Upload
vocong
View
261
Download
15
Embed Size (px)
Citation preview
DI TERBITKAN OLEH :PEMBANTU REKTOR BIDANG KEMAHASISWAAN, UNIVERSITAS NEGERI MEDAN, TAHUN 2009
GENERASI KAMPUSMAJALAH / JURNAL
ISSN 1978-869X
VOLUME 2, NOMOR 2, SEPTEMBER 2009
MAJALAH/JURNAL
GENERASI KAMPUS(CAMPUS GENERATION)
VOLUME 2, NOMOR 2, SEPTEMBER 2009
Terbit Dua kali setahun pada bulan April dan September. Berisi ringkasan hasil penelitian, gagasan kopseptual, kajian teori, aplikasi teori yang dimuat dalam Majalah/jurnal Generasi Kampus .
Pelindung : Prof. H. Syawal Gultom M.Pd. (Rektor Unimed)
Pengarah : *Prof. Dr. Slamat Triono, M.Sc (Pembantu Rektor I Unimed); *Drs. Chairul Azmi, M.Pd. (Pembantu Rektor II Unimed); *Dr. Berlin Sibarani, M.Pd.(Pembantu Rektor IV Unimed).
Penanggung jawab : Drs.. Biner ambarita, M.Pd. (Pembantu Rektor III Unimed)
Ketua Penyunting : Hariadi, S.Pd., M.Kes.
Sekretaris Penyunting : Tappil Rambe, S.Pd.
Penyunting Pelaksana : *Lamhot Sihombing, S.Pd, M.Pd. *Miswaruddin Daulay, S.Pd. *Mangaratua Simanjorang, M.Pd.*Drs. Swardi Rajaguguk. *Drs. Indra Meipita, M.Sc. *Ir. Haikal Rahman, M.Sc. *Syamsul Gutom S.Mas, M.Kes. * Pembantu Dekan III FIP (Drs. Nasrun M.S), * Pembantu Dekan III FBS (Dr. Daulat Saragi, M. Hum), * Pembantu Dekan III FT (Drs. Hezekiel Pasaribu, M.Pd), * Pembantu Dekan III FPMIPA (Drs. Asrin Lubis, M.Pd), * Pembantu Dekan III FIS (Drs. Liber Siagian, M.Si) * Pembantu Dekan III FIK (Dr. Agung Sunarno M.Pd), dan *Pembantu Dekan III FE (Drs. Bangun Napitupulu, M.Si)
Penyunting Ahli :Prof. Selamat Triono, M.Sc, PhD (Universitas Negeri Medan); Prof. Dr. Hamka (Universitas Negeri Padang); Dr. Herminarta Sofyan (Universitas Negeri Yogyakarta); Prof. Yusuf Sudo Hadi (Institut Pertanian Bogor); Eddy Nur Ilyas, S.H, M.Hum (Universitas Syah Kuala Darussalam B. Aceh); Ir. H.RB. Ainurrasyid, NIS (Universitas Brawijaya); Syarif A. Barmawi, S.H, M.Si (Universitas Pajajaran Bandung); Prof. Dr. H.R. Boenyamin (Universitas Jendral Sudirman)
Desain Cover : Drs. Nelson Tarigan, M.Pd.
Kontributor :
*Samrah, S.Pd. *Nurhaida, SH, M.Kn. *Surbita, SH. *Dra. Hayati Tamba. *Dra. Susiarni. *Nusawati BA. *Drs. Idrus. *Dra.Nismawarni Harahap. *
Pelaksana Tata Usaha : Bani Ismail; Dewita Rita
Alamat Tata Usaha :
Pembantu Rektor Bidang Kemahasiswaan Universitas Negeri Medan, Lantai 3. Jln. Williem Iskandar, Pasar V, Medan Estate. Kotak Pos 1589, Medan 20221. Telp : (061) 6613276, 6613365, 6618754. Fax : (061) 6613319.
e-mail : [email protected]
Penyunting menerima sumbangan tulisan yang belum pernah diterbitkan dalam media cetak lain. Naskah diketik dengan spasi 1,5 pada kertas A4 dengan jumlah halaman 10-15. (lebih jelas baca petunjuk bagi penulis pada sampul dalam belakang). Naskah yang masuk dievaluasi oleh penyunting ahli. Penyunting dapat melakukan perubahan pada tulisan yang dimuat untuk keseragaman format, tanpa mengubah maksud dan isi tulisan tersebut.
ISSN 1978-869X
SURAT DARI REDAKSI
Pendidikan bertujuan menciptakan Sumber Daya Manusia yang
unggul, dan pelaksanaannya berlangsung dalam suatu sistem. Sistem
pendidikan sendiri dibangun oleh berbagai unsur. Dengan demikian
untuk meningkatkan efektivitas dan efisiensi pendidikan seyogyanya
mempertimbangkan peran masing-masing unsur.
Edisi kali ini membahas upaya peningkatan efektivitas dan
efisiensi pendidikan melalui berbagai unsur, kompetensi dan
profesionalitas Kepala Sekolah, potensi dan keunggulan daerah,
sinkronisasi muatan kurikulum, minat baca, pemanfaatan komputer
hingga hubungan kreativitas dan minat wirausaha. Cara pandang yang
menyeluruh serta keseimbangan berbagai unsur yang membangun sistem
pendidikan sangat menentukan kekokohan sistem itu sendiri.
Semoga ulasan pada edisi kali ini dapat menggugah hati para
pembaca yang budiman dan memberi sumbangan pemikiran dalam upaya
peningkatan mutu pendidikan kita. Salam…!
Medan, September 2009
PenanggungjawabPembantu Rektor III UNIMED,
Drs. Biner Ambarita, M.Pd.NIP: 19570515 198403 1 004
MAJALAH/JURNAL
GENERASI KAMPUS(CAMPUS GENERATION)V VOLUME 1, NOMOR 1, APRIL 2008
IL 2008
VOLUME 2, NOMOR 2, September 2009
Daftar Isi
Sukarman Purba Peningkatan Kompetensi Melalui Pementoran dalam Mewujudkan Profesionalisme Kepala Sekolah
1-16
Biner Ambarita Perencanaan Pengembangan Sekolah Berbasis Potensi dan Keunggulan Daerah
17-29
Bornok Sinaga Sinkronisasi Muatan Kurikulum LPTK dan Kurikulum Sekolah Mitra PPL
30-53
Wanapri Pangaribuan Buku Ajar Model Interaktif untuk Meningkatkan Minat Baca
54-71
Hamonangan Tambunan Peningkatan Pembelajaran Berbasis Komputer
72-82
Rosnelli Implementasi Model Pembelajaran Interaktif pada Pembelajaran Kompetensi Teknik Digital SMK untuk Menangani Perbedaan Individual Siswa
83-98
Indra Kasih Fair Flay dalam Olahraga 99-105
Lamhot Basani Sihombing Hubungan Antara Kreativitas dan Minat Wirausaha Entertainment dengan Hasil Belajar Manajemen Produksi Pagelaran Seni Musik
106-118
Hariadi, S.Pd., M.Kes. Soft Skill dan Program Kreativitas 119-135
ISSN 1978-869X
GENERASI KAMPUS, Volume 2, Nomor 2, September 2009
Dr. Sukarman Purba, ST., M.Pd. adalah Dosen Universitas Negeri Medan.
1
PENINGKATAN KOMPETENSI MELALUI PEMENTORAN DALAM MEWUJUDKAN PROFESIONALISME
KEPALA SEKOLAH
SUKARMAN PURBAAbstrak
Kepala sekolah mempunyai posisi yang sangat dominan dan menjadi sentral dalam penyelenggaraan pendidikan di sekolah. Oleh karena itu, untuk menjadi kepala sekolah bukan hanya persyaratan yang bersifat administratif saja yang harus dipenuhi, akan tetapi calon kepala sekolah harus memiliki kompetensi yang memadai, profesional, berjiwa pemimpin yang selalu menjunjung kode etik sekolah. Kepala sekolah harus profesional dan kompetensinya harus selalu di up grade sehinggamampu merespons tuntutan masyarakat akan pendidikan yang bermutu untuk menghadapi persaingan. Di samping sikap profesionalismenya, perilaku kepala sekolah sebagai seorang pemimpin perlu memiliki kemampuan dalam menangani konflik-konflik kepentingan dan harapan dalam kondisi yang rumit dan sulit diprediksi dengan bijaksana dan sehat. Untuk meningkatkan kompetensi Kepala Sekolah dapat dilakukan melalui pementoran. Pementoran adalah wahana pengembangan yang melibatkan seorang mentor yang memiliki pengalaman, pengaruh dan prestasi yang jauh lebih tinggi dari pemagang yang pada umumnya masih belajar untuk menjadi Kepala Sekolah. Pementoran harus dilaksanakan dengan perencanaan yang matang dengan komitmen organisatoris agar dapat terlaksana dengan baik, dan menghasilkan Kepala Sekolah yang accountable dalam melakukan tugas dan tanggungjawabnya. Kata Kunci: Kompetensi, Pementoran, Profesionalisme Kepala Sekolah
A. PENDAHULUANPendidikan memiliki peranan yang penting dalam pembangunan
di tanah air. Investasi pada bidang pendidikan sepertinya menjadi hal
yang terbaik dan paling efektif karena kontribusi dalam pembangunan
bisa melebihi investasi fisik. Hasil penelitian Unicef melaporkan bahwa
selama dua puluh tahun belakangan Indonesia telah membuat kemajuan
yang cukup signifikan dalam hal pendidikan. Namun demikian, berbagai
masalah masih banyak dihadapi, di antaranya masalah mengenai sistem
yang kurang efisien dan rendahnya mutu pendidikan. Rendahnya mutu
GENERASI KAMPUS, Volume 2, Nomor 2, September 2009
Dr. Sukarman Purba, ST., M.Pd. adalah Dosen Universitas Negeri Medan.
2
pendidikan ini, tidak terlepas dari profesionalisme Kepala Sekolah dalam
memimpin sekolahnya untuk menghasilkan lulusan yang berkualitas.
Perubahan zaman yang semakin cepat telah menyebabkan
Kepala Sekolah harus mampu menanggapi perubahan itu dengan lebih
cerdas dan tanggap. Kepala Sekolah perlu memiliki keterampilan-
keterampilan yang inovatif dan yang lebih bermanfaat. Dalam kondisi
yang seperti ini, manajemen sekolah semakin diharapkan berbasis
sekolah. Dengan demikian, peran Kepala Sekolah semakin menentukan
dalam kemajuan Sekolah, peningkatan mutu pendidikan, dan juga sejauh
mana dia dapat menjadi pelopor dalam menghantarkan anak didiknya
menjadi sumber daya manusia yang dapat diperhitungkan di masyarakat
yang semakin membingungkan dan sarat dengan tuntutan-tuntutan.
Kepala Sekolah adalah pemimpin di Sekolah. Oleh karena itu, Kepala
Sekolah yang harus mampu berperan untuk mengarahkan sekolah dan
memfokuskan diri pada pengajaran yang berkualitas, memberikan arahan
pada pengembangan kurikulum, dan menunjukkan kepemimpinan yang
baik kepada guru. Untuk itu, Kepala Sekolah haruslah memiliki
kompetensi yang dapat berperan dalam mendukung pelaksanaan
tugasnya. Seperti yang dinyatakan Spencer dan Spencer (1993)
mengisyaratkan pentingnya kompetensi dengan pernyataan bahwa siapa
pun yang ingin bertahan dalam era global, haruslah memiliki kekayaan
sebagaimana yang dimiliki oleh para aktor kunci dalam ekonomi global,
yaitu concept, competence, dan connection atau networking. Namun dalam
kenyataannya, peningkatan kompetensi Kepala Sekolah hingga masih
kurang mendapat perhatian, seperti penelitian Hickcox (2002)
menemukan bahwa kompetensi kepala sekolah belum mendapatkan
perhatian yang cukup. Lee, Walker dan Bodycott (2000) juga menyatakan
GENERASI KAMPUS, Volume 2, Nomor 2, September 2009
Dr. Sukarman Purba, ST., M.Pd. adalah Dosen Universitas Negeri Medan.
3
bahwa Kepala Sekolah belum cukup akuntabel dan masih memimpin
secara paternalistik.
Keterbatasan pada kompetensi Kepala Sekolah harus perlu
segera diatasi, karena keberhasilan sebuah Sekolah tak dapat dipisahkan
dari kepemimpinan yang ada di sekolah tersebut (Sergiovanni, 1991).
Upaya memang telah dilakukan dengan pelatihan-pelatihan bagi mereka
yang akan menjadi kepala sekolah. Pelatihan-pelatihan dilakukan pula
pada yang baru menjadi kepala sekolah, dan mereka yang sudah
berpengalaman menjadi kepala sekolah. Namun, pelatihan-pelatihan itu
di banyak negara masih bersifat informal, ad hoc, dan dengan pendekatan
yang tak terkoordinasi. Pelatihan untuk kepala sekolah di zaman yang
cepat berubah ini perlu lebih intensif dan terpadu.
B. PEMBAHASANa. Pengertian Kompetensi
Kompetensi ialah sifat, pengetahuan dan kemampuan pribadi
seseorang yang relevan dalam menjalankan tugasnya secara efektif
(Chung & Megginson, 1993). Gilmore dan Carson (1996) menyatakan
kompetensi adalah kemampuan untuk menggunakan ilmu pengetahuan
dan ketrampilan secara efektif dalam mencapai kinerja. Berdasarkan
pernyataan tersebut, menunjukkan kompetensi merupakan keterampilan
dari pribadi seseorang untuk mampu memanfaatkan atau menggunakan
keterampilan serta ilmu pengetahuan yang dimilikinya, dalam
melaksanakan pekerjaan yang menjadi tanggungjawabnya. Spencer &
Spencer (1993) mendefinisikan kompetensi ialah sesuatu yang mendasari
karaketeristik seorang individu yang secara kausal berhubungan dengan
referensi kriteria efektif dan/atau kinerja tertinggi dalam pekerjaan atau
situasi (A competency is an underlying characteristic of an individual that is causally
related to criterion-referenced effective and/or superior performance in a job or
GENERASI KAMPUS, Volume 2, Nomor 2, September 2009
Dr. Sukarman Purba, ST., M.Pd. adalah Dosen Universitas Negeri Medan.
4
situation). Selanjutnya, Hornby (2000) mengkelaborasikan pada dasarnya
kompetensi adalah: 1). menunjukkan kecakapan atau kemauan untuk
mengerjakan suatu pekerjaan; 2). merupakan suatu sifat orang-orang
kompeten, yaitu yang memiliki kecakapan, kemampuan, otoritas,
kemahiran, pengetahuan dan sebagainya untuk mengerjakan apa yang
diperlukannya; dan 3). menunjukkan tindakan (kinerja) rasional yang
dapat mencapai tujuan-tujuan secara memuaskan berdasarkan kondisi.
Sedangkan, menurut Harris, et al. (1997), kompetensi meliputi seluruh
aspek penampilan kerja, dan tidak hanya terbatas pada keterampilan-
keterampilan kerja melainkan juga persyaratan melatih keterampilan-
keterampilan tugas individual, mengelola sejumlah tugas yang berbeda di
dalam pekerjaan, merespons ketidakteraturan dan mengatasinya dalam
tugas-tugas rutin, dan mempertemukan tanggung jawab dengan harapan-
harapan di lingkungan kerja, termasuk bekerja sama dengan yang lain.
Kompetensi dapat bersifat generik secara universal, berlaku bagi semua
manajer tanpa peduli ia merupakan bagian dari organisasi yang mana,
ataupun apa pekerjaan tertentu mereka. Mereka dapat juga bersifat
generik secara organisasional, bisa bersifat umum dan berlaku bagi
seluruh staf, atau terfokus secara lebih spesifik kepada suatu jenis
pekerjaan atau kategori karyawan seperti para manajer, ilmuwan, staf
profesional ataupun staf administrasi. Secara alternatif, mereka juga bisa
ditetapkan bagi suatu hierarki jenis pekerjaan atau, pada beberapa kasus,
semua pekerjaan staf, tingkat demi tingkat. Kompetensi juga dapat
ditetapkan secara spesifik bagi suatu peran tertentu secara individual.
Dengan demikian, kompetensi merupakan pengetahuan, keterampilan,
dan nilai-nilai dasar yang direfleksikan dalam kebiasaan berpikir dan
bertindak. Kebiasaan berpikir dan bertindak secara konsisten dan terus
menerus memungkinkan seseorang menjadi kompeten, dalam arti
GENERASI KAMPUS, Volume 2, Nomor 2, September 2009
Dr. Sukarman Purba, ST., M.Pd. adalah Dosen Universitas Negeri Medan.
5
memiliki pengetahuan, keterampilan, dan nilai-nilai dasar untuk
melakukan sesuatu.
Berdasarkan pendapat-pendapat di atas, dapat disimpulkan
bahwa yang dimaksud dengan kompetensi ialah kemampuan dan
karakteristik yang dimiliki oleh Kepala Sekolah berupa pengetahuan,
keterampilan, dan sikap perilaku yang diperlukan dalam pelaksanaan
tugas jabatannya sehingga kepala sekolah tersebut dapat melaksanakan
tugasnya secara profesional, efektif, dan efisien.
b. Pengertian PementoranPementoran adalah suatu proses yang sebenarnya tak terelakkan
bagi siapa pun yang ingin maju. Seorang juara dunia pun membutuhkan
seorang pelatih. Pada dasarnya dalam pementoran protégé atau pemagang
akan mempelajari bahwa kepemimpinan itu sebenarnya adalah gabungan
dari strategi dan karakter (Knuth & Banks, 2006). Namun, pementoran
bukan sekedar pelatihan. Pelatihan biasanya memiliki lingkup yang lebih
sempit dibanding pementoran dan dalam jangka waktu yang lebih
pendek.
Pementoran formal merupakan kegiatan praktek pengalaman
lapangan yang menjadi bagian dari sebuah program pendidikan yang
dilaksanakan oleh sebuah perguruan tinggi. Dengan demikian,
pementoran merupakan pendekatan yang terstruktur dan terkoordinasi
yang memungkinkan setiap individu, baik mentor maupun protégé
(pemagang) sepakat untuk terlibat dalam hubungan pribadi yang
kerahasiaannya terjaga, dalam rangka mempersiapkan pengembangan dan
pertumbuhan profesional, dan menciptakan lingkungan yang dapat
mendukung perkembangan pribadi.
GENERASI KAMPUS, Volume 2, Nomor 2, September 2009
Dr. Sukarman Purba, ST., M.Pd. adalah Dosen Universitas Negeri Medan.
6
Pementoran tidak sama dengan bantuan atau penutoran yang
dilakukan oleh sejawat, karena pementoran adalah wahana
pengembangan yang melibatkan seorang mentor yang memang memiliki
pengalaman, pengaruh dan prestasi yang jauh lebih tinggi dari pemagang
(Calon Kepala Sekolah). Kepala sekolah mentor bagi seorang kepala
sekolah protégé (pemagang) biasanya dipilih dari sekolah yang keadaannya
mirip dengan sekolah yang dipimpin oleh kepala sekolah protégé (pemagang)
tersebut. Kemiripan lingkungan sekolah ini memungkinkan bagi seorang
protégé untuk membangun dialog yang otentik, dan terbentuknya proses
refleksi pribadi dengan maksimal. Pementoran bertujuan untuk
membangun keterampilan seorang praktisi dengan mendalam. Seorang
kepala sekolah tidak hanya membutuhkan pengetahuan akademik, tetapi
juga keterampilan praktis, melalui pemahaman terhadap liku-liku
persoalan yang terjadi di lapangan, yang hanya dapat dipelajari melalui
pementoran.Untuk pertumbuhan pribadi, pementoran membutuhkan
paling sedikit enam bulan, dan untuk perubahan organisatoris yang
sistematik dibutuhkan upaya minimal tiga hingga lima tahun.
Sullivan–Brown (2002) menggarisbawahi bahwa upaya yang
hanya dilakukan pada permukaan saja bukanlah pementoran. Bila
seseorang tahu benar bagaimana mengelola keuangan, faham tentang
perilaku organisasi, membuat perencanan strategis, menjalankan resolusi
konflik, melakukan relasi interpersonal atau komunikasi, belum tentu dia
dapat memimpin dengan baik. Seorang pemimpin perlu memiliki
kemampuan dalam menangani konflik-konflik kepentingan dan harapan
dalam kondisi yang rumit dan sulit diprediksi dengan bijaksana dan sehat.
Pementoran dapat dibagi atas dua jenis pementoran, yaitu
pementoran untuk sosialisasi profesi dan untuk sosialisasi organisasi.
Pementoran dalam proses sosialisasi profesi terjadi pada saat seseorang
GENERASI KAMPUS, Volume 2, Nomor 2, September 2009
Dr. Sukarman Purba, ST., M.Pd. adalah Dosen Universitas Negeri Medan.
7
mempelajari bagaimana menjadi Kepala Sekolah. Proses ini dilakukan
sebelum pengangkatan. Sebaliknya, pementoran untuk sosialisasi
organisasi terjadi pada saat seseorang mempelajari tentang pengetahuan,
nilai-nilai dan tingkah laku yang dibutuhkan untuk menjalankan peran
khusus dalam sebuah organisasi (Weindling & Dimmock, 2006). Hal-hal
yang dipelajari dalam proses sosialisasi profesi adalah kepemimpinan,
manajemen dan bagaimana menjalankan tugas-tugas manajemen, dan
pemodelan. Pemodelan adalah belajar dengan mengamati apa yang dapat
dicontoh dan apa yang sebaiknya tidak dicontoh.
Pementoran yang dilakukan pada masa sosialisasi organisasi
adalah untuk membantu seorang pemimpin baru mempelajari seluk-
beluk yang ada pada Sekolah yang dipimpinnya dan juga bagaimana
memperbaiki Sekolahnya itu. Pada masa sosialisasi organisasi ini, seorang
kepala sekolah baru ingin menampilkan tanggung jawabnya, membuat
perubahan-perubahan dan melakukan hal-hal yang dapat memajukan
Sekolah yang dipimpinnya. Namun, pada masa ini pula seorang Kepala
Sekolah baru mendapatkan bahwa tidak selamanya dia dapat
mempengaruhi stafnya, tetapi, sebaliknya, dia yang dipengaruhi oleh
stafnya. Seorang Kepala Sekolah membutuhkan waktu untuk membuat
sekolahnya terbentuk seperti apa yang diinginkannya. Seorang Kepala
Sekolah yang berasal dari sekolah yang sama biasanya membutuhkan
waktu yang lebih lama untuk membuat perubahan, dibanding Kepala
Sekolah hasil penunjukkan dari luar.
Untuk itu, pementoran untuk Kepala Sekolah haruslah
dilaksanakan secara terstruktur. Dalam pengambilan keputusan sehari-
hari, seorang Kepala Sekolah dihadapkan kepada pilihan yang mana yang
harus dikedepankan. Stres sering menjadi persoalan utama. Bila Kepala
Sekolah menuruti keinginan kantor Dinas, mungkin dia akan mendapat
GENERASI KAMPUS, Volume 2, Nomor 2, September 2009
Dr. Sukarman Purba, ST., M.Pd. adalah Dosen Universitas Negeri Medan.
8
protes keras dari para guru, dan bila mendengarkan guru, dia akan
kehilangan hubungan baik dengan kantor Dinas. Persoalan lain, adalah
bahwa setiap orang mengharapkan adanya reformasi, tetapi dalam
pelaksanaannya tidak seorang pun siap berubah. Seorang Kepala Sekolah
yang baik memiliki kiat yang tepat dalam menghadapi ekspektansi yang
beragam ini dengan menggunakan semua sumber daya yang ada. Seorang
kepala sekolah akan sepenuhnya menyadari tentang sumber-sumber
harapan yang dapat mempengaruhi kepemimpinannya. Wali murid
sebagai sumber pengharapan pun sudah cukup rumit untuk dilayani,
karena setiap wali murid dapat memiliki harapan yang berbeda pula.
Begitu pula dengan seorang pengawas yang ada sekarang dapat memiliki
harapan yang berbeda dari pengawas sebelumnya, dan seterusnya.
Harapan dari masyarakat juga menyumbang kerumitan lain, karena
keragaman anggota masyarakat yang berbeda menurut kultur, ekonomi,
keyakinan dan kebiasaan lainnya. Seorang Kepala Sekolah yang belum
memiliki kepemimpinan yang tepat akan terus mengalami kesulitan
dalam mengatasi harapan-harapan ini secara utuh. Dia hanya akan
mengatasi bagian per bagian dari struktur sekolah yang ada, dan ada juga
yang mudah menyerah dan tidak melakukan tindakan apa pun juga.
Ada beberapa tahap masa perkembangan bagi seorang Kepala
Sekolah. Bila pementoran dilaksanakan, sifat pementoran hendaknya
disesuaikan dengan tahapan perkembangan Kepala Sekolah tersebut,
yaitu : 1) Masa persiapan, yaitu masa sebelum menjadi Kepala Sekolah, 2)
Bulan-bulan pertama, yaitu masa bagi Kepala Sekolah dalam menemukan
banyak kejutan-kejutan baru, 3) Bulan ketiga hingga bulan keduabelas,
yaitu masa bagi Kepala Sekolah dalam melakukan pemantapan dan
perubahan-perubahan, dan pada masa ini staf dan Kepala Sekolahnya
mengalami masa untuk siap berubah, 4) Tahun kedua adalah masa bagi
GENERASI KAMPUS, Volume 2, Nomor 2, September 2009
Dr. Sukarman Purba, ST., M.Pd. adalah Dosen Universitas Negeri Medan.
9
Kepala Sekolah untuk dapat mengevaluasi kelebihan dan kekurangannya
sendiri, 5) Tahun ketiga hingga keempat adalah masa pemurnian bagi
Kepala Sekolah untuk membenahi kurikulum setelah membenahi banyak
hal yang lainnya, 6) Tahun kelima hingga ketujuh adalah masa
konsolidasi, yaitu masa bagi Kepala Sekolah untuk mengevaluasi segala
perubahan yang telah dilakukannya, 7) Tahun kedelapan hingga
kesepuluh adalah masa plato, yaitu ketika Kepala Sekolah sudah sulit
melakukan perubahan dan kemajuan, terkecuali bila dia menjadi Kepala
Sekolah di sekolah yang lain (Windling & Dimmock, 2006).
c. Pementoran dapat Membangun Karakter DasarPemimpin yang baik adalah pemimpin yang dapat membangun
kepercayaan pada mereka yang dipimpinannya. Kepercayaan ini akan
terwujud bila pemimpin tersebut memiliki komitmen yang tinggi
terhadap nilai-nilai dan prinsip-prinsip yang luhur. Perkataan pemimpin
tersebut sama dengan tindakannya. Karakter memiliki bobot yang lebih
tinggi dibanding strategi di dalam kepemimpinan. Lebih baik seorang
pemimpin itu berkarakter tanpa strategi, daripada pemimpin yang
berstrategi tetapi tidak memiliki karakter, terutama kepemimpinan pada
Sekolah yang kompleks, yang kepemimpinannya mudah sekali dipolitisir.
Karakter membangun kepercayaan, dan kepercayaan yang mengikat
seorang pemimpin dan yang dipimpin. Hubungan ini yang membuat
setiap orang memiliki kepuasan bekerja dan terdorong untuk berkarya
(Knuth & Banks, 2006). Bila setiap guru dan tenaga kependidikan di
sekolah berkarya dengan baik, sekolah itu akan terus-menerus melakukan
perubahan menuju ke kesempurnaan, dan sekolah itu menjadi Sekolah
yang efektif dalam menciptakan kemajuan-kemajuan dalam prestasi
belajar siswa. Jadi, sekolah yang efektif, bukan sekedar sekolah yang
GENERASI KAMPUS, Volume 2, Nomor 2, September 2009
Dr. Sukarman Purba, ST., M.Pd. adalah Dosen Universitas Negeri Medan.
10
stabil, tetapi sekolah yang memprioritaskan dan mempertahankan
inisiasi-inisiasi perbaikan kunci (Knuth & Banks, 2006).
Keterampilan memimpin semacam ini hanya dapat dimiliki
seorang Kepala Sekolah setelah menempuh waktu yang lama dalam
mendiagnosa kebutuhan sekolahnya dan kesiapan dari stafnya. Kepala
Sekolah harus mampu menganalisa apa yang dibutuhkan guru dan juga
keterbatasan yang dimiliki oleh guru, karena itu pementoran
memungkinkan calon Kepala Sekolah mempelajari diagnosa yang telah
dikembangkan oleh seorang Kepala Sekolah yang telah berpengalaman
dan berhasil. Tidak saja pemimpin yang lambat untuk merespon
kebutuhan yang membuat sekolah tidak efektif, tetapi kadang-kadang
seorang pemimpin yang terlalu maju, akan membuat dirinya berjarak
terlampau jauh dari guru yang dipimpinnya. Akibatnya, guru yang
terbatas kemampuannya akan menjadi semakin frustrasi bila tidak
mendapatkan bimbingan khusus untuk mengikuti arahan Kepala
Sekolah.
d. Pementoran dapat Membangun Kompetensi Kepemimpinan Dalam masa pementoran dituntut bagaimana seorang Kepala
Sekolah perlu menyiasati antara mengelola dan memimpin, juga
bagaimana mengatasi permasalahan yang timbul karena adanya
keterbatasan sumber daya dan permintaan yang tak kunjung berakhir,
dan membangun budaya untuk perbaikan Sekolah. Seorang mentor
adalah Kepala Sekolah yang telah cukup berpengalaman mengatasi
konflik yang sering muncul karena harapan-harapan yang saling
bertentangan. Tahun-tahun pertama sebuah kepemimpinan selalu
ditandai dengan kecemasan, frustrasi dan keragu-raguan. Bila seorang
Kepala Sekolah tidak dapat mengatasi persoalan ini, maka dia akan terus
GENERASI KAMPUS, Volume 2, Nomor 2, September 2009
Dr. Sukarman Purba, ST., M.Pd. adalah Dosen Universitas Negeri Medan.
11
mengalami frustrasi, karena pada dasarnya persoalan itu akan terus
berdatangan tanpa akhir. Dalam pengambilan keputusan sehari-hari,
seorang Kepala Sekolah dihadapkan kepada beberapa pilihan dan haraus
mampu menentukan yang mana harus dikedepankan. Bila Kepala
Sekolah menuruti keinginan kantor Dinas, mungkin dia akan mendapat
protes keras dari para guru, dan bila mendengarkan guru, dia akan
kehilangan hubungan baik dengan kantor Dinas. Persoalan lain, adalah
bahwa setiap orang mengharapkan adanya reformasi, tetapi dalam
pelaksanaannya tidak seorang pun siap berubah. Seorang Kepala Sekolah
yang baik memiliki kiat yang tepat dalam menghadapi ekspektansi yang
beragam ini dengan menggunakan semua sumber daya yang ada. Seorang
Kepala sekolah akan sepenuhnya menyadari tentang sumber-sumber
harapan yang dapat mempengaruhi kepemimpinannya. Wali murid
sebagai sumber pengharapan pun sudah cukup rumit untuk dilayani,
karena setiap wali murid dapat memiliki harapan yang berbeda pula.
Begitu pula dengan seorang pengawas yang ada sekarang dapat memiliki
harapan yang berbeda dari pengawas sebelumnya, dan seterusnya.
Harapan dari masyarakat juga menyumbang kerumitan lain, karena
keragaman anggota masyarakat yang berbeda menurut kultur, ekonomi,
keyakinan dan kebiasaan lainnya. Seorang Kepala Sekolah yang belum
memiliki kepemimpinan yang tepat akan terus mengalami kesulitan
dalam mengatasi harapan-harapan ini secara utuh. Dia hanya akan
mengatasi bagian per bagian dari struktur sekolah yang ada, dan ada juga
yang mudah menyerah dan tidak melakukan tindakan apa pun juga.
Sumber-sumber pengharapan itu dapat digambarkan seperti gambar
berikut.
GENERASI KAMPUS, Volume 2, Nomor 2, September 2009
Dr. Sukarman Purba, ST., M.Pd. adalah Dosen Universitas Negeri Medan.
12
Gambar 1: Sumber-sumber harapan yang mempengaruhi Kepala Sekolah
Kepala sekolah yang efektif perlu memiliki percaya diri,
menyadari kekuatan yang dimilikinya, mampu membuat keputusan yang
sulit, dan tidak sekedar menyenangkan setiap orang atau sebagian orang,
memiliki keterampilan berkomunikasi, dan mampu mengembangkan
keterampilan manajerial yang baik. Setiap saat seorang Kepala Sekolah
perlu mengembangkan nilai-nilainya, yakin dengan tujuan yang akan
dicapainya, cakap serta dapat menganalisis situasi, jujur dan jelas dalam
berbahasa, tidak takut menghadapi konflik, dan tidak mencari kambing
hitam. Dia juga cakap menggunakan intuisinya untuk melihat
kesempatan-kesempatan baru, membuat skenario, dan melihat kekuasaan
bukan untuk menguasai dan mengontrol.
Untuk memiliki kompetensi yang semacam ini, seorang calon
Kepala Sekolah perlu belajar bagaimana memiliki tingkah laku yang
efektif, yaitu: 1) Mendengarkan dan dapat merasakan apa yang dirasakan
staf dan siswa, 2) Membangun hubungan batin dengan staf dan siswa, 3).
Tampak terlibat di sekolah dan masyarakat, 4) Dapat didekati, 5).
Menghargai kerahasiaan dan profesionalisme, 6) Memberdayakan, dan
memberikan penghargaan kepada orang lain, 7) Mendorong staf dan
siswa, 8) Berkomunikasi dengan frekuensi yang cukup dan baik, 9).
Memastikan terjalinnya lingkungan yang aman, 10) Memiliki kebijakan
KepalaSekolah
Pemerintah
Siswa
Pengawas Masyarakat
Guru Orang tua
GENERASI KAMPUS, Volume 2, Nomor 2, September 2009
Dr. Sukarman Purba, ST., M.Pd. adalah Dosen Universitas Negeri Medan.
13
yang konsisten, 11) Memiliki visi yang jelas untuk tujuan sekolah, 12)
Terorganisir dengan baik, 13) Mendahulukan siswa, 14) Menjadi
pemimpin dalam pengajaran, 15) Mengharapkan dan meningkatkan
pertumbuhan, 16) Siap mengambil resiko, 17) Memiliki kebijakan pintu
terbuka, 18) Mendelegasikan tugas secara efektif, 19) Mengakui
keberhasilan orang lain, 20) Meningkatkan kebanggaan sekolah, 21).
Mengatasi persoalan dengan segera, 22) Melakukan refleksi diri, 23)
Memimpin dengan memberi contoh, 24) Terlibat dalam pengembangan
professional, 25) Tidak banyak meninggalkan sekolah, 26) Bersifat adil,
dan 27) Tidak haus kekuasaan (Casavant & Cherkowski, 2001).
e. Keberhasilan dan Permasalahan dalam Pementoran Keberhasilan pementoran juga sangat ditentukan oleh
perencanaan, model yang digunakan dan juga pelaksanaannya. Ada juga
masalah dalam pementoran, sekalipun mentor telah dipilih melalui
tahapan seleksi. Bila di Singapura mentor adalah benar-benar terseleksi
dari Kepala Sekolah yang masih bertugas, di Amerika Serikat mentor
diseleksi dari mantan Kepala Sekolah. Persoalan yang mungkin timbul
dalam pementoran adalah tidak adanya kecocokan dalam keahlian dan
perangai, terbatasnya waktu mentor, konflik yang muncul karena
tingginya tuntutan dari mentor, dan tingginya kekritisan mentor.
Permasalahan yang dirasakan oleh mentor adalah keterbatasan
waktu yang mereka miliki untuk menjalankan perannya, ketidakcocokan
perangai dan minat dengan pemagang, keterampilan dalam menyimak,
beban kerja tambahan dan tanggung jawab, membangun komunikasi
awal, tuntutan dari pemerintah.
Program pementoran perlu dilaksanakan dengan perencanaan
yang matang dengan komitmen organisatoris. Dibutuhkan juga rumusan
GENERASI KAMPUS, Volume 2, Nomor 2, September 2009
Dr. Sukarman Purba, ST., M.Pd. adalah Dosen Universitas Negeri Medan.
14
yang jelas bagi perubahan tingkah laku yang akan dicapai dan juga peran
seorang mentor. Umpan balik perlu diberlakukan. Dalam
pelaksanaannya, keberhasilan pementoran menurut Hopkins-Thompson
(2000) tergantung pada faktor-faktor berikut ini, yaitu :
1. Pendukung organisatoris: sejauh mana seorang pengawas sekolah
mengamati dan memberi masukan bagi pelaksanaan program
pementoran.
2. Outcome yang jelas: tujuan yang akan dicapai perlu dispesifikasikan ke
dalam pengetahuan dan keterampilan yang akan dicapai.
3. Pemilihan dan pemasangan mentor sangat menentukan keberhasilan
pemagang. Seorang mentor adalah seseorang yang sangat terampil
dalam berkomunikasi, mendengar, menganalisis, memberikan umpan
balik dan bernegosiasi.
