Upload
muammar-riski
View
108
Download
4
Embed Size (px)
Citation preview
1
TINJAUAN HUKUM PIDANA TERHADAP PERKAWINAN
ANAK DI BAWAH UMUR
Oleh :
LINDADARI USWATUN KHASANAH
NRP : 06.01.111.00493
KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN
UNIVERSITAS TRUNOJOYO MADURA
FAKULTAS HUKUM
2013
2
SKRIPSI
TINJAUAN HUKUM PIDANA TERHADAP PERKAWINAN
ANAK DI BAWAH UMUR
Diajukan sebagai salah satu syarat
untuk memperoleh gelar Sarjana Hukum
Oleh :
LINDADARI USWATUN KHASANAH
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS TRUNOJOYO MADURA
2013
i
3
HALAMAN PERSETUJUAN
SKRIPSI
TINJAUAN HUKUM PIDANA TERHADAP PERKAWINAN ANAK DI
BAWAH UMUR
OLEH
LINDADARI USWATUN KHASANAH
Pembimbing I
H.Boedi Moestiko, S.H.,M.Hum
NIP : 195810011988111001
Pembimbing II
Dr.Wartiningsih, S.H.,M.Hum
NIP : 196202022001122001
ii
4
HALAMAN PENGESAHAN
Skripsi ini telah dipertahankan dihadapan Dewan Penguji Fakultas Hukum
Universitas Trunojoyo Madura, Pada Hari Jumat, Tanggal 30 Agustus 2013
DEWAN PENGUJI
KETUA
SAIFUL ABDULAH,SH.,MH
NIP.
Penguji I Penguji II
A. Agus Ramdlany,S.H.,M.H Dr. Eny Suwastutik ,S.H.,M.H
NIP. NIP.
Penguji III Penguji IV
H.Boedi Mustiko,S.H.,M.Hum Dr.Wartiningsih,S.H.,M.Hum
NIP. 195810011988111001 NIP. 196202022001122001
Mengesahkan :
Dekan Fakultas Hukum
Universitas Trunojoyo Madura
H.Boedi Moestiko, S.H.,M.Hum
NIP : 195810011988111001
iii
5
PERNYATAAN KEASLIAN
Dengan ini saya menyatakan bahwa Skripsi ini tidak pernah diajukan untuk
memperoleh gelar kesarjanaan di suatu Perguruan Tinggi lain, dan sepanjang
pengetahuan saya didalamnya tidak terdapat karya atau pendapat yang pernah
ditulis atau diterbitkan orang lain, kecuali yang secara tertulis diacu dalam naskah
ini dan disebutkan dalam daftar pustaka. Apabila suatu saat ada pihak lain yang
melakukan klaim bahwa karya ilmiah ini merupakan plagiat karya ilmiah lain, dan
ternyata terbukti, saya bersedia menerima segala sanksi yang akan diberikan oleh
Fakultas Hukum Universitas Trunojoyo Madura.
Bangkalan, 30 Agustus 2013
LINDADARI USWATUN KHASANAH
iv
6
MOTTO
”Hidup merupakan suatu perjalanan yang selalu
dipenuhi dengan ujian dan cobaan, jalani semua dengan
perjuangan dan pengorbanan, jangan mudah mengeluh
dan putus asa, niscaya Allah SWT senantiasa akan
membukakan jalan”
v
7
PERSEMBAHAN
Akan saya persembahkan skripsi ini untuk semuanya yang saya sayangi
1. Buat orang tua dan adek ku Moch.Windy Saputro yang selama ini selalu
memberikan semangat, motivasi serta doa agar menyelesaikan skripsi hingga
akhir.
2. Buat keluarga besar saya Eyang Putri, bibi Elisar Riana Sari, paman Djarot
Efendy, bibi Inda fulhanifah, paman Sentot Boedi Satria terima kasih atas
semua dukungan dan semangatnya untuk menyelesaikan skripsi ini.
3. Buat mas Achmad Efendi dan sahabatku Risma Ardiantina yang setiap saat
sudah memberikan semangat dan motifasinya untuk menyelesaikan skripsi
ini.
4. Buat mas Nana Tresna yang sudah memberi inspirasi dan suportnya dalam
segala hal mengenai pembuatan skripsi ini, “Akan Aku Ingat Pelajaran Hidup
Yang Selalu Engkau Ajarkan Kepada Ku, bahwa kesabaran dan usaha itu
adalah kunci dari keberhasilan yang sesungguhnya ”.
5. Buat mas Arnes, Joshanda Aghadia, mas Nino, mas Arief Andrianda, mbak
Merry Purnamasari, adek Uswatun Hasanah terimakasih yang sebesar-
besarnya untuk semangat, motivasi serta suportnya selama pembuatan skripsi
ini.
6. Untuk semua kawan-kawan Fakultas Hukum Universitas Trunojoyo Madura
yang belum satu-persatu saya sebutkan terima kasih untuk semuanya.
7. Buat mbak Selfin Laka,S.H.,M.H dan bunda Eva Savitry Bari‟ah,SH yang
selama ini membimbing saya di POSBAKUM Pengadilan Negeri Surabaya.
8. Buat Brigadir Afiq Siswanto (abi) yang bertugas di Polsek Galis, Bribda
Shofi Fatqul Mubarok, dan seluruh teman-teman yang bertugas di Bangkalan
Madura terima kasih atas semangatnya.
9. Terima kasih yang sebesar-besarnya kepada semua orang terdekat saya yang
belum saya sebutkan.
LINDADARI USWATUN KHASANAH
vi
8
KATA PENGANTAR
Pertama-tama perkenankanlah penulis mengucapkan puji syukur kehadirat
Allah SWT. Karena hanya dengan Ridho Nya lah Skripsi dengan judul :
“Tinjauan Hukum Pidana Terhadap Perkawinan Anak Di Bawah Umur” ini dapat
terselesaikan.
Penulis menyadari bahwa Skripsi ini masih jauh dari sempurna, karena
terbatasnya pengetahuan, referensi, waktu dan pemahaman yang penulis miliki,
oleh karena itu penulis sangat mengharapkan kritik dan saran yang positif guna
perbaikannya nanti. Dalam menyusun Skripsi ini penulis sangat banyak
memperoleh bantuan, dorongan, bimbingan dan saran dari berbagai pihak, untuk
itu pada kesempatan ini diperkenankanlah pula penulis mengucapkan terima kasih
yang setulus-tulusnyakepada :
1. Bapak H. Boedi Moestiko, S.H., Mhum, selaku dekan Fakultas Hukum dan
dosen pembimbing I, segenap jajaran pimpinan di lingkungan Universitas
Trunojoyo Madura.
2. Bapak Muhklis, selaku Ketua Prodi Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas
Trunojoyo Madura.
3. Ibu Dr. Wartiningsih,SH., Mhum selaku dosen pembimbing II yang senantiasa
memberi saya semanagat dalam menyelesaikan skripsi ini.
4. Ibu Masyirah Whidayati,SH., MH selaku PANMUD HUKUM di Pengadilan
Negeri Surabaya dan segenap jajaran pimpinan di lingkungan Pengadilan
Negeri Surabaya.
5. Buat orang tua dan adek ku Moch.Windy Saputro yang selama ini selalu
memberikan semangat, motivasi serta doa agar menyelesaikan skripsi hingga
akhir.
6. Buat keluarga besar saya Eyang Putri, bibi Elisar Riana Sari, paman Djarot
Efendy, bibi Inda fulhanifah, paman Sentot Boedi Satria terima kasih atas
semua dukungan dan semangatnya untuk menyelesaikan skripsi ini.
7. Buat mas Achmad Efendi dan sahabatku Risma Ardiantina yang setiap saat
sudah memberikan semangat dan motifasinya untuk menyelesaikan skripsi ini.
8. Buat mas Nana Tresna yang sudah memberi inspirasi dan suportnya dalam
segala hal mengenai pembuatan skripsi ini, “Akan Aku Ingat Pelajaran Hidup
Yang Selalu Engkau Ajarkan Kepada Ku, bahwa kesabaran dan usaha itu
adalah kunci dari keberhasilan yang sesungguhnya ”.
9. Buat mas Arnes, Joshanda Aghadia, mas Nino, mas Arief Andrianda, mbak
Merry Purnamasari, adek Uswatun Hasanah terimakasih yang sebesar-
vii
9
besarnya untuk semangat, motivasi serta suportnya selama pembuatan skripsi
ini.
10. Buat semua kawan-kawan Fakultas Hukum Universitas Trunojoyo Madura
yang belum satu-persatu saya sebutkan terima kasih untuk semuanya.
11. Buat mbak Selfin Laka,S.H.,M.H dan bunda Eva Savitry Bari‟ah,SH yang
selama ini membimbing saya di POSBAKUM Pengadilan Negeri Surabaya.
12. Buat Brigadir Afiq Siswanto (abi) yang bertugas di Polsek Galis, Bribda Shofi
Fatqul Mubarok, dan seluruh teman-teman yang bertugas di Bangkalan
Madura terima kasih atas semangatnya.
13. Terima kasih yang sebesar-besarnya kepada semua orang terdekat saya yang
belum saya sebutkan.
Akhirnya kepada Allah SWT, penulis pasrahkan semoga amal dan
sumbangsih yang telah diberikan kepada penulis memperoleh balasan yang
setimpal dari Allah SWT. Harapan terakhir penulis, semoga skripsi ini dapat
memberikan tambahan cakrawala ilmu dan bermanfaat bagi pihak-pihak yang
memerlukannya serta sebagai darma bakti penulis kepada almamater tercinta.
Bangkalan, 30 Agustus 2013
Penulis
LINDADARI USWATUN KHASANAH
viii
10
ABSTRAK
Terjadinya pernikahan anak di bawah umur seringkali terjadi atas dasar
beberapa faktor, salah satunya seperti faktor ekonomi yang mendesak
(kemiskinan). Banyak orang tua dari keluarga miskin beranggapan bahwa dengan
menikahkan anaknya, meskipun anak yang masih di bawah umur akan
mengurangi angka beban ekonomi keluarganya dan dimungkinkan dapat
membantu beban ekonomi keluarga tanpa berpikir panjang akan dampak positif
ataupun negatif terjadinya pernikahan anaknya yang masih di bawah umur.
Kondisi ini pada akhirnya memunculkan aspek penyalahgunaan kekuasaan atas
ekonomi dengan memandang bahwa anak merupakan sebuah property/asset
keluarga dan bukan sebuah amanat dari Tuhan yang mempunyai hak-hak atas
dirinya sendiri serta yang paling keji adalah menggunakan alasan terminologi
agama. Prinsip yang dianut dalam Undang-Undang Perkawinan maupun Undang-
Undang Perlindungan Anak, walaupun kedua undang-undang tersebut
menentukan umur yang berbeda dalam penentuan kedewasaan, tidak
menginginkan terjadinya perkawinan di bawah umur. Hanya saja undang-undang
tidak mencantumkan sanksi yang tegas dalam hal apabila terjadi pelanggaran
karena perkawinan adalah masalah perdata sehingga apabila perkawinan di bawah
umur terjadi maka perkawinan tersebut dinyatakan tidak memenuhi syarat dan
dapat dibatalkan. Ketentuan ini sebenarnya tidak menyelesaikan permasalahan
dan tidak adil bagi anak. Bagaimanapun jika perkawinan sudah berlangsung pasti
membawa akibat, baik dari aspek fisik maupun psikis, maka dapat saya rumuskan
permasalahan sebagai berikut : Bagaimana formulasi/pengaturan hukum pidana
terhadap perkawinan anak di bawah umur saat ini ?
