40
Tugas Akhir Semester Ganjil Mata Kuliah Filsafat Ilmu Pengetahuan “Telaah Filsafat Ibnu Rusyd dalam Psikologi Forensik” Disusun oleh : Norcahyo Budi Waskito (NPM : 0806474464) Psikologi Magister Profesi Klinis Dewasa Kelas: A

Ibnu Rusyd.doc

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: Ibnu Rusyd.doc

Tugas Akhir Semester Ganjil

Mata Kuliah Filsafat Ilmu Pengetahuan

“Telaah Filsafat Ibnu Rusyd

dalam Psikologi Forensik”

Disusun oleh :

Norcahyo Budi Waskito (NPM : 0806474464)

Psikologi Magister Profesi Klinis Dewasa Kelas: A

Fakultas Psikologi Universitas Indonesia

Depok, 2008

Page 2: Ibnu Rusyd.doc

A. Pendahuluan

Pengetahuan berkaitan erat dengan penalaran yaitu suatu proses berpikir dalam

menarik sesuatu kesimpulan yang berupa pengetahuan. Sebagai makhluk yang

berpikir, merasa dan bertindak manusia memiliki akal. Akal ini dipergunakannya

melalui proses berpikir dan penalaran untuk mengembangkan kemampuan guna

mengembangkan pengetahuan dalam mengatasi kebutuhan dan persoalan hidup,

mengembangkan kebudayaan, memberi makna bagi kehidupan hingga manusia

‘memanusiakan” diri dalam dalam hidupnya. Sebagai sebuah kegiatan berpikir

penalaran memiliki kriteria logika dan analitis. Penalaran ilmiah merupakan kegiataan

analisis yang mempergunakan logika ilmiah tertentu yang berbeda-beda sebagai

konsekuensi dari suatu pola pikir tertentu.

Penalaran merupakan suatu proses penemuan kebenaran di mana tiap-tiap jenis

penalaran mempunyai kriteria kebenaran masing-masing. Oleh sebab itu ada beberapa

teori yang dicetuskan dalam melihat kriteria kebenaran.

1. Teori Konsistensi (Koheren/Kebenaran Rasio) : teori ini menyatakan

bahwa pernyataan dan kesimpulan yang ditarik harus konsinten dengan

pernyataan dan kesimpulan terdahulu yang dianggap benar. Berdasarkan teori

ini suatu pernyatan dianggap benar bila pernyataan tersebut bersifat koheren

atau konsisten dengan pernyataan-pernyataan sebelumnya yang dianggap

benar. Kebenaran ialah kesesuaian antara suatu pernyataan dan pernyataan

lainnya yang sudah lebih dahulu kita ketahui dan diakui benar. Matematika

adalah bentuk pengetahuan yang penyusunannya dilakukan pembuktian

berdasarkan teori koheren.

2. Teori Korespondensi (Kebenaran Faktual). Suatu pernyataan adalah benar

jika materi pengetahuan yang dikandung pernyataan itu berkorespondensi

(berhubungan) dengan obyek yang dituju oleh pernyataan tersebut (sesuai

dengan objeknya fakta). Kebenaran itu dicapai setelah diadakan pengamatan

dan pembuktian (observasi dan verifikasi). Contohnya pernyataan ”Ibu kota

negara RI adalah Jakarta”. Pernyataan ini benar karena faktanya memang

2

Page 3: Ibnu Rusyd.doc

sehingga bila dikatakan “ibu kota RI adalah Bandung” maka itu tidak

memiliki nilai kebenaran.

3. Teori Pragmatis. Kebenaran suatau pernyataan diukur dengan kriteria apakah

pernyataan tersebut bersifat fungsional dalam kehidupan praktis. Suatu

pernyataan adalah benar bila pernyataan itu atau konsekuensi dari pernyataan

itu mempunyai kegunaan praktis dalam kehidupan umat manusia. Benar

tidaknya suatu pendapat , teori atau dalil semata-mata tergantung pada

berfaedah tidaknya pendapat tersebut bagi manusia untuk bertindak dalam

penghidupannya, yaitu ada nilai praktis, ada hasilnya, berguna , memuaskan,

dan dapat berlaku. Contoh: Agama merupakan kebenaran karena pengaruhnya

yang positif dan berkat kepercayaan itu masyarakat jadi tertib.

Sumber pengetahuan dapat diperoleh melalui:

1. Rasio. Kaum rasionalis mendasarkan diri kepada rasio dengan

mempergunakan metode deduktif dalam menyusun pengetahuannya.

Pengalaman tidaklah membuahkan prinsip justru sebaliknya, hanya dengan

mengetahui prinsip yang didapat lewat penalaran rasionil itulah maka kita

dapat mengerti kejadian-kejadian yang berlaku dalam alam sekitar kita.

2. Pengalaman. Kaum empiris berpendapat bahwa pengetahuan manusia itu

bukan didapatkan melalui proses penalaran yang abstrak namun lewat

penalaran yang konkret dan dapat dinyatakan lewat tangkapan panca indra

3. Intuisi. Intuisi merupakan pengetahuan yang didapat tanpa melalui proses

penalaran tertentu. Intuisi bersifat personal dan tidak bisa diramalkan. Sebagai

dasar untuk menyusun pengetahuan secara teratur maka intuisi ini tidak dapat

diandalkan. Pengetahuan inuitif dapat digunakan sebagai hipotesa bagi analisis

selanjutnya dalam menentukan benar atau tidaknya suatu penalaran

4. Wahyu. Wahyu merupakan pengetahuan yang disampaikan oleh Tuhan

kepada manusia. Pengetahuan ini disalurkan lewat nabi-nabi yang diutusnya

sepanjang zaman. Agama merupakanpengetahuan bukan saja mengenai

kehidupan sekarang yang terjangkau pengalaman, namun juga mencakup

masalah yang bersifat transedental kepercayaan kepada Tuhan yang

merupakan sumber pengetahuan.

3

Page 4: Ibnu Rusyd.doc

B. Filsafat Pengetahuan

Filsafat ilmu merupakan cabang ilmu filsafat yang secara spesifik mengkaji hakikat

ilmu atau pengetahuan ilmiah. Filsafat ini mencoba menjawab sejumlah pertanyaan

yang berkaitan dengan apa itu ilmu (ontologi), bagaimana ilmu diperoleh

(epistemologi) dan untuk apa ilmu dilahirkan (aksiologi). Filsafat ilmu bertugas

memberi landasan filosofi dalam memahami berbagai konsep dan teori yang

melingkupi suatu disiplin ilmu. Proses ini berguna bagi pengembangan disiplin ilmu

yang secara substantive mendapat modal teori-teori substantive dari disiplin ilmu

tersebut dan secara teknis dibantu oleh metodelogi ilmiah. Filsafat ilmu

mempersoalkan dan mengkaji segala persoalan yang berkaitan dengan ilmu

pengetahuan, fisik, dan metafisik termasuk memfokuskan pembahasan dalam

metodologi ilmu pengetahuan.

Menurut Wibisono (2001) dalam Sutatminingsih (2002) filsafat ilmu memiliki

dimensi-dimensi utama:

1. Ontologi (teori hakikat) adalah hakikat yang Ada (being, sein) yang

merupakan asumsi dasar bagi apa yang disebut sebagai kenyataan dan

kebenaran. Dimensi ini mencakup berbagai pertanyaan seperti obyek mana

yang ditelaah ilmu? Apa wujud hakiki dari obyek tersebut? Bagaimana

hubungan obyek dengan tangkapan manusia (berfikir, merasa, mengindera)

hingga membuahkan pengetahuan?.

