103
KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA 2010 PEDOMAN NASIONAL

Juknis HIV: Pedoman iIPP

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: Juknis HIV: Pedoman iIPP

KPA

OMISIENANGGULANGANIDS

KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA2010

PEDOMAN NASIONAL

Page 2: Juknis HIV: Pedoman iIPP

1Kementerian Kesehatan Republik Indonesia

Pedoman Intervensi Perubahan Perilaku

BAB IPENDAHULUAN

Page 3: Juknis HIV: Pedoman iIPP

2 Kementerian Kesehatan Republik Indonesia

Pedoman Intervensi Perubahan Perilaku

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

1. Perkembangan AIDS

Human Immunodeficiency Virus (HIV) dan sindromnyayang disebut Acquired Immune Deficiency Syndrome(AIDS), ditemukan pada tahun 1982. Perkembanganpermasalahan HIV dan AIDS semakin lama semakinmengkhawatirkan baik dari segi kuantitatif maupunkualitatif. Dalam kurun waktu 20 tahun terakhir inijumlahnya telah mencapai lebih dari 60 juta orang dan20 juta diantaranya telah meninggal.Tidak mengherankan apabila permasalahan HIV dan AIDStelah menjadi epidemi di hampir 190 negara. DataUNAIDS pada bulan Desember 2004 tercatat ada 35,9 -44,3 juta ODHA. Dan 2,0-2,6 juta diantaranya adalahanak-anak berusia di bawah 15 tahun. Data yang samamenunjukkan bahwa proporsi perempuan mencapai49,74 %, yang berarti semakin besar kemungkinanperempuan melahirkan bayi yang telah atau akanterinfeksi HIV. Selain itu akan semakin banyak pula anak-anak yatim piatu karena orang tuanya meninggaldisebabkan AIDS.

Page 4: Juknis HIV: Pedoman iIPP

3Kementerian Kesehatan Republik Indonesia

Pedoman Intervensi Perubahan Perilaku

2. Perkembangan Kasus HIV dan AIDS di Indonesia

Kasus HIV dan AIDS di Indonesia pertama kali ditemukan pada tahun 1987 di Bali.Setelah itu masih dapat dikatakan, tidak terjadi penambahan kasus secara signifikan.Akan tetapi pada tahun 1993 terjadi ledakan kasus di Indonesia, yaitu penambahankasus melebihi 100. Hal tersebut melatarbelakangi terbitnya Keppres No. 36Tahun 1994 tentang Komisi Penanggulangan AIDS (KPA) yang mempunyai tugasutama untuk menanggulangi penyebaran HIV dan AIDS di Indonesia. Kemudiandiperbarui dan diperkuat dengan terbitnya Peraturan Presiden nomer 75 tahun2006 yang mengatur tentang pembentukan, kedudukan dan tugas dari KomisiPenanggulangan AIDS Nasional. Penambahan angka HIV dan AIDS terus meningkatdan pada Maret 2005, dilaporkan bahwa sejak tahun 1987, terdapat 6.789 kasusHIV dan AIDS. Hal terebut menunjukkan, bahwa di Indonesia telah terjadipeningkatan yang sangat cepat dan tajam. Pada tahun 2000 penambahan kasusbaru melebihi angka 500 dan pada tahun 2002 telah mendekati angka 1.000.

Berdasarkan pada laporan nasional estimasi populasi dewasa rawan terinfeksi HIVtahun 2006, trend perkiraan peningkatan kasus HIV di Indonesia:

• Estimasi populasi rawan 6.466.480.• Estimasi prevalensi HIV (tinggi) pada penularan melalui hubungan seksual

yang tertinggi adalah pada kelompok waria 25,20%. Sedangkan estimasiprevalensi HIV (tinggi) yang terendah pada pasangan pelanggan WPS 0,62%.

• Orang ODHA 165.600.

Perkiraan ODHA(Anak-anak danDewasa) 2004

Sumber: UNAIDS & WHO,AIDS Epidemic Update:December 2004, UNAIDS,

2004.

Page 5: Juknis HIV: Pedoman iIPP

4 Kementerian Kesehatan Republik Indonesia

Pedoman Intervensi Perubahan Perilaku

Hal tersebut menunjukkan, bahwa Indonesia mau tidak mau, ingin tidak ingintelah masuk dalam epidemi yang mengkhawatirkan. Apabila tidak adatindakan yang nyata baik dari pihak eksekutif, legislatif, maupun masyarakat,maka angka kasus HIV dan AIDS akan semakin bertambah dan memperberatbeban negara di kemudian hari.

3. Pola Penularan HIV dan AIDS di Indonesia

Pada awal perkembangan HIV dan AIDS di dunia, pola penularannya terjadi padakelompok homoseksual. Hal ini menimbulkan penilaian bahwa AIDS adalah penyakitorang yang mempunyai perilaku seks ‘menyimpang‘. Hal tersebut tidak terjadi diIndonesia yaitu penularan HIV dan AIDS didominasi oleh hubungan seksheteroseksual bukan homoseksual seperti yang menjadi stigma selama ini. HIVdan AIDS dapat mengenai siapa saja. Pada awalnya kasus HIV ditemukan di kalangansub populasi risiko tinggi, misalnya: penjaja seks wanita dan pria, waria, laki-lakirisiko tinggi. Dalam perkembangannya ditemukan kasus-kasus HIV pada kelompokibu rumah tangga yang tidak berperilaku risiko tinggi dan hanya berhubunganseksual dengan suaminya. Pola ini terus berlanjut sampai sekarang dengan datapenularan melalui hubungan seks pada kelompok heteroseksual masihmendominasi penyebaran HIV dan AIDS di Indonesia.

Proporsi Infeksi Baru HIV pada sub populasi di Indonesia sampai tahun 2020.

Page 6: Juknis HIV: Pedoman iIPP

5Kementerian Kesehatan Republik Indonesia

Pedoman Intervensi Perubahan Perilaku

Pola penularan HIV di sub populasi pria risiko tinggi.

Pola penularan IMS di sub populasi pria risiko tinggi.

Page 7: Juknis HIV: Pedoman iIPP

Pedoman Intervensi Perubahan Perilaku

Page 8: Juknis HIV: Pedoman iIPP

Pola penularan HIV di sub populasi Laki Berhubungan Seks dengan Laki-laki.

Pola penularan berubah saat ditemukan kasus seorang ibu yang sedang hamil diketahuiterinfeksi HIV dan bayi yang dilahirkan ternyata juga positif terinfeksi HIV. Berartitelah terjadi penambahan pola penularan HIV dan AIDS dari ibu kepada bayi yangdikandungnya, disamping penularan melalui hubungan seks. Hal tersebut didukungdengan hasil survei pada tahun 2000 di kalangan ibu hamil di propinsi Riau dan Papuayang memperoleh angka kejadian infeksi HIV 0,35 % dan 0,25 %. Sedangkan tes sukarelapada ibu hamil di DKI Jakarta ditemukan infeksi HIV sebesar 2,86%. Berbagai datatersebut membuktikan bahwa epidemi HIV dan AIDS telah masuk pada penularan verticaldari ibu pada bayinya.

Ledakan kasus HIV yang terjadi di kalangan penyalahguna narkoba suntik (penasun)pada pertengahan dan akhir tahun 1990-an disebabkan penggunaan secara bersamajarum suntik yang tidak steril. Pada 1995 sampai Maret 2005, proporsi penularanmelalui penggunaan jarum suntik tidak steril meningkat lebih dari 50 kali lipat, dari0,65 % pada tahun 1995 menjadi 35,87% pada tahun 2004. Pada kurun waktu yangsama, proporsi penularan melalui hubungan seksual menurun cukup besar. Pada saatini penularan melalui penggunaan jarum suntik tidak steril menjadi urutan terbesarkedua setelah heteroseksual serta menjadi faktor risiko utama penularan HIV dan AIDSdi Indonesia.

Komisi Penanggulangan AIDS tingkat nasional memproyeksikan antara tahun 2007-2020, laki-laki yang terinfeksi HIV melalui hubungan seksual tidak aman dengan penjajaseks akan merupakan bagian terbesar dari kasus HIV yang baru. Proyeksi ini sejalandengan perkiraan Komisi Penanggulangan AIDS di tingkat kawasan Asia secarakeseluruhan,

Pedoman Intervensi Perubahan Perilaku

Page 9: Juknis HIV: Pedoman iIPP

8 Kementerian Kesehatan Republik Indonesia

Pedoman Intervensi Perubahan Perilaku

Beban negara bertambah berat, karena orang yang terinfeksi HIV telah masuk dalamtahap AIDS, terbanyak pada kelompok penasun, yaitu 46,48%. Sedangkan yangditularkan melalui hubungan heteroseksual hanya 36,23%. Permasalahan bukan hanyasekedar pemberian terapi antiretroviral (ARV), tapi uga harus memperhatikanpermasalahan adiksi pada penasun. Negara tidak boleh melalaikan permasalahanpencegahan penularan walaupun ada terapi ARV, karena ancaman penularan akanterus berlangsung seiring dengan pengobatan yang dilakukan.

Hasil pemodelan situasi HIV di Indonesia tren peningkatan jumlah ibu dan anakyang terkena HIV sampai tahun 2020.

4. Dampak Penyebaran yang Lebih Luas

Di Indonesia tren penularan HV merupakan pola epidemi terkonsentrasi yaitupenularan terbatas pada sub populasi berisiko saja. Sehingga perluasan penularanlebih banyak terjadi dari sub populasi berisiko pada pasangan seksual atauketurunannya.Gambar 8:Jejaring perilaku penularan HIV di Indonesia.

Page 10: Juknis HIV: Pedoman iIPP

9Kementerian Kesehatan Republik Indonesia

Pola penularan yang diuraikan di atas menunjukkan bahwa epidemi telah masukke kalangan yang lebih luas yang selama ini tidak termasuk dalam kategori

berperilaku risiko tinggi terhadap penularan HIV dan AIDS.

Sehubungan dengan itu diperlukan respon yang cepat dan tepat, karena situasiepidemi HIV dan AIDS sudah sangat mengkhawatirkan. Program HIV dan AIDSperlu diperluas dan ditingkatkan mutunya. Salah satu upaya adalah dengan semakinmengembangkan berbagai intervensi perubahan perilaku agar dapat mengubahperilaku dari peerilaku yang berisiko menjadi perilaku yang aman. Untuk itu perludikembangkan Pedoman Pelaksanaan Intervensi Perubahan Perilaku (IPP), agardapat menjadi acuan bagi berbagai pihak yang terkait dengan pengelolaan danpelaksanaan IPP tersebut.

Sumber: laporan survei surveilans perilaku tertular HIV 2004-2005, Depkes RI dan BPS.

Page 11: Juknis HIV: Pedoman iIPP

10 Kementerian Kesehatan Republik Indonesia

Pedoman Intervensi Perubahan Perilaku

B. Tujuan, Sasaran dan Dasar Kebijakan

1. Tujuan Pedoman

• Menyediakan acuan bagi pelaksanaan dan pengelolaan program intervensiperubahan perilaku (IPP) dalam rangka pencegahan penularan HIV dan AIDSmelalui hubungan seksual.

• Meningkatkan kapasitas para pengelola dan pelaksana yang terkait denganpelaksanaan program IPP dalam melaksanakan IPP sesuai dengan standar.

2. Sasaran

Buku Pedoman Pelaksanaan Intervensi Perubahan Perilaku disusun, dengan sasaran:• Institusi/Lembaga pemerintah yang terkait dengan program intervensi

perubahan perilaku (IPP) dalam rangka pencegahan penularan HIV dan AIDS.• Institusi/Lembaga non pemerintah yang terkait dengan program intervensi

perubahan perilaku (IPP) dalam rangka pencegahan penularan HIV dan AIDS.• Lembaga Swadaya Masyarakat yang terkait dengan program intervensi

perubahan perilaku (IPP) dalam rangka pencegahan penularan HIV dan AIDS.

3. Dasar Kebijakan

Buku Pedoman Pelaksanaan Intervensi Perubahan Perilaku disusun, denganberlandaskan pada:

• UU No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan.• UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia.• Peraturan Presiden No. 75 Tahun 2006 tentang Komisi Penanggulangan

AIDS Nasional.• Peraturan Menteri Dalam Negeri nomor 20 tahun 2007 tentang Pedoman

Umum Pembentukan Komisi Penanggulangan AIDS dan PemberdayaanMasyarakat Dalam Rangka Penanggulangan HIV dan AIDS di Daerah.

• Peraturan Menteri Dalam Negeri nomor 59 tahun 2007 tentang PerubahanAtas Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 13 Tahun 2006 TentangPedoman Pengelolaan Keuangan Daerah.

• Keputusan Bersama Menko Kesra selaku Ketua KPA (Nomor 20/Kep/Menko/Kesra/ XII/2003) dan Kapolri selaku Ketua BNN (Nomor B/01/XII/2003/BNN)tentang Pembentukan tim nasional upaya terpadu pencegahan penularanHIV dan AIDS dan pemberantasan penyalahgunaan narkotika, psikotropikadan zat /bahan adiktif dengan cara suntik.

Page 12: Juknis HIV: Pedoman iIPP

11Kementerian Kesehatan Republik Indonesia

Pedoman Intervensi Perubahan Perilaku

• Kesepakatan Bersama antara KPA (No 21 Kep/Menko/Kesra/XII/2003) danBNN (No B/04/XII/2003/BNN) tentang upaya terpadu pencegahan penularanHIV dan AIDS dan pemberantasan penyalahgunaan narkotika, psikotropikadan zat /bahan adiktif dengan cara suntik.

• Strategi Nasional Penanggulangan HIV dan AIDS 2007-2010.• Komitmen Sentani dalam memerangi HIV dan AIDS di Indonesia.• Rencana Strategis Departemen Kesehatan RI, 2008-2012.• Rencana Aksi Nasional, KPAN, tahun 2007-2010.• Millineum Development Goals, Tujuan 6 Memerangi HIV dan AIDS, Malaria

dan Penyakit Menular Lainnya.

Page 13: Juknis HIV: Pedoman iIPP

12 Kementerian Kesehatan Republik Indonesia

Pedoman Intervensi Perubahan Perilaku

Page 14: Juknis HIV: Pedoman iIPP

13Kementerian Kesehatan Republik Indonesia

Pedoman Intervensi Perubahan Perilaku

BAB II INTERVENSI

PERUBAHAN PERILAKU

Page 15: Juknis HIV: Pedoman iIPP

14 Kementerian Kesehatan Republik Indonesia

Pedoman Intervensi Perubahan Perilaku

BAB II INTERVENSI PERUBAHAN PERILAKU

A. Pengertian

1. Mengapa IPP diperlukan?

Dalam upaya penanggulangan HIV dan AIDS, secara umumintervensi dapat dikategorikan menjadi 2 kelompok besaryakni: 1) Intervensi Perilaku dan 2) Intervensi Biomedis.Intervensi, memiliki makna harfiah ‘mendatangi/memasukisesuatu di antara satu hal dengan hal lain’. Misalnya,menengahi antara layanan kesehatan dengan pasien/klien.Asumsi utama dari sebagian besar intervensi adalah untukmengurangi atau menekan biaya ekonomi dan sosial yangharus ditanggung jika intervensi tidak dilakukan ataudibiarkan begitu saja, tanpa dukungan apa pun.

Intervensi, khususnya perubahan perilaku dibutuhkan agarsetiap orang, terlebih populasi berperilaku risiko tinggidapat terhindar dari Infeksi Menular Seksual maupun HIV.Intervensi dibutuhkan agar orang yang berperilaku risikotinggi memahami cara-cara melindungi diri, sehinggaterhindar dari penularan. Dalam hal ini pencegahan atasrisiko yang lebih buruk lebih diutamakan, mengingatbeberapa pertimbangan sebagai berikut:

Page 16: Juknis HIV: Pedoman iIPP

15Kementerian Kesehatan Republik Indonesia

Pedoman Intervensi Perubahan Perilaku

a. HIV belum dapat disembuhkan, sehingga mencegah agar tidak menjadi HIVpositif sangatlah menguntungkan dibanding mengatasi masalah yang munculsetelah menjadi positif.

b. Jika telah positif HIV, untuk mempertahankan kualitas hidup yang baik, makapada tingkat tertentu harus mengkonsumsi ARV. ARV adalah obat yangharus diminum seumur hidup. Dengan demikian biaya ekonomi yang harusditanggung untuk menyediakan obat agar dapat diminum secara teraturharus ditanggung seumur hidup pula.

c. Stigma masih melekat kuat pada orang-orang yang telah terinfeksi HIV,sehingga biaya psikososial yang harus ditanggung pun sangat besar.

Di dalam peta penanggulangan HIV dan AIDS secara komprehensif (lihat gambar 9),upaya intervensi dilakukan pada orang yang masih berstatus negatif, telah terpajan,dinyatakan HIV positif, dalam tahap AIDS, bahkan dalam stadium terminal. Padasetiap fase tersebut dibutuhkan penanganan spesifik sesuai kebutuhan dan keadaanyang dihadapi. Dalam hal ini IPP memiliki peran esensial untuk mendukungkeseluruhan kontinum intervensi meliputi pencegahan, pengobatan, perawatan dandukungan dengan komunikasi strategis. Beberapa contoh di bawah inimenggambarkan peran IPP dalam upaya penanggulangan tersebut.

Bagi orang yang masih berstatus negatif, intervensi utama yang perlu dilakukanadalah paparan mengenai pencegahan dan pemeliharaan perilaku positif agar statusnegatif dapat dipertahankan. Bagi orang yang berperilaku risiko tinggi namun masihnegatif, maka perlu segera melakukan tes HIV dan sangat disarankan mengikutikonseling paska tes dengan tujuan untuk membuat perencanaan lanjut berkaitandengan hasil tes tersebut. Perencanaan dalam proses konseling sangat pentinguntuk menekankan upaya perubahan atau mempertahankan perilaku positif bagiklien, maupun akses pengobatan yang diperlukan. Bagi orang yang telah berstatusHIV positif hingga sakit terminal, sangat dibutuhkan konseling lanjutan dalam rangkamengubah maupun mempertahankan perilaku positif. Sepanjang fase ini dukunganpsikososial, rohani dan ekonomi juga sangat penting dalam rangka meningkatkankualitas hidup.

Page 17: Juknis HIV: Pedoman iIPP

16 Kementerian Kesehatan Republik Indonesia

Pedoman Intervensi Perubahan Perilaku

Salah satu contoh konkrit diperlukannya kombinasi dan kesinambungan intervensi(perilaku dan biomedis) adalah pada program penanggulangan IMS pada penjajaseks. Bila intervensi perilaku tidak dilakukan, upaya memutus mata rantai penularanIMS pada penjaja seks dan pelanggan sulit dipertahankan. Intervensi kombinasiyang diperlukan adalah pengobatan IMS yang efektif (biomedis) dan penggunaankondom yang konsisten (perilaku). Pengobatan IMS yang efektif akanmenyembuhkan IMS. Namun demikian jika tidak disertai dengan intervensi perilakuuntuk menggunakan kondom secara konsisten, maka upaya pengobatan yangdilakukan akan sia-sia. Dalam waktu singkat penularan akan terjadi kembali antarpasangan seks tersebut, sehingga upaya menurunkan prevalensi IMS pada kelompoktersebut tidak akan mencapai hasil yang diharapkan.

PMTCT Pengobatan pelengkap Pengobatan paliatif

PEP Perawatan

dirumah

Terapi anti retroviral

Diagnosis, Terapi Infeksi Opotrunistik dan Profilaksis

Dukungan psiko-sosial-rohani-ekonomi

Konseling dan tes HIV sukarela

Pencegahan & Memelihara perilaku positif (IPP, KPP, IMS, UP dan IDU)

HIV (-) Terpajan HIV (+) AIDS Terminal

Cegah terpajan, tidak (+) Tunda terminal bagi AIDS

2. Pengertian Perubahan Perilaku

Dalam kaitan dengan penularan IMS, HIV dan AIDS dikenal adanya perilaku berisikodan perilaku aman. Perilaku berisiko adalah segala perilaku seksual dan non seksualyang menimbulkan risiko dan memungkinkan terjadinya penularan/infeksi IMS, HIVdanAIDS. Dengan kata lain:• Risiko adalah suatu situasi yang diambil seseorang .• Risiko terkena atau tertular HIV adalah sebagai situasi yang diambil yang dapat

membahayakan kesehatan seseorang tanpa diketahui.

Gambar 9

Page 18: Juknis HIV: Pedoman iIPP

17Kementerian Kesehatan Republik Indonesia

Pedoman Intervensi Perubahan Perilaku

• Seseorang dikatakan berisiko HIV jika orang tersebut berada pada suatukesempatan untuk terkena virus karena perilakunya, baik seksual maupunnon-seksual.

• Faktor-faktor yang membuat orang berisiko tertular HIV, diantaranya: faktorbiologis, budaya, ekonomis dan psikologis.

Perilaku aman adalah segala perilaku seksual dan non-seksual yang terhindar darisuatu potensi risiko tertular maupun menularkan IMS, HIV dan AIDS, atau perilakuaman adalah segala perilaku seksual yang tidak memungkinkan terjadinyapenularan/infeksi IMS, HIV dan AIDS• Perilaku aman adalah suatu situasi yang diambil sebagai tindakan untuk

menghindar atau meminimalkan suatu risiko yang sedang dihadapi.• Perilaku aman yang berhubungan dengan IMS dan HIV adalah tindakan-tindakan,

baik secara seksual maupun non seksual yang membuat situasi aman danterhindar dari HIV.

Sehubungan dengan itu, dalam konteks penanggulangan HIV dan AIDS perubahanperilaku pada prinsipnya adalah perubahan dari perilaku yang berisiko terjadinyapenularan menjadi perilaku yang aman.

3. Intervensi Perubahan Perilaku

Intervensi Perubahan Perilaku (IPP) adalah pendekatan umum untuk mengubah perilakuberisiko dan mempertahankan perilaku positif melalui serangkaian kegiatan sesuaikebutuhan kelompok dengan menciptakan lingkungan yang mendukung perubahan individudan kolektif.

Dalam kaitan dengan intervensi, kita mengenal juga komunikasi perubahan perilaku (KPP).Komunikasi Perubahan Perilaku merupakan strategi IPP yang memungkinkan serangkaiankegiatan yang dirancang dalam IPP dilaksanakan, sehingga pesan-pesan intervensi diterimaoleh kelompok dan mendorong pada perubahan perilaku individu maupun kolektif. KPP,dengan definisi yang melekat padanya, yakni suatu proses interaktif yang melibatkanKD dan komunitas untuk merancang beragam pesan menggunakan berbagai macammedia dan saluran untuk mempromosikan, mengembangkan dan memelihara perilakupositif; maka ia berfungsi sebagai penggerak, pelumas sekaligus perekat berbagai kegiatandalam IPP. Dengan fungsi tersebut, maka KPP bertujuan untuk meningkatkan pengetahuan,mengubah sikap dan keyakinan, persepsi risiko, membangun keterampilan untukmengadopsi serta mempertahankan perilaku sehat.

Penerapan IPP menekankan adanya kombinasi dengan layanan dan produk(kondom, obat). IPP juga memberikan penekanan lebih besar pada advokasi danmobilisasi komunitas dalam mengupayakan transformasi sosial dimana perubahan

Page 19: Juknis HIV: Pedoman iIPP

18 Kementerian Kesehatan Republik Indonesia

Pedoman Intervensi Perubahan Perilaku

perilaku dapat terjadi dengan menciptakan lingkungan yang memampukanterjadinya perubahan pada individu yang didukung oleh perubahan nilai, sikapdan perilaku pada tingkat kolektif.

