25
6 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Konsep Lanjut Usia 1. Pengertian Lanjut usia Proses menua (aging) adalah proses alami yang dihadapi manusia. Dalam proses ini , tahap yang paling krusial adalah tahap lansia (lanjut usia). Dalam tahap ini, pada diri manusia secara alami terjadi penurunan atau perubahan kondisi fisik, psikologis maupun sosial yang saling berinteraksi satu sama lain. Keadaan itu cenderung berpotensi menimbulkan masalah kesehatan secara umum ( fisik) maupun kesehatan jiwa secara khusus pada individu lanjut usia. Usia lanjut ditandai dengan perubahan fisik dan psikologis tertentu. Efek-efek tersebut menentukan lansia dalam melakukan penyesuaian diri secara baik atau buruk, akan tetapi ciri-ciri usia lanjut cenderung menuju dan membawa penyesuaian diri yang buruk dari pada yang baik dan kepada kesengsaraan dari pada kebahagiaan, itulah sebabnya mengapa usia lanjut lebih rentan dari pada usia madya (Hurlock, 1999) Masalah-masalah kesehatan atau penyakit fisik dan atau kesehatan jiwa yang sering timbul pada proses menua (lansia), menurut Stieglitz (dalam Nugroho, 2000) diantara gangguan sirkulasi darah, gangguan metabolisme hormonal, gangguan pada persendian, dan berbagai macam neoplasma. Masalah sosial yang dihadapi lanjut usia (lansia) adalah bahwa keberadaan lansia sering dipersepsikan negatif oleh masyarakat luas. Kaum lansia sering dianggap tidak berdaya, sakit-sakitan, tidak produktif dan sebagainya. Tak jarang mereka diperlakukan sebagai beban keluarga, masyarakat, hingga Negara. Mereka seringkali tidak disukai serta sering dikucilkan di panti-panti jompo. Perubahan perilaku ke arah negatif ini justru akan mengancam keharmonisan dalam kehidupan lansia atau bahkan sering menimbulkan masalah yang serius dalam kehidupannya. .

Jtptunimus Gdl Laodejufri 6481 3 Babii

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: Jtptunimus Gdl Laodejufri 6481 3 Babii

6

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Konsep Lanjut Usia

1. Pengertian Lanjut usia

Proses menua (aging) adalah proses alami yang dihadapi manusia.

Dalam proses ini , tahap yang paling krusial adalah tahap lansia (lanjut

usia). Dalam tahap ini, pada diri manusia secara alami terjadi penurunan

atau perubahan kondisi fisik, psikologis maupun sosial yang saling

berinteraksi satu sama lain. Keadaan itu cenderung berpotensi menimbulkan

masalah kesehatan secara umum ( fisik) maupun kesehatan jiwa secara

khusus pada individu lanjut usia. Usia lanjut ditandai dengan perubahan

fisik dan psikologis tertentu. Efek-efek tersebut menentukan lansia dalam

melakukan penyesuaian diri secara baik atau buruk, akan tetapi ciri-ciri usia

lanjut cenderung menuju dan membawa penyesuaian diri yang buruk dari

pada yang baik dan kepada kesengsaraan dari pada kebahagiaan, itulah

sebabnya mengapa usia lanjut lebih rentan dari pada usia madya (Hurlock,

1999)

Masalah-masalah kesehatan atau penyakit fisik dan atau kesehatan

jiwa yang sering timbul pada proses menua (lansia), menurut Stieglitz

(dalam Nugroho, 2000) diantara gangguan sirkulasi darah, gangguan

metabolisme hormonal, gangguan pada persendian, dan berbagai macam

neoplasma. Masalah sosial yang dihadapi lanjut usia (lansia) adalah bahwa

keberadaan lansia sering dipersepsikan negatif oleh masyarakat luas. Kaum

lansia sering dianggap tidak berdaya, sakit-sakitan, tidak produktif dan

sebagainya. Tak jarang mereka diperlakukan sebagai beban keluarga,

masyarakat, hingga Negara. Mereka seringkali tidak disukai serta sering

dikucilkan di panti-panti jompo. Perubahan perilaku ke arah negatif ini

justru akan mengancam keharmonisan dalam kehidupan lansia atau bahkan

sering menimbulkan masalah yang serius dalam kehidupannya.

.

Page 2: Jtptunimus Gdl Laodejufri 6481 3 Babii

7

2. Masalah yang sering dihadapi oleh lansia

Masalah yang kerap muncul pada usia lanjut, yang disebutnya sebagai

a series of I’s, yang meliputi immobility (imobilisasi), instability (instabilitas

dan jatuh), incontinence (inkontinensia), intellectual impairment (gangguan

intelektual), infection (infeksi), impairment of vision and hearing (gangguan

penglihatan dan pendengaran), isolation (depresi), Inanition (malnutrisi),

insomnia (ganguan tidur), hingga immune deficiency (menurunnya

kekebalan tubuh) (Kemala Sari, 2010). Bentuk-bentuk permasalahan yang

dihadapi lansia adalah sebagai berikut :

a. Demensia

Demensia adalah suatu gangguan intelektual / daya ingat yang

umumnya progresif dan ireversibel. Biasanya ini sering terjadi pada

orang yang berusia > 65 tahun.

b. Depresi

Gangguan depresi merupakan hal yang terpenting dalam problem lansia.

Usia bukan merupakan faktor untuk menjadi depresi tetapi suatu

keadaan penyakit medis kronis dan masalah-masalah yang dihadapi

lansia yang membuat mereka depresi. Gejala depresi pada lansia dengan

orang dewasa muda berbeda dimana pada lansia terdapat keluhan

somatik.

c. Skizofrenia

Skizofrenia biasanya dimulai pada masa remaja akhir / dewasa muda

dan menetap seumur hidup. Wanita lebih sering menderita skizofrenia

lambat dibanding pria. Perbedaan onset lambat dengan awal adalah

adanya skizofrenia paranoid pada tipe onset lambat.

d. Gangguan Delusi

Onset usia pada gangguan delusi adalah 40 – 55 tahun, tetapi dapat

terjadi kapan saja. Pada gangguan delusi terdapat waham yang tersering

yaitu : waham kejar dan waham somatik.

