tempo
berdasarkan observasi wartawan Tempo di lapangan. Hal ini menunjukkan ada upaya
rekonstruksi peristiwa yang dilakukan Tempo untuk menghadirkan kembali adegan
ini secara langsung dan utuh. Adegan ini diposisikan secara menonjol sebagai
pembuka atau news peg dari teks berita.
Pembuktian ini menunjukkan bahwa Tempo menyusun adegan pertama pada
awal teks dengan penggunaan bahasa yang tak hanya menampilkan informasi perihal
tema yang diangkat, tetapi juga merekam suasana-demi-suasana untuk menghadirkan
peristiwa saat pertemuan Ruki dengan Yusril di Istana Negara terjadi.
Adegan kemudian beralih ke penyusunan adegan kedua di bagian awal teks
sebagai pokok persoalan, yakni peristiwa yang terjadi saat rapat terbatas berlangsung.
Lalu berlanjut ke penyusunan adegan ketiga yang disusun mulai dari peristiwa masa
lalu secara kronologis, yakni pemeriksaan KPK terhadap Yusril dua pekan
sebelumnya hingga menimbulkan polemik.
http://prys3107.blogspot.com [email protected]
164
Pembuktian ini menunjukkan bahwa Tempo menyusun adegan ketiga pada
awal teks dengan menggunakan teknik kilas balik (flashback) yang merekam ulang
masa lalu secara kronologis. Dari sudut pandang estetika bahasa, penggunaan teknik
kilas balik ini merupakan cerita dalam cerita yang dalam kaidah sastra lazim disebut
bingkai cerita.
Kemudian pada bagian tengah teks, adegan disusun dengan pemaparan fakta-
fakta yang mengandung kejanggalan atas kasus korupsi pengadaan mesin sidik jari di
Departemen Hukum dan Perundang-undangan. Pemaparan kejanggalan kasus ini
antara lain adalah ketidakjelasan kontrak kerja pelaksanaan proyek (par 11),
kesimpangsiuran penerimaan dana (par 13), dan tiadanya bank guarantee sebagai
bank yang seharusnya menjadi sumber modal awal PT Sentral Filindo (par 16).
Pembuktian ini menunjukkan bahwa bagian tengah teks ini disusun dengan
penelusuran investigasi dan hasil analisis Tempo atas fakta-fakta mengenai
pengadaan mesin sidik jari di Departemen Hukum dan Perundang-undangan.
Baru di bagian akhir teks, adegan disusun dengan pemaparan fakta
keterlibatan Yusril dalam kasus ini. Hal ini ditunjukkan pada kutipan berikut (par 19
dan 20):
Sejauhmana keterlibatan Yusril Ihza Mahendra dalam kasus ini terus ditelusuri para penyidik. Keterangan para tersangka dan sejumlah saksi masih simpang-siur. Tapi soal penunjukkan langsung itu memang atas restu Menteri Yusril.
Lihatlah fakta berikut ini. Pada 14 Oktober 2004, Zulkarnain mengirim memo kepada Yusril Izha Mahendra. Isinya meminta Pak Menteri menyetujui metode penunjukkan langsung dalam proyek ini. Empat hari kemudian, Yusril menjawab memo itu. Isinya, dia setuju dengan metode penunjukkan langsung tersebut.
http://prys3107.blogspot.com [email protected]
165
Bagian akhir teks yang disusun dengan pemaparan fakta keterlibatan Yusril
dalam kasus ini kemudian ditutup dengan kutipan pernyataan Ruki yang meggelar
jumpa pers setelah pertemuan di Istana Negara tersebut. Dalam teks berita tersebut
ditulis bahwa Ruki memastikan bakal ada tersangka baru dalam beberapa waktu ke
depan (par 35, kal 2). Hal inilah yang membuat Tempo menutup teks berita dengan
komentar Tempo atas pernyataan Ruki tersebut dengan gaya narasi berikut ini (par
35, kal 3): “Siapa tahu si tersangka baru bisa membuka babak ketiga dari kasus ini.”
Pembuktian ini menunjukan bahwa bagian akhir teks ini disusun dengan
pemaparan fakta keterlibatan Yusril, dan teks berita ini ditutup dengan satu kalimat
komentar Tempo dengan gaya narasi. Pada kalimat penutup inilah, Tempo
menggunakan teknik teks terbuka, yakni menunda kesimpulan akhir sebab akhir
peristiwanya belum dapat diketahui segera.
Perspektif orang ketiga
Perspektif orang ketiga yang digunakan dalam sampel ini terlihat pada bagian
awal teks berita. Dalam menggunakan teknik ini, Tempo memanfaatkan perspektif
tokoh-tokoh yang muncul –yakni Yusril, Ruki, dan beberapa pejabat lain– secara
terbatas. Hal ini ditunjukkan pada pembuka teks berita yang telah penulis kutip di
halaman 162-163.
Pada kutipan tersebut, perspektif orang ketiga yang digunakan tempo tidak
mengungkapkan pikiran dan perasaan tokoh, tetapi hanya sebatas pengamatan terlibat
yang mendeskripsikan apa yang terlihat saja. Dari sudut pandang estetika bahasa,
meleburnya perspektif penulis selaku narator (Tempo) dengan perspektif tokoh-tokoh
http://prys3107.blogspot.com [email protected]
166
yang ditulisnya disebut sebagai perspektif orang ketiga amatan (third person observer
narrator). Teknik ini menyiratkan keterlibatan penulis secara terbatas dalam tokoh
yang diceritakannya.
Pembuktian tersebut menunjukkan bahwa perspektif orang ketiga amatan
dalam sampel ini dilakukan Tempo dengan merekam suasana-demi-suasana untuk
menghadirkan peristiwa saat pertemuan Ruki dengan Yusril di Istana Negara terjadi.
Tempo menggunakan perspektif orang ketiga amatan lewat deskripsi peristiwa
tersebut.
Penempatan detail
Penempatan detail dalam sampel ini antara lain diungkapkan pada rincian
peristiwa saat pertemuan Ruki dengan Yusril di Istana Negara terjadi. Detail yang
ditampilkan adalah perilaku, gestur tubuh, pakaian, dan hubungan dengan sesama
pejabat. Hal ini terlihat pada pembuka teks berita yang telah penulis kutip di halaman
162-163.
Pada kutipan tersebut, detail perilaku menunjukkan bagaimana perseteruan
Ruki dan Yusril ditingkahi dengan perilaku santai dan guyon keduanya. Detail gestur
tubuh ditampilkan saat Ruki ‘mengepalkan tangan ke arah Yusril’. Detail pakaian
ditempatkan pada Yusril ‘yang kala itu tampil necis dengan jas hitam’. Detail
hubungan dengan sesama pejabat ditampilkan dengan deskripsi ‘Beberapa pejabat
yang menyaksikan guyonan itu ikut tertawa. Ada pula yang cuma tersipu.’
Pembuktian ini menunjukkan bahwa Tempo banyak menggunakan
penempatan detail perilaku, gestur tubuh, pakaian, dan hubungan dengan sesama
http://prys3107.blogspot.com [email protected]
167
pejabat, khususnya dalam mendeskripsikan peristiwa pertemuan Ruki dengan Yusril
di Istana Negara.
Estetika Bahasa (Pemaknaan)
Berdasarkan seluruh pembuktian di atas, penulis memandang ada beberapa
hal yang patut diperhatikan dari aspek estetika bahasa dalam sampel ini. Antara lain
adalah penggunaan bahasa dalam penyusunan adegan pertama pada awal teks dengan
penggunaan bahasa yang tak hanya menampilkan informasi perihal tema yang
diangkat, tetapi juga merekam suasana-demi-suasana untuk menghadirkan peristiwa
saat pertemuan Ruki dengan Yusril di Istana Negara terjadi.
Penyusunan adegan ketiga pada awal teks menggunakan teknik kilas balik
(flashback) yang merekam ulang masa lalu secara kronologis sebagai bingkai cerita.
Penyusunan adegan pada bagian tengah teks ini dengan penelusuran investigasi dan
hasil analisis Tempo atas fakta mengenai pengadaan mesin sidik jari di Departemen
Hukum dan Perundang-undangan. Serta penyusunan adegan pada bagian akhir teks
ini pemaparan fakta keterlibatan Yusril, dan teks berita ini ditutup dengan satu
kalimat komentar Tempo dengan gaya narasi. Pada kalimat penutup inilah, Tempo
menggunakan teknik teks terbuka, yakni menunda kesimpulan akhir sebab akhir
peristiwanya belum dapat diketahui segera.
Aspek estetika bahasa kemudian dilanjutkan dengan penggunaan bahasa yang
menghadirkan perspektif orang ketiga amatan (third person observer narrator)
sebatas pengamatan terlibat yang mendeskripsikan apa yang terlihat saja untuk
menghadirkan peristiwa saat pertemuan Ruki dengan Yusril di Istana Negara terjadi.
http://prys3107.blogspot.com [email protected]
168
Aspek estetika bahasa dalam sampel ini juga dilengkapi dengan banyak
penempatan detail perilaku, gestur tubuh, pakaian, dan hubungan dengan sesama
pejabat secara rinci dalam mendeskripsikan peristiwa pertemuan Ruki dengan Yusril
di Istana Negara.
Sebagai kesimpulan, pemaknaan yang bisa ditarik dari pembuktian aspek
estetika bahasa dalam sampel ini adalah kuatnya dimensi estetika bahasa yang
terkandung dalam teks berita tersebut, yakni pada penyusunan adegan, perspektif
orang ketiga, dan penempatan detail.
Khusus pada penempatan detail, penulis berpendapat bahwa Tempo hendak
memotret latar belakang kehidupan tokoh di balik kasus korupsi dan perseteruan
Ruki-Yusril. Penulis juga berpendapat bahwa hal ini melambangkan setting
komunitas sosial tertentu menyangkut status dan prestise yang melingkupi tokoh Ruki
dan Yusril. Maka dengan begitu, pembaca akan mendapatkan gambaran peristiwa
yang tak hanya informatif, namun juga mendalam dan bermakna.
Penempatan detail yang terperinci pada perilaku, gestur tubuh, pakaian, dan
hubungan dengan sesama tokoh, sesungguhnya merupakan detail yang selintas saja
dan bukanlah informasi penting. Namun secara kreatif Tempo menggunakannya demi
memperkuat pengadegan dan penokohan dari peristiwa dalam teks berita ini. Hal ini
berbeda dengan penulisan jurnalisme konvensional yang menghindari penempatan
detail selintas dan mensyaratkan pemuatan informasi penting sebagai prioritas.
http://prys3107.blogspot.com [email protected]
169
Politik Bahasa (Pembuktian)
Metafora
Pada sampel ini, penulis menemukan penggunaan dua analogi sebagai bentuk
politik bahasa Tempo dalam mengungkapkan fakta melalui kata, frase, dan kalimat
konotatif. Pertama, adalah penggunaan analogi pada kalimat ‘Kasus ini bertabur
kejanggalan’ (par 10, kal 1).
Frase konotatif ‘bertabur kejanggalan’ menganalogikan banyaknya
ketidakberesan pada sesuatu hal atau peristiwa. Maka pada kalimat di atas, frase
konotatif tersebut mengacu pada banyaknya ketidakberesan yang terjadi dalam
peristiwa kasus korupsi pengadaan mesin sidik jari di Departemen Hukum dan
Perundang-undangan.
Penulis menganalisis bahwa analogi tersebut tidak hanya menunjukkan
adanya tindakan korupsi pada peristiwa proyek pengadaan mesin sidik jari, tetapi
juga menunjukkan bahwa banyaknya ketidakberesan pada peristiwa penyidikan kasus
korupsi ini. Sehingga hal tersebut membangkitkan prasangka bahwa memang ada hal
yang ditutup-tutupi dalam peristiwa ini dan ada pihak yang memang sengaja
menghambat penyelesaian kasus korupsi tersebut.
Pembuktian ini menunjukkan bahwa makna yang dipindahkan Tempo lewat
analogi tersebut adalah makna pengungkapan banyaknya ketidakberesan pada
penyidikan kasus korupsi pengadaan mesin sidik jari di Departemen Hukum dan
Perundang-undangan, serta membangkitkan prasangka adanya pihak yang sengaja
menghambat penyelesaian kasus korupsi tersebut.
http://prys3107.blogspot.com [email protected]
170
Prasangka di atas kemudian diperkuat dengan penggunaan analogi kedua,
yakni pada kalimat ‘Sejumlah anggota panitia pengadaan ini juga mengaku tidak
tahu-menahu soal proyek yang dikenal sangat empuk tersebut’ (par 13, kal 2).
Pada kalimat di atas, frase konotatif ‘proyek yang dikenal sangat empuk’
menganalogikan sifat dari sesuatu peristiwa, kegiatan, pekerjaan, atau hal yang dapat
menghasilkan banyak uang. Dengan kata lain, frase tersebut menganalogikan bahwa
proyek pengadaan mesin sidik jari di Departemen Hukum dan Perundang-undangan
merupakan proyek yang dikenal dapat menghasilkan banyak uang.
Penulis kemudian menyimak bahwa penggunaan kata ‘dikenal’ dalam frase
tersebut tidak secara pasti menjelaskan siapa objek yang diacunya. Penulis
menganalisis bahwa penggunaan kata ‘dikenal’ dalam frase tersebut dilakukan
Tempo dalam mengandaikan pembaca (publik luas) sebagai obyek acuannya yang
telah mengetahui hal tersebut. Dengan kata lain, frase konotatif ‘proyek yang dikenal
sangat empuk’ menganalogikan bahwa proyek pengadaan mesin sidik jari tersebut
merupakan proyek yang dapat menghasilkan banyak uang dan juga telah diketahui
publik secara luas.
Frase konotatif inilah yang kemudian digabung dengan frase ‘Sejumlah
anggota panitia pengadaan ini juga mengaku tidak tahu-menahu’ dalam memperkuat
prasangka Tempo bahwa ada pihak yang pura-pura tidak tahu tentang proyek tersebut
demi menutup-nutupi kasus ini, yaitu pihak anggota panitia sendiri. Bentuk analogi
semacam ini disebut proterito yang seolah-olah merahasiakan sesuatu tetapi
kemudian membukanya juga.
http://prys3107.blogspot.com [email protected]
171
Maka kalimat konotatif ‘Sejumlah anggota panitia pengadaan ini juga
mengaku tidak tahu-menahu soal proyek yang dikenal sangat empuk tersebut’
digunakan dalam menganalogikan bahwa ada pihak yang pura-pura tidak tahu tentang
proyek yang dapat menghasilkan banyak uang tersebut. Pihak tersebut adalah tersebut
anggota panitia pengadaan sendiri yang berpura-pura tidak tahu-menahu demi
menutup-nutupi kejelasan dan penyelesaian kasus korupsi ini.
Pembuktian ini menunjukkan bahwa makna yang dipindahkan Tempo lewat
analogi tersebut adalah makna pengungkapan rahasia yang ditutupi anggota panitia
pengadaan dengan memberi kesaksian bohong dan berpura-pura tidak tahu-menahu
demi menutup-nutupi kejelasan dan penyelesaian kasus korupsi ini.
Depictions
Pada sampel ini, ada satu depictions yang akan dianalisis sebagai bentuk
politik bahasa Tempo dalam mengarahkan citra tertentu. Depictions tersebut tertuang
lewat kalimat konotatif ‘Sidik Jari di Sekitar Yusril’. Kalimat ini memang tidak
tercantum di dalam teks berita. Namun kalimat tersebut tampak menonjol karena ia
adalah judul rubrik liputan utama yang ditempatkan di halaman bagian atas dari
sampel.
Pada kalimat tersebut, frase ‘sidik jari’ mengacu pada mesin sidik jari, atau
lebih luas lagi menganalogikan kasus korupsi pengadaan mesin sidik jari di
Departemen Hukum dan Perundang-undangan. Penempatan nama Yusril sebagai
obyek pelaku, menunjukkan bahwa kasus korupsi tersebut memiliki keterkaitan
dengan Yusril. Keterkaitan tersebut adalah jabatan Yusril sebagai Menteri Hukum
http://prys3107.blogspot.com [email protected]
172
dan Perundang-undangan ketika proyek pengadaan mesin sidik jari dilakukan di
tahun 2004. Keterkaitan Yusril di sini juga bisa diartikan sebagai keterlibatan Yusril
dalam kasus korupsi pada proyek pengadaan mesin sidik jari.
Pembuktian ini menunjukkan bahwa penggunaan depictions tersebut
merupakan upaya Tempo dalam mengarahkan citra Yusril sebagai pihak yang
memiliki keterlibatan dalam kasus korupsi pada proyek pengadaan mesin sidik jari
sehubungan dengan jabatannya sebagai Menteri Hukum dan Perundang-undangan.
Politik Bahasa (Pemaknaan)
Berdasarkan seluruh pembuktian di atas, penulis menyimpulkan bahwa
penggunaan simbol (simbolisme) sebagai politik bahasa Tempo tertuang lewat
penggunaan analogi pada kalimat konotatif ‘Kasus ini bertabur kejanggalan’ sebagai
makna pengungkapan banyaknya ketidakberesan pada penyidikan kasus korupsi
pengadaan mesin sidik jari di Departemen Hukum dan Perundang-undangan, serta
membangkitkan prasangka adanya pihak yang sengaja menghambat penyelesaian
kasus korupsi tersebut.
Penggunaan analogi proterito juga dilakukan Tempo lewat kalimat ‘Sejumlah
anggota panitia pengadaan ini juga mengaku tidak tahu-menahu soal proyek yang
dikenal sangat empuk tersebut’ sebagai makna pengungkapan rahasia yang ditutupi
anggota panitia pengadaan dengan memberi kesaksian bohong dan berpura-pura tidak
tahu-menahu demi menutup-nutupi kejelasan dan penyelesaian kasus korupsi ini.
Penggunaan simbol sebagai politik bahasa Tempo juga tertuang lewat
penggunaan depictions ’Sidik Jari di Sekitar Yusril’ sebagai upaya Tempo dalam
http://prys3107.blogspot.com [email protected]
173
mengarahkan citra Yusril sebagai pihak yang memiliki keterlibatan dalam kasus
korupsi pada proyek pengadaan mesin sidik jari sehubungan dengan jabatannya
sebagai Menteri Hukum dan Perundang-undangan.
Sebagai kesimpulan, pemaknaan yang bisa ditarik dari pembuktian aspek
politik bahasa dalam sampel ini ialah kuatnya penggunaan analogi dan depictions
sebagai bentuk politik bahasa yang digunakan Tempo dalam mengungkapkan
banyaknya ketidakberesan pada penyidikan kasus korupsi pengadaan mesin sidik jari
di Departemen Hukum dan Perundang-undangan. Salah satunya dengan
mengungkapkan kesaksian bohong anggota panitia pengadaan yang berpura-pura
tidak tahu-menahu demi menutup-nutupi kejelasan dan penyelesaian kasus korupsi
ini, dan secara khusus mengarahkan citra Yusril sebagai pihak yang memiliki
keterlibatan dalam kasus korupsi pada proyek pengadaan mesin sidik jari sehubungan
dengan jabatannya sebagai Menteri Hukum dan Perundang-undangan.
Kesimpulan Analisis Teks Ekletif Sampel 3
Berdasarkan dari rangkaian pembuktian dan pemaknaan analisis teks ekletif
pada sampel 3, penulis merangkum kesimpulan sebagai berikut:
1. Aspek perlakuan atas peristiwa dalam sampel ini adalah Tempo hendak
menunjukkan bahwa kasus korupsi pengadaan mesin sidik jari di Departemen
Hukum dan Perundang-undangan merupakan peristiwa penting dan patut
diketahui khalayak. Tempo juga hendak menunjukkan bahwa meski ada
kesimpangsiuran informasi, namun penyelesaian kasus ini terus diusahakan oleh
http://prys3107.blogspot.com [email protected]
174
para penyidik dengan mencari bukti lain dan memburu para tersangka baru.
Tempo sendiri akan terus memantau perkembangan terbaru dari kasus korupsi
tersebut. Karena itu, peristiwa ini membutuhkan pemaparan yang lengkap dan
menyeluruh, yakni dengan melakukan multi liputan, analisis mendalam,
investigatif serta disuguhkan dengan penempatan berita yang cukup
diperhitungkan baik secara teknis maupun secara artistik. Penulis menemukan
adanya perencanaan agenda (agenda setting) liputan yang cukup memakan waktu
serta perencanaan yang matang dalam teks berita ini sebagai perlakuan Tempo
atas peristiwa.
2. Aspek estetika bahasa dalam sampel ini ialah adanya kandungan estetika bahasa
dalam teks berita tersebut, yakni pada penyusunan adegan, perspektif orang
ketiga, dan penempatan detail. Khusus pada penempatan detail, Tempo hendak
memotret latar belakang kehidupan tokoh Ruki dan Yusril yang diberitakannya,
serta melambangkan setting komunitas sosial tertentu menyangkut status dan
prestise yang melingkupi tokoh tersebut. Dengan begitu, pembaca akan
mendapatkan gambaran peristiwa yang tak hanya informatif, namun juga
mendalam dan bermakna. Penempatan detail yang terperinci pada perilaku, gestur
tubuh, pakaian, dan hubungan dengan sesama tokoh, sesungguhnya merupakan
detail yang selintas saja dan bukanlah informasi penting. Secara kreatif Tempo
menggunakannya demi memperkuat pengadegan dan penokohan dari peristiwa
dalam teks berita ini. Hal ini berbeda dengan penulisan jurnalisme konvensional
http://prys3107.blogspot.com [email protected]
175
yang menghindari penempatan detail selintas dan mensyaratkan pemuatan
informasi penting sebagai prioritas.
3. Aspek politik bahasa dalam sampel ini ialah penggunaan analogi dan depictions
sebagai bentuk politik bahasa yang digunakan Tempo dalam mengungkapkan
banyaknya ketidakberesan pada penyidikan kasus korupsi pengadaan mesin sidik
jari di Departemen Hukum dan Perundang-undangan, salah satunya dengan
mengungkapkan kesaksian bohong anggota panitia pengadaan yang berpura-pura
tidak tahu-menahu demi menutup-nutupi kejelasan dan penyelesaian kasus
korupsi ini, dan secara khusus mengarahkan citra Yusril sebagai pihak yang
memiliki keterlibatan dalam kasus korupsi tersebut.
http://prys3107.blogspot.com [email protected]
182
Sampel 4
Judul : Riwayat Pendek Rekening Tebet
Edisi : 25 Maret 2007
Penulis : Budi Setyarso
Perlakuan Atas Peristiwa (Pembuktian)
Tema yang diangkat
Tema yang diangkat pada sampel ini adalah kasus pencairan sejumlah uang
milik Tommy Soeharto di Bank Paribas di London. Uang bermasalah tersebut
kemudian juga ditransfer ke salah satu rekening di Bank BNI cabang Tebet, Jakarta
Selatan atas nama Direktorat Jenderal Administrasi Hukum Umum (AHU) milik
Departemen Hukum dan HAM. Penelusuran keberadaan rekening inilah yang
menjadi fokus peristiwa dalam teks berita tersebut.
Bisa disimak bahwa liputan dalam teks berita ini tidak berangkat dari suatu
kejadian atau peristiwa, namun Tempo sendirilah yang membuat peristiwa ini. Dalam
menyajikan teks berita ini, Tempo melakukan liputan yang partisipatif, yakni ketika
Tempo turut menjadi satu tokoh dalam peristiwa. Dengan kata lain, ada keterlibatan
(immersion) yang dilakukan Tempo secara langsung dalam melakukan penelusuran
keberadaan rekening AHU secara mandiri. Keterlibatan ini menunjukkan liputan
dilakukan dengan mandiri dan terencana dengan nuansa investigasi yang kental.