4. Mentor perlu mendapatkan terlebih dahulu pelatihan sebelum
pementoran dilaksanakan. Dalam pelatihan ini mentor akan
mempelajari apa saja yang perlu dilakukan mentor, keterampilan apa
yang harus dimilikinya, instrumen yang akan digunakan selama
pelaksanaan program, rencana kemajuan, strategi analisis
perkembangan, dan refleksi. Kebutuhan program seperti norma-
norma organisatoris, nilai-nilai dan harapan-harapan.
5. Kegiatan pementoran juga perlu difokuskan dan Umpan balik yang
diberikan oleh mentor perlu bermakna bagi pemagang dan
disampaikan dengan dijaga kerahasiaannya.
C. PENUTUPPementoran tidak sama dengan bantuan atau penutoran yang
dilakukan oleh sejawat karena pementoran adalah wahana pengembangan
yang melibatkan seorang mentor yang memang memiliki pengalaman,
GENERASI KAMPUS, Volume 2, Nomor 2, September 2009
Dr. Sukarman Purba, ST., M.Pd. adalah Dosen Universitas Negeri Medan.
15
pengaruh dan prestasi yang jauh lebih tinggi dari pemagang yang pada
umumnya masih belajar untuk menjadi kepala sekolah. Menurut hasil
penelitian di negara lain program pementoran memberikan dampak
positif bagi kepemimpinan seorang kepala sekolah, bukan saja bagi
pemagangnya juga bagi mentornya dalam membangun keterampilan
seorang praktisi di lapangan secara mendalam.
Salah satu komponen dari perencanaan dalam merancang
pementoran adalah menyiapkan model yang tepat menurut budaya dan
sistem yang ada, karena menurut kulturnya sedikit kemungkinan bagi
Kepala Sekolah di Indonesia siap bermagang kepada Kepala Sekolah
lainnya. Selain itu, program pementoran memang biasa dirancang untuk
seseorang yang mempersiapkan diri menjadi kepala sekolah, bukan untuk
orang yang telah menjadi kepala sekolah, dan program pementoran
semacam ini bersifat formal dan menjadi bagian dari program
peningkatan mutu kependidikan agar menghasilkan Kepala Sekolah yang
professional dalam melakukan tugas dan tanggungjawabnya.
D. DAFTAR PUSTAKA
Casavant, M.D. & S. Cherkowski, 2001. “Effective leadership: bringing mentoring and creativity to the principalship”. NASSP Bulletin, 85(624), pp. 71-81
Chung, K.H., & Megginson, L.C. 1999. Organizational Behavior Developing Managerial Skills. New York: Harper & Row Publisher.
Gilmore, Audrey dan David Carson. 1996, “Management Competence for Service Marketing”, The Journal of Service Marketing, Vo. 10, No. 3, pp. 39-57.
Hickcox, E., 2002. Shaping the princialship in Manitoba, paper commissioned by the Manitoba Council for Leadership Education, available at: www.mce.ws/ld/hickcox_shaping_principalship.htm.
Hopkins-Thompson, P.A., 2000. “Colleagues helping colleagus: mentoring and coaching”. NASSP Bulletin, 84 (617), pp. 29-36.
GENERASI KAMPUS, Volume 2, Nomor 2, September 2009
Dr. Sukarman Purba, ST., M.Pd. adalah Dosen Universitas Negeri Medan.
16
Hornby, A.S. 2000. Oxford Advanced Leamer’s Dictionary of Current English. Edited By Sally Wehmeier and Michael Ashby. Sixth Edition. Oxford: University Press.
Knuth, R.K. & P.A. Banks, 2006. “The Essential Leadership Model”. NASSP Bulletin, 90(1), pp.4-19.
Lee, JCK, A. Walker, & P. Bodycott, 2000. “Pre-service primary teachers’ perceptions about principals in Hong Kong: implications for teacher and principal education”. Asia-Pacific Journal of Teacher Education, 28(1), pp.53-68.
Sergiovanni, T.J. 1991. The Principalship: a Reflective Practice Perspective. Boston: Allyn and Bacon.
Spencer, Lyle M and Signe M. Spencer, 1993. Competence Work : Model fo Superior Perpormance. New York, USA : John Willey & Sons, Inc.
Sullivan-Brown, K. 2002. “The Missouri teachers’ academy: mentoring for organizational and personal transformation”, in Kochan, D. (Ed), The Organisational and Human Dimensions of successful Mentoring Programs and Relationships, Information Age Publishing, Greenwich, T, pp. 141-51.
Weindling, D. & C. Dimmock, 2006. “Sitting in the “hot seat”: New headteachers in the UK”. Journal of Educational Administration, 44(4), pp. 326-40.
GENERASI KAMPUS, Volume 2, Nomor 2, September 2009
Drs. Biner Ambarita, M.Pd. Mahasiswa S3 Pascasarjana Unimed, Dosen FBS Unimed, dan Pembantu Rektor III Unimed.
17
PERENCANAAN PENGEMBANGAN SEKOLAH BERBASIS POTENSI DAN KEUNGGULAN DAERAH
BINER AMBARITAAbstrak
Potensi daerah di Provinsi Sumatera Utara adalah sangat besar dan beragam, ditinjau dari sumber daya alam dan juga sosial budaya. Keragaman tersebut hendaknya menjadi salah satu dasar penetapan jenis sekolah yang akan dibangun dan dikembangkan. Secara hipotetik dapat dikatakan bahwa, Akar permasalahan yang muncul di satu daerah tertentu cenderung berada di daerah itu sendiri, walaupun juga ada yang berasal dari daerah lain. Sejalan dengan hal itu, permasalahan daerah harus diselesaikan dengan menyelesaikan akar-akar permasalahannya. Penyelesaian akar permasalahan satu daerah, berada pada sejauh mana dan sedalam apa permasalahan sekolah dikaji dan diselesaikan di daerah tersebut. Akar permasalahan daerah adalah tidak dibangunnya sekolah berdasarkan potensi dan keunggulan daerah. Dengan kata lain, bahwa dengan pembangunan sekolah berbasis potensi dan keunggulan daerah maka sejumlah permasalahan yang mendalam di daerah tersebut dapat terselesaikan.
Kata Kunci: Perencanaan, pengembangan sekolah, potensi daerah, keunggulan daerah
A. PENDAHULUAN
Pengembangan dan pembangunan sekolah berbasis potensi dan
keunggulan daerah telah menjadi program pemerintah Provinsi umatera
Utara dan telah dirumuskan dalam Renstra Dinas Pendidikan Provinsi
Sumatera Utara 2005-2009 (Hia, 2005). Akan tetapi hingga tahun 2009,
program itu belum tersentuh sama sekali, dan harusnya dirumuskan
kembali pada Renstra Dinas Pendidikan 2010-2014. Potensi dan
keunggulan daerah berada pada sumber daya manusia, material alam, dan
budaya yang dimiliki daerah, yang pada dasarnya relatif berbeda satu
dengan yang lainnya.
GENERASI KAMPUS, Volume 2, Nomor 2, September 2009
Drs. Biner Ambarita, M.Pd. Mahasiswa S3 Pascasarjana Unimed, Dosen FBS Unimed, dan Pembantu Rektor III Unimed.
18
Dunia pendidikan di Indonesia dan di Sumatera Utara secara
khusus sedang dihadapkan pada tiga persoalan yang cukup
memprihatinkan (Irianto, 2008). Pertama, masih rendahnya pemerataan
dan perluasan akses pendidikan. Kedua, rendahnya mutu, relevansi dan
daya saing keluaran pendidikan. Ketiga, lemahnya peningkatan tata
kelola, akuntabilitas, dan citra publik pengelola pendidikan. Lebih lanjut
dikatakan bahwa, pendidikan tersebut belum mampu menghasilkan
lulusan berkualitas yang memiliki daya saing di era globalisasi. Hal ini
menyebabkan Indonesia kebanjiran tenaga kerja berketerampilan tinggi
(ahli) dengan bayaran tinggi dari Negara lain. Pada tahun 2003 terdapat
41.422 orang, tahun 2004 meningkat menajdi 57.159 orang. Korea
Selatan menempati urutan pertama yakni 11.668 pekerja, kedua Jepang
9.442 pekerja, dan ketiga Taiwan 5.694 orang.
Pada sisi lain jumlah pengangguran usia 15 tahun ke atas di
provinsi Sumatera Utara adalah 571.334 orang dan yang bukan angkatan
kerja sebanyak 2.724.017 orang, dan tersebar di seluruh Kabupaten/kota
(BPS Provinsi Sumatera Utara, 2008). Jumlah pengangguran angkatan
kerja tertinggi adalah di Medan dengan jumlah 123.670 orang, menyusul
Deli Serdang sebanyak 88.267 orang, Langkat sebanyak 49.885 orang,
Labuhan Batu 42.048 Orang. Simalungun sebanyak 37.634 Orang, Tapsel
sebanyak 27.066 orang, Serge sebanyak 24.748 orang, Asahan sebanyak
23.025 orang, Madina sebanyak 15.571 orang, Binjai sebanyak 15.359
orang, dan paling sedikit adalah Pakpak Barat sebanyak 1.360 orang.
Dengan demikian dapat diketahui bahwa pemasalahan jumlah
pengangguran adalah tersebar di seluruh Kabupaten/kota.
Sesungguhnya manusia adalah sumber daya yang harus
dimanfaatkan dan ditangani dengan baik sehingga produktif. Variasi
jenjang pendidikan dan keahlian serta keterampilan sumber daya manusia
GENERASI KAMPUS, Volume 2, Nomor 2, September 2009
Drs. Biner Ambarita, M.Pd. Mahasiswa S3 Pascasarjana Unimed, Dosen FBS Unimed, dan Pembantu Rektor III Unimed.
19
di daerah yang sangat beragam, dapat dipandang sebagai asset yang
potensial yang perlu pengelolaan yang tepat. Tinjauan seperti ini adalah
sumber daya manusia sebagai material yang bermanfaat. Inti perencanaan
berada pada strategi pemanfaatan material tersebut, sehingga penciptaaan
lowongan kerja sesuai dengan ketersediaan keahlian dan keterampilan
sumber daya manusia yang ada.
Perencanaan pemanfaatan sumber daya manusia, dengan
pengembangan keterampilan dan keahlian dari sumber daya manusia
yang telah tersedia, yang merupakan pengayaan dan penyesuaian dengan
perencanaan lowongan kerja. Inti perencanaan adalah berada pada
keterampilan dan keahlian tambahan yang belum dimiliki sumber daya
manusia sehingga sepenuhnya sesuai dengan kebutuhan.
Perencanaan dengan memandang sumber daya manusia sebagai
potensi semata yang harus diberi keterampilan-keterampilan, nilai-nilai,
dan keahlian-keahlian. Inti perencanaan seperti ini terletak pada
keseluruhan muatan yang harus dididik pada sumber daya manusia,
sepenuhnya harus relevan dengan kebutuhan jangka pendek, menengah
dan panjang.
Jumlah pengangguran di setiap Kabupaten/kota, secara
hipotetik dapat dikurangi dalam jumlah yang cukup besar bahkan hingga
habis, jika ketiga model perencanaan pengembangan sumber daya
manusia diawali pengembangan sekolah berbasis keunggulan daerah.
Pengembangan sekolah berbasis keunggulan daerah dapat dilaksanakan,
jika komitment pemerintah Kabupaten/kota adalah tinggi. Akan tetapi
menurut Joko (2008), bahwa political will pemerintah, khususnya
pemerintah daerah cukup rendah terhadap pembangunan pendidikan
yang berkualitas.
GENERASI KAMPUS, Volume 2, Nomor 2, September 2009
Drs. Biner Ambarita, M.Pd. Mahasiswa S3 Pascasarjana Unimed, Dosen FBS Unimed, dan Pembantu Rektor III Unimed.
20
B. POTENSI DAERAH
Ada sejumlah potensi daerah yang merupakan dasar dalam
perencanaan pembangunan daerah, khususnya pembangunan
pendidikan, yaitu: (1) sumber daya manusia, (2) sumber daya alam, (3)
budaya dan nilai-nilai yang berlaku pada masyarakat, (4) dan lain-lain.
Sumber daya manusia Provinsi Sumatera Utara dapat ditinjau
dari berbagai hal, seperti jenis kelamin, umur, tingkat pendidikan, agama,
suku, dan kebudayaan. Berdasarkan data BPS Provinsi Sumatera Utara
tahun 2008 bahwa jumlah penduduk Provinsi Sumatera Utara adalah
berjumlah 12.834.371 orang, yang terdiri dari 6.381.870 orang laki-laki
dan 6.452.501 orang perempuan. Hingga tahun 2007 jumlah penduduk
miskin adalah 1.768.500 orang atau 13,90 %. Ditinjau dari aktivitas yang
lalu, penduduk sumatera utara usia angkatan kerja sebanyak 5.654.131
orang, yang terdiri dari 5.082.797 orang berkerja dan sebanyak 571.334
orang menganggur. Penduduk yang bukan angkatan kerja adalah
2.724.017 orang. Dengan demikian sekitar 4.456.223 orang yang masih
tidak diketahui sepenuhnya aktivitasnya. Persentase penduduk yang
berkerja pada kelompok lapangan kerja, sebanyak 47,60% bekerja pada
bidang pertanian (agriculture), 12,98 % pada bidang industri (manufacture),
dan 39,42% pada bidang jasa (service).
Sumber daya alam ataupun sumber daya material yang dapat
diolah disetiap daerah mempunyai jenis dan karakteristik yang relatif
berbeda. Sumber daya alam yang dapat dijadikan objek pariwisata dan
perikanan serta pertanian, seperti Danau Toba, sumber air panas
bermineral, sungai, air terjun. Sumber daya alam material berupa batu
kapur, batu padas, bau bara, dan lain-lain. Sumber daya material buatan,
yang keberadaannya dapat menjadi permasalahan jika tidak dimanfaatkan
seperti sampah. Sampah tidak hanya menjadi permasalahan di kota
GENERASI KAMPUS, Volume 2, Nomor 2, September 2009
Drs. Biner Ambarita, M.Pd. Mahasiswa S3 Pascasarjana Unimed, Dosen FBS Unimed, dan Pembantu Rektor III Unimed.
21
Medan, akan tetapi telah menjadi permasalahan nasional, sementara
sampah adalah sumber daya material yang bersifat ekonomis.
Sumber daya pada daerah perkebunan kelapa sawit seperti
Simalungun, Labuhan Batu, dan yang lainnya adalah sumber daya
material olahan yang sangat potensial, seperti lidi, cangkang, dan batang
kelapa sawit, kulit buah cokelat, semua bagian pohon enau, semua bagian
pohon kelapa, pohon nipah, pohon teh, dan lain-lain.
Dalam ensiklopedia-Wikipedia bahasa Indonesia dikatakan oleh
J.J. Hoenigman, bahwa wujud budaya dapat dibedakan atas gagasan,
aktivitas (tindakan), dan artefak. Gagasan pada dasarnya berada pada
alam ide (ideal) dan otak manusia, akan tetapi dapat dituang dalam
bentuk tulisan-tulisan sehingga perwujudannya dalam bentuk karangan
dan buku hasil tulisan masyarakat. Aktivitas (tindakan) adalah wujud
aktivitas yang berpola yang sering disebut sistem sosial, dan sistem nilai,
yang pada dasarnya bentuknya konkrit dan dapat diamati. Hal ini
termasuk dalam bentuk bahasa dan pola interaksi serta adat istiadat serta
sistem hukum yang ada dalam masyarakat. Artefak adalah wujud
kebudayaan fisik yang berupa hasil dari aktivitas, perbuatan, dan karya
semua manusia dalam masyarakat berupa benda-benda yang dapat
diraba, dilihat, dan didokumentasikan.
Ketiga wujud budaya yang ada dimasyarakat adalah merupakan
bentuk budaya yang saling berkaitan dan tak terpisahkan. Wujud idealism
akan mempengaruhi wujud aktivitas dan artefak. Sebaliknya akivitas dan
artefak merupakan gambaran wujud idealisme, bahkan dapat pula
mengembangkan wujud idealisme tersebut. Wujud idealisme jika
dihadapkan material baru, maka perlu pengembangan dan teknologi baru
tanpa meninggalkan hakikat idalisme tersebut. Dalam hal inilah letak
fungsi perencanaan pengembangan sekolah.
GENERASI KAMPUS, Volume 2, Nomor 2, September 2009
Drs. Biner Ambarita, M.Pd. Mahasiswa S3 Pascasarjana Unimed, Dosen FBS Unimed, dan Pembantu Rektor III Unimed.
22
C. PERENCANAAN PENGEMBANGAN SEKOLAH
Pengembangan sekolah pada dasarnya mengandung kata kunci,
yaitu perubahan, dalam mana mempunyai tiga pilar utama, yaitu:
komitmen, kejelasan, dan kapabilitas (Boulter, 2003). Perubahan yang
dimaksud adalah perubahan paradikma persekolahan yang selama ini
telah berlangsung dan sesungguhnya membutuhkan berbagai hal agar
perubahan itu dapat terjadi. Paradikma persekolahan yang berlangsung
selama ini adalah Negara maju menjadi acuan nilai-nilai dalam
persekolahan, sehingga sadar atau tidak sadar cenderung meninggalkan
nilai-nilai yang ada pada masyarakat. Akibatnya adalah terjadi konflik nilai
yang berkepanjangan bagi diri subjek didik, yang berakibat pada saat titik
kulminasi tertentu subjek didik merasa asing dalam masyarakatnya
sendiri.
Subjek didik dibesarkan dalam budaya dan kultur masyarakatnya
sendiri, akan tetapi persekolahan yang ada selama ini justru menciptakan
kultur baru yang asing bagi subjek didik. Sekolah bermaknakan sebagai
masyarakat dalam lingkup yang kecil dan sempit. Seharusnya sistem nilai
dalam lingkup kecil ini adalah sama dengan sistem nilai dalam
masyarakatnya. Hal inilah yang harus dikembalikan pada sistem
persekolahan yang ada sekarang ini.
Karena perkembangan ilmu dan teknologi yang sangat pesat
yang harus juga disikapi oleh persekolahan, maka perencanaan
pengembangan persekolahan harus mengikuti perkembangan tersebut
dalam bentuk perencanaan kurikulum yang tidak meninggalkan sistem
nilai masyarakat. Bangunan persekolah tidak semata-mata memandang
nilai praktis penggunaan ruang, akan tetapi haruslah mempertimbangkan
bentuk bangunan masyarakat Sumatera Utara yang sarat dengan
ornament dan artefak.
GENERASI KAMPUS, Volume 2, Nomor 2, September 2009
Drs. Biner Ambarita, M.Pd. Mahasiswa S3 Pascasarjana Unimed, Dosen FBS Unimed, dan Pembantu Rektor III Unimed.
23
Menurut Sinaga (2009) sistem pembelajaran dalam persekolahan
juga harus berbasis nilai budaya setempat. Lebih lanjut dikatakan bahwa
pola interaksi sosial yang berlaku dalam masyarakat, seperti Dalihan
Natolu akan membentuk soft skill yang sangat dibutuhkan dalam
kehidupan subjek didik. Hal ini berarti sistem perencanaan kurikulum
dan aktivitas persekolahan harus tidak meninggalkan nilai budaya
masyarakat dimana subjek didik berasal dan tinggal.
Perencanaan pengembangan sekolah dapat dikatakan sebagai
perencanaan proses pembentukan kultur. Menurut Boulter (2003) bahwa
proses pembentukan kultur dalam organisasi digambarkan seperti
gambar 1. di bawah.
Gambar 1. Proses Pembentukan Kultur
Proses pembentukan kultur itu sendiri berada pada keseluruhan
sistem persekolahan, yang menyangkut dalam sarana dan prasarana
seperti bentuk gedung yang memiliki ornament dan model rumah adat
setempat yang merupakan perwujudan budaya dalam bentuk artefak,
KESESUAIAN
PEKERJAANSESEORANG
MANAJEMEN
KINERJA
KOHEREN
KEADAAN
KULTUR
KEJELASAN
KOMITMENT KAPABILITAS
GENERASI KAMPUS, Volume 2, Nomor 2, September 2009
Drs. Biner Ambarita, M.Pd. Mahasiswa S3 Pascasarjana Unimed, Dosen FBS Unimed, dan Pembantu Rektor III Unimed.
24
sistem interaksi siswa di dalam sekolah seperti interaksi pimpinan, guru,
pegawai, dan siswa yang menggambarkan perwujudan budaya dalam
aktivitas, kurikulum yang merupakan perwujudan budaya dalam bentuk
idealisme.
Perencanaan pengembangan sekolah berdasarkan nilai budaya
dalam wujud ide, aktivitas, dan artefak. Bentuk sekolah yang ada saat ini
harus direnovasi menurut ketiga perwujudan budaya tersebut. Hal inilah
yang dimaksud dengan perencanaan pengembangan sekolah. Bangunan
yang selama ini tidak berornamen dan tidak berbentuk rumah adat, harus
direnovasi atau ditambah sesuai dengan budaya. Buku-buku pelajaran
harus ditulis dan dikemas dalam bentuk idealisme budaya. Penulisan
buku ilmu dan teknologi dalam bentuk perwuju dan idealisme (budaya)
tentu masih membutuhkan pengkajian yang lebih dalam.
Materi kurikulum harus dipadu dengan potensi dan keunggulan
daerah di mana sekolah berada. Dengan Kurikulum Tingkat Satuan
Pendidikan (KTSP) dan Sistem Manajemen Berbasis Sekolah maka
keungulan dan potensi daerah yang ada dapat menjadi muatan
kurikulum, disamping muatan kurikulum nasional.
Dengan terciptanya pengembangan sekolah berbasis potensi dan
keunggulan daerah tersebut, maka dapatlah dikatakan bahwa sekolah
sebagai pusat nilai-nilai, pusat pelesatarian dan pengembangan budaya,
serta pusat pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi berbasis
budaya dan keunggulan daerah. Sekolah yang seperti ini dapat disebut
sebagai Sekolah Berbasis Potensi dan Keunggulan Daerah (SBPKD).
Pada gambar 2 berikut, diperlihatkan blok diagram perencanaan
pengembangan sekolah berbasis potensi dan keunggulan daerah.
GENERASI KAMPUS, Volume 2, Nomor 2, September 2009
Drs. Biner Ambarita, M.Pd. Mahasiswa S3 Pascasarjana Unimed, Dosen FBS Unimed, dan Pembantu Rektor III Unimed.
25
Gambar 2. Perencanaan Pengembangan SBPKD
D. SEKOLAH BERBASIS POTENSI DAN KEUNGGULAN
DAERAH (SBPKD) SERTA PERMASALAHANNYA
Pengembangan Sekolah berbasis potensi dan keunggulan daerah
(SBPKD) dapat dimulai dari lembaga formal tingkat pra sekolah (TK),
SD, SMP (SLTP), SMA (SMK), dan Perguruan Tinggi.
Dilihat dari sekolah adalah sebagai pusat nilai, pusat pelesatarian dan
pengembangan budaya, serta sekolah sebagai pusat pengembangan ilmu
pengetahuan dan teknologi berbasis budaya, maka pengembangan
sekolah harus meliputi seluruh tingkat atau jenjang sekolah tersebut.
Namun demikian, melihat kondisi ekonomi dalam tulisan ini
dikhususkan pada sekolah kejuruan, karena sekolah kejuruan dapat juga
sebagai pusat pembaharuan keterampilan dan ilmu, sehingga masyarakat
yang menganggur dapat diperbaharui keterampilan dan ilmunya sesuai
dengan budaya dan keunggulan daerah dan relevan dengan kebutuhan.
Pemerintah Pusat menyediakan dana sebesar Rp. 3 Milyard
untuk pembangunan Sekolah Menengah Kejuruan (SMK), dan sebesar 1
Milyard untuk pembangunan Sekolah Menengah Umum (SMU), dengan
persyaratan pemerintah daerah harus menyediakan lahan tempat
berdirinya sekolah. Akan tetapi daerah kurang memiliki komitment untuk
menyediakan lahan tempat pembangunan sekolah tersebut.
PERENCANAAN:
SEKOLAH BERBASIS
POTENSI DAN KEUNGGULAN
DAERAH
PROSES PEMBENTUKAN
KULTUR
SUMBER DAYABUATAN
SUMBER DAYA ALAM
BUDAYA:Idealisme, aktivitas,
dan artefak
GENERASI KAMPUS, Volume 2, Nomor 2, September 2009
Drs. Biner Ambarita, M.Pd. Mahasiswa S3 Pascasarjana Unimed, Dosen FBS Unimed, dan Pembantu Rektor III Unimed.
26
Pembangunan sekolah berbasis keunggulan daerah adalah jenis
Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) yang mengarahkan kurikulumnya
pada pengelolaan sumber daya material yang tersedia di daerah dimana
sekolah tersebut dibangun. Perencanaan pembangunan sekolah kejuruan
berbasis keunggulan daerah ini sekali gus akan memdukung program
nasional yang mengarahkan pembangunan sekolah umum dan kejuruan,
dengan perbandingan siswa SMA:SMK sebesar 33:67 hingga tahun 2014
(Depdiknas, 2009). Lebih lanjut Suyanto (2009) mengatakan bahwa siswa
SMA harus berkurang pertahun rata-rata 1,78 % atau 120.000 siswa/
tahun, sedangkan siswa SMK harus bertambah pertahun rata-rata
20,77% atau 515.000 siswa/tahun.
Pada saat ini perbandingan siswa SMA:SMK di sumatera Utara
masih 57,23:42,77, dan harus terjadi perubahan secara revolusioner
terhadap minat masyarakat kepada sekolah kejuruan untuk mencapai
target nasional tersebut (Nadeak, 2009). Di samping itu, harus diadakan
pembaharuan jurusan ( retechnology) pada SMK, dalam mana jurusan yang
kurang diminati dan telah jenuh, diganti dengan jurusan yang baru yang
sangat dibutuhkan oleh masyarakat. Pemerintah pusat menyediakan dana
sebesar Rp. 1 Milyard untuk hal tersebut.
Pembangunan sekolah kejuruan berbasis keunggulan daerah,
dapat dengan cara pembangaunan unit sekolah baru atau pembaharuan
jurusan. Pelaksanaan pembangunan ini telah memiliki dasar hukum, yaitu
kebijakan pemerintah. Dengan demikian yang dibutuhkan adalah
komitment dan political will pemerintah Provinsi dan pemerintah
Kabupaten/kota.
Disamping hal tersebut, kesiapan Perguruan Tinggi penghasil
guru juga harus mempersiapkan dan menyediakan guru yang mampu
mendidik serta mengimplementasikan kurikulum kejuruan yang berbasis
GENERASI KAMPUS, Volume 2, Nomor 2, September 2009
Drs. Biner Ambarita, M.Pd. Mahasiswa S3 Pascasarjana Unimed, Dosen FBS Unimed, dan Pembantu Rektor III Unimed.
27
keunggulan daerah tersebut. Banyak hal yang harus dikembangkan dalam
kurikulum penghasil guru tersebut sehingga mampu menyambut
kebijakan nasional, tentang pembangunan sekolah kejuruan berbasis
keunggulan daerah tersebut.
Salah satu solusi adalah mengarahkan kegiatan ekstrakurikuler
mahasiswa secara wajib dalam pengembangan sekolah berbasis
keunggulan daerah tersebut. Dengan cara lain adalah mengizinkan
mahasiswa untuk meneliti dan mengembangkan pendidikan berbasis
keunggulan daerah. Objek material penelitian dapat berupa sistem
manajemen pendidikan berbasis keunggulan daerah atau penelitian
terhadap penciptaan produk yang materialnya berbasis keunggulan
daerah. Dengan kata lain mahasiswa harus dibebaskan malakukan
penelitian, dan tidak dibatasi oleh aturan mahasiswa program pendidikan
hanya meneliti hal pendidikan saja.
Dengan kurikulum berbasis kompetensi dan sistem blok, sangat
dimungkinkan untuk melakukan perubahan kurikulum dan kebijakan
demi tercapainya program nasional. Khususnya bagi Fakultas Teknik dan
Fakultas MIPA sudah saatnya mengembangkan kurikulum yang
mengarahkan ke pengelolaan sumber daya potensial dan keunggulan
daerah, karena kedua Fakultas ini memungkinkan untuk melakukannya.
E. SEKOLAH BERBASIS POTENSI DAN KEUNGGULAN
DAERAH (SBPKD) DAN SOLUSI PERMASALAHAN
PENGANGGURAN
Paradikma pendidikan menyatakan bahwa pendidikan dapat
meningkatkan kemampuan untuk menciptakan lapangan kerja.
Berdasarkan hal ini, seharusnya jumlah pengangguran di Provinsi
Sumatera Utara dapat dikurangi hingga tersisa seminimal mungkin. Akan
GENERASI KAMPUS, Volume 2, Nomor 2, September 2009
Drs. Biner Ambarita, M.Pd. Mahasiswa S3 Pascasarjana Unimed, Dosen FBS Unimed, dan Pembantu Rektor III Unimed.
28
tetapi akibat dari keusangan keterampilan dan pengetahuan, maka
paradikma tersebut tidak selalu terpenuhi. Bahkan ironisnya, paradikma
tersebut telah bergeser menjadi, bahwa pendidikan tidak menjamin
lulusannya akan bekerja. Hal ini dapat mengancam kepercayaan
masyarakat terhadap keberadaan relevansi pengetahuan yang ditransfer di
persekolahan, bahkan membuat masyarakat kebingungan dan tidak
memiliki pegangan dan acuan sebagai jaminan pekerjaan bagi subjek
didik.
Sejalan dengan hal itu, secara hipotetik maka SBPKD akan
mengembalikan pradikma pendidikan pada posisi yang seharusnya,
bahwa pendidikan merupakan jaminan pekerjaan.
Peranan SBPKD dalam penanggulangan pengangguran, adalah sebagai
fungsi pembaharuan (up to date) dan fungsi pemuatan kompetensi bagi
subjek didik dan masyarakat secara umum. Pada gambar 3 diperlihatkan,
fungsi SBPKD dalam menjembatani masyarakat dengan dunia kerja
(stake holder).
Gambar 3. SBPKD sebagai solusi pengangguran
F. PENUTUP
Perencanaan pengembangan Sekolah Berbasis Potensi dan
Keunggulan Daerah (SBPKD) adalah pengembangan sekolah pada
semua jenjang pendidikan, namun secara khusus Sekolah Menengah
Kejuruan (SMK), yaitu renovasi sistem persekolahan lama menjadi
berbasis budaya, dan potensi daerah. Pengembangan sekolah berarti
MASYARAKATPENGANGGURAN
AKIBAT KEUSANGAN KETERAMPILAN DAN
ILMU
SBPKD:
PENDIDIKAN
PELATIHANDUNIA KERJA
(STAKE HOLDER)
SUBJEK DIDIK
GENERASI KAMPUS, Volume 2, Nomor 2, September 2009
Drs. Biner Ambarita, M.Pd. Mahasiswa S3 Pascasarjana Unimed, Dosen FBS Unimed, dan Pembantu Rektor III Unimed.
29
melakukan perubahan sistem, yaitu proses pembentukan kultur daerah
terhadap ilmu pengetahuan dan teknologi.
SBPKD adalah solusi terhadap permasalahan penganggguran,
pusat pelestarian dan pengembangan budaya, dan pusat pengembangan
pengetahuan dan teknologi berbasis budaya. SBPKD adalah masyarakat
persekolahan yang merupakan gamabaran masyarakat dalam sistem nilai,
budaya, potensi daerah secara lebih luas.
G. DAFTAR PUSTAKA
Boulter Nick, Murray Dalziel, Jackie Hill, (alih bahasa: Bern Hidayat). 2003. Manusia dan Kompetensi. Panduan Praktis untuk Keunggulan Bersaing,.Jakarta: PT. Gramedia
BPS Provinsi Sumatera Utara.2008. Sumatera Utara dalam Angka. Medan: BPS Provinsi Sumatera Utara.
Depdiknas. 2009. Pembangunan Pendidikan Nasional 2005-2009. Jakarta: Depdiknas
Hia Taroni. 2005. Rencana Strategis Pembangunan Pendidikan Provinsi Sumatera Utara. Medan: Dinas Pendidikan Provinsi Sumatera Utara.
Irianto Mahfudz, Sidiq Syafiuddin. 2008. Membangun Pendidikan Nasional”. Teropong Pendidikan Kita. Jakarta: Depdiknas.
Joko Kristiyanto. 2008. “Political Will Pendidikan Menuju 2020”. Teropong Pendidikan Kita. Jakarta: Departemen Pendidikan Nasional.
Nadeak Rosmawaty. 2009. “Pembangunan Pendidikan Provinsi Sumatera Utara”. Bahan Rembuk Nasional tahun 2009. Medan: Dinas Pendidikan Provinsi Sumatera Utara.
Sinaga Bornok. 2009. “Model Pembelajaran Bermuatan Soft Skills dengan Pola Interaksi Sosial Dalihan Natolu”. Generasi Kampus, Volume 2, Nomor 1. April 2009. Medan: UNIMED.
Suyanto. 2009. “Paparan Kebijakan Pembangunan Pendidikan Dasar dan Menengah Tahun Anggaran 2009. Manajemen Dasar dan Menengah”. Paparan disampaikan dalam Rembuk Nasional Pendidikan tahun 2009. Jakarta: Departemen Pendidikan Nasional.
WWW:http//Budaya-Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas/9/15/2009.
GENERASI KAMPUS, Volume 2, Nomor 2, September 2009
Dr. Bornok Sinaga, M.Pd. adalah dosen jurusan Matematika FMIPA UNIMED
30
SINKRONISASI MUATAN KURIKULUM LPTK DAN KURIKULUM SEKOLAH MITRA PPL
BORNOK SINAGAAbstrak
PPL memiliki posisi sentral dalam perkuliahan prodi pendidikan di LPTK, maka sudah sewajarnya mendapat perhatian khusus di dalam proses pendidikan. Pendidikan juga harus menghadapi kenyataan bahwa Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (IPTEK) berkembang sangat cepat. Oleh karena itu seringkali para perancang kurikulum bingung mana yang harus diprioritaskan dalam pendidikan. Sesungguhnya pengembangan kurikulum harus bergerak bottom up approach, dimulai dari pengenalan karakteristik peserta didik dan kondisi sekolah yang nyatanya sangat heterogen sampai pemenuhan kebutuhan masyarakat dan kesiapan menghadapi tantangan global. Pemberdayaan guru dan sekolah dalam pengembangan kurikulum adalah kata kunci keberhasilan proses pendidikan. Tulisan ini terbatas pada pemaparan tentang (1) kedudukan PPL dalam kurikulum LPTK, (2) Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP), (3) Sinkronisasi Muatan Kurikulum LPTK dan KTSP di sekolah mitra PPL.
Kata Kunci: Sinkronisasi Muatan Kurikulum, Kurikulum, Kurikulum LPTK, Kurikulum Sekolah, PPL, KTSP.
A. PENDAHULUAN
Program Pengalaman Lapangan (PPL) idealnya merupakan
muara pertama matakuliah keahlian berkarya (MKB). Bahkan merupakan
muara seluruh matakuliah, karena dalam wahana PPL itulah kompetensi
secara utuh dijewantahkan secara profesional. PPL merupakan melting pot
dari seluruh matakuliah yang dipelajari mahasiswa. Dalam melaksanakan
PPL sebenarnya mahasiswa prodi pendidikan, belajar menjalankan
profesi kependidikan sebagaimana tujuan kurikulumnya. Oleh karena itu,
kinerja mahasiswa selama mengikuti PPL juga merupakan sosok utuh
dari berbagai bekal (matakuliah) yang dipelajari selama perkuliahan. PPL
analog dengan kerja paktek. Melihat begitu sentralnya kedudukan PPL
dalam perkuliahan prodi pendidikan di LPTK, maka sudah sewajarnya
GENERASI KAMPUS, Volume 2, Nomor 2, September 2009
Dr. Bornok Sinaga, M.Pd. adalah dosen jurusan Matematika FMIPA UNIMED
31
PPL mendapat perhatian khusus di dalam proses pendidikan di FKIP
Universitas HKBP Nomensen (UHN).
Kebijakan pemerintah yang secara langsung berpengaruh
terhadap penyelenggaraan pendidikan di UHN adalah diberlakukannya
UU No. 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, UU No. 14
tahun 2005 tentang Guru dan Dosen, PP No. 19 tahun 2005 tentang
Standar Nasional Pendidikan, HELTS 2003-2010, dan pencanangan
”Guru sebagai Profesi”. Kebijakan ini harus disikapi dengan
implementasi peningkatan kualitas institusi untuk dapat
menyelenggarakan pendidikan akademik dan profesi yang dapat
menjawab tantangan masa depan dan memenuhi tuntutan kebutuhan
stakeholder. Untuk itu perlu dilakukan penataan kelembagaan yang relevan
dengan tuntutan Undang-undang dan peraturan tersebut.
Didasari tuntutan Undang-undang dan peraturan di atas, kita
sepakat bahwa 4 kompetensi utama (kompetensi kepribadian, sosial,
pedagogik, dan profesional) guru harus tertanam berakar, hidup,
berbunga dan berbuah dari/dalam diri individu dan komunitas sivitas
akademika (calon guru, guru/dosen) program studi pendidikan di UHN.
