15
II. TINJAUAN PUSTAKA Botani Tanaman Mangga Secara taksonomis, mangga termasuk dalam Famili Anarcadiaceae, Ordo Sapindales, Genus Mangifera, dan Spesies Mangifera indica. Famili Anarcadiaceae (mangga-manggaan) terdiri dari sekitar 500 spesies, sedangkan genus Mangifera meliputi 62 spesies (Pracaya, 2011). Arifin (2009) menyatakan bahwa tanaman mangga berkerabat dekat dengan pakel (M. foetida), kweni (M. odorata), dan kemang (M. caesia). Menurut Pracaya (2011), tanaman mangga berasal dari negara India dan menyebar ke wilayah Asia Tenggara pada abad ke-4 dan ke-5 Sebelum Masehi. Penanaman mangga dimulai di Filipina dan Indonesia (sekitar Maluku) pada tahun 1600-an. Bangsa Portugis menyebarkan tanaman mangga ke Barat pada abad ke-18 dan Afrika pada abad ke-19. Keberadaan mangga di Meksiko dilaporkan pada tahun 1779. kemudian mulai ditanam di Florida, Amerika Serikat (1833), Queensland, Australia (1870), dan Italia bagian selatan (1905). Tanaman mangga tumbuh tegak, bercabang banyak, dan bertajuk rindang serta hijau sepanjang tahun. Tinggi tanaman dapat mencapai 10-40 meter dan berumur lebih dari seratus tahun. Buah mangga tergolong buah berdaging dengan bentuk beragam sesuai dengan varietas. Warna buah hijau, kuning, merah atau campuran. Ujung buah melancip ataupun membengkok. Daging buah tebal atau tipis, berserat atau tidak, serta berair ataupun tidak (Pracaya 2011). Setiap varietas mangga mempunyai karakteristik yang berbeda. Contohnya perbandingan buah mangga gedong gincu dan arumanis. Bobot buah mangga arumanis biasanya lebih besar dibandingkan mangga gedong gincu. Namun demikian, aroma mangga gedong gincu lebih harum menyengat dibandingkan dengan mangga arumanis. Pangkal buah mangga gedong gincu berwarna merah keunguan pada saat matang, sedangkan mangga arumanis berwarna hijau kekuningan. Perbedaan lain yang terlihat adalah bentuk buah. Mangga gedong gincu berbentuk bulat. Mangga arumanis berbentuk jorong dengan pucuk meruncing. Karakteristik fisikokimia dan kandungan nutrisi buah mangga berbeda untuk masing-masing varietas. Tabel 1 menunjukkan perbandingan kandungan nutrisi antara mangga gedong, arumanis, dan Indramayu.

II. TINJAUAN PUSTAKA - repository.ipb.ac.id · Tanaman mangga tumbuh tegak, bercabang banyak, dan bertajuk rindang serta hijau sepanjang tahun. Tinggi tanaman dapat mencapai 10-40

Embed Size (px)

Citation preview

5

II. TINJAUAN PUSTAKA

Botani Tanaman Mangga

Secara taksonomis, mangga termasuk dalam Famili Anarcadiaceae, Ordo

Sapindales, Genus Mangifera, dan Spesies Mangifera indica. Famili

Anarcadiaceae (mangga-manggaan) terdiri dari sekitar 500 spesies, sedangkan

genus Mangifera meliputi 62 spesies (Pracaya, 2011). Arifin (2009) menyatakan

bahwa tanaman mangga berkerabat dekat dengan pakel (M. foetida), kweni (M.

odorata), dan kemang (M. caesia).

Menurut Pracaya (2011), tanaman mangga berasal dari negara India dan

menyebar ke wilayah Asia Tenggara pada abad ke-4 dan ke-5 Sebelum Masehi.

Penanaman mangga dimulai di Filipina dan Indonesia (sekitar Maluku) pada

tahun 1600-an. Bangsa Portugis menyebarkan tanaman mangga ke Barat pada

abad ke-18 dan Afrika pada abad ke-19. Keberadaan mangga di Meksiko

dilaporkan pada tahun 1779. kemudian mulai ditanam di Florida, Amerika Serikat

(1833), Queensland, Australia (1870), dan Italia bagian selatan (1905).

Tanaman mangga tumbuh tegak, bercabang banyak, dan bertajuk

rindang serta hijau sepanjang tahun. Tinggi tanaman dapat mencapai 10-40

meter dan berumur lebih dari seratus tahun. Buah mangga tergolong buah

berdaging dengan bentuk beragam sesuai dengan varietas. Warna buah hijau,

kuning, merah atau campuran. Ujung buah melancip ataupun membengkok.

Daging buah tebal atau tipis, berserat atau tidak, serta berair ataupun tidak

(Pracaya 2011).

Setiap varietas mangga mempunyai karakteristik yang berbeda.

Contohnya perbandingan buah mangga gedong gincu dan arumanis. Bobot buah

mangga arumanis biasanya lebih besar dibandingkan mangga gedong gincu.

Namun demikian, aroma mangga gedong gincu lebih harum menyengat

dibandingkan dengan mangga arumanis. Pangkal buah mangga gedong gincu

berwarna merah keunguan pada saat matang, sedangkan mangga arumanis

berwarna hijau kekuningan. Perbedaan lain yang terlihat adalah bentuk buah.

Mangga gedong gincu berbentuk bulat. Mangga arumanis berbentuk jorong

dengan pucuk meruncing.