Metodologi Penelitian yang digunakan dalam penelitian ini menggunakan
jenis penelitian yuridis normatif, pendekatan penelitian yang digunakan adalah
pendekatan Undang-Undang (Statute Approacht), Bahan yang digunakan dalam
penelitian ini dilakukan adalah bahan hukum yaitu berupa : bahan hukum primer,
bahan hukum sekunder dan bahan hukum tersier. Metode pengumpulan bahan
hukum yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah studi kepustakaan,
sedangkan untuk metode pengolahan bahan hukum yang dipergunakan dalam
penelitian ini adalah aktivitas setelah pengumpulan bahan hukum selesai. Dalam
hal ini bahan hukum yang berhasil dikumpulkan dipilah-pilah yang kemudian
disusun sistematis sesuai dengan kebutuhan yang ada. Dan di dalam pelaksanaan
analisis data dilakukan secara deduktif. Artinya, analisis bahan hukum dari yang
bersifat umum pada yang bersifat khusus. Kemudian didiskripsikan atau
dipaparkan secara rinci sesuai rumusan masalah yang dikaji.
Pernikahan dini atau perkawinan di bawah umur lebih banyak mudharat dari
pada manfaatnya, oleh karena itu patut ditentang. Orang tua harus disadarkan
untuk tidak mengizinkan menikahkan/mengawinkan anaknya dalam usia
dini/harus memahami peraturan perundang-undangan untuk melindungi anak.
Namun di lain pihak permasalahan pernikahan dini tidak bisa diukur dari sisi
agama islam, karena menurut agama islam jika dengan menikah muda mampu
ix
11
menyelamatkan diri dari kubangan dosa dan lumpur kemaksiatan maka menikah
adalah alternatif yang terbaik. Namun jika dengan menunda pernikahan sampai
usia matang mengandung nilai positif maka hal ini adalah lebih utama. Bahwa
meskipun sampai dengan saat ini belum ada suatu sanksi /ancaman pidana yang
tegas dan jelas bagi pelaku perkawinan dibawah umur, namun Kitab Undang-
Undang Hukum Pidana (KUHPidana) dan Undang-Undang Perlindungan Anak
sendiri sudah mempunyai sanksi pidana yang terkait dan dimungkinkan untuk
dapat diterapkan kepada pelaku perkawinan dibawah umur tersebut, antara lain
diatur dalam Pasal 228 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) dan Pasal
81 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Peradilan Anak. Dalam Pasal
228 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) menyebutkan bahwa pidana
penjara maksimal 8 (delapan) tahun penjara bila mengakibatkan luka dan pidana
penjara maksimal 12 (dua belas) tahun bila mengakibatkan kematian. Sedangkan
dalam Pasal 81 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Peradilan Anak
menyebutkan bahwa pidana penjara minimal 3 (tiga) tahun serta paling sedikit
Rp60.000.000,00 (enam puluh juta rupiah) dan maksimal 15 (lima belas) tahun
serta Rp 300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah).
x
12
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ...................................................................................... i
HALAMAN PENGESAHAN ........................................................................ ii
HALAMAN TIM PENGUJI ......................................................................... iii
PERNYATAAN KEASLIAN ........................................................................ iv
MOTTO .......................................................................................................... v
PERSEMBAHAN ........................................................................................... vi
KATA PENGANTAR .................................................................................... vii
ABSTRAK ...................................................................................................... ix
DAFTAR ISI ................................................................................................... xi
BAB I : PENDAHULUAN ........................................................................... 1
1.1 Latar Belakang ....................................................................................... 4
1.2 Rumusan Masalah .................................................................................. 4
1.3 Alasan Pemilihan Judul ......................................................................... 4
1.4 Tujuan Penulisan ................................................................................... 4
1.5 Metodologi Penelitian ............................................................................ 5
1.5.1 Jenis Penelitian .......................................................................... 5
1.5.2 Pendekatan Penelitian ................................................................ 6
1.5.3 Bahan Hukum ............................................................................ 6
1.5.4 Metode Pengumpulan Bahan Hukum ........................................ 7
1.5.5 Metode Pengolahan Bahan Hukum ........................................... 7
1.5.6 Analisis Bahan Hukum .............................................................. 7
1.6 Pertanggungjawaban Sistematika .......................................................... 8
BAB II: TINJAUAN HUKUM PIDANA TERHADAP PERKAWINAN
ANAK DI BAWAH UMUR .......................................................................... 10
2.1 Perkawinan ........................................................................................... 10
2.1.1 Pengertian perkawinan ............................................................... 10
xi
13
2.1.2 Asas Perkawinan ........................................................................ 13
2.1.3 Tujuan Perkawinan .................................................................... 15
2.1.4 Syarat Perkawinan ..................................................................... 16
2.2 Perlindungan Anak ................................................................................ 22
2.2.1 Pengertian Perlindungan Anak .................................................. 22
2.2.2 Jenis Tindak Pidana ................................................................... 22
2.2.3 Sanksi ......................................................................................... 23
2.2.4 Subyek Tindak Pidana Dalam Undang-Undang Nomor 23
Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak ................................... 24
2.3 Perkawinan Yang Dapat Diklasifikasikan Sebagai Tindak Pidana ....... 25
2.3.1 Pengertian Perkawinan Di Bawah Umur .................................... 25
2.3.2 Pengertian Anak Menurut Hukum Yang Berlaku Di Indonesia . 26
BAB III : PEMBAHASAN ........................................................................... 28
Tinjauan Hukum Pidana Terhadap Perkawinan Anak Di Bawah Umur.......... 28
BAB IV : PENUTUP ..................................................................................... 43
4.1 Kesimpulan ............................................................................................ 43
4.2 Saran ...................................................................................................... 44
DAFTAR PUSTAKA ..................................................................................... 45
xii
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Fenomena pernikahan dini bukan merupakan hal yang baru di Indonesia. Hal
ini dapat dibuktikan dengan adanya fakta-fakta yang terjadi pada zaman dulu,
yaitu bahwa nenek moyang bangsa Indonesia dulu sudah banyak yang menikahi
gadis di bawah umur. Bahkan pernikahan di usia matang akan menimbulkan
pemikiran buruk di mata masyarakat.
Fenomena yang terjadi di kebanyakan Negara berkembang seperti Indonesia,
nikah atau perkawinan tidak hanya dilakukan oleh orang-orang yang sudah cukup
umur (dewasa) saja. Dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan menyebutkan bahwa batas minimal perkawinan seseorang adalah
berusia 19 tahun untuk laki-laki dan 16 tahun untuk perempuan, namun juga
terjadi di kalangan anak di bawah umur, khususnya anak perempuan. Banyak
kasus-kasus pernikahan anak perempuan di bawah umur yang terjadi di Indonesia
terutama di pedesaan, contohnya saja seperti pernikahan dini yang terjadi Ulfa
yang waktu itu masih berumur 12 tahun dan Pujiono yang berusia 46 tahun.
Berkaitan dengan konteks hak anak, sangatlah jelas seperti yang tercantum
dalam Pasal 26 Ayat 1 butir c Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang
Perlindungan Anak menyebutkan bahwa “orang tua berkewajiban dan
2
bertanggung jawab untuk mencegah perkawinan di usia anak-anak”. Pada
prespektif hak anak pencantuman kalimat tersebut merupakan keharusan yang
harus menjadi perhatian bersama, hal ini disebabkan anak-anak yang terpaksa
menikah dalam usia yang masih tergolong anak dilihat dari aspek hak anak,
mereka akan terampas hak-haknya, seperti hak bermain, hak pendidikan, hak
untuk tumbuh berkembang sesuai dengan usianya dan pada akhirnya adanya
keterpaksaan untuk menjadi orang dewasa mini.
Di sisi lain, terjadinya pernikahan anak di bawah umur seringkali terjadi atas
dasar beberapa faktor, salah satunya seperti faktor ekonomi yang mendesak
(kemiskinan). Banyak orang tua dari keluarga miskin beranggapan bahwa dengan
menikahkan anaknya, meskipun anak yang masih di bawah umur akan
mengurangi angka beban ekonomi keluarganya dan dimungkinkan dapat
membantu beban ekonomi keluarga tanpa berpikir panjang akan dampak positif
ataupun negatif terjadinya pernikahan anaknya yang masih di bawah umur.1
Kondisi ini pada akhirnya memunculkan aspek penyalahgunaan kekuasaan
atas ekonomi dengan memandang bahwa anak merupakan sebuah property/asset
keluarga dan bukan sebuah amanat dari Tuhan yang mempunyai hak-hak atas
dirinya sendiri serta yang paling keji adalah menggunakan alasan terminologi
agama.
Prinsip yang dianut dalam Undang-Undang Perkawinan maupun Undang-
Undang Perlindungan Anak, walaupun kedua undang-undang tersebut
1 http://sosiologihukum.blogspot.com, diakses tanggal 10 Februari 2013
3
menentukan umur yang berbeda dalam penentuan kedewasaan, tidak
menginginkan terjadinya perkawinan di bawah umur.
Hanya saja undang-undang tidak mencantumkan sanksi yang tegas dalam hal
apabila terjadi pelanggaran karena perkawinan adalah masalah perdata sehingga
apabila perkawinan di bawah umur terjadi maka perkawinan tersebut dinyatakan
tidak memenuhi syarat dan dapat dibatalkan.
Ketentuan ini sebenarnya tidak menyelesaikan permasalahan dan tidak adil
bagi anak. Bagaimanapun jika perkawinan sudah berlangsung pasti membawa
akibat, baik dari aspek fisik maupun psikis. Selain itu, jika dikaji dari aspek
hukum pidana, walaupun dalam KUHP dimuat ketentuan dalam pasal 288 ayat (1)
yang memberi ancaman hukuman 4 tahun, tetapi haruslah ada pengaduan dan
pembuktian peristiwa tersebut memenuhi unsur-unsur pidana yang ada serta
proses persidangan yang dapat menimbulkan dampak psikologis bagi anak
sehingga untuk membawa persoalan tersebut menjadi peristiwa pidana tidaklah
mudah.
Tampaklah bahwa dari aspek hukum, perkawinan di bawah umur merupakan
perbuatan melanggar undang-undang, terutama terkait ketentuan batas umur untuk
kawin. Perkawinan di bawah umur merupakan bentuk ketidakadilan yang dialami
anak akibat kuat berakarnya budaya patriarki pada masyarakat yang menganggap
anak sebagai barang dan selalu berada di bawah (subordinasi). Perkawinan di
bawah umur merupakan masalah yang pelik dan sensitif. Oleh karena itu,
4
penelitian ini dibuat dengan tujuan untuk mengetahui tinjauan hukum pidana
terhadap perkawinan di bawah umur.
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang permasalahan di atas, maka dapat saya rumuskan
permasalahan sebagai berikut : bagaimana formulasi/pengaturan hukum pidana
terhadap perkawinan anak di bawah umur saat ini ?