Mari kita renungkan,
Aku hidup berilmu tapi kering dan gersang, karena aku tak punya sosial dan tak berkepribadian. Aku mampu mengelola dan mentransformasikan ilmu pengetahuan tetapi aku tak ikhlas, karena aku dianggap rendah. Aku menguasai dan menanamkan ilmu bagi mereka tapi tak berbuah, karena aku tak menjiwai dan membangkitkan potensi mereka. Aku bertauladan dan berbicara memimpin tapi aku dianggap ”tong kosong nyaring bunyinya”, karena aku tak berilmu dan tak memahami mereka. Apakah aku adalah guru yang diharapkan?
Berdasarkan refleksi di atas, seorang guru harus ikhlas dan benar
mentrasformasikan ilmu pengetahuan kepada peserta didik. Guru yang
GENERASI KAMPUS, Volume 2, Nomor 2, September 2009
Dr. Bornok Sinaga, M.Pd. adalah dosen jurusan Matematika FMIPA UNIMED
32
profesional adalah guru yang memiliki 4 kompetensi yang saling terkait
dalam membelajarkan dan mengembangkan potensi peserta didik.
Kita perlu menyadari bahwa kondisi masyarakat Indonesia
sangat heterogen. Hal itu berakibat kondisi pendidikannya juga sangat
bervariasi. Kita sulit membandingkan SMP di Jakarta dengan SMP di
Silau Dunia Kabupaten Simalungun. Bahkan sulit membandingkan SMA
di kota Siantar dengan SMA di Samosir yang hanya berjarak 100 km.
Mengapa demikian, karena memang tuntutan kompetensi, motivasi,
imajinasi dan intuisi siswa, sarana/prasarana, masalah yang dirancang dari
fakta dan lingkungan belajar siswa dimungkinkan berbeda. Tingkat sosial
ekonomi dan apresiasi masyarakat juga berbeda. Di samping itu, kita
harus memahami bahwa kemampuan dasar siswa kita juga beragam. Ada
siswa yang memiliki kemampuan intelektual di atas rata-rata, tetapi juga
cukup banyak siswa yang kemampuan intelektualnya di bawah rata-rata.
Barangkali kurva normal dapat memudahkan kita untuk memahami
kondisi tersebut. Oleh karena itu menganggap kondisi pendidikan di
berbagai daerah di tanah air ini seragam dapat ”menyesatkan”. Implikasi
dari keberagaman tersebut, kita juga harus mentoleransi keberagaman
pola perencanaan dan pelaksanaan pembelajaran serta hasil transformasi
pendidikan.
Pendidikan juga harus menghadapi kenyataan bahwa Ilmu
Pengetahuan dan Teknologi (IPTEK) berkembang sangat cepat,
sehingga keadaan juga cepat berubah. Pengetahuan dan teknologi yang
saat ini ”in”, bukan mustahil sudah menjadi usang dalam beberapa tahun
mendatang. Perkembangan IPTEK juga membuahkan jenis pengetahuan
yang sangat banyak ragamnya. Oleh karena itu seringkali para perancang
kurikulum bingung mana yang harus diprioritaskan dalam pendidikan,
karena waktu yang terbatas.
GENERASI KAMPUS, Volume 2, Nomor 2, September 2009
Dr. Bornok Sinaga, M.Pd. adalah dosen jurusan Matematika FMIPA UNIMED
33
Menghadapi kondisi semacam itu, sebaiknya kita kembali ke
prinsip dasar pendidikan, yaitu membantu peserta didik untuk
mengembangkan potensinya untuk persiapan menghadapi masa depan.
Jadi mata pelajaran adalah sarana untuk mengembangkan potensi anak
dan bukan sebaliknya siswa yang dijadikan objek untuk ”menelan” materi
pelajaran. Misalnya, dalam bidang matematika yang selama ini dianggap
abstrak saja, tujuan pendidikan matematika di tingkat dasar dinyatakan
sebagai (1) mempersiapkan siswa agar sanggup menghadapi perubahan
keadaan di dalam kehidupan, bertindak atas dasar pemikiran secara logis,
rasional, kritis, cermat, jujur, dan efektif, serta (2) dapat menggunakan
matematika dan pola pikir matematika dalam kehidupan sehari-hari, dan
dalam mempelajari ilmu pengetahuan. Jadi sangat jelas tujuan pendidikan
matematika adalah mempersiapkan siswa menghadapi masa depan
dengan menggunakan matematika sebagai bekalnya. Berarti, siswa
dibelajarkan untuk menghadapi masa depan dan matematika sebagai alat.
Mencermati uraian di atas, diperlukan beberapa teorema, antara
lain: (1) guru adalah orang yang pertama dan yang utama pengembang
kurikulum, (2) kuasai materi agar dapat mengintervensi siswa belajar, dan
(3) kuasai teori-teori pembelajaran agar dapat melibatkan siswa
berpartisipasi aktif dalam pembelajaran. Dalam hal ini, kompetensi
pedagogik yang dimiliki seorang guru adalah suatu hal yang esensial.
Kompetensi pedagogik yang dimaksud dalam makalah ini adalah
kemampuan mengelola pembelajaran terkait pemahaman tentang peserta
didik secara mendalam dan penyelenggaraan pembelajaran yang
mendidik. Pemahaman tentang peserta didik meliputi karakteristik siswa
dan pemahaman tentang psikologi perkembangan siswa sedangkan
pembelajaran yang mendidik meliputi kemampuan mengembangkan
kurikulum, merancang pembelajaran, melaksanakan pembelajaran,
GENERASI KAMPUS, Volume 2, Nomor 2, September 2009
Dr. Bornok Sinaga, M.Pd. adalah dosen jurusan Matematika FMIPA UNIMED
34
menilai proses dan hasil pembelajaran, serta melakukan perbaikan secara
berkelanjutan.
Kurikulum merupakan komponen pendidikan yang cukup
berpengaruh terhadap keberhasilan pelaksanaan pendidikan. Namun,
kurikulum bukan satu-satunya faktor yang mempengaruhi keberhasilan
pelaksanaan pendidikan, karena masih ada faktor lainnnya, seperti guru,
siswa, sarana dan prasarana pendidikan, manajemen sekolah, dan sistem
pendidikan. Pemberdayaan sekolah sebagai ujung tombak pendidikan
adalah hal yang sangat urgen untuk dilakukan. Apapun kebijakan yang
dirancang di tingkat pusat maupun daerah terkait pengembangan
kurikulum, pada akhirnya sekolah yang harus menerapkannya.
Sesungguhnya pengembangan kurikulum harus bergerak bottom up
approach, dimulai dari pengenalan karakteristik peserta didik dan kondisi
sekolah yang nyatanya sangat heterogen sampai pemenuhan kebutuhan
masyarakat dan kesiapan menghadapi tantangan global. Pemberdayaan
guru dan sekolah dalam pengembangan kurikulum adalah kata kunci
keberhasilan proses pendidikan. Memang kurikulum nasional tetap
diperlukan, tetapi sebaiknya hanya dalam garis besar dan sekolah diberi
kesempatan untuk menjabarkan, sesuai kondisi masing-masing. Dengan
demikian muatan lokal sudah tercakup di dalamnya. Muatan lokal tidak
hanya berupa mata pelajaran khusus, tetapi dalam setiap mata pelajaran
terdapat substansi muatan lokal, disamping yang berlaku secara nasional.
Isi dan model pembelajaran biologi pada SMA di Jakarta tidak harus
tepat sama dengan SMA di Parapat, karena kebutuhan siswanya berbeda
dan situasi lingkungannya berbeda. Kita seringkali menyatakan KTSP
jauh berbeda dengan kurikulum sebelumnya, KTSP hanya berisi aturan-
aturan pokok saja, guru dan sekolah diberi wewenang yang luas untuk
mengembangkannya. Namun, dalam prakteknya kurikulum minimal itu
GENERASI KAMPUS, Volume 2, Nomor 2, September 2009
Dr. Bornok Sinaga, M.Pd. adalah dosen jurusan Matematika FMIPA UNIMED
35
sudah jauh di atas kemampuan siswa, sehingga guru dan sekolah tidak
mungkin menambah.
Uraian makalah ini terbatas pada pemaparan tentang (1)
kedudukan PPL dalam kurikulum LPTK, (2) Kurikulum Tingkat Satuan
Pendidikan (KTSP), (3) Sinkronisasi Muatan Kurikulum LPTK dan
KTSP di sekolah mitra PPL.
B. PEMBAHASAN
1. Kedudukan PPL dalam Kurikulum LPTK
Kurikulum Universitas (program studi pendidikan) sebagai acuan
proses pendidikan dapat digambarkan dengan diagram alur pada
Gambar-1. Dari gambar tersebut tampak bahwa sebagai landasan
kurikulum adalah kelompok Matakuliah Pengembangan Kepribadian
(MPK). Di atasnya terdapat dua kelompok matakuliah, yaitu MPB
(Matakuliah Perilaku Berkarya) dan MKK (Matakuliah Keilmuan dan
Keterampilan). MPB dimaksudkan sebagai bekal dasar bidang
kependidikan, sedangkan MKK sebagai bekal bidang studi yang akan
diajarkan kepada peserta didik. Berdasarkan dua kelompok tersebut,
mahasiswa belajar bagaimana mendidik dan mengajarkan bidang studi
tersebut kepada peserta didik, yaitu melalui kelompok Matakuliah
Keahlian Berkarya dan Berkehidupan Bermasyarakat (MKB dan MBB).
Antara matakuliah lain dalam kelompok MKB dengan PPL sebenarnya
merupakan satu kesatuan. Dalam MKB, misalnya strategi belajar, evaluasi
dan sebagainya, mahasiswa belajar “bagian-bagian”, tetapi pada PPL
mahasiswa belajar menggabungkan bagian-bagian tersebut secara utuh
dan dalam bentuk nyata. Oleh karena itu sebaiknya antara MKB dengan
PPL harus ada keterpaduan, baik secara konsep maupun pelaksanaannya.
GENERASI KAMPUS, Volume 2, Nomor 2, September 2009
Dr. Bornok Sinaga, M.Pd. adalah dosen jurusan Matematika FMIPA UNIMED
36
Jika dalam MKB dipersepsi mahasiswa belajar bagian-bagian,
yang nantinya akan dirakit dalam PPL, maka sebaiknya dalam MKB-pun
mahasiswa juga sudah belajar dalam situasi “lapangan”. Misalnya, dalam
matakuliah evaluasi pengajaran, mahasiswa sudah harus belajar
menyusun soal dan instrumen evaluasi pembelajaran berdasarkan situasi
sesungguhnya di sekolah. Dengan demikian dalam proses perkuliahan
MKB, sudah harus ada bagian penugasan, di mana mahasiswa belajar hal-
hal yang bersifat praktis, seperti tampak pada Gambar-2 berikut.
M
P
K
M P B
M K K
M K BMicro
Teachingdan PPL
M B B
Gambar-1: Kurikulum Universitas (LPTK) dalam Diagram Alur
TEORI
PRAKTIS
MKB 1
TEORI
PRAKTIS
MKB 2 TEORI
PRAKTIS
MKB 3
PPL
Gambar-2: Skema Alur MKB Secara Ideal
GENERASI KAMPUS, Volume 2, Nomor 2, September 2009
Dr. Bornok Sinaga, M.Pd. adalah dosen jurusan Matematika FMIPA UNIMED
37
Meskipun sejak awal (MKB) mahasiswa program studi pendidikan sudah
dikenalkan dengan situasi lapangan, PPL tetap masih sangat diperlukan.
Dalam hal ini berfungsi sebagai latihan profesi secara utuh. Dalam PPL
mahasiswa memperoleh kesempatan untuk menerapkan bekal
sebelumnya dalam bentuk penerapan profesi kependidikan secara utuh.
PPL semacam itu sebaiknya diletakkan pada bagian akhir dari program
perkuliahan di Universitas (LPTK), karena: (1) untuk dapat ber-PPL
diperlukan bekal yang cukup, baik dari MKK maupun MKB, dan (2)
sebagai muara, program PPL harus merupakan sesuatu yang
komprehensif. Dengan pola semacam itu, pola step in dan step out dapat
berjalan dan diakhiri dengan suatu latihan profesi secara komprehensif
dan memadai.
Keterlibatan pihak sekolah, sebenarnya tidak hanya dalam MKB
dan PPL tetapi dalam keseluruhan pengembangan program kependidikan
di LPTK, namun demikian, sesuai dengan sifatnya kontribusi sekolah
dalam pembinaan MKB dan PPL perlu mendapat prioritas. Di samping
itu masih ada peran penting yang perlu dilakukan oleh sekolah, yaitu
sebagai exsternal evaluator program pendidikan di LPTK. Hal ini sangat
mendesak, karena selama ini dan sampai saat ini external evaluation sangat
jarang atau dapat dikatakan hampir tidak pernah dilakukan perguruan
tinggi, termasuk LPTK. Akibatnya perguruan tinggi sebagai penghasil
lulusan berjalan sendiri dan pengguna lulusan (industri, sekolah, dan
masyarakat) berjalan sendiri.
Pelaksanaan external evaluation sebenarnya dapat dilakukan secara
simultan dengan PPL. Sebagai muara program pendidikan, sebenarnya
kinerja mahasiswa selama ber-PPL dapat menggambarkan kualitas bekal
yang dimiliki mahasiswa. Dengan demikian, melalui kegiatan PPL dapat
dirancang evaluasi eksternal untuk mengetahui ketercapaian program
GENERASI KAMPUS, Volume 2, Nomor 2, September 2009
Dr. Bornok Sinaga, M.Pd. adalah dosen jurusan Matematika FMIPA UNIMED
38
pendidikan di Universitas. Jika menggunakan paradigma Total Quality
Management (TQM), maka penilaian pihak sekolah terhadap kinerja
mahasiswa selama ber-PPL dapat dijadikan salah satu indikator utama
dalam penilaian program pendidikan di Universitas.
2. Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP)
Kurikulum adalah seperangkat rencana dan pengaturan
mengenai tujuan, isi dan bahan pelajaran serta cara yang digunakan
sebagai pedoman penyelenggaraan kegiatan pembelajaran untuk
mencapai tujuan pendidikan tertentu. Tujuan tertentu ini meliputi tujuan
pendidikan nasional serta kesesuaian dengan kekhasan, kondisi dan
potensi daerah, satuan pendidikan dan peserta didik. Oleh sebab itu
kurikulum disusun oleh satuan pendidikan untuk memungkinkan
penyesuaian program pendidikan dengan kebutuhan dan potensi yang
ada di daerah.
KTSP adalah kurikulum operasional yang disusun oleh dan
dilaksanakan di masing-masing satuan pendidikan. KTSP terdiri dari
tujuan pendidikan tingkat satuan pendidikan, struktur dan muatan
kurikulum tingkat satuan pendidikan, kalender pendidikan, dan silabus.
Prinsip-Prinsip Pengembangan Kurikulum Tingkat Satuan
Pendidikan
KTSP dikembangkan sesuai dengan relevansinya oleh setiap
kelompok atau satuan pendidikan di bawah koordinasi dan supervisi
dinas pendidikan atau kantor Departemen Agama Kabupaten/Kota
untuk pendidikan dasar dan provinsi untuk pendidikan menengah.
Pengembangan KTSP mengacu pada Standar Isi (SI) dan Standar
Kompetensi Lulusan (SKL) dan berpedoman pada panduan penyusunan
GENERASI KAMPUS, Volume 2, Nomor 2, September 2009
Dr. Bornok Sinaga, M.Pd. adalah dosen jurusan Matematika FMIPA UNIMED
39
kurikulum yang disusun oleh BSNP, serta memperhatikan pertimbangan
komite sekolah/madrasah. Penyusunan KTSP untuk pendidikan khusus
dikoordinasi dan disupervisi oleh dinas pendidikan provinsi, dan
berpedoman pada SI dan SKL serta panduan penyusunan kurikulum
yang disusun oleh BSNP.
KTSP dikembangkan berdasarkan prinsip-prinsip sebagai
berikut:
a. Berpusat pada potensi, perkembangan, kebutuhan, dan kepentingan
peserta didik dan lingkungannya.
b. Beragam dan terpadu
c. Tanggap terhadap perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi dan
seni
d. Relevan dengan kebutuhan kehidupan
e. Menyeluruh dan berkesinambungan
f. Belajar sepanjang hayat
g. Seimbang antara kepentingan nasional dan kepentingan daerah
Komponen Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan
a. Tujuan Pendidikan Tingkat Satuan Pendidikan
Tujuan pendidikan tingkat satuan pendidikan dasar dan
menengah dirumuskan mengacu kepada tujuan umum pendidikan
berikut.
1) Tujuan pendidikan dasar adalah meletakkan dasar kecerdasan,
pengetahuan, kepribadian, akhlak mulia, serta keterampilan untuk
hidup mandiri dan mengikuti pendidikan lebih lanjut.
2) Tujuan pendidikan menengah adalah meningkatkan kecerdasan,
pengetahuan, kepribadian, akhlak mulia, serta keterampilan untuk
hidup mandiri dan mengikuti pendidikan lebih lanjut.
GENERASI KAMPUS, Volume 2, Nomor 2, September 2009
Dr. Bornok Sinaga, M.Pd. adalah dosen jurusan Matematika FMIPA UNIMED
40
3) Tujuan pendidikan menengah kejuruan adalah meningkatkan
kecerdasan, pengetahuan, kepribadian, akhlak mulia, serta
keterampilan untuk hidup mandiri dan mengikuti pendidikan lebih
lanjut sesuai dengan kejuruannya.
b. Struktur dan Muatan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan
Struktur dan muatan KTSP pada jenjang pendidikan dasar dan
menengah yang tertuang dalam SI meliputi lima kelompok mata
pelajaran sebagai berikut.
(1) Kelompok mata pelajaran agama dan akhlak mulia
(2) Kelompok mata pelajaran kewarganegaraan dan kepribadian
(3) Kelompok mata pelajaran ilmu pengetahuan dan teknologi
(4) Kelompok mata pelajaran estetika
(5) Kelompok mata pelajaran jasmani, olahraga dan kesehatan
Kelompok mata pelajaran tersebut dilaksanakan melalui muatan
dan/atau kegiatan pembelajaran sebagaimana diuraikan dalam PP
19/2005 Pasal 7.
Muatan KTSP meliputi sejumlah mata pelajaran yang keluasan
dan kedalamannya merupakan beban belajar bagi peserta didik pada
satuan pendidikan. Di samping itu materi muatan lokal dan kegiatan
pengembangan diri termasuk ke dalam isi kurikulum.
1) Mata pelajaran
Mata pelajaran beserta alokasi waktu untuk masing-masing tingkat
satuan pendidikan berpedoman pada struktur kurikulum yang
tercantum dalam SI.
2) Muatan Lokal
Muatan lokal merupakan kegiatan kurikuler untuk mengembangkan
kompetensi yang disesuaikan dengan ciri khas dan potensi daerah,
termasuk keunggulan daerah, yang materinya tidak sesuai menjadi
GENERASI KAMPUS, Volume 2, Nomor 2, September 2009
Dr. Bornok Sinaga, M.Pd. adalah dosen jurusan Matematika FMIPA UNIMED
41
bagian dari mata pelajaran lain dan atau terlalu banyak sehingga
harus menjadi mata pelajaran tersendiri. Substansi muatan lokal
ditentukan oleh satuan pendidikan, tidak terbatas pada mata
pelajaran keterampilan. Muatan lokal merupakan mata pelajaran,
sehingga satuan pendidikan harus mengembangkan Standar
Kompetensi dan Kompetensi Dasar untuk setiap jenis muatan lokal
yang diselenggarakan. Satuan pendidikan dapat menyelenggarakan
satu mata pelajaran muatan lokal setiap semester. Ini berarti bahwa
dalam satua tahun satuan pendidikan dapat menyelenggarakan dua
mata pelajaran muatan lokal.
3) Kegiatan Pengembangan Diri
Pengembangan diri adalah kegiatan yang bertujuan memberikan
kesempatan kepada peserta didik untuk mengembangkan dan
mengekspresikan diri sesuai dengan kebutuhan, bakat, minat, setiap
peserta didik sesuai dengan kondisi sekolah. Kegiatan
pengembangan diri difasilitasi dan/atau dibimbing oleh konselor,
guru, atau tenaga kependidikan yang dapat dilakukan dalam bentuk
kegiatan ekstrakurikuler. Kegiatan pengembangan diri dapat
dilakukan antara lain melalui kegiatan pelayanan konseling yang
berkenaan dengan masalah diri pribadi dan kehidupan sosial, belajar,
dan pengembangan karier peserta didik serta kegiatan keparamukaan,
kepemimpinan, dan kelompok ilmiah remaja.
Khusus untuk sekolah menengah kejuruan pengembangan diri
terutama ditujukan untuk pengembangan kreativitas dan bimbingan
karier.
Pengembangan diri untuk satuan pendidikan khusus menekankan
pada peningkatan kecakapan hidup dan kemandirian sesuai dengan
kebutuhan khusus peserta didik.
GENERASI KAMPUS, Volume 2, Nomor 2, September 2009
Dr. Bornok Sinaga, M.Pd. adalah dosen jurusan Matematika FMIPA UNIMED
42
Pengembangan diri bukan merupakan mata pelajaran. Penilaian
kegiatan pengembangan diri dilakukan secara kualitatif, tidak
kuantitatif seperti pada mata pelajaran.
4) Pengaturan Beban Belajar
a) Beban belajar dalam sistem paket digunakan oleh tingkat satuan
pendidikan SD/MI/SDLB, SMP/MTs/SMPLB baik kategori
standar maupun mandiri, SMA/MA/SMALB /SMK/MAK kategori
standarBeban belajar dalam sistem kredit semester (SKS) dapat
digunakan oleh SMP/MTs/SMPLB kategori mandiri, dan oleh
SMA/MA/SMALB/SMK/MAK kategori standar.
Beban belajar dalam sistem kredit semester (SKS) digunakan oleh
SMA/MA/SMALB/SMK/MAK kategori mandiri.
b) Jam pembelajaran untuk setiap mata pelajaran pada sistem paket
dialokasikan sebagaimana tertera dalam struktur kurikulum.
Pengaturan alokasi waktu untuk setiap mata pelajaran yang terdapat
pada semester ganjil dan genap dalam satu tahun ajaran dapat
dilakukan secara fleksibel dengan jumlah beban belajar yang tetap.
Satuan pendidikan dimungkinkan menambah maksimum empat jam
pembelajaran per minggu secara keseluruhan. Pemanfaatan jam
pembelajaran tambahan mempertimbangkan kebutuhan peserta
didik dalam mencapai kompetensi, di samping dimanfaatkan untuk
mata pelajaran lain yang dianggap penting dan tidak terdapat di
dalam struktur kurikulum yang tercantum di dalam Standar Isi.
c) Alokasi waktu untuk penugasan terstruktur dan kegiatan mandiri
tidak terstruktur dalam sistem paket untuk SD/MI/SDLB 0% -
40%, SMP/MTs/SMPLB 0% - 50% dan
SMA/MA/SMALB/SMK/MAK 0%-60% dari waktu kegiatan tatap
muka mata pelajaran yang bersangkutan. Pemanfaatan alokasi waktu
GENERASI KAMPUS, Volume 2, Nomor 2, September 2009
Dr. Bornok Sinaga, M.Pd. adalah dosen jurusan Matematika FMIPA UNIMED
43
tersebut mempertimbangkan potensi dan kebutuhan peserta didik
dalam mencapai kompetensi.
d) Alokasi waktu untuk praktik, dua jam kegiatan praktik di sekolah
setara dengan satu jam tatap muka. Empat jam praktik di luar
sekolah setara dengan satu jam tatap muka.
e) Alokasi waktu untuk tatap muka, penugasan terstruktur, dan kegiatan
mandiri tidak terstruktur untuk SMP/MTs dan
SMA/MA/SMK/MAK yang menggunakan sistem SKS mengikuti
aturan sebagai berikut.
(1) Satu SKS pada SMP/MTs terdiri atas: 40 menit tatap muka, 20
menit kegiatan terstruktur dan kegiatan mandiri tidak terstruktur.
(2) Satu SKS pada SMA/MA/SMK/MAK terdiri atas: 45 menit
tatap muka, 25 menit kegiatan terstruktur dan kegiatan mandiri
tidak terstruktur.
5) Ketuntasan Belajar
Ketuntasan belajar setiap indikator yang telah ditetapkan dalam suatu
kompetensi dasar berkisar antara 0-100%. Kriteria ideal ketuntasan
untuk masing-masing indikator 75%. Satuan pendidikan harus
menentukan kriteria ketuntasan minimal dengan mempertimbangkan
tingkat kemampuan rata-rata peserta didik serta kemampuan sumber
daya pendukung dalam penyelenggaraan pembelajaran. Satuan
pendidikan diharapkan meningkatkan kriteria ketuntasan belajar
secara terus menerus untuk mencapai kriteria ketuntasan ideal.
6) Kenaikan Kelas dan Kelulusan
Kenaikan kelas dilaksanakan pada setiap akhir tahun ajaran. Kriteria
kenaikan kelas diatur oleh masing-masing direktorat teknis terkait.
Sesuai dengan ketentuan PP 19/2005 Pasal 72 Ayat (1), peserta didik
GENERASI KAMPUS, Volume 2, Nomor 2, September 2009
Dr. Bornok Sinaga, M.Pd. adalah dosen jurusan Matematika FMIPA UNIMED
44
dinyatakan lulus dari satuan pendidikan pada pendidikan dasar dan
menengah setelah:
a) menyelesaikan seluruh program pembelajaran;
b) memperoleh nilai minimal baik pada penilaian akhir untuk
seluruh mata pelajaran kelompok mata pelajaran agama dan
akhlak mulia, kelompok kewarganegaraan dan kepribadian,
kelompok mata pelajaran estetika, dan kelompok mata pelajaran
jasmani, olahraga, dan kesehatan;
c) lulus ujian sekolah/madrasah untuk kelompok mata pelajaran
ilmu pengetahuan dan teknologi; dan
d) lulus Ujian Nasional.
7) Penjurusan
Penjurusan dilakukan pada kelas XI dan XII di SMA/MA. Kriteria
penjurusan diatur oleh direktorat teknis terkait.
8) Pendidikan Kecakapan Hidup
a) Kurikulum untuk SD/MI/SDLB, SMP/MTs/SMPLB, SMA/
MA/SMALB, SMK/MAK dapat memasukkan pendidikan
kecakapan hidup, yang mencakup kecakapan pribadi, kecakapan
sosial, kecakapan akademik dan/atau kecakapan vokasional.
b) Pendidikan kecakapan hidup dapat merupakan bagian integral
dari pendidikan semua mata pelajaran dan/atau berupa
paket/modul yang direncanakan secara khusus.
c) Pendidikan kecakapan hidup dapat diperoleh peserta didik dari
satuan pendidikan yang bersangkutan dan/atau dari satuan
pendidikan formal lain dan/atau nonformal.
9) Pendidikan Berbasis Keunggulan Lokal dan Global
a) Pendidikan berbasis keunggulan lokal dan global adalah
pendidikan yang memanfaatkan keunggulan lokal dan kebutuhan
GENERASI KAMPUS, Volume 2, Nomor 2, September 2009
Dr. Bornok Sinaga, M.Pd. adalah dosen jurusan Matematika FMIPA UNIMED
45
daya saing global dalam aspek ekonomi, budaya, bahasa,
teknologi informasi dan komunikasi, ekologi, dan lain-lain, yang
semuanya bermanfaat bagi pengembangan kompetensi peserta
didik.
b) Kurikulum untuk semua tingkat satuan pendidikan dapat
memasukkan pendidikan berbasis keunggulan lokal dan global.
c) Pendidikan berbasis keunggulan lokal dan global dapat
merupakan bagian dari semua mata pelajaran dan juga dapat
menjadi mata pelajaran muatan lokal.
d) Pendidikan berbasis keunggulan lokal dapat diperoleh peserta
didik dari satuan pendidikan formal lain dan/atau nonformal
yang sudah memperoleh akreditasi.
c. Kalender Pendidikan
Satuan pendidikan dasar dan menengah dapat menyusun
kalender pendidikan sesuai dengan kebutuhan daerah, karakteristik
sekolah, kebutuhan peserta didik dan masyarakat, dengan
memperhatikan kalender pendidikan sebagaimana yang dimuat dalam
Standar Isi.
3. Sinkronisasi Muatan Kurikulum LPTK dan KTSP di Sekolah
Mitra PPL
Secara garis besar kurikulum memuat 4 komponen, yaitu Goal
(kompetensi), subject matter, method and organization, evaluation).
Mahasiswa PPL untuk masing-masing bidang studi bertugas
mengembangkan komponen kurikulum sehingga sesuai dengan
perkembangan IPTEK, kebutuhan stakeholder dan pasar kerja.
Pengembangan komponen kurikulum tersebut harus mengacu pada
prinsip-prinsip pengembangan KTSP yang telah diungkap sebelumnya.
GENERASI KAMPUS, Volume 2, Nomor 2, September 2009
Dr. Bornok Sinaga, M.Pd. adalah dosen jurusan Matematika FMIPA UNIMED
46
Misalnya, implementasi KTSP menuntut guru dan calon guru
menerapkan paradigma baru pembelajaran yang berbasis paham
konstruktivis dan budaya lokal. Para guru harus berupaya mengangkat
berbagai masalah yang bersumber dari fakta dan lingkungan budaya siswa
sebagai bahan inspirasi dalam mengonstruksi berbagai konsep dan
prinsip ilmu pengetahuan yang dipelajarai. Dalam pemecahan masalah
tersebut, guru dan calon guru harus merancang dan menerapkan pola
interaksi sosial yang dipahami siswa sebagai pola iteraksi edukatif serta
menanamkan nilai-nilai budaya dalam memotivasi siswa belajar.
Sesungguhnya rumpun matakuliah pada kurikulum LPTK
sejalan dengan rumpun mata pelajaran dalam KTSP di sekolah. Hal ini
dapat dicermati pada prinsip isi dan kompetensi yang tertangkap dari 5
rumpun mata kuliah dan 5 rumpun mata pelajaran yang disajikan pada
tabel berikut.
Tabel 1: Sinkronisasi Rumpun Matakuliah dan Mata Pelajaran
No. 5 Rumpun Mata Kuliah di LPTK
5 Rumpun Mata Pelajaran Pada KTSP
1. Matakuliah Pengembangan Kepribadian (MPK)
Kelompok mata pelajaran agama dan akhlak mulia
2. Matakuliah Perilaku Berkarya (MPB)
Kelompok mata pelajaran kewarganegaraan dan kepribadian
3. Matakuliah Keterampilan Keilmuan (MKK)
Kelompok mata pelajaran ilmu pengetahuan dan teknologi
4. Matakuliah Keahlian Berkarya (MKB)
Kelompok mata pelajaran estetika.
5. Matakuliah Berkehidupan Bermasyarakat (MBB)
Kelompok mata pelajaran jasmani, olahraga dan kesehatan
Dalam kerja praktek (PPL) di sekolah, kompetensi mahasiswa yang
terbentuk dari hasil pembelajaran 5 rumpun matakuliah tersebut
diejawantahkan secara terintegratif dalam membelajarkan siswa. Mata
pelajaran adalah sebuah wahana (kendaraan atau alat) yang digunakan
GENERASI KAMPUS, Volume 2, Nomor 2, September 2009
Dr. Bornok Sinaga, M.Pd. adalah dosen jurusan Matematika FMIPA UNIMED
47
guru untuk membentuk dan mengembangkan potensi yang dimiliki
peserta didik.
Penguasaan keluasan atas materi ajar ditunjukkan oleh indikator
pemahaman dan penguasaan atas struktur pengetahuan sesuai dengan
bidang studinya. Hal ini akan menjadi kekuatan guru dalam
mengapresiasi penguasaan materi pelajaran untuk dikreasikan, disusun,
dan dihubungkan dengan mata pelajaran lain dalam rumpun bidang studi.
Dengan kata lain, penguasaan atas keluasan materi ajar ditunjukkan oleh
dua indikator utama, yaitu memahami dan menguasai struktur ilmu
pengetahuan, serta memahami dan menguasai struktur organisasi materi
dalam kurikulum bidang studi. Identifikasi atas kemampuan ini dapat
dilakukan melalui proses dan hasil analisis kurikulum yang dilakukan oleh
guru pada setiap kegiatan pembelajaran. Merill (1983) mengajukan
matriks analisis kedalaman dan keluasan materi ajar sebagai berikut.
Tabel 2: Matriks Analisis Keluasan dan Kedalaman Materi Model
Merill
KOMPETENSI
CONTENT/ISI KINERJA/KEMAMPUAN/KETERAMPILAN
Bhn Kajian Karakteristik Intelektual Motorik FilosofisKompetensi dasar atau sub-kompetensi(indikator-indikator)
Afakta
konsepprinsip
prosedur
mengingatpenalaran/komunikasipemecahanmasa lah
peniruanmodifikasi
kerjakompleks
aksiologiepistemologi
ontologi
Bfakta
konsepprinsip
prosedur
meng ingatpe nalaran/komunikasipemecahanmasa lah
peniruanmodifikasi
kerjakompleks
aksiologiepistemologi
ontologi
Cfakta
konsepprinsip
prose-dur
meng ingatpenalar an/komunikasipe mecahanmasalah
peniruanmodifikasi
kerjakompleks
aksiologiepistemologi
ontologi
GENERASI KAMPUS, Volume 2, Nomor 2, September 2009
Dr. Bornok Sinaga, M.Pd. adalah dosen jurusan Matematika FMIPA UNIMED
48
Sekuensial materi ajar akan memperlihatkan tingkat kedalaman
dan penguasaan guru atas materi ajar, hal ini diperlihatkan dalam
sistematika organisasi serta sinkronisasi antar substansi kajian atau mata
pelajaran. Indikasi lain atas penguasaan dan kedalaman materi ajar guru
tercermin pada kesesuaian dan ketepatan penentuan karakteristik setiap
substansi kajian. Dalam hal ini, karakteristik substansi kajian mencakup:
fakktual, konsep, prinsip, prosedur, hubungan antar personal, serta sikap
atau kecenderungan. Penguasaan atas landasan filosofis munculnya suatu
substansi kajian. Hal ini penting bagi seorang guru. Pertanyaan mendasar
berkenaan dengan hal ini adalah mengapa suatu substansi itu ada dan
perlu dipelajari. Menguasai hakekat, asal-usul dan keguanaan suatu
substansi kajian memainkan peranan penting guna memperlihatkan
kekuatan materi tersebut. Penguasaan atas kedalaman materi dapat
diidentifikasi melalui kemampuan guru dalam menyusun sekuensial
substansi kajian, penetapan karakteristik materi, dan penguasaan atas
landasan filosofis setiap substansi kajian atau mata pelajaran.
Untuk kebutuhan pembelajaran yang efektif, guru dan calon
guru harus mengenali karakteristik siswa dan lingkungannya. Di samping
itu, para guru harus mengenali dan menerapkan berbagai model
pembelajaran yang sesuai dengan karakteristik ilmu yang diajarkan dan
kompetensi yang akan dicapai oleh siswa. Sesungguhnya tidak ada tanah
yang tidak baik, yang menjadi pertanyaan adalah tanaman apa yang cocok
tumbuh dan berkembang di tanah tersebut. Otak dan jiwa siswa adalah
“sawah” bagi guru dan berbagai jenis ilmu pengetahuan adalah ragam
tanaman yang akan disemaikan oleh guru pada anak. Ilmu pengetahuan
yang dimiliki peserta didik akan tumbuh dan berkembang membentuk
intelektual, prikomotor dan sikap, apabila guru berupaya memandirikan
dan menyadarkan anak terhadap seluruh aktivitas belajarnya.
GENERASI KAMPUS, Volume 2, Nomor 2, September 2009
Dr. Bornok Sinaga, M.Pd. adalah dosen jurusan Matematika FMIPA UNIMED
49
Pendidikan dan pengajaran pada intinya merupakan upaya melanjutkan
kegiatan melahirkan anak. Berbeda dengan hewan, anak manusia dilahirkan dalam
keadaan serba tidak berdaya. Seekor anak itik - begitu ditetas - dapat ke sana ke
mari, mulai mengais dan mencari makanannya sendiri. Tidak demikian anak
manusia. Ia membutuhkan manusia lain untuk bertahan hidup dan lebih lagi
untuk mengembangkan hidup. Oleh karena itu manusia didefinisikan sebagai
animal educandum, hewan yang harus dididik. Tanpa pendidikan manusia tidak dapat
bertahan hidup dan tidak dapat mengembangkan hidupnya. Oleh sebab itu,
segala upaya pendidikan dan pengajaran harus ada dalam kerangka membantu
manusia bertahan hidup dan mengembangkan hidupnya.
Kemampuan yang diperlukan agar seseorang dapat bertahan
hidup dengan sukses (sebagai pribadi, sebagai hamba Tuhan, sebagai
anggota masyarakat) itulah yang disebut dengan kecakapan hidup (life
skill). Beberapa ahli mendefinisikan kecakapan hidup sebagai
kemampuan untuk menghadapi problema kehidupan, kemudian secara
proaktif mengatasinya secara arif dan kreatif (Depdiknas, 2004). Definisi
ini bertolak dari asumsi bahwa dalam kehidupan kita selalu dihadapkan
dengan masalah, karena masalah adalah kesenjangan antara harapan
dengan kenyataan. Masalah itulah yang harus diantisipasi dan diselesaikan
secara arif dan kreatif. Kita akan sukses, jika mampu secara kreatif
mengubah masalah menjadi peluang. Oleh karena itu, kecakapan hidup
itulah yang seharusnya menjadi orientasi pendidikan. Dengan cara itu,
siswa yang telah menyelesaikan suatu jenjang pendidikan, dapat
menggunakannya untuk menghadapi kehidupan nyata di lapangan.
