Upload
kamiswageday6681
View
124
Download
7
Embed Size (px)
Citation preview
NASKAH PUBLIKASI
KEGAGALAN FUNGSI NEGARARelasi Negara dengan Institusi Di Luar Negara pada Kerjasama Penanganan Bidang
Hukum dan Pelayanan Sosial Terhadap Korban Tindak Kekerasan di Ranah Domestik Kota Surakarta
TESIS
Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan Mencapai Derajat Sarjana S-2
Diajukan oleh:
SRITAMI SANTI HATMINI
08/279705/PSP/03554
PROGRAM PASCA SARJANAPROGRAM STUDI ILMU POLITIK
KONSENTRASI POLITIK LOKAL DAN OTONOMI DAERAHUNIVERSITAS GADJAH MADA
YOGYAKARTA2012
NASKAH PUBLIKASI
TESIS
KEGAGALAN FUNGSI NEGARARelasi Negara dengan Institusi Di Luar Negara pada Kerjasama Penanganan Bidang
Hukum dan Pelayanan Sosial Terhadap Korban Tindak Kekerasan di Ranah Domestik Kota Surakarta
Dipersiapkan dan disusun oleh:
SRITAMI SANTI HATMINI08/279705/PSP/3554
Naskah publikasi ini disusun berdasarkan hasil penelitian Tesis untuk memenuhi persyaratan mencapai derajat Sarjana S-2
yang telah dipertahankan di depan dewan penguji pada tanggal 06 Agustus 2012
Telah disetujui oleh:
Pembimbing I Pembimbing II
AAGN Ari Dwipayana, S. IP, MA Dra. Ratnawati, SU
DAFTAR ISI
Halaman
HALAMAN JUDUL .................................................................................................... i
HALAMAN PENGESAHAN...................................................................................... ii
DAFTAR ISI ................................................................................................................ iii
ABSTRAKSI ................................................................................................................ iv
ABSTRACT................................................................................................................. v
A. PENDAHULUAN .................................................................................................. 001
B. RUMUSAN MASALAH .......................................................................................
C. KERANGKA TEORI ...........................................................................................
D. METODE PENELITIAN ......................................................................................
E. KERANGKA BERFIKIR .....................................................................................
F. PEMBAHASAN ....................................................................................................
1. Fenomena Tindak KDRT di Ranah Domestik Kota Surakarta .....................
1.1. Konteks Fenomena tindak KDRT di kota Surakarta ...................................
1.2. Respon Ideal Negara terhadap Fenomena Tindak KDRT di kota Surakarta
1.3. Bukti Kegagalan Fungsi Negara .....................................................................
1. Substitusi Civil Society Atas Kegagalan Negara .............................................
1.1. Hadirnya SpekHam .....................................................................................
1.2. Advokasi pada fenomena tindak KDRT ......................................................
1.3. Permasalahan dan implikasi yang dihadapi SpekHam ................................
1.4. Hubungan SpekHam dengan negara ............................................................
2. Ranah Relasi Negara dengan Institusi di Luar Negara ..................................
2.1. Kerjasama Bapermas dengan SpekHam .........................................................
2.2. Kelembagaan kerjasama (PTPAS) .................................................................
2.3. Dinamika relasi ...............................................................................................
3. Kesimpulan .......................................................................................................
DAFTAR PUSTAKA ................................................................................................... vi
ABSTRAKSI
Penelitian ini merupakan eksplorasi mengenai fenomena tindak kekerasan yang terjadi pada ranah domestik (KDRT) yang terjadi di kota Surakarta, lengkap dengan konteks faktor penyebab terjadinya tindak KDRT di kota Surakarta, respon ideal yang dilakukan negara pada fenomena KDRT tersebut, dan kegagalan kewajiban (fungsi) negara pada penanganan dan pelayanan terhadap korban tindak KDRT yang terjadi di kota Surakarta. Hadirnya (pelibatan) institusi di luar negara pada penanganan dan pelayanan tindak KDRT di kota Surakarta dan dinamika pola relasional antara negara dengan institusi di luar negara pada penanganan dan pelayanan tindak KDRT di kota Surakarta pada kurun waktu antara tahun 2001-2011 turut dijabarkan pada penelitian ini.
Penelitian ini adalah penelitian eksploratif kualitatif yang menjabarkan mengenai fakta fenomena adanya tindak KDRT di kota Surakarta yang mengalami peningkatan secara signifikan dari tahun ke tahun, konteks KDRT sebagai faktor penyebab terjadinya tindak KDRT di kota Surakarta, respon ideal negara pada penanganan dan pelayanan pada tindak KDRT tersebut, serta kegagalan kewajiban (fungsi) negara pada penanganan dan pelayanan tindak KDRT di kota Surakarta. Hadirnya (pelibatan) institusi di luar negara sebagai representasi dari desakan (dorongan) masyarakat atas ketidakmampuan negara dalam melaksanakan kewajibannya (fungsi) pada penanganan dan pelayanan terhadap korban tindak KDRT di kota Surakarta dan problematika yang dihadapi institusi di luar negara yang tidak memiliki bargaining kuat (regulasi) dalam kapasitasnya sebagai substitusi fungsi negara. Pada penelitian ini dilengkapi dengan penjabaran pada dinamika pola relasional yang dijalin antara negara (Dinas Sosial, DKRPPKB, dan Bapermas) dengan institusi di luar negara (SpekHam) pada kurun waktu tahun 2001-2011 di kota Surakarta. Tehnik pengumpulan data yang dipergunakan adalah wawancara mendalam (in-depth interview), yaitu interaksi dengan responden sebagai aktor yang bekerja di Bapermas sebagai perwujudan dari negara, dan aktor yang berjuang di SpekHam sebagai perwujudan dari institusi di luar negara. Observasi dilakukan juga untuk melihat tipe pola relasional kerjasama yang dijalin antara negara dengan institusi di luar negara. Selain data wawancara dan observasi, data tertulis berupa dokumentasi yang didapat pada kedua institusi baik negara maupun institusi di luar negara, serta dokumen lain seperti rekaman kasus, buku panduan, artikel yang berasal dari media cetak, online, dan media massa yang didapat pada penelitian ini dipergunakan sebagai pelengkap data primer yang telah dikumpulkan.
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui dinamika tipologi relasi yang terjalin antara negara dengan institusi di luar negara, yang dapat diklasifikasikan sesuai dengan tipenya, yaitu tipe akomodasi, substitusi, dan pada akhirnya mencapai pola relasi komplementer, yaitu tipe kerjasama relasional yang paling efektif antara negara dengan institusi di luar negara pada penanganan dan pelayanan pada tindak KDRT di kota Surakarta.
Kata kunci: - KDRT- institusi di luar negara- tipologi relasional
KEGAGALAN FUNGSI NEGARARelasi Negara dengan Institusi di Luar Negara Pada Kerjasama Penanganan Bidang
Hukum dan Penanganan Sosial Terhadap Korban Tindak Kekerasandi Ranah Domestik Kota Surakarta
A. Pendahuluan
Awal kehadiran negara di ranah masyarakat memposisikan diri pada
pengorganisasian dan mengkoordinir masyarakat untuk kepentingan bersama, juga untuk
melindungi dan mengatur kehidupan berbangsa pada komunitas masyarakat.
Keberadaan negara yang fokus mengurusi ranah publik tersebut menjadi
argumentasi bagi negara untuk memisahkan wilayah otoritasnya, yaitu pada pembatasan
antara ranah publik dengan ranah domestik.
Kesalahan perspektif yang dilakukan oleh negara pada pembatasan ranah
publik dengan ranah domestik berimplikasi kepada ketidak-optimalan negara pada
penanganan dan pelayanan terhadap korban tindak KDRT yang terjadi di ranah domestik,
sedangkan fenomena tindak KDRT mengalami peningkatan secara signifikan dari tahun
ke tahun (termasuk di kota Surakarta).
Dari ketidak-optimalan negara pada penanganan dan pelayanan terhadap
korban tindak KDRT tersebut memunculkan desakan (dorongan) dari masyarakat pada
keterlibatan penanganan dan pelayanan terhadap korabn tindak KDRT secara optimal,
yang kemudian direpresentasikan oleh institusi di luar negara.
Hadirnya SpekHam sebagai substitusi (pengganti) negara pada advokasi dan
pendampingan korban tindak KDRT, perjuangannya turun secara langsung ke ranah
masyarakat sekaligus melakukan strategi lobbying kepada stakeholder (institusi negara
atau SKPD), yang memiliki korelasi dengan ranah perempuan, bertujuan untuk
memberikan pengetahuan mengenai sensitif gender dan urgency penanganan dan
pelayanan pada korban tindak KDRT di kota Surakarta.
Akan tetapi perjuangan yang dilakukan institusi di luar negara tersebut tidak
semulus cita-citanya, ada problematika yang menjadi kendala, sehingga penanganan dan
pelayanan pada korban tindak KDRT tidak dapat berjalan dengan optimal.