Page 3: Jtptunimus Gdl Laodejufri 6481 3 Babii

8

e. Gangguan Kecemasan

Gangguan kecemasan adalah berupa gangguan panik, fobia, gangguan

obsesif konfulsif, gangguan kecemasan umum, gangguan stres akut,

gangguan stres pasca traumatik. Onset awal gangguan panik pada lansia

adalah jarang, tetapi dapat terjadi. Tanda dan gejala fobia pada lansia

kurang serius daripada dewasa muda, tetapi efeknya sama, jika tidak

lebih, menimbulkan debilitasi pada pasien lanjut usia. Teori eksistensial

menjelaskan kecemasan tidak terdapat stimulus yang dapat diidentifikasi

secara spesifik bagi perasaan yang cemas secara kronis.

Kecemasan yang tersering pada lansia adalah tentang

kematiannya. Orang mungkin menghadapi pikiran kematian dengan rasa

putus asa dan kecemasan, bukan dengan ketenangan hati dan rasa

integritas. kerapuhan sistem saraf anotomik yang berperan dalam

perkembangan kecemasan setelah suatu stressor yang berat. Gangguan

stres lebih sering pada lansia terutama jenis stres pasca traumatik karena

pada lansia akan mudah terbentuk suatu cacat fisik.

f. Gangguan Somatiform

Gangguan somatiform ditandai oleh gejala yang sering ditemukan apada

pasien > 60 tahun. Gangguan biasanya kronis dan prognosis adalah

berhati-hati. Untuk mententramkan pasien perlu dilakukan pemeriksaan

fisik ulang sehingga ia yakin bahwa mereka tidak memliki penyakit

yang mematikan. Terapi pada gangguan ini adalah dengan pendekatan

psikologis dan farmakologis.

g. Gangguan penggunaan Alkohol dan Zat lain

Riwayat minum / ketergantungan alkohol biasanya memberikan riwayat

minum berlebihan yang dimulai pada masa remaja / dewasa. Mereka

biasanya memiliki penyakit hati. Sejumlah besar lansia dengan riwayat

penggunaan alkohol terdapat penyakit demensia yang kronis seperti

ensefalopati wernicke dan sindroma korsakoff. Presentasi klinis pada

lansia termasuk terjatuh, konfusi, higienis pribadi yang buruk, malnutrisi

dan efek pemaparan. Zat yang dijual bebas seperti kafein dan nikotin

Page 4: Jtptunimus Gdl Laodejufri 6481 3 Babii

9

sering disalahgunakan. Di sini harus diperhatikan adanya gangguan

gastrointestiral kronis pada lansia pengguna alkohol maupun tidak obat-

obat sehingga tidak terjadi suatu penyakit medik.

h. Gangguan Tidur

Usia lanjut adalah faktor tunggal yang paling sering berhubungan

dengan peningkatan prevalensi gangguan tidur. Fenomena yang sering

dikeluhkan lansia daripada usia dewasa muda adalah gangguan tidur,

ngantuk siang hari dan tidur sejenak di siang hari

Secara klinis, lansia memiliki gangguan pernafasan yang

berhubungan dengan tidur dan gangguan pergerakan akibat medikasi

yang lebih tinggi dibanding dewasa muda. Disamping perubahan sistem

regulasi dan fisiologis, penyebab gangguan tidur primer pada lansia

adalah insomnia. Selain itu gangguan mental lain, kondisi medis umum,

faktor sosial dan lingkungan. Ganguan tersering pada lansia pria adalah

gangguan rapid eye movement (REM). Hal yang menyebabkan

gangguan tidur juga termasuk adanya gejala nyeri, nokturia, sesak

napas, nyeri perut.

Keluhan utama pada lansia sebenarnya adalah lebih banyak

terbangun pada dini hari dibandingkan dengan gangguan dalam tidur.

Perburukan yang terjadi adalah perubahan waktu dan konsolidasi yang

menyebabkan gangguan pada kualitas tidur pada lansia.

3. Perubahan yang terjadi pada lansia

Dalam buku keperawatan gerontik Nugroho.W (2000). Menyebutkan

beberapa perubahan pada lanjut usia diantaranya adalah :

a. Perubahan Fisik

1) Sel

2) Sistem Persarafan

3) Sistem Pendengaran

4) Sistem Penglihatan

5) Sistem Kardiovaskuler

Page 5: Jtptunimus Gdl Laodejufri 6481 3 Babii

10

6) Sistem Pengaturan Temperatur Tubuh

7) Sistem Respirasi

8) Sistem Gastrointestinal

9) Sistem Genitourinaria

10) Sistem Endokrin

1) Produksi dari hampir semua hormon menurun.

2) Fungsi paratiroid dan sekresinya tidak berubah.

3) Menurunya aktivitas tiroid, menurunya BMR= Basal Metabolic

Rate, dan menurunya daya pertukaran zat.

4) Menurunnya produksi aldesteron.

5) Menurunnya sekresi hormon kelamin, misalnya: progesteron,

estrogen, dan testeron.

11) Sistem Kulit (Integumentary System)

12) Sistem Muskulosletal (Musculosceletal System)

b. Perubahan Mental

Faktor-faktor yang menpengaruhi perubahan mental antara lain :

Pertama-tama perubahan fisik, khususnya organ perasa. Kesehatan

umum. Tingkat pendidikan. Keturunan (Herediter). Lingkungan.

Perubahan kepribadian yang drastis, keadaan ini jarang terjadi. Lebih

sering berupa ungkapan yang tulus dari perasaan seseorang, kekakuan

mungkin karena faktor lain seperti pentakit-penyakit.

c. Perubahan Psikososial

1) Pensiun

Nilai seseorang sering diukur oleh produktivitasnya dan identitas

dikaitkan dengan peranan dalam pekerjaan. Bila seseorang pensiun

(purna tugas), ia akan mengalami kehilangan-kehilangan, antara lain :

1) Kehilangan finansial (income berkurang).

2) Kehilangan status (dulu mempunyai jabatan posisi yang cukup

tinggi, lengkap dengan segala fasilitasnya).

3) Kehilangan teman/kenalan atau relasi.

4) Kehilangan pekerjaan atau kegiatan.

Page 6: Jtptunimus Gdl Laodejufri 6481 3 Babii

11

2) Bila seseorang pensiun (purna tugas), ia akan mengalami kehilangan-

kehilangan, antara lain:

3) Merasakan atau sadar akan kematian (sense of awareness of

mortality).

