Upload
ayu-miftakhun
View
99
Download
0
Embed Size (px)
DESCRIPTION
hgjhgjkhgjk
Citation preview
BAB 1
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Negara Indonesia adalah negara hukum tidak hanya berdasarkan pada kekuasaan belaka,
selain itu juga berdasarkan Pancasila dan Undang Undang Dasar 1945. Hal ini berarti Negara
Indonesia menjunjung tinggi hak asasi manusia dan menjamin segala warga negaranya
bersamaan kedudukannya di dalam hokum dan pemerintahan, serta wajib menjunjung tinggi
hukum dan pemerintahan itu tanpa ada kecualinya. Pernyataan bahwa Indonesia merupakan
negara hukum juga mempunyai konsekuensi, bahwa Negara Indonesia menerapkan hukum
sebagai idiologi untuk menciptakan ketertiban, keamanan, keadilan serta kesejahteraan bagi
warga negara, sehingga hukum itu bersifat mengikat bagi setiap tindakan yang dilakukan oleh
warga negaranya. Negara hukum harus memenuhi beberapa unsur antara lain pemerintah dalam
melaksanakan tugas dan kewajibannya, harus berdasar hukum atau peraturan perundang-
undangan, adanya jaminan terhadap hak asasi manusia, adanya pembagian kekuasaan dalam
Negara, adanya pengawasan dari badan-badan peradilan (Harmien Hardiati, 1984).
Berkaitan dengan unsur di atas, adanya jaminan terhadap hak asasi manusia (HAM),
dapat diartikan bahwa di dalam setiap konstitusi selalu ditemukan adanya jaminan terhadap hak
asasi manusia (warga negara). Perlindungan konstitusi terhadap hak asasi manusia tersebut, salah
satunya adalah perlindungan terhadap nyawa warga negaranya seperti yang tercantum dalam
Pasal 28A Undang Undang Dasar 1945: ”Setiap orang berhak untuk hidup serta berhak
mempertahankan hidup dan kehidupannya”. Nyawa dan tubuh adalah milik manusia yang paling
berharga dan merupakan hak asasi setiap manusia yangdiberikan oleh Tuhan Yang Maha Esa
dan tidak ada seorangpun yang dapat merampasnya (Harmien Hardiati, 1984).
B. Rumusan Masalah
Permasalahan yang akan dibahas dalam makalah ini adalah :
1. Apa pengertian dan konsep dari Hak Asasi Manusia?
2. Bagaimana sejarah perkembangan Hak Asasi Manusia?
3. Apa saja konsep-konsep dan elemen-elemen Negara hukum?
4. Apa pengertian dan hakekat hukum?
5. Apa pengertian perlindungan hukum?
6. Apa hubungan perlindungan hukum terhadap Hak Asasi Manusia?
7. Bagaimana aplikasi perlindungan hukum terhadap Hak Asasi Manusia dalam skala
global dan nasional?’
8. Bagaimana pentingnya reformasi hukum yang ada di Indonesia?
9. Apa saja bentuk dan model pelanggaran hukum di Indonesia?
10. Bagaimana pelaksanaan perlindungan Hak Asasi Manusia di Indonesia?
11. Apa upaya pemerintah Indonesia dalam melakukan perlindungan Hak Asasi
Manusia?
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Dan Hakikat Hukum
Sampai saat ini para ahli hukum sendiri pun masih mencari tentang apa definisi dari
hukum. Membuat definisi hukum tidaklah mudah sehingga tidak mungkin orang dapat membuat
definisi secara memuaskan. Sukarnya membuat definisi ini terbukti dari sejak jaman Romawi
hingga sekarang tidak ada keseragaman di antara para sarjana atau ahli hukum mengenai definisi
hukum.
Metode pendefinisian hukum itu sendiri menurut G.W. Paton (dalam Prof. Dr. Achmad Ali,
SH., M.H.) dapat memilih salah satu dari lima kemungkinan, yaitu :
1. Sesuai sifat-sifatnya yang mendasar, logis, religius, ataupun etis.
2. Menurut sumbernya, yaitu kebiasaan, preseden, atau undang-undang.
3. Menurut efeknya di dalam kehidupan masyarakat.
4. Menurut metode pernyataan formalnya atau pelaksanaan otoritasnya.
5. Menurut tujuan yang ingin dicapainya.
Menrut Prof.Mr.Lj. van Apeldoorn dalam bukunya berjudul “inleiding tot de studie van het
Nederlandse Recth (terjemahan Oetarid Sadino, SH dengan nama “Pengantar Ilmu Hukum”),
bahwa adalah tidak mungkin memberikan definisi tentang apakah yang disebut hukum itu.
Definisi tentang hukum sangat sulit untuk dibuat karena itu tidak mungkin untuk
mengadakannya yang sesuai dengan kenyataan.
Akan tetapi, bayak sarjana hukum mencari suatu batasan tentang hukum namun setiap
pembatasan tentang hukum yang diperoleh belum memberikan kepuasan. Beberapa sarjana
tersebut adalah:
a. Prof.Mr.E.M.Meyers dalam bukunya “De Algemene begrifen van het Burgerlijk Recth”
Hukum ialah semua aturan yang mengandung pertimbangan kesusilaa, ditujukna kepada
tingkah laku manusia dala masyarakat, dan yang menjadi pedoman bagi penguasa-
penguasa negara dalam melakukan tugasnya.
b. Leon Duguit : Hukum ialah aturantigkah laku para anggota masyarakat , aturan yang
daya penggunaannya pada saat tertentu diindahkan oleh masyarakat sebagai jaminan dari
kepentingan bersama dan jika dilanggar, menimbulkan reaksi bersama terhadap orang
yang melakukan pelanggaran itu.
c. Immanuel Kanat : Hukum ialah keseluruhan syarat-syarat yang dengan ini kehendak
bebas dari orang yang atu dapat menyesuaikan diri dengan kehendak bebeas dari orang
lain, menuruti peraturan hukum tentang kemerdekaan.
Adapun sebab mengapa hukum itu sulit diberikan definisi yang tepat ialah karena hukum itu
mempunyai segi dan bentuk yang sangat banyak, sehingga tak mungkin tercakup keseluruhan
segi dan bentuk hukum itu dalam suatu definisi.
Menurut Prof.Muchsin, pada hakekatnya hukum merupakan alat atau sarana untuk
mengatur dan menjaga ketertiban guna mencapai suatu masyarakat yang berkeadilan dalam
menyelengarakan kesejahtraan sosial yang berupa peraturan-peraturan yang bersifat memaksa
dan memberikan sangsi bagi yang menyelengarakannya, baik itu untuk mengatur masyarakat
ataupun aparat pemerintah sebagai penguasa.
Ditambahkan pula oleh Prof. Muchsin, bahwa konsep dasar serta tujuan hukum hanyalah
berbicara pada dua konteks persoalan saja :
1. Konteks yang pertama adalah keadilan yang menyakut tentang kebutuhan masyarakat
akan rasa keadilan di tengah sangking banyaknya dinamika dan konflik di tengah
masyarakat.
2. Konteks yang kedua adalah aspek legalitas menyangkut apa yang disebut dengan hukum
positif, yaitu sebuah aturan yang ditetapkan oleh sebuah kekuasaan negara yang sah
dalam pemberlakuannya dapat dipaksakan atas nama hukum.
Dua konteks persoalan tersebut di atas seringkali terjadi benturan, dimana hukum positif
tidak menjamin sepenuhnya rasa keadilan, dan sebaliknya rasa keadilan seringkali tidak memiliki
kepastian hukum. Untuk mencari jalan tengahnya komprominya adalah bagaimana agar semua
hukum positif ada dan hadir selalu merupakan cermin dari rasa keadilan. Di samping itu hakekat
hukum bertumpu pula pada idea keadilan dan kekuatan moral, idea keadilan tidak pernah lepas
dengan kaitannya sebab membicarakan hukum, jelas atau samar-samar senantiasa merupakan
pembicaraan mengenai keadilan pula. Serupa dengan apa yang di kemukaan oleh Prof. Muchsin,
Theo Huijbers dari tiga tujuan hukum (yaitu kepastian, keadilan, dan kemanfaatan) keadilan
harus menempati posisi yang pertama dan utama dari pada kepastian dan kemanfaatan.
b. Sejarah Perkembangan Hak Asasi Manusia?
Pengertian hak asasi manusia
Berdasarkan Undang-Undang Republik Indonesia nomor 39 tahun 1999, Hak Asasi
Manusia adalah seperangkat hak yang melekat pada hakikat dan keberadaan manusia sebagai
makhluk Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan anugerah-Nya yang wajib dihormati, dijunjung
tinggi dan dilindungi oleh negara, hukum, Pemerintah, dan setiap orang demi kehormatan serta
perlindungan harkat dan martabat manusia. Dimana hak asasi manusia ini juga merupakan hak
dasar yang secara kodrati melekat pada diri manusia, bersifat universal dan langgeng, oleh
karena itu harus dilindungi, dihormati, dipertahankan, dan tidak boleh diabaikan, dikurangi, atau
dirampas oleh siapapun (UU Republik Indonesia, 1999).
Konsep Dasar Hak Asasi Manusia
Hak asasi manusia adalah hak-hak yang dimiliki manusia semata-mata karena ia manusia.
Umat manusia memilikinya bukan karena diberikan kepadanya oleh masyarakat atau
berdasarkan hukum positif, melainkan semata-mata berdasarkan martabatnya sebagai manusia.
