Upload
hahahae
View
141
Download
1
Embed Size (px)
DESCRIPTION
rer
Citation preview
Imunologi Pada Mata Ocular immunology
IMUNOLOGI PADA MATA
I. PENDAHULUAN
Imunologi adalah cabang ilmu biomedis luas yang meliputi studi tentang
semua aspek sistem kekebalan pada semua organisme yang berkaitan dengan fungsi
fisiologis sistem kekebalan tubuh dalam keadaan sehat dan sakit, malfungsi dari sistem
kekebalan pada gangguan imunologi (penyakit autoimun, hipersensitivitas, defisiensi
imun, penolakan transplantasi), kimia, fisik dan fisiologis karakteristik komponen dari
sistem kekebalan tubuh in vitro, in situ, dan in vivo. 1
Imunitas adalah suatu resistensi terhadap penyakit, terutama penyakit infeksi.
Imunitas atau kekebalan adalah sebuah mekanisme biologis perlindungan tubuh yang
alami pada organisme terhadap pengaruh dari luar dengan cara mengidentifikasi dan
membunuh patogen serta sel tumor. Fungsi utama dari sistem imun adalah melindungi
organisme dari infeksi. Sistem ini dapat mendeteksi berbagai macam pengaruh biologis
dari luar seperti virus, parasit, dan bakteri kemudian menghancurkan dan
memusnahkan mereka dari sel dan jaringan yang sehat agar tetap dapat berfungsi
sebagaimana mestinya.2, 3
Sistem imun adalah Gabungan sel, molekul dan jaringan yang berperan dalam
resistensi terhadap infeksi. Reaksi yang dikoordinasi sel-sel, molekul-molekul terhadap
mikroba dan bahan lainnya disebut respon imun. Sistem imun diperlukan tubuh untuk
mempertahankan keutuhannya terhadap bahaya yang dapat ditimbulkan berbagai
bahan dalam lingkungan hidup. Peran utama dari sistem imun ialah untuk melindungi
sel pejamu (host) dari substansi asing yang berbahaya, mikroorganisme, toksin-toksin
serta sel-sel tumor. Mikroba dapat hidup ekstraseluler, melepas enzim dan
menggunakan makanan yang banyak mengandung gizi yang diperlukannya. Mikroba
lain menginfeksi sel pejamu dan berkembang biak intraseluler dengan menggunakan
sumber energi sel pejamu. Baik mikroba ekstraseluler maupun intraseluler dapat
menginfeksi subyek lain, menimbulkan penyakit dan kematian, tetapi banyak juga yang
tidak berbahaya bahkan berguna untuk pejamu. 4, 5, 6
Dalam menjalankan fungsinya, sistem imun ini didesain sedemikian mungkin,
agar dalam menghancurkan benda asing, sistem imun dapat mengenali sel pejamu
sehingga tidak merusaknya dan menghindari kerusakan yang lebih parah daripada sel
pejamu yang telah terinfeksi. Kerja dari sistem imun ini terhadap benda asing yang
berbahaya dengan cara antara lain menghancurkan, menelan ataupun menyerang sel
pejamu itu sendiri jika dikenali sebagai suatu benda asing (penyakit autoimun). Namun
ada keadaan dimana sistem imun menjadi tidak responsif yang ditandai oleh kegagalan
untuk membentuk antibodi atau mengembangkan respon seluler setelah terpajan
dengan suatu benda asing. Keadaan ini disebut toleransi imun. Toleransi imun ini
merupakan imunosupresi dan hanya terhadap satu antigen tertentu dan tidak disertai
oleh gangguan terhadap respon antigen yang lain. Penyakit autoimun disebabkan oleh
hilangnya self-toleransi tubuh. Toleransi tidak diinginkan terhadap suatu infeksi,
namun sangat diperlukan pada transplantasi. 4, 6
Pada sari pustaka ini, akan dipaparkan secara singkat mengenai sistem imun
yang terjadi pada mata, dimana sebagai pengantarnya akan dipaparkan mengenai
dasar-dasar dari sistem imunologi.
II. DASAR-DASAR IMUNOLOGI
A. ASAL DARI SEL-SEL SISTEM IMUN
Semua komponen padat dari darah, termasuk sel-sel yang menjadi penyusun
sistem imun pada manusia, berasal dari hematopoetik stem sel pluripoten dari sumsum
tulang. Dengan bantuan dari mediator-mediator terlarut seperti sitokin dan adanya
kontak sinyal dengan sel stroma, sel stem progenitor ini dapat berkembang menjadi
berbagai macam sel darah Sel-sel darah ini selanjutnya mempunyai kemampuan untuk
memperbaharui diri sendiri, membelah tanpa harus berdiferensiasi, dan menghasilkan
produksi sel hingga jumlah yang tak terbatas. Sebagai contoh, sumsum tulang
memproduksi sel darah merah sebanyak 1,75x1011 perhari, sel darah putih sebanyak
7x1010 perhari, dimana jumlah ini dapat dilipatgandakan hingga beberapa kali
tergantung kebutuhan dari tubuh. 6
Gambar 1. Perkembangan sel-sel darah 6
Pluripoten sel stem terdiri dari progenitor myeloid dan progenitor limfoid.
Progenitor myeloid dapat berdiferensiasi menjadi megakariosit, eritroblast, mieloblast,
monoblast dan sel dendrit. Megakariosit akan menjadi platelet, eritroblast akan menjadi
eritosit, mieloblast akan menjadi basofil, eosinofil dan neutrofil. Sel terpenting dalam
sistem imun adalah limfosit yang berasal dari progenitor limfoid. Limfosit terdiri dari
limfosit T yang berperan dalam respon imun seluler dan limfosit B yang berperan dalam
respon imun humoral. Selain itu juga terdapat sel pembunuh alamiah / natural killer
cells yang juga merupakan bagian dari sistem limfatik. Sel ini berhubungan erat dengan
limfosit T, namun asal dari sel ini masih diperdebatkan hingga saat ini. 6
Disaat sel stem ini berada pada jaringan-jaringan tubuh tertentu, ia dapat
merubah diri menjadi sel-sel khusus dari jaringan itu sendiri, seperti hepatosit, sel-sel
neuron, sel-sel otot, dan sel-sel endotel. Mekanisme yang mengatur hal tersebut sampai
saat ini belum begitu dapat dipastikan. Hal ini dikenal dengan sifat plastisitas dari sel
stem. Sel stem hematopoetik ini bersirkulasi dalam jumlah yang kecil pada daerah
perifer pembuluh darah. Secara morfologi ia tidak dapat dibedakan dengan sel limfosit
kecil. 6
B. RESPON IMUN
Pertahanan imun atau respon imun terdiri atas respon imun alamiah atau
nonspesifik (natural/innate/native) dan didapat atau spesifik (adaptive/acquired)
Pembagian ini dimaksudkan hanya untuk memudahkan pengertian karena diantara
kedua sistem tersebut terdapat kerjasama yang erat satu sama lain yang lain yang tidak
dapat dipisahkan.3, 4, 5, 6
Gambar 2. Pembagian sistem imun. 4
Pada sistem imun adaptif (spesific immunity) terdapat sistem dan struktur
fungsi yang lebih kompleks dan beragam. Sistem imun adaptif memberikan respon yang
lebih lambat namun memiliki ‘daya ingat’ yang tinggi terhadap paparan ulang patogen
yang sama. Apabila tubuh terpapar dengan patogen yang sama maka reaksi yang terjadi
akan muncul lebih cepat dari sebelumnya karena patogen yang sudah dikenali pada
paparan sebelumnya. Sistem imun adaptif terdiri atas sub-sistem seluler, yaitu sel
limfosit T (T helper dan T sitotoksik) dan sel mononuklear. Sub-sistem kedua yaitu sub-
sistem humoral yang terdiri dari kelompok protein globulin terlarut (fasa cair), yaitu
Immunoglobulin G, A, M, D, dan E. Immunoglobulin dihasilkan oleh sel limfosit B melalui
proses aktivasi khusus yang bergantung pada karakteristik antigen yang dihadapi. 3, 6, 7
Mekanisme imunitas nonspesifik (sawar mekanis, fagosit, sel NK dan sistem
