Click here to load reader
Upload
pearl-black
View
1.334
Download
3
Embed Size (px)
Citation preview
HUKUM PERNIKAHAN TANPA WALI DAN SAKSI
PERNIKAHAN TANPA WALI DAN ATAU SAKSI
M.ZAKARIYA MOCHTAR,MH
A. Pendahuluan
Islam mengakui bahwa manusia memiliki hasrat yang besar untuk menyalurkan kebutuhan
biologisnya (seks). Untuk itu, hukum Islam mengatur penyaluran kebutuhan biologis tersebut
melalui satu-satunya cara yang dilegalkan oleh al-Qur‟an dan Hadith, yakni pernikahan.
Kata nikah berarti al-'aqd (ikatan/perjanjian) dan al-wat' (jima'/bersebadan). Para ahli bahasa
berbeda pendapat tentang mana dari dua macam arti ini yang merupakan arti asal. Ada yang
memandang al-aqd sebagai arti asal sedangkan al-wat' sebagai arti kiasan. Menurut istilah nikah
adalah akad perkawinan yang dilaksanakan berdasar syarat dan rukun tertentu menurut syari'a
islam.
\\Dalam UU no 1 tahun 1974 tentang Perkawinan pasal 1, perkawinan didefinisikan sebagai
sebuah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan
tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan
Yang Maha Esa. Para ulama fiqh menyatakan bahwa nikah adalah penyempurna ibadah karena
bilamana seseorang telah sempurnya syahwat batiniahnya maka ia akan membutuhkan syahwat
farji. Kata nikah dalam al-Qur'an tersebut 23 kali. Segala sesuatu yang disyari'atkan Islam
mempunyai tujuan, begitu juga dengan perkawinan, tujuan adanya pekawinan, dijelaskan dalam
al-Qur'an Surah al-Rum ayat 21, yang berbuyi:
(21)
Diantara tanda-tanda kekuasaan Allah SWT adalah bahwa Ia menciptakan isteri-isteri bagi para
lelaki dari jenis mereka sendiri, agar mereka merasa tentram (sakinah). Kemudian Allah
menjadikan/menumbuhkan perasaan cinta dan kasih saying (mawaddah dan rahmah) di antara
mereka. Dalam hal demikian benar-benar terdapat tanda-tanda (pelajaran) bagi mereka yang mau
berfikir.
Disamping tujuan perkawinan, fungsi perkawinan yang paling mendasar adalah sebagai lembaga
preventif (mani') bagi terjadinya hal-hal yang diharamkan oleh agama yaitu perbuatan zina
(prostitusi) dan kefasikan.
Ketentuan tentang pernikahan banyak dimuat dalam al-Qur‟an dan hadith, namun aturan teknis
bagaimana suatu perkawinan yang sah hanya dijelaskan oleh hadith. Pernikahan dianggap sah
bila memenuhi beberapa persyaratan yang telah ditentukan. Beberapa syarat yang harus
terpenuhi dalam nikah diantaranya ialah adanya pria dan wanita sebagai mempelai, wali, mahar,
saksi dan akad (ijab qabul). Dalam realitasnya, tidak semua pernikahan dilaksanakan sesuai
dengan tata aturan yang telah digariskan. Entah dengan alasan apa, seringkali dijumpai
pernikahan yang dilaksanakan tanpa kehadiran wali dan ataupun saksi.
