31
BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Perilaku Kesehatan Perilaku merupakan faktor terbesar kedua setelah faktor lingkungan yang mempengaruhi kesehatan individu, kelompok, atau masyarakat (Blum: 1974 dalam Notoatmodjo, 2003). Oleh karena itu dalam rangka membina dan meningkatkan kesehatan masyarakat, maka intervensi atau upaya yang ditunjukan kepada faktor ini sangat strategis. 1. Ruang Lingkup Perilaku (Menurut Notoatmodjo,2007). a. Perilaku seseorang terhadap sakit dan penyakit Perilaku ini adalah bagaimana manusia berespon, baik secara pasif (mengetahui, bersikap dan mempersepsi penyakit atau rasa sakit yang ada pada dirinya dan diluar dirinya, maupun aktif (tindakan) yang dilakukan sehubungan dengan penyakit atau sakit tersebut (Notoatmojo, 2007). Perilaku terhadap sakit dan penyakit ini dengan sendirinya sesuai dengan tingkat-tingkat pencegahan penyakit, yakni : 1) Perilaku sehubungan dengan peningkatan dan pemeliharaan kesehatan (health promotion behaviour). Misalnya makan makanan yang bergizi dan olah raga. 2) Perilaku pencegahan penyakit (health preevention behaviour) adalah respons untuk melakukan pencegahan penyakit, misalnya tidur memakai kelambu untuk mencegah gigitan nyamuk malaria, imunisasi, dan sebagainya. Termasuk perilaku untuk tidak menularkan penyakit kepada orang lain.

Hubungan Perilaku Dan Fasilitas Kesehatan

Embed Size (px)

Citation preview

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Perilaku Kesehatan

Perilaku merupakan faktor terbesar kedua setelah faktor lingkungan yang

mempengaruhi kesehatan individu, kelompok, atau masyarakat (Blum: 1974 dalam

Notoatmodjo, 2003). Oleh karena itu dalam rangka membina dan meningkatkan kesehatan

masyarakat, maka intervensi atau upaya yang ditunjukan kepada faktor ini sangat strategis.

1. Ruang Lingkup Perilaku (Menurut Notoatmodjo,2007).

a. Perilaku seseorang terhadap sakit dan penyakit

Perilaku ini adalah bagaimana manusia berespon, baik secara pasif (mengetahui,

bersikap dan mempersepsi penyakit atau rasa sakit yang ada pada dirinya dan diluar

dirinya, maupun aktif (tindakan) yang dilakukan sehubungan dengan penyakit atau

sakit tersebut (Notoatmojo, 2007).

Perilaku terhadap sakit dan penyakit ini dengan sendirinya sesuai dengan

tingkat-tingkat pencegahan penyakit, yakni :

1) Perilaku sehubungan dengan peningkatan dan pemeliharaan kesehatan (health

promotion behaviour). Misalnya makan makanan yang bergizi dan olah raga.

2) Perilaku pencegahan penyakit (health preevention behaviour) adalah respons untuk

melakukan pencegahan penyakit, misalnya tidur memakai kelambu untuk mencegah

gigitan nyamuk malaria, imunisasi, dan sebagainya. Termasuk perilaku untuk tidak

menularkan penyakit kepada orang lain.

3) Perilaku sehubungan dengan pencarian pengobatan (health seeking behaviour),

yaitu perilaku untuk melakukan atau mencari pengobatan, misalnya usaha-usaha

mengobati sendiri penyakitnya atau mencari pengobatan ke fasilitas-fasilitas

kesehatan modern (Puskesmas, mantri, dokter praktek, dan sebagainya), maupun ke

fasilitas kesehatan tradisional (dukun, sinshe, dan sebagainya).

4) Perilaku sehubungan dengan pemulihan kesehatan (health rehabilitation behaviour)

yaitu perilaku yang berhubungan dengan usaha-usaha pemulihan kesehatan setelah

sembuh dari suatu penyakit. Misalnya melakukan diet, mematuhi anjuran-anjuran

dokter dalam rangka pemulihan kesehatannya).

b. Perilaku terhadap sistem pelayanan kesehatan

Perilaku terhadap sistem pelayanan kesehatan adalah respons seseorang

terhadap sistem pelayanan kesehatan baik sistem pelayanan kesehatan modern maupun

tradisional. Perilaku ini menyangkut respons terhadap fasilitas pelayanan, cara

pelayanan, petugas kesehatan dan obat-obatannya, yang terwujud dalam pengetahuan,

persepsi, sikap dan penggunaan fasilitas, petugas dan obat-obatan.

c. Perilaku terhadap makanan (nutrition behaviour)

Perilaku terhadap makanan diartikan sebagai respons seseorang terhadap

makanan sebagai kebutuhan vital bagi kehidupan. Perilaku ini meliputi pengetahuan,

persepsi, sikap dan praktek kita terhadap makanan serta unsur-unsur yang terkandung

didalamnya (zat gizi), pengelolaan makanan, dan sebagainya sehubungan kebutuhan

tubuh kita.

d. Perilaku terhadap lingkungan kesehatan (enviromental health behaviour)

Perilaku terhadap lingkungan kesehatan adalah respons seseorang terhadap

lingkungan sebagai determinan kesehatan manusia. Lingkup perilaku ini seluas lingkup

kesehatan lingkungan itu sendiri.

Perilaku pencarian kesehatan (health seeking behaviour) adalah perilaku untuk

melakukan atau mencari pengobatan, misalnya usaha-usaha mengobati sendiri

penyakitnya atau mencari pengobatan ke fasilitas-fasilitas kesehatan modern

(Puskesmas, mantri, dokter praktek, dan sebagainya), maupun ke fasilitas kesehatan

tradisional (dukun, sinshe, dan sebagainya) (Notoatmodjo, 2007).