4) Perubahan dalam cara hidup, yaitu memasuki rumah perawatan

bergerak lebih sempit.

5) Ekonomi akibat pemberhentian dari jabatan (economic deprivation).

Meningkatnya biaya hidup pada penghasilan yang sulit, bertambahnya

biaya pengobatan.

6) Penyakit kronis dan ketidakmampuan.

7) Gangguan saraf pancaindera, timbul kebutaan dan ketulian.

8) Gangguan gizi akibat kehilangan jabatan.

9) Rangkaian dari kehilangan, yaitu kehilangan dengan teman-teman dan

family.

10) Hilangnya kekuatan dan ketegapan fisik, perubahan terhadap

gambaran diri, perubahan konsep diri.

d. Perkembangan Spiritual

Menurut Maslow, (1978) agama atau kepercayaan semakin

terintegrasi dalam kehidupanya, sedangkan menurut pendapat Murray, &

Zentner, (1970). Lain halnya dengan pendapat Fowler, (1978)

mengatakan perkembangan spiritual pada usia 70 tahun perkembangan

yang dicapai tingkatan ini berfikir dan bertindak dengan memberikan

contoh cara mencintai dan keadilan. Kutipan tadi diambil dari buku

Keperawatan Gerontik Nugroho,W (2000).

B. Kecemasan

1. Definisi kecemasan

Cemas merupakan suatu reaksi emosional yang timbul oleh

penyebab yang tidak pasti dan tidak spesifik yang dapat menimbulkan

perasaan tidak nyaman dan merasa terancam (Stuart dan Sundeen, 1998).

Page 7: Jtptunimus Gdl Laodejufri 6481 3 Babii

12

Daradjat (dalam Siswati, 2000) menyatakan bahwa kecemasan

adalah manifestasi dari berbagai proses emosi yang tercampur aduk yang

terjadi tatkala orang sedang mengalami tekanan perasaan dan pertentangan

batin atau konflik. Ada segi yang disadari dari kecemasan itu seperti rasa

takut, tak berdaya, terkejut, rasa berdosa atau terancam, selain juga segi –

segi yang terjadi diluar kesadaran dan tidak dapat menghindari perasaan

yang tidak menyenangkan.

Menurut Carpenito (2000) menyebutkan bahwa kecemasan

merupakan keadaan dimana individu atau kelompok mengalami perasaan

yang sulit (ketakutan) dan aktivasi sistem saraf otonom dalam berespon

terhadap ketidakjelasan, ancaman tidak spesifik.

2. Kecemasan pada lansia

Usia lanjut dipandang sebagai masa degenerasi biologis yang

disertai dengan berbagai penderitaan seperti beberapa penyakit dan

keudzuran serta kesadaran bahwa setiap orang akan mati, maka kecemasan

akan kematian menjadi masalah psikologis yang penting pada lansia,

khususnya lansia yang mengalami penyakit kronis. Pada orang lanjut usia

biasanya memiliki kecenderungan penyakit kronis (menahun/berlangsung

beberapa tahun) dan progresif (makin berat) sampai penderitanya

mengalami kematian. Kenyataannya, proses penuaan dibarengi bersamaan

dengan menurunnya daya tahan tubuh serta metabolisme sehingga menjadi

rawan terhadap penyakit, tetapi banyak penyakit yang menyertai proses

ketuaan dewasa ini dapat dikontrol dan diobati. Masalah fisik dan

psikologis sering ditemukan pada lanjut usia. Faktor psikologis

diantaranya perasaan bosan, keletihan atau perasaan depresi (Nugroho,

2000).

Kecemasan akan kematian dapat berkaitan dengan datangnya

kematian itu sendiri, dan dapat pula berkaitan dengan caranya kematian

serta rasa sakit atau siksaan yang mungkin menyertai datangnya kematian,

karena itu pemahaman dan pembahasan yang mendalam tentang

kecemasan lansia penting, khususnya lansia yang mengalami penyakit

Page 8: Jtptunimus Gdl Laodejufri 6481 3 Babii

13

kronis. Kecemasan menghadapi kematian menjadi penting untuk diteliti,

sebab kecemasan bisa menyerang siapa saja. Namun, ada spesifikasi

bentuk kecemasan yang didasarkan pada usia individu. Umumnya,

kecemasan ini merupakan suatu pikiran yang tidak menyenangkan, yang

ditandai dengan kekhawatiran, rasa tidak tenang, dan perasaan yang tidak

baik atau tidak enak yang tidak dapat dihindari oleh seseorang (Hurlock,

1990).

Disamping itu juga, ada beberapa faktor lain yang dapat

menimbulkan kecemasan ini, salah satunya adalah situasi. Menurut

Hurlock (1990) bahwa jika setiap situasi yang mengancam keberadaan

organisme dapat menimbulkan kecemasan. Kecemasan dalam kadar

terberat dirasakan sebagai akibat dari perubahan sosial yang sangat cepat.

Terdapatnya beberapa penyakit sekaligus pada waktu yang sama,

juga sering terjadi pada lansia dan inilah yang sering menimbulkan

masalah dalam diagnostik sekaligus menimbukan kecemasan bagi si lansia

itu sendiri. Bahkan adakalanya bahwa penyakit yang gawat, kurang

diperhatikan karena gejala-gejalanya terselubung oleh keluhan-keluhan

umum yang dikemukakan atau oleh karena gejala-gejala proses menjadi

tua. Adakalanya mereka melebih-lebihkan keluhan mereka, sebaliknya

sering mereka tidak mengemukakan apa yang dirasakan sesungguhnya.

Selain kesehatan fisik yang perlu dipahami, juga ada kesehatan

mental, misalnya depresi. Depresi pada lansia memiliki latar belakang

yang agak berbeda dengan orang dewasa lainnya, karena depresi pada

lansia lebih sering timbul akibat berbagai penyakit fisik yang dideritanya.

Suatu ketergantungan hidup pada orang lain timbul pada sebagian lansia

yang kondisi fisiknya memang sudah tidak sempurna lagi, sehingga

merupakan fenomena kedua penyebab adanya depresi (Nugroho,2000).