Untuk itu, melalui makalah ini penulis mencoba untuk menelaah hukum pernikahan yang
dilaksanakan dengan tanpa kehadiran wali dan atau saksi berdasarkan teks-teks hadith yang
mengatur teknis pelaksanaan pernikahan.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana hukum pernikahan tanpa wali dan saksi
2. Siapa yang berhak menjadi wali dan saksi dalam pernikahan
C. Sistematika Pembahasan
Adapun untuk sistematika pembahasannya, penulis mempergunakan metode ketiga dari enam
metode yang ditawarkan oleh Dosen Pembimbing. Secara rinci, sistematika pembahasan hadith
dalam makalah ini meliputi: (1). Penulisan teks hadith dan terjemahannya, (2). Penjelasan
mengenai syakl dan kata yang sulit dipahami, (3). Paparan hadith dari jalur lain, (4). Penjelasan
mengenai kualitas sanad dan matan hadith. (5). Penjelasan tentang makna hadith. (6). Pendapat
ulama tentang masalah terkait.(7). Tarjih
PEMBAHASAN
A. Teks Hadith
Hadith yang memuat keterangan tentang pernikahan tanpa wali dan atau saksi dapat dijumpai
dalam beberapa kitab, diantaranya kitab Sunan Kubra li al-Baihaqi, Mu‟jam al-Kabir li al-
Tabrani, Mu‟jam al-Ausat} li al-Tabrani, Musnad al-Shafi‟i, Sunan al-Daruqutni dan Shahih
Ibnu Hibban. Adapun yang dijadikan hadith utama dalam makalah ini adalah hadith yang
termuat dalam Sunan al-Daruqutni bab ”Nikah” dengan redaksi sebagai berikut:
»
“ Abu Dhar Ahmad bin Muhammad bin Abi Bakr bercerita kepadaku dari Ahmad bin Husain
bin ‟Abbad al-Naaiy dari Muhammad bin Yazid bin Sinan dari ayahnya dari Hisham bin ‟Urwah
dari ayahnya dari ‟Aishah: ‟Aishah berkata bahwa Rasulullah SAW bersabda “ Tidak ada nikah
tanpa wali dan dua saksi yang adil”.
B. Hadith Pendukung
Hadith pendukung yang penulis paparkan di sini ialah hadith yang satu tema dengan hadith di
atas, namun dengan redaksi atau periwayat yang berbeda.
1. Sunan Kubra li al-Baihaqi
ثد ع تخ يذد ت ف ان ا أت ثر ا يذد أخ قب ث ع ثد اهلل ت ع فر ت ع ا ج ر ث ان ص ت ر اهلل ان
ع ص فراء ع دجاج ع د اد ان ز د ت ث ر ع د االد خان ا أت ة ث ر ك ا أت ار ث ت
د ت س د ، را ش كاح اال ت ال ن كاح اال ت ال ال ق ض اهلل ع ه ر ذارث ع ع ث ع ان ع ش ان
كا ال ال ار ع دجاج ق د عدل شا ن ح اال ت
ر اء ان رف يذد ان ه دايد ت ع ثأ أت تادج أ ق عر ت س ت عس ثد ان ع صر عر ت ا( أت ثر أخ
ص ط ت ا ع ص ث رد ت ثد ان ا ع ط ث قي داد ان ادد ت ثد اهلل ت يذد ع ا أت ث
شح ق ر ع عرج ع عائ س ض ع ان ي ا ت ه ض ج ع جر ه اهلل ع ات ص ضل اهلل ال ر د ق ان
كذد ا ن ف ي الن هطا ن ط ان تجرا ف ش ا ا د عدل ف شا ن كاح اال ت هى ال ض ه ع
اطم ا ت كاد ف
2. Sunan al-Daruqutni (bab Nikah)
ه- ه اهلل ع ص
- »
- -
»
- -
»
3. Mu‟jam al-Kabir li al-Tabrani
4. Sunan al-Tirmidzi (bab Nikah tanpa saksi)
5. Sunan al-Tirmidzi (bab Nikah tanpa wali)
6. Sunan Abu Daud (bab Wali)
قب ع ا ث ت ض در فر ت ع ج ثد اهلل ت ثأ ع غداد أ ث قطا ت ضم ان ف ان ت ط ذ ان ا أت ثر أخ
د ع رجم خان ا ع يذد ت ف ض د ع ي رد ت ثد ان ا ع شار ث ت ا ات ا ث ف ض ن ت قال
خاطة د شا عح ن ارت كاح اال ت ال ال ثاش ق ع كى ع ات ذ ان
7. Shahih Ibn hibban
فص ا د د األي، ددث ع ض ت ذ د ت ع ض ا ، ددث تات صم ك ي أ دا يذد ان ا عر ت ثر أخ
هلل ضل ا شح أ ر ر، ع عرج، ع عائ س ض، ع ان ي ا ت ه ض ج، ع جر اث، ع ت غ ال: ت ق
اطلشلاف ،ارجاظخ إف ،لطاب ف كلذ رغ لع حاك و اك او ،لدع داظ لب الإ حاك ال"
ن ي ال ن ن
7. Sunan Ibnu Majah
C. Takhrij Hadith
Takhrij hadith pada dasarnya adalah untuk mengetahui derajat keshahihan suatu hadith.