2. Epistemologi (teori pengetahuan) adalah sarana, sumber, tatacara untuk

menggunakan, langkah-langkah progresif menuju pengetahuan (ilmiah).

Dimensi ini mencakup berbagai pertanyaan seputar bagaimana proses yang

memungkinkan terjadinya pengetahuan yang berupa ilmu? Bagainama

prosedurnya. ? Hal-hal apa yang harus diperhatikan agar kita mendapat

pengetahuan yang benar? Apa yang disebut kebenaran itu sendiri? Apa

kriterianya? Cara dan tehnik sarana yang membantu kita mendapat

pengetahuan yang berupa ilmu?

3. Aksiologi (teori nilai) adalah nilai-nilai (value) sebagai tolok ukur kebenaran

(ilmiah), etik, dan moral sebagai dasar normatif dalam penelitian dan

penggalian, serta penerapan ilmu. Dimensi ini berkaitan dengan pertanyaan

4

Page 5: Ibnu Rusyd.doc

seperti untuk apa ilmu pengetahuan itu dipergunakan? Bagaimana kaitan

antara cara penggunaan tersebut dengan kaidah-kaidah moral? Bagaimana

penentuan obyek yang ditelaah berdasarkan pilihan-pilihan moral? Bagaimana

kaitan antara tehnik prosedural yang merupakan operasional metode ilmiah

dengan norma-norma moral/ professional?

Berkaitan dengan ruang lingkupnya, filsafat Ilmu dianggap mencakup berbagai hal

seperti:

Komparasi kritis sejarah perkembangan ilmu dari masa Thales dengan

pemikiran filsafat kosmologisnya, Aristoteles dengan logikanya, Rene

Descartes, Isac Newton, filsafat moral hingga masa modern yang

menghasilkan filsafat ilmu (yang merupakan integrasi dari perkembangan ilmu

pengetahuand dan filsafat).

Sifat dasar ilmu pengetahuan yang mencakup rasional (proses pemikiran yang

berlangsung dalam ilmu itu harus dan hanya tunduk pada hukum-hukum

logika), empiris (kesimpulan yang didapatnya harus dapat ditundukkan pada

verifikasi panca indra manusia.), forensikatis (fakta yang relevan itu harus

disusun dalam suatu kebulatan yang konsisten), umum (harus dapat dipelajari

oleh setiap orang), akumulatif (kebenaran yang diperoleh selalu dapat

dijadikan dasar untuk memperoleh kebenaran yang baru).

Metode ilmiah, merupaka prosedur yang ditemph dalam mendapatkan ilmu.

Prosedur ini mencakup proses logika (terdiri dari perumusan masalah mulai

dari latar belakang masalah, perumusan masalah hingga kerangka pemikiran),

pengajuan hipotesis (teori sementara yang masih dibuktikan kebenarannya

melalui pengujian dan data), observasi pembuktian (mencakup prosedur

penelitian, pengujian hipoteisis dan penarikan kesimpulan).

Sikap-sikap etis atau sikap ilmiah yang diperlukan dalam pengembangan ilmu

pengetahuan. Beberapa diantaranya adalah obyektivitas (dalam peninjauan

yang penting adalah obyeknya sehingga tidak dipengaruhi oleh bias atau

pandangan subyek yang melihat (mengamati obyek tersebut)), sikap serba

relative (ilmu tidak mempunyai maksud mencari kebenaran mutlak, ilmu

berdasarkan kebenaran-kebenaran ilmiah atas beberapa dasar pembuktian

yang secara a priori telah diterima sebagai suatu kebenaran. Teori tersebut

dapat mematahkan atau memperbaiki teori yang lain), sikap skeptis (sikap

5

Page 6: Ibnu Rusyd.doc

untuk selalu ragu-ragu terhadap pernyataan-pernyataan yang belum cukup

kuat dasar-dasar pembuktiannya. Sikap untuk tidak mudah menerima suatu

pernyataan tanpa landasan pembuktian yang kuat) serta kesabaran

intelektual (suatu ilmu pengetahuan tidak akan pernah lengkap dan sempurna

atau dianggap selesai. Proses pengembangannya membutuhkan kekuatan

ilmuwan untuk menahan diri, kuat dan tidak menyerah dalam menghadapi

tekanan atau menegakkan ilmu pengetahuan yang dikembangkannya).

C. Filsafat Islam

Pengertian filsafat Islam:

Pemikiran yang lahir dalam dunia Islam oleh para filsuf untuk menjawab

tantangan zaman yang dipengaruhi oleh meliputi ajaran Islam dalam suatu

aturan pemikiran yang logis dan forensikatis. Pokok pemikiran filsafat ini

mencakup Allah (dan persoalan ketuhanan serta kenabian), wahyu dan akal,

agama dan filsafat serta manusia dan alam semesta.

Madkor (1995) menyebutkan beberapa cirri yang melekat pada filsafat Islam, yaitu:

1. Filsafat religius spiritual. Filsafat Islam berlandaskan pada prinsip agama

dan amat bertumpu pada ruh. Filsafat ini juga tumbuh di jantung Islam, pada

tokohnya dididik dengan ajaran-ajaran Islam dan hidup dalam suasana Islam.

Ia merupakan perpanjangan dari pembahasan-pembahasan keagamaan dan

teologis yang ada sebelumnya. Beberapa topiknya yang bersifat religius antara

lain meng-Esa-kan Tuhan, menganalisa secara universal dan tajam mengenai

teori ke-Tuhanan yang tidak terdahului sebelumnya (Pencipta dan bukan

diciptakan). Fisika, kosmologi, psikologi dan moral dalam filsafat Islam

berhubungan erat dengan metafisika dimana dalam jiwa manusia terdapat

unsure Nur dan Illahi dan jiwa tidak mampu menyingkap realitas-realitas

unibersal kecuali dengan bantuan langit dan alam atas, .

2. Filsafat rasional. Filsafat Islam amat bertumpu pada akal dalam menafsirkan

problematika ketuhanan, manusia dan alam. Tuhan adalahsubyek yang

berpikir sekaligus obyek pemikiran. Akal manusia merupakan salah satu

6

Page 7: Ibnu Rusyd.doc

potensi jiwa (rational soul) yang bertugas mengendalikan badan dan

mengatyur tingkah laku, menerima persepsi-p;ersepsi inderawi dan meringkas

pengertian-pengertian universal daripadanya dnegan bantuan akal aktif.

Dengan akal manusia menganalisa dan membuktikan, menyingkap realita-

realita ilmuah karena tidak semua pengetahuan diwahyukan tapi ada yang

dideduksi oleh akal melalui eksperimen

3. Filsafat sinkretis. Filsafat Islam memadukan anatara sesama filsuf dan filsafat

dari filsafat Timur Klasik, kaum Sophis, kamu Socratise, aliran Iskandariyah,

Plato, Aristoteles dll. Para filsuf mencoba memadukan antara aspek-aspek

agama dengan sudut pandang filsafat dimana mereka mencoba memberi

nuansa agama apda filsafat dan memberi sentuhan filsafat pada ajaran agama.