B. Determinan pemanfaatan Posyandu Lansia

1. Predisposing faktors (faktor-faktor predisposisi)

a. Umur

b. Tingkat pengetahuan

c. Tingkat pendidikan

d. Status sosoial ekonomi

2. Enabling Faktors (faktor-faktor pemungkin)

a. Jarak

b. Waktu tempuh

c. Kemandirian lanjut usia

3. Reinforcing faktors (faktor-faktor penguat)

- Partisipasi petuagas kesehatan

Konsep umum menurut Lawrence Green (1980), dalam Notoatmodjo (2003),

perilaku dipengaruhi oleh 3 faktor, yaitu:

1. Predisposing faktors (faktor-faktor predisposisi)

Faktor predisposisi adalah faktor yang mempermudah dan mendasari untuk

terjadinya perilaku tertentu. Faktor-faktor ini mencangkup umur, pengetahuan, dan

sikap, masyarakat terhadap kesehatan, tradisi, dan kepercayaan masyarakat terhadap

hal-hal yang berkaitan dengan kesehatan, sistem nilai yang dianut masyarakat, tingkat

pendidikan, tingkat sosial ekonomi, dan sebagainya.

a. Umur

Umur atau usia adalah satuan waktu yang mengukur waktu keberadaan suatu

benda atau makhluk, baik yang hidup maupun yang mati.

Jenis perhitungan Usia:

1) Usia kronologis

Usia kronologis adalah perhitungan usia yang dimulai dari saat kelahiran seseorang

sampai dengan waktu perhitungan usia.

2) Usia mental

Usia mental adalah perhitungan usia yang diharapkan dari taraf kemampuan mental

seseorang.

3) Usia biologis

Usia biologis adalah perhitungan usia berdasarkan kematangan biologis yang

dimiliki oleh seseorang.

b. Tingkat pengetahuan

Pengetahuan merupakan hasil dari tahu, dan ini terjadi setelah orang melakukan

pengindraan terhadap suatu objek tertentu. (Notoatmodjo, 2003). Tingkat pengetahuan

di dalam domain kognitif adalah sebagai berikut:

1) Tahu (know)

Tahu diartikan sebagai mengingat suatu materi yang telah dipelajari sebelunya.

Termasuk kedalam pengetahuan tingkat ini adalah mengingat kembali (recall)

sesuatu yang spesifik dari seluruh bahan yang dipelajari atau rangsangan yang telah

diterima. Oleh sebab itu tahu ini merupakan tingka pengetahuan yang paling

rendah. Keluarga dikatakan tahu tentang kebutuhan lansia anggota keluarga biila

mampu menyebutkan, menguraikan, mendefinisikan, mengetahui hal-hal yang

dibutuhkan lanjut usia yang berada sebagai anggota keluargana.

2) Memehami (comprehension)

Diartikan sebagai suatu kemampuan untuk menjelaskan secara benar tentang objek

yang diketahui, dan dapat menginterprestasikan materi tersebut secara benar. Dalam

upaya mencegah terjadingnya tidak terpenuhinya kebutuhan lanjut usia keluarga

mampu menjelaskan pelaksanaan pemenuhan kebutuhan lanjut usia.

3) Aplikasi (aplication)

Aplikasi diartikan sebagai kemampuan untuk menggunakan materi yang telah

dipelajari pada situasi ataukondisi real (sebenarnya). Aplikasi disini dapat diartikan

sebagai aplikasi atau penggunaan hukum, rumus, metode, prinsip, dan sebagainya

dalam konteks atau situasi yang lain. Misalnya keluarga mampu melaksanakan

pemenuhan kebutuhan bagi lanjut usia.

4) Analisis (analisis)

Analisis adalah suatu kemampuan untuk menjabarkan materi atau suatu objek

kedalam komponen-komponen, tetapi masih di dalam suatu struktur organisasi, dan

masih ada kaitannya satu sama lain. Keluarga mampu membedakan mana

kebutuhan bagi kehidupan lanjut usia dan mana yang dapat membedakan

keterlantaran bagi lansia.

5) Sintesis (synthesis)

Sintesis menunjukan kepada suatu kemampuan untuk meletakkan atau

menghubungkan bagian-bagian didalam suatu bentuk keseluruhan yang baru.

Dengan kata lain sintesis adalah suatu kemampuan untuk menyusun formulasi baru

dari formulasi-formulasi yang ada. Misalnya keluarga mampu menyusun,

merencanakan, menyesuaikan, terhadap pelaksanaan pemenuhan kebutuhan lanjut

usia yang ditetapkan sebelumnya.

6) Evaluasi (evaluation)

Evaliasi ini berkaitan dengan kemampuan untuk melakukan justufikasi atau

penilaian terhadap suatu materi atau objek. Penilaian-penilaian itu dilaksanakan

pada suatu kriteria yang ditentukan sendiri, atau menggunakan kriteria-kriteria yang

telah ada. Misalnya, keluarga mampu menilai bagaimana pelaksanaan pemenuhan

kebutuhan lanjut usia yang baik dan benar. Pengukuran atau penilaian pengetahuan

menurut Notoatmodjo (2003) dapat dikategorikan menjadi 4 yaitu:

(a) Pengetahuan sangat baik 75-100 %

(b) Pengetahuan baik 51-75%

(c) Pengetahuan cukup baik 26-50%

(d) Pengetahuan tidak baik 0-25%

c. Pendidikan

Pendidikan saat ini merupakan kebutuhan primer setiap manusia, karenanya

pendidikan tidak boleh dianggap sepele karena pendidikan akan meningkatkan harkat

dan martabat manusia itu sendiri. Dijelaskan pendidikan merupakan usaha sadar dan

terencana untuk mewujudkan sarana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik

secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual

keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak yang mulia, serta

ketrampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa, dan negara (Saman, 2008).

