JURNAL EKOTOK

Embed Size (px)

Citation preview

  • 8/17/2019 JURNAL EKOTOK

    1/38

    JURNAL

    PRAKTIKUM EKOTOKSIKOLOGI PERAIRAN

    Oleh :

     Nama : Carissa Paresky Arisagy

     NIM : 12 / 334991 / PN / 12981

    Prodi : Manajemen Sumberdaya Perikanan

    Asisten Laporan : Riyan Dwi Putra

    LABORATORIUM EKOLOGI PERAIRAN

    JURUSAN PERIKANAN

    FAKULTAS PERTANIAN

    UNIVERSITAS GADJAH MADA

    YOGYAKARTA

    2014

  • 8/17/2019 JURNAL EKOTOK

    2/38

    UJI TOKSISITAS INSEKTISIDA TERHADAP IKAN NILA (Oreochromis nil oticus )

    Carissa Paresky Arisagy

    12 / 334991 / PN / 12981

    Manajemen Sumberdaya Perikanan

    Intisari

    Perairan terbuka merupakan lingkungan yang seringkali menjadi tempat pembuangan akhir

     bahan-bahan pencemar yang dapat berasal dari limbah rumah tangga, industri, pertanian

    maupun kegiatan manusia lainnya. Salah satu bahan pencemar yang sering dimanfaatkan

    oleh manusia adalah insektisida (pembasmi serangga). Untuk mengantisipasi dampak

    negatif dari bahan pencemar tersebut perlu diketahui nilai toksisitas insektisida terhadap

    ikan air tawar melalui uji toksisitas. Uji toksisitas digunakan untuk mengevaluasi

    konsentrasi bahan-bahan kimia dan lamanya waktu pemaparan yang dibutuhkan untukmenghasilkan suatu efek. Praktikum ekotoksikologi yang dilaksanakan pada tanggal 29

    September  –   3 Oktober 2014 di Laboratorium Ekologi Perairan bertujuan untuk

    mempelajari salah satu cara mengukur daya racun (toksisitas) suatu bahan pencemar,

    mempelajari penentuan toksisitas suatu bahan kimia atau bahan pencemar terhadap hewan

    air, dan mempelajari pengaruh suatu bahan kimia atau bahan pencemar terhadap kualitas

    air. Praktikum ini dilakukan dengan menggunakan dua perlakuan yaitu aerasi dan non

    aerasi dengan bahan toksik berupa transfluthrin dengan hewan uji berupa ikan nila. Selain

    itu diukur juga parameter fisik, kimia, dan biologi lingkungan berupa suhu, kandungan

    oksigen terlarut, CO2  bebas, alkalinitas, pH, gerak operkulum, escape reflex, dan

    mortalitas. Nilai LC50  –   96 jam  pada perlakuan aerasi tidak dapat ditentukan dan pada

     perlakuan non aerasi sebesar 29,297 ppm. Nilai LC50-72  jam ikan nila (Oreochromis

    niloticus) non aerasi adalah 3,943. Toksisitas transfluthrin pada perlakuan non aerasi lebih

    toksik dibandingkan pada perlakuan aerasi.

    Kata kunci : ikan nila, kualitas air, mortalitas, toksisitas, transfluthrin

    PENDAHULUAN

    Perairan terbuka merupakan lingkungan yang seringkali menjadi tempat

     pembuangan akhir bahan-bahan pencemar yang dapat berasal dari limbah rumah tangga,

    industri, pertanian maupun kegiatan manusia lainnya. Salah satu bahan pencemar yang

    sering dimanfaatkan oleh manusia adalah insektisida (pembasmi serangga). Berdasarkan

    data dari Depkes (1994), disebutkan bahwa penggunaan insektisida di seluruh Indonesia

    saat ini mencapai 55,42 %. Penggunaan insektisida baik di bidang pertanian maupun non

     pertanian sebenarnya merupakan upaya untuk mengontrol hama, namun apabila

     penggunaannya tidak benar maka hanya sebagian kecil dari insektisida yang dipaparkan ke

    lingkungan berpengaruh terhadap organisme sasaran, sementara sisanya hanya akan

    mengkontaminasi lingkungan. Insektisida yang disemprotkan dan mengendap dalam tanah

  • 8/17/2019 JURNAL EKOTOK

    3/38

    dapat terbawa oleh air hujan atau aliran permukaan sampai ke badan air penerima seperti

    sungai, danau, dan lain sebagainya. Adanya residu insektisida dalam air tersebut lambat

    laun akan terakumulasi dan dapat menimbulkan pengaruh merugikan pada organisme

    akuatik, khususnya ikan. Memperhatikan dan menyadari dampak penggunaan insektisida

    tersebut terhadap lingkungan perairan, maka dirasa perlu untuk mengetahui dan memahami

    lebih lanjut tentang uji toksisitas insektisida terhadap ikan air tawar, khususnya ikan nila

    (Oreochromis niloticus) melalui praktikum ekotoksikologi perairan.

    Ikan nila merupakan spesies ikan tropis yang lebih suka hidup di air dangkal

    (Trewavas, 1983). Secara morfologi ikan nila memiliki bentuk tubuh pipih, sisik besar dan

    kasar, kepala relatif kecil, garis linea lateralis terputus dan terbagi dua, yaitu bagian atas

    dan bawah memiliki lima buah sirip. Arie (1999) menyatakan bahwa habitat yang ideal

    untuk ikan Nila (Oreochromis niloticus), adalah perairan tawar yang memiliki suhu antara

    14oC  –   38

    oC, atau suhu optimal 25

    oC  –   30

    oC. Ikan ini mampu hidup dengan kisaran

    salinitas (kadar garam) 0 - 15‰. Nila dapat tumbuh dan berkembang dengan baik pada

    lingkungan perairan dengan kadar Dissolved Oxygen (DO) antara 2,0 - 2,5 mg/l. Secara

    umum nilai pH air pada budidaya ikan nila antara 5 sampai 10 tetapi nilai pH optimum

    adalah berkisar 6  –   9 (Popma, 1999). Ikan nila merupakan ikan omnivora yang sangat

    menyenangi pakan alami berupa rotifera,  Daphnia sp., benthos, perifiton dan fitoplankton,

    disamping itu, bisa juga diberi pakan seperti pellet, dan dedak. Ikan ini dapat melakukan

     pemijahan sepanjang tahun dan mulai memijah pada umur 6-8 bulan. Seekor induk betina

    ukuran 200-400 gram dapat menghasilkan larva 500-1000 ekor (Rochdianto, 2009).

    Berdasar hasil survei, hampir semua insektisida rumah tangga menggunakan bahan

    aktif dari golongan piretroid sintetik. Insektisida golongan piretroid menjadi pilihan karena

    kerjanya cepat melumpuhkan serangga sasaran selain itu juga bersifat repellent  (Sigit dan

    Hadi, 2006). Sifat sintetik piretroid tidak mudah menguap (volatilitas rendah) dan potensiinsektisidanya tinggi. Kesuksesan lain piretroid adalah efikasinya tinggi dengan dosis yang

    rendah serta daya bunuhnya cepat (Pemba dan Kadangwe, 2012). Piretroid sintetik saat ini

    telah banyak diproduksi. Piretroid generasi pertama adalah d-alletrin. Sedangkan termasuk

     piretroid generasi kedua adalah d-fenotrin, kemudian generasi ketiga adalah sifenotrin dan

     permetrin, dan sisanya (imiprotrin, transflutrin, praletrin, metoflutrin, sipermetrin, siflutrin,

    dan deltametrin) adalah piretroid generasi keempat (Sigit dan Hadi, 2006). Hal yang

    membedakan tiap bahan aktif insektisida adalah toksisitas terhadap organisme target,

    maupun organisme lain. Toksisitas sangat berkaitan dengan dosis, yang biasanya

  • 8/17/2019 JURNAL EKOTOK

    4/38

    dinyatakan dengan lethal dose  (LD50) atau lethal concentration  (LC50), yaitu jumlah

    racun per unit berat badan yang akan menyebabkan kematian sebanyak 50% dari total

     populasi hewan uji (Matsumura, 1975). Semakin kecil dosis yang diperlukan untuk

    membunuh maka semakin toksik insektisida tersebut. Berdasarkan toksisitasnya insektisida

    digolongkan menjadi golongan IA (sangat berbahaya sekali), IB (sangat berbahaya), II

    (berbahaya), III (cukup berbahaya), dan golongan IIIU (tidak berbahaya jika digunakan

    secara normal) (Sigit dan Hadi, 2006).

    Tabel 1. Penggolongan bahan aktif insektisida berdasar toksisitasnya (Becker et al.,2010).

    Bahan Aktif Golongan Insektisida Tingkat Toksisitas

    Sipermetrin Piretroid IIIUImiprotin Piretroid III

    Tranflutrin Piretroid IIIU

    Pralletrin Piretroid III

    Sifenotrin Piretroid II

    D-alletrin Piretroid III

    Permetrin Piretroid II

    Propoksur Karbamat II

    Siflutrin Piretroid II

    D-fenotrin Piretroid IIIU

    Metoflutrin Piretroid IIIU

    DEET Piretroid IIIU

    Deltametrin Piretroid II

    Adapun tujuan dilakukannya praktikum ekotoksikologi perairan mengenai uji

    toksisitas bahan pencemar terhadap ikan air tawar yakni untuk mempelajari salah satu cara

    mengukur daya racun (toksisitas) suatu bahan pencemar. Di samping itu, praktikum inidilakukan untuk mempelajari penentuan toksisitas suatu bahan kimia atau bahan pencemar

    terhadap hewan air. Selanjutnya, praktikum ini juga bertujuan untuk mempelajari pengaruh

    suatu bahan kimia ataubahan pencemar terhadap kualitas air.

  • 8/17/2019 JURNAL EKOTOK

    5/38

    METODOLOGI

    Praktikum ekotoksikologi perairan acara uji toksisitas bahan pencemar terhadap

    ikan air tawar ini dilakukan pada hari Senin hingga Jumat, tanggal 29 September sampai

    dengan 3 Oktober 2014, tepatnya pada pukul 14.00 WIB hingga pukul 16.00 WIB.

    Adapaun tempat pelaksanaan praktikum berada di Laboratorium Ekologi Perairan Jurusan

    Perikanan, Fakultas Pertanian, Universitas Gadjah Mada. Praktikum ini dilaksanakan

    dengan prinsip mengamati hewan uji yang hidup di dalam air yang telah diberi pencemar

    selama 96 jam untuk mendapatkan nilai LC50 dengan analisis regresi linier dan pengukuran

     parameter lingkungan. Adapun parameter lingkungan yang diamati meliputi parameter

    fisik, kimia, dan biologi.

    Alat yang digunakan dalam praktikum antara lain akuarium, aerator, ember, selang

    air, termometer, pipet tetes, erlenmeyer, pH meter, botol oksigen, kertas label, pipet ukur,

    kempot, gelas ukur, hand counter, dan alat tulis. Sementara bahan yang digunakan terdiri

    dari ikan uji, bahan pencemar, serta bahan-bahan yang digunakan dalam pengukuran

    kualitas air seperti MnSO4, H2SO4 pekat, 1/80 N Na2S2O3, 1/44 N NaOH, 1/50 N H2SO4,

    indicator amilum, indikator MO, reagen oksigen, indicator phenolpthelein, dan aqudest.

    Adapun ikan uji yang digunakan dalam praktikum ini adalah ikan nila (Oreochromis

    niloticus). Sementara bahan pencemar yang digunakan adalah insektisida (pembasmi

    nyamuk) yang mengandung senyawa transfluthrin.

