Upload
ibrahim-lubis
View
2.957
Download
1
Embed Size (px)
Citation preview
BAB I
PENDAHULUAN
Dienul Islam mencakup tiga hal, yaitu: Islam, Iman dan Ihsan. Islam berbicara
masalah lahir, iman berbicara masalah batin, dan ihsan mencakup keduanya. Ihsan memiliki
kedudukan yang lebih tinggi dari iman, dan iman memiliki kedudukan yang lebih tinggi dari
Islam. Tidaklah ke-Islaman dianggap sah kecuali jika ada iman, karena konsekuensi dari
syahadat mencakup lahir dan batin.
Pada saat Malaikat Jibril bertanya tentang konsep Iman, Islam dan Ihsan, Rasulullah
Saw menjawab, ”Bahwa Iman ialah hendaklah Engkau mengimankan Allah, Malaikat Allah,
Kitab kitab Allah, para Utusan Allah, Hari Qiyamat, dan mengimankan Taqdir, baik dan
buruknya adalah ketentuan Allah. Islam ialah hendaklah engkau bersaksi bahwasanya tidak
ada Tuhan yang patut disembah melainkan Allah, dan nabi Muhammad adalah UtusanNya,
mendirikan Shalat, Menunaikan Zakat, berpuasa Ramadhan, dan berangkat Haji bila telah
mampu. Sedangkan Ihsan yaitu hendaklah engkau beribadah kepada Allah seperti engkau
melihatNYA, apabila tidak bisa demikian , maka sesungguhnya Allah melihat engkau”. (HR.
Bukhari)
1
B A B II
PEMBAHASAN
A. HUBUNGAN IMAN, ISLAM , IHSAN DAN HARI KIAMAT
�م� : ل و�س� ه� �ي ع�ل الله� ص�ل�ى الله� ول� س� ر� د� ع�ن �وس� ل ج� �حن� ن �م�ا ن �ي ب ق�ال� ضا �ي أ ه� ع�ن الله� ض�ي� ر� ع�م�ر� ع�ن
ف�ر�، الس� �ر� ث� أ ه� �ي ع�ل ى �ر� ي � ال عر�، الش� و�اد� س� د� د�ي ش� �اب� 2ي الث �اض� �ي ب د� د�ي ش� ج�ل� ر� �ا ن �ي ع�ل �ع� ط�ل �ذ إ : �وم ي ذ�ات�
ه� �ي �ت ب ك ر� �ل�ى إ ه� �ي �ت ب ك ر� �د� ن س� ف�أ وسلم عليه الله صلى �ي2 �ب الن �ل�ى إ ج�ل�س� �ى ح�ت �ح�د�، أ �ا م�ن �عر�ف�ه� ي � و�ال
: عليه الله صلى الله� ول� س� ر� ف�ق�ال� ،� �م ال �س إل ا ع�ن� �ي ن �ر ب خ� أ م�ح�م�د �ا ي و�ق�ال� ه� ف�خ�ذ�ي ع�ل�ى ه� �ف�ي ك و�و�ض�ع�
�ة� : كا الز� �ي� �ؤت و�ت �ة� الص�ال م� �ق�ي و�ت الله� ول� س� ر� م�ح�م�د ا ن�� و�أ الله� � �ال إ �ه� �ل إ � ال �ن أ ه�د� �ش ت ن
� أ �م� ال �س� إل ا وسلم
م�ض�ان� ر� �ص�وم� : و�ت �ه� ل� أ �س ي �ه� ل �ا ن ب ف�ع�ج� ، ص�د�قت� ق�ال� ال �ي ب س� ه� �ي �ل إ �ط�عت� ت اس �ن� إ ت� �ي ب ال �ح�ج� و�ت
: : ر� اآلخ� � �وم ي و�ال �ه� ل س� و�ر� �ه� �ب �ت و�ك �ه� �ت �ك �ئ و�م�ال �الله� ب �ؤم�ن� ت ن� أ ق�ال� م�ان� �ي إل ا ع�ن� �ي ن �ر ب خ
� ف�أ ق�ال� �ص�د2ق�ه�، و�ي
: . �ك� �ن �أ ك الله� �د� �عب ت ن� أ ق�ال� ، ان� �حس� إل ا ع�ن� �ي ن �ر ب خ
� ف�أ ق�ال� ، ص�د�قت� ق�ال� ه� ر2 و�ش� ر�ه� ي خ� ق�د�ر� �ال ب �ؤم�ن� و�ت
: : �م� . عل� �أ ب ه�ا ع�ن ؤ�ول� م�س ال م�ا ق�ال� اع�ة�، الس� ع�ن� �ي ن �ر ب خ
� ف�أ ق�ال� اك� �ر� ي �ه� �ن ف�إ اه� �ر� ت �ن �ك ت �م ل �ن ف�إ اه� �ر� ت
. �ة� ع�ال ال اة� ع�ر� ال ح�ف�اة� ال ى �ر� ت ن� و�أ �ه�ا �ت ب ر� م�ة�
� أل ا �د� �ل ت �ن أ ق�ال� �ه�ا، ات م�ار�� أ ع�ن �ي ن �ر ب خ
� ف�أ ق�ال� �ل� ائ الس� م�ن�
؟ : �ل� ائ الس� م�ن� �در�ي ت� أ ع�م�ر� �ا ي ق�ال� �م� ث aا، �ي م�ل ت� �ث �ب ف�ل ط�ل�ق� ان �م� ث ، �ان� ي �ن ب ال ف�ي �ون� �ط�او�ل �ت ي اء� الش� ر�ع�اء�
�م : . . �ك ن د�ي �م 2م�ك �ع�ل ي �م تـاك� أ ل� ر�ي ب ج� �ه� �ن ف�إ ق�ال� �م� عل
� أ �ه� ول س� و�ر� الله� ق�لت�
] مسلم] رواه
Artinya
Musaddad telah menceritakan kepada kami, ia berkata bahwa Isma’il ibn Ibrahim
telah menceritakan kepada kami, Abu Hayyan al-Taimiy dari Abi Zur’ah telah
menyampaikan kepada kami dari Abu Hurairah r.a berkata: Pada suatu hari ketika Nabi saw.
sedang duduk bersama sahabat, tiba-tiba datang seorang laki-laki dan bertanya, “apakah iman
itu?”. Jawab Nabi saw.: “iman adalah percaya Allah swt., para malaikat-Nya, dan
pertemuannya dengan Allah, para Rasul-Nya dan percaya pada hari berbangkit dari kubur.