B. Rumusan Masalah
Dari penjabaran latar belakang penelitian di atas dapat ditarik beberapa
pertanyaan penelitian sebagai berikut:
1. Bagaimana konteks fenomena tindak kekerasan yang terjadi pada ranah domestik di
kota Surakarta dan respon negara pada penanganan bidang hukum dan pelayanan
sosial terhadap korban tindak kekerasan di ranah domestik kota Surakarta?
2. Bagaimana pelibatan institusi di luar negara pada penanganan dan pelayanan terhadap
korban tindak kekerasan di ranah domestik kota Surakarta?
3. Bagaimana dinamika pola relasional antara negara dengan aktor di luar negara dalam
penanganan dan pelayanan terhadap korban tindak kekerasan di ranah domestik kota
Surakarta?
C. Kerangka Teori
1. Otoritas dan Kewajiban Negara
Menurut Benedictus de Stinova,1 “negara adalah organisasi yang bertugas
menyelenggarakan perdamaian, ketentraman, perlindungan, dan memenuhi hak-hak
asasi warga negara.”
Negara berkewajiban untuk membuat dan menjaga ketersediaan pelayanan
publik bagi warga negara, dalam upayanya untuk mensejahterakan, memakmurkan,
1 Syafiie, Inu Kencana. 2009. Op. Cit, hal. 78
menciptakan suasana dan lingkungan yang kondusif dan damai, serta memelihara
ketertiban umum warga negaranya.2 Negara juga mempunyai hak dan wewenang
untuk mengatur warganya agar dapat saling berinteraksi kemudian bersinergi dalam
membentuk suatu komunitas dalam negara tersebut agar kehidupan masyarakatnya
berjalan seimbang dan terarah. Pada pengaturan tersebut negara memiliki hak dan
kewajiban untuk melindungi warga negaranya tanpa terkecuali. Hak dan kewajiban
negara tersebut menjadikan negara dapat intervensi (turut campur tangan) apabila ada
warga negaranya yang mendapatkan perlakuan yang tidak pantas diterimanya. Dari
penjabaran tersebut dapat dikatakan bahwa sudah tidak bisa lagi memisahkan
intervensi kekuasaan yang melekat pada dirinya, baik di ranah publik maupun di
ranah domestik. Pada awalnya negara memang memisahkan antara ranah publik dan
ranah domestik, dalam artian bahwa negara memberikan batasan kepada dirinya untuk
intervensi di ranah domestik (rumah tangga), dikarenakan negara mengacu pada
Undang-Undang Perkawinan no 1 Tahun 1974, yang di dalam salah 1 (satu) pasalnya
menyebutkan bahwa rumah tangga (keluarga) merupakan negara kecil yang memiliki
aturannya sendiri.
Akan tetapi seiring dengan perkembangannya, terdapat permasalahan-
permasalahan yang terjadi di ranah domestik yang wajib mendapatkan intervensi dari
negara, karena persoalan tersebut walaupun terjadi di ranah domestik akan tetapi
sudah merambah ke ranah publik, seperti tindak kekerasan terhadap perempuan
(isteri) yang dilakukan oleh suaminya, walaupun itu terjadi dalam ranah domestik
(rumah tangga) akan tetapi sudah merampas hak asasi perempuan (isteri) sebagai
seorang warga negara yang berhak mendapatkan perlindungan atas rasa aman dan
bebas dari segala bentuk kekerasan dalam bentuk apapun dari negara.
2 Undang-Undang Pelayanan Publik Nomor 25 Tahun 2010 http://www.esdm.go.id/prokum/uu/2009/UU%2025%202009.pdf.
2. Teori Linkage dalam Pelibatan Institusi di Luar Negara
Teori Linkage dalam ilmu politik merupakan teori mengenai bagaimana
kelompok-kelompok atau pilihan-pilihan yang terdapat dalam sebuah kebijakan
publik dalam era demokratisasi kemudian mengalami sebuah proses transformasi,
yaitu munculnya fenomena relasi antara negara dengan institusi di luar negara (bukan
lagi menjadi hegemoni negara saja). Pada relasi tersebut terdapat keterikatan
(engagement) antara negara dengan institusi di luar negara, yang intinya bahwa
bagaimana sebuah proses politik yang terdapat dalam kebijakan publik tidak lagi
menjadi sebuah proses murni yang lahir dan bekerja dari negara, melainkan kebijakan
publik yang dihasilkan merupakan hasil dari dinamika relasi yang terjalin antara
negara dengan institusi di luar negara.
Dapat dijabarkan bahwa teori Linkage dalam ilmu politik adalah suatu proses
dimana masalah sosial seperti fenomena tindak kekerasan yang terjadi di ranah
domestik dikaitkan dengan kebijakan publik yang dihasilkannya, dan merupakan
kesepakatan (konsensus) antara negara dengan institusi di luar negara. Pada relasi
yang terjalin antara negara dengan aktor di luar negara tersebut akan terdeskripsikan
sejauh mana peran dan bagaimana pelibatan aktor di luar negara dalam proses
kebijakan publik.
Dari uraian diatas, untuk memperjelas proses pelibatan aktor di luar negara
dapat mempergunakan variasi-variasi seperti yang dikemukakan oleh Conwall
(2004),3 sebagai berikut:
a. Metode Konsultasi: merupakan metode yang menempatkan atau memposisikan
institusi di luar negara sebagai pihak (aktor) yang hanya sebatas pada sumber
3 Tim Peneliti Program S2 PLOD UGM, Keterlibatan Publik dalam Desentralisasi Tata Pemerintahan; Studi Tentang Problem, Dinamika, dan Prospek Civil Society Organization di Indonesia, PLOD UGM, Yogyakarta, hal. 6
informasi yang dimintai data dan analisa mentah terhadap fenomena publik dalam
proses kebijakan publik yang dilakukan oleh negara.
b. Metode Presence: dimana institusi di luar negara hadir dan terlibat dalam proses
perumusan kebijakan.
c. Metode Representatif: dimana terdapat kuota permanen dari perwakilan institusi
di luar negara dalam sebuah proses perumusan kebijakan.
d. Metode Influence: merupakan metode yang menempatkan aktor di luar negara
pada posisi sebagai kekuatan yang mempengaruhi proses dan substansi kebijakan
publik.
3. Hubungan Negara dengan Komunitas
Ramlan Surbakti menerangkan dalam sebuah konsep yang merangkum kelima
aspek diatas dengan sebuah konsep yang komprehensif, dimana politik merupakan
interaksi antara pemerintah dan masyarakat dalam rangka proses pembuatan dan
pelaksanaan keputusan yang mengikat tentang kebaikan bersama masyarakat yang
tinggal dalam suatu wilayah.4 Interaksi antar masyarakat dan negara serta inter-
pemerintah dengan organisasi yang ada memungkinkan sebuah tata aturan yang
formal.
Disamping politik formal yang terangkum dalam institusi formal negara,
terdapat juga politik informal. Politik informal merupakan sebuah bentuk politik yang
berada di luar saluran resmi dalam kerangka interaksi antar-organisasi pemerintahan
dengan masyarakat dan inter-organisasi formal masyarakat. Politik informal
merupakan interaksi antara negara dan masyarakat (institusi di luar negara), dalam
rangka proses pembuatan dan pelaksanaan keputusan yang mengikat tentang kebaikan
informal.
4 Ramlan Surbakti, 1992, hal 11
Konsep tentang institusi informal menjelaskan relasi antara negara dan
komunitas (institusi di luar negara). Konsep institusi informal berusaha untuk
memahami struktur sosial dan politik dalam perspektif yang lebih luas. Institusi
merupakan seperangkat aturan yang membentuk interaksi dalam struktur sosial,
mengatur, dan memaksa perilaku aktor.
Hans-Joachim Lauth mengembangkan 4 (empat) tipologi relasi informal
institusi Steven Levitsky berdasarkan dua dimensi.5 Pertama, melihat pada efektivitas
dari institusi formal yang terkait. Kedua, terkait dengan derajat kompatibilitas atau
jauh-dekatnya tujuan antar aktor. Kedua dimensi tersebut menghasilkan 4 (empat)
tipologi yang terdiri dari komplementari, substitusi, akomodasi dan kompetisi. Tipe
komplementari terjadi apabila relasinya konvergen (memusat dan bersinggungan) dan
institusi formal efektif. Tipe ini merujuk pada adanya mekanisme saling melengkapi
antara institusi formal dan informal. Tipe substitusi, membentuk pola hubungan
konvergen namun institusi formal tidak efektif, maka institusi informal akan
menggantikan peran institusi formal. Tipe akomodasi, apabila kapasitas institusi
formal efektif, namun pola relasinya divergen (menyebar dan tidak saling
bersinggungan, walaupun menangani isu atau fenomena sama). Tipe kompetisi,
apabila kapasitas institusi formal tidak efektif dan pola relasinya divergen. Tipologi
tersebut menafikkan adanya kemungkinan bahwa institusi informal secara partikular
akan menghasilkan relasi lebih dari apa yang telah dipaparkan.
