Upload
streetlawyer1945
View
4.893
Download
33
Embed Size (px)
DESCRIPTION
horas....
Citation preview
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Tanah memiliki arti yang sangat penting bagi setiap individu dalam
masyarakat; karena selain mempunyai hubungan yang erat dengan keberadaan
individu manusia dalam lingkungannya dan kelangsungan hidupnya, juga
mempunyai nilai ekonomis yang dapat dicadangkan sebagai sumber
pendukung kehidupan manusia di masa mendatang. Arti penting tanah bagi
kelangsungan hidup manusia, karena disanalah manusia hidup, tumbuh dan
berkembang, bahkan secara sekaligus merupakan tempat dikebumikan pada
saat meninggal dunia1. Oleh sebab itu tanah selain memiliki nilai ekonomi
yang tinggi juga mengandung aspek spiritual.
Selain dijadikan sebagai tempat bermukim atau tempat yang dapat
memberikan penghidupan kepada individu manusia untuk melakukan kegiatan
mata pencahariannya; keberadaan tanah ini sangat diperlukan untuk
melakukan pembangunan dalam rangka untuk meningkatkan kesejahteraan
warga masyarakat (warga kota Bandung). Tuntutan untuk melaksanakan
pembangunan membuka peluang untuk melaksanakan kerjasama dengan pihak
ketiga, termasuk terhadap pembangunan yang dilakukan di atas lahan tanah
milik instansi pemerintah (Pemerintah Kota Bandung).
1 Surojo Wignjodipuro, Pengantar dan Asas-Asas Hukum Adat, Gunung Agung, Jakarta, 1982, hlm.197.
2
Berdasarkan Peraturan Daerah Kota Bandung No.03 Tahun 2004,
kerjasama dengan pihak ketiga ini dapat dilakukan antara lain dengan
mekanisme kerja sama diantaranya bangun, kelola, sewa, serah (build,
operate, and transfer/BOT), kerjasama renovasi, kelola, serah (renovate,
operate, transfer/ROT). Pihak ketiga/swasta yang bekerjasama dengan
Pemerintah Kota Bandung seringkali membutuhkan sejumlah dana untuk
menjalankan usahanya yang dapat diperoleh melalui jasa perbankan, sehingga
membutuhkan jaminan berupa Hak Guna Bangunan yang diberikan di atas
Hak Pengelolaan Pemerintah Kota Bandung.
Untuk mendukung kelancaran pelaksanaan pembangunan, khususnya
pembangunan yang dilaksanakan di atas lahan tanah ”milik” Pemerintah Kota
Bandung, diperlukan kejelasan dan kepastian mengenai dasar-dasar
penguasaan hak atas tanah oleh Pemerintah Kota Bandung terhadap lahan
tanah tertentu tersebut terlebih dahulu, sebelum Pemkot Bandung dapat
memberikan suatu hak atas tanah bagi pihak ketiga selaku mitra kerja sama
dengan suatu hak atas tanah tertentu menurut UUPA yaitu Hak Guna
Bangunan.
Demikian halnya untuk memberikan kepastian dan perlindungan
hukum atas pengelolaan aset tanah Pemerintah Kota Bandung, diperlukan
dukungan dasar-dasar penguasaan yang sah baik dalam perolehannya,
pelepasan maupun dalam perbuatan-perbuatan hukum lainnya. Hal ini
dimaksudkan, agar Pemkot tidak terjebak pada situasi: telah ”memberikan
suatu hak atas tanah kepada pihak ketiga melebihi apa yang dipunyainya”.
3
Mengingat akan pentingnya hal itu, maka dilakukan pengaturan terhadap aset
tanah Instansi Pemerintah yang meliputi perolehan, pelepasan, maupun
perbuatan-perbuatan hukum lainnya di dalam berbagai peraturan perundang-
undangan; karena aset tanah Instansi Pemerintah secara nota bene merupakan
”barang milik negara”. Pengelolaan terhadap ”barang milik negara” telah
diatur dalam UU No.1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara dan
Peraturan Pemerintah No. 6 Tahun 2006 tentang Pengelolaan Barang Milik
Negara/Daerah.
Di dalam pengelolaan aset tanah Pemkot Bandung, tidak dapat
dipungkiri diperlukan kerja sama dari pihak ketiga sebagai mitra kerja sama,
karena tidak adanya dana/tidak cukup tersedia dana untuk melakukan kegiatan
operasional/pembangunan/maupun pemeliharaannya. Pada sisi lain pihak
ketiga tersebut memerlukan bantuan dana atau jasa perbankan untuk
membiayai kegiatan usahanya; akan tetapi kucuran dana dari pihak perbankan
untuk saat ini tidak dapat direalisasikan karena berlakunya kedua aturan
tersebut yang menyatakan ”barang milik negara/daerah” dilarang untuk
dijadikan objek ”Hak Tanggungan”.
Berdasarkan uraian pada latar belakang tersebut di atas dijumpai
beberapa permasalahan yuridis dalam pemanfaatan dan pendayagunaan aset
tanah Pemkot Bandung yang perlu dikaji dan dianalisis dalam penelitian ini,
yang berjudul ”Aspek-Aspek Hukum Dalam Pengelolaan Aset Tanah Instansi
Pemerintah Menurut Peraturan Pemerintah No.6 Tahun 2006 (Studi Kasus :
Pengelolaan Aset Tanah Pemkot Bandung)”.
4
B. Identifikasi Masalah
Berdasarkan gambaran tersebut permasalahan dalam penelitian ini
dapat diidentifikasikan sebagai berikut :
1. Bagaimana dasar-dasar hukum penguasaan hak atas tanah oleh Instansi
Pemerintah sebagai ”titel yang sah” penguasaan hak ?
2. Apakah hak-hak atas tanah yang dapat dipunyai oleh Instansi Pemerintah ?
3. Apakah perbuatan-perbuatan hukum yang dapat dilakukan oleh
Pemerintah Kota Bandung dalam rangka ”pengelolaan aset tanah Instansi
Pemerintah” ?
5
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Penguasaan Tanah oleh Instansi Pemerintah
UU No.5 Tahun 1960 (UUPA) beserta peraturan pelaksanaannya
merupakan perangkat hukum yang mengatur bidang pertanahan, dan
menciptakan Hukum Tanah Nasional yang tunggal didasarkan pada hukum
adat2. Hukum adat sebagai dasar UUPA, adalah “hukum aslinya golongan
rakyat Indonesia yang merupakan hukum yang hidup dalam bentuk tidak
tertulis dan mengandung unsur-unsur nasional yang asli, yaitu sifat
kemasyarakatan dan kekeluargaan, yang berasaskan keseimbangan serta
diliputi oleh suasana keagamaan”3.
Hukum adat sebagai hukum positif (hukum yang berlaku), merupakan
rangkaian norma-norma hukum yang menjadi pegangan bersama dalam
kehidupan bermasyarakat. Norma hukum adat sebagai sumber hukum tidak
tertulis, adalah rumusan para ahli (hukum) dan Hakim. Rumusan tersebut
bersumber pada rangkaian kenyataan mengenai sikap dan tingkah laku para
anggota masyarakat hukum adat dalam menerapkan konsepsi dan asas-asas
hukum yang merupakan perwujudan kesadaran hukum warga masyarakat
hukum adat tersebut dalam menyelesaikan kasus-kasus konkret yang dihadapi.
Keberadaan tanah dalam hukum adat yang dikenal sebagai hak ulayat berada
dalam penguasaan masyarakat hukum adat (Persekutuan hukum adat) dan
2 Pasal 6 UUPA jo Penjelasan Umum Angka III (1) UUPA 3 Boedi Harsono, Hukum Agraria Indonesia, Sejarah Pembentukan UUPA, Isi, dan Pelaksanaannya, Penerbit Djambatan, Jakarta, Hlm.179
6
diperuntukan bagi segenap masyarakat adat. Keberadaan tanah juga
merupakan sumber penghidupan dan kesejahteraan bagi warga
masyarakatnya.
Hukum adat sebagai konsepsi yang mendasari Hukum Tanah Nasional,
adalah konsepsi yang komunalistik religius yang memungkinkan penguasaan
tanah secara individual dengan hak-hak atas tanah yang bersifat pribadi,
sekaligus mengandung unsur kebersamaan. Dalam hal ini diakui oleh UUPA
bahwa hak-hak atas tanah mempunyai fungsi sosial4, dalam pengertian ini,
keperluan tanah tidak dipergunakan semata-mata untuk kepentingan pribadi,
kegunaannya harus disesuaikan dengan keadaannya dan sifat dari haknya
sehingga bermanfaat baik untuk kesejahteraan dan kebahagiaan yang
mempunyai serta baik dan bermanfaat untuk masyarakat dan kepentingan
negara5. Dalam konteks fungsi sosial ini, kepentingan perseorangan dan
kepentingan masyarakat haruslah saling imbang mengimbangi sebagai dwi
tunggal6. Pengertian ini merupakan penyangkalan terhadap hak subjektif dari
tanah yang dikemukakan oleh Leon Duguit, yang menyatakan bahwa
“pemakaian sesuatu hak atas tanah hanya memperhatikan kepentingan suatu
masyarakat semata-mata dan mengingkari keberadaan hak individu”7.
Keberadaan hak subjektif diakui oleh UUPA disamping hak
masyarakat atas tanah; dengan cara negara memberikan perlindungan hukum
dan kepastian hukum bagi setiap pemegang hak atas suatu bidang tanah.
4 Pasal 6 UUPA 5 Penjelasan UUPA angka II.4 6 A.P. Parlindungan, Komentar UUPA, Mandar Maju, Bandung, hlm.60 7 Ibid. hlm.59
7
Perlindungan hukum dan kepastian hukum dalam pendayagunaan dan
pemanfaatan tanah tertuang dalam berbagai peraturan perundang-undangan.
Pengaturan pendayagunaan dan pemanfaatan tanah aset instansi pemerintah
telah diatur dalam UU No.1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara jo
Peraturan Pemerintah No.6 Tahun 2006 tentang Pengelolaan Barang Milik
Negara/Daerah. Dalam rangka memberikan perlindungan hukum terhadap
tanah asset instansi pemerintah dan kepastian hukum dalam “kepemilikannya”
perlu didasari oleh dasar-dasar penguasaan hak yang sah agar dengan mudah
dapat membuktikan dirinya sebagai pemegang hak atas tanah yang
bersangkutan. Perlindungan dan kepastian hukum kepada pemegang hak atas
tanah dapat diberikan melalui pendaftaran tanah. Dengan ini, kepada
pemegang hak atas tanah diberikan Sertipikat sebagai tanda bukti haknya.
Inilah yang menjadi tujuan utama pendaftaran tanah yang penyelenggaraannya
diperintahkan oleh Pasal 19 UUPA. Dengan demikian memperoleh Sertipikat
bukan sekedar fasilitas melainkan merupakan “hak” pemegang hak atas tanah
yang dijamin oleh Undang-Undang8. Sertipikat adalah tanda bukti hak
sebagaimana dimaksud Pasal 19 ayat (2) UUPA untuk suatu Hak Atas Tanah
(sebagaimana tertuang dalam Pasal 16 ayat 1 UUPA) , Hak Pengelolaan, Hak
Milik atas Satuan Rumah Susun, dan Hak Tanggungan, yang masing-masing
sudah dibukukan dalam buku tanah yang bersangkutan. Sedang buku tanah
adalah, dokumen dalam bentuk daftar yang memuat data yuridis dan data
teknis suatu objek pendaftaran tanah yang sudah ada haknya.