komplemen) memberikan pertahanan terhadap infeksi. Imunitas spesifik (respons
limfosit) timbul lebih lambat. Perbedaan-perbedaan antara kedua sistem imun tersebut
dapat dilihat pada tabel berikut : 4, 5
Tabel 1. Perbedaan sifat-sifat sistem imun nonspesifik dan spesifik. 4
Diantara perbedaan-perbedaan yang disebutkan, terdapat dua persamaan dari
kedua sistem / respon imun ini. Yang pertama dalam hal aktivasi reseptor. Kedua
respon imun ini menggunakan reseptor yang berada pada sel-sel darah putih untuk
mengenali suatu stimulus serangan, namun tetap berbeda dalam hal pengenalan
reseptor. Yang kedua, dalam hal respon inflamasi. Kedua respon ini dapat memicu suatu
reaksi inflamasi, namun keduanya biasanya bekerja pada kadar subklinis, sehingga
respon individu tidak menyadarinya. 5
1. Sistem Imun Nonspesifik
Sistem imun non spesifik dikatakan demikian, karena tidak ditujukan terhadap
mikroba tertentu, terdapat sejak kita lahir dan merupakan pertahanan pertama tubuh
terhadap masuknya zat-zat asing yang mengancam tubuh kita. Mekanismenya tidak
menunjukkan spesifitas terhadap bahan asing dan mampu melindungi tubuh terhadap
banyak patogen potensial. Sistem ini merupakan pertahanan terdepan dalam
menghadapi serangan berbagai mikroba dan dapat memberikan respon langsung. 3, 4, 5, 6
Sistem imun inate terdapat pada air mata, air liur, keringat, bulu hidung, kulit,
selaput lendir, laktoferin dan asam neuraminik (pada air susu ibu), sampai asam
lambung. Sistem imun ini ditandai oleh respon yang cepat terhadap patogen namun
tidak dapat mengingat patogen yang sama pada paparan ulang. Elemen seluler dari
sistem imun inate mengekpresikan reseptor yang dapat mengenali dan
mengidentifikasi pathogen agar dapat dimusnahkan dengan cara fagositosis atau
sitolisis. Makrofag dan neutrofil diaktifkan secara cepat oleh molekul mikroorganisme
dan merupakan garis pertahanan pertama terhadap infeksi terutama dalam mengontrol
infeksi bakteri dan jamur.3, 6
Di dalam cairan tubuh seperti air mata atau darah terdapat komponen sistem
imun alamiah (innate/natural immunity) yang antara lain terdiri atas fasa cair
seperti IgA (immunoglobulin A), Interferon, Komplemen, Lisozim, atau juga CRP (C-
Reactive Protein). Selain itu juga terdapat fasa selular yang terdiri atas sel-sel pemangsa
(fagosit) seperti sel darah putih (PMN-Polimorfonuklear), sel-sel mononuklear (monosit
dan makrofag) sel pembunuh alamiah (natural killer), dan sel-sel dendritik. Sistim imun
inate berperan penting dalam aktifasi sistim imun adaptif.3
Sistem imun non spesifik dibagi menjadi dua macam sistem pertahanan, yaitu :
a) Pertahanan fisikokimia(Physicochemical Barrier) : seperti kulit, silia, selaput
lendir, batuk dan bersin merupakan pertahanan terdepan terhadap infeksi. Pertahanan
biokimia diperankan oleh asam keringat dari kelenjar sebasea dan folikel rambut,
berbagai asam lemak, lisozim dalam lapisan air mata. Mukus yang kental melindungi sel
epitel mukosa, dapat menangkap bakteri dan bahan lainnya. 3, 4, 5, 6
b) Pertahanan humoral : diperankan antara lain oleh komplemen, interferon (IFN),
CRP dan kolektin. 4, 7
1) Komplemen
Merupakan protein yang dapat teraktivasi langsung oleh bakteri ataupun
teraktivasi oleh antibodi. Komplemen dengan spektrum aktivitas yang luas diproduksi
dalam jumlah besar oleh hepatosit dan monosit. Beberapa fungsinya antara lain dapat
menghancurkan secara langsung membran sel bakteri, dapat berfungsi sebagai faktor
kemotaktik yang mengarahkan makrofag ke tempat adanya bakteri, dan komplemen
dapat diikat pada permukaan bakteri yang memudahkan makrofag untuk mengenali
bakteri tersebut dan memakannya (opsonisasi). Komplemen merupakan molekul larut
dari sistem imun nonspesifik dalam keadaan tidak aktif, yang dapat diaktifkan oleh
berbagai bahan seperti lipopolisakarida dari bakteri. Komplemen dapat juga berperan
dalam sistem imun spesifik yang setiap waktu dapat diaktifkan kompleks imun. Hasil
aktivasi tersebut menghasilkan berbagai mediator yang mempunyai sifat biologik aktif
dan beberapa diantaranya merupakan enzim untuk reaksi berikutnya. Aktivasi
komplemen merupakan usaha tubuh dalam proteksi, namun sering pula menimbulkan
kerusakan jaringan sehingga merugikan tubuh sendiri. Ada 9 komponen dasar
komplemen yaitu C1 sampai C9 yang bila diaktifkan, dipecah menjadi bagian-bagian
yang besar dan kecil. Aktivasi komplemen menghasilkan sejumlah molekul efektor
antara lain anafilatoksin, kemotaksin, adherens imun, opsonin dan Membrane Attack
Complex (MAC) yang mempunyai efek biologik. C3 merupakan komplemen kunci dalam
sistem komplemen. Sistem ini dapat diaktifkan melalui 3 jalur, yaitu jalur lektin, klasik
dan alternatif : 3, 4, 5, 7, 8
- Jalur lektin
Mannan Binding Lectin (MBL) adalah kolektin yang dapat diikat melalui bagian lektin
hidrat arang kuman. Setelah MBL diikat kuman, MBL segera mengaktifkan C3. 4
- Jalur klasik
aktivasi jalur ini dimulai dengan C1 yang dicetuskan oleh kompleks imun antibodi dan
antigen (IgM dan IgG). IgM yang memilki sebanyak lima fragmen crystallizable (Fc)
mudah diikat oleh C1. Meskipun C1 tidak memiliki sifat enzim, namun setelah berikatan
dengan Fc dapat mengaktifkan C2 dan C4 yang selanjutnya mengaktifkan C3. Jalur ini
melibatkan 9 komplemen protein utama yaitu C1-C9. Selama aktivasi, protein tersebut
diaktifkan secara berurutan. Produk yang dihasilkan menjadi katalisator dalam reaksi
berikutnya. Lipid A dari endotoksin, protease, kristal urat, polinukleotide, membran
virus tertentu & C-Reactive Protein (CRP) dapat mengaktifkan komplemen melalui jalur
klasik. 4
- Jalur alternatif
Jalur alternatif terjadi tanpa melalui tiga reaksi pertama (C1, C4 dan C2) yang terdapat
pada jalur klasik. Aktivasi jalur alternatif dimulai dengan C3 yang merupakan molekul
yang tidak stabil dan terus menerus ada dalam aktivasi spontan derajat rendah dan
klinis yang tak berarti. Bakteri, jamur, virus, parasit, zat kontras, agregat IgA, IgG dan
faktor nefritik dapat mengaktifkan komplemen melalui jalur ini. Aktivasi spontan C3 ini
terjadi pada permukaan sel kuman. 1 Dengan aktivasi C3, kaskade komplemen berlanjut
dengan cara yang mirip pada sistem klasik.3, 4, 5, 7, 8
Gambar 3. Jalur klasik&alternatif aktifasi komplemen 9
Secara ringkas fungsi sistem komplemen adalah sebagai berikut :
1. Opsonisasi : memudahkan makrofag mengenal bakteri dan “memakannya”
2. Lisis/sitotoksisik : destruksi sel-sel melalui kerusakan membran plasma sel
3. Kemotaksis (mengerahkan makrofag ke tempat bakteri)
Gambar 4. Fungsi Komplemen 4
2) Interferon
Interferon merupakan sitokin berupa glikoprotein yang diproduksi makrofag
yang diaktifkan, natural killer cell dan berbagai sel tubuh yang mengandung nukleus
yang dilepas untuk merespon infeksi virus. IFN mempunyai sifat antivirus dan dapat
menginduksi sel-sel sekitar sel yang terinfeksi virus menjadi resisten terhadap virus.
