Upload
vutram
View
225
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
Bunga Rampai Administrasi Publik
Lembaga Administrasi Negara, 2014 | 73
IMPLEMENTASI PENGELOLAAN PAJAK BUMI DAN
BANGUNAN PERDESAAN DAN PERKOTAAN (PBB-P2)
DI DAERAH UNTUK MEMPERKUAT DESENTRALISASI FISKAL
Suryanto Peneliti Madya Pusat Kajian Sistem dan Hukum Administrasi Negara
email : [email protected]
PENGANTAR
Era reformasi yang erlangsung sejak tahun 1998 masih saja menarik
untuk dibahas dan didiskusikan, terutama reformasi di level pemerintahan
daerah. Hal ini tidak lain karena sejak pencanangan reformasi tersebut,
pemerintah daerah telah diberikan kewenangan yang sangat besar
dibandingkan pada masa-masa sebelumnya, sebagaimana telah tertuang
dalam UU No. 22 Tahun 1999 yang kemudian direvisi dengan terbitnya UU
No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah.
Kebijakan desentralisasi dan otonomi daerah menempatkan
pemerintah provinsi, kabupaten dan kota sebagai titik berat
penyelenggaraan pemerintahan daerah, berupa kewenangan yang besar di
bidang politik, administrasi pemerintahan, maupun fiscal. Hal mana sejalan
dengan pandangan Rondinelli, bahwa desentralisasi dibedakan menjadi
empat yakni desentralisasi politik, administratif, dan fiskal. Desentralisasi
politik merupakan pelimpahan kewenangan pengambilan keputusan
kepada tingkat pemerintahan yang lebih rendah, mendorong masyarakat
dan perwakilan mereka untuk berpartisipasi di dalam proses pengambilan
keputusan. Political decentralization bertujuan untuk memberikan
kekuasaan yang lebih besar dalam pengambilan keputusan kepada
Bunga Rampai Administrasi Publik
74 | Lembaga Administrasi Negara, 2014
masyarakat melalui perwakilan yang dipilih oleh masyarakat sehingga
dengan demikian masyarakat dapat terlibat dalam penyusunan dan
implementasi kebijakan.
Sementara itu, desentralisasi administratif menggambarkan hierarki
dan distribusi kewenangan serta fungsi-fungsi di antara unit pemerintah
pusat dengan unit pemerintah non pusat (sub-national government).
Administratif decentralization sendiri memiliki tiga bentuk yaitu
dekonsentrasi, delegasi dan devolusi. Sedangkan desentralisasi pasar
disebut juga desentralisasi ekonomi yaitu digunakan untuk memberikan
tanggung jawab dari sektor publik ke sektor swasta, baik dalam hal
pelayanan maupun promosi barang dan jasa.
Adapun desentralisasi fiskal bertujuan memberikan kesempatan
kepada daerah untuk menggali berbagai sumber dana, meliputi pembiayaan
mandiri dan pemulihan biaya dalam pelayanan publik, peningkatan
Pendapatan Asli Daerah (PAD), bagi hasil pajak dan bukan pajak secara
lebih tepat, transfer dana ke daerah, utamanya melalui Dana Alokasi Umum
(DAU) dan Dana Alokasi Khusus (DAK) secara lebih adil, kewenangan daerah
untuk melakukan pinjaman berdasar kebutuhan daerah. Secara khusus,
desentralisasi fiskal diatur dalam undang-undang tentang perimbangan
keuangan antara pusat dan daerah (UU 25/1999 jo UU 33/2004).
Terkait desentralisasi fiscal, pemerintah pusat dinilai belum
sepenuhnya memberikan kewenangan kepada pemerintah daerah untuk
mengelola keuangan daerah secara lebih otonom/mandiri. Hal ini terbukti
makin besarnya celah fiscal di daerah sehingga makin besar dana transfer
yang “digelontorkan” pemerintah pusat guna menutup celak fiscal tersebut.
Fakta ini menunjukkan bahwa sesungguhnya pemerintah daerah belumlah
otonom dalam mengelola keuangan daerahnya. Akibatnya, ketergantungan
pemerintah daerah kepada pusat masih tinggi.
Bunga Rampai Administrasi Publik
Lembaga Administrasi Negara, 2014 | 75
Jika dirunut lebih mendalam, kondisi ini disebabkan lemahnya system
pengelolaan keuangan yang memberikan kesempatan kepada pemerintah
pusat untuk mengelola sumber-sumber pendapatan yang strategis. Sebagai
contoh, pajak-pajak yang berpotensi besar dalam menyumbang PAD justru
dikelola oleh pemerintah pusat, bagian pajak daerah cenderung berupa
pajak-pajak yang berpotensi kecil atau sedang.
Oleh karena itu, dengan terbitnya Undang-undang Nomor 28 Tahun
2009 tentang PDRD, Pemerintah Daerah kini mempunyai tambahan sumber
pendapatan asli daerah (PAD) yang berasal dari pajak daerah, sehingga saat
ini jenis pajak kabupaten/kota terdiri dari sebelas jenis pajak, yaitu Pajak
Hotel, Pajak Restoran, Pajak Hiburan, Pajak Reklame, Pajak Penerangan
Jalan, Pajak Mineral Bukan Logam dan Batuan, Pajak Parkir, Pajak Air Tanah,
dan Pajak Sarang Burung Walet, Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan
Perkotaan, dan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB).
Jika dibandingkan dengan jenis pajak yang tertuang dalam UU
34/2000, maka jenis pajak kabupaten/kota saat ini dapat dilihat pada tabel
berikut:
Tabel 1.
