16
107 | Mukammil: Jurnal Kajian Keislaman Volume III Nomor 2 Septembr 2020 e-ISSN 2620-5122 KEDUDUKAN WALI DALAM PERNIKAHAN (Perspektif Imam Syafi’i dan Imam Hanafi) Qurrotul Ainiyah 1 [email protected] Abstract Talking about the position of guardian in marriage is about whether it is included in the pillar of marriage or not. This is important to know because it will affect the validity of the marriage contract. Based on the same text, between Imam Syafi'i and Imam Hanafi have different thoughts. Imam Syafi'i stated that guardian is one of the pillars of marriage that must exist and its legal requirements are met, while Imam Hanafi states that guardian is not a harmonious marriage, so its absence does not affect the validity of a marriage. This literary research tries to reveal the background and results of the thoughts of each of these Madzhab priests. Keywords : Guardian of Marriage , Imam Syafi’i, Imam Hanafi PENDAHULUAN Pernikahan adalah perjanjian ikatan antara pihak laki-laki dengan pihak perempuan untuk melangsungkan kehidupan sebagai suami istri, menjalani kehidupan berumah tangga, dan dapat melanjutkan keturunan sesuai dengan ketentuan-ketentuan dalam hukum agama Islam. Pernikahan di dalam agama Islam dapat ditinjau dari berbagai segi. Pertama, dari segi ibadah. Pernikahan dapat dikategorikan sebagai ibadah. Sebab pernikahan merupakan ajaran agama yang diperintahkan oleh Allah dan rasul-Nya. Terdapat beberapa ayat dalam al-Qur’an dan banyak Hadith nabi yang mengandung perintah untuk menikah. Oleh sebab itu pernikahan dapat dinilai sebagai penyempurnaan agama seseorang. Dalam salah satu Hadith, rasul pernah menghimbau agar para pemuda segera menikah jika mereka telah mampu. Rasulullah juga menegaskan bahwa nikah adalah salah satu dari sunnahnya, maka barangsiapa yang tidak suka dengan nikah dikategorikan bukan umatnya. 1 Dosen Tetap STIT al-Urwatul Wutsqo Jombang.

KEDUDUKAN WALI DALAM PERNIKAHAN (Perspektif Imam Syafi’i

  • Upload
    others

  • View
    12

  • Download
    0

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: KEDUDUKAN WALI DALAM PERNIKAHAN (Perspektif Imam Syafi’i

Qurrotul Ainiyah Kedudukan Wali Dalam Pernikahan

107 | Mukammil: Jurnal Kajian Keislaman

Volume III Nomor 2 Septembr 2020 e-ISSN 2620-5122

KEDUDUKAN WALI DALAM PERNIKAHAN

(Perspektif Imam Syafi’i dan Imam Hanafi) Qurrotul Ainiyah1

[email protected]

Abstract

Talking about the position of guardian in marriage is about

whether it is included in the pillar of marriage or not. This is

important to know because it will affect the validity of the

marriage contract. Based on the same text, between Imam

Syafi'i and Imam Hanafi have different thoughts. Imam

Syafi'i stated that guardian is one of the pillars of marriage

that must exist and its legal requirements are met, while

Imam Hanafi states that guardian is not a harmonious

marriage, so its absence does not affect the validity of a

marriage. This literary research tries to reveal the background

and results of the thoughts of each of these Madzhab priests.

Keywords : Guardian of Marriage , Imam Syafi’i, Imam Hanafi

PENDAHULUAN

Pernikahan adalah perjanjian ikatan antara pihak laki-laki dengan

pihak perempuan untuk melangsungkan kehidupan sebagai suami istri,

menjalani kehidupan berumah tangga, dan dapat melanjutkan keturunan

sesuai dengan ketentuan-ketentuan dalam hukum agama Islam.

Pernikahan di dalam agama Islam dapat ditinjau dari berbagai segi.

Pertama, dari segi ibadah. Pernikahan dapat dikategorikan sebagai

ibadah. Sebab pernikahan merupakan ajaran agama yang diperintahkan

oleh Allah dan rasul-Nya. Terdapat beberapa ayat dalam al-Qur’an dan

banyak Hadith nabi yang mengandung perintah untuk menikah. Oleh

sebab itu pernikahan dapat dinilai sebagai penyempurnaan agama

seseorang. Dalam salah satu Hadith, rasul pernah menghimbau agar para

pemuda segera menikah jika mereka telah mampu. Rasulullah juga

menegaskan bahwa nikah adalah salah satu dari sunnahnya, maka

barangsiapa yang tidak suka dengan nikah dikategorikan bukan umatnya.

1 Dosen Tetap STIT al-Urwatul Wutsqo Jombang.

Page 2: KEDUDUKAN WALI DALAM PERNIKAHAN (Perspektif Imam Syafi’i

Qurrotul Ainiyah Kedudukan Wali Dalam Pernikahan

108 | Mukammil: Jurnal Kajian Keislaman

Volume III Nomor 2 Septembr 2020 e-ISSN 2620-5122

Kedua, dari segi hukum Islam, pernikahan merupakan perjanjian yang

kuat, sebagaimana dalam QS. al-Nisa’ (4) : 21:

ل بعض وأخذن منك ميثاقا غليظا. وكيف تأخذونه وقد أفض بعضك إ

Bagaimana kamu akan mengambilnya kembali, padahal sebagian kamu telah bergaul (bercampur) dengan yang lain sebagai suami isteri, dan mereka (isteri-isterimu) telah mengambil dari kamu perjanjian yang kuat.2

Dalam pernikahan terdapat perjanjian yang teguh di antara suami dan

istri. Sebagai akibat dari pernikahan, masing-masing pihak terikat oleh

hak dan kewajiban. Oleh sebab itu, bagi suami yang hendak memutuskan

hubungan perkawinan, mereka harus melalui beberapa syarat, prosedur

dan memberikan alasan-alasan kuat. Ketiga, dari segi sosial, pernikahan

bertujuan membentuk keluarga yang diliputi rasa saling mencintai,

menyayangi dan mengasihi antar sesama anggota keluarga. Keluarga

adalah bagian dari masyarakat, maka anggota keluarga memiliki peran

penting dalam membentuk masyarakat yang harmonis, saling menyayangi

dan lain sebagainya. Dengan berkeluarga, manusia akan mendapatkan

keturunan, menjalin hubungan dengan sesama melalui pernikahan dan

dapat berintraksi di dalam suatu masyarakat. Oleh sebab itu Rasulullah

SAW. melarang umatnya menjalani hidup kerahiban, menyendiri dengan

tidak mau menikah. Sebab hal tersebut menyebabkan seseorang tidak

mendapatkan keturunan, keluarga dan melenyapkan umat manusia dari

muka bumi.