‘Lalu laki-laki itu bertanya lagi, “apakah Islam itu? Jawab Nabi saw., “Islam ialah
menyembah kepada Allah dan tidak menyekutukan-Nya dengan suatu apapun, mendirikan
shalat, menunaikan zakat yang difardhukan dan berpuasa di bulan Ramadhan.” Lalu laki-laki
itu bertanya lagi: “apakah Ihsan itu?” Jawab Nabi saw., “Ihsan ialah bahwa engkau
menyembah kepada Allah seakan-akan engkau melihat-Nya, kalau engkau tidak mampu
melihat-Nya, ketahuilah bahwa Allah melihatmu. “Lalu laki-laki itu bertanya lagi: “apakah
hari kiamat itu? “Nabi saw. menjawab: “orang yang ditanya tidak lebih mengetahui daripada
yang bertanya, tetapi saya memberitahukan kepadamu beberapa syarat (tanda-tanda) akan
tibanya hari kiamat, yaitu jika budak sahaya telah melahirkan majikannya, dan jika
penggembala onta dan ternak lainnya telah berlomba-lomba membangun gedung-gedung
2
megah. Termasuk lima perkara yang tidak dapat diketahui kecuali oleh Allah, selanjutnya
Nabi saw. membaca ayat: “Sesungguhnya Allah hanya pada sisi-Nya sajalah yang
mengetahui hari kiamat… (ayat).
Kemudian orang itu pergi. Lalu Nabi saw. bersabda kepada para sahabat:
“antarkanlah orang itu. Akan tetapi para sahabat tidak melihat sedikitpun bekas orang itu.
Lalu Nabi saw.bersabda: “Itu adalah Malaikat Jibril a.s. yang datang untuk mengajarkan
agama kepada manusia.” (HR. Bukhari, Muslim, Abu Dawud, at-Turmudzi, Ibnu Majah dan
Ahmad bin Hambal).
Hadis di atas mengetengahkan 4 (empat) masalah pokok yang saling berkaitan satu
sama lain, yaitu iman, Islam, ihsan, dan hari kiamat. Pernyataan Nabi saw. di penghujung
hadis di atas bahwa “itu adalah Malaikat Jibril datang mengajarkan agama kepada manusia”
mengisyaratkan bahwa keempat masalah yang disampaikan oleh malaikat Jibril dalam hadis
di atas terangkum dalam istilah ad-din. Hal ini menunjukkan bahwa keberagamaan seseorang
baru dikatakan benar jika dibangun di atas pondasi Islam dengan segala kriterianya,
disemangati oleh iman, segala aktifitas dijalankan atas dasar ihsan, dan orientasi akhir segala
aktifitas adalah ukhrawi.
a. Iman
Pengertian dasar dari istilah “iman” ialah “memberi ketenangan hati; pembenaran
hati”.1 Jadi makna iman secara umum mengandung pengertian pembenaran hati yang dapat
menggerakkan anggota badan memenuhi segala konsekuensi dari apa yang dibenarkan oleh
hati.2
Iman sering juga dikenal dengan istilah aqidah, yang berarti ikatan, yaitu ikatan hati.
Bahwa seseorang yang beriman mengikatkan hati dan perasaannya dengan sesuatu
kepercayaan yang tidak lagi ditukarnya dengan kepercayaan lain. Aqidah tersebut akan
menjadi pegangan dan pedoman hidup, mendarah daging dalam diri yang tidak dapat
dipisahkan lagi dari diri seorang mukmin. Bahkan seorang mukmin sanggup berkorban
segalanya, harta dan bahkan jiwa demi mempertahankan aqidahnya.
Adapun pengertian iman secara khusus sebagaimana yang tertera dalam hadis di atas
ialah: keyakinan tentang adanya Allah swt., malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab yang
diturunkan-Nya, Rasul-rasul utusan-Nya, dan yakin tentang kebenaran adanya hari
kebangkitan dari alam kubur.
1 Abu al-Husain Ahmad bin Faris bin Zakariya al-Raziy, Mu’jam Maqayis al-Lugah, juz I, (Cet. I; Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyah, 1999), h. 72.
2 Ahmad bin Ali bin Hajar Abu al-Fadhl al-‘Asqalaniy al-Syafi’i, Fath al-Bariy, juz I, ditahqiq oleh Muhammad Fuad Abd al-Baqiy dan Muhib al-Din al-Khathib, (Beirut: Dar al-Ma’rifat, 1379 H.), h. 48.
3
Dalam hadis lain, yang senada dengan hadis di atas yang diriwayatkan oleh Kahmas
dan Sulaiman al-Tamimi, selain menyebutkan kelima hal di atas sebagai kriteria iman,
terdapat tambahan satu kriteria yaitu: beriman kepada qadha dan qadar Allah, yang baik
maupun yang buruk.3
Dengan demikian, keimanan dalam pengertian al-Qur’an adalah pembenaran tentang
keesaan Allah, kebenaran para rasul-Nya, kebenaran akan datangnya hari kemudian, serta
kebenaran segala yang disampaikan oleh para rasul-Nya disertai dengan ketaatan penuh tanpa
ada tawar menawar terhadap apa yang diyakini kebenarannya.
Adapun keimanan kepada qadha dan qadar secara tekstual tidak tercatat dalam ayat
di atas, tapi tersebar dalam berbagai ayat dalam surah yang berbeda, dan bahkan dengan arti
yang bermacam-macam. Tetapi adapula yang menafsirkan perkataan “wa ilaika al-mashir”
dalam ayat di atas menunjukkan pula arti mengembalikan segala perkara kepada Allah,
termasuk masalah takdir.