Interferon dibagi menjadi 2 tipe yaitu tipe I dan tipe II. Tipe I terdiri atas interferon alfa
yang disekresi makrofag dan lekosit lain dan interferon beta disekresi fibroblas.
Interferon tipe II adalah interferon gamma disekresi oleh sel T setelah dirangsang oleh
antigen spesifik. Protein fase akut merupakan protein plasma yang disintesis dan
dilepas oleh hati jika terjadi stimulus infeksi oleh sitokin-sitokin tertentu seperti
interleukin (IL), atau Tumor Necrotic Factor (TNF). Protein ini dapat meningkat sampai
1000 kali. Contoh dari protein fase akut ini yang utama yaitu C-Reactive Protein (CRP),
dan Mannan Binding Lectin (MBL). Protein fase akut yang lain yaitu 1-antitripsin,α
amiloid serum A, haptoglobulin dan fibrinogen. 3, 4, 5, 6
3) C-Reactive Protein (CRP)
CRP merupakan salah satu protein fase akut, termasuk golongan protein yang
kadarnya meningkat pada infeksi akut sebagai respon imunitas non spesifik. CRP
berperan dalam imunitas non spesifik yang dengan bantuan Ca ++ dapat mengikat
berbagai molekul yang ditemukan pada permukaan bakteri/jamur yang dapat
mengaktifkan sistem komplemen(jalur klasik). 5, 7, 8
4) Kolektin
Kolektin adalah protein yang berfungsi sebagai opsonin yang dapat mengikat
karbohidrat pada permukaan mikroba. Kompleks yang terbentuk diikat reseptor fagosit
untuk “dimakan”.5, 7, 8
c) Pertahanan selular :
1) Fagosit
Fagosit merupakan sel-sel darah putih yang berukuran besar yang bisa menelan
dan mencernakan bahan-bahan asing. Meskipun dibagi ke dalam dua tipe utama yaitu
neutrofil dan makrofag, keduanya membagi fungsi dan peran yang sama yaitu menelan
mikroba.6
a. Neutrofil.
Sel ini disebut juga sebagai leukosit polimorfonuklear (PMN), oleh karena
memilki karakteristik tersendiri yaitu nukleus multilobuler. Sel ini merupakan 70% dari
jumlah lekosit dalam sirkulasi. Sitoplasma neutrofil memiliki granul-granul azurofilik
primer (lisosom) yang mengandung hidrolase asam, mieloperoksidase dan
neutronidase (lizosim) sedang granul sekunder mengandung laktoferin dan lizosim.
Granul tersebut berperan dalam membunuh mikroba. Sel-sel ini bersirkulasi dalam
darah dan bergerak masuk ke dalam jaringan dimana mereka dibutuhkan.6, 10
b. Makrofag
Merupakan sel yang besar dan memiliki nukleus yang berbentuk tapal kuda.
Makrofag berasal dari sel-sel monosit yang bermigrasi ke jaringan yang kemudian
berdiferensiasi/matur dan seterusnya hidup dalam jaringan tersebut. Sel-sel makrofag
yang bertempat dan hidup di jaringan ini menyusun sistem fagositik mononuklear
dimana mereka berfungsi sebagai sel-sel efektor penting pada imunitas non spesifik.
Makrofag juga berperan sebagai sel penyaji antigen (Antigen Precenting Cell / APC)
dalam sistem imun spesifik. Sel Kupffer adalah makrofag dalam hati, histiosit dalam
jaringan ikat, makrofag alveolar di paru, sel glia di otak, dan sel Langerhans di kulit.6, 10
Gambar 5. Fagositosis oleh makrofag 7
2) Sel NK (natural Killer Cell)
Sel Natural Killer (sel NK) adalah golongan limfosit ketiga setelah sel T dan sel B,
dikenal juga sebagai “Large Granular Lymphocytes”. Sel NK berfungsi dalam imunitas
non spesifik terhadap virus dan sel tumor. Sel ini memiliki kemampuan untuk mengenal
perubahan permukaan sel-sel yang terinfeksi atau sel-sel neoplastik, berikatan dengan
sel-sel tersebut dan menyebabkan lisis. Destruksi dari sel-sel terinfeksi dicapai melalui
pelepasan perforins dan granyzymes dari granula-granulanya yang menginduksi
terjadinya apoptosis (programmed cell death). 6, 7
Gambar 6. Natural killer cell.7
3) Sel Mast dan Basofil
Secara morfologis, sel mast dan basofil sangat mirip dimana keduanya
mengandung granul-granul padat (elektron) dalam sitoplasmanya, bedanya sel mast
ditemukan hampir diseluruh pembuluh-pembuluh darah di jaringan ikat, mukosa dan
permukaan epithelial, sedangkan basofil bertempat dalam sirkulasi darah perifer. Sel
mast dan basofil memegang peranan penting dalam memperantarai reaksi
hipersensitivitas tipe I (immediate hypersensitivity). Kedua sel ini merupakan alat
dalam mengawali respon inflamasi akut. Degranulasi sel dicapai oleh ikatan antibody
IgE dan antigen yang menghasilkan pelepasan mediator proinflamasi yang terdiri dari
histamin dan berbagai sitokin. 7, 11
4) Sel Dendritik
Sel-sel dendritik terdiri dari sel-sel Langerhans dan sel-sel interdigitating dan
membentuk suatu jembatan yang penting antara imunitas non spesifik dan spesifik,
sebagai sel-sel yang menyajikan peptida antigenik ke sel-sel T helper (imunitas adaptif).
Oleh karenanya sel-sel ini dikenal sebagai sel penyaji antigen profesional (profesional
antigen presenting cells / APCs). Sel-sel Langerhans sangat mobile, bermigrasi dari kulit
ke kelenjar getah bening perifer dan terutama efektif menyajikan antigen ke sel-sel
CD4. 7, 9
Gambar 7. Sel dendritik 7
5) Eosinofil
Eosinofil merupakan granulosit yang memilki sifat dan kemampuan dalam
fagosit. Walaupun berdasarkan fakta bahwa mereka hanya menyusun 2-5% dari total
populasi leukosit, mereka merupakan alat perlawanan terhadap parasit-parasit yang
terlalu besar untuk difagositosis. Granul-granul eosinofil mengandung sejumlah
protein-protein dasar yang terdiri dari Major Basic Protein (MBP), Eosinofilik Cationic
Protein (ECP), dan Eosinofilik Peroxidase (EPO). Setiap protein dasar ini bersifat toksik
untuk parasit. 7, 8, 9
Gambar 8. Komponen sel-sel imun non spesifik 7
Secara berkesinambungan dalam jalinan koordinasi yang harmonis, sistem imun,
baik yang alamiah maupun adaptif, senantiasa bahu-membahu menjaga keselarasan
interaksi antara sistem tubuh manusia dan media hidupnya (ekosistem). 3, 4, 5
Gambar 9. Kerja secara umum dari respon imun spesifik dan nonspesifik 4
Gambar 10. Keuntungan dan kerugian dari respon imun4
2. Sistem Imun Spesifik
Disebut spesifik karena sistem tersebut hanya dapat menyingkirkan benda asing
yang sudah dikenal sebelumnya. Benda asing yang sama, bila terpajan ulang akan
dikenal lebih cepat, kemudian dihancurkan. Sistem imun spesifik ini dapat bekerja
tanpa bantuan sistem imun nonspesifik. Sel yang berperan adalah sel limfosit (limfosit B
dan T). Ada dua sistem imun spesifik tergantung lokasinya, yaitu humoral (dalam cairan
tubuh) dan seluler (dalam sel). 3, 4, 5, 6
a. Sistem imun spesifik humoral
Pemeran utama dalam sistem imun spesifik humoral adalah limfosit B atau sel B.