Syari’at pernikahan memiliki hubungan yang cukup erat dengan

syari’at lainnya, semisal waris, aturan nasab, muhrim, perwalian dan lain

sebagainya. Misalnya, seorang istri berhak mendapatkan harta waris dari

suaminya jika sang suami meninggal dunia, dan sebaliknya. Sang ayah

memiliki hak untuk menjadi wali nikah jika anaknya perempuan. Jika

pernikahan tidak diatur dengan baik, maka hal-hal yang sudah dijelaskan

di atas tidak dapat diketahui dan ditentukan dengan jelas dan pasti.

Mencermati keluhuran syari’at pernikahan tersebut, agama Islam

telah memberikan tata aturan yang cukup jelas. Tata aturan tersebut

dijelaskan dalam Islam, misalnya, rukun-rukun pernikahan adalah

2 Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya, (Semarang: PT. Karya Toha Putra,

1995),120

Page 3: KEDUDUKAN WALI DALAM PERNIKAHAN (Perspektif Imam Syafi’i

Qurrotul Ainiyah Kedudukan Wali Dalam Pernikahan

109 | Mukammil: Jurnal Kajian Keislaman

Volume III Nomor 2 Septembr 2020 e-ISSN 2620-5122

mempelai laki-laki, mempelai perempuan, wali mempelai perempuan,

sighat akad, dan 2 (dua) orang saksi. Terpenuhi tidaknya rukun-rukun

pernikahan tersebut akan dapat mempengaruhi pada sah atau tidaknya

suatu pernikahan. Salah satu rukun pernikahan yang masih menjadi

perdebatan adalah wali bagi mempelai perempuan.

Wali secara bahasa berarti al-mahabbah (cinta kasih) dan al-nas}rah

(penolong) sebagaimana yang terdapat dalam QS. al-Mai’dah (5) : 56,3

dan dalam QS. al-Tabah (9) : 71.4 Wali juga dapat berarti al-sult}ah

(kekuasaan) dan al-qudrah (kemampuan). Wali secara istilah adalah

setiap orang yang memiliki kekuasaan atas suatu perkara, baik laki-laki

ataupun perempuan. Ketika disandarkan kepada pernikahan maka wali

nikah adalah seseorang yang berhak melangsungkan akad nikah atas

mempelai perempuan.5

Dari pengertian di atas dapat dipahami bahwa wali dalam pernikahan

adalah orang yang berkuasa mengurus dan memelihara orang-orang yang

berada di bawah perwaliannya atau perlindungannya. Wali nikah juga

memiliki pengertian, seseorang yang bertindak atas nama pengantin

perempuan pada saat melangsungkan pernikahan. Pada saat itu wali

perempuan bertindak sebagai pihak yang melakukan janji nikah dengan

pengantin laki-laki. Oleh karena itu, wali dalam pernikahan memiliki

tanggung jawab yang besar, sebab telah digariskan dan dikukuhkan oleh

Allah dalam nas agama Islam.

Wali nikah bagi mempelai perempuan sebagai rukun dalam

pernikahan Islam dipandang sebagai salah satu contoh perlakuan

diskriminatif, dikarenakan adanya perlakuan yang berbeda antara laki-

laki dan perempuan. Adanya persyaratan wali nikah bagi perempuan

menjadikan seorang perempuan seakan tidak cakap hukum atau tidak

mempunyai kebebasan dalam berbuat, karena dibatasi oleh izin sang wali,

bahkan wali punya kekuasaan penuh untuk memaksa atas perempuan

3 al-Qur’an, 5: 56.

هم الغالبون ورسوله والذين آمنوا فإن حزب الل ومن يتول اللDan barangsiapa mengambil Allah, Rasul-Nya dan orang-orang yang beriman

menjadi penolongnya, maka sesungguhnya pengikut (agama) Allah itulah yang pasti

menang 4 al-Qur’an, 9: 71.

....والمؤمنون والمؤمنات بعضهم أولياء بعض

Dan orang-orang yang beriman, lelaki dan perempuan, sebahagian mereka (adalah)

menjadi penolong bagi sebahagian yang lain... 5 Ibrahim Unais, al-Mu’jam al-Wasit, vol. 2 (Kairo: Dar al-Ma’arif, 1972), 1058.

Page 4: KEDUDUKAN WALI DALAM PERNIKAHAN (Perspektif Imam Syafi’i

Qurrotul Ainiyah Kedudukan Wali Dalam Pernikahan

110 | Mukammil: Jurnal Kajian Keislaman

Volume III Nomor 2 Septembr 2020 e-ISSN 2620-5122

yang berada dalam perwaliannya, yang dikenal dengan istilah wali

mujbir. Tulisan ini meneliti tentang pandangan Imam Syafi’i dan Imam

Hanafi tentang kedudukan wali dalam pernikahan.

METODE PENELITIAN

Penelitian ini adalah kepustakaan (Library Research), artinya meneliti

buku-buku yang berasal dari beberapa sumber yang ada relevansinya

dengan permasalahan yang diteliti dengan menggunakan pendekatan

deskriptif analisis yaitu mendeskripsikan segala hal yang berkaitan dengan

pokok pembicaraan secara sistematis, faktual, dan akurat.6 Sedangkan

hasil penelitiannya akan dianalisa dengan Content Analisys Methode yaitu

penelitian yang dilakukan terhadap informasi yang didokumentasikan

dalam rekaman, baik gambar, suara ataupun tulisan yang bertujuan

menjawab fokus yang dirumuskan dalam penelitian ini.7 Proses analisis

data dalam prakteknya tidak dapat dipisah-pisahkan dengan proses

pengumpulan data. Kedua kegiatan ini berjalan serempak dan dilanjutkan

setelah pengumpulan data selesai.