Pembuktian tersebut menunjukkan bahwa lewat teks berita ini, Tempo
mengangkat dua tema sekaligus, yakni kasus korupsi KPU dan pribadi Hamid sebagai
pihak yang tengah diperiksa KPK dalam kasus korupsi KPU. Dalam menyajikan teks
http://prys3107.blogspot.com [email protected]
183
berita ini, ada keterlibatan (immersion) yang dilakukan Tempo secara langsung dalam
melakukan penelusuran keberadaan rekening AHU secara mandiri. Keterlibatan ini
menunjukkan liputan dilakukan dengan mandiri dan terencana dengan nuansa
investigasi yang kental.
Penempatan berita
Pada edisi 25 Maret 2007, Tempo mengusung liputan utama ‘Menteri Hamid
dan Duit Tommy’ dengan sampul depan ilustrasi tokoh Hamid tengah mengangkat
telepon sambil tersenyum dan diberi judul “Hamid… Hamid’. Judul ini juga menjadi
judul rubrik opini atau editorial Tempo di halaman dalam. Rangkaian liputan utama
Menteri Hamid dan Duit Tommy tersebut berjumlah tiga tulisan berita dan satu
tulisan wawancara yang terbentang dari halaman 26 s/d 35. Teks berita yang menjadi
sample ini ditempatkan Tempo sebagai tulisam kedua yang menempati satu halaman
yang dilengkapi dengan satu foto Bank BNI cabang Tebet.
Pembuktian ini menunjukkan bahwa Tempo menempatkan teks berita ini
sebagai bagian dari peristiwa utama yang juga penting dan patut diketahui khalayak.
Sedangkan tata letak dalam teks berita ini tidak begitu menonjol.
Perlakuan Atas Peristiwa (Pemaknaan)
Berdasarkan pembuktian di atas, penulis menyimpulkan bahwa tema peristiwa
yang diangkat Tempo adalah upaya penelusuran keberadaan rekening AHU di Bank
BNI cabang Tebet dalam kaitannya dengan kasus pencairan sejumlah uang
bermasalah milik Tommy Soeharto di Bank Paribas di London. Dalam menyajikan
teks berita ini, ada keterlibatan (immersion) yang dilakukan Tempo secara langsung,
http://prys3107.blogspot.com [email protected]
184
mandiri dan terencana dengan nuansa investigasi yang kental. Tempo menempatkan
teks berita ini sebagai bagian dari peristiwa utama yang juga penting dan patut
diketahui khalayak. Sedangkan tata letak dalam teks berita ini tidak begitu menonjol.
Maka pemaknaan yang bisa ditarik dari aspek perlakuan atas peristiwa dalam
sampel ini adalah, liputan dalam teks berita ini tidak berangkat dari suatu kejadian
atau peristiwa, namun Tempo sendirilah yang membuat peristiwa ini. Karenanya,
liputan peristiwa ini dilakukan Tempo upaya yang mandiri dengan nuansa investigasi
yang kental. Upaya penelusuran keberadaan rekening AHU di Bank BNI cabang
Tebet merupakan bagian pelengkap yang tak hanya mendukung liputan utama Tempo
pada edisi tersebut, namun juga membangkitkan kesan bahwa ada hal yang ditutup-
tutupi dalam kasus kasus pencairan sejumlah uang bermasalah milik Tommy
Soeharto di Bank Paribas di London. Penulis menemukan adanya perencanaan
agenda (agenda setting) liputan yang cukup memakan waktu serta perencanaan yang
matang dalam teks berita ini sebagai perlakuan Tempo atas peristiwa.
Estetika Bahasa (Pembuktian)
Penyusunan adegan
Penyusunan adegan pada sampel ini akan dilihat dari bagian awal teks. Pada
bagian ini, adegan disusun berdasarkan peristiwa penyetoran uang ke rekening di
Bank BNI Cabang Tebet. Pada adegan ini, wartawan Tempo sendiri yang menjadi
salah satu tokohnya. Hal ini ditunjukkan pada kutipan par 1 berikut:
http://prys3107.blogspot.com [email protected]
185
Kasir Bank BNI Cabang Tebet, Jakarta Selatan, itu tersenyum sopan lalu meminta maaf. Ia menyorongkan kembali formulir bukti setoran kepada Tempo. “Rekening yang Bapak tuju sudah ditutup,” katanya.
“Kapan rekening itu ditutup?” “Sejak setahun yang lalu, Pak.”
Dari kutipan di atas, penulis menemukan penggunaan bahasa Tempo yang
merekam suasana-demi-suasana untuk menghadirkan peristiwa saat penyetoran uang
di bank terjadi. Tampak bahwa peristiwa tersebut ditampilkan sebagai rekaman
faktual yang hidup, sebab dialami langsung oleh penulisnya sendiri. Adegan ini
diposisikan secara menonjol sebagai pembuka atau news peg dari teks berita.
Pembuktian ini menunjukkan bahwa penyusunan adegan pada bagian awal
teks dilakukan Tempo dengan penggunaan bahasa yang menghadirkan peristiwa
secara langsung sebagai rekaman faktual yang hidup.
Dialog
Penggunaan dialog dalam sampel ini terlihat pada adegan yang menampilkan
isi percakapan antara Tempo dengan kasir bank. Dialog tersebut sebagai berikut (par
1 s/d 3):
Ia menyorongkan kembali formulir bukti setoran kepada Tempo. “Rekening yang Bapak tuju sudah ditutup,” katanya.
“Kapan rekening itu ditutup?” “Sejak setahun yang lalu, Pak.”
Penggunaan dialog juga terlihat pada par 4 berikut ini:
. . . “Benar, rekening itu atas nama Direktorat Jenderal Administrasi Hukum Umum?” Nona kasir menjawab pasti: “Benar, Pak.”
http://prys3107.blogspot.com [email protected]
186
Pada kedua dialog tersebut, Tempo menggunakan teknik kutipan langsung
yang menghadirkan isi percakapan secara utuh. Teknik penggunaan dialog seperti ini
sangat tidak lazim dijumpai dalam sebuah berita, namun banyak digunakan pada
karya sastra semisal cerpen, novel, atau naskah drama. Yang patut disimak adalah
Tempo menyusun dialog tersebut berdasarkan persitiwa yang dialami penulisnya
sendiri, maka jelas bahwa dalam hal ini Tempo adalah pihak yang berada saat
peristiwa itu terjadi dan berperan sebagai salah satu tokoh dalam teks berita ini.
Pembuktian ini menunjukkan bahwa ada penggunaan dialog yang sangat tidak
lazim dijumpai dalam sebuah berita, namun banyak digunakan pada karya sastra
semisal cerpen, novel, atau naskah drama. Penggunaan dialog merupakan upaya
rekonstruksi peristiwa yang dilakukan Tempo untuk menghadirkan kembali adegan
ini secara langsung dan utuh.
Perspektif orang ketiga
Perspektif orang ketiga yang digunakan dalam sampel ini terlihat pada bagian
awal teks berita. Dalam menggunakan teknik ini, Tempo memanfaatkan perspektif
tokoh nona kasir yang ditunjukkan pada par 1:
Kasir Bank BNI Cabang Tebet, Jakarta Selatan, itu tersenyum sopan lalu meminta maaf. Ia menyorongkan kembali formulir bukti setoran kepada Tempo. “Rekening yang Bapak tuju sudah ditutup,” katanya.
Pada kutipan di atas, perspektif orang ketiga yang digunakan Tempo tidak
mengungkapkan pikiran dan perasaan tokoh, tetapi hanya sebatas pengamatan terlibat
yang mendeskripsikan apa yang terlihat saja, terutama pada kalimat ‘tersenyum sopan
http://prys3107.blogspot.com [email protected]
187
lalu meminta maaf’. Dari sudut pandang estetika bahasa, perspektif penulis selaku
narator (Tempo) dengan perspektif tokoh yang ditulisnya disebut sebagai perspektif
orang ketiga amatan (third person observer narrator). Teknik ini menyiratkan
keterlibatan penulis secara terbatas dalam tokoh yang diceritakannya.
Juga penulis perhatikan, penggunaan perspektif orang ketiga amatan ini
kemudian beralih ke perspektif orang pertama di mana Tempo muncul sebagai salah
satu tokohnya. Hal ini ditunjukkan dalam kalimat berikut (par 4):
Kamis pagi pekan lalu, Tempo berusaha menyetor sejumlah uang ke rekening bernomor 0047885273 di bank itu. “Benar, rekening itu atas nama Direktorat Jenderal Administrasi Hukum Umum?” Nona kasir menjawab pasti: “Benar, Pak.”
Pada kutipan tersebutlah, penulis menemukan bahwa Tempo mengunakan
perspektif orang pertama sebagai alat yang menceritakan jalannya peristiwa. Kutipan
ini juga menunjukkan keterlibatan perspektif orang pertama (Tempo) dalam tokoh
nona kasir dalam kalimat ‘Nona kasir menjawab pasti’. Dari sudut pandang estetika
bahasa, kehadiran perspektif penulis selaku narator (Tempo) disebut sebagai
perspektif orang pertama sertaan (first person participant narrator). Teknik ini
menunjukkan adanya keterlibatan perspektif orang pertama (Tempo) dalam tokoh
nona kasir.
Pembuktian tersebut menunjukkan bahwa upaya Tempo menghadirkan
peristiwa saat penyetoran uang di bank terjadi, dilakukan dengan menggunakan
perspektif orang ketiga amatan, yang kemudian beralih ke perspektif orang pertama
sertaan dalam sampel ini.
http://prys3107.blogspot.com [email protected]
188
Estetika Bahasa (Pemaknaan)
Berdasarkan seluruh pembuktian di atas, penulis memandang ada beberapa
hal yang patut diperhatikan dari aspek estetika bahasa dalam sampel ini. Antara lain
adalah penggunaan bahasa dalam penyusunan adegan yang menghadirkan peristiwa
secara langsung sebagai rekaman faktual yang hidup.
Aspek estetika bahasa kemudian dilanjutkan dengan adanya penggunaan
dialog yang sangat tidak lazim dijumpai dalam sebuah berita, namun banyak
digunakan pada karya sastra semisal cerpen, novel, atau naskah drama. Penggunaan
dialog merupakan upaya rekonstruksi peristiwa yang dilakukan Tempo untuk
menghadirkan kembali adegan ini secara langsung dan utuh.
Aspek estetika bahasa dalam sampel ini juga dilengkapi dengan penggunaan
perspektif orang ketiga amatan, yang kemudian beralih ke perspektif orang pertama
sertaan sebagai upaya Tempo dalam menghadirkan peristiwa saat penyetoran uang di
bank terjadi.
Sebagai kesimpulan, pemaknaan yang bisa ditarik dari pembuktian aspek
estetika bahasa dalam sampel ini adalah kuatnya dimensi estetika bahasa yang
terkandung dalam teks berita tersebut, yakni pada penyusunan adegan, penggunaan
dialog, dan perspektif orang ketiga. Khusus pada penggunaan dialog secara langsung
dan utuh, penulis berpendapat bahwa dalam hal ini Tempo hendak menerangkan
bagaimana penyusuran keberadaan rekening AHU bermula, yakni dengan
menguatkan keutuhan adegan dan memberi sentuhan riil pada teks berita tersebut.
Lewat teknik tersebut, Tempo mengajak pembaca menyaksikan peristiwa dalam teks
http://prys3107.blogspot.com [email protected]
189
berita ini secara langsung. Juga pada penggunaan perspektif orang ketiga amatan,
yang kemudian beralih ke perspektif orang pertama sertaan, penulis berpendapat
bahwa hal ini tak hanya menunjukkan upaya Tempo dalam menghadirkan peristiwa
saat penyetoran uang di bank terjadi, tetapi juga merupakan sebuah eksperimentasi
dalam penulisan jurnalisme.
Politik Bahasa (Pembuktian)
Metafora
Pada sampel ini, penulis menemukan penggunaan analogi sebagai bentuk
politik bahasa Tempo dalam mengungkapkan fakta melalui kata, frase, dan kalimat
konotatif. Antara lain adalah penggunaan analogi pada baris kalimat di bawah judul,
‘Satu di antara ribuan rekening siluman’.
Kata konotatif ‘siluman’ menganalogikan sesuatu hal seperti hantu yang tidak
jelas keberadaannya. Kata ‘siluman’ juga dapat digunakan untuk menganalogikan
sesuatu yang mengancam, menakutkan, atau menimbulkan masalah. Sedangkan frase
‘rekening siluman’ sendiri mengacu pada rekening AHU milik Departemen Hukum
dan Hak Asasi Manusia di Bank BNI cabang Tebet sebagai tempat transfer uang
bermasalah milik Tommy Soeharto.
Maka pada kalimat tersebut, frase konotatif ‘rekening siluman’
menganalogikan fakta tidak jelasnya keberadaan rekening AHU sebagai tempat
transfer uang bermasalah milik Tommy Soeharto yang tidak dilaporkan ke
Departemen Keuangan. Sifat ketidakjelasan inilah yang kemudian membuat rekening
http://prys3107.blogspot.com [email protected]
190
AHU dipandang sebagai suatu masalah yang menakutkan, yakni sebagai salah satu
dari ribuan rekening milik berbagai departemen pemerintahan yang disalahgunakan
dan melakukan korupsi.
Pembuktian ini menunjukkan bahwa makna yang dipindahkan Tempo lewat
analogi tersebut adalah makna pengungkapan fakta tidak jelasnya keberadaan
rekening AHU sebagai salah satu dari ribuan rekening milik berbagai departemen
pemerintahan yang disalahgunakan untuk korupsi.
Pengungkapan fakta tidak jelasnya keberadaan rekening AHU ini kemudian
dipertegas lagi lewat pengunaan analogi berikutnya, yakni ‘Riwayat Pendek
Rekening Tebet’ (judul teks berita), dan ‘Riwayat rekening itu ternyata tak panjang”
(par 14, kal 1).
Pada judul dan kalimat tersebut, analogi yang digunakan tertuang dalam frase
konotatif yang serupa, yakni ‘riwayat pendek’. Kata ‘riwayat’ memiliki arti cerita
turun temurun yang telah dialami/ dijalankan seseorang dan memiliki kandungan
mengandung sejarah. Maka frase ‘riwayat pendek’ hendak menganalogikan sebuah
peristiwa atau cerita turun temurun yang memiliki kandungan mengandung sejarah
dalam rentang waktu yang singkat. Dengan kata lain, peristiwa tersebut bukan hanya
benar-benar terjadi dalam waktu yang singkat, tetapi juga telah menjadi bagian dari
masyarakatnya sendiri.
Dalam hal ini, Tempo menggunakan frase konotatif ‘riwayat pendek’ untuk
menganalogikan keberadaan rekening AHU yang meskipun singkat namun memiliki
kandungan sejarahnya sendiri, dan telah menjadi bagian dari masyarakat di kalangan
http://prys3107.blogspot.com [email protected]
191
departemen.
Pembuktian ini menunjukkan bahwa makna yang dipindahkan Tempo lewat
analogi tersebut adalah makna pengungkapan fakta keberadaan rekening AHU yang
singkat dan telah menjadi catatan sejarah. Jika dikaitkan dengan pembuktian frase
konotatif sebelumnya (‘rekening siluman’ sebagai pengungkapan fakta ketidakjelasan
keberadaan rekening AHU), maka frase konotatif ‘riwayat pendek’ hendak
membangkitkan kecurigaan bahwa ketidakjelasan keberadaan rekening AHU
disebabkan oleh adanya pihak-pihak yang berupaya mengaburkan keberadaan
rekening tersebut. Dalam artian, lewat frase tersebut Tempo hendak mengungkapkan
bahwa ada pihak yang sengaja menutup-nutupi perihal keberadaan rekening AHU.
Politik Bahasa (Pemaknaan)
Berdasarkan seluruh pembuktian di atas, penulis menyimpulkan bahwa
penggunaan simbol (simbolisme) sebagai politik bahasa Tempo tertuang lewat
penggunaan analogi, yakni dalam frase konotatif ‘rekening siluman’ yang
menganalogikan fakta keberadaan rekening AHU sebagai salah satu dari ribuan
rekening milik berbagai departemen pemerintahan yang tidak jelas, menakutkan, dan
disalahgunakan untuk melakukan korupsi; frase konotatif ‘riwayat pendek’ untuk
menganalogikan keberadaan rekening AHU yang meskipun singkat namun memiliki
kandungan sejarahnya sendiri, dan telah menjadi bagian dari masyarakat di kalangan
departemen, sekaligus mengungkapkan bahwa ada pihak yang sengaja menutup-
nutupi perihal keberadaan rekening AHU.
http://prys3107.blogspot.com [email protected]
192
Sebagai kesimpulan, pemaknaan yang bisa ditarik dari pembuktian aspek
politik bahasa dalam sampel ini ialah penggunaan analogi sebagai bentuk politik
bahasa yang digunakan Tempo dalam mengungkapkan bahwa ada pihak yang sengaja
menutup-nutupi keberadaan rekening AHU di Departemen Hukum dan HAM. Pihak
tersebut mestilah pihak yang paling bertanggung jawab di Direktorat Jenderal
Administrasi Hukum Umum (AHU) Departemen Hukum dan HAM, yakni Hamid
Awaluddin sebagai Menteri Hukum dan HAM Kabinet Indonesia Bersatu.
Kesimpulan Analisis Teks Ekletif Sampel 4
Berdasarkan rangkaian pembuktian dan pemaknaan analisis teks ekletif pada
sampel 4, penulis merangkum kesimpulan sebagai berikut:
1. Aspek perlakuan atas peristiwa dalam sampel ini adalah liputan Tempo dalam
teks berita ini tidak berangkat dari suatu kejadian atau peristiwa, namun Tempo
sendirilah yang membuat peristiwa ini. Karenanya, liputan peristiwa ini dilakukan
Tempo upaya yang mandiri dengan nuansa investigasi yang kental. Upaya
penelusuran keberadaan rekening AHU di Bank BNI cabang Tebet merupakan
bagian pelengkap yang tak hanya mendukung liputan utama Tempo pada edisi
tersebut, namun juga membangkitkan kesan bahwa ada hal yang ditutup-tutupi
dalam kasus kasus pencairan sejumlah uang bermasalah milik Tommy Soeharto
di Bank Paribas di London. Penulis menemukan adanya perencanaan agenda
(agenda setting) liputan yang cukup memakan waktu serta perencanaan yang
matang dalam teks berita ini sebagai perlakuan Tempo atas peristiwa.
http://prys3107.blogspot.com [email protected]
193
2. Aspek estetika bahasa dalam sampel ini ialah adanya kandungan estetika bahasa
dalam teks berita tersebut –khususnya pada penyusunan adegan, penggunaan
dialog, dan perspektif orang ketiga. Khusus pada penggunaan dialog secara
langsung dan utuh, penulis berpendapat bahwa dalam hal ini Tempo hendak
menerangkan bagaimana penyusuran keberadaan rekening AHU bermula, yakni
dengan menguatkan keutuhan adegan dan memberi sentuhan riil pada teks berita
tersebut. Lewat teknik tersebut, Tempo mengajak pembaca menyaksikan
peristiwa dalam teks berita ini secara langsung. Juga pada penggunaan perspektif
orang ketiga amatan, yang kemudian beralih ke perspektif orang pertama sertaan,
penulis berpendapat bahwa hal ini tak hanya menunjukkan upaya Tempo dalam
menghadirkan peristiwa saat penyetoran uang di bank terjadi, tetapi juga
merupakan sebuah eksperimentasi dalam penulisan jurnalisme.
3. Aspek politik bahasa dalam sampel ini ialah kuatnya penggunaan analogi sebagai
bentuk politik bahasa yang digunakan Tempo dalam mengungkapkan bahwa ada
pihak yang sengaja menutup-nutupi keberadaan rekening AHU di Departemen
Hukum dan HAM. Pihak tersebut mestilah pihak yang paling bertanggung jawab
di Direktorat Jenderal Administrasi Hukum Umum (AHU) Departemen Hukum
dan HAM, yakni Hamid Awaluddin sebagai Menteri Hukum dan HAM Kabinet
Indonesia Bersatu.
http://prys3107.blogspot.com [email protected]
195
Sampel 5
Judul : Mereka yang Kembali ke Laptop
Edisi : 20 Mei 2007
Penulis : Wenseslaut Manggut, Wahyu Dhyatmika
Perlakuan Atas Peristiwa (Pembuktian)
Tema yang diangkat
Tema yang diangkat pada sampel ini adalah reshuffle Kabinet Indonesia
Bersatu. Tema besar ini kemudian dibagi menjadi dua sub tema, yakni aktivitas para
mantan menteri yang dicopot dari kabinet, dan korupsi pengadaan segel amplop
kertas suara pemilu presiden 2004 yang melibatkan mantan Menteri Hukum dan
HAM Hamid Awaludin.
Pada sub tema pertama, aktivitas para mantan menteri yang dicopot dari
kabinet ditulis Tempo dengan nuansa human interest. Para mantan menteri yang
disorot dalam teks berita ini adalah Saifullah Yusuf selaku mantan Menteri Negara
Percepatan Pembangunan Daerah Tertinggal, Abdul Rahman Saleh selaku mantan
Jaksa Agung, Yusril Ihza Mahendra selaku mantan Menteri Sekretaris Negara, dan
Hamid Awaludin selaku mantan Menteri Hukum dan HAM. Sub tema ini menjadi
pembuka teks berita. Sub tema kemudian beralih pada informasi seputar korupsi
pengadaan segel amplop kertas suara pemilu presiden 2004 yang melibatkan Hamid.
Bisa disimak pula bahwa dalam menyajikan teks berita ini, Tempo melakukan
multi liputan, yakni peristiwa Saifullah bermain badminton di kantor Gerakan
Pemuda Anshor (par 1 s/d 3), peristiwa acara ‘Welcoming Back’ di Hotel Santika
http://prys3107.blogspot.com [email protected]
196
(par 8 s/d 11), peristiwa diskusi yang digelar Dewan Perwakilan Daerah di Senayan
(par 14), peristiwa kepindahan Yusril dari kompleks menteri di Jakarta Selatan (par
16), peristiwa kepindahan Hamid dari kantornya di Kuningan, Jakarta Selatan (par
19), peristiwa pengaduan Daan Dimara ke kantor polisi (par 25), dan penelusuran
referensi perkembangan terbaru kasus korupsi yang melibatkan Hamid (par 21 s/d
24). Multi liputan tersebut menunjukkan liputan dilakukan dengan terencana pada
waktu yang berbeda.
Pembuktian ini menunjukkan bahwa tema yang diangkat Tempo dalam teks
berita ini adalah reshuffle Kabinet Indonesia Bersatu sebagai tema besar. Dua sub
tema dalam teks berita ini adalah aktivitas para mantan menteri yang dicopot dari
kabinet ditulis dengan nuansa human interest, dan korupsi pengadaan segel amplop
kertas suara pemilu presiden 2004 yang melibatkan mantan Menteri Hukum dan
HAM Hamid Awaludin. Dalam menyajikan teks berita ini, Tempo melakukan multi
liputan dengan terencana pada waktu yang berbeda.
Penempatan berita
Pada edisi 20 Mei 2007, Tempo mengusung liputan utama ‘Reshuffle
Kabinet’ dengan sampul depan ilustrasi tokoh SBY tengah duduk menghadapi papan
catur dan diberi judul “Para Penasihat di Balik Reshuffle’. Judul ini juga menjadi
judul rubrik opini atau editorial Tempo di halaman dalam. Rangkaian liputan utama
Reshuffle Kabinet tersebut berjumlah empat berita yang terbentang dari halaman 28
s/d 39. Teks berita yang menjadi sampel ini ditempatkan Tempo sebagai tulisan
keempat yang menempati dua halaman dan diberi bingkai coklat dan hitam
http://prys3107.blogspot.com [email protected]
197
memanjang pada halaman bagian atas dengan judul rubrik ‘Nasional Reshuffle
Kabinet’. Sampel ini juga dilengkapi dengan satu foto Hamid tengah dikerubungi
wartawan setelah pengumuman reshuffle kabinet, dan satu foto rumah tinggal Abdul
Rahman Saleh. Selebihnya, tidak ada data grafis atau tata letak yang menonjol dalam
teks berita ini.