Sel B yang mengalami pematangan di sumsum tulang akan dilepas ke sirkulasi darah,
disebut sebagai sel B naif. Pada membran sel B terdapat antigen - binding reseptor. Bila
sel B dirangsang oleh benda asing, sel tersebut akan berproliferasi, berdiferensiasi dan
berkembang menjadi sel B memori dan sel efektor yang disebut sel plasma. Ini dikenal
sebagai respon primer. Sel B memori memiliki masa hidup yang lebih panjang dan
membentuk membran-bound antibodi dengan sifat yang sama dengan sel induk. Sel
plasma tidak membentuk membrane-bound antibodi, namun ia memproduksi antibodi
yang bisa disekresikan. Sel-sel memori akan tinggal lama dan berespon jika dire-
eksposure oleh antigen yang sama di waktu yang akan datang, yang disebut dengan
respons sekunder.4, 7
Gambar 11. Sel B matur berdiferensiasi menjadi sel plasma yang memproduksi antibodi7
b. Sistem imun spesifik seluler
Pemeran utama dalam sistem imun spesifik seluler adalah limfosit T atau sel T.
Tidak seperti sel B, diferensiasi dan proliferasi sel T terjadi di dalam kelenjar timus dan
mengalami pematangan di kelenjar tersebut. Hanya 5-10% sel T yang menjadi matang
dan meninggalkan timus untuk masuk dalam sirkulasi. Selama masa pematangan, sel T
mengekspresikan antigen-binding receptor pada membrannya yang disebut reseptor sel
T. Sel T hanya bisa mengenali antigen yang mengandung cell-membran protein, yang
dikenal sebagai molekul Major Histocompatibility Complex (MHC). Bila sel T bertemu
dengan antigen yang berikatan dengan molekul MHC, maka sel T akan berproliferasi
dan berdiferensiasi menjadi sel T memori dan macam-macam sel T efektor.4
Secara fungsional sel T dibagi menjadi sel T helper (Th) dan sel T Cytotoxic.
Dimana kedua sel ini menunjukkan perbedaan protein permukaan sel yaitu CD4 pada
sel T helper dan CD8 pada sel-sel sitotoksik. Sel T helper (inducer T-cells/limfosit CD4),
lebih lanjut dibagi lagi menjadi sel Th1 dan sel Th2, berdasarkan cytokine-producing
properties. Sel Th1 merupakan sel T pro infmatory dan untuk menstimulasi makrofag,
sehingga penting pada pertahanan melawan patogen-patogen intraseluler. Sel Th2
mengatur diferensiasi dan maturasi sel-sel B dan oleh karenanya terlibat dalam
produksi imunitas humoral (antibody mediated). Limfosit Th2 memiliki peranan penting
dalam proteksi melawan penyakit-penyakit parasitik. Sel T sitotoksik disebut juga
limfosit CD8. Sel ini terutama bertanggung jawab untuk sitolitik sel-sel yang terinfeksi
virus, sel-sel malignan dan juga untuk rejeksi jaringan atau organ cangkok (tissue
allograft).7, 8
Gambar 12. Peran sel T 4
ANTIBODI/IMUNOGLOBULIN
Molekul antibodi digolongkan dalam protein yang disebut globulin sehingga
disebut imunoglobulin. Dua cirinya yang penting ialah spesifitas dan aktivitas biologik.
Antibodi dibentuk oleh sel plasma yang berasal dari proliferasi sel B yang terjadi setelah
kontak dengan antigen. Antibodi terdistribusi secara luas dalam plasma dan cairan-
cairan sekretoris seperti air mata, air susu, dan sekresi mukosa. 4, 7, 8
Dalam sistem imun manusia terdapat lima tipe Antibodi, yaitu IgM, IgD, IgA, IgE,
dan IgG. IgG terbagi lagi menjadi 4 sub kelas yaitu IgG1 sampai IgG4 sedangkan IgA
memiliki 2 sub kelas yaitu IgA1 dan IgA2.2, 4, 7
Tabel 2. Isotipe dan karakteristik antibodi 7
Semua molekul imunoglobulin mempunyai 4 rantai polipeptida dasar yang
terdiri atas 2 rantai berat (heavy chain) dan 2 rantai ringan (light chain) yang identik.
Ada 2 jenis rantai ringan (kappa dan lambda) yang terdiri atas 230 asam amino serta 5
jenis rantai berat yang tergantung pada kelima jenis imunoglobulin, yaitu IgM, IgG, IgE,
IgA&IgD. Rantai berat terdiri atas 450-600 asam amino, hingga berat dan panjang rantai
berat tersebut adalah dua kali rantai ringan. Enzim papain memecah molekul antibodi
dalam fragmen. Dua fragmen tetap memiliki sifat antibodi yang dapat mengikat antigen
secara spesifik, bereaksi dengan epitop disebut Fragmen antigen binding (Fab).
Fragmen ketiga dapat dikristalkan dari larutan & disebut Fragmen crystallizable (Fc).4, 7
Gambar 13. Struktur antibodi 5
Gambar 14. Fungsi efektor antibodi 4
ANTIGEN
Antigen adalah bahan yang dapat merangsang respon imun atau bahan yang
dapat bereaksi dengan antibodi. Secara fungsional antigen dibagi menjadi imunogen
dan hapten. Imunogen adalah antigen yang pengikatannya melibatkan suatu respon
imun. Sedangkan hapten merupakan determinan antigen dengan berat molekul yang
kecil dan baru menjadi imunogen bila diikat oleh protein pembawa (carrier) yang besar.
Bahan kimia ukuran kecil seperti dinitrofenol dapat diikat antibodi, tetapi bahan
tersebut sendiri tidak dapat mengaktifkan sel B. Untuk memacu respon antibodi, bahan
kecil tersebut perlu diikat oleh molekul besar. Kompleks yang terdiri atas molekul kecil
(hapten) dan molekul besar (karier atau molekul pembawa) dapat berperan sebagai
imunogen. Contoh hapten ialah berbagai golongan antibiotik dan obat lainya dengan
berat molekul kecil. Hapten membentuk epitop pada molekul pembawa yang dikenal
sistem imun dan merangsang pembentukan antibodi.4
SITOKIN
Sitokin sering pula disebut interleukin yang berarti diantara sel darah putih
merupakan molekul-molekul kecil yang bekerja sebagai suatu sinyal antara sel-sel dan
memiliki berbagai peran antara lain kemotaksis, pertumbuhan seluler dan
sitotoksisitas. Sitokin terdiri dari lymphokines yang dihasilkan oleh sel B dan sel T, dan
monokines yang disekresi oleh monosit dan makrofag, serta mediator lainnya yang
disekresi oleh sel-sel lain. Sitokin ini merupakan “messenger” kimia. Dengan mengikat
reseptor spesifik pada sel target, sitokin merekrut banyak sel-sel lainnya ke lapangan
kerja (field of action).7
Tabel 3. Sitokin pada imunitas non spesifik 4
Tabel 4. Sitokin pada imunitas spesifik 4
Gambar 15. Mekanisme pertahanan tubuh terhadap infeksi 6
C. ORGAN SISTEM LIMFOID
Sel-sel sistem imun ditemukan dalam jaringan dan organ yang disebut sistem
limfoid. Sistem tersebut terdiri atas limfosit, sel epitel dan stroma yang tersusun dalam
organ dengan kapsul atau berupa kumpulan jaringan limfoid yang difus. Organ limfoid
yang berupa kumpulan nodul kecil yang mengandung banyak limfosit, merupakan
tempat awal terjadinya respon imun spesifik terhadap antigen protein yang dibawa
melalui sistem limfoid. Organ limfoid dapat dibagi dalam organ limfoid primer dan
sekunder. 3, 4, 6
Organ limfoid primer atau sentral diperlukan untuk pematangan, diferensiasi
dan proliferasi dari sel T dan B sehingga menjadi limfosit yang dapat mengenal antigen.
Karena itu organ tersebut berisikan limfosit dalam berbagai fase diferensiasi. Ada 2
organ limfoid priemer yaitu kelenjar timus dan Bursa Fabricius atau sejenisnya seperti
sumsum tulang. Organ limfoid sekunder yang paling utama adalah Mucosal Associated
Lymphoid Tissue (MALT). Organ ini terdapat di beberapa bagian tubuh seperti kulit,
bronkus, saluran cerna, konjungtiva, mukosa hidung, mammae dan serviks uterus.