Meskipun tidak mutlak, namun semakin tinggi pendidikan seseorang maka makin

tinggi pula pengetahuannya.

d. Sosial ekonomi

Dalam lingkungan masyarakat kita melihat bahwa ada pembeda-bedaan yang

berlaku dan diterima secara luas oleh masyarakat. Di sekitar kita ada orang yang

menempati jabatan tinggi seperti gubernur dan wali kota dan jabatan rendah seperti

camat dan lurah. Di sekolah ada kepala sekolah dan ada staf sekolah. Di RT atau RW

kita ada orang kaya, orang biasa saja dan ada orang miskin.

Perbedaan itu tidak hanya muncul dari sisi jabatan tanggung jawab sosial saja,

namun juga terjadi akibat perbedaan ciri fisik, keyakinan dan lain-lain. Perbedaan ras,

suku, agama, pendidikan, jenis kelamin, dan lain sebagainya juga membedakan

manusia yang satu dengan yang lain.

Seseorang yang mempunyai tingkat sosial ekonomi yang baik kemungkinan

mempunyai tingkat kebutuhan yang baik. Sedangkan pada tahun 2010 upah minimum

Kabupaten Purbalingga sebesar Rp 618.500 (Yuliastono, Sigit. 2010).

2. Enabling Faktors (faktor-faktor pemungkin)

Faktor pemungkin adalah faktor yang memungkinkan untuk terjadinya perilaku

tertentu tersebut. Faktor-faktor ini mencangkup ketersediaan sarana dan prasarana atau

fasilitas kesehatan bagi masyarakat seperti Rumah Sakit, Puskesmas, Poliklinik,

Posyandu, Polindes, dan obat desa, dokter atau bidan praktek swasta dan keterjangkauan

kesehatan.

a. Jarak dan Waktu tempuh

Ketercapaian pelayanan kesehatan baik dari segi jarak, waktu tempuh maupun

dari segi biaya dan sosial; adanya peraturan-peraturan dan komitmen masyarakat

dalam menunjang perilaku tertentu tersebut. Faktor ini mencerminkan bahwa

meskipun mempunyai predisposisi untuk menggunakan pelayanan kesehatan, ia tidak

bertindak untuk menggunakanya, kecuali bila ia mampu menggunakanya

(Notoatmodjo, 2007).

b. Kemampuan menggunakan fasilitas kesehatan oleh para lansia dilihat dari

kemandirian lanjut usia / ADL (Activities Daily Living). Kemandirian lanjut usia /

ADL (Activities Daily Living) adalah sebagai berikut:

1) Pengetian

Aktivitas didefinisikan sebagai suatu aksi energetika atau keadaan bergerak. Semua

manusia yang normal memerlukan kemampuan untuk dapat bergerak Iqbal,

Mubarok, (2005), dalam Robert Priharjo,(1996). Yang dimaksud dengan ADL

adalah Kegiatan melakukan pekerjaan rutin sehari-hari (Hardywinoto, 1999).

2) Faktor Mempengaruhi Penurunan ADL

Menurut Hardywinoto faktor yang mempengaruhi penurunan Activies Daily Living

adalah:

a) Kondisi fisik misalnya penyakit menahun, gangguan mata dan telinga

b) Kapasitas mental

c) Status mental seperti kesedihan dan depresi

d) Penerimaan terhadap fungsinya anggota tubuh

e) Dukungan anggota keluarga

3) Aktivitas Kehidupan Sehari-Hari:

Berdasarkan indeks Katz tentang aktifitas kehidupan sehari-hari (Josep J.Gallo,

1998) meliputi:

a) Makan /Minum

Dalam pemenuhan lanjut usia akan makan dan minum ada beberapa hal yang

harus diperhatikan:

(1) Tujuan Pemberian makanan :

(a) Menyediakan makanan dengan gizi yang cukup

(b) Memperbaiki defisiensi gizi yang ada

(c) Menyediakan makanan yang konsistensinya sesuai dengan keadaan gigi

(d) Menyajikan makanan yang tidak menggunakan bahan-bahan keras, mudah

lengket dan sulit dikunyah

(e) Memberikan makanan berserat dan cukup cairan

(f) Memberikan suasana yang nyaman

(2) Syarat makanan

(a) Makanan mudah dikunyah, mudah dicerna tetapi tidak merangsang

pencernaan

(b) Bahan makanan makanan yang menimbulkan gas dihindari seperti:

kol,sawi,nangka dan durian

(c) Disajikan dalam porsi kecil, menarik dan sering diberikan

(d) Pemakaian gula sederhana dikurangi karena toleransi glukosa yang menurun

dan adanya resistensi insulin.

(3) Bentuk makanan

(a) Makanan biasa

Makanan biasa diberikan kepada usia lanjut yang tidak memerlukan makanan

khusus berhubungan dengan penyakitnya. Susunan makanan sama dengan

orang sehat, hanya tidak diperbolehkan makanan yang merangsang atau dapat

menimbulkan gangguan pencernaan.

(b) Makanan Lunak

Makanan lunak diberikan kepada orang usia lanjut yang berpenyakit infeksi

dengan kenaikan suhu badan tidak terlalu tinggi atau sesuai dengan keadaan

penyakit.

(c) Makanan Cincang

Bentuk makan cincang konsistenya hampir sama dengan bentuk makanan

lunak, akan tetapi lauk pauk lebih halus dari bentuk makanan lunak.

(d) Makanan Saring

Makanan saring diberikan kepada lansia yang infeksiakut termasuk saluran

pencernaan dan yang mengalami kesukaran menelan.

(e) Makanan Cair

Makanan cair diberikan kepada lansia sebelum dan sesudah operasi tertentu

dalam keadan mual dan muntah, dengan kesadaran menurun, serta suhu badan

sangat tinggi.