Kecemasan lansia yang mengalami penyakit kronis dalam menghadapi

kematian diantaranya adalah terjadinya perubahan yang drastis dari

kondisi fisiknya yang menyebabkan timbulnya penyakit tertentu dan

menimbulkan kecemasan seperti gangguan penceranaan, detak jantung

Page 9: Jtptunimus Gdl Laodejufri 6481 3 Babii

14

bertambah cepat berdebar-debar akibatdari penyakit yang dideritanya

kambuh, sering merasa pusing, tidur tidak nyenyak, nafsu makan hilang.

Kemudian secara psikologis kecemasan lansia yang mengalami penyakit

kronis dalam menghadapi kematian adalah seperti adanya perasaan

khawatir, cemas atau takut terhadap kematianitu sendiri, tidak berdaya,

lemas, tidak percaya diri, ingin bunuh diri, tidak tentram, dan gelisah.

Faktor-faktor yang menyebabkan timbulnya kecemasan pada lansia

yang mengalami penyakit kronis dalam menghadapi kematian diantaranya

adalah selalu memikirkan penyakit yang dideritanya, kendala ekonomi,

waktu berkumpul dengan keluarga yang dimiliki sangat sedikit karena

anak-anaknya tidak berada satu rumah/berlainan kota dengan subyek,

kepikiran anaknya yang belum menikah, sering merasa kesepian, kadang

sulit tidur dan kurangnya nafsu makan karena selalu memikirkan penyakit

yang dideritanya

3. Tingkat Kecemasan

Kecemasan mempunyai berbagai tingkat, Stuart & Sundeen (1998)

menggolongkan sebagai berikut :

a. Kecemasan Ringan

Berhubungan dengan ketegangan dalam kehidupan sehari-hari. Pada

tingkat ini lahan persepsi melebar dan individu akan berhati-hati serta

waspada. Individu akan terdorong untuk belajar yang akan

menghasilkan pertumbuhan dan kreatifitas. Kecemasan ringan

diperlukan orang agar dapat mengatasi suatu kejadian. Seseorang

dengan kecemasan ringan dapat dijumpai berdasarkan hal-hal sebagai

berikut :

1) Persepsi dan perhatian meningkat, waspada

2) Mampu mengatasi situasi bermasalah

3) Dapat mengatakan pengalaman masa lalu, saat ini dan masa

mendatang, menggunakan belajar, dapat memvalidasi secara

konsensual, merumuskan makna

4) Ingin tahu, mengulang pertanyaan

Page 10: Jtptunimus Gdl Laodejufri 6481 3 Babii

15

5) Kecenderungan untuk tidur

b. Kecemasan Sedang

Memungkinkan seseorang untuk memuaskan pada hal yang penting

dan mengesampingkan yang lain sehinga seseorang mengalami

perhatian yang selektif namun dapat melakukan sesuatu yang lebih

terarah. Orang dengan kecemasan sedang biasanya menunjukan

keadaan seperti :

1) Persepsi agak menyempit, secara selektif tidak perhatian tetapi

dapat mengarahkan perhatian.

2) Sedikit lebih sulit untuk konsentrasi, belajar menuntut upaya lebih.

3) Memandang pengalaman ini dengan masa lalu.

4) Dapat gagal untuk mengenali sesuatu apa yang terjadi pada situasi,

akan mengalami beberapa kesulitan dalam beradaptasi dan

menganalisa.

5) Perubahan suara atau ketinggian suara.

6) Peningkatan frekuensi pernafasan dari jantung.

7) Tremor, gemetar

c. Kecemasan Berat

Kecemasan berat sangat mengurangi lahan persepsi. Individu

cenderung memikirkan pada hal-hal yang kecil saja dan mengabaikan

hal-hal yang lain. Individu tidak mampu berpikiran berat lagi dan

membutuhkan banyak pengarahan. Hal-hal dibawah ini sering

dijumpai pada seseorang dengan kecemasan berat, yaitu :

1) Persepsi sangat berkurang/berfokus pada hal-hal detail, tidak

dapat berkonsentrasi lebih bahkan ketika diinstruksikan untuk

melakukannya.

2) Belajar sangat terganggu, sangat mudah mengalihkan perhatian,

tidak mampu untuk memahami situasi saat ini.

3) Memandang pengalaman saat ini dengan arti masa lalu, hampir

tidak mampu untuk memahami situasi ini.

4) Berfungsi secara buruk, komunikasi sulit dipahami.

Page 11: Jtptunimus Gdl Laodejufri 6481 3 Babii

16

5) Hiperventilasi, takhikardi, sakit kepala, pusing, mual.

d. Tingkat panik

Pada tingkat ini persepsi terganggu individu, sangat kacau, hilang

kontrol, tidak dapat berpikir secara sistematis dan tidak dapat

melakukan apa-apa walaupun telah diberi pengarahan. Tingkat ini

tidak sejalan dengan kehidupan, dan jika berlangsung terus dalam

waktu yang lama, dapat terjadi kelelahan yang sangat bahkan

kematian. Seseorang dengan panik akan dapat dijumpai adanya :

1) Persepsi yang menyimpang, fokus pada hal yang tidak jelas.

2) Belajar tidak dapat terjadi.

3) Tidak mampu untuk mengikuti, dapat berfokus hanya pada hal saat

ini, tidak mampu melihat atau memahami situasi, hilang

kemampuan mengingat.

4) Tidak mampu berpikir, biasanya aktifitas motorik meningkat atau

respon yang tidak dapat diperkirakan bahkan pada stimuli minor,

komunikasi yang tidak dapat dipahami.

5) Muntah, perasaan mau pingsan.

4. Rentang Respon Kecemasan

Rentang respon kecemasan dapat dikonseptualisaikan dalam

rentang respon. Respon ini dapat digambarkan dalam rentang respon

adaptif sampai maladative. Reaksi terhadap kecemasan dapat bersifat

konstruktif dan deskruktif. Konstruktif adalah motivasi seseorang untuk

belajar memahami terhadap perubahan-perubahan terutama tentang

perubahan terhadap perasan tidak nyaman dan befokus pada kelangsungan

hidup. Sedangkan reaksi deskruktif adalah reaksi yang dapat

menimbulkan tingkah laku maladaptive serta difungsi yang menyangkut

kecemasan berat atau panik Stuart dan Sundeen, 1998). Rentang respon

kecemasan dapat dilihat pada gambar 2.1.