Organ limfoid sekunder yang lainnya seperti kelenjar getah bening yang merupakan
rute tempat lewatnya APC dan sel dendritik untuk membawa mikroba yang
ditangkapnya pada jaringan, dan limpa yang merupakan tempat respon imun utama
terhadap antigen yang masuk melalui darah. Pada limpa ini terdapat dua zona yaitu
zona sel T (sentra germinal) dan zona sel B (zona folikel). Limpa ini merupakan tempat
utama fagosit memakan mikroba yang dilapisi antibodi oleh proses opsonisasi. Fungsi
fagositosis akan terganggu bila tidak ada limpa, dimana mikroba yang berkapsul hanya
akan dimakan oleh fagosit dilimpa setelah terjadi opsonisasi.3,4, 6
D. LINTAS ARUS LIMFATIK
Sistem limfatik adalah sistem saluran limfe yang meliputi seluruh tubuh yang
dapat mengalirkan isinya ke jaringan dan kembali sebagai transudat ke sirkulasi darah.
Dua saluran utama ialah duktus torasikus dan duktus limfatikus. APC dan sel dendritik
menggunakan lintas ini untuk membawa benda asing yang ditangkapnya untuk
kemudian dipresentasekan pada sel limfosit. Sel limfosit juga akan memakai jalur ini
untuk mengaktifkan sel-sel efektor lainnya. Setelah migrasi dari limfosit ini ke tempat
infeksi, limfosit ini akan kembali lagi ke tempat asalnya. 3, 4, 6
E. DETERMINAN
Berbagai faktor yang disebut determinan berpengaruh terhadap sistem imun
nonspesifik. Antara lain spesies, keturunan dan usia, hormon, suhu, faktor nutrisi atau
gizi dan flora bakteri normal. 4
III. SISTEM IMUN PADA MATA
Seperti halnya dengan respons imun yang terjadi di organ-organ lain, mata juga
memberikan respon imun baik humoral maupun seluler. Mata merupakan kelanjutan
susunan saraf pusat sedangkan konjungtiva merupakan kelanjutan dari jaringan ikat.
Mata merupakan bagian tubuh yang unik yang dapat memberikan petanda dari proses
imun aktif langsung. Mata memiliki mekanisme perlindungan yang bersifat non imun
dan imun secara alamiah.4, 5, 7, 8
A. PROTEKSI NON IMUN (BARIER ANATOMIK) :Mekanisme perlindungan yang bersifat non imun secara alamiah antara lain :
1. Palpebra, yang melindungi mata dari paparan dengan lingkungan luar. Palpebra
melindungi permukaan okuler terhadap organisme yang tersebar di udara, benda asing
dan trauma minor.
2. Bulu mata, mampu mendeteksi adanya benda asing dan segera memicu kedipan mata.
3. Air mata, mempunyai efek mengencerkan dan membilas. Memegang peranan dalam
menjaga integritas dari epitel konjungtiva dan kornea yang berfungsi sebagai barier
anatomi. Pembilasan yang terus menerus pada permukaan okuler mencegah
melekatnya mikroorganisme pada mata.5, 7
Gambar 16. Integrasi palpebra, silia, tear film dan permukaan okuler. 5
Integrasi antara palpebra, silia, air mata dan permukaan okuler merupakan
sebuah mekanisme proteksi awal terhadap benda asing. Epitel kornea adalah epitel
skuamosa non keratin yang terdiri hingga lima lapis sehingga akan menyulitkan
mikroorganisme untuk menembus lapisan-lapisan tersebut. Selain itu kornea juga
diinervasi oleh ujung serabut saraf tidak bermielin sehingga akan memberikan
peringatan awal yang sangat cepat bagi mata terhadap trauma dikarenakan oleh
sensitifitasnya.5, 7
B. PROTEKSI IMUN :1. SISTEM LAKRIMALIS
Proteksi imun untuk mucosal surface termasuk permukaan okuler adalah
Mucosa-Associated Lymphoid Tissue (MALT) . MALT terbentuk oleh adanya interkoneksi
dari daerah mukosa yang memberikan gambaran imunologis spesifik tertentu yaitu
terdapat banyak APC, struktur khusus untuk memproses antigen secara terlokalisir
(tonsil) dan sel efektor (sel T intraepitelial dan sel mast yang berlimpah). Salah satu
fungsi utama MALT adalah untuk menciptakan keseimbangan antara imunitas dan
toleransi untuk mencegah kerusakan jaringan mukosa. 5, 7, 9, 12
Gambar. 17. Fungsi utama sistem imun mukosal (mempertahankan keseimbangan proteksi imun melawan infeksi mikroba & antigen non pathogen permukaan mukosa.12
Gambar 18. EALT (CALT dan LDALT)12
Jaringan limfoid difus pada permukaan glandula lakrimal, duktus lakrimal,
konjungtiva (conjunctival associated lymphoid tissue atau CALT) dan berlanjut sampai
kanalikulus serta sistem drainase lakrimal (lacrimal drainade–associated lymphoid
tissue atau LDALT) secara keseluruhan disebut Eye-Associated Lymphoid Tissue (EALT).
EALT merupakan kumpulan sel-sel limfoid yang terletak pada epitel permukaan
mukosa. Sel-sel ini menghasilkan antigen dan mampu menginduksi terjadinya respon
imun seluler maupun humoral. Kelenjar lakrimalis merupakan penghasil IgA terbesar
bila dibandingkan dengan jaringan okuler lainnya.12,13
2. TEAR FILMAir mata mengandung berbagai mediator seperti histamin, triptase, leukotrin
dan prostaglandin yang berhubungan dengan alergi pada mata. Mediator-mediator itu
berasal dari sel mast. Semuanya dapat menimbulkan rasa gatal, kemerahan, air mata
dan mukus yang berhubungan dengan penyakit alergi akut dan kronis. Pengerahan
komponen seluler lokal melibatkan molekul adhesi seperti Intercelluler Adhesion
Molecule-1 (ICAM-1) di epitel konjungtiva yang meningkatkan adhesi leukosit ke epitel
dan endotel. Ekspresi molekul adhesi diatur oleh banyak komponen ekstraseluler dan
intraseluler seperti sitokin proinflamasi, matriks protein ekstraseluler dan infeksi virus. 5, 7
Gambar 19. Integrasi tear film, palpebra, silia dan permukaan okuler 12
Pada lapisan mukus yang diproduksi oleh sel goblet dan sel epitel konjungtiva,
glikocalyx yang disintesis epitel kornea membantu perlekatan lapisan mukus sehingga
berhubungan dengan imunoglobulin pada lapisan akuos. Pada lapisan akuos sendiri,
banyak mengandung faktor-faktor terlarut yang berperan sebagai antimikroba. Seperti
laktoferin, lisozim, dan -lisin. Laktoferin berfungsi utama dalam mengikat besi yangβ
dibutuhkan oleh pertumbuhan bakteri, sehingga bersifat bakteriostatik dan
bakterisidal. Lisozim efektif dalam menghancurkan dinding sel bakteri gram positif. -β
lisin memiliki kemampuan dalam merusak dinding sel mikroorganisme. Selain faktor
terlarut tersebut, lapisan akuos juga mengandung banyak IgA yang sangat efektif dalam
mengikat mikroba, lalu melakukan opsonisasi, inaktivasi enzim dan toksin dari bakteri,
serta berperan langsung sebagai efektor melalui Antigen Dependent Cell Cytotoxycity
(tanpa berinteraksi dengan komplemen).7, 8, 9
3. KONJUNGTIVA
Konjungtiva terdiri dari dua lapisan : lapisan epitel dan lapisan jaringan ikat
yang disebut substansia propria. Konjungtiva tervaskularisasi dengan baik dan memiliki
sistem drainase limfe yang baik ke limfonodi preaurikularis dan submandibularis.