4. Filsafat yang berhubungan kuat dengan pengetahuan. Dalam kajian-

kajiannya, filsafat Islam mengkajin ilmu pengetahuan dan sejumlah

problematika saintis (keilmuan) dan dalam kajian saintis (keilmuan) terdapat

prinsip-prinsip dan teori-teori filsafat. Para filsuf menganggap ilmu

pengetahuan rasional sebagai bagian dari filsafat. Para tokoh filsafat Islam

seperti halnya para filsuf Yunani merupakan seorang ilmuwan juga, missal Al

Kindi (filsuf yang juga matematikawan dan fisikawan), Al Farabi (filsuf yang

juga ahli ukur dan mekanika), Ibnu Sina (filsuf yang terkenal dengan ilmu

kedokterannya) seperti halnya Ibnu Bajjah, Ibnu Tufail dan Ibnu Rusyd.

Secara umum perkembangan filsafat Islam terbagi dalam beberapa kelompok dimana

setiap kelompok memiliki satu atau lebih tokoh-tokoh filsafat Islam yang berpengaruh

baik di kalangan Islam maupun hingga dunia Eropa (barat). Menurut Madkor (1995)

perkembangan filsafat Islam sebagai berikut:

1. Kelompok Awal Islam. Periode ini diawali dari masa jahiliyah akhir mendekati

munculnya agama Islam hingga awal abad kedua hijriyah. Masa ini dipengaruhi

oleh pesatnya perkembangan Islam ke berbagai wilayah mulai dari Persia, Mesir

hingga Ethoipia. Pemikiran utamanya adalah munculnya usaha menfilsafatkan ide

ketuhanan dengan berlandaskan prinsip mengEsakan Tuhan dan mensucikan

Tuhan dari segala yang tidak pantas dipandang-NYA (bentuk-bentuk

antrophomorphis).Selain itu pada masa ini mulai muncul perdebatan dan

problematika berkaitan dengan kebebasan berkehendak manusia. Tokohnya: Al

Ja’ad bin Dirham, Al-Jahm bin Safwan Ma’bad Al-Juhani, Gailan Al-Dimasqi,

7

Page 8: Ibnu Rusyd.doc

2. Kelompok Kaum Salaf. Kelompok ini sering disebut Ahl Al Sunna Waal

Jama’ah merupakan kelompok yang memegang teguh AL Quran dan Sunah

dengan mendahulukan riwayat atas kajian. Kelompok ini memahami Quran

berdasarkan pengertian lahir, tidak mentakwilkan (menafsirkan) dan

mengantropomorfisme (memberikan sifat-sifat manusia) pada Tuhan. Tokohnya

Abdullah bin Abbas, Abdullah bin Umar Ja’far as Sadiq, Imam Malik, Imam

Hambali, Imam Syafii, Ibnu Killab, Ibnu Hazzim Al Andalusia, Ibnu Taimiyah

3. Kelompok Mu’tazilah. Kelompok ini dianggap sebagai pendiri bagi teologi

Islam (ilmu kalam) dan merupakan aliran rasional awal dalam Islamn yang

pngaruhnya bertahan di kemudian hari. Kelompok ini membahas persoalan moral,

politik, fisika dan metafisika dalam kajian aqidah. Mereka membentuk pemikiran

filsafat yang membahas Tuhan, alam dan manusia yang selanjutnya menjadi

pokok bahasan dalam filsafat Islam. Mereka meyakini sepenuhnya kemampuan

akal, pemikiran yang mirip dengan yang diungkapkan Descartes di masa modern.

Tokohnya: Abu Huzail Al-Allaf, Al-Nazzam, Mu’amar bin Ibad Al Sulami, Abd

Hasyim Al-Jubba’i

4. Kelompok aliran Al-As’ariah. Kelompok ini merupakan aliran sinkretis dalam

artian mereka mencoba untuk berkompromi antara dua kutub pemikiran yang

mengutamakan akal dan yang mengutamakan naqli (ketentuan). Kelompok ini

mencoba menjembatani (menyelaraskan) kedua kelompok dengan

menggabungkan (mengkolaborasikan) pemikiran kelompok Mu’tazilah dengan

kelompok salaf. Aliran ini tidak memiliki. Mereka bertumpu pada Al Quran dan

Hadist namun tidak menolak akal dimana mereka meneguhkan masalah-masalah

kegamaan melalui metode rasional (Naqli lebih didahulukan dari Akal).

Tokohnya: Abu Al Hasan Al Asyari, Aby Bakar Al-Baqillani, Imam Al-

Haramain, Al Ghazali, AL Syahrastani, Fakhr Al Din Al Razi, Muhammad Abduh

5. Kelompok aliran Al Maturidiah. Kelompok ini serupa dengan kelompok Al

As’ariah dalam hal mereka menggabungkan antara paham naql dengan akal,

mengakui keduanya namun mengutamakan yang naql dibandingkan akal.

Perbedaaan lain adalah pengikutnya banyak dipengaruhi mazhab Imam Syafii dan

Imam Maliki sementara Al As’ariah dipengaruhi oleh Imam Hanafi. Tokohnya:

Abu Mansur Al-Maturidi, aliran Hanabilah dan Karamiah, Muhammad Abduh

6. Kelompok aliran Syiah. Kelompok ini terdiri dari berbagai aliran seperti aliran

Al-Zaidiah, aliran Syi’ah Al-Isna Al-Asyiriah, aliran Al Isma’iliah hingga ke

8

Page 9: Ibnu Rusyd.doc

aliran yang ekstrim. Keberagaman ini pun menimbulkan perbedaan pemikiran

yang bervariasi. Pada masa awalnya pandangan kelompok ini mendekati kaum

salaf yang menyerahkan sepenuhnya pada pengertian yang disebutkan Al Quran

dan Sunah tanpa melakukan kajian dan analisa. Namun pada perkembangan

berikutnya kelompok ini banyak dipengaruhi dan menganut pandangan kelompok

Mu’tazilah yang mengutamakan kajian rasional murni. Tokohnya: Abu Ali, Abu

Hasyim, Nasir Al Din Al Tutsi, Al Syekh Al Amali

7. Kelompok kaum Sufi. Kelompok ini merupakan kelompok yang mendalami

tasawuf (tingkah laku yang menjauhi segala keinginan dan hal yang mempesona

ditujukan demi kesucian jiwa dan tubuh). Pada awalnya mereka tidak banyak

melakukan kajian teoritis terutama yang berkaitan dengan filsafat ketuhanan,

mereka hanya menerapkan hal-hal yang prinsipil tasawuf dalam bentuk tingkah

laku yang menjauhi kesenangan duniawi. Perkembangan yang terjadi kemudian

adalah mereka mulai membicarakan keasyikan dan kerinduan, takut dan harapan,

cinta dan emosi, tiada dan ada, fana dan kekal hingga kebersatuan manusia dengan

Tuhan. Tokohnya: Al Muhasibi, Zu Al Nun Al Misri, Al Junaid, Ibnu Arabi

8. Kelompok kaum filosofi. Kelompok ini sering disebut sebagai kaum Paripatetik

Arab karena bertumpu pada filsafat Aristoteles dan kaum Paripatetik yang hidup

setelah masa Aristoteles. Filsafat yang dihasilkan memiliki benang merah dengan

filsafat klasik dan pemikiran abad pertengahan dan abad modern sesudahnya.