Guru adalah seorang pemimpin yang memiliki paradigma dalam
memandang berbagai masalah dan kebutuhan siswanya. Ia menerapkan 4
fungsi manajemen dalam mengelola pembelajaran di kelasnya. Berbagai
sumberdaya yang dimiliki harus dikelola agar berdaya guna, berhasil guna
GENERASI KAMPUS, Volume 2, Nomor 2, September 2009
Dr. Bornok Sinaga, M.Pd. adalah dosen jurusan Matematika FMIPA UNIMED
50
dan terintegrasi dalam mencapai sasaran pembelajaran secara efektif dan
efisien. Pengelolaan pembelajaran dari seorang guru profesional dapat
dicermati pada skema berikut.
Gambar-3: Manajemen Pembelajaran di Kelas
C. PENUTUP
PPL adalah suatu kesempatan bagi mahasiswa berlatih
membentuk profesi kependidikan secara nyata dan utuh.
Konsekuensinya, mahasiswa harus menguasai dan mengimplementasikan
4 kompetensi guru yang saling terkait dalam perencanaan dan
pelaksanaan pembelajaran. Secara khusus, kompetensi profesional dan
pedagogik yang dimiliki guru atau calon guru adalah katalisator
pembangkitan potensi dan motivasi belajar peserta didik.
Sumber DayaSiswaMasalahAutentikFasilitasInformasi
PLANNINGMenetapkan Sasaran Bagaimana Mencapai
Sasaran
ACTUATINGMenggerakkan:Fasilitator, Motivator, Mediator
OrganizingMemahami Peserta Didik
CONTROLINGMonitoring dan Evaluasi
SASARAN(Kompetensi)
APA YANGDIKELOLA?
MENGAPA DIKELOLA?SUPAYA BERDAYA GUNA,
BERHASIL GUNA, TERINTEGRASI, dan TERKORDINASI
EFEKTIFEFISIEN
FUNGSIMANAJEMEN
PEMBELAJARAN
PARADIGMA
GURUMAT
GENERASI KAMPUS, Volume 2, Nomor 2, September 2009
Dr. Bornok Sinaga, M.Pd. adalah dosen jurusan Matematika FMIPA UNIMED
51
Mahasiswa sebagai calon guru dapat mengantisipasi berbagai
perbedaan kurikulum, proses dan kebutuhan pendidikan di sekolah
(ataupun daerah) melalui pengenalan karakteristik anak dan
lingkungannya. Antisipasi ini dapat dilakukan lebih baik dengan
menerapkan prinsip bahwa (1) guru adalah orang pertama dan yang
utama pengembang kurikulum, (2) mata pelajaran adalah kendaraan
dalam mengembangkan kemampuan, keterampilan, kecerdasan dan
kepribadian anak didik, (3) kuasailah materi agar dapat mengintervensi
siswa belajar dan kuasailah teori-teori pembelajaran agar dapat
melibatkan siswa berpartisipasi aktif dalam pembelajaran.
Dosen harus mampu membentuk dan mengukur secara nyata
dan utuh kompetensi yang dimiliki mahasiswa (calon guru) melalui PPL.
Dosen harus mendampingi mahasiswa mengatasi dan menemukan solusi
alternatif masalah-masalah pembelajaran. Di samping itu, dosen harus
memiliki dan mengembangkan instrumen penilaian RPP, lembar
observasi kemampuan guru mengelola pembelajaran, lembar observasi
aktivitas siswa dan guru, tes-tes standar yang akan digunakan untuk
mengukur keahlian berkaya dan wawasan/keterampilan keilmuan
mahasiswa peserta PPL.
Masalah pendidikan adalah masalah kita bersama terutama bagi
guru dan dosen. Meskipun agak utopia, tetapi kita perlu yakin bahwa
pada saat keadaan ekonomi masyarakat cukup baik nanti dan komitmen
pemerintah terhadap peningkatan kualitas pendidikan semakin kuat,
pendidikan akan tumbuh menjadi “layanan jasa” yang cukup prospektif.
Ketika masyarakat sudah merasa cukup kebutuhan pangan, sandang, dan
papan, maka pendidikan anak akan menyusul sebagai kebutuhan dasar. Jika
hal itu sudah terjadi, orangtua akan rela membayar cukup mahal, asal
yakin anaknya memperoleh pendidikan yang baik.
GENERASI KAMPUS, Volume 2, Nomor 2, September 2009
Dr. Bornok Sinaga, M.Pd. adalah dosen jurusan Matematika FMIPA UNIMED
52
D. DAFTAR BACAAN
Australian National Training Authority’s (2003). Animal Care &Management Training Package, ANTA.
Anonim. (2003) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003, Tentang Sistem pendidikan Nasional, Jakarta: Ditjen Dikdasmen.
_______. (2005). Peraturan Pemerintah Nomor 19 tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan. Jakarta: Ditjen Dikdasmen.
Evans, Rupert N. (1974). Foundation of Vocational Education. Colombus Ohio: Charles E Merrill Publishing Co.
Gaspersz, V. 2001. ISO 9001:2000 and Continual Quality Improvement. Edisi Bahasa Indonesia. Jakarta: SEKOLAH. Gramedia Pustaka Utama.
Hoogveld, A.W.M. (2003). Teacher as Designer of Competency-Based Education, Thesis, Open Universiteit Nederland
Levesque, K. et.al (2000). Vocational Education in the United States: Toward the year 2000 (Report No.029), Washington. D.C: U.S. Department of Education, Office of Educational Research and Improvement
McKee, S. (2003). Demystifying the Competency Conundrum, Salt Lake CityNikijuluw, V.P.H. 2002. Rezim Pengelolaan Sumberdaya Perikanan. Ko-
Manajemen: Rezim Desentralisasi. Jakarta: Pusat Pemberayaan dan Pembangunan Regional (P3R) dan SEKOLAH. Pustaka Cidesindo.
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 19 tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan.
Peraturan Pemerintah Nomor 16 Tahun 2007 tentang Standar Kualifikasi Akademik dan Kompetensi Guru
Permendiknas Nomor 18 tahun 2007 yang direvisi menjadi Permendiknas Nomor 11 tahun 2008 tentang Pelaksanaan Sertifikasi Guru Dalam Jabatan.
Plomp, Tjeerd., (1997). Educational and training system design. Enschede, The Netherlands: Univercity of Twente.
Pratiknya, Iwan. (1993). Beberapa pemikiran dalam rangka pengembangan sumber daya manusia pada PJP II. Makalah pada Seminar Pendidikan dan Pengembangan Kewirausahaan dalam Meningkatkan Kualitas SDM – ISPI Jawa Timur Tanggal 15 Juli 1995.
Salis, E. (1993). Total Quality Management in Education, Kogan Page, Philadelphia.
Sinaga, Bornok. (2007). Pengembangan model pembelajaran matematika berdasarkan masalah berbasis budaya Batak. (Disertasi). Surabaya: PPs UNESA Surabaya.
GENERASI KAMPUS, Volume 2, Nomor 2, September 2009
Dr. Bornok Sinaga, M.Pd. adalah dosen jurusan Matematika FMIPA UNIMED
53
Sinaga, Bornok. (1999). Efektifitas model pembelajaran berdasarkan masalah (Problem-Based Instruction) Pada Kelas I SMU dengan bahan kajian fungsi kuadrat. (Tesis). Surabaya: PPs IKIP Surabaya.
Silberman, Mel. (1996). Active learning. Needham Heights, Massachusetts: Allyn and Bacon.
Skemp, Richard R. (1982). The psychologi of learning mathematics. London: Penguin Books Ltd.
Slavin, Robert, E. (1994). Educational psychology, theories and practice. Fourth Edition. Masschusetts: Allyn and Bacon Publishers.
Solso, R. L. (1995). Cognitive psychology. Washington. DC: Winston: The Loyola Symposium.
Schmidt, W. et.al. (1996). Characterizing pedagogical flow, Boston, Kluwer Academic Publishers
Syawal, G. (Ed.). (2004). Pengembangan Kurikulum Berbasis Kompetensi di Sekolah. Medan. Unimed Press, (in press).
Tilaar, H.A.R. (Ed.). (2004). Paradigma Baru Pendidikan Nasional. Jakarta: Rineka Cisekolaha.
Torshen, K.Y. (1977), The Mastery Approach to Competency-Based Education, Academic Press, New York
Vorhess, R.A. (2001). Measuring what matters: Competency-based models in higher education, NCES Network Conf. , Washington
Whitaker, U. (1989). Assessing Learning, CAEL, Philadelphia
GENERASI KAMPUS, Volume 2, Nomor 2, September 2009
Drs. Wanapri Pangaribuan, MT. adalah Dosen Pendidikan Teknik Elektro Universitas Negeri Medan.
54
BUKU AJAR MODEL INTERAKTIFUNTUK MENINGKATKAN MINAT BACA
WANAPRI PANGARIBUANAbstrak
Buku ajar adalah salah satu media belajar bagi subjek didik, harus disusun sedemikian rupa sehingga menarik dan tidak membosankan untuk dibaca, serta mudah dicerna. Semakin padat suatu teks yang dituliskan, semakin sulit dipahami, karena konsep-konsep umumlah yang cenderungditampilkan, sedangkan konsep khusus yang bersifat lebih teknis kurang mendapat perhatian. Sebaliknya, jika kajian itu semakin besifat khusus atau spesifik, sehingga tingkat keabstrakannya semakin rendah, maka akan semakin mudah dipahami. Akan tetepi, tidak dengan sendirinya hal itu diminati, sehingga perlu pola penulisan yang menarik dari sebuah tulisan yang bersifat khusus dan spesifik tersebut. Untuk meningkatkan minat membaca terhadap sebuah buku, khususnya buku ajar, disamping mudah dicerna juga harus memasuki dunia kehidupan sehari-hari pembaca. Untuk itulah sebuah ide penulisan berpola interaktif, diusulkan, meskipun belumlah dilakukan penelitian atas keterkaitan pola tersebut dengan minat baca. Akan tetapi pantas untuk dipertimbangkan dan dicoba.
Kata Kunci: Buku Ajar, Pola Interaktif, Minat Baca.
A. PENDAHULUAN
Hakikat sebuah pengetahuan adalah segala sesuatu yang
diketahui oleh sesorang, baik yang bersifat umum maupun bersifat
khusus. Kekhususan sebuah pengetahuan terletak pada materi dan
metode yang dikandungnya. Pengetahuan khusus umumnya dipelajari
oleh orang-orang tertentu sesuai dengan peminatan yang ditekuni orang
tersebut.
Penulisan pengetahuan umumnya secara deskriptif, sehingga
terkesan kaku, serta pada dasarnya kurang menarik bagi banyak orang.
Bentuk Penulisan tersebut memang spesifik, namun kurang
mempengaruhi perasaan, hati nurani pembaca. Sebaiknya otak dan
GENERASI KAMPUS, Volume 2, Nomor 2, September 2009
Drs. Wanapri Pangaribuan, MT. adalah Dosen Pendidikan Teknik Elektro Universitas Negeri Medan.
55
perasaan serta hati nurani pembaca, dapat terangsang sehingga ketika
membaca buku tersebut, ada keasikan sendiri dan ketidak relaan untuk
meninggalkan bacaannya.
Pola penulisan yang dapat menyentuh pikiran dan hati nurani
adalah berbentuk pola interaktif dan berbentuk cerita yang multi
pemeran, dan tinjauan objek materialnya adalah berbagai sudut pandang.
Model penulisan seperti ini adalah berbentuk tulisan cerpen, atau novel
ataupun drama. Cerpen, novel, dan drama pada umumnya sangat
diminati oleh mahasiswa.
B. KAJIAN OBJEK MATERIAL PENGETAHUAN DAN POLA
PENULISAN INTERAKTIF
Objek material suatu pengetahuan adalah hakikat sesuatu yang
dikaji secara ontologis. Kajian ontologis adalah kajian yang menjawab
pertanyaan-pertanyaan, apa, mengapa, kenapa, bagaimana
karakteristiknya, saaat kapan, di mana. Kajian ontologism tersebut dapat
dituliskan dengan pola interaktif, sehingga diprediksikan lebih manarik
minat mahasiswa untuk membacanya.
Sebagai contoh penulisan pengetahuan (filsafat) dengan pola
interaktif ditampilkan dalam tulisan ini dalam bentuk cerpen, dengan
judul “Bunga Cinta Di Rerumputan Tanah Tandus”. Cerpen ini ditulis
menjadi tiga bagian, yaitu: bagian pertama menyangkut kajian ontologis
cinta; bagian kedua menyangkut kajian epistemologis cinta; dan bagian
tiga adalah kajian aksiologi cinta. Dengan demikian objek material sebuah
pengetahuan dikaji secara filosofis, secara ontologis, epistemologis, dan
aksiologis.
GENERASI KAMPUS, Volume 2, Nomor 2, September 2009
Drs. Wanapri Pangaribuan, MT. adalah Dosen Pendidikan Teknik Elektro Universitas Negeri Medan.
56
BUNGA CINTA DI RERUMPUTAN TANAH TANDUS
(bagian pertama)
Kemarin aku masih teringat betapa letihnya mencari lokasi
dimana kami harus menimba ilmu yang seharusnya telah aku miliki.
Karena saat aku menyelesaikan SMEA-ku, aku keburu terjerembab
dalam pelukan cinta yang saat itu adalah terindah bagiku. Walaupun
papaku memohon teramat sangat agar aku harus melanjutkan studiku ke
Perguruan Tinggi yang akan memberikanku segudang ilmu yang
mensejahterakan hidupku nanti. Itu ku pandang sebagai salah satu
rintangan yang disengaja untuk menghalangiku memeluk cinta yang
takkan kurelakan berlalu. Sungguh aku takut kehilangan cinta yang
betapa kurasakan nikmatnya. Ketakutanku harus kuhilangkan dengan
mahligai rumah tangga, dan aku melahirkan seorang anak dari buah cinta
yang harus kukatakan betapa aku bahagia.
Harus ku akui, perkawinan di usia muda yang kualami adalah
luapan emosi yang menghilangkan pertimbangan. Pandanganku tentang
cinta adalah segalanya, dalam pejalanan waktu teruji dan akhirnya ku
ketahui bahwa aku sesungguhnya tak memahaminya.
Gejolak dan pertengkaran membuatku terkadang putus asa,
hingga aku sangat ragu apa yang dimaksudkan dengan cinta. “love is every
thing, and every thing is love” dalam pengetianku adalah “love is some thing, that
thing gives only a few happiness”. Buktinya, ketika kuajak suamiku untuk
mencari lokasi tempat kuliah, ia tidak peduli asik dengan sepeda motor
yang dibersihkan dan dirawatnya. Ku tahu memang RX-King
kebanggaannya punya sejarah tersendiri baginya, tapi apakah aku ini
tidakkah melebihi sepeda motornya itu ?. Aku adalah ibu dari anaknya,
tempat melabuhkan segala keluh kesahnya, setidak-tidaknya
pengakuannya demikian. Tapi faktanya, apa ?.
GENERASI KAMPUS, Volume 2, Nomor 2, September 2009
Drs. Wanapri Pangaribuan, MT. adalah Dosen Pendidikan Teknik Elektro Universitas Negeri Medan.
57
Hampir aku meneteskan air mata, teringat kemarin aku harus
naik becak sangat jauh dengan kembaranku mencari lokasi kuliah ku ini,
yang saat ini aku termenung dan merenung, sembari bertanya pada diriku
sendiri; mungkinkah aku akan sukses kuliah ?.
Aku tersadar dari lamunan dan gundah hati yang sering
menemaniku. Ketika itu, dosenku memberikan motivasi ke kami semua
mahasiswa yang rata-rata pasti punya beban berat dalam menjalani kuliah
yang akan kami tapaki.
Dengan wajah kebapaan dan tatapan mata teduh menyapu wajah-wajah
mahasiswa yang ada dihadapannya, seolah-olah menelanjangi pikiran dan
hati kami, dan tahu tentang apa yang ada dalam relung hati yang
terdalam. Kata-katanya sangat menyentuh, dengan senyum merekah dari
seorang berilmu, susah dimaknakan, setidak-tidaknya bagiku. Dia mulai
berkata:
“Bapak ibu sekalian yang pada saat ini hadir dari berbagai tempat
dan berbagai warna-warni hati dan pikiran, saya ucapkan selamat sore
dan selamat datang. Tentunya kamu
sekalian sering berkata kepada murid-murid, gantungkanlah
cita-cita mu setinggi bintang di langit. Letakkanlah sedalam palung
lautan tekatmu sebagai pundasi
keberhasilanmu. Marilah kita masing-masing mengingat itu,
agar kita mempunyai kekuatan dalam diri kita saat mengharungi lautan
perkuliahan yang penuh ombak dan topan”.
Kata-katanya membuat ku makin gundah, dan aku semakin khawatir,
mungkinkah ombak dan topan lautan perkuliahan yang dimaksudkan
akan mengkharamkaan bahtera impian ku, impian papa dan mama ku,
bahkan mungkin impian anak ku, atau mungkin juga impian suamiku
yang kebenarannya kuragukan.
GENERASI KAMPUS, Volume 2, Nomor 2, September 2009
Drs. Wanapri Pangaribuan, MT. adalah Dosen Pendidikan Teknik Elektro Universitas Negeri Medan.
58
“Agaknya saya memahami keberadaan kamu sekalian dalam
mengikuti perkuliahan ini. Diantara keletihan yang diakibatkan
banyaknya beban kerja dan tanggung jawab keluarga, yang sesungguhnya
pun sudah cukup menekan kita, harus pula ditambah dengan seliban
beban-beban kuliah. Segudang ilmu harus ditimba, segunung
pengetahuan harus digali, tentunya menuntut banyak pengorbanan dalam
banyak hal. Pengorbanan kesenangan, pengorbanan perasaan, waktu,
tenaga, uang, bahkan perhatian pada keluarga. Ingatlah hal itu tak
seberapa jika dibanding hasil yang akan kamu sekalian peroleh dalam
perkuliahan ini”.
Lanjutnya setelah beberapa kali melangkah dengan tenang mendekati
kursi para mahasiswa, dan kembali mundur beberapa langkah pula, dan
kemudian dengan spidolnya ia mengambar kura-kura dan kelinci sedang
berlomba pada white Board di depan kelas.
“Kamu juga pernah mendengarkan dongeng bahkan
mendongengkannya pada anak-anak tentang perlombaan lari seekor
kura-kura dan kelinci. Kura-kura menerima apa adanya dirinya dan
bersyukur masih memiliki kaki empat walaupun langkahnya sangat
lambat, tapi paling tidak dia dapat berlomba. Kelinci melompat lari jauh
mendahului kura-kura yang berjalan tertatih-tatih. Sekali lompatan
saja kelinci, maka kura-kura harus menapaki paling tidak sebanyak
sepuluh langkah yang sangat lambat.
Perjalanan jauh dan teramat jauh. Namun bagi kura-kura harus
dijalani dengan beban berat di punggung. Langkah terseot-seot,
terkadang terseret menerbangkan debu.
Panas terik menyengat menambah beban penderitaan demi
perlombaan yang harus dimenangkan. Akan tetapi sikelinci nun jauh
didepan sedang istirahat di bawah pohon rindang yang menyejukkan.
GENERASI KAMPUS, Volume 2, Nomor 2, September 2009
Drs. Wanapri Pangaribuan, MT. adalah Dosen Pendidikan Teknik Elektro Universitas Negeri Medan.
59
Angin sepoi berhembus mengelus bulu-bulu halus sang kelinci. Kelopak
mata tertarik-tarik mengajak mimpi memenuhi alam pikiran se kelinci.
Dengan bibir tersungging di wajah, tidur pulas membawa dirinya
ke alam mimpi kemenangan dan meraih hadiah dan penghargaan atas
kemenangannya. Namun hanyalah mimpi. Tidur pulas dan mimpi
membuai tak sadarkan diri, berlama-lama dan habislah waktu. Sementara
si kura-kura terkulai lemas pada tapakan kaki terakhirnya meraih garis
finis kemengan”.
Kami mendengarkan cerita pak dosen seolah-olah cerita itu belum
pernah kami dengar. Mata mengarah pada sosok dosen penuh inspirasi.
Tanpa kusadari aku mangguk-mangguk sembari berkata dalam hatiku,
“benar juga ya, kura-kura yang lambat aja bisa nyampe ke garis finis”.
“Para mahasiswa yang berbahagia, tentunya diantara kamu ada
yang pernah menggulai sayur atau ikan. Sebuah kelapa di kupas dan
diparut, kemudian diremas-remas dan diperas hingga santan keluar dan
menghasilkan campuran gulai yang lezat. Santan kelapa tidak akan dapat
diperoleh jika dibiarkan buah kelapa begitu saja. Tetapi dengan
memarutnya, meremasnya, dan memerasnya keluarlah santan yang kita
inginkan.
Demikian juga manusia, jika kemampuan dan potensi yang ada
dalam diri kita tidak kita peras, paksa, maka sesungguhnya kita belum lah
kita yang sesungguhnya”. Lanjut sang dosen, sambil melangkah ke
tengah barisan kursi mahasiswa yang penuh sesak.
“Kalau susu diperas pak, bagai mana ?” salah seorang mahasiswa
nyeletuk seenak-nya Sebagian besar mahasiswa tertawa, memecah
kekhusukan.
“Perasan susu, susu apa saja akan membawa kenikmatan hidup.
Kenikmatan hidup yang dimaksudkan adalah bahwa manusia atau hewan
GENERASI KAMPUS, Volume 2, Nomor 2, September 2009
Drs. Wanapri Pangaribuan, MT. adalah Dosen Pendidikan Teknik Elektro Universitas Negeri Medan.
60
dapat menikmatinya dan menjadi besar serta sehat”. Kembali mahasiswa
tertawa, dosen pun tertawa, ruang kelas mulai ribut. Suasana menjadi
ramai namun santai. Beberapa saat berlalu dengan suasana riuh, namun
kemudian kembali hening. Teknik breaking ice yang digunakan dosen
tampaknya berhasil dengan baik.
“Kamu sekalian akan dan harus lalui rintangan perkuliahan.
Walaupun berat, namun anggaplah itu latihan yang akan membuat kamu
menjadi orang yang sukses dan berhasil. Kesuksesan lebih banyak
dipengaruhi kecerdasan emosi kita, dan tidak begitu banyak kesuksesan
akibat dari kecerdasan otak”. Lanjut pak dosen.
“Kita ini semua adalah manusia rata-rata. Manusia rata-rata
harus menggunakan kecerdasan emosinya agar sukses. Orang yang cerdas
Intelijennya, sama seperti kelinci, dan orang yang cerdas emosinya adalah
sama dengan kura-kura. Setuju…..?”
“Setuju…………….!!!!!!!” Balas hampir semua mahasiswa.
“Ya….Kalian setuju sebagai kura-kura, dan selamat menjadi
kura-kura….. sekian dan terima kasih…., selamat petang!!!” Kelakar pak
dosen sembari meraih tas-nya dan melangkah keluar. Hari pertama kuliah
yang menyenangkan. Singkat, namun dapat membangkitkan semangat
serta daya juang. Perasaan ku mulai tenang dan bersemangat. Aku
bersama kembaranku melangkah menuju sepeda motor ku terparkir, dan
kami pulang dengan rasa lega dan riang. Senja jumat yang menyenangkan
bagi ku.
Jarum panjang arlojiku menunjuk angka 12 dan jarum pendek
menunjuk angka 2, tepat jam dua siang pada hari Sabtu, kuliah dimulai.
Mahasiswa di ruang IV belum begitu banyak, namun sepertinya pak
dosen adalah suka on-time. Sejenak ia menyapukan tatapan matanya,
sedikit sisi bibirnya terangkat, senyum di wajahnya tak begitu manis,
GENERASI KAMPUS, Volume 2, Nomor 2, September 2009
Drs. Wanapri Pangaribuan, MT. adalah Dosen Pendidikan Teknik Elektro Universitas Negeri Medan.
61
tetapi justru sebaliknya kesan agak sinis. Hatiku mulai bertanya-tanya, ada
apa gerangan dibalik wajah yang tak begitu kren. Wajahnya tidak mulus,
bahkan terkesan berkulit kasar, banyak bekas jerawat batu dan tahi lalat.
Tubuhnya tak begitu tinggi, namun terkesan ideal dengan berat
badannya. Tidak terlalu gemuk, dan tidak terlalu rapi bahkan terkesan
orang biasa-biasa saja.
Satu-persatu mahasiswa yang terlambat masuk kelas tanpa ada
rasa keberatan si dosen. Sepertinya ia memaklumi keterlambatan teman-
teman ku.
“Selamat sore saudara-saudari sekalian, semoga sehat-sehat
semuanya. Pada pertemuan hari kedua ini saya ditugaskan untuk
berdiskusi kepada kita semua tentang mata kuliah Filsafat Pendidikan.
Mungkin kata filsafat tidaklah asing bagi kita semua, karena mungkin
sering kita dengar dari berbagai sumber informasi. Jika ada yang
memberikan pendapatnya saya persilakan” ucap dosen sambil
mengharapkan adanya yang memberi pendapat. Hening sejenak, dan
salah satu mahasiswa memberi pendapat:
“Filsafat bagi kaum remaja adalah bayangan hidup. Bagi kaum
pemuda adalah pandangan hidup. Bagi bapak-bapak yang masih muda
adalah pegangan hidup. Bagi bapak-bapak yang sudah tua adalah
perjuangan hidup. Dan bagi seorang kakek adalah mati hidup. Jadi
pengertian filsafat adalah berbeda-beda sesuai dengan tingkatan usia”.
Spontan para mahasiswa tertawa riuh, namun ada sebagian lagi yang
malah bingung, kenapa banyak orang tertawa. Banyak diantara peserta
kuliah tak mengerti apa maksud teman mereka yang memberi pendapat.
Dosen terperangah mendengarkan pendapat tersebut, namun berupaya
menetralisir emosinya, yang akhirnya iapun ikut tertawa. Suasana riuh
GENERASI KAMPUS, Volume 2, Nomor 2, September 2009
Drs. Wanapri Pangaribuan, MT. adalah Dosen Pendidikan Teknik Elektro Universitas Negeri Medan.
62
dan ramai, hingga terdengar ke kelas-kelas lain. Dengan cepat si dosen
menetralisir suasana, sembari berkata:
“Pendapat yang bagus saudara-saudari, karena filsafat yang
dimaksudkan teman kita ini adalah berbicara tentang kehidupan dari
berbagai tingkatan umur. Namun demikian, masih harus disempurnakan
agar dapat diterima secara logis dan ada dasar pembenarannya
(justifikasinya). Pertanyaan selanjutnya adalah apakah yang dimaksud
dengan bayangan, pandangan, pegangan, perjuangan, dan mati hidup
tersebut ?. Tolong saudara jelaskan lebih rinci dan lebih luas…!!” Pak
dosen mengejar penjelasan mahasiswa tersebut, karena mungkin ada
yang tersembunyi di balik pernyataan itu. Namun si mahasiswa terdiam,
sambil tersipu malu.
“Ada dari antara kita yang membantu teman kita ini ?” lanjut pak
dosen. Dan salah satu mahasiswa yang lain mulai angkat bicara:
“Jika kita memberi arti filsafat, haruslah dimulai dari makna
hidup dan kehidupan. Hidup adalah cinta, tanpa cinta adalah bukan
hidup. Kehidupan berarti kecintaan terhadap hidup. Pokoknya yang
hidup-hiduplah” Ujarnya serius. Kelas kembali riuh dengan tawa lucu
yang saling menimpa, sehingga amplitudonya cukup besar. Kembali pak
dosen terperangah. Dalam hatinya berkata, cukup lumayan cerdas kelas
ini, hanya saja kocak dan tak perduli tata kerama.
“Apa maksudnya yang hidup-hidup itu ?” Tanya mahasiswa yang
lain.
“Ya, diantaranya tumbuhan seperti rumput, dan binatang seperti
burung” Celetuk mahasiswa yang lain pula.
“Ooohhhh…….. berarti filsafat adalah burung yang sembunyi di
dalam rumput” Celoteh mahasiswa yang lain.
GENERASI KAMPUS, Volume 2, Nomor 2, September 2009
Drs. Wanapri Pangaribuan, MT. adalah Dosen Pendidikan Teknik Elektro Universitas Negeri Medan.
63
“Bukan, filsafat adalah burung yang menyelusup dalam
rumput…..” mahasiswa yang lain menimpali sambil tertawa.
“Baiklah para hadirin sekalian, apapun arti filsafat menurut kamu
itu adalah benar adanya. Karena menurut Suriasumantri1, kajian filsafat
hanyalah sebatas pengalaman manusia. Jika menurut anda dan anda,
filsafat itu adalah burung yang tersembunyi atau menyelusup dalam
rumput, tentunya kamu harus mengkaji burung dan rumput secara
ontologis. Maksudnya adalah hakikat burung itu apa, dan juga hakikat
rumput itu apa ?”
Dengan sangat bijaksana pak dosen mulai ambil alih pembicaraan.
“Pak dosen, kontologis itu apa sih……?” tanya salah seorang
mahasiswa pingin tahu.
“Bukan kontologis, tetapi ontologis, yang maksudnya adalah
upaya-upaya yang dilakukan oleh pemikir untuk menjawab apa, kenapa,
bila mana, siapa, mengapa.
Pertanyaan itu harus tak henti-henti ditanya, dan harus tak henti-
henti pula untuk menjawabnya. Itulah yang disebut sebagai pemikiran
yang revolusioner”.
Suasana kelas mulai tenang dan serius. Kata-kata sang dosen hampir tak
di mengerti.
“Filsafat berasal dari bahasa Yunani2, yaitu : Philosophia yang
terdiri atas dua kata “philos” (cinta) atau “philia” (persahabatan, tertarik
kepada) dan sophos (hikmah, kebijaksanaan, kebenaran, pengetahuan,
keterampilan, pengalaman praktis, inteligensi). Jadi secara etimologi,
filsafat berarti cinta kebenaran atau kebijaksanaan (love of wisdom).
Orangnya disebut filosof dalam bahasa Arab disebut failasuf.
Pertanyaan selanjutnya yang harus dijawab adalah apakah cinta
itu ? dan apa pula kebenaran atau kebijaksanaan itu ?”. Lanjut pak dosen.
GENERASI KAMPUS, Volume 2, Nomor 2, September 2009
Drs. Wanapri Pangaribuan, MT. adalah Dosen Pendidikan Teknik Elektro Universitas Negeri Medan.
64
Dalam pikirannya, pasti rame lagi ini kelas, apalagi ditanyai tentang cinta.
Ternyata mahasiswa berpikir dan bertanya-tanya tentang cinta yang
sebenarnya mereka sudah alami. Dan tak satupun dari antara mereka
yang belum mengalaminya. Namun sepertinya sulit juga mereka memberi
defenisi.
“Cinta adalah suasana hati yang saling rindu” salah seorang
mahasiswa mulai memberi pendapat. Suaranya agak pelan dan bergetar,
memperlihatkan keraguan tentang apa yang
dikatakannya. Mahasiswa lain terpancing dan saling memberi pendapat.
“cinta adalah rasa suka, senang, ingin dekat-dekat selalu kepada
objek yang dicintai”
“cinta ibarat kentut…. Tidak dikeluarkan sakit, dikeluarkan
malu”
“cinta adalah rasa suka, senang dan rindu…”
“cinta adalah ketulusan untuk berkorban bagi objek yang
dicintai”
“Benar….benar…., semua pendapat adalah benar. Terkadang
cinta sulit untuk didefenisikan, namun cinta harus dibuktikan.
Membuktikan cinta adalah seberapa besar pengorbanan yang diberikan
oleh seseorang kepada objek yang dicintai. Dalam lirik lagu yang
dinyanyikan Nia Daniati ada terucap: ….kamu mencintai ku, tapi ulang
tahunkupun kamu tak ingat. Katamu cinta, kedatanganmupun seperti
angin lalu. Setiap kata cinta terucap, maka tuntutannya adalah
pengorbanan. Pengorbanan pikiran, hati, waktu, materi, tenaga, dan
banyak yang lainnya, bahkan mungkin nyawa atau hidupnya”. Ucap
dosen meyempurnakan pendapat para mahasiswa.
“ Pak, ….ada kata-kata ungkapan hati ku pada Bapak : mengapa
cinta ini terlarang saat kuyakini kaulah milikku. Mengapa cinta kita tak
GENERASI KAMPUS, Volume 2, Nomor 2, September 2009
Drs. Wanapri Pangaribuan, MT. adalah Dosen Pendidikan Teknik Elektro Universitas Negeri Medan.
65
dapat bersatu saat kuyakini tiada cinta selain dirimu. Apa artinya pak…..”
Salah satu mahasiswi menggoda. Disambut riuh mahasiswa lain. Ada
yang bersiul, ada pula yang senyum-senyum, ada yang menggerutu, ada
pula yang senang. Pokoknya macam-macam suara dan tingkah laku
terekspresikan.
“yah…. Walaupun diri mu cinta diri ku, dan diri ku cinta diri
mu, kamu ingin memiliki bahkan terlebih aku ingin memiliki mu, ingin
memeluk mu, mencium mu, membelai mu.
Namun kamu harus tahu, diantara kita terbentang dinding yang
tinggi. Kita hanya dapat merasakan arti cinta dialam pikiran dan hati.
Hari-hari kita lalui dengan rasa rindu, ingin dekat-dekat selalu, ingin
mendampingi, ingin disisimu, bahkan ingin menyatu dengan diri mu.
Tapi cinta tak harus memiliki. Cinta adalah pengorbanan. Jika dindaku
mencintaiku, biarlah kamu rasakan dalam dirimu, dan buktikanlah
dengan pengorbanan.
Mungkin pengorbanan itu harus melanggar norma, harus
menghianati cinta mu pada yang lain, harus menghianati keyakinan mu,
mungkin… dan hanya mungkin terjadi dari sejuta kemungkinan”. Pak
dosen langsung menyambut kata-kata mahasiswa. Memang dosen yang
satu ini mungkin senang berbicara cinta. Mungkin tidak itu saja, mungkin
suka merayu. Mahasiswa ada yang tepuk tangan senang.
“Tapi pa….kuyakini, aku terlahir hanya untuk mu, aku dapat
bertahan hidup karena mu. Tolonglah aku, bawalah aku kemanapun
engkau pergi. Kemanapun kamu pergi….mungkin ke ujung langit
terbawa angin….…mungkin ke padang gurun….mungkin juga ke
karang-karang di tepian pantai….mungkin juga ke kesunyian alam. Aku
menyerahkan keberadaanku, untuk terserah Bapak untuk dibawa kemana
aja, asal aku bersama mu”. Balas mahasiwa.
GENERASI KAMPUS, Volume 2, Nomor 2, September 2009
Drs. Wanapri Pangaribuan, MT. adalah Dosen Pendidikan Teknik Elektro Universitas Negeri Medan.
66
“Kalau begitu, kenapa gundah dindaku. Bulatkan tekat mu.
Korbankanlah semuanya untukku. Waktumu, hati mu, pikiran mu, dan
semua yang ada yang kamu miliki, bahkan hayalan mu juga. Karena aku
adalah kebenaran dan kebijaksanaan..”, dosen mulai berkelit dengan kata-
kata berani dari seorang mahasiswi, membuat pikirannya tidak karu-
karuan.
“Apa ia ini mahasiswa, atau dewi utusan langit. Cantik juga, tapi
terlalu berani. Serius pula mengucapkannya, macam benar aja. Tapi pak
dosen tak boleh kala, harus menjadi pemenang. Kalau dosen kalah
menetralir dirinya, untuk pertemuan berikutnya jadi bulan-bulanan kelas
yang aneh ini. Mati aku.”. Bisik suara hatinya.
“Saudara-saudari mahasiswa, keberadaan mu sekalian di sini
adalah mahasiswa dan mahasiswi. Dan kehadiran ku di sini adalah
sebagai dosen. Walaupun kamu sekalian mungkin memandangku sebagai
laki-laki. Yah mungkin….laki-laki yang pantas untuk dicintai….memang
ku pikir juga teramat pantas. Tapi…jangan ngawur dong….kita ini kuliah
filsafat. Artinya jangan pak dosennya yang dicintai, tapi kebenaran dan
kebijaksanaan lah yang harus dicintai. Kita semua harus memposisikan
diri sama-sama mencintai kebenaran itu, bukanlah kita yang saling
mencintai. Artinya, kita di pihak yang sama, dan pihak lain yang harus
kita cintai adalah kebenaran. Saya harap kamu jangan dulu protes.
Pokoknya kamu harus amin kan dalam pikiran dan hati mu”. Ucap pak
dosen tanpa memberi kesempatan kepada mahasiswa untuk berbicara.
Barulah disadarinya, arti kata “jangan membuat perangkap bagi diri
sendiri”. Seperti kijang jantan, harus lincah melepaskan diri dari
perangkap pemburu. Dan ia melanjutkan:
“Kebenaran adalah kata benda yang berarti hakikat dari sesuatu.