1.3 Alasan Pemilihan Judul
Adapun alasan judul skripsi “Tinjauan Hukum Pidana Terhadap Perkawinan
Anak Di Bawah Umur” adalah sebagai berikut : mengetahui dan menganalisa
formulasi/pengaturan hukum pidana terhadap perkawinan anak di bawah umur.
1.4 Tujuan Penulisan
Penulisan ini dilakukan dengan tujuan :
1. Manfaat teoritis : Penelitian ini diharapkan dapat berguna bagi perkembangan
Ilmu Hukum pada umumnya, dan bagi Hukum Perkawinan pada khususnya.
2. Manfaat praktis : Penelitian ini diharapkan dapat dipakai sebagai masukan
bagi para Hakim, Notaris, Pengacara dan Profesi lainnya dalam penemuan
hukumnya dan dapat bermanfaat bagi masyarakat untuk mendapatkan
informasi yang aktual mengenai tinjauan hukum pidana terhadap perkawinan
anak di bawah umur.
5
1.5 Metodologi Penelitian
1.5.1 Jenis Penelitian
Jenis penelitian yang dipergunakan dalam skripsi ini adalah yuridis normatif.
Secara umum yang dimaksud dengan yuridis normatif adalah suatu pendekatan
dengan cara melakukan pembahasan terhadap norma-norma hukum yang berlaku
berupa peraturan perundang-undangan yang mengikat.2 Dalam hal ini untuk
peraturan perundang-undangan yang dimaksudkan adalah peraturan perundang-
undangan yang berkaitan dengan tinjauan hukum pidana terhadap perkawinan di
bawah umur.
Menurut Jhonny Ibrahim yang dimaksud dengan jenis penelitian yuridis
normatif adalah jenis penelitian yang berdasarkan pada peraturan perundang-
undangan yang berkaitan dengan tinjauan hukum pidana terhadap perkawinan di
bawah umur yakni Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan,
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) dan Undang-Undang Nomor 23
Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.3
1.5.2 Pendekatan Penelitian
Pendekatan yang digunakan adalah pendekatan Undang-Undang (Statute
Approacht). Artinya bahwa penelitian yang dilakukan dengan menelaah semua
undang-undang dan regulasi (norma) yang bersangkut paut dengan isu hukum
2 Jhonny Ibrahim, Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif, Edisi Revisi,
(Surabaya:Bayumedia Publishing, 2005) Surabaya, hlm. 444. 3 Ibid, hlm. 444
6
yang sedang dibahas yaitu tinjauan hukum pidana terhadap perkawinan di bawah
umur.4
1.5.3 Bahan Hukum
Bahan yang digunakan dalam penelitian ini dilakukan adalah sebagai berikut :
10. Bahan Hukum Primer, yaitu bahan hukum yang sifatnya mengikat berupa
perundang-undangan yang berlaku dalam kaitannya dengan tinjauan hukum
pidana terhadap perkawinan di bawah umur yaitu :
a. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.
b. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.
c. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).
11. Bahan Hukum Sekunder, yaitu bahan hukum yang sifatnya menjelaskan
bahan hukum primer, yang terdiri dari buku-buku literatur-literatur atau
pendapat ahli, antara lain :
a. Kompilasi Hukum Islam.
12. Bahan Hukum Tersier, yaitu bahan hukum yang bersifat melengkapi berupa
kamus-kamus hukum, dan atau kamus-kamus umum.
1.5.4 Metode Pengumpulan Bahan Hukum
Metode pengumpulan bahan hukum yang dipergunakan dalam penelitian ini
adalah studi kepustakaan. Adapun yang dimaksud dengan metode pengumpulan
4 Ibid, hlm. 391
7
bahan hukum studi kepustakaan adalah teknik pengumpulan bahan hukum dengan
cara mempelajari pendapat-pendapat para sarjana/ahli hukum yang berkaitan
dengan perundang-undangan yang mengatur tentang tinjauan hukum pidana
terhadap perkawinan di bawah umur yakni Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974
tentang Perkawinan, Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang
Perlindungan Anak dan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).
1.5.5 Metode Pengolahan Bahan Hukum
Metode pengolahan bahan hukum yang dipergunakan dalam penelitian ini
adalah aktivitas setelah pengumpulan bahan hukum selesai. Dalam hal ini bahan
hukum yang berhasil dikumpulkan dipilah-pilah yang kemudian disusun
sistematis sesuai dengan kebutuhan yang ada.
1.5.6 Analisis Bahan Hukum
Di dalam pelaksanaan analisis data dilakukan secara deduktif. Artinya,
analisis bahan hukum dari yang bersifat umum pada yang bersifat khusus.
Kemudian didiskripsikan atau dipaparkan secara rinci sesuai rumusan masalah
yang dikaji.5
1.6 Pertanggungjawaban Sistematika
Sistematika penulisan penelitian ini dibagi menjadi 1 (satu) bab dengan
susunan sebagai berikut :
5 Ibid, hlm. 383
8
Bab I, Pendahuluan, merupakan bagian awal dari seluruh rangkaian
pembahasan penelitian yang disajikan dalam bentuk pengantar. Sub bab
pendahuluan terdiri dari latar belakang, rumusan masalah, alasan pemilihan judul,
tujuan penulisan, metodologi penelitian dan pertanggungjawaban sistematika.
Bab II, dalam bab ini membahas tentang tinjauan pustaka mengenai tinjauan
hukum pidana terhadap perkawinan di bawah umur. Sub bab tinjauan pustaka
terdiri dari : undang-undang perkawinan yang meliputi pengertian perlindungan
anak, jenis tindak pidana, sanksi dan subyek tindak pidana dalam pengertian
perkawinan, undang-undang perkawinan yang meliputi : pengertian perkawinan,
asas perkawinan, tujuan perkawinan dan syarat perkawinan serta perkawinan yang
dapat diklasifikasikan sebagai tindak pidana yang meliputi : pengertian
perkawinan di bawah umur, dan pengertian anak menurut hukum yang berlaku di
Indonesia.
Bab III, dalam bab ini membahas tentang tinjauan hukum pidana terhadap
perkawinan di bawah umur. Dalam bab ini membahas tentang sanksi/ancaman
pidana yang tegas dan jelas bagi pelaku perkawinan dibawah umur.
Sanksi/ancaman pidana ini diharapkan agar dapat membuat jera para pelaku
perkawinan dibawah umur, sebab perkawinan di bawah umur lebih banyak
mudharat dari pada manfaatnya. Sanksi/ancaman ini diatur dalam Undang-
Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak dan Kitab Undang-
Undang Hukum Pidana (KUHP).
9
Bab IV, Penutup, yang terdiri dari kesimpulan dari penelitian yang dilakukan
dan saran untuk memberikan solusi dalam menyelesaikan masalah yang berkaitan
dengan tinjauan hukum pidana terhadap perkawinan di bawah umur.
10
BAB II
TINJAUAN HUKUM PIDANA TERHADAP PERKAWINAN ANAK DI
BAWAH UMUR
2.1 Perkawinan
Beberapa aspek perkawinan antara lain meliputi :
2.1.1 Pengertian perkawinan
Menurut Mohd. Idris Ramulyo yang dimaksud dengan “Nikah (kawin)
menurut arti aslinya adalah hubungan seksual, tetapi menurut arti majazi
(mathaporic) atau arti hukum adalah akad (perjanjian) yang menjadikan halal
hubungan seksual sebagai suami isteri, antara seorang pria atau wanita”.6
Perkawinan merupakan suatu ikatan yang sah untuk membina rumah tangga
dan keluarga sejahtera bahagia dimana kedua suami isteri memikul amanah dan
tanggung jawab, si isteri oleh karenanya akan mengalami suatu proses psikologis
yang berat yaitu kehamilan dan kelahiran yang meminta pengorbanan.7
Menurut Pasal 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan,
yang dimaksud dengan Perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria
dengan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga
(rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.
Sejak diberlakukannya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan berarti undang-undang ini merupakan Undang-Undang Perkawinan
6 Mohd. Idris Ramulyo, Hukum Perkawinan Islam, Suatu Analisis Dari Perundang-
undangan Nomor 1 Tahun 1974 Dan Kompilasi Hukum Islam, Cetakan IV, (Jakarta: Bina Aksara,
1985) hlm. 1 7 Ibid, hlm. 1
11
Nasional karena menampung prinsip-prinsip perkawinan yang sudah ada
sebelumnya dan diberlakukan bagi seluruh warga negara Indonesia.
Menurut Pasal 66 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan
dinyatakan bahwa segala sesuatu yang berhubungan dengan perkawinan yang
diatur dalam KUHPerdata, Ordonansi Perkawinan Indonesia Kristen dan
peraturan perkawinan campuran, dinyatakan tidak berlaku sepanjang telah diatur
dalam Undang-Undang Perkawinan Nasional ini.
Jadi demikian dasar hukum perkawinan di Indonesia yang berlaku sekarang
ini antara lain adalah :
1. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.
2. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama.
3. PP Nomor 9 Tahun 1975 tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.
4. Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam di
Indonesia.
Sedangkan di dalam ketentuan pasal-pasal KUHPerdata, tidak memberikan
pengertian perkawinan itu. Oleh karena itu untuk memahami arti perkawinan
dapat dilihat pada ilmu pengetahuan atau pendapat para sarjana. “Menurut
12
pendapat Ali Afandi mengatakan bahwa Perkawinan adalah suatu persetujuan
kekeluargaan”.8
“Perkawinan atau pernikahan dalam literature fiqh berbahasa Arab disebut
dengan dua kata yaitu nikah dan zawaj. Kedua kata ini yang terpakai dalam
kehidupan sehari-hari orang Arab dan banyak terdapat dalam Al Qur‟an dan
Hadist Nabi. Secara arti kata nikah berarti “bergabung”, “hubungan kelamin” dan
juga berarti “akad”.9
Menurut Scholten menyatakan bahwa Perkawinan adalah hubungan hukum
antara seorang pria dengan seorang wanita untuk hidup bersama dengan kekal,
yang diakui oleh negara.10
Jadi dalam Pasal 26 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUH Perdata)
memandang soal perkawinan hanya dalam hubungan-hubungan perdata. Hal ini
berarti bahwa undang-undang hanya mengakui perkawinan perdata sebagai
perkawinan yang sah, berarti perkawinan yang memenuhi syarat-syarat yang
ditentukan dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, sedang syarat-syarat
serta peraturan agama tidak diperhatikan atau dikesampingkan. Menurut Pasal 2
Kompilasi Hukum Islam bahwa perkawinan menurut hukum Islam adalah
pernikahan, yaitu akad yang sangat kuat untuk mentaati perintah Allah dan
melaksanakannya merupakan ibadah.
8 Ali Afandi, Hukum Waris, Hukum Keluarga, Hukum Pembuktian, (Jakarta: Rineka
Cipta, 1997) hlm.94 9 Syarifudin Amir, Hukum Perkawinan Islam Di Indonesia : Antara Fiqh Munakahat
Dan Undang-Undang Perkawinan, Cetakan II, (Jakarta: Kencana, 1990) hlm. 45. 10 R.Soetojo Prawirohamidjojo dan Azis Safioedin, Hukum Orang dan Hukum
Keluarga, (Bandung: Alumni, 1985) hlm.31
13
Jadi dari beberapa pendapat di atas, perkawinan adalah suatu ikatan lahir dan
batin antara seorang pria dengan seorang wanita untuk membentuk suatu keluarga
yang kekal. Sedangkan yang dimaksud dengan Hukum Perkawinan adalah hukum
yang mengatur mengenai syarat-syarat dan caranya melangsungkan perkawinan,
beserta akibat-akibat hukum bagi pihak-pihak yang melangsungkan perkawinan
tersebut.