KAJIAN TEORI

A. Wali Nikah Perspektif Madzhab Shafi’i

Sebelum membahas tentang pandangan Imam Syafi’i tentang

kedudukan wali dalam pernikahan, maka terlebih dahulu perlu

diketahui tentang dasar pemikiran Ushul Fikih Imam Syafi’i, yaitu:

a. Didasarkan pada Syari’at Islam secara holistik, komprehensip dan

universal (kully), bukan didasarkan pada Syariat secara parsial

(juz’i). b. Didasarkan pada ilmu Kalam / Teologi. Perumusan dan penetapan

hukum Islam / fikih harus berdasarkan al-Qu’an dan Sunnah.

Seluruh keputusan fikih harus berangkat dari Allah melalui wahyu-

Nya, dan seluruh umat Islam wajib mengamalkan keduanya.

c. Didasarkan pada kaidah-kaidah istinbath hukum lughawy (secara

bahasa dan sastra Arab) dalam memahami sumber hukum Islam,

yakni al-Qur’an dan Sunnah. Dengan jalan memahami bahasa dan

6 Sekolah Tinggi Ilmu Tarbiyah Al-Urwatul Wutsqo, Pedoman Penulisan Skripsi, (Jombang:

Tim Penyusun, 2015), 33. 7 M. Ikbal Hasan, Pokok-Pokok Materi Methodologi Penelitian dan Aplikasinya (Jakarta:

Ghalia Indonesia, 2002), 171.

Page 5: KEDUDUKAN WALI DALAM PERNIKAHAN (Perspektif Imam Syafi’i

Qurrotul Ainiyah Kedudukan Wali Dalam Pernikahan

111 | Mukammil: Jurnal Kajian Keislaman

Volume III Nomor 2 Septembr 2020 e-ISSN 2620-5122

sastra Arab seseorang dapat mengetahui maqasyid al-syari’ah

(tujuan pembentukan Hukum Islam), mengetahui makna dari

berbagai pernyataan, baik yang berbentuk haqiqi atau majazi. Selain itu juga untuk mengetahui dan membedakan antara bahasa

yang syarih dan yang kinayah, antara yang ‘am dan khas, muthlaq

dan muqayyad, dan dapat memahami manthuq dan mafhum.

Penguasaannya di bidang ilmu Hadith juga menjadikan diri Imam

Syafi’i memiliki kemampuan untuk mengetahui perihal Hadith, baik yang

masih diperselisihkan (mukhtalaf) maupun Hadith yang sudah disepakati

(muttafaq). Selain itu, ia juga mengetahui antara sunnah dan athar para

sahabat Rasulullah SAW. Berdasarkan ilmu Hadith tersebut, imam Syafi’i

mampu menetapkan posisi sunnah di hadapan al-Qur’an dan mampu

menetapkan persesuaian antara Sunnah dan al-Qur’an. Berdasarkan

pengetahuannya tentang perbedaan pendapat di kalangan para sahabat,

imam Syafi’i juga berhasil merumuskan ilmu Nasakh dan Mansukh,

memahami tujuan syari’at secara umum (al-maqashid al-syari’ah al-‘ammah) yang terkandung dalam hukum-hukum syari’at.8

Pernikahan merupakan salah satu tuntunan shari’at Islam. Hal itu

dibuktikan dengan beberapa ayat al-Qur’an dan Sunnah Nabi yang berisi

anjuran untuk menikah, dan melarang hidup dalam kerahiban. Pernikahan

akan menjadikan kehidupan manusia di muka bumi dapat berkesinambungan

dari satu generasi ke generasi berikutnya, sebagaimana yang terdapat dalam

QS. al-Nahl (16) : 72.

جعل لك من أنفسك أزوإجا وجعل لك اا وإلله يب ه من أزوإجك بي وففد وززقك من إل

ه يكفرون. أفبالااطل يؤمنون وبيعمت إلله

Allah menjadikan bagi kalian isteri-isteri dari jenis kalian sendiri dan menjadikan bagi kalian dari isteri-isteri kalian anak-anak dan cucu-cucu, dan memberi rizki yang baik-baik. Maka mengapa mereka beriman pada yang batil dan mengingkari nikmat Allah? 9

8.Qurrotul Ainiyah, Keadilan Gender Dalam Islam, Konvensi PBB dalam Perspektif Mazhab

Shafi’i, (Malang : Intran Publishing, 2015), 101. 9 Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya,(Semarang: PT. Karya Toha Putra,

1995),

412

Page 6: KEDUDUKAN WALI DALAM PERNIKAHAN (Perspektif Imam Syafi’i

Qurrotul Ainiyah Kedudukan Wali Dalam Pernikahan

112 | Mukammil: Jurnal Kajian Keislaman

Volume III Nomor 2 Septembr 2020 e-ISSN 2620-5122

Dalam hal pernikahan, Imam Syafi’i berpendapat bahwa pernikahan

bukan hanya dijadikan sebagai media penyaluran nafsu syahwat (libido)

yang mengakibatkan kelahiran generasi penerus manusia. Lebih dari itu

pernikahan merupakan perbuatan yang lebih mulia dari itu semua, di

dalamnya terdapat media untuk menjalin kasih sayang, mewujudkan

kedamaian dan ketentraman. Jika kehidupan suatu keluarga tenteram dan

damai, maka akan tercipta juga masyarakat yang damai, aman dan tenteram.

Suatu pernikahan dipandang sah jika memenuhi rukun dan syarat tertentu,

yaitu adanya mempelai, wali mempelai wanita, mahar, ijab dan qabul.

Imam Syafi’i mensyaratkan adanya wali nikah bagi pihak calon

mempelai perempuan. Wali adalah orang yang berkuasa mengurus dan

memelihara orang-orang yang berada di bawah perwaliannya atau

perlindungannya. Wali nikah juga berarti seseorang yang bertindak atas

nama pengantin perempuan pada saat melangsungkan pernikahan. Pada saat

itu wali bertindak sebagai pihak yang melakukan janji nikah dengan

pengantin laki-laki. Oleh karena itu, wali dalam pernikahan memiliki

tanggung jawab yang besar, sebab telah digariskan dan dikukuhkan oleh

Allah dalam nas agama Islam. Imam Syafi’i berpendapat bahwa wali bagi

mempelai perempuan merupakan salah satu rukun dan syarat sahnya

pernikahan, sehingga pernikahan tanpa ada wali adalah tidak sah.