Keenam pokok keimanan itu yakni: iman kepada Allah, malaikat-malaikat-Nya,
Kitab-kitab-Nya, rasul-rasul-Nya, hari akhirat dan qadla-gadar-Nya – dikenal sebagai arkanul
iman (rukun iman) yang menapakan pokok-pokok keimanan. Karna keenam hal tersebut
sebagaimana dijelaskan di atas mempunyai korelasi yang demikian besar, maka bila
menafikan salah satu unsur dari keenam itu akan menyebabkan kepincangan dalam iman, dan
bahkan pula akan menyebabkan keingkaran kepada Tuhan. Keingkaran kepada hari kiamat
umpamanya berarti pula keingkaran kepada Allah – yang sekaligus ingkar kepada rasul yang
menyampaikan berita tersebut, termasuk kepada malaikat yang menyampaikan wahyu kepada
para rasul, dan peccaya kepada kitab-kitab yang merupakan risalah para rasul itu.
Ketaatan dalam hubungannya dengan keyakinan mengandung pengertian
melaksanakan segala konsekuensi yang lahir dari keyakinan tersebut dalam bentuk nyata
(amal shaleh). Oleh sebab itu, konsep keimanan dalam aThaba’thaba’i menjelaskan bahwa
setiap al-Qur’an menyebutkan kaum mukminin dengan sifat yang indah, al-Qur’an dalam
banyak ayat selalu dihubungkan dengan karya nyata (amal shaleh). Sebagai contoh, Allah
berfirman dalam QS. An-Nahl (16): 97:
Terjemahnya:3 Toshihiko Izitsu, Ethico Religiuous Concepts in the Qur’an, diterjemahkan oleh Agus Fahri Husain
dkk., dengan judul Konsep-konsep Etika Religius dalam Qur’an, (Cet. I; Yogyakarta: Tiara Wacana, 1993), h. 226.
4
Barangsiapa yang mengerjakan amal saleh, baik laki-laki maupun perempuan dalam
keadaan beriman, maka sesungguhnya akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik
dan sesungguhnya akan Kami beri balasan kepada mereka dengan pahala yang lebih baik dari
apa yang telah mereka kerjakan. (Q.S. al-Nahl: 97)
Keimanan dipandang sempurna apabila ada pengakuan dengan lidah, pembenaran
dengan hati secara yakin dan tidak bercampur keraguan, dan dilaksanakan dalam bentuk
perbuatan sehari-hari, serta keimanan tersebut berpengaruh terhadap pandangan hidup dan
cita-cita seseorang.
Meskipun keimanan merupakan perbuatan hati, tetapi pantulan dari keimanan tersebut
melahirkan perbuatan-perbuatan nyata yang menjadi tuntutan keimanan tersebut. Oleh sebab
itu, al-Quran menjelaskan kewajiban-kewajiban, sikap-sikap, dan tingkah laku seorang yang
harus terwujud dalam diri setiap orang beriman dalam kehidupannya. Konsep seperti itu
misalnya ditemukan dalam firman Allah dalam QS. al-Mu’minun (23): 1-6 sebagai berikut:
Terjemahnya:
Sesungguhnya beruntunglah orang-orang yang beriman, (yaitu) orang-orang yang
khusyu’ dalam sembahyangnya, dan orang-orang yang menjauhkan diri dari (perbuatan dan
perkataan) yang tiada berguna, dan orang-orang yang menunaikan zakat, dan orang-orang
yang menjaga kemaluannya, kecuali terhadap isteri-isteri mereka atau budak yang mereka
miliki maka sesungguhnya mereka dalam hal ini tiada tercela.
Dalam QS. al-Anfal (8): 2-3 Allah berfirman:
Terjemahnya:
Sesungguhnya orang-orang yang beriman ialah mereka yang bila disebut nama Allah
gemetarlah hati mereka, dan apabila dibacakan ayat-ayat-Nya bertambahlah iman mereka
(karenanya), dan Hanya kepada Tuhanlah mereka bertawakkal. (yaitu) orang-orang yang
5
mendirikan shalat dan yang menafkahkan sebagian dari rezki yang kami berikan kepada
mereka.
Dengan demikian, iman saja tidaklah cukup, tetapi harus disertai berbagai amal saleh
sebagai perwujudan dari keyakinan tersebut.
b. Islam
Islam berasal dari akar kata kerja aslama secara harfiyah berarti kepatuhan atau
tindakan penyerahan diri seseorang sepenuhnya kepada kehendak orang lain.4Islam adalah
kepatuhan menjalankan perintah Allah dengan segala keikhlasan dan kesungguhan hati. Hal
itu sesuai dengan arti kata Islam, yakni penyerahan. Seorang muslim harus menyerahkan
dirinya kepada Allah secara total karena memang manusia diciptakan Allah untuk mengabdi
kepada-Nya.
Islam menurut istilah adalah agama yang dibawa oleh para utusan Allah dan
disempurnakan oleh Rasulullah saw. yang memiliki sumber pokok al-Qur’an dan Sunnah
Rasulullah saw. sebagai petunjuk kepada umat manusia sepanjang masa.
Intisari Islam sebagai agama adalah keterikatan dan ketundukan pada Allah swt. yang
mempunyai kekuatan-kekuatan yang lebih tinggi dari manusia dan bersifat gaib yang dapat
ditangkap oleh indera tetapi bisa dirasakan dan diyakini akan adanya. Tauhid (pengesaan
Allah) merupakan seruan pertama dan terakhir dari Islam. Ia adalah suatu kepercayaan
kepada Tuhan yang Maha Esa (faith in the unity of God). Suatu kepercayaan yang
menegaskan bahwa hanya Allah-lah yang mencipta, memberi hukum, mengatur alam semesta
ini. Sebagai konsekuensinya maka hanya Allah pulalah yang satu-satunya yang wajib
disembah.