8 Boedi Harsono, Hkum Agraria Indonesia, Sejarah Pembentukan UUPA, Isi dan Pelaksanaannya, Djambatan, 2003
8
Data yuridis dan data teknis tersebut keduanya harus “teridentifikasi”
dengan baik, agar data-data tersebut selalu dalam keadaan mutakhir. Oleh
karenanya kepada setiap pemegang hak atas tanah dikenakan suatu
“kewajiban” untuk selalu mendaftarkan perubahan-perubahan yang
dimaksudkan kepada Kantor Pendaftaran Tanah. Perubahan mana dapat terjadi
karena dilakukannya perbuatan-perbuatan hukum tertentu oleh pemegang hak
atas tanah yang bersangkutan diantaranya adalah perolehan hak, pelepasan
hak, dan perbuatan-perbuatan hukum lainnya yang bermaksud mengalihkan
hak atas tanahnya.
Tanah merupakan sumber daya penting dan strategis karena
menyangkut hajat hidup seluruh rakyat Indonesia yang sangat mendasar.
Disamping itu tanah juga memiliki karakteristik yang bersifat multi-dimensi,
multi-sektoral, multi-disiplin dan memiliki kompleksitas yang tinggi.
Sebagaimana diketahui masalah tanah memang merupakan masalah yang sarat
dengan berbagai kepentingan, baik ekonomi, sosial, politik, bahkan untuk
Indonesia, tanah juga mempunyai nilai religius yang tidak dapat diukur secara
ekonomis.
Hak-hak penguasaan atas tanah berisikan serangkaian wewenang,
kewajiban dan/ atau larangan bagi pemegang haknya untuk berbuat sesuatu
dengan tanah yang dihaki. “Sesuatu” disini adalah yang boleh, wajib, dan/
atau dilarang untuk diperbuat itulah yang merupakan tolok pembeda antara
berbagai hak penguasaan atas tanah yang diatur dalam Hukum Tanah Negara
yang bersangkutan. Kita juga mengetahui, bahwa hak-hak penguasaan atas
9
tanah itu dapat diartikan sebagai lembaga hukum, jika belum dihubungkan
dengan tanah dan subjek tertentu. Hak-hak penguasaan atas tanah dapat juga
merupakan hubungan hukum konkret (subjective recht), jika sudah
dihubungkan dengan tanah tertentu dan subjek tertentu sebagai pemegang
haknya.9
Dari waktu ke waktu, seiring dengan pertambahan penduduk,
kemajuan teknologi dan industri, serta pergeseran budaya, jumlah kebutuhan
akan tanah terus meningkat. Pergeseran budaya misalnya, telah merubah corak
negara Indonesia yang dulu agraris menjadi negara yang secara perlahan
mengarah pada negara Industri. Tanah yang dulu menjadi sumber mata
pencaharian utama sebagian besar rakyat khususnya di bidang pertanian, kini
pemanfaatannya bergeser sebagai lahan yang diperuntukkan bagi industri dan
perdagangan. Kebijakan pembangunan pemerintah yang menitikberatkan pada
pertumbuhan ekonomi dengan fokus pembangunan di bidang industri dan
perdagangan, tanpa memperhatikan masalah agraria sebagai basis
pembangunan telah berdampak pada alih fungsi tanah sekaligus magernalisasi
masyarakat pedesaan.
Alih fungsi tanah juga terjadi di daerah perkotaan. Seiring dengan
meningkatnya aktivitas pembangunan khususnya di kota-kota besar, banyak
lahan dan pemukiman penduduk di sekitar pusat pemerintahan dan pusat
perdagangan beralih fungsi menjadi pabrik, pertokoan, atau fasilitas umum
lainnya. Meningkatnya kebutuhan akan tanah yang diperuntukkan bagi
9 Budi harsono, Hukum Agraria Indonesia, Sejarah pembentukan undang-undang Pokok Agraria, Isi dan Pelaksanaannya, Djambatan, Jakarta, Hlm. 253
10
kegiatan pembangunan baik yang dilakukan oleh pemerintah maupun oleh
swasta membawa konsekuensi pada pemerintah untuk menyediakan lahan
bagi kegiatan tersebut, sementara lahan yang tersedia bersifat terbatas.
Keadaan ini memaksa pemerintah untuk melakukan pengambilalihan tanah
rakyat. Dalam prakteknya pengambilalihan tanah untuk kepentingan umum
baik yang dilakukan oleh Pemerintah maupun swasta sering kali menjadi salah
satu penyebab sengketa atas tanah yang terjadi di hampir seluruh wilayah
Indonesia.
Implementasi strategi pembangunan nasional sangat berpengaruh pada
pelaksanaan Hak Menguasai Negara yang dilakukan oleh pemerintah, yaitu
dengan menerapkan kebijakan pertanahan yang arah dan tujuannya untuk
mendukung pelaksanaan pembangunan tersebut. Berbagai peraturan
pertanahan dan peraturan lainnya yang memerlukan akses tanah cenderung
mengedepankan kepentingan pemilik modal. Lemahnya posisi rakyat terutama
terhadap akses informasi pertanahan seperti sertifikasi dan keterbatasan
pengetahuan akan hak-hak yang dimilikinya menjadikannya sasaran
kesewenang-wenangan.
Ketentuan Pasal 28H Ayat (4) UUD 1945 merupakan komitmen
negara dalam mengakui dan menghormati hak milik perorangan, termasuk hak
warganegara atas tanah. Namun hak atas tanah yang berlaku di Indonesia tidak
bersifat mutlak, artinya tidak sepenuhnya dapat dipertahankan terhadap
siapapun oleh pemegang hak. Dalam kondisi tertentu dimana kepentingan
negara menghendaki, maka pemegang hak atas tanah harus rela melepaskan
11
haknya untuk kepentingan yang lebih besar. Jika ditilik dari konstitusi, UUD
1945 telah menggariskan bahwa bumi air dan kekayaan alam yang terkandung
di dalamnya dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. UUPA,
sebagai peraturan dasar yang menjadi acuan dari keberadaan berbagai
peraturan perundangan bidang pertanahan juga mengakui prinsip-prinsip yang
menggariskan bahwa negara menjamin hak-hak masyarakat atas tanahnya dan
memberikan pengakuan atas hak-hak atas tanah yang ada di masyarakat.10
Hal ini menunjukan bahwa tugas negara untuk menyelenggarakan
kesejahteraan umum bagi warganya termasuk dalam melindungi hak-hak
warga negara atas tanah. Hal ini Pemerintah, kemudian diperkuat dan
dilegitimasi oleh Ketetapan MPR Nomor IX Tahun 2001 yang di dalamnya
mengamanatkan kepada pemerintah untuk melakukan berbagai hal baik
menyangkut upaya penataan, penguasaan, pemilikan, penggunaan,
peruntukkan, dan penyediaan tanah yang semuanya diletakan dalam kerangka
membangun kesejahteraan rakyat secara berkelanjutan.
Terkait dengan kewenangan pemerintah untuk mengatur penggunaan,
peruntukkan dan penyediaan tanah maka hak-hak privat yang terkristalisasi
dalam berbagai hak sebagaimana tertuang dalam Pasal 16 UUPA harus tunduk
pada peraturan-peraturan yang didasarkan pada hak menguasai dari negara
atas tanah dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya. Termasuk dalam
hal ini hak milik atas tanah warga dapat diambil alih atau dicabut haknya guna
10 Sulasi Rongiyati, Parlementaria (Majalah Dewan Perwakilan Rakyat Indonesia); Pembaruan Agraria Sebagai Upaya Mengatasi Sengketa Pertanahan, Agustus 2007.
12
pemenuhan kebutuhan atas tanah yang diperuntukkan bagi pelaksanaan
kegiatan pembangunan untuk kepentingan umum.11
Mengingat pengambilalihan tanah menyangkut hak-hak individu atau
masyarakat, maka pengambilalihan tanah harus memperhatikan prinsip
keadilan sehingga tidak merugikan pemilik asal.
Upaya menjembatani kepentingan rakyat atas tanahnya dan
pemenuhan kebutuhan tanah untuk kegiatan pembangunan telah dilakukan
pemerintah dengan mengeluarkan Peraturan Presiden Nomor 36 Tahun 2005
tentang Pengadaan Tanah bagi Pelaksanaan Pembangunan untuk Kepentingan
Umum sebagai pengganti Keppres No.55 Tahun 1991.
Pada dasarnya masyarakat tidak keberatan jika tanah miliknya harus
diambilalih untuk kepentingan pembangunan yang tujuannya adalah untuk
kesejahteraan bersama, Namun praktek-praktek pengambilalihan tanah selama
ini seringkali dimanfaatkan oleh kelompok-kelompok tertentu untuk
keuntungan sendiri dengan berkedok ‘kepentingan umum”, telah menciptakan
keraguan pada masyarakat setiap kali ada kegiatan pengambilalihan tanah
untuk kepentingan umum.
Semua Hak atas Tanah mempunyai fungsi sosial, untuk tidak
merugikan kepentingan umum maka pemilikan dan penguasaan tanah yang
melebihi batas tidak diperkenankan. Pemerintah menetapkan luas maksimum
dan/ atau minimum tanah yang dapat dipunyai oleh suatu keluarga atau badan
hukum. Tanah-tanah yang merupakan kelebihan dari batas maksimum tersebut
11 Ibid.
13
diambil oleh Pemerintah dengan ganti kerugian, untuk selanjutnya dibagikan
kepada rakyat yang membutuhkannya.
Pengelolaan barang milik negara/daerah sebagaimana diatur dalam
Peraturan Pemerintah ini dilaksanakan dengan memperhatikan asas-asas
sebagai berikut:
a. Asas fungsional, yaitu pengambilan keputusan dan pemecahan
masalah-masalah di bidang pengelolaan barang milik negara/daerah
yang dilaksanakan oleh kuasa pengguna barang, pengguna barang,
pengelola barang dan gubernur/bupati/walikota sesuai fungsi,
wewenang, dan tanggung jawab masing-masing;
b. Asas kepastian hukum, yaitu pengelolaan barang milik negara/daerah
harus dilaksanakan berdasarkan hukum dan peraturan perundang-
undangan;
c. Asas transparansi, yaitu penyelenggaraan pengelolaan barang milik
negara/daerah harus transparan terhadap hak masyarakat dalam
memperoleh informasi yang benar.
d. Asas efisiensi, yaitu pengelolaan barang milik negara/daerah diarahkan
agar barang milik negara/daerah digunakan sesuai batasan-batasan
standar kebutuhan yang diperlukan dalam rangka menunjang
penyelenggaraan tugas pokok dan fungsi pemerintahan secara optimal;
e. Asas akuntabilitas, yaitu setiap kegiatan pengelolaan barang milik
negara/daerah harus dapat dipertanggungjawabkan kepada rakyat;
14
f. Asas kepastian nilai, yaitu pengelolaan barang milik negara/daerah
harus didukung oleh adanya ketepatan jumlah dan nilai barang dalam
rangka optimalisasi pemanfaatan dan pemindahtanganan barang milik
negara/daerah serta penyusunan Neraca Pemerintah.
Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor. 6 Tahun 2006 tentang
Pengelolaan Barang Milik Daerah, dinyatakan bahwa Barang milik daerah
adalah semua barang yang dibeli atau diperoleh atas beban APBD atau berasal
dari perolehan lainnya yang sah termasuk salah satunya tanah. Dalam
ketentuan tersebut hal-hal penting yang terkait dengan pengelolaan tanah
antara lain :
1. Bangun guna serah adalah pemanfaatan barang milik negara/daerah
berupa tanah oleh pihak lain dengan cara mendirikan bangunan dan/atau
sarana berikut fasilitasnya, kemudian didayagunakan oleh pihak lain
tersebut dalam jangka waktu tertentu yang telah disepakati, untuk
selanjutnya diserahkan kembali tanah beserta bangunan dan/atau sarana
berikut fasilitasnya setelah berakhirnya jangka waktu.