Hakikat dari sesuatu adalah apa adanya, fakta, tidak hanya itu…. Ada apa
GENERASI KAMPUS, Volume 2, Nomor 2, September 2009
Drs. Wanapri Pangaribuan, MT. adalah Dosen Pendidikan Teknik Elektro Universitas Negeri Medan.
67
sesungguhnya berada dalam sesuatu yang ada. Karena menurut teori
materialisme3, bahwa apa yang ada, yang berwujud adalah karena
sesungguhnya ada, ada materi yang membangunnya. Jadi filsafat adalah
kecintaan terhadap hakikat dan keberadaan sesuatu yang berwujud.
Dalam wujud ada wujud. Walapun mungkin wujud itu suatu
ketika tak kelihatan, bukanlah berarti yang berwujud tersebut menjadi
tidak ada”. Sambil menarik nafas panjang pak dosen melanjutkan
penjelasannya.
“Akan tetapi menurut teori idealisme4, sesungguhnya benda yang
berwujud itu tidak nyata, hanyalah bayang-bayang. Bayang-bayang itu ada
dalam pikiran saja. Artinya adalah hanyalah ide yang terbangun dalam
pikiran. Sama dengan cinta. Cinta adalah benda yang tak berwujud. Akan
tetapi kita semua dapat memilikinya, dan pasti tak satupun diantara kita
yang tak memiliki cinta. Apakah cinta itu adalah benda nyata yang dapat
kita raba karena wujudnya ? Tentu tidak, semua ada dalam ide, pikiran,
hayalan dan perasaan.”
“Pak… mana yang sebenarnya harus diterima, apakah teori
materialisme atau teori idealism?. Sepertinya keduanya benar, namun
ragu juga….jadi mohon penjelasan…!”
Tanya seorang mahasiswa mulai memahami dan ingin tahu lebih lanjut.
“Memang keduanya dapat dipersatukan dalam teori dualisme.
Teori dualisme mengatakan bahwa, benda yang berwujud sesungguhnya
ada yang membangunnya secara material, dan hal itu dikenali dan diakui
karena berada pula dalam ide manusia.
Ketika kita mengatakan batu kepada orang lain, maka orang itu
akan memahami kata tersebut sebagai benda keras berbentuk bongkahan.
Hal itu terjadi karena dalam ide orang tersebut telah terdefenisikan dan
mengenal batu itu. Kenapa batu dikenal, oleh karena wujud batu sudah
GENERASI KAMPUS, Volume 2, Nomor 2, September 2009
Drs. Wanapri Pangaribuan, MT. adalah Dosen Pendidikan Teknik Elektro Universitas Negeri Medan.
68
pernah dilihat. Jadi terori dualisme mengakui benda yang berwujud
sebagai benda material dan juga mengakui benda dalam mentalitas”.
Si mahasiswa yang bertanya tadi manggut-manggut seolah-olah mengerti.
“Pak….tadi bapak bilang mengkaji hakikat sesuatu secara
ontologis. Ontologis berarti mengkaji sesuatu secara mendalam.
Bagaimana caranya pak ? bukankah manusia punya keterbatasan?”
Mahasiswa lain bertanya antusias.
“yah….caranya adalah dengan kajian epistemologi. Epistemologi
terkadang disebut metodologi. Mungkin methodology adalah bagian dari
epistemology, atau sebaliknya epistemology adalah bagian dari
metodologi. Jika manusia mempunyai keterbatasan kemampuan indra,
maka dengan epistemology keterbatasan itu dapat dikurangi. Jika mata
manusia tidak mampu melihat benda yang sangat kecil dalam satuan
mikron, maka dengan adanya epistemology terciptalah microscope”
“Apakah ada epistemology untuk melihat kedalaman cinta ku
pada Bapak…..” lagi-lagi mahasiswi tadi bertanya memancing si dosen.
“Dari segi teori materialisme….cinta seseorang itu dapat dilihat
dari jumlah detak jantung dalam satuan waktu tertentu. Dapat juga dilihat
dari kelancaran aliran darah.
Bahkan mungkin dari berbagai hal yang terjadi dalam tubuh
manusia, mungkin dari segi perubahan hormonal. Sebagai contoh, jika
seorang remaja merasakan cinta yang dalam, maka besar kemungkinan
tumbuh banyak jerawat, hal ini berarti ada perubahan secara material
dalam tubuh manusia” Mata pak dosen melekat menatap si mahasiswi.
Mata itu kelihatan berbicara, seolah-olah ada sejuta kata terucap. Entah
apa maknanya. Yang jelas tidak seperti mata biasa memandang. Si dosen
menyadari tatapan yang tak biasa ia lakukan, ia alihkan tatapannya,
GENERASI KAMPUS, Volume 2, Nomor 2, September 2009
Drs. Wanapri Pangaribuan, MT. adalah Dosen Pendidikan Teknik Elektro Universitas Negeri Medan.
69
namun ada getaran halus yang aneh dalam hatinya ketika matanya dan
mata si mahasiswa beradu pandang. Awal dari suatu ketertarikan.
“Tapi apakah makna cinta itu pak ?. Terkadang cinta membawa
kita ke kesedihan, terkadang maut datang nyerempet. Hati yang selalu tak
menentu. Terkadang tak dipahami. Banyak orang korban cinta. Cinta itu
tak berarti apa-apa sebenarnya bukan ?”
Mahasiswi lain memberikan pendapat bernada pesimis dan bertanya.
“Yah….cinta juga harus kita kaji secara aksiologi. Aksiologi
mengkaji kebermaknaan, keberartian sesuatu. Kata-kata cinta yang
terucap dari mulut seseorang, punya makna apa bagi dia dan bagi orang
lain ?. Cinta harus punya makna yang sangat mendalam.
Cinta adalah segalanya (love is every thing). Secara filsafat, cinta
adalah kebahagiaan”
Dengan tenang pak dosen melangkah mendekati salah satu orang
mahasiswi yang menurutnya cukup pantas untuk diperhatikan lebih. Dia
tatap dengan mata yang lembut…. Sedikit tersenyum, sembari berkata
dengan beraninya:
“Betapa cantiknya kamu……!”
Spontan si mahasiswi tersipu malu. Dasar dosen cowok. Mentang-
mentang diperhatiin dari tadi, sekarang berani ngrayu. Tapi senang juga
sih. Tapi benar ngak ya kata-kata pak dosen itu .
Kemudian suara pak dosen membuyarkan lamunan ku.
“Phytagoras adalah seorang matematikawan dan seorang ahli
filsafat. Ia berkata bahwa segala sesuatu, fenomena alam, gejala alam,
kejadian di alam. Apa saja yang ada dalam dunia material maupun ide,
dapat dikuantifikasi. Dikuantifikasi artinya diberi nilai dalam bentuk
angka. Dia juga berkata, segala sesuatu yang bernilai dapat ditarik akar-
akarnya.
GENERASI KAMPUS, Volume 2, Nomor 2, September 2009
Drs. Wanapri Pangaribuan, MT. adalah Dosen Pendidikan Teknik Elektro Universitas Negeri Medan.
70
Proses menarik akar-akar itulah yang disebut filsafat. Sekarang
tugas anda semua untuk dikerjakan di rumah. Carilah akar permasalahan
jatuh cinta…., tugas ini dikumpul dua minggu ke depan”.
Pak dosen menyudahi perkuliahan untuk hari ini. Dua SKS terasa sangat
singkat. Tapi ujung-ujungnya PR, itu yang tak enak. Tapi nggak apalah,
tugasnya asik juga tentang cinta.
Sebelum pak dosen meninggalkan kelas kami, ia menuliskan sebuah
prosa di papan tulis di depan kelas.
MAKNA HIDUP YANG TAK BERARTI KETIKA KEHILANG-
AN CINTA
Pagi tadi aku terbangun dari tidurku yang tak nyenyak, ketika suara
nyaring tak kutahu dari mana memanggilku. Ada kata terucap…..
berbisik……. Bangunlah…..temukanlah cinta mu yang
Telah lama hilang. Kemudian aku berkata…”kemana cinta harus
kucari….?”.
Bersama angin aku pergi ke tepian pantai. Di sana aku bertanya
kepada pasir putih dan desiran ombak yang tak henti. “Kamu lihat kah
cinta ku yang hilang ?”. Burung-burung camar mengajakku pergi ke
tebing dan karang tajam yang teramat tajam. Mungkin tak pernah orang
mengunjunginya. Aku bertanya: “ dimanakah cintaku yang telah hilang?”.
Temaram bergayut bersama kesunyian alam.
Hari ini aku letih….. tatapanku samar…..dan aku terkulai dipelukan
alam. Adakah makna hidup yang ku miliki, ketika cinta ku yang hilang tak
kutemukan ?
Oh…. Dewa dewi di langit…..penguasa alam jagat…..
beritahulah kepada cintaku jika kalian temukan ia sedang bepergian entah
GENERASI KAMPUS, Volume 2, Nomor 2, September 2009
Drs. Wanapri Pangaribuan, MT. adalah Dosen Pendidikan Teknik Elektro Universitas Negeri Medan.
71
kemana. Aku… kini….kehilangan makna hidup. Rinduku….. tak
terukur….
C. PENUTUP
Pola interaktif dalam penulisan buku ajar belum pernah dibuat,
sehingga tingkat pengaruhnya terhadap minat baca juga belum diteliti.
Namun demikian, pantaslah untuk dikaji lebih mendalam dan diteliti.
Semoga ide ini menarik bagi pembaca.
D. DAFTAR PUSTAKA
Bakhtiar Amsal. 2004. Filsafat Ilmu. Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada
Peursen Van, (Alih Bahasa Dick Hartoko). 1983. Orientasi di Alam Filsafat. Jakarta: PT.Gramedia
Rapar, Jan Hendrik. 1996. Pengantar Filsafat. Yogyakarta: Kanesius
Soetriono, SRDm Rita Hanafie. 2007. Filsafat Ilmu dan Metodologi Penelitian. Yogyakarta: Penebit Andi
Suriasumantri, Jujun S. 1983. Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer, Cet. XIII. Jakarta: Sinar Harapan.
GENERASI KAMPUS, Volume 2, Nomor 2, September 2009
Dr. Hamonangan Tambunan, ST., M.Pd. adalah Dosen Fakultas Teknik UNIMED
72
PENINGKATAN PEMBELAJARAN BERBASIS KOMPUTER
Hamonangan TambunanAbstrak
Guru dapat menentukan apakah media khusus atau metoda dapat memperbaiki pembelajaran. Dalam hal ini tidak memperdebatkan apakah media memperbaiki pembelajaran atau tidak. Tetapi media adalah salah satu komponen dalam sistem pengajaran yang kompleks. Suatu sistem yang melibatkan prinsip-prinsip perencanaan pengajaran yang baik adalah seperti metoda penyampaian pengajaran. Dalam hal ini akan ditunjukkan asumsi bahwa metoda pengajaran tertentu memperbaiki pembelajaran, oleh sebab itu metoda harus mempunyai dua aspek. Pertama, harus menunjukkan suatu kemiripan secara langsung ke suatu proses pembelajaran yang khas. Dan kedua, harus mempunyai dukungan nyata yang menunjukkan keberartiannya.
Kata Kunci: Pembelajaran, Media.
A. PENDAHULUAN
Dua puluh tahun terakhir suatu perdebatan yang utama di bidang
teknologi pendidikan adalah pada dua bagian, “Apakah media
memperbaiki pembelajaran?, dan jika demikian, Seberapa besar?.
Sebelumnya pendukung suatu jawaban ini berdasarkan pendapat pada
asumsi teknokratik yaitu Briggs (1959). Kelompok ini didukung
teknologis misalnya ilmuwan komputer yang disebut teknologi baru
seperti dunia mikro, Intelligent Computer Assisted Instruction (ICAI),
dan system pakar. Ada guru yang menjawab dengan negatif, didasarkan
kesimpulan mereka melalui metodologikal. Argumen mereka pertama
bahwa temuan penelitian dalam masing-masing pertanyaan cacat dalam
kedua percobaan dan metodologinya. Pendekatan akademik tertentu ke
kekritisan ini, sanggahan-sanggahan hanya mencapai pengakuan pada
GENERASI KAMPUS, Volume 2, Nomor 2, September 2009
Dr. Hamonangan Tambunan, ST., M.Pd. adalah Dosen Fakultas Teknik UNIMED
73
suatu lingkaran program penelitian yang berbasis kependidikan yang
terbatas. Dan perkembangan teknologi komputer yang cepat berikut
aplikasi mikrocip menjadikan pertanyaan tidak lagi berpanjang-panjang.
Dianggap telah terjawab dengan berkembangnya teknologi.
Pada pertengahan tahun 1990 semakin bertambah pendidik yang
menyadari bahwa pertanyaan yang perlu dijawab adalah kemunduran
popularitas komputer yang nyata sebagai solusi pada krisis dalam
pendidikan (Benjamin, 1988). Para teknologis telah berhasil membendung
para penyanggah karena perkembangan beberapa perangkat lunak
misalnya video interaktif seperti LOGO. Tetapi sebagai solusi teknologi
baru terus gagal atau diganti dengan obat mujarap kependidikan yang lain,
penyanggah menimbulkan suatu pertanyaan baru. Dan sebagai teknologi
baru yang canggih, pertanyaan menjadi semakin penting.
Dalam tulisan ini bukan menjawab pertanyaan, tetapi
mengelaborasikan pertanyaan dan menawarkan pandangan pada waktu
yang sama ya atau tidak. Masalahnya bukan pada teknologinya, tetapi
kegagalan para penyanggah terhadap jejak yang cukup dari variabel teknik
media mereka masing-masing untuk mendefinisikan proses pembelajaran
secara jelas. Sebagai contoh secara sederhana LOGO ditujukan untuk
memperbaiki keterampilan berpikir karena siswa diikutsertakan dalam
suatu sistem penemuan berbasis teknologi. Walaupun para penyanggah
LOGO mengklem beberapa dasar teori belajar Piaget, mereka telah
mengumpulkan sekumpulan istilah dalam lingkup teori yang berfokus
pada pengalaman dan upaya dalam pembelajaran. Piaget menekankan
keterlibatan dalam domain informasi, bukan pada lingkungan pelengkap
yang berpisah dari pengetahuan nyata.Untuk menggambarkan konsep
dari variabel berbasis media berjejak untuk memperbaiki pembelajaran,
dalam hal ini didasarkan pada hasil-hasil penelitian.
GENERASI KAMPUS, Volume 2, Nomor 2, September 2009
Dr. Hamonangan Tambunan, ST., M.Pd. adalah Dosen Fakultas Teknik UNIMED
74
B. PEMBAHASAN
a. Model Penjiplakan (Tracing Model)
Ada enam komponen kependidikan dasar yang penting untuk
menjiplak variabel media secara langsung ke proses pembelajaran yang
khas. Dalam hal ini difokuskan pada hasil penelitian pada variabel
berbasis computer, dengan tidak melibatkan bentuk media lain seperti
video dan cetakan. Disini dimaksudkan bukan untuk menjelaskan secara
rinci komponen-komponen, tetapi untuk mengajukan suatu jawaban ke
pertanyaan apakah media memperbaiki pembelajaran dan apakah
perbaikan pembelajaran dapat dilakukan sebagai bagian dengan
menunjukkan kaitan langsung dari variabel media ke kondisi dan proses
pembelajaran yang khas.
b. Model Pemrosesan Informasi Pembelajaran
Dalam hal ini dasar teori belajar secara langsung dihubungkan
dengan model pemrosesan informasi. Model ini telah didefinisikan dalam
beberapa sumber seperti (Tennyson, 1988; Tennyson & Breuer, 1984;
Tennyson & Christensen, 1988). Model mencakup komponen-
komponen system seperti: (a) komponen penerima dimana informasi dari
luar dimasukkan ke dalam otak; (b) komponen persepsi dimana informasi
disaring berdasarkan Kriteria individu; (c) komponen memori kerja
(short-term) yang memiliki fungsi ganda. Memori short term berterima
hanya dengan informasi pada momen tertentu dan juga dengan yang
bukan upaya kognitif untuk pengkodean. Memori kerja dengan kata lain
berkaitan secara langsung dengan memori long-term untuk mensandikan
informasi kedalam basis pengetahuan baru; (d) komponen memori long-
term yang terdiri dari sistem penyimpanan dan pencarian kembali. Sistem
penyimpanan mengkodekan informasi menurut tipe pengetahuan yang
GENERASI KAMPUS, Volume 2, Nomor 2, September 2009
Dr. Hamonangan Tambunan, ST., M.Pd. adalah Dosen Fakultas Teknik UNIMED
75
khas misalnya deklaratif, prosedural, dan kontekstual, ketika system
pencarian kembali melibatkan strategi berpikir yang berhubungan dengan
pemisahan dan penggabungan. Dan (e) proses kognitif dari penciptaan
pengetahuan dengan sistem kognitif sendiri.
c. Komponen-komponen Model Penjiplakan
Ada enam komponen utama yang biasanya berhubungan dengan
proses desain pengajaran. Pada prakteknya bagaimanapun keterkaitan
antara komponen tidak akan baik membuat secara operasional atau secara
teoritik. Dalam hal ini dimaksudkan untuk menggambarkan dan
mendiskusikan keduanya keterkaitan yang menunjukkan bahwa media
dapat memperbaiki pembelajaran ketika dipandang sebagai komponen
integral dari proses disain pengajaran.
Ke-enam komponen tersebut adalah:
- Proses pembelajaran. Fokus dalam hal ini adalah pada system
memori long-term penyimpanan dan pencarian kembali. Sistem
penyimpanan berdasar pada proses belajar yang berhubungan dengan
kemahiran pengetahuan misalnya pensandian dan pengkodean
informasi ketika sistem pencarian bersumber pada strategi berpikir
seperti recall, pemecahan masalah dan kreativitas.
- Tujuan pembelajaran. Tujuan pendidikan adalah untuk memperbaiki
belajar siswa misalnya kemahiran pengetahuan. Tujuan penting untuk
mengidentifikasi tipe belajar yang diinginkan. Tujuan seharusnya
berhubungan dengan proses belajar yang khas.
- Basis pengetahuan. Penganalisisan informasi untuk pembelajaran
melibatkan tidak hanya konten dasar tetapi juga struktur informasi
sebagai pengetahuan dalam memori.
GENERASI KAMPUS, Volume 2, Nomor 2, September 2009
Dr. Hamonangan Tambunan, ST., M.Pd. adalah Dosen Fakultas Teknik UNIMED
76
- Variabel instruksional. Maksud pengajaran adalah variabel dengan
mana informasi dikomunikasikan ke siswa. Berdasarkan hasil
penelitian bahwa variabel secara langsung berhubungan dengan
proses belajar utama. Variabel tertentu boleh juga mempunyai
hubungan sekunder dengan proses yang lain.
- Strategi Instruksional. Strategi instruksional yang diidentifikasi hanya
menggambarkan yang telah diuji dalam program penelitian.
- Perbaikan berbasis komputer. Perbaikan yang didaftar dalam hal ini
dikelompokkan dalam kategori berdasarkan inteligensi dalam
pengambilan keputusan. Program conventional computer-based
instructional (CCBI) menggunakan teknik pencabangan yang
ditentukan dalam tahap perencanaan dan dipasangkan dalam
program. Intelligent CBI adalah program berbasis rumus yang
mengambil keputusan pada momen siswa belajar. Jadi mereka
dibenarkan dari momen ke momen ke perbedaan individu.
d. Penjiplakan Pengetahuan deklaratif
Dalam istilah umum pengetahuan deklaratif maksudnya
“mengetahui apa”. Misalnya siswa megetahui bahwa katakunci yang
digarisbawahi akan memperbaiki penggalian kembali (Recall). Tujuan
belajar untuk proses belajar ini adalah informasi verbal/visual. Apa yang
dipelajari siswa adalah kedua kesadaran dan pemahaman tentang konsep,
hukum dan prinsip-prinsip. Sebagai contoh siswa sadar tentang strategi
tertentu untuk memanggil kembali informasi dari teks. Basis pengetahuan
dalam konteks ini menggunakan skema aplikasi teori. Dengan bentuk
belajar ini, basis pengetahuan mengidentifikasi karakteristik skema
pengetahuan. Karakteristik termasuk tujuan, kegiatan, dan situasi suatu
GENERASI KAMPUS, Volume 2, Nomor 2, September 2009
Dr. Hamonangan Tambunan, ST., M.Pd. adalah Dosen Fakultas Teknik UNIMED
77
skema. Sebagai contoh siswa mempunyai suatu skema penggarisbawahan
kata kunci dari teks keilmuan.
Strategi instruksional untuk perbaikan proses pembelajaran ini
termasuk variabel yang diarahkan ke informasi yang khas. Label variabel
dan definisi menunjukkan lokasi dan hubungan informasi dalam suatu
basis pengetahuan. Ketika suatu hubungan sulit ditunjukkan, variabel
penyegaran memfokuskan pada kebutuhan mengingat kembali
pengetahuan penting yang tepat. Untuk mengenali pengetahuan,
penggambaran ekspositori dari contoh membangkitkan kasus yang jelas
tentang konten. Ini penting dalam belajar tentang kaidah-kaidah
kompleks dan prinsip-prinsip. Strategi instruksional tentang drill dan
praktek membantu pemelajar dalam memunculkan kesadaran tentang
informasi khusus dengan penjelasan presentasi ekspositori pemahaman.
Perbaikan berbasis komputer konvensional dimaksudkan untuk langkah
optimal dan menunjukkan informasi ketika perbaikan inteligen
mempertahankan siswa secara langsung terlibat dengan pemahaman
informasi untuk dipelajari. Sebagai contoh variabel inisiatif yang
tercampur memungkinkan siswa untuk menanya sistem suatu pertanyaan.
Anjuran mempertahankan siswa menunjukkan kemajuan belajar dan
kebutuhan mereka.
e. Penjiplakan pengetahuan prosedural
Pengetahuan prosedural adalah “mengetahui bagaimana”.
Sebagai contoh siswa mengetahui bagaimana menggunakan sesuatu
dalam fungsinya. Tujuan belajar berdasar pada proses sebagai suatu
keterampilan intelektual, dimana siswa belajar bagaimana menggunakan
konsep, kaidah dan prinsip. Basis pengetahuan dalam hal ini
mengidentifikasi struktural organisasional dari suatu skema tertentu.
GENERASI KAMPUS, Volume 2, Nomor 2, September 2009
Dr. Hamonangan Tambunan, ST., M.Pd. adalah Dosen Fakultas Teknik UNIMED
78
Sebagai contoh siswa mengetahui bagaimana menggunakan heuristik
penting untuk melakukan percobaan dalam penelitian kependidikan.
Organisasi skema dapat dalam banyak bentuk sebagai contoh algoritma
atau strategi yang digunakan dalam pencarian melalui suatu sistem
pencarian berbasis data.
Variabel instruksional utama pada tingkat ini difokuskan pada
praktek informasi dalam masalah atau situasi interogatori. Contoh harus
dipilih untuk menunjukkan suatu penggunaan yang luas. Contoh divergen
memungkinkan siswa mengelaborasi pada basis pengetahuan mereka.
Strategi instruksional tutorial menunjukkan suatu metode yang baik sekali
dari interaksi antara siswa dan tutor, jadi sebagai tutor sebaya atau tutor
berbasis komputer. Format dasar adalah pertanyaan/jawaban dengan
tutor menantang siswa untuk secara jelas mendapatkan pengetahuan
untuk mencegah atau mengeleminasi salah konsep.
f. Penjiplakan pengetahuan kontekstual
Proses belajar ini berdasar pada kemahiran pengetahuan tentang
“kapan dan mengapa”. Sebagai contoh siswa mengetahui nilai
mengetahui perbedaan tipe strategi membaca. Tujuan belajar,
keterampilan kontekstual, menyatakan secara tidak langsung kemampuan
menerima kriteria, nilai, dan/atau ketepatan untuk menggunakan konsep,
hukum dan prinsip. Basis pengetahuan menggambarkan suatu analisis
tentang hubungan jaringan skematik. Pengetahuan dalam basis
pengetahuan digambarkan dalam beragam cara. Untuk tujuan pendidikan,
sering menggambarkan informasi dalam sejumlah bentuk. Sebagai contoh
suatu taksonomi, kategori, atau hirearkhi. Basis pengetahuan disusun
untuk menggambarkan bagaimana pengetahuan boleh diorganisasikan
dalam memori. Kepentingan terhadap basis pengetahuan adalah
GENERASI KAMPUS, Volume 2, Nomor 2, September 2009
Dr. Hamonangan Tambunan, ST., M.Pd. adalah Dosen Fakultas Teknik UNIMED
79
identifikasi terhadap kriteria yang berhubungan dengan struktur. Sebagai
contoh tujuan belajar mengusulkan agar siswa perlu mengetahui kondisi
dari penggunaan sebaik bagaimana karyawan.
Variabel instruksional untuk proses belajar ini mempengaruhi
siswa belajar dalam dua cara yaitu: Pertama, diberi kesempatan untuk
siswa mengalami basis pengetahuan; dan kedua, mengijinkan siswa suatu
kesempatan membangun kriteria, nilai, dan ketepatan. Sangat sering
variabel ini digunakan dalam semua strategi instruksional teridentifikasi.
Variabel konteks dan pengorganisasi perluasan memperbaiki kesadaran
tertentu tentang apa yang untuk dipelajari dengan bantua siswa memilih
dan mengorganisasikan secara tepat pengetahuan yang dibutuhkan.
Sebagai contoh pemilihan suatu metode yang khas atau strategi untuk
mengorganisasikan sumber-sumber untuk diteliti. Umpan balik dan
informasi strategi memperbaiki perpaduan pengetahuan baru kedalam
basis pengetahuan.
Teknik kelompok belajar koperatif memperbaiki kemahiran
pengetahuan kontekstual dengan memungkinkan siswa untuk kedua
pengembangan solusi dan melihat alternatif terhadap situasi masalah.
Dengan kelompok yang heterogen, siswa bekerja menuju suatu tujuan
yang khas dengan menggunakan kemampuan mereka menggali dan sikap
dengan cara melakukan sehingga memperbaiki pemahaman mereka
tentang kriteria, nilai dan ketepatan tentang pengetahuan ketika kapan
dan mengapa menggunakan pengetahuan. Simulasi berorientasi masalah
memungkinkan siswa bekerja pada situasi yang menyerupai penggunaan
pengetahuan yang mereka butuhkan. Seperti karyawan membutuhkannya
untuk mengambil keputusan pada pemilihan pengetahuan dan
pengorganisasian dan melalui kerja kelompok, melihat bagaimana idenya
berhubungan dengan yang lain. Simulasi berbasis komputer dapat
GENERASI KAMPUS, Volume 2, Nomor 2, September 2009
Dr. Hamonangan Tambunan, ST., M.Pd. adalah Dosen Fakultas Teknik UNIMED
80
menyediakan kemudahan dalam menentukan variabel dan kondisi dari
situasi sebaik simulasi penyampaian.
g. Penjiplakan Strategi Pencarian
Sangat sering teori belajar kognitif berfokus pada kemahiran
pengetahuan ketika secara mendasar mengabaikan penggunaan
pengetahuan dalam pelayanan berpikir misalnya mengingat kembali,
pemecahan masalah, dan kreativitas. Bagaimanpun tujuan utama
pendidikan bukan hanya kemahiran pengetahuan, tetapi juga perbaikan
dan penggunaan pengetahuan. Persekolahan tradisional berpandangan
tentang belajar informasi hanya untuk mengembangkan suatu etika kerja
yang disiplin secara langsung membantu siswa memperbaiki strategi
kognitif mereka untuk berpikir. Psikologi kognitif kontemporer yang
setuju dengan teori sistem pencarian menjelaskan bahwa strategi berpikir
untuk mengembangkan paling tepat ketika bekerja sesuai dengan basis
pengetahuan. Dalam hal ini strategi berpikir dalam mengingat kembali,
pemecahan masalah, dan kreativitas dibangun tidak sebagai strategi
umum tetapi merupakan bentuk yang khas tentang pengetahuan yang
tergabung dalam skemata. Dan sebagai strategi proses berpikir terbagi,
terpadu dan kreasi dapat dibangun dan diperbaiki. Oleh sebab itu
pengembangan strategi kognitif harus menjadi bagian integral system
pengajaran.
Sebagai contoh ada suatu penelitian yang merkomendasikan
alokasi waktu untuk belajar dalam suatu rancana kurikulum untuk
masing-masing proses, yaitu; pengetahuan deklaratif 10%, pengetahuan
prosedural 20%, pengetahuan kontekstual 25%, strategi kognitif 30% dan
kreativitas 15%. Ini lebih baik daripada menggunakan hampir 100%
waktu instruksional untuk tujuan belajar kemahiran pengetahuan. Suatu
GENERASI KAMPUS, Volume 2, Nomor 2, September 2009
Dr. Hamonangan Tambunan, ST., M.Pd. adalah Dosen Fakultas Teknik UNIMED
81
bagian waktu utama perlu dialokasikan untuk pengembangan strategi
berpikir dan perbaikan. Pergeseran dari paradigma tradisional yaitu
pemfokusan kemahiran pengetahuan menambah penekanan pada
pengembangan strategi berpikir meletakkan responsibilitas belajar, tenaga
yang lebih pada siswa. Ini diselesaikan dengan strategi instruksional yang
menggunakan simulasi masalah kompleks dengan teknik kelompok
belajar kooperatif.
C. PENUTUP
Simulasi masalah kompleks (Tennyson, Thurlow & Breuer, 1987)
menggambarkan makna dan situasi masalah kompleks dimana siswa
dibutuhkan membuat solusi usul penggunaan pengetahuan yang
tersimpan di memori. Format dasar dari simulasi adalah
mengelompokkan siswa berdasarkan kemiripan kompleksitas kognitif
misalnya keterampilan umum mereka dalam pembedaan dan pemaduan.
Antar kelompok masing-masing siswa mempersiapkan usulan secara
individu dan kemudian menunjukkannya pada kelompok. Dalam hal ini
siswa mengajukan proposalnya. Karena perbedaan format dalam hal ini,
masing-masing siswa melihat alternatif tercanggih untuk situasi yang
membantu mereka mengembangkan strategi berpikir dan mengelaborasi
dan membentuk skemata. Sebagai tambahan sebagai variabel simulasi dan
pembenaran kondisi sebaik mtode inteligen dari monitoring
perkembangan dan kebutuhan masing-masing siswa.
D. DAFTAR PUSTAKA
Benjamin, Jr., L.T. (1988). A history of teaching machines. American Psycologist, 43, 703-712.
GENERASI KAMPUS, Volume 2, Nomor 2, September 2009
Dr. Hamonangan Tambunan, ST., M.Pd. adalah Dosen Fakultas Teknik UNIMED
82
Park, O., & Tennyson, R.D.(1984). Computer-based instructional systems for adaptive education: A review. Riview of contemporary education, 2, 121-135.
Park, O., Tennyson, R.D. (1986). Response-sensitive design strategies for sequence order on concepts and presentation form of examples using computer-based instruction. Journal of Educational Psychology, 78, 153-158.
Tennyson, R.D. (1988). An instructional strategy planning model to improve learning and cognition. Computer in Human Behavior, 4, 13-22.
Tennyson, R.D., &Breuer, K. (1984). Cognitive-based design guidelines for using video and computer technology in course development. In O. Zuber-Skerrit (ed.), Video in higher education (pp-63). London: Kogan.
Tennyson, R.D., & Christensen, D.L. (1988). MAIS: An intelligent learning system. In D.H. Jonassen (Ed.), Instructional design for microcomputer courseware (pp. 247-274). Hillsdale, NJ: Erlbaum.
Tennyson,, R.D., Thurlow, R., & Breuer, K. (1987). Problem-oriented simulations to develop and improve higher order thinking strategies. Computer in Human Behavior, 3, 239-268
GENERASI KAMPUS, Volume 2, Nomor 2, September 2009
Dra. Rosnelli, M.Pd. adalah Dosen Pendidikan Teknik Elektro Universitas Negeri Medan.
83
IMPLEMENTASI MODEL PEMBELAJARAN INTERAKTIF PADA PEMBELAJARAN KOMPETENSI TEKNIK DIGITAL
SMK UNTUK MENANGANI PERBEDAAN INDIVIDUAL SISWA
ROSNELLIAbstrak
Implementasi model pembelajaran interaktif pada pembelajaran kompetensi teknik digital SMK dapat digunakan untuk menangani perbedaan individual siswa. Model pembelajaran interaktif merupakan model pembelajaran yang memungkinkan siswa interaktif dengan guru, teman sekelasnya dan media computer saat menggunakan simulasi computer. Model pembelajaran interaktif memanfaatkan media pembelajaran dari yang murah sampai laboratorium komputer yang sudah ada di sekolah agar memberikan pengalaman keterampilan yang lebih banyak dan bervariasi sehingga siswa belajar pada kondisi yang menyenangkan dan memperoleh nilai tambah. Model pembelajaran ini dapat menangani perbedaan individual siswa, karena siswa dapat maju sesuai dengan kemampuannya tanpa harus menunggu teman sekelasnya. Sintaks model pembelajaran interaktif adalah tahap orientasi, tahap belajar mandiri, tahap penanganan individual, tahap pengayaan dan tahap transfer.
Kata Kunci: Model pembelajaran interaktif, Kompetensi teknik digital dan Perbedaan individual siswa.
A. PENDAHULUAN
Implementasi model pembelajaran interaktif pada pembelajaran
kompetensi teknik digital SMK dimaksudkan untuk menangani
perbedaan individual siswa (Rosnelli, 2008). Masing-masing individu
diciptakan tidak pernah sama antara satu dengan yang lainnya. Masing-
masing mempunyai karakteristik yang berbeda (Rahman,1990). Sejalan
dengan itu Good & Stipek dalam Nurdin (2005) mengemukakan bahwa
penerimaan dan tafsiran setiap siswa terhadap sesuatu yang disampaikan
(pelajaran yang sama di kelas) sangat berbeda yang satu dengan yang
GENERASI KAMPUS, Volume 2, Nomor 2, September 2009
Dra. Rosnelli, M.Pd. adalah Dosen Pendidikan Teknik Elektro Universitas Negeri Medan.
84
lainnya. Hal ini dikarenakan pada siswa terdapat banyak perbedaan.
Diantaranya perbedaan kemampuan dan kecerdasan, kreativitas, gaya
belajar, gaya berfikir, kematangan emosi dan perbedaan dalam banyak
hal.
Perbedaan individual siswa di dalam kelas memberikan wawasan
pada guru untuk menentukan proses pembelajaran yang harus
direncanakan untuk mencapai tujuan pembelajaran yang telah ditetapkan.
Perbedaan individual siswa terdapat dalam beberapa aspek, baik aspek
fisik maupun aspek psikhis. Yang paling dominan dihadapi oleh guru
pada sekolah formal adalah perbedaan individual pada aspek psikis
(Grinder, 1991). Dengan memperhatikan keberadaan siswa terutama
perbedaan individual diharapkan akan memberikan wawasan kepada
guru dalam mengambil keputusan melaksanakan pembelajaran yang
tepat untuk siswa, agar siswa dapat mengikuti pembelajaran dengan
menyenangkan karena sesuai dengan karakteristik siswa tersebut.
Berdasarkan beberapa pendapat seperti Porter(2004),
Rose(2002), Meier(2002), Gardner (1985) bahwa belajar tidak hanya
menggunakan otak tapi juga menggunakan seluruh tubuh dan fikiran
serta melibatkan segala emosi, indra dan syarafnya, selanjutnya mereka
menjelaskan bahwa jika siswa tidak bisa belajar dengan cara guru
mengajar maka guru harus mampu mengajar dengan cara siswa belajar.
Jika hal ini terjadi pada proses pembelajaran maka akan terjadi
percepatan belajar baik dari segi waktu maupun kualitas. Pembelajaran
yang bervariasi tersebut akan mengkondisikan siswa belajar dengan
menyenangkan dan memperoleh nilai tambah (Wen, 2003). Jika siswa
belajar pada kondisi yang menyenangkan maka akan terjadi percepatan
belajar baik dari segi waktu maupun kualitas hasil pembelajaran . Hal
tersebut sesuai dengan pendapat Porter (2004) pembelajaran akan lebih
GENERASI KAMPUS, Volume 2, Nomor 2, September 2009
Dra. Rosnelli, M.Pd. adalah Dosen Pendidikan Teknik Elektro Universitas Negeri Medan.
85
bermakna dan tujuan pembelajaran akan dapat dicapai secara maksimal
jika dilakukan dalam kondisi pembelajarannya menyenangkan siswa.
Selain itu Lesley (1983) dan Paul (1990) mengemukakan bahwa ketika
siswa mampu menggunakan bentuk-bentuk kecerdasan mereka yang
paling kuat maka mereka akan menemukan bahwa belajar itu mudah dan
menyenangkan.