Atas dasar itulah sehingga Rasulullah saw. dalam hadis di atas menjadikan tauhid
(penyembahan hanya kepada Allah semata) sebagai pilar utama dalam keislaman seorang,
selanjutnya disusul dengan kewajiban-kewajiban yang lain, yaitu mendirikan shalat,
menunaikan zakat yang difardhukan, berpuasa di bulan Ramadhan. Dalam hadis lain
ditambahkan satu kewajiban lagi, yakni menunaikan ibadah haji bagi yang mampu,
sebagaimana dinyatakan dalam hadis berikut:
Artinya:
4 Ibid., h 120
6
‘Abdullah ibn Musa telah menceritakan kepada kami, ia berkata bahwa Hanzhalah ibn
Abi Sufyan telah memberitakan kepada kami, dari Ikrimah ibn Khalid, dari ibn Umar r.a
berkata: Rasulullah saw. telah bersabda: “Islam didirikan atas lima perkara, yakni bersaksi
bahwa tiada Tuhan selain Allah swt, dan Muhammad adalah utusan-Nya, mendirikan shalat,
menunaikan zakat, melaksanakan ibadah haji (ke Baitullah), dan berpuasa dibulan
Ramadhan”. (H.R. Al-Bukhari)
adapun agama, hanya Islam-lah yang mendapat pengakuan dan diterima di sisi Allah
swt. Sehubungan dengan hal ini Allah berfirman dalam QS. Ali Imran (3): 19:
Terjemahnya:
“Sesungguhnya agama (yang diridhai) di sisi Allah hanyalah Islam”.
Dan Allah berfirman dalam QS. Ali Imran (3): 85:
`
Terjemahnya:
“Barangsiapa mencari agama selain agama Islam, maka sekali-kali tidaklah akan
diterima (agama itu) daripadanya, dan dia di akhirat termasuk orang-orang yang rugi”.
(Q.S. Ali Imran: 85)
Pernyataan al-Qur’an di atas mengisyaratkan bahwa diutusnya Nabi Muhammad saw.
bukan untuk merombak seluruh ajaran yang dibawa oleh para nabi yang datang sebelumnya.
Kedatangan beliau hanya melanjutkan missi yang dibawa oleh Nabi-nabi sebelumnya dan
menyempurnakannya. Oleh sebab itu, inti ajaran, isi dan tujuan agama-agama samawi
sebelum Nabi Muhammad bersifat tidak berubah-ubah, namun teknis dan pelaksanaannya
dapat berubah dengan memperhatikan situasi dan kondisi yang berkembang. Sehubungan
dengan hal ini Allah berfirman dalam QS. asy-Syura (42): 13:
Terjemahnya:
7
Dia telah mensyari'atkan bagi kamu tentang agama apa yang telah diwasiatkan-Nya
kepada Nuh dan apa yang telah Kami wahyukan kepadamu dan apa yang telah Kami
wasiatkan kepada Ibrahim, Musa dan Isa Yaitu: Tegakkanlah agama dan janganlah kamu
berpecah belah tentangnya. Amat berat bagi orang-orang musyrik agama yang kamu seru
mereka kepadanya. Allah menarik kepada agama itu orang yang dikehendaki-Nya dan
memberi petunjuk kepada (agama)-Nya orang yang kembali (kepada-Nya).
Berdasarkan ayat di atas, syariat Islam pada prinsipnya merupakan ajaran yang
dibawa oleh seluruh Rasul Allah, dan Rasulullah saw. diutuslah meletakkan batu terakhir
kesempurnaannya, yang diproklamirkan pada tanggal 9 Zulhijjah, saat Nabi saw.
melaksanakan haji wada’ tiga bulan sebelum wafat dengan turunnya firman Allah
dalam QS. al-Maidah (5): 3:
Terjemahannya :
Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Kucukupkan
kepadamu nikmat-Ku, dan telah Kuridhai Islam itu jadi agama bagimu. Maka barangsiapa
terpaksa karena kelaparan tanpa sengaja berbuat dosa, sesungguhnya Allah Maha Pengampun
lagi Maha Penyayang.
Islam sebagai agama mengatur tata cara mengabdi kepada Allah swt. menurut cara
yang diridhai-Nya. Ibadah dalam Islam antara lain bertujuan untuk merekatkan dan
mendekatkan hubungan antara makhluk dengan al-Khalik, supaya manusia senantiasa
mendapat karunia dan ridha-Nya.
Dalam hubungan dengan sesama manusia, Islam pun mengatur sikap hidup dan
tingkah laku yang baik, dalam lingkungan yang kecil maupun dalam lingkungan masyarakat
yang lebih luas. Dalam Islam, telah diatur pula hubungan dengan anggota masyarakat yang
berbeda agama, bahkan yang tidak beragama sekalipun. Semuanya bertujuan agar tercipta
hubungan yang baik dan harmonis antar sesama manusia.
c. Ihsan
Ihsan secara bahasa berasal dari akar kata kerja ahsana-yuhsinu, yang artinya adalah
berbuat baik, sedangkan bentuk mashdarnya adalah ihsan yang artinya kebaikan. Mengenai
hal ini, Allah swt. berfirman dalam QS. an-Nahl (16): 90:
8
Terjemahnya:
Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) berlaku adil dan berbuat kebajikan ..........”
Ihsan adalah puncak ibadah dan akhlak yang senantiasa menjadi target seluruh hamba Allah
swt. Sebab, ihsan menjadikan kita sosok yang mendapatkan kemuliaan dari-Nya. Sebaliknya,
seorang hamba yang tidak mampu mencapai target ini akan kehilangan kesempatan yang
sangat mahal untuk menduduki posisi terhormat dimata Allah swt. Rasulullah saw. pun
sangat menaruh perhatian akan hal ini, sehingga seluruh ajaran-ajarannya mengarah kepada
satu hal, yaitu mencapai ibadah yang sempurna dan akhlak yang mulia.
Adapun pengertian ihsan secara khusus yang disebutkan dalam hadis di atas, yaitu
"menyembah kepada Allah seakan-akan engkau melihat-Nya, jika engkau tidak mampu
melihatnya, ketahuilah bahwa Allah Maha Melihat.í"
Menurut Ibnu Hajar, ihsan berarti berusaha menjaga tata krama dan sopan santun
dalam beramal, seakan-akan kamu melihat-Nya seperti Dia melihat kamu. Hal itu harus
dilakukan bukan karena kamu melihat-Nya, tetapi karena Dia selamanya melihat kamu. Maka
beribadahlah dengan baik meskipun kamu tidak dapat melihat-Nya.