Page 12: Jtptunimus Gdl Laodejufri 6481 3 Babii

17

Gambar 2.1 Rentang Respon Kecemasan

Sumber : Stuart, G.W dan Sundeen, S. J. (1998).

5. Respon terhadap kecemasan

Menurut Stuart dan Sundeen (1998) respon terhadap kecemasan meliputi :

a) Respon fisiologis

1) Sistem kardiovaskuler

Palpitasi, meningkatkan tekanan darah, rasa mau pingsan, pusing-

pusing, tekanan darah menurun, nadi menurun.

2) Sistem respiratory

Nadi cepat dan pendek, rasa tertekan pada dada, perasaan tercekik,

terengah-engah, pembengkakan pada tenggorokan.

3) Sistem neuromuskuler

Reflek meningkat, insomnia, tremor, rigid, gelisah, muka tercekik,

ketakutan, reaksi kejutan, wajah tegang, gerakan lambat, kelemahan

secara umum.

4) Sistem gastrointestinal.

Rasa tidak nyaman pada abdomen, nafsu makan menurun, mual,

diare, rasa penuh di perut, rasa terbakar pada epigastrum.

5) Sistem urinary

Tekanan pada sistem, frekuensi buang air kecil (BAK) meningkat.

6) Sistem integumen

Wajah merah, rasa panas, dingin pada kulit, kering setempat /

telapak tangan, wajah pucat dan berkeringat seluruh tubuh.

Rentang Respon Kecemasan Respon adaptif Repon maladaptive Antisipasi Ringan Sedang Berat Panik

Page 13: Jtptunimus Gdl Laodejufri 6481 3 Babii

18

6. Faktor-faktor penyebab kecemasan

Banyak ahli memberikan pandangan tentang hal-hal yeng

mempengaruhi kecemasan. Iskandar (dalam Lestary, 2010)

menggambarkan bahwa factor yang mempengaruhi kecemasan terbagi

menjadi dua yaitu internal yang berangkat dari pandangan psikoanalisis

yang berpendapat bahwa sumber dari kecemasan itu bersifat internal dan

tidak disadari. Sementara menurut Atkinson (dalam Lestary, 2010)

menyebutkan bahwa kecemasan lebih ditimbulkan oleh factor eksternal

dari pada factor internal. Dalam kajian ini menurut Stuart dan Sundeen

(1998) menyatakan penyebab kecemasan dibagi menjadi :

a. Faktor predisposisi, yaitu faktor-faktor pendorong timbulnya

kecemasan yang dibagi menjadi :

1) Dalam pandangan psikoanalitik kecemasan adalah konflik

emosional yang terjadi antara dua elemen kepribadian id dan

superego. Id mewakili dorongan insting dan impuls primitif

seseorang, sedangkan superego mencerminkan hati nurani

seseorang dan dikendalikan oleh norma-norma budaya, ego atau

aku berfungsi menengahi tuntutan dari dua elemen tersebut.

2) Menurut pandangan interpersonal kecemasan timbul dari perasaan

takut terhadap tidak adanya penerimaan dan penolakan

interpersonal. Kecemasan juga berhubungan dengan perkembangan

trauma, seperti perpisahan dan kehilangan yang menimbulkan

kelemahan spesifik.

3) Menurut pandangan perilaku kecemasan merupakan produk

frustasi yaitu segala sesuatu yang mengganggu kemampuan

seseorang untuk mencapai tujuan yang diinginkan.

4) Kajian keluarga menunjukkan bahwa gangguan kecemasan

merupakan hal yang biasa ditemui dalam suatu keluarga.

5) Kajian biologis menunjukkan bahwa otak mengandung reseptor

khusus untuk benzodiazepines. Reseptor ini mungkin membantu

mengatur kecemasan.

Page 14: Jtptunimus Gdl Laodejufri 6481 3 Babii

19

b. Faktor Presipitasi

Faktor Presipitasi merupakan faktor pencetus timbulnya

kecemasan yang dikelompokkan menjadi 2 kategori yaitu :

1) Ancaman terhadap integritas fisik meliputi ketidakmampuan

fisiologis yang akan datang / menurunnya kapasitas untuk

melaksanakan aktifitas sehari – hari.

2) Ancaman terhadap sistem diri seseorang dapat membahayakan

identitas, harga diri dan fungsi sosial yang terintegritas dalam diri

seseorang.

7. Teori Predisposisi Kecemasan

Menurut Freud (dalam Siswati (2000) terjadinya kecemasan pada

individu dapat diterangkan melalui teori-teori :

a. Teori psikomotorik

Menurut teori ini. Freud, menyatakan kecemasan terbagi

dalam 4 kategori yaitu : superego anxiety, castration anxiety,

separation anxiety dan id or impulse anxiety.

Selanjutnya oleh Freud dikatakan pula kecemasan adalah hasil

konflik yang tidak disadari antara impuls id (terutama impuls agresif

dan seksual) yang melawan ego atau superego. Banyak impuls id

memberikan ancaman pada individu karena berlawanan dengan nilai-

nilai yang dianut oleh individu atau nilai-nilai moral dalam

masyarakat.

b. Teori Kognitif.

Pandangan teori kognitif menyatakan bahwa kecemasan dapat

terjadi karena adanya penyimpanan cara berfikir (distorsi kognitif)

pada seseorang. Individu akan mengalami gangguan atau

penyimpanan dalam menafsirkan situasi-situasi yang dihadapinya,

sehingga kecemasan ini lebih dipengaruhi oleh proses berfikir individu

bukan oleh situasinya.

Page 15: Jtptunimus Gdl Laodejufri 6481 3 Babii

20

c. Teori Belajar

Kecemasan menurut pandangan teori belajar terjadi bukan

terpusat pada konflik interval tetapi cara-cara ketika kecemasan

dihubungkan dengan situasi-situasi tertentu melalui proses belajar.