Karakteristik fisikokimia dan kandungan nutrisi buah mangga berbeda

untuk masing-masing varietas. Tabel 1 menunjukkan perbandingan kandungan

nutrisi antara mangga gedong, arumanis, dan Indramayu.

6

Tabel 1 Komposisi gizi beberapa jenis mangga per 100 gram

Kandungan Jenis mangga

Gedong Indramayu Arumanis Energi (kal) 44 72 46 Protein (g) 0.7 0.8 0.4 Lemak (g) 0.2 0.2 0.2 Kabohidrat (g) 11.2 18.7 11.9 Kalsium (g) 13.0 13.0 15.0 Fosfor (g) 10.0 10.0 9.0 Besi (mg) 0.2 1.9 0.2 Vitamin A (mg) 2528 447 185 Vitamin C (mg) 9.0 16.0 6.0 Vitamin B1 (mg) 0.08 0.06 0.08 Air (g) 87.4 80.2 86.6

Sumber: Satuhu (2004)

Karakteristik Mangga Gedong Gincu

Broto (2003) menyatakan bahwa mangga gedong gincu ditetapkan

sebagai varietas resmi dengan nama mangga gedong berdasarkan Surat

Keputusan Menteri Pertanian No. 28/Kpts/TP.240/1/1995. Tinggi tanaman

berkisar antara 9 – 15 meter. Tajuk tanaman berbentuk piramida tumpul.

Tanaman mangga gedong bercabang banyak dengan ciri khas permukaan daun

sempit. Pucuk daun datar dan dasar daun lancip. Tanaman berbuah banyak

dengan produksi rata-rata 100 – 150 kg per pohon. Mangga gedong gincu

banyak ditanam di Cirebon, Majalengka, dan Indramayu. Luasan lahan terbesar

di Kabupaten Cirebon yaitu 2430 ha, diikuti Kabupaten Majalengka 2228 ha dan

Kabupaten Indramayu 1759 ha.

Cara budidaya tanaman mangga gedong gincu sama dengan gedong

biasa, kecuali waktu pemanenan. Mangga gedong dipanen saat buah mencapai

tingkat kematangan 60%, sedangkan mangga gedong gincu dipanen saat buah

mencapai kematangan 70%. Pada tingkat kematangan tersebut pangkal buah

sudah berwarna kemerahan sehingga dikenal sebagai gedong gincu. Umumnya

selisih waktu pemanenan mangga gedong gincu dan gedong biasa adalah 10-15

hari (Supriatna 2005). Menurut Ditjen Hortikultura (2005), indeks kematangan

70% tercapai 95-100 hari sesudah bunga mekar. Selanjutnya warna pangkal

buah akan menjadi merah sesuai dengan tingkat kematangan. Pada kematangan

100% bagian ujung dan tengah buah berwarna kuning kemerahan dan pangkal

buah berwarna merah.

7

Mangga varietas gedong gincu mempunyai karakteristik yang menarik

bagi konsumen. Menurut Pracaya (2007), buah mangga gedong gincu memiliki

warna daging merah kekuningan. Bentuk buah gedong agak bulat dengan

pangkal agak datar. Tangkai buah kuat dan terletak di tengah buah. Bobot buah

200 – 300 gram. Ukuran buah 8 cm x 7 cm x 6 cm. Permukaan kulit buah halus

dan kadangkala berbintik putih kehijauan. Daging buah tebal, berserat halus,

manis, berair, dan beraroma keras. Karakteristik aroma harum menyengat

menjadi keunggulan mangga gedong gincu dibandingkan dengan mangga lokal

lain di Indonesia. Konsumen luar negeri juga tertarik dengan warna kulit buah

mangga yang berwarna merah menyala saat matang.

Gambar 1 Buah mangga gedong gincu pada, (a) indeks kematangan awal (70%), (b) indeks kematangan 80-85%.

Hama Tanaman Mangga

Beragam organisme pengganggu golongan hama dilaporkan menyerang

tanaman mangga di lapangan. Tandon et al. (1976 dalam Kumar 2009)

menyatakan terdapat 492 spesies serangga yang menyerang tanaman mangga.

Hama utama mangga di lapangan meliputi Sternochetus mangiferae, Noorda

albizonalis, dan beberapa spesies lalat buah (Panhwar 2005). Menurut

Kalshoven (1981), terdapat 13 genus serangga yang menyerang tanaman

mangga di Indonesia, diantaranya: Rastrococcus, Sternochetus, Noorda,

Philotroctis, Rhytidodera, dan Orthaga.

Sternochetus mangiferae merupakan hama penting mangga yang

termasuk dalam Famili Curculionidae. Serangga ini termasuk dalam organisme

pengganggu tumbuhan karantina untuk pemasukan mangga dari Hawaii ke

Amerika Serikat daratan (Follett dan Gabbard 2000). Stadia dewasa berukuran

tubuh 10 mm, berwarna hitam abu-abu, dan mempunyai ciri moncong (snout)

yang jelas. Telur diletakkan serangga betina di permukaan buah. Induk

memanfaatkan sap yang keluar dari jaringan buah sebagai perekat telur di

a b

8

permukaan buah. Setelah menetas, larva masuk ke biji buah dan melakukan

aktivitas makan hingga masa pupasi. Serangga dewasa yang muncul memakan

lapisan biji buah. Pengendalian dilakukan dengan aplikasi insektisida sebelum

pembungaan ataupun memusnahkan buah bergejala yang jatuh ke tanah (Chin

et al. 2010).