Kelompok ini dibesarkan oleh kodisi lingkungan kaum penerjemah yang

menularkan buah pikiran klasik Timur dan Barat ke dalam dunia Islam. Selain itu

keberadaan kelompok kajian teologis Islam seperti kelompok Mu’tazilah juga

mendorong munculnya kelompok ini. Pemikiran kelompok ini mencoba

memadukan antara akal dan agama. Tokohnya: Al Kindi, Ibnu Rusyd, Al Farabi,

Ibnu Sina

D. Profil Ibnu Rusyd

Ibnu Rusyd, ada yang menyebutnya Ibnu Rusydi memiliki nama asli Abu Al Walid

Muhammad Ibn Muhammad Ibn Rusyd. Ia merupakan seorang pemikir filsafat yang

sangat berpengaruh dalam perkembangan dunia filsafat umumnya maupun filsafat

9

Page 10: Ibnu Rusyd.doc

Islam khususnya. Dikenal pula di dunia Barat dengan sebutan Averroers, Ibnu Rusyd

hidup pada masa perkembangan filsafat Islam mencapai puncaknya. Ia lahir pada

tahun 520 H (1126 M) di Kordoba dan wafat di Maroko pada 595 H (1198 H).

Selama masa hidupnya ia terkenal sebagai seorang filsuf yang memiliki kekuatan dan

ketajaman dalam pemikiran filsafatnya yang luas. Buah pikirannya ini di kemudian

hari memberikan pengaruh yang luas dan mendalam bagi pemikiran filsafat di dunia

barat. Thomas Aquinas merupakan salah satu filsuf besar yang pemikirannya

dipengaruhi oleh pemikiran Ibnu Rusyd. Ibnu Rusyd sendiri, pemikiran filsafatnya

sangat dipengaruhi oleh pemikiran filsafat dari Aristoteles. Ia bahkan dikenal sebagai

seorang pemberi syarah (penjelasan) terbesar dan terbaik bagi filsafat Aristoteles. Ia

berhasil membedakan antara filsafat inti Aristoteles dan pemikiran Neo Platonisme

yang tercampur aduk oleh para filsuf Arab sebelumnya. Penjelasan yang dia berikan

atas pemikiran filsafat Aristoteles terbagi atas 3 tingkatan sesuai dengan jenis

kelompok pembaca yang mengkaji filasafat yaitu: penjelasan bagi kelompok pemula,

penjelasan bagi kelompok sedang dan penjelasan bagi kelompok lanjut.

Pada akhir masa hidupnya ia menghadapi tuduhan sebagai seorang kafir dari

penguasa setempat (Sultan Abu Yusuf) yang didukung oleh kalangan ulama dan

fuqaha. Semua buku-buku filsafatnya dibakar kecuali buku kedokteran, astronomi dan

matematika. Ia ditangkap lalu diasingkan ke Lucena hingga kemudian dibebaskan dan

kembali ke Maroko hingga akhir hayatnya.

Beberapa hasil karya yang dihasilkannya:

Al Kulliyat fi Al Thib (kedokteran)

Bidayah Al Mujtahid wa Nihayah Al Muqtashid fi Al Fiqh (ilmu fikih)

Tahafut Al Tahafut (Filsafat)

Fashl Al Maqal fi ma Bayn Al Syari’ah wa Al Hikmah (filsafat)

Al Kasyf’an Manahj AL Adillah fi “Aqaid Al Millah (filsafat)

10

Page 11: Ibnu Rusyd.doc

E. Pokok Ajaran Ibnu Rusyd

Pemikiran Ibnu Rusyd dipengaruhi oleh pemikiran Aristoteles dikarenakan sebagian

besar kajian filsafatnya merupakan penelitian dan komentar terhadap karya

Aristoteles. Namun ada pula ia memasukkan pemikiran-pemikiran dia dalam

penjelasan tersebut. Selain itu berbagai buku yang dihasilkannya terutama buku

Tahafut Al Tahafut, yang merupakan jawaban atas kritik Al Ghazali, mengandung

berbagi buah pemikiran filsafat dari Ibnu Rusyd.

Metafisika:

Dalam masalah ketuhanan Ibnu Rusyd berpendapat bahwa Allah adalah penggerak

pertama (Muharrik al Awwa). Sifat positif yang dapat diberikan kepada Allah ialah

Akal dan Maqqul. Wujud Allah ialah Esa-nya, wujud dari ke-Esa-an itu sendiri tidak

berbeda dengan zatnya. Mensifati Tuhan dengan “Esa” merupakan ajaran Islam

namun memberikan atribut “Penggerak pertama” merupakan hal yang dijumpai dalam

filsafat Aristoteles, Plotinus, Al Farabi dan Ibnu Sina. Cara mengenal Tuhan menurut

Ibnu Rusyd adalah dengan menggunakan landasan agama dan akal pikiran (qiyas

syar’i dan qiyas aqli)

Beberapa dalil mengenai pembuktian Tuhan menurut Ibnu Rusyd:

Dalil inayah al ilahiyah (pemeliharaan Tuhan). Keberadan alam yang

sesuai dengan kbutuhan manusia dan keteraturannya menunjukkan adanya

pencipta dari alam tersebut yang sangat bijaksana dan memelihara apa yang

diciptakannya. Dalil ini merupakan dalil yang sesuai dengan syariat dan

berlandaskan Al Quran

Dalil ikhtira’ (dalil ciptaan). Wujud segala benda di alam adalah diciptakan

(mereka tidak ada dengan sendirinya) yang berlangsung terus menerus.

Keadaan ini membutuhkan sang pencipta yaitu Tuhan. Dalil ini merupakan

dalil yang sesuai syariat dan berlandaskan Al Quran.

Daklil Harkah (gerak). Alam semesta bergerak sesuai gerak yang abadi dan

dalil ini menunjukkan adanya penggerak pertama yang tidak bergerak dan

11

Page 12: Ibnu Rusyd.doc

bukan benda yang menggerakkan pertama kali. Penggerak tersebut adalah

Tuhan. Dalil ini merupakan sebuah dalil dipengaruhi filsafat Aristoteles yang

mencetuskan pula dalil mengenai penggerak pertama ini.

Kebebasan Berkehendak

Allah memberikan kehendak kepada manusia untuk mengelola masalah-masalah yang

dihadapinya. Ia juga memberikan kemampuan untuk melakukan atau tidak melakukan

sesuatu karena perbuatan-perbuatannya merupakan hasil kehendak dan

kemampuannya. Kehendak dan kemampuan ini tidak bebas tapi tunduk dan terikat

kepada hukum alam. Hukum alam menunjukkan pengaturan dan ciptaan dari Tuhan

(dikenal dengan istilah Qada dan Qadar). Pendapat ini memadukan pendapat

mengenai kebebasan manusia dan hukum alam.

Moral:

Pokok ajarannya menekankan bahwa manusia adalah makhluk sosial yang

membutuhkan kerjasama untuk memenuhi keperluan hidup dan mencapai

kebahagiaan. Dalam merealisasikan kebahagiaan yang merupakan tujuan akhir

manusia diperlukan bantuan agama yang akan meletakkan dasar-dasar keutamaan

akhlak secara praktis, juga bantuan filsafat yang akan mengajarkan keutamaan

teoritis.