Perbedaan Jenis Pajak Kabupaten/Kota
pada UU No.34/2000 dengan UU No. 28/2009
UU 34/2000 UU 28/2009
1. Pajak Hotel
2. Pajak Restoran
3. Pajak hiburan
4. Pajak Reklame
5. Pajak Penerangan Jalan (PPJ)
6. Pajak Parkir
7. Pajak Pengambilan Bahan
Galian C
1. Pajak Hotel
2. Pajak Restoran
3. Pajak Hiburan
4. Pajak Reklame
5. Pajak Penerangan Jalan
6. Pajak Parkir
7. Pajak Mineral Bukan Logam dan
Baatuan
8. Pajak Air Tahan (pengalihan
Provinsi)
9. Pajak Sarang Burung Walet
Bunga Rampai Administrasi Publik
76 | Lembaga Administrasi Negara, 2014
(baru)
10. PBB Pedesaan dan Perkotaan
11. Bea Perolehan Hak Atas Tanah
dan Bangunan(baru)
Sumber: Materi Presentasi “PengalihanPBB-P2 dan BPHTB sebagai Pajak
Daerah,” Direktorat Jenderal Pajak. Agustus 2011
Dari tabel di atas dapat diketahui perbedaan pajak kabupaten/kota
sebelum dan saat berlakunya UU 28/2009, yakni terdapat penambahan 4
jenis pajak baru baik berupa perubahan nomenklatur (sebelumnya pajak
pengambilan bahan galian golongan C menjadi pajak mineral bukan logam
dan batuan), pengalihan dari provinsi (pajak air tanah), dan pajak baru
(pajak sarang burung walet, pajak bumi dan bangunan perdesaan &
perkotaan/PBB-P2, dan bea perolehan hak atas tanah &
bangunan).Pengalihan pengelolaan PBB-P2 dilaksanakan mulai per 1
Januari 2014.
Berkaca dari beberapa kabupaten/kota yang sudah melaksanakan
pengelolaan PBB-P2 pada tahun 2011 dan 2012 ternyata banyak
permasalahan yang timbul di dalamnya. Hal ini disebabkan karena
ketidaksiapan Pemda akan beberapa hal di antaranya belum siapnya
kebijakan/peraturan, sarana dan prasarana, serta SDM yang ada. Sebagai
contoh, Pemerintah Kota Surabaya yang telah mengelola PBB-P2 sejak
tahun 2011 yang lalu ternyata banyak menghadapi masalah yang
berkenaan dengan pelayanan terhadap Wajib Pajak (WP). Banyak keluhan
dari masyarakat WP yang mengajukan pelayanan PBB baik berupa
keberatan, pembetulan, balik nama, dan pelayanan yang lain yang tidak
bisa terlayani dengan baik. Hal ini dikarenakan tidak tidak siapnya Pemkot
Surabaya akan basis data dan aplikasi untuk mengadministrasikan PBB-P2,
dan tentunya menyangkut kondisi kesiapan SDM-nya.
Bunga Rampai Administrasi Publik
Lembaga Administrasi Negara, 2014 | 77
KONSEP DESENTRALISASI FISKAL
Desentralisasi fiskal dapat didefinisikan sebagai devolusi
(penyerahan) tanggung jawab fiskal dari pemerintah pusat kepada tingkatan
pemerintah yang ada di bawahnya (Rahayu, 2010, dalam Rusdianto, 2011).
Desentralisasi fiskal juga dapat didefinisikan sebagai penyerahan urusan
fiskal ke bawah, dimana jenjang pemerintahan yang lebih tinggi
menyerahkan sebagian kewenangannya mengenai anggaran dan
keputusan-keputusan finansial kepada jenjang yang lebih rendah (Yustika,
2008, dalam Rusdianto, 2011).
Menurut Ebel (2000) dalam Kumorotomo (2008), desentralisasi fiskal
terkait dengan masalah: 1) pembagian peran dan tanggung jawab
antarjenjang pemerintahan, 2) transfer antarjenjang pemerintahan, 3)
penguatan system pendapatan daerah atau perumusan system pelayanan
publik di daerah, 4) swastanisasi perusahaan milik pemerintah (terkadang
menyangkut tanggung jawab pemerintah daerah), dan 5) penyediaan jaring
pengaman social.
Pelaksanaan desentralisasi fiskal akan berjalan dengan baik kalau
didukung faktor-faktor berikut: a) Pemerintah Pusat yang mampu melakukan
pengawasan dan enforcement; b) SDM yang kuat pada Pemda guna
menggantikan peran Pemerintah Pusat; c) Keseimbangan dan kejelasan
dalam pembagian tanggung jawab dan kewenangan dalam melakukan
pungutan pajak dan retribusi daerah (Elfianti, 2011). Jelas bahwa
kemampuan SDM merupakan salah satu factor penting yang harus dipenuhi
dalam pelaksanaan desentralisasi fiskal, dalam hal ini pengelolaan PBB-P2.
KOMPETENSI
Pengertian kompetensi yang dimaksud di sini adalah perilaku dan
ketrampilan yang dituntut agar seseorang dapat memenuhi tuntutan
pekerjaan atau secara umum dapat dianggap sebagai persyaratan agar
Bunga Rampai Administrasi Publik
78 | Lembaga Administrasi Negara, 2014
seseorang dapat melaksanakan pekerjaannya dalam organisasi tertentu.
Berdasar pada definisi tersebut, SDM yang kompeten adalah SDM yang bisa
melaksanakan tugasnya sesuai dengan tuntutan pekerjaan. Dalam hal ini,
SDM Aparatur Daerah dituntut untuk mengerti dan bertanggung jawab
terhadap pekerjaannya (Pusat Kajian Kinerja Otonomi Daerah-LAN, 2008).
Selanjutnya Rothwell mengidentifikasikan kompetensi ke dalam
empat kelompok atau kriteria, yaitu :
1. Technical competence, yaitu kemampuan teknis mengenai bidang yang
menjadi tugas pokok organisasi;
2. Business competence atau sering juga disebut managerial competence,
yaitu kemampuan manajerial yang dibutuhkan dalam organisasi;
3. Interpersonal competence atau disebut juga social competence, yaitu
kemampuan untuk bersosialisasi atau berkomunikasi dengan orang lain;
4. Intelectual competence atau sering juga disebut strategic competence,
yaitu kemampuan berpikir secara strategis untuk pencapaian tujuan
organisasi.
Dalam pembahasan sumber daya manusia aparatur atau Pegawai
Negeri Sipil, Dr. Djamaluddin Antjok menambahkan satu kriteria lagi, yaitu
kompetensi etika atau ethical competence. Dalam UU No. 28 Tahun 2009,
terdapat 4 hal yang menjadi perbedaan dengan pengaturan sebelumnya (UU
No. 34 Tahun 2000), yaitu: (1) penerapan „Closed-List’ system, (2)
penguatan local taxing power, (3) perubahan sistem pengawasan, dan (4)
perbaikan pengelolaan penerimaan pajak daerah.