Dalam arti ini, maka meskipun setiap orang terlahir dengan warna kulit, jenis kelamin, bahasa,
budaya dan kewarganegaraan yang berbedabeda, ia tetap mempunyai hak-hak tersebut. Inilah
sifat universal dari hak-hak tersebut. Selain bersifat universal, hak-hak itu juga tidak dapat
dicabut (inalienable). Artinya
seburuk apapun perlakuan yang telah dialami oleh seseorang atau betapapun bengisnya
perlakuan seseorang, ia tidak akan berhenti menjadi manusia dan karena itu tetap memiliki hak-
hak tersebut. Dengan kata lain, hak-hak itu melekat pada dirinya sebagai makhluk insane (Smith
RK, 2008).
Asal-usul gagasan mengenai hak asasi manusia seperti dipaparkan di atas bersumber dari
teori hak kodrati (natural rights theory). Teori kodrati mengenai hak itu bermula dari teori
hukum kodrati (natural law theory), yang terakhir ini dapat dirunut kembali sampai jauh ke
belakang hingga ke zaman kuno dengan filsafat Stoika hingga ke zaman modern melalui tulisan-
tulisan hukum kodrati Santo Thomas Aquinas. Hugo de Groot, seorang ahli hukum Belanda yang
dinobatkan sebagai “bapak hokum internasional”, atau yang lebih dikenal dengan nama
Latinnya, Grotius, mengembangkan lebih lanjut teori hukum kodrati Aquinas dengan memutus
asalusulnya yang teistik dan membuatnya menjadi produk pemikiran sekuler yang rasional.
Dengan landasan inilah kemudian, pada perkembangan selanjutnya, salah seorang kaum
terpelajar pasca-Renaisans, John Locke, mengajukan pemikiran mengenai teori hak-hak kodrati.
Gagasan Locke mengenai hak-hak kodrati inilah yang melandasi munculnya revolusi hak dalam
revolusi yang meletup di Inggris, Amerika Serikat dan Perancis pada abad ke-17 dan ke-18
(Smith RK, 2008).
Dalam bukunya yang telah menjadi klasik, “The Second Treatise of Civil Government
and a Letter Concerning Toleration” Locke mengajukan sebuah postulasi pemikiran bahwa
semua individu dikaruniai oleh alam hak yang melekat atas hidup, kebebasan dan kepemilikan,
yang merupakan milik mereka sendiri dan tidak dapat dicabut atau dipreteli oleh negara. Melalui
suatu ‘kontrak sosial’ (social contract), perlindungan atas hak yang tidak dapat dicabut ini
diserahkan kepada negara. Tetapi, menurut Locke, apabila penguasa negara mengabaikan
kontrak sosial itu dengan melanggar hak-hak kodrati individu, maka rakyat di negara itu bebas
menurunkan sang penguasa dan menggantikannya dengan suatu pemerintah yang bersedia
menghormati hak-hak tersebut. Melalui teori hak-hak kodrati ini, maka eksistensi hak-hak
individu yang pra-positif mendapat pengakuan kuat (Smith RK, 2008).
Gagasan hak asasi manusia yang berbasis pada pandangan hukum kodrati itu mendapat
tantangan serius pada abad 19. Edmund Burke, orang Irlandia yang resah dengan Revolusi
Perancis, adalah salah satu di antara penentang teori hak-hak kodrati. Burke menuduh para
penyusun “Declaration of the Rights of Man and of the Citizen” mempropagandakan “rekaan
yang menakutkan mengenai persamaan manusia”. Deklarasi yang dihasilkan dari Revolusi
Perancis itu baginya merupakan “ide-ide yang tidak benar dan harapan-harapan yang sia-sia pada
manusia yang sudah ditakdirkan menjalani hidup yang tidak jelas dengan susah payah.” Tetapi
penentang teori hak
kodrati yang paling terkenal adalah Jeremy Bentham, seorang filsuf utilitarian dari Inggris.
Kritik Bentham yang mendasar terhadap teori tersebut adalah bahwa teori hakhak kodrati itu
tidak bisa dikonfirmasi dan diverifikasi kebenarannya (Smith RK, 2008).
Bentham dengan sinis menertawakan teori hak-hak kodrati itu dengan mengatakan: “Bagi
saya, hak sebagai kata benda (berlawanan dengan kata sifat), adalah anak kandung hukum: dari
hukum riil lahir pula hak-hak riil; namun dari hokum imajiner; hukum kodrati --yang dikhayal
dan direka para penyair, ahli-ahli pidato dan saudagar dalam rupa racun moral dan intelektual--
lahirlah hak-hak rekaan ... Hak-hak kodrati adalah omong kosong yang dungu: hak yang kodrati
dan tidak bisa dicabut adalah omong kosong yang retorik, atau puncak dari omong kosong yang
berbahaya!”.
Lebih lanjut, dalam sebuah risalahnya yang lain, Bentham mengulang kembali cercaan sinisnya
pada teori hak-hak kodrati. Ia menulis, “Bagi saya hak dan hukum merupakan hal yang sama,
karena saya tidak mengenal hak yang lain. Hak bagi saya adalah anak kandung hukum: dari
berbagai fungsi hukum lahirlah beragam jenis hak. Hak kodrati adalah seorang anak yang tidak
pernah punya seorang ayah”. Serangan dan penolakan kalangan utilitarian itu kemudian
diperkuat oleh mazhab positivisme, yang dikembangkan belakangan dengan lebih sistematis oleh
John Austin. Kaum positivis berpendapat bahwa eksistensi dan isi hak hanya dapat diturunkan
dari hukum negara. Satu-satunya hukum yang sahih adalah perintah dari yang berdaulat. Ia tidak
dating dari “alam” atau “moral” (Smith RK, 2008).
Namun demikian, kecaman dan penolakan dari kalangan utilitarian dan positivis tersebut
tidak membuat teori hak-hak kodrati dilupakan orang. Jauh dari anggapan Bentham, hak-hak
kodrati tidak kehilangan pamornya, ia malah tampil kembali pada masa akhir Perang Dunia II.
Gerakan untuk menghidupkan kembali teori hak kodrati inilah yang mengilhami kemunculan
gagasan hak asasi manusia di panggung internasional. Pengalaman buruk dunia internasional
dengan peristiwa Holocaust Nazi, membuat dunia berpaling kembali kepada gagasan John Locke
tentang hak-hak kodrati. “Setelah kebiadaban luar biasa terjadi menjelang maupun selama
Perang Dunia II, gerakan untuk menghidupkan kembali hak kodrati menghasilkan dirancangnya
instrumen internasional yang utama mengenai hak asasi manusia,” tulis Davidson. Hal ini
dimungkinkan dengan terbentuknya Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) pada 1945, segera
setelah berakhirnya perang yang mengorbankan banyak jiwa umat manusia itu (Smith RK,
2008).
Dengan mendirikan PBB, masyarakat internasional tidak ingin mengulang terjadinya
kembali Holocaust di masa depan, dan karena itu “menegaskan kembali kepercayaan terhadap
hak asasi manusia, terhadap martabat dan kemuliaan manusia, terhadap kesetaraan hak-hak laki-
laki dan perempuan, dan kesetaraan negara besar dan kecil”.
Dari sinilah dimulai internasionalisasi gagasan hak asasi manusia. Sejak saat itulah
masyarakat internasional bersepakat menjadikan hak asasi manusia sebagai “suatu tolok ukur
pencapaian bersama bagi semua rakyat dan semua bangsa” (“a commond standard of
achievement for all peoples and all nations”). Hal ini ditandai dengan diterimanya oleh
masyarakat internasional suatu rezim hukum hak asasi manusia internasional yang disiapkan
oleh PBB atau apa yang kemudian lebih dikenal dengan “International Bill of Human Rights”
(Smith RK, 2008).
Dari paparan di atas cukup jelas bahwa teori hak-hak kodrati telah berjasa dalam
menyiapkan landasan bagi suatu sistem hukum yang dianggap superior ketimbang hukum
nasional suatu negara, yaitu norma hak asasi manusia internasional. Namun demikian,
kemunculannya sebagai norma internasional yang berlaku di setiap Negara membuatnya tidak
sepenuhnya lagi sama dengan konsep awalnya sebagai hak-hak kodrati. Substansi hak-hak yang
terkandung di dalamnya juga telah jauh melampaui substansi hak-hak yang terkandung dalam
hak kodrati (sebagaimana yang diajukan John
Locke). Kandungan hak dalam gagasan hak asasi manusia sekarang bukan hanya terbatas pada
hak-hak sipil dan politik, tetapi juga mencakup hak-hak ekonomi, social dan budaya. Bahkan
belakangan ini substansinya bertambah dengan munculnya hak-hak “baru”, yang disebut “hak-
hak solidaritas”. Dalam konteks keseluruhan inilah seharusnya makna hak asasi manusia
dipahami dewasa ini (Smith RK, 2008).
Sejarah (Pemikiran Dan Perkembangan HAM Di Indonesia)
Perkembangan pemikiran HAM di Indonesia mengalami pasang dan surut yang secara
jelas dapat terlihat melalui tabel periodesasi sejarah Indonesia, mulai tahun 1908 hingga
sekarang. Pada dasarnya, konsep HAM bukanlah semata-mata sebagai konsep tentang hak-hak
asasi individual, melainkan juga kewajiban-kewajiban asasi yang menyertainya. Periode
perkembangan HAM di Indonesia dipaparkan sebagai berikut (Kusniati R, 2005):
1. Periode 1908-1945
2. Periode 1945-1950
3. Periode 1950-1959
4. Periode 1959-1966
5. Periode 1966-1998
6. Periode 1998-sekarang
1. Periode 1908-1945
Konsep pemikiran HAM telah dikenal oleh Bangsa Indonesia terutama sejak tahun 1908
lahirnya Budi Utomo, yakni di tahun mulai timbulnya kesadaran akan pentingnya pembentukan
suatu negara bangsa (nation state) melalui berbagai tulisan dalam suatu Majalah Goeroe Desa.