Philotroctis eutraphera merupakan hama penggerek buah mangga,

terutama buah muda. Larva berwarna kemerahan dan berkembang menjadi biru

gelap saat menjelang pupasi. Pupa dalam kokon dapat dijumpai di tanah.

Ngengat berumur 6 – 7 hari dan betina menghasilkan telur sebanyak 125 – 450

telur di permukaan dan tangkai buah (Kalshoven 1981).

Autocharis albizonalis atau Noorda albizonalis yang merupakan hama

utama mangga di India. Serangga melewati lima tahap instar larva selama 11-13

hari. Tingkat keparahan tertinggi diakibatkan oleh serangan oleh larva instar

kedua atau ketiga. Kerusakan akibat serangan N. albizonalis dilaporkan

mencapai 10 – 52% di Benggal Barat, India (Sahoo dan Jha 2009). Di Indonesia,

N. albizonalis menyerang berbagai stadia perkembangan buah mangga

(Kalshoven 1981).

Wereng daun merupakan hama penting yang menyerang daun tanaman

mangga. Serangga dewasa dan nimfa memakan jaringan tanaman dengan cara

menghisap sap tanaman. Daun terserang menunjukkan gejala distorsi dan

mengeriting. Salah satu spesies wereng daun pada pertanaman mangga di

Australia adalah Idioscopus nitidulus (Chin et al. 2010), sedangkan di Indonesia

banyak dijumpai I. niveoparsus dan I. clypealis (Kalshoven 1981).

Kutu putih yang menyerang daun mangga adalah Rastrococcus spinosus.

Salah satu ciri khas R. Spinosus adalah rambut berlilin panjang di seluruh

tubuhnya. Betina berbentuk pipih, oval, lebar, dan dilapisi lapisan lilin tebal. Kutu

putih ini telah dilaporkan di Jawa, Malaysia, Filpina, dan Taiwan. Selain mangga,

spesies ini banyak ditemukan di permukaan bawah daun pada jeruk dan kopi.

Kutu putih mendapatkan makanan dengan menghisap sap jaringan tanaman

(Kalshoven 1981).

Orthaga euadrusalis merupakan hama yang memakan daun tanaman

mangga. Salah satu ciri khas serangannya adalah keberadaan jaring yang

menutup daun dan ranting. Larva berwarna ungu dengan garis lateral hitam.

Larva O. euadrusalis mengakibatkan kerusakan serius pada daun dan tunas

(Kalshoven 1981).

9

Salah satu hama penggerek batang mangga adalah Rhytidodera

simulans. Menurut Kalshoven (1981), serangga ini telah menyebar luas di Asia

Tenggara kecuali daerah Nusa Tenggara. Gejala serangan berupa lubang

menyerupai terowongan pada cabang yang terserang. Apabila cabang telah

terbuka dan terbelah menjadi terowongan yang lebih besar maka umumnya akan

ditempati semut. R. simulans juga diketahui menyerang M. odorata, M. foetida,

dan Elaeocarpus grandifloris. Selain hama-hama di atas, hama penting lain yang

menjadi musuh petani mangga di seluruh dunia adalah lalat buah (Subbab 2.4).

Lalat Buah sebagai Hama

Biologi dan Morfologi Lalat buah termasuk ke dalam Filum Arthropoda, Klas Insekta, Ordo

Diptera, Subordo Brachycera, dan Famili Tephritidae. Lalat buah mengalami

metamorfosis sempurna dengan melalui stadia telur, larva, pupa, dan imago.

Telur diletakkan secara berkelompok dan dalam waktu 2 hari akan menetas.

Menurut Vijaysegaran dan Drew (2006), satu ekor betina B. dorsalis dapat

menghasilkan 1200 – 1500 butir telur. Larva lalat buah mengalami tiga tahap

perkembangan instar. Larva bernafas dengan spirakel yang terdapat di bagian

anterior dan posterior. Khusus larva instar pertama, anterior spirakel belum

menunjukkan perkembangan. Lama stadia larva adalah 6 – 9 hari. Setelah itu

larva akan berkembang menjadi pupa berbentuk oval dan berwarna cokelat.

Pupa umumnya berukuran sekitar 5 mm dan berlangsung sekitar 10 hari. Setelah

itu stadia dewasa mudah dikenali karena mempunyai sayap dengan pola unik

dan bervariasi.

Stadia hidup lalat buah yang berpotensi terbawa dalam lalu lintas buah

mangga adalah telur dan larva. Telur lalat buah umumnya berwarna putih atau

krem kekuningan. Warna telur semakin gelap seiring umur telur semakin tua.

Ukuran dan bentuk telur bemacam-macam sesuai jenis spesies. Ceratitis

capitata dan B. tryoni mempunyai telur memanjang dan menyempit secara

bertahap, sedangkan Urophora solsitialis mempunyai telur dengan ujung

membulat dan meruncing pada ujung lainnya (White dan Elson-Harris 1994).

Tubuh larva terdiri dari bagian kepala, thoraks, dan abdomen. Thoraks

meliputi 3 segmen, yaitu prothoraks, mesothoraks, dan metathoraks, sedangkan

abdomen terdiri dari 8 segmen. Batas antara kepala dan thoraks tidak tampak

jelas. Kepala tidak mengalami sklerotisasi. Bagian tubuh larva yang mengalami

10

pengerasan adalah cephalopharyngeal skeleton dimana terdapat mulut kait

berwarna hitam atau cokelat (JFTA 1996). Keberadaan larva di dalam buah

merupakan penyebab utama penolakan buah ekspor di negara tujuan (Frias et

al. 2006).