Pertama, Closed-List System, Kebijakan perpajakan daerah yang baru
menganut prinsip „closed-list’ system, yakni daerah hanya boleh menganut
jenis pajak daerah yang ditetapkan dalam undang-undang. Hal ini berbeda
dengan kebijakan perpajakan daerah yang lama yang menganut sistem
„open-list‟ dimana daerah dapat memungut berbagai jenis pajak daerah
(meskipun jenis pajak tersebut tidak tercantum dalam undang-undang)
Bunga Rampai Administrasi Publik
Lembaga Administrasi Negara, 2014 | 79
sepanjang tidak bertentangan dengan kepentingan umum dan/atau
peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi. Tujuan dari perubahan
kebijakan tersebut adalah untuk menigkatkan efisiensi pemungutan pajak
daerah dan memberikan kepastian hukum bagi masyarakat mengenai jenis-
jenis pajak daerah yang menjadi kewajibannya. Hal ini juga dimaksudkan
unutk menciptakan iklim investasi yang lebih kondusif di daerah sehingga
dapat memacu pertumbuhan ekonomi nasional.
Kedua, Local Taxing Power, bahwa dalam rangka meningkatkan
pendapatan asli daerah (PAD), kepada daerah diberikan kewenangan yang
lebih besar untuk mengoptimalkan pemungutan jenis pajak daerah yang
ada. Peningkatan kewenangan tersebut dilakukan dengan memperluas
objek beberapa jenis pajak, menambah jenis pajak daerah, meningkatkan
tarif maksimum beberapa jenis pajak daerah, dan memberikan kewenangan
sepenuhnya kepada daerah untuk menetapkan tarif pajak daerah.
Perluasan objek pajak antara lain dilakukan dengan memperluas objek
pajak restoran sehingga mencakup juga katering/jasa boga, memperluas
objek pajak hotel sehingga mencakup keseluruhan persewaan ruangan di
hotel, dan memperluas objek pajak hiburan sehingga mencakup juga
permainan golf dan bowling. Penambahan jenis pajak daerah dilakukan
dengan memperkenalkan jenis pajak daerah yang baru (pajak rokok untuk
provinsi dan pajak sarang burung walet untk kabupaten/kota), mengalihkan
jenis pajak provinsi tertentu menjadi pajak kabupaten/kota (pajak air tanah),
dan mengalihkan beberapa pajak pusat menjadi pajak kabupaten/kota
(PBB-P2 dan BPHTB).
Pajak Bumi dan Banguan Perdesaan dan Perkotaan (PBB-P2)
merupakan pengalihan dari pajak pusat menjadi pajak kabupaten/kota.
Beberapa pertimbangan yang mendasari penalihan jenis pajak ini adalah:
Asas lokalitas, dimana objek pajak, yaitu tanah dan bangunan, berada
pada satu kabupaten/kota dan tidak berpindah-pindah (im-mobile);
Bunga Rampai Administrasi Publik
80 | Lembaga Administrasi Negara, 2014
Asas tax-benefit link, dimana pembayar pajak dan pihak yang
memperoleh manfaat pajak berada pada satu kabupaten/kota;
Prinsip akuntabilitas, dimana daerah mempertanggungjawabkan
pengelolaan hasil pajak daerah kepada masyarakat di daerahnya;
Best-practice secara internasional, dimana hampir semua negara di
dunia menempatkan property tax sebagai pajak daerah.
Kenaikan tarif maksimum beberapa jenis pajak daerah akan
memberikan ruang gerak yang lebih luas bagi daerah untuk meningkatkan
pendapatan. Namun demikian, dalam memanfaatkan ruang gerak tersebut,
daerah harus memperhitungkan dampak dari setiap kenaikan tarif pajak
daerah, baik dari sisi pendapatan daerah, daya pikul masyarakat, kondisi
perekonomian daerah, dan lain-lain. Beberapa jenis pajak daerah yang
mengalami kenaikan tarif maksimum adalah:
a. Pajak Kendaraan Bermotor, tarif maksimum naik dari 5% menjadi 10%.
b. Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor, tarif maksimum naik dari 10%
menjadi 20%.
c. Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor, tarif maksimum naik dari 5%
menjadi 10%.
d. Pajak Parkir, tarif maksimum naik dari 20% menjadi 30%.
e. Pajak Mineral Bukan Logam dan Batuan, tarif maksimum naik dari 20%
menjadi 25%.
f. Pajak Hiburan, tarif maksimum naik dari 35% menjadi 75%.
Tarif efektif pajak daerah ditetapkan dalam peraturan daerah dan
tidak boleh melampaui tarif maksimum. Penguatan local taxing power ini
ditujukan untuk memberikan kompensasi kepada daerah atas dibatasinya
ruang gerak dalam menciptakan jenis pajak daerah baru di luar yang
ditetapkan undang-undang. Dengan kompensasi ini diharapkan daerah
dapat berkonsentrasi untuk mengupayakan optimalisasi pemungutan pajak
daerah yang ada dalam rangka meningkatkan pendapatan asli daerah
Bunga Rampai Administrasi Publik
Lembaga Administrasi Negara, 2014 | 81
tanpa perlu memikirkan kemungkinan pemungutan jenis pajak daerah baru.
Melalui kebijakan ini, timbulnya perda-perda pungutan bermasalah (tidak
sesuai dengan peraturan perundang-undangan) dapat dikurangi bahkan
dihilangkan.
Ketiga, Sistem Pengawasan, pajak daerah hanya dapat dipungut oleh
daerah dengan menetapkan peraturan daerah. Oleh karena itu,
pengawasan pajak daerah dapat dilakukan melalui mekanisme evaluasi
atas rancangan peraturan daerah (raperda) dan peraturan daerah (perda)
yang mengatur pajak daerah. Untuk meningkatkan efektivitas pengawasan,
masyarakat (individu dan lembaga) dan dunia usaha dapat menyampaikan
informasi kepada pemerintah mengenai praktik pemungutan pajak daerah
yang dipandang tidak sesuai dengan peraturan perundang-undangan
dengan melampirkan perda yang digunakan sebagai dasar pemungutan.
Sistem pengawasan pajak daerah yang diatur dalam Undang-Undang
Nomor 28 Tahun 2009 menganut pendekatan yang tedapat dalam Undang-
Undang Nomor 32 Tahun 2004, yakni preventif dan korektif. Suatu raperda
tentang pajak daerah yang telah disetujui bersama oleh pemerintah daerah
dan dewan perwakilan rakyat daerah, sebelum ditetapkan menjadi perda
harus dievaluasi dilakukan oleh Menteri Dalam Negeri yang berkoordinasi
dengan Menteri Keuangan. Sedangkan untuk raperda kabupaten/kota,
evaluasi dilakukan oleh Gubernur yang berkoordinasi dengan Menteri
Keuangan.