     Nilai LC50  diperoleh melalui uji pendahuluan yakni dengan melakukan

     pemeliharaan ikan selama 96 jam dalam 24 buah akuarium, di mana dua belas buah

    diantaranya diberi perlakuan aerasi dan sisanya non aerasi. Pada tiap-tiap akuarium diisi

    dengan 10 ekor ikan dengan ukuran  fingerling . Kemudian pada masing-masing akuarium

    diberi bahan pencemar berupa insektisida yang mengandung senyawa transfluthrin, dengan

    konsentrasi 0 ppm, 0,2 ppm, 0,4 ppm, 0,6 ppm, 0,8 ppm, dan 1 ppm. Lalu data yangdiperoleh diolah melalui analisis regresi linier sederhana. Regresi linier sederhana

    digunakan untuk mendapatkan hubungan matematis dalam bentuk suatu persamaan antara

    variabel tak bebas tunggal dengan variabel bebas tunggal. Regersi linier sederhana hanya

    memiliki satu peubah X yang dihubungkan dengan satu peubah tidak bebas Y. Bentuk

    umum dari persamaan regresi linier untuk populasi adalah Y = a + bx , dimana Y =

    variabel tak bebas, x = variabel bebas, a = parameter intercep, b = kemiringan garis regresi

    (Kurniawan, 2008). Pada uji toksisitas insektisida terhadap ikan nila (Oreochromis

    niloticus) ini, parameter lingkungan yang diamati meliputi parameter fisika yang

  • 8/17/2019 JURNAL EKOTOK

    6/38

    mencakup pengukuran suhu air, parameter kimia yang mencakup pengukuran alkalinitas,

    DO, CO2, dan pH, serta parameter biologi yang mencakup pengamatan gerakan

    operculum, escape reflex dan mortalitas. Pada parameter fisika, pengukuran suhu air

    dilakukan dengan menggunakan termometer. Sementara pada parameter kimia seperti DO

    diukur dengan metode Winkler, CO2  bebas dan alkalinitas diukur dengan metode

    Alkalimetri, dan pH diukur menggunakan pH meter. Kemudian pada parameter biologi

    seperti gerakan operculum, escape reflex dan mortalitas dilakukan pengamatan dan

     penghitungan dengan bantuan hand counter. Pengukuran dan pengamatan parameter fisika

    dan biologi tersebut dilakukan setiap 24 jam sekali sementara parameter kimia diukur

    setiap 48 jam sekali.

    HASIL DAN PEMBAHASAN

    Pada praktikum ekotoksikologi acara uji toksisitas bahan pencemar terhadap ikan

    air tawar ini mengunakan ikan nila (Oreochromis niloticus) sebagai objek pengamatan

    dengan bahan pencemar berupa insektisida (pembasmi nyamuk) yang mengandung

    senyawa toksik transfluthrin. Transflutrin merupakan senyawa yang mempunyai daya

    melumpuhkan yang cepat pada nyamuk, lalat, dan lipas pada konsentrasi yang rendah.

    Transflutrin bersifat mudah menguap sehingga sangat cocok untuk formulasi dengan

    sistem penguapan seperti lingkaran anti nyamuk, mat, dan aerosol. Produk transflutrin

    yaitu baygon, raid (Hadi dan Sigit, 2006).

    Praktikum ekotoksikologi perairan tentang uji toksisitas bahan pencemar terhadap

    ikan air tawar dilakukan dengan mengukur tingkat kematian ikan serta parameter fisik,

    kimia, dan biologi. Parameter fisik meliputi suhu, parameter biologi meliputi gerak

    operkulum dan escape reflex, parameter kimia meliputi dissolved oxygen (DO), CO2 bebas,

     pH, dan alkalinitas. Praktikum ini dibagi menjadi dua perlakuan, yaitu aerasi dan non

    aerasi.

    A.  Aerasi

    Tabel 2. Hasil pengamatan parameter fisik dan biologi (aerasi).

    JamKonsentrasi

    (ppm)

    Parameter Fisik Parameter Biologi

    Suhu (0) GO ER

    0

    0 27,75 132 4.5

    0,2 27,75 111.5 40,4 27,75 139 5

  • 8/17/2019 JURNAL EKOTOK

    7/38

    0,6 27,75 86 5

    0,8 27,75 99.5 4

    1,0 28,25 117 4

    24

    0 27 114.5 2

    0,2 26,25 100 2

    0,4 26,75 105 2

    0,6 26,5 92 2

    0,8 26,5 91 2

    1,0 26,75 83 2

    48

    0 26,25 91 2.5

    0,2 26,5 98.5 2.5

    0,4 26 88.5 3

    0,6 26 88 1.5

    0,8 26,25 104 2

    1,0 26,75 112.5 2

    72

    0 26,5 101.5 2.5

    0,2 26,25 88 3

    0,4 26,5 96.5 3.5

    0,6 26,25 80.5 2.5

    0,8 26,25 79 2.5

    1,0 27 87 1.5

    96

    0 26,25 92 1.5

    0,2 26,5 87 2.50,4 26 102 2.5

    0,6 26 100.5 3

    0,8 26,25 82 2.5

    1,0 26,5 97 1

    Suhu air merupakan kodisi keadaan temperatur yang menunjukkan situasi air pada

    suatu wilayah atau daerah perairan. Suhu air merupakan faktor penting dalam lingkungan

     perairan. Suhu air dapat mempengaruhi besarnya kadar O2  terlarut dalam suatu perairan,

    semakin tinggi suhu periran maka kadar O2  terlarutnya akan rendah, begitu pula

    sebaliknya. Hal ini disebabkan pada suhu yang tinggi organisme akan melakukan

    metabolisme yang tinggi pula sehingga organisme tersebut membutuhkan Oksigen yang

    lebih untuk beraktivitas, sebagai sumber energi. Menurut Effendi (1998), Kenaikan suhu

    air dapat menyebabkan kehidupan ikan dan hewan air lainnya terganggu .Air memiliki

     beberapa sifat termal yang unik, sehingga perubahan suhu dalam air berjalan lebihlambat

    dari pada udara. Selanjutnya Soetjipta (1992) menambahkan bahwa walaupun suhu kurang

  • 8/17/2019 JURNAL EKOTOK

    8/38

    mudah berubah di dalam air daripada di udara, namun suhu merupakan faktor pembatas

    utama, oleh karena itu mahluk akuatik sering memiliki toleransi yang sempit.

    Berdasarkan hasil pengamatan parameter fisik pada akuarium yang diberi perlakuan

    aerasi yang teramati baik pada jam ke-0, ke-24, ke-48, ke-72, maupun ke-96 jam tidak

    tampak adanya perbedaan yang signifikan. Dengan konsentrasi yang berbeda suhu air yang

    terukur relatif konstan dan tidak menunjukan rentang kenaikan maupun penurunan suhu air

    yang jauh. Pada pengukuran 0 jam berkisar antara 27,75oC - 28,25

    oC, pada pengukuran 24

     jam berkisar antara 26,25o C  –   27oC, pada pengukuran 48 jam berkisar antara 26oC  –  

    26,75oC, pada 72 jam berkisar antara 26,25oC dan 27oC, serta pada pengukuran 96 jam

     berkisar antara 26 dan 26,5oC. Suhu air pada masing-masing konsentrasi dalam kurun

    waktu 96 jam selalu dalam kisaran optimal, yakni berkisar antara 26 oC - 27,75 oC, dimana

    menurut Arie (1999), suhu optimal ikan Nila (Oreochromis niloticus) berkisar antara 25oC

     –  30oC. Berdasarkan keadaan tersebut, maka dapat diartikan suhu air masih berada dalam

    kisaran yang layak untuk ikan hidup. Nilai fluktuasi suhu air ini tidak terlalu besar

    dikarenakan praktikum uji toksisitas ini dilakukan di dalam ruang laboratorium sehingga

    cenderung mengikuti suhu ruang dan tidak dipengaruhi faktor luar seperti sinar matahari.

    Menurut Hynes (1970), semakin tinggi suhu air maka toksisitas insektisida di dalam air

    akan semakin meningkat pula. Dengan demikian, semakin tinggi suhu maka akan semakin

     berpengaruh negatif terhadap metabolisme ikan, bahkan dapat berakibat pada kematian.

    Keberadaan insektisida dalam suatu badan air dapat merusak insang dan organ

     pernafasan ikan Kerusakan insang dan organ pernafasan ikan ini menyebabkan toleransi

    ikan terhadap badan air yang kandungan oksigen terlarutnya rendah menjadi menurun.

    Berkurangnya kemampuan insang dalam mengikat oksigen tampak pada meningkatnya

    frekuensi gerakan operkulum pada ikan. Gerakan Operkulum merupakan gerakan

    operkulum ikan yang diukur selama 1 menit. Berdasarkan hasil pengamatan dari jam ke-0,ke-24, ke-48, ke-72, hingga ke-96 jam frekuensi gerakan operkulum ikan uji pada

     perlakuan aerasi berkisar 79 hingga 132 kali/menit. Frekuensi gerakan operkulum ikan uji

     pada perlakuan aerasi ini terlihat sangat fluktuatif. Pada akuarium kontrol dengan

    konsentrasi transfluthrin 0 ppm, saat pengamatan jam ke 0 diperoleh data gerakan

    operculum ikan uji mencapai 132 kali/menit dan cenderung menurun hingga jam ke 96

    yaitu menjadi 92 kali/menit. Pada konsentrasi 0,2 ppm frekuensi gerakan operculum ikan

    nila tercatat 111,5 kali/menit saat jam ke 0 dan semakin menurun hingga jam ke 96

    mencapai 87 kali/menit. Pada konsentrasi 0,4 ppm diperoleh gerakan operculum yang

  • 8/17/2019 JURNAL EKOTOK

    9/38

    cenderung fluktuatif, dimana pada jam ke-0 mencapai 139 kali/menit dan mengalami

     penurunan pada jam ke 72 dimana frekuensi gerakannya hanya 88 kali/menit dan kembali

    meningkat sampai pengukuran 96 jam menjadi 102 kali/menit. Keadaan fluktuatif tersebut

     juga tampak pada ikan nila dalam air uji dengan konsentrasi tranfluthrin 0,6 ; 0,8 ; dan 1,0

     ppm, dimana pada jam ke 0 hingga 72 cenderung mengalami penurunan kemudian

    meningkat hingga pengamatan 96 jam.

    Perubahan lingkungan dapat mengakibatkan perubahan tingkah laku ikan nila

     berupa, kehilangan orientasi lingkungan, fisiologi (pertumbuhan dan reproduksi, dan

     biokimia serta terganggunya fungsi jaringan. Ikan nila terlihat hypersensitif dan mengalami

    gangguan orientasi terhadap lingkungan dengan berenang kedasar dan permukaan air tidak

    teratur, frekuensi gerakan operkulum semakin meningkat dan kadang gerakannya tidak

     beraturan. Kondisi ini diduga bahwa ikan berusaha untuk mendapatkan oksigen dengan

    memperbanyak volume air yang melewati insang (Zahri, 2008). Mekanisme meningkatnya

    frekuensi gerakan operkulum ikan tersebut diawali dengan terhalangnya poses difusi

    oksigen ke dalam insang mengakibatkan ikan kekurangan oksigen. Sebagai respon, ikan

    akan meningkatkan frekuensi gerakan operkulum untuk memenuhi kekurangan oksigen

    tersebut. Peningkatan frekuensi gerakan operkulum pada ikan dalam waktu lama dapat

    menyebabkan kerusakan insang yang berdampak pada kematian (Heat, 1995) dan

    melemahkan otot yang menggerakkan operkulum.

    Parameter biologi lainnya yang diamati dalam uji toksisitas ini adalah escape reflex. 

     Escape reflex  merupakan gerakan yang diamati setelah mengganggu ikan dengan cara

    mengetuk bagian luar akuarium guna melihat kecekatan gerakan ikan dalam menanggapi

    rangsang. Penilaian dilakukan berdasarkan pengamatan secara visual dengan skala 1-5.

    Semakin tinggi nilai escape reflex berarti ikan tersebut berada dalam kondisi yang sehat.

    Berdasarkan data pengamatan tersebut tampak bahwa escape reflect   ikan nila mengalamifluktuasi dengan kecenderungan yang semakin menurun seiring dengan bertambahnya

    lamanya jangka waktu paparan bahan pencemar. Adapun nilainya berkisar antara 4  –  5 saat

     pengamatan 0 jam menjadi 1  –  3 saat pengamatan 96 jam. Penurunan tanggapan ikan nila

    terhadap rangsangan tersebut dapat terjadi karena lamanya waktu paparan bahan toksik

    (transfluthrin) terhadap ikan uji, yakni ikan nila (Oreochromis niloticus).