D. Metode Penelitian
1. Jenis Penelitian
5 Memahami Konsep Institusi Formal dalam Relasi Negara dan Komunitas http://ratnadwipa.blogspot.com/2008/12/memahami-konsep-institusi-informal.html .
Jenis penelitian yang dipergunakan adalah eksploratif kualitatif, yaitu
mengeksplorasi data secara kualitatif mengenai fenomena tindak kekerasan yang
terjadi di ranah domestik kota Surakarta dan konteks tindak KDRT sebagai faktor
penyebab terjadinya tindak KDRT di kota Surakarta, kehadiran negara yaitu respon
ideal yang dilakukan oleh negara pada penanganan dan pelayanan terhadap tindak
kekerasan yang terjadi di ranah domestik kota Surakarta. Bagaimana mekanisme
pelibatan aktor di luar negara pada penanganan dan pelayanan terhadap korban tindak
kekerasan yang terjadi di ranah domestik (KDRT) kota Surakarta, sampai dengan
dinamika pola relasi antara negara dengan institusi di luar negara pada penanganan
dan pelayanan terhadap korban tindak kekerasan yang terjadi di ranah domestik secara
lengkap akan dieksplorasi pada penelitian ini.
2. Fokus Analisis
Fokus analisis penelitian meliputi:
a. Menganalisis fenomena tindak kekerasan yang terjadi pada ranah domestik yang
terjadi di kota Surakarta dan konteks yang menjadi faktor tindak kekerasan di
ranah domestik terjadi di kota Surakarta, serta respon negara pada
penyelenggaraan penanganan bidang hukum dan pelayanan sosial terhadap korban
tindak kekerasan di ranah domestik kota Surakarta.
b. Menganalisis kehadiran (pelibatan) institusi di luar negara sebagai representasi
masyarakat kota Surakarta dan kapasitas institusi di luar negara pada penanganan
dan pelayanan terhadap tindak kekerasan yang terjadi di ranah domestik kota
Surakarta.
c. Menganalisis dinamika tipologi relasi antara Pemerintah Kota Surakarta (Dinas
Sosial, DKRPPKB, dan Badan Pemberdayaan Masyarakat, Pemberdayaan
Perempuan, Perlindungan Anak, dan Keluarga Berencana Kota Surakarta), dengan
LSM SpekHam dalam penyelenggaraan penanganan bidang hukum dan pelayanan
sosial terhadap korban tindak kekerasan di ranah domestik kota Surakarta.
3. Sumber Data
Data dan informasi pada penelitian ini digali dari 2 (dua) sumber yaitu:
a. Data utama mengenai penanganan dan pelayanan terhadap korban tindak
kekerasan yang terjadi di ranah domestik akan digali dari informasi Badan
Pemberdayaan Masyarakat, Pemberdayaan Perempuan, Perlindungan Anak, dan
Keluarga Berencana Kota Surakarta. Apabila diperlukan akan ditunjang oleh data
dari pihak kepolisian dan lembaga pemerintah lainnya yang terkait sebagai sumber
informasi dan perwujudan dari negara. Penggalian data juga akan dilakukan dari
LSM SpekHam sebagai perwujudan dari institusi di luar negara yang concern
dalam pendampingan pada penanganan dan pelayanan terhadap korban tindak
kekerasan di ranah domestik. Data juga akan didapatkan dari wawancara terhadap
korban tindak kekerasan di ranah domestik dengan perantara lembaga swadaya
masyarakat SpekHam.
b. Data Sekunder akan digali dengan studi literatur dan dokumentasi yang terkait dan
mendukung analisis terhadap berbagai fokus penelitian yang dilakukan, seperti
buku-buku, dokumen dari kedua institusi yang terkait, berbagai media, baik media
cetak, media online, dan artikel di surat kabar, yang memiliki informasi mengenai
penanganan dan pelayanan terhadap korban tindak kekerasan di ranah domestik
sebagai sumber data pendukung atau pelengkap.
4. Teknik Pengumpulan Data
Penelitian ini memerlukan data melalui teknik pengumpulan data sebagai
berikut:
a. Wawancara secara mendalam (indepth interview), dengan mengumpulkan data
melalui interaksi secara langsung pada sumber-sumber informasi utama, yaitu
aktor yang bertugas di Badan Pemberdayaan Masyarakat, Pemberdayaan
Perempuan, Perlindungan Anak, dan Keluarga Berencana Kota Surakarta sebagai
pengejawantahan dari negara, dan aktor-aktor yang berjuang di LSM SpekHam
sebagai perwujudan dari institusi di luar negara. Metode wawancara dipilih pada
penelitian ini dengan pertimbangan bahwa kedua (atau lebih) aktor yang mewakili
institusinya masing-masing merupakan aktor-aktor yang berkompeten
(berkecimpung) di ranah tersebut, dan memahami fenomena penanganan dan
pelayanan terhadap korban tindak kekerasan di ranah domestik kota Surakarta,
sesuai dengan kapasitasnya masing-masing. Kemudian dipilihnya Badan
Pemberdayaan Masyarakat, Pemberdayaan Perempuan, Perlindungan Anak, dan
Keluarga Berencana Kota Surakarta dengan LSM SpekHam sebagai sasaran
penelitian, karena penelitian ini merupakan penelitian mengenai relasi antara
negara (Badan Pemberdayaan Masyarakat, Pemberdayaan Perempuan,
Perlindungan Anak, dan Keluarga Berencana Kota Surakarta) dengan institusi di
luar negara (LSM SpekHam), pada penanganan dan pelayanan terhadap korban
tindak kekerasan di ranah domestik kota Surakarta. Diharapkan data yang diambil
atau didapatkan dari kedua sumber informasi tersebut akan dapat memenuhi
kebutuhan penelitian sebagai kedua institusi yang berelasi, yang secara langsung
dan tidak langsung melakukan interaksi pada penanganan dan pelayanan terhadap
korban tindak kekerasan di ranah domestik kota Surakarta.
b. Observasi dilakukan dengan pengumpulan data melalui pengamatan secara
mendalam pada data yang didapatkan dari Badan Pemberdayaan Masyarakat,
Pemberdayaan Perempuan, Perlindungan Anak, dan Keluarga Berencana Kota
Surakarta dan LSM SpekHam. Kumpulan data tersebut kemudian akan
dikategorisasikan sesuai dengan kategori informasinya masing-masing. Kemudian
dari kategori-kategori data tersebut akan diuraikan sesuai dengan alur
penulisannya, sehingga aktor-aktor yang terlibat serta pola relasi antara negara
dengan institusi di luar negara pada penanganan dan pelayanan terhadap korban
tindak kekerasan di ranah domestik kota Surakarta dapat dipaparkan secara rinci.
c. Dokumentasi terhadap literatur dan informasi lain yang mendukung bahasan
penelitian seperti rekaman kasus, buku panduan, dokumen dari kedua institusi
terkait, dan artikel dari berbagai media, baik media cetak, online, dan media
massa, serta lainnya, yang didapatkan dari penelitian ini sebagai pelengkap data
yang telah dikumpulkan.
5. Analisis Data
Analisis data akan digunakan dengan mempergunakan teknik mencari,
observasi, dan dokumentasi dengan mengumpulkan hubungan antar berbagai
informasi atau data yang dikumpulkan dari Badan Pemberdayaan Masyarakat,
Pemberdayaan Perempuan, Perlindungan Anak, dan Keluarga Berencana Kota
Surakarta sebagai perwujudan dari negara dan LSM SpekHam sebagai bentuk dari
institusi di luar negara. Di dalamnya akan diuraikan mengenai fenomena dan konteks
tindak kekerasan yang terjadi di ranah domestik kota Surakarta, serta respon ideal
negara pada penanganan dan pelayanan terhadap korban tindak kekerasan di ranah
domestik kota Surakarta, bagaimana mekanisme pelibatan dan kapasitas institusi di
luar negara pada penanganan dan pelayanan tindak kekerasan yang terjadi di ranah
domestik, serta mengurai dinamika tipologi relasi antara Badan Pemberdayaan
Masyarakat, Pemberdayaan Perempuan, Perlindungan Anak, dan Keluarga Berencana
Kota Surakarta dengan LSM SpekHam pada penanganan dan pelayanan terhadap
korban tindak kekerasan yang terjadi di ranah domestik kota Surakarta dalam kurun
waktu tahun 2001 sampai tahun 2011.
E. Kerangka Berfikir
Berdasarkan pada rumusan masalah, penelitian ini akan menguraikan
mengenai fakta fenomena tindak kekerasan yang terjadi di ranah domestik kota Surakarta
yang mengalami peningkatan secara signifikan dari tahun ke tahun selama kurun waktu
2001-2011, konteks yang meliputi faktor-faktor penyebab terjadinya tindak kekerasan
yang terjadi di ranah domestik kota Surakarta, dan respon negara pada penanganan dan
pelayanan terhadap tindak kekerasan yang terjadi di ranah domestik kota Surakarta.
