93
SUSUNAN REDAKSI Penanggungjawab : Uli Parulian Sihombing, SH, LL.M Redaktur Pelaksana : Pultoni, AM, SH Dewan Redaksi : Prof. Dr. Soetandyo Wignjosoebroto Prof. Dr. Muhammad Zaidun, SH Dadang Trisasongko Renata Arianingtyas Uli Parulian Sihombing Sony Setyana Siti Aminah Keuangan dan Sirkulasi : Evi Yuliawaty Herman Susilo Alamat Redaksi : Jl. Tebet Timur I No. 4, Jakarta Selatan, Phone : 021-93821173, Fax : 021- 8356641, Email : [email protected], Website : www.mitrahukum.org Penerbitan Jurnal Keadilan Sosial edisi 2 didukung oleh; Open Society Institute (OSI)

Jurnal-2.pdf

Embed Size (px)

Citation preview

  • S U S U N A N R E D A K S I

    Penanggungjawab : Uli Parulian Sihombing, SH, LL.M

    Redaktur Pelaksana : Pultoni, AM, SH

    Dewan Redaksi :Prof. Dr. Soetandyo WignjosoebrotoProf. Dr. Muhammad Zaidun, SH Dadang TrisasongkoRenata ArianingtyasUli Parulian SihombingSony SetyanaSiti Aminah

    Keuangan dan Sirkulasi : Evi Yuliawaty Herman Susilo

    Alamat Redaksi : Jl. Tebet Timur I No. 4,Jakarta Selatan, Phone : 021-93821173, Fax : 021- 8356641, Email : [email protected], Website : www.mitrahukum.org

    Penerbitan Jurnal Keadilan Sosial edisi 2 didukung oleh;Open Society Institute (OSI)

  • DAFTAR ISI

    Pengantar Redaksi

    DiskursusPenyelenggaraan Pendidikan Hukum Menuju Pemban-gunan dan Pengembangan Daya Saing BangsaOleh : Agus Lanini dan Amrinif

    Konsep Asosiasi Legal Clinic di Beberapa Negara dan Urgensi Pembentukannya di IndonesiaOleh : Pultoni

    Tulisan TamuPesan Konstitusional Keadilan SosialOleh : Jimly Asshiddiqie

    Telaah BukuKonstitusi EkonomiOleh : Uli Parulian Sihombing

    Telaah KasusKasus Ahmadiyyah dalam Persfektif Keadilan Sosial Oleh : Siti Aminah

    Para Kontributor Menulis di Jurnal Keadilan SosialTentang ILRC

    v

    1

    13

    35

    43

    49

    75 7779

  • iv

  • PENGANTAR REDAKSI

    Pendidikan Tinggi Hukum Sebagai Pendidikan Manusia

    Ada dua kutub yang saling bersinggungan dalam orientasi pendidikan tinggi hukum yaitu pengembangan keterampilan (skill/professional) yang berbasis pada penggunaan hukum dan cara-cara penggunaan hukum tersebut, dan untuk kepentingan akademik. Kedua-duanya dibutuhkan di dalam titik tertentu, dan tidak bisa dipisahkan. Sejalan dengan perkembangan sosial, ekonomi dan politik, orientasi pendidikan tinggi hukum ternyata juga ditujukan untuk kemanusiaan dan manusia. Satjipto Raharjo telah mengang-kat orientasi pendidikan tinggi hukum menuju kemanusian dan manusia (2009). Intinya, kurikulum pendidikan tinggi hukum harus lebih menekankan pengajaran yang bermuatan kemanusian dan manusia. Di mana pada saat mahasiswa/mahasiswi masuk ke du-nia pendidikan hukum maka yang pertama-tama diajarkan adalah tentang keadilan, ketidakadilan, diskriminasi dan hal-hal yang lain berhubungan dengan kemanusiaan dan manusia. Jurnal Keadilan Sosial pada edisi II ini mengangkat tema ten-tang pendidikan tinggi hukum. Hal ini sejalan dengan program yang sedang digagas oleh ILRC yaitu pendidikan tinggi hukum berbasis keadilan sosial. Keadilan sosial sangat erat hubungannya dengan distribusi sumber daya yang adil, dan sifatnya lokalitas. Kemudian penerapan keadilan sosial tidak boleh diskriminatif dan menghar-gai nilai-nilai Hak-hak Azasi Manusia (HAM), walaupun ada tinda-kan afirmatif untuk kelas/kelompok termarjinalkan di masyarakat tetapi itupun sifatnya sementara. Di dalam keadilan sosial, nilai-nilai kemanusiaan yang harus didahulukan. Oleh karena itu, pendi-dikan tinggi hukum sejak awal harus menyerap nilai-nilai kemanu-siaan.

  • PENG

    ANTARR

    EDAK

    SI Orientasi pendidikan tinggi hukum seharusnya juga men-gakomodir nilai-nilai kemanusiaan. Kurikulum pendidikan tinggi hukum harus mampu memberikan wawasan kepada mahasiswa/mahasiswi tentang realitas kondisi sosial dan politik di masyara-kat, dan juga kondisi ideal tentang keadilan itu sendiri khususnya berkaitan dengan keadilan sosial dan HAM, karena hukum itu send-iri bukanlah variable independen, melainkan dia sangat tergantung perkembangan disiplin ilmu yang lain terutama ilmu sosial, poli-tik dan antropologi. Tentunya, ada metode penyampaian wawasan keadilan dan juga aspek-aspek humanitas yang lainnya dilakukan secara adaptif dan komunikatif. Pendidikan tinggi hukum yang berorientasi pasar akan me-nyebabkan mahasiswa/mahasiswi terasing dengan dinamika ke-hidupan sosial dan politik di masyarakat. Begitu juga, orientasi pendidikan tinggi hukum yang lebih menekankan pada aspek ak-ademis, akan menyebabkan mahasiswa/mahasiswi sulit mener-apkan apa yang mereka peroleh di bangku kuliah. Mahasiswa/mahasiswi tentunya membutuhkan baik keterampilan penerapan hukum, dan juga aspek teori dari hukum itu sendiri. Kemudian, as-pek humanitas dapat membawa mahasiswa/mahasiswi akan me-mahami realitas keadilan di masyarakat dan bagaimana menyikap-inya. Kondisi dunia pengadilan di negeri kita yang hampir lumpuh akibat praktek korupsi, ini berarti terdapat permasalahan pemaha-man dan penerapan aspek humanitas dari para aparat penegak hu-kum. Ternyata aspek religiositas saja tidak cukup untuk mengikat aparat penegak hukum untuk berkomitmen atas keadilan. Untuk itu aplikasi dan pemahaman yang matang atas aspek humanitas dibutuhkan tidak hanya untuk aparat penegak hukum, tetapi juga pendidikan tinggi hukum harus mengakomodir aspek humanitas tersebut baik di dalam kurikulumnya maupun metode pengajaran.

    Jakarta, Juni 2011

    Uli Parulian SihombingDirektur Eksekutif ILRC

  • Jurnal Keadilan Sosial [Edisi II/ 2011] 1

    DISKURSUS

    Penyelenggaraan Pendidikan Hukum Menuju Pembangunan dan Pengembangan Daya Saing Bangsa

    Oleh : Agus Lanini dan Amrinif

    ABSTRAKSITujuan pendidikan hukum adalah mahasiswa fakultas hukum diharapakan tidak sekedar mengetahui teori hukum dan per-aturan perundang-undangan, tetapi sensitif terhadap berlaku-nya hukum di tengah masyarakat. Pemikiran dan pendekatan yang bersifat positivistik merupakan salah satu unsur yang ada dalam pendidikan hukum dan dominan dalam pendidikan hukum Indonesia. Akibatnya, lulusan fakultas hukum yang akan ber-peran sebagai penegak hukum akan menggunakan pendekatan positivis dan tidak memperhatikan rasa keadilan ditengah ma-syarakat. Pendidikan dengan wajah seperti ini seharusnya sudah mulai ditinggalkan dan beralih lepada konsep hukum progresif. Hukum progresif berpegang pada paradigma hukum untuk ma-nusia. Hukum dianggap sebagai jembatan antara undang-un-dang yang statis dengan penerapannya di masa kini dan masa yang akan datang. Hukum bertugas untuk menuntun dan melay-ani masyarakat. Pendidikan progresif dicirikan sebagai pendi-dikan yang (1) kreatif; (2) responsif; (3) protagonis; (4) berwatak pembebasan dan (5) berorientasi pada Indonesia dan kebutuhan Indonesia. Penerapan kurikulun berbasis kompetensi dalam pendidikan hukum dengan merubah metode belajar, kurikulum dan mengembangkan kemampuan berfikir kritis mahasiswa, di-tunjang tenaga pengajar yang profesional dan memperkenalkan pendidikan hukum progresif diharapkan mampu membawa iklim baru dalam dunia pendidikan hukum yang pada akhirnya ber-muara pada penerapan hukum dalam masyarakat.

    Kata Kunci : Pendidikan Hukum, Kurikulum Berbasis Kompetesi, Metode Belajar, Pendidikan Hukum Progresif.

  • 2 Jurnal Keadilan Sosial [Edisi II/ 2011]

    DISK

    URSU

    S PENDAHULUAN Dalam era kompetitif yang semakin terbuka, bangsa Indone-sia mau tidak mau harus terjun dalam persaingan tersebut. Indo-nesia tidak dapat terus bersembunyi dari dinamika globalisasi dan harus menjawab tantangan meningkatkan kualitas sumber daya manusia diberbagai bidang, khususnya di bidang hukum. Upaya ini dapat dilakukan dengan memperbaiki sistem pendidikan nasional, diantaranya adalah pendidikan hukum. Indonesia harus berupaya mengatasi ketidaksiapan lulusannya untuk bersaing dengan sarja-na hukum asing, menghapus image bahwa sarjana hukum Indoesia tidak siap pakai dan berbagai image negatif lainnya yang mengindi-kasikan rendahnya kualitas lulusan fakultas hukum. Tujuan pendidikan hukum yang ditekankan dewasa ini adalah mahasiswa fakultas hukum diharapakan tidak sekedar mengeta-hui teori hukum dan peraturan perundang-undangan, tetapi sensitif terhadap berlakunya hukum di tengah masyarakat. Dalam hal ini, Mochtar Kusumaatmadja, menekankan pengkajian hukum dilaku-kan dengan pendekatan sosiologis. Sehingga hukum akan selalu terkait dengan pembangunan sosial-ekonomi. Untuk dapat menca-pai tujuan tersebut, yang diperlukan adalah sebuah pembaharuan pendidikan hukum yang diterjemahkan secara luas dalam rangka memenuhi kebutuhan masyarakat dan tantangan globalisasi. Pem-baharuan secara luas yang dimaksud adalah sebuah reorietasi pendidikan hukum pada pencapaian tujuan pendidikan hukum serta membawa pendidikan hukum dan hukum itu sendiri sebagai sarana pembangunan. Terdapat beberapa hal yang patut diperhatikan dalam mencermati perkembangan pendidikan di Indonesia, diantaranya adalah pengembangan kualitas sumber daya manusia melalui pe-nyelenggaraan pendidikan hukum berbasis kompetensi. Kurikulum berbasis kompetensi dapat diterjemahkan sebagai perwujudan re-orientasi pendidikan hukum nasional. Ada beberapa hal yang perlu digaris bawahi dalam melakukan reorientasi pendidikan hukum. Kurikulum pendidikan hukum tidak mengalami perubahan yang berarti dari zaman penjajahan Belanda, mata kuliah dan metode belajar yang diterapkan cenderung statis. Sehingga apa yang di-harapkan masyarakat mapun elemen lainnya dari lulusan fakultas hukum sekarang ini tidak tercapai. Untuk itu reorietasi yang perlu

  • Jurnal Keadilan Sosial [Edisi II/ 2011] 3

    DISKURSUS

    dilakukan dalam pendidikan hukum adalah menerjemahkan kuri-kulum berbasis kompetensi dan menerapkan pendidikan hukum progresif.

    Kurikulum Berbasis Kompetesi Tujuan penyelenggaraan pendidikan hukum seperti yang disebutkan dalam kurikulum tahun 1993 adalah memberikan dasar akademis atau teori ilmu hukum disamping berusaha menekankan aspek keterampilan hukum (legal skills) dan penguasaan hukum positif secara praktis. Berdasarkan tujuan tersebut, mahasiswa seharusnya memiliki keterampilan hukum dalam mengaplikasikan pendidikan akademis atau teori ilmu hukum yang diperoleh. Per-masalahannya kemudian adalah bagaimana melaksanakan peny-elenggaraan pendidikan hukum agar mahasiswa tidak sekedar tahu teori hukum tetapi juga memiliki keterampilan hukum (legal skills) dalam mengaplikasikan ilmunya. Dewasa ini sedang berkembang sistem pendidikan dengan Kurikulum Berbasis Kompetensi/KBK (Competence Based Cur-riculum). KBK diselenggarakan baik pada jenjang pendidikan dasar maupun pendidikan menengah dan pendidikan tinggi. Kebijakan ini perlu direspon oleh penyelenggara pendidikan hukum dalam rang-ka memenuhi kebutuhan masyarakat akan lulusan fakultas hukum yang kompeten dalam profesi tradisional hukum1 dan memiliki daya saing tinggi. SK Mendiknas No 045/U/2002 mengemukakan kompetensi sebagai seperangkat tindakan cerdas dan penuh tanggungjawab yang dimiliki seseorang untuk dianggap mampu dalam melak-sanakan tugas atau pekerjaan tertentu. KBK adalah kurikulum menggunakan pendekatan kompetensi yang menekankan pada pengembangan daya kognisi, afeksi, dan psikomotorik pelajar dan pola pengembangan kurikulum bersifat desentralisasi. KBK send-iri dilahirkan sebagai respons atas berbagai persoalan di seputar pendidikan, di antaranya bahwa perkembangan kedewasaan pe-lajar dalam proses pembelajaran juga ditentukan oleh lingkungan dan relasi sosial. Sehingga pengalaman hidup pelajar juga menjadi materi/bahan ajar yang penting.