2. Pemegang kekuasaan pengelolaan barang milik daerah mempunyai
wewenang:
(1) menetapkan kebijakan pengelolaan barang milik daerah;
(2) menetapkan penggunaan, pemanfaatan atau pemindahtanganan
tanah dan bangunan;
(3) menetapkan kebijakan pengamanan barang milik daerah;
15
(4) mengajukan usul pemindahtanganan barang milik daerah yang
memerlukan persetujuan DPRD;
(5) menyetujui usul pemindahtanganan dan penghapusan barang milik
daerah sesuai batas kewenangannya;
(6) menyetujui usul pemanfaatan barang milik daerah selain tanah
dan/atau bangunan.
Pengadaan barang milik negara/daerah dilaksanakan berdasarkan
prinsip-prinsip efisien, efektif, transparan dan terbuka, bersaing, adil/tidak
diskriminatif dan akuntabel. Pengaturan mengenai pengadaan tanah
dilaksanakan sesuai dengan peraturan perundang-undangan (ketentuan
mengenai pertanahan).
Dalam pasal 15 Peraturan Pemerintah No.6 Tahun 2006 dinyatakan
bahwa barang milik negara/daerah dapat ditetapkan status penggunaannya
untuk penyelenggaraan tugas pokok dan fungsi kementerian
negara/lembaga/satuan kerja perangkat daerah, untuk dioperasikan oleh
pihak lain dalam rangka menjalankan pelayanan umum sesuai tugas pokok
dan fungsi kementerian negara/lembaga/satuan kerja perangkat daerah
yang bersangkutan. Terkait dengan permasalahan pertanajan p dalam pasal
16 dinyatakan bahwa penetapan status penggunaan tanah dan/atau
bangunan dilakukan dengan ketentuan bahwa tanah dan/atau bangunan
tersebut diperlukan untuk kepentingan penyelenggaraan tugas pokok dan
fungsi pengguna barang dan/atau kuasa pengguna barang yang
16
bersangkutan. Pengguna barang dan/atau kuasa pengguna barang wajib
menyerahkan tanah dan/atau bangunan yang tidak digunakan) kepada:
1. pengelola barang untuk barang milik negara; atau
2. gubernur/bupati/walikota melalui pengelola barang untuk barang
milik daerah.
Dalam pasal 17 dinyatakam Pengelola barang menetapkan barang
milik negara berupa tanah dan/atau bangunan yang harus diserahkan oleh
pengguna barang karena sudah tidak digunakan untuk menyelenggarakan
tugas pokok dan fungsi instansi bersangkutan. Gubernur/bupati/walikota
menetapkan barang milik daerah berupa tanah dan/atau bangunan yang
harus diserahkan oleh pengguna barang karena sudah tidak digunakan
untuk menyelenggarakan tugas pokok dan fungsi instansi bersangkutan.
Dalam menetapkan penyerahan, pengelola barang memperhatikan hal-hal
sebagai berikut:
a. standar kebutuhan tanah dan/atau bangunan untuk menyelenggarakan
dan menunjang tugas pokok dan fungsi instansi bersangkutan;
b. hasil audit atas penggunaan tanah dan/atau bangunan.
Tindak lanjut pengelolaan atas penyerahan tanah dan/atau bangunan
meliputi hal-hal sebagai berikut:
a. ditetapkan status penggunaannya untuk penyelenggaraan tugas
pokok dan fungsi instansi pemerintah lainnya;
17
b. dimanfaatkan dalam rangka optimalisasi barang milik negara/daerah;
dipindahtangankan
Terkait dengan pemanfaatan tanah dalam BAB VI Peraturan Pemerintah
No.6 Tahun 2006 dinyatakan hal-hal antara lain :
1. Pemanfaatan barang milik daerah berupa tanah dan/atau bangunan
dilaksanakan oleh pengelola barang setelah mendapat persetujuan
gubernur/bupati/walikota.
2. Pemanfaatan barang milik negara/daerah berupa tanah dan/atau bangunan
yang diperlukan untuk menunjang penyelenggaraan tugas pokok dan fungsi
pengguna barang/kuasa pengguna barang dilakukan oleh pengguna barang
dengan persetujuan pengelola barang.
3. Pemanfaatan barang milik negara/daerah selain tanah dan/atau bangunan
dilaksanakan oleh pengguna barang dengan persetujuan pengelola barang;
4. Pemanfaatan barang milik negara/daerah dilaksanakan berdasarkan
pertimbangan teknis dengan memperhatikan kepentingan negara/daerah dan
kepentingan umum.
B. Tertib Administrasi Pertanahan
Penyelenggaraan pendaftaran tanah dalam masyarakat merupakan tugas
Negara yang dilaksanakan oleh Pemerintah bagi kepentingan rakyat dalam
rangka memberikan kepastian hukum bidang pertanahan, dan untuk
memperoleh kekuatan hokum rangkaian kegiatan pendaftaran tanah secara
sistematik, pengajuan kebenaran materiil pembuktian data fisik dan data
yuridis hak atas tanah, ataupun lain hal yang dibutuhkan sebagai dasar hak
18
pendaftaran tanah, mengetahui status hak dan atau riwayat asal usul pemilikan
atas tanah, jual-beli, warisan, kesemuannya memerlukan suatu peraturan
perundang-undangan selaku payung hukum dan pengesahan pejabat
pendaftaran yang berwenang dan akan dijadikan sebagai bukti kepemilikan
yang terkuat dan terpenuhi.
Pemberian kepastian hukum di bidang pertanahan memerlukan;
1. Tersediannya perangkat hukum tertulis, yang lengkap dan jelas serta
dilaksanakan secara konsisten
2. Penyelenggaraan pendaftaran tanah yang efektif.
Dengan tersedianya perangkat hukum yang tertulis, siapapun yang
berkepentingan akan dengan mudah dapat mengetahui kemungkinan apa yang
tersedia baginya untuk menguasai dan menggunakan tanah yang
diperlukannya, bagaimana cara memperolehnya, hak-hak, kewajiban serta
larangan-larangan apa yang ada dalam menguasai tanah dengan hak-hak
tertentu, sanksi apa yang dihadapinya jika diabaikan ketentuan-ketentuan yang
bersangkutan, serta hal-hal lain yang berhubungan dengan penguasaan dan
penggunaan tanah yang dipunyainya.12
Ketentuan-ketentuan Hukum Tanah Administratif hampir semuanya
merupakan hukum yang tertulis, tetapi jumlahnya amat banyak, dalam
berbagai bentuk peraturan perundang-undangan tersebar tidak terkodifikasi.
Ada yang berlaku untuk seluruh wilayah Hindia Belanda, ada yang hanya
untuk wilayah atau daerah-daerah tertentu saja. Bahkan ada pula yang
12 Budi Harsono, Op. Cit Hlm. 69
19
disediakan untuk golongan rakyat tertentu saja misalnya peraturan hak
erfpacht yang dikenal sebagai “pertanian kecil”, khusus untuk golongan eropa
yang kurang mampu.
Dalam hal orang memerlukan tanah, dari ketentuan hukumnya ia
mengetahui cara bagaimana memperolehnya dan apa yang akan menjadi alat
buktinya. Jika tanah yang bersangkutan berstatus hak milik, dia akan
mengetahui, bahwa tanah yang bersangkutan boleh dikuasai dan digunakan
tanpa batas waktu. Jika memerlukan uang dari ketentuan hukum yang
bersangkutan ia mengetahui, bahwa tanah yang dimilikinya itu akan dapat
dijadikannya agunan dengan dibebani hak jaminan. Juga bahwa tanah itu pun
dapat dijualnya kepada pihak lain. Kalu tanah itu tanah pertanian, dari
ketentuan peraturan yang mengatur landreformdi Indonesia, ia akan
mengetahui, bahwa ia akan diwajibkan bertempat tinggal di wilayah
kecamatan tempat letak tanah yang dibelinya. Ia juga mengetahui sanksi apa
yang dihadapinya, kalu kewajiban tersebut tidak dipenuhinya.
Tertib administrasi pertanahan secara sistematik merupakan pendaftaran
tanah pertama kali, maksudnya penyelenggaraan diperuntukan khusus bagi
bidang-bidang hak atas tanah yang belum pernah dibukukan/ disertifikatkan,
termasuk tanah hak milik yang berasal dari tanah negara yang diberikan
pemerintah kepada seseorang atau badan hukum yang memenuhi syarat
subyek hak.
Pendaftaran tanah sistematik mempunyai keistimewaan tersendiri antara
lain sifat pelaksanaannya yang masssal, serentak, proaktif dan pemohon
20
sertifikat tidak dipungut biaya apapun (sepanjang pelaksanaan pendaftaran
sistematik dikaitkan dengan Proek Administrasi Pertanahan). Proyek-proyek
administrasi pertanahan seprti Proyek Ajudikasi dan Proyek Nasional Agraria
(prona) yang biayanya 100% ditanggung oleh pemerintah dan dibebankan
kepada APBN walaupun sebagian besarnya berasal dari pinjaman luar negeri
(bank Dunia) memang mempunyai misi khusus yaitu mempercepat proses
pendaftaran tanah, dan ‘pemerataan’
Penatausahaan barang milik negara/daerah meliputi pembukuan,
inventarisasi, dan pelaporan. barang milik negara/daerah yang berada di
bawah penguasaan pengguna barang/kuasa pengguna barang harus dibukukan
melalui proses pencatatan dalam Daftar Barang Kuasa Pengguna oleh kuasa
pengguna barang, Daftar Barang Pengguna oleh pengguna barang dan Daftar
Barang Milik Negara/Daerah oleh pengelola barang. Proses inventarisasi, baik
berupa pendataan, pencatatan, dan pelaporan hasil pendataan barang milik
negara/daerah merupakan bagian dari penatausahaan. Hasil dari proses
pembukuan dan inventarisasi diperlukan dalam melaksanakan proses
pelaporan barang milik negara/daerah yang dilakukan oleh kuasa pengguna
barang, pengguna barang, dan pengelola barang.
Hasil penatausahaan barang milik negara/daerah digunakan dalam rangka:
penyusunan neraca pemerintah pusat/daerah setiap tahun; perencanaan
kebutuhan pengadaan dan pemeliharaan barang milik negara/daerah setiap
tahun untuk digunakan sebagai bahan penyusunan rencana anggaran
;pengamanan administratif terhadap barang milik negara/daerah.
21
C. Pendaftaran Tanah
Pendaftaran tanah adalah suatu rangkaian kegiatan, yang dilakukan oleh
Negara/ Pemerintah secara terus menerus dan teratur, berupa pengumpulan
keterangan atau data tertentu mengenai tanah-tanah tertentu yang ada di
wilayah-wilayah tertentu, pengolahan, penyimpanan dan penyajiannya bagi
kepentingan rakyat, dalam rangka memberikan jaminan kepastian hukum di
bidang pertanahan, termasuk penerbitan tanda buktinya dan
pemeliharaannya.13
Kata-kata “suatu rangkaian kegiatan” menunjuk kepada adanya berbagai
kegiatan dalam penyelenggaraan pendaftaran tanah, yang berkaitan satu
dengan yang lain, berturutan menjadi satu kesatuan rangkaian yang bermuara
pada tersedianya data yang diperlukan dalam rangka memberikan jaminan
kepastian hukum dibidang pertanahan bagi rakyat.
Kata “terus menerus” menunjuk kepada pelaksanaan kegiatan, yang
sekali dimulai tidak akan ada akhirnya. Data yang sudah terkumpul dan
tersedia harus selalu dipelihara, dalam arti disesuaikan dengan perubahan-
perubahan yang terjadi kemudian, hingga tetap sesuai dengan keadaan
terakhir.