Para pengikut pandangan tradisional ini dari teori belajar menganggap

bahwa kecemasan berkembang melalui belajar berasosiasi. Sehingga

stimulus yang ada awalnya netral menjadi sesuatu yang mencemaskan

karena cenderung terkondisi yang didasarkan pada hubungan dengan

stimulus yang tidak menyenangkan atau aversive stimulus.

d. Teori kepribadian

Kecemasan merupakan dimensi dasar kepribadian dan

kecemasan dapat dilihat sebagai campuran antara intraversi dan

neurotisme. Adapun stressor pencetus kecemasan dikelompokkan

menjadi 2 kategori yaitu :

1) Ancaman terhadap integritas fisik meliputi ketidakmampuan

fisiologis yang akan datang atau menurunnya kapasitas untuk

melaksanakan aktifitas sehari-hari.

2) Ancaman terhadap system diri seseorang dapat membahayakan

identitas, harga diri dan fungsi social yang terintegritas dalam diri

seseorang

8. Cara pengukuran kecemasan

Alat ukur tingkat kecemasan telah dikembangkan oleh beberapa

peneliti sebelumnya diantaranya adalah kecemasan berdasarkan HARS,

Demikian halnya dengan penelitian ini, karena kecemasan berdasarkan

HARS telah terbukti dan banyak digunakan sebagai referensi untuk

penelitian-penelitian yang berkaitan dengan kecemasan maka dalam

penelitian ini untuk mengukur kecemasan ibu terhadap sindrom

klimakterium juga menggunakan standar HARS yang berisi tentang

perasaan cemas, ketegangan, ketakutan, gangguan tidur, gangguan

kecerdasan, perasaan depresi, gejala somatic, Gejala kardiovaskuler, gejala

Page 16: Jtptunimus Gdl Laodejufri 6481 3 Babii

21

resperatori, gejala gastrointestinal, gejala urogenital, gejala autonom,

tingkah laku (Hidayat, 2007).

Gejala kecemasan berdasarkan HARS diukur berdasarkan skala

yang bergerak 0 hingga 4. Skor 0 berarti tidak ada gejala atau keluhan,

skor 1 berarti ringan (1 gejala dari pilihan yang ada), sokr 2 berarti sedang

(separuh dari gejala yang ada), skor berat (lebih dari separuh yang ada)

dan skor 4 berarti Sangat Berat (semua gejala ada).

C. Nyeri

1. Pengertian

Menurut Asosiasi Nyeri Internasional disebutkan nyeri adalah

suatau pengalaman sensorik dan emosional yang tidak menyenangkan

yang berhubungan dengan adanya kerusakan jaringan baik secara actual

maupun potensial, atau menggambarkan keadaan kerusakan (Sudoyo,

2006).

Nyeri merupakan suatu pengalaman psikis yang normalnya

berhubungan dengan kerusakan terhadap jaringan pada tubuh. Dapat

didefinisikan sebagai sensasi ketidakenakan, penderitaan atau kesakitan,

yang lebih kurang terlokalisir, yang dihasilkan dari stimulasi akhir-akhiran

saraf yang khusus, dianggap sebagai mekanisme protektif sepanjang ia

menyebabkan penderita memindahkan atau menarik dirinya dari sumber

nyeri ( Soenarto, 1990).

Nyeri didefinisikan sebagai suatu keadaan yang mempengaruhi

seseorang dan ekstensinya diketahui bila seseorang pernah mengalaminya

(Tamsuri, 2007).

2. Fisiologi

Reseptor nyeri adalah organ tubuh yang berfungsi untuk menerima

rangsang nyeri. Organ tubuh yang berperan sebagai reseptor nyeri adalah

ujung syaraf bebas dalam kulit yang berespon hanya terhadap stimulus

Page 17: Jtptunimus Gdl Laodejufri 6481 3 Babii

22

kuat yang secara potensial merusak. Reseptor nyeri disebut juga

nosireceptor, secara anatomis reseptor nyeri (nosireceptor) ada yang

bermielien dan ada juga yang tidak bermielin dari syaraf perifer.

Berdasarkan letaknya, nosireseptor dapat dikelompokkan dalam

beberapa bagaian tubuh yaitu pada kulit (Kutaneus), somatik dalam (deep

somatic), dan pada daerah viseral, karena letaknya yang berbeda-beda

inilah, nyeri yang timbul juga memiliki sensasi yang berbeda.

Nosireceptor kutaneus berasal dari kulit dan sub kutan, nyeri yang

berasal dari daerah ini biasanya mudah untuk dialokasi dan didefinisikan.

Reseptor jaringan kulit (kutaneus) terbagi dalam dua komponen yaitu :

a. Reseptor A delta

Merupakan serabut komponen cepat (kecepatan tranmisi 6-30

m/det) yang memungkinkan timbulnya nyeri tajam yang akan cepat

hilang apabila penyebab nyeri dihilangkan.

b. Serabut C

Merupakan serabut komponen lambat (kecepatan tranmisi 0,5

m/det) yang terdapat pada daerah yang lebih dalam, nyeri biasanya

bersifat tumpul dan sulit dilokalisasi.

Struktur reseptor nyeri somatik dalam meliputi reseptor nyeri yang

terdapat pada tulang, pembuluh darah, syaraf, otot, dan jaringan

penyangga lainnya. Karena struktur reseptornya komplek, nyeri yang

timbul merupakan nyeri yang tumpul dan sulit dilokalisasi.

Reseptor nyeri jenis ketiga adalah reseptor viseral, reseptor ini

meliputi organ-organ viseral seperti jantung, hati, usus, ginjal dan

sebagainya. Nyeri yang timbul pada reseptor ini biasanya tidak sensitif

terhadap pemotongan organ, tetapi sangat sensitif terhadap penekanan,

iskemia dan inflamasi.

3. Proses nyeri

Mekanisme nyeri secara sederhana dimulai dari transduksi stimuli

akibat kerusakan jaringan dalam saraf sensorik menjadi aktivitas listrik

kemudian ditransmisikan melalui serabut saraf bermielin A delta dan saraf

Page 18: Jtptunimus Gdl Laodejufri 6481 3 Babii

23

tidak bermielin C ke kornu dorsalis medula spinalis, talamus, dan korteks

serebri. Impuls listrik tersebut dipersepsikan dan didiskriminasikan

sebagai kualitas dan kuantitas nyeri setelah mengalami modulasi

sepanjang saraf perifer dan disusun saraf pusat. Rangsangan yang dapat

membangkitkan nyeri dapat berupa rangsangan mekanik, suhu (panas atau

dingin) dan agen kimiawi yang dilepaskan karena trauma/inflamasi.