Dengan demikian tujuan IPP adalah:

• Mengurangi perilaku berisiko pada individu yang berperilaku risiko tinggi.

• Mempertahankan perilaku positif dengan menciptakan lingkungan yangmendukung perubahan perilaku individu dan kolektif.

Tujuan akhir program adalah penurunan prevalensi IMS, HIV dan AIDS melalui:

• Perubahan perilaku yang terjadi melalui penyebaran luasan informasi untukmeningkatkan pengetahuan dan ketrampilan kelompok perilaku risiko tinggimisalnya LSL, waria, HRM, WPS dan PPS.

• Upaya untuk menurunkan prevalensi dilakukan melalui kerjasama denganlembaga pelaksana, tokoh masyarakat, pemerintah, sektor usaha dengansehingga terbentuk lingkungan yang kondusif, yang mendukung kelompokperilaku risiko tinggi untuk mengubah perilakunya.

• Program lainnya adalah menyediakan produk dan layanan yang berkualitassehingga memudahkan kelompok perilaku risiko tinggi (khususnya) danmasyarakat (umumnya) mengubah perilakunya.

B. Efektivitas Intervensi Perubahan Perilaku

Intervensi Perubahan Perilaku dalam konteks upaya penanggulangan HIV dan AIDSsangat disarankan untuk mengacu/berdasarkan pada teori-teori sosial dan perilaku.Intervensi juga harus telah terbukti efektif melalui sebuah evaluasi program yangmenyeluruh. Jika populasi yang dimaksud sesuai dengan intervensi yang dipilih, makabisa saja intervensi dilakukan tanpa melakukan perubahan yang berarti, dengankeyakinan bahwa hasil yang diperoleh sama bagusnya dengan intervensi sebelumnya.Namun, bila karena alasan tertentu penyesuaian sangat perlu dilakukan, elemen kuncidari intervensi tersebut haruslah dipertahankan.

Penemuan model setelah dilakukannya intervensi berbasis evidence (di mana elemenkunci dipertahankan), tampaknya akan menunjukkan program yang efektif untukmengurangi risiko penularan HIV.

Intervensi berbasis evidence maksudnya adalah, intervensi perilaku, sosial danstruktural yang terkait erat dengan upaya pengurangan risiko HIV telah diuji

Page 20: Juknis HIV: Pedoman iIPP

19Kementerian Kesehatan Republik Indonesia

Pedoman Intervensi Perubahan Perilaku

menggunakan disain metodologi yang akurat, dan terbukti efektif dalam settingriset. Intervensi yang berbasis evidence atau sains telah dievaluasi denganmenggunakan outcome kesehatan atau perilaku; telah dibandingkan dengankelompok kontrol/pembanding (atau bila tanpa kelompok pembanding, misalnyadalam studi kebijakan, maka tersedia data pra dan pasca intervensi); tidak ada biasyang mencolok; atau jika pun ada bias yang terlalu kentara telah dilakukanpenyesuaian; serta secara signifikan memberikan hasil yang lebih positif biladibandingkan dengan kelompok kontrol/pembanding, dan tidak menunjukkan hasilyang negatif.

Intervensi sebagai suatu kegiatan atau serangkaian paket kegiatan yang bertujuanmengubah pengetahuan, sikap, keyakinan, perilaku atau tindakan individu maupunpopulasi untuk mengurangi perilaku berisikonya, haruslah memiliki proses, hasil yangakan dicapai (objectives dan outcomes) serta petunjuk tahapan implementasi yangjelas.

Namun, walau kita menggunakan intervensi yang telah dievaluasi dan terbukti efektif,atau pun mengembangkan suatu intervensi berbasis teori ilmiah, ada LIMA hal pentingyang harus diketahui mengenai populasi yang akan menjadi sasaran intervensi, yakni:

1. Komunitas atau populasi seperti apakah yang akan dijangkau (LSL, penasun,heteroseksual)?

2. Perilaku seperti apakah yang menempatkan mereka pada posisi berisiko (LSLyang melakukan seks anal tidak aman; penasun yang berbagi jarum suntik dan/atau berhubungan seks dengan banyak pasangan tanpa kondom; mereka yangberhubungan seks dengan banyak pasangan tanpa kondom; atau heteroseksualyang teridentifikasi sebagai LSL yang melakukan hubungan seks anal tidakaman)?

3. Faktor apakah yang dianggap berdampak pada perilaku risiko tingginya(penjajagan risiko stereotipe mengenai mereka yang dianggap berisiko,fatalisme, hirarki; perlindungan diri – keyakinan diri/self-efficacy atas hasil(outcome) yang diharapkan; emosi dan hasrat: isu-isu hubungan, peran gender,tekanan peer, dinamika kekuatan interpersonal; faktor-faktor struktural danlingkungan – rasisme, seksisme, dan kebijakan sosial)?

4. Tipe intervensi seperti apakah yang dapat menjawab faktor-faktor tersebut?Uraian mengenai hal ini dijelaskan di bagian C.

5. Teori atau model apakah yang dapat menjawab faktor-faktor tersebut?(Uraian singkat teori atau model terlampir)

Page 21: Juknis HIV: Pedoman iIPP

20 Kementerian Kesehatan Republik Indonesia

Pedoman Intervensi Perubahan Perilaku

Selain lima hal penting di atas, berdasarkan pengalaman yang ada di Indonesia,efektivitas intervensi perubahan perilaku dipengaruhi juga oleh:

1. Ragam kegiatan yang dijalankan di lapangan. Semakin beragam kegiatan,semakin besar kemungkinan mempengaruhi perubahan perilaku populasisasaran daripada hanya mengandalkan kegiatan tunggal.

2. Pilihan kombinasi dari ragam kegiatan yang ada. Kombinasi yang salingmelengkapi dan memperkuat adalah yang terbaik daripada menjalankankegiatan yang beragam tetapi tidak saling terkait.

3. Besar-kecilnya populasi sasaran. Semakin kecil semakin kuat pengaruhintervensi terhadap perubahan perilaku karena frekuensi dan intensitaskegiatan bisa lebih optimal daripada menyasar populasi dalam jumlah besar.Populasi sasaran yang besar membutuhkan pentahapan dan dukunganprogram yang lebih besar (dana, SDM, teknologi, kebijakan, dan lembagamitra).

4. Konsentrasi populasi sasaran. Semakin terkonsentrasi semakin mempermudahpengorganisasian kelompok sasaran dan pelaksanaan kegiatan. Meskipunjumlah populasi sasaran besar namun jika cukup terkonsentrasi akan lebihmudah dari pada menyasar kelompok kecil dan tersebar.

5. Tingkat dan keluasan mobilitas populasi sasaran. Semakin mobile tentusaja semakin sulit dijangkau dan dipapar dengan program IPP. Hal inibertambah sulit jika mobilitas ke wilayah lebih luas dan dalam jarak yangjauh, misalnya ke luar kota.

6. Struktur sosial yang melingkupi. Populasi sasaran dengan struktur sosialyang jelas dan solid membuat IPP bisa dijalankan lebih efektif daripadapopulasi sasaran dengan struktur sosial yang cair.

Pengalaman Lapangan, Contoh Efektivitas IPP

Contoh efektivitas IPP pada kelompok LSL yakni, intervensi pada LSL yang beradadi panti pijat laki-laki (berisi penjaja sekslaki-laki yang melayani klien laki-laki),cenderung lebih sukses dibanding IPP pada segmen LSL yang lain yang biasanongkrong di mal, diskotik, terminal, tempat wisata atau di lokasi lain.

LSL di panti pijat memenuhi hampir semua situasi yang mendukung efektivitaspelaksanaan IPP: jelas tempatnya, jumlahnya tidak terlalu besar pada setiap panti

Page 22: Juknis HIV: Pedoman iIPP

21Kementerian Kesehatan Republik Indonesia

Pedoman Intervensi Perubahan Perilaku

pijat, terkosentrasi, tidak terlalu mobile, ada struktur yang jelas (pemilik, pengelolaharian, karyawan, dan LSL sebagai penjaja sekslaki-laki).

Berbagai ragam dan kombinasi kegiatan IPP karenanya langsung dapat disesuaikandengan setting tempat/lokasi yang ada, lebih intensif, mudah diubah sewaktu-waktu, bisa menyasar baik penjaja sekslaki-laki dan kliennya, dan layanan bisadibuat mobile langsung dilakukan di panti pijat (mobile clinic untuk IMS, mobileVCT dll). Efektvitas ini terlihat dari paparan IPP yang lebih tinggi dan lebih intens,seperti terlihat pada grafik berikut ini:

Seperti tergambar pada grafik, paparan intervensi menjadi lebih tinggi pada populasiLSL Panti Pijat dibandingkan pada segmen LSL lain. Keterpajanan yang lebih tinggidiasumsikan dapat mendongkrak perubahan perilaku ke arah seks yang lebih amandalam bentuk meningkatnya penggunaan kondom secara konsisten.Efektivitas yang sama terjadi juga pada program IPP di kelompok waria yangterkonsentrasi dalam jumlah besar (20-100 orang) daripada di kelompok waria yangterpencar dalam kelompok kecil.

LSL Panti Pijat (selama tahun 2008)

LSL Non Panti Pijat (selama tahun 2008, ambil sampel di 2 hot spot: mall dan kawasan Senen)

# KD terjangkau Frekuensi kontak/dijangkau # kondom diterima per KD # pelicin diterima per KD

# KD ikut PRI/PRK # KD ikut diskusi kelompok # KD yang dirujuk # KD yang tes IMS # KD yang tes HIV Pengetahuan Pemakaian kondom

Page 23: Juknis HIV: Pedoman iIPP

22 Kementerian Kesehatan Republik Indonesia

Pedoman Intervensi Perubahan Perilaku

Contoh efektivitas IPP pada kelompok Wanita Penjaja Seks (WPS) yakni, intervensiWPS di ‘lokalisasi/lokasi’ cenderung lebih sukses dibanding pada WPS di lokasi yangtersebar seperti jalanan.

WPS di ‘lokalisasi/lokasi’ memenuhi hampir semua situasi yang mendukungefektivitas pelaksanaan IPP: jelas tempatnya, jumlah tidak terlalu besar, atau jikaberjumlah besar maka tetap terkosentrasi, perubahan jumlah dan mobilitas WPSdi lokasi terpantau, ada struktur yang jelas (pemilik, pengelola harian, kelompokkeamanan, dan WPS).

Berbagai ragam dan kombinasi kegiatan IPP karenanya langsung dapat disesuaikandengan setting tempat/lokasi yang ada, lebih intensif, mudah diubah sewaktu-waktu, bisa menyasar baik WPS dan kliennya, dan layanan bisa dibuat mobilelangsung dilakukan di ‘lokalisasi/lokasi’ (mobile clinic untuk IMS, mobile VCT dll).Efektvitas ini terlihat dari paparan IPP yang lebih tinggi dan lebih intens, sepertiterlihat pada grafik berikut ini:

Waria Terkonsentrasi (data selama tahun 2009 pd waria di

lokasi pilot mobkom)

Waria Lokasi Lain (data selama tahun 2009 pd waria di

lokasi non pilot mobkom).

# KD terjangkau

Frekuensi kontak/dijangkau

# kondom diterima per KD # pelicin diterima per KD # KD ikut PRI/PRK

# KD ikut diskusi kelompok

# KD yang dirujuk # KD yang tes IMS # KD yang tes HIV Pemakaian kondom hubungan

seks terakhir (hasil SCPK) Pemakaian kondom hubungan

seks seminggu terakhir (hasil SCPK)

Page 24: Juknis HIV: Pedoman iIPP

23Kementerian Kesehatan Republik Indonesia

Pedoman Intervensi Perubahan Perilaku

C. Bentuk-Bentuk Intervensi Perubahan Perilaku

1. Intervensi di Tingkat Individu maksudnya adalah konseling pengurangan risikodan pendidikan kesehatan pada setiap individu dalam satu waktu. Intervensitingkat individu membantu klien dalam membuat rencana perubahan perilakuindividu serta penilaian yang berkelanjutan atas perilakunya. Intervensi ini jugamemfasilitasi terjadinya hubungan dengan layanan di dalam seting klinik maupunkomunitas dalam rangka mendukung perilaku dan prakteknya, serta membantuklien untuk membuat rencana dalam rangka mendapatkan layanan ini.

a. Intervensi tingkat Individu berbasis komunitas misalnya:••••• Penilaian Risiko Individu (PRI), termasuk konseling pengurangan risiko

dan pendidikan kesehatan serta jaringan ke layanan kesehatan. Dilakukanhanya oleh PL yang terlatih di tingkat komunitas.

••••• Layanan Hotline: termasuk konseling pengurangan risiko dan pendidikankesehatan.

b. Intervensi tingkat individu berbasis Fasilitas Kesehatan misalnya:••••• Layanan IMS:

o Penapisan IMS untuk WPS, Waria, PPS dan LSL

WPS di lokasi(selama tahun 2008)

WPS Non lokasi(selama tahun 2008, ambil sampel di

2 hot spot jalanan)

# KD terjangkau

Frekuensi kontak/dijangkau # kondom diterima per KD # pelicin diterima per KD

# KD ikut PRI/PRK

# KD ikut diskusi kelompok # KD yang dirujuk # KD yang tes IMS # KD yang tes HIV

Pengetahuan Pemakaian kondom

Page 25: Juknis HIV: Pedoman iIPP

24 Kementerian Kesehatan Republik Indonesia

Pedoman Intervensi Perubahan Perilaku

o Diagnosis dan pengobatano Konseling pengurangan risiko dan pendidikan kesehatano Pemantapan sistem rujukan untuk penyediaan layanan kesehatan

(misalnya, KTS, pengobatan dan perawatan Infeksi Oportunistik/IO, ART, perawatan paliatif, dll).

••••• Layanan KTS:o Manajemen/pengelolaan aspek psikologis dan mediso Konseling pengurangan risiko dan pendidikan kesehatano Pemantapan sistem rujukan untuk penyediaan layanan kesehatan

(misalnya, KTS, pengobatan dan perawatan IO, ART, perawatanpaliatif) atau kelompok dukungan.

o Penyediaan perawatan akut/kronis/paliatif (termasuk IO, ART) ataurujukan untuk pelayanan.

2. Intervensi di tingkat Kelompok maksudnya adalah konseling penguranganrisiko dan pendidikan kesehatan yang dilakukan dalam kelompok dengan jumlahanggota bervariasi. Intervensi di tingkat kelompok membantu klien membuatrencana perubahan perilaku individu serta penilaian yang berkelanjutan atasperilakunya. Intervensi di tingkat kelompok menggunakan model peer dan non-peer yang melibatkan berbagai macam ketrampilan, informasi, edukasi dandukungan.

a. Kelompok Dukungan Sebaya (KDS)b. Penilaian Risiko Kelompok (PRK) yaitu konseling pengurangan risiko dan

pendidikan kesehatan serta jaringan ke layanan. Difasilitasi hanya oleh PLyang terlatih di tingkat komunitas.

c. KDS Positif yakni kelompok orang positif yang difasilitasi Manager Kasus/konselor. Kegiatan KDS akan mencakup coping behavior, perbaikan kualitashidup, dan pelaksanaan pencegahan positif. Pada tahap lebih akhir, KDSakan difasilitasi juga oleh sesama orang positif. Dalam kegiatan ini konselingpengurangan risiko dan pendidikan kesehatan serta jaringan ke layanan jugaakan dilakukan.

3. Outreach. Intervensi pendidikan HIV/AIDS pada umumnya dilaksanakan olehpeer atau pendidik terlatih, dilakukan secara tatap muka dengan individu yangberperilaku risiko tinggi di suatu lingkungan atau area di mana mereka berkumpul.

Outreach meliputi kegiatan sebagai berikut:

a. Penyediaan/pemberian informasib. Promosi/peningkatan perilaku lebih aman

Page 26: Juknis HIV: Pedoman iIPP

25Kementerian Kesehatan Republik Indonesia

Pedoman Intervensi Perubahan Perilaku

c. Distribusi kondom/pelicin dan media KIE, dand. Rujukan ke layanan kesehatan.

4. Manajemen Kasus Pencegahan maksudnya adalah kegiatan pencegahan HIVyang berorientasi pada klien, dengan tujuan mendasar untuk mempromosikanperilaku pengurangan risiko pada klien yang memiliki banyak masalah,kompleks serta memiliki kebutuhan pengurangan risiko; sebuah kombinasiantara konseling pengurangan risiko dan managemen kasus tradisional yangmenyediakan konseling pencegahan, dukungan dan jembatan pada layanankesehatan yang bersifat intensif, berkelanjutan dan berorientasi pada individu.

5. Konseling dan Rujukan Layanan bagi Pasangan merupakan pendekatansistematis untuk menginformasikan pada pasangan seks maupun pasanganberbagi jarum suntik dari ODHA mengenai kemungkinan terpapar HIV, sehinggamereka dapat menghindarinya. Atau, jika telah terlanjur terinfeksi maka dapatmencegah penularan pada pihak lain. Konseling dan Rujukan Layanan bagiPasangan membantu mendapatkan akses konseling, tes HIV, evaluasi medis,pengobatan dan layanan pencegahan lain yang lebih dini serta lebih berorientasipada individu.

6. Komunikasi Kesehatan (KK) & Informasi Publik (IP) merupakan upayapenyampaian pesan HIV/AIDS yang terencana bagi khalayak sasaran melaluisatu atau lebih saluran komunikasi, dalam rangka untuk membangun dukunganumum bagi perilaku aman, mendukung usaha pengurangan risiko diri, dan/ataumenginformasikan individu yang berisiko terinfeksi mengenai cara memperolehlayanan yang spesifik. Termasuk dalam intervensi ini adalah

a. Kampanye multi-media terfokusb. Pengembangan media KIE terfokus (media cetak, bulletin dll) sertac. Sesi pendidikan singkat (presentasi, penyuluhan).

7. Konseling, Testing dan Rujukan adalah intervensi individu yang terdiri dari dari2 sesi (pra-tes dan pasca tes yang bertujuan untuk mempelajari serostatusterakhir); menjajaki risiko tertular dan menularkan HIV; menegosiasikanperubahan perilaku untuk mengurangi risiko menularkan atau tertular HIV; danmenyediakan rujukan tambahan seperti kebutuhan medis, pencegahan danpsikososial. Termasuk dalam intervensi ini adalah

a. Konseling Pra dan Pasca Tes, Tes HIV, sertab. Rujukan ke layanan yang relevan.

Page 27: Juknis HIV: Pedoman iIPP

26 Kementerian Kesehatan Republik Indonesia

Pedoman Intervensi Perubahan Perilaku

8. Intervensi Tingkat Komunitas merupakan intervensi yang berupaya untukmeningkatkan kondisi dan perilaku berisiko dalam suatu komunitas denganberfokus pada komunitas secara keseluruhan (bukan mengintervensi individumaupun kelompok kecil). Hal ini seringkali dilakukan dengan mengubah normasosial, kebijakan, atau karakteristik dari lingkungan. Termasuk dalam intervensiini adalah mobilisasi komunitas, kampanye pemasaran sosial, community-wideevents, intervensi kebijakan, dan intervensi strulktural.

a. Mobilisasi Komunitas

Yakni upaya seluruh anggota masyarakat, tokoh kunci dan pemangkukepentingan di semua tingkat yang berada di suatu wilayah bekerja samadalam mengidentifikasi dan menyelesaikan masalah untuk meningkatkankemampuan serta menghasilkan kesepakatan masyarakat dalam menanggapiepidemi HIV dan AIDS.

b. Kampanye Pemasaran Sosial

Pemasaran Sosial adalah aplikasi sistematis prinsip-prinsip marketing,bersama dengan konsep dan tehnik lainnya untuk mempengaruhi perilakumanusia dalam rangka meningkatkan kesehatan atau manfaat bagimasyarakat.

Dengan demikian kampanye pemasaran sosial adalah kampanye untukmempengaruhi perilaku manusia dalam rangka meningkatkan kesehatan ataumanfaat bagi masyarakat dengan menerapkan prinsip-prinsip marketingsecara sistematis.

Sehingga tujuan utama dari pemasaran sosial adalah terciptanya kemaslahatansosial, sementara itu tujuan pada pemasaran komersial adalah keuangan.

c. Community-wide events

Community-wide merujuk pada komunitas di lingkungan tertentu sepertimisalnya komunitas sekolah, kota, desa atau pun lainnya. Sedangkan Eventsdapat digunakan sebagai sarana untuk merayakan suatu kemenangan,meningkatkan kesadaran kebutuhan tertentu dalam komunitas, dan berbagipesan pada khalayak sasaran secara luas.

Page 28: Juknis HIV: Pedoman iIPP

27Kementerian Kesehatan Republik Indonesia

Pedoman Intervensi Perubahan Perilaku

d. Intervensi Struktural

Dalam pencegahan HIV bertujuan untuk memodifikasi struktur sosial,ekonomi dan politik, serta sistem di mana kita tinggal. Intervensi inidapat mempengaruhi tehnologi, legislasi, media, layanan kesehatan,dan pasar. Intervensi struktural dapat pula secara langsung mengubahlingkungan fisik di mana manusia tinggal, bekerja, bermain, ataumengambil risiko untuk membantu mengurangi penularan HIV.Intervensi struktural ini lebih menekankan tujuan untuk mengubahlingkungan dibandingkan perilaku individu.

e. Intervensi Kebijakan

Intervensi kebijakan adalah upaya untuk mempengaruhi atau merubahkebijakan yang selama ini telah ada dengan kebijakan yang baru ataudengan merubah hal-hal yang telah diatur sebelumnya untuk maksudtertentu. Kebijakan yang dimaksud bisa berupa undang-undang di tingkatyang lebih luas sampai peraturan yang mengatur kebijakan lokal disuatu komunitas atau masyarakat. Kegiatan yang dilakukan bisa berupaserangkaian upaya yang sistematis untuk mempengaruhi pengambilkeputusan ataupun membentuk peraturan baru seperti kegiatan legaldrafting (pembuatan undang-undang/peraturan)

Page 29: Juknis HIV: Pedoman iIPP

28 Kementerian Kesehatan Republik Indonesia

Pedoman Intervensi Perubahan Perilaku

Page 30: Juknis HIV: Pedoman iIPP

29Kementerian Kesehatan Republik Indonesia

Pedoman Intervensi Perubahan Perilaku

BAB IIIPENGELOLAAN

PROGRAM INTERVENSIPERUBAHAN PERILAKU

Page 31: Juknis HIV: Pedoman iIPP

30 Kementerian Kesehatan Republik Indonesia

Pedoman Intervensi Perubahan Perilaku

BAB III PENGELOLAAN PROGRAM INTERVENSI PERUBAHAN PERILAKU

Pengelolaan dalam program intervensi perubahan perilakupada prinsipnya sama dengan pengelolaan program secaraumum, yaitu: perencanaan, pelaksanaan sampai denganpemantauan dan evaluasi. Hal yang spesifik pada programintervensi perubahan perilaku adalah dilakukannya penjajakankebutuhan secara cepat sebagai bahan yang akan digunakanuntuk pengembangan rencana program.