Berdasarkan kesepakatan muhaddithin, kriteria keshahihan hadith ada lima, yakni: (1) al-musnad
)bersambung sanadnya), )2). rawinya ‟adil, )3). Rawinya dhabit, )4). Bebas dari syadh, )5), bebas
dari „illat.
Langkah pertama dalam penelitian hadith adalah dengan mengetahui biografi dan kredibilitas
masing-masing perawi hadith untuk menentukan status ketersambungan sanadnya. Subhi Shalih
menyebutkan bahwa ittishal al-sanad dapat diteliti dengan membandingkan beberapa hal, yakni:
tahun kelahiran dan wafat antar rawi, tempat tingalnya, hubungan guru murid dan pola tahammul
dan ada‟nya.
Berdasarkan redksi hadith, dapat diketahui bahwa hadith yang ditakhrij oleh al-Daruqutni
memiliki mata rantai rawi (sanad) sebagai berikut:
C.1 Biografi Rawi
1. ‟Aishah
Nama lengkapnya ialah ‟Aishah binti Abu Bakar al-S}iddiq dan bergelar umm al-Mu;minin.
Dari segi thabaqatnya, telah maklum bahwa ‟Aishah merupakan golongan sahabat, bahkan ia
adalah salah satu istri Rasulullah. ‟Aishah yang berasal dari bani Taimiyah wafat pada tahun 67
H. Diantara Guru ‟Aishah adalah: Rasulullah SAW, Abu Bakar al-Shiddiq dan Umar bin al-
Khattab. Sedangkan muridnya antara lain: ‟Urwah bin Zubair, Aminah binti Abdullah dan Hasan
Bashri. Sebagai sahabat, kredibiltas ‟Aishah sebagai rawi berdasarkan kesepakatan ulama adalah
thiqah dan adil.
2. ‟Urwah
Rawi yang memiliki nama lengkap „Urwah bin Zubair bin al-‟Awam bin Khawailid al-Quraisy
ini merupakan generasi wust}a min al-Tabi‟in dan bergelar Abu al-Madani. Ia lahir pada masa
awal kekhalifahan Uthman bin „Affan dan wafat pada tahun 94 H. „Urwah yang selama hidupnya
tingal di Madinah merupakan salah satu keponakan dari ‟Aishah binti Abu Bakar al-Shiddiq. Di
antara guru ‟Urwah ialah: ‟Aishah binti Abu Bakar, Ali bin Abi Thalib dan Zaid bin Thabit.
Sedangkan murid-muridnya antara lain: Hisham bin ‟Urwah, Abdullah bin Dinar dan Sulaiman
bin Yassar. Sebagai seorang rawi, kritikus hadis menyebutnya sebagai rawi yang thiqah, faqih,
ma‟mun, thabat.
3. Hisham bin ‟Urwah
Putera dari ‟Urwah ini memiliki nama lengkap Hisham bin ‟Urwah bin Zubair bin al-‟Awam bin
Khualid al-Asadi al-Quraisy dan bergelar Abu al-Mundhir. Ia merupakan golongan sughra min
al-tabi‟in dan wafat pada tahun 145 H. Semasa hidupnya, ia pernah tinggal di Madinah dan
kemudian berpindah ke Baghdad hingga wafatnya. Guru Hisham antara lain: ‟Urwah bin Zubair,
Abdullah bin Zubair dan ‟Auf bin al-Harith. Adapun murid-muridnya antara lain: Abdullah bin
Mu‟awiyah, Khalid bin Harith dan Ubaidillah bin ‟umar. Kredibilitasnya sebagai rawi adalah
thiqah dan hujjah.
4. Yazid bin Sinan
Nama lengkapnya ialah Yazid bin Sinan bin Yazid al-Tamimiy al-Jazary dan bergelar Abu
Farwah. Ia termasuk kibar al-Atba‟, lahir pada tahun 79 H dan wafat pada tahun 155 H. Semasa
hidupnya ia tinggal di Baghdad. Di antara guru Yazid ialah: Abu al-Mubarak al-‟Ato‟ dan
Mujahid bin Jabir. Sedangkan muridnya ialah Waki‟ bin Jarah dan Muhammad bin Yazid bin
Sinan. Sebagai rawi, ia merupakan perawi yang dhaif.