    1 Profesi tradisional hukum yang dimaksud adalah penegak hukum diantaranya jaksa, hakim, advokat dan notaris

  • 4 Jurnal Keadilan Sosial [Edisi II/ 2011]

    DISK

    URSU

    S KBK dalam implementasi alur pembelajaran menitikberat-kan pada beberapa hal, di antaranya: (1) Menekankan pada keter-capaian kompetensi pelajar baik secara individual maupun klasikal (kelompok); (2) Berorientasi pada hasil belajar (learning out comes) dan keberagaman; (3) Penyampaian dalam pembelajaran menggu-nakan pendekatan dan metode yang bervariasi; dan (4) Penilaian menekankan pada proses dan hasil belajar dalam upaya pengua-saan atau pencapaian suatu kompetensi 2. Ada tiga ciri yang melekat pada lulusan fakultas hukum se-bagai kompetensinya dalam menjalankan profesi hukum, dianta-ranya :

    Pertama adalah lulusan fakultas hukum harus mampu meli-hat suatu masalah di tengah masyarakat dari perspektif yang berbeda dengan menemukan suatu fakta dari sudut pandang berbedaKedua adalah kekuatan untuk mencari dasar dari argumen-tasi. Dalam hal ini diperlukan pengetahuan hukum yang luas bagi mahasiswa untuk dapat mengemukakan pendapat-pendapat hukum. Penting bagi mahasiswa untuk memiliki ke-mampuan melakukan penulusuran terhadap berbagai bahan hukum.Ketiga adalah kemampuan untuk menyampaikan argumen-tasi secara meyakinkan dalam suatu forum baik lisan mapun tertulis3.

    Kemampuan dasar yang pertama dan paling penting adalah kemampuan untuk berpikir kritis analitis. Perlu digarisbawahi bah-wa belajar hukum bukan menghafal pasal-pasal, namun bagaimana membentuk kerangka berpikir yang kritis sehingga mampu men-ganalisa persoalan hukum dengan baik melalui seuatu proses pe-nalaran (analiysis skills). Kemampuan ini yang kemudian berimbas pada kemampuan dasar lainnya yang perlu dimiliki. Seorang sar-jana hukum diharapkan untuk memahami asas, prinsip dan keten-tuan hukum yang dipelajarinya sehingga memahami latar belakang dan logika dibalik mengapa hal tersebut diatur termasuk mengenai 2 Trisno Yulianto, Kurikulum Berbasis Kompetensi, http://www.freelists.org, diakses 25 April 2007 3 Hikmanto Juwana, Reformasi Pendidikan Hukum di Indonesia, www.peman-tauperadilan.com, diakses 25 Maret 2007 pukul 10.00 WITA

  • Jurnal Keadilan Sosial [Edisi II/ 2011] 5

    DISKURSUS

    kaidah-kaidah dasar dalam hukum acara. Untuk dapat memenuhi kualifikasi seperti yang disyaratkan di atas, KBK harus tercermin dalam kurikulum pendidikan hukum. Hal ini tentunya agar dapat mengarahkan mahasiswa untuk mam-pu berargumentasi secara ilmiah dalam melakukan pemecahan masalah-masalah hukum di tengah masyarakat. Dalam konteks hukum, pemecahan masalah dengan mengemukakan argumentasi hukum biasa disebut dengan legal opinion. Legal opinion didasar-kan pada logika dan memberikan dasar-dasar pemikiran yang kuat terhadap sebuah penjelasan yang bersifat konseptual terhadap norma yang terdapat dalam peraturan perundang-undangan4. Pe-nyusunan legal opinion berangkat dari penalaran, sehingga den-gan melakukn legal opinion mahasiswa akan cenderung terdorong untuk melakukan pemikiran pemikiran yang kritis serta mampu memecahkan permasalahan hukum secara ilmiah. Sampai seka-rang ini pendidikan hukum di Indonesia belum menempatkan argu-mentasi hukum sebagai mata kuliah inti nasional. Dalam kurikulum, saat ini hanya dikenal adanya mata kuliah Metode Penelitian Hukum dengan materi perkuliahan merupak-an formulasi penulisan hukum dan penelitian hukum. Penulisan hukum mencakup pembelajaran menulis dokumen hukum dan melakukan penulisan tugas akhir mahasiswa. Sedangkan materi penelitian hukum hanya mendeskripsikan bagaimana melakukan sebuah penelitian hukum. Sebagai mata kuliah yang penting untuk membekali kemahiran penelitian dan penulisan hukum, matakuli-ah MPH sangat sempit, dan hanya dilakukan dalam satu semester. Seharusnya melalui mata kuliah ini, mahasiswa diberikan dasar-dasar penelitian, metode-metode penelitian hukum dan diperke-nalkan langsung dengan kegiatan penelitian, demikianhalnya den-gan kemahiran penulisan hukum. Dengan waktu yang ditawarkan dalam satu semester, akan sangat sulit bagi mahasiswa dan tenaga pengajar untuk mencapai tujuan tersebut. Pendidikan hukum berbasis kompetensi diharapkan dapat menjawab tantangan globalisasi yang dinamis. Era globalisasi membawa kita pada pemanfaatan teknologi dan hukum harus be-rada dalam ranah tersebut. Maka dari itu di fakultas hukum perlu

    4 Philipus M Hadjon, dan Tatiek Sri Djatmianti, Argumentasi Hukum, Gajah Mada University Press, Yogyakarta, 2005, hal. 38-39

  • 6 Jurnal Keadilan Sosial [Edisi II/ 2011]

    DISK

    URSU

    S diperkenalkan materi atau pengajaran mengenai hukum telema-tika, penguasaan bahasa Indonesia dan bahasa asing, dan tenaga pengajar harus senantiasa melakukan pengembangan profesional-isme, untuk menjamin kelancaran dan mutu pendidikan. Pembenahan untuk memperbaiki kualitas sarjana hukum Indonesia tidak cukup hanya dengan menambahkan mata kuliah seperti yang dikemukakan di atas meskipun dengan demikian ma-hasiswa akan terdorong untuk berfikir lebih kritis, perlu dilakukan perbaikan metode belajar mengajar. Pendidikan hukum seharusnya menggunakan cara-cara pengajaran yang menjamin partisipasi maksimal dari mahasiswa dalam proses pendidikan yang mem-bangkitkan kemampuan kreatif dan tidak hanya menggunakan sistem kuliah yang membiasakan mahasiswa berada dalam posisi yang pasif. Model yang cukup ideal untuk diterapkan adalah model pendidikan hukum klinis seperti yang dirancang oleh Fakultas Hu-kum Universitas Padjajaran. Pendidikan hukum klinis dimaksudkan adalah suatu kegiatan belajar untuk membekali mahasiswa dengan keterampilan praktik beracara dan drafting. Praktik beracara se-bagai persiapan profesi hukum dilakukan dengan pendidikan pra-jaksa, pra-hakim dan pra-pengacara yang disatukan dalam bidang peradilan, kemudian legal drafting (kontrak dan legislasi) sebagai keahlian hukum yang dimiliki secara umum oleh sarjana hukum sehingga dimasukkan dalam kategori mata kuliah umum. Untuk melaksanakan pembelajaran seperti ini, diperlukan dukungan dari intansi-instansi dan lembaga terkait penyelenggaraan teknis baik itu Kejaksaan, Kehakiman, Advokat, notaris maupun yang terkait dengan pembuatan undang-undang. Metode belajar seperti ini diharapkan dapat lebih mendekat-kan mahasiswa pada keadaan nyata di lapangan, dan mahasiswa dibekali kemampuan berlitigasi mapun non-litigasi5. Metode bela-jar tersebut membawa mahasiswa melihat, mengetahui dan me-mahami proses peradilan secara nyata. Disamping itu mahasiswa pada akhir semester dihadapkan untuk membandingkan keadaan persidangan sebenarnya dengan yang seharusnya dalam hukum positiv. Metode ini akan memotivasi mahasiswa dalam menyusun argumentasi hukum berdasarkan hukum positif dengan kenyataan- 5 Berlitigasi meksudnya berperan sebagai sebagai hakim, jaksa, dan advokat se-dangkan non-litigasi adalah kemahiran bernegosiasi, menyusun kontrak, dan menyusun peraturan

  • Jurnal Keadilan Sosial [Edisi II/ 2011] 7

    DISKURSUS

    nya di peradilan. KBK yang mengedepankan legal skills, pemikiran kritis, penalaran, penguasaan bahasa dan teknologi merupakan sebuah reorientasi terhadap penyelenggaraan pendidikan hukum akan menghapus keraguan akan ketidakmampuan sarjana hukum Indo-nesia dalam memenuhi kebutuhan masyarakat dan menjadi sarana pembangunan.

    Pendidikan Hukum Progresif Penegakan hukum di Indonesia sudah lama menjadi per-soalan serius bagi masyarakat Indonesia. Kepercayaan akan pen-egakan hukum kian terdegradasi dengan berbagai bentuk peny-impangan yang ada dalam dunia penegakan hukum di Indonesia. Salah satu faktonya disebabkan oleh persoalan keadilan yang hadir dalam penegakan hukum atau yang menyentuh rasa keadilan ma-syarakat diabaikan dalam sistem pendidikan hukum di Indonesia. Fakultas-fakultas hukum yang akan mencetak penegak hukum leb-ih banyak mengajarkan bagaimana memandang dan menafsirkan peraturan perundang-undangan.6 Hal ini menimbulkan akibat-aki-bat yang serius dalam konteks penegakan hukum. Para hakim yang merupakan produk dari sekolah-sekolah hukum yang bertebaran di Indonesia tidak lagi mampu menangkap inti dari semua permasala-han hukum dan hanya melihat dari sisi formalitas hukum. Sehingga tujuan hukum yakni untuk mencapai keadilan yang sesungguhnya malah tidak tercapai. Hukum sebagai bagian dari ilmu memiliki kriteria sosiologis yang pada akhirnya memunculkan sebuah tanggung jawab etik. Hal ini dipahami bahwa dalam mengaplikasikan hukum harus dilandasi dengan sebuah tanggung jawab moral dan etika. Maka dari itu perlu mengupayakan sebuah terobosan dalam pendidikan hukum indo-nesia dalam rangka mengembalikan kepercayaan masyarakat dan memperbaiki image peradilan di tanah air. Pemikiran dan pendekatan yang bersifat positivistik merupakan salah satu unsur yang ada dalam pendidikan hu-kum. Pendekatan positistik ini lebih condong pada hukum positif ketimbang rasa keadilan yang ada dalam masyarakat. Sementara

    6 Anonim, Carut Marut Dunia Pendidikan Hukum, http://anggara.wordpress.com, diakses 25 Maret 2007 Pukul 10.00 WITA

  • 8 Jurnal Keadilan Sosial [Edisi II/ 2011]

    DISK

    URSU

    S pendidikan hukum indonesia tidak dapat dipungkiri didominasi den-gan warna positivistik, sehingga lulusan fakultas hukum yang akan berperan sebagai penegak hukum juga akan berbau positivis yang tidak begitu memperhatikan rasa keadilan ditengah masyarakat. Pendidikan dengan wajah seperti ini seharusnya sudah mulai ditinggalkan sebagai upaya pembangunan nasional melalui konsep hukum. Hukum sepantasnya ada untuk memberikan rasa keadilan bagi masyarakat. Untuk itu Satjipto Rahardjo kemudian memperkenalkan hukum progresif yang masih saja bersifat kon-tekstual. Hukum progresif berpegang pada paradigma hukum un-tuk manusia. Hukum dianggap sebagai jembatan antara undang-undang yang statis dengan penerapannya di masa kini dan masa yang akan datang. Hukum bertugas untuk menuntun dan melayani masyarakat. Pemikiran akan hukum progresif dapat diterjemahkan ke-dalam pendidikan hukum Indonesia untuk melakukan perubahan terhadap citra penegakan hukum di indonesia. Meskipun dalam kurikulum hukum telah dikenal adanya mata kuliah etika dan tang-gung jawab profesi akan tetapi dengan memberikan mata kuliah ini ternyata tidak cukup untuk memberikan dasar yang kuat bagi ma-hasiswa untuk melakukan penegakan hukum yang lebih mengede-pankan rasa keadilan setelah berprofesi sebagai penegak hukum, karena pandangan positivistik yang melekat dalam proses pembe-lajarannya pada saat kuliah. Pendidik hukum hendaknya tidak hanya mengajarkan pen-getahuan dan apa yang dapat dilakukan seorang ahli hukum (profe-si hukum) tetapi juga apa yang seharusnya (ought to be) dilakukan seorang ahli hukum. Pembelajaran seperti ini cenderung memberi-kan pandangan legal ethic kepada mahasiswa untuk dapat mela-ksanakan legal trust dengan baik sehingga tidak mengabaikan cita hukum yakni kedilan. Pada akhirnya pendekatan seperti ini akan membawa penegak hukum yang dididik dalam nuansa pendidikan hukum progresif untuk melaksanakan penegakan hukum yang leb-ih memihak pada keadilan secara materil dan tidak menjadi pem-bingkai perbuatan dalam aturan hukum positiv semata. Pendidikan progresif dicirikan sebagai pendidikan yang (1) kreatif, (2) responsif, (3) protagonis, (4) berwatak pembebasan dan yang terakhir adalah (5) berorientasi pada Indonesia dan kebutu-