Pembuktian ini menunjukkan bahwa Tempo menempatkan teks berita ini
sebagai bagian akhir dari peristiwa utama yang juga penting dan patut diketahui
khalayak. Sedangkan tata letak dalam teks berita ini tampak tidak begitu menonjol.
Perlakuan Atas Peristiwa (Pemaknaan)
Berdasarkan pembuktian di atas, penulis menyimpulkan bahwa tema peristiwa
yang diangkat Tempo adalah tema yang diangkat Tempo dalam teks berita ini adalah
reshuffle Kabinet Indonesia Bersatu sebagai tema besar, dan sub tema aktivitas para
mantan menteri yang dicopot dari kabinet ditulis dengan nuansa human interest, serta
korupsi pengadaan segel amplop kertas suara pemilu presiden 2004 yang melibatkan
mantan Menteri Hukum dan HAM Hamid Awaludin. Dalam menyajikan teks berita
ini, Tempo melakukan multi liputan dengan terencana pada waktu yang berbeda.
Tempo menempatkan teks berita ini sebagai bagian akhir dari peristiwa utama yang
juga penting dan patut diketahui khalayak. Sedangkan tata letak dalam teks berita ini
tampak tidak begitu menonjol.
Maka pemaknaan yang bisa ditarik dari aspek perlakuan atas peristiwa dalam
sampel ini adalah, Tempo hendak menampilkan sisi lain dari peristiwa reshuffle
kabinet, yakni dengan menyajikan liputan bernuansa human interest perihal aktivitas
http://prys3107.blogspot.com [email protected]
198
para mantan menteri. Penulis menemukan adanya perencanaan agenda (agenda
setting) liputan yang cukup memakan waktu serta perencanaan yang matang dalam
teks berita ini sebagai perlakuan Tempo atas peristiwa. Juga menjadi pemaknaan
penulis, teks berita ini merupakan upaya lanjutan dan terencana dari Tempo dalam
memberitakan kelanjutan kasus korupsi pengadaan segel amplop kertas suara pemilu
presiden 2004 yang melibatkan Hamid.
Estetika Bahasa (Pembuktian)
Penyusunan adegan
Penyusunan adegan pada sampel ini akan dilihat dari bagian awal dan tengah
teks. Pada bagian awal teks, penyusunan adegan dibuka dengan rekaman peristiwa
Saifullah bermain badminton di kantor Gerakan Pemuda Anshor. Hal ini ditunjukkan
dalam kutipan berikut ini (par 1 dan 2):
Malam telah lewat. Setengah satu dini hari, Sabtu pekan lalu. Tapi Saifullah Yusuf masih jingkrak-jingkrak di lapangan badminton kantor Gerakan Pemuda Anshor, di Kramat Raya, Jakarta Pusat. Mengenakan celana putih dan kaus serupa, Saifullah melompat-lompat bak pemain professional.
Tiba-tiba shuttle cock jatuh di lini depan, di sudut kanan lapangan. Saifullah berguling, berusaha mencungkil bola ke kandang lawan, seraya berpekik keras. Tapi gagal. Dia tertawa lebar, lalu menyeka keringat yang mengalir deras di tubuh.
Pada kutipan di atas, penulis menemukan penggunaan bahasa Tempo tidak
langsung menyajikan informasi perihal tema yang diangkat, namun lebih kepada
rekaman suasana-demi-suasana untuk menghadirkan peristiwa saat peristiwa
Saifullah bermain badminton di kantor Gerakan Pemuda Anshor terjadi. Dalam latar
http://prys3107.blogspot.com [email protected]
199
tempat dan waktu tersebutlah, penyusunan adegan di sini terlihat padat dengan
penggunaan bahasa yang intens lengkap dengan kandungan nuansa emosi untuk
menggambarkan peristiwa. Adegan ini diposisikan secara menonjol sebagai pembuka
atau news peg dari teks berita.
Di bagian tengah teks, penyusunan adegan terlihat pada rekaman peristiwa
acara ‘Welcoming Back’ di Hotel Santika. Hal ini ditunjukkan pada kutipan berikut
ini (par 9 kal 2-3, dan par 10 kal 1-2):
. . . Diberi tajuk “Welcoming Back”, acara malam itu memang didedikasikan untuk Arman. Sebuah foto besar yang memperlihatkan Arman tengah memakai sepatu dan sejumlah karikatur tentang bekas bintang film ini dipajang.
Kawan lama tumpah di situ. Di antaranya Adnan Buyung Nasution . . .
Pada kutipan di atas, penulis menemukan penggunaan bahasa Tempo yang
menampilkan rekaman suasana peristiwa untuk menghadirkan saat peristiwa acara
‘Welcoming Back’ di Hotel Santika berlangsung.
Penyusunan adegan juga terlihat pada rekaman peristiwa diskusi yang digelar
Dewan Perwakilan Daerah di Senayan. Hal ini ditunjukkan pada kutipan berikut ini
(par 14):
Jumat pekan lalu, Yusril menjadi pembicara dalam sebuah diskusi yang digelar Dewan Perwakila Daerah di Senayan. Dia berbicara soal amandemen undang-undang. Di sela-sela istirahat, Yusril asyik mengepulkan asap rokok Djarum kesukaannya . . .
Pada kutipan di atas, penulis menemukan penggunaan bahasa Tempo yang
menampilkan rekaman peristiwa untuk menghadirkan tindakan Yusril di waktu
istirahat peristiwa diskusi tersebut.
http://prys3107.blogspot.com [email protected]
200
Penyusunan adegan berikutnya terlihat pada rekaman peristiwa kepindahan
Yusril dari kompleks menteri di Jakarta Selatan. Hal ini ditunjukkan pada kutipan
berikut ini (par 16):
Yusril sendiri sibuk mengemasi barang dari Widya Chandra, kompleks menteri di Jakarta Selatan. Kamis pekan lalu, lima orang pekerja mengangkut 50 pot tanaman dari rumah itu dengan menumpang Daihatsu.
Pada kutipan di atas, penulis menemukan penggunaan bahasa Tempo yang
menampilkan rekaman peristiwa untuk menghadirkan suasana saat peristiwa
kepindahan Yusril terjadi.
Penyusunan adegan pada bagian tengah teks kemudian terlihat pada rekaman
peristiwa kepindahan Hamid dari kantornya di Kuningan, Jakarta Selatan. Hal ini
ditunjukkan pada kutipan berikut ini (par 19):
Hari itu Hamid terlihat mengemas sejumlah buku di kantornya, kawasan Kuningan, Jakarta Selatan. Dia meletakkan kitab-kitab itu ke sejumlah kardus. Sejak selasa pekan lalu, dia juga siap berkemas dari rumah dinas menteri. Kardus-kardus itu ditumpuk di ruang tengah.
Pada kutipan di atas, penulis menemukan penggunaan bahasa Tempo yang
menampilkan rekaman peristiwa untuk menghadirkan suasana saat peristiwa
kepindahan Hamid terjadi.
Seluruh penyusunan adegan tersebut membuktikan bahwa Tempo tidak secara
langsung menyajikan informasi penting perihal tema yang diangkat, namun lebih
menonjolkan peristiwa sehari-hari lewat berbagai rekaman suasana-demi-suasana dan
tindakan tokoh yang dirangkai demi menghadirkan peristiwa secara langsung.
http://prys3107.blogspot.com [email protected]
201
Perspektif orang ketiga
Perspektif orang ketiga yang digunakan secara menonjol dalam sampel ini
yaitu perspektif Saifullah dan beberapa tokoh lain pada awal teks. Dalam
menggunakan teknik ini, Tempo menggunakan perspektif Saifullah dan beberapa
tokoh lain secara terbatas. Hal ini ditunjukkan pada kutipan berikut ini (par 2 dan 3):
Tiba-tiba shuttle cock jatuh di lini depan, di sudut kanan lapangan. Saifullah berguling, berusaha mencungkil bola ke kandang lawan, seraya berpekik keras. Tapi gagal. Dia tertawa lebar, lalu menyeka keringat yang mengalir deras di tubuh.
Belasan kawan karibnya tertawa ngakak melihat aksi mantan Menteri Negara Percepatan Pembangunan Daerah Tertinggal ini. Penyanyi balada Franky Sahilatua, sobat karib Saifullah, di pinggir lapangan ikut terbahak. “Kini saya lebih bebas dan banyak waktu bermain dengan teman-teman,” kata Saifullah.
Pada kutipan di atas, perspektif orang ketiga yang digunakan tempo tidak
mengungkapkan pikiran dan perasaan tokoh, tetapi hanya sebatas pengamatan terlibat
yang mendeskripsikan apa yang terlihat saja. Dari sudut pandang estetika bahasa,
meleburnya perspektif penulis selaku narator (Tempo) dengan perspektif tokoh-tokoh
yang ditulisnya disebut sebagai perspektif orang ketiga amatan (third person observer
narrator). Teknik ini menyiratkan keterlibatan penulis secara terbatas dalam tokoh
yang diceritakannya.
Pembuktian tersebut menunjukkan bahwa perspektif orang ketiga amatan
dalam sampel ini dilakukan Tempo dengan merekam suasana-demi-suasana untuk
menghadirkan peristiwa saat Saifullah bermain badminton di kantor Gerakan Pemuda
Anshor.
http://prys3107.blogspot.com [email protected]
202
Perspektif orang ketiga yang juga digunakan Tempo terlihat pada kutipan
berikut ini (par 11):
Keluar dari ruang pesta itu, Arman masih punya tugas yang membuatnya pusing tujuh keliling: mencari rumah kontrakan. Maklum, rumah kecilnya di sebuah gang di Jakarta Timur tak kuat lagi menampung buku-buku yang dibeli selama ini.
Kalimat di atas menunjukkan bahwa perspektif Tempo masuk ke dalam
perasaan subjektif, suasana dan emosi yang dialami Arman, yakni perasaan ‘pusing
tujuh keliling’, suasana kecilnya rumah Arman pada kata ‘rumah kecilnya’ dan ‘tak
kuat lagi menampung buku-buku’. Penggunaan perspektif orang ketiga semestaan ini
menyiratkan keterlibatan penulis terhadap perasaan, suasana, dan emosi yang dialami
tokoh yang diceritakannya.
Perspektif orang ketiga juga digunakan Tempo seperti terlihat pada kutipan
berikut ini (par 19):
Hari itu Hamid terlihat mengemas sejumlah buku di kantornya, kawasan Kuningan, Jakarta Selatan. Dia meletakkan kitab-kitab itu ke sejumlah kardus. Sejak selasa pekan lalu, dia juga siap berkemas dari rumah dinas menteri. Kardus-kardus itu ditumpuk di ruang tengah.
Pada kutipan di atas, perspektif orang ketiga yang digunakan Tempo tidak
mengungkapkan pikiran dan perasaan tokoh, tetapi hanya sebatas pengamatan terlibat
yang mendeskripsikan apa yang terlihat saja. Penggunaan perspektif perspektif orang
ketiga amatan ini menyiratkan keterlibatan penulis secara terbatas dalam tokoh yang
diceritakannya.
http://prys3107.blogspot.com [email protected]
203
Pembuktian pada perspektif orang ketiga tersebut menunjukkan upaya Tempo
menghadirkan rangkaian peristiwa secara langsung dilakukan dengan menggunakan
perspektif orang ketiga amatan dan semestaan. Hal ini menyiratkan adanya
keterlibatan Tempo –baik secara terbatas maupun secara partisipatif– dalam
rangkaian peristiwa pada teks berita ini.
Penempatan detail
Penempatan detail dalam sampel ini antara lain ditampilkan pada rincian
peristiwa saat Saifullah bermain badminton di kantor Gerakan Pemuda Anshor.
Detail yang ditampilkan adalah suasana, gestur tubuh, pakaian, dan hubungan dengan
kawan. Hal ini terlihat pada kutipan berikut (par 1 s/d 3):
Malam telah lewat. Setengah satu dini hari, Sabtu pekan lalu. Tapi Saifullah Yusuf masih jingkrak-jingkrak di lapangan badminton kantor Gerakan Pemuda Anshor, di Kramat Raya, Jakarta Pusat. Mengenakan celana putih dan kaus serupa, Saifullah melompat-lompat bak pemain professional.
Tiba-tiba shuttle cock jatuh di lini depan, di sudut kanan lapangan. Saifullah berguling, berusaha mencungkil bola ke kandang lawan, seraya berpekik keras. Tapi gagal. Dia tertawa lebar, lalu menyeka keringat yang mengalir deras di tubuh.
Belasan kawan karibnya tertawa ngakak melihat aksi mantan Menteri Negara Percepatan Pembangunan Daerah Tertinggal ini. Penyanyi balada Franky Sahilatua, sobat karib Saifullah, di pinggir lapangan ikut terbahak. “Kini saya lebih bebas dan banyak waktu bermain dengan teman-teman,” kata Saifullah.
Dari kutipan di atas dapat disimak bahwa detail suasana ditampilkan dengan
kalimat ‘Malam telah lewat. Setengah satu dini hari, Sabtu pekan lalu’. Detail gestur
tubuh ditampilkan pada kalimat ‘Tapi Saifullah Yusuf masih jingkrak-jingkrak’,
‘Saifullah melompat-lompat’, ‘Saifullah berguling, berusaha mencungkil bola ke
kandang lawan, seraya berpekik keras’, ‘Dia tertawa lebar, lalu menyeka keringat
http://prys3107.blogspot.com [email protected]
204
yang mengalir deras di tubuh’. Detail pakaian ditampilkan pada kalimat ‘Mengenakan
celana putih dan kaus serupa’. Detail hubungan dengan kawan ditampilkan pada
kalimat ‘Belasan kawan karibnya tertawa ngakak melihat aksi mantan Menteri
Negara Percepatan Pembangunan Daerah Tertinggal ini’ dan ‘Penyanyi balada
Franky Sahilatua, sobat karib Saifullah, di pinggir lapangan ikut terbahak’.
Penempatan detail juga ditampilkan pada rincian peristiwa saat acara
‘Welcoming Back’ di Hotel Santika. Detail yang ditampilkan adalah dekorasi
ruangan dan hubungan sesama kawan. Hal ini terlihat pada par 9 kal 2-3, dan par 10
kal 1-2 seperti yang telah penulis kutip di halaman 188.
Dari kutipan tersebut dapat disimak bahwa detail dekorasi ruangan
ditampilkan pada kalimat ‘Sebuah foto besar yang memperlihatkan Arman tengah
memakai sepatu dan sejumlah karikatur tentang bekas bintang film ini dipajang’. Lalu
detail hubungan sesama kawan ditampilkan pada kalimat ‘Kawan lama tumpah di
situ. Di antaranya Adnan Buyung Nasution’.
Penempatan detail lalu ditampilkan pada rincian peristiwa saat acara diskusi
yang digelar Dewan Perwakilan Daerah di Senayan. Detail yang ditampilkan adalah
perilaku. Hal ini terlihat pada kutipan berikut (par 14):
Jumat pekan lalu, Yusril menjadi pembicara dalam sebuah diskusi yang digelar Dewan Perwakila Daerah di Senayan. Dia berbicara soal amandemen undang-undang. Di sela-sela istirahat, Yusril asyik mengepulkan asap rokok Djarum kesukaannya . . .
http://prys3107.blogspot.com [email protected]
205
Dari kutipan di atas dapat disimak bahwa detail perilaku ditampilkan pada
kalimat ‘Di sela-sela istirahat, Yusril asyik mengepulkan asap rokok Djarum
kesukaannya’.
Penempatan detail kemudian ditampilkan pada rincian peristiwa kepindahan
Hamid dari kantornya di Kuningan, Jakarta Selatan. Detail yang ditampilkan adalah
detail barang. Hal ini ditunjukkan pada kutipan berikut ini (par 19):
Hari itu Hamid terlihat mengemas sejumlah buku di kantornya, kawasan Kuningan, Jakarta Selatan. Dia meletakkan kitab-kitab itu ke sejumlah kardus. Sejak selasa pekan lalu, dia juga siap berkemas dari rumah dinas menteri. Kardus-kardus itu ditumpuk di ruang tengah.
Dari kutipan di atas dapat disimak bahwa detail barang ditampilkan pada kata
‘kitab-kitab’, ‘sejumlah kardus’, dan ‘Kardus-kardus itu ditumpuk di ruang tengah’.
Pembuktian tersebut menunjukkan bahwa Tempo banyak menggunakan
penempatan detail pada tiap-tiap adegan peristiwa yang dirangkai. Detail tersebut
antara lain adalah suasana, gestur tubuh, pakaian, hubungan dengan kawan. dekorasi
ruangan. perilaku, dan barang. Detail ini digunakan demi memperkuat pengadegan
dan penokohan dari tiap-tiap peristiwa.
Estetika Bahasa (Pemaknaan)
Berdasarkan seluruh pembuktian di atas, penulis memandang ada beberapa
hal yang patut diperhatikan dari aspek estetika bahasa dalam sampel ini. Antara lain
adalah penggunaan bahasa dalam penyusunan adegan yang menunjukkan bahwa
Tempo tidak secara langsung menyajikan informasi penting perihal tema yang
diangkat, namun lebih menonjolkan peristiwa sehari-hari lewat berbagai rekaman
http://prys3107.blogspot.com [email protected]
206
suasana-demi-suasana dan tindakan tokoh yang dirangkai demi menghadirkan
peristiwa secara langsung.
Aspek estetika bahasa kemudian dilanjutkan dengan penggunaan bahasa yang
menghadirkan perspektif orang ketiga amatan dan semestaan sebagai upaya Tempo
menghadirkan rangkaian peristiwa secara langsung dilakukan dengan menggunakan
Hal ini menyiratkan adanya keterlibatan Tempo –baik secara terbatas maupun secara
partisipatif– dalam rangkaian peristiwa pada teks berita ini.
Aspek estetika bahasa dalam sampel ini juga dilengkapi dengan banyak
penempatan detail secara terperinci yang memperkuat pengadegan dan penokohan
dari tiap peristiwa dalam teks berita ini. Detail tersebut antara lain adalah suasana,
gestur tubuh, pakaian, hubungan dengan kawan, dekorasi ruangan, perilaku, dan
barang.
Sebagai kesimpulan, pemaknaan yang bisa ditarik dari pembuktian aspek
estetika bahasa dalam sampel ini adalah kuatnya dimensi estetika bahasa yang
terkandung dalam teks berita tersebut, yakni pada penyusunan adegan, perspektif
orang ketiga, dan penempatan detail. Dengan menyimak secara khusus pada
banyaknya jumlah peristiwa yang ada teks berita ini, terlihat bahwa Tempo
melakukan rekonstruksi berbagai peristiwa yang ada dan membentuknya menjadi
rangkaian adegan dalam satu benang merah yang sama. Maka penulis berpendapat
bahwa Tempo menuliskan teks berita ini secara kreatif.
Khusus pada penempatan detail, penulis berpendapat bahwa Tempo hendak
memotret latar belakang kehidupan masing-masing tokoh dalam teks berita ini.
http://prys3107.blogspot.com [email protected]
207
Penulis juga berpendapat bahwa hal ini melambangkan setting komunitas sosial
tertentu menyangkut status dan prestise yang melingkupi tokoh Saifullah Yusuf
selaku mantan Menteri Negara Percepatan Pembangunan Daerah Tertinggal, Abdul
Rahman Saleh selaku mantan Jaksa Agung, Yusril Ihza Mahendra selaku mantan
Menteri Sekretaris Negara, dan Hamid Awaludin selaku mantan Menteri Hukum dan
HAM. Dengan begitu, pembaca akan mendapatkan gambaran peristiwa yang tak
hanya informatif, namun juga mendalam dan bermakna.
Penempatan detail suasana, gestur tubuh, pakaian, hubungan dengan kawan,
dekorasi ruangan, perilaku, dan barang yang ditampilkan secara terperinci di tiap-tiap
peristiwa, merupakan detail yang sesungguhnya selintas saja dan bukanlah informasi
penting. Namun secara kreatif pula Tempo menggunakannya demi memperkuat
pengadegan dan penokohan dari tiap-tiap peristiwa dalam teks berita ini. Hal ini
berbeda dengan penulisan jurnalisme konvensional yang menghindari penempatan
detail selintas dan mensyaratkan pemuatan informasi penting sebagai prioritas.
Politik Bahasa (Pembuktian)
Metafora
Pada sampel ini, penulis menemukan penggunaan analogi sebagai bentuk
politik bahasa Tempo dalam mengungkapkan fakta melalui kata, frase, dan kalimat
konotatif, yakni penggunaan analogi pada kalimat judul, ‘Mereka yang Kembali ke
Laptop’, dan ‘Kembali ke “laptop” –itulah yang dilakukan sejumlah menteri yang
disetip dari kabinet’ (par 8, kal 1).
http://prys3107.blogspot.com [email protected]
208
Frase konotatif ’kembali ke laptop’ merupakan frase yang dipopulerkan oleh
Tukul Arwana dalam talkshow komedi Empat Mata di stasiun televisi swasta Trans7.
Frase ini kerap digunakan Tukul setiap kali ia menyudahi lawakannya untuk kembali
serius dan konsentrasi ke topik permasalahan awal yang diangkat dalam talkshow-
nya. Dalam kata lain, frase konotatif ‘kembali ke laptop’ versi Tukul digunakan untuk
menganalogikan suatu tindakan yang membutuhkan konsentrasi atau keseriusan.
Frase konotatif yang kemudian menjadi populer di tengah pemirsa (masyarakat)
Indonesia inilah yang dipinjam Tempo dalam mengungkapkan salah satu aspek
peristiwa reshuffle Kabinet Indonesia Bersatu. Karenanya, makna frase konotatif
versi Tukul tersebut berbeda ketika digunakan Tempo dalam teks beritanya mengenai
peristiwa reshuffle Kabinet Indonesia Bersatu.
Frase konotatif ’kembali ke laptop’ pada dua kalimat di atas menganalogikan
tindakan sejumlah tokoh setelah diberhentikan dari jabatannya sebagai menteri dalam
Kabinet Indonesia Bersatu. Adapun Tempo menampilkan tokoh Saifullah Yusuf
(Menteri Negara Percepatan Pembangunan Daerah Tertinggal) yang meneruskan
kegiatannya di Gerakan Pemuda Anshor setelah diberhentikan dari kabinet; tokoh
Abdul Rahman Saleh (mantan Jaksa Agung) yang tengah mencari tempat tinggal;
tokoh Yusril Ihza Mahedra (mantan Menteri Sekretaris Negara) yang kembali
menjadi pembicara di sejumlah seminar dan diskusi; serta Hamid Awaluddin (mantan
Menteri Hukum dan HAM) yang tengah pindah dari rumah dinasnya dan akan
kembali mengajar di universitas.
http://prys3107.blogspot.com [email protected]
209
Pembuktian ini menunjukkan bahwa makna yang dipindahkan Tempo lewat
analogi tersebut adalah makna pengungkapan fakta tindakan Saifullah, Rahman,
Yusril, dan Hamid setelah diberhentikan dari jabatannya sebagai menteri dalam
Kabinet Indonesia Bersatu.
Depictions
Pada sampel ini, ada depictions yang digunakan Tempo sebagai bentuk politik
bahasa. Depictions tersebut terlihat pada kalimat berikut (par 21):
Ia memang tidak akan menjadi penganggur. Setidaknya kesibukan lain dia adalah berurusan dengan penegak hukum.