Keempat, Pengelolaan Penerimaan Pajak Daerah, untuk
meningkatkan kesadaran masyarakat membayar pajak daerah dan dalam
rangka optimalisasi pemungutan pajak daerah, Undang-Undang Nomor 28
Tahun 2009 mengatur beberapa hal terkait degnan pengelolaan
pendapatan pajak daerah, yaitu bagi hasil pajak provinsi, earmarking, dan
insentif pemungutan.
1) Bagi hasil pajak provinsi
Bunga Rampai Administrasi Publik
82 | Lembaga Administrasi Negara, 2014
Seluruh pendapatan pajak provinsi dibagihasilkan kepada
kabupaten/kota yang berada di wilayah provinsi tersebut. Pembagian
hasil pajak provinsi adalah sebagai berikut:
No. Jenis Pajak Provinsi Provinsi Kabupaten/
Kota
1. Pajak Kendaraan Bermotor 70% 30%
2. Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor 70% 30%
3. Pajak Bahan Bakar Kendaraan
Bermotor
30% 70%
4. Pajak Air Permukaan 50% 50%
5. Pajak Rokok 30% 70%
2) Earmarking
Pendapatan dari jenis pajak tertentu dialokasikan untuk membiayai
kegiatan yang secara langsung dirasakan manfaatnya oleh pembayar
pajak tersebut (earmarking). Terdapat 3 (tiga) jenis pajak yang secara
eksplisit di-earmark, yaitu:
a) 10% dari pendapatan pajak kendaraan bermotor harus dialokasikan
untuk pembangunan/perbaikan jalan dan transportasi umum,
b) sebagian pendapatan pajak penerangan jalan harus digunakan
untuk menyediakan penerangan jalan umum, dan
c) 50% dari pendapatan pajak rokok harus dialokasikan untuk
peningkatan pelayanan kesehatan.
Dengan kebijakan „earmarking‟ ini, para pembayar pajak akan dapat
merasakan manfaat dari pajak yang dibayar.
3) Insentif Pemungutan
Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 65 Tahun 2001 tentang pajak
daerah, diatur pemberian biaya pemungutan paling tinggi 5% dari
pendapatan pajak daerah. Dalam implementasinya, alokasi biaya
pemungutan tersebut dipandang kurang mencapai sasaran, sehingga
Bunga Rampai Administrasi Publik
Lembaga Administrasi Negara, 2014 | 83
dalam Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 dilakukan perbaikan. Di
dalam kebijakan pajak daerah yang baru, pemberian insentif
pemungutan didasarkan atas pencapaian kinerja tertentu dan diberikan
sebagai tambahan penghasilan bagi aparatur pemungutan pajak daerah.
Hal ini ditujukan untuk memotivasi petugas guna mengoptimalkan
pemungutan pajak daerah. Untuk provinsi, besarnya insentif pemungutan
ditetapkan paling tinggi 3% dan untuk kabupaten/kota paling tinggi 5%.
Untuk menghindari pemberian insentif pemungutan yang berlebihan,
dalam Peraturan Pemerintah Nomor 69 Tahun 2010 tentang tatacara
pemberian dan pemanfaatan insentif pemungutan pajak daerah diatur
batasan besarnya insentif pemungutan berdasarkan kluster tertentu
dengan batas paling tinggi 10 kali gaji pokok ditambah tunjangan yang
mengikat untuk setiap bulannya.
PETA KOMPETENSI SDM PENGELOLA PBB-P2 SAAT INI
Pencapaian kinerja pengelolaan PBB-P2 ditentukan oleh banyak
factor, salah satunya ketersediaan dan kompetensi SDM. Kompetensi
pegawai yang dimaksud dalam hal ini adalah kompetensi teknis yakni
kemampuan kerja setiap PNS yang mencakup aspek pengetahuan,
keterampilan, dan sikap kerja yang mutlak diperlukan dalam melaksanakan
tugas-tugas jabatannya (Perka BKN No. 8 Tahun 2013). Pengetahuan kerja
adalah pengetahuan yang dimiliki PNS berupa fakta, informasi, keahlian
yang diperoleh seseorang melalui pendidikan dan pengalaman, baik teoritik
maupun pemahaman praktis, dan berbagai hal yang diketahui oleh PNS
terkait dengan pekerjaannya serta kesadaran yang diperoleh PNS melalui
pengalaman suatu fakta atau situasi dalam konteks pekerjaan.
Banyak kendala yang dihadapi dalam pengelolaan pajak daerah, di
antaranya: (a) Berbagai peraturan pelaksanaan undang-undang yang
sering kali tidak konsisten dengan undang-undangnya, (b)
Bunga Rampai Administrasi Publik
84 | Lembaga Administrasi Negara, 2014
Melaksanakan tax reform lebih pelik dan makan waktu dibandingkan
dengan ketika merancang tax reform dalam undang-undang, apabila
peraturan pelaksanaan yang dijadikan dasar dalam melaksanakan aturan
hukum pajak tidak konsisten dengan undang-undang, tentu akan
mengakibatkan kendala yang fatal dalam pemungutan pajak, (c) Kurangnya
pembinaan antara pajak daerah dengan pajak nasional/pajak pusat. Pajak
daerah dan pajak nasional/pajak pusat merupakan satu sistem
perpajakan Indonesia, yang pada dasarnya merupakan beban masyarakat
sehingga perlu dijaga agar kebijaksanaan perpajakan tersebut dapat
memberikan beban yang adil. Sejalan dengan perpajakan nasional, maka
pembinaan pajak daerah harus dilakukan secara terpadu dengan pajak
nasional. Pembinaan harus dilakukan secara terus menerus, terutama
mengenai objek dan tarif pajaknya supaya antara pajak pusat dan pajak
daerah saling melengkapi.