  • Jurnal Keadilan Sosial [Edisi II/ 2011] 9

    DISKURSUS

    han Indonesia. Penyelenggaraan pendidikan hukum yang progresif diharapkan melahirkan lulusan yang senantiasa mengedepankan hati nurani dan keadilan, sehingga pemenuhan rasa keadilan bagi masyarakat akan lebih diutamakan sejalan dengan kondisi hukum dan masyarakat yang senantiasa dinamis7 Pendidikan hukum progresif merupakan pendidikan yang membebaskan diri dari kungkungan dogmatisme hukum, lebih di namis dan berlawanan dengan pendidikan hukum status quo. Pen-didikan hukum progresif yang dimaksud mencoba memadukan atau mensintetiskan berbagai basis pendidikan dengan dasar pengin-tegrasian IESQ (Intellectual Emotional Spiritual Quitionent) dalam penerapannya8. IESQ dimaksudkan sebagai perpaduan kecerdasan yang harmonis dan dilandasi dengan komitmen moral. Terciptanya suatu iklim hukum yang baik di tengah masyara-kat melalui reorientasi pendidikan hukum tidak hanya membangun bangsa dari sektor hukum atau aturan-aturan yang berkembang dari masrakat. Akan tetapi juga di sektor-sektor lainnya yakni eko-nomi, politik, sosial dan secara keseluruhan aspek-aspek yang ber-sentuhan dengan hukum juga mengalami perkembangan. Penulis kembali kepada landasan berfikir penulis bahwa hukum sebagai ilmu praktis bersifat normatif karena berdampak secara langsung dalam kehidupan masyarakat, di mana hukum memiliki peran un-tuk memecahkan persoalan ditengah masyarakat. Untuk itu pem-benahan produk fakultas hukum melalui pendidikan hukum perlu untuk dilaksanakan segera dalam menghadai persoalan krisis sumberdaya manusia baik secara intelektual maupun moralitas. Penerapan kurikulun berbasis kompetensi dalam pendidikan hukum dengan merubah metode belajar, kurikulum dan mengam-bangkan kemampuan berfikir kritis mahasiswa yang ditunjang de-ngan tenaga pengajar yang profesional dan juga memperkenalkan pendidikan hukum progresif diharapkan mampu membawa suatu iklim baru dalam dunia pendidikan hukum yang pada akhirnya ber-muara pada penerapan hukum dalam masyarakat.

    7 Hikmanto Juwana, Op. Cit. hal 5

    8 Anthony Freddy Susanto, Semiotika Hukum Dari Dekonstruksi Teks Menuju Progresivitas Makna, PT. Refika Aditama, Bandung, 2005, hal. 139

  • 10 Jurnal Keadilan Sosial [Edisi II/ 2011]

    DISK

    URSU

    S PENUTUPKesimpulanBerdasarkan pembahasan yang telah dilakukan di atas, penulis menarik kesimpulan sebagai berikut :1. Pendidikan hukum di Indonesia telah mengalami beberapa kali

    perubahan yang juga merubah tujuan penyelenggaraan pen-didikan hukum yang sangat dipengaruhi oleh keadaan politik dan kebijakan pemerintah. Meskipun tujuan pendidikan hukum telah mengalami beberapa kali perubahan seiring berubahnya tuntutan zaman, akan tetapi produk fakultas hukum tidak ban-yak mengalami perubahan dan cenderung legalistik bahkan tidak memenuhi berbagai tujuan pendidikan hukum pasca ke-merdekaan. Hal tersebut berdampak pada ketidak mampuan produk fakultas hukum untuk memenuhi kebutuhan masyara-kat di era pembangunan. Persoalan ini tidak lain karena adanya kesenjangan antara ilmu yang diperoleh ketika kuliah dengan kenyataan di lapangan. Hal ini disebabkab kendala di kurikulum fakultas hukum, metode belajar, tenaga pengajar dan fasilitas belajar.

    2. Upaya untuk membenahi pendidikan hukum adalah dengan melakukan reorientasi pendidikan hukum dengan menerapkan KBK, mempersiapkan mahasiswa untuk profesi hukum praktis dengan memberikan pendidikan yang dapat mendorong ma-hasiswa berfikir kritis, melakukan penalaran, memperbaiki metode belajar di fakultas hukum dan membawa mahasiswa lebih dekat pada kenyataan di lapangan, serta memanfaatkan secara maksimal perpustakaan, komputerisasi dan laboratori-um di fakultas hukum. Disamping itu, perlu diperkenalkan suatu pendidikan progresif untuk mengatasi persoalan menipisnya kepercayaan masyarakat terhadap penegakan hukum di Indo-nesia (legal trust).

    Saran-SaranPenulis merekomendasikan hal-hal berikut, atas kesimpulan dan pembahasan yang dipaparkan di atas :1. Kurikulum berbasis kompetensi hendaknya diterjemahkan

    dalam pendidikan hukum, dengan menekankan metode-metode yang mampu mendorong pemikiran kritis, penalaran, kreatifitas,

  • Jurnal Keadilan Sosial [Edisi II/ 2011] 11

    DISKURSUS

    dan legal skills mahasiswa fakultas hukum diantaranya dengan mengetangahkan mata kuliah legal opinion, hukum telematika dan memberikan pendidikan dan ketrampilan profesi hukum serta menerapkan pendidikan hukum yang bersifat progresif.

    2. Pendidikan hukum harus meninggalkan metode lama yang tidak lagi sejalan dengan kebutuhan pembangunan dan masyarakat. Perlu untuk segera dilakukan reorientasi pendidikan hukum di Indonesia. Untuk membekali legal skill itu perlu dilakukan kerja sama dengan lembaga-lembaga profesi hukum dalam penye-lenggaraan pendidikan hukum dan mengupayakan partisipasi aktif mahasiswa dalam pembelajaran.

    Daftar PustakaAnonim, Carut Marut Dunia Pendidikan Hukum, http://anggara.

    wordpress.com, diakses 25 Maret 2007 Pukul 10.00 WITA Anthony Freddy Susanto, Semiotika Hukum Dari Dekonstruksi Teks

    Menuju Progresivitas Makna, PT.Refika Aditama, Bandung, 2005

    ___________, Reformasi Hukum di Indonesia (Hasil Studi Perkembangan Hukum, Proyek Bank Dunia), PT. Cyberconsult, Jakarta, 1999

    HIkmanto Juwana, Reformasi Pendidikan Hukum di Indonesia, www.pemantauperadilan.com, diakses 25 Maret 2007 pukul 10.00 WITA

    Philipus M Hadjon, dan Tatiek Sri Djatmianti, Argumentasi Hukum, Gajah Mada University Press, yogyakarta, 2005

    Trisno,Yulianto, Kurikulum Berbasis Kompetensi, http://www.freel-ists.org, diakses 25 April 2007

  • 12 Jurnal Keadilan Sosial [Edisi II/ 2011]

  • Jurnal Keadilan Sosial [Edisi II/ 2011] 13

    DISKURSUS

    KONSEP ASOSIASI LEGAL CLINIC DI BEBERAPA NEGARA DAN URGENSI PEMBENTUKANNYA

    DI INDOENSIAPultoni 9

    ABSTRAKSIPendidikan hukum klinik adalah metode pembelajaran yang banyak digunakan oleh fakultas hukum di berbagai negara untuk mengajar-kan kepada mahasiswa ketarampilan, nilai, dan pandangan mereka tentang hukum serta hak asasi manusia. Implementasi prinsip-prin-sip pendidikan hukum klinik dalam pembelajaran hukum, diyakini dapat meningkatkan kapasitas dan kemampuan mahasiswa hukum dalam bidang kepengacaraan, menanamkan nilai-nilai keadilan, melatih kepekaan sosial dan keberpihakan mereka kepada ke-pentingan publik serta tanggungjawab sosial profesi sebagai prak-tisi hukum dalam berbagai bidang. Pelaksanaan pendidikan hukum klinik mencakup empat komponen yaitu (1) komponen praktik; (2) Mengintegrasikan antara pengetahuan, keterampilan dan nilai; (3) Fokus kerja klinik yaitu pemberian bantuan hukum bagi masyarakat tidak mampu atau kelompok marginal, dan memperkuat atau mem-promosikan hak asasi manusia; dan (4) Pemberian kredit kepada mahasiswa atau pengajar atas partisipasi mereka dalam kegiatan klinik. Bagi fakultas hukum di Indonesia konsep pendidikan hukum klinik sudah dikenal sejak lama, walaupun dalam praktik yang ber-beda yang umumnya dipahami dan diterapkan oleh fakultas hukum di berbagai negara. Kurikulum fakultas hukum di Indonesia baik negeri maupun swasta memiliki sejumlah matakuliah yang bersi-fat praktis dan lembaga bantuan hukum yang menyediakan bantuan hukum bagi masyarakat tidak mampu. Namun demikian, tidak ada korelasi antara matakuliah praktis dan lembaga bantuan hukum yang dapat menjadi tempat bagi mahasiswa berpraktek. Sehingga terdapat kebutuhan untuk mereformasi sistem pendidikan hukum di Indonesia dengan mengadopsi sistem pendidikan hukum klinik.Kata Kunci : Pendidikan Hukum Klinik, Asosiasi Legal Clinic, Kuri-kulum Fakultas Hukum

    9 Program Manager The Indonesian Legal Resource Center dan Pilnet Fellow (2010-2011) untuk program pengembangan pendidikan hukum klinik di Indonesia

  • 14 Jurnal Keadilan Sosial [Edisi II/ 2011]

    DISK

    URSU

    S A. PENGANTAR Pendidikan hukum klinik adalah metode pembelajaran yang banyak digunakan oleh fakultas hukum di berbagai negara untuk mengajarkan kepada mahasiswa ketarampilan, nilai, dan pandang-an mereka tentang hukum serta hak asasi manusia. Melalui pendi-dikan hukum klinik mahasiswa hukum tidak hanya belajar tentang hukum dalam teks, tetapi juga belajar tentang bagaimana mene-rapkannya dalam situasi dan konteks yang berbeda-beda, dan me-mahami sekaligus mengevaluasi bekerjanya hukum di tengah ma-syarakat. Bagi fakultas hukum di Indonesia konsep pendidikan hukum klinik sudah dikenal sejak lama, walaupun dalam praktik yang ber-beda yang umumnya dipahami dan diterapkan oleh fakultas hukum di berbagai negara. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh The Indonesian Legal Resource Center (ILRC) terhadap kurikulum fakultas hukum di Indonesia baik negeri maupun swasta menye-butkan, bahwa hampir semua fakultas hukum memiliki sejumlah matakuliah yang bersifat praktis dan juga lembaga bantuan hukum yang menyediakan bantuan hukum bagi masyarakat tidak mampu. Namun demikian, tidak ada korelasi antara matakuliah praktis dan lembaga bantuan hukum yang dapat menjadi tempat bagi maha-siswa berpraktek. Hampir semua lembaga bantuan hukum yang dikelola oleh fakultas hukum tidak menjadi bagian dari kurikulum fakultas hukum dan minimnya partisipasi maupun keterlibatan ma-hasiswa.10

    Open Society Justice Initiative (OSJI) merumuskan standart pelaksanaan pendidikan hukum klinik11. Pertama, adanya komponen praktik. Dalam pendidikan hu-kum klinik fakultas hukum harus memberikan kesempatan kepa-da mahasiswa untuk bekerja dan berpraktik melalui kasus-kasus konkrit di pengadilan, atau setidak-tidaknya berhubungan lang-sung dengan klien untuk menyelesaikan masalah hukum yang mereka hadapi. Untuk mendapatkan pengalaman praktik tersebut, fakultas hukum dapat melakukannya melalui tiga pendekatan yaitu: (i) In house clinic atau lembaga bantuan hukum yang dikelola oleh

    10 The Indonesian Legal Resource Center, Overview of Law Schools Curricula in Indonesia, 2011. 11 Open Society Justice Initiative, Standards for Law School Clinic.