Ihsan merupakan salah satu faktor utama dalam menentukan diterima atau tidaknya
suatu amal oleh Allah swt. karena orang yang berlaku ihsan dapat dipastikanj akan ikhlas
dalam beramal, sedangkan ikhlas merupakan inti diterimanya suatu amal ibadah.
Ihsan meliputi tiga aspek fundamental, yaitu ibadah, muamalah, dan akhlak.
1) Ibadah
Kita berkewajiban ihsan dalam beribadah, yaitu dengan menunaikan semua jenis
ibadah, seperti shalat, puasa, haji, dan sebagainya dengan cara yang benar, yaitu
menyempurnakan syarat, rukun, sunnah, dan adab-adabnya. Hal ini tidak akan mungkin
dapat ditunaikan oleh seorang hamba, kecuali jika saat pelaksanaan ibadah-ibadah
tersebut ia dipenuhi dengan cita rasa yang sangat kuat (menikmatinya), juga dengan
kesadaran penuh bahwa Allah senantiasa memantaunya hingga ia merasa bahwa ia
sedang dilihat dan diperhatikan oleh-Nya. Minimal seorang hamba merasakan bahwa
Allah senantiasa memantaunya, karena dengan ini lah ia dapat menunaikan ibadah-
ibadah tersebut dengan baik dan sempurna, sehingga hasil dari ibadah tersebut akan
seperti yang diharapkan. Inilah maksud dari perkataan Rasulullah saw yang berbunyi,
“Hendaklah kamu menyembah Allah seakan-akan engkau melihat-Nya, dan jika engkau
tak dapat melihat-Nya, maka sesungguhnya Dia melihatmu.”
2) Muamalah
9
Ihsan sebagaimana dijelaskan sebelumnya adalah beribadah kepada Allah
dengan sikap seakan-akan melihat-Nya, dan jika tidak dapat melihat-Nya, maka Allah
melihat kita. Sedangkan ihsan dari segi muamalah, yang termasuk di dalamnya adalah:
Pertama, Ihsan kepada kedua orang tua
Allah swt. menjelaskan hal ini dalam QS. al-Isra (): 23-24:
Terjemahnya:
Dan Tuhanmu telah memerintahkan supaya kamu jangan menyembah selain
Dia dan hendaklah kamu berbuat baik pada ibu bapakmu dengan sebaik-baiknya. jika
salah seorang di antara keduanya atau Kedua-duanya sampai berumur lanjut dalam
pemeliharaanmu, Maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya
Perkataan “ah” dan janganlah kamu membentak mereka dan ucapkanlah kepada
mereka Perkataan yang mulia. Dan rendahkanlah dirimu terhadap mereka berdua
dengan penuh kesayangan dan ucapkanlah: “Wahai Tuhanku, kasihilah mereka
keduanya, sebagaimana mereka berdua telah mendidik aku waktu kecil”.
Ayat di atas menjelaskan kepada kita bahwa ihsan kepada ibu-bapak adalah
sejajar dengan ibadah kepada Allah. Dalam sebuah hadist riwayat Turmuzdi, dari
Ibnu Amru bin Ash, Rasulullah saw. bersabda:5
Artinya:
Dari Abdullah bin Amru bin al-‘Ash r.a dari Nabi saw. bersabda: Keridhaan Allah
berada pada keridhaan orang tua, dan kemurkaan Allah berada pada kemurkaan orang tua.”
(H.R. at-Turmudzi)
Dalil di atas menjelaskan bahwa ibadah kita kepada Allah tidak akan diterima jika
tidak disertai dengan berbuat baik kepada kedua orang tua. Apabila kita tidak memiliki
kebaikan ini, maka bersamaan dengannya akan hilang ketakwaan, keimanan, dan keislaman.
Kedua, Ihsan kepada kerabat karib
5 Muhammad bin Ismailm al-Shan’aniy, Subul al-Salam, Juz IV, (Cet. IV; Beirut: Dar Ihya al-Turats al-Arabiy, 1379 H.), h. 164.
10
Ihsan kepada kerabat adalah dengan jalan membangun hubungan yang baik dengan
mereka, bahkan Allah swt. menyamakan seseorang yang memutuskan hubungan silatuhrahmi
dengan perusak dimuka bumi. Allah berfirman dalam QS. Muhammad (47): 22:
Terjemahnya:
Maka apakah kiranya jika kamu berkuasa kamu akan membuat kerusakan dimuka
bumi dan memutuskan hubungan kekeluargaan.?
Silaturahmi adalah kunci untuk mendapatkan keridhaan Allah. Hal ini dikarenakan
sebab paling utama terputusnya hubungan seorang hamba dengan Tuhannya adalah karena
terputusnya hubungan silaturahmi.
Ketiga, Ihsan kepada anak yatim dan fakir miskin
Diriwayatkan oleh Bukhari, Turmudzi, dan Ibnu Hibban bahwa Rasulullah saw
bersabda:
Artinya:
Dari Sahl, Rasulullah saw. bersabda: aku dan orang yang memelihara anak yatim di
surga kelak akan seperti ini…(seraya menunjukkan jari telunjuk dan jari tengahnya dan
merenggangkan keduanya).”6
Keempat, Ihsan kepada tetangga dekat, tetangga jauh, serta teman sejawat.
Ihsan kepada tetangga dekat meliputi tetangga dekat dari kerabat atau tetangga yang
berada di dekat rumah, serta tetangga jauh, baik jauh karena nasab maupun yang berada jauh
dari rumah.
Adapun yang dimaksud teman sejawat adalah yang berkumpul dengan kita atas dasar
pekerjaan, pertemanan, teman sekolah atau kampus, perjalanan, ma’had, dan sebagainya.