(4) Unsur Gizi

Unsur gizi yang dianjurkan terdiri dari sumber tenaga (Karbohidrat), Sumber

pembangun ( Protein), Lemak, Vitamin, Mineral, serat dan air.

b) Mandi/ Berpakaian

Mandi dan berpakaian adalah bagian dari perawatan diri, kebutuhannya harus

terpenuhi, untuk itu harus diperhatikan hal-hal sebagai berikut:

(1) Manfaat mandi

(a) Membersihkan kotoran pada kulit

(b) Mencegah masuknya kuman

(c) Melindungi jaringan dibawah kulit

(d) Mempertahankan kesegaran kulit

(e) Mengatur suhu tubuh

(2) Tujuan mandi

(a) Memberikan rasa nyaman

(b) Memperlancar aliran darah

(c) Meningkatkan kepercayaan/Penampilan diri

(d) Meningkatkan kebersihan dan kesehatan

(3) Cara memandikan

Perlengkapan mandi : sabun mandi, handuk, waslap, baskom, sisir, air bersih,

pakaian bersih. Pelaksanana mandi dua kali sehari secara teratur meliputi:

(a) Siram air kebawah secara merata

(b) Gosokan sabun kebadan

(c) Siram kembali sambil dipijat

(d) Keringkan badan dengan handuk

(e) Jika lansia dimandikan ditempat tidur urutannya sebagai berikut:

Membersihkan muka, membersihkan tangan, kemudian dada dan perut, kaki

dan daerah genital

c) Toileting/Continentia

Orang usia lanjut yang tidak mampu bergerak atau menjalani tirah baring

umumnya akan membutuhkan alat bantu seperti:

(1) Urinal

Alat ini terutama digunakan oleh laki-laki, tetapi adapula jenis urinal tertentu

yang digunakan oleh wanita. Pada lansia yang tidak mampu/ tirah baring perlu

dibantu untuk duduk dulu ditepi tempat tidur kemudian menggunakan urinal.

(2) Komod

Alat bantu berupa kursi yang berlubang diatas tempat duduknya, dibawah

lubang tersebut terdapat tempat menampung air seni atau tinja. Komod adalah

alat bantu yang baik untuk lansia yang tidak mampu pergi ketoilet tetapi dapat

bangun dari tempat tidur.

(3) Bedpan

Alat ini digunakan untuk seseorang yang dapat bangun dari tempat tidur. Alat

ini diselipkan dibawah bokong pada saat lansia akan buang air besar atau buang

air kecil. Pada lansia umumnya pemenuhan kebutuhan akan buang air besar dan

buang air akan mengalami gangguan atau permasalahan, adapun permasalahan

yang sering dijumpai pada lansia tersebut terdiri dari :

(a) Diare

Diare berarti keluarnya tinja lebih dari 500 ml/hari, kejadian ini disebabkan

oleh kemampuan penyerapan oleh usus besar yang tidak mencukupi

dibandingkan cairan yang datang dari usus halus. Apabila ada anggapan

defisiensi laktase sebaiknya tidak mengkonsumsi laktase yang banyak, laktase

terdapat dalam susu full cream, tetapi dapat pula diganti dengan susu skim dan

putih telur serta lauk hewani lainnya sebagai sumber protein.

(b) Konstipasi

Sembelit pada lansia disebabkan oleh beberapa faktor antara lain: kurangnya

kegiatan fisik, penggunaan pencahar yang berlebihan, diet yang tidak dapat

memebentuk masa feses (diet rendah serat) dan faktor psikologis. Sembelit

dapat dicegah dengan mengkonsumsi makanan tinggi serat serta minum

cukup.

(c) Ngompol

Pada lansia yang ngompol umumnya ditangani dengan pendekatan tanpa obat,

dengan cara:

(1) Latihan otot dasar panggul secara rutin dan teratur setiap hari

(2) Mengatur jadwal berkemih

(3) Jangan berkemih hanya karena ingin berkemih

(4) Cukup minum (1,5-2 liter/hari)

(5) Hindari minuman yang merangsang berkemih (kopi, air gula, Soft drink).

d) Hindari sembelit (makanan harus tinggi serat)

f) Konsultasikan dengan perawat atau dokter tentang pemberian obat

c. Berpindah

Berbagai kondisi yang dapat menyebabkan terjadinya gangguan pada saat berpindah

adalah:

(1) Gangguan sendi dan tulang seperti adanya reumatik, pengapuran tulang dan patah

tulang.

(2) Penyakit syaraf, seperti adanya stroke, peyakit parkinson dan gangguan syraf tepi

(3) Penyakit jantung atau pernapasan, akan menimbulkan kelelahan atau sesak napas

ketika lansia beraktifitas

(4) Gangguan penglihatan, rasa percaya diri untuk bergerak akan terganggu oleh

adanya gangguan penglihatan sehingga lansia cenderung khawatir terpeleset dan

terbentur.

(5) Masa penyembuhan, lansia yang masih lemah atau sehabis sakit sangat memerlukan

bantuan untuk melakukan aktifitas geraknya.

Akibat adanya keterbatasan dalam berpindah atau imobilisasi yang berkepanjangan

akan menimbulkan berbagai masalah sebagai berikut:

a) Infeksi saluran kemih

Berbaring atau duduk terlalu lama dapat menghambat pengosongan kandung kemih.

Sisa air seni dapat tertahan didalam kandung kemih sehingga menimbulkan infeksi.

b) Sembelit

Mengkonsumsi makanan yang tinggi serat seperti sayuran dan buah serta minum

cukup yang membantu mencegah atau mengurangi kemungkinan timbulnya

masalah sembelit akibat imobilisasi.

c) Infeksi Paru

Berbaring lama dapat menyebabkan hambatan pengeluaran dahak/riak pada bagian

bawah paru . Merubah posisi dan tepuk-tepuk daerah dada dan punggung secara

teratur dan membantu memindahkan riak sehingga mudah mengeluarkan.

d) Luka Tekan

Luka tekan atau biasa disebut dekubitus adalah kerusakan jaringan kulit akibat

tekanan yang berkepanjangan pada daerah kulit. Pencegahan pada luka tekan adalah

menghindari tekanan terlalu lama pada daerah tubuh tertentu. Mobilisasi pasif

dengan memiringkan kekanan dan kekiri bergantian 1-2 jam secara teratur.