Pada kalimat di atas, depictions yang digunakan adalah frase ‘tidak akan
menjadi penganggur’. Depictions tersebut digunakan Tempo dalam mengungkapkan
lebih lanjut lagi mengenai tindakan (kesibukan) Hamid setelah diberhentikan dari
kabinet, yakni berurusan dengan pihak kepolisian atas dugaan keterlibatannya pada
kasus korupsi pengadaan segel amplop kertas suara pemilu presiden 2004.
Pembuktian ini menunjukkan bahwa depictions tersebut hendak
mengungkapkan fakta tindakan Hamid setelah diberhentikan dari kabinet, sekaligus
mengarahkan citra Hamid sebagai pihak yang kini tengah disorot publik dalam
kaitannya dengan kasus korupsi.
Politik Bahasa (Pemaknaan)
Berdasarkan seluruh pembuktian di atas, penulis menyimpulkan bahwa
penggunaan simbol (simbolisme) sebagai politik bahasa Tempo tertuang lewat
penggunaan analogi ‘kembali ke laptop’ sebagai makna pengungkapan fakta tindakan
http://prys3107.blogspot.com [email protected]
210
Saifullah, Rahman, Yusril, dan Hamid setelah diberhentikan dari jabatannya sebagai
menteri dalam Kabinet Indonesia Bersatu; serta penggunaan depictions ‘tidak akan
menjadi penganggur’ yang mengungkapkan fakta tindakan Hamid berurusan dengan
pihak kepolisian setelah diberhentikan dari kabinet, sekaligus mengarahkan citra
Hamid sebagai pihak yang kini tengah disorot publik dalam kaitannya dengan kasus
korupsi.
Penulis menyimak bahwa keempat tokoh yang ditampilkan dalam teks berita
ini memiliki benang merah yang sama, yakni sama-sama diberhentikan dari kabinet
dan sama-sama diduga memiliki keterlibatan di sejumlah kasus korupsi, semisal
Yusril Ihza Mahendra pada kasus pengadaan mesin sidik jari di Departemen Hukum
dan Perundang-undangan dan kasus pencairan uang Tommy Soeharto, serta Hamid
Awaluddin pada kasus pengadaan segel amplop kertas suara pemilu presiden 2004.
Namun pada teks berita ini, tokoh yang secara jelas ditampilkan Tempo terkait
dengan kasus korupsi adalah Hamid Awaluddin (par 21-25).
Dalam rangka inilah, penulis menemukan praktik politik bahasa Tempo yang
mengarahkan tema reshuffle kabinet pada teks berita ini kepada keterlibatan tokoh
yang terkena reshuffle dalam kasus korupsi, yakni khususnya Hamid.
Sebagai kesimpulan, pemaknaan yang bisa ditarik dari pembuktian aspek
politik bahasa dalam sampel ini ialah penggunaan analogi dan depictions sebagai
bentuk politik bahasa yang digunakan Tempo dalam mengarahkan tema reshuffle
kabinet pada teks berita ini kepada keterlibatan tokoh yang terkena reshuffle dalam
kasus korupsi, yakni secara khusus mengarah pada kasus kasus pengadaan segel
http://prys3107.blogspot.com [email protected]
211
amplop kertas suara pemilu presiden 2004 yang melibatkan Hamid.
Kesimpulan Analisis Teks Ekletif Sampel 5
Berdasarkan dari rangkaian pembuktian dan pemaknaan analisis teks ekletif
pada sampel 5, penulis merangkum kesimpulan sebagai berikut:
1. Aspek perlakuan atas peristiwa dalam sampel ini adalah Tempo hendak
menampilkan sisi lain dari peristiwa reshuffle kabinet, yakni dengan menyajikan
liputan bernuansa human interest perihal aktivitas para mantan menteri. Penulis
menemukan adanya perencanaan agenda (agenda setting) liputan yang cukup
memakan waktu serta perencanaan yang matang dalam teks berita ini sebagai
perlakuan Tempo atas peristiwa. Teks berita ini juga merupakan upaya lanjutan
dan terencana dari Tempo dalam memberitakan kelanjutan kasus korupsi
pengadaan segel amplop kertas suara pemilu presiden 2004 yang melibatkan
Hamid.
2. Aspek estetika bahasa dalam sampel ini ialah adanya kandungan estetika bahasa
dalam teks berita tersebut, yakni pada penyusunan adegan, perspektif orang
ketiga, dan penempatan detail. Khusus pada penempatan detail, penulis
berpendapat bahwa Tempo hendak memotret latar belakang kehidupan masing-
masing tokoh dalam teks berita ini. Penulis juga berpendapat bahwa hal ini
melambangkan setting komunitas sosial tertentu menyangkut status dan prestise
yang melingkupi tokoh tersebut. Penempatan detail suasana, gestur tubuh,
pakaian, hubungan dengan kawan, dekorasi ruangan, perilaku, dan barang yang
http://prys3107.blogspot.com [email protected]
212
ditampilkan secara terperinci di tiap-tiap peristiwa, merupakan detail yang
sesungguhnya selintas saja dan bukanlah informasi penting. Namun secara kreatif
pula Tempo menggunakannya demi memperkuat pengadegan dan penokohan dari
tiap-tiap peristiwa dalam teks berita ini. Hal ini berbeda dengan penulisan
jurnalisme konvensional yang menghindari penempatan detail selintas dan
mensyaratkan pemuatan informasi penting sebagai prioritas.
3. Aspek politik bahasa dalam sampel ini ialah penggunaan analogi dan depictions
sebagai bentuk politik bahasa yang digunakan Tempo dalam mengarahkan tema
reshuffle kabinet pada teks berita ini kepada keterlibatan tokoh yang terkena
reshuffle dalam kasus korupsi, yakni secara khusus mengarah pada kasus kasus
pengadaan segel amplop kertas suara pemilu presiden 2004 yang melibatkan
Hamid.
http://prys3107.blogspot.com [email protected]
215
B.2. Analisis Discourse Practice2
Aspek Produksi Teks
Pola dan rutinitas produksi berita
Pola dan rutinitas kerja redaksi MBM Tempo dimulai dari rapat masing-
masing kompartemen (bagian) pada hari Senin pukul 10 pagi. Ada sekitar enam
sampai tujuh kompartemen yang rapat selama satu jam. Di situ mereka akan
menjaring usulan berita minggu depan itu kira-kira apa. Usulan juga bisa dari
reporter, magang nulis, staff redaksi, penanggungjawab rubrik, dan redaktur
pelaksana. Setelah mereka putuskan usulan dari lima hingga delapan item. Diikuti
sekitar 30 orang termasuk repoter, masing-masing orang dapat memberikan usulan,
baik itu tema maupun angle tulisan. Pemilihan tema disesuaikan dengan magnitude
(besaran) dan kriteria berita yang layak dalam rapat perencanaan. Khusus pada
peristiwa kasus korupsi, yang menjadi kriteria berita bagi MBM Tempo adalah
adanya fakta dan bukti yang kuat, unsur kepentingan publik yang dirugikan, besarnya
jumlah uang yang dikorupsi, tokohnya kuat, dan kepentingan pembaca MBM Tempo.
Semua itu dilihat dari besaran (magnitude) peristiwanya.
2 Dirangkum dari hasil wawancara penulis dengan Redaktur Bahasa MBM Tempo Sapto Nugroho (Lampiran B) dan Redaktur Desk Nasional MBM Tempo Wenseslaus Manggut (Lampiran C), serta didukung dengan data wawancara Eka Shinta Pangeswari dengan Goenawan Mohamad (IISIP Jakarta, 2003: 120-122) dan data wawancara Ani Wahyuni dengan pihak redaksi MBM Tempo (IISIP Jakarta, 2006: 175-198). Dua data pendukung tersebut penulis gunakan sebagai pembanding demi mendapatkan gambaran akurat dari keterangan masing-masing narasumber mengenai discourse practice MBM Tempo.
http://prys3107.blogspot.com [email protected]
216
Senin pukul 11 siang diadakan rapat gabungan kompartemen di ruang rapat
lantai satu. Hasil rapat kompartemen dipresentasikan satu-satu. Ada yang diterima,
ada yang ditolak, ada yang mesti diperdalam. Rapat berlangsung hingga jam dua atau
jam tiga. Senin sore setelah selesai rapat gabungan, lalu dibuat lembar penugasan
(term of reference) yang berisi inti masalah tulisan, siapa sumber yang harus kita
hubungi, daftar pertanyaan, hingga nomor kontaknya. Lembar penugasan itu berisi
kurang lebih 50 persen dari tulisan. Yang membuat lembar penugasan adalah staff
redaksi. Ditujukan untuk reporter, calon reporter, dan staff redaksi sendiri.
Hari selasa, dua hingga tiga orang reporter lalu mencari bahan berita di
lapangan sesuai dengan yang dipesan. Ada juga yang ikut kelas kuliah pukul 11 bagi
magang nulis dan repoter, melakukan evaluasi kelemahan, kekurangan dan kekuatan
tulisan minggu lalu. Jam 2 diadakan kelas kuliah untuk level penanggungjawab rubrik
dan redaktur pelaksana.
Perkembangan berita dilihat di rapat checking hari Rabu. Pukul 10 rapat
checking bagi kompartemen tentang liputan yang sudah dijalankan. Pukul 11 rapat
checking bagi gabungan kompartemen. Di situ diperiksa apakah perencanaan hari
Senin itu masih pas, atau ada tambahan, ada yang dikurangi atau digugurkan. Setelah
itu diadakan rapat Partirtur dengan staff desain dan foto.
Hari Kamis kerja seperti biasa, dan berita sudah mulai ditulis.
Rapat terakhir hari Jumat merupakan deadline bagi semua tulisan masuk ke
redaksi. Naskah reporter yang telah masuk ditambah riset referensi lalu disunting oleh
penulis dari staff redaksi. Naskah ini dimasukkan ke redaktur pelaksana, khususunya
http://prys3107.blogspot.com [email protected]
217
menjelang deadline sejak Jumat pagi hingga Sabtu tengah malam. Kemudian naskah
tersebut naik ke redaktur senior, naik ke redaktur bahasa, naik ke bagian Kreatif
untuk digabungkan dengan foto atau gambar ilustrasi serta tata letak. Jumat deadline
dan checking terakhir. Jumat malam selesai. Sabtu masuk cetak. Senin diulang lagi.
Sisi individu wartawan
Sisi individu wartawan MBM Tempo di sini akan dilihat dari job description-
nya, yakni reporter, penulis (staff redaksi), redaktur pelaksana, redaktur senior,
redaktur bahasa, dan pemimpin redaksi. Latar belakang pendidikan wartawan MBM
tempo rata-rata minimal adalah S-1 dari berbagai latar belakang basis ilmu. Kini
setengah wartawan MBM Tempo sudah mengenyam pendidikan S-2.
Sejak awal terlibat dalam praktik kerja redaksi, seorang reporter dan penulis
akan melewati berbagai tes yang ketat, serta mengikuti kelas kuliah yang diberikan
secara rutin (tiap Selasa atau Jumat) oleh redaktur senior. Kegiatan kelas tersebut
antara lain membahas edisi Tempo yang baru terbit secara evaluatif. Reporter tidak
memiliki hak untuk ikut dalam penulisan berita. Jika reporter sudah memiliki
pengalaman selama dua tahun, baru ia bisa menjadi Penulis. Reporter hanya mencari
bahan berita di lapangan lewat observasi dan wawancara. Semakin kuat fakta yang
dikumpulkan reporter, maka frame reporter tersebutlah yang dipakai Penulis dalam
sebuah berita.
Sisi individu seorang Redaktur Pelaksana dalam hal produksi berita
merupakan posisi yang paling strategis di atas repoter dan penulis. Ia yang memiliki
kewenangan untuk mengembangkan naskah berita. Maka bisa dikatakan, Redaktur
http://prys3107.blogspot.com [email protected]
218
Pelaksana adalah penulis terakhir seluruh naskah materi yang akan diterbitkan.
Sedangkan peran Redaktur Senior melengkapi redaktur Pelaksana dalam menyunting
naskah berita dan memberi kuliah kepada Reporter dan Penulis. Redaktur Bahasa
kemudian membetulkan penggunaan, meliputi ejaan, kalimat, tata bahasa, penulisan
nama, lembaga dalam dan luar negeri, data jarak atau jumlah.
Ukuran profesionalitas individu wartawan MBM Tempo juga dilihat dari
penggunaan sistem nilai. Sejak awal masuk menjadi calon repoter hingga menempati
posisi redaktur pelaksana, sistem penilaian menentukan jenjang karir dan gaji yang
diterima wartawan MBM Tempo. Yang juga patut dicatat, semua wartawan MBM
Tempo sejak awal sudah diarahkan supaya membaca novel, menonton film, teater
agar memperkaya diri dengan bacaan atau wawasan secara luas.
Hubungan dengan struktur organisasi media
Meski dari sisi individu wartawan terlihat garis kewenangan yang tegas,
namun suasana hubungan profesional di antara sesama wartawan MBM Tempo
cenderung tidak kaku, bebas berpendapat, bahkan dibebaskan untuk saling adu
argumen dalam hal peliputan. Selain dilihat dari sistem penilaian, Hubungan
wartawan dengan struktur organisasi media juga dapat disimak dari kewajiban
mengikuti kelas kuliah yang diadakan tiap minggu. Dalam kelas kuliah inilah nilai-
nilai dan praktik jurnalisme MBM Tempo ditanamkan. Lewat kelas kuliah
tersebutlah, tak dapat dipungkiri pengaruh GM dan pendiri awal MBM Tempo yang
kini menempati posisi redaktur senior dalam mewarisi tradisi gaya jurnalisme MBM
Tempo hingga saat ini.
http://prys3107.blogspot.com [email protected]
219
Pada aspek produksi teks, observasi yang telah penulis rencanakan tidak dapat
dilakukan karena keterbatasan izin dari pihak MBM Tempo.
Aspek Konsumsi Teks
Mengacu pada survei Nielsen Media Index 2003, MBM Tempo memiliki
535.000 pembaca di tingkat nasional. Berbagai penghargaan dalam kaitannya dengan
jumlah dan kepuasan pembaca juga diraih, misal saja ‘The Most Read News
Magazine’ oleh AC Nielsen, ‘The Most Statisfactory News Magazine’ oleh Frontier,
‘The Most Popular Brand News Magazine’ oleh Mars-Frontier-Swa. Semua
penghargaan tersebut diraih pada tahun 1999.
Di antara majalah berita serupa yang terbit di Indonesia (Gatra, Forum
Keadilan, dan Bussines Week), MBM Tempo menguasai 66 persen pangsa pasar
pembaca. Tersebar di berbagai wilayah Indonesia, distibusi pembaca terbesar yakni di
Jakarta (44,5 persen).
Karakteristik pembaca MBM Tempo antara lain adalah jenis kelamin (pria 71
persen, wanita 29 persen), indeks level pekerjaan (white colar: 250, blue colar: 90,
enterpreneur: 75, pelajar: 50, ibu rumah tangga: 25, dan lain-lain: 25), indeks level
pendidikan (Sekolah Dasar: 45, Sekolah Lanjutan Pertama: 90, Sekolah Lanjutan
Atas: 220, Akademi: 80, Universitas: 80, dan pasca sarjana: 25).
Satpo Nugroho selaku redaktur bahasa MBM Tempo menjelaskan, betapa
posisi pembaca MBM Tempo juga diperhitungkan redaksi ketika menyajikan sebuah
berita: “Itu sudah termasuk dalam pilihan berita. Misalnya kita milih Mayangsari
http://prys3107.blogspot.com [email protected]
220
dikupas habis, itu bukan segmen pembaca Tempo. Sudah dari perencanaan dan
penulisan, kita sudah memikirkan segmen pembaca.”3
Hal tersebut sejalan dengan pernyataan Wenseslaus Manggut selaku redaktur
Desk Nasional MBM Tempo, “Kami berasumsi bahwa pembaca Tempo itu kelas
menengah ke atas. Tema harus dipilih sesuai dengan kepentingan pembaca kita. Tapi
pertimbangan yang paling utama di Tempo adalah adanya unsur kepentingan
publik.”4
Pada aspek konsumsi teks, observasi yang telah penulis rencanakan tidak
dapat dilakukan karena keterbatasan izin dari pihak MBM Tempo.
B.3. Analisis Socioculture Practice
Situasional
Pada aspek situasional, ada dua suasana khas dan unik sebagai konteks sosial
di Indonesia dalam kurun waktu pada saat teks diproduksi. Pertama, munculnya
genre ‘sastra koran’ di mana karakteristik jurnalisme menyusup dalam penciptaan
karya sastra. Hal ini juga menunjukkan kian menguatnya persinggungan antara dunia
sastra dengan media massa di Indonesia pada permulaan tahun 2000.
Media massa, khususnya suratkabar, kian menjadi ruang publikasi karya yang
ampuh dan strategis bagi para sastrawan senior dan junior di Indonesia. Sedangkan
3 Lampiran B
4 Lampiran C
http://prys3107.blogspot.com [email protected]
221
media massa yang mengkhususkan pada penerbitan sastra, malah tidak berkembang
di Indonesia. Mengenai suasana khas dan unik ini, Seno Gumira Ajidarma
mengatakan demikian:
Cerita pendek Indonesia dimuat di media massa umum: edisi hari minggu setiap Koran, majalah hiburan, majalah wanita, bahkan majalah in-house perusahaan asuransi. Sementara itu, majalah sastra, karena keberadaannya yang memprihatinkan, seolah-olah malah bukan menjadi bagian dari media massa, melainkan tumpukan kertas.5
Tersedianya rubrik budaya yang memuat karya puisi, cerpen, prosa, dan kritik
sastra di setiap terbitan surat kabar hari minggu, membuat perkembangan dunia sastra
Indonesia mengenal apa yang disebut sebagai ‘sastra koran’, yakni mengacu pada
pemuatannya pada edisi munggu koran-koran terkemuka di Indonesia.
Hal tersebut diperkuat dengan pernyataan Donny Anggoro yang menyebutkan
Kompas sebagai salah satu surat kabar yang memuat prosa atau cerpen karya
sastrawan Indonesia:
Pada masa kini harus diakui bentuk khazanah prosa bernama cerpen tengah menjadi primadona sehingga tak urung Kompas masih tiap tahun menerbitkan antologi cerpen terbaiknya dari karya yang dimuat di harian itu . . . Istilah “sastra koran” yang pernah diungkapkan Budiarto Danujaya dalam esai pengantar Dua Tengkorak Kepala Cerpen Pilihan Kompas 2000 pun muncul di pelbagai diskusi karena lanskap sejarah sastra terkini . . . berasal dari pemuatannya di koran-koran terkemuka.6
5 Seno Gumira Ajidarma, ”Cerita Pendek dan Realitas Indonesia”, dalam Seno Gumira Ajidarma, Ketika Jurnalisme Dibungkam, Sastra Harus Bicara (Edisi Kedua), Bentang, Yogyakarta, 2005, hal.23
6 Donny Anggoro, ”Catatan Sastra 2003: Tahun Emas Cerpen dan
Pendobrakan Sastra Koran”, dalam Donny Anggoro, Sastra yang Malas, Tiga Serangkai, Solo, 2004, hal.101
http://prys3107.blogspot.com [email protected]
222
Budiarto Danujaya sendiri mengatakan demikian:
Tambahan istilah koran pada satra koran tersebut ternyata tak sekedar atributif belaka. Sekurang-kurangnya, ada beberapa kecenderungan karakteristik koran–sebagai bagian kecenderungan media massa umumnya– yang menyerobot masuk mewarnai cerpen-cerpen koran itu. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . Maka, tak mengejutkan jika masalah yang sedang ramai dipergunjingkan media massa dua tahun belakangan ini pulalah yang menjadi latar persoalan pada kebanyakan cerpen-cerpen ini.7
Dari kutipan di atas, penulis memahami bahwa karakteristik media massa
(suratkabar) yang mengedepankan fakta dan aktualitas, turut mempengaruhi
kecenderungan penciptaan karya sastra yang sejatinya bersifat fiksional. Sastra koran
adalah kecenderungan di mana karakteristik jurnalisme menyusup dalam penciptaan
karya sastra. Dalam artian, genre ‘sastra koran’ lahir dari dialektika antara praktik
sastra yang estetik dengan praktik jurnalisme yang memunculkan tema-tema sosial,
ekonomi, politik dan hukum.
Meski begitu, dalam hal ini sastra koran tidak bisa dipandang sebagai produk
jurnalistik dan bukan merupakan inovasi dalam praktik jurnalisme. Karenanya
kemunculan sastra koran pada tahun 2000 di Indonesia hanya akan dipandang sebagai
konteks sosial yang turut mempengaruhi praktik media massa, khususnya MBM
Tempo, dalam mengembangkan inovasi penulisan jurnalismenya.
7 Budiarto Danujaya, ”Realitas ‘Koran’ pada Sastra Koran”, dalam Kenedi Nurhan (Ed.), Dua Tengkorak Kepala Cerpen Pilihan Kompas 2000, Penerbit Harian Kompas, Jakarta, 2000, hal.134-135
http://prys3107.blogspot.com [email protected]
223
Suasana khas dan unik sebagai konteks sosial kedua yang akan penulis
uraikan, ialah adanya persepsi masyarakat bahwa berbagai pemerintahan saat ini tidak
bersih dari praktik korupsi. Masyarakat juga cenderung tidak percaya terhadap upaya
pemerintah saat ini dalam memberantas korupsi.
Seperti yang dilansir Harian Seputar Indonesia, hasil survei Transparency
International Indonesia (TII) yang dilakukan pada pertengahan 2006 terhadap 6000
responden dari berbagai kalangan masyarakat Indonesia menunjukan, ‘dalam indeks
persepsi masyarakat tersebut legislatif, polisi, dan peradilan adalah lembaga-lembaga
yang dianggap paling korup dengan nilai indeks 4,2. Survei ini menggunakan skala 1-
5. Semakin besar nilai indeks, semakin korup lembaga tersebut.’8
Menanggapi hasil survei tersebut, Ketua Dewan Pengurus TII Todung Mulya
Lubis mengatakan, ‘saat ini masyarakat mulai melihat adanya gejala tebang pilih
dalam pemberantasan korupsi, seperti masih adanya koruptor yang tidak tersentuh
hukum dan bisa mendapatkan perlindungan politik dan hukum dari pemerintah.’9
Korupsi telah menjadi bagian dalam berbagai rezim pemerintahan di
Indonesia, termasuk juga pemerintahan yang saat ini tengah dipimpin Presiden RI
Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Data TII tersebut merepresentasikan persepsi
ketidakpercayaan masyarakat akan lembaga pemerintahan yang berkuasa sekarang
8 DPR Lembaga Paling Korup, Harian Seputar Indonesia, Edisi 10 Desember 2006
9 Loc.Cit.
http://prys3107.blogspot.com [email protected]
224
bersih dari korupsi. Responden survei juga menyatakan ketidakpercayaannya
terhadap upaya pemerintah dalam memberantas korupsi di Indonesia.
Dalam kaitan korupsi dengan pemerintahan, Agus Sudibyo berpendapat,
‘upaya pemberantasan korupsi mustahil berjalan efektif jika kondisi struktural dan
kultural yang menopang rezim kerahasiaan masih bertahan.’10
Sudibyo kemudian mengungkapkan perlunya elemen lain sebagai kekuatan
alternatif yang mampu mengontrol pemerintah:
Sejauh ini, yang kita hadapi adalah fenomena negara yang telah menjadi dirinya sendiri (state of its own), terlepas dari realitas di masyarakat. Tidak ada kekuatan alternatif yang mampu mengontrol penyelenggaraan kekuasaan karena pemerintah begitu kuat dan dominan, dengan struktur birokrasi yang tertutup, eksklusif, dan proteksionis.11
Berkaitan dengan ketidakpercayaan masyarakat terhadap upaya pemerintah
mengatasi permasalahan korupsi, penulis memahami bahwa Sudibyo hendak
menekankan pada terciptanya kebebasan informasi dan transparansi pemerintah
kepada publik dalam salah satu upaya pemberantasan korupsi di Indonesia. Hal ini
kemudian menunjukkan persinggungan praktik media massa dengan upaya
pemberantasan korupsi di Indonesia pada permulaan tahun 2000.