Kata “teratur” menunjukan, bahwa semua kegiatan harus berlandaskan
peraturan perundang-undangan yang sesuai, karena hasilnya akan merupakan
data bukti menurut hukum, biarpun daya kekuatan pembuktiannya tidak sulalu
1313 Boedi Harsono, Op. Cit, Hlm. 73
22
sama dalam hukum negara-negara yang menyelenggarakan pendaftaran
tanah.14
Pendaftaran tanah atau dalam literatur sering disebut land record atau
juga cadastral merupakan bagian dari masalah keagrariaan (agrarian).
Masalah keagrariaan memang keagrariaan memang tidak hanya terdiri dari
pendaftaran tanah, melainkan juga meliputi; pengaturan hak-hak atas tanah
(rights on land atau land ownership), Penatagunaan tanah (land Use Control),
dan pengaturan penguasaan tanah (land tenure atau land occupation). 15 Dari
keempat fungsi keagrariaan tersebut pendaftaran tanah memang yang paling
menonjol, baik di negara-negara belum maju maupun dinegara-negara sudah
maju, karena ia merupakan institusi negara satu-satunya yang mempunyai
otoritas untuk memberikan legalitas bagi setiap pemilikan/ penguasaan tanah.
Kegiatan pendaftaran tanah meliputi kegiatan pendaftaran tanah untuk
pertama kali dan kegiatan pemeliharaan data yang tersedia. 16 Pendaftaran
tanah untuk pertama kali meliputi tiga bidang kegiatan yaitu:
1. Bidang fisik atau teknis kadastral
2. Bidang yuridis
3. Penerbitan dokumen tanda bukti hak
Pendaftaran untuk pertama kali adalah kegiatan mendaftar untuk
pertama kalinya sebidang tanah yang semula belum didaftar menurut
ketentuan peraturan pendaftaran tanah yang bersangkutan.
14 Budi Harsono, Op. Cit, Hlm. 73 15 Herman Hermit, Cara Memperoleh Sertifikat Tanah Hak Milik,Tanah Negara dan Tanah Pemda, teori dan Praktek, CV. Mandar Maju, Bandung 2004, hlm 16 Budi Harsono, Op.cit, hlm. 75
23
Kegiatan dibidang fisik mengenai tanahnya, yaitu sebagaimana telah
dikemukakan diatas, untuk memperoleh data mengenai letaknya, batas-
batasnya, luasnya, bangunan-bangunan dan/atau tanaman-tanaman penting
yang ada diatasnya. Kegiatan teknis kadastral ini menghasilkan peta
pendaftaran yang melukiskan semua tanah yang ada di wilayah
pendaftaran yang sudah diukur. Untuk tiap bidang tanah yang haknya
didaftar dibuatkan Surat Ukur.
Kegiatan bidang yuridis bertujuan untuk memperoleh data mengenai
haknya, siapa pemegang haknya dan ada atau tidaknya hak pihak lain yang
membebaninya. Pengumpulan data tersebut menggunakan alat pembuktian
berupa dokumen, dan lain-lainnya.
Kegiatan yang ketiga adalah penerbitan surat tanda bukti haknya.
Bentuk kegiatan pendaftaran dan hasilnya, termasuk apa yang merupakan
tanda bukti hak, tergantung pada sistem pendaftaran yang digunakan
dalam penyelenggaraan pendaftaran tanah oleh negara yang bersangkutan.
Kegiatan yang dilaksanakan dalam rangka proses pendaftaran utnuk
pertama kali yang meliputi pengumpulan dan penetapan kebenaran data
fisik dan data yuridis tersebut mengenai satu atau beberapa objek
pendaftaran tanah yang dilakukan untuk keperluan pendaftarannya disebut
kegiatan ajudikasi.
Kegiatan pendaftaran tanah untuk pertama kali dapat dilakukan
melalui dua cara, yaitu secara sistematik dan secara sporadik. Pendaftaran
tanah secara sistematik adalah kegiatan pendaftaran tanah untuk pertama
24
kali yang dilakukan secara serentak, yang meliputi semua objek
pendaftaran tanah yang belum didaftar dalam wilayah atau bagian wilayah
suatu desa atau kelurahan. Umumnya prakarsanya datang dari pemerintah.
Sedangkan pendaftaran tanah secara sporadik adalah kegiatan pendaftaran
tanah untuk pertama kali mengenai satu atau beberapa obyek pendaftaran
tanah dalam wilayah atau bagian wilayah suatu desa atau kelurahan secara
individual atau massal, yang dilakukan atas permintaan pemegang atau
penerima hak atas tanah yang bersangkutan .
Ada dua macam sistem pendaftaran tanah, yaitu sistem
pendaftaran akta dan sistem pendaftaran hak. Sistem pendaftaran tanah
mempermasalahkan apa yang didaftar, bentuk penyimpanan dan penyajian
data yuridisnya serta bentuk tanda bukti haknya. Baik dalam sistem
pendaftaran akta maupun sistem pendaftaran hak tiap pemberian atau
menciptakan hak baru serta pemindahan dan pembebanannya dengan hak
lain kemudian, harus dibuktikan dengan suatu akta. Dalam akta tersebut
dengan sendirinya dimuat data yuridis tanah yang bersangkutan: perbuatan
hukumnya, haknya, penerima haknya, hak apa yang dibebankan. Dalam
sistem pendaftaran akta-akta itu lah yang didaftar oleh pejabat pendaftaran
tanah (PPT). Dalam sistem pendaftaran akta PPT bersikap passif. Ia tidak
menguji kebenaran data yang disebut dalam akta yang didaftar.
Dalam sistem pendaftaran hak pun setiap penciptaan hak baru dan
perbuatan-perbuatan hukum yang menimbulkan perubahan kemudian, juga
harus dibuktikan dengan suatu akta. Tetapi dalam penyelenggaraan
25
pendaftarannya, bukan aktanya yang didaftar, melainkan haknya yang
diciptakan dan perubahan-perubahannya kemudian. Akta merupakan
sumber datanya. Untuk pendaftaran hak dan perubahan-perubahannya
yang terjadi kemudian disediakan suatu daftar isian. Dalam
penyelenggaraan pendaftaran tanah di Indonesia menurut PP 10/ 1961,
disebut Buku Tanah (PAsal 10)
Akta pemberian hak berfungsi sebagai sumber data yuridis untuk
mendaftar hak yang diberikan dalam buku tanah. Demikian juga akta
pemindahan dan pembebanan hak berfungsi sebagai sumber data untuk
mendaftar perubahan-perubahan pada haknya dalam buku tanah hak yang
bersangkutan. Jika terjadi perubahan, tidak dibuatkan buku tanah baru,
melainkan dilakukan pencatatannya pada ruang mutasi yang disediakan
pada buku tanah yang bersangkutan. Sebelum dilakukan pendaftaran
haknya dalam buku tanah dan pencatatan perubahannya kemudian, oleh
PPT dilakukan pengujian kebenaran data yang dimuat dalam akta yang
bersangkutan. Berbeda dengan PPT dalam sistem pendaftaran akta, dalam
sistem pendaftaran hak ia bersikap aktif.
Dewasa ini terdapat kecenderungan bahwa semakin maju bidang
ekonomi suatu bangsa, semakin luas spektrum macam-macam hak atas
tanah, karena ia harus menyesuaikan dengan semakin terdiferensiasi dan
terspesialisasinya kegiatan-kegiatan perekonomian masyarakatnya.
Implikasinya adalah semakin anyak hak-hak atas tanah maka tentu
semakin tinggi keberartian peran pendaftaran tanah dan umumnya peran
26
keagrariaan. Oleh karena itu pula dinegara-negara maju peran pendaftaran
tanah sudah melebar kearah pelayanan informasi tanah dengan cakupan
dan jenis layanan yang jauh lebih luas daripada pendaftaran tanah
konvensional.
Data dan informasi yang dikelola oleh lembaga pendaftaran tanah
tidak lagi terbatas pada data fisik dan data yuridis dalam rangka
pendaftaran tanah hukum dan penerbitan sertifikan, akan tetapi juga data
dan informasi pertanahan untuk kepentingan-kepentingan sektoral dengan
kedalaman data yang berlapis-lapis (multilevel).
Dari studi kasus yang dilakukan, dapat disimpulkan adalah pendaftaran
tanah multiguna dalam perkembangannya yang selalu menuju integrasinya
yang lebih besar dikarenakan:17
1. Dukungan politik dan finansial dari pemerintahan, terutama pada
fase-fase pertama perkembangannya.
2. Dukungan dunia swasta yang bersedia menjadi pembeli atau user
data/ informasi tanah sesuai dengan spesifikasi dan persyaratan yang
dibutuhkan masing-masing.
3. Kemajuan teknologi alat-alat survey dan pemetaan yang
memungkinkan meningkatnya kapasitas pengumpulan data lapangan
dan tingkat ketelitian/ resolusi data yang dikumpulkan
4. Kemajuan teknologi komputer dan teknologi komunikasi yang
memungkinkan pengelolaan basis data (data base management) dan
17 Herman Hermit, Loc. Cit.
27
penghantaran data kepada konsumen semakin cepat dan murah atau
efisien melalui sistem jaringan (network area)
5. Menongkatnya eksplorasi dan eksploitasi serta reklamasi sumber-
sumber daya alam, dan
6. Kian kompleksnya ekonomi mikro perkotaan, yang dalamnya
terdapat pasar tanah yang dinamis
Di Indonesia prestasi kelembagaan pendaftaran tanah terletak pada
tataran kebijakan menjelang akhir abad 20 yaitu terakomodasinya
kehendak masyarakat pemilik tanah untuk lebih memperoleh kepastian
dalam tanah oleh pemegang hak. Prestasi tersebut ditandai dengan
diterbitkannya Peraturan pemerintah RI No. 24 Tahun 1997 tentang
pendaftaran tanah pada tanggal 8 Juli 1997, yang berlaku efektif sejak 8
Oktober 1997. Hal ini membuat pemilik sertifikat tanah sebagai pemegang
hak-hak milik atas tanah tidak bisa diganggu gugat oleh siapa pun setelah
sertifikat tersebut berusia lima tahun. Hanya pada usia sertifikat dibawah
lima tahun sajalah yang diberi kesempatan untuk menggugat kepemilikan
atau penguasaan hak atas tanah sipemegang sertifikat , kalau memang
punya bukti yang juga berkekuatan hukum sama derajatnya,
28
BAB III
TUJUAN DAN MANFAAT PENELITIAN
A. Tujuan Penelitian
1. Mengetahui, mengkaji, menganalisis dasar-dasar hukum penguasaan hak
atas tanah oleh Instansi Pemerintah sebagai ”titel yang sah” dari
penguasaan hak.
2. Mengetahui hak-hak atas tanah yang dapat dipunyai oleh Instansi
Pemerintah.
3. Mengetahui, mengkaji dan menganalisis perbuatan-perbuatan hukum yang
dapat dilakukan oleh Pemerintah Kota Bandung dalam rangka
”pengelolaan aset tanah Instansi Pemerintah”.
B. Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat memberi manfaat teoritis dan praktis bagi
kalangan akademisi maupun jajaran Pemerintah Kota Bandung, yaitu :
1. Kegunaan Teoritis :
Penelitian ini diharapkan dapat menambah khazanah dan memberi
sumbangan pemikiran bagi pengembangan ilmu hukum pada umumnya
dan pengembangan ilmu hukum agraria, ilmu hukum administrasi negara
dan hukum perdata pada khususnya.