  • 8/17/2019 JURNAL EKOTOK

    10/38

    Tabel 3. Hasil pengamatan parameter kimia (aerasi)

    JamKonsentrasi

    (ppm)

    Parameter Kimia

    pHDO

    (ppm)

    CO2(ppm)

    Alkalinitas

    (ppm)

    0

    0 7,1 6,8 4,5 162,4

    0,2 7,05 6,3 4 170,5

    0,4 7,05 6,4 3 164

    0,6 7,1 6,515 2,5 173

    0,8 7,05 6,5 1,5 185

    1,0 7,05 6,67 3,5 167

    48

    0 7,1 6,5 4 175,5

    0,2 7 4,5 6,5 172

    0,4 7,1 6,4 4 173

    0,6 7,1 6,2 4 168,8

    0,8 7,05 5,48 5 173,7

    1,0 7,05 5,78 5 171,4

    96

    0 7,15 5,96 7 190

    0,2 7,05 6,1 10 184

    0,4 7,1 6,54 7 183

    0,6 7,1 6,48 6 177

    0,8 7,1 6,3 7 184

    1,0 7,1 5,825 6 189

    Parameter kimia yang diamati pada praktikum uji toksisitas insektisida terhadap

    ikan nila (Oreochromis niloticus) ini meliputi pH, kandungan O2 terlarut, CO2 bebas, serta

    alkalinitas. Menurut Purba (2006), pH merupakan parameter keasaman dari suatu larutan.

    Derajat keasaman atau pH merupakan gambaran jumlah atau aktivitas ion hidrogen dalam

     perairan. Secara umum nilai pH menggambarkan seberapa besar tingkat keasaman atau

    kebasaan suatu perairan. Perairan dengan nilai pH = 7 adalah netral, pH < 7 dikatakan

    kondisi perairan bersifat asam, sedangkan pH > 7 dikatakan kondisi perairan bersifat basa(Effendi, 1998). Berdasarkan hasil pengamatan pH selama 96 jam baik pada konsentrasi 0

     ppm, 0,2 ppm, 0,4 ppm, 0,6 ppm, 0,8 ppm hingga 1 ppm menunjukan nilai pH yang relatif

    stabil, yakni berkisar antara 7 hingga 7,15. Merujuk pada pernyataan Popma (1999), bahwa

     pH air optimum untuk pemeliharaan ikan nila adalah berkisar antara 6-9, dengan demikian

    kondisi air akuarium uji dapat dinyatakan layak dan baik.

    Oksigen terlarut merupakan jumlah oksigen dalam mg yang terdapat dalam satu

    liter air (ppt). Oksigen terlarut juga dapat diartikan sebagai kandungan gas Oksigen yang

    terlarut dalam air. Oksigen terlarut dalam perairan merupakan faktor penting sebagai

  • 8/17/2019 JURNAL EKOTOK

    11/38

     pengatur metabolisme tubuh organisme untuk tumbuh dan berkembang biak. Sumber

    Oksigen terlarut dalam air berasal dari difusi Oksigen yang terdapat di atmosfer, arus atau

    aliran air melalui air hujan serta aktivitas fotosintesis oleh tumbuhan air dan fitoplankton

    (Novotny and Olem, 1994). Akan tetapi, dalam praktikum ini kandungan DO air hanya

     bersumber dari difusi oksigen atmosfer serta aerator. Nilai DO dalam jangka waktu 96 jam,

     pada konsentrasi 0 ppm (kontrol) cenderung mengalami penurunan dari 6,8 ppm hingga

    5,96 ppm. sementara pada konsentrasi bahan toksik (transfluthrin) 0,2 ppm, 0,6 ppm, 0,8

     ppm dan 1 ppm cenderung fluktuatif dimana terjadi penurunan kandungan DO pada

     pengamatan 48 jam. Meskipun demikian fluktuasi kandungan DO tersebut tidak begitu

     besar, hal ini dapat terjadi karena adanya pengaruh aerasi pada akuarium uji. Menurut

    Kordi dan Ghufran (2010), nila membutuhkan perairan dengan kandungan oksigen

    minimal 3 ppm untuk pertumbuhan optimalnya. Dengan demikian kondisi air akuarium uji

    dengan perlakuan aerasi ini masih dapat dikatakan stabil, meskipun telah dicemari oleh

    senyawa transfluthrin, sebab kandungan DO airnya masih stabil yakni berkisar antara 4,5

     ppm  –  6,8 ppm, dimana nilai tersebut lebih dari 3 ppm.

    Karbondioksida bebas merupakan istilah untuk menunjukkan CO2 yang terlarut di

    dalam air. Menurut Boyd (1982), CO2  bebas di perairan berasal dari hasil proses difusi

    karbondioksida dari udara dan proses respirasi organisme akuatik. Konsentrasi CO2 bebas

    12 mg/l dapat menyebabkan tekanan pada ikan, karena akan menghambat pernafasan dan

     pertukaran gas. Kandungan CO2  dalam air yang aman tidak boleh melebihi 25 mg/l,

    sedangkan konsentrasi CO2  lebih dari 100 mg/l akan menyebabkan semua organisme

    akuatik mengalami kematian (Wardoyo, 1989). Berdasarkan tabel tersebut tampak bahwa

    nilai CO2  bebas pada pengamatan 0 jam berkisar antara 1,5  –   4,5 ppm dan cenderung

    mengalami peningkatan sampai pengamatan waktu 96 jam mencapai 6  –   10 ppm.

    Peningkatan CO2 bebas tersebut dapat terjadi karena adanya akumulasi sisa hasil respirasiikan uji. Berdasarkan data yang diperoleh menunjukkan bahwa akuarium uji dengan

     perlakuan aerasi masih layak dan baik untuk perkembangan ikan sebab nilainya masih

    dalam batas aman dan optimal. Di mana menurut Odum (1993), kandungan CO2  bebas

    yang optimal bagi biota perairan yaitu berkisar antara 6-20 ppm.

    Alkalinitas merupakan suatu parameter kimia perairan yang menunjukkan jumlah

    ion karbonat dan bikarbonat yang mengikat logam golongan alkali tanah pada perairan

    tawar. Alkalinitas juga didefinisikan sebagai kapasitas penyangga (buffer capacity) yang

    menetralkan perubahan pH perairan yang sering terjadi (Effendi,2003). Pembentuk

  • 8/17/2019 JURNAL EKOTOK

    12/38

    alkalnitas yang utama adalah bikarbonat, karbonat dan hidroksida (Irianto, 2005). Pada

     pengukuran alkalinitas diperoleh nilai 162,4  –   185 ppm dan cenderung mengalami

    kenaikan selama 96 jam menjadi 183  –   190 ppm. Menurut Odum (1993), ketinggian

    alkalinitas sebaiknya tidak lebih dari 500 sehingga kisaran optimum bagi biota perairan

    adalah 50-200 ppm. Dengan demikian kisaran alkalinitas pada uji toksisitas ini berada

    dalam kondisi optimal. Pengamatan parameter kimia dilakukan untuk memastikan bahwa

    mortalitas yang terjadi disebabkan oleh bahan kimia toksik yang diberikan, bukan akibat

    dari kualitas kimia air. Dengan demikian terbukti bahwa kualitas air tidak mempengaruhi

    mortalitas ikan, sebab pada parameter-parameter kualitas air menunjukan nilai yang masih

    dalam batas optimal untuk hidup ikan nila.

    Tabel 4. Hasil pengamatan parameter mortalitas (aerasi).

    Konsentrasi

    (ppm)Aerasi

    Kematian (Ekor)

    0 jam 24 jam 48 jam 72 jam 96 jam

    0

    Aerasi

    0 0 0 0 0

    0,2 0 0 0 0 0

    0,4 0 0 0 0 0

    0,6 0 0 0 0 0

    0,8 0 0 0 0 0

    1,0 0 0 0 0 0

    Berdasarkan hasil pengamatan mortalitas ikan uji selama 96 jam, pada perlakuan

    aerasi, baik pada konsentrasi transfluthrin 0 ppm, 0,2 ppm, 0,4 ppm, 0,6 ppm, 0,8 ppm

    maupun 1 ppm tidak ada ikan yang mengalami kematian. Hal ini dikarenakan adanya

     perlakuan aerasi, dimana dengan adanya perlakuan tersebut dapat menambah suplai

    oksigen terlarut, sehingga kualitas air tetap terjaga. Seperti yang dijelaskan oleh Effendi

    (2003), yakni fungsi utama aerasi adalah melarutkan oksigen ke dalam air untuk

    meningkatkan kadar oksigen terlarut dalam air dan melepaskan kandungan gas-gas yang

    terlarut dalam air, serta membantu pengadukan air. Dengan demikian adanya aerasi selain

    dapat menjaga kestabilan pasokan oksigen dalam air juga dapat mengurangi zat-zat racun

    selama proses difusi. Sehingga bahan kimia toksik berkurang dan dalam batas yang masih

     bisa ditoleransi oleh ikan uji.

  • 8/17/2019 JURNAL EKOTOK

    13/38

     

    Grafik 1. Parameter kimia 0 ppm (aerasi)

    Grafik 2. Parameter kimia 0,2 ppm (aerasi)

    0 jam 48 jam 96 jam

    DO 6,8 6,5 5,96

    CO2 4,5 4 7

    Alkalinitas 162,4 175,5 190

    pH 7,1 7,1 7,15

    Mortalitas 0 0 0

    0

    20

    40

    60

    80

    100

    120

    140

    160

    180

    200

       K   o   n   s   e   n   t   r   a   s   i    (   p   p   m    )

    Parameter Kimia 0 ppm Aerasi

    0 jam 48 jam 96 jam

    DO 6,3 4,5 6,1

    CO2 4 6,5 10

    Alkalinitas 170,5 172 184

    pH 7,05 7 7,05

    Mortalitas 0 0 0

    0

    20

    40

    60

    80

    100

    120

    140

    160

    180

    200

       K   o   n   s   e   n   t   r   a   s   i    (   p   p   m    )

    Parameter Kimia 0,2 ppm Aerasi

  • 8/17/2019 JURNAL EKOTOK

    14/38

     

    Grafik 3. Parameter kimia 0,4 ppm (aerasi)

    Grafik 4. Parameter kimia 0,6 ppm (aerasi)

    0 jam 48 jam 96 jam

    DO 6,4 6,4 6,54

    CO2 3 4 7

    Alkalinitas 164 173 183

    pH 7,05 7,1 7,1

    Mortalitas 0 0 0

    0

    20

    40

    60

    80

    100

    120

    140

    160

    180

    200

       K   o   n   s   e   n   t   r   a   s   i    (   p   p   m    )

    Parameter Kimia 0,4 ppm Aerasi

    0 jam 48 jam 96 jam

    DO 6,515 6,2 6,48

    CO2 2,5 4 6

    Alkalinitas 173 168,8 177

    pH 7,1 7,1 7,1

    Mortalitas 0 0 0

    0

    20

    40

    60

    80

    100

    120

    140

    160

    180200

       K   o   n   s   e   n   t   r   a   s   i    (   p   p   m    )

    Parameter Kimia 0,6 ppm Aerasi

  • 8/17/2019 JURNAL EKOTOK

    15/38

     

    Grafik 5. Parameter kimia 0,8 ppm (aerasi)

    Grafik 6. Parameter kimia 1 ppm (aerasi)

    Grafik-grafik tersebut menjelaskan menjelaskan tentang nilai parameter kimia

    yang meliputi DO, CO2 bebas, alkalinitas, serta pH pada konsentrasi bahan toksik 0 ppm,0,2 ppm, 0,4 ppm, 0,6 ppm, 0,8 ppm serta 1 ppm terhadap waktu paparan bahan toksik