Kendala lainnya adalah meliputi : (d) Database yang masih jauh dari
standar nasional dan internasional. Kendala lain yang dihadapi aparatur
pajak adalah database yang masih jauh dari standar internasional. Padahal
database sangat menentukan untuk menguji kebenaran pembayaran pajak
dengan sistem self-assessment. Persepsi masyarakat, bahwa banyak dana
yang dikumpulkan oleh pemerintah digunakan secara boros atau dikorup,
juga menimbulkan kendala untuk meningkatkan kepatuhan pembayar
pajak. Berbagai pungutan resmi dan tidak resmi, baik di pusat maupun di
daerah, yang membebani masyarakat juga menimbulkan hambatan untuk
menaikkan penerimaan pajak, dan (e) Lemahnya penegakan hukum (law
enforcement) terhadap kepatuhan membayar pajak bagi penyelenggara
negara. Law enforcement merupakan pelaksanaan hukum oleh pejabat
yang berwenang di bidang hukum, misalnya pelaksanaan hukum oleh polisi,
jaksa, hakim dan sebagainya. Tidak kalah penting untuk disoroti
pelaksanaan hukum di lingkungan birokrasi, khususnya badan
Bunga Rampai Administrasi Publik
Lembaga Administrasi Negara, 2014 | 85
pemerintahan di bidang perpajakan) dalam melakukan pemeriksaan
terhadap para penyelenggara negara, ternyata belum ada gebrakan yang
berarti. Seharusnya bila dilakukan tentu akan membantu dalam
mewujudkan good governance dalam bentuk pemerintahan yang bersih.
Penegakan hukum pajak dilakukan dalam bentuk penjatuhan sanksi
terhadap pelanggar hukum pajak untuk melindungi kepentingan negara
untuk memperoleh pembiayaan dari sector pajak mengingat hukum pajak
tidak melindungi kepentingan wajib pajak tetapi bahkan melindungi sumber
pendapatan negara yang terfokus pada pemenuhan kewajiban wajib pajak
untuk membayar lunas pajak yang terutang. Penegakan hukum di bidang
perpajakan dapat dikatakan masih lemah, hal ini dapat dilihat dari
banyaknya wajib pajak yang tidak membayar pajak, maraknya kejahatan
korupsi di bidang perpajakan dan para penegak hukum yang tidak becus
dalam menegakkan hukum. Kasus korupsi „Gayus Tambunan‟ merupakan
salah satu contoh lemahnya penegakan hukum di Indonesia, dengan
adanya kasus korupsi tersebut berdampak negatif bagi pemungutan pajak
di Indonesia, timbul anggapan bahwa membayar pajak nantinya tidak
sampai ke negara tetapi hanya akan dikorupsi oleh orang-orang yang tidak
bertanggung jawab seperti Gayus Tambunan.
Terhadap berbagai kendala/kelemahan tersebut, Pemerintah dan
pemerintah daerah telah melakukan atau mengeluarkan berbagai peraturan
dan memberikan beberapa hukuman (punishment) kepada pejabat yang
melakukan penyelewengan. Beberapa langkah yang telah ditempuh oleh
DPPKAD Kabupaten Semarang terkait kesiapan SDM aparatur antara lain:
a. Menyusun analisis jabatan (anjab) yang memuat tugas pokok, fungsi, dan
rincian tugas;
b. Meminta tambahan pegawai/staf (kepada BKD) untuk mengisi posisi
yang dibutuhkan dalam mendukung pelaksanaan tugas pengelolaan
pajak daerah – meski hal ini belum terpenuhi;
Bunga Rampai Administrasi Publik
86 | Lembaga Administrasi Negara, 2014
c. Mengirimkan pegawai/staf untuk mengikuti pelatihan-pelatihan
perpajakan, walau pun masih dalam jumlah terbatas;
d. Melakukan perkonsultasian dengan pemerintah pusat, instansi vertikal di
daerah (KPP Pratama – Kemenkeu), maupun pemerintah daerah lain
yang juga telah menerapkan UU No. 28/2009;
e. Melibatkan tenaga ahli sebagai narasumber dalam memperkuat
pengelolaan PBB-P2 yang semakin baik.
Berbagai upaya tersebut, diakui hanya dilaksanakan sebatas business
as usual, seperti biasanya dan hanya sekedar memenuhi permintaan.
Turunnya angka realisasi PBB-P2 dari Rp. 31 miliar (2012) menjadi Rp. 18
miliar (2013) tentu dapat menjadi indikasi kelemahan perangkat-perangkat
(termasuk SDM) yang terkait dalam pengelolaan PBB-P2 tersebut. Oleh
karena itu, upaya-upaya peningkatan kompetensi SDM yang lebih sistematis
menjadi solusi yang dapat ditawarkan guna meningkatkan pencapaian/
realisasi PBB-P2 di masa mendatang.
KOMPETENSI TEKNIS YANG DIBUTUHKAN DALAM PENGELOLAAN PBB-P2
Upaya penyusunan tingkat dan ragam kompetensi teknis dilakukan
dengan mendasarkan pada ketentuan PP No. 101 tahun 2000 tentang
Diklat Jabatan PNS, Perka BKN No. 8 Tahun 2013 tentang Pedoman
Perumusan Standar Kompetensi Teknis PNS, serta Permendagri No. 2
Tahun 2013 tentang Pedoman Pengembangan Sistem Pendidikan dan
Pelatihan Berbasis Kompetensi di Lingkungan Kementerian Dalam Negeri
dan Pemerintahan Daerah.
Meskipun diklat bukan satu-satunya cara untuk meningkatkan
kompetensi PNS, namun keikutsertaan dalam suatu diklat diyakini dapat
meningkatkan pengetahuan, keterampilan dan sikap PNS yang
diikutsertakan dalam diklat dimaksud. Diklat itu sendiri terdiri atas diklat
structural, teknis dan fungsional. Dalam konteks pengelolaan PBB-P2 maka
Bunga Rampai Administrasi Publik
Lembaga Administrasi Negara, 2014 | 87
yang dibutuhkan saat ini lebih mengarah kepada diklat teknis. Di dalam
Pasal 12 ayat (1) PP No. 101 Tahun 2000 disebutkan bahwa “Diklat Teknis
dilaksanakan untuk mencapai persyaratan kompetensi teknis yang
diperlukan untuk melaksanakan tugas PNS”. Selanjutnya dalam penjelasan
disebutkan, kompetensi teknis adalah kemampuan PNS dalam bidang-
bidang teknis tertentu untuk pelaksanaan tugas masing-masing. Bagi PNS
yang belum memenuhi persyaratan kompetensi jabatan perlu mengikuti
Diklat Teknis yang berkaitan dengan persyaratan kompetensi jabatan
masing-masing. PNS yang perlu mengikuti Diklat Teknis adalah PNS yang
telah dievaluasi oleh Pejabat Pembina Kepegawaian dengan
memperhatikan pertimbangan Baperjakat dan Tim Seleksi Diklat Instansi
(penjelasan pasal 12 ayat 1 PP 101 tahun 2000).