Konsep HAM yang mengemuka adalah konsep-konsep mengenai hak atas kemerdekaan, dalam
arti hak sebagai bangsa merdeka yang bebas menentukan nasib sendiri (the rights of self
determination). Namun HAM bidang sipil, seperti hak bebas dari diskriminasi dalam segala
bentuknya dan hak untuk mengeluarkan pikiran dan pendapat mulai juga diperbincangkan.
Bahkan konsep mengenai hak untuk turut serta dalam pemerintahan telah dikemukakan oleh
Budi Utomo. Perkembangan HAM di Indonesia selanjutnya tumbuh seiring dengan kemunculan
berbagai organisasi pergerakan yang intinya sebagaimana diperjuangkan oleh Perhimpunan
Indonesia yaitu hak menentukan nasib sendiri.. Perkembangan pemikiran HAM mengalami
masa-masa penting manakala terjadi perdebatan tentang Rancangan UUD oleh BPUPKI
(Kusniati R, 2005).
Supomo mengemukakan bahwa HAM berasal dari cara berpikir yang liberal dan
individualistik yang menempatkan warga negara berhadapan dengan negara, dan karena itu,
paham HAM tidak sesuai dengan “ide integralistik dari Bangsa Indonesia”. Menurut Supomo
manusia Indonesia menyatu dengan negaranya dan karena itu tidak masuk akal mau melindungi
individu dari negara. Debat ini muncul kembali pada pertengahan Juli 1945. Sukarno
mengemukakan bahwa keadilan yang diperjuangkan bagi Bangsa Indonesia bukanlah keadilan
individual, melainkan keadilan sosial dan karena itu HAM dan hak-hak dasar warga negara tidak
pada tempatnya dalam UUD. Sebaliknya, Muhammad Hatta dan Muhammad Yamin
memperingatkan bahwa bisa saja negara menjadi negara kekuasaan dan karena itu hak-hak dasar
warga negara perlu dijamin. Akhirnya tercapailah Pasal 28 UUD 1945, dimana hak-hak dasar
demokratis seperti hak untuk berserikat dan berkumpul dan untuk menyampaikan pendapat
diatur.
Hak asasi barulah mendapatkan tempat yang penting utamanya pada masa KRIS 1949
dan UUDS 1950, karena kedua UUD atau konstitusi itu memuat HAM secara terperinci. Hal itu
disebabkan KRIS 1949 dibuat setelah lahirnya Declaration of Human Right 1948, sedangkan
UUDS 1950 adalah perubahan dari KRIS 1949 melalui UU Federal No. 7 tahun 1950 (Kusniati
R, 2005).
2. Periode 1950- 1959
Meskipun usia RIS relatif singkat, yaitu dari tanggal 27 Desember 1949 sampai 17
Agustus 1950, namun baik sistem kepartaian multi partai maupun sistem pemerintahan
parlementer yang dicanangkan pada kurun waktu pertama berlakunya UUD 1945, masih
berlanjut. Kedua sistem yang menumbuhkembangkan sistem politik demokrasi liberal/
parlementer tersebut semakin berlanjut setelah Indonesia kembali menjadi negara kesatuan
dengan berlakunya UUDS 1950 pada periode 17 Agustus 1950-5 Juli 1959. bahkan pada periode
ini suasana kebebasan yang menjadi semanggat demokrasi liberal sangat ditenggang, sehingga
dapat dikatakan bahwa baik pemikiran maupun aktualisasi HAM pada periode ini mengalami
“pasang” dan menikmati “bulan madu”. Karena:
1. semakin banyaknya tumbuh partai politik dengan beragam ideologinya masing-masing;
2. kebebasan pers sebagai salah satu pilar demokrasi betul-betul menikmati kebebasannya;
3. Pemilihan Umum sebagai pilar lain dari demokrasi berlangsung dalam suasana
kebebasan, fair dan demokratis;
4. Parlemen atau Dewan perwakilan rakyat sebagai representasi dari kedaulatan rakyat
menunjukan kinerja dan kelasnya sebagai wakil-wakil rakyat dengan melakukan kontrol
atau pengawasan;
5. Wacana dan pemikiran tentang HAM memperoleh iklim yang kondusif.
Satu hal yang penting adalah bahwa semua partai, dengan pandangan ideologis yang
berbeda-beda, sepakat bahwa HAM harus dimasukan ke dalam bab khusus yang mempunyai
kedudukan sentral dalam batang tubuh UUD.
3. Periode 1959-1966
Memasuki periode kedua berlakunya UUD 1945 yaitu sejak dikeluarkannya Dekrit
Presiden 5 Juli 1959, gagasan atau konsepsi Presiden Soekarno mengenai demokrasi terpimpin
dilihat dari sistem politik yang berlaku yang berada di bawah kontrol/kendali Presiden. Dalam
perspektif pemikiran HAM, terutama hak sipil dan politik, sistem politik demokrasi terpimpin
tidak memberikan keleluasaan ataupun menenggang adanya kebebasan berserikat, berkumpul
dan mengeluarkan pikiran dengan tulisan. Di bawah naungan demokrasi terpimpin, pemikiran
tentang HAM dihadapkan pada restriksi atau pembatasan yang ketat oleh kekuasaan, sehingga
mengalami kemunduran (set back) sebagai sesuatu yang berbanding terbalik dengan situasi pada
masa Demokrasi Parlementer.
4. Periode 1966-1998
Pemberontakan G30S/PKI tanggal 30 September 1966 yang diikuti dengan situasi chaos
mengantarkan Indonesia kembali mengalami masa kelam kehidupan berbangsa. Presiden
Soekarno mengeluarkan Supersemar yang dijadikan landasan hukum bagi Soeharto untuk
mengamankan Indonesia. Masyarakat Indonesia dihadapkan kembali pada situasi dan keadaan
dimana HAM tidak dilindungi. Hal ini disebabkan oleh pemikiran para elite kekuasaan terhadap
HAM. Umumnya era ini ditandai oleh pemikiran HAM adalah produk barat. Pada saat yang
sama Indonesia sedang memacu pembangunan ekonomi dengan mengunakan slogan
“pembangunan” sehingga segala upaya pemajuan dan perlindungan HAM dianggap sebagai
penghambat pembangunan. Hal ini tercermin dari berbagai produk hukum yang dikeluarkan pada
periode ini, yang pada umumnya bersifat restriktif terhadap HAM.
Pada pihak lain, masyarakat umumnya diwakili LSM dan kalangan akademisi
berpandangan bahwa HAM adalah universal. Keadaan minimnya penghormatan dan
perlindungan HAM ini mencapai titik nadir pada tahun 1998 yang ditandai oleh turunnya
Soeharto sebagai Presiden. Periode 1966-1998 ini secara garis besar memiliki karakteristik
tahapan berikut:
Tahap represi dan pembentukan jaringan (repression and activation of network)
Pada tahap ini Pemerintah melakukan represi terhadap segala bentuk perlawanan yang
menyebabkan kelompok tertindas dalam masyarakat menyampaikan informasi ke masyarakat
internasional. Konflik berdarah yang dimulai di Jakarta, ditandai dengan terbunuhnya pada
Jenderal, disusul dengan munculnya konflik langsung yang melibatkan tentara, penduduk sipil
serta orang-orang yang dianggap simpatisan PKI. Pembunuhan, baik dalam bentuk operasi
militer maupun konflik sipil terjadi di hampir seluruh wilayah Indonesia, dengan jumlah korban
yang berbeda di tiap Provinsi. AD secara ressi menyimpulkan bahwa jumlah korban di seluruh
Indonesia 78.000. orang. Ditengah-tengah keprihatinan akan runtuhnya supremasi hukum atas
banyaknya pelanggaran HAM yang terjadi di periode ini, hasil pembentukan jaringan
menampakan hasilnya dengan dibebaskannya hampir seluruh tahanan politik PKI pada tahun
1970-1979.
Tahap Penyangkalan
Tahap ini ditandai dengan suatu keadaan dimana pemerintah otoriter dikritik oleh
masyarakat Internasional atas pelanggaran-pelanggaran HAM yang terjadi, jawaban yang
umumnya diberikan oleh pemerintah adalah bahwa HAM merupakan urusan domestik sehingga
kritikan dianggap sebagai campur tangan terhadap kedaulatan negara. Tampaknya pada masa
penyangkalan ini Pemerintahan Soeharto yang mendasarkan HAM pada konsepsi negara
integralistik yang dikemukakan Supomo, yang tampaknya lebih mengedepankan kewajiban
dibanding hak. Hal ini sebetulnya rancu, karena paham integralistik telah ditolak pada
pembahasan naskah UUD, dan Supomo sendiri akhirnya menerima usul Hatta dan Muhammad
Yamin untuk memasukan hak berserikat, berkumpul dan mengeluarkan pikiran ke dalam UUD.
Kritik internasional yang berlanjut atas berbagai pelanggaran HAM Timor-Timur, kasus Tanjung
Priok, kasus DOM Aceh, kasus Kedung Ombo, peristiwa Santa Cruz coba diatasi dengan
membentuk Komnas HAM pada tahun 1993.
Tahap Konsesi Taktis
Pada tahap ini Pemerintah Orde Baru terdesak dan diterpa krisis moneter pada tahun
1997. Indonesia mulai menerima HAM internasional karena membutuhkan dana untuk
membangun. Pada bagian lain kekuasaan Orde Baru mulai melemah, puncaknya terjadi pada
bulan Mei 1998 yang diwarnai dengan peristiwa berdarah 14 Mei 1998. Demonstrasi mahasiswa
yang terjadi secara besar-besaran telah menurunkan Soeharto sebagai Presiden (Kusniati R,
2005).
Tahap Penentuan
Banyaknya norma HAM internasional yang diadopsi dalam peraturan perundang-
undangan nasional melalui ratifikasi dan institusionalisasi. Beberapa kemajuan dapat dilihat dari
berbagai peraturan perundang-undangan HAM yaitu diintegrasikannya HAM dalam perubahan
UUD 1945 serta dibentuknya peraturan perundangan HAM.