Sehubungan dengan hal tersebut ruang lingkup pengelolaanprogram intervensi perubahan perilaku meliputi:

A. Penjajakan Kebutuhan Secara Cepat (PKSC)B. Pengembangan Rencana ProgramC. Penerapan Rencana ProgramD. Pemantauan dan Evaluasi

A. Penjajakan Kebutuhan Secara Cepat (PKSC)

Penjajakan Kebutuhan Secara Cepat (PKSC) atau Rapid NeedAssessment (RNA) adalah satu proses yang dilakukan secaracepat (beberapa hari sampai beberapa bulan) untukmenentukan dan menanggapi kebutuhan atau gap antara

Page 32: Juknis HIV: Pedoman iIPP

31Kementerian Kesehatan Republik Indonesia

Pedoman Intervensi Perubahan Perilaku

situasi saat ini dan situasi yang diinginkan, atau untuk memperkuat respon programyang telah ada.

Penjajakan (assessment) bukan evaluasi atau penilaian meskipun seringkalidipertukarkan penggunaannya. Penjajakan digunakan untuk menentukan apa yangterjadi, apa yang dibutuhkan, apa yang harus dilakukan segera. Evaluasi digunakanuntuk menentukan “nilai”, memberi bobot pada suatu pelaksanaan program.Misalnya, berhasil atau tidak berhasil, terlaksana penuh, terlaksana sebagian atautidak terlaksana.

Pada PKSC, kebutuhan yang dijajaki bisa beragam dan dalam pelaksanaannya perluditentukan terlebih dahulu agar informasi yang dikumpulkan sesuai dengan situasiyang ingin direspon. Kecepatan pelaksanaan penjajakan sangat beragam, namunumumnya berlangsung dalam beberapa hari dan jarang sekali yang sampai lebihdari satu bulan.

PKSC umumnya digunakan ketika data dibutuhkan segera, ketika keterbatasan danadan waktu menghalangi penggunaan teknik penelitian konvensional diterapkan.PKSC juga dapat diterapkan sesuai kebutuhan, misalnya ketika lembagamembutuhkan data relevan dan terkini guna mengembangkan, menerapkan danmengawasi atau mengevaluasi program-program kesehatan.

Singkatnya, PKSC adalah salah alat untuk membuat perencanaan program agar lebihsesuai kebutuhan dan konteks spesifik lapangan dan sasarannya sehingga tujuan akhirprogram dapat dicapai.

1. Prinsip-prinsip PKSC

Beberapa prinsip PKSC yang membedakannya dengan metode-metode asesmen ataupenjajakan lainnya adalah:

• Singkat waktu. PKSC umumnya dilaksanakan secara cepat dan dalam waktuyang singkat (beberapa hari sampai beberapa minggu). Diperlukan waktuyang cepat dan singkat karena kebutuhan data hasil PKSC adalah data yangurgen, segera akan digunakan untuk melakukan tindakan tertentu.

• Dana dan personel. Umumnya dibutuhkan dana yang jauh lebih kecil untukmelakukan PKSC daripada dana untuk melakukan riset-riset konvensional.Personel yang terlibat juga lebih sedikit, biasanya hanya 1-5 orang.

• Memanfaatkan data yang ada. PKSC dimulai dan selalu menggunakan datasekunder pada awalnya, baik data program, berita media massa atau data-data penelitian sebelumnya. Penggalian data primer dilakukan untuk

Page 33: Juknis HIV: Pedoman iIPP

32 Kementerian Kesehatan Republik Indonesia

Pedoman Intervensi Perubahan Perilaku

memperkuat, meyakinkan, mengklarifikasi atau mendapatkan data lain yangbelum tersedia pada data sekunder.

• Menggunakan berbagai sumber. PKSC menggunakan beragam sumber dancara pengumpulan data. Untuk memenuhi kepraktisan dan tenggat waktuyang cepat, data dikejar dari berbgai sumber menggunakan berbagai cara.

• Tetap dengan kecermatan tinggi. Meskipun data digali dari beragam sumbermenggunakan berbagai cara, namun proses dan akurasinya tetap perlu dijagasetinggi mungkin. PKSC tidak bergantung pada satu sumber atau satu survei.Cara-cara triangulasi digunakan untuk menjaga tingkat kecermatan ini.

• Menjaga relevansi praktis terhadap program. PKSC tidak dijalankan karenarasa ingin tahu atau kepentingan ilmiah belaka. Tetapi digunakan untukmembantu pengembangan intervensi perubahan perilaku. Relevansi ini yangperlu terus dijaga karena akan terus memfokuskan informasi apa yang harusdikejar.

• Memperkuat respon lokal. Proses dan hasil PKSC digunakan sebagai alatmemperkuat respon lokal yang daat dimainkan oleh beragam pihak sepertipemangku kepentingan lokal, dinas terkait, dan kelompok-kelompokmasyarakat sipil. PKSC dapat digunakan untuk mendorong perubahan-perubahan kecil ditempuh sehingga meningkatkan partisipasi masyarakat.

2. Tujuan PKSC

Pada umumnya PKSC dilakukan di awal program. Pada konteks ini, tujuan dasarPKSC adalah untuk mengkaji situasi (analisis situasi) dan menelaah respon (analisisrespon) yang diperlukan dengan ruang lingkup seperti ilustrasi berikut:

Analisis Situasi Analisis Respon Mengkaji besaran masalah, termasuk

sebab-sebabnya. Menilai gap antara situasi saat ini dengan

situasi yang diinginkan.

Mengidentifikasi kebutuhan kesehatan KD

Mengkaji pengetahuan dan persepsi komunitas tentang isu terkait.

Mengidentifikasiperilaku kesehatan yang ada dan kesempatan untuk mengubahnya

Mengidentifikasi ”orang yang berpengaruh”.

Menelaah potensi-potensi pemecahan masalah yang ada.

Menetapkan prioritas dan tujuan kegiatan. Menakar sumber daya internal dan logistik

yang tersedia/dibutuhkan. Mengkaji kebutuhan sumber daya eksternal.

Menyiapkan bentuk-bentuk intervesi awal yang bisa segera dijalankan.

Page 34: Juknis HIV: Pedoman iIPP

33Kementerian Kesehatan Republik Indonesia

Pedoman Intervensi Perubahan Perilaku

3 Lokasi PKSC

PKSC dilakukan langsung di (calon) lokasi intervensi perubahan perilaku di manaprogram pencegahan HIV akan dilakukan:

• Dari sudut pandang administrasi kepemerintahan, sebaiknya PKSC dilakukan palingtinggi pada level kota/kabupaten atau wilayah di bawahnya (kecamatan,kelurahan sampai level RT/RW).

• Langsung di lokasi di mana populasi kunci seperti WPS, LSL, waria dan laki-lakiberisiko berada/beraktifitas/bekerja/tinggal.

4. Waktu pelaksanaan PKSC

PKSC sebaiknya dilakukan pada awal program sebelum program dijalankan atausebagai bagian dari masa sosialisasi program.

Namun demikian PKSC dengan topik lebih spesifik sebenarnya bisa dilakukan kapansaja dibutuhkan. Misalnya, dalam rangka membangun rujukan atau layanan KTSsebuah PKSC dilakukan untuk mengetahui situasi apa yang bisa menghambat/mendorong orang mau melakukan KTS, layanan KTS seperti apa mereka harapkan dll.

5. Pelaksana PKSC

Pelaksana PKSC paling tepat adalah pelaksana program itu sendiri. Pelaksanaprogramlah yang paling tahu apa sesungguhnya situasi yang ingin dijajaki, dilihat,dipelajari lebih dalam. Sejauh memungkinkan, gunakan alternatif ini.

PKSC dapat juga dilakukan oleh seorang konsultan yang berasal dari luar lembaga.Konsultan ini bisa siapa saja sejauh dianggap menguasai isu yang akan dijajaki danmenguasai metode yang akan dipakai. Konsultan bisa individual atau tim, baik darikalangan akademisi, aktivis, profesional riset, peneliti, atau pejabat pemerintah.

Pilihan lain adalah dengan mengkombinasikan antara alnternatif pertama dan kedua,gabungan pelaksana program dan konsultan dari luar.

6. Teknik pengumpulan data dalam PKSC

Data pada PKSC dapat dikumpulkan melalui satu atau beberapa cara berikut ini:

• Review literatur yang relevan (buku, jurnal, artikel ilmiah, abstrak, bahan presentasi)

Page 35: Juknis HIV: Pedoman iIPP

34 Kementerian Kesehatan Republik Indonesia

Pedoman Intervensi Perubahan Perilaku

• Data program, laporan penelitian dan berita media massa

• Observasi langsung

• Kuesioner

• Konsultasi dengan orang-orang kunci dan/atau yang punya pengetahuan khusus

• Interview

• Kelompok diskusi terarah

Masing-masing teknik dapat digunakan untuk saling melengkapi. Pelaksana PKSCperlu mempertimbangkan waktu, kompleksitas pelaksanaan, dana dan data yangdiharapkan terkumpul untuk memilih teknik pengumpulan data mana yang relevanuntuk digunakan.

7. Sumber informasi dalam PKSC

Ragam sumber informasi dalam PKSC dapat meliputi sumber-sumber berikut ini.

a. Institusi/individu yang memiliki data sekunder

• Dinas Sosial

• Dinas Kesehatan

• Dinas Keluarga Berencana dan Kependudukan

• Panti Rehabilitasi Sosial

• Satuan Polisi Pamong Praja

• Kepolisian

• Penyedia layanan kesehatan

• Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) lokal

• Pusat studi/peneliti lokal

• Media massa lokal

b. Sumber informasi di masyarakat yang dapat memberikan data primer

• Kelompok dampingan (WPS, waria, LSL dan pria berisiko tinggi/high risk men)

Page 36: Juknis HIV: Pedoman iIPP

35Kementerian Kesehatan Republik Indonesia

Pedoman Intervensi Perubahan Perilaku

• Individu yang mempunyai kontak teratur dengan KD. Misalnya, mucikari/mamipengelola lokasi, pemilik panti pijat, pengelola tempat hiburan, RT/RW, lurah,petugas kecamatan, manager/pemilik tempat hiburan, Babinsa, tokoh-tokohormas, preman lokasi, peneliti yang memahami KD, wartawan yang seringmeliputi isu seputar KD, petugas lapangan LSM, petugas kesehatan dll.

7. Tahapan PKSC

Tahapan utama PKSC paling tidak meliputi:

Persiapan dilakukan dengan memastikan adanya pelaksana, waktu yangdibutuhkan, jadwal pelaksanaan, material/alat/peralatan yang dibutuhkan,perijinan jika diperlukan, daftar narasumber awal, daftar institusi yangmempunyai informasi terkait topik PKSC dan menyiapkan surat/formulir/daftartilik tertentu jika dibutuhkan.

Penentuan topik/informasi yang akan dijajaki perlu dilakukan sedini mungkin agarmemberikan kerangka arah tentang informasi apa yang akan dicari. Topik ini akanfleksibel, bertambah, berkurang atau menjadi lebih dalam dalam satu aspekbergantung pada perjalanan penjajakan di lapangan.

Penentuan topikyangPersiapan Observasi

Review data

Pengum-pulan

Inspeksi lapangan

Analisis temuan & PelaporanDiseminasi

Tahap persiapan akan berulang jika metode yang dipakai berbeda-beda dalam pengumpulan data.

Page 37: Juknis HIV: Pedoman iIPP

36 Kementerian Kesehatan Republik Indonesia

Pedoman Intervensi Perubahan Perilaku

Observasi pendahuluan secara singkat perlu dilakukan untuk meningkatkansensitivitas pelaksana PKSC terhadap apa yang telah direncanakan. Hasilnya akanmembimbing pelaksana PKSC lebih selektif dalam memilih data sekunder apa yangperlu dicermati dan seperti apa desain pengumpulan data primer akan dilakukan.Observasi pendahuluan biasanya berfokus pada hal-hal yang kasat mata, dapat dilihatlangsung dengan usaha yang sederhana. Informasi situasi lingkungan fisik danbeberapa karakteristik KD biasanya dapat dikumpulkan pada observasi pendahuluanini, meskipun akan diperdalam dan diverifikasi lagi pada proses PKSC selanjutnya (tahappengamatan/inspeksi lapangan detil).Review data sekunder (dokumen, data program, buku, jurnal dan hasil-hasil penelitianterkait) dilakukan untuk mendapatkan gambaran tentang:

• Apa yang sudah “dikatakan” orang lain tentang lokasi dan KD yang akan dijajaki.

• Apa yang sudah dipelajari tentang pengetahuan, sikap dan perilaku KD terkait IMSdan HIV/AIDS.

Sejauh memungkinkan, data-data sekunder dibawah ini perlu dikumpulkan dandianalisis:

Tujuh topik sentral yang perlu digali oleh PKSC pada awalprogram IPP adalah:

1. Informasi tentang situasi lingkungan fisik (jumlah lokasi, sebaran, jarak,bentuk lokasi/bangunan, tata-kelola lokasi, akses transportasi dll).

2. Informasi tentang karakteristik KD (jumlah, demografi, status soial-ekonomi, lokasi, sebaran, mobilitas, dll), jaringan sosial dan seksual,situasi dukungan sosial yang ada/potensial yang ada diantara mereka.

3. Informasi tentang pengetahuan, sikap dan perilaku terkait IMS, HIVdan AIDS.

4. Informasi tentang layanan kesehatan dan aksesnya

5. Informasi tentang materi-materi pencegahan (misalnya kondom danpelicin) dan aksesnya

6. Informasi tentang apa yang pernah dilakukan sebelumnya dan hasilnyaterkait pencegahan HIV di lokasi tersebut.

7. Informasi tentang aspirasi KD dan komunitas sekitarnya tentangbagaimana sebaiknya program IPP dilaksanakan.

Page 38: Juknis HIV: Pedoman iIPP

37Kementerian Kesehatan Republik Indonesia

Pedoman Intervensi Perubahan Perilaku

• Data demografi dan epidemiologi, untuk mengindentifikasi sebab-sebab danfaktor yang membuat KD rentan terhadap HIV/AIDS. Data ini termasuk datakasus HIV/AIDS, IMS serta insiden dan prevalensinya, termasuk data-dataestimasi.

• Data perilaku, untuk mengidentifikasi cara penularan diantara KD. Data initermasuk jaringan seksual, penggunaan kondom, usia aktif secara seksual, kaitanantara perilaku seks dengan alkohol, Napza atau isu-isu lain.

• Data sosial-ekonomi dan budaya, termasuk situasi dan struktur dukungan sosial,level melek aksara, data kesehatan, pola migrasi, mobilitas, pembgaian kelassosial, peran gender atau nilai-nilai tentang hubungan seksual dan afeksi.

• Data lingkungan sosial yang lebih luas, yang mungkin tidak terkait langsungdengan HIV/AIDS tetapi mempunyai dampak terhadap pencegahan HIV, dukungan,perawatan dan pengobatan, sistem kesehatan secara keseluruhan atau ekspektasikomunitas terhadap partisipasi program.

Pengumpulan data primer dilakukan untuk mengumpulkan informasi lebih detil dandalam tentang isu yang spesifik yang tidak dapat dikumpulkan oleh observasisederhana. Beberapa teknik bisa digunakan untuk melakukan pengumpulan dataprimer, antara lain:• Wawancara, bisa dilakukan secara terstruktur (menggunakan kuesioner) dan tidak

terstruktur (menggunakan panduan umum wawancara, misalnya dalam kasuswawancara mendalam/in-depth interview).

Beberapa pihak yang relevan dan sebaiknya diwawancarai adalah KD itu sendiri,pemangku kepentingan lokal, pejabat pemerintahan tingkat RT/RW, kelurahan,kecamatan dan kota/kabupaten, klien dari KD, pasangan tetap dari KD dll.

• Diskusi Kelompok Terfokus (DKT) atau Focus Group Discussion (FGD), digunakanuntuk mengumpulkan informasi umum dan spesifik, mengklarifikasi detil ataumengumpulkan pendapat tentang suatu isu dari kelompok kecil yang terdiri dariorang-orang yang mewakili berbapa sudut pandang dan kepentingan. DKT bisajuga digunakan untuk membangun konsensus.

Langkah dasar untuk melakukan DKT adalah:1. Menentukan peserta DKT (5-10 orang adalah ideal). Tergantung tujuan DKT,

peserta bisa homogen atau heterogen. Bisa juga dilakukan beberapa kali DKTdengan peserta yang homogen yang berbeda-beda untuk setiap kali DKT sehinggabisa dibandingkan.

2. Rumuskan panduan diskusi dengan pertanyaan-pertanyaan terbuka.

Page 39: Juknis HIV: Pedoman iIPP

38 Kementerian Kesehatan Republik Indonesia

Pedoman Intervensi Perubahan Perilaku

3. Diskusikan pertanyaan-pertanyaan dalam panduan tersebut satu per satudipimpin seorang fasilitator. Usahakan semua pertanyaan bisa didiskusikandalam 1-2 jam. Usahakan tidak ada intervensi dari fasilitator selain untukmemastikan semua orang berbicara, menjaga topik tetap fokus atau mengulangpertanyaan.

4. Buatlah rekaman suara atau catatan disukusi secara detil. DKT akan optimal jikadilakukan berpasangan antara fasilitator dan perekam proses.

Jika difasilitasi dengan baik, DKT dapat menghasilkan daftar respon yang kaya danmendapatkan insight tentang pengetahuan, bahasa, sikap, perasaan dan perilakupeserta. Namun demikian memfasilitasi DKT membutuhkan keterampilan khusus yangmemadai baik untuk memoderatori dan mencatat respon yang diberikan. Dinamikakelompok seperti mengelola peserta yang malu, dominan, menyerang dan lain-laindapay menyebabkan DKT menjadi tidak produktif.Metode ini dapat memunculkan juga kesepakatan tentang suatu isu. Namun,kelompok yang kecil mungkin tidak mewakili pandangan semua anggota komunitas.Di pihak lain, jika kita mengikutsertakan peserta yang sangat beragam agar dapatmewakili semua pandangan, bisa saja terjadi perdebatan dan ketidaksetejuan. Jadi,memilih komposisi peserta perlu dipikirkan cara matang.

Inspeksi lapangan detil merupakan bagian lain dari pengumpulan data primer.Kegiatan ini dilakukan sebagai tindak lanjut dari observasi pendahuluan danwawancara serta DKT. Pengamatan di sini adalah pengamatan aktif, dalam arti sipengamat juga bertanya atau menggali informasi dari apa yang dilihatnya untukmemastikan asumsi dan penilaian awalnya atau mendapatkan sudut pandang orangdi laokasi.

Pengamatan detil ini dilakukan di setiap lokasi satu per satu agar gambaran yangdihasilkan lebih lengkap dan akurat. Gunakan daftar tilik pengamatan berikut iniuntuk mempercepat dan memfokuskan pengamatan:

Dibandingkan wawancara, metode DKT mampu lebih cepat dan murahuntuk menggali informasi.

Page 40: Juknis HIV: Pedoman iIPP

39Kementerian Kesehatan Republik Indonesia

Pedoman Intervensi Perubahan Perilaku

Daftar tilik Inspeksi Lapangan Detil

Page 41: Juknis HIV: Pedoman iIPP

40 Kementerian Kesehatan Republik Indonesia

Pedoman Intervensi Perubahan Perilaku

Page 42: Juknis HIV: Pedoman iIPP

41Kementerian Kesehatan Republik Indonesia

Pedoman Intervensi Perubahan Perilaku

Page 43: Juknis HIV: Pedoman iIPP

42 Kementerian Kesehatan Republik Indonesia

Pedoman Intervensi Perubahan Perilaku

Analisis temuan dan rekomendasi dilakukan jika semua data yang dibutuhkan dirasatelah cukup dan kebutuhan sasaran telah terpetakan. Analisis terhadap kebutuhanpaling tidak dilakukan dengan cara dan mencakup hal-hal inti sebagai berikut:

• Analisis gap atau kesenjangan, analisis temuan dengan cara mengidentifikasisituasi saat ini dengan kebutuhan yang sebenarnya diperlukan KD untuk dapatmencegah penularan HIV.

• Mengidentifikasi kegiatan-kegiatan prioritas dan hal-hal penting yang perludilakukan selama pelaksanaan kegiatan-kegiatan tersebut.

• Mengidentifikasi sebab-sebab masalah penularan dan kerentanan KD terhadappenularan HIV dan kesempatan-kesempatan untuk mengubahnya.

• Mengidentifikasi kemungkinan-kemungkinan solusi yang harus dilakukan segeradan dalam jangka waktu yang lebih panjang.

• Membandingkan konsekuensi jika suatu kegiatan (atau serangkain kegiatan)program diimplementasikan atau tidak diimplementasikan karena berbagaiketerbatasan atau kendala.

• Memunculkan dan mengkomunikasikan kebutuhan-kebutuhan pengembangankapasitas bagi KD dan komunitas serta intervensi lain kepada komunitas sasarandan lembaga donor. Memilah mana kegiatan pengembangan kapasitas yangdapat dilakukkan sendiri oleh lembaga dan mana yang perlu bekerja samadengan mitra potensial agar lebih optimal.

Rekomendasi perlu difokuskan pada hal-hal urgen yang harus dilakukan, perludilakukan dan tidak dapat dilakukan/perlu dihindari untuk setiap lokasi) danpopulasi (jika intervensi dilakukan pada beberapa lokasi dan populasi).

Rekomendasi seperti ini dilakukan agar ‘peran optimal’ dan ‘keuntungan komparatif’program dapat dipetakan. Program IPP harus memilih prioritas lokasi, populasidan intervensi yang paling mungkin, mudah dan cepat dan paling berdampak signifikanpada penurunan epidemi HIV.

Rekomendasi diringkas menggunakan tabel seperti berikut:

Page 44: Juknis HIV: Pedoman iIPP

43Kementerian Kesehatan Republik Indonesia

Pedoman Intervensi Perubahan Perilaku

Pelaporan dibuat seringkas mungkin agar bisa dibaca oleh pihak-pihak terkait.Lampiran dari laporan bisa dibuat sebanyak yang diperlukan untuk memuat semuadata dan temuan yang ada.

Format laporan PKSC kurang lebih seperti berikut ini:

Ringkasan Eksekutif

Pendahuluan

• Tujuan PKSC

• Ringkasan metodologi PKSC

• Tim pelaksana PKSC

Latar Belakang dan Situasi Saat Ini

Temuan-Temuan Utama

Prioritas Masalah

Rekomendasi Solusi

Lampiran-Lampiran

• Hasil lengkap wawancara

• Hasil lengkap DKT

• Hasil lengkap pengataman/inspeksi detil lapangan

Tipe Intervensi

Lokasi Populasi/ Tipe KD Mitra Potensial

Harus dilakukan

Perlu dilakukan

Tidak dapat/tidak perlu dilakukan

Page 45: Juknis HIV: Pedoman iIPP

44 Kementerian Kesehatan Republik Indonesia

Pedoman Intervensi Perubahan Perilaku

Diseminasi hasil dilakukan kepada pihak-pihak terkait terutama kepada semuaanggota tim yang akan terlibat dalam pelaksanaan kegiatan/intervensi, pihak-pihakyang dapat memberikan bantuan untuk merespon hasil-hasil atau temuan PKSC,pihak-pihak berwenang (instansi pemerintah terkait) dan langsung kepadakomunitas.

Karena proses PKSC selalu melibatkan proses merangkum, interpretasi danreinterpretasi data baru atau data yang telah ada, adalah penting untukmenyediakan kesempatan komunitas memberikan umpan balik dan input lebihlanjut terutama dari semua orang telah memberikan informasi pada PKSC. Forumdiseminasi hasil bisa menjadi salah satu alternatif melakukan hal ini.

Beberapa informasi yang mungkin sensitif dan jika dibuka justru berdampak burukbagi kepercayaan komunitas, kemungkinan kerja sama dan pelaksanaan intervensidi lapangan disampaikan dengan cara dan waktu yang lebih tepat.