Kegagalan Fungsi Negara pada Penanganan dan Pelayanan terhadap Korban Tindak KDRT di Kota Surakarta
Fenomena dan Konteks Tindak Kekerasan yang Terjadi di Ranah Domestik Kota Surakarta
Peran LSM SpekHam(Solidaritas Perempuan untuk Kemanusiaan dan Hak Asasi Manusia) Kota Surakarta
Dinamika Relasi pada Penanganan dan Pelayanan Tindak Kekerasan yang Terjadi di Ranah Domestik Kota Surakarta
Respon Negara pada Penanganan Bidang Hukum dan Pelayanan Sosial terhadap Korban Tindak Kekerasan yang Terjadi di Ranah Domestik
Keterlibatan Institusi di Luar Negara pada Penanganan Bidang Hukum dan Pelayanan Sosial terhadap Korban Tindak Kekerasan yang Terjadi di Ranah Domestik
Ruang Relasi Negara dan Institusi di Luar Negara pada Penanganan dan Pelayanan terhadap Korban Tindak Kekerasan di Ranah Domestik Kota Surakarta
Mekanisme pelibatan institusi di luar negara yang disebabkan
ketidakmampuan negara dalam menjalankan fungsinya sebagai pelindung (to protect)
terhadap korban tindak kekerasan yang terjadi di ranah domestik kota Surakarta dan
kapasitas institusi di luar negara pada penanganan dan pelayanan terhadap korban tindak
kekerasan yang terjadi di ranah domestik kota Surakarta.
Dijabarkan pula mengenai tipologi relasional yang terbentuk antara negara
dengan institusi di luar negara, sampai dengan dinamika pola relasional yang terjalin
antara negara dengan institusi di luar negara pada penanganan dan pelayanan terhadap
korban tindak kekerasan di ranah domestik kota Surakarta dari tahun 2001 sampai tahun
2011.
Dari masing-masing penjabaran tersebut selanjutnya diharapkan pada
penelitian ini mampu memberikan kesimpulan dan saran proyeksi bagi peningkatan
pengelolaan, penyediaan fasilitas, sarana dan prasarana pada penanganan dan pelayanan
terhadap korban tindak kekerasan yang terjadi di ranah domestik kota Surakarta.
F. Pembahasan
1. Fenomena Tindak KDRT di Ranah Domestik Kota Surakarta
Pada pembahasan ini diuraikan mengenai fakta fenomena tindak kekerasan
yang terjadi terhadap perempuan di ranah domestik (tindak kekerasan dalam rumah
tangga atau KDRT) di kota Surakarta, dan respon negara (pemerintah daerah kota
Surakarta yang diwujudkan oleh Dinas Sosial, DKRPPKB, dan Bapermas) pada
fenomena tindak KDRT, yang di dalamnya mencakup mengenai pemetaan urgency
dan perkembangan tindak kekerasan yang terjadi di ranah rumah tangga sebagai isu
publik di kota Surakarta pada kurun waktu 10 (sepuluh) tahun terakhir yaitu dari awal
tahun 2001 sampai dengan tahun 2011, deskripsi mengenai tindak kekerasan yang
terjadi di ranah rumah tangga yang meliputi faktor terjadinya tindak KDRT, alasan
tindak KDRT sulit untuk dijamah baik oleh masyarakat maupun oleh negara, respon
ideal (regulasi) yang dilakukan oleh negara pada penanganan dan pelayanan terhadap
tindak KDRT di kota Surakarta, dan implementasinya di masing-masing Dinas,
tuntutan fungsi negara (pemerintah kota Surakarta) oleh masyarakat karena negara
dianggap kurang progresif dan lamban dalam merespon isu KDRT di kota Surakarta,
serta bukti adanya kegagalan negara dalam menjalankan fungsinya untuk memberikan
perlindungan kepada warga negaranya dan ketidak-optimalan negara pada penyediaan
fasilitas, sarana dan prasarana pada penanganan dan pelayanan terhadap tindak KDRT
di kota Surakarta.
Fakta fenomena mengenai tindak kekerasan yang terjadi pada ranah domestik
di kota Surakarta sebagai kota urban, pada kurun waktu 10 (sepuluh) tahun
belakangan ini mengalami peningkatan sedemikian signifikan. Perkembangan kota
Surakarta pada dimensi sosial, ekonomi, tingkat pendidikan masyarakatnya, dan tata
kota, diiringi pula dengan kompleksitas permasalahan sosial masyarakat yang
melingkupinya. Berbagai macam isu publik termasuk salah satunya adalah fenomena
tindak KDRT, yang meningkat secara signifikan dari tahun ke tahun baik secara
kualitas maupun kuantitas turut mewarnai kondisi sosial masyarakat di kota
Surakarta. Tercatat sejak awal tahun 2001-2011, tindak kekerasan di ranah rumah
tangga yang terjadi di kota Surakarta mencapai 60% dari total tindak kekerasan yang
terjadi terhadap perempuan dalam kurun waktu 1 (satu) dasawarsa.6
Data peningkatan tindak KDRT di kota Surakarta yang terus mengalami
peningkatan secara signifikan dari tahun ke tahun seperti yang telah diuraikan diatas,
belum tentu dapat dipertanggung-jawabkan validitasnya. Menjadi 1 (satu) point
penting untuk dijadikan catatan khusus bahwa apakah pada mekanismenya di
6 Dokumentasi data (file) SpekHam (catatan grafik peningkatan tindak KDRT di kota Surakarta)
lapangan (ranah masyarakat kota Surakarta), memang terjadi peningkatan atas tindak
KDRT dari tahun ke tahun sedemikian signifikan. Bisa jadi data peningkatan tindak
KDRT di kota Surakarta tersebut disebabkan adanya manifestasi (kecenderungan)
fenomena gunung es. Bahwa angka tindak KDRT di kota Surakarta sudah besar dari
kurun waktu 10 (sepuluh) tahun lalu sampai dengan saat ini, akan tetapi dikarenakan
pada masa itu situasi di masyarakat yang tidak kondusif dan belum terbuka, tingkat
penanganan dan pelayanan terhadap tindak KDRT yang masih sangat rendah bahkan
cenderung pasif, menjadi faktor kasus tindak KDRT di Surakarta tidak terblow-up
seperti pada masa sekarang.
Segala perkembangan yang telah dicapai kota Surakarta tersebut tetap tidak
dapat dipisahkan dari dinamika sosial yang ada pada diri masyarakatnya. Perubahan
struktur kota yang berkembang secara dinamis tapi tidak diiringi dengan perubahan
stereotipe masyarakat kota Surakarta, termasuk pada kuatnya budaya Priyayi sebagai
warisan budaya Jawa yang menjadi norma sosial, yang sampai dengan saat ini masih
terpatri dan secara turun temurun dipegang teguh dalam kehidupan masyarakatnya
sehari-hari, termasuknya pada kehidupan rumah tangga masyarakat di kota Surakarta.
1.4. Konteks fenomena tindak KDRT di kota Surakarta
Konteks fenomena tindak KDRT di kota Surakarta dilihat dari faktor
yang dapat memicu tindak KDRT, antara lain:
a. Faktor internal:
- Karakter pelaku kekerasan yang cenderung memiliki sifat emosional.
- Adanya ketergantungan ekonomi perempuan (isteri) kepada suami.
- Pihak ketiga yang muncul di rumah tangga.
- Komunikasi antar anggota rumah tangga yang tidak berjalan dengan
baik.
b. Faktor eksternal:
- Budaya Jawa yang masih memandang perempuan sebagai kanca
wingking, sebagai hasil dari adaptasi budaya Priyayi Jawa, yang terdapat
di masyarakat kota Surakarta.
- Kendala atas tidak adanya akses pada bidang ekonomi dan sosial yang
dihadapi oleh perempuan, menyebabkan terjadinya peningkatan
pemiskinan atas diri perempuan.
- Ketidakpedulian dan minimnya pemahaman bidang hukum, terutama
pada UU PKDRT oleh mayoritas masyarakat kota Surakarta, sehingga
apabila melihat tindak KDRT di sekitar (pada lingkungan) mereka,
masyarakat tidak melaporkan pada pihak berwajib.
c. Faktor pendidikan:
Faktor pendidikan menjadi 1 (satu) faktor penting yang menjadi
konteks tingginya tindak KDRT di kota Surakarta. Dari penelitian yang
dilakukan, ditemukan bahwa jenjang pendidikan perempuan (isteri) yang
mengalami tindak KDRT paling banyak dialami pada perempuan (isteri)
yang tingkat pendidikannya SD (sebanyak 39%).7
Data tindak KDRT yang dialami perempuan (isteri) paling banyak
dialami oleh perempuan (isteri) berpendidikan rendah (SD) tersebut
menjadi logis secara nalar dikarenakan profil perempuan dalam situasi
7 Perbandingan Akumulatif Data Pendidikan Korban Tindak Kekerasan di Ranah Rumah Tangga Kota Surakarta, sumber: data tahun 2001-2011, diolah dari instrumen penelitian
dilematis, 1 (satu) sisi dituntut untuk berperan di semua sektor (publik
maupun privat), namun di sisi lain muncul tuntutan agar perempuan tidak
melupakan “kodrat”nya sebagai perempuan. Tuntutan demikian membuat
perempuan memikul beban yang sedemikian berat (dualisme burder).
