95
BAB I RESPONS IMUN 1.1 PENGERTIAN Sistem imun merupakan sistem yang sangat komplek dengan berbagai peran ganda dalam usaha menjaga keseimbangan tubuh. Seperti halnya sistem indokrin, sistem imun yang bertugas mengatur keseimbangan, menggunakan komponennya yang beredar diseluruh tubuh, supaya dapat mencapai sasaran yang jauh dari pusat. Untuk melaksanakan fungsi imunitas, didalam tubuh terdapat suatu sistem yang disebut dengan sistem limforetikuler. Sistem ini merupakan jaringan atau kumpulan sel yang letaknya tersebar diseluruh tubuh, misalnya didalam sumsum tulang, kelenjar limfe, limfa, timus, sistem saluran napas, saluran cerna dan beberapa organ lainnya. Jaringan ini terdiri atas bermacam-macam sel yang dapat menunjukkan respons terhadap suatu rangsangan sesuai dengan sifat dan

Diktat Imunologi

Embed Size (px)

DESCRIPTION

IMUNOLOGI

Citation preview

Page 1: Diktat Imunologi

BAB I

RESPONS IMUN

1.1 PENGERTIAN

Sistem imun merupakan sistem yang sangat komplek dengan berbagai peran

ganda dalam usaha menjaga keseimbangan tubuh. Seperti halnya sistem indokrin, sistem

imun yang bertugas mengatur keseimbangan, menggunakan komponennya yang beredar

diseluruh tubuh, supaya dapat mencapai sasaran yang jauh dari pusat. Untuk

melaksanakan fungsi imunitas, didalam tubuh terdapat suatu sistem yang disebut dengan

sistem limforetikuler. Sistem ini merupakan jaringan atau kumpulan sel yang letaknya

tersebar diseluruh tubuh, misalnya didalam sumsum tulang, kelenjar limfe, limfa, timus,

sistem saluran napas, saluran cerna dan beberapa organ lainnya. Jaringan ini terdiri atas

bermacam-macam sel yang dapat menunjukkan respons terhadap suatu rangsangan sesuai

dengan sifat dan fungsinya masing-masing (Roitt dkk., 1993; Subowo, 1993; Kresno,

1991).

Dengan kemajuan imunologi yang telah dicapai sekarang ini, maka konsep

imunitas dapat diartikan sebagai suatu mekanisme yang bersifat faali yang melengkapi

manusia dan binatang dengan suatu kemampuan untuk mengenal suatu zat sebagai asing

terhadap dirinya, yang selanjutnya tubuh akan mengadakan tindakan dalam bentuk

netralisasi, melenyapkan atau memasukkan dalam proses metabolisme yang dapat

menguntungkan dirinya atau menimbulkan kerusakan jaringan tubuh sendiri. Konsep

Page 2: Diktat Imunologi

imunitas tersebut, bahwa yang pertama-tama menentukan ada tidaknya tindakan oleh

tubuh (respons imun), adalah kemampuan sistem limforetikuler untuk mengenali bahan

itu asing atau tidak (Bellanti,1985: Marchalonis, 1980; Roitt,1993).

Rangsangan terhadap sel-sel tersebut terjadi apabila kedalam tubuh terpapar suatu

zat yang oleh sel atau jaringan tadi dianggap asing. Konfigurasi asing ini dinamakan

antigen atau imunogen dan proses serta fenomena yang menyertainya disebut dengan

respons imun yang menghasilkan suatu zat yang disebut dengan antibodi. Jadi antigen

atau imunogen merupakan potensi dari zat-zat yang dapat menginduksi respons imun

tubuh yang dapat diamati baik secara seluler ataupun humoral. Dalam keadaan tertentu

(patologik), sistem imun tidak dapat membedakan zat asing (non-self) dari zat yang

berasal dari tubuhnya sendiri (self), sehingga sel-sel dalam sistem imun membentuk zat

anti terhadap jaringan tubuhnya sendiri. Kejadian ini disebut dengan Autoantibodi

(Abbas dkk., 1991; Roit dkk., 1993).

Bila sistem imun terpapar oleh zat yang dianggap asing, maka akan terjadi dua

jenis respons imun, yaitu respons imun non spesifik dan respons imun spesifik. Walaupun

kedua respons imun ini prosesnya berbeda, namun telah dibuktikan bahwa kedua jenis

respons imun diatas saling meningkatkan efektivitasnya. Respons imun yang terjadi

sebenarnya merupakan interaksi antara satu komponen dengan komponen lain yang

terdapat didalam system imun. Interaksi tersebut berlangsung bersama-sama sedemikian

rupa sehingga menghasilkan suatu aktivitas biologic yang seirama dan serasi (Grange,

1982; Goodman, 1991; Roit dkk., 1993).

Page 3: Diktat Imunologi

1. 2 Respons Imun Nonspesifik

Umumnya merupakan imunitas bawaan (innate immunity), dalam artian bahwa

respons terhadap zat asing dapat terjadi walaupun tubuh sebelumnya tidak pernah

terpapar oleh zat tersebut. Sebagai contoh dapat dijelaskan sebagai berikut : salah satu

upaya tubuh untuk mempertahankan diri terhadap masuknya antigen misalnya, bakteri,

adalah dengan cara menghancurkan bakteri tersebut dengan cara nonspesifik melalui

proses fagositosis. Dalam hal ini makrofag, neutrofil dan monosit memegang peranan

yang sangat penting. Supaya dapat terjadi fagositosis, sel-sel fagositosis tersebut harus

berada dalam jarak yang dekat dengan partikel bakteri, atau lebih tepat lagi bahwa

partikel tersebut harus melekat pada permukaan fagosit. Untuk mencapai hal ini maka

fagosit harus bergerak menuju sasaran. Hal ini dapat terjadi karena dilepaskannya zat

atau mediator tertentu yang disebut dengan factor leukotaktik atau kemotaktik yang

berasal dari bakteri maupun yang dilepaskan oleh neutrofil, makrofag atau komplemen

yang telah berada dilokasi bakteri (Kresno, 1991; Roitt, 1993).

Selain factor kemotaktik yang berfungsi untuk menarik fagosit menuju antigen

sasaran, untuk proses fagositosis selanjutnya, bakteri perlu mengalami opsonisasi

terlebih dahulu. Ini berarti bahwa bakteri terlebih dahulu dilapisi oleh immunoglobulin

atau komplemen (C3b), supaya lebih mudah ditangkap oleh fagosit. Selanjutnya partikel

bakteri masuk kedalam sel dengan cara endositosis dan oleh proses pembentukan

fagosum, ia terperangkap dalam kantong fagosum, seolah-olah ditelan dan kemudian

dihancurkan baik dengan proses oksidasi-reduksi maupun oleh derajat keasaman yang

Page 4: Diktat Imunologi

ada dalam fagosit atau penghancuran oleh lisozim dan gangguan metabolisme bakteri

(Bellanti, 1985; Subowo, 1993).

Selain fagositosis diatas, manifestasi lain dari respons imun nonspesifik adalah

reaksi inflamasi. Reaksi ini terjadi akibat dilepaskannya mediator-mediator tertentu oleh

beberapa jenis sel, misalnya histamine yang dilepaskan oleh basofil dan mastosit,

Vasoactive amine yang dilepaskan oleh trombosit, serta anafilatoksin yang berasal dari

komponen – komponen komplemen, sebagai reaksi umpan balik dari mastosit dan

basofil. Mediator-mediator ini akan merangsang bergeraknya sel-sel polymorfonuklear

(PMN) menuju lokasi masuknya antigen serta meningkatkan permiabilitas dinding

vaskuler yang mengakibatkan eksudasi protein plasma dan cairan. Gejala inilah yang

disebut dengan respons inflamasi akut (Abbas, 1991; Stite; 1991; Kresno, 1991).

1.3 Respon Imun Spesifik

Merupakan respon imun yang didapat (acquired), yang timbul akibat dari

rangsangan antigen tertentu, sebagai akibat tubuh pernah terpapar sebelumnya. Respons

imun spesifik dimulai dengan adanya aktifitas makrofag atau antigen precenting cell

(APC) yang memproses antigen sedemikian rupa sehingga dapat menimbulkan interaksi

dengan sel-sel imun. Dengan rangsangan antigen yang telah diproses tadi, sel-sel system

imun berploriferasi dan berdiferensiasi sehingga menjadi sel yang memiliki kompetensi

imunologik dan mampu bereaksi dengan antigen (Bellanti, 1985; Roitt,1993; Kresno,

1991).

Walaupun antigen pada kontak pertama (respons primer) dapat dimusnahkan dan

kemudian sel-sel system imun mengadakan involusi, namun respons imun primer

Page 5: Diktat Imunologi

tersebut sempat mengakibatkan terbentuknya klon atau kelompok sel yang disebut

dengan memory cells yang dapat mengenali antigen bersangkutan. Apabila dikemudian

hari antigen yang sama masuk kedalam tubuh, maka klon tersebut akan berproliferasi dan

menimbulkan respons sekunder spesifik yang berlangsung lebih cepat dan lebih intensif

dibandingkan dengan respons imun primer. Mekanisme efektor dalam respons imun

spesifik dapat dibedakan menjadi :

a. Respons imun seluler

Telah banyak diketahui bahwa mikroorganisme yang hidup dan berkembang biak

secara intra seluler, antara lain didalam makrofag sehingga sulit untuk dijangkau oleh

antibody. Untuk melawan mikroorganisme intraseluler tersebut diperlukan respons

imun seluler, yang diperankan oleh limfosit T. Subpopulasi sel T yang disebut dengan

sel T penolong (T-helper) akan mengenali mikroorganisme atau antigen bersangkutan

melalui major histocompatibility complex (MHC) kelas II yang terdapat pada

permukaan sel makrofag. Sinyal ini menyulut limfosit untuk memproduksi berbagai

jenis limfokin, termasuk diantaranya interferon, yang dapat membantu makrofag

untuk menghancurkan mikroorganisme tersebut. Sub populasi limfosit T lain yang

disebut dengan sel T-sitotoksik (T-cytotoxic), juga berfungsi untuk menghancurkan

mikroorganisme intraseluler yang disajikan melalui MHC kelas I secara langsung

(cell to cell). Selain menghancurkan mikroorganisme secara langsung, sel T-

sitotoksik, juga menghasilkan gamma interferon yang mencegah penyebaran

mikroorganisme kedalam sel lainnya.

Page 6: Diktat Imunologi

b. Respons Imun Humoral

Respons imun humoral, diawali dengan deferensiasi limfosit B menjadi satu populasi

(klon) sel plasma yang melepaskan antibody spesifik ke dalam darah. Pada respons

imun humoral juga berlaku respons imun primer yang membentuk klon sel B

memory. Setiap klon limfosit diprogramkan untuk membentuk satu jenis antibody

spesifik terhadap antigen tertentu (Clonal slection). Antibodi ini akan berikatan

dengan antigen membentuk kompleks antigen – antibodi yang dapat mengaktivasi

komplemen dan mengakibatkan hancurnya antigen tersebut. Supaya limfosit B

berdiferensiasi dan membentuk antibody diperlukan bantuan limfosit T-penolong (T-

helper), yang atas sinyal-sinyal tertentu baik melalui MHC maupun sinyal yang

dilepaskan oleh makrofag, merangsang produksi antibody. Selain oleh sel T-

penolong, produksi antibody juga diatur oleh sel T penekan (T-supresor), sehingga

produksi antibody seimbang dan sesuai dengan yang dibutuhkan.

c. Interaksi Antara Respons Imun Seluler dengan Humoral

Interaksi ini disebut dengan antibody dependent cell mediated cytotoxicity (ADCC),

karena sitolisis baru terjadi bila dibantu oleh antibodi. Dalam hal ini antibodi berfunsi

melapisi antigen sasaran, sehingga sel natural killer (NK), yang mempunyai reseptor

terhadap fragmen Fc antibodi, dapat melekat erat pada sel atau antigen sasaran.

Perlekatan sel NK pada kompleks antigen antibody tersebut mengakibatkan sel NK

dapat menghancurkan sel sasaran.

Page 7: Diktat Imunologi

Respons imun spesifik (adaptif) dapat dibedakan dari respons imun bawaan,

karena adanya cirri-ciri umum yang dimilikinya yaitu; bersifat spesifik, heterogen dan

memiliki daya ingat atau memory. Adanya sifat spesifik akan membutuhkan berbagai

populasi sel atau zat yang dihasilkan (antibodi) yang berbeda satu sama lain, sehingga

menimbulkan sifat heterogenitas tadi. Kemampuan mengingat, akan menghasilkan

kualitas respons imun yang sama terhadap konfigurasi yang sama pada pemaparan

berikutnya.

1.4 Komponen Sistem Imun

Sistem imun dilengkapi dengan kemampuan untuk memberikan respons imun non

spesifik, misalnya fagositosis, maupun kemampuan untuk memberikan respons imun

spesifik yang dilakukan oleh sel-sel dan jaringan limfoid yang tergolong kedalam system

limforetikuler (Oppenheim dkk.,1987; Abbas dkk.,1991; Roit dkk.,1993). Sistem ini

terdiri atas sejumlah organ limfoid yaitu :

1. kelenjar timus

2. kelenjar limfe

3. limfa

4. tonsil

5. berbagai jenis sel serta jaringan diluar organ limfoid, seperti :

a. peyer,s patches yang terdapat pada dinding usus

b. jaringan limfoid yang membatasi saluran nafas dan saluran urogenital

c. jaringan limfoid dalam sumsum tulang dan dalam darah

Page 8: Diktat Imunologi

Sistem limforetikuler inilah yang merupakan system kendali dari semua mekanisme

respons imun. Disamping system limforetikuler diatas, masih ada unsur-unsur lain yang

berperan dalam mekanisme respons imun, dan factor-faktor humoral lain diluar antibody

yang berfungsi menunjang mekanisme tersebut.