Perlu diingat, bahwa diseminasi hasil kepada komunitas tidak berarti semua temuanperlu disampaikan. Pelaksana program IPP atau PKSC perlu memilah informasi sepertiini dan memilih waktu dan forum lain yang lebih sesuai untuk menyampaikannya.

8. Sarana

Beberapa sarana yang diperlukan untuk melakukan PKSC adalah:

• Alamat narasumber baik individu maupun institusi

• Data-data sekunder

• Kuesioner/panduan wawancara

• Panduan diskusi kelompok terarah (FGD)

• Daftar tilik inspeksi lapangan

• Formulir rekomendasi

• Format laporan PKSC

Beberapa informasi yang mungkin sensitif dan jika dibuka justru berdampakburuk bagi kepercayaan komunitas, kemungkinan kerja sama dan pelaksanaanintervensi di lapangan disampaikan dengan cara dan waktu yang lebih tepat.

Page 46: Juknis HIV: Pedoman iIPP

45Kementerian Kesehatan Republik Indonesia

Pedoman Intervensi Perubahan Perilaku

B. Pengembangan Rencana Program

Pengembangan rencana program pada dasarnya adalah seri langkah-langkah untukmenetapkan apa yang harus dilakukan, kapan, oleh siapa dan dimana dalam rangkamencapai tujuan. Ini adalah tindakan atau proses memformulasikan kegiatan secararinci dan pasti.

Rencana program dikembangkan berdasarkan data atau informasi pendukung yangtelah tersedia. Dalam kaitannya dengan IPP, data dan informasi tersebutdikumpulkan melalui kegiatan PKSC. Tujuan program menjadi pembimbing untukmemformulasikan rencana program ini.

Secara sederhana sebuah perencanaan biasanya mengikuti siklus di bawah ini:

1. Menetapkan Masalah Prioritas

Laporan PKSC seharusnya menyediakan informasi tentang hal ini. Atau paling tidakinformasi tentang masalah-masalah potensial yang mempengaruhi penularan IMS danHIV di kalangan KD.

Beberapa kriteria yang sering dipakai untuk menetapkan masalah prioritas adalah:• Tinggi-rendahnya prevalensi/besaran masalah• Keseriusan/bahaya masalah• Banyak/luasnya populasi yang terkena

PenyusunanStrategi

PenentuanTujuan

Pemilihan Solusi

PengembanganRencana Kerja

RekapitulasiKebutuhan Sumber

Daya

PengembanganTim Kerja

Menetapkan Masalah Prioritas

Page 47: Juknis HIV: Pedoman iIPP

46 Kementerian Kesehatan Republik Indonesia

Pedoman Intervensi Perubahan Perilaku

Cara mudah menetapkan masalah prioritas adalah menggunakan teknik semikuantitatif, dengan tahapan:• Menentukan kriteria• Memberikan bobot (rendah, sedang, tinggi)• Menghitung skor total pilihan• Memilih/memutuskan

Contohnya adalah seperti berikut:

Berdasarkan teknik semikuantitatif ini maka masalah prioritas yang perlu segeradirespon adalah masalah no 1, ‘kondom tidak tersedia’ (sebagai alat pencegahan HIV).

Kriteria dan skoring bisa dibuat berdasarkan kesepakatan, termasuk jumlah danrange-nya. Pembobotan secara kualitatif perlu diberikan di setiap kriteria sampaimuncul kesepakatan skor.

2. Pemilihan Solusi

Hampir sama dengan cara menetapkan masalah prioritas, cara memilih solusi bisamenggunakan alat bantu tabel seperti di atas yang disebut dengan decision matrix.

Beberapa kriteria umum yang sering dipakai untuk memilih solusi masalah adalah:• Kelaikan laksana (feasibility)• Manfaat bagi orang banyak (eksternalitas)• Dampak sosial jika tidak dilaksanakan/dilaksanakan• Biaya yang dibutuhkan• Kesiapan dan jumlah sumber daya

MasalahKriteria 1(skor 1-3)

Kriteria 2(skor 1-3)

Kriteria 3(skor 1-3)

Skor Total

Kondom tidak tersedia di lapangan 3 3 3 9KD tidak merasa berisiko terinfeksi HIV

2 2 2 6

Pengetahuan KD rendah 3 1 1 5Tes HIV belum tersedia di PKM terdekat

1 2 1 4

dll dll dll dll dll

Page 48: Juknis HIV: Pedoman iIPP

47Kementerian Kesehatan Republik Indonesia

Pedoman Intervensi Perubahan Perilaku

Contohnya adalah sebagai berikut:

Berdasarkan tabel decision matrix ini maka ’solusi 1’ adalah solusi yang perlu dipilihdan dijalankan untuk mengatasi masalah yang ada.

Kriteria lebih spesifik terkait isu HIV yang akan direspon dan terkait situasi khaslapangan bisa saja ditambahkan diluar kriteria umum yang sudah ada.

Langkah selanjutnya adalah mengkaji ulang pilihan yang telah ditetapkan ini.Bagaimanapun selalu ada risiko ketidaktepatan. Keputusan berdasarkan konsensusbisa saja salah. Oleh karena itu, meskipun sudah disepakati berdasarkan kriteriaobjektif, perlu secara bersama-sama dikaji ulang agar tidak ada hal penting yangterlupakan. Misalnya aspke budaya, keamanan, politik dll.

3. Penentuan Tujuan

Prinsip dasar merumuskan tujuan adalah SMART:• specific/spesifik• measurable/dapat diukur• achieveble/mungkin untuk dicapai• realistic/realistis• time-bound/ada jangka waktunya

Contoh perumusan tujuan mengikuti prinsip di atas adalah:“Setelah 3 tahun program dari 2010-2013, tingkat penggunaan kondom secarakonsisten naik hingga 50%-nya dibandingkan data baseline pada wanita penjajaseks di lokasi intervensi”

“Pada tahun 2015 jumlah kasus HIV baru turun sebesar 25% daripada periode 5 tahunsebelumnya di Kabupaten X”

Kriteria PemilihanSolusi 1

(skor 1 -3)Solusi 2

(skor 1 -3)Solusi 3

(skor 1 -3)

Kelaikan laksana 3 3 2Manfaat 3 2 1Dampak sosial 3 2 2Biaya 3 2 2Kesiapan sumber daya 3 3 1Dll dll dll dllTotal 15 10 8

Page 49: Juknis HIV: Pedoman iIPP

48 Kementerian Kesehatan Republik Indonesia

Pedoman Intervensi Perubahan Perilaku

Beberapa contoh spesifik tujuan perubahan perilaku misalnya:

• Meningkatkan penggunaan kondom.• Meningkatkan perilaku pencarian pengobatan (health-seeking behavior) IMS yang

memadai.• Mengurangi jumlah pasangan seks.• Meningkatkan pemanfaatan layanan IMS atau KTS• Mengurangi stigma terkait HIV dan AIDS• Mengurangi insiden tindakan-tindakan diskriminasi kepada ODHA atau populasi

berperilaku risiko tinggi.

4. Penyusunan Strategi

Secara sederhana strategi dimaknai sebagai langkah-langkah umum mencapai tujuan.Strategi berurusan dengan bagian ’bagaimana’ daripada bagian ’apa’ dari sebuah sikluspencapaian tujuan. Strategi dibedakan dari kegiatan karena dia merupakan metodeatau pendekatan tertentu yang secara konsisten digunakan selama intervensi.

Penyusunan strategi diarahkan oleh semua proses yang telah dilakukan sebelumnyayakni proses penjajajkan kebutuhan cepat, prioritas masalah yang telah ditetapkan,pilihan-pilihan solusi yang akan diambil, dan tujuan program.

Beberapa strategi umum yang bisa digunakan dalam IPP, berdasarkan waktu dan urutanpelaksanaannya adalah sbb:

a) Persiapan dan peningkatkan kapasitas lembaga pelaksana IPP

Adalah strategi memilih dan menyiapkan lembaga pelaksana IPP. Lembaga pelaksanaIPP bisa siapa saja: LSM, Puskesmas, Dinkes atau instansi pemerintah lain termasukunit tertentu dalam lingkup perguruan tinggi.

Cara pemilihan lembaga biasanya berdasarkan pada beberapa kriteria. Yang palingsering digunakan antara lain: Pengalaman lembaga bekerja dengan pendekatan IPP Pengalaman lembaga bekerja dengan kelompok-kelompok yang menjadi sasaran

program IPP Pengalaman lembaga bekerja di daerah yang akan digarap oleh program IPP Status hukum lembaga (sudah berbadan hukum atau belum) Jumlah dan pengalaman staf Jejaring lembaga dengan sektor atau pihak lain Kapasitas manajemen dan kepemimpinan lembaga

Page 50: Juknis HIV: Pedoman iIPP

49Kementerian Kesehatan Republik Indonesia

Pedoman Intervensi Perubahan Perilaku

Kredibilitas lembaga (secara umum lembaga dikenal seperti apa oleh pemangkukepentingan, tokoh masyarakat, anggota jejaring, dan kelompok sasaran) Pengalaman dan kinerja umum lembaga dalam bidang-bidang lain

Agar lembaga memahami hal-hal spesifik dalam desain IPP yang ada maka perlujuga dilakukan orientasi dan serangkaian kegiatan pengembangan kapasitas untukmereka agar siap menjalan program IPP.

Beberapa kegiatan yang termasuk dalam strategi ini adalah: Identfikasi LSM mitra potensial. Asesmen calon LSM mitra. Pemilihan lembaga pelaksana IPP. Pelatihan IPP bagi staf lapangan. Pelatihan manajemen bagi staf manajemen lembaga pelaksana IPP, Pelatihan-pelatihan khusus untuk staf pada posisi khusus (konselor KTS, konselor

hotline, manajer kasus, petugas chatting dll). Pelatihan sistem pencatatan dan pelaporan data dan pelatihan pemantauan dan

evaluasi.

b) Pembukaan akses dan meraih kepercayaan kelompok dampingan

Adalah strategi untuk bisa masuk dan diterima oleh kelompok dampingan atau sasaranprogram. Umumnya audiens target program IPP adalah kelompok-kelompok yangtermarginalkan seperti WPS, waria, dan LSL. Kelompok ini juga sering tersembunyibaik secara sosial, budaya bahkan geografis. Oleh karena itu jika program bisa masukdan diterima oleh kelompok sasaran maka sesungguhnya separuh pekerjaan sudahdiselesaikan.

Selain akses, strategi ini juga memberikan wadah dan arah bagaimana agar akseskepada kelompok dampingan sampai pada tahap adanya kepercayaan dari merekaterhadap program dan lembaga/staf pelaksana IPP. Sekali lagi karena keunikankelompok dampingan IPP, kelompok-kelompok ini sering kali sangat sulit percayadengan bantuan dari luar dan mudah curiga. Jika kepercayaan bisa diraih makadukungan dan kerja sama pprogram langsung dari kelompok sasaran menjadi modalyang kuat bagi keberhasilan program.

Beberapa kegiatan yang termasuk dalam strategi ini adalah: Penjajakan kebutuhan secara cepat Pemetaan Pendekatan kepada orang-orang kunci pada kelompok KD Sosialisasi program kepada kelompok dampingan dan pemangku kepentingan Dll

Page 51: Juknis HIV: Pedoman iIPP

50 Kementerian Kesehatan Republik Indonesia

Pedoman Intervensi Perubahan Perilaku

Kegiatan-kegiatan ini bisa dikemas dalam bentuk formal maupun informal.

c Penciptaan dan Penguatan Lingkungan yang Kondusif bagi Perubahan Perilakudan Kesehatan KD.

Adalah strategi untuk memperkuat dukungan lingkungan sekitar bagi pelaksanaanprogram dan bagi perubahan perilaku kelompok dampingan. Strategi ini menggarapsecondary audiences atau kelompok sasaran sekunder dalam program IPP. Kelompoksasaran sekunder ini antara lain: Mami atau mucikari penjaja seks Pengurus lokasi penjaja seks Pemilik rumah bordil atau panti pijat Pasangan atau pacar KD Pemilik tempat hiburan RT, RW dan pejabat kelurahan terdekat dengan lokasi intervensi

Pada beberapa kasus, sasaran sekunder ini bisa lebih tinggi dari sekedar orang-orang kunci di lapangan yakni Dinkes, Dinsos, kecamatan, KPA, bupati/walikota dll.

Strategi ini fokus menggarap determinan perilaku dari sisi ekternal baik berupalingkungan fisik maupun non fisik (sosial, budaya) dan secara khusus berusahamenghasilkan kebijakan, regulasi dan dukungan kolektif atas perubahan perilakudan kesehatan KD baik yang bersifat formal (perda, keputusan bupati/walikota,surat edaran) atau yang informal (kesepakatan RT, kesempakatan pengurus lokasi/mami dll).

Dalam kaca mata IPP, regulasi merupakan salah satu pendekatan perubahanperilaku selain enforcement (“paksaan”) dan edukasi.

Beberapa kegiatan yang termasuk dalam strategi ini adalah: Advokasi kebijakan atau kesepakatan kepada stekholder tingkat wilayah (KPA,

Dinkes, Dinsos, bupati/walikota). Mobilisasi komunitas. Pertemuan koordinasi rutin dengan pemangku kepentingan wilayah dan lokasi. Studi banding ke daerah lain yang dianggap berhasil Intervensi struktural Konseling dan rujukan pasangan Dll

d. Peningkatan Pengetahuan dan Kesadaran KD terhadap IMS, HIV dan AIDS

Adalah strategi yang secara khusus ditujukan kepada kelompok sasaran primer ataukelompok dampingan program IPP seperti WPS, LSL, waria dan laki-laki berisiko tinggi.

Page 52: Juknis HIV: Pedoman iIPP

51Kementerian Kesehatan Republik Indonesia

Pedoman Intervensi Perubahan Perilaku

Strategi ini merupakan pengejawantahan dari prinsip perubahan perilaku bahwaperubahan perilaku akan terjadi jika seseorang tahu atau mempunyai pengetahuanyang memadai tentang masalah kesehatan yang ada dan memunyai kesadaran (sikap)yang mendukung perubaan perilaku.

Strategi ini berusaha menyentuh pikiran dan perasaan kelompok dampingan sebagairumah dimana pengetahuan dan kesadaran/sikap berada.

Sesuai dengan namanya strategi ini mewadahi kegiatan-kegiatan yang digunakanuntuk meningkatkan pengetahuan dan kesadaran kelompok dampingan.Pengetahuan yang berusaha ditingkatkan paling tidak mencakup: Nama-nama jenis IMS dan HIV Cara penularan Gejala-gejala umum Faktor-faktor penyebab Cara pencegahan Cara-cara pengobatan (misalnya, segera pergi ke dokter dalam kurun waktu kurang

dari 72 jam, tidak mengobati sendiri, tidak minum antibiotik tanpa resep dokterdll)

Kesadaran atau sikap yang ingin ditanamkan kepada kelompok dampingan (KD)melalui strategi ini adalah: Setuju bahwa masalah IMS danHIV adalah masalah yang mengancam dan tindakan

mencegahanya akan membawa keuntungan bagi kehidupan personal. Setuju terhadap tindakan pencegahan dengan menggunakan kondom secara

konsisten pada setiap kali hubungan seks maupun tindakan pencegahan yanglain. Setuju untuk segera memeriksana secara dini gejala IMS yang dideritanya Setuju untuk melakukan KTS. Setuju untuk tidak melakukan pengobatan sendiri (self-treatment) IMS dan HIV. Setuju untuk mendukung teman yang lain yang mengalami IMS atau positif HIV.

Beberapa kegiatan yang termasuk dalam strategi ini adalah: Outreach (penjangkauan dan pendampingan individual atau kelompok kecil). Penyuluhan. Diskusi kelompok kecil tentang IMS dan HIV. Edutainment. Distribusi media KIE. Pelayanan hotline. Pelayanan chatting (cyberspace outreach). Pelatihan penurunan risiko. Pendidikan sebaya.

Page 53: Juknis HIV: Pedoman iIPP

52 Kementerian Kesehatan Republik Indonesia

Pedoman Intervensi Perubahan Perilaku

Konseling pendidikan kesehatan. Edutainment (Pendidikan yang menghibur)

e. Pemberian Dukungan Terhadap Perubahan Perilaku KD

Adalah strategi untuk memperkuat terjadinya perubahan perilaku pada KD yang telahmendapat penguatan pengetahuan dan sikap melalui strategi 4 di atas. Strategi iniberusaha mendukung dan memastikan perubahan perilaku terjadi pada individu ataukelompok bahkan pada komunitas.

Dukungan terhadap perubahan perilaku bisa dilakukan secara personal, kelompokmaupun secara kolektif oleh komunitas. Secara personal biasanya diberikan olehpetugas lapangan, pendidik sebaya, petugas klinik, atau oleh mami atau pemangkukepentingan di tingkat lokasi yang peduli. Secara kelompok bisa dilakukan melaluipembentukan kelompok-kelompok dukungan dan secara komunitas biasanyadilakukan melalui pembuatan regulasi dan penerapannya melalui sanksi dan reward.

Beberapa kegiatan yang termasuk dalam strategi ini adlaah: Kelompok dukungan sebaya. Penilaian risiko individu. Penilaian risiko kelompok. Konseling pendidikan kesehatan. Pelatihan. Dll.

f Mempertahankan Perilaku yang Aman dan Penyediaan Layanan

Adalah strategi untuk memelihara perubahan perilaku yang sudah terjadi. Termasukdi dalamnya adalah menyediakan layanan kesehatan terkait IMS dan HIV yangaksesibel.

Strategi mewadahi kegiatan-kegiatan yang memfokuskan diri dan mengolah semuafaktor yang bisa membuat kelompok dampingan mampu mempertahankan perilakubarunya yang sudah aman dari IMS dan HIV. Faktor-faktor tersebut adalah: Terus mempromosikan konsekuensi positif (menguntungkan) dan negatif (merugikan)

jika perilaku aman terus dilanjutkan. Memperbaharui dan memperkuat niat (intention) untuk terus memelihara

perubahan perilaku yang sudah ada terutama dengan menunjukkan bahawaorang lain juga setuju atau mendukungan perubahan perilaku ini (memperkuatnorma subyektif). Memperkuat pelaksanaan kebijakan dan regulasi lokal tentang pencegahan HIV untuk

mendukung perubahan perilaku individu.

Page 54: Juknis HIV: Pedoman iIPP

53Kementerian Kesehatan Republik Indonesia

Pedoman Intervensi Perubahan Perilaku

Memperbesar dukungan sosial dari teman sebaya, orang-orang kunci lapangan dlluntuk perubahan perilaku ini. Termasuk memperbesar akses terhadap infomasi yanglebih spesifik dan sesuai kebutuhan personal individu pada tahap pemeliharaanperilaku ini.

Beberapa kegiatan yang termasuk dalam strategi ini adalah: Hotline. Konseling KTS. Kelompok dukungan sebaya. Pertemuan koordinasi mobilisasi komunitas. Pertemuan pemantauan implementasi kesepakatan lokal. Pertemuan koordinasi implementasi intervensi struktural. Penyediaan layanan IMS, KTS dan Pengobatan, Dukungan dan Perawatan (PDP)

yang aksesibel.

g. Peningkatan Keterlibatan dan Menumbuhkan Semangat Kerelawanan Diantara KD

Adalah strategi untuk memelihara perubahan perilaku agar terjaga terus meskipunprogram khusus IPP telah dihentikan. Hal ini ditempuh dengan cara melibatkansebanyak mungkin kelompok dampingan atau pemangku kepentingan lokasi. Idenyaadalah invenstasi pengetahuan dan keterampilan kepada komunitas.

Meskipun strategi ini ditempatkan pada urutan 7 bukan berarti dilakukan setelahsemua kegiatan selesai dilakukan. Tetapi harus dilakukan sejak awal program dansecara bertahap dikembangkan kepada lebih banyak orang dengan pelibatan yanglebih intensif.

Kelompok dampingan dan pemangku kepentingan bisa terlibat dalam hal: Menjadi pendidik sebaya Menjadi nara sumber pengetahuan, sikap dan pengalaman bagi KD lainnya, bagi

lembaga pelaksana IPP atau pihak lain. Terlibat dalam perencaaan dan pemantauan program. Menjadi anggota kelompok kerja pelaksana pencegahan HIV di lokasi tersebut. Menjadi narasumber pelaksanaan program Menjadi anggota tim asesmen atau investigator keberhasilan program

Beberapa kegiatan yang termasuk dalam strategi ini adalah: Penjajakan kebutuhan secara cepat Pendidikan sebaya Mobilisasi komunitas Intervensi struktural Pemantauan dan evaluasi program

Page 55: Juknis HIV: Pedoman iIPP

54 Kementerian Kesehatan Republik Indonesia

Pedoman Intervensi Perubahan Perilaku

5. Pengembangan Rencana Kerja

Tahap selanjutnya setelah strategi-strategi dirumuskan adalah mulaimengembangkan dan menyusun rencana kerja. Pada tahap ini, perencanaan sudahharus detil.

Perencanaan detil ini adalah proses untuk menentukan siapa yang akan melakukansuatu kegiatan, apa, kapan, di mana, bagaimana dan mengapa serta dengan berapabesar biayanya.

Ketika membuat rencana, teknik seperti gantt chart dan critical path analysis bisadigunakan karena sangat membantu untuk menetapkan prioritas, deadiline dan alokasisumber-sumber.

Pada saat merencanakan kegiatan yang harus dilakukan, harus selalu dipastikanbagaimana mekanisme kontrolnya nanti untuk memonitor kinerja yang ada. Hal initermasuk kegiatan-kegiatan seperti laporan, quality assurance, kontrol keuangandan lainnya yang dibutuhkan untuk mengkoreksi penyimpangan rencana jika ada.

Contoh penggunaan gantt chart untuk mengembangkan rencana kerja yang detil tetapitetap sederhana adalah sebagai berkut:

TAHUN  BULAN/QUARTER 

KEGIATAN   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 12

Strategi 2: Pembukaan akses & meraih kepercayaan kelompok dampingan Kegiatan 2.1. Penjajakan kebutuhan secara cepat

X

Kegiatan 2.2. Pemetaan

X

Kegiatan 2.3. Pendekatan kepada tokoh-tokoh kunci

X

Kegiatan 2.4. Sosialisasi program kepada KD dan pemangku kepentingan

X

Page 56: Juknis HIV: Pedoman iIPP

55Kementerian Kesehatan Republik Indonesia

Pedoman Intervensi Perubahan Perilaku

Budget lebih detil bisa menggunakan beragam model worksheet sesuai karakateristikprogram. Tetapi kurang lebih formatnya seperti contoh berikut ini:

6. Rekapitulasi Kebutuhan Sumber Daya

Umumnya rekapitulasi kebutuhan sumber daya dilakukan menggunakan worksheetexcel perencanaan pembiayaan program berdasarkan jenis kegiatan, frekuensi kegiatandan hal-hal lain terkait seperti jumlah orang yang akan terlibat, alat dan bahan yangdibutuhkan.

Namun secara umum, rekap ini berusaha mengetahui jenis sumber daya dan berapajumlahnya. Dalam tabel yang sederhana bentuknya kurang lebih sbb:

No KegiatanJenis

Sumber DayaJumlah yang Dibutuhkan

Strategi 3: Penciptaan dan Penguatan Lingkungan yang Kondusif bagi Perubahan Perilaku dan Kesehatan KD.