5. Muhammad bin Yazid
Rawi yang tak lain putera dari Yazid ini memiliki nama lengkap Muhammad bin Yazid bin
Sinan bin Yazid al-Amawiy dan bergelar Abu ‟Abdillah. Dari thabaqatnya ia termasuk sughra
min al-Atba‟, lahir pada tahun 132 H dan wafat pada tahun 220 H. Guru Muhammad
berdasarkan beberapa referensi hanya ayahnya, yakni Yazid bin Sinan. Sedangkan siapa saja
yang pernah menjadi muridnya tidak tersebut dalam beberapa kitab. Terkait kredibilitasnya
sebagai rawi hadith, Muhammad yang hidupnya dihabiskan di Baghdad ini oleh kritikus hadith
dianggap laisa bi al-qawiy (dhaif).
6. Ahmad bin al-Husain‟Abbad
Tidak diketemukan informasi apapun tentang rawi ini, bahkan ia juga tidak tercatat sebagai
murid dari Muhammad bin Yazid. Dari referensi yang penulis peroleh, ia disebut dengan majhul.
Oleh karena itu, statusnya sebagai rawi dianggap dhaif.
7. Abu Dharr Ahmad bin Muhammad bin Abi Bakr
Penulis belum dapat melacak informasi mengenai Ahmad bin Muhammad.
C.2 Kesimpulan
Dari redaksi hadith dan informasi tentang biografi rawi di atas dapat diambil kesimpulan sebagai
berikut:
menunjukkan bahwa antar perawi
saling bertemu dan murid mendengar hadith langsung dari gurunya. Sedangkan mulai Yazid bin
Sinan hingga ‟Aishah redaksinya mempergunakan‟an )ع) yang berarti merupakan hadith
mu‟an‟an. Dalam konteks hadith ini, penggunaan ع dapat dianggap muttasil bila perawi
merupakan perawi yang thiqah.
b. Dari pola hubungan guru murid, Yazid bin Sinan bukan termasuk muridnya Hisham bin
‟Urwah. Sedangkan dua perawi terakhir majhul.
c. Dari segi kemungkinan muashir dan kemungkinan liqa‟, antar perawi kecuali dua perawi
terakhir masih dimungkinkan hidup semasa ataupun bertemu.
Berdasarkan data-data di atas, telah diketahui bahwa sanad hadith tidak bersambung dan
kredibilitas sebagian rawi masih diragukan. Oleh karena itu, meskipun tanpa melakukan nalisa
matan, maka penulis menyimpulkan bahwa hadith tentang pernikahan tanpa wali dan saksi yang
tersebut di atas merupakan hadith dhaif.
D. Makna hadith
menunjukkan arti bahwa
tidak ada pernikahan tanpa adanya wali dan dua saksi yang adil. Namun terkait dengan susunan
lafadh yang nantinya berimplikasi pada konteks hukum, terdapat ihtilaf di antara ulama.
mendapat interpretasi beragam dari ulama. Ada yang menyebut
bahwa nafy tersebut hanya menunjukkan arti ketidaksempurnaan. Dengan demikian, hadith di
atas dapat diartikan ” Tidak sempurna pernikahan tanpa wali dan dua saksi yang adil”. Dalam
konteks hukum, tidak sempurna berarti wali dan atau aksi bukan merupakan syarat sah, sehingga
pernikahan yang tidak dihadiri wali dan atau saksi dihukumi sah. Dengan kata lain, wali dan atau
saksi hanya sebatas disunnahkan.
Ada juga ulama yang menginterpretasikan nafy pada sah dan tidaknya perbuatan. Dengan
demikian, berarti tidak sah pernikahan. Dalam konteks hukum, bila nafy diinterpretasikan
sebagai hakikat syari‟at, maka pernikahan yang dilaksanakan tanpa wali dan ataupun saksi
adalah tidak sah.
E. Pendapat Ulama Tentang Wali dan Saksi Nikah
Sehubungan dengan masih beragamnya interpretasi tentang hadith di atas, ulama juga masih
berbeda pendapat terkait hukum pernikahan tanpa adanya wali dan ataupun saksi. Mengingat
bahwa keterangan wali dan saksi serta hukum keberadaan wali dan saksi dalam pernikahan
dalam beberapa kitab dipisahkan, maka demi menghindari kerancuan pembahasan hukum
keberadaan wali dan saksi dalam makalah ini juga akan dipisahkan.