Mereka semua masuk ke dalam katagori tetangga. Seorang tetangga kafir mempunyai hak
sebagai tetangga saja, tetapi tetangga muslim mempunyai dua hak, yaitu sebagai tetangga dan
sebagai muslim, sedang tetangga muslim dan kerabat mempunyai tiga hak, yaitu sebagai
tetangga, sebagai muslim dan sebagai kerabat. Rasulullah saw. menjelaskan hal ini dalam
sabdanya: 7
Artinya:
6 Ibid., 2707 Op.Cit., h. 2240
11
Dari Abu Syuraih bahwa Nabi saw. bersabda: demi Allah, tidak beriman, demi Allah,
tidak beriman. Para sahabat bertanya, “siapakah yang tidak beriman, ya Rasulullah?” Beliau
menjawab, “seseorang yang tidak aman tetangganya dari gangguannya.” (HR. Bukhari dan
Muslim)
Kelima, Ihsan kepada ibnu sabil dan pelayan
Rasulullah saw. bersabda mengenai hal ini:
Artinya:
Dari Abu Hurairah, dari Nabi saw. bersabda: Barangsiapa beriman kepada allah dan
hari akhiratnya maka janganlah menyakiti tetangganya, dan barangsiapa beriman kepada
Allah dan Hari Akhir, hendaklah memuliakan tamunya, dan barangsiapa beriman kepada
Allah dan Hari Akhir, hendaklah berkata benar atau diam.” (HR. Jama’ah, kecuali Nasa’i)
Adapun muamalah terhadap pembantu atau karyawan dilakukan dengan membayar
gajinya sebelum keringatnya kering, tidak membebaninya dengan sesuatu yang ia tidak
sanggup melakukannya, menjaga kehormatannya, dan menghargai pridainya. Jika ia
pembantu rumah tangga, maka hendaklah ia diberi makan dari apa yang kita makan, dan
diberi pakaian dari apa yang kita pakai.
Keenam, Ihsan dengan perlakuan dan ucapan yang baik kepada manusia.
Rasulullah saw. bersabda, sebagaimana disebutkan di atas bahwa: ”Barangsiapa
beriman kepada Allah dan Hari Kiamat, hendaklah ia berkata yang baik atau diam.”
Bagi manusia secara umum, hendaklah kita melembutkan ucapan, saling menghargai
dalam pergaulan, menyuruh kepada yang makruf dan mencegahnya dari kemungkaran,
menunjukinya jalan jika ia tersesat, mengajari mereka yang bodoh, mengakui hak-hak
mereka, dan tidak mengganggu mereka dengan tidak melakukan hal-hal dapat mengusik serta
melukai mereka.
Ketujuh, Ihsan dengan berlaku baik kepada binatang
Berbuat ihsan terhadap binatang adalah dengan memberinya makan jika ia lapar,
mengobatinya jika ia sakit, tidak membebaninya diluar kemampuannya, tidak menyiksanya
jika ia bekerja, dan mengistirahatkannya jika ia lelah. Bahkan, pada saat menyembelih,
hendaklah dengan menyembelihnya dengan cara yang baik, tidak menyiksanya, serta
menggunakan pisau yang tajam.
3) Akhlak.
12
Ihsan dalam akhlak sesungguhnya merupakan buah dari ibadah dan muamalah.
Seseorang akan mencapai tingkat ihsan dalam akhlaknya apabila ia telah melakukan
ibadah seperti yang menjadi harapan Rasulullah dalam hadits yang telah dikemukakan di
awal tulisan ini, yaitu “menyembah Allah seakan-akan melihat-Nya, dan jika kita tidak
dapat melihat-Nya, maka sesungguhnya Allah senantiasa melihat kita”. Jika hal ini telah
dicapai oleh seorang hamba, maka sesungguhnya itulah puncak ihsan dalam ibadah. Pada
akhirnya, ia akan berbuah menjadi akhlak atau perilaku, sehingga mereka yang sampai
pada tahap ihsan dalam ibadahnya akan terlihat jelas dalam perilaku dan karakternya.
Jika kita ingin melihat nilai ihsan pada diri seseorang—yang diperoleh dari hasil
maksimal ibadahnya, maka kita akan menemukannya dalam muamalah kehidupannya.
Bagaimana ia bermuamalah dengan sesama manusia, lingkungannya, pekerjaannya,
keluarganya, dan bahkan terhadap dirinya sendiri.
d. Hari Kiamat
Percaya akan datangnya hari kiamat termasuk salah satu rukun iman yang harus
diyakini oleh semua orang yang beriman meskipun tidak ada yang tahu kapan saatnya tiba.
Bagi mereka yang beriman, misteri terjadinya hari kiamat tidak akan mengurangi kadar
keimanannya. Mereka justru lebih waspada dan senantiasa meningkatkan amal kebaikan
untuk bekal menghadapi-Nya.
Namun demikian, Rasulullah saw. memberikan dua tanda terjadinya kiamat, yakni
jika hamba sahaya telah melahirkan majikannya, dan jika penggembala onta dan ternak
lainnya berlomba-lomba membangun gedung-gedung yang megah dan tinggi.
Menurut sebagian ahli hadis, tanda-tanda kiamat itu lebih dari dua sebagaimana
terdapat dalam hadis lain. Dengan kata lain, kedua tanda kiamat tersebut merupakan tanda
jangka panjang. Adapun tanda-tanda seperti terbitnya matahari dari arah barat merupakan
tanda jangka pendek.
Akan tetapi, hanya Allah saja yang tahu mengenai datangnya hari kiamat,
sebagaimana tidak ada yang tahu, kecuali Allah saja tentang turunnya hujan; apa yang ada
dalam rahim seorang ibu; apa yang akan terjadi esok hari; dan di manakah seseorang akan
mati, sebagaimana dinyatakan dalam QS. Luqman (31): 34:
Terjemahnya:
13
Sesungguhnya Allah, hanya pada sisi-Nya sajalah pengetahuan tentang hari kiamat;
dan Dia-lah yang menurunkan hujan, dan mengetahui apa yang ada dalam rahim. dan tiada
seorangpun yang dapat mengetahui (dengan pasti) apa yang akan diusahakannya besok dan
tiada seorangpun yang dapat mengetahui di bumi mana dia akan mati. Sesungguhnya Allah
Maha mengetahui lagi Maha Mengenal.