Untuk mengetahui kompetensi teknis yang diperlukan dalam
pengelolaan PBB-P2 maka dalam laporan ini akan disampaikan tingkat dan
ragam kompetensi teknis yang diperlukan. Tingkat kompetensi teknis terkait
dengan jenjang yang dipersyaratkan, dimana dalam ketentuan Perka BKN
8/2013 disebut dengan istilah kualifikasi kompetensi teknis, meliputi
kompetensi umum, kompetensi inti, dan kompetensi pilihan. Sedangkan
ragam kompetensi teknis meliputi jenis/macam-macam kompetensi yang
diperlukan dalam dalam rangka pengelolaan PBB-P2.
Penyusunan kompetensi teknis (tingkat dan ragam) dilakukan dengan
mengikuti tahapan yang tertuang dalam Perka BKN No. 8 Tahun 2013.
Pertama, mengidentifikasi informasi unit organisasi, dalam hal ini Dinas
Pendapatan dan Pengelolaan Kekayaan dan Aset Daerah, yang memiliki
tugas pokok melaksanakan urusan pemerintah Daerah di bidang
pendapatan pengelolaan keuangan dan aset daerah. Sedangkan fungsi-
fungsinya adalah meliputi: a) Perumusan kebijakan teknis dibidang
pendapatan, pengelolaan, keuangan, dan aset daerah, b) Penyelenggaraan
urusan pemerintahan bidang pendapatan, pengelolaan keuangan, dan aset
Bunga Rampai Administrasi Publik
88 | Lembaga Administrasi Negara, 2014
daerah, dan c) Pembinaan dan pelaksanaan tugas bidang pendapatan,
pengelolaan keuangan, dan aset daerah.
Kedua, mengidentifikasi peta jabatan, terutama yang kerkait dengan
pengelolaan pajak daerah, meliputi: Kepala Dinas, Kepala Bidang Pajak
Daerah, Seksi Pendaftaran dan Pendataan, Seksi Perhitungan dan
Penetapan, Seksi Pembayaran, penagihan, dan penyelesaian pelanggaran,
dan Unit Pelaksana Teknis Dinas (UPTD).
Ketiga, mengidentifikasi fungsi-fungsi jabatan yang ada di DPPKAD,
fungsi jabatan diperoleh dari dokumen analisis jabatan (anjab) yang
tersedia. Fungsi-fungsi jabatan dalam organisasi ini selanjutnya dapat
ditelusuri menjadi unit-unit kompetensi yang diperlukan baik kompetensi
manajerial (bagi pejabat struktural) maupun kompetensi teknis
(pelaksana/pejabat fungsional umum). Dalam konteks organisasi, pejabat
structural maupun pejabat fungsional dituntut memiliki kompetensi
manajerial maupun kompetensi teknis, namun tentu terdapat batas-batas
Gambar 1.
Peta Jabatan Bidang Pajak Daerah
Bunga Rampai Administrasi Publik
Lembaga Administrasi Negara, 2014 | 89
yang membedakan di antara keduanya. Bagi pejabat structural, dituntut
memiliki kompetensi manajerial yang makin tinggi, sedangkan untuk
kompetensi teknis semakin rendah. Sebaliknya, untuk pelaksana/pejabat
fungsional umum/fungsional tertentu maka semakin kecil kompetensi
manajerial dan semakin besar/tinggi kompetensi teknis.
Gambar 2.
Tingkat Kompetensi Manajerial Vs
Kompetensi Teknis
Gambar di atas menunjukkan bahwa setiap pejabat/pegawai
sebenarnya memiliki tuntutan kompetensi sesuai dengan jenjang dan
jenisnya. Sebagai contoh, seorang kepala bidang (kabid) tentu harus
menguasai tingkat kompetensi manajerial lebih tinggi dibandingkan dengan
pelaksana/staf. Namun demikian, seorang kabid diharuskan memiliki
kompetensi teknis walaupun dalam tingkatan yang lebih rendah. Dalam hal
kompetensi teknis, pelaksana/staf harus menguasai lebih tinggi
dibandingkan seorang kepala bidang (kabid).
Berkenaan dengan perlunya peningkatan tingkat dan ragam
kompetensi teknis pengelolaan PBB-P2, penulis telah mencoba menyusun
standar kompetensi teknis pegawai negeri sipil (SKTPNS) dengan tahapan
Bunga Rampai Administrasi Publik
90 | Lembaga Administrasi Negara, 2014
sebagai berikut: (a) mengidentifikasi tusi setiap PNS sesuai jabatannya, (b)
mengidentifikasi unit kompetensi per jabatan, (c) menyusun ikhtisar
kompetensi, (d) menyusun tingkat dan ragam kompetensi yang dibutuhkan.
Tabel berikut menginformasikan tingkat dan ragam kompetensi teknis
pengelolaan PBB-P2.
Tabel 2.
Tingkat dan Ragam Kompetensi Teknis
Dalam Pengelolaan PBB-P2
No. Tahapan Ragam Kompetensi Tingkat Kompetensi
1. Pendataan
dan penilaian
Mengumpulkan
bahan kebijakan
teknis
S1/Planologi
Diharapkan memiliki
kompetensi tinggi
dalam hal ilmu ukur
dan penilai
(appraiser)
Merumuskan
kebijakan teknis
bidang pendaftaran
dan pendataan
Merumuskan
estimasi pendapatan
pajak daerah
Menginventarisasi
jenis dan sumber
pendapatan pajak
daerah
Memahami substansi
peraturan
perundangan
Menginventarisasi
obyek dan subyek
pajak daerah (tanah
dan bangunan)
Menghimpun data
obyek dan subyek
pajak daerah
Mengelola data
obyek dan subyek
pajak daerah
Mencatat data obyek
dan subyek pajak
daerah
Merumuskan
Bunga Rampai Administrasi Publik
Lembaga Administrasi Negara, 2014 | 91
No. Tahapan Ragam Kompetensi Tingkat Kompetensi
kebijakan teknis
pemungutan pajak
daerah
Mengoreksi data
Menganalisa data
Monitoring dan
evaluasi
Menyusun laporan
pertanggungjawaban
Menyampaikan
saran dan
pertimbangan
2. Penetapan
dan
pelayanan
Merumuskan bahan
kebijakan teknis
S1/Administrasi Negara
Menghitung pajak
daerah
Membuat SKPD
Menyampaikan
SKPD
Melakukan
perhitungan dan
verifikasi
Menyampaikan
laporan
perkembangan data,
penambahan dan
pengurangan
Menyusun konsep
penetapan NPWP
Merumuskan
kebijakan teknis
operasional
Menginventarisasi
jenis dan sumber
penerimaan pajak
daerah
Monitoring dan
evaluasi
pelaksanaan
kegiatan
Menyusun laporan
pertanggungjawaban
Menyampaikan
Bunga Rampai Administrasi Publik
92 | Lembaga Administrasi Negara, 2014
No. Tahapan Ragam Kompetensi Tingkat Kompetensi
saran dan
pertimbangan
3. Penerimaan
dan
manajemen
IT
Menciptakan program
yang berkenaan dengan
pengelolaan pajak
(programmer)
S1 / Teknik Informatika
Mengoperasikan
peangkat komputer
(Operator Komputer)
D3 Komputer
4. Penagihan Melakukan penyitaan
kekayaan dan aset WP
(Jurusita pajak)
Berijazah serendah-
rendahnya SMU
atau yang setingkat
Berpangkat
serendah-rendahnya
pengatur muda (II-c)
Bebadan sehat
Lulus diklat jurusita
pajak
Jujur, bertanggung
jawab dan penuh
pengabdian.