Pertanyaannya sekarang, apakah dengan memadainya instrumen hukum HAM dan
institusionalisasi kelembagaan HAM (Kusniati R, 2005).
c. Konsep Dan Elemen Utama Negara Hukum
Di dalam konsepsi negara hukum terdapat dua macam, yaitu Konsep Rechtsstaat dan
Konsep Rule of Law.
Menurut Sckeltema bahwa terdapat empat unsur/elemen utama dalam negara hukum
Rechtsstaat dan masing-masing unsur utama mempunyai turunannya, yaitu sebagaimana
dikemukaan oleh Azhary, yaitu (Fachruddin, 2004) :
1. Adanya kepastian hukum :
a) Asas legalitas;
b) Undang-undang yang mengatur tindakan yang berwenang sedemikian rupa, hingga warga
dapat mengetahui apa yang dapat diharapkan;
c) Undang-undang tidak boleh berlaku surut;
d) Hak asasi dijamin oleh undang-undang;
e) Pengadilan yang bebas dari pengaruh kekuasaan.
2. Asas persamaan :
a) Tindakan yang berwenang diatur di dalam undang-undang dalam arti materiil;
b) Adanya pemisahan kekuasaan.
3. Asas demokrasi :
a) Hak untuk memilih dan dipilih bagi warga negara;
b) Peraturan untuk badan yang berwenang ditetapkan oleh parlemen;
c) Parlemen mengawasi tindakan pemerintah.
4. Asas pemerintah untuk rakyat :
a) Hak asasi dengan undang-undang dasar;
b) Pemerintahan secara efektif dan efesien.
Sedangkan Konsep The Rule of Law awalnya dikembangkan oleh Albert Venn Dicey
(Inggris). Dia mengemukakan tiga unsur utama The Rule of Law, yaitu (Fachruddin, 2004) :
1. Supremacy of law (supremasi hukum), yaitu bahwa negara diatur oleh hukum, seseorang
hanya dapat dihukum karena melanggar hukum.
2. Equality before the law (persamaan dihadapan hukum), yaitu semua warga Negara dalam
kapasitas sebagai pribadi maupun pejabat Negara tunduk kepada hukum yang sama dan
diadili oleh pengadilan yang sama.
3. Constitution based on individual right (Konstitusi yang didasarkan pada hak-hak
perorangan), yaitu bahwa konstitusi bukanlah sumber tetapi merupakan konsekwensi dari
hak-hak individual yang dirumuskan dan ditegaskan oleh pengadilan dan parlemen hingga
membatasi posisi Crown dan aparaturnya.
Konsep Negara hukum Indonesia berbeda dengan konsep rechtstaat dan rule of
law karena mempunyai latar belakang yang berbeda pula. Konsep negara hukum Indonesia
adalah sebagaimana disebutkan di dalam Pasal 1 ayat (3) Amandemen ketiga UUD 1945 yang
berbunyi : "Negara Indonesia adalah negara hukum" (Fachruddin, 2004).
Istilah negara hukum dalam kepustakaan Indonesia hampir selalu dipadankan dengan
istilah-istilah asing antara lain rechts staat, atat de droit, the state according to law, legal state,
dan rule of law. Notohamijdojo memadankan istilah negara hukum di dalam konstitusi Indonesia
dengan konsep rehtsstaat sebagaimana dalam tulisannya "...negara hukum atau rechtsstaat"
(Notohamidjojo, 1970). Di samping itu, Muhammad Yamin di dalam tulisannya menyebutkan
bahwa "...Republik Indonesia ialah negara hukum (rehtsstaat, government of law)" (Yamin,
1982).
Berbeda dengan pendapat di atas, menurut Philipus M. Hadjon yang lebih mengkritik
terhadap para pakar hukum yang mempersamakan istilah negara hukum dengan
konsep rechtstaat dan konsep the rule of law, dia menyatakan bahwa di dalam sebuah nama
terkandung isi (nomen est omen), negara hukum merupakan sebuah konsep tersendiri yang
dipergunakan oleh negara Indonesia, sehingga tidak bisa dipadankan dengan konsep
rechtsstaat atau konsep the rule of law yang telah mempunyai isi masing-masing yang berbeda.
Pendapat ini tentu dapat difahami mengingat saat ini terdapat 5 (lima) konsep negara hukum
yang dianggap berpengaruh dan telah mempunyai isi yang berlainan, di antaranya
pertama, rechtsstaat yang merupakan konsp yang dikenal di Belanda. Kedua, the rule of
law yang merupakan konsep yang di kenal di negara-negara Anglo-Saxon seperti Inggris,
Amerika Serikat (Fachruddin, 2004).
d. Perlindungan Hukum
Kata perlindungan menurut kamus umum bahasa indonesia berarti tempat berlindung
atau merupakan perbuatan (hal) melindungi , misalnya memberi perlindungan kepada orang yang
lemah. Menurut Sudikno Mertokusumo, yang dimaksud dengan hukum adalah kumpulan
peraturan atau kaedah yang mempunyai isi yang bersifat umum dan normatif, umum karena
berlaku bagi setiap orang dan normatif karena menentukan apa yang seyogyanya dilakukan, apa
yang tidak boleh dilakukan atu harus dilakukan serta menentukan bagaimana caranya
melaksanakan kepatuhan pada kaedah-kaedah. Jadi perlindungan hukum adalah suatu perbuatan
hal melindungi subjek-subjek hukum dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku dan
pelaksanaannya dpat dipaksakan dengan suatu sanksi.
Menurut philipus M.Hadjon negara Indonesia sebagai negara hukum berdasarkan
pancasila haruslah memberikan perlindungan hukum terhadap warga masyarakatnya yang sesuai
dengan pancasila. Oleh karena itu perlindungan hukum berasarkan pancasila berarti pengakuan
dan perlindungan hukum akan harkat dan martabat manusia atas dasar nilai Ketuhanan Yang
Maha Esa, kemanusiaan, persatuan, permusyawaratan serta keadilan sosial. Nilai-nilai tersebut
melahirkan pengakuan dan perlindungan hak asasi manusia dalam wadah negara kesatuan yang
menjunjung tinggi semangat kekeluargaan dalam mencapai kesejahteraan bersama.
Perlindungan hukum di dalam negara yang berdasarkan Pancasila, maka asas yang penting
ialah asas kerukunan berdasarkan kekeluargaan. Asas kerukunan berdasarkan kekeluargaan
menghendaki bahwa upaya-upaya penyelesaian masalah yang berkaitan dengan masyarakat
sedapat mungkin ditangani oleh pihak-pihak yang bersengketa.
e. Aplikasi Perlindungan Hukum Terhadap Hak Asasi Manusia Dalam Skala Global
Dan Nasional
Dalam Piagam Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB), komitmen untuk memenuhi,
melindungi HAM serta menghormati kebebasan pokok manusia secara universal ditegaskan
secara berulang-ulang, diantaranya dalam Pasal 1 (3): ”Untuk memajukan kerjasama
internasional dalam memecahkan masalah-masalah internasional dibidang ekonomi, sosial,
budaya dan kemanusiaan, dan menggalakan serta meningkatkan penghormatan bagi hak asasi
manusia dan kebebasan fundamental bagi semua orang tanpa pembedaan ras, jenis kelamin,
bahasa atau agama …” (Kusumaatmadja, 2003).
Komitmen ini kemudian ditindaklanjuti oleh PBB melalui pembentukan instrumen-
instrumen hukum yang mengatur tentang HAM sebagai berikut:
a. Instrumen Hukum yang Mengikat
- Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (Universal Declaration of Human Rights)
Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM) merupakan langkah besar yang
diambil oleh masyarakat internasional pada tahun 1948. Norma-norma yang terdapat dalam
DUHAM merupakan norma internasional yang disepakati dan diterima oleh negara-negara di
dunia melalui Perserikatan Bangsa-Bangsa. DUHAM merupakan kerangka tujuan HAM yang
dirancang dalam bentuk umum dan merupakan sumber utama pembentukan dua instrumen
HAM, yaitu: Kovenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik serta Kovenan Internasional
tentang Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya. Hak-hak yang terdapat dalam DUHAM merupakan
realisasi dari hak-hak dasar yang terdapat dalam Piagam PBB, misalnya (yang terkait dengan
penegakan hukum) Pasal 3, 5, 9, 10 dan 11. Pasal-pasal tersebut secara berturut-turut
menetapkan hak untuk hidup; hak atas kebebasan dan keamanan diri; pelarangan penyiksaan-
perlakuan-penghukuman lain yang kejam, tidak manusiawi, dan merendahkan martabat manusia;
pelarangan penangkapan sewenang-wenang; hak atas keadilan; hak atas praduga tak bersalah
sampai terbukti bersalah; serta pelarangan hukuman berlaku surut. Secara keseluruhan, DUHAM
merupakan pedoman bagi penegak hukum dalam melakukan pekerjaannya (Kusumaatmadja,
2003).
- Kovenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik (International Covenant on Civil
and Political Rights)
Hak-hak dalam DUHAM diatur secara lebih jelas dan rinci dalam Kovenan Internasional tentang
Hak Sipil dan Politik, yang mulai berlaku secara internasional sejak Maret 1976. Konvenan ini
mengatur mengenai (Kusumaatmadja, 2003). :
- Hak hidup;
- Hak untuk tidak disiksa, diperlakukan atau dihukum secara kejam, tidak manusiawi
atau direndahkan martabat;
- Hak atas kemerdekaan dan keamanan pribadi;
- Hak untuk tidak dipenjara semata-mata atas dasar ketidakmampuan memenuhi kewajiban
kontraktual;
- Hak atas persamaan kedudukan di depan pengadilan dan badan peradilan; dan
- Hak untuk tidak dihukum dengan hukuman yang berlaku surut dalam penerapan hukum pidana.