Mencermati kedudukannya yang urgen, maka kewenangan wali nikah tidak

boleh dilimpahkan pada pihak yang tidak memiliki hak. Wali nikah harus

dilakukan oleh seorang yang memang memiliki hak untuk itu, yakni

seseorang yang memiliki kaitan struktur keluarga (hubungan nasab). Imam

Syafi’i berpendapat wali bagi mempelai perempuan adalah salah satu rukun

dan syarat sahnya pernikahan, sehingga pernikahan yang tanpa wali adalah

tidak sah.10

Dalil yang dijadikan dasar pijakan imam Syafi’i antara lain

dalam QS al-Baqarah (2) : 232:

ذإ ترإضوإ بي نه إ بساء فبلغن أجلهنه فلا تعضلوهنه أن ييكحن أزوإج هقت إلن ذإ طل

نه وإ

وإليوم إلآخر ذلك أزك لك وأط بلمعروف ذل يوعظ به من كن منك يؤمن بلله هر وإلله

يعل وأنت لا تعلمون.

Apabila kalian mentalak isteri-isterimu, lalu habis masa iddahnya, maka janganlah kalian (para wali) menghalangi mereka kawin lagi dengan bakal suaminya, apabila telah terdapat kerelaan di antara mereka dengan cara yang ma'ruf.

10 Imam Shafi’i, al-Umm, vol. 5 (Bairut: Dar al-Fikr, 1990), 13.

Page 7: KEDUDUKAN WALI DALAM PERNIKAHAN (Perspektif Imam Syafi’i

Qurrotul Ainiyah Kedudukan Wali Dalam Pernikahan

113 | Mukammil: Jurnal Kajian Keislaman

Volume III Nomor 2 Septembr 2020 e-ISSN 2620-5122

Itulah yang dinasehatkan pada orang-orang yang beriman di antara kalian kepada Allah dan Akhirat. Hal itu lebih baik bagimu dan lebih suci. Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui.”11

Imam Syafi’i menjelaskan maksud ayat di atas jika seorang suami

menceraikan istrinya, lalu masa ‘iddah istri yang ditalak tersebut telah

habis, maka para wali dilarang menghalangi jika mereka hendak menikah

kembali. Ayat tersebut jelas sekali memberi petunjuk bahwa wali memiliki

hak dan kewenangan terhadap pernikahan anak perempuannya. Sebagai

bukti, Allah melarang para wali bersikap menghalang-halangi ketika mereka

secara suka rela hendak menikah lagi.12

Ayat lain yang dijadikan dasar imam Syafi’i terkait keharusan

seorang wali adalah QS. al-Baqarah (2) : 221:

اتك ولا تيكح وإ ولا تيكحوإ إلمشك فته يؤمنه ولأمة مؤمنة خي من مشكة ولو أع

اك ..... إلمشك فته يؤمنوإ ولعاد مؤمن خي من مشك ولو أع

Dan janganlah kalian (laki-laki) menikahi perempuan-perempuan musyrik, sebelum mereka beriman. Sesungguhnya perempuan budak yang mukmin lebih baik dari perempuan musyrik, walaupun dia menarik hati kalian. Dan janganlah kalian (laki-laki) menikahkan orang-orang musyrik (dengan perempuan-perempuan mukmin) sebelum mereka beriman. Sesungguhnya budak yang mukmin lebih baik dari orang musyrik, walaupun dia menarik hati kalian…..13

Ayat tersebut memberikan pemahaman bahwa pada lafaz{ ولا تنكحوا

Janganlah kalian -wahai para laki-laki muslim- menikah dengan) المشركات

perempuan-perempuan musyrikat) mengandung pengertian bahwa laki-laki

muslim dilarang menikah dengan perempuan musyrik. Lafaz menikah

mengandung pengertian menikah untuk dirinya sendiri, yang mana ia tidak

membutuhkan orang lain untuk menikahkan dirinya. Sedangkan pada lafaz

berikutnya لا تيكحوإ إلمشك و (janganlah kalian -wahai para wali- menikahkan -para

perempuan mukminah- dengan laki-laki musyrik). Lafaz ini mengandung

pengertian para wali dilarang menikahkan perempuan-perempuan mukminah

11 Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya...., 56 12 Imam Shafi’i, al-Umm, vol. 5..., 13. 13 Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya...., 53-54

Page 8: KEDUDUKAN WALI DALAM PERNIKAHAN (Perspektif Imam Syafi’i

Qurrotul Ainiyah Kedudukan Wali Dalam Pernikahan

114 | Mukammil: Jurnal Kajian Keislaman

Volume III Nomor 2 Septembr 2020 e-ISSN 2620-5122

dengan laki-laki Musyrik. Kalimat tersebut mengandung pengertian bahwa

perempuan mukminah itu dinikahkan, dia tidak bisa menikahkan dirinya

sendiri, tapi ada sosok lain yang lebih berhak menikahkan mereka, yaitu

walinya.

Lebih lanjut Imam Syafi’i menyatakan ayat-ayat di atas

dikuatkan Hadith nabi yang diriwayatkan oleh ‘Aisyah RA. :

ا عن عائشة قالت ذن وليبما إمرأ نكحت بغي إ : أي عليه وسله صله إلله قال زسول إلله

ا بطل. 14فنكح

Dari Aisyah Ra., Rasulullah Saw. bersabda, “Siapapun perempuan yang menikah tanpa mendapatkan izin dari walinya maka pernikahannya batil (tidak sah)”.

Juga hadith yang diriwayatkan oleh Abu Burdah RA:

صله إلله سق عن أب برد عن أب موس قال قال زسول إلله لا عن أب إ عليه وسله

لاه بولب 15 نكح إ

Berdasarkan hadith-hadith di atas, imam Syafi’i menyatakan bahwa

siapapun perempuan yang menikah tanpa mendapat izin walinya maka

perempuan tersebut tidak bisa dikatakan menikah, sebab nabi bersabda

(maka pernikahannya batil). Jika perempuannya terlanjur dicampuri maka

suaminya wajib memberikan mahar mithli. Hal ini menunjukkan bahwa

mahar tetap wajib diberikan sekalipun pada penikahan yang rusak (fasid)

oleh sebab telah terjadi percampuran.16 Oleh karena itu, keberadaan wali

dalam suatu pernikahan merupakan suatu keharusan, sebab mempelai

perempuan termasuk orang yang berada di bawah tanggung jawab walinya.