B. BERKURANGNYA IMAN DAN DAN ISLAM KARENA MAKSIAT
Artinya
Ahmad ibn Shalih telah menceritakan kepada kami, Ibn Wahbi telah menceritakan
kepada kami, ia berkata bahwa Yunus telah menceritakan kepadaku dari Abi Syihab, ia
berkata bahwa aku telah mendengar Abu Salamah ibn ‘Abd al-Rahman dan ibn al-Musayyab
berkata bahwa Abu Hurairah r.a berkata bahwa Nabi saw.telah bersabda, “tidak akan berzina
seseorang jika ia sedang beriman, dan tidak akan meminum khamar seseorang jika ia sedang
beriman, dan tidak akan mencuri sesseorang jika ia sedang beriman”. Pada riwayat lain
ditambahkan, “Dan tidak akan merampas rampasan yang berharga sehingga orang-orang
membelalakkan mata kepadanya ketika merampas jika ia sedang beriman”.
Orang yang beriman akan merasa bahwa segala tingkah lakunya senantiasa diawasi
oleh Allah swt. Tidak ada suatu perbuatan yang ia lakukan luput dari pengawasan Allah swt.
Di samping itu, ia selalu sadar bahwa segala perbuatan yang dilakukannya harus
dipertanggung jawabkan dihadapan-Nya, dan ia sendiri yang akan menerima akibat dari
perbuatannya, baik ataupun buruk, sekecil apapun perbuatan itu. Hal ini disinyalir Allah
dalam QS. az-Zalzalah (99): 7-8:
Terjemahnya:
Barangsiapa yang mengerjakan kebaikan seberat dzarrah-pun, niscaya dia akan
melihat (balasan)nya. Dan barangsiapa yang mengerjakan kejahatan sebesar dzarrahpun,
niscaya dia akan melihat (balasan)nya pula.
14
Atas dasar kesadaran tersebut, maka orang yang benar-benar beriman senantiasa
berusaha mengerjakan perbuatan yang baik dan menghindari perbuatan yang dilarang oleh
Allah swt. Seorang yang beriman tidak mungkin dengan sengaja melakukan maksiat kepada
Allah, karena ia merasa malu dan takut menghadapi azab-Nya serta takut tidak mendapatkan
ridha-Nya.
Keimanan seseorang adakalanya bertambah dan adakalanya berkurang ( د�اد� �ز ي م�ان� �ي اإل
ق�ص� �ن .(و�ي Oleh sebab itu, seyogyanya setiap orang beriman berusaha untuk senantiasa
memperbaharui keimanan dan ke-Islamannya. Hal ini bisa dilakukan antara lain dengan
selalu mengingat Allah dan mengerjakan perbuatan baik yang dan diridhai-Nya. Dengan
demikian, keimanannya relatif akan stabil.
Selain itu, ia pun harus selalu ingat bahwa sekecil apapun perbuatan maksiat itu, maka
ia akan mendapatkan balasan-Nya. Meskipun di dunia dapat selamat dari akibat kemaksiatan
yang dilakukannya, tapi ia tidak dapat mengelak dari balasan di akhirat kelak. Allah
berfirman dalam QS. an-Nisa’ (4): 14:
Terjemahnya:
Dan barangsiapa yang mendurhakai Allah dan rasul-Nya dan melanggar ketentuan-
ketentuan-Nya, niscaya Allah memasukkannya ke dalam api neraka sedang ia kekal di
dalamnya; dan baginya siksa yang menghinakan.
Namun demikian, jika seorang hamba mau bertobat, selain ia kan mendapat ampunan Allah,
juga dipastikan imannya akan kembali utuh. Allah berfirman dalam QS. al-A’raf (7): 153:
Artinya:
Orang-orang yang mengerjakan kejahatan, Kemudian bertaubat sesudah itu dan
beriman; Sesungguhnya Tuhan kamu sesudah Taubat yang disertai dengan iman itu adalah
Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.
Tobat yang akan mendapat ampunan Allah swt. tentu saja tobat yang dilakukan dengan
sungguh-sungguh, yang dalam istilah al-Qur’an disebut tobat nasuha. (Q.S. 66: 8).
C. RASA MALU SEBAGIAN DARI IMAN
15
‘Abdullah ibn Yusuf telah menceritakan kepada kami, ia berkata bahwa Malik ibn Anas telah
mengabarkan kepada kami dari ibn Syihab dari Salim ibn ‘Abdillah dari ayahnya bahwa Nabi
SAW melewati (melihat) seorang lelaki kaum Anshar yang sedang menasehati saudaranya
karena malu, maka Nabi SAW telah bersabda: “Biarkanlah ia karena sesungguhnya malu itu
sebagian dari iman”.
Malu bukan hanya merupakan sifat dasar manusia, kan tetapi lebih dari itu termasuk
dalam salah satu ciri orang yang beriman dan simbol keberimanan seseorang. Oleh sebab
itulah sehingga Rasulullah dalam hadis di atas menjadikan rasa malu sebagai bagian dari
iman.
Namun demikian, malu yang dimaksud dalam hadis di atas bukan dalam arti bahasa,
tetapi arti malu di sini adalah malu dalam mengerjakan hal-hal yang jelek dan bertentangan
dengan syariat maupun norma-norma etika Islam. Hal itu dipertegas oleh hadis lain:
Artinya :
Adam telah menceritakan kepada kami, Syu’bah telah menceritakan kepada kami,
dari Qatadah dari Abi al-Sawwar al-‘Adawiy ia berkata bahwa ia telah mendengar Imran bin
Husain r.a berkata bahwa Rasulullah SAW telah telah bersabda: “Malu itu tidak aka
menimbulkan sesuatu kecuali kebaikan semata.” (H.R. Bukhari dan Muslim)
Sehubungan dengan makna malu sebagaimana yang disebutkan di atas, ulama merumuskan
definisi malu sebagai berikut:
.
