52
BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Negara Indonesia adalah negara hukum tidak hanya berdasarkan pada kekuasaan belaka, selain itu juga berdasarkan Pancasila dan Undang Undang Dasar 1945. Hal ini berarti Negara Indonesia menjunjung tinggi hak asasi manusia dan menjamin segala warga negaranya bersamaan kedudukannya di dalam hokum dan pemerintahan, serta wajib menjunjung tinggi hukum dan pemerintahan itu tanpa ada kecualinya. Pernyataan bahwa Indonesia merupakan negara hukum juga mempunyai konsekuensi, bahwa Negara Indonesia menerapkan hukum sebagai idiologi untuk menciptakan ketertiban, keamanan, keadilan serta kesejahteraan bagi warga negara, sehingga hukum itu bersifat mengikat bagi setiap tindakan yang dilakukan oleh warga negaranya. Negara hukum harus memenuhi beberapa unsur antara lain pemerintah dalam melaksanakan tugas dan kewajibannya, harus berdasar hukum atau peraturan perundang-undangan, adanya jaminan terhadap hak asasi manusia, adanya pembagian kekuasaan dalam Negara, adanya pengawasan dari badan-badan peradilan (Harmien Hardiati, 1984). Berkaitan dengan unsur di atas, adanya jaminan terhadap hak asasi manusia (HAM), dapat diartikan bahwa di dalam setiap konstitusi selalu ditemukan adanya jaminan terhadap hak asasi manusia (warga negara). Perlindungan konstitusi terhadap hak asasi manusia tersebut, salah satunya adalah perlindungan

Hukum Dan HAM

Embed Size (px)

DESCRIPTION

hgjhgjkhgjk

Citation preview

Page 1: Hukum Dan HAM

BAB 1

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Negara Indonesia adalah negara hukum tidak hanya berdasarkan pada kekuasaan belaka,

selain itu juga berdasarkan Pancasila dan Undang Undang Dasar 1945. Hal ini berarti Negara

Indonesia menjunjung tinggi hak asasi manusia dan menjamin segala warga negaranya

bersamaan kedudukannya di dalam hokum dan pemerintahan, serta wajib menjunjung tinggi

hukum dan pemerintahan itu tanpa ada kecualinya. Pernyataan bahwa Indonesia merupakan

negara hukum juga mempunyai konsekuensi, bahwa Negara Indonesia menerapkan hukum

sebagai idiologi untuk menciptakan ketertiban, keamanan, keadilan serta kesejahteraan bagi

warga negara, sehingga hukum itu bersifat mengikat bagi setiap tindakan yang dilakukan oleh

warga negaranya. Negara hukum harus memenuhi beberapa unsur antara lain pemerintah dalam

melaksanakan tugas dan kewajibannya, harus berdasar hukum atau peraturan perundang-

undangan, adanya jaminan terhadap hak asasi manusia, adanya pembagian kekuasaan dalam

Negara, adanya pengawasan dari badan-badan peradilan (Harmien Hardiati, 1984).

Berkaitan dengan unsur di atas, adanya jaminan terhadap hak asasi manusia (HAM),

dapat diartikan bahwa di dalam setiap konstitusi selalu ditemukan adanya jaminan terhadap hak

asasi manusia (warga negara). Perlindungan konstitusi terhadap hak asasi manusia tersebut, salah

satunya adalah perlindungan terhadap nyawa warga negaranya seperti yang tercantum dalam

Pasal 28A Undang Undang Dasar 1945: ”Setiap orang berhak untuk hidup serta berhak

mempertahankan hidup dan kehidupannya”. Nyawa dan tubuh adalah milik manusia yang paling

berharga dan merupakan hak asasi setiap manusia yangdiberikan oleh Tuhan Yang Maha Esa

dan tidak ada seorangpun yang dapat merampasnya (Harmien Hardiati, 1984).

Page 2: Hukum Dan HAM

B. Rumusan Masalah

Permasalahan yang akan dibahas dalam makalah ini adalah :

1. Apa pengertian dan konsep dari Hak Asasi Manusia?

2. Bagaimana sejarah perkembangan Hak Asasi Manusia?

3. Apa saja konsep-konsep dan elemen-elemen Negara hukum?

4. Apa pengertian dan hakekat hukum?

5. Apa pengertian perlindungan hukum?

6. Apa hubungan perlindungan hukum terhadap Hak Asasi Manusia?

7. Bagaimana aplikasi perlindungan hukum terhadap Hak Asasi Manusia dalam skala

global dan nasional?’

8. Bagaimana pentingnya reformasi hukum yang ada di Indonesia?

9. Apa saja bentuk dan model pelanggaran hukum di Indonesia?

10. Bagaimana pelaksanaan perlindungan Hak Asasi Manusia di Indonesia?

11. Apa upaya pemerintah Indonesia dalam melakukan perlindungan Hak Asasi

Manusia?

Page 3: Hukum Dan HAM

BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian Dan Hakikat Hukum

Sampai saat ini para ahli hukum sendiri pun masih mencari tentang apa definisi dari

hukum. Membuat definisi hukum tidaklah mudah sehingga tidak mungkin orang dapat membuat

definisi secara memuaskan. Sukarnya membuat definisi ini terbukti dari sejak jaman Romawi

hingga sekarang tidak ada keseragaman di antara para sarjana atau ahli hukum mengenai definisi

hukum.

Metode pendefinisian hukum itu sendiri menurut G.W. Paton (dalam Prof. Dr. Achmad Ali,

SH., M.H.) dapat memilih salah satu dari lima kemungkinan, yaitu :

1. Sesuai sifat-sifatnya yang mendasar, logis, religius, ataupun etis.

2. Menurut sumbernya, yaitu kebiasaan, preseden, atau undang-undang.

3. Menurut efeknya di dalam kehidupan masyarakat.

4. Menurut metode pernyataan formalnya atau pelaksanaan otoritasnya.

5. Menurut tujuan yang ingin dicapainya.

Menrut Prof.Mr.Lj. van Apeldoorn dalam bukunya berjudul “inleiding tot de studie van het

Nederlandse Recth (terjemahan Oetarid Sadino, SH dengan nama “Pengantar Ilmu Hukum”),

bahwa adalah tidak mungkin memberikan definisi tentang apakah yang disebut hukum itu.

Definisi tentang hukum sangat sulit untuk dibuat karena itu tidak mungkin untuk

mengadakannya yang sesuai dengan kenyataan.

Akan tetapi, bayak sarjana hukum mencari suatu batasan tentang hukum namun setiap

pembatasan tentang hukum yang diperoleh belum memberikan kepuasan. Beberapa sarjana

tersebut adalah:

a. Prof.Mr.E.M.Meyers dalam bukunya “De Algemene begrifen van het Burgerlijk Recth”

Hukum ialah semua aturan yang mengandung pertimbangan kesusilaa, ditujukna kepada

tingkah laku manusia dala masyarakat, dan yang menjadi pedoman bagi penguasa-

penguasa negara dalam melakukan tugasnya.

Page 4: Hukum Dan HAM

b. Leon Duguit : Hukum ialah aturantigkah laku para anggota masyarakat , aturan yang

daya penggunaannya pada saat tertentu diindahkan oleh masyarakat sebagai jaminan dari

kepentingan bersama dan jika dilanggar, menimbulkan reaksi bersama terhadap orang

yang melakukan pelanggaran itu.

c. Immanuel Kanat : Hukum ialah keseluruhan syarat-syarat yang dengan ini kehendak

bebas dari orang yang atu dapat menyesuaikan diri dengan kehendak bebeas dari orang

lain, menuruti peraturan hukum tentang kemerdekaan.

Adapun sebab mengapa hukum itu sulit diberikan definisi yang tepat ialah karena hukum itu

mempunyai segi dan bentuk yang sangat banyak, sehingga tak mungkin tercakup keseluruhan

segi dan bentuk hukum itu dalam suatu definisi.

Menurut Prof.Muchsin, pada hakekatnya hukum merupakan alat atau sarana untuk

mengatur dan menjaga ketertiban guna mencapai suatu masyarakat yang berkeadilan dalam

menyelengarakan kesejahtraan sosial yang berupa peraturan-peraturan yang bersifat memaksa

dan memberikan sangsi bagi yang menyelengarakannya, baik itu untuk mengatur masyarakat

ataupun aparat pemerintah sebagai penguasa.

Ditambahkan pula oleh Prof. Muchsin, bahwa konsep dasar serta tujuan hukum hanyalah

berbicara pada dua konteks persoalan saja :

1. Konteks yang pertama adalah keadilan yang menyakut tentang kebutuhan masyarakat

akan rasa keadilan di tengah sangking banyaknya dinamika dan konflik di tengah

masyarakat.

2. Konteks yang kedua adalah aspek legalitas menyangkut apa yang disebut dengan hukum

positif, yaitu sebuah aturan yang ditetapkan oleh sebuah kekuasaan negara yang sah

dalam pemberlakuannya dapat dipaksakan atas nama hukum.

Dua konteks persoalan tersebut di atas seringkali terjadi benturan, dimana hukum positif

tidak menjamin sepenuhnya rasa keadilan, dan sebaliknya rasa keadilan seringkali tidak memiliki

kepastian hukum. Untuk mencari jalan tengahnya komprominya adalah bagaimana agar semua

hukum positif ada dan hadir selalu merupakan cermin dari rasa keadilan. Di samping itu hakekat

hukum bertumpu pula pada idea keadilan dan kekuatan moral, idea keadilan tidak pernah lepas

dengan kaitannya sebab membicarakan hukum, jelas atau samar-samar senantiasa merupakan

pembicaraan mengenai keadilan pula. Serupa dengan apa yang di kemukaan oleh Prof. Muchsin,

Page 5: Hukum Dan HAM

Theo Huijbers dari tiga tujuan hukum (yaitu kepastian, keadilan, dan kemanfaatan) keadilan

harus menempati posisi yang pertama dan utama dari pada kepastian dan kemanfaatan.

b. Sejarah Perkembangan Hak Asasi Manusia?