(KMK No.
562/KKM.04/2000)
5. Keberatan
dan
pengurangan
Menganalisis argument
yang diajukan dalam
rangka pengurangan
pajak yang harus dibayar
oleh WP
S1/ Hukum Perdata
Sumber: Peneliti, 2014 (Data diolah).
PENUTUP: KESIMPULAN DAN REKOMENDASI
Desentralisasi fiskal bertujuan memberikan kesempatan kepada
daerah untuk menggali berbagai sumber dana, meliputi pembiayaan mandiri
dan pemulihan biaya dalam pelayanan publik, peningkatan Pendapatan Asli
Daerah (PAD), bagi hasil pajak dan bukan pajak secara lebih tepat, transfer
dana ke daerah, utamanya melalui Dana Alokasi Umum (DAU) dan Dana
Alokasi Khusus (DAK) secara lebih adil, kewenangan daerah untuk
Bunga Rampai Administrasi Publik
Lembaga Administrasi Negara, 2014 | 93
melakukan pinjaman berdasar kebutuhan daerah. Secara khusus,
desentralisasi fiskal diatur dalam undang-undang tentang perimbangan
keuangan antara pusat dan daerah.
Manifestasi dari desentralisasi fiskal tersebut adalah terbitnya UU No.
28 Tahun 2009. Menurut Undang-undang No.28 Tahun 2009 tentang Pajak
Daerah dan Restribusi Daerah, Pajak Daerah yang selanjutnya disebut
adalah kontribusi wajib kepada Daerah yang terutang oleh orang pribadi
atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan Undang-Undang, dengan
tidak mendapatkan imbalan secara langsung dan digunakan untuk
keperluan Daerah bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Implementasi
Undang-undang tentang otonomi daerah dan desentralisasi fiskal membawa
konsekuensi pada kemandirian daerah dalam mengoptimalkan penerimaan
daerahnya. Optimalisasi penerimaan daerah ini sangat penting bagi daerah
dalam rangka menunjang pembiayaan pembangunan secara mandiri dan
berkelanjutan. Sumber penerimaan daerah yang dapat menjamin
keberlangsungan pembangunan di daerah dapat diwujudkan dalam bentuk
Pendapatan Asli Daerah (PAD).
Pengelolaan pajak bumi dan bangunan perdesaan dan perkotaan
(PBB-P2) – satu dari lima sektor PBB – yang diserahkan kepada pemerintah
kabupaten dan kota memerlukan persiapan yang matang dari pemda agar
dapat memberikan efek yang maksimal dalam peningkatan PAD. Di antara
kesiapan pemda adalah tekait dengan SDM pengelola yang bertugas pada
satuan kerja perangkat daerah (SKPD) pendapatan dan pengelolaan
keuangan dan aset daerah.
Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan hal-hal penting sebagai
berikut : (1) Pemberian kewenangan pengelolaan PBB-P2 dari pajak pusat
menjadi pajak daerah belum dapat dilaksanakan secara maksimal,
sekalipun dari aspek regulasi, yang berupa PERDA Pajak dan Retribusi
Daerah, PERDA SOTK dan Peraturan Bupati yang terkait dengan
Bunga Rampai Administrasi Publik
94 | Lembaga Administrasi Negara, 2014
kesanggupan untuk mengelola PBB-P2 telah diterbitkan oleh Pemerintah
Kabupaten Semarang, (2) Sumber Daya Manusia (SDM) Pengelolaan PBB-
P2, belum disiapkan secara memadai, baik dari sisi kualitas maupun
kuantitas. Hal ini berdampak pada menurunnya capaian target pemungutan
PBB-P2 pada tahun 2012 yang lalu. Usulan penambahan sumber daya
manusia pengelolaan PBB-P2 yang telah direkomendasikan Badan
Anggaran DPRD, selama hampir 1 tahun belum ada direalisaikan oleh
pemerintah daerah. Hal ini menyebabkan peta kompetensi sumber daya
manusia pengelola PBB-P2 di DPPKAD belum sesuai dengan standar
kompetensi yang diatur dalam Peraturan Kepala BKN No. 8 tahun 2013, (3)
Langkah-langkah untuk mengatasi kendala dalam upaya peningkatan
kompetensi sumber daya manusia telah dilakukan, namun belum sebanding
dengan banyaknya kewenangan yang diserahkan kepada DPPKAD untuk
mengelola PBB-P2. Hal ini menyebabkan pelaksanaan tugas belum dapat
berjalan maksimal di berbagai tahapan kegiatan, yakni pendataan, penilaian,
penetapan, penagihan, pengawasan, dan lain-lain, karena tidak sebanding
dengan jumlah dan kualitas sumber daya manusia, sarana kerja yang
dimiliki dengan beban kerja yang harus dilaksanakan, dan (4) Penyusunan
kompetensi teknis (tingkat dan ragam) di DPPKAD belum dilakukan sesuai
ketentuan Peraturan Kepala BKN No: 8 tahun 2013. Selama ini, kompetensi
teknis masih dipahami sebagai „pelengkap‟ dari kompetensi lainnya seperti
kompetensi manajerial, kompetensi stratejik dan kompetensi moral serta
komptrnsi sosial. Dalam banyak hal, kompetensi manajerial dianggap lebih
„unggul‟ dibandingkan kompetensi teknis dan sebagainya.