Kovenan ini telah disahkan oleh lebih dari 100 negara di dunia. Indonesia turut mengaksesinya
atau pengesahannya melalui Undang-Undang No. 12 tahun 2005, sehingga mengikat pemerintah
beserta aparatnya. Pelaksanaan Kovenan ini diawasi oleh Komite Hak Asasi Manusia
(Kusumaatmadja, 2003)..
- Kovenan Internasional tentang Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya (International
Covenant on Economic, Social dan Cultural Rights)
Kovenan ini mulai berlaku pada Januari 1976. Indonesia melalui UU No. 11 tahun 2005
mengesahkannya. Alasan perlunya mempertimbangkan hak-hak dalam Kovenan ini adalah
(Kusumaatmadja, 2003):
- Hukum berlaku tidak pada keadaan vakum. Aparat penegak hukum dalam melaksanakan
tugasnya tidak lepas dari masalah ekonomi, sosial, dan budaya masyarakat.
- Asumsi bahwa hak ekonomi dan hak sosial tidak penting diterapkan dalam pekerjaan sehari-
hari adalah tidak benar, karena dalam hak ekonomi terdapat prinsip non-diskriminasi dan
perlindungan terhadap penghilangan paksa.
- Hak-hak yang dilindungi oleh dua Kovenan diakui secara universal sebagai sesuatu yang saling
terkait satu sama lain.
Seperti halnya Kovenan tentang Hak Sipil dan Politik, Kovenan ini dalam pelaksanaannya juga
diawasi oleh suatu Komite (Komite tentang Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya).
- Konvensi Genosida (Convention on the Prevention and Punishment of the Crime of
Genocide)
Kovensi ini mulai berlaku pada Januari 1951. Indonesia melalui UU No. 26 tahun 2000
tentang Pengadilan HAM menetapkan genosida sebagai salah satu pelanggaran HAM berat.
Konvensi ini menetapkan Genosida sebagai kejahatan internasional dan menetapkan perlunya
kerjasama internasional untuk mencegah dan menghapuskan kejahatan genosida
(Kusumaatmadja, 2003)..
· Konvensi Menentang Penyiksaan (Convention against Torture and Other Cruel, Inhuman
or Degrading Treatment or Punishment)
Konvensi Menentang Penyiksaan dan Perlakuan atau Penghukuman Lain yang Kejam,
Tidak Manusia dan Merendahkan Martabat Manusia (Kovensi Menentang Penyiksaan) mulai
berlaku sejak Januari 1987. Indonesia mesahkan Konvensi ini melalui UU No. 5 tahun 1998.
Kovensi ini mengatur lebih lanjut mengenai apa yang terdapat dalam Kovenan tentang Hak Sipil
dan Politik. Konvensi ini mewajibkan negara untuk mengambil langkah-langkah legislatif,
administrasi, hukum, atau langkah-langkah efektif lainnya guna: 1) mencegah tindak penyiksaan,
pengusiran, pengembalian (refouler), atau pengekstradisian seseorang ke negara lain apabila
terdapat alasan yang cukup kuat untuk menduga bahwa orang tersebut akan berada dalam
keadaan bahaya (karena menjadi sasaran penyiksaan), 2) menjamin agar setiap orang yang
menyatakan bahwa dirinya telah disiksa dalam suatu wilayah kewenangan hukum mempunyai
hak untuk mengadu, memastikan agar kasusnya diperiksa dengan segera oleh pihak-pihak yang
berwenang secara tidak memihak, 3) menjamin bahwa orang yang mengadu dan saksi-saksinya
dilindungi dari segala perlakuan buruk atau intimidasi sebagai akibat dari pengaduan atau
kesaksian yang mereka berikan, 4) menjamin korban memperoleh ganti rugi serta (hak untuk
mendapatkan) kompensasi yang adil dan layak. Konvensi ini dalam pelaksanaannya diawasi oleh
Komite Menentang Penyiksaan (CAT), yang dibentuk berdasarkan aturan yang terdapat
didalamnya (Kusumaatmadja, 2003).
- Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminsasi Rasial (International Convention
on the Elimination of All Forms of Racial Discrimination)
Konvensi ini mulai berlaku sejak Januari 1969 dan disah oleh Indonesia melalui UU No.
29 tahun 1999. Terdapat larangan terhadap segala bentuk diskriminasi rasial dalam bidang
politik, ekonomi, sosial dan budaya. Selain itu, Konvensi ini juga menjamin hak setiap orang
untuk diperlakukan sama di depan hukum tanpa membedakan ras, warna kulit, asal usul dan suku
bangsa. Konvensi ini juga membentuk Komite Penghapusan Diskriminasi Rasial, yang
mengawasi pelaksanaannya (Kusumaatmadja, 2003)..
- Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan (Convention
on the Elimination of All Forms of Discrimination against Women)
Kovensi ini mulai berlaku sejak September 1981 dan dirafikasi oleh Indonesia melalui
UU No. 7 tahun 1984. Sejak pemberlakuannya, konvensi ini telah menjadi instrumen
internasional yang menghapuskan diskriminasi terhadap perempuan dalam bidang politik,
ekonomi, sosial budaya, dan sipil. Konvensi ini mensyaratkan agar negara melakukan segala cara
yang tepat dan tanpa ditunda-tunda untuk menjalankan suatu kebijakan yang menghapus
diskriminasi terhadap perempuan serta memberikan kesempatan kepada mereka untuk
mendapatkan HAM dan kebebasan dasar berdasarkan kesetaraan antara laki-laki dan perempuan.
Dalam pelaksanaannya, Konvensi ini juga mengatur mengenai pembentukan Komite
Penghapusan Diskriminasi terhadap Perempuan (CEDAW) (Kusumaatmadja, 2003)..
- Konvensi Hak Anak (Convention on the Rights of the Child)
Konvensi Hak Anak mulai berlaku sejak September 1990 dan disahkan oleh Indonesia
melalui Keppres No. 36 tahun 1990. Dalam Konvensi ini negara harus menghormati dan
menjamin hak bagi setiap anak tanpa diskriminasi ras, warna kulit, jenis kelamin, bahasa, agama,
pendapat politik atau pendapat lainnya, kewarganegaraan, asal usul kebangsaan atau sosial,
kekayaan, kecacatan, kelahiran atau status lain. Negara juga harus mengambil langkah-langkah
yang layak untuk memastikan bahwa anak dilindungi dari segala bentuk diskriminasi atau
hukuman yang didasarkan pada status, kegiatan, pendapat yang disampaikan, atau kepercayaan
orang tua anak, walinya yang sah, atau anggota keluarganya . Konvensi ini juga membentuk
Komite Hak Anak (CRC) untuk mengawasi pelaksanaan isi Konvensi (Kusumaatmadja, 2003)..
- Konvensi Mengenai Status Pengungsi (Convention relating to the Status of Refugees)
Konvesi ini mulai berlaku sejak April 1954. Indonesia belum mesahkan Konvensi ini
walaupun menghadapi banyak masalah pengungsi. Pengungsi dibedakan dengan
istilah “internaly displaced person” atau pengungsi yang berpindah daerah dalam satu negara.
Pengungsi dalam konvensi ini didefinisikan sebagai mereka yang meninggalkan negaranya
karena takut disiksa atas alasan ras, agama, kebangsaan, opini politik atau keanggotaan pada
kelompok tertentu, tidak bisa atau tidak mau pulang karena ketakutan. Kovensi Pengungsi
menentukan empat prinsip HAM dalam menangani pengungsi, yaitu: persamaan hak, tidak
adanya pengasingan terhadap hak-hak mereka, universalitas dari hak-hak mereka, serta hak
untuk mencari dan mendapatkan suaka dari penghukuman (Kusumaatmadja, 2003).
b. Instrumen Hukum yang Tidak Mengikat
- Pedoman Berperilaku bagi Penegak Hukum (Code of Conduct for Law Enforcement
Officials)
Majelis Umum PBB pada tahun 1979 mengeluarkan resolusi 34/169 tentang Pedoman
Pelaksanaan Bagi Penegak Hukum. Pedoman ini memberikan arahan bagi penegak hukum dalam
menjalankan tugasnya.
Terdapat delapan pasal yang mengatur mengenai tanggung jawab penegak hukum yaitu,
perlindungan HAM, penggunaan kekerasan, penanganan terhadap informasi rahasia, pelarangan
penyiksaan-perlakuan-penghukuman lain yang kejam, tidak manusiawi dan merendahkan
martabat manusia, perlindungan kesehatan tahanan, pemberantasan korupsi, serta penghargaan
terhadap hukum dan undang-undang (Kusumaatmadja, 2003)..
- Prinsip-Prinsip Dasar Mengenai Penggunaan Kekerasan dan Senjata Api (Basic
Principles on the Use of Force and Firearms by Law Enforcement Officials)
Prinsip-prinsip ini diadopsi oleh PBB pada tahun 1990, menekankan bahwa penggunaan
kekerasan dan senjata api hanya dapat dilakukan jika diperlukan serta sesuai dengan tugas pokok
maupun fungsi yang diatur oleh peraturan perundangan (Kusumaatmadja, 2003)..
- Deklarasi Mengenai Penghilangan Paksa (Declaration on the Protection of All Persons
from Enforced Disappearance)
Deklarasi ini diadopsi oleh Majelis Umum PBB pada Desember 1992. Di dalamnya
terdapat 21 (dua puluh satu) pasal yang mengatur mengenai pencegahan tindakan penahanan
tanpa tujuan yang jelas atau sebagai tindakan kejahatan terhadap kemanusiaan. Deklarasi ini
mensyaratkan adanya langkah-langkah legislatif, administrasi, hukum, maupun langkah-langkah
efektif lainnya untuk mencegah dan menghapuskan tindakan penghilangan paksa
(Kusumaatmadja, 2003).