Pengertian hak asasi manusia

Berdasarkan Undang-Undang Republik Indonesia nomor 39 tahun 1999, Hak Asasi

Manusia adalah seperangkat hak yang melekat pada hakikat dan keberadaan manusia sebagai

makhluk Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan anugerah-Nya yang wajib dihormati, dijunjung

tinggi dan dilindungi oleh negara, hukum, Pemerintah, dan setiap orang demi kehormatan serta

perlindungan harkat dan martabat manusia. Dimana hak asasi manusia ini juga merupakan hak

dasar yang secara kodrati melekat pada diri manusia, bersifat universal dan langgeng, oleh

karena itu harus dilindungi, dihormati, dipertahankan, dan tidak boleh diabaikan, dikurangi, atau

dirampas oleh siapapun (UU Republik Indonesia, 1999).

Konsep Dasar Hak Asasi Manusia

Hak asasi manusia adalah hak-hak yang dimiliki manusia semata-mata karena ia manusia.

Umat manusia memilikinya bukan karena diberikan kepadanya oleh masyarakat atau

berdasarkan hukum positif, melainkan semata-mata berdasarkan martabatnya sebagai manusia.

Dalam arti ini, maka meskipun setiap orang terlahir dengan warna kulit, jenis kelamin, bahasa,

budaya dan kewarganegaraan yang berbedabeda, ia tetap mempunyai hak-hak tersebut. Inilah

sifat universal dari hak-hak tersebut. Selain bersifat universal, hak-hak itu juga tidak dapat

dicabut (inalienable). Artinya

seburuk apapun perlakuan yang telah dialami oleh seseorang atau betapapun bengisnya

perlakuan seseorang, ia tidak akan berhenti menjadi manusia dan karena itu tetap memiliki hak-

hak tersebut. Dengan kata lain, hak-hak itu melekat pada dirinya sebagai makhluk insane (Smith

RK, 2008).

Asal-usul gagasan mengenai hak asasi manusia seperti dipaparkan di atas bersumber dari

teori hak kodrati (natural rights theory). Teori kodrati mengenai hak itu bermula dari teori

hukum kodrati (natural law theory), yang terakhir ini dapat dirunut kembali sampai jauh ke

belakang hingga ke zaman kuno dengan filsafat Stoika hingga ke zaman modern melalui tulisan-

Page 6: Hukum Dan HAM

tulisan hukum kodrati Santo Thomas Aquinas. Hugo de Groot, seorang ahli hukum Belanda yang

dinobatkan sebagai “bapak hokum internasional”, atau yang lebih dikenal dengan nama

Latinnya, Grotius, mengembangkan lebih lanjut teori hukum kodrati Aquinas dengan memutus

asalusulnya yang teistik dan membuatnya menjadi produk pemikiran sekuler yang rasional.

Dengan landasan inilah kemudian, pada perkembangan selanjutnya, salah seorang kaum

terpelajar pasca-Renaisans, John Locke, mengajukan pemikiran mengenai teori hak-hak kodrati.

Gagasan Locke mengenai hak-hak kodrati inilah yang melandasi munculnya revolusi hak dalam

revolusi yang meletup di Inggris, Amerika Serikat dan Perancis pada abad ke-17 dan ke-18

(Smith RK, 2008).

Dalam bukunya yang telah menjadi klasik, “The Second Treatise of Civil Government

and a Letter Concerning Toleration” Locke mengajukan sebuah postulasi pemikiran bahwa

semua individu dikaruniai oleh alam hak yang melekat atas hidup, kebebasan dan kepemilikan,

yang merupakan milik mereka sendiri dan tidak dapat dicabut atau dipreteli oleh negara. Melalui

suatu ‘kontrak sosial’ (social contract), perlindungan atas hak yang tidak dapat dicabut ini

diserahkan kepada negara. Tetapi, menurut Locke, apabila penguasa negara mengabaikan

kontrak sosial itu dengan melanggar hak-hak kodrati individu, maka rakyat di negara itu bebas

menurunkan sang penguasa dan menggantikannya dengan suatu pemerintah yang bersedia

menghormati hak-hak tersebut. Melalui teori hak-hak kodrati ini, maka eksistensi hak-hak

individu yang pra-positif mendapat pengakuan kuat (Smith RK, 2008).

Gagasan hak asasi manusia yang berbasis pada pandangan hukum kodrati itu mendapat

tantangan serius pada abad 19. Edmund Burke, orang Irlandia yang resah dengan Revolusi

Perancis, adalah salah satu di antara penentang teori hak-hak kodrati. Burke menuduh para

penyusun “Declaration of the Rights of Man and of the Citizen” mempropagandakan “rekaan

yang menakutkan mengenai persamaan manusia”. Deklarasi yang dihasilkan dari Revolusi

Perancis itu baginya merupakan “ide-ide yang tidak benar dan harapan-harapan yang sia-sia pada

manusia yang sudah ditakdirkan menjalani hidup yang tidak jelas dengan susah payah.” Tetapi

penentang teori hak

kodrati yang paling terkenal adalah Jeremy Bentham, seorang filsuf utilitarian dari Inggris.

Kritik Bentham yang mendasar terhadap teori tersebut adalah bahwa teori hakhak kodrati itu

tidak bisa dikonfirmasi dan diverifikasi kebenarannya (Smith RK, 2008).

Page 7: Hukum Dan HAM

Bentham dengan sinis menertawakan teori hak-hak kodrati itu dengan mengatakan: “Bagi

saya, hak sebagai kata benda (berlawanan dengan kata sifat), adalah anak kandung hukum: dari

hukum riil lahir pula hak-hak riil; namun dari hokum imajiner; hukum kodrati --yang dikhayal

dan direka para penyair, ahli-ahli pidato dan saudagar dalam rupa racun moral dan intelektual--

lahirlah hak-hak rekaan ... Hak-hak kodrati adalah omong kosong yang dungu: hak yang kodrati

dan tidak bisa dicabut adalah omong kosong yang retorik, atau puncak dari omong kosong yang

berbahaya!”.

Lebih lanjut, dalam sebuah risalahnya yang lain, Bentham mengulang kembali cercaan sinisnya

pada teori hak-hak kodrati. Ia menulis, “Bagi saya hak dan hukum merupakan hal yang sama,

karena saya tidak mengenal hak yang lain. Hak bagi saya adalah anak kandung hukum: dari

berbagai fungsi hukum lahirlah beragam jenis hak. Hak kodrati adalah seorang anak yang tidak

pernah punya seorang ayah”. Serangan dan penolakan kalangan utilitarian itu kemudian

diperkuat oleh mazhab positivisme, yang dikembangkan belakangan dengan lebih sistematis oleh

John Austin. Kaum positivis berpendapat bahwa eksistensi dan isi hak hanya dapat diturunkan

dari hukum negara. Satu-satunya hukum yang sahih adalah perintah dari yang berdaulat. Ia tidak

dating dari “alam” atau “moral” (Smith RK, 2008).

Namun demikian, kecaman dan penolakan dari kalangan utilitarian dan positivis tersebut

tidak membuat teori hak-hak kodrati dilupakan orang. Jauh dari anggapan Bentham, hak-hak

kodrati tidak kehilangan pamornya, ia malah tampil kembali pada masa akhir Perang Dunia II.

Gerakan untuk menghidupkan kembali teori hak kodrati inilah yang mengilhami kemunculan

gagasan hak asasi manusia di panggung internasional. Pengalaman buruk dunia internasional

dengan peristiwa Holocaust Nazi, membuat dunia berpaling kembali kepada gagasan John Locke

tentang hak-hak kodrati. “Setelah kebiadaban luar biasa terjadi menjelang maupun selama

Perang Dunia II, gerakan untuk menghidupkan kembali hak kodrati menghasilkan dirancangnya

instrumen internasional yang utama mengenai hak asasi manusia,” tulis Davidson. Hal ini

dimungkinkan dengan terbentuknya Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) pada 1945, segera

setelah berakhirnya perang yang mengorbankan banyak jiwa umat manusia itu (Smith RK,

2008).

Dengan mendirikan PBB, masyarakat internasional tidak ingin mengulang terjadinya

kembali Holocaust di masa depan, dan karena itu “menegaskan kembali kepercayaan terhadap

Page 8: Hukum Dan HAM

hak asasi manusia, terhadap martabat dan kemuliaan manusia, terhadap kesetaraan hak-hak laki-

laki dan perempuan, dan kesetaraan negara besar dan kecil”.

Dari sinilah dimulai internasionalisasi gagasan hak asasi manusia. Sejak saat itulah

masyarakat internasional bersepakat menjadikan hak asasi manusia sebagai “suatu tolok ukur

pencapaian bersama bagi semua rakyat dan semua bangsa” (“a commond standard of

achievement for all peoples and all nations”). Hal ini ditandai dengan diterimanya oleh

masyarakat internasional suatu rezim hukum hak asasi manusia internasional yang disiapkan

oleh PBB atau apa yang kemudian lebih dikenal dengan “International Bill of Human Rights”

(Smith RK, 2008).

Dari paparan di atas cukup jelas bahwa teori hak-hak kodrati telah berjasa dalam

menyiapkan landasan bagi suatu sistem hukum yang dianggap superior ketimbang hukum

nasional suatu negara, yaitu norma hak asasi manusia internasional. Namun demikian,

kemunculannya sebagai norma internasional yang berlaku di setiap Negara membuatnya tidak

sepenuhnya lagi sama dengan konsep awalnya sebagai hak-hak kodrati. Substansi hak-hak yang

terkandung di dalamnya juga telah jauh melampaui substansi hak-hak yang terkandung dalam

hak kodrati (sebagaimana yang diajukan John

Locke). Kandungan hak dalam gagasan hak asasi manusia sekarang bukan hanya terbatas pada

hak-hak sipil dan politik, tetapi juga mencakup hak-hak ekonomi, social dan budaya. Bahkan

belakangan ini substansinya bertambah dengan munculnya hak-hak “baru”, yang disebut “hak-

hak solidaritas”. Dalam konteks keseluruhan inilah seharusnya makna hak asasi manusia

dipahami dewasa ini (Smith RK, 2008).