Model pembelajaran interaktif merupakan model pembelajaran
yang memungkinkan siswa interaktif dengan guru, teman sekelasnya dan
media computer saat menggunakan simulasi computer. Model
pembelajaran interaktif memanfaatkan media pembelajaran dari yang
murah sampai laboratorium komputer yang sudah ada di sekolah agar
memberikan pengalaman keterampilan yang lebih banyak dan bervariasi
sehingga siswa belajar pada kondisi yang menyenangkan dan
memperoleh nilai tambah. Model pembelajaran ini dapat menangani
perbedaan individual siswa, karena siswa dapat maju sesuai dengan
kemampuannya tanpa harus menunggu teman sekelasnya. Proses
pembelajaran pada model pembelajaran interaktif memungkinkan siswa
untuk melakukan keleluasaan untuk belajar mandiri (proses pembelajaran
dalam rate-nya), tanpa terganggu olah yang lain, dan mengikuti tes untuk
setiap unit bahasan yang telah dipelajarinya, dan terus maju sesuai
kemampuannya dengan bantuan dan arahan guru, atau mengulang proses
pembelajaran pada unit yang sama sampai mencapai penguasaan minimal
sesuai target yang telah ditetapkan. Untuk mengatasi perbedaan
individual siswa dapat dilakukan dengan cara menggunakan bahan
pelajaran yang bervariasi dan memberikan keleluasaan untuk belajar
mandiri.
Implementasi model pembelajaran interaktif di sekolah sesuai
dengan Kurikulum Tingkat satuan Pendidikan (KTSP) yang menuntut
GENERASI KAMPUS, Volume 2, Nomor 2, September 2009
Dra. Rosnelli, M.Pd. adalah Dosen Pendidikan Teknik Elektro Universitas Negeri Medan.
86
adanya perubahan dalam pembelajaran yang dilakukan guru di kelas,
karena sesungguhnya kegiatan inti pembelajaran seperti yang dijelaskan
Joyce (2000) bahwa keseluruhan kegiatan pembelajaran harus secara
langsung ditujukan untuk membantu siswa meraih dasar terpenting dari
kegiatan belajar yaitu “how to learn” and “learning by doing”. Relevan dengan
pendapat tersebut seperti penjelasan Shank yang dikutip Dryden dan
Vos (2003) untuk belajar sesuatu praktekkanlah. Dengan demikian akan
meningkatkan hasil belajar. Hal ini relevan dengan hasil penelitian
Lumban Gaol, Junizar dan Rosnelli (2008) yang menjelaskan bahwa
model pembelajaran berbasis simulasi komputer, proses pembelajarannya
memungkinkan siswa interaktif dengan guru, siswa sekelasnya juga
monitor komputer pada saat menggunakan simulasi komputer dapat
memberikan pengalaman keterampilan yang lebih banyak dan dapat
meningkatkan daya cipta produk elektronika.
B. PEMBAHASAN
1. Model Pembelajaran Interaktif
Implementasi model pembelajaran interaktif untuk menangani
perbedaan individual siswa secara keseluruhan dimulai dari kegiatan
tahap orientasi, tahap belajar mandiri, tahap penanganan individual siswa,
tahap pengayaan dan tahap transfer. Materi pembelajaran yang diberikan
kepada siswa adalah materi pembelajaran sesuai dengan kurikulum yang
dilaksanakan yang dirancang sedemikian hingga siswa dapat belajar secara
mandiri, siswa dapat maju ke materi pembelajaran berikutnya tanpa harus
menunggu teman sekelasnya. Sintaks model pembelajaran interaktif
adalah sebagai berikut:
GENERASI KAMPUS, Volume 2, Nomor 2, September 2009
Dra. Rosnelli, M.Pd. adalah Dosen Pendidikan Teknik Elektro Universitas Negeri Medan.
87
Modul /LKS BerikutnyaGambar 1. Sintak Model Pembelajaran Interaktif.
Tahap Orientasi merupakan tahap awal pembelajaran. Guru
menjelaskan tujuan pembelajaran yang ingin dicapai. Menjelaskan
mekanisme pembelajaran pada model pembelajaran interaktif. Guru
menjelaskan hal yang harus dilakukan siswa mulai dari tahap orientasi
sampai tahap transfer. Memberikan motivasi pada siswa agar dapat
belajar mandiri. Menjelaskan cara menggunakan media komputer sebagai
penunjang pembelajaran teknik digital untuk melakukan simulasi
rangkaian digital.
Tahap Ke dua adalah Belajar Mandiri, guru memberikan materi
pembelajaran yang memungkinkan siswa dapat belajar mandiri. Siswa
secara bersama-sama memahami dan menyelesaikan materi. Siswa
mengerjakan latihan yang diberikan. Siswa diperbolehkan menggunakan
sumber belajar lain yang telah diterimanya. Pada tahap belajar mandiri
Siswa Normal
Tahap Pertama:Orientasi
Tahap ke empat:Pengayaan
Tahap ke lima:Transfer
TUGAS/PRIndividual
Siswa berkemampuan
tinggi
Tahap ke dua:Belajar Mandiri
Modul /LKS Berikutnya
Tahap ke3: Penanganan Individual
GENERASI KAMPUS, Volume 2, Nomor 2, September 2009
Dra. Rosnelli, M.Pd. adalah Dosen Pendidikan Teknik Elektro Universitas Negeri Medan.
88
siswa dapat interaktif dengan guru, teman sekelasnya dan media
komputer. Komputer yang digunakan telah diinstal sofe were aplikasi
rangkaian teknik digital, sehingga jika siswa merakit rangkaian teknik
digital belum benar di monitor komputer maka komputer akan kontraksi
saat disimulasikan sehingga siswa mengetahui bahwa rangkaian yang
digunakannya salah. Hal ini akan merangsang siswa untuk merakit
rangkaian yang lebih baik dan kompleks dan sekaligus dapat membuat
siswa lebih kreatif dalam pembelajarannya. Pada pelaksanaan tahap
belajar mandiri, walaupun siswa dapat interaktif dengan guru, teman
sekelasnya tetapi guru tetap harus menjaga suasana pembelajaran agar
tetap nyaman untuk belajar. Jika siswa dapat melaksanakan tahap belajar
mandiri dengan baik maka ia dapat melanjutkan ketahap ke empat yaitu
tahap pengayaan tanpa harus manunggu teman sekelasnya. Hal ini dapat
dilaksanakan karena materi pembelajarannya menggunakan modul yang
memungkinkan siswa untuk belajar secara mandiri Jika siswa masih
merasa kesulitan mengerjakan tugas mandiri yang diberikan maka siswa
akan melanjutkan ke tapahap pananganan individual.
Tahap Ke tiga adalah Penanganan Individual, guru menangani
siswa secara individual sesuai dengan kecepatan siswa dalam
menyelesaikan materi dan latihan yang diberikan. Memberikan layanan
terhadap siswa yang kesulitan menyelesaikan materi dan latihan.
Menjelaskan kembali cara menggunakan komputer untuk
mensimulasikan rangksaian teknik digital dengan menggunakan
komputer. Memberikan latihan pengayaan. Siswa interaktif terhadap guru
dan teman sekelasnya tentang materi dan latihan yang diberikan.
Tahap ke empat adalah Pengayaan. Siswa mendapatkan materi
dan latihan untuk mengantarkannya ke materi berikutnya. Siswa
diberikan tes sebagai prasyarat untuk mengambil materi berikutnya. Pada
GENERASI KAMPUS, Volume 2, Nomor 2, September 2009
Dra. Rosnelli, M.Pd. adalah Dosen Pendidikan Teknik Elektro Universitas Negeri Medan.
89
tahap ini guru harus dapat mengoreksi hasil pembelajaran siswa dengan
cepat dan kemudian mempersilakan siswa untuk melanjutkan ketahap
berikutnya bagi siswa yang mampu. Tahap ke lima adalah Transfer. Guru
memberikan materi baru pada siswa yang telah menyelesaikan materi dan
latihan sebelumnya dengan baik (menyelesaikan materi dan latihan
sebelumnya dengan tuntas).
Sistem Sosial Model Pembelajaran Interaktif adalah situasi,
suasana, norma yang berlaku dalam model pembelajaran interaktif. Di
dalam model pembelajaran interaktif, guru harus dengan sengaja memilih
jenis kegiatan dan mengatur siswa dengan merancang kegiatan yang utuh
dan padat mengenai suatu proses pembelajarannya. Karena itu model
pembelajaran interaktif termasuk model yang terstruktur. Namun
demikian kerja sama antar peserta diperlukan. Keberhasilan model
pembelajaran interaktif ini tergantung pada kerjasama dan kemauan dari
siswa untuk secara bersungguh-sungguh melaksanakan aktivitas dalam
proses pembelajaran.
Prinsip Pengelolaan/Reaksi Model Pembelajaran Interaktif
adalah pola kegiatan yang menggambarkan bagaimana seharusnya guru
melihat dan memperlakukan para siswa, termasuk bagaimana seharusnya
guru memberikan respos terhadap siswa. Prinsip reaksi merupakan
petunjuk bagaimana seharusnya guru menggunakan aturan permainan
yang berlaku pada model pembelajaran interaktif. Di dalam model
pembelajaran interaktif siswa dapat interaktif pada guru, teman sekelas
dan juga dapat interaktif dengan monitor komputer pada saat
mensimulasikan rangkaian digital. Guru berperan sebagai memberi
kemudahan siswa untuk belajar atau berfungsi sebagi fasilitator. Di dalam
keseluruhan proses pembelajaran, guru bertugas dan bertanggung jawab
atas terpeliharanya suasana belajar dengan cara menunjukkan sikap yang
GENERASI KAMPUS, Volume 2, Nomor 2, September 2009
Dra. Rosnelli, M.Pd. adalah Dosen Pendidikan Teknik Elektro Universitas Negeri Medan.
90
mendukung atau supportif dan tidak bersifat menilai atau evaluatif.
Dalam hal ini guru bertugas untuk lebih dulu mendorong pengertian dan
penafsiran para siswa terhadap isi dan makna materi pembelajaran yang
diajarkan dengan menggunakan simulator tersebut.
Sistem Pendukung Model Pembelajaran Interaktif adalah segala
sarana, bahan dan alat yang diperlukan untuk melaksanakan model
pembelajaran interaktif. Sarana yang diperlukan untuk mendukung
pelaksanaan model pembelajaran mulai dari yang paling sederhana
sampai komputer yang ada di sekolah. Dengan menggunakan sarana yang
telah tersedia di sekolah yaitu laboratorium komputer maka pelaksanaan
model pembelajaran saat menggunakan program simulasi rangkaian
digital dapat dilaksanakan tanpa mengeluarkan biaya yang mahal. Selain
itu sumber daya pendukung lainnya bahwa guru dan siswa telah dapat
mengoperasikan komputer.
Dampak Instruksional model pembelajaran interaktif adalah
hasil belajar yang dicapai langsung dengan cara mengarahkan para pelajar
pada tujuan yang diharapkan yaitu Penguasaan kompetensi elektronika
digital dan perbedaan individual siswa. Sedangkan dampak pengiring
adalah hasil belajar lainnya yang dihasilkan suatu proses belajar mengajar
atau proses pembelajaran, sebagai akibat terciptanya suasana belajar yang
dialami langsung oleh para siswa tanpa pengarahan langsung dari guru
yaitu penggunaan waktu yang efektif.
2. Kompetensi Teknik Digital
Konsep kompetensi sebenarnya bukan merupakan hal baru.
Menurut organisasi psikologi industri Amerika, gerakan tentang
kompetensi telah dimulai pada tahun 60-an dan awal 1970 (Mitrani,
Palziel,& Fitt, 1992). Menurut gerakan tersebut banyak hasil studi yang
menunjukkan bahwa hasil tes sikap dan pengetahuan serta prestasi
GENERASI KAMPUS, Volume 2, Nomor 2, September 2009
Dra. Rosnelli, M.Pd. adalah Dosen Pendidikan Teknik Elektro Universitas Negeri Medan.
91
belajar di sekolah dan diploma tidak dapat memprediksi keberhasilan
dalam kehidupan. Selanjutnya kompetensi didefinisikan Mitrani, Dalziel,
& Fitt (1992) dan Spencer (1993) sebagai karakteristik yang mendasari
seseorang dan berkaitan dengan efektivitas kinerja individu dalam
pekerjaannya. Kemudian Basuki (2003) menjelaskan bahwa kompetensi
merupakan karakteristik dasar yang terdiri dari keterampilan,
pengetahuan dan atribut personal lain yang mampu membedakan
seseorang itu perform atau tidak perform. Ini berarti bahwa kompetensi
adalah bagian kepribadian yang mendalam dan melekat pada seseorang
serta perilaku yang dapat diprediksi pada berbagai keadaan dan tugas
pekerjaan, selain itu merupakan sesuatu yang menyebabkan atau
memprediksi perilaku atau kinerja. Selanjutnya kompetensi sebenarnya
memprediksi siapa yang berkinerja baik dan kurang baik, diukur dari
kriteria atau standar yang digunakan.
Sehubungan dengan kompetensi Nurdin (2006) menjelaskan
bahwa kompetensi yang harus dimiliki siswa dapat diklasifikasikan
menjadi empat, yakni kompetensi tamatan/lulusan, kompetensi mata
pelajaran, kompetensi rumpun mata pelajaran dan kompetensi lintas
kurikulum. Kompetensi tamatan/lulusan adalah pengetahuan
keterampilan, sikap dan nilai-nilai yang direfleksikan dalam kebiasaan
berfikir dan bertindak setelah siswa menyelesaikan belajar pada suatu
jenjang tertentu. Sedangkan kompetensi mata pelajaran adalah rumusan
kompetensi siswa dalam berfikir, bersikap dan bertindak setelah
menyelesaikan mata pelajaran tertentu. Kompetensi-kompetensi yang
dihasilkan dari setiap mata pelajaran itu akan menghasilkan kompetensi
rumpun mata pelajaran dan kompetensi rumpun mata pelajaran akan
menghasilkan kompetensi lulusan, dan kompetensi yang dapat
GENERASI KAMPUS, Volume 2, Nomor 2, September 2009
Dra. Rosnelli, M.Pd. adalah Dosen Pendidikan Teknik Elektro Universitas Negeri Medan.
92
diterapkan untuk beberapa mata pelajaran lazim disebut dengan
kompetensi lintas kurikulum.
Kurikulum yang dipergunakan untuk pembelajaran di SMK
Negeri Medan adalah KTSP. KTSP merupakan kurikulum operasional
yang disusun dan dilaksanakan oleh masing-masing satuan pendidikan
dengan memperhatikan dan berdasarkan standar kompetensi dan
kompetensi dasar yang dikembangkan Badan Standar Nasional
Pendidikan (BSNP). Pengembangan KTSP diserahkan kepada para
pelaksana pendidikan untuk mengembangkan berbagai kompetensi
pendidikan (pengetahuan, keterampilan dan sikap) pada setiap satuan
pendidikan (BSNP, 2006). Di dalam standar kompetensi lulusan SMK
terdapat standar kompetensi lulusan mata pelajaran. Di dalam standar
kompetensi lulusan mata pelajaran untuk pelajaran kejuruan terdapat
kompetensi dasar kejuruan teknik audio vidio. Selanjutnya Adie (2003)
menjelaskan bahwa kompetensi dasar yaitu karakteristik esensial seperti
pengetahuan dan keterampilan dasar yang harus dimiliki agar dapat
melaksanakan pekerjaan. Depdiknas (2007) menjelaskan bahwa
kompetensi dasar kejuruan teknik audio vidio yaitu karakteristik esensial
seperti pengetahuan dan keterampilan dasar tentang teknik audio vidio
yang harus dimiliki agar dapat melaksanakan pekerjaan tentang teknik
audio vidio. Kompetensi dasar kejuruan TAV merupakan kompetensi
dasar guna mempelajari kompetensi di tingkat berikutnya yaitu teknik
mikroprosesor, pengolahan data elektronik dan elektronika industri
(Willa,2007).
Kompetensi dasar kejuruan teknik audio vidio terdiri dari
kompetensi dasar elektronika, kompetensi teknik digital dan menguasai
elektronika komputer. Kompetensi teknik digital mencakup aspek sikap,
pengetahuan dan keterampilan. Dalam aspek sikap mencakup tekun, ulet
GENERASI KAMPUS, Volume 2, Nomor 2, September 2009
Dra. Rosnelli, M.Pd. adalah Dosen Pendidikan Teknik Elektro Universitas Negeri Medan.
93
dan sabar. Dalam aspek pengetahuan mencakup gerbang logika dasar,
rangkaian flip-flop, rangkaian logika kombinasi, tabel kebenaran,
penyederhanaan rangkaian logika, dan rangkaian clock. Sedangkan aspek
keterampilan mencakup membuktikan tabel kebenaran, rangkaian logika
dasar, menyusun rangkaian display seven segment dan rangkaian clock.
(Depdiknas, 2006).
3. Perbedaan individual siswa
Pembelajaran yang mengutakan kegiatan individual siswa di
indonesia masih begitu langka. Salah satu penyebabnya adalah
pengembangan kurikulum yang dilakukan secara sentralistik, sehingga
model pembelajaran yang dikembangkan terbatas dan tidak dapat
melayani keragaman individual siswa. Penyebab lainnya adalah
perbandingan antara jumlah siswa dengan fasilitas belajar terutama
ruangan, bangku, jumlah guru belum memadai serta faktor pembiayaan
yang cukup tinggi. Hal inilah yang menyebabkan dilakukannya
pembelajaran secara klasikal.
Proses pembelajaran yang mengutamakan kegiatan individual
siswa adalah proses pembelajaran yang memperhatikan perbedaan
individual siswa. Secara umum perbedaan individual siswa adalah sesuai
dengan perkembangan siswa yang sesuai dengan kelompok usianya,
tetapi secara khusus masing-masing siswa mempunyai kekhasan sendiri-
sendiri. Masing-masing individu diciptakan tidak pernah sama antara satu
dengan yang lainnya. Masing-masing mempunyai karakteristik yang
berbeda (Rahman,1990). Sejalan dengan itu Good & Stipek dalam
Nurdin (2005) mengemukakan bahwa penerimaan dan tafsiran setiap
siswa terhadap sesuatu yang disampaikan (pelajaran yang sama di kelas)
sangat berbeda yang satu dengan yang lainnya. Hal ini dikarenakan pada
siswa terdapat banyak perbedaan. Diantaranya perbedaan kemampuan
GENERASI KAMPUS, Volume 2, Nomor 2, September 2009
Dra. Rosnelli, M.Pd. adalah Dosen Pendidikan Teknik Elektro Universitas Negeri Medan.
94
dan kecerdasan, kreativitas, gaya belajar, gaya berfikir, kematangan emosi
dan perbedaan dalam banyak hal. Relevan dengan pendapat di atas
Fradson (1957) juga mengemukakan bahwa tidak ada dua anak yang
dilahirkan persis sama, hal tersebut karena adanya keragaman dimensi
yang ada dalam diri anak. Perbedaan tersebut menurut Fradsen dalam
bentuk kematangan mental, kemampuan yang dimiliki, prestasi yang
dicapai, minat, penyesuaian sosial dan emosional serta kebutuhan yang
diinginkan anak.
Perbedaan individual siswa yang dimaksudkan pada tulisan ini
adalah perbedaan individual siswa khususnya difokuskan pada perbedaan
individual siswa SMK. Siswa SMK bisa dikatagorikan sebagai usia remaja
yang menurut Monks dalam Mutadin (2002) mengalami masa stom and
stress terjadi pergolakan emosi yang diiringi dengan pertumbuhan fisik
yang pesat dan pertumbuhan psikhis yang bervariasi. Usia remaja mulai
12 sampai 21 tahun terdapat beberapa fase yaitu fase remaja awal yaitu
mulai dari 12-15 tahun, remaja pertengahan yaitu usia 15- 18 tahun, dan
masa remaja akhir 18-21 tahun dan diantaranya terdapat fase pubertas
yang merupakan fase yang sangat singkat tetapi terkadang menjadi
masalah tersendiri bagi remaja dalam menhadapinya. Hal ini
menunjukkan bahwa karakteristik siswa tersebut memiliki kekhususan
masing-masing dan yang sering muncul masalah adalah pada masa
pubertas karena terjadi perubahan fisik dan emosi secara drastis dan
sering terjadi kangguan keseimbangan. Pada usia inilah rata-rata siswa di
SMK. Secara umum siswa SMK tersebut mengalami perubahan besar
secara fisik dan psikhis. Karakteristik perkembangan remaja tersebut
akan berpengaruh pada pembelajaran siswa. Model pembelajaran yang
diberikan pada siswa tersebut sebaiknya model pembelajaran yang
GENERASI KAMPUS, Volume 2, Nomor 2, September 2009
Dra. Rosnelli, M.Pd. adalah Dosen Pendidikan Teknik Elektro Universitas Negeri Medan.
95
memperhatikan perbedaan individual siswa sehingga dapat membantu
perkembangan siswa dan keberhasilan siswa dalam belajar.
Model pembelajaran interaktif memberi kesempatan yang lebih
luas kepada siswa untuk belajar mandiri dan berinteraksi kepada gurunya
dan teman sekelasnya juga media pembelajaran yang digunakan. Dengan
demikian model pembelajaran interaktif dapat mengakomodir perbedaan
kemampuan, minat, dan mitivasi berprestasi siswa, sehingga siswa yang
memiliki kemampuan tinggi mendapatkan program percepatan
pembelajaran tanpa menunggu temannya. Siswa yang normal juga dapat
terlayani dengan proses pembelajarn normal dan siswa yang lambat juga
dapat arahan dan bimbingan dari guru secara individual sampai dapat
tuntas menyelesaikan tugas yang diberikan kepadanya. Guru bertugas dan
bertanggung jawab atas terpeliharanya suasana belajar dengan cara
menunjukkan sikap yang mendukung atau supportif dan motivator dan
fasilitator. Hal ini dapat meningkatkan kemampuan siswa dalam
berdiskusi. Model pembelajaran interaktif pada proses pembelajarannya
siswa didorong untuk aktif dalam menemukan sendiri letak kesulitan
dari konsep-konsep pelajaran yang dihadapinya sehingga belajar menjadi
lebih bermakna. Model pembelajaran interaktif dapat mengatasi masalah
yang terjadi pada model pembelajaran eksperimen laboratorium
khususnya jika komponen teknik digital yang diinginkan/ akan dipakai
tidak tersedia di work shop, maka dapat digunakan simulator digital
dengan memanfaatkan laboratorium komputer yang ada di sekolah.
Walaupun demikian model pembelajaran interaktif memiliki
keterbatasan antara lain, guru harus lebih proaktif membantu siswa yang
merasa kesulitan dalam mengerjakan latihan dan latihan pengayaan agar
suasana kelas tidak menjadi ribut. Guru harus mengoreksi hasil pekerjaan
siswa dengan cepat, karena setiap tahapan kegiatan yang dilakukan siswa
GENERASI KAMPUS, Volume 2, Nomor 2, September 2009
Dra. Rosnelli, M.Pd. adalah Dosen Pendidikan Teknik Elektro Universitas Negeri Medan.
96
merupakan prasyarat untuk melakukan kegiatan berikutnya agar suasana
kelas tidak menjadi ribut. Guru harus dapat mengendalikan suasana kelas
dengan baik agar suasana kelas tetap nyaman untuk belajar sekaligus
memberi kesempatan yang lebih luas kepada siswa untuk berinteraksi
kepada gurunya dan teman sekelasnya juga media pembelajaran yang
digunakan terutama pada saat pembelajaran menggunakan simulator
komputer. Guru dan siswa harus dapat mengoperasikan komputer pada
saat menggunakan komputer sebagai media pembelajaran untuk
mensimulasi rangkaian digital di monitor komputer.
C. PENUTUP
Urutan kegiatan pada implementasi model pembelajaran
interaktif dimulai dari kegiatan pendahuluan, memberikan pretes kepada
siswa orientasi yaitu menjelaskan tujuan pembelajaran dan
memperkenalkan model pembelajaran interaktif dan memberikan
motivasi kepada siswa. Kegiatan penyajian diawali dengan memberikan
pengarahan yaitu kegiatan memberikan prosedur/langkah-langkah
menggunakan model pembelajaran interaktif; memberikan keterangan
tentang aktifitas siswa pada saat mengerjakan latihan dan latihan
pengayaan; menjelaskan prosedur simulasi komputer; pemberian materi
yang memungkinkan siswa untuk belajar mandiri. Guru memberikan
latihan yang memungkinkan masing-masing siswa untuk belajar mandiri
tanpa terganggu oleh siswa yang lain. Guru memberikan penanganan
individual untuk siswa yang masih bermasalah untuk menyelesaikan tugas
yang diberikan. Guru memberikan latihan pengayaan yang merupakan
prasyarat untuk mengambil materi pembelajaran berikutnya. Transfer
yaitu guru memberikan meteri pembelajaran baru pada siswa
berkemampuan tinggi yang telah menyelesaikan materi pembelajaran
GENERASI KAMPUS, Volume 2, Nomor 2, September 2009
Dra. Rosnelli, M.Pd. adalah Dosen Pendidikan Teknik Elektro Universitas Negeri Medan.
97
sebelumnya dan latihan yang diberikan dengan baik. Kegiatan penutup
guru memberikan postes, umpan balik, tindak lanjut dan memberikan
tugas pekerjaan rumah (PR). Setiap selesai proses pembelajaran berakhir
dilaksanakan postes untuk mengukur tingkat pengetahuan siswa terhadap
apa yang sudah dipelajarinya.
Implementasi model pembelajaran interaktif perlu
dikembangkan strategi pembelajaran yang memungkinkan siswa dapat
termotivasi untuk belajar mandiri, tuntas dan percaya diri akan
kemampuan masing-masing. Selain itu media untuk proses pembelajaran
berupa modul, LKS, sistem penilaian dan fasilitas pembelajaran lainnya
sebaiknya telah tersedia lengkap, cukup untuk jumlah siswa dan telah
disusun secara terencana dan berkualitas
D. DAFTAR PUSTAKA
Adie Erar Yusuf. 2003. Pengembangan SDM Berbasis Kompetensi dan Penerapannya. Jakrta: Pustekkom
BSNP. 2006. Panduan Penyusunan Kurikulu Tingkat Satuan Pendidikan Jenjang pendidikan dasar dan Menengah. Jakarta: Depdiknas.
Basuki Wibawa. 2003. Pengembangan SDM Stratejik Berbasis Kompetensi.Jakarta: Pustekkom
Depdiknas. 2007. Kurikulum Tingkat Satuan pendidikan (KTSP) Program Keahlian Teknik Audio Vidio. Medan: Dinas Pendidikan Sumatra Utara.
De Porter, Bobby, Mark Readson, dan Sarah Singer, (2004), Quantum Teaching Mempraktek Quantum Learning di ruang-ruang kelas, Bandung: Kaifa.
De Porter, Bobby, Mike Hernacki.2004. Quantum Learning, Membiasakan belajar nyaman dan menyenangkan, Bandung : Kaifa.
Dryden, G dan Vos, Jeannette. 2003. Revolusi cara belajar the learning revolution (terjemahan), Bandung, Kaifa.
Joyce, B dan Weil, M. 2000. Models of Teaching. New Jersey: Prentice-Hall, Inc
Meier, D. 2002. The Accelersted Learning For The 21 ST Century, Cara Belajar Cepat Abad 21, Bandung : Nuansa.ksara.
GENERASI KAMPUS, Volume 2, Nomor 2, September 2009
Dra. Rosnelli, M.Pd. adalah Dosen Pendidikan Teknik Elektro Universitas Negeri Medan.
98
Mitrani, A., Daziel,M. & Fitt,D. 1992. Competency based human resources management: value–driven strategies for recruitment, develpment and reward. London: Kogan Limited.
Mutadin,Z. 2002. Mengenal Kecerdasan Emosional anak Remaja. Jakarta: e-psikologi com
Nurdin Syafruddin, H. 2005. Model Pembelajaran yang Memperhatikan Keragaman Individu Siswa dalam Kurikulum Berbasis Kompetensi.Jakarta : Quantum Teaching.
Rose, Colin.2002. Accelerated Learning, Diterjemahkan Dedy Ahumsa. Bandung: Nuansa.
Rosnelli. 2008. Pengembangan Model Pembelajaran Interaktif Untuk pembelajaran Kompetensi Teknik Digital di SMK Negeri 4 Medan.Medan: Pascasarjana Unimed
Sayling Wen. 2003. Future of Education (Masa Depan Pendidikan). Alih Bahasa Arvin Saputra. Batam : Lucky Publisher.
Willa Lukas. 2007. Teknik Digital Mickro Prosesor dan Mikro Komputer, Bandung : Informatika.
Wen, S. 2003. Future of Education (Masa Depan Pendidikan). Alih Bahasa Arvin Saputra. Batam : Lucky Publisher.
GENERASI KAMPUS, Volume 2, Nomor 2, September 2009
Indra kasih, S.Pd, M.Or. adalah dosen Fakultas Ilmu Keolahragaan Universitas Negeri Medan
99
FAIR PLAY DALAM OLAH RAGA
INDRA KASIH Abstrak
Olah raga dengan segala aspek dan dimensi kegiatannya, lebih-lebih yang mengandung unsur pertandingan atau kompetisi, harus disertai sengan sikap dan prilaku yang didasarkan pada kesadaran moral. Sikap itu menyatakan kesiapan untuk berbuat dan berprilaku sesuai dengan peraturan. Bahkan, kesiapan itu tidak hanya loyal terhadap ketentuan yang tersirat, tetapi kesanggupan utuk membaca dan memutuskan pertimbangan berdasarkan kata hati. Kepatutan tindakan itupun diterangi oleh sinar yang bersumber dari dunia batiniah. Karena itu dalam urusan fair play dijumpai makna dalam pernyataan yakni setiap pelaksanaan olahraga harus ditandai oleh pernyataan yakni setiap pelaksana olahraga harus ditandai oleh “semangat kebenaran dan kejujuran, dengan tunduk kepada peraturan-peraturan, baik yang tersurat mapun yang tersirat”
Kata Kunci: Fair play, Olah raga, Pertandingan
A. AKAR DARI FAIR PLAY
Perilaku yang menunjukkan fair play akan diawali dengan
kemampuan untuk sepenuhnya 100% tunduk kepada peraturan-
peraturan yang tertulis. Ini berarti, setiap pihak yang berurusan dengan
olahraga , utamanya para atlet atau olahragawan , mesti paham akan
peraturan , dan setelah itu, mesti siap mematuhi peraturan yang berlaku.
Karena itu, persoalan fair play, seperti kasus tindak kekerasan pada
penonton, berawal dari ketidak pahaman terhadap peraturan, dan
ketiadaan sikap loyal untuk menjamin keutuhan permainan. Sikap yang
ditampilkan penonton, seperti kasus pertandingan sepak bola akhir-akhir
ini selain ketidak pahaman dan pemaksaan kehendak, juga diakaibatkan
ketidak patuhan terhadap berbagai ketentuan .
Sebagai konsep moral, suatu cetusan, fair play berisi
penghargaan terhadap lawan serta harga diri. Dalam kaitan inilah, antara
GENERASI KAMPUS, Volume 2, Nomor 2, September 2009
Indra kasih, S.Pd, M.Or. adalah dosen Fakultas Ilmu Keolahragaan Universitas Negeri Medan
100
kedua belah pihak harus memandang lawannya sebagai mitra. Lawan
adalah kawan bermain. Keseluruhan upaya dan perjuangan itu
dilaksanakan dengan bertumpu pada standart moral yang dihayati
masing-masing kedua belah pihak.
Sebagai konsep yang abstrak, fair play dapat dijabarkan dan
dioprasionalkan dalam bentuk prilaku yang mencakup beberapa cirri
sebagai berikut:
1. Adanya keinginan yang tulus iklas agar lawan bertanding
mendapatkan kesempatan yang benar-benar sama dengan dirinya
sendiri. Dalam hal ini olahragawan yang bersangkutan.
a. Menolak untuk berbuat, dimana mungkin, untuk mendapatkan
keuntungan dari suatun keadaan yang merugikan lawan
b. Menolak kejadian yang berkaitan dengan asfek materiil atau fisik
c. Berusaha pada diri sendiri untuk mengurangi dorongan berbuat
yang berakibat ketidak adilan yang akan menimpa lawannya.
2. Sangat teliti dalam menimbang cara-cara untuk mendapatkan
kesempatan
a. Menolak menggunakan cara-cara yang bertentangan dengan
peraturan pertandingan yang sudah disahkan
b. Sengaja untuk tidak memamfaatkan keuntungan-keuntungan
yang dapat diperoleh dari penerapan peraturan yang ketat.
c. Tunduk dan iklas terhadap peraturan juri dan wasit meskipun
nyata-nyata merugikan diri sendiri
B. FAIR PLAY DALAM KENYATAAN
Bagaimana membumikan perilaku adil dan jujur yang menjadi
ruh fair play ? Apa indicator yang dapat diamati dan direkam untuk
kemudian dinilai sebagai perilaku yang mencerminkan fair play ?
GENERASI KAMPUS, Volume 2, Nomor 2, September 2009
Indra kasih, S.Pd, M.Or. adalah dosen Fakultas Ilmu Keolahragaan Universitas Negeri Medan
101
Pertanyaan ini mengundang rasa ingin tahu kita, dan berkenaan dengan
hal itu, dapat diidentifikasi beberapa ciri-ciri pengenalan sebagai berikut:
a) Fair play dapat dikenal dari perbuatan individu maupun regu
(Kolektif)
b) Fair play dapat diperlihatkan sebelum, selama dan sesudah
pertandingan.
c) Perilaku yang mencerminkan fair play ini berlaku pada setiap tatanan
kemampuan dan sama sekali tidak dibedakan kepada pemain amatir
dan professional.
d) Pemaiannya harus seimbang dengan lawannya
e) Pemain harus tunduk terhadap semua perturan yang tertulis
C. ANCAMAN TERHADAP FAIR PLAY DAN TANGGUNG
JAWABNYA
Bahaya terhadap fair play timbul terutama dari kesalahan arah
yang ditempuh olahragawan zaman ini. Olahraga dieksploitasi oleh
politik, ideology, dan dagang karena olahraga sangat tenar dan digemari.
Bahkan sekarang ini, sejak logika poloitik berubah menjadi logika
ekonomi, pengelolaan olahraga yang bersifat komnesialisasi sangat
menonjol, dan bila kita tidak was-was, ancaman terhadap fair play
semakin besar. Dengan demikian olahraga mengalami bahaya untuk
kehilangan sifat-sifat yang murni. Yang mestinya, olahraga berisi
pertandingan yang bersifat kesatria dan membentuk kepribadian, dapat
berubahmenjadi perjuangan yang tidak kenal ampun, yang dikuasaioleh
pikiran prestise, popolaritas dan uang.
Cauvinisme, nasionalisme, rasialisisme dan pengarush komersial
merusak suasana dan semangat keolahragaan. Bila hal ini tidak
terbendung, lapangan olahraga merosot menjadi gelanggang, menjadi
GENERASI KAMPUS, Volume 2, Nomor 2, September 2009
Indra kasih, S.Pd, M.Or. adalah dosen Fakultas Ilmu Keolahragaan Universitas Negeri Medan
102
tempat bagi para pemain untuk bertindak keterlaluan dalam usaha untuk
menang.
D. TANGUNG JAWAB FAIRPLAY
Sebagai cita-cita yang begitu luas kepentingannya maka fair play
perlu mendapatkan dukungan tidak saja di antara mereka yang
berkepentingan dengan olahraga, tetapi juga dari mereka yang
bertanggung jawab atas pendidikan.
Baik pemain/atlet maupun pendidik, orang tua, pemimpin
olahraga, refree, penonton dan pendukung, mass media dan pejabat-
pejabat pemerintah semuanya mempunyai tanggung jawab untuk
menunjukkan fair play. Para pemain merupakan barisan yang utama yang
bertanggung jawab atas pengamanan dan penegmbangan fair play .
Merekalah dengan kelakukan yang diperlihatkan, menghargai kewajiban-
kewajiban yang dipikul olah mereka, kewajiban terhadap lawan, refree,
umpire dan penonton.
1. Tanggung Jawab Guru dan Orangtua,
Pendidikan jasmani dan olahraga dapat menjadi alat pendidikan
yang ampuh bagi anak muda, asal dipenuhi persyaratan dari sisi fisiologis,
psikilogis, sosiologis dan aspek pedagogic itu sendiri
a. Guru pendidikan jasmani sebagai pendidik. Olahraga tidak hanya
bermanfaat bagi latihan jasmni, tetapi lebih luas dari pada itu.
Olahrga iuran vital kepada pendidik yang bersifat menyeluruh karena
sifatnya yang has serta pengarus terhadap bidang studi atau upaya
pendidikan lainnya.
Karena kemaslahatan olahraga telah disadari, maka penting sekali
bagi mereka yang bertanggung jawab atas pendidikan pada
lingkungan mana saja, dan pada tingkat apa saja, untuk
GENERASI KAMPUS, Volume 2, Nomor 2, September 2009
Indra kasih, S.Pd, M.Or. adalah dosen Fakultas Ilmu Keolahragaan Universitas Negeri Medan
103
memanfaatkan sepenuhnya kesempatan-kesempatan yang yang
diberikan olah olahraga guna membina dan membentuk
kepribadiaan anak dan pemuda.
b. Orangtua sebagai pendidik
Walaupun orang tua mendapat kesempatan lebih sempit dari pada
pendidk profsional untuk mengajarkan fair playdan untuk
mempraktekkannya dilapangan, maka dapat memberikannya
sumbangana berharga kepada tugas pembinaan yang dipikul
bersama. Alasan pertama, orang tua wajib menanamkan prinsip-
prinsipdasar fair play kedalam jiwa anak sejak mulai bermain yang
pertama kali. Kedua, kedua ornag tua harus memberikan contoh
yang baik dalam menonton pertandingan serta menerapkan keadilan,
objektivitas, disiplin dan kebesaran jiwa. Ketiga, orang tua sebaiknya
menganjurkan anak-anak mereka bermain dalam sifat kesatria,
meminta perhatian dan mencontoh atlet-atlet yang ternama dalam
sportivitas serta mengecam kelakukan yang tidak sportivitas.