    0 jam 48 jam 96 jam

    DO 6,5 5,48 6,3

    CO2 1,5 5 7

    Alkalinitas 185 173,7 184

    pH 7,05 7,05 7,1

    Mortalitas 0 0 0

    0

    20

    40

    60

    80

    100

    120

    140

    160

    180

    200

       K   o   n   s   e   n   t   r   a   s   i    (   p   p   m    )

    Parameter Kimia 0,8 ppm Aerasi

    0 jam 48 jam 96 jam

    DO 6,67 5,78 5,825CO2 3,5 5 6

    Alkalinitas 167 171,4 189

    pH 7,05 7,05 7,1

    Mortalitas 0 0 0

    0

    20

    40

    60

    80

    100

    120

    140

    160

    180200

       K   o   n   s   e   n   t   r   a   s   i    (   p   p   m    )

    Parameter Kimia 1 ppm Aerasi

  • 8/17/2019 JURNAL EKOTOK

    16/38

    (transfluthrin), 0 jam, 48 jam dan 96 jam dengan perlakuan aerasi. Berdasarkan grafik 1.

    yakni pada konsentrasi transfluthrin 0 ppm, tampak bahwa nilai kandungan oksigen terlarut

    dari hari ke hari mengalami penurunan dari yang semula 6,8 ppm menjadi 5,96 ppm pada

    hari keempat (96 jam). Penurunan tersebut dapat disebabkan oleh adanya konsumsi

    oksigen dari ikan uji. Dalam hal ini, penurunan kadar O2  dalam air tersebut dapat

    diminimalisir dengan perlakuan aerasi yang dapat menyuplai oksigen ke dalam air melalui

     proses difusi sehingga dapat menjaga kestabilan kandungan oksigen terlarut dari awal

     perlakuan. Berbeda dengan kandungan CO2 bebasnya yang cenderung fluktuatif, di mana

     pada jangka waktu pemaparan 96 jam mengalami kenaikan yang cukup signifikan yakni

    dari 4 ppm menjadi 7 ppm. Meskipun demikian, kandunagn CO2 bebas dalam akuarium

    uji tersebut masih dalam kisaran normal, seperti yang diungkapkan oleh Odum (1993)

     bahwa kandungan CO2 bebas yang optimal bagi biota perairan yaitu berkisar antara 6-20

     ppm. Pada akuarium kontrol ini tampak nilai alkalinitasnya semakin meningkat dari jangka

     paparan 0-96 jam. Nilai pH pada konsentrasi 0 ppm selama pemaparan senyawa toksik,

    transfluthrin relatif konstan dan stabil, yakni sebesar 7,1-7,15. Sesuai dengan pernyataan

    Lin (1995) yaitu kisaran pH yang optimal bagi kelangsungan hidup dan pertumbuhan ikan

    nila adalah 6.5  –  8. Dengan demikian, pada akuarium dengan konsentrasi transfluthrin 0

     ppm dapat dikatakan dalam kondisi yang baik sebagai tempat hidup ikan. Sehingga tidak

    heran bila tidak ada ikan uji yang mengalami kematian pada akuarium kontrol ini.

    Berdasarkan grafik 2. yakni pada konsentrasi insektisida 0,2 ppm mengalami

     penurunan kandungan DO pada pengamatan 48 jam, yakni dari 6,3 ppm menjadi 4,5 ppm

    kemudian meningkat kembali pada pengamatan 96 jam menjadi 6,1 ppm. Mengacu pada

     pernyataan Kordi dan Ghufran (2010), nila membutuhkan perairan dengan kandungan

    oksigen minimal 3 ppm untuk pertumbuhan optimalnya, dengan demikian dapat diartikan

     bahwa pada konsentrasi bahan toksik sebesar 0,2 ppm, kandungan DO – 

    nya masih berada pada rentang optimal. Kandungan CO2 bebas pada konsentrasi transfluthrin 0,2 ppm ini

    mengalami peningkatan dari hari ke hari, demikian pula pada kadar alkalinitas. Dimana,

    nilai keduanya masih berada pada kisaran optimum untuk pertumbuhan ikan. Nilai pH

     pada akuarium dengan konsentrasi bahan toksik 0,2 ppm ini juga tampak stabil dan

    konstan, dengan nilai yang berkisar antara 7-7,05. Pada konsentrasi ini, baik dalam jangka

    waktu pemaparan 48 jam maupun 96 tidak menunjukkan adanya kematian pada ikan. Hal

    tersebut dapat disebabkan oleh adanya aerasi yang membantu menstabilkan lingkungan

    melalui difusi maupun penguapan bahan toksik dari lingkungan perairan ke atmosfer.

  • 8/17/2019 JURNAL EKOTOK

    17/38

    Berdasarkan hasil pengukuran parameter kimia yang diperoleh menunjukkan bahwa

    kualitas air dalam kondisi yang baik untuk hidup ikan dengan kandungan bahan toksik

    yang relatif kecil dan masih bisa ditolerir oleh ikan uji, sehingga tidak ada mortalitas yang

    terjadi.

    Berdasarkan grafik 3. yakni pada konsentrasi insektisida 0,4 ppm mengalami

    kenaikan kandungan DO pada pengamatan 96 jam, dari 6,4 ppm menjadi 6,54 ppm. Nilai

    tersebut menunjukkan bahwa kandungan DO – nya masih berada pada rentang optimal.

    Kemudian kandungan CO2  bebas pada konsentrasi transfluthrin 0,4 ppm ini mengalami

     peningkatan dari hari ke hari, demikian pula pada kadar alkalinitas. Dimana, nilai

    keduanya masih berada pada kisaran optimum untuk pertumbuhan ikan, yakni 3 ppm, 4

     ppm, 7 ppm untuk CO2 dan 164 ppm, 173 ppm, 183 ppm untuk kandungan alkalinitas.

    Sementara itu, nilai pH pada akuarium dengan konsentrasi bahan toksik 0,4 ppm ini juga

    tampak stabil dan konstan, dengan nilai yang berkisar antara 7,05-7,1. Pada akuarium

    dengan konsentrasi bahan toksik 0,4 ppm ini, baik dalam jangka waktu pemaparan 48 jam

    maupun 96 tidak menunjukkan adanya kematian pada ikan. Hal tersebut dapat disebabkan

    oleh adanya aerasi yang membantu menstabilkan lingkungan melalui difusi maupun

     penguapan bahan toksik dari lingkungan perairan ke atmosfer. Berdasarkan hasil

     pengukuran parameter kimia yang diperoleh menunjukkan bahwa kualitas air dalam

    kondisi yang baik untuk hidup ikan dengan kandungan bahan toksik yang relatif kecil dan

    masih bisa ditolerir oleh ikan uji, sehingga tidak ada mortalitas yang terjadi.

    Berdasarkan grafik 4. yakni pada konsentrasi insektisida 0,6 ppm mengalami

     penurunan kandungan DO pada pengamatan 48 jam, yakni dari 6,515 ppm menjadi 6,2

     ppm kemudian meningkat kembali pada pengamatan 96 jam menjadi 6,48 ppm. Mengacu

     pada pernyataan Kordi dan Ghufran (2010), nila membutuhkan perairan dengan kandungan

    oksigen minimal 3 ppm untuk pertumbuhan optimalnya, dengan demikian dapat diartikan bahwa pada akuarium dengan konsentrasi bahan toksik sebesar 0,6 ppm, kandungan DO  – 

    nya masih berada pada rentang optimal. Kandungan CO2  bebas pada konsentrasi

    transfluthrin 0,6 ppm ini mengalami peningkatan dari hari ke hari, demikian pula pada

    kadar alkalinitas. Dimana, nilai keduanya masih berada pada kisaran optimum untuk

     pertumbuhan ikan. Nilai pH pada akuarium dengan konsentrasi bahan toksik 0,6 ppm ini

     juga tampak stabil dan konstan, dengan nilai 7,1. Pada konsentrasi ini, baik dalam jangka

    waktu pemaparan 48 jam maupun 96 tidak menunjukkan adanya kematian pada ikan. Hal

    tersebut dapat disebabkan oleh adanya aerasi yang membantu menstabilkan lingkungan

  • 8/17/2019 JURNAL EKOTOK

    18/38

    melalui difusi maupun penguapan bahan toksik dari lingkungan perairan ke atmosfer.

    Berdasarkan hasil pengukuran parameter kimia yang diperoleh menunjukkan bahwa

    kualitas air dalam kondisi yang baik untuk hidup ikan dengan kandungan bahan toksik

    yang relatif kecil dan masih bisa ditolerir oleh ikan uji, sehingga tidak ada mortalitas yang

    terjadi.

    Berdasarkan grafik 5. yakni pada konsentrasi insektisida 0,8 ppm mengalami

     penurunan kandungan DO pada pengamatan 48 jam, yakni dari 6,5 ppm menjadi 5,48 ppm

    kemudian meningkat kembali pada pengamatan 96 jam menjadi 6,3 ppm. Pada akuarium

    dengan konsentrasi bahan toksik sebesar 0,8 ppm ini, sesuai dengan pustaka kandungan

    DO  – nya masih berada pada rentang optimal. Kandungan CO2  bebas pada konsentrasi

    transfluthrin 0,8 ppm ini mengalami peningkatan dari hari ke hari, demikian pula pada

    kadar alkalinitas. Dimana, nilai keduanya masih berada pada kisaran optimum untuk

     pertumbuhan ikan. Nilai pH pada akuarium dengan konsentrasi bahan toksik 0,8 ppm ini

     juga tampak stabil dan konstan, dengan nilai berkisar antara 7,05 - 7,1. Pada konsentrasi

    ini, baik dalam jangka waktu pemaparan 48 jam maupun 96 tidak menunjukkan adanya

    kematian pada ikan. Hal tersebut dapat disebabkan oleh adanya aerasi yang membantu

    menstabilkan lingkungan melalui difusi maupun penguapan bahan toksik dari lingkungan

     perairan ke atmosfer. Berdasarkan hasil pengukuran parameter kimia yang diperoleh

    menunjukkan bahwa kualitas air dalam kondisi yang baik untuk hidup ikan dengan

    kandungan bahan toksik yang relatif kecil dan masih bisa ditolerir oleh ikan uji, sehingga

    tidak ada mortalitas yang terjadi.

    Berdasarkan grafik 6. yakni pada konsentrasi insektisida 1 ppm mengalami

     penurunan kandungan DO pada pengamatan 48 jam, yakni dari 6,67 ppm menjadi 5,78

     ppm kemudian meningkat kembali pada pengamatan 96 jam menjadi 5,825 ppm. Pada

    akuarium dengan konsentrasi bahan toksik sebesar 1 ppm ini, sesuai dengan pustakakandungan DO  – nya masih berada pada rentang optimal. Kandungan CO2  bebas pada

    konsentrasi transfluthrin 1 ppm ini mengalami peningkatan dari hari ke hari, demikian pula

     pada kadar alkalinitas. Dimana, nilai keduanya masih berada pada kisaran optimum untuk

     pertumbuhan ikan. Nilai pH pada akuarium dengan konsentrasi bahan toksik 1 ppm ini

     juga tampak stabil dan konstan, dengan nilai berkisar antara 7,05 - 7,1. Pada konsentrasi

    ini, baik dalam jangka waktu pemaparan 48 jam maupun 96 tidak menunjukkan adanya

    kematian pada ikan. Hal tersebut dapat disebabkan oleh adanya aerasi yang membantu

    menstabilkan lingkungan melalui difusi maupun penguapan bahan toksik dari lingkungan

  • 8/17/2019 JURNAL EKOTOK

    19/38

     perairan ke atmosfer. Berdasarkan hasil pengukuran parameter kimia yang diperoleh

    menunjukkan bahwa kualitas air dalam kondisi yang baik untuk hidup ikan dengan

    kandungan bahan toksik yang relatif kecil dan masih bisa ditolerir oleh ikan uji, sehingga

    tidak ada mortalitas yang terjadi.