Sejarah (Pemikiran Dan Perkembangan HAM Di Indonesia)

Perkembangan pemikiran HAM di Indonesia mengalami pasang dan surut yang secara

jelas dapat terlihat melalui tabel periodesasi sejarah Indonesia, mulai tahun 1908 hingga

sekarang. Pada dasarnya, konsep HAM bukanlah semata-mata sebagai konsep tentang hak-hak

asasi individual, melainkan juga kewajiban-kewajiban asasi yang menyertainya. Periode

perkembangan HAM di Indonesia dipaparkan sebagai berikut (Kusniati R, 2005):

1. Periode 1908-1945

2. Periode 1945-1950

3. Periode 1950-1959

Page 9: Hukum Dan HAM

4. Periode 1959-1966

5. Periode 1966-1998

6. Periode 1998-sekarang

1. Periode 1908-1945

Konsep pemikiran HAM telah dikenal oleh Bangsa Indonesia terutama sejak tahun 1908

lahirnya Budi Utomo, yakni di tahun mulai timbulnya kesadaran akan pentingnya pembentukan

suatu negara bangsa (nation state) melalui berbagai tulisan dalam suatu Majalah Goeroe Desa.

Konsep HAM yang mengemuka adalah konsep-konsep mengenai hak atas kemerdekaan, dalam

arti hak sebagai bangsa merdeka yang bebas menentukan nasib sendiri (the rights of self

determination). Namun HAM bidang sipil, seperti hak bebas dari diskriminasi dalam segala

bentuknya dan hak untuk mengeluarkan pikiran dan pendapat mulai juga diperbincangkan.

Bahkan konsep mengenai hak untuk turut serta dalam pemerintahan telah dikemukakan oleh

Budi Utomo. Perkembangan HAM di Indonesia selanjutnya tumbuh seiring dengan kemunculan

berbagai organisasi pergerakan yang intinya sebagaimana diperjuangkan oleh Perhimpunan

Indonesia yaitu hak menentukan nasib sendiri.. Perkembangan pemikiran HAM mengalami

masa-masa penting manakala terjadi perdebatan tentang Rancangan UUD oleh BPUPKI

(Kusniati R, 2005).

Supomo mengemukakan bahwa HAM berasal dari cara berpikir yang liberal dan

individualistik yang menempatkan warga negara berhadapan dengan negara, dan karena itu,

paham HAM tidak sesuai dengan “ide integralistik dari Bangsa Indonesia”. Menurut Supomo

manusia Indonesia menyatu dengan negaranya dan karena itu tidak masuk akal mau melindungi

individu dari negara. Debat ini muncul kembali pada pertengahan Juli 1945. Sukarno

mengemukakan bahwa keadilan yang diperjuangkan bagi Bangsa Indonesia bukanlah keadilan

individual, melainkan keadilan sosial dan karena itu HAM dan hak-hak dasar warga negara tidak

pada tempatnya dalam UUD. Sebaliknya, Muhammad Hatta dan Muhammad Yamin

memperingatkan bahwa bisa saja negara menjadi negara kekuasaan dan karena itu hak-hak dasar

warga negara perlu dijamin. Akhirnya tercapailah Pasal 28 UUD 1945, dimana hak-hak dasar

demokratis seperti hak untuk berserikat dan berkumpul dan untuk menyampaikan pendapat

diatur.

Page 10: Hukum Dan HAM

Hak asasi barulah mendapatkan tempat yang penting utamanya pada masa KRIS 1949

dan UUDS 1950, karena kedua UUD atau konstitusi itu memuat HAM secara terperinci. Hal itu

disebabkan KRIS 1949 dibuat setelah lahirnya Declaration of Human Right 1948, sedangkan

UUDS 1950 adalah perubahan dari KRIS 1949 melalui UU Federal No. 7 tahun 1950 (Kusniati

R, 2005).

2. Periode 1950- 1959

Meskipun usia RIS relatif singkat, yaitu dari tanggal 27 Desember 1949 sampai 17

Agustus 1950, namun baik sistem kepartaian multi partai maupun sistem pemerintahan

parlementer yang dicanangkan pada kurun waktu pertama berlakunya UUD 1945, masih

berlanjut. Kedua sistem yang menumbuhkembangkan sistem politik demokrasi liberal/

parlementer tersebut semakin berlanjut setelah Indonesia kembali menjadi negara kesatuan

dengan berlakunya UUDS 1950 pada periode 17 Agustus 1950-5 Juli 1959. bahkan pada periode

ini suasana kebebasan yang menjadi semanggat demokrasi liberal sangat ditenggang, sehingga

dapat dikatakan bahwa baik pemikiran maupun aktualisasi HAM pada periode ini mengalami

“pasang” dan menikmati “bulan madu”. Karena:

1. semakin banyaknya tumbuh partai politik dengan beragam ideologinya masing-masing;

2. kebebasan pers sebagai salah satu pilar demokrasi betul-betul menikmati kebebasannya;

3. Pemilihan Umum sebagai pilar lain dari demokrasi berlangsung dalam suasana

kebebasan, fair dan demokratis;

4. Parlemen atau Dewan perwakilan rakyat sebagai representasi dari kedaulatan rakyat

menunjukan kinerja dan kelasnya sebagai wakil-wakil rakyat dengan melakukan kontrol

atau pengawasan;

5. Wacana dan pemikiran tentang HAM memperoleh iklim yang kondusif.

Satu hal yang penting adalah bahwa semua partai, dengan pandangan ideologis yang

berbeda-beda, sepakat bahwa HAM harus dimasukan ke dalam bab khusus yang mempunyai

kedudukan sentral dalam batang tubuh UUD.

Page 11: Hukum Dan HAM

3. Periode 1959-1966

Memasuki periode kedua berlakunya UUD 1945 yaitu sejak dikeluarkannya Dekrit

Presiden 5 Juli 1959, gagasan atau konsepsi Presiden Soekarno mengenai demokrasi terpimpin

dilihat dari sistem politik yang berlaku yang berada di bawah kontrol/kendali Presiden. Dalam

perspektif pemikiran HAM, terutama hak sipil dan politik, sistem politik demokrasi terpimpin

tidak memberikan keleluasaan ataupun menenggang adanya kebebasan berserikat, berkumpul

dan mengeluarkan pikiran dengan tulisan. Di bawah naungan demokrasi terpimpin, pemikiran

tentang HAM dihadapkan pada restriksi atau pembatasan yang ketat oleh kekuasaan, sehingga

mengalami kemunduran (set back) sebagai sesuatu yang berbanding terbalik dengan situasi pada

masa Demokrasi Parlementer.

4. Periode 1966-1998

Pemberontakan G30S/PKI tanggal 30 September 1966 yang diikuti dengan situasi chaos

mengantarkan Indonesia kembali mengalami masa kelam kehidupan berbangsa. Presiden

Soekarno mengeluarkan Supersemar yang dijadikan landasan hukum bagi Soeharto untuk

mengamankan Indonesia. Masyarakat Indonesia dihadapkan kembali pada situasi dan keadaan

dimana HAM tidak dilindungi. Hal ini disebabkan oleh pemikiran para elite kekuasaan terhadap

HAM. Umumnya era ini ditandai oleh pemikiran HAM adalah produk barat. Pada saat yang

sama Indonesia sedang memacu pembangunan ekonomi dengan mengunakan slogan

“pembangunan” sehingga segala upaya pemajuan dan perlindungan HAM dianggap sebagai

penghambat pembangunan. Hal ini tercermin dari berbagai produk hukum yang dikeluarkan pada

periode ini, yang pada umumnya bersifat restriktif terhadap HAM.

Pada pihak lain, masyarakat umumnya diwakili LSM dan kalangan akademisi

berpandangan bahwa HAM adalah universal. Keadaan minimnya penghormatan dan

perlindungan HAM ini mencapai titik nadir pada tahun 1998 yang ditandai oleh turunnya

Soeharto sebagai Presiden. Periode 1966-1998 ini secara garis besar memiliki karakteristik

tahapan berikut:

Tahap represi dan pembentukan jaringan (repression and activation of network)

Pada tahap ini Pemerintah melakukan represi terhadap segala bentuk perlawanan yang

menyebabkan kelompok tertindas dalam masyarakat menyampaikan informasi ke masyarakat

Page 12: Hukum Dan HAM

internasional. Konflik berdarah yang dimulai di Jakarta, ditandai dengan terbunuhnya pada

Jenderal, disusul dengan munculnya konflik langsung yang melibatkan tentara, penduduk sipil

serta orang-orang yang dianggap simpatisan PKI. Pembunuhan, baik dalam bentuk operasi

militer maupun konflik sipil terjadi di hampir seluruh wilayah Indonesia, dengan jumlah korban

yang berbeda di tiap Provinsi. AD secara ressi menyimpulkan bahwa jumlah korban di seluruh

Indonesia 78.000. orang. Ditengah-tengah keprihatinan akan runtuhnya supremasi hukum atas

banyaknya pelanggaran HAM yang terjadi di periode ini, hasil pembentukan jaringan

menampakan hasilnya dengan dibebaskannya hampir seluruh tahanan politik PKI pada tahun

1970-1979.

Tahap Penyangkalan

Tahap ini ditandai dengan suatu keadaan dimana pemerintah otoriter dikritik oleh

masyarakat Internasional atas pelanggaran-pelanggaran HAM yang terjadi, jawaban yang

umumnya diberikan oleh pemerintah adalah bahwa HAM merupakan urusan domestik sehingga

kritikan dianggap sebagai campur tangan terhadap kedaulatan negara. Tampaknya pada masa

penyangkalan ini Pemerintahan Soeharto yang mendasarkan HAM pada konsepsi negara

integralistik yang dikemukakan Supomo, yang tampaknya lebih mengedepankan kewajiban

dibanding hak. Hal ini sebetulnya rancu, karena paham integralistik telah ditolak pada

pembahasan naskah UUD, dan Supomo sendiri akhirnya menerima usul Hatta dan Muhammad

Yamin untuk memasukan hak berserikat, berkumpul dan mengeluarkan pikiran ke dalam UUD.

Kritik internasional yang berlanjut atas berbagai pelanggaran HAM Timor-Timur, kasus Tanjung

Priok, kasus DOM Aceh, kasus Kedung Ombo, peristiwa Santa Cruz coba diatasi dengan

membentuk Komnas HAM pada tahun 1993.