2. Tanggung Jawab Pembina Olahraga
Pembina olahraga juga menyadari bahwa mereka mempunyai
tanggung jawab yang bersifat sangat kas dan menempatkan mereka
dalam psoisi yang pelik. Jasa-jasa Pembina olahraga berupa pekerjaan
tanpa pamris kerapkali perupa pengorbanan , kepercayaan terhadap
olahraga, kecintaan kepada atlet yang diasuh, kesetiaan terhadap
perkumpulan dan organisasi sudah sangat luas dimaklumi dan disini tidak
akan diberi ulasan kecuali berupa pernyataan penghargaan yang setinggi-
tingginya.
GENERASI KAMPUS, Volume 2, Nomor 2, September 2009
Indra kasih, S.Pd, M.Or. adalah dosen Fakultas Ilmu Keolahragaan Universitas Negeri Medan
104
3. Tanggung Jawab Juri dan Wasit
Tanpa melihat jenis olahraganya, perorangan atau beregu,
didepan penonton yang jumlahnya ribuan atau beberapa orang saja, juri
dan wasit harus tetap berusaha sekuat tenaga agar pertandingan yang
dipinpin berlangsung dalam suasana dan semangat kekesatriaan. Wasit
adalah orang yang menjadi saksi utama serta penilai apakah peraturan
ditaati. Dialah yang berperan vital dalam usaha menjamin dan
memajukan semangat olahragawaan sejati.
Kepribadiaan wasit berpengaruh sama kuat sama-sama dengan
kemampuan teknisnya serta bersifat menentukan terhadap kualitas
permainan. Dia tidak memihak, dan selalu berusaha untuk menguasai
diri, mengutamakan keberanian moral dan fisik, menunjukkan
kesederhanaan dan keakraban.. Kesuanya itu sama perlunya seperti juga
pengertian terhadap permainan, kesiapan, kemampuan serta kewibawaan.
Wasit yang berwibawa dan berkepribadiaan sangat besar
pengaruhnya terhadap sikap akrab para pemain, dan kelakuan yang
dipertunjukkan wasit baik sebelum maupun selama pertandingan
merupakan factor penting dalam menciptakan suasana yang mendorong
adanya fair play.
4. Tanggung Jawab Penonton dan Pendukung
Perbuatan dan emosi yang meluap tak terkendalikan dari
penonton merupakan ancaman bagi kelangsungan olahraga. Olahraga
sebagai tontonan tentu saja melibatkan penonton dan pendukung kedua
belah pihak yang bertanding, tetapi kadang-kadang ketegangan menjadi
memuncak. Kalau reaksi bersumber dari reaksi patriotism, nasionalisme,
atau rasialisme, maka hal itu dapat menjuruskan dan merusak suasana
pertandingan dengan timbulnya suasana kekerasan dan kebencian. Untuk
GENERASI KAMPUS, Volume 2, Nomor 2, September 2009
Indra kasih, S.Pd, M.Or. adalah dosen Fakultas Ilmu Keolahragaan Universitas Negeri Medan
105
mencegah terjadinya kelakukan yang berlebihan itu kita tidak cukup
melarangnya saja, tetapi harus mendalami kelakukan kelompok. Emosi
yang beraneka ragam dan sangat kompleks ini menyangkut hal-hal yang
baik dan yang buruk dari kepribadian manusia. Semua factor ini perlu
diperhitungkan dalam usaha mengunbah serta memperbaiki kelakukan
penonton.
5. Tanggung Jawab Media
Media juga mempunyai tanggung jawab untuk menyebarkan nilai
fair play, karena pengaruhnya begitu luas, pendengar, pembaca,
pirsawannya begitu besar jumlahnya dan mudah sekali memasuki jutaan
rumah tangga. Tontonan dan pesan yang diperlihatkan kepada penonton,
pembaca, dan pendengar tentu mempunyai pengetahuan dan daya kritik
yang cukup untuk membentuk pendirian pribadi mereka. Dengan
demikian reporter wajib menyakini peranannya sebagai pendidik rakyat
luas, dalam hal ini posisi pers adalah sebagai guru masyarakat olahraga.
E. DAFTAR PUSTAKA
Departemen Olahraga, 1964, Revolusi Keolahragaan: Melaksanakan Penderitaan Rakyat Indonesia, Jakarta.
Gunarsa, S.D, 1989, Psikologi Olahraga, Jakarta: BPK Gunung Mulia.
Kremer, J., & Scully, D., 1994, Psychology in Sport, London: Taylor & Francis.
Lumpkin, Angela, dkk., 1994, Sport Ethics:Aplication For Fair play, St. Louis: Mosby.
GENERASI KAMPUS, Volume 2, Nomor 2, September 2009
Lamhot Basani Sihombing, M.Pd. adalah Dosen Seni Musik dan Sendratasik di Jurusan Pendidikan Musik Fakultas FBS Unimed.
106
HUBUNGAN ANTARA KREATIVITAS DAN MINAT WIRAUSAHA (ENTERTAINMENT) DENGAN
HASIL BELAJAR MANAJEMEN PRODUKSIPERGELARAN SENI MUSIK
Lamhot Basani Sihombing, M.Pdabstract
This research was intended to know a relationship between: 1) creativity with the result of musik production management course, 2) student’s interest on entertainment entrepreneurship with the result of musikproduction management course, 3) both creativity and student’s interest on entertainment entrepreneurship with the result of musik production management course. This research was performed in Faculty of Arts and Language, Department Musik and Dance Education, The State University of Medan with purpose to understand the correlation of creativity and student’s interest on entertainment entrepreneurship for the result of musik production management course, either individually as well as colletively. The research population was the entire student’s in department musik and dance education that amounts to 156. The research data was obtained by objective tests that its had been respondent by 32 respondents. The data analysis was performed quantitatively with the use of descriptive statistics and analysis on product moment correlation, and multiple regression analysis. The interpretation of the results of data analysis was taken on .05 signification. The hypothesis of this research are: First, there is a positive correlation between creativity with the result of musik production management course. Second, there is a positive correlation between student’s interest on entertainment entrepreneurship for the result of musik production management course. Third, there is a positive correlation between creativity and student’s interest on entertainment entrepreneurship for the result of musik production management course.
Kata Kunci: Kreativitas, Wirausaha, Minat Entertainment, Hasil Belajar
A. PENDAHULUAN
Dampak krisis moneter patut dijadikan pelajaran yang sangat
berharga dalam membangun masa depan bangsa. Oleh karena itu,
GENERASI KAMPUS, Volume 2, Nomor 2, September 2009
Lamhot Basani Sihombing, M.Pd. adalah Dosen Seni Musik dan Sendratasik di Jurusan Pendidikan Musik Fakultas FBS Unimed.
107
kebijakan dan strategi pembangunan yang ditempuh selama ini yang
mengejar pada pertumbuhan dan untuk kepentingan masyarakat perlu
ditata ulang. Di masa depan, pembangunan harus diarahkan pada
partisipasi dan peran serta rakyat banyak sesuai dengan amanat
konstitusi, UUD 1945 pasal 33. Mutu sumber daya manusia suatu negara
tergambar dari mutu angkatan kerjanya. Dari Human Development
Index (HDI), diketahui bahwa kualitas sumber daya manusia (SDM)-
angkatan kerja Indonesia dewasa ini masih tergolong rendah. Oleh
karena itu pembinaan SDM – pendidikan, pelatihan dan pengembangan
hendaknya diarahkan kepada pembinaan yang dapat menciptakan
manusia yang berpengetahuan dan professional dengan kinerja yang
tinggi. Paradigma baru pada proses pengembangan sumber daya manusia
akan bergeser pada bentuk pengembangan yang bermutu yang
mengutamakan kemandirian dengan pengetahuan dan penguasaan kerja
yang tinggi, terutama dalam hal ini mahasiswa yang berhubungan
langsung dengan pembentukan karakter masyarakat itu sendiri.
Di lain pihak, menurut The Word Competitiveness Report 1995,
kualitas SDM kita masih jauh tertinggal dibandingkan dengan negara-
negara ASEAN lainnya. Dari laporan yang disampaikan dengan Human
Development Index (HDI), Indonesia masuk peringkat 104 dengan
angka HDI = 0,568, sementara negara ASEAN lainnya masuk peringkat
antara 43 dan 54 dengan angka index = 0,788 – 0,838. (Siahaan, 2000).
Berkaitan dengan itu, diketahui bahwa kualitas angkatan kerja Indonesia
dewasa ini masih tergolong rendah (UNDP, 2004).
Melihat gejala banyaknya lulusan perguruan tinggi dewasa ini
yang tidak tertampung dalam dunia kerja perlu diantisipasi dengan
peningkatan pengetahuan dan pengembangan SDM yang lebih
mendekatkan mahasiswa kepada pengenalan pekerjaan dengan
GENERASI KAMPUS, Volume 2, Nomor 2, September 2009
Lamhot Basani Sihombing, M.Pd. adalah Dosen Seni Musik dan Sendratasik di Jurusan Pendidikan Musik Fakultas FBS Unimed.
108
lingkungan masyarakatnya. Dalam hal ini konsep “learning for living” dan
“life skill” perlu penjabaran dalam pengertian luas, sehingga seseorang
tumbuh dan berkembang secara wajar dan normal untuk menjadi lulusan
yang kreatif, produktif, bermakna dan bermanfaat. Untuk mampu
menjadi lulusan seperti dijelaskan di atas, segenap sumber daya manusia
hendaknya digali, dipelajari dan dikembangkan, sehingga terwujudlah
kualitas manusia yang diharapkan tersebut. Pendidikan kewirausahaan
berusaha untuk menjawab tantangan ini guna menjadikan manusia bukan
hanya mampu mencari pekerjaan, melainkan untuk mengembangkan
sumber daya manusia yang mampu menciptakan pekerjaan bagi dirinya
sendiri, atau bahkan mampu menyediakan lapangan kerja bagi orang lain.
Minat wirausaha, kepekaan lingkungan wirausaha serta ketrampilan
perbuatan wirausaha, semua perlu digali agar berkualitas tinggi.
EDUCATION INDEX
0.70
0.75
0.80
0.85
0.90
0.95
1.00
Indon
esia
Viet N
am
China
Malay
sia
Thail
and
Philip
pines
Singa
pore
Korea
Source: UNDP, Human Development Report 2004.
Musik sebagai wahana hiburan, selama ini dipandang hanya
suatu bentuk pekerjaan sederhana dan kurang diminati. Masyarakat
masih merendahkan kualitas kehidupan orang-orang yang
menggantungkan hidupnya pada musik, dalam artian belum ada
pengakuan melalui musik kehidupan seseorang akan mapan. Akan tetapi
belakangan ini sudah banyak contoh orang-orang yang mampu
GENERASI KAMPUS, Volume 2, Nomor 2, September 2009
Lamhot Basani Sihombing, M.Pd. adalah Dosen Seni Musik dan Sendratasik di Jurusan Pendidikan Musik Fakultas FBS Unimed.
109
menggapai hidup mapan, bahkan melampaui status ekonomi sosial rata-
rata masyarakat. Oleh karena itu, perlu dipertanyakan apakah mahasiswa
sekarang mampu menggantung harapan hidupnya melalui musik? Sudah
barang tentu orang-orang yang berhasil dalam kehidupannya melalui
musik dilatar belakangi pengetahuan dan keterampilan mereka dalam
musik itu sendiri. Komunitas global berimplikasi pada makin ketatnya
persaingan sumberdaya manusia yang menuntut pada kemampuan dan
keterampilan seseorang menempatkan diri pada jajaran standard yang
berlaku secara global.
Pembentukan sosok sumber daya manusia melalui pendidikan
mencakup dua masalah pokok yaitu dari segi perilaku dan segi
profesionalisme, (Syam, 1977). Pendidikan mampu memberikan
pelayanan (service), pemberdayaan (empowerment), dan pengembangan
(development). Dari segi profesionalisme mencakup masalah kecakapan
dan kemampuan serta kemampuan melaksanakan pekerjaan sesuai
dengan kebutuhan. Dengan demikian hasil belajar mahasiswa di bidang
musik menjadi sangat penting untuk bekal kehidupan mereka nantinya
setelah lulus dari perguruan tinggi. Hasil belajar dapat memprediksi
keberhasilan seseorang pada masa depan , antara lain mampu membawa
individu untuk bekerja mandiri, untuk meningkatkan taraf hidupnya Agar
mereka mampu hidup secara mandiri dibutuhkan pendidikan, pembinaan
dan pengembangan secara intensif dan berkesinambungan. Keberhasilan
bukan berarti semuanya terlepas dari orang lain, tetapi dia mampu
menggunakan dan memanfaatkan pengetahuan, keterampilan, dan
peluang yang ada di sekitarnya untuk terlibat di dalam upaya
meningkatkan taraf hidupnya. Namun demikian, dari daftar nilai hasil
belajar mata kuliah musik di Jurusan sendratasik FBS dapat diketahui
bahwa perolehan hasil belajar mahasiswa terutama mata kuliah
GENERASI KAMPUS, Volume 2, Nomor 2, September 2009
Lamhot Basani Sihombing, M.Pd. adalah Dosen Seni Musik dan Sendratasik di Jurusan Pendidikan Musik Fakultas FBS Unimed.
110
manajemen produksi pergelaran seni musik masih rendah. Sehubungan
dengan konsep tersebut di atas, untuk mengetahui timbulnya hasil belajar
yang rendah perlu dilakukan pengkajian sebab-akibat terjadinya, terutama
tentang kreativitas dan minat mahasiswa terhadap musik.
Berdasarkan penjabaran yang telah dikemukakan di atas tersebut
maka perlu dilakukan penelitian tentang hubungan antara analisis
kreativitas memainkan musik dan minat wirausaha entertaintment
dengan hasil belajar musik mahasiswa jurusan sendratasik Fakultas
Bahasa dan Sastra Universitas Negeri Medan (FBS UNIMED).
B. HAKIKAT HASIL BELAJAR MANAJEMEN PRODUKSI
PAGELARAN SENI
Belajar merupakan upaya manusia untuk memperoleh
pengetahuan dalam rangka membangun dirinya. Pengetahuan dan
keterampilan yang diperoleh melalui belajar dapat membentuk kebiasaan
yang sesuai dengan norma dan latar berlakang kebudayaan masyarakat
setempat.
a. Prinsip-Prinsip Manajemen
Secara ringkas Fayol dalam Reksohadiprojo dan Handoko (1994)
mengemukakan 14 prinsip-prinsip manajemen dalam suatu organisasi
yakni sebagai berikut : 1) Pembagian kerja (division of work). Dengan
adanya pembagian kerja atau spesialisasi akan meningkatkan
produktivitas, karena seorang dapat memuaskan diri pada pekerjaan
(kegiatan) yang sesuai dengan keahliannya, 2) Wewenang dan tanggung
jawab (authority and responsibility). Wewenang adalah hak untuk memberi
perintah. Seseorang anggota suatu organisasi mempunyai tanggung jawab
dalam pencapaian tujuan organisasi sesuai dengan kedudukannya.
Dibutuhkan sanksi yang tepat untuk pelaksanaan kegiatan yang baik
GENERASI KAMPUS, Volume 2, Nomor 2, September 2009
Lamhot Basani Sihombing, M.Pd. adalah Dosen Seni Musik dan Sendratasik di Jurusan Pendidikan Musik Fakultas FBS Unimed.
111
maupun yang tidak baik (kurang baik), 3) Disiplin (discipline). Harus ada
respek dan ketaatan pada peranan-peranan dan tujuan-tujuan organisasi.
Ini membutuhkan atasan yang baik diseluruh tingkatan, perjanjian kerja
yang sedapat mungkin jelas dan bijaksana, dan sanksi (hukuman) yang
diterapkan dengan bijaksana, 4) Kesatuan perintah (unity of command).
Untuk mengurangi kekacauan, kebingungan dan konflik, setiap organisasi
harus menerima perintah-perintah dari dan bertanggung jawab kepada
hanya satu atasan, 5) Kesatuan pengarahan (unity of direction). Suatu
organisasi akan efektif bila anggota-anggotanya bekerjasama berdasarkan
tujuan-tujuan yang sama, 6) Mendahulukan kepentingan umum dari pada
kepentingan pribadi (subordination of individual interest to general interests).
Kepentingan seorang karyawan (anggota organisasi) atau kelompok
karyawan tidak diperlakukan lebih tinggi dari pada kepentingan
organisasi. Kepentingan organisasi harus dijaga sebagai kepentingan yang
tertinggi, 7) Balas jasa (remuneration of personnel). Pembayaran upah / gaji
harus bijaksana, adil, tidak eksploatif dan sedapat mungkin memuaskan
kedua belah pihak (perusahaan dan personalia) dan harus ada
penghargaan atas pelaksanaan tugas yang baik. Macam-macam bentuk
pembayaran balas jasa dapat didasarkan atas waktu, jabatan, tingkat
keahlian, bonus, pembagian laba, maupun aspek-aspek bukan keuangan,
8) Sentralisasi (centralization). Organisasi perlu mengatur tingkat
keseimbangan optimum antara sentralisasi dan desentralisasi. Tingkat
keseimbangan ini tergantung pada karakter pribadi manajer, nilai-nilai
yang dipegang manajer reliabilitas karyawan (bawahan), dan juga kondisi
dunia usaha (bisnis). Tingkat sentralisasi harus disesuaikan atas dasar
pembedaan kasus-kasus yang dihadapi organisasi, 9) Rantai saklar (sclar
chain). Hubungan antara tugas-tugas atas dasar suatu hirarki dari atas
kebawah, 10) Aturan (order). Konsepsi Fayol menyatakan bahwa harus
GENERASI KAMPUS, Volume 2, Nomor 2, September 2009
Lamhot Basani Sihombing, M.Pd. adalah Dosen Seni Musik dan Sendratasik di Jurusan Pendidikan Musik Fakultas FBS Unimed.
112
ada suatu tempat untuk setiap orang, dan setiap orang harus menduduki
tempat yang memang seharusnya menjadi tempatnya, 11) Keadilan
(equity). Bagi personalia yang didorong untuk melaksanakan tugas-
tugasnya dan keadilan atas dasar hasil kombinasi kebaikan dan
kebijaksanaan . Keadilan juga berarti adanya kesamaan perlakuan dalam
organisasi, 12) Kelanggengan personalia (stability of tenure of personnel).
Waktu dibutuhkan bagi seorang karyawan untuk menyesuaikan diri
dengan pekerjaan baru dan meraih sukses dalam pekerjaan baru tersebut,
dengan anggapan bahwa dia mempunyai kemampuan yang disyaratkan.
Oleh karena itu penting adanya kelangsungan, keamanan dan kepastian
kerja, 13) Inisiatif (initiative). Dalam setiap tugas harus ada kemungkinan
untuk menunjukkan inisiatif sendiri dalam menyelesaikan dan
mengerjakan rencana di setiap tingkat, dan 14) Semangat Korps (esprit de
corps). “Persatuan adalah kekuatan”. Pelaksanaan operasi organisasi yang
baik perlu adanya kebanggaan, kesetiaan, dan rasa memiliki dari para
anggotanya.
b. Ilmu Manajemen dan Seni Manajemen
Ilmu manajemen ialah unsur keilmuan yang merupakan
pengetahuan yang tertentu seperti yang dinyatakan oleh peraturan-
peraturan atau statemen-statemen umum dan dipertahankan oleh
berbagai tingkat ujian-ujian dan penyelidikan seni manajemen. Arti seni
adalah sesuatu kekutan pribadi yang kreatif ditambah dengan skill dalam
pelaksanaan pekerjaan itu. Hal mana yang pertama timbul karena
dipelajarinya problem-problem keyakinan-keyakinan serta kemungkinan.
Hal kedua skill dalam pelaksanaan pekerjaan timbul karena pengalaman
observasi (pengawasan serta studi). Dengan perkata lain seni manajemen
meliputi kemampuan untuk meliputi totalitas. Sebagai tambahan dapat
dikatakan seni manajemen mencakup pula kemampuan untuk
GENERASI KAMPUS, Volume 2, Nomor 2, September 2009
Lamhot Basani Sihombing, M.Pd. adalah Dosen Seni Musik dan Sendratasik di Jurusan Pendidikan Musik Fakultas FBS Unimed.
113
mengkomunikasikan visi tersebut, hal demikian meliputi tinddakan
memilih bentuk, cara, dan teknik yang paling cepat. Manajemen
merupakan salah satu diantara semua seni yang paling kreatif karena ia
merupakan organisasi dan pemanfaat dari pada bakat manusia.
c. Hubungan Ilmu Manajemen dan Seni
Seorang pemimpin adalah seorang seniman, secara simplistis
dapat kita nyatakan bahwa sesuatu ilmu yang mengajarkan kita apa yang
perlu dilakukan. Ada pihak yang beranggapan bahwa seni lebih superior
dengan ilmu yang disebabkan oleh karena seni mulai dari permulaan (seni
merupakan bakat manusia tersebut dengan perkataan lain seni timbul
dari dalam). Sedangkan ilmu berkembang berdasarkan, pendidikan,
penelitian, dan percobaan-percobaan, jadi datanya dari luar, keterampilan
ini timbulnya dengan mempelajarinya dari bangku pendidikan ditambah
dengan pengalaman-pengalaman.
d. Manajemen Produksi Pagelaran Seni Musik
Sering sekali panitia penyelenggara proyek tidak mengetahui apa
saja yang dilakukan dan batasan atau ruang lingkup pekerjaannya. Ini
terjadi karena penyelenggaraan tidak merumuskan dengan jelas cakupan
proyek. Antar unit kerja sering terjadi saling intervensi atau saling
menolak suatu tanggung jawab. Adapun rumusan cakupan proyek adalah:
1) Menyatakan apa saja yang harus dikerjakan agar sasaran proyek dapat
tercapai, 2) Menyatakan batasan tanggung jawab dan wewenang pihak-
pihak yang terkait, 3) Menyatakan bidang kegiatan dan/ atau fase/
tahapan proyek yang melibatkan pihak tersebut.
Cakupan proyek perlu dirumuskan dengan baik dan jelas ,bila
perlu dituliskan didalam kontrak kerja. Cakupan proyek dapat
menyatakan hal-hal yang harus dikerjakan menyangkut kegiatan atau
program kerja, agar sasaran proyek tercapai. Cakupan proyek juga dapat
GENERASI KAMPUS, Volume 2, Nomor 2, September 2009
Lamhot Basani Sihombing, M.Pd. adalah Dosen Seni Musik dan Sendratasik di Jurusan Pendidikan Musik Fakultas FBS Unimed.
114
mencantumkan batasan tanggung-jawab dan wewenang pihak-pihak yang
terkait/ terlibat. Perlu dibuat pembagian tugas dan wewenang (job
description) dengan baik. Akan lebih baik apabila cakupan proyek dapat
menyebutkan secara spesifik bidang kegiatan atau tahapan yang harus
dilakukan.
e. Hubungan Kreativitas Dengan Hasil Belajar Manajemen
Produksi Pagelaran Seni Musik
Kreativitas adalah kemampuan yang mencerminkan kelancaran,
keluesan, dan orisinalitas dalam berpikir serta kemampuan untuk
mengelaborasi sehingga dapat menciptakan suatu produk baru yang
berupa suatu gagasan atau peralatan, serta memecahkan suatu masala.
Kreativitas dalam seni musik adalah bentuk kemampuan melahirkan
berbagai dan mampu mengaplikasikannya sebagai daya cipta musik
secara terperinci dan juga dalam proses pelaksanaannya atau praktek,
muncul imajinasi dan kreativitas untuk mencipta seni musik sesuai
dengan keinginan mahasiswa hasil penelitian menunjukan terdapat
hubungan yang positif dan signifikan antara kreativitas dengan hasil
belajar manajemen produksi pagelaran seni musik dengan koefisien
korelasi sebesar r = 491, hal ini menunjukan semakin tinggi kreativitas
seseorang mahasisawa maka semakin tinggi hasil belajar manajemen
produksi pagelaran seni musik. Hasil penelitian sesuai dengan pendapat
Fayol yang menyatakan salah satu prinsip manajemen dalam suatu
organisasai adalah pembagian kerja dengan adanya pembagian kerja atau
spesialis akan meningkatkan produktifitas karena seseorang dapat
memuaskan diri pada pekerjaan (kegiatan) yang sesuai dengan
keahliannya. Dalam manajemen produksi pagelaran seni musik, salah
satunya adalah cakupan proyek perlu dirumuskan dengan baik dan jelas
dan bila perlu dituliskan dalam bentuk kerja karena sering kali dalam
GENERASI KAMPUS, Volume 2, Nomor 2, September 2009
Lamhot Basani Sihombing, M.Pd. adalah Dosen Seni Musik dan Sendratasik di Jurusan Pendidikan Musik Fakultas FBS Unimed.
115
penyelenggaraan proyek tidak jelas apa yang di lakukan dan batasan atau
ruang lingkup pekerjaannya, ini terjadi karena penyelenggaraan tidak
memuaskan dengan jelas cakupan proyek antara unit kerja sering terjadi
saling intervensi atau saling menolak suatu tanggung jawab.
Berkaitan dengan itu maka untuk melaksanakan manajemen
produksi pagelaran seni musik maka sangat dituntut kreativitas
seseorang. Hal ini karena kreativitas merupakan kemampuan seseorang
dalam mengolaborasi untuk menciptakan suatu produk baru yang berupa
gagasan atau peralatan atau pendekatan serta memecahkan suatu
masalah. Hasil penelitian juga sejalan dengan penelitian Gojles dan
Jackson dalam Hawardi (2001) bahwa di antara mahasiswa yang berhasil
dalam kegiatan belajar adalah mahasiswa yang memiliki tingkat kreativitas
tinggi. Berdasarkan pengujian hipotesis penelitian menunjukan bahwa
terdapat hubungan yang positif dan signifikan antara minat wirausaha
entertainment dengan hasil belajar manajemen produksi pagelaran seni
musik dengan koefisien korelasi sebesar r = 0,158. Hal ini menunjukkan
semakin tinggi minat wirausaha entertainment, maka semakin tinggi hasil
belajar manajemen produksi pagelaran seni musik. Minat berwirausaha
menggambarkan perilaku yang mencakup kesadaran seseorang tentang
adanya gejala berbentuk nilai-nilai kewirausahaan sehingga melalui
kesadaran itu, sekurang-kurangnya orang tersebut memberi perhatian
terhadap wirausaha. Apabila seseorang mempunyai minat berwirausaha
yang tinggi, maka diharapkan dia benar-benar menyukai dan bahkan
ingin menjadi wirausaha sebagai alat mencapai tujaun kehidupannya. Hal
ini dikatakan Crow and Crow (1973) bahwa minat sebagai kekuatan
pendorong yang menyebabkan individu mendapat perhatian terhadap
aktivitas tertentu.
GENERASI KAMPUS, Volume 2, Nomor 2, September 2009
Lamhot Basani Sihombing, M.Pd. adalah Dosen Seni Musik dan Sendratasik di Jurusan Pendidikan Musik Fakultas FBS Unimed.
116
Berkaitan dengan hal tersebut, di mana mata kuliah manajemen
produksi pagelaran seni musik dapat dijadikan sebagai suatu usaha dalam
penyelenggaraan proyek atau pekerjaan dalam mengelola suatu produksi
pagelaran seni musik, sehingga tidak mengherankan bila semakin tinggi
minat usaha wirausaha entertainment, maka semakin tinggi hasil belajar
manajemen produksi pagelaran seni musik. Hasil penelitian Jaspen
Sihombing (2005) dan Hj. Mastarian Ritonga (2004) juga menyatakan
minat belajar seseorang mempengaruhi keterampilan seseorang. Hasil
pengajuan hipotesis penelitian menunjukan bahwa secara bersama-sama
antara kreativitas dan minat berwirausaha entertainment memiliki
hubungan yang positif dengan hasil belajar manajemen produksi
pagelaran seni musik dengan koefisien r = 0,23. Hasil penelitian ini
menunjukan bahwa semakin tinggi kreativitas dan minat berwirausaha
entertainment mahasiswa secara bersama akan meningkat hasil belajar
manajemen produksi pagelaran seni musik. Dengan demikian kedua
variabel bebas kreativitas dan minat berwirausaha perlu di kembangkan
secara simultan, apabila ingin meningkatkan hasil belajar manajemen
produksi pagelaran seni musik. Keberhasilan mahasaiswa dalam belajar
manajemen produksi pagelaran seni musik dapat ditentukan dengan
kreativitas dan minat berwirausaha entertainment mahasiswa. Kedua
variabel tersebut baik secara sendiri-sendiri maupun secara bersama-sama
memberikan sumbangan terhadap hasil belajar manajemen produksi
pagelaran seni musik mahasiswa. Sumbangan yang diberikan oleh
kreativitas 22,09% dan minat usaha berwirausaha entertainment
memberikan sumbangan sebesar 64,34%.
Jika dilihat besarnya sumbangan masing-masing variabel
kreativitas dan minat berwirausaha terhadap hasil belajar manajemen
produksi pagelaran seni musik, hal ini perlu menjadi perhatian dosen
GENERASI KAMPUS, Volume 2, Nomor 2, September 2009
Lamhot Basani Sihombing, M.Pd. adalah Dosen Seni Musik dan Sendratasik di Jurusan Pendidikan Musik Fakultas FBS Unimed.
117
bagaimana dapat membangkitkan minat berwirausaha entertainment
mahasiswa dalam mempelajari manajemen produksi pagelaran seni
musik. Dosen harus mampu menyusun skenario pembelajaran dan
mengajarkan manajemen produksi pagelaran seni secara menarik. Selain
itu perlu menjadi perhatian yang terlibat langsung dalam pendidikan
mengupayakan, memfasilitasi sarana dan prasarana pembelajaran
manajemen produksi pagelaran seni agar minat berwirausaha
entertainment dapat ditingkatkan.
E. PENUTUP
Gambaran di atas menunjukkan bahwa: 1) Terdapat hubungan
positif yang signifikan dan berarti antara kreativitas terhadap hasil belajar
manajemen produksi pagelaran seni musik, maka dapat disimpulkan
bahwa kreativitas secara nyata dapat menentukan hasil belajar
manajemen produksi pagelaran seni musik, 2) Juga terdapat hubungan
positif yang signifikan dan berarti antara minat berwirausaha
entertainment terhadap hasil belajar manajemen produksi pagelaran seni
musik, maka dapat disimpulkan bahwa minat berwirausaha entertainment
secara nyata dapat menentukan hasil belajar manajemen produksi
pagelaran seni musik, serta 3) Terdapat hubungan positif yang signifikan
dan berarti antara prinsip dan minat berwirausaha entertainment
terhadap hasil belajar manajemen produksi pagelaran seni musik, maka
dapat disimpulkan bahwa kreativitas dan minat berwirausaha
entertainment secara nyata dapat menentukan hasil belajar manajemen
produksi pagelaran seni musik.
Berdasarkan pernyataan dan implikasi di atas, maka : 1) Untuk
lebih meningkatkan hasil belajar manajemen produksi pagelaran seni
musik, maka diharapkan adanya prinsip di dalam belajar, 2) Untuk lebih
GENERASI KAMPUS, Volume 2, Nomor 2, September 2009
Lamhot Basani Sihombing, M.Pd. adalah Dosen Seni Musik dan Sendratasik di Jurusan Pendidikan Musik Fakultas FBS Unimed.
118
meningkatkan hasil belajar manajemen produksi pagelaran seni musik,
maka diharapkan adanya minat berwirausaha entertainment yang baik
dan positif, 3) Untuk meningkatkan hasil belajar manajemen produksi
pagelaran seni musik, maka diharapkan adanya kreativitas yang kuat dan
memiliki minat berwirausaha entertainment yang baik dan positif, 4)
Perlu diadakan penelitian yang lebih lanjut tentang hubungan antara
kreativitas dan minat berwirausaha entertainment terhadap hasil belajar
manajemen produksi pagelaran seni musik guna memperluas hasil
penelitian ini.
F. DAFTAR PUSTAKA
Crow And Crow, (1973). General psychology. New York : Lithe Field Adam & Co.
Gojles dan Jackson dalam Hawardi, 2001. Emotional Intelligence. Alih bahasa : T. Hermaya. Jakarta: Penerbit PT. Gramedia Pustaka Utama.
Hj. Mastarian Ritonga, 2004. Pendekatan kontekstual. Contextual teaching and learning (CTL). Jakarta: Dirjen Dikdasmen, Direktorat Pendidikan Lanjutan Pertama.
Jaspen Sihombing, 2005. Belajar membelajarkan. Munandir (Alih Bahasa). Seri Pustaka Teknologi Pendidikan No. 11. Jakarta : Rajawali.
Reksohadiprojo dan Handoko, 1994. Kewirausahaan: Teori dan Praktek. Penerjemah Andre Asparsayogi. Jakarta: Lembaga PPM dan PT. Pustaka Binaman Pressindo.
Siahaan, 2000. Multimedia and the changing experience of the learner. Asia Pacific Information Technology in Training and Education Conference and Exhibition. Brisbane: Juni 28 – July 2.
The Word Competitiveness Report, 1995. Competency based education and training. London: The Falmer Press.
UNDP, 2004. Kualitas Tenaga Kerja Indonesia. Jakarta : Biro Pusat Statistik.
GENERASI KAMPUS, Volume 2, Nomor 2, September 2009
Hariadi, S.Pd., M.Kes. adalah dosen jurusan Pendidikan Jasmani, Kesehatan dan Rekreasi (PJKR) FIK UNIMED
119
SOFT SKILL DAN PROGRAM KREATIVITAS MAHASISWA
HariadiAbstract
Program Kreativitas Mahasiswa (PKM) ada beberapa unsur soft skill yang harus dimiliki mahasiswa, antara lain perlunya kreatifitas untuk memanfaatkan ide-ide yang sudah ada untuk dikembangkan menjadi ide baru yang lebih menarik, berguna dan bermanfaat. Kedispilinan untuk mengikuti aturan yang telah ditetapkan dalam buku panduan, kerjasama yang baik antar anggota kelompok, kemampuan berkomunikasi secara tulisan, menjunjung tinggi nilai-nilai ilmiah, serta integritas dan kejujuran melaksanakan kegiatan yang telah diajukan dalam proposal. Dengan demikian lolosnya suatu proposal PKM menjadi kegiatan yang didanai oleh Dikti merupakan hasil dari kerja keras baik sebagai individu maupun kelompok dengan bantuan dosen pembimbing. Program PKM diharapkan dapat melatih dan mengasah kemampuan soft skill mahasiswa .
Kata Kunci : Soft Skill, Kreativitas Mahasiswa
A. PENDAHULUAN
Berdasarkan hasil beberapa jajak pendapat (tracer study) yang
dilakukan perguruan tinggi di Indonesia, kompetensi sarjana di dunia
kerja dibagi dua aspek. Pertama, aspek teknis berhubungan dengan latar
belakang keahlian atau keahlian yang diperlukan di dunia kerja. Kedua,
aspek non teknis mencakup motivasi, adaptasi, komunikasi, kerjasama
tim, pemecahan persoalan, manajemen stress dan kepemimpinan dsb.
Manajemen sebuah perusahaan raksasa di bidang perkebunan di
Indonesia menyatakan bahwa telah terjadi kesenjangan persepsi antara
dunia pendidikan tinggi dan industri. Perguruan tinggi memandang
bahwa lulusan yang “high competence” adalah lulusan dengan IPK tinggi
dan lulus dalam waktu yang cepat (≤4 tahun). Sedangkan dunia industri
menyatakan bahwa yang dimaksud dengan lulusan yang “high competence”
GENERASI KAMPUS, Volume 2, Nomor 2, September 2009
Hariadi, S.Pd., M.Kes. adalah dosen jurusan Pendidikan Jasmani, Kesehatan dan Rekreasi (PJKR) FIK UNIMED
120
yaitu mereka yang memiliki kemampuan dalam aspek teknis dan sikap
yang baik. Di sisi lain lulusan baru, lebih banyak yang memilih bekerja di
belakang meja, di perkotaan dan tidak mau melakukan pekerjaan
lapangan dengan tangan kotor.
Sehubungan dengan adanya perbedaan sudut pandang antara
dunia industri dan pengharapan dari lulusan, maka perlu dibangun mind
set yang sama dan pengembangan kepribadian atau perilaku. Sebagai
contoh, salah satu indikator kebagusan program studi saat ini adalah jika
lulusannya memiliki waktu tunggu yang singkat untuk mendapatkan
pekerjaan pertama. Namun, industri mengatakan bukan itu, melainkan
seberapa tangguh seorang lulusan untuk memiliki komitmen atas
perjanjian yang telah dibuatnya pada pekerjaan pertama.