4) Komponen ADL

Menurut Virginia Handerson (1966) komponen-komponen ADL atau aktivitas hidup

sehari-hari terdiri dari 14 komponen keperawatan dasar, adalah:

a) Bernafas normal

b) Minum dan makanan sesuai dengan kebutuhan

c) Eliminasi normal

d) Bergerak dan memelihara postur tubuh dengan baik

e) Tidur dan istirahat

f) Membuka dan mengenakan pakaian

g) Mempertahankan suhu tubuh normal dengan berpakaian dan modifikasi lingkungan

h) Memelihara kebersihan tubuh dan berdandan

i) Komunikasi

j) Beribadah/sembahyang

k) Bekerja

l) Bermain atau rekreasi

m) Belajar/memuaskan keinginan

5) Tujuan Aktivitas Hidup Sehari-Hari (ADL)

Menurut Virginia Handerson :

a) Individu mampu memelihara, mempertahankan dan memulihkan kembali

kesehatannya secara optimal tanpa bantuan atau menerima bantuan oleh orang lain

apabila diperlukan

b) Memberi kesempatan kepada individu untuk berperan serta dalam kegiatan

pencegahan terhadap gangguan kesehatan dirinya secara mandiri

c) Memberikan kenyamanan dalam hal meningkatkan penyembuhan dengan mandiri

d) Memberikan pengobatan untuk mengatasi penyakit atau gejala-gejala yang penting

untuk penyembuhan dan peningkatan kemandirian klien.

3.Reinforcing faktors (faktor-faktor penguat)

Faktor penguat adalah faktor yang memperkuat untuk terjadinya perilaku tertentu

tersebut. Faktor-faktor ini meliputi faktor sikap dan perilaku tokoh masyarakat, tokoh

agama, sikap, dan perilaku para petugas termasuk petugas kesehatan.

Sikap adalah gambaran kepribadian seseorang yang terlahir melalui gerakan fisik

dan tanggapan pikiran terhadap suatu keadaan atau suatu objek. Menurut Azwar (2002),

sikap seseorang pada suatu objek adalah perasaan atau emosi, dan faktor kedua adalah

reaksi/respon atau kecenderungan untuk bereaksi. Sebagai reaksi maka sikap selalu

berhubungan dengan kedua alternatif, yaitu senang (like) atau tidak senang (dislike),

menurut dan melaksanakan atau menjauhi/ menghindari sesuatu.

Perilaku merupakan bentuk tindakan nyata seseoraangsebagai akibat dari adanya

aksi respon dan reaksi. Menurut (Azwar,2000) sikap merupakan predisposisi evaluatif

yang banyak menentukan bagaimana individu bertindak, akan tetapi sikap dan tindakan

nyata seringkali jauh berbeda. Hal ini dikarenakan tindakan nyata tindak hanya

ditentukan oleh sikap semata namun juga ditentukan faktor eksternal lainnya.

Dari pendapat tersebut dapat dikatakan bahwa sikap adalah kecenderungan,

pandangan, pendapat atau pendirian seseorang untuk menilai suatu objek atau persoalan

dan bertindak sesuai dengan penilaiannya dengan menyadari perasaan positif dan negatif

dalam menghadapi suatu objek.

Sikap dikatakan sebagai suatu respon evaluatif. Respon hanya akan timbul, apabila

individu diharapkan pada suatu stimulus yang dikehendaki adanya reaksi individual.

Respon evaluatif berarti bahwa bentuk reaksi yang dinyatakan sebagai sikap itu timbul

didasari oleh proses evaluasi dalam diri individu yang memberi kesimpulan terhadap

stimulus dalam bentuk nilai, baik buruk, positif, negatif, menenangkan, tidak

menyenangkan, yang kemudian mengkristal sebagai potensi reaksi terhadap objek sikap

(Azwar, 2000).

Sikap sebagai produk psikologis tidaklah muncul begitu saja dalam diri seseorang.

Sikap yang muncul dari individu merupakan hasil interaksi antara diri dan dunia luar

(lingkungan). Tidak heran jika hubungan timbal balik ini mempengaruhi tingkah laku

individu. Dalam interaksi sosial yang meliputi lingkungan fisik dan lingkungan sosial

dibutuhkan banyak faktor guna mendukung pemunculan sikap. Menurut Azwar (2005)

faktor-faktor yang seringkali menjadi acuan bagi munculnya sikap adalah media massa,

pengalaman pribadi, pengaruh orang lain yang dianggap penting, pengaruh kebudayaan,

lembaga pendidikan, lembaga agama dan pengaruh emosi.

Struktur sikap menurut Azwar (2009) terdiri atas komponen yang saling menunjang

yaitu komponen kognitif (cognitive), komponen afektif (affective), dan komponen

konotatif (conative).

Komponen kognitif merupakan representasi apa yang di percayai oleh individu

pemilik sikap, komponen afektif merupakan perasaan yang menyangkut aspek emosional,

dan komponen konotatif merupakan aspek kecenderungan berperilaku tertentu sesuai

dengan sikap yang dimiliki oleh seseorang (Azwar, 2009).

Perilaku yang nampak terhadap suatu objek tertentu setidaknya bisa diramalkan

melalui sikap yang diungkapkan oleh seseorang. Dalam arti bahwa sikap seseorang bisa

menentukan tindakan dan perilakunya. Sikap terkadang bisa diungkapkan secara terbuka

melalui berbagai wacana atau percakapan, namun seringkali sikap ditunjukan secara tidak

langsung. Sikap bisa muncul sebelum perilaku tetapi bisa juga merupakan akibat dari

perilaku sebelumnya.