2.1.2 Asas Perkawinan
Menurut Pasal 3 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan
menyatakan, bahwa asas monogami relatif, artinya boleh sepanjang hukum dan
agamanya mengizinkan. Asas tersebut sejalan dengan apa yang dimaksud dengan
Komplikasi Hukum Islam. Terhadap asas monogami ini KUH Perdata
mengaturnya pula di dalam Pasal 27 yang bunyinya : “Dalam waktu yang sama
seorang laki-laki hanya diperbolehkan mempunyai satu orang perempuan sebagai
isterinya, seorang perempuan hanya satu orang laki sebagai suaminya”. Asas
monogamy ini menurut KUH Perdata mutlak tanpa pengecualian.
Asas-asas atau prinsip-prinsip perkawinan menurut Undang-Undang Nomor 1
Tahun 1974 tentang Perkawinan adalah asas monogami, yaitu dalam suatu
perkawinan seorang pria hanya boleh mempunyai seorang istri, kecuali karena
hukum dan agama yang bersangkutan mengijinkan seorang pria dapat beristri
lebih dari seorang, dengan alasan :
1. Istri tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai istri;
2. Istri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan; dan
14
3. Istri tidak dapat melahirkan keturunan.
Menurut Ali Muhammad Daud menyebutkan bahwa dalam ikatan perkawinan
sebagai salah satu bentuk perjanjian (suci) antara seorang pria dengan seorang
wanita, yang mempunyai segi-segi perdata, pada Hukum Islam berlaku asas-asas
antara lain :
1. Kesukarelaan
Merupakan asas terpenting perkawinan Islam. Kesukarelaan itu tidak hanya
harus terdapat antara kedua calon suami istri, tetapi juga antara kedua orang
tua kedua belah pihak. Kesukarelaan orang tua yang menjadi wali seorang
wanita, merupakan sendi asasi perkawinan Islam.
2. Persetujuan
Persetujuan kedua belah pihak merupakan konsekuensi logis asas
kesukarelaan. Dalam perkawinan tidak boleh ada paksaan. Persetujuan
seorang gadis untuk dinikahkan dengan seorang pemuda, misalnya, harus
diminta lebih dahulu oleh wali atau orang tuanya. Menurut Sunnah Nabi
dapat diketahui bahwa perkawinan yang dilangsungkan tanpa persetujuan
kedua belah pihak, dapat dibatalkan oleh Pengadilan.
3. Keabsahan memilih pasangan
Diceritakan oleh Ibnu Abbas bahwa pada suatu ketika seorang gadis bernama
Jariyah mengahadp Rasullullah dan menyatakan bahwa ia telah dikawinkan
oleh ayahnya dengan seseorang yang tidak disukainya. Setelah mendengar
pengaduan itu, Nabi menegaskan bahwa ia (Jariyah) dapat memilih
meneruskan perkawinan dengan orang yang tidak disukainya itu atau
meminta supaya perkawinannya dibatalkan untuk dapat memilih pasangan
dan kawin dengan orang lain yang disukainya.
4. Kemitraan suami istri
Dalam Al Qur‟an Surat Al Nisa (4) Ayat 34 dan Surat Al Baqarah (2) Ayat
187. Kemitraan ini menyebabkan kedudukan suami istri dalam beberapa hal
sama, dalam hal yang lain berbeda yakni suami menjadi kepala keluarga, istri
menjadi kepala dan penanggung jawab pengaturan rumah tangga misalnya.
15
5. Untuk selama-lamanya
Perkawinan dilaksanakan untuk melangsungkan keturunan dan membina
cinta serta kasih saying selama hidup (Q.S Al Rum (30) : 21). Karena asas ini
maka perkawinan mut’ah yakni perkawinan sementara untuk bersenang-
senang selama waktu tertentu saja, seperti dalam masyarakat Jahiliyah dahulu
dan beberapa waktu setelah Islam, dilarang oleh Nabi Muhammad.
6. Monogami terbuka
Disimpulkan dari Al Qur‟an Surat Al Nisa (4) Ayat 3 jo Ayat 29. Di dalam
Ayat 3 dinyatakan bahwa seorang pria muslim dibolehkan atau boleh beristri
lebih dari seorang, asal memenuhi beberapa syarat tertentu, diantaranya
adalah syarat mampu berlaku adil terhadap semua wanita yang menjadi
istrinya. Dalam Ayat 29 surat yang sama, Allah menyatakan bahwa manusia
tidak mungkin berlaku adil terhadap istri-istrinya walaupun ia ingin berbuat
demikian. Oleh karena ketidakmungkinan berlaku adil terhadap istri-istri itu
maka Allah menegaskan bahwa seorang laki-laki lebih baik kawin dengan
seorang wanita saja. Ini berarti bahwa boleh dilalui oleh seorang laki-laki
muslim kalau terjadi bahaya, antara lain untuk menyelamatkan dirinya dari
berbuat dosa, kalau istrinya, misalnya tidak mampu memenuhi kewajibannya
sebagai istri.11
2.1.3 Tujuan Perkawinan
Tujuan perkawinan, menurut Pasal 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974
tentang Perkawinan adalah untuk membentuk keluarga yang bahagia dan kekal
berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Sedangkan dalam KUHPerdata tidak ada
satu pasal pun yang secara jelas-jelas mencantumkan mengenai tujuan perkawinan
itu. Perkawinan di negara lain adalah sah, jika perkawinan dilangsungkan menurut
cara atau aturan negara tersebut dan tidak melanggar ketentuan-ketentuan dalam
KUHPerdata. Kemudian dalam waktu satu tahun setelah suami-isteri tersebut
11 Ali Muhammad Daud, Hukum Islam : Pengantar Ilmu Hukum dan tata Hukum Islam
di Indonesia, Cetakan II, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2004) hlm. 139
16
kembali di wilayah Indonesia, maka perkawinan harus dicatatkan dalam daftar
pencatatan perkawinan di tempat tinggal mereka (Pasal 84 KUHPerdata)”.12
Menurut P.N.H. Simajuntak menerangkan bahwa : pada Pasal 56 Undang-
Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan mengatur perkawinan di luar
negeri, baik yang dilakukan oleh sesama warga negara Indonesia di luar negeri
atau salah satu pihaknya adalah warga negara Indonesia sedang yang lain adalah
warga negara asing, adalah sah bila dilakukan menurut hukum yang berlaku di
negara di mana perkawinan itu berlangsung dan bagi warga Negara Indonesia
tidak melanggar undang-undang ini”.13
“Pasal 56 ayat 2 menentukan bahwa dalam waktu satu tahun setelah suami
isteri itu kembali di wilayah Indonesia, surat bukti perkawinan harus didaftarkan
di kantor pencatatan perkawinan tempat tinggal mereka”.
2.1.4 Syarat Perkawinan
Menurut Arief Budiman menerangkan bahwa : “Perkawinan menurut teori
Positivis Yuridis dinyatakan dapat diterima sebagai perkawinan yang berkekuatan
hukum apabila sudah memenuhi ketentuan hukum, yakni apabila telah ditentukan
secara positif oleh Negara. Sederhananya, hukum hanya berlaku apabila hukum
itu mendapatkan bentuk positifnya dari suatu instansi yang berwenang (neagra),
yang dalam hal ini adalah Kantor Urusan Agama atau KUA, bagi orang-orang
yang beragama Islam. Norma-norma kritis yang ada hubungannya dengan rasa
12 P.N.H. Simanjuntak, Pokok-Pokok Hukum Perdata, (Jakarta: Djambatan, 1999)
hlm.56 13 Ibid, hlm. 76
17
keadilan dalam hati nurani manusia sering kali tidak mempunyai tempat dalam
sistem sosiologis seperti ini”.14
Menurut Pasal 2 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan
menyebutkan bahwa perkawinan adalah sah jika dilakukan menurut hukum
masing-masing agama dan kepercayaannya. Setiap perkawinan dicatat menurut
peraturan perundang-undangan yang berlaku. Hal ini sejalan dengan Kompilasi
Hukum Islam, dalam Pasal 4 Kompilasi Hukum Islam bahwa perkawinan adalah
sah apabila dilakukan menurut Hukum Islam. Selanjutnya Pasal 5 Kompilasi
Hukum Islam diterangkan bahwa setiap perkawinan harus dicatat agar terjamin
ketertiban perkawinan. Kemudian dalam Pasal 6 Kompilasi Hukum Islam bahwa
perkawinan yang dilakukan di luar pengawasan pegawai pencatatan nikah tidak
mempunyai kekuatan hukum.
Pada Pasal 6 sampai dengan Pasal 12 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974
tentang Perkawinan menyatakan bahwa syarat-syarat perkawinan, yaitu adanya
persetujuan kedua calon mempelai, ada izin orang tua atau wali bagi calon yang
belum berusia 21 tahun, usia calon pria berumur 19 tahun dan perempuan berumur
16 tahun, tidak ada hubungan darah yang tidak boleh kawin, tidak ada ikatan
perkawinan dengan pihak lain, tidak ada larangan kawin menurut agama dan
kepercayaannya untuk ketiga kalinya, tidak dalam waktu tunggu bagi wanita yang
janda.
14 Arief Budiman, Negara dan Pembangunan, (Jakarta: Padi dan Kapas, 1991), hlm. 19-
21
18
Sedangkan syarat perkawinan menurut KUHPerdata adalah syarat material
absolut yaitu asas monogami, persetujuan kedua calon mempelai,usia pria 18
tahun dan wanita 15 tahun, bagi wanita yang pernah kawin harus 300 hari setelah
perkawinan yang terdahulu dibubarkan. Sedang syarat material relatif, yaitu
larangan untuk kawin dengan orang yang sangat dekat di dalam kekeluargaan
sedarah atau karena perkawinan, larangan untuk kawin dengan orang yang pernah
melakukan zina, larangan memperbaharui perkawinan setelah adanya perceraian
jika belum lewat waktu 1 tahun.
Menurut Pasal 14 Kompilasi Hukum Islam dalam melaksanakan perkawinan
harus ada calon suami dan isteri, wali nikah, dua orang saksi serta sighat akad
nikah.
Menurut hukum Islam yang berlaku di Indonesia, perkawinan itu sah dianggap
sah adalah perkawinan yang dilaksanakan di tempat mempelai, di Masjid atau
Kantor Agama, dengan Ijab dan Kabul dalam bentuk akad nikah. Ijab adalah
ucapan menikahkan dari wali calon istri dan Kabul adalah kata penerimaan dari
calon suami. Ucapan ijab dan Kabul dari kedua pihak harus terdengar dihadapan
Majelis dan jelas didengar oleh kedua orang yang bertugas sebagai saksi akad
nikah. Jadi sahnya perkawinan menurut hukum Islam adalah diucapkannya ijab
dari wali perempuan dan kabul dari calon suami pada saat yang sama di dalam
suatu Majelis yang disaksikan oleh dua orang saksi yang sah.
Akad nikah harus dilakukan dengan lisan dan tidak boleh dengan tulisan saja.