Wali merupakan orang yang harus mengetahui pria yang akan

mempersunting anak perempuannya supaya tidak terjadi fitnah.

Sebab-sebab Wali Nikah dan Implikasinya

a. al-Abuwwah (Ayah dan jalur ke atasnya yang meliputi kakek, ayah

kakek dan seterusnya).

b. al-‘Asubah (saudara laki-laki dan paman dari saudara ayah).

c. al-Sulthan (Hakim / Penguasa)

d. al-Mu’taq (orang yang memerdekakan budak perempuan)

14 Ahmad bin Hanbal, Musnad Ahmad, vol. 4 (Riyad: Dar ‘Alam al-Kutub, 2008 ), 124. 15 Al-Thirmizi, al Jami’ al sahih al sunan al Tirmizi, juz 3, (Beirut: Dar Ihya’ a; Turath al

Arabiy, tt), 407 16 Imam Shafi’i, al-Umm, vol. 5..., 14.

Page 9: KEDUDUKAN WALI DALAM PERNIKAHAN (Perspektif Imam Syafi’i

Qurrotul Ainiyah Kedudukan Wali Dalam Pernikahan

115 | Mukammil: Jurnal Kajian Keislaman

Volume III Nomor 2 Septembr 2020 e-ISSN 2620-5122

Imam Syafi’i dalam kitab al-Umm mengemukakan peristiwa

pernikahan antara Rasulullah dengan ‘Aisyah dengan menyunting

Hadith nabi yang menceritakan tentang pernikahan nabi dengan

‘Aisyah dan Abu Bakar sebagai walinya. Pada saat itu ‘Aisyah baru

berumur 6 atau 7 tahun, dan baru melakukan hubungan suami istri

pada usia 9 tahun.17 Hadith tersebut cukup menjadi bukti kuat bahwa

ayah lebih berhak atas anak perempuannya yang belum baligh. Hadith

tersebut juga menunjukkan bahwa ketika wali menikahkan anaknya

yang belum baligh, maka wali tidak bisa dimintai pertanggung

jawaban atas perbuatan yang dilakukannya tersebut. Ia berhak

menikahkan anak gadisnya yang belum baligh tanpa harus meminta

izin darinya terlebih dahulu. mun demikian jika anak gadisnya sudah

baligh, Imam Syafi’i menyatakan bahwa wali harus meminta izin dan

meminta kerelaan kepada anak perempuan yang sudah baligh tersebut.

Pendapat tersebut berdasarkan Hadith nabi:

عن ابن عباس أن النبي صلى الله عليه و سلم قال الأيم أحق بنفسها من 18وليها والبكر تستأذن في نفسها وإذنها صماتها. رواه مسلم.

Dari Ibn Abbas, sesungguhnya Nabi Saw. bersabda: “Seorang

janda lebih berhak atas dirinya dari pada walinya, sedangkan

seorang gadis dimintai izin atas dirinya, dan izinnya adalah

dengan diamnya”.

Terkait Hadith di atas, Imam Syafi’i berpendapat rasul membedakan

antara gadis dan janda. Rasulullah memposisikan janda lebih berhak atas

dirinya dari pada walinya dan memposisikan gadis harus dimintai izin

apabila wali hendak menikahkannya. Hadith ini menunjukkan bahwa wali

dianjurkan bermusyawarah terlebih dahulu dan meminta izin kepada anak

gadisnya.19 Hadith di atas juga menunjukkan bahwa bagi seorang janda

ketika hendak menikah maka ia lebih berhak atas dirinya sendiri

dibandingkan dengan walinya. Jika wali pada kelompok ini memaksa mereka

(janda), maka pernikahannya tidak sah (mafsukh). Begitu juga, ketika

ayahnya menikahkan anaknya yang sudah janda tanpa sepengetahuan

mereka, maka pernikahannya tidak sah (mafsukh), baik setelah terjadinya

17 Imam Syafi’i, al ‘Umm, vol. 5,., 18. 18 Imam Muslim, Shahih Muslim, vol. 4, (Bairut: Dar al-Fikr, tt.) 141. 19 Imam Syafi’i, al ‘Umm, vol 5. ...., 19.

Page 10: KEDUDUKAN WALI DALAM PERNIKAHAN (Perspektif Imam Syafi’i

Qurrotul Ainiyah Kedudukan Wali Dalam Pernikahan

116 | Mukammil: Jurnal Kajian Keislaman

Volume III Nomor 2 Septembr 2020 e-ISSN 2620-5122

pernikahan anaknya rela ataupun tidak rela. Implikasinya, di antara kedua

mempelai tidak ada hak saling mewarisi, thalaq (perceraian) tidak berlaku di

antara keduanya dan pernikahannya dihukumi fasid.20

Adapun bagi perawan, ketika walinya hendak menikahkan mereka,

maka ia diperintah untuk meminta persetujuan dari anak gadisnya dengan

bermusyawarah terlebih dahulu. Persetujuan anak gadisnya adalah sikap

diamnya, karena hal itu sudah cukup dapat diartikan sebagai persetujuan

darinya. Dalam pada itu, Imam Syafi’i menguatkan pendapat dengan

menyatakan wali terlebih dahulu disunnahkan musyawarah dengan anak

gadisnya ketika hendak dinikahkan, hal ini berdasar firman Allah QS. Ali

‘Imran (3): 159:

وإ من فول فاعف ا غليظ إلقلب لانفض ليت له ولو كيت فظ ة من إلله فبما زح

ب ي نه إلله إ عل إلله ذإ عزمت فتوكه

تغفر له وشاوزه ف إلمر فا عنه وإس

. إلمتوكب

Maka disebabkan rahmat Allah-lah kamu berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu. Maka ma'afkanlah mereka, mohonkanlah ampun bagi mereka, dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan itu. Maka apabila kamu telah membulatkan tekad, bertawakkallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakkal.21