1.5 Fungsi Respons Imun

Dalam pandangan modern, system imun mempunyai tiga fungsi utama yaitu:

pertahanan, homeostasis dan perondaan.

1. Pertahanan

Fungsi pertahanan menyangkut pertahanan terhadap antigen dari luar tubuh seperti

invasi mikroorganisme dan parasit kedalam tubuh. Ada dua kemungkinan yang

terjadi dari hasil perlawanan antara dua fihak yang berhadapan tersebut, yaitu tubuh

dapat bebas dari akibat yang merugikan atau sebaliknya, apabila fihak penyerang

yang lebih kuat (mendapat kemenangan), maka tubuh akan menderita sakit.

2. Homeostasis

Fungsi homeostasis, memenuhi persyaratan umum dari semua organisma multiseluler

yang menghendaki selalu terjadinya bentuk uniform dari setiap jenis sel tubuh. Dalam

usaha memperoleh keseimbangan tersebut, terjadilah proses degradasi dan

katabolisme yang bersifat normal agar unsure seluler yang telah rusak dapat

dibersihkan dari tubuh. Sebagai contoh misalnya dalam proses pembersihan eritrosit

dan leukosit yang telah habis masa hidupnya.

Page 9: Diktat Imunologi

3. Perondaan

Fungsi perondaan menyangkut perondaan diseluruh bagian tubuh terutama ditujukan

untuk memantau pengenalan terhadap sel-sel yang berubah menjadi abnormal melalui

proses mutasi. Perubahan sel tersebut dapat terjadi spontan atau dapat diinduksi oleh

zat-zat kimia tertentu, radiasi atau infeksi virus. Fungsi perondaan (surveillance) dari

sistem imun bertugas untuk selalu waspada dan mengenal adanya perubahab-

perubahan dan selanjutnya secara cepat membuang konfigurasi yang baru timbul pada

permukaan sel yang abnormal.

1.6 Penyimpangan Sistem Imun

Sebagaimana sistem-sistem yang lain dalam tubuh, sistem imun mungkin pula

dapat mengalami penyimpangan pada seluruh jaringan komunikasi baik berbentuk

morfologis ataupun gangguan fungsional. Gangguan morfologis, misalnya tidak

berkembangnya secara normal kelenjar timus sehingga mengakibatkan defisiensi pada

limfosit T. Sedangkan gangguan fungsional yang bermanifestasi sebagai toleransi

imunologik disebabkan karena lumpuhnya mekanisme respons imun terhadap suatu

antigen tertentu. Penyimpangan lain dalam mekanisme respons imun dapat berbentuk

sebagai reaksi alergi, anafilaksis ataupun hipersensitifitas tipe lambat, dimana semua ini

kadang-kadang menimbulkan kerugian pada jaringan tubuh. Keadaan ini disebabkan

karena gangguan fungsi pertahanan system imun (Kresno, 1991; Abbas dkk.,1991; Roitt

dkk.,1993).

Page 10: Diktat Imunologi

Gangguan fungsi homeostatik pada system imun dapat menimbulkan kelainan

yang dinamakan penyakit autoimun. Hal ini disebabkan oleh karena system imun melihat

konfigurasi dari tubuh sendiri (self), sebagai benda asing, akibatnya respons imun

ditujukan kepada jaringan tubuh sendiri sehingga dapat membawa kerugian.

Apabila fungsi ketiga yang bertugas sebagai surveillance mengalami gangguan,

akan mengakibatkan tidak bekerjanya system pemantauan terhadap perubahan-perubahan

pada sel tubuh, sehingga akhirnya sel-sel abnormal tersebut berkembang biak diluar

kendali yang menimbulkan penyakit yang bersifat pertumbuhan ganas.

1.7 Faktor Pengubah Mekanisme Imun

Selain faktor genetik, terdapat sejumlah factor yang dapat mempengaruhi

mekanisme imun seperti: faktor metabolik, lingkungan, gizi, anatomi, fisiologi, umur dan

mikroba (Bellanti, 1985; Subowo 1993; Roitt dkk.,1993).

Faktor Metabolik

Beberapa hormon dapat mempengaruhi respons imun tubuh, misalnya pada

keadaan hipoadrenal dan hipotiroidisme akan mengakibatkan menurunnya daya tahan

terhadap infeksi. Demikian juga pada orang-orang yang mendapat pengobatan dengan

sediaan steroid sangat mudah mendapat infeksi bakteri maupun virus. Steroid akan

menghambat fagositosis, produksi antibodi dan menghambat proses radang. Hormon

kelamin yang termasuk kedalam golongan hormone steroid, seperti androgen, estrogen

dan progesterone diduga sebagai faktor pengubah terhadap respons imun. Hal ini

Page 11: Diktat Imunologi

tercermin dari adanya perbedaan jumlah penderita antara laki-laki dan perempuan yang

mengidap penyakit imun tertentu.

Faktor lingkungan

Kenaikan angka kesakitan penyakit infeksi, sering terjadi pada masyarakat yang

taraf hidupnya kurang mampu. Kenaikan angka infeksi tersebut, mungkin disebabkan

oleh karena lebih banyak menghadapi bibit penyakit atau hilangnya daya tahan tubuh

yang disebabkan oleh jeleknya keadaan gizi.

Faktor Gizi

Keadaan gizi seseorang sangat berpengaruh terhadap status imun seseorang.

Tubuh membutuhkan enam komponen dasar bahan makanan yang dimanfaatkan untuk

pertumbuhan dan pemeliharaan kesehatan tubuh. Keenam komponen tersebut yaitu :

protein, karbohidrat, lemak, vitamin, mineral dan air. Gizi yang cukup dan sesuai sangat

penting untuk berfungsinya system imun secara normal. Kekurangan gizi merupakan

penyebab utama timbulnya imunodefisiensi.

Faktor Anatomi

Garis pertahanan pertama dalam menghadapi invasi mikroba biasanya terdapat

pada kulit dan selaput lender yang melapisi bagian permukaan dalam tubuh. Struktur

jaringan tersebut, bertindak sebagai imunitas alamiah dengan menyediakan suatu

rintangan fisik yang efektif. Dalam hal ini kulit lebih efektif dari pada selaput lender.

Page 12: Diktat Imunologi

Adanya kerusakan pada permukaan kulit, atau pada selaput lender, akan lebih

memudahkan timbulnya suatu penyakit.

Faktor Fisiologis

Getah lambung pada umumnya menyebabkan suatu lingkungan yang kurang

menguntungkan untuk sebagian besar bakteri pathogen. Demikian pula dengan air kemih

yang normal akan membilas saluran kemih sehingga menurunkan kemungkinan infeksi

oleh bakteri. Pada kulit juga dihasilkan zat-zat yang bersifat bakterisida. Didalam darah

terdapat sejumlah zat protektif yang bereaksi secara non spesifik. Faktor humoral lainnya

adalah properdin dan interferon yang selalu siap untuk menanggulangi masuknya zat-zat

asing.

Faktor Umur

Berhubung dengan perkembangan sistem imun sudah dimulai semasa dalam

kandungan, maka efektifitasnya juga diawali dari keadaan yang lemah dan meningkat

sesuai dengan bertambahnya umur. Walaupun demikian tidak berarti bahwa pada umur

lanjut, sistem imun akan bekerja secara maksimal. Malah sebaliknya fungsi sistem imun

pada usia lanjut akan mulai menurun dibandingkan dengan orang yang lebih muda,

walaupun tidak mengalami gangguan pada sistem imunnya. Hal tersebut, selain

disebabkan karena pengaruh kemunduran biologik, secara umum juga jelas berkaitan

dengan menyusutnya kelenjar timus. Keadaan tersebut akan mengakibatkan perubahan-

perubahan respons imun seluler dan humoral. Pada usia lanjut resiko akan timbulnya

Page 13: Diktat Imunologi

berbagai kelainan yang melibatkan sistem imun akan bertambah, misalnya resiko

menderita penyakit autoimun, penyakit keganasan, sehinggaakan mempermudah

terinfeksi oleh suatu penyakit.

Faktor Mikroba

Berkembangnya koloni mikroba yang tidak pathogen pada permukaan tubuh,baik

diluar maupun didalam tubuh, akan mempengaruhi sistem imun. Misalnya dibutuhkan

untuk membantu produksi natural antibody. Flora normal yang tumbuh pada tubuh dapat

pula membantu menghambat pertumbuhan kuman pathogen. Pengobatan dengan

antibiotika tanpa prosedur yang benar, dapat mematikan pertumbuhan flora normal, dan

sebaliknya dapat menyuburkan pertumbuhan bakteri pathogen.

Page 14: Diktat Imunologi

BAB II

KOMPONEN REAKSI IMUNOLOGIK

System imun dilengkapi dengan kemampuan untuk memberikan respons imun

nonspesifik, misalnya fagositosis, maupun kemampuan untuk memberikan respons imun

spesifik yang dilakukan oleh sel-sel dan jaringan limfoid yang tergolong kedalam system

limforetikuler. Disamping system imun diatas, masih terdapat unsur-unsur lain yang

berperan dalam mekanisme respons imun, misalnya antigen yang dapat menyulut

timbulnya respons imun serta factor-faktor humoral lain diluar antibody yang berfungsi

menunjang mekanisme tersebut (Bellanti, 1985; Subowo, 1993; Roitt dkk., 1993).

2. 1 ANTIGEN DAN IMUNOGEN

Antigen adalah suatu substansi atau potensi dari suatu zat yang mampu

merangsang timbulnya respons imun yang dapat dideteksi, baik berupa respons imun

seluler, maupun respons imun humoral atau respons imun kedua-duanya. Karena sifatnya

itu, maka antigen disebut juga imunogen. Imunogen yang paling poten umumnya

merupakan makromolekuler protein, polisakharida atau polimer sintetik yang lain seperti

polivinilpirolidon (PVP). Imunogenisitas atau kemampuan dari imunogen untuk

merangsang terbentuknya antibody bergantung dari antigennya sendiri, cara masuknya,

Page 15: Diktat Imunologi

individu yang menerima antigen tersebut, dan kepekaan dari metode yang digunakan

untuk mendeteksi respons imunnya (Bellanti, 1985; Abbas dkk.,1991; Kresno,1991).

Faktor-faktor yang mempengaruhi imunogenisitas dari suatu molekul atau substansi

sangat kompleks dan tidak dapat dipahami secara gamblang, akan tetapi beberapa kondisi

tertentu telah diketahui perannya dalam menimbulkan sifatnya imunogenisitas tersebut

seperti :

1. Keasingan

Sistem imun yang normal dapat membedakan antara diri (self) dan asing (non self),

maka untuk menjadi imunogenik substansi tersebut harus bersifat asing. Misalnya,

albumin yang dimurnikan dari serum kelinci kemudian disuntikkan kepada kelinci

lain yang sama galurnya, maka tidak akan menimbulkan respons imun, akan tetapi

apabila albumin tersebut disuntikkan kapada binatang lain atau kepada manusia,

maka akan menimbulkan respons imun yang nyata. Ini menunjukan albumin kelinci

dianggap asing oleh hewan yang lain.

2. Ukuran Molekul

Molekul substansi harus berukuran cukup besar, walaupun belum diketahui secara

pasti batas ukuran molekul yang menentukan imunogenitas. Molekul-molekul kecil

seperti asam amino atau monoskharida umumnya kurang atau tidak imunogenik.

Substansi yang mempunyai berat molekul kurang dari 10.000 bersifat imunogenik

lemah bahkan sama sekali tidak imunogenik. Sedangkan substansi yang memiliki

Page 16: Diktat Imunologi

berat molekul lebih dari 100.000 (umumnya makromolekul), merupakan imunogen

yang sangat poten.

3. Kerumitan struktur kimiawi

Susunan molekul harus kompleks. Semakin kompleks susunan molekulnya maka

semakin tinggi imunogenitas substansi bersangkutan. Azas ini dapat dilukiskan secara

jelas pada percobaan-percobaan dengan menggunakan polipeptida buatan. Suatu

molekul homopolimer yang terdiri atas unit-unit yang tersusun oleh satu jenis asam

amino, walaupun merupakan molekul berukuran besar, tapi bersifat sebagai

imunogen yang lemah. Misalnya; polialanin, polilisin dan yang lainnya. Sedangkan

molekul kopolimer yang tersusun atas dua atau tiga jenis asam amino merupakan

imunogen yang sangat potensial. Adanya gugus asam amino aromatik (tirosin) akan

memberikan sifat lebih imunogenik dari pada gugus non-aromatik. Hal ini dapat

dibuktikan dengan penambahan molekul tirosin pada gelatin, sehingga dapat

meningkatkan imunogenisitasnya. Untuk menentukan batas yang jelas struktur

molekul yang bagaimana yang imunogenik tidaklah mudah. Kita hanya dapat

menyatakan bahwa makin rumit atau makin kompleks struktur molekulnya maka

semakin imunogenik zat tersebut.