2. Kegunaan Praktis :
Penelitian ini diharapkan dapat memberi manfaat/menambah
wawasan pengetahuan terutama bagi kalangan masyarakat pemerhati
29
masalah-masalah dalam pembangunan, khususnya dalam rangka
pembangunan yang dilaksanakan di Kota Bandung. Juga diharapkan dapat
memberi masukan kepada Pemerintah Kota Bandung sebagai
penyelenggara pemerintahan yang berkewajiban melakukan pengelolaan
terhadap asset tanah yang “dimiliki dan dikuasainya”.
30
BAB IV
METODE PENELITIAN
A. Spesifikasi Penelitian
Penelitian ini merupakan Penelitian Hukum Normatif dan bersifat
Deskriptif Analitis. Dalam hal ini, adalah merupakan Penelitian Hukum
Normatif berupa penelitian untuk Menemukan Hukum In Concreto, yaitu
penelitian untuk menemukan hukum bagi suatu perkara in concreto
merupakan usaha untuk menemukan apakah hukumnya yang sesuai untuk
diterapkan in cocreto guna menyelesaikan suatu masalah tertentu dan
dimanakah bunyi peraturan hukum itu dapat ditemukan18. Dengan demikian
penelitian ini akan menggambarkan berbagai masalah hukum dan gejala
lainnya yang berkaitan dengan pengelolaan aset tanah Instansi Pemerintah.
B. Metode Pendekatan
Metode pendekatan yang digunakan adalah metode pendekatan Yuridis
Normatif yaitu penelitian yang didasarkan data sekunder yang berupa bahan
hukum primer, sekunder, dan tersier. Hal ini dimaksudkan untuk mengkaji dan
menelusuri data sekunder berkaitan dengan pengelolaan dan pendayagunaan
asset tanah Instansi Pemerintah.
18 Ronny Hanitijo Soemitro, Metodologi Penelitian Hukum dan Jurimetri, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1988, hlm.22.
31
C. Tahap Penelitian danTeknik Pengumpulan Data
Penelitian ini merupakan Library Research atau penelitian kepustakaan.
Penelitian kepustakaan bertujuan untuk mengkaji, meneliti dan menelusuri
data sekunder yang berupa bahan hukum primer, bahan hukum sekunder, dan
bahan hukum tersier. Bahan Hukum Primer dimaksud, antara lain yaitu :
a. Undang-Undang Dasar 1945
b. Undang-Undang No.5 Tahun 1960, tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok
Agraria
c. Undang-Undang No.1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara
d. Peraturan Pemerintah No. 6 Tahun 2006 tentang Pengelolaan Barang Milik
Negara/Daerah
e. Peraturan Pemerintah No. 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah
f. Peraturan Menteri Agraria/Kepala BPN No. 3 Tahun 1997 tengan Ketentuan
Pelaksanaan Peraturan Pemerintah No.24 Tahun 1997
Studi kepustakaan meliputi juga bahan-bahan hukum sekunder
berupa literatur, hasil penelitian, lokakarya berkaitan dengan materi
penelitian. Sedangkan untuk melengkapi digunakan pula bahan hukum
tersier berupa kamus, artikel pada majalah dan surat kabar.
Teknik pengumpulan data yang akan digunakan dalam penelitian ini
adalah studi dokumen untuk mengumpulkan data primer dan data sekunder.
32
Untuk mengumpulkan data primer dilakukan melalui wawancara dengan
responden yang berkompeten dan relevan dengan materi penelitian.
33
BAB V
HASIL PEMBAHASAN
A. Dasar-Dasar Hukum Penguasaan Hak Atas Tanah Oleh Instansi
Pemerintah Sebagai ”Titel Yang Sah” Penguasaan Hak.
1. Pengadaan Tanah :
Peraturan Presiden Nomor .36 Tahun 2005 jo Peraturan Presiden
Nomor 65 Tahun 2006 tentang Pengadaan Tanah Bagi Pelaksanaan
Pembangunan untuk Kepentingan Umum telah menggantikan Keppres
No.55 Tahun 1993 tentang Pengadaan Tanah Bagi Pelaksanaan
Pembangunan Untuk Kepentingan Umum. Menurut Pasal 1 Perpres
Nomor 65 Tahun 2006 ”Pengadaan tanah adalah setiap kegiatan untuk
mendapatkan tanah dengan cara memberikan ganti rugi kepada yang
melepaskan atau menyerahkan tanah, bangunan, tanaman, dan benda-
benda yang berkaitan dengan tanah”. Cakupan Pengadaan Tanah Untuk
Kepentingan Umum :
a. Pasal 2 (1) Perpres No mor 36 Tahun 2005 jo 65 Tahun 2006 :
Pengadaan tanah bagi pelaksanaan pembangunan untuk kepentingan
umum oleh Pemerintah atau Pemerintah Daerah dilaksanakan dengan
cara pelepasan atau penyerahan hak atas tanah.
b. Pasal 2 ayat (2) Perpres Nomor 36 Tahun 2005 jo 65 Tahun 2006 :
Pengadaan tanah selain bagi pelaksanaan pembangunan untuk
kepentingan umum oleh Pemerintah atau Pemerintah Daerah dilakukan
34
dengan cara jual beli, tukar menukar, atau cara lain yang disepakati
secara sukarela oleh pihak-pihak yang bersangkutan.
2. Penguasaan Secara Historis Aset Tanah Negara
Peraturan Pemerintah Nomor 8 Tahun 1953 tentang Penguasaan Tanah-
Tanah Negara jo Keputusan Presiden Nomor 32 Tahun 1979 tentang
Pokok-Pokok Kebijaksanaan Dalam Rangka Pemberian Hak Baru Atas
Tanah Asal Konversi Hak-Hak Barat antara lain menyatakan bahwa:
a. Kepada Daerah Swatantra dapat diberikan penguasaan atas tanah
negara untuk menyelenggarakan kepentingan daerahnya (Pasal 4 ayat
(2) PP Nomor 8 Tahun 1953)
b. Kecuali jika penguasaan atas tanah negara dengan UU atau dengan
peraturan lain pada waktu berlakunya PP ini, telah diserahkan kepada
sesuatu Kementerian atau Jawatan maka penguasaan atas tanah negara
berada pada Menteri Dalam Negeri (Pasal 2 PP No.8 Tahun 1953)
c. Sebelum dapat menggunakan tanah-tanah negara yang penguasaannya
diserahkan kepadanya menurut peruntukannya, dapat diberikan izin
kepada pihak lain untuk memakai tanah-tanah itu dalam waktu tertentu
(Pasal 9 PP Nomor 8 Tahun 1953)
d. Tanah HGU, HGB, HP asal konversi Hak Barat yang jangka waktunya
akan berakhir selambat-lambatnya tanggal 24 September 1980, pada
saat berakhirnya hak yang bersangkutan menjadi tanah negara (Pasal 1
ayat (1) Keppres No.32 Tahun 1979).
35
3. Tukar Menukar/Ruislag
Keppres No.16 Tahun 1994 jo Keppres No.24 Tahun 1995 dan
Surat Keputusan Menteri Keuangan RI No.360/KMK.03/1994 tentang
Tata Cara Tukar Menukar Barang Milik/Kekayaan Negara dan
PMNA/Kepala BPN No. 500-468 tanggal 12 Pebruari Tahun 1996 tentang
Masalah Ruislag Tanah-Tanah Pemerintah menyatakan bahwa:
a. Tukar Menukar/Ruislag Barang Milik/Kekayaan Negara adalah
pengalihan pemilikan dan atau penguasaan barang tidak bergerak milik
Negara kepada pihak lain dengan menerima penggantian utama dalam
bentuk barang tidak bergerak dan tidak merugikan negara (Pasal 1
Keputusan Menteri Keuangan RI No.360/KMK.03/1994)
b. Ruislag dapat dilakukan antara Departemen/LPND dengan Pemda,
BUMN, BUMD, Koperasi dan Swasta (Pasal 4 Keputusan Menteri
Keuangan RI No.360/KMK.03/1994)
Untuk tukar menukar tanah perlu izin dari Menteri Keuangan dan telah
ditetapkan keanggotaan Panitia Penaksir (untuk menaksir harga tanah
dengan menggunakan komponen nilai/harga yang ada, yaitu harga dasar,
NJOP, harga umum (dari PPAT) diambil angka tertinggi. Segera diikuti
dengan pensertifikatan tanah yang telah dilepas oleh instansi Pemerintah,
dan terhadap tanah pengganti diminta haknya oleh Instansi Pemerintah
yang menerimanya dan kemudian didaftarkan sebagai aset pihak penerima
atau aset Instansi Pemerintah yang bersangkutan.
36
Dalam penyelesaian hak atas tanah untuk masing-masing pihak,
sebelum dilakukan ruislag perlu diketahui secara pasti mengenai status hak
dan luas tanah, dengan meminta SKPT dan Gambar Situasi ke Kantor
Pertanahan.
4. Penguasaan Atas Tanah Negara Bekas Balatentara Jepang
Surat Edaran Menteri Dalam Negeri No.20/5/7 Tanggal 09-05-
1950 dan No.40/25/13 Tanggal 13-05-1953 mengenai Penyelesaian
Tanah-Tanah Yang Dahulu Diambil Oleh Pemerintah Pendudukan Jepang
menyatakan bahwa:
1) Tanah-tanah asal kepunyaan penduduk Indonesia yang diambil
Pemerintah Pendudukan Jepang dengan pemberian ganti
kerugian, dipandang sebagai tanah negara.
2) Dalam hal pengambilan tanah-tanah dari penduduk Indonesia
tidak dengan pemberian ganti rugi, maka tanah-tanah tersebut
tetap menjadi kepunyaan penduduk.
Sedangkan Surat Edaran Ditjen Agraria No.593/III/Agr Tanggal 07-01-
1953 menyatakan antara lain:
1) Batas waktu mengajukan tuntutan ganti rugi s/d akhir tahun 1953
2) Setelah tahun 1953, tuntutan ganti rugi lewat Pengadilan
5. Nasionalisasi Perusahaan Milik Belanda
UU No.86 Tahun 1958 tentang Nasionalisasi Perusahaan-Perusahaan
Milik Belanda.
37
6. Pencabutan Hak Atas Tanah
UUPA No.5 Tahun 1960 jo Undang-Undang No.20 Tahun 1961
tentang Pencabutan Hak-Hak Atas Tanah dan Benda-Benda Yang Ada Di
Atasnya dalam Pasal 18 UUPA menyatakan bahwa:
“Untuk kepentingan umum, termasuk kepentingan bangsa dan Negara serta kepentingan bersama dari seluruh rakyat, hak-hak atas tanah dapat dicabut, dengan memberi ganti kerugian yang layak dan menurut cara yang diatur dengan undang-undang”. Berkenaan dengan Kriteria Kepentingan Umum :Pasal 5 Peraturan
Presiden No.65 Tahun 2006 menyatakan antara lain :
a. Dilaksanakan oleh Pemerintah atau Pemerintah Daerah,
b. Dimiliki atau akan dimiliki oleh Pemerintah/Pemerintah Daerah
Adapun Jenis-Jenis Kepentingan Umum (sebagaimana diatur dalam
Pasal 5 Perpres 36/Tahun 2005 jo Perpres 65/Tahun 2006) antara lain :
a. Jalan umum dan jalan tol, rel kereta api (di atas tanah, di ruang atas
tanah, ataupun di ruang bawah tanah), saluran air minum/air bersih,
saluran pembuangan air dan sanitasi;
b. Waduk, bendungan, bendungan irigasi dan bangunan pengairan
lainnya;
c. Pelabuhan, Bandar udara, stasiun kereta api, dan terminal;
d. Fasilitas keselamatan umum, seperti tanggul penanggulangan bahaya
banjir, lahar, dan lain-lain bencana;
e. Tempat pembuangan sampah;
f. Cagar alam, cagar budaya;
g. Pembangkit, transmisi, distribusi tenaga listrik”.