    Grafik 7. Mortalitas vs konsentrasi (aerasi)

    Berdasarkan hasil praktikum yang dilakukan tidk ditemukan kematian pada ikan

    uji baik pada konsentrasi bahan toksik 0 ppm, 0,2 ppm, 0,4 ppm, 0,6 ppm, 0,8 ppm

    maupun 1 ppm. Hal ini dapat berarti bahwa konsentrasi bahan toksik tersebut masih terlalu

    kecil atau dengan kata lain masih dapat ditolerir oleh ikan nila uji. Hal tersebut juga

    mungkin terjadi karena pengaruh aerasi yang membantu menstabilkan lingkungan melalui

    difusi maupun penguapan bahan toksik dari lingkungan perairan ke atmosfer. Menurut

    Hindarti (1997), adanya konsentrasi pencemar yang rendah belum dapat mematikan ikan,

    atau hanya bersifat kronis karena hanya mempengaruhi fungsi fisiologis dan tingkah laku.

    0 0,2 0,4 0,6 0,8 1

    0 jam 0 0 0 0 0 0

    24 jam 0 0 0 0 0 0

    48 jam 0 0 0 0 0 0

    72 jam 0 0 0 0 0 0

    96 jam 0 0 0 0 0 0

    00,10,20,30,40,50,60,70,80,9

    1

       A   x   i   s   T   i   t    l   e

    Mortalitas VS Konsentrasi (Aerasi)

  • 8/17/2019 JURNAL EKOTOK

    20/38

     

    Grafik 8. Mortalitas

    Berdasarkan hasil grafik mortalitas tersebut diperoleh persamaan regresi y=0.

     Nilai y pada persamaan tersebut merupakan variabel terikat yang menunjukkan angka

    kematian hewan uji dalam jangka waktu 96 jam. variabel y bernilai 0 (nol) sebab pada

     percobaan tersebut tidak terdapat ikan uji yang mengalami kematian. Pada uji toksisitas

    insektisida dengan perlakuan aerasi ini tidak diperoleh nilai LC50-96  jam transfluthrin

    terhadap ikan nila (Oreochromis niloticus). Hal itu disebabkan dalam kurun waktu 96 jam

     pemaparan senyawa transfluthrin, tidak terdapat ikan nila yang mati. R 2  merupakan

    koefisien determinasi yang menunjukkan seberapa besar variable x mempengaruhi variable

    y. Dengan kondisi demikian, dapat diartikan bahwa variable x tidak mempengaruhi

    variable y.

    Sigit dan Hadi (2006) menjelaskan bahwa, berdasarkan toksisitasnya insektisida

    dapat digolongkan menjadi golongan IA (sangat berbahaya sekali), IB (sangat berbahaya),

    II (berbahaya), III (cukup berbahaya), dan golongan IIIU (tidak berbahaya jika digunakan

    secara normal). Kemudian Becker et al. (2010) menambahkan, transfluthrin termasuk

    insektisida golongan pyrethroids yang memiliki tingkat toksisitas IIIU. Denagan demikian

    dapat diartikan bahwa senyawa trasfluthrin tergolong sebagai senyawa yang tidak

     berbahaya selama penggunaannya dilakukan secara normal atau dengan kata lain tidak

     berlebihan. Oleh karena itulah, pada uji toksisitas insektisida (transfluthrin) selama 96 jam

    tidak terdapat ikan uji yang mati dan tidak diperoleh nilai LC50-96 jam.

    y = 0

    R² = #N/A

    0

    0,2

    0,4

    0,6

    0,8

    1

    0 24 48 72 96

    MORTALITAS

    MORTALITAS

    Linear

    (MORTALITAS)

  • 8/17/2019 JURNAL EKOTOK

    21/38

    B.  Non Aerasi

    Tabel 5. Hasil pengamatan parameter fisik dan biologi (non aerasi).

    Jam

    Konsentrasi

    (ppm)

    Parameter Fisik Parameter Biologi

    Suhu (0) GO ER

    0

    0 27,5 117 5

    0,2 27,5 110,5 5

    0,4 27,5 119,5 5

    0,6 27,5 134,5 5

    0,8 27,5 100,5 4,5

    1,0 27,5 137,5 4,5

    24

    0 27 147 5

    0,2 26,25 164,5 5

    0,4 26 168 4,50,6 26,5 183,5 4

    0,8 27 189,5 3,5

    1,0 26,75 207 3,5

    48

    0 26,5 158 4,5

    0,2 26,5 166,5 4,5

    0,4 26,5 165 4

    0,6 26,5 172 4

    0,8 26,5 168 3,5

    1,0 26,5 175 3,5

    72

    0 26,5 156,5 3,5

    0,2 26 88 2

    0,4 13 0 0

    0,6 13 0 0

    0,8 13,5 0 0

    1,0 13 0 0

    96

    0 13 151,5 4

    0,2 13 71,5 2,5

    0,4 0 0 0

    0,6 0 0 0

    0,8 0 0 0

    1,0 0 0 0

    Berdasarkan hasil pengamatan parameter fisik pada akuarium yang diberi

     perlakuan tanpa aerasi yang teramati baik pada jam ke-0, ke-24, hingga ke-48 tidak

    tampak adanya perbedaan yang signifikan pada masing-masing konsentrasi bahan toksik,

    dimana suhu airnya berkisar antara 26oC  –  27,5oC. Pada pengamatan 0 jam hingga 48 jam,

    suhu air masih berada dalam kisaran normal untuk pertumbuhan ikan nila, sesuai dengan

  • 8/17/2019 JURNAL EKOTOK

    22/38

     pernyataan Arie (1999) bahwa, suhu optimal ikan Nila (Oreochromis niloticus) berkisar

    antara 25oC  –  30oC. Pada pengamatan 72 jam, kondisi lingkungan perairan mulai buruk,

    dimana dalam jangka waktu paparan 72 jam - 96 jam tersebut nilai suhunya pada masing-

    masing konsentrasi mengalami penurunan yang signifikan, dimana nilai suhunya mencapai

    13oC. Pada suhu di bawah 14oC atau lebih dari 38oC dapat menyebabkan pertumbuhan

    ikan nila terganggu. Sedangkan suhu mematikan berada pada 6oC dan 42

    oC. Berdasarkan

    tabel tampak bahwa nilai suhu air tersebut semakin menurun seiring dengan meningkatnya

    konsentrasi senyawa toksik.

    Keberadaan insektisida dalam suatu badan air dapat merusak insang dan organ

     pernafasan ikan Kerusakan insang dan organ pernafasan ikan ini menyebabkan toleransi

    ikan terhadap badan air yang kandungan oksigen terlarutnya rendah menjadi menurun.

    Berkurangnya kemampuan insang dalam mengikat oksigen tampak pada meningkatnya

    frekuensi gerakan operkulum pada ikan. Gerakan Operkulum merupakan gerakan

    operkulum ikan yang diukur selama 1 menit. Berdasarkan hasil pengamatan dari jam ke-0,

    ke-24, ke-48, ke-72, hingga ke-96 jam frekuensi gerakan operkulum ikan uji pada

     perlakuan tanpa aerasi berkisar 71,5 hingga 189,5 kali/menit. Frekuensi gerakan

    operkulum ikan uji pada perlakuan tanpa aerasi ini terlihat sangat fluktuatif. Pada

    akuarium kontrol dengan konsentrasi transfluthrin 0 ppm, saat pengamatan jam ke 0

    diperoleh data gerakan operculum ikan uji mencapai 117 kali/menit dan cenderung

    meningkat hingga jam ke 48 yaitu menjadi 158 kali/menit, kemudian mengalami

     penurunan menjadi 151,5 kali/menit. Pada konsentrasi 0,2 ppm frekuensi gerakan

    operculum ikan nila tercatat 110,5 kali/menit saat jam ke 0 dan semakin meningkat hingga

     jam ke 48 yaitu menjadi 166,5 kali/menit, kemudian mengalami penurunan menjadi 71,5

    kali/menit. Pada konsentrasi 0,4 ppm diperoleh frekuensi gerakan operculum yang

    cenderung meningkat, dengan kisaran 119,5-165 kali/menit. Pada ikan nila dalam air ujidengan konsentrasi tranfluthrin 0,6 ppm, 0,8 ppm dan 1 ppm, nilai gerakan operkulumnya

    cenderung fluktuatif dimana pada jam ke 0 hingga 24 mengalami peningkatan kemudian

    menurun hingga pengamatan 48 jam. Perubahan lingkungan dapat mengakibatkan

     perubahan tingkah laku ikan nila berupa, kehilangan orientasi lingkungan, fisiologi

    (pertumbuhan dan reproduksi, dan biokimia serta terganggunya fungsi jaringan. Ikan nila

    terlihat hypersensitif dan mengalami gangguan orientasi terhadap lingkungan dengan

     berenang kedasar dan permukaan air tidak teratur, frekuensi gerakan operkulum semakin

    meningkat dan kadang gerakannya tidak beraturan. Kondisi ini diduga bahwa ikan

  • 8/17/2019 JURNAL EKOTOK

    23/38

     berusaha untuk mendapatkan oksigen dengan memperbanyak volume air yang melewati

    insang (Zahri, 2008). Mekanisme meningkatnya frekuensi gerakan operkulum ikan

    tersebut diawali dengan terhalangnya poses difusi oksigen ke dalam insang mengakibatkan

    ikan kekurangan oksigen. Sebagai respon, ikan akan meningkatkan frekuensi gerakan

    operkulum untuk memenuhi kekurangan oksigen tersebut. Peningkatan frekuensi gerakan

    operkulum pada ikan dalam waktu lama dapat menyebabkan kerusakan insang yang

     berdampak pada kematian (Heat, 1995) dan melemahkan otot yang menggerakkan

    operkulum.

    Parameter biologi lainnya yang diamati dalam uji toksisitas ini adalah escape

    reflex. Escape reflex merupakan gerakan yang diamati setelah mengganggu ikan dengan

    cara mengetuk bagian luar akuarium guna melihat kecekatan gerakan ikan dalam

    menanggapi rangsang. Penilaian dilakukan berdasarkan pengamatan secara visual dengan

    skala 1-5. Semakin tinggi nilai escape reflex berarti ikan tersebut berada dalam kondisi

    yang sehat. Berdasarkan data pengamatan tersebut tampak bahwa escape reflect  ikan nila

    mengalami fluktuasi dengan kecenderungan yang semakin menurun seiring dengan

     bertambah lamanya jangka waktu paparan bahan pencemar. Dari tabel diatas dapat

    diketahui escape reflect   ikan nila pada masing-masing konsentrasi mengalami penurunan

    seiring dengan bertambahnya waktu. Penurunan tanggapan ikan nila terhadap rangsangan

    tersebut dapat terjadi karena lamanya waktu paparan bahan toksik (transfluthrin) terhadap

    ikan uji, yakni ikan nila (Oreochromis niloticus).

    Tabel 6. Hasil pengamatan parameter kimia (non aerasi).

    JamKonsentrasi

    (ppm)

    Parameter Kimia

    pHDO

    (ppm)

    CO2(ppm)

    Alkalinitas

    (ppm)

    0

    0 7,05 7,7 11,8 1660,2 7,05 7,7 10,3 172

    0,4 7,1 8 7,8 170

    0,6 7,1 8,6 8 172

    0,8 7,1 7,7 8,5 176

    1 7,1 7,4 8,9 177

    48

    0 7,1 2 13,6 164

    0,2 7,1 2 11 173

    0,4 7,1 2,8 11,7 173

    0,6 7,1 1,85 13,4 176

    0,8 7,1 2,1 12,1 179

  • 8/17/2019 JURNAL EKOTOK

    24/38

    1 7,1 1,7 10,5 181

    96

    0 7,05 1,95 11 77

    0,2 3,5 1,75 0 0

    0,4 0 0 0 0

    0,6 0 0 0 0

    0,8 0 0 0 0

    1 0 0 0 0

    Parameter kimia yang diamati pada praktikum uji toksisitas insektisida terhadap

    ikan nila (Oreochromis niloticus) ini meliputi pH, kandungan O2 terlarut, CO2 bebas, serta

    alkalinitas. Menurut Purba (2006), pH merupakan parameter keasaman dari suatu larutan.