Bentuk dan ukuran larva bervariasi sesuai dengan spesies dan nutrisi

dalam makanannya. Sebagian larva cenderung berbentuk silindris dan membulat

ataupun menyerupai bentuk terpotong pada kedua ujung tubuh. Larva berwarna

krem keputihan, namun dapat juga berwarna lebih gelap sesuai dengan jenis

makanannya (White dan Elson-Harris 1994).

Gambar 2 Perkembangan hidup lalat buah: (a) telur, (b) larva, (c) pupa, (d) imago

Larva instar pertama berukuran sangat kecil. Cephalopharyngeal skeleton

masih kurang tersklerotisasi. Mulut kait berwarna kuning atau lebih gelap. Mulut

kait mempunyai 1 atau lebih preapical teeth berukuran besar. Anterior spirakel

tampak seperti pori yang hanya dapat dilihat di bawah mikroskop elektron. Pada

posterior spirakel hanya terdapat 2 spiracular slit (JFTA 1996; White dan Elson-

Harris 1994).

Larva instar kedua mempunyai karakteristik hampir sama dengan larva

instar ketiga namun berukuran lebih kecil. Larva berwarna krem keputihan atau

sesuai makanan dalam saluran pencernaanya. Cephalopharyngeal skeleton

menyerupai instar ketiga namun terdapat 1 atau lebih preapical teeth. Anterior

dan posterior spirakel telah berkembang dengan baik. Posterior spirakel terdiri

a b

c d

11

dari 3 buah spiracular slit dan dikelilingi oleh rimae yang tersklerotisasi. Terdapat

4 rumpun spiracular hair namun jumlah rambut lebih sedikit dibanding larva instar

ketiga (JFTA 1996).

Larva instar ketiga merupakan instar dengan periode hidup paling lama di

dalam inang. Pada instar tersebut, larva mempunyai sepasang anterior spirakel

pada bagian prothoraks dan sepasang posterior spirakel di caudal segment.

Posterior spirakel dikelilingi oleh banyak spiracular tubules. Pada sisi ventral

caudal segment terdapat anus. Larva instar ketiga mempunyai kemampuan

melenting. Umumnya hal ini dilakukan saat larva akan mengalami pupasi (JFTA

1996).

Dampak Serangan Lalat buah merupakan masalah utama petani buah di dunia. Dampak

serangannya dirasakan dalam pemeliharaan tanaman di lapang maupun dalam

upaya ekspor ke negara lain. Kerusakan buah dimulai saat lalat buah betina

meletakkan telur di dalam jaringan inang. Larva menyebabkan kerusakan buah

secara cepat. Selain itu, kulit buah yang luka dapat menjadi tempat masuk

bakteri pembusuk. Pada aspek perdagangan, keberadaan lalat buah

menimbulkan kesulitan suatu negara untuk memasarkan produk buah segar ke

negara lain (Drew 2001).

Serangan lalat buah menimbulkan kehilangan hasil yang bervariasi. Lalat

buah dilaporkan menimbulkan kerusakan mangga hingga kisaran 10 – 50% di

Benin (Vayssieres et al. 2005). Dhillon et al. (2005) menyatakan kerusakan B.

cucurbitae pada tanaman cucurbit mencapai 100% dan pare sebesar 95%. B.

dorsalis merupakan hama penting pada tanaman mangga ‘Namdokmai Si Thong’

di Thailand (Varith et al. 2006) dan mengakibatkan kerusakan serius pada jambu

(Psidium guajava) dan jambu stroberi (Psidium cattleianum) di Hawaii (Vargas et

al. 2007). Beberapa informasi kehilangan hasil tanaman akibat serangan lalat

buah di kawasan Asia Pasifik dapat dilihat pada Tabel 2.

Pencegahan penyebaran lalat buah melalui lalulintas perdagangan

komoditas pertanian telah dilakukan oleh banyak negara. Hal ini dilakukan

karena lalat buah mampu hidup dan berkembang dengan cepat di daerah baru di

luar sebaran asalnya (Armstrong et al. 2009). Bahkan Siwi et al. (2006)

menyatakan bahwa lalat buah eksotik yang telah masuk ke daerah baru dan

berhasil berkolonisasi mempunyai daya rusak lebih tinggi dibanding lalat buah

12

lokal. Salah satu contoh adalah kasus masuknya 8 spesies baru lalat buah di

California yang mengakibatkan kehilangan hasil sebesar 910 juta dollar AS.

Biaya pengendalian akibat masuknya lalat buah eksotik sangat tinggi.

Drew (2001) menyatakan program eradikasi B. papayae di North Queensland

menelan biaya sebesar 35 juta dollar AS. Eradikasi B. dorsalis dengan male

annihilation method di Kepulauan Okinawa, Miyako, dan Yaeyama Jepang juga

dilaporkan sangat tinggi, yaitu mencapai 2.575 milyar Yen (OPPPC 2006). Biaya

tinggi juga diperlukan untuk pengembangan teknik serangga mandul. Teknik ini

telah berhasil dikembangkan untuk pengendalian B. dorsalis di Ogasawara Island

dan Kume Island (Jepang), serta C. capitata di Hawaii, California, Meksiko,

Nikaragua, Kostarika, Peru, Italia, Spanyol, dan Tunisia (White dan Elson-Harris

1992).