  • Jurnal Keadilan Sosial [Edisi II/ 2011] 15

    DISKURSUS

    fakultas hukum dan memberikan kesempatan kepada mahasiswa menangani kasus-kasus yang ada dengan supervisi dari pengajar klinik; (ii) Externship Clinic dimana fakultas hukum bertanggung-jawab terhadap komponen kelas, kemudian mahasiswa bekerja dengan NGO atau institusti penegak hukum dimana mereka dapat menangani kasus secara langsung; (iii) Street Law Clinic yaitu suatu metode dimana mahasiswa akan mengajar dan mendidik komuni-tas atau kelompok masyarakat tertentu tentang masalah-masalah hukum yang mereka hadapi sehari-hari. Kedua, mengintegrasikan antara pengetahuan, keterampi-lan dan nilai. Pendidikan hukum klinik harus meliputi komponen kelas yang akan mengkombinasikan pembelajaran terhadap sub-tansi hukum dan keterampilan. Selain itu, komponen kelas juga akan menjadi media refleksi terhadap profesionalisme seorang praktisi hukum dan nilai-nilai keadilan sosial. Ketiga, fokus kerja klinik. Fokus atau ruang lingkup kerja dari klinik adalah pemberian bantuan hukum bagi masyarakat tidak mampu atau kelompok marginal, dan memperkuat atau mempro-mosikan hak asasi manusia. Keempat, pemberian kredit bagi kerja-kerja klinik. Fakultas hukum harus memberikan sejumlah kredit kepada mahasiswa atau pengajar atas partisipasi mereka dalam kegiatan klinik. Pendidikan hukum klinik adalah sebuah metode pembe-lajaran hukum yang tidak hanya bermanfaat bagi mahasiswa dan dosen, tetapi juga berdampak terhadap masyarakat, terutama untuk memberikan pengetahuan kepada mereka tentang prinsip-prinsip hukum dan hak asasi manusia, dan bagaimana seharusnya hukum bekerja dalam kehidupan sosial.12 Melalui model pendidikan ini diharapkan masyarakat juga mendapatkan akses yang layak ter-hadap keadilan, khususnya bantuan hukum. Implementasi prinsip-prinsip pendidikan hukum klinik dalam pembelajaran hukum, diyakini dapat meningkatkan kapa-sitas dan kemampuan mahasiswa hukum dalam bidang kepenga-caraan, menanamkan nilai-nilai keadilan, melatih kepekaan sosial

    12 Di Afrika Selatan program Street Law yang dikembangkan di Universitas Na-tal oleh Professor David McQuoid-Mason menjadi sarana pembelajaran yang efektif baik bagi mahasiswa dan paralegal di komunitas dalam menentang praktik-praktik Aphart-heid.Program yang diselenggarakan secara terus-menerus tersebut terbukti dapat mem-perkuat demokrasi dan hak asasi manusia.

  • 16 Jurnal Keadilan Sosial [Edisi II/ 2011]

    DISK

    URSU

    S dan keberpihakan mereka kepada kepentingan publik serta tang-gungjawab sosial profesi sebagai praktisi hukum dalam berbagai bidang.13 Ada kebutuhan untuk mereformasi sistem pendidikan hu-kum di Indonesia dengan mengadopsi sistem pendidikan hukum klinik. Dalam mempromosikan konsep pendidikan hukum klinik dan meningkatkan kapasitas para pengajar klinik, beberapa negara membentuk asosiasi legal clinic dengan model yang berbeda-beda. Tulisan berikut akan menguraikan tentang model-model tersebut yang diterapkan di berbagai negara, menawarkan strategi pemben-tukan dan rekomendasi konsep asosiasi yang mungkin tepat untuk konteks Indonesia.

    B. ASOSIASI LEGAL CLINIC DI BEBERAPA NEGARA1. Latar Belakang Setiap negara memiliki latar belakang yang berbeda-be-da dalam membentuk asosiasi legal clinic yang dipengaruhi oleh sistem hukum, sistem pendidikan, dan juga budaya proses pem-belajaran hukum di masing-masing negara. Perbedaan sistem dan budaya tersebut berpengaruh terhadap pilihan model dan bentuk asosiasi yang mereka kembangkan, baik sifat organisasi, tujuan organisasi, struktur organisasi, dan strategi lain dalam mempro-mosikan pendidikan hukum klinik. Secara umum setidaknya ada dua hal yang melatarbelakangi lahirnya asosiasi, yaitu masih terbatasnya pendidikan hukum yang mengadopsi dan menerapkan secara konsisten prinsip-prinsip dan standar dalam melaksanakan pendidikan hukum klinik dalam pem-balajaran hukum. Latarbelakang yang lain adalah adanya kebutu-han untuk lebih mempromosikan dan menyebarluaskan konsep pendidikan hukum klinik sebagai bagian dari proses pembelajaran di fakultas hukum.

    2. Bentuk dan Sifat Bentuk organisasi yang dikembangkan di setiap negara ber-beda-beda, terutama istilah dan dasar hukum yang digunakan ses-uai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di masing- 13 Dibeberapa negara seperti USA, progam pendidikan hukum klinik merupakan program yang wajib diselenggarakan oleh fakultas hukum. American Bar Association juga memandatkan program tersebut untuk menjamin kualitas lulusan fakultas hukum.

  • Jurnal Keadilan Sosial [Edisi II/ 2011] 17

    DISKURSUS

    masing negara. Setidaknya ada beberapa istilah yang digunakan yaitu Asosiasi, Network, Komite dan ada juga yang menggu-nakan Yayasan. Moldova14 dan Afrika Selatan15 menggunakan Aso-siasi, China menggunakan Komite,16 Nigeria menggunakan istilah Network,17 serta Polandia18 dan Rusia19 menggunakan Yayasan. Se-lain itu, pendirian organisasi dilakukan berdasarkan pengesahan, baik oleh pemerintah masing-masing ataupun notaris. Terkait dengan sifat dan karakteristik organisasi, ada yang menyebut secara tegas dalam Anggaran Dasar (AD), ada juga yang tidak menyebutkan secara tegas. Moldova menyebut secara tegas dalam AD bahwa organisasi yang mereka bentuk bersifat asosiasi publik, organisasi non-pemerintah, non-politik, dan non-profit.20 Hal yang sama juga disebutkan dalam AD Committee of Chinese Clinical Legal Education, bahwa komite adalah organisasi aka-demik bersifat national, non-profit yang didirkan oleh para penga-jar klinik, pengurus dan lain sebagainya.21 Lain halnya dengan Ru-sia yang menyebutkan bahwa the Clinical Legal Foundation adalah non-membership based dan organisasi non-profit.22

    3. Tujuan Organisasi asosiasi legal clinic di setiap negara juga memiliki tu-juan yang berbeda-beda dan juga strategi untuk mencapai tujuan itu. Setidaknya ada empat tujuan utama yang hampir ada disemua organisasi yaitu;

    a. Mempromosikan pendidikan hukum klinik dalam proses pen-didikan hukum dalam rangka memperbaiki output fakultas hukum;

    b. Mengkonsolidasikan dan memperkuat jaringan organisasi le-

    14 Statuteof the Public Association, Association For Moldovan Legal Clinics. 15 Constitution of the Association of University Legal Aid, South Africa. 16 Regulations of the Committee of Chinese Clinical Legal Educators. 17 Constitution of Network Of University Legal Aid Institutions (Nulai Nigeria). 18 The Statute of the Legal Clinics Foundation of Poland. 19 Statute of The Clinical Legal Education Foundation, Rusia. 20 Article 1 paragraph (1.1), Statuteof the Public Association, Association For Moldovan Legal Clinics. 21 Article 1 Regulations of the Committee of Chinese Clinical Legal Educators. 22 Article 1 paragraph (1.1), Statute of The Clinical Legal Education Foundation, Rusia

  • 18 Jurnal Keadilan Sosial [Edisi II/ 2011]

    DISK

    URSU

    S gal clinic maupun pengajar klinik, baik ditingkat lokal, nasi-onal, maupun internasional.

    c. Meningkatkan kapasitas organisasi legal clinic dan individu pengajar klinik;

    d. Mendukung kerja-kerja yang dilakukan oleh legal clinic. Beberapa asosiasi seperti Nigeria dan Afrika Selatan juga memiliki tujuan untuk mempromosikan bantuan hukum sebagai bagian dari akses terhadap keadilan. Sedangkan Legal Clinic Foun-dation di Polandia juga bertujuan untuk melakukan advokasi ke-bijakan terkait dengan pendidikan hukum klinik. Untuk mencapai tujuan organisasi ada beberapa kegiatan yang umum mereka ker-jakan diantaranya melalui pendidikan, penelitian, publikasi, diskusi publik, pengembangan jaringan, penggalangan dana, dan lain-lain.

    4. Badan-Badan Asosiasi legal clinic di setiap negara memiliki model struk-tur organisasi yang berbeda-beda dengan mandat atau wewenang yang berbeda-beda pula. Selain itu, cara pengisian anggota badan-badan tersebut juga berbeda-beda.

    a. Moldova Struktur organisasi di Moldova terdiri dari; (i) General Asembly (ii) Executive Bureau; (iii) Executive Director; (iv) Audit Committee.23 General Asembly adalah pemegang kekuasaan tertinggi dalam asosiasi yang memiliki wewenang diantaran-ya (i) menyusun kegiatan asosiasi, (ii) menyetujui rencana ke-giatan tahunan, (iii) menyetujui penyempurnaan dan peruba-han AD, (iv) menyetujui anggaran tahunan, (v) memilih dan memberhentikan Executive Bureau, Executive Director dan Audit Commite, (vi) menyetujui laporan tahunan keuangan, (vii) memutuskan pembubaran asosiasi, (viii) mengawasi keg-iatan Executive Bureau, (ix) mengadopsi keuangan umum dan pengembangan strategis, (x) menyelesaikan berbagai perma-salahan yang terkait dengan asosiasi.24 Executive Bureau adalah badan pelaksana asosiasi

    23 Article 4 paragraph (1), Statuteof the Public Association, Association For Mol-dovan Legal Clinics. 24 Ibid,article 4 paragraph (2).

  • Jurnal Keadilan Sosial [Edisi II/ 2011] 19

    DISKURSUS

    yang memiliki wewenang diantaranya: (i) menyetujui per-aturan internal asosiasi, (ii) menyetujui jabatan dalam asosiasi, mengangkat dan memberhentikan seseorang, (iii) menyusun anggaran asosiasi, laporan tahunan keuangan dan kegiatan, dan menyampaikannya dalam sidang umum, (iv) menentukan tugas dan tanggunjgawab Direktur Eksekutif, (v) menginfor-masikan kepada anggota kegiatan-kegaitan dan keputusan-keputusan asosiasi, mengajukan kepada sidang umum pem-berhentian anggota, dan (vi) memutuskan masalah yang tidak menjadi kompetensi dari badan-badan yang ada dalam aso-siasi. Badan ini memilliki tiga orang anggota yaitu Direktur Eksekutif dan dua anggota dan dipilih oleh rapat anggota un-tuk masa jabatan 2 tahun.25 Direktur Eksekutif dipilih oleh Rapat Umum anggota, dan memiliki tanggungjawab diantaranya: (i) menjamin pelak-sanaan strategi yang diputusan oleh rapat umum, (ii) menja-min jalannya menejemen asosiasi dan Executive Bureau, (iii) menyusun rencana program tahunan, (iv) melakukan peng-galangan dana, (v) mewakili asosiasi dalam berhubungan dengan individu, lembaga atau pemerintah, (vi) menyusun peraturan internal, (vii) mengorganisasikan pembukuan dan data statistik terkait dengan produk legislasi, (viii) menyetu-jui permintaan, keputusan, dan instruksi, dan (ix) mengelola kekayaan asosiasi.26 Anggota Komite Audit dipilih oleh rapat umum untuk masa kerja 2 tahun dan bertugas mengawasi kegiatan asosia-si. Badan ini bertanggungjawab untuk: (i) melakukan analisa terhadap apa yang telah dilakukan Executive Bureau dalam mengimplementasikan rencana strategis dan keputusan si-dang, serta menyetujui laporan tahunan Executive Bureau, (ii) menyusun laporan pengawasan tahunan terhadap kegaitan Executive Bureau. Selain itu, komite juga berhak atas kebebe-san akses terhadap informasi, membuat usulan kepada rapat umum dan berkonsultasi dengan Executive Bureau.27

    25 Ibid, article 4 paragraphs (5). 26 Ibid, article 4 paragraphs (8). 27 Ibid, article 4 paragraphs (9).

  • 20 Jurnal Keadilan Sosial [Edisi II/ 2011]