4. Konstutusi genetik

Kemampuan untuk mengadakan respons imun terhadap antigen bergantung terhadap

susunan genetic dari suatu individu. Telah diketahui bahwa polisakharida yang murni

akan bersifat imunogenik apabila disuntikkan pada mencit atau manusia, namun

imunogenitasnya akan hilang apabila disuntikkan pada marmot. Ketergantungan akan

Page 17: Diktat Imunologi

konstitusi genetic terlihat pada percobaan dengan menggunakan marmot yang

berbeda galurnya, yaitu apabila galur dua disuntik dengan polylisin akan

membangkitkan respons imun, akan tetapi jika disuntikkan pada galur 13 tidak

menimbulkan respons imun. Ternyata kemampuan untuk mengadakan respons imun

pada marmot galur dua diatur oleh gene yang memiliki otosom dan diwariskan secara

dominant.

5. Metode pemasukan antigen

Cara masuk antigen kedalam tubuh, akan menentukan respons imun yang

ditimbulkan. Ada kalanya sejumlah antigen yang dimasukkan secara intravena tidak

menimbulkan respons imun, dibandingkan dengan antigen sama yang dimasukkan

secara subkutan. Pada umumnya cara pemasukan antigen kedalam tubuh dapat

langsung melalui kulit, melalui pernapasan, melalui saluran pencernaan, atau

disuntikkan melalui subkutan, intraperitonial, intravenosa dan intramuskuler.

6. Dosis

Besarnya dosis, juga dapat menentukan respons imun. Apabila dosis minimal suatu

antigen telah dilampaui, maka makin tinggi dosisnya, respons imunnya akan

meningkat secara sebanding. Akan tetapi pada dosis tertentu akan terjadi sebaliknya

yaitu menurunnya respons imun atau bahkan dapat menghilangkan respons imun.

Keadaan ini disebut dengan toleransi imunogenik.

Page 18: Diktat Imunologi

Walaupun imunogen umumnya merupakan makromolekul, tetapi hanya bagian-bagian

tertentu saja dari molekulnya yang dapat berikatan dengan antigen binding site antibodi.

Daerah tersebut disamping menentukan spesifisitas reaksi antigen- antibody juga sebagai

penentu timbulnya respon imun. Daerah molekul itu disebut dengan determinan antigen

atau epitop. Jumlah epitop dari sebuah molekul antigen tergantung pada ukuran dan

kerumitan struktur molekulnya. Dengan menentukan jumlah spesifisitas antibody yang

bersenyawa dengan setiap molekul antigen, orang dapat mengira-ngira jumlah epitop dari

antigen yang bersangkutan. Dengan cara pendekatan ini, dapat diperkirakan bahwa

albumin telur yang berat molekulnya 42.000 memiliki lima epitop pada setiap

molekulnya, sedangkan thyroglobulin yang berat molekulnya 700.000, memiliki sekitar

40 buah epitop pada setiap molekulnya (Antezak dan Gorman 1989; Abbas, 1991;

Subowo, 1993).

2.2 Jenis Imunogen

a. Protein

Protein merupakan sebuah antigen atau imunogen, apabila disuntikkan kepada

spesies yang bukan merupakan sumber protein tersebut. Apabila imunogen

tersebut merupakan imunogen yang dihasilkan oleh hewan berdasarkan alele yang

dimiliki oleh spesies bersangkutan, maka antigen tersebut dinamakan alloantigen.

Beberapa contoh dari alloantigen adalah : antigen golongan darah yang terdapat

pada permukaan eritrosit, antigen system HLA yang terdapat pada permukaan

Page 19: Diktat Imunologi

leukosit, dan epitop yang terdapat pada molekul immunoglobulin disebut dengan

alotipe.

b. Polisakharida

Polisakharida dalam bentuk murni umumnya hanya dapat menimbulkan respons

imun pada spsies tertentu saja. Kelinci dan marmot yang mempunyai respons

imun sangat baik bila disuntik dengan protein, tidak akan menimbulkan respons

imun sama sekali apabila hewan tersebut disuntik dengan polisakharida murni.

Sebaliknya mencit dan manusia sangat baik responnya terhadap polisakharida,

sehingga sangat diperlukan dalam penelitian imunokimiawi. Antigen

polisakharida sederhana adalah dextran dan levan. Dextran merupakan polimer

yang hanya terdiri atas`glukosa, sedangkan levan tersusun dari fructose. Jenis lain

dari antigen polisakharida, yaitu yang terdapat sebagai kapsel pnemokokus yang

sangat penting sebagai bahan vaksin terhadap mikroorganisme tersebut.

Glikoprotein dan glikopeptida merupakan protein yang mengandung karbohidrat

yang dalam keadaan tertentu spesifisitasnya ditentukan oleh gugus

karbohidratnya. Contoh jenis ini adalah antigen golongan darah yang larut dan

antigen dari tumor (carcinoembryonic antigen = CEA)

c. polipeptida sintetik

Page 20: Diktat Imunologi

Bentuk dari polipeptida sintetik tergantung dari yang kita kehendaki. Ada

beberapa jenis polipeptida sintetik seperti :

1. Homopolimer, merupakan polimer yang hanya terdiri dari satu jenis asam

amino.

2. Kopolimer penggal, terdiri atas peptida pendek yang tersusun dari beberapa

asam amino yang dirangkai beberapa kali.

3. Kopolimer acak, terdiri dai asam amino yang dirangkaikan secara acak.

4. Kopolimer rantai ganda, tersusun dari rantai utama, dengan rantai cabang

yang terdiri dari tiga jenis polimer lainnya.

5. Polimer dengan rantai-rantai yang merupakan peptida yang berulang secara

periodik.

d. Asam Nukleat

Asam nukleat murni, sangat sukar menginduksi respons imun, kecuali dilakukan

denaturasi terlebih dahulu. Pada manusia, antibodi terhadap asam nukleat

terbentuk secara spontan, pada beberapa kejadian penyakit seperti pada Lupus

Erythematosus.

2.3 HAPTEN

Beberapa substansi dapat berikatan dengan antibodi spesifik, walaupun substansi

itu sendiri tidak mampu merangsang timbulnya respons imun. Substansi itu umumnya

merupakan molekul berukuran kecil yang disebut dengan hapten. Hapten berasal dari

kata yunani yang berarti mempererat. Beberapa contoh hapten : Sulfonat, Arsonat dan

Page 21: Diktat Imunologi

Carboxylate. Hapten baru akan bersifat imunogenik apabila ia berikatan dengan protein

carrier. Beberapa jenis hapten yang berasil disenyawakan dengan protein sebagai

pengemban sehingga dapat diperoleh antibodi terhadapnya antara lain : gugusan yang

berbentuk cincin aromatik, gugus gula, steroid, peptide, purin, pirimidin, nukleosid,

nukleotida dan obat-obatan seperti penisilin dan zat-zat fluoresens (Tizard 1987; Abbas,

1991; Roitt dkk., 1993).

Ciri terpenting dari suatu imunogen adalah kemampuan untuk menyulut respons imun

dengan bantuan dari limfosit T. berbagai penelitian telah membuktikan bahwa imunogen

sedikitnya harus memiliki dua determinan untuk merangsang pembentukan antibody, dan

sedikitnya satu determinan harus mampu merangsang limfosit T. selain itu ada indikasi

bahwa dalam beberapa hal, determinan antigen yang berbeda pada satu molekul protein

dapat menyulut respons subpopulasi limfosit T yang berlainan, misalnya salah satu

determinan mungkin menyulut respons limfosit T penolong, akan tetapi determinan yang

lain mungkin memicu respons limfosit T penekan (Bellanti, 1985; Subowo, 1993; Roitt

dkk., 1993).

2.4 CARA KERJA IMUNOGEN

Adakalanya suatu imunogen merangsang respons imun tanpa melibatkan limfosit

T tetapi langsung merangsang limfosit B. Imunogen-imunogen itu disebut dengan antigen

T-independent. Antigen semacam ini mungkin terdiri atas beberapa unit, yang masing-

masing mempunyai susunan molekul yang sama. Misalnya ; polisakharida pada

pneumokokus, beberapa jenis polimer protein dan PVP. Respons imun yang ditimbulkan

Page 22: Diktat Imunologi

oleh antigen T-independent, terutama antibody Ig M atau mungkin hanya Ig M saja

(Abbas,1991; Kresno, 1991).

2.5 PENGELOMPOKKAN ANTIGEN

Secara umum antigen dapat digolongkan menjadi antigen eksogen dan antigen endogen.

Antigen eksogen adalah antigen yang berasal dari luar tubuh individu, misalnya berbagai

jenis bakteri, virus dan obat-obatan. Sedangkan antigen endogen adalah antigen yang

berasal dari dalam tubuh sendiri, misalnya; antigen xenogenic atau heterolog yang

terdapat dalam spesies yang berlainan. Antigen autolog atau idiotipik yang merupakan

komponen dari tubuh sendiri, dan antigen allogenic atau homolog yang membedakan

satu individu dari individu yang lain dalam satu spesies. Contoh determinant antigen

homolog adalah antigen yang terdapat pada eritrosit, leukosit, trombosit, protein serum

dan major histocompatibility complex (MHC) (Kresno, 1991; Abbas, 1991; Roitt dkk.,

1993).

Page 23: Diktat Imunologi

BAB III

SISTEM LIMFORETIKULER

System limforetikuler dapat dikelompokkan menjadi :

3.1 UNSUR SELULER

Terdiri dari limfosit T, limfosit B dan subset limfosit yang terutama berfungsi

dalam respons imun spesifik, serta sel-sel lain yang berfungsi dalam respons imun

nonspesifik.

Semua sel yang berfungsi dalam respons imun, berasal dari sel induk pluripoten yang

kemudian berdiferensiasi melalui dua jalur, yaitu: jalur limfoid yang akan membentuk

limfosit dan subsetnya, dan jalur myeloid yang membentuk sel-sel fagosit dan sel-sel

lain. Sel-sel imunokompeten yang utama, adalah limfosit T (sel T) dengan berbagai

subsetnya dan limfosit B (sel B). Sel T berdiferensiasi dalam kelenjar timus, sedangkan

sel B berdiferensiasi dalam bursa fabricius yang hanya terdapat dalam bangsa unggas.

Disamping populasi limfosit masih ada sel-sel lain yang berfungsi dalam respons imun

seperti : sel null, fagosit mononuclear (monosit dan makrofag), sel-sel

Page 24: Diktat Imunologi

polimorfonuklear (neutrofil, eosinofil dan basofil), mastosit dan trombosit (Abbas,

1991; Kresno 1991; Roitt dkk., 1993).

a. Limfosit T

Limfosit T berperan pada berbagai fungsi imunologi, yaitu sebagai efektor pada

respons imun seluler dan sebagai regulator yang akan mengatur respons imun

seluler dan respons imun humoral. Untuk membedakan limfosit T dengan limfosit

B, dapat dilakukan dengan mereaksikan limfosit dengan eritrosit domba. Limfosit

T dapat membentuk roset dengan eritrosit domba secara spontan, sedangkan

limfosit B tidak. Berkat adanya antibodi monoklonal, kemudian terungkap bahwa

molekul pada permukaan limfosit T yang dapat mengikat eritrosit Domba

tersebut terdiri atas molekul glikoprotein yang berfungsi sebagai reseptor.

Molekul ini sekarang dikenal dengan sebutan CD2 (CD = clusters of

differentiation).

Dari jumlah limfosit yang ada dalam sirkulasi, 65 – 80% merupakan limfosit T.

Dalam perkembangannya di Timus, sel T mengekspresikan bermacam-macam

antigen permukaan diantaranya CD4, CD5 dan CD8. Namun dalam

perkembangan selanjutnya sebagian antigen itu menghilang dan sebagian lagi

menetap, yang akan menandai subset limfosit T. Pada fase pematangan sel T lebih

lanjut, antigen CD5 menghilang, kemudian sel T berproliferasi dan berdiferensiasi

menjadi salah satu subset sel T. Sel yang kehilangan antigen CD4, tetapi tetap

menunjukkan antigen CD8, akan menjadi sel T penekan (T suppressor = Ts) dan

Page 25: Diktat Imunologi

sel T sitotoksik (T cytotoxic = Tc). Sedangkan sel yang kehilangan CD8, tetapi

tetap menunjukkan CD4, akan menjadi sel T penolong ( T helper = Th).

berdasarkan antigen permukaanya maka Ts dan Tc dikenal sebagai CD8 +,

sedangkan Th dikenal sebagai CD4+. berkat adanya antibodi monoclonal yang

dapat digunakan untuk mendeteksi berbagai antigen permukaan, maka limfosit

CD4+ dapat dikelompokkan lagi kedalam dua subset yang ternyata mempunyai

fungsi yang berbeda yaitu T helper inducer yang berproliferasi atas rangsangan

antigen larut dan memicu sel B untuk memproduksi antibodi, dan subset lain yaitu

suppressor-inducer yang berproliferasi atas rangsangan concanavalin A dan sel

autolog, serta berfungsi menyulut sel CD8+ untuk menghambat atau menekan sel

B untuk memproduksi antibodi. Sel T suppresoor-inducer ini, tidak bereaksi

terhadap antigen yang larut.

b. Limfosit B

Limfosit B, adalah sel-sel dalam sistem imun yang mengkhususkan diri dalam

pembentukan antibodi. Hematopoetik sebagai pendahulu sel pra-B dalam sumsum

tulang membelah diri dengan cepat dan akan menjadi jenis sel berukuran besar

yang mengandung rantai u, sel prekursor mengatur kembali gena variabel (V)

dengan gena D dan gena J. Tingkat pematangan sel B dapat diketahui dengan

menentukan ciri-ciri sel B, sesuai dengan stadium pematangannya, yaitu: ada

tidaknya imunoglobulin intrasitoplasmik, imunoglobulin permukaan (surface

immunoglobulin = sIg), dan antigen permukaan lainnya. Sel B primitif (pra-B)

ditandai dengan adanya: rantai u sitoplasma, tanpa rantai ringan, tidak memiliki

Page 26: Diktat Imunologi

rantai ringan dalam sitoplasmanya, dapat mengekspresikan Hla-DR dan reseptor

untuk C3b, tetapi tidak memiliki reseptor Fc.