Kecuali perkawinan yang dilakukan oleh orang tuna wicara yang bisa cukup
19
dengan isyarat tangan atau menganggukan kepala yang dapat dimengerti
maksudnya.
Syarat-syarat bagi dua orang saksi dalam akad nikah yakni harus beragama
islam, sudah dewasa (baliqh), berakal sehat, dapat melihat, mendengar dan
memahami tentang akad nikah dan berlaku adil.
2.2 Perlindungan Anak
Beberapa aspek Perlindungan Anak antara lain meliputi :
2.2.1 Pengertian Perlindungan Anak
Pasal 1 butir 2 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan
Anak yang dimaksud dengan Perlindungan Anak adalah segala kegiatan untuk
menjamin dan melindungi anak dan hak-haknya agar dapat hidup, tumbuh,
berkembang, dan berpartisipasi, secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat
kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi.
2.2.2 Jenis Tindak Pidana
Dalam membahas tindak pidana kita pasti menemukan beragam tindak pidana
yang terjadi dalam kehidupan bermasyarakat baik itu sengaja maupun tidak
sengaja. Menurut Adami Chazawi yang berkaitan dengan tindak pidana itu sendiri
dibaginya sebagai berikut :
1. Menurut system KUHP, dibedakan antara kejahatan dimuat dalam buku II
dan pelanggaran dimuat dalam buku III.
Alasan pembedaan antara kejatan dan pelanggaran adalah jenis pelanggaran
lebih ringan dari pada kejahatan. Hal ini dapat diketahui dari ancaman pidana
pada pelanggaran tidak ada yang diancam dengan pidana penjara, tetapi
20
berupa pidana kurungan dan denda, sedangkan kejahatan lebih di dominasi
dengan ancaman pidana penjara. Antara lain yang membedakan kejatan dan
pelanggaran yakni kejahatan itu meruapakan delik-delik yang melanggar
kepentingan hukum dan juga menimbulkan bahaya secara kongkret,
sedangkan pelanggaran itu hanya membahayakan in abstracto saja.
2. Menurut cara merumuskannya, dibedakan antara tindak pidana formil dan
tindak pidana materril.
Tindak pidana formil adalah tindak pidana yang dirumuskan sedemikian rupa
sehingga memberikan arti bahwa inti larangan yang dirumuskan itu adalah
melakukan suatu perbuatan tertentu. Perumusan tindak pidana formil tidak
memerlukan dan atau tidak memerlukan timbulnya suatu akibat tertentu dari
perbuatan sebagai syarat penyelesaian tindak pidana, melainkan semata-mata
pada perbuatannya. Misalnya pada pencurian Pasal 362 untuk selesainya
pencurian digantung pada selesainya perbuatan mengambil. Sebaliknya dalam
rumusan tindak pidana materril, inti larangan adalah pada menimbulkan
akibat yang dilarang.
3. Berdasarkan bentuk kesalahan, dibedakan antara tindak pidana sengaja dan
kealpaan.
Tindak pidana sengaja adalah tindak pidana yang dalam rumusannya
dilakukan dengan kesengajaan atau mengandung unsur kesengajaan.
Sedangkan tindak tidak sengaja adalah tindak pidana yang dalam rumusannya
mengandung culpa.
4. Berdasarkan macam perbuatan perbuatannya, dapat dibedakan antara tindak
pidana aktif/positif dapat juga disebut tindak pidana komisi dan tindak pidana
pasif/negative, disebut juga tindak pidana omisi.
Tindak pidana aktif adalah tindak pidana yang perbuatannya berupa
perbuatan aktif, perbuatan aktif adalah perbuatan yang untuk mewujudkan
disyaratkan adanya gerakan dari anggotan tubuh orang yang berbuat. Dengan
berbuat aktif orang melanggar larangan, perbuatan aktif ini terdapat baik
dalam tindak pidana yang dirumuskan secara formil maupun secara materiil.
Bagian terbesar tindak pidana yang dirumuskan dalam KUHP adalah tindak
pidana aktif.
Tindak pidana pasif ada dua macam yaitu tindak pidana pasif murni dan
tindak pidana pasif yang tidak murni. Tindak pidana pasif murni ialah tindak
pidana yang dirumuskan secara formil atau tindak pidana yang pada dasarnya
semata-mata unsur perbuatannya adalah berupa perbuatan pasif. Sementara
itu, tindak pidana pasif yang tidak murni berupa tindak pidana yang pada
dasarnya berupa tindak pidana positif, tetapi dapat dilakukan dengan cara
tidak berbuat aktif, atau tindak pidana yang mengandung suatu akibat
21
terlarang, tetapi dilakukan dengan tidak berbuat/atau mengabaikan sehingga
akibat itu benar-benar timbul.
5. Berdasarkan saat dan jangka waktu terjadinya, maka dapat dibedakan antara
tindak pidana terjadi seketika dan tindak pidana terjadi dalam waktu lama
atau berlangsung lama/berlangsung terus.
Tindak pidana yang dirumuskan sedemikian rupa sehingga untuk
terwujudnya atau terjadinya dalam waktu seketika atau waktu singkat saja,
disebut juga dengan aflopende delicten. Sebaliknya ada tindak pidana yang
dirumuskan sedemikian rupa, sehingga terjadinya tindak pidana itu
berlangsung lama, yakni setelah perbuatan dilakukan, tindak pidana itu masih
berlangsung terus, yang disebut juga dengan voordurende dellicten.
6. Berdasarkan sumbernya, dapat dibedakan antara tindak pidana umum dan
tindak pidana khusus.
Tindak pidana umum adalah semua tindak pidana yang dimuat dalam KUHP
sebagai kodifikasi hukum pidana materiil (Buku II dan Buku III). Sementara
itu tindak pidana khusus adalah semua tindak pidana yang terdapat diluar
kodifikasi KUHP.
7. Dilihat dari sudut subjek hukum, dapat dibedakan antara tindak pidana
communia (tindak pidana yang dapat dilakukan oleh semua orang) dan tindak
pidana propria (tindak pidana yang hanya dapat dilakukan oleh orang yang
berkualitas tertentu).
Pada umumnya tindak pidana itu dibentuk dan dirumuskan untuk berlaku
pada semua orang, dan memang bagian terbesar tindak pidana itu dirumuskan
dengan maksud yang demikian.
8. Berdasarkan perlu tidaknya pengaduan dalam hal penuntutan, maka
dibedakan antara tindak pidana biasa dan tindak pidana aduan.
Tindak pidana biasa yang dimaksudkan ini adalah tindak pidana yang untuk
dilakukannya penuntutan pidana terhadap pembuatnya tidak disyaratkan
adanya pengaduan dari yang berhak, sementara itu tindak aduan adalah tindak
pidana yang untuk dapatnya dilakukan penuntutan pidana disyaratkan untuk
terlebih dahulu adanya pengaduan oleh yang berhak mengajukan pengaduan,
yakni korban atau wakilnya dalam perkara perdata, atau keluarga tertentu
dalam hal-hal tertentu atau orang yang diberi kuasa khusus untuk pengaduan
oleh orang yang berhak.
9. Berdasarkan berat-ringannya pidana yang diancamkan, maka dapat dibedakan
antara tindak pidana bentuk pokok, tindak pidana yang diperberat dan tindak
pidana yang diperingan.
22
Dilihat dari berat ringannya, ada tindak pidana tertentu yang dibentuk
menjadi:
a. Dalam bentuk pokok disebut juga bentuk sederhana atau dapat juga
disebut dengan bentuk strandar;
b. Dalam bentuk yang diperberat;
c. Dalam bentuk ringan.
Tindak pidana dalam bentuk pokok dirumuskan secara lengkap, artinya
semua unsurnya dicantumkan dalam rumusan, sementara itu pada bentuk
yang diperberat dan atau diperingan, tidak mengulang kembali unsur-unsur
bentuk pokok itu, melainkan sekedar menyebut kualifikasi bentuk pokoknya
atau pasal bentuk pokoknya, kemudian disebutkan atau ditambahkan unsur
yang bersifat memberatkan atau meringankan secara tegas dalam rumusan.
Karena ada aktor pemberatnya atau aktor peringannya, ancaman pidana
terhadap tindak pidana terhadap bentuk yang diperberat atau yang diperingan
itu menjadi lebih berat atau lebih ringan dari pada bentuk pokoknya.
10. Berdasarkan kepentingan hukum yang dilindungi, maka tindak pidana tidak
terbatas macamnya bergantung dari kepentingan hukum yang dilindungi.
Sistematika pengelompokan tindak pidana bab per bab dalam KUHP
didasarkan pada kepentingan hukum yang dilindungi. Berdasarkan
kepentingan hukum yang di lindungi ini maka dapat disebutkan misalnya
dalam Buku II. Untuk melindungi kepentingan hukum terhadap keamanan
Negara, dibentuk rumusan kejahatan terhadap keamanan Negara (Bab I),
untuk melindungi kepentingan hukum bagi kelancaran tugas-tugas bagi
penguasa umum, dibentuk kejahatan terhadap penguasa umum (Bab VIII),
untuk melindungi kepentingan hukum terhadap hak kebendaan pribadi
dibentuk tindak pidana seperti Pencurian (Bab XXII), Penggelapan (Bab
XXIV), Pemerasan dan Pengancaman (Bab XXIII) dan seterusnya.
11. Dari sudut berapa kali perbuatan untuk mejadi suatu larangan dibedakan
antara tindak pidana tunggal dan tindak pidana berangkai.
Tindak pidana tunggal adalah tindak pidana yang dirumusakan sedemikian
rupa sehingga untuk dipandang selesainya tindak pidana dan dapat
dipidananya pelaku cukup dilakukan satu kali perbuatan saja, bagian terbesar
tindak pidana dalam KUHP adalah berupa tindak pidana tunggal. Sementara
itu yang dimaksud dengan tindak pidana berangkai adalah tindak pidana yang
dirumuskan sedemikian rupa sehingga untuk dipandang sebagai selesai dan
dapat dipidananya pelaku, disyaratkan dilakukan dilakukan secara berulang.15
15
Adami Chazawi, Pelajaran Hukum Pidana Bagian I, (Jakarta: PT.Raja Grafindo
Persada, 2007) hlm. 121
23
Jenis tindak pidana pada anak yang berkaitan dengan perkawinan anak di
bawah umur yaitu memaksakan anak yang masih di bawah umur untuk menikah
dengan seorang laki-laki demi mengurangi angka beban ekonomi keluarganya dan
dimungkinkan dapat membantu beban ekonomi keluarga. Dalam hal ini terlihat
jelas bahwa hal ini pada akhirnya memunculkan aspek penyalahgunaan kekuasaan
atas ekonomi dengan memandang bahwa anak merupakan sebuah property/asset
keluarga dan bukan sebuah amanat dari Tuhan yang mempunyai hak-hak atas
dirinya sendiri, seperti hak bermain, hak pendidikan, hak untuk tumbuh
berkembang sesuai dengan usianya dan pada akhirnya adanya keterpaksaan untuk
menjadi orang dewasa mini.
2.2.3 Sanksi
Adapun sanksi terhadap pelaku yang melakukan perkawinan anak di bawah
umur dapat dikenakan Pasal 88 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang
Perlindungan Anak yang menyebutkan bahwa :
“Setiap orang yang mengeksploitasi ekonomi atau seksual anak dengan maksud
untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain, dipidana dengan pidana penjara
paling lama 10 (sepuluh) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 200.000.000,00
(dua ratus juta rupiah)”.