38
B. Hak-Hak Atas Tanah Yang Dapat Dipunyai Oleh Instansi Pemerintah
1. Pengertian Instansi Pemerintah :
Dalam Surat Edaran Kepala Badan Pertanahan Nasional tanggal 4
Mei 1992 Nomor 500-1255 dan PMNA Nomor 1 Tahun 1994, yang
termasuk instansi pemerintah adalah :
a. Letina
b. Departemen
c. LPND
d. Pemda
Dilihat dari aspek Instansi Pemerintah sebagai subyek hak atas tanah
adalah :
a. Letina
b. Departemen
c. LPND
d. Pemerintah Kabupaten/Kota
e. Bank Milik Pemerintah
f. Bank Milik Daerah
g. BUMD
h. PT Persero
2. Tanah Aset Instansi Pemerintah
Barang Milik/Kekayaan Negara berdasarkan SK Menkeu
No.470/KMK 01/1994 tanggal 20-09-1994, adalah :
a. Barang bergerak/tidak bergerak
39
b. Dimiliki/dikuasai oleh Instansi Pemerintah
c. Dibeli atas beban APBN
d. Perolehan lain yang sah
Surat Keputusan Menteri Keuangan RI No.360/KMK.03/1994 tentang
Tata Cara Tukar Menukar Barang Milik/Kekayaan Negara jo Surat
Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional tanggal 12-
02-1996 Nomor 500-468) menyatakan antara lain :
a. Tanah-tanah bukan tanah pihak lain dan telah dikuasai baik secara fisik
maupun secara yuridis oleh Instansi Pemerintah yang bersangkutan
b. Tanah dikelola dan dirawat dengan dana Instansi Pemerintah yang
bersangkutan
c. Telah terdaftar dalam Daftar Inventaris Instansi Pemerintah yang
bersangkutan
Bila secara fisik telah dihuni atau dipergunakan atau dikuasai oleh
pihak lain harus seijin atau atas persetujuan dari instansi yang
bersangkutan dengan hubungan hukum yang jelas. Tanah-tanah dimaksud
adalah meliputi tanah-tanah yang telah bersertipikat (terdaftar) dan yang
belum bersertipikat (belum terdaftar).
Dalam hal ini idak termasuk dalam pengertian aset pemerintah adalah
tanah kepunyaan pihak lain yang dikuasai atau digunakan atau
dimanfaatkan oleh Instansi Pemerintah atau disebut dengan “tanah dalam
penguasaan”.
40
3. Ciri-Ciri Tanah Aset Instansi Pemerintah Yang Belum Bersertifikat :
Berdasarkan Surat Edaran Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor
110.500.1255 Tanggal 4 Mei 1992 Ciri-Ciri Tanah Aset Instansi
Pemerintah Yang Belum Bersertifikat antara lain:
a. Tanah yang dikuasai berdasarkan Stb.1911.110.110 (tentang
Penguasaan Benda-Benda Tidak Bergerak, Gedung-Gedung dll). Jika
Instansi Pemerintah menguasai tanah Negara dipelihara dengan
Anggaran Belanjanya maka tanah tersebut menjadi aset Instansi yang
bersangkutan.
b. Tanah yang dikuasai berdasarkan Peraturan Pemerintah No.8 Tahun
1953 (tentang Penguasaan Tanah-Tanah Negara) Pasal 2; kecuali jika
penguasaan atas tanah negara dengan Undang-Undang atau peraturan
lain pada waktu mulai berlakunya Peraturan Pemerintah ini telah
diserahkan kepada suatu Kementerian, Jawatan atau Daerah Swatantra,
maka penguasaan atas tanah Negara ada pada Mendagri.
c. Tanah yang dikuasai berdasarkan UU Nomor 86 Tahun 1958 (tentang
Nasionalisasi perusahaan-perusahaan milik Belanda)
d. Pembelian Pemerintah berdasarkan Bijblad Nomor 11372 Jo Nomor
12476.
e. Pembebasan tanah berdasarkan Kepmendagri Nomor 2 Tahun 1976.
f. Pengadaan tanah oleh swasta untuk kepentingan umum berdasarkan
Keppres Nomor 55 Tahun 1993 Jo PMNA/Kepala BPN Nomor 1
Tahun 1994.
g. Pelepasan hak secara cuma-cuma oleh pemiliknya.
41
h. Penguasaan secara historis dari bala tentara Jepang :
i. Surat Edaran Menteri Dalam Negeri Nomor 20/5/7 tanggal 09-05-1950
dan Nomor 40/25/13 tanggal 13-05-1953.
j. Surat Edaran Ditjen Agraria Nomor 593 /III /Agr Tanggal 07-01-1983:
k. Batas waktu mengajukan tuntutan ganti rugi s/d akhir tahun 1953
l. Setelah tahun 1953, tuntutan ganti rugi lewat pengadilan
m. Tanah yang sejak dahulu dikuasai oleh Instansi Pemerintah yang
bersangkutan dan tidak pernah ada sengketa.
n. Tanah yang dikuasai berdasarkan Pencabutan Hak berdasarkan UU
No.20 Tahun 1961 dll.
4. Hak Atas Tanah Menurut UUPA :
Berdasarkan Pasal 4 ayat (1) UUPA ditentukan adanya bermacam-
macam hak atas permukaan bumi yang disebut tanah yang dapat diberikan
dan dipunyai oleh ”orang” baik sendiri-sendiri maupun bersama-sama
dengan orang-orang lain dan ”Badan Hukum”. Selanjutnya dikemukakan
hak-hak atas tanah tersebut dalam Pasal 16 ayat (1) UUPA yaitu : Hak
Milik, Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan, Hak Pakai, Hak sewa, Hak
membuka Tanah, Hak Memungut Hasil Hutan.
a. Hak Milik
Hak milik adalah hak turun-menurun, terkuat dan terpenuh yang dapat
dipunyai orang atas tanah, dengan mengingat ketentuan dalam pasal 6
yang menyatakan ”semua hak atas tanah mempunyai fungsi sosial”.
Hak milik tersebut dapat beralih dan dialihkan kepada pihak lain.
42
Hanya warga-negara Indonesia dapat mempunyai hak milik sehingga
orang asing tidak mempunyai hak ilik di wilayah negara Indonesia.
Orang asing yang sesudah berlakunya Undang-undang ini memperoleh
hak milik karena pewarisan tanpa wasiat atau percampuran harta
karena perkawinan, demikian pula warga-negara Indonesia yang
mempunyai hak milik dan setelah berlakunya Undang-undang ini
kehilangan kewarga-negaraannya wajib melepaskan hak itu didalam
jangka waktu satu tahun sejak diperolehnya hak tersebut atau
hilangnya kewarga-negaraan itu. Jika sesudah jangka waktu tersebut
lampau hak milik itu dilepaskan, maka hak tersebut hapus karena
hukum dan tanahnya jatuh pada Negara, dengan ketentuan bahwa hak-
hak pihak lain yang membebaninya tetap berlangsung.
Setiap jual-beli, penukaran, penghibahan, pemberian dengan wasiat
dan perbuatan-perbuatan lain yang dimaksudkan untuk langsung atau
tidak langsung memindahkan hak milik kepada orang asing, kepada
seorang warga-negara yang disamping kewarganegaraan Indonesianya
mempunyai kewarga-negaraan asing atau kepada suatu badan hukum
kecuali yang ditetapkan oleh Pemerintah termaksud dalam pasal 21
ayat (2), adalah batal karena hukum dan tanahnya jatuh kepada
Negara, dengan ketentuan, bahwa hak-hak pihak lain yang
membebaninya tetap berlangsung serta semua pembayaran yang telah
diterima oleh pemilik tidak dapat dituntut kembali. Hak milik hapus
bila :
43
1. tanahnya jatuh kepada negara,
a. karena pencabutan hak berdasarkan pasal 18;
b. karena penyerahan dengan sukarela oleh pemiliknya;
c. karena diterlantarkan;
d. karena ketentuan -pasal 21 ayat (3) dan 26 ayat (2).
2. tanahnya musnah.
b. Hak Guna Usaha (HGU)
Hak guna-usaha adalah hak untuk mengusahakan tanah yang
dikuasai langsung oleh Negara, dalam jangka waktu sebagaimana
tersebut dalam pasal 29, guna perusahaan pertanian, perikanan atau
peternakan.
Hak guna-usaha diberikan atas tanah yang luasnya paling sedikit 5
hektar, dengan ketentuan bahwa jika luasnya 25 hektar atau lebih
harus memakai investasi modal yang layak dan tehnik perusahaan
yang baik, sesuai dengan perkembangan zaman dan dialihkan kepada
pihak lain.
Hak guna-usaha diberikan untuk waktu paling lama 25 tahun dan
Untuk perusahaan yang memerlukan waktu yang lebih lama dapat
diberikan hak guna-usaha untuk waktu paling lama 35 tahun. Atas
permintaan pemegang hak dan mengingat keadaan perusahaannya
jangka waktu dapat diperpanjang dengan waktu yang paling lama 25
tahun.
Yang dapat mempunyai hak guna-usaha ialah.
44
a. warga-negara Indonesia;
b. badan hukum yang didirikan menurut hukum Indonesia dan
berkedudukan di Indonesia,
Orang atau badan hukum yang mempunyai hak guna-usaha dan tidak
lagi memenuhi syarat-syarat sebagai yang tersebut dalam ayat (1) pasal
ini dalam jangka waktu satu tahun wajib melepaskan atau mengalihkan
hak itu kepada pihak lain yang memenuhi syarat. Ketentuan ini berlaku
juga terhadap pihak yang memperoleh hak guna-usaha, jika ia tidak
memenuhi syarat tersebut. Jika hak guna-usaha, yang bersangkutan
tidak dilepaskan atau dialihkan dalam jangka waktu tersebut maka hak
itu hapus karena hukum, dengan ketentuan bahwa hak-hak pihak lain
akan diindahkan, menurut ketentuan-ketentuan yang ditetapkan dengan
Peraturan Pemerintah.
Hak guna-usaha hapus karena:
a. jangka waktunya berakhir;
b. dihentikan sebelum jangka waktunya berakhir karena sesuatu
syarat tidak dipenuhi;
c. dilepaskan oleh pemegang haknya sebelum jangka waktunya
berakhir;
d. dicabut untuk kepentingan umum;
e. diterlantarkan;
f. tanahnya musnah;
g. ketentuan dalam pasal 30 ayat (2) UUPA.
45
c. Hak Guna Bangunan (HGB)
Hak guna-bangunan adalah hak untuk mendirikan dan
mempunyai bangunan-bangunan atas tanah yang bukan miliknya
sendiri, dengan jangka waktu paling lama 30 tahun. Atas permintaan
pemegang hak dan dengan mengingat keperluan serta keadaan
bangunan-bangunannya, jangka waktu tersebut dapat diperpanjang
dengan waktu paling lama 20 tahun.dan dapat beralih dan dialihkan
kepada pihak lain.
Subjek dapat mempunyai hak guna-bangunan ialah :
a. warga-negara Indonesia;
b. badan hukum yang didirikan menurut hukum Indonesia dan
berkedudukan di Indonesia.
Terjadinya Hak guna-bangunan :
a. mengenai tanah yang dikuasai langsung oleh Negara; karena
penetapan Pemerintah;
b. mengenai tanah milik; karena perjanjian yang berbentuk otentik
antara pemilik tanah yang bersangkutan dengan pihak yang akan
memperoleh hak guna bangunan itu, yang bermaksud
menimbulkan hak tersebut.