1. Wali Nikah
Berdasarkan hadith utama di atas, mayoritas ulama berpendapat bahwa wali merupakan syarat
sah dalam suatu pernikahan. Pendapat ini berdasarkan firman Allah:
.
(janganlah kamu (para wali) menghalangi mereka kawin lagi dengan bakal suaminya)
Imam al-Shafi‟i menyatakan bahwa ayat di atas merupakan pet
- -
. Dengan berdasar dalil-dalil tersebut, maka pernikahan
yang dilaksanakan tanpa adanya wali diangap tidak sah. Lebih jauh lagi, hubungan badan yang
dilakukan oleh wanita yang menikah tanpa wali dianggap merupakan perbuatan zina.
Adapun esensi wali menurut ulama yang berpendapat wali sebagai syarat sah adalah
kehadirannya dalam prosesi akad nikah. Hal ini berarti apabila ada seorang wanita menikahkan
dirinya sendiri dan wali sudah memberi izin, namun ia tidak ada dan tidak mewakilkannya, maka
pernikahan tetap diangap tidak sah. Tidak sahnya pernikahan tersebut tak lain adalah tidak
terpenuhinya salah satu syarat sah nikah, yakni wali.
Kemudian apabila ada seorang wanita yang hendak menikah namun tidak ada wali , maka yang
berhak menjadi wali adalah Sultan (pihak yang berwenang). Dalam konteks pernikahan di
indonesia, wewenang menikahkan wanita yang tidak ada walinya ialah Presiden, Hakim atau
petugas KUA.
Pendapat berbeda disampaikan oleh imam Abu Hanifah dan Abu yusuf yang menyatakan bahwa
wali bukan merupakan syarat sah pernikahan . Wali menurut pendapat kedua in
adalah ketiadaan dari
kesempurnaan. Selain itu, kewenangan wanita untuk menikahkan dirinya tanpa wali juga dapat
dipahami dari hadith yang diriwayatkan oleh Muslim dari Ibn ‟Abbas berikut:
Adapun dari al-Quran, ayat yang dipergunakan sebagai dasar istimbath hukum kelompok kedua
juga sama dengan kelompok pertama, namun beda dalam menafsirinya. Abu Hanifah dan Abu
yusuf menyandarkan pendapatnya pada ayat-ayat berikut:
Kemudian jika si suami mentalaknya (sesudah talak yang kedua), maka perempuan itu tidak lagi
halal baginya hingga dia kawin dengan suami yang lain
Apabila kamu mentalak isteri-isterimu, lalu habis masa iddahnya, maka (janganlah kamu (para
wali) menghalangi mereka kawin lagi dengan bakal suaminya)
Kemudian apabila telah habis 'iddahnya, maka tiada dosa bagimu (para wali) membiarkan
mereka berbuat terhadap diri mereka menurut yang patut
Lafadh nikah pada dua ayat pertama menurut Abu Hanifah disandarkan pada wanita dan
khitabnya menunjuk pada azwaj, bukan wali. Sedangkan berdasarkan ayat ketiga, dapat
dipahami dengan jelas bahwa suami bagi wanita adalah kewenangan mutak mereka.
1. Siapakah yang bisa menjadi wali ?
Wali tidak lain adalah ayah kandung seorang wanita yang secara nasab memang syah sebagai
ayah kandung. Sebab bisa jadi secara biologis seorang laki-laki menjadi ayah dari seorang anak
wanita, namun karena anak itu lahir bukan dari perkawinan yang syah, maka secara hukum tidak
syah juga kewaliannya.
2. Syarat Seorang Wali;
• Islam, seorang ayah yang bukan beragama islam tidak menikahkan atau menjadi wali bagi
pernikahan anak gadisnya yang muslimah. Begitu juga orang yang tidak percaya kepada adanya
Allah SWT (atheis). Dalil haramnya seorang kafir menikahkan anaknya yang muslimah adalah
ayat Quran berikut ini : Dan Allah sekali-kali tidak akan memberi jalan kepada orang-orang kafir
untuk memusnahkan orang-orang yang beriman.(QS. An-Nisa : 141)
• Berakal, maka seorang yang kurang waras atau idiot atau gila tidak syah bila menjadi wali bagi
anak gadisnya.
• Bulugh, maka seorang anak kecil yang belum pernah bermimpi atau belum baligh, tidak syah
bila menjadi wali bagi saudara wanitanya atau anggota keluarga lainnya.