    DISK

    URSU

    S

    b. Nigeria Penanggungjawab menejemen NULAI adalah Execu-tive Committee yang terdiri dari tidak lebih 7 orang yang dipilih oleh rapat umum anggota. Rapat umum akan memilih (i) Pres-ident, (ii) Vice president, (iii) Secretary, dan (iv) tiga atau em-pat anggota tambahan. Komite eksekutif bertindak mewakili kepentingan NULAI. Executive commite bertindak untuk dan atas nama organisasi. Dalam pengambilan keputusan komite dilakukan dengan suara terbanyak, dan suara ketua menen-tukan jika ada kesamaan jumlah suara. Komite berkewajiban untuk menyebarluaskan informasi kepada anggota terkait ke-bijakan penting organisasi.28

    c. Afrika Selatan Asosiasi legal clinic di Afrika Selatan dijalankan oleh Executive Committee yang berjumlah tidak lebih dari 8 orang yang terdiri dari (i) Presiden, (ii) Wakil Presiden, (iii) Sekre-taris/Bendahara, (iv) Tiga atau lima anggota tambahan untuk memastikan keterwakilan wilayah. Anggota komite eksekutif dipilih dalam rapat umum anggota. Executive Commite ber-tindak untuk dan atas nama organisasi. Dalam pengambilan keputusan komite dilakukan dengan suara terbanyak, dan suara ketua menentukan jika ada kesamaan jumlah suara. Komite berkewajiban untuk menyebarluaskan informasi ke-pada anggota terkait kebijakan penting organisasi.29

    d. China Komite CLE China terdiri dari Kommite Permanen dan Badan Pelaksana Komite. Pengajar klinik dapat dipilih se-bagai anggota tetap komite. Anggota komite permanen dipilih untuk masa kerja 3 tahun dan memiliki hak dan kewajiban di-antaranya; (i) menjalankan hak untuk memilih dan bertindak yang ditujukan kepada komite permanen, (ii) melaksanakan keputusan komite, (iii) memilih dan memberhentikan Direktur

    28 Article 7 Constitution of Network of University Legal Aid Institutions (Nulai Nigeria). 29 Article 7 Constitution of the Association of University Legal Aid of South Africa

  • Jurnal Keadilan Sosial [Edisi II/ 2011] 21

    DISKURSUS

    dan Wakil Direktur, (iv) memutuskan pembentukan lembaga yang akan menangani kegiatan komite dan lembaga khusus lain, (v) merancang program tahunan, (vi) memutuskan ang-garan tahunan komite dan mengawasi keuangan komite, (vii) mengarahkan pengembangan kerja komite cabang, (viii) ber-partisipasi dalam menyusun dan merubah peraturan komite, (viii) ikut memutuskan kegiatan penting komite30. Badan Pelaksana Komite terdiri dari; (i) direktur, (ii) tiga wakil direktur, (iii) Satu orang sekretaris komite. Direktur dan tiga wakil direktur dipilih oleh anggota komite permanen untuk masa kerja 3 tahun. Direktur bertanggungjawab dalam mengelola kegiatan harian komite, mengarahkan kerja-kerja sekretariat, dan mengkoordinir kegiatan-kegiatan individu, dan bertanggungjawab terhadap komite. Sekretaris komite diusulkan dan ditetapkan oleh Direktur setelah mendapat persetujuan dari komite parmanen untuk masa kerja 3 tahun dan bisa diperbaharui. Sekretaris komite bertanggungjawab terhadap kerja-kerja sekretariat dan bertanggungjawab ke-pada direktur. Sekretaris komite dapat diangkat dari orang yang bukan anggota komite permanen31.

    e. Polandia Kepengurusan Yayasan Legal Clinic terdiri dari Board of Foundation, Councel of the Foundation, dan Advosory Board. Council memegang hak memutuskan dan pengawasan. Coun-cil terdiri dari dua kelompok anggota yaitu dosen dari klinik yang terakreditasi oleh yayasan, dan mereka yang mendukung kerja-kerja yayasan. Council memiliki beberapa tugas dian-taranya (i) menyusun kegiatan yayasan setelah berkonsultasi dengan Advisory Board, (ii) menyusun tugas-tugas pengurus dengan waktunya, (iii) membenutk sistem penggajian anggota board, (iv) melakukan supervisi terhadap kerja-kerja board, (v) menyetujui rencana keuangan tahunan yayasan, (vi) meny-etujui laporan tahunan board dalam kegiatan, dan keuangan, (vii) menentukan tugas-tugas board tahunan selanjutnya, (viii) membuat standard penggajian bagi pegawai yang bekerja di

    30 Article 19 Regulation of the Committee of Chinese Clinical Legal Educators 31 Ibid, Article 21-24.

  • 22 Jurnal Keadilan Sosial [Edisi II/ 2011]

    DISK

    URSU

    S yayasan, (ix) mengadopsi peraturan menejemen sumber daya keuangan yayasan32. Anggota badan pengurus terdiri dari 5 orang yang diangkat oleh dewan yayasan untuk masa kerja 2 tahun dan bisa menjabat lebih dari satu periode. Anggota dewan tidak diperboleh menjawab sebagai pengurus yayasan. Pengurus yayasan memiliki tugas; (i) melaksanakan kegiatan yayasan, (ii) mengelola kekayaan yayasan, (iii) menyiapkan rancangan rencana keuangan tahunan yayasan, (iv) menyiapkan laporan tahunan kegiatan yayasan, (v) melaksanakan resolusi dewan, (vi) mengontrol kegiatan legal clinic berdasarkan standart, (vi) membentuk unit-unit dalam yayasan, (vii) menyusun per-aturan tentang kepegawaian, penggajian dan lain sebagain-ya.33 The Advisory board adalah badan konsultasi yayasan. Anggota badan ini diangkat dan diberhentikan oleh Council dari perorangan yang kompeten dan memiliki otoritas penting terhadap kegiatan yayasan.34

    f. RusiaStruktur organisasi Yayasan Pendidikan Hukum Klinik Ru-sia terdiri dari Dewan Yayasan, Badan Eksekutif, dan Badan Penasehat.Dewan yayasan memegang kekuasaan tertinggi dalam yayasan. Badan ini memiliki beberapa wewenang di-antaranya, (i) mengubah AD yayasan, (ii) mengidentifikasi pri-oritas program yayasan, (iii) mengatur prinsip-prinsip pem-bentukan dan penggunaan kekayaan yayasan, (iv) membentuk badan eksekutif dan badan penasehat (v) membuat perjanjian atau kontrak kerja dengan Direktur dan menentukan gajin-ya, (vi) mengambil keputusan terhadap anggota baru dewan yayasan, (vii) menyetujui laporan tahunan dan keuangan, (viii) menyetujui rencana keuangan dan perubahannya, (ix) mem-bentuk cabang dan kantor perwakilan yayasan, (x) mengambil keputusan untuk membentuk lembaga komersil maupun tidak komersil, berpartisipasi dalam non-profit organization terma-

    32 Article 13 the Statute of the Legal Clinics Foundation of Poland 33 Ibid, article 19-20. 34 Ibid, article 23-24.

  • Jurnal Keadilan Sosial [Edisi II/ 2011] 23

    DISKURSUS

    suk asosiasi, (xi) mengambil keputusan terhadap reorganisasi yayasan, (xii) menyetujui concept paper yayasan dalam keg-iatan, termasuk rencana strategi pengembangan yayasan, pe-rubahan, dan implementasinya. Dan masih ada lagi wawenang lain badan ini. 35

    Anggota Badan Eksekutif yayasan terdiri dari 3-6 orang yang dipilih oleh Dewan Yayasan untuk masa kerja 2 ta-hun, dan dapat dipilih kembali tanpa ada pembatasan. Badan Eksekutif dipimpin oleh seorang ketua.36 Sedangkan badan penasehat adalah badan yayasan yang diharapkan dapat berkontribusi terhadap penggalangan dana, dan tercapainya tujuan yayasan. Anggota badan ini diangkat oleh dewan yayas-an.37

    5. Keanggotaan Mayoritas organisasi asosiasi legal clinic berbasis keang-gotaan, kecuali Polandia dan Rusia. Ada dua tipe keanggotaan yang diadopsi oleh asosiasi yaitu berbasis lembaga/organisasi dan be-rabasis perorangan. Keanggotaan asosiasi legal clinic di Moldova38 dan China39 mengadopsi keanggotaan berbasis kelembagaan dan individu, yang memiliki perhatian dan tertarik terhadap pengem-bangan pendidikan hukum klinik. Sedangkan keanggotaan asosia-si legal clinic di Nigeria dan Afrika Selatan hanya dibatasi pada kelembagaan yaitu lembaga bantuan hukum yang dibentuk di per-guruan tinggi. Selain itu asosiasi legal clinic di Nigeria40 dan Afrika41 Selatan juga mengadopsi keanggotaan mitra, yaitu keanggotaan yang diberikan kepada lembaga bantuan hukum kampus yang tidak memenuhi syarat sebagai angota tetap. Setiap negara juga berbeda dalam mengatur mekanisme keanggotaan, hak dan kewijiban anggota. Ada beberapa hak yang secara umum diatur dalam Anggaran Dasar asosiasi diantaranya

    35 Article 5 Statute of The Clinical Legal Education Foundation, Rusia. 36 Ibid, article 6 37 Ibid, article 8 38 Opcit,Article 5.11. 39 Opcit,Article 14. 40 Opcit,Article 5. 41 Opcit,Article 5.

  • 24 Jurnal Keadilan Sosial [Edisi II/ 2011]

    DISK

    URSU

    S adalah hak untuk memilih dan berpendapat, dan hak untuk berpar-tisipasi dalam kegiatan asosiasi. Sedangkan kewajiban anggota an-tara lain menjaga nama baik asosiasi, dan membayar iuran tahunan anggota.

    6. Rapat-rapat Bagi organisasi yang berbasis keanggotaan, kekuasaan ter-tingi dalam organisasi adalah rapat anggota. Rapat itu diselengga-rakan secara periodik, ada yang 18 bulan ada yang 2 tahun. Sebagai kekuasaan tertinggi rapat anggota memiliki wewenang yang cukup luas terkait kebijakan asosiasi dan menentukan arah organisasi seperti merubah dan menyempurnakan anggaran dasar, menyusun kebijakan umum asosiasi terkait program dan keuangan, memilih dan memberhentikan pengurus yang akan bertanggungjawab ter-hadap jalannya asosiasi, dan menentukan keangotaan asosiasi.

    C. PEMBENTUKAN ASOSIASI DI INDONESIA1. Gagasan Pembentukan Asosiasi The Indonesian Legal Resource Center (ILRC) adalah organ-isasi non-pemerintah yang fokus pada upaya pembaruan pendidi-kan hukum. Salah satu gagasan yang dikembangkan oleh ILRC un-tuk mendorong pembaruan pendidikan hukum adalah mengadopsi model pendidikan hukum klinik dalam pembelajaran hukum bagi mahasiswa. Sejak tahun 2007 ILRC menginisiasi beberapa kegiatan dan program dalam rangka mendorong pembaruan pendidikan hu-kum dan memperkuat akses terhadap keadilan melalui penguatan LBH Kampus. Selain ILRC, sejak tahun 2006 Open Society Justice Initiative (OSJI) dan Yayasan TIFA juga mengembangkan program pendidikan hukum klinik di dua universitas yaitu Universitas Islam Indonesia Jogjakarta dan Universitas Pasundan Bandung. Dua uni-versitas tersebut menjadi pilot project bagi implementasi program pendidikan hukum klinik di Indonesia.42 Konsolidasi pengembangan pendidikan hukum klinik dan LBH Kampus semakin menguat seir-ing dengan adanya pertemuan, sharing pengalaman, training dan kegiatan lain yang diselenggarakan sehingga memunculkan ide tentang pembentukan asosiasi pendidikan hukum klinik.

    42 Fakultas Hukum UII mengembangkan program bantuan hukum dan fakultas hukum Universitas Pasundan mengembangkan program street law.

  • Jurnal Keadilan Sosial [Edisi II/ 2011] 25

    DISKURSUS

    Gagasan mengenai pentingnya pembentukan asosiasi le-gal clinic pertama kali muncul pada saat workshop LBH Kampus di Surabaya pada tanggal 25-27 April 2009.43 Pertemuan ini telah merekomendasikan salah satunya untuk memperkuat jaringan LBH Kampus dengan melakukan beberapa kegiatan diantaranya pem-bentukan forum di tingkat nasional, mengembangkan mekanisme komunikasi antar anggota dan sharing informasi aktivitas masing-masing lembaga melalui website.44 Rekomendasi ini kemudian ditindaklanjuti dalam kegiatan pelatihan pimpinan LBH Kampus untuk memperkuat akses terhadap keadilan yang diselenggarakan pada tanggal 27-29 Juli 2009 di Jakarta.45 Kegiatan ini menyepakati pentingnya pembentukan forum legal clinic yang bertujuan untuk membangun komunikasi dan sharing informasi diantara anggota, serta melakukan konsolidasi untuk memperkuat legal clinic di fakultas hukum.46 Pada tanggal 15 April 2010 ILRC bersama beberapa LBH Kampus menyelenggarakan pertemuan di Universitas Pelita Hara-pan dalam rangka advokasi RUU Bantuan Hukum yang kemudian juga diikuti oleh pertemuan-pertemuan berikutnya. Selain meng-kritisi RUU Bantuan Hukum yang didalamnya juga mengatur ten-tang keberadaan LBH kampus, pertemuan tersebut juga mem-bahas strategi advokasi dan konsolidasi LBH Kampus. Salah satu hasilnya adalah membentuk Forum Solidaritas LBH Kampus dan menyepakati Universitas Pelita Harapan sebagai host yang akan mengkoordinir komunikasi dalam forum.47 Dalam praktiknya forum

    43 Kegiatan ini diikuti oleh diantaranya perwakilan dari Fakultas Hukum Un-air Surabaya, Fakultas Hukum Hasanuddin Makasar, Fakultas Hukum UII Jogjakarta, Fakultas Hukum Unpas Bandung, dan Fakultas Hukum Universitas Tadulako Palu 44 The Indonesian Legal Resource Center (ILRC), Notulensi Workshop Penyusu-nan Guideline Penyelenggaraan LKBH di Fakultas Hukum 25-27 April 2009, di Surabaya 45 Pelatihan diikuti oleh 11 LBH Kampus diantaranya adalah Fakultas Hukum Unair Surabaya, Fakultas Hukum Brawijaya Malang, Fakultas Hukum Unhas Makasar, Fakultas Hukum UII Jogjakarta, Fakultas Hukum Unpas Bandung, Fakultas Hukum Uday-ana Bali, Fakultas Hukum Universitas Mataram, Fakulas Hukum Untad Palu, Fakultas Hu-kum Uncen Papua, Fakultas Hukum Pakuan Bogor, dan Fakultas Hukum Pelita Harapan Tangerang. 46 The Indonesian Legal Resource Center (ILRC), Notulensi Pelatihan Penye-lenggaraan LKBH Kampus, Jakarta 27-29 Juli 2009 47 Forum Solidaritas LBH Kampus telah berhasil menyusun position paper ten-tang RUU Bantuan Hukum yang dipublikasikan bekerjasama dengan ILRC.