Tabel 2 Kehilangan hasil tanaman akibat serangan lalat buah pada beberapa

negara Asia Pasifik

Negara Tanaman Kehilangan Hasil Lalat Buah Penyebab

Malaysia Belimbing 100% B. carambolae Thailand Mangga 65% B. dorsalis Cantaloupe 94% B. cucurbitae Vietnam Persik 65% B. pyrifoliae Jambu air 76% B. correcta Palau Pisang 80% B. dorsalis complex Nauru Mangga 95% B. dorsalis / B. frauenfeldi Vanuatu Jambu 95% B. trilineola

Sumber: Drew (2001).

Lalat buah mampu berkembang di daerah baru dan menghasilkan

kerusakan. Beberapa kasus diantaranya adalah B. philippinensis yang menyebar

ke Palau (Vueti dan Leblanc 2002), B. tryoni ke Papua New Guinea (Purea et al.

1997), B. carambolae ke Suriname (Sauers-Mullers 2005), dan B. cucurbitae ke

beberapa negara kepulauan di Samudera Hindia (Vayssieres et al. 2008). Lalat

buah Anastrepha juga mulai menginvasi daerah Amerika Utara dari Amerika

Selatan. Salah satunya A. suspensa yang menyebar ke Florida, Amerika Serikat

(Weems et al. 2001). De Meyer et al. (2009) melaporkan bahwa beberapa

negara Afrika di kawasan tropis telah terintroduksi B. invadens yang awalnya

hanya ditemukan di Kenya.

Peningkatan lalulintas perdagangan membuka peluang penyebaran lalat

buah ke negara lain. Saat ini Amerika Serikat menghadapi ancaman masuknya

13

lalat buah Anastrepha dari kawasan Amerika Selatan dan Bactrocera dari

kawasan Asia. Pada tahun 1999 – 2009 beberapa spesies lalat buah eksotik

ditemukan di Florida dan California, diantaranya B. correcta, B. dorsalis, B.

latifrons, B. oleae, dan B. zonata. Jepang juga waspada terhadap penyebaran

lalat buah melalui komoditas pertanian impor. Iwaizumi (2004 dalam Ebina dan

Ohto 2006) melaporkan bahwa otoritas karantina Jepang berhasil mengintersepsi

beberapa spesies lalat buah pada komoditas pertanian impor, meliputi B.

dorsalis, B. carambolae, B. papayae, B. occipitalis, dan B. philippinensis.

Bactrocera dorsalis complex

Bactrocera merupakan genus lalat buah dari daerah sekitar khatulistiwa.

Sebagian besar lalat buah berasosiasi dengan buah-buahan tropis. Menurut

Hardy (1977 dalam Siwi et al. 2006), terdapat 160 genus dalam Tephritidae dan

180 spesies Bactrocera di kawasan Asia. Dari jumlah tersebut terdapat beberapa

spesies yang mempunyai kemiripan morfologis yang dikenal dengan Bactrocera

dorsalis complex.

Spesies dalam kelompok B. dorsalis complex dibedakan berdasarkan

karakteristik tertentu, seperti panjang aculeus dan pola warna di bagian thoraks.

Menurut Drew (2004), hasil survei di kawasan Asia Tenggara, Papua New

Guinea, Australia, dan Pasifik Selatan berhasil mendeskripsikan 80 spesies

dalam B. dorsalis complex. Namun demikian, Drew dan Hancock (1994)

menyatakan bahwa hanya sebagian kecil spesies dalam B. dorsalis complex

yang merugikan secara ekonomi. Beberapa spesies penting dalam B. dorsalis

complex, meliputi: B. carambolae, B. caryae, B. dorsalis, B. kandiensis, B.

occipitalis, B. papayae, B. philippinensis, dan B. pyrifoliae.

Sebagian besar spesies B. dorsalis complex mempunyai daerah sebaran

yang terbatas. Namun demikian, B. dorsalis, B. carambolae, B. papayae, dan B.

philippinensis dikenal sebagai jenis lalat buah yang mampu menyebar dan

menjadi masalah di tempat yang baru. B. dorsalis ditemukan di Hawaii pada

tahun 1946 dan menjadi hama penting pada berbagai buah. B. carambolae

masuk ke Suriname pada tahun 1975, sedangkan B. philippinensis telah

menyebar hingga Palau di Pasifik. Oleh karena itu, upaya eradikasi telah

dilakukan untuk mengendalikan lalat buah pendatang dari area lain. Beberapa

eradikasi yang berhasil adalah B. dorsalis di Okinawa, Guam, dan Kepulauan

Mariana (Drew dan Hancock 1994).

14

Bactrocera carambolae. Spesies ini merupakan salah satu spesies lalat

buah yang berpotensi sebagai hama potensial tanaman buah dan hortikultura di

Indonesia (Soesilohadi et al. 2003). Spesies lalat buah ini menyerang berbagai

macam buah-buahan di daerah tropis dan temperate hangat, terutama pepaya

(Carica papaya), mangga (Mangifera indica), dan belimbing (Averrhoa

carambola). Tanaman inang lainnya meliputi: kluwih (Artocarpus altilis), jambu air

(Syzgium jambos dan S. aqueum), jambu bol (S. malaccense), cabai (Capsicum

annuum), jambu biji (Psidium guajava), tomat (Lycopersicon esculentum),

nangka (Artocarpus heterophyllus), Terminalia setappa, Solanum ferox, dan

Lepisanthes fruticosa (Siwi et al. 2006). B. carambolae termasuk dalam kelompok B. dorsalis complex dan

sebelumnya sempat disebut Bactrocera sp. near B. dorsalis. Ciri morfologis

sayap adalah pita hitam pada garis costa dan garis anal (anal streak). Pola sayap

bagian ujung berbentuk seperti pancing. Skutum berwarna hitam dengan pita

kuning di kedua sisi lateral (lateral post sutural vittae). Postpronotal berwarna

kuning atau oranye. Pada lalat betina terdapat spot berwarna hitam pada femur

tungkai depan, sedangkan abdomen berwarna coklat oranye dengan pola-pola

yang jelas (Siwi et al. 2006).