Tahap Konsesi Taktis

Pada tahap ini Pemerintah Orde Baru terdesak dan diterpa krisis moneter pada tahun

1997. Indonesia mulai menerima HAM internasional karena membutuhkan dana untuk

membangun. Pada bagian lain kekuasaan Orde Baru mulai melemah, puncaknya terjadi pada

bulan Mei 1998 yang diwarnai dengan peristiwa berdarah 14 Mei 1998. Demonstrasi mahasiswa

yang terjadi secara besar-besaran telah menurunkan Soeharto sebagai Presiden (Kusniati R,

2005).

Page 13: Hukum Dan HAM

Tahap Penentuan

Banyaknya norma HAM internasional yang diadopsi dalam peraturan perundang-

undangan nasional melalui ratifikasi dan institusionalisasi. Beberapa kemajuan dapat dilihat dari

berbagai peraturan perundang-undangan HAM yaitu diintegrasikannya HAM dalam perubahan

UUD 1945 serta dibentuknya peraturan perundangan HAM.

Pertanyaannya sekarang, apakah dengan memadainya instrumen hukum HAM dan

institusionalisasi kelembagaan HAM (Kusniati R, 2005).

c. Konsep Dan Elemen Utama Negara Hukum

Di dalam konsepsi negara hukum terdapat dua macam, yaitu Konsep Rechtsstaat dan

Konsep Rule of Law.

Menurut Sckeltema bahwa terdapat empat unsur/elemen utama dalam negara hukum

Rechtsstaat dan masing-masing unsur utama mempunyai turunannya, yaitu sebagaimana

dikemukaan oleh Azhary, yaitu (Fachruddin, 2004) :

1. Adanya kepastian  hukum :

a) Asas legalitas;

b) Undang-undang yang mengatur tindakan yang berwenang sedemikian rupa, hingga warga

dapat mengetahui apa yang dapat diharapkan;

c) Undang-undang tidak boleh berlaku  surut;

d) Hak asasi dijamin oleh undang-undang;

e) Pengadilan yang bebas dari pengaruh kekuasaan.

2. Asas persamaan :

a) Tindakan yang berwenang diatur di dalam undang-undang dalam arti materiil;

b) Adanya pemisahan kekuasaan.

3. Asas demokrasi :

a) Hak untuk memilih dan dipilih bagi warga negara;

b) Peraturan untuk badan yang berwenang ditetapkan oleh parlemen;

c) Parlemen mengawasi tindakan pemerintah.

4. Asas pemerintah untuk rakyat :

a) Hak asasi dengan undang-undang dasar;

b) Pemerintahan secara efektif dan efesien.

Page 14: Hukum Dan HAM

Sedangkan Konsep The Rule of Law awalnya dikembangkan oleh Albert Venn Dicey

(Inggris). Dia mengemukakan tiga unsur utama The Rule of Law, yaitu (Fachruddin, 2004) :

1. Supremacy of law (supremasi hukum), yaitu bahwa negara diatur oleh hukum, seseorang

hanya dapat dihukum karena melanggar hukum.

2. Equality before the law (persamaan dihadapan hukum), yaitu semua warga Negara dalam

kapasitas sebagai pribadi maupun pejabat Negara tunduk kepada hukum yang sama dan

diadili oleh pengadilan yang sama.

3. Constitution based on individual right (Konstitusi yang didasarkan pada hak-hak

perorangan), yaitu bahwa konstitusi bukanlah sumber tetapi merupakan konsekwensi dari

hak-hak individual yang dirumuskan dan ditegaskan oleh pengadilan dan parlemen hingga

membatasi posisi Crown dan aparaturnya.

Konsep Negara hukum Indonesia berbeda dengan konsep rechtstaat dan rule of

law karena mempunyai latar belakang yang berbeda pula. Konsep negara hukum Indonesia

adalah sebagaimana disebutkan di dalam Pasal 1 ayat (3) Amandemen ketiga UUD 1945 yang

berbunyi : "Negara Indonesia adalah negara hukum" (Fachruddin, 2004).

Istilah negara hukum dalam kepustakaan Indonesia hampir selalu dipadankan dengan

istilah-istilah asing antara lain rechts staat, atat de droit, the state according to law, legal state,

dan rule of law. Notohamijdojo memadankan istilah negara hukum di dalam konstitusi Indonesia

dengan konsep rehtsstaat sebagaimana dalam tulisannya "...negara hukum atau rechtsstaat"

(Notohamidjojo, 1970). Di samping itu, Muhammad Yamin di dalam tulisannya menyebutkan

bahwa "...Republik Indonesia ialah negara hukum (rehtsstaat, government of law)" (Yamin,

1982).

Berbeda dengan pendapat di atas, menurut Philipus M. Hadjon yang lebih mengkritik

terhadap para pakar hukum yang mempersamakan istilah negara hukum dengan

konsep rechtstaat dan konsep the rule of law, dia menyatakan bahwa di dalam sebuah nama

terkandung isi (nomen est omen), negara hukum merupakan sebuah konsep tersendiri yang

dipergunakan oleh negara Indonesia, sehingga tidak bisa dipadankan dengan konsep

rechtsstaat atau konsep the rule of law yang telah mempunyai isi masing-masing yang berbeda.

Pendapat ini tentu dapat difahami mengingat saat ini terdapat 5 (lima) konsep negara hukum

yang dianggap berpengaruh dan telah mempunyai isi yang berlainan, di antaranya

pertama, rechtsstaat yang merupakan konsp yang dikenal di Belanda. Kedua, the rule of

Page 15: Hukum Dan HAM

law yang merupakan konsep yang di kenal di negara-negara  Anglo-Saxon seperti Inggris,

Amerika Serikat (Fachruddin, 2004).

d. Perlindungan Hukum

Kata perlindungan menurut kamus umum bahasa indonesia berarti tempat berlindung

atau merupakan perbuatan (hal) melindungi , misalnya memberi perlindungan kepada orang yang

lemah. Menurut Sudikno Mertokusumo, yang dimaksud dengan hukum adalah kumpulan

peraturan atau kaedah yang mempunyai isi yang bersifat umum dan normatif, umum karena

berlaku bagi setiap orang dan normatif karena menentukan apa yang seyogyanya dilakukan, apa

yang tidak boleh dilakukan atu harus dilakukan serta menentukan bagaimana caranya

melaksanakan kepatuhan pada kaedah-kaedah. Jadi perlindungan hukum adalah suatu perbuatan

hal melindungi subjek-subjek hukum dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku dan

pelaksanaannya dpat dipaksakan dengan suatu sanksi.

Menurut philipus M.Hadjon negara Indonesia sebagai negara hukum berdasarkan

pancasila haruslah memberikan perlindungan hukum terhadap warga masyarakatnya yang sesuai

dengan pancasila. Oleh karena itu perlindungan hukum berasarkan pancasila berarti pengakuan

dan perlindungan hukum akan harkat dan martabat manusia atas dasar nilai Ketuhanan Yang

Maha Esa, kemanusiaan, persatuan, permusyawaratan serta keadilan sosial. Nilai-nilai tersebut

melahirkan pengakuan dan perlindungan hak asasi manusia dalam wadah negara kesatuan yang

menjunjung tinggi semangat kekeluargaan dalam mencapai kesejahteraan bersama.

Perlindungan hukum di dalam negara yang berdasarkan Pancasila, maka asas yang penting

ialah asas kerukunan berdasarkan kekeluargaan. Asas kerukunan berdasarkan kekeluargaan

menghendaki bahwa upaya-upaya penyelesaian masalah yang berkaitan dengan masyarakat

sedapat mungkin ditangani oleh pihak-pihak yang bersengketa.

Page 16: Hukum Dan HAM

e. Aplikasi Perlindungan Hukum Terhadap Hak Asasi Manusia Dalam Skala Global

Dan Nasional

Dalam Piagam Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB), komitmen untuk memenuhi,

melindungi HAM serta menghormati kebebasan pokok manusia secara universal ditegaskan

secara berulang-ulang, diantaranya dalam Pasal 1 (3): ”Untuk memajukan kerjasama

internasional dalam memecahkan masalah-masalah internasional dibidang ekonomi, sosial,

budaya dan kemanusiaan, dan menggalakan serta meningkatkan penghormatan bagi hak asasi

manusia dan kebebasan fundamental bagi semua orang tanpa pembedaan ras, jenis kelamin,

bahasa atau agama …” (Kusumaatmadja, 2003).

Komitmen ini kemudian ditindaklanjuti oleh PBB melalui pembentukan instrumen-

instrumen hukum yang mengatur tentang HAM sebagai berikut:

a. Instrumen Hukum yang Mengikat

- Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (Universal Declaration of Human Rights)

Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM) merupakan langkah besar yang

diambil oleh masyarakat internasional pada tahun 1948. Norma-norma yang terdapat dalam

DUHAM merupakan norma internasional yang disepakati dan diterima oleh negara-negara di

dunia melalui Perserikatan Bangsa-Bangsa. DUHAM merupakan kerangka tujuan HAM yang

dirancang dalam bentuk umum dan merupakan sumber utama pembentukan dua instrumen

HAM, yaitu: Kovenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik serta Kovenan Internasional

tentang Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya. Hak-hak yang terdapat dalam DUHAM merupakan

realisasi dari hak-hak dasar yang terdapat dalam Piagam PBB, misalnya (yang terkait dengan

penegakan hukum) Pasal 3, 5, 9, 10 dan 11. Pasal-pasal tersebut secara berturut-turut

menetapkan hak untuk hidup; hak atas kebebasan dan keamanan diri; pelarangan penyiksaan-

perlakuan-penghukuman lain yang kejam, tidak manusiawi, dan merendahkan martabat manusia;

pelarangan penangkapan sewenang-wenang; hak atas keadilan; hak atas praduga tak bersalah

sampai terbukti bersalah; serta pelarangan hukuman berlaku surut. Secara keseluruhan, DUHAM

merupakan pedoman bagi penegak hukum dalam melakukan pekerjaannya (Kusumaatmadja,

2003).