1 Advokasi kebijakan/regulasi

2 Pertemuan koordinasi dengan pemangku kepentingan

3 Mobilisasi komunitas

4 Intervensi struktural

5 Konseling dan rujukan pasangan

Page 57: Juknis HIV: Pedoman iIPP

56 Kementerian Kesehatan Republik Indonesia

Pedoman Intervensi Perubahan Perilaku

7. Pengembangan Tim Kerja

Tim kerja program IPP paling tidak terdiri dari 5 bagian utama: manajer program,asisten adminitrasi dan keuangan, penanggung jawab database program,koordinator lapangan (KL) dan petugas lapangan (PL). Jumlah posisi KL dan PL bisalebih dari satu. Semakin besar jumlah PL maka dibutuhkan semakin banyak KL.

Posisi ini bisa ditambah lagi sesuai perkembangang program. Misalnya, di tengahjalan program ternyata juga bertambah menangani isu ODHA. Maka posisi sepertimanajer kasus menjadi diperlukan. Jika lembaga juga akan membuka layanan KTS,maka posisi konselor KTS menjadi dibutuhkan.

Strukturnya tim kerja program IPP kurang lebih seperti ini:

C. Penerapan Rencana Program

Penerapan rencana program adalah pelaksanaan program itu sendiri yakni berbagaikegiatan yang telah ditetapkan untuk mencapai tujuan program. Langkah praktismenerapkan rencana program adalah: lakukan seperti yang sudah direncanakan.Improvisasi kemudian.

Banyak pelaksana program merasa kurang puas dengan hal ini. Di sisi lain, adalahmandatory bagi program untuk menyelesaikan apa yang sudah direncanakan dan

Program Manajer

PL 1 PL 2 PL 3 PL 4

Administrasi dan Keuangan

Penanggung jawab database program

Direktur Program (optional)

Koordinator Lapangan

Ket: PL =Petugas Lapangan

Page 58: Juknis HIV: Pedoman iIPP

57Kementerian Kesehatan Republik Indonesia

Pedoman Intervensi Perubahan Perilaku

disepakati dengan pihak lain, misalnya lembaga donor. Oleh karena itu, lakukanhal-hal yang mandatory ini, selesaikan, baru kemudian, setelah beberapa kalipengalaman, berimprovisasi untuk membuat kegiatan ini lebih baik, berkualitas,lebih kaya, lebih dalam, lebih memuaskan baik dari sisi penerima program maupunpelaksana program.

Beberapa hal kritis yang perlu diperhatikan selama proses penerapan rencana programatau pelaksanaan kegiatan adalah: Akurasi waktu pelaksanaan, apakah sudah sesuai dengan rencana awal? Tempat pelaksanaan, apakah sudah memadai agar output kegiatan bisa tercapai? Pelaksana kegiatan, apakah ada kebutuhan khusus tenaga pelaksana? Apakah

perlu narasumber ahli dari luar staf program? Biaya pelaksanaan, apakah biaya yang sudah dianggarkan bisa terserap? Apakah

kurang? Dari mana lembaga bisa memperoleh tambahan biaya jika kurang? Alat dan bahan perlekangkapan kegiatan, apakah sudah tersedia? Apakah dibutuhkan

waktu dan dana khusus untuk menyediakannya? Data dan laporan kegiatan, bagaimana mendapatkan data dari suatu kegiatan? Kapan

dan apakah ada laporan khusus yang tersedia? Pengalihan waktu kegiatan, apakah manajemen program memungkinkan

pemajuan dan pengunduran kegiatan? Bagaimana mekanismenya? Jika kegiatan ketiga dan seterusnya dianggap tidak efektif, apakah kegiatan bisa

dibatalkan? Apakah bisa diubah menjadi kegiatan lain? Bagaimana caranya?

Secara manajemen, pelaksana program perlu terus memantapkan alur komunikasi,koordinasi, komando, delegasi dan scope of work setiap posisi. Ketidakjelasan hal-hal manajerial seperti ini sering membuat staf pelaksana program mengalamidemotivasi selain pemborosan waktu bahkan konflik antar staf.

Jejaring dengan lembaga lain juga perlu dimantapkan agar dukungan programtersedia. Seringkali kebutuhan jejaring ini tidak disebutkan secara khusus sebagaibagian dari kegiatan program. Dalam kasus seperti ini, direktur program atauprogram manajer perlu mengambil inisiatif untuk mulai membangun jejaring.

Manajemen SDM juga perlu mendapat perhatian selama proses pelaksanaan kegiatan.Isu-isu menajemen SDM yang perlu diperhatikan selama proses pelaksanaan kegiatanadalah: Turn-over staf Perlakuan manajemen keapda staf yang kinerjanya baik atau buruk Staf yang melanggar kode etik lembaga atau program Staf yang bermasalah dengan staf lain atau kelompok dampingan Burn-out atau kejenuhan staf

Page 59: Juknis HIV: Pedoman iIPP

58 Kementerian Kesehatan Republik Indonesia

Pedoman Intervensi Perubahan Perilaku

D. Pemantauan dan Evaluasi

Kerangka kerja sistem informasi dan pemantauan-evaluasi AIDS secara globalmenggambarkan tipe-tipe data yang dibutuhkan pada setia tahapan program dankaitannya dengan kontinum pemantauan dan evaluasi serta perbedaannya. Dariskema ini tergambar perbedaan-perbedaan antara pemantauan dan evaluasi.

Dari skema ini tergambar bahwa proses pemantauan dan evaluasi mempunyai titiktekan yang berbeda. Pemantauan adalah evaluasi proses dan evaluasi adalahpengukuran dampak.

1. Pemantauan

Pemantauan dilakukan untuk mengetahui apakah para petugas lapangan benar-benarmelakukan pekerjaan program di lapangan, hal-hal apa saja yang dilakukan di lapangan,dan apakah pekerjaan tersebut sesuai dengan rencana dan jadwal yang telah disusun.

a. Definisi

Ada bermacam-macam definisi pemantauan yang telah dikembangkan oleh para ahlidan berbagai lembaga. Definisi yang paling standar umumnya mengatakanpemantauan sebagai ‘suatu proses untuk melihat apakah kegiatan yang dilakukansesuai dengan rencana atau tidak’.

D a ta B e rb a s is P ro g ra m S u rv a i S urv a ila n c e P e r ila k u, D a ta S o s ia l B e rb a s is P o p u la s i

StaffB iayaM ater ialFasili tasSu p p lies

In p u t (S um be r da y a)

Train in gPelayan anEd u kasiPen g ob atanOutreach

K eg iatan(Inte rv e ns i ,

La y a na n)

# Staf d i latih# ko n d oms terd istr ib u si# A lat tes terd istr ib u si# kl ien d ilayan i# Test d i laku kan

O u tp u t ( Im m e dia te

E ffe c ts )

A na lis a Situa s iA nalisis respo nK eb u tu han Stakeh o ld erA nalisa su m b er d ayaR en can a kerjasam a

D a ta P e ng e m b a n ga n

P ro g ra m

Assessment & Perencanaan

Peri laku pro vid erPeri laku risikoP e ria la k u pe m a n-fa a ta n la y a na nK u ali tas hid up

O u tco m es(Inte rm e dia te

E ffe c ts )

Prev/in siden s H IVN o rma so siaPrev/in siden s IM SK ematian A ID SD amp ak eko no mi

Im p act(Long -te rm

E ffe c ts )

M o n ito ring E va lu a si

Page 60: Juknis HIV: Pedoman iIPP

59Kementerian Kesehatan Republik Indonesia

Pedoman Intervensi Perubahan Perilaku

Namun, apapun definisinya, minimal mencakup elemen-elemen di bawah ini:• Fokus utama adalah menentukan apakah kegiatan telah dilakukan sesuai

rencana (bisa berupa caranya, waktunya, frekuensi, isi, jumlah peserta, hasildll).

• Melibatkan proses yang terus-menerus dalam hal pengumpulan dan penyatuaninformasi/data dari beragam tempat dan waktu.

• Menggunakan baik data kuantitatif maupun kualitatif• Memberikan informasi dan pertanyaan kepada pelaksana program dan

pemangku kepentingan jika dan di mana usaha-usaha/kegiatan yang ada perludimodifikasi agar lebih cocok.

Keperluan utama melakukan pemantauan adalah poin terakhir dari elemen-elemenminimal pemantauan di atas. Dengan kata lain, pelaksana program atau pemangkukepentingan dapat melakukan deteksi dini jika ada masalah dan menetapkanperbaikan yang dibutuhkan.

b. Aspek yang Dipantau

Paling tidak ada dua aspek penting yang perlu dimonitor oleh pelaksana program.Pertama, yang berkaitan dengan pelaksanaan dan target-target kegiatan. Dan kedua,yang berkaitan dengan kinerja dan kualitas staf pelaksana program yakni petugaslapangan.

Pelaksanaan dan pencapaian target-target kegiatan, dikatakan berhasil jika semuakegiatan dapat dilaksanakan, tepat waktu, dan mencapai hasil atau target sepertitelah direncanakan serta tersedia bukti-bukti yang mendukungnya, misalnya,laporan kegiatan, daftar hadir, notulensi pertemuan, dan surat kesepakatan kerjasama dengan pihak lain. Secara sederhana pihak pemantau bisa membandingkanpelaksanaan aktual kegiatan dengan target-target yang telah direncanakansebelumnya.

Dalam program IPP, target-target yang direncanakan biasanya mengacu pada indikatorkeberhasilan IPP yakni:

Input:1. Jumlah dan kualifikasi SDM terekrut sesuai rencana2. Jumlah SDM yang dilatih3. Jumlah SDM yang aktif menjalankan program4. Anggaran dibelanjakan sesuai kegiatan, waktu dan jumlahnya5. Material dan fasilitas pendukung program tersedia sesuai rencana6. Pelatihan terlaksana sesuai rencana, termasuk frekuensi dan jumlah pesertanya7. Dll

Page 61: Juknis HIV: Pedoman iIPP

60 Kementerian Kesehatan Republik Indonesia

Pedoman Intervensi Perubahan Perilaku

Output (hasil langsung) yang diharapkan:1. Jumlah KD yang dijangkau sesuai rencana2. Jumlah media KIE yang terdistribusi.3. Jumlah kondom dan pelicin yang terdistribusi.4. Jumlah kartu rujukan yang terdistribusi oleh PL.5. Jumlah kunjungan atau KD yang datang ke layanan kesehatan IMS dan KTS.6. Dll.

Kinerja dan kualitas PL, juga perlu dimonitor setiap periode tertentu. Hal ini untukmenjamin bahwa semua PL dapat melakukan outreach dengan kualitas memadaidan perbaikan dapat dilakukan jika dibutuhkan.

Aspek kinerja dan kualitas PL yang dinilai biasanya berdasarkan uraian tugas (jobdescription) yang telah ditetapkan sebelumnya.

Lembaga juga dapat memantau kinerja dan kualitas PL berdasarkan indikator-indikator lain seperti kemampuan memecahkan masalah, kemampuan kerja samatim, kepemimpinan, inisiatif atau kemampuan komunikasi. Karena program outreachbiasanya berlangsung singkat (1-3 tahun), pemantauan kinerja dan kualitas PLsebaiknya dilakukan setiap tiga sampai enam bulan sekali. Agar lebih fair, makasebaiknya pemantauan kinerja dan kualitas PL menggunakan formulir standarsehingga semua orang punya acuan yang sama (lihat lampiran contoh formulirpenilaian kinerja dan kualitas staf PL pada bagian akhir handout ini).

c. Cara Pemantauan

Pemantauan pelaksanaan dan pencapaian target-target kegiatan biasanya dilakukansecara kuantitatif maupun kualitatif.

Secara kuantitatif dapat dilakukan dengan cara:

• Desk reviewDilakukan dengan cara melihat dan menganalisis berbagai laporan kegiatanyang ada yang terkumpul melalui formulir pencatatan dan pelaporan.

• Exit interviewDilakukan dengan cara melakukan wawancara kuesioner, biasanya terhadapkepuasan penerima kegiatan atau pengguna layanan kesehatan (IMS, KTS, CST).Misalnya wawancara dengan sejumlah KD, peserta pelatihan tertentu ataupasien klinik.

Page 62: Juknis HIV: Pedoman iIPP

61Kementerian Kesehatan Republik Indonesia

Pedoman Intervensi Perubahan Perilaku

Secara kualitatif, pemantauan dapat dilakukan dengan cara:

• Pertemuan rutin PLBiasanya dilakukan secara mingguan. Pemonitor bisa terlibat langsung dalampertemuan mingguan ini untuk melihat topik pertemuan dan dinamika diskusiyang ada.

• Field VisitDilakukan dengan cara observasi langsung situasi lapangan dan mengamatibagaimana suatu kegiatan berjalan atau bagaimana Petugas Lapanganmenjalankan tugasnya di lapangan.

• Key informant interview (KII)Dilakukan dengan cara mewawancarai secara acak beberapa KD untuk melihatproses pelaksanaan kegiatan dan keberhasilannya menurut kaca mata KD. Poin-poin pertanyaan utama telah dibuat dan dapat berkembang secara fleksibelselama proses wawancara. Cara ini hampir mirip dengan wawancara mendalam.

• Focus group discussion (FGD)Dilakukan dengan cara mengumpulan beberapa KD (biasanya 5-10 orang) dariberbagai tempat dan latar belakang sosial. Moderator biasanya perlumenyiapkan pertanyaan-pertanyaan pemandu untuk dapat menggali informasidari KD. Topik yang dibahas biasanya telah ditentukan terlebih dahulu danspesifik (1 atau 2 topik). Untuk menerapkan cara ini, dibutuhkan keterampilanmemfasilitasi yang baik (melemparkan pertanyaan, menganalisis, probing,menyimpulkan, menengahi perdebatan, mengatur lalu lintas diskusi, menggaliinformasi dari “peserta diam”) dan membuat rangkuman hasil secara akurat.

• Interview dengan pemangku kepentinganDilakukan dengan cara melakukan wawancara dengan pemangku kepentingan ataukey person lapangan yang bukan KD. Pemangku kepentingan ini bisa siapa saja,misalnya mucikari, pengurus resos, pemilik/pengelola panti pijat atau tempathiburan, atau lembaga-lembaga pemerintah yang terkait dengan program.

• Mystery clients/mystery guestDilakukan dengan cara memilih relawan non program (seseorang di luarprogram yang belum pernah dikenal KD) untuk melakukan observasi langsungke lapangan dan melakukan wawancara bebas dengan KD langsung di lapangan.Biasanya berdasarkan topik tertentu.

Pemantauan perlu ditetapkan waktu-waktunya agar bisa menjadi agenda rutin dandapat diamati kemajuannya. Penetapan waktu pemantauan juga perlu

Page 63: Juknis HIV: Pedoman iIPP

62 Kementerian Kesehatan Republik Indonesia

Pedoman Intervensi Perubahan Perilaku

memperhatikan metodenya. Beberapa metode tidak dapat dilakukan terlalu sering.Metode yang lain dapat dilakukan kapan saja.

d. Pelaksana Pemantauan

Pelaksana pemantauan bisa lembaga pelaksana program sendiri atau orang luar,tergantung konteks dan keperluannya. Jika lembaga sendiri yang melakukan, makabiasanya adalah pihak manejemen lembaga yang melakukannya seperti ketuayayasan, direktur lembaga, atau manajer program.

Pelaksana pemantauan dari luar bisa siapa saja: peneliti, universitas, lembaga donordll. Namun demikian jika lembaga Anda ingin menggunakan pemonitor dari luaragar lebih obyektif, pertimbangkan bahwa orang ini telah familiar dengan isu HIV/AIDS dan karakter KD. Perspektif dan temuan bisa kurang tajam bahkan berbedajika yang dikontrak orang yang masih awam dengan isu HIV dan KD.

2. Evaluasi

Pada dasarnya evaluasi tidak dilakukan untuk level kegiatan, tapi lebih untuk levelproyek/program (rangkaian dari beberapa kegiatan dalam sebuah proyek), leveloutcome dan level impact. Oleh karena itu, jika dikatakan evaluasi outreach, dimana outreach dalam rancangan program FHI hanya merupakan salah satu kegiatandari sekian banyak kegiatan yang ada, sebenarnya tidak terlalu tepat. Oleh karenaitu, evaluasi di sini diletakkan dalam makna evaluasi program secara keseluruhan,bukan hanya evaluasi tentang outreach.

Agar mengetahui seberapa jauh pekerjaan outreach dan pekerjaan kegiatan-kegiatanlain telah membawa hasil maka perlu diadakan evaluasi program. Evaluasi programumumnya dilakuan dalam dua tahap yaitu evaluasi tengah program dan evaluasiakhir program. Biasanya alat yang dipakai dalam mengukur keberhasilan program samaseperti alat ukur saat awal program dilaksanakan.

a. Definisi

Evaluasi adaalah kegiatan untuk melihat outcome dan impact yang sekurang-kurangnyamelibatkan elemen-elemen di bawah ini:• Apa saja outcome yang akan diobservasi• Apa arti dari outcome ini• Apakah program menghasilkan perbedaan di lapangan

Evaluasi ini biasanya terdiri dari dua bagian:

Page 64: Juknis HIV: Pedoman iIPP

63Kementerian Kesehatan Republik Indonesia

Pedoman Intervensi Perubahan Perilaku

1. Evaluasi outcome dari program: efek program dalam jangka pendek danmenengah (perubahan sikap dan perilaku dll).

2. Evaluasi impact dari program: efek program dalam jangka panjang(perubahan tren HIV/AIDS, penurunan kematian terkait AIDS, atau dampakekonomi HIV/AIDS pada masyarakat).

Evaluasi biasanya dilakukan tidak pada level project atau program (hanya pada KDyang terpapar oleh program outreach Anda), tetapi pada komunitas secarakeseluruhan di suatu wilayah, bisa kota/kabupaten, provinsi atau bahkan nasional.

b. Aspek yang Dievaluasi

Dari segi perubahan perilaku, beberapa indikator berikut sering diacu sebagaiindikator yang sering dilihat dalam evaluasi outcome, yakni:

Pada kelompok wanita penjaja seks (WPS):1) % WPS yang menyediakan kondom2) % WPS yang melaporkan menawarkan kondom kepada semua kliennya dalam

minggu terakhir3) % WPS yang melaporkan pakai kondom pada hubungan seks terakhir dengan

klien4) % WPS yang melaporkan penggunaan kondom secara konsisten (selalu pakai)

dengan kliennya dalam minggu terakhir5) % WPS yang di-skrining/ditapis IMS dalam bulan terakhir6) % WPS yang mengkonsumsi antibiotik tanpa resep dalam minggu terakhir

Pada kelompok pria penjaja seks (PPS):1) % PPS yang menyediakan kondom2) % PPS yang melaporkan menawarkan kondom kepada semua kliennya dalam

minggu terakhir3) % PPS yang melaporkan memakai kondom pada hubungan seks anal terakhir dengan

klien4) % PPS yang melaporkan memakai pelicin berbahasan dasar air pada seks anal

terakhir dengan klien5) % PPS yang di-skrining/ditapis IMS dalam bulan terakhir

Pada kelompok waria:1) % waria yang menawarkan kondom kepada semua kliennya pada minggu terakhir2) % waria yang memakai kondom pada seks anal terakhir3) % waria yang memakai pelicin berbahan dasar air pada seks anal terakhir4) % waria yang mengikuti skrining/penapisan pada 3 bulan terakhir

Pada kelompok HRM

Page 65: Juknis HIV: Pedoman iIPP

64 Kementerian Kesehatan Republik Indonesia

Pedoman Intervensi Perubahan Perilaku

1) % kelompok laki-laki menikah yang menjadi target yangg punya pasangan luarnikah pada tahun terakhir

2) % kelompok laki-laki target yg melakukan seks komersial pada 1 th terakhir3) % klien pakai kondom pada seks terakhir dengan penjaja seks perempuan, laki-

laki atau waria4) % laki-laki yang punya IMS tahun terakhir dengan pengobatan sendiri yang tidak

tepat

Pada kelompok LSL:1) % MSM yang pakai kondom pada seks anal terakhir2) % MSM yang memakai pelicin berbahan dasar air pada seks anal terakhir3) Rata-rata jumlah pasangan seks pada bulan terakhir

Sementara itu untuk evaluasi impact, indikator yang diukur lebih luas lagi, misalnyaseperti indikator-indikator yang berkaitan dengan:1) Perubahan tren HIV/AIDS (perubahan prevalensi)2) Penurunan kematian terkait AIDS3) Dampak ekonomi HIV/AIDS pada masyarakat4) Kebijakan yang lahir terkait pencegahan HIV/AIDS5) Stigma dan diskriminasi

c. Cara Evaluasi

Seperti halnya pemantauan, evaluasi dapat dilakukan dengan banyak cara, antaralain:

1) Pre- post-intervention surveysSurvei yang dilakukan pada awal dan akhir dari suatu intervensi. Alat yangdigunakan biasanya sama untuk mengetahui apa saja perubahan yang telah terjadidi lapangan akibat adanya intervensi.

2) Behavioral surveillance surveysDialihbahasakan menjadi Survei Surveilans Perilaku. Dilakukan dengan metodepenelitian tertentu yang cukup rigid dan meliputi area yang luas. Analisis statistikyang sangat kaya dapat dihasilkan dari cara ini. Survei ini bahkan, saat ini,digabungkan juga dengan survey biologis yang disebut dengan integrated biologicalbehavioral surveys.

3) Sero surveillanceSurvei yang dilakukan untuk mengetahui besaran masalah IMS dan HIV dengancara melakukan tes darah kepada sejumlah sampel di suatu wilayah secara rutin.Biasanya Dinkes kota/kabupaten atau provinsi melakukan sero surveillance setiap

Page 66: Juknis HIV: Pedoman iIPP

65Kementerian Kesehatan Republik Indonesia

Pedoman Intervensi Perubahan Perilaku

6 bulan atau satu tahun kepada penjaja seks. Tujuan kegiatan ini bukan untukmendapatkan siapa orang yang positif atau tidak, tetapi lebih untuk memantaubesaran masalah dan tren IMS dan HIV di suatu wilayah secara terus menerus.Oleh karena itu, tidak ada konseling dan informed- consent pada proses ini dantidak ada pemberitahuan hasil. Petugas sendiri idealnya tidak tahu siapa yangpositif dan siapa yang negatif hasil tesnya karena darah tidak diberi namamelainkan dengan kode.

d. Pelaksana EvaluasiKarena membutuhkan dana yang besar dan keahlian tersendiri maka evaluasioutcome dan impact, dan untuk menjaga kemungkinan bias, biasanya tidakdilakukan oleh pelaksana program, tetapi oleh orang lain yang ditunjuk untuk itu.

Evaluasi outcome vs evaluasi proyek/programBanyak orang sering merancukan antara evaluasi outcome dengan evaluasi proyek.Keduanya berbeda. Perbedaannya adalah sbb:

Perbedaan fokus, ruang lingkup dan tujuan antara evaluasi proyek/program dan outcome

Evaluasi proyek/program Evaluasi outcome

Fokus Input/proses (apakah & di mana tujuan proyek tercapai dalam suatu area intervensi).

Hasil/efek (apakah, bagaimana, dan mengapa outcome dapat tercapai, dan kontribusinya pada kesehatan masyarakat secara umum).

Ruang lingkup

Sangat spesifik, terbatas pada tujuan proyek, input, kegiatan dan output.

Luas, mencakup outcome dan seberapa luas program, proyek, intervensi, partner dan sinergi diantara partner berkontribusi terhadap pencapaian indikator-indikator outcome yang telah ditentukan.