Sel-sel pra-B membelah diri dengan cepatan menjadi sel dengan ukuran yang

lebih kecil. Apabila sel-sel para-B telah memiliki molekul Ig sebagai molekul

integral membran selnya, maka sel tersebut telah berkembang menjadi sel muda.

sel muda dengan cepat memiliki reseptor untuk virus Epstein barr, C3B dan

untuk Fc dari Ig G. Semakin dewasa selnya, akan dijumpai pula Major

Histocompatibility Complex (MHC) kelas I yang juga semakin bertambah

jumlahnya.

Sel B perawan (virgin) yang terdapat didalam sumsum tulang, dan belum pernah

terpapar oleh antigen, umumnya menunjukkan respons yang lebih lambat

dibandingkan dengan sel B yang terdapat dalam jaringan limfoid perifer. Apabila

sel B mendapat rangsangan dari antigen atau imunogen, maka limfosit B akan

mengalami dua proses perkembangan yaitu : pertama, akan berdiferensiasi

menjadi sel plasma yang membentuk imunoglobulin (Ig), dan kedua akan

membelah dan kemudian kembali dalam keadaan istirahat sebagai limfosit B

memory. Apabila kemudian ada rangsangan antigen pada sel memori ini, maka

akan timbul reaksi yang lebih cepat dari reaksi pertama tadi dan menyebabkan sel

B berproliferasi menjadi sel plasma yang akan mensekresikan Ig spesifik.

Page 27: Diktat Imunologi

Sel B dapat mengenali antigen yang berkadar sangat rendah. hal ini disebabkan

oleh karena sel B mempunyai sIg yang berfungsi sebagai reseptor untuk antigen.

Melalui proses endositosis antigen yang ditangkap oleh sIg tersebut masuk

kedalam sitoplasma hanya dalam beberapa menit saja, untuk kemudian diproses

menjadi fragmen-fragmen. Melalui proses eksositosis fragmen antigen ini

bersama-sama dengan MHC kelas II disajikan pada limfosit T, sehingga dengan

demikian sel B juga berfungsi sebagai antigen presenting cell (APC).

c. Sel Plasma

Sel Plasma merupakan fase diferensiasi terminal dari perkembangan sel B dalam

upaya memproduksi dan mensekresi antibodi. Sel plasma tidak dapat membelah

lagi dan pada permukaannya tidak dijumpai adanya s Ig maupun reseptor-reseptor

seperti yang dimiliki sel B. sel plasma berukuran lebih besar dari limfosit dan

ditandai dengan inti bulat yang letaknya eksentris dan berkromatin kasar seperti

roda. satu sel plasma dapat melepaskan beribu-ribu molekul antibodi setiap

detiknya.

d. Antigen Presenting Sel (APC)

Sel-sel ini, berfungsi untuk menyajikan antigen kepada sel limfoid yang

tersensitisasi. Supaya antigen dapat dikenal oleh sel limfoid, penyajian antigen

yang telah diproses, dilakukan bersama ekspresi MHC kelas II pada permukaan

sel. Makrofag, disamping berfungsi sebagai fagosit yang profesional, juga

merupakan APC yang pertama diketahui. Dalam garis besarnya, semua sel yang

Page 28: Diktat Imunologi

menampilkan MHC kelas II dapat bertindak sebagai APC, misalnya: sel-sel

dendritik, kupfer, langerhans, endotel, fibroblast dan sel B. Diantara sel-sel diatas,

sel dendritik, makrofag dan sel B merupakan APC yang terpenting.

3.2 Unsur Organ dan Jaringan

Organ dan jaringan limfoid dibagi dalam dua kelompok utama, yaitu organ limfoid

primer seperti timus, ekivalen bursa fabricius dan sumsum tulang.yang berfungsi sebagai

embriogenesis dari sel-sel imunologik, dan organ limfoid sekunder seperti, kelenjar

limfe, limfa dan jaringan limfoid lainnya, yang bereaksi aktif terhadap stimulasi antigen.

Kelenjar timus, dianggap sebagai organ limfoid utama dalam imunogenesis dan menjadi

pusat pengendalian aktivitas organ serta jaringan limfoid yang lainnya (Bellanti, 1985;

Abbas1991; Subowo 1993; Roitt dkk., 1993).

Menurut fungsinya, sistem limfoid dibagi dalam dua kompartemen yaitu :

a. Kompartemen sentral

Merupakan tempat terjadinya diferensiasi sel-sel yang mampu beraksi dengan

antigen.

b. Kompartemen perifer

Sebagai tempat terjadinya reaksi sel-sel limfoid dengan antigen.

Page 29: Diktat Imunologi

Rangsangan untuk maturasi sel pada kompartemen sentral tidak diketahui secara

pasti, namun diduga proliferasinya dipengaruhi oleh hormon timus dan dapat

terjadi tanpa stimulasi antigen. Sebaliknya, maturasi sel pada kompartemen

perifer terjadi atas stimulasi antigen.

3.2.1 Organ Limfoid Primer

a. Kelenjar Timus

Kelenjar timus terletak dibagian depan mediastinum, terbagi dalam dua lobus dan

banyak lobulus yang masing-masing terdiri atas korteks dan medula. Sel induk

pluripoten yang merupakan cikal bakal sel T, masuk kedalam timus lalu

berproliferasi menjadi sel yang disebut dengan timosit. Proses diferensiasi

limfosit didalam timus, dipengaruhi oleh epitel timus dan sel dendritik yang

berasal dari sumsum tulang (interdigitating cells). Sel dendritik ini

mengekspresikan MHC kelas II dalam jumlah banyak dan diduga berperan dalam

mendidik limfosit T untuk mengenal antigen diri (self). Dalam proses maturasi ini

sel T menjadi imunokompeten. Dua sampai tiga hari, setelah sel induk masuk

kedalam timus, limfosit meninggalkan timus lalu masuk kedalam sirkulasi dan

selanjutnya menetap didalam organ limfoid perifer.

b. sumsum tulang dan ekivalen bursa fabrisius

Spesies unggas, mempunyai organ limfoid primer yang berasal dari epitel usus

janin yang disebut dengan bursa fabrisius. Sel induk pluripoten yang memasuki

Page 30: Diktat Imunologi

bursa fabrisius berdiferensiasi menjadi sel B yang mampu membentuk antibodi.

Organ semacam ini tidak dijumpai pada mamalia, akan tetapi diketahui bahwa sel

B pada mamalia berdiferensiasi dalam sumsum tulang dan dalam organ limfoid

perifer. Selain tempat pematangan sel B, sumsum tulang juga mengandung sel T

matang dan plasmosit. Dengan demikian, sumsum tulang disamping sebagai

organ limfoid primer, juga berfungsi sebagai organ limfoid sekunder.

3.2.2 Organ Limfoid Sekunder

Pembentukan limfosit dalam organ limfoid primer diikuti dengan migrasi sel-sel

tersebut kedalam organ-organ limfoid perifer atau limfoid sekunder. Migrasi ini

merupakan salah satu proses sirkulasi limfosit didalam tubuh. Adapun tahap-tahap

surveillance imunologik dari limfosit di dalam tubuh adalah sebagai berikut :

1. Migrasi sel induk pluripoten dari hati janin atau sumsum tulang kedalam organ

limfoid primer serta diferensiasi dan distribusi limfosit kedalam organ limfoid

perifer.

2. Resirkulasi limfosit dari peredaran darah kedalam limfa atau kelenjar limfe

kembali ke peredaran darah lagi.

3. Distribusi sel efektor ketempat-tempat tertentu bila diperlukan untuk melakukan

reaksi imunologik.

Page 31: Diktat Imunologi

4. Limfosit T cendrung bermigrasi ke kelenjar limfe perifer, sedangkan limfosit B

lebih banyak bermigrasi ke jaringan limfoid yang terdapat pada sepanjang mukosa

(mukosa associated lymphoid tissue = MALT).

Adapun jenis-jenis dari organ limfoid sekunder adalah sebagai berikut :

a. Kelenjar Limfe

Dalam bagian sinus dari kelenjar limfe terdapat banyak makrofag, sedangkan

dalam bagian korteksnya terdapat banyak sel T yang berasal dari darah, serta sel

B yang menyusun diri membentuk nodul. Dibagian tengah dari nodul, terdapat

pusat germinal dimana kelompok-kelompok sel B membelah diri secara aktif.

Bila kelenjar dirangsang oleh antigen, maka pusat-pusat germinal itu membesar

dan berisi banyak limfoblast. Pusat-pusat germinal diatas juga dihuni oleh banyak

sel dendritik yang mempunyai reseptor untuk C3 dan fragmen Fc dari IgG.

Dengan demikian antigen yang tidak diproses dapat dipertahankan pada

permukaan sel ini dalam bentuk kompleks antigen antibodi-C3 selama beberapa

bulan. Antigen yang tertangkap ini diduga memberikan rangsangan secara

periodik dengan sewaktu-waktu melepaskan iccomes yang kemudian ditangkap

dan diproses oleh APC dan disajikan kepada sel T. Hal ini akan mengakibatkan

sel T secara terus menerus akan merangsang sel B memory untuk berproliferasi

dan membentuk pusat-pusat germinal.

b. Limfa

Page 32: Diktat Imunologi

Limfa terdiri atas pulpa merah sebagai tempat penghancuran eritrosit dan pulpa

putih yang terdiri atas jaringan limfoid. Didalam limfa limfosit T menumpuk

dibagian tengah lapisan limfoid periarteriolar, sedangkan sel B terdapat didalam

pusat-pusat germinal dibagian perifer. Sel B dapat dijumpai dalam bentuk tidak

teraktivasi maupun teraktivasi. Dalam pusat-pusat germinal juga dijumpai sel

dendritik dan makrofag. Makrofag spesifik umumnya terdapat didaerah marginal

dan sel ini bersama-sama dengan sel dendritik berfungsi sebagai APC yang

menyajikan antigen kepada sel B.

c. Jaringan Limfoid lain

Jaringan limfoid lain tersebar dalam jaringan submukosa saluran nafas, saluran

cerna dan saluran urogenital. Contoh jaringan limfoid yang tersusun baik dan

mengandung banyak pusat-pusat germinal adalah tonsil yang merupakan garis

pertahanan pada pintu masuk saluran cerna dan saluran nafas, dan Peyer,s patch

yang tersebar dalam mukosa saluran cerna. Peyer,s patch dan apendiks termasuk

kedalam gut-associated lymphoid tissue (GALT). Dalam jaringan limfoid ini

terdapat bagian yang dipengaruhi oleh timus. Mucosa associated lymphoid tissue

(MALT), yang terdapat pada saluran nafas, saluran cerna dan urogenital berfungsi

untuk memberikan respons imunologik lokal pada permukaan mukosa. Jaringan

limfoid ini selain berisi limfosit juga berisi fagosit sehingga mampu memberikan

respons imun nonspesifik maupun respons imun spesifik. Didalam jaringan

limfoid sepanjang saluran cerna dan saluran nafas akan terbentuk IgA sekretorik

Page 33: Diktat Imunologi

dan Ig E yang disekresikan untuk mempertahankan tubuh terhadap antigen yang

masuk melalui mukosa.

BAB IV

PROSES PENGENALAN ANTIGEN

Respon imun diawali dengan pemrosesan antigen yang disusul dengan presentasi

fragmen-fragmen antigen oleh APC. Presentasi ini harus dilakukan bersama-sama dengan

MHC kelas II. Limfosit T penolong (CD4+) melalui reseptor TcR akan mengenal antigen

yang disajikan bersama dengan MHC kelas II, kemudian memberikan sinyal kepada sel B

untuk berproliferasi dan berdiferensiasi (Bellanti, 1985; Hendrik,1989; Subowo, 1993).

Secara garis besar semua sel yang menampilkan MHC kelas II dapat bertindak sebagai

APC, misalnya sel-sel dendritik, langerhans, endotel, fibroblast dan sel B. Diantara sel-

sel diatas sel dendritik, makrofag dan sel B merupakan APC yang terpenting, bahkan sel

dendritik folikuler mampu menyajikan antigen natif dalam bentuk kompleks imun tanpa

memprosesnya terlebih dahulu. Diduga sel-sel ini bertindak sebagai tempat menampung

antigen natif atau kompleks antigen antibodi. Antigen atau kompleks antigen antibodi

melekat pada permukaan sel dendritik polikuler tanpa diproses lebih lanjut.