2.2.4 Subyek Tindak Pidana Dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002
tentang Perlindungan Anak
Menurut E. Utrecht dalam hukum ada 2 (dua) pengertian yang sangat penting
yakni:
a. Pengertian subyek hukum;
24
b. Pengertian obyek hukum.16
Menurut E. Utrecht bahwa yang dimaksud dengan subyek hukum (persoon)
ialah suatu pendukung hak, yaitu manusia atau badan yang menurut hukum
berkuasa (berwenang) menjadi pendukung hak. Suatu subyek hukum mempunyai
kekuasaan untuk mendukung hak (rechtsvoegdheid).17
Menurut E. Utrecht jenis subyek hukum ini bisa berbeda untuk setiap ranah
hukum yang berlainan, namun secara umum, ada dua macam subyek hukum yakni
manusia dan badan hukum.18
Contoh subyek hukum pada ranah hukum perdata adalah manusia dan badan
hukum. Pada ranah hukum pidana, subyek hukumnya adalah manusia dan badan
hukum. Sedangkan, subyek-subyek hukum internasional berdasarkan berbagai
konvensi internasional antara lain:
a. Negara;
b. Tahta Suci Vatikan;
c. Organisasi Internasional;
d. Palang Merah Internasional;
e. Kelompok Pemberontak;
f. Perusahaan Multinasional;
g. Individu.19
16 E. Utrecht, Pengantar Dalam Hukum Indonesia, (Jakarta: PT.Raja Grafindo Persada
2005), hlm. 234 17 Ibid, hlm. 234 18 Ibid, hlm. 235 19 Ibid, hlm 236
25
Subyek tindak pidana dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang
Perlindungan Anak antara lain :
1. Orang tua atau Wali; dan
2. Pihak laki-laki yang ingin menikahi;
2.3 Perkawinan Yang Dapat Diklasifikasikan Sebagai Tindak Pidana
Beberapa aspek dalam perkawinan yang dapat diklasifikasikan sebagai tindak
pidana antara lain :
2.3.1 Pengertian Perkawinan di Bawah Umur
Istilah pernikahan di bawah umur atau yang lebih dikenal dengan pernikahan
dini adalah kontemporer. Dini dikaitkan dengan waktu, yakni di awal waktu
tertentu. Lawannya adalah pernikahan kadaluarsa.
Pernikahan dini adalah agar tidak melebar dari tujuan utama penulisan ini,
mengingat banyaknya definisi „usia dini‟ dalam ungkapan „pernikahan dini‟ maka
penulis membatasi definisi „pernikahan dini‟ sebagai sebuah pernikahan yang
dilakukan oleh mereka yang berusia di bawah usia yang dibolehkan untuk
menikah dalam Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan yang menyebutkan bahwa minimal 16 tahun untuk perempuan dan 19
tahun untuk laki-laki.
Undang-undang negara Indonesia telah mengatur batas usia perkawinan.
Dalam Pasal 7 Ayat (1) Undang-Undang tentang Perkawinan disebutkan bahwa
perkawinan hanya diizinkan jika pihak pria mencapai umur 19 (sembilan belas)
tahun dan pihak perempuan sudah mencapai umur 16 (enam belas tahun) tahun.
26
Kebijakan pemerintah dalam menetapkan batas minimal usia pernikahan ini
tentunya melalui proses dan berbagai pertimbangan. Hal ini dimaksudkan agar
kedua belah pihak benar-benar siap dan matang dari sisi fisik, psikis dan mental.
Dari sudut pandang kedokteran, pernikahan dini mempunyai dampak negatif
baik bagi ibu maupun anak yang dilahirkan. Menurut para sosiolog, ditinjau dari
sisi sosial, pernikahan dini dapat mengurangi harmonisasi keluarga. Hal ini
disebabkan oleh emosi yang masih labil, gejolak darah muda dan cara pikir yang
belum matang.20
Melihat pernikahan dini dari berbagai aspeknya memang mempunyai banyak
dampak negatif. Oleh karenanya, pemerintah hanya mentolerir pernikahan diatas
umur 19 tahun untuk pria dan 16 tahun untuk wanita.
2.3.2 Pengertian Anak Menurut Hukum yang Berlaku Di Indonesia.
1. Pengertian anak menurut hukum adat, yaitu seseorang yang masih di bawah
umur 21 tahun, belum pernah melakukan perkawinan dan masih dalam
pengawasan.
2. Pengertian anak menurut Pasal 330 ayat (1) B.W. adalah segala orang yang
belum mencapai umur 21 tahun dan tidak lebih dahulu telah kawin.
3. Pengertian anak menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang
Perkawinan, yaitu:
Pasal 6 ayat (2) mengatur syarat perkawinan bagi seseorang yang belum
mencapai umur 21 tahun harus mendapat ijin kedua orang tuanya.
20http://id.shvoong.com/social-sciences/sociology/2240923-pengertian-pernikahan-di-
bawah-umur, diakses tanggal 15 Juni 2013
27
Pasal 7 ayat (1) mengatur batas minimum untuk dapat kawin bagi pria adalah
19 tahun dan bagi wanita 16 tahun.
4. Pengertian anak menurut Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1979 Tentang
Kesejahteraan Anak, dalam Ketentuan Umum Pasal 1 dan Pasal 2 adalah
seseorang yang belum mencapai umur 21 tahun dan belum pernah kawin.
5. Pengertian anak menurut Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 Tentang
Peradilan Anak adalah orang yang dalam perkara nakal telah mencapai umur
8 tahun tetapi belum mencapai umur 18 tahun dan belum pernah kawin.
6. Pengertian anak menurut Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2003 Tentang
Ketenagakerjaan, dalam Ketentuan Umum Pasal 1 ayat (26) adalah setiap
orang yang berumur di bawah 18 tahun.
Dari beberapa pendapat tersebut diatas dapat di tarik kesimpulan bahwa yang
dimaksud dengan anak adalah setiap orang yang belum berusia 21 tahun, belum
pernah melakukan suatu perkawinan dan masih dalam pengawasan orang tua atau
wali.
28
BAB III
TINJAUAN HUKUM PIDANA TERHADAP PERKAWINAN ANAK DI
BAWAH UMUR
Formulasi/Pengaturan Hukum Pidana Terhadap Perkawinan Anak di
Bawah Umur
Anak sebagai generasi muda, merupakan potensi dan penerus cita-cita
perjuangan bangsa. Anak merupakan modal pembangunan yang akan
mempertahankan, memelihara dan mengembangkan hasil pembangunan yang ada.
Oleh karena itu, anak memerlukan perlindungan dalam rangka menjamin
pertumbuhan dan perkembangan fisik, mental dan sosial secara utuh, serasi dan
seimbang. Kedudukan anak dalam hukum adalah sebagai subyek hukum
ditentukan dari bentuk dan sistem terhadap anak sebagai kelompok masyarakat
dan tergolong tidak mampu atau di bawah umur (yang diatur dalam Undang-
Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak).
Dalam hukum positif Indonesia, mengatur tentang perkawinan yang tertuang
di dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, yang
dimaksud dengan Perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan
seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah
tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa (Pasal 1
Ayat 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan).
Bagi perkawinan tersebut tentu harus dapat diperbolehkan bagi mereka yang
telah memenuhi batasan usia untuk melangsungkan perkawinan seperti dalam
29
Pasal 7 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan yang
menyebutkan bahwa batasan usia untuk melangsungkan perkawinan itu pria sudah
berusia 19 (Sembilan belas) tahun dan wanita sudah mencapai usia 16 (enam
belas) tahun. Secara eksplisit ketentuan tersebut dijelaskan bahwa setiap
perkawinan yang dilakukan oleh calon pengantin prianya yang belum berusia 19
tahun atau wanitanya belum berusia 16 tahun disebut sebagai “Perkawinan
dibawah umur”. Bagi perkawinan di bawah umur ini yang belum memenuhi batas
usia perkawinan, pada hakikatnya disebut masih berusia muda (anak-anak) yang
ditegaskan dalam Pasal 81 ayat (2) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002
tentang Perlindungan Anak yang menyebutkan bahwa “anak adalah seseorang
yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun dikategorikan masih anak-anak, juga
termasuk anak yang masih dalam kandungan, apabila melangsungkan perkawinan
tegas dikatakan adalah perkawinan di bawah umur”.
Dan itu merupakan pemangkasan kebebasan hak anak dalam memperoleh Hak
hidup sebagai remaja yang berpotensi untuk tumbuh, berkembang dan berpotensi
secara positif sesuai apa yang digaris bawahi agama. Jika anak masih berusia
muda bisa dikatakan kekerasan dan diskriminasi terhadap anak-anak seperti yang
telah dijelaskan Pasal 81 ayat (2) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang
Peradilan Anak, dimana jelas bagi orang tua berkewajiban untuk mencegah
adanya perkawinan pada usia muda.
Tetapi perkawinan di bawah umur merupakan peristiwa yang dianggap wajar
dalam suatu masyarakat Indonesia, namun perkawinan di bawah umur bisa
menjadi isu yang menarik perhatian publik dan berlanjut menjadi kasus hukum
30
contohnya seperti terlihat dalam kasus perkawinan Syekh Puji dengan Lutviana
ulfa (yang berusia 12 tahun), di mana muncul kontroversi terhadap kasus
perkawinan di bawah umur ini. Berita ini menarik perhatian khalayak karena
merupakan peristiwa yang tidak lazim. Apapun alasannya, perkawinan tersebut
dari tinjauan berbagai aspek sangat merugikan kepentingan anak dan sangat
membahayakan kesehatan anak akibat dampak perkawinan dini atau perkawinan
di bawah umur. Berbagai dampak pernikahan dini atau perkawinan dibawah umur
dapat dikemukakan sebagai berikut :
1. Dampak terhadap hukum.
Adanya pelanggaran terhadap 3 Undang-undang di negara kita yaitu:
a. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan diatur dalam
Pasal 7 ayat (1) yang menyebutkan Perkawinan hanya diizinkan jika pihak
pria sudah mencapai umur 19 tahun dan pihak wanita sudah mencapai
umur 16 tahun. Dan pada Pasal 6 ayat (2) Untuk melangsungkan
perkawinan seorang yang belum mencapai umur 21 tahun harus mendapat
izin kedua orang tua.
b. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak diatur
dalam Pasal 26 ayat (1) yang menyebutkan bahwa orang tua berkewajiban
dan bertanggung jawab untuk : mengasuh, memelihara, mendidik dan
melindungi anak, menumbuh kembangkan anak sesuai dengan
kemampuan, bakat dan minatnya dan mencegah terjadinya perkawinan
pada usia anak-anak.
31
2. Dampak biologis
Anak secara biologis alat-alat reproduksinya masih dalam proses menuju
kematangan sehingga belum siap untuk melakukan hubungan seks dengan
lawan jenisnya, apalagi jika sampai hamil kemudian melahirkan. Jika
dipaksakan justru akan terjadi trauma, perobekan yang luas dan infeksi yang
akan membahayakan organ reproduksinya sampai membahayakan jiwa anak.