Dalam rangka inilah media massa dituntut menjalankan perannya sebagai
kekuatan alternatif atau watchdog yang mengawasi jalannya pemerintahan,
10 Agus Sudibyo, ”Pemberantasan Korupsi dan Rezim Kerahasiaan”, dalam HCB Dharmawan (Ed.), Jihad Melawan Korupsi, Penerbit Buku Kompas, Jakarta, hal.80
11 Loc.Cit.
http://prys3107.blogspot.com [email protected]
225
khususnya pada praktik korupsi. Selain menjadi wahana informasi publik, media
massa juga diharapkan dapat memainkan perannya sebagai salah satu instritusi sosial
yang berpartisipasi secara aktif dalam agenda politik, khsusunya agenda
pemberantasan korupsi. Terlebih lagi bila menyimak tuntutan peran media dalam
upaya pemberantasan korupsi yang disinggung dalam Hari Kebebasan Pers Sedunia
yang digelar UNESCO pada Mei 2005. Dalam acara itu, disepakati bahwa peran
media telah menjadi isu penting dalam membentuk tata pemerintahan yang bersih
(good governance):
Dikemukakan bahwa good governance mencakup gagasan tentang partisipasi yang lebih besar oleh masyarakat sipil dalam pembuatan keputusan, penegakan aturan hukum, anti-korupsi, transparansi, akuntabilitas, pengentasan kemiskinan, dan hak asasi manusia. Hanya jika para jurnalis bebas untuk memonitor, menginvestigasi dan mengkritisi kebijakan dan tindakan administrasi publik maka good governance bisa diwujudkan.12
Tim LSPP juga menyebutkan bahwa media hendaknya berakar pada
masyarakat, memberitakan demi kepentingan masyarakat dan mereka
merasionalisasikan segenap aktivitas mereka atas nama masyarakat:
Karena itulah, para praktisi media harus terus bekerja keras untuk membangun kepercayaan publik. Media yang menolak atau menghindar berurusan dengan berita-berita panas dan sensitive seperti kasus korupsi berarti menolak melayani publik pembacanya. Apalagi mengingat upaya kampanye anti-korupsi tidak akan berhasil, kecuali jika didukung oleh masyarakat.13
12 Tim LSPP, Media Sadar Publik, Penerbit LSPP, Jakarta, 2005, hal.1 13 Ibid., hal.9
http://prys3107.blogspot.com [email protected]
226
Tim LSPP kemudian mencontohkan media massa yang secara intens dalam
memberitakan berbagai kasus korupsi: ‘Salah satu media yang cukup konsisten
membuka kasus-kasus korupsi misalnya adalah Majalah Tempo, yang pernah menulis
berbagai korupsi mulai dari bidang perminyakan, buku pelajaran, hingga ke
perusahaan negara seperti Bulog, yang pernah menyeret Ketua Partai Golkar, Akbar
Tandjung, ke pengadilan.’14
Dari uraian di atas, dapat dipahami bahwa isu pentingnya peran media massa
dalam upaya pemberantasan korupsi dipandang sebagai konteks sosial yang turut
mempengaruhi praktik media massa, khususnya MBM Tempo, yang dinilai banyak
kalangan selalu intens dan konsisten dalam memberitakan berbagai kasus korupsi,
baik kasus korupsi yang tengah dipersidangkan maupun yang masih bersifat dugaan.
Institusional
Pada aspek institusional, penulis akan menggali pengaruh institusi organisasi
dalam praktik Jurnalisme Sastra, baik dari dalam MBM Tempo maupun institusi lain
yang ada di luar MBM Tempo.
Dengan menyimak sejarah berdirinya MBM Tempo di tahun 1974, praktik
Jurnalisme Sastra dikembangkan oleh sejumlah awak redaksi yang juga bergelut di
dunia sastra. Sebut saja Goenawan Mohamad (GM), Bur Rusuanto, Putu Wijaya, dan
Syu’bah Asa. Selain menempati posisi penting dalam struktur redaksi, tokoh-tokoh
14 Ibid., hal.15
http://prys3107.blogspot.com [email protected]
227
tersebut juga dikenal masyarakat Indonesia saat itu sebagai sastrawan. Yang bisa
disebut paling menonjol dalam hal ini, tentunya GM.
Catatan karir GM di dunia pers sudah dimulai sejak 1966 sebagai wartawan
Harian KAMI dan sempat pula menjadi pemimpin redaksi Majalah Ekspres di tahun
1970. Di dunia sastra dan kesenian, esai-esainya memperoleh hadiah pertama majalah
Sastra pada tahun 1963. Ia juga seorang redaktur Majalah Horison pada 1967 hingga
1972. Majalah ini bergerak di bidang penerbitan karya seni dan sastra. Ia juga pernah
menjabat sebagai anggota Dewan Kesenian Jakarta di tahun 1969. Di tingkat
internasional, GM mewakili Indonesia di Rotterdam, Belanda pada tahun 1973 untuk
mengikuti Festival Penyair Internasional.15
Catatan karir GM di atas menunjukkan bahwa ia memiliki kredibilitas baik di
bidang jurnalisme maupun di bidang seni, khususnya sastra. Hal ini membuat
karakter GM diakui sebagai wartawan sekaligus sastrawan. Dan tak hanya GM, tapi
MBM Tempo saat itu memang diawaki oleh karyawan yang berasal dari kalangan
wartawan dan seniman. Hal ini kemudian berpengaruh dalam membentuk karakter
penulisan di MBM Tempo pada awal didirikan.
Dalam sebuah wawancara, GM sendiri mengakui karakter penulisan sastra
dalam pemberitaan MBM Tempo: “Dalam arti, bukan straight news seperti koran,
15 Happy Alami, Sebelas Penyair Terkenal Indonesia, PT Remaja Rosdakarya, Jakarta, 2001, hal. 92-93
http://prys3107.blogspot.com [email protected]
228
dan disampaikan seolah-olah sebuah cerita pendek, dengan tokoh, latar, dan peristiwa
yang dideskripsikan dengan rinci tapi memikat, mengandung suspense.”16
Maka tak heran bila kemudian praktik penggunaan bahasa di MBM Tempo
dalam memberitakan peristiwa, kerap disusupi penggunaan bahasa yang memiliki
kandungan estetik selayaknya sebuah karya sastra. Secara gamblang GM kemudian
menyebutkan sejumlah alasan mengapa MBM Tempo menggunakan Jurnalisme
Sastra:
Pertama, belum pernah dipakai dalam media cetak Indonesia sebelumnya. Kedua, untuk menghidupkan bahasa Indonesia sebagai penyampai ide, informasi dan ekspresi . . . Ketiga, untuk mengembangkan kemampuan jurnalistik, yang sanggup melaporkan reportase yang akurat, lengkap, rinci, tapi tetap hidup (tidak dibebani data), menggugah, sebuah ketrampilan yang melibatkan tidak hanya kemampuan bahasa, tapi juga kemampuan mengamati, merekam, menganalisa, dan mensintesiskan kenyataan dan peristiwa. Juga bersikap selalu kreatif dan inovatif.17
16 Wawancara GM dengan Eka Shinta Pangeswari, dalam Eka Shinta Pangeswari, Gaya Penulisan Laporan Utama Majalah Tempo Pra dan Pascabredel (Skripsi), Institut Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Jakarta, 2003, hal.120
17 Loc.Cit.
http://prys3107.blogspot.com [email protected]
229
Dari penjelasan GM di atas, bisa disimpulkan bahwa penggunaan Jurnalisme
Sastra yang dikembangkan awak redaksi MBM Tempo memang disiapkan secara
khusus untuk mengembangkan kemampuan praktik jurnalisme di majalah tersebut
dengan kreatif dan inovatif. Kekuasaan GM dan awak redaksi pada awal MBM
Tempo diterbitkan, membuat majalah tersebut tetap mempraktikkannya hingga
sampai saat ini.
Sosial
Setidaknya ada sejumlah aspek makro sebagai konteks sosial Indonesia yang
penulis pandang mempengaruhi dan menentukan karakter MBM Tempo terkait
dengan tema penelitian ini. Aspek makro tersebut dilihat dari sistem ekonomi-politik-
budaya di Indonesia yang mengacu pada penerapan demokrasi.
Menteri Koordinator Bidang Kesejahteraan rakyat Aburizal Bakrie
menyebutkan tingkat kemiskinan masyarakat Indonesia pada 2006 adalah 39,30 juta
jiwa dan di tahun 2007 menurun jadi 37,17 juta jiwa. Sedangkan tingkat
pengangguran di Indonesia pada tahun 2006 mencapai 11,10 juta jiwa dan pada 2007
menjadi 10,55 juta jiwa.18
Angka ini menunjukkan bahwa setelah demokrasi kembali ditegakkan di era
reformasi, penerapan demokrasi di Indonesia masih menghadapi berbagai
18 Demokrasi dan Kesejahteraan, Dialog Jumat Tabloid Republika, Edisi 25 Januari 2008
http://prys3107.blogspot.com [email protected]
230
permasalahan sosial dan ekonomi, antara lain tingkat kemiskinan dan pengangguran
yang masih tinggi.
Mengenai hal tersebut Ketua Umum PP Muhammadiyah Din Syamsuddin
mengatakan, faktor utama yang menjadi ukuran sebuah negara demokrasi mampu
memberikan kesejahteraan bagi rakyatnya adalah angka kemiskinan dan daya beli
masyarakat yang terus meningkat: ’Indonesia belum bisa membuktikan demokrasinya
mampu mengurangi angka kemiskinan.’19
Wakil Presiden Jusuf Kalla, seperti yang dikutip Nuryana mengungkapkan
bahwa proses demokrasi di Indonesia paling boros di dunia. Dengan mengaitkan
pengadaan pemilu sebagai wujud demokrasi, ia mengatakan: ’Dalam demokrasi kita,
terdapat 500 kali pemilihan langsung kepala daerah (pilkada). Itu berarti rata-rata
setahun ada 100 pilkada. Ini berarti setiap 3,5 hari akan pilkada! Tidak ada di dunia
ini pemilu yang boros seperti ini.’20
Sutradara Gintings dari Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan
menambahkan, demokrasi di Indonesia ternyata juga menyaratkan ongkos politik
yang mahal:’Di tengah kondisi rakyatnya yang miskin dan berpendidikan rendah,
19 Loc.Cit. 20 Nuryana, Demokrasi Yang Menyakiti Rakyat, Harian Rakyat Merdeka,
Edisi 29 Januari 2008
http://prys3107.blogspot.com [email protected]
231
Indonesia menerapkan sistem demokrasi liberal. Hal ini yang membuat biaya politik
menjadi sangat tinggi dan akhirnya mendorong politisi menjadi lapar uang.’21
Dengan menyimak kebutuhan ongkos politik yang tinggi dalam sistem ini, tak
heran bila korupsi kemudian berkembang di Indonesia. Korupsi kian menjadi
permasalahan tersendiri yang terjadi baik di dalam tubuh pemerintahan maupun
dalam partai politik. Kaitan demokrasi dengan korupsi di Indonesia terungkap dalam
laporan Transparency International’s Corruption Perception Index (CPI) pada tahun
1998: ’Sejumlah negara demokratis di Asia tercatat sebagai negara yang tingkat
korupsinya tinggi, misalnya Filipina (urutan 57), Thailand (64), India (68), dan
Indonesia (80).’22
Menanggapi data CPI tersebut, Indra J Piliang menjelaskan bahwa pada
hakikatnya demokrasi punya kecenderungan untuk menjadikan masyarakat lebih
sejahtera, karena lebih banyak kesempatan terbangun. Namun data CPI tersebut
merupakan bukti bahwa tingkat korupsi berkorelasi negatif dengan perkembangan
demokrasi di Indonesia. Maka agar bisa keluar dari permasalahan ini, ia mengusulkan
agar model demokrasi di Indonesia mesti diperjelas terlebih dahulu:
Untuk itu perlu didefinisikan dengan jelas, demokrasi seperti apa yang ingin kita terapkan. Demokrasi yang bersifat sentralistis, atau terdesentralisasi dengan liar. Demokrasi yang sentralistis terhubung dengan gabungan antara sistem
21 Korupsi Politisi Akibat Politik Biaya Tinggi, Kompas, Edisi 25 Oktober 2007
22 Indra J. Piliang, “Korupsi dan Demokrasi”, dalam HCB Dharmawan (Ed.), Jihad Melawan Korupsi, Penerbit Buku Kompas, Jakarta, hal.90
http://prys3107.blogspot.com [email protected]
232
monarki dengan demokrasi, seperti yang diterapkan di Inggris, Jepang, Belanda, Thailand, atauy Malaysia yang tingkat korupsinya rendah. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . Atau kita langsung mengadopsi model demokrasi Amerika Serikat (AS) yang tingkat korupsinya rendah.23
Menyoal model demokrasi di Indonesia, Syamsuddin mengatakan bahwa
sistem demokrasi di Indonesia masih berkutat pada masalah-masalah teknis dan
prosedural, ’Demokrasi di Indonesia baru sekadar teknis ketimbang substansial.’24
Pandangan serupa juga dikemukakan Gintings yang menyebutkan demokrasi
di Indonesia sebagai anak kandung kapitalisme. Dan karenanya Indonesia telah
terjebak pada euforia politik global, ekonomi global, dan strategi global. Gintings
kemudian mengatakan, ’akibat sistem yang salah ini, demokrasi yang dihasilkan pun
akan menjadi demokrasi prosedural, bukan demokrasi substantif.’25
Syamsuddin kemudian menyebutkan bahwa ’demokrasi tidak bisa
sepenuhnya diserahkan pada pendekatan proses dan struktural, melainkan harus
dijalankan secara kultural. Tanpa pendekatan kultural, demokrasi tidak akan
berlangsung secara sejati dan demokrasi substansial hanya tinggal impian.’26
Dari rangkaian keterangan di atas penulis memahami, penerapan sistem
demokrasi di Indonesia hingga saat ini dianggap belum mampu menjawab
23 Ibid., hal.92 24 Demokrasi dan Kesejahteraan, Op.Cit. 25 Korupsi Politisi Akibat Politik Biaya Tinggi, Op.Cit.
26 Demokrasi dan Kesejahteraan, Op.Cit.
http://prys3107.blogspot.com [email protected]
233
permasalahan kemiskinan dan pengangguran. Juga dengan menyimak kebutuhan
ongkos politik yang tinggi dalam sistem ini, tak heran bila korupsi kemudian
berkembang di Indonesia. Korupsi kian menjadi permasalahan tersendiri yang terjadi
baik di dalam tubuh pemerintahan maupun dalam partai politik.
Juga dalam perkembangannya, sistem demokrasi di Indonesia saat ini dinilai
berada pada tataran prosedural semata, dan belum menyentuh substansi dari
demokrasi itu sendiri. Hingga dapat dikatakan bahwa demokrasi di Indonesia belum
menemukan bentuknya. Hal inilah yang tampaknya memunculkan korelasi negatif
antara tingkat korupsi dengan perkembangan demokrasi di Indonesia.
Berangkat dari konteks tersebut bisa disimpulkan, MBM Tempo dapat
ditempatkan sebagai salah satu determinan kekuatan alternatif dalam upaya
pemberantasan korupsi dalam sistem demokrasi yang diterapkan secara rancu di
Indonesia. Sejalan dengan pernyataan Syamsuddin yang menyaratkan dimensi
kultural (kebudayaan) sebagai pendekatan demokrasi di Indonesia, praktik Jurnalisme
Sastra MBM Tempo dalam pemberitaan korupsi –lewat politik bahasa media yang
disusupi kandungan seni yang estetik– bisa dikatakan sebagai salah satu wujud
pendekatan kebudayaan di alam demokrasi Indonesia.
Menyoal fenomena bersinggungannya politik (institusi media) dengan
wilayah seni (estetika) tersebut secara makro, Yasraf Amir Piliang menjelaskan
kecenderungan ini dalam kerangka wacana di mana seni turut merepresentasikan
makna-makna sosial dan ideologis yang berlaku di masyarakat:
http://prys3107.blogspot.com [email protected]
234
Keputusan-keputusan yang berkaitan dengan politik-etik di sini tidak dapat dianggap sebagai satu keputusan intuitif atau individual, akan tetapi harus melibatkan pengetahuan tentang posisi sosial sebatang tubuh, struktur kehidupan sosialnya, sehingga seorang individu (seniman, misalnya) memiliki pengetahuan mengenai apa yang pantas, kurang pantas, dan tak pantas dilakukan dalam kerangka hubungan sosial. Di dalam masyarakat semacam ini, seni tidak dapat dipisahkan dari kerangka etik-politiknya, bahkan ia menjadi media representasi sosial . . . sehingga ia menjadi bagian integratif dari lembaga ideologis dan sosial yang ada.27
Penjelasan Piliang mengenai keterpaduan antara seni dengan kerangka etik-
politiknya, penulis pandang sesuai dengan konteks makro sosial budaya masyarakat
Indonesia di mana MBM Tempo hidup. Dalam kerangka makro inilah, praktik
Jurnalisme Sastra MBM Tempo secara mikro merepresentasikan makna-makna sosial
dan ideologis tertentu dalam masyarakat Indonesia.
27 Yasraf Amir Piliang, Dunia yang Dilipat; Tamasya Melampaui Batas-Batas Kebudayaan, Jalasutra, Yogyakarta, 2004, hal.452-453. (Garis bawah pada kalimat dari penulis)
http://prys3107.blogspot.com [email protected]
235
C. Pembahasan
Dengan mengacu pada hasil analisis, pada bagian ini penulis akan menjawab
sejumlah pertanyaan pokok yang telah penulis kemukakan pada Bab I penelitian ini.
Sebagai langkah awal dalam pembahasan, penulis akan terlebih dulu mengulas tiga
level analisis mikro, meso, dan makro, yakni dengan menghubungkan temuan penulis
pada analisis teks, discourse practice, dan sosiocultural practice. Pembahasan
kemudian dilanjutkan dengan menyimpulkan jawaban atas pertanyaan pokok penulis
dengan mengacu pada hasil pembahasan awal.
Level Mikro. Secara umum, analisis teks pada kelima sampel menunjukkan
adanya kandungan aspek perlakuan atas peristiwa (agenda setting), estetika bahasa,
dan politik bahasa yang khas pada level mikro praktik Jurnalisme Sastra MBM
Tempo.
Dalam analisis aspek perlakuan atas peristiwa, kelima sampel menunjukkan
adanya perencanaan agenda (agenda setting) liputan yang cukup memakan waktu
serta perencanaan yang matang. Selain menunjukkan bahwa peristiwa kasus dugaan
korupsi yang melibatkan pejabat negara Kabinet Indonesia Bersatu merupakan
peristiwa yang penting dan patut diketahui khalayak, penulis juga menyimak bahwa
kelima sampel menunjukkan tema berita yang saling terkait satu sama lain dan
berkelanjutan (continuity). Antara lain hal ini bisa dilihat dari penelusuran MBM
Tempo dalam mengikuti perkembangan kasus dugaan korupsi yang melibatkan
Menteri Hukum dan HAM Hamid Awaludin mulai dari tahun 2005 (sampel satu)
hingga ia di-reshuffle dari kabinet pada tahun 2007 (sampel 5).
http://prys3107.blogspot.com [email protected]
236
Dalam analisis aspek estetika bahasa, kelima sampel menunjukkan adanya
penyusunan adegan, penggunaan dialog, perspektif orang ketiga, dan penempatan
detail. Satu sampel paling tidak memuat tiga aspek estetika bahasa, dan masing-
masing sampel hanya mengandung satu atau dua aspek estetika bahasa yang kuat dan
menonjol. Karenanya, penulis menyimak bahwa empat aspek estetika bahasa tersebut
tidak selalu digunakan secara bersamaan dengan menonjol di tiap-tiap sampel. Meski
begitu, tak bisa dipungkiri bahwa teks MBM Tempo secara keseluruhan
menunjukkan penggunaan empat perangkat estetika bahasa tersebut. Perangkat
penyusunan adegan dan penggunaan dialog yang mengundang berbagai penafsiran
makna dan menyerahkan pemaknaan kepada pembaca, mencerminkan adanya
kandungan unsur ambiguitasnya yang begitu kuat dalam praktik Jurnalisme Sastra
MBM Tempo, sebuah hal yang jelas sangat dihindari pada penulisan jurnalisme
konvensional yang mengedepankan kejelasan (straightness). Perangkat perspektif
orang ketiga menunjukkan upaya Tempo dalam menghadirkan peristiwa secara
langsung dan partisipatif, di mana wartawan memiliki keterlibatan (immersion)
dengan objek peristiwa yang ditulisnya, sekaligus juga merupakan sebuah
eksperimentasi dalam penulisan jurnalisme. Perangkat penempatan detail terperinci
yang digunakan secara kreatif demi memperkuat pengadegan dan penokohan,
mencerminkan perbedaan teknik penulisan jurnalisme MBM Tempo dengan
penulisan jurnalisme konvensional yang menghindari penempatan detail selintas dan
mensyaratkan pemuatan informasi penting sebagai prioritas.
http://prys3107.blogspot.com [email protected]
237
Dalam analisis aspek politik bahasa, kelima sampel menunjukkan kuatnya
simbolisme lewat perangkat metafora dan depictions dalam mengungkapkan fakta,
membangkitkan prasangka, hingga menyesatkan citra tokoh pemberitaan, yakni
sejumlah pejabat negara Kabinet Indonesia Bersatu yang terlibat dalam kasus dugaan
korupsi. Perangkat metafora lewat kata, frase, dan kalimat konotatif sebagai metafora
analogi, digunakan dalam mengungkapkan fakta kesuksesan yang semu dari peristiwa
penyeleggaraan Pemilu Presiden 2004, terkait dengan indikasi korupsi dalam
pengadaan barang di KPU, khususnya pada pengadaan kertas segel amplop suara
pemilu presiden, serta upaya pihak-pihak tertentu dalam menutup-nutupi fakta
korupsi tersebut (sampel satu, dua, dam lima). Metafora analogi (proterito) juga
digunakan dalam mengungkapkan ketidakberesan yang terjadi dalam penyelesaian
kasus korupsi pengadaan mesin sidik jari di Departemen Hukum dan Perundang-
undangan (sampel tiga), dan kasus pencairan uang bermasalah milik Tommy
Soeharto (sampel empat). Ketiga kasus tersebut melibatkan Menteri Hukum dan
HAM Hamid Awaludin, serta Menteri Sekretaris Negara Yusril Ihza Mahendra
selaku pejabat negara Kabinet Indonesia Bersatu. Metafora personifikasi dan
metafora hiperbola digunakan dalam menyesatkan karakter dan mengarahkan citra,
khususnya citra dua menteri tersebut terkait dengan keterlibatannya dalam kasus
korupsi tersebut. Citra kedua menteri tersebut lebih kuat lagi diarahkan dengan
perangkat depictions lewat kata, frase, dan kalimat konotatif. Pembentukan citra
tersebut cenderung mengarah kepada citra Hamid sebagai pejabat negara yang konyol
dan mengelak dari tanggung jawab (sampel satu, dua, tiga, dan lima), serta citra
http://prys3107.blogspot.com [email protected]
238
Yusril sebagai pejabat negara yang diduga kuat terlibat dalam kasus korupsi (sampel
tiga dan empat). Depictions juga digunakan dalam mengarahkan tema reshuffle
kabinet pada kelanjutan penyidikan terhadap Hamid dalam kaitannya dengan dugaan
korupsi yang dilakukannya (sampel lima).