Metode pembuktian kebenaran

Menurut Ibnu Rusyd penting bagi manusia untuk menggunakan penalaran intelektual

dan penalaran legal sebagaimana diperintahkan oleh agama Islam melalui proses

refleksi atas keberadaan manusia dan kehidupan yang menyertainya. Releksi sendiri

tidak lain merupakan bentuk penyimpulan dan penarikan simpulan dari tidak tahu

menjadi tahu. Ini dapat melibatkan penalaran secara total ataupun penalaran pada

tingkatan yang berbeda (penalaran intelektual). Penting bagi seseorang yang hendak

memahami Tuhan dan ciptaannya untuk pertama-tama secara demonstratif memahami

bentuk-bentuk pembuktian dan kondisi (kevalidannya). Penalaran demonstratif ini

12

Page 13: Ibnu Rusyd.doc

berbeda dengan bentuk penalaran dialektika, retorika ataupun penalaran yang

mengandalkan kepercayaan (adat kebiasaan).

Sejalan dengan pengajaran syariat untuk pembuktian kebenaran konsep, maka

menurut Ibnu rusy metode yang dipergunakan ada 3 macam yaitu

1. Metode retorika (Al Khatabiyyah) merupakan bentuk pembuktian penalaran

yang mengedepankan sifat persuasif (mempengaruhi orang lain) yang teridir

atas kompetensi pembicara, nuansa emosi yang ditimbulkan dan dirasakan

berpengaruh pada pendengarnya dan logika pemikiran (penalaran yang

induktif maupun deduktif)

2. Metode dialektika (Al Jadaliyyah) merupakan bentuk penalaran yang

dipergunakan untuk membuktikan suatu kebenaran dengan berdasarkan pada

proses pertukaran argument-argumen dengan kontra argument (premis-premis)

yang menghasilkan suatu penyimpulan.

3. Metode demonstrative (Al Burhaniyyah). Penalaran demonstratif tidak

mungkin terjadi kecuali seseorang memahami apa itu penalaran dan apa saja

bentuknya dan mana diantara bentuk tersebut yang dianggap valid atau tidak

valid. Ini bukan hal yang mustahil bila seseorang mempelajari bagian-bagian

yang membangun suatu penalaran yang berasal dari premis-premis yang ada.

Metode retorik dan dialektik diperuntukkan bagi manusia awam sementara metode

demonstratif secara spesifik dipergunakan bagi kelompok kecil manusia.

Dalam konteks syari’at metode-metode terbagi kepada 4 kategori

1. Metode yang bersifat umum sekaligus bersifat khusus (Metode Yaqini/

dipastikan kebenarannya) dalam pembuktian kebenaran meskipun dalam

bentuk retorik atau dialektika. Wujud dari metode ini adalah silogisme (al

Maqayis) yang mencapai tingkat kepastian sekalipun premis-premis yang

diketengahkan bersifat masyhur (benar karena dukungan pendapat umum) atau

madhum (benar karena dugaan umum). Kesimpulan diambil sendiri secara

langsung, bukan dari perumpamaan-perumpamaannya. Dalil-dalil syariat

semacam ini tidak membutuhkan takwil bahkan seseorang yang mengingkari

atau memberi interpretasi dapat menjadi kafir.

13

Page 14: Ibnu Rusyd.doc

2. Metode yang premis-premisnya sekalipun bersifat masyhur atau madhum

namun kebenarannya mencapai tingkat pasti (yaqini). Metode ini

penyimpulannya diambil dari perumpamaan-perumpamaan bagi obyek-obyek

yang menjadi tujuannya. Kesimpulannya memungkinkan untuk terjadi proses

penafsiran dan ditafsirkan.

3. Metode yang kesimpulannya berupa obyek-obyek yang hendak disimpulkan

itu sendiri (kebalikan dari metode kedua). Premis-premisnya bersifat masyhur

atau madhum sementara kebenarannya tanpa terbuka kemungkinan mencapai

tingkat yaqini. Kategori ini kesimpulanya tidak membutuhkan takwil

sekalipun, seringkali takwil terjadi pada premis-premisnya.

4. Metode yang premisnya bersifat masyhur atau madhum tanpa kemungkinan

untuk mencapai tingkat yaqini dan kesimpulannya berupa perumpamaan bagi

obyek-obyek yang dituju. Bagi orang-orang tertentu metode ini harus

ditakwilkan (diinterpretasikan/ ditafsirkan), sedangkan bagi orang awam harus

diartikan menurut makna lahiriahnya.

Semua kategori diatas berpeluang untuk ditakwilkan dengan metode demonstratif

oleh orang-orang tertentu, sedangkan bagi masyarakat umum cukum memahaminya

menurut makna lahirnya saja sesuai dengan kapasitas kemampuannya. Tentu saja

pembuktian melalui takwil lebih memuaskan dari pada pemahaman secara lahiriah

karena itu mereka yang mendalami syariat cenderung untuk selalu memilih takwil.

Pandanganya yang juga sangat terpengaruh oleh Aristoteles berkaitan segala sesuatu

yang tidak mungkin lepas dari sebab-muisabab. Sebab musabab adalah asas ilmu alam

dan asal filsafat rasional. Tugas ilmu pengetahuan adalah mencari penyebab dari

obyek yang diselidiki. Seperti Aristoteles, ia membagi sebab-musabab dari segala

kejadian menjadi 4 yaitu

Material cause (illah maddiyah): sebab musabab yang berkaitan dengan benda

atau bahan seluruh kejadian

Formal cause (illah Shuwarriyyah): sebab msuabab yang berkaitan dengan

bentuk yang menyusun atau merangkai suatu kejadian

Efficient cause (illah fa’ilah): sebab musabab yang berkaitan dengan daya

guna/ kegunaan

14

Page 15: Ibnu Rusyd.doc

Final cause (illah gha’iyyah): sebab musabab yang berkaitan dnegan tujuan

yang menajdi arah dari seluruh kejadian

F. Psikologi Forensik

Pengertian Psikologi Forensik:

Suatu bidang dimana mencakup praktek-praktek atau pemberian layanan dan

keahlian secara professional dari mereka yang dianggap memiliki kompetensi

(keahlian) dalam bidang psikologis.

Ini merupakan bentuk aplikasi keilmuan dan keahlian dalam menangani isu-

isu psikologis pada sistem hukum dan peradilan untuk membantu proses

pengadilan, pihak yang terlibat dalam proses penuntutan pengadilan pihak

yang terlibat dalam pengelolaan fasilitas kesehatan mental bagi pembinaan

dan forensik, proses administratif pengadilan, judisial (peraturan perundangan)

dan pihak legislatif yang melakukan kerjanya dalam kapasitas sistem tersebut.

Keahlian dan kompetensi tersebut dapat mencakup bidang psikologis klinis,

psikologi konseling, neuropsikologi maupun psikologi sekolah.