Dualisme peran yang secara kodrati dipikul oleh perempuan tersebut
memerlukan tingkat kesadaran yang ditunjang dengan pemahaman atas
peran mereka, baik di sektor publik maupun sektor privat atau domstik. Dan
tentu saja pemahaman ini harus ditunjang dengan tingkat pendidikan yang
tinggi pula.
Kendala ketiadaan akses pada unsur ekonomi dan sosial yang
dihadapi oleh perempuan menyebabkan terjadinya peningkatan pemiskinan
perempuan. Kemiskinan perempuan secara langsung terkait pada status
ekonomi rendah, termasuk tidak adanya peluang ekonomi dan otonomi,
kurangnya akses terhadap sumberdaya ekonomi termasuk pemilikan lahan,
pewarisan, dan pekerjaan di sektor publik.
Masyarakat banyak membatasi perempuan dengan nilai-nilai
kultural mengenai jenis pekerjaan yang boleh digeluti. Berbeda dengan
kaum lelaki yang bebas memperoleh pekerjaan dan pendidikan untuk
menunjang pekerjaannya. Padahal perempuan khususnya perempuan yang
miskin merupakan tenaga kerja utama pertanian, sama dengan laki-laki
dalam keluarga.
Perempuan selalu diposisikan kedua atau sekedar tambahan.
Fenomena industrialisasi perkotaan seperti yang terdapat di kota Surakarta
berpotensi memiskinkan perempuan. Mesin dan tenaga kerja terampil
menyingkirkan tenaga perempuan dari pekerjaannya, dikarenakan
kurangnya tingkat pengetahuan (pendidikan) mereka. Dunia kerja industri
perkotaan menempatkan perempuan sebagai komponen yang tidak perlu
memiliki keterampilan tinggi.8
1.5. Respon ideal negara terhadap fenomena tindak KDRT di kota Surakarta
Fenomena tindak KDRT di kota Surakarta yang secara signifikan
mengalami peningkatan dari tahun ke tahun ditanggapi negara secara tidak
sepadan. Hal ini ditunjukkan pada mekanisme penanganan dan pelayanan yang
dilakukan oleh negara sebagai fungsinya pada penyediaan (to provide)
pelayanan publik secara tidak optimal. Contoh yang dapat dilihat adalah dari
mekanisme yang dilakukan negara pada penanganan dan pelayanan pada tindak
KDRT lebih kepada pembangunan infrastruktur yang dilakukan oleh SKPD
yang memiliki korelasi seperti Dinas Sosial, DKRPPKB, dan yang terakhir oleh
Bapermas.
Negara pada penanganan dan pelayanan pada korban tindak KDRT
juga lebih banyak berkutat pada ranah regulasi. Hal ini dibuktikan dengan
banyaknya respon regulasi yang dijadikan acuan negara pada penanganan dan
pelayanan pada korban tindak KDRT, tanpa diiringi dengan pemahaman asas
sensitif gender dan urgency penanganan dan pelayanan tindak KDRT, sebagai
pedoman pada penanganan dan pelayanan pada korban tindak KDRT.
1.6. Bukti kegagalan fungsi negara
Belum ada kebijakan pemerintah kota Surakarta dalam bentuk
Peraturan Daerah (Perda) yang secara khusus merumuskan aturan mengenai
perlindungan, penanganan, dan pelayanan terhadap perempuan sebagai korban
8 Dokumentasi data (file) SpekHam (laporan penelitian Antara kekerasan terhadap perempuan kota Solo 2008)
tindak KDRT merupakan salah 1 (satu) bukti bahwa negara telah gagal
melaksanakan fungsinya sebagai penyedia (provider) pelayanan publik.
Kesalahan perspektif (mainset) pada negara atas pemisahan wilayah
(domain) publik dan domestik (privat), menjadikan tindak kekerasan yang
terjadi di ranah domestik terus terjadi bahkan mengalami peningkatan dari tahun
ke tahun, dan celakanya penindasan terhadap perempuan yang terjadi di ranah
domestik tersebut selama ini luput dari perhatian negara untuk mendapatkan
penanganan dan pelayanan secara optimal. Padahal apabila kembali kepada
amanat Undang-Undang Dasar Republik Indonesia tahun 1945, yang
menyebutkan bahwa “Negara, pemerintah, atau organisasi negara mengemban
kewajiban untuk mengakui dan melindungi hak asasi warga negaranya”. Hal
tersebut menjadi argumentasi tegas bahwa selama ini mekanisme penanganan
dan pelayanan terhadap korban tindak KDRT belum sepenuhnya menjadi
tanggung-jawab negara.
Minimnya pemahaman negara mengenai asas sensitif gender dan
urgency penanganan dan pelayanan tindak KDRT, dapat dilihat dari perlakuan
aparat kepolisian yang seringkali melakukan konfrontir secara langsung antara
korban tindak KDRT dengan pelaku, sehingga seringkali korban yang masih
mengalami trauma dan ketakutan, serta mengalami tekanan psikis yang
berlebihan.
Kondisi riil yang terdapat di lapangan adalah masih kentalnya
individualisme atau ego-sektoral pada masing-masing SKPD untuk bersama
membuat program-program yang sebenarnya masih memiliki keterkaitan antara
program 1 (satu) dengan program lainnya. Kondisi internal yang masih sangat
tinggi tingkat ketidakpeduliannya, juga turut menghambat masing-masing
SKPD untuk bekerjasama, dikarenakan mereka masih banyak berebut proyek,
demi memperpadat program kerja tiap tahun (Renstra), pada masing-masing
SKPD demi mendapatkan tambahan alokasi anggaran dari pusat. Dari sisi
Bapermas sendiri, diketahui bahwa segala program yang dirancang dan dibuat
pada mekanisme penanganan dan pelayanan pada korban tindak KDRT
tergantung dari anggaran yang dialokasikan kepada institusi tersebut. Hal ini
menjadi keganjilan tersendiri bahwasanya isu atau fenomena tindak KDRT
bukan merupakan isu strategis oleh negara.
2. Substitusi Civil Society Atas Kegagalan Negara
Pada pembahasan ini dieksplorasi mengenai kehadiran SpekHam sebagai
wujud dari desakan (representasi) masyarakat atas ketidakmampuan negara pada
penanganan dan pelayanan terhadap korban tindak KDRT di kota Surakarta, advokasi
yang dilakukan institusi di luar negara (SpekHam) pada fenomena tindak KDRT,
yaitu pelayanan di bidang sosial dan penanganan (perlindungan) bidang hukum bagi
korban tindak KDRT di kota Surakarta.
Hadirnya institusi di luar negara sebagai wujud dari representasi masyarakat,
yang mendesakkan diri untuk masuk dan ikut terlibat pada penanganan bidang hukum
dan pelayanan sosial terhadap korban tindak kekerasan di ranah domestik di kota
Surakarta, disaat negara tidak memiliki kapasitas (ketidakmampuan negara) untuk
melaksanakan fungsinya secara optimal.
2.1. Hadirnya SpekHam
SpekHam (Solidaritas Perempuan untuk Kemanusiaan dan Hak Asasi
Manusia), hadir sebagai organisasi di luar negara sebagai wujud (representasi)
keresahan masyarakat atas berbagai fenomena tindak kekerasan yang terjadi
pada perempuan, termasuk di dalamnya tindak KDRT yang tidak mendapatkan
penanganan secara optimal dari negara.
SpekHam9 merupakan sebuah organisasi nirlaba (non provit) dan
independent (non partisan) yang berpusat di kota Surakarta. SpekHam
merupakan kumpulan yang didirikan aktivis gerakan mahasiswa dan aktivis
organisasi sosial dengan menjunjung sifat-sifat pluralis dan berkomitmen pada
penegakan Hak Asasi Manusia, khususnya hak asasi perempuan.
SpekHam berdiri dengan latar belakang maraknya tindak kekerasan
terhadap perempuan, khususnya pada peristiwa Mei 1998. Banyaknya tindak
kekerasan yang terjadi terhadap perempuan, terutama yang terjadi di kota
Surakarta sudah mengalami fase memprihatinkan dikarenakan tidak satupun
yang terungkap sehingga jangankan pelaku tindak kekerasan terhadap
perempuan tersebut mendapat hukuman setimpal, malah seringkali yang terjadi
adalah tidak ada pelaku yang berhasil ditangkap oleh pihak berwajib (pihak
kepolisian).