Sehubungan dengan hal di atas Illah (2006) melaporkan bahawa
berdasarkan hasil survei yang dilakukan oleh National Association of
College and Employee (NACE), USA (2002), kepada 457 pemimpin,
tentang 20 kualitas penting seorang juara menunjukkan hasil berturut-
turut berupa kemampuan komunikasi, kejujuran/integritas, kemampuan
bekerja sama, kemampuan interpersonal, beretika, motivasi/inisiatif,
kemampuan beradaptasi, daya analitik, kemampuan komputer,
kemampuan berorganisasi, berorientasi pada detail, kepemimpinan,
kepercayaan diri, ramah, sopan, bijaksana, indeks prestasi (IP >= 3,00),
kreatif, humoris, dan kemampuan berwirausaha. Mitsubishi Research
Institute, 2002, merilis bahwa faktor yang memberi kontribusi
keberhasilan dalam dunia kerja yaitu finansial (10%), keahlian bidangnya
(20%), networking (30%) dan softskill (40%).
Walaupun berbagai pihak telah menyadari pentingnya soft skills
dibekalkan kepada mahasiswa untuk dapat dipergunakan di dunia kerja,
namun implementasinya masih jauh dari harapan. Kebanyakan dosen di
GENERASI KAMPUS, Volume 2, Nomor 2, September 2009
Hariadi, S.Pd., M.Kes. adalah dosen jurusan Pendidikan Jasmani, Kesehatan dan Rekreasi (PJKR) FIK UNIMED
121
perguruan tinggi masih menekankan kemampuan hard skills mahaiswa,
sehingga upaya pengintegrasiannya dalam pembelajaran masih jauh dari
harapan. Akibatnya masih banyak mahasiswa yang belum memahami
sepenuhnya apa dan bagaimana upaya pengembangan soft skills tersebut,
baik dalam kehidupan mahasiswa di kampus maupun dalam
kehidupannya sehari-hari sebagai anggota keluarga, dan anggota
masyarakat.
Program Kreativitas Mahasiswa (PKM) merupakan salah satu
bentuk upaya yang dilakukan Direktorat Penelitian dan pengabdian
kepada Masyarakat (DP2M), Ditjen Dikti dalam meningkatkan kualitas
peserta didik (mahasiswa) di perguruan tinggi agar kelak dapat menjadi
anggota masyarakat yang memiliki kemampuan akademis dan atau
profesional yang dapat menerapkan, mengembangkan dan
menyebarluaskan ilmu pengetahuan, teknologi dan atau kesenian serta
memperkaya budaya nasional. PKM dilaksanakan pertama kali pada
tahun 2001, yaitu setelah dilaksanakannya program restrukturisasi di
lingkungan Ditjen Dikti. Kegiatan pendidikan, penelitian dan pengabdian
kepada masyarakat yang selama ini sarat dengan partisipasi aktif
mahasiswa, diintegrasikan ke dalam satu wahana yang diberi nama
Program Kreativitas Mahasiswa.
PKM dikembangkan untuk mengantarkan mahasiswa mencapai
taraf pencerahan kreativitas dan inovasi berlandaskan penguasaan sains
dan teknologi serta keimanan yang tinggi. Dalam rangka mempersiapkan
diri menjadi pemimpin yang cendekiawan, wirausahawan serta berjiwa
mandiri dan arif, mahasiswa diberi peluang untuk mengimplementasikan
kemampuan, keahlian, sikap tanggungjawab, membangun kerjasama tim
maupu n mengembangkan kemandirian melalui kegiatan yang kreatif
dalam bidang ilmu yang ditekuni. Pada awalnya, dikenal 5 (lima) jenis
GENERASI KAMPUS, Volume 2, Nomor 2, September 2009
Hariadi, S.Pd., M.Kes. adalah dosen jurusan Pendidikan Jasmani, Kesehatan dan Rekreasi (PJKR) FIK UNIMED
122
kegiatan yang ditawarkan dalam PKM, yaitu PKM-Penelitian (PKM-P),
PKM Penerapan Teknologi (PKM-T), PKM-Kewirausahaan (PKM-K),
dan PKM-Pengabdian kepada Masyarakat (PKM-M) dan PKM-
Penulisan Ilmiah (PKM-I). Dengan demikian melalui PKM diharapkan
implementasi dari hard skill dan soft skill terintegrasi secara terpadu.
B. PEMBAHASAN
a. Apakah soft skills itu?
Softskills adalah ketrampilan seseorang dalam berhubungan
dengan orang lain (termasuk dengan dirinya sendiri). Atribut soft skills,
dengan demikian meliputi nilai yang dianut, motivasi, perilaku, kebiasaan,
karakter dan sikap. Atribut softskills ini dimiliki oleh setiap orang dengan
kadar yang berbeda-beda, dipengaruhi oleh kebiasaan berfikir, berkata,
bertindak dan bersikap. Namun, atribut ini dapat berubah jika yang
bersangkutan mau merubahnya dengan cara berlatih membiasakan diri
dengan hal-hal yang baru (Sailah,2006).
Konsep tentang soft skill sebenarnya merupakan pengembangan
dari konsep yang selama ini dikenal dengan istilah kecerdasan emosional
(emotional intelligence). Soft skill sendiri diartikan sebagai kemampuan
diluar kemampuan teknis dan akademis, yang lebih mengutamakan
kemampuan intra dan interpersonal.
Secara garis besar soft skill bisa digolongkan ke dalam dua kategori :
intrapersonal dan interpersonal skill. Intrapersonal skill mencakup : self
awareness (self confident, self assessment, trait & preference, emotional
awareness) dan self skill ( improvement, self control, trust, worthiness,
time/source management, proactivity, conscience). Sedangkan
interpersonal skill mencakup social awareness (political awareness,
developing others, leveraging diversity, service orientation, empathy dan
GENERASI KAMPUS, Volume 2, Nomor 2, September 2009
Hariadi, S.Pd., M.Kes. adalah dosen jurusan Pendidikan Jasmani, Kesehatan dan Rekreasi (PJKR) FIK UNIMED
123
social skill (leadership,influence, communication, conflict management,
cooperation, team work, synergy)
Pada proses rekrutasi karyawan, kompetensi teknis dan akademis
(hard skill) lebih mudah diseleksi. Kompetensi ini dapat langsung dilihat
pada daftar riwayat hidup, pengalaman kerja, indeks prestasi dan
ketrampilan yang dikuasai. Sedangkan untuk soft skill biasanya dievaluasi
oleh psikolog melalui psikotes dan wawancara mendalam. Interpretasi
hasil psikotes, meskipun tidak dijamin 100% benar namun sangat
membantu perusahaan dalam menempatkan ‘the right person in the right
place’.
Hampir semua perusahaan dewasa ini mensyaratkan adanya
kombinasi yang sesuai antara hard skill dan soft skill, apapun posisi
karyawannya. Di kalangan para praktisi SDM, pendekatan ala hard skill
saja kini sudah ditinggalkan. Percuma jika hard skill oke, tetapi soft
skillnya buruk. Hal ini bisa dilihat pada iklan-iklan lowongan kerja
berbagai perusahaan yang juga mensyaratkan kemampuan soft skill,
seperi team work, kemampuan komunikasi, dan interpersonal
relationship, dalam job requirementnya. Saat rekrutasi karyawan,
perusahaan cenderung memilih calon yang memiliki kepribadian lebih
baik meskipun hard skillnya lebih rendah. Alasannya sederhana :
memberikan pelatihan ketrampilan jauh lebih mudah daripada
pembentukan karakter. Bahkan kemudian muncul tren dalam strategi
rekrutasi “Recruit for Attitude, Train for Skill“.
Hal tersebut menunjukkan bahwa : hard skill merupakan faktor penting
dalam bekerja, namun keberhasilan seseorang dalam bekerja biasanya
lebih ditentukan oleh soft skillnya yang baik. Psikolog kawakan, David
McClelland bahkan berani berkata bahwa faktor utama keberhasilan para
eksekutif muda dunia adalah kepercayaan diri, daya adaptasi,
GENERASI KAMPUS, Volume 2, Nomor 2, September 2009
Hariadi, S.Pd., M.Kes. adalah dosen jurusan Pendidikan Jasmani, Kesehatan dan Rekreasi (PJKR) FIK UNIMED
124
kepemimpinan dan kemampuan mempengaruhi orang lain. Yang tak lain
dan tak bukan merupakan soft skill.
b. Mengapa?
Dunia kerja percaya bahwa sumber daya manusia yang unggul
adalah mereka yang tidak hanya memiliki kemahiran hard skill saja tetapi
juga piawai dalam aspek soft skillnya. Dunia pendidikanpun
mengungkapkan bahwa berdasarkan penelitian di Harvard University
Amerika Serikat ternyata kesuksesan seseorang tidak ditentukan semata-
mata oleh pengetahuan dan kemampuan teknis (hard skill) saja, tetapi
lebih oleh kemampuan mengelola diri dan orang lain (soft skill). Sebagai
mana telah dikemukan terdahulu bahwa dari hasil penelitian ini
mengungkapkan, kesuksesan hanya ditentukan sekitar 20% oleh hard
skill dan sisanya 80% oleh soft skill.
Adalah suatu realita bahwa pendidikan di Indonesia lebih
memberikan porsi yang lebih besar untuk muatan hard skill, bahkan bisa
dikatakan lebih berorientasi pada pembelajaran hard skill saja. Lalu
seberapa besar semestinya muatan soft skill dalam kurikulum pendidikan
mengingat bahwa sebenarnya penentu kesuksesan seseorang itu lebih
disebabkan oleh unsur soft skillnya.
Jika berkaca pada realita di atas, pendidikan soft skill tentu
menjadi kebutuhan urgen dalam dunia pendidikan. Namun untuk
mengubah kurikulum juga bukan hal yang mudah. Pendidik seharusnya
memberikan muatan-muatan pendidikan soft skill pada proses
pembelajarannya. Sayangnya, tidak semua pendidik mampu memahami
dan menerapkannya. Lalu siapa yang harus melakukannya? Pentingnya
penerapan pendidikan soft skill idealnya bukan saja hanya untuk anak
didik saja, tetapi juga bagi pendidik.
GENERASI KAMPUS, Volume 2, Nomor 2, September 2009
Hariadi, S.Pd., M.Kes. adalah dosen jurusan Pendidikan Jasmani, Kesehatan dan Rekreasi (PJKR) FIK UNIMED
125
c. Bagaimana?
Para ahli manajemen percaya bahwa bila ada dua orang dengan
bekal hard skill yang sama, maka yang akan menang dan sukses di masa
depan adalah dia yang memiliki soft skill lebih baik. Mereka adalah
benar-benar sumber daya manusia unggul, yang tidak hanya semata
memiliki hard skill baik tetapi juga didukung oleh soft skill yang tangguh.
Pada posisi bawah, seorang karyawan tidak banyak menghadapi masalah
yang berkaitan dengan soft skill. Masalah soft skill biasanya menjadi lebih
kompleks ketika seseorang berada di posisi manajerial atau ketika dia
harus berinteraksi dengan banyak orang. Semakin tinggi posisi manajerial
seseorang di dalam piramida organisasi, maka soft skill menjadi semakin
penting baginya. Pada posisi ini dia akan dituntut untuk berinteraksi dan
mengelola berbagai orang dengan berbagai karakter kepribadian. Saat
itulah kecerdasan emosionalnya diuji.
Umumnya kelemahan dibidang soft skill berupa karakter yang
melekat pada diri seseorang. Butuh usaha keras untuk mengubahnya.
Namun demikian soft skill bukan sesuatu yang stagnan. Kemampuan ini
bisa diasah dan ditingkatkan seiring dengan pengalaman kerja. Ada
banyak cara meningkatkan soft skill. Salah satunya melalui learning by
doing. Selain itu soft skill juga bisa diasah dan ditingkatkan dengan cara
mengikuti pelatihan-pelatihan maupun seminar-seminar manajemen.
Meskipun, satu cara ampuh untuk meningkatkan soft skill adalah dengan
berinteraksi dan melakukan aktivitas dengan orang lain.
d. Program Kreativitas Mahasisiwa
Sebagai mana yang telah diutarakan di atas bahwa PKM
dikembangkan untuk mengantarkan mahasiswa mencapai taraf
pencerahan kreativitas dan inovasi berlandaskan penguasaan sains dan
GENERASI KAMPUS, Volume 2, Nomor 2, September 2009
Hariadi, S.Pd., M.Kes. adalah dosen jurusan Pendidikan Jasmani, Kesehatan dan Rekreasi (PJKR) FIK UNIMED
126
teknologi serta keimanan yang tinggi. Dalam rangka mempersiapkan diri
menjadi pemimpin yang cendekiawan, wirausahawan serta berjiwa
mandiri dan arif, mahasiswa diberi peluang untuk mengimplementasikan
kemampuan, keahlian, sikap tanggungjawab, membangun kerjasama tim
maupu n mengembangkan kemandirian melalui kegiatan yang kreatif
dalam bidang ilmu yang ditekuni. Pada awalnya, dikenal 5 (lima) jenis
kegiatan yang ditawarkan dalam PKM, yaitu PKM-Penelitian (PKM-P),
PKM Penerapan Teknologi (PKM-T), PKM-Kewirausahaan (PKM-K),
dan PKM-Pengabdian kepada Masyarakat (PKM-M) dan PKM-
Penulisan Ilmiah (PKM-I). Dengan demikian melalui PKM diharapkan
implementasi dari hard skill dan soft skill terintegrasi secara terapdu.
Program Kreativitas Mahasiswa (PKM) diluncurkan oleh DP2M DIKTI
dengan tujuan untuk mempersiapkan mahasiswa menjadi pemimpin
yang mandiri dan arif. Dalam hal ini mahasiswa diberi kesempatan untuk
mengimplementasikan kemampuan, keahlian, sikap tanggung jawab,
membangun kerjasama tim maupun mengembangkan kemandiriannya
melalui kegiatan yang kreatif dalam bidang ilmunya masing-masing.
Sampai saat ini terdapat enam jenis kegiatan PKM yang
ditawarkan, yaitu:
(a) PKM Penelitian (PKMP) yang memberikan kesempatan bagi
mahasiswa untuk berkreasi melalui penelitian sesuai dengan
bidang ilmunya masing-masing, baik dalam bentuk mono
maupun multi disiplin.
(b) PKM Penerapan Teknologi (PKMT) yang memberikan kesempatan
kepada mahasiswa untuk berkreasi dan berinovasi melalui
penciptaan jasa seperti pembukaan, pemasaran, penataan ruang
produksi dll; atau karya teknologi seperti peralatan, prototipe,
model, proses dll yang diperlukan oleh kelompok, masyarakat
GENERASI KAMPUS, Volume 2, Nomor 2, September 2009
Hariadi, S.Pd., M.Kes. adalah dosen jurusan Pendidikan Jasmani, Kesehatan dan Rekreasi (PJKR) FIK UNIMED
127
produktif, kelompok usaha tani, industri kecil, maupun
pedagang kecil sesuai dengan bidang ilmu masing-masing baik
dalam bentuk mono maupun multi disiplin.
(c) PKM Kewirausahaan (PKMK) yang memberi kesempatan kepada
mahasiswa untuk berkreasi atau berinovasi melalui penciptaan
keterampilan berwirausaha dan berorientasi pada keuntungan
(profit).
(d) PKM Pengabdian Masyarakat (PKMM) yang memberikan
kesempatan kepada mahasiswa untuk berkreasi melalui kegiatan
peningkatan kecerdasan, keterampilan, pengetahuan masyarakat,
peningkatan kualitas lingkungan hidup, maupun pengembangan
kelembagaan masyarakat
(e) PKM Gagasan Tertulis (PKM-GT) merupakan program penulisan
artikel ilmiah yang bersumber dari ide atau gagasan kelompok
mahasiswa.
(f) PKM Penulisan Ilmiah (PKMI) yang memberikan kesempatan
kepada mahasiswa untuk berkreasi melalui kegiatan penulisan
ilmiah baik yang bersumber dari PKMP, PKMT, MKMK,
PKMM maupun kegiatan ilmiah lainnya.
Dalam penulisan proposal PKM, kata kunci terpenting adalah
“KREATIVITAS” yang merupakan ciri khas program ini. Oleh sebab
itu, penulisan PKM yang tidak mengandung unsur kreativitas sangatlah
susah untuk dapat lolos dan dibiayai. Perlu ditekankan bahwa PKM ini
tidak sama dengan proposal yang disusun oleh mahasiswa untuk
menyelesaikan tugas akhirnya yang pada umumnya bersifat sangat
ilmiah.
Kata kreatif yang menjadi kunci keberhasilan penyusunan
proposal PKM ini menurut Encyclopedia Britanica (2002) adalah “The
GENERASI KAMPUS, Volume 2, Nomor 2, September 2009
Hariadi, S.Pd., M.Kes. adalah dosen jurusan Pendidikan Jasmani, Kesehatan dan Rekreasi (PJKR) FIK UNIMED
128
ability to make or otherwise bring into existence something new, whether a new
solution to a problem, a new method or device, or a new artistic object or form”.
Sedangkan definisi menurut Roget’s II Thesaurus, kreatif itu adalah “
characterized by or productive of new things or new idea : innovative, inventive” Jadi
mahasiswa yang kreatitif itu memiliki tiga ciri, yaitu adalah “promoting
construction or creation”, “having ability of power to create” dan “having the power
or productive of new things or new ideas”. Ide baru yang dimaksud disini tidak
selalu harus seluruhnya baru (original) ataupun harus canggih, akan tetapi
dapat berarti sesuatu ide yang dibuat dengan cara memodifikasi ide yang
sudah ada sehingga berubah menjadi ide lain yang lebih kreatif.
Sebagai contoh apabila suatu kelompok mahasiswa mengajukan
judul seperti “Komersialisasi produk bakso”, maka akan sulit bagi kelompok
ini untuk mendapatkan dana PKM, mengapa? Kita semua sudah tau
bahwa produk bakso tersebut sudah sangat dikenal dimasyarakat. Oleh
sebab itu, judul yang diajukan oleh kelompok mahasiswa ini menjadi
“biasa-biasa” saja yang tidak ada unsur kreativitas didalamnya, artinya
kelompok mahasiswa ini mengajukan kegiatan PKM yang sudah menjadi
kegiatan keseharian masyarakat. Lain halnya jika judul PKM di atas
dirubah menjadi “Komersialisasi produk bakso berkalsium tinggi, sehat dan
aman untuk dikonsumsi”. Dalam hal ini, mahasiswa berusaha untuk
memadukan hasil penelitian yang sudah ada dan memanfaatkan tren gaya
hidup sehat masyarakat dalam unsur “bakso” yang sangat digemari oleh
masyakat Indonesia. Sumber kalsium yang digunakan oleh mahasiswa ini
misalnya berupa hasil olahan dari limbah pemotongan ayam, yaitu berupa
tulang rawan kaki yang harganya sangat murah. Tulang rawan ini
selanjutnya diproses untuk menjadi tepung tulang rawan yang merupakan
sumber kalsium utama bakso yang dibuatnya. Dengan mamadukannya
dengan proses pembuatan yang higienis, maka tercipta bakso baru yang
GENERASI KAMPUS, Volume 2, Nomor 2, September 2009
Hariadi, S.Pd., M.Kes. adalah dosen jurusan Pendidikan Jasmani, Kesehatan dan Rekreasi (PJKR) FIK UNIMED
129
diharapkan dapat mengakomodasikan tren gaya hidup sehat dengan
menkonsumsi kalsium tinggi. Sehingga disamping susu berkasium tinggi
yang harganya relatif mahal, masyarakat diberi alternatif lain yang lebih
murah, tanpa mengubah kegemarannya mengkonsumsi bakso.
Contoh lain dari judul PKM yang cukup kreatif adalah
“Pemanfaatan limbah whey keju dalam pembuatan nata” ada dua unsur kreatif
yang terkandung pada judul ini, yaitu limbah whey dan nata yang dibuat
dari whey. Dalam pembuatan keju, sering whey menjadi limbah, karena
nilai ekonomisnya sangat rendah. Apabila limbah ini dibiarkan, maka
limbah ini dapat mencemari lingkungan dan membahayakan kesehatan
masyarakat. Dengan memanfaatkan limbah ini dan mengubahnya
menjadi produk lain, yaitu menjadi nata, maka diharapkan kelompok
mahasiswa ini dapat membantu memecahkan masalah lingkungan.
Apabila terdengar kata nata, secara otomatis kita membayangkan
suatu produk yang dibuat dari air kelapa yang bentuknya kubus kecil
dengan warna putih dan rasa khas kelapa, yaitu yang sering disebut nata
de coco. Kelompok mahasiswa ini telah berhasil mencari alternatif lain
dalam pembuatan nata secara kreatif, yaitu dengan cara menumbuhkan
bakteri dalam whey. Kualitas nata yang dihasilkan sangat baik, sebab
disamping aroma dan kekenyalannya cukup baik, produk ini dapat dibuat
dengan berbagai rasa dan bentuk sesuai dengan selera masyarakat.
Contoh ketiga judul PKM yang dinilai cukup kreatif adalah
“Ekstrak daun sirih sebagai obat mastitis pada sapi perah” Kelompok
mahasiswa ini berusaha untuk memecahkan masalah utama dalam
industri sapi perah, yaitu penyakit mastitis. Penyakit ini disebabkan oleh
bakteri yang mengakibatkan susu menjadi rusak dan tidak layak untuk
dikonsumsi. Disamping itu, susu yang dihasilkan oleh sapi yang terkena
mastitis akan ditolak oleh industri pengolahan susu yang tentunya
GENERASI KAMPUS, Volume 2, Nomor 2, September 2009
Hariadi, S.Pd., M.Kes. adalah dosen jurusan Pendidikan Jasmani, Kesehatan dan Rekreasi (PJKR) FIK UNIMED
130
mengakibatkan kerugian yang besar bagi peternak. Dalam pengobatan
mastisis ini, biasanya digunakan antibiotik yang harganya mahal dan tidak
terjangkau oleh peternak rakyat. Dengan memanfaatkan pengetahuan
tradisional masyarakat tentang khasiat daun sirih sebagai antiseptik dan
mungkin juga antibiotik, kelompok mahasiswa ini mencoba mencari
alternatif pengobatan lain selain menggunakan antibiotik. Dengan
berbagai teknik ekstraksi dan cara aplikasinya, kelompok ini telah berhasil
mengurangi kejadian mastitis pada sapi perah melalui pengobatan yang
yang ramah lingkungan.
Jadi dengan mengamati contoh di atas, jelas tergambar bahwa
program PKM yang diajukan tersebut bukan merupakan sesuatu yang
baru, akan tetapi merupakan modifikasi ide yang telah ada dengan cara
lebih kreatif.
Seringkali mahasiswa dalam pencarian ide dan penyusunan
proposal terjebak dalam nilai kemutlakan ilmiah. Perlu selalu diingat
bahwa sesuatu yang ilmiah itu belum tentu kreatif demikian juga
sebaliknya. Sebagai contoh apabila ada kelompok mahasiswa yang
mengajukan judul “mekanisme penyerapan kalsium dalam darah orang
dewasa”, maka kemungkinan besar evaluator menilai proposal yang
diajukan dengan judul ini tidak kreatif, sebab judul tersebut terlalu ilmiah
dan tidak mengandung untur kreativitas. Hal-hal seperti inilah yang
sering terjadi dimana mahasiswa menulis proposalnya dengan mengacu
pada tugas akhirnya tanpa memodifikasinya sesuai dengan persyaratan
PKM.
Seringkali mahasiswa mengalami kesulitan dalam membuat ide
awal yang akan ditulis dalam proposal. Kita harus ingat bahwa untuk
menjadi kreatif, kita harus dapat membuka belenggu kebiasaan yang ada.
Sebagai contoh dalam menulis sesuatu, ditabukan untuk menulisnya
GENERASI KAMPUS, Volume 2, Nomor 2, September 2009
Hariadi, S.Pd., M.Kes. adalah dosen jurusan Pendidikan Jasmani, Kesehatan dan Rekreasi (PJKR) FIK UNIMED
131
dengan menggunakan tinta merah dan dianjurkan untuk menulisnya
dengan tinta warna hitam atau biru, rapi dan dengan haruf yang sama
besarnya. Kebiasaaan seperti ini tanpa kita sadari telah menjadi belenggu
kreativitas kita. Selama komposisi huruf dan warna menarik, tulis saja
sesuai dengan imajinasi anda. Tentu saja kita harus melanggar kebiasaan,
yaitu dengan cara menulis kalimat dengan berbagai kombinasi huruf dan
warna, termasuk warna merah didalamnya. Jadi jika kita ingin berpikir
kreatif, cara berpikir kita harus melewati batas-batas kebiasaan, tradisi
atau norma yang ada.
Selanjutnya setelah kita telah terbebas dari belengggu ini akan
mengalir berbagai ide liar yang terpikir sesaat. Ide-ide liar yang mengalir
ini harus segera ditulis segera sebelum kita lupa. Dalam menciptakan
ide-ide ini kita tidak perlu takut membuat kesalahan, sebab nantinya
setelah dicatat, kita harus kembali membaca dan merenungkan serta
merangking ide-ide tersebut berdasarkan prioritas, realisasi ide dan
peluangnya untuk berhasil didanai. Dengan cara ini dalam satu hari saja
tidak menutup kemungkinan akan banyak sekali ide yang muncul dan
diharapkan tidak ada lagi mahasiswa yang tidak mengikuti kompetisi
PKM, dengan alasan tidak memiliki ide.
Menulis proposal sesuai dengan format yang diminta oleh pihak
DIKTI merupakan suatu keharusan. Setelah membaca judul, biasanya
evaluator melihat dulu apakah proposal yang akan dievaluasi tersebut
sudah sesuai dengan format yang diminta. Sering kali, karena mengejar
batas akhir pengumpulan, proposal dikirim tanpa lembar pengesahan
atau ada bagian-bagian yang seharusnya ada di proposal didak ada di
dalam proposal. Seleksi awal kelengkapan bagian-bagian yang harus ada
dalam proposal PKM merupakan cara yang efektif bagi evaluator untuk
menentukan kelayakan proposal tersebut untuk dibiayai. Dalam hal ini
GENERASI KAMPUS, Volume 2, Nomor 2, September 2009
Hariadi, S.Pd., M.Kes. adalah dosen jurusan Pendidikan Jasmani, Kesehatan dan Rekreasi (PJKR) FIK UNIMED
132
bagaimana mungkin evaluator akan yakin bahwa kelompok mahasiswa
tersebut dapat menjalankan program PKM nya, jika dalam menulis
proposalnya saja sudah tidak lengkap dan jelas. Oleh sebab itu, apabila
sudah mendapatkan kesepakatan ide yang akan dituangkan dalam
proposal, bacalah dan panduan penulisan PKM (biasanya dikirim ke
masing-masing perguruan tinggi, atau dapat diperoleh melalui internet)
dengan cermat dan ikuti semua persyaratan yang tercantum dalam
format, termasuk didalamnya besar huruf, ukuran kertas, bagian-bagian
yang harus ada, tata cara penulisan pustaka dll. Jadi sangat disayangkan
jika ide yang baik dari mahasiswa tidak didanai dalam kegiatan PKM,
karena ditulis tidak sesuai dengan format.
Harus disadari bahwa kualitas sumber daya manusia dan
antusiasme pembina kemahasiswaan dan mahasiswanya untuk mengikuti
kegiatan PKM sangat bervariasi. Ada perguruan tinggi yang sudah
memiliki sistem pembinaan dan kaderisasi mahasiswa untuk mengikuti
PKM yang sangat baik, akan tetapi tidak dapat kita pungkiri juga ada
perguruan tinggi yang tampaknya kurang perduli dengan kegiatan PKM
ini. Biasanya di perguruan tinggi yang perduli dengan program PKM,
penyebaran informasi PKM telah dilakukan dengan baik. Disamping itu,
untuk meningkatkan minat biasanya dilakukan pelatihan-pelatihan cara
penyusunan proposal PKM secara teratur. Di perguruan tinggi seperti
ini biasanya, mahasiswa hampir tidak memiliki kesulitan untuk
berkonsultasi dengan pakar (pembimbing), sebab pembimbing tersebut
sudah terbiasa dan memiliki kemampuan yang memadai untuk
meningkatkan motivasi, menajamkan serta membungkus ide dari
mahasiswa untuk menjadi proposal yang menarik.
Hal lain yang penting untuk diingat bahwa para pakar tersebut
tentunya tidak hanya terdapat di laboratorium dan jurusan (departemen)
GENERASI KAMPUS, Volume 2, Nomor 2, September 2009
Hariadi, S.Pd., M.Kes. adalah dosen jurusan Pendidikan Jasmani, Kesehatan dan Rekreasi (PJKR) FIK UNIMED
133
dimana mahasiswa tersebut berada. Mahasiswa harus secara aktif
berkonsultasi dan mencari pakar yang diharapkan dapat membantu
menuangkan idenya ke dalam proposal di luar bagian/laboratorium, di
luar jurusan/depertemen, bahkan di luar fakultasnya. Melalui cara ini
diharapkan mahasiswa dapat memperluas wawasannya dan mempertajam
idenya.
Pembentukan kelompok penyusun proposal akan sangat
menentukan keberhasilan suatu prorsal. Oleh sebab itu, janganlah pola
pemikiran kita terkungkung oleh kurungan laboratorium, bagian, jurusan
atau fakultas dimana mahasiswa berada. Sebagai contoh untuk judul
PKM “Pembuatan alat pembuat tapioka tanpa ampas”, komposisi anggota
tim, harus berasal dari berbagai disiplin ilmu, yaitu teknik mesin untuk
merancang peralatan, agronomi untuk mengetahui biologi dan stuktur
fisik singkong, serta teknologi pangan untuk mengevaluasi kualitas pati
tapioka yang dihasilkan. Oleh sebab itu, jika judul ini hanya dilakukan
oleh mahasiswa jurusan mesin saja, dikhawatirkan akan ada unsur yang
tidak terbahas dengan baik dan akan berakibat kurangnya kualitas
proposal.
Dalam rangka kaderisasi, susunlah anggota tim yang terdiri dari
berbagai tingkat sehingga diharapkan ada unsur pembinaan yang
berkelanjutan. Hindari penyusunan seluruh angota kelompok yang
terdiri dari mahasiswa tingkat akhir semuanya. Perlu kita ingat bahwa
rentang waktu dari pemberitahuan, pelaksanaan sampai ke PIMNAS
sering kali memakan waktu 1 tahun. Oleh sebab itu, jika komposisi
anggota tim semuanya terdiri dari mahasiswa tingkat akhir, maka
dikhawatirkan, pelaksanaan PKM tidak berjalan dengan baik sebab secara
bersamaan mahasiswa tersebut disibukkan dengan tugas akhir.
Disamping itu sering kali judul PKM yang diundang ke PIMNAS tidak
GENERASI KAMPUS, Volume 2, Nomor 2, September 2009
Hariadi, S.Pd., M.Kes. adalah dosen jurusan Pendidikan Jasmani, Kesehatan dan Rekreasi (PJKR) FIK UNIMED
134
dapat dihadiri oleh anggota timnya, karena semua anggotanya telah lulus.
Kaderisasi merupakan kunci keberhasilan suatu perguruan tinggi dalam
mempertahankan reputasi ilmiah mahasiswanya dalam ajang PKM. Oleh
sebab itu, perguruan tinggi diharapkan dapat menyusun strategi
pembinaan ilmiah mahasiswanya agar prestasi ilmiahnya dapat menonjol
dan konsisten.
Disamping dua hal di atas, perlu juga diperhatikan keserasian
dan kecocokan anggota tim. Diharapkan bahwa semua angota tim
memiliki penjabaran tugas yang jelas dan berbeda dengan anggota tim
lainnya agar efisiensi dapat tercapai. Oleh sebab itu, di dalam pedoman
penyusun proposal PKM diharuskan untuk mencantumkan Riwayat
Hidup lengkap bagi ketua dan anggota kelompok, serta pembimbing.
Dalam hal ini, evaluator akan menilai kesesuaian bidang mahasiswa dan
pembimbing dengan topik yang diajukan. Hal ini penting untuk dinilai
agar ada suatu jaminan bahwa kelompok tersebut dengan bimbingan
pembimbing dapat melaksanakan dengan baik apa yang tertulis di
proposal.
Penyusun proposal diharapkan dapat merencanakan seluruh
kegiatan PKM nya dengan baik sebelum mengajukan proposal agar dapat
mengantisipasi tahapan-tahapan yang akan dilalui. Perencanaan ini harus
disesuaikan dengan tahapan-tahapan yang akan dilalui oleh penyusun
proposal apabila proposalnya kelak diterima.
C. PENUTUP
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa dalam penyusunan
proposal PKM ada beberapa unsur soft skill yang harus dimiliki
mahasiswa, antara lain perlunya kreatifitas untuk memanfaatkan ide-ide
yang sudah ada untuk dikembangkan menjadi ide baru yang lebih
GENERASI KAMPUS, Volume 2, Nomor 2, September 2009
Hariadi, S.Pd., M.Kes. adalah dosen jurusan Pendidikan Jasmani, Kesehatan dan Rekreasi (PJKR) FIK UNIMED
135
menarik, berguna dan bermanfaat. Kedispilinan untuk mengikuti aturan
yang telah ditetapkan dalam buku panduan, kerjasama yang baik antar
anggota kelompok, kemampuan berkomunikasi secara tulisan,
menjunjung tinggi nilai-nilai ilmiah, serta integritas dan kejujuran
melaksanakan kegiatan yang telah diajukan dalam proposal. Dengan
demikian lolosnya suatu proposal PKM menjadi kegiatan yang didanai
oleh Dikti merupakan hasil dari kerja keras baik sebagai individu maupun
kelompok dengan bantuan dosen pembimbing. Program PKM
diharapkan dapat melatih dan mengasah kemampuan soft skill
mahasiswa .
D. DAFTAR PUSTAKA
Direktorat Penelitian dan Pengabdian Kepada Masyarakat, (2009). Pedoman Program Kreativitas Mahasiswa. Jakarta :Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, Departemen Pendidikan Nasional
Ronny Rachman Noor (2008) Kiat-kiat Sukses Penulisan Proposal Program Kreativitas Mahasiswa. Bogor: Lembaga Penelitian dan Pengabdian Masyarakat IPB. Diunduh tanggal 16 September 2009 dari http://web.ipb.ac.id/~lppm/ID/index.
Illah Sailah (2006) Pengembangan Soft Skills di Perguruan Tinggi. Jakarta : Tim Pokja Pengembangan Soft Skills dan KBK DIKTI ; Kepala P2SDM LPPM IPB
Pramudiana, Yudi. Kapan Anda Memerlukan Kreativitas. Diunduh tgl 18 September 2009 dari http://yudipram.wordpress.com
PETUNJUK BAGI PENULIS
1. Artikel belum pernah dimuat dalam media cetak/elektronik lain, diketik 1,5 spasi pada kertas A4 sepanjang 10 – 15 halaman, dalam betuk soft copy (MS Work) dan hasil ceak (print out) sebanyak satu eksemplar. Diserahkan paling lambat satu bulan sebelum bulan penerbitan.
2. Artikel merupakan hasil penelitian atau non penelitian ( gagasan konseptual, kajian teori, aplikasi teori) yang dimuat dalam Majalah/Jurnal Generasi Kampus.
3. Artikel ditulis dalam bentuk esai, disertai judul subbab (heading). Peringkat judul subbab dinyatakan dengan karakter huruf yang berbeda : 1) peringkat 1 (huruf besar semua rata dengan tepi kiri). 2) Peringkat 2 (huruf besar-kecil dan cetak tebal), 3) Peringkat 3 (huruf besar pada awal subbab, dicetak miring dan tebal)
4. Artikel hasil penelitian memuat :a. Judul b. Nama Penulisc. Abstrak, dalam bahasa Ingris/Indonesia (memuat tujuan, metode, dan hasil
penelitian : 50 – 80 kata)d. Kata-kata kunci)e. Pendahuluan ( tanpa subjudul, memuat latar belakang masalah, perumusan
masalah, dan rangkuman kajian teoritik)f. Metode penelitiang. Hasil penelitian h. Pembahasan i. Kesimpulan dan saranj. Daftar pustaka
5. Artikel Non Penelitian memuat :a. Judul b. Nama Penulisc. Abstrak, dalam bahasa Ingris/Indonesia ( 50 – 80 kata)d. Kata-kata kunci)e. Pendahuluan ( tanpa subjudul, pengantar topic utama diakhiri dengan rumusan
tentang hal-hal pokok yang akan dibahas).f. Sub Judul (sesuai dengan kebutuhan)g. Sub Judul (sesuai dengan kebutuhan) h. Sub Judul ( sesuai dengan kebutuhan)i. Penutup ( atau kesimpulan dan saran)j. Daftar pustaka
6. Daftar pustaka hanya mencantumkan sumber yang dirujuk dalam uraian tulisan saja, diurutkan secara alfabetis, disajikan seperti contoh beikut :
Dryden G dan Dr. Vos Jeannette. (2001). Revolusi Cara Belajar. Bandung : Kaifa.Heninic, Molenda. Russel dan Smadino (1996). Intructional Media and Technology for
Learning. New Jersey :Prentice Hall Inc
ISSN 1978-869X