Jaringan ini mengandung banyak sel Langerhans, sel dendritik dan makrofag yang
berperan sebagai Antigen Presenting Cell (APC) yang potensial. Folikel pada konjungtiva
yang membesar setelah infeksi ataupun inflamasi pada ocular surface menunjukkan
adanya kumpulan sel T, sel B dan APC. Folikel ini merupakan daerah untuk terjadinya
respon imun terlokalisir terhadap antigen oleh sel B dan sel T secara lokal di dalam
folikel.5, 7,13
Gambar 20. Distribusi sel imun pada konjungtiva.14
Proteksi imun untuk mucosal surface termasuk ocular adalah Mucosa-Associated
Lymphoid Tissue. MALT terbentuk oleh adanya interkoneksi dari daerah mukosa yang
memberikan gambaran imunologis spesifik tertentu yaitu banyak terdapat APC,
struktur khusus untuk memproses antigen secara terlokalisir (Peyer’s patches atau
tonsil) dan sel efektor (sel T intraepitelial dan sel mast yang berlimpah). Salah satu
fungsi utama MALT adalah untuk menciptakan keseimbangan antara imunitas dan
toleransi untuk mencegah kerusakan jaringan mukosa.5, 7, 9
Substansia propria kaya akan sel-sel imun dari bone marrow yang akan
membentuk sistem imun mukosa pada konjungtiva yang dikenal dengan Conjunctiva
Associated Limphoied Tissue (CALT) yang merupakan salah satu bagian dari MALT.
CALT merupakan sistem imunoregulasi yang utama bagi konjungtiva. Pada substansia
propria terdapat neutrofil, limfosit, IgA, IgG, sel dendrite dan sel mast. Eosinofil dan
basofil tidak ditemukan pada konjungtiva yang sehat. Konjungtiva mengandung banyak
sel mast. IgA merupakan antibodi yang paling banyak dalam lapisan air mata. IgA
menyerang bakteri dengan cara “membungkusnya” sehingga mencegah terjadinya
perlekatan antara bakteri dengan sel epitel. Molekul terlarut yang banyak adalah
komplemen. Respon imun yang terjadi pada konjungtiva sebagian besar merupakan
respon imun yang dimediasi oleh antibodi dan limfosit, namun juga terdapat respon
imun yang dimediasi oleh IgE terhadap sel mast pada reaksi alergi.5, 7, 9
4. SKLERA
Sklera sebagian besar terdiri atas jaringan ikat kolagen. Hal ini menyebabkan
sklera bersifat relatif lebih avaskuler dibandingkan dengan konjungtiva. Karenanya
pada sklera hanya terdapat sedikit sel imun jika dibandingkan dengan konjungtiva.
Dalam keadaan normal sklera hanya sedikit mengandung sel-sel limfosit, makrofag dan
neutrofil. Namun sebagai respon imun saat terjadi inflamasi pada sklera sel-sel imun
tersebut memasuki sklera melalui pembuluh darah episklera dan pembuluh darah
koroid Pada saat istirahat IgG ditemukan dalam jumlah yang cukup besar. 5, 7, 15
5. KORNEAKornea unik karena bagian perifer dan sentral jaringan menunjukkan lingkungan
mikro imunologis yang jelas berbeda. Hanya bagian limbus yang tervaskularisasi.
Limbus banyak mengandung sel Langerhans, namun bagian perifer, parasentral dan
sentral dari kornea dalam keadaan normal sama sekali tidak mengandung APC. Namun
demikian, berbagai stimulus dapat membuat sitokin tertentu (seperti IL-1) menarik
APC ke sentral kornea. Komplemen, IgM dan IgG ada dalam konsentrasi sedang di
daerah perifer, namun hanya terdapat IgG dengan level yang rendah pada daerah
sentral. 5, 7, 16
Sel kornea juga terlihat mensintesis berbagai protein imunoregulasi dan
antimikrobial. Sel efektor tidak ada atau hanya sedikit terdapat pada kornea normal,
namun PMN, monosit dan limfosit siap siaga bermigrasi melalui stroma jika stimulus
kemotaktik teraktivasi. Limfosit, monosit dan PMN dapat pula melekat pada permukaan
endotel selama inflamasi, memberikan gambaran keratik presipitat ataupun garis
Khodadoust pada rejeksi endotel implan kornea. Proses lokalisasi dari suatu respon
imun tidak terjadi pada kornea, tidak seperti halnya pada konjungtiva. 5, 7, 16
Kornea juga menunjukkan suatu keistimewaan imun (Immune Privilege) yang
berbeda dengan uvea. Keistimewaan imun dari kornea bersifat multifaktorial. Faktor
utama adalah struktur anatomi limbus yang normal, dan lebih khusus lagi kepada
keseimbangan dalam mempertahankan avaskularitas dan tidak adanya APC pada
daerah sentral kornea. Ditambah oleh tidak adanya pembuluh limfe pada daerah
sentral, menyebabkan lambatnya fase pengenalan pada daerah sentral. Meski demikian,
sel-sel efektor dan molekul-molekul lainnya dapat menginfiltrasi kornea yang avaskuler
melalui stroma. Faktor lain adalah adanya sistem imunoregulasi yang intak dari bilik
mata depan, dimana mengadakan kontak langsung dengan endotel kornea. 5, 7, 16
6. BILIK MATA DEPAN, UVEA ANTERIOR DAN VITREUS
Bilik mata depan merupakan rongga berisi cairan humor akuos yang bersirkulasi
menyediakan medium yang unik untuk komunikasi interseluler antara sitokin, sel imun
dan sel pejamu dari iris, badan siliar dan endotel kornea. Meskipun humor akuos relatif
tidak mengandung protein jika dibandingkan dengan serum (sekitar 0,1 – 1,0 % dari
total protein serum), namun humor akuos mengandung campuran kompleks dari
faktor-faktor biologis, seperti sitokin, neuropeptida, dan inhibitor komplemen yang
mampu mempengaruhi peristiwa imunologis dalam mata. Terdapat blood aquous
barrier yakni Tight junction antara epitel nonpigmen memberikan barier yang lebih
eksklusif yang dapat mencegah makromolekul interstisiel menembus secara langsung
melalui badan silier ke humor akuos. Meski demikian, sejumlah kecil makromolekul
plasma melintasi barier epitel nonpigmen ini dan dapat meresap dengan difusi ke
anterior melalui uvea memasuki bilik mata depan melalui permukaan iris anterior. 5, 7
Intraokuler tidak mengandung pembuluh limfe. Pengaliran sangat tergantung
pada saluran aliran humor akuos untuk membersihkan substansi terlarut dan pada
endositosis oleh sel endotelial trabekula meshwork atau makrofag untuk pembersihan
partikel-partikel.5, 7
Traktus uvea merupakan bagian yang penting dalam sudut pandang
imunologi.Uvea banyak mengandung komponen seluler dari sistem imun termasuk
makrofag, sel mast, limfosit dan sel plasma. Iris dan badan siliar mengandung banyak
makrofag dan sel dendritik yang berperan sebagai APC ataupun sebagai sel efektor.
Proses imun tidak mungkin terjadi secara terlokalisasi, namun APC meninggalkan mata
melalui trabekula meshwork bergerak ke lien tempat terjadinya proses imun seluler,
berupa aktivasi sel T supresor CD8+. Konsentrasi IgG, komplemen dan kalikrein sangat
rendah didapat pada bilik mata depan yang normal.5, 7
Gambar 21. Proses imunologi pada BMD dan iris 14
Uvea anterior memiliki sistem imunoregulasi yang telah digambarkan sebagai
immune privilege (keistimewaan imun). Konsep modern mengenai immune privilege
ini mengacu pada pengamatan bahwa implan tumor atau allograft dengan tidak
diharapkan dapat bertahan lebih baik dalam regio ini, sedangkan implan atau graft yang
sama mengalami penolakan lebih cepat pada daerah tanpa keistimewaan imun. Daerah
immune privilege lain yaitu ruang subretina, otak dan testis. Meskipun sifat dasar dari
antigen yang terlibat mungkin penting, immune privilege dari uvea anterior telah
diamati dengan banyak antigen, meliputi antigen transplantasi, tumor, hapten, protein
terlarut, autoantigen, bakteri dan virus.5, 7
Immune privilege dimediasi oleh pengaruh fase aferen dan efektor dari lintasan
respon imun. Imunisasi dengan menggunakan segmen anterior sebagai fase aferen dari
respon imun primer berakibat dihasilkannya efektor imunologis yang unik. Imunisasi
seperti dengan protein lensa atau autoantigen lain melalui bilik mata depan tidak
menyebabkan terjadinya pola imunitas sistemik yang sama seperti yang ditimbulkan
oleh imunisasi pada kulit. Imunisasi oleh injeksi bilik mata depan pada hewan coba
menyebabkan terjadinya perubahan bentuk imunitas sistemik terhadap antigen yang
disebut Anterior Chamber-Associated Immune Deviation (ACAID).5, 7, 13
Pada vitreus tidak ditemukan kekhususan tertentu. Gel vitreus dapat mengikat
protein dan berfungsi sebagai depot antigen. Gel vitreus secara elektrostatik dapat
mengikat substansi protein bermuatan dan mungkin kemudian berperan sebagai depot
antigen dan substrat untuk adhesi sel leukosit. Karena vitreus mengandung kolagen tipe
II, ia dapat berperan sebagai depot autoantigen potensial pada beberapa bentuk uveitis
terkait arthritis.5, 7, 12
7. RETINA DAN KOROID
Sirkulasi retina menunjukkan adanya blood retinal barrier pada tight junction
antara sel endotel pembuluh darah. Pembuluh darah koriokapiler sangat permeabel
terhadap makromolekul, memungkinkan terjadinya transudasi sebagian besar
makromolekul plasma ke ruang ekstravaskular dari koroid dan koriokapiler. Tight
junction antar sel RPE menyediakan barier fisiologis antara koroid dan retina.