• Merdeka, maka seorang budak tidak syah bila menikahkan anaknya atau anggota familinya,
meski pun beragama ISlam, berakal, baligh.
3. Urutan Wali Dalam mazhab syafi‟i, urutan wali adalah sebagai berikut
• Ayah kandung
• Kakek, atau ayah dari ayah
• Saudara )kakak / adik laki-laki) se-ayah dan se-ibu
• Saudara )kakak / adik laki-laki) se-ayah saja
• Anak laki-laki dari saudara yang se-ayah dan se-ibu
• Anak laki-laki dari saudara yang se-ayah saja
• Saudara laki-laki ayah
• Anak laki-laki dari saudara laki-laki ayah (sepupu)
Daftar urutan wali di atas tidak boleh dilangkahi atau diacak-acak. Sehingga bila ayah kandung
masih hidup, maka tidak boleh hak kewaliannya itu diambil alih oleh wawli pada nomor urut
berikutnya.Kecuali bila pihak yang bersangkutan memberi izin dan haknya itu kepada mereka.
Penting untuk diketahui bahwa seorang wali berhak mewakilkan hak perwaliannya itu kepada
orang lain, meski tidak termasuk dalam daftar para wali. Hal itu biasa sering dilakukan di tengah
masyarakat dengan meminta kepada tokoh ulama setempat untuk menjadi wakil dari wali yang
syah. Dan untuk itu harus ada akad antara wali dan orang yang mewakilkan.
Dalam kondisi dimana seorang ayah kandung tidak bisa hadir dalam sebuah akad nikah, maka
dia bisa saja mewakilkan hak perwaliannya itu kepada orang lain yang dipercayainya, meski
bukan termasuk urutan dalam daftar orang yang berhak menjadi wali.
Sehingga bila akad nikah akan dilangsungkan di luar negeri dan semua pihak sudah ada kecuali
wali, karena dia tinggal di Indonesia dan kondisinya tidak memungkinkannya untuk ke luar
negeri, maka dia boleh mewakilkan hak perwaliannya kepada orang yang sama-sama tinggal di
luar negeri itu untuk menikahkan anak gadisnya, Namun hak perwalian itu tidak boleh dirampas
atau diambil begitu saja tanpa izin dari wali yang sesungguhnya. Bila hal itu dilakukan, maka
pernikahan itu tidak syah dan harus dipisahkan saat itu juga.
4. Kasus Wali Adhal : tidak mau menikahkan anak wanitanya ?
Seorang ayah kandung yang tidak mau menikahkan anak gadisnya disebut dengan waliyul adhal,
yaitu wali yang menolak menikahkan.
Dalam kondisi yang memaksa dan tidak ada alternatif lainnya, seorang hakim mungkin saja
menjadi wali bagi seorang wanita. Misalnya bila ayah kandung wanita itu menolak menikahkan
puterinya sehingga menimbulkan mudharat. Istilah yang sering dikenal adalah wali adhal.
Namun tidak mudah bagi seorang hakim ketika memutuskan untuk membolehkan wanita
menikah tanpa wali aslinya atau ayahnya, tetapi dengan wali hakim. Tentu harus dilakukan
pengecekan ulang, pemeriksaan kepada banyak pihak termasuk juga kepada keluarganya dan
terutama kepada ayah kandungnya.
Dan untuk itu diperlukan proses yang tidak sebentar, karena harus melibatkan banyak orang.
Juga harus didengar dengan seksama alasan yang melatar-belakangi orang tuanya tidak mau
menikahkannya.
Sehingga pada titik tertentu dimana alasan penolakan wali adhal itu memang dianggap mengada-
ada dan sekedar menghalangi saja, bolehlah pada saat itu hakim yang syah dari pengadilan
agama yang resmi memutuskan untuk menggunakan wali hakim. Misalnya untuk menghindari
dari resiko zina yang besar kemungkinan akan terjadi, sementara ayah kandung sama sekali tidak
mau tahu.
Tetapi sekali lagi, amat besar tanggung-jawab seorang hakim bila sampai dia harus mengambil-
alih kewalian wanita itu. Dan tentu saja keputusan ini harus melalui proses yang syah dan resmi
menurut pengadilan yang ada. Bukan sekedar hakim-hakiman dengan proses kucing-kucingan.