Kegelisahan atas penelantaran fenomena tersebutlah yang akhirnya
menyatukan beberapa aktifis mahasiswa dan beberapa aktifis NGO’s yang
berkumpul dan berinisiasi untuk membentuk SpekHam. Tidak mengherankan
apabila konsentrasi awal program-program SpekHam adalah pada penanganan
dan pendampingan kasus tindak kekerasan terhadap perempuan, yang kemudian
pada perkembangannya SpekHam mulai concern pada kasus tindak kekerasan
yang terjadi terhadap perempuan di ranah domestik (KDRT).
2.2. Advokasi pada fenomena tindak KDRT
9 Dokumentasi data (file) sejarah SpekHam
Penanganan bidang hukum dan pelayanan bidang sosial pada isu tindak
kekerasan yang terjadi di ranah domestik yang tidak dilaksanakan secara
optimal oleh negara, menjadikan keberadaan negara digantikan (substitusi)
tugas dan tanggung-jawabnya oleh institusi di luar negara (lembaga swadaya
masyarakat) seperti SpekHam, yang hadir dan berkonsentrasi pada penanganan
dan pelayanan terhadap korban tindak KDRT di kota Surakarta.
Konsentrasi SpekHam pada penanganan dan advokasi terhadap korban
tindak kekerasan yang terjadi di ranah domestik (rumah tangga), baik dalam
bentuk pelayanan (sosial) seperti penyediaan fasilitas, sarana dan prasarana bagi
korban tindak kekerasan di ranah rumah tangga, berupa penyelenggaraan
pemulihan, pendampingan dan penguatan finansial bagi korban, dsb, serta
penyediaan perlindungan (bidang hukum) bagi korban tindak kekerasan di ranah
rumah tangga, seperti penyediaan jasa advokasi atau pengacara, informasi atau
pendidikan hukum, baik hak dan konsekuensi hukum yang akan diterima korban
apabila kasus tindak kekerasan di ranah rumah tangga yang dilakukan oleh
suaminya, maupun anggota keluarga lain yang masih memiliki hubungan
kekeluargaan dengan korban tersebut, sampai diajukan ke ranah pengadilan,
berikut semua konsekuensi yang didapatkan oleh korban, healing atau
penyediaan konsultasi kejiwaan bagi korban, yang tertuang kedalam bentuk
penguatan mental maupun pemberdayaan, menjadikan SpekHam laksana
tumpuan nasib atau tempat mengadu paling tepat bagi korban tindak KDRT di
kota Surakarta.
SpekHam juga melakukan sosialisasi urgency tindak KDRT di ranah
masyarakat. Pertemuan-pertemuan atau lobby ke beberapa stakeholder yang
memiliki korelasi dengan masalah perempuan juga dilakukan oleh SpekHam.
2.3. Permasalahan dan implikasi yang dihadapi SpekHam
Sebagai organisasi non profit yang berada di luar lingkup tatanan
negara, SpekHam juga memiliki beberapa problematika yang senantiasa
dihadapi oleh mayoritas Lembaga Swadaya Masyarakat di Indonesia.
Problematika tersebut bervariasi atau memiliki ragamnya masing-masing, baik
problematika teknis maupun non-teknis.
Berikut ini beberapa implikasi yang dihadapi oleh SpekHam:
a. Permasalahan finansial.
Pada penanganan dan pelayanan advokasi dan pendampingan bagi
korban tindak kekerasan di ranah rumah tangga kota Surakarta, SpekHam
mengalokasikan dana secara mandiri (dana berasal dari internal organisasi)
tanpa adanya alokasi donatur dari luar, termasuk dana yang berasal dari
negara.
Kendala finansial tersebut menjadi faktor yang sangat penting
dikarenakan SpekHam dalam menyelenggarakan penanganan dan pelayanan
terhadap korban tindak KDRT di kota Surakarta selama ini mempergunakan
dana yang berasal dari internal SpekHam, sehingga disaat ada kebutuhan
untuk penanganan dan pelayanan terhadap korban tindak KDRT yang
mendesak atau membutuhkan penanganan secara intensif, maka keterbatasan
finansial institusi non-profit yang berada di luar negara tersebut akan
menjadi 1 (satu) kendala bagi efektifitas kinerja SpekHam, yang secara
otomatis akan berimbas kepada mekanisme penanganan dan pelayanan yang
tidak dapat dilakukan dengan maksimal.
Seperti yang telah dijabarkan diatas, bahwa kondisi internal yang
melingkupinya, terutama hal finansial, SpekHam dikarenakan tidak
bekerjasama dengan lembaga donor baik yang berasal dari negara maupun
dari dunia luar (internasional). Hal ini dikarenakan isu KDRT dianggap
bukanlah isu seksis atau isu trend (strategis) baik oleh negara maupun oleh
dunia internasional. Pemberian laporan ke dunia internasional yang
dilakukan oleh negara bahwa urgency tindak KDRT yang terjadi di
Indonesia (termasuk di dalamnya yang terjadi di kota Surakarta) yang diolah
sedemikian rupa sehingga menjadikan fenomena sosial tersebut tidak
“penting” dan mampu untuk ditangani oleh negara, turut mendorong
ketidakpedulian dunia internasional untuk menyoroti fenomena tersebut
(luputnya perhatian dari dunia internasional). Sedikit banyak hal tersebut
memperkuat argumentasi yang menguatkan bahwa SpekHam sebagai
organisasi di luar negara bukanlah organisasi “buatan” yang lahir dengan
sebuah kepentingan politik karena adanya trend akan fenomena sosial yang
seakan dijual dan dieksploitasi demi mendapatkan bantuan finansial dari
lembaga donor.
b. Perbedaan perspektif (mainset) antara SpekHam dengan negara.
Munculnya perbedaan perspektif yang dimiliki SpekHam dengan
negara mengenai urgency isu tindak kekerasan yang terjadi di ranah
domestik (rumah tangga), sebagai suatu problematika krusial yang tidak
kalah penting apabila dibandingkan dengan isu-isu strategis lainnya di kota
Surakarta seperti contohnya isu tata kota, korupsi pejabat daerah,
penelantaran anak, kemiskinan, dan trafficking, membuat perjuangan
SpekHam menjadi lebih berat, sehingga seringkali perbedaan perspektif
tersebut menghambat kinerja SpekHam secara langsung pada mekanisme
bekerjanya.
c. Tidak ada koordinasi antara institusi negara (masing-masing SKPD) yang
memiliki korelasi pada ranah perempuan.
Ketiadaan regulasi (protap) mengenai koordinasi antar institusi
negara, walaupun antar institusi tersebut memiliki korelasi yang sama di
ranah perempuan, seperti dinas Sosnakertrans, dinas Kesehatan, Bapermas,
dsb, menjadikan penanganan dan pelayanan terhadap korban tindak KDRT
di kota Surakarta juga tidak mampu mencapai hasil maksimal.
d. Aturan mutasi (perpindahan pegawai) di jajaran Pegawai Negeri Sipil.
Agenda mutasi yang menjadi aturan bagi aktor yang bekerja di
instansi negara, termasuk juga di instansi Bapermas dalam prosesnya
seringkali dilakukan dalam waktu yang sangat cepat, sehingga apabila
terjadi mutasi pada aktor yang kebetulan memegang wewenang pada
penanganan dan pelayanan terhadap korban tindak KDRT di kota Surakarta,
yang telah memiliki pengetahuan dan pemahaman mumpuni mengenai
urgency tindak KDRT tidak sempat lagi memberikan transfer ilmu atau
pemahaman mengenai urgency penanganan dan pelayanan pada tindak
kekerasan di ranah rumah tangga yang dimilikinya kepada penggantinya,
sehingga SpekHam kembali harus bekerja keras dengan cara menjemput
bola, yaitu mengadakan pendekatan kepada aktor baru tersebut dan
membuka ruang diskusi atau sharing perspektif mengenai urgency
penanganan dan pelayanan tindak kekerasan di ranah rumah tangga lagi.
e. Regulasi (protap)kaku yang diterapkan pada masing-masing SKPD.
Adanya aturan kaku yang dilaksanakan oleh masing-masing
institusi negara, membuat SpekHam seringkali harus berhadapan dengan
mekanisme penanganan dan pelayanan pada tindak KDRT yang cenderung
lama dan bertele-tele, dikarenakan mekanismenya harus sesuai dengan
protap, padahal permasalahan dasarnya ada pada surat rujukan antar SKPD.
f. Tidak adanya tindak lanjut dari suatu program kerja SKPD.
Belum ada laporan dan analisa dari instansi yang bergerak di
bidang penanganan dan pelayanan terhadap korban tindak KDRT tersebut,
baik mengenai kendala pada penanganan dan pelayanan, serta
implementasinya, menjadikan fenomena tindak KDRT tidak tampak
strategis (terlantarkan begitu saja). Padahal analisa tersebut diperlukan
sebagai bahan untuk mengkaji apakah kebijakan yang dibuat negara yang
sudah ada apakah mampu memberikan perlindungan, penanganan, dan
pemulihan yang optimal terhadap korban tindak KDRT, termasuk yang
berada di kota Surakarta.
g. Keterlambatan alokasi anggaran kepada SKPD.