Sebagai kesimpulan, uraian ketiga aspek tersebut menunjukkan kuatnya
dimensi estetik dan politik bahasa dari teks pemberitaan MBM Tempo mengenai
kasus dugaan korupsi yang melibatkan pejabat negara Kabinet Indonesia Bersatu.
Dalam dimensi estetika bahasa (penyusunan adegan, penggunaan dialog,
perspektif orang ketiga, dan penempatan detail), penulis memandang bahwa
Jurnalisme Sastra yang dikembangkan MBM Tempo mengarah pada pencapaian efek
perlokutif kepada pembaca.
Mengenai efek perlokutif, John Langshaw Austin, seperti yang dikutip Teguh
Apriliyanto, menjelaskan :
pemilihan sesuatu kata acapkali menimbulkan pengaruh yang pasti terhadap perasaan, pemikiran atau perilaku si pendengar atau si penutur itu sendiri. Hal itu dapat dilakukan dengan cara merancang, mengarahkan atau menetapkan tujuan tertentu pada perkataan yang akan kita ungkapkan. Efek atau pengaruh yang muncul dari mengatakan sesuatu itulah yang disebut sebagai tindakan perlokusi. Kata-kata yang digunakan dipilih secara sengaja (sadar) dengan tujuan mempengaruhi pendengar (pembaca) secara maksimal.28
28 Teguh Apriliyanto, Independensi Media Dibalik Kasus Tempo vs PT Asian Agri, artikel dalam Jurnal Media Watch, The Habibie Center, Jakarta, Edisi No.62/ Desember 2007
http://prys3107.blogspot.com [email protected]
239
Dari batasan tersebut maka dapat penulis pahami bahwa penggunaan bahasa
yang dirancang secara estetik merupakan salah satu cara demi memunculkan efek
perlokutif kepada pembaca teks, sehingga apa yang tertulis pada teks tersebut akan
tampil sebagai gambaran realitas yang seakan-akan nyata di benak pembaca. Di titik
inilah pembaca yang larut dalam teks dapat mengalami suatu kenikmatan tekstual
(joissance) yang muncul dari interaksinya dengan dimensi estetik sebuah teks.
Pencapaian efek perlokutif dan joissance ini lazim ditemui dalam sebuah karya sastra
dan film fiksi.
Hal tersebut penulis pandang terjadi pada penggunaan perangkat penyusunan
adegan, penggunaan dialog, perspektif orang ketiga, dan penempatan detail sebagai
dimensi estetika bahasa teks pemberitaan MBM Tempo. Dalam kata lain, dimensi
estetika bahasa dalam teks pemberitaan MBM Tempo mengenai kasus dugaan
korupsi yang melibatkan pejabat negara Kabinet Indonesia Bersatu, dilakukan demi
pencapaian efek perlokutif secara maksimal dan joissance kepada pembaca, sehingga
pembaca akan tertarik dan larut dalam pemberitaan MBM Tempo mengenai kasus
dugaan korupsi yang melibatkan pejabat negara Kabinet Indonesia Bersatu.
Kemudian dalam dimensi politik bahasa media (simbolisme: metafora dan
depictions) penulis memandang bahwa Jurnalisme Sastra yang dikembangkan MBM
Tempo mengarah pada pencapaian efek abrasive kepada tokoh yang menjadi pokok
pemberitaan.
Mengenai efek abrasive, Teguh Apriliyanto mengutip hasil penelitian Jurusan
Komunikasi UGM dan Pusat Pengkajian dan Penelitian Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
http://prys3107.blogspot.com [email protected]
240
(P3-ISIP) UI terhadap pemberitaan Majalah dan Koran Tempo: ‘Dari sudut pandang
analisis framing, penelitian UGM menyimpulkan liputan Tempo pada kasus AA (PT
Asian Agri –Pen) cenderung mengarah pada pencitraan yang terkesan menekan atau
abrasive terhadap sosok Sukanto Tanoto. Padahal, kasus ini masih pada tahap dugaan
baik dalam hal kasus manipulasi pajak maupun korupsi.’29
Dari keterangan di atas, penulis memahami bahwa abrasive adalah pencitraan
yang terkesan menekan terhadap seseorang. Efek abrasive ini muncul dari
penggunaan bahasa yang mengandung simbolisme sebagai politik bahasa media.
Hal tersebut penulis pandang terjadi pada penggunaan simbolisme berupa
metafora dan depictions sebagai dimensi politik bahasa media dalam teks
pemberitaan MBM Tempo. Efek abrasive tersebut dalam teks berwujud penurunan
status (status degradation) terhadap Hamid Awaluddin dan Yusril Ihza Mahendra
dari yang semula baik dan berprestasi, menjadi buruk dan memiliki catatan hitam
dalam karirnya di Kabinet Indonesia Bersatu, sehingga hal tersebut mengarah pada
pembunuhan karakter (character assassination) kedua tokoh tersebut.
Dalam kata lain, dimensi politik bahasa media dalam teks pemberitaan MBM
Tempo mengenai kasus dugaan korupsi yang melibatkan pejabat negara Kabinet
Indonesia Bersatu, dilakukan dengan bias dan prasangka demi pencapaian efek
abrasive kepada tokoh yang diberitakan, yakni khususnya pada citra Hamid
Awaluddin dan Yusril Ihza Mahendra selaku pejabat negara Kabinet Indonesia
29 Ibid.
http://prys3107.blogspot.com [email protected]
241
Bersatu yang diberitakan terlibat dalam kasus korupsi.
Level Meso. Analisis produksi dan konsumsi teks MBM Tempo menjelaskan
bagaimana teks dibentuk oleh awak redaksi dan dinikmati oleh pembaca. Kerja
redaksi yang melibatkan reporter, penulis (staff redaksi), redaktur pelaksana, redaktur
senior, hingga redaktur bahasa, mencerminkan bahwa teks berita Jurnalisme Sastra
MBM Tempo diproduksi dengan melibatkan banyak pihak (kolektif) secara
institusional, dan bukan merupakan kerja individu. Jurnalisme Sastra MBM Tempo
yang dipraktikkan saat ini merupakan warisan tradisi dari para pendiri awal MBM
Tempo semisal GM dan kawan-kawan yang memiliki kualifikasi dalam bidang
kewartawanan maupun kesenian.
Posisi redaktur senior yang ditempati oleh GM dan kawan-kawan pendiri
MBM Tempo juga berperan besar dalam membentuk order of discourse atas praktik
Jurnalisme Sastra yang dikembangkan MBM Tempo saat ini, antara lain lewat kelas
kuliah yang diikuti awak redaksi tiap minggunya dan penerapan sistem penilaian.
Sehingga meskipun MBM Tempo saat ini tidak lagi diawaki seniman (sastrawan),
Jurnalisme Sastra MBM Tempo dapat terus bertahan.
Alasan lain juga karena tuntutan keadaan di mana pers Indonesia kini kian
tumbuh menjadi industri. Munculnya pemain baru di bidang media serta kecanggihan
teknologi komunikasi massa dalam menyajikan liputan jurnalisme, membuat MBM
Tempo bertahan dengan tradisi penulisan yang tidak tergolong hard news, tetapi lebih
kepada news feature. Pembaca MBM Tempo yang berada pada level menengah ke
atas juga mendapat tempat dalam penentuan tema liputan yang akan diangkat.
http://prys3107.blogspot.com [email protected]
242
Kuatnya agenda setting dalam Jurnalisme Sastra MBM Tempo yang secara
intens mengulas permasalahan korupsi di tubuh pemerintahan, penulis pandang tak
hanya mencerminkan MBM Tempo yang berusaha memainkan fungsi kontrol
sosialnya, namun juga sejalan dengan kondisi masyarakatnya di mana informasi
mengenai kasus korupsi –berikut kontroversinya– merupakan topik yang menarik
perhatian dan perlu diberitakan.
Mengenai motivasi MBM Tempo dalam memberitakan kasus korupsi secara
intens, redaktur Desk Nasional MBM Tempo Wenseslaus Manggut memberi alasan,
’Mengapa Tempo mengangkat kasus korupsi, karena selain kepentingan publik,
korupsi itu berbahaya. Kemudian motivasi lain menciptakan pemerintahan yang
bersih.’30
Uraian level meso di atas membaca penulis pada kesimpulan bahwa praktik
Jurnalisme Sastra MBM Tempo diproduksi dengan melibatkan banyak pihak
(kolektif) secara institusional dan dikonsumsi oleh khalayak pembaca kelas
menengah ke atas di Indonesia. Dalam hal pemberitaan mengenai kasus dugaan
korupsi yang melibatkan pejabat negara Kabinet Indonesia Bersatu, praktik
Jusnalisme Sastra berangkat dari motivasi MBM Tempo sebagai institusi pers yang
hendak mengambil perannya dalam menciptakan tata pemerintahan yang bersih (good
governence) di Indonesia.
Level Makro. Secara umum, konteks sosial yang melandasi teks, produksi dan
30 Lampiran C
http://prys3107.blogspot.com [email protected]
243
konsumsi teks Jurnalisme Sastra MBM Tempo berangkat dari persinggungan sistem
pers dengan sistem ekonomi-politik-budaya yang mengacu pada penerapan
demokrasi di Indonesia. Agenda setting yang dimainkan MBM Tempo dalam
menyoroti secara intens persoalan korupsi di Indonesia, mencerminkan partisipasi
politik Tempo dalam upaya perbaikan sistem demokrasi di Indonesia.
Nilai-nilai kebebasan berpikir dan berpendapat dalam kerangka demokrasi
tersebut dapat dilihat dari kandungan ambiguitas dalam teks berita MBM Tempo.
Sebab pada ambiguitas, pembaca MBM Tempo diberi kebebasan untuk mengambil
kesimpulan sendiri dan membentuk opini publik sesuai dengan konteks sosial
masyarakatnya. Sehingga meskipun praktik Jurnalisme Sastra MBM Tempo memiliki
efek perlokutif dalam melarutkan pembaca dan memiliki efek abrasive dalam
mencitrakan secara buruk pejabat negara yang terlibat kasus korupsi, sulit bagi
penulis untuk mengkategorikan secara rigid bahwa yang dilakukan MBM Tempo
tersebut adalah trial by the press.
Penulis lebih menyepakati bahwa praktik marjinalisasi yang dilakukan MBM
Tempo sekedar menjadi motivator agar khalayak umum sendiri yang menghakimi
kedua tokoh tersebut berdasarkan fakta dan informasi yang disiarkannya. Hal tersebut
merupakan prejudicial publicity, yakni sebagai publisitas yang cenderung
mengarahkan publik untuk menghakimi seseorang atau lembaga di luar pengadilan
formal.
Maka jelas bahwa bias dan prasangka MBM Tempo terhadap Hamid
Awaludin dan Yusril Ihza Mahendra selaku pejabat negara Kabinet Indonesia Bersatu
http://prys3107.blogspot.com [email protected]
244
yang diduga terlibat korupsi, dilakukan Tempo dalam konteks sosial masyarakat
Indonesia yang tidak percaya dengan upaya pemerintah memberantas korupsi dan
pengadilan formal. Sehingga alih-alih menjadi Aparatus Ideologis Negara yang status
quo penguasa dalam kerangka Althusser, praktik MBM Tempo justru menunjukkan
friksi dan counter hegemony-nya sebagai agen ideologis yang mampu menjaga jarak
dan menjadi watchdog bagi rezim SBY-JK yang tengah berkuasa di Indonesia saat
ini.
Seperti yang diberitakan Harian Kompas, Ketua Umum Partai Bulan Bintang
(PBB) MS Kaban menilai bahwa pemberitaan pers terhadap Yusril terkait dengan
kasus korupsi pengadaan mesin sidik jari di Departemen Hukum dan Perundang-
undangan, mengarah pada pembunuhan karakter dan sepihak oleh pers. Dalam berita
yang sama, Sekretaris Jenderal PBB Sahar L. Hassan mengatakan bahwa pemberitaan
pers terhadap kasus ini tidak proporsional.31
Beberapa minggu sebelum reshuffle dilakukan, Hamid dan Yusril tengah
disorot publik terkait dengan kasus korupsi pengadaan mesin sidik jari di Depatemen
Hukum dan Perundang-undangan. Keduanya lalu dicopot dari jabatannya sebagai
menteri Kabinet Indonesia Bersatu pada reshuffle kabinet II Mei 2007. Meski SBY-
JK tidak menyatakan secara langsung pencopotan dua menteri tersebut karena
pemberitaan media massa dan opini publik, namun cukup logis bila penulis
31 DPP PBB Menilai Terjadi Pembunuhan Karakter Yusril, Harian Kompas, Edisi 5 Mei 2007
http://prys3107.blogspot.com [email protected]
245
memandang bahwa dua peristiwa tersebut (pemberitaan pers dan dicopotnya Hamid-
Yusril) memiliki keterkaitan.
Di sinilah kekuatan media massa, khususnya MBM Tempo sebagai agen
ideologis yang melakukan counter hegemony dalam memarjinalkan Hamid dan Yusril
lewat pemberitaan berkesinambungan, lalu menancapkan citra ‘pejabat korup’ kedua
tokoh kepada publik dan memancing opini publik sebagai prejudicial publicity,
hingga kemudian menjadi salah satu faktor yang berkaitan dengan dicopotnya kedua
pejabat negara tersebut dari kabinet. Maka meminjam penyataan Stuart Hall tentang
wacana kritis dalam media, penulis memahami bahwa upaya MBM Tempo dalam
memarjinalkan pejabat negara yang terlibat dalam kasus korupsi, telah melalui proses
pendefinisian dan penandaan yang kompleks sesuai dengan konsensus masyarakat
Indonesia saat ini mengenai pemberantasan korupsi.
Watak MBM Tempo sebagai agen ideologis yang melakukan counter
hegemony tersebut juga bisa disimak dari sisi historis dan institusional MBM Tempo
yang pernah berkali-kali dibredel pemerintah, sehingga membentuk karakter MBM
Tempo sebagai salah satu institusi pers di Indonesia yang berani menentang
penguasa.
Secara historis, terbentuknya praktik estetik dan politik bahasa media
Jurnalisme Sastra pada awal MBM Tempo terbit merupakan salah satu cara
menyiasati represivitas Rezim Orde Baru yang berkuasa saat itu. Ketika Rezim Orde
Baru tumbang dan represivitas pemerintah saat ini terhadap pers tidak lagi ketat,
watak MBM Tempo sebagai agen ideologis yang melakukan counter hegemony tidak
http://prys3107.blogspot.com [email protected]
246
lagi bertujuan menentang penguasa, tetapi lebih pada perbaikan demokrasi di
Indonesia lewat penciptaan tata pemerintahan yang bersih dari korupsi, kolusi, dan
nepotisme lewat Jurnalisme Sastra MBM Tempo sebagai praktik estetik dan politik
bahasa media.
Secara institusional, Jurnalisme Sastra MBM Tempo sebagai warisan tradisi
dari para pendiri MBM Tempo, terus dipertahankan hingga saat ini lewat pelajaran
dan praktik jurnalisme dalam kelas kuliah yang diikuti awak redaksi tiap minggunya,
serta penerapan sistem penilaian (kredit poin) atas kinerja dan hasil tulisan wartawan
MBM Tempo. Hal tersebut membentuk order of discourse yang khas dalam praktik
diskursif MBM Tempo atas praktik Jurnalisme Sastra yang dikembangkan saat ini.
Selain itu, tuntutan keadaan di mana pers Indonesia kini kian tumbuh menjadi
industri, juga menjadi faktor dipertahankannya praktik Jurnalisme Sastra di MBM
Tempo. Sehingga meskipun MBM Tempo saat ini tidak lagi diawaki seniman
(sastrawan) dan tidak lagi direpresi pemerintah, Jurnalisme Sastra MBM Tempo
dapat terus bertahan sampai sekarang.
Memandang praktik Jurnalisme Sastra MBM Tempo sebagai suatu karya
jurnalisme sekaligus karya seni sastra yang diproduksi secara kolektif dan
institusional, maka dapat penulis pahami bahwa secara makro MBM Tempo hadir
dalam konteks sosial masyarakat Indonesia di mana seni turut merepresentasikan
makna-makna sosial dan ideologis yang berlaku di masyarakat. Dalam kerangka
inilah praktik seni yang estetis tidak bisa dipisahkan dari kerangka etik politiknya.
http://prys3107.blogspot.com [email protected]
247
Konsepsi Antonio Gramsci yang mengaitkan kritik estetika dengan kritik
politik, mewujud dalam Jurnalisme Sastra MBM Tempo sebagai praktik jurnalisme
yang baik secara estetis sekaligus jitu secara politis. Jurnalisme Sastra MBM Tempo
juga membuktikan konsepsi Julia Kristeva bahwa bahasa puisi (the poetic language)
mampu membongkar persoalan mendasar, esensial dan hakiki menyangkut
kemanusiaan itu sendiri, persoalan yakni korupsi di tengah-tengah masyarakat
Indonesia.
Menyoal Jurnalisme Sastra sebagai praktik estetik dan politik bahasa media
dalam kerangka teori wacana yang digagas Foucault, penulis memahami bahwa kuasa
media (MBM Tempo) lewat pemberitaan kasus korupsi yang melibatkan pejabat
negara Kabinet Indonesia Bersatu membentuk pengetahuan di masyarakat bahwa
korupsi adalah sesuatu yang buruk dan menjadi musuh bersama.
Dalam kerangka teori wacana Foucault, ia juga merupakan wujud
‘normalisasi’ atas wacana korupsi di Indonesia. Tujuan dari normalisasi ini adalah
‘penyingkiran segala yang dianggap menyimpang, membangkang, anomali, dan tidak
teratur baik secara psikologis maupun sosial.’32 Dalam hal ini, normalisasi (yang
muncul dari kekuasaan MBM Tempo yang membentuk pengetahuan tentang
buruknya korupsi) dilakukan untuk menyingkirkan korupsi demi perbaikan
demokrasi di Indonesia.
32 Ahmad Sahal, Kemudian, Di Manakah Emansipasi? Tentang Teori Kritis, Genealogi, dan Dekonstruksi, artikel dalam Jurnal Kalam, Edisi 1/1994
http://prys3107.blogspot.com [email protected]
248
Dalam kerangka teori wacana Foucault pula dapat dikatakan bahwa kekuasaan
yang dimiliki MBM Tempo dalam normalisasi wacana korupsi di Indonesia serupa
dengan konsep panopticon33 sebagai model pengawasan dan kontrol media lewat
sosialisasi nilai-nilai moral, etika, dan budaya dalam menyoroti kasus korupsi di
Indonesia. Terlebih lagi dengan keterbukaan informasi publik yang dijamin
konstitusi, MBM Tempo dapat berperan maksimal sebagai watchdog bagi
pemerintahan SBY-JK dan mengawasi kinerja para pejabat negara Kabinet Indonesia
Bersatu.
Maka tak berlebihan pula bila penulis memandang bahwa selain
mengupayakan perbaikan demokrasi di Indonesia, praktik Jurnalisme Sastra MBM
Tempo juga sejalan gagasan Din Syamsuddin yang menyebutkan konsep ‘pendekatan
kultural’ demi pencapaian demokrasi sejati.
33 Panopticon merupakan konsep Foucault mengenai model matriks mekanisme kuasa dalam bentuk penataan ruang sedemikian rupa sehinga semua penghuninya bisa dipantau secara sangat transparan. Desainnya kira-kira demikian: sebuah halaman luas, dengan menara di tengahnya dan dikelilingi oleh serangkaian bangunan yang dibagi-bagi dalam tingkat-tingkat dan sel-sel. Dalam masing-masing sel terdapat dua jendela: satu untuk menerima sinar dari luar dan satunya lagi menghadap jendela menara. Dengan begitu, segala isi sel bisa terpantau dari menara. Masing-masing sel jadinya seperti teater kecil, dengan seorang aktor yang sendirian tapi secara konstan dan kelihatan terus. Dalam kondisi demikian, para penghuni merasa diawasi terus menerus sehingga akhirnya ia membatinkan pengawasan dalam dirinya sendiri. Dia kemudian menjadi pengawas bagi dirinya sendiri. Model panopticon ini memperlihatkan bagaimana kuasa modern berfungsi secara anonim dan hadir di mana-mana. Ibid.
http://prys3107.blogspot.com [email protected]
249
Sebagai kesimpulan pada level makro, konteks sosial budaya –seperti
ideologi, hegemoni, dan interaksi kekuatan sosial lainnya– yang mengelilingi MBM
Tempo terkait dengan praktik Jurnalisme Sastra MBM Tempo dalam pemberitaan
kasus dugaan korupsi tersebut adalah kian menguatnya persinggungan dunia sastra
dengan jurnalisme di Indonesia lewat kemunculan genre sastra koran; tuntutan
kepada pers untuk memberitakan kasus korupsi dalam peringatan Hari Kebebasan
Pers Sedunia; menguatnya ketidakpercayaan masyarakat terhadap pengadilan formal
dan upaya pemerintah dalam memberantas korupsi; serta counter hegemony yang
dijalankan MBM Tempo demi menciptakan tata pemerintahan yang baik dan bersih.
Kesemuanya ini mengarah pada persinggungan sistem pers dengan sistem ekonomi-
politik-budaya yang mengacu pada penerapan dan perbaikan demokrasi di Indonesia.
http://prys3107.blogspot.com [email protected]
250
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Perkembangan ilmu pengetahuan di era pasca positivisme telah kian marak.
Salah satu kecenderungan yang menarik ialah ketika disiplin ilmu kini mengalami
banyak konvergensi, klaim spesialisasi ilmu menjadi perdebatan. Batas-batas ilmu
pengetahuan yang dulu ditarik dengan tegas oleh para ilmuwan, kini mulai
mengalami keruntuhan. Dalam kata lain, wajah ilmu pengetahuan kita belakangan
hari ini kian disemaraki dengan berkembangnya kajian ilmu yang bercorak multi
disipliner.
Tak terkecuali bagi ranah ilmu sosial yang menjadi induk dari ilmu
komunikasi, dan khususnya lagi ilmu jurnalistik yang menempati wilayah ilmu
praktika komunikasi. Dengan membongkar berbagai klaim spesialisasi ilmu
komunikasi dan jurnalistik, kajian multi disipliner pun dapat mulai digagas.
Salah satu upaya yang telah penulis lakukan lewat penelitian ini adalah
menjembatani ranah jurnalistik dengan ranah sastra dalam satu kajian ilmu
komunikasi. Penulis memandang hal ini cukup kontekstual dilakukan di Indonesia,
mengingat sisi historis negeri ini di mana kedua ranah tersebut telah bersinggungan
sejak Mpu Prapanca melaporkan gambaran faktual kota Majapahit, lewat rangkaian
puisi bertajuk ’Nagarakrtagama’ yang ditulisnya pada 1365.
http://prys3107.blogspot.com [email protected]
251
Eksistensi wartawan-cum-sastrawan semacam Mpu Prapanca kemudian juga
bisa ditemui dalam berbagai tokoh pers Indonesia yang juga akitf di kesenian
(kesusastraan) mulai dari awal kemerdekaan hingga zaman Orde Baru. Tokoh
tersebut bisa disebutkan antara lain R.M.Tirtoadisuryo, Mas Marco Kartodikromo,
Abdul Muis, Roestam Effendi, Pramoedya Ananta Toer, Buya Hamka, Umar Kayam,
Arief Budiman, GM, Putu Wijaya, Bur Rusuanto, Seno Gumira Ajidarma, Ayu
Utami, dan sejumlah nama lainnya. Namun dalam penelitan ini, ranah sastra dan
jurnalisme tidak penulis tempatkan pada praktik individu, tapi lebih praktik institusi
media terkait dengan praktik jurnalisme kontemporer yang dikembangkannya.