Pembuluh limfe tidak didapatkan pada retina dan koroid, namun APC ditemukan dalam
konsentrasi yang tinggi. Mikroglia (derifat monosit) pada retina memiliki peran dalam
menerima stimulus antigenik, dapat mengadakan perubahan fisik dan bermigrasi
sebagai respon terhadap berbagai stimuli.5, 7, 12
RPE dapat diinduksi untuk mengekspresikan molekul MHC kelas II, yang
menunjukkan bahwa RPE juga dapat berinteraksi dengan sel T. Namun pada keadaan
normal, segmen posterior tidak mengandung sel limfosit. Perisit yang berada pada
pembuluh darah retina dapat mensintesis berbagai sitokin yang berbeda (seperti TGF-
)yang dapat mengubah respon imun yang terjadi setelahnya. Proses imun yangβ
terlokaliser juga tidak terjadi pada segmen posterior ini.5, 7, 13
Gambar 22. Deviasi Imun Anterior(ACAID) & Posterior (POCAID)
IV. BAHASAN KHUSUS DALAM SISTEM IMUN PADA MATA
1. IMMUNE PRIVILEGE (KEISTIMEWAAN IMUNITAS)
Immune privilege menggambarkan beberapa organ tubuh yang memiliki
kemampuan toleransi pengenalan antigen tanpa menyebabkan terjadinya inflamasi
sebagai respon imun. Beberapa organ yang memiliki immune previlege adalah otak,
mata, uterus dan testis. Immune previlege dapat dikatakan sebagai evolusi dari adaptasi
tubuh untuk melindungi fungsi organ vital dari respon imun yang dapat menimbulkan
kerusakan. Inflamasi pada otak atau mata dapat menyebabkan hilangnya fungsi organ
tersebut.10, 17
Keberadaan immune previlege pada mata diketahui pada akhir abad 19 oleh
Medawar. Mata merupakan struktur dengan keistimewaan imunitas, terlindungi dari
sistem imun oleh berbagai mekanisme. Perlu ditekankan bahwa keistimewaan imunitas
bukan berarti ketidakmampuan host memicu respon imun, namun merupakan
kemampuan menghindarkan diri dari konsekuensi berat yang terjadi akibat adanya
proses inflamasi. Pada tahap dimana terjadi gangguan dari mekanisme ini, akan
menyebabkan inflamasi yang lebih berat yang bias mengancam penglihatan. Baik dari
faktor infeksi maupun mekanisme imun, sangat berpengaruh dalam memicu kelemahan
mekanisme keistimewaan imunitas mata.5, 7, 10
Faktor-faktor yang mempengaruhi keistimewaan imunitas pada mata:
1. Adanya Blood Ocular Barrier
2. Tidak terdapatnya drainase limfatik pada mata
3. Adanya faktor-faktor imunomodulator pada humor akuous
4. Adanya ligand imunomodulator pada permukaan sel-sel parenkim okular
5. Adanya kemampuan toleransi imun pada bilik mata depan dan bilik mata belakang
(Anterior Chamber Associated Immune Deviation / ACAID). 5, 7, 10, 17
2. INFLAMASI
Inflamasi didefinisikan sebagai reaksi lokal jaringan terhadap cidera. Reaksi
dapat menimbulkan reaksi berantai dan rumit yang berdampak terjadinya vasodilatasi,
kebocoran vaskulatur mikro dengan eksudasi cairan dan protein serta infiltrasi lokal
sel-sel inflamasi. Sel fagosit diperlukan untuk menyingkirkan bahan-bahan asing dan
mati di jaringan yang cidera. Mediator inflamasi yang dilepas fagosit seperti enzim,
radikal bebas anion superoksid dan oksida nitrit berperan untuk menghancurkan
makromolekul dalam cairan eksudat. Namun respon inflamasi merupakan resiko yang
harus diperhatikan pejamu. Bila terjadi rangsangan yang menyimpang dan menetap
atau bahkan ditingkatkan. Reaksi dapat berlanjut yang menimbulkan kerusakan
jaringan pejamu dan penyakit.4, 5, 7
Pada inflamasi akut terjadi reaksi yang cepat terhadap benda asing, dapat
beberapa jam sampai hari. Gejala inflamasi dini ditandai dengan lepasnya berbagai
mediator sel mast seperti histamin dan bradikinin, yang diikuti oleh aktivasi
komplemen dan sistem koagulasi. Sel endotel dan sel inflamasi akan melepas mediator
yang menimbulkan efek sistemik seperti panas. Netrofil yang dikerahkan ke lokasi
cidera akan melepas produk toksik. Bila penyebab inflamasi tidak dapat disingkirkan
atau terjadi pajanan berulang-ulang dengan antigen, akan terjadi inflamasi kronik yang
dapat merusak jaringan dan kehilangan fungsi sama sekali.4,5, 7
Gambar 23. Aktifitas PMN pada inflamasi akut. 10
Bila inflamasi terkontrol, neutrofil tidak lagi dikerahkan dan berdegenerasi.
Selanjutnya dikerahkan sel mononuklear seperti monosit, makrofag, limfosit dan sel
plasma yang memberikan gambaran inflamasi kronik. Dalam inflamasi kronik ini,
monosit-makrofag memiliki 2 peran yaitu memakan dan mencerna mikroba, debris
seluler dan neutrofil yang berdegenerasi serta modulasi respon imun dan fungsi sel T
melalui presentasi antigen dan sekresi sitokin. Monosit-makrofag juga mempunyai
fungsi dalam penyembuhan luka dan memperbaiki parenkim dan fungsi sel inflamasi
melalui sekresi sitokin. 4, 5, 7
Inflamasi yang terjadi pada praktek sehari-hari biasanya berfungsi secara
fisiologis pada level subklinis tanpa manifestasi yang jelas. Misalnya, pada sebagian
besar individu, paparan alergen permukaan okular yang terjadi tiap hari pada semua
manusia atau kontaminasi bakteri selama operasi katarak yang terjadi pada sebagian
besar mata biasanya di”bersih”kan oleh mekanisme respon imun bawaan atau adaptif
tanpa inflamasi yang jelas. 4, 5, 7
3. REAKSI HIPERSENSITIVITAS
Respon imun, baik nonspesifik maupun spesifik pada umumnya berfungsi
protektif, namun respon imun juga dapat menimbulkan akibat buruk.Hal ini disebut
dengan penyakit hipersensitivitas. Komponen-komponen sistem imun yang bekerja
pada proteksi adalah sama dengan yang menimbulkan reaksi hipersensitivitas.