Namun demikian, jika dalam musyawarah anak gadisnya menolak

maka ayahnya (wali mujbir) masih memiliki hak dan otoritas untuk

menikahkannya, dengan syarat pernikahan tersebut betul-betul dapat

mendatangkan kebaikan untuk anak gadisnya dan tidak mendatangkan

bahaya (al-madharat).22Anak perempuan yang boleh dipaksa menikah oleh

wali mujbir adalah yang masih belum pernah menikah atau gadis, meskipun

sudah baligh. Namun demikian, Imam Syafi’i tetap mengharuskan para wali

bermusyawarah terlebih dahulu dengan anak gadisnya. Adapun bagi

perempuan yang sudah pernah menikah, atau janda, maka wali mujbir tidak

boleh memaksanya, sekalipun umurnya masih kecil.23 Keberadaan dan posisi

20 Imam Syafi’i, al ‘Umm, vol 5. ...., 20. 21 Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya...., 103 22 Imam Syafi’i, al ‘Umm, vol 5. ...., 20. 23 Al-Ghazali, al-Wajiz fi Fiqh Madhhab al-Imam al-Syafi’i, (Bairut: Dar al-Fikr, 2004),

247.

Page 11: KEDUDUKAN WALI DALAM PERNIKAHAN (Perspektif Imam Syafi’i

Qurrotul Ainiyah Kedudukan Wali Dalam Pernikahan

117 | Mukammil: Jurnal Kajian Keislaman

Volume III Nomor 2 Septembr 2020 e-ISSN 2620-5122

wali yang begitu sentral ini memungkinkan terjadinya pemaksaan, sekalipun

dengan syarat-syarat tertentu. Menurut Imam Syafi’i, sebagaimana

penjelasan di atas, seorang ayah atau kakek dari ayah dapat memaksa anak

atau cucu perempuan yang masih gadis untuk menikah dengan laki-laki yang

menjadi pilihannya dengan syarat kufu’ (sepadan), mendatangkan kebaikan

dan tidak mendatangkan bahaya.

Mencermati syarat-syarat yang tersebut di atas dapat diambil

pemahaman bahwa syarat seorang wali memaksa anak perempuannya adalah

mendatangkan kebaikan pada kehidupannya dan tidak mendatangkan

kerusakan dan bahaya. Jika mengacu pada kaidah fikih jalbu al-mashalih

(mendatangkan maslahat) dan dar’u al-mafasid (menolak bahaya) maka

syarat itu dapat berubah sesuai perubahan kemaslahatan dan bahaya yang

ditimbulkan, atau terdapat syarat lain yang perlu ditambahkan dan bisa jadi

ada beberapa syarat yang sudah tidak relevan. Dari syarat yang diajukan

oleh Imam Syafi’i memberi pemahaman bahwa yang menjadi parameternya

adalah kabaikan/kemaslahatan anak perempuan yang hendak dinikahkan

secara ijbar, baik kebaikan di dunianya terutama akhiratnya.

Wali shulthan atau yang sering diistilahkan wali hakim boleh

menikahkan seorang perempuan dalam beberapa keadaan; Pertama, ketika

seorang perempuan tidak memiliki wali. Kedua, ketika wali menghalangi

perempuan yang berada dalam perwaliannya untuk menikah (al-‘adhl). Ketiga, ketika wali menghilang dan tidak diketahui keberadaannya (al-ghaybah).24 Wali shulthan hanya boleh menikahkan perempuan yang sudah

baligh dan tidak diperkenankan menikahkan perempuan yang masih kecil.

Orang yang memiliki hak wali hakim adalah shulthan (penguasa), semisal

pemimpin/ pegawai yang diberi wewenang negara untuk menikahkan

perempuan yang tidak memiliki wali. Jika wali hakim dari negara tidak ada,

maka wali hakim dapat diangkat oleh orang terkemuka atau orang alim di

daerah tersebut. Tata aturan perwalian pada kelompok ini seperti tata aturan

dalam kelompok al-‘Ashubah (saudara dan paman dari jalur ayah).25

B. Wali Nikah dalam Perspektif Imam Hanafi

Abu Hanifah dilahirkan pada tahun 80 Hijriah (696 M) dan meninggal

di Kufah pada tahun 150 Hijriah (767 M). Abu Hanifah hidup selama 52

tahun dalam masa Amawiyah dan 18 tahun dalam masa Abbasi. Maka segala

daya pikir, daya cepat tanggapnya dimiliki di masa Amawi, walaupun

24 Al-Ghazali, al-Wajiz fi Fiqh Madhhab al-Imam al-Syafi’i, ….., 247 25 Al-Ghazali, al-Wajiz fi Fiqh Madhhab al-Imam al-Syafi’i,……, 248.

Page 12: KEDUDUKAN WALI DALAM PERNIKAHAN (Perspektif Imam Syafi’i

Qurrotul Ainiyah Kedudukan Wali Dalam Pernikahan

118 | Mukammil: Jurnal Kajian Keislaman

Volume III Nomor 2 Septembr 2020 e-ISSN 2620-5122

akalnya terus tembus dan ingin mengetahui apa yang belum diketahui,

istimewa akal ulama yang terus mencari tambahan. Apa yang dikemukakan

di masa Amawi adalah lebih banyak yang dikemukakan di masa Abbasi .

Nama beliau dari kecil ialah Nu’man bin Tsabit bin Zauta bin Mah. Ayah

beliau keturunan dari bangsa persi (Kabul-Afganistan), tetapi sebelum beliau

dilahirkan, ayahnya sudah pindah ke Kufah. Oleh karena itu beliau bukan

keturunan bangsa Arab asli, tetapi dari bangsa Ajam (bangsa selain bangsa

arab) dan beliau dilahirkan di tengah-tengah keluarga berbangsa Persia.26

Imam Hanafi yang dikenal sebagai mujahid yang rasional berpendapat

bahwa wali itu dibutuhkan untuk menggantikan seseorang karena

ketidakmampuan dalam bertindak hukum atau karena berstatus sebagai

budak. Artinya jika dia merdeka dan punya kemampuan/cakap dalam

melakukan perbuatan hukum, maka tidak dibutuhkan seorang wali. Jika

seorang perempuan (baik perawan maupun janda) yang sudah baligh, berakal

sehat maka dianggap telah mampu dan memiliki hak untuk melangsungkan

akad nikah atas nama dirinya sendiri tanpa harus diwakili oleh walinya.