Hak guna-bangunan hapus karena:
a. jangka waktunya berakhir;
46
b. dihentikan sebelum jangka waktunya berakhir karena sesuatu
syarat tidak dipenuhi;
c. dilepaskan oleh pemegang haknya sebelum jangka waktunya
berakhir;
d. dicabut untuk kepentingan umum;
e. diterlantarkan;
f. tanahnya musnah;
g. ketentuan dalam pasal 36 ayat (2) UUPA.
d. Hak Pakai (Hp)
Hak Pakai adalah ”Hak untuk menggunakan dan/ atau menunjuk
hasil dari tanah negara atau tanah milik orang lain”. Peruntukan Hak
Pakai, untuk tanah bangunan dan tanah pertanian
Hak Pakai diatur dalam Pasal 41 s/d 43 UUPA, Pasal 39 s/d 54 PP 40
Tahun 1996 tentang Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan, dan
Hak Pakai atas Tanah.
Jangka Waktu :
25 tahun dapat diperpanjang 20 tahun atau selama dipergunakan.
Pasal 45 PP No. 40 Tahun 1996:
Hak Pakai yang diberikan untuk jangka waktu yang tidak ditentukan
selama dipergunakan untuk keperluan tertentu sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1) diberikan kepada :
a. Departemen, LPND, dan Pemerintah Daerah;
b. Perwakilan Negara asing dan perwakilan badan internasional;
47
c. Badan keagamaan dan badan social.
Subjek Hak Pakai (Pasal 39 PP No.40 Tahun 1996) :
a. WNI
b. Badan Hukum yang didirikan menurut hukum Indonesia dan
berkedudukan di Indonesia
c. Departemen, LPND dan Pemda
d. Badan Keagamaan dan Sosial
e. Orang asing yang berkedudukan di Indonesia
f. Badan Hukum asing yang mempunyai perwakilan di Indonesia
g. Perwakilan Negara Asing dan Perwakilan Badan Internasional
Terjadinya Hak Pakai (Pasal 42 UUPA) :
a. Penetapan Pemerintah : Tanah Negara
b. Perjanjian Otentik : Tanah Hak Milik, Tanah HPL
Pasal 45 ayat (3) PP No.40 Tahun 1996 :
Hak Pakai selama dipergunakan diberikan kepada :
a. Departemen, LPND, Pemda
b. Perwakilan Negara Asing dan Perwakilan Badan Internasional
c. Badan Keagamaan dan Sosial
Pasal 53 ayat (1) PP No. 40 Tahun 1996 :
Hak Pakai atas tanah hak Pengelolaan dapat dijadikan jaminan utang
dengan dibebani hak tanggungan
UU No.5 Tahun 1960 (UUPA) Pasal 41 & Pasal 42 :
48
Hak Pakai dapat diberikan selama jangka waktu tertentu atau selama
tanah dipergunakan untuk kepentingan tertentu.
Artinya :
Pemberian Hak Pakai pada hakekatnya hanya memberi wewenang
yang terbatas apabila tanahnya tidak dipergunakan sesuai dengan sifat
dan tujuan pemberian, Hak Pakai tersebut harus dikembalikan kepada
Negara.
5. Hak atas Tanah di Luar UUPA yaitu Hak Pengelolaan (HPL) :
a. Penjelasan Umum angka II 2 UUPA menyatakan bahwa:
Negara dapat memberikan tanah yang dikuasai oleh Negara kepada
orang atau Badan Hukum dengan sesuatu hak menurut peruntukan dan
keperluannya, misalnya : HM, HGB, atau HP atau memberikannya
dalam pengelolaan kepada suatu Badan Penguasa (Departemen,
Jawatan, atau Daerah Swatantra).
b. Peraturan Menteri Negara Agraria (PMNA) No. 9 Tahun 1965 :
Penguasaan atas tanah Negara tersebut akan dipergunakan untuk
kepentingan instansi itu sendiri dikonversi menjadi Hak Pakai (selama
dipergunakan), jika penguasaan atas tanah negara tersebut
dimaksudkan untuk dapat diberikan dengan sesuatu hak kepada pihak
ketiga dikonversi menjadi HPL.
c. PMNA 3 Tahun 1999, Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 5 Tahun
1974 (PMDN) :
49
Pasal berisikan wewenang untuk merencanakan peruntukan dan
penggunaan, menggunakan tanah tersebut untuk keperluan
pelaksanaan tugas. Menyerahkan bagian-bagian tanah tersebut kepada
pihak ketiga menurut persyaratan yang ditentukan oleh pemegang
HPL, meliputi :
a. Peruntukan dan Penggunaan
b. Jangka Waktu
c. Keuangan
Dimantapkan dalam PMDN No.1 Tahun 1977 (Pasal 1)
Pasal 7 UU No.16 Tahun 1985 tentang Rumah Susun :
HPL hanya dapat diberikan kepada Badan Hukum yang seluruh
modalnya dimiliki oleh Pemerintah/Pemda.
Pasal 67 PMNA/Kepala BPN No.9 Tahun 1999 :
Subjek HPL :
a. Instansi Pemerintah termasuk Pemda
b. BUMN
c. BUMD
d. PT. Persero
e. Badan Otorita
f. Badan Hukum Pemerintah lainnya yang ditunjuk
Subjek HPL selama ini :
1. Pemda
2. Depnaker dan Trans
50
3. Dep. Pertanian.
4. Perum Perumnas
5. PT (Persero) Pelabuhan Indonesia
6. PT (Persero) Angkasa Pura
7. Otorita Batam, dll.
Hak-hak atas tanah yang dapat dipunyai oleh instansi pemerintah yaitu,
Hak Guna Bangunan, Hak Guna Usaha, Hak Pakai, dan Hak Pengelolaan
C. Perbuatan-Perbuatan Hukum Yang Dapat Dilakukan Oleh
Pemerintah Kota Bandung Dalam Rangka ”Pengelolaan Aset Tanah
Instansi Pemerintah
1. Pelepasan Hak Atas Tanah dan atau bangunan
Ketentuan Pasal 39 Kepmendagri No.152 Tahun 2004 tentang
Pedoman Pengelolaan Barang Daerah Pelepasan Hak Atas Tanah dan
atau bangunan dengan cara antara lain :
a. Pelepasan dengan pembayaran ganti rugi (dijual) :
Rumah Daerah dapat dijual belikan atau disewakan (Pasal 34 jo
Pasal 35 Kepmendagri No.152 Tahun 2004 tentang Pedoman
Pengelolaan Barang Daerah) yaitu :
1) Rumah Daerah Golongan II yang telah diubah golongannya
menjadi Rumah Golongan III,
2) Rumah Daerah Golongan III yang telah berumur 10 tahun
3) Rumah Daerah yang dibangun di atas tanah yang tidak dikuasai
oleh Pemerintah Daerah, maka untuk perolehan hak atas
51
tanahnya harus diproses tersendiri sesuai dengan ketentuan
perundang-undangan yang berlaku.
4) Pelepasan Hak atas tanah dan penghapusan dari Daftar
Inventaris ditetapkan dengan Keputusan Kepala Daerah setelah
harga penjualan atas tanah dan atau bangunannya dilunasi
(Pasal 38 Kepmendagri No.152 Tahun 2004 tentang Pedoman
Pengelolaan Barang Daerah).
b. Pelepasan dengan tukar menukar atau ruislag atau tukar guling.
Pelepasan hak atas tanah ditetapkan dengan Keputusan Kepala
Daerah setelah mendapatkan persetujuan DPRD (Pasal 39 ayat (2)
Kepmendagri No.152 Tahun 2004 tentang Pedoman Pengelolaan
Barang Daerah). Ketentuan Pinjam Pakai diatur Pasal 41
Kepmendagri No.152 Tahun 2004 tentang Pedoman Pengelolaan
Barang Daerah yang menyatakan bahwa:
1. Untuk kepentingan penyelenggaraan Pemerintah Daerah
barang-barang daerah, baik barang bergerak maupun barang
tidak bergerak dapat dipinjampakaikan;
2. Pelaksanaan pinjam pakai ditetapkan dengan Keputusan Kepala
Daerah.
Pasal 10 PP No.6 Tahun 2006 tentang Pengelolaan Barang
Milik Negara/Daerah menyebutkan bahwa :
“Pinjam Pakai adalah penyerahan penggunaan barang antara pemerintah pusat dengan pemerintah daerah dan antar pemerintah daerah dalam jangka waktu tertentu tanpa
52
menerima imbalan dan setelah jangka waktu tersebut berakhir diserahkan kembali kepada pengelola barang”.
Dalam ketentuan Pasal 23 PP No.6 Tahun 2006 :
(1) Pinjam pakai barang milik Negara/Daerah dilaksanakan antara
pemerintah pusat dengan pemerintah daerah atau antar
pemerintah daerah.
(2) Jangka waktu pinjam pakai barang milik Negara/daerah paling
lama 2 tahun dan dapat diperpanjang.
(3) Pinjam pakai dilaksanakan berdasarkan surat perjanjian yang
sekurang-kurangnya memuat :
- Pihak-pihak yang terkait dalam perjanjian
- Jenis, luas, atau jumlah barang yang dipinjamkan, dan
jangka waktunya
- Tanggung jawab peminjam atas biaya operasional dan
pemeliharaan selama jangka waktu peminjaman
- Persyaratan lain yang dianggap perlu.
Pasal 8 Perda Kota Bandung No.03 Tahun 2004 tentang
Penyelenggaraan Kerja Sama mengatur bentuk-bentuk kerja sama
sepanjang tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan
yang berlaku. Pinjam Pakai merupakan salah satu bentuk
penyelenggaraan kerja sama. Adapun yang menjadi Sifat dari Pinjam
Pakai antara lain:
53
a. Cuma-Cuma (Pasal 1740 KUHPerdata)
b. Prestasi hanya ada pada satu pihak saja (Perjanjian sepihak : sifat
sepihak tersirat dari ”Cuma-Cuma)
c. Yang menerima pinjaman harus bertindak selaku ”bapak yang
baik”, tidak diperkenankan memakainya guna suatu keperluan lain
dari yang telah ditetapkan dalam perjanjiannya. Pelanggaran atas
larangan ini menyebabkan peminjam harus bertanggung jawab atas
kemunduran atau kemerosotan nilai dari barang (tanah dan atau
bangunan) yang dipinjamnya, yang mana apabila tidak melanggar
perjanjian maka risiko atas kemerosotan atau kemunduran nilai
barang (tanah dan atau bangunan) menjadi tanggung jawab yang
meminjamkan (Pasal 1747 KUHPerdata).
2. Penyewaan dalam Pasal 42 Kepmendagri No.152 Tahun 2004 tentang
Pedoman Pengelolaan Barang Daerah:
a. Barang milik atau dikuasai Pemerintah Daerah baik barang
bergerak maupun barang tidak bergerak dapat disewakan;
b. Pelaksanaan penyewaan ditetapkan dengan Keputusan Kepala
Daerah.
Pasal 44 UUPA : Hak Sewa (tanah) Untuk Bangunan :
- ”Seseorang atau suatu Badan Hukum mempunyai hak sewa atas
tanah, apabila ia berhak mempergunakan tanah milik orang lain
untuk keperluan bangunan, dengan membayar kepada pemiliknya
sejumlah uang sewa”.
54
- ”Pembayaran sewa dapat dilakukan satu kali, atau tiap-tiap waktu
tertentu, sebelum atau sesudah tanahnya dipergunakan”.
Subjek Hak Sewa : (Pasal 45 UUPA)
- WNI
- Orang asing yang berkedudukan di Indonesia
- Badan Hukum yang didirikan menurut Hukum Indonesia dan
berkedudukan di Indonesia.