Tujuan Berbasis proyek, untuk memperbaiki implementasi, untuk mengarahkan ulang perjalanan proyek pada area yang sama

Mempertinggi efektivitas pembangunan atau program secara keseluruhan, membantu pengambil keputusan dan kebijakan, dan mensistematiskan pendekatan-pendekatan yang ada

Page 67: Juknis HIV: Pedoman iIPP

66 Kementerian Kesehatan Republik Indonesia

Pedoman Intervensi Perubahan Perilaku

E.Pencatatan dan Pelaporan

1. Pencatatan

Pencatatan adalah proses mentransfer informasi (angka, kejadian) yang dihasilkansuatu kegiatan ke dalam formulir khusus yang disediakan untuk itu agar dapat direkap,dianalisis dan dipelajari lebih lanjut sebagai bukti ada dan terlaksananya suatu kegiatan.Pencatatan dilakukan menggunakan formulir tertentu, sering disebut juga denganformulir dokumentasi.

Pencatatan penting karena akan menjadi alat bukti dan alat verifikasi apakah kegiatansudah dilakukan sesuai yang direncanakan atau belum. Pencatatan juga sering menjadidokumen penunjang ketika membuat laporan pengeluaran keuangan. Ketikapemantauan, pencatatan akan menjadi salah satu input/bahan yang akan dilihat dandipelajari.

Pencatatan kegiatan IPP dilakukan pada setiap pelaksanaan kegiatan dan bisa dalambentuk harian, mingguan, bulanan dan tiga bulanan atau enam bulanan (tergantungdari waktu pelaksanaan kegiatan). Beberapa kegiatan bisa jadi membutuhkan prosespencatatan tersendiri (khusus) sebelum kemudian diintegrasikan ke dalam pencatatanbesar program. Pencatatan dilakukan dengan mengisi formulir khusus pencatatan(formulir dokumentasi) yang telah distandarkan sesuai tujuan dan jenis-jenis kegiatanprogram.

Apa yang dicatat biasanya sesuai dengan indikator proses dari sebuah program IPP.Karena fokus program IPP bisa berbeda-beda, maka pencatatan indikator proses inijuga bisa berbeda.

Beberapa contoh indikator proses program IPP dan biasanya masuk ke dalam prosespencatatan adalah: Jumlah KD yang dikontak/dijangkau/dipapar oleh program melalui kegiatan

tertentu Jumlah KD yang mendapat pelatihan yang diselenggarakan oleh program Jumlah KD yang menerima materi pencegahan dan KIE Jumlah pemangku kepentingan yang berpartisipasi dalam pertemuan advokasi Jumlah kondom/pelicin terjual Jumlah pemangku kepentingan yang terlibat dalam kelompok kerja AIDS di lokasi Jumlah pendidik sebaya yang dilatih Jumlah pendidik sebaya yang aktif Jumlah edutainment yang diselenggarakan Jumlah media KIE yang diproduksi Jumlah media KIE yang didistribusikan

Page 68: Juknis HIV: Pedoman iIPP

67Kementerian Kesehatan Republik Indonesia

Pedoman Intervensi Perubahan Perilaku

Jumlah KD yang dirujuk ke layanan IMS dan KTS Jumlah KD yang memanfaatkan layanan IMS dan KTS Jumlah kartu rujukan yang didistribusikan Jumlah outlet kondom yang dikembangkan program Jumlah outlet kondom yang aktif Jumlah telepon hotline Jumlah pengunjung website Jumlah KD yang ikut chatting Dll

Komponen kegiatan yang dicatat umumnya meliputi: nama kegiatan, peserta kegiatandan jumlahnya, waktu kegiatan (tanggal, durasi, frekuensi, misalnya, kegiatan pertamaatau kegiatan ulangan), isi kegiatan (informasi yang diberikan, materi yang disampaikan,alat/bahan/produk yang didistribusikan), hasil-hasil utama kegiatan dan catatantentang rencana tindak lanjut ke depan.

Pencatatan dilakukan oleh setiap staf sesuai dengan posisinya masing-masing.Misalnya, pencatatan hasil outreach, PRI, PRK, penyuluhan dilakukan oleh KL atau PL.Pencatatan proses KTS dilakukan oleh konselor KTS. Pencatatan hotline dilakukan olehkonselor hotline dan seterusnya. Pencatatan oleh masing-masing staf ini kemudiandiserahkan kepada staf khusus yang bertanggung jawab atas databse program untukkompilasi.

Pencatatan sebaiknya dilakukan setiap kali kegiatan telah dilakukan tanpa menundawaktu. Beberapa informasi mungkin akan hilang atau tidak akurat lagi karena lupaakibat penundaan ini.

Pencatatan dilakukan tidak di depan KD atau peserta kegiatan, kecuali jika hal initidak menjadi masalah. Sejauh memungkinkan pencatatan dilakukan di tempat lainseperti di kantor atau drop-in centre.

Cara pencatatan lebih teknis biasanya disediakan dalam petunjuk teknis pencatatansebuah kegiatan atau program IPP. Pencatatan bisa dilakukan secara manual (ditulistangan di atas sebuah form) atau diisi secara elekronik menggunakan komputer.Contoh pencatatan program IPP dan petunjuk teknis pengisiannya dapat dilihatpada lampiran dokumen ini.

2. Pelaporan

Yang dimaksud dengan pelaporan di sini adalah pelaporan dalam bentuk tulisanatau dokumen tertulis. Pelaporan adalah suatu proses menghasilkan suatu dokumenyang berisi informasi atau isi lain sebagai refleksi dari penelusuran dan temuan

Page 69: Juknis HIV: Pedoman iIPP

68 Kementerian Kesehatan Republik Indonesia

Pedoman Intervensi Perubahan Perilaku

form-form pencatatan dan/atau sumber lain yang menjelaskan situasi dan audienstertentu.

Pelaporan program IPP merupakan rekapitulasi isi form pencatatan atau hasil-hasilinti dari kegiatan-kegiatan yang telah dilakukan dalam kurun waktu tertentu. Bentukpelaporan biasanya juga mempunyai standar tertentu sesuai yang telah diaturprogram.

Manajer program dan direktur program adalah orang yang bertanggung jawab membuatlaporan atas data-data yang tercatat dalam form dokumentasi kegiatan, databaseprogram dan hasil konfirmasi ulang kepada staf yang bersangkutan.

Pelaporan umumnya dibuat secara bulanan, 3 bulanan (per quarter), tengah programdan pada akhir program. Dalam konteks pemantauan, dokumen laporan juga akanmenjadi bahan rujukan. Tidak ada perbedaan baku antara laporan bulanan, 3bulanan, tengah program dan akhir program.

Laporan bulanan biasa merupakan rekap dari berbagai form pencatatan kegiatanharian atau mingguan. Sementara laporan 3 bulanan biasanya merupakan laporandeskriptif untuk menggambar kemajuan penting yang diraih selama 3 bulan berjalan,beserta tantangan utama dan rekomendasinya. Sementara laporan 6 bulan danakhir tahun biasanya merupakan hasil refleksi dan review program secarakeseluruhan untuk melihat capaian, tantangan dan tepat-tidaknya suatu strategidijalankan serta rekomendasi untuk perbaikan strategi ke depan.

Karena sifatnya yang lebih besar dari pencatatan dan sering menjadi patokankemajuan program dari waktu ke waktu, dokumen laporan biasanya disusunbersama-sama oleh staf program IPP dipimpin oleh manajer program. Analisis lebihdalam atas data-data pencatatan biasanya juga diberikan dalam dokumen laporan ini.Selain merekap data angka atau frekuensi, pelaporan juga menjawab pertanyaan’mengapa’ dan ’bagaimana’ dari data atau situasi yang direkap.

Sebuah pelaporan paling tidak berisi: Kegiatan-kegiatan yang telah dilakukan dan hasil-hasil utamanya pada periode

pelaporan Keberhasilan-keberhasilan kegiatan yang utama Tantangan kegiatan-kegiatan yang ada Rekomendasi cara mengatasi tantangan Rencana tindak lanjut

Page 70: Juknis HIV: Pedoman iIPP

69Kementerian Kesehatan Republik Indonesia

Pedoman Intervensi Perubahan Perilaku

BAB IVTEKNIS PELAKSANAAN

PROGRAM INTERVENSIPERUBAHAN PERILAKU

Page 71: Juknis HIV: Pedoman iIPP

70 Kementerian Kesehatan Republik Indonesia

Pedoman Intervensi Perubahan Perilaku

BAB IV TEKNIS PELAKSANAAN PROGRAM INTERVENSI PERUBAHAN PERILAKU

Dalam upaya menanggulangi penyebaran IMS, HIV danAIDS melalui intervensi perubahan perilaku ada beberapaintervensi yang telah terbukti efektif.

Jenis-jenis intervensi tersebut adalah:

• Penilaian Risiko Individu.• Penilaian Risiko Kelompok.• Fasilitasi Kelompok Dukungan Sebaya Pencegahan

IMS dan HIV.• Chatting.• Pendidikan Sebaya.• Hotline.• Outreach• Edutainment.• Mobilisasi Komunitas.• Pemasaran Sosial Kondom dan Pengelolaannya.• Kerjasama Dengan Layanan Rujukan.• Penyuluhan.

Jenis-jenis intervensi tersebut telah disebutkan pada BabII. Berikut adalah uraian mendalam dari setiap jenisintervensi efektif.

Page 72: Juknis HIV: Pedoman iIPP

71Kementerian Kesehatan Republik Indonesia

Pedoman Intervensi Perubahan Perilaku

A. Penilaian Risiko Individu (PRI)

1. Pengertian

Penilaian risiko mengacu pada proses menentukan besar kecilnya risiko yangdiakibatkan perilaku tertentu seseorang. Agar penilaian risiko bermanfaat optimalsebaiknya dilanjutkan dengan upaya pengurangan risiko bagi seseorang yangteridentifikasi memiliki risiko tinggi terpapar suatu hal yang dianggap berdampakburuk. PRI mengajak seorang kelompok dampingan (KD) mengenali perilakunyaserta mempelajari tingkat risiko dari perilakunya tersebut dan meningkatkanpemahaman pentingnya berperilaku aman.

PRI dilakukan untuk mengurangi ketidaknyamanan yang dialami saat orangmendiskusikan masalah bersifat pribadi yang memang diperlukan untuk mengetahuirisiko dari perilakunya. Penilaian risiko tidak hanya bertujuan membantu seseorangmenentukan risiko perilakunya terhadap penularan IMS dan HIV melainkan jugamendorong dan mengajak KD merencanakan perilaku pengganti yang lebih amanmelalui suatu bentuk layanan pendidikan kesehatan secara langsung kepada KD.

2. Tujuan

Tujuan umum:Memastikan kelompok berperilaku risiko tinggi memahami dan mengurangi perilakuberisiko tertular IMS dan HIV.

Tujuan khusus:• Mengindentifikasi perilaku berisiko terhadap penularan IMS dan HIV bersama-

sama KD.• Mengidentifikasi cara-cara mengurangi perilaku berisiko bersama-sama KD.• Membantu KD membuat rencana mengubah perilaku berisikonya menjadi lebih

aman.• Membantu KD melaksanakan perilaku yang lebih aman terhadap penularan

IMS dan HIV.• Meningkatkan akses terhadap layanan yang mendukung terciptanya perilaku

baru.

3. Sasaran

Individu berperilaku risiko tinggi yang telah memperoleh paket informasi lengkapmeliputi:

Page 73: Juknis HIV: Pedoman iIPP

72 Kementerian Kesehatan Republik Indonesia

Pedoman Intervensi Perubahan Perilaku

• Informasi IMS, HIV dan AIDS termasuk KTS (Konseling dan Tes HIV Sukarela/KTS).• Media Komunikasi Informasi dan Edukasi (KIE) yang disertai diskusi.• Materi pencegahan (kondom dan pelicin) yang disertai dengan diskusi.• Informasi dan pendidikan keterampilan negosiasi kondom dan alternatif seks lebih

aman lainnya.• Informasi mengakses layanan (Informasi Menular Seksual, KTS, Manajemen Kasus,

Kelompok Dukungan Sebaya, Perawatan Dukungan dan Pengobatan).

4. Prinsip Pelaksanaan

• Berdasarkan kesukarelaan dan kemampuan peserta mengurangi perilaku berisikokarena pengurangan risiko harus dilakukan secara bertahap dan realistis. Mulaidari risiko yang paling mudah diubah.

• Rencana pengurangan risiko biasanya berlangsung 1 bulan tergantung darikelompok mana KD berasal. Untuk membantu pencapaian, PRI sebaiknya dirancangberdasarkan durasi tertentu. Biasanya PRI dilaksanakan dalam 3-5 kali pertemuan.Waktu pertemuan dirancang per minggu (paling cepat) atau per bulan (paling lama).

• Prinsip kerahasiaan.

5. Pelaksana

Petugas lapangan atau fasilitator yang telah memperoleh pelatihan khusus mengenaiPRI dan mempunyai keterampilan komunikasi individu yang mumpuni terutama meliputi:

• Keterampilan komunikasi: komunikasi verbal dan non verbal, mendengarkan aktif,mengajukan pertanyaan dan mereview pertemuan serta mengambil kesimpulan.

• Keterampilan fasilitasi: mengembangkan dan mengorganisasikan ide sertamendorong pengambilan keputusan KD.

• Keterampilan bina suasana: menggunakan berbagai permainan sehingga suasanamenjadi akrab.

6. Sarana

Formulir PRI dengan muatan sebagai berikut:• Pasangan seks meliputi jumlah pasangan seks dan variasi pasangan seks.• Penggunaan kondom dan pelicin.• Perilaku seks.• Jenis pelicin dan penggunaannya.• Pemeriksaan kesehatan.

Page 74: Juknis HIV: Pedoman iIPP

73Kementerian Kesehatan Republik Indonesia

Pedoman Intervensi Perubahan Perilaku

• Kepatuhan minum obat.• Pengobatan sendiri.• Penggunaan Alkohol dan Napza.

7. Hal-hal lain yang terkait dalam pelaksanaan:

Dalam membantu terjadinya perubahan perilaku KD, dukungan yang perlu diberikanPL antara lain:• Mengingatkan kembali paket informasi lengkap yang telah diterima KD

sebelumnya.• Informasi cara mengakses layanan.• Kesediaan mendampingi KD ke fasilitas layanan sesuai kebutuhan serta

menjembatani sekiranya KD mengalami hambatan dalam memperoleh layanan.• Kesediaan PL untuk menjembatani antara KD dengan pemangku kepentingan

atau pihak terkait apabila terjadi hambatan dalam proses perubahan perilaku.

B. Penilaian Risiko Kelompok (PRK)

1. Pengertian

Penilaian Risiko Kelompok (PRK) adalah proses penilaian risiko berkelompok yangdilaksanakan secara interaktif untuk membantu peserta mengidentifikasi perilakuspesifik yang menempatkan mereka pada situasi berisiko tertular HIV. PRKmembantu peserta untuk mengatasi risiko risiko satu demi satu dengan cara-carayang mereka anggap sesuai. Peserta dipandu untuk menilai risiko dari perilakunyasaat ini dan mengembangkan perencanaan bersama sehingga dapat berperilakulebih aman terhadap penularan IMS, HIV dan AIDS.

Memanfaatkan berbagai kelompok yang ada di lokasi intervensi merupakanpendekatan penting dalam suatu intervensi karena kelompok-kelompok tersebutdapat menyediakan akses pada jejaring sosial yang ada. Selain itu kelompokmerupakan sarana penting untuk berbagi informasi dan memberikan dukunganterhadap individu yang melakukan perubahan perilaku

2. Tujuan

Tujuan umum:Memastikan bahwa kelompok berperilaku risiko tinggi memahami dan mengurangiperilaku berisiko tertular IMS dan HIV.

Page 75: Juknis HIV: Pedoman iIPP

74 Kementerian Kesehatan Republik Indonesia

Pedoman Intervensi Perubahan Perilaku

Tujuan khusus:• Mengindentifikasi perilaku berisiko terhadap penularan IMS dan HIV bersama-

sama kelompok KD.• Mengidentifikasi cara-cara mengurangi perilaku berisiko bersama-sama

kelompok KD.• Membantu kelompok KD membuat rencana mengubah perilaku berisikonya

menjadi lebih aman.• Membantu kelompok KD melaksanakan perilaku yang lebih aman terhadap

penularan IMS dan HIV.• Meningkatkan akses terhadap layanan yang mendukung terciptanya perilaku

baru.

3. Sasaran

Sasaran PRK adalah kelompok berperilaku risiko tinggi yang telah memperolehpaket informasi secara lengkap, yakni:• Informasi IMS, HIV dan AIDS termasuk KTS (Konseling dan Tes HIV Sukarela/

KTS).• Media Komunikasi Informasi dan Edukasi (KIE) yang disertai diskusi.• Materi pencegahan (kondom dan pelicin) yang disertai dengan diskusi.• Informasi dan pendidikan keterampilan negosiasi kondom dan alternatif

seks lebih aman lainnya.• Informasi mengakses layanan (Informasi Menular Seksual, KTS, Manajemen

Kasus, Kelompok Dukungan Sebaya, Perawatan Dukungan dan Pengobatan).

4. Prinsip Pelaksanaan

• Memanfaatkan kekuatan kelompok inti yang ada dalam kelompok berperilakurisiko tinggi. Besarnya kelompok antara 2-8 orang. Jika lebih dari 8 orang,sebaiknya PRK dilaksanakan dalam dua kelompok atau lebih.

• Berdasarkan kesukarelaan dan kemampuan peserta mengurangi perilakuberisiko karena pengurangan risiko harus dilakukan secara bertahap danrealistis. Mulailah dengan risiko yang paling banyak dihadapi oleh pesertakelompok.

• Rencana pengurangan risiko biasanya berlangsung 1 bulan. Untuk membantupencapaian, PRK sebaiknya dirancang berdasarkan durasi tertentu. BiasanyaPRK dilaksanakan dalam 3-5 kali pertemuan. Waktu pertemuan dirancang perminggu (paling cepat) atau per bulan (paling lama).

Page 76: Juknis HIV: Pedoman iIPP

75Kementerian Kesehatan Republik Indonesia

Pedoman Intervensi Perubahan Perilaku

• PRK bisa diakhiri jika minimal ada 1 rencana pengurangan risiko yang berhasilkarena PRK yang ideal seringkali membutuhkan waktu yang lama danmembosankan sehingga banyak peserta yang mengundurkan diri (drop out).

• Prinsip kerahasiaan.

5. Pelaksana

Petugas lapangan atau fasilitator yang telah memperoleh pelatihan khususmelaksanakan PRK. Selain itu fasilitator harus memiliki keterampilan sebagai berikut:• Keterampilan komunikasi: komunikasi verbal dan non verbal, membangun dan

mendukung konsensus, mendengarkan aktif, mengajukan pertanyaan, danmengelola tanya jawab.

• Keterampilan fasilitasi: mengembangkan dan mengorganisasikan ide, mengelolapertemuan, mendorong pengambilan keputusan KD, mengelola konflik, danmembuat kelompok aktif.

• Keterampilan bina suasana: berbagai permainan dan bernyanyi sehingga suasanamenjadi akrab.

6. Sarana

• Formulir penilaian risiko kelompok

7. Hal-hal lain yang terkait dalam pelaksanaan.

a. Kelompok Inti.Untuk memastikan adanya keterbukaan dan pemberian dukungan di antara peserta,PRK mensyaratkan pesertanya terikat dalam satu kelompok inti yaitu mereka yangberasal dari jaringan sosial yang sama. Kelompok inti biasanya mudah diamatikarena anggotanya sering bertemu dan berinteraksi, dan merupakan teman jalandan teman untuk mencurahkan permasalahan.

Panduan digunakan untuk menetapkan kelompok inti antara lain:• Dasar pembentukan kelompok (asal daerah, tempat kos, hobi).• Proses pembuatan aturan kelompok.• Aturan yang mempengaruhi kehidupan KD, baik sebagai individu maupun

kelompok, serta sanksi sosial terhadap mereka yang tidak mematuhi aturan.• Kekuatan yang dimiliki kelompok yang dapat digunakan sebagai dasar

perubahan perilaku.• Identifikasi tokoh penting dari kelompok inti.

Page 77: Juknis HIV: Pedoman iIPP

76 Kementerian Kesehatan Republik Indonesia

Pedoman Intervensi Perubahan Perilaku

b. Dukungan yang perlu diberikan PL:• Mengingatkan kembali paket informasi lengkap yang telah diterima KD

sebelumnya.• Informasi cara mengakses layanan.• Kesediaan mendampingi KD ke fasilitas layanan sesuai kebutuhan serta

menjembatani sekiranya KD mengalami hambatan dalam memperolehlayanan.

• Kesediaan PL untuk menjembatani antara KD dengan pemangkukepentingan atau pihak terkait apabila terjadi hambatan dalam prosesperubahan perilaku.

C. Membentuk dan Mengelola Program KelompokDukungan Sebaya (KDS)

1. Pengertian

Kelompok Dukungan Sebaya (KDS) merupakan forum dimana anggota bertemusecara rutin untuk berbagi informasi dan saling memberikan dukungan gunamembantu mereka mengubah perilaku atau mempertahankan perilaku baruyang lebih aman serta mendorong terbentuknya norma positif kelompok. KDSbukanlah merupakan pengganti pengobatan/perawatan medis, tetapi terbuktidapat menjadi pelengkap efektif dari pengobatan/perawatan yang ada.

KDS merupakan cara jitu untuk mengumpulkan KD yang memiliki kesamaansituasi, kekhawatiran, dan masalah. Kekuatan KDS terletak kesamaanpengetahuan dan gaya hidup diantara para anggotanya sehingga mereka cepatmembangun hubungan, lebih sensitif akan kebutuhan sesama, dapat salingmemberikan dukungan yang relevan, bermakna, eksplisit dan jujur, dapatmembangun kontak dan interaksi sosial yang berkesinambungan. Dengandemikian anggota KDS dapat saling mempengaruhi untuk mendorong perubahanperilaku yang lebih luas di kalangan kelompoknya.

Bantuan yang disediakan dalam KDS adalah penyediaan informasi yang relevan,berbagi pengalaman personal terkait, mendengarkan pengalaman anggota lain,penyediaan pengertian yang simpatik dan pemberdayaan anggotanya sertamemantapkan jaringan sosial.

Page 78: Juknis HIV: Pedoman iIPP

77Kementerian Kesehatan Republik Indonesia

Pedoman Intervensi Perubahan Perilaku

2. Tujuan

Tujuan Umum:Memastikan kelompok berperilaku risiko tinggi memahami dan mengurangi perilakuberisiko tertular IMS dan HIV.

Tujuan Khusus:• Menyediakan forum berbagi dalam kelompk yang setara untuk saling menolong.• Mendukung dan menguatkan terjadi perubahan perilaku kelompok ke arah yang

lebih aman agar tidak terinfeksi HIV.

3. Sasaran

KD yang memiliki kesamaan masalah, situasi atau keadaan serta terikat dalamperasaan senasib di lokasi program.

4. Prinsip Pelaksanaan

• Berdasarkan pada kebutuhan KD untuk berkumpul dan saling memberikandukungan.

• Anggota KDS paling banyak 8 orang agar dapat berpartisipasi optimal danmemperoleh dukungan secara efektif.

• Sukarela.• Rutin dan berkesinambungan.• Mendukung dan memperkuat perubahan perilaku.• Toleransi terhadap keunikan setiap anggotanya.• Menghargai pengalaman dan informasi yang diberikan anggota lainnya.• Prinsip kerahasiaan• TIDAK BOLEH menghakimi.• TIDAK BOLEH menggunakan sikap agresif, konfrontasi atau melecehkan.