- Deklarasi Penghapusan Diskriminasi terhadap Perempuan (Declaration on the
Elimination of Violence against Women)
Perserikatan Bangsa-Bangsa pada tahun 1967 telah mengadopsi Deklarasi mengenai
Penghapusan Diskriminasi terhadap wanita. Deklarasi tersebut memuat hak dan kewajiban
wanita berdasarkan persamaan hak dengan pria, serta menyatakan agar diambil langkah-langkah
seperlunya untuk menjamin pelaksanaannya. Deklarasi ini menjadi dasar dalam penyusunan
rancangan Konvensi tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Wanita
(Kusumaatmadja, 2003).
- Deklarasi Mengenai Pembela HAM (Declaration on Human Rights Defender)
Deklarasi ini diadopsi oleh Majelis Umum PBB pada tahun 1998. Deklarasi Pembela
HAM memberikan perlindungan bagi para pembela HAM dalam melakukan kegiatan mereka.
Deklarasi ini tidak membentuk hak-hak baru tetapi lebih pada memberikan panduan bagi para
pembela HAM terkait dengan pekerjaan mereka. Digarisbawahi tugas-tugas negara dalam
pemenuhan HAM, serta tanggung jawab yang harus dilakukan oleh para pembela HAM,
disamping juga menjelaskan hubungan antara HAM dan hukum nasional suatu negara.
Ditegaskan agar para pembela HAM melakukan aktivitasnya dengan cara-cara damai
(Kusumaatmadja, 2003).
- Prinsip-prinsip tentang Hukuman Mati yang Tidak Sah, Sewenang-sewenang dan
Sumir(Principles on the Effective Prevention and Investigation of Extra-legal, Arbitrary
and Summary Executions )
Prinsip-prinsip tentang Pencegahan dan Penyelidikan Efektif terhadap Hukuman Mati
yang Tidak Sah, Sewenang-sewenang dan Sumir merupakan prinsip-prinsip yang
direkomendasikan oleh Dewan Ekonomi dan Sosial PBB pada bulan Mei 2003. Prinsip-prinsip
ini memberikan panduan bagi penegak hukum dalam mengadili para pelaku tindak pidana.
Prinsip-prinsip ini menekankan pentingnya pengawasan (termasuk kejelasan dalam rantai
komando) terhadap lembaga-lembaga penegak hukum. Prinsip-prinsip ini juga mejelaskan secara
rinci mengenai jaminan terhadap pemenuhan hak untuk hidup (Kusumaatmadja, 2003).
4. Pengawasan terhadap Pemenuhan HAM
Pengawasan HAM dibagi dua, yaitu pengawasan di tingkat nasional dan tingkat
internasional. Di tingkat nasional, pengawasan dilakukan antara lain oleh (Budiardjo, 1989):
· Lembaga pemerintah termasuk Polisi;
· Komisi Nasional HAM, Komnas Perempuan dan Komnas Anak;
· Lembaga Swadaya Masyarakat;
· Pengadilan;
· Dewan Perwakilan Rakyat;
· Media Masa;
· Organisasi Profesi seperti IDI dan Peradi;
· Organisasi Keagamaan;
· Pusat Kajian di Universitas.
Adapun pengawasan di tingkat internasional atau PBB didasarkan pada perjanjian internasional
mengenai HAM (El-Muhtaj, 2005):
Perjanjian Hak Asasi Manusia (Instrumen) Badan Pengawas Pelaksanaan
Perjanjian
Kovenan Internasional tentang Hak Ekonomi, Sosial
dan Budaya (International Covenant on Economic,
Social dan Cultural Rights)
Komite Hak Ekonomi, Sosial dan
Budaya (Committee on EconomicSocial
and Cultural Rights)
Kovenan Internasional tentang Hak Sipil dan
Politik(International Covenant on Civil and
Political Rights)
Komite Hak Asasi Manusia
(HumanRights Committee)
Konvensi Internasional tentang Penghapusan Bentuk
Diskriminasi Ras
Komite Penghapusan Diskriminasi Ras
(Committee
on EliminationRacial Discrimination)
Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi
terhadap Perempuan (Convention on the Elimination
of All Forms of Discrimination against Women)
Komite Penghapusan Diskriminasi
terhadap Perempuan (Committee
onEliminations Discrimination Against
Women)
Konvensi menentang Penyiksaan dan Perlakuan atau
Penghukuman Lain yang Kenjam, Tidak Manusiawi
dan Merendahkan Martabat Manusia (Convention
against Torture and Other Cruel, Inhuman or
Degrading Treatment or Punishment)
Komite Menentang Penyiksaan
(Committee on Against Torture)
Konvensi Hak Anak ( Convention on the Rights of
the Child)
Komite Hak Anak (Committee on
Rights of the Child)
Setiap perjanjian internasional HAM mempunyai sistem pengawasan yang berbeda-beda.
Walaupun sistem pengawasan dari setiap konvensi mengenai HAM berbeda-beda tetapi satu
dengan yang lainnya saling melengkapi. Pengawasan ini berfungsi untuk mengiventarisasi secara
periodik dan sistematik terhadap kemajuan yang telah dicapai oleh negara-negara terkait dengan
pelaksanaan kewajiban yang terdapat di dalam konvensi. Pengawasan ditujukan agar terjadi
dialog antara komite HAM terkait dengan negara-negara peserta yang bertujuan untuk membantu
transformasi konvensi HAM internasional kedalam perundang-undangan nasional serta
membantu pelaksanaan kewajiban yang harus dilakukan oleh negara. Dialog ini dilakukan secara
terbuka antara Komite dan wakil dari negara (Shearer, 1984).
B. Mengitegrasikan Instrumen Hukum Ham Internasional Ke Dalam Hukum Nasional
1. Teori Hubungan antara Hukum Internasional dan Hukum Nasional
Dalam Pasal 27 dari Konvensi Wina 1969 tentang Hukum Perjanjian Internasional (the
Law of the Treaties) ditegaskan bahwa negara tidak dapat menjadikan hukum nasionalnya
sebagai alasan untuk tidak dapat menjalankan kewajiban perjanjian internasional. Pada sisi lain
negara mempunyai kebebasan untuk menentukan acuannya dalam melaksanakan kewajibannya
dalam hukum internasional dan menyesuaikan hukum nasionalnya dengan hukum internasional.
Walaupun dalam sistem hukum internasional dan sistem nasional terdapat perbedaan yang sangat
jelas, tetapi juga terdapat kesamaan pada sisi lain, untuk itu maka sebaiknya aparat penegak
hukum, sebagai bagian dari negara, harus mengetahui dengan baik bagaimana hubungan antara
hukum internsional dengan hukum nasional negara yang bersangkutan (Sentra HAM, 2003).
Terdapat dua teori untuk menjelaskan hubungan antara hukum internasional dan hukum
nasional, agar negara dapat menyesuaikan hukum nasionalnya dengan kewajibannya di dalam
hukum internsional. Kedua teori terseubut adalah sebagai berikut:
1. Teori monoisme, didasarkan pada pemikiran bahwa hukum nasional dan hukum internasional
adalah satu kesatuan sistem hukum. Dengan demikian maka jika suatu negara telah meratifikasi
dan menjadi pihak dalam perjanjian internasional untuk melindungan HAM, maka secara
otomatis perjanjian internasional itu menjadi hukum nasionalnya (Kusumaatmadja, 2003).
2. Teori dualisme, didasarkan pada pemikiran bahwa hukum internasional dan hukum nasional
merupakan dua sistem atau perangkat hukum yang terpisah. Sehingga untuk menerapkan hukum
internasional yang melindungi HAM, misalnya, ratifikasi saja tidak cukup, perlu adanya suatu
transformasi hukum internasional ke dalam hukum nasional, yang biasanya dilakukan melalui
undang-undang yang dibuat oleh parlemen (Kusumaatmadja, 2003)
Dalam menerapkan kedua teori tersebut negara dapat mempraktekkannya dalam berbagai
macam cara untuk menjadi hukum nasional, diantaranya adalah (Kusumaatmadja, 2003) :
1. Konstitusi, dengan menyebutkan perlindungan HAM dalam pasal-pasal yang ada di dalam
undang-undang dasar yang diambil dari DUHAM, ICCPR atau ICESCR;
2. Perundang-undangan nasional, mengeluarkan undang-undang mengenai HAM yang
menjelaskan lebih terperinci mengenai HAM yang ada di dalam konstitusi;
3. Inkorporasi, dengan menjadikan perjanjian internasional mengenai HAM menjadi hukum
nasionalnya sehingga segala hak dan kewajiban yang ada dalam hukum internasional menjadi
hak dan kewajiban di dalam hukum nasionalnya. Praktek ini biasa dilakukan olen negara Inggris;
4. Pemberlakuan secara langsung, perjanjian internasional mengenai HAM langsung menjadi
hukum nasional setelah negara yang bersangkutan menyatakan ratifikasi atas perjanjian
internasional tersebut;
5. Interpretasi dalam sistem common law, dalam penerapan prinsip ini hakim dapat mendasarkan
putusannya pada interpretasi atas hukum HAM internasional atau yurisprudensi kasus-kasus
HAM diputus oleh pengadilan internasional;
6. Jika terdapat kekosongan hukum, dibeberapa negara, jika terjadi kekosongan hukum mengenai
HAM, hakim dan advokat dapat mendasarkan pada hukum internasional, putusan kasus-kasus
internasional atau pada kasus-kasus dari negara lain untuk dapat menerapkan prinsip dasar dari
HAM. Tetapi hal ini sangat bergantung pada situasi dan kondiri hukum dari negara yang
bersangkutan.