Bagian – bagian sel yang berbentuk tonjolan dilepaskan bersama-sama dengan kompleks

antigen antibodi dan membentuk butir-butir kompleks imun yang disebut dengan

Page 34: Diktat Imunologi

icoccomes. Icoccomes ini kemudian ditangkap oleh sel B atau makrofag untuk diproses

lebih lanjut. Vitetta et.al membuktikan bahwa sel dendritik merupakan APC pertama

yang mengaktivasi sel T pada hewan percobaan yang belum pernah tersensitisasi.

Sedangkan makrofag dan sel B hanya menyajikan antigen kepada sel B yang teraktivasi

atau sel T memori (Abbas dkk.,1991; Roitt dkk., 1993; Kresno,1991).

4.1 Proses Limfosit T mengenali Antigen

Sel-sel imunokompeten agar dapat mengenali antigen maka pada permukaan sel T

dan sel B dilengkapi dengan molekul receptor. Receptor antigen pada permukaan limfosit

T berbentuk heterodimer dengan molekul CD3, sedangkan pada permukaan limfosit B

terdapat sebagai molekul imunoglobulin.

Dalam proses pengenalan antigen bakteri atau parasit, limfosit B dapat melaksanakan

sendiri tanpa bantuan sel yang lain. Sebaliknya limfosit T tidak dapat mengenal secara

langsung. Proses pengenalan antigen tersebut memerlukan jenis sel lain yang dinamakan

sel pelengkap (Accessory cell) yang berfungsi untuk memproses secara nimia terlebih

dahulu, agar antigen dapat disajikan lepada limfosit T bersama-sama dengan molekul

Major Histocompatibility Complex (MHC) (Hokama, 1982; Grey dkk., 1989; Vitetta

dkk., 1989).

Limfosit T hanya dapat menanggapi antigen, apabila disajikan oleh sel pelengkap.

Sel pelengkap pertama yang diketahui sebagai penyaji antigen (APC) ádala makrofag. Sel

penyaji akan memproses antigen terlibih dahulu sebelum disajikan sebagai molekul yang

dikenali oleh limfosit T. Cara memproses dan penyajian antigen “eksogen” pada

Page 35: Diktat Imunologi

umumnya dapat menyebabkan aktivasi limfosit dari sub populasi tertentu sehingga

membantu aktivasi limfosit B dalam memproduksi antibodi. Limfosit T yang berperan

dalam peristiwa ini hádala limfosit T helper (CD4) (Roitt dkk., 1993; Subowo, 1993).

Tidak semua antigen yang dikenal oleh limfosit T berasal dari luar sel penyaji.

Antigen “endogen” diperoleh oleh sel penyaji sebagai akibat infeksi virus dalam sel atau

dari sel yang telah berubah menjadi ganas. Sel-sel tersebut mengekspresikan antigen khas

virus tumor pada permukaannya. Secara tioritik semua sel dalam tubuh inang mempunyai

kemampuan sebagai sel penyaji antigen “endogen” yang khas tersebut, terhadap limfosit

T dari sub populasi yang tergolong sel sitotoksik. Sel sitotoksik dapat menanggapi

antigen “endogen” dengan cara membunuh sel-sel yang menyajikannya. (Abbas dkk.,

1991; Bellanti, 1985; 1993).

Sampai saat ini diduga bahwa antigen endogen yang disajikan sebelumnya tidak

perlu diproses. Hal ini disebabkan oleh karena protein sebagai antigen endogen tersebut

merupakan bentuk ekspresi gen virus atau gen tumor, sehingga limfosit sitotoksik dapat

bereaksi langsung terhadap antigen tersebut. Dengan demikian, dalam sistem imán

terdapat dua jalar terpisah untuk menyampaikan antigen, yaitu : Jalur untuk antigen

eksogen dan jalur untuk antigen endogen.

Protein bakteri yang diambil oleh limfosit B dari sekitarnya yang kemudian

diproses oleh limfosit T helper akan mempunyai dampak diproduksinya antibodi spesifik.

Sebaliknya protein abnormal yang dibuat oleh sel inang mendorong aktivasi limfosit T

sitotoksik untuk membunuh sel inang. Limfosit T tidak saja mampu mengenali antigen

asing akan tetapi juga molekul MHC yang terdapat pada permukaan sel inang yang

dihadapinya.

Page 36: Diktat Imunologi

Limfosit T yang telah mengadakan respons imun terhadap antigen yang disajikan

oleh sel-sel yang terinfeksi virus bersama-sama molekul MHC kelas satu tertentu, dengan

antigen yang sama tetapi disajikan oleh sel terinfeksi virus dengan molekul MHC kelas I

yang berbeda latar belakang genetiknya. Apabila molekul protein MHC kelas I pada sel-

sel yang terinfeksi virus ini berasal dari individu yang berbeda dengan individu yang

pertama, maka sel-sel yang terinfeksi virus tersebut tidak akan dibunuh oleh sel-sel T

tersebut. Lebih lanjut dijelaskan bahwa, agar limfosit dapat mengadakan respons imun,

harus mengenal dua kesatuan antigen yaitu; antigen asing dan antigen diri yang

spesifik. Persyaratan ini dinamakan sebagai Restriksi MHC (Hendrik, 1989; Kresno,

1991; Roitt dkk., 1993).

Ada beberapa hipótesis mengenai cara limfosit T berinteraksi dengan antigen

yang terikat pada MHC. Hipótesis pertama, menyatakan bahwa interaksi itu dilakukan

melalui dua reseptor pada permukaan sel T, dimana satu reseptor berinteraksi dengan

antigen sedangkan receptor yang lanilla berinteraksi dengan MHC. Hipótesis ke dua,

mengemukakan bahwa reseptor pada limfosit T berbentuk receptor tunggal yang secara

spesifik mengenal dua antigen asing dan antigen MHC secara bersama-sama.

Belakangan ini orang lebih cendrung setuju dengan teori yang kedua (Abbas dkk.,1991;

Kresno,1991; Subowo,1993).

Teori reseptor tunggal tersebut, menjelaskan bahwa antigen yang akan diproses

dan antigen MHC harus merupakan statu kesatuan kompleks yang hrus cocok dengan

reseptor pengenal tunggal dari limfosit T. dengan demikian molekul MHC pada mulanya

bertindak sebagai reseptor primer untuk antigen yang telah diproses dan selanjutnya

Page 37: Diktat Imunologi

sebagai kompleks molekul baru yang akan berikatan secara tepat dengan reseptor

sekunder pada limfosit T agar terjadi respons imun.

Untuk membangkitkan status respons imun, agar antigen dapat ditangkap oleh limfosit T,

maka adanya kesesuaian antara molekul MHC yang berbeda pada setiap individu dengan

antigen yang telah diproses oleh sel inang merupakan tahap pertama yang sangat

menentukan (Hokama, 1982; Vitetta, 1989).

4.2 Aktivasi limfosit T

Aktivasi limfosit T merupakan akibat dari reaksi ligan-reseptor yang berlangsung

antara permukaan limfosit T dan sel penyaji antigen (APC). Interaksi ini akan mengawali

peristiwa biokimia dalam sel T yang memuncak dalam bentuk respons seluler. Walaupun

telah jelas bahwa sejumlah molekul permukaan sel yang berbeda-beda pada sel T dan sel

penyaji ikut berperan dalam interaksi antar sel selama penyajian yang rumit, Namun

untuk aktivasi limfosit T oleh antigen paling sedikit harus melibatkan perangsangan

reseptor antigen dari sel T (TCR). Antigen yang terikat oleh molekul MHC merupakan

ligan untuk reseptor pada limfosit T (Abbas dkk.,1991; Roitt dkk., 1993; Kresno, 1991).

Rangsangan oleh induksi sel antigen dapat dianggap sebagai pemberian

rangsangan primer dalam mengawali aktivitas limfosit T. Rangsangan pada T cell

receptor (TCR) saja, tidak cukup untuk menginduksi terjadinya pembelahan sel T dalam

tahap Go. Molekul-molekul permukaan yang lain pada sel T istirahat ikut berperan pula

dalam aktivasi sel sebagai molekul pelengkap dengan cara berikatan dengan molekul

mitranya pada sel penyaji atau sel sasaran. Molekul-molekul pelengkap ini ada yang

Page 38: Diktat Imunologi

bertindak sebagai reseptor untuk molekul permukaan sel penyaji atau reseptor untuk

molekul protein yang dihasilkan oleh sel penyaji. Molekul pelengkap tersebut akan

berperan dalam proses aktivasi :

a. Sebagai mol perekat, akan memperkuat interaksi antara sel T dengan sel

penyaji.

b. Sebagai transduser, antara sinyal transmembran yang diterima oleh

receptor antigen (Ti/TCR).

c. Untuk mengawali sinyal transmembran mereka sendiri yang berbeda

dengan sinyal yang melalui TCR.

Interaksi antara TCR dengan ligannya (antigen + MHC), mengawali aktivitas

seluler dengan cara menginduksi sinyal transmembran. Transduksi sinyal semacam ini

bermanifestasi dalam bentuk mediator intraseluler yang dinamakan dengan second

Messenger yang berfungsi untuk memulai aktivasi sel (Vitetta, 1989; Hendrik, 1989;

Abbas, 1991).

Selama terjadinya proses aktivasi, akan berlangsung transduksi sinyal melalui

TCR baik secara langsung maupun secara tidak langsung, sedangkan periode berikutnya

terjadi pembelahan sel yang pada umumnya sebagai hasil dari serentetan aktivasi gen

yang sangat kompleks. Dengan demikian aktivasi seluler dari limfosit T istirahat,

menghasilkan ekspresi molekul permukaan yang baru, sekresi limfogen, pembelahan sel

dan diferensiasi sel menjadi sel efektor.

I nteraksi antara antigen yang disajikan oleh APC dengan limfosit T helper (Th),

merupakan tahap awal terjadinya respons imun seluler maupun respons imun humoral.

Page 39: Diktat Imunologi

Sel T dan sel B berkomunikasi satu dengan yang lainnya melalui berbagai reseptor dan

berbagai substansi yang diproduksi. Sub populasi sel T yang bereaksi dengan antigen

yang ditampilkan bersama dengan MHC, berbeda satu dengan yang lainnya tergantung

dari sifat antigen dan MHC yang mengikat dan yang menampilkannya. Sel T yang

disebut CD4+ bereaksi dengan antigen yang diproses oleh APC dan dipresentasikan

bersama dengan MHC kelas II. Sub populasi sel T yang lain yaitu CD8+ yang berfungsi

sebagai sel sitotoksik bereaksi dengan antigen yang dibentuk oleh sel, misalnya protein

virus atau antigen histokompatibilitas minor, yang ditampilkan bersama dengan MHC

kelas I. Proses pengikatan antigen yang dibentuk dengan MHC kelas I dapat berlangsung

saat sintesis atau perakitan kedua molekul bersangkutan. Presentasi antigen yang terikat

pada MHC kelas I merangsang sel T sitotoksik untuk melancarkan aksinya (Vitetta dkk.,

1989; Hendrik, 1989; Roitt dkk.,1993).

Antigen yang ditangkap oleh makrofag atau sel-sel APC yang lain, akan masuk

kedalam sel dengan cara endositosis atau pinositosis. Sebagai APC, baik makrofag

maupun sel B mempunyai fungsi yang sama, tetapi sel B mempunyai kelebihan dari

makrofag, karena sel B mampu menangkap antigen melalui imunoglobulin permukaan

(sIg). Dengan demikian antigen dalam jumlah kecilpun dapat ditangkap dan diproses

sehingga sel B dapat berfungsi sangat efisien. Tetapi jika konsentrasi antigen cukup

tinggi, sel B tidak perlu menangkap antigen melalui imunoglobulin permukaan, karena

proses internalisasi dapat terjadi dengan cara pinositosis fase cair seperti halnya proses

pinositosis pada makrofag (Bellanti, 1985; Kresno, 1991).

Antigen di dalam sel, diproses dengan berbagai cara, diantaranya melalui proses

denaturasi atau proteolisis yang terjadi di dalam endosom. Segmen-segmen yang bersifat

Page 40: Diktat Imunologi

hidrofobik kemudian dimunculkan kembali pada permukaan sel, bersama-sama dengan

MHC. Pada beberapa keadaan antigen tidak dirombak dengan cara proteolisis tetapi

hanya dirubah konfigurasinya atau hanya dilekatkan pada molekul lipid (Vitetta dkk.,

1989; Subowo, 1993).

4.3 AKTIVASI LIMFOSIT DAN PRODUKSI ANTIBODI

Aktivasi limfosit T, khususnya limfosit Th dimulai dengan interaksi antara

reseptor sel T dengan kompleks antigen – MHC kelas II yang terdapat pada permukaan

APC. Selain menyajikan antigen, APC juga memproduksi interleukin-1 yang mampu

merangsang pertumbuhan sel T. interaksi ini merangsang berbagai reaksi biokimia

didalam sel T, diantaranya adalah perombakan fosfatidil-inositol dan peningkatan

konsentrasi ion Ca ++, serta aktivasi protein kinase-C yang diperlukan sebagai katalisator

pada fosforilasi berbagai jenis protein. Reaksi-reaksi diatas mengakibatkan serangkaian

reaksi-reaksi yang menghasilkan ekspresi reseptor IL-2, dan produksi IL-2 yang

diperlukan untuk proliferasi sel selanjutnya (Grey dkk., 1989; Abbas dkk., 1991; Roit

dkk., 1993).