Page 17: Hukum Dan HAM

- Kovenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik (International Covenant on Civil

and Political Rights)

Hak-hak dalam DUHAM diatur secara lebih jelas dan rinci dalam Kovenan Internasional tentang

Hak Sipil dan Politik, yang mulai berlaku secara internasional sejak Maret 1976. Konvenan ini

mengatur mengenai (Kusumaatmadja, 2003). :

- Hak hidup;

- Hak untuk tidak disiksa, diperlakukan atau dihukum secara kejam, tidak manusiawi

atau direndahkan martabat;

- Hak atas kemerdekaan dan keamanan pribadi;

- Hak untuk tidak dipenjara semata-mata atas dasar ketidakmampuan memenuhi kewajiban

kontraktual;

- Hak atas persamaan kedudukan di depan pengadilan dan badan peradilan; dan

- Hak untuk tidak dihukum dengan hukuman yang berlaku surut dalam penerapan hukum pidana.

Kovenan ini telah disahkan oleh lebih dari 100 negara di dunia. Indonesia turut mengaksesinya

atau pengesahannya melalui Undang-Undang No. 12 tahun 2005, sehingga mengikat pemerintah

beserta aparatnya. Pelaksanaan Kovenan ini diawasi oleh Komite Hak Asasi Manusia

(Kusumaatmadja, 2003)..

- Kovenan Internasional tentang Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya (International

Covenant on Economic, Social dan Cultural Rights)

Kovenan ini mulai berlaku pada Januari 1976. Indonesia melalui UU No. 11 tahun 2005

mengesahkannya. Alasan perlunya mempertimbangkan hak-hak dalam Kovenan ini adalah

(Kusumaatmadja, 2003):

- Hukum berlaku tidak pada keadaan vakum. Aparat penegak hukum dalam melaksanakan

tugasnya tidak lepas dari masalah ekonomi, sosial, dan budaya masyarakat.

- Asumsi bahwa hak ekonomi dan hak sosial tidak penting diterapkan dalam pekerjaan sehari-

hari adalah tidak benar, karena dalam hak ekonomi terdapat prinsip non-diskriminasi dan

perlindungan terhadap penghilangan paksa.

- Hak-hak yang dilindungi oleh dua Kovenan diakui secara universal sebagai sesuatu yang saling

terkait satu sama lain.

Page 18: Hukum Dan HAM

Seperti halnya Kovenan tentang Hak Sipil dan Politik, Kovenan ini dalam pelaksanaannya juga

diawasi oleh suatu Komite (Komite tentang Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya).

- Konvensi Genosida (Convention on the Prevention and Punishment of the Crime of

Genocide)

Kovensi ini mulai berlaku pada Januari 1951. Indonesia melalui UU No. 26 tahun 2000

tentang Pengadilan HAM menetapkan genosida sebagai salah satu pelanggaran HAM berat.

Konvensi ini menetapkan Genosida sebagai kejahatan internasional dan menetapkan perlunya

kerjasama internasional untuk mencegah dan menghapuskan kejahatan genosida

(Kusumaatmadja, 2003).. 

· Konvensi Menentang Penyiksaan (Convention against Torture and Other Cruel, Inhuman

or Degrading Treatment or Punishment)

Konvensi Menentang Penyiksaan dan Perlakuan atau Penghukuman Lain yang Kejam,

Tidak Manusia dan Merendahkan Martabat Manusia (Kovensi Menentang Penyiksaan) mulai

berlaku sejak Januari 1987. Indonesia mesahkan Konvensi ini melalui UU No. 5 tahun 1998.

Kovensi ini mengatur lebih lanjut mengenai apa yang terdapat dalam Kovenan tentang Hak Sipil

dan Politik. Konvensi ini mewajibkan negara untuk mengambil langkah-langkah legislatif,

administrasi, hukum, atau langkah-langkah efektif lainnya guna: 1) mencegah tindak penyiksaan,

pengusiran, pengembalian (refouler), atau pengekstradisian seseorang ke negara lain apabila

terdapat alasan yang cukup kuat untuk menduga bahwa orang tersebut akan berada dalam

keadaan bahaya (karena menjadi sasaran penyiksaan), 2) menjamin agar setiap orang yang

menyatakan bahwa dirinya telah disiksa dalam suatu wilayah kewenangan hukum mempunyai

hak untuk mengadu, memastikan agar kasusnya diperiksa dengan segera oleh pihak-pihak yang

berwenang secara tidak memihak, 3) menjamin bahwa orang yang mengadu dan saksi-saksinya

dilindungi dari segala perlakuan buruk atau intimidasi sebagai akibat dari pengaduan atau

kesaksian yang mereka berikan, 4) menjamin korban memperoleh ganti rugi serta (hak untuk

mendapatkan) kompensasi yang adil dan layak. Konvensi ini dalam pelaksanaannya diawasi oleh

Komite Menentang Penyiksaan (CAT), yang dibentuk berdasarkan aturan yang terdapat

didalamnya (Kusumaatmadja, 2003).

Page 19: Hukum Dan HAM

- Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminsasi Rasial (International Convention

on the Elimination of All Forms of Racial Discrimination)

Konvensi ini mulai berlaku sejak Januari 1969 dan disah oleh Indonesia melalui UU No.

29 tahun 1999. Terdapat larangan terhadap segala bentuk diskriminasi rasial dalam bidang

politik, ekonomi, sosial dan budaya. Selain itu, Konvensi ini juga menjamin hak setiap orang

untuk diperlakukan sama di depan hukum tanpa membedakan ras, warna kulit, asal usul dan suku

bangsa. Konvensi ini juga membentuk Komite Penghapusan Diskriminasi Rasial, yang

mengawasi pelaksanaannya (Kusumaatmadja, 2003)..

- Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan (Convention

on the Elimination of All Forms of Discrimination against Women)

Kovensi ini mulai berlaku sejak September 1981 dan dirafikasi oleh Indonesia melalui

UU No. 7 tahun 1984. Sejak pemberlakuannya, konvensi ini telah menjadi instrumen

internasional yang menghapuskan diskriminasi terhadap perempuan dalam bidang politik,

ekonomi, sosial budaya, dan sipil. Konvensi ini mensyaratkan agar negara melakukan segala cara

yang tepat dan tanpa ditunda-tunda untuk menjalankan suatu kebijakan yang menghapus

diskriminasi terhadap perempuan serta memberikan kesempatan kepada mereka untuk

mendapatkan HAM dan kebebasan dasar berdasarkan kesetaraan antara laki-laki dan perempuan.

Dalam pelaksanaannya, Konvensi ini juga mengatur mengenai pembentukan Komite

Penghapusan Diskriminasi terhadap Perempuan (CEDAW) (Kusumaatmadja, 2003)..

- Konvensi Hak Anak (Convention on the Rights of the Child)

Konvensi Hak Anak mulai berlaku sejak September 1990 dan disahkan oleh Indonesia

melalui Keppres No. 36 tahun 1990. Dalam Konvensi ini negara harus menghormati dan

menjamin hak bagi setiap anak tanpa diskriminasi ras, warna kulit, jenis kelamin, bahasa, agama,

pendapat politik atau pendapat lainnya, kewarganegaraan, asal usul kebangsaan atau sosial,

kekayaan, kecacatan, kelahiran atau status lain. Negara juga harus mengambil langkah-langkah

yang layak untuk memastikan bahwa anak dilindungi dari segala bentuk diskriminasi atau

hukuman yang didasarkan pada status, kegiatan, pendapat yang disampaikan, atau kepercayaan

orang tua anak, walinya yang sah, atau anggota keluarganya . Konvensi ini juga membentuk

Komite Hak Anak (CRC) untuk mengawasi pelaksanaan isi Konvensi (Kusumaatmadja, 2003)..

Page 20: Hukum Dan HAM

- Konvensi Mengenai Status Pengungsi (Convention relating to the Status of Refugees)

Konvesi ini mulai berlaku sejak April 1954. Indonesia belum mesahkan Konvensi ini

walaupun menghadapi banyak masalah pengungsi. Pengungsi dibedakan dengan

istilah “internaly displaced person” atau pengungsi yang berpindah daerah dalam satu negara.

Pengungsi dalam konvensi ini didefinisikan sebagai mereka yang meninggalkan negaranya

karena takut disiksa atas alasan ras, agama, kebangsaan, opini politik atau keanggotaan pada

kelompok tertentu, tidak bisa atau tidak mau pulang karena ketakutan. Kovensi Pengungsi

menentukan empat prinsip HAM dalam menangani pengungsi, yaitu: persamaan hak, tidak

adanya pengasingan terhadap hak-hak mereka, universalitas dari hak-hak mereka, serta hak

untuk mencari dan mendapatkan suaka dari penghukuman (Kusumaatmadja, 2003). 

b. Instrumen Hukum yang Tidak Mengikat

- Pedoman Berperilaku bagi Penegak Hukum (Code of Conduct for Law Enforcement

Officials)

Majelis Umum PBB pada tahun 1979 mengeluarkan resolusi 34/169 tentang Pedoman

Pelaksanaan Bagi Penegak Hukum. Pedoman ini memberikan arahan bagi penegak hukum dalam

menjalankan tugasnya. 

Terdapat delapan pasal yang mengatur mengenai tanggung jawab penegak hukum yaitu,

perlindungan HAM, penggunaan kekerasan, penanganan terhadap informasi rahasia, pelarangan

penyiksaan-perlakuan-penghukuman lain yang kejam, tidak manusiawi dan merendahkan

martabat manusia, perlindungan kesehatan tahanan, pemberantasan korupsi, serta penghargaan

terhadap hukum dan undang-undang (Kusumaatmadja, 2003)..

- Prinsip-Prinsip Dasar Mengenai Penggunaan Kekerasan dan Senjata Api (Basic

Principles on the Use of Force and Firearms by Law Enforcement Officials)

Prinsip-prinsip ini diadopsi oleh PBB pada tahun 1990, menekankan bahwa penggunaan

kekerasan dan senjata api hanya dapat dilakukan jika diperlukan serta sesuai dengan tugas pokok

maupun fungsi yang diatur oleh peraturan perundangan (Kusumaatmadja, 2003).. 