Isu mengenai peran psikolog dalam bidang hukum dan peradilan diungkapkan

pertama kali melalui tulisan Hugo Münsterberg (murid dari Wilhelm Wundt dan

seorang profesor di Harvard) dalam bukunya On the Witness Stand (1908). Buku

yang membahas mengenai keterlibatan psikolog dalam sistem hukum dan peradilan

berdasarkan pengalamannya sebagai saksi ahli dalam pengadilan. Wacana ini

kemudian berkembang dengan kemunculan tulisan mengenai pentingnya nilai-nilai

psikologis dan peranannya dalam sistem hukum dan peradilan yang ditulis oleh

seorang professor dalam hukum, John H. Wigmore., pada tahu 1909. Isu ini sempat

mengendap selama puluhan tahun hingga pada tahun 1962, D.C. Circuit Court of

Appeals menjadi kasus pengadilan pertama yang meminta keterlibatan psikolog

dalam memberikan pendapat ahlinya di pengadilan mengenai gangguan jiwa pada

terdakwa. Meskipun 10 tahun sebelumnya dalam pengadilan mengenai diskriminasi di

sekolah pendapat beberapa ahli psikolog di masukkan sebagai rekomendasi berkaitan

dengan dampak psikologis proses diskriminasi tersebut bagi anak. Asosiasi Psikolog

15

Page 16: Ibnu Rusyd.doc

Amerika (APA) secara resmi pada tahun 2002 menyetujui psikologi forensik sebagai

bidang khusus dari ilmu psikologi.

Beberapa karakteristik yang memberikan kekhasan pada psikologi forensik sebagai

bagian dari ilmu psikologi yang diaplikasikan pada sistem hukum dan peradilan:

Psikolog forensik diwajibkan menggunakan hasil asesmen mereka untuk

membantu atau mendidik sistem pengadilan tanpa terlalu memperhatikan

keuntungan yang mungkin didapat dari mereka yang diassess.

Diagnosa pada psikologi forensik dikaitkan bukan untuk strategi penanganan

namun lebih berfungsi melihat kondisi untuk menjelaskan perilaku tertentu yang

berkaitan dengan proses pengadilan dan menjadi focus dari penilaian dalam

pengadilan.

Pada sistem legal, konsep perilaku manusia bersifat dikotomi (tidak kontinum

sebagaimana yang ditanamkan dalam psikologi umum) yang menuntut seseorang

untuk digolongkan ke dalam 2 kelompok (misal bersalah atau tidak bersalah,

mengalami gangguan jiwa atau tidak mengalami, berbohong atau tidak

berbohong).

Pada psikologi forensik penjelasan atas perilaku dan juga tingkat intelegensi

seringkali tidak mencukup kebutuhan pengadilan. Sistem hukum menuntut

laporan psikolog menjabarkan perilaku psikolegal (perilaku psikologis yang

berkaitan dengan aspek hukum).

Dalam asesmen forensik, motivasi dan kebenaran yang diungkapkan klien perlu

dipertanyakan, segala informasi perlu di cek konsistensinya melalui beragam

sumber informasi dan beragam cara memperoleh informasi (wawancara, observasi

dll). Psikolog pun harus berhadapan dengan resistensi penerimaan yang tinggi dari

klien.

Fokus penanganan dalam psikologi forensik mencakup kondisi saat ini, masa lalu

dan prediksi masa depan dari klien yang ditangani atau orang yang meminta jasa

keahliannya dalam persidangan.

Derajat kepercayaan dari psikologi forensik tidak mengandalkan statistic (misal:

penggunaan level statistic 0,05 berdasar distribusi normal) namun lebih

mengandalkan bagaimana si ahli dalam memberikan kesaksian ahlinya dapat

menjelasakan alasan yang melandasi pendapat atau penilaiannya dalam

pengadilan.

16

Page 17: Ibnu Rusyd.doc

Dalam psikologi forensik laporan dan kesaksian ditinjau dan disikapi secara hati-

hati, sulit untuk tertutup dan membutuhkan pemeriksaan silang serta transkrip

kesaksian yang tercatat/ terdokumentasi sebagai penguat dalam pengadilan.

Psikolog forensik tidak hanya memiliki tanggung jawab terhadap profesinya saja

tapi ia juga perlu memberikan pendapat bila diminta oleh semua pihak yang

terlibat dalam sistem pengadilan tersebut.

Klien dari psikolog forensik mencakup korban, terdakwa, juri atau hakim hingga

orang-orang yang dipengaruhi oleh kesaksian ahli psikoog tersebut termasuk

masyarakat umum.

G. Kesaksian Ahli dalam Psikologi Forensik

Salah satu aspek terbesar dari praktek psikologi forensik melibatkan pemberian

kesaksian ahli pada persidangan, proses dengar pendapat maupun proses

administrative hukum lainnya. Kesaksian tersebut mencakup isu mengenai penahanan

dan proses hukum anak-anak, kecacatan, luka personal, kompetensi menghadapi

persidangan dan proses hukum, sidang dengar pendapat, pengadilan pengganti,

kegilaan, keterangan yang meniadakan kemampuan dll. Psikolog forensik umumnya

melakukan evaluasi dengan harapan temuannya akan dipresentasikan dalam ruang

sidang sebagai kesaksian seorang saksi ahli. Para ahli memberikan kesaksian berupa

pemikiran mereka (termasuk penalaran induksi dan deduksi) dan dapat memberikan

pendapatnya berdasarkan apa yang kesaksian lain yang disampaikan.

Saksi ahli adalah orang yang memiliki kualifikasi (kompetensi) untuk memberikan

kesaksian sebagai ahli dikarenakan ia memiliki pengetahuan, ketrampilan,

pengalaman, latar belakang pelatian dan pendidikan yang sesuai dan mencukupi

baginya sebagai seorang ahli pada bidang dimana dia diminta untuk memberikan

kesaksian. Kualifikasi ini tidak hanya kualifikasi secara ilmiah atau teknis namun juga

segala pengetahuan/ ketrampilan yang khusus.

Saksi ahli diperlukan dengan pertimbangan bahwa beberapa isu yang dibahas dalam

suatu persidangan (kasus) sangat komplek, sulit atau teknis sifatnya bagi para hakim

17

Page 18: Ibnu Rusyd.doc

atau juri untuk menyelesaikan tanpa bantuan dari saksi ahli melalui kesempatan yang

diberikan untuk mengutarakan pendapat atau penyimpulannya. Peran saksi ahli adalah

juga memberikan panduan bagi juri atau hakim dalam bentuk pendapat atau

penyimpulan yang diberikannya

Kesaksian ahli yang diberikan oleh psikolog forensik sebagai dalam suatu

persidangan bergantung pada segi keilmuannya, dalam hal ini kepakarannya dalam

lingkup ilmu psikologi. Beberapa pertimbangan (bahkan menjadi syarat) agar suatu

kesaksian dapat diterima dalam pengadilan

Kesaksian dari ahli merupakan proses deduksi dari dari prinsip atau temuan

ilmiah yang dibangun (dikembangkan) dengan baik dan mendapatkan

penerimaan luas pada bidang tertentu dimana topik itu menjadi bagiannya.

Kesaksian ahli harus berdasarkan pada teori dan metode dan prosedur ilmiah

sehingga bukti (kesaksian) tersebut relevan, dapat dipercaya, valid dan dapat

diterima secara umum

Kesaksian dapat diterima pengadilan (hakim/ juri) ketika sebagian besar ahli

yang relevan dengan disiplin ilmu tersebut menerima teori atau metode

dimana kesaksian didasarkan (peer review/ pendapat komunitas ilmiah).