Lalat buah betina meletakkan telur di bawah kulit buah. Kemudian larva

yang muncul dari telur melakukan aktivitas makan dari dalam buah. Lubang yang

dibuat oleh larva dalam jaringan daging buah juga merangsang masuknya

cendawan dan bakteri patogen tanaman. Buah yang diserang B. carambolae

menunjukkan gejala perubahan warna kulit di sekitar tanda sengatan. Selain itu,

buah juga dapat mengalami pembusukan secara cepat. Larva hidup dalam buah

sampai instar akhir, kemudian melenting ke tanah untuk pupasi (Siwi et al. 2006).

Bactrocera papayae. Spesies ini dikenal juga sebagai B. conformis. B.

papayae merupakan spesies yang berkembang luas di kawasan Asia Tenggara,

terutama: Thailand, Malaysia, Singapura, dan Indonesia (Siwi et al. 2006). B.

papayae merupakan polifag yang menyerang banyak jenis buah dan sayuran.

Inang utama meliputi beberapa tanaman buah tropis, seperti: pisang (Musa x

parasidiaca), mangga (Mangifera indica), pepaya (Carica papaya), dan rambutan

(Nephelium lappaceum). B. papayae diketahui telah menyerang mangga

‘Kensington’ di Australia (Jacobi dan Giles 1997). Toraks B. papayae mempunyai ciri berwarna hitam dominan pada skutum

dan mempunyai rambut supra alar di sisi anterior. Sebagaimana B. carambolae,

15

skutum ditandai dengan pita berwarna kuning di sisi lateral (lateral postsutural

vittae). Sayap B.papayae dicirikan dengan pita hitam pada garis costa dan garis

anal, serta sel bc tampak jelas. Sedangkan abdomen terbagi dalam ruas-ruas

yang jelas dimana terdapat pekten pada tergit ketiga. Selain itu, tergit ketiga juga

dicirikan dengan garis melintang. Lalat betina dewasa tidak mempunyai spot

hitam femur tungkai depan sebagaimana dijumpai pada B. carambolae dewasa

(Siwi et al. 2006).

Perlakuan Karantina Tumbuhan

Aturan karantina diperlukan untuk pencegahan penyebaran suatu

organisme pengganggu tumbuhan. Salah satunya dengan perlakuan terhadap

komoditas yang akan dikirim (Jang dan Moffit 1994). Perlakuan karantina

bertujuan untuk membunuh, membuang, ataupun mencegah perkembangbiakan

organisme tertentu yang tidak dikehendaki pada komoditas pertanian. Perlakuan

yang dikembangkan diharapkan mampu mengakibatkan mortalitas yang tinggi

pada serangga target. Umumnya yang dipersyaratkan adalah probit 9 atau

mortalitas mencapai 99.9968% (Mangan dan Hallmann 1998).

Perlakuan karantina tumbuhan terdiri dari perlakuan kimiawi dan fisik.

Teknik perlakuan kimiawi yang umum digunakan adalah fumigasi. Pada tahun

1980-an etilen dibromida (EDB) merupakan fumigan paling populer, namun

kemudian ditinggalkan karena bersifat karsinogenik (Mangan dan Hallmann

1998). Metil bromida menjadi fumigan paling populer berikutnya karena daya

kerja cepat dan berspektrum luas (Fields dan White 2002). Fumigan ini juga

efektif untuk nematoda dan patogen tumbuhan. Namun sesuai Protokol Montreal

tahun 1997, metil bromida dilarang digunakan karena menyebabkan kerusakan

ozon. Loaharanu (1999) menyatakan bahwa negara-negara maju telah

menghentikan penggunaan metil bromida sejak 2005, sedangkan negara

berkembang dijadualkan tahun 2015. Penggunaan metil bromida untuk

selanjutnya hanya diperbolehkan untuk keperluan karantina dan tindakan darurat

tertentu.

Alternatif pengganti metil bromida mulai dikembangkan sebagai tindakan

karantina, baik kimiawi maupun fisik. Menurut Fields dan White (2002), bahan

aktif sebagai pengganti metil bromida adalah fosfin. Fosfin merupakan fumigan

yang dapat digunakan untuk komoditas yang tidak direkomendasikan difumigasi

dengan metil bromida. Komoditas tersebut meliputi benih, produk makanan, serta

16

biji-bijian yang mengandung lemak dan protein tinggi. Barantan (2007)

menyatakan bahwa fosfin relatif tidak menimbulkan residu pada komoditas.

Bahan kimia lain yang sudah dikembangkan adalah sulfuryl fluoride untuk

pengendalian hama kayu (Yu et al. 2010) dan carbonyl sulfide (Fields dan White

2002). Perlakuan non-kimiawi yang dikembangkan sebagai perlakuan karantina

meliputi vacuum-steam-vacuum (Fuester et al. 2004), irradiasi (Mitcham 1999),

atmosfer terkendali (Hallmann 1994), radio frequency (Tang et al. 2000),

perlakuan dingin (Gould dan Hennesey 1997; Wilink et al. 2006) dan perlakuan

panas (Shellie dan Mangan 2000; Shellie dan Mangan 1994; Neven 2000; Neven

1998).