Page 21: Hukum Dan HAM

- Deklarasi Mengenai Penghilangan Paksa (Declaration on the Protection of All Persons

from Enforced Disappearance)

Deklarasi ini diadopsi oleh Majelis Umum PBB pada Desember 1992. Di dalamnya

terdapat 21 (dua puluh satu) pasal yang mengatur mengenai pencegahan tindakan penahanan

tanpa tujuan yang jelas atau sebagai tindakan kejahatan terhadap kemanusiaan. Deklarasi ini

mensyaratkan adanya langkah-langkah legislatif, administrasi, hukum, maupun langkah-langkah

efektif lainnya untuk mencegah dan menghapuskan tindakan penghilangan paksa

(Kusumaatmadja, 2003). 

 

- Deklarasi Penghapusan Diskriminasi terhadap Perempuan (Declaration on the

Elimination of Violence against Women)

Perserikatan Bangsa-Bangsa pada tahun 1967 telah mengadopsi Deklarasi mengenai

Penghapusan Diskriminasi terhadap wanita. Deklarasi tersebut memuat hak dan kewajiban

wanita berdasarkan persamaan hak dengan pria, serta menyatakan agar diambil langkah-langkah

seperlunya untuk menjamin pelaksanaannya. Deklarasi ini menjadi dasar dalam penyusunan

rancangan Konvensi tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Wanita

(Kusumaatmadja, 2003).

- Deklarasi Mengenai Pembela HAM (Declaration on Human Rights Defender)

Deklarasi ini diadopsi oleh Majelis Umum PBB pada tahun 1998. Deklarasi Pembela

HAM memberikan perlindungan bagi para pembela HAM dalam melakukan kegiatan mereka.

Deklarasi ini tidak membentuk hak-hak baru tetapi lebih pada memberikan panduan bagi para

pembela HAM terkait dengan pekerjaan mereka. Digarisbawahi tugas-tugas negara dalam

pemenuhan HAM, serta tanggung jawab yang harus dilakukan oleh para pembela HAM,

disamping juga menjelaskan hubungan antara HAM dan hukum nasional suatu negara.

Ditegaskan agar para pembela HAM melakukan aktivitasnya dengan cara-cara damai

(Kusumaatmadja, 2003).

- Prinsip-prinsip tentang Hukuman Mati yang Tidak Sah, Sewenang-sewenang dan

Sumir(Principles on the Effective Prevention and Investigation of Extra-legal, Arbitrary

and Summary Executions )

Page 22: Hukum Dan HAM

Prinsip-prinsip tentang Pencegahan dan Penyelidikan Efektif terhadap Hukuman Mati

yang Tidak Sah, Sewenang-sewenang dan Sumir merupakan prinsip-prinsip yang

direkomendasikan oleh Dewan Ekonomi dan Sosial PBB pada bulan Mei 2003. Prinsip-prinsip

ini memberikan panduan bagi penegak hukum dalam mengadili para pelaku tindak pidana.

Prinsip-prinsip ini menekankan pentingnya pengawasan (termasuk kejelasan dalam rantai

komando) terhadap lembaga-lembaga penegak hukum. Prinsip-prinsip ini juga mejelaskan secara

rinci mengenai jaminan terhadap pemenuhan hak untuk hidup (Kusumaatmadja, 2003).

4. Pengawasan terhadap Pemenuhan HAM

Pengawasan HAM dibagi dua, yaitu pengawasan di tingkat nasional dan tingkat

internasional. Di tingkat nasional, pengawasan dilakukan antara lain oleh (Budiardjo, 1989):

· Lembaga pemerintah termasuk Polisi;

· Komisi Nasional HAM, Komnas Perempuan dan Komnas Anak;

· Lembaga Swadaya Masyarakat;

· Pengadilan;

· Dewan Perwakilan Rakyat;

· Media Masa;

· Organisasi Profesi seperti IDI dan Peradi;

· Organisasi Keagamaan;

· Pusat Kajian di Universitas.

Adapun pengawasan di tingkat internasional atau PBB didasarkan pada perjanjian internasional

mengenai HAM (El-Muhtaj, 2005):

Perjanjian Hak Asasi Manusia (Instrumen) Badan Pengawas Pelaksanaan

Perjanjian

Kovenan Internasional tentang Hak Ekonomi, Sosial

dan Budaya (International Covenant on Economic,

Social dan Cultural Rights)

Komite Hak Ekonomi, Sosial dan

Budaya (Committee on EconomicSocial

and Cultural Rights)

Page 23: Hukum Dan HAM

Kovenan Internasional tentang Hak Sipil dan

Politik(International Covenant on Civil and

Political Rights)

Komite Hak Asasi Manusia

(HumanRights Committee)

Konvensi Internasional tentang Penghapusan Bentuk

Diskriminasi Ras

Komite Penghapusan Diskriminasi Ras

(Committee

on EliminationRacial Discrimination)

Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi

terhadap Perempuan (Convention on the Elimination

of All Forms of Discrimination against Women)

Komite Penghapusan Diskriminasi

terhadap Perempuan (Committee

onEliminations Discrimination Against

Women)

Konvensi menentang Penyiksaan dan Perlakuan atau

Penghukuman Lain yang Kenjam, Tidak Manusiawi

dan Merendahkan Martabat Manusia (Convention

against Torture and Other Cruel, Inhuman or

Degrading Treatment or Punishment)

Komite Menentang Penyiksaan

(Committee on Against Torture)

Konvensi Hak Anak ( Convention on the Rights of

the Child)

Komite Hak Anak (Committee on

Rights of the Child)

Setiap perjanjian internasional HAM mempunyai sistem pengawasan yang berbeda-beda.

Walaupun sistem pengawasan dari setiap konvensi mengenai HAM berbeda-beda tetapi satu

dengan yang lainnya saling melengkapi. Pengawasan ini berfungsi untuk mengiventarisasi secara

periodik dan sistematik terhadap kemajuan yang telah dicapai oleh negara-negara terkait dengan

pelaksanaan kewajiban yang terdapat di dalam konvensi. Pengawasan ditujukan agar terjadi

dialog antara komite HAM terkait dengan negara-negara peserta yang bertujuan untuk membantu

transformasi konvensi HAM internasional kedalam perundang-undangan nasional serta

membantu pelaksanaan kewajiban yang harus dilakukan oleh negara. Dialog ini dilakukan secara

terbuka antara Komite dan wakil dari negara (Shearer, 1984).

B. Mengitegrasikan Instrumen Hukum Ham Internasional Ke Dalam Hukum Nasional

Page 24: Hukum Dan HAM

1. Teori Hubungan antara Hukum Internasional dan Hukum Nasional

Dalam Pasal 27 dari Konvensi Wina 1969 tentang Hukum Perjanjian Internasional (the

Law of the Treaties) ditegaskan bahwa negara tidak dapat menjadikan hukum nasionalnya

sebagai alasan untuk tidak dapat menjalankan kewajiban perjanjian internasional. Pada sisi lain

negara mempunyai kebebasan untuk menentukan acuannya dalam melaksanakan kewajibannya

dalam hukum internasional dan menyesuaikan hukum nasionalnya dengan hukum internasional.

Walaupun dalam sistem hukum internasional dan sistem nasional terdapat perbedaan yang sangat

jelas, tetapi juga terdapat kesamaan pada sisi lain, untuk itu maka sebaiknya aparat penegak

hukum, sebagai bagian dari negara, harus mengetahui dengan baik bagaimana hubungan antara

hukum internsional dengan hukum nasional negara yang bersangkutan (Sentra HAM, 2003).

Terdapat dua teori untuk menjelaskan hubungan antara hukum internasional dan hukum

nasional, agar negara dapat menyesuaikan hukum nasionalnya dengan kewajibannya di dalam

hukum internsional. Kedua teori terseubut adalah sebagai berikut:

1. Teori monoisme, didasarkan pada pemikiran bahwa hukum nasional dan hukum internasional

adalah satu kesatuan sistem hukum. Dengan demikian maka jika suatu negara telah meratifikasi

dan menjadi pihak dalam perjanjian internasional untuk melindungan HAM, maka secara

otomatis perjanjian internasional itu menjadi hukum nasionalnya (Kusumaatmadja, 2003).

2. Teori dualisme, didasarkan pada pemikiran bahwa hukum internasional dan hukum nasional

merupakan dua sistem atau perangkat hukum yang terpisah. Sehingga untuk menerapkan hukum

internasional yang melindungi HAM, misalnya, ratifikasi saja tidak cukup, perlu adanya suatu

transformasi hukum internasional ke dalam hukum nasional, yang biasanya dilakukan melalui

undang-undang yang dibuat oleh parlemen (Kusumaatmadja, 2003)

Dalam menerapkan kedua teori tersebut negara dapat mempraktekkannya dalam berbagai

macam cara untuk menjadi hukum nasional, diantaranya adalah (Kusumaatmadja, 2003) :

1. Konstitusi, dengan menyebutkan perlindungan HAM dalam pasal-pasal yang ada di dalam

undang-undang dasar yang diambil dari DUHAM, ICCPR atau ICESCR;

2. Perundang-undangan nasional, mengeluarkan undang-undang mengenai HAM yang

menjelaskan lebih terperinci mengenai HAM yang ada di dalam konstitusi;

Page 25: Hukum Dan HAM

3. Inkorporasi, dengan menjadikan perjanjian internasional mengenai HAM menjadi hukum

nasionalnya sehingga segala hak dan kewajiban yang ada dalam hukum internasional menjadi

hak dan kewajiban di dalam hukum nasionalnya. Praktek ini biasa dilakukan olen negara Inggris;

4. Pemberlakuan secara langsung, perjanjian internasional mengenai HAM langsung menjadi

hukum nasional setelah negara yang bersangkutan menyatakan ratifikasi atas perjanjian

internasional tersebut;

5. Interpretasi dalam sistem common law, dalam penerapan prinsip ini hakim dapat mendasarkan

putusannya pada interpretasi atas hukum HAM internasional atau yurisprudensi kasus-kasus

HAM diputus oleh pengadilan internasional; 

6. Jika terdapat kekosongan hukum, dibeberapa negara, jika terjadi kekosongan hukum mengenai

HAM, hakim dan advokat dapat mendasarkan pada hukum internasional, putusan kasus-kasus

internasional atau pada kasus-kasus dari negara lain untuk dapat menerapkan prinsip dasar dari

HAM. Tetapi hal ini sangat bergantung pada situasi dan kondiri hukum dari negara yang

bersangkutan.