Sejatinya, kajian media dalam kerangka paradigma kritis merupakan ragam
penelitian ilmiah yang emansipatoris dan bertujuan membela pihak tertentu yang
dipinggirkan dalam pemberitaan media, khususnya praktik marjinalisasi terhadap
kelompok masyarakat yang lemah, semisal kaum tani, perempuan, mahasiswa
demonstran, atau kalangan marjinal lainnya di masyarakat bawah.
Asumsi paradigma kritis yang menolak pemisahan teori dengan praksis,
memang menyaratkan peneliti selayaknya seorang aktivis, advokat, dan
transformative intellectual dalam upayanya membela kelompok masyarakat lemah
tadi. Kacamata kritis sendiri telah sepakat memandang media bukan lagi sebagai
pihak pelapor peristiwa objektif yang bebas dari relasi kuasa, tetapi sebagai agen
pembentuk realita yang konstruktif menciptakan makna di bawah relasi kuasa tertentu
yang dominan dalam masyarakat.
http://prys3107.blogspot.com [email protected]
252
Maka dengan melakukan ragam kajian media di bawah payung paradigma ini,
seorang peneliti akan melihat praktik media yang tidak berimbang dan memihak satu
kelompok bukan sebagai kekeliruan atau bias, tetapi memang seperti itulah praktik
yang dijalankan media sebagai efek ideologi. Karenanya, tujuan penelitian bukan lagi
mencari sebanyak apa bias pemberitaan dalam media tersebut, tetapi lebih
ditempatkan sebagai wahana kritik ideologi dominan demi mengupayakan perubahan
transformasi sosial yang timpang dan tidak adil seperti yang tercermin dalam praktik
media yang diteliti.
Analisis wacana kritis sebagai metode yang mampu menggali praktik media
semacam itu, menunjukkan nuansa politis yang kental dari seorang peneliti. Hal ini
kemudian menunjukkan betapa praktik media akan semata-mata dinilai dalam
kerangka politis tertentu, dan penelitian pun dilakukan secara politis pula untuk
menjalankan kritik ideologi media yang dominan.
Namun di sisi lain, penulis sepakat dengan penyataan Eriyanto yang menilai
bahwa kajian semacam ini memang menyederhanakan karakteristik analisis wacana
yang sejatinya memang beragam dan multi disiplin. Sehingga tepat bila Ahmad Sahal
menyayangkan kecenderungan politis dalam ragam kajian semacam ini
menyingkirkan estetika.
Penulis berpendapat bahwa praktik penggunaan bahasa dalam pemberitaan
MBM Tempo, dapat dilihat baik secara politis maupun estetis. Hal inilah yang
membuat penulis tergerak untuk menutupi keterbatasan analisis wacana kritis dengan
memadukan kedua dimensi tersebut secara ekletif, yakni analisis wacana kritis yang
http://prys3107.blogspot.com [email protected]
253
dapat digunakan untuk mengkaji penggunaan bahasa media sebagai praktik estetik
dan praktik politik bahasa. Maka sebagai uraian penutup, dengan ini penulis
merangkum lima buah kesimpulan penelitian.
Pertama. Dimensi estetika bahasa dalam teks pemberitaan MBM Tempo
mengenai kasus dugaan korupsi yang melibatkan pejabat negara Kabinet Indonesia
Bersatu, dilakukan demi pencapaian efek perlokutif secara maksimal dan joissance
kepada pembaca, sehingga pembaca akan tertarik dan larut dalam pemberitaan MBM
Tempo mengenai kasus dugaan korupsi yang melibatkan pejabat negara Kabinet
Indonesia Bersatu. Sedangkan dimensi politik bahasa media dilakukan dengan bias
dan prasangka demi pencapaian efek abrasive kepada tokoh yang diberitakan, yakni
khususnya pada citra Hamid Awaluddin dan Yusril Ihza Mahendra selaku pejabat
negara Kabinet Indonesia Bersatu yang diberitakan terlibat dalam kasus korupsi.
Kedua. Jurnalisme Sastra MBM Tempo diproduksi dengan melibatkan banyak
pihak (kolektif) secara institusional dan dikonsumsi oleh khalayak pembaca kelas
menengah ke atas di Indonesia. Dalam hal pemberitaan mengenai kasus dugaan
korupsi yang melibatkan pejabat negara Kabinet Indonesia Bersatu, praktik
Jusnalisme Sastra berangkat dari motivasi MBM Tempo sebagai institusi pers yang
hendak mengambil perannya dalam menciptakan tata pemerintahan yang bersih (good
governence) di Indonesia.
Ketiga. Secara historis, terbentuknya praktik estetik dan politik bahasa media
Jurnalisme Sastra pada awal MBM Tempo terbit merupakan salah satu cara
menyiasati represivitas Rezim Orde Baru yang berkuasa saat itu. Ia juga menjadi
http://prys3107.blogspot.com [email protected]
254
ekkserimen dalam mengembangkan kemampuan jurnalisme sekaligus bertujuan
menarik minat pembaca. Secara institusional, Jurnalisme Sastra MBM Tempo
sebagai warisan tradisi dari para pendiri MBM Tempo, terus dipertahankan hingga
saat ini lewat pelajaran dan praktik jurnalisme dalam kelas kuliah yang diikuti awak
redaksi tiap minggunya, serta penerapan sistem penilaian (kredit poin) atas kinerja
dan hasil tulisan wartawan MBM Tempo. Sehingga meskipun MBM Tempo saat ini
tidak lagi diawaki seniman (sastrawan) dan tidak lagi direpresi pemerintah,
Jurnalisme Sastra MBM Tempo dapat terus bertahan sampai sekarang.
Keempat. Konteks sosial budaya –seperti ideologi, hegemoni, dan interaksi
kekuatan sosial lainnya– yang mengelilingi MBM Tempo terkait dengan praktik
Jurnalisme Sastra MBM Tempo dalam pemberitaan kasus dugaan korupsi tersebut
antara lain kian menguatnya persinggungan dunia sastra dengan jurnalisme di
Indonesia lewat kemunculan genre sastra koran, tuntutan kepada pers untuk
memberitakan kasus korupsi dalam peringatan Hari Kebebasan Pers Sedunia,
menguatnya ketidakpercayaan masyarakat terhadap pengadilan formal dan upaya
pemerintah dalam memberantas korupsi, serta counter hegemony yang dijalankan
MBM Tempo demi menciptakan tata pemerintahan yang baik dan bersih.
Kesemuanya ini mengarah pada persinggungan sistem pers dengan sistem ekonomi-
politik-budaya yang mengacu pada penerapan dan perbaikan demokrasi di Indonesia.
Kelima. Jurnalisme Sastra berkembang di MBM Tempo saat ini sebagai
berkembang sebagai suatu karya jurnalisme sekaligus karya seni sastra yang
diproduksi secara kolektif dan institusional, sebagai warisan tradisi dari para pendiri
http://prys3107.blogspot.com [email protected]
255
MBM Tempo yang kini dipertahankan oleh para redaktur senior lewat pelajaran dan
praktik jurnalisme dalam kelas kuliah.
Setelah menguraikan lima kesimpulan penelitian di atas, penulis merasa perlu
untuk menjelaskan di mana posisi Jurnalisme Sastra dalam ranah penciptaan teks,
baik dari ranah jurnalisme maupun sastra di Indnesia. Mengacu pada Septiawan
Santana Kurnia, praktik Jurnalisme Sastra di Indonesia dianggap sebagai
perkembangan mutakhir dari praktik jurnalisme kontemporer yang awalnya
berkembang di Amerika Serikat pada 1960-an, kemudian dibawa oleh MBM Tempo
pada tahun 1970-an dan hingga kini mulai dipraktikkan juga di berbagai media massa
di Indonesia.
Namun mengingat luasnya definisi sastra (kesusastraan), penulis juga
mengacu pada Ariel Haryanto yang menyebutkan Jurnalisme Sastra sebagai bagian
dari sastra itu sendiri. Ia menyebutkan Jurnalisme Sastra dalam kategori ‘kesusastraan
yang dipisahkan’ (non-sastra) dengan menyimak kecenderungan mutakhir dari
kesusastraan Indonesia.1
1 Ariel Haryanto, Masihkah Politik jadi Panglima? Politik Kesusasteraan Indonesia Mutakhir, artikel dalam Majalah Prisma, No.8 Tahun XVII, Jakarta, 1988. Dengan menyimak kecenderungan kesusastraan mutakhir di Indonesia, Ariel mengklasifikasikan sastra menjadi empat kategori, yakni (1) sastra yang diresmikan atau diabsahkan, (2) sastra yang terlarang, (3) sastra yang diremehkan, (4) sastra yang dipisahkan/ non-sastra. Jurnalisme Sastra menurut Ariel termasuk dalam kategori keempat.
http://prys3107.blogspot.com [email protected]
256
Mengenai posisi Jurnalisme Sastra sebagai praktik politik media massa di
ranah kesusastraan Indonesia, Ariel menulis:
Dalam media massa inilah para pemikir politik yang paling berpengaruh dan pejabat pemerintahan bersastera politik. Itu pula sebabnya lahan inilah yang paling “politis” dan banyak menjadi sasaran sponsor dan sensor politik negara. Goenawan Mohamad, Umar Kayam dan Arief Budiman adalah beberapa contoh menonjol dari generasi peralihan yang kita bicarakan ini. Sementara itu kaum muda yang menunjukkan bakat bersastera maupun berpikir politis makin lama makin banyak direkrut media massa. Orang-orang pun berbicara tentang jurnalisme sastera. Itu sebabnya, kategori non-sastera yang saya ajukan di atas penting untuk dipertimbangkan sebagai salah satu transformasi mutakhir dari tradisi kesusasteraan kita.2
Dari keterangan di atas, penulis memahami adanya perbedaan para pakar
mengenai posisi Jurnalisme Sastra di Indonesia. Di satu sisi Jurnalisme Sastra
merupakan perkembangan mutakhir dari praktik jurnalisme di Indonesia. Sedangkan
di sisi lain, ia juga dianggap sebagai transformasi mutakhir dari praktik kesusastraan
di Indonesia. Di titik inilah, penulis merangkum asumsi para pakar tersebut bahwa
Jurnalisme Sastra adalah titik temu atau persinggungan antara praktik jurnalisme
dengan praktik kesusastraan yang terjadi pada alam demokrasi di Indonesia abad 21
ini. Adapun persinggungan ini tampak nyata terjadi di MBM Tempo.
Sebagai penutup, penulis menjawab rumusan masalah penelitian sebagai
berikut: praktik Jurnalisme Sastra MBM Tempo –sebagai praktik estetik dan politik
bahasa media– pada pemberitaan kasus dugaan korupsi yang melibatkan pejabat
negara Kabinet Indonesia Bersatu merupakan persinggungan antara praktik
2 Ibid. Huruf kursif dan ejaan dikutip sesuai aslinya.
http://prys3107.blogspot.com [email protected]
257
jurnalisme dengan praktik kesusastraan yang dilakukan demi pencapaian efek
perlokutif dan joissance kepada pembaca serta pencapaian efek abrasive kepada
pejabat negara yang diberitakan, sebagai pendekatan kultural dalam mewujudkan
demokrasi sejati di Indonesia.
Tepat pula kiranya bila MBM Tempo sampai saat ini masih mengusung motto
‘Enak dibaca dan perlu’, sebab demikianlah MBM Tempo berpraktik hari ini di
tengah-tengah pembacanya: praktik estetik yang menyajikan kemelimpahan makna
bagi pembaca, sekaligus merupakan praktik politik bahasa yang diperlukan
masyarakat bersama pers dalam upaya pemberantasan korupsi di Indonesia.
B. Saran
Mengenai praktik politik bahasa media lewat pencapaian efek abrasive
terhadap pejabat negara yang diberitakan terlibat kasus korupsi, penulis menyarankan
agar MBM Tempo dapat mengurangi upaya status degradation dan character
assasination yang mengarah pada prejudicial publicity. Sebab jika hal tersebut
menempati porsi yang lebih besar dalam pemberitaan, MBM Tempo dapat terjebak
pada trial by the press yang justru akan mencoreng nama MBM Tempo sendiri, serta
menimbulkan citra buruk pers dalam partisipasinya memberantas korupsi di
Indonesia.
http://prys3107.blogspot.com [email protected]
258
DAFTAR PUSTAKA Buku: Ajidarma, Seno Gumira, Ketika Jurnalisme Dibungkam, Sastra Harus Bicara, Edisi
Kedua, Penerbit Bentang, Yogyakarta, 2005 Alami, Happy, Sebelas Penyair Terkenal Indonesia, PT Remaja Rosdakarya, Jakarta,
2001 Althusser, Louis, Filsafat Sebagai Senjata Revolusi, Penerbit Resist Book,
Yogyakarta, 2007 Anwar, Rosihan, Menulis Dalam Air, Penerbit Sinar Harapan, Jakarta, 1983 Arikunto, Suharsimi, Prosedur Penelitian; Suatu Pendekatan Praktek, PT Rineka
Cipta, Cetakan Kesembilan, Jakarta, 1993 Assegaf, Djafar H., Jurnalistik Masa Kini: Pengantar ke Praktek Kewartawanan,
Ghalia Indonesia, Jakarta, 1983 Bachir, Soetrisno, Membangun Kemandirian Bangsa, Penerbit Belantika, Jakarta,
2005 Djuroto, Totok, Manajemen Penerbitan Pers, Pt Remaja Rosdakarya, Bandung, 2000 Djuyoto, Djujuk, Jurnalistik Praktis Sarana Penggerak Lapangan Kerja Raksasa,
Nurcahaya, Yogyakarta, 1985 Effendy, Onong Uchjana, Ilmu, Teori, & Filsafat Komunikasi, Penerbit CV Bandar
Maju, Bandung, 1993 Eriyanto, Analisis Framing; Konstruksi, Ideologi, dan Politik Media, LKiS,
Yagyakarta, 2005 --------, Analisis Wacana: Pengantar Analisis Teks Media, Cetakan ke-4, LKiS,
Yogyakarta, 2005 Hamad, Ibnu, Konstruksi Realitas Politik Dalam Media Massa; Sebuah Studi Critical
Discourse Analysis terhadap Berita-berita Politik, Penerbit Granit, Jakarta, 2004
http://prys3107.blogspot.com [email protected]
259
Harsono¸ Andreas & Budi Setiyono, Jurnalisme Sastrawi; Antologi Liputan Mendalam dan Memikat, Yayasan Pantau, Jakarta, Oktober, 2005
Hidayat, Rachmad, Ilmu yang Seksis; Feminisme dan Perlawanan terhadap Teori
Sosial Maskulin., Penerbit Jendela, Yogyakarta, 2004 Jay, Martin, Sejarah Mazhab Frankfurt: Imajinasi Dialektis dalam Perkembangan
Teori Kritis, Kreasi Wacana, 2005 Kartika, Sandra dan M. Mahendra (Ed), Dari Keseragaman Menuju Keberagaman;
Wacana Multikultural Dalam Media, Penerbit Lembaga Studi Pers dan Pembangunan (LSPP), Jakarta, 1999
Kurnia, Septiawan Santana, Jurnalisme Sastra, PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta,
2002 Liftschitz, Mikhail dan Leonardo Salamini, Praksis Seni: Marx & Gramsci, Penerbit
Alinea, Yogyakarta, tanpa tahun Macdonell, Diane, Teori-Teori Diskursus; Kematian Strukturalisme & Kelahiran
Posstrukturalisme Dari Althusser hingga Foucault, Terjemahan Eko Wijayanto, Penerbit Teraju, Jakarta, 2005
Moleong, Lexy J., Metode Penelitian Kualitatif, PT Remaja Rosdakarya, Bandung,
2000 Narwaya, St. Tri Guntur, Matinya Ilmu Komunikasi, Resist Book, Yogyakarta, Mei,
2006 Nurudin, Komunikasi Massa, Cesper, Yogyakarta, 2003 Piliang, Yasraf Amir, Dunia yang Dilipat; Tamasya Melampaui Batas-Batas
Kebudayaan, Jalasutra, Yogyakarta, 2004 --------, Sebuah Dunia Yang Menakutkan; Mesin-Mesin Kekerasan Dalam Jagat
Raya Chaos, Penerbit Mizan, Bandung, 2001 Pramudya, Willy dan A.A. Sudirman (Ed.), Laporan Hukum dan HAM LBH Jakarta
2005, Penerbit Lembaga Bantuan Hukum, Jakarta, 2005 Pratikto, Riyono, Kreatif Menulis Feature, Alumni Bandung, 1984 Semi, M. Atar, Anatomi Sastra, PT Angkasa Raya, Padang, tanpa tahun
http://prys3107.blogspot.com [email protected]
260
Setiati, Eni, Ragam Jurnalistik Baru Dalam Pemberitaan, Penerbit Andi,
Yogyakarta, 2005 Sobur, Alex, Analisis Teks Media; Suatu Pengantar untuk Analisis Wacana, Analisis
Semiotik, dan Analisis Framing, PT Remaja Rosdakarya, Bandung, 2001 Sudibyo, Agus, Ibnu Hamad dan Muhamad Qadari, Kabar-Kabar Kebencian:
Prasangka Agama di Media Massa, ISAI, Jakarta, 2001 Suyanto, Bagong dan Sutinah (Ed.), Metode Penelitian Sosial: Berbagai Alternatif
Pendekatan, Penerbit Kencana, Jakarta, 2005 Tim LSPP, Media Sadar Publik, Penerbit LSPP, Jakarta, 2005 Yudhoyono, Susilo Bambang dan M. Yusuf Kalla, Membangun Indonesia yang
Aman, Adil, dan Sejahtera; Visi, Misi, dan Program, tanpa penerbit, Jakarta, 2004
Zain, Umar Nur, Penulisan Feature, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, 1993
http://prys3107.blogspot.com [email protected]
261
Sumber Lain: Anggoro, Donny, ”Catatan Sastra 2003: Tahun Emas Cerpen dan Pendobrakan Sastra
Koran”, dalam Donny Anggoro, Sastra yang Malas, Tiga Serangkai, Solo, 2004
Apriliyanto, Teguh, Independensi Media Dibalik Kasus Tempo vs PT Asian Agri,
artikel dalam Jurnal Media Watch, The Habibie Center, Jakarta, Edisi No.62/ Desember 2007
Budianta, Melani, “Teori Sastra Sesudah Strukturalisme dari Studi Teks ke Studi
Wacana Budaya”, dalam Bahan Pelatihan Teori dan Kritik Sastra, Pusat Penelitian Kemasyarakatan dan Budaya, Lembaga Penelitian Universitas Indonesia, tanpa tahun
Damono, Sapardi Djoko, “Pengarang, Karya Sastra, dan Pembaca”, dalam Bahan
Pelatihan Teori dan Kritik Sastra, Pusat Penelitian Kemasyarakatan dan Budaya, Lembaga Penelitian Universitas Indonesia, tanpa tahun
Danujaya, Budiarto, ”Realitas ‘Koran’ pada Sastra Koran”, dalam Kenedi Nurhan
(Ed.), Dua Tengkorak Kepala Cerpen Pilihan Kompas 2000, Penerbit Harian Kompas, Jakarta, 2000
Effendy, Onong Uchjana, Kamus Komunikasi, PT Remaja Rosdakarya, Bandung,
2001 Eriyanto, “Politik Pemberitaan”, dalam Majalah Pantau Edisi 09.Tahun 2000 Heryanto, Ariel, ”Masihkah Politik Jadi Panglima? Politik Kesusastraan Indonesia
Mutakhir”, dalam Majalah Prisma, Edisi Sastera dan Masyarakat Orde Baru, No.8 Tahun XVII, 1988
Hidayat, Dedy N., “Politik Media, Politik Bahasa Dalam Proses Legitimasi dan
Delegitimasi Rejim Orde Baru”, dalam Sandra Kartika dan M. Mahendra (Ed), Dari Keseragaman Menuju Keberagaman; Wacana Multikultural Dalam Media, Penerbit Lembaga Studi Pers dan Pembangunan (LSPP), Jakarta, 1999
Husein, Fathul A., “Estetika, Filsafat Seni, dan Keindahan yang Terkubur”, dalam
Suratkabar Harian Pikiran Rakyat, Sabtu, 26 Maret 2005 Husodo, Adnan Topan, “Buruk Muka Tetap Dibela”, dalam Koran Tempo, Edisi 11
Oktober 2006
http://prys3107.blogspot.com [email protected]
262
Huda, Mh. Nurul, “Ideologi Sebagai Praktek Kebudayaan”, dalam Jurnal Filsafat
Driyarkara, Edisi Th.XXVII No.3/2004 Junaedhie, Kurniawan, Ensiklopedi Pers Indonesia, Gramedia Pustaka Utama,
Jakarta, 1991 Kalim, Nurdin dan Sunudyantoro, “Memburu Sang Ilham di Wonokromo”, dalam
Selingan Iqra, Majalah Berita Mingguan Tempo, Edisi 14 Mei 2006 Nuryana, “Demokrasi Yang Menyakiti Rakyat”, dalam Harian Rakyat Merdeka,
Edisi 29 Januari 2008 Piliang, Indra J., “Korupsi dan Demokrasi”, dalam HCB Dharmawan (Ed.), Jihad
Melawan Korupsi, Penerbit Buku Kompas, Jakarta, 2005 Sahal, Ahmad, "Cultural Studies dan Tersingkirnya Estetika”, dalam Harian Kompas
Jumat, 2 Juni 2000 --------, Kemudian, Di Manakah Emansipasi? Tentang Teori Kritis, Genealogi, dan
Dekonstruksi, artikel dalam Jurnal Kalam, Edisi 1/1994 Siahaan, Henry dan Ainul Ridha, “Desentralisasi Pemberantasan Korupsi”, dalam
Koran Tempo, Edisi 17 oktober 2006 Sudibyo, Agus, ”Pemberantasan Korupsi dan Rezim Kerahasiaan”, dalam HCB
Dharmawan (Ed.), Jihad Melawan Korupsi, Penerbit Buku Kompas, Jakarta, 2005
Tim Editorial, Undang-Undang Tentang Korupsi, Penerbit PROGRESIF BOOKS,
Jakarta, 2006 Tim Penyusun Kamus Besar Bahasa Indonesia, Kamus Besar Bahasa Indonesia,
Pusat Penelitian dan Pengembangan Bahasa, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Balai Pustaka, Jakarta, 1988
Demokrasi dan Kesejahteraan, Dialog Jumat Tabloid Republika, Edisi 25 Januari
2008 DPP PBB Menilai Terjadi Pembunuhan Karakter Yusril, Harian Kompas, Edisi 5
Mei 2007 DPR Lembaga Paling Korup, Harian Seputar Indonesia, Edisi 10 Desember 2006
http://prys3107.blogspot.com [email protected]
263
Korupsi Politisi Akibat Politik Biaya Tinggi, Harian Kompas, Edisi 25 Oktober 2007 Jurnalisme Sastra, Koran Duta Edisi 1 September 2001, www.koranduta.com,
diakses pada 19 Juni 2007 Skripsi: Fachrizal, Surya, Wacana Sekularisme, Pluralisme, dan Liberalisme (SPL) Pada
Pemberitaan LKBN Antara dan Koran Tempo Mengenai Hukum Cambuk di Aceh dan Fatwa MUI Tentang SPL dan Ahmadiyah (Skripsi), Institut Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Jakarta, 2006
Pangeswari, Eka Shinta, Gaya Penulisan Laporan Utama Majalah Tempo Pra dan
Pascabredel (Skripsi), Institut Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Jakarta, 2003 Wahyuni, Ani, Konstruksi Realitas Pemberitaan tentang Pemberian Suaka Politik
WNI asal Papua di Majalah Tempo (Skripsi), Institut Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Jakarta, 2006
http://prys3107.blogspot.com [email protected]
265
http://prys3107.blogspot.com [email protected]
266
http://prys3107.blogspot.com [email protected]
268
Alur Berita MBM Tempo
Rapat Kompartemen (Redaktur Pelaksana)
Rapat Perencanaan
(PemRed / RE)
Penu-gasan (Jabrik
/SR)
Rencana Foto
News Desk Distri-busi
Reporter /SR/TNR
Peliputan : - Reportase, - Wawancara
- Riset
Disetujui oleh
Red. Pel.