2. Praktik Pengitegrasian Perjanjian Internasional ke dalam Hukum Nasional di Indonesia
Di Indonesia pratik pengesahan atau pemberlakuan hukum internasional ke dalam hukum
nasional di dasarkan atas Undang Undanga No. 24 tahun 2000 mengenai Perjanjian
Internasional. Indonesia adalah negara yang menganut paham dualisme, hal ini terlihat dalam
Pasal 9 ayat 2 UU No. 24 tahun 2000, dinyatakan bahwa, ”Pengesahan perjanjian internasional
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan dengan undang-undang atau keputusan
presiden.” (Sentra HAM, 2003).
Dengan demikian pemberlakuan perjanjian internasional ke dalam hukum nasional
indonesia tidak serta merta. Hal ini juga memperlihatkan bahwa Indonesia memandang hukum
nasional dan hukum internasional sebagai dua sistem hukum yang berbeda dan terpisah satu
dengan yang lainnya. Perjanjian internasional harus ditransformasikan menjadi hukum nasional
dalam bentuk peraturan perundang-undangan melalui undang-undang yang dibuat oleh Dewan
Perwakilan Rakyat (DPR) atau dengan keputusan presiden (Sentra HAM, 2003).
Pengesahan perjanjian internasional dilakukan melalui undang-undang apabila berkenaan dengan
(Sentra HAM, 2003):
a. masalah politik, perdamaian, pertahanan, dan keamanan negara
b. perubahan wilayah atau penetapan batas wilayah negara
c. kedaulatan atau hak berdaulat negara
d. hak asasi manusia dan lingkungan hidup
e. pembentukan kaidah hukum baru
f. pinjaman dan/atau hibah luar negeri.
Perjanjian internasional yang tidak disebutkan di atas dapat disahkan melalui keputusan
presiden, tanpa perlu adanya persetujuan dari parlemen. Dengan demikian pemberlakuan
perjanjian internasional mengenai HAM kedalam hukum internasional perlu adanya pengesahan
dari parlemen agar dapat ditransformasikan ke dalam hukum nasional Indonesia (Sentra HAM,
2003).
f. Perlindungan Hak Asasi Manusia Di Indonesia
Pembicaraan tentang Hak Asasi Manusia (HAM) mengalami perkembangan yang amat
pesat. Pada era reformasi, setiap langkah strategis bangsa Indonesia selalu dikaitkan dengan hak
asasi manusia. Penegakan, perlindungan, penghormatan, pemenuhan, pemajuan hak asasi
manusia telah menjadi komitmen Negara, pemerinta dan masyarakat Indinesia yang diwujudkan
dalam bentuk pemberdayaan institusi dan konstitusi.
Hak-hak setiap orang harus dilindungi dengan undang-undang, tidak seorang pun boleh
dirampas kehidupannya secara sengaja, kecuali dalam pelaksanaan hukum oleh pengadilakn
setelah ia diadili untuk suatu kejahatan yang diancam dengan hukuman berdasarkan undang-
undang.
Berdasarkan Undang-Undang Repiblik Indonesia Nomor 39 tahun 1999 tentang Hak
Asasi Manusia Ketentuan Umum pasal 1, Hak Asasi Manusia adalah seperangkat hak yang
melekat pada hakekat keberadaan manusia sebagai mahluk Tuhan Yang Maha Esa dan
merupakan anugerah-Nya yang wajib di hormati, dijunjung tinggi dan dilindungi oleh Negara,
hukum, pemerintah dan setiap orang demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat
manusia.
Dalam Undang-undang No 39 tahun 1999 Pasal 3 tersebut juga menyatakan bahwa setiap
orang berhak atas pengakuan dan perlakuan hukum yang adil serta mendapat kepastian hukum
dan perlakuan yang sama di depan hukum. Pada pasal 5 juga menjelaskan bahwa setiap orang
diakui sebagai pribadi yang berhak menuntut dan memperoleh perlakuan serta perlindungan
yang sama didepan hukum, berhak mendapat perlindungan dan bantuan keadilan. Pasal 7
ditambahkan juga bahwa setiap orang berhak menggunakan semua upaya hukum nasional dan
forum internasional atas semua pelanggaran HAM yang dijamin oleh hukum Indonesia dan
internasional.
Pemerintah, masyarakat dengan berlandaskan undang-undang wajib melindungi dan
menjunjung tinggi HAM, sehingga prinsip-prinsip, manfaat dan kesederajatan yang melekat pada
semua umat manusia terlaksana dengan baik, sehingga tidak ada lagi diskriminasi. Maka dari itu
guna mewujudkan perlindungan HAM bagi setiap individu maka dibentuklah Komnas HAM.
Dalam UU No 39 th 1999 menyebutkan bahwa Komnas HAM bertujuan untuk menciptakan
pelaksanaan perlindungan HAM berdasarkan Pancasila, UUD 1945, Piagam Perserikatan
Bangsa-bangsa dan meningkatkan perlindungan dan penegakan HAM guna mengembangkan
pribadi manusia Indonesia. Komnas HAM melaksanakan fungsi pengkajian, penelitian,
penyuluhan dan mediasi tentang hak asasi manusia.
g. Upaya Pemerintah Indonesia Dalam Melakukan Perlindungan HAM
Pelaksanaan perlindungan HAM di masing-masing negara di dunia sangat berlainan
antara negara yang satu dengan negara lainnya menngingat adanya 4 kelompok pandangan
tentang HAM, dimana masing-masing kelompok pandangan tentang HAM ini juga ada
penganutnya di Indonesia, ialah sebagai beriikut (Winandi,2011) :
1. Pandangan universal absolut
Pandangan ini memandang HAM sebagai nilai-nilai universal sebagaimana dirumuskan
dalam dokumen-dokumen HAM internasional seperti The International Bill og Human
Right. Dalam hal ini profil sosaila budaya yang melekat pada masing-masing bangsa
tidak diperhitungkan. Penganut pandangan ini adalah negara-negara maju dan bagi
negara-negara berkembang mereka dinilai eksploitatif, karena menerapkan HAM sebgai
alat penekan dan sebagai instrumen penilai (tool of judgement)
2. Pandangan universal relatif
Pandangan ini melihat persoalan HAM sebagai masalah universal, namun demikian
perkecualian dan pembatasan yang didasarkan atas asas-asas hukum internasional tetap
diakui keberadaannya.
3. Pandangan partikularistik absolut
Pandangan ini melihat HAM sebgai persoalan masing-masing bangsa, tanpa memberikan
alasan yang kuta, khususnya dalam melakukan peno;akan terhdap berlakunya dokumen-
dokumen internasional. Pandangan ini seringakali menimbulkan kesan chauvinis, egois,
defensif dan pasif tentang HAM.
4. Pandangan partikularistik relatif
Dalam pandangan ini HAM dilihat di smaping sebagai maslah universal juga merupakan
masalah nasional masing-masing bangsa. Berlakuknya dokumen-dokumen HAM harus
diselaraskan, diserasikan, dan diseimbangkan serta memperoleh dukungan budaya
bangsa. Pandangan ini tidak hanya menjadikan kekhususan yang ada pada masing-
masing bangsa sebagai sarana untuk bersikap defensif, tetapi di lain pihak juga aktif
berusaha mencari perumusan dan pembenaran terhadap karakteristik HAM yang
dianutnya.
Dengan adanya pengoolongan pandangan tentang HAM sebagaimana telah diuraikan
diatas, Indonesia sebagai salah satu negara yang sedang berkembang merupakan penganut dari
pandangan yang ke -4, yaitu pandangan partikularistik relatif. Hal ini terlihat dalam tindakan-
tindakan yang dilakukan oleh Pemerintah dalam merespon beberapa konvensi internasional yang
memuat perlindungan terhadap HAM, sebagai contoh ialah sikap pemerintah Indonesai yang
belum meratifikasi Konvensi Internasional tahun 1984 tentang Konvensi Anti Penyiksaan.
(winandi, 2011)
Guna mendukung kebijakan pemerintah untuk menegakkan perlindungan HAM maka
pada tahun 1993, pemerintah mengeluarkan Keppres No. 50 tahun 1993 tentang pembentukan
Komisi Nasional HAM (Komnas HAM) yang merupakan variabel kondusif tersendiri, sekalipun
banyak pula kritij yang terlontar. Komnas HAM ini mempunyai tugas-tugas sebagai berikut
(Winandi, 2011):
- Menyebarluaskan wawasan nasional dan internasional mengenai Ham, baik kepada
masyarakat Indonesia maupun masyarakt internasional
- Mengkaji berbagai instrumen PBB tentang HAM dengan memberikan saran tentang
kemungkinan aksesi dan ratifikasi
- Memantau dan menyelidiki oelaksanaan HAM, serta memberikan pendapat,
pertimbangan, dan saran kepada instansi pemerintah tentang pelaksanaan HAM dan
Mengadakan kerja sama regional dan internasional di bidang HAM
Setelah membentuk Komnas HAM, pemerintah Indonesia melakukan ratifikasi beberapa
dokumen internasional yang terkait dengan pelanggaran HAM seperti konvvensi anti
penyiksaaan dan juga konvensi tentang pembentukan Mahkamh Pidana Internasional
(ICC/International Criminal Court) guna mengantisipasi pelaku kejahatan internasional yang
tidak tersentuh oleh hukum nasional (Winandi, 2011).
Adapun bentuk-bentuk kejahatan yang dapat diajukan kepada Mahkamah Pidana
internasional (ICC) adalah sebagai berikut (Winandi, 2011):
1. Genocide
2. Aggresion
3. War crimes
4. Crimes Against Humanity
5. Treaty based crimes
Setelah pemerintah melakuakn ratifikasi terhadap beberapa instrumen dan dokumen
internasional yang berkaitan dengan perlindungan HAM dengan cara mengaturnya ke dalam
keputusan presiden ataupun suatu undang-undang, sehubungan dengan rencana pemerintah yang
akan meratifikasi Convention Againts Torture and Other Cruel, Inhuman or Degrading or
Punishment dan konvensi tentang race discrimination(Winandi, 2011).