5. Pelaksana

Petugas lapangan atau fasilitator yang memiliki keterampilan berkomunikasi, mulaidari mengajukan pertanyaan, mendengarkan aktif, mengelola tanya jawab,memfasilitasi diskusi, meningkatkan partisipasi peserta sampai pada keterampilanmengelola konflilk.

Page 79: Juknis HIV: Pedoman iIPP

78 Kementerian Kesehatan Republik Indonesia

Pedoman Intervensi Perubahan Perilaku

6. Sarana

• Formulir data pribadi peserta KDS• Laporan hasil pertemuan KDS

7. Hal-hal yang terkait dalam pelaksanaan

Cara mengelola peserta KDS yang diam, dominan atau bersikap emosional secaraberlebihan:• Setiap anggota bebas bicara, tetapi tidak wajib.• Semua ekspresi perasaan diperbolehkan, termasuk tertawa & menangis,

asal tidak menyerang kondisi fisik seseorang.• KDS ini adalah milik peserta. Jika anggota punya saran atau kritik, dorong

mereka untuk menyuarakan.• Berikan kesempatan setiap peserta untuk berbicara dan mengungkapkan

perasaan.• Bila ada peserta yang mendominasi, minta mereka untuk memberikan

kesempatan pada anggota lain.• Apabila ada peserta yang menangis, biarkan. Jika dia tidak “pecah”, tidak

perlu mencoba memperbaiki.• Jika tangisan tidak berhenti atau peserta minta Anda untuk melanjutkan,

lanjutkan. Berikan kesempatan pada peserta tersebut untuk menenangkandiri. Setelah beberapa saat Anda bisa mulai lagi dengannya.

• Jika peserta menangis dan meninggalkan ruangan, seseorang harusmengikutinya dan menenangkannya.

• Pastikan peserta bersikap sensitif dengan perasaan dan pendapat anggotalain.

D. Membuka dan Mengoperasikan Program Chatting

1. Pengertian

Penggunaan internet memiliki beberapa keunggulan dibandingkan dengan peralatankomunikasi lain terutama bila dibandingkan dengan penjangkauan langsung olehpetugas lapangan. Sebagai salah satu media komunikasi, tidak diragukan lagipenggunaan internet sangat luas dan bisa berkembang lebih luas lagi. Komunikasi

Page 80: Juknis HIV: Pedoman iIPP

79Kementerian Kesehatan Republik Indonesia

Pedoman Intervensi Perubahan Perilaku

lewat chatting termasuk salah satu bukti meluasnya penggunaan internet karena biayamurah dan dapat menjangkau banyak pengguna.

Chatting merupakan perilaku berkomunikasi dua arah melalui saluran tertentuyang ada di internet. Chatting menjadi alternatif media berkomunikasi yang murahdan mudah. Dengan chatting seseorang bisa melakukan komunikasi dengan banyakorang yang berada dalam kota ataupun luar kota.

2. Tujuan

Tujuan umum:Memastikan kelompok berperilaku risiko tinggi memahami dan mengurangi perilakuberisiko tertular IMS dan HIV, terutama bagi mereka yang sulit dijangkau dantertutup secara sosial, budaya maupun geografis.

Tujuan khusus:• Melakukan diseminasi pengetahuan tentang IMS, HIV dan AIDS dan kesehatan

seksual.• Memberikan dukungan terjadinya perubahan perilaku, dari perilaku berisiko

menjadi perilaku aman.• Mendekatkan kelompok berperilaku risiko tinggi kepada akses layanan yang

tersedia baik yang dimiliki lembaga pelaksana program chatting ataupunlembaga lain dengan sistem rujukan, misalnya: layanan klinik IMS, layanan KTS,layanan dukungan, pengobatan dan perawatan.

• Mendekatkan kelompok perilaku risiko tinggi kepada kegiatan lapangan yangdilakukan oleh lembaga pelaksana program chatting, misalnya: kegiatankampanye, kelompok pendukung, diskusi kelompok terfokus, pelatihanpenurunan risiko, pelatihan komunikator kelompok, survei perilaku, dan lain-lain.

• Penguatan kelompok berperilaku risiko tinggi.

3. Sasaran

Kelompok berperilaku risiko tinggi yang mempunyai akses serta ketertarikanberkomunikasi di dunia maya.

4. Prinsip Pelaksanaan

• Mudah.

Page 81: Juknis HIV: Pedoman iIPP

80 Kementerian Kesehatan Republik Indonesia

Pedoman Intervensi Perubahan Perilaku

• Cepat dan tepat.

• Kapasitas.

• Kualitas jaringan.

• Kerahasiaan.

• Efisien dan efektif.

5. Pelaksana

• Memiliki ketertarikan dan pengetahuan teknis tentang program komputer.

• Khusus untuk operator channel, sebaiknya memahami pola “kultur “ kelompokperilaku risiko tinggi yang suka melakukan chatting. Selain itu operatordiharapkan dapat membangun situasi kondusif terutama dengan KD yang baru,atau yang masih ragu-ragu mengenai program chatting.

• Memperhatikan privasi dan keamanan informasi dalam program chatting.

• Memiliki keterampilan komunikasi: komunikasi verbal, mengajukan pertanyaansecara menarik dan intriguing dan mengelola tanya jawab.

6. Sarana

• Dokumentasi harian chatting

• Dokumentasi bulan chatting

E. Pengelolaan Program Pendidik Sebaya

1. Pengertian

Program Pendidik Sebaya atau Peer Education (PE) adalah programpenjangkauan yang bertujuan mengubah perilaku berisiko dari populasi melaluipenyebaran informasi yang dilakukan anggota kelompok yang telah memperolehpelatihan secara khusus mengenai topik terkait. Program Pendidik Sebayabiasanya digunakan untuk melakukan perubahan perilaku di tingkat individudengan cara mengubah pemahaman, sikap dan perilaku populasinya. Meskipundemikian program ini dapat digunakan untuk melakukan perubahan di tingkatkelompok atau komunitas dengan cara mempengaruhi normal-norma sosial danmemulai aksi sosial yang mengarah pada perubahan kebijakan.

Page 82: Juknis HIV: Pedoman iIPP

81Kementerian Kesehatan Republik Indonesia

Pedoman Intervensi Perubahan Perilaku

Program PE dikembangkan berdasarkan pemikiran bahwa seseorang lebih mudahdipengaruhi oleh peer nya daripada “orang luar” karena karena peer memilikikesamaan karakteristik demografi (umur, tempat tinggal, pekerjaan, tingkatpendidikan) dengan populasi maka mereka berbicara dalam “bahasa” yang samasehingga memudahkan proses komunikasi, dan peer memahami tantangan yangdihadapi komunitas untuk mengubah perilaku berisiko mereka menjadi perilakulebih aman. Program PE adalah komponen program HIV & AIDS yang sangat populer.

2. Tujuan

Tujuan umum:Memastikan kelompok berperilaku risiko tinggi memahami, mengurangi perilakuberisiko tertular IMS dan HIV dan mempertahankan perilaku baru yang lebih aman.

Tujuan khusus:• Menjadi kekuatan yang mendorong dan mempengaruhi terjadinya perubahan

perilaku dalam pemakaian kondom, penapisan rutin, pencarian pengobatanyang tepat dan pelaksanaan Konseling dan Tes Sukarela.

• Menjadi contoh model (role model) positif yang melaksanakan perilaku lebihaman terhadap penularan IMS dan HIV.

• Meningkatkan akses KD terhadap layanan yang mendukung terciptanya perilakubaru.

3. Sasaran

• Komunitas berperilaku risiko tinggi terhadap penularan IMS dan HIV.• Komunitas yang memiliki pemangku kepentingan yang peduli terhadap program

pencegahan dan penanggulangan IMS, HIV dan AIDS.• Komunitas yang memiliki kapasitas untuk membentuk dan mengelola program

PE.

4. Prinsip Pelaksanaan

• Merupakan bagian program IPP sehingga pembentukan dan pengelolaannya,

paling tidak pada tahap awal dilakukan lembaga atau institusi yang menaungiprogram tersebut.

• Pembentukan dan pengelolaannya program PE dilakukan dengan mengikutsertakanpemangku kepentingan yang ada di wilayah intervensi dimulai dari tahap

Page 83: Juknis HIV: Pedoman iIPP

82 Kementerian Kesehatan Republik Indonesia

Pedoman Intervensi Perubahan Perilaku

perencanaan sampai pemantauan dan evaluasi. Dengan berjalannya waktu,pemangku kepentingan terlibat aktif mengelola program PE untuk memastikankeberlangsungan program.

• Strategi memandirikan komunitas menangani isu pencegahan IMS, HIV dan AIDS.Dalam pengembangan program PE harus ada kepercayaan terhadap kapasitam.sdan kemampuan komunitas untuk mandiri. Organisasi hanyalah alat pemicu.Apabila komunitas tidak atau belum memilki kapasitas dan kemampuanmengurus diri mereka sendiri maka program PE sebaiknya ditunda.

5. Pelaksana• Petugas lembaga yang diberi tanggung jawab untuk mengelola program PE.• Pemangku kepentingan di wilayah kerja yang memiliki kepedulian mengelola

program PE.

6. Sarana• Panduan wawancara.• Materi KIE.• Perangkat pemantauan.• Perangkat evaluasi.

7. Hal-hal lain yang berkaitan dengan pelaksanaan

a. Kriteria PE• Diterima dan dihargai oleh komunitasnya.• Memiliki kemampuan berkomunikasi• Terbuka, responsif dan dapat menerima ide-ide baru• Bisa baca tulis.• Dapat menjadi role model.• Memiliki motivasi dan bersedia terlibat dalam program.• Memiliki jiwa pemimpin.• Mampu bekerja dalam tim• Mudah ditemui oleh KD (tinggal disatu tempat dalam jangka waktu yang

lama).• Memiliki kesamaan karakteristik dengan KD lainnya.• Mau bekerja sebagai relawan.• Memiliki pengalaman sebagai volunter pada program lain.• Karakter lain yang berhubungan dengan program secara khusus.

Page 84: Juknis HIV: Pedoman iIPP

83Kementerian Kesehatan Republik Indonesia

Pedoman Intervensi Perubahan Perilaku

Empat kriteria pertama merupakan kriteria minimal yang harus ada padaseorang pendidik sebaya, sementara kriteria lain ditentukan situasi yangada di lapangan.

b. Peran PE• Membantu PL membuka wilayah baru.• Menginisiasi diskusi (individu/kelompok) dikalangan KD ditempat

tinggalnya atau di area jangkauan yang menyesuaikan dengan kondisiKD.

• Memotivasi dan mendorong perubahan perilaku (pakai kondom danmengakses layanan layanan kesehatan yang tepat)

• Promosi dan distribusi kondom/pelicin.• Pemantauan outlet kondom di hotspot tempat dia mangkal• Distribusi materi KIE.• Promosi layanan kesehatan (tempat, cara, waktu, dan manfaat).

c. Panduan wawancara PE:Wawancara PE pada prinsipnya adalah menggali informasi denganmengajukan pertanyaan kunci. Pertanyaan kunci tersebut, antara lain:• Apakah kamu kenal baik dengan semua teman-teman dan orang-

orang kunci disini?• Apakah kamu pernaa pakai kondom? Berapa sering? Apa pendapatmu

tentang hal ini?• Apakah kamu bisa meyisihkan waktu untuk memberikan indormasi

kesehatan kepada tmean-temanmu? Berapa banyak kira-kira?• Apakah kamu suka dengan hal-hal dan ide baru?• Apakah kamu bisa baca tulis?• Apakah punya kebebeasan untuk keluar “rumah/wisma/bar”?

Page 85: Juknis HIV: Pedoman iIPP

84 Kementerian Kesehatan Republik Indonesia

Pedoman Intervensi Perubahan Perilaku

F. Membuka dan MengoperasikanProgram Layanan Hotline Telepon

1. Pengertian

Layanan hotline merupakan salah satu cara yang digunakan untuk memberikaninformasi akurat, konseling dan melakukan rujukan pada layanan kesehatanyang tepat. Prinsip dimana orang yang menghubungi hotline tidak perlumemberikan nama sesungguhnya (anonimitas) merupakan faktor penting dalamlayanan hotline karena anonimitas memungkinkan penelpon mengajukanpertanyaan yang sulit dibahas dalam pertemuan tatap muka. Selain itukenyataan di lapangan menunjukkan kelompok berperilaku risiko tinggi, baikpenjaja seks laki-laki dan perempuan, laki-laki yang berhubungan seks denganlaki-laki dan pria berperilaku risiko tinggi tidak selalu terbuka dalammengungkapkan identitas seksual mereka, misalnya, di kalangan LSL terdapatsejumlah laki-laki yang merasa risih untuk tampil secara terbuka dan bergabungdalam program pelayanan kesehatan.

Layanan hotline dapat digunakan sebagai barometer untuk mengukur cakupanpenyebaran informasi yang sudah dilakukan dan memandu pengembanganintervensi baru. Misalnya, banyak penelpon yang menanyakan secara mendalamberbagai infeksi menular seksual, menunjukkan diperlukan informasi yang lebihbanyak mengenai topik terkait. Layanan hotline telepon bukan saja bermanfaatbagi kelompok berperilaku risiko tinggi tetapi juga bagi anggota masyarakatlainnya yang membutuhkan informasi dan konseling sehubungan dengan upayaperubahan perilaku agar hidup lebih sehat, termasuk kehidupan seksual, danterlindung dari Infeksi HIV maupun IMS.

Mengingat rentannya suatu layanan hotline kesehatan mengalamipenyalahgunaan fungsi, misalnya layanan hotline kesehatan menjadi layananpercakapan telepon untuk kepuasan seksual (phone sex), layanan biro jodohmaupun layanan escort sex (transaksi seksual terselubung), maka perlu dibuatstandar prosedur operasional atau SPO Membuka dan Mengoperasikan ProgramLayanan Hotline Telepon.

2. Tujuan

Tujuan umum:Memastikan kelompok berperilaku risiko tinggi memahami dan mengurangiperilaku berisiko tertular IMS dan HIV.

Page 86: Juknis HIV: Pedoman iIPP

85Kementerian Kesehatan Republik Indonesia

Pedoman Intervensi Perubahan Perilaku

Tujuan khusus:• Memberikan informasi yang akurat dan sesuai kebutuhan penelepon.• Menyediakan kesempatan pada penelepon untuk berdialog.• Memberikan dukungan pada penelepon dengan cara mendengarkan dan,

bila perlu, melakukan konseling.• Bila perlu, memberikan informasi mengenai rujukan.• Mengidentifikasikan kebutuhan informasi KD.

3. Sasaran

Kelompok perilaku risiko tinggi terhadap penularan IMS, HIV dan AIDS.

4. Prinsip Pelaksanaan

• Prinsip kerahasiaan.• Keberlangsungan layanan.• Promosi berkesinambungan mengenai keberadaan layanan hotline.• Prinsip anonimitas dimana penelepon tidak diharuskan menyebutkan jati

diri mereka sesungguhnya untuk memastikan keleluasaan dalammenyampaikan informasi yang berkaitan dengan masalah yang dihadapinya.

• Prinsip tidak menghakimi dan tidak memberikan label tertentu pada siapapun.

5. Pelaksana

• Konselor hotline di lembaga.• Petugas lain di lembaga yang ditunjuk melakukan program hotline telepon

dengan kriteria:o Telah dilatih konseling hotline.o Memperhatikan privasi dan kerahasiaan.o Memiliki keterampilan komunikasi: komunikasi verbal, mengajukan

pertanyaan secara menarik dan intriguing, mengelola tanya jawabcdanmengarahkan ulang, serta mengkaitkan kembali pada topik pembahasan.

6. Sarana:

• Contoh buku registrasi penelpon hotline• Contoh lembar rekam data penelpon hotline• Contoh lembar rekam data penelpon hotline Ulangan

Page 87: Juknis HIV: Pedoman iIPP

86 Kementerian Kesehatan Republik Indonesia

Pedoman Intervensi Perubahan Perilaku

• Contoh lembar laporan kasus penelpon hotline• Prosedur pemantauan individual konselor hotine• Prosedur sidang kasus hotline

G. Outreach (Penjangkauan Masyarakat)

1. Pengertian

Outreach adalah kontak langsung, baik individual maupun kelompok kecil (2-10orang), yang dilakukan oleh petugas lapangan (PL) kepada kelompok berperilakurisiko tinggi. Kontak ini bertujuan memberikan informasi dan mendistribusikanmateri pencegahan dan media KIE dilakukan langsung di tempat mereka berada.Outreach juga bertujuan mempromosikan perilaku yang lebih aman dan merujukkelompok berperilaku risiko tinggi ke layanan terkait. Outreach dilakukan untukmemperoleh akses pada populasi yang sulit dijangkau karena mereka merupakankelompok yang tersembunyi, baik secara geografis, sosial maupun budaya.Misalnya, WPS, HRM, MSM dan waria. Setelah terjadi hubungan baikberdasarkan kepercayaan, PL menjadi agen perubahan perilaku (agent of change),sumber informasi serta pendidikan HIV dan AIDS bagi kelompok tersebut.Dengan metode outreach, kedalaman dan kualitas informasi serta proses yangterus menerus dapat dilakukan.

Pemberian informasi dalam outreach, paling tidak, tidak mencakup paketinformasi:• Informasi IMS, HIV, AIDS dan KTS• Informasi tentang materi-materi pencegahan (kondom dan pelicin) dan media

KIE• Informasi dan pendidikan keterampilan negosiasi kondom, termasuk

alternatif seks aman lainnya• Informasi bagaimana mengkases layanan terkait IMS, HIV dan AIDS (layanan

IMS, KTS, layanan CST (tes CD4, pengobatan IO, layanan MK, KDS, layananspiritual dll).

• Informasi tentang kesehatan reproduksi dan kesehatan seksual• Informasi tentang Napza• informasi lain yang dibutuhkan populasi.

2. Tujuan

Tujuan umum:Mengurangi perilaku berisiko tinggi dan mempromosikan gaya hidup sehat melaluipemakaian kondom dan pelicin dan pemeriksaan kesehatan secara teratur.

Page 88: Juknis HIV: Pedoman iIPP

87Kementerian Kesehatan Republik Indonesia

Pedoman Intervensi Perubahan Perilaku

Tujuan khusus:• Meningkatkan pengetahuan yang terkait dengan HIV dan AIDS.• Meningkatkan kesadaran risiko diri dari perilakunya.• Mengubah perilaku berisiko KD menjadi perilaku yang aman dari IMS dan

HIV serta AIDS.

3. Sasaran

Kelompok yang berperilaku risiko tinggi terhadap penularan IMS, HIV dan AIDS.

4. Prinsip Pelaksanaan

• Prinsip pemberdayaan KD sebagai pelaku yang menjalankan prosesperubahan perilaku. Edukasi yang diberikan harus meningkatkankemampuan dan keterampilan mereka melakukan perubahan perilaku danmemberdayakan mereka untuk menjaga perilaku lebih aman.

• Prinsip santai dan informal. Edukasi dilakukan dalam suasana luwes, terbuka,tidak memaksa dan informal. Pertemuan tidak boleh mengganggu kegiatansehari-hari KD untuk ini PL harus mampu membaca situasi di lapangan.

• Prinsip triangulasi. Triangulasi merupakan bentuk pemeriksaan ulang data.Data yang dikumpulkan harus diklasifikasi, dianalisis dan digunakan sebagaidasar pengambilan kebijakan untuk menindaklanjuti situasi yangberkembang di lapangan KD. Hal ini penting untuk memberikan dukunganyang sesuai dengan kebutuhan KD.

• Prinsip intensitas dan kedalaman informasi. Mengubah perilakumembutuhkan proses dan waktu cukup lama, perhatian terus menerus danterfokus melalui pertemuan intensif dengan kualitas informasi yang terusdiperbarui sesuai dengan kebutuhan dan perkembangan pengetahuan, sikap,dan perilaku KD. Mendekati KD tidak cukup sekali, setidaknya harusdilakukan beberapa kali untuk menjadikan seseorang mengubah perilakunya.Informasi yang diberikan harus berkesinambungan (mungkin menggunakanberbagai saluran media). Untuk itu penjangkauan dan pendampinganmenuntut beberapa perlakuan khusus untuk setiap KD atau kelompok KD.

• Kepercayaan dan kerahasiaan. Sikap menjaga kepercayaan dan kerahasiaanini penting agar KD mau terbuka dan bersedia merencanakan perubahanperilaku.

• Kreativitas dan inovasi dalam mendukung KD agar mau melakukan perubahanperilaku. Untuk itu PL perlu mencari cara-cara lain di luar yang sudah ada danbanyak dikenal orang. Proses pencarian ini harus memperhatikan penerimaan

Page 89: Juknis HIV: Pedoman iIPP

88 Kementerian Kesehatan Republik Indonesia

Pedoman Intervensi Perubahan Perilaku

dan karakteristik KD, tipe lapangan, budaya lokal dan hal-hal lain yang mungkinmempengaruhi KD.

• Prinsip asesmen. Untuk memudahkan adaptasi, mengembangkan bentukdukungan di lingkungan tersebut yang diperlukan dalam memotivasiperubahan perilaku KD, PL perlu memahami semua aspek yang berkaitandengan pribadi KD (karakteristik, pengetahuan, sikap dan perilakunya,lingkungan dan lain-lain). Untuk itu PL harus mampu menggali hal-hal yangterkait dengan KD dan lingkungan KD melalui observasi dan wawancara diseputar lokasi sehingga apa yang kita rencanakan (peta, penjadwalan) dapatdilakukan dengan benar dan diterima oleh KD dan lingkungannya serta sesuaidengan kebutuhan KD.

5. Pelaksana

Petugas lapangan di lembaga yang ditunjuk untuk melaksanakan outreach.Kriteria petugas lapangan:1. Telah memperoleh pelatihan outreach.2. Ramah.3. Memiliki keterampilan:

• Komunikasi verbal dan non verbal, membangun dan mendukungkonsensus, mendengarkan aktif, mengajukan pertanyaan, dan mengelolatanya jawab.

• Memberikan motivasi.• Memfasilitasi: mengembangkan dan mengorganisasikan ide, mengelola

pertemuan, mendorong pengambilan keputusan KD, mengelola konflik,dan membuat kelompok aktif.

• Melakukan bina suasana: berbagai permainan sehingga suasana menjadiakrab.

• Memonitor perubahan perilaku pada KD.• Merujuk.• Mendemonstrasikan cara pemasangan dan negosiasi kondom.

6. Sarana

• Cara pengisian formulir• Formulir kegiatan WPS dan klien• Formulir kegiatan waria• Formulir kegiatan LSL• Panduan Pemetaan

Page 90: Juknis HIV: Pedoman iIPP

89Kementerian Kesehatan Republik Indonesia

Pedoman Intervensi Perubahan Perilaku

F. Hiburan yang Mendidik (Edutainment)

1. Pengertian

Edutainmen adalah pemberian informasi yang disampaikan dengan caramenghibur untuk meningkatkan pengetahuan. Definisi ini memiliki arti yangluas: semua bentuk hiburan yang ditujukan atau memungkinkan disisipiinformasi atau pendidikan kepada audiensnya dapat disebut edutainmen.Edutainmen menekankan pada pentingnya aspek emosi untuk mengubahperilaku audiens dan pentingnya menggunakan metode yang sistematis.