Sebagian dari sel T selanjutnya akan berfungsi sebagai sel T helper-inducer untuk

membantu sel B, sebagian lagi akan kembali dalam keadaan istirahat menjadi sel

memory. Aktivasi sel B dapat terjadi atas rangsangan antigen T-independen tipe I,

antigen T-independen tipe II dan antigen T dependen. Antigen T-dependen, memerlukan

bantuan sel Th. Antigen T-independen tipe I dalam konsentrasi tinggi mampu

Page 41: Diktat Imunologi

merangsang sel B secara poliklonal tanpa mengindahkan spesifisitas reseptor permukaan

sel B. Contoh antigen seperti ini adalah lipopolisakarida pada permukaan sel bakteri.

Tetapi pada konsentrasi rendah, sel B dengan sIg spesifik sebagai reseptor dapat

menangkap antigen sehingga sel teraktivasi.

Antigen T-independen tipe II, adalah antigen yang tidak segera dirombak didalam

tubuh, misalnya polisakharida pneumokukus, polimer polivinilpirolidon (PVP), yang

mampu merangsang sel B tanpa bantuan sel Th. Antgen dapat melekat dengan aviditas

kuat pada permukaan sel B dengan ikatan multivalen melalui sIg. Pada umumnya antigen

T-independen merangsang pembentukan IgM. Sebagian besar antigen adalah T-

dependen yang berarti respons pada sel B baru dapat terjadi atas rangsangan sel T. agar

sel B dapat dirangsang oleh sel T, maka MHC kelas II pada permukaan kedua sel harus

sesuai. Hal ini penting untuk interaksi antara sel T dengan sel B dalam keadaan istirahat

(resting B cells). Di lain fihak sel B yang sudah teraktivasi cukup dirangsang oleh

limfokin yang dilepaskan oleh sel T yang sebelumnya telah teraktivasi oleh kompleks

antigen-MHC yang relevan.

Sel T yang diaktivasi oleh antigen akan memproduksi interleukin-2 (IL-2) yang

diperlukan untuk proliferasi sel T sendiri, disamping itu sel T juga memproduksi berbagai

faktor atau limfokin yang dapat merangsang perubahan pada berbagai jenis sel, antara

lain; sel B, sel T sitotoksik, makrofag dan lain-lain, karenanya sel itu disebut sel T

inducer (Grey dkk.,1989; Hendrik, 1989; Vitetta dkk.,1989).

Beberapa jenis limfokin yang diproduksi oleh sel T dan dipergunakan untuk

merangsang sel B adalah : B-cell stimulatory faktor (IL-4), B-cell growt factor (Il-6), B-

cell differentiation factor-mu (BCDF-mu) dan BCDF-gamma serta gamma interferon.

Page 42: Diktat Imunologi

Dengan rangsangan limfokin diatas sel B berproliferasi dan berdiferensiasi lebih lanjut

menjadi sel plasma dan memproduksi imunoglobulin. BCDF-mu merangsang produksi

IGM, sedangkan BCDF- gamma menyebabkan perubahan kelas (class-switch) IgM yang

diproduksi menjadi IgG, dan selanjutnya akan terjadi sintesa dan sekresi imunoglobulin

oleh sel plasma (Abbas dkk.,1991; Kresno,1991).

Selain berkembang menjadi sel plasma yang memproduksi imunoglobulin

stimulasi sel B perawan menyebabkan terbentuknya klon sel B yang perlahan-lahan

kembali kekeadaan istirahat dan menjadi sel memori. Sel ini sering kali mengekspresikan

reseptor yang mengalami mutasi mutasi dan menunjukan aktifitas yang lebih tinggi. Sel

B memori maupun sel T memori akan meninggalkan kelenjar limfe, limfa, atau jaringan

limfoid lain kemudian masuk kedalam pembuluh limfe dan pembuluh darah untuk

melakukan surveillance (belanti, 1985; Subowo, 1993; Kresno, 1991).

Respons imun sekunder pada umumnya timbul lebih cepat dan lebih kuat

dibandingkan dengan respons imun primer. Hal ini disebabkan oleh karena adanya sel T

dan sel B memori serta antibodi yang tersisa. Antigen dapat dikenal oleh sel B spesifik

secara efisien. Dalam hal ini sel B bertindak sebagai APC. Karena jumlah sel T dan Sel B

spesifik lebih banyak, kemungkinan untuk berinteraksi dengan antigen lebih besar,

sehingga titer antibodi juga cepat meningkat. Disamping itu antibodi yang tersisa juga

dapat bereaksi dengan antigen sehingga kompleks antigen antibodi lebih mudah

ditangkap oleh APC dan diproses, dan selanjutnya akan terjadi stimulasi sel T dan sel B

seperti halnya pada respons imun tetapi dengan kecepatan efisiensi lebih tinggi (Bellanti,

1985; Roit dkk., 1993).

Page 43: Diktat Imunologi

4.4 Regulasi Respons Imun

setelah terbentuk antibodi, antigen dihancurkan atau dinetralkan oleh antibodi,

sehingga hanya imunosit dengan afinitas reseptor yang tinggi sajalah yang dapat

mengenali antigen, dengan demikian aktvitas imunosit makin lama makin berkurang.

Penurunan aktivitas ini selain diatur oleh penurunan jumlah antigen, juga disebabkan oleh

antibodi itu sendiri yang dapat memberikan umpan balik negatif. Penurunan aktivitas

imunosit itu juga terjadi karena penangkapan kompleks antigen-antibodi oleh APC dalam

kondisi antibodi poliklonal berlebihan menjadi kurang efisien akibat banyaknya reseptor

Fc yang ditempati oleh imunoglobulin yang mengikat molekul antigen. Selain itu antigen

yang terikat pada antibodi dalam kondisi antibodi berlebihan juga terlindung dari

proteolisis. Akibatnya pemerosesan antigen akan terganggu, sehingga aktivitas sel T juga

terhambat (Bellanti, 1985; Kresno, 1991).

Faktor lain yang berperan dalam pengendalian respons imun adalah limfosit T.

Pengendalian atau penekanan respons imun diawali dengan aktivasi sel T suppresor-

inducer yang akan memicu aktivitas sel T penekan. Percobaan secara invitro,

menunjukkan bahwa aktivasi sel T suppressor-inducer terjadi karena adanya kontak

dengan antigen yang disajikan oleh sel T-suppressor (Ts) melalui determinan I-J yang

diekspresikan bersama MHC kelas II. Molekul I-J dianggap menggambarkan idiotip pada

sel Ts yang dipilih oleh MHC kelas II saat terjadinya perkembangan sel.

Hipotesis lain adalah melalui pengenalan idiotip pada reseptor Th oleh antiidiotip

pada sel Ts, atau interaksi antara antiidiotip dengan antibodi terhadap antiidiotip (anti-

antiidiotip), karena antiidiotip dalam keadaan tertentu dapat meniru (mimic) antigen.

Sebagai contoh, hormon yang terikat pada reseptor akan mengikat antihormon. Karena

Page 44: Diktat Imunologi

reseptor dan antihormon dapat mengikat hormon, dan karena antihormon dapat mengikat

antibodi terhadap antihormon, maka anti-antihormon ini dapat mengikat reseptor. Dengan

demikian interaksi idiotip-antiidiotip memungkinkan sel Ts melakukan fungsi penekanan

pada sel Th maupun sel B. Penakanan juga dapat terjadi secara nonspesifik, misalnya

dengan menginkubasikan sel T dengan aktivator poliklonal Con A. Selain itu faktor-

faktor penekan yang diproduksi oleh sel Ts dapat diikat oleh APC. Pengikatan itu antara

lain mengakibatkan sintesis IL-1 dihambat, sehingga kemampuan APC menjadi

berkurang. Jumlah sel Ts yang diaktivasi tergantung dari berbagai hal, seperti; jumlah

dan cara masuknya antigen, serta umur dan dasar genetik individu bersangkutan (Kresno,

1991; Roitt dkk., Subowo,1993).

Page 45: Diktat Imunologi

BAB V

ANTIBODI

5.1 PENGERTIAN

Antibodi adalah molekul protein yang dihasilkan oleh sel plasma sebagai akibat

interaksi antara Limfosit B peka antigen dan antigen khusus. Antibodi memiliki

kemampuan berikatan khusus dengan antigen serta mempercepat penghancuran dan

penyingkirannya.

Antibodi terdapat dalam berbagai cairan tubuh tetapi terdapat dalam konsentrasi

tertinggi dan termudah diperoleh dalam jumlah yang banyak untuk analisis dari serum

darah.

5.2 SIFAT-SIFAT DASAR ANTIBODI

Molekul antibodi seperti protein yang lain secara fisiokimiawi dapat

dikelompokan berdasarkan kelarutannya dalam larutan garam kuat, muatan elektrostatik,

berat molekul dan struktur antigennya.

Page 46: Diktat Imunologi

Kelarutan dalam Larutan Garam

Bertahun-tahun yang lalu ketika Ilmu Biokimia masih dalam fase permulaan,

diketahui bahwa protein tertentu dalam serum diendapkan, bila serum dicampur dengan

larutan jenuh amonia sulfat dalam volume yang sama banyaknya. Protein yang

diendapkan dengan cara itu disebut globulin, sedang yang tetap larut dalam serum disebut

albumin. Antibodi diendapkan dari serum oleh amonium sulfat dan karena itu

digolongkan sebagai globulin. Teknik yang sangat sederhana ini dapat cepat disesuaikan

untuk menyediakan cara untuk memastikan apakah antibodi terdapat dalam serum dan

dengan demikian dapat dipakai untuk membuktikan apakah anak hewan sudah menyusu

pada induknya atau belum. Anak hewan yang belum menyusu mengandung sedikit sekali

antibodi dan karena itu penambahan larutan garam kuat seperti natrium, seng, atau

amonium sulfat pada serumnya menghasilkan endapan yang sangat sedikit. Sebaliknya

anak hewan yang sudah dengan baik mengandung tingkat antibodi yang tinggi dalam

serumnya dan penambahan larutan garam menimbulkan endapan yang menggumpal.

Dengan demikian jumlah globulin antibodi yang terdapat dalam serum dapat diperkirakan

dari jumlah endapan yang terbentuk dalam campuran tersebut.

Muatan elektrostatik

Karena molekul protein terdiri dari rantai berbagai asam amino, yang sebagian

asam dan sebagian basa, maka muatan elektrostatik keseluruhan pada suatu molekul

protein tergantung pada komposisi asam aminonya, dan merupakan ciri khas dari protein

tersebut. Karena itu suatu campuran protein dapat dipisahkan menjadi komponennya jika

diberi aliran listrik, menyebabkan molekul bermuatan lebih positif akan bergerak ke arah

Page 47: Diktat Imunologi

katode, sedangkan molekul yang bermuatan negatif bergerak ke arah anoda pada

kecepatan yang tergantung pada muatannya. Teknik ini disebut elektroforesis, dilakukan

sedemikian sehingga merembesnya larutan dengan cepat dicegah oleh adanya matriks

setengah padat seperti agar-agar, selulosa asetat atau gel pati, yang kemudian dapat

memisahkan dan mengenali tiap protein di dalam campuran. Bila serum utuh

diperlakukan dengan cara ini, selalu dipisahkan empat fraksi, yang paling bermuatan

negatif terdiri dari protein tunggal, yang kebetulan juga tidak diendapkan oleh amonium

sulfat, protein ini adalah albumin serum. Ketiga fraksi yang lain semuanya berupa

globulin dan dibagi menurut pergerakan elektroforetiknya menjadi globulin α, β, dan γ.

Globulin α adalah yang paling besar muatan negatifnya karena itu bergerak ke arah anoda

tepat dibelakang albumin. Globulin ini mengandung protein serum dengan imunologis

yang berbeda-beda, diantaranya termasuk antitripsin α1, dan α2 makroglobulin yang

keduanya bertindak sebagai penghambat enzim protease dari serum. Globulin β bergerak

lebih lambat dan tepat di belakang globulin α . Globulin β bergerak lebih lambat dan

tepat di belakang globulin α. Globulin β mengandung sejumlah molekul antibodi

sebanyak komponen-komponennya. Globulin γ adalah protein yang paling kecil muatan

negatifnya. Globulin γ bergerak paling dekat dengan asalnya, dan mengandung antibodi

terbanyak.

Karena molekul antibodi adalah globulin, maka umumnya dikenal sebagai

imunoglobulin ( yang dapat disingkat menjadi Ig). Istilah imunoglobulin dipakai untuk

menggambarkan semua protein yang mempunyai aktivitas antibodi maupun beberapa

protein yang mempunyai struktur imunoglobulin yang khas tetapi tak memiliki aktivitas

antibodi.

Page 48: Diktat Imunologi

Berat Molekul

Selain muatan elektrostatik, protein juga dapat dikenali dengan berat molekulnya.

Ada beberapa teknik untuk mengukur berat molekul. Suatu cara yang umum dipakai

adalah menentykan laju pengendapan ini tergantung pada beberapa faktor termasuk

kepekatan cairan suspensi dan bentuk protein maupun berat molekulnya. Pengenalan

jenis protein dilakukan dengan cara menghitung tetapan pengendapannya yang

dinyatakan dalam satuan svedberg atau nilai S dan tidak dengan cara mengukur berat

molekulnya secara teliti dalam satuan dalton.Bila imunoglobulin diperiksa dengan

ultrasentrifus ternyata diperoleh tetapan pengendapan sebesar 7 S, disamping itu biasanya

ditemukan juga imunoglobulin dengan tetapan pengendapan 11 S, 13 S dan 19 S.