2.Saksi Nikah
Pada masalah saksi pernikahan, Imam Malik menyatakan bahwa keberadaan saksi bukan
merupakan keharusan, melainkan cukup dengan diberitakan atau asal pernikahan tersebut sudah
diketahui oleh khalayak. Senada dengan imam Malik, Abu Thaur dan madhhab Shiah
menyatakan bahwa pernikahan dianggap sah dengan tanpa saksi, sebab pada hakikatnya
pernikahan adalah akad dan akad tidak memerlukan saksi . Pendapat ini diambil setidaknya
berdasarkan dua hal. Pertama, analogi terhadap jual beli. Allah dalam al-Qur‟an memerintahkan
adanya saksi dalam jual beli, sedangkan saksi tidak diperintahkan dalam pernikahan: او احكاف
taya malaD .كى اي ي كذا األ طاء, أ كى ي ان ayat pernikahan tersebut tidak-طاب ن
mencantumkan saksi. Kedua, adanya hadith yang memerintahkan untuk memberitakan
pernikahan.
Adanya perintah Rasulullah untuk memberitakan pernikahan diangap merupakan esensi dari
perintah adanya saksi. Dengan kata lain, adanya saksi bukan merupakan syarat sah nikah,
melainkan hanya agar pernikahan tersebut diketahui oleh masyarakat. Apabila tujuan diketahui
oleh khalayak tersebut telah terpenuhi, maka saksi tidak lagi diperlukan .
Berlawanan dengan imam Malik, mayoritas ulama menyatakan bahwa saksi merupakan syarat
sah dalam pernikahan. Dengan demikian, akad pernikahan yang dilaksana
-
.
Selain itu, saksi harus hadir ketika akad nikah, dan tidak cukup hanya dengan diberitakan saja .
Menurut mereka, pernikahan merupakan hal yang berbeda dengan jual beli. Tujuan dari jual beli
adalah harta benda, sedangkan tujuan pernikahan adalah memperoleh kenikmatan dan keturunan.
Oleh karena itu, harus dilakukan dengan hati-hati dengan cara menghadirkan dua saksi.
Dalam konteks hukum, dua pendapat di atas memiliki konsekuensi hukum berbeda. Menurut
pendapat kedua, apabila ada suatu pernikahan dengan dihadiri saksi, namun kedua belah pihak
sepakat meminta saksi untuk merahasiakan pernikahan mereka, maka pernikahan dianggap sah,
meskipun makruh. Sedangkan menurut imam Malik, pernikahan tersebut dianggap tidak sah .
Adapun terkait dengan persyaratan adanya saksi dalam pernikahan, ulama sepakat memberikan
kriteria bagi orang-orang yang dijadikan saksi sebagai berikut: (1). Islam, (2). Akil balig, (3).
Berakal, (4). Mendengar rangkaian kalimat akad dan memahaminya. Dengan demikian, anak
kecil, orang gila atau mabuk dan non Muslim tidak dapat diterima persaksiannya .
Sehubungan dengan kriteria bagi saksi nikah, status saksi sebagai seorang yang adil masih
menjadi perdebatan di kalangan ulama. Ulama hanafiyah berpendapat bahwa saksi tidak harus
orang yang adil . Siapapun yang berhak menjadi wali nikah, maka ia juga berhak menjadi saksi.
Menurut kriteria ini, pernikahan deng
.
Terlepas dari status adil maupun tidak, madhhab Shafi‟i dan Hambali menyatakan bahwa dua
orang yang menjadi saksi harus laki-laki. Dengan demikian, persaksian seorang laki-laki dan dua
orang wanita tidak dapat diterima dalam pernikahan . Pendapat ini berdasarkan pada hadith nabi:
طالق.. hayifanaH amalu nakgnadeS داظ زج ال أ” ان كاح, ال ف ان ذدد, ال ف ان طاء ف ج ان
berpendapat bahwa persaksian satu orang laki-laki dan dua orang perempuan dalam pernikahan
diperbolehkan. Pendapat ini berangkat dari persepsi bahwa saksi pernikahan sama dengan saksi
dalam jual beli (harta benda). Oleh karena perempuan dapat dijadikan saksi dalam masalah harta
benda, maka ia juga dapat menjadi saksi pernikahan.