2. Praktik Pengitegrasian Perjanjian Internasional ke dalam Hukum Nasional di Indonesia

Di Indonesia pratik pengesahan atau pemberlakuan hukum internasional ke dalam hukum

nasional di dasarkan atas Undang Undanga No. 24 tahun 2000 mengenai Perjanjian

Internasional. Indonesia adalah negara yang menganut paham dualisme, hal ini terlihat dalam

Pasal 9 ayat 2 UU No. 24 tahun 2000, dinyatakan bahwa, ”Pengesahan perjanjian internasional

sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan dengan undang-undang atau keputusan

presiden.” (Sentra HAM, 2003).

Dengan demikian pemberlakuan perjanjian internasional ke dalam hukum nasional

indonesia tidak serta merta. Hal ini juga memperlihatkan bahwa Indonesia memandang hukum

nasional dan hukum internasional sebagai dua sistem hukum yang berbeda dan terpisah satu

dengan yang lainnya. Perjanjian internasional harus ditransformasikan menjadi hukum nasional

dalam bentuk peraturan perundang-undangan melalui undang-undang yang dibuat oleh Dewan

Perwakilan Rakyat (DPR) atau dengan keputusan presiden (Sentra HAM, 2003).

Page 26: Hukum Dan HAM

Pengesahan perjanjian internasional dilakukan melalui undang-undang apabila berkenaan dengan

(Sentra HAM, 2003):

a. masalah politik, perdamaian, pertahanan, dan keamanan negara

b. perubahan wilayah atau penetapan batas wilayah negara

c. kedaulatan atau hak berdaulat negara

d. hak asasi manusia dan lingkungan hidup

e. pembentukan kaidah hukum baru

f. pinjaman dan/atau hibah luar negeri. 

Perjanjian internasional yang tidak disebutkan di atas dapat disahkan melalui keputusan

presiden, tanpa perlu adanya persetujuan dari parlemen. Dengan demikian pemberlakuan

perjanjian internasional mengenai HAM kedalam hukum internasional perlu adanya pengesahan

dari parlemen agar dapat ditransformasikan ke dalam hukum nasional Indonesia (Sentra HAM,

2003).

f. Perlindungan Hak Asasi Manusia Di Indonesia

Pembicaraan tentang Hak Asasi Manusia (HAM) mengalami perkembangan yang amat

pesat. Pada era reformasi, setiap langkah strategis bangsa Indonesia selalu dikaitkan dengan hak

asasi manusia. Penegakan, perlindungan, penghormatan, pemenuhan, pemajuan hak asasi

manusia telah menjadi komitmen Negara, pemerinta dan masyarakat Indinesia yang diwujudkan

dalam bentuk pemberdayaan institusi dan konstitusi.

Hak-hak setiap orang harus dilindungi dengan undang-undang, tidak seorang pun boleh

dirampas kehidupannya secara sengaja, kecuali dalam pelaksanaan hukum oleh pengadilakn

setelah ia diadili untuk suatu kejahatan yang diancam dengan hukuman berdasarkan undang-

undang.

Berdasarkan Undang-Undang Repiblik Indonesia Nomor 39 tahun 1999 tentang Hak

Asasi Manusia Ketentuan Umum pasal 1, Hak Asasi Manusia adalah seperangkat hak yang

melekat pada hakekat keberadaan manusia sebagai mahluk Tuhan Yang Maha Esa dan

merupakan anugerah-Nya yang wajib di hormati, dijunjung tinggi dan dilindungi oleh Negara,

Page 27: Hukum Dan HAM

hukum, pemerintah dan setiap orang demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat

manusia.

Dalam Undang-undang No 39 tahun 1999 Pasal 3 tersebut juga menyatakan bahwa setiap

orang berhak atas pengakuan dan perlakuan hukum yang adil serta mendapat kepastian hukum

dan perlakuan yang sama di depan hukum. Pada pasal 5 juga menjelaskan bahwa setiap orang

diakui sebagai pribadi yang berhak menuntut dan memperoleh perlakuan serta perlindungan

yang sama didepan hukum, berhak mendapat perlindungan dan bantuan keadilan. Pasal 7

ditambahkan juga bahwa setiap orang berhak menggunakan semua upaya hukum nasional dan

forum internasional atas semua pelanggaran HAM yang dijamin oleh hukum Indonesia dan

internasional.

Pemerintah, masyarakat dengan berlandaskan undang-undang wajib melindungi dan

menjunjung tinggi HAM, sehingga prinsip-prinsip, manfaat dan kesederajatan yang melekat pada

semua umat manusia terlaksana dengan baik, sehingga tidak ada lagi diskriminasi. Maka dari itu

guna mewujudkan perlindungan HAM bagi setiap individu maka dibentuklah Komnas HAM.

Dalam UU No 39 th 1999 menyebutkan bahwa Komnas HAM bertujuan untuk menciptakan

pelaksanaan perlindungan HAM berdasarkan Pancasila, UUD 1945, Piagam Perserikatan

Bangsa-bangsa dan meningkatkan perlindungan dan penegakan HAM guna mengembangkan

pribadi manusia Indonesia. Komnas HAM melaksanakan fungsi pengkajian, penelitian,

penyuluhan dan mediasi tentang hak asasi manusia.

g. Upaya Pemerintah Indonesia Dalam Melakukan Perlindungan HAM

Pelaksanaan perlindungan HAM di masing-masing negara di dunia sangat berlainan

antara negara yang satu dengan negara lainnya menngingat adanya 4 kelompok pandangan

tentang HAM, dimana masing-masing kelompok pandangan tentang HAM ini juga ada

penganutnya di Indonesia, ialah sebagai beriikut (Winandi,2011) :

1. Pandangan universal absolut

Pandangan ini memandang HAM sebagai nilai-nilai universal sebagaimana dirumuskan

dalam dokumen-dokumen HAM internasional seperti The International Bill og Human

Page 28: Hukum Dan HAM

Right. Dalam hal ini profil sosaila budaya yang melekat pada masing-masing bangsa

tidak diperhitungkan. Penganut pandangan ini adalah negara-negara maju dan bagi

negara-negara berkembang mereka dinilai eksploitatif, karena menerapkan HAM sebgai

alat penekan dan sebagai instrumen penilai (tool of judgement)

2. Pandangan universal relatif

Pandangan ini melihat persoalan HAM sebagai masalah universal, namun demikian

perkecualian dan pembatasan yang didasarkan atas asas-asas hukum internasional tetap

diakui keberadaannya.

3. Pandangan partikularistik absolut

Pandangan ini melihat HAM sebgai persoalan masing-masing bangsa, tanpa memberikan

alasan yang kuta, khususnya dalam melakukan peno;akan terhdap berlakunya dokumen-

dokumen internasional. Pandangan ini seringakali menimbulkan kesan chauvinis, egois,

defensif dan pasif tentang HAM.

4. Pandangan partikularistik relatif

Dalam pandangan ini HAM dilihat di smaping sebagai maslah universal juga merupakan

masalah nasional masing-masing bangsa. Berlakuknya dokumen-dokumen HAM harus

diselaraskan, diserasikan, dan diseimbangkan serta memperoleh dukungan budaya

bangsa. Pandangan ini tidak hanya menjadikan kekhususan yang ada pada masing-

masing bangsa sebagai sarana untuk bersikap defensif, tetapi di lain pihak juga aktif

berusaha mencari perumusan dan pembenaran terhadap karakteristik HAM yang

dianutnya.

Dengan adanya pengoolongan pandangan tentang HAM sebagaimana telah diuraikan

diatas, Indonesia sebagai salah satu negara yang sedang berkembang merupakan penganut dari

pandangan yang ke -4, yaitu pandangan partikularistik relatif. Hal ini terlihat dalam tindakan-

tindakan yang dilakukan oleh Pemerintah dalam merespon beberapa konvensi internasional yang

memuat perlindungan terhadap HAM, sebagai contoh ialah sikap pemerintah Indonesai yang

belum meratifikasi Konvensi Internasional tahun 1984 tentang Konvensi Anti Penyiksaan.

(winandi, 2011)

Guna mendukung kebijakan pemerintah untuk menegakkan perlindungan HAM maka

pada tahun 1993, pemerintah mengeluarkan Keppres No. 50 tahun 1993 tentang pembentukan

Page 29: Hukum Dan HAM

Komisi Nasional HAM (Komnas HAM) yang merupakan variabel kondusif tersendiri, sekalipun

banyak pula kritij yang terlontar. Komnas HAM ini mempunyai tugas-tugas sebagai berikut

(Winandi, 2011):

- Menyebarluaskan wawasan nasional dan internasional mengenai Ham, baik kepada

masyarakat Indonesia maupun masyarakt internasional

- Mengkaji berbagai instrumen PBB tentang HAM dengan memberikan saran tentang

kemungkinan aksesi dan ratifikasi

- Memantau dan menyelidiki oelaksanaan HAM, serta memberikan pendapat,

pertimbangan, dan saran kepada instansi pemerintah tentang pelaksanaan HAM dan

Mengadakan kerja sama regional dan internasional di bidang HAM

Setelah membentuk Komnas HAM, pemerintah Indonesia melakukan ratifikasi beberapa

dokumen internasional yang terkait dengan pelanggaran HAM seperti konvvensi anti

penyiksaaan dan juga konvensi tentang pembentukan Mahkamh Pidana Internasional

(ICC/International Criminal Court) guna mengantisipasi pelaku kejahatan internasional yang

tidak tersentuh oleh hukum nasional (Winandi, 2011).