Patut dipertanyakan apakah hubungan seks yang demikian atas dasar
kesetaraan dalam hak reproduksi antara isteri dan suami atau adanya
kekerasan seksual dan pemaksaan (penggagahan) terhadap seorang anak.21
3. Dampak psikologis.
Secara psikis anak juga belum siap dan mengerti tentang hubungan seks,
sehingga akan menimbulkan trauma psikis berkepanjangan dalam jiwa anak
yang sulit disembuhkan. Anak akan murung dan menyesali hidupnya yang
berakhir pada perkawinan yang dia sendiri tidak mengerti atas putusan
hidupnya. Selain itu, ikatan perkawinan akan menghilangkan hak anak untuk
memperoleh pendidikan (Wajar 9 tahun), hak bermain dan menikmati waktu
luangnya serta hak-hak lainnya yang melekat dalam diri anak.22
4. Dampak sosial.
Fenomena sosial ini berkaitan dengan faktor sosial budaya dalam masyarakat
patriarki yang bias gender, yang menempatkan perempuan pada posisi yang
rendah dan hanya dianggap pelengkap seks laki-laki saja. Kondisi ini sangat
21 http://macanbanci.wordpress.com/2010/10/15/makalah-pernikahan-dini/, diakses
tanggal 15 Juni 2013 22 Ibid, diakses tanggal 15 Juni 2013
32
bertentangan dengan ajaran agama apapun termasuk agama Islam yang sangat
menghormati perempuan. Kondisi ini hanya akan melestarikan budaya
patriarki yang bias gender yang akan melahirkan kekerasan terhadap
perempuan.
5. Dampak prilaku seksual menyimpang.
Adanya prilaku seksual yang menyimpang yaitu prilaku yang gemar
berhubungan seks dengan anak-anak yang dikenal dengan istilah pedofilia.
Perbuatan ini jelas merupakan tindakan ilegal (menggunakan seks anak),
namun dikemas dengan perkawinan seakan-akan menjadi legal. Hal ini
bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang
Perlindungan Anak khususnya Pasal 81, ancamannya pidana penjara
maksimum 15 tahun, minimum 3 tahun dan pidana denda maksimum 300 juta
dan minimum 60 juta rupiah. Apabila tidak diambil tindakan hukum terhadap
orang yang menggunakan seksualitas anak secara ilegal akan menyebabkan
tidak ada efek jera dari pelaku bahkan akan menjadi contoh bagi yang lain.
Dari uraian tersebut jelas bahwa pernikahan dini atau perkawinan dibawah
umur (anak) lebih banyak mudharat dari pada manfaatnya. Oleh karena itu patut
ditentang. Orang tua harus disadarkan untuk tidak mengizinkan
menikahkan/mengawinkan anaknya dalam usia dini atau anak dan harus
memahami peraturan perundang-undangan untuk melindungi anak. Masyarakat
yang peduli terhadap perlindungan anak dapat mengajukan class-action kepada
pelaku, melaporkan kepada Komisi Perlindungan Anak Indonesai (KPAI), LSM
peduli anak lainnya dan para penegak hukum harus melakukan penyelidikan dan
33
penyidikan untuk melihak adanya pelanggaran terhadap perundangan yang ada
dan bertindak terhadap pelaku untuk dikenai pasal pidana dari peraturan
perundangan yang ada antara lain : Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002
tentang Perlindungan Anak, Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan dan Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan
Tindak Pidana Perdagangan Orang.
Aspek hukum perkawinan di bawah umur diatur dalam Pasal 1 Undang-
Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan, yang menyebutkan bahwa
pengertian suatu “Perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dan
seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga atau rumah
tangga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”.
Berdasarkan hal tersebut diatas maka tentunya ada beberapa persyaratan yang
tidak boleh dilanggar dalam pelaksanaan perkawinan tersebut, salah satunya
adalah mengenai batas usia minimum untuk seseorang bisa melakukan
perkawinan sebagaimana diatur dalam Pasal 7 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1
Tahun 1974 tentang Perkawinan yang menyebutkan bahwa : Perkawinan hanya
diizinkan bila pihak pria mencapai umur 19 (sembilan belas) tahun dan pihak
wanita sudah mencapai usia 16 (enam belas) tahun. Namun ketentuan Pasal 7
Ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan diatas
ternyata tidak berlaku absolut/mutlak, karena dalam Pasal 7 ayat (2) Undang-
Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan menyebutkan bahwa : Dalam
hal penyimpangan dalam ayat (1) pasal ini dapat minta dispensasi kepada
Pengadilan atau pejabat lain yang diminta oleh kedua orang tua pihak pria atau
34
pihak wanita. Ketentuan Pasal 7 ayat (2) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974
tentang Perkawinan ini mengandung pengertian bahwa perkawinan dibawah umur
dapat dilakukan apabila ada permintaan dispensasi yang dimintakan oleh salah
satu pihak orang tua dari kedua belah pihak yang akan melakukan perkawinan.
Apalagi dalam Pasal 7 ayat (3) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan secara tidak langsung menyatakan bahwa permintaan dispensasi
tersebut dapat dimintakan kepada pengadilan atau pejabat lainnya dengan alasan
bahwa hukum masing-masing agama dan kepercayaan dari yang bersangkutan
memperbolehkannya (vide Pasal 6 ayat (6) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974
tentang Perkawinan).
Ketentuan Pasal 7 ayat (2) dan ayat (3) Undang-Undang Nomor 1 Tahun
1974 tentang Perkawinan tersebut seolah-olah membuat Undang Undang
Perkawinan tersebut menjadi tidak tegas (firm) dan strict, karena dengan demikian
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan sesungguhnya tidak
melarang perkawinan dibawah umur jika agama dan kepercayaan yang
bersangkutan tidak menentukan lain, yang artinya secara tidak langsung batas usia
minimum untuk melaksanakan suatu perkawinan dapat dikompromikan atas dasar
suatu keyakinan/kepercayaan. Celah hukum seperti inilah yang mungkin dapat
dipakai oleh pihak-pihak yang ingin mengambil keuntungan dari dilakukannya
perkawinan dibawah umur tersebut. Hal ini menimbulkan pemikiran bahwa
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan sudah seharusnya
direvisi atau dikaji ulang.
35
Berbeda dengan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan,
maka mengenai batas usia dewasa untuk melangsungkan perkawinan bagi orang
yang beragama Islam (Muslim) adalah 21 (dua puluh satu) tahun, batas usia
dewasa untuk melakukan perkawinan tersebut diatur dalam Pasal 98 Kompilasi
Hukum Islam menyebutkan bahwa : ”Batas usia anak yang mampu berdiri sendiri
atau dewasa adalah 21 tahun, sepanjang anak tersebut tidak bercacat fisik maupun
mental atau belum pernah melangsungkan perkawinan”.
Perlu diakui bahwa peran pengadilan dalam hal pencegahan suatu perkawinan
dibawah umur adalah sangat vital, hal ini terkait dengan adanya upaya hukum
yang disediakan oleh Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan
yaitu permohonan untuk meminta dispensasi pelaksanaan perkawinan dibawah
umur. Disinilah pengadilan mempunyai peranan penting untuk mencegah
perkawinan dibawah umur yang dimohonkan oleh pemohon yang beritikad buruk.
Selain daripada peran pengadilan sebagaimana yang telah disebutkan diatas,
maka Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan juga
memberikan upaya pencegahan perkawinan sebagaimana dimaksud dalam Pasal
13 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan yang menyebutkan
bahwa : ”Perkawinan dapat dicegah apabila ada orang yang tidak memenuhi
syarat-syarat untuk melangsungkan perkawinan”.
Dalam upaya pencegahan perkawinan tersebut, maka berdasarkan ketentuan
Pasal 14 dan Pasal 15 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan,
pihak yang dapat mencegah perkawinan adalah para keluarga dalam garis
36
keturunan lurus ke atas dan ke bawah, saudara, wali nikah, wali pengampu dari
salah seorang calon mempelai dan pihak-pihak yang berkepentingan (pihak yang
masih terikat perkawinan dengan salah satu dari kedua belah pihak tersebut
dengan dasar masih adanya perkawinan yang sah).
Bahwa usaha untuk melindungi kepentingan dari anak perempuan yang masih
dibawah umur dari segala akibat dan konsekuensi dari perkawinan dibawah umur,
maka pemerintah melalui Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang
Perlindungan Anak telah mewajibkan orang tua dan keluarga dari anak yang
masih dibawah umur tersebut untuk mencegah terjadinya perkawinan pada usia
anak-anak (vide Pasal 26 ayat (1) Poin c Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002
tentang Perlindungan Anak).
Bahwa selain upaya pencegahan perkawinan, maka Undang-Undang Nomor 1
Tahun 1974 tentang Perkawinan juga memberikan upaya lain yaitu upaya
pembatalan perkawinan. Perkawinan tersebut diatas dapat dibatalkan, apabila para
pihak tidak memenuhi syarat-syarat untuk melangsungkan perkawinan (vide Pasal
22 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan), misalnya
pelanggaran terhadap batas usia minimum untuk melangsungkan suatu
perkawinan. Selain itu yang dapat mengajukan pembatalan perkawinan adalah :
Para keluarga dalam garis keturunan lurus keatas dari suami atau isteri, suami atau
isteri, Pejabat yang berwenang hanya selama perkawinan belum diputuskan,
Pejabat yang ditunjuk tersebut Ayat (2) Pasal 16 Undang-Undang Nomor 1 Tahun
1974 tentang Perkawinan dan setiap orang yang mempunyai kepentingan hukum
37
secara langsung terhadap perkawinan tersebut, tetapi hanya setelah perkawinan itu
putus (vide Pasal 23 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan).
Permohonan pembatalan perkawinan tersebut diajukan kepada Pengadilan
dalam daerah hukum dimana perkawinan dilangsungkan atau ditempat tinggal
kedua suami-isteri, suami atau isteri (vide Pasal 25 Undang-Undang Nomor 1
Tahun 1974 tentang Perkawinan). Batalnya suatu perkawinan tersebut dimulai
sejak adanya putusan Pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap (inkracht
van gewijsde).
Bahwa meskipun sampai dengan saat ini belum ada suatu sanksi /ancaman
pidana yang tegas dan jelas bagi pelaku perkawinan dibawah umur, namun Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana (KUHPidana) dan Undang-Undang Perlindungan
Anak sendiri sudah mempunyai sanksi pidana yang terkait dan dimungkinkan
untuk dapat diterapkan kepada pelaku perkawinan dibawah umur tersebut, antara
lain :
(1) Pasal 228 KUH Pidana
1) Barangsiapa dalam perkawinan bersetubuh dengan seorang wanita yang
diketahuinya atau sepatutnya harus diduganya bahwa yang
bersangkutan belum waktunya untuk dikawin, apabila perbuatan
mengakibatkan luka-luka diancam dengan pidana penjara paling lama
empat tahun.
2) Jika perbuatan mengakibatkan luka-luka berat, dijatuhkan pidana
penjara paling lama delapan tahun.
3) Jika mengakibatkan mati, dijatuhkan pidana penjara paling lama dua
belas tahun.
38
(2) Pasal 81 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Peradilan Anak
1) Setiap orang yang dengan sengaja melakukan kekerasan atau ancaman
kekerasan memaksa anak melakukan persetubuhan dengannya atau
dengan orang lain, dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima
belas) tahun dan paling singkat 3 (tiga) tahun dan denda paling banyak
Rp 300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah) dan paling sedikit Rp
60.000.000,00 (enam puluh juta rupiah).