Perlakuan temperatur dingin merupakan teknik populer sebelum digeser

fumigasi. Perlakuan digunakan terhadap buah yang toleran terhadap temperatur

kurang dari 2oC, seperti belimbing, jeruk, leci, manggis, apel, dan pir. Awalnya

perlakuan ini digunakan untuk disinfestasi C. capitata pada apel pada tahun

1907. Selanjutnya perlakuan dingin telah banyak dikaji untuk beberapa telur

serangga gudang, seperti Ephestia cautella, Sitotroga cerealella, Tribolium

confusum, Plodia interpunctella, dan Oryzaephilus surinamensis. Perlakuan juga

digunakan untuk membunuh stadia telur dan larva Grapholita molesta dan Cydia

pomonella. Dalam pengendalian lalat buah, perlakuan dingin 1.1oC selama 20,

12 atau 18 hari digunakan untuk Anastrepha ludens, C. capitata, dan B. tryoni

(Armstrong 1994).

Perlakuan karantina dengan temperatur tinggi telah dikembangkan pada

banyak komoditas. Awalnya panas digunakan untuk mengendalikan serangga

gudang. Mahroof (2007) menyatakan bahwa panas untuk mengendalikan hama

pertamakali dilakukan oleh Duhamel du Monceau dan Tillet pada tahun 1762 di

Perancis bagian barat. Pada masa itu temperatur 69oC selama 3 hari digunakan

untuk mengendalikan Sitotroga cerealella pada komoditas biji-bijian. Pada tahun

1835 perlakuan panas digunakan untuk Sitophilus oryzae pada gandum di

Amerika Serikat (Fields dan White 2002). Perlakuan panas sebagai tindakan

karantina dilakukan pertamakali tahun 1929 untuk mencegah penyebaran C.

capitata dari Florida. Selanjutnya tahun 1930-an digunakan untuk mendisinfestasi

lalat buah yang menyerang jeruk, alpukat, mangga, dan jambu. Saat ini metode

perlakuan panas untuk persyaratan karantina tumbuhan negara tujuan meliputi

hot water treatment, force-air treatment atau hot air treatment, dan vapor heat

treatment (Shellie dan Mangan 2000; Follett 2004).

17

Metode hot water treatment (HWT) merupakan metode paling tua

diantara semua metode perlakuan panas. Prinsipnya mencelupkan komoditas ke

dalam air panas pada temperatur dan waktu tertentu. HWT merupakan salah

satu persyaratan perlakuan untuk buah-buahan yang masuk ke Amerika Serikat,

seperti buah mangga, leci, longan, dan jeruk lemon (APHIS 2011). Metode ini

terutama digunakan untuk mencegah penyebaran C. capitata dan Anastrepha

spp. dari Amerika Tengah, Karibia, dan Amerika Selatan (Sharp 1988). Selain

untuk pengendalian hama, metode HWT juga dapat digunakan untuk

mengendalikan penyakit pascapanen. Perendaman mangga pada air temperatur

53oC selama 3 menit dilaporkan mampu mengendalikan penyakit antraknose

(Klein dan Lurie 1992). Namun demikian metode HWT tidak cocok untuk buah-

buah tertentu karena dapat merusak buah. Drake et al. (2005) menyebutkan

bahwa metode air panas 48 – 55oC hingga 14 menit tidak cocok digunakan untuk

buah ceri varietas Bing dan Sweetheart.

Perlakuan udara panas merupakan alternatif lain perlakuan karantina.

Prinsipnya pemanasan komoditas dengan udara pada temperatur 40-50oC

selama waktu tertentu untuk mengendalikan lalat buah. Perlakuan udara panas

dapat digunakan untuk mangga, anggur, jeruk, belimbing, dan pepaya. APHIS

(2011) mensyaratkan perlakuan ini terhadap jeruk impor asal Meksiko, Hawaii,

dan daerah Amerika Serikat yang tidak bebas lalat buah tertentu. Perlakuan jeruk

dari Meksiko untuk mendisinfestasi Anastrepha spp. adalah udara panas 44oC

selama 100 menit dengan waktu kondisioning 90 menit. Sedangkan jeruk asal

Hawaii dengan lalat buah target C. capitata, B. dorsalis, dan B. cucurbitae harus

diberi perlakuan 47.2oC selama 5 menit dengan waktu kondisioning 4 jam.

Perlakuan udara panas juga mampu menekan penyakit pada buah. Shellie dan

Skaria (1998) melaporkan bahwa perlakuan udara panas pada 46o

Perlakuan uap panas atau Vapor Heat Treatment (VHT) merupakan

metode disinfestasi OPT dengan uap basah pada temperatur 43 – 50

C selama 300

menit dapat menghambat pertumbuhan Penicillium digitatum.

Perlakuan Uap Panas

oC.

Armstrong (1994) menyebutkan bahwa panas ditransfer dari udara ke buah

dengan kondensasi uap air pada permukaan buah. Pada VHT, peningkatan

temperatur secara perlahan lebih diharapkan untuk mencegah kerusakan

jaringan buah. Perlakuan uap panas dan udara panas mempunyai prinsip kerja

18

menggunakan udara yang dipanaskan untuk menaikkan temperatur buah yang

dapat mematikan serangga target. Perbedaan keduanya terletak pada tingkat

kelembaban yang digunakan dimana perlakuan uap panas lebih tinggi

dibandingkan perlakuan udara panas (APHIS 2011).