Keterlambatan anggaran yang diturunkan (dialokasikan) dari pusat,
menjadi point tambahan yang menjadi menghambat kinerja SpekHam. Hal ini
terbukti disaat banyak SKPD yang seringkali enggan memberikan penanganan
dan pelayanan kepada korban tindak KDRT dengan alasan anggaran yang
dialokasikan belum turun, sehingga penyediaan fasilitas, sarana dan prasarana
turut mengalami hambatan (kekurangan). Hal ini tentu saja menjadi kontra-
indikasi bagi penanganan dan pelayanan terhadap korban tindak KDRT yang
seringkali tidak dapat ditunda-tunda dan membutuhkan penanganan dan
pelayanan secara efektif.
2.4. Hubungan SpekHam dengan negara
Peran serta seluruh stakeholder (negara dengan SpekHam) diperlukan
untuk membangun sinergi agar penanganan dan pelayanan terhadap korban
tindak KDRT ini dapat berkelanjutan (sustain). Pada penanganan dan pelayanan
tindak KDRT, SpekHam membutuhkan kehadiran negara yang memiliki
kapasitas dan regulasi yang menunjang keoptimalan penanganan dan pelayanan
tindak KDRT.
Urgency SpekHam dalam mengupayakan kehadiran negara yang
memiliki kewajiban pada penanganan dan pelayanan terhadap korban tindak
KDT diharapkan dapat memaksimalkan mekanisme penanganan dan pelayanan
itu sendiri.
3. Ranah Relasi Negara dengan Institusi di Luar Negara
Pada bahasan ini diketengahkan mengenai mekanisme yang terbangun pada
relasi kerjasama antara Bapermas sebagai institusi negara dengan SpekHam sebagai
institusi di luar negara. Kelembagaan kerjasama, yaitu hadirnya PTPAS pada pola
relasional penanganan bidang hukum dan pelayanan sosial yang menjadi fokus
penelitian, juga berbagai upaya yang dilakukan institusi negara yang bekerjasama
dengan institusi sosial masyarakat di luar negara dalam proses implementasi
kebijakan pada penanganan bidang hukum dan pelayanan sosial terhadap korban
tindak kekerasan di ranah domestik kota Surakarta. Dinamika tipologi kerjasama
negara dengan institusi di luar negara pada periode tertentu turut dijabarkan, untuk
mendapatkan penjelasan teori dan rumusan praktek kebijakannya.
3.1. Kerjasama Bapermas dengan SpekHam
Relasi kerjasama yang dijalin oleh negara dan institusi di luar negara
dilakukan juga dengan alasan pada situasi sekarang negara tidak dapat lagi
memaksakan regulasinya pada monopoli penanganan dan pelayanan tindak
KDRT di kota Surakarta. Hal tersebut dikarenakan bahwa model pengaturan
yang hanya berbasis pada regulasi dan metode hierarki ala pemerintahan sudah
tidak lagi memadai, terlebih lagi apabila dipergunakan untuk mengantisipasi
(menyelesaikan) kompleksitas fenomena tindak KDRt yang terdapat di kota
Surakarta. Peluang untuk meningkatkan kapasitas penanganan dan pelayanan
terhadap tindak KDRT di kota Surakarta tidak hanya hadir pada batas
administrasi negara semata. Apabila hal tersebut masih tetap dipertahankan akan
menjadi bumerang bagi negara, yaitu pada ancaman kegagalan akan
peningkatan kapasitas dan penanganan terhadap tindak KDRT di kota Surakarta,
dan tentu saja bumerang tersebut lambat laun akan akan berimplikasi pada
korban tindak KDRT di kota Surakarta yang tidak ditangani secara optimal.
Relasi kerjasama antara negara dengan institusi di luar negara
diharapkan akan menjadi arena untuk salaing memahami antar institusi, saling
membagi (share) informasi dan data mengenai fenomena tindak KDRT yang
terjadi di kota Surakarta, mengidentifikasi akar permasalahan tindak KDRT
yang terjadi di kota Surakarta secara bersama, dan merencanakan aksi untuk
menyediakan fasilitas, saran dan prasaran kepada penanganan bidang hukum
dan pelayanan sosial pada korban tidnak KDRT di kota Surakarta.
3.2. Kelembagaan kerjasama (PTPAS)
PTPAS pertama kali dibentuk berdasarkan MoU atau Nota kesepakatan
16 lembaga (institusi) di kota Surakarta pada tanggal 24 Juni 2004, dengan
dasar hukum Surat Keputusan (SK) Walikota Surakarta No. 462/74-A/2004.
Masa berlaku Nota kesepakatan tersebut adalah selama 3 (tiga) tahun dan dapat
diperpanjang. Pada tanggal 28 Desember 2007, MoU yang telah habis masa
berlakunya diperbaharui dan berlaku hingga bulan Juli 2010. MoU tersebut akan
terus diperbaharui secara otomatis dengan melibatkan berbagai unsur, baik
institusi negara dengan institusi masyarakat (di luar negara), yang peduli
terhadap persoalan kekerasan berbasis gender secara luar di kota Surakarta.
Tujuan didirikannya PTPAS adalah:
a. Menguatkan jaringan penguatan korban tindak kekerasan terhadap
perempuan dan anak.
b. Memperpendek birokrasi penanganan dan pelayanan terhadap korban tindak
kekerasan terhadap perempuan dan anak.
c. Mendorong peran negara pada penanganan dan pelayanan, serta
perlindungan terhadap korban tindak kekerasan terhadap peremmpuan dan
anak.
d. Mendorong masyarakat untuk melakukan pencegahan terhadap tindak
kekerasan berbasis gender.
3.3. Dinamika relasi
Relasi yang terjalin antara negara (Dinas Sosial, sampai dengan
Bapermas) dengan SpekHam mengalami transformasi bentuk (tipologi) seiring
dengan perkembangan zaman. Pada awalnya relasi yang terbangun atau terjalin
antara negara dengan SpekHam adalah suatu bentuk relasi kerjasama (struktur)
informal. Dikatakan relasi informal dikarenakan SpekHam berada di luar dan
atau tidak terikat dengan substansi kebijakan yang dimiliki oleh negara. Relasi
antara negara dengan SpekHam pada penanganan dan pelayanan terhadap
korban tindak kekerasan yang terjadi di ranah domestik, terjadi dalam fungsinya
pada penanganan yang berkutat pada mekanisme hukum serta pelayanan yang
fokus pada bidang sosial semata.
Berikut ini eksplorasi tipologi relasi kerjasama antara Bapermas
dengan SpekHam dari masa ke masa, yaitu dari kurun waktu tahun 1998,
semenjak SpekHam berdiri sampai dengan tahun 2011. Dari eksplorasi tersebut
diharapkan dapat terlihat alur mekanisme penanganan dan pelayanaan pada
tindak KDRT yang dilakukan oleh SpekHam, negara (Dinas Sosial, DKRPPKB,
dan Bapermas), serta relasi kerjasama yang dijalin keduanya dari masa ke masa:
1. Tipe Akomodasi
Pada masa pola relasi ini terjadi, antara negara (Dinas Sosial dan
DKRPPKB) dengan institusi di luar negara (SpekHam) terbentuk hubungan
menyebar dan saling bersinggungan. Dalam kapasitasnya pada relasi ini
institusi negara dapat dikatakan efektif.
Pada tahun 1998 sampai dengan akhir tahun 2004, pola penanganan
dan pelayanan terhadap korban tindak KDRT di kota Surakarta yang
dilakukan oleh institusi negara (Dinas Sosial dan DKRPPKB) sudah
menyentuh ranah penanganan bidang hukum, akan tetapi pada mekanisme
pelayanannya sosial terhadap korban tindak KDRT belum efektif sesuai
dengan kebutuhan korban. Hal tersebut ditunjukkan pada penanganan dan
pelayanan tindak KDRT di kota Surakarta Pemda belum menyentuh kepada
permasalahan kekerasan yang terjadi di ranah domestik (KDRT) secara
spesifik.
Dapat dikatakan bahwa penanganan terhadap korban tindak KDRT
masih dipermukaannya saja, dengan lebih fokus pada otoritas yang
dimilikinya yaitu pada bidang hukum. Mekanisme atau praktek penanganan
dan pelayanan terhadap korban tindak KDRT yang tidak efektif dapat
terlihat dari masih terdapat jarak yang sedemikian jauh akan kehadiran
Pemda secara langsung ke ranah sosial masyarakat.
Dari ketidakefektifan pada penanganan dan pelayanan tindak KDRT
yang dilakukan oleh Pemda pada masa itu, banyak digantikan perannya oleh
lembaga swadaya masyarakat (SpekHam) yang hadir sebagai gerakan sosial
masyarakat, yang berdiri atau terbentuk dengan tujuan untuk menangani dan
memberikan (bantuan) pelayanan terhadap kaum vulnerable yang tidak
ditangani (tidak dijamah) oleh Pemda.