Edutainmen merupakan perpaduan hiburan dan pendidikan. Entertainmentadalah suatu even, pertunjukan, atau kegiatan yang dirancang untuk memberikanhiburan kepada audiensnya. Meskipun, pada kasus game komputer, audiensmungkin hanya satu orang. Secara umum dapat dikatakan bahwa audiensdapat berpartisipasi secara pasif dalam entertainment seperti dalam pertunjukanopera, atau secara aktif dalam lenong atau ludruk modern. Secara umum pendidikanmerupakan proses dimana individu didorong dan diberdayakan agar dapatmengembangkan secara penuh potensi dirinya. Dengan demikian diharapkanmelalui edutainment individu dapat mengembangkan pengetahuan danketerampilan yang diperlukan untuk mengubah perilakunya.

2. Tujuan

Tujuan umum:Memastikan kelompok berperilaku risiko tinggi memahami dan mengurangiperilaku berisiko tertular IMS dan HIV.

Tujuan khusus:• Memberikan informasi yang akurat dengan cara menarik dan sesuai

kebutuhan populasi sasaran.• Menyediakan kesempatan untuk berdialog.• Memberikan kesempatan pada populasi sasaran memahami tantangan untuk

mengubah perilaku.• Memberikan kesempatan pada populasi sasaran untuk mengetahui dukungan

yang diperlukan saat melakukan perubahan perilaku.

Page 91: Juknis HIV: Pedoman iIPP

90 Kementerian Kesehatan Republik Indonesia

Pedoman Intervensi Perubahan Perilaku

3. Sasaran

Kelompok perilaku risiko tinggi terhadap penularan IMS, HIV dan AIDS.

4. Prinsip Pelaksanaan

• Media yang dipilih harus berdasarkan pada hasil penjajakan terhadapkomunitas sasaran.

• Saluran komunikasi yang dipilih sesuai dengan preferensi komunitas sasaran.• Bahasa sesuai dengan populasi sasaran untuk memudahkan mereka

mengidentifikasikan diri dengan tokoh yang ada. Bahasa yang digunakanharus sopan, mudah dimengerti dan tidak menyinggung SARA.

• Tersedia waktu unutk melakukan kegiatan yang interaktif.• Pesan yang disampaikan harus sederhana, bertahap dan mudah dipahami.

5. Pelaksana

Pelaksana adalah petugas lembaga yang memiliki keterampilan memproduksiedutainmen.

6. Sarana

• Contoh kuesioner untuk memonitor even edutainment• Contoh brosur promosi• Format laporan evaluasi

I. Pemasaran Sosial dan Pengelolaan Logistik Kondom

1. Pengertian

Dalam IPP, ketersediaan kondom dan pelicin merupakan salah satu aspek kunci.Perubahan Perilaku tidak akan terjadi jika alat untuk menunjang perilakutersebut tidak tersedia.

Ketersediaan kondom dan atau pelicin memiliki makna bahwa:• Kondom dan atau pelicin dengan mudah diperoleh saat dibutuhkan:

Page 92: Juknis HIV: Pedoman iIPP

91Kementerian Kesehatan Republik Indonesia

Pedoman Intervensi Perubahan Perilaku

• Kondisi lingkungan memberikan suasana yang mendukung agar kondom danatau pelicin tersedia, dapat dibeli dan dipakai.

• Penempatan outlet kondom dan atau pelicin memudahkan calon pembeli untukmengakses.

• Kondom dan atau pelicin dijual dengan harga terjangkau sehingga mampudibeli oleh calon pemakai.

• Kondom dan atau pelicin yang disediakan memiliki kualitas yang baik dantidak kadaluwarsa.

Untuk menjamin ketersediaan kondom dan atau pelicin diperlukan satumanajemen yang rapi yang dimulai dari pengambilan pada distributor sampaimendistribusikan kondom pada pemakai dan memastikan bahwa kondom selalutersedia saat diperlukan. Saat ini kondom dapat diperoleh di outlet umum,misalnya, supermarket, apotik dan toko obat. Padahal outlet umum ini memilikiketerbatasan waktu operasional. Di sisi lain, kondom harus mudah didapatsaat diperlukan oleh pemakai. Dengan demikian pemasaran sosial kondomberupaya untuk mendekatkan kondom pada mereka yang membutuhkannya,untuk itu diperlukan tempat penjualan (outlet) alternatif.

2. Tujuan

Tujuan umum:Mengurangi perilaku berisiko tinggi dan mempromosikan gaya hidup sehat melaluipemakaian kondom secara bersinambungan.

Tujuan khusus:• Tersedianya kondom dan pelicin yang terjangkau dalam jumlah yang cukup

di wilayah kerja hingga unit terkecil, yakni di setiap kamar setiap saat.• Adanya perbaikan sistem dan manajemen rantai pasokan kondom dan

pelicin.• Tersebarluasnya informasi tentang outlet alternatif sebagai tempat untuk

memperoleh kondom.

3. Sasaran

• Kelompok perilaku risiko tinggi terhadap penularan IMS, HIV dan AIDS.• Pemangku kepentingan di wilayah kerja yang beranggotakan tokoh

masyarakat formal dan informal, petugas keamanan, Dinas Sosial, DinasKesehatan dan Dinas Pariwisata. Pemangku kepentingan bekerja samadengan distibutor kondom dan klinik IMS untuk mengembangkan jejaringoutlet.

• Distributor kondom yang bertanggung jawab untuk menyediakan kondom.

Page 93: Juknis HIV: Pedoman iIPP

92 Kementerian Kesehatan Republik Indonesia

Pedoman Intervensi Perubahan Perilaku

4. Prinsip Pelaksanaan

• Ketersediaan:o Mendekatkan produk pada konsumen.o Menggunakan saluran distribusi yang ada.

• Kemudahan akses:o Mendekatkan produk pada pengguna.o Kesempatan untuk mengedukasi pengguna dan menciptakan kebutuhan

akan produk.o Produk bisa diperoleh kapan pun diperlukan.

• Keterjangkauan harga:o Merupakan harga yang bisa dijangkau masyarakat paling miskino Kaitkan dengan mata uang paling rendah dan paling sering digunakan.

• Daya Tarik:o Kemasan yang menariko Merek yang mudah diingato Promosi yang “top of mind”o Memenuhi standar kualitas

• Efektivitas dan efisiensi serta akuntabilitas dalam pemasaran kondom danpengelolaanya termasuk pengelolaan keuangan.

5. Pelaksana

Pelaksana adalah para pengelola program layanan kesehatan bagi kelompokperilaku risiko tinggi yang merencanakan untuk mengembangkan dan mengelolaprogram pemasaran sosial kondom dalam rangka mengubah perilaku kelompokdampingan.

Pengelola program dengan kriteria sebagai berikut:• Pernah mengikuti pelatihan IMS, HIV dan AIDS serta Intervensi Perubahan

Perilaku.• Memiliki keterampilan komunikasi: komunikasi verbal dan non verbal,

membangun dan mendukung konsensus, mendengarkan aktif, mengajukanpertanyaan, dan mengelola tanya jawab.

• Memiliki keterampilan memfasilitasi: mengembangkan danmengorganisasikan ide, mengelola pertemuan, mendorong pengambilankeputusan KD, mengelola konflik, dan membuat kelompok aktif.

Page 94: Juknis HIV: Pedoman iIPP

93Kementerian Kesehatan Republik Indonesia

Pedoman Intervensi Perubahan Perilaku

• Memiliki keterampilan melakukan bina suasana: menggunakan berbagaipermainan untuk mengakrabkan suasana.

6. Sarana

• Formulir pencatatan dan pelaporan untuk pengecer:o formulir penerimaan order dan penjualan barango formulir keuangan

• Formulir pencatatan dan pelaporan untuk pokja:o formulir pengadaan dan pemasokan barango formulir stok barang di tempat penyimpanano formulir distribusi barango formulir keuangan (pembelian dan hasil penjualan

J. Penguatan Pemangku Kepentingan Tingkat Lokal

1. Pengertian

Keterlibatan pemangku kepentingan tingkat wilayah berperan sangat pentingdalam terciptanya lingkungan kondusif untuk perubahan perilaku. Bahkan halini menjadi salah satu syarat agar perubahan perilaku tidak hanya fokus padaindividu, namun juga mengusahakan transformasi lingkungan sosial di manaperubahan akan dilakukan. Keterlibatan pemangku kepentingan diharapkanterjadi dalam setiap tahapan, dimulai dari menyadari adanya masalah kesehatandi wilayahnya sampai pada terlibat secara aktif dan bertanggung jawab mengelolaprogram secara berkelanjutan.

Tidak dapat dipungkiri bahwa masyarakat (termasuk di dalamnya pemangkukepentingan) harus didekati secara intensif, diajak berpikir kritis dan menganalisapermasalahan yang mereka hadapi. Hanya dengan cara inilah maka kepekaan,kesadaran serta keinginan untuk melakukan perubahan dapat ditimbulkan.Proses ini bukan merupakan proses sekali jadi melainkan berlangsung terusmenerus. Keterlibatan pemangku kepentingan juga penting karena keberadaanmereka di wilayah intervensi yang lebih permanen dibandingkan dengan staflembaga. Para tokoh tersebut juga merupakan bagian dari sistem yang ada,sehingga perubahan perilaku KD lebih mungkin terjadi bila seluruh pihakmeyakini dan mendukung terjadinya perubahan perilaku.

Page 95: Juknis HIV: Pedoman iIPP

94 Kementerian Kesehatan Republik Indonesia

Pedoman Intervensi Perubahan Perilaku

2. Tujuan

Tujuan umum:Menciptakan lingkungan kondusif untuk perubahan perilaku berisiko pada individudan kelompok dengan melakukan transformasi lingkungan sosial dengan melibatkanpemangku kepentingan di wilayah kerja.

Tujuan khusus:• Pemangku kepentingan berpartisipasi secara aktif memberikan dukungan

terhadap terciptanya lingkungan yang mendukung perubahan perilaku bagikelompok dampingan.

• Dikembangkan dan dilaksanakannya peraturan lokal yang mendukung upayaperubahan perilaku dari kelompok dampingan.

3. Sasaran

• Kelompok perilaku risiko tinggi terhadap penularan IMS, HIV dan AIDS.• Pemangku kepentingan di wilayah kerja yang beranggotakan tokoh formal

dan informal yang ada di lokasi intervensi, petugas keamanan, DinasSosial, Dinas Kesehatan dan Dinas Pariwisata. Pemangku kepentinganbekerja sama dengan penyedia layanan, misalnya: klinik IMS danpengelola kondom yang ada di wilayah kerja dalam upaya mengubahperilaku berisiko KD.

4. Prinsip Pelaksanaan

• Komitmen dan keterlibatan pemangku kepentingan berdasarkanpemahaman dan kesadaran adanya masalah yang terkait denganpenyebaran IMS dan HIV di wilayah kerja.

• Ketersediaan kondom dan produk yang diperlukan untuk membantuKD mengubah perilaku dan mempertahankan perilaku baru tersebut.

• Adanya layanan kesehatan yang mudah diakses, khususnya pemeriksaandan pengobatan IMS serta tes HIV.

• Keterlibatan KD sebagai wujud kesadaran mereka dalam menjagakesehatan.

• Kepatuhan semua pihak untuk menerapkan peraturan lokal.

Kelima prinsip tersebut harus terintegrasi dalam pelaksanaannya karena salingterkait satu sama lain.

Page 96: Juknis HIV: Pedoman iIPP

95Kementerian Kesehatan Republik Indonesia

Pedoman Intervensi Perubahan Perilaku

5. Pelaksana

Pengelola program dengan kriteria sebagai berikut:• Pernah mengikuti pelatihan IMS, HIV dan AIDS serta Intervensi Perubahan

Perilaku.• Memiliki keterampilan komunikasi: komunikasi verbal dan non verbal,

membangun dan mendukung konsensus, mendengarkan aktif, mengajukanpertanyaan, dan mengelola tanya jawab.

• Memiliki keterampilan memfasilitasi: mengembangkan danmengorganisasikan ide, mengelola pertemuan, mendorong pengambilankeputusan KD, mengelola konflik, dan membuat kelompok aktif.

• Memiliki keterampilan melakukan bina suasana: menggunakan berbagaipermainan untuk mengakrabkan suasana.

K. Membangun Kerjasama Jaringan Rujukan BerbasisKomunitas

1. Pengertian

Layanan rujukan adalah tempat-tempat yang memberikan pelayanan kepadaKelompok Dampingan yang dibangun oleh lembaga pelaksana. Berbagaipelayanan yang biasanya tersedia untuk menanggulangi IMS, HIV dan AIDSadalah konseling, pemeriksaan , dan pengobatan. Layanan rujukan terdiri daritempat-tempat pelayanan medis dan non-medis sebagai mitra kerja lembagauntuk menjawab perolehan akses yang mudah, terjaminnnya kerahasiaan, dansebagai pelengkap untuk dukungan perubahan perilaku.

Upaya kolektif sejumlah fasilitas dan organisasi, baik berbasis klinis maupunkomunitas, sangat diperlukan memenuhi kebutuhan menjaga kesehatan darikelompok berperilaku risiko tinggi termasuk orang hidup dengan HIV dan AIDS(ODHA) yang jumlahnya semakin meningkat. Upaya ini juga memerlukankebijakan yang sesuai, sikap sosial yang mendukung serta sistem dukunganmasyarakat.

Jarang sekali sebuah LSM atau organisasi dapat menyediakan semua layanan untukmemenuhi kebutuhan-kebutuhan tersebut. Jaringan rujukan yang dibangun denganbaik sangat penting untuk memenuhi kebutuhan kelompok perilaku risiko tinggidan mempertahankan atau menciptakan kembali kontak dengan klien dan keluarga

Page 97: Juknis HIV: Pedoman iIPP

96 Kementerian Kesehatan Republik Indonesia

Pedoman Intervensi Perubahan Perilaku

yang membutuhkan perawatan dan dukungan berkesinambungan. Karena beberapaorganisasi berbeda diperlukan untuk memberikan layanan pencegahan, perawatandan pengobatan maka sebuah sistem diperlukan untuk mengaitkan organisasi-organisasi ini sehingga mereka dapat menyediakan akses untuk layanan yangdiperlukan sesuai dengan kerangka pelayanan yang berkesinambungan (continuumof care) kepada kelompok perilaku risiko tinggi dan orang-orang di sekitarnya. Saatini ketersediaan informasi mengenai cara mengembangkan jaringan sangat terbatasdemikian pula halnya dengan perangkat standard yang tersedia untuk memfasilitasifungsi jaringan yang efektif.

2. Tujuan

Tujuan umum:Membantu kelompok perilaku risiko tinggi serta mereka yang merawat kelompokperilaku risiko tinggi dan anggota keluarganya untuk meningkatkan kualitas hidup.

Tujuan khusus:• Menurunkan risiko kelompok perilaku berisiko tinggi terhadap infeksi atau

penularan HIV.• Memfasilitasi partisipasi aktif kelompok paling berisiko untuk membuat

keputusan-keputusan yang mempengaruhi kehidupan mereka.• Mempromosikan penerimaan sosial dan sikap menghargai terhadap

kelompok yang terstigma, termasuk mereka yang hidup dengan HIV danmereka yang merawat ODHA tersebut.

• Menyediakan fasilitas pelayanan sesuai kebutuhan KD terkait dengan IMS,HIV dan AIDS.

• Meningkatkan kesadaran pentingnya melakukan pemeriksaan diri terkait denganIMS, HIV dan AIDS, terutama ke pelayanan kesehatan yang tepat.

• Memotivasi KD melakukan pemeriksaan rutin (seperti penapisan).• Memberikan edukasi penanganan-penanganan yang benar dalam

menghadapi permasalahan IMS , HIV dan AIDS.• Memperoleh pelayanan yang komprehensif.

3. Sasaran

Idealnya jaringan rujukan harus mencakup organisasi-organisasi yang ada dalamdaerah geografis tertentu yang menyediakan layanan-layanan spesifik yangdiperlukan kelompok berperilaku risiko tinggi. Meskipun layanan yang diperlukanuntuk membantu KD cukup banyak, tetapi untuk memulai pembentukan jaringanrujukan tidak perlu untuk menunggu sampai semua layanan tersedia.

Page 98: Juknis HIV: Pedoman iIPP

97Kementerian Kesehatan Republik Indonesia

Pedoman Intervensi Perubahan Perilaku

Dengan demikian sasaran meliputi:• Komunitas berperilaku risiko tinggi terhadap penularan IMS dan HIV.• Komunitas yang memiliki pemangku kepentingan yang peduli terhadap

program pencegahan dan penanggulangan IMS, HIV dan AIDS.• Komunitas yang memiliki kapasitas untuk membentuk dan mengelola jejaring

rujukan.• Institusi atau organisasi yang menyediakan layanan yang diperlukan oleh

kelompok berperilaku risiko tinggi.

4. Prinsip Pelaksanaan

Pembentukan sebuah jaringan rujukan merupakan komponen yang sangatpenting dari program. Meskipun demikian, jaringan rujukan seringkali penuhdengan tantangan yang dapat mengurangi atau menghambat efektifitas program.Kategori dan prosedur operasional standard di bawah ini dimaksudkan untukmengatasi tantangan-tantangan tersulit dalam membentuk jaringan rujukan.Kategori tersebut mencakup: perencanaan, melaksanakan pemetaan,membentuk jaringan rujukan dan memantau serta mempertahankan jaringanrujukan.

Sehubungan dengan itu prinsip pelaksanaan meliputi:• Sistem rujukan merupakan proses mengkoordinasikan pemberian layanan untuk memastikan bahwa:

o Adanya nota kesepahaman antara semua pihak.o Komitmen dalam melaksanakan dan mematuhi nota kesepahaman.o Dinamis. Sebuah jaringan rujukan harus bersifat dinamis artinya layanan

dapat ditambahkan atau dikurangi sesuai dengan kebutuhan populasi yangdilayaninya, ketersediaan layanan di daerah tersebut dan evaluasi kebijakankesehatan masyarakat dan kebijakan sosial di suatu negara.

• Koordinasi dalam pemberian pelayanan meliputi:o Akses terhadap layanan yang diperlukan diberikano Kerahasiaan dijagao Rujukan antara organisasi dalam jaringan dapat dilacako Rujukan dan hasil rujukan didokumentasikano Adanya lingkaran umpan balik untuk memberikan informasi kepada

organisasi yang memulai rujukan yang menyatakan bahwa layanan telahdiberikan dan telah memenuhi kebutuhan klien harus tersedia

Page 99: Juknis HIV: Pedoman iIPP

98 Kementerian Kesehatan Republik Indonesia

Pedoman Intervensi Perubahan Perilaku

o Kesenjangan dalam layanan dapat diidentifikasi dan langkah-langkah dapatdiambil oleh organisasi-organisasi dalam jaringan untuk menjembatanikesenjangan tersebut

5. Pelaksana

Pada dasarnya pelaksana yang bertanggung jawab untuk membangun kerja samajejaring layanan adalah lembaga yang dapat dan bersedia mengelola danmengkoordinasikan berbagai layanan yang diperlukan komunitas perilaku risikotinggi terhadap penularan IMS dan HIV.

6. Sarana• Kartu rujukan• Formulir rujukan untuk dokumentasi• Lembar promosi layanan (berisikan alamat, dan profil pelayanannya)

L. PENYULUHAN

1. Latar belakang

Penyuluhan merupakan suatu cara untuk meningkatkan pengetahuan danpemahaman kelompok dampingan (KD) agar mereka dapat melindungi diri daripenularan IMS dan HIV. Penyuluhan sering dilakukan dengan menggunakanmetode komunikasi satu arah dan tidak melibatkan peserta secara aktif.Meskipun demikian penyuluhan yang dipersiapkan secara seksama merupakancara efektif untuk menyampaikan informasi secara menarik dan efisien.Penyuluhan juga dapat menstimulasi diskusi mengenai topik yang disajikanuntuk memenuhi kebutuhan informasi KD.

Secara konvensional penyuluhan dilakukan dengan cara penyuluh memberikaninformasi secara langsung menggunakan berbagai media dan alat bantu. Saatini berbagai macam teknik dapat digunakan untuk melakukan penyuluhan;menggunakan drama, penyajian film atau musik sebagai upaya untuk menarikperhatian KD.

Untuk terlaksananya penyuluhan di lembaga, diperlukan acuan ProsedurOperasional Standar Penyuluhan.

Page 100: Juknis HIV: Pedoman iIPP

99Kementerian Kesehatan Republik Indonesia

Pedoman Intervensi Perubahan Perilaku

2. Tujuan

1. Tujuan umumTerlaksananya program penyuluhan di wilayah kerja sesuai dengan ProsedurOperasional Standar.

2. Tujuan khusus penyuluhan:• Tersedianya rencana penyuluhan di wilayah kerja• Adanya komitmen/persetujuan dari pemangku kepentingan di wilayah kerja• Tersedia jadwal penyuluhan di wilayah kerja• Adanya pembagian tugas di antara tim penyuluh.• Adanya agenda kegiatan penyuluhan.• Terlaksananya penyuluhan sesuai dengan rencana.• Terdistribusikannya materi pencegahan dan media KIE pada setiap kegiatan

penyuluhan.• Tersedianya perangkat pemantauan penyuluhan.• Adanya laporan hasil pemantauan kegiatan penyuluhan• Adanya laporan hasil evaluasi penyuluhan• Adanya dokumen laporan hasil kegiatan penyuluhan• Adanya laporan bulan hasil kegiatan penyuluhan• Adanya laporan tahunan penyuluhan

3. Sasaran

Sasaran penyuluhan adalah:1. KD yang berperilaku risiko tinggi.2. Pemangku kepentingan di wilayah program.

4. Prinsip:1. Besarnya kelompok paling banyak 25 orang untuk memastikan interaksi yang

efektif. Jika lebih dari 25 orang, sebaiknya dilakukan 2 kali.

2. Pesan yang disampaikan harus efektif, sesuai dengan permasalahan dankebutuhan kelompok sasaran.

3. Metode penyampaian pesan sesuai dengan kelompok sasaran.

4. Saluran dan media yang digunakan sesuai dengan metode.

5. Penggunaan bahasa sesuai dengan kelompok sasaran.

Page 101: Juknis HIV: Pedoman iIPP

100 Kementerian Kesehatan Republik Indonesia

Pedoman Intervensi Perubahan Perilaku

5. Pengguna

1. Institusi pemerintah.2. Lembaga kesehatan.3. Lembaga swadaya masyarakat.4. Kelompok masyarakat yang berperan aktif dalam penyuluhan (PE, kader kesehatan).

6. Pelaksana

Petugas dari institusi pemerintah, lembaga kesehatan, lembaga swadayamasyarakat dan kelompok masyarakat yang berperan aktif dalam penyuluhan(PE, kader kesehatan) yang telah memperoleh pelatihan terkait dengan IMS,HIV dan AIDS yang memiliki keterampilan:

1. Komunikasi verbal dan non verbal.2. Fasilitasi mengembangkan dan mengorganisasikan ide, mengelola

pertemuan, mengelola perbedaan pendapat dan persepsi di antara peserta,serta membuat anggota kelompok aktif.

3. Bina suasana.4. Memahami budaya dan kebiasaan masyarakat setempat.5. Mampu menggunakan bahasa setempat.

Page 102: Juknis HIV: Pedoman iIPP

101Kementerian Kesehatan Republik Indonesia

Pedoman Intervensi Perubahan Perilaku

Tim Penyusun:

Kontributor

Page 103: Juknis HIV: Pedoman iIPP

KPA

OMISIENANGGULANGANIDS

KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA2010

PEDOMAN NASIONAL