Mengenai rencana Indonesia untuk meratifikasi Convention Againts Torture and Other
Cruel, Inhuman or Degrading or Punishment ini terdapat empat alasan kuat yang dapat
mendukung rencan Indonesia untuk meratifikasi salah satu dokumen tentang perlindungan
terhadap HAM, yaitu(Winandi, 2011):
1. Komitmen Indonesia untuk menghormati hak-hak asasi manusia dan untuk turut serta
menciptakan perdamaian dunia berdasarkan prinsip keadilan dan kemersekaan,
seperti diamnahkan Pembukaan UUD 1945. Di samping itukomitmen sebagai negara
hukum, yang mengharuskan untuk membangun hukum yang berkeadilan sosial dan
melindungi hak-hak asai manusia.
2. Karena Indonesia baru meratifikasi empat konvensi dari 30 konvensi PBB, jumlah itu
sangat sedikit.
3. Penghormatan terhadap HAM merupakan Conditio Sine Quanon bagi negara-negar
yang ikut serta dalam pergaulan tata internasional.
4. Realitas perlindungan HAM di Indonesia masih diwarnai dengan tindakan kekerasan
sehingga diharapkan dengan ratifikasi konvensi anti penyiksaan kita daapt
menyempurnakan sistem peradilan pidana.
Berbagai kegiatan di masyarakat yang dapat dimasukan dalam upaya perlindungan HAM
menurut Lukman Soetrisno seorang sosiolog antara lain (Muhammad, 2008):
1. Kegiatan belajar bersama, berdiskusi untuk memahami pengertian HAM;
2. Mempelajari peraturan perundang – undangan mengenai HAM maupun peraturan hukum
pada umumnya, karena peraturan hukum yang umum pada dasarnya juga telah memuat
jaminan perlindungan HAM;
3. Mempelajari tentang peran lembaga–lembaga perlindungan HAM, seperti Komnas HAM,
Komisi Nasional Perlindungan Anak (KNPA), LSM, dan seterusnya;
4. Memasyarakatkan tentang pentingnya memahami dan melaksanakan HAM, agar
kehidupan bersama menjadi tertib, damai dan sejahtera kepada lingkungan masing–
masing;
5. Menghormati hak orang lain, baik dalam keluarga, kelas, sekolah, pergaulan, maupun
masyrakat;
6. Bertindak dengan mematuhi peraturan yang berlaku di keluarga, kelas, sekolah, OSIS,
masyarakat, dan kehidupan bernegara;
7. Berbagai kegiatan untuk mendorong agar negara mencegah berbagai tindakan anti
pluralisme (kemajemukan etnis, budaya, daerah, dan agama);
8. Berbagai kegiatan untuk mendorong aparat penegak hukum bertindak adil;
9. Berbagai kegiatan yang mendorong agar negara mencegah kegiatan yang dapat
menimbulkan kesengsaraan rakyat untuk memenuhi kebutuhan dasarnya seperti, sandang,
pangan, papan, kesehatan dan pendidikan.
h. Pentingnya reformasi hukum
Reformasi hukum mempunyai arti penting guna membangun desain kelembagaan bagi
pembentukan negara hukum yang dicita-citakan. Untuk kepentingan itu dalam sistem politik
yang demokratis, hukum harus memberi kerangka struktur organisasi formal bagi bekerjanya
lembaga-lembaga negara, menumbuhkan akuntabilitas normatif dan akuntabilitas publik dalam
proses pengambilan keputusan politik, serta dapat meningkatkan kapasitasnya sebagai
sarana penyelesaian konflik politik(Harkristuti, 2003).
Misi yang diemban dalam rangka reformasi hukum adalah terciptanya hukum yang tertib
dan berkeadilan namun tetap senantiasa mampu mendorong pembangunan bagi peningkatan
kesejahteraan masyarakat. Tujuan utama yang hendak dicapai dalam kerangka reformasi hukum
adalah tegaknya supremasi hukum dalam masyarakat. Melalui tegaknya supremasi hukum, maka
hukum akan benar-benar berfungsi sebagai rambu-rambu dan sekaligus pedoman bagi semua
pihak, baik penyelenggara negara dan pemerintahan, penegak hukum, pelaku usaha dan
masyarakat umum dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara (Iskatrinah, 2004).
BAB 3
PENUTUP
Kesimpulan
Hukum dan HAM merupakan konsepsi kemanusiaan dan relasi sosial yang dilahirkan
dari sejarah peradaban manusia di seluruh penjuru dunia. Hukum dan HAM juga dapat dimaknai
sebagai hasil perjuangan manusia untuk mempertahankan dan mencapai harkat kemanusiaannya.
Negara Indonesia adalah negara hukum tidak hanya berdasarkan pada kekuasaan belaka,
selain itu juga berdasarkan Pancasila dan Undang Undang Dasar 1945. Hal ini berarti Negara
Indonesia menjunjung tinggi hak asasi manusia dan menjamin segala warga negaranya
bersamaan kedudukannya di dalam hokum dan pemerintahan, serta wajib menjunjung tinggi
hukum dan pemerintahan itu tanpa ada kecualinya. Pernyataan bahwa Indonesia merupakan
negara hukum juga mempunyai konsekuensi, bahwa Negara Indonesia menerapkan hukum
sebagai idiologi untuk menciptakan ketertiban, keamanan, keadilan serta kesejahteraan bagi
warga negara, sehingga hukum itu bersifat mengikat bagi setiap tindakan yang dilakukan oleh
warga negaranya. Negara hukum harus memenuhi beberapa unsur antara lain pemerintah dalam
melaksanakan tugas dan kewajibannya, harus berdasar hukum atau peraturan perundang-
undangan, adanya jaminan terhadap hak asasi manusia, adanya pembagian kekuasaan dalam
Negara, adanya pengawasan dari badan-badan peradilan.
Saran
Sebagai warga Indonesia yang berdasarkan Negara hukum, seharusnya semua pihak
wajib menjunjung tinggi, mematuhi dan melaksanakan humum yang berlaku di Indonesia agar
tercapai cita-cita bangsa Negara.
DAFTAR PUSTAKA
El –Muhtaj, Hak asasi manusia dalam konstitusi Indonesia: dari UUD 1945 sampai dengan
Amandemen UUD 1945 tahun 2002, Kencana, 2005, hal. 62
Fachruddin Irfan. Pengawasan Peradilan Administrasi terhadap Tindakan
Pemerintah, (Bandung : PT. Alumni, 2004), hal. 110 – 120
Ganeca Exact. 2007. Pendkewarganegaraansmp/mts.
Harkrisnowo, Harkristuti, 2003, HAM Dalam Kerangka Integrasi Nasional Dan
Pembangunan Hukum, Komisi Hukum Nasional Republik Indonesia.
Iskatrinah, 2004, Pelaksanaan Fungsi Hukum Administrasi Negara Dalam Mewujudkan
Pemerintahan Yang Baik, Litbang Pertahanan Indonesia, Balitbang Departemen
Pertahanan.
I A Shearer, Starke’s International Law, 11th ed., Butterworths, USA, 1984, hal 64, Aliran ini
pernah sangat berpengaruh di Jerman dan Italia. Para pemuka aliran ini adalah Triepel dan
Anziloti.
Kusniati, R. 2005. Sejarah Perlindungan Hak Hak Asasi Manusia Dalam Kaitannya Dengan
Konsepsi Negara Hukum. Available at:
http://online-journal.unja.ac.id/index.php/jimih/article/download/537/490. (Accesed 25
September 2013).
Mochtar Kusumaatmadja, Pengantar Hukum Internasional, Alumi, Bandung 2003, hal 65,
Miriam Budiardjo, Dasar-dasar Ilmu Politik, (Jakarta :PT Gramedia, 1989) hal 57.
Muhamad , Simela Victor , 2008, Pemajuan Dan Perlindungan Hak Asasi Manusia Dalam
Konteks Hubungan Internasional Dan Indonesia, Kajian, Vol 13, No. 4, Available From:
http://www.academia.edu/Download Akses 25 September 2013
Notohamidjojo, Makna Negara hukum, (Jakarta : Badan Penerbit Kristen, 1970), hal. 27
Sentra HAM, Panduan Umum Untuk Pelatihan HAM (Depok : Sentra HAM, 2003) hal. 5
Setiardja, Gunawan, Supremasi Hukum dalam Perspektif Pengembangan HAM, Jakarta
Winandi Woro, 2011, Modul Hukum Ham Dan Demokrasi Fakultas Hukum Universitas
Narotama Surabaya. Available From:
http://worowinandi.dosen.narotama.ac.id/files/2011/05/Modul-Hukum-HAM-Demokrasi-
4-Eksistensi-Reformasi-Hukum-Dan-Perlindungan-Hak-Asasi-Manusia-Di-
Indonesia.pdf. AKSES 25 SEPTEMBER 2013
Smith, RK. 2008. Hak Asasi Manusia. Pusat Studi Hak Asasi Manusia Universitas Islam
Indonesia (PUSHAM UII): Yogyakarta.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia.
Available at: http://www.hukor.depkes.go.id/up_prod_uu/UU%20No.%2039%20Th
%201999%20ttg%20%20Hak%20Asasi%20Manusia.pdf. (Accesed 25 September 2013).
Undang-undangRepublik Indonesia Nomor 39 tahun 1999 HakAsasiManusia. 23 September
1999. Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 165.
Yamin Muhammad, Proklamasi dan Konstitusi Indonesia, (Jakarta : Ghalia Indonesia, 1982),
hal. 72