Fenomena nyeri timbul karena adanya kemampuan system saraf

untuk mengubah berbagai stimuli mekanik, kimia, termal, elektris menjadi

potensial aksi yang dijalarkan ke system saraf pusat

4. Klasifikasi

Menurut Tamsuri (2007), klasifikasi nyeri dibedakan menjadi 4 yaitu:

a. Klasifikasi nyeri berdasarkan awitan

Berdasarkan waktu kejadian, nyeri fapat dikelompokan sebagai

nyeri akut dan nyeri kronis.

1) Nyeri akut

Nyeri akut adalah nyeri yang terjadi dalam waktu daeri 1

detik sampai dengan kurang dari enam bulan. Umumnya terjadi

pada cefera, penyakit akut, atau pembedahan dengan awitan cepat.

Dapat hilang dengan sendirinya dengan atau tanpa tindakan

setelah kerusakan jaringan sermbuh.

2) Nyeri kronis

Nyeri kronis adalah nyeri yang terjadi dalam waktu lebih

dari enam bulan. Umumnya timbul tidak teratur, intermiten, atau

bahkan persisten. Nyeri kronis dapat mernyebabkan klien merasa

putus asa dan frustasi. Nyeri ini dapat menimbulkan kelelahan

mental dan disik.

b. Klasifikasi nyeri berdasarkan lokasi

Berdasarkan lokasi nyeri, nyeri dibedakan menjadi 6 yaitu :

1) Nyeri superfisial

Page 19: Jtptunimus Gdl Laodejufri 6481 3 Babii

24

Biasanya timbul akibat stimulasi terhadap kulit seperrti pada

laserasi, luka bakar, dan sebagainya. Mermiliki durasi pendek,

terlokalisir, dan memiliki sensasi yang tajam.

2) Nyeri somatik

Nyeri yang terjadi pada otot dan tulang serta struktur

penyokong, umumnya bersidat tumpul dan stimulasi dengan

adanya peregangan dan iskemia.

3) Nyeri viseral

Nyeri yang disebabkan kerusakan organ internal, durasinya

cukup lama, dan sensasi yang timbul biasanya tumpul.

4) Nyeri sebar (radiasi)

Nyeri sebar (radiasi) adalah sensasi nyeri yang meluas dari

daerah asal ke jaringan sekitar. Nyeri dapat bersidat intermiten

atau konstan.

5) Nyeri fantom

Nyeri fantom adfalah nyeri khusus yang dirasakan oleh klien

yang mrngalami amputasi.

6) Nyeri alih

Nyeri alih adalah nyeri yang timbul akibat adanya nyeri

viseral yang menjalar ke organ lain, sehingga dirasakan nyeri pada

brberapa tempat atau lokasi.

c. Klasifikasi nyeri berdasarkan organ

Berdasarkan tempat timbulnya, nyeri dapat dikelompokan

dalam:

1) Nyeri organik

Nyeri organik adalah nyeri yang diakibatkan adanya

kerusakan organ.

2) Nyeri neurogenik

Nyeri neurogenik adalah nyeri akibat gangguan neuron,

misalnya pada neurologi.

3) Nyeri psikogenik

Page 20: Jtptunimus Gdl Laodejufri 6481 3 Babii

25

Nyeri psikogenik adalah nyeri akibat berbagai faktor

psiokologis. Nyeri ini umumnya terjadi ketika efek-efek

psikogenik seperti cemas dan takut timbul pada klien.

5. Pengukuran Nyeri

Kesulitan dalam mengukur rasa nyeri disebabkan oleh subyerktivitas

yang tinggi dan tentunya memberikan perbedaan secara individual.

Pengukuran nyeri dapat merupakan pengukuran satu dimensional saja atau

pengukuran berdimensi ganda (Sudoyo, 2006)

Macam-macam pengukuran nyeri

a. Skala deskritif

Merupakan alat pengukuran tingkat keparahan nyeri yang lebih

obyektif. Skala pendeskripsi verbal (Verbal Descriptor Scale, VDS)

merupakan sebuah garis yang terdiri dari tiga sampai lima kata

pendeskripsi yang tersusun dengan jarak yang sama di sepanjang

garis. Pendeskripsi ini diranking dari “tidak terasa nyeri” sampai

“nyeri yang tidak tertahankan”. Perawat menunjukkan klien skala

tersebut dan meminta klien untuk memilih intensitas nyeri trbaru yang

ia rasakan. Perawat juga menanyakan seberapa jauh nyeri terasa paling

menyakitkan dan seberapa jauh nyeri terasa paling tidak menyakitkan.

Alat VDS ini memungkinkan klien memilih sebuah kategori untuk

mendeskripsikan nyeri. Skala penilaian numerik (Numerical rating

scales, NRS) lebih digunakan sebagai pengganti alat pendeskripsi

kata. Dalam hal ini, klien menilai nyeri dengan menggunakan skala 0-

10. Skala paling efektif digunakan saat mengkaji intensitas nyeri

sebelum dan setelah intervensi terapeutik. Apabila digunakan skala

untuk menilai nyeri, maka direkomendasikan patokan 10 cm.

b. Skala analog visual (Visual analog scale, VAS)

Suatu garis lurus, yang mewakili intensitas nyeri yang terus

menerus dan pendeskripsi verbal pada setiap ujungnya. Skala ini

memberi klien kebebasan penuh untuk mengidentifikasi keparahan

nyeri. VAS dapat merupakan pengukuran keparahan nyeri yang lebih

Page 21: Jtptunimus Gdl Laodejufri 6481 3 Babii

26

sensitif karena klien dapat mengidentifikasi setiap titik pada rangkaian

dari pada dipaksa memilih satu kata atau satu angka.

c. Skala numerik

Numerical rating scale merupakan pengukuran nyeri dimana

klien untuk memberikan angka 1 sampai 10. Nol diartikan sebagai

tidak ada nyeri, sedangkan angka 10 diatrikan sebagai rasa nyeri hebat

dan tidak tertahankan.