2) Ketentuan pidana sebagaimana dimaksud dalam Ayat (1) berlaku pula
bagi setiap orang yang dengan sengaja melakukan tipu muslihat,
serangkaian kebohongan, atau membujuk anak melakukan
persetubuhan dengannya atau dengan orang lain.
Banyak kasus-kasus pernikahan anak perempuan di bawah umur yang terjadi
di Indonesia terutama di pedesaan, salah satu contohnya saja seperti pernikahan
dini yang terjadi Ulfa yang waktu itu masih berumur 12 tahun dan Pujiono yang
berusia 46 tahun.
Dalam kasus ini H.M. Pujiono Cahyo W atau yang dikenal dengan syeh Puji
dijadikan terdakwa oleh penuntut umum yang mendasarkan dakwaanya atas
beberapa perbuatan yang diduga telah dilakukan oleh H.M.Pujiono Cahyo W.,
pada waktu antara tanggal 20 Juli 2008 sampai dengan bulan Oktober 2008 atau
setidak-tidaknya pada waktu tertentu dalam tahun 2008, yaitu :
1. Dengan sengaja melakukan tipu muslihat, serangkaian kebohongan atau
membujuk anak, melakukan persetubuhan dengannya atau dengan orang lain.
2. Telah mengeksploitasi ekonomi atau seksual anak dengan maksud untuk
menguntungkan diri sendiri atau orang lain, yaitu terdakwa telah melakukan
eksploitasi seksual terhadap Lutviana Ulfah yang masih berumur 12 tahun 8
bulan.
39
3. Telah melakukan perbuatan cabul dengan seseorang, padahal diketahui atau
sepatutnya harus diduganya, bahwa umurnya belum lima belas tahun atau
kalau umurnya tidak jelas yang bersangkutan belum waktunya untuk
dikawini, yaitu terdakwa telah melakukan perbuatan cabul dengan Lutviana
Ulfah yang umurnya baru 12 tahun 8 bulan.
Adapun dakwaan dari penuntut umum terhadap H.M. Pujiono antara lain :
1. Dakwaan Pertama
Pasal 81 Ayat (2) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang
Perlindungan Anak yang berbunyi :
(1) Setiap orang yang dengan sengaja melakukan kekerasan atau ancaman
kekerasan memaksa anak melakukan persetubuhan dengannya atau
dengan orang lain, dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima
belas) tahun dan paling singkat 3 (tiga) tahun dan denda paling banyak
Rp 300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah) dan paling sedikit Rp
60.000.000,00 (enam puluh juta rupiah).
(2) Ketentuan pidana sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) berlaku pula
bagi setiap orang yang dengan sengaja melakukan tipu muslihat,
serangkaian kebohongan, atau membujuk anak melakukan persetubuhan
dengannya atau dengan orang lain.
2. Dakwaan Kedua
Pasal 88 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak
yang berbunyi : “Setiap orang yang mengeksploitasi ekonomi atau seksual
40
anak dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain,
dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan/atau
denda paling banyak Rp 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah)”.
3. Dakwaan Ketiga
Pasal 290 KUHP yang berbunyi :
Diancam dengan pidana penjara paling lama tujuh tahun:
(1) Barang siapa melakukan perbuatan cabul dengan seorang, padahal
diketahuinya bahwa orang itu pingsan atau tidak berdaya;
(2) Barang siapa melakukan perbuatan cabul dengan seorang padahal
diketahuinya atau sepatutnya harus diduganya, bahwa umumya belum
lima belas tahun atau kalau umumya tidak jelas, yang bersangkutan belum
waktunya untuk dikawin;
(3) Barang siapa membujuk seseorang yang diketahuinya atau sepatutnya
harus diduganya bahwa umurnya belum lima belas tahun atau kalau
umumya tidak jelas yang bersangkutan atau kutan belum waktunya untuk
dikawin, untuk melakukan atau membiarkan dilakukan perbuatan cabul,
atau bersetubuh di luar perkawinan dengan orang lain.
Dalam kasus ini penuntut umum mengajukan tuntutan terhadap H.M.Pujiono
Cahyo W., sebagai berikut :
1. Menyatakan terdakwa H.M.Pujiono Cahyo Widiyanto bin Hartono alias
Suramin telah terbukti secara sah dan menyakinkan menurut hukum
melakukan tindak pidana dengan sengaja melakukan tipu muslihat,
serangkaian kebohongan atau membujuk anak, melakukan persetubuhan
dengannya atau dengan orang lain sebagaimana yang diatur dan diancam
pidana sesuai Pasal 81 Ayat (2) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002
tentang Perlindungan Anak.
41
2. Menjatuhkan pidana terhadap terdakwa H.M.Pujiono Cahyo Widiyanto bin
Hartono alias Suramin berupa pidana penjara 6 (enam) tahun dikurangi
selama terdakwa berada dalam tahanan sementara dengan perintah terdakwa
ditahan, dan dipidana denda sebesar Rp 60.000.000,00 (enam puluh juta
rupiah).
Sehingga dalam kasus ini Majelis Hakim memutuskan sebagai berikut :
1. Menyatakan bahwa terdakwa H.M.Pujiono Cahyo Widiyanto bin Alm.
Hartono alias Suramin telah terbukti secara sah dan menyakinkan bersalah
melakukan tindak pidana dengan sengaja melakukan tipu muslihat,
serangkaian kebohongan atau membujuk anak melakukan persetubuhan
dengannya.
2. Oleh karena itu, menghukum terdakwa H.M. Pujiono Cahyo Widiyanto bin
Alm. Hartono alias Suramin dengan pidana penjara selama 4 (empat) tahun
dan denda sebesar Rp 60.000.000,00 (enam puluh juta rupiah) dengan
ketentuan apabila denda tersebut tidak dibayar akan diganti dengan pidana
kurungan selama 4 (empat) bulan.
3. Menetapkan masa penahanan yang telah dijalani oleh terdakwa H.M Pujiono
Cahyo Widiyanto bin Alm. Hartono alias Suramin dikurangkan seluruhnya
dari pidana yang dijatuhkan.
42
Putusan Pengadilan tersebut diperkuat oleh Pengadilan Tinggi Semarang
yang tertuang dalam Putusan perkara No. 493/Pid/2010/PT.Smg. tertanggal 7
Februari 2011.
43
BAB IV
PENUTUP
4.1 Kesimpulan
Pernikahan dini atau perkawinan di bawah umur lebih banyak mudharat dari
pada manfaatnya, oleh karena itu patut ditentang. Orang tua harus disadarkan
untuk tidak mengizinkan menikahkan/mengawinkan anaknya dalam usia
dini/harus memahami peraturan perundang-undangan untuk melindungi anak.
Namun di lain pihak permasalahan pernikahan dini tidak bisa diukur dari sisi
agama islam, karena menurut agama islam jika dengan menikah muda mampu
menyelamatkan diri dari kubangan dosa dan lumpur kemaksiatan maka menikah
adalah alternatif yang terbaik. Namun jika dengan menunda pernikahan sampai
usia matang mengandung nilai positif maka hal ini adalah lebih utama.
Bahwa meskipun sampai dengan saat ini belum ada suatu sanksi /ancaman
pidana yang tegas dan jelas bagi pelaku perkawinan dibawah umur, namun Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana (KUHPidana) dan Undang-Undang Perlindungan
Anak sendiri sudah mempunyai sanksi pidana yang terkait dan dimungkinkan
untuk dapat diterapkan kepada pelaku perkawinan dibawah umur tersebut, antara
lain diatur dalam Pasal 228 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) dan
Pasal 81 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Peradilan Anak. Dalam
Pasal 228 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) menyebutkan bahwa
pidana penjara maksimal 8 (delapan) tahun penjara bila mengakibatkan luka dan
pidana penjara maksimal 12 (dua belas) tahun bila mengakibatkan kematian.
44
Sedangkan dalam Pasal 81 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang
Peradilan Anak menyebutkan bahwa pidana penjara minimal 3 (tiga) tahun serta
paling sedikit Rp 60.000.000,00 (enam puluh juta rupiah) dan maksimal 15 (lima
belas) tahun serta Rp 300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah).
4.2 Saran
1. Pemerintah harus berkomitmen serius dalam menegakkan hukum yang
berlaku terkait perkawinan anak di bawah umur sehingga pihak-pihak yang
ingin melakukan perkawinan dengan anak di bawah umur berpikir 2 (dua)
kali terlebih dahulu sebelum melakukannya.
2. Pemerintah harus semakin giat mensosialisasikan undang-undang yang terkait
perkawinan anak di bawah umur beserta sanksinya sehingga masyarakat tahu
dan sadar bahwa perkawinan anak di bawah umur adalah sesuatu yang salah
dan harus dihindari.
3. Pemerintah harus memberikan pemahaman kepada oaring tua dan masyarakat
tentang hak-hak anak yang melekat pada diri seorang anak itu sendiri dan
memberikan pemahaman tentang kesehatan reproduksi sejak anak-anak.
4. Anggota masyarakat turut serta berperan aktif dalam pencegahan perkawinan
anak di bawah umur yang ada di sekitar mereka.
45
DAFTAR PUSTAKA
Buku :
Afandi, Ali. 1997. Hukum Waris, Hukum Keluarga, Hukum Pembuktian. Jakarta:
Rineka Cipta.
Amir, Syarifudin. 1990. Hukum Perkawinan Islam Di Indonesia : Antara Fiqh
Munakahat Dan Undang-Undang Perkawinan. Cetakan II. Jakarta:
Kencana.
Budiman, Arief. 1991. Negara dan Pembangunan. Jakarta: Padi dan Kapas.
Chazawi, Adami. 2007. Pelajaran Hukum Pidana Bagian I. Jakarta: PT. Raja
Grafindo Persada.
Daud, Ali Muhammad. 2004. Hukum Islam : Pengantar Ilmu Hukum dan tata
Hukum Islam di Indonesia. Cetakan II. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.
Ibrahim, Jhonny. 2005. Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif. Edisi
Revisi. Surabaya: Bayumedia Publishing.
Idris Ramulyo, Mohd. 1985, Hukum Perkawinan Islam, Suatu Analisis Dari
Perundang-undangan Nomor 1 Tahun 1974 Dan Kompilasi Hukum Islam.
Cetakan IV. Jakarta: Bina Aksara.
Simanjuntak, P.N.H. 1999. Pokok-Pokok Hukum Perdata. Jakarta: Djambatan.
Soetojo, R. Prawirohamidjojo dan Azis Safioedin. 1985. Hukum Orang dan
Hukum Keluarga. Bandung: Alumni.
Utrecht. E. 2005. Pengantar Dalam Hukum Indonesia. Jakarta: PT. Raja Grafindo
Persada
Perundang-undangan :
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak
Kompilasi Hukum Islam
46
Kamus :
Subekti dan Tjitrosoedibio. 2001. Kamus Hukum. Jakarta : Intermasa.
Susi Moeimam dan Hein Steinhauer. 2006. Kamus Belanda-Indonesia.
Yogyakarta : Liberty.
Umi Chulsum dan Windy Novia. 2007. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta :
Intermasa.