    Derajat keasaman atau pH merupakan gambaran jumlah atau aktivitas ion hidrogen dalam

     perairan. Secara umum nilai pH menggambarkan seberapa besar tingkat keasaman atau

    kebasaan suatu perairan. Perairan dengan nilai pH = 7 adalah netral, pH < 7 dikatakan

    kondisi perairan bersifat asam, sedangkan pH > 7 dikatakan kondisi perairan bersifat basa

    (Effendi, 1998). Berdasarkan hasil pengamatan pH selama 96 jam baik pada konsentrasi 0

     ppm, 0,2 ppm, 0,4 ppm, 0,6 ppm, 0,8 ppm hingga 1 ppm menunjukan nilai pH yang kurang

    stabil, dimana pada pengamatan 96 jam nilai pH mulai menyimpang, dimana nilainya

    menunjukkan tingkat keasaman yang tinggi, yakni 3,5. Akan tetapi, pada pengamatan 0

     jam hingga 48 jam kondisi pH relatif stabil, yakni berada dalam kisaran 7,05  –   7,1.

    Merujuk pada pernyataan Popma (1999), bahwa pH air optimum untuk pemeliharaan ikan

    nila adalah berkisar antara 6-9. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa kondisi akuarium

     berada dalam kondisi yang kurang baik atau normal

    Oksigen terlarut merupakan jumlah oksigen dalam mg yang terdapat dalam satu

    liter air (ppt). Oksigen terlarut juga dapat diartikan sebagai kandungan gas Oksigen yang

    terlarut dalam air. Oksigen terlarut dalam perairan merupakan faktor penting sebagai

     pengatur metabolisme tubuh organisme untuk tumbuh dan berkembang biak. Sumber

    Oksigen terlarut dalam air berasal dari difusi Oksigen yang terdapat di atmosfer, arus atau

    aliran air melalui air hujan serta aktivitas fotosintesis oleh tumbuhan air dan fitoplankton

    (Novotny and Olem, 1994). Akan tetapi, dalam praktikum ini kandungan DO air hanya

     bersumber dari difusi oksigen atmosfer serta aerator. Nilai DO dalam jangka waktu 96 jam,

     pada konsentrasi 0 ppm mengalami penurunan yang sangat signifikan dari 7,7 ppm, 2 ppm

    hingga menjadi 1,95 ppm. Pada konsentrasi bahan toksik (transfluthrin) 0,2 ppm, 0,4 ppm,

    0,6 ppm, 0,8 ppm dan 1 ppm juga mengalami penurunan yang sangat signifikan dengan

    rentang perubahan yang sangat jauh yakni dengan nilai tertinggi 8,6 ppm menjadi 1,7 ppm.

  • 8/17/2019 JURNAL EKOTOK

    25/38

    Perubahan kandungan DO tersebut sangat besar dikarenakan pada akuarium uji tidak

    diberikan pelakuan aerasi. Menurut Kordi dan Ghufran (2010), nila membutuhkan perairan

    dengan kandungan oksigen minimal 3 ppm untuk pertumbuhan optimalnya. Dengan

    demikian kondisi air akuarium uji dengan perlakuan aerasi ini cukup baik pada

     pengamatan 0 jam, namun pada jangka waktu pemaparan bahan toksik 48 jam tidak dapat

    dikatakan baik, sebab kandungan DO airnya sangat rendah yakni berkisar antara 2,8 ppm

     –  1,7 ppm, dimana nilai tersebut masih kurang dari 3 ppm. Rendahnya nilai kandungan DO

    tersebut diakibatkan adanya konsumsi oksigen oleh ikan uji, dimana adanya konsumsi

    oksigen menurunkan kandungan DO sementara suplai O2 terlarut dalam akuarium uji tanpa

    aerasi, yang memungkinkan hanya bersumber dari difusi O2 atmosfer ke badan air. Akan

    tetapi pasokan O2 yang berasal dari atmosfer cenderung sedikit, sehingga dalam hal ini tak

    mampu mencukupi kebutuhan O2 pada ikan.

    Karbondioksida bebas merupakan istilah untuk menunjukkan CO2 yang terlarut di

    dalam air. Menurut Boyd (1982), CO2  bebas di perairan berasal dari hasil proses difusi

    karbondioksida dari udara dan proses respirasi organisme akuatik. Konsentrasi CO2 bebas

    12 ppm dapat menyebabkan tekanan pada ikan, karena akan menghambat pernafasan dan

     pertukaran gas. Kandungan CO2  dalam air yang aman tidak boleh melebihi 25 mg/l,

    sedangkan konsentrasi CO2  lebih dari 100 mg/l akan menyebabkan semua organisme

    akuatik mengalami kematian (Wardoyo, 1989). Berdasarkan tabel tersebut tampak bahwa

    nilai CO2  bebas pada pengamatan 0 jam berkisar antara 7,8  –   11,8 ppm dan pada uji

    toksisitas insektisida terhadap ikan nila tanpa aerasi ini, kandungan CO2  mengalami

    fluktuasi dengan kecenderungan semakin menigkat. Peningkatan CO2 bebas tersebut dapat

    terjadi karena adanya akumulasi sisa hasil respirasi ikan uji, terlebih lagi dalam uji ini

    dilakukan tanpa perlakuan aerasi. Berdasarkan nilai kandungan CO2 yang diperoleh pada

    akuarium uji dengan perlakuan non aerasi ini masih dapat dikategorikan layak dan baikuntuk pertumbuhan dan perkembangan ikan. Di mana menurut Odum (1993), kandungan

    CO2 bebas yang optimal bagi biota perairan yaitu berkisar antara 6-20 ppm.

    Alkalinitas merupakan suatu parameter kimia perairan yang menunjukkan jumlah

    ion karbonat dan bikarbonat yang mengikat logam golongan alkali tanah pada perairan

    tawar. Alkalinitas juga didefinisikan sebagai kapasitas penyangga (buffer capacity) yang

    menetralkan perubahan pH perairan yang sering terjadi (Effendi,2003). Pembentuk

    alkalnitas yang utama adalah bikarbonat, karbonat dan hidroksida (Irianto, 2005). Pada

     pengukuran alkalinitas diperoleh nilai yang cenderung mengalami kenaikan dalam jangka

  • 8/17/2019 JURNAL EKOTOK

    26/38

    waktu pemaparan bahan toksik 48 jam, namun pada pengamatan 96 jam menurun drastis

    mencapai angka 77 ppm dari sebelumnya yang nilainya mencapai >150 ppm. Akan tetapi

    kisaran alkalinitas pada uji toksisitas tanpa aerasi ini masih berada dalam kondisi optimal,

    sebab menurut Odum (1993), kisaran optimum alkalinitas bagi biota perairan adalah 50-

    200 ppm. Pengamatan parameter kimia dilakukan untuk memastikan bahwa mortalitas

    yang terjadi disebabkan oleh bahan kimia toksik yang diberikan, bukan akibat dari kualitas

    kimia air. Alkalinitas tidak berhubungan langsung dengan CO2, tetapi dengan muatan yang

    ada dalam molekul CO2  tersebut. Semakin tinggi CO2 nya, maka alkalinitasnya semakin

    tinggi (Mulyanto, 2011).

    Tabel 7. Hasil pengamatan parameter mortalitas (non aerasi)

    Konsentrasi

    (ppm)Aerasi

    Kematian (Ekor)

    0 jam 24 jam 48 jam 72 jam 96 jam

    0

    Non-Aerasi

    0 0 0 1 0,5

    0,2 0 0 0 5 0

    0,4 0 0 0 10 0

    0,6 0 0 0 10 0

    0,8 0 0 0,5 9,5 0

    1 0 0 0 10 0

    Tabel tersebut menunjukkan rata-rata angka mortalitas (kematian) ikan uji dari

    dua kali pengulangan setiap konsentrasi bahan toksikan dengan perlakuan non aerasi.

    Terlihat bahwa saat pengamatan 0  –  24 jam pada masing-masing konsentrasi bahan toksik,

    ikan uji belum ada yang mengalami kematian. Hal ini menunjukkan bahwa pada selang

    waktu tersebut senyawa transfluthrin belum bersifat toksik, artinya belum memberikan

    efek merugikan. Hal ini disebabkan ikan uji baru saja dimasukan pada air uji sehingga

     jumlah bahan toksik yang mengalami kontak langsung dengan ikan uji belum banyak

    terakumulasi dalam tubuh ikan uji. Namum, pada pengamatan 48 jam terjadi kematian ikan

    uji sebanyak 1 ekor yakni pada konsentrasi bahan toksik 0,8 ppm dari dua kali

     pengulangan untuk perlakuan yang sama. Ikan uji mulai menunjukkan angka mortalitas

    yang besar saat pengamatan 72 jam. Pada konsentrasi bahan toksik 0 ppm ada 1 ekor ikan

    uji yang mati, hal ini bukan disebabkan oleh faktor bahan toksik melainkan karena

     buruknya kualitas air uji. Pada konsentrasi senyawa toksik transfluthrin 0,2 ppm ada 5 ekor

    ikan yang mati, sedangkan pada konsentrasi bahan toksik 0,4 ppm, 0,6 ppm dan 1 ppm ada

    10 ekor ikan yang terkena efek letal. Kemudian pada konsentrasi bahan toksik 0,8 ppm

  • 8/17/2019 JURNAL EKOTOK

    27/38

    terlihat angka mortalitas senilai 9,5. Berdasarkan hasil yang diperoleh terlihat bahwa efek

    toksisitas akut bahan kimia toksik transfluthrin  terhadap ikan uji yaitu nila terjadi pada

    selang waktu 72 jam. Tingginya mortalitas pada jangka waktu pemaparan 72 jam dengan

     perlakuan tanpa aerasi ini juga dipengaruhi oleh buruknya kualitas air. Berdasarkan tabel

    tersebut terlihat pula bahwa semakin tinggi konsentrasi bahan toksikan angka mortalitas

    cenderung meningkat.

    Grafik 9. Parameter kimia 0 ppm (non aerasi)

    Grafik 10. Parameter kimia 0,2 ppm (non aerasi)

    0 48 96

    DO 7,7 2 1,95

    CO2 11,8 13,6 11

    Alkalinitas 166 164 77

    pH 7,05 7,1 7,05

    Mortalitas 0 0 0,5

    020406080

    100

    120140160180

       K   o   n   s   e   n   t   r   a   s   i    (   p   p   m    )

    Parameter Kimia 0 ppm (non aerasi)

    0 48 96

    DO 7,7 2 1,75

    CO2 10,3 11 0

    Alkalinitas 172 173 0

    pH 7,05 7,1 3,5

    Mortalitas 0 0 0

    020406080

    100120140160180200

       K   o   n   s   e   n   t   r   a   s   i    (   p   p   m    )

    Parameter Kimia 0,2 ppm (non aerasi)

  • 8/17/2019 JURNAL EKOTOK

    28/38

     

    Grafik 11. Parameter kimia 0,4 ppm (non aerasi)

    Grafik 12. Parameter kimia 0,6 ppm (non aerasi)

    0 48 96

    DO 8 2,8 0

    CO2 7,8 11,7 0

    Alkalinitas 170 173 0

    pH 7,1 7,1 0

    Mortalitas 0 0 0

    020406080

    100120140160180200

       K   o   n   s   e   n   t   r   a   s   i    (   p   p   m    )

    Parameter Kimia 0,4 ppm (non aerasi)

    0 48 96

    DO 8,6 1,85 0

    CO2 8 13,4 0

    Alkalinitas 172 176 0

    pH 7,1 7,1 0

    Mortalitas 0 0 0

    020406080

    100120140160180

    200

       K   o   n   s   e   n   t   r   a   s   i    (   p   p   m    )

    Parameter Kimia 0,6 ppm (non aerasi)

  • 8/17/2019 JURNAL EKOTOK

    29/38

     

    Grafik 13. Parameter kimia 0,8 ppm (non aerasi)

    Grafik 14. Parameter kimia 1 ppm (non aerasi)

    Grafik 9 hingga 14 tersebut menjelaskan menjelaskan tentang nilai parameter

    kimia yang meliputi DO, CO2 bebas, alkalinitas, serta pH pada konsentrasi bahan toksik 0 ppm, 0,2 ppm, 0,4 ppm, 0,6 ppm, 0,8 ppm serta 1 ppm terhadap waktu paparan bahan