Benyamin Bloom (1908) dalam Notoatmodjo (2003) seorang ahli psikologis

pendidikan sebagai perilaku manusia dibagi ke dalam tiga domain yaitu:

1) Kognitif

2) Afektif

3) Psikomotor

Dalam perkenbangannya, teori Bloom ini dimodifikasi untuk pengukuran hasil

pendidikan kesehatan yakni:

a. Pengetahuan / Kognitif adalah domain yang sangat penting dalam membentuk

tindakan seseorang. Proses adopsi perilaku di dalam diri orang tersebut terjadi proses

yang berurutan yakni:

1) Awareness (kesadaran)

2) Interest (tertarik)

3) Evaluation (menimbang-nimang baik dan tidaknya)

4) Trial ( mulai mencoba)

5) Adoption (berperilaku)

b. Sikap (attitide) sikap merupakan reaksi atau respon yang masih tertutup dari

seseorang terhadap suatu stimulus atau objek. Proses terbentuknya sikap dan reaksi:

a) Komponen pokok sikap menurut (Allport, 1954) dalam Notoatmodjo (2003):

1) Kepercayaan (keyakinan), ide, dan konsep terhadap suatu objek.

2) Kehidupan emosional atau evaluasi terhadap suatu objek.

3) Kecenderungan untuk bertindak

b) Berbagai tingkatan sikap

1) Menerima

2) Merespon

3) Menghargai

c) Bertanggung jawab

d) Praktek atau tindakan (praktice)

1) Persepsi

2) Respon terpimpin

3) Mekanisme

4) Adopsi

Perubahan atau adopsi perilaku baru adalah suatu proses yang kompleks dan

memerlukan waktu yang relatif lama. Secara teori perubahan perilaku atau seseorang

menerima atau mengadopsi perilaku baru dalam kehidupannya melalui tiga tahap:

1) Pengetahuan Dikelompokan menjadi :

a) Pengetahuan tentang sakit dan penyakit

b) Pengetahuan tentang cara pemeliharaan kesehatan dan cara hidup sehat

c) Pengetahuan tentang kesehatan lingkungan

2) Sikap Dikelompokan menjadi:

a) Sikap terhadap sakit dan penyakit

b) Sikap cara pemeliharaan dan cara hidup sehat

c) Sikap terhadap kesehatan ligkungan

3) Praktek atau tindakan (practice) Dikelompokan menjadi:

a) Tindakan (praktek) sehubungan dengan penyakit

b) Tindakan (praktek) pemeliharaan dan peningkatan kesehatan

c) Tindakan (praktek) kesehatan lingkungan.

C. Posyandu Lanjut Usia

1. Pengertian Posyandu

Posyandu adalah pusat kegiatan masyarakat dalam upaya pelayanan kesehatan dan

keluarga berencana. Posyandu adalah pusat pelayanan keluargaberencana dan kesehatan

yang dikelola dan diselenggarakan untuk dan oleh masyarakat dengan dukungan teknis dari

petugas kesehatan (Effendy, 1998).

Posyandu atau pos pelayanan terpadu merupakan program Puskesmas melalui

kegiatan peran serta masyarakat yang ditunjukan pada masyarakat setempat, khususnya

balita wanita usia subur, maupun lansia. Pelayanan kesehatan di Posyandu Lanjut Usia

meliputi pemeriksaan kesehatan fisik dan mental emosional yang dicatat dan dipantau

dengan Kartu Menuju Sehat (KMS) untuk mengetahui lebih awal penyakit yang diderita

atau ancaman masalah kesehatan yang dihadapi. Jenis pelayanan kesehatan yang diberikan

di Posyandu Lansia antara lain pemeriksaan status gizi, pengukuran tekanan darah,

pemeriksaan hemoglobin, kadar gula dan protein dalam urin, pelayanan rujukan ke

Puskesmas dan penyuluhan kesehatan. Kegiatan lain yang dapat dilakukan sesuai

kebutuhan dan kondisi setempat seperti Pemberian Makan Tambahan (PMT) dengan

memperhatikan aspek kesehatan dan gizi lanjut usia dan olah raga seperti senam lanjut

usia, gerak jalan santai untuk meningkatkan kebugaran (Petunjuk Pengisian KMS, DKK

Purbalingga, 2010).

Penyelenggaraan Posyandu menurut Effendi (1998) terdiri dari beberapa kategori

sebagai berikut:

a. Pelaksana kegiatan, adalah anggota masyarakat yang telah dilatih menjadi

kaderkesehatan dibawah bimbingan Puskesmas

b. Pengelola Posyandu, adalah petugas yang dibentuk oleh ketua RW yang dari kader

PKK, tokoh masyarakat formal dan informal serta kader kesehatan yang ada di wilayah

tersebut (Effendi, 1998).

Menurut Effendi (1998), Syarat lokasi/letak yang harus dipenuhi meliputi :

a. Berada di tempat yang mudah didatangi oleh masyarakat

b. Ditentukan oleh masyarakat itu sendiri

c. Dapat merupakan lokal tersendiri

d. Bila tidak memungkinkan dapat dilaksanakan dirumah penduduk, balai rakyat, pos

RT/RW atau pos lainnya.

Tujuan pembentukan Posyandu Lansia secara garis besar menurut Dinas Kesehatan

Kabupaten Malang (2006) antara lain:

a. Meningkatkan jangkauan pelayanan kesehatan lansia di masyarakat, sehingga terbentuk

pelayanan kesehatan yang sesuai dengan kebutuhan lansia

b. Mendekatkan pelayanan dan meningkatkan peran serta masyarakat dan swasta dalam

pelayanan kesehatan disamping meningkatkan komunikasi antara masyarakat usia lanjut

Berbeda dengan Posyandu balita yang terdapat ssistem 5 meja dalam pelayanan

terhadap balita, menurut Dinas Kesehatan Kabupaten Malang (2006) Posyandu Lansia

hanya menggunakan sistem 3 meja, dengan kegiatan sebagai berikut:

a. Meja I : Pendaftaran lansia, pengukuran dan penimbangan berat badan dan atau

tinggi badan

b. Meja II : Melakukan pencatatan berat badan, tinggi badan, indeks masa tubuh (IMT).