Imam Hanafi berpendapat, bahwa wali bukan merupakan rukun yang

harus ada dan bukan persyaratan yang harus terpenuhi untuk sahnya suatu

pernikahan, tetapi hanya sebagai penyempurna perjanjian pernikahan,

kecuali pernikahan perempuan yang belum dewasa dan atau orang gila

meskipun sudah dewasa. Wali hanya menjadi syarat sah bagi pernikahan

orang yang belum dewasa, gila dan budak. Sebaliknya wali tidak diperlukan

lagi bagi pernikahan perempuan mukallaf yang merdeka, sehingga tanpa izin

walinyapun pernikahannya tetap sah. Tetapi si wali berhak untuk menolak

apabila pernikahan tersebut tidak se-kufu’. Argumen tersebut didasari pada

pertimbangan adanya Hadith Nabi yang menyatakan bahwa perempuan

yang janda lebih berhak atas dirinya dari pada walinya. Gadis diminta

perizinannya dan perizinannya adalah diamnya.

Imam Abu Hanifah membedakan perempuan ke dalam 2 kategori yaitu

merdeka dan budak. Perempuan kategori merdeka adalah perempuan secara

umum, sedangkan kategori budak adalah perempuan dalam kondisi khusus.

Maka yang dimaksud hadith yang diriwayatkan oleh Sayyidati Aisyah

sebagai perkawinan yang batal karena tidak ada idzin walinya adalah khusus

bagi perempuan dengan kategori budak, sebab posisi atau kedudukan budak

adalah berada dalam genggaman tangan/kekuasaan tuannya. Sedangkan bagi

perempuan merdeka, apabila sudah dewasa, berakal sehat, gadis maupun

26 Moenawir Chalil, Biografi Empat Serangkai Imam Mazhab Hanafi, Maliki, Syafi’i,

Hambali, (Jakarta: Bulan Bintang, 1955), 19

Page 13: KEDUDUKAN WALI DALAM PERNIKAHAN (Perspektif Imam Syafi’i

Qurrotul Ainiyah Kedudukan Wali Dalam Pernikahan

119 | Mukammil: Jurnal Kajian Keislaman

Volume III Nomor 2 Septembr 2020 e-ISSN 2620-5122

janda, menikah dengan laki-laki sekufu atau tidak sekufu dapat menentukan

dan memilih pasangan hidupnya secara bebas tanpa adanya wali.

Bahkan lebih lanjut Imam abu Hanifah menjelaskan bahwa dalam

QS. Al. Baqarah (2): 232 dan 234 menerangkan perempuan memiliki hak

melakukan akad nikahnya sendiri tanpa adanya wali/wakil sebagaimana

dalam akad jual beli atau yang lainnya. Sedangkan hadith yang

mensyaratkan wali untuk sahnya pernikahan adalah karena adanya kondisi

khusus seperti belum cukup umur, tidak berakal sehat, atau budak.27

ANALISA HASIL PENELITIAN

Berdasarkan uraian di atas dapatlah dianalisa, bahwa prinsip yang

dipakai oleh Imam Syafi’i dalam menetapkan hukum Islam, pertama

memahami ayat-ayat al-Qur’an sebagai sumber hukum islam pertama dan

utama. Kedua mempergunakan akal sebatas pada penggunaan Qiyas yang

berpegangan pada nas, dikarenakan semua permasalahan sebenarnya sudah

ada jawabannya dalam al-Qur’an. Jika nas sudah mengaturnya, maka

penggunaan akal pikiran sudah tidak lagi diperlukan. Walau dikenal sebagai

tokoh moderat (memeadukan wahyu dan akal), tetapi lebih mengutamakan

pada nas yang bertujuan menegakkan otoritas nas yang mencakup seluruh

sendi kehidupan masyarakat, sehingga kemudian beliau dikenal sebagai

nashir al-Sunnah (pembela sunah).

Berdasarkan QS. al-Baqarah (2) : 221, al-Nuur (24):24 serta beberapa

Hadith yang salah satunya diriwayatkan oleh Sayyidati Aisyah, Imam

Syafi’i menjelaskan syarat adanya wali dalam pernikahan, sehingga jika

tidak ada wali, maka pernikahannya tidak sah (batal). Imam Syafi’i

membedakan perempuan dalam perawan dan janda. Jika perawan maka

wajib adanya wali, jika janda tidak harus ada wali. Terhadap perawan, maka

sang wali punya hak penuh meminta persetujuan sang perawan untuk

dinikahkan juga menjadi wali dalam akad nikah. Sedangkan janda lebih

berhak dibandingkan walinya, sang wali tidak boleh menghalang-halangi

sang janda untuk menikah, sebagaimana dalam QS. al-Baqarah (2) : 232 dan

234 juga dalam Hadith dari Ibnu ‘Abbas ;

27 Sofyan A.P.Kau dan Zulkarnain Suleman, Fikih Feminis, Menghadirkan Teks Tandingan,

(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2014), 106.

Page 14: KEDUDUKAN WALI DALAM PERNIKAHAN (Perspektif Imam Syafi’i

Qurrotul Ainiyah Kedudukan Wali Dalam Pernikahan

120 | Mukammil: Jurnal Kajian Keislaman

Volume III Nomor 2 Septembr 2020 e-ISSN 2620-5122

عن إبن عااس أأن إليبي صل الله عليه و سل قال إلأيم أأفق بيفسها من وليا وإلاكر تس تأأذن

ذنها صماتها. زوإه مسل. 28ف نفسها وإ

Dari Ibn Abbas, sesungguhnya Nabi Saw. bersabda: “Seorang janda lebih berhak atas dirinya dari pada walinya, sedangkan seorang gadis dimintai izin atas dirinya, dan izinnya adalah dengan diamnya”.

Sedangkan Imam Hanafi yang dikenal rasional berpendapat bahwa wali

itu mempunyai fungsi mewakili seseorang yang tidak mampu untuk

melaksanakan perbuatan hukum, salah satunya adalah akad. Perempuan dan

laki-laki yang akan menikah yang telah dewasa (cukup umur), berakal sehat

mempunyai hak yang sama untuk melangsungkan akad nikah karena telah

memenuhi persyaratan untukmelakukan perbuatan hukum, maka tidak lagi

diperlukan wali bagi keduanya.