    0 48 96

    DO 7,7 2,1 0

    CO2 8,5 12,1 0Alkalinitas 176 179 0

    pH 7,1 7,1 0

    Mortalitas 0 0,5 0

    020406080

    100120140160180200

       K   o   n   s   e   n   t   r   a   s   i    (   p   p   m    )

    Parameter Kimia 0,8 ppm (non aerasi)

    0 48 96

    DO 7,4 1,7 0CO2 8,9 10,5 0

    Alkalinitas 177 181 0

    pH 7,1 7,1 0

    Mortalitas 0 0 0

    020406080

    100120140160180200

       K   o   n   s   e   n   t   r   a   s   i    (   p   p   m    )

    Parameter Kimia 1 ppm (non aerasi)

  • 8/17/2019 JURNAL EKOTOK

    30/38

    toksik (transfluthrin), 0 jam, 48 jam dan 96 jam dengan perlakuan non aerasi. Berdasarkan

    grafik 9. yakni pada konsentrasi transfluthrin 0 ppm, tampak bahwa nilai kandungan

    oksigen terlarut dari hari ke hari mengalami penurunan yang sangat signifikan dari yang

    semula 7,7 ppm menjadi 1,95 ppm pada hari keempat (96 jam). Penurunan tersebut dapat

    disebabkan oleh adanya konsumsi oksigen dari ikan uji. Penurunan yang terjadi sangat

    signifikan sebab pada uji toksisitas ini dilakukan tanpa aerasi, sehingga dalam akuarium uji

    tidak terdapat suplai oksigen tetap, dimana oksigen terlarut hanya bersumber dari difusi

    oksigen di atmosfer ke dalam badan air. Kandungan CO2 bebas pada konsentrasi 0 ppm

    yang cenderung fluktuatif, di mana pada pengamatan 48 jam meningkat dari 11,8 ppm

    menjadi 13,6 ppm, kemudian mengalami penurunan menjadi 11 ppm pada pengamatan 96

     jam. Meskipun demikian, kandunagn CO2 bebas dalam akuarium uji tersebut masih dalam

    kisaran normal, seperti yang diungkapkan oleh Odum (1993) bahwa kandungan CO2 bebas

    yang optimal bagi biota perairan yaitu berkisar antara 6-20 ppm. Pada akuarium kontrol ini

    tampak nilai alkalinitasnya semakin menurun dari jangka paparan 0-96 jam, namun masih

    dalam batas yang aman bagi ikan uji. Nilai pH pada konsentrasi 0 ppm selama pemaparan

    senyawa toksik, transfluthrin relatif konstan dan stabil, yakni sebesar 7,05 - 7,1. Sesuai

    dengan pernyataan Lin (1995) yaitu kisaran pH yang optimal bagi kelangsungan hidup dan

     pertumbuhan ikan nila adalah 6.5  –   8. Dengan demikian, pada akuarium dengan

    konsentrasi transfluthrin 0 ppm dapat dikatakan dalam kondisi yang kurang baik sebagai

    tempat hidup ikan sebab kandungan DO pada akuarium kontrol ini sangat sedikit sehingga

    kurang mampu menunjang metabolisme ikan uji. Hal tersebut tampak dari adanya

    kematian pada ikan uji pada pengamatan 96 jam.

    Berdasarkan grafik 10. yakni pada konsentrasi insektisida 0,2 ppm mengalami

     penurunan kandungan DO yang sangat signifikan pada pengamatan 48 jam, yakni dari 7,7

     ppm menjadi 2 ppm dan semakin menurun pada pengamatan 96 jam menjadi 1,75 ppm.Mengacu pada pernyataan Kordi dan Ghufran (2010), nila membutuhkan perairan dengan

    kandungan oksigen minimal 3 ppm untuk pertumbuhan optimalnya, dengan demikian

    akuarium uji pada konsentrasi bahan toksik sebesar 0,2 ppm, tidak layak sebagai habitat

    ikan nila khususnya mulai pada jangka waktu paparan bahan toksik 48 jam. Kandungan

    CO2 bebas pada konsentrasi trasfluthrin 0,2 ppm ini cenderung meningkat, dari 10,3 ppm

    menjadi 11 ppm. Meskipun demikian, kandunagn CO2 bebas dalam akuarium uji tersebut

    masih dalam kisaran normal, seperti yang diungkapkan oleh Odum (1993) bahwa

    kandungan CO2  bebas yang optimal bagi biota perairan yaitu berkisar antara 6-20 ppm.

  • 8/17/2019 JURNAL EKOTOK

    31/38

    Kandungan alkalinitasnya pun cenderung stabil yakni bekisar antara 172-173 ppm. Namun

    nilai pH pada akuarium dengan konsentrasi bahan toksik 0,2 ppm ini tampak kurang stabil,

    dimana nilainya mengalami penurunan yang signifikan pada waktu pemaparan bahan

    toksik 96 jam, yakni mencapai 3,5.

    Berdasarkan grafik 11. yakni pada konsentrasi insektisida 0,4 ppm mengalami

     penurunan kandungan DO pada dari 8 ppm menjadi 2,8 ppm. Mengacu pada pernyataan

    Kordi dan Ghufran (2010), nila membutuhkan perairan dengan kandungan oksigen

    minimal 3 ppm untuk pertumbuhan optimalnya, dengan demikian akuarium uji pada

    konsentrasi bahan toksik sebesar 0,4 ppm dapat dikatakan tidak layak berdasarkan

    kandungan DO – nya khususnya mulai pada jangka waktu paparan bahan toksik 48 jam.

    Kemudian kandungan CO2  bebas pada konsentrasi transfluthrin 0,4 ppm ini mengalami

     peningkatan dari hari ke hari, demikian pula pada kadar alkalinitas. Dimana, nilai

    keduanya masih berada pada kisaran optimum untuk pertumbuhan ikan, yakni 8 ppm, 13,4

     ppm untuk CO2 dan 170 ppm dan 173 ppm untuk kandungan alkalinitas. Sementara itu,

    nilai pH pada akuarium dengan konsentrasi bahan toksik 0,4 ppm ini juga tampak stabil

    dan konstan, dengan nilai 7,1.

    Berdasarkan grafik 12. yakni pada konsentrasi insektisida 0,6 ppm mengalami

     penurunan kandungan DO pada pengamatan 48 jam, yakni dari 8,6 ppm menjadi 1,85 ppm.

    Mengacu pada pernyataan Kordi dan Ghufran (2010), nila membutuhkan perairan dengan

    kandungan oksigen minimal 3 ppm untuk pertumbuhan optimalnya, dengan demikian

    dapat diartikan bahwa pada akuarium dengan konsentrasi bahan toksik sebesar 0,6 ppm,

    kandungan DO  – nya tidak berada pada rentang optimal khususnya dimulai dari

     pengamatan 48 jam hingga 96 jam. Kandungan CO2 bebas pada konsentrasi transfluthrin

    0,6 ppm ini mengalami peningkatan dari hari ke hari, demikian pula pada kadar alkalinitas.

    Dimana, nilai keduanya masih berada pada kisaran optimum untuk pertumbuhan ikan. Nilai pH pada akuarium dengan konsentrasi bahan toksik 0,6 ppm ini juga tampak stabil

    dan konstan, dengan nilai 7,1.

    Berdasarkan grafik 13. yakni pada konsentrasi insektisida 0,8 ppm mengalami

     penurunan kandungan DO yang signifikan pada pengamatan 48 jam, yakni dari 7,4 ppm

    menjadi 1,7 ppm. Mengacu pada pernyataan Kordi dan Ghufran (2010), nila membutuhkan

     perairan dengan kandungan oksigen minimal 3 ppm untuk pertumbuhan optimalnya,

    dengan demikian dapat diartikan bahwa pada akuarium dengan konsentrasi bahan toksik

    sebesar 0,8 ppm, kandungan DO  – nya tidak berada pada rentang optimal khususnya

  • 8/17/2019 JURNAL EKOTOK

    32/38

    dimulai dari pengamatan 48 jam hingga 96 jam. Kandungan CO2 bebas pada konsentrasi

    transfluthrin 0,8 ppm ini mengalami peningkatan dari hari ke hari, demikian pula pada

    kadar alkalinitas. Dimana, nilai keduanya masih berada pada kisaran optimum untuk

     pertumbuhan ikan. Nilai pH pada akuarium dengan konsentrasi bahan toksik 0,8 ppm ini

     juga tampak stabil dan konstan, dengan nilai 7,1.

    Berdasarkan grafik 6. yakni pada konsentrasi insektisida 1 ppm mengalami

     penurunan kandungan DO yang sangat drastis pada pengamatan 48 jam, yakni dari 7,4

     ppm menjadi 1,7 ppm. Mengacu pada pernyataan Kordi dan Ghufran (2010), nila

    membutuhkan perairan dengan kandungan oksigen minimal 3 ppm untuk pertumbuhan

    optimalnya, dengan demikian dapat diartikan bahwa pada akuarium dengan konsentrasi

     bahan toksik sebesar 1 ppm, kandungan DO – nya tidak berada pada rentang optimal

    khususnya dimulai dari pengamatan 48 jam hingga 96 jam. Kandungan CO2 bebas pada

    konsentrasi transfluthrin 1 ppm ini mengalami peningkatan dari hari ke hari, demikian pula

     pada kadar alkalinitas. Dimana, nilai keduanya masih berada pada kisaran optimum untuk

     pertumbuhan ikan. Nilai pH pada akuarium dengan konsentrasi bahan toksik 1 ppm ini

     juga tampak stabil dan konstan, dengan nilai 7,1.

    Grafik 15. Mortalitas vs konsentrasi (non aerasi)

    Grafik 15. menjelaskan hubungan antara kematian ikan uji dengan konsentrasi

     bahan toksik selama 96 jam pengamatan. Berdasarkan grafik terlihat bahwa semakin tinggi

    konsentrasi bahan toksik, angka mortalitas ikan uji cenderung meningkat. Berdasarkan

    grafiktersebut tampak bahwa pada pengamatan 72 jam terjadi mortalitas yang tinggi pada

    0 0,2 0,4 0,6 0,8 1

    0 jam 0 0 0 0 0 0

    24 jam 0 0 0 0 0 0

    48 jam 0 0 0 0 0,5 0

    72 jam 1 5 10 10 9,5 10

    96 jam 0,5 0 0 0 0 0

    02468

    1012

       A   x   i   s   T   i   t    l   e

    Mortalitas VS Konsentrasi Non Aerasi

  • 8/17/2019 JURNAL EKOTOK

    33/38

    masing-masing konsentrasi. Pada konsentrasi bahan toksik 0 ppm terdapat saat

     pengamatan 72 jam frekuensi mortalitasnya 1 dan saat pengamatan 96 jam frekuensi

    mortalitasnya 0,5. Padahal akuarium uji tersebut tidak ada bahan toksik yang dimasukkan.

    Hal ini menunjukkan mortalitas yang terjadi dipengaruhi oleh semakin menurunnya

    kualitas air setelah beberapa hari pemeliharaan ikan tanpa pakan dan tanpa aerasi. Pada

    konsentrasi bahan kimia toksik 0,2 ppm, frekuensi mortalitasnya 5 pada saat pengamatan

    72 jam. Kemudian, di waktu yang sama, pada konsentrasi bahan toksik 0,4 ppm dan 0,6

     ppm frekuensi mortalitasnya 10. Sedangkan pada konsentrasi bahan kimia toksik 0,8 ppm,

    saat pengamatan 48 jam frekuensi mortalitasnya 0,5 dan saat pengamatan 72 jam frekuensi

    mortalitasnya 9,5. Pada konsentrasi bahan kimia toksik 1 ppm, yakni pada saat pengamatan

    72 jam frekuensi mortalitasnya 10. Besarnya nilai frekuensi mortalitas pada saat

     pengamatan 72 jam menunjukkan bahwa pada waktu tersebut mulai timbul efek toksisitas

    akut ikan nila terhadap bahan kimia toksik transfluthrin. Hal ini terjadi karena semakin

    lama waktu pemaparan dengan toksikan maka pengaruhnya terhadap ikan semakin besar,

     jika ikan tidak mampu beradaptasi maka ikan mati. Sedangkan, semakin besar konsentrasi

     bahan kimia toksik maka semakin kuat pula efek toksik yang dapat mengganggu

    kelangsungan hidup ikan uji. Oleh karena itu semakin tinggi konsentrasi bahan toksik nilai

    mortalitas cenderung mengalami peningkatan.