Adapun bentuk-bentuk kejahatan yang dapat diajukan kepada Mahkamah Pidana

internasional (ICC) adalah sebagai berikut (Winandi, 2011):

1. Genocide

2. Aggresion

3. War crimes

4. Crimes Against Humanity

5. Treaty based crimes

Setelah pemerintah melakuakn ratifikasi terhadap beberapa instrumen dan dokumen

internasional yang berkaitan dengan perlindungan HAM dengan cara mengaturnya ke dalam

keputusan presiden ataupun suatu undang-undang, sehubungan dengan rencana pemerintah yang

akan meratifikasi Convention Againts Torture and Other Cruel, Inhuman or Degrading or

Punishment dan konvensi tentang race discrimination(Winandi, 2011).

Page 30: Hukum Dan HAM

Mengenai rencana Indonesia untuk meratifikasi Convention Againts Torture and Other

Cruel, Inhuman or Degrading or Punishment ini terdapat empat alasan kuat yang dapat

mendukung rencan Indonesia untuk meratifikasi salah satu dokumen tentang perlindungan

terhadap HAM, yaitu(Winandi, 2011):

1. Komitmen Indonesia untuk menghormati hak-hak asasi manusia dan untuk turut serta

menciptakan perdamaian dunia berdasarkan prinsip keadilan dan kemersekaan,

seperti diamnahkan Pembukaan UUD 1945. Di samping itukomitmen sebagai negara

hukum, yang mengharuskan untuk membangun hukum yang berkeadilan sosial dan

melindungi hak-hak asai manusia.

2. Karena Indonesia baru meratifikasi empat konvensi dari 30 konvensi PBB, jumlah itu

sangat sedikit.

3. Penghormatan terhadap HAM merupakan Conditio Sine Quanon bagi negara-negar

yang ikut serta dalam pergaulan tata internasional.

4. Realitas perlindungan HAM di Indonesia masih diwarnai dengan tindakan kekerasan

sehingga diharapkan dengan ratifikasi konvensi anti penyiksaan kita daapt

menyempurnakan sistem peradilan pidana.

Berbagai kegiatan di masyarakat yang dapat dimasukan dalam upaya perlindungan HAM

menurut Lukman Soetrisno seorang sosiolog antara lain (Muhammad, 2008):

1. Kegiatan belajar bersama, berdiskusi untuk memahami pengertian HAM;

2. Mempelajari peraturan perundang – undangan mengenai HAM maupun peraturan hukum

pada umumnya, karena peraturan hukum yang umum pada dasarnya juga telah memuat

jaminan perlindungan HAM;

3. Mempelajari tentang peran lembaga–lembaga perlindungan HAM, seperti Komnas HAM,

Komisi Nasional Perlindungan Anak (KNPA), LSM, dan seterusnya;

4. Memasyarakatkan tentang pentingnya memahami dan melaksanakan HAM, agar

kehidupan bersama menjadi tertib, damai dan sejahtera kepada lingkungan masing–

masing;

5. Menghormati hak orang lain, baik dalam keluarga, kelas, sekolah, pergaulan, maupun

masyrakat;

Page 31: Hukum Dan HAM

6. Bertindak dengan mematuhi peraturan yang berlaku di keluarga, kelas, sekolah, OSIS,

masyarakat, dan kehidupan bernegara;

7. Berbagai kegiatan untuk mendorong agar negara mencegah berbagai tindakan anti

pluralisme (kemajemukan etnis, budaya, daerah, dan agama);

8. Berbagai kegiatan untuk mendorong aparat penegak hukum bertindak adil;

9. Berbagai kegiatan yang mendorong agar negara mencegah kegiatan yang dapat

menimbulkan kesengsaraan rakyat untuk memenuhi kebutuhan dasarnya seperti, sandang,

pangan, papan, kesehatan dan pendidikan.

h. Pentingnya reformasi hukum

Reformasi hukum mempunyai arti penting guna membangun desain kelembagaan bagi

pembentukan negara hukum yang dicita-citakan. Untuk kepentingan itu dalam sistem politik

yang demokratis, hukum harus memberi kerangka struktur organisasi formal bagi bekerjanya

lembaga-lembaga negara, menumbuhkan akuntabilitas normatif dan akuntabilitas publik dalam

proses pengambilan keputusan politik, serta dapat meningkatkan kapasitasnya sebagai

sarana penyelesaian konflik politik(Harkristuti, 2003).

Misi yang diemban dalam rangka reformasi hukum adalah terciptanya hukum yang tertib

dan berkeadilan namun tetap senantiasa mampu mendorong pembangunan bagi peningkatan

kesejahteraan masyarakat. Tujuan utama yang hendak dicapai dalam kerangka reformasi hukum

adalah tegaknya supremasi hukum dalam masyarakat. Melalui tegaknya supremasi hukum, maka

hukum akan benar-benar berfungsi sebagai rambu-rambu dan sekaligus pedoman bagi semua

pihak, baik penyelenggara negara dan pemerintahan, penegak hukum, pelaku usaha dan

masyarakat umum dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara (Iskatrinah, 2004).

Page 32: Hukum Dan HAM

BAB 3

PENUTUP

Kesimpulan

Hukum dan HAM merupakan konsepsi kemanusiaan dan relasi sosial yang dilahirkan

dari sejarah peradaban manusia di seluruh penjuru dunia. Hukum dan HAM juga dapat dimaknai

sebagai hasil perjuangan manusia untuk mempertahankan dan mencapai harkat kemanusiaannya.

Negara Indonesia adalah negara hukum tidak hanya berdasarkan pada kekuasaan belaka,

selain itu juga berdasarkan Pancasila dan Undang Undang Dasar 1945. Hal ini berarti Negara

Indonesia menjunjung tinggi hak asasi manusia dan menjamin segala warga negaranya

bersamaan kedudukannya di dalam hokum dan pemerintahan, serta wajib menjunjung tinggi

hukum dan pemerintahan itu tanpa ada kecualinya. Pernyataan bahwa Indonesia merupakan

negara hukum juga mempunyai konsekuensi, bahwa Negara Indonesia menerapkan hukum

sebagai idiologi untuk menciptakan ketertiban, keamanan, keadilan serta kesejahteraan bagi

warga negara, sehingga hukum itu bersifat mengikat bagi setiap tindakan yang dilakukan oleh

warga negaranya. Negara hukum harus memenuhi beberapa unsur antara lain pemerintah dalam

melaksanakan tugas dan kewajibannya, harus berdasar hukum atau peraturan perundang-

undangan, adanya jaminan terhadap hak asasi manusia, adanya pembagian kekuasaan dalam

Negara, adanya pengawasan dari badan-badan peradilan.

Saran

Sebagai warga Indonesia yang berdasarkan Negara hukum, seharusnya semua pihak

wajib menjunjung tinggi, mematuhi dan melaksanakan humum yang berlaku di Indonesia agar

tercapai cita-cita bangsa Negara.

Page 33: Hukum Dan HAM

DAFTAR PUSTAKA

El –Muhtaj, Hak asasi manusia dalam konstitusi Indonesia: dari UUD 1945 sampai dengan

Amandemen UUD 1945 tahun 2002, Kencana, 2005, hal. 62

Fachruddin Irfan.  Pengawasan Peradilan Administrasi terhadap Tindakan

Pemerintah,  (Bandung : PT. Alumni, 2004), hal. 110 – 120

Ganeca Exact. 2007. Pendkewarganegaraansmp/mts.

Harkrisnowo, Harkristuti, 2003, HAM Dalam Kerangka Integrasi Nasional Dan

Pembangunan Hukum, Komisi Hukum Nasional Republik Indonesia.

Iskatrinah, 2004, Pelaksanaan Fungsi Hukum Administrasi Negara Dalam Mewujudkan

Pemerintahan Yang Baik, Litbang Pertahanan Indonesia, Balitbang Departemen

Pertahanan.

 I A Shearer, Starke’s International Law, 11th ed., Butterworths, USA, 1984, hal 64, Aliran ini

pernah sangat berpengaruh di Jerman dan Italia. Para pemuka aliran ini adalah Triepel dan

Anziloti.

Kusniati, R. 2005. Sejarah Perlindungan Hak Hak Asasi Manusia Dalam Kaitannya Dengan

Konsepsi Negara Hukum. Available at:

http://online-journal.unja.ac.id/index.php/jimih/article/download/537/490. (Accesed 25

September 2013).

Mochtar Kusumaatmadja, Pengantar Hukum Internasional, Alumi, Bandung 2003, hal 65,

Miriam Budiardjo, Dasar-dasar Ilmu Politik, (Jakarta :PT Gramedia, 1989) hal 57.

Muhamad , Simela Victor , 2008, Pemajuan Dan Perlindungan Hak Asasi Manusia Dalam

Konteks Hubungan Internasional Dan Indonesia, Kajian, Vol 13, No. 4, Available From:

http://www.academia.edu/Download Akses 25 September 2013

Page 34: Hukum Dan HAM

Notohamidjojo, Makna Negara hukum, (Jakarta : Badan Penerbit Kristen, 1970), hal. 27

Sentra HAM, Panduan Umum Untuk Pelatihan HAM (Depok : Sentra HAM, 2003) hal. 5

Setiardja, Gunawan, Supremasi Hukum dalam Perspektif Pengembangan HAM, Jakarta

Winandi Woro, 2011, Modul Hukum Ham Dan Demokrasi Fakultas Hukum Universitas

Narotama Surabaya. Available From:

http://worowinandi.dosen.narotama.ac.id/files/2011/05/Modul-Hukum-HAM-Demokrasi-

4-Eksistensi-Reformasi-Hukum-Dan-Perlindungan-Hak-Asasi-Manusia-Di-

Indonesia.pdf. AKSES 25 SEPTEMBER 2013

Smith, RK. 2008. Hak Asasi Manusia. Pusat Studi Hak Asasi Manusia Universitas Islam

Indonesia (PUSHAM UII): Yogyakarta.

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia.

Available at: http://www.hukor.depkes.go.id/up_prod_uu/UU%20No.%2039%20Th

%201999%20ttg%20%20Hak%20Asasi%20Manusia.pdf. (Accesed 25 September 2013).

Undang-undangRepublik Indonesia Nomor 39 tahun 1999 HakAsasiManusia. 23 September

1999. Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 165.

Yamin Muhammad, Proklamasi dan Konstitusi Indonesia, (Jakarta : Ghalia Indonesia, 1982),

hal. 72