Selain cara ultrasentrifus, penaksiran ukuran protein dalam larutan mungkin pula

ditentukan dengan cara pengukuran kecepatan protein melewati suatu kolom gelas yang

berisi manik dekstran terikat-silang, pada teknik yang disebut sebagai filtrasi gel. Karena

molekul yang sangat besar tidak dapat menyusun manink-manik dekstran, molekul kecil

menyusup dan tinggal di dalam manik dan dengan demikian melewati kolom pelan-pelan.

Karena itu kecepatan molekul protein untuk melewati suatu kolom tertentu (dalam batas

tertentu) sebanding dengan berat molekulnya yang dapat dihitung dengan menggunakan

kurva estándar. Bila berat molekul imunoglobulin ditaksir dengan cara ini, seperti halnya

tetapan pengendapannya, ternyata heterogen Imunoglobulin 7 S mempunyai berat

molekul 180.000 dalton, Imunoglobulin 11 S mempunyai berat molekul 360.000 dalton

dan Imunoglobulin 19 S mempunyai berat molekul 900.000 dalton. Karena perlakuan

kimiawi tertentu dari molekul 19 S menyebabkan terpecah menjadi lima 7 S sub unit,

Page 49: Diktat Imunologi

ternyata imonoglobulin ini adalah pentamer dari unit 7 S dasar. Serupa pula

imunoglubulin 11 S adalah dimer dan imunoglubulin 13 S adalah trimer dari unit dasar.

Struktur Antigenik

Sebagai protein, maka imonoglobulin adalah antigen yang baik sekali bila

disuntikan pada hewan seperti spesien yang berbeda. Akibatnya dapat dibuat antiserum

yang beraksi dengan molekul imunoglobulin. Dengan menggunakan anti serum semacam

ini dapat menunjukan bahwa imonoglobulin adalah antigen heterogen dan terbagi dalam

berbagai klas atai isotipe yang ternyata terdapat pada semua hewan menyusui.

Empat klas utama imunoglobulin yang diketahui dengan cara ini diberi tanda

imunoglobulin M,G,A dan E dan masing-masing memiliki determinan antigen yang unik,

yang disebut μ, γ, α, dan Є.

5.3 STRUKSTUR IMUNOGLOBULIN

Imunoglobulin G (IgG) adalah imunoglobulin yang terdapat dalam konsentrasi

tertinggi dalam serum dan strukturnya dapat dipakai sebagai model bagi imunoglobulin

yang lain. IgG mempunyai berat molekul 180.000 dalton dan tetapan pengendapan 7 S.

Dalam mikroskop elektron IgG dapat dilihat berupa molekul berbentuk-Y dan “lengan”

dari Y yang mampu mengikat yang memecah ikatan disulfida (-S-S-), maka molekul

tersebut akan terurai menjadi empat rantai polipeptida yang terpisah. Dua diantaranya

“berat” karena masing-masing mempunyai berat molekul sekitar 50.000 dalton. Dua

rantai yang lain “ringan” karena masing-masing mempuntai berat molekul sekitar 25.000

dalton. Informasi (tahuna) yangg lebih banyak tentang strukstur IgG dapat diperoleh

dengan mempelajari pengaruh enzim proteolitik pada molekul yang utuh. Papain

Page 50: Diktat Imunologi

misalnya. Mampu menguraikan molekul IgG menjadi tiga fragmen yang kurang lebih

sama besarnya, yang sesuai dengan dua lengan dan satu ekor dari molekul yang

berbentuk Y. Kedua fragmen “lengan” dari molekul adalah identik dan masih memiliki

kemampuan untuk mengikat antigen kemampuannya ini disebut fragmen Fab. Fragmen

ketiga dari “ekor” tidak dapat mengikat antigen tetapi dapat terkristalkan dan karena itu

dinamakan fragmen Fc.

Enzim proteolitik yang kedua yaitu pepsin, bekerja pada IgG dengan cara yang

sedikit berbeda yaitu hampir menghancurkan sama sekali bagian Fc, tetapi meninggalkan

kedua fragmen Fab bersatu membentuk suatu fragmen yang dikenal sebagai F(ab) 1…….

5.4 STRUKTUR PRIMER IMUNOGLOBULIN

Imunoglobulin yang terdapat dalam serum adalah suatu campur-komplek antibodi

yang ditujukan terhadap bermacam-macam determinan antigen. Karena keanekaragaman

ini, maka tidak mungkin untuk mengadakan analisa strukturnya lebih dari ketentuan

umum yang telah diuraikan. Namun demikian pada manusia, mencit, dan anjing, sel B

dapat menjadi neoplastik, sehinga klon sel plasma yang neoplastik dapat dihasilkan dari

suatu sel pendahulu tunggal. Karena asalnya “Monoklonal”, semua sel plasma tersebut

membuat dan mengeluarkan hanya satu bentuk molekuler tungal imunoglobulin yang

tampak di dalam serum dari penderita dalam konsentrasi tinggi. Tumor sel plasma ini

dikenal sebagai mieloma atau plasmasitoma dan produk imunoglobulinnya disebut

protein mieloma. Protein mieloma terdiri dari molekul imunoglobulin yang sama sekali

homogen sehingga dapat dimurnikan dan dianalisa struktur kimiawi dan antigeniknya

secara rinci. Dengan cara ini dapat ditunjukkan bahwa setiap molekul imunoglobulin

terdiri dari bagian yang dapat berubah (variabel) pada lengan Y, tempat imunoglobulin

Page 51: Diktat Imunologi

bertaut pada antigen, bagian engsel yang menghubungkan lengan dengan ekor, yang

menjamin kelenturan molekul dan bagian tetap pada kedua lengan dan dimana terletak

sifat biologis dari molekul.

5.3.1 Bagian Variabel

Bila susunan asam amino sejumlah besar IgG protein mieloma diperbandingkan,

didapatkan bahwa rantai polipeptidanya, baik yang ringan maupun yang berat dapat

dibagi menjadi dua bagian yang berbeda, Bagian dari rantai yang terletak ujung terminal

C (ujung rantai peptida dengan gugus karboksil bebas) mempunyai susunan urutan asam

amino yang relatif konstan, bila protein mieloma yang berbeda diperbandingkan.

Sebaliknya pada bagian terminal-N (ujung dengan gugus amino bebas) dari setiap rantai

ditemukan sangat berubah-ubah (variabel) dengan demikian susunan asam amino sangat

berbeda diantara protein mieloma yang berbeda-beda. Setiap bagian variabel ini

mempunyai panjang kurang lebih 110 asam amino residu dan merupakan kurang lebih

setengah dari setiap rantai ringan dan kurang lebih seperempat dari setiap rantai berat.

Bila bagian veriabel ini diteliti lebih lanjut dan diukur derajat variabilitasnya,

terlihat bahwa tempat-tempat tertentu di dalam bagian variabel ini sangat jauh berbeda

dari yang lain dan dengan demikian dianggap hipervariabel. Diantara bagian-bagian

hipervariabel ini terletak segmen-segmen yang relatif konstan. Bila diukur tiga dimensi

ini diperiksa, terlihat bahwa posisi hipervariabel terletak berdekatan satu sama lainnya

pada permukaan molekul. Bagian-bagian hipervariabel pada rantai ringan dan ranatai

berat bersama-sama membentuk suatu tempat pengikatan antigen tunggal. Akibatnya

Page 52: Diktat Imunologi

setiap molekul IgG berfungsi bivalen. Kekhususan interaksi antara antigen dan antibodi

dapat dijelaskan berdasarkan bahwa susunan asam amino pada bagian hipervariabel

mengakibatkan terjadinya tempat pengikatan antigen yang berbentuk unik. Bentuk atau

konformasi dari tempat pengikatan antigen imunoglobulin itulah yang menentukan

determinan antigen khusus yang akan bereaksi dengannya.

5.3.2 Bagian Engsel

Pada mikroskopis elektron dari IGG terlihat bahwa bagian Fab (lengan dari Y)

bersifat mobil dan dapat berputar bebas mengitari pusat molekul seolah-olah terpaut pada

suatu engsel. Bila susunan asam amino pada bagian ini diteliti ternyata berisi residu

prolin yang luar biasa banyaknya. Karena bentuk yang unik ini, prolin membentuk

belokan yang tegak lurus pada rantai polipeptida, dan karena rantai polipeptida dapat

secara bebas mengitari ikatan peptida, efek dari beberapa prolin yang terikat adalah

membentuk “sendi universal” tempat rantai polipeptida dapat berayun bebas. Prolin juga

cendrung dapat “membuka” sususnan rantai polipeptida, dan itulah sebabnya mengapa

enzim proteolitik pepsin dan papain dapat merusak molekul antibodi di bagian ini.

Akhirnya ikatan disulfida antara rantai yang menghubungkan rantai berat dan ringan juga

terdapat pada bagian engsel. Karena itu bagian engsel ini berperan sangat penting dalam

aktivitas biologis dari molekul imunoglobulin.

5.3.3 Bagian Tetap

Bagian tetap molekul imunoglobulin tersusun dari C-terminal setengah setiap rantai

ringan dan C-terminal tiga perempat setiap rantai berat. Bagian konstan dari rantai ringan

(CL) panjangnya sekitar 110 residu asam amino sedangkan bagian konstan dari rantai

Page 53: Diktat Imunologi

berat (CH) sekitar 330 residu panjangnya. Bila bagian CH dari IgG diteliti susunannya,

ternyata terdiri dari tiga sub unit yang sama, atau bagian-bagian yang homolog, yang

disebut CH1, CH2 dan CH3 (IgM dan IgE memiliki bagian homolog yang keempat pada Fc

yang disebut CH4). Setiap bagian konstan yang homolog pada ranatai ringan maupun

berat memiliki suatu ikatan disulfida tunggal yang melipat rantai tersebut menjadi suatu

lingkaran.

5.3.4 Bagian CL

Rantai ringan terbagi menjadi 2 tipe berdasarkan antigenitas dan susunan asam

aminonya. Ke dua tipe tersebut disebut kappa (k) dan lambda (λ). Kedua rantai ringan

pada satu molekul imunoglobulin harus identik. Perbandingan antara rantai k dan λ

sangat bervariasi antara pelbagai spesies. Anjing, kucing, sapi dan domba memiliki 90 %

rantai λ, sedangkan mencit, kelinci dan tikus (rat) memiliki 90 % rantai k. Babi memiliki

jumlah yang sama dari setiap tipe sedangkan kuda dan cerpelai hanya memiliki rantai λ.

5.3.5 Bagian CH

Disamping berikatan dengan antigen khusus imunoglobulin memiliki sejumlah

aktivitas biologis yang lain, yang kebanyak dimulai setelah imunoglobulin mengikat

determinan antigen. aKtivitas biologis ini meliputiaktivitas kaskade komplemen dan

pengikatan kompleks kebal pada sel fagositik sebagai persiapan pencernaan (opsonisasi).

Hal ini dan fungsi yang lain berlangsung melalaui tempat-tempat di bagian konstan dari

rantai berat imunoglobulin. Jadi suatu bagian kecil yang terdapat pada CH2 dari IgG

bertanggung jawab untuk dimulainya kaskade komplemen, sedangkan bagian yang

Page 54: Diktat Imunologi

serupa pada CH4 IgM melakukan fungsi yang sama pada molekul tadi. Derajat katabolik

fraksional dari IgG juga dikendalikan oleh suatu tempat pada CH2, sedangkan perlekatan

pada makrophag diperantarai melalaui suatu tempat pada CH3. Pemindahan plasenta IgG

(pada manusia) dan sitotoksisitas berperantara sel yang diperantarai oleh antibodi juga

diatur oleh tempat-tempat pada rantai berat di bagian Fc tetapi mungkin tidak oleh suatu

bagian yang homolog tunggal saja.

Mikroglobulin β2 (11.800 dalton) terdapat dalam keadaan bebas dalam serum

maupun terikat pada permukaan banyak sel yang termasuk antigen histokompatibilitas

klas I. Mikroglobulin β2 mempunyai keistimewaan dalam hal susunan asam amino yang

sangat menyerupai susunan asam amino dari bagian konstan yang homolog dari

imunoglobulin, sedemikian rupa sehingga dapat mengikat komplemen dan juga berikatan

pada reseptor Fc dari makrophag. Karena itu diduga bahwa molekul ini suatu bagian

konstan yang homolog dari imunoglobulin yang terisolasi.

5.4 KLAS IMUNOGLOBULIN

5.4.1 Imunioglobulin G.

IgG adalah klas imunoglobulin yang terdapat dalam konsentrasi tertinggi dalam

serum darah dan karena itu memainkan peran utama dalam mekanisme pertahanan yang

diperantarai oleh antibodi. Zat itu merupaka imunoglobulin 7 S dengan berat molekul

180.000 dalton dan mem,iliki determinan antigen γ pada rantai beratnya. Karena ukuran

yang relatif kecil maka zat itu lebih mudah keluar dari pembuluh darah dibandingkan

molekul imunoglobulin yang lain, dan karena itu cepat mengambil bagian utama dalam

mekanisme pertahanan pada ruang jaringan dan permukaan tubuh. IgG dapat melakukan

Page 55: Diktat Imunologi

opsonisasi, aglutinasi dan presipitasi antigen, tetapi hanya dapat mengativitasi kaskade

komplemen bila telah terkumpul cukup banyak molekul dalam konfigurasi yang tepat

pada pwermukaan antigen. Beberapa sub klas IgG dapat berikatan pada sel mast dan

karena itu turut serta dalam hipersensitivitas tipe I.