6. Faktor yang mempengaruhi respon nyeri

Faktor yang mempengaruhi nyeri menurut Prihardjo (1996) antara lain :

1. Faktor internal

a. Usia

Anak belum bisa mengungkapkan nyeri, sehingga perawat

harus mengkaji respon nyeri pada anak. Pada orang dewasa

kadang melaporkan nyeri jika sudah patologis dan mengalami

kerusakan fungsi. Pada lansia cenderung memendam nyeri yang

dialami, karena mereka menganggap nyeri adalah hal alamiah

yang harus dijalani dan mereka takut kalau mengalami penyakit

berat atau meninggal jika nyeri diperiksakan.

b. Jenis kelamin

Gill (1990) mengungkapkan laki-laki dan wanita tidak

berbeda secara signifikan dalam merespon nyeri, justru lebih

dipengaruhi faktor budaya (ex: tidak pantas kalo laki-laki

mengeluh nyeri, wanita boleh mengeluh nyeri).

c. Perhatian

Tingkat seorang klien memfokuskan perhatiannya pada nyeri

dapat mempengaruhi persepsi nyeri. Menurut Gill (1990),

perhatian yang meningkat dihubungkan dengan nyeri yang

meningkat, sedangkan upaya distraksi dihubungkan dengan respon

nyeri yang menurun. Tehnik relaksasi, guided imagery merupakan

tehnik untuk mengatasi nyeri.

Page 22: Jtptunimus Gdl Laodejufri 6481 3 Babii

27

d. Ansietas

Cemas meningkatkan persepsi terhadap nyeri dan nyeri bisa

menyebabkan seseorang cemas.

e. Pengalaman masa lalu

Seseorang yang pernah berhasil mengatasi nyeri dimasa

lampau, dan saat ini nyeri yang sama timbul, maka ia akan lebih

mudah mengatasi nyerinya. Mudah tidaknya seseorang mengatasi

nyeri tergantung pengalaman di masa lalu dalam mengatasi nyeri.

f. Pengetahuan

Nyeri dirasakan dan disadari otak, tetapi berlum tentu

penderita akan tergangggu misalnya karrna ia punya pengetahuan

tentang nyeri sehingga ia menerimanya secara wajar.

g. Kelelahan

Kelelahan dapat meningkatkan nyeri karena banyak orang

merasa lebih nyaman waktu istirahat.

2. Faktor eksternal

a. Pola koping

Pola koping adaptif akan mempermudah seseorang

mengatasi nyeri dan sebaliknya pola koping yang maladaptive

akan menyulitkan seseorang mengatasi nyeri

b. Support keluarga dan social

Individu yang mengalami nyeri seringkali bergantung

kepada anggota keluarga atau teman dekat untuk memperoleh

dukungan dan perlindungan.

c. Kultur

Orang belajar dari budayanya, bagaimana seharusnya

mereka berespon terhadap nyeri misalnya seperti suatu daerah

menganut kepercayaan bahwa nyeri adalah akibat yang harus

diterima karena mereka melakukan kesalahan, jadi mereka tidak

mengeluh jika ada nyeri.

Page 23: Jtptunimus Gdl Laodejufri 6481 3 Babii

28

d. Lingkungan

Nyeri dapat diperberat dengan adanya rangsanggan dari

lingkungan seperti kebisingan, cahaya yang sangat terang.

e. Pengobatan

Pengobatan analgesik yang diberikan sesuai dosis yang

mermakai akan mempercepat penurunan nyeri.

D. Hubungan nyeri dengan kecemasan pada lansia

Kecemasan merupakan rasa tidak nyaman sebagai suatu bentuk

manifestasi rasa ketakutan akan kehilangan sesuatu yang penting atau

terjadinya peristiwa buruk dan kondisi yang ada. Cemas yang dirasakan oleh

penderita rematik disebabkan karena adanya nyeri (Lasich, 2010).

Setiap manusia dapat mengalami nyeri yang merupakan sensasi tidak

enak. Nyeri merupakan tanda penting terhadap adanya gangguan fisiologis.

Banyak orang yang datang ke rumah sakit atau puskesmas dengan keluhan

nyeri yang biasanya disertai dengan rasa lainnya seperti rasa tertekan, panas

atau dingin (Lasich, 2010).

Rasa tidak nyaman dapat berupa rasa nyeri yang dirasakan oleh lanjut

usia sebagai salah satu bentuk penurunan fungsi tubuh akibat dari penuaan

seperti rematik, nyeri sendi dan sebagainya. Munculnya rasa nyeri secara

berulang ini menimbulkan rasa kekhawatiran pada diri lanjut usia jika ras

nyeri tersebut datang kembali. Lanjut usia yang memiliki penyakit nyeri

tentunya telah memahami saat mana rasa nyeri tersebut akan muncul yaitu

seperti saat udara atau cuaca dingin dan sebagainya, sehingga apabila pencetus

rasa nyeri tersebut ada maka muncul rasa cemas akibat dari kekhawatiran

datangnya nyeri tersebut.

Nyeri cenderung meningkat pada situasi kecemasan dan stress. Nyeri

juga dapat ditimbulkan oleh faktor emosi seperti ketakutan, kecemasan dan

pertentangan yang menyebabkan ketegangan, kejang otot dan lain-lain

(Lasich, 2010).

Page 24: Jtptunimus Gdl Laodejufri 6481 3 Babii

29

E. Kerangka teori

Gambar 2.1 : Kerangka Teori Sumber : (Priharjo, 1996); (Stuart et al, 1998); (Sudoyo, 2006) telah dimodifikasi

F. Kerangka konsep

Gambar 2.2 : Kerangka Konsep

Tingkat Kecemasan: - Ringan - Sedang - Berat

NyeriPenyakit rematik

Nyeri sendi Kecemasan

Stressor: - Predisposisi

Konflik Takut Frustasi Reseptor untuk

benzodiasepines - Presipitasi

Ancaman integritas fisik (penyakit)

Ancaman system diri

- Nyeri organik - Nyeri neurogenik - Nyeri psikogenik

Page 25: Jtptunimus Gdl Laodejufri 6481 3 Babii

30

G. Variabel

1. Variabel independent atau variabel bebas dalam penelitian ini adalah

kejadian nyeri sendi

2. Variabel dependent atau variabel terikat dalam penelitian ini adalah adalah

tingkat kecemasan.

H. Hipotesis

Berdasarkan dari kerangka kerja dapat dirumuskan : Ada hubungan

antara nyeri sendi pada dengan kecemasan pada lansia di Perumahan Kini

Jaya RW IV Kelurahan Kedungmundu Kecamatan Tembalang Semarang