Hakim atau juri disarankan untuk melihat beberapa faktor dibawah ini untuk

menentukan apakah dapat menerima kesaksian ahli:

o Apakah prinsip dan metodologi yang mendasari kesaksian tersebut

pernah atau dapat diuji

o Apakah hal tersebut pernah mendapatkan review dari rekan-rekan

sejawat atau dibahas dalam suatu publikasi?

o Apakah kemungkinan kesalahan baik yang potensial maupun yang

diketahui dapat diterima/ ditolerir?

o Apakah prinsip yang mendasari kesaksian mendapat penerimaan di

kalangan komunitas ilmiah?

Kriteria itu dibuat untuk memastikan reliabilitas dan relevansi dari kesaksian

ahli. Kriteria ini juga dibuat untuk memastikan bahwa para ahli yang

mendasari kesaksiannya pada penelitian professional atau pengalaman pribadi,

di ruang persidangan juga menerapkan kadar intelektualitas dan keilmiahan

yang sama dengan yang diterapkannya di bidang yang ditanganinya.

18

Page 19: Ibnu Rusyd.doc

Beberapa aturan yang mengikat para saksi ahli selama proses memberikan kesaksian

ahli di persidangan agar kesaksiannya dapat diterima sebagai bahan pertimbangan

bagi pemutus perkara di persidangan:

Sebelum seorang saksi ahli diundang dalam pengadilan untuk memberikan

kesaksian, dilakukan proses pemberitahuan oleh jaksa/ pengacara yang

mengundang kepada jaksa/ pengacara lawan. Jaksa/ pengacara lawan diberikan

kesempatan pula untuk mendapatkan gambaran umum mengenai kesaksian yang

akan diberikan bahkan mereka memiliki kesempatan untuk mengajukan pertanyan

pendahuluan di luar sidang kepada saksi ahli sebelum pengajuan sebagai saksi ahli

diterima. Proses tanya jawab tersebut harus direkam dengan kaset.

Sebelum memberikan kesaksian, setiap saksi ahli maka mereka diharuskan

membuat pernyataan (mengatakan) di depan pengadilan bahwa mereka akan

memberikan kesaksian sebenar-benarnya dibawah sumpah. Pernyataan ini juga

melibatkan kewajiban moral agama dimana sumpah tersebut diucapkan dengan

mengatasnamakan Tuhan dengan Al Quran, Injil dan kitab lain. Proses ini

dilakukan untuk membangkitkan nurani meraka akan kebenaran dan

mengingatkan para saksi akan tugas mereka untuk mengungkapkan kebenaran

tersebut.

Dalam setiap proses persidangan diberlakukan yang disebut pengujian silang

(cross-examination). Ini adalah suatu proses dimana saksi (termasuk saksi ahli)

diberikan pertanyaan oleh jakasa/ pengacara yang mengundang mereka dan

kemudian jaksa/ pengacara lawan diberikan kesempatan untuk mengajukan

pertanyaan juga. Kadangkala dalam proses ini hakim memiliki kesempatan dan

kewenangan untuk ikut pula mengajukan pertanyaan (tergantung sistem peradilan

yang berlaku di wilayah tersebut).Pada kesempatan ini ada yang disebut dengan

Voir Dire yaitu kesempatan bagi jaksa/ pengacara lawan untuk mengajukan

interupsi (pertanyaan) selama proses pengecekan ulang kualifikasi saksi ahli.

Pertanyaan yang diajukan dalam proses ini biasanya berkaitan dengan kompetensi

dan kredibilitas dari saksi. Pertanyaan ini bertujuan untuk menguatkan kredibilitas

saksi ahli di mata persidangan dan secara hukum mengesahkan kualifikasi dia

menjadi seorang saksi ahli

Kesaksian yang diberikan harus berlandaskan fakta dan data yang diajukan selama

persidangan. Pendapat atau penyimpulan yang diberikan saksi ahli harus

bersumber dari hal tersebut.

19

Page 20: Ibnu Rusyd.doc

Pada persidangan saksi ahli akan dimintai penjelasan (keterangannya) mengenai

dasar pemikiran dari pendapat atau penyimpulan yang mereka diperoleh melalui

fakta atau data yang ditampilkan dalam persidangan. yang

Seorang saksi ahli mesti memenuhi kualifikasi dari sisi pengetahuan, ketrampilan,

pengalaman, pelatihan ataupun pendidikan. Dalam persidangan pengecekan

kualifikasi dan kredibilitas ini ditanyakan secara langsung. Pertanyaan yang

biasanya ditanyakan pada psikolog forensik berkaitan dengan kompetensi dan

kredibilitasnya sebagai saksi ahli biasanya mencakup pertanyaan sebagai berikut:

o Apakah profesi anda? Apakah pekerjaan anda sekarang?

o Sebelumnya apa pekerjaan anda?

o Apakah anda memiliki keahlian dalam bidang khusus di psikologi?

o Apakah pengalaman anda dalam praktek professional?

o Ceritakan tentang pendidikan anda?

o Apakah anda memiliki ijazah?

o Anda psikolog yang bersertifikasi?

o Kapan anda mendapatkan ijin praktek?

o Bagaimana proses anda mendapatkan sertifikat tersebut?

o Apa kegunaan dari sertifikat tersebut?

o Apakah anda menjadi anggota organisasi professional tertentu?

o Apakah anda pernah menerbitkan buku, karya tulis atau artikel?

o Apakah anda pernah melakukan penelitian mandiri dalam bidang

psikologi?

o Apakah anda pernah mendapatkan penghargaan atau pengakuan tertentu?

o Apakah anda sebelumnya memenuhi kualifikasi sebagai saksi ahli?

o Dalam persidangan apa?

o Kasusnya apa?

Seorang saksi ahli dapat memiliki kemungkinan untuk diberhentikan proses

kesaksiannya dalam persidangan dengan cara (proses):

o Pada uji silang (cross-examination) jakasa/ pengacara lawan mengajukan

pertanyaan-pertanyaan yang berkaitan dengan publikasi ataupun track-

record dari saksi ahli tersebut yang dapat mengecilkan atau menunjukknan

ketidakkompetenan saksi ahli yang bersangkutan.

20

Page 21: Ibnu Rusyd.doc

o Kesaksian dari saksi ahli tersebut dikronfontir dengan hasil penelitian/

buku yang bertentangan dan meniadakan kredibilitas kesaksian tersebut

pada saat persidangan berlangsung

H. Kesaksian Ahli dalam Psikologi Forensik Ditinjau dari Pokok

Pikiran Ibnu Rusyd

Peran psikologi forensik dalam proses hukum dan peradilan menunjukkan adanya

suatu upaya-upaya penalaran ilmiah yang dipergunakan untuk membuktikan suatu

kebenaran. Kebenaran yang ingin dibuktikan dalam suatu sistem peradilan dan hukum

memiliki banyak sisi. Sisi yang berbeda ini membuat teori kebenaran yang dipegang

oleh setiap pihak dapat sangat berbeda. Keberadaan saksi ahli sebagai salah satu

keterlibatan psikologi forensik dalam hukum dituntut untuk melakukan penalaran agar

dapat menghasilkan kebenaran yang sifatnya pragmatis. Sistem hukum dan

pengadilan membutuhkan kebenaran tersebut memutuskan perkara (apakah seseorang

dapat bertanggung jawab atas perbuatan criminal yang dilakukannya atau tidak,

apakah seseorang dapat dijatuhi hukuman atau tidak). Sementara dari sisi psikolog

sebagai saksi ahli, batasan kebenaran yang perlu mereka buktikan menurut aturan

hukum adalah kebenaran faktual yang berlandaskan pada fakta dan bukti yang ada

dalam persidangan.