Fasilitas perlakuan uap panas dirancang untuk dapat mempertahankan

temperatur dan kelembaban tertentu dalam chamber. Temperatur dan

kelembaban dikendalikan dengan kendali elektrik temperatur dan kelembaban.

Mesin perlakuan uap panas dilengkapi pencatat rekaman

temperatur/kelembaban selama perlakuan berlangsung dengan sensor yang

dapat diatur posisinya dalam chamber perlakuan. Saat ini perlakuan uap panas

banyak diaplikasikan terhadap buah dengan OPT serangga sebagai target.

Kelembaban yang tinggi dapat mencegah evaporasi berlebihan pada buah. Uap

yang terdistribusi sempurna melalui sirkulasi udara memungkinkan kondisi uap

panas yang terkendali dalam chamber perlakuan (JFTA 1996).

Penelitian mengenai perlakuan uap panas dilakukan sejak tahun 1910-an

untuk membunuh telur dan larva lalat buah. Selanjutnya perlakuan uap panas

digunakan pertamakali pada tahun 1929 dalam dunia karantina tumbuhan. Pada

masa itu perlakuan dilakukan terhadap buah yang dikirim dari Florida ke daerah

lain di Amerika Serikat untuk mencegah penyebaran C. capitata. Pada awalnya

standar perlakuan uap panas yang berlaku adalah temperatur 43.3-46oC selama

delapan jam. Namun keterbatasan kemampuan peralatan masa itu

menyebabkan kesulitan untuk mengendalikan temperatur secara akurat selama

perlakuan sehingga terjadi kerusakan pada buah. Beberapa hama yang diuji

dengan perlakuan uap panas adalah lalat buah Anastrepha, thrips, pink

bollworm, dan cigarette beetle (JFTA 1996).

Pada tahun 1960-an teknologi perlakuan uap panas makin berkembang,

terutama oleh negara Jepang. VHT juga merupakan salah satu metode

perlakuan yang dipersyaratkan bagi ekspor buah ke beberapa negara. Salah

satunya persyaratan pepaya varietas Solo (Hawaii) ke Jepang. Jenis perlakuan

perlakuan uap panas mempunyai beberapa kelebihan dibandingkan dengan

metode konvensional lain, diantaranya kerusakan akibat panas pada komoditas

pertanian lebih rendah daripada metode perendaman air panas serta periode

pemaparan panas dapat lebih singkat daripadaperlakuan panas kering. Selain

itu, aplikasi perlakuan uap panas juga dapat mencegah adanya residu bahan

kimia pada buah segar yang diberi perlakuan, sehingga aman untuk dikonsumsi.

19

Tabel 3 Perlakuan uap panas untuk memenuhi aturan karantina tumbuhan

Komoditas (asal) Negara tujuan Jenis perlakuan

Mangga (Filipina) Australia, Amerika Serikat

Temperatur 46oC selama 10 menit untuk target B. cucurbitae, B. philippinensis, dan B. occipitalis

Mangga ‘Kensington’ (Australia)

Jepang Temperatur 47o

C selama 15 menit untuk target B. tryoni

Pepaya ‘Solo’ (Filipina)

Jepang Temperatur 46o

Yellow pitaya (Kolombia)

C selama 10 menit untuk target B. cucurbitae.

Amerika Serikat Temperatur 46o

Jeruk (Meksiko)

C selama 20 menit untuk target C. capitata dan Anastrepha fraterculus.

Amerika Serikat Temperatur 43.3oC selama 6 jam untuk target Anastrepha spp.

Sumber: JFTA (1996) dan APHIS (2011)

Saat ini fasilitas komersial perlakuan uap panas telah beroperasi di

Jepang, Thailand, Filipina, Australia, dan Amerika Serikat (Monck dan Pearce

2007; Hansen et al. 1992). Jepang, Amerika Serikat, dan beberapa negara lain

menerapkan aturan perlakuan untuk komoditas buah-buahan yang berasal dari

kawasan yang tidak bebas B. dorsalis, B. cucurbitae, dan C. capitata. Salah satu

metode yang dipersyaratkan adalah perlakuan uap panas. Sedangkan Australia

mengharuskan penerapan perlakuan uap panas 46o

C selama 10 menit untuk

mendisinfestasi B. cucurbitae, B. occipitalis, dan B. philippinensis. Beberapa

contoh perlakuan uap panas sebagai aturan karantina tumbuhan dapat dilihat

pada Tabel 3.

Perlakuan uap panas dengan kelembaban lebih dari 90% digunakan oleh

APHIS-USDA untuk mendisinfestasi mexican fruitfly pada buah clementine,

anggur, jeruk, dan mangga. Uap panas juga dilaporkan efektif untuk

mendisinfestasi mealybug pada Pisum sativum (Follett et al. 2004) dan thrips

pada bunga potong (Hansen et al. 1992).

Perlakuan uap panas dimulai dengan periode pemanasan dimana lama

waktu yang dibutuhkan tergantung dari jenis komoditas yang diberi perlakuan.

Waktu perlakuan berdasarkan temperatur internal dari komoditas telah mencapai

temperatur yang diinginkan untuk membunuh serangga target. Selanjutnya

perlakuan uap panas biasanya diikuti pendinginan dengan air atau udara (Lurie

1998).