Pelayanan kesehatan seperti pengobatan sederhana dan rujukan kasus juga

dilakukan di meja II ini.

c. Meja III : Melakukan kegiatan penyuluhan atau konseling, disini juga bisa dilakukan

pelayanan pojok gizi

Beberapa kendala yang dihadapi lansia dalam mengikuti kegiatan posyandu antara

lain :

a. Pengetahuan lansia yang rendah tentang manfaat posyandu

b. Jarak rumah dengan lokasi posyandu yang jauh atau sulit dijangkau

c. Kurangnya dukungan keluarga untuk mengantar maupun mengingatkan lansia untuk

datang ke posyandu.

d. Sikap yang kurang baik terhadap petugas posyandu (Fauzi, 2007).

Pelayanan Kesehatan di Posyandu lanjut usia meliputi pemeriksaan Kesehatan fisik

dan mental emosional yang dicatat dan dipantau dengan Kartu Menuju Sehat (KMS) untuk

mengetahui lebih awal penyakit yang diderita (deteksi dini) atau ancaman masalah

kesehatan yang dihadapi.

Jenis Pelayanan Kesehatan yang diberikan kepada usia lanjut di Posyandu Lansia

seperti tercantum dalam situs Pemerintah Kota Jogjakarta adalah:

a. Pemeriksaan aktivitas kegiatan sehari-hari meliputi kegiatan dasar dalam kehidupan,

seperti makan/minum, berjalan, mandi, berpakaian, naik turun tempat tidur, buang air

besar/kecil dan sebagainya.

b. Pemeriksaan status mental. Pemeriksaan ini berhubungan dengan mental emosional

dengan menggunakan pedoman metode 2 (dua ) menit.

c. Pemeriksaan status gizi melalui penimbangan berat badan dan pengukuran tinggi badan

dan dicatat pada grafik indeks masa tubuh (IMT).

d. Pengukuran tekanan darah menggunakan tensimeter dan stetoskop serta penghitungan

denyut nadi selama satu menit.

e. Pemeriksaan hemoglobin menggunakan talquist, sahli atau cuprisulfat

f. Pemeriksaan adanya gula dalam air seni sebagai deteksi awal adanya penyakit gula

(diabetes mellitus)

g. Pemeriksaan adanya zat putih telur (protein) dalam air seni sebagai deteksi awal adanya

penyakit ginjal.

h. Pelaksanaan rujukan ke Puskesmas bilamana ada keluhan dan atau ditemukan kelainan

pada pemeriksaan butir 1 hingga 7. dan

i. Penyuluhan Kesehatan (Pemkot Jogja, 2007).

Kegiatan lain yang dapat dilakukan sesuai kebutuhan dan kondisi setempat seperti

Pemberian Makanan Tambahan (PMT) dengan memperhatikan aspek kesehatan dan gizi

lanjut usia dan kegiatan olah raga seperti senam lanjut usia, gerak jalan santai untuk

meningkatkan kebugaran (Pemkot Jogja, 2007).

Untuk kelancaran pelaksanaan kegiatan di Posyandu Lansia, dibutuhkan, sarana dan

prasarana penunjang, yaitu: tempat kegiatan (gedung, ruangan atau tempat terbuka), meja

dan kursi, alat tulis, buku pencatatan kegiatan, timbangan dewasa, meteran pengukuran

tinggi badan, stetoskop, tensi meter, peralatan laboratorium sederhana, thermometer, Kartu

Menuju Sehat (KMS) lansia (Pemkot Jogja, 2007).

2. Lansia

Menurut Notoatmodjo (2007) usia lanjut sebagai tahap akhir siklus kehidupan

merupakan tahap perkembangan normal yang akan dialami oleh setiap individu yang

mencapai usia lanjut dan merupakan kenyataan yang tidak dapat dihindari. Usia lanjut

adalah kelompok orang yang sedang mengalami suatu proses perubahan yang bertahap

dalam jangka waktu berbeda dekade. Menurut WHO (1989), dikatakan usia lanjut

tergantung dari konteks kebutuhan yang tidak dipisah-pisahkan. Konteks kebutuhan

tersebut dihubungkan secara biologis, sosial, dan ekonomi dan dikatakan usia lanjut

dimulai paling tidak saat masa puber dan prosesnya berlangsung sampai kehidupan dewasa

(Depkes RI 1999). Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (1995), lanjut usia (lansia)

adalah tahap masa tua dalam perkembangan individu dengan batasan usia 60 tahun ke atas.

Lanjut usia (Lansia) adalah sebagai usia yang rentan terhadap bermacam masalah

kesehatan (fisik dan psikis).

Menurut oraganisasi kesehatan dunia (WHO), lanjut usia meliputi:

a. Usia pertengahan (middle age) ialah kelompok usia 45 sampai 59 tahun.

b. Lanjut usia (elderly) antara 60 – 74 tahun.

c. Lanjut usia tua (old) antara 75 – 90 tahun.

d. Usia sangat tua (very old) di atas 90 tahun.

3. KMS (Kartu Menuju Sehat) Lansia

Menurut Depkes RI,1999) Kartu Menuju Sehat Lansia adalah sebuah kartu catatan

tentang perkembangan status kesehatan yang dipantau setiap kunjungan ke Posyandu

Lansia atau berkunjung ke Puskesmas yang meliputi pemantauan kesehatan fisik dan

emosional serta deteksi dini atas penyakit atau ancaman kesehatan yang dihadapi lansia.