Pelayanan bidang sosial pada penanganan dan pelayanan terhadap
tindak kDRT di kota Surakarta tidak dijamah oleh Pemda, dikarenakan
masih ada perspektif kuno yaitu menganggap bahwa permasalahan KDRT
merupakan tanggung-jawab LSM, sehingga setiap ada kasus tindak
kekerasan yang terjadi di ranah rumah tangga, permasalahan itu kemudian
dilempar kepada LSM (SpekHam) untuk menanganinya, karena negara
tidak merasa bertanggung-jawab pada bentuk pelayanan sosial kepada
korban tindak KDRT.
Dari sisi SpekHam sendiri, yang pada saat itu bergerak pada ranah
pemberian informasi seputar fenomena sosial KDRT di kota Surakarta
(memberikan informasi atau data sesuai dengan penelitian atau observasi
yang dilakukannya). Posisi SpekHam sebelum negara hadir pada
penanganan dan pelayanan terhadap korban KDRT di kota Surakarta seara
lengkap, juga sebagai pemicu untuk membangunkan negara dan membuat
negara sadar bahwa penanganan dan pelayanan fenomena KDRT adalah
tanggung-jawab negara, dan keberhasilannya juga tergantung dari peran
negara tersebut. Bagaimana membangun perspektif baru bahwa
permasalahan KDRT merupakan persoalan yang lebih urgent apabila
dibandingkan dengan pembangunan infrastruktur yang selama ini masih
banyak menjadi program negara.
Dari proses kerjasama tidak langsung tersebutlah yang kemudian
terjalin bentuk relasi informal antara Pemda dengan SpekHam pada
penanganan dan pelayanan terhadap korban tindak KDRT di kota Surakarta.
2. Tipe Substitusi
Pada masa pola relasi ini terjadi, posisi SpekHam sebagai substitusi
(pengganti) institusi formal (negara) merupakan hasil dari adanya
inneffective formal rules dan divergent outcomes.
Pada posisi ini SpekHam mempergunakan metode Presence, yaitu
hadir dan terlibat dalam proses perumusan kebijakan yang memiliki korelasi
dengan kebijakan yang terkait dengan penanganan dan pelayanan pada
korban tindak KDRT di kota Surakarta. Pada perkembangannya sebagai
substitusi negara, pada penanganan dan pelayanan pada tindak KDRT di
kota Surakarta,SpekHam juga mempergunakan metode Influence yaitu
SpekHam menempatkan dirinya pada posisi sebagai kekuatan yang
mempengaruhi proses dan substansi kebijakan publik sebagai
keberhasilannya men-substitusi fungsi (kewajiban) negara.
Antara negara (Dinas Sosial dan DKRPPKB) dengan institusi di luar
negara (SpekHam) terbentuk hubungan memusat dan saling bersinggungan
akan tetapi institusi negara tidak efektif, sehingga peran institusi negara
digantikan fungsinya oleh institusi di luar negara.
Seiring dengan perjalanan waktu pola kerjasama antara Pemda
dengan SpekHam mulai bergulir dan berubah. Perubahan tersebut dapat
mulai terlihat pada awal tahun 2005, setelah hadirnya Undang-Undang
PKDRT, transformasi pada penanganan dan pelayanan yang dilakukan oleh
Pemda juga mulai berubah, seiring dengan tidak laginya penanganan bidang
perempuan di bawah Dinas Sosial dan DKRPPKB beralih ke Badan
Pemberdayaan Masyarakat, Pemberdayaan Perempuan, Perlindungan Anak,
dan Keluarga Berencana. Dari perubahan struktural negara tersebut, diiringi
dengan perubahan pengelolaan atau relasi yang terjalin antara Bapermas
dengan SpekHam, tidak lagi hanya sekedar SpekHam memberikan infomasi
data fenomena sosial tindak KDRT di kota Surakarta saja, akan tetapi sudah
mulai melakukan bentuk interaksi secara 2 (dua) arah, walaupun masih
melaksanakan fungsinya masing-masing.
Walaupun interaksi telah terjalin akan tetapi tetap saja memiliki
tujuan yang berbeda. Pada penanganan dan pelayanan terhadap tindak
KDRT di kota Surakarta pada masa itu mayoritas diampu oleh SpekHam.
Sebagai contohnya dalam melakukan penanganan terhadap korban tindak
KDRT di kota Surakarta, Bapermas memiliki tujuan agar permasalahan
tersebut tidak sampai pada batas menjadi penyakit sosial yang meresahkan
masyarakat, akan tetapi karena belum adanya pemahaman mengenai
pengetahuan sensitif gender di institusi negara, maka dalam kinerjanya
cenderung “mandul”. Hal tersebut dapat dicontohkan melalui pada awal
kehadirannya Bapermas cenderung untuk mengumpulkan data yang terdapat
di SpekHam maupun dari berbagai sumber data lainnya. Bapermas lebih
memilih mengadakan diskusi-diskusi maupun seminar mengenai
penanganan dan pelayanan terhadap tindak KDRT di kota Surakarta
ketimbang terjun langsung ke ranah masyarakat. Pada masa itulah dapat
disebutkan pada mekanismenya negara berkutat pada ranah retorika,
penelitian secara akademisi untuk mengumpulkan data sebagai acuan
pembentukan kebijakan baru pada penanganan dan pelayanan terhadap
tindak KDRT di kota Surakarta.
3. Tipe Komplementer
Pada masa pola relasi ini terjadi, antara negara (Dinas Sosial dan
DKRPPKB) dengan institusi di luar negara (SpekHam) terbentuk hubungan
memusat dan saling bersinggungan. Idealisme dari pola relasi ini adalah
munculnya sinergi antara negara dengan institusi di luar negara yang saling
mendukung pada penanganan dan pelayanan terhadap tindak KDRT di kota
Surakarta.
Tipe pola relasi atau kerjasama informal antara Bapermas dengan
SpekHam komplementer merupakan tipe paling ideal atau tipe klimaks
dalam pencapaian keefektifan kerjasama pada penanganan dan pelayanan
terhadap tindak KDRT di kota Surakarta. Dibentuknya sebuah organisasi
formal PTPAS atau Pelayanan Terpadu Perempuan dan Anak Kota
Surakarta adalah bukti bahwa relasi yang terjalin antara institusi negara dan
institusi di luar negara mengalami keberhasilan. PTPAS adalah sebuah
konsorsium yaitu gabungan beberapa institusi, SKPD, lembaga, organisasi,
yang memiliki kepedulian terhadap permasalahan perempuan dan anak di
kota Surakarta, sesuai dengan tugas pokok dan fungsinya masing-masing.
Terbentuknya PTPAS idealnya menjadi bendera bagi optimalisasi
penanganan dan pelayanan terhadap tindak KDRT di kota Surakarta, sesuai
dengan peran dan kapasitasnya masing-masing. Seperti cita-cita PTPAS
didirikan yaitu adanya penanganan dan pelayanan 1 (satu) atap terhadap
korban tindak KDRT, sehingga berjalan dengan optimal dan tidak bertele-
tele, tidak ada tarik ulur kepentingan antar institusi, baik institusi negara
maupun institusi di luar negara sehingga penanganan dan pelayanan
terhadap tindak KDRT di kota Surakarta dilaksanakan oleh seluruh staholder
di kota Surakarta sesuai dengan kebutuhan masyarakat.
G. Kesimpulan
Ketidakmampuan (kegagalan) negara pada penanganan dan pelayanan pada
korban tindak KDRT di kota Surakarta yang tidak optimal, berbanding terbalik dengan
fenomena tindak KDRT yang mengalami peningkatan secara signifikan dari tahun ke
tahun, mendesak (mendorong) masyarakat untuk terlibat secara langsung pada
penanganan dan pelayanan pada korban tindak KDRT di kota Surakarta.
Keterlibatan masyarakat tersebut kemudian direpresentasikan dengan hadirnya
institusi di luar negara sebagai substitusi negara pada penanganan dan pelayanan tindak
KDRT di kota Surakarta.
Akan tetapi penanganan dan pelayanan yang dilakukan oleh SpekHam tersebut
tidak dapat berjalan secara optimal, dikarenakan berbagai problematika internal yang
menjadi kendala bagi SpekHam.
Untuk mensiasati hal tersebut, SpekHam mengadakan pendekatan personal
kepada institusi-institusi negara (stakeholder) yang memiliki korelasi pada penanganan
dan pelayanan pada korban tindak KDRT di kota Surakarta, yang menghasilkan bentuk
kerjasama informal antara negara dengan institusi di luar negara.
Kerjasama yang dijalin negara (Bapermas) dengan institusi di luar negara
(SpekHam) mengalami dinamika pola relasional dari tahun ke tahun.
Kerjasama tersebut mengalami puncaknya pada relasi kerjasama yang dapat
dikategorikan efektif, yaitu terbentuknya PTPAS sebagai lembaga penanganan dan
pelayanan terhadap korban tindak KDRT di kota Surakarta yang optimal.