Selanjutnya, dari kesimpulan tersebut direkomendasikan hal-hal
sebagai berikut: (1) Terkait dasar hukum pengelolaan PBB-P2 di lingkup
Kabupaten Semarang, perlu penyempurnaan pengaturan tata hubungan
kerja (SOTK) dan peraturan bupati yang dianggap kurang relevan atau
memang memerlukan pengaturan tambahan, (2) Untuk mengatasi
Bunga Rampai Administrasi Publik
Lembaga Administrasi Negara, 2014 | 95
kurangnya jumlah dan kualitas SDM pengelola PBB-P2 perlu dilakukan
koordinasi yang lebih intens dengan BKD. Selain itu, perlu dilakukan
koordinasi pula dengan kepala UPTD, para camat, kepala desa/lurah dan
perangkat desa/kelurahan yang ada, (3) Untuk mengoptimalkan
pendapatan PBB-P2 perlu dilakukan pendataan dan penilaian ulang yang
sebelumnya diawali dengan pelatihan para petugas di DPPKAD, (4) Perlu
disusun tingkat dan ragam kompetensi teknis dengan berpedoman pada
Peraturan Kepala BKN No.8 Tahun 2013 tentang SKTPNS – standar
kompetensi teknis pegawai negeri sipil.
DAFTAR PUSTAKA
Creswell, J.W. 1994. Research Design: Qualitative and Quantitative
Approaches. London: Sage Publications.
Creswell, J. W. 1998. Qualitatif Inquiry and Research Design. California:
Sage Publications, Inc.
Denzin & Lincoln. 1998. Handbook of Qualitative Research. London: Sage
Publications.
Kumorotomo, Wahyudi. 2008, Desentralisasi Fiskal: Politik dan Perubahan
Kebijakan 1974-2004, Jakarta: Kencana.
Kuhn, Thomas. 2005. The Structure of Scientific Revolutions. (terjemahan).
Bandung: Remaja Rosdakarya.
Huberman, A. Michael dan Mathew B.Miles, 1984, Analisis Data Kualitatif
Model Miles dan Huberman, terj. Tjetjep Rohindi Rohidi, Jakarta: UI
Press.
Lincoln, Y. S. & Guba, E. G. (1985). Naturalistic Inquiry. Beverly Hills, CA:
Sage.
Mulyana, Deddy. 2004. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung:
Paradigma Baru Ilmu.
Moleong, Lexy J. 1993. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: PT
Remaja Rosdakarya.
Bunga Rampai Administrasi Publik
96 | Lembaga Administrasi Negara, 2014
Rahayu, Ani Sri, 2010, Pengantar Kebijakan Fiskal, PT. Bumi Aksara, dalam
Rusdianto, TT, makalah Desentralisais Fiskal dalam Negara Kesatuan
(Unitary State).
Rondinelli, D & Nellis, J, 1986, „Assessing Decentralisation Policies: A Case
for Cautious Optimism‟, Development Policy Review IV, I, p.5.
Smith, B.C, 1985, Decentralisation, The territorial Dimension of The State,
London, Allen and Unwin.
Spradley, James P. 1997. Metode Etnografi. Yogyakarta: PT Tiara Wacana
Lembaga Administrasi Negara, 2008, Manajemen Pemerintahan Daerah,
Pusat Kajian Kinerja Otonomi Daerah LAN, Jakarta.
Yustika, Ahmad Erani ed., 2008, Desentralisasi Ekonomi di Indonesia, Kajian
Teoritis dan Realitas Empiris, PT. Bayumedia dalam Rusdianto, TT,
makalah Desentralisais Fiskal dalam Negara Kesatuan (Unitary State).
Undang-Undang Nomor 43 Tahun 1999 tentang Perubahan Atas Undang-
Undang Nomor 8 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Kepegawaian di
Daerah.
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah.
Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi
Daerah.
Peraturan Kepala BKN No. 8 Tahun 2013 tentang Pedoman Penyusunan
Standar Kompetensi Teknis Pegawai Negeri Sipil
Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 2 Tahun 2013 tentang Pedoman
Pengembangan Sistem Pendidikan dan Pelatihan Berbasis
Kompetensi di Lingkungan Kementerian Dalam Negeri dan
Pemerintahan Daerah
http://www.pajak.go.id/content/pengalihan-pbb-perdesaan-dan-
perkotaan,diakses pada 19 November 2013
http://ekonomi.kompasiana.com/moneter/2012/12/25/bisakah-berharap-
pengelolaan-pbb-p2-akan-lebih-baik-ditangan-pemda-513779.html,
diakses pada 20 Desember 2013.
http://tolengadekdewe.wordpress.com/about/metode-penelitian-kualitatif-
grounded-theory-approach/ diakses pada tanggal 27 Desember 2013.
Bunga Rampai Administrasi Publik
Lembaga Administrasi Negara, 2014 | 97
http://jofipasi.wordpress.com/2013/01/23/research-design-qualitative-
quantitative-approaches- by-john-w-creswell/ diakses pada tanggal 27
Desember 2013.
http://www.menulisproposalpenelitian.com/2011/12/pendekatan-
fenomenologi-dalam.html, diakses pada tanggal 27 Desember 2013.
http://rorophei.blogspot.com/2013/07/metodologi-case-study-review-
singkat.html, diakses pada tanggal 27 Desember 2013.
http://repository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/54788/BAB%20II
%20Tinjauan%20Pustaka.pdf?sequence=5, diakses pada tanggal 27
Desember 2013.
http://repository.unhas.ac.id/bitstream/handle/123456789/1732/BAB%2
0III%20%282%29.pdf?sequence=3, diakses pada tanggal 27
Desember 2013.
http://pusdiklatwas.bpkp.go.id/files/post/20131202_165852/KTI%20PBB-
P2%20biasa.pdf-evaluasi kesiapan pemerintah daerah dalam
mengelola PBB P2”, diakses pada tanggal 27 Desember 2013.
http://imammukhlis.files.wordpress.com/2012/01/peran-pajak-daerah-
dalam-meningkatkan-pendapatan-asli-daerah.pdf, diakses pada
tanggal 17 Maret 2013.
http://dycandewi15.blogspot.com/2012/12/pengaruh-pajak-daerah-
terhadap.html, diakses pada tanggal 17 Maret 2013.
http://www.semarangkab.go.id/skpd/bappeda/images/stories/dok_perenc
anaan/RKPD2012/06.%20rkpd%202012%20bab%20iii.pdf, diakses
pada tanggal 17 Maret 2013.
Bunga Rampai Administrasi Publik
98 | Lembaga Administrasi Negara, 2014