Penulisan Laporan
(Reporter)
Penulisan Berita
(Penulis/SR)
Editing (RedPel/ Red.Sen)
Desain Visual
RE/Red Kreatif
(Artistik)
Ke TEMPRINT (menggunakan CD)
Redaktur Foto
Periset Foto
Fotografer (TNR)
Pem. Red.
Rapat Checking (PemRed/RE)
Redaktur Bahasa
Alur Berita Di Majalah Tempo
http://prys3107.blogspot.com [email protected]
269
Lampiran B Hasil Wawancara
Nama : Sapto Nugroho
Jabatan : Redaktur Bahasa MBM Tempo
Tanggal : 5 Februari 2008
Apa latar belakang MBM Tempo menggunakan redaktur bahasa?
Penggunaan bahasa Indonesia itu penting, Kemudian akurasi, meliputi data atau
penulisan nama. Kemampuan wartawan kan lain-lain. Dan karena kepedulian GM
(Goenawan Mohamad—pen.) terutama waktu itu. Bahwa bahasa Indonesia kayaknya
kurang dipedulikan. Waktu itu Slamet Djabarudi sebagai redaktur bahasa pertama di
Indonesia. Saya ini termasuk bimbingannya dia, saya sempat berkerja sama dia
sampai Tempo dibredel tahun 93 sebelum dia meninggal.
Bagaimana job desk yang dipegang oleh redaktur bahasa di MBM Tempo?
Membetulkan bahasa, meliputi ejaan, kalimat, tata bahasa, penulisan nama, lembaga
dalam dan luar negeri, data jarak atau jumlah.
Dari hasil analisis teks penelitian ini, saya banyak menemukan penggunaan
bahasa mengandung unsur keindahan (estetis) dan metafora.
Kalau itu, bisa dari saya, bisa dari penulisnya juga. Kalau penulis yang kreatif kan
pemilihan kata atau diksinya itu juga bagus. Saya sebatas membetulkan yang parah
saja. Saya nggak mengubah kata-kata kalau nggak parah-parah banget. Dan memang
karena Tempo terbitnya mingguan, kalau kita menulis reportase, pembaca nggak
mendapatkan sesuatu yang baru. Lain kalau kita baca koran, yang penting beritanya
http://prys3107.blogspot.com [email protected]
270
saja. Kalau majalah kan nggak begitu, ada analisa, ada cerita-cerita di balik suatu
berita. Jadi porsi hard news itu dikurangi. Jadi ya memang seperti kita menulis novel.
Sejak reporter memang sudah diarahkan supaya membaca novel, menonton film,
teater.
Jadi kekuatannya ada pada reporter?
Reporter itu hanya mencari bahan berita. Yang berperan tetap redaktur pelaksana.
Jahitan tulisan repoter itu kemudian dikombinasikan dengan redaktur pelaksana
sebagai posisi penulis yang paling tinggi.
Mengenai karakter penulisan Tempo yang berbeda dengan penulisan
jurnalisme biasa di media lain?
Itu karena dari awalnya dididik untuk begitu. Dari awalnya reporter magang, diajari
membuat laporan yang bagus. Jadi memang dari awal sudah bertahun-tahun dididik
begitu, hingga menjadi redaktur pelaksana. Jenjang karir di Tempo bisa dibilang sulit,
penyaringannya lebih ketat.
Ada program khususnya untuk itu, misalnya pelatihan penulisan?
Program khusus ya di dalam (internal). Sekalian dinilai sekalian praktik. Kemudian
ada semacam kelas tiap hari selasa yang mendiskusikan majalah yang baru terbit.
Misalnya tulisan ini gimana, kurang tajam, atau ada cerita yang kurang, ini harusnya
diwawancarai, ini kurang berimbang. Yang ikut itu reporter dan reporter senior.
http://prys3107.blogspot.com [email protected]
271
Bagaimana pola dan rutinitas kerja redaksi MBM Tempo dalam meliput hingga
menyajikan sebuah berita yang layak muat?
Mulai dari rapat awal atau perencanaan tiap Senin, diikuti oleh semua termasuk
reporter. Kemudian melihat perkembangan berita itu di rapat checking hari Rabu.
Rapat terakhir hari Jumat, sekaligus membahas sedikit-sedikit untuk minggu depan.
Naskah reporter yang masuk, ditambah riset dari internet atau media lain, kemudian
dirangkai-rangkai, terus ditulis, dan dimasukkan paling akhir di redaktur pelaksana.
Bagaimana latar belakang pendidikan wartawan yang bekerja di redaksi MBM
Tempo saat ini?
Rata-rata S-1.
Bagaimana suasana hubungan profesional yang ada di antara sesama karyawan
MBM Tempo?
Kalau disini mah atasan dengan bawahan bisa bebas saling mendebat. Apalagi dalam
penentuan berita, yang menentukan itu rapat, bukan orang per orang. Orang
mengusulkan, kemudian rapat menyetujui atau tidak. Kalau rapat tidak menyetujui,
meski yang mengusulkan itu bos paling tinggi, mentah.
Bagaimana posisi pembaca MBM Tempo diperhitungkan redaksi ketika
menyajikan sebuah berita?
Itu sudah termasuk dalam pilihan berita. Misalnya kita milih Mayangsari dikupas
habis, itu bukan segmen pembaca Tempo. Sudah dari perencanaan dan penulisan, kita
sudah memikirkan segmen pembaca.
http://prys3107.blogspot.com [email protected]
272
Bedanya Tempo yang dulu dengan yang sekarang?
Mungkin karena mengikuti keadaan. Kalau dulu, Tempo berani karena media yang
lain tidak. Kemudian SIUPP susah. Majalah, koran dan televisi juga tidak sebanyak
sekarang. Lebih gampang dulu karena saingan sudah tidak seperti sekarang. Saingan
Tempo secara tidak langsung televisi dan koran.
Apa itu juga yang menjadi alasan mengapa Tempo menggunakan penulisan
yang berbeda?
Ya itu salah satunya karena tuntutan keadaan. Anda nonton berita di televisi kan
nggak bayar. Dari sisi ekonomi susah. Kita mau bikin berita seperti dulu, sekarang
Rakyat Merdeka juga berani. Kalau mau berani-beranian, kita sudah kalah.
Mengenai prestasi Tempo dalam upaya pemberantasan korupsi di Indonesia?
Institusi pers kan seharusnya memang begitu, Mas. Institusi pers sebagai kontrol
sosial, mendidik, upaya mengungkapkan kebenaran. Tempo berusaha mengikuti pers
yang ideal itu. Karena nggak semuanya begitu kan, ada yang untuk keperluan pribadi,
atau perusahaan, ada yang mengikuti kehendak pemilik modal. Tempo berusaha
untuk tidak begitu. Seperti yang saya bilang tadi, usul seorang Pemred, atau GM
sekalipun yang dianggap di sini sebagai sesepuh, kalau tidak lolos di rapat tidak
dipakai.
Redaktur Bahasa MBM Tempo Sapto Nugroho
http://prys3107.blogspot.com [email protected]
273
Lampiran C Hasil Wawancara
Nama : Wenseslaus Manggut
Jabatan : Redaktur Desk Nasional MBM Tempo
Tanggal : 8 Februari 2008
Bagaimana pola dan rutinitas kerja redaksi MBM Tempo dalam meliput hingga
menyajikan sebuah berita yang layak muat?
Tiap hari Senin jam 10 pagi itu rapat masing-masing kompartemen (bagian). Ada
sekitar enam sampai tujuh kompartemen yang rapat selama satu jam. Di situ mereka
akan menjaring usulan berita minggu depan itu kira-kira apa. Usulan juga bisa dari
reporter, magang nulis, staff redaksi, penanggungjawab rubrik, dan redaktur
pelaksana. Setelah mereka putuskan usulan dari lima hingga delapan item. Lalu jam
11 siang diadakan rapat gabungan kompartemen di ruang rapat lantai satu. Hasil rapat
kompartemen dipresentasikan satu-satu. Ada yang diterima, ada yang ditolak, ada
yang mesti diperdalam. Rapat berlangsung hingga jam dua atau jam tiga. Senin sore
setelah selesai rapat gabungan, lalu dibuat lembar penugasan (term of reference) yang
berisi inti masalah tulisan, siapa sumber yang harus kita hubungi, daftar pertanyaan,
hingga nomor kontaknya. Jadi lembar penugasan itu berisi kurang lebih 50 persen
dari tulisan. Yang membuat lembar penugasan adalah staff redaksi. Ditujukan untuk
reporter, calon reporter, dan staff redaksi sendiri. Kalau disini, tidak ada berita yang
keluar tanpa rapat. Hari selasa reporter ke lapangan, ada juga yang ikut kelas kuliah
jam 11 bagi magang nulis dan repoter, melakukan evaluasi kelemahan, kekurangan
http://prys3107.blogspot.com [email protected]
274
dan kekuatan tulisan minggu lalu. Jam 2 diadakan kelas kuliah untuk level
penanggungjawab rubrik dan redaktur pelaksana. Yang dibahas itu tulisan-tulisan
panjang. Hari rabu jam 10 rapat checking bagi kompartemen tentang liputan yang
sudah dijalankan. Jam 11 rapat checking bagi gabungan kompartemen. Di situ
diperiksa apakah perencanaan hari Senin itu masih pas, atau ada tambahan, ada yang
dikurangi atau digugurkan. Setelah itu diadakan rapat Partirtur dengan staff desain
dan foto. Hari Kamis kerja seperti biasa, dan sudah mulai nulis. Jumat deadline dan
checking terakhir. Jumat malam selesai. Sabtu masuk cetak. Senin diulang lagi.
Setelah mendapat lembar penugasan, apa yang harus repoter lakukan?
Reporter itu kan ikut rapat hari Senin yang jam 10 di kompartemennya masing-
masing. Setelah rapat itu dia langsung dapat lembar penugasan. Kalau ada yang tidak
jelas, bisa dia diskusikan dengan redakturnya. Kemudian biasanya dia boleh minta
bahan riset di perpustakaan. Berbekal itulah repoter ke lapangan. Lalu mendapat
bahan sesuai pesanan, reporter lalu menulis laporan yang dimasukkan di keranjang
laporan. Setelah terkumpul, staff redaksi mulai menulis. Kemudain dikirim ke
redaktur untuk di-edit, lalu dikirim ke redaktur bahasa, kemudian ke bagian lay-out,
lalu dibaca Pemred untuk finishing.
Apa peran Redaktur Senior?
Redaktur senior itu melatih orang menjadi redaktur (editor).
http://prys3107.blogspot.com [email protected]
275
Pertimbangan bagaimana yang digunakan redaktur dalam menyunting dan
menyeleksi bahan berita yang masuk?
Pertimbangan pertama adalah fakta, apakah itu betul terjadi atau tidak. Harus ada
bukti penguat, misalnya dokumen.
Bagaimana latar belakang pendidikan karyawan yang bekerja di redaksi MBM
Tempo saat ini?
Minimal S-1. Tapi umumnya macam-macam. Setengahnya sudah S-2, kebanyakan
dari London dan Amerika. Kita selalu ada program khusus misalnya kursus bahasa
Inggris satu tahun yang dibiayai oleh Tempo mulai dari reporter hingga staff redaksi.
Ada juga yang ingin kuliah, Tempo memberi rekomendasi. Buat yang kuliah di luar
negeri (statusnya non-aktif), Tempo kasih gaji 60 hingga 70 persen.
Bagaimana jenjang karier bagi karyawan yang bekerja di redaksi MBM
Tempo?
Pertama mereka masuk itu calon reporter. Masanya 9 bulan sesuai aturan Depnaker,
baru diputuskan dia diangkat menjadi karyawan atau tidak. Dalam 9 bulan itu dibagi
menjadi tiga semester masing-masing 3 bulan: Januari sampai Maret, Maret sampai
Juni, Juni sampai September. Di semester pertama, hasil tulisan mereka dinilai dari
tingkat akurasi, kualitas, deskripsi, komposisi, dan deadline. Nilai itu dilihat terus
oleh semua orang setiap hari. A itu standard-nya 7,6. Setelah satu semester baru
dievaluasi apa dia lulus. Dan di Tempo itu yang lulus hanya yang nilainya A. Dan B
tidak dianggap lulus. Jadi paling tidak, dalam tiga semester itu dia harus dapat dua A.
Setelah dia lulus, baru masuk reporter. Ada juga yang diangkat reporter setelah 6
http://prys3107.blogspot.com [email protected]
276
bulan pertama, lulus excellence, A plus, langsung diangkat. Kemudian level reporter
itu sudah lebih berat, harus dapat tiga A dalam satu tahun. Masa reporter dua tahun.
Lalu ke penulis atau staff redaksi selama sekitar dua sampai tiga tahun. Lalu magang
penanggungjawab rubrik (jabrik) selama dua hingga tiga tahun. Lalu menempati
posisi jabrik selama tiga hingga empat tahun. Kemudian magang redaktur (editor)
selama dua hingga tiga tahun. Baru ke redaktur pelaksana. Sampai di situ.
Bagaimana kualifikasi profesi jurnalistik karyawan yang bekerja di redaksi
MBM Tempo?
Menulis dan wawasan sama pentingnya. Pada saat kita menulis itu dinilai mutu
tulisannya.
Bagaimana suasana hubungan profesional yang ada di antara sesama karyawan
MBM Tempo?
Di sini suasananya paling cair. Karena setiap orang punya suara. Mulai dari repoter
baru, pemred atau redaktur pelaksana, semua sama. Dalam rapat siapa saja bisa
ngomong. Semua punya hak. Gaji kita juga tidak tergantung dari atasan. Gaji kita
sangat bergantung pada nilai-nilai yang diperoleh. Jadi hubungan dengan atasan itu
tidak berpengaruh apa-apa. Yang nilai juga bukan dia.
Bagaimana posisi pembaca MBM Tempo diperhitungkan redaksi ketika
menyajikan sebuah berita?
Kami berasumsi bahwa pembaca Tempo itu kelas menengah ke atas. Tema harus
dipilih sesuai dengan kepentingan pembaca kita. Tapi pertimbangan yang paling
utama di Tempo adalah adanya unsur kepentingan publik.
http://prys3107.blogspot.com [email protected]
277
Saya melihat Tempo intens dalam memberitakan kasus korupsi. Apa motivasi
Tempo dalam hal ini?
Pertama diukur dengan adanya kepentingan publik yang dirugikan. Yang kedua
jumlah uang yang dikorupsi. Yang ketiga tokohnya. Semua itu dilihat dari besaran
(magnitude) kasusnya. Misalnya korupsi 100 juta, yang melakukannya menteri, maka
kita tulis karena tokohnya kuat. Mengapa Tempo mengangkat kasus korupsi, karena
selain kepentingan publik, korupsi itu berbahaya. Kemudian motivasi lain
menciptakan pemerintahan yang bersih. Karena efektivitas hukuman publik itu lebih
tinggi. Ketika seorang koruptor diam-diam diperiksa KPK, nggak ada yang tulis dan
publikasikan, mungkin dia akan santai-santai saja. Tapi ketika dia dipublikasikan,
seluruh dosa dan kejahatannya kita publikasikan, hukuman sosialnya lebih tinggi.
Batasan pemberitaannya sampai di mana? Apakah setelah ditetapkan tersangka
atau terdakwa baru diberitakan? Atau masih bersifat dugaan sudah
diberitakan?
Dugaan, asal buktinya kuat. Polisi belum bergerak pun kita sudah bisa beritakan. Asal
memenuhi kriteria-kriteria tadi. Faktanya ada dan kuat. Dokumennya ada. Dan
banyak sekali kasus yang setelah ditulis baru diperiksa kepolisian.
Dalam kasus dugaan korupsi surat suara yang melibatkan Hamid Awaludin,
saya menyimak Tempo memberitakannya mulai dari Juni 2005 hingga Mei
2007. Apa ada agenda tertentu dari Tempo?
Kasus ini pertama kali kita tulis berawal dari masuk penjaranya anggota KPU.
Tentang harga kertas suara pemilihan legislatif, memang semula kertas suara itu di-
http://prys3107.blogspot.com [email protected]
278
handle oleh Dan Dimara seharga Rp.129,- per lembar. Di situ keputusan hakim ada
mark-up. Tapi menurut Daan, itu di-handle oleh Hamid seharga Rp.99,- artinya turun
dong, Hamid membantu hemat negara. Tapi angka 99 itu belum termasuk biaya
transportasi dan pengepakan. Jadi kalau dihitung-hitung, di atas 99. Angka 99 pun
tetap di atas harga pasar. Artinya memang ada jumlah yang hilang di situ.
Keterlibatan Hamid juga diperkuat keterangan rapat yang diakui oleh 6 orang. Rapat
itu dipimpin oleh Hamid. Tapi Hamid sendiri yang membantah rapat itu ada. Bahwa
kemudian ditulis berkali-kali, mengikuti proses kasusnya. Jadi bukan karena ingin
menghantam Hamid. Kita itu mengikuti kalau ada peg-nya. Kalau nanti Hamid
diperiksa lagi, kami tulis lagi. Tergantung ada peg dan peristiwa terbarunya. Dan
tolong dicatat agenda setting itu tidak ada. Semua berjalan berdasarkan kriteria tadi,
fakta, magnitude, kepentingan publik, tokoh, kuat buktinya. Kita tempatkan itu dalam
sekian halaman, karena kepentingan publiknya besar sekali dalam kasus ini.
Banyak pakar yang menyebutkan Tempo memiliki gaya Jurnalisme Sastra
dalam liputannya. Apa alasan Tempo tetap menggunakannya sampai sekarang?
Sebetulnya kita sendiri bingung kalau ini disebut Jurnalisme Sastra. Karena apa yang
disebut Jurnalisme Sastra itu pun nggak jelas betul. Yang pasti Tempo menggunakan
teknik jurnalisme bertutur atau berkisah. Sehingga orang terpikat untuk membacanya.
Seperti kawan lama datang bertamu. Kira-kira daya pikatnya seperti itu. Cara ini
masih kita anggap sebagai cara yang ampuh untuk memudahkan atau menarik minat
orang untuk terlibat orang dalam ceritanya.
http://prys3107.blogspot.com [email protected]
279
Pada sampel dua dalam penelitian saya (Terusik Nyanyian Meneer Daan), saya
menemukan gaya penulisan yang belum pernah ada. Apa ini pendobrakan atau
eksperimen?
Sebenarnya ini eksperimen, kebetulan saya yang nulis. Karena kita merasa bahwa
dialog ini akan lebih kena, mudah dipahami, dan orang masuk dalam suasananya.
Dialog ini saya cek tiga kali. Saya cek ke Daan, saya cek juga ke Hamid, apa betul
kalimat anda pertama seperti ini, ya betul. Bahwa cara penyajiannya begini, ini
memang lebih memikat. Jadi orang bisa membayangkan susasananya seperti apa.
Orang juga bisa membayangkan bahwa apa yang ada dalam pikiran mereka berdua.
Ini jauh lebih kuat efeknya, daripada ditulis biasa. Pertimbangannya itu. Bahwa
apakah ini praktik yang baru, saya belum tahu. Tapi saya pernah pake waktu saya
nulis soal Aceh. Di ending tulisan saya pake dialognya Jusuf Kalla dengan Gubernur
Sumatera Utara.
Apa hal-hal semacam ini yang diajarkan di kelas kuliah?
Iya, di kelas kuliah itu. Misalnya judul yang baik itu seperti apa, nggak lebih dari
empat-lima kata. Lead kira-kira apa. Ending yang baik juga seperti apa.
Saya melihat lead di setiap liputan Tempo selalu menangkap adegan, bukan
informasi penting. Apa alasannya?
Pertama, informasinya sudah lewat. Kalau adegan selalu jauh lebih memikat.
http://prys3107.blogspot.com [email protected]
280
Saya juga melihat banyak penutup (ending) liputan Tempo yang seakan-akan
meninggalkan pertanyaan. Apakah ini teknik juga?
Penutup ini artinya kita gagal menemukan bukti yang kuat. Kalau kita betul-betul
menemukan bukti dan indikasi yang kuat, kita akan menuliskan segera diperiksa.
Tapi karena ini hanya menyangkut baik Daan maupun Hamid hanya sampai pada
level mereka menguntungkan mitra KPU, apa mereka dapat duit dari situ kita kan
nggak temukan. Karenanya di ending itu siapa yang bersalah masih terus diusut.
Berarti ini batas ketika Tempo tidak menemukan bukti lebih lanjut?
Iya, seperti itu. Meskipun di kuliah hari Selasa itu banyak yang kritik, karena tidak
tuntas. Tugas kita kan menjawab pertanyaan, bukan malah bertanya.
Apa di sini ada wartawan yang juga sastrawan?
Ada. Seno Joko Suyono, Yosep, Idrus, dan Akmal Nasral Basery. Kebanyakan itu
anak-anak di koran (Koran Tempo).
Redaktur Desk Nasional MBM Tempo
Wenseslaus Manggut
http://prys3107.blogspot.com [email protected]
282
http://prys3107.blogspot.com [email protected]
283
DAFTAR RIWAYAT HIDUP Nama : Priyono Santosa Jenis Kelamin : Pria Tmp/ Tgl Lahir : Jakarta, 31 Juli 1982 Status : Lajang Agama : Islam Kewarganegaraan : Indonesia Alamat : Jl. Haji Atun No 11A, RT 009/08, Durensawit, Jakarta Timur Nomor Telp : 021.949.22778 Alamat Pos-el : [email protected] Alamat Blog : http://prys3107.blogspot.com Orang Tua Ayah : Agus Santosa Ibu : Sri Marheini Pendidikan Formal 1988 – 1994 SDN 12 Pondokbambu, Jakarta Timur 1994 – 1997 SMPN 117 Pondokbambu, Jakarta Timur 1997 – 2000 SMUN 71 Durensawit, Jakarta Timur 2000 – 2008 Program studi Ilmu Jurnalistik di Institut Ilmu Sosial dan Ilmu
Politik (IISIP) Jakarta
Pengalaman Organisasi 2005 – sekarang Divisi Harian Kelompok Seni dan Diskusi (KOMPOSISI) 2006 – 2007 Dewan Redaksi Bulletin ISSUE 2006 – 2007 Ketua Umum UKM Teater Kinasih 2006-2007 2007 Sekretaris Harian Tim Panitia Khusus KM IISIP Jakarta Pengalaman Kerja 2002 – 2003 Kontributor Majalah Outmagz, Jakarta 2003 - 2004 Kuliah Kerja Lapangan di Harian Radar Bogor 2005 – 2006 Dewan Redaksi Jurnal Sastra ‘RuangMelati’ 2007 Sekretaris Redaksi Penerbit Komunitas Kertas 2007 Reporter Tabloid Ekonomi ‘Margin’ 2008 Redaktur Naskah Tabloid KUNCI 2008 – Sekarang Layouter Koran Jualbeli
http://prys3107.blogspot.com [email protected]
284
Prestasi 2005 Pemenang Harapan I ‘Lomba Menulis Cerita’ Gramedia
(cabang Depok) pada 14 Februari 2005 2005 Pemenang Pertama Lomba Penulisan Esai ‘Potret Perempuan
Dalam Era Globalisasi’ FISIP EXPO 2005 – IISIP Jakarta pada Desember 2005
2007 Penulis Proposal Terbaik Kategori Mahasiswa Tingkat Nasional dalam ‘Sayembara Bahasa dan Sastra September 2007’ oleh Pusat Bahasa dan Sastra, Depdiknas
Jakarta, Februari 2008
Penulis
Priyono Santosa