Tentang maksud dalil nas QS. Al-Baqarah (2) : 232, 234, (janganlah

para wali menghalang-halangi), maka Imam Hanafi menisbatkannya dengan

perempuan boleh melakukan akad nikah sebagaimana perempuan juga

diperbolehkan melakukan akad jual beli, akad hutang piutang dan lain

sebagainya. Sedangkan dalam memahami isi Hadith, Imam Hanafi

mengartikan kata imro’ah, dalam 2 kategori yaitu kategori merdeka dan

kategori budak, Perempuan merdeka (baik perawan ataupun janda) yang

telah dewasa mempunyai hak untuk memilih dan menentukan calon

pasangan hidupnya dan melaksanakan akad nikah secara mandiri serta tidak

ada seseorangpun yang mempunyai kewenangan atas dirinya ataupun

menentang atas pilihannya dengan syarat laki-laki yang dipilihnya sekufu

serta maharnya tidak kurang dari mahar mitsil. Sedangkan bagi perempuan

budak (tidak merdeka), maka dia tidak punya hak/kebebasan dalam

melaksanakan perbuatan hukum, karena statusnya dibawah penguasaan

orang lain yaitu tuannya, sehingga jika akan memilih pasangan hidup/suami

harus atas izin tuannya dan jika melaksankan akad nikah harus diwakili oleh

tuannya sebagai walinya. Ini yang dalam ilmu Ushul Fiqih disebut ta’wil dan

takhsish. Pandangan Imam Hanafi tersebut menurut Imam Ghozali batal atau

tidak sah. Karena lafaz imro’ah tersebut lafaz ‘am (umum), yang mencakup

semua berjenis kelamin perempuan, baik perawan maupun janda, merdeka

28 Imam Muslim, Syahih Muslim, vol. 4, (Bairut: Dar al-Fikr, tt.) 141.

Page 15: KEDUDUKAN WALI DALAM PERNIKAHAN (Perspektif Imam Syafi’i

Qurrotul Ainiyah Kedudukan Wali Dalam Pernikahan

121 | Mukammil: Jurnal Kajian Keislaman

Volume III Nomor 2 Septembr 2020 e-ISSN 2620-5122

atau budak, kecil atau dewasa dan lain sebagainya, sehingga tidak boleh

ditakhsis dan diberlakuakn sesuai keumuman lafaz. Apalagi hadith di awali

dengan lafaz ayyuma yang merupakan qarinah yaitu tanda atau alamat atau

indikasi yang menunjukkan pada yang dimaksud hadith tersebut bermakna

semua perempuan secara umum, bukan hanya bermakna perempuan merdeka

dan budak.29

KESIMPULAN

1. Imam Syafi’i berpegangan kepada teks nas al-Qur’an dan Hadith yang

mensyaratkan sahnya pernikahan salah satunya harus adanya wali.

Walaupun wali punya hak atas perwaliannya tetapi tetap dianjurkan

bermusyawarah atau meminta persetujuannya. Kewajiban ada wali

nikah merupakan bentuk rasa tanggung jawab dan perlindungan

kepada perempuan, bukan melemahkan hak perempuan. Pertimbangan

kemaslahatan, maqashid al-syari’ah, akal publik, kearifan lokal tidak

boleh bertentangan dengan teori kemaslahatan dan maqashid al syari’ah yang tidak hanya berdasarkan pertimbangan kebahagiaan

dunia tetapi kebahagiaan di alam akhirat yang selama-lamanya.

2. Keberadaan wali dalam pernikahan menurut Imam Hanafi tidak wajib

jika perempuan itu merdeka, dewasa dan memenuhi persyaratan untuk

melakukan akad / perbuatan hukum, sebagaimana kebolehan

melakukan akad jual beli dan sebagainya. Hal ini dengan dasar

pemikiran bahwa wali itu dibutuhkan karena mewakili seseorang yang

dianggap tidak atau belum punya kecakapan untuk melakukan

perbuatan hukum.

29 Imam Ghazali, Al-Mankhul min Ta’liqat al- Ushul, (Damaskus : Dar al-Fikr, 1980), 180-181

Page 16: KEDUDUKAN WALI DALAM PERNIKAHAN (Perspektif Imam Syafi’i

Qurrotul Ainiyah Kedudukan Wali Dalam Pernikahan

122 | Mukammil: Jurnal Kajian Keislaman

Volume III Nomor 2 Septembr 2020 e-ISSN 2620-5122

DAFTAR PUSTAKA

Ainiyah, Qurrotul, 2015, Keadilan Gender Dalam Islam, Konvensi PBB dalam Perspektif Mazhab Shafi’i, Malang : Intran Publishing.

Al-Thirmizi, al Jami’ al sahih al sunan al Tirmizi, juz 3, Beirut: Dar Ihya’ a;

Turath al Arabiy.

Chalil, Moenawir, 1955, Biografi Empat Serangkai Imam Mazhab Hanafi,

Maliki, Syafi’i, Hambali, Jakarta: Bulan Bintang.

Departemen Agama RI, 1995, Al-Qur’an dan Terjemahnya, Semarang: PT.

Karya Toha Putra.

Ghazali Al-, 2004, al-Wajiz fi Fiqh Madhhab al-Imam al-Syafi’i, Bairut: Dar

al-Fikr.

Hasan, M. Ikbal, 2002, Pokok-Pokok Materi Methodologi Penelitian dan

Aplikasinya, Jakarta: Ghalia Indonesia.

Hanbal, Ahmad bin, 2008, Musnad Ahmad, vol. 4, Riyad: Dar ‘Alam al-

Kutub.

Kau, Sofyan A.P. dan Zulkarnain Suleman, 2014, Fikih Feminis,

Menghadirkan Teks Tandingan, Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Muslim, Imam, Shahih Muslim, vol. 4, Bairut: Dar al-Fikr.

Sekolah Tinggi Ilmu Tarbiyah Al-Urwatul Wutsqo, 2015, Pedoman

Penulisan Skripsi, Jombang: Tim Penyusun

Shafi’i, Muhammad bin Idris Al, 1990, Al Umm, Vol. 5, Bairut: Dar al-Fikr.

Unais, Ibrahim, 1972, al-Mu’jam al-Wasit, vol. 2, Kairo: Dar al-Ma’arif.