F. Tarjih
Terkait dengan ihtilaf ulama tentang keberadaan wali dan saksi dalam pernikahan, penulis
sepakat dengan pendapat yang menyatakan bahwa wali dan saksi merupakan syarat sah yang
harus terpenuhi dalam pernikahan. Dengan kata lain, penulis sependapat dengan pendapat dari
ulama Shafi‟iyah an Hanabilah yang menyepakati bahwa wali dan saksi merupakan bagian yang
tak terpisahkan dalam konteks keabsahan pernikahan. Hal tersebut selain sebagai suatu langkah
hati-hati dalam melaksanakan ajaran agama, juga sesuai dengan petunjuk-petunjuk yang telah
tertuang secara jelas dalam al-Qur‟an dan hadith nabi. Sekalipun hadith utama dalam makalah ini
merupakan hadith dhaif, namun berdasarkan hadith-hadith pendukung yang ada, maka penulis
meyakininya sebagai hujjah.
KESIMPULAN
Berdasarkan paparan sebelumnya, maka dapat diambil beberapa kesimpulan sebagai berikut:
1. Hadith yang ditakhrij oleh al-Daruqutni dari ‟Aishah tentang pernikahan tanpa wali dan saksi
adalah hadith dhaif.
2. Selain ulama Hanafiyah, ulama sepakat bahwa wali merupakan syarat sah nikah. Dengan kata
lain, pernikahan tanpa adanya saksi adalah tidak sah. Bagi wanita yang tidak memiliki wali,
maka yang menjadi walinya adalah hakim.
3. Selain imam Malik dan madhhab Shi‟ah, mayoritas ulama menyepakati bahwa saksi juga
merupakan syarat yang menentukan dalam sah atau tidaknya pernikahan. Dengan demikian,
tidak sah hukumnya pernikahan tanpa adanya dua orang saksi.
Daftar Pustaka
‟Ajaj, Muhammad al-Khatib. Ushul al-hadith. Beirut: Dar al-Fikr. 1989
Ali, Ibn Umar al-Daruqutni. Sunan al-Daruqutni. Beirut: Dar al-Kitab al-‟Alamiyah. 1985
Ali, Muhammad al-Shabuni. Tafsir ayat al-Ahkam. Syiria: Maktabah al-Ghazali, Juz II. 1988
CD Program Hadith Kutub al-Tis‟ah
Hashim, Umar. Qawa‟id al-Ushul al-Hadith. Beirut: Dar al-Fikr. 1998
Muhammad, Ibn ‟Ali ibn Muhammad al-Shaukani. Nail al-Aut}ar. Beirut: Dar al-Fikr. 1986
Najib, Muhammad al-Mut}i‟i. Al-Majmu‟ Sharh al-Muhadhab li al-Shairazi. Jeddah: Maktabah
al-Irshad. Tt
Program al-Maktabah al-Shamilah
Program Mausu‟ah Rowa al-Hadith
Qadir, Abdul Muhammad „At}o. Subul al-Salam. Juz III. Beirut: Dar al-Fikr. 1992
Al-Shalih, Subhi. Ulum al-Hadith wa Mustalahuhu. Beirut: Dar al-Ilm li al-Malayin. tt
Sabiq, Sayyid. Fiqh al-Sunnah, vol, II. Kairo: Dar al-fatah. 1995
Al- Zuhaili, Wahbah. Al-Fiqh al-Islami wa Adillatuh. Juz IX. Beirut: Dar al-Fikr. 2002
Posted 28th July 2008 by zakariya
Add a comment
zaka
Classic
Flipcard
Magazine
Mosaic
Sidebar
Snapshot
Timeslide
Recent
Date
Label
Author
TURKI USMANI
TURKI USMANI
Aug 9th
ALBUM KELUARGA
ALBUM KELUARGA
Jul 28th
SEJARAH TURKI USMANI
SEJARAH TURKI USMANI
Jul 28th
SEJARAH TURKI USMANI
SEJARAH TURKI USMANI
Jul 28th
TUJUH FAKTOR KONSEPSI ISLAM
TUJUH FAKTOR KONSEPSI ISLAM
Jul 28th
Sumber Naqliyah
Sumber Naqliyah
Jul 28th
HUKUM PERNIKAHAN TANPA WALI DAN SAKSI
HUKUM PERNIKAHAN TANPA WALI DAN SAKSI
Jul 28th
IMAM MALIK
IMAM MALIK
Jul 28th
TAFSIR POLIGAMI POLIANDRI
TAFSIR POLIGAMI POLIANDRI
Jul 28th
Loading
Send feedback