- Badan Hukum Asing yang mempunyai Perwakilan di Indonesia
Jangka Waktu Sewa Barang Milik Negara/Daerah (Pasal 22 PP No.6
Tahun 2006 :
“Jangka waktu penyewaan barang milik Negara/daerah paling lama
lima tahun dan dapat diperpanjang”.
1. Penggunaan tanah oleh bukan pemiliknya berdasarkan perjanjian
sewa menyewa, diserahkan pada persetujuan pihak-pihak yang
berkepentingan, berdasarkan asas kebebasan berkontrak dengan
memperhatikan ketentuan yang berlaku dan memenuhi
pertimbangan keadilan dan dicegah cara-cara
pemerasan.(Penjelasan UUPA II angka (7).
2. Perjanjian sewa tertulis : maka sewa berakhir demi hukum
(otomatis), apabila waktu yang ditentukan sudah habis, tanpa harus
ada suatu pemberitahuan (Pasal 1570 KUHPerdata)
3. Perjanjian sewa tidak tertulis : maka sewa tidak berakhir pada
waktu yang ditentukan, melainkan jika pihak yang menyewakan
55
memberitahukan kepada penyewa bahwa yang menyewakan akan
menghentikan sewanya (Pasal 1571 KUHPerdata).
4. Untuk sewa tertulis yang telah habis jangka waktunya dan
penyewa dibiarkan menempati tanah dan atau rumah sewa, berubah
menjadi sewa lisan tanpa waktu tertentu yang hanya dapat diakhiri
menurut adat kebiasaan setempat.
5. Perpindahan pemilikan sebagai analogis dari kata ”dijual” yang
meliputi, tukar menukar, penghibahan, dan lain-lain tidak
memutuskan sewa menyewa (Pasal 1576 KUHPerdata).
3. Pemanfaatan dan Pemindahtanganan
Barang milik negara/daerah dapat dimanfaatkan atau
dipindahtangankan apabila tidak digunakan untuk penyelenggaraan
pemerintahan negara/daerah. Dalam konteks pemanfaatan tidak terjadi
adanya peralihan kepemilikan dari pemerintah kepada pihak lain.
Sedangkan dalam konteks pemindahtanganan akan terjadi peralihan
kepemilikan atas barang milik negara/daerah dari pemerintah kepada
pihak lain.
Tanah dan/atau bangunan yang tidak dipergunakan sesuai tugas
pokok dan fungsi instansi pengguna barang harus diserahkan kepada
Menteri Keuangan selaku pengelola barang untuk barang milik negara,
atau gubernur/bupati/walikota selaku pemegang kekuasaan
pengelolaan barang milik daerah untuk barang milik daerah.
Penyerahan kembali barang milik negara/daerah tersebut dilakukan
56
dengan memperhatikan kondisi status tanah dan/atau bangunan,
apakah telah bersertifikat (baik dalam kondisi bermasalah maupun
tidak bermasalah) atau tidak bersertifikat (baik dalam kondisi
bermasalah maupun tidak bermasalah).
Barang milik negara/daerah berupa tanah dan/atau bangunan yang
telah diserahkan tersebut selanjutnya didayagunakan untuk
penyelenggaraan pemerintahan negara, yang meliputi fungsi-fungsi
berikut:
a. Fungsi pelayanan
Fungsi ini direalisasikan melalui pengalihan status penggunaan,
di mana barang milik negara/daerah dialihkan penggunaannya
kepada instansi pemerintah lainnya untuk digunakan dalam
rangka memenuhi kebutuhan organisasi sesuai dengan tugas
pokok dan fungsinya.
b. Fungsi budgeter
Fungsi ini direalisasikan melalui pemanfaatan dan
pemindahtanganan. Pemanfaatan dimaksud dilakukan dalam
bentuk sewa, kerjasama pemanfaatan, pinjam pakai, bangun
guna serah dan bangun serah guna. Sedangkan
pemindahtanganan dilakukan dalam bentuk penjualan, tukar
menukar, hibah, dan penyertaan modal negara/daerah.
Kewenangan pelaksanaan pemanfaatan atau pemindahtanganan
tanah dan/atau bangunan pada barang milik negara prinsipnya
57
dilakukan oleh pengelola barang, dan untuk barang milik daerah
dilakukan oleh gubernur/bupati/walikota, kecuali hal-hal sebagai
berikut:
1) Pemanfaatan tanah dan/atau bangunan untuk memperoleh fasilitas
yang diperlukan dalam rangka menunjang tugas pokok dan fungsi
instansi pengguna dan berada di dalam lingkungan instansi
pengguna, contohnya : kantin, bank dan koperasi.
2) Pemindahtanganan dalam bentuk tukar-menukar berupa tanah
dan/atau bangunan yang masih digunakan untuk tugas pokok dan
fungsi namun tidak sesuai dengan tata ruang wilayah atau penataan
kota.
3) Pemindahtanganan dalam bentuk penyertaan modal pemerintah
pusat/daerah berupa tanah dan/atau bangunan yang sejak awal
pengadaannya sesuai dokumen penganggaran diperuntukkan bagi
badan usaha milik negara/daerah atau badan hukum lainnya yang
dimiliki negara.
Pengecualian tersebut, untuk barang milik negara dilakukan oleh
pengguna barang dengan persetujuan pengelola barang, sedangkan
untuk barang milik daerah dilakukan oleh pengelola barang dengan
persetujuan gubernur/bupati/walikota.
4. Kerja Sama Pemanfaatan :
Dalam Pasal 1 angka 11 PP No.6 Tahun 2006 menyatakan bahwa:
58
“Kerjasama Pemanfaatan adalah pendayagunaan barang milik
negara/daerah oleh pihak lain dalam jangka waktu tertentu dalam
rangka peningkatan penerimaan negara bukan pajak/pendapatan daerah
dan sumber pembiayaan lainnya”.
Kerjasama Pemanfaatan barang milik Negara/daerah dengan pihak
lain dilaksanakan dalam rangka mengoptimalkan daya guna dan hasil
guna barang milik Negara/daerah” (Pasal 24 PP No.6 Tahun 2006).
Kerjasama pemanfaatan barang milik Negara/daerah dilaksanakan
berdasarkan Pasal 25 PP No.6 Tahun 2006 dengan bentuk :
(1) Kerjasama pemanfaatan barang milik Negara/daerah atas tanah
dan atau bangunan yang sudah diserahkan oleh pengguna
barang kepada Gubernur/Bupati/Walikota;
(2) Kerjasama pemanfaatan atas sebagian tanah dan atau bangunan
yang masih digunakan oleh pengguna barang;
Kerjasama pemanfaatan atas barang milik negara/daerah
dilaksanakan, sesuai Pasal 26 (1) PP No. 6 Tahun 2006 karena :
a. Tidak tersedia atau tidak cukup tersedia dana dalam APBD untuk
memenuhi biaya operasional/pemeliharaan/perbaikan yang
diperlukan terhadap barang milik negara/daerah;
b. Mitra kerjasama pemanfaatan ditetapkan melalui tender dengan
mengikutsertakan sekurang-kurangnya 5 peserta ....dst
59
c. Mitra kerjasama pemanfaatan harus membayar kontribusi tetap ke
rekening kas umum negara/daerah selama jangka waktu
pengoperasian dan pembagian hasil keuntungan selama kerja sama;
d. Selama jangka waktu pengoperasian, mitra kerjasama pemanfaatan
dilarang menjaminkan atau menggadaikan barang milik
negara/daerah yang menjadi objek kerjasama pemanfaatan.
e. Jangka waktu kerjasama pemanfaatan paling lama 30 tahun sejak
perjanjian ditandatangani dan dapat diperpanjang.
60
BAB VI
KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan
1. Dasar-dasar hukum penguasaan hak atas tanah oleh Instansi Pemerintah
dapat dilakukan melalui pengadaan tanah, pencabutan hak, penguasaan
hak atas tanah berdasarkan Stb.1911.110.110 (tentang Penguasaan
Benda-Benda Tidak Bergerak, Gedung-Gedung dll), penguasaan tanah
berdasarkan Peraturan Pemerintah No.8 Tahun 1953 (tentang
Penguasaan Tanah-Tanah Negara) selanjutnya penguasaan atas tanah
Negara ada pada Mendagri, tanah yang dikuasai berdasarkan UU Nomor
86 Tahun 1958 (tentang Nasionalisasi perusahaan-perusahaan milik
Belanda), pembelian pemerintah berdasarkan Bijblad Nomor 11372 Jo
Nomor 12476, pembebasan tanah berdasarkan Kepmendagri Nomor 2
Tahun 1976, pengadaan tanah oleh swasta untuk kepentingan umum
berdasarkan Keppres Nomor 55 Tahun 1993 Jo PMNA/Kepala BPN
Nomor 1 Tahun 1994, pelepasan hak secara cuma-cuma oleh
pemiliknya, konversi hak yang bersumber dari penguasaan secara
historis aset tanah negara bekas penguasaan oleh Jepang, Belanda;
2. Hak-hak atas tanah yang dapat dipunyai oleh Instansi Pemerintah yaitu
Hak-hak atas tanah yang dapat dipunyai oleh instansi pemerintah yaitu,
Hak Guna Bangunan, Hak Guna Usaha, Hak Pakai, dan Hak
Pengelolaan.
61
3. Pelepasan hak atas tanah dan atau bangunan, persewaan,
pemindahtanganan, dan kerjasama pemanfaatan lahan merupakan
perbuatan hukum yang menjadi dasar pengelolaan aset tanah instansi
pemerintah oleh Pemerintah Kota Bandung.
B. Saran
1. Setiap penguasaan hak atas tanah oleh Pemerintah Kota Bandung agar
disertai dengan kelengkapan dasar penguasaan hak yang bersumber pada
title hak yang sah, agar terdapat kepastian hokum dan kepastian hak atas
tanah;
2. Pemerintah Kota (Bandung) agar mencermati dengan seksama asset
tanah yang dipunyainya, apakah telah dilengkapi dengan dasar
penguasaan hak yang sah, agar terhindar dari kesulitan ketika investor
akan masuk untuk melakukan kerjasama pemanfaatan terhadap asset
tanah yang bersangkutan.
3. Perlu dilakukan inventarisasi asset tanah pemerintah kota agar tercipta
tertib administrasi pemilikan tanah oleh pemerintah kota Bandung.
62
DAFTAR PUSTAKA
A. Buku A.P. Parlindungan, Komentar UUPA, Mandar Maju, Bandung
Boedi Harsono, Hukum Agraria Indonesia, Sejarah, Isi dan Pelaksanaannya, Penerbit Djambatan, Jakarta, 2003.
Herman Hermit, Cara Memperoleh Sertifikat Tanah Hak Milik,Tanah Negara dan Tanah Pemda, teori dan Praktek, CV. Mandar Maju, Bandung 2004
Ronny Hanitijo, 1988, Metodologi Penelitian Hukum dan Jurimetri, Ghalia Indonesia, Jakarta.
Sulasi Rongiyati, Parlementaria (Majalah Dewan Perwakilan Rakyat Indonesia); Pembaruan Agraria Sebagai Upaya Mengatasi Sengketa Pertanahan, Agustus 2007.
Surojo Wignjodipuro, 1982, Pengantar Asas-Asas Hukum Adat, Gunung Agung, Jakarta
B. Peraturan Perundang-undangan Undang-Undang Dasar 1945
Undang-Undang No.5 Tahun 1960, tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria
Undang-Undang No.1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara
Peraturan Pemerintah No. 6 Tahun 2006 tentang Pengelolaan Barang Milik Negara/Daerah
Peraturan Pemerintah No.24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah;
Peraturan Menteri Agraria/Kepala BPN No. 3 Tahun 1997 tengan Ketentuan Pelaksanaan Peraturan Pemerintah No.24 Tahun 1997