  • 26 Jurnal Keadilan Sosial [Edisi II/ 2011]

    DISK

    URSU

    S yang dibentuk kurang dapat berjalan dengan baik sesuai rencana. Penyelenggaraan training keadilan sosial yang diikuti oleh pengajar fakultas hukum pada tanggal 1-4 Oktober 2010 di Bogor mereko-mendasikan pembentukan asosiasi legal clinic bukan hanya seke-dar forum seperti yang berjalan selama ini.48 Menjelang penyelenggaraan Simposium Nasional tentang pendidikan hukum klinik yang akan diselenggarakan bulan Sep-tember 2011, ILRC melakukan survey tentang urgensi pembentu-kan asosiasi pendidikan hukum klinik di Indonesia. Survey dilaku-kan melalui interview terhadap beberapa dekan fakultas hukum dan pimpinan legal clinic49. Mereka diminta pendapatnya terkait rencana pembentukan asosiasi legal clinic, khususnya terkait den-gan urgensi pembentukannya, model yang tepat untuk dikembang-kan, mandat atau wewenang serta proses pembentukannya. Mayoritas narasumber yang dimintai pendapat setuju dan mendukung pembentukan asosiasi, karena organisasi ini akan menjadi wadah bagi pengembangan progam klinik di Indonesia di masa yang akan datang. Hanya saja narasumber masih belum bisa memastikan bentuk dan model asosiasi yang tepat untuk dikem-bangkan di Indonesia. Meskipun demikian, ada juga diantara nara-sumber yang kurang setuju dengan pembentukan asosiasi, karena dianggap belum waktunya. Konsep pendidikan hukum klinik belum banyak diketahui oleh penyelenggara pendidikan hukum, dan ma-sih banyak perbedaan dalam memahami CLE baik dalam konsep maupun praktiknya di masing-masing fakultas hukum. Dengan demikian yang perlu dilakukan adalah mensosialisasikan CLE se-cara luas, setelah itu kemudian mengembangkan ide pembentukan asosiasi. Terkait dengan bentuk, model dan mandat yang perlu diberi-

    48 Training ini diikuti oleh peserta dari beberapa perguruan tinggi diantaranya Fakultas Hukum Universitas Airlangga, Fakultas Hukum Universitas Brawijaya, Fakultas Hukum Universitas Hasanudin, Fakultas Hukum Universitas Cendrawasih, Fakultas Hu-kum Universitas Pajajaran, Fakultas Hukum Universitas Pakuan, Fakultas Hukum Univer-sitas Trisakti dan Fakultas Hukum STIKUBANK. 49 Interview berhasil dilakukan terhadap 9 orang diantaranya Prof. Dr. Moch. Za-idun, SH (Dekan FH Unair), Prof. Dr. Aswanto (Dekan GFH Unhas), Sugeng Supartono, SH, MH (Legal Clinic FH Trisakti), Artadji, SH, MH (Ketua Legal Clinic Universitas Padjajaran), Dr. Lanny Ramly, SH (Ketua Legal Clinic FH Unair), Abdul Azis, SH, MH (Ketua Legal Clinic FH Unhas), Abdul Jamil, SH, MH (Ketua Legal Clinic FH UII), Irwan, SH, MH (Ketua Legal Clinic FH Unpas), Jamin Ginting, SH, MH (Ketua Legal Clinic FH UPH)

  • Jurnal Keadilan Sosial [Edisi II/ 2011] 27

    DISKURSUS

    kan kepada asosiasi narasumber menyarankan adanya diskusi se-cara mendalam sehingga diperoleh konsep yang tepat. Tetapi dari hasil interview ada harapan jika asosiasi dibentuk akan ada beber-apa peran utama antara lain adalah lebih mempopulerkan gaga-san pendidikan hukum klinik di fakultas hukum, menjadi media pembelajaran dan tukar pengalaman bagi masing-masing anggota, membantu fakultas hukum mengembangkan program legal clinic, memperkuat kapasitas legal clinic dan pengajar clinic. Bahkan ada beberapa narasumber yang mengusulkan agar asosiasi juga dapat merancang standar pelaksanaan program CLE yang tepat untuk In-donesia. Dari proses interview diketahui bahwa belum ada kes-eragaman dalam memahami konsep pendidikan hukum klinik. Se-tiap fakultas hukum mempraktikannya secara berbeda-beda dan dengan standar yang berbeda juga. Namun demikian, ada satu gagasan yang sama yaitu mengintegrasikan antara teori dan prak-tik dan perlunya mahasiswa terlibat secara langsung dalam penan-ganan kasus-kasus. 2. Prinsip Pembentukan Asosiasi Dalam pembentukan asosiasi pendidikan hukum klinik ada prinsip-prinsip yang perlu diperhatikan, yaitu prinsip terkait den-gan bentuk asosiasi itu sendiri, dan prinsip dalam proses pemben-tukannya. Terkait dengan bentuk asosiasi ada beberapa prinsip utama yang perlu diperhatikan. Pertama, berbasis membership/keanggotaan. Organisasi asosisasi legal clinic lebih baik dikembangkan berbasis keang-gotaan, baik secara organisasi maupun individu. Organisasi yang dapat menjadi anggota asosiasi adalah lembaga-lembaga di tingkat universitas yang memiliki program dan perhatian dalam mengem-bangkan pendidikan hukum klinik sebagai metode pembelajaran, sedangkan individu adalah para pengajar klinik yang konsen pada pengembangan pendidikan hukum klinik. Sesuai dengan kebutu-han, keanggotaan asosiasi juga dapat diperluas terhadap lembaga atau individu di luar universitas yang memiliki perhatian dan komit-men terhadap pengembangan pendidikan hukum klinik. Dengan berbasis keanggotaan, maka anggota adalah pemegang kekuasaan tertinggi yang berwenang menentukan kebijakan asosiasi dan me-

  • 28 Jurnal Keadilan Sosial [Edisi II/ 2011]

    DISK

    URSU

    S nerima manfaat dari kegiatan yang dilakukan oleh asosiasi. Kedua, organisasi non-profit. Asosiasi pendidikan hukum klinik adalah organisasi yang yang didirkan dengan tujuan non-profit. Kerja-kerja asosiasi dilakukan tidak dalam rangka mencari keuntungan, tetapi sebagai tanggungjawab sosial dalam rangka memperbaiki sistem pendidikan hukum dan meningkatkan kualitas keluaran fakultas hukum. Lebih jauh, kerja-kerja asosiasi dilaku-kan dalam rangka memperkuat akses terhadap keadilan bagi ma-syarakat melalui kegiatan pendidikan, konsultasi maupun bantuan hukum. Ketiga, tujuan asosiasi. Asosiasi legal clinic memiliki tujuan untuk lebih mempromosikan penyelenggaraan pendidikan hukum klinik sesuai dengan standar umum yang ada, sehingga dapat me-ningkatan jumlah pendidikan hukum yang yang memahami dan mengadopsi metode clinic sebagai model pembelajaran. Asosiasi juga adapat merumuskan standart penyelenggaraan program pen-didikan hukum klinik sesuai dengan konteks Indonesia. Selain itu, asosiasi juga berperan mengkonsolidasikan legal clinic sehingga terjadi proses pembelajaran bersama dan transformasi pengala-man dari masing-masing anggota. Konsolidasi juga perlu dilakukan dalam rangka advokasi kepentingan bersama terhadap kebijakan negara yang terkait dengan penyelenggaraan pendidikan hukum klinik. Asosiasi akan mendukung kerja-kerja yang dilakukan oleh legal clinic baik melalui pemberian akses, penyediaan materi dan sumber daya manusia, termasuk dukungan keuangan. Selain itu, asosiasi juga berperan memperkuat kapasitas anggota khusus-nya dalam metode pembelajaran klinik, maupun kemampuan lain dalam praktik pendidikan hukum. Selain kapasitas anggota, aso-siasi juga berperan meningkatkan jaringan baik di tingkat nasional, regional dan internasional. Keempat, kepengurusan kolektif demokratis. Karena berba-sis keanggotaan, maka model kepengurusan yang dibentuk dalam asosiasi juga harus demokratis artinya sesuai dengan aspirasi dan kepentingan anggota. Anggota diberikan hak secara bebas untuk menentukan dan memilih para pengurus yang akan menjalankan asosiasi. Kepengurusan yang dibentuk harus menunjukkan kolek-tivitas diantara para pengurus, sehingga ada kesamaan kedudukan antara pengurus yang satu dengan yang lain. Setiap anggota pengu-

  • Jurnal Keadilan Sosial [Edisi II/ 2011] 29

    DISKURSUS

    rus memiliki hak yang sama dalam menjalankan asosiasi. Kepen-gurusan demokratis juga ditunjukkan adanya periodisasi masa ja-batan pengurus, dan memungkinkan adanya pergantian pengurus secara konstitusional. Kelima, sekretariat yang representatif. Untuk mendukung kerja-kerja kepengurusan, maka asosiasi membutuhkan ruang kerja yang bersifat khusus dan layak, sehingga pengurus dapat merancang dan mengimplementasikan program-program organ-isasi. Sekretariat yang bersifat khusus juga diperlukan untuk me-nerima dan mendiseminasikan informasi terkait dengan program pengembangan pendidikan hukum klinik secara khusus, dan pen-didikan praktik hukum secara umum. Asosiasi dapat menentukan kriteria layak dan representatifnya sebuah sekretariat sesuai den-gan konteks negara dimana asosiasi berada. Keenam, akuntabilitas dan transparansi. Sistem dan peny-elenggaraan organisasi harus memenuhi prinsip-prinsip akunt-abilitas dan transparansi. Pengurus bertanggungjawab membuat laporan program dan keuangan secara periodik dan menyampai-kan laporan itu baik kepada anggota maupun kepada masyarakat secara luas. Sedangkan terkait dengan proses pembentukan, ada beber-apa tahap yang perlu dilalui sehingga kelembagaan yang dibentuk akan mendapatkan dukungan dari berbagai pihak, khususnya ang-gota asosiasi. Pertama yang perlu dilakukan adalah mempersiap-kan argumentasi dan konsep. Pembentukan asosiasi harus dida-hului dengan penyusunan argumentasi dan konsep pembentukan asosiasi yang dibuat oleh inisiator atau tim khusus. Inisiator perlu menyiapkan argumentasi pentingnya pembentukan asosiasi, apa manfaatnya bagi pembaruan pendidikan hukum secara khusus, dan reformasi hukum secara umum. Selain argumentasi menga-pa asosiasi ini perlu dibentuk di Indonesia, inisiator atau tim juga perlu menyiapkan rancangan konsep organisasi asosiasi yang akan dikembangkan. Draf yang dibuat oleh tim adalah draf yang bersi-fat sementara yang disusun secara bersama oleh inisiator atau tim berdasarkan pengalaman dan pemahaman mereka tentang pem-bentukan asosiasi. Setelah draft tersebut disusun tahap bertikutnya adalah mendiseminasika konsep pembentukan asosiasi legal clinic kepada

  • 30 Jurnal Keadilan Sosial [Edisi II/ 2011]

    DISK

    URSU

    S para stakeholder yang potensial menjadi anggota asosiasi. Konsep tersebut akan disampaikan kepada pimpinan legal clinic di Indone-sia, dan juga kepada dekan fakultas hukum dengan harapan mer-eka akan memahami konsep yang ada dan memberikan feedback kepada inisiator atau tim. Konsep tersebut juga dapat disampaikan kepada pihak lain, baik lembaga maupun perorangan yang memiliki perhatian dan komitmen terhadap pengembangan program legal clinic di Indonesia. Selain mendiseminasikan draft yang juga penting untuk di-lakukan adalah mendiskusikan konsep tersebut secara mendalam dengan berbagai stakeholder, khusunya dengan pimpinan legal clinic dan dekan fakultas hukum. Diskusi dapat diselenggarakan secara formal maupun informal. Dalam memutuskan pemben-tukan asosiasi diharapkan dapat melibatkan sebanyak mungkin stakeholder dari perguruan tinggi, sehingga kedepannya asosiasi ini benar-benar dapat berkembang dan bermanfaat bagi anggota, dan juga bagi proses penyelenggaraan pendidikan hukum. Keputu-san pembentukan dapat dilakukan melalui pertemuan para stake-holder maupun media lain yang dapat digunakan untuk menyepa-kati pembentukan asosiasi.