Pembuktian kebenaran faktual yang dilakukan dalam kesaksian ahli psikolog forensik

di persidangan mewakili proses dialektika untuk mendapat kebenaran. Dialektika,

pemikiran yang sangat dipengaruhi oleh pemikiran Aristoteles, menurut Ibnu Rusyd

merupakan salah satu metode pembuktian kebenaran. Dialektika terjadi dalam proses

selama persidangan dimana baik jaksa, pengacara maupun hakim (dan juri) akan terus

menerus melakukan dialog dengan saksi ahli melalui pertukaran argument dalam

persidangan. Saksi ahli akan menyampaikan apa yang diketahuinya sesuai dengan

kapasitasnya sebagai psikolog dan memberikan kesaksian berkaitan dengan isu

psikologis dalam hukum (termasuk aspek psikolegal dalam perilaku). Kebenaran yang

disampaikan oleh psikolog ini kemudian dikontrakan oleh pihak lain untuk pada

21

Page 22: Ibnu Rusyd.doc

akhirnya menghasilkan suatu kebenaran yang benar-benar teruji atas isu psikologis

dalam persoalan hukum tersebut.

Metode lain yang dipergunakan dalam proses pembuktian kebenaran tersebut adalah

metode retorika. Retorika terjadi ketika psikolog forensik (saksi ahli) mencoba

memberikan pendapat dan penyimpulannya sesuai dengan keahlian dan

kompetensinya sebagai psikolog. Pada bagian ini psikolog mencoba mempersuasi

persidangan dengan kompetensi yang dimilikinya serta logika pemikiran yang

mendasari penyimpulan tersebut.

Sebelum persidangan proses permintaan sebagai saksi ahli sudah menjadi modal

dalam proses retorika yang menunjukkan bahwa sistem pengadilan menganggap

psikoog tersebut sebagai orang yang berkompeten. Penggunaan kompetensi pun

terlihat dari proses cross-examination yang merupakan upaya saksi ahli untuk

menunjukkan dan meyakinkan pada pengadilan bahwa dia adalah sosok yang

berkompeten dalam isu psikologis. Kompetensi yang ditunjukkan dnegan track-

record pengalaman, latar belakang pendidikan, legalitas kompetensi, prestasi dll.

Langkah awal dari retorika dilakukan saksi ahli dengan dibantu proses dialektika

dengan jaksa/pengacara yang mengundang, jaksa/ pengacara lawan hingga hakim.

Aspek retorika kedua yang dilakukan oleh saksi ahli adalah penjabaran logika berpikir

yang berawal (atau berujung) pada pendapat dan penyimpulan atas fakta dan data

persidangan. Pada persidangan psikolog akan menyampaikan opininya disertai

dengan penjelasan akan metode pembuktian kebenaran yang dilakukannya (penalaran

ilmiah yang dikerjakannya). Penjelasan ini meyakinkan pada sistem persidangan

bahwa penyimpulan yang didapat betul-betul melalui teori, metode dan prosedur

ilmiah. Persidangan diyakinkan bahwa pendapat tersebut adalah relevan, reliable dan

valid.

Namun untuk sampai pada pendapat yang menjadi kesaksian psikolog forensic, ada

proses pengujian kebenaran yang dilakukan psikolog tersebut. Saksi ahli mencoba

melakukan penalaran induktif dengan mecoba menarik kesimpulan umum mengenai

perilaku tertentu yang akan dijadikan isu dalam kesaksiannya. Kemudian kebenaran

sementara ini coba dibandingkan dengan bukti dan fakta yang digunakan dalam

22

Page 23: Ibnu Rusyd.doc

persidangan baik yang dikumpulkan oleh dirinya sendiri (melalui wawancara berbagai

pihak, observasi, penggunaan alat tes psikologi) maupun fakta dan data yang

dihasilkan oleh aparat penegak hukum. Berdasarkan fakta dan data tersebut, psikolog

mengkaitkan dengan pengetahuan umum yang dia miliki dari pengalaman maupun

literature yang berkaitan dengan isu psikologis (misal: hasil penelitian, DSM IVR dll).

Di sini psikolog forensic melakukan proses deduksi dengan membandingkan

kesimpulan yang diperolehnya dari proses induksi dengan kebenaran-kebenaran yang

sudah ada untuk membuat opini yang akan disampaikan dalam kesaksian sebagai

saksi ahli di persidangan. Proses ini merupakan bentuk dari metode demonstratif yang

menurut Ibnu Rusyd menjadi salah satu metode pembuktian kebenaran.

Kriteria yang ditetapkan oleh peradilan bagi sebuah kesaksian ahli yang dapat

dipergunakan dalam sidang menunjukkan bahwa psikologi forensik dituntut untuk

selalu melakukan penalaran ilmiah untuk membuktikan kebenaran demi kebenaran

hingga didapat kebenaran yang konsisten dengan kebenaran-kebenaran sebelumnya

yang disampaikan dalam persidangan. Proses yang melibatkan dialektika, retorika dan

demonstratif dalam pandangan Ibnu Rusyd.

23

Page 24: Ibnu Rusyd.doc

Daftar Pustaka:

Amin, Husayn Ahmad. 1999. Seratus Tokoh dalam Sejarah Islam. Bandung: PT

Remaja Rosdakarya.

Bertens, Kees. 1992. Sejarah Filsafat Yunani: Dari Thales ke Aristoteles. Yogyakarta:

Penerbit Kanisius..

Butterworth, Charles E. Ed. 1997. Averroes Three Short Commentaries on Aristotle’s

“Topics”, “Rhetoric”, and “Poetics”. New York: State University of New

York Press.

Corbin, Henry. (----). History of Islamic Philosophy. London: Kegan Pauli

International dan Islamic Publication for The Institute of Ismaili Studies.

Ewing, Charles P. 2003. Expert Testimony: Law and Practice. Dalam Goldstein, Alan

M & Weiner, Irving B. 2003. Handbook of Psychology Volume 11: Forensik

Psychology. New Jersery: John Willey & Sons, Inc

Goldstein, Alan M & Weiner, Irving B. 2003. Handbook of Psychology Volume 11:

Forensik Psychology. New Jersery: John Willey & Sons, Inc.

Liza. 2006. Pengantar Filsafat dan Ilmu. Cirebon: Program Pascasarjana Sekolah

Tinggi Agama Islam Negeri Cirebon

Madkour, Ibrahim. 1995. Aliran dan Teori Filsafat Islam. Jakarta: Penerbit Bumi

Aksara

Nasution, Hasyimsah. 2002. Filsafat Islam. Cetakan ketiga. Jakarta: Penerbit Gaya

Media Pratama.

Pandia, Wisma. (----). Filsafat Ilmu. Diktat Kuliah. Sekolah Tinggi Theologi Injili

Philadelphia (Philadelphia Baptist Evangelical Seminary).

Peters, F.E. 1994. A Reader on Classical Islam. New Jersey: Princeton University

Press.

Sutatminingsih, Raras. 2002. Aktualitas Filsafat Ilmu dalam Perkembangan

Psikologi. Medan: Fakultas Kedokteran, Jurusan Psikologi, Universitas

Sumatera Utara.

24