5.4.2 Imunioglobulin M.

IgM adalah imunoglobulin yang terdapat dalam konsentrasi nomor dua tertinggi dalam

seru dari kebabyakan hewan IgM adalah molekul 19 S dengan berat molekul 900.000

dalton yang terbentuk dari lima sub unit 7 S. Setiap sub unit ini mempunyai struktur yang

serupa dengan molekul imunoglobulin berbentuk dasar Y, kecuali bahwa sub unit itu

memiliki empat bukannya tiga, unit CH yang homolog dan membawa determinan antigen

μ. Monomer-monomer IgM terikat satu dengan yang lain oleh ikatan disulfida dengan

cara melingkari membentuk bintang, dan suatu polipeptida kecil yang kaya sistein yang

disebut rantai J (15.000 dalton) menghubungkan dua dari unut-unit tersebut. Molekul

IgM disekresi dalam keadaan utuh oleh sel plasma dan karena itu, rantai J harus dianggap

sebagai bagian integral dari molekul ini.

IgM adalah imunoglobulin utama yang dihasilkan dalam tanggap kebal primer.

IgM juga diproduksi dalam tanggap kebal sekunder, tetapi jumlahnya tertutup oleh

produksi yang banyak sekali dari IgG pada tanggap ini. Walaupun diproduksi dalam

jumlah yang relatif kecil, IgM sangat lebih efisien (berdasar molar) dari pada IgG pada

aktivitas komplemen, opsonisasi, netralisasi virus dan aglutinasi. Karena ukurannya yang

besar, molekul IgM terutama terbatas dalam sistem pembuluh darah dan karena itu

mungkin kurang penting dalam memberi perlindungan dalam cairan jaringan atau sekresi

tubuh. Monomer IgM (IgM 7 S) juga berfungsi sebagai reseptor antigen pada sel.

Page 56: Diktat Imunologi

5.4.3 Munoglobulin A.

IgA adalah imunoglobulin yang bnayak mengandung karbihidrat berstruktur

konvensional. Zat itu cendrung untuk membentuk polimer sedemikian sehingga terdapat

dimer 11 S, trimer 13 S atau polimer yang lebih tinggi disamping molekul dasar 7 S.

Komponen yang paling sering terdapat yaitru dimer yang terdiri dari dua unit 7 S yang

dihubungkan oleh rantai J wal;aupun IgA merupakan imunoglobulin terbanyak dalam

serum manusia, biasanya dalam serum hewan IgA hanya berupa komponen minor.

Sungguhpun demikian IgA merupakan imunoglobulin utama yang terdapat dalam sekresi

eksternal tubuh. Itulah sebabnya IgA berperan sangat penting dalam perlindungan

saluran-saluran intestinal, respirasi dan urogenital, kelenjar susu dan mata, terhadap

invasi mikroba. IgA tidak mengaktivasi kaskade komplemen dan juga tidak bertindak

sebagai opsonin. Tetapi zat itu dapat mengaglutinasi partikulat antigen dan menetralisasi

virus. Diperkirakan cara kerja IgA adalah mencegah melekatnya antigen pada permukaan

tubuh.

5.4.4 Imunoglobulin E.

IgE adalah imuniglobulin khas berbentuk Y berantai empat dengan tanbaham satu

bagian homolog pada rantai berat di dekat bagian engsel. Karena itu IgE mempunyai

berat molekul 196.000 dalton dan tetapan pengendapan 8 S. Imunoglobulin ini terdapat

dalam konsentrasi yang sangat rendah dalam serum berbagai jenis hewan (misalnya 20

sampai 500 μg/ml pada manusia), tetapi walaupun demikian mempunyai peranan penting

dalam memperantarai reaksi hipersensitivitas tipe I (allergi dan anafilaksis), dan juga

Page 57: Diktat Imunologi

dihubungkan dengan tanggap kebal terhadap berbagai infestasi cacing. IgE memiliki

bagian Fc yang unik yang memungkinkannya berikatan dengan sel jaringan tertentu,

terutama sel mast dan basofil, dan bersama-sama dengan antigen, menyebabkan

keluarnya zat vasoaktif dari sel-sel ini. IgE juga unik diantara imunoglobulin lain dalam

hal akan dihancurkan oleh pemanasan sampai 560C selama 30 menit

5.5.5 Imunoglobulin D.

IgD adalah imunoglobulin 7 S yang terdapat terutama pada permukaan beberapa limfosit

B, dimana berfungsi sebagai reseptor antigen. IgD telah dibuktikan terdapat pada

manusia, hewan percobaan dan ayam. Belum berhasil diperlihatkan terdapat pada

sebagian besar hewan piaraan.

5.6 IMUNOGLOBULIN HEWAN PIARAAN

Semua hewan piaraan memiliki IgG, IgM, IgA, dan mungkin juga memiliki IgE

dan IgD. Sifat dasar dari masing-masing klas imunoglobulin ini tidak berbeda antara

spesies, dan sifat serta fungsinya telah diuraikan sebelumnya. Namun demikian hewan

berbeda dalam jumlah dan tipe sub klas yang terdapat pada masing-masing spesies

maupun dalam pemilikan alotipe.

5.6.1 KUDA.

Kuda terdapat lima sub klas IgG yaitu IgGa, IgGb, IgGc, IgG(B) (kadang-kadang

disebut IgB) dan IgG(T) (kadang-kadang disebut IgT). IgG(T) menarik perhatian dalam

hal kaya akan karbohidrat, karena terdapat dalam jum;lah banyak di dalam sekresi tubuh,

Page 58: Diktat Imunologi

dan yang mulanya diduga sebagai IgA homolog kuda. Simbol T berasal dari pengamatan

bahwa IgG(T) sangat bertambah jumlahnya pada kuda yang dipakai untuk memproduksi

antioksin tetanus. Tetapi analisis struktur antigenik dan susunan asam aminonya

menunjukkan bahwa IgG(T) sangat mirip pada IgGdan karena itu yang terbaik adalah

dianggap subklas IgG. IgG(T) tidak mengikat komplemen mencit dan bereaksi dalam

reaksi presipitasi dengan flokulasi yang agak khas. Imunoglobulin lainnya yang tidak

diaktifkan yang terdapat pada kuda antara lain molekul 10 Sγ1, dan dua imunoglobulin

dari mobilitas γ yang cepat.

5.6.2 SAPI.

Pada sapi seperti yang telah diterangkan sebelumnya, IgG terbagi atas dua sub

klas yaitu IgG1 dan IgG2 berdasarkan atas antigenitas dan mobilitas elektroforetik. IgG2

berdasarkan atas antigen dan mobilitas elektroforetik. IgG1 merupakan kurang lebih 50

% dari IgG dalam serum dan dalam susu sapi terdapat luar biasa banyaknya sehingga

merupakan imunoglobulin yang lebih utama jika dibandingkan dengan IgA. Banyaknya

IgG2 sangat mudah diwariskan maka konsentrasinya sangat bervariasi antara sapi yang

satu dan yang lain. Alotipe telah dilaporkan terdapat pada sapi. Suatu alotipe yang

dikenal dengan nama B1 terdapat pada mata rantai ringan dari sejumlah sapi tetapi relatif

tidak umum. Telah dilaporkan terdapatnya beberapa alotipe yang lain termasuk G2A1 dan

G2A2, terdapat pada rantai berat IgG2 dan turunannya sebagai dominan antosomal, dan

G1A1, terdapat pada rantai berat IgG1. IgE juga telah diketahui terdapat pada sapi.

Page 59: Diktat Imunologi

5.6.3 DOMBA.

Imunoglobulin pada domba sama dengan yang terdapat pada sapi. Domba memiliki

IgG1, IgG2, IgG3. Beberapa domba dilaporkan memiliki IgG1a tetapi ini mungkin hanya

alotipe. Domba juga mempunyai IgE yang tak tahan panas dengan berat molekul 210.000

dalton

5.6.4 BABI.

Babi memiliki tiga sub klas IgG yang disebut IgG1, IgG2 dan IgG3. Disamping

itu babi dewasa memiliki γ1, makroglobulin 18 S yang secara antigenik sama dengan

IgG2, dan anak babi yang baru lahir memiliki 5 S IgG, yang mungkin tidak mempunyai

rantai ringan. Empat alotipe IgG telah dilaporkan terdapat pada babi betina dan antibodi

yang terjadi spontan terhadapnya telah ditemukan dalam serum anak babi. Diduga bahwa

anak babi mungkin menjadi peka terhadap imunoglobulin induk babi sesudah penyerapan

imunoglobulin dari colostrum setelah lahir, IgE telah dilaporkan terdapat pada babi.

5.6.5 ANJING DAN KUCING.

Anjing memiliki empat sub klas IgG yang disebut IgG1, IgG2a, IgG2b, dan

IgG2c sedangkan kucing memiliki dua (IgG1 dan IgG2). Suatu alotipe IgM telah

dilaporkan terdapat pada anjing dan IgE telah dikenal pada spesies ini.

Page 60: Diktat Imunologi

5.6.6 AYAM.

Walaupun IgG pada spesies ini mempunyai beberapa sifat yang unik (begitu

banyak sehingga oleh beberapa peneliti dinamakan IgY), mempunyai fungsi yang sama

dengan IgG pada hewan mamalia dan karena itu disini juga disebut IgG, IgG ayam

mempunyai tetapan pengendapan 8 S dan berat molekul 200.000 dalton. Sejumlah

peneliti telah melaporkan adanya tiga sub klas yaitu IgG1, IgG2 dan IgG3. Walaupun hal

ini belum dibuktikan secara sempurna. Ayam juga memiliki IgA yang terdapat dalam

sekresi dan sebagaimana halnya IgA pada mamalia, cenderung untuk membentuk

polimer. IgM ayam adalah molekul 19 S, terbentuk terutama selama tanggap kebal primer

dan memiliki rantai J. IgM 7 S dapat ditemukan dalam cairan amnion telur dan pada anak

ayam umur sehari. Zat itu diduga berasal dari sekresi saluran telur induk ayam. Adanya

IgD homolog pada ayam juga sudah dibuktikan.

Ayam memiliki tiga lokus alotipe imunoglobulin. Lokus G-1 merupakan lambang

bagi alotipe rantai berat IgG. Lokus M-1 merupakan lambang bagi alotipe rantai berat

IgM, dan lokus L-1 merupakan lambang alotipe rantai ringan. Mungkin terdapat empat

belas macam alotipe yang dikembangkan pada lokus G-1.

5.7 KERAGAMAN ANTIBODI

Suatu hasil yang langsung diperoleh dari penelitian pada antisera terhadap

konjugat pembawa hapten, kenyataan bahwa antibodi dapat membedakan antara

determinan antigen yang hanya sedikit berbeda dalam konfirgurasi strukturalnya.

Selanjutnya disadari bahwa terdapat sejumlah besar antigen yang berbeda-beda dan

Page 61: Diktat Imunologi

bahwa jumlah antibodi yang dibutuhkan untuk bereaksi dengan antigen ini harus juga

berjumlah sangat besar

Satu kesulitan yang timbul akibat temuan ini adalah adanya pendapat bahwa

dibutuhkan meterial genetik dalam jumlah yang luar biasa banyak untuk mengkodekan

bagi setiap molekul antibodi potensial. Tetapi ketika struktur imunoglobulin diketahui

baru menjadi jelas bahwa kekhususan suatu antibodi terhadap determinan antigen

komplementernya terletak hanya pada struktur dari bagian variabel dari rantai ringan dan

rantai berat. Juga menjadi jelas bahwa pengkodean bagi setiap molekul antibodi

potensial. Tetapi ketika struktur imunoglobulin diketahui, baru menjadi jelas bahwa

kekhususan suatu antibodi terhadap determinan antigen komplementernya terletak hanya

pada strukstur dari bagian variabel dari rantai ringan dan rantai berat. Juga menjadi jelas

bahwa pengkodean bagi molekul imunoglobulin dilakukan oleh sekurang-kurangnya dua

kelompok utama gen : Gen bagian variabel yang mengkodean bagi bagian variabel dan

gen bagian konstan yang mengkodean bagi bagian selebihnya dari molekul. Untuk

menerangka kekhususan antibodi, kita mesti menghitungka variasi di dalam bagian

variabel, terutama daerah hipervariabel. Untuk menerangkan bermacam-macam

pembuatan isotipe imunoglobulin yang berbeda-beda, kita harus memperhitungkan

variasi di dalam gen bagian konstan. Banyak informasi yang berikut diperoleh dari

penelitian pada mencit. Walaupun diharapkan bahwa mekanisme yang serupa operatif

pada.

Keragaman Bagian Variabel (V). Paling sedikit tiga macam gen diperlukan untuk

membentuk satu rantai ringan imunoglobulin. Satu gen, gen VL mengkodean bagi seluruh

bagian variabel, gen yang lain yaitu gen CL mengkodean bagi bagian tetap dan gen ketiga

Page 62: Diktat Imunologi

yaitu gen JL mengkodean bagi sebagian rantai yang menghubungkan bagian variabel dan

bagian tetap.

BUKU ACUAN

Tizard, Pengantar Imunologi Veteriner. Airlangga university Press -1988