Hipersensitivitas yaitu reaksi imun yang patologik, terjadi akibat respon imun yang
berlebihan sehingga menimbulkan kerusakan jaringan tubuh. 7
Reaksi hipersensitivitas secara umum dibagi menurut mekanismenya oleh
Robert Coombs dan Philip HH Gell pada tahun 1963. Lalu klasifikasi ini ditambahkan
menjadi 5 Tipe. 4, 6, 7
Hipersensitivitas Tipe I : Alergi
Hipersensitivitas tipe I terdiri atas tiga fase. Yang pertama, alergen menyebabkan
produksi IgE pada paparan pertama yang disebut fase sensitasi. IgE kemudian kontak
dengan sel mast dan basofil. Fase kedua terjadi pada paparan kedua oleh antigen yang
sama, dimana akan diproduksi lebih banyak IgE dan terjadi degranulasi sel mast
sehingga menghasilkan mediator inflamasi seperti histamin, prostaglandin dan
bradikin.4, 5, 6, 7, 18
Gambar 24. Reaksi Hipersensitifitas tipe I 19
Fase ketiga adalah terjadinya reaksi sebagai efek dari mediator-mediator yang
dilepas oleh sel mast dengan aktivitas farmakologik. Manifestasi okuler adalah
konjungtivitis alergi, konjungtivitis papil raksasa, keratokonjungtivitis atopik dan
keratokonjungtivitis vernal.4, 5, 6, 7, 18
Hipersensitivitas Tipe II : Sitotoksik
Tipe ini melibatkan antibodi IgG dan IgM, yang dapat menyebabkan lisis seluler
akibat dari adanya dan teraktivasinya sel inflamasi yang berinteraksi dengan
komplemen. Antibodi akan mengaktifkan sel yang memiliki reseptor Fc -R, dimanaγ
salah satunya adalah sel NK. Sel NK akan menyebabkan lisisnya sel yang terpapar
antigen melalui Antibody Dependent Cell Cytotoxicity (ADCC) (tanpa interaksi dengan
komplemen). Manifestasi okuler : Ulkus Mooren dan Sikatriks Pemfigoid, Dermatitis
Herpetiformis.4, 5, 6, 7, 18
Gambar 25. Reaksi Hipersensitifitas tipe II 19 Hipersensitivitas Tipe III : Kompleks Antigen-Antibodi
Hipersensitivitas tipe III terjadi akibat penimbunan kompleks antigen-antibodi.
Normalnya, kompleks imun akan disingkirkan oleh fagosit, namun bila terdapat
kompleks imun yang persisten akan mengaktifkan komplemen sehingga sel inflamasi
memasuki deposit kompleks imun. 4, 5, 6, 7
Gambar 26. Reaksi Hipersensitifitas tipe III 19
Karena pembuluh darah lebih mudah untuk menjadi tempat deposit kompleks
imun, maka badan siliar merupakan bagian yang mudah mengalami reaksi tipe ini.
Manifestasi okuler : Uveitis, Sindroma Behcet dan Sindroma Sjögren.4, 5, 6, 7
Hipersensitivitas Tipe IV : Tipe Lambat
Terjadinya reaksi hipersensitivitas tipe ini diawali oleh adanya peptida antigen
yang dipresentasikan oleh APC ke sel T. Sel T ini akan bermigrasi ke jalan masuk
antigen dan melepaskan mediator inflamasi seperti TNF. Reaksi ini terdiri dari 2 tipe
yaitu Delayed Type Hypersensitivity (DTH) dan T Cell Mediated Cytolisis (TMC). Pada
DTH, sel CD4+ Th 1 melepas sitokin IFN- yang mengaktifkan makrofag yang berperanγ
sebagai sel efektor. Pada DTH terdapat 2 fase yaitu fase sensitasi (pengenalan) dan fase
peningkatan respon imun. Pada TMC, sel CD8+ yang langsung membunuh sel sasaran
(efektor). Manifestasi okuler : Simpatetik oftalmia, Uveitis idiopatik, alergi okuler, reaksi
penolakan transplantasi kornea 4, 5, 6, 7, 18
Gambar 27. Reaksi Hipersensitifitas tipe IV 19
Hipersensitivitas Tipe V : Stimulasi
Merupakan kategori yang baru dimana autoantibodi terikat pada reseptor
hormon yang menyerupai hormon itu sendiri. Hal ini mengakibatkan stimulasi terhadap
sel target. Contoh reaksi ini adalah pada tirotoksikosis.7
Tabel 6. Perbedaan masing-masing reaksi hipersensitivitas 6
Tabel 7. Perbedaan masing-masing reaksi sensitivitas 6
4. AUTOIMUNITAS
Autoimunitas adalah respon imun terhadap antigen jaringan sendiri yang
disebabkan kegagalan mekanisme normal yang berperan untuk mempertahankan self-
tolerance sel B, sel T atau keduanya. Potensi untuk autoimunitas ditemukan pada semua
individu oleh karena limfosit dapat mengekspresikan reseptor spesifik untuk banyak
self-antigen. Autoimunitas terjadi karena self-antigen yang dapat menimbulkan aktivasi,
proliferasi serta diferensiasi sel T autoreaktif menjadi sel efektor yang menimbulkan
kerusakan jaringan dan berbagai organ. Baik antibodi maupun sel T atau keduanya
dapat berperan dalam patogenesis penyakit autoimun. 3, 4, 5, 6
Penyakit autoimun merupakan akibat dari rusaknya mekanisme imunoregulator.
Penyebabnya merupakan multifaktorial. Dapat dipengaruhi oleh umur, jenis kelamin,
infeksi dan genetik. Salah satu faktor yang menarik dalam imunologi adalah hubungan
antara Human Leucocyte Antigen (HLA) dan penyakit autoimun. 3, 4, 5, 6
HLA adalah MHC pada manusia yang merupakan regio genetik luas yang
menyandi molekul MHC-I, MHC-II dan protein lain. Molekul MHC diekspresikan pada
semua permukaan sel dengan nukleus sedang MHC-II diekspresikan terutama pada
permukaan sel khusus seperti APC, sel dendritik, makrofag, sel B, sel endotel dan sel
epitel timus. 3
Molekul MHC-I dan MHC-II berperan pada pengenalan imun, yaitu pada
presentasi fragmen antigen kepada sel T. Molekul MHC-I terdiri atas HLA-A, HLA-B dan
HLA-C. Jika protein mikroba telah masuk kedalam kompartemen intraseluler, maka
protein tersebut akan diikat oleh molekul MHC-I yang selanjutnya akan diekspresikan
pada permukaan sel untuk dipresentasikan kepada sel T CD8+ / Cytotoxic T Lymphocyte
(CTL). Namun sel darah merah tidak mengekspresikan molekul MHC-I, sehingga
memudahkan bagi Plasmodium hidup didalamnya tanpa intervensi sistem imun.
Molekul MHC-II terdiri atas HLA-D (DP, DQ dan DR). Molekul MHC-II mengikat molekul
protein mikroba yang sudah diproses oleh sel APC menjadi kompleks yang kemudian
diangkut ke permukaan sel sehingga dapat dikenal oleh sel T CD4+. 3
Tabel 8. Hubungan HLA dengan manifestasi okuler 3, 4, 5, 6, 7
IV. PENUTUP
Sistem imun adalah gabungan sel, molekul dan jaringan tubuh yang berperan
dalam resistensi terhadap infeksi. Sistem imun diperlukan tubuh untuk
mempertahankan keutuhannya terhadap bahaya yang dapat ditimbulkan berbagai
bahan dalam lingkungan hidup. Peran utama dari sistem imun ialah untuk melindungi
sel pejamu (host) dari substansi asing yang berbahaya, mikroorganisme, toksin-toksin
serta sel-sel tumor.
Kelainan pada mata berupa reaksi inflamasi hasil dari respon imunitas bawaan
ataupun adaptif dapat menyerang bagian mata mulai dari permukaan bola mata hingga
seluruh bagian mata. Konsekuensi dari suatu reaksi inflamasi pada mata yakni dapat
mengancam penglihatan, sehingga imunitas pada mata merupakan hal yang penting.
Pada sistem imun pada mata yang kompleks, dapat terjadi reaksi imun yang
serupa dengan sistem imun tubuh secara keseluruhan, dengan memberikan pertahanan
terhadap mikroorganisme. Mata memiliki keistimewaan imun(immune privilege) yang
mampu menekan terjadinya reaksi imun. Keistimewaan imunitas ini bukanlah
ketidakmampuan host memicu respon imun, namun merupakan kemampuan
menghindar dari konsekuensi berat yang timbul akibat terjadinya inflamasi. Reaksi
imun patologis dapat berupa reaksi hipersensitivitas maupun reaksi autoimun