Pemeriksaan yang dicatat pada KMS Lansia adalah :

a. Grafik Indeks Massa Tubuh (IMT) tentang berat badan dan tinggi badan (pemeriksaan

status gizi)

b. Pemeriksaan aktivitas sehari-hari (kegiatan dasar seperti mandi, makan/minum, tidur,

buang air besar/kecil dan sebagainya).

c. Pemeriksaan status mental dan emosional yang dilakukan oleh dokter.

d. Pengukuran tekanan darah.

e. Pemeriksaan Hemoglobin.

f. Reduksi urine untuk kadar gula pada air seni sebagi deteksi penyakit kencing manis

(diabetes mellitus).

g. Pemeriksaan protein urine guna deteksi penyakit ginjal.

h. Catatan keluhan dan tindakan. Sekiranya ada permasalahan kesehatan yang perlu

pengobatan saat itu atau perlu untuk rujukan ke Puskesmas.

Selain pencatatan tersebut terdapat anjuran untuk hidup sehat yang digunakan untuk

penyuluhan yang disampaikan setiap selesai pemeriksaan kesehatan.

Dalam pelaksanaannya masih terdapat faktor-faktor yang menghambat

berkembangnya Posyandu Lansia, diantaranya:

a. Pihak Pemerintah/Institusi

Permasalahan yang ada biasanya adalah belum dijadikannya program ini sebagai

program unggulan sehingga di dalam satu wilayah kecamatan hanya terbentuk 1 atau 2

Posyandu Usila ”percobaan” saja.

b. Masyarakat

Tingkat pengetahuan masyarakat yang masih kurang tentang manfaat Posyandu

Lansia yang dilihat dari sedikitnya kunjungan serta pemanfaatan Kegiatan Posyandu

Lansia ketika buka/dilaksanakan.

c. Kader Kesehatan

Belum siapnya kader dan petugas kesehatan bagaimana bentuk pelaksanaan kegiatan

Posyandu Lansia dalam hal ini perlu adanya pelatihan bagi petugas kesehatan dan

kader Posyandu Lansia.

d. Jarak

Jauhnya lokasi Posyandu dengan rumah Lansia akan mempersulit jangkauan dan

memungkinkan kurangnya rasa aman bagi lansia ketika mencapai lokasi.

e. Dukungan keluarga yang kurang

Keluarga merupakan motivator untuk keaktifan lansia untuk berkunjung ke Posyandu

dengan cara mengantar mereka ke lokasi Posyandu Lansia.

f. Sarana dan prasarana yang kurang

Peralatan yang minim memungkinkan kegiatan tidak bisa optimal.Guna kelancaran

pelaksanaan Posyandu Lansia serta untuk mengatasi permasalahan tersebut di atas

diperlukan :

a. Dukungan Pemerintah/institusi terkait dengan menempatkan program Posyandu

Lansia sebagai salah satu program pendukung pembangunan kesehatan di

wilayahnya.

b. Meningkatkan promosi kesehatan tentang Posyandu Lansia di masyarakat.

c. Melatih petugas kesehatan dan kader Posyandu Lansia tentang bagaimana kegiatan

Posyandu Lansia.

d. Menempatkan lokasi Posyandu Lansia yang mudah dijangkau semua lansia.

e. Melakukan advokasi kepada tokoh masyarakat guna mendapatkan dukungan untuk

pembentukan Posyandu Lansia.

f. Melengkapi sarana dan prasarana standar untuk kegiatan Posyandu Lansia guna

mendukung pemeriksaan kesehatan seperti tercantum pada KMS Lansia.

Menurut Notoatmodjo (2007) dukungan keluarga dan masyarakat, bertujuan untuk:

a. Menggalakan, membina, dan meningkatkan peran keluarga untuk semakin

membudayakan dan melembagakan kegiatan sehari-hari seluruh anggota keluarga

dalam memberikan pelayanan, pembinaan kualitas dan peningkatan kesejahteraan

kepada anggota keluarga.

b. Menggalakan, membina, dan meningkatkan peran serta masyarakat, organisasi sosial,

LSM, dan sektor swasta dalam kegiatan pelayanan bagi lanjut usia di berbagai

bidang.

c. Memelihara, memperkuat, dan memasyarakatkan nilai-nilai budaya bangsa yang

menghormati, menghargai, dan memberikan perhatian terhadap para lanjut usia dalam

kehidupan sehari-hari.

d. Memberdayakan lansia untuk tetap berperan sebagai panutan dan teladan dalam

memelihara dan meneruskan nilai dan norma pada anak cucu (Notoatmojo,2007).

D. Kerangka Teori

Gambar 2.1 Kerangka Teori

Sumber: (Soekidjo Notoatmodjo (2003), dalam Henderson (1966).

Pemanfaatan fasilitas kesehatan

Faktor Predisposing: • Umur • Tingkat pengetahuan dan sikap

masyarakat terhadap kesehatan • Tradisi dan kepercayaan

masyarakat terhadap hal-hal yang berkaitan dengan kesehatan

• Sistem nilai yang dianut masyarakat

• Tingkat pendidikan • Tingkat sosial ekonomi

Faktor enabling: • ketersediaan sumber-sumber

atau fasilitas kesehatan. • keterjangkauan pelayanan

kesehatan • peraturan dan komitmen

masyarakat yang menunjang perilaku

• Kemandirian Lanjut Usia

Faktor reinforcing: sikap dan perilaku (pelayanan) tokoh masyarakat, tokoh agama, dan petugas kesehatan

E. Kerangka Konsep

Variabel bebas Variabel terikat

Gambar 2.2 Kerangka Konsep

Pemanfaatan Posyandu Lansia

Status sosial ekonomi

Tingkat pengetahuan

umur

Tingkat pendidikan

Jarak

Waktu tempuh

Kemandiririan Lansia

Partisipasi Petugas Kesehatan

F. Hipotesis

Ada hubungan antara umur, tingkat pengetahuan, tingkat pendidikan, status sosial

ekonomi, jarak, waktu tempuh, kemandirian lansia, partisipasi petugas kesehatan

masyarakat dengan pemanfaatan Posyandu Lansia