Artinya:
“Hakikat malu adalah sifat atau perasaan yang mendorong untuk meninggalkan
perbuatan jelek dan menghalangi mengurangi hak orang lain”
Menurut Abu al-Qasim (Junaid), perasaan malu akan timbul bila memandang budi
kebaikan dan melihat kekurangan diri. Hampir senada dengan itu, al-Hulaimy berpendapat
bahwa hakikat malu adalah rasa takut untuk melaksanakan kejelekan. Di antara ulama, ada
pula yang berpendapat, sebagaimana yang dikemukakan oleh Ibnu Hajar dalam kitab Fathu
al-Bary bahwa merasa malu dalam mengerjakan perbuatan haram adalah wajib; dalam
16
mengerjakan pekerjaan makruh adalah sunnah; dan dalam mengerjakan perbuatan yang
mubah adalah kebiasaan/adat. Perasaan malu seperti itulah yang merupakan salah satu cabang
iman.8
Berdasarkan pengertian-pengertian yang dikemukakan ulama sebagaimana disebutkan
di atas, dapat dipahami bahwa malu dalam melakukan perbuatan baik tidak termasuk dalam
kategori malu pada hadis ini. Demikian pula, tidak termasuk dalam kategori ini jika malu
untuk melarang orang lain berbuat kejelekan, karena Allah swt. sendiri tidak malu
menerangkan kebenaran. Sehubungan dengan hal ini Allah swt. berfirman dalam QS. al-
Ahzab (33): 53:
Terjemahnya:
Dan Allah tidak malu (menerangkan) yang benar…
Al-Faqih Abu Laits al-Samarqandi mengklasifikasin malu dalam syari’at Islam menjadi dua,
yaitu:9
1. Malu kepada Allah swt., maksudnya ialah malu melakukan maksiat kepada Allah
karena menyadari besarnya nikmat Allah swt. yang dianugerahkan kepadanya.
2. Malu kepada sesama manusia, maksudnya menutup mata dari hal-hal yang tidak
berguna.
Malu merupakan sesuatu yang sangat berharga bagi manusia. Oleh sebab itu, jika
manusia telah kehilangan rasa malunya, maka ia tidak ada lagi bedanya dengan binatang.
Kehilangan rasa malu akan menyebabkan orang menjadi permissif, sehingga membenarkan
segala cara demi untuk kepuasan naluri kemanusiaannya dan bahkan naluri dankebinatangan
yang ada pada dirinya.
Berbagai penyimpangan yang terjadi terhadap hak-hak Allah dan hak-hak sesama manusia
banyak dipengaruhi oleh hilangnya rasa malu pada manusia. Ketiadaan rasa malu kepada
Allah menyebabkan seseorang melakukan kemaksiatan kepada Allah, dan ketiadaan rasa
malu kepada Allah dan sesama manusia menyebabkan orang memperkosa hak-hak sesama
manusia.
BAB III
8 Op.Cit., h. 22739 Al-Faqih Abu Laits Samarqandi, Tanhibul Ghafilin (Pembangun Jiwa Moral Umat) penerjemah Abu
Imam Taqiyuddin (Malang: Dar al-Ihya, 1986) h.. 474.
17
KESIMPULAN
1. Iman ialah percaya kepada Allah swt, para malaikat-Nya, pertemuan dengan Allah,
para Rasul-Nya, percaya kepada hari berbangkit dari kubur, dan percaya kepada
qadha dan qadar. Islam ialah menyembah kepada Allah dan tidak menyekutukan-Nya
dengan suatu apapun, mendirikan shalat, menunaikan zakat yang difardhukan, berhaji,
dan berpuasa di bulan Ramadhan; dan Ihsan ialah menyembah kepada Allah seakan-
akan kita melihat-Nya, kalau tidak mampu melihat-Nya, harus diyakini bahwa Allah
melihat kita.
2. Ketiga hal di atas, ditambah mempercayai terjadinya hari kiamat, yang tidak
seorangpun mengetahuinya kecuali Allah swt. merupakan satu kesatuan yang tidak
dapat dipisahkan dalam membentuk jiwa untuk mengabdi kepada Allah sehingga
mendapat keridhaan-Nya.
Orang yang betul-betul beriman tidak mungkin secara sengaja mengerjakan maksiat.
Dengan demikian, seorang mukmin yang melakukan perbuatan dosa seperti zina, mencuri,
membunuh dan kemaksiatan-kemaksiatan lainnya, berarti dia sedang tidak beriman atau
imannya berada dalam titik terendah. Oleh karena itu, seyogianya setiap orang yang beriman
selalu memperbaharui keimanannya dengan selalu mengingat Allah dan melakukan berbagai
perintah-Nya.
Malu dalam arti sebenarnya (menurut pandangan Islam) adalah malu dalam
melakukan hal-hal yang dilarang oleh Allah swt. dan yang dipandang jelek oleh manusia.
Adapun orang yang merasa malu untuk melakukan perbuatan baik atau malu menegur orang
yang melakukan kejelekan tidak termasuk malu dalam kategori ini, tetapi justru termasuk
perbuatan tercela.
DAFTAR PUSTAKA
18
Abu al-Husain Ahmad bin Faris bin Zakariya al-Raziy, Mu’jam Maqayis al-Lugah, juz I,
(Cet. I; Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyah, 1999)
Ahmad bin Ali bin Hajar Abu al-Fadhl al-‘Asqalaniy al-Syafi’i, Fath al-Bariy, juz I, ditahqiq
oleh Muhammad Fuad Abd al-Baqiy dan Muhib al-Din al-Khathib, (Beirut: Dar al-Ma’rifat,
1379 H.)
Toshihiko Izitsu, Ethico Religiuous Concepts in the Qur’an, diterjemahkan oleh Agus Fahri
Husain dkk., dengan judul Konsep-konsep Etika Religius dalam Qur’an, (Cet. I; Yogyakarta:
Tiara Wacana, 1993)
Muhammad bin Ismailm al-Shan’aniy, Subul al-Salam, Juz IV, (Cet. IV; Beirut: Dar Ihya al-
Turats al-Arabiy, 1379 H.)
Muhammad bin Ismail Abu Abdullah al-Bukhari, Shahih al-Bukhari
Muslim bin al-Hajjaj Abu al-Husain al-Qusyairiy an-Naisaburi, Shahih Muslim, juz I, (Beirut:
Dar Ihya al-Turats al-‘Arabiy, t.th.)
Al-Faqih Abu Laits Samarqandi, Tanhibul Ghafilin (Pembangun Jiwa Moral Umat)
penerjemah Abu Imam Taqiyuddin (Malang: Dar al-Ihya, 1986)
19