    3. Rekomendasi Konsep Asosiasia. Bentuk dan Sifat Dalam praktik di Indonesia, khususnya dalam pendidikan hukum ada dua model organisasi yang lazim dikembangkan untuk mewadahi suatu profesi atau orang-orang yang memiliki interest tertentu, yaitu asosiasi dan forum. Asosiasi adalah organisasi for-mal yang berbasis keanggotaan yang umumnya dibentuk berdasar-kan akte pendirian oleh Notaris, bahkan registrasi ke Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia. Sedangkan forum lebih bersifat in-formal yang mewadahi orang-orang dengan profesi atau interest tertentu tanpa ada legalisasi dari pihak yang berwenang. Asosiasi memiliki kelebihan tersendiri dibandingkan dengan forum. Asosiasi memiliki tujuan yang lebih jelas, terukur, dan didu-kung dengan sistem keorganisasian yang sudah ditentukan sesuai dengan pendiriannya. Selain itu, asosiasi sebagai badan hukum juga dapat melakukan suatu tindakan hukum untuk mencapai tu-juan dan maksud pendirian organisasi. Berbeda halnya dengan fo-

  • Jurnal Keadilan Sosial [Edisi II/ 2011] 31

    DISKURSUS

    rum, yang memiliki keterbatasan. Forum biasanya sebagai media sharing informasi dan komunikasi diantara anggota, yang kurang memiliki kekuatan untuk melakukan suatu tindakan eksekusi untuk mencapai tujuan dan maksud pendirian forum. Berdasarkan uraian diatas, sebaiknya organisasi yang akan dibentuk di Indonesia sebagai media pengembangan pendidikan hu-kum klinik berbentuk Asosiasi. Asosiasi ini bersifat non-profit dan bertujuan mengembangkan pendidikan hukum klinik di Indonesia. Atau setidak-tidaknya, jika asosiasi yang dilembagakan dianggap belum waktunya dibentuk maka alternatifnya adalah forum atau network, yang memiliki fungsi, peran, dan mekanisme keorganisa-sian yang hampir sama dengan asosiasi, yang membedakan hany-alah proses legalisasi oleh pihak berwenang. Forum atau network diharapkan juga memiliki tujuan dan mekanisme keorganisasian yang tertulis sebagai panduan bagi anggota forum.

    b. Misi Asosiasi Tujuan utama pendirian asosiasi ini adalah diadopsinya sistem pendidikan hukum klinik dalam proses pembelajaran hu-kum di Indonesia, dalam rangka menyiapkan mahasiswa hukum sebagai praktisi hukum yang kompeten, profesional dan memiliki tanggungjawab sosial yang kuat terhadap profesi, serta meningkat-kan akses terhadap keadilan bagi masyarakat tidak mampu. Untuk mencapai tujuan tersebut diatas, asosiasi ini memiliki peran untuk; (i) mempromosikan pendidikan hukum klinik dalam proses pendidikan hukum dalam rangka memperbaiki output fakultas hukum, (ii) meningkatkan kapasitas kelembagaan klinik dan individu pengajar klinik, (iii) mengkonsolidasikan dan mem-perkuat jaringan organisasi legal clinic maupun pengajar klinik, baik ditingkat lokal, national, maupun internasional, (iv) mendukung kerja-kerja yang dilakukan oleh legal clinic, (v) merumuskan stan-dar pelaksanaan program klinik di fakultas hukum, dan (vi) mendo-rong pembaruan kurikulum fakultas hukum berbasis klinik.

    c. Keanggotaan Anggota Asosiasi Legal Clinic di Indonesia akan terdiri dari dua kategori, yaitu kelembagaan dan individu. Anggota kelem-bagaan adalah lembaga yang dibentuk oleh fakultas hukum dalam

  • 32 Jurnal Keadilan Sosial [Edisi II/ 2011]

    DISK

    URSU

    S rangka melaksanakan program pendidikan hukum klinik atau ban-tuan hukum kepada masyarakat tidak mampu. Sedangkan inidividu adalah pengajar hukum klinik atau pimpinan fakultas hukum yang berkomitmen mengembangkan pendidikan hukum klinik di Indone-sia. AD akan mengatur lebih rinci hak dan kewajiban anggota, dan mekanisme keanggotaan.

    d. Struktur Organisasi Organisasi asosiasi akan terdiri dari 2 (dua) yaitu badan pengurus dan badan penasehat yang dipilih untuk masa kerja 3 (tiga) tahun dan sesudahnya dapat dipilih kembali. Badan Pengu-rus adalah badan yang bertanggungjawab terhadap pelaksanaan organisasi asosiasi. Badan pengurus terdiri dari 1 orang ketua, 1 orang sekretaris, 1 orang bendahara dan 2 orang anggota yang di-pilih dari anggota oleh anggota dalam rapat anggota. Sedangkan badan penasehat adalah badan yang bersifat konsultatif yang ber-peran mengawasi dan memberikan masukan kepada badan pengu-rus terkait dengan kebijakan organisasi. Anggota badan ini terdiri dari 3 orang yang dipilih dari anggota, oleh anggota, dalam rapat anggota. Untuk menjalankan fungsi organisasi sehari-hari, badan pengurus akan mengangkat sekretaris eksekutif yang diangkat dari anggota maupun non anggota. Sekretaris eksekutif bertang-gungjawab kepada badan pengurus dan bertugas melaksanakan keputusan badan pengurus dalam melaksanakan program kerja. Dengan persetujuan badan pengurus, sekretaris ekekutif dapat membentuk bidang-bidang dalam kesekretariatan.

    e. Kesekretarian Untuk mendukung kerja-kerja organisasi, asosiasi mem-bentuk sekretariat yang akan berdomisili di fakultas hukum dimana ketua badan pengurus asosiasi berasal. Sekretariat juga dapat di-pilih di tempat lain sesuai dengan kesepakatan anggota atau badan pengurus. Kesekretariatan berfungsi menjalankan organisasi se-hari-hari dan bertugas melaksanakan keputusan badan pengurus.

  • Jurnal Keadilan Sosial [Edisi II/ 2011] 33

    DISKURSUS

    DAFTAR BACAAN

    Open Society Justice Initiative, Standards for Law School Clinic. The Indonesian Legal Resource Center, Overview of Law Schools

    Curricula in Indonesia, 2011.The Indonesian Legal Resource Center (ILRC), Notulensi Pelatihan

    Penyelenggaraan LKBH Kampus, Jakarta 27-29 Juli 2009.The Indonesian Legal Resource Center (ILRC), Notulensi Workshop

    Penyusunan Guideline Penyelenggaraan LKBH di Fakultas Hukum 25-27 April 2009, di Surabaya.

    Statuteof the Public Association, Association For Moldovan Legal Clinics.

    Constitution of the Association of University Legal Aid, South Africa.Regulations of the Committee of Chinese Clinical Legal Educators.Constitution of Network Of University Legal Aid Institutions (Nulai

    Nigeria).The Statute of the Legal Clinics Foundation of Poland.Statute of The Clinical Legal Education Foundation, Rusia.

  • 34 Jurnal Keadilan Sosial [Edisi II/ 2011]

  • TULISAN TAMU

    PESAN KONSTITUSIONAL KEADILAN SOSIAL1Jimly Asshiddiqie

    ABSTRAKKeadilan Sosial adalah sila kelima dalam Pancasila. Sila kelima merupakan ujung harapan dari semua sila lainnya. Keadilan sosial menunjuk kepada ide pembentukan struktur kehidupan bermasyarakat yang didasarkan atas prinsip-prinsip persamaan (equality) dan solidaritas. Dalam konsep keadilan sosial terkan-dung pengakuan akan martabat manusia yang memiliki hak-hak yang bersifat asasi dan egalitarianisme. Konsep ini menyangkut derajat yang lebih besar dari egalitarianisme di bidang pereko-nomian, misalnya, melalui kebijakan pajak progresif, redistri-busi pendapatan, atau bahkan redistribusi kekayaan. Karena itu, dalam praktik, konsep keadilan sosial sering dibahas dalam kai-tannya dengan keadilan ekonomi. Kebijakan-kebijakan demikian dimaksudkan untuk menciptakan kesempatan yang lebih merata dari apa yang ada dalam struktur masyarakat dan untuk men-ciptakan persamaan outcome yang dapat menanggulangi keti-dakmerataan yang terbentuk sebagai akibat penerapan sistem keadilan procedural.Bangsa Indonesia dewasa ini belum berhasil membangun struktur masyarakat yang berkeadilan sosial seb-agaimana diamanatkan dalam Pembukaan UUD 1945, khusus yang dirumuskan sebagai sila kelima Pancasila, yaitu Keadilan Sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.

    Kata Kunci : Keadilan Sosial, Pancasila, Keadilan Ekonomi,Hak Asasi Manusia (HAM).

    1 Disampaikan dalam Public Lecture dengan tema Konstitusionalisme dan Ke-adilan Sosial, di Fakultas Hukum, Universitas Brawijaya, Malang, 12 April, 2011.

  • 36 Jurnal Keadilan Sosial [Edisi II/ 2011]

    TULISA

    NTAM

    U APAKAH KEADILAN SOSIAL ITU? Keadilan Sosial adalah sila kelima dalam Pancasila. Sila ke-lima ini tidak lain merupakan ujung harapan dari semua sila lain-nya. Sila pertama sampai dengan sila keempat saling berkaitan satu sama lain. Ketuhanan Yang Maha Esa, Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab, Persatuan Indonesia, Kerakyatan Yang Dipimpin Oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/Perwakilan. Kes-emua ini harus menghasilkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat. Karena itu, perumusan kelima sila itu pada Alinea IV Pembukaan UUD 1945 diakhiri dengan kalimat, serta dengan mewujudkan ke-adilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Ide tentang keadilan memang mengandung banyak aspek dan dimensi, yaitu keadilan hukum, keadilan ekonomi, keadilan politik, dan bahkan keadilan sosial. Pada pokoknya, yang terakhir ini, istilah keadilan sosial, merupakan simpul dari semua dimensi keadilan tersebut. Istilah ini biasanya menunjuk kepada ide pem-bentukan struktur kehidupan bermasyarakat yang didasarkan atas prinsip-prinsip persamaan (equality) dan solidaritas. Dalam kon-sep keadilan sosial terkandung pengakuan akan martabat manusia yang memiliki hak-hak yang bersifat asasi. Konsep keadilan sosial (social justice) itu sendiri biasa dibe-dakan dari konsep keadilan hukum yang biasa dipakai dan diber-lakukan dalam kebijakan publik yang menuntut paksaan oleh kekuasaan negara. Tetapi konsep keadilan sosial tentu juga tidak hanya menyangkut persoalan moralitas dalam kehidupan berma-syarakat yang berbeda-beda dari satu kebudayaan ke kebudayaan lain sehingga derajat universilitasnya menjadi tidak pasti. Keadi-lan sosial memang harus dibedakan dari pelbagai dimensi keadi-lan, seperti keadilan hukum, keadilan politik, keadilan ekonomi, dan sebagainya, meskipun dapat juga dipahami bahwa keseluru-han ide tentang keadilan itu pada akhirnya dapat dicakup dalam ide keadilan sosial. Karena pada akhirnya, keadilan hukum dan keadi-lan ekonomi itu harus membuahkan hasil akhir pada perwujudan keadilan sosial bagi semua. Di dalamnya, terkandung pengertian bahwa (i) Ketidakadilan yang ada selama ini harus ditanggulangi sampai ke titik yang terendah, (ii) Redistribusi kekayaan, kekua-saan dan status individu, komunitas, dan kekayaan sosial (societal good), dan (iii) Negara c.q. Pemerintah bertanggungjawab pemer-

  • Jurnal Keadilan Sosial [Edisi II/ 2011] 37

    TULISANTAMU

    intahan untuk memastikan kualitas dasar kehidupan bagi seluruh warganegara. Konsep keadilan sosial didasarkan atas prinsip hak asasi manusia dan egalitarianisme. Konsep ini menyangkut derajat yang lebih besar dari egalitarianisme di bidang perekonomian, misalnya, melalui kebijakan pajak progresif, redistribusi pendapatan, atau bahkan redistribusi kekayaan. Karena itu, dalam praktik, konsep keadilan sosial sering dibahas dalam kaitannya dengan keadilan ekonomi. Kebijakan-kebijakan demikian dimaksudkan untuk men-ciptakan kesempatan yang lebih merata dari apa yang ada dalam struktur masyarakat dan untuk menciptakan persamaan outcome yang dapat menanggulangi ketidakmerataan yang terbentuk seb-agai akibat penerapan sistem keadilan procedural. Karena penting-nya keadilan sosial inilah, maka dalam Konstitusi ILO (International Labor Organisation) ditegaskan bahwa perdamaian yang abadi hanya dapat diperoleh apabila didasarkan atas keadilan sosial. Bahkan, dalam Vienna Declaration dan program aksinya, keadilan sosial dirumuskan sebagai tujuan yang hendak dicapai dalam upa-ya pendidikan hak asasi manusia.