    Grafik 16. LC50-72 jam (non aerasi)

    y = 2,066x - 3,416

    R² = 0,619

    -2

    -1

    0

    1

    2

    3

    4

    5

    6

    7

    8

    0 24 48 72

    Mortalitas Non Aerasi 72 Jam

    Mortalitas Non

    Aerasi 72 Jam

    Linear (MortalitasNon Aerasi 72 Jam)

  • 8/17/2019 JURNAL EKOTOK

    34/38

     

    Grafik 17. LC50-96 jam (non aerasi)

    Berdasarkan Grafik LC50-72 jam pada perlakuan non aerasi diperoleh hasil analisis

    regresi linier yaitu y = 2,066x + 3,416, dimana y merupakan variabel terikat yang

    menunjukkan mortalitas hewan uji pada 72 jam. Nilai a merupakan titik potong sumbu Y

    nilainya sebesar 3,416 dan b merupakan kemiringan garis regresi yang nilainya sebesar

    2,066. Kemudian x merupakan konsentrasi transfluthrin. Berdasarkan hasil pengamatan,

    tidak didapatkan LC50-72 jam transfluthrin ikan nila tanpa aerasi sebesar 3,943 ppm. Dari

    grafik LC50-72 jam, tampak nilai R 2 sebesar 61,9%. Nilai R 2 tersebut, merupakan koefisien

    determinasi yang menunjukkan seberapa besar variable x mempengaruhi variable y. Jadi,

    diketahui bahwa konsentrasi mempengaruhi mortalitas sebesar 61,9% dan sisanya

    dipengaruhi oleh faktor lain, seperti misalnya kualitas air dan lain sebagainya.

    Berdasarkan Grafik LC50-96 jam pada perlakuan non aerasi diperoleh hasil analisis

    regresi linier yaitu y = 0,716x + 0,716, dimana y merupakan variabel terikat yang

    menunjukkan mortalitas hewan uji pada 96 jam. Nilai a merupakan titik potong sumbu Ynilainya sebesar 0,716 dan b merupakan kemiringan garis regresi yang nilainya sebesar

    0,716. Kemudian x merupakan konsentrasi transfluthrin. Berdasarkan hasil pengamatan,

    tidak didapatkan LC50-96 jam transfluthrin ikan nila tanpa aerasi sebesar 29,297 ppm. Nilai

    tersebut jauh berbeda dengan nilai yang dikemukakan oleh Wiyono (2006), bahwa LC50-96 

     jam transfluthrin nilainya adalah sebesar 0.486 mg/l dengan batas atas sebesar 0.753mg/l

    dan batas bawah sebesar 0.3118 mg/l. Dari grafik LC50-96 jam, tampak nilai R 2  sebesar

    14%. Nilai R 2  tersebut, merupakan koefisien determinasi yang menunjukkan seberapa

     besar variable x mempengaruhi variable y. Jadi, diketahui bahwa konsentrasi

    y = 0,716x - 0,716R² = 0,140

    0

    1

    2

    3

    4

    5

    6

    7

    8

    0 24 48 72 96

    Mortalitas Non Aerasi 96 jam

    Mortalitas Non

    Aerasi

    Linear (Mortalitas

    Non Aerasi)

  • 8/17/2019 JURNAL EKOTOK

    35/38

    mempengaruhi mortalitas sebesar 14% dan lainnya dipengaruhi oleh faktor lain, seperti

    misalnya kualitas air dan lain sebagainya.

    Pada praktikum ini menggunakan senyawa toksik yaitu transfluthrin. Transfluthrin

    merupakan jenis toksik yang berasal dari turunan phyrothroid. Transfluthrin dianggap

    sebagai salah satu jenis insektisida pirethroid yang cepat bertindak dengan persistensi

    rendah. Sigit dan Hadi (2006) menjelaskan bahwa, berdasarkan toksisitasnya insektisida

    dapat digolongkan menjadi golongan IA (sangat berbahaya sekali), IB (sangat berbahaya),

    II (berbahaya), III (cukup berbahaya), dan golongan IIIU (tidak berbahaya jika digunakan

    secara normal). Kemudian Becker et al. (2010) menambahkan, transfluthrin termasuk

    insektisida golongan pyrethroids yang memiliki tingkat toksisitas IIIU. Dengan demikian

    dapat diartikan bahwa senyawa trasfluthrin tergolong sebagai senyawa yang tidak

     berbahaya selama penggunaannya dilakukan secara normal atau dengan kata lain tidak

     berlebihan. Oleh karena itulah, pada uji toksisitas insektisida (transfluthrin) dengan

     perlakuan aerasi selama 96 jam tidak terdapat ikan uji yang mati dan tidak diperoleh nilai

    LC50-96  jam. Sementara pada perlakuan non aerasi terdapat banyak individu yang

    mengalami kematian. Hal tersebut menunjukan bahwa tidak sepenuhnya kematian atau

    mortalitas hewan uji dipengaruhi oleh adanya bahan pencemar, transfluthrin.

    KESIMPULAN

    Daya racun (toksisitas) dapat diukur dengan menggunakan uji toksisitas terhadap bahan

     pencemar. Penentuan toksisitas suatu bahan kimia dapat dilakukan dengan penghitungan

    LC50 senyawa toksin tersebut terhadap organisme akuatik. Pemberian transfluthrin dengan

    konsentrasi tertentu ke dalam air dapat menyebabkan efek merugikan bagi ikan nila yang

    terpapar langsung dengan senyawa tersebut. Pada perlakuan aerasi tidak menimbulkan

    mortalitas sementara dengan perlakuan non aerasi menyebabkan mortalitas yang tinggi

     pada jangka waktu paparan 72 jam. Dari hasil pengamatan, diketahui nilai LC50-72 jam ikan

    nila (Oreochromis niloticus) non aerasi adalah 3,943 , kemudian LC50-96  jam pada non

    aerasi sebesar 29,297 sedangkan LC50-96 jam pada perlakuan aerasi tidak dapat ditentukan.

    SARAN

    1. 

    Pada grafik parameter kimia tidak menggambarkan mortalitas dengan jelas, sebab datayang tercantum hanya setengah, sehingga tidak dapat di bahas dengan baik hubungan

  • 8/17/2019 JURNAL EKOTOK

    36/38

     parameter kimia dengan mortalitas. Alangkah baiknya apabila pengukuran parameter

    kimia juga dilakukan 24 jam sekali agar benar-benar tampak pengaruhnya.

    2. 

    Alangkah baiknya apabila jenis bahan pencemar yang digunakan pada praktikum

    selanjutnya diganti, sebab bahan pencemar yang berasal dari senyawa yang

    terkandung pada pembasmi nyamuk tersebut menurut saya efeknya sangat kecil sekali

    terhadap lingkungan perairan karena penggunaannya yang tidak bersinggungan

    langsung dengan lingkungan perairan.

    DAFTAR PUSTAKA

    Arie, U.1999. Pembenihan dan Pembesaran Nila Gift. Penebar Swadaya. Jakarta. 56 hlm.

    Becker, N. et al. 2010. Mosquitoes and Their Control. Springer. Heidelberg.

    Boyd, C.E. 1990. Water Quality in Ponds for Aquaculture. Birmingham Publishing Co.

    Birmingham.

    Depkes. 1994. Pedoman Pengendalian Pencemaran Udara Ambien yang Berhubungan

    Dengan Kesehatan Masyarakat. Departemen Kesehatan RI. Jakarta.

    Effendi, H. 1998. Telaah Kualitas Air bagi Pengelolaan Sumberdaya dan Lingkungan

    Perairan. Institut Pertaninan Bogor Press. Bogor

    Effendi, H. 2003. Telaah Kualitas Air bagi Pengelolaan Sumber Daya dan Lingkungan

    Perairan. Cetakan Kelima. Kanisius. Yogjakarta.

    Hadi, U.K. dan Sigit. 2006. Hama Pemukiman Indonesia. Fakultas Kedokteran Hewan

    IPB. Bogor.

    Heat, A.G. 1987. Water Pollution and Fish Physiology. Department of Biology, Virginia

    Politechnic Institute and State University. C&C Press, Inc. Florida. USA.

    Hindarti, D. 1997. Metode uji toksisitas Dalam : Metode Analisis Air Laut, Sedimen dan

    Biota. Buku 2. Pusat Penelitian dan Pengembangan Oseanologi:160-168.

    Hynes, H. B. N. 1970. The Ecology of Running Water. Univ. Toronto Press. Canada.

    Irianto, A. 2005. Patologi Ikan Teleostei. Cetakan Pertama. Gadjah Mada University Press.

    Yogyakarta.

    Kordi dan K. M. Ghufran. 2010. Budidaya Ikan Nila di Kolam Terpal. ANDI. Yogyakarta.

    Kurniawan, D. 2008. Hand Book Regresi Linier. Forum Statistika. Jakarta.

    Matsumura, F. 1975. Toxicology of Insecticides. Plenum Press. New York.

  • 8/17/2019 JURNAL EKOTOK

    37/38

    Mulyanto. 2011. Gas-Gas Terlarut dalam Air Laut. FPIK-UB. Malang.

     Novotny, V. dan Olem H. 1994. Water Quality: Prevention, Identification, and

    Management of Diffuse Pollution. van Nostrand Reinhold. New York.

    Odum, E.P. 1993. Dasar-Dasar Ekologi. Edisi ketiga . Gajah Mada University Press.

    Jogjakarta. H. 134-162.

    Pemba, D.and Kadangwe, C. 2012. "Mosquito Control Aerosols' Efficacy Based on

    Pyrethroids Constituents", Insecticides - Advances in Integrated Pest Management.

    Shanghai: InTech, pp. 601-610.

    Popma, T dan Michael M. 1999. Tilapia Life History and Biology. SRAC Publication No

    283.

    Purba, M. 2006. Kimia I. Erlangga. Jakarta.

    Rochdianto, A. 2009. Budidaya Ikan Nila. Tabanan. Dinas Perikanan dan Kelautan

    Kabupaten Tabanan. Bali.

    Sigit, S.H.and Hadi, U.K 2006. Hama Permukiman Indonesia (Pengenalan, Biologi dan

    Pengendalian). Fakultas Kedokteran Hewan IPB. Bogor.

    Soetjipta. 1992. Dasar-Dasar Ekologi Hewan. Gadjah Mada Press. Yogyakarta.

    Trewavas, E., 1983. Tilapiine Fishes Of The Genera Sarotherodon, Oreochromis and

    Danakilia. British Mus. Nat. Hist. London. 583 p.

    Wardoyo, S.T.H. 1989. Kriteria Kualitas Air untuk Pertanian dan Perikanan. Makalah pada

    Seminar Pengendalian Pencemaran Air. Dirjen Pengairan Departemen Pekerjaan

    Umum. Bandung.

    Wiyono, E. 2006. Uji toksisitas transfluthrin yang terkandung dalam pestisida terhadap

    ikan nila (Oreochromis). Jurnal iptek : media komunikasi teknologi. LPPM Institut

    Teknologi Adhi Tama. 9(2) : 73-84

    Zahri, A. 2008. Pengaruh Alkyl Benzena Sulfonate (LAS) Terhadap Tingkat Mortalitasdan Kerusakan Stuktural Jaringan Insang pada Ikan Nila (O. niloticus L.). Program

    Studi Teknologi Budidaya Perairan Politeknik Perikanan Negeri Tual. Maluku Utara.

  • 8/17/2019 JURNAL EKOTOK

    38/38

     

    LAMPIRAN