    PRINSIP KEADILAN EKONOMI Menurut Louis Kelso dan Mortimer Adler, dalam konsep ke-adilan ekonomi, terdapat tiga prinsip esensial yang bersifat interde-penden, yaitu partisipasi, distribusi, dan harmoni. Ketiganya meno-pang bangunan keadilan ekonomi dalam masyarakat. Jika satu di antaranya hilang, niscaya bangunan keadilan menjadi runtuh. Dalam prinsip partisipasi terkandung pengertian bagaimana setiap orang bebas berpartisipasi untuk memberikan masukan (in-put) ke dalam proses ekonomi untuk membangun kehidupan ber-sama. Harus ada kesempatan yang sama bagi semua orang (equal opportunity), baik untuk memperoleh hak milik pribadi ataupun ter-libat dalam pekerjaan produktif. Prinsip partisipasi ini tentu belum atau tidak menjamin hasil yang sama (equal results). Prinsip par-tisipasi hanya membuka akses bagi semua untuk ikut serta dalam proses produksi, baik dengan dirinya sebagai pekerja (as a worker) ataupun dengan kekayaannya sebagai pemilik (as an owner). Kare-na itu, keadilan ekonomi menolak monopoli, hak-hak khusus dan rintangan-rintangan yang bersifat eksklusif lainnya.

  • 38 Jurnal Keadilan Sosial [Edisi II/ 2011]

    TULISA

    NTAM

    U Sedangkan prinsip distribusi berurusan dengan soal hasil, soal keluaran (output) yang diperoleh dari sistem ekonomi bagi setiap orang (worker) dan bagi setiap capital (owner). Melalui pola distribusi kekayaan pribadi dalam pasar yang bebas dan terbuka, keadilan distributif (distributive justice) secara otomatis terkait dan harus terkait secara berimbang dengan keadilan partisipatif (par-ticipative justice), dan pendapatan menjadi terkait dengan peran-serta dalam proses produksi (productive contributions). Dalam praktik, seringkali timbul konflik pengertian antara prinsip keadilan distributif ini dengan konsep charity atau welas asih.Konsep charity menyangkut ide bagi semua sesuai kebutu-hannya (to each according to his needs), sedangkan dalam prin-sip distributive justice, ideanya adalah bagi semua sesuai dengan kontribusinya (to each according to his contribution). Kesalahpa-haman mengenai kedua pengertian ini sering menimbulkan dua cara pandangan ekstrim pada masing-masing posisi, sehingga me-nimbulkan perdebatan dan bahkan konflik yang tidak berkesuda-han. Yang satu terlalu menekankan doktrin kesucian hak milik dan kontrak (the sanctity of property and contract), sedangkan yang lain menekankan pentingnya intervensi pemerintahan untuk memper-tahankan atau memaksakan tegaknya tata sosial yang beradilan. Menurut Kelso dan Adler, konsep distribusi yang sebenarnya harus dipisahkan dan tidak boleh dikacaukan dengan pengertian charity yang demikian itu. Dalam keadilan distributif, yang diutamakan adalah beker-janya sistem pasar bebas dan terbuka (feee and open marketplace), bukan pemerintah. Pasar bebas dan terbuka itulah yang dianggap merupakan sarana yang paling objektif dan demokratis dalam me-nentukan harga (price), upah (wage), dan keuntungan (profit) yang adil. Namun demikian, tanpa peran negara sebagai pengendali, dis-torsi dalam sistem pasar yang bebas akan memakan menciptakan ketidakadilan dalam dirinya sendiri. Karena itu, peran intervensio-nis negara tetap harus terbuka kapan saja diperlukan. Dapat dikatakan bahwa pandangan Kelso dan Adler ini cen-derung terlalu liberal untuk mengabaikan kebutuhan akan doktrin charity sebagai kenyataan dengan hanya mengakui peran pasar dalam mekanisme partisipasi dan distribusi untuk keadilan eko-nomi. Padahal, adanya charity di samping distribusi merupakan

  • Jurnal Keadilan Sosial [Edisi II/ 2011] 39

    TULISANTAMU

    kenyataan dalam kehidupan bermasyarakat. Bahkan, prinsip par-tisipasi dan distribusi itu sendiri dalam kenyataannya tidak pernah bersesuaian secara penuh, sehingga selalu saja timbul konflik se-bagai akibat ketidakseimbangan dalam kehidupan bermasyarakat. Itu sebabnya, maka dibutuhkan prinsip yang ketiga, yaitu harmoni, seperti yang dibayangkan oleh Kelso dan Adler sendiri. Justru dalam rangka harmoni itulah diperlukan peran neg-ara dan pasar secara seimbang. Dalam rangka sistem distribusi yang berkeadilan, harus ada peran pasar dan negara sekaligus. Bahkan seharusnya sistem distribusi terkait erat dengan tiga ranah kekuasaan negara (state), kekuatan masyarakat (civil society), dan kekuatan pasar (market) sekaligus. Prinsip harmoni merupakan prinsip pengimbang yang di-perlukan untuk mengatasi distorsi baik dalam input maupun output ekonomi dan melakukan koreksi yang diperlukan untuk memulih-kan tata ekonomi yang adil dan seimbang bagi semua orang. Prin-sip keseimbangan ini dirusak oleh adanya pelbagai kendala yang ti-dak adil yang membatasi partisipasi dengan monopoli atau dengan menggunakan kekayaan untuk merugikan atau mengeksploitasi hak-hak orang lain. Keseimbangan ekonomi itu sendiri dirumuskan oleh Oxford Dictionary sebagai Laws of social adjustment under which the self-interest of one man or group of men, if given free play, will produce results offering the maximum advantage to other men and the community as a whole. Prinsip ini memberikan panduan untuk pengendalian monopoli, penerapan sistem checks and balances di antara institusi-institusi sosial, dan sinkronisasi kembali antara distribusi (out-take) dengan partisipasi (in-take). Dua prinsip pertama, yaitu partisipasi dan distribusi, men-galir dari impian abadi umat manusia akan keadilan pada umumnya yang dengan sendirinya membutuhkan keseimbangan antara input dan out-take, yaitu bagi masing-masing sesuai dengan apa yang seharusnya (to each according to he is due). Sebaliknya, prinsip harmoni mencerminkan impian manusia akan nilai-nilai absolute lainnya, termasuk kebenaran (Truth), cinta (Love), dan keindahan (Beauty). Prinsip ketiga ini tidak lain merupakan prinsip yang me-ngontrol dan membatasi kecenderungan manusia untuk tamak dan monopoli yang mengabaikan dan mengeksploitasi orang lain. Na-

  • 40 Jurnal Keadilan Sosial [Edisi II/ 2011]

    TULISA

    NTAM

    U mun harmoni itu sendiri tidak sekedar membatasi, tetapi lebih dari itu ia lebih mengutamakan kedamaian hidup. Karena itu, masyara-kat yang menginginkan kedamaian, haruslah terlebih dulu bekerja untuk keadilan.

    KEADILAN STRUKTURAL Dalam konsepsi keadilan, banyak istilah yang digunakan untuk menerangkan pelbagai konteks pengertian yang dikandung-nya. Dalam bidang hukum, kita biasa menggunakan istilah-istilah keadaan substantive versus keadilan procedural untuk menggam-barkan dalam keadilan itu ada masalah isi atau esensi dan ada pula masalah prosesnya atau prosedur untuk mewujudkannya. Keduan-ya sama-sama penting untuk terwujudnya keadilan dalam kenyata-an. Namun dalam perspektif masyarakat, juga biasa digunakan istilah keadilan struktural. Dalam konsep ini, masyarakat dipan-dang sesuatu struktur yang organis atau mekanis dalam interaksi antar orang dan kelompok dalam masyarakat. Meskipun setiap masyarakat secara alamiah pasti terstruktur ke dalam stratifikasi atau pelapisan-pelapisan sosial, tetapi struktur pelapisan sosial itu dapat berkembang dinamis menurut ruang dan waktu. Dinamika itu terbentuk karena bentuk tradisi kebudayaan dan pilihan-pilihan sistem kepemimpinan yang dipakai dalam kehidupan bermasyara-kat itu masing-masing. Keduanya menentukan kualitas jarak antara lapis tertinggi dan terendah dalam kehidupan masyarakat. Semakin hirarkis jarak stratifikasi atau pelapisan sosial dalam masyarakat berkembang, struktur masyarakat tersebut dikatakan semakin ti-dak adil. Semakin landai jarak hirarki pelapisan sosial, strukturnya dianggap semakin adil. Jika digambarkan dalam bentuk piramida, maka semakin tinggi puncaknya, struktur masyarakat itu semakin dianggap tidak adil. Adanya stratifikasi sosial itu dipengaruhi oleh banyak fak-tor. Dalam masyarakat tradisional, stratifikasi ditentukan oleh fak-tor keturunan darah, faktor kekuatan fisik, faktor keindahan, ke-cantikan atau kegagahan fisik, dan lain-lain. Tetapi dalam struktur masyarakat yang semakin kompleks, faktor penentu stratifikasi sosial itu berkembang pula semakin banyak ragamnya. Orang di-anggap lebih tinggi derajatnya dalam pelapisan atau stratifikasi so-

  • Jurnal Keadilan Sosial [Edisi II/ 2011] 41

    TULISANTAMU

    sial manakala orang itu memiliki kekuasaan/jabatan lebih tinggi, kekayaan lebih, pendidikan lebih tinggi, penguasaan informasi lebih banyak, teman atau pengikut lebih banyak, dan sebagainya. Semakin tinggi jarak antara strata tertinggi dengan strata terendah, struktur masyarakat itu dianggap tidak berkeadilan. Mis-alnya, jika jarak pendapatan segelintir orang yang dianggap kaya dengan pendapatan sebagian terbesar orang yang dianggap miskin sangat jauh, maka struktur masyarakat itu dikatakan tidak adil. Ukuran universal yang dianggap ideal antara pendapatan tertinggi dan terendah itu adalah dalam skala 1:7. Jika buruh kasar mem-peroleh pendapatan 1 dolar per bulan, maka idealnya gaji Presiden tidak lebih dari 7 dolar. Dengan ukuran yang demikian itu, kita dapat mengatakan bahwa struktur masyarakat Indonesia dewasa ini tergolong tidak atau belum berkeadilan sosial sebagaimana diamanatkan oleh Pembukaan UUD 1945. Di Indonesia dewasa ini, jarak yang ber-laku antar pendapatan tertinggi dan terendah justru sangat jauh. Dalam masyarakat, banyak orang yang bekerja dengan pendapatan Rp.500 ribu per bulan, sedangkan pada tingkat elit, ada orang yang berpendapatan Rp. 500 juta per bulan. Artinya, skalanya adalah 1:1.000. Padahal dalam kenyataan banyak orang yang tidak beker-ja (menganggur) yang tidak memperoleh pendapatan sama seka-li, dibandingkan dengan mereka yang bahkan dapat memperoleh pendapatan atau keuntungan usaha di atas Rp. 500 juta per bulan. Karena itu, dapat dikatakan bahwa bangsa Indonesia dewasa ini belum berhasil membangun struktur masyarakat yang berkeadi-lan sosial sebagaimana diamanatkan dalam Pembukaan UUD 1945, khusus yang dirumuskan sebagai sila kelima Pancasila, yaitu Ke-adilan Sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.

    PARADIGMA HAK ASASI MANUSIA Untuk mengatasi ketidakadilan struktural itulah, maka kita memerlukan pendekatan yang juga bersifat struktural, di sampan pendekatan yang bersifat cultural. Pendekatan kultural dapat dilakukan melalui proses pendidikan dan penyadaran. Teta-pi pendekatan demikian memerlukan waktu yang lama dan tidak dapat diandalkan dalam waktu cepat. Karena itu, bersamaan den-gan pendekatan pendidikan, pemasyarakatan, daan pembudayaan,

  • 42 Jurnal Keadilan Sosial [Edisi II/ 2011]

    TULISA

    NTAM

    U kita memerlukan pendekatan struktural yang bersifat politik dan ekonomi. Kita memerlukan intervensi kekuasaan yang dapat me-maksakan kebijakan-kebijakan publik yang mengarahkan sistem kekuasaan politik yang demokratis, egalitarian, dan tidak feodal, serta struktur pendapatan ekonomi yang semakin mendekati stan-dar internasional dengan skala 1:7 sebagaimana dikemukakan di atas. Ukuran yang penting dalam mengembangkan struktur ma-syarakat yang berkeadilan itu ialah dengan pendekatan hak asasi manusia. Dalam perspektif politik dan ekonomi, hak asasi manusia, baik hak sipil, politik, ekonomi, budaya, maupun hak atas pemban-gunan, haruslah dijadikan core